Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
EVALUASI IMPLEMENTASI PERDA NO. 6 TAHUN 2013 TENTANG
PEMENUHAN HAK-HAK KESEHATAN BAGI PENYANDANG
DISABILITAS KUSTA DI RSK. Dr. TADJUDDIN CHALID MAKASSAR
ANDI NURUL RAHMADANI
K111 13 080
ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
RINGKASAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
MAKASSAR, JULI 2017
ANDI NURUL RAHMADANI
‘‘EVALUASI IMPLEMENTASI PERDA NO.6 TAHUN 2013 TENTANG
PEMENUHAN HAK-HAK KESEHATAN DISABILITAS KUSTA DI RSK.
dr. TADJUDDIN CHALID MAKASSAR”
Dibimbing oleh Darmawansyah dan Sukri Palutturi
(xi + 96 Halaman + 9 Lampiran)
Kelainan fisik ataupun mental yang dialami oleh sebagian kecil warga
Indonesia bukanlah menjadi alasan untuk mereka tidak memperoleh haknya dari
pemerintah ataupun warga negara sendiri. Namun, penyandang disabilitas acap
kali mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya mereka terima. Maka
pemerintah khususnya kota Makassar menerapkan kebijakan lainnya untuk lebih
menekankan penerapan segala hal yang terdapat di Undang-Undang No. 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat. Kebijakan tersebut adalah Peraturan Daerah No.
6 Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk implementasi Perda tersebut telah
diterapkan di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar.
Jenis penelitian yang digunakan ini adalah jenis kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Informan dalam penelitian ini yaitu petugas dan pasien
RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar sehingga diperoleh informan sebanyak 13
orang. Pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan Focus Group
Discuccion (FGD). Untuk keabsahan data dilakukan triangulasi sumber dan
metode analisis data menggunakan content analysis yang disajikan secara naratif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil evaluasi yang dilakukan
berdasarkan efektifitas, efesiensi, kecukupan, responsivitas dan ketepatan
diperoleh Perda No.6 Tahun 2013 telah diimplementasikan dengan cukup baik di
RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar. Hasil ini berdasarkan dari observasi dan
wawancara mendalam kepada petugas kesehatan dan pasien. Adapun saran
berdasarkan hasil temuan dan kesimpulan adalah sebaiknya pihak rumah sakit
menambah fasilitas kesehatan bagi pasien kusta berupa penambahan kursi roda
setiap bangsal dan pegangan di setiap jalan yang menanjak dan menurun untuk
memudahkan pasien kusta yang belum bisa berjalan dengan normal dan berusia
tua. Selain itu, pihak rumah sakit juga perlu mempertahankan pelayanan
kesehatan yang sudah baik agar tetap sesuai dengan implementasi pada peraturan
tentang pelayan kesehatan yang berlaku.
Jumlah pustaka : 27 (1999-2015)
Kata Kunci : Perda No.6 Tahun 2013, Kusta, RSK Dr. Tadjuddin
Chalid Makassar
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh
Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang
senantiasa memberi rahmat dan hidayah kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Merupakan karunia Allah
SWT dan rasa syukur yang berlimpah ketika skripsi ini yang berjudul “Evaluasi
Implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak
Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid
Makassar” dapat diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu persyaratan
untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Ucapan syukran wajazakumullahu khairan katsiran serta penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tuaku tercinta Ibunda Kameriah dan
Etta Andi Muh. Amin, atas segala pengorbanan, cinta kasih, serta doa yang tak
putus-putusnya kepada penulis sehingga skripsi ini selesai dan dapat
kupersembahkan. Terima kasih terdalam juga kepada kakak Andi Ismail Amri dan
adik Andi Muh. Zulfikar yang selalu memberiku motivasi dan semangat. Terima
kasih untuk kalian keluargaku tersayang atas doa, perhatian dan dukungannya
selama ini.
Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan banyak terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yaitu
kepada:
1. Bapak Wahiduddin, SKM, M.Kes sebagai penasehat akademik atas segala
motivasi dan dukungannya untuk terus meningkatkan prestasi akademik dari
awal semester perkuliahan hingga sekarang.
2. Kepada Bapak Dr. Darmawansyah, SE, MS sebagai Pembimbing I dan Bapak
Sukri Palutturi, SKM, M.Kes, M.Sc.PH, Ph.D sebagai Pembimbing II yang
selalu memberikan masukan, bimbingan dan memberikan arahan serta
motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Bapak Muh. Yusri Abadi, SKM, M. Kes, Dr. Lalu Muh. Saleh, SKM, M. Kes
dan Sudirman Nasir, MWH, Ph. D sebagai dosen penguji atas segala
masukan, kritik dan sarannya serta motivasi yang telah diberikan kepada
penulis.
4. Bapak Dr. Darmawansyah SE, MS selaku ketua jurusan bagian Administrasi
Dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin beserta seluruh staf.
5. Prof. Dr. Drg. Andi Zulkifli Abdullah, M.Kes selaku dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin beserta jajaran dan seluruh
staf atas bantuannya selama menempuh pendidikan.
6. Para Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin yang
telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama penulis
menempuh pendidikan perkuliahan di FKM Unhas.
7. dr. Asnadah, MARS selaku direktur RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar
beserta jajaran dan seluruh staf atas bantuannya selama penelitian
berlangsung.
8. Seluruh informan yang telah memberikan waktunya selama penelitian ini
berlangsung.
