10
BioSMART ISSN: 1411-321X Volume 1, Nomor 1 April 1999 Halaman: 31-40 © 1999 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Status Taksonomi Genus Alpinia Berdasarkan Sifat-sifat Morfologi, Anatomi dan Kandungan Kimia Minyak Atsiri AHMAD DWI SETYAWAN Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta ABSTRAK Holltum (1950) was the first researcher who divided genus Alpinia into three separated genera, i.e. Alpinia, Catimbium and Languas. This classification was followed by many authors like Backer and Bakhuizen van den Brink (1968), although other authors challenged it. Justification of the taxonomic status of this genus so far is only based on morphological characters of the flowers, and it has not solved different opinion of the author yet. It is therefore important to conduct an experiment in order to extend of the character, such as anatomical characters and their chemical constituent of essential oil to gain representative characters on classifying this genus. For this reasons this experiment was conducted. Quantitative and qualitative methods were used in this experiment. Five species of genus Alpinia took from Bogor Botanical Garden`s collection and species collected from highland of northern Purbalingga were used in this experiment. Morphological character’s examinations were rhizomes, roots, shoots, leave, flowers, fruits and seeds. Anatomical character’s examinations were the section of the rhizomes, roots, shoots and leave, included sheath and both upper and lower section of epidermal lamina. Preparats were made by semi permanent method. Experiments on chemotaxonomy were done, including quantitative analysis of essential oil of the rhizome by water distillation, and determination of the kind of their essential oils by gas chromatography. The phylogenetic relationships of genus Alpinia were determined by clustering association coefficient continued by cluster analysis. These results indicate that morphological and anatomical character, and chemical constituent of essential oils both single or combination could be used as determinant character in genus Alpinia. Combination of these characters strengthen the current classification based on morphological characters, but the phylogenetic dendrogram based on combination of previous characters indicated that separation of genus Alpinia to three genera, i.e. Alpinia, Languas and Catimbium could not be confirmed. Key words: Alpinia, morphology, anatomy, essential oils, phylogenetic PENDAHULUAN Ruang lingkup taksonomi tumbuhan meliputi identifikasi, klasifikasi dan deskripsi (Lawrence, 1955). Taksonomi berlandaskan sifat yang dapat dilihat, diukur, dihitung dan dibatasi, misalnya sifat morfologi, anatomi, palinologi, fisiologi, biokimia, sitologi dan sitogenetika (Shukla dan Misra, 1982). Sifat yang bernilai tinggi harus jelas dan stabil (Davis dan Heywood, 1973; Heywood, 1967). Taksonomi yang sempurna boleh jadi mengharuskan penelitian semua sifat, sehingga diperoleh klasifikasi yang rinci dan lebih baik (Turril, 1951). Zingiberaceae memiliki sekitar 47 genus dan 1400 spesies. Biasa dimanfaatkan untuk obat, rempah, bumbu, pewarna dan tanaman hias. Alpinia merupakan genus terbesar dan memiliki 225 spesies. Tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Wilayah sebaran utamanya di Indo-Malaysia, ke utara hingga Jepang dan ke selatan hingga New South Wales (Lawrence, 1955; Purseglove, 1972). Taksonomi Zingiberaceae menarik dipelajari karena adanya banyak perbedaan pendapat, misalnya status taksonomi genus Alpinia. Holttum (1950) memisahkan genus ini menjadi tiga, yaitu: Alpinia (berdasarkan Alpinia sub-genus Dieramalpinia K. Schum.), Languas (termasuk Alpinia galanga, tipe konservasi Alpinia) dan Catimbium (Alpinia sub- genus Catimbium K. Schum.). Namun pemisahan ini ditentang banyak ahli. Genus Alpinia termasuk dalam Tribus Alpineae, Subfamilia Zingiberoideae, Familia Zingiberaceae, Ordo Zingiberales (Scitamineae), Kelas Monocotyledoneae, Subdivisi Angiospermae, Divisi Spermatophyta (Burtt, 1972; Burtt dan Smith, 1972; Lawrence, 1951). Morfologi merupakan sifat utama taksonomi, baik bagian bunga atau vegetatif. Sifat bunga meliputi bentuk, warna, jumlah dan organisasi. Sedang sifat vegetatif meliputi percabangan, pertumbuhan, tekstur batang serta susunan, ukuran dan bentuk daun (Jones dan Luchsinger, 1986). Sifat morfologi sering diperkuat sifat anatomi, meskipun terkadang hanya berlaku untuk klasifikasi di atas familia (Heywood, 1967). Sifat ini meliputi stomata, bulu-bulu; substansi ergastik seperti: sel silika, kristal Ca- oksalat, pati, tanin, sel minyak, getah; parenkim; xilem, floem dan lain-lain. Sifat ini dipengaruhi adaptasi dan fungsi (Shukla dan Misra, 1982). Sifat lain yang mulai banyak digunakan adalah kemotaksonomi, yaitu penerapan data-data kimia. Sifat ini tidak mensyaratkan spesimen utuh dan tersimpan baik (Hegnauer, 1963).

48-28-1-PB

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 48-28-1-PB

B i o S M A R T ISSN: 1411-321X Volume 1, Nomor 1 April 1999 Halaman: 31-40

© 1999 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Status Taksonomi Genus Alpinia Berdasarkan Sifat-sifat Morfologi,

Anatomi dan Kandungan Kimia Minyak Atsiri

AHMAD DWI SETYAWAN Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

ABSTRAK Holltum (1950) was the first researcher who divided genus Alpinia into three separated genera, i.e. Alpinia, Catimbium and Languas. This classification was followed by many authors like Backer and Bakhuizen van den Brink (1968), although other authors challenged it. Justification of the taxonomic status of this genus so far is only based on morphological characters of the flowers, and it has not solved different opinion of the author yet. It is therefore important to conduct an experiment in order to extend of the character, such as anatomical characters and their chemical constituent of essential oil to gain representative characters on classifying this genus. For this reasons this experiment was conducted. Quantitative and qualitative methods were used in this experiment. Five species of genus Alpinia took from Bogor Botanical Garden`s collection and species collected from highland of northern Purbalingga were used in this experiment. Morphological character’s examinations were rhizomes, roots, shoots, leave, flowers, fruits and seeds. Anatomical character’s examinations were the section of the rhizomes, roots, shoots and leave, included sheath and both upper and lower section of epidermal lamina. Preparats were made by semi permanent method. Experiments on chemotaxonomy were done, including quantitative analysis of essential oil of the rhizome by water distillation, and determination of the kind of their essential oils by gas chromatography. The phylogenetic relationships of genus Alpinia were determined by clustering association coefficient continued by cluster analysis. These results indicate that morphological and anatomical character, and chemical constituent of essential oils both single or combination could be used as determinant character in genus Alpinia. Combination of these characters strengthen the current classification based on morphological characters, but the phylogenetic dendrogram based on combination of previous characters indicated that separation of genus Alpinia to three genera, i.e. Alpinia, Languas and Catimbium could not be confirmed. Key words: Alpinia, morphology, anatomy, essential oils, phylogenetic

PENDAHULUAN

Ruang lingkup taksonomi tumbuhan meliputi

identifikasi, klasifikasi dan deskripsi (Lawrence, 1955). Taksonomi berlandaskan sifat yang dapat dilihat, diukur, dihitung dan dibatasi, misalnya sifat morfologi, anatomi, palinologi, fisiologi, biokimia, sitologi dan sitogenetika (Shukla dan Misra, 1982). Sifat yang bernilai tinggi harus jelas dan stabil (Davis dan Heywood, 1973; Heywood, 1967). Taksonomi yang sempurna boleh jadi mengharuskan penelitian semua sifat, sehingga diperoleh klasifikasi yang rinci dan lebih baik (Turril, 1951).

Zingiberaceae memiliki sekitar 47 genus dan 1400 spesies. Biasa dimanfaatkan untuk obat, rempah, bumbu, pewarna dan tanaman hias. Alpinia merupakan genus terbesar dan memiliki 225 spesies. Tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Wilayah sebaran utamanya di Indo-Malaysia, ke utara hingga Jepang dan ke selatan hingga New South Wales (Lawrence, 1955; Purseglove, 1972).

Taksonomi Zingiberaceae menarik dipelajari karena adanya banyak perbedaan pendapat, misalnya status taksonomi genus Alpinia. Holttum (1950) memisahkan genus ini menjadi tiga, yaitu: Alpinia (berdasarkan Alpinia sub-genus Dieramalpinia K. Schum.), Languas (termasuk Alpinia galanga, tipe

konservasi Alpinia) dan Catimbium (Alpinia sub-genus Catimbium K. Schum.). Namun pemisahan ini ditentang banyak ahli.

Genus Alpinia termasuk dalam Tribus Alpineae, Subfamilia Zingiberoideae, Familia Zingiberaceae, Ordo Zingiberales (Scitamineae), Kelas Monocotyledoneae, Subdivisi Angiospermae, Divisi Spermatophyta (Burtt, 1972; Burtt dan Smith, 1972; Lawrence, 1951).

