Upload
hoangbao
View
223
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
12
TOPSIS pertama kali diperkenalkan oleh oleh Hwang dan Yoon (1981)
sebagai metode pengambilan keputusan multi-kriteria (MCDM), yang
mengidentifikasi solusi dari pemilihan sejumlah alternatif. TOPSIS menggunakan
prinsip bahwa alternatif yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi
ideal positif dan terjauh dari solusi ideal negatif dimana secara geometris
digunakan jarak euclidean untuk menentukan kedekatan relatif dari suatu
alternatif dengan solusi optimal (Zhang 2011).
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat yang
secara geografis terletak pada koordinat 60 32’ - 7
0 4’ lintang selatan dan 108
02’ -
1080 24’ bujur timur. Waktu penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai
penulisan thesis dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Oktober 2013.
3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data sekunder dan
data primer. Data primer yang digunakan adalah data preferensi responden. Data
primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat
responden terkait dengan kondisi eksisting industri kecil pengolahan hasil
pertanian serta program yang diperlukan dalam pengembangan dan pembangunan
yang dilaksanakan pemerintah terkait dengan industri kecil dimaksud. Responden
adalah stakeholder yang terdiri atas unsur pemerintahan serta pengguna atau
mereka yang menerima manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari
kalangan swasta maupun masyarakat (Tabel 5). Pengambilan data dilakukan
dengan menggunakan metode purposive sampling.
Sementara itu, data sekunder meliputi: (1) Majalengka Dalam Angka Tahun
2008 dan Data Sektoral Kabupaten Majalengka Tahun 2012. Data yang digunakan
Tabel 5 Rincian data responden
No. Asal Responden Jumlah 1. Unsur Pemerintah :
Bappeda Kabupaten Majalengka Dinas KUKM Perindag Kabupaten Majalengka Sub Bagian Perencanaan, evaluasi dan Pelaporan Seksi Perencanaan dan Fasilitasi Industri Seksi Pemberdayaan & Pengembangan Industri Seksi Promosi dan Kemitraan UKM Seksi Pemberdayaan & Pengembangan UKM
1
1 1 1 1 1
2.
Unsur Masyarakat dan Swasta Pelaku usaha industri agro Masyarakat
6 6
Jumlah Responden (orang) 18
13
adalah luas tanam untuk lima komoditas pertanian, yaitu: jagung, mangga, kedelai,
pisang dan melinjo tahun 2007 dan 2011. Data diperoleh dari Bappeda Kabupaten
Majalengka; (2) Data Potensi Industri Kabupaten Majalengka 2013. Data yang
digunakan adalah jumlah industri kecil untuk semua kelompok industri
pengolahan di Kabupaten Majalengka tahun 2012. Data Diperoleh dari Dinas
KUKM Perindag Kabupaten Majalengka; (3) Data Potensi Desa (PODES)
Kabupaten Majalengka Tahun 2011. Data yang digunakan adalah data dalam
tingkat desa. Data diperoleh dari BPS Kabupaten Majalengka; (4) Peta dasar
meliputi Peta Batas Administrasi Wilayah, Peta Tanah Jawa-Bali versi
BBPPSDLP tahun 2010 (skala 1:100,000), Peta Sistem Lahan Jawa versi
RePPProT (skala 1:250,000), Peta Curah Hujan Jawa Barat (skala 1:250,000),
Peta Administrasi Desa, Kecamatan dan Kabupaten (skala 1:25,000), dan peta-
peta tematik lainnya yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Pengembangan
Sumber daya Lahan Pertanian (BBPPSDLP) dan Bappeda Kabupaten Majalengka.
Alat analisis yang digunakan adalah software pengolah data (Excell, dan
SANNA) serta software sistem informasi geografis (ArcGIS). Jenis data, sumber
data, teknik analisis dan keluaran yang diharapkan untuk masing-masing tujuan
penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran
No Tujuan Jenis dan Sumber
data Teknik
analisis Output yang
diharapkan 1 Identifikasi wilayah dengan
keunggulan komparatif dan
kompetitif komoditas pertanian
terpilih
Data Sektoral Kabupaten (BPS dan
BAPPEDA)
LQ, SSA
Kecamatan yang unggul untuk tiap komoditas dan
sebaran spasialnya
2 Mengindentifikasi potensi fisik
lahan untuk komoditas pertanian terpilih
Peta dasar dan
tematik (BAPPEDA , BBPPSDLP )
Metode
Matching
Peta Kesesuaian Lahan
untuk komoditas terpilih
3 Identifikasi desa basis industri
kecil pengolah hasil pertanian
Potensi Industri
Kabupaten (DISKUKM-
PERINDAG)
LQ Desa basis industri dan
sebaran spasialnya
4 Mengidentifikasi tingkat fasilitas pelayanan desa dan aksebilitasnya
untuk mendukung pengembangan industri
Data Potensi Desa (BPS)
Skalogram
Desa hirarki I tingkat fasilitas pelayanan dan
aksebilitas dan sebaran spasialnya
5 Menetapkan Arahan wilayah
pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan dan
wilayah pengembangan
komoditasnya
a. Menentukan wilayah
pengembangan indusri
Hasil analisis Penetapan
kriteria
Wilayah pengembangan
industri kecil
b. Menentukan wilayah
pengembangan komoditas
Hasil analisis Penetapan
kriteria
Wilayah pengembangan
komoditas
c. Menetapkan arahan prioritas program pembangunan
Kuesioner (Persepsi stakeholder)
MCDM-TOPSIS
Prioritas program pembangunan
14
3.3 Metode Analisis Data
Tahapan analisis data mengikuti bagan alir yang tersaji pada Gambar 2.
Berdasarkan bagan alir tersebut, hal yang pertama dilakukan adalah
mengidentifkasi wilayah yang unggul secara komparatif-kompetitif dalam tingkat
kecamatan dengan menggunakan analisis LQ dan analisis shift share (SSA). Nilai
LQ digunakan untuk menunjukkan tingkat comparativeness untuk suatu
komoditas unggulan, sedangkan nilai SSA menunjukkan tingkat competitiveness-
nya.
Tahap kedua adalah mengevaluasi kesesuaian lahan komoditas unggulan
pertanian. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui potensi pengembangan
komoditas unggulan pertanian bagi keberlangsungan pasokan bahan baku industri.
Evaluasi dilakukan dengan mencocokkan (matching) kondisi fisik lahan tersebut
dengan kriteria kesesuaian lahan untuk tiap komoditas. Evaluasi ini dilaksanakan
dalam tingkat tinjau dengan menggunakan peta-peta tematik, yaitu peta curah
hujan, peta suhu, peta rataan bulan kering, peta tekstur tanah dan kelerengan. Dari
hasil evaluasi lahan dapat diketahui tingkat kesesuaian lahan bagi budi daya
komoditas tertentu.
Analisis LQ
Kecamatan yang
unggul komparatif
dan kompetitif
atas komoditas
pertanian
Peta administrasi dan tematik (kabupaten)
fasilitas pelayanan
dan Aksebilitas
(Podes)
Wilayah Pengembangan Industri Kecil
Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian
dan Wil. Pengembangan komoditasnya
Kriteria penentuan
wilayah
pengembangan
Prioritas program
pembangunan
industri
pengolahan hasil
pertanian
Analisis MCDM
Kelompok industri dan
jml unit Industri Kecil
(Potensi Industri)
Persepsi
stakeholder
Luas Tanam 5 komoditas
unggulan pertanian
(Data Sektoral
Kab)
Analisis LQ dan
SSA
Desa basis
industri kecil
pengolahan hasil
pertanian
Analisis
Skalogram
Desa Khirarki I
perkembangan
wilayah
Analisis
Kesesuaian
Lahan
Potensi
pengembangan
komoditas
Analisis Deskriptif
Arahan Pembangunan
Industri Kecil Berbasis
Komoditas Unggulan
Gambar 2 Bagan alir penelitian
15
Tahap ketiga adalah mengidentifikasi desa-desa basis industri kecil
pengolahan hasil pertanian. Didasarkan kepada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KBLI) tahun 2009 yang diterbitkan oleh BPS, industri pengolahan
hasil pertanian di Kabupaten Majalengka merupakan gabungan dua kelompok
industri, yaitu kelompok pengolahan makanan dan kelompok pengolahan
minuman. Metoda yang digunakan adalah analisis LQ dengan cara
memperbandingkan desa-desa di seluruh Kabupaten Majalengka berdasarkan
jumlah industri kecil dari semua kelompok industri yang ada. Dari hasil analisis
LQ diperoleh desa-desa basis industri kecil untuk tiap kelompok industri dan
selanjutnya dipilih adalah desa-desa yang merupakan basis dari gabungan
kelompok industri pengolahan makanan dan minuman.
Tahap keempat adalah mengidentifikasi desa berdasarkan fasilitas
pelayanan dan aksesibilitasnya. Untuk itu dilakukan analisis hirarki wilayah
dengan menggunakan metode skalogram bagi semua desa di Kabupaten
Majalengka. Analisis dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat fasilitas
pelayanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat ditentukan: (1) desa yang
kurang berkembang dalam kaitannya dengan penyediaan sarana pelayanan publik
dan aksesibilitas; (2) desa yang memiliki perkembangan yang relatif sama dengan
rata-rata perkembangan desa lain; dan (3) desa yang paling optimal sebagai lokasi
pusat pelayanan dan pusat pertumbuhan ekonomi yang mampu menunjang
perkembangan industri.
Tahap kelima adalah menentukan desa-desa yang dijadikan sebagai wilayah
pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan. Penentuan desa
tersebut didasarkan kepada kriteria yang ditetapkan, yaitu sebagai berikut: (1)
desa berada di wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif
komoditas unggulan pertanian tertentu; (2) desa merupakan basis industri kecil
pengolahan hasil pertanian; (3) desa memiliki keunggulan relatif terhadap desa
lain dari segi tingkat pelayanan dan aksesibilitasnya. Dengan demikian, desa yang
memenuhi kriteria, ditetapkan sebagai desa inti pengembangan. Kemudian
dilakukan penentuan wilayah pengembangan komoditas pertanian dan prioritas
pengembangan lahannya dengan kriteria sebagai berikut: (1) merupakan wilayah
dengan keunggulan komoditas pertanian; (2) memiliki fisik lahan dengan kelas
sesuai (S1, S2, S3) untuk masing-masing komoditas unggulan wilayah, (3) bukan
wilayah yang memenuhi kriteria wilayah pengembangan industri. Selanjutnya
dilakukan penentuan arahan program pembangunan yang harus dilakukan dalam
mendorong perkembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian.
Untuk itu dilakukan analisis deskriptif berdasarkan preferensi stakeholder melalui
penyebaran kuisioner. Dalam penelitian ini, penentuan kriteria dan jumlah
responden dilakukan dengan metode purposive sampling. Kemudian, dilakukan
pemilihan alternatif program pembangunan berdasarkan kriteria terbaik dengan
menggunakan analisis MCDM (Multi Criteria Decision Making). Metode MCDM
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode TOPSIS (Technique for Order
Performance by Similiarity to Ideal Solution).
16
3.4.1 Analisis LQ dan SSA
Dalam ilmu perencanaan pengembangan wilayah, pemetaan komoditas
unggulan dilakukan dengan mengidentifikasi aktivitas ekonomi komoditas
tersebut di suatu wilayah. Keunggulan dapat berupa keunggulan komparatif
maupun keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif wilayah dapat diketahui
dengan pendekatan analisis Location Quotient (LQ). Analisis LQ sendiri
merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu
aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas.
Sementara itu, keunggulan kompetitif suatu wilayah dapat diketahui dengan
pendekatan analisis shift-share (SSA). Suatu wilayah dikatakan memiliki
keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu mengalami peningkatan
dibandingkan dengan wilayah lain (Rustiadi et al. 2011).
Analisis shift share terdiri atas tiga komponen yaitu differential shift,
proporsional shift dan regional share. Dalam penelitian ini differential shift
digunakan untuk melihat dinamika pertambahan luas tanam komoditas tertentu di
suatu kecamatan terhadap pertambahan luas tanam komoditas tersebut di
kecamatan lain. Sementara itu proporsional shift digunakan untuk menunjukkan
dinamika pertambahan luas tanam komoditas tertentu terhadap peningkatan luas
tanam total komoditas dimaksud di tingkat kabupaten, sedangkan regional share
digunakan untuk memberi gambaran dinamika pertambahan luas tanam total
komoditas pada tingkat kabupaten.
Untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dari
kecamatan-kecamatan di Kabupaten Majalengka digunakan data luas tanam (ha)
untuk masing-masing komoditas unggulan pertanian terpilih. Data yang
digunakan untuk analisis keunggulan komparatif adalah data sektoral Kabupaten
Majalengka tahun 2011 dan untuk analisis keunggulan kompetitif digunakan dua
titik tahun, yaitu 2007 dan 2011. Sementara itu, untuk menentukan desa basis
industri kecil pengolahan hasil pertanian digunakan potensi industri tahun 2012.
(1) Analisis LQ
Analisis Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk melihat sektor basis
atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor
basis atau keunggulan komparatif suatu wilayah (Rustiadi et al. 2011). Metode
analisis LQ pada penelitian ini menggunakan data luas tanam per komoditas dari
tiap kecamatan untuk menganalisis keunggulan komparatif kecamatan dan data
jumlah industri kecil per kelompok industri dari tiap desa untuk menganalisis desa
basis industri.
Metode LQ (Chiang 2008) dirumuskan sebagai berikut :
XXXXLQ
J
IIJ
IJ...
.
/
/
untuk keunggulan kompetitif kecamatan:
LQij : Indeks kuosien lokasi kecamatan i untuk komoditas j Xij : Luas tanam masing-masing komoditas j di kecamatan i
Xi. : Luas tanam total di kecamatan i
X.j : Luas tanam total komoditas j di kabupaten
X.. : Luas tanam total seluruh komoditas di kabupaten.
17
untuk desa basis industri :
LQij : Indeks kuosien lokasi desa i untuk kelompok industri j
Xij : Jumlah industri masing-masing kelompok industri j di desa i
Xi. : Jumlah industri total di desa i
X.j : Jumlah industri total kelompok industri j di kabupaten
X.. : Jumlah industri total seluruh kelompok industri di kabupaten.
Perhitungan nilai indeks LQ menggunakan beberapa asumsi berikut:
(1) digali dari kondisi geografis wilayah yang menyebar relatif seragam, (2) pola-
pola aktifitas di seluruh unit analisis bersifat seragam, dan (3) produk yang
dihasilkan dari setiap aktifitas adalah sama dan diukur dalam satuan yang sama.
Implikasi dari asumsi tersebut adalah bahwa seluruh data yang merepresentasikan
aktifitas dapat dijumlahkan dan nilai penjumlahannya bermakna.
Beberapa catatan untuk menginterpretasikan hasil analisis LQ adalah
sebagai berikut: (1) jika nilai LQij > 1, maka terdapat indikasi konsentrasi
aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i atau terjadi pemusatan aktifitas ke-j di sub
wilayah ke-i. Dapat juga diterjemahkan bahwa wilayah ke-i berpotensi untuk
mengekspor produk aktifitas ke-j ke wilayah lain karena produksinya secara
relatif di atas rata-rata produksi di seluruh cakupan wilayah analisis; (2) jika nilai
LQij = 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa aktifitas ke-j setara dengan
pangsa sektor ke-j di seluruh wilayah. Jika diasumsikan sistem perekonomian
tertutup, dimana pertukaran produk atau perdagangan hanya terjadi dalam wilayah
yang dianalisis dan bisa dicukupi secara internal dalam cakupan wilayah tersebut,
maka wilayah i secara relatif mampu memenuhi kebutuhan internalnya, namun
tidak memiliki surplus produksi yang potensial bisa diekspor ke wilayah lain; (3)
Jika LQij < 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif lebih kecil
dibandingkan dengan pangsa aktifitas ke-j di seluruh wilayah, atau pangsa relatif
aktifitas ke-j di wilayah ke-i lebih rendah dari rataan aktifitas ke-j di seluruh
wilayah.
(2) Analisis SSA
Shift share analysis (SSA) menjadi salah satu teknik yang digunakan secara
luas dalam kajian pengembangan wilayah setelah diperkenalkan oleh Prof. J.
Harry Jones pada The royal Commision on the Distribution of the Industrial
Population di tahun 1940 (Lamarche et al. 2003).
Menurut Bowen (2012), shift share analysis (SSA) biasa digunakan sebagai
analisis yang sensitif terhadap periode waktu, regionalisasi dan agregasi level
industri. SSA sangat bermanfaat untuk membandingkan antara ekonomi regional
dengan nasional serta mengidentifikasi sektor yang paling pesat tumbuh atau
paling lambat berdasarkan pola nasional.
Shift share analysis merupakan salah satu analisis untuk memahami
pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu yang dibandingkan dengan
suatu referensi (cakupan wilayah yang lebih luas) dalam dua titik waktu, juga
menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di
suatu wilayah tertentu serta menjelaskan kinerja aktivitas tertentu di wilayah
tertentu. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis,
yaitu : (1) komponen laju pertumbuhan total (komponen regional share).
Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
18
menunjukkan dinamika total wilayah; (2) komponen pergeseran proporsional
(komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total
aktivitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum
dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam
wilayah. (3) Komponen pergeseran diferensial (komponen differential shift).
Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu
aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut
dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/
ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap
aktivitas tersebut di sub wilayah lain.
Persamaan SSA (Davis dan Goldberg 1972) adalah sebagai berikut :
dimana :
a : Komponen regional share
b : Komponen proportional shift
c : Komponen differential shift
X.. : Total luas tanam seluruh komoditas pertanian terpilih dalam
kabupaten
X.j : Total luas tanam komoditas tertentu dari komoditas pertanian
terpilih dalam kabupaten
Xij : luas tanam di wilayah kecamatan tertentu
t1 : Titik tahun akhir (2007)
t0 : Titik tahun awal (2011)
Analisis shift share mensyaratkan tidak ada perubahan total luas lahan
dalam suatu wilayah administratif selama kurun waktu pengamatan (Panuju dan
Rustiadi 2012). Sementara itu, dalam kurun waktu pengamatan (2007 dan 2011),
telah terjadi pemekaran wilayah sebanyak tiga kecamatan yaitu Malausma
(kecamatan induk : Bantarujeg), Kasokandel (kecamatan induk : Dawuan) dan
Sindang (kecamatan induk : Sukahaji). Untuk memenuhi syarat di atas, dilakukan
penggabungan data kecamatan hasil pemekaran dengan kecamatan induknya.
Wilayah-wilayah komoditas unggulan pertanian yang dipilih adalah
wilayah-wilayah yang unggul baik secara komparatif maupun kompetitif, yaitu
wilayah dengan nilai LQ>1 dan nilai SSA positif.
3.4.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan
Pada penelitian ini, analisis kesesuaian lahan adalah analisis kesesuaian
lahan kualitatif aktual dengan asumsi sebagai berikut : (1) data yang digunakan
terbatas pada informasi yang terdapat pada peta tematik yang digunakan; (2) tidak
mempertimbangkan aspek kependudukan, infrastruktur dan fasilitas pemerintah;
(3) tidak mempertimbangkan status kepemilikan tanah; (4) tidak
mempertimbangkan tingkat pengelolaan atau manajemen; (5) persyaratan tumbuh
atau persyaratan penggunaan lahan untuk komoditas pertanian menggunakan
kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia dalam
Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian (Djaenudin et al.
2011), kecuali untuk curah hujan menggunakan Hardjowigeno dan Widiatmaka
a b c
19
(2007). Berdasarkan ketersediaan data, evaluasi lahan hanya mempertimbangkan
empat jenis kualitas lahan dan lima karateristik lahan (Tabel 7).
Rejim suhu (t) diwakili oleh rata-rata suhu tahunan dalam
0C. Peta suhu
yang digunakan dalam penelitian ini diturunkan dari Peta Ketinggian (Bappeda
2011) dan dilakukan pendekatan dengan rumus Braak (1928) dalam (Djaenudin et
al. 2011) yang menyatakan bahwa akan terjadi perubahan suhu sebesar 0.060C
untuk setiap perubahan ketinggian sebesar 100m. Suhu acuan yang digunakan
adalah data rata-rata suhu tahunan di stasiun Meteorologi Jatiwangi (berada pada
ketinggian 50m dpl) tahun 2007-2011.
Ketersediaan air (w) diwakili oleh nilai rata-rata curah hujan tahunan dan
jumlah rata-rata bulan kering. Nilai Rata-rata curah hujan yang dimaksud adalah
nilai rata-rata jumlah curah hujan tahunan yang diukur dalam satuan mm. Peta
tematik untuk curah hujan ini diturunkan dari peta curah hujan Jawa Barat dan
dilakukan pengecekan dengan membandingkan nilai rata-rata curah hujan tahunan
di stasiun Meteorologi Jatiwangi tahun 2007-2011. Sementara itu, jumlah rata-
rata bulan kering yang dimaksud adalah jumlah rata-rata lamanya bulan kering
berturut-turut dalam satu tahun dengan curah hujan kurang dari 60 mm. Peta
tematik yang digunakan untuk rata-rata bulan kering menggunakan informasi dari
peta sistem lahan versi RePPProT.
Media perakaran (r) diwakili oleh tekstur tanah dan peta tematiknya
menggunakan informasi dari peta sistem lahan versi RePPProT. Masing-masing
kelas tekstur merupakan istilah dari gabungan komposisi fraksi tanah halus≤ 2mm
Tabel 7 Kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan
No Kualitas Lahan Karakteristik Lahan Satuan 1 Rejim suhu *) Rata-rata suhu tahunan *) 0
C 2 Ketersediaan air*) - Rata-rata curah hujan tahunan *)
- Rata-rata bulan kering *) - Kelembaban
mm/tahun
bulan %
3 Ketersediaan Oksigen Drainase kelas 4 Media perakaran*) - Tekstur *) kelas
- Bahan Kasar %
- Kedalaman tanah cm
5 Gambut - Ketebalan - Kematangan
cm kelas
6 Retensi Hara - KTK liat cmol
- Kejenuhan basa %
- pH H2O kelas
- C-organik kelas
7 Toksisitas Salinitas dS/m 8 Sodisitas Alkalinitas % 9 Bahaya sulfidik Kedalaman sulfidik cm
10 Bahaya erosi*) - Lereng *) - Bahaya erosi
kelas kelas
11 Bahaya banjir Genangan Kelas 12 Penyiapan lahan - Batuan di permukaan
- Singkapan batuan
% %
Ket: *) kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan dalam penelitian
20
yang terdiri atas pasir, debu dan liat. Pengelompokan kelas tekstur dalam
penelitian ini mengikuti kelas tekstur menurut Djaenudin (2011), yaitu : sangat
halus (liat tipe 2:1), halus (liat berpasir, liat, liat berdebu), agak halus (lempung
berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu), sedang (lempung berpasir
sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu), agak kasar (lempung berpasir),
dan kasar (pasir, pasir berlempung). Untuk bahaya erosi (e) diwakili oleh
kemiringan lereng. Peta tematik kemiringan lereng menggunakan informasi pada
peta satuan lahan dan tanah versi BBPPSDLP tahun 2011.
Dari hasil analisis kesesuaian lahan diperoleh sebaran kelas kesesuaian
untuk masing-masing komoditas unggulan pertanian terpilih dan digunakan untuk
menunjukkan potensi lahan bagi pengembangan komoditas tersebut. Wilayah
yang dianggap sesuai untuk pengembangan komoditas unggulan pertanian adalah
wilayah yang termasuk dalam kelas sesuai (SI, S2 dan S3).
3.4.3 Analisis Hirarki Wilayah
Analisis skalogram digunakan untuk menentukan prioritas wilayah
pembangunan tingkat desa berdasarkan ketersediaan jumlah dan jenis sarana
pelayanan serta aspek aksesibilitasnya. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas
umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel.
Metode skalogram ini bisa digunakan dengan menganalisis jumlah fasilitas yang
dimiliki oleh setiap wilayah, atau menganalisis ada/tidaknya fasilitas tersebut di
suatu wilayah (Saefulhakim 2004).
Penyusunan tabel skalogram menggunakan asumsi bahwa masing-masing
komponen mempunyai bobot dan kualitas yang bersifat indifferent. Proses
analisis skalogram yang didasarkan pada struktur tabel ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8 Struktur tabel analisis skalogram
No
Sub-
Wila-
yah
Penduduk
Infrastruktur kom-
ponen
Total Jenis
Komp.
Rasio
Jenis
Kom-ponen
Indeks
Hirarki F1 F2 F3 ..Fk... Fm
1 B1 F11 F12 F13 F1k F1m
#m
kkF
C1 C1/m Σ (F1.k) / Bk*(n/ ak)
2 B2 F21 . C2 C2/m
3 B3 F31 . . .
. . . .
. . .
.
i Bi Fik Ci Ci/m
. .
. .
. .
n Bn Fn1 F2n Fmn
Wil. Memiliki Fasilitas a1 a2 a3 ..ak.. am
Rasio Wil. memiliki Fas. a1/n a2/n a3/n ak/n
Bobot n/ a1 n/ a2 n/ a3 n/ ak
Sumber : Rustiadi et al. (2011)
21
Rumus umum analisis skalogram berdasarkan Indeks Hirarki (Rustiadi et al.
2011) adalah sebagai berikut:
Indeks Hirarki ).()( 1ak
nFI
n
kik
dimana : Fik = nilai komponen ke i pada sub wilayah ke k;
ak
n = bobot komponen tiap faktor penentu hirarki.
Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut:
(1) Menyusun komponen sesuai dengan penyebaran dan jumlah komponen di
dalam unit-unit wilayah. Komponen yang tersebar merata di seluruh wilayah
diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya sampai komponen yang
terdapat paling jarang penyebarannya di dalam seluruh unit wilayah. Angka
yang dituliskan adalah jumlah komponen yang dimiliki setiap unit wilayah.
(2) Menyusun wilayah sedemikian rupa dimana unit wilayah yang mempunyai
ketersediaan komponen paling lengkap terletak di susunan paling atas,
sedangkan unit wilayah dengan ketersediaan komponen paling tidak lengkap
terletak di susunan paling bawah.
(3) Menjumlahkan seluruh komponen secara horizontal baik jumlah jenis
komponen maupun jumlah unit komponen di setiap unit wilayah.
(4) Menjumlahkan masing-masing unit komponen secara vertikal sehingga
diperoleh jumlah unit komponen yang tersebar di seluruh unit wilayah.
(5) Dari hasil penjumlahan ini posisi teratas merupakan sub wilayah yang
mempunyai komponen terlengkap. Posisi terbawah merupakan sub wilayah
dengan ketersediaan komponen umum paling tidak lengkap.
(6) Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua daerah dengan
jumlah jenis dan jumlah unit komponen yang sama, maka pertimbangan ke
tiga adalah jumlah penduduk. Sub wilayah dengan jumlah penduduk lebih
tinggi diletakkan pada posisi di atas.
Batas penentuan hirarki ini didasarkan kepada Indeks Hirarki (IH) dari tiap
suatu desa dengan mengikuti ketentuan seperti yang tersaji pada Tabel 9.
Komponen skalogram dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua
aspek, yaitu aspek fasilitas dan aspek aksesibilitas yang terdiri atas 24 komponen
seperti yang tersaji pada Tabel 10. Desa yang terpilih dari hasil analisis skalogram
adalah desa yang termasuk dalam hirarki 1.
Tabel 9 Komponen aksebilitas dan fasilitas dalam skalogram
Hirarki Batas Selang 1 IH > (Rataan IH + Standar Deviasi) 2 (Rataan IH) ≥IH≤ (Rataan IH + Standar Deviasi) 3 IH < (Rataan IH)
Ket : IH = Indeks Hirarki
22
3.4.4 Analisis Penentuan Wilayah Pengembangan Industri dan wilayah
Pengembangan komoditasnya
Sebagai pendekatan terhadap teori lokasi industri Weber (1909) seperti yang
diuraikan pada Bab 1 (Pendahuluan: Kerangka Pemikiran), penentuan lokasi
pengembangan industri kecil pengolahan berbasis komoditas unggulan ditetapkan
berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) lokasi pengembangan berada di wilayah
(kecamatan) dengan keunggulan komoditas pertanian tertentu; (2) lokasi
pengembangan merupakan desa basis industri pengolahan hasil pertanian; (3)
lokasi pengembangan merupakan desa yang termasuk dalam orde tinggi (hirarki
1) berdasarkan indeks hirarki desanya.
Kriteria pertama diperoleh dari hasil analisis keunggulan komparatif dan
kompetitif wilayah (analisis LQ dan analisis shift share). Kriteria kedua diperoleh
dari hasil analisis desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian (analisis
LQ). Untuk kriteria ketiga merupakan hasil analisis tingkat kapasitas pelayanan
wilayah (analisis skalogram). Adapun desa yang dipilih sebagai lokasi
pengembangan industri adalah desa yang memenuhi ketiga kriteria tersebut,
sehingga aturan dalam menentukan arahan kebijakan wilayah pengembangan
industri berbasis komoditas unggulan pertanian seperti yang disajikan pada Tabel
11.
Tabel 10 Komponen aksesibilitas dan fasilitas dalam skalogram
No Komponen Aspek 1 Keluarga pengguna listrik (keluarga) Fasilitas 2 Keluarga berlangganan telepon kabel (keluarga) Fasilitas 3 Pasar (unit) Fasilitas 4 Adanya warnet Fasilitas 5 Adanya kelompok pertokoan Fasilitas 6 Jumlah SD (unit) Fasilitas 7 Jumlah SMP (unit) Fasilitas 8 Jumlah SMA/SMK (unit) Fasilitas 9 Jumlah pendidikan informal /kursus (unit) Fasilitas 10 Jumlah Pelayanan kesehatan (RS, Puskesmas) Fasilitas 11 Jumlah Minimarket (unit) Fasilitas 12 Jumlah warung klontong (unit) Fasilitas 13 Jarak dari desa ke kecamatan (km) Aksesibilitas 14 Jarak ke kantor bupati (km) Aksesibilitas 15 Jarak ke kantor bupati lain (km) Aksesibilitas 16 Jarak ke pasar (km) Aksesibilitas 17 Jarak ke kelompok pertokoan (km) Aksesibilitas 18 Jarak fasilitas perbankan BPR (km) Aksesibilitas 19 Jarak fasilitas perbankan umum (km) Aksesibilitas 20 Keluarga yang berlangganan telepon kabel (keluarga) Aksesibilitas 21 Jenis permukaan jalan ke kecamatan/jalan raya Aksesibilitas 22 Kelancaran jalan untuk kendaraan roda 4 Aksesibilitas 23 Tingkat kemulusan jalan Aksesibilitas 24 Sinyal telepon seluler Aksesibilitas
23
Sementara itu wilayah pengembangan komoditas pertanian ditentukan
dengan kriteria sebagai berikut: (1) merupakan wilayah dengan keunggulan
komoditas pertanian; (2) memiliki fisik lahan dengan kelas sesuai (S1, S2, S3)
untuk masing-masing komoditas unggulan wilayah; (3) bukan wilayah yang
ditetapkan sebagai wilayah pengembangan industri; (4) prioritas lahan
pengembangan komoditas mengikuti kelas kesesuaiannya dimana prioritas 1
ditentukan berdasarkan kelas kesesuaian terbaik, sedangkan lahan dengan kelas
kesesuaian N (tidak sesuai), dikategorikan “bukan prioritas” dan lahan dengan
status hutan, dikategorikan ke dalam “bukan wilayah pengembangan komoditas”.
3.4.5 Analisis Arahan Prioritas Progam Pembangunan
Penetapan arahan pembangunan desa pengembangan industri kecil berbasis
komoditas unggulan pertanian dalam penelitian ini digunakan data hasil preferensi
stakeholder. Data diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada responden.
Pemilihan responden dan penentuan jumlah responden dilakukan dengan metode
Purposive Sampling. Responden yang dimaksud adalah stakeholder yang terdiri
atas unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima
manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun
masyarakat dalam proporsi yang sama.
Hasil persepsi responden selanjutnya digunakan untuk menentukan
alternatif pengambilan keputusan terkait arahan program pembangunan untuk
pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian.
Aspek-dan komponen yang akan dipilih oleh responden dirangkum dari
rencana kerja instansi pemerintah yang terkait dengan persoalan pembinaan
industri kecil yang terdiri atas aspek produksi dan pendukungnya, manajemen
usaha, pemasaran dan legalitas usaha. Rincian aspek dan komponen adalah sebagi
berikut:
(1) Aspek produksi dan pendukungnya yang terdiri atas empat komponen yang
dipilih oleh responden, yaitu: (a) ketersediaan tenaga kerja yang terampil; (b)
kelayakan ruang dan fasilitas produksi; (c) peningkatan teknologi produksi,
bantuan mesin dan peralatan industri; (d) ketersediaan bahan baku dengan
mudah dan murah.
(2) Aspek teknik dan manajemen usaha yang terdiri atas tiga komponen yang
dipilih oleh responden, yaitu: (a) pengelolaan keuangan perusahaan (b) teknik
pengemasan produk; (c) peningkatan teknologi produksi; (d) cara pengelolaan
produksi yang baik.
(3) Aspek promosi produk yang terdiri atas tiga komponen yang dipilih oleh
responden, yaitu: (a) promosi mandiri, dalam hal ini perusahaan secara
Tabel 11 Arahan penentuan wilayah pengembangan industri kecil berbasis
komoditas unggulan
Komoditas
Unggulan Pertanian Desa
Industri Hirarki Fungsi Wilayah
Jagung Basis 1 Pengembangan industri berbasis jagung Mangga Basis 1 Pengembangan industri berbasis mangga Kedelai Basis 1 Pengembangan industri berbasis kedelai Pisang Basis 1 Pengembangan industri berbasis pisang
Melinjo Basis 1 Pengembangan industri berbasis melinjo
24
mandiri mempromosikan produknya; (b) penyelenggaraan pameran produk;
(c) media promosi bersama.
(4) Aspek pemasaran dan kemitraan usaha yang terdiri atas tiga komponen yang
dipilih oleh responden, yaitu: (a) peningkatan kemampuan memasarkan
produk, antara lain pelatihan teknis, magang; (b) fasilitasi bapak angkat, antara
lain temu usaha industri; (c) fasilitasi penjualan eceran, antara lain outlet
bersama; (d) fasilitasi agen pemasaran, antara lain temu usaha perdagangan.
(5) Aspek legalitas usaha yang terdiri atas tiga komponen yang dipilih oleh
responden, yaitu: (a) legalitas yang berkaitan dengan pendirian dan
operasional usaha, antara lain TDI, SIUP, TDP, SP-PIRT; (b) legalitas yang
berkaitan dengan dukungan dalam penjualan, antara lain Sertifikat Halal,
sertifikat GMP; (c) legalitas yang terkait dengan perlindungan usaha antara
lain hak merk dagang, hak paten produk.
Untuk melakukan pemilihan alternatif keputusan terkait arahan
pembangunan berdasarkan kriteria terbaik digunakan analisis MCDM dengan
metode TOPSIS.
Tahapan dalam Metode TOPSIS (Jahanshahloo et al. 2009) adalah:
(1) Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi
Perhitungan normalisasi matriks keputusan TOPSIS dilakukan dimana nilai
normalisasi (nij) dihitung sebagai berikut:
dimana : xij = nilai sel bagi kriteria ke i dan alternatif ke j;
nij = nilai sel bagi kriteria ke i dan alternatif ke j yang
ternormalisasi
(2) Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi terbobot
Perhitungan matriks keputusan ternormalisasi terbobot dilakukan dimana
pembobotan ditentukan oleh pengambilan keputusan. Nilai bobot
ternormalisasi (Vij) dihitung sebagai berikut:
Dimana :wi = nilai bobot dari kriteria ke i dengan
(3) Menentukan matriks solusi ideal positif dan matriks solusi ideal negatif
Penentuan matriks solusi ideal positif dan matriks solusi ideal negatif
dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
dimana : (A+) = solusi ideal positif; (A-) = solusi ideal negatif
(4) Menentukan jarak antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi ideal
positif dan negatif
Penentuan jarak euclidean antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi
ideal positif dan negatif dilakukan dengan rumus sebagai berikut: