20
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI BUNUH DIRI Disusun oleh : Virnadia Ekasari Andriani 2013.03.026 AKADEMI KEPERAWATAN WILLIAM BOOTH SURABAYA

2013.03.026

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Resiko Bunuh diri

Citation preview

Page 1: 2013.03.026

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

BUNUH DIRI

Disusun oleh :

Virnadia Ekasari Andriani

2013.03.026

AKADEMI KEPERAWATAN WILLIAM BOOTH

SURABAYA

2015

Page 2: 2013.03.026

BAB 1

TINJAUAN TEORI

1.1 Pengertian Bunuh diri

Bunuh diri adalah kematian yang disebabkan diri sendiri dan disengaja. Ide

bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah keadaan gawat darurat yang paling

sering ditemukan. Masalah yang sering pada bunuh diri adalah krisis yang

menyebabkan penderitaan yang berat dan perasaan putus asa dan tidak

berdaya, konflik antara bertahan hidup dan stress yang tidak dapat ditahan,

sempitnya pilihan yang dimiliki pasien, dan harapan untuk dapat

membebaskan diri. Ide bunuh diri terjadi pada orang yang rentan sebagai

respon dari berbagai stressor pada setiap usia dan dapat ditemukan untuk

jangka waktu yang lama tanpa menyebabkan suatu usaha bunuh .

1.2 Gambaran Klinis dan diagnosis

Mengenali pasien yang berusaha bunuh diri adalah penting tetapi merupakan

tugas sulit. Penelitian menemukan bahwa jenis kelamin laki-laki, ras kulit

putih, usia yang lanjut, dan isolasi sosial meningkatkan resiko bunuh diri yang

sepenuhnya. Pasien dengan riwayat usaha bunuh diri atau tindakan bunuh diri

adalah berada dalam resiko, seperti pasien dengan riwayat nyeri kronis,

pembedahan yang baru dilakukan, atau penyakit fisik yang kronis. Pasien yang

juga berada pada resiko adalah pasien yang tidak mempunyai pekerjaan, hidup

sendirian, melakukan hubungan gelap dengan terpaksa, atau mengalami

perayaan terhadap suatu kehilangan.

Delapan puluh persen pasien yang melakukan bunuh diri menderita

gangguan mood dan 25 persen adalah mengalami ketergantungan alkohol.

Bunuh diri adalah penyebab kematian untuk 15 persen orang di dalam

kelompok tersebut. Resiko untuk seorang alkoholik adalah tinggi dalam enam

bulan pertama setelah mengalami kehilangan yang berat. Skizofrenia adalah

gangguan yang lebih jarang dan dengan demikian lebih sedikit terjadi bunuh

diri, tetapi 10 persen orang dengan skizofrenia meninggal akibat bunuh diri.

Harapan yang paling baik untuk mencegah bunuh diri adalah deteksi

dini dan pengobatan gangguan psikiatrik yang berperan.

Page 3: 2013.03.026

Peran usaha bunuh diri sebelumnya dalam penentuan resiko bunuh diri

adalah kompleks. Sebagian besar korban bunuh diri yang sebenarnya tidak

pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya, dan mereka berhasil

melakukan bunuh diri pada saat pertama kali. Walaupun setiap orang yang

pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya menunjukkan kapasitas

perilaku yang merusak diri sendiri, hanya 10 persen orang yang berusaha

bunuh diri berhasil melakukannya dalam 10 tahun.

Sejumlah bermakna orang yang agresif terhadap diri sendiri memotong

atau memakar dirinya sendiri dalam cara yang jelas tidak mematikan tanpa

maksud membunuh dirinya sendiri. Ditemukan berbagai motivasi, termasuk

manipulasi dan penyerangan yang tidak disadari terhadap orang lain. Secara

diagnostik, pasien mungkin memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian

antisosial atau ambang, perilaku mungkin disertai dengan ide yang kacau dan

perilaku lainnya dalam skizofrenia.

Hal yang cukup mengganggu dan menantang secara medikolegal

adalah ”parasuicides”, yang dilakukan secara berulang dan sampai suatu

tingkat, dapat diperkirakan terikat dalam perilaku yang menyerempet kematian

walaupun menyangkal ide bunuh diri. Varian yang paling sering adalah pasien

yang mengalami overdosis obat yang berulang dan tanpa disengaja. Pasien

tersebut tampaknya mempunyai gangguan kepribadian tanpa gejala psikiatrik

yang berat. Mereka seringkali perlu dipulangkan dari rumah sakit segera

setelah mereka pulih dari intoksikasi akut, seringkali lebih dini, dan sulit untuk

mengobati mereka sepenuhnya. Tetapi, adalah bijaksana untuk menahan orang

tersebut secara involunter jika frekuensi perilaku ”parasuicidal”-nya

meningkat.

