26
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Alami 2.1.1 Definisi dan fungsi terumbu karang Terumbu (reef) terbentuk dari endapan-endapan massif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang (filum Scnedaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporia Scleractinia), alga berkapur dan organism-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1986). Di dunia terdapat dua kelompok karang yaitu karang hermafitik dan karang ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermafitik di dalam menghasilkan terumbu (reef). Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermafitik. Sel-sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Selanjutnya distribusi karang hermafitik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermafitik tersebar di seluruh dunia. Itulah yang menyebabkan bahwa terumbu karang (coral reef) hanya ditemukan di perairan laut tropis (Dahuri, 2003). Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis. Ekosistem ini mempunyai produktivitas organic yang sangat tinggi. Demikian pula keanekaragaman biota yang ada di dalamnya. Komponen biota terpenting di suatu terumbu karang ialah hewan karang batu (stony coral), hewan yang tergolong Scleractinia yang kerangkanya terbuat dari bahan kapur (Nontji, 1987). Nybakken (1986) yang diacu dalam Dahuri (2003) mengatakan bahwa ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Sebagai contoh, zooxanthellae dalam jaringan karang dapat mencegah terjadinya kehilangan nutrient. Setiap nutrien yang dihasilkan oleh karang sebagai hasil metabolisme dapat digunakan langsung oleh tumbuhan tanpa mengedarkannya terlebih dahulu ke dalam perairan.

2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · beberapa parameter fisika (Dahuri, 2003; ... Pembuatan terumbu buatan didasari oleh teori yang mengatakan jenis ikan-ikan ... beton

Embed Size (px)

Citation preview

���

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang Alami

2.1.1 Definisi dan fungsi terumbu karang

Terumbu (reef) terbentuk dari endapan-endapan massif terutama kalsium

karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang (filum Scnedaria, kelas Anthozoa, ordo

Madreporia Scleractinia), alga berkapur dan organism-organisme lain yang

mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1986).

Di dunia terdapat dua kelompok karang yaitu karang hermafitik dan karang

ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang

hermafitik di dalam menghasilkan terumbu (reef). Kemampuan menghasilkan

terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam

jaringan karang hermafitik. Sel-sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae.

Selanjutnya distribusi karang hermafitik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan

karang ahermafitik tersebar di seluruh dunia. Itulah yang menyebabkan bahwa

terumbu karang (coral reef) hanya ditemukan di perairan laut tropis (Dahuri, 2003).

Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah

tropis. Ekosistem ini mempunyai produktivitas organic yang sangat tinggi. Demikian

pula keanekaragaman biota yang ada di dalamnya. Komponen biota terpenting di

suatu terumbu karang ialah hewan karang batu (stony coral), hewan yang tergolong

Scleractinia yang kerangkanya terbuat dari bahan kapur (Nontji, 1987).

Nybakken (1986) yang diacu dalam Dahuri (2003) mengatakan bahwa

ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini

disebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem

dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Sebagai

contoh, zooxanthellae dalam jaringan karang dapat mencegah terjadinya kehilangan

nutrient. Setiap nutrien yang dihasilkan oleh karang sebagai hasil metabolisme dapat

digunakan langsung oleh tumbuhan tanpa mengedarkannya terlebih dahulu ke dalam

perairan.

���

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap

gangguan akibat kegiatan manusia, dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama.

Berbagai pendapat menyatakan hal yang sebaliknya, bahwa ekosistem terumbu

karang merupakan ekosistem yang dinamis, tidak mapan, dan mampu memperbaiki

dirinya sendiri dari gangguan alami. Kasus yang terjadi di Pulau Banda, Maluku,

menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang mampu memperbaiki dirinya dalam

waktu relatif cepat jika parameter-parameter lingkungan utama bagi pertumbuhannya

sangat mendukung, misalnya tingkat kecerahan yang tinggi dan tidak banyak run-off

polutan dan sedimen dari daratan (Dahuri, 2003).

Adapun fungsi terumbu karang (Wibisono, 2005) antara lain :

1) Sebagai tempat berteduh (shelter) dan tempat mencari makan bagi sebagian

biota laut;

2) Sebagai penahan erosi pantai karena deburan ombak;

3) Sebagai cadangan sumber daya alam (natural stock) untuk berbagai jenis

biota yang bernilai ekonomis penting;

4) Sebagai wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kegiatan

wisata alam bahari yang bisa menghasilkan devisa;

5) Sebagai sarana pendidikan yang dapat menumbuh kembangkan rasa cinta laut.

Mengingat hal tersebut diatas, maka jelas bahwa kawasan terumbu karang

mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Transfer energi dari hutan

mangrove dalam hal ini sangat menentukan produktivitas terumbu. Oleh karena itu

wajar bila terumbu karang perlu mendapat perhatian dari berbagai sektor kegiatan

secara terpadu dan terkoordinasi.

2.1.2 Parameter lingkungan utama

Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari

beberapa parameter fisika (Dahuri, 2003; Nontji, 1987;Wibisono, 2005), yaitu :

1) Kecerahan atau cahaya

Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh

dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang

���

zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju

fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang

untuk membentu terumbu (CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu

karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau

kedalaman maksimum membentuk terumbu karang adalah 40 meter. Lebih dari

itu cahaya sudah terlampau lemah (Dahuri, 2003; Nontji, 1987).

2) Suhu

Suhu yang dibutuhkan untuk pembentukan terumbu karang secara optimal pada

kisaran suhu perairan laut rata-rata antara 25-300 C (Nontji, 1987). Namun suhu

di luar kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies tertentu dari jenis

karang hermafitik untuk dapat berkembang dengan baik. Karang hermafitik

dapat bertahan pada suhu di bawah 200C selama beberapa waktu, dan

mentolerir suhu sampai 360C dalam waktu singkat (Dahuri, 2003). Suhu

mempunyai peranan penting dalam membatasi sebaran terumbu karang, oleh

karena itu terumbu karang tidak ditemui di daerah dingin. Berdasarkan hasil

penelitian laboratorium ternyata hewan koral mengalami bleaching pada suhu

320C secara terus menerus. Selain itu bleaching juga bisa terjadi akibat

pencemaran, peningkatan turbiditas, penurunan salinitas (Wibisono, 2005).

