Upload
doankien
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Oseanografi Perairan Kepulauan Togean
Pengukuran oseanografi pada masing-masing stasiun pengamatan untuk
memperoleh informasi tentang suhu, salinitas, kecerahan, arus laut dan kelimpah-
an fito-zooplankton. Disamping itu data tentang sebaran klorofil-a dan suhu
permukaan laut (SPL) di daerah penelitian (Kepulauan Togean) pada musim barat
(penelitian dilakukan) dan timur di download dari citra satelit Aqua MODIS.
Lokasi sampling oseanografi di perairan sekitar Kepulauan Togean ditunjukkan
seperti pada Gambar 9. Sampling oseanografi yang terdiri dari 16 stasiun
kemudian dibagi menjadi 4 zona. Zona 1 (stasiun 1-4), zona 2 (stasiun 5-8), zona
3 (stasiun 9-13) dan zona 4 (stasiun 14-16). Secara rinci hasil pengukuran dan
pembahasan dapat dijelaskan sebagai berikut.
4.1.1 Suhu
Umumnya suhu dipergunakan sebagai indikator untuk menentukan
perubahan ekologi. Hal tersebut tidak saja menyangkut suhu dan daerah
fluktuasinya, akan tetapi juga menyangkut gradien horizontal dan vertikalnya,
variasi dari suatu tempat ke tempat lain dimana suhu tersebut dipakai sebagai
indikator ekologi baik secara langsung maupun tidak langsung (Nontji 1984).
Pengaruh langsung karena reaksi kimia enzimatik yang berperan dalam proses
fotosintesis dikendalikan oleh suhu. Pengaruh suhu tak langsung ialah karena
suhu akan menentukan struktur hidrologis suatu perairan, yang mempengaruhi
distribusi fitoplankton. Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam
mengatur seluruh proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan
yang vital (metabolisme) hanya berfungsi dalam kisaran suhu tertentu (biasanya 0
– 40 0C). Aktivitas, metabolisme dan penyebaran ikan banyak dipengaruhi oleh
suhu air laut tersebut. Ikan akan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun
hanya sebesar 0,03 0C (Gunarso 1985).
54
200200
121.8 122.0 122.2 122.4Bujur Timur
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sel
atan
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
P.Teloga
P.WaleabahiP.Waleakodi
P.TaloehP.Melingi
P.Langkara
P.TongkabuP.Pangempan
Talatakoh
Batudaka
Benteng
TOGIAN
Palada
1
2
34 5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
SKALA 1 : 1 000 000
Stasiun Oseanografi 1 to 16
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4
Gambar 9 Lokasi stasiun sampling oseanografi (Desember 2004)
Setiap perairan mempunyai standar suhu rata-rata untuk musim tertentu.
Jika suhu pada tempat tersebut lebih tinggi dari standar yang berlaku, atau malah
melebihi suhu optimum untuk dilakukan penangkapan sebaiknya untuk mencari
daerah penangkapan dengan suhu yang lebih sesuai untuk dilakukan
penangkapan. Suhu sangat berperan penting dalam pengkajian target strength di
laut. Suhu berubah dengan bertambahnya kedalaman, umumnya suhu akan
menurun bila kedalaman perairan tersebut semakin bertambah atau semakin dalam
(Laevastu dan Hayes 1981). Penurunan suhu ini diantaranya dapat disebabkan
oleh energi radiasi matahari yang secara langsung memanaskan lapisan
permukaan akan semakin berkurang intensitasnya seiring dengan bertambahnya
kedalaman.
Sebaran suhu di perairan sekitar Kepulauan Togean secara vertikal
mempunyai nilai yang berkisar antara 30,63 0C di permukaan sampai dengan
26,70 0C pada kedalaman 45 meter. Secara umum nilai suhu semakin menurun
dengan bertambahnya kedalaman, hal ini disebabkan oleh penetrasi cahaya
matahari yang juga semakin berkurang nilai intensitasnya. Hubungan suhu dan
kedalaman seperti yang diuraikan sebelumnya, ditunjukkan pada Gambar 10.
55
0
10
20
30
40
50
26 28 30 32
Suhu (°C)
Keda
lam
an (m
)
St s. 1
St s. 2
St s. 3
St s. 4
St s. 5
St s. 6
St s. 7
St s. 8
St s. 9
St s. 10
St s. 11
St s. 12
St s. 13
St s. 14
St s. 15
St s. 16
Gambar 10 Hubungan suhu dan kedalaman perairan pada musim barat
Pengukuran suhu ini dilakukan pada musim barat (Desember 2004)
dengan menggunkan valeport current meter tipe 308 CTD. Musim barat terjadi
pada bulan Desember – Pebruari. Biasanya pada musim barat keadaan perairan di
sekitar Kepulauan Togean relatif tenang dari hempasan angin dan gelombang.
Hasil pengukuran suhu pada musim timur fluktuasinya tidak berbeda jauh
dengan pada saat musim barat yakni berkisar antara 270 0C – 30 C dengan suhu
rata-rata 28,50C. Pengukuran suhu yang dilakukan pada musim barat untuk setiap
stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 11.
26.527
27.528
28.529
29.530
30.531
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Stasiun
Suh
u (°
C)
0 m 10 m 20 m 30 m 40 m 45 m
Gambar 11 Keadaan suhu perairan untuk masing-masing stasiun oseanografi pada musim barat (Desember 2004)
56
Gambar 11 menginformasikan bahwa suhu perairan tertinggi terdapat pada
stasiun 10 sebesar 30,63 0C dan suhu terendah juga terdapat pada stasiun 10
dengan nilai 26,70 0C. Apabila dilihat dari nilai perubahan suhu pada setiap
stasiun pengamatan per kedalaman perairan, maka dapat dikatakan bahwa di
perairan sekitar Kepulauan Togean tidak didapatkan daerah termoklin karena
pada daerah tidak terjadi perubahan suhu yang menyolok pada setiap stasiun
pengamatan. Dimana menurut Dahuri (2003) termoklin adalah suatu lapisan masa
air yang bersifat permanen yang terdapat di laut dan danau yang menunjukkan
penurunan suhu secara drastis dan memisahkan masa air yang lebih hangat
(epilimnion) dibagian atas dan lapisan masa air yang lebih dingin (hypolimnion) di
bagian bawah.
4.1.2 Salinitas
Satuan dari salinitas menurut Komisi Internasional dari PBB (UNESCO)
adalah psu (practical salinity unit) yang didasarkan atas perbandingan dari nilai
konduktivitas. Kondisi salinitas seluruh stasiun di perairan sekitar Kepulauan
Togean berdasarkan kedalaman disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Hubungan salinitas dan kedalaman perairan pada musim barat
0
10
20
30
40
50
34.1 34.4 34.7 35
Salinitas (psu)
Ked
alam
an (m
)
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
St. 5
St. 6
St. 7
St. 8
St. 9
St. 10
St. 11
St. 12
St. 13
St. 14
St. 15
St. 16
57
Hubungan antara salinitas dan kedalaman sebagaimana ditunjukan pada
Gambar 12 di atas dapat dikatakan bahwa salinitas akan semakin tinggi dengan
bertambahnya kedalaman. Pengukuran ini dilakukan pada saat musim barat,
dimana pada musim barat tersebut curah hujan disekitar perairan Kepulauan
Togean cukup tinggi. Tingginya curah hujan, maka lapisan permukaan sering
mendapat pasokan air tawar sehingga nilai salinitas pada lapisan permukaan
relatif kecil. Untuk setiap stasiun pengamatan sebaran salinitas ditunjukkan pada
Gambar 13.
34.2
34.3
34.4
34.5
34.6
34.7
34.8
34.9
35
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Stasiun
Sal
inita
s (p
su)
0 m 10 m 20 m 30 m 40 m 45 m
Gambar 13 Sebaran salinitas pada setiap stasiun pengamatan pada musim barat
Pada setiap stasiun pengamatan, peningkatan salinitas cukup bervariasi
namun secara garis besar peningkatannya berkisar antara 34,3 psu sampai 34,95
psu. Salinitas memiliki sifat yang berbanding terbalik dengan suhu. Salinitas
merupakan salah satu parameter oseanografi yang relatif konstan nilainya.
Gambaran salinitas di atas menginformasikan bahwa besar kecilnya
fluktuasi nilai salinitas diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya oleh
pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan adanya
aliran sungai (run off). Disamping itu, gambaran tersebut menunjukkan bahwa
salinitas pada perairan sisi kanan bawah sekitar Kepulauan Togean cenderung
sedikit lebih tinggi dibanding sisi atas Kepulauan Togean.
58
4.1.3 Kecerahan air
Pengukuran kecerahan air dengan menurunkan secchi disk ke dalam
perairan sampai pada jarak yang tidak dapat terlihat oleh mata, kemudian menarik
secchi disk ke atas sampai terlihat kembali oleh mata. Kecerahan air dihitung
berdasarkan rata-rata jarak waktu secchi disk diturunkan sampai tidak terlihat dan
jarak pada saat secchi disk terlihat kembali pada waktu ditarik ke atas. Hasil
perhitungan tadi selanjutnya disajikan pada Gambar 14 berikut ini.
24
18
21
18
24
27 26
21
25 24
21
7
0
5
10
15
20
25
30
1 3 4 5 8 9 10 11 13 14 15 16
Stasiun
Ked
alam
an (m
)
Gambar 14 Kecerahan air untuk beberapa stasiun pengamatan
Secara umum dari Gambar 14 di atas tercatat bahwa tingkat kecerahan air
rata-rata di perairan sekitar Kepulauan Togean cukup tinggi (> 20 m). Tingginya
tingkat kecerahan air rata-rata ini menandakan bahwa penetrasi cahaya matahari
ke dalam perairan cukup baik, sehingga hal ini akan lebih mempersubur perairan
tersebut. Produsen primer (fitoplankton) berkembang dengan baik sehingga
mampu menyediakan makanan dalam sistem rantai makanan selanjutnya.
59
4.1.4 Arus
Sebagai salah satu parameter penting dalam lingkungan laut, keberadaan
arus ini menentukan struktur kondisi fisik perairan yang akan berpengaruh pada
struktur komunitas hewan atau tumbuhan yang terdapat pada lokasi perairan
tersebut. Arus berperan dalam penyebaran parameter-parameter fisik dan kimia
perairan dan menjadi faktor penentu keberadaan dan distribusi organisme laut.
Disamping keberadaannya menyebarkan materi-materi penting yang menunjang
kelangsungan hidup organisme laut, arus juga membawa polutan-polutan yang
merugikan ekosistem arus laut sehingga menyebabkan suatu perairan tercemar.
Bertiupnya angin dapat mengakibatkan terjadinya arus laut, sehingga
akibat yang ditimbulkan angin tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi
organisme laut yang rentan terhadap arus. Hasil pengukuran arah dan kecepatan
angin sesaat di perairan sekitar Kepulauan Togean disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Arah dan kecepatan angin sesaat di perairan sekitar Kepulauan Togean pada musim barat (Desember 2004)
Stasiun Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) Arah Kec. (m/det) 1 121087’ 0032’ -240 2 2 121098’ 0028’ -235 3.2 3 122010’ 0020’ -140 2.7 4 122022’ 0018’ -240 0.7 6 122037’ 0024’ -175 0.5 8 122039’ 0039’ -240 5.7 9 122032’ 0033’ -330 0.3
10 122027’ 0027’ -155 0.3 11 122023’ 0037’ -150 0.3 13 122017’ 0033’ -230 0.7 14 122018’ 0043’ -285 6.5 15 122007’ 0047’ -270 1.7 16 121092’ 0044’ -330 1.2
Sumber : Data primer hasil pengukuran, 2004 (diolah) Angin yang paling utama berhembus di perairan Indonesia menurut Nontji
(2002) adalah angin monsoon yang dalam setahun terjadi dua pembalikan arah
yang disebut angin musim barat dan angin musim timur. Data hasil pengukuran
pada Tabel 5 diplot dalam peta dalam Gambar 15.
60
SKALA 1 : 1 000 000
200200
121.8 122.0 122.2 122.4Bujur Timur
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sel
atan
Zona 1 Zona 2
Zona 3
Zona 4
2.0 m/det
3.2 m/det
2.7 m/det0.7 m/det
0.5 m/det
5.7 m/det
0.3 m/det
0.3 m/det
0.3 m/det
0.7 m/det
6.5 m/det
1.7 m/det
1.2 m/det
Gambar 15 Arah dan kecepatan angin sesaat di lokasi penelitian
Hasil pengukur arah dan kecepatan angin sesaat di lokasi penelitian
(Gambar 15) menginformasikan bahwa kecenderungan arah angin bergerak dari
barat ke timur dengan kecepatan angin sesaat tersebut bervariasi mulai dari
kecepatan 0,3 m/det sampai dengan 6,5 m/det. Kecepatan angin sesaat pada zona
1 berkisar antara 0,7 m/det. sampai 3,2 m/det.; zona 2, antara 0,5 m/det sampai
5,7m/det.; zona 3, antara 0,3 m/det. sampai 0,7 m/det.; dan zona 4, antara 1,2
m/det. sampai 6,5 m/det. Keadaan ini hanya terjadi pada musim barat (Desember
– Pebruari). Meskipun pada bulan-bulan selanjutnya tidak dilakukan pengukuran
kecepatan angin, namun informasi yang diperoleh dari nelayan Kepulauan Togean
bahwa kecepatan angin pada musim barat relatif stabil dibanding kecepatan angin
pada bulan Maret – Mei (musim peralihan I) dan pada bulan Juni – Agustus
(musim timur). Pada musim barat nelayan Kepulauan Togean lebih leluasa untuk
melakukan operasi penangkapan ikan oleh karena keadaan perairan relatif tenang
meskipun curah hujan cukup tinggi. Sebaliknya pada musim-musim selanjutnya
(peralihan I – timur) keadaan perairan agak bergelombang yang disertai dengan
angin yang cukup kuat sehingga nelayan agak sulit dalam mengoperasikan alat
tangkapnya. Sehingga kecenderungan nelayan yang menangkap ikan demersal
61
pada musim peralihan I sampai musim timur (Maret – Agustus) melakukan
operasi penangkapan ikan pada bagian barat dan selatan dari Kepulauan Togean.
Hasil pengukuran arus yang dilakukan pada bulan Desember 2004 (musim
barat), arah dan kecepatan arus untuk masing-masing kedalaman (0 m, 10 m, 20m,
30 m, 40 m, dan 50 m) ditunjukkan berturut-turut pada Gambar 16.
Gambar 16 Kecepatan dan arah arus pada musim barat untuk masing-masing
kedalaman
Secara umum Gambar 16 di atas menunjukkan bahwa arus laut bergerak
menuju arah barat di sekitar Kepulauan Togean. Hal ini dimungkinkan karena,
arus yang masuk dari arah timur ke Teluk Tomini cukup kuat pada saat musim
barat. Meskipun demikian, kecepatan arus pada setiap kedalaman berbeda satu
SKALA 1 : 1 000 000
200200
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
121.8 122.0 122.2 122.4
Bujur Timur
0.6
0.4
Lint
ang
Sela
tan
0.2
0.17
0.22
0.150.11 0.07
0.09
0.07
0.30
0.09
0.07
0.05
0.02
0.13
0.22
0.19
0.13
Kedalaman 0 m
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4
SKALA 1 : 1 000 000
200200
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
121.8 122.0 122.2 122.4
Bujur Timur
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sel
atan
0.21 0.130.23
0.049
0.11
0.4
0.28 0.0920.13
0.15 0.13
0.22
0.23
0.32
0.33
Kedalaman 10 m
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 40.17
SKALA 1 : 1 000 000
200200
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
121.8 122.0 122.2 122.4
Bujur Timur
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sela
tan
SKALA 1 : 1 000 000
200200
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
121.8 122.0 122.2 122.4
Bujur Timur
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sel
atan 0.33m/det
0.24m/det
0.09m/det0.34m/det 0.51m/det
0.49m/det
0.26m/det
0.34m/det
0.04m/det
0.17m/det
0.34m/det
0.11m/det
0.22m/det
0.30m/det
Kedalaman 30 m
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4
0.50m/det 0.13m/det0.13m/det
0.22m/det
0.09m/det0.21m/det 0.45m/det
0.46m/det0.30m/det
0.54m/det 0.53m/det
0.15m/det
0.11m/det
0.24m/det
0.21m/det
0.17m/det
Kedalaman 20 m
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4
SKALA 1 : 1 000 000
200200
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
121.8 122.0 122.2 122.4
Bujur Timur
0.6
0.4
SKALA 1 : 1 000 000
200200
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
121.8 122.0 122.2 122.4
Bujur Timur
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sel
atan
0.38m/det
0.11m/det
0.07m/det
0.17m/det
0.02m/det
0.11m/det
0.28m/det
0.20m/det
Kedalaman 50 m
Zona 1Zona 2
Zona 3
Zona 4
0.2
Lint
ang
Sel
atan
0.58m/det 0.15m/det
0.24m/det
0.04m/det0.21m/det
0.12m/det
0.07m/det 0.29m/det
0.52m/det
0.53m/det
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4
0.30m/det
Kedalaman 40 m
62
sama lainnya. Hasil pengukuran kecepatan arus berdasarkan kedalaman perairan
pada musim barat disajikan pada Gambar 17.
0
10
20
30
40
50
0 0.2 0.4 0.6
Kec. Arus (m/det)
Keda
lam
an (m
)
Gambar 17 Pola kecepatan arus berdasarkan kedalaman
Berdasarkan Gambar 17 dapat diinformasikan bahwa variasi nilai
minimum dan maximum kecepatan arus cukup besar pada masing-masing
kedalaman. Meskipun variasi nilai minimum dan maximum cukup besar namun
kecepatan arus rata-rata masih tergolong arus dengan kekuatan lemah (< 0,35
m/det).
4.1.5 Kelimpahan plankton
Istilah plankton berasal dari kata Yunani yang berarti pengembara.
Organisme ini biasanya relatif kecil atau mikroskopis. Hidup mereka selalu
terapung atau melayang dan daya geraknya tergantung pada arus atau pergerakan
air. Namun demikian ada juga plankton yang mempunyai daya renang cukup
kuat, sehingga dapat melakukan migrasi harian (Arinardi 1995). Nilai
produktivitas plankton secara langsung banyak dipengaruhi oleh komposisi jenis
fitoplankton, yang selanjutnya dapat menentukan besar/kecilnya daya dukung
perairan terhadap kehidupan biota di dalamnya (Wiadnyana 1999).
63
Gambar 18 Keadaan fitoplankton dan zooplankton pada setiap stasiun pengamatan Berdasarkan Gambar 18, pada zona 1, untuk stasiun pengamatan 1,3 dan 4
memiliki rasio jumlah fitoplankton lebih besar zooplankton, sebaliknya pada
stasiun 2 zooplankton lebih dominan. Zona 2, zooplakton lebih dominan dari
fitoplankton (stasiun pengamatan 5,7 dan 8) sedangkan pada stasiun 6
fitoplankton lebih dominan. Hampir seluruh stasiun pada zona 3 didominasi oleh
zooplankton, hanya pada stasiun 10 saja fitoplankton lebih dominan dari
zooplankton. Pada zona 4, fitoplankton lebih dominan dari zooplankton. Lebih
rinci perbandingan antara fitoplankton dan zooplankton pada masing-masing
stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 19.
Gambar 19 Kelimpahan plankton (zoo dan phyto) pada tiap stasiun pengamatan
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Stasiun
sel/l
iter
fitozoo
200200
121.8 122.0 122.2 122.4Bujur Timu
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sela
tan
4 53
6
102 12
7
r
1
8
913
11
14
15
16
: Fitoplankton
: Zooplankton
SKALA 1 : 1 000 000
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4
65
Gambar 19 menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton mendominasi
keberadaan zooplankton pada semua stasiun pengamatan. Wiadnyana (1999)
melaporkan bahwa nilai produktivitas plankton secara langsung banyak
dipengaruhi oleh komposisi jenis fitoplankton, yang selanjutnya dapat
menentukan besar/kecilnya daya dukung perairan terhadap kehidupan biota di
dalamnya. Dalam sistem kehidupan akuatik, zooplankton merupakan konsumer
pertama yang memanfaatkan produksi primer yang dihasilkan oleh organisme
fitoplanktonik. Karena fitoplankton merupakan produsen tingkat pertama dalam
sistem rantai makanan, maka kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan di
sekitar Kepulauan Togean tergolong perairan yang cukup subur. Hal ini erat
kaitannya dengan kelimpahan fitoplanlton, dimana fitoplankton yang merupakan
produsen primer akan dimakan oleh zooplankton, dan zooplankton juga akan
dimakan oleh hewan yang berada pada tropik level yang lebih tinggi.
Keberadaan zooplankton di perairan banyak terkait dengan fitoplankton.
Fitoplankton yang mengandung klorofil-a merupakan pigmen penting dalam
proses fotosintesis. Kandungan klorofil-a ini dapat dideteksi dari sensor satelit
yang bekerja pada panjang gelombang sinar tampak. Pola distribusi konsentrasi
klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) dapat digunakan untuk melihat
fenomena oseanografi seperti upwelling, front dan pola arus permukaan. Daerah
dimana terjadinya fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan
yang subur.
66
4.1.3 Pembahasan
Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dengan adanya berbagai
kondisi lingkungan perairan dan fluktuasi keadaan lingkungan tersebut. Interaksi
antara berbagai faktor lingkungan tersebut terhadap ikan senantiasa berubah.
Faktor-faktor ini meliputi faktor fisik, kimia dan biologi lingkungan. Faktor fisik
yang paling berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya ikan adalah suhu dan
salinitas. Kedua faktor ini menarik untuk diamati karena berperan dalam
kelangsungan hidup ikan. Adanya perubahan baik suhu maupun salinitas akan
mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan (Laevastu and Hayes, 1982).
Suhu air merupakan faktor lingkungan yang paling mudah diselidiki. Oleh
karena itu, banyak peneliti yang berusaha menghubungkan antara sifat ikan
dengan suhu air laut dan turun naiknya suhu perairan. Perubahan-perubahan
seperti itu di lingkungan laut seringkali hanya merupakan perubahan yang terkait
dengan faktor lain seprti arus, dimana pengaruhnya secara langsung perlu
dipertimbangkan, sedangkan pengaruh nyata dari suhu mungkin terbatas.
Meskipun demikian, sebagian besar kasus suhu merupakan indikator yang penting
untuk menunjukkan perubahan kondisi ekologi. Lebih-lebih fluktuasi suhu baik
secara vertikal maupun horizontal yang berubah dari suatu tempat ke tempat lain
yang harus dipertimbangkan pada saat menggunakan suhu sebagai indikator
ekologi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pola sebaran suhu secara vertikal lebih berpengaruh terhadap kelimpahan
dan pola penyebaran ikan dibanding dengan pola sebaran suhu secara horizontal
karena nilai fluktuasi suhu secara vertikal relatif lebih tinggi. Sebaran suhu di
perairan sekitar Kepulauan Togean secara vertikal mempunyai nilai yang berkisar
antara 30,63 0C dipermukaan sampai dengan 26,70 0C pada kedalaman 50 meter.
Jadi, terdapat stratifikasi suhu yang secara umum nilai suhu semakin menurun
dengan bertambahnya kedalaman, hal ini disebabkan oleh penetrasi cahaya
matahari yang juga semakin berkurang nilai intensitasnya.
Sulvian (1954) menyatakan bahwa ikan-ikan memilih suhu tertentu karena
pengaruh gerak/aktivitas yang sama, dan disimpulkan bahwa perubahan suhu
mungkin menyebabkan aksi pada ikan : (1) sebagai dorongan saraf; (2) sebagai
perubahan proses metabolisme dan atau (3) sebagai perubahan aktivitas tubuhnya.
67
Bentuk pengaruh suhu terhadap ikan diwujudkan dalam berbagai macam cara,
seperti suhu mempengaruhi aktivitas dan pergerakan tubuh. Suhu rendah
mungkin menyebabkan lolosnya ikan dari alat tangkap, dan juga kemampuan ikan
untuk menangkap makanan yang bergerak. Suhu juga menyebabkan distribusi
regional ikan muda dan dewasa karena mereka memiliki toleransi dan preferensi
suhu yang berbeda (Alverson, Pruter and Ronhoft 1964). Pergerakan onshore
dan offshore ikan demersal mungkin juga dipicu oleh suhu (King 1995 dan Hall
2000). Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan, aktivitas dan
mobilitas gerakan, ruaya penyebaran dan kelimpahan serta pemijahan. Perubahan
suhu perairan di bawah suhu normal/suhu optimal menyebabkan penurunan
aktivitas gerakan dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungnya proses
pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar ukuran dan semakin tua
umur ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu lebih
rendah di perairan yang lebih dalam. Suhu merupakan controling factor (faktor
pengendali) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut
terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus reproduksinya (Hutabarat
dan Evans, 1984). Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam
mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme di laut. Suhu terkadang
menjadi koordinat yang baik dari koordinat geografik dalam melokalisasi (tempat)
ikan, karena sebaran suhu secara harizontal dapat menjadi informasi yang sangat
berguna bagi bidang perikanan khususnya pada bidang perikanan tangkap.
Disamping itu, Gunarso (1985) mencatat bahwa suhu perairan berpengaruh pada
cara dan kebiasaan makan dari ikan, pemijahan, kelimpahan, ruaya dan
pengelompokan ikan. Hasil pengukuran suhu yang diperoleh berdasarkan
informasi di atas menunjukkan bahwa lapisan suhu homogen terjadi sampai pada
kedalaman sekitar 50 meter, sedangkan perbedaan suhu antar stasiun pada
kedalaman 20 dan 30 meter lebih bervariasi dibanding pada kedalaman lainnya.
Hubungan suhu terhadap distribusi biomassa ikan demersal diperairan
sekitar Kepulauan Togean ditunjukkan pada Gambar 20.
68
Gambar 20 Hubungan suhu dan distribusi biomassa ikan demersal
Gambar 20, di atas menunjukkan bahwa distribusi biomassa ikan demersal
di perairan sekitar Kepulauan Togean pada zona 1 berada pada suhu sekitar 29,00
– 29,75 0C dengan densitas antara 0,06-0,16 ton; zona 2 dengan kisaran suhu
antara 28,50 – 28,75 0C memiliki densitas antara 0,16-0,25 ton; zona 3 dengan
kisaran suhu antara 28,50-29,00 0C merupakan zona yang distribusi biomassa
paling tinggi dari keempat zona dengan densitas antara 0,25-1,34 ton dan zona 4
dengan kisaran suhu antara 28,75-29,75 memiliki densitas antara 0,06-0,16 ton.
Tergambar pula bahwa semakin tinggi suhu maka distribusi densitas ikan
demersal makin menurun. Biomassa ikan demersal pada kisaran suhu tersebut
dapat dikatakan densitasnya cukup tinggi (0,25-1,33 ton). Wootton (1992)
menyatakan bahwa distribusi densitas ikan demersal berkurang dengan
meningkatnya temperatur perairan karena ikan demersal lebih menyukai perairan
yang bersuhu rendah.
Salinitas merupakan salah satu faktor oseanografi yang dapat
mempengaruhi sebaran organisme di laut. Salinitas dapat mempengaruhi tekanan
osmotik tubuh organisme laut termasuk ikan. Ikan akan cenderung untuk memilih
medium dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik mereka
masing-masing. Beberapa organisme yang dapat bertahan dengan perubahan
200200
121.8 122.0 122.2 122.4Bujur Timur
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sela
tan
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
P.Teloga
P.WaleabahiP.Waleakodi
P.TaloehP.Melingi
P.Langkara
P.TongkabuP.Pangempan
Talatakoh
Batudaka
Benteng
TOGIAN
Palada28.50
28.75
29.00
29.25
29.50
29.75
Suhu (°C)
SKALA 1 : 1 000 000Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4Biomassa (ton)
0.004 to 0.016 0.016 to 0.061 0.061 to 0.157 0.157 to 0.253 0.253 to 1.336
69
salinitas yang besar (euryhaline) dan ada pula yang hidup pada perubahan
salinitas yang sempit (stenohaline).
Demikian pula hal sebaliknya terjadi pada salinitas terhadap distribusi
biomassa ikan demersal. Dampak yang ditimbulkan akibat perbedaan salinitas ini
sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 21. Secara umum salinitas di
perairan sekitar Kepulauan Togean memperlihatkan adanya peningkatan seiring
dengan bertambahnya kedalaman. Pada setiap zona, peningkatan salinitas cukup
bervariasi namun secara garis besar peningkatannya berkisar antara 34,30 psu
sampai dengan 34,95 psu. Semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai
salinitas semakin tinggi dengan nilai perubahan yang relatif kecil. Salinitas di
samping mempengaruhi ruaya dan kelimpahan juga berpengaruh terhadap
perkembangan dan keberhasilan penetasan telur ikan. Hubungan salinitas dan
distribusi densitas ikan demersal disajikan pada Gambar 21.
200200
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sel
atan
121.8 122.0 122.2 122.4Bujur Timur
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
P.Teloga
P.WaleabahiP.Waleakodi
P.TaloehP.Melingi
P.Langkara
P.TongkabuP.Pangempan
Talatakoh
Batudaka
Benteng
TOGIAN
Palada
SKALA 1 : 1 000 000
34.44
34.52
34.61
34.70
34.78
Salinitas (psu)
Biomassa (ton) 0.0 to 0.0 0.0 to 0.1 0.1 to 0.2 0.2 to 0.3 0.3 to 1.3
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4
Gambar 21 Hubungan salinitas dan distribusi biomassa ikan demersal Gambar 21 menginformasikan bahwa hubungan antara salinitas dan
distribusi biomassa ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan Togean
berdasarkan empat zona yang ditentukan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kisaran salinitas pada zona 1 antara 34,44-34,61 psu dengan distribusi biomassa
antara 0,06-0,25 ton, zona 2 dengan kisaran salinitas antara 34,70-34,78 memiliki
distribusi biomassa antara 0,16-0,25 ton. Zona 3 merupakan zona yang meliliki
70
densitas distribusi biomassa ikan demersal tertinggi dari semua zona. Salinitas
pada zona ini berkisar antara 34,61-34,70 psu dengan distribusi biomassa pada
kisaran salinitas ini berkisar antara 0,16-1,34 ton, hal ini menunjukkan bahwa
wilayah di sekitar Kepulauan Togean dengan kisaran salinitas tersebut distribusi
biomassanya cukup baik. Sama seperti pada zona 1, kisaran salinitas pada zona 4
antara 34,44-34,61 psu dengan distribusi biomassa antara 0,06-0,25 ton.