1.3 Pedoman wawancara dan psikoterapi

Adalah tidak benar untuk membicarakan bunuh diri dalam keadaan

klinis yang menyebabkannya. Pasien mungkin menggambarkan secara spontan

mengenai ide bunuh dirinya. Jika mereka tidak menggambarkannya, tanyakan

secara langsung.

Mulailah dengan bertanya apakah pasien pernah merasa menyerah atau

merasa mereka lebih baik meninggal. Pendekatan tersebut menyebabkan

stigma yang kecil dan dapat dilakukan oleh sebagian besar orang.

Page 4: 2013.03.026

Selanjutnya berbicaralah mengenai apa yang sebenarnya sedang

dipikirkan pasien dan catatlah pikiran tersebut. Jika masalah telah mulai

dibicarakan, gunakan kata-kata seperti “membunuh” dan “meninggal”, dan

bukan “melukai”, karena beberapa pasien mengalami kebingungan mengenai

inti pertanyaan dan sebagian besar tidak mengharapkan untuk melukai dirinya

sendiri, bahkan walaupun mereka ingin untuk membunuh dirinya sendiri.

Tanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini : seberapa sering

pikiran bunuh diri anda rasakan? Apakah keasyikan anda dengan ide bunuh

diri meningkat? Apakah anda semata-mata mempunyai pikiran morbid, atau

pernahkah anda berpikir secara tepat bagaimana anda akan membunuh diri

sendiri? Apakah anda berpikir secara sepintas atau secara serius mengenai

usaha untuk bunh diri? Apakah anda telah mempertimbangkan suatu cara

tertentu?

Pertimbangkanlah usia dan kecanggihan pasien dan apakah maksud

pernyataan pasien sesuai dengan caranya. Seorang wanita dengan intelegensi

yang normal ingin mati dan akan meminum enam sampai delapan tablet

aspirin adalah kurang menimbulkan masalah dibandingkan dengan anak kecil

yang mengeluarkan pernyataan yang sama.

Apakah cara yang dipilih untuk bunuh diri tersedia pada pasien?

Apakah mereka telah mengambil langkah yang aktif, seperti mengumpulkan

pil dan menyudahi hubungan gelapnya? Seberapa pesimistiknya pasien?

Dapatkah mereka membayangkan salah satu cara dimana hal-hal akan menjadi

baik?

Pertanyaan yang terakhir menentukan penilaian dan pengobatan,

karena pasien dapat menunjukkan cara untuk keluar dari dilemmanya. Jika

mereka tidak, apakah mereka merasa putus asa akan masa depan? Jika

demikian apakah rasa takut mereka adalah bersifat waham (delusional) atau

nyata?

Dapatkan riwayat dari orang lain yang penting jika pasien tidak dapat

bekerja sama.

1.4 Pemeriksaan dan Penatalaksanaan

1) Klinisi harus menilai resiko bunuh diri pada pasien individual berdasarkan

pemeriksaan klinis. Hal yang paling prediktif yang berhubungan dengan resiko

Page 5: 2013.03.026

bunuh diri dituliskan dalam tabel 14-1. Bunuh diri juga dikelompokkan ke

dalam faktor yang berhubungan dengan resiko tinggi dan resiko rendah (Tabel

14-2).

2) Jika memeriksa pasien yang berusaha bunuh diri jangan meninggalkan mereka

sendirian; keluarkan semua benda yang kemungkinan berbahaya dari ruangan.

3) Jika memeriksaa pasien yang baru saja melakukan usaha bunuh diri, nilailah

apakah usaha tersebut telah direncanakan atau dilakukan secara impulsif dan

tentukan letalitasnya, kemungkinan pasien untuk ditemukan (sebagai contoh

apakah pasien sendirian, dan apakah pasien memberitahukan orang lain?) dan

reaksi pasien karena diselamatkan (apakah pasien kecewa atau merasa lega?)

dan apakah faktor faktor yang menyebabkan usaha bunuh diri telah berubah.

