77
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker baik di negara maju maupun negara berkembang. Satu dari 10 kematian disebabkan oleh stroke (Ennen, 2004; Marsh & Keyrouz, 2010; American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15 juta orang terserang stroke setiap tahunnya, dimana satu pertiga meninggal, dan sisanya mengalami kecacatan permanen (Stroke forum, 2015). Stroke merupakan penyebab utama kecacatan yang dapat dicegah (American Heart Association, 2014). Di Amerika Serikat, terjadi 795.000 insiden stroke setiap tahunnya, yang menyebabkan 1 dari 17 kematian di Amerika serikat. Diperkirakan insiden stroke akan sangat meningkat pada tahun 2030 jika 1

2003

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hahaha

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker baik di negara maju maupun negara berkembang. Satu dari 10 kematian disebabkan oleh stroke (Ennen, 2004; Marsh & Keyrouz, 2010; American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15 juta orang terserang stroke setiap tahunnya, dimana satu pertiga meninggal, dan sisanya mengalami kecacatan permanen (Stroke forum, 2015). Stroke merupakan penyebab utama kecacatan yang dapat dicegah (American Heart Association, 2014).

Di Amerika Serikat, terjadi 795.000 insiden stroke setiap tahunnya, yang menyebabkan 1 dari 17 kematian di Amerika serikat. Diperkirakan insiden stroke akan sangat meningkat pada tahun 2030 jika dibandingkan dengan tahun 2012 (Marsh & Keyrouz, 2010; Kemenkes, 2012; American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015). Di Australia stroke merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit jantung koroner dengan 8.300 kematian pada tahun 2009 (Refshauge, 2012; National Stroke Foundation, 2012). Di Eropa, insiden stroke bervariasi dari 101,1 - 239,3 per 100.000 pria dan 63,0 - 158,7 per 100.000 wanita (American Heart Aassociation, 2014). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013, di Indonesia angka stroke mengalami peningkatan dari 8,3 per 1000 (2007) menjadi 12,1 per 1000 (2013). Prevalensi ini paling tinggi ditemukan di Sulawesi Utara, diikuti DI Yogyakarta, Bangka Belitung dan DKI Jakarta. Angka ini cenderung meningkat seiring peningkatan umur (Riskesdas, 2013).

Stroke adalah setiap gangguan neurologik yang mendadak akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Sekitar 80-85% stroke adalah stroke iskemik yang diakibatkan oleh obstruksi pada arteri otak (Hartwig, 2014). Stroke iskemik dapat membatasi jumlah oksigen yang diterima oleh otak, mematikan sel - sel otak dan dapat berpotensi menyebabkan kerusakan otak. Tergantung kepada lokasi yang mengenai otak dan seberapa luas kerusakan, akan terjadi kerusakan fisik dan psikologis, seperti kelumpuhan, kesulitan bicara dan gangguan kognitif (Ennen, 2004; Russo et al., 2008). Stroke iskemik akut merupakan kedaruratan medis yang memerlukan penanganan segera, serta dapat menimbulkan kecacatan permanen atau kematian (Junaidi, 2004).

Lebih singkat. Lama rawatan menjadi diperperhatikan. Peningkatan usia, komplikasi penyerta dan kecacatan tertentu akan mempengaruhi lama rawatan pada pasie stroke akut. Beberapa studi mengemukakan bahwa komplikasi merupakan faktor independent yang berhubungan dengan lama rawatan (Arboix et al, 2012, Huang el at., 2013). Lama rawatan juga diasosiasikan dengan banyak demografi dan faktor klinis serta berhubungan dengan sistem pelayanan kesehatan. Lama rawatan berhubungan dengan derajat penyakit saat masuk, lokasi stroke, dan sosial ekonomi. Latar belakang >> infeksi. Albumin neuroprotektif. Memperpendek lama rawatan SIA. Makin panjang lama rawatan makin banyak komplikasi. Lamarawatan berkorelasi dengan beratnya suatu kondisi medis. Dan rata-rata dari lama rawatan adalah 13 hari.Semakin lama masa rawatan pasien stroke semakin banyak komplikasi yang didapat (Ingeman et al., 2011).

Menurut beberapa penelitian, albumin plasma dalam dosis tinggi dapat menjadi neuroprotektor yang menjanjikan terhadap stroke iskemik dengan mengurangi dua-pertiga dari total volume infark dan mengurangi tiga-perempat edema otak, memperbaiki edema otak, meningkatkan aliran darah ke daerah otak yang mengalami krisis perfusi, meningkatkan perfusi mikrovaskuler, mengurangi adhesi elemen darah pasca iskemik dan membantu mengangkut asam lemak bebas yang penting setelah iskemia berakhir (Ginsberg, 2010; Babu et al., 2013).

Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu penanda status nutrisi yang dikaitkan dengan perburukan status fungsional, hasil terapi yang buruk dan peningkatan angka mortalitas. Terdapat hubungan yang signifikan antara hipoalbuminemia dan peningkatan risiko komplikasi, infeksi, lama rawatan dan mortalitas (Jin et al., 2004; Miyake et al., 2004; Dziedzicet al., 2007; Bouziana & Tziomalos, 2011). Bahkan albumin merupakan satu-satunya prediktor yang sangat kuat terhadap mortalitas selama tiga bulan pertama fase stroke akut (Jin et al., 2004).

Rendahnya kadar albumin serum dapat menyebabkan disfungsi sistem imun oleh karena menghambat aktivasi produksi komplemen dan menurunkan fungsi netrofil, makrofag dan limfosit yang diperlukan untuk menghancurkan patogen sehingga kadar albumin serum berkorelasi dengan kejadian infeksi (Jin et al., 2004). Hipoalbuminemia berhubungan dengan peningkatan komplikasi selama masa rawatan. Semakin banyak komplikasi menambah panjang lama rawatan (Sigh, 2012).

Akan tetapi, menurut beberapa penelitian, belum ditemukan hubungan yang jelas antara albumin serum dengan dan stroke (Crary, 2012). Serum albumin dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sepsis, trauma dan penyakit hati kronis yang menyebabkan kadar albumin serum menjadi sulit diukur secara pasti. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Finestone et al yang belum menemukan hubungan yang jelas antara albumin serum yang rendah dengan malnutrisi, outcome dan lama rawatan (Martineau, 2005).

Saat ini belum ada sebab akibat yang jelas antara malnutrisi energi protein dan hasil fungsional perawatan pada pasien stroke iskemik akut. Oleh karena itu, kami tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan status nutrisi dan kadar albumin dengan lama rawatan pasien stroke iskemik akut.