3) Salinitas

Banyak spesies karang peka terhadap perubahan salinitas yang besar. Hewan

karang mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 27-40����. Adanya aliran

air tawar akan menyebabkan kematian. Itulah sebabnya di pantai timur

Sumatra, pantai selatan Kalimantan dan pantai selatan Irian Jaya di mana

banyak sungai-sungai besar bermuara, jarang dijumpai terumbu karang (Nontji,

1987).

4) Sirkulasi arus dan sedimentasi

Dahuri (2003) mengatakan bahwa arus diperlukan dalam proses pertumbuhan

karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga

berperan dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan

menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkulasi arus

���

sangat berperan penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air

berperan dalam proses sedimentasi. Sedimentasi dari pertikel lumpur padat

yang dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat

menutupi permukaan terumbu karang, sehingga tidak hanya berdampak negatif

terhadap karang tetapi juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan

habitat tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi

polip sehingga respirasi organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh

zooxanthellae akan terganggu.

2.1.3 Penyebaran

Terumbu karang (coral reef) merupakan komunitas organisme yang hidup di

dasar laut dangkal daerah tropis. Binatang karang (coral reef) adalah sebagai individu

organisme atau komponen komunitas, sedangkan terumbu karang (coral reef) adalah

sebagai suatu ekosistem yang didalamnya termasuk organisme-organisme karang.

Terdapat dua tipe karang yaitu: karang yang membentuk bangunan kapur atau

hermatypic corals, dan karang yang tidak dapat membentuk bangunan kapur atau

ahermatypic corals (Supriharyono, 2000).

Menurut Supriharyono (2000), secara umum jumlah spesies karang (reef-

building corals) di Indo-Pasifik cenderung lebih banyak dibandingkan dengan di

Atlantik. Keanekaragaman spesies karang terbesar di Indo-Pasifik terdapat di daerah

Melanesia dan Asia Tenggara, dan yang paling tinggi tercatat di Indonesia.

Dahuri (2003) menyatakan bahwa lebih dari 95% wilayah Indonesia (sekitar

17.500 pulau) dikelilingi oleh terumbu karang. Berdasarkan hubungan dengan daratan

terumbu karang di Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar sebagai

berikut:

1) Terumbu tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang dekat dan sejajar

dengan garis pantai. Contoh tipe terumbu tepi adalah terumbu karang yang

terdapat di daerah Mentawai, Pangandaran dan Parangtritis di pantai selatan

P.Jawa, di Lombok dan Sumbawa, di Nusa Tenggara Timur serta di utara dan

barat Papua.

��

2) Atol (atol) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan di tengahnya

terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 meter. Contoh atol atau

terumbu cincin adalah atol Takabonerate di Sulawesi Selatan.

3) Terumbu Penghalang (barrier reef) serupa dengan karang tepi, dengan terkecuali

jarak antara terumbu karang dengan garis pantai atau daratan cukup jauh, dan

umumnya dipisahkan oleh perairan yang dalam. Karang penghalang dapat

ditemukan di Kep. Togean, Sulawesi Tengah, dan di beberapa tempat di

Kalimantan Timur dan Selat Makasar.

Selain ketiga kelompok besar di atas, di Indonesia terdapat jenis terumbu gosong

(patch reef), seperti terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Seribu di utara P.

Jawa.

2.2 Terumbu Karang Buatan

2.2.1 Definisi dan fungsi terumbu buatan

Terumbu buatan merupakan habitat buatan yang di bangun di laut dan diletakkan

di dasar perairan yang tidak produktif dengan meniru beberapa karakteristik terumbu

alami dengan maksud memperbaiki ekosistem yang rusak, sehingga memikat

organisme laut untuk hidup dan menetap serta menigkatkan produksi perikanan,

biasanya terbuat dari ban bekas, bangkai kerangka kapal, badan mobil bekas, bambu

dan sebagainya (Christy, 1991).

Pembuatan terumbu buatan didasari oleh teori yang mengatakan jenis ikan-ikan

tertentu mempunyai kecenderungan untuk mendekati atau menyukai benda-benda

keras, untuk berkumpul satu sama lainnya, mencari perlindungan serta memperoleh

makanan (White et al., 1990 yang diacu dalam Mayasari, 2008).

Terumbu buatan, dilihat dari fungsinya yang multiguna, adalah salah satu solusi

yang perlu dipertimbangkan secara komprehensif, untuk menangani degradasi

lingkungan, memperbaiki sumberdaya perikanan dan habitatnya, serta dapat

memberikan kesejahteraan bagi desa di pantai. Menurut Seaman (2000) bahwa

minimal terdapat 13 jenis tujuan penggunaan terumbu buatan, yaitu untuk:

1) Meningkatkan produksi perikanan tangkap

���

2) Meningkatkan produksi perikanan komersial

3) Lokasi budidaya laut dan marine ranching

4) Meningkatkan recreational fishing (memancing dan spear)

5) Lokasi rekreasi skin diving

6) Lokasi pariwisata bawah laut (submarine tourism)

7) Mengendalikan mortalitas penangkapan ikan

8) Mengendalikan life history organisme laut

9) Melindungi habitat ikan

10) Daerah konservasi keanekaragaman hayati laut

11) Mengurangi degradasi dan kehilangan habitat

12) Meningkatkan kualitas air dan kualitas habitat

13) Penelitian dan pendidikan

Tujuan yang paling penting adalah meningkatkan produksi perikanan tangkap secara

lestari dan ramah lingkungan dalam segi meningkatkan hasil tangkapan maupun

biomassa ikan di daerah terumbu.

Mottet (1981) yang diacu dalam Mayasari (2008) mengatakan bahwa terumbu

buatan memiliki ciri khas, yaitu peningkatan biomassa ikan yang berasal dari spesies

yang benar-benar menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya dalam zona terumbu

buatan.

Pengembangan terumbu buatan di negara ASEAN adalah kejadian baru sebagai

konsekuensi dari perlunya untuk meningkatkan sumber daya perikanan penangkapan

ikan. Negara Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam melakukan

pengembangan terumbu buatan sesuai dengan kondisi serta kebiasaan nelayan

tradisional setempat. Bagi negara tersebut konsep penggunaan terumbu buatan tidak

menjadi hal baru. Nelayan Filipina contohnya, dengan menumpukan cabang–cabang

pohon dan ranting di muara sungai untuk memperoleh ikan (Delmendo, 1991).

2.2.2 Bahan dan konstruksi terumbu buatan

Berbagai jenis bahan yang digunakan untuk pembuatan sebuah terumbu karang

buatan antara lain ban mobil bekas digunakan di beberapa negara seperti Malaysia,

��

Thailand, Singapura, Philipina dan Indonesia. Terumbu karang buatan berbahan

beton dikembangkan di Thailand, Indonesia, Singapura, Brunei dan Malaysia. Kapal

rusak dikembangkan di Jepang dan Indonesia khususnya di Bali (Delmendo, 1991).

Menurut Sinanuwong (1991) yang diacu dalam Mayasari (2008) mengatakan

bahwa di Thailand, bahan-bahan untuk terumbu karang buatan dalam percobaan di

Rayong menggunakan tiga tipe yaitu ban bekas, konkrit dan batu. Hasil studi

memperlihatkan adanya peningkatan spesies komposisi ikan dan ditemukan bahwa

penggunaan ban bekas dan konkrit sangat tepat dibanding batu karena konstruksi batu

sering menyebar di sana-sini sehingga ikan-ikan yang masuk lebih sedikit.

Bahan-bahan yang digunakan dalam membangun terumbu karang terdiri dari

concrete cylindrical, culvert cemen pipes, concrete rings dan rubber wood

(Delmendo, 1991). Menurut Soedharma (1995) yang diacu dalam Mayasari (2008)

terumbu buatan bisa dibuat dari karang-karang bebas (mobil, kapal, ban bekas dan

bahan-bahan buatan lainnya) diletakkan di dasar laut secara mendatar pada dasar

perairan berpasir halus atau lumpur dengan tujuan untuk merubah habitat yang miskin

menjadi habitat yang kaya akan ikan serta biota lainnya.

Seaman dan Sparague (1991) mengatakan bahwa untuk memaksimuman hasil

terumbu karang buatan perlu dirancang bentuk dan bahan terumbu buatan yang sesuai

dengan target yang ingin dicapai. Dalam menentukan konstruksi terumbu buatan yang

perlu diperhatikan yaitu :

1) Bahan tidak beracun di dalam air, tahan lama, mudah diperoleh, mudah ditangani

dan mudah diangkut;

2) Memperhatikan kestabilan hidrodinamik;

3) Bersifat fungsional artinya bahan-bahan terumbu buatan mampu mengumpulkan

ikan;

4) Bahan yang digunakan harus memiliki celah untuk tempat berlindung serta

permukaan;

5) Memperhatikan skala dimensi yang efisien.

���

Kriteria yang berguna yang dibuat oleh Badan Sumberdaya Perikanan dan

Perairan Filipina untuk peletakan terumbu buatan adalah sebagai berikut (Miclat dan

Miclat, 1989 yang diacu dalam Yuspardianto, 1998) :

1) Berjarak antara 50-100 meter dari terumbu karang alami;

2) Dekat dengan sumber makanan alternatif (misalnya padang lamun atau sea

grass);

3) Dibangun di daerah yang datar atau sedikit miring dan memiliki kecerahan yang

baik;

4) Berada pada kedalaman 5-20 meter, terlindung dari gelombang, tetapi mudah

dicapai oleh nelayan setempat.

2.3 Tempurung Kelapa

Kelapa merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dan

famili Palmae. Kata coco pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama (Suhardiman,

1985).

Tanaman kelapa (Cocos nucifera) merupakan tanaman serba guna atau tanaman

yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Seluruh bagian pohon kelapa dapat

dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, sehingga pohon ini sering disebut pohon

kehidupan (tree of life) karena hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun,

buah serta tempurung kelapa dapat dipergunakan untuk memenuhi kehidupan

manusia sehari-hari.

Buah kelapa terdiri dari sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa. Berat

buah kelapa yang telah masak kira-kira 2 kg per butir. Buah kelapa dapat

dipergunakan hampir seluruh bagiannya. Airnya untuk minuman segar atau dapat

diproses lebih lanjut menjadi nata de coco (Suhardiman, 1985).

Tempurung kelapa dikategorikan oleh sebagai kayu keras, tetapi mempunyai

kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah (Rasyid 2010). Pirolisa

tempurung kelapa menghasilkan senyawa fenol 4,13%, karbonil 1,30% dan keasaman

10,2% (Tranggono et al., 1996; Darmadji, 1995).

��

Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang fungsinya secara

biologis adalah pelindung bagian inti buah dan terletak dibagian dalam setelah sabut.

Tempurung merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm. Sifat kekerasan

ini disebabkan kandungan silikat (SIO2) di tempurung tersebut. Berat total buah

kelapa, 15-19% merupakan berat tempurungnya, selain itu juga tempurung kelapa

banyak mengandung lignin. Sedangkan kandungan methoxyl dalam tempurung kelapa

hampir sama dengan yang terdapat di kayu. Namun jumlah kandungan unsur-unsur

bervariasi tergantung kandungan tumbuhnya (Palangkung, 1993 mengacu pada

Anshari, 2009).

2.4 Alat Tangkap Bubu Tambun

2.4.1 Definisi dan klasifikasi

Bubu merupakan salah satu jenis alat tangkap yang bersifat pasif. Bubu

termasuk klasifikasi perangkap (traps) dan penghadang (guiding barriers) dimana

semua alat penangkap yang berupa jebakan (Subani dan Barus, 1989). Brandt (2005),

bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap (trap).

Metode panangkapan ikan dengan bubu mempunyai beberapa karakteristik

yang memberikan keuntungan, yaitu pembuatan alatnya mudah, pengoperasiannya

mudah, kesegaran hasil tangkapan baik, daya tangkapnya dapat diandalkan dan dapat

dioperasikan di tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan

(Yuspardianto, 1998).

Menurut Martasuganda (2003), ada beberapa alasan utama pemakaian bubu di

suatu daerah penangkapan, yaitu:

1) Adanya larangan pengoperasian alat tangkap selain bubu�

2) Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung alat tangkap lain untuk

dioperasikan�

3) Kedalaman daerah penangkapan yang tidak memungkinkan alat tangkap lain

untuk dioperasikan�

4) Biaya pembuatan alat tangkap bubu murah�

5) Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap bubu tergolong mudah�

6) Hasil tangkapan dalam keadaan hidup�

���

7) Kualitas hasil tangkapan baik�

8) Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi, dan pertimbangan

lainnya.

2.4.2 Konstruksi alat penangkap ikan

Secara umum, bubu terdiri dari mulut dan badan bubu. Adapun tempat umpan

dan pintu khusus untuk mengeluarkan hasil tangkapan tidak terdapat pada setiap

bubu.

Schlack dan Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari:

1) Rangka

Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu

ketika dioperasikan dan disimpan. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi

atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau

kayu. Rangka beberapa jenis bubu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dilipat

ketika bubu tersebut tidak dioperasikan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah

ketika bubu tersebut disimpan di atas kapal. Beberapa jenis bahan seperti bambu

digunakan sebagai rangka pada bubu loster (Brandt 1984). Di Indonesia bubu

untuk menangkap ikan karang sebagian besar terbuat dari besi, karena biasanya

untuk menangkap ikan karang diperlukan bubu dengan ukuran besar. Di

Kepulauan Seribu bubu untuk menangkap ikan karang menggunakan rangka yang

terbuat dari bambu dan besi, bahkan untuk bubu tambun, hampir seluruhnya

terbuat dari bambu (Susanti, 2005).

2) Badan

Badan pada bubu modern biasanya terbuat dari kawat, nylon, baja, bahkan plastik.

Pemilihan material badan bubu tergantung dari kebudayaan atau kebiasaaan

masyarakat setempat, kemampuan pembuat dan ketersediaan material, serta biaya

dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada target hasil

tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Dibeberapa tempat masih dijumpai

badan bubu yang terbuat dari anyaman rotan dan bambu.

3) Mulut

���

Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam

biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari

bubu. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang

lebih dari satu.

4) Tempat umpan

Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Umpan terdiri dari dua

macam yaitu umpan yang dicacah menjadi potongan potongan kecil dan umpan

yang tidak dicacah. Untuk umpan yang dicaca biasanya dibungkus menggunakan

tempat umpan yang terbuat dari kawat atau plastik. Sedangkan untuk umpan yang

tidak dicacah biasanya umpan tersebut hanya diikatkan pada tempat umpan dengan

menggunakan kawat atau tali. Tempat umpan tidak terdapat pada semua jenis

bubu, misalnya pada bubu gurita dan beberapa bubu ikan karang.

5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan

6) Celah pelolosan

Celah pelolosan dibuat agar ikan–ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran

dapat keluar dari bubu. Pada beberapa negara seperti Australia, New Zealand, dan

Kuba, celah pelolosan digunakan pada bubu rock lobster untuk meloloskan lobster

yang masih juvenil.

7) Pemberat

Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut,

dan gelombang, sehingga posisi bubu tidak berpindah pindah dari tempat setting

semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari kayu dan

material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata,

dan jenis-jenis batuan lainnya. Pemasangan pemberat juga berfungsi untuk

memastikan bubu mendarat di dasar perairan secara benar.

Monintja dan Martasuganda (1990) menjelaskan beberapa faktor yang

menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap dalam bubu, yaitu :

1) Tertarik Umpan;

2) Digunakan sebagai tempat berlindung;

3) Karena sifat thigmotaksis ikan itu sendiri;

���

4) Digunakan sebagai tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi.

Alat tangkap bubu banyak digunakan oleh nelayan Indonesia, baik oleh nelayan

skala kecil, menengah, dan skala besar. Perikanan bubu umumnya ditujukan untuk

menangkap kepiting, udang, keong, dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu

dalam. Adapun untuk perikanan bubu skala menengah dan skala besar biasanya

dilakukan di lepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan dasar, kepiting, atau

udang pada kedalaman 200 m sampai 700 m (Martasuganda, 2003).

Bahan yang digunakan oleh nelayan untuk membuat badan bubu sangat

bergantung pada ketersediaan bahan pembuat di lokasi pemukiman nelayan. Di

Indonesia bubu masih banyak yang terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu,

maupun rotan. Hal ini terlihat pada bubu tambun yang bahan utamanya adalah bambu

(Nugraha, 2008).

2.5 Sumberdaya Ikan Karang

Daerah habitat karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis fauna

yang tinggi. Disamping itu ekosistem terumbu karang juga merupakan tempat hidup,

tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat

memijah (spawning ground) untuk biota laut yang antara lain adalah ikan karang.

Ikan karang banyak dimanfaatkan sebagai makanan maupun dijadikan ikan hias laut.

Diperkirakan 12.000 jenis ikan laut sebanyak 7000 spesies hidup di daerah terumbu

karang atau di sekitarnya, di perairan dekat pantai. Karakteristik yang paling

mengemuka dari ikan-ikan yang hidup di habitat karang adalah keanekaragamannya

dalam hal jumlah spesies dan perbedaan morfologi (Murdiyanto, 2003 mengacu pada

Nugraha, 2008).

Menurut Hutomo (1995), kelompok ikan karang yang erat kaitannya dengan

lingkungan terumbu karang adalah:

1) Tiga famili dalam sub ordo Labridei, yaitu famili Labridae (cina-cina), Scaridae

(kakatua) dan Pomacentridae (betok laut). Ketiganya bersifat diurnal;

���

2) Tiga famili dari sub ordo Acanthuridae, yaitu famili Acanthuridae (butana),

Siganidae (baronang) dan Zanclidae (bendera atau moorish idol). Ketiganya

bersifat herbivora;

3) Dua famili dari sub ordo Chaetodontidae yang mempunyai warna yang cerah;

4) Famili Blennidae dan Gobiidae yang bersifat demersal dan menetap;

5) Famili Apogonidae (beseng) nokturnal, memangsa avertebrata terumbu dan ikan

kecil;

6) Famili Ostraciidae, Tetraodontidae dan Balestidae (pakol) yang menyolok dalam

bentuk dan warnanya;

7) Pemangsa dan pemakan ikan (piscivorous) yang besar jumlahnya dan bernilai

ekonomis tinggi, meliputi famili Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap),

Lethrinidae (lecam), Holocentridae (swanggi).

Menurut Dahuri (2003), beberapa sumberdaya ikan yang hidup di karang

mempunyai nilai ekonomis sebagai berikut :

1) Suku Chaetodontidae (butterflyfish). Ikan yang termasuk suku ini mempunyai

bentuk tubuh yang pipih serta lebar, sehingga gerakannya meliuk-liuk mirip

karpet. Sampai sekarang diperkirakan terdapat sekitar 114 jenis ikan kepe-kepe

yang tersebar di seluruh dunia, antara lain di Australia (50 jenis), Philippines

(45 jenis), Indonesia (44 jenis), Taiwan (33 jenis) dan Papua Nugini (42 jenis)

(Kvalvagnes, 1980). Ikan jenis ini hidup di perairan laut tropis pada kedalaman

perairan sampai 20 meter.

2) Suku Pomancanthidae (angelfishes). Bentuk ikan ini menarik dan dikenal

sebagai ikan bidadari atau angel. Suku ini hidup di terumbu karang di perairan

tropis. Diperkirakan ada 74 jenis yang termasuk dalam suku pomacanthidae.

Ikan ini hidup pada kedalaman 1-50 meter, seperti marga Centropype dan

Genicanthus. Daerah penyebaran dan jumlah jenis ikan angel di perairan Indo-

pasifik adalah sebagai berikut, Australia (23 jenis), Papua New Guinea (22

jenis), Indonesia (21 jenis), Taiwan (20 jenis) dan Filipina (19 jenis). Jenis ikan

ini memiliki corak warna yang indah dan menarik.

���

3) Suku Balistidae (triggerfish). Ikan pelatuk atau ikan trigger banyak ditemukan di

perairan Indonesia. Di Perairan Kepulauan Seribu, jenis ikan ini dikenal sebagai

ikan pakol. Ikan pelatuk biasanya hidup soliter atau menyendiri di habitat

terumbu karang.

4) Suku Labridae (wrasses). Kelompok ikan ini di Indonesia disebut ikan keling.

Suku ini merupakan ikan diurnal yang aktif mencari makan di siang hari dan

sebagian besar merupakan ikan karnivor. Mangsanya berupa moluska, cacing,

krustase dan ikan kecil.

Widodo et al. (1998) menjelaskan bahwa ada sepuluh famili utama dari

perairan Indonesia yang menyumbang produksi ikan karang konsumsi, yaitu

Caesionidae; Holocentridae; Serranidae; Siganidae; Scaridae; Lethrinidae;

Priacanthidae; Labridae; Lutjanidae dan Haemulidae. Beberapa jenis ikan karang

konsumsi yang banyak terdapat di pasaran, yaitu kerapu (Serranidae), lencam

(Lethrinidae), ekor kuning dan pisang-pisang (Caesionidae), baronang (Siganidae),

kakap merah (Lutjanidae), kakak tua (Scaridae), serta napoleon atau marning atau

siomay (Labridae). Ekor kuning atau pisang-pisang merupakan kelompok ikan karang

yang dapat dieksploitasi secara besar-besaran. Ikan ini pemakan plankton dan

membentuk kelompok (school) yang relatif besar. Penyebaran ikan karang konsumsi

terdapat di seluruh terumbu yang tersebar sepanjang Kepulauan Indonesia.

Menurut Adrim (1993), kelompok ikan karang dibagi menjadi tiga kategori,

yaitu:

1) Kelompok ikan target, yaitu ikan karang yang mempunyai manfaat sebagai ikan

konsumsi, seperti kelompok ikan famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan

Lethrinidae;

2) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai

indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk

jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili Chaetodontidae;

3) Kelompok ikan utama atau mayor, yaitu ikan yang berperan dalam rantai

makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Achanturidae,

Caesionidae, Labridae, Mullidae dan Apogonidae.

��

2.5.1 Biologi ikan betok susu (Dischitodus perspicillatus) Klasifikasi betok susu (Cuvier, 1830) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Pomacentridae

Genus : Dischitodus

Spesies : Dischistodus perspicillatus

Gambar 3 Betok susu (Dischitodus perspicillatus)

Ikan betok susu atau mempunyai nama internasional white damsel, termasuk

ikan famili Pomacentridae. Ikan betok susu mempunyai ciri-ciri panjang maksimal

(TL) 18 cm, putih krem dengan 2-3 spot hitam agak memanjang. Bagian depan

kepala kehijaun, garis pangkal dengan batas biru di antara mata dan mulut,

mempunyai jumlah duri dorsal keras maksimal 13 buah; duri dorsal lunak sekitar 13-

15 buah ; sedangkan anal keras 2 buah ; anal lunak sekitar 14-15 buah. Ikan ini

termasuk mudah diidentifikasi karena warnanya yang kebanyakan putih dan terdapat

bercak hitam kecil ditubuhnya.

Ikan betok susu biasa tinggal atau hidup di daerah patch reef, laguna dangkal,

pasir di daerah karang, dan padang lamun. Range kedalaman 1–10, akan tetapi hal

tersebut dapat juga disesuaikan dengan keadaan dasar atau daerah. Ikan betok susu

merupakan ikan pemakan alga bentik dan detritus.

����

Distribusi ikan ini banyak di Indo Pasifik. Di Indonesia daerah penyebarannya

banyak di daerah yang mempunyai karang seperti Kepulauan Karimun Jawa,

Kepulauan Seribu, Laut Banda dan sebagainya.

Sumber : Metadata fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012)

Keterangan : titik merah = penyebaran ikan betok susu

Gambar 4 Peta penyebaran ikan betok susu (Dischitodus perspicillatus)

2.5.2 Biologi ikan triger (Balistapus undulatus)

Klasifikasi ikan triger (Park, 1797) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Balistidae

Genus : Balistapus

Spesies : Balistapus undulates

Gambar 5 Ikan Triger (Balistapus undulates)

���

Ciri-ciri ikan triger adalah panjang maksimal (TL) 30 cm, badan hijau gelap

kecokelatan dengan garis kuning diagonal di badan dan muka. Sirip berwarna oranye.