Morfologi merupakan sifat utama taksonomi, baik bagian bunga atau vegetatif. Sifat bunga meliputi bentuk, warna, jumlah dan organisasi. Sedang sifat vegetatif meliputi percabangan, pertumbuhan, tekstur batang serta susunan, ukuran dan bentuk daun (Jones dan Luchsinger, 1986). Sifat morfologi sering diperkuat sifat anatomi, meskipun terkadang hanya berlaku untuk klasifikasi di atas familia (Heywood, 1967). Sifat ini meliputi stomata, bulu-bulu; substansi ergastik seperti: sel silika, kristal Ca-oksalat, pati, tanin, sel minyak, getah; parenkim; xilem, floem dan lain-lain. Sifat ini dipengaruhi adaptasi dan fungsi (Shukla dan Misra, 1982). Sifat lain yang mulai banyak digunakan adalah kemotaksonomi, yaitu penerapan data-data kimia. Sifat ini tidak mensyaratkan spesimen utuh dan tersimpan baik (Hegnauer, 1963).

Page 2: 48-28-1-PB

BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40 32

Tumbuhan memiliki hubungan kekerabatan yang diturunkan secara genetik. Keeratan kekerabatan naik dengan turunnya tingkat taksa dan berkurang dengan naiknya tingkat taksa. Taksonomi merupakan cermin kekerabatan dan evolusi (Pool, 1941).

Biosintesis Minyak Atsiri

Untuk tumbuh dan berkembang, makhluk hidup melakukan metabolisme. Proses ini dimulai dengan fotosintesis, dan hasilnya dapat diubah menjadi senyawa sekunder (Geissmann dan Crout, 1969). Senyawa ini dibentuk spesies tertentu, terpengaruh lingkungan, strukturnya serupa dan fungsi fisiologisnya seolah-olah tidak penting (Tarigan, 1987)

Struktur minyak atsiri Alpinia berupa modifikasi sel-sel parenkim, yang dibentuk di semua jaringan terutama rimpang. Minyak ini memiliki aroma khas, indek bias tinggi, optis aktif, sudut putar spesifik, tidak larut dalam air, bening, rasa pedas, pahit dan hangat karena adanya resin (Burkill, 1935; Claus dkk., 1970). Dalam minyak atsiri kadar resin sekitar 30% (Paimin dan Murhananto, 1991). Komponen utama minyak atsiri adalah terpenoid dan senyawa aromatis turunan asam sikimat (Claus dkk., 1970). Selanjutnya Guenther (1948) menambahkan hidrokarbon rantai lurus dan senyawa lain yang belum jelas asalnya. Komponen minyak atsiri umumnya tidak stabil dan dapat menyatu kembali secara intra molekuler.

Minyak atsiri golongan terpenoid terdiri dari mono-terpen, sesquiterpen dan diterpen (Borner dan Varner, 1965). Monoterpen merupakan minyak atsiri paling umum, sedang sesquiterpen paling khas (Guenther, 1948). Diterpen sangat jarang (Robinson, 1975). Bahkan menurut Ting (1982), tidak ada minyak atsiri dari diter-pen. Monoterpen dibentuk oleh ikatan dua isopentenil pirofosfat atau isopentenil pirofosfat dengan dimetilalil pirofosfat. Penambahan isopentenilpirofosfat lebih lanjut menyebabkan terbentuknya sesquiterpen dan diterpen (Borner dan Varner, 1965; Geissmann dan Crout, 1969).

Turunan asam sikimat dikenal pula sebagai resin. Asam sikimat berasal dari penggabungan fosfoenol piruvat dan eritrosa-4-fosfat. Setelah melalui beberapa tahap akan menghasilkan fenilalanin, prekusor senyawa-senyawa C6-C3 yang merupakan starter senyawa-senyawa C6-C3-(C2)n, seperti zingeron dan senyawa-senyawa keton lain (Geissmann dan Crout, 1969). Kromatografi Gas Cairan

Penyulingan sering digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri, karena sederhana, cepat dan murah. Namun pada suhu tinggi minyak atsiri dapat mengalami hidrodifusi, hidrolisis, polimerisasi dan resinifikasi, sehingga terbentuk senyawa yang semula

tidak disintesis tumbuhan.Cara yang kini jamak dipakai adalah ekstraksi, karena komposisinya tidak banyak berubah. Penyulingan masih digunakan namun terbatas untuk mengetahui kadar minyak (Guenther, 1948; Harborne, 1984).

Kromatografi gas cairan merupakan cara pemisahan minyak atsiri paling lazim. Pemisahan terjadi pada fase diam berdasarkan kelarutan cuplikan. Senyawa yang kelarutannya rendah keluar lebih dulu (Boyer, 1990; Gritter dkk., 1991). Keunggulan metode ini adalah: cepat setimbang, gas pembawa kecepatan tinggi, memisahkan pada titik didih kecil, analisis kualitatif dan kuantitatif bersamaan, konsentrasi 0,01%, mudah dijalankan dan dipahami (Harborne, 1984; McNair dan Bonelli, 1968). Taksonomi Numerik dan Kekerabatan

Taksonomi numerik digunakan untuk menyusun klasifikasi berdasarkan hubungan fenetik, yaitu persamaan sifat fenotip. Dalam taksonomi ini taksa terbawah berupa unit operasional taksonomi (OTUs) (Shukla dan Misra, 1982). Dendrogram filogeni dapat dibuat dengan metode koefisien asosiasi, dimana indek similaritas memakai rumus (Sokal dan Sneath, 1963):

m Sm = ------- x 100

n m = jumlah sifat yang berpasangan (++/--) µ = jumlah sifat yang tidak berpasangan (+-/-+) n = m + µ Sm = indeks similaritas

Tingkat harga koefisien asosiasi dapat ditentukan dengan analisis klaster (Pielou, 1984).

BAHAN DAN METODE Penelitian ini memakai metode kualitatif dan

kuanti-tatif di laboratorium. Data diperoleh melalui pengamatan morfologi, anatomi dan kandungan kimia minyak atsiri. Prosedur pengamatan morfologi meliputi analisis langsung tumbuhan hidup dan pembuatan herbarium (Lawrence, 1951; 1955). Pengamatan anatomi meliputi pembuatan prepatat dan pemotretan (Radford dkk.,1982; Soerodikoesoemo, 1989). Pengamatan kemotaksonomi meliputi distilasi air, ekstraksi dan kromatografi gas (Anonim, 1977; Harborne, 1984; Pramono, 1988). Analisis data berupa pembuatan dendrogram filogeni dengan metode pengelompokan koefisien asosiasi (Sokal dan Sneath, 1963) dan analisis klaster (Pielou, 1984).

Specimen Alpinia adalah tumbuhan hidup koleksi Kebun Raya Bogor dan tumbuhan liar dari dataran tinggi Purbalingga Utara. Pada pengamatan morfologi dilakukan pula pemeriksaan herbarium

Page 3: 48-28-1-PB

SETYAWAN – Status Taksonomi Genus Alpinia 33

koleksi Herbarium Bogoriense Bogor. Spesies yang diteliti adalah: Alpinia galanga (L.) Willd. Sin. Languas galanga (L.) Stuntz., Alpinia Hookeriana Val. sin. Catimbium latilabre (Ridl.) Holtt., Alpinia javanica Bl., Alpinia malaccensis Rosc. sin. Catimbium malaccensis (Burm.) Holtt. dan Alpinia nutans Rosc. sin. Catimbium spesiosum (Wendl.) Holtt. Identifikasi mengacu pada Backer dan Bakhuizen v.d. Brink (1968), Holttum (1950), Henderson (1954) dan Ochse (1931). Pengamatan Morfologi

Pengamatan morfologi dilakukan terhadap habitus, rimpang, akar, batang semu, daun (helai, pelepah, upih, tangkai), infloresensi, braktea primer, braktea sekunder, bunga, kelopak, mahkota, bibir, staminodia, filamen, anthera, stylus, stigma, ovarium, buah dan biji. Untuk memudahkan pengamatan juga dibuat herbarium kering. Bahan. Dalam pembuatan herbarium diperlukan kertas herbarium, etiket, label, benang, tali pengikat, lem, selotip transparan, kertas koran dan kertas kardus.

Alat. Dalam pembuatan herbarium diperlukan sasak, pisau, silet, gunting, gunting tanaman dan alat tulis. Sedang untuk pengamatan diperlukan mikroskop stereo, lensa pembesar, cawan petri, jarum pemisah, silet, pinset, meteran serta kamera mikrofotografi.

Cara Kerja. Specimen tumbuhan hidup dan herbarium kering diamati langsung, bagian yang tersembunyi atau kecil diiris melintang dan diamati dengan lensa pembesar atau mikroskop stereo. Penampakan umum, bunga dan herbarium dipotret. Pengamatan Anatomi

Pengamatan anatomi dilakukan pada helai daun meliputi epidermis, hipodermis, bulu-bulu, stomata, kloremkim, sel minyak dan berkas pengangkut; pada pelepah daun meliputi epidermis, stomata, rongga udara dan berkas pengangkut; pada batang, rimpang dan akar meliputi susunan kortek dan stele. Bahan. Dibutuhkan gliserin, alkohol 70%, safranin 1% dalam alkohol 70% dan cat kuku.

Alat. Untuk membuat preparat digunakan silet, kuas, jarum preparat, cawan petri, gelas benda dan gelas penutup. Untuk pengamatan digunakan mikroskop, mikrometer, kamera lucida dan kamera mikrofotografi.

Cara Kerja. Preparat dibuat dengan metode semi-permanen. Rimpang, akar, batang, helai dan pelepah daun dibuat preparat penampang melintang. Khusus helai daun juga dibuat preparat paradermis. Langkah-langkahnya sebagai berikut: bahan diiris tipis, difiksasi 24 jam dengan alkohol dan diwarnai safranin 1% dalam alkohol 70% selama 5 menit. Dicuci alkohol 70% agar tidak luntur ketika diberi gliserin. Diletakkan pada gelas benda, ditetesi gliserin, ditutup dengan gelas penutup, dan disegel dengan cat kuku. Diamati dengan mikroskop dan dipotret dengan kamera mikrofotografi.