4) Penatalaksanaan adalah sangat tergantung pada diagnosis. Pasien dengan

gangguan depresif berat mungkin diobati sebagai pasien rawat jalan jika

keluarganya dapat mengawasi mereka secara ketat dan jika pengobatan dapat

dimulai secara cepat. Selain hal tersebut, perawatan di rumah sakit mungkin

diperlukan.

5) Ide bunuh diri pada pasien alkoholik biasanya menghilang dengan abstinensia

dalam beberapa hari. Tidak diperlukan pengobatan spesifik pada sebagian

besar kasus. Jika depresi menetap setelah tanda psikologis dari putus alkohol

menhilang, diperlukan kecurigaan yang tinggi adanya gangguan depresif berat.

Semua pasien yang berusaha bunuh diri yang terintoksikasi oleh alkohol atau

obat harus dinilai kembali jika mereka sadar.

6) Ide bunuh diri pada pasien skizofrenia harus ditanggapi secara serius, karena

mereka cenderung menggunakan kekerasan atau metode yang kacau dengan

letalitas yang tinggi.

7) Pasien dengan gangguan kepribadian mendapatkan manfaat dari konfrontasi

empatik dan bantuan dengan mendapatkan pendekatan yang rasional dan

bertanggung jawab terhadap masalah yang mencetuskan krisis dan bagaimana

mereka biasanya berperan. Keterlibatan keluarga atau teman dan manipulasi

lingkungan mungkin membantu dalam menghilangkan krisis yang

menyebabkan usaha bunuh diri.

8) Hospitalisasi jangka panjang adalah diindikasikan pada keadaan yang

menyebabkan mutilasi diri, tetapi hospitalisasi singkat biasanya tidak

mempengaruhi perilaku habitual tersebut. ”Parasuicide” juga mendapatkan

Page 6: 2013.03.026

manfaat dari rehabilitasi jangka panjang dan periode singkat stabilisasi

mungkin diperlukan dari waktu ke waktu, tetapi tidak ada pengobatan jangka

pendek yang dapat diharapkan mengubah perjalanannya secara bermakna.

Tabel 14-1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan resiko bunuh diri.

Urutan ranking Faktor

1 Usia (45 tahun dan lebih)

2 Ketergantungan alkohol

3 Kejengkelan, penyerangan, kekerasan

4 Perilaku bunuh diri sebelumnya

5 Laki-laki

6 Tidak mau menerima pertolongan

7 Episode depresi sekarang yang lebih lama dari biasanya

8 Terapi psikiatrik atau rawat inap sebelumnya

9 Kehilangan atau perpisahan yang belum lama terjadi

10 Depresi

11 Hilangnya kesehatan fisik

12 Pengangguran atau dipecat

13 Tidak menikah, janda atau duda

Tabel 14-2 Penilaian resiko bunuh diri

Variabel Resiko tinggi Resiko rendah

Sifat demografis dan sosial

Usia

Jenis kelamin

Status marital

Pekerjaan

Hubungan interpersonal

Latar belakang keluarga

Lebih dari 45 tahun

Laki-laki

Cerai atau janda

Pengangguran

Konflik

Kacau atau konflik

Di bawah 45 tahun

Wanita

Menikah

Bekerja

Stabil

Stabil

Kesehatan

Fisik Penyakit kronis

Hipokondriak

Pemakaian zat yang berlebihan

Kesehatan baik

Merasa sehat

Penggunaan zat rendah

Page 7: 2013.03.026

Mental Depresi berat

Psikosis

Gangguan kepribadian berat

Penyalahgunaan zat

Putus asa

Depresi ringan

Neurosis

Kepribadian ringan

Peminum sosial

Optimisme

Aktivitas bunuh diri

Ide bunuh diri Sering, kuat berkepanjangan

Usaha berulang kali

Direncanakan

Penyelamatan tidak mungkin

Keinginan yang tidak ragu-

ragu untuk mati

Komunikasi diinternalisasikan

(menyalahkan diri sendiri)

Metode mematikan dan

tersedia

Jarang, rendah, sementara

Usaha pertama

Impulsif

Penyelamatan tak terhindarkan

Keinginan utama untuk berubah

Komunikasi dieksternalisasikan

(kemarahan)