Memiliki spot hitam dipangkal ekor.

Habitat ikan triger di daerah kaya karang di laguna dan terumbu karang. Jenis

yang territorial, biasa meletakkan telur dalam lubang di daerah pasir atau rubble di

daerah karang. Kisaran kedalaman 1-50 m.

Distribusi ikan di area Indo-Pasifik seperti Laut merah, Afrika Selatan, Kep.

Line, Marquesan dan Tuamoto, Jepang-GBR dan New Caledonia. Ikan triger

termasuk pemakan zoobenthos (echinodermata, moluska, tunikata, sponge dan

hydrozoa), ikan kecil dan alga bentik.

Sumber : Metadata�fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012) Keterangan : Titik merah : Penyebaran ikan trigerGambar 6 Peta penyebaran ikan trigger (Balistapus undulates)

2.5.3 Biologi ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus)

Klasifikasi ikan marmut (Bloch, 1787) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Pomacanthidae

Genus : Chaetodontplus

Spesies : Chaetodontoplus mesoleucus

����

Gambar 7 Ikan Marmut (Chaetodontoplus mesoleucus)

Ikan marmut atau Chaetodontoplus maesoleucus termasuk dalam famili

Pomacantridae. Ikan ini mempunya ciri-ciri panjang maksimal (TL)18 cm, sekilas

mirip Chaetodontidae namun dibedakan dari opercula tulang belakangnya yang kuat,

badan 2/3 hitam abu-abu dan sisinya putih, garis hitam memanjang dari kepala

hingga bawah, sebagian muka depan kuning dengan mulut biru, ekor kuning.

Habitat ikan marmut ini di daerah terumbu karang dan jarang di laut terbuka.

Range kedalaman 1-20 meter. Ikan ini banyak ditemukan Indo-west pasifik

(Indonesia-Jepang, Srilanka-timur PNG) dan termasuk pemakan sponge, tunikata dan

alga berfilamen / zoobenthos.

Sumber : Metadata fishbase��(Aqua maps GBIF OBIS, 2012)

Keterangan : titik merah = penyebaran ikan marmut

Gambar 8 Peta penyebaran ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus)

2.5.4 Biologi ikan kenari merah (Cheilinus fasciatus)

Klasifikasi ikan kenari merah (Bloch, 1791) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

� ��

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Labridae

Genus : Cheilinus

Spesies : Cheilinus fasciatus

Gambar 9 ikan kenari merah (Cheilinus fasciatus)

Ikan kenari merah termasuk dalam famili Labridae, dimana memiliki ciri-ciri:

panjang maksimal (TL) 40 cm. Bentuknya sangat mudah dikenali dengan warna

merah terang mulai dari depan dorsal sampai sirip perut dan belakang mata serta garis

vertikal dibadan belakangnya.

Habitat tempat ikan ini banyak di temukan di area laguna, karang beralga dan

di area campuran antara karang, pasir dan rubble. Kisaran kedalaman 4-40 m

Distribusi Indo-pasifik dan termasuk tipe pemakan moluska, krustasea.

Sumber : Metadata fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012)

Keterangan : Titik merah = penyebaran ikan kenari merah

Gambar 10 Peta penyebaran ikan kenari merah (Cheilinus fasciatus)

����

2.5.5 Biologi ikan betok hitam (Dischistodua pseudochrysopoecilus)

Klasifikasi betok hitam (Allen, 1974) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Pomacentridae

Genus : Dischitodus

Spesies : Dischistodus pseudochrysopoecilus

Gambar 11 Ikan betok hitam (Dischistodua pseudochrysopoecilus)

Ikan betok hitam (Neoglyphidodon melas) memiliki panjang maksimal 18

(TL) cm. Pada saat juvenil badan biru terang dengan garis kuning besar dari mulut

hinggga sirip dorsal serta sirip perut dan anal ujungnya biru kehitaman. Pada saat

dewasa berwarna hitam kebiruan. Perubahan warna terjadi pada ukuran 5-6 cm.

Habitat ikan ini daerah karang dan karang berbatu, biasa juga di anemone, di sekitar

bulu babi dan karang bercabang. Kisaran kedalaman 1-55 m

Distribusi ikan ini Indo-Pacific: Red Sea dan timur Afrika, Pulau Pitcairn,

utara Jepang, selatan Sydney, Australia. Ikan ini tidak ditemukan di Hawai. Habitat

ikan betok hitam ini akan berpindah atau berbeda ketika juvenil dan dewasa. Pada

saat juvenil ikan ini hidup di karang bercabang namun, pada saat dewasa banyak

ditemukan di area laguna-lereng karang. Ikan ini adalah pemakan bentik alga,

zoobenthos, zooplankton (Setiawan, 2010).

����

Sumber : Metadata fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012)

Keterangan : Titik merah= penyebaran ikan betok hitam

Gambar 12 Peta penyebaran ikan betok hitam (Dischistodus pseudochrysopoecilus)

2.6 Hubungan Panjang dan Berat Ikan

Panjang ikan dapat diukur dengan menggunakan sistem metrik (Effendie,

1979). Ada tiga macam pengukuran, yaitu:

1) Panjang total atau panjang mutlak, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari

ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya.

2) Panjang cagak atau fork length, ialah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan

sampai ujung bagian luar lekukan ekor.

3) Panjang standar atau panjang baku, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari

ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya. Ujung

itu letaknya sebelum pangkal jari-jari sirip ekor.

Menurut Effendie (1979), alat pengukur ikan yang baik digunakan untuk di

lapangan adalah alat pengukur yang terbuat dari kayu. Bentuk yang perlu

diperhatikan dari alat ini adalah bagian depannya, yaitu tempat menempel dari bagian

depan ikan harus bertepatan dengan angka nol, sedangkan untuk penimbangan,

diusahakan yang praktis dan tidak mudah rusak tetapi ketelitiannya cukup tinggi. Dari

beberapa macam alat penimbang ikan, yang paling tepat adalah timbangan duduk

atau gantung yang dapat langsung menunjuk berat ikan yang ditimbang.

����

Hasil studi hubungan panjang dan berat ikan memungkinkan nilai panjang ikan

berubah ke harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu

fungsi dari panjangnya dan hubungan panjang-berat ini hampir mengikuti hukum

kubik yang dinyatakan dengan rumus: W = aL3 (W adalah berat ikan, L adalah

panjang ikan dan a adalah konstanta). Hal tersebut disertai dengan anggapan bahwa

bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya. Tetapi karena ikan itu

tumbuh, dimana bentuk tubuh, panjang dan beratnya selalu berubah, maka menurut

Effendie (1979), persamaan umumnya adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta).

Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L yang menunjukkan

hubungan linier (Effendie, 1979).

2.7 Rumpon (Fish Aggregating Device)

Rumpon adalah suatu benda menyerupai pepohonan yang ditanam di suatu

tempat di laut. Rumpon merupakan alat pemikat ikan yang digunakan untuk

mengkonsentrasikan ikan sehingga operasi penangkapan ikan dapat dilakukan dengan

mudah (Subani, 1972). Cara pengumpulan ikan dengan pikatan berupa benda

terapung tersebut, menurut Bergstrom diacu dalam Sondita (1986) merupakan salah

satu bentuk dari Fish Agregating Device, yaitu metode benda atau bangunan yang

dipakai sebagai sarana untuk penangkapan ikan dengan cara memikat dan

mengumpulkan ikan-ikan tersebut.

Rumpon atau lure merupakan alat bantu penangkapan ikan yang fungsinya

sebagai pembantu untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul di suatu tempat yang

selanjutnya diadakan penangkapan. Prinsip lain penangkapan ikan dengan alat bantu

rumpon disamping berfungsi sebagai pengumpul kawanan ikan, pada hakekatnya

adalah agar kawanan ikan tersebut mudah ditangkap sesuai dengan alat tangkap yang

dikehendaki. Selain itu dengan adanya rumpon, kapal penangkap ikan dapat

menghemat waktu dan bahan bakar, karena tidak perlu lagi mencari dan mengejar

gerombolan-gerombolan ikan (Subani, 1986).

Subani (1986) menerangkan bahwa biasanya kegiatan penangkapan di sekitar

rumpon dilakukan setelah sepuluh hari rumpon tersebut dipasang. Beberapa hari

����

setelah rumpon ditanam dan bila diketahui bahwa di sekitar rumpon tersebut banyak

kerumunan ikan kemudian diadakan penangkapan. Beberapa jenis ikan pelagis yang

berkumpul di sekitar rumpon antara lain ikan terbang, layang, selar, kembung, bawal,

lemuru, cakalang, tuna dan sebagainya. Alat tangkap yang dapat digunakan antara

lain pancing, payang dan pukat cincin.

Rumpon selama ini lebih banyak dikenal nelayan Indonesia sebagai alat bantu

untuk mengumpulkan ikan (fish aggregating device atau FAD), sehingga operasi

penangkapan ikan menjadi lebih efektif dan efisien (Sondita 1986; Monintja 1993).

Individu ikan yang tersebar atau kawanan ikan yang bergerak bebas, baik ketika

melakukan ruaya (migrasi) maupun sedang berada di suatu tempat, dirangsang oleh

nelayan agar berhenti, menetap atau berada tidak jauh dari lokasi yang diinginkan

nelayan, yaitu tempat pemasangan rumpon atau lampu pemikat. Teknik manipulasi

tingkah laku ikan ini telah lama diterapkan oleh nelayan-nelayan di tanah air dan

kawasan Asia Tenggara ketika mereka menangkap ikan-ikan pelagis yang biasa

membentuk gerombolan atau fish schools atau fish shoals. Hasil atau output dari

penggunaan rumpon ini tentu saja ikan yang jumlahnya tergantung pada beberapa

faktor, seperti di antaranya adalah jumlah ikan yang berkumpul di sekitar rumpon dan

keefektivan alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan.

Faktor pertama berkaitan dengan dimensi bagian atraktor, kesesuaian tempat

pemasangan rumpon dengan jalur migrasi ikan, dan kelimpahan ikan yang ada di

perairan tempat pemasangan rumpon. Faktor kedua tersebut ditentukan oleh dimensi

alat tangkap dan cara atau metode penangkapan ikan yang diterapkan. Jika sejumlah

ikan yang berkumpul di sekitar rumpon maka hasil tangkapan tidak akan melebihi

jumlah tersebut. Jika alat tangkap sangat efektif maka semua ikan yang berkumpul

pada atau sekitar rumpon akan berhasil ditangkap.

Manfaat atau outcome dari penggunaan rumpon dalam operasi penangkapan

ikan telah diketahui, seperti dijelaskan oleh Monintja dan Mathews (1999). Manfaat

tersebut diantaranya adalah meningkatkan peluang keberhasilan operasi penangkapan

ikan dan efisiensi dalam arti penghematan biaya operasi penangkapan ikan. Hal lain

dari penggunaan rumpon adalah bukti adanya suatu pengelolaan pada kawasan atau

����

daerah penangkapan ikan, yang minimal dicerminkan oleh adanya pengakuan

masyarakat terhadap hak pemilik rumpon pada ikan-ikan yang berkumpul di sekitar

rumpon

Faktor penyebab berkumpulnya kawanan ikan di sekitar rumpon telah

menjadi topik penelitian sejak lama (Monintja et al., 2003). Faktor pertama adalah

ikan berkumpul karena mereka tertarik terhadap benda-benda terapung atau sifat yang

disebut thigmotaxis. Benda-benda terapung tersebut akan terlihat signifikan oleh

biota air yang mengandalkan panca indera penglihatan dibandingkan dengan kolom

air yang homogen. Semakin besar ukuran dan semakin kontras benda-benda tersebut

dalam lingkungan maka akan semakin mudah ikan mendeteksi atau mengetahuinya.

Tentu saja, kemudahan terlihat benda-benda tersebut juga ditentukan oleh daya

penglihatan ikan. Daya penglihatan ikan tersebut ditentukan oleh umur atau tingkat

perkembangan tubuh ikan. Faktor kedua adalah ikan berkumpul untuk keperluan

mencari makan. Ikan-ikan tersebut mencari makanan atau mangsa dan akhirnya

mendapatkannya di pada atau di sekitar rumpon karena rumpon menjadi habitat

berbagai jenis biota laut yang menjadi makanannya (Menard et al., 2000). Kedua

faktor tersebut secara bersama-sama menyebabkan terjadinya akumulasi individu-

individu ikan menjadi kawanan ikan yang didukung oleh sebuah jaringan makanan

(foodweb) dan konstruksi rumpon, terutama bagian atraktor. Foodweb yang terbentuk

karena adanya rumpon tersebut dapat dipelajari lebih jauh, sama seperti penelitian

terhadap suatu ekosistem. Untuk mengembangkan usaha di bidang penangkapan ikan

tidak terlepas dari pengetahuan yang cukup tentang tingkah laku ikan yang hendak

ditangkap baik secara individu maupun berkelompok. Pengetahuan tentang tingkah

laku ikan adalah merupakan dasar dari metoda-metoda penangkapan yang ada, dan

juga merupakan kunci bagi perbaikan metoda penangkapan yang telah diketahui,

serta penemuan-penemuan dari metoda yang baru (Gunarso, 1974).

Dalam hal pikat memikat ikan, Gunarso (1985) mengungkapkan hal tersebut

dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain : rangsangan kimia, rangsangan

terhadap penglihatan, rangsangan terhadap pendengaran, rangsangan dengan

menggunakan aliran listrik dan rangsangan dengan menyediakan tempat belindung.

���

Asikin (1985) mengemukakan bahwa keberadaan ikan di sekitar rumpon

karena berbagai sebab, antara lain :

1. Ikan-ikan itu senang bersembunyi di bawah bayang-bayang daun rumpon;

2. Rumpon itu sebagai tempat berpijah bagi beberapa jenis ikan tertentu;

3. Rumpon sebagai tempat berteduh bagi beberapa jenis ikan tertentu;

4. Rumpon itu sebagai tempat berteduh bagi beberapa jenis ikan yang

mempunyai sifat fototaksis negatif.

Hunter dan Mitchell diacu dalam Laevastu dan Hela (1970) menjelaskan

bahwa ikan yang berukuran kecil pertama kali tertarik di sekitar rumpon, kemudian

disusul ikan berukuan besar. Rumpon merupakan suatu arena makan dan dimakan

yang terjadi sesuai dengan rantai makanan. Permulaan terjadinya arena ini dimulai

dengan tumbuhnya bakteri dan mikroalga ketika rumpon pertama kali dipasang.

Kemudian mahluk renik ini bersama dengan hewan-hewan kecil menarik perhatian

ikan-ikan pelagis ukuran kecil. Ikan-ikan pelagis ini akan memikat ikan yang

berukuran lebih besar untuk memakannya.

Menurut Subani (1972), tidak benar ikan-ikan di sekitar rumpon memakan

daun kelapa. Pernyataan ini dikuatkan oleh Djatikusumo (1977) berdasarkan atas isi

perut ikan di sekitar rumpon, yang hasilnya ternyata dari jenis-jenis plankton dan

bukan daun-daun kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa rumpon merupakan tempat

ikan berlindung dari serangan predator. Pada umumnya ikan-ikan berenang

menghadap arus dan berada di depan rumpon, bergerombol dalam ukuran yang sama,

baik umur, panjang maupun berat. Keuntungan berenang dengan cara berkelompok

akan lebih memudahkan dalam menangkap mangsa.

Rumpon yang dipasang pada suatu perairan akan dimanfaatkan oleh

kelompok ikan lemah sebagai tempat berlindung dari serangan predator. Kelompok

jenis ini akan berenang-renang dengan mengusahakan agar posisi tubuh selalu

membelakangi bangunan rumpon. Selain sebagai tempat berlindung, rumpon

diibaratkan sebagai pohon yang tumbuh di padang pasir yang merupakan wadah

pemikat kelompok ikan (Subani, 1972).

���

Ikan berkumpul di sekitar rumpon untuk mencari makan. Menurut Soemarto

(1962) dalam area rumpon terdapat plankton yang merupakan makanan ikan yang

lebih banyak dibandingkan di luar rumpon. Diterangkan juga oleh Soemarto (1962)

bahwa perairan yang banyak planktonnya akan menarik ikan untuk mendekat dan

memakannya.

Subani (1972) mengemukakan bahwa ikan-ikan yang berkumpul di sekitar

rumpon menggunakan rumpon sebagai tempat berlindung juga untuk mencari makan

dalam arti luas tetapi tidak memakan daun-daun rumpon tersebut.

Subani (1986) menerangkan bahwa ikan-ikan lemah yang berada di sekitar

rumpon berenang pada sisi sebelah udik atau atas atraktor. Kadang-kadang mereka

bergerak ke kiri dan ke kanan tetapi selalu kembali ke tempat semula demikian juga

terhadap arus (sifat ikan umumnya berenang menentang arus). Sedangkan dari arah

lapisan yang lebih dalam terdapat ikan pemangsa yang siap memangsa. Dengan

adanya rumpon maka pemangsa akan mengalami kesulitan dalam menyambar

mangsanya karena ikan yang lemah terlindungi oleh adanya atraktor.

Rumpon hingga sekarang masih sebagai andalan bagi nelayan penangkap

kawanan ikan pelagis. Nelayan menggunakan rumpon dilengkapi dengan penggunaan

lampu pemikat ikan. Secara simultan kedua alat tersebut tergolong sebagai fish

aggregating device. Rumpon diperkirakan berperan besar dalam menghentikan

perjalanan kawanan ikan, kejadian ini diperkirakan bermula pada saat siang hari

dimana rumpon teridentifikasi ikan. Pada malam hari, rumpon tidak signifikan

perannya, khususnya ketika lampu pemikat ikan dipakai dalam proses penangkapan

ikan ini. Jumlah lampu akan menentukan volume kolom air yang tersinari

(illuminated water column). Semakin besar intensitas cahaya semakin besar volume

air; hal ini berarti semakin besar peluang ikan yang terpapar oleh cahaya.