Upload
vonhan
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Universitas Indonesia
15
2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN
HUKUM
Didalam hukum berlaku asas “tiada hukuman tanpa kesalahan” (geen straf
zonder schuld), sesuai putusan pengadilan tinggi negeri Belanda tanggal 14 Pebruari
1916.Jadi pelaku dalam peristiwa pidana harus orang yang bertanggung jawab atas
perbuatannya yang salah, kecuali ada anasir yang menghapus pertanggungan jawab
seperti dalam pasal 44 ayat1-2 KUH Pidana karena jiwanya cacat atau karena
terganggu penyakit35, sehingga penegakan hukum sangatlah perlu pembahasannya
dalam hubungan pertanggungan jawab pidana.
2.1 Penegakan Hukum
Manusia di dalam pergaulan hidup mempunyai pandangan-pandangan hidup
tertentu mengenai apa yang baik dan yang buruk sehingga pasangan nilai ketertiban
dan nilai ketentraman maupun pasangan nilai kepentingan pribadi dan nilai
kepentingan umum serta nilai kelestarian dengan nilai inovativisme sehingga manusia
di dalam penegakan hukum memerlukan keterikatan dan kebebasan, hal ini terlihat
dari dasar-dasarnya yaitu ketertiban bertitik tolak pada keterikatan yaitu adanya
undang-undang sedangkan ketenteraman bertitik tolak pada kebebasan, namun hal
diatas masih perlu penjabaran lagi secara lebih kongkrit36.
2.1.1 Unsur-Unsur Yang Harus Diperhatikan Dalam Penegakan Hukum
Fungsi hukum ialah untuk melindungi kepentingan manusia, oleh karena
itu hukum harus dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, hukum dapat berlangsung
secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum37.
Dalam hal adanya pelanggaran hukum maka hukum yang dilanggar tersebut
harus ditegakkan.
35 Hilman Hadikusuma , Bahasa Hukum Indonesia, Cet . 2, ( Bandung : Alumni,1992 ), hal.116 .
36 Soeryono Soekanto (1). Op.cit. hal. 5, 6.37 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Cet. 1, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1993), hal. 1.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
16
Unsur-unsur yang selalu harus diperhatikan dalam menegakkan hukum
ada 3 (tiga) yaitu38 :
a. Kepastian hukum (rechtssicherheit) : merupakan perlindungan yustisiabel
terhadap tindakan sewenang-wenang. Dasar dari kepastian hukum itu
merupakan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang
dirumuskan dalam bahasa latin nullum delictum nulla poena sine praevia
legi poenali yang diartikan tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan
pidana yang mendahuluinya39. Pengertian yang terkandung dalam asas
legalitas tersebut menurut Mulyatno ialah40:
1). Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-
undang,
2). Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi,
3). Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
(Pasal 1 ayat (2) KUHP).
b. Kemanfaatan (zweckmassigkeit) : Masyarakat mengharapkan penegakan
hukum diharapkan pelaksanaannya harus memberi manfaat atau kegunaan
bagi masyarakat.
c. Keadilan(gerechttigheit) : Masyarakat sangat berkepentingan agar
penegakan hukum, masalah keadilan diperhatikan. karena diharapkan bukan
menyamaratakan tetapi diperlukan adanya kesebandingan41.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kurang berfungsinya penegakan
hukum
Melihat perkembangan akhir-akhir ini, ternyata hukuman kurang
berfungsi sebagaimana mestinya, terutama hukuman yang bersifat pidana dan
administratif. Berdasarkan pengamatan, penulis mempunyai dugaan bahwa
38 Ibid.39 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 2, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 39.40 Ibid, hal. 40.41 Soetiksno, Filsafat Hukum, bag. 1, Cet. 9 (Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 2002), hal. 15
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
17
kurang berfungsinya hukuman tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor,
yaitu42:
a. Lemahnya penegakan hukum dimana penindakan terhadap pelaku kejahatan
kurang dilaksanaan dengan baik, sehingga dirasakan kurang memberikan
keadilan.
b. Lemahnya perangkat hukum dimana kualitas hukuman yang diancamkan
tidak menimbulkan jera maupun rasa takut.
c. Kurang kondusifnya budaya hukum, sebab kesadaran pihak-pihak yang
terkait kurang mendukung sehingga fungsi hukuman kurang dipahami
dengan benar.
Implementasi Azas Keseimbangan dari unsur-unsur harus diperhatikan
untuk penerapan Hukuman, sebab banyak berkaitan dengan upaya-upaya agar
makna dan tujuan penghukuman memenuhi rasa keadilan. Secara teoritis,
hukuman merupakan wujud perlindungan negara terhadap masyarakat sehingga
lebih banyak diarahkan kepada pelaku kejahatan. Walaupun demikian, bukan
berarti masyarakat dapat bebas untuk berbuat semaunya yang dapat
menimbulkan peluang terjadinya kejahatan. Dengan Azas Keseimbangan,
mereka harus tetap menjalankan kewajibannya sesuai dengan yang telah diatur
dalam kaidah hukum. Untuk mengetahui lebih lanjut jenis-jenis hukuman dalam
lingkup berlakunya Hukum Pidana di Indonesia, berikut ini akan dibahas
hukuman dilihat dari sifat dan tugasnya.
2.1.3 Tujuan, Sifat dan Tugas Hukuman
2.1.3.1 Hukum
Dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, Hukum mempunyai
3(tiga) sifat yaitu Publik, Perdata (Privat), dan Admnistratif.
Pembahasan disini hanya membahas masalah Hukuman Pidana (Publik)
artinya hukuman tersebut mempunyai daya memaksa terhadap pihak
yang melakukan perbuatan melawan hukum atau pihak yang tidak
menjalankan hukum sesuai kesepakatan (Wanprestasi). Sanksi dalam
42 Soeryono Soekanto (2), Op.cit. hal. 8
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
18
hukum pidana dalam pelaksanaannya dapat dilihat dari sifat maupun
tugasnya. Ketiga jenis hukum tersebut keberlakuannya didasarkan pada
tujuan, sifat dan tugas dari sanksi sebagai salah satu komponen dalam
penegakan hukum.
Pengertian Hukuman (Sanksi) menurut Black's Law Dictionary adalah43:
" Sanction is penalty or other mechanism of enforcement used toprovide incentives for obedience with the law or ith rules andregulations. That part of a law which is designed to secureenforcement by imposing a penalty for its violation or offering areward for its observance”.(“Hukuman diartikan sebagai suatu mekanisme dari penegakan,menggunakan insentif yang mencukupi untuk dapat dipatuhinyahukum atau peraturan perundang-undangan. Merupakan bagian dariUndang-undang yang dibuat untuk mengamankan penegakan hukummelalui hukuman atas pelanggaranya.”)
2.1.3.2 Tujuan Hukuman44
Secara umum pembahasan mengenai sanksi (hukuman), dapat
dilihat dari sifat dan tugasnya dikaitkan dengan tujuan
pemberlakuannya. Menurut tujuannya, sanksi atau hukuman
diberlakukan untuk memberikan balasan yang setimpal (aliran Absolute)
atau untuk memberikan manfaat yang optimal (aliran relatieve), atau
untuk memberantas kejahatan (aliran verenigingstheorieen).
a. Menurut teori Absolute, tujuan hukuman (sanksi) adalah
memberikan balasan yang setimpal terhadap pelaku pelanggaran
ataupun kejahatan. Oleh karena pelanggaran atau kejahatan dapat
menimbulkan penderitaan terhadap korbannya, maka sudah
selayaknya pelaku mendapatkan pembalasan penderitaan pula
sebagai imbalan atas perbuatannya. Dengan demikian apabila
hukuman tersebut telah dijalankan, maka dapat dikatakan bahwa ia
telah "menebus dosa" atas perbuatanya yang merugikan orang lain.
43 Henry Camphell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St.Paul Minnesota :WestPublishing Co, 1990), hal.30.
44 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed. 2. Cet. 6 (Bandung :PT.Eresco 1989 ), hal.20-24
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
19
b. Menurut teori Relatief tujuan hukuman adalah memberikan
manfaat atas pemberlakuan hukuman itu sendiri, baik manfaat bagi
masyarakat maupun terhadap pelaku kejahatan. Teori ini kemudian
berkembang bahwa tujuan hukuman tidak saja memberikan
manfaat bagi ketertiban umum, tetapi juga harus dapat
memperbaiki ketidakpuasan yang terjadi pada anggota masyarakat
dan dapat pula sebagai sarana untuk mencegah terjadinya
kejahatan.
2.1.3.3 Sifat Hukuman
Menurut sifatnya, sanksi merupakan akibat hukum (rechtsge-
volg) dari pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum. Akibat
pelanggaran ini berupa suatu tindakan yang dikenakan kepada pelanggar
kaidah hukum tersebut. Sedangkan menurut tugasnya, sanksi merupakan
jaminan bahwa kaidah hukum akan ditaati/dipatuhi keberlakuannya45.
Sanksi pidana merupakan sanksi yang sangat tajam. Sanksi ini biasanya
baru akan diterapkan bila sanksi lainnya yang bersifat perdata atau
administratif sudah tidak dapat menjamin bahwa norma (kaidah hukum)
ditaati (ultimatum remudium). Sanksi dalam hukum pidana terdiri atas46:
a. Sanksi yang bersifat siksaan (leed), yaitu sanksi yang berwujud
siksaan terhadap fisik atau yang menimbulkan penderitaan.