Pengamatan Kemotaksonomi

Pengamatan kemotaksonomi dilakukan terhadap semua jenis senyawa sekunder minyak atsiri Alpinia.

Bahan. Distilasi: xylene dan akuades. Ekstraksi: etanol, petroleum eter, asam asetat 10% dalam petroleum eter, NH4OH pekat dan NH4OH 1% dalam petroleum eter. Kromatografi gas cairan: senyawa identitas.

Alat. Persiapan bahan: kipas angin, blender, ayakan, rak, kain hitam, ember, pisau, landasan kayu dan nampan pengeringan. Distilasi air: labu destilasi Stahl berupa labu didih 1000 ml, pendingin dan buret 0,5 ml berskala 0,01 ml; statis, klem, kasa keramik dan kompor. Ekstraksi: tabung reaksi, lumpang dan cawan porselen, tabung sentrifus, sentrifus, penangas air, corong, kertas saring, vorteks, labu didih 1000 ml, pendingin, kipas angin, penampung, statis dan klem. Kromatografi gas cairan: tempat penyuntikan, kolom carbowax, detektor FID, alat pencatat, syringe dan tabung gas pembawa.

Cara Kerja. Distilasi Air: Rimpang segar yang cukup umur (sekitar 12 bulan) dicuci bersih, dibuang akar dan sisik daunnya. Dipotong melintang 1-2 mm. Dikeringkan di bawah sinar matahari tidak langsung dengan ditutupi kain hitam selama 3-4 hari. Diblender dan diayak hingga menjadi serbuk. Distilasi dimulai dengan menimbang 100 gram serbuk, dimasukkan dalam labu 1000 ml, ditambah akuades sampai ¾ isi labu dan dididihkan selama 5-6 jam hingga minyak atsirinya menguap sempurna. Sebelumnya buret diisi 0,2 ml xylene untuk menaikkan daya kohesi minyak atsiri.

Metode Ekstraksi: Rimpang dicuci bersih, dibuang akar dan sisik daunnya. Ditimbang sekitar 1 kg, dipotong melintang 1-2 cm dan diblender halus. Dimasukkan dalam labu ekstraksi, ditambah 500 ml petroleum eter dan dibiarkan semalam. Setelah itu divorteks sekitar 15 menit dan disaring. Filtrat dipekatkan dengan cara diuapkan pada labu evaporasi yang dipanaskan dengan penangas air dibantu kipas angin. Petroleum eter akan lebih dulu menguap sehingga hanya tertinggal minyak atsiri. Selanjutnya siap untuk kromatografi. Minyak atsiri disimpan di tempat sejuk, gelap dan ditutup rapat.

Metode Kromatografi Gas Cairan: Minyak atsiri hasil ekstraksi dianalisis jenis-jenis senyawa penyusunnya. Kondisi kromatografi: cuplikan: minyak atsiri rimpang Alpinia, kolom: 10% carbowax 20 M, 2 meter, detektor: FID, suhu injektor 240°C, suhu kolom 90-915°C; 7,5°C per menit, gas pembawa N2 25 ml/menit, hidrogen 0,9 kg/cm2. Analisis Data

Seluruh data hasil penelitian morfologi, anatomi dan kandungan kimia minyak atsiri ditabulasikan, dianalisis dan dibuat dendrogram kekerabatannya. Kekerabatan fenetik ditentukan dengan metode numerik, tepatnya metode pengelompokan dengan koefisien asosiasi. Dimana tingkat persamaan harga-harga koefisien asosiasinya ditentukan dengan analisis klaster .

HASIL DAN PEMBAHASAN Kunci Determinasi Infloresensi terminal pada batang semu, aksis bercagang,

memangku beberapa cincinnus (bunga tangga) yang tersusun spiral terdiri dari 1-2 bunga atau lebih, dengan ujung 1 bunga; braktea primer kecil atau tidak ada, jarang besar; braktea sekunder selalu ada, kecil atau besar; bibir dan filamen terpisah, sel-sel anthera tanpa apendik; staminodia tereduksi menjadi gigi-gigi kecil; ovarium bersel 3; bulu-bulu uniselular; hipodermis hanya di permukaan atas daun; berbau aromatis, mengandung sel-sel minyak atsiri.

Page 4: 48-28-1-PB

BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40 34

Braktea primer kecil, segera rontok; braktea sekunder berbentuk mangkuk atau cerobong; bunga besar, bibir sama panjang dan lebarnya, infloresensi tidak ditutup rapat oleh pelepah bunga; bibir kuning jeruk atau kuning jeruk dengan batas tepi putih; tabung mahkota putih atau putih berbintik-bintik merah; braktea sekunder panjang mencapai 2 cm, bentuk mangkuk lebar. Bulu terdapat pada kedua permukaan daun ………………………………..… Alpinia javanica Bl. 1

Braktea sekunder tidak berbentuk mangkuk atau cerobong, robek dingga ke dasar, berpelepah atau datar. Braktea primer hilang (terkadang ada di dekat ujung

infloresensi); braktea sekunder persisten, biasanya besar, menutup rapat kuncup-kuncup bunga hingga saat mekar, lalu rontok; kelopak robek sangat dalam ketika bunga mekar; bibir besar, umumnya kuning jeruk atau kuning jeruk dengan garis-garis merah, tiap cincinnus memiliki 1-2 bunga. Braktea sekunder panjang sekitar 2,5 cm, panjang bibir 3,5

cm, berbintik-bintik merah; bibir putih kemerahan bergaris-garis kuning di pangkal dan berwarna kuning di tepi; bulu-bulu terdapat di kedua permukaan ..…….. ……………………………..Alpinia nutans Rosc.(1805) 2

Braktea sekunder panjang 3-4 cm, panjang bibir lebih 3,5 cm. Panjang bibir mencapai 4,5 cm, kuning jeruk dengan

garis-garis dan bintik-bintik kemerahan, mulut tabung mahkota tidak menyolok; bulu-bulu tidak ada, permukaan bawah daun gundul, lebar mencapai 12 cm …………………….. Alpinia Hookeriana Val. (1904) 3

Panjang bibir 6 cm, bagian dalam merah berbintik-bintik kuning, mulut tabung terlihat; permukaan bawah daun berbulu halus, lebar mencapai 20 cm . ……………....….. Alpinia malaccensis Rosc. (1808) 4

Braktea primer ada, biasanya kecil; braktea sekunder kecil; kelopak tidak terbelah dalam, bibir kecil, putih atau putih keunguan, biasanya bercuping 2; permukaan daun gundul …………………..…... Alpinia galanga (L.) Willd. (1797) 5

Morfologi

Habitus. Herba, menahun, bersemak, langsing, membentuk rumpun, bunga terminal. Rumpun A.galanga dan A.Hookeriana tegap, daun kaku menjulang ke atas, sedang A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans daun terjurai ke bawah tidak tegap. Rimpang. Menjari, berujung pada batang semu, menyerupai stolon, terletak di atas tanah atau sedikit di bawah permukaan tanah, memiliki sisik-sisik kecil berseling. Rimpang A.Hookeriana sering tampak di atas tanah, sehingga berwarna kehijauan akibat munculnya klorofil. Rimpang A.javanica,

1 Sinonim: Costus malaccensis Koen. (1791), Alpinia involucrata

Griff. (1851), Alpinia campanaria Ridl. (1892), Languas javanica Burk. (1935) (Holttum, 1950).

2 Sinonim: Zerumbet spesiosus Wendl. (1798), Renealmia nutans Andr. (1800), Alpinia spesiosa K. Schum., Languas spesiosa Small. (1913), Catimbium spesiosum (Wendl.) Holtt. (1950) (Holttum, 1950).

3 Sinonim: Alpinia latilabris Ridl. (1899), Catimbium latilabre (Ridl.) Holtt. (1950), Alpinia mutica quoad Hk., Languas Hookeriana Merr. (Anonim, 1986; Holttum, 1950).

4 Sinonim: Matantha malaccensis Burm. (1768), Galanga malaccensis Rumph., Languas malaccensis Merr. (1921), Catimbium malaccensis (Burm.) Holtt. (1950), Alpinia malaccensis (Burm.) Roxb., Alpinia nobilis Ridl. (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968; Holttum, 1950).

