3435-7264-2-PB.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    1/15

    Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    Pandecta

    http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta

    Pendekatan Ekoregion Dalam Sistem HukumPengelolaan Sumber Daya Air Sungai di Era Otonomi Daerah

    Nita Triana

     Jurusan Syariah IAIN Purwokerto

     Abstrak

    Hak atas lingkungan yang baik dan sehat dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945 yangberimplikasi terhadap perlunya kebijakan, rencana dan/atau program mengenai hakatas lingkungan tersebut diatur dalam perundang-undangan, baik di tingkat nasionalmaupun daerah. Dalam konteks otonomi daerah hak atas lingkungan tersebuttermasuk dalam kelompok bidang urusan wajib pemerintahan. Tulisan ini bertujuanuntuk menganalisis dampak pengaturan hak atas lingkungan hidup dalam bidangsumber daya air. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dampak pengaturan hakatas lingkungan hidup dalam sistem hukum pengelolaan sumber daya air sungaitidak terintegrasi dengan daerah lain, sehingga kebijakan pemerintah daerahlebih ditujukan untuk peningkatan pendapatan daerah masing-masing. Kondisi inimengakibatkan terjadinya perusakan sumber daya air sungai di bagian hulu dan hilirdan tidak optimalnya pemanfaatan air sungai. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkansistem hukum pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan ekoregion, dimanabatas darat dan perairan tidak ditentukan oleh batas secara politik, akan tetapi oleh

    batas geografis dari komunitas manusia dan sistem lingkungan.

     Abstract 

    The right to a good and healthy environment is guaranteed by Pancasila and the1945 Constitution which has implications on the need for policies, plans and / or

     programs on environmental rights are set out in legislation, both at national andlocal levels. In the context of regional autonomy, rights to the environment includingthe obligatory group of government issues. This paper aims to analyze the impactof regulation on environmental rights in the field of water resources. The results ofthis study indicate that the impact of regulation on environmental rights in the legal

     system of management of water resources of the river is not integrated with otherareas, so that local policy is intended to increase local revenues respectively. Theseconditions resulted in the destruction of the water resources of the river upstream and

    downstream and is not optimal utilization of river water. Under the terms of the legal system needs water resources management with ecoregion approach, where land andwater boundaries are not defined by political boundaries, but by the geographicalboundaries of the human community and environmental systems.

     

    Info Artikel

    Sejarah Artikel:Diterima Oktober 2014Disetujui November 2014Dipublikasikan Desember 2014

    Keywords:

    Regional Regulation; Autonomous Regions;Resources river water;Ecoregion

     Alamat korespondensi: Jl. A. Yani No. 40 A Purwokerto Central Java-Indonesia 53126  e-mail: [email protected]

    © 2014 Universitas Negeri Semarang ISSN 1907-8919

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    2/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    155 

    1. Pendahuluan

    Indonesia sebagai Negara kepulauanmemiliki banyak aliran sungai, sebagian dian-

    taranya adalah sungai-sungai besar sepertiMahakam, Kapuas, Barito, Brantas, Serayu,Ciliwung dan lain-lain yang memiliki potensisumber daya air yang besar. Banyaknya sun-gai di Indoensia ini merupakan potensi ter-sendiri untuk bisa mensejahterakan rakyatbanyak, terkait dengan penyediaan air bersihdan air minum. Keberadaan sungai-sungai inimerupakan suatu potensi besar yang dikaru-niakan Tuhan untuk kemudian dimanfaatkanuntuk kesejahteraan manusia. Air sungai me-miliki keuntungan tersendiri dibanding den-gan sumber air permukaan lain dari segi ke-tersediaan dan kemudahan pengambilannya.Keuntungan yang kedua adalah karena letak-nya yang di permukaan membuatnya mudahuntuk diambil dan diolah. Teknik pengola-hannya relative sederhana sehingga tidak ter-lalu memerlukan biaya instalasi pengolahanyang besar. Dengan kemudahan inilah makaair sungai memiliki potensial yang besar un-tuk bisa dimanfaatkan di Indonesia.

    Masalah yang timbul pada pengelolaan

    air sungai adalah air sungai ketersediannyatunduk pada siklus alami yang disebut siklushidrologi. Pada saat musim kemarau seringterjadi krisis air. Di Indonesia krisis air telahsampai pada titik mencemaskan baik di kotabesar maupun di desa , sementara di musimpenghujan sumber daya air sungai meluapdan menjadi bencana banjir. Masalah lainyang cukup parah adalah kondisi air sungaiyang tercemar limbah cair dan padat (sam-pah) di berbagai tempat. Pencemaran dan

    Perusakan sumber daya air sungai merupa-kan permasalahan serius yang dihadapi olehpemerintah dan masyarakat dalam mengaturpengeloaan sumber daya air (Efendi, 2008:93).

    Krisis air telah menyebabkan peruba-han yang cukup besar pada nilai air, yang ta-dinya air lebih berfungsi sosial, saat ini air te-lah berubah menjadi berfungsi ekonomi. Airsungai sebagai salah satu sumber potensialkebutuhan akan air menjadi hal yang sangat

    penting untuk diperjuangkan keberadaannyaoleh satu daerah tertentu. Masalahnya tim-

    bul ketika aliran air sungai tersebut melewa-ti beberapa daerah. Hal hal tersebut diatasmenimbulkan konflik antar daerah dan antarberbagai pihak yang terkait dengan sumber

    daya air.Penelitian yang dilakukan oleh Sam’un Jaja Raharja (2009: 86) dari segi administrasinegara menunjukan bahwa sifat sungai yangmengalir dan melintasi batas wilayah admi-nistratif dan bahkan negara, banyak pihakyang berkepentingan dan atas nama “hak”yang dimilikinya, terjadi eksploitasi sesuaidengan tujuan masing-masing yang spesifik.Keadaan ini berpotensi memunculkan kom-petisi dan konflik, baik yang bersifat horison-tal maupun vertikal. Konflik yang dimaksudantara lain konflik kuantitas berkaitan den-gan kelangkaan, konflik kualitas karena pen-cemaran dan kerusakan lingkungan, konflikorganisasional, karena pengelolaan yangfragmentaris dan sektoral atau kewilayahanadministratif, konflik nilai berkaitan denganpandangan penguasaan dan pemanfaatansumber air sebagai barang publik atau pri-vat dan komoditas ekonomi global. Ironisnyadan sekaligus juga paradoks, yaitu manaka-la terjadi hal-hal negatif pada aliran sungai,

    seperti pencemaran, banjir, dan kekeringan,masing-masing pihak cenderung saling me-nyalahkan.

    Demikian juga penelitian dari I Gus-ti Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Lintje

     Anna Marpaung (2013) menunjukkan bahwaketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang UndangNomor 32 Tahun 2004 jo Undang UndangNomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerinta-han Daerah, membuka peluang terjadinyadisintegrasi bagi pengelolaan lingkungan

    hidup. Terfokusnya Otonomi Daerah padatingkat Kota dan Kabupaten yang ditinjaubaik dari segi kewengannya maupun darisegi perimbangan keuangan yang diterima-nya, maka daerah provinsi semakin jauh dariadanya kewajiban untuk mewujudkan danmelaksanakan kebijakan dalam bidang hu-kum lingkungan.

    Disamping itu, Otonomi Daerah yangbanyak memberikan kewenangan kepadadaerah Kota dan Kabupaten dalam menge-

    luarkan kebijakan di bidang lingkungannyaakan mengakibatkan timbulnya kebijakan-

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    3/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    156          

    kebijakan lingkungan hidup yang saling tum-pang tindih antara daerah yang satu dengandaerah yang lainnya, yang bisa mengakibat-kan kerugian terhadap pelaksanaan kebija-

    kan penegakan hukum lingkungan itu sendiri.Tulisan ini akan menganalisis lebih kauhlagi hasil penelitian terdahulu tersebut den-gan memfokuskan pada urgensi pendekatanekoregion dalam sistem hukum pengelolaansumber daya air sungai untuk mewujudkanpembangunan berkelanjutan.

    2. Metode Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitianhukum non doktrinal dengan pendekatan so-cio-legal research, (Irianto, 2009a: 37; Irian-to, 2009b:177; Wignjosoebroto, 2009;120).Melalui pendekatan ini pengkajian dilakukandengan mendeskripsikan substansi norma-norma hukum pengelolaan sumber daya airsungai yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun2004 tentang Sumber Daya Air, PP Nomor37 Tahun 2012 Tentang Daerah Aliran Sungai(DAS), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38Tahun 2011 tentang Sungai, Undang-UndangNomor 32 tahun 2004 jo Undang-Undang

    Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerinta-han Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Ta-hun 2009 Tentang Perlindungan dan Penge-lolaan Lingkungan Hidup dan realitas sosialyang ada dalam pengelolaan sumber dayaair sungai, serta keterkaitan antara keduanya.Secara lebih konkrit metode yang digunakanadalah metode kualitatif. Paradigma yang di-gunakan adalah paradigma kritis atau criticallegal theory  (Giddens, 2008:138). Penelitianini mengkritisi penyelenggaraan peraturan

    sumber daya air sungai dengan jalan yanglebih demokratis, yaitu dengan melibatkanberbagai pihak di dalam birokrasi pemerinta-han daerah dan masyarakat sebagai kesatuanyang integratif holistik. Penelitian ini menggu-nakan Konsep pemikiran Deep Ecology  dariFritjop Capra, Teori Sistem Hukum dari Fried-man, Teori Birokrasi dan Post-Birokrasi dariNonet and Selznick, dan Teori Keadilan Eko-logi dari Nicholas Low and Brendan Gleeson,serta konsep Negara Ekokrasi.

    3. Hasil dan Pembahasan

    a. Pengelolaan Sumber Daya air Sun-gai di Era Otonomi Daerah

    Pengelolaan sumber daya air sungaitidak terlepas dari berbagai permasalahan,antara lain masalah penurunan sumberdayaalamiah, polusi dari berbagai sumber, sertakonflik penggunaan lahan di sekitar Daerah

     Aliran Sungai (DAS). Saat ini kondisi DAS disebagian besar daerah di Indonesia cende-rung menurun. DAS memikul beban yangsangat berat dengan meningkatnya kepada-tan penduduk di sekitar DAS dan mening-katnya pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam secara intensif sehingga kondisiDAS mengalami degradasi (Asdak, 1999: 47).

    Hasil pemantauan kualitas air mela-lui pengukuran Indeks Kualitas Air pada 13sungai dan 40 situ yang ada di wilayah DKI

     Jakarta menunjukkan bahwa 83% sungai dan79% situ berada dalam kategori buruk. Hasilpenelitian yang mengacu pada studi Depar-temen PU ini perlu dicermati mengingat sun-gai memiliki peran penting sebagai salah satusumber daya alam pendukung kehidupanmanusia. Selain penurunan kualitas air, terja-

    di pula kecenderungan peningkatan bencanadi sekitar DAS, seperti tanah longsor, erosidan sedimentasi.

    Musibah kejadian bencana sekitar DASyang merupakan gabungan masalah kurang-nya pemeliharaan infrastruktur dan dampaknegatif dari eksploitasi lingkungan. Halini

    terjadi baik di kawasan hulu berupapenebangan hutan maupun di kawasan hilirberupa perubahan lahan irigasi dan persawa-han untuk kepentingan ekonomi. Eksploita-

    si lingkungan yang terjadi antara lain ditun- jukkan oleh berkurangnya luas situ akibatadanya pembangunan permukiman, yangmengubah kondisi lingkungan .

    Kasus bencana di sekitar DAS terkaitdengan pelaksanaan tata ruang yang tidakterkendali, dan kurangnya pemeliharan infra-struktur dengan baik di kawasan hulu. Kasusini juga menunjukkan pentingnya pengelo-laan lingkungan pada wilayah DAS pada ting-kat makro. Selain itu, kasus bencana ini juga

    menunjukkan pengaruh aspek ekonomi yangmemicu masyarakat untuk mengeksploitasi

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    4/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    157 

    lingkungan demi memperoleh keuntungan.Hal ini disebabkan karena tidak berjalannyadengan baik kebijakan publik yang dibuatoleh pihak Pemerintah Daerah atau kebija-

    kan pemerintah daerahnya yang belum me-miliki keseimbangan antara tiga aspek, yaitulingkungan, ekonomi dan sosial dan juga ku-rangnya koordinasi antar daerah hulu-hilir.

    Masalah tentang pengelolaan sumberdaya air sungai antara daerah hulu dan hi-lir adalah permasalahan di era desentralisasidan otonomi daerah. Era otonomi daerah te-lah merubah berbagai kewenangan dibidanglingkungan hidup yang semakin terbatas ditingkat pemerintaha pusat dan propinsi akantetapi menjadi lebih besar di tingkat Kabupa-ten /Kota. Undang-Undang Nomor 32 tahun2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun2008 tentang Pemerintahan Daerah yangselanjutnya disingkat UUPD pada dasarnyameletakan kewenangan Pemerintahan Da-erah Kabupaten/Kota.

    Berdasarkan Pasal 11 ayat (2), UUPDmenjelaskan kewenangan Pemerintahan Da-erah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulatmeliputi tahap perencanaan, pengawasan,pengendalian dan evaluasi bidang Pemerin-

    tahan yang wajib dilaksanakan Kabupaten/ Kota. Dikaitkan dengan pengelolaan sumberdaya air sungai, maka pengelolaan ini terma-suk pengelolaan yang harus dilakukan olehpemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Halini dapat dikaji melalui isi ketentuan Psl 11ayat 2 UUPD, yang menyebutkan tentang bi-dang pemerintahan yang wajib dilaksanakandaerah Kabupaten/Kota salah satunya adalahLingkungan Hidup.

    Disintegrasi Sumber Daya Alam Nasio-

    nal ini adalah hasil dari inkonsistensi aturanotonomi daerah dengan aturan perundang-undangan yang menyangkut masalah ling-kungan hidup. Ketentuan pasal 11 ayat 2UUPD yang memasukan bidang lingkunganhidup sebagai salah satu bidang pemerin-tahan yang wajib dilaksanakan oleh daerahKota/Kabupaten telah melemahkan pasal 9Undang-Undang tentang Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)(yang mengamanatkan tentang pengelolaan

    laingkungan hidup berbasis ekoregion) men- jadi terpecah dengan adanya pemilahan ke-

    wenangan pengelolaan Lingkungan Hidupyang terungkap dalam UUPD (Handayanidan Marpaung, 2013).

    Implikasi dari ketentuan UUPD ini

    adalah masing-masing daerah lebih condongmempergunakan paradigma pembangunanyang mementingkan aspek-aspek ekonomidan politik dalam rangka mendapatkan pen-dapatan asli daerah (PAD) setinggi-tingginya,dengan menyederhanakan permasalahanlingkungan. Berdasarkan paradigma pemban-gunan tersebut, maka pengelolaan lingkun-gan yang dilakukan dibatasi dalam lingkupwilayah administrasi. Ruang lingkup denganhanya memperhatikan batas administrasi pe-

    merintahan, terlalu sempit untuk menjaminkehidupan populasi dan pengendalian anca-man kepunahan spesies serta pemeliharaanproses-proses ekologi yang mendukungnya.

     Akibatnya banyak Perda-Perda yang berkai-tan dengan pengelolaan sumber daya alam, serta struktur kepengurusannya dilakukanoleh masing-masing daerah.

    Otonomi daerah yang bermakna ke-mandirian, pada tataran praksisnya dalambeberapa hal masih secara rancu dimaknai

    sebagai keharusan untuk melakukannya sen-dirian. Wawasan pengelolaan sumber dayaalam seringkali dimaknai hanya seluas admi-nistratif pemerintah daerah semata, akibat-nya yang muncul adalah ego daerah semata.Praktek pengelolaan sumber daya alam yangberangkat dari perspektif seperti ini bany-ak melahirkan paradoks dalam pengelolaansumber daya alam di era otonomi daerahseperti konflik horisontal dan konflik vertikal.

    b. Pengaturan Lingkungan Hidup dili-hat dari Teori Bekerjanya HukumKonstitusi (UUD 1945) sebagai hu-

    kum tertinggi yang menjadi sumber hukumformil maupun materiil telah diamandemensebanyak 4 (empat) kali. Sejatinya peruba-han tersebut dimaksudkan untuk meresponperkembangan dan dinamika zaman. Salahsatu aspek penting dari amandemen UUD1945 adalah lahirnya suatu gagasan tentangpentingnya lingkungan hidup (ecocracy ) yang

    sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.ini kemudian dinormakan dalam UUD 1945.

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    5/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    158          

    Secara jelas dalam Pasal 28 H ayat (1) “ Se-tiap orang berhak hidup sejahtera lahir danbatin, bertempat tinggal, dan mendapatkanlingkungan hidup yang baik dan sehat serta

    berhak memperoleh pelayanan kesehatan”(Asshiddiqie, 2010:117). Adanya ketentuan hak asasi bagi seti-

    ap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal28 H ayat (1), mengharuskan Negara untukmenjamin terpenuhinya hak tersebut. Disisilain kita sebagai warga Negara mempuny-ai kewajiban untuk menghormati hak asasiorang lain atas lingkungan hidup yang baikdan sehat. Disamping diatur dalam pasal28 H ayat 1, pengelolaan lingkungan hidupyang suitable juga diatur dalam pasal 33 ayat3 UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaanalam yang terkandung di dalamnya dikuasaioleh Negara dan dipergunakan untuk sebe-sar-besarnya kemakmuran rakyat”.

    Pengaturan lingkungan hidup yangpada awalnya dimuat dalam UU kemudian“diangkat” dalam UUD merupakan suatuupaya serius yang dilakukan oleh pemerin-tah untuk menjamin keberlangsungan fungsilingkungan hidup agar dapat dinikmati olehgenerasi yang akan datang. Konsekuensi dari

    diaturnya lingkungan hidup ke dalam UUD1945 adalah kebijakan, rencana dan/atauprogram yang dilaksanakan oleh pemerintahharus melihat aspek keberlanjutan lingkun-gan hidup. Dengan demikian kebijakan, ren-cana dan/atau program yang tertuang dalambentuk UU, Perpu, PP, Perda tidak boleh ber-tentangan dengan ketentuan konstitusionalyang pro-lingkungan.

    Saat ini Undang Undang yang berkai-tan mengatur tentang sumber daya air sun-

    gai adalah: Undang-Undang Nomor 7 Tahun2004 tentang Sumber Daya Air sebagai pro-duk legislatif masa reformasi, telah menggan-tikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974tentang Pengairan. Undang-Undang Nomor7 Tahun 2004 tentang SDA mempunyai ke-lebihan jika dibandingkan dengan UU Pen-gairan. Kelebihan tersebut yaitu bahwa UUSDA mengatur secara terperinci mengenai airyang dikaitkan dengan konsep 3 pilar penge-lolaan sumber daya air. Ketiga pilar pengelo-

    aan tersebut adalah fungsi sosial, lingkunganhidup, dan ekonomi.Fungsi sosial berarti ke-

    pentingan umum lebih diutamakan daripadakepentingan individu. Pilar lingkungan hidupberarti bahwa sumber daya air menjadi ba-gian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat

    hidup flora dan fauna. Pilar ekonomi berartibahwa sumber daya air dapat didayagunakanuntuk menunjang kegiatan usaha yang dise-lenggarakan dan diwujudkan secara selaras(Budiman,1999:194).

    Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38Tahun 2011 tentang Sungai merupakan pe-raturan perundang-undangan yang menga-tur khusus tentang sungai . Pasal 18 ayat 1PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungaimenegaskan, Pengelolaan sungai melipu-ti: a.konservasi sungai; b.pengembangansungai; dan c. pengendalian daya rusak airsungai. Mengenai kewenangannya untukmelakukan konservasi, pengembangan danpengendalian ini terdapat dalam Pasal 19ayat 1.

    Pasal 19 ayat 1, menyebutkan Penge-lolaan sungai sebagaimana dimaksud dalamPasal 18 dilakukan oleh: a. Menteri, untuksungai pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas negara, dan wilayahsungai strategis nasional; b. Gubernur, untuk

    sungai pada wilayah sungai lintas kabupaten/ kota; dan c. Bupati/Walikota, untuk sungaipada wilayah sungai dalam satu kabupaten/ kota. Selanjutnya Pasal 19 ayat 2: Pengelo-laan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan dengan melibatkan instansi tek-nis dan unsur masyarakat terkait. Dan ayat(3).Pengelolaan sungai dilaksanakan berdas-arkan norma, standar, pedoman, dan kriteriayang ditetapkan oleh Menteri.

    Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan

    lagi Peraturan pemerintah yang mengaturtentang Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu PPNo.37 Tahun 2012 ayat (2) menyebutkantentang Penyusunan Klasifikasi DAS dilaku-kan untuk menentukan: a. DAS yang dipu-lihkan; dan b. DAS yang dipertahankan,dayadukungnya.(3).Penentuan Klasifikasi DAS se-bagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukanberdasarkan kriteria: a. kondisi lahan; b. ku-alitas, kuantitas dan kontinuitas air; c. sosialekonomi; d. investasi bangunan air; dan e.

    pemanfaatan ruang wilayah.Selanjutnya Pasal 22 ayat 1 berdasar-

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    6/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    159 

    kan penetapan klasifikasi DAS sebagaimanadimaksud dalam Pasal 12, dilakukan pe-nyusunan Rencana Pengelolaan DAS. Ayat(2) Penyusunan RencanaPengelolaan DAS

    dilakukan oleh:a.Menteri untuk DAS lintasnegara dan DAS lintas Provinsi; b. Gubernursesuai kewenangannya untuk DAS dalamprovinsi dan/atau lintas kabupaten/kota; c.Bupati/Walikota sesuai kewenangannya un-tuk DAS dalam kabupaten/kota. Dalam Ayat3 diterangkan: dalam menyusun RencanaPengelolaan DAS sebagaimana dimaksudpada ayat (2) Menteri, gubernur, bupati/wali-kota sesuai kewenangannya dapat memben-tuk tim dengan melibatkan Instansi Terkait 

    Namun ditingkat implementasi pelak-

    sanaan kewenangan kelembagaan ini meng-hadapi masalah. Kendala otonomi pengelo-laan sumber daya air sungai yang berkaitandengan dengan aspek kelembagaan adalahmasalah koordinasi pemafaatan sumber dayaair yang bersifat ganda (multi purpose), (Su-lastriyono, 2008:65). Penanganannya perlukoordinasi. Koordinasi tersebut dapat bersifatvertikal yaitu antara instansi di pusat dan didaerah dan koordinasi secara horisontal antarinstansi seperti Departeman Dalam Negeri

    (DEPDAGRI), Departemen Pekerjaan Umum(DPU), Badan Lingkungan Hidup, Departe-men Perhubungan (DEPHUB), DepartemenPertambangan dan Energi, Departemen Pe-rindustrian, Departemen Kesehatan, Depar-temen Kehutanan dan sebagainya. Dalampelaksanaan koordinasi secara vertikal di-rasakan lebih mudah dilaksanakan karenaada perbedaan kedudukan.

    Koordinasi secara horisontal masihdirasakan kurang, untuk itu dalam rangka

    pengaturan pengelolaan sumber daya airsecara holistik dan terpadu perlu ada solusiagar koordinasi secara horisontal dapat di-laksanakan dengan baik Kurangnya pelaksa-naan koordinasi secara horisontal disebabkanbatas kewenangan dan urusan satu instansidengan instansi lainnya umumnya tidak dia-tur secara jelas, sehingga tidak ada kepastianruang lingkup dan batas kewenangan masingmasing sektor.

    Permasalahan lainnya adalah kurang-nya koordinasi antar wilayah antar daerah.Badan Perencanaan dan Pembangunan Da-

    erah (Bappeda), Dinas Tata Ruang, BadanLingkungan Hidup, Dinas Perumahan danBangunan, Dinas Pariwisata di daerah yangsatu kurang beroordinasi dengan daerah

    lainnya, hal ini mengakibatkan berbagai ke-bijakan dan peraturan perundang-undanganyang ada sekarang bersifat sektoral atau re-gional/lokal dan kurang memperhatikan per-masalahan lintas sektoral. konsep pengaturanpengelolaan sumber daya air yang bersifatholistik dan terpadu dengan berbasis kearifanlokal diperlukan sebagai salah satu alternatifdalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya air (Akib, 2011:67).

    Berdasarkan hal tersebut diatas, makakembali kepada amanat dari konstitusi, per-

    masalahan yang berkaitan dengan pengelo-laan sumber daya air sungai harus segera di-perbaiki. Sistem hukum yang selama ini adadi daerah-daerah perlu dibangun kembaliuntuk mengurangi salah kelola yang beraki-bat timbulnya berbagai bencana dan kerugi-an yang amat besar karena tidak maximalnyahasil yang didapatkan dari sumber daya airsungai tersebut. Untuk itu perlu diperhatikanbekerjanya sistem hukum dalam pengelolaansumber daya air sungai.

    Proses bekerjanya sistem hukum, yangmenurut L. Friedman terdiri atas tiga aspek(Friedman,1975). Pertama, Struktur Hukum,yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalamsuatu mekanisme yang merupakan kelem-bagaan yang diciptakan oleh sistem hukumdan mempunyai fungsi untuk mendukungbekerjanya sistem hukum (seperti lembaga-lembaga hukum dan hubungan atau pem-bagian kekuasaan antar lembaga hukum).Kedua, Substansi Hukum, yaitu hasil aktual

    yang diterbitkan oleh sistem hukum yang be-rupa norma-norma hukum, baik peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digu-nakan oleh para penegak hukum maupunoleh mereka yang diatur hukum. Keempat,Kultur atau Budaya hukum, Friedman men-gatakan bahwa substansi dan struktur meru-pakan komponen nyata dari sistem hukum,akan tetapi hal itu merupakan cetak biru saja/ blueprint desain hukum dan belum men-deskripsikan yang sebenarnya dari cara ker-

     ja mesin hukum. Dengan demikian budayahukum merupakan ide-ide, sikap, harapan

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    7/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    160          

    dan pendapat tentang hukum sebagai kese-luruhan faktor yang menentukan bagaimanasistem hukum memperoleh tempatnya yanglogis.

    Menurut Friedman, kultur hukum ada-lah suasana pikiran sosial dan kekuatan so-sial yang menentukan bagaimana hukumdigunakan, dihindari atau disalahgunakan.Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itusendiri tidak berdaya, seperti “ikan mati yangterkapar di keranjang, dan bukan sepertiikan hidup yang berenang di laut”. Kompo-nen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dansikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanyahukum, atau yang menurut Friedman disebutsebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah

    yang berfungsi sebagai jembatan yang meng-hubungkan antara peraturan hukum dengantingkah laku hukum seluruh warga masyara-kat.

    Sistem hukum terdiri dari tiga bagi-an itu bisa diibaratkan sebagai berikut: 1).Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin;2). Substansi hukum adalah apa yang dikerja-kan dan dihasilkan oleh mesin itu; 3). Kulturhukum adalah apa saja atau siapa saja yangmemutuskan untuk menghidupkan dan me-

    matikan mesin itu, serta memutuskan bagai-mana mesin itu digunakan. (Rahardjo, 2009:69).

    c. Ekoregion Approach dalam SistemHukum Pengelolaan Sumber Daya Air

    Pengelolaan Sumber Daya Air Sungaidiatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Da-erah Aliran Sungai. Pengelolaan DAS adalahpengelolaan sumber daya alam yang dapat

    diperbaharui, yaitu tumbuhan, tanah danair, agar dapat memberikan manfaat yangmaksimal dan berkesinambungan. Pengelo-laan DAS merupakan upaya manusia dalammengendalikan hubungan timbal balik an-tara sumberdaya alam dengan manusia dansegala aktifitasnya didalam DAS. Adapun tu-

     juan Pengelolaan DAS adalah: mewujudkankondisi tata air DAS yang optimal meliputikuantitas , kualitas dan distribusi menurutruang dan waktu , mewujudkan kondisi la-

    han yang produktif secara berkelanjutan,mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang

    berkeadilanUntuk mencapai tujuan pengelolaan

    DAS, maka ruang lingkup pengelolaan DASharus meliputi: penatagunaan lahan penge-

    lolaan Sumber Daya Air, pengelolaan lahandan vegetasi, pengelolaan dan pengemban-gan Sumber Daya Buatan, pemberdayaanmasyarakat dan pengembangan kelemba-gaan. Dengan pengelolaan DAS yang benardiharapkan tercapainya kondisi hidrologisyang optimal, meningkatnya produktifitaslahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahte-raan masyarakat, terbentuknya kelembagaanmasyarakat yang tangguh dan muncul daribawah sesuai dengan kondisi sosial budayasetempat, serta terwujudnya pembangunan

    yang berkelanjutan, berwawasan lingkungandan berkeadilan.

    Beberapa prinsip dasar dalam pengelo-laan DAS adalah: DAS sebagai suatu kesatu-an ekosistem dari hulu sampai hilir, satu Pe-rencanaan dan satu pengelolaan multipihak,koordinatif, menyeluruh dan berkelanjutan,adaptif dan sesuai dengan karakteristik DAS,pembagian beban biaya dan manfaat antarmultipihak secara adil dan akuntabel. Prinsippengelolaan Daerah Aliran Sungai ini adalah

    prinsip pengelolaan lingkungan dengan pen-dekatan ekoregion (Sunarti, 2008:91).

    Ekoregion adalah batas darat dan pe-rairan dimana batas tersebut tidak diten-tukan oleh batas secara politik, akan tetapioleh batas geografis dari komunitas manusiadan sistem lingkungan. Luas area ini haruscukup besar guna mempertahankan integri-tas komunitas biologi wilayah tersebut, ha-bitat dan ekosistem untuk menyokong pro-ses-proses ekologi yang penting seperti siklus

    nutrient dan limbah, migrasi dan aliran arus.Untuk menjaga habitat dari spesies-spesiesyang penting dan juga mencakup komunitasmanusia yang terlibat di dalam pengelola-an alam, penggunaan dan memahami pro-ses-proses biologi.

    Dasar hukum ekoregion ini terdapatdalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun2009 tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup. UU Nomor 32 Tahun2009 memandatkan perlu diperkuatnya pe-rencanaan perlindungan dan pengelolaanLingkungan Hidup (RPPLH). Rencana perlin-

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    8/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    161 

    dungan dan pengelolaan Lingkungan Hidupterdiri dari empat muatan, yaitu: (1) peman-faatan dan/atau pencadangan sumber dayaalam; (2) pemeliharaan dan perlindungan

    kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;(3) pengendalian, pemantauan, serta pen-dayagunaan dan pelestarian sumber dayaalam; dan (4) adaptasi dan mitigasi terhadapperubahan iklim. Untuk memperkuat peren-canaan perlindungan dan pengelolaan ling-kungan hidup tersebut, UU Nomor 32 Tahun2009 menegaskan bahwa untuk menyusunrencana perlindungan dan pengelolaan ling-kungan hidup harus berbasis ekoregion yangmempertimbangkan karakteristik wilayah.

    Selanjutnya dalam UU Nomor 32 Ta-hun 2009 tersebut menerangkan bahwa Eko-region adalah geografis ekosistem, artinyapola susunan berbagai ekosistem dan prosesdi antara ekosistem tersebut yang terikat da-lam suatu satuan geografis. Penetapan ekore-gion menghasilkan batas (boundary ) sebagaisatuan unit analisis dengan mempertimbang-kan ekosistem pada sistem yang lebih besar.Penetapan ekoregion tersebut menjadi das-ar dan memiliki peran yang sangat pentingdalam melihat keterkaitan, interaksi, inter-

    dependensi dan dinamika pemanfaatan ber-bagai sumberdaya alam antar ekosistem diwilayah ekoregion.

    Penyusunan Rencana Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup atauRPPLH perlu memperhatikan keragamandan karakteristik fungsi ekologis, kepadatanpenduduk, sebaran potensi SDA, kearifan lo-kal dan aspirasi masyarakat serta perubahaniklim. Analisis berbasis ekoregion yang mem-punyai karakteristik tertentu, akan memper-

    kuat dalam mewujudkan pula arah peneka-nan perbedaan Perencanaan Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup padapulau-pulau besar maupun kepulauan yangmempertimbangkan aspek darat dan laut.UU Nomor 32 Tahun 2009 memberi pelu-ang besar untuk mengelola lingkungan hidupdan sumberdaya alam secara lebih efektif.Hal ini akan memperkuat pula perencanaanpembangunan nasional dan wilayah, terlebihsecara mandat dalam UU Nomor 32 Tahun

    2009 dinyatakan bahwa RPPLH dijadikandasar dan dimuat dalam Rencana Pemban-

    gunan Jangka Panjang (RPJP) dan RencanaPembangunan Jangka Menengah (RPJM).

    Secara prinsip, pendekatan ekoregion juga bertujuan untuk memperkuat dan me-

    mastikan terjadinya koordinasi horisontalantar wilayah administrasi yang saling ber-gantung (hulu-hilir) dalam pengelolaan danperlindungan lingkungan hidup yang men-gandung persoalan pemanfaatan, pencadan-gan sumber daya alam maupun permasala-han lingkungan hidup. Selain itu, pendekatanekoregion mempunyai tujuan agar secarafungsional dapat menghasilkan PerencanaanPerlindungan dan Pengelolaan LingkunganHidup, pemantauan dan evaluasinya secarabersama antar sektor dan antar daerah yangsaling bergantung, meskipun secara kegiatanoperasional pembangunan tetap dijalankansendiri-sendiri oleh sektor/dinas dan wilayahadministrasi sesuai kewenangannya masing-masing. Dasar pendekatan ini juga akanmewujudkan penguatan kapasitas dan ka-pabilitas lembaga (sektor/dinas) yang disesu-aikan dengan karakteristik dan daya dukungsumber daya alam yang sedang dan akan di-manfaatkan.

    Pendekatan ekoregion juga terdapat

    dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategisatau KLHS. atau yang juga dikenal sebagaiStrategic Environmental Assessment  (SEA).Konsep KLHS telah di implementasikan se-cara efektif di negara-negara Eropa, sebagi-an negara-negara di benua Afrika, Asia, dan

     Amerika serta di Australia dan Selandia Baru.Sebagian besar dari mereka bahkan mene-rapkannya sebagai directive ataupun manda-tory policy. Definisi KLHS yang secara umumdirujuk oleh sebagian besar pengguna KLHS

    adalah sebagai berikut: ”Suatu proses siste-matis dan komprehensif untuk mengevalu-asi dampak lingkungan, pertimbangan sosialdan ekonomi, serta prospek keberlanjutandari usulan kebijakan, rencana, atau program

     pembangunan”.KLHS merupakan bagian dari keseluru-

    han Kajian Lingkungan Hidup (Environmen-tal Assessments), yang dalam konteks prosespengambilan kebijakan pembangunan, di-manfaatkan mulai dari perumusan kebijakan,

    perencanaan, dan program. Tipikal kajiannyadapat berupa kajian terhadap aspek kebija-

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    9/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    162          

    kan, aspek regional/ekoregion, aspek progra-matik, maupun aspek sektoral. Sementara itupada tahap proyek, kajian lingkungan hidupdilaksanakan dengan menggunakan metode

     AMDAL. Pengalaman implementasi berbagaiinstrumen pengelolaan lingkungan hidup,utamanya AMDAL, menunjukkan bahwameskipun AMDAL sebagai salah satu instru-men pengelolaan lingkungan cukup efektifdalam memasukkan pertimbangan-pertim-bangan lingkungan dalam rancang-bangunproyek-proyek individual, tapi secara konseppembangunan menyeluruh, instrumen AM-DAL belum memadai dalam memberikan ja-lan keluar terhadap dampak lingkungan ku-mulatif, dampak tidak langsung, dan dampaklingkungan sinergistik.

    Pengalaman juga menunjukkan dalamproses pengambilan keputusan sering ter-

     jadi ketidakpastian, kesenjangan informasidan kendala kognitif merupakan fenome-na umum yang melatarbelakangi kegagalanpengambilan keputusan/kebijakan pemban-gunan berkelanjutan. Dalam konteks ini, ke-tidakpastian terbesar adalah dalam mempra-kirakan besarnya dampak Lingkungan Hidup

    yang timbul sebagai akibat implementasiKebijakan, Rencana, Program (KRP). Pelaksa-na pembangunan atau pengambil kebijakanpembangunan yang berbeda mengacu padaatau memberikan interpretasi terhadap KRPsecara berbeda pula sehingga menimbulkanpersoalan dalam memprakirakan besarnyadampak.

    Saat ini, pergeseran orientasi kebijakanpengelolaan lingkungan telah mengarah padaintervensi di tingkat makro dan pada tingkat

    hulu dari proses pengambilan keputusanpembangunan. Esensinya adalah bahwa ker- jasama antar pelaku pembangunan dalammewujudkan pembangunan berkelanjutanakan lebih efektif apabila lebih fokus padaupaya pencapaian pembangunan berkelan-

     jutan pada tingkat makro/nasional daripadaterbatas pada pendekatan di tingkat proyekdi daerah.

    Dalam konteks pergeseran strategimewujudkan pembangunan berkelanjutan

    inilah peran KLHS menjadi penting. Imple-mentasi KLHS juga diharapkan dapat men-

    gantisipasi terjadinya dampak lingkunganyang bersifat lintas batas (cross boundary en-vironmental effects) dan lintas sektor. Penan-ganan dampak lintas wilayah dan lintas sek-

    tor ini diharapkan dapat menjadi jalan keluaratas permasalahan lingkungan hidup yangcenderung makin kompleks dengan dilaksa-nakannya, atau lebih tepatnya, distorsi pe-laksanaan Undang-Undang Nomor 32 tahun2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun2008 tentang Pemerintahan Daerah.

    Dengan demikian, KLHS seharusnyatidak diartikan sebagai instrumen pengelo-laan lingkungan yang semata–mata dituju-kan pada komponen-komponen Kebijakan,Rencana,Program,(KRP) tapi yang lebih pen-ting adalah sebagai suatu cara untuk meya-kinkan bahwa implikasi pelaksanaan KRPterhadap lingkungan hidup telah dijadikanpertimbangan dalam setiap tingkatan pen-gambilan keputusan, dan dengan demikian,keberlanjutan pembangunan dapat lebihterjamin Dengan kata lain, secara substan-sial, KLHS merupakan suatu upaya sistematisdan logis dalam memberikan landasan bagiterwujudnya pembangunan berkelanjutanmelalui proses pengambilan keputusan yang

    bersifat holistik, berwawasan lingkungan, dantidak hanya berdasarkan kepentingan keada-erahan semata (Hadi, 2002:1).

    Saat ini sudah disusun peta dan des-kripsi ekoregion DAS Daerah Aliran Sungaiyang merupakan satu kesatuan ekoregion.Pada proses penetapan ekoregion tersebut,KLH bekerjasama dengan Badan lnformasiGeospasial (sebelumnya Bakosurtanal) dandidukung oleh instansi pemerintah dan didu-kung oleh akademisi dari beberapa univer-

    sitas dan LSM. Dalam proses memperkayapenyusunan ekoregion, KLH juga melibatkanberbagai narasumber lainnya dalam berbagaikonsultasi publik. Untuk meningkatkan koor-dinasi antara pemangku kepentingan dalampenyediaan beberapa IGT yang dikoordinasi-kan oleh Badan Informasi Geospasial, diben-tuk pula Kelompok Kerja Ekoregion yang di-ketuai oleh KLH.

    Proses penetapan ekoregion tersebutdilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu

    pemilihan parameter deliniator dan deskrip-tor, penyusunan hirarki ekoregion, pena-

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    10/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    163 

    maan ekoregion, pemetaan, dan penyusu-nan deskripsi. Parameter deliniator adalahparameter yang digunakan untuk membatasisuatu ekoregion yang sifatnya statis. Sedang-

    kan parameter deskriptor adalah parameteryang digunakan untuk menggambarkan ka-rakteristik suatu ekoregion secara rinci yangbersifat dinamis.

    Pasal 7 UU Nomor 32 tahun 2009 me-netapkan bahwa terdapat 8 (delapan) pertim-bangan untuk penetapan ekoregion, yaitu (a)karakteristik bentang alam; (b) daerah aliransungai; (c) iklim; (d) flora dan fauna; (e) eko-nomi, (f) kelembagaan masyarakat; (g) sosialbudaya, dan (h) hasil inventarisasi lingkunganhidup Berdasarkan analisis dan kesepakatanpara ahli terhadap 8 faktor tersebut, prosespenetapan ekoregion darat menggunakanparameter deliniator bentang alam, yaitumorfologi (bentuk muka bumi) dan morfo-genesa (asal usul pembentukan bumi). Se-dangkan proses penetapan ekoregion lautmenggunakan parameter deliniator morfo-logi pesisir dan laut, keanekaragaman hay-ati yang sifatnya statis, seperti karang keras,oseanografi, pasang surut, dan batas NKRI.Parameter lainnya yang disebutkan di atas,

    terutama yang sifatnya dinamis digunakan se-bagai atribut untuk mendeskripsikan karakterekoregion tersebut. Ekoregion dalam konsepini ditekankan pada upaya sinergi, intergraldalam menjalankan fungsi koordinasi, danseminasi informasi sehingga menjadi lancarterhadap penanganan isu-isu lingkungan.

    Dengan ditentukan ekoregion akanmenghubungan kebijakan antar daerah danmemasukan pertimbangan lingkungan dalamsetiap kebijakan pembangunan serta melaku-

    kan pengawasan. Kebijakan itu berorintasipada pemanfaatan sumber daya alam danperubahan tata ruang yang dibuat dengansesuai daya tampung dan daya dukung ling-kungan.Pada akhirnya ekoregion dapat me-netapkan kriteria-kreteria lingkungan hidup,pengembangan sitem informasi, pembangu-nan yang berkelanjutan dengan aspek ling-kungan dan upaya-upaya dalam penangang-an isu lingkungan hidup.

    Berdasarkan uraian di atas, maka su-

    dah saatnya dilakukan pendekatan ekoregion“ekoregion approach” produk-produk hukum

    di tingkat daerah dalam bentuk Perda dalamrangka pengelolaan DAS. Mengacu pada Te-ori Lawrence Friedman, bahwa bekerjanyahukum dipengaruhi tiga faktor, yaitu stuktur,

    substansi dan kultur.Pertama, Struktur, dalam hal struk-tur sebenarnya sudah ada lembaga baik ditingkat pusat maupun daerah yang men-angani pengelolaan DAS, yaitu KementerianKehutanan, Kementerian PU, KementerianLingkungan dan instansi terkait di tingkat pu-sat. Di tingkat daerah ada Dinas Kehutanan,Badan Lingkungan Hidup, Bappeda dan in-stansi terkait lainnya baik provinsi maupunkabupaten tapi lembaga-lembaga ini belumoptimal dalam pengelolaan sumber daya airsungai. Belum optimalnya lembaga-lembagaini mengelola sumber daya air sungai adalahkelembagaan ini bersifat ego sektoral. Sifat inimenghinggapi konstruksi stuktur organisasiperangkat daerah.

    Birokrasi sektoral atau dalam istilahNadler and Tushman (2008:112) adalah Or-ganisasi Diferensiasi, yaitu suatu prinsip da-lam organisasi yang menunjukkan bagaimanafungsi-fungsi satuan organisasi dirancang ber-beda satu sama lain dalam melakukan tran-

    saksi dengan lingkungannya. Dengan demiki-an setiap unit atau satuan organisasi disusun/ dirancang harus menunjukkan perbedaanfungsi, aktivitas, wewenang dan tanggungja-wabnya masing-masing. Selanjutnya Lawren-ce and Lorch menyatakan bahwa perbedaandalam orientasi terhadap tujuan tertentu dariorganisasi diferensiasi akan menyebabkanpara anggota dari departemen yang berbe-da mengembangkan pandangan-pandanganmereka sendiri tentang bagaimana cara men-

    capai kepentingan organisasi yang baik (Law-rence and Lorch, 2008:124).Dari organisasi yang sektoral dalam

    legal structure di lembaga pemerintahan initimbul gejala ego sektoral dalam pelaksa-naannya, kaitannya dengan masalah pen-gelolaan sumber daya air sungai ini, makakeberlanjutan lingkungan hidup akan men-

     jadi yang dikorbankan, karena tidak semuaorganisasi dalam lembaga pemerintahan me-miliki kode komunikasi dalam keberlanjutan

    lingkungan hidup. Dalam perspektif teorisistem Niklas Luhmann ada sistem autopoie-

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    11/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    164          

    tic, salah satu karakteristik sistem autopoieticadalah sistem yang tertutup. Ini berarti bah-wa satu organisasi yang tertutup akan sangatmembatasi komunikasinya dengan hal yang

    tidak ada kaitan langsung antara sistem den-gan lingkungannya. Sistem organisasi sepertiini dapat eksis karena pembatasan komuni-kasi ini (Luhman dalam Ritzer and Goodman,2008:33).

    Sistem autopoietic  dalam masyarakatmodern diterjemahkan ke dalam proses dife-rensiasi. Diferensiasi di dalam sistem adalahcara penanganan perubahan dalam lingkun-gannya. Masing-masing sistem harus menjagabatas-batasnya dalam hubungannya denganlingkungannya. Jika tidak ia akan dikuasaioleh kompleksitas lingkungannya, ambrukdan berhenti eksis. Maka untuk berkomuni-kasi dengan sistemnya yang lebih luas sebu-ah organisasi memerlukan sebuah kode, inidipakai untuk membatasi jenis komunikasiyang diperbolehkan. Setiap komunikasi yangtidak menggunakan kode itu bukan komuni-kasi yang masuk dalam sebuah sistem terkaitdalam organisasi.

    Kode lingkungan hidup ada di BadanLingkungan Hidup yang ada di satu daerah,

    sementara di Badan perizinan Terpadu, DinasTata Banguna dan Pemukiman, PLN, BinaMarga dan Pengairan dan lembaga-lembagayang lain di daerah yang lain, kode lingkun-gan nya berbeda satu dengan yang lain. Ma-salahnya adalah, lingkungan hidup atau ke-berlanjutan lingkungan hidup tidak mungkinditangani secara sektoral dengan kode yangberbeda beda kualitas dan kuantitasnya. Un-tuk itu diperlukan suatu organisasi dengankoordinasi, yang komunikasi antar organi-

    sasinya memiliki kode sentral keberlanjutanlingkungan hidup. Perlu dibangun kedepan-nya adalah lembaga–lembaga antar daerahberdasarkan ekoregion yang menangani pen-gelolaan sumber daya air sungai. Lembagaini tidak “berpihak”pada daerah manapun,tetapi fokus dalam pengelolaan sumber dayaair sungai dari hulu sampai hilir.

    Kedua,  Substansi. Pada sisi substan-si , di tingkat pusat sudah ada UU SumberDaya Air, UU Kehutanan, UU Perlindungan

    dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahkansaat ini sudah ada PP Nomor 37 Tahun 2012

    tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.Kelemahannya adalah belum ada Perda yangmengatur tentang pengelolaan sumber dayaair sungai dan juga belum ada aturan tentang

    kerja sama antar daerah berdasarkan eko-region dari hulu sampai hilir dalam penge-lolaan DAS ini. Selain hal tersebut PeraturanDaerah cenderung bersifat anthroposentrisyang menempatkan manusia sebagai pusatdari sistem. Sehingga bernilai atau tidaknyasumber daya alam selalu diukur dari sudutpandang kepentingan manusia.

    Kecenderungan peraturan yang bersifatanthroposentris telah menjadi penyebab pa-ling mendasar terjadinya berbagai problemekologis yang melanda bumi ini, yang dam-paknya akan menghantam balik kebahagiaankehidupan manusia. Berdasarkan hal terse-but saat ini perkembangan dunia dalam pa-radigma berpikir mulai berubah kearah nilai-nilai deep ecology . Paradigma berfikir barudari Capra (Capra 2001;Capra, 2007) ini, ter-tuang dalam bukunya The turning point. Ca-pra mulai meninggalkan pradigma fisika danmistis pada paradigma biologis dan ekologis.

    Dalam buku ini Capra kemudian me-nyimpulkan penemuannya dalam bidang

    biologi tersebut yang akhirnya mengantar-kannya pada paradigma baru yang disebut-nya ekologis dan sistemik. Pendapat ini Cap-ra temukan ketika dia mencoba menjelaskanbahwa sistem yang ada dalam organismeadalah saling bergantung dan dalam pro-sesnya kesaling tergantungan itu mempuny-ai kekuatan untuk memperbaiki diri ketikamasing-masing ada kerusakan, kemampuanuntuk menyembuhkan ini disebutkan olehCapra dengan swa-organisasi yang kemudian

    diidentifikasi sebagai seauatu yang lain dantidak lain adalah Tuhan.Satjipto Raharjo dalam pemikiran Hu-

    kum Progresif mencoba menyoroti kondisidi atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, ter-masuk Ilmu Hukum, meski tidak sedramatisdalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya ter-

     jadi perubahan yang fenomenal mengenaihukum yang dirumuskannya dengan kalimat“dari yang sederhana menjadi rumit” dan“dari yang terkotak-kotak menjadi kesatuan”

    Inilah yang disebutnya sebagai pandanganholistik dalam ilmu (Hukum). Pandangan

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    12/15

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    13/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    166          

    rintahan dengan birokrasi yang bersifat ho-listik dalam pengelolaan sumber daya alam(khususnya sumber daya air sungai) denganbudaya cara pandang yang bersifat holistik

    ini, pengelolaan tidak lagi dipandang sebagaikepentingan sektoral. Implementasi dari bu-daya cara pandang yang bersifat holistik akanmemudahkan pendekatan ekoregion dalampengelolaan sumber daya air sungai. Dalambudaya pemerintahan yang bersifat holistikini juga akan memandang pembangunan dariberbagai segi, bukan hanya dititik beratkandari segi ekonomi saja, tetapi juga dari segisosial, budaya masyarakat dan pembangunankelestarian lingkungan.

    Budaya yang lainnya adalah Eksternallegal culture , adalah budaya hukum masy-arakat, terutama dalam hal budaya sadarlingkungan dan mengelola sumber daya airsungai secara lestari dan berkelanjutan. Bu-daya sadar lingkungan akan lebih memu-dahkan implementasi pendekatan ekoregiondalam pengelolaan sumber daya air sungai.Dalam rangka pelestarian tata nilai sosial bu-daya agar ditaati oleh masyarakat diperlukannorma sosial yang disebut hukum. Sebagainorma sosial, hukum tidak dapat dilepaskan

    dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Ni-lai merupakan segala sesuatu yang dianggapbaik dan diharapkan oleh masyarakat, olehkarena itu nilai sosial budaya berarti peng-hargaan yang diberikan masyarakat kepadasegala sesuatu yang mempunyai kegunaan/manfaat bagi perkembangan kebudayaanmasyarakat.

    Dalam kaitannya dengan pembuatanhukum, maka hukum yang ideal dan baikadalah hukum yang mengandung nilai-nilai

    sosial budaya yang berlaku dalam masyara-kat. Hal ini bertujuan agar tercipta kesesu-aian dan keharmonisan antara hukum yangdibuat dengan nilai-nilai yang berkembangdi dalam kehidupan masyarakat. Namun,idealisme tersebut tidak mudah dilaksanakandalam pembuatan hukum tertulis (hukumnegara) yang dikenal dengan state law . Seca-ra sosiologis, hukum sumber daya air sungaiyang berlaku di Indonesia, selain hukum ter-tulis (peraturan perundang-undangan) juga

    berlaku hukum tidak tertulis (Hukum Adat)serta Hukum Agama (Sulastriyono, 2008:75).

    Kedua macam hukum tersebut dapatdikategorikan sebagai hukum yang tidak te-

    rorganisasi dan bersifat luwes. Hal ini karenaproses pembuatan dan penegakan hukum-nya tidak dileng-kapi dengan organisasi/lem-baga penegak hukum seperti polisi, jaksa danhakim seperti yang dikenal di negara barat.Kenyataan inilah yang sering dipandang olehahli hukum barat sebagai kelemahan Kele-mahan lainnya adalah bahwa aturan dalamHukum Adat dan Hukum Agama sering tidakrasional. Hukum Adat dan Hukum Agamadikatakan bersifat luwes karena hukum ter-sebut merupakan hukum yang senantiasahidup, tumbuh dan berkembang serta ber-laku di masyarakat sebagai norma/pedomanhidup manusia yang mengandung nilai-nilaisosial budaya masyarakat sehingga mudahmenyesuaikan diri dengan perkembanganmasyarakat.

    Peran serta masyarakat dengan budayahukumnya, berperan signifikan dalam pen-gelolaan sumber daya alam dan lingkunganyang adil dan berkelanjutan. Keterlibatan ma-syarakat juga membuat nilai-nilai sosial buda-

    ya, ekonomi dan ekologi lokal yang menjadielemen penting pelestarian alam juga sumberdaya air sungai berjalan beriringan denganprogram kebijakan pemerintah. Tanpa buda-ya hukum pelrestarian sumber daya air sun-gai dari masyarakat, program sebaik apapundari pemerintah akan sulit dijalankan.

    Tak bisa dipungkiri lagi bahwa masy-arakat memiliki kearifan budaya yang nyatauntuk menjaga kelestarian sumber daya airsungai secara khusus maupun lingkungan

    secara umum seperti melakukan pelestarianmata air dengan ritual adat maupun aksi nya-ta dengan penanaman pohon di sekitar mataair,” Kesadaran masyarakat untuk menjagawilayah mereka lewat hukum adat, sudah ba-nyak memberikan manfaat bagi masyarakatadat secara langsung di berbagai wilayah ditanah air. Aktivitas dari budaya ini, membe-rikan hasil yang nyata bagi pelestarian sum-ber daya air sungai dan masyarakat setempatdengan cara yang berkelanjutan.

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    14/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    167 

    4. Simpulan

    Dari uraian di atas dapat disimpulkanbahwa dari struktur hukum lembaga-lembaga

    terkait dalam pengelolaan sumber daya air ditingkat daerah sudah saatnya menggunakanekoregion approach dalam segala aktifitas bi-rokrasinya. Kerjasama antar daerah berbasisekoregion akan memudahkan pengelolaansecara terpadu, terkoordinasi dan terorga-nisir dengan baik. Secara substansi hukum,Perda Pengelolaan sumber daya air sungaidengan ekoregion approach  sudah saatnyadibentuk dan urgen dalam rangka penguatanfungsi lingkungan hidup dan mewujudkanpembangunan yang berwawasan lingkungan.Demikian juga perlu dibangun kultur hukumyang bersifat holistik, baik dari kultur peme-rintahan (internal legal culture) maupun darimasyarakat (eksternal legal culture). Kulturpemerintahan yang holistik membiasakankerjasama terpadu dari berbagai pihak danKultur hukum dari masyarakat sangat mem-bantu pelestarian sumber daya air sungai darihilir sampai hulu.

    Mengingat permasalahan yang komp-leks serta payung hukum pengelolaan sum-ber daya air sungai di tingkat daerah belumtersedia, khususnya Perda khusus Pengelo-laan sumber daya air sungai. Dalam rangkapengelolaan yang terpadu maka perlu di-terbitkan Perda-Perda Pengelolaan sumberdaya air sungai dalam rangka penguatanfungsi lingkungan hidup dan terwujudnyapembangunan yang berwawasan lingkungan.Pembentukan peraturan dengan pendekatanekoregion, ini masuk hal baru, perlu ada so-sialisasi ditingkat kabupaten dan kota, satu

    hal lagi tidak ada izin usaha yang diperolehtanpa ijin lingkungan yang berbasis ekoregi-on. Ini penting untuk membuat semua orangdi negeri ini baik pemerintah, swasta, danmasyarakat memandang penting lingkunganhidup. Sehingga kita bangga pada generasikelak dengan mewariskan lingkungan yang

    bersih dan sehat.

    Daftar Pustaka

     Akib, Muhamad. 2011. Penegakan Hukum Lingkungan

    Dalam Perspektif Holistik Ekologis. Bandar Lam-

    pung: Penerbit Universitas Lampung. Asshiddiqie, Jimly. 2010. Green Constitution Nuansa

    Hijau Undang Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers.

    Budiman Arif , “Reformasi Hukum dan Kebijakan Sum-

    ber Daya Air Menuju Pengaktualisasian Penge-

    lolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan dan

    Berwawasan Lingkungan serta Berbasis Keraky-

    atan”, (Makalah tidak diterbitkan).

    C. Asdak. Daerah Aliran Sungai Sebagai Satuan Moni-

    toring dan Evaluasi Lingkungan: Air Sebagai In-

    dikator Sentral. Seminar Sehari PERSAKI: DAS

    Sebagai Satuan Perencanaan Terpadu Dalam

    Pengelolaan Sumberdaya Air. Jakarta, 21 De-

    sember 1999.

    Capra Fritjop, 2001. The Web of Life, A New Synthesis

    of Mind and Mather (Edisi Indonesia: Jaring-

     Jaring Kehidupan, Visi baru Epistemologi dan

    Kehidupan, terjemahan Saut Pasaribu) Yogaya-

    karta: Fajar Pustaka Baru.

    Capra Fritjop, 2007. The Turning Point: Titik Balik Perd-

    aban Sains Masyarakat dan Kebangkitan Kebu-

    dayaan. Jejak. Yogyakarta. Cet 1.

    E.Effendi E. 2008. Kajian Model Pengelolaan Daerah

     Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Jakarta: Direktorat

    Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air.

    Friedman Lawrence Friedman, 1975. The Legal System:

     A Social Science Perspective. ( New York: Russell

    Sage Foundation.

    Giddens Anthony and Jonathan Turner, 2008. Social

    Theory Today (Panduan Sistemik Tradisi dan-

    Trend Terdepan Teori Social). Yogyakarta: Pusta-

    ka Pelajar.

    Hadi P Sudharto, 2002. Dimensi Hukum Pembangunan

    Berkelanjutan.. Semarang: Badan Penerbit Uni-versitas Diponegoro. Cetakan ke I.

    Handayani I gusti Ayu Ketut Rachmi dan Lientje Anna

    Marpaung, “Konservasi Kawasan DAS Solo

    Hulu dalam rangka Sustainable Development

    (Perspektif HAN)”.  Jurnal Bestuur  Edisi 02 Fe-

    bruari -Mei 2013.

    Handayani I gusti Ayu Ketut Rachmi dan Lientje Anna

    Marpaung,  “ Urgensi Perda Pengelola DAS

    Bengawan Solo dalam Rangka Penguatan Fung-

    si Lingkungan Hidup dan Good Governance”.

     Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. No. 2 Vol.20. April 2013

  • 8/15/2019 3435-7264-2-PB.pdf

    15/15

    Pandecta. Volume 9. Nomor 2. Desember 2014

    168          

    Irianto (a), Sulistyowati, “Memperkenalkan Studi So-

    sio legal dan Implikasi Metodologisnya dalam

    Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Re-

    fleksi”. Jakarta: Jurnal JHMP-FHUI, 2009.

    Irianto (b), Sulistyowati, 2009. “Meratas Jalan Keadi-

    lan Bagi Kaum Terpinggirkan dan Perempuan

    (Suatu Tinjauan Sosiolegal)”, Pidato pada Upa-

    cara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu

     Antropologi Hukum pada Fakultas Hukum Uni-

    versitas Indonesia, Jakarta.

    Lorch and Lawrence dalam Miftah Thoha, 2008. Bi-

    rokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi.

    Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

    Luhman Nikhlas dalam George Ritzer & Douglas

     J.Goodman, 2008. Teori Sosiologi Modern. Ken-

    cana Prenada Media Group. Jakarta.

    Rahardjo, Satjipto, 2004. Ilmu Hukum; Pencarian, Pem-

    bebasan dan Pencerahan, Muhamadiyah Press

    University.

    Rahardjo, Satjipto, 2009. Hukum Progresif Sebuah Sin-

    tesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Pub-

    lishing.

    Raharja Sam’un Jaja, “Paradigma Governance dalam

    Penerapan Manajemen Kebijakan Sektor Pub-

    lik pada Pengelolaan Sungai”,  Jurnal Ilmu Ad-

    ministrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi,

    Mei-Agustus 2009, Volume 16, Nomor 2ISSN

    0854-384.

    Sulastriyono, “Pembangunan Hukum Sumber Daya

     Air Sungai yang Berbasis Kearifan Lokal: Pelu-

    ang dan Tantangannya”. Jurnal Mimbar Hukum 

    Vol.20 No.3 Oktober Tahun 2008.

    Sunarti, 2008. Pengelolaan DAS berbasis Bioregion

    (Suatu Alternatif Menuju Pengelolaan Berkelan-

     jutan). Jakarta: Direktorat Jenderal Rehabilitasi

    Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Ke-

    hutanan

    Tushman and Nadler dalam YT. Keban . Enam Dimensi

    Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori dan

    Isu, Yogyakarta: Gava Meia, 2008

    Wignjosoebroto, Soetandyo, “Penelitian Hukum dan

    Hakikatnya sebagai Penelitian Ilmiah ,  Metode

    Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi”. Ja-

    karta: Jurnal JHMP-FHUI, 2009

    Peraturan Perundang-undangan

    Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 jo Undang

    Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemer-

    intahan Daerah

    Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Per-

    lindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

    Undang –Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sum-

    ber Daya Air

    PP Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah

     Aliran Sungai