Metode dengan letalitas rendah

dan tidak mudah didapat

Sarana

Pribadi

Sosial

Pencapaian buruk

Tilikan buruk

Afek tidak ada atau terkendali

buruk

Rapport buruk

Terisolasi sosial

Keluarga tidak responsif

Pencapaian buruk

Penuh tilikan

Afek tersedia dan terkendali

dengan semestinya

Rapport baik

Terintegrasi secara sosial

Keluarga yang memerhatikan

1.5 Terapi Obat

Seorang pasien yang berada dalam krisis karena kematian atau

peristiwa lainnya dengan lama waktu yang terbatas dapat berfungsi dengan

lebih baik setelah mendapatkan sedasi ringan sesuai keperluan, khususnya jika

tidur telah terganggu. Benzodiazepine adalah obat yang terpilih, dan regimen

yang tipikal adalah lorazepam 1 mg satu sampai tiga kali sehari selama dua

minggu. Iritabilitas pasien dapat meningkat dengan pemakaian benzodiazepine

secara teratur, dan iritabilitas adalah faktor resiko untuk bunuh diri, sehingga

benzodiazepine harus digunakan dengan berhati-hati pada pasien yang

Page 8: 2013.03.026

menunjukkan sikap bermusuhan. Hanya sejumlah kecil medikasi yang harus

diberikan, dan pasien harus diikuti dalam beberapa hari.

Antidepresan adalah pengobatan deinitif untuk banyak pasien yang

datang dengan ide bunuh diri, tetapi adalah tidak umum untuk memulai

antidepresan di ruang gawat darurat. Tetapi, jika diresepkan, perjanjian follow

up yang pasti harus dilakukan, lebih baik pada hari selanjutnya.

BAB 2

Page 9: 2013.03.026

KASUS NYATA

2.1 Kasus pertama

Diputus pacar, janda berusia 17 tahun tenggak racun tikus

Reporter : Gede Nadi Jaya | Senin, 16 Februari 2015 00:01

Merdeka.com - Gara-gara diputus pacar, janda kembang Luh Siki Antari ( 17) asal

Singaraja, nekat tenggak racun tikus plus 20 butir obat sakit kepala. Untungnya, ulah

Antari diketahui teman-temannya dan dibawa ke rumah sakit.

Dari pengakuan Antari saat siuman, dirinya mengaku kesal lantaran tidak mati setelah

minum 20 butir obat sakit kepala dicampur tiga botol minuman bersoda. Merasa tidak

ada reaksinya, dia membeli racun tikus dan menenggaknya hingga akhirnya semaput.

"Saya sudah hancur pak, saya janda sekarang saya malah ditinggal pergi pacar saya.

Lebih baik mati saja," aku Antari, didampingi rekan-rekannya di RSUD Bangli,

Minggu (15/2).

Kapolsek Kintamani Kompol Desa Mahaputra saat dikonfirmasi membenarkan kasus

percobaan bunuh diri itu. "Korban kini dirawat intensif di RSUD Bangli, kondisinya

mulai sedikit membaik," kata Mahaputra, Minggu (15/2).

Kata Mahaputra, korban memang berniat bunuh diri lantaran frustasi hubungannya

dengan kekasihnya tidak disetujui orangtua pacar. "Orangtua pacarnya tidak setuju

karena status korban yang sudah janda. Karena frustasi, korban nekat melakukan

percobaan bunuh diri," ungkapnya.

www.merdeka.com diunduh pada tanggal 30-03-2015 pukul 20:08

2.2 Kasus kedua

Page 10: 2013.03.026

Diduga stres, suami gorok leher istri lalu coba

bunuh diriReporter : Moch. Andriansyah | Selasa, 17 Maret 2015 02:13

Merdeka.com - Diduga mengalami depresi berat, Supriadi (40), warga Jalan Randu

Barat I/33, Kecamatan Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur, nekat menggorok leher

istrinya sendiri, yaitu Sulistyowati (43) dengan pisau dapur, Senin malam (16/3).

Usai menghabisi nyawa istrinya, Supriadi lalu menggorok lehernya sendiri.

Beruntung, nyawanya berhasil diselamatkan oleh tetangganya dan dilarikan ke RSUD

dr Soetomo, Surabaya.

Informasi di lokasi kejadian (TKP), kali pertama, kejadian itu diketahui oleh anak

kandung korban, yaitu Linda. Saat itu, sekitar pukul 19.30 WIB, gadis 20 tahun ini

baru pulang kerja.

Saat Linda masuk rumah, lampu rumah mati dan lantainya banyak ceceran darah.

Karena curiga, Linda melihat kamar orang tuanya dan mendapati keduanya terlentang

di atas ranjang dengan leher terluka.

Selanjutnya, dalam kondisi syok dan panik, Linda berlari keluar dan meminta bantuan

warga sekitar dan ketua RT setempat. Mengetahui kejadian itu, warga langsung

melapor ke Polsek Kenjeran.

Petugas Polsek Kenjeran dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak langsung menggelar

olah TKP. Selanjutnya mengevakuasi jenazah Sulistyowati, yang saat itu mengenakan

baju tidur warna putih, ke Kamar Jenazah RSUD dr Soetomo untuk keperluan visum.

"Saat ditemukan oleh anaknya (Linda) di dalam kamar, kedua korban sudah dalam

kondisi terluka di bagian leher," terang Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya

kata AKBP Arnapi di lokasi kejadian.

Page 11: 2013.03.026

Mengenai motif kejadiannya, Arnapi belum berani menyimpulkannya secara dini.

Sebab, sampai saat ini, pihaknya masih melakukan penyelidikan. Pada olah TKP yang

digelar pihak kepolisian, ditemukan sebilah pisau. Sedangkan untuk barang-barang

korban, dipastikan tidak ada yang hilang.

"Kita masih lakukan penyelidikan. Yang jelas, saat ditemukan, keduanya sudah

bersimbah darah, keduanya terluka di leher. Untuk pisaunya ditemukan di atas dada

tubuh korban perempuan," sambung Arnapi.

Sementara menurut keponakan Supriadi, Hafid Zainuddin, warga Jalan Bulak

Banteng Baru, yang datang ke lokasi kejadian mengatakan, Supriadi dan Sulistyowati

menikah sejak tiga tahun lalu.

"Saat menikah dengan Supriadi, Sulistyowati itu janda anak satu," kata Hafid di lokasi

kejadian.

Hafid juga mengungkap, sebelum menikahi janda satu anak tersebut, sekitar enam

atau tujuh tahun lalu, Supriadi pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Kemudian

dinyatakan sembuh oleh dokter dan menikah dengan Sulistyowati.

"Tapi kalau kondisinya tertekan, penyakitnya bisa kambuh. Dulu dia kan pernah jadi

sopir trailer. Sekarang nganggur. Karena tak punya penghasilan itulah, dia sering

stres, dan uring-uringan," ungkapnya.

Sebelum kejadian, masih kata dia, informasi dari beberapa warga sekitar, Supriadi dan

Sulistyowati terdengar bertengkar pada siang harinya, kemudian ditemukan dalam

kondisi leher tergorok.

"Katanya, penyebabnya masalah ekonomi. Kemudian malam harinya keduanya

ditemukan oleh anak dari istri paman saya itu. Paman dan isterinya itu ditemukan

terlentang di atas tempat tidur dengan leher terluka," pungkas Hafid

www.merdeka.com diunduh pada 30-03-2015 pukul 20:12

Page 12: 2013.03.026

BAB 3

ANALISA KASUS

Di Bali, seorang wanita berinisial LSA, berumur 17 tahun mencoba

melakukan bunuh diri dengan meminum racun tikus. Dan di Surabaya, seorang pria

berinisial S, berumur 40 tahun mencoba bunuh diri dengan menggorok lehernya

sendiri setelah ia menggorok leher istrinya hingga tewas

Pada kedua kasus tersebut, kedua pasien di atas menunjukkan adanya depresi

baik yang ringan maupun yang berat. Depresi dapat digambarkan berupa

keputusasaan, termenung, marah-marah, uring-uringan. Pada kasus pertama, depresi

disebutkan oleh korban sendiri melalui pernyataan ”Saya sudah hancur pak, saya

janda, sekarang saya malah ditinggal pergi pacar saya, lebih baik mati saja”.

Sedangkan, pada kasus kedua, didapati korban sering uring-uringan dengan istri

karena masalah ekonomi (tidak punya penghasilan).

Depresi dan stress dapat menjadi pencetus ide atau perilaku usaha bunuh diri.

Dimana, bunuh diri dapat diartikan sebagai kematian yang disebabkan diri sendiri dan

disengaja. Usaha bunuh diri merupakan keadaan gawat darurat yang sering

ditemukan. Masalah-masalah yang sering mencetuskan ide atau usaha bunuh diri,

antara lain berupa krisis yang menyebabkan penderitaan yang berat, perasaan putus

asa dan tidak berdaya, konflik antara bertahan hidup dan stress yang tidak tertahan,

sempitnya pilihan yang dimiliki pasien dan harapan yang dimiliki pasien.