5 Basionim: Maranta galanga L. (1762); Sinonim: Amomum galanga (L.) Lour. (1790) , Languas galanga (L.) Stuntz (1912), Languas vulgare Koen. (1783), Alpinia galanga Sw. (1791) (Burtt dan Smith, 1972; Holttum, 1950; Westphal dan Jansen, 1989)

A.malaccensis dan A.nutans terkadang juga muncul di atas permukaan tanah. Sedang rimpang A.galanga selalu di bawah tanah. Arah pertumbuhan rimpang dan daun transversal, sehingga sangat kokoh. Irisan makroskopis rimpang memperlihatkan dua sektor. Kortek di tepi berwarna kuning muda, kecuali A.galanga merah. Stele di tengah kuning tua. Keduanya dipisahkan cincin melingkar tebal berwarna kuning tua yang di dalamnya terdapat endodermis, pada A.Hookeriana berwarna biru tua. Rimpang berserat kuat dan keras, terutama stele. Pada A.galanga mengkilat hingga usia panen. Akar. Besar, kuat, ulet, berserat dan berdaging. Bentuk akar cenderung sesuai bentuk rimpang. Akar A.galanga dan A.Hookeriana berdaging, sedang akar ketiga spesies lain berserat. Batang. Tegak, kuat, tinggi, tumbuh sepanjang tahun, baik pada musim hujan maupun kemarau. Merupakan pertumbuhan lebih lanjut ujung rimpang dalam tanah. Pangkal batang ditutupi sisik-sisik kecil dan menggembung. Batang merupakan kumpulan pelepah daun yang panjang, tersusun berturut-turut secara berseling dan menyatu dengan batang kecil di tengah membentuk batang besar dan kompak. Kekuatan dan keuletan batang tergantung pelepah daun yang menyusunnya. Batang A.galanga dan A.Hookeriana lebih kompak. Tinggi batang A.galanga 1-3 m, A.Hookeriana 3 m, A.javanica 2-3 m, A.malaccensis 1-4 m dan A.nutans 1-2½ m dimana diameter masing-masing berturut-turut 1-3 cm, 2½ -5 cm, 2-4 cm, 2½-4½ cm dan 2-4 cm. Daun. Tersusun berseling, terdiri dari pelepah, upih, tangkai dan helai. Helai Daun. Letak condong ke atas, mendatar atau agak terjurai. Helai terbawah biasanya terletak sepertiga tinggi batang, bersama helai teratas ukurannya paling kecil. Helai terbesar terletak di pertengahan (2/3 tinggi batang). Daun sangat besar, bulat panjang/jorong, pada A.galanga lanset. Ujung runcing, pada A.Hookeriana meruncing. Pangkal pasak. Helai A.galanga dan A.Hookeriana simetris, tepi lurus dan rata, kedua permukaan gundul tetapi di tepi dan di bawah tulang daun terdapat bulu-bulu tipis. Pada A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans asimetris, tepi berlekuk-lekuk, permukaan atas A.malaccensis gundul, kecuali di atas tulang daun, sedang permukaan bawah berbulu-halus, rapat, seperti beludru. Warna helai atas dan bawah sama, hijau, tetapi terkadang warna helai bawah lebih muda. Pada A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans agak kecoklat-coklatan sesuai warna bulu-bulu. Khusus A.javanica helai daun berbelang kuning. Helai berbau aromatis, tergulung ketika masih tunas. Ukuran helai A.galanga 20-60X4-15 cm, A.Hookeriana 70-90X10-15cm, A.javanica 90X15 cm, A.malaccensis 40-90X6-20 cm dan A.nutans 50X8 cm. Pelepah Daun. Besar, kuat, ulet, sangat panjang, tubuler di pangkal, membentuk celah memanjang pada sisi yang berlawanan dengan helai. helai pada pelepah terbawah tereduksi menjadi sisik rudimenter kecil. Panjang pelepah A.galanga 30-40 cm, A.Hookeriana 40-50 cm, A.javanica 40-60 cm, A.malaccensis 40-60 cm dan A.nutans 30-40 cm. Tangkai. Menyatu dengan pelepah, terdapat upih di pangkalnya, yang terkadang merapat pada batang. Permukaan berbulu tajam kecuali A.galanga dan A.Hookeriana.Tangkai agak panjang, pada A.galanga ½-0,8 cm, A.Hookeriana 2½ cm, A.javanica 2½ cm, A.malaccensis 3-7 cm dan A.nutans 2½ cm. Menggembung membentuk pulvinus. Upih. Jelas, tegak, pendek, lebar, kuat, berbulu sikat, seperti kulit, bentuk segitiga bercuping dua. Pada A.galanga upih bulat, kecil, tipis, bulu tipis halus, terkadang memiliki telinga (auricula) di kedua sisinya. Panjang A.galanga ½-0,7 cm, A.Hookeriana 1¼ cm, A.javanica 2½ cm, A.malaccensis 2¼ cm dan A.nutans 2 cm. Infloresensi. Terminal pada batang semu, tegak, pada A.Hookeriana dan A.nutans mengangguk. Panjang infloresensi A.galanga 10-20 cm, A.Hookeriana 10-30 cm, A.javanica 20-30

Page 5: 48-28-1-PB

SETYAWAN – Status Taksonomi Genus Alpinia 35

cm, A.malaccensis 13-45 cm dan A.nutans 10-25 cm dengan diameter secara bertutur-turut 5-7 cm, 14,5 cm, 14,5 cm, 14,3 cm dan 14,5 cm. Infloresensi berupa sebuah poros yang memangku beberapa braktea primer spiral, ketiak setiap braktea terdapat sebuah cincinnus (bunga tangga). Cincinnus A.galanga dan A.javanica biasanya 2-3 bunga, A.nutans dua bunga, sedang A.Hookeriana dan A.malaccensis 1-2 bunga, bagian apikal biasanya hanya terdapat satu bunga. Infloresensi diapit sepasang pelepah yang segera rontok, letak berseling berhadapan. Panjang 14-15 cm, kecuali A.galanga 10 cm. Pedunculus berbentuk galah memanjang. Braktea Primer. Hanya ditemukan pada A.galanga dan A.javanica, masing-masing berwarna putih dan putih kecoklatan, pada setiap ketiak terdapat sebuah cincinnus. A.Hookeriana, A.malaccensis dan A.nutans yang tidak memiliki braktea primer, juga mempunyai cincinnus dengan posisi serupa. Bunga pertama cincinnus terminal, bunga-bunga selanjutnya aksiler, dilindungi braktea sekunder yang terletak di sebelah dalam braktea primer (bila ada). Braktea primer A.galanga dan A.javanica berbentuk lanset, tepi dan sisi luar berbulu, mudah rontok. Ukuran braktea primer keduanya hampir sama sekitar 7-10X1½-2 cm. Braktea Sekunder. Terdapat dua tipe, yaitu: tabung (mangkuk-cerobong) dan lanset (lunas perahu). Semua berbentuk mangkuk cerobong, kecuali pada A.galanga. Persisten kecuali pada A.galanga yang hanya ada ketika muda dan cepat rontok. Ukuran pada A.galanga 0,7-1X0,3-½ cm, A.Hookeriana 3-3½X2-3 cm, A.javanica 1½-2X2-3 cm, A.malaccensis 4-2X2-3 cm dan A.nutans 2½X2½ cm. Bunga. Berdasarkan filogeninya bertipe liliiflorae, terdiri dari 3 sepala, 3 petala, 3+3 stamen dan 1 ginaesium yang terdiri dari 3 bagian. Sepala menyatu membentuk tabung kelopak. Petala menyatu membentuk tabung mahkota yang menyolok. Satu stamen di lingkaran dalam membentuk stamen fertil, 2 stamen di lingkaran luar membentuk 2 staminodia lateral, sedang 3 stamen sisanya sebagian atau seluruhnya membentuk bibir. Menurut Schumman (dalam Holttum, 1950), bibir bercuping tiga seperti pada Alpinia berasal dari satu stamen luar. Kelopak. Berbentuk tabung menyerupai mangkuk-cerobong, bercuping tiga, dangkal, ujung tumpul atau membulat. Warna putih bergaris-garis merah, pada A.galanga putih penuh. Sisi luar berbulu, pada A.nutans hanya di tepi. Panjang pada A.galanga 1-1¼ cm, A.Hookeriana 2½-3 cm, A.javanica 2¼ cm, A.malaccensis 3¼ cm dan A.nutans 2½ cm. Tabung mahkota. Lebih pendek dari kelopak, berbentuk pipih sampai garis lanset. Warna dasar putih, pada A.Hookeriana putih kekuningan dan A.malaccensis putih keunguan. Sisi luar berbulu kecuali A.nutans. Ukuran pada A.galanga 1X¼ cm, A.Hookeriana 1X½ cm, A.javanica 1-2X½ cm, A.malaccensis 1¼X1½ cm dan A.nutans 1-5X½ cm. Bibir. Diapit sepasang staminodia bulat telur, kecuali A.galanga lanset. Terbelah membentuk 2 cuping, tepi mengering, kecuali A.galanga dan A.Hookeriana bulat, tidak mengering. Berkerut, kecuali A.galanga berombak dan beringgit. Bibir A.galanga putih kehijauan atau putih kekuningan, A.Hookeriana kuning-jeruk, tengah bergaris-garis merah tidak mencapai tepi. A.javanica kuning, tengah bergaris-garis merah sebagian hingga tepi. A.malaccensis kuning bergaris-garis dan bercak-bercak merah menutupi seluruh permukaan kecuali ujung. A.nutans kuning bergaris-garis merah muda jarang, selalu sampai tepi. Ukuran A.galanga 2-3X½-1 cm, A.Hookeriana 3¼-3¾X1¾-2½ cm, A.javanica 2½X1¾ cm, A.malaccensis 4X2½ cm dan A.nutans 2½X1½ cm. Staminodia. Sangat kecil, berupa gigi-gigi kecil yang menyatu dengan pangkal bibir. Warna sesuai warna bibir. Menurut Burtt (1972) staminodia merupakan hasil perkembangan filamen fertil. Stamen (benang sari). Stamen fertil berasal dari stamen tunggal di lingkaran dalam (Burtt, 1972).