Bentuknya berupa: hukuman mati, hukuman penjara, hukuman
kurungan atau hukuman berupa denda.
b. Sanksi yang berupa tindakan (Maatregel), yaitu sanksi yang
berbentuk suatu tindakan melindungi masyarakat dari
perbuatan-perbuatan yang dianggap merugikan, atau dapat pula
berbentuk suatu tindakan untuk memperbaiki pelaku kejahatan.
Berdasarkan sifatnya tersebut, maka pelanggaran terhadap
norma/kaidah hukum yang telah ditetapkan dapat diancam hukuman
45 Satochid Kartanegara , Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu, ( Jakarta : BalaiLektur Mahasiswa ), hal. 46.
46 Ibid, hal 47.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
20
pidana, hukuman perdata, dan hukuman admnistrasi sekaligus. Akan
tetapi tidak menutup kemungkinan hanya dikenakan terhadap salah satu
sanksi saja. Dapat pula berupa alternatif pilihan sanksi misalnya
hukuman pidana dapat diganti dengan denda atau denda dapat
menggantikan ganti kerugian secara perdata.
2.1.3.4 Tugas Hukuman
Hukuman keberlakuannya bertugas untuk menjamin bahwa
norma/kaidah hukum dilaksanakan dengan baik dalam masyarakat.
Jaminan ini tidak saja ditujukan atas pelanggaran undang-undang
(wetsdelicten), tetapi juga atas pelanggaran terhadap rasa keadilan
(rechtsdelicten). Mungkin saja terjadi suatu perbuatan hukum yang
dianggap melanggar rasa keadilan, akan tetapi tidak dilarang oleh
undang-undang dan tidak diancam oleh hukuman. Oleh karena keadilan
tetap harus ditegakkan, maka perumusan sanksi baik pidana, perdata,
maupun administrasi harus tetap menjangkau perbuatan-perbuatan
tercela yang merugikan pihak lain.
2.2 Pertanggungjawaban Pidana
Pelaku dalam peristiwa pidana harus orang yang bertanggung jawab atas
perbuatannya yang salah, kecuali ada anasir yang menghapus pertanggungan jawab
seperti dalam pasal 44 ayat1-2 KUH Pidana karena jiwanya cacat atau karena
terganggu penyakit atau belum dewasa sesuai pasal 45 KUHP47, sehingga penegakan
hukum sangatlah perlu pembahasannya dalam hubungan pertanggungan jawab
pidana. Jerome Hall48 mengemukakan bahwa terlepas dari baik atau tidaknya motif
tindak kejahatan ( walaupun ini tidak penting ) namun prinsip umum pertanggung
jawaban pidana ialah ”menghendaki atau karena kelalaian melakukan suatu
perbuatan secara moral adalah salah ”.
2.2.1 Syarat Mampunya Bertanggung Jawab
47 Hilman Hadikusuma , Op.cit. hal. 116.48 Roeslan Saleh, Pemikiran-pemikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1986), hal. 23.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
21
Syarat utamanya ialah bahwa telah dilakukannya suatu perbuatan pidana
dan siapa yang bertanggung jawab atas dilakukan perbuatan pidana tersebut
Pada umumnya orang yang disangka telah melakukan perbuatan itu,tetapi ada
kejadian orang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain yang disebut
”vicarious responsibility”49. Tetapi, aturan undang-undanglah yang menetapkan
siapa sajakah dipandang sebagai pembuat yang bertanggung jawab itu. Satu kali
telah ditegaskan jika seseorang bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang
terjadi, maka selanjutnya ialah menegaskan apakah ia memenuhi syarat-syarat
yang diperlukan untuk pertanggungan jawab itu. Disamping syarat-syarat
obyektif melakukan perbuatan pidana, harus dipenuhi pula syarat subyektifnya,
atau mentalnya. Syarat ini disebut kesalahan50.
Yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannnya perbuatan
pidana ialah yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana.Pidana dapat
dikenakan secara sah berarti bahwa untuk tindakan itu telah ada aturanya dalam
suatu sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatannya,
atau dikatakan bahwa tindakannya dibenarkan oleh sistem hukum tersebut51.
2.2.2 Tanggung jawab Dan Kemampuan Bertanggung Jawab
Penanggung jawab peristiwa pidana dapat diklasifikasikan menjadi 52:
a. Penanggung jawab penuh, yaitu tiap orang yang menyebabkan (turut serta
menyebabkan) peristiwa pidana , meliputi :
1). dader; penanggung jawab mandiri
2). Mededader; penanggung jawab bersama
3). medepleger; penanggung jawab serta
4). doen pleger ; penanggung jawab penyuruh
5). uitlokker; penanggung jawab pembujuk/ perencana
49 Roeslan Saleh, ibid, hal. 32.50 Roeslan Saleh, Ibid, hal. 32, 33.51 Roeslan Saleh, Ibid, hal. 34.52 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad. Intisari Hukum Pidana, Cet. 2, (Jakarta : Ghalia
Indonesia,1986) , hal. 30, 31.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
22
b. Penanggung jawab sebagian53, yaitu apabila seseorang bertanggung jawab
atas bantuan dan percobaan atas suatu kejahatan yang berupa :
1). poging
2). medeplictige; penanggung jawab bantuan
Banyak pendapat yang membicarakan tentang syarat- syarat dari mampu
atau tidaknya bertanggung jawab. Syarat utamanya ialah telah dilakukannya
suatu perbuatan pidana dan siapa yang bertanggung jawab atas dilakukanya
perbuatan pidana tersebut? Dengan sendirinya apa yang dilakukan tersangka
apa bila terbukti harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri.
Sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggung jawaban dan
pemidanaan itu merupakan sistem normatif54. Berpangkal pada sistem inilah
kemudian dianalisa tentang pertanggung jawaban pidana yang berarti yang
bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatanya itu.
2.2.3 Melawan Hukum
Dalam Hukum Pidana, dengan memperhatikan Pasal 1 ayat (1) KUHP,
maka kata-kata yang digunakan untuk merumuskan ketentuan pidana harus
tepat. Mengapa demikian? sebab dengan rumusan yang jelas, orang akan
mengetahui dengan pasti tentang perbuatan apa yang dilarang dan ancaman
pidana bagi siapa saja yang melakukannya.
2.2.3.1 Pengertian “Melawan Hukum”
Pengertian “melawan hukum” (wederrechterlijk) merupakan istilah
yang banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana55. Dalam hal
ini, Achmad S. Soemadi Pradja menggunakan istilah “tindak pidana”,
sedangkan Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”. Selain itu,
penggunaan istilah “perbuatan pidana” juga membawa akibat-akibat
tertentu di bidang Hukum Acara Pidana, sebab arti dari “perbuatan
pidana” adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi
53 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad. ibid, hal. 34.54 Roeslan Saleh, Op.cit. hal. 34.55 Achmad S. Soema Dipradja, Pengertian Serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi Terjadinya
Tindak Pidana, (Bandung: CV. Armoco, 1983), hal.14.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
23
siapa yang melanggar larangan tersebut. Selanjutnya Moeljatno
mengatakan bahwa56:
“Tinjauan dari segi formil ini perlu, karena berhubungan denganazas legaliter..,yang mengharuskan adanya aturan hukum yangrumusan mengenai larangan dan ancaman pidananya lebih dahuluditentukan, sedangkan untuk hal itu seharusnya ada aturanperundang-undangannya terlebih dahulu”, yaitu dalam Pasal 1KUHP”.
Selanjutnya disamping harus memenuhi syarat formil, perbuatan
dimaksud haruslah benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu
perbuatan yang tidak diperbolehkan atau tidak patut dilakukan, karena
berlawanan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan
masyarakat. Sifat ini merupakan sifat yang melawan hukumnya tidak
hanya dilihat dari sudut perundang-undangan, tetapi juga dari dilihat dari
segi materiil57.
Rumusan perbuatan pidana ini kemudian dikembangkan lebih jauh
kepada suatu pemikiran bahwa adanya perbuatan pidana itu. Pertama,
harus dimulai dengan adanya perbuatan orang yang melanggar larangan
yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana,
yaitu pasal 1 ayat 1 KUHP. Kedua, perbuatan tersebut juga harus bersifat
melawan hukum. Dengan demikian persoalan melawan hukum ini
memegang peranan penting dalam menentukan perbuatan pidana,
sehingga dalam hal terjadi perbuatan yang melawan hukum itu tidak
disebut dalam perumusan delik. Unsur tersebut dianggap secara diam-
diam sudah termasuk dalam hal ini, namun tidak berarti bahwa sifat
tersebut harus dibebankan pembuktiannya kepada jaksa selaku penuntut
umum. Oleh karena itu bila kita teliti tindak-tindak pidana sebagai
tercantum dalam KUHP, ternyata perbuatan melawan hukum itu
dicantumkan secara tegas.
56 Ibid, hal. 15.57 Ibid, hal. 16.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
24
Suatu hal yang mendorong pembentuk undang-undang
mencantumkan unsur perbuatan melawan hukum meliputi setiap larangan
ataupun keharusan yang ditentukan dalam undang-undang pidana
ditujukan terhadap setiap perbuatan yang tidak diperbolehkan, dalam arti
perbuatan tersebut sudah melawan hukum. Dalam pembentukan undang-
undang pidana, hal tersebut dikemukakan dengan alasan bahwa tanpa
dicantumkannya kata “melawan hukum”, ada kekhawatiran jika orang
yang menggunakan haknya tanpa melaksanakan peraturan perundang-
undangan dinyatakan telah melakukan pelanggaran undang-undang
pidana. Untuk mencegahnya, pembentuk undang-undang akan lebih
mudah untuk mencantumkan “melawan hukum” dalam setiap tindak
pidana.
Mengenai permasalahan tersebut di atas, terdapat tiga pandangan.
Pertama, perbedaan dalam redaksi sedemikian rupa sehingga mempunyai
arti tertentu. Kedua, dengan dihilangkannya kata penghubung “dan”
dimaksud tidak mempunyai arti apa-apa. Semua tindak pidana dari jenis
ini harus dibaca sebagai sengaja dan melawan hukum yang menunjukkan
dua ciri tersendiri yang tidak mempengaruhi. Ketiga, penempatan dalam
kata hubung “dan” itu, tidak mempunyai arti apa-apa. Semua delik dalam
jenis ini harus dibaca sebagai sengaja melawan hukum, dimana
kesengajaan itu menguasai melawan hukum. Dalam pandangan ini azas
dipertahankan, bahwa sengaja menguasai semua unsur yang dalam
perumusan delik dicantumkan setelah unsur dimaksud.
2.2.3.2 Sifat Melawan Hukum
Dalam dogmatik hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” tidak
selalu berarti sama. Ada empat makna yang berbeda-beda tetapi yang
masing-masing dinamakan sama, yaitu sifat melawan hukum harus
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
25
ditanyakan dalam hubungan apa istilah itu dipakai. Untuk itu perlu
dibedakan58 :
1). Sifat melawan hukum umum yang diartikan sebagai syarat
umum untuk dapat dipidana.
2). Sifat melawan hukum khusus yang tercantum secara tertulis
dalam rumusan delik atau ”sifat melawan hukum faset“.
3). Sifat melawan hukum formal yang berarti semua bagian yang
tertulis dari semua rumusan delik telah dipenuhi dan bersumber
pada asas legalitas.
4). Sifat melawan hukum materiil yang berarti melanggar atau
membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi
oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.
Menyikapi hal ini,ada 2 aliran59:
a. Menurut Simons, tidak adanya unsur melawan hukum
dalam suatu perbuatan yang termasuk dalam suatu larangan
ataupun suatu keharusan hanya dapat diterima apabila untuk
pengecualian itu. Landasannya dapat diketemukan dalam
hukum yang berlaku terhadap ketentuan umum termaksud.
b. Menurut Hamel, secara materiil sifat melawan hukum tidak
hanya hukum yang tertulis (UU) tetapi juga hukum yang tak
tertulis.
“Apabila sifat melawan hukum itu tidak dinyatakan dalam perumusan
delik itu sendiri, pidana tidak akan dijatuhkan apabila dalam kejadian
dimaksud sifat melawan hukumnya dari perbuatan yang telah dilakukan
itu ternyata tidak terdapat”.60
58 D.Schaffmeistep, N.Keijzer, dan E.PH.Sutorius. Diterjemahkan J.E Sahetapy, KumpulanBahan Penataran Hukum Pidana. Dalam Rangka Kerjasama Hukum. Indonesia-Belanda., Cet ke.2,(Yogyakarta,.Liberty, 2005), hal. 39, 40.
59 Ibid,hal. 22-24.60 Van Bemmelen, en H. Burgersdijk, Arresten Over Strafrecht versameld en uitgege ven
door, 1949, Hal. 22.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
26
Sebagai contoh, X menyuruh Andi, seorang sakit jiwa, memukul Y.
Sesuai pasal 44 KUHP Andi tidak dapat dikenai tuntutan sebab tidak
dapat bertanggung jawab dan/atau adanya kesengajaan perbuatannya.
Bila hakim menganut ajaran monistis maka Andi tidak dapat
dihukum. Maka hakim akan membebaskan atau melepaskannya dari
segala tuntutan Andi sebagai pelaku (in casus ministra) karena terbukti
tidak adanya delik dengan konsekuensi manus domina sebagai penganjur
( uitlocker ) yaitu X tidak dapat dijatuhi sanksi sebab tidak ada delik ,
tetapi bagi aliran dualistis dalam delik terbukti dalam kasus ini sudah
terwujud adanya delik, perbuatan criminal, sebab unsur kemampuan
pertanggung jawaban pidana yang oleh pandangan monistis disebut unsur
subyektif
Di dalam sistem dualistis dapat dibuat bagan tentang syarat
pemidanaan yaitu 61:
a). Actus reus (delictum ), perbuatan kriminal sebagai syarat
pemidanaan obyektif,
b). Mens rea, pertanggung jawaban kriminal sebagai syarat
pemidanaan subyektif, sehingga dengan kata lain actus reus +
mens rea= syarat pemidanaan62. Hal yang sama diuraikan oleh
Andi Hamzah dalam rumusan delik dalam teori dualistisnya
memisahkan antara perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang dan diancam pidana (actus reus) di satu pihak dan
pertanggung jawaban (mens rea) di lain pihak.
Mengapa pertanggung jawaban ini penting karena dilihat
dalam kenyataan di pengadilan dapat terjadi hal yang menarik
sebab tidak secara matematis dengan rumus tertentu yang
dalam praktek mungkin terjadi seorang pembantu
61 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Cet.2 edisi revisi ( Jakarta : PT Rineka Cipta ,1994 ), hal.89 – 90.
62 A.Z. Abidin , Asas-asas Hukum Pidanaa, 1987 , hal. 259-260.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
27
(medeplichtige) dijatuhi pidana yang lebih berat daripada
pidana bagi dader-nya sendiri63.
Dalam penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system)
pertanggungan jawab pidana menempati posisi sentral karena putusan
dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi luas, baik bagi pelaku
maupun terhadap masyarakat. Apalagi bila keputusan itu dianggap tidak
tepat, dampak yang terjadi ialah timbulnya reaksi yang kontroversial,
sebab pandangan yang sangat beragam. Sesuatu yang tidak diharapkan
akan terjadi bila pemberian pertanggung jawaban dengan disparitas tidak
dapat diatasi maka akan timbul demoralisasi dan sikap anti-rehabilitasi di
kalangan terpidana yang merasakan pertanggung jawabannya lebih berat
daripada yang seharusnya diterima bila dibandingkan dengan terpidana
lain yang sejenis dan sebanding64.
Alf Ross berpendapat bahwa keadilan ialah kesamaan, dimana syarat
kesamaan adalah tidak seorangpun akan diperlakukan secara sewenang-
wenang atau tanpa dasar berbeda dari orang lain. Sedangkan arti kesamaan
ditentukan berdasarkan ukuran norma kesusilaan dan norma-norma
hukum yang berlaku. Keputusan yang patut dan adil ialah keputusan yang
terjadi sesuai norma yang berlaku, sehingga keadilan diterapkan dalam
rumusan pertanggung jawaban pidana yaitu penjatuhan pidana karena
perbuatanya memang ada aturan hukumnya65
2.2.4 Keadilan Dalam Pertanggungjawaban Pidana.
Alf Ross mengatakan bahwa keadilan dalam suatu keputusan adalah patut
dan adil. Hal ini tidak lain bahwa ini telah sesuai dengan norma yang berlaku
atau sistem norma yang berlaku66. Menurut GustafRadbruch keadilan adalah
suatu ukuran nilai bagi hukum positif dan merupakan tujuan yang dikejar oleh
63 Abdullah Mustafa dan Achmad Ruben, Intisari Hukum Pidana, Cet. 2, (Jakarta : GhaliaIndonesia, 1986), hal. 67.
64 Muladi dan Nawawi Arief, Op.cit, hal. 52-57.65 Roeslan Saleh, Op.cit, hal. 20-23.66 Roeslan Saleh, Ibid. hal. 12, 13.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
28
pembentuk undang-undang dan ini sulit dicapai. Sedangkan hukum itu sendiri
sebagai kenyataan yang harus melayani keadilan.67
2.3 Kemampuan Bertanggung Jawab
Jerome Hall mengemukakan bahwa terlepas dari baik atau tidak baiknya motif
dilakukanya kejahatan (walaupun ini penting), namun prinsip umum pertanggung
jawaban pidana adalah menghendaki atau karena kelalaian melakukan suatu
perbuatan yang salah secara moral68. Pertanggungjawaban pidana merupakan salah
satu sokoguru dari hukum pidana yaitu terdiri atas perbuatan pidana dan pertanggung
jawaban pidana69. Pertanggung jawaban pidana tidak hanya merupakan masalah
akademik, melainkan telah terwujud dalam perundang–undangan pidana dan
diterapkan dalam kehidupan hukum sehari-hari yang sampai saat ini masih terjadi
perbedaan pendapat, karena menyangkut masalah pandangan falsafah yang banyak
kurang diperhatikan.
Pemikiran hukum pidana menurut sejarah ilmu hukum pidana, mempunyai
tiga fase, yaitu:
“Fase normatif-sistematis, fase empiris dan fase falsafah yang merupakan suatu siklus
atau berjalan terus menerus. Pemikiran hukum pidana tidak akan sempurna dan utuh
jika dilepaskan dari pandangan–pandangan falsafah dan ini akan pula berpengaruh
terhadap masalah pertanggung jawaban pidana dan yang sangat penting ialah masalah
keadilan”70.
Dalam proses perancangan undang-undang hukum pidana, kesulitan utama dijumpai
pada saat penentuan jenis dan besaran sanksi pidana terhadap suatu tindak pidana.
Kejadian ini tidak hanya dijumpai di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain.71
2.3.1 Sifat Obyektif dari Rasa Keadilan.
67 Roeslan Saleh, Ibid. hal. 14, 15.68 Roeslan Saleh, Ibid. hal. 23.69 Roestan Saleh, Ibid, hal. 3.70 Ibid, hal. 4.71 Harkristuti Harkrisnowo. Op.cit. hal. 17.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
29
Rasa keadilan pada pokoknya merupakan buah pekerjaan kerohanian
dari seorang manusia. Seorang manusia pada pokoknya bersifat perseorangan
atau ”subyektif”. Rasa keadilan tiap-tiap masyarakat (yang meskipun melekat
pada tiap-tiap orang dapat juga berbeda) pada umumnya sudah mengandung
unsur saling menghargai berbagai kepentingan masing-masing, sehingga sudah
selayaknya apabila diantara rasa keadilan dari berbagai anggota masyarakat ada
persamaan irama yang memungkinkan persamaan wujud dari hasil rasa
keadilan.
Secara filosofis tujuan hukum ialah mencapai kedamaian, dan
kedamaian berarti keserasian antara nilai ketertiban dengan ketenteraman, yang
mengejawantah pada tugas hukum, yakni kepastian hukum dan kesebandingan
hukum.72 Dengan demikian apabila dihubungkan dengan hukum pidana, maka
tujuannya juga untuk memenuhi rasa keadilan.73 Agar rasa keadilan itu dapat
terlaksana, dikemukakan dua sokoguru dalam hukum pidana, yaitu perbuatan
pidana dan pertanggung jawaban pidana74.
Dengan demikian juga tercapai sekedar suatu “obyetifitas” dari rasa
keadilan, yang menjadi ukuran,sampai dimana harus diadakan sanksi pidana
terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum75.
2.3.2 Kesulitan penentuan besaran sanksi
Suatu penetapan bagi sanksi pidana baru perlu diciptakan dan masalah
pertanggung jawaban ini memang sulit menentukan hal paritas, peringkat
maupun jarak kualitas (pirity, rank ordering and spacing) antara satu tindak
pidana dengan yang lain76. Upaya menentukan proporsi ini memang tidak
mudah tapi perlu adanya keadilan dengan cara adanya konstistensi. Hal ini
dapat dilakukan melalui legislasi maupun pada saat implemetasi oleh lembaga
peradilan, karena sanksi adalah pertanggung jawaban pidana yang perlu
72 Soerjono Soekanto (2) Op.cit. hal. 5.73 Wiryono Prodjodikoro, Op.cit. hal. 17-18.74 Roeslan Saleh, Op.cit, hal. 11.75 Wirjono Prodjodikoro ,op.cit, hal.17.76 Harkristuti Harkrisnowo, op.cit, hal. 19.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
30
dilandasi keadilan demi penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan.
2.4 Pikiran-Pikiran Pertanggungan Jawab Pidana
Banyak tulisan yang membicarakan tentang syarat-syarat dari mampu
bertanggung jawab atau tidak mampu bertanggung jawab. Syarat utamanya ialah
telah dilakukan suatu perbuatan pidana. Siapakah yang bertanggung jawab atas
dilakukannya perbuatan pidana tersebut? Pada umumnya ialah orang yang disangka
telah melakukan perbuatan itu77.
Seseorang yang harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang
terjadi, maka langkah selanjutnya ialah menegaskan apakah ia juga memenuhi syarat-
syarat yang diperlukan untuk pertanggungjawaban itu. Menurut pandangan-
pandangan tradisional, di samping syarat-syarat obyektif melakukan perbuatan
pidana, harus dipenuhi pula syarat-syarat subyektif atau syarat-syarat mental untuk
dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhkan pidana. Syarat subyektif ini disebut
kesalahan.78 Menurut sistem hukum kontinental syarat-syarat subyektif ini dibagi dua
yaitu bentuk kesalahan (kesengajaan dan kealpaan) dan mampu bertanggungjawab.
Dalam Sistem hukum Common Law syarat-syarat ini disatukan dalam means rea.79
2.4.1 Aliran dalam delik atau perbuatan pidana
Ada dua golongan aliran yang berbicara mengenai delik, ada aliran yang
merumuskan delik sebagai suatu kesatuan bulat dan yang terpisahkan menjadi
dua bagian, yaitu aliran monistis dan aliran dualistis yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
2.4.2 Aliran Monistis
Aliran monotis tentang delik ini menggambarkan delik sebagai kesatuan
yang bulat dimana strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana
yang bersifat melawan hukum serta berhubungan dengan kesalahan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab. Simons, Van Hamel dan Vos semuanya
77 Roeslan Saleh, Op.cit. hal. 32.78 Ibid, hal. 33.79 Ibid.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
31
merumuskan delik itu secara bulat diantaranya mereka merumuskan strafbaar
feit yang paling lengkap oleh Simons meliputi80:
a. Diancam pidana oleh hukum;
b. Bertentangan dengan hukum;
c. Dilakukan oleh orang bersalah;
d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Mereka tidak memisahkan antara perbuatan dan akibatnya yang oleh kalangan
disebut aliran monistis tentang delik.
2.4.3 Aliran Dualistis
Aliran ini memisahkan antara perbuatan yang dilarang oleh undang–
undang dan diancam pidana (actus reus) dan pertanggung jawaban pidana
(mens rea) atau dapat dikatakan dipisahkan antara perbuatan dan rumusan delik
di satu pihak sebagai actus reus dan kesalahan, di lain pihak sebagai mens rea81.
Gambar 1.
Aliran Dualistis
80 Andi Hamzah, Op.cit. hal. 88-89.81 Andi Hamzah , Ibid. hal. 103.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
32
Di Indonesia aliran ini dianut oleh Moelyatno, kemudian diikuti oleh
Roeslan Saleh dan A.Z. Abidin, menurut mereka bertiga aliran monistis yang
dianut sebagian besar sarjana hukum dapat menghasilkan ketidak adilan82.
82 Ibid, hal. 89.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
33
3. RUANG LINGKUP PENGAMBILAN KEPUTUSAN HAKIM
Membicarakan masalah putusan hakim maka keadilan adalah tujuan atau output
dari suatu proses yang terjadi dari suatu sistem peradilan, dimana sesuai pendapat
Plato dalam bukunya Republic keadilan merupakan kebijakan penting dari negara83
sehingga diharapkan peradilan yang merupakan perangkat suatu Negara juga dapat
mencerminkan suatu keadilan lewat putusan-putusan hakim. Penegakan hukum
sebagai suatu proses , pada hakikatnya merupakan penerapan deskresi yang
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum.84
3.1 Tugas Hakim Dalam Penegakan Hukum
Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatannya
yaitu upaya untuk menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan mengejawantah dalam sikap tindak. Sebagai rangkaian
penjabaran nilai-nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup dimana konsepsi filosofis ini masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut sehingga tampak lebih kongkrit.85
Penegakan hukum tidak hanya “law inforcement”, tetapi juga “peace
maintenance” 86 dan yang terlibat ialah bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian,
kepengacaraan dan lembaga pemasyarakatan sehingga hukum dapat berfungsi
sebagai perlindungan kepentingan manusia. Dan untuk itu hukum harus dilaksanakan.
Menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu87: kepastian
hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(Gerechtigheit). Undang-undang tidak sempurna dan memang tidak mungkin
83 Henry J. Schmandt, History of Political philosophy, Filsafat Politik, Kajian Histories DariZaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, Penterjemah Ahmad Baidlowi ,Imam Bahehaq i (Yogyakarta; Pustaka pelajar, 2002 ), hal 64, 65.
84 Soeryono Soekanto (1), Op.cit. hal.7.85 Soerjono Soekanto (1), Ibid. hal. 5.86 Ibid. hal.19.87 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta : PT. Citra Aditya
Bakti, 1993), hal. 1-3.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
34
undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada
kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya juga tidak jelas tetapi tetap
harus dilaksanakan.
Hukum harus ditegakkan dan dilaksanakan karena setiap orang mengharapkan
dapat ditetapkan hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Meskipun dunia ini
runtuh hukum harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mudus),88 dan itulah yang
diharapkan oleh kepastian hukum. Kalau dalam menegakkan hukum hanya
diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur–unsur lain dikorbankan dan begitu
selanjutnya. Sehingga dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga
unsur tersebut dan secara proporsional seimbang. Hal yang menyangkut keadilan,
pengertiannya tidak termasuk dalam tugas dari ilmu pengetahuan hukum yang
tradisional melainkan termasuk bidang filsafat hukum atau teori hukum89.Kemudian
perkembangan positivisme dengan mengungkapkan prinsip dasar filsafat yang antara
lain90 :
a. Sesuatu yang benar-benar tampil dalam pengalaman adalah benar( prinsip
empirisme Locke dan David Hume);
b. Pengalaman yang pasti secara nyata diakui sebagai kebenaran;
c. Pengalaman nyata hanya dapat dibuktikan melalui ilmu ;
d. Semua kebenaran hanya didapat melalui ilmu maka tugas filsafat adalah
mengatur hasil penyelidikan ilmu itu.
Kepastian hukum bukan satu-satunya penjamin keterwujudan keadilan. Karena
John Chipman Gray dalam penelitiannya telah menyimpulkan bahwa kepastian
hukum dalam hukum tertulis itu tidak ditaati oleh hakim dalam memutus perkara-
perkara yang dihadapi, karena hukum bukanlah hukum dalam kitab undang-undang
tetapi apa yang berlaku dalam praktek91. Saint Simon, Aguste Comte dari Perancis
serta Herbert Spencer dari Inggris mengatakan bahwa untuk mendapatkan kebenaran
88 Ibid.89 Roeslan Saleh, opcit. hal. 9.90 Lily Rasyidi dan Wyasa Putra, Op.cit. hal. 118.91 Ibid. hal. 126.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
35
yang seluas-luasnya termasuk kebenaran dalam kehidupan manusia maka metode
ilmiah juga diterapkan.92
Dalam rangka menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup yang mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai yang
baik dan buruk yang selalu terwujud dalam pasangan tertentu seperti nilai ketertiban
dengan nilai ketentraman. Nilai kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Nilai
kelestarian dengan inovativisme dan seterusnya yang keduanya saling bertegangan
seperti ketentraman bertitik tolak dengan kebebasan Ketertiban bertitik tolak dengan
keterikatan, sehingga dalam kehidupan manusia selalu memerlukan keterikatan
maupun kebebasan dalam ujud yang serasi yang kemudian mengejawantah ke dalam
kaidah hukum pidana berwujud perintah atau anjuran, larangan-larangan, dan
kebolehan untuk melakukan perbuatan–perbuatan tertentu.93
Undang-undang itu tidak sempurna dan memang tidak mungkin bisa mengatur
segala kegiatan kehidupan manusia. Mungkin tidak lengkap atau tidak jelas tapi harus
tetap dipakai sebagai alat pelaksanaan.94
Di dalam KUHAP landasan filosofis merupakan landasan yang bersifat ideal,
yang memotivasi aparat penegak hukum dan mengarahkan semangat serta dedikasi
pengabdian penegak hukum untuk mewujudkan keluhuran kebenaran dan keadilan.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap undang-undang, hakim harus melaksanakan
atau menegakkan undang–undang. Hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan
atau penegakan undang–undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat dan tidak
boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena
hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan
dengan dalih tidak sempurnanya undang–undang atau tidak adanya peraturan umum
mengenai undang–undang, sesuai Undang–Undang Nomor 4 tahun 2004, Tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 ayat(1).
3.1.1 Hakim dan Kekuasaan Kehakiman
92 Ibid. hal. 118.93 Lihat Soerjono Soekanto (1), op. cit. hal. 5-6.94 Sudikno Mertokusumo, op. cit. hal. 3.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
36
Dalam Undang-Undang No.4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
disebutkan dalam Pasal 28 ayat 1: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
a. Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka
Hakim yang bebas dan tidak memihak merupakan ketentuan
universal yang merupakan ciri dari suatu Negara hukum.
Kekuasaan kehakimam adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keaadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia95. Tetapi agar semua dapat berjalan baik maka
diperlukan persyaratan seorang hakim.
b. Syarat Seorang Hakim
Hakim yang bebas dan tidak memihak merupakan ketentuan
universal yang merupakan ciri dari Negara hukum. Disamping itu Hakim
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,
professional, dan berpengalaman di bidang hukum dan telah mengucapkan
sumpah dan janji menurut agamanya96. untuk menjalankan fungsinya,
hakim memerlukan perangkat lunak yang menyangkut tugas dan
wewenangnya.
c. Tugas dan Wewenang Hakim
Dasar pertimbangan hukum dalam putusan Hakim ialah:
Pasal 1 ad 8 KUHAP
“Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili”
Pasal 1 ad 9 KUHAP
“Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
95 Undang Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 2004 , Tentang Kekuasaan Kehakiman ,Ps. 1
96 Ibid. Ps. 30, 32.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
37
jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Sedangkan Pasal 1 ad 11 KUHAP menyatakan:
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan
atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”
Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
“Peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya.”
Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum,
sedangkan pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan.
Andaikata tidak menemukan hukum tertulis, Hakim wajib menggali
hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang
yang bijaksana dan bertanggung–jawab penuh Kepada Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri ,masyarakat, Bangsa dan Negara.
3.1.2 Putusan Hakim
Tugas hakim adalah mengambil atau menjatuhkan keputusan yang
mempunyai akibat hukum bagi pihak lain dan tidak mungkin menolak
menjatuhkan apabila perkaranya sudah mulai diperiksa97. Karena undang-
undang tidak lengkap dan sumber hukum tidak hanya undang-undang atau
peradilan saja, maka hakim harus mampu mengisi kekosongan ini.98
3.1.2.1 Acara Pengambilan Keputusan
Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang selesai, maka giliran
hakim mempersilahkan jaksa penuntut umum membacakan requisitor
97 Sudikno Mertokusumo, op. cit. hal. 31.98 Ibid. hal. 45.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
38
(tuntutannya), dan kemudian terdakwa atau pengacaranya (mewakili
terdakwa) membacakan pembelaannya. Selanjutnya pembelaan tersebut
akan dijawab oleh penuntut umum, dan di sinilah terdakwa/pembelanya
dalam pasal 182 ayat (1) KUHAP mendapat giliran terakhir. Setelah acara
tersebut selesai, hakim menyatakan pemeriksaan ditutup.
Sesuai pasal 182 ayat (5) KUHAP diadakan musyawarah dan
menanyakan dari Hakim termuda ke Hakim yang tertua mengenai
pendapatnya disertai pertimbangan serta alasannya. Bila suara bulat tidak
didapat maka sesuai pasal 182 ayat (6) KUHAP, putusan diambil dengan
cara: Putusan dengan suara terbanyak atau; jika hal di atas tidak didapat
maka dipilih pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
3.1.2.2 Putusan Pengadilan
Yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim
yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa
pemidanaan, bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam KUHAP pasal 191, dimana diterjemahkan
putusan pengadilan itu berupa :
“Bebas dari segala tuduhan (vrijspraak), jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan dalam persidangan, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”.
Lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging),
jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka ia dipidana sesuai pasal 193 ayat(1) yang menentukan
pemidanaan (veroordelend vonnis), jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya99.
Dari keadaan tersebut di atas, apabila hakim telah yakin berdasarkan
alat bukti yang sah, maka putusan dapat dijatuhkan.
99 Abdullah, Mustafa dan Achmad Ruben, Op.cit. hal. 86 .
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
39
Pemidanaan ini merupakan putusan hakim berisi suatu perintah
kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatanya yang
dilakukan sesuai dengan amar putusan. Dari keadaan tersebut di atas, fakta
di persidangan yang cukup meyakinkan bahwa terdakwa melakukan
perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan, putusan dapat dijatuhkan
(dengan ketentuan tidak melanggar pasal 183 KUHAP).100
Keputusan hakim ini akan sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP) dan
harus ditandatangani hakim dan panitera seketika setelah putusan
diucapkan (Pasal 200 KUHAP) yang pada hakikatnya terdiri atas 2 (dua)
jenis yaitu putusan akhir, dan putusan yang bukan putusan akhir atau
putusan sela atau berupa penetapan sesuai pasal 156 ayat (1) KUHAP
dimana putusan ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila
terdakwa/penasehat hukum dan penuntut umum telah menerima putusan
itu. Akan tetapi, secara material perkara tersebut dapat dibuka kembali
apabila salah satu pihak (terdawa/penasehat hukum atau Penuntut Umum)
mengajukan perlawanan dan perlawanan tersebut dibenarkan oleh
Pengadilan Tinggi, sehingga Pengadilan Tinggi memerintahkan
Pengadilan Negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang
bersangkutan101. Apabila majelis hakim telah memeriksa sampai selesai
pokok perkaranya sesuai pasal 182 ayat (3) dan ayat (8) KUHAP dan
pasal 199 KUHAP putusan itu dinamakan ”putusan akhir” atau
”putusan”.
3.1.2.3 Putusan Yang Adil
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka yang tertera pada pasal 1 butir 22 KUHAP
dengan alasan pemeriksaan dinyatakan sudah ditutup.
100 Lihat Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana “Suatu Tinjauan Khusus Terhadap SuratDakwaan Eksepsi dan Putusan Peradilan”, (Bandung: .PT. Citra Aditya Bakti , 2002), hal. 126-127.
101 Ibid. hal. 125.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
40
Sebelum membicarakan tentang masalah pertanggung jawaban
pidana, perlu diperhatikan bahwa masalah pertanggung jawaban pidana itu
erat sekali hubungannya dengan masalah keadilan sehingga perlu kita
bahas masalah keadilan sebagai soal filsafat.
Dilihat dari pengertian-pengertian yang bersifat linguistik maupun
dari konsepsi filsafat, ada suatu ikatan yang erat antara hukum dan
keadilan. Oleh karenanya ahli hukum seyogyanya menguasai masalah–
masalah tentang keadilan dan harus dipecahkan dengan pemikiran-
pemikiran filsafat102. Pembahasan sistematis yang membicarakan tentang
pertanggungjawaban pidana dari pengertian keadilan tidaklah termasuk
dalam tugas ilmu pengetahuan hukum tradisional, melainkan dalam
bidang filsafat hukum atau teori hukum.
Walaupun ada kecenderungan bahwa ahli hukum enggan melibatkan
diri dengan pemikiran-pemikiran filsafat, tetapi sudah sejak dulu kita
melihat adanya pandangan-pandangan falsafah dalam pemikiran-
pemikiran hukum bahkan ada dalam yurisprudensinya. Menurut Ulpanus
dari Romawi kata ‘hukum’ berasal dari kata ‘keadilan’, yang menurut
Celcus telah dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan mengenai hak dan
kepatutan. Ulpanus juga mengatakan bahwa sebelum ada hukum sudah
dituntut adanya keadilan. Atau dengan kata lain, cita-cita hukum
dilahirkan oleh cita-cita keadilan103. Keterangan Ulpanus tentang
keadilan dan Cicero dalam pidatonya serta Plato dalam Politea menyebut
keadilan adalah Kehendak yang tetap ada dan berlaku terus untuk
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Aristotoles mengatakan dalam buku “Politea” bahwa keadilan
adalah kepastian dan persamaan, yang mana persamaan itu ada dua;
pertama, persamaan numeris yang berarti diperlakukan secara sama dan
identik dalam jumlah dan volume hal-hal yang Anda dapatkan; kedua,
102 Roeslan Saleh, op. cit., hal. 9.103 Ibid. hal. 10
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
41
persamaan yang sebanding artinya diperlukan berdasarkan persamaan
perbandingan104. Demikian pula diuraikan oleh Aristotoles mengenai
keadilan,mereka sepakat bahwa prinsip keadilan adalah persamaan yang
sebanding105 sehingga didalam suatu konflik ketidaksamaan hanya bisa
diatasi bila dilakukan dengan cara yang sebanding, sehingga persamaan
yang sebanding ini diperlakukan berdasarkan persamaan perbandingan106.
Sehingga orang sekarang siap untuk menyetujui bahwa keadilan absolut
terletak pada proporsi ganjaran, dikatakan pula mengenai keadilan
distributive yang dijelaskan pula oleh Aristotoles bahwa keadilan ini
bukanlah persamaan tetapi kesebandingan yang harus diperhatikan dan
keadilan ini diperlukan dengan masalah hubungan antara masyarakat,
khususnya Negara dengan perseorangan tertentu107
3.2 Penemuan Hukum Oleh Hakim
Ada beberapa hal yang patut di perhatikan di antaranya:
3.2.1 Keterbatasan Undang-Undang
Akibat ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang, yang
mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.
Kalau setiap kali ada putusan berlainan mengenai perkara sejenis,
maka tidak ada kepastian hukum. Tetapi sebaliknya hakim terikat mutlak
pada putusan perkara sejenis yang pernah diputuskan maka hakim tidak
bebas untuk mengikuti perkembangan masyarakat melalui putusan-
putusannya. Kalau perundang-undangan tidak memberi jawaban dan tidak
pula ada putusan pengadilan, maka hakim mencari jawaban pada pendapat
104 Aristotoles, Politics (New York : Oxford University Press 1995) Ditejemahkan oleh SautPasaribu. Hal. 218-223
105 Aristotoles. Ibid. hal,219106 Aristotoles. Ibid. hal,221107 Soetiksno. Filsafat Hukum, bagian 1, Cet. ke-9 (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2002)
hal.15.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
42
sarjana hukum dan ilmu pengetahuan karena ini merupakan salah satu
sumber untuk menemukan hukum108.
3.2.2 Upaya hakim dalam keterbatasan undang-undang
Penemuan hukum berawal dari suatu upaya hakim untuk mengadili
sesuatu yang belum jelas dasar hukumnya. Disamping itu karena undang-
undang tidak sempurna dan memang tidak mungkin undang-undang
mengatur segala kegiatan manusia. Adakalanya undang-undang tidak
lengkap atau tidak jelas, tetapi harus tetap dilaksanakan109. Sebagai
akibatnya pengadilan tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 ayat 1, Undang-Undang No.4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa:
“Peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya.”
Masyarakat berpandangan bahwa hakim merupakan organ
pengadilan dianggap memahami hukum, sehingga pencari keadilan datang
padanya untuk memohon keadilan. Andaikata tidak menemukan hukum
tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus
berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung–
jawab penuh Kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat,
Bangsa dan Negara.
Mereka tidak boleh menolak karena undang–undangnya tidak
lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya dan harus
menemukan hukumnya sesuai pasal 16 ayat (1) UU (rechtsvindinding),
meskipun tidak lengkap dan ada kalanya undang–undang tidak jelas, tetapi
undang-undang harus tetap dilaksanakan. Penemuan hukum lazimnya
diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-
108 Sudikno Mertokusumo, op. cit. hal. 30-31.109 Sudikno Mertokusumo dan Pitlo.A. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, ( Yogyakarta :
PT. Citra Aditya Bakti , 1993), hal. 3.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
43
petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
hukum yang kongkrit. Hasil penemuan hukum oleh hakim disebut hukum,
sedangkan bila penemuan hukum ini dilakukan oleh ilmuwan disebut
doktrin. Apabila doktrin ini diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam
putusannya, maka otomatis menjadi hukum 110.
3.2.3 Doktrin
Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar
pengaruhnya terhadap hakim dalam pengambilan keputusanya. Dalam
mengambil keputusan hakim sering menyebut dasar keputusan dengan
menyebut pendapat para sarjana hukum tertentu sebagai dasar
pertimbangannya yang dengan demikian hakim menemukan hukumnya
dalam doktrin itu111.
Ilmu pengetahuan bersifat obyektif dan mempunyai wibawa karena
diikuti oleh pendukung maupun pengikutnya. Karena putusan hakim itu
juga harus obyetif maka ilmu pengetahuan merupakan sumber untuk
mendapatkan jawaban guna mendukung atau mempertanggung jawabkan
putusan hakim.
3.3 Perkembangan Penemuan Hukum Oleh Hakim
Dalam penemuan hukum yang otonom ini putusan hakim menurut apresiasi
pribadi dan hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang–
undang terhadap peristiwa hukum konkrit. Pandangan baru ini oleh Van Eikema
Hommes disebut pandangan yang materiil yuridis, yang di Jerman diikuti oleh Oskar
Bullow dan Eugen Erlich dan dikembangkan di Perancis oleh Fancois Geny.
Undang–Undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan
terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktek hukum dari hakim. Dalam
110 Ibid.111 J.B.Daliyo., Pengantar Ilmu Hukum Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT. Penhallindo,
2001), hal.63.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
44
kenyataaanya tidak ada batas yang tajam antara penemuan hukum yang heteronom
dan otonom, tetapi dalam praktek penemuan hukum mengandung kedua unsur di atas.
3.3.1 Penemuan hukum dalam Anglo Saxon
Dalam sistem Anglo Saxon, penemuan hukum yang otonom juga
sekaligus heteronom karena hakim terikat pada putusan–putusan terdahulu.
Sedangkan dalam sistem hukum Kontinental yang berlaku di Indonesia, dikenal
penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang–undang,
tetapi penemuan hukum ini mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena
seringkali hakim harus melengkapi undang–undang menurut pandangannya
sendiri112, sedangkan Pasal 1 KUH Pidana membatasi ruang gerak hakim
pidana.
3.3.2 Putusan Hakim di Indonesia
Indonesia yang menganut sistim continental dalam praktek, tugas utama
hakim ialah: menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Namun
demikian dalam konteks dan sistem penegakan hukum di pengadilan-
pengadilan, hakim belum mampu menyelesaikan sengketa dan menegakkan
keadilan dan dalam peradilan legalistic formalistic (Eropa Continental),
mengarahkan Hakim bukan sebagai corong keadilan (speaker of justice)
melainkan sekedar sebagai corong undang-undang (speaker of law). Manusia
dengan segala kelemahanya ditempatkan pada posisi sentral dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Dalam sistem continental (Eropa), Hakim diibaratkan
sebagai wakil Tuhan di dunia sehingga hakim punya segudang kekebalan
hukum apapun, sehingga kepadanya tidak dapat dituntut dan dihukum dan di
dunia ini tidak ada hukum yang dapat menghukum hakim. Semata-mata
keyakinan Hakim menjadi ukuran perasaan keadilan yang subyektif dan
sepihak, yang mana dalam hukum pidana menjadi alat bukti yang sah. Sehingga
keyakinan dan perasaan keadilan masyarakat hanya menjadi obyek dari proses
penegakkan hukum di pengadilan dimana balutan formalisme yang disimbulkan
dengan ‘Jubah Hakim’ mencerminkan kekakuan dan keangkeran kultural
112 Ibid. hal. 9.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
45
Sistem peradilan yang tidak menegakkan keadilan tetapi menegakkan
formalisme hukum113.
Di sini hakim tidak menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan
undang-undang terhadap peristiwa hukum konkrit. Tetapi hakim hanyalah
corong dari undang-undang yang tidak dapat mengubah atau menambah
undang-undang. Pandangan klasik yang dipertahankan oleh Montesquieu dan
Kant, ini didasarkan pada pandangan Montesqueiu bahwa pembentukan
undang–undang merupakan satu-satunya sumber hukum positif, demi kepastian
hukum, kesatuan hukum dan kebebasan warganya oleh tindakan sewenang–
wenang dari hakim.
Dalam pandangan ini peradilan tidak lain hanyalah suatu bentuk
silogisme, dimana undang-undang merupakan premisse mayor, peristiwanya
yang konkrit merupakan premisse minor, sedangkan putusan hakim merupakan
konklusi atau kesimpulanya. Demikian pula suatu keputusan hakim tidak akan
berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam undang–undang yang
berhubungan dengan peristiwa konkrit sehingga hakim harus mengadili
menurut undang-undang dan hakim tidak diperkenankan menilai inti atau
keadilan dari undang–undang. Hakim bukanlah pembentuk undang–undang dan
menurut Wiandra karena hakim memutuskan berdasarkan pada peraturan-
peraturan di luar dirinya yang berarti hakim tidak mandiri dan dinamakan
sebagai heteronom.
Pandangan yang logisistis dari Montesqiueu yang berdasarkan aspek logis
analitis yang dimutlakkan mengenai peradilan oleh Van Eikema Hommes tidak
dapat dipertahankan dan sejak tahun 1850 condong pada peranan yang mandiri
dalam pembentukan hukum oleh hakim114.
3.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hakim Dalam Pengambilan Keputusan
3.4.1 Proses Pembuktian Dalam Pengadilan
113 Sidik Sunaryo, Op.cit. hal. 27- 28.114 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 6-7.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
46
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam
proses pengadilan. Melalui proses pembuktian ini bila terdakwa akan
dinyatakan bersalah atau tidak bersalah alias bebas yang berdasarkan alat
bukti yang disebut dalam pasal 184 KUHAP sebagai kekuatan pembuktian.
Pembuktian ini merupakan inti dari pemeriksaan perkara dalam persidangan dan
dalam sistem pembuktian ada beberapa teori cara mulai dari hakim yang punya
peranan mutlak sampai undang-undang yang punya peranan menentukan:
a.Conviction in time, Semata-mata keyakinan hakim sudah dapat memutuskan
terdakwa bersalah atau tidaknya dan dari mana hakim menyimpulkan tidak
menjadi masalah.
b.Conviction–raisonee, Meskipun keyakinan hakim masih memegang peranan
penting dalam penentuan terdakwa terhadap kesalahanya tetapi faktor
keyakinan hakim dibatasi dengan alasan–alasan yang jelas dan hakim wajib
menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinanya
atas kesalahan terdakwa itu.
c.Pembuktian menurut undang–undang secara positif Dalam hal ini, keyakinan
hakim sama sekali tidak mempengaruhi proses pembuktian. Yang dipakai
pedoman hanya cukup dengan aturan yang sesuai dengan undang-undang
dan itu sudah cukup dipakai sebagai alat untuk menentukan salah tidaknya
terdakwa dalam proses pembuktian.
d.Pembuktian menurut undang-undang secara negatif Teori ini merupakan
gabungan dari dua teori conviction in-time dengan pembuktian secara
undang-undang positif diharapkan terdapat keseimbangan antara peranan
hakim dan peranan undang-undang, sehingga komponen:
1). Pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah menurut undang-
undang.
2). Keyakinan hakim juga berdasarkan atas cara dan dasar titik di atas.
Sistem pembuktian yang dianut didalam KUHAP dalam pasal 183
KUHAP berbunyi:
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
47
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukanya”.
Semua dilakukan dengan harapan dapat tegaknya kebenaran sejati, tegaknya
keadilan serta kepastian hukum115.
3.4.2 Undang-Undang (KUHAP, KUHP, dan yang lain).
Gangguan terhadap penegakkan hukum yang berasal dari undang-undang
disebabkan tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, atau belum
adanya aturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-
undang, atau ketidak jelasan arti kata-kata dalam undang-undang akibat
terjemahan dan memilih kata yang kurang tepat mengakibatkan
kesimpangsiuran penafsiran serta penerapannya116.
3.4.3 Penentuan besaran sanksi pidana
Hakim mempunyai kebebasan dalam memilih besarnya pidana yang akan
dijatuhkan selama mengikuti pasal 12 ayat 2 KUHP antara 1(satu) hari sebagai
minimum umum dan maksimal umum 15(lima belas) tahun atau untuk
kurungan sesuai pasal 18 ayat 1 KUHP antara 1(satu) hari minimum umum dan
maksimal umum 1(satu) tahun dan pada tiap-tiap pasal akan ada ketentuan
maksimal khusus, seperti kasus yang paling banyak yang terjadi di negara kita
ialah kasus pencurian, pasal 362 KUHP kata “selama-lamanya” 5 tahun
merupakan ketentuan maksimum khusus117.
Dalam batas-batas itulah hakim mempunyai kebebasan bergerak untuk
menentukan penjatuhan pidana, tetapi karena kebebasan itu penilaian pribadi
memegang peranan118.
115 Yahya Harahap.M., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: “PemeriksaanSidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali”,. Ed .ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika,2001)., hal 252-260.
116 Surjono Sukanto (1), Op.cit. hal. 16-18.117 Muladi dan Barda Nawawi. Op.cit. 56. 57118 Surjono Sukanto (1), Op.cit. hal. 21.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
48
Cecare Lambroso mengatakan (1835-1909): ”Different criminals have different
needs” maka dimungkinkan adanya “judicial discretion”, tetapi hal ini
mengandung kelemahan berhubung adanya “judicial discretion“ yang berakibat
luas sehingga tidak ada “sentencing standard”119. Inilah penyebab adanya
disparitas sehingga putusan hakim juga dinilai masyarakat luas sangat ringan
dan tidak adanya perbedaan pemidanaan terhadap kasus kakap dan teri120.
3.4.4 Diskresi
Diskresi (Dicretion) diartikan keleluasaan atau kebijaksanaan121, Pertama-
tama dapat dikemukakan bahwa disparitas pidana dimulai dari hukum itu
sendiri, karena menurut hukum positif Indonesia hakim mempunyai kebebasan
yang luas untuk memilih beratnya pidana yang akan dijatuhkan, sebab didalam
undang-undang hanya ditentukan batas maksimum umum dan minimum
umumnya atau maksimum khususnyanya saja122, yang dalam hal ini Molly
Cheang dari Singapore yang ada persamaanya dengan Indonesia menyatakan
sebagai berikut123:
“The formal lawas expressed in our criminal law givesenormousdiscretionary power to the judge without guidance as to how that poweris to be exercised. The law generally authorizes a wide range ofpossibilities. The legislature often does little than establish an upper andlower limit“ (Cheang,1977 : 4 )
Berhubung adanya judicial discretion yang terlalu luas karena tidak adanya
sentencing standard yang dipunyai hakim tentu menghasilkan kelemahan-
kelemahan yang menimbulkan disparitas.124
Penegak hukum lebih banyak tertuju pada adanya diskresi dan ini menyangkut
pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum dan penilaian
pribadi juga memegang peranan, diskresi ini diperlukan karena125:
119 Muladi dan Barda Nawawi, Op.cit. hal. 58.120 Muladi dan Barda Nawawi Arief , Ibid.121 John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia , Cet. 12 (Jakarta: P.T.
Gamedia, 1983), hal. 185.122 Muladi dan Barda Nawawi Arif,Op.cit, hal. 56.57123 Ibid, hal.58.124 Ibid125 Ibid, hal. 21–22.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
49
1). Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya yang dapat
mengatur semua perilaku manusia.
2). Kemampuan perundang-undangan mengejar perkembangan dan kemajuan
masyarakat sangat lambat, sehingga menimbulkan ketidak pastian.
3). Kekurangan biaya untuk menerapkan perundang-udangan sebagaimana yang
dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
4). Adanya kasus-kasus bersifat individual yang memerlukan penanganan
secara khusus.
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakekatnya merupakan
penerapan diskresi yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara
ketat diatur oleh kaidah hukum akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi
(Wayne La-Favre). Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, La-Favre
menyatakan bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral
(etika dalam arti sempit)126.
3.4.5 Pribadi Hakim
Dengan latar belakang asal-usul lingkungan serta asal usul pendidikan dan
keyakinan serta pengalaman maka ada tiga hal yang akan mempengaruhi diri
seorang hakim yang secara otomatis pula mempengaruhi pengambilan
keputusanya yaitu127 Kecerdasan, Persepsi, dan filosofinya. Ketiga faktor ini
selalu akan ada dalam setiap diri manusia. Kecerdasan dibawa sejak lahir
sedangkan persepsi dan filosofinya yang berkembang sesuai pendidikan dan
pengalamanya128. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum dan telah
mengucapkan sumpah dan janji menurut agamanya129.
3.4.6 Sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi hakim:
1). Perundang-undangan yang berlaku.
126 Soerjono Soekanto (1), Op.cit. hal.7.127 Kunntoro Mangkusubroton dan Listiarini Trisnadi. Op.cit. hal. 15-16.128 Ibid. hal. 18-27.129 Undang- undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 30 dan 32
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
50
2). Hukum tidak tertulis, yang hidup di masyarakat dan hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum tersebut sesuai
kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat.
3). Yurisprudensi dan,
4). Ilmu pengetahuan130.
3.5 Persepsi Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Oleh Hakim
3.5.1 Keadaan yang mempengaruhi
Dalam pengadilan keputusan dimulai dengan tuntutan oleh jaksa penuntut
terhadap terdakwa yang dilanjutkan dengan pembuktian terhadap tuntutan
tersebut dan diakhiri dengan putusan hakim. Jika dalam ira-ira hakim seolah–
olah bertanggung jawab kepada Tuhan, sehingga tercermin hakim mewakili
Tuhan di dunia. Dan bagi hakim keputusannya tidak berakibat apa-apa bagi
dirinya kecuali hakim yang bermoral. Tidak ada resiko bagi hakim kecuali
tanggung jawabnya kepada Tuhan bila keputusannya tidak benar dan tidak adil.
Dalam menjatuhkan sanksi hakim seharusnya tahu apa yang dilakukanya
dan apa yang diharapkan dari tindakan ini, apa pula yang menjadi tujuan
keputusannya, bahkan mungkin sekali terjadi hakim menjatuhkan penjara untuk
beberapa tahun, sedangkan ia sendiri tidak mempunyai gambaran apakah yang
akan terjadi dengan terhukum ini dalam rumah penjara, atau bahkan hakim itu
mungkin sekali belum pernah melihat keadaan rumah penjara131.
3.5.2 Hal-hal yang menjadi faktor penyimpangan keputusan hakim
Dalam pengadilan keputusan dimulai dengan tuntutan oleh jaksa penuntut
terhadap terdakwa yang dilanjutkan dengan pembuktian terhadap tuntutan
tersebut dan diakhiri dengan putusan hakim. Penghayatan terhadap pandangan
modern mengenai tujuan pemidanaan tidak tampak secara nyata. Hal ini
terbukti bahwa perhatian terhadap faktor-faktor yang memberatkan dan
130 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 37.131 Roeslan Saleh., op. cit., hal. 41- 42.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
51
meringankan si pelaku tindak pidana tidak menyangkut keadaan obyektif
mengenai perbuatan dan pembuatnya, melainkan kebanyakan dikaitkan pada
sikap-sikap terdakwa selama persidangan berlangsung132 sehingga terputus
jalinan mata rantai pemberian pidana dengan tujuan pidana terhadap
pelaksanaan pidana itu.
Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang
disebabkan oleh133 :
a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang.
Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang.
b. Ketidak jelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.
Kalau setiap kali ada putusan yang berlainan mengenai perkara yang
sejenis, maka tidak ada kepastian hukum. Tetapi sebaliknya hakim terikat
mutlak pada putusan perkara yang sejenis yang pernah diputuskan, maka hakim
tidak bebas untuk mengikuti perkembangan masyarakat melalui putusan-
putusannya. Jika perundang-undangan tidak memberi jawaban dan tidak pula
ada putusan pengadilan, maka hakim mencari jawaban pada pendapat sarjana
hukum dan ilmu pengetahuan karena merupakan salah satu sumber untuk
menemukan hukum134.
3.6 Disparitas Pidana, Dampak dan Usaha Mengatasinya
Yang dimaksud dengan disparitas pidana ( disparity of sentencing ) adalah
penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap
tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat dibandingkan ( offences of
comparable seriousness ) tanpa dasar pembenaran yang jalas. Selanjutnya, tanpa
menunjuk ”legal category” disparitas pidana dapat terjadi pada penghukuman
132 Muladi, Barda Nawawi arief, op. cit., hal. 117.133 Soerjono Soekanto (1), op. cit., hal 17-18.134 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 30-31.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
52
terhadap mereka yang melakukan bersama suatu delik ( co’defedants )135 secara
bersama.
3.6.1 Faktor-faktor penyebab disparitas136
Kegiatan pemidanaan yang sangat kompleks serta adanya pengakuan
bahwa masalah pemidanaan merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan
hukum pidana menyebabkan faktor-faktor penyebabnya bersifat multi kausal
dan multi dimensional
3.6.2 Dampak disparitas137
Dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana ( criminal justice system ),
pidana menempati posisi sentral. Hal ini disebabkan keputusan dalam
pemidanaan akan mempunyai konsekwensi luas, baik yang menyangkut
langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas138. Disparitas
pidana akan berakibat fatal bilamana dikaitkan dengan “correction
administration”. Terpidana yang setelah membandingkan pidana kemudian
merasa menjadi korban “the judicial caprice” akan menjadi terpidana yang
tidak menghargai hukum. Padahal penghargaan terhadap hukum tersebut
merupakan salah satu target tujuan pemidanaan. Dari sini akan tampak suatu
persoalan yang serius, sebab akan merupakan indikator dan manifestasi
kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan dalam negara
hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap
sistem penyelenggaraan hukum pidana139.
3.7 Kesulitan Penentuan Besaran Sanksi
Suatu penetapan bagi sanksi pidana baru perlu diciptakan dan masalah
pertanggung jawaban ini memang sulit menentukan hal paritas, peringkat maupun
135 Muladi, Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 52-53.136 Muladi, Barda Nawawi Arief, ibid. hal. 52-53.137 Muladi, Barda Nawawi Arief, Ibid. hal. 54138 Muladi, Barda Nawawi Arief, Ibid. hal. 52139 Muladi, Barda Nawawi Arief, Ibid. hal. 54
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
53
jarak kualitas (pirity, rank ordering and spacing) antara satu tindak pidana dengan
yang lain140. Upaya menentukan proporsi ini memang tidak mudah tapi perlu adanya
keadilan dengan cara adanya konstistensi. Ini dapat dilakukan melalui legislasi
maupun pada saat implemetasi oleh lembaga peradilan, karena sanksi merupakan
pertanggung jawaban pidana yang perlu dilandasi keadilan demi penyelesaian konflik
dan pemulihan keseimbangan.
Dalam menentukan disparitas pidana akan lebih kompleks lagi dikarenakan
adanya beberapa katagori disparitas 141:
a. Disparitas antara tindak-tindak pidana yang sama.
b. Disparitas antara tindak-tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang
sama.
c. Disparitas antara tindak-tindak pidana yang sama dengan putusan yang dijatuhkan
oleh satu majelis hakim.
d. Disparitas antara tindak-tindak pidana yang sama dengan putusan yang dijatuhkan
oleh satu majelis hakim yang berbeda.
Tuduhan “hakim tidak adil” umumnya dikaitkan dengan masalah disparitas ini.
Untuk menghindari disparitas yang tidak jelas ialah dengan memberikan rambu-
rambu yang lebih dari sekedar penetapan pidana maksimum dan minimum dalam
undang-undang tetapi peranan hakim merupakan kunci khususnya yang berkaitan
dengan kemampuan, kepribadian dan integritasnya dan anggapan adanya mafia
peradilan. Ini merupakan ketidak percayaan terhadap hakim dalam pengambilan
keputusan, dinilai oleh masyarakat belum atau tidak bermuara pada keadilan dalam
memutuskan perkara kepada terdakwa sesuai pertanggung jawabannya.
Kondisi peradilan semakin runyam dengan adanya kasus suap di lingkungan
peradilan tertinggi yaitu MA yang melibatkan tiga hakim ditambah kemungkinan
terlibatnya Ketua MA Bagir Manan yang masalahnya sudah ditangani Komite
Pemberantasan Korupsi (KPK) sehubungannya dengan kasasi Probosutejo mengenai
dana reboisasi hutan di Kalimantan Selatan. Tindakan ini berkaitan dengan harapan
140 Harkristuti Harkrisnowo, Op.cit. hal. 19.141 Ibid. hal. 23.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
54
adanya keringanan hukuman atau pembebasan dari segala tuntutan yang tentu saja hal
ini akan menghasilkan keputusan yang jauh dari harapan masyarakat pada umumnya
dan akan tidak sesuai dengan pertanggung jawaban yang seharusnya diterima.
Sebagai dasar untuk menjelaskan pertanggung jawaban pidana kita perlu melihat dulu
dasar pembagian delik.
3.8 Usaha-Usaha Untuk Mengatasi Akibat Disparitas Pidana
Dalam hal ini digunakan 2 (dua) macam pendekan yakni:
a. Pendekatan untuk memperkecil disparitas (approach to minimize disparity).
1. Dengan cara menciptakan suatu pedoman pemberian pidana (statutory
guidelines for sentencing), yang memberikan kemungkinan bagi hakim untuk
memperhitungkan. Seluruh facet daripada kejadian-kejadian, yaitu dengan berat
ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, dengan pribadi daripada
sipembuatnya.
2. Adanya lembaga “sentencing council” seperti yang terdapat Eastern District
of Michigan Amerika Serikat yang menjadi partner hakim.
b. Pendekatan untuk memperkecil pengaruh negatif disparitas (approach to
minimize the effect of disparity)142. Untuk memecahkan masalah disparitas pidana
pada dasarnya dengan cara pendekatan untuk memperkecil disparitas pidana
dengan membuat pedoman pemberian pidana karena bila siterpidana akan
menjadi korban “judicial caprice” sebagai akibat disparitas tadi menjadi tidak
menghargai hukum untuk itu perlu dilakukan usaha rehabilitasi karena didalam
criminal justice system adanya disparitas pidana merupakan adanya indicator
kegagalan system dalam mencapai keadilan 143.
142 Muladi,, Barda Nawawi arief, op. cit., hal 67.143 Muladi, Ibid. hal. 67-71.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009