37 Sonny de Hoop

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    1/28

    37 SONNY DE HOOP

    YANG membentur pedang Edoh Permana-sari dengan tenaga dahsyat, adalah

    Sangaji. Pemuda itu lagi disibukkan oleh rumun otaknya, mula-mula tidak menaruh

    perhatian lagi pada semua yang terjadi dalam gelanggang. Sampai tiba-tiba ia

    melihat Sidi Mantra jatuh bergelimpangan di tanah. Kemudian keterangan tentang

    jarum Gunung Gilu yang berbisa. Mendengar dan menyaksikan betapa hebat racun

    jarum itu, ia mengerutkan kedua alisnya.

    Sebagai murid Wirapati, ia diajar membenci semua macam senjata racun. Apalagi

    yang berwujud senjata bidik. Teringat betapa seng-sara gurunya akibat kena racun,

    darah ksatrianya terbangun dengan serentak. Melihat Edoh Permanasari hendak

    menghabisi nyawa Sidi Mantra, ia memungut batu dan menyentilnya dengan

    tenaga dua bagian. Pedang Edoh Permanasari yang turun deras ke bawah, terpental

    ke udara dan tertancap separuh dalam tanah. Dengan demikian betapa dahsyattena-ga Sangaji tak dapat dibayangkan lagi.

    Sedang ia mengira Edoh Permanasari bakal kabur oleh peristiwa itu, enam jarum

    beracun menyambar Inu Kertapati.

    Dalam dirinya mengalir ilmu sakti Mayangga Seta warisan Kyai Kasan Kesambi yang

    sudah mendarah daging dengan ilmu sarwa sakti lainnya. Dahulu sebelum

    memperoleh ajaran ilmu Mayangga Seta ia sudah dapat menangkap suara napas

    Fatimah tatkala kena aniaya di seberang lapangan. Apalagi kini. Dengan tak

    bersusah payah ia bisa menangkap jumlah enam batang jarum yang berdesingan.

    Ilmu melepas jarum Edoh Permanasari sangat terkenal kecepatannya. Tapi ilmu

    membidik senjata rahasia ajaran pendekar Gagak Seta lebih cepat lagi. Begitu

    terlepas dari tangan Sangaji keenam batang jarum Gunung Gilu runtuh tersebar di

    tanah.

    Baik Edoh Permanasari maupun Inu Kertapati, tertegun seperti kena pukau. Edoh

    Permanasari kabur dan Inu Kertapati mene-barkan penglihatannya mencari tempat

    ber-adanya penolongnya. Dan pada saat itu, Sangaji muncul dari tempat

    persembunyian-nya.

    Waktu itu fajar hari masih berselimut tirai tebal. Inu Kertapati hanya melihat

    sesosok ba-yangan yang datang menghampiri dengan tiba-tiba. Dengan terbata-

    bata ia menyong-song.

    "Siapa Tuan yang sudi mengulurkan tangan menolong nyawa kami?"

    Sangaji tidak mengindahkan kata-kata penyambut itu. Mengingat ucapan Edoh Per-

    manasari, ia mengkhawatirkan keadaan Sidi Mantra, maka ia menyahut,

    "Bagaimana keadaan Paman Sidi Mantra?"

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    2/28

    Mendengar kata-kata Sangaji, Inu Kertapati tertegun. Ia nyaris tak percaya kepada

    pen-dengarannya sendiri. Bukankah itu suara Sangaji. Ia berkata mencoba, "Apakah

    Tuan... eh... Saudara Sangaji?"

    "Ya... Itulah aku."

    Kalau orang menemukan sebutir berlian, tidaklah segirang rasa Inu Kertapati pada

    saat itu. Hatinya terharu, lega dan bangga. Seperti kanak-kanak memperoleh

    hadiah sebatang cokelat ia melompat dan menggandeng tangan Sangaji.

    "Bagaimana engkau bisa datang ke sini?" katanya.

    "Marilah kita periksa dahulu lukanya Paman Sidi Mantra!" ajak Sangaji.

    Sidi Mantra kala itu tidak berkutik lagi. Napasnya kempas-kempis dan berada dalam

    keadaan lupa ingat. Buru-buru Inu Kertapati menyalakan api. Ternyata kaki Sidi

    Mantra menjadi bengkak dan bersemu hitam hangus.

    Inu Kertapati memekik tertahan, la melihat sebatang jarum menancap di bawah

    lutut Sidi Mantra. Sebagai seorang pendekar yang sudah kenyang merasakan

    asinnya garam, segera mengetahui betapa jahat racun jarum Gunung Gilu.

    Tak kusangka begini ganas racunnya, pikir-nya dalam hati. Hanya sebatang, namun

    cukup kuat merenggut nyawa orang semacam Sidi Mantra.

    Teringat betapa Edoh Permanasari mene-barkan beberapa batang jarum

    kepadanya, ia menggeridik tak setahunya sendiri. Mendadak dengan acuh tak acuh

    Sangaji mencabut jarum itu dengan tangannya. Keruan saja ia kaget dengan

    berseru,"Jangan raba!"

    Ia tak mengetahui, bahwa dalam tubuh Sangaji mengalir getah sakti Dewadaru dan

    Madu Tunjungbiru penolak dan pelawan segala bisa di dunia betapa jahatpun.

    Dengan tenang, Sangaji mengurut kaki Sidi Mantra. Kemudian ia mendorong bisa

    jarum Gilu ke ujung kaki.

    Sebentar saja, bisa yang sudah bercampur dengan darah merembes ke luar melalui

    lubang keringat dan menetes ke tanah dengan warna hitam.

    Semenjak kena diurut Sangaji, perasaan Sidi Mantra menjadi enteng. Ia sadar

    kembali dengan begitu saja. Dan tatkala semua racun yang mengeram dalam

    dirinya merembes ke luar, perasaan kakunya lenyap. Dengan mata kepalanya

    sendiri ia menyaksikan betapa bisa jarum Gilu menetes ke tanah. Berbareng de-

    ngan rasa ngerinya, ia heran dan kagum meli-hat penolongnya. Mau ia berkata,

    mendadak suatu hawa yang nyaman luar biasa membanjir bagaikan air bah

    merayap memasuki semua jalan darahnya. Seketika itu juga, seluruh perasaannya

    menjadi segar bugar, bengkaknya hilang. Terus saja ia melompat bangun sambil

    berseru, "Saudara Sangaji! Ilmu malaikat ini kau peroleh dari mana?"

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    3/28

    Dengan air mata berlinangan, Sidi Mantra membungkuk membuat sembah. Hatinya

    ter-haru sampai dadanya terasa menjadi sesak. Semenjak menjadi pemuda

    tanggung, ia sudah mendengar tentang dahsyatnya jarum berbisa dari Gunung

    Gilu. Sepanjang pendengarannya belum pernah ada seorangpun yang bisa hidup

    kembali apabila kena bisa racun berbisa itu.

    Kecuali bisa mendapat ampun dari pembidik-nya. Karena itu ucapannya terhadap

    Sangaji benar-benar tidak berlebih-lebihan. Katanya lagi setelah menyusut air mata.

    "Saudara dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan betapa benar kata-kata

    pendekar Tunjungbiru. CJntuk zaman ini tiada manusia lain lagi yang melebihi

    kesaktianmu. Sungguh. Demi Tuhan, maka benar-benarlah engkau yang pantas

    memiliki kalung berlian pusaka Kerajaan Banten. Aku sekarang mati-pun puas."

    Setelah berkata demikian ia membungkuk hormat lagi. Lalu berkata kepada Inu

    Kerta-pati, "Kertapati! Salah tidak apa yang kuka-takan ini?"

    Inu Kertapati mengangguk seraya melirik pedang Sokayana yang tergantung di

    ping-gang Sangaji. Dengan sungguh-sungguh ia menyahut, "Kita berdua ini rasanya

    pantas menjadi kerbau-kerbau sembelihan. Saudara Sangaji pasti sudah berada di

    sini semenjak tadi. Tapi kita sama sekali tak mengetahui. Apakah pantas kita

    mempunyai telinga yang begini enak-enak bercokol di kepala? Pedang Sokayana

    berada di tangan Saudara Sangaji, samalah halnya seekor kuda perang mene-

    mukan majikannya yang tepat."

    Tak biasa Sangaji menerima pujian yang dirasakan berlebih-lebihan segera ia

    berkata mengalihkan pembicaraan.

    "Paman! Siapakah sebenarnya Edoh Per-manasari? Ke mana dia pergi? Mengingat

    dia , masih sempat menyerang Paman Inu Kerta-pati sewaktu hendak kabur,

    pastilah dia bisa berbuat di luar dugaan kita untuk melampias-kan rasa

    kecewanya."

    "Ah, ya!" Inu Kertapati dan Sidi Mantra menyahut hampir berbareng. "Dia seperti

    iblis. Sebentar datang, sebentar hilang. Ke mana perginya hanya setan yang tahu."

    "Mari!" ajak Sangaji. Dan begitu menjejak-kan kaki, tubuhnya musnah dari

    penglihatan.

    Inu Kertapati dan Sidi Mantra kagum luar biasa. Setelah saling memandang merekasegera menancap gas. Mereka termasuk go-longan pendekar utama, namun

    demikian tak mampu melihat bayangan Sangaji meski sekelebatpun. Hati mereka

    bertambah-tambah menjadi kagum. Diam-diam mereka merasa takluk. Terpaksalah

    mereka membuang rasa kehormatan diri dan berteriak-teriak sekuat-kuatnya:

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    4/28

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    5/28

    Selama hidupnya baru untuk yang pertama kali itu, Sangaji memperlihatkan rasa

    marah-nya. Itupun sebenarnya tak disengajanya. Yang terasa di dalam dirinya

    adalah suatu kegon-cangan hati oleh kesan suatu penglihatan yang menusuk darah

    ksatrianya. Ia ingin berteriak menggugat terjadinya peristiwa itu. Dan berteriaklah

    dia. Saling menyusul. Akibatnya hebat. Ilmu saktinya yang tersekam dalam lubuk

    hatinya bergolak dahsyat. Meluap-luap dan akhirnya meruap tiada terbendung lagi.Belum habis gelombang teriakan yang pertama sudah disusul yang kedua yang

    ketiga dan seterusnya. Ia merasakan suatu kelegaan dan berhenti dengan

    mendadak.

    Inu Kertapati dan Sidi Mantra tadi tak berkesempatan menutup telinganya. Syukur,

    mereka bukanlah orang lemah. Ilmu kepandaiannya sebanding dengan pendekar-

    pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Namun masih saja mereka tak kuasa

    mempertahankan diri. Setelah terpental dua puluh langkah mereka jatuh

    bergulingan. Cepat-cepat mereka.duduk bersila mengatur napas. Tak urung

    tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat lesi.

    "Saudara Sangaji! Ini ilmu apa?" seru Sidi Mantra dengan bergetar. Sepanjang

    hidupnya baru kali itu ia menyaksikan ilmu sakti demikian, hingga mengira Sangaji

    adalah penjelmaan Dewa Wisnu. Katanya lagi penuh rasa kagum, "Suara

    tantanganmu benar-benar tak ubah jerit seratus ribu ekor gajah dengan

    berbareng." Ia mengira Sangaji melepaskan teriakkan tantangan terhadap Edoh

    Permanasari.

    Inu Kertapati yang sudah berhasil mengua-sai diri, meloncat bangun dan berkata

    kagum pula, "Hebat! Sungguh hebat! Dengan suara bergelora demikian seseorang

    akan bisa me-nguasai seluruh Nusantara. Karena setiap orang akan mendengarkan

    tiap titahnya. Sau-dara Sangaji! Engkaulah manusianya yang benar-benar tepatmemimpin kami."

    Sangaji tak menyahut seolah-olah tak mendengar suara mereka. Hatinya pepat

    meli-hat mayat-mayat tak berdosa bergelimpangan di antara reruntuhan

    perkampungan. Dengan berdiam diri ia membuat lubang besar. Kemudian

    mengumpulkan mayat-mayat itu dan menguburnya dengan penuh hormat. Sudah

    barang tentu Inu Kertapati dan Sidi Mantra tak mau ketinggalan. Walaupun mere-ka

    bukan manusia-manusia penjilat, tapi mereka bekerja seperti berebutan oleh rasa

    bangga dan berbesar hati. Ini disebabkan karena mereka merasa takluk dan kagum

    luar biasa terhadap Sangaji. Tidak mengherankan bahwa pekerjaan mengubur

    mayat-mayat itu rampung berbareng dengan tibanya pagi hari.

    Mereka balik memasuki kota Jakarta de-ngan berjalan. Setelah lama berdiam diri,

    akhirnya Inu Kertapati membuka mulut.

    "Sekarang pastilah Saudara mengetahui alasan-alasan kami datang membawa

    barang hantaran. Tetapi legakan hatimu bahwa tiada maksud kami menyuap

    dirimu. Hal itu terber-sit dari suatu ketulusan hati nurani seluruh rakyat Jawa Barat.

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    6/28

    Begini." Ia berhenti mengesankan. Sejenak kemudian meneruskan, "Semenjak

    Sultan Tua mengawini janda Fatimah, bekas istrinya seorang letnan kompeni,

    timbullah rasa tidak puas di kalangan rakyat Banten. Rasa tidak puas ini bertambah

    hari bertambah meluas sampai meruap di luar batas kerajaan, tatkala Ratu Fatimah

    menggulingkan tahta Kerajaan Sultan Tua. Barangkali engkau pernah mendengar

    pula tentang sepak terjang Ratu Fatimah yang berada di luar batas kesopanan."

    Sangaji mendengar sejarah Ratu Fatimah hanya selintasan tatkala mengintip pem-

    bicaraan pendekar Toha dan Kosim di dekat unggun batu Rababa Tapa. Hanya saja

    ia sangsi akan kebenarannya. Karena itu ia tak menyahut. Sebaiknya bagi rakyat

    Jawa Barat tidaklah asing. Maka oleh diamnya Sangaji, Inu Kertapati

    menganggapnya sudah menger-ti. Segera ia berkata melompat, "Ratu Bagus Boang

    mempersatukan segenap pendekar dari seluruh penjuru. Tetapi Ratu Fatimah

    ternyata siluman cerdik. Ia meminta bantuan kompeni serta mengerahkan sekalian

    murid-nya. Muridnya ditebarkan ke dalam tubuh laskar pejuang rakyat Banten

    untuk ditu-gaskan menggempur dari dalam. Sedangkan kompeni menggencet dari

    luar. Betapa hebat sepak terjang murid-murid Ratu Fatimah bisa dilihat dan diukur

    dari sepak terjang serta ketangkasan Edoh Permanasari. Padahal dia termasuk

    golongan murid termuda. Selain itu, Ratu Fatimah memecah pula golongan pen-

    dekar. Ia menguasai pendekar-pendekar yang hidup di sekitar Serang sampai Teluk

    Pela-buhan Ratu. Dari daerah sekitar Cibinong sampai Majalengka. Dan dari daerah

    sekitar Sukabumi sampai Cibatu. Itulah hampir selu-ruh Jawa Barat, Bisa

    dibayangkan betapa sempit daerah gerak pasukan Ratu Bagus Boang. Melihat

    kenyataan ini Ratu Bagus Boang berduka. Kemudian beliau mencoba mendekati

    pendekar sakti murid Resi Budha Wisnu. Tapi gagal."

    "Siapa?" Sangaji terkejut sewaktu mende-ngar disebutnya nama Resi Budha Wisnu.

    "Dialah pendekar sakti Watu Gunung. Mengapa? Apakah Saudara Sangaji kenal

    tokoh sakti itu?"

    Sangaji berbimbang-bimbang sejenak, lalu mengangguk. Memang ia kenal tokoh

    sakti itu. Dialah yang datang bersama-sama Warok Kuda Wanengpati, Adipati

    Pesantenan dan Lumbung Amisena dari Jawa Timur di pade-pokan Gunung Damar.

    Dia pernah mengadu kekuatan dengan Gagak Handaka dan Rang-gajaya. Kemudian

    dalam keadaan luka akibat adu tenaga, merasakan bogem mentah Sangaji di

    sebelah selatan Magelang.

    Mengingat kedatangannya di Gunung Damar bertalian dengan peristiwa pusakasakti Bende Mataram dan Kyai Tunggulmanik, Sangaji mengerenyitkan dahi. Betapa

    seder-hana hatinya, timbullah suatu dugaan dalam benaknya. Dia menolak ajaran

    Ratu Bagus Boang. Kemudian memerlukan datang ke Gu-nung Damar dengan

    saudara-saudara seper-guruannya untuk mencoba merebut pusaka Bende

    Mataram. Apakah dia mempunyai cita-cita sendiri untuk mempersatukan segenap

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    7/28

    pendekar Jawa Barat. Gntuk tujuan tertentu? Jangan-jangan dia seperti Pangeran

    Bumi Gede yang bercita-cita merebut tahta kera-jaan.

    Tiba-tiba terdengar suara Inu Kertapati berkata lagi, "Bagus! Jika engkau sudah me-

    ngenal tokoh itu, setidak-tidaknya akan me-ngurangi kesukaran kami di kemudian

    hari. Sebab pada waktu ini, dialah musuh kami yang utama. Gerak-geriknya sukardiduga. Berapa banyak korban rakyat kita yang mati di tangannya, tak terhitung

    lagi. Belum lagi bisa dan racun yang ditebarkan Ratu Fatimah. Belum lagi yang

    tewas berguguran menghadapi laras senapan kompeni." la berhenti sejenak.

    Meneruskan dengan suara rendah,"Selagi pihak kami terancam malapetaka, Ratu

    Bagus Boang dikabarkan musnah tiada jejak. Berita ini benar-benar mengejutkan

    hati segenap orang gagah. Seperti sebuah perahu layar kehilangan tiang agung,

    kami berjuang tanpa tenaga dorong. Dan perjuangan macam begini berarti

    menambah jumlah korban. Karena itu harapan kami kini hanya kepadamu."

    "Ya hanya kepadamu," Sidi Mantra me-nguatkan. "Kau mempunyai ilmu sakti tak

    ubah malaikat, masakan akan membiarkan kami menjadi bangkai-bangkai anjing."

    Semenjak tadi Sidi Mantra membungkam mulut. Tapi sekali berbicara kata-katanya

    tajam. Itulah yang membuat Edoh Perma-nasari menjadi kalap.

    "Saudara Sangaji" katanya lagi. "Biarpun umurku sudah melampui setengah abad

    dan engkau pantas menjadi cucuku tapi aku akan memanggilmu saudara. Peduli

    apa? Malahan sebentar lagi aku akan bisa memanggilmu Gusti Aji. Engkau tadi

    kusembah, karena engkau penolong jiwaku. Sekarang patutlah aku bersembah,

    karena engkau akan menjadi junjunganku." Setelah berkata demikian, benar-benar

    membuat sembah. Keruan saja Sangaji mengelak dengan tersipu-sipu.

    Inu Kertapati rupanya mempunyai pengli-hatan tajam. Semenjak tadi ia mengamat-

    amati pribadi Sangaji. Melihat kesederhanaan dan kemuliaan hatinya, segera ia

    menyetujui perbuatan rekannya. Terus saja ia bersimpuh menghadap Sangaji dan

    membungkuk serendah tanah. Berkata:

    "Kami datang membawa barang hantaran rakyat kepadamu dengan dalih memohon

    per-tolonganmu untuk membebaskan Ki Tun-jungbiru semata. Itulah tidak benar

    seluruhnya. Sebab di samping itu, kami atas nama rakyat Kerajaan Banten

    memohon padamu agar membebaskan seluruh rakyat Jawa Barat dari penindasan

    kompeni dan tindak sewenang-wenang sisa-sisa pengaruh Ratu Fatimah. Sekiranya

    engkau tidak mau mengabulkan hal ini, biarlah aku mati kering di sini serata tanah.

    Setelah berkata begitu, menelungkup men-cium tanah. Melihat perbuatan Inu

    Kertapati, mula-mula Sidi Mantra heran. Dasar ia perca-ya kepada kecerdasan

    kawannya, ia merasa perlu menambahi kata-katanya yang tajam. Katanya,

    "Kamarudin sudah mengorbankan keluarganya semata-mata menunaikan tugas

    rakyat yang dipikulkan di atas pundaknya. Masakan aku tak rela pula

    mengorbankan selembar jiwaku. Saudara Sangaji! Biarlah aku membungkuk begini

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    8/28

    sampai tulang belakangku habis digerogoti anjing, menunggu kata-kata

    keputusanmu."

    Mendengar kata-kata dan perbuatan mere-ka, hati Sangaji yang sederhana menjadi

    bi-ngung. Bergaul dengan para pendekar sema-cam mereka, bagi Sangaji bukan

    asing lagi. Ki Tunjungbiru dan Ki Hajar Karangpandan, berkelahi mati-matian limahari lima malam semata-mata perkara pantat. Kemudian mengadu betah-betahan

    tidak kawin. Dan Inu Kertapati serta Sidi Mantra adalah rekan Ki Tunjungbiru.

    Bukan mustahil mereka akan membuktikan ucapannya benar-benar. Ini disebabkan

    selain sepak terjang golongan pendekar semacam mereka sangat aneh, juga

    mereka bekerja bukan untuk kepentingannya sendiri. Sangaji sadar, bahwa di

    belakang punggung mereka tergelar suatu gelanggang perjuangan rakyat yang

    sedang mengadu hidup dan matinya.

    Mau tak mau Sangaji menghela napas pan-jang. Teringat kepada percakapan Inu

    Ker-tapati dan Edoh Permanasari, ia jadi perasa. Mereka sesungguhnya datang

    dengan barang mustika rakyat Jawa Barat oleh petunjuk Ki Tunjungbiru. Dan Ki

    Tunjungbiru mempunyai saham sangat besar dalam dirinya. Itulah getah sakti

    pohon Dewadaru. Tidak hanya itu. Pendekar Banten itu tak segan-segan pula

    mengadu nyawa mulai dari CibinongPeka-longan Kubangan batu dan padepokan

    Gunung Damar tanpa pamrih. Dan sekarang oleh petunjuk mereka datang padanya

    dan rela pula bersimpuh serta menyembah seperti budak-budak tiada guna.

    Masakan sampai hati hendak mengecewakan harapan orang tua itu?

    Tetapi bagaimana dengan persoalannya sendiri? Di hadapannya terbentang

    masalah Sonny de Hoop dan Titisari yang meramalkan sesuatu malapetaka

    terkutuk. Dan menerima persembahan rakyat Jawa Barat, bukanlah berartimelibatkan diri dalam persoalan baru yang maha besar?

    Dalam sekejap saja otak Sangaji sudah dirumun suatu persoalan baru yang tidak

    gampang-gampang diputuskan secara se-rampangan saja. la sekarang mengeluh

    dalam hati. Dalam kebimbangan dan kebingungannya mendadak tangannya

    menyentuh hulu pedang Sokayana. la terkesiap. Pedang inipun mempunyai

    kesaktian semacam kesaktian Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Dan teringat

    kedua pusaka warisan itu, teringat pulalah dia kepada sumpahnya di benteng batu

    setelah selesai menekuni rahasia guratan keris Tunggulmanik. Bukankah dia

    berjanji hendak mengamalkan ilmu sakti tiada tara itu untuk kebajikan sesama

    hidup? Tak disadari pula ia seperti mendengar suara gurunya Jaga Sara-denta kaladia hendak kembali ke Jakarta. "Ah, anak tolol! Karena itu engkau harus belajar

    mempunyai keputusan yang cepat, tegas dan tepat. Sebab hidup ini bagaikan

    gelanggang perkelahian. Kau akan diajak dan didorong untuk berkelahi. Kini kau

    sudah menjadi laki-laki penuh. Kau harus berani menempuh perjalanan hidup

    seorang diri..."

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    9/28

    Teringat akan kata itu, teringatlah dia kepada semua gurunya yang telah berani

    menge-sampingkan persoalan pribadi. Oleh pikiran itu terus saja ia menguatkan

    diri. Dengan menegakkan kepala ia berkata, "Paman! Bangunlah! Baiklah hal ini

    kupikirkan dahulu dengan perlahan-lahan." Lemah dan penuh bimbang bunyi

    keputusan Sangaji. Tetapi ini bukan suatu ramalan di kemudian hari. Ilmu sakti

    Bende Mataram dan Kyai Tunggulmanik menjanjikan pewarisnya akan merubahotaknya menjadi cerdas luar biasa tegas dan gagah tak terlawan. Kebimbangannya

    itu disebabkan karena dalam usia muda sudah dihadapkan suatu persoalan yang

    maha berat dan maha pelik. Kelak setelah memperoleh pengalam-an-pengalaman

    keputusannya bahkan akan mengejutkan dan menggegerkan pendekar-pendekar

    tua yang sudah kenyang makan garam. Tetapi Sidi Mantra tak mau mengerti

    persoalan rumit yang sedang dihadapi anak muda itu. Dengan masih membungkuk

    ia berkata nyaring.

    "Tidak! Selama barang hantaran rakyat belum engkau terima dengan keikhlasan

    hatimu, biarlah aku mati membungkuk seperti binatang."

    Sangaji jadi kuwalahan. Terpaksa ia men-jawab, "Paman Sidi Mantra, pedang

    Sokayana telah bergantung di pinggangku dan sedikit banyak ibuku telah

    berhutang budi kepada Paman Kamarudin. Bukankah berarti sudah kuterima

    penuh?"

    Itulah Sangaji. Dia seorang pemuda yang harus dipaksa, sehingga akhirnya harus

    me-masuki dunia yang tidak dikehendaki sendiri.

    "Bagus! Begitulah baru benar. Ucapan se-orang laki-laki berharga seribu gunung.

    Biarlah aku bersembah lagi untuk kata-katamu," seru Sidi Mantra puas. la benar-

    benar menyembah lagi kemudian menegakkan badan dengan mata berseri-seri.Sebaliknya Inu Kertapati masih saja menelungkup mencium tanah. Sangaji jadi tak

    mengerti.

    "Paman Kertapati! Apakah kata-kataku kurang terang?"

    Inu Kertapati 1 tak segera menjawab. Dan setelah Sangaji mengulangi ucapannya,

    ia berkata, "Sama sekali aku tak menyangsikan kemuliaan hatimu. Hanya saja

    seumpama seekor burung baru bersayap sebelah!"

    "Mengapa begitu?"

    "Dua hari lagi kami akan mengadakan suatu himpunan besar. Engkau sudi datangtidak."

    Sangaji berpikir sejenak kemudian menyahut, "Bangunlah dahulu! Masakan

    berbicara dengan bertiarap?"

    "Berilah aku keputusanmu dahulu!"

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    10/28

    Sedih hati Sangaji diperlakukan begitu. Terpaksa ia menjawab, "Baiklah aku datang.

    Di mana?"

    "Barat Daya."

    "Di manakah itu?"

    "Gunung Cibugis," sahut Inu Kertapati. Setelah berkata demikian, ia melompat ba-

    ngun.

    Sangaji menjadi sibuk lagi. Teringatlah dia kepada pembicaraan Toha dan Kosim di

    ung-gun batu Rababa Tapa seminggu yang lalu. Mereka harus datang di suatu

    tempat di Barat Daya. Juga penunggang kuda yang dilihatnya di luar kota.

    Mendadak suatu pikiran menusuk benaknya. Terus saja ia berkata, "Paman

    sekalian. Aku pernah mendengar suatu nama, Gusti Amat. Tolong berilah

    keterangan padaku, siapa sebenarnya beliau yang mulia itu!"

    Inu Kertapati dan Sidi Mantra tercengang sejenak. Mereka saling memandang.Kemu-dian Inu Kertapati menjawab, "Biarlah sampai di sini kita berpisahan. Kami

    tak berani mem-beri keterangan. Tetapi dua hari lagi, engkau akan mengerti

    sendiri."

    Setelah berkata demikian, membungkuk hormat. Sidi Mantrapun begitu juga.

    Kemudian mereka pergi mengambil jalannya.

    Tak terasa Sangaji menghela napas, la sadar persoalan baru bakal dihadapi lagi.

    Dengan merenung-renung ia mengawasi kepergian mereka. Setelah itu barulah ia

    ingat pulang.

    Pagi sudah tiba benar-benar. Langit cerah. Anginpun terasa riang. Mengingat

    membawa pedang tak berani ia melalui keramaian kota. Segera ia menjejak tanah

    dan seperti terbang melintasi tepi kota. Sebentar saja tibalah dia di depan

    rumahnya.

    Keesokan harinya pada pagi hari, Sonny datang. Inilah untuk yang pertama kalinya

    gadis Indo itu datang berkunjung semenjak ia tiba kembali di Jakarta.

    Sonny de Hoop mengenakan pakaian serba merah. Kulitnya yang putih nampak

    menjadi menyolok. Bersih terawat dan berkesan ce-merlang. Rambutnya terurai

    panjang. Kemi-lauan oleh minyak wangi dan sinar matahari. Hidungnya yang

    mancung kelihatan tegas. Bibirnya bergincu. Alisnya bercelak. Matanya bening.

    Semua itu menambah keserasian tubuhnya yang molek, montok lagi padat.

    Seperti biasanya ia lincah dan polos hati. Begitu melihat Sangaji, terus saja ia

    berkata, "Hallo! Kau bawalah senapanmu! Mari kita berburu!"

    Terhadap Sonny de Hoop selamanya Sangaji menganggapnya sebagai kawan

    bermain. Selain tak pandai berbicara, sikapnya dingin. Sonny de Hoop mengenal hal

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    11/28

    itu. Karena itu tak bersakit hati, sewaktu Sangaji hanya mengangguk sebagai

    jawabannya.

    Lainlah halnya dengan Rukmini. Meskipun ia seorang perempuan dusun yang

    sederhana, tetapi ramah. Dengan pandang terang ia menyambut bakal

    menantunya di serambi depan. Ia terus membawanya masuk dengan menggandengtangan.

    Menggandeng tangan bagi adat barat tiada lazim dilakukan, kecuali apa bila hati

    sedang diamuk asmara. Tetapi manusia di manapun juga tahu apa arti

    menggandeng tangan. Itulah tanda suatu penerimaan dengan hati terbuka. Karena

    itu hati Sonny de Hoop me-rasa bahagia kena gandeng Rukmini.

    "Ibu, Sangaji hendak kuajak berburu. Kukira ia sudah cukup beristirahat. Boleh tokh,

    Ibu?"

    Rukmini tertawa. Tertawa untuk membuat senang dan membesarkan hati sendiri.

    Buat Rukmini, Sonny de Hoop masih nampak seba-gai majikannya. Meskipun ia

    tahu gadis Indo itu bakal menjadi menantunya, dalam hati tetap merasa rendah diri.

    "Jangan lagi Sangaji, akupun menjadi milik Nona. Masakan mesti minta ijin segala?

    Jiwa kami berdua, siapakah yang memelihara?"

    Bagi hati Rukmini yang sederhana, hutang budi berada di atas jiwanya sendiri.

    Karena itu ucapannya keluar dari ketulusan hatinya sendiri. Sudah barang tentu

    Sonny de Hoop tak enak mendengar pernyataan itu, meskipun diam-diam hatinya

    senang. Bukankah berarti Sangaji menjadi miliknya? Teringat cara Sangaji menyia-

    nyiakan radang birahinya di perkemahan dahulu, ia jadi terhibur. Namun dia

    menyahut, "Mana bisa Ibu dan Sangaji menjadi milikku? Baik aku maupun ibu

    berdua milik Tuhan. Ya tokh?"

    Rukmini tertawa. Melihat Sonny mengena-kan pakaian begitu mentereng, ia merasa

    sayang. Maka ia berkata:

    "Sayang nona, kalau pakaian sebagus itu untuk pergi berburu. Lebih baik, ajaklah

    Sangaji melihat-lihat kota. Mumpung udara terang."

    Sudah beberapa hari ini udara Jakarta terus cerah setelah dikerumuni hujan hampir

    sepuluh hari. Hawa yang lembap terasa menjadi hangat. Berpesiar dalam hari

    demikian, memang menyenangkan.

    Sonny de Hoop sendiri sebenarnya tiada berniat berburu sungguh-sungguh. Itulah

    hanya suatu dalih belaka. Semenjak ia men-dahului ayahnya tiba di Jakarta, ia

    hanya mempunyai satu harapan. Dalam kesepiannya ia akan memperoleh

    kesempatan menggugah rasa birahi Sangaji. Sonny de Hoop berumur dua tahun

    lebih tua daripada Sangaji, sudahlah wajar apabila perkembangan masa birahinya

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    12/28

    jauh lebih cepat daripada Sangaji. Apa lagi ia berdarah barat dan beradat polos

    serta terbuka pula.

    Sudah semenjak dua tahun yang lalu ia membangunkan jembatan birahi. Tapi ja-

    ngankan ia bisa berharap yang bukan-bukan, sebuah ciuman belum pernah

    diperolehnya. Kini ia memutuskan hendak bertekad, mem-bawanya ke dunia itu.Begitu Sangaji datang berkunjung, terus saja ia hendak memasang jala. Ternyata

    Sangaji tak pernah muncul. Tak mengherankan ia jadi uring-uringan.

    Sebenarnya dia ini manusia, atau batu karang? la mendongkol. Sonny de Hoop bu-

    kannya seorang gadis murahan. la mempu-nyai kecantikan lembut yang jarang

    dimiliki bangsanya sendiri. Ia seorang gadis terpelajar pula. Banyak pemuda-

    pemuda yang gandrung padanya. Malahan sering pula opsir-opsir jejaka

    memberanikan diri melamarnya. Namun semua itu dijauhi dan ditolaknya dengan

    tegas. Itulah sebabnya ia menjadi heran sendiri, apa sebab dirinya bisa tertambat

    pada seorang pemuda Bumiputra yang berhati beku. Dalam kebanyakan hal ia

    bersikap mengalah. Setia menunggu masa kepergiannya. Menyusul ke JawaTengah. Bersedia menyerahkan diri pada sembarang waktu dan sembarang tempat.

    Namun masih saja ia menumbuk batu. Hati siapa yang tidak mendongkol?

    Untunglah dia seorang pelajar. Dalam kemendongkolannya, masih sanggup ia ber-

    pikir. Katanya di dalam hati, enam tahun saya mengenal dia. Selama itu belum

    pernah bergaul rapat. Tak mengherankan, ia belum dapat merasukkan diriku

    menjadi bagian hidupnya. Biarlah mulai sekarang aku membuat rencana-rencanaku

    sendiri di luar tata pengamatan orang-orang tua. Bukankah kemudian hari aku

    bakal menjadi miliknya dan dia sebaliknya. Kalau tidak kumulai sekarang,

    menunggu kapan lagi. Sangaji akan kuajak berburu, berenang, bersampan, berpacu

    kuda, mengail atau bermain kartu. Masakan dia akan tetap tidur? Mustahil diamanusia yang terdiri dari darah daging tidak tersadar apa arti kegairahan hidup.

    Memikir demikian timbullah semangatnya. Bahkan radang birahinya kian menyala-

    nyala. Dan begitulah pada hari itu ia datang mengajak berburu.

    "Sangaji bisa berkelana selama dua tahun ini. Masakan masih tertarik kepada

    pengli-hatan-penglihatan di dalam kota," katanya nyaring. "Tetapi sekiranya

    menurut Ibu hari ini bagus untuk berpesiar di dalam kota, biarlah kuajaknya ke

    pantai."

    "Ha... itulah lebih bagus," Rukmini menye-tujui. Kemudian berseru kepada Sangaji.

    "Aji! Kaukenakanlah pakaian yang baik!"

    Sangaji muncul dengan pakaian berburu dengan menyandang senapan. Ia kelihatan

    gagah dan agung. Itulah disebabkan tenaga sakti yang mengeram dalam dirinya,

    sehingga wajahnya nampak segar dengan pandang mata tajam luar biasa.

    "Ibu berkata apa?" la menegas kepada ibu-nya...

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    13/28

    "Berpakaianlah yang baik. Nona Sonny tak jadi berburu. Kau diajak berpesiar di

    dalam kota. Kemudian ke pantai. Mau tidak?" Ujar Rukmini.

    "Ke mana saja baik," sahut Sangaji setelah berdiam diri selintasan. la menyiratkan

    pan-dang kepada Sonny. Gadis itu tersenyum menyiasati. Katanya lagi merasa,

    "Apakah pa-kaianku kurang serasi?" Dengan tak usah menunggu komentar, segeraia masuk ke kamarnya kembali berganti pakaian.

    Seperempat jam kemudian ia dan Sonny telah berada di jalan. Mereka berkuda

    dengan perlahan-lahan. Pada dewasa itu, bepergian dengan menunggang kuda

    adalah lazim. Kebanyakan, penduduk bahkan berjalan kaki, sedang kereta berkuda

    hanya untuk yang kaya, para pembesar pemerintahan dan tuan-tuan tanah.

    Sonny de Hoop nampak senang dan berba-hagia. Itulah untuk pertama kalinya ia

    berkuda berjajar dengan Sangaji tanpa diganggu oleh orang lain. Dahulu dia sering

    bepergian dengan Sangaji, tetapi bersama-sama ayahnya atau rombongan

    pemburu. Sangat jauh bedanya dengan pagi itu. Ia merasa dunia seolah-olah

    disediakan untuk dirinya seorang. Tak mengherankan pandang matanya berseri-

    seri. Dan hal itu membuat kecantikannya semakin bertambah saja.

    "Lutung kita dahulu sudah pandai menang-kap perintahku, kau masih ingat tidak?"

    ia mulai berbicara.

    Tentang lutung hadiah Ki Tunjungbiru, sudah dilihatnya kembali sewaktu Sonny

    membawanya ke benteng batu. Karena itu ia lantas mengangguk.

    "Apakah hendak kau bawa berpesiar?" ia berkata.

    "Tidak. Pagi ini tak kubiarkan diriku diganggu siapa saja," sahut Sonny de Hoop.Setelah berkata demikian, ia kemudian membicarakan perkara lutung itu

    bagaimana cara ia mendidiknya dan merawatnya. Sangaji mendengarkan dengan

    berdiam diri. Hatinya berperihatin, teringat padanya yang mem-berinya lutung itu.

    Dialah Ki Tunjungbiru yang tertawan oleh Mayor de Hoop dan sekarang entah di

    mana disekapnya. Sekonyong-konyong Sonny de Hoop berkata mengalihkan

    pembicaraan, "Sangaji! Mengapa engkau dahulu meninggalkan aku dengan

    menjebol tenda?"

    Diingatkan perkara itu, hati Sangaji terkejut. Dasar ia tak pandai berbicara, maka ia

    menyahut sebenarnya, "Aku takut kepada ayahmu."

    Sonny de Hoop tertawa. Katanya, "Meskipun andaikata Ayah memergoki dirimu, dia

    takkan menyusahkan dirimu. Kau percaya tidak?"

    "Mengapa begitu?"

    "Sewaktu engkau membobol keluar, ma-sakan tenda tidak bergerak? Meskipun

    halus seperti angin lalu, namun sudah cukup mem-bangunkan rasa curiga Ayah. Ia

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    14/28

    memandang padaku. Syukur ia tidak berniat menyelidiki aku sampai melit," ujar

    Sonny de Hoop.

    Hati Sangaji memukul sampai wajahnya berubah. Diam-diam ia menyesali kesem-

    beronoannya.

    "Apakah ayahmu mengetahui, sewaktu aku berada dalam tendamu?"

    Berbicara tentang pengalaman itu, Sonny de Hoop yang berhati polos menjadi

    gemas. Dengan mata membelalak ia mendamprat. "Bagus ya! Kau pergi saja tanpa

    pamit."

    Dasar Sangaji tak pandai berbicara, ia lantas merasa diri bersalah. Maka dengan

    sungguh-sungguh ia menyahut, "Itulah suatu kejadian yang memalukan sampai tak

    berani aku minta maaf."

    "Suatu kejadian yang memalukan?" Sonny de Hoop mendongkol. "Aku justru..." Ia

    tak meneruskan. Wajahnya berubah menjadi merah muda. Betapa polos hatinya, iaseorang gadis. Lalu cepat-cepat ia mengalihkan, "Ayah mendamprat aku habis-

    habisan. Meskipun sampai kini ia tak pernah lagi menying-gung-nyinggung soal itu.

    Tapi kukira dia sudah dapat menebak dengan jitu."

    Sangaji menjadi perasa. Ia mengamat-amati wajah Sonny de Hoop hendak mencari

    kesan. Gadis Indo itu cantik tiada cela. Dalam pakai-annya yang berwarna merah, ia

    nampak bersemarak. Ayahnya menaruh curiga kepada Sangaji. Tetapi mengingat

    perhubungannya dengan putrinya, ia tidak mau bertindak. Sebab Sonny adalah

    anak satu-satunya. Tiba-tiba gadis itu berkata di luar dugaan.

    "Sangaji sebenarnya kita ini sudah bertu-nangan belum?"

    Sangaji tergetar hatinya. Ia bukan seorang pemuda tolol sebenarnya. Nalurinya

    sebagai seorang laki-laki tahu dan sadar ke mana tujuan ucapan Sonny de Hoop.

    Teringat ba-gaimana cara Sonny de Hoop menanggapinya di tenda dahulu,

    wajahnya terasa menjadi panas. Buru-buru ia menyahut, "Waktu itu... waktu itu aku

    lagi disibukkan urusan..."

    "Sebenarnya apakah kepentinganmu de-ngan tawanan itu sampai-sampai engkau

    begitu bersungguh-sungguh?" potong Sonny de Hoop.

    Sangaji merasa diri terdesak ia harus berkata dengan sebenarnya. Tetapi waktu itu

    mereka berada di tengah kota. Maka ia berkata, "Sonny! Di sini kita tidak dapat

    berbicara dengan leluasa. Bagaimana kalau kita ke pantai?"

    "Bagus! Mengapa tidak semenjak dahulu?" sahut Sonny de Hoop bergembira. Itulah

    untuk pertama kalinya Sangaji yang memegang peranan. Biasanya kegiatannya

    datangnya dari dia. Hatinya lantas menjadi bahagia, ia mendahuluinya dengan

    memacu kudanya. Karena itu pada tengah hari mereka telah tiba di tepi pantai.

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    15/28

    "Hayo sekarang berceritalah!" seru Sonny de Hoop tegas, la amat berbahagia,

    sehingga wajahnya menjadi segar bugar. Dengan sengaja ia merebahkan diri di

    atas rerumputan, yang terlindung oleh dua batang pohon mangga yang bermahkota

    rimbun. Kemudian rebah terlentang menatap atap udara yang terlalu cerah. Waktu

    itu gemuruh ombak tiada begitu mengganggu pendengaran. Meskipun kemudian ia

    berkata manja, "Kau dekat-dekatlah duduk di sini, agar aku dapat mendengarkahtiap patah katamu."

    Sangaji tidak menolak.. Dengan hati tawar ia duduk di samping dada Sonny de

    Hoop. Kemudian mengisahkan riwayat pertemuan-nya dengan anak buah Ki

    Tunjungbiru dan sebab-musababnya ia ikut serta menggera-yangi perkemahan

    kompeni.

    "Engkau begitu memperhatikan orang itu. Apa sebab?" tungkas Sonny de Hoop.

    "Sebab, baik aku maupun engkau sendiri, pernah berhutang budi kepadanya,"

    sahut Sangaji.

    "Aku?" Sonny de Hoop terkejut sampai ia menggeliat.

    "Kau tak mengenalnya?" .

    "Aku hanya mendengar ada beberapa tawanan dalam detasemen. Tetapi siapa

    mere-ka, masakan aku pernah melihatnya."

    Ya benar, pikir Sangaji. Sonny datang ke Jawa Tengah semata-mata ikut ayahnya.

    Masakan dia mencampuri pekerjaan ayahnya. Memperoleh pikiran demikian ia

    kemudian berkata, "Sonny! Lutung kita sudah sebesar bocah bukan?"

    Sonny de Hoop tertawa geli. Ia menggoyang lengan Sangaji sambil menungkas.

    "Engkau berbicara tak keruan juntrungnya. Apa sih hubungannya lutung kita dan

    dia? Mungkin akibat perjalananmu yang panjang, pi-kiranmu lelah." Dan setelah

    berkata demikian ia menyandarkan kepalanya pada dada Sa-ngaji.

    Pemuda itu terkejut mau ia menolak men-dadak hidungnya mencium wewangian

    rambut Sonny de Hoop. Hatinya tergetar. Di saat itu teringatlah dia kepada Titisari.

    Dahulu Titisari sering pula merebahkan diri di atas dadanya. Dan hatinya merasa

    nyaman luar biasa.

    "Sonny, dengarkan dahulu," ia mencoba mengalihkan kesan. "Aku justru hendak

    membicarakan perkara binatang itu. Sebab dialah yang memberi lutung itu."

    "Dia siapa?" Sonny de Hoop menggeliat.

    "Itulah tawanan ayahmu."

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    16/28

    Mendengar ucapan Sangaji, Sonny de Hoop kini benar-benar terkejut. Ia nyaris tak

    mempercayai pendengarannya sendiri. Mau ia membuka mulut, mendadak Sangaji

    berkata lagi.

    "Tatkala engkau kena culik Pringgasakti, siapakah yang merebut nyawamu dengan

    mati-matian. Meskipun peranan kedua guruku tidak boleh diabaikan, tetapi dialahyang mengatur semuanya. Waktu itu malam hari dan engkau dalam keadaan

    terkejut. Maka tidaklah mengherankan, bahwa engkau tak mengenalnya."

    "Tetapi dahulu engkau pernah mengenalnya dalam hutan Tanggerang."

    "Ah," Sonny de Hoop berseru perlahan. "Kuingat sekarang. Bukankah dia yang

    berada di antara kedua gurumu tatkala aku mencari padamu untuk menyampaikan

    berita ancaman almarhum Mayor de Groote?"

    "Ya benar," Sangaji bersemangat. "Karena itu, masakan kita akan membiarkan

    dirinya dalam keadaan sengsara?"

    Sonny de Hoop meruntuhkan pandang ke bawah. Sejenak kemudian ia menatap

    wajah

    Sangaji dan hatinya tertarik melihat kekasih-nya begitu bersemangat. Selama enam

    tujuh tahun bergaul, belum pernah ia melihat Sangaji dalam keadaan demikian.

    Menurut pendapatnya pemuda itu tak ubah sebuah pelita tanpa nyala. Dan selama

    itu ingin ia menyalakan. Hanya saja ia belum memper-oleh kesempatan. Keruan

    saja hatinya bersyukur. Suatu harapan yang hanya dike-tahui gadis itu sendiri

    menyerah dalam dadanya. Lantas saja ia berkata, "Dahulu hari, akupun

    menceritakan pengalamanku yang mengerikan itu kepada Ayah. Ayah sangat

    bersyukur dan ingin membalas jasa. Sayang aku tak bisa menerangkan siapa dia,

    kecuali kedua gurumu." la berhenti sebentar. Matanya tak beralih dari wajah

    kekasihnya yang mengharapkan pengertiannya. "Kau berkata pula, pernah

    berhutang budi kepadanya? Dalam hal apa?"

    "Itulah Dewadaru."

    "Dewadaru? Apakah itu?"

    Sangaji tak pernah bisa membohong. Dan dengan singkat ia menceritakan kembali

    beta-pa ia dahulu menemukan kesukaran sampai akan berputus asa sewaktu

    menyelami ajaran-ajaran kedua gurunya. Kemudian ia dibawa Ki Tunjungbiru kePulau Edam untuk menghisap getah pohon Dewadaru. Tentang daya sakti getah

    Dewadaru, tak banyak ia menerangkan. Ia hanya berkata, semenjak itu merasa

    menjadi manusia baru. Itulah dise-babkan pula, ia memperoleh warisan ilmu tata

    semedi yang tinggi.

    Selama itu Sonny de Hoop mengamat-amati wajah Sangaji. Pemuda itu bukan main

    sema-ngatnya sampai terasa berkobar-kobar. Dan lambat-laun terasalah dalam

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    17/28

    hati, bahwa ia dibutuhkan. Memperoleh kesan demikian, ia menjadi bersyukur.

    Terus saja ia berkata, "Sangaji! Apakah hatimu senang apabila Ayah

    membebaskannya?"

    "Tentu! Dia lebih berharga daripada jiwaku sendiri," sahut Sangaji setengah

    bersorak.

    Sonny de Hoop tahu, itulah jawaban berlebih-lebihan. Tetapi dia sudah memu-

    tuskan hendak membuat hati kekasihnya senang dan merasa puas. Barangkali

    itulah gerbang pembuka jalan untuk mengetuk pintu hatinya. Maka ia berkata,

    "Biarlah kucobanya untuk membicarakannya dengan Ayah. Aku akan bekerja demi

    hatimu. Jika engkau menjadi senang akan kebebasannya, hatiku puaslah sudah.

    Tetapi seandainya aku mengalami kegagalan, apakah yang hendak kaulakukan?"

    "Gagal? Mengapa gagal?" Sangaji kaget. Se-telah berbimbang-bimbang sejenak ia

    berkata, seperti meyakinkan dirinya sendiri.

    "Tidak Sonny! Kau takkan mengalami kega-galan."

    Sonny de Hoop tersenyum. Pada saat itu ia mengharapkan sebuah ciuman. Tetapi

    Sangaji bukanlah orangnya untuk dapat diharapkan demikian.

    Menurut kata hatinya, ia menjadi kecewa. Namun wanita mempunyai kesabaran

    hakiki. Maka ia berkata, "Siapakah namanya?"

    "Ki Tunjungbiru," sahut Sangaji singkat.

    Sonny de Hoop tak berkata lagi. Teringat Sangaji tadi tak menolak ia menyandarkan

    kepalanya pada dadanya. Kali ini pemuda itu tidak mengadakan reaksi pula. Makaia sudah harus merasa puas.

    Waktu itu matahari sudah condong ke barat. Hawa mulai terasa sejuk. Angin sudah

    datang waktunya untuk berceritera. Ia membawa arus laut sehingga menjadi

    bergelombang. Sonny de Hoop merenungi garis cakrawala dengan pikiran

    menumbuk diri. Semenjak pagi hari perutnya belum kemasukan sesuatu, tetapi ia

    tak merasa lapar.

    "Sangaji! Engkau tak lapar?" tanyanya lem-but.

    Sangaji seorang pemuda berperawakan kokoh. Seluruh tubuhnya penuh dengan

    tenaga sakti. Kalau tidak makan untuk dua tiga hari, tenaganya tak bergeming.

    Karena itu menyahut dengan sungguh-sungguh.

    "Tidak."

    Mendengar jawaban itu hati Sonny de Hoop merasa berbahagia. Ia mengira

    keadaan hati pemuda itu seperti keadaan hatinya sendiri yang penuh gumpalan-

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    18/28

    gumpalan perasaan yang tak terungkapkan. Maka ia berkata be-rani, "Sangaji! Kita

    sudah bertunangan, apa sebab engkau tak mendekapku? Aku adalah milikmu."

    Hati Sangaji terkesiap, la teringat pembi-caraan tadi. Dan ia tak boleh

    mengecewakan. Lagi pula Sonny de Hoop adalah tunangannya yang syah,

    betapapun ia mempunyai, alasan-alasan tertentu yang membuat hatinya beku.Sebagai seorang kesatria sejati tak boleh ia hanya mendengarkan hatinya sendiri.

    Memikir demikian ia hendak bergerak memeluk. Sekonyong-konyong ia mendengar

    suara gedu-brakan yang kemudian disusul dengan bentakan-bentakan.

    "Sonny! Kau mendengar tidak?" kata Sangaji.

    Panca indera Sonny de Hoop tentu saja tidaklah setajam Sangaji. Namun setelah

    menajamkan pendengaran, ia mendengar suara kesibukan juga. Ia menegakkan

    badan dan pandangannya mengarah ke tenggara. Kira-kira tiga ratus meter dari

    tempatnya ber-teduh adalah bekas-bekas kampung Cina yang terbakar pada

    seabad yang lampau. Meskipun bangunannya tiada lagi, namun sebuah kelenteng

    masih nampak tegak di antara reruntuhan tembok. "Mari!" ajak Sangaji.

    Sonny de Hoop tahu, kekasihnya ke-ranjingan ilmu berkelahi. Maka ia membiarkan

    diri kena tarik. Mula-mula ia dibawa lari. Mendadak merasa dirinya terangkat. Dan

    tanah di bawahnya kelihatan lari berbalik. Ia menoleh dan melihat pohon-pohon

    bergerak pula.

    "Sangaji! Ini ilmu apa? Apakah ini kau per-oleh dari Ki Tunjungbiru pula?"

    Dahulu ia melihat Sangaji berada di kubang batu sewaktu ikut ayahnya memasuki

    gelang-gang pertempuran. Hanya saja ia tidak menyaksikan betapa Sangaji

    bertempur menghalau musuh-musuhnya.

    "Sonny. Jangan bersuara! Kita bukankah lagi mengintip orang bertempur?" bisik

    Sangaji. Sonny de Hoop cepat dibuat mengerti dan ia membiarkan dirinya dibawa

    terbang kekasihnya. Waktu berada di balik reruntuhan, ia melihat tiga orang lagi

    bertempur seru di atas atap kelenteng.

    Sangaji mengamat-amati mereka. Yang lagi berhadap-hadapan mengenakan

    pakaian se-ragam putih, yang berperawakan tinggi besar berlencana gambar

    pedang silang dengan bin-tang. Dan yang berperawakan ramping berlencana

    gambar pedang silang dengan garuda. Dan yang berdiri di sampingnya seorang

    perempuan berparas lembut.

    "Pasong Grigis!" kata laki-laki yang berpe-rawakan ramping. "Kau sungguh

    keterlaluan. Meskipun kita dari golongan lain, tetapi kita bernaung di bawah satu

    bendera. Mengapa engkau berbuat ganas terhadapku?"

    Orang yang disebut Pasong Grigis tertawa terbahak-bahak. Sampai tubuhnya

    bergon-cang-goncang. Sambil mengusap jenggotnya yang lebat ia menyahut,

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    19/28

    "Suhanda! Besok kita harus mendaki Gunung Cibugis, tetapi masih saja engkau

    kena rengek perempuan siluman itu. Apakah engkau pantas dihidupi?"

    "Rostika meskipun dia dahulu murid Edoh Permanasari kini sudah menjadi istriku.

    Mengapa engkau berbicara tak keruan?" ger-tak Suhanda.

    Pasong Grigis tertawa terbahak-bahak kem-bali. Katanya, "Edoh Permanasari

    mengizin-kan anak muridnya kawin dengan seorang anggota himpunan

    Sangkuriang. Masakan dia begitu baik hati?" ia mengesankan. Kemudian

    meneruskan dengan suara penuh kemenang-an, "Sekarang kau main asmara di

    dalam kelenteng. Apakah di rumahmu sendiri kurang nyaman?"

    "Pasong Grigis dengarkan!" bentak Suhan-da. "Engkau salah seorang pemimpin

    laskar Dwijendra sampai mengintip pembicaraan orang dari atas kelenteng,

    sudahlah sangat tercela. Apa lagi ternyata engkau menembak bagian yang salah

    pula. Namun mulutmu sudah mengoceh tak keruan."

    "Biarlah aku yang menerangkan." Tiba-tiba Rostika menolong perkataan suaminya.

    Setelah itu, ia membuat tanda sembah kepada Pasong Grigis. Kemudian berkata,

    "Semuanya akulah yang salah, sehingga menerbitkan salah paham ini. Aku

    membawa Kak Suhanda ke mari untuk mengelabui gerak guruku Edoh Permanasari.

    Sebab aku hendak menyampaikan pesan."

    "Apakah itu?"

    Rostika berbimbang-bimbang sebentar. Lalu menyahut, "Biarlah kukatakan dengan

    sebe-narnya. Guruku berketetapan hendak merebut kembali pusaka Jawa Barat

    yang kini berada di tangan anak seorang kompeni. Aku menganjurkan agar suamiku

    melindungi anak itu dari keganasan guruku."

    Sangaji terkesiap mendengar kata-kata itu, meskipun ia sudah mendengar

    selintasan dari mulut Edoh Permanasari sendiri sewaktu mengadu mulut dengan Inu

    Kertapati dan Sidi Mantra ia segera menajamkan pendengaran.

    "Apakah sebab engkau menjadi baik hati?" dengus Pasong Grigis.

    Rostika tidak segera menjawab. Ia masgul melihat kesangsian Pasong Grigis.

    Katanya mencoba meyakinkan, "Ada pepatah yang berbunyi begini: Kalau suami

    menjadi raja, engkau menjadi permaisuri. Bila pilihanmu ternyata setan,

    bersedialah memasuki nera-ka!Aku memang murid Edoh Permanasari. Tuhanjustru memperjodohkan aku dengan seorang anggota himpunan Sangkuriang,

    musuh utama kakek guruku turun-tumurun. Tapi aku tidak menyesal. Hatiku dan

    diriku semenjak itu kuhadapkan kepadanya. Aku ingin membuat suamiku

    berbahagia. Sekarang terjadi sesuatu yang menyangkut kepentingan suamiku.

    Masakan aku tinggal diam saja?"

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    20/28

    "Bagus! Kau bisa membuat jasa kepada suamimu, masakan tak dapat pula

    membuat jasa terhadap gurumu. Kau memang perem-puan siluman berkepala

    dua!" bentak Pasong Grigis. Dan setelah membentak demikian, ia melesat

    menghantam Rostika. Dengan meme-kik kaget, Rostika mengelak ke samping! Te-

    tapi karena serangannya itu sangat cepat dan datangnya dengan tiba-tiba, pundak

    kirinya terpukul juga. Meskipun tenaga pukulan itu jadi berkurang namun masihdapat merobek baju.

    Pada saat itu, Suhanda menghantam de-ngan sepenuh tenaga. Pasong Grigis

    segera menyambut dengan tak kurang dahsyatnya. Dengan satu suara keras, tubuh

    kedua orang itu terhuyung ke belakang. Hampir berbareng dengan itu, debu dan

    pasir menyiprat beter-bangan dan dengan suatu suara gemuruh tembok kelenteng

    bagian depan roboh berguguran.

    Dalam gerakan itu, masing-masing meng-gunakan tenaga sepenuh-penuhnya.

    Keras melawan keras. Beradunya kedua tenaga tersebut mempunyai akibatnya

    sendiri. Setelah terhuyung mundur, mereka jatuh ke tanah. Atap kelenteng yangsudah berumur lebih dari seabad lantas saja rontok berantakan.

    Rostika yang pundaknya kena pukulan, meloncat turun pula. Melihat suaminya

    berhadap-hadapan lagi dengan Pasong Grigis, ia tak menghiraukan keselamatan

    diri. Terus saja ia melesat mendampingi suaminya. Matanya yang tajam bersinar

    lembut nampak menyala berkilatan. Ia melihat Pasong Grigis dan suaminya, berdiri

    tegak seperti patung, la tahu, masing-masing menderita luka dalam. Mereka

    memejamkan mata, dan sedang mengatur pernapasan. Dan tidak lama kemu-dian,

    mereka bersama-sama pula memuntah-kan darah segar.

    Pada detik itu, terdengarlah salah seorang anak memanggil-manggil ibunya. "Mak...Mak!" Rostika menjadi gelisah, namun tak berani berkisar dari tempatnya. Sejenak

    kemudian, seorang anak perempuan kurang lebih berumur tiga tahun tersembul

    "dari reruntuhan atap. Anak itu berusaha merayap ke luar.

    "Ah, anak itu!" seru Sonny de Hoop. Seruan itu mengejutkan semuanya. Baik yang

    sedang mengadu nyawa maupun Sangaji sendiri. Akan tetapi Sonny de Hoop tidak

    memeduli-kan kesan mereka. Ia keluar dari tempat per-sembunyiannya dan lari

    menghampiri si bo-cah. "Jangan takut! Jangan takut! Mari kuto-long," bujuknya.

    Pasong Grigis menjenakkan matanya meli-hat seorang gadis Indo Belanda

    memasuki gelanggang pertempuran, ia tercengang seje-nak. Kemudian menjadicuriga. Rostika adalah anak murid Edoh Permanasari. Dan Edoh Permanasari murid

    Ratu Fatimah. Semua orang tahu, Ratu Fatimah bekerja sama dengan Belanda.

    Pada saat itu ia merasa dirinya kejeblos kolam perangkap yang sudah diatur.

    Memikir demikian ia tertawa berkakakan sambil berseru, "Baik! Baik!" Setelah

    berseru demikian ia melompat mundur. Di luar dugaan ia mengibaskan tangan

    menyerang Sonny de Hoop.

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    21/28

    Rostika kaget. Ia jadi sibuk. Sebagai cucu murid Ratu Fatimah ia mempunyai

    sejarah perhubungan yang baik dengan pemerintah Belanda. Hanya saja ia tak

    berani melindungi warga Belanda di depan Pasong Grigis, meng-ingat kedudukan

    dan perhubungan suaminya. Selagi ia berbimbang-bimbang Pasong Grigis memekik.

    Tubuh Pasong Grigis jungkir balik tiga kali berturut-turut. Tatkala berdiri tegak suatuhawa hangat menusuk dalam jalan darahnya. Pasong Grigis tercengang. Dadanya

    terasa nyaman luar biasa. Tahulah dia, bahwa seseorang menolong menyembuhkan

    luka dalamnya sambil menangkis serangannya. Itulah suatu ilmu kepandaian yang

    susah diukur betapa tingginya. Segera ia membungkuk hormat seraya berkata,

    "Pendekar besar yang bersembunyi, perkenankan aku menghaturkan terima kasih."

    Setelah berkata demikian, ia menjejak tanah mundur berjumpalitan. Dalam sekejap

    mata ia hilang dari penglihatan.

    Sungguh! Dalam sekejap saja Rostika menghadapi suatu kejadian yang

    mengherankan. Ia merasa bersyukur. Pasong Grigis telah pergi. Hal itu berarti

    bahaya tiada lagi. Hanya saja ia tak tahu, apa yang menyebabkan Pasong Grigispergi dengan cara demikian. Tatkala menje-lajahkan matanya ia melihat seorang

    pemuda lagi menolong suaminya menyalurkan jalan darahnya. Ia menjadi

    bertambah heran. Akhirnya ia menghampiri Sonny de Hoop sambil berkata lembut,

    "Nona kau siapa?"

    Tanpa menoleh Sonny de Hoop menyahut, "Kau tolonglah suamimu! Anak ini biar

    aku yang menolong. Apakah dia anakmu?"

    "Ya"

    "Siapa namanya?"

    Mendengar suara Sonny de Hoop yang ra-mah dan berkesan tulus hati, Rostika

    menya-hut tanpa ragu-ragu, "Astika"

    "Akh nama manis," tungkas Sonny de Hoop. Lalu membujuk si anak. "Astika! Mari

    kutolong keluar, ya? Satu-dua-tiga, hup!"

    Astika ternyata tak takut, melihat seorang Indo Belanda. Apalagi ibunya berada di

    dekat-nya. Ia menurut saja tatkala dirinya kena angkat Sonny de Hoop. Seluruh

    tubuhnya kena rontokan atap dan dinding. Dan dengan iba, Sonny de Hoop

    membersihkannya dengan membujuk-bujuk. Tiba-tiba ia berkata kepada Rostika,

    "Hai! Kena apa suamimu tak kau tolong? Dia kan muntah darah?"

    "Dia sudah ditolong. Eh... siapa dia apakah dia teman Nona?" sahut Rostika.

    Sonny de Hoop menoleh, la melihat Sangaji sedang menolong Suhanda. Dan oleh

    per-tanyaan Rostika wajahnya menjadi merah muda. Menjawab agak sulit,

    "Nanti tanyalah kepadanya sendiri."

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    22/28

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    23/28

    "Ya," Sangaji menjawab singkat.

    "Akh!" Suhanda setengah memekik. Tiba-tiba berkata kepada Rostika.

    "Tika! Temani Nona ini!"

    Setelah membungkuk hormat kepada Sonny de Hoop, ia membawa Sangajimenyen-diri ke pantai. Kemudian berkata mulai, "Apakah Tuan yang disebut anak

    Kompeni?"

    "Panggillah aku saudara, seperti cara memanggil Paman Inu Kertapati dan Sidi

    Mantra."

    "Akh, kalau begitu benarlah Tuan. Eh... Saudara yang disebut anak Kompeni,"

    tungkas Suhanda.

    "Sebenarnya aku bukan anak seorang Kompeni."

    "Jika bukan apa sebab engkau di sebut begitu?"

    "Ibuku tinggal di lingkungan perumahan Kompeni. Mungkin itulah yang

    menyebabkan."

    "Ha... sekarang menjadi agak terang," ujar Suhanda berlega hati. Sebab barang

    hantaran itu menjadi heboh di antara mereka, lebih-lebih Edoh Permanasari yang

    ingin merebut kembali pusaka Jawa Barat pedang Sokayana.

    Melihat Suhanda yang masih tampak beragu terhadap dirinya, Sangaji mengerutkan

    dahi, sebentar ia berpikir, kemudian berkata meyakinkan. "Tetapi tinggal dalam

    lingkungan kompeni belum tentu menjadi pengikutnya bukan?"

    Mendapat keterangan itu Suhanda meng-angguk mantap.

    Kini Sangaji benar-benar mengerti bahwa barang hantaran itu menjadi rebutan

    beberapa pihak, karenanya ia segera meninggalkan tempat itu untuk

    mempersiapkan diri menjaga kemungkinannya yang terjadi, ia sadar bahwa

    perjuangannya masih panjang.

    Tentang Edoh Permanasari hendak ber-usaha merebut pedang Sokayana, sedikit

    banyak Sangaji telah mengetahui. Meskipun alasan sesungguhnya masih samar-

    samar bagiannya. Sekarang ia mendengar kata-kata, Menjadikan heboh di antaramereka. Siapakah yang dimaksud dengan mereka ini? Tatkala ia hendak minta

    penjelasan, Suhanda meneruskan berkata sambil merenggut lencananya.

    "Saudara Sangaji. Lihat! Inilah lencana kami. Lencana anggota Himpunan

    Sangkuriang. Lencana pedang silang dengan tanda garuda. Inilah tanda pengenal

    golongan kami."

    "Yang kau lawan bertempur tadi, menge-nakan lencana begitu juga."

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    24/28

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    25/28

    kuterangkan, bahwa di antara kami terjadi suatu perpecahan hebat semenjak

    pemimpin kami hilang tiada beri-tanya. Sementara itu, permusuhan antara

    himpunan kami dan murid-murid Ratu Fatimah kian hari kian meningkat. Ratu

    Fatimah benar-benar seorang lawan yang licin luar biasa. Dari depan ia

    menggempur bersama dengan kekuatan kompeni. Dari be-lakang ia menebarkan

    hamba sahaya dan murid-muridnya untuk mengacau dan me-lumpuhkan sendikekuatan kami. Itulah sebabnya, betapa benci Pasong Grigis ter-hadapku begitu ia

    mengenal isteriku sebagai salah seorang bekas murid Ratu Fatimah. Meskipun

    Rostika, isteriku sudah menjadi orang lain, betapa dapat aku membuat Pasong

    Grigis dan anggota-anggota golongan lain mau mengerti. Mereka semua mencurigai

    aku, termasuk teman-temanku. Dan dengan sendirinya memusuhi golongan kami,

    anak-anak pasukan panji-panji Garuda. Celaka-nya... justru pusaka-pusaka Jawa

    Barat jatuh kepadamu. Engkau yang dikabarkan sebagai anak kompeni. Kompeni

    yang bekerja sama dengan golongan Ratu Fatimah musuh kami turun-temurun.

    Tapi sekarang... setelah men-dengar ketegasanmu, hatiku menjadi lapang. Apalagi,

    engkau hendak pergi pula ke Gunung Cibugis. Justru inilah tujuan kami apa sebab

    pusaka Jawa Barat kami persembahkan kepadamu. Kami tidak hanya

    mengharapkan suatu penyelesaian perpecahan kami ini dengan segera, tetapi

    mengharapkan pula kebangunan Himpunan Sangkuriang kami kembali seperti

    sediakala."

    "Saudara Suhanda!" potong Sangaji. "Ha-rapanmu terlalu berlebih-lebihan."

    "Tidak! Masakan Ki Tunjungbiru bisa salah?" Suhanda menungkas cepat. "Ki

    Tunjungbiru bukanlah manusia yang tak becus mengenal manusia bertulang bagus.

    Dia seumpama bermata dewa, yang bisa melihat hari kemudian jauh sebelumnya.

    Kau percaya, tidak? Tiga belas tahun yang lalu, dia sudah memberi kabar kepada

    himpunan kami, bahwasanya dia sudah menemukan seorang anak bertulang bagus

    yang dapat diharapkan tenaganya bagi kebangunan kami kembali. Dan bertambah

    hari, bertambah yakinlah dia, sehingga semenjak itu ia senantiasa menilik dan

    mengikuti anak harapannya. Dan aku sekarang yakin, bahwa anak itu pastilah

    Saudara sendiri."

    Kalau orang mendengar seribu geledek, tidaklah sekaget Sangaji tatkala

    mendengar kata-kata Suhanda. Benarkah keterangan itu? Kalau benar, alangkah

    hebat!

    Tiba-tiba saja, dia seperti dihadapkan pada suatu cermin besar mengingat-ingat

    kembali semua sepak terjang Ki Tunjungbiru yang pendiam dan saleh. Tiga belas

    tahun yang lalu, ya tiga belas tahun yang lalu, selagi ia menghadapi jalan buntu

    untuk menyelami rahasia jurus Wirapati dan Jaga Saradenta, tiba-tiba muncullah Ki

    Tunjungbiru. Dan itulah riwayat pertemuannya yang pertama. Kemudian ia dibawa

    menyeberang laut. Dibawa menghisap getah sakti pohon Dewadaru. Dipenuhi

    dengan kisah tentang sejarah penuntutan dendam terhadap kematian ayahnya

    mencemaskan. Benarkah ayahnya mati karena kena hisap pohon Dewadaru

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    26/28

    ataukah hanya suatu cerita khayal dengan tujuan berencana? Lantas memberi

    petunjuk cara bersemadi dan kemudian mengikuti perjalanannya ke Jawa Tengah

    dan selalu bersedia melindungi. Apakah semuanya itu sudah masuk dalam rencana

    kerjanya?"

    Teringat betapa Ki Tunjungbiru selalu me-nyaksikan dan selalu hadir pada tiap-tiapperkembangan ilmu saktinya, hati Sangaji jadi tergetar, la lantas merasa diri

    menjadi sangat kecil apabila dibandingkan dengan sepakter-jang Ki Tunjungbiru

    yang sukar diduga dan dijajaki. Benar ilmu saktinya kini jauh lebih tinggi

    daripadanya, tetapi sepakterjang Ki Tunjungbiru yang memiliki lapangan luas dan

    jauh, alangkah besar luar biasa.

    Ki Hajar Karangpan yang pernah bertanding lima hari lima malam, kini berkesan

    jadi kerdil. Bahkan gurunya Gagak Seta dan pendekar-pendekar sakti yang pernah

    dijumpainya bukan pula pantas dibandingkan dengan ke-luarbiasaan Ki

    Tunjungbiru. Sekarang sadarlah dia apa sebab Ki Tunjungbiru dipuja sebagai

    seorang pahlawan Jawa Barat yang tiada taranya dalam sejarah. Ia mempunyai carakerja sendiri dan memiliki jalannya sendiri pula.

    Memperoleh kesan demikian, dengan tak terasa terloncatlah perkataannya.

    "Aki Tunjungbiru memang seorang pahla-wan tiada tara. Tapi kalau dia

    mengharapkan aku dapat membangun kembali himpunan pejuang Jawa Barat

    seperti yang dikehendaki adalah mustahil. Benar-benar mustahil! Aku seorang diri

    masakan mampu berbuat demi-kian. Seumpama aku malaikat atau dewa sak-tipun

    tidaklah mungkin dapat menjangkau setiap jengkal tanah yang tergelar di persada

    bumi Jawa Barat. Mustahil! Sungguh mustahil!"

    "Mengapa mustahil?" tungkas Suhanda. "Di belakangmu berdiri Ki Tunjungbiru

    beserta kawan-kawan seperjuangan yang berjumlah ribuan orang. Mengapa

    mustahil?"

    Selamanya, Sangaji tak pandai berdebat. Namun ia masih mencoba.

    "Aki Tunjungbiru jauh lebih besar dari-padaku. Sekiranya pekerjaan itu dapat

    dilakukan, pastilah dia sudah bekerja. Mengapa mesti mengharapkan tenagaku. Aku

    rasa, ada sesuatu yang kurang tepat."

    "Tidak! Tidak! Sama sekali tidak!" bantah Suhanda dengan cepat. Dalam tiap

    perjuang-an, nyala api adalah dasar dan sumber tenaga yang mahapenting. Sudahsemenjak pemimpin kami hilang tiada berita, kami kehilangan api perjuangan.

    Kehilangan api daya gerak. Kini api itu telah diketemukan kembali oleh Ki

    Tunjungbiru. Itulah api hidup yang bersemayam dalam dadamu!" la berhenti

    mengesankan. Meneruskan, "seumpama perjuangan jagat luar ini adalah kegiatan

    kodrat tubuh maka kami adalah angan-angannya. Dan engkau adalah sumber

    geraknya. Seseorang boleh mempunyai angan-angan setinggi bintang dan seluas

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    27/28

    samudera, tapi tiada geraknya adalah seumpama orang tidur dengan mimpi indah

    semata. Orang boleh berangan-angan hendak menghirup semangkuk air teh, tapi

    lumpuh tiada gerak, betapa mungkin semangkuk air teh itu akan tiba di tepi

    bibirnya?"

    Mendengar uraian Suhanda, hati Sangaji yang sederhana jadi mati kutu. Ingin iamen-coba mengemukakan pendapatnya, namun ia tak pandai menemukan kata-

    katanya. Karena itu ia jadi gelisah sendiri. Setelah tergugu be-berapa saat lamanya,

    akhirnya ia berkata juga.

    "Saudara Suhanda! Aku seolah-olah kau persamakan dengan pemimpin kalian yang

    sejati. Betapa mungkin?"

    Suhanda berbimbang-bimbang sebentar. Wajahnya yang tadi penuh keyakinan,

    nampak terjadi suatu perubahan. Tapi hanya sesaat. Setelah itu menyahut,

    "Mengapa Saudara Sangaji! Pemimpin kami yang hilang tiada beritanya adalah

    seorang yang tiada bandingnya di kolong langit ini. Tapi kalau Ki Tunjungbiru sudah

    menjatuhkan pilihannya pada dirimu, pastilah ada alasannya yang kuat. Kami tidak

    beragu lagi. Sebab dialah satu-satunya anggota himpunan kami yang kenal dan

    mengenal pemimpin kami yang hilang itu."

    "Bagus!" seru Sangaji dengan gembira. Semenjak ia mendengar nama pemimpin

    perjuangan Jawa Barat, hatinya sudah ter-tarik. Ingin ia memperoleh keterangan,

    sia-pakah dia sebenarnya. Namun selalu gagal. Kini ia mendengar Suhanda

    membicarakan-nya dengan hati penuh. Sepercik harapannya timbul. Terus saja ia

    minta keterangan. "Dia bernama Gusti Amat, bukan? Siapakah dia sebenarnya?"

    Suhanda terhenyak sejenak. Ia merenungi wajah Sangaji seakan-akan sedang

    menye-lidiki lubuk hatinya. Lalu berkata dengan hati-hati.

    "Apakah Inu Kertapati dan Sidi Mantra tidak menjelaskan?"

    Sangaji menggeleng kepala.

    "Dalam urutan kedudukan, mereka berdua berada di atasku. Kalau mereka berdua

    tidak menjelaskan, betapa mungkin aku dapat ber-buat begitu."

    "Mungkin mereka alpa tiada waktu."

    "Tidak, bukan begitu. Soalnya, tidak sem-barang orang mengenal peribadi Gusti

    Amat. Kukira, seperti aku merekapun hanya menge-nal nama beliau yang mulia."

    Sangaji kecewa, namun tak mau ia mende-sak. Selagi demikian, Suhanda

    mengangsur-kan sebuah benda terbuat dari logam. Ka-tanya, "Kosim dari pasukan

    Obor Abadi tak dapat datang menghaturkan surat undangan. Besar sekali

    kemungkinannya, ia terlibat dalam suatu urusan. Tanda pengenal ini diti-tipkan

    kepadaku agar aku menghaturkannya kepadamu. Inilah tanda pengenal himpunan

  • 8/6/2019 37 Sonny de Hoop

    28/28

    kami yang syah. Dengan tanda pengenal ini, saudara dapat datang pergi ke Gunung

    Cibugis dengan leluasa. Sebaliknya, meski-pun seseorang mempunyai surat

    undangan khusus tapi tiada tanda pengenal semacam ini, jangan berharap dapat

    menghampiri gunung itu. Dia akan gagal atau mati di te-ngah jalan. Itu disebabkan,

    musuh kami ter-lalu banyak dan sukar diduga. Sehingga kami harus selalu

    berwaspada. Saudara Sangaji akan datang ke sana. Pastilah engkau akan mengertisendiri kelak, siapakah musuh-musuh yang kami maksudkan."

    Sampai di sini, habislah sudah pembicaraan Suhanda. Dengan berlega hati, ia

    membawa Sangaji kembali menghampiri Rostika dan Sonny de Hoop. Segera ia

    memperkenalkan Rostika dan anaknya. Dan setelah berbicara selintasan, cepat-

    cepat ia minta mengundurkan diri seakan-akan ada sesuatu yang memburunya.

    "Orang itu aneh gerak-geriknya," kata Sonny de Hoop. "Dia berbicara apa kepada-

    mu?"

    Sangaji tak pernah dapat berbohong. Gntung, sewaktu hendak memberi

    keterangan, Sonny de Hoop sudah beralih perhatiannya. Memang bagi gadis itu,

    yang maha penting adalah diri Sangaji dan masalah hubungannya dengan dirinya

    sendiri. Peristiwa-peristiwa lain yang tidak bersangkut-paut dengan

    kepentingannya, tidaklah masuk ke dalam perhatiannya. Ia tadi hanya merasa

    dirugikan dengan dibawanya Sangaji menyendiri di tepi pantai. Dan ia bersedia

    untuk menggerembengi.

    "Sangaji! Engkau sudah memperlihatkan ilmu saktimu yang tinggi kepadaku. Tapi

    be-lum pernah sekali juga memperlihatkan nyala hatimu kepadaku. Mengapa?"

    katanya kesal.

    Sangaji jadi perasa. Dengan lembut ia mem-bimbing Sonny de Hoop berjalan

    perlahan-lahan menghampiri kudanya. Waktu itu matahari sudah merayap rendah

    di barat. Angin laut membawa hawa sejuk ke darat. Udara cerah dan

    menyenangkan. Segar serta menggairahkan. Itulah waktu yang sebaik-baiknya

    untuk seseorang yang hendak menumpahkan gelora rasa kasihnya. Namun hati

    Sangaji tiada berada di situ.