Pada kasus pertama, usaha bunuh diri di lakukan dengan cara minum 20 butir

obat sakit kepala yang dicampur dengan tiga botol minuman bersoda, dirasa tidak

manjur, pasien meminum racun tikus. Pada kasus kedua, usaha bunuh diri dilakukan

dengan cara menggorok leher sendiri. Pada kedua kasus diatas didapati perilaku usaha

mencapai kematian yang disebabkan diri sendiri dan disengaja, namun dengan cara

yang berbeda.

Pada kasus pertama, pasien berinisial LSA melakukan usaha bunuh diri

dikarenakan pasien mengalami depresi. Pasien yang masih sangat muda yaitu berusia

17 tahun, yang harusnya masa remaja untuk mencari jati diri, harus menikah. Hal ini

akan dapat menimbulkan stres pada anak masa remaja, karena ia masih labil. Belum

lagi pasien ditinggalkan oleh suaminya sehingga mungkin merasa kesepian dalam

hidupnya, pasien pun harus menyandang status janda pada usia 17 tahun. Kemudian

setelah berkenalan dengan orang lain yang menjadi pacarnya, hubungannya tidak

Page 13: 2013.03.026

disetujui oleh orang tua pacarnya karena status perkawinan pasien yang sudah janda.

Masalah ini membuat pasien merasa putus asa. Wanita dan usia dibawah 45 tahun

merupakan faktor resiko rendah untuk melakukan usaha bunuh diri, namun status

perkawinan yang sudah janda ditambah dengan adanya konflik interpersonal antara

pasien dengan orang tua kekasih pasien dapat menjadi faktor resiko tinggi yang

menyebabkan pasien melakukan usaha bunuh diri. Bila dilakukan pemeriksaan,

pasien LSA nampak telah merencakan percobaan bunuh diri, dikatakan bahwa pasien

mengaku kesal lantaran tidak mati setelah minum obat dan racun tikus.

Pada kasus kedua, pasien berinisial S. Melakukan usaha bunuh diri setelah

membunuh istrinya dikarenakan pasien mengalami depresi berat. Di duga, depresi

pasien disebabkan karena pasien kehilangan pekerjaan (pengangguran). Pasien

mungkin merasa tidak berguna sebagai seorang kepala keluarga, karena tidak

mempunyai penghasilan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Belum lagi,

istri pasien yang mungkin sering mengeluh soal ekonomi keluarga, sehingga pasien

merasa tersinggung dan mudah marah, sering uring-uringan dan bertengkar dengan

istri. Dikatakan bahwa pasien pernah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa 7 tahun

yang lalu, diduga pasien yang pernah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa,

mempunyai riwayat kesehatan mental yang kurang baik. Dimana apabila ia

dihadapkan pada masalah, akan lebih mudah depresi. Pasien S berusia 40 tahun,

dimana laki-laki, pengangguran, hubungan interpersonal sering mengalami konflik,

riwayat kesehatan mental ada depresi berat merupakan faktor resiko tinggi untuk

melakukan usaha bunuh diri.

Penanganan psikoterapi yang tepat dan sesuai untuk percobaan bunuh diri

pada kasus di atas adalah :

1) Menenangkan pasien terlebih dahulu, bisa dengan dibantu oleh keluarga

2) Menganalisa dan melakukan pemeriksaan lewat wawancara kepada pasien

dengan tenang bila memungkinkan. Mendengarkan secara empatik dapat

membuat pasien percaya dan mau mengungkapkan permasalahannya.

Wawancara dapat dilakukan dengan :

- Menanyakan pada pasien, apakah pernah merasa menyerah atau merasa lebih

baik meninggal? Apakah pernah putus asa terhadap masa depan?

- Menanyakan pada pasien : seberapa sering pikiran bunuh diri dirasakan ?

Apakah pasien berpikir secara sepintas atau secara serius mengenai usaha

Page 14: 2013.03.026

bunuh diri? Apakah pasien telah mempertimbangkan suatu cara bunuh diri

tertentu?

- Pertimbangkan usia dan intrelegensi serta maksud pernyataan pasien sesuai

dengan caranya.

3) Mengambil tindakan penatalaksanaan sesuai dengan diagnosa pasien.

Pada pasien dengan gangguan depresi berat mungkin diobati sebagai pasien

rawat jalan bila keluarga dapat mengawasi pasien secara ketat. Bila tidak,

perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan.