17
21 III. HUJAN DAN PARAMETER IKLIM Sasaran Pembelajaran/Kompetensi: 1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses kejadian hujan 2. Mahasiswa mampu menjelaskan metode pengukuran hujan dan alat ukurnya 3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisis karakeristik hujan 4. Mahasiswa mampu menghitung rata-rata hujan wlayah 5. Mahasiswa mampu menjelaskan parameter iklim lain 3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan Presipitasi atau Hujan adalah peristiwa jatuhnya air/es dari atmosfer ke permukaan bumi dan atau laut dalam bentuk yang berbeda. Hujan di daerah tropis (termasuk Indonesia) umumnya dalam bentuk air dan sesekali dalam bentuk es pada suatu kejadian ekstrim, sedangkan di daerah subtropis dan kutub hutan dapat berupa air atau salju/es. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau untuk masa tertentu seperti perhari, perbulan, permusim atau pertahun (Sitanala, 1989). Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata diseluruh daerah yang bersangkutan. Distribusi curah hujan adalah berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu yang ditinjau dari curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan harian dan curah hujan perjam. Harga-harga yang diperoleh ini dapat digunakan untuk menentukan prospek dikemudian hari dan akhirnya perancangan sesuai dengan tujuan yang dimaksud (Sosrodarsono dan Takeda, 1999). Kejadian hujan menunjukkan suatu variabilitas dalam ruang dan waktu. Salah satu konsekuensi dari variabliltas hujan adalah terjadinya fluktuasi curah hujan di setiap wilayah yang dapat menimbulkan kondisi ekstrim berupa kekeringan dan banjir yang terjadi dengan skala yang berbeda dan tergantung pada periode keberulangannya.

3 PRESIPITASI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 3 PRESIPITASI

21

III. HUJAN DAN PARAMETER IKLIM

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:

1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses kejadian hujan

2. Mahasiswa mampu menjelaskan metode pengukuran hujan dan alat ukurnya

3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisis karakeristik hujan

4. Mahasiswa mampu menghitung rata-rata hujan wlayah

5. Mahasiswa mampu menjelaskan parameter iklim lain

3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan

Presipitasi atau Hujan adalah peristiwa jatuhnya air/es dari atmosfer ke permukaan

bumi dan atau laut dalam bentuk yang berbeda. Hujan di daerah tropis (termasuk

Indonesia) umumnya dalam bentuk air dan sesekali dalam bentuk es pada suatu

kejadian ekstrim, sedangkan di daerah subtropis dan kutub hutan dapat berupa air atau

salju/es.

Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu.

Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau untuk masa

tertentu seperti perhari, perbulan, permusim atau pertahun (Sitanala, 1989). Curah

hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan

rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata diseluruh daerah yang

bersangkutan. Distribusi curah hujan adalah berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu

yang ditinjau dari curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan harian dan

curah hujan perjam. Harga-harga yang diperoleh ini dapat digunakan untuk

menentukan prospek dikemudian hari dan akhirnya perancangan sesuai dengan tujuan

yang dimaksud (Sosrodarsono dan Takeda, 1999).

Kejadian hujan menunjukkan suatu variabilitas dalam ruang dan waktu. Salah

satu konsekuensi dari variabliltas hujan adalah terjadinya fluktuasi curah hujan di

setiap wilayah yang dapat menimbulkan kondisi ekstrim berupa kekeringan dan banjir

yang terjadi dengan skala yang berbeda dan tergantung pada periode keberulangannya.

Page 2: 3 PRESIPITASI

22

Dinamikan Atmosfir: Variabel utama yang digunakan untuk menggambarkan kondisi

dinamik atmosfir adalah are kerapatan udara, tekanan udara, dan suhu. Persamaan lama

menghubungkan variabel atmosfir dengan laju atmosfir melalaui sistem 6 persamaan

(konservasi massa, konservasi energi, hukum gas ideal, dan 3 persamaan konservasi

momentum, komponen masing-masing persamaan memiliki parameter laju) pada enam

parameter (tekanan, temperature, kerapatan, dan 3 komponen laju).