1.2 Pertanyaan Penelitian

1. Berapa kadar albumin serum pasien stroke iskemik akut di RSUP Dr. M. Djamil Padang?

2. Berapa lamanya rawatan pasien iskemik stroke akut di RSUP Dr. M. Djamil Padang?

3. Bagaimana hubungan antara kadar albumin serum terhadap lama rawatan pasien stroke iskemik akut?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin serum terhadap lama rawatan pasien stroke iskemik akut

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui kadar albumin serum pasien stroke iskemik akut di RSUP Dr. M. Djamil Padang

2. Mengetahui lama rawatan pasien iskemik stroke akut di RSUP Dr. M. Djamil Padang

3. Mengetahui hubungan antara kadar albumin serum terhadap lama rawatan pasien stroke iskemik akut

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis (ilmu) :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi atau bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya

2. Untuk meningkatkan pemahaman bagi praktisi kesehatan, dokter atau tenaga medis lainnya dalam menilai peranan kadar albumin serum terutama terhadap stroke iskemik akut

1.4.2 Aplikatif

1. Dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan mengenai keterkaitan kadar albumin terhadap lamanya rawatan pasien stroke akut

2. Dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan mengenai pentingnya mempertahankan albumin serum dalam batas normal bagi penderita stroke akut

1.4.3 Bagi Pasien

1. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengertian dan sadar akan pentingnya gizi terutama kadar albumin serum dalam perbaikan stroke iskemik akut

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk intervensi gizi terutama kadar albumin serum pada pasien stroke iskemik akut dengan tujuan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke Iskemik akut

2.1.1 Definisi

Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam dan dapat menyebabkan kematian (Gisnberg, 2005). Cedera otak fokal pada pasien stroke akan menyebabkan berbagai defisit neurologis, seperti hemiplegia, hemisensorik loss, afasia, hemianopia, dan ataksia. Manifestasi klinis dapat menunjukan lokasi anatomi stroke (Geyeret al., 2009).

Stroke dapat diumpamakan seperti serangan jantung yang terjadi di otak. Darah harus mengalir ke otak supaya otak dapat berfungsi. Jika alirannya terhambat, oleh gumpalan darah yang terbawa ke otak, atau akibat penyempitan atau pecahnya pembuluh darah, otak dapat kehilangan pasokan energi dan menyebabkan kerusakan jaringan yang mengarah ke stroke (World Health Association, 2004).

Stroke iskemik didefinisikan, secara patofisiologis sebagai kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak adekuat. Definisi klinis stroke iskemik ialah defisit neurologis fokal yang timbul akut dan berlangsung lebih lama dari 24 jam dan tidak disebabkan oleh perdarahan (Lumbantobing, 2004). Ketika stroke iskemik terjadi, aliran darah ke otak menjadi terganggu, dan sel-sel otak akan kekurangan glukosa dan oksigen yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya. Stroke iskemik adalah entitas yang kompleks dengan beragam etiologi dan beragam manifestasi klinis (Hinkle & Guanci, 2007).

Menurut Dearden aliran darah otak didalam keadaan normal adalah sekitar 60 ml/100gr jaringan otak permenit. Peristiwa iskemi terjadi apabila aliran darah yang ke otak menjadi dibawah 20ml/100gr permenit, dimana energi adenosin trifosfat atau ATP yang dihasilkan akan berkurang. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan dari metabolisme aerob ke metabolime anaerob serta gangguan homeostasis ion-ion sehingga terjadi gangguan aktivitas listrik dan reaktivitas neuron secara prgresif (Junaidi, 2004).

2.1.2 Insiden

Setiap tahun, 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke. Dari jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta yang tersisa cacat permanen. Hal tersebut dapat menjadi beban di keluarga dan masyarakat. Stroke jarang terjadi pada orang di bawah 40 tahun; ketika hal itu terjadi, penyebab utamanya adalah tekanan darah tinggi. Stroke juga terjadi pada sekitar 8% dari anak-anak dengan penyakit anemia sel sabit (World Health Association, 2004).

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat. Sekitar 795.000 orang di Amerika Seriat terserang stroke setiap tahunnya, dimana 610.000 orang merupakan serangan stroke pertama dan 185.000 merupakan stroke yang berulang. Saat ini ada 4 juta orang di Amerika serikat yang hidup dengan keterbatasan fisik akibat stroke, dan 1530% diantaranya menderita kecacatan yang menetap (American Heart Association, 2009).

Di Indonesia, stroke merupakan urutan pertama di dunia dalam jumlah terbanyak penderita stroke (Yastroki, 2009). Menurut BadanPenelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan insiden angka tertinggi pada usia lebih dari 45 tahun dan merupakan 15,4% dari seluruh kematian baik di Desa maupun di Perkotaan. Dari jumlah total penderita stroke di Indonesia, sekitar 250.000 orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat (Kemenkes, 2012).

2.1.3 Faktor risiko

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

1. Usia

Lanjut usia merupakan salah satu faktor risiko. Organ manusia akan semakin mengalami kemunduran sejalan dengan bertambahnya usia seseorang. Hal demikian ini bersifat alamiah dan tidak bisa dihambat (Harsono, 2011). Insiden stroke bertambah seiring dengan bertambahnya usia, setelah umur 55 tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat tiap dekade (Junaidi, 2004).

2. Ras

Ras Afrika Amerika berusia 20-40 tahun memiliki risiko 2 kali lebih tinggi mengalami serangan stroke pertama dibandingkan dengan kulit putih, dan risiko mortalitas akibat stroke yang juga lebih tinggi, disebabkan oleh tingginya tekanan darah. Prevalensi stroke diperkirakan paling meningkat pada pria ras hispanik saat ini hingga 2030. Stroke iskemik jarang terjadi pada non-Hispanic kulit putih dan Amerika-Meksiko (Ennen, 2004; Kissela et al., 2005; American Heart Association, 2014)

3. Jenis kelamin

Laki laki lebih cenderung untuk terkena stroke lebih tinggi dibandingkan wanita, dengan perbandingan 1,3 : 1 kecuali pada usia lanjut laki laki dan wanita hampir tidak berbeda. Namun, pada semua umur perempuan cenderung lebih banyak meninggal akibat stroke dibandingkan laki-laki. Pada laki-laki cenderung terkena stroke iskemik, sedangkan wanita lebih sering menderita perdarahan subarachnoid dan kematiannya 2 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Ennen, 2004; Junaidi, 2004).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

1. Hipertensi

Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak, dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian (Harsono, 2011).

Risiko stroke bertambah sebanding dengan beratnya hipertensi, dari hasil studi Framingham, bila tekanan darah >160/95 mmHg risiko stroke meningkat antara 3,1 kali pada laki-laki dan 2,9 kali pada wanita (Junaidi, 2004). Peningkatan tekanan darah sistolik dan peningkatan tekanan pulsasi dapat menjadi prediktor yang baik untuk terjadinya stroke dibandingkan dengan peningkatan tekanan darah diastolik (Ennen, 2004).

Penyebab yang dapat dimodifikasi yang paling penting dari stroke adalah tekanan darah tinggi. Dari sepuluh orang yang meninggal karena stroke, empat bisa diselamatkan jika tekanan darah mereka teratur (World Health Association,2004).

2.Diabetes Mellitus

Diabetes Melitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan menyempitkan diameter pembuluh darah dan akan mengganggu kelancaran aliran darah ke otak, yang pada akhirnya akan menyebabkan infark sel-sel otak (Harsono, 2011). Kadar glukosa darah yang tinggi pada stroke akan memperbesar luasnya area infark karena terbentuknya asam laktat akibat metabolisme glukosa yang dilakukan secara anaerob yang merusak jaringan otak (Junaidi, 2004).

3. Penyakit Jantung

Penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dengan infark otot jantung, dan gangguan irama denyut jantung merupakan faktor risiko GPDO yang sangat potensial. Faktor risiko ini umumnya akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah ke otak karena jantung melepas gumpalan darah atau sel-sel jaringan yang telah mati ke dalam aliran darah. Peristiwa ini disebut emboli (Harsono, 2011).

Emboli dari jantung merupakan penyebab stroke sebesar 15-20%, berupa atrial fibrilasi, katub prostetik, stenosis mitral, endokarditis, mixoma atrial, infark miokard akut, prolaps katub mitral, kalsifikasi anulus mitralis, patent foramen ovale dan aneurisma septum atrial (Junaidi, 2004). Berdasarkan studi Framingham, 8 persen dari pria dan 11 persen dari wanita akan terserang stroke dalam 6 tahun setelah terserang infark miokard. Penderita jantung koroner juga memiliki risiko terserang stroke dua kali lebih besar dibandingkan populasi normal (Ennen, 2004).

4. Gangguan aliran darah otak sepintas

Suatu stroke mungkin didahului oleh serangan iskemik transient (TIA). TIA adalah serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskmia otak fokal yang cenderung membaik dalam 24 jam (Hartwig, 2014).

Pada umumnya bentuk - bentuknya adalah sebagai berikut: hemiparesis, disartria, kelumpuhan otot-otot mulut/pipi, kebutaan mendadak, hemiparesis, afasia. Makin sering seseorang mengalami gangguan aliran darah otak sepintas maka kemungkinan mengalami GPDO semakin besar (Harsono, 2011).

5.Hiperkolestrolemi

Meningginya kadar kolestrol dalam darah terutama low density lipoprotein (LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya aterosklerosis (menebalnya pembuluh darah yang kemudian diikuti oleh penurunan elastisitas pembuluh darah), dan koreksi terhadap dampak aterosklerotik tadi ternyata sangat menurunkan risiko terjadinya GPDO (Harsono. 2011). LDL yang teroksidasi oleh radikal bebas memacu terbentuknya ateroma pada dinding arteri pada proses aterosklerosis. Pada studi the Multi Risk Factor Intervention Trial (MRFIT) terhadap 350.977 orang pria, menyatakan bahwa risiko stroke iskemik fatal meningkat pada penderita dengan kadar kolestrol diatas 160 mg/dl atau >4,14 mmol/l (Junaidi, 2004).

Meningkatnya kadar homosistein juga sedang diteliti, karena diapatkan bahwa peningkatan ini merupakan faktor risiko untuk plak aterosklerotik aorta pada pasien stroke dan TIA (Hartwig, 2014).

6. Merokok

Merokok dapat meningkatkan konsentrasi fibrinogen yang dapat mempermudah terjadinya penebalan dinding pembuluh darah dan peningkatan viskositas darah (Harsono, 2011). Di antara mereka yang berusia di bawah 65 tahun, dua-perlima dari kematian akibat stroke terkait dengan merokok. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi lainnya termasuk diet yang tidak sehat, asupan garam yang tinggi, penyakit jantung yang mendasarinya, diabetes dan lipid darah tinggi (World Health Association, 2004).

2.1.4 Etiologi

Sekitar 80-85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada trombosis vaskular distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin terbentuk didalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus (Hartwig, 2014).

Oklusi vaskular hampir selalu disebabkan oleh trombus, yang terdiri dari trombosit, fibrin, sel eritrosit dan leukosit. Trombus yang lepas dan menyangkut di pembuluh darah lebih distal disebut embolus. Jejas pada sel endotelium dapat mempresipitasi pembentukan trombus di pembuluh darah. Turbulensi atau melambatnya aliran darah, gangguan pada jalur koagulasi atau trombolisis dan gangguan pada fungsi trombosit juga dapat memacu pembentukan trombus. Penyebab emboli serebri yang sering ialah gumpalan darah dari jantung, disebabkan oleh penyakit valvular atau endokarditis (Lumbantobing, 2004).

Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan stroke di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteria karotis interna (tempat arteria karotis komunis bercabang menjadi arteria karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya aterosklerosis. Aterosklerosis arteria serebri media atau anterior lebih jarang menjadi tempat pembentukan aterosklerosis (Hartwig, 2014)

Didapatkan 4 kemungkinan asal dari trombus yang menyumbat suatu pembuluh darah arteri : (Lumbantobing, 2004)

1. Dinding pembuluh darah di tempat oklusi (trombus)

2. Pada pembuluh darah proksimal (embolus dari arteri ke arteri)

3. Jantung (embolus jantung) atau

4. sistem vena (embolus transkadial)

2.1.5 Patofisiologi

Stroke iskemik terjadi karena adanya sumbatan atau hambatan aliran darah ke otak, yaitu apabila aliran darah ke otak kurang dari 20 ml per 100 gram otak per menit. Sumbatan tersebut disebabkan oleh trombosis atau emboli karena terbentuknya plak atau ateroma pada proses aterosklerosis (Junaidi, 2004).

Dalam bahasa yunani istilah aterosklerosis berarti penebalan tunika intima arteri (sclerosis, penebalan) dan penimbunan lipid (athere, pasta) yang mencirikan lesi yang khas.Penyakit ini terdiri atas lesi-lesi fokal yang dibatasi oleh arteri-arteri otot dan jaringan elastis yang berukuran besar dan sedang. Sering disertai endapan sekunder garam kalsium dan produk-produk darah (Brown, 2014).

Aterosklerosis digambarkan sebagai pembuluh darah yang kaku. Merupakan suatu proses inflamasi yang kronik yang dalam patofisiologinya melibatkan lipid, thrombosis, dinding vaskular dan sel-sel imun (Adi, 2014).

Awal terjadinya proses ateosklerosis dimulai dengan adanya luka pada sel endotel yang akan memicu komponen komponen yang terdapat didalam darah masuk ke tunika media vaskuler. Terbukanya fibrous kolagen subendotel akan menginduksi adhesi platelet dan agregasi leukosit atau platelet pada lesi endotelium. Agregasi platelet akan mensekresi beberapa substansi termasuk platelet derived growth factor (PDGF). PDGF menyebabkan migrasi sel dari tunika intima, yang lalu menstimulasi terjadinya proliferasi.Mediator kemotaktik, misal dari platelet, menarik monosit dari sirkulasi lalu menembus barier endotel dan masuk ke ruangan subendotel (Junaidi, 2004).

Berdasarkan ukuran dan konsentrasinya, molekul plasma dan partikel lipoprotein lain bisa melakukan ekstravasasi melalui endotel yang bocor dan masuk ke ruang subendotelial. LDL yang aterogenik akan tertahan dan berubah menjadi bersifat sitotoksik, pronflamasi, khemotaktik dan proaterogenik. Karena pengaruh aterogenesis dan stimuli inflamasi tersebut endotel menjadi aktif dan akan mengeluarkan sitokin. NO (Nitrogen monoksida) yang dihasilkan endotel menjadi berkurang sehingga fungsi dilatasi endotelpun akan berkurang, selain itu juga akan mengeluarkan sel sel adhesi dan mengkap monosit dan sel T. monosit akan berubah menjadi makrofag yang akan berubah menjadi sel busa dan kemudian berubah menjadi inti lemak yang mempunyai pelindung fibrosa yang mudah rapuh (Adi, 2014).

Sel busa ini merupakan komponen penting yang membentuk struktur masa plak. Plak yang terbentuk akan menjadi matang dan dapat terjadi ruptur yang akan menyebabkan emboli serta oklusi pada aliran darah, sehingga terjadi iskemia baik di pembuluh darah jantung maupun otak. Terjadinya oklusi aliran darah akan dilawan dengan meningkatkan tekanan udara, dan usaha paksa ini akan menyebabkan terjadinya turbulensi, dan ini menyebabkan luka pada endotel semakin parah dan oklusi akan semakin berat karena plak yang terbentuk semakin besar (Junaidi, 2004).

Emboli otak merupakan 5-15% dari penyebab stroke. Penyebab emboli otak yang sering ialah gumpalan darah dari jantung, disebabkan oleh penyakit valvular atau endokardial. Gumpalan darah sering dibentuk di katub (cuspc) yang rusak oleh demam reumatik, di dinding endokardium atrium kiri dan di ventrikel, endokardium yang rusak pada ventrikel kiri setelah infark miokard. Emboli yang datang dari jantung dapat pergi ke otak atau ke organ lain (Lumbantobing, 2004).

Ketika arteri tersumbat secara akut oleh trombus atau embolus, maka area SSP yang diperdarahi akan mengalami infark jika tidak ada perdarahan kolateral yang adekuat. Pusat wilayah otak yang mengalami pengurangan aliran darah disebut sebagai inti iskemik. Di daerah ini, aliran darah akan menjadi benar benar terhenti dan neuron akan mengalami kematian yang irreversible dalam beberapa menit. Daerah disekitar inti disebut penumbra, daerah tersebut mengalami penurunan suplai darah tetapi neuron masih dapat bertahan oleh karena adanya suplai pembuluh darah kolateral. Akan tetapi, apabila aliran darah didaerah penumbra tidak juga mengalami perbaikan, neuron tersebut pada akhirnya juga akan mengami kematian dan menjadi daerah infark iskemik. Terdapat bukti bahwa jendela waktu untuk timbulnya penumbra pada stroke bervariasi dari 12 sampai 24 jam (Minnerup et al.,2012; Giensberg, 2010; Hartwig, 2014).

Gumpalan darah merupakan penyebab paling sering dari emboli di otak.Bahan lainnya, seperti materi yang padat dan cair atau gas dapat menghambat aliran darah di arteri dan mengakibatkan anoksia di jaringan distal dari obstruksi. Disamping mengobstruksi, bahan asing tersebut dapat pula merupakan iritan, mengakibatkan iritasi dan mengakibatkan terjadinya vasospasme lokal atau difus pada jaringan arterial tersebut (Lumbantobing, 2004).

Tanpa pasokan darah yang memadai, sel-sel neuron kehilangan kemampuan untuk menghasilkan energi terutama adenosin trifosat(ATP). Apabila terjadi kekurangan energi ini, pompa natrium kalium sel berhenti berfungsi sehingga neuron membengkak. Otak akan merespon dengan dengan meningkatkan konsentrasi kalsium intrasel. Hal ini dapat menyebabkan proses eksitotoksisitas, yaitu sel-sel neuron melepaskan neurotransmitter eksitatorik glutamat dalam jumlah berlebihan yang akan merangsang aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekat ke suatu molekul di neuron lain (Hartwig, 2014).

Adanya peningkatan pelepasan glutamat pada saat iskemia akut ikut mempercepat terjadinya calcium overload. Kemudian reseptor yang menerima glutamat di sel otak neuron akan membuka saluran ion sehingga Na+ dan Ca++ masuk ke dalam sel secara berlebihan. Lalu dengan perantara Ca++ enzim degradatif yang tadinya tidak aktif kini menjadi aktif dan merusak DNA, protein, serta fosfolipid sel itu sendiri. Infuks kalsium yang berlebihan ini akan memproduksi radikal bebas dengan diaktifkannya phospoliphase A2. Selain itu, jumlah kalsium yang berlebihan didalam sel akan mengaktifasi mitokondria sehingga terjadi metabolisme yang tidak efisien oleh karena terjadinya stres oksidatif, diikuti dengan penghancuran ribosom yang menyebabkan sintesis protein menurun. Pada akhirnya lipid akan mengalami deposisi (Junaidi, 2004).

Pada sat yang bersamaan juga tejadi pengaktivan enzim nitrat oksida sintase (NOS), yang menyebabkan terbentuknya molekul gas, nitrat oksida (NO). Dalam jumlah berlebihan, NO dapat menyebabkan kerusakan dan kematian neuron (Hartwig, 2014)

Akibat penurunan Cerebral blood flow (CBF) regional daerah otak terisolasi dari jangkauan aliran darah, yang mengangkut oksigen dan glukosa yang sangat diperlukan untuk metabolisme oksidatif serebral. Jika CBF regional tersumbat secara parsial, disebut daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: (1) tekanan perfusi yang rendah, (2) PO2 turun, (3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerjasama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal. Pusat daerah iskemik tidak dapat diatasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Didaerah tersebut akan berkembang proses degenerasi yang irreversibel. Semua pembuluh darah di bagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehingga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel anoksik pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik cukup lama. Tetapi sel-sel sarah daerah iskemik itu tidak bisa bertahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan serabut saraf dan serabut mielinnya (edema serebri) merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritrosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan mengalami kematian (Marjono dan Sidharta, 2013).

Akibat obstruksi, di daerah hilir terjadi iskemia dan fungsi neuron dan jaringan lainnya, seperti dinding pembuluh darah, menjadi terganggu. Bila embolus kemudian bergeser atau aliran darah terbuka lagi, maka darah ini akan menemui pembuluh darah yang fungsinya sudah terganggu dan mungkin terjadi perdarahan (infark berdarah) (Lumbantobing, 2004).

Berikut ini adalah mekanisme singkat patofisiologi stroke iskemik akut : (Harsono, 2011)

2.1.6 Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Untuk mendiagnosis stroke, konsensus pengelolaan stroke di Indonesia, 1999, antara lain mengemukakan hal berikut : (Lumbantobing, 2004)

Diagnosis stroke ditegakkan berdasarkan temuan klinis

CT Scan tanpa kontras merupakan pemeriksaan baku emas untuk menentukan jenis patologi stroke, lokasi dan ekstensi lesi serta menyingkirkan lesi non vaskuler

Pungsi lumbal dapat dilakukan bila ada indikasi khusus

MRI dilakukan untuk menentukan lesi patologik stroke secara lebih tajam

Neurosonografi dilakukan untuk mendeteksi adanya stenosis pembuluh darah ekstrakranial dan intrakranial dalam membantu evaluasi diagnosti, etiologik, terapi dan prognostik

Tanda utama stroke atau cerebrovascular accident (CVA) adalah munculnya secara mendadak satu atau lebih defisit neurologik fokal. Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan atau tungkai, terutama di salah satu sisi tubuh; gangguan pengelihatan seperti pengelihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau dua mata; bingung mendadak; tersandung selagi berjalan, pusing bergoyang, hilangnya keseimbangan dan koordinasi; dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas (Hartwig, 2014).

Tanda dan gejala infark tergantung dari area vaskular yang terkena :

1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior, gajala biasanya unilateral)

Lokasi tersering lesi ini adalah bifurkasio interna dan eksterna.Dapat terjadi kebutaan satu mata (episodik dan disebut amaurosis fugaks) akibat insufisiensi retinalis. Selain itu juga terjadi gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteri serebri media. Lesi dapat terjadi di daerah arteri anterior dan media atau arteri serebri media, dengan gejala mula mula timbul di ekstremitas atas (misalnya, tangan lemah dan baal) dan mungkin mengenai wajah (kelumpuhan tipe supranukleus). Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara-motorik broca (Hartwig, 2014).

2. Arteri serebri media (tersering)

Infark yang terjadi pada arteri serebri media dibagi lagi menurut percabangan yang terkena, yaitu sebagai berikut : (Junaidi, 2004)

Infark arteri parietal anterior kiri dengan gangguan hemisensoris kanan

Infark arteri temporooccipital atau temporal kiri : afasia wernickes dan atau hemianospia kanan

Infark arteri presentral kiri : afasia motor transcortical dengan paresis anggota gerak atas kanan, kesulitan pergantian secara mulus dari satu anggota gerak ke anggota gerak lain (sindrom premotor lurias)

Infark arteri sulkus sentralis kiri (disartria,afasia broca dengan sindroma opercular motor)

Infark cabang temporal kanan : kebingungan akut menetap dengan gangguan lapang pandang kiri

Gejala yang terlihat pada infark serebri media antara lain gangguan rasa di daerah muka/wajah sesisi atau disertai gangguan rasa di lengan dan tungkai sesisi; kelumpuhan pada lengan atau tungkai yang bersifat ringan sampai berat (hemiparesis/hemiplegi); gangguan pengelihatan dapat berupa kebutaan satu sisi atau seluruh lapangan pandang (hemianopsia), kesadaran menurun; tidak mengenal orang yang sebelumnya dikenalnya (prosopragnosia; mulut perot; tidak dapat memdedakan antara sisi kiri dan kanan (Harsono, 2011). Selain itu juga dapat terjadi gejala afasia global, yaitu apabila hemisfer dominan terkena atau gangguan semua fungsi yang berkaitan dengan berbicara (Hartwig, 2014).

3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)

Pada infark di daerah arteri serebri anterior, terjadi kelumpuhan salah satu tungkai dan gangguan saraf perasa, serta gangguan dalam mengungkapkan maksud Selain itu dapat terjadi defisit sensorik kontralateral, demensia, gerakan menggenggam dan reflek patologik (Harsono, 2011; Harwig, 2014).

Infark arteri serebri anterior dihubungkan dengan hemiparesis kruris, mutisme saat onset, afasia motor transcortical, gangguan mengatasi konflik, perubahan mood, inkontinensia, grasp reflek dan apraksia unilateral kiri. Namun demikian adanya hemiparesis, demensia sebagian atau bila ditemukan kebingungan yang menetap sering diduga sebagai infark arteri serebri anterior (Junaidi, 2004)

4. Sistem vertebrobsiler (sirkulasi posterior : manifestasi biasanya bilateral)

Apabila terjadi infark pada sistem vertebrobasiler dapat terjadi manifestasi kelumpuhan di satu sampai empat ekstremitas. Refleks tendon meningkat, ataksia, tanda babinski bilateral dan gejala serebelum seperti tremor intention dan vertigo dapat terjadi. Rasa baal di wajah, tinitus, dan gejala gejala seperti pusing, stupor, koma dan gangguan daya ingat dapat ditemui. Dapat ditemukan tanda-tanda lesi batang otak (misalnya, vertigo, diplopia, perubahan kesadaran). Manifestasi lain yang dapat terjadi antara lain adalah gangguan gerak bola mata, hingga menjadi diplopia dan membuat jalan menjadi sempoyongan, gangguan menelan (disfagia) serta tuli mendadak (Gisnberg, 2005; Harsono, 2011; Hartwig 2014).

5. Arteri serebri posterior (di lobus otak tengah atau talamus)

Cabang superfisial arteri serebri posterior memperdarahi lobus oksipitalis dan lobus media serta bagian inferior lobus temporalis. Gambaran klinis infark arteri ini adalah hemianopsia homonim, disfungsi kompleks dengan aleksia, akromatopia dan gangguan memori visual (Junaidi, 2004). Dapat terjadi kebutaan seluruh lapang padangan satu sisi atau separuh lapang pandangan pada kedua mata, bila bilateral disebut cortical blindness, rasa nyeri spontan atau hilangnya rasa nyeri dan rasa getar pada separuh tubuh serta kehilangan kemampuan mengenal warna (Hartwig, 2014).

6. Infark lakuner

Infark lakuner terjadi karena pembuluh halus hipertensif dan menyebabkan sindroma stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadang lebih lama. Infark terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialin lipid sakah satu cabang penetrans sirkulus wilisi, arteria serebri media, dan arteria vertebralis dan basilaris. Cabang tersebut rentan terhadap trombosis dan penyakit aterosklerotik atau akibat penebalan lipohialinotik (Hartwig, 2014).

Penyakit intrinsik (lipohialinosis) pada arteri kecil profunda menyebabkan sindrom yang karakteristik, misalnya stroke motorik murni atau hemiparesis ataksik. Infark lakuner multipel dapat menyebabkan defisit neurologis multipel termasuk gangguan kognitif (demensia multi infark) dan gangguan pola berjalan yang karakteristik seperti langkah-langkah kecil dan kesulitan untuk mulai berjalan apraksia pola berjalan (Gisnberg, 2005).

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum stroke iskemik akut

Mengenai penatalaksanaan umum stroke, konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia, 1999, mengemukakan hal berikut : (Lumbantobing, 2004)

Bebaskan jalan napas dan usahakan ventilasi adekuat, bila perlu berikan oksigen 1-2 L/menit sampai ada hasil gas darah

Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermitten

Penatalaksanaan tekanan darah dilakukan secara khusus

Hiperglikemia atau hipoglikemia harus dikoreksi

Suhu tubuh harus dipertahankan normal

Nutrisi per oral hanya boleh diberikan setelah hasi; tes fungsi menelan baik, bila terdapat gangguan menelan atau penderita dengan kesadaran menurun dianjurkan melalui pipa nasogastrik

Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan. Pemberian cairan intravema berupa cairan kristaloid atau koloid, hindari yang mengandung glukosa murni atau hipotonik

Bila ada dugaan tromnbosis vena dalam diberikan heparin/heparinoid dosis rendah subkutan, bila tidak ada kontraindikasi

Penatalaksanaan khusus stroke iskemik akut

Prinsip penanganan stroke iskemik adalah :

Membatasi daerah yang rusak/infark

Mengatasi penyakit dasarnya

Meningkatkan aliran darah otak

Mencegah terjadinya edema otak dengan memberikan zat hiperosmolar

Memperbaiki aliran darah di daerah iskemik

Sasaran terapi khusus stroke iskemik akut adalah untuk menyelamatkan daerah yang iskemik (penumbra) dengan memprbaiki mikrosirkulasi dan melakukan usaha untuk melindungi saraf sehingga terhindar dari kerusakan permanen atau infark (Junaidi, 2004).Stroke membutuhkan penanganan segera. Ada 2 kesempatan yang harus dimanfaatkan terkait waktu, yaitu : (Lumbantobing, 2004)

a. melakukan reperfusi

Reperfusi adalah mengembalikan aliran darah ke otak secara adekuat sehingga perfusi meningkat, obat-obatan yang dapat diberikan :

- Trombolitik agent :Penggunaan recombinant tissue plasminogen activator (RtPA) dianggap cukup bermanfaat dan harus dilakukan dengan hati - hati. Pasien yang diobati dalam kurun waktu 90 menit mendapat hasil yang paling baik.

- Obat antiagregasi trombosit (inhibitor platelet) : pemberian aspirin dengan dosis 4x325 mg/hari, tiklopidin 2x250 mg/hari atau clopidrogel dosis tunggal 75 mg/hari dapat mecegah perlekatan dengan trombosi, dengan demikian mecegah terbentuknya trombus

- Antikoagulan :Pemberian heparin, Low Molecular Wight Heparin (LMWH) atau coumarin dapat dipertimbangan untuk reperfusi dan prevensi stroke berulang dengan saraf khusus.Obat ini dikontradiksikan pada pasien dengan siatesa perdarahan, tukak peptik aktif, uremia atau penyakit hati berat.

b. Neuroproteksi (obat yang melindungi otak)

Daerah yang mengitari daerah yang sudah infark merupakan target daripada obat neuroprotektif. Beberapa neuroprotektif yang sudah dikenali antara lain: (Lumbantobing, 2004; Junaidi, 2004)

- Antagonis kalsium : Nimodipin

- Antagonis glutamat : Dextrophan, Aptigenal-Hcl, Magnesium

- Antagonis AMPA (a-Amino 3-Hydroxyl-5-Methyl-4-Inoxazole Propionate

- Fosfenitoin

- Membran stabilizer

- Anti serotonin

- Inhibitor trombosit

- Cerebrolysin (Caspade inhibitor)

- NOS inhibitors (Nitric Oxide Synthase Inhibitors)

2.1.8 Komplikasi dan prognosis

Dari sebuah studi mengenai komplikasi medis, lama rawatan, dan mortalitas pada pasien stroke, didapatkan 25,2% pasien mengalami setidaknya 1 komplikasi medis selama masa rawatan. Komplikasi yang paling sering adalah UTI (Urinary Tract Infections) sebanyak 15,4% pasien, penumonia (9,0%) dan konstipasi (6,8%) (Ingeman et al., 2011).

Risiko stroke dalam lima tahun pertama setelah TIA adalah 7% pertahun, sedangkan risiko terbesar adalah pada tahun pertama. Bersamaan dengan peningkatan risiko infark miokard setelah TIA, maka risiko gabungan stroke, infark miokard atau penyakit vskular berat lainnya adalah 9% per tahun. Hingga 15% pasien dengan stroke pertama kali memiliki riwayat TIA (Gisnberg, 2005).

Secara keseluruhan, mortalitas pada 30 hari pertama adalah 8,9% dan dalam 1 tahun adalah 21%. Dari keseluruhan pasien yang meninggal pada 30 hari pertama, 35% mengalami paling sedikit 1 komplikasi di rumah sakit (Ingemanet al., 2011). Mengingat statistik suram dan tingginya biaya pengobatan stroke, prioritas tinggi harus diberikan kepada strategi pencegahan (World Health Association, 2004).

2.1.9 Pencegahan

Terdapat dua metode pendekatan pada pencegahan stroke, yaitu pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah mencegah dan mengobati faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Sebagai contoh adalah memberikan perhatian pada pemantauan dan terapi hipertensi serta penatalaksanaan diabetes dengan baik. Hal yang dapat dilakukan yaitu mengurangi perilaku berisiko bagi seluruh populasi serta meminimalisir insiden stroke pada orang orang yang berisiko tingggi. Pendekatan kedua adalah pendekatan primer, dimana pencegahan ini bertujuan untuk mencegah kekambuhan stroke (Hartwig, 2004).

2.1.10 Derajat Stroke

Keparahan stroke diukur secara rutin, dengan menggunakan skala nilai kerusakan yang terjadi pada stroke akut (Bushnell et al., 2001). The National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) dapat digunakan sebagai alat penilaian stroke secara klinis untuk mengevaluasi dan mendokumentasikan Status neurologis pada pasien stroke. Skala stroke berlaku untuk memprediksi ukuran lesi dan dapat berfungsi sebagai ukuran tingkat keparahan stroke. The NIHSS telah terbukti menjadi prediktor dari kedua hasil jangka pendek dan jangka panjang pasien stroke (National Stroke Association, 2014). The NIHSS score sangat memprediksi kemungkinan pemulihan pasien setelah stroke. Skor 16 perkiraan probabilitas tinggi kematian atau cacat berat sedangkan skor 6 perkiraan pemulihan yang baik (Adams et al., 1999).

2.1.11 Lama Rawatan Stroke Iskemik Akut

Lama rawatan didefinisikan sebagai waktu dari tanggal masuk sampai dengan tanggal keluar. Tanggal Penerimaan didefinisikan sebagai tanggal pasien dirawat di rumah sakit dengan stroke, atau tanggal terjadinya stroke bila pasien sudah dirawat di rumah sakit dengan diagnosis lain. Tanggal keluar didefinisikan secara berbeda dalam dua studi di dua negara berbeda: di bekas negara Copenhage Hospital Corporation, tanggal tersebut didefinisikan sebagai tanggal tanggal keluar dari unit stroke. Di negara bekas Aarhus, Lama rawatan juga termasuk transfer ke bangsal rehabilitasi, dan karena itu meliputi seluruh rawat inap (Ingeman et al., 2011).

Menurut sebuah studi, lama rawatan pada pasien stroke iskemik akut berhubungan dengan derajat stroke, subtipe dan faktor risiko. Oxfordshide Community Stroke Project (OCSP) mengklasifikasikan subtipe stroke berdasarkan lokasi vaskuler, yang sangat berkaitan dengan faktor risiko, outcome dan rekurensi. Lama rawatan pada stroke iskemik yang pertama kali terjadi memiliki lama rawatan yang lebih panjang dibandingkan dengan yang sudah pernah mendapat stroke sebelumnya (16 vs 12,5). Faktor risiko lain yang mempengaruhi stroke iskemik adalah usia lebih dari 65 tahun, diabetes melitus, atrial fibrilasi, subtipe stroke dan terapi yang diterima. Menghindari komplikasi setelah terserang stroke iskemik akan meningkatkan kesehatan pasien dan mengurangi lama rawatan (Yuang et al, 2013).

2.2 Albumin

Albumin berasal dari bahasa Latin, yaitu albus yang berarti putih. Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia. Berat molekul albumin 69.000 dan struktur primernya terdiri dari 610 asam amino. Karena jumlahnya paling banyak dan besar molekulnya tergolong osmotic substance (75-80% efek osmotik plasma) yang ikut mengatur distribusi cairan tubuh (Hardjasasmita, 2009). Albumin manusia yang matur terdiri atas satu rantai polipeptida yang tersusun dari 585 asam amino dan mengandung 17 buah ikatan disulfida (Rand & Murray, 2009).

Kadar albumin serum merupakan salah satu parameter yang mencerminkan status kesehatan umum seseorang. Albumin adalah protein utama plasma manusia yang meliputi sekitar 60% dari total protein plasma. Sekitar 40% dari albumin terdapat pada plasma dan sisanya terdapat pada ruang ekstraseluler (Singh et al., 2012). Kira kira 5% albumin meninggalkan darah setiap jam, dan dikembalikan ke dalam limfe melalui ductus thoraksikus (Hardjasasmita, 2009).

Albumin adalah protein yang diproduksi oleh hati. Albumin serum dapat menunjukkan berapa kadar albumin di dalam darah (American kidney lung, 2010; Singh, P. et al, 2012). Hati menghasilkan sekitar 12 g albumin per hari, yang mewakili sekitar 25% dari total sintesis protein di hati dan setengahnya akan di sekresikan. Albumin pada awalnya disintesis sebagain preproprotein. Sinyal peptida dipindahkan ketika melewati bagian dalam sisternae dari retikulum endoplasma kasar dan hexapeptida pada ujung terminal dari amino yang dihasilkan itu dipecah lebih lanjut di sepanjang jalur sekresi (Rand & Murray, 2003; Singh et al., 2012). Coloid Osmotic Pressure (COP) dalam hati dianggap sebagai faktor yang mengatur sintesis albumin dan dapat ditekan oleh pasokan substansi eksogen yang mempengaruhi COP baik koloid alami maupun sintetik (Boldt, 2010).

Albumin merupakan koloid alami yang juga dapat digunakan dalam pengaturan hipovolemia. Albumin memiliki berat molekul 66.500 dalton. Dalam studi Saline verses Albumin Fluid Evaluation (SAFE), albumin serum manusia dinilai sama efektifnya dengan larutan saline normal yang digunakan untuk ekspansi volume. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa albumin serum manusia meningkatkan angka kematian pada pasien perawatan di ruang ICU dengan sepsis berat. Hal ini menerangkan bahwa penggunaan albumin serum dikaitkan dengan peningkatan insiden disfungsi ginjal (peningkatan kadar serum kreatinin dan perlu untuk dialisis sampai dua kali lipat) (Blackburn et al., 2014).

Albumin memiliki sejumlah fungsi. Pertama, mengangkut molekul-molekul kecil melewati plasma dan cairan sel. Fungsi ini erat kaitannya dengan bahan metabolismeasam lemak bebas dan bilirubindan berbagai macam obat yang kurang larut dalam air tetapi harus diangkat melalui darah dari satu organ ke organ lainnya agar dapat dimetabolisme atau diekskresi. Fungsi kedua yakni memberi tekanan osmotik di dalam kapiler (Hartono & Andry, 2006).

Konsentrasi serum albumin normal pada orang dewasa yang sehat adalah sekitar 35 sampai 50 g/L. Berkurangnya kadar albumin yang beredar di sirkulasi dinamakan hipoalbuminemia dan umumnya terjadi pada pasien yang menderita sakit parah. Misalnya, frekuensi hipoalbuminemia didefinisikan sebagai konsentrasi serum albumin yang kurang dari 34 g/L, yaitu 21% pada saat masuk rumah sakit pada pasien dewasa. Waktu paruh rata-rata albumin adalah 19 hari (Vandoorne et al., 2010). Waktu paruh albumin berbanding terbalik dengan konsentrasi plasma albumin, penurunan kandungan abumin menyebabkan peningkatan waktu paruh, sedangkan peningkatan konsentrasi albumin menyebabkan tingkat metabolisme meningkat hingga 50% (Boldt, 2010).

Beberapa faktor yang mempengaruhi sintesis albumin, terutama yang berhubungan dengan menurunnya produksinya biasanya mengikuti beberapa penyakit seperti gagal hati, peradangan atau malnutrisi kronis. Karena hati merupakan lokasi primer untuk sintesis albumin, apabila terjadi kegagalan hati yang menyebabkan hilangnya lebih dari 75% dari fungsi hepar maka akan menyebabkan hipoalbuminemia. Pasien dengan komponen inflamasi akibat penyakit hati yang diderita juga akan menyebabkan menurunnya produksi albumin, karena sifatnya sebagai protein pada fase akut. Pada pasien dengan sirosis dan hipertensi portal dengan asites, sintesis albumin mungkin tidak langsung disekresi ke sirkulasi sistemik dan karena itu kadar albumin serum tidak dapat diukur. Sebaliknya, sebagian besar albumin yang baru disintesis tersebut akan keluar dari kompartemen intravaskuler pada cairan asites. Dari hipotesis peneliti, protein meninggalkan parenkim hati dan memasuki cairan peritoneal melalui eksudasi pada kapsul hati atau melalui limfatik (Singh et al., 2012).

2.3 Hubungan albumin serum dengan stroke iskemik akut

Protein dan albumin serum yang rendah merupakan penanda kekurangan gizi dan juga berkaitan dengan gangguan status fungsional, hasil pengobatan yang buruk dan tingginya angka mortalitas. Namun, perannya sebagai penanda kekurangan gizi pada stroke masih kontroversial karena stroke merupakan penyakit kritis, yang memungkinkan terjadinya peradangan, sehingga dapat meningkatkan pengeluaran energi dan katabolisme otot yang dapat menurunkan tingkat sirkulasi protein. Oleh karena itu, sering tidak jelas apakah tingkat protein yang rendah pada pasien dengan stroke terjadi akibat kekurangan gizi atau peradangan. Namun pada pasien dengan stroke akut, konsentrasi albumin serum yang rendah diperkirakan berhubungan dengan tingginya kematian pada masa rawatan (Bouziana & Tziomalos, 2011).

Albumin memiliki berbagai efek intravaskular. Tidak hanya mengurangi kadar hematrokit tetapi juga mempengaruhi agregasi eritrosit dengan cara meningkatkan kekentalan dan menurunkan sendimentasi eritrosit pada saat tidak terdapatnya aliran darah. Albumin juga merupakan sebuah antioksidan mayor sebagai pertahanan terhadap agen agen toksik (Dziezic et al., 2004). Albumin merupakan protein plasma yang memiliki efek stabilisasi terhadap endotel dan membantu mempertahankan permeabilitas vaskuler terhadap makromolekul. Hipoalbumin dapat menyebabkan disfungsi sistem imun karena merusak aktivasi dan produksi dari komplemen serta menurunkan fungsi sel-sel imun (Jin et al., 2004).

Setelah menjalani rawat inap, memburuknya atau peningkatan hipoalbuminemia sama - sama sering ditemui secara seimbang. Hal ini dapat turut serta meningkatkan kemungkinan hasil yang buruk seperti mortalitas, morbiditas, dan berkepanjangan unit perawatan intensif (ICU) (Vincent et al., 2003).

Beberapa studi menemukan bahwa kadar albumin serum yang rendah berhubungan dengan beberapa variabel, seperti malnutrisi, asupan nutrisi yang kurang, peningkatan kemungkinan biaya perawatan dan meningkatkan angka mortalitas (Martineau et al., 2005).

Dalam sebuah studi terhadap hewan, menunjukan bahwa albumin plasma dalam dosis tinggi dapat menjadi neuroprotektor yang menjanjikan terhadap iskemia cerebral fokal, iskemia cerebral global dan trauma kepala. Pada iskemia fokal, albumin plasma mengurangi dua-pertiga dari total volume infark dan mengurangi tiga-perempat edema otak atau lebih bila digunakan sesuai jendela terapi dengan keberhasilan sampai empat jam, memperbaiki edema otak, meningkatkan aliran darah ke daerah otak yang mengalami krisis perfusi, meningkatkan perfusi mikrovaskuler, mengurangi adhesi elemen darah pasca iskemik dan membantu mengangkut asam lemak bebas yang penting setelah iskemia berakhir (Ginsberg, 2010; Babu et al., 2013). Komponen neuroprotektif albumin serum pada stroke iskemik juga terletak pada efek yang berlawanan daripada stagnansi, trombosis, dan adhesi leukosit dengan mikrosirkulasi post kapiler pada awal masa reperfusi (Dziedzic et al., 2004).

Penelitian lain menyebutkan bahwa, terapi dengan albumin serum dapat meningkatkan fungsi saraf dan sangat nyata menurunkan volume dari infark serebral dan mengeleminasi edema otak pada percobaan hewan dengan stroke iskemik akut ketika diberikan dosis 0,63 atau 1,25 g/kg. Dosis tersebut diterima secara potensial dapat diaplikasikan pada pasien secara klinis. Pemberian albumin serum dengan dosis sesuai jendela terapi sangat efektif walaupun pada 4 jam setelah serangan stroke. Iskemia fokal menginduksi fungsi sawar darah otak sehingga albumin dapat masuk ke dalam parenkim otak, dimana albumin tersebut diambil oleh neuron kortikal dengan morfologi normal, sehingga di perkirakan albumin melindungi neuron-neuron tersebut dari kerusakan akibat iskemia (Belayev et al.,2011).

2.4 Kerangka Teori

Deskripsi

Pada stroke iskemik akut terjadi hipoperfusi serebral akibat aliran darah menuju otak yang berkurang atau berhenti. Akibatnya oksigen dan glukosa yang seharusnya didistribusikan ke sel-sel otak menjadi berkurang atau bahkan tidak ada. Hal ini memicu terjadinya metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat. Selain juga terjadi berkurangnya pembentukan ATP, sehingga mengaktifkan pompa Na/K ATPase dan terjadi influks kalsium yang berlebihan ke dalam sel neuron. Peningkatan kadar kalsium dan laktat akan menyebabkan terjadi edema sitotoksik. Edema tersebut menstimulasi produksi glutamat yang berlebihan. Semakin banyak produksi glutamat juga ikut serta memperbanyak infuks kalsium dan memperparah edema. Pada saat bersamaan juga ikut diaktifkan enzim Nitrat Oksida Sintase (NOS) yang memproduksi Nitrit Oksida (NO) dan terjadilah kerusakan sel ireversibel dan nekrosis sel. Ketika edema sitotoksik terjadi, aktivitas lipase meningkat dan hal ini akan turut serta menyebabkan kerusakan membran sel dan meningkatkan proses inflamasi sehingga terjadi kerusakan sel. Pada daerah sekitarnya, masih dapat terjadi perbaikan fungsi bila segera terjadi reperfusi. Disinilah peran albumin serum sebagai neuroprotektor yang menghambat terjadinya kerusakan sel. Semakin banyak daerah yang mengalami kerusakan, semakin berat derajat stroke. Derajat stroke juga berkorelasi dengan adanya komplikasi penyerta. Hal ini akan semakin menambah panjang lama rawatan.

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Variabel bebasVariabel terikat

Seluruh variabel akan diteliti

3.2 Hipotesis penelitian

Berdasarkan landasan teori, maka hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara kadar albumin serum dengan lama rawatan pasien stroke iskemik akut di RSUP Dr. M Djamil Padang

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik, dengan desain studi potong lintang (Crossectional study).

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di bangsal penyakit saraf Rumah Sakit dr. M Jamil Padang selama enam bulan pada bulan Maret sampai September 2015

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh pasien stroke iskemik akut yang dirawat inap di bangsal penyakit saraf Rumah Sakit Dr M Jamil Padang

Sampel adalah seluruh populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang dihitung berdasarkan rumus sampel

4.3.1 Kriteria Sampel

4.3.1.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien yang didiagnosis stroke iskemik akut dalam 24 jam berdasarkan penilaian dari dokter spesialis saraf

2. Pasien yang menjalani rawat inap di bangsal penyakit saraf Rumah Sakit Dr M Djamil Padang dan tidak pulang sebelum mendapat persetujuan dokter

3. Pasien yang setuju untuk ikut serta dalam penelitian

4.3.1.2Kriteria eksklusi

1. Pasien dengan data rekam medis tidak lengkap

2. Pasien yang meninggal pada saat penelitian dilakukan

3. Pasien yang meminta untuk dipulangkan secara paksa oleh karena berbagai sebab tertentu selain medis

4. Pasien yang memiliki penyakit infeksi sebelum dirawat di bangsal penyakit saraf oleh karena stroke

4.3.2 Besar Sampel

Pasien stroke iskemik akut yang dirawat inap di bangsal Neuro Rumah Sakit Dr M Jamil Padang. Sampel diambil semua populasi yang memenuhi kriterian inklusi dan ekslusi sampai memenuhi besar sampel. Sampel dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

n = +3 = + 3 = +3 = 43

n: Jumlah Sampel

Z: Kesalahan I = 5% (1,64)

Z: Kesalahan II = 10% (1,28)

r: Kekuatan korelasi=0.43 (Dziedzic et al., 2004)

4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

4.4.1 Variabel Penelitian

Variabel bebas: Kadar albumin serum

Variabel terkontrol: Lama rawatan pasien stroke iskemik akut

Variabel perancu: Usia, komplikasi dan derajat stroke

4.4.2 Definisi Operasional

1. Pasien stroke iskemik akut adalah pasien yang mengalami sumbatan aliran darah menuju otak. Pasien didiagnosis stroke iskemik oleh dokter ahli saraf RSUP Dr Jamil Padang.

Cara ukur: Observasi rekam medis

Hasil ukur: Pasien stroke iskemik akut

Skala ukur: Nominal

2. Albumin Serum adalah protein plasma yang dibentuk di hepar, sekitar 60% dari total plasma. Kadar albumin serum yang diambil dari penelitian ini adalah nilai albumin yang didapatkan pada saat pasien pertama kali didiagnosis menderita stroke iskemik akut dan dirawat di bangsal penyakit saraf Rumah Sakit Dr M Djamil Padang. Kadar albumin serum normal adalah 3,5 - 5,5 g/dl. Hypoalbuminemia dikaterorikan jika pasien memiliki kadar albumin serum