9. Teman-teman seperjuangan di jurusan AKK angkatan 2013 yang saling
memberikan dorongan dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi.
10. Teman dan sahabat Nurmisuari. S yang selalu memberikan doa, support dan
menemani dalam suka dan duka selama meneliti. Terima kasih atas
segalanya.
11. Sahabat-sahabatku Nur Afni Kapitalola, Arifah Maharany Nur, Nurul
Fadhilah Idris, Siti Khadijah K dan Fadila Rizki yang telah sama-sama
berjuang dari masa ke masa dari maba sampai sekarang saling mendukung
dan mendoakan dalam suka maupun duka. Semoga persahabatan kita tak
lupuk dari waktu ke waktu dan selalu bersama sampai akhir hayat. Terkhusus
Nur Afni Kapitalola yang sudah membantu dalam mengarahkan pembuatan
skripsi ini.
12. Teruntuk sahabat dan saudara ku Sukmawati M. yang tak sedarah. yang selalu
sama-sama dan saling membantu dari maba, PBL, maupun KKN dalam suka
maupun duka dalam menyusun skripsi. Terima kasih atas semuanya, semoga
persahabatan kita tidak lekang oleh waktu.
13. Serta teman-teman seperjuangan REMPONG yang tidak sempat saya
sebutkan satu persatu, terima kasih banyak karena telah hadir mengoreskan
kisah kedalam kehidupan saya selama menempuh bangku kuliah di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Univeristas Hasanuddin Makassar.
Wassalamu‘alaykum wa Rahmatullahi wa Barakatuh
Makassar, Juli 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
RINGKASAN ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 7
1. Tujuan Umum ........................................................................................... 7
2. Tujuan Khusus........................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 9
A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan ................................................................ 9
1. Implementasi Kebijakan ............................................................................ 9
2. Model Implementasi Kebijakan .............................................................. 11
B. Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas ....................................................................................................... 13
C. Tinjauan Umum Tentang Evaluasi ................................................................. 14
1. Pengertian Evaluasi Kebijakan................................................................ 14
2. Pendekatan Evaluasi ................................................................................ 15
3. Kriteria Evaluasi ...................................................................................... 17
4. Kerangka Teori Penelitian. ...................................................................... 23
D. Tinjauan Umum Tentang Penyandang Disabilitas ........................................ 24
1. Pengertian Penyandang Disabilitas ......................................................... 24
2. Masalah Penyandang Disabilitas ............................................................. 25
3. Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas .......................... 25
E. Tinjauan Umum Tentang Kusta ...................................................................... 27
F. Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit .......................................................... 29
BAB III KERANGKA KONSEP ............................................................................ 33
A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti ........................................................ 33
B. Kerangka Konsep ........................................................................................... 35
BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................................... 36
A. Jenis Penelitian ............................................................................................... 36
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................... 37
C. Pemilihan Informan ........................................................................................ 37
D. Pengumpulan Data ......................................................................................... 37
E. Instrumen Penelitian....................................................................................... 38
F. Analisis Data .................................................................................................. 40
G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ............................................................ 41
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 42
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .............................................................. 42
B. Hasil Penelitian .............................................................................................. 44
C. Pembahasan .................................................................................................... 77
D. Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 93
BAB VI PENUTUP .................................................................................................. 94
A. Kesimpulan .................................................................................................... 94
B. Saran ............................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Penyandang Disabilitas di Kota Makassar Tahun 2015-2016 ........... 5
Tabel 2. Kriteria Penlilaian Kinerja Kebijakan .......................................................... 17
Tabel 3. Matriks Pengumpulan Data Primer .............................................................. 39
Tabel 4. Karakteristik Informan ................................................................................. 45
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori William N. Dunn, 1999 ................................................ 23
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Teori William N. Dunn, 1999................................... 35
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pedoman Wawancara dan Observasi
Lampiran 2. Matriks Wawancara
Lampiran 3. Surat Pengambilan Data Awal
Lampiran 4. Surat Izin Peneliti dari Fakultas
Lampiran 5. Surat Rekomendasi Peneliti dari BKPMD
Lampiran 6. Surat Izin Penelitian dari Rumah Sakit
Lampiran 7. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
Lampiran 8. Foto Kegiatan
Lampiran 9. Daftar Riwayat Hidup
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh pejabat
dan badan bidang pemerintah, dan memusatkan pada tindakan oleh/untuk
pemerintah. Kebijakan tidak hanya melibatkan keputusan untuk memenuhi
beberapa masalah tertentu, tetapi juga meliputi keputusan yang berkenaan
dengan penyelenggaraan dan implementasinya. Kebijakan perlu tindakan
nyata, bukan sekadar pernyataan yang bersifat populis (Wendra, 2011).
Kebijakan kesehatan mencakup tindakan yang berefek pada kedudukan
institusi, organisasi, jasa/pelayanan, dan pertutan keuangan dari suatu sistem
pelayanan kesehatan. Namun kebijakan tidak pernah terlepas dari
kepentingan pihak-pihak tertentu. Baik dari kalangan pemerintah sendiri,
industri, dunia usaha, akademis, maupun elemen-elemen masyarakat lainnya
(Wendra, 2011 ).
Kebijakan kesehatan perlu selalu di perhatikan apakah kebijakan
tersebut sesuai dengan penerapan yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara pelaksanaan evaluasi. Evaluasi adalah suatu yang digunakan untuk
menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi dijalankan untuk
mengetahui outcome dan dampak dari kebijakan yang telah ditetapkan selama
dalam kurun waktu tertentu dimana yang dilihat adalah efektifitasnya. Dalam
melakukan evaluasi berarti melakukan proses penilian-penilian terhadap suatu
program atau kegiatan sehingga dibutuhkan cara-cara pengukuran dalam
evaluasi. Menurut Brigman dan Davis ada indicator pokok dalam evaluasi
yaitu input, process, output dan outcomes (Angelia, 2012).
Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan tahap yang sangat
menentukan dalam proses kebijakan (Birkland, 2001). Pandangan tersebut
dikuatkan dengan pernyataan Edwards III (1984) bahwa tanpa implementasi
yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan.
Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan
pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola
input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat (Akib,
2010).
Pemahaman umum mengenai implementasi kebijakan dapat diperoleh
dari pernyataan Grindle (1980) bahwa implementasi merupakan proses umum
tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.
Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah
ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan
disalurkan untuk mencapai sasaran. Jika pemahaman ini diarahkan pada lokus
dan fokus (perubahan) dimana kebijakan diterapkan akan sejalan dengan
pandangan Van Meter dan van Horn yang dikutip oleh Parsons (1995) dan
Wibawa, dkk. (1994) bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan
yang dilakukan oleh (organisasi) pemerintah dan swasta baik secara individu
maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan (Akib,
2010). Seperti halnya dengan implementasi kebijakan dalam pelayanan
kesehatan disabilitas. Implementasi kebijakan kesehatan disabilitas
mengalami berbagai kendala yang masih belum diatasi dengan baik.
Disabilitas merupakan sebuah istilah baru untuk menjelaskan mengenai
keadaan seseorang yang memiliki ketidak mampuan berupa keadaan fisik,
mental, kognitif, sensorik, emosional, perkembangan atau kombinasi dari
beberapa keadaan tersebut (Sulastri, 2014). Terkait dengan masalah
disabilitas, dalam penelitian ini akan dikaji salah satu masalah disabilitas
yaitu penyakit kusta.
Menurut data dari Kementrian Kesehatan RI tentang penyakit kusta di
Indonesia pada tahun 2015 ditemukan bahwa angka prevalensi per 100.000
penduduk dalam 3 tahun terakhir menunjukkan kondisi yang relatif statis.
Pada tahun 2013, 2014 dan 2015 ditemukan bahwa angka prevalensi penyakit
kusta sebesar 0,79 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015).
Seperti yang tertuang pada Undang Undang No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat bahwa:“Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan,”
Pada pasal tersebut jelas menerangkan bahwasanya setiap penyandang
cacat memiliki hak yang sama dengan warga lainnya, tidak ada disksirminasi
dan pembedaan. Karena HAM tidaklah bertumpu pada perbedaan suku,
agama, bahkan kelainan fisik sekalipun.
Kelainan fisik ataupun mental yang dialami oleh segelintir warga
Indonesia bukanlah menjadi alasan untuk mereka tidak memperoleh haknya
dari pemerintah ataupun warga Negara sendiri. Namun, nyatanya mereka
yang dalam hal ini adalah penyandang disabilitas acap kali mendapatkan
perlakuan yang tidak selayaknya mereka terima. Bahkan mereka yang
harusnya mendapatkan perhatian lebih, malah tak jarang menemukan
diskriminasi. Selain kasus di atas, dalam aturan lain juga diatur tentang
bagaimana penyadang cacat memperoleh perlindungan hukum. Hal di atas
jelas cukup untuk menggambarkan bahwa penyandang cacat dimanapun di
tempatkan harusnya memperoleh perlakuan khusus.
Namun, perlakuan khusus inilah bukanlah menjadi sikap diskriminatif
bagi masyarakat lain atau non disabillitas. Alasannya hanya satu, UU
membolehkan mereka yang penyandang disabilitas untuk memperoleh
perlakuan khusus lantaran disabilitas yang mereka alami. Tapi, hal ini
ternyata tidak sesuai dengan realita. Bagi penyandang disabilitas nyatanya
tidak memperoleh pelayanan khusus, bahkan seringkali termarginalkan
(Sulastri, 2014).
Maka pemerintah khususnya kota Makassar menerapkan kebijakan
lainnya untuk lebih menekankan penerapan segala hal yang terdapat di
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997. Kebijakan tersebut adalah Peraturan
Daerah No. 6 Tahun 2013. Dalam Perda No. 6 Tahun 2013 dimana pada Bab IV
Pasal 13 memaparkan bahwa penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang
sama dalam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah Kota dan
masyarakat dan telah terjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Berdasarkan data dari Dinas Sosial Makassar (2016), Untuk Kota
Makassar sendiri pada tahun 2015-2016 jumlah penyandang disabilitas dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.
Jumlah Penyandang Disabilitas di Kota Makassar Tahun 2015-2016
No. Jenis
Kecacatan
Laki-laki Perempuan Jumlah Ket.
1. Tuna Daksa 7 15 22 orang Belum
dapat
bantuan
2. Tuna Netra 108 66 174 orang 15orang
telah dapat
bantuan
3. 3 Tuna Rungu
Wicara
24 25 49 orang 10 orang
telah dapat
bantuan
4. Disabilitas
Ringan
264 181 445 orang Sudah dapat
jaminan
Kemensos
5. Disabilitas Berat 64 36 100 orang Sudah dapat
Bantuan
dari APBD
6. EKS Kusta 405 295 700 orang Sudah
dapat
bantuan
Jumlah 872 618 1.490 orang
Sumber: Dinas Sosial Makassar 2016
Berdasarkan hasil data dari Dinas Sosial mengenai jumlah penyandang
disabilitas di Kota Makassar berjumlah 1.490 orang dengan penyandang cacat
terbanyak adalah EKS Kusta sebanyak 700 orang. Selain itu data dari RSK. Dr.
Tadjuddin Chalid Makassar menunjukkan bahwa pasien kusta tiap tahun lebih
banyak pasien kusta dibandingkan dengan pasien umum. Data tersebut dapat dilihati
dari grafik dibawah ini.
Grafik 1.
Perbandingan jumlah pasien kusta dengan pasien umum Tahun 2014-2016
Sumber: RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar 2017
Sesuai grafik diatas dapat dilihat bahwa jumlah pasien kusta menurun
dalam 3 tahun terakhir namun jumlah pasien kusta tetap lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien umum. Jumlah pasien terbanyak terdapat pada
tahun 2014 yaitu 23.781 pasien. Selain itu dari data tersebut dapat dilihat
bahwa jumlah pasien umum tahun 2016 dua kali lebih banyak dibanding dua
tahun sebelumnya yaitu sebanyak 8.201 pasien, hal ini terjadi karena RSK.
Dr. Tadjuddin Chalid Makassar telah menjadi rumah sakit umum dalam segi
pelayanan.
23781
18216
11556
4622 4389
8201
0
5000
10000
15000
20000
25000
2014 2015 2016
Pasien Kusta Pasien Umum
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka penulis tertarik
untuk mengkaji hal tersebut dalam bentuk penelitian yang berjudul “Evaluasi
Implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak
Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid
Makassar.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan sebelumnya, dapat di rumuskan sebuah masalah yaitu
bagaimana penerapan Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak
Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin
Chalid?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang
Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas Kusta dalam
mengakses Pelayanan Kesehatan di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang
Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di
RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek efektivitas.
b. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang
Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di
RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek efisiensi.
c. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang
Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di
RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek kecukupan.
d. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang
Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di
RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek Resposivitas.
e. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang
Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di
RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek ketepatan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
Penelitian ini sebagai proses belajar bagi penulis dalam menyelesaikan
studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
2. Manfaat Ilmiah
Penelitian ini sebagai bahan dalam pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang kesehatan masyarakat.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman bagi peneliti dalam menerapkan ilmu
pengetahuan dan informasi yang telah diperoleh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Kebijakan
1. Implementasi Kebijakan
Implementasi adalah Aktivitas atau usaha-usaha yang dilakukan
untuk semua rencana dari kebijaksanaan yang telah dirumuskan dan
ditetapkan, dan dilengkapi segala kebutuhan alat-alat yang diperlukan,
siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya, kapan waktu
pelaksanaannya, kapan waktu mulai dan berakhirnya dan bagaimana cara
yang harus dilaksanakan (Haerul, 2014).
Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan
Paul Sabatier (1979) sebagaimana di kutip dalam buku Solihin Abdul
Wahab (2008), mengatakan bahwa implementasi adalah memahami apa
yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau
dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan
yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah
disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup
baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-
kejadian.
Pandangan kedua ahli diatas dapat dikatakan bahwa suatu proses
implementasi kebijakan itu sesugguhnya tidak hanya menyangkut
perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan suatu program yang telah ditetapkan serta menimbulkan
ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut
jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang
terlibat, sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan ataupun yang
tidak diharapkan.
Definisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri
dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian
tujuan, dari hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu proses dinamis, dimana pelaksana
kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada
akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau
sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan
dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir
(output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang diraih.
Dye mendefisinikan kebijakan publik sebagai “whatever government
choose to do or not to do” yang dalam bahasa Indonesia berarti apapun
juga yang dipilih pemerintah, baik mengerjakan sesuatu ataupun tidak
mengerjakan (mendiamkan) sesuatu (Fatkhur dkk, 2010).
Carl Frederic menjelaskan bahwa kebijakan adalah serangkaian
tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat beberapa
hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan kemungkinan
(kesempatan-kesempatan) di mana kebijakan tersebut diusulkan agar
berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud
(Fatkhur dkk, 2010).
Implementasi kebijakan merupakan aspek terpenting dari
keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan wujud
nyata dari suatu kebijakan, karena pada tahap ini suatu kebijakan tidak
hanya terbatas pada perwujudan secara riil dari kebijakan, tapi juga
mempunyai kaitan dengan konsekuensi atau dampak yang akan
mengarah pada pelaksanaan kebijakan tersebut. dengan demikian
pembuat kebijakan tidak hanya ingin melihat kebijakan yang telah
dilaksanakan oleh masyarakat, namun juga ingin melihat seberapa jauh
kebijakan tersebut dapat memberikan konsekuensi mulai dari hal yang
positif maupun negatif kepada masyarakat (Fatkhur dkk, 2010).
Pernyataan Edwards III (1984) bahwa tanpa implementasi yang
efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil.
Implementasi kebijakan adalah aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan
pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola
input untuk menghasilkan output atau outcome bagi masyarakat
(Imronah, 2005).
2. Model Implementasi Kebijakan
Meter dan Horn, menawarkan suatu model dasar yang mempunyai enam
variable yang membentuk kaitan (lingkage) antara kebijakan dan kinerja
(performance). variable tersebut adalah (Ariantika dkk, 2013) :
1) Standard dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan,
2) Sumber daya,
3) Karakteristik organisasi pelaksana,
4) Sikap para pelaksana,
5) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan
pelaksanaan,
6) Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Edwards III, terdapat empat variable yang sangat menentukan
keberhasilan implementasi suatu kebijakan (Ariantika dkk, 2013), yaitu :
1) Komunikasi
2) Sumber daya
3) Diposisi
4) Struktur birokrasi
Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu
berlangsung maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi
kebijakan. Pandangan mengenai model (teori) implementasi kebijakan
banyak kita temukan dalam berbagai literatur. Secara garis besar
Parsons (1997) membagi model implementasi kebijakan menjadi empat
yaitu (Phaksy dkk, 2013):
1) The Analysis of failure (model analisis kegagalan),
2) Model rasional (top-down) untuk mengidentifikasi faktor-faktor
mana yang membuat implementasi sukses,
3) Model pendekatan (bottom-up) kritikan terhadap model
pendekatan top-down dalam kaitannya dengan pentingnya faktor-
faktor lain dan interaksi organisasi,
4) Teori-teori hasil sintesis (hybrid theories).
B. Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkadaulatan rakyat dalam
suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis dalam
lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Sebagai warga negara Indonesia kedudukan, hak, kewajiban dan peran
penyandang cacat adalah sama dengan warga lainnya. Oleh karena itu,
peningkatan peran pada penyandang cacat dalam pembangunan nasional
sangat penting untuk mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana
mestinya. Perlindungan yang diberikan pada Undang-Undang dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban dan
peran para penyandang cacat sebagai berikut :
Pada Bab IV Pasal 13 tentang Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas
meliputi:
a. Penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama dalam
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah Kota dan Masyarakat;
b. Pemerintah Kota menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan.
C. Tinjauan Umum Tentang Evaluasi
1. Pengertian Evaluasi Kebijakan
Evaluasi adalah suatu kegiatan yang digunakan untuk melihat
tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi dijalankan untuk mengetahui
outcome dan dampak dari kebijakan yang telah ditetapkan selama dalam
kurun waktu tertentu dimana yang dilihat adalah efektifitasnya
(Angelina, 2012).
Evaluasi dilakukan melalui penilaian-penilaian terhadap suatu
program atau kegiatan yang membutuhkan pengukuran. Menurut
Brigdman dan Davis ada indikator pokok dalam evaluasi yaitu input,
process, output dan outcomes (Angelina, 2012).
Evaluasi kebijakan publik menurut Muhadjir merupakan suatu
proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat
membuahkan hasil, misalnya dengan membandingkan antara hasil yang
diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan publik yang ditentukan.
Bingham dan Felbinger, Howlet dan Ramesh (1995) mengelompokkan
evaluasi menjadi tiga (Anggraeni dkk, 2011), yaitu :
a) Evaluasi administratif, berkenaan dengan evaluasi dari sisi
administratif-anggaran, efisiensi, biaya-serta proses di dalam
institusi yang meliputi :
1) effort evaluation, menilai dari sisi input program
2) performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari
program
3) adequacy of performance evaluation atau effectiveness
evaluation, meniliai apakah program dijalankan sebagaimana
yang sudah ditetapkan
4) efficiency evaluation, menilai biaya program dan keefektifan
biaya tersebut
5) process evaluations, menilai metode yang dipergunakan oleh
organisasi untuk melaksanakan program
b) Evaluasi judicial, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu
keabsahan hukum, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap
konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga
hak asasi manusia.
c) Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituen
politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.
2. Pendekatan Evaluasi
Menurut (Dunn, 1999) evaluasi kebijakan mempunyai dua aspek
yang saling berhubungan: penggunaan berbagai macam metode untuk
memantau hasil kebijakan publik dan program dan aplikasi serangkaian
nilai untuk kegunaan hasil terhadap beberapa orang, kelompok atau
masyarakat secara keseluruhan. Dunn membedakan tiga jenis pendekatan
dalam evaluasi antara lain:
a. Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang
menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan
informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan,
tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari
hasil-hasil tersebut terhadap individu, kelompok atau masyarakat
secara keseluruhan. Asumsi utamanya adalah bahwa ukuran tentang
manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri
atau tidak kontroversial.
b. Evaluasi formal (formal evaluation) merupakan pendekatan yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang
valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi
mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan
yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan
administrator program. Asumsi utamanya bahwa tujuan dan target
diumumkan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat
untuk manfaat atau nilai kebijakan program.
c. Evaluasi keputusan teoritis (decision-theoretic evaluation) adalah
pendekatan yang menggunakan metode- metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang dapat dipertanggung jawabkan dan
valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai
oleh berbagaimacam pelaku kebijakan. Perbedaan pokok evaluasi ini
dengan dua jenis pendekatan di atas adalah evaluasi ini berusaha
memunculkan tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang
tersembunyi atau nampak.
3. Kriteria Evaluasi Kebijakan
William N. Dunn (1999) mengemukakan beberapa kriteria
dalam menilai kinerja kebijakan, sebagai berikut:
Tabel 2.
Kriteria Penilaian Kinerja Kebijakan
Tipe kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektivitas Apakah hasil yang
diinginkan telah dicapai?
Unit pelayanan
Efisiensi Seberapa banyak usaha
diperlukan untuk mencapai
hasil yang diinginkan?
Unit biaya
Manfaat bersih
Rasio biaya-manfaat
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian
hasil yang diinginkan
memecahkan masalah?
Biaya tetap
(masalah tipe I)
Efektivitas tetap
(masalah tipe II)
Perataan Apakah biaya dan manfaat
di distribusikan dengan
merata kepada kelompok-
kelompok tertentu?
Kriteria Pareto
Kriteria kaldor-Hicks
Kriteria Rawls
Resposivitas Apakah hasil kebijakan
memuaskan kebutuhan,
preferensi atau nilai
kelompok-kelompok
tertentu?
Konsistensi dengan
survai warga Negara
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang
diinginkan benar-benar
berguna atau bernilai?
Program publik harus
merata dan efisien
Sumber: Dunn (1999)
Kriteria-kriteria di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari
evaluasi kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode
kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan
pertanyaan yang dirumuskan oleh William N. Dunn untuk setiap
kriterianya. Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut.
a. Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian
dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
efektivitas dsebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan
hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya
dicapai (Herlina, 2009).
Menurut William N. Dunn menyatakan bahwa : “ Efektivitas
(effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai tujuan
dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan
rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai
moneternya”.
Jika suatu kebijakan telah dilaksanakan namun ternyata dampaknya
tidak mampu memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat, maka
bisa dikatakan kebijakan tersebut tidak berhasil. Tetapi juga hasil dari
suatu kebijakan yang efektif dalam jangka panjang sehingga
membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan Mahmudi mengartikan
bahwa efektivitas yang merupakan hubungan antara output dengan
tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap
pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau
kegiatan.
b. Efisiensi
Kriteria selanjutnya adalah efisiensi yang erat kaitannya dengan
efektivitas. Adapun menurut William N. Dunn berpendapat bahwa
“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan
untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang
merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan
hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur
dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan
biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas
tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien” (Dunn, 2003).
Pendapat Markus Zahnd (2006) juga menyebutkan bahwa efisiensi
berarti tepat atau sesuai untuk mengerjakan sesuatu dengan tidak
membuang-buang waktu, tenaga dan biaya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka efisiensi dapat
diartikan sebagai suatu standar untuk menilai seberapa besar usaha yang
dilakukan oleh pelaksana suatu kegiatan atau kebijakan dalam mencapai
tujuan dan sasaran yang akan dicapai (Lukman, 2015).
c. Kecukupan
Kecukupan yang dalam konteks kebijakan publik dapat diartikan
bahwa tujuan yang telah dicapai setelah pelaksanaan kebijakan tersebut
dirasakan sudah dapat menyelesaikan masalah yang terdapat pada objek
kebijakan tersebut. William N. Dunn (2003) berpendapat bahwa
kecukupan (adequacy) berarti seberapa jauh suatu tingkat efektivitas
memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan
adanya masalah. Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa
kecukupan memiliki hubungan dengan efektivitas yang memprediksi jauh
tidaknya alternatif kebijakan yang ada, dapat memuaskan kebutuhan,
nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi
(Lukman, 2015).
Dalam kriteria kecukupan, hal ini menekankan pada kuatnya
hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria
tersebut berkenaan dengan empat tipe masalah (Dunn, 2003) yaitu:
1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan
efektivitas yang berubah dari kebijakan.
2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas
yang sama dan biaya yang berubah dari kebijakan.
3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan
efektivitas yang berubah dari kebijakan.
4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama
dan juga efektivitas tetap dari kebijakan.
Dari penjelasan tipe-tipe masalah di atas, dapat diketahui bahwa
masalah yang terjadi dari suatu kebijakan termasuk pada salah satu dari
keempat tipe masalah tersebut. Maka dapat diartikan bahwa sebelum
suatu kebijakan itu dirumuskan harus dilakukan analisis masalah yang
terjadi di tengah masyarakat sebagai suatu sasaran yang akan dicapai,
sehingga bisa dirumuskan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah
tersebut.
d. Perataan
Perataan yang bisa diartikan dengan keadilan yang diperoleh
sasaran kebijakan publik sebagai objek kebijakan terhadap pelaksana
kebijakan tersebut. Kriteria perataan (equity) erat hubungannya dengan
rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan
usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat
(Dunn, 2003).
Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang
akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu
mungkin dapat efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya dan manfaat
merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran (Herlina,
2009).
Dalam melaksanakan suatu kebijakan, keadilan harus menjadi
dasar utamanya, dalam arti semua sektor serta semua lapisan masyarakat
yang menjadi sasaran dan objek kebijakan harus sama-sama dapat
merasakan hasil dari kebijakan tersebut (Lukman, 2015).
e. Responsivitas
Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai
tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan.
Menurut William N. Dunn, responsivitas (responsiveness) berkenaan
dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan,
preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu (Dunn,
1999).
Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan
masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu
memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan
dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan
sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan
ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.
Dunn pun mengemukakan bahwa:
“Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat
memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan,
kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari
kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan”
(Dunn, 1999).
Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan,
preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria
efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.
f. Ketepatan
Kriteria evaluasi yang terakhir adalah ketepatan suatu kebijakan
terhadap pemecahan masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
William N. Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness)
adalah: “Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif
untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif
yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak.
Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena
kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk
merealisasikan tujuan tersebut” (Dunn, 2003).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa ketepatan
merupakan penilaian suatu tujuan dari sebuah kebijakan yang menjadi
solusi dari masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sehingga
bisa dilihat apakah dapat memecahkan masalah tersebut atau justru
menimbulkan masalah yang lain (Lukman, 2015).
4. Kerangka Teori Penelitian
Efektivitas
Efisiensi
Evaluasi Kecukupan
Perataan
Responsivitas
Ketepatan
Gambar 2.1 Kerangka Tori William N. Dunn, 1999
Sumber: Modifikasi Teori William N. Dunn, 1999. Pengantar Analisis Kebijakan
Publik
D. Tinjauan Umum tentang Penyandang Disabilitas
1. Pengertian Penyandang Disabilitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan
dengan orang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas
merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa
Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau
ketidakmampuan.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam beriteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif
dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
dalam pokok-pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan
pemahaman yakni, setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang
cacat fisik, penyandang mental, penyandang cacat fisik dan mental.
2. Masalah Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas dalam masyarakat masih mengalami masalah-
masalah (Angela, 2014). Masalah-masalah tersebut antara lain:
a. Keluarga yang menyembunyikan anggota keluarganya yang difabel
(disabilitas), sehingga terkadang penyandang disabilitas tidak
mendapatkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.
b. Masyarakat yang masih menganggap bahwa penyandang disabilitas
merupakan suatu keanehan, sehingga penyandang disabilitas seperti
didiskriminasikan.
c. Pengusaha maupun pemerintah kurang menyadari bahwa penyandang
disabilitas juga merupakan sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan yang dapat diberdayakan untuk perkembangan diri
mereka.
d. Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas masih belum diperhatikan.
3. Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas
The Convention on The Rights of Persons with Disabilitas (CRPD)
merupakan Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat yang
disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
siding ke-61 tanggal 13 Desember 2006. Pemerintah Indonesia telah
mendatangani Convention on The Rights of Persons with Disabilitas
(Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30
Maret 2007 di New York. Kemudian pada Tahun 2011 Indonesia
meratifikasi konvensi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Konvensi Penyandang Disabilitas.
Pasal 25 ayat (1) dalam konvensi menyebutkan “Negara-Negara Pihak
mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk menikmati
standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai tanpa diskriminasi atas
dasar disabilitas mereka. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua
kebijakan yang diperlukan untuk menjamin akses bagi penyandang
disabilitas terhadap pelayanan kesehatan yang sensitive gender, termasuk
rehabilitas kesehatan. Secara khusus, Negara-Negara Pihak harus:
a. Menyediakan bagi penyandang disabilitas, program, dan perawatan
kesehatan gratis atau terjangkau, dengan jangkauan, kualitas dan
standar yang sama dengan yang disediakan bagi yang lainnya,
termasuk dalam bidang kesehatan seksual dan reproduksi serta
program kesehatan publik berbasis kependudukan;
b. Menyediakan pelayanan kesehatan khusus yang dibutuhkan
penyandang disabilitas yang dimilki, termasuk identifikasi awal dan
intervensi yang sesuai serta pelayanan yang dirancang untuk
meminimalkan dan mencegah disabilitas lebih lanjut, termasuk bagi
anak-anak dan orang-orang lanjut usia;
c. Menyediakan pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan
komunitas penyandang, termasuk diwilayah perdesaan;
d. Mewajibkan para professional di bidang kesehatan untuk
menyediakan perawatan dengan kualitas sama kepada penyandang
disabilitas sebagaimana tersedia bagi lainnya, termasuk atas dasar
persetujuan yang bebas dan diberitahukan dengan cara, antara lain,
meningkatkan kesadaran akan hak asasi manusia, martabat,
kemandirian, dan kebutuhan penyandang disabilitas melalui pelatihan
dan penerapan standar etika untuk layanan kesehatan pemerintah dan
swasta;
e. Melarang diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di dalam
penyediaan asuransi kesehatan dan asuransi kehidupan yang tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum nasional, yang wajib tersedia
secara adil dan layak;
f. Mencegah penolakan diskriminatif untuk memperoleh layanan atau
perawatan kesehatan atau makanan dan zat atas dasar disabilitas.
E. Tinjauan Umum tentang Kusta
Penyakit kusta menurut Widiyoo (2005) merupakan salah satu jenis
penyakit menular yang masih merupakan masalah kesehatan yang sangat
kompleks di Indonesia. Masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya,
tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, sera keamanan dan ketahanan
social (Angelina, 2012). Penyakit kusta merupakan penyakit menular
menahun disebabkan oleh kuman Mycobacterim leprae untuk pertama kali
ditemukan oleh G.A. Hansen dalam tahun 1873 (Depkes, 2007). Penyakit
kusta bila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat, dan
keadaan ini menjadi penghalang bagi penderita kusta dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya
(Tarmisi dkk, 2016). Penyakit kusta masih ditakuti masyarakat, keluarga
termasuk sebagian petugas kesehatan (Depkes, 2007).
Penyakit kusta juga menimbulkan masalah yang sangat kompleks,
masalah yang dimaksudkan bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah social, ekonomi, psikologis, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional (Depkes RI, 2005). Menurut Munir (2001) Kecatatan
yang berlanjut dan tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang tidak
baik akan menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang
normal serta kehilangan status social secara progresif, terisolasi dari
masyarakat, keluarga dan teman-temannya (Soedarjatmi dkk, 2009).
Sedangkan secara psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit penderita
membentuk paras yang menakutkan. Kecatatannya juga memberikan
gambaran yang menakutkan menyebabkan penderita kusta merasa rendah
diri, depresi dan menyendiri bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya.
Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan
ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk keadaan (Depkes RI,
2005).
World Helath Organization (WHO) melaporkan prevalensi kusta secara
global pada tahun 2012 sebesar 232.857 kasus.Sedangkan pada tahun 2013
sebesar 215.656 kasus. Awal tahun 2014 sebesar 180.618 kasus. Angka
tersebut menunjukkan penurunan prevalensi kejadian penyakit kusta tiap
tahun, namun masih dikategorikan tinggi.
Melihat sejarah, penyakit kusta merupakan penyakit yang ditakuti
masyarakat dan keluarga. Saat itu telah terjadi perngasingan secara spontan
karena penderita merasa rendah diri dan malu (stigma). Disamping itu
masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan atau pengertian juga kepercayaan yang keliru
terhadap penyakit kusta. Masyarakat masih banyak beranggapan bahwa kusta
disebabkan oleh kutukan, guna-guna, dosa, makanan ataupun keturunan.
Diera modern ini muncul istilah “stigmatisasi’ yang lebih mencerminkan
“kelas” daripada fisik. Proses inilah yang pada akhirnya membuat para
penderita terkucil dari masyarakat, dianggap menjijikan dan harus dijauhi.
Sebenarnya stigma ini timbul karena adanya suatu persepsi tentang penyakit
kusta yang keliru (Soedarjatmi dkk, 2009).
F. Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit
Rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan
kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada
masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga
kesehatan dan pusat penelitian medic (WHO, 2010).
Rumah sakit menurut UUD RI Nomor 44 Tahun 2009 mengatakan
bahwa Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat. Adapun Asas dan tujuan
Rumah sakit adalah diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan
kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, persamaan hak
dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan, keselamatan pasien, serta
mempunyai fungsi sosial.
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Kemenkes
RI, 2010). Rumah Sakit yang memiliki pelayanan kesehatan bagi
penyandang disabilitas kusta adalah RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar.
Pada awal terbentuknya RSK Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dimulai dengan
Prakarsa Menteri Kesehatan tahun 1980, selanjutnya menteri kesehatan
menginstruksikan kepada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular untuk mendirikan Rumah Sakit Kusta Ujung Pandang.
Pada tanggal 24 Desember 1982, Rumah Sakit Kusta Ujung Pandang di
dirikan berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI nomor
568/Menkes/SK/1982 dan merupakan unit organik dalam lingkungan
Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan. Disamping itu berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan No. 270/Menkes/SK/VI/1985 tentang Wilayah
Binaan Rumah Sakit Kusta, maka wilayah binaan Rumah Sakit Kusta Ujung
Pandang adalah seluruh Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya (Profil RSK Dr.
Tadjuddin Chalid Makassar, 2017)
Adapun alasan menteri kesehatan perlunya membangun Rumah Sakit
Kusta adalah antara lain:
1. Banyaknya penderita kusta di propinsi lain (Kalimantan, Maluku, NTT,
NTB, dll)
2. Prevalensi penyakit kusta cukup tinggi di Sulawesi Selatan dan kawasan
Timur Indonsia pada umumnya.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat maka
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
297/Menkes/SK/III/2008, Rumah Sakit Kusta Makassar berubah nama
menjadi Rumah Sakit Kusta (RSK) Dr. Tadjuddin Chalid Makassar sesuai
dengan Permenkes Nomor 009 Tahun 2012 Tentang Struktur Oganisasi dan
Tata Kerja RSK Dr. Tadjuddin Chalid Makassar sampai dengan sekarang.
Rumah Sakit ini berada dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur
Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Dan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.05/2010, RSK Dr.
Tadjuddin Chalid Makassar ditetapkan sebagai Instansi Pemerintah yang
menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum serta pada
tanggal 31 Mei 2010 diberikan kesempatan untuk membuka pelayanan umum
melalui Surat Keputusan Dirjen Bina Pelayanan Medik No:
HK.03.05/I/2835/110.
Hasil laporan tahunan RSK Dr. Tadjuddin Chalid Makassar, dalam kurun
waktu tiga tahun terakhir, terhitung dari tahun 2013-2015 didapatkan
beberapa permasalahan yang ditemukan terkait kinerja pelayanan rumah
sakit, diantaranya adalah:
1. Pelayanan unggulan berupa pelayanan rehabilitas medik belum sampai
pada titik utama pelayanan;
2. Pelaksanaan standar mutu pelayanan maksimal belum terpenuhi dengan
baik;
3. Keterampilan tenaga medis dan paramedis sebagai ujung tambak
pelayanan belum mencapai standar pelayanan yang maksimal;
4. Kegiatan promosi kepada masyarakat luas tentang pelayanan kusta secara
paripurna belum dilaksanakan secara maksimal;
5. Pelaksanaan standar mutu pelayanan maksimal belum terpenuhi dengan
baik;
6. Ketidakmampuan menetapkan prioritas kerjasama dengan stakeholder;
7. Rendahnya koordinasi antar unit dalam pelaksanaan mutu pelayanan dan
keselamatan pasien;
8. Rendahnya kualitas sumber daya manusia tentang mutu pelayanan;
9. Belum maksimalnya sistem informasi dalam publikasi data sehingga
kontrol mutu pelayanan tidak maksimal pula;
10. Belum lengkapnya sarana prasarana yang mendukung pelaksanaan
peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.