32
26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang terdiri dari 21 famili dan 32 genus (Tabel 3). Famili Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang dominan terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus, Stolephorus, Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan berturut-turut adalah 1836, 392 , , 316, 301, 266, 159 dan 79 individu per 100 m 3 . Tabel 3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan Famili Genus Kelimpahan Panjang Standar (mm) Keterangan Ind/m 3 % Rata-rata Kisaran Ambassidae Ambassis 21 0,54 5 2,5-6,7 F,Pf Atherinidae Hypoatherina 5 0,12 3,4 2,5-5,1 Pof Blenniidae Omobranchus 301 7,6 2,4 1,8-4,1 Pf,F Cynoglossidae Cynoglossus 1 0,02 1,8 1,8 Pf Carangidae Caranx 10 0,25 2,4 2,0-2,7 Pf Clupeidae Herklotsichthys 79 2,01 5,8 4,3-11,6 F, Pof Clupeidae Sardinella 316 7,98 5,6 4,0-11,2 F, Pof Engraulidae Engraulis 159 4,01 6,2 2,1-10,5 Pf,F,Pof Engraulidae Stolephorus 266 6,71 10,6 4,0-21,9 Pf,F,Pof Eleotridae Eleotris 2 0,06 8,6 8,3-8,6 Pof Gerreidae Gerres 1 0,02 2,5 2,2-3,5 Pf Gobiidae Gobiidae sp1 285 7,19 2,2 1,8-2,7 Pf Gobiidae Gobiidae sp 2 94 2,37 2,3 1,8-2,8 Pf Gobiidae Glossogobius 24 0,62 4,2 2,3-9,0 F Gobiidae Tridentiger 1836 46,39 7,2 1,8-14,2 Pf, F,Pof Gobiidae Rhinogobius 392 9,91 2,5 1,9-3,3 Pf Gobiidae Rediogobius 2 0,06 3,1 2,8-3,3 Pf Gobiidae Acentrogobius 2 0,06 4,4 2,8-7,7 Pf Gobiidae Parachaeturichthys 1 0,02 2,8 2,8 Pf Leioghnatidae Secutor 12 0,31 14,2 12,6-17,8 Pof Mugilidae Mugil 18 0,44 1,8 1,6-2,5 F Mugilidae Liza 12 0,31 7,9 6,9-8,8 Pof Mugiloididae Parapercis 3 0,08 2 1,8-2,5 Pf Mullidae Upeneus 7 0,17 2,5 1,7-2,8 Pf Ostracidae Ostracidae spp 2 0,04 4,0 3,5-5,4 Pf Pomacentridae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Pomachantidae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Polynemidae Eleutheronema 2 0,04 4,1 3,8-4,3 F Silaginidae Silago 1 0,02 3,3 3,3 Pf Synghnatidae Parasyngnathus 95 2,41 14,4 7,4-24,8 F Synghnatidae Oostethus 2 0,04 4,4 4,3-4,5 F Tetraodontidae Tetraodontidae spp 4 0,10 2,2 1,5-2,8 Pf Pf=preflexion; F=flexion; Pof=Postflexion Larva ikan Gobiidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selama penelitian ini, seperti halnya pada penelitian Sugiharto (2005) dan Nursid

4 HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor

Embed Size (px)

Citation preview

26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang

terdiri dari 21 famili dan 32 genus (Tabel 3). Famili Gobiidae merupakan

penyumbang terbesar dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili

Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang

dominan terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus,

Stolephorus, Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan

berturut-turut adalah 1836, 392,, 316, 301, 266, 159 dan 79 individu per 100 m3.

Tabel 3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan Famili Genus Kelimpahan Panjang Standar (mm) Keterangan

Ind/m3 % Rata-rata Kisaran Ambassidae Ambassis 21 0,54 5 2,5-6,7 F,Pf Atherinidae Hypoatherina 5 0,12 3,4 2,5-5,1 Pof Blenniidae Omobranchus 301 7,6 2,4 1,8-4,1 Pf,F Cynoglossidae Cynoglossus 1 0,02 1,8 1,8 Pf Carangidae Caranx 10 0,25 2,4 2,0-2,7 Pf Clupeidae Herklotsichthys 79 2,01 5,8 4,3-11,6 F, Pof Clupeidae Sardinella 316 7,98 5,6 4,0-11,2 F, Pof Engraulidae Engraulis 159 4,01 6,2 2,1-10,5 Pf,F,Pof Engraulidae Stolephorus 266 6,71 10,6 4,0-21,9 Pf,F,Pof Eleotridae Eleotris 2 0,06 8,6 8,3-8,6 Pof Gerreidae Gerres 1 0,02 2,5 2,2-3,5 Pf Gobiidae Gobiidae sp1 285 7,19 2,2 1,8-2,7 Pf Gobiidae Gobiidae sp 2 94 2,37 2,3 1,8-2,8 Pf Gobiidae Glossogobius 24 0,62 4,2 2,3-9,0 F Gobiidae Tridentiger 1836 46,39 7,2 1,8-14,2 Pf, F,Pof Gobiidae Rhinogobius 392 9,91 2,5 1,9-3,3 Pf Gobiidae Rediogobius 2 0,06 3,1 2,8-3,3 Pf Gobiidae Acentrogobius 2 0,06 4,4 2,8-7,7 Pf Gobiidae Parachaeturichthys 1 0,02 2,8 2,8 Pf Leioghnatidae Secutor 12 0,31 14,2 12,6-17,8 Pof Mugilidae Mugil 18 0,44 1,8 1,6-2,5 F Mugilidae Liza 12 0,31 7,9 6,9-8,8 Pof Mugiloididae Parapercis 3 0,08 2 1,8-2,5 Pf Mullidae Upeneus 7 0,17 2,5 1,7-2,8 Pf Ostracidae Ostracidae spp 2 0,04 4,0 3,5-5,4 Pf Pomacentridae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Pomachantidae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Polynemidae Eleutheronema 2 0,04 4,1 3,8-4,3 F Silaginidae Silago 1 0,02 3,3 3,3 Pf Synghnatidae Parasyngnathus 95 2,41 14,4 7,4-24,8 F Synghnatidae Oostethus 2 0,04 4,4 4,3-4,5 F Tetraodontidae Tetraodontidae spp 4 0,10 2,2 1,5-2,8 Pf

Pf=preflexion; F=flexion; Pof=Postflexion

Larva ikan Gobiidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan

selama penelitian ini, seperti halnya pada penelitian Sugiharto (2005) dan Nursid

27

(2002) di estuaria Segara Anakan. Beberapa penelitian lain juga menemukan

bahwa larva ikan Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dalam komunitas

larva di ekosistem estuaria (Sanvicente-Añorve et al.,2003; Bonecker et

al.,2009; Ramos et al.,2012). Famili Gobiidae terdiri dari 212 genera dan 1875

spesies (Nelson, 1994). Anggota jenis dari famili Gobiidae hidup di habitat air

tawar, estuaria hingga laut. Sebagian besar dari famili Gobiidae hidup di

ekosistem estuaria. Gobiidae memiliki toleransi terhadap rentang salinitas yang

cukup luas. Beberapa anggota jenis Gobiidae yang hidup di air tawar akan pergi

ke perairan estuaria untuk memijah (Miller, 1984). Anggota jenis dari famili

Gobiidae yang mendominasi pada penelitian ini adalah genus Tridentiger. Jenis

tersebut juga dominan ditemukan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Sugiharto (2005).

Famili Engraulidae merupakan penyusun komunitas larva terbesar kedua

setelah Gobiidae pada penelitian ini. Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Nursid (2002) di laguna Segara Anakan.

Penelitian di estuaria lain yang dilakukan Morais and Morais (1994) serta

Barleta–Bergan (2002) juga menemukan bahwa larva ikan Engraulidae

merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selain Gobiidae. Menurut hasil

penelitian Sanchez-Velasco et al. (1996), ikan Gobiidae dan Engraulidae dalam

siklus hidupnya memiliki ketergantungan terhadap ekosistem estuaria terutama

pada fase larva. Anggota jenis dari Engraulidae dikenal sebagai ikan konsumsi

ekonomis penting di berbagai perairan estuaria dan laut. Genus dari famili

Engraulidae yang ditemukan selama penelitian ini adalah Stolephorus dan

Engraulis dengan kelimpahan Stolephorus lebih tinggi daripada Engraulis.

Larva ikan famili Clupeidae merupakan larva terbanyak setelah Gobiidae

dan Engraulidae. Penelitian yang dilakukan Nursid (2002) di perairan Laguna

Segara Anakan juga mendapatkan famili tersebut, namun tidak demikian halnya

pada penelitian Sugiharto (2005) yang dilakukan di Pelawangan Timur. Larva

ikan Clupeidae yang tertangkap pada penelitian ini terdiri dari genus Sardinella

dan Herklotsichthys. Habitat Clupeidae adalah perairan laut dan pesisir.

Beberapa jenis dari famili tersebut mampu mentolerir salinitas yang lebih rendah

dan melakukan migrasi ke daerah muara sungai untuk bertelur. Ikan Clupeidae

hidup berkumpul membentuk schooling dan berenang secara bersama-sama di

suatu perairan (Carpenter and Niem, 1999).

28

Larva ikan famili Blennidae merupakan larva ikan berikutnya yang cukup

banyak dalam komposisi hasil tangkapan di selama penelitian. Famili Blenniidae

tersebar di perairan tawar, payau hingga laut, merupakan ikan dasar yang

menyukai daerah pasang surut dan berbatu dengan kedalaman lebih kurang 20

m. Beberapa anggota dari famili ini bahkan hidup di aliran sungai. Anggota jenis

Bleniidae bukan ikan konsumsi ekonomis penting.

Secara temporal kelimpahan larva ikan paling tinggi terjadi pada bulan

Juni dengan komposisi yang dominan adalah famili Gobiidae (Gambar 7). Pada

bulan Juli, jumlah kelimpahan menurun demikian juga pada bulan Agustus.

Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli didominasi oleh famili Clupeidae

sedangkan pada bulan Agustus adalah Engraulidae. Larva Gobiidae tertangkap

pada setiap bulan pengamatan sedangkan Clupeidae hanya tertangkap pada

bulan Juli dan Engraulidae pada bulan Agustus. Tingginya kelimpahan larva ikan

pada bulan Juni dapat berkaitan dengan masa pemijahan dari ikan. Beberapa

jenis ikan Gobiidae memiliki masa pemijahan sepanjang tahun dengan puncak

pemijahan pada waktu tertentu.

Secara spasial kelimpahan larva ikan tertinggi adalah di stasiun III

(Cigintung) dan IV Sapuregel (Gambar 8). Larva Gobiidae merupakan larva ikan

yang ditemukan di semua stasiun penelitian dengan kelimpahan yang tinggi

dibandingkan famili lainnya. Larva Engraulidae tertangkap di stasiun I (Muara

Donan), II (Donan), III (Cigintung), IV (Sapuregel) dan VI (kembang Kuning),

namun kelimpahan tertinggi hanya ada di stasiun II, sedangkan larva Clupeidae

ditemukan melimpah di stasiun I (Muara Donan), walaupun juga terdapat di

stasiun lainnya dengan kelimpahan yang rendah dibandingkan di stasiun I.

Seperti halnya pada larva Gobiidae, larva ikan Blenniidae juga tertangkap di

semua stasiun penelitian namun dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan

Gobiidae.

29

Gambar 7. Komposisi famili larva ikan secara temporal

Gambar 8. Komposisi famili larva ikan secara spasial

Berdasarkan bentuk morfologinya larva ikan yang tertangkap terdiri dari

stadia preflexion, flexion dan postflexion. Komposisi fase larva tersebut tidak

sama pada setiap genus selama periode penelitian. Larva Tridentiger yang

tertangkap pada bulan Juni terdiri dari fase preflexion, flexion dan postflexion

dengan komposisi dominan adalah fase post flexion sedangkan larva yang

tertangkap pada bulan Juli dan Agustus didominasi oleh fase flexion (Gambar 9).

Tingginya kelimpahan larva Tridentiger fase postflexion pada bulan Juni diduga

merupakan hasil pemijahan pada periode sebelumnya yang sudah berkembang

sedangkan larva yang masih tahap preflexion merupakan hasil pemijahan pada

periode yang berbeda dari larva postflexion tersebut. Sedangkan larva

Rhinogobius lebih banyak ditemukan pada fase preflexion di setiap bulan.

0

500

1000

1500

2000

2500

juni juli agsts

ind

/10

0m

3 Syngnathidae

Gobiidae

Engraulidae

Clupeidae

Blenniidae

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

I II III IV V VI

ind

/10

0 m

3

stasiun

Syngnathidae

Gobiidae:

Engraulidae:

Clupeidae

Blenniidae:

30

Larva Sardinella yang tertangkap pada bulan Juli terdiri dari fase

preflexion dan sebagian kecil flexion sedangkan Herklotsichthys terdiri dari fase

flexion dan post flexion (Gambar 9 C dan D). Hal tersebut mengindikasikan

bahwa larva Sardinella yang ditemukan pada bulan Juli tersebut merupakan

larva yang baru berkembang setelah menetas sedangkan larva Herklotsichtys

sudah mengalami tahap perkembangan yang lebih dulu dibanding Sardinella.

Larva Stolephorus pada bulan Juni ditemukan pada fase flexion dan

postflexion sedangkan pada bulan Agustus terdiri dari fase preflexion dan flexion.

Jika dilihat dari bentuk perkembangannya maka larva Stolephorus yang

ditemukan pada bulan Juni tersebut sudah mengalami perkembangan lebih lanjut

setelah menetas, sedangkan larva yang ditemukan pada bulan Agustus sebagian

merupakan larva yang mengalami perkembangan awal setelah menetas. Kondisi

tersebut menunjukkan bahwa larva Stolephorus yang masuk ke pearian estuaria

Pelawangan Timur masih dalam tahap perkembangan setelah menetas.

Larva Engraulidae lainnya yakni Engraulis yang tertangkap pada bulan

Juni merupakan fase flexion sedangkan pada bulan Agustus terdiri dari fase

preflexion, flexion dan postflexion dengan komposisi terbesar adalah fase flexion

(Gambar 9 F) Larva yang tertangkap pada bulan Juni dan Agustus merupakan

larva yang telah mengalami perkembangan lanjut setelah menetas .

Komposisi larva ikan secara temporal menunjukkan bahwa beberapa

famili larva ikan seperti Clupeidae dan Engraulidae berada di perairan pada

waktu tertentu dengan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemijahan terjadi

pada waktu tertentu yang diperkuat oleh bentuk morfologi larva (Gambar 9).

Larva ikan yang masih dalam fase preflexion adalah larva yang baru mengalami

tahap perkembangan setelah cadangan makanannya (kuning telur) habis,

kemudian selama kurun waktu tertentu berkembang menjadi fase flexion,

postflexion dan juvenil. Tahapan morfologi larva ikan tersebut dapat dijadikan

dasar untuk menduga waktu pemijahan dan penetasan dari larva ikan pada

suatu peraira. Bulan Juli diduga merupakan waktu pemijahan serta penetasan

Sardinella dan Herklotsichthys, sedangkan pada bulan Agustus adalah waktu

pemijahan dan penetasan larva Stolephorus dan Engraulis.

31

A.Tridentiger

B. Rhinogobius

C Sardinella

D. Herklotsichthys E. Stolephorus

F. Engraulis

: preflexion; : flexion : post flexion

Gambar 9. Komposisi morfologi larva ikan secara temporal

Nilai indeks keanekaragaman Shanon (H’) di lokasi penelitian berkisar

antara 1,08-1,98 (Gambar 10). Stasiun VI (Kembang Kuning) memiliki nilai

indeks H’ yang tertinggi (1,98) sedangan stasiun III (Cigintung ) memilki indeks H’

terendah (1,08). Kisaran indeks tersebut menunjukkan keanekaragaman yang

sedang. Indeks keseragaman di lokasi penelitian berkisar antara 0,45-0,68. Nilai

tersebut menunjukkan bahwa sebaran individu antar jenis masih cukup merata.

Hal tersebut terlihat dari ditemukannya berbagai genus larva ikan di seluruh

lokasi penelitian. Nilai dominasi di stasiun pengamatan berkisar antara 0,21-

0,50, artinya bahwa belum terlihat adanya dominasi genus yang sangat kuat di

komunitas larva tersebut. Walaupun secara umum terlihat genus dari Gobiidae

(Tridentiger) mendominasi hasil tangkapan di setiap lokasi penelitian namun

pada waktu tertentu ditemukan pula larva ikan selain Gobiidae yang di lokasi

penelitian dengan demikian belum terlihat adanya dominasi genus yang sangat

kuat di komunitas larva tersebut.

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Jun Jul Agst

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Jun Jul Agst

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Jun Jul Agst

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Jun Jul Ags

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Jun Jul Agst

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Jun Jul Agst

32

Gambar 10. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi di lokasi

penelitian

4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Pelawangan Timur

4.2.1 Kondisi Parameter Bio Fisika Kimia Perairan Pelawangan Timur

Perairan Pelawangan Timur merupakan bagian dari ekosistem estuaria

Segara Anakan yang merupakan pintu masuk air laut dari sisi bagian timur yang

menuju ke laguna Segara Anakan. Perairan Pelawangan Timur mendapatkan

masukan air laut dari sebelah timur dan air tawar dari beberapa sungai yang

mengalir ke kawasan tersebut yaitu Sapuregel, Donan dan Kembang Kuning.

Perairan Pelawangan Timur dimanfaatkan sebagai jalur transportasi, jalur

kegiatan industri dan daerah penangkapan ikan. Perairan Sungai Donan

merupakan kawasan lalu lintas kapal tanker dan perahu penyeberangan,

sedangkan perairan Kembang Kuning dan Sapuregel merupakan kawasan

penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dominan adalah apong. Selain itu

sepanjang Perairan Donan hingga pintu masuk Pelawangan Timur merupakan

kawasan kegiatan industri.

Pengamatan parameter bio-fisika kimia perairan dilakukan di enam

stasiun pengamatan. Hasil pengamatan parameter fisika kimia perairan

Pelawangan Timur tertera pada tabel 4 berikut ini.

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

I II III IV V VI

indeks keanekaragaman indeks dominasi indeks keseragaman

33

Tabel 4. Nilai rataan parameter bio-fisika kimia perairan pelawangan timur

Parameter Stasiun

I II III IV V VI Suhu (ºC) Rataan

Stdev 27,9 1,20

29,37 1,00

29,23 0,80

28,09 0,70

28,58 1,00

28,23 0,70

Kecerahan (cm) Rataan Stdev

70,00 45,3

62,10 30,7

45,42 16,6

77,92 37,44

64,58 36,3

65,83 50,6

Kedalaman (m) Rataan Stdev

7,8 0 3,31

6,80 0,60

3,30 1,40

5,70 1,80

3,60 1,09

4,60 1,22

Arus (mps) Rataan Stdev

0,29 0,28

0,14 0,17

0,09 0,08

0,15 0,19

0,11 0,19

0,10 0,10

Kekeruhan (NTU) Rataan Stdev

27,9 27,30

28,55 41,70

27,24 17,30

18,64 17,10

28,27 24,20

30,64 35,10

pH Rataan Stdev

7,88 0,20

7,75 0,30

7,67 0,20

7,75 0,30

7,58 0,20

7,75 0,30

Salinitas (°/◦◦) Rataan Stdev

32,67 2,10

30,92 1,83

29,75 2,01

30,92 1,98

31,25 2,49

30,92 1,51

Oksigen terlarut (mg/l)

Rataan Stdev

3,97 0,64

4,03 0,68

4,06 0,55

3,56 0,86

3,53 0,87

3,81 0,90

N-Nitrat (mg/l) Rataan Stdev

0,336 0,47

0,468 0,57

0,395 0,58

0,380 0,47

0,461 0,58

0,378 0,41

Ortofosfat (mg/l) Rataan Stdev

0,016 0,012

0,016 0,009

0,021 0,016

0,018 0,013

0,021 0,013

0,024 0,014

Fitoplankton (sel/l)

Rataan 16.155.579 9.803.491 3.040.222 9.651.923 6.511.088 8.796.296

Suhu air di Pelawangan Timur berkisar antara 27,90-29,23°C Suhu

berpengaruh pada proses fisik perairan dan daya larut serta difusi oksigen pada

perairan serta kehidupan organisme perairan. Setiap organisme memiliki suhu

optimum untuk mendukung perkembangannya. Pada biota akuatik seperti ikan,

suhu perairan berpengaruh pada proses pertumbuhan dan siklus reproduksinya

(Bye,1984). Menurut beberapa penelitian bahwa suhu air berpengaruh pada

pertumbuhan larva ikan dimana perubahan suhu secara drastis dapat

meningkatkan mortalitas larva ikan (Bjornsson et al., 2001; Jordaan and Kling,

2003).

Salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 29,75-32,67 °/◦◦ dengan nilai

rataan terendah berada di stasiun 3 (Cigintung) sedangkan yang tertinggi di

stasiun I (Muara Donan). Berdasarkan KepMen Lingkungan Hidup No 51 tahun

2004, nilai salinitas di perairan tersebut masih termasuk rentang nilai yang sesuai

untuk kehidupan biota laut. Salinitas merupakan salah satu parameter yang

paling mempengaruhi organisme yang hidup pada ekosistem estuaria. Salinitas

mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme akuatik. Semakin

tinggi salinitas maka semakin tinggi pula tekanan osmosis tubuh terhadap

lingkungannya maka semakin besar pula energi yang diperlukan untuk

menyesuaikan diri. Pada ekosistem estuaria dimana fluktuasi salinitas kerap

terjadi, biota akuatik seperti ikan yang dapat hidup di perairan tersebut adalah

yang memiliki toleransi dan adaptasi yang luas terhadap perubahan salinitas.

34

Kekeruhan (turbiditas) di perairan Pelawangan Timur berkisar 18,64-

30,64 NTU. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan

berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-

bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan

organik dan anorganik tersuspensi dan terlarut misalnya lumpur dan pasir halus,

maupun bahan anorganik dan organik yang berupa mikroorganisme lain (Davis

dan Cornwell,1991 dalam Effendi, 2003). Nilai kekeruhan yang diperoleh pada

penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pada penelitian sebelumnya di lokasi yang

sama yaitu 5-11,6 NTU (Siregar, 2007) dan 0,19-30,4 NTU (Sugiharto, 2005).

Perbedaan nilai turbiditas tersebut dapat disebabkan karena perubahan kondisi

lingkungan perairan dimana masukan air tawar dari daratan yang membawa

partikel organik dan anorganik terlarut serta masuknya limbah aktivitas manusia

di sekitar perairan tersebut semakin hari semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya aktivitas manusia di ekosistem tersebut. Kekeruhan yang tinggi

dapat menghambat penetrasi cahaya matahari yang digunakan dalam proses

fotosintesis oleh fitoplankton. Akibatnya produktivitas primer fitoplankton

menurun sehingga ketersediaan makanan bagi organisme pemakan fitoplankton

seperti larva ikan akan terganggu. Kekeruhan yang diakibatkan meningkatkan

partikel lumpur terlarut di perairan menghambat perkembangan telur dan

menyebabkan kerusakan pada insang sehingga mengakibatan kematian pada

ikan terutama fase larva (Robertson, et al.,2006).

Oksigen terlarut yang diperoleh di lokasi pengamatan berkisar 3,56-4,06

mg/l. Kandungan oksigen terlarut (O2) dalam perairan turut menentukan kualitas

perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi)

makhluk hidup dan proses oksidasi dalam perairan. Sebagai contoh ikan yang

hidup dalam perairan yang kekurangan oksigen akan terganggu fungsi

insangnya dan dapat menyebabkan insang berlendir (anoxia) sehingga

menimbulkan kematian. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai indikator

senyawa-senyawa kimia di perairan. Sumber oksigen di perairan adalah difusi

udara dan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Perairan yang

mengalir pada umumnya memiliki kandungan oksigen yang cukup karena

gerakan air oleh arus dan angin menjamin berlangsungnya difusi udara.

Derajat keasaman (pH) merupakan parameter yang juga mempengaruhi

toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi

banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Konsentrasi pH yang

35

diperoleh selama penelitian berkisar antara 7,5-7,8. Nilai ini masih dalam kisaran

normal dan sebagian besar biota akuatik di suatu perairan menyukai nilai pH

dengan kisaran 7 – 8,5. Perubahan kadar pH di perairan mengganggu reproduksi

organisme perairan seperti ikan, udang atau pun moluska. Menurut Ross et al.

(2011), perubahan pH menyebabkan perubahan respon olfactory pada larva ikan

Amphiprion percula yang berpotensi terhadap disorientasi pemilihan habitat yang

sesuai.

Rataan nilai kandungan N-nitrat (N-NO3) di lokasi penelitian adalah 0,34-

0,47 mg/l dengan konsentrasi tertinggi di stasiun II (Donan) dan yang terendah di

stasiun I (Muara Donan). Baku mutu untuk perairan berdasarkan PP No.82

Tahun 2001 maksimal 10 mg/l, sedangkan kadar ortofosfat yang diperoleh di

lokasi penelitian adalah 0,016-0,024 mg/l. Baku mutu air untuk ortofosfat tidak

lebih dari 0,1 mg/l. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan

secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan

disertai dengan keberadaan nitrogen dapat memacu ledakan pertumbuhan alga

di perairan. Algae yang berlimpah dapat membentuk lapisan di permukaan air

yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari

sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan.

Kelimpahan fitoplankton di lokasi penelitian berkisar antara 3.040.222-

16.155.579 sel/l dengan kelimpahan tertinggi ditemukan di stasiun I (Muara

Donan) dan kelimpahan terendah ditemukan di stasiun III (Cigintung).

Fitoplankton dalam jejaring makanan di ekosistem perairan berperan sebagai

produsen. Melalui proses fotosintesis, fitoplankton menyumbang oksigen bagi

perairan. Larva ikan yang sudah tidak memiliki kuning telur sebagai cadangan

makanan memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber makanannya.

Rata-rata kecepatan arus pada saat pengamatan berkisar antara 0,09-0,29

m/detik. Kecepatan arus air di lokasi cukup berfluktuatif. Arus air berperan

mendistribusikan massa air dari laut menuju estuaria atau pun sebaliknya

sehingga memungkinkan kondisi parameter lain seperti salinitas, DO dan

turbiditas berfluktuasi. Arus sangat mempengaruhi keberadaan komunitas larva

ikan. Larva ikan masih bersifat planktonik dimana pergerakannya sangat

dipengaruhi oleh pola arus. Sifat larva ikan yang belum dapat berenang secara

sempurna membuat keberadaaan komunitas larva sangat tergantung pola arus

yang membawanya. Induk ikan saat memijah memilih lokasi yang sesuai untuk

pemijahannya, namun arus dapat membawa telur atau larva ikan ke lokasi yang

36

tidak mendukung perkembangannya, misalnya lokasi dengan kondisi salinitas

yang ekstrim, turbiditas tinggi atau banyak predator.

4.2.2 Kondisi Biofisika Kimia Perairan Pelawangan Timur Secara Spasial dan Temporal

Hasil pengamatan terhadap parameter lingkungan setiap bulan di perairan

Pelawangan Timur menunjukkan hasil yang bervariasi. Nilai kecerahan setiap

bulannya berfluktuasi namun memiliki pola yang sama yaitu pada stasiun III nilai

kecerahan lebih rendah dari stasiun lainnya (Gambar 11). Hal tersebut dapat

disebabkan karena di sekitar stasiun III merupakan vegtasi mangrove dan bagian

hulu dari perairan tersebut merupakan daratan dimana saat terjadi hujan partikel-

partikel tanah akan terbawa air hujan masuk ke perairan tersebut. Rata-rata nilai

kecerahan pada bulan Juni lebih tinggi daripada bulan lainnya, hal ini disebabkan

pada waktu pengamatan tidak terjadi hujan sehingga tidak terdapat lumpur atau

partikel terlarut dari daerah hulu yang terbawa masuk ke perairan.

Gambar 11. Nilai kecerahan selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur

Kecepatan arus yang terukur pada bulan Juni dan Agustus relatif lebih

besar daripada bulan Juli (Gambar 12). Kecepatan arus yang lebih besar

tercatat di stasiun I (Muara Donan). Arus di estuaria Pelawangan Timur

disebabkan oleh kegiatan pasang surut dan aliran sungai.

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

I II III IV V VI

cm

JUNI

JULI

AGSTS

37

Gambar 12. Kecepatan arus selama waktu pengamatan pada masing-masing

stasiun di Pelawangan Timur Derajat keasaman (pH) di perairan Pelawangan Timur setiap bulannya

berkisar pada 7,5-7,8 (Gambar 13). Rentang nilai tersebut masih termasuk

normal untuk sebuah perairan yang mendukung kehidupan ikan.

Gambar 13. Nilai pH selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di pelawangan timur

Nilai kekeruhan (turbiditas) setiap bulannya berfluktuasi (Gambar 14). Nilai

rataan kekeruhan di beberapa stasiun seperti stasiun II (Donan) dan III

(Cigintung) pada bulan Agustus lebih tinggi dibandingkan pada bulan lainnya.

Kekeruhan yang meningkat dapat disebabkan besarnya jumlah partikel

tersuspensi dalam perairan. Partikel tersuspensi dapat berasal dari bahan

organik dan anorganik yang masuk ke perairan estuaria dari aliran sungai serta

hasil aktivitas manusia. Perairan Donan merupakan jalur lalu lintas kapal dan

daerah sekitarnya merupakan pemukiman penduduk yang menghasilkan limbah

ke perairan tersebut.

0.000

0.050

0.100

0.150

0.200

0.250

0.300

0.350

0.400

0.450

I II III IV V VI

m/d

etik

JUNI

JULI

AGSTS

7.5

7.5

7.6

7.6

7.7

7.7

7.8

7.8

7.9

7.9

I II III IV V VI

JUNI

JULI

AGSTS

38

Gambar 14. Nilai kekeruhan (turbiditas) selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur

Kadar oksigen terlarut di perairan Pelawangan Timur selama penelitian

berkisar antara 2,78-4,58 mg/l (Gambar 15). Kadar oksigen tertinggi terjadi pada

bulan Agustus di Stasiun 2 (Donan) dan VI (Kembang Kuning) yaitu sebesar

4,58 mg/l. Kadar oksigen terlarut di perairan diperoleh dari difusi udara dan

aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton. Adanya pergerakan angin dan arus

menjamin keberadaan oksigen melalui proses difusi.

Gambar 15. Kadar oksigen terlarut selama waktu pengamatan pada masing-

masing stasiun di Pelawangan Timur Salinitas merupakan parameter penting di perairan estuaria. Nilai salinitas

setiap bulannya memiliki pola yang hampir serupa dimana pada stasiun I (Muara

Donan), nilai salinitas lebih tinggi dibandingkan di stasiun lainnya (Gambar 16).

Pada bulan Agustus salinitas relatif lebih tinggi dibandingkan bulan lainnya.

Perubahan salinitas musiman di estuaria biasanya merupakan akibat perubahan

penguapan musiman dan atau perubahan aliran tawar. Pada bulan Agustus

tersebut kemungkinan terjadi penguapan air yang tinggi sebagai akibat pengaruh

musim kemarau dan minimnya hujan.

0

10

20

30

40

50

60

I II III IV V VI

NTU

JUNI

JULI

AGSTS

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

I II III IV V VI

mg/

l JUNI

JULI

AGSTS

39

Gambar 16. Salinitas selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur

4.2.3 Karakteristik Kondisi Lingkungan di Stasiun Penelitian

Hubungan karakteristik lingkungan di stasiun pengamatan dilakukan

dengan teknik Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis).

Matriks korelasi (Tabel 5) menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Dari

hasil analisis matriks korelasi diketahui bahwa variabel kecerahan berkorelasi

posistif dengan kelimpahan fitoplankton dan salinitas dengan korelasi masing-

masing 0,68 dan 0,63. Variabel arus berkorelasi positif terhadap variabel

kedalaman, salinitas, dan kelimpahan fitoplankton dengan nilai korelasi masing-

masing 0,82; 0,87; 0,89. Variabel suhu air berkorelasi positif terhadap kadar NO3

dengan nilai korelasi 0,70

Tabel 5. Korelasi antar variabel lingkungan hasil analisis komponen utama CRH ARS DLM T PH DO SAL TRBD NO3 PO4 FITO ZOO

CRH 1 ARS 0,45 1

DLM 0,55 0,82 1 T -0,77 -0,53 -0,32 1

PH 0,42 0,78 0,87 -0,46 1 DO -0,61 0,20 0,28 0,50 0,42 1

SAL 0,63 0,87 0,74 -0,67 0,61 -0,11 1 TRBD -0,49 -0,09 -0,09 0,28 -0,06 0,47 0,10 1

NO3 -0,26 -0,57 -0,31 0,70 -0,69 -0,15 -0,37 0,19 1 PO4 -0,32 -0,68 -0,83 -0,06 -0,56 -0,29 -0,47 0,30 -0,02 1

FITO 0,68 0,89 0,92 -0,62 0,85 0,08 0,92 -0,03 -0,48 -0,62 1 ZOO 0,19 0,96 0,76 -0,35 0,78 0,45 0,74 0,05 -0,58 -0,65 0,79 1

Hasil analisis matriks korelasi data menunjukkan bahwa sumbangan

komponen utama mempunyai akar ciri 6,61; 2,51; dan 1,40 yang artinya bahwa

sebesar 55%; 21%; dan 12% keragaman gugus data dapat dijelaskan oleh ketiga

sumbu, sedang sisanya yaitu sebesar 12 % ragam gugus data dijelaskan oleh

sumbu-sumbu berikutnya. Secara rinci analisis tersebut disajikan pada Tabel 6.

24

26

28

30

32

34

I II III IV V VI

°/

JUNI

JULI

AGSTS

40

Tabel 6. Diagonalisasi Komponen Utama

Diagonalisasi Akar Ciri 6,61 2,51 1,40 Kontribusi Ragam (%) 55% 21% 12% Koefisien Variabel dalam Fungsi Linier Sumbu Utama Variabel Sumbu 1 (F1) Sumbu 2 (F2) Sumbu 3 (F3) Kecerahan 0,63 -0,70 -0,23 Arus 0,95 0,13 0,02 Kedalaman 0,91 0,20 -0,30 Suhu air -0,63 0,66 -0,41 pH 0,89 0,22 0,14 Oksigen terlarut 0,13 0,95 0,14 Salinitas 0,87 -0,12 0,05 Keruhan (Turbiditas) -0,15 0,57 0,42 Nitrat -0,60 0,11 -0,65 Ortofosfat -0,66 -0,30 0,67 Fitoplankton 0,97 -0,02 -0,03 Zooplankton 0,87 0,37 0,11

Kualitas representasi dari masing-masing variabel pada sumbu utama

(sumbu 1, 2, dan 3) ditunjukkan dengan dekat tidaknya variabel-variabel

tersebut terhadap masing-masing sumbu. Dari hasil analisis data menunjukkan

bahwa variabel arus, kedalaman, pH, salinitas, fitoplankton dan zooplankton

merupakan faktor utama pada sumbu pertama yang menjelaskan variabilitas

data, yaitu masing-masing sebesar 0,95; 0,91; 0,89 ; 097 dan 0,87. Variabel

oksigen terlarut, suhu air dan turbiditas merupakan faktor utama dari sumbu

kedua. Sedangkan pada sumbu 3, faktor utama yang menjelaskan sumbu

tersebut adalah variabel ortofosfat. Korelasi antar variabel dan sumbu utama

tersebut dapat dilihat pada gambar 17 A dan 18 A.

41

Gambar 17 Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) A.korelasi

antar variabel, B Sebaran stasiun pada sumbu faktorial utama

Gambar 18. Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3), A.Korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama (F1 dan F3); B.Sebaran stasiun pada sumbu faktorial utama

Gambar 17 B dan 18 B menunjukkan bahwa stasiun I (Muara Donan)

memiliki salinitas, pH, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang tinggi

serta arus yang besar dan kedalaman perairan yang dalam. Stasiun II dicirikan

dengan oksigen terlarut dan kekeruhan yang tinggi sedangkan stasiun III

CRH

ARSDLM

T

PH

DO

SAL

TRBD

NO3

PO4

FITO

ZOO

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5

--ax

is 2

(21%

) -->

-- axis 1 (55% ) -->

Correlations circle on axes 1 and 2 (76% )

ST 1

ST 2ST 3

ST 4

ST 5

ST 6

CRH

ARSDLM

T

PH

DO

SAL

TRBD

NO3

PO4 FITO

ZOO

-3-2.5

-2-1.5

-1-0.5

00.5

11.5

22.5

-5 0 5 10

--ax

e 2

(21%

) -->

-- axe 1 (55% ) -->

Biplot on axes 1 and 2 (76% )

CRH

ARS

DLMT

PHDO SAL

TRBD

NO3

PO4

FITO

ZOO

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5

--ax

is 3

(12%

) -->

-- axis 1 (55% ) -->

Correlations circle on axes 1 and 3 (67% )

ST 1

ST 2

ST 3

ST 4

ST 5

ST 6

CRH

ARSDLM

T

PHDO SALTRBD

NO3

PO4

FITO

ZOO

-2.5

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

-5 0 5 10

--ax

e 3

(12%

) -->

-- axe 1 (55% ) -->

Biplot on axes 1 and 3 (67% )

A B

42

dicirikan oleh suhu air yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Stasiun II

(Donan) merupakan daerah aliran sungai yang cukup besar dan terbuka dimana

ada angin dan arus yang cukup membuat proses difusi udara berlangsung

sehingga menjamin adanya oksigen terlarut selain itu Donan juga merupakan

daerah alur transportasi dengan berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan

limbah ke perairan sehingga kekeruhan meningkat. Sementara itu Stasiun IV

cenderung memiliki turbiditas yang rendah dan kecerahan yang lebih tinggi

dibandingkan stasiun II. Stasiun IV (Sapurgel) merupakan perairan terbuka

bagian dari muara Sungai Sapuregel. Stasiun V dicirikan oleh kandungan N-NO3

yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sedangkan stasiun VI (Kembang

Kuning) ditandai dengan kandungan ortofosfat yang lebih tinggi dibandingkan

stasiun lainnya. Namun demikian rataan kadar ortofosfat di perairan tersebut

masih jauh di bawah ambang batas baku mutu air.

4.3 Distribusi Larva Ikan

Jika dilihat secara umum, distribusi setiap genus larva berbeda di setiap

stasiun. Larva ikan Tridentiger, Rhinogobius dan Gobiidae spp berada di seluruh

stasiun pengamatan dengan kelimpahan yang tinggi sedangkan Sardinella,

Herklotsichtys, Stolephorus dan Engraulis ditemukan dengan kelimpahan yang

tinggi hanya di beberapa lokasi (Gambar 19).

Tridentiger dan Rhinogobius terdapat di seluruh stasiun, namun

kelimpahan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung) dan IV. Stasiun III

merupakan aliran sungai diantara vegetasi bakau dan merupakan daerah hulu di

estuaria tersebut. Sedangkan stasiun IV merupakan muara Sapuregel sekaligus

pertemuan antara Sungai Sapuregel dan Kembang Kuning dengan daerah

sekitarnya merupakan vegetasi mangrove. Seperti halnya sebagian Gobiidae

lainnya, kedua jenis tersebut menyukai perairan estuari dengan vegetasi

mangrove serta daerah berlumpur atau berpasit. Larva Tridentiger yang

tertangkap di Cigintung dan Sapuregel didominasi oleh fase postflexion

sedangkan Rhinogobius didominasi oleh fase preflexion (Gambar 20 C dan D).

Sardinella terdistribusi di stasiun I, II, IV, V dan VI namun kelimpahan

tertinggi ada di stasiun I sementara Herklotsichthys hanya ditemukan di stasiun I.

Stolephorus terdistribusi di stasiun I, II dan VI namun kelimpahan tertinggi hanya

di stasiun II sementara Engraulis hanya ditemukan di stasiun II. Sardinella dan

Herklotsichthys yang tertangkap di stasiun I terdiri dari fase preflexion dan flexion

43

(Gambar 20 A) demikian pula dengan larva Stolephorus dan Engraulis yang

ada di stasiun I dan II (Gambar 20 A dan B). Hal tersebut menunjukkan bahwa

larva tersebut masih dalam tahap perkembangan morfologi setelah menetas.

Larva Omobranchus terdistribusi di semua stasiun pengamatan dengan

kelimpahan tertinggi di stasiun I sedangkan larva Parasyngnathus ditemukan di

seluruh lokasi penelitian dengan jumlah kelimpahan tertinggi di stasiun V

(Pisangan). Larva Omobranchus yang tertangkap di setiap stasiun terdiri dari

fase yang berbeda-beda, di stasiun I, III dan IV didominasi oleh fase flexion,

sedangkan di stasiun V didominasi fase preflexion dan di stasiun II adalah fase

postflexion (Gambar 20). Sementara itu, larva Parasygnathus yang tertangkap

lebih banyak merupakan fase postflexion.

Gambar 19. Distribusi larva ikan dominan di lokasi penelitian

I

II

III

IV

V

VI

Tridentiger

Gobiidae spp

Rhinogobius Parasyngnathus

Sardinella

Stolephorus Omobranchus

Engraulis Herklostsichthys

IV

44

A. Stasiun I B.Stasiun II

C Stasiun III

D. Stasiun IV

E. Stasiun V

F. Stasiun VI

: pre flexion; : flexion : post flexion

Gambar 20. Komposisi morfologi larva ikan secara spasial

Jika dilihat setiap bulan pengamatan, distribusi larva ikan pada bulan Juni

paling banyak di stasiun III (Cigintung) dan IV (Sapuregel) yang didominasi oleh

genus Tridentiger dan Rhinogobius (Gambar 21). Tridentiger tidak hanya

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Triden

tiger

Sardin

ella

Herklo

tsichtys

Stolep

ho

rus

Engrau

lis

Om

ob

ranch

us

Parasyn

gnath

us

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Triden

tiger

Rh

ino

gob

us

Go

biid

ae sp1

Go

biid

ae sp2

Sardin

ella

Stolep

ho

rus

Engrau

lis

Om

ob

ranch

us

Parasyn

gnath

us

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Triden

tiger

Rh

ino

gob

us

Go

biid

ae sp1

Go

biid

ae sp2

Sardin

ella

Herklo

tsichtys

Engrau

lis

Om

ob

ranch

us

Parasyn

gnath

us

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Triden

tiger

Rh

ino

gob

us

Go

biid

ae sp1

Go

biid

ae sp2

Sardin

ella

Herklo

tsichtys

Engrau

lis

Om

ob

ranch

us

Parasyn

gnath

us

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Triden

tiger

Rh

ino

gob

us

Go

biid

ae sp1

Sardin

ella

Om

ob

ranch

us

Parasyn

gnath

us

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Triden

tiger

Rh

ino

gob

us

Go

biid

ae sp1

Go

biid

ae sp2

Sardin

ella

Stolep

ho

rus

Engrau

lis

Om

ob

ranch

us

Parasyn

gnath

us

45

ditemukan di stasiun III dan IV namun juga tertangkap di stasiun lainnya namun

dalam kelimpahan yang lebih rendah dibandingkan di kedua stasiun tersebut.

Selain Tridentiger dan Rhinogobius, tertangkap pula larva Stolephorus di stasiun

I, II, IV dan VI.

Pada bulan Juli larva ikan terdistribusi paling banyak di stasiun I

(Gambar 22), dengan komposisi larva dominan adalah dari Clupeidae (Sardinella

dan Herklotsichthys). Selain ditemukan di stasiun I, larva Sardinella juga

terdapat di stasiun II, IV dan VI namun dalam jumlah yang lebih sedikit

sedangkan Herklotsichthys hanya ditemukan di stasiun I. Larva ikan lainnya yang

tertangkap di stasiun I adalah Omobranchus. Selain ketiga genus larva tersebut

pada bulan Juli juga tertangkap larva lainnya seperti Tridentiger, Rhinogobius,

Omobranchus dan Parasyngnathus.

Distribusi larva ikan pada bulan Agustus paling tinggi terdapat di stasiun II

(Donan) dengan larva dominan adalah famili Engraulidae yaitu Stolephorus dan

Engraulis (Gambar 23). Stolephorus dan Engraulis hanya tertangkap di stasiun II

sedangkan larva ikan seperti Tridentiger, Gobiidae spp dan Omobranchus

tertangkap di semua stasiun penelitian.

Larva Tridentiger, Rhinogobius, Omobranchus memiliki sebaran yang

luas di estuaria Pelawangan Timur serta di temukan setiap bulan pengamatan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan tersebut melakukan pemijahan selama

bulan-bulan pengamatan.

Gambar 21. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juni

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

I II III IV V VI

ind

/10

0m

3

Parasyngnathus

Rhinogobius

Tridentiger

Gobiidae sp 2

Gobiidae sp1

Stolephorus

Engraulis

Omobranchus

46

Gambar 22. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli

Gambar 23. Kelimpahan larva ikan pada bulan Agustus

4.4 Distribusi Larva Ikan Hubungannya dengan Kondisi Lingkungan Untuk mengetahui pola distribusi dan preferensi larva ikan tersebut

terhadap kelompok habitat dibuat matrik hubungan antara hasil pengelompokan

habitat dan larva ikan dan dilakukan analisa nodul memakai indeks constancy

dan fidelity. Analisis diawali dengan melakukan pengelompokan (cluster)

terhadap habitat (stasiun pengamatan) dan kelompok genus larva ikan.

Hasil analisis cluster terhadap stasiun pengamatan menghasilkan 2

kelompok yaitu kelompok 1 yang terdiri dari stasiun I, kelompok 2 terdiri dari

stasiun II,III, IV, V dan VI (Gambar 24).

0

50

100

150

200

250

300

350

I II III IV V VI

ind

/10

0m

3

Parasyngnathus

Rhinogobius

Tridentiger sp

Gobiidae sp 2

Gobiidae sp1

Sardinella

Herklotsichthys

Omobranchus

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

I II III IV V VI

ind

/10

0m

3

Parasyngnathus

Rhinogobius

Tridentiger

Gobiidae sp 2

Gobiidae sp1

Stolephorus

Engraulis

Omobranchus

c

47

Tree Diagram for 6 VariablesComplete Linkage

Euclidean distances

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

(Dlink/Dmax)*100

ST 3

ST 5

ST 6

ST 4

ST 2

ST 1

Gambar 24. Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter biofisika kimia perairan

Dari pengelompokkan tersebut terlihat bahwa stasiun I berdiri sendiri,

sedangkan stasiun II,III, IV,V dan VI membentuk satu kelompok, artinya bahwa

stasiun I memiliki karakteristik yang berbeda dengan stasiun lainnya. Seperti

diketahui bahwa stasiun I terletak di mulut estuaria dimana karakteristik

parameter kualitas air masih sangat kuat dipengaruhi oleh massa air laut, hal

tersebut terlihat dari nilai salinitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun

lainnya sedangkan stasiun II, III, IV, V dan VI merupakan bagian dari aliran

sungai yang mendapatkan pengaruh air laut dan terletak lebih jauh dari mulut

estuaria sehingga kisaran nilai salinitas lebih rendah dibandingkan dengan

stasiun I. Sedangkan hasil analisis cluster untuk komunitas larva ikan (Gambar

25) menghasilkan 6 kelompok sebagai berikut.

48

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

(Dlink/Dmax)*100

ParasyngnathusGobiidae sp 2

Stolephorus spEleotris

Engraulis spPomacentrus

GerresGobiidae sp1Hypoatherina

SardinellaUpeneus sp

SilagoHerklotsichthys

Tetraodontidae spLiza

CaranxOmobranchus

MugilParachaeturichthys sp

AcentrogobiusCynoglossus

Ostracidae spRhinogobius

Tridentiger spSecutor

oostethusRediogobius

GlossogobiusPomachantidae sp

ParapercisEleutheronema

Ambassis

Gambar 25. Pengelompokan larva ikan dengan analisis cluster

Tabel 7. Kelompok Larva Ikan Hasil Analisis Cluster A B C D E F

Ambassis Eleutheronema Parapercis Pomachantus Glossogobius Oosthetus Secutor Tridentiger Rhinogobius Ostraciidae spp

Cynoglossus Acentrogobius Mugil Omobranchus

Caranx Liza Tetraodon Herklotsichthys Silago Upeneus Sardinella

Hypoatherina Gobiidae spp1

Gerres Pomacentrus

Engraulis Eleotris Stolephorus Gobiidae spp2 Parasyngnathus

Analisis dengan indeks constancy dan fidelity digunakan untuk melihat

keberadaan larva ikan pada habitatnya. Hasil analisis untuk indeks constancy

dan fidelity tertera pada Gambar 26 dan 27 di bawah ini.

49

Gambar 26. Analisis nodul berdasarkan indeks constancy

Gambar 27. Analisa nodul berdasarkan indeks fidelity

Hasil analisis nodul menunjukkan bahwa larva ikan dari jenis kelompok A

memiliki nilai constancy yang tinggi di semua kelompok stasiun namun nilai

fidelity yang cenderung rendah. Tingginya nilai constancy di kedua kelompok

habitat menunjukkan bahwa larva ikan dari kelompok tersebut memiliki

kecenderungan terdistribusi di seluruh habitat perairan estuaria tersebut.

Kelompok larva ikan A terdiri dari family Gobiidae seperti Glossogobius,

Tridentiger, Rhinogobius; famili Polynemidae (Eleutheronema), Ambassidae

≥ 0,7: sangat tinggi

≥ 0,5 : tinggi

<0,1: sangat rendah

≥ 0,1 : rendah

≥ 0,3 :sedang

keterangan

<1 sangat rendah

≥ 1 rendah

≥ 2 sedang

≥ 3 tinggi

≥ 4 sangat tinggi

I II

A

B

C

D

E

F

keterangan

I II

I

F

E

B

A

D

C

50

(Ambassis), Mugiloididae (Parapercis), Leioghnatidae (Secutor), Syngnathidae

(Oosthesus) Pomachanthidae (Pomachanthus) dan Ostraciidae. Dilihat dari

tingginya nilai constansy di kedua kelompok habitat menunjukkan bahwa larva

ikan tersebut memiliki sebaran yang luas di perairan estuaria Pelawangan Timur.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan di perairan estuaria

mendukung kehidupan larva tersebut. Sebagian besar dari ikan tersebut

merupakan ikan-ikan khas daerah estuaria dan mangrove yang berada di

estuaria selama hidupnya seperti Gobiidae, Mugiloididae, Polynemidae dan

Ambassidae (Leis andCartson-Ewart, 2000; Strydom and d’Hotman, 2005).

Larva ikan dari kelompok B terdiri dari Cynoglossidae (Cynoglossus),

Gobiidae (Acentrogobius), Mugiliidae (Mugil) dan Blenniidae (Omobranchus)

ditemukan di kelompok habitat 1 (stasiun I) dan 2 (stasiun II,III, IV, V dan VI).

Larva tersebut memiliki kecenderungan berada di kelompok habitat II yang

ditunjukkan dengan tingginya nilai constancy pada kelompok habitat tersebut.

Namun demikian nilai fidelity tergolong rendah di habitat tersebut.

Larva ikan dari kelompok C terdiri dari Caranx, Liza, Tetraodon,

Herklotsichthys, Silago, Upeneus dan Sardinella. Jenis ikan dari kelompok

tersebut merupakan ikan-ikan dengan habitat pesisir dan laut. Hasil analisis

menunjukkan bahwa kelompok larva ikan tersebut memiliki nilai indeks

constancy dan fidelity yang sangat tinggi di kelompok habitat 1 dan rendah di

kelompok habitat 2. Hal tersebut menunjukkan keberadaan kelompok larva

tersebut di habitat 1 (stasiun I) yang merupakan bagian terluar dari estuaria dan

masih memiliki pengaruh masa air laut yang cukup besar. Stasiun I merupakan

perairan yang terletak di mulut estuaria terluar, dimana pengaruh massa air laut

masih cukup kuat. Jenis ikan dari kelompok C tersebut merupakan ikan-ikan

dengan habitat pesisir dan laut yang menggunakan ekosistem estuaria sebagai

daerah asuhan (nursery ground) bagi larvanya (Carpenter and Niem,1999;

Criales et al., 2002; Strydom and d’Hotman, 2005). Ikan-ikan yang memiliki

affinitas dengan laut seperti famili Clupeidae (Sardinella) cenderung memilih

lower estuary yang masih memiliki karkateristik massa air laut yang kuat untuk

memijahkan telur dan membesarkan anak-anaknya. Hal tersebut diperkuat pula

dengan melimpahnya larva fase preflexion di habitat tersebut. Fase preflexion

merupakan fase awal perkembangan larva setelah menetas dan cadangan

makanan berupa kuning telurnya habis.

51

Larva ikan dari kelompok D terdiri dari Hypoatherina dan Gobiidae spp.

Larva kelompok D memiliki konsistensi yang sedang dikelompok habitat 2 namun

rendah di habitat 1 sedangkan nilai fidelity rendah di kedua kelompok habitat

tersebut. Larva kelompok D cenderung terdistribusi ke tipe habitat 2 yang

merupakan aliran sungai dan daerah hulu di sekitar vegetasi mangrove.

Hypotherina merupakan famili Atherinidae yang mendiami habitat perairan

pesisir dan mangrove. Larva kelompok E yang terdiri dari Gerres dan

Pomacentrus memiliki nilai constancy yang sedang di kelompok habitat 1,

artinya bahwa kedua jenis larva tersebut lebih cenderung ditemukan di habitat 1.

Gerres merupakan jenis ikan yang hidup di perairan pantai dan menyukai

perairan dangkal, jernih dengan dasar berpasir dan terkadang masuk ke perairan

estuaria. Pomacentrus menyukai perairan pesisir laut terutama daerah laguna

dan karang.

Larva ikan dari kelompok F terdiri dari Stolephorus, Engraulis, Eleotris

dan Parasyngnathus. Larva ikan tersebut cenderung berada di kelompok habitat

2 terutama di perairan Sungai Donan. Larva ikan Engraulidae memiliki

keterkaitan yang tinggi dengan ekosistem estuaria. Hasil penelitian Morais et al.,

(2010) menunjukkan bahwa ikan Engraulidae memilih daerah estuaria untuk

memijahkan telur sehingga larvanya akan berkembang di daerah tersebut

terutama pada salinitas yang lebih rendah dan bermigrasi ke daerah dengan

salinitas yang lebih tinggi pada fase dewasa.

Hasil analisa pada kelompok larva ikan tersebut di atas menghasilkan

nilai indeks constancy yang jauh berbeda dengan nilai indeks fidelity seperti pada

kelompok A dimana nilai constancy tinggi sementara fidelitynya rendah, demikian

juga yang terjadi pada kelompok lainnya. Indeks constancy menunjukkan

keberadaan menunjukkan kemunculan kelompok larva ikan pada suatu

habitat/tempat dalam setiap kemungkinan kejadian, sedangkan fidelity lebih

berkaitan dengan ketetapan larva ikan dalam memilih tipe habitat yang sesuai

untuk kehidupannya. Perbedaan nilai indeks constancy dan fidelity yang jauh

tersebut disebabkan karena larva ikan masih bersifat planktonik sehingga

keberadaannya di suatu habitat perairan lebih ditentukan karena arus yang

membawanya sehingga dalam hal ini larva ikan belum memiliki kemampuan

untuk berenang memilih perairan yang sesuai untuk hidupnya. Hal tersebut yang

menyebabkan nilai fidelity yang rendah.

52

Larva Tridentiger, Rhinogobius, Omobranchus tersebar luas di perairan

estuaria Pelawangan Timur. Keberadaan Tridentiger di stasiun IV dan III cukup

besar ditandai dengan kelimpahannya yang tinggi dibandingan di stasiun lainnya.

Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama terhadap parameter lingkungan

dan stasiun pengamatan, stasiun III dicirikan oleh parameter suhu air sedangkan

stasiun IV dicirikan oleh kecerahan yang tinggi atau turbiditas yang rendah.

Sedangkan hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa suhu air dan

kekeruhan berkorelasi positif terhadap kelimpahan larva tersebut dengan nilai

korelasi masing-masing 0,25 dan 0,33 (P<0,05) (Lampiran 9). Sementara itu

hasil analisis korelasi antara kelimpahan larva dan parameter lingkungan

menunjukkan bahwa suhu air merupakan faktor yang berkorelasi positif dengan

kelimpahan larva Rhinogobius. Beberapa jenis dari Gobiidae menyukai perairan

dengan suhu yang hangat untuk melakukan pemijahan dan perkembangan telur

serta larva. Korelasi positif antara kekeruhan dan kelimpahan larva Tridentiger

menunjukkan bahwa kondisi perairan estuaria yang keruh tidak menjadi

penghalang bagi keberadaan larva Tridentiger. Kekeruhan juga memberikan

ruang gerak yang terbatas bagi predator untuk memangsanya. Hasil analisis

korelasi antara kelimpahan larva Omobranchus dengan parameter kualitas

lingkungan menunjukkan bahwa salinitas, kecerahan dan fitoplankton berkorelasi

positif terhadap kelimpahan larva Omobranchus.

Hasil analisis nodul menunjukkan bahwa larva Stolephorus memiliki

constancy yang tinggi di kelompok habitat 2 (stasiun II, III, IV V dan VI).

Kelimpahan larva Stolephorus paling tinggi terdapat di stasiun II (Donan).

Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama sebelumnya menunjukkan bahwa

stasiun II dicirikan oleh kadar oksigen dan kekeruhan yang tinggi. Namun hasil

analisis korelasi menunjukkan bahwa parameter lingkungan yang berkorelasi

positif dengan kelimpahan larva adalah suhu, kekeruhan dan arus berkorelasi

positif dengan masing-masing nilai koreasi adalah 0,39; 0,31 dan 0,40 (P<0,05)

(Lampiran 10). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Tzeng et al. (2008), yang

menyatakan bahwa rekrument larva Stolephorus insularis meningkat pada saat

musim panas ketika suhu perairan tinggi, sedangkan menurut Arockiamary et al.

(2011), kelimpahan telur Engraulidae berkorelasi posistif dengan suhu air.

Sedangkan arus air berperan membawa larva ikan masuk ke perairan estuari.

Namun dalam penelitian ini belum tergambar dengan jelas peran arus terhadap

distribusi larva di perairan estuari. Korelasi positif antara kekeruhan dan

53

kelimpahan larva Stolephorus menunjukkan bahwa larva Stolephorus masih

dapat bertahan hidup pada perairan yang keruh.

Larva Engraulis ditemukan melimpah pada tempat yang sama dengan

Stolephorus. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat

korelasi antara kekeruhan dengan kelimpahan larva tersebut. Kiddeys et al.,

(1999) menyatakan bahwa distribusi telur dan larva anchovy (Engraulis)

berkorelasi secara nyata dengan salinitas, suhu dan zooplankton. Namun

dengan melihat adanya korelasi antara larva Engraulis dengan kekeruhan

menunjukkan bahwa larva tersebut masih dapat bertahan pada kondisi

lingkungan yang keruh.

Sardinella dan Herklotsichtys merupakan larva yang memiliki constancy

dan fidelity tinggi di kelompok habitat 1 (stasiun I). Berdasarkan analisis

komponen utama, stasiun I dicirikan oleh parameter salinitas dan kelimpahan

fitoplankton yang tinggi. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa salinitas dan

fitoplankton berkorelasi positif terhadap kelimpahan larva Sardinella dengan

masing-masing nilai korelasi 0,26 dan 0,36 (p<0,05), demikian pula dengan larva

Herklotsichthys memiliki korelasi positif dengan salinitas (0,253, p<0,05). Famili

Clupeidae menyenangi perairan dengan kadar salinitas yang lebih tinggi

dibandingkan perairan tawar, bahkan Cupeidae akan masuk ke perairan

estuaria yang dekat dengan laut dimana pengaruh massa air laut masih cukup

besar ditandai dengan salinitas yang masih tinggi untuk melakukan pemijahan

dan pengasuhan bagi larvanya (Carpenter and Niem, 1999).

Larva ikan Tridentiger dan Rhinogobius ditemukan di seluruh lokasi

penelitian pada setiap waktu pengamatan dengan berbagai bentuk tahapan

perkembangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan

penghuni tetap perairan estuari Pelawangan Timur dan melakukan pemijahan

sepanjang bulan pengamatan. Sedangkan jenis ikan lainnya seperti Sardinella,

Herklotsichthys, Stolephorus dan Engraulis yang hanya ditemukan melimpah

pada waktu dan lokasi tertentu merupakan ikan yang masuk ke perairan estuaria

berkaitan dengan aktivitas pemijahan serta pengasuhan larvanya. Menurut

penelitian Morais and Morais (1994), larva Engraulidae selalu ditemukan di

perairan estuari. Beberapa jenis ikan laut memiliki ketergantungan terhadap

ekosistem estuaria dalam siklus hidupnya terutama pada fase larva. Pada saat

memijah, beberapa jenis ikan laut akan masuk ke perairan estuaria sehingga

larva-larva ikan yang baru menetas akan berada di perairan tersebut hingga

54

berkembang menjadi juvenil. Beberapa jenis ikan dari famili Clupeidae, akan

masuk ke perairan estuaria terutama di bagian muara (upper estuary) untuk

memijah dan larva-larva yang ditetaskan akan berkembang di perairan tersebut.

Berdasarkan komposisi, kelimpahan, distribusi dan analisis nodul (indeks

constancy dan fidelity) serta beberapa pustaka mengenai siklus hidup dan

habitat ikan, beberapa Genus ikan yang berada di Estuaria Pelawangan Timur

terdiri dari ikan yang merupakan penghuni tetap estuaria (resident), ikan yang

melakukan migrasi ke estuaria dalam siklus hidupnya (migratory) atau pun ikan

yang hanya sesekali berada di estuaria selama siklus hidupnya (occasional)

(Tabel 8).

Tabel 8. Kelompok ikan berdasarkan siklus hidupnya di ekosistem estuaria Genus Kelompok Keterangan Ambassis estuaria komersial Hypoatherina estuaria non komersial Omobranchus estuaria non komersial Cynoglossus sesekali di estuaria non komersial Caranx sesekali di estuaria komersial Sardinella bermigrasi ke estuaria komersial Herklotsichthys bermigrasi ke estuaria komersial Stolephorus bermigrasi ke estuaria komersial Engraulis bermigrasi ke estuaria komersial Eleotris estuaria non komersial Gerres sesekali di estuaria non komersial Tridentiger estuaria non komersial Rhinogobius estuaria non komersial Glossogobius estuaria non komersial Secutor sesekali estuaria non komersial Leioghnathus sesekali di estuaria komersial Mugil estuaria komersial Parapercis estuaria non komersial Upeneus sesekali di estuaria komersial Ostraciidae spp sesekali di estuaria non komersial Pomacentrus sesekali di estuaria non komersial Pomachantus estuaria non komersial Eleutheronema estuaria komersial Silago sesekali di estuaria komersial Parasyngnathus estuaria non komersial Tetraodontidae spp sesekali di estuaria non komersial

4.5.Komposisi Jenis Ikan di Estuaria Pelawangan Timur

Perairan estuaria Pelawangan Timur merupakan kawasan perairan yang

dimanfaatkan oleh nelayan setempat sejak lama untuk menangkap ikan.

Beberapa lokasi yang merupakan daerah penangkapan meliputi Sapuregel,

55

Kembang Kuning dan Karang Bolong (di sekitar Muara Donan). Alat tangkap

yang digunakan oleh nelayan setempat meliputi apong (Fyke net) dan jaring. Alat

tangkap dominan yang beroperasi di kawasan tersebut adalah apong. Apong

merupakan alat tangkap pasif yang dioperasikan dengan mengandalkan kondisi

pasang surut air laut. Ketika kondisi pasang, banyak ikan yang masuk ke

perairan estuaria dan masuk ke dalam perangkap apong. Ketika air surut

nelayan setempat akan mengambil hasil tangkapan dari apong tersebut.

Perairan Pelawangan Timur memiliki berbagai jenis ikan yang

dimanfaatkan oleh nelayan setempat. Selain ikan, hasil tangkapan nelayan

tersebut adalah udang. Jenis ikan di kawasan Pelawangan Timur didominasi

oleh ikan teri (Engraulidae). Komposisi jenis ikan di estuaria Pelawangan Timur

yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan setempat adalah sebagai berikut:

Tabel 9. Jenis dan komposisi ikan hasil tangkapan nelayan di Pelawangan Timur, Segara Anakan.

Nama Daerah Jenis Famili Proporsi(%) Teri Stolephorus sp Engraulidae 51,20 Petek Leiognathus sp; Secutor sp Leioghnatidae 4,73 Layur Trichurus sp Trichluridae 3,27 Mursia Sardinella sp Clupeidae 8,10 Leak Thryssa sp Engraulidae 4,40 Kiper Scatophagus argus Scatophagidae 3,14 Belanak Mugil cephalus Mugilidae 3,22 Cangkek Caranx sp Carangidae 3,01 Rek rekan Pomadasys argenteus Pomadacidae 0,16 Kapasan Gerres sp Gerreidae 2,41 Pempreng Apogon sp Apogonidae 5,44 Lendra Cynoglossus sp Cynoglossidae 2,12 Kuro Eleutheronema tetradactylum Polynemidae 0,31 Bojor Silago sihama Silaginidae 1,15 Tiga waja Johnius sp Scianidae 0,23 Kuniran Upeneus sp Mullidae 1,50 Tungon Trypauchen sp Gobiidae 3,14 Buntal Tetraodon sp Tetraodontidae 0,20 Terogan Therapon theraps Theraponidae 0,16 Pelus Anguilla sp Anguillidae 2,11

4.6 Implikasi Penelitian Larva Ikan di Estuaria Pelawangan Timur bagi

Pengelolaan Perikanan Pengetahuan mengenai komunitas larva ikan dan dinamikanya dalam

suatu perairan menjadi salah satu unsur yang diperlukan dalam kerangka

pengelolaan sumberdaya ikan di suatu kawasan perairan. Data mengenai

sebaran larva ikan di suatu perairan menjadi salah satu informasi untuk

56

mengetahui tempat pemijahan (spawning ground) dan pengasuhan (nursery

ground) ikan yang diperlukan untuk upaya pengelolaan sumberdaya ikan melalui

perlindungan habitat pemijahan dan pengasuhannya. Sebagaimana diketahui

bahwa fase larva merupakan fase kritis dalam siklus hidup ikan yang akan

menentukan keberlanjutan stoknya maka perubahan habitat pemijahan dan

pengasuhan akibat degradasi lingkungan perairan akan menjadi ancaman bagi

keberlanjutan stok ikan di perairan. Saat ini data mengenai komunitas larva ikan,

dinamika serta sebarannya di perairan menjadi data penting untuk menentukan

kawasan refugia perikanan (fisheries refugia) (UNEP, 2007).

Kawasan estuaria Pelawangan Timur merupakan alur lalu lintas kapal

dari beberapa kegiatan industri di sekitarnya. Selain itu beberapa wilayah di

perairan tersebut merupakan daerah penangkapan ikan oleh nelayan. Dalam

Perda Kab. Cilacap No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Perikanan di

Kawasan Segara Anakan, telah dinyatakan adanya kawasan lindung yang

meliputi kawasan perairan pintu masuk bagian timur dari samudera Hindia (pintu

masuk kawasan Pelawangan Timur) sampai perairan Sungai Sapuregel, daerah

pertemuan Sungai Sapuregel dan Kembang Kuning (Gambar 28).

Gambar 28. Peta kawasan lindung dan lokasi penelitian di Pelawangan Timur

57

Berdasarkan data komunitas larva ikan yang diperoleh di estuaria

Pelawangan Timur, maka beberapa kawasan perairan tersebut perlu

dipertimbangkan untuk menjadi daerah perlindungan bagi ikan-ikan laut yang

melakukan pemijahan di kawasan estuaria. Beberapa stasiun pengambilan

sampel termasuk ke dalam kawasan lindung yang ditetapkan oleh pemerintah

Kabupaten Cilacap (Gambar 28). Berdasarkan data sebaran komunitas larva

ikan, implementasi kawasan lindung harus segera dilaksanakan mengingat

potensi kawasan tersebut sebagai daerah pemijahan dan pengasuhan larva

namun hingga saat ini kawasan tersebut masih menjadi daerah penangkapan

oleh nelayan dengan alat tangkap apong (Fyke net).