Filamen (tangkai benang sari). Panjang, ramping, putih kemerahan, kecuali A.galanga kuning kehijauan. Panjang pada A.galanga 1½-2 cm, A.Hookeriana ¼ cm, A.javanica 1 cm, A.malaccensis 1½ cm dan A.nutans 1 cm. Anthera (kepala sari). Sangat panjang, tidak membungkus stylus. Warna krem, kecuali A.galanga putih dan A.Hookeriana kuning. Panjang pada A.galanga 2-2½ cm, A.Hookeriana 1 cm, A.javanica ¾ cm, A.malaccensis ½-1 cm dan A.nutans ½-1 cm. Stylus (tangkai putik). Panjang, ramping, tunggal, terletak di saluran sepanjang stamen fertil, dekat anthera. Stigma (kepala putik). Letak di ujung stylus dekat anthera, bentuk cawan, kecuali A.galanga segitiga. Umumnya tidak memanjang. Stylodia (kelenjar nektar). Tidak tereduksi. Nektar disekresi kelenjar epigen berbentuk kopuler atau masif, berasal dari permukaan ovarium paling atas (Rao, 1963 dalam Burtt, 1972). Ovarium. Inferior, trilokuler, plasentasi aksiler, tidak berbulu kecuali A.galanga. Panjang saat mekar A.galanga ¼ cm, A.Hookeriana ½-0,6 cm, A.javanica 0,4 cm, A.malaccensis 0,9 cm dan A.nutans 0,6 cm. Buah. Dehiscent, globose, tanpa braktea, kulit berbulu tajam. Saat tua pecah menjadi 3 bila ditekan. Warna kuning-jeruk hingga kuning kemerahan. Diameter A.galanga 1-1½ cm, A.Hookeriana 2-2½ cm, A.javanica 2½ cm, A.malaccensis 3-3½ cm dan A.nutans 3-4 cm. Biji. Hitam, berarilus, ovarium seperti amplop, membentuk sudut disisi dalam dan membulat di sisi luar. Biji tidak memenuhi ovarium, bagian yang kosong diisi arilus irregular. Testa halus. Perisperm tebal, putih, kaya pati, mengelilingi endosperm. Endosperm mengelilingi embryo. Pangkal biji memiliki sumbat yang menghubungkan radikula embryo dengan arilus. Ketika tumbuh sumbat ditekan keluar oleh kecambah.

Anatomi Rimpang. Irisan melintang terdiri dari kutikula, epidermis, kortek, endodermis dan stele. Kutikula tipis, pada A.galanga agak tebal dan mengkilat. Epidermis selapis, kecil, agak pipih, dinding kuning kecoklatan, pada A.galanga kemerahan; pada rimpang tua sering robek, digantikan periderm. Hipodermis lebih dari selapis. Hipodermis dan periderm hanya teramati pada A.Hookeriana. Kortek diisi sel parenkim besar, dinding tipis, sangat rapat, beberapa lapis di luar tidak berpati. Jumlah sel minyak atsiri sekitar 10 per satuan bidang pandang, namun pada distilasi air kadar minyak atsirinya berbeda-beda, tergantung ukuran, kadar oleoresin dan efisiensi alat. Jumlah sel minyak per satuan bidang pandang A.Hookeriana, A.galanga dan A.nutans 8-12, A.javanica 7-12, A.malaccensis 10-13. Endodermis selapis, dinding menebal radial, tidak berpati. Berkas pengangkut tersebar di kortek dan stele, tipe kolateral, membentuk sabuk melingkar. Pada A.galanga dan A.Hookeriana sabuk dipisah-pisahkan parenkim, pada tiga spesies lain bersambung dan sering bertumpuk 2-3. Stele tipe ataktostele, memiliki sel minyak dan pati. Berkas pengangkut di kortek sangat rapat, kecuali A.galanga, sehigga rimpang berserat, ulet dan sulit dipatahkan. Xilem tipe jala, noktah dan tangga. Floem berkelompok, kadang tidak jelas. Akar. Irisan melintang terdiri dari kortek, endodermis dan stele. Bagian terluar kortek berupa selapis sel epi(ekso-)dermis, bentuk bulat memanjang, rapat dan menebal, sebagian terdiferensiasi menjadi bulu-bulu akar. Di sebelah dalam endodermis terdapat parenkim besar, dinding tipis dan tidak teratur. Menjelang endodermis terdapat 3-5 baris sel parenkim tersusun teratur secara radial. Endodermis selapis menyerupai huruf "U", semakin menebal pada akar yang tua. Stele mengandung berkas pengangkut padat di tepi dan jaringan parenkimatis tipis di tengah. Floem bulat panjang, tetapi pada A.galanga bulat. Floem

Page 6: 48-28-1-PB

BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40 36

berjajar dalam dua lingkaran, lingkaran luar berupa sel-sel kecil, lingkaran dalam berupa sel-sel yang besarnya 2-5. Jumlah lingkaran umumnya 20 buah, tetapi pada A.galanga hanya sekitar 10 buah. Pada A.galanga seluruh ruang stele merupakan berkas pengangkut yang menebal, parenkim empulur sangat sedikit di tengah. Batang. Irisan melintang terdiri dari kortek dan stele yang dipisahkan cincin tengah. Bagian terluar kortek berupa selapis sel epidermis dilindungi kutikula agak tebal. Pada A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans kortek sempit, sedang pada spesies lainnya lebar. Cincin tengah A.Hookeriana dan A.nutans tebal. Stele tebal. Berkas pengangkut tersebar merata, rapat, tidak beraturan, agak bulat, ukuran bervariasi. Sel minyak atsiri kekuningan tersebar merata. Helai Daun. Pada irisan melintang telihat kutikula, epidermis, hipodermis, parenkim palisade, parenkim bunga karang dan berkas pengangkut. Kutikula agak tebal. Epidermis selapis pada kedua permukaan, berbentuk segienam memanjang atau segienam irreguler, ukuran lebih kecil dari pada sel-sel lain. Letak epidermis atas lebih teratur dari pada epidermis bawah. Pada irisan paradermal terlihat di bawah dan di atas daerah rusuk sel epidermis lebih kecil dan rapat, berbentuk segienam. Pada A.galanga dan A.javanica jumlahnya 1-2 baris, pada A.Hookeriana, A.malaccensis dan A.nutans 2-3 baris. Kristal Ca-oksalat hanya ditemukan pada A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans, bentuk bulat atau lonjong. Sel minyak atsiri irisan paradermal hanya ditemukan pada A.galanga.Kerapatan pada permukaan atas 4-6 per satuan bidang pandang, bawah 50-60 per satuan bidang pandang. Bulu uniseluler, panjang, tertanam cukup dalam melebihi batas epidermis. Stomata bertipe ginjal, terdapat . Bulu permukaan atas hanya ditemukan pada A.javanica, 1-3 per satuan bidang pandang dan A.nutans 4-6 per satuan bidang pandang. Sedang bulu permukaan bawah ditemukan pada A.javanica, 45-55 per satuan bidang pandang, A.malaccensis 25-30 per satuan bidang pandang, A.nutans 30-35 per satuan bidang pandang. Stomata sangat melimpah pada permukaan bawah, bahkan, kecuali A.galanga, selalu berdempetan di sepanjang sisi rusuk daun. Kerapatan stomata sangat bervariasi sangat tergantung spesiesnya.Kerapatan stomata pada permukaan atas sebagai berikut pada A.Hookeriana 1-2 per satuan bidang pandang, A.nutans 3-4 per satuan bidang pandang, A.galanga dan A.malaccensis 4-6 per satuan bidang pandang dan A.javanica 9-10 per satuan bidang pandang. Kerapatan stomata pada permukaan bawah sebagai berikut pada A.malaccensis dan A.nutans sekitar 100 per satuan bidang pandang, pada A.galanga dan A.javanica sekitar 150 per satuan bidang pandang dan pada A.Hookeriana sekitar 195-215 per satuan bidang pandang. Sel tetangga lateral pada berbentuk segitiga, jumlah 2 buah. Sel tetangga terminal 1 buah berbentuk bulan sabit, ukurannya sekitar 7-7,5 x 3,5-6 µm. Hipodermis umumnya selapis, hanya ada di permukaan atas. Pada A.galanga, A.Hookeriana 1-2 lapis, pada spesies lainya hanya selapis. Hipodermis berbentuk segienam memanjang atau bulat memanjang, umumnya pipih antiklinal, namun pada A.malaccensis pipih periklinal. Ukuran bervariasi, pada A.galanga dan A.Hookeriana 9-9,75 x 8,75-9, 75 µm, pada A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans sekitar 13-13,5 x 8,25-10 µm. Hipodermis pada daerah rusuk tertekan atau terpotong, pada daerah antar rusuk beraturan sedang di bawah stomata tidak beraturan. Klorenkim berdinding tipis terdiri dari lapisan palisade yang pipih antiklinal dan sel conus. Lapisan palisade biasanya 1-2. Sel conus umumnya juga 1-2 lapis, kecuali pad A.Hookeriana, A.javanica dan A.malaccensis 3-5 lapis. Berkas pengangkut agak rapat hingga sangat rapat, terpisah-pisah. Pada A.galanga tidak rapat sedang pada spesies lain terkadang rapat. Berkas pengangkut umumnya berbentuk pipih antiklinal, pada A.galanga terkadang membulat. Jumlah dan ukuran berkas pengangkut pada tulang daun bervariasi, umumnya 8 buah. Berkas pengangkut selalu menyentuh salah satu atau kedua permukaan daun kecuali berkas pengangkut

kecil. Sarung berkas pengangkut luar parenkimatis, berdinding tipis, jarang menebal, umumnya 1-2 lapis. Tetapi pada A.Hookeriana hanya selapis. Pada Berkas pengangkut kecil sarung berkas mengelilingai utuh, sedang pada berkas pengangkut besar sarung berkas terpotong pada salah satu atau kedua ujungnya.Sarung berkas pengangkut dalam berserat, berdinding tebal, kompak dan padat. Pada berkas pengangkut kecil sarung ini hanya ada di gabian bawah, sedang pada berkas pengangkut besar terletak di bawah dan di atas, terkadang hanya berupa serabut-serabut tidak kompak. Pelepah Daun. Sisi luar A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans berlekuk-lekuk karena penonjolan rusuk berkas pengangkut perifer, sedang pada A.galanga dan A.Hookeriana rata. Epidermis rusuk biasanya lebih kecil dan pipih. Stoma agak melimpah pada garis rusuk. Bulu uniseluler, tidak ada pada A.galanga, jarang pada A.Hookeriana, rapat-sangat rapat pada spesies lainnya. Sel minyak berbentuk khas, warna kuning. Kristal Ca-oksalat biasa ditemukan pada sisi adaksial, bentuk bulat atau lonjong. Rongga udara besar, bersekat-sekat melintang oleh untaian sel-sel bulat atau bintang, kecuali A.galanga. Pada A.nutans antara rongga udara dipisahkan septa tebal berisi berkas pengangkut. Sistem berkas pengangkut pada tumbuhan dewasa empat macam. Sistem berkas pengangkut utama (I) bulat memanjang, jelas, dekat sisi atas, berderet membentuk busur tunggal, seperti sisir. Setiap berkas mempunyai serabut padat di atas xilem dan di bawah floem, mempunyai trachea tunggal, lebar, protoxilem panjang, metaxilem kecil dan floem tunggal. Busur sistem berkas pengangkut lainnya tereduksi tanpa protoxilem, namun dikelilingi sabuk kolenkim tipis. Sistem berkas pengangkut adaksial (II) agak rapat, bentuk bulat, membentuk selapis busur, ukuran bervariasi. Berkas pengangkut yang besar dikelilingi sarung serabut tebal, sedang yang kecil sarung serabut tipis, kadang terdapat kumpulan serabut-serabut kompak tanpa berkas pengangkut, seperti pada A.javanica dan A.malaccensis. Sistem berkas pengangkut adaksial membentuk zona tepi yang kaku. Sistem berkas pengangkut sentral (III) dan sistem berkas pengangkut abaksial (IV) umumnya tidak dapat dipisahkan, namun pada A.Hookeriana dan A.javanica masih bisa dipisahkan. Sistem berkas pengangkut sentral umumnya hanya selapis, terletak di medula mesofil dan agak besar. Pada A.Hookeriana sarung serabut agak tebal, sedang pada A.javanica hampir tidak ada. Sistem berkas pengangkut abaksial biasanya 1-2 lapis, kecil, letak agak jauh dari sisi abaksial. Sarung serabut agak tebal, terkadang tidak ada. Sel-sel sarung berkas pengangkut kolenkimatis. Sel parenkim menjadi sklerotis di sisi abaksial.

Kandungan Kimia Minyak Atsiri Alpinia berbau aromatis karena mengandung minyak atsiri.

Kadar minyak atsiri dipengaruhi varitas, iklim, tanah dan organ (Burkill, 1935; Guenther, 1948). Kadar minyak atsiri rimpang berbeda-beda, paling banyak tepat di bawah jaringan epidermis semakin ke tengah semakin sedikit. Kadar minyak atsiri terus naik sampai umur 12 bulan, lalu turun, sedang bau khas oleoresin semakin kuat (Paimin dan Murhananto, 1991). Dalam penelitian ini kadar minyak atsiri tertinggi terdapat pada rimpang A.malaccensis (3,5%), sedang yang terendah pada A.galanga (0,5-1%). Pada A.Hookeriana (1,8%), A.javanica (2,1%) dan A.nutans (2,3%).

Komponen utama penyusun minyak atsiri Alpinia adalah terpenoid (selanjutnya disingkat ‘T’) dan sebagian kecil turunan asam sikimat. Jumlah dan macam komponen tiap spesies berbeda-beda, sebagaimana ditunjukkan oleh jumlah puncak (Rf) pada kromatogram. Dalam penelitian ini hanya dapat disediakan 2 zat identitas/standar, yaitu ß-pinen dan eugenol, sehingga hanya 2 dari 52 puncak yang dapat diidentifikasi. Masing-masing T5 untuk ß-pinen dan T47 untuk eugenol. Secara keseluruhan A.galanga memiliki 36 puncak, A.Hookeriana 29 puncak, A.malaccensis 23 puncak, A.javanica 21 puncak dan A.nutans 18 puncak.

Page 7: 48-28-1-PB

SETYAWAN – Status Taksonomi Genus Alpinia 37

Eugenol atau 4-alil-2-metoksifenol merupakan salah satu derivat fenol dengan rumus kimia C10H12O2, umumnya diperoleh dari minyak cengkeh (Eugenia caryophyllum (Sprengl.) Bullock et Harrison; Familia Myrtaceae). Eugenol merupakan komponen utama dan kadarnya mencapai 70-90%, sehingga mendominasi sifat-sifat minyak cengkeh.

Eugenol tidak berwarna atau kuning muda, sangat cair, bau aromatis dan rasa pedas. Eugenol digunakan untuk mengobati sakit gigi atau dibalurkan ke seluruh tubuh untuk mengobati berbagai penyakit (Trease dan Evans, 1978). Minyak atsiri A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans kemungkinan dapat menjadi penggati minyak cengkih karena kadar eugenolnya cukup tinggi, di atas 70%.

Puncak yang kadarnya tinggi tidak selalu menjadi puncak utama, misalnya T27 pada A.galanga (15%) dan T10 pada A.nutans (9,73%). Sebaliknya A.Hookeriana memiliki puncak utama, T3 yang kadarnya hanya 8,12%. Hal ini disebabkan komponen tersebut berikatan dengan komponen atau gugus lain

Dari lima spesies objek penelitian ini, baru dua yang komponen kimia minyak atsirinya telah diteliti, yaitu A.galanga, A.malaccensis, A.nutans. Komponen minyak atsiri A.galanga yang telah diidentifikasi antara lain 20-30% sineol, 48% metilsinamat, kamfer, kamfor, ß-pinen, galangin, galangol, eugenol, kadinen, kadalen, α-10-epizonaren dan ß-10-epizonaren (Hegnauer, 1963; Guenther, 1948; Youngken, 1948; Wallis, 1955). Komponen minyak atsiri A.malaccensis yang sudah diidentifikasi antara lain α-pinen, ß-pinen, sineol dan 76% metilsinamat (Hegnauer, 1963). Komponen minyak atsiri A.nutans yang telah diidentifikasi adalah α-pinen, ß-pinen, 60% sineol, dan 7,8% metilsinamat. Di samping itu pada varietas dari Jepang ditemukan pula 0,053% kamfen dan 30% kamfer, sedang pada varietas dari Jawa tertentu ditemukan suatu ester (5,75%) (Hegnauer, 1963).

Identifikasi minyak atsiri dengan membandingkan kadar komponen yang ada dalam pustaka dengan hasil penelitian dalam kromatogam tidak dijamin kebenarannya, karena sebagian besar komponen minyak atsiri tidak stabil. Satu-satunya cara identifikasi yang benar adalah dengan senyawa identitas. Sedang komponen yang disebutkan dalam pustaka berguna untuk memandu pemilihan senyawa tersebut.

Tabel 1. Nilai Rf dan kadar komponen kimia minyak atsiri Alpinia

Kadar Komponen Kimia Minyak Atsiri

No

Puncak (nilai Rf)

A.ga

lang

a

A. H

ooke

rian

a

A. ja

vani

ca

A.m

alac

cens

is

A. n

utan

s

1. T1 (Rf 0,973) 0.0526 - - - - 2. T2 (Rf 1,049) - 0,3159 - 0,7647 0,5333 3. T3 (Rf 1,557) 0.9938 8,1185 0,9296 1,1677 2,6007 4. T4 (Rf 1,875) 0.1416 14,5787 0,2984 0,2276 0,9470 5. T5 (Rf 2,243/ β-

pinen) 0.4981 8,9204 2,8436 1,7644 7,5047

6. T6 (Rf 2,592) 0.2703 1,1506 - - - 7. T7 (Rf 2,724) - - 3,0011 2,9458 - 8. T8 (Rf 3,090) - 5,2599 0,6234 0,4074 - 9. T9 (Rf 3,115) 0,8392 - - - 0,6916 10. T10 (Rf 3,250) 5,4096 11,8391 3,6221 0,5397 9,726 11. T11 (Rf 3,900) 0,4618 0,6192 3,5498 1,1967 0,0471 12. T12 (Rf 5,305) 0,1009 - - - - 13. T13 (Rf 6,158) - - - 0,3023 - 14. T14 (Rf 6,759) - 0,0694 0,1998 0,0963 - 15. T15 (Rf 7,062) 6,6693 - - - - 16. T16 (Rf 7,382) 1,0498 - 0,2523 - - 17. T17 (Rf 7,478) - 0,1313 - 0,2427 - 18. T18(Rf 8,062) - - 1,0401 - 1,4878 19. T19 (Rf 8,227) 0,1871 27,4896 - 0,4029 - 20. T20 (Rf 8,481) 0,2659 - - - - 21. T21 (Rf 8,842) 4,0005 4,1588 0,3792 0,0839 0,4461 22. T22 (Rf 9,217) - 0,3380 0,9757 0,3094 0,1818 23. T23 (Rf 9,542) 37,7958 - - - - 24. T24 (Rf 9,775) - - 0,0965 - 0,1235 25. T25 (Rf 9,938) - 3,8420 - 0,2218 - 26. T26 (Rf 10,152) - 2,1570 1,4799 - 0,8694 27. T27 (Rf 10,294) 15,0850 - - 1,3217 - 28. T28 (Rf 10,518) - 0,3074 0,4198 - 0,6338 29. T29 (Rf 10.655) 4,9503 - - 0,9097 - 30. T30 (Rf 10,956) - 0,8502 - - 0,1488 31. T31 (Rf 11, 086) 7,8000 - 0,3424 - - 32. T32 (Rf 11,293) - 0,2505 - 1,3854 0,0533 33. T33 (Rf 11,556) - - 0,7112 0,7785 - 34. T34 (Rf 11,944) 0,0833 0,0184 - - - 35. T35 (Rf 12,490) 0,5627 - - - - 36. T36 (Rf 12,856) 0,2660 - 0,1468 0,1719 0,1087 37. T37 (Rf 13,397) 0,4170 0,0694 - - - 38. T38 (Rf 13,800) 0,0373 - - - - 39. T39 (Rf 14,172) - 0,1772 - - - 40. T40 (Rf 14,356) 1,0972 - - 0,0602 - 41. T41 (Rf 14,690) 0,2696 0,2125 - - - 42. T42 (Rf 15,077) 0,3528 0,0929 - - - 43. T43 (Rf 15,463) 0,5085 - - - - 44. T44 (Rf 15,860) 0,4321 0,9702 - - - 45. T45 (Rf 16,255) 0,2777 1,7969 - - - 46. T46 (Rf 16,390) 0,2099 - - - - 47. T47 (Rf 16,819/

eugenol) 0,6116 - 76,2422 84,603

8 73,5835

48. T48 (Rf 16,997) - 1,6980 2,6874 - - 49. T49 (Rf 17,241) 0,3195 - - - - 50. T50 (Rf 17,563) 0,2919 - - - - 51. T51 (Rf 17,978) 6,7336 - 0,1588 - 0,3129 52. T52 (Rf 18,113) - 2,7061 - 0,0955 - 53. T53 (Rf 18,754) 0,8580 1,3682 - - - 54. T54 (Rf 19,216) 0,0989 0,4939 - - -

Page 8: 48-28-1-PB

BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40 38

Kekerabatan Genus Alpinia Jumlah keseluruhan sifat yang diamati dalam

penelitian ini 163 buah, terdiri dari sifat morfologi 65 buah, sifat anatomi 50 buah dan sifat kandung-an kimia minyak atsiri 48 buah. Perbedaan pemi-lihan sifat pembeda dapat menghasilkan perbedaan pola kekerabatan dan model klasifikasi, sekalipun secara umum tetap sama. Semakin banyak sifat yang dianalisis, semakin tinggi tingkat kesahihan-nya. Semakin tinggi kemampuan suatu sifat untuk menjadi sifat pembeda, semakin jauh tingkat kekerabatannya.

Pada dendrogram berdasarkan kombinasi sifat morfologi, anatomi dan kandungan kimia minyak atsiri, A.javanica, A.nutans dan A.malaccensis bergabung pada tingkat kesamaan 70%, disusul A.Hookeriana 50% dan A.galanga 30%. Pada dendrogram berdasarkan sifat morfologi, A.javanica dan A.malaccensis bergabung dengan tingkat kesamaan 80%, diikuti A.nutans 70%, A.Hookeriana 50% dan A.galanga 30%. Berdasar-kan sifat ini, tingkat kesamaan genus Alpinia relatif tinggi, sehingga fungsinya sebagai sifat pembeda kurang. Pada dendrogram berdasarkan sifat anatomi, A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans bersatu pada tingkat kesamaan 70%, diikuti A.Hookeriana 50% dan A.galanga 30%. Pada dendrogram berdasarkan sifat kandungan kimia minyak atsiri A.javanica dan A.malaccensis bergabung pada tingkat kesamaan 70%, diikuti A.nutans 60% dan A.galangan 30%. Pada keempat dendrogram tersebut, semua spesies mengelompok pada kisaran tingkat kesamaan 30% sampai 70%, pada dendrogram morfologi hingga 80%.

Bentuk keempat dendrogram tersebut pada prinsipnya sama, meskipun masing-masing punya ciri khas sendiri-sendiri. Dendrogram kombinasi sifat morfologi anatomi dan kandungan kimia minyak atsiri dapat mendukung klasifikasi berdasarkan sifat morfologi yang berlaku selama ini meskipun tingkat kesamaannya relatif lebih rendah pada semua tingkat.

Tingkat kesamaan dendrogram kandungan kimia minyak atsiri relatif lebih rendah dibanding dendrogram morfologi dan anatomi. Hal ini berarti kandungan kimia minyak atsiri memiliki kemampuan lebih tinggi sebagai sifat pembeda. Sejalan dengan Trease dan Evans (1978) yang berpendapat bahwa dibandingkan sifat morfologi, kandungan kimia lebih tegas dan pasti serta memilik arti lebih mendasar untuk tujuan klasifikasi.

Permasalahan Status Taksonomi Genus Alpinia

Bangsa Yunani dan Romawi mengenal jahe dari para pedagang Arab yang membawanya dari India. Nama Zingiber dan Zingiberaceae erat kaitannya dengan hal ini. Jahe (Zingiber officinale Rosc.), dalam bahasa Sansekerta dinamai singabera, sringavera atau shrinjaveram. Nama ini disadur bangsa Arab menjadi zanjabil, zingabil atau zindschebil, yang artinya akar dari India, selanjutnya diadopsi bangsa Yunani menjadi zingiberi dan bangsa Romawi menjadi zingiber (Burkill, 1935; Claus dkk., 1970; Fluckinger dan Hanbury, 1874; Murray, 1881). Zingiberaceae sangat terkenal, bahkan jahe didalam Al Quraan dinyatakan sebagai campuran minuman surgawi. "Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe (zanjabil)." (QS. Al Insaan (76): 17).

Penelitian tentang Zingiberaceae telah banyak dipublikasikan, tetapi sering terjadi perbedaan pendapat. Salah satunya adalah sahih tidaknya pemisahan genus Alpinia menjadi tiga genus yang berdiri sendiri-sendiri. Holttum (1950) merupakan orang pertama yang secara tegas membagi Alpinia menjadi tiga genus terpisah, (1) Alpinia, berdasarkan Alpinia sub-genus Dieramalpinia K.Schum., (2) Languas, berdasarkan Alpinia galanga, tipe konservasi dari Alpinia dan (3) Catimbium, berdasarkan Alpinia sub-genus Catimbium K. Schum.

Gambar 1. Kekerabatan genus Alpinia berdasarkan: A. Kombinasi sifatmorfologi, anatomi dan kandungan kimia minyak atsiri. B. Sifat morfologi. C. Sifat anatomi. D. Sifat kandungan kimia minyak atsiri. Keterangan: 1.A.galanga, 2. A.Hookeriana, 3. A. javanica, 4. A.malaccensis, 5.A.nutans.

Page 9: 48-28-1-PB

SETYAWAN – Status Taksonomi Genus Alpinia 39

Tabel 2. Perbandingan morfologi Alpinia, Catimbium dan Languas

Alpinia Catimbium Languas

1 Arah percabangan rimpang ketiga arah berlawanan.

Arah percabanga rimpang ketiga jurusan berlawanan.

Arah percabangan rimpang menyerong keatas dan menjari.

2 Braktea primer ada, berbentuk garis lanset

Braktea primer hilang Braktea primer ada, biasanya kecil, berbentuk bulat telur

3 Braktea sekunder berbentuk cerobong atau cangkir

Braktea sekunder tidak berbentuk cerobong, terbelah pada salah satu sisi; besar membungkus seluruh kuncup sampai bunga mekar

Braktea sekunder terbelah dan kecil

4 Kelopak tidak sangat terbelah Kelopak sangat terbelah Kelopak agak terbelah

5 Bibir berbentuk sudip, tepi beringgit.

Bibir berbentuk bulat telur, tepi berkerut. Bibir bercuping dua, tepi berkerut-kerut.

Keputusan ini diikuti Backer dan Bakhuizen v.d.

Brink (1968), namun mendapat banyak tantangan. Salah satunya Burtt dan Smith (1972) yang memasukkan kembali ketiga genus tersebut kedalam genus Alpinia dengan dua alasan. Pertama: perluasan genus dengan menambah jumlah genus, akan mempersempit konsep dasar yang dapat mencakup seluruh genus Alpinia, terutama pada spesies-spesies non-Malaya yang belum banyak diteliti. Kedua: tatanama tersebut bertentangan dengan Kode Internasional Tatanama Tumbuhan yang telah menetapkan Alpinia sebagai nomen conservandum.

Penggunaan nama Languas untuk sebagian anggota genus Alpinia pernah dilakukan Merrill (1925) dan Burkill (1935), namun setelah Alpinia menjadi nomen conservandum (nama yang dilestarikan) penggunaan nama Languas tidak dibenarkan, termasuk untuk mena-mai sebagian anggotanya. Pengunaan nama Catimbium juga tidak diperkenankan, karena hampir semua anggotanya dapat menyandang nama Alpinia. Menamai kembali kumpulan genus tanpa alasan kuat tidak dapat dipertanggungjawabkan (Burtt dan Smith, 1972).

Holttum (1974) yang menanggapi kritikan tersebut tetap berpendapat bahwa Alpinia mewakili kelompok yang berbeda dengan Languas, dan Catimbium tetap merupakan genus tersendiri, sekalipun bertentangan dengan Kode Internasional Tatanama Tumbuhan.

Dalam penelitian ini, perbedaan mendasar antara Alpinia yang diwakili A.javanica, Catimbium yang diwakili A.Hookeriana, A.malaccensis dan A.nutans serta Languas yang diwakili A.galanga dijelaskan dalam tabel 2.

Perbedaan-perbedaan di atas merupakan alasan utama yang mendorong Holttum (1950) membagi genus Alpinia menjadi tiga genus mandiri. Namun berdasarkan keempat dendrogram filogeni yang

dihasilkan penelitian ini, baik berdasarkan sifat morfologi, anatomi, kandung-an kimia minyak atsiri atau kombinasi ketiganya, maka tampaknya keputusan ini harus ditolak.

Pada keempat dendrogram di atas, A.javanica (Alpinia sensu Holttum), A.malaccensis dan A.nutans (Catimbium sensu Holttum), selalu menempati puncak dendrogram, kemudian A.Hookeriana (Catimbium sensu Holttum) bergabung dengan ketiganya, diikuti A.galanga (Languas sensu Holttum). Tingkat kesamaan A.javanica, A.malaccensis dan A.nutans rata-rata 70%. Bahkan pada dendrogram morfologi tingkat kesamaan A.javanica dan A.malaccensis 80%. Meskipun pada dendrogram kandungan kimia minyak atsiri tingkat kesamaan A.malaccensis dengan dua spesies lain hanya 60%.

Tingkat kesamaan antara gabungan A.nutans dan A.malaccensis dengan A.Hookeriana yang oleh Holttum sama-sama dimasukkan dalam genus Catimbium selalu lebih rendah daripada tingkat kesamaan antara gabungan dua spesies tersebut dengan A.javanica, sekalipun A.javanica oleh Holttum dimasukkan dalam genus yang berbeda, Alpinia.

Pada keempat dendrogram, A.galanga selalu merupakan spesies paling berbeda dibanding keempat spesies lain, dimana tingkat kesamaanya selalu hanya 30%. Berdasarkan kenyataan ini pemisahan A.galanga dari kelompok genus Alpinia oleh Holttum dapat dipahami, namun bagaimanapun juga A.galanga selalu cenderung mengelompok dengan sesama genus Alpinia. Oleh karena itu menetapkan Alpinia sebagai genus tunggal untuk kelompok ini lebih dapat diterima daripada memisahkannya menjadi tiga genus mandiri, yaitu: Alpinia, Catimbium dan Languas.

Page 10: 48-28-1-PB

BioSMART Vol. 1, No. 1, April 1999, hal. 31-40 40

KESIMPULAN Dalam penelitian disimpulkan bahwa sifat

morfologi, anatomi, kandungan kimia minyak atsiri atau kombinasi ketiganya dapat digunakan sebagai sifat pembeda genus Alpinia. Kombinasi sifat morfologi, anatomi dan kandungan kimia minyak atsiri dapat memperkuat klasifikasi genus Alpinia berdasarkan sifat morfologi yang berlaku selama ini. Kekerabatan berdasarkan salah satu atau kombinasi ketiga sifat tersebut secara umum sama, walaupun masing-masing memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Dendrogram kekerabatan berdasarkan kombinasi sifat morfologi, anatomi dan kandungan kimia minyak atsiri menunjukkan bahwa pemisahan genus Alpinia menjadi tiga genus tersendiri: Alpinia, Languas dan Catimbium tidak dapat diterima.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1977. Materia Medika Indonesia. Jilid I. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Anonim. 1986. Medical Herb Index in Indonesia (Indek Tumbuh-

tumbuhan Obat di Indonesia). Jakarta: P.T. Eisai Indonesia. Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink. 1968. Flora of

Java. Volume III. Groningen: Wolters Noordhoff. Borner, J. dan J.E. Varner. 1965. Plant Biochemistry. New York:

Academic Press. Boyer, R.F. 1990. Modern Experimental Biochemistr. Menlo

Park Calif.: The Benjamin Cummings Publishing Company Inc.

Burkill, I.H. 1935. A Dictoinary of The Economic Product of The Malay Peninsula. London: Governments of The Straits Settlements and Federated Malay States by The Crown Agents for The Colonies.

Burtt, B.L. 1972. General Introduction to Pappers on Zingiberaceae. Notes from The Botanic Garden Edinburg 31 (2).

Burtt, B.L. dan R.M. Smith. 1972. Key spesies in The Taxonomic History of Zingiberaceae. Notes from The Botanic Garden Edinburg 31 (2).

Claus, E.P. V.E. Tyler dan L.R. Brady. 1970. Pharmacognosy. Sixth edition. Philadelphia: Lea and Febinger.

Davis, P.H. dan V.H. Heywood. 1973. Principles of Angiosperm Taxonomy. New York: Robert E. Kieger Publishing Company.

Fluckinger, F.A. dan D. Hanbury. 1874. Pharmacographia. A History of The Principal Drug of Vegetable Origin. London: Macmillan.

Geissmann, T.A. dan D.H.G. Crout. 1969. Organic Chemistry of Secondary Plant Metabolism. New York: Freeman. Cooper & Co.

Gritter, R.J. J.M. Bobbit dan A.E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi. Terbitan kedua. Bandung: Penerbit ITB.

Guenther, E. 1948. Minyak Atsiri. Jilid I (Penerjemah S. Ketaren. 1987). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (U.I. Press).

Harborne, J.B. 1984. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan (Penerjemah K. Padmawinata dan I.Soediro. Penyunting S. Niksolihin). Bandung: Penerbit ITB.

Hegnauer, R. 1963. Chemotaxonomie der Pflanzen (Monocotyledoneae). Band II. Stuttgart. Birkhauser Verlag.

Henderson, M.R. 1954. Malayan Wild Flowers Monocotyledons. Kuala Lumpur: The Malayan Nature Society.

Heywood, V.H. 1967. Plant Taxonomy. New York: St. Martin's Press.

Holttum, R.E. 1950. The Zingiberaceae of The Malay Peninsula. The Gardens Bulletin Singapore. Volume VIII. Part 1.

Holttum, R.E. 1974. A Commentary on Comparative Morphology in Zingiberaceae. Garden's Bulletin Kew. Volume XXVII. Part II.

Jones, S.B. dan A.E. Luchsinger. 1986. Plant Systematics. Second edition. New York: McGraw-Hill Book Company.

Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomy of Vascular Plant. New York: John Wiley and Sons.

Lawrence, G.H.M. 1955. An Introduction to Plant Taxonomy. New York: The Macmillan Company.

McNair, H.M. dan E.J. Bonelli. 1986. Dasar Kromatografi Gas (Penerjemah K. Padmawinata. 1988). Bandung: Penerbit ITB.

Merrill, E.D. 1925. An Enumeration of Philippine Flowering Plants. Volume I. Manila: Bureau of Printing.

Murray, J.A. 1881. The Plants and Drugs of Sind. London: Richardson &Co.

Ochse, J.J. 1931. Vegetables of The Dutch East Indies. Buitenzorg: Archipel Drukkerij.

Paimin, F.B. dan Murhananto. 1991. Budidaya. Pengolahan. Perdagangan Jahe. Jakarta: P.T. Penebar Swadaya.

Pielou, E.C. 1984. The Interpretation of Ecological Data. A Primer on Classification and Ordination. New York: John Wiley and Sons.

Pool, R.J. 1941. Flowers and Flowering Plants. Second edition. New York: McGraw-Hill Book Company Inc.

Pramono, S. 1988. Laporan Penelitian: Identifikasi Kandungan Kimia Tanaman Obat Melalui Pendekatan Kemotaksonomi Kaempferia galanga. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM.

Purseglove, J.W. 1972. Tropical Crops Monocotyledons. London: Longman.

Radford, A.E. W.C. Dickinson. J.R. Masse dan C.R. Bell. 1982. Vascular Plant Systematics. New York: Harper & Row Publishers.

Robinson, T. 1975. The Organic Constituents of Hinger Plants. Their Chemistry and Interrelationships. Third edition. North Amherst-Mass,: Cordus Press.

Shukla, P. dan S.P. Misra. 1982. An Introduction to Taxonomy of Angiosperms. New Delhi: Vikas Publishing House PVT.LTD.

Sokal, R.R. dan P.H.A. Sneath. 1963. Principles of Numerical Taxonomy. San Francisco: W.H. Freeman and Co.

Soerodikoesoemo, W. 1988. Petunjuk Praktikum Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.

Tarigan, P. 1987. Pengaturan Biosistesis Sekunder dalam Fermentasi. Risalah Seminar Nasional Metabolit Sekunder 1987. Yogyakarta: PAU Bioteknologi UGM.

Ting, I.P. 1982. Plant Physyology. Reading-Mass.: Addison Wesley Publishing Company.

Trease, G.E. dan W.C. Evans. 1978. Pharmacognasy. Eleventh edition. London: Bailliere Tindall.

Turrill, W.B. 1951. Modern Trends in The Classification of Plants. Taxon 1 (2).

Wallis, T.E. 1955. Textbook of Pharmacognosy. Third edition. London: J & A Churchill. Ltd.

Youngken, H.W. 1948. Textbook of Pharmacognosy. Sixth edition. New York: The Blakingston Division McGraw-Hill Book Company. Inc.

Westphal, E. dan P.C.M. Jansen. 1989. Plant Resources in South-East Asia. A Selection. Wageningen: Pudoc.