Salah satu komponen siklus hidrologi yang sangat penting dan selalu diukur

adalah hujan. Pengukuran hujan telah dilakukan sejak lama dengan melakukan

penakaran hujan. Penakar hujan pertama berada di Korea tahun 1400an, dan 200 tahun

kemudian, Sir Christopher Wren menginvensi alat penakar hujan otomatis.

Gambar 3.1/2 Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi dan millimeter).

Page 3: 3 PRESIPITASI

23

Data rekaman meteorologi dan hidrologi dimaksudkan untuk penilaian sumber

daya air, evaluasi kejadian banjir puncak di wilayah pertanian dan perkotaan/

permukiman Kebutuhan data dapat bervariasi dari menit ke menit sampai bulanan dan

tahunan.

Proses Kejadian Hujan

Pembentukan hujan merupakan proses fisika awan Sejumlah proses fisik

terdapat dalam proses terjadiinya hujan, dan proses tersebut memiliki hubungan dengan

berbagai issu dari kualitas lingkungan sampai perubahan iklim.

1. Terbentuknya awan

Awan terbentuk ketika udara menjadi sangat jenuh (supersaturated), dimana ketika

teknan uap aktual mencapai atau melebihi tekanan uap jenuh: Supersaturation terjadi

melalui pengembangan dan pendinginan kolom udara yang menyebabkan uap air

terkondensasi pada partikel atmosfir. Proses ini disebut nukleasi (nucleation). Aeroso;

atmosfir yang merupakan suspensipadat atau bahan cair dengan kecepatan jatuh kecil

memegang peranan penting dalam permulaan kondensasi dengan memfasilitasi tempat

proses nukleasi bagi uap air. Dua tipe awan dapat dibedakan atas awan dingin (cold

clouds) dan awan panas (warm clouds). Awan dengan suhu di atas 0 0C disebut awan

dingin.

2. Struktur Awan

Di awal abad 20, Wegener menyatakan bahwa pada campuran awan yang terbentuk

dari condensasi uap merupakan mekanisme umum terjadinya hujan yang terkadang

juga membentuk salju dan es. Jenis hujan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh suhu

lapisan atmosfir antara terjadinya hujan dan permukaan tanah (lapisan yang dilewati

hujan).

Droplet atau butiran hujan bertumbuh pada awan yang suhunya lebih tinggi

(warm clouds) melalui proses kondensasi, kollisi (collision), dan koalesens

(coalescence). Umumnya awan yang terbentuk di wilayah tropis adalah awan dengan

suhu diatas 0oC. Jenis awan ini mencairkan partikel kristal yang terbentuk di wilayah

atmosfir dengan suhu di bawah 0oC. Proses ini juga mengecilkan kristal hujan dan

membentuk butiran hujan.

Page 4: 3 PRESIPITASI

24

Gambar 3.3 Konsentrasi nuklei kondensasi awan di armosfir wilayah kontinental

dan laut

3. Proses Jatuhnya Air Hujan

Mekanisme jatuhnya air hujan secara umum terjadi karena proses konveksi dan

pembentukan awan berlapis (stratiform). Kedua mekanisme ini berbeda dalam

proses pembentukan dan pembesaran ukuran dan berat butiran hujan yang

menyebabkan pergerakan vertikal udara yang berasosiasi dengan awan pembentuk

hujan.

Pada mekanisme stratiform, gerakan vertikal udara lemah, partikel hujan

diinisiasi dekat permukaan atas awan hingga proses terjadinya pengembangan

hujan cukup lama (berjam-jam). Untuk mekanisme konvektif, gerakan udara

vertikal sangat cepat sehingga pembesaran partikel butiran hujan diinisiasi dengan

cepat saat terbentuknya awan. Hal ini menyebabkan proses jatuhnya butiran hujan

sangat cepat (sekitar 45 menit).

Mekanisme lain dalam proses hujan adalah kombinasi konvektif dan

stratiform yang merupakan proses pengangkatan massa udara dan uap air secara

orografis melalui pegungungan dan perbukitan.

Page 5: 3 PRESIPITASI

25

Ada enam kelas sistem kejadian hujan secara umum yang diuraikan seperti

berikut:

a. Siklon Extratropis

Sirkulasi udara yang terdiri dari massa udara (streams) yang bergerak secara

normal dan stabil mengikuti pola gerakan di atas permukaan bumi. Suhu dan

kelembaban udara sangat tergantung pada asal gerakan udara; masssa udara

kontinental kutub dingin dan kering; massa udara laut tropis panas dan lembab.

Wilayah disekitar daerah tropis sangat berbeda sehingga dua airan udara paralel

dengan suhu berbeda sehingga memicu ketidak stabilan di lapisan antara keduanya

yang cenderung menyebabkan terjadinya siklon.

Kejadian kurva siklon ekstratropis curve dapat mencapai ribuan kilometer.

Pengangkatan vertiakal dalam siklon ekstratropis diasosiasikan dengan posisi kurva

dengan kecepatan kurng dari 0.1 km/jam. Kebanyakan hujan pada siklon ini

didominasi oleh mekanisme stratiform yang dimicu oleh kejadian konvektif seperti

terlihat pada Gambar 3.4.

Gambar 3. 4 Model Konsep Siklon Ekstratropis. (Smidth dalam Maidment, 1989)

b. Midlatitude Thunderstorms

Seperti halnya siklon ekstratropis yang merupakan contoh hujan stratiform, maka

midlatitude thunderstorms merupakan contoh hujan konveksi. Massa udara

thunderstorms terbentuk dari massa udara tak stabil secara konveksi dalam jumlah

yang relatif besar dari kandungan uap rendah dan gesekan angin kecil. Struktur

spasial hujan ditentukan dengan pola acak pada thunderstorm.

Studi pada akhir 1940an memberikan hasil proses kejadian hujan

thunderstorm yang memiliki karakterisrik siklus, (1) membetuk awan cumulus yang

Page 6: 3 PRESIPITASI

26

membentuk partikel hujan di awan tapi tidak mencapai bumi karena proses

pengangkatan udara yang kuat, (2) tahap pematangan dimana gesekan partikel

hujan menyebabkan gerak ke bumi sehingga butiran hujan jatuh, dan (3) tahap

dissipasi dimana butiran hujan kecil terus jatuh. Umumnya thunderstorms tidak

menghasilkan curah hujan yang tinggi pada wilayah yang luas. Kejadian

thunderstorms dalam skala sedang (mesoscale convective systems, MCS)

merupakan penyebab utama terjadinya banjir di berbagai tempat.

Gambar 3.5 Tahap pengembangan massa udara thunderstorm (Maidment, 1989)

c. Kluster Awan Tropis (Tropical Cloud Clusters)

Gambar 3.6 menunjukkan bahwa secara global curah hujan rata-rata tahunan di

wilayah tropis merupakan yang terbesar. Curah hujan yang maksimum tersebut

berasosiasi dengan kluster awan yang terjadi pada zona putaran angin yang

memusat. Kluster awan, seperti halnya pada sistem awan tropis, konveksi

merupakan pemicu awal kejadian hujan. Meskipun sistem awan tropis meliputi

jangkauan skala yang luas, kebanyakan hujan karena proses kluster awan jatuh

pada luas wilayah yang dapat mencapai 50.000 km2. Hujan tropis memainkan

peranan penting dalam sirkulasi global dan berkaitan erat dengan anomali

sirkulasi atmosfir seperti El-Nino.

Page 7: 3 PRESIPITASI

27

Gambar 3.6 Curah hujan tahunan berdasarkan posisi latitude.

d. Hujan Monsoon ( Monsoon Rainfall)

Akumulasi hujan terbesar selama periode lebih dari 24 jam berasosiasi dengan

Asian monsoon. India dan Asia Tenggara adalah lokasi utama kejadian hujan

monsoon selama musim panas di Asia. Indonesia dan Malaysia sering

mengalami hujan monsoon ekstrim selama periode Winter di Asia. Istilah

monsoon diadopt dari bahasa arab yang berarti musim. Karakteristik umum

iklim monsoon ditandai oleh arah angin yang berlawanan pada dua musim.

Misalnya di Indonesia dikenal dengan Musim Angin Timur (banyak hujan) dan

Musim Angin Barat (kurang hujan).

e. Hujan Badai (hurricanes)

Badai umumnya dikenal di wilayah pasifik yang menyebabkan hujan ektrim di

wilayah pesisir pantai sepanjang Samudra Atlantik dan Pasifik. Kejadian hujan

badai merupakan proses ektrim dari konveksi dan stratiform. Kejadian badai

masih merupakan proses yang diperdebatkan.

Page 8: 3 PRESIPITASI

28

f. Hujan Orografis

Pengaruh Orografis dapat merubah type kejadian hujan di atas . Hujan orografis

pada prinsipnya memiliki mekanisme: (1) inisiasi konveksi, (2) pengangkatan

dalam skala besar, dan (3) pertumbuhan yang lambat.

1. Karakteristik Hujan

Ada dua faktor fisik yang mempengaruhi curah hujan, yakni kecepatan jatuh butiran

hujan dan distribusi ukuran butiran hujan. Kedua faktor ini mempengaruhi proses yang

terjadi di tanah saat hujan jatuh.

2. Kcepatan jatuh butiran hujan

Kecepatan terminal suatu bola padat butiran hujan merupakan proportional dari

akar pangkat dua dari diameter butiran. Air yang jatuh melewati udara

menimbulkan gaya aerodinamik yang menyebabkan butiran hujan bergetar dan

terdeformasi. Diameter butiran hujan kurang dari 0.35 mm umumnya bulat dan

jatuh ke bumi dengn ukuran yang dapat mencapai diameter 1 mm dengan bentuk

lonjong (oblate spheroid). Butiran yang lebih besar umumnya ujungnya cembung

(flattened concave). Untuk butiran hujan besar, vibrasi dan deformasi seringkali

memecah butirsn hujan.

Gambar 3.7 Bentuk butiran hujan berdasarkan diameter butiran (Maidment, 1989)

Kecepatan jatuh hujan dapat diestimasi dengan rumus Gunn and Kinzer:

v(D) = 3,86 D 0.67

……………………. (3.1)

Keterangan v(D) adalah kecepatan jatuh butiran hujan, dan D adalah diameter

butiran hujan pada kisaran antara 0.8 dan 4.0 mm.

3. Distribusi Ukuran Butiran

Distribusi ukuran butiran hujan dalam volume di atmosfir dikarakterisasi oleh

hubungan densitas butiran (dalam butiran per meter kubik) dan distribusi ukuran

Page 9: 3 PRESIPITASI

29

butiran (dalam mm). Distribusi ukuran butiran secara khusus dinyatakan sebagai

fungsi N(D) yang menunjukkan densitas butiran hunan sebagai suatu fungsi

diameter butiran hujan. Distribusi butiran hujan umumnya dinyatakan dengan

distribusi Marshall-Palmer:

N(D) = No exp(-ΛD)

dimana N(D) dan No adalah jumlah butiran per meter kubik per mm masing-

masing diameter butiran hujan dan Λ dalam mm. Nilai No adalah 8000 m-3

mm-1

.

Marshall dan Palmer menghubungkan parameter Λ dengan laju hujan dengan

rumus:

Λ= 4,1 R-0,21

R adalah laju hujan (mm/jam). Beberapa peralatan otomatis dikembangkan untuk

mengukur distribusi ukuran butirsn hujan termasuk distrometer dan raindrop

camera.

3.3 Pengukuran Curah Hujan dan Perhitungan Hujan Wilayah

Alat Penakar Hujan

Berbagai alat ukur atau penakar telah dikembangkan untuk menakar hujan. Dua tipe

penakar: terekam dan tak terekam. Alat penakar hujan terekam otomatis menyajikan

data akumulasi curah hujan pada waktu tertentu sampai pada data per menit atau lebih

detail. Perekam data hujan otomatis biasanya dilengkapi dengan telemetri melalui

sistem transmisi real-time dan kelengkapan khusus untuk manajemen sumber daya air.

Ada tiga tipe perekam data hujan:

weighing type, float and siphontype,

dan tipping-bucket type. Gambar 3.8

adalah ilustrasi penakar hujan

weighing type. Alat penakat tak

terekam terdiri dari penadah/wadah

silinder sederhana dan sebuah

batang pengkalibrasi yang

merupakan bagian penakaran.

Gambar 3.8 Alat penakar hujan type weighing

Page 10: 3 PRESIPITASI

30

Gambar 3.9 Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office Tilting-

syphon. A=Collecting chamber; B=Plastic float; C=Knife-edges;

D=Double siphon tubes; E=Trigger;

Gambar 3.10 Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C: magnet. D:

switch.

Page 11: 3 PRESIPITASI

31

Gambar 3.11. Alat Penakar Hujan (manual dan otomatis)

Curah Hujan Efektif (Re)

Hujan yang diharapkan terjadi selama satu musim tanam berlangsung disebut curah

hujan efektif. Masa hujan efektif untuk suatu lahan persawahan dimulai dari

pengolahan tanah sampai tanaman dipanen, tidak hanya selama masa pertumbuhan

(Pasandaran dan Taylor, 1984).

Curah hujan efektif untuk tanaman lahan tergenang berbeda dengan curah hujan

efektif untuk tanaman pada lahan kering dengan memperhatikan pola periode musim

hujan dan musim kemarau. Perhitungan curah hujan efektif dilakukan atas dasar

prinsip hubungan antara keadaan tanah, cara pemberian air dan jenis tanaman

(Handayani, 1992).

Besarnya curah hujan efektif diperoleh dari pengolahan data curah hujan harian

hasil pengamatan pada stasiun curah hujan yang ada di daerah irigasi/daerah

sekitarnya dimana sebelum menentukan curah hujan efektif terlebih dahulu ditentukan

nilai curah hujan andalan yakni curah hujan rata-rata setengah bulanan (mm/15 hari)

dengan kemungkinan terpenuhi 80% dan kemungkinan tak terpenuhi 20% dengan

menggunakan rumus analisis (Chow, 1994):

…………………. (3.1)

………………… (3.2)

Page 12: 3 PRESIPITASI

32

Dimana : R80 = Curah hujan andalan tengah bulan (mm/hari) Re = Curah hujan

efektif (mm/hari) n = Jumlah tahun pengamatan curah hujan.

Curah hujan efektif dapat juga dihitung dengan rumus:

Re = Rtot (125 – 0,2 Rtot)/125 ; Rtot < 250 mm …… (3.3)

Re = 125 + 0,1 Rtot ; Rtot > 250 mm …… (3.4)

Dimana : Rtot adalah jumlah curah hujan bulanan (mm/hari)

Curah Hujan Wilayah

Hampir semua analisis hidrologi membutuhkan data distribusi hujan. Biasanya curah

hujan rata-rata yang mewakili suatu DAS atau Sub-DAS dapat ditentukan dengan

beberapa cara.

1. Rata-rata Aritmetik

Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dari beberapa data curah hujan stasiun

penakar/klimatologi dengan menggunakan nilai rata-rata curah hujan stasiun yang

terdapat di dalam DAS.

……………… (3.5)

Keterangan:

CH = Curah hujan rata-rata wilayah

CHi = Curah hujan pada stasiun i

n = Jumlah stasiun penakar hujan

2. Metode Poligon Thiessen

Metode poligon Thiessen adalah cara penentuan hujan wilayah dengan rata-rata

tertimbang. Masing-masing pos penakar hujan mempunyai daerah pengaruh

sendiri-sendiri seperti terlihat pada Gambar 3.12 (d). Metode penggambaran

poligon dapat dilihat pada Gambar 3.12 (a), (b) dan (c).

Page 13: 3 PRESIPITASI

33

Gambar 3.12 Metode Polgon Thiessen dan prosedur pembuatannya

Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:

……………… (3.6)

Dimana Ai adalah luas yang diwakili oleh stasiun i.

3. Metode Isohyet

Metode Isohyet adalah metode penentuan curah hujan wilayah berdasarkan kontur

curah hujan berdasarkan data curah hujan yang ada di dalam DAS dan di sekitar

wilayah (lihat Gambar 3.13).

Intensitas Hujan

Dalam perencenaan bangunan hidrologi dan hidraulik, intensitas hujan merupakan

data atau informasi yang dibutuhkan dalam penentuan debit rencana. Oleh karena

itu perlu disajikan metode penentuan intensitas hujan untuk wilayah yang tidak

memiliki pengamatan intensitas hujan akibat keterbatasan alat ukur.

Ada beberapa metode untuk menghitung intensitas hujan secara empiris yakni:

1. Metode Talbot (1881)

……………… (3.7)

Page 14: 3 PRESIPITASI

34

Gambar 3.13 Metode Isohyet

2. Metode Sherman (1905); hanya digunakan untuk t < 2 jam

……………… (3.8)

Page 15: 3 PRESIPITASI

35

3. Metode Ishiguro

……………… (3.9)

4. Metode Mononobe

……………… (3.10)

Keterangan:

i = intensitas hujan (mm/jam)

t = waktu atau durasu hujan (menit: rumus 1-3; jam: rumus 4)

a, b, m = tetapan

d24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

n = jumlah pasangan data i dan t

Metode ini lebih teliti dibandingkan dengan metode rata-rata aritmetik.

CONTOH SOAL :

Suatu DAS seperti pada Gambar 3.14 memiliki data curah hujan seperti pada Tabel 3.1.

Hitunglah curah hujan wilayah dengan menggunakan (i) rata-rata aritmetika dan (ii)

metode Poligon Thiessen.

Tabel 3.1 Nilai Luas dan Curah Hujan

Gambar 3.14. Posisi Penakar pada suatu DAS

Page 16: 3 PRESIPITASI

36

Solusi: (Gunakan Kalulator atau Spreadsheet)

(i) Dengan mengunakan rata-rata aritmetika diperoleh nilai curah hujan 3.20 in.

(ii) Dengan mengunakan metode Poligon Thiessen diperoleh nilai 3.45 in (lihat

Tabel 3.1).

3.4 PENUGASAN

1. Kumpulkan data curah hujan harian suatu wilayah (sub-DAS) selama kurung

satu tahun.

2. Kumpulkan data curah hujan bulanan dari suatu wilayah (sub-DAS) selama

kurung waktu 10 tahun.

3.5 SOAL LATIHAN

1. Apa yang dimaksud dengan:

a. Curah hujan wilayah

b. Intensitas hujan

2. Jelaskan proses terjadinya hujan dan sebutkan tipe-tipe hujan.

3. Gambarkan poligon Thiessen Gambar berikut dan hitung luas masing-masing

bagian dengan planimeter atau dengan screen digitasi pada Arc-GIS. Hitung Curah

hujan wilayah dengan metode aritmetika jika CH di Stasiun A sampai K, adalah:

29,79; 34,97; 25,6; 24,21; 24,60; 42,61; 42,35; 15,51; 39,99; 43,04; dan 28,41.

Page 17: 3 PRESIPITASI

37

4. Diskusikan metode penentuan curah hujan wilayah, kelebihan dan kekurangan

masing-masing metode.

3.6 DAFTAR PUSTAKA

Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills.

New York.

Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGraw-

Hills. New York.

Maidment, DR. (ed) 1989. Handbook of Hydrology. McGraw-Hill, New York.

Soemartono, CD. 1999. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Sastrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 1999, Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya

Pramita. Bandung.

Todd, 1983, Introduction to Hydrology. McGraw-Hill, New York

Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper

Collins Pub. New York.