Kecerahan merupakan gambaran penetrasi cahaya matahari yang masuk ke
dalam perairan, sehingga kecerahan dapat digunakan untuk menggambarkan
partikel tersuspensi suatu perairan. Suatu perairan dikatakan keruh jika memiliki
nilai kecerahan rendah dan sebaliknya perairan dikatakan jernih jika nilai
kecerahan tinggi. Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel lumpur tidak
dikehendaki karena dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam
perairan dan juga dapat mengganggu organisme yang hidup di dalamnya. Makin
cerah suatu perairan maka semakin jauh penetrasi cahaya matahari ke dalam
perairan tersebut sehingga mempengaruhi kehidupan organisme laut (contoh :
terumbu karang dan padang lamun). Organisme karang untuk pertumbuhannya
(proses fotosintesis) menjadi lebih baik jika nilai kecerahan perairan tinggi.
Demikian pula halnya dengan padang lamun membutuhkan cahaya matahari
untuk perkembangannya. Apabila organisme karang dan padang lamun
berkembang dengan baik karena kecerahan air, maka hal ini secara langsung
maupun tidak langsung akan memberikan dampak yang positif pada keberadaan
ikan demersal yang dalam siklus hidupnya tergantung pada karang dan padang
lamun.
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan
oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut, dan pasang surut (Nontji 2002).
Gerakan arus laut merupakan resultan dari beberapa gaya yang bekerja serta
pengaruh dari beberapa faktor. Gross (1990) menyatakan ada dua jenis gaya yang
bekerja atau berpengaruh sehingga terjadinya arus yaitu gaya eksternal dan
internal. Gaya eksternal antara lain angin, perbedaan tekanan udara, gaya
gravitasi, gaya tektonik serta gaya tarik matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh
tekanan dasar laut. Gaya internal antara lain perbedaan densitas air laut, gradien
tekanan mendatar dan gesekan lapisan air. Arus mempengaruhi penyebaran
71
organisme laut seperti plankton yang hidup melayang di bawah permukaan air dan
mempunyai kemampuan gerak terbatas, sehingga selalu terbawa oleh arus
(Nybakken 1992). Meskipun secara umum arah arus di Kepulaun Togean menuju
ke arah barat, namun kecepatan arus tersebut berbeda untuk masing-masing
kedalaman. Pada kedalaman 0 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara
0,11 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,16 m/det; zona 2
kecepatan arus berkisar antara 0,07 m/det sampai 0,30 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,18 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,02 m/det sampai 0,13
m/det dengan kecepatan rata-rata 0,07 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar
antara 0,13 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,17 m/det.
Kedalaman 10 m untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,21 m/det sampai
0,4 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar
antara 0,05 m/det sampai 0,23 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,14 m/det; zona
3 kecepatan arus berkisar antara 0,09 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,15 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,17 m/det sampai 0,33
m/det dengan kecepatan rata-rata 0,25 m/det. Kedalaman 20 m, untuk zona 1
kecepatan arus berkisar antara 0,13 m/det sampai 0,50 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,31 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,11 m/det sampai 0,46
m/det dengan kecepatan rata-rata 0,28 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar
antara 0,09 m/det sampai 0,54 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona
4 kecepatan arus berkisar antara 0,17 m/det sampai 0,24 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,20 m/det. Kedalaman 30 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar
antara 0,09 m/det sampai 0,34 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,21 m/det; zona
2 kecepatan arus berkisar antara 0,26 m/det sampai 0,51 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,38 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,04 m/det sampai 0,34
m/det dengan kecepatan rata-rata 0,19 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar
antara 0,22 m/det sampai 0,30 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,26 m/det
Kedalaman 40 m, untuk zona 1 karena kedalaman perairan kurang dari 40 meter
maka pengukuran kecepatan untuk zona ini tidak dilakukan; zona 2 kecepatan
arus berkisar antara 0,12 m/det sampai 0,58 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,35
m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,04 m/det sampai 0,52 m/det dengan
kecepatan rata-rata 0,29 m/det; zona 5 kecepatan arus berkisar antara 0,30 m/det
72
sampai 0,53 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,41 m/det. Kedalaman 50 m,
untuk zona 1 dan 2 karena kedalaman perairan kurang dari 50 m, pengukuran
kecepatan arus untuk kedua zona ini tidak dilakukan; zona 3 kecepatan arus
berkisar antara 0,02 m/det sampai 0,17 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,09
m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,20 m/det sampai 0,28 m/det dengan
kecepatan rata-rata 0,24 m/det. Kecepatan arus mempunyai peran penting dalam
pengoperasian suatu alat tangkap ikan baik pada saat penawuran (setting), posisi
alat tangkap dalam perairan dan pada saat penarikan (hauling). Pada saat setting,
apabila kecepatan arus terlalu besar maka akan menyebabkan alat tangkap tidak
tepat pada posisi yang diinginkan. Selanjutnya, posisi alat tangkap dalam perairan
akan tidak stabil apabila kecepatan arus terlalu besar, misalnya posisi jaring
insang dasar tidak akan berdiri tegak seperti yang diharapkan. Demikian pula
pada saat hauling, alat tangkap akan terpuntal atau kusut. Berdasarkan hasil
pengukuran kecepatan arus pada dasar perairan di Kepulauan Togean diperoleh
kecepatan arus rata-rata 0,2 m/det. Nilai tersebut tergolong dalam kecepatan arus
lemah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kecepatan arus pada musim itu baik
untuk kegiatan operasi penangkapan ikan demersal.
Kelimpahan plankton dalam suatu perairan merupakan indikator bahwa
perairan tersebut subur. Namun sebaliknya apabila kelimpahan plankton ini di
suatu perairan berlebihan, maka perairan tersebut menjadi tidak subur lagi
(Romimohtarto dan Juwana 1999). Karena plankton yang secara tiba-tiba
melimpah (blooming) akan menjadi racun untuk organisme lain (ikan).
Kelimpahan plankton yang diperoleh di Kepulauan Togean secara umum dapat
dikatakan bahwa perairan tersebut subur. Dinamika perubahan jumlah kelimpahan
plankton (zoo dan phyto) untuk setiap stasiun sangat bervariasi, pada stasiun 3, 4
dan 16 jumlah fitoplankton jauh lebih besar (7586-10264 sel/liter) dibanding
dengan zooplankton pada stasiun-stasiun tersebut yang hanya berkisar antara 626-
2615 sel/liter, sedangkan untuk stasiun pengamatan lainnya dinamika perubahan
kelimpahan jumlah fitoplankton dan zooplankton cukup seimbang.
Salah satu sumberdaya hayati yang mempunyai peran dalam ekosistem
laut adalah plankton. Keberadaan plankton sangat mempengaruhi kehidupan
diperairan karena memegang peran penting sebagai makanan bagi berbagai
73
organisme laut. diantara tumbuhan bahari, fitoplankton yang mengikat bagian
terbesar dari energi walaupun fitoplankton hanya menghuni suatu lapisan
permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari.
Target ikan demersal yang terdeteksi dalam penelitian ini tidak terlalu
dipengaruhi oleh fluktuasi suhu maupun salinitas. Ikan-ikan demersal tidak akan
melakukan ruaya hanya karena perubahan fluktuasi suhu dan salinitas karena ikan
demersal lebih dipengaruhi oleh kondisi substrat yang mempengaruhi
ketersediaan makanan. Jenis substrat dasar perairan juga mempengaruhi jenis
hewan laut yang dapat hidup pada atau di dalam dasar laut ini. Bermacam-macam
dasar perairan yang umum kita jumpai adalah lumpur, pasir, batu atau cadas dan
tumpukan benda buatan manusia (Pujiati 2008).
Lingkungan yang terdiri dari lumpur ini menimbulkan masalah bagi
hewan-hewan yang hidup di sini, karena partikel-partikel lumpur dapat menembus
sistem pernafasan hewan-hewan tersebut dan menyebabkan penyumbatan.
Kandungan oksigen di lingkungan ini rendah, karena partikel-partikel lumpur ini
padat dan tidak meninggalkan rongga-rongga untuk oksigen berada di lumpur
sehingga tidak ada pertukaran oksigen dengan udara. Zat-zat organik yang
membusuk, yang terdapat disana juga menghabiskan oksigen (Romimohtarto dan
Juwana 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pasir mempunyai ukuran partikel
yang lebih besar daripada partikel lumpur. Dasar pasir ini memungkinkan air
mengalir di antara partikel-partikel pasir sehingga ada pertukaran oksigen sampai
lapisan bawah dasar pasir. Gelombang memindahkan pasir saat menuju pantai.
Oleh sebab itu hewan yang hidup dilingkungan ini harus dilengkapi dengan
kemampuan yang mampu bergerak bersama butiran pasir ataupun merendam
dalam di bawah permukaan pasir.
Pantai bercadas atau berbatu merupakan lingkungan yang mudah bagi
banyak biota laut untuk menyesuaikan diri. Banyaknya kehidupan di lingkungan
ini menakjubkan. Ini disebabkan karena banyaknya lingkungan mikro (micro
environment), seperti lingkungan-lingkungan yang terdapat pada celah-celah
cadas, lubang-lubang, permukaan cadas, kubangan pasut dan sebagainya. Daerah
cadas ini memperoleh oksigenasi yang bagus, banyak makanan dan tempat
berlindung yang bagus.
74
Data dari satelit selama satu tahun di download dari citra satelit Aqua
MODIS yang bersih dari tutupan awan. Setelah data dipesan melalui NASA
Goddard Space Flight Center dengan pilihan media FTP (File Transfer Protocol)
Pull. Selanjutnya, data MODIS yang sudah diterima dari NASA diolah dengan
menggunakan perangkat lunak SeaDAS (SeaWiFS Data Analysis System) 4.7
under Linux. Proses pengolahan data Aqua MODIS dilakukan melalui beberapa
tahapan utama yaitu : (1) proses pengolahan level 1 ke level 2; (2) proses koreksi
geometrik; dan (3) proses pemotongan citra (cropping). Hasil sebaran klorofil-a
dan suhu permukaan laut (SPL) citra Aqua MODIS pada musim barat disajikan
pada Lampiran 1 dan 2.
Dari hasil analisis digital-visual terhadap citra komposit klorofil-a secara
delapan harian hasil pengolahan citra Aqua MODIS diketahui sebaran konsentrasi
klorofil-a di Teluk Tomini bervariasi menurut musim dan lokasi. Secara umum
konsentrasi klorofil-a selama satu tahun berkisar antara 0,1113 mg/m3 sampai
dengan 0,3496 mg/m3. Nilai konsentrasi klorofil-a hasil pengolahan citra Aqua
MODIS menurut musim dan lokasi secara lengkap disajikan pada Gambar 22.
Pada musim barat (bulan Desember) dan peralihan 2 (Oktober – Nopember)
konsentrasi klorofil-a di dalam Teluk Tomini lebih besar dibanding dengan di luar
teluk. Konsentrasi klorofil-a mencapai puncak pada musim timur (Juli – Agustus)
sedang terendah pada ditemukan pada musim barat (Nopember – Desember).
Lokasi perairan Teluk Tomini bagian luar terlihat memiliki konsentrasi klorofil-a
yang lebih tinggi (antara 0,1284 sampai dengan 0,3496 mg/m3) dibanding dengan
perairan di dalam Teluk Tomini (antara 0,1113 sampai dengan 0,1866 mg/m3).
Nilai SPL perairan Teluk Tomini berdasarkan citra komposit delapan
harian Aqua MODIS selama setahun berkisar antara 27,1 – 30,3 0C. SPL paling
rendah (27,1 0C) terjadi pada bulan Agustus di perairan bagian luar Teluk Tomini,
sedangkan SPL tertinggi (30,3 0C) ditemukan pada bulan Maret di perairan bagian
dalam Teluk Tomini. Hasil analisis digital visual terhadap citra satelit terlihat
bahwa sepanjang tahun SPL pada bagian dalam teluk lebih hangat dibanding
dengan pada bagian luar teluk. Berdasarkan Gambar 22, terlihat bahwa SPL
berfluktuasi secara delapan harian dan juga bervariasi menurut region (dalam dan
luar teluk). SPL di dalam teluk lebih hangat dibanding dengan di luar teluk.
75
Gambar 22 Grafik fluktuasi konsentrasi rata-rata 8 harian klorofil-a dan SPL
Keadaan ini diduga karena perairan di dalam teluk lebih sedikit mendapat
pengaruh dari massa air dari luar teluk. Hasil kajian dengan menggunakan citra
satelit Aqua MODIS di perairan Kepulauan Togean terhadap suhu permukaan laut
dan sebaran klorofil-a yang dilakukan oleh CII (2007) tercatat bahwa distribusi
spasial suhu permukaan laut di perairan sebelah utara lebih rendah dari bagian
selatan.
65
Gambar 19 menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton mendominasi
keberadaan zooplankton pada semua stasiun pengamatan. Wiadnyana (1999)
melaporkan bahwa nilai produktivitas plankton secara langsung banyak
dipengaruhi oleh komposisi jenis fitoplankton, yang selanjutnya dapat
menentukan besar/kecilnya daya dukung perairan terhadap kehidupan biota di
dalamnya. Dalam sistem kehidupan akuatik, zooplankton merupakan konsumer
pertama yang memanfaatkan produksi primer yang dihasilkan oleh organisme
fitoplanktonik. Karena fitoplankton merupakan produsen tingkat pertama dalam
sistem rantai makanan, maka kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan di
sekitar Kepulauan Togean tergolong perairan yang cukup subur. Hal ini erat
kaitannya dengan kelimpahan fitoplanlton, dimana fitoplankton yang merupakan
produsen primer akan dimakan oleh zooplankton, dan zooplankton juga akan
dimakan oleh hewan yang berada pada tropik level yang lebih tinggi.
Keberadaan zooplankton di perairan banyak terkait dengan fitoplankton.
Fitoplankton yang mengandung klorofil-a merupakan pigmen penting dalam
proses fotosintesis. Kandungan klorofil-a ini dapat dideteksi dari sensor satelit
yang bekerja pada panjang gelombang sinar tampak. Pola distribusi konsentrasi
klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) dapat digunakan untuk melihat
fenomena oseanografi seperti upwelling, front dan pola arus permukaan. Daerah
dimana terjadinya fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan
yang subur.
66
4.1.3 Pembahasan
Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dengan adanya berbagai
kondisi lingkungan perairan dan fluktuasi keadaan lingkungan tersebut. Interaksi
antara berbagai faktor lingkungan tersebut terhadap ikan senantiasa berubah.
Faktor-faktor ini meliputi faktor fisik, kimia dan biologi lingkungan. Faktor fisik
yang paling berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya ikan adalah suhu dan
salinitas. Kedua faktor ini menarik untuk diamati karena berperan dalam
kelangsungan hidup ikan. Adanya perubahan baik suhu maupun salinitas akan
mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan (Laevastu and Hayes, 1982).
Suhu air merupakan faktor lingkungan yang paling mudah diselidiki. Oleh
karena itu, banyak peneliti yang berusaha menghubungkan antara sifat ikan
dengan suhu air laut dan turun naiknya suhu perairan. Perubahan-perubahan
seperti itu di lingkungan laut seringkali hanya merupakan perubahan yang terkait
dengan faktor lain seprti arus, dimana pengaruhnya secara langsung perlu
dipertimbangkan, sedangkan pengaruh nyata dari suhu mungkin terbatas.
Meskipun demikian, sebagian besar kasus suhu merupakan indikator yang penting
untuk menunjukkan perubahan kondisi ekologi. Lebih-lebih fluktuasi suhu baik
secara vertikal maupun horizontal yang berubah dari suatu tempat ke tempat lain
yang harus dipertimbangkan pada saat menggunakan suhu sebagai indikator
ekologi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pola sebaran suhu secara vertikal lebih berpengaruh terhadap kelimpahan
dan pola penyebaran ikan dibanding dengan pola sebaran suhu secara horizontal
karena nilai fluktuasi suhu secara vertikal relatif lebih tinggi. Sebaran suhu di
perairan sekitar Kepulauan Togean secara vertikal mempunyai nilai yang berkisar
antara 30,63 0C dipermukaan sampai dengan 26,70 0C pada kedalaman 50 meter.
Jadi, terdapat stratifikasi suhu yang secara umum nilai suhu semakin menurun
dengan bertambahnya kedalaman, hal ini disebabkan oleh penetrasi cahaya
matahari yang juga semakin berkurang nilai intensitasnya.
Sulvian (1954) menyatakan bahwa ikan-ikan memilih suhu tertentu karena
pengaruh gerak/aktivitas yang sama, dan disimpulkan bahwa perubahan suhu
mungkin menyebabkan aksi pada ikan : (1) sebagai dorongan saraf; (2) sebagai
perubahan proses metabolisme dan atau (3) sebagai perubahan aktivitas tubuhnya.
67
Bentuk pengaruh suhu terhadap ikan diwujudkan dalam berbagai macam cara,
seperti suhu mempengaruhi aktivitas dan pergerakan tubuh. Suhu rendah
mungkin menyebabkan lolosnya ikan dari alat tangkap, dan juga kemampuan ikan
untuk menangkap makanan yang bergerak. Suhu juga menyebabkan distribusi
regional ikan muda dan dewasa karena mereka memiliki toleransi dan preferensi
suhu yang berbeda (Alverson, Pruter and Ronhoft 1964). Pergerakan onshore
dan offshore ikan demersal mungkin juga dipicu oleh suhu (King 1995 dan Hall
2000). Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan, aktivitas dan
mobilitas gerakan, ruaya penyebaran dan kelimpahan serta pemijahan. Perubahan
suhu perairan di bawah suhu normal/suhu optimal menyebabkan penurunan
aktivitas gerakan dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungnya proses
pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar ukuran dan semakin tua
umur ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu lebih
rendah di perairan yang lebih dalam. Suhu merupakan controling factor (faktor
pengendali) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut
terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus reproduksinya (Hutabarat
dan Evans, 1984). Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam
mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme di laut. Suhu terkadang
menjadi koordinat yang baik dari koordinat geografik dalam melokalisasi (tempat)
ikan, karena sebaran suhu secara harizontal dapat menjadi informasi yang sangat
berguna bagi bidang perikanan khususnya pada bidang perikanan tangkap.
Disamping itu, Gunarso (1985) mencatat bahwa suhu perairan berpengaruh pada
cara dan kebiasaan makan dari ikan, pemijahan, kelimpahan, ruaya dan
pengelompokan ikan. Hasil pengukuran suhu yang diperoleh berdasarkan
informasi di atas menunjukkan bahwa lapisan suhu homogen terjadi sampai pada
kedalaman sekitar 50 meter, sedangkan perbedaan suhu antar stasiun pada
kedalaman 20 dan 30 meter lebih bervariasi dibanding pada kedalaman lainnya.
Hubungan suhu terhadap distribusi biomassa ikan demersal diperairan
sekitar Kepulauan Togean ditunjukkan pada Gambar 20.
68
Gambar 20 Hubungan suhu dan distribusi biomassa ikan demersal
Gambar 20, di atas menunjukkan bahwa distribusi biomassa ikan demersal
di perairan sekitar Kepulauan Togean pada zona 1 berada pada suhu sekitar 29,00
– 29,75 0C dengan densitas antara 0,06-0,16 ton; zona 2 dengan kisaran suhu
antara 28,50 – 28,75 0C memiliki densitas antara 0,16-0,25 ton; zona 3 dengan
kisaran suhu antara 28,50-29,00 0C merupakan zona yang distribusi biomassa
paling tinggi dari keempat zona dengan densitas antara 0,25-1,34 ton dan zona 4
dengan kisaran suhu antara 28,75-29,75 memiliki densitas antara 0,06-0,16 ton.
Tergambar pula bahwa semakin tinggi suhu maka distribusi densitas ikan
demersal makin menurun. Biomassa ikan demersal pada kisaran suhu tersebut
dapat dikatakan densitasnya cukup tinggi (0,25-1,33 ton). Wootton (1992)
menyatakan bahwa distribusi densitas ikan demersal berkurang dengan
meningkatnya temperatur perairan karena ikan demersal lebih menyukai perairan
yang bersuhu rendah.
Salinitas merupakan salah satu faktor oseanografi yang dapat
mempengaruhi sebaran organisme di laut. Salinitas dapat mempengaruhi tekanan
osmotik tubuh organisme laut termasuk ikan. Ikan akan cenderung untuk memilih
medium dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik mereka
masing-masing. Beberapa organisme yang dapat bertahan dengan perubahan
200200
121.8 122.0 122.2 122.4Bujur Timur
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sela
tan
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
P.Teloga
P.WaleabahiP.Waleakodi
P.TaloehP.Melingi
P.Langkara
P.TongkabuP.Pangempan
Talatakoh
Batudaka
Benteng
TOGIAN
Palada28.50
28.75
29.00
29.25
29.50
29.75
Suhu (°C)
SKALA 1 : 1 000 000Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4Biomassa (ton)
0.004 to 0.016 0.016 to 0.061 0.061 to 0.157 0.157 to 0.253 0.253 to 1.336
69
salinitas yang besar (euryhaline) dan ada pula yang hidup pada perubahan
salinitas yang sempit (stenohaline).
Demikian pula hal sebaliknya terjadi pada salinitas terhadap distribusi
biomassa ikan demersal. Dampak yang ditimbulkan akibat perbedaan salinitas ini
sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 21. Secara umum salinitas di
perairan sekitar Kepulauan Togean memperlihatkan adanya peningkatan seiring
dengan bertambahnya kedalaman. Pada setiap zona, peningkatan salinitas cukup
bervariasi namun secara garis besar peningkatannya berkisar antara 34,30 psu
sampai dengan 34,95 psu. Semakin bertambahnya kedalaman perairan maka nilai
salinitas semakin tinggi dengan nilai perubahan yang relatif kecil. Salinitas di
samping mempengaruhi ruaya dan kelimpahan juga berpengaruh terhadap
perkembangan dan keberhasilan penetasan telur ikan. Hubungan salinitas dan
distribusi densitas ikan demersal disajikan pada Gambar 21.
200200
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sel
atan
121.8 122.0 122.2 122.4Bujur Timur
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
P.Teloga
P.WaleabahiP.Waleakodi
P.TaloehP.Melingi
P.Langkara
P.TongkabuP.Pangempan
Talatakoh
Batudaka
Benteng
TOGIAN
Palada
SKALA 1 : 1 000 000
34.44
34.52
34.61
34.70
34.78
Salinitas (psu)
Biomassa (ton) 0.0 to 0.0 0.0 to 0.1 0.1 to 0.2 0.2 to 0.3 0.3 to 1.3
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4
Gambar 21 Hubungan salinitas dan distribusi biomassa ikan demersal Gambar 21 menginformasikan bahwa hubungan antara salinitas dan
distribusi biomassa ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan Togean
berdasarkan empat zona yang ditentukan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kisaran salinitas pada zona 1 antara 34,44-34,61 psu dengan distribusi biomassa
antara 0,06-0,25 ton, zona 2 dengan kisaran salinitas antara 34,70-34,78 memiliki
distribusi biomassa antara 0,16-0,25 ton. Zona 3 merupakan zona yang meliliki
70
densitas distribusi biomassa ikan demersal tertinggi dari semua zona. Salinitas
pada zona ini berkisar antara 34,61-34,70 psu dengan distribusi biomassa pada
kisaran salinitas ini berkisar antara 0,16-1,34 ton, hal ini menunjukkan bahwa
wilayah di sekitar Kepulauan Togean dengan kisaran salinitas tersebut distribusi
biomassanya cukup baik. Sama seperti pada zona 1, kisaran salinitas pada zona 4
antara 34,44-34,61 psu dengan distribusi biomassa antara 0,06-0,25 ton.
Kecerahan merupakan gambaran penetrasi cahaya matahari yang masuk ke
dalam perairan, sehingga kecerahan dapat digunakan untuk menggambarkan
partikel tersuspensi suatu perairan. Suatu perairan dikatakan keruh jika memiliki
nilai kecerahan rendah dan sebaliknya perairan dikatakan jernih jika nilai
kecerahan tinggi. Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel lumpur tidak
dikehendaki karena dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam
perairan dan juga dapat mengganggu organisme yang hidup di dalamnya. Makin
cerah suatu perairan maka semakin jauh penetrasi cahaya matahari ke dalam
perairan tersebut sehingga mempengaruhi kehidupan organisme laut (contoh :
terumbu karang dan padang lamun). Organisme karang untuk pertumbuhannya
(proses fotosintesis) menjadi lebih baik jika nilai kecerahan perairan tinggi.
Demikian pula halnya dengan padang lamun membutuhkan cahaya matahari
untuk perkembangannya. Apabila organisme karang dan padang lamun
berkembang dengan baik karena kecerahan air, maka hal ini secara langsung
maupun tidak langsung akan memberikan dampak yang positif pada keberadaan
ikan demersal yang dalam siklus hidupnya tergantung pada karang dan padang
lamun.
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan
oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut, dan pasang surut (Nontji 2002).
Gerakan arus laut merupakan resultan dari beberapa gaya yang bekerja serta
pengaruh dari beberapa faktor. Gross (1990) menyatakan ada dua jenis gaya yang
bekerja atau berpengaruh sehingga terjadinya arus yaitu gaya eksternal dan
internal. Gaya eksternal antara lain angin, perbedaan tekanan udara, gaya
gravitasi, gaya tektonik serta gaya tarik matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh
tekanan dasar laut. Gaya internal antara lain perbedaan densitas air laut, gradien
tekanan mendatar dan gesekan lapisan air. Arus mempengaruhi penyebaran
71
organisme laut seperti plankton yang hidup melayang di bawah permukaan air dan
mempunyai kemampuan gerak terbatas, sehingga selalu terbawa oleh arus
(Nybakken 1992). Meskipun secara umum arah arus di Kepulaun Togean menuju
ke arah barat, namun kecepatan arus tersebut berbeda untuk masing-masing
kedalaman. Pada kedalaman 0 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara
0,11 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,16 m/det; zona 2
kecepatan arus berkisar antara 0,07 m/det sampai 0,30 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,18 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,02 m/det sampai 0,13
m/det dengan kecepatan rata-rata 0,07 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar
antara 0,13 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,17 m/det.
Kedalaman 10 m untuk zona 1 kecepatan arus berkisar antara 0,21 m/det sampai
0,4 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar
antara 0,05 m/det sampai 0,23 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,14 m/det; zona
3 kecepatan arus berkisar antara 0,09 m/det sampai 0,22 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,15 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,17 m/det sampai 0,33
m/det dengan kecepatan rata-rata 0,25 m/det. Kedalaman 20 m, untuk zona 1
kecepatan arus berkisar antara 0,13 m/det sampai 0,50 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,31 m/det; zona 2 kecepatan arus berkisar antara 0,11 m/det sampai 0,46
m/det dengan kecepatan rata-rata 0,28 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar
antara 0,09 m/det sampai 0,54 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,31 m/det; zona
4 kecepatan arus berkisar antara 0,17 m/det sampai 0,24 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,20 m/det. Kedalaman 30 m, untuk zona 1 kecepatan arus berkisar
antara 0,09 m/det sampai 0,34 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,21 m/det; zona
2 kecepatan arus berkisar antara 0,26 m/det sampai 0,51 m/det dengan kecepatan
rata-rata 0,38 m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,04 m/det sampai 0,34
m/det dengan kecepatan rata-rata 0,19 m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar
antara 0,22 m/det sampai 0,30 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,26 m/det
Kedalaman 40 m, untuk zona 1 karena kedalaman perairan kurang dari 40 meter
maka pengukuran kecepatan untuk zona ini tidak dilakukan; zona 2 kecepatan
arus berkisar antara 0,12 m/det sampai 0,58 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,35
m/det; zona 3 kecepatan arus berkisar antara 0,04 m/det sampai 0,52 m/det dengan
kecepatan rata-rata 0,29 m/det; zona 5 kecepatan arus berkisar antara 0,30 m/det
72
sampai 0,53 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,41 m/det. Kedalaman 50 m,
untuk zona 1 dan 2 karena kedalaman perairan kurang dari 50 m, pengukuran
kecepatan arus untuk kedua zona ini tidak dilakukan; zona 3 kecepatan arus
berkisar antara 0,02 m/det sampai 0,17 m/det dengan kecepatan rata-rata 0,09
m/det; zona 4 kecepatan arus berkisar antara 0,20 m/det sampai 0,28 m/det dengan
kecepatan rata-rata 0,24 m/det. Kecepatan arus mempunyai peran penting dalam
pengoperasian suatu alat tangkap ikan baik pada saat penawuran (setting), posisi
alat tangkap dalam perairan dan pada saat penarikan (hauling). Pada saat setting,
apabila kecepatan arus terlalu besar maka akan menyebabkan alat tangkap tidak
tepat pada posisi yang diinginkan. Selanjutnya, posisi alat tangkap dalam perairan
akan tidak stabil apabila kecepatan arus terlalu besar, misalnya posisi jaring
insang dasar tidak akan berdiri tegak seperti yang diharapkan. Demikian pula
pada saat hauling, alat tangkap akan terpuntal atau kusut. Berdasarkan hasil
pengukuran kecepatan arus pada dasar perairan di Kepulauan Togean diperoleh
kecepatan arus rata-rata 0,2 m/det. Nilai tersebut tergolong dalam kecepatan arus
lemah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kecepatan arus pada musim itu baik
untuk kegiatan operasi penangkapan ikan demersal.
Kelimpahan plankton dalam suatu perairan merupakan indikator bahwa
perairan tersebut subur. Namun sebaliknya apabila kelimpahan plankton ini di
suatu perairan berlebihan, maka perairan tersebut menjadi tidak subur lagi
(Romimohtarto dan Juwana 1999). Karena plankton yang secara tiba-tiba
melimpah (blooming) akan menjadi racun untuk organisme lain (ikan).
Kelimpahan plankton yang diperoleh di Kepulauan Togean secara umum dapat
dikatakan bahwa perairan tersebut subur. Dinamika perubahan jumlah kelimpahan
plankton (zoo dan phyto) untuk setiap stasiun sangat bervariasi, pada stasiun 3, 4
dan 16 jumlah fitoplankton jauh lebih besar (7586-10264 sel/liter) dibanding
dengan zooplankton pada stasiun-stasiun tersebut yang hanya berkisar antara 626-
2615 sel/liter, sedangkan untuk stasiun pengamatan lainnya dinamika perubahan
kelimpahan jumlah fitoplankton dan zooplankton cukup seimbang.
Salah satu sumberdaya hayati yang mempunyai peran dalam ekosistem
laut adalah plankton. Keberadaan plankton sangat mempengaruhi kehidupan
diperairan karena memegang peran penting sebagai makanan bagi berbagai
73
organisme laut. diantara tumbuhan bahari, fitoplankton yang mengikat bagian
terbesar dari energi walaupun fitoplankton hanya menghuni suatu lapisan
permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari.
Target ikan demersal yang terdeteksi dalam penelitian ini tidak terlalu
dipengaruhi oleh fluktuasi suhu maupun salinitas. Ikan-ikan demersal tidak akan
melakukan ruaya hanya karena perubahan fluktuasi suhu dan salinitas karena ikan
demersal lebih dipengaruhi oleh kondisi substrat yang mempengaruhi
ketersediaan makanan. Jenis substrat dasar perairan juga mempengaruhi jenis
hewan laut yang dapat hidup pada atau di dalam dasar laut ini. Bermacam-macam
dasar perairan yang umum kita jumpai adalah lumpur, pasir, batu atau cadas dan
tumpukan benda buatan manusia (Pujiati 2008).
Lingkungan yang terdiri dari lumpur ini menimbulkan masalah bagi
hewan-hewan yang hidup di sini, karena partikel-partikel lumpur dapat menembus
sistem pernafasan hewan-hewan tersebut dan menyebabkan penyumbatan.
Kandungan oksigen di lingkungan ini rendah, karena partikel-partikel lumpur ini
padat dan tidak meninggalkan rongga-rongga untuk oksigen berada di lumpur
sehingga tidak ada pertukaran oksigen dengan udara. Zat-zat organik yang
membusuk, yang terdapat disana juga menghabiskan oksigen (Romimohtarto dan
Juwana 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pasir mempunyai ukuran partikel
yang lebih besar daripada partikel lumpur. Dasar pasir ini memungkinkan air
mengalir di antara partikel-partikel pasir sehingga ada pertukaran oksigen sampai
lapisan bawah dasar pasir. Gelombang memindahkan pasir saat menuju pantai.
Oleh sebab itu hewan yang hidup dilingkungan ini harus dilengkapi dengan
kemampuan yang mampu bergerak bersama butiran pasir ataupun merendam
dalam di bawah permukaan pasir.
Pantai bercadas atau berbatu merupakan lingkungan yang mudah bagi
banyak biota laut untuk menyesuaikan diri. Banyaknya kehidupan di lingkungan
ini menakjubkan. Ini disebabkan karena banyaknya lingkungan mikro (micro
environment), seperti lingkungan-lingkungan yang terdapat pada celah-celah
cadas, lubang-lubang, permukaan cadas, kubangan pasut dan sebagainya. Daerah
cadas ini memperoleh oksigenasi yang bagus, banyak makanan dan tempat
berlindung yang bagus.
74
Data dari satelit selama satu tahun di download dari citra satelit Aqua
MODIS yang bersih dari tutupan awan. Setelah data dipesan melalui NASA
Goddard Space Flight Center dengan pilihan media FTP (File Transfer Protocol)
Pull. Selanjutnya, data MODIS yang sudah diterima dari NASA diolah dengan
menggunakan perangkat lunak SeaDAS (SeaWiFS Data Analysis System) 4.7
under Linux. Proses pengolahan data Aqua MODIS dilakukan melalui beberapa
tahapan utama yaitu : (1) proses pengolahan level 1 ke level 2; (2) proses koreksi
geometrik; dan (3) proses pemotongan citra (cropping). Hasil sebaran klorofil-a
dan suhu permukaan laut (SPL) citra Aqua MODIS pada musim barat disajikan
pada Lampiran 1 dan 2.
Dari hasil analisis digital-visual terhadap citra komposit klorofil-a secara
delapan harian hasil pengolahan citra Aqua MODIS diketahui sebaran konsentrasi
klorofil-a di Teluk Tomini bervariasi menurut musim dan lokasi. Secara umum
konsentrasi klorofil-a selama satu tahun berkisar antara 0,1113 mg/m3 sampai
dengan 0,3496 mg/m3. Nilai konsentrasi klorofil-a hasil pengolahan citra Aqua
MODIS menurut musim dan lokasi secara lengkap disajikan pada Gambar 22.
Pada musim barat (bulan Desember) dan peralihan 2 (Oktober – Nopember)
konsentrasi klorofil-a di dalam Teluk Tomini lebih besar dibanding dengan di luar
teluk. Konsentrasi klorofil-a mencapai puncak pada musim timur (Juli – Agustus)
sedang terendah pada ditemukan pada musim barat (Nopember – Desember).
Lokasi perairan Teluk Tomini bagian luar terlihat memiliki konsentrasi klorofil-a
yang lebih tinggi (antara 0,1284 sampai dengan 0,3496 mg/m3) dibanding dengan
perairan di dalam Teluk Tomini (antara 0,1113 sampai dengan 0,1866 mg/m3).
Nilai SPL perairan Teluk Tomini berdasarkan citra komposit delapan
harian Aqua MODIS selama setahun berkisar antara 27,1 – 30,3 0C. SPL paling
rendah (27,1 0C) terjadi pada bulan Agustus di perairan bagian luar Teluk Tomini,
sedangkan SPL tertinggi (30,3 0C) ditemukan pada bulan Maret di perairan bagian
dalam Teluk Tomini. Hasil analisis digital visual terhadap citra satelit terlihat
bahwa sepanjang tahun SPL pada bagian dalam teluk lebih hangat dibanding
dengan pada bagian luar teluk. Berdasarkan Gambar 22, terlihat bahwa SPL
berfluktuasi secara delapan harian dan juga bervariasi menurut region (dalam dan
luar teluk). SPL di dalam teluk lebih hangat dibanding dengan di luar teluk.
75
Gambar 22 Grafik fluktuasi konsentrasi rata-rata 8 harian klorofil-a dan SPL
Keadaan ini diduga karena perairan di dalam teluk lebih sedikit mendapat
pengaruh dari massa air dari luar teluk. Hasil kajian dengan menggunakan citra
satelit Aqua MODIS di perairan Kepulauan Togean terhadap suhu permukaan laut
dan sebaran klorofil-a yang dilakukan oleh CII (2007) tercatat bahwa distribusi
spasial suhu permukaan laut di perairan sebelah utara lebih rendah dari bagian
selatan.
75
4.2 Sebaran dan Stok Ikan Demersal
4.2.1 Target strength ikan tunggal
Data target strength ikan tunggal yang diperoleh melalui portable
SIMRAD EY 500 dengan echosunder model split beam system pada pelayaran di
perairan sekitar Kepulauan Togean terintegrasi dari kedalaman 5-100 meter pada
7 leg. Variasi nilai target strength (TS) ikan tunggal mulai dari -60dB sampai
dengan -30 dB. Nilai ini diperoleh dari analyse bottom layers setinggi 10 meter
dari dasar perairan, dengan anggapan bahwa ikan demersal dalam distribusi
vertikalnya dapat mencapai 10 meter dari dasar perairan. Total target strength
ikan tunggal sebanyak 8375 ekor ikan demersal dan didominasi oleh ukuran (-
60∼-57 dB) dan (-57~-54) sejumlah masing-masing 2291 dan 2047 ekor dari total
ikan yang terdeteksi. Ukuran ini dapat dikatakan sebagai anak ikan karena
ukurannya yang relatif kecil (< 5 cm), sehingga dalam perhitungan selanjutnya
ukuran ini tidak diikutsertakan. Ukuran yang dianalisis dalam tulisan ini adalah
ikan demersal dengan nilai target strength – 51 dB sampai dengan – 33 dB
sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 6 berikut. Secara keseluruhan jumlah
ikan tunggal yang terdeteksi pada selang ini adalah sebesar 2650 ekor.
Tabel 6 Jumlah ikan tunggal (ekor) pada setiap trip serta persentasi komposisinya Nilai target strength dan rata-rata nilai konversi (cm) Leg -51
(6,68) -48
(9,44) -45
(13,34) -42
(18,84) -39
(26.61) -36
(37,58) -33
(53,09)
Total
1 46 (43,81) 33 (31,43) 12 (11,43) 8 (7,62) 5 (4,76) 1 (0,95) 0 (0) 105 (100)
2 128 (44,29) 88 (30,45) 36 (12,46) 27 (9,34) 7 (2,42) 2 (0,69) 1 (0,35) 289 (100)
3 96 (41,03) 66 (28,21) 38 (16,24) 26 (11,11) 4 (1,71) 3 (1,28) 1 (0,43) 234 (100)
4 255 (44,66) 137 (23,99) 96 (16,81) 53 (9,29) 23 (4,03) 6 (1,05) 1 (0,18) 571 (100)
5 254 (43,87) 164 (28,32) 111 (19,17) 29 (5,01) 16 (2,76) 3 (0,25) 2 (0,35) 579 (100)
6 195 (35,33) 152 (27,54) 119 (21,56) 49 (8,88) 25 (4,53) 11 (1,99) 1 (0,18) 552 (100)
7 166 (51,88) 81 (25,31) 46 (14,38) 23 (7,19) 1 (0,31) 3 (0,94) 0 (0) 320 (100)
Total 1140 721 458 215 81 29 6 2650
Berdasarkan nilai selang target strength masing-masing leg pada Tabel 6,
tergambar bahwa pada leg 4,5,dan 6 merupakan leg yang tinggi jumlah ikan
tunggal (>500 ekor), sedangkan pada trip 1 merupakan leg yang rendah jumlah
ikan tunggalnya (< 110 ekor). Komposisi ikan demersal terbanyak pada nilai TS
antara -51 dB dan -48 dB atau didominasi oleh ukuran ikan yang panjangnya < 10
76
cm dan komposisi tersebut berkurang dengan bertambah besarnya ukuran ikan.
Hal ini sesuai dengan fenomena piramida makanan dimana ikan demersal kecil
sebagai mangsa (prey) memiliki ketersediaan lebih banyak dibanding dengan ikan
demersal yang lebih besar sebagai pemangsa (predator).
Proses konversi panjang ikan dugaan dari nilai TS dilakukan dengan
menggunakan persamaan 15 dengan nilai konstanta –67,5 dB. Besaran nilai
konstanta untuk ikan-ikan dengan gelembung renang tertutup (physoclist)
berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan oleh Foote (1987), dengan asumsi
bahwa ikan-ikan dengan gelembung renang tertutup di perairan sekitar Kepulauan
Togean mengikuti persamaan dari hasil penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya untuk ikan-ikan dengan gelembung renang tertutup.
Persamaan panjang berat yang dipakai dalam proses konversi panjang
berat ikan demersal dari panjang ikan dugaan adalah ikan demersal yang dominan
tertangkap di perairan sekitar Kepulauan Togean yaitu kakap merah (Lutjanus
sanguineus). Persamaan pada Gambar 23 menginformasikan bahwa pertumbuhan
dari ikan tersebut dinamakan pertumbuhan allometrik (Effendie 2002).
Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila nilai b > 3 menunjukkan bahwa ikan itu
montok.
W = 0.01 L3.02
R2 = 0.96
0100200300400500600700800900
1000
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45
L (cm)
W (g
r)
Gambar 23 Hubungan panjang berat ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus)
Hubungan panjang berat yang ditunjukkan pada Gambar 23 ikan kakap
merah memiliki persamaan W = 0,01L3,02 dengan konversi adalah cm menjadi
77
gram, persamaan inilah yang dipakai dalam proses perhitungan biomassa total
ikan demersal di Kepulauan Togean. Biomassa total ikan demersal dimaksud
adalah jumlah biomassa (ton) ikan demersal pada setiap leg.
4.2.2 Densitas kelompok ikan
Sebaran dan kelimpahan ikan demersal di perairan sekitar Kepulauan
Togean yang diamati pada cruise track sepanjang 145,1002 mil laut (nm) dengan
luas area sekitar 301,5 nm2 terbagi dalam 7 leg. Data yang terkumpul dari hasil
akuisisi dianalisis menggunakan software EP500 dengan EDSU (elementary
distance sampling unit) sepanjang 0,5 nm. Untuk mendapatkan rata-rata sebaran
densitas kelompok ikan demersal, maka pada analyse bottom layers ditetapkan 10
meter dari dasar perairan. Hal ini karena ikan demersal dalam distribusi
vertikalnya dapat mencapai 10 meter dari dasar perairan. Leg, jumlah ESDU, dan
densitas rata-rata yang diperoleh untuk setiap leg ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Leg, jumlah ESDU dan densitas ikan demersal (ikan/m3) pada setiap leg
Leg Jumlah Volume densitas (ikan/m3) Rata-rata ESDU Minimum Maximum (ikan/m3)
1 26 0,06 1,59 0,54 2 41 0,13 1,98 0,65 3 31 0,05 1,41 0,54 4 51 0,12 1,72 0,71 5 27 0,10 2,03 0,69 6 46 0,02 1,73 0,81 7 38 0,04 1,98 0,76
Total 260 0,07 1,18 0,67
Rata-rata densitas ikan demersal yang ditunjukkan pada Tabel 7 jika
dibandingkan dengan hasil kajian dari FKPPS (Forum Koordinasi Pengelolaan
dan Penangkapan Sumberdaya) Direktorat Jenderal Perikanan yang dilaporkan
oleh Boer et al. (2001) untuk WPP 716 (Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut
Seram) yang mempunyai luas sebaran 81.000 km2 adalah sebesar 2,07 ton/km2,
sedangkan untuk hasil kajian ini dugaan densitas ikan demersal adalah sebesar
0,18 ton/km2 dari luasan sebesar 1034 km2, dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa densitas ikan demersal di Kepulauan Togean jauh lebih kecil.
78
4.2.3 Dugaan biomassa ikan demersal
Satuan yang digunakan untuk dugaan stok ikan secara keseluruhan yang
diperoleh dari hasil perhitungan metode akustik adalah ton. Nilai biomassa ini
merupakan nilai biomassa yang mewakili area 301,5 nm2. Dari hasil tersebut
didapatkan biomassa total ikan demersal yang terdeteksi di perairan sekitar
Kepulauan Togean adalah 30,04 ton seperti ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8 Panjang leg, biomassa ikan demersal dan persentasenya pada tiap leg
Leg Panjang leg (nm) Biomassa (ton) Persentase 1 14,02 3,43 11,43 2 22,62 3,56 11,83 3 17,43 2,05 6,84 4 27,95 5,38 17,91 5 17,56 4,60 15,30 6 24,53 7,97 26,53 7 20,98 3,05 10,16
Total 145,10 30,04 100,00
Nilai biomassa yang ditunjukkan pada Tabel 8 hampir merata pada setiap
panjang leg yang berbeda meskipun pada leg tiga merupakan biomassa yang
paling kecil yakni 2,05 ton pada panjang leg 17,43 nm atau 6,84 % dari total
biomassa. Leg empat, lima dan enam merupakan biomassa yang paling besar
dengan nilai biomassa masing-masing 5,38 ton, 4,60 ton dan 7,79 ton atau 17,91
%, 15,30 % dan 26,53 % dari total biomassa ikan demersal yang ada di Kepulauan
Togean. Tabel 8 juga menunjukkan bahwa panjang leg tidak dibarengi dengan
besarnya nilai biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean. Leg satu memiliki
panjang leg yang paling rendah (14,02 nm) dan leg ke empat merupakan panjang
leg tertinggi (27,95) dari ke tujuh leg yang ada namun keduanya bukan
merupakan biomassa terendah dan tertinggi.
79
4.2.4 Pembahasan
Persentase jumlah ikan tunggal berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa
populasi ikan tunggal dengan ukuran panjang dibawah 10 cm (kisaran ukuran 6,68
– 9,44 cm) sebesar 70,23 % dan sisanya ikan dengan ukuran di atas 10 cm hingga
53,09 cm sebesar 29,77 % dari jumlah total ikan tunggal yang terekam selama
penelitian. Kordi (2005) melaporkan bahwa ukuran ikan yang siap diperdagang-
kan (ukuran konsumsi) adalah 300-500 gram per ekor atau identik dengan ukuran
panjang ikan sekitar 13 cm (untuk yang 250-300 gram). Apabila ukuran ini
dikaitkan ke nilai konversi pada Tabel 6 maka ukuran panjang ikan komersial
adalah 13,34 cm yang sama dengan nilai TS ikan demersal yakni – 45 dB.
Meskipun persentasi ikan demersal ukuran kecil (<10 cm) lebih dominan dari
ukuran konsumsi namun tidak menutup kemungkinan untuk pemanfaatan ikan
demersal tetap dilakukan diperairan tersebut. Hanya saja, perlu penerapan prinsip
kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya demersal di Kepulauan Togean
perlu dilakukan. Adanya komposisi ukuran juvenil yang dominan dan ukuran
konsumsi yang relatif sedikit mengindikasikan bahwa fenomena ini diduga terkait
dengan dugaan musim pemijahan yang berlangsung pada saat itu. Oleh
karenanya, pada musim pemijahan sebaiknya tidak dilakukan operasi
penangkapan ikan, ataupn kalau dilakukan penangkapan ikan sebaiknya perlu
memperhatikan tingkat selektivitas alat tangkap yang digunakan. Misalnya mata
jaring dan ukuran mata kail yang lebih diperbesar sehingga ikan-ikan yang
tertangkap adalah ikan-ikan ukuran konsumsi.
Adanya perbedaan hasil kajian ini dengan yang dilakukan oleh Boer et al.
(2001), karena kajian ini disamping mencakup luasan perairan yang berbeda juga
sumber data yang diolah berbeda. Penelitian ini menggunakan data akustik yang
langsung diukur pada saat itu dengan cakupan luasan terbatas (sekitar Kepulauan
Togean), sedangkan kajian yang dilakukan oleh Boer et al. (2001) menggunakan
data time series yang dikeluarkan oleh DKP dengan cakupan luasan yang lebih
besar meliputi seluruh WPP 716 yang meliputi Laut Maluku, Teluk Tomini dan
Laut Seram.
80
Dugaan biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean dengan
`menggunakan metode hidro akustik seperti ditunjukkan pada Tabel 8 yang
kemudian dengan menggunakan perangkat lunak surfer versi 8 di plot dalam peta
sebaran biomassa seperti yang ditunjukkan pada Gambar 24.
20200
121.8 122.0 122.2 122.4
Bujur Timur
0.6
0.4
0.2
Lint
ang
Sela
tan
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
P.Teloga
P.WaleabahiP.Waleakodi
P.TaloehP.Melingi
P.Langkara
P.TongkabuP.Pangempan
Talatakoh
Batudaka
Benteng
TOGIAN
Palada
SKALA 1 : 1 000 000
Biomassa (ton) 0.004 to 0.270 0.270 to 0.536 0.536 to 0.803 0.803 to 1.069 1.069 to 1.336
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Zona 4
Gambar 24 Peta distribusi biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean
Distribusi biomassa ikan demersal di Kepulauan Togean pada Gambar 24
memperlihatkan cukup merata, pada zona 1 bagian utara pulau Togean distribusi
biomassa ikan demersal cukup bervariasi antara 0,27 sampai 1,07 ton dengan rata-
rata distribusi biomassa ikan demersal 0,67 ton dan lebih terkonsentrasi antara
pulau Tongkabu dan pulau Langkara dimana daerah ini merupakan daerah
penangkapan untuk alat tangkap pancing dasar dan bubu. Pada bagian timur pulau
Waleabahi (zona 2) distribusi biomassa ikan demersal tergolong rendah antara
0,004 sampai 0,54 ton dengan rata-rata distribusi biomassa ikan demersal 0,29 ton
dimana wilayah ini hanya dapat dilakukan penangkapan dengan alat tangkap
pancing dasar. Distribusi biomassa ikan demersal pada zona 3 tergolong paling
tinggi dari keempat zona dan distribusi biomassa ikan demersal pada zona ini
berkisar antara 0,54-1,34 ton dengan rata-rata distribusi biomassa ikan demersal
0,94 ton. Zona 3 yang terletak antara tiga pulau yaitu Waleabahi, Waleakodi dan
Talatakoh merupakan daerah penangkapan yang sesuai untuk semua alat tangkap
ikan demersal yang ada di Kepulauan Togean karena wilayah ini cukup terlindung
81
dari hempasan angin dan gelombang disamping itu zona ini memiliki kedalaman
perairan cukup dalam dan merupakan perairan yang menjorok kedalam diantara
tiga pulau tersebut sehingga membentuk teluk yang cukup luas.
Sama seperti pada zona 2, zona 4 yang terletak pada bagian selatan antara
pulau Talatakoh dan Togean memiliki distribusi biomassa ikan demersal yang
tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,27 ton sampai dengan 0,54 ton dengan
rata-rata distribusi biomassa ikan demersal 0,40 ton. Alat tangkap yang beroperasi
pada zona 4 ini adalah pancing dan jaring insang dasar.
Berdasarkan informasi yang ada (dari nelayan penangkap ikan demersal)
maka dapat diprediksi daerah penangkapan ikan lokal seperti ditunjukkan pada
Gambar 25. Sebagai alat tangkap yang dominan, pancing dasar tersebar pada
masing-masing zona.
26
62
45
1162
43
5171
81
53
41
80
51
59
1140
79
80
1785
200200
P.Teloga
P.WaleabahiP.Waleakodi
P.TaloehP.Melingi
P.Langkara
P.TongkabuP.Pangempan
Talatakoh
Batudaka
Benteng
TOGIAN
Palada
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1516
121.80 122.00 122.20 122.40
Bujur Timur
0.56
0.36
0.16
Lint
ang
Sel
atan
SKALA 1 : 1 000 000
Zona 1 Zona 2
Zona 3
Zona 4
Pc
Bubu
Bubu
Pc JID
JID
Pc
Pc
Gambar 25 Peta prediksi daerah penangkapan ikan lokal
Informasi dari Gambar 25 apabila dikaitkan dengan distribusi biomassa
ikan demersal hasil kajian akustik terlihat bahwa daerah penangkapan ikan lokal
sangat cocok dimana zona 3 merupakan daerah penangkapan yang baik karena
disamping distribusi biomassa ikan demersal yang tinggi juga daerah tersebut
cukup terlindung sehungga nelayan lebih leluasa dalam mengoperasikan alat
tangkap.
82
4.3 Analisis Fishing Capacity
4.3.1 Armada penangkapan
Kepulauan Togean yang terletak di kawasan Teluk Tomini memiliki
sumber daya perikanan yang cukup melimpah. Meskipun letaknya agak terisolir
dari ibu kota kabupaten Tojo Una-una (Ampana) provinsi Sulawesi Tengah,
namun aktivitas di Kepulauan Togean akhir-akhir ini cukup ramai. Ramainya
aktivitas di Kepulauan ini ditandai dengan banyaknya kapal/perahu yang lalu
lalang dari dan menuju Kepulauan Togean. Angkutan laut yang berasal dari
Ampana, Pagimana dan Gorontalo cukup lancar. Sehingga terlihat banyak
wisatawan domestik maupun mancanegara yang bepergian ke Kepulauan Togean
untuk melihat keindahan alam laut (terumbu karang) di sana yang tergolong masih
baik meskipun pada beberapa tempat mengalami kerusakan yang cukup serius
akibat penangkapan ilegal yang menggunakan bom dan racun.
Seperti halnya masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil,
masyarakat Kepulauan Togean sebagian besar bermata pencaharian sebagai
nelayan. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa karakteristik armada
penangkap maupun alat tangkap yang digunakan masih tergolong sederhana. Hal
ini ditandai dengan ukuran perahu dan alat tangkap yang relatif kecil dan daya
jangkau yang terbatas. Meskipun demikian untuk perikanan pelagis kecil (soma
pajeko) dan pelagis besar (pancing tuna) perkembangannya cukup signifikan.
Berdasarkan data statistik perikanan tangkap provinsi Sulawesi Tengah,
perkembangan jumlah nelayan, armada penangkap dan jumlah hari melaut (trip)
di kawasan Kepulauan Togean dalam 5 (lima) tahun terakhir mengalami
peningkatan masing-masing sebesar 2486 orang, 2668 unit dan 143,275 trip pada
tahun 2001 menjadi 2714 orang, 2871 unit dan 225,875 pada tahun 2005. Hal ini
mengindikasikan bahwa penambahan jumlah nelayan, armada penangkap dan
jumlah hari melaut (trip) tidak terkontrol sehingga kemungkinan akan
berpengaruh pada keberadaan stok ikan yang laju perkembang-biakannya tidak
sebanding dengan laju tingkat eksploitasi terhadap sumber daya tersebut.
Perkembangan jumlah nelayan, armada penangkap dan trip penangkapan
ditunjukkan pada Tabel 9
83
Tabel 9 Perkembangan jumlah nelayan, armada penangkap dan trip periode 2001 -2005 di Kepulauan Togean
Tahun Nelayan (orang) Armada (unit) Hari melaut (trip)
2001 2486 2668 143,275
2002 2593 2721 155,361
2003 2669 2795 195,850
2004 2681 2822 197,600
2005 2714 2871 225,875
Fluktuasi (%) 1,77 1,48 9,53
Sumber : DKP Sulawesi Tengah (2006) (diolah)
Meskipun fluktuasi perkembangan jumlah armada rendah (1,48 %) namun
jumlah nelayan dan hari melaut (trip) fluktuasi perkembangannya meningkat
secara signifikan. Ini menginformasikan bahwa pada kurun waktu lima tahun
terakhir pertambahan nelayan, armada dan trip penangkapan yang begitu pesat di
Kepulauan Togean akan berdampak pada keberadaan sumber daya demersal yang
ada disana. Oleh karenanya, pengelolaan sejak awal mutlak dilakukan di wilayah
ini. Secara jelasnya perkembangan jumlah armada penangkap di Kepulauan
Togean di sajikan pada tabel berikut
Tabel 10 Perkembangan armada penangkapan di Kepulauan Togean selang tahun 1998 -2005.
Satuan : unit Tahun Tanpa motor Motor tempel Kapal motor Jumlah 1998 1242 547 3 1792 1999 1349 653 6 2008 2000 1493 812 8 2313 2001 1638 1018 5 2661 2002 1627 1085 9 2721 2003 1702 1067 8 2777 2004 1744 1050 9 2803 2005 1791 1071 6 2868
Fluktuasi (%) 4,68 8,76 9,05 6,05 Sumber : DKP Sulawesi Tengah (2006) (diolah)
Fluktuasi masing-masing armada penangkap selang tahun 1998-2005
mengalami perubahan yakni perahu tanpa motor terjadi peningkatan sebesar 4,68
%, perahu motor tempel 8,76 % dan kapal motor 9,05 %. Secara keseluruhan
84
perkembangan dari armada penangkap yang ada di Kepulauan Togean
mengalami peningkatan sebesar 5,93 %.
Dimensi utama dari sebuah perahu/kapal penangkap yang umum
digunakan adalah panjang (L, length), lebar (B, breadth) dan dalam (D, depth).
Dimensi utama inilah yang nantinya dapat digunakan dalam menentukan tonase
dari perahu/kapal tersebut. Hasil pengukuran dimensi utama perahu/kapal
penangkap ikan demersal di Kepulauan Togean disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Dimensi utama dari perahu/kapal penangkap ikan demersal
Dimensi utama perahu/ kapal penangkap (m) No. L B D
Alat tangkap yang digunakan
Tenaga pendorong
Jumlah seukuran
1 12,86 1,50 0,94 Jaring dan pancing Mtr tempel (2 buah) 4 2 11,90 1,25 0,85 Jaring dan pancing Mtr tempel (2 buah) 6 3 10,52 1,00 0,82 Jaring Katinting (2 buah) 5 4 9,78 1,00 0,80 Jaring dan Bubu Katinting (2 buah) 4 5 8,67 1,00 0,79 Pancing dan Bubu Katinting (1 buah) 4 6 7,53 0,96 0,77 Pancing dan Jaring Katinting (1 buah) 5 7 6,89 0,89 0,73 Pancing dan Jaring Katinting (1 buah) 3 8 6,20 0,84 0,70 Jaring dan Pancing Katinting (1 buah) 3 9 5,57 0,81 0,66 Jaring Katinting (1 buah) 5
10 5,11 0,78 0,64 Pancing Katinting (1 buah) 6 11 4,59 0,75 0,60 Pancing Dayung 4 12 3,97 0,67 0,57 Pancing Dayung 4
Sumber : Data hasil survei
Ukuran perahu/kapal penangkap ikan demersal di sekitar Kepulauan
Togean seperti pata Tabel 11 di atas terlihat cukup bervariasi mulai dari 4 m
sampai dengan 13 m panjangnya dan sebagian besar telah dilengkapi dengan
mesin pendorong. Mesin pendororng motor tempel (25 PK), motor ”katinting”
umumnya berkekuatan 5,5 PK. Secara rata-rata ukuran perahu/kapal yang
beroperasi di perairan sekitar Kepulauan Togean adalah 8,50 m (L) dan 1,00 m
(B) serta 0,75 m (D).
Alat penangkapan ikan demersal di daerah ini terdiri dari 6 jenis yaitu :
pukat pantai, jaring insang dasar, rawai dasar, pancing ikan dasar, bubu dan sero
namun pada beberapa tahun terakhir ini beberapa alat tangkap tidak lagi
beroperasi di Kepulauan Togean seperti pukat pantai dan sero. Alat tangkap rawai
dasar biasanya dioperasikan di luar perairan Kepulauan Togean karena bobot
kapal yang digunakan tergolong cukup besar (30 GT) dan hasil tangkapannya
tidak tercatat di Kepulauan Togean. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya
85
tentang alat tangkap ikan demersal hanya difokuskan pada jaring insang dasar
(bottom gillnet), pancing ikan dasar (vertical bottom handline) dan bubu (trap).
4.3.2 Alat tangkap
Alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan demersal di
Kepulauan Togean cukup bervariasi yang terdiri dari pukat pantai, jaring insang
dasar, pancing dasar, rawai, sero dan bubu. Meskipun pada beberapa tahun-tahun
terakhir beberapa alat tangkap sudah tidak beroperasi lagi. Secara rinci
perkembangan alat tangkap di Kepulauan Togean ditunjukkan pata Tabel 12 .
Tabel 12 Perkembangan jumlah unit penangkapan ikan demersal di Kepulauan Togean
Tahun PP JID PcD RwT Bb Sr 1998 13 84 755 11 7 2 1999 12 85 804 10 12 2 2000 10 92 717 11 18 2 2001 6 98 644 12 13 1 2002 5 93 625 11 6 1 2003 1 49 633 9 7 2 2004 2 97 947 4 14 2 2005 1 102 1120 8 8 1
Fluktuasi - 27,43 2,46 5,05 -3,90 1,68 -8,30 Keterangan :
PP = pukat pantai JID = jaring insang dasar PcD = pancing dasar RwT = rawai tetap Bb = bubu Sr = sero
Berdasarkan informasi pada Tabel 12 menunjukkan bahwa dari keenam
alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kepulauan Togean selama tahun
1998 – 2005 terdapat 3 alat tangkap yang mengalami penurunan yaitu pukat
pantai, rawai tetap dan sero masing-masing sebesar 27,43 %, 3,90 % dan 8,30 %.
Yang mengalami peningkatan yaitu jaring insang dasar sebesar 2,46 %, pancing
dasar sebesar 5,05 % dan bubu sebesar 1,68 %.
Analisis dan pemahaman tentang fishing capacity di perairan sekitar
Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah lebih rinci digambarkan dengan teknik DEA
(data envelopment analysis). Analisis yang dilakukan berdasarkan periode tahun
1998 hingga 2005 untuk perbandingan efisiensi antar jenis alat tangkap dengan
pendekatan input yang bersifat constant return to scale (CRS) dan analisis
86
efisiensi jenis alat tangkap yang sama dengan pendekatan output yang bersifat
variable return to scale (VRS).
4.3.3 Penilaian efisiensi jangka panjang (antar waktu)
Pengukuran fishing capacity dapat dilakukan dalam jangka panjang dan
jangka pendek. Pengolahan DEA yang bersifat jangka panjang digunakan data
time series dan sebagai decision making unit (DMU) adalah tahun. Variabel
output yang dipakai terdiri dari produksi aktual hasil tangkapan, sedangkan
variabel input yang digunakan meliputi effort (trip) rata-rata per tahun. Hasil
pengolahan data ini akan memberikan informasi mengenai status input yang
digunakan untuk mencapai efisiensi mutlak.
Aktivitas penangkapan ikan demersal di sekitar Kepulauan Togean dalam
8 tahun terakhir berfluktuasi dalam hal tingkat efisiensinya. Sejak tahun 1998-
2002 terjadi kecenderungan penurunan tingkat efisiensi dan pada tahun-tahun
berikutnya (2003-2005) menunjukkan pola peningkatan tingkat efisiensi
penangkapan. Pada tahun 1999 aktivitas penangkapan memiliki nilai skor
efisiensi sama dengan 1 artinya effort yang dikeluarkan sesuai dengan hasil
tangkapan yang diperoleh. Fluktuasi tingkat efisiensi tahunan ikan demersal di
perairan sekitar Kepulauan Togean disajikan pada Gambar 26.
00.10.20.30.40.50.60.70.80.9
1
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Efis
iens
i
Gambar 26 Nilai efisiensi perikanan demersal di Kepulauan Togean
Gambar 26 menjelaskan bahwa dalam kurun waktu 8 tahun terakhir terjadi
tren nilai efisiensi ikan demersal dari tahun ke tahun cenderung menurun. Tingkat
87
efisiensi yang terbaik (mempunyai nilai sama dengan 1) terjadi pada tahun 1999,
ini menunjukkan bahwa pada tahun 1999 jumlah upaya yang dilakukan sebanding
dengan hasil tangkapan yang diperoleh.
Hasil perhitungan efisiensi relatif perikanan demersal dapat digunakan
untuk mengetahui kondisi pemanfaatan ikan demersal di perairan Kepulauan
Togean dengan cara mengalikan effort aktual yang digunakan dengan efisiensi
relatif sehingga diperoleh kapasitas target. Perbandingan effort aktual dan effort
target perikanan demersal disajikan pada Tabel 13 dan dipresentasikan pada
Gambar 26.
Tabel 13 Skor efisiensi, effort aktual, effort target dan excess capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean
Tahun Skor Effort Effort Excess Capacity
Efisiensi Aktual Target Trip % 1998 0,98 825,20 815,39 -9,61 0,59 1999 1,00 835,00 835,00 0 0,00 2000 0,94 886,00 867,90 - 18,10 1,10 2001 0,86 912,00 743,52 - 168,48 10,26 2002 0,67 1011,00 611,36 - 399,64 24,34 2003 0,65 997,00 595,32 - 401,68 24,47 2004 0,68 974,00 640,29 - 333,71 20,33 2005 0,78 979,00 668,65 - 310,35 18,91
Secara umum Tabel 13 menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 – 2005 telah
terjadi excess capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean (kecuali pada
tahun 1999) tercatat jumlah effort aktual berada di atas effort target. Selang enam
tahun terakhir (2000-2005) terjadi peningkatan jumlah effort yang cukup besar
sehingga kapasitas meningkat cukup signifikan. Kelebihan input berupa upaya
tangkap terbesar terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 24,47 %. Lebih jelasnya
kelebihan effort aktual terhadap effort target disajikan pada Gambar 27.
88
Gambar 27 Perbandingan effort aktual dan effort target ikan demersal
0
200
400
600
800
1000
1200
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Effo
rt (t
rip)
Effort Aktual Effort Target
di Kepulauan Togean
Terlihat pada Gambar 27 bahwa selisih antara effort aktual dan effort target
sejak tahun 2001 hingga 2005 makin besar, yang mengindikasikan bahwa sejak tahun
tersebut telah terjadi excess capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean. Hal
ini dapat pula dilihat pada selisih antara effort target dan effort aktual yang bernilai
negatif. Kelebihan jumlah trip tersebut dapat menyebabkan tekanan yang besar
terhadap sumber daya sehingga dapat mengganggu proses rekruitmen. Jika jumlah
effort aktual sama dengan effort target maka akan terjadi efisiensi 100 %. Tahun
1998 merupakan tahun dimana jumlah effort aktual sama dengan effort target atau
nilai efisiensinya sama dengan 1, sehingga jumlah trip pada tahu tersebut dapat
digunakan sebagai acuan dalam penetapan kebijakan untuk tahun-tahun selanjutnya.
Enam jenis alat tangkap ikan demersal yang diuji tingkat efisiensinya yaitu
pukat pantai, jaring insang dasar, rawai dasar tetap, pancing ikan dasar, sero dan
bubu. Pukat pantai dan jaring insang dasar dikelompokkan pada alat tangkap yang
menggunakan jaring, rawai dasar tetap dan pancing ikan dasar untuk alat tangkap
yang menggunakan pancing selanjutnya yang dikelompokkan pada alat tangkap
perangkap yaitu sero dan bubu dengan asumsi masing-masing kelompok alat tangkap
mempunyai kemampuan tangkap yang sama. Hasil uji tingkat efisiensi masing-
masing kelompok alat tangkap tersebut kemudian di sajikan pada Gambar 28.
89
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
PP JID RwT PC Sero Bubu
Alat tangkap
Skor
efis
iens
i
Gambar 28 Efisiensi alat tangkap ikan demersal di Kepulauan Togean (PP, pukat pantai ; JID, jaring insang dasar ; RwT, rawai tetap;
PC, pancing dasar)
Gambar 28 memperlihatkan bahwa jaring insang dasar, pancing ikan dasar
dan bubu merupakan alat tangkap yang efisien karena memiliki skor efisiensi sama
dengan 1. Efisiensi terendah dimiliki oleh pukat pantai, rawai tetap dan sero yang
memiliki skor efisiensi masing-masing 22 %, 9 % dan 32 %.
4.3.2 Penilaian efisiensi jangka pendek (antar armada)
Analisis efisiensi DEA selain bersifat jangka panjang dengan variabel tahun
sebagai DMU, kajian ini juga mengukur efisiensi yang sifatnya jangka pendek.
Dalam menganalisis efisiensi jangka pendek, dilakukan dengan membandingkan
efisiensi antar kapal. Pada analisis ini yang menjadi DMU-nya adalah kapal jaring
insang dasar, rawai tetap, pancing dasar, sero dan bubu. Variabel input adalah lama
waktu penangkapan, jumlah trip/bulan, penggunaan BBM per trip dan panjang jaring
(untuk jaring insang dasar), jumlah mata pancing (untuk rawai dan pancing ikan
dasar), volume (untuk bubu), sedangkan variabel output yang digunakan adalah hasil
tangkapan masing-masing alat tangkap.
90
(1) Kapal jaring insang dasar
Input yang digunakan dalam analisis efisiensi mengunakan metode DEA
adalah lama opersi penangkapan (jam), effort (trip/bulan), penggunaan BBM per trip
(liter) dan panjang jaring (meter). Output yang digunakan adalah hasil tangkapan
yang diperoleh (kg) dan harga penjualan ikan hasil tangkapan (Rp). Apabila dari hasil
analisis DEA nilainya sama dengan 1, maka dapat disimpulkan bahwa input yang
digunakan telah efisien untuk memperoleh output yang diharapkan. Hasil analisis dari
30 unit kapal jaring dasar yang beroperasi di perairan Kepulauan Togean, sebanyak
33,30 % atau 10 unit mempunyai skor efisiensi sama dengan 1. Efisiensi diantara
0,70–0,79 sebanyak 3,30 % (1 kapal), efisiensi 0,80 – 0,89 sebanyak 60 % (18 kapal),
skor efisiensi 0,90 – 0,99 sebanyak 3,3 % (1 kapal). Lebih jelasnya disajikan pada
Gambar 29.
10
1
18
1000002
46
8
1012
1416
1820
0.30-0.39 0.40-0.49 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 0.90-0.99 efisien
Skor efis iensi
Jum
lah
kapa
l
Gambar 29 Distribusi skor efisiensi kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean
Rata-rata kapal jaring insang dasar memiliki nilai efisiensi cukup tinggi yakni
mencapai 33 % dari total jaring insang dasar yang dianalisis (Gambar 29). Kapal
jaring insang dasar dapat ditingkatkan efisiensinya dengan melakukan perubahan
terhadap input yang digunakan. Proyeksi perbaikan input masing-masing kapal jaring
insang dasar di Kepulauan Togean disajikan pada Lampiran 5. Persentase perbaikan
input kapal jaring insang ditunjukkan pada Gambar 30.
91
Lama panangkapan
Jumlah trip/bulan
BBM per trip
Panjang jaring
Lama panangkapan -69,19 %
Jumlah trip/bulan -11,09 %
BBM per trip -14,10 %
Panjang jaring -5,62 %
Gambar 30 Potensi perbaikan efisiensi kapal jaring insang dasar
Usaha perbaikan efisiensi kapal jaring insang dasar pada Gambar 30 dapat
dilakukan dengan mempersingkat waktu penangkapan 69,19 %, mengurangi jumlah
trip/bulan 11,09 % dan memangkas penggunaan BBM per trip 14,10 % dan
mengurangi panjang jaring sebesar 2,62 %.
Proyeksi perbaikan efisiensi untuk kapal jaring insang dasar dapat dilakukan
dengan merubah nilai input. Misalnya kapal jaring insang 2 (Lampiran 5) yang
memiliki efisiensi 89 % dapat ditingkatkan efisiensinya dengan mengurangi lama
waktu penangkapan sebesar 14,80 %, menguragi jumlah trip/bulan sebesar 3,00 %,
menekan penggunaan BBM sebesar 02,00 %, dan mengurangi panjang jaring sebesar
4,82 % seperti yang dicontohkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Proyeksi perbaikan kapal jaring insang dasar di Kepulauan Togean Nama Kapal Skor Parameter Data Aktual Target Selisih PersentasiKapal JID 2 0, 89 Lama panangkapan (jam) 5 4.26 -0.74 -14.80Jumlah trip/bulan 25 24.25 -0.75 -3.00BBM per trip (liter) 15 14.97 -0.03 -0.20Panjang jaring (meter) 40.02 38.09 -1.93 -4.82Biaya operasional (Rp) 185000 185000 0.00 0.00Keuntungan (Rp) 900000 900000 0.00 0.00
92
(2) Kapal rawai tetap
Dari 8 kapal rawai tetap yang berpangkalan di Kepulauan Togean hanya 3
kapal (37,5 %) yang memiliki skor efisiensi kurang dari 1, sehingga secara
keseluruhan alat tangkap ini dapat dikategorikan alat tangkap ikan demersal yang
baik. Sayangnya, pada beberapa tahun terakhir alat tangkap ini banyak beroperasi di
luar Kepulauan Togean. Keberadaanya di Kepulauan Togean hanya sebagai tempat
berlabuh. Distribusi skor efisiensi kapal rawai tetap di Kepulauan Togean disajikan
pada Gambar 31.
5
10
11
0000
1
2
3
4
5
6
0.30-0.39 0.40-0.49 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 0.90-0.99 efisien
Skor efisiensi
Jum
lah
kapa
l
Gambar 31 Distribusi skor efisiensi kapal rawai dasar tetap di Kepulauan Togean
Walaupun distribusi skor efisiensi yang ditunjukkan pada Gambar 30
tergolong baik dimana lima dari delapan kapal memiliki skor efisiensi 1, namun perlu
perbaikan input tertentu untuk menperoleh output (hasil tangkapan) yang maksimal.
Persentasi perbaikan input kapal rawai tetap di Kepulauan Togean ditujukkan pada
Gambar 32.
93
Gambar 32 Potensi perbaikan efisiensi kapal rawai tetap Berdasarkan Gambar 32 dapat dipahami bahwa untuk meningkatkan efisiensi
kapal rawai tetap dapat dilakukan dengan mengurangi lama penangkapan 16,55 %,
jumlah trip/bulan 10,11 % dan mengurangi penggunaan BBM sebesar 43,43 %,
pengurangan jumlah mata pancing sebesar 29,91 %. Proyeksi perbaikan input
masing-masing kapal rawai dasar tetap di Kepulauan Togean disajikan pada
Lampiran 6.
Proyeksi perbaikan efisiensi untuk kapal rawai dasar tetap dapat dilakukan
dengan merubah nilai input. Misalnya kapal Batudaka (Lampiran 6) yang memiliki
efisiensi 67 % dapat ditingkatkan efisiensinya dengan mengurangi lama waktu
penangkapan sebesar 30,89 %, menguragi jumlah trip/bulan sebesar 18,72 %,
menekan penggunaan BBM sebesar 53,56 %, dan mengurangi jumlah mata pancing
sebesar 23,92 % seperti yang dicontohkan pada Tabel 15.
Tabel 15 Proyeksi perbaikan kapal rawai dasar tetap di Kepulauan Togean Nama Kapal Parameter
Skor Data Aktual
Target
Selisih
Persentasi
Batudaka 0,67 Lama panangkapan (jam) 9 6.22 -2.78 -30.89Jumlah trip/bulan 25 20.32 -4.68 -18.72BBM per trip (liter) 110 51.08 -58.92 -53.56Jumlah mata pancing (buah) 100 76.08 -23.92 -23.92Biaya operasional (Rp) 333000 333000 0.00 0.00Keuntungan (Rp) 1362500 1362500 0.00 0.00
BBM per trip
Jumlah trip /bulan
Lamapanangkapan
Jumlah mata pancing
Lama panangkapan -16,55 %
Jumlah trip /bulan -10,11 %
BBM per trip -43,43 %
Jumlah mata pancing -29,91 %
94
(3) Kapal bubu
Kapal/perahu yang biasa digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap bubu
di Kepulauan Togean sebanyak 8 unit. Enam dari kapal yang ada memiliki tingkat
efisiensi yang baik (skor = 1). Ini mengindikasikan bahwa kapal yang digunakan
untuk melakukan operasi penangkapan ikan demersal dengan alat tangkap bubu dapat
di perairan Kepulauan Togean memiliki tingkat efisiensi yang baik. Dua kapal
lainnya memiliki skor efisiensi antara 0,80-0,89 dan 0,90-0,99 masing-masing
sebanyak 1 kapal. Distribusi skor efisiensi kapal bubu disajikan pada Gambar 33.
Gambar 33 Distribusi skor efisiensi kapal bubu di Kepulauan Togean
0000
6
1 100.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
0.30-0.39 0.40-0.49 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 0.90-0.99 efisien
kor efisiensi
Jum
lah
kapa
l
S
Gambar 33 menunjukkan distribusi skor efisiensi kapal bubu yang tergolong
memiliki tingkat efisiensi yang baik dimana enam dari delapan kapal memiliki skor
efisiensi = 1, namun beberapa input yang digunakan masih memerlukan perbaikan.
Proyeksi perbaikan input dari kapal bubu disajikan pada Lampiran 7. Sedangkan
persentase perbaikan yang dimaksud ditunjukkan pada Gambar 34.
95
Gambar 34 Potensi perbaikan efisiensi kapal bubu di Kepulauan Togean
Jumlah trip/bulan BBM per trip
Lama panangkapan Volume bubu
Lama panangkapan -29,19 %
Jumlah trip/bulan -17,09 %
BBM per trip -22,78 %
Volume bubu -30,94 %
Gambar 34 dapat diinformasikan bahwa untuk meningkatkan efisiensi kapal
bubu dapat dilakukan dengan mengurangi lama penangkapan 29,19 %, jumlah
trip/bulan 17,09 % dan penggunaan BBM sebesar 22,78 % serta memperkecil volume
bubu sebesar 30,94 %.
Proyeksi perbaikan efisiensi untuk kapal bubu dapat dilakukan dengan
merubah nilai input. Misalnya kapal bubu 3 (Lampiran 7) yang memiliki efisiensi 86
% dapat ditingkatkan efisiensinya dengan mengurangi lama waktu penangkapan
sebesar 11,50 %, menguragi jumlah trip/bulan sebesar 6,44 %, menekan penggunaan
BBM sebesar 17,92 %, dan mengurangi volume bubu sebesar 8,00 % seperti yang
dicontohkan pada Tabel 16.
Tabel 16 Proyeksi perbaikan kapal bubu di Kepulauan Togean Nama Kapal Skor Parameter Data Aktual Target Selisih Persentasi Kapal bubu 3 0,86 Lama panangkapan (jam) 4 3.54 -0.46 -11.50Jumlah trip/bulan 25 23.39 -1.61 -6.44BBM per trip (liter) 12 9.85 -2.15 -17.92Volume bubu (m3) 1 0.92 -0.08 -8.00Biaya operasional (Rp) 190000 190000 0 0.00Keuntungan (Rp) 329000 329000 0 0.00
96
(4) Kapal pancing dasar
Alat tangkap pancing paling dominan dan sangat beragam di Kepulauan
Togean sehingga kapal/perahu yang digunakan juga beragam dari ukurannya.
Meskipun armada pancing ikan dasar paling dominan dari semua alat tangkap ikan
demersal yang ada di Kepulauan Togean, namun dari hasil analisis tingkat efisiensi
dari alat tangkap ini masih sangat rendah (76 persen) dari total armada penangkap
yang dianalisis sebesar 55 unit (Lampiran 8). Jumlah kapal dan skor efisiensi dari
kapal pancing dasar ditunjukkan pada Gambar 35.
3
11
15
910
5
200
2
4
6
8
10
12
14
16
0.30-0.39 0.40-0.49 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 0.90-0.99 efisiensi
Skor efisiensi
Jum
lah
kapa
l
Gambar 35 Distribusi skor efisiensi kapal pancing dasar di Kepulauan Togean Dari 55 unit kapal pancing dasar yang dianalisis diperoleh hanya 23,64 % (13
unit) yang mempunyai skor efisien 1, efisiensi 0.90-0.99 sebanyak 10,91 % (6
kapal), efisiensi 0.80-0.89 sebanyak 30,91 % (17 unit), efisiensi 0.70-0.79 sebanyak
12,73 % (7 unit), 0.60-0.69 sebnyak 10,91 % (6 unit) dan efisiensi dibawah 0.59
sebanyak 10,91 % (6 unit). Meskipun alat tangkap pancing dapat digolongkan
sebagai alat tangkap yang mempunyai tingkat selektivitas tinggi, namun masih perlu
perbaikan terhadap input yang digunakan. Persentase perbaikan input kapal pancing
dasar disajikan pada Gambar 36.
97
Gambar 36 Potensi perbaikan efisiensi kapal pancing dasar di kepulauan Togean Potensi perbaikan efisiensi bagi kapal pancing dasar yang beroperasi di
perairan Kepulauan Togean yang ditunjukkan pada Gambar 35 dapat ditingkatkan
dengan cara mengurangi lama waktu penangkapan ikan sebesar 27,47 %, mengurangi
jumlah trip per bulan sebesar 9,65 % dan pengurangan penggunaan BBM sebesar
41,20 %, serta pengurangan jumlah mata pancing sebesar 21,68 %.
Proyeksi perbaikan efisiensi untuk tiap kapal dapat dilakukan dengan
merubah nilai input. Misalnya kapal pancing dasar 2 yang memiliki skor efisiensi 57
% dapat ditingkatkan efisiensinya mengurangi lama waktu penangkapan sebesar
40,00 %, menguragi jumlah trip/bulan sebesar 10,00 %, menekan penggunaan BBM
sebesar 33,33 % dan mengurangi jumlah mata pancing 20, 00 % seperti yang
dicontohkan pada Tabel 17.
Tabel 17 Proyeksi perbaikan kapal pancing dasar di Kepulauan Togean
Nama Kapal Parameter
Skor Data Aktual
Target
Selisih
Persentasi
Kapal pancing dasar 2 0,57 Lama panangkapan (jam) 5 3 -2.00 -40.00Jumlah trip/bulan 20 18 -2.00 -10.00BBM per trip (liter) 12 8 -4.00 -33.33Jumlah mata pancing (buah) 5 4 -1.00 -20.00Biaya operasional (Rp) 210000 210000 0.00 0.00Keuntungan (Rp) 540000 540000 0.00 0.00
BBM per trip Jumlah trip/bulan
Lama panangkapan
Jumlah mata pancing
Lama panangkapan -27,47 %
Jumlah trip/bulan -9,65 %
BBM per trip -41,20 %
Jumlah mata pancing -21,68 %
98
4.3.5 Pembahasan
Secara umum armada penangkapan (perahu/kapal) yang ada di Kepulauan
Togean dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok yakni : tanpa motor, motor
tempel dan kapal motor. Sebagaimana umumnya perikanan rakyat, maka armada
penangkapan yang mendominasi di Kepulauan Togean adalah perahu tanpa motor.
Perahu tanpa motor tertinggi pada tahun 2005 yaitu 1791 unit dan terendah pada
tahun 1998 yaitu 1242 unit, perahu motor tempel tertinggi pada tahun 2002 yaitu
sebesar 1085 unit dan terendah pada tahun 1998 yaitu sebesar 547 unit. Kapal motor
terbilang minim sekali di daerah ini.
Pemahaman yang paling sederhana tentang fishing capacity yaitu kemampuan
suatu kapal atau armada dalam melakukan penangkapan ikan. Hal ini didasarkan
pada jumlah nelayan dalam suatu armada, ukuran kapal, peralatan teknis yang
tersedia, kemampuan dan pengetahuan nelayan serta waktu yang dibutuhkan dalam
usaha penangkapan. Masing-masing komponen ini memberi kontribusi yang dalam
usaha penangkapan.
Tingkat efisiensi produksi merupakan nilai yang menunjukkan perbandingan
antara produksi perikanan dengan upaya yang dilakukan pada tahun tertentu. Nilai
efisiensi berkisar antara 0,1 – 1,0 artinya efisiensi produksi maksimum yang dapat
dicapai adalah 100 %. Apabila pencapaian tingkat efisiensi produksi berada di bawah
1,0 artinya masih terdapat peluang untuk meningkatkannya melalui berbagai upaya.
Upaya tersebut dapat berupa pengurangan atau penambahan input dan output
produksi.
Untuk mengetahui tingkat efisiensi tahunan kegiatan perikanan di Kepulauan
Togean, maka dilakukan analisis DEA menggunakan effort sebagai faktor input dan
produksi sebagai output dengan DMUnya adalah tahun periodik. Hasil analisis
menunjukkan bahwa dalam delapan tahun terakhir tingkat efisiensi kegiatan
perikanan demersal di Kepulauan Togean cenderung menurun, hal ini dimungkinkan
karena jumlah armada (effort) yang beroperasi di perairan Kepualuan Togean
cenderung meningkat dari tahun ke katahun. Oleh karena itu, pengelolaan ikan
99
demersal di lokasi ini perlu mendapat perhatian yang serius agar sumber daya
tersebut dapat berkesinambungan.
Usaha kegiatan perikanan demersal di Kepulauan Togean yang didominasi
oleh nelayan yang menggunakan pancing dasar, jaring insang dasar serta bubu
memiliki tingkat efisiensi antara 0,34 – 1,00. Tahun 1999 tingkat efisiensi perikanan
demersal di perairan ini mencapai 100 % sedangkan pada tahun sebelum dan
sesudahnya tingkat efisiensi mencapai nilai dibawah 1. Oleh karena itu, data
produksi dan effort pada tahun tersebut (1999) dapat dijadikan acuan kebijakan
pengelolaan perikanan demersal di Kepulauan Togean kedepan sehingga fenomena
excess capacity tidak berlangsung secara terus menerus. Fenomena excess capacity
(kapasitas berlebih) merupakan suatu kondisi dimana terjadi kelebihan input dalam
menghasilkan output yang diinginkan. Fenomena excess capacity ini jelas terlihat
pada enam tahun terakhir dimana selisih effort target dan effort aktual bernilai negatif.
Excess capacity terbesar terjadi pada tahun 2003 yaitu sebanyak 401,68 trip dan
kemudian tahun 2002 sebanyak 399,64 trip. Hal ini berarti bahwa dalam melakukan
aktifitas penangkapan ikan demersal, input (jumlah trip) yang dilakukan nelayan
terlalu tinggi sehingga perlu dilakukan pengurangan untuk mencapai efisiensi penuh
dimana jumlah input yang digunakan sebanding dengan output berupa hasil
tangkapan yang diperoleh. Untuk dapat meningkatkan nilai efisiensi perikanan
demersal di perairan Kepulauan Togean maka dapat dilakukan pengurangan jumlah
upaya yang telah melampaui upaya optimal, sehingga dengan upaya yang lebih kecil
mampu menghasilkan produksi yang optimal
Jumlah trip penangkapan ikan demersal di perairan Kepulauan Togean saat ini
telah melampaui jumlah trip optimum sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan
ancaman bagi kelestarian sumber daya ikan demersal di perairan tersebut. Olehnya,
jumlah trip penangkapan hendaklah segera dicariakn alternatif kebijakan sehingga
prinsip pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab dapat diterapkan.
Dari ke enam alat tangkap ikan demersal yang ada di kepulauan Togean, alat
tangkap jaring insang dasar, pancing dasar dan bubu merupakan alat tangkap yang
efisien dibanding dengan kedua alat tangkap lainnya yakni rawai dan sero yang
100
masing masing hanya memiliki nilai efisiensi 22 %, 9 % dan 32 %. Dengan kondisi
tersebut maka alat tangkap pukat pantai, rawai dasar dan sero memerlukan perbaikan
yang sangat besar untuk mencapai efisiensi yang optimal. Nilai efisiensi yang rendah
menggambarkan bahwa jumlah effort yang dilakukan oleh nelayan terlalu tinggi dan
tidak sebanding dengan produksi yang diperoleh.
Meskipun ketiga alat tangkap tersebut (jaring insang dasar, pancing dasar dan
bubu) dapat dikatakan alat tangkap yang efisien, namun perlu perbaikan input untuk
meningkatkan nilai efisiensinya. Untuk jaring insang dasar, salah satu langkah yang
dapat dilakukan adalah mengurangi lama penangkapan dan penggunaan BBM. Pada
alat tangkap rawai dasar penekanan penggunaan BBM dan pengurangan jumlah mata
pancing. Pada bubu langkah yang perlu dilakukan adalah disamping penekanan
penggunaan BBM juga pengurangan lama penangkapan dan volume bubu itu sendiri,
sedangkan pada alat tangkap pancing dasar perlu dikurangi penggunaan BBM dan
lama waktu penangkapan serta pengurangan jumlah mata pancing.
Hasil analisis jangka pendek terhadap 30 kapal jaring insang dasar di
Kepulauan Togean menunjukkan bahwa jumlah kapal yang benar-benar efisien hanya
33,30 %. Sisanya memiliki nilai efisien antara 70 – 99 %. Jumlah kapal yang belum
efisien tersebut sebanyak 20 kapal. Ke dua puluh kapal tersebut, kapal yang memiliki
nilai efisiensi paling rendah dapat dipertimbangkan lagi untuk dilakukan perbaikan
terhadap faktor input seperti lama penangkapan, jumlah trip/bulan dan penggunaan
BBM. Upaya perbaikan tersebut dapat dilakukan oleh pemilik kapal adalah dengan
mengurangi lama penangkapan sebesar 69,19 %, mengurangi jumlah trip/bulan 11,09
% dari trip yang ada saat ini dan menekan penggunaan BBM 14,10 % dan panjang
jaring 2,62 %.
Kapal rawai tetap yang beropersi di Kepulauan Togean berjumlah 8 kapal
dimana 5 kapal ( 62,5 %) diantaranya sudah efisien. Sisanya sebanyak 3 kapal (37,5
%) meliliki tingkat efisien 0,60 – 0,99. Nilai ini menunjukkan bahwa kapal rawai
dasar yang belum efisien memerlukan perbaikan. Potensi perbaikan kapal rawai
dasar dapat dilakukan dengan mengurangi lama operasi penangkapan ikan 16,55 %,
mengurangi jumlah trip/bulan 10,11 %, mengurangi penggunaan BBM sebesar 43,43
101
% dan pengurangan jumlah mata pancing sebesar 29,91 %. Penggunaan BBM yang
berlebihan pada kapal rawai dasar dikarenakan daerah operasi sebagaimana telah
disebutkan dalam uraian sebelumnya bahwa daerah operasinya di luar perairan
Kepulauan Togean.
Untuk kapal bubu yang tersisa saat ini di Kepulauan Togean berjumlah 8
kapal. Dari ke 8 kapal yang ada hanya dua kapal bubu (25,0 %) yang belum efisien
sedangkan 6 kapal lainnya (75,0 %) sudah efisien. Potensi perbaikan efisiensi kapal
bubu dapat dilakukan dengan mengurangi lama waktu penangkapan ikan sebesar
29,19 %, jumlah trip/bulan sebesar 17,09 %, menekan penggunaan BBM sebesar
22,78 % dan memperkecil volume bubu sebesar 30,94 %.
Sebanyak 55 kapal pancing dasar yang beroperasi di Kepulauan Togean 23,64
% (13 unit) diantaranya efisien. Sebanyak 30 unit memiliki efisiensi berkisar 70-99
% dan sisanya yaitu 22 unit memiliki efisiensi dibawah 70 %. Melihat dari kenyataan
yang ada maka kebijakan yang diambil yakni melakukan perbaikan dengan
mengurangi effort yang berlebihan tersebut. Disamping itu, potensi perbaikan bagi
kapal pancing dasar yang belum efisien dapat dilakukan dengan cara mengurangi
lama waktu penangkapan ikan sebesar 27,47 %, mengurangi jumlah trip/bulan
sebesar 9,65 %, menekan penggunaan BBM sebesar 41,20 % dan mengurangi jumlah
mata pancing sebanyak 21,68 %.