40
Universitas Indonesia 15 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM Didalam hukum berlaku asas “tiada hukuman tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld), sesuai putusan pengadilan tinggi negeri Belanda tanggal 14 Pebruari 1916.Jadi pelaku dalam peristiwa pidana harus orang yang bertanggung jawab atas perbuatannya yang salah, kecuali ada anasir yang menghapus pertanggungan jawab seperti dalam pasal 44 ayat1-2 KUH Pidana karena jiwanya cacat atau karena terganggu penyakit 35 , sehingga penegakan hukum sangatlah perlu pembahasannya dalam hubungan pertanggungan jawab pidana. 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup mempunyai pandangan-pandangan hidup tertentu mengenai apa yang baik dan yang buruk sehingga pasangan nilai ketertiban dan nilai ketentraman maupun pasangan nilai kepentingan pribadi dan nilai kepentingan umum serta nilai kelestarian dengan nilai inovativisme sehingga manusia di dalam penegakan hukum memerlukan keterikatan dan kebebasan, hal ini terlihat dari dasar-dasarnya yaitu ketertiban bertitik tolak pada keterikatan yaitu adanya undang-undang sedangkan ketenteraman bertitik tolak pada kebebasan, namun hal diatas masih perlu penjabaran lagi secara lebih kongkrit 36 . 2.1.1 Unsur-Unsur Yang Harus Diperhatikan Dalam Penegakan Hukum Fungsi hukum ialah untuk melindungi kepentingan manusia, oleh karena itu hukum harus dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum 37 . Dalam hal adanya pelanggaran hukum maka hukum yang dilanggar tersebut harus ditegakkan. 35 Hilman Hadikusuma , Bahasa Hukum Indonesia, Cet . 2, ( Bandung : Alumni,1992 ), hal. 116 . 36 Soeryono Soekanto (1). Op.cit. hal. 5, 6. 37 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Cet. 1, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1. Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

  • Upload
    vonhan

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

15

2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN

HUKUM

Didalam hukum berlaku asas “tiada hukuman tanpa kesalahan” (geen straf

zonder schuld), sesuai putusan pengadilan tinggi negeri Belanda tanggal 14 Pebruari

1916.Jadi pelaku dalam peristiwa pidana harus orang yang bertanggung jawab atas

perbuatannya yang salah, kecuali ada anasir yang menghapus pertanggungan jawab

seperti dalam pasal 44 ayat1-2 KUH Pidana karena jiwanya cacat atau karena

terganggu penyakit35, sehingga penegakan hukum sangatlah perlu pembahasannya

dalam hubungan pertanggungan jawab pidana.

2.1 Penegakan Hukum

Manusia di dalam pergaulan hidup mempunyai pandangan-pandangan hidup

tertentu mengenai apa yang baik dan yang buruk sehingga pasangan nilai ketertiban

dan nilai ketentraman maupun pasangan nilai kepentingan pribadi dan nilai

kepentingan umum serta nilai kelestarian dengan nilai inovativisme sehingga manusia

di dalam penegakan hukum memerlukan keterikatan dan kebebasan, hal ini terlihat

dari dasar-dasarnya yaitu ketertiban bertitik tolak pada keterikatan yaitu adanya

undang-undang sedangkan ketenteraman bertitik tolak pada kebebasan, namun hal

diatas masih perlu penjabaran lagi secara lebih kongkrit36.

2.1.1 Unsur-Unsur Yang Harus Diperhatikan Dalam Penegakan Hukum

Fungsi hukum ialah untuk melindungi kepentingan manusia, oleh karena

itu hukum harus dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, hukum dapat berlangsung

secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum37.

Dalam hal adanya pelanggaran hukum maka hukum yang dilanggar tersebut

harus ditegakkan.

35 Hilman Hadikusuma , Bahasa Hukum Indonesia, Cet . 2, ( Bandung : Alumni,1992 ), hal.116 .

36 Soeryono Soekanto (1). Op.cit. hal. 5, 6.37 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Cet. 1, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 1993), hal. 1.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 2: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

16

Unsur-unsur yang selalu harus diperhatikan dalam menegakkan hukum

ada 3 (tiga) yaitu38 :

a. Kepastian hukum (rechtssicherheit) : merupakan perlindungan yustisiabel

terhadap tindakan sewenang-wenang. Dasar dari kepastian hukum itu

merupakan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang

dirumuskan dalam bahasa latin nullum delictum nulla poena sine praevia

legi poenali yang diartikan tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan

pidana yang mendahuluinya39. Pengertian yang terkandung dalam asas

legalitas tersebut menurut Mulyatno ialah40:

1). Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau

hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-

undang,

2). Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi,

3). Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

(Pasal 1 ayat (2) KUHP).

b. Kemanfaatan (zweckmassigkeit) : Masyarakat mengharapkan penegakan

hukum diharapkan pelaksanaannya harus memberi manfaat atau kegunaan

bagi masyarakat.

c. Keadilan(gerechttigheit) : Masyarakat sangat berkepentingan agar

penegakan hukum, masalah keadilan diperhatikan. karena diharapkan bukan

menyamaratakan tetapi diperlukan adanya kesebandingan41.

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kurang berfungsinya penegakan

hukum

Melihat perkembangan akhir-akhir ini, ternyata hukuman kurang

berfungsi sebagaimana mestinya, terutama hukuman yang bersifat pidana dan

administratif. Berdasarkan pengamatan, penulis mempunyai dugaan bahwa

38 Ibid.39 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 2, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 39.40 Ibid, hal. 40.41 Soetiksno, Filsafat Hukum, bag. 1, Cet. 9 (Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 2002), hal. 15

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 3: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

17

kurang berfungsinya hukuman tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor,

yaitu42:

a. Lemahnya penegakan hukum dimana penindakan terhadap pelaku kejahatan

kurang dilaksanaan dengan baik, sehingga dirasakan kurang memberikan

keadilan.

b. Lemahnya perangkat hukum dimana kualitas hukuman yang diancamkan

tidak menimbulkan jera maupun rasa takut.

c. Kurang kondusifnya budaya hukum, sebab kesadaran pihak-pihak yang

terkait kurang mendukung sehingga fungsi hukuman kurang dipahami

dengan benar.

Implementasi Azas Keseimbangan dari unsur-unsur harus diperhatikan

untuk penerapan Hukuman, sebab banyak berkaitan dengan upaya-upaya agar

makna dan tujuan penghukuman memenuhi rasa keadilan. Secara teoritis,

hukuman merupakan wujud perlindungan negara terhadap masyarakat sehingga

lebih banyak diarahkan kepada pelaku kejahatan. Walaupun demikian, bukan

berarti masyarakat dapat bebas untuk berbuat semaunya yang dapat

menimbulkan peluang terjadinya kejahatan. Dengan Azas Keseimbangan,

mereka harus tetap menjalankan kewajibannya sesuai dengan yang telah diatur

dalam kaidah hukum. Untuk mengetahui lebih lanjut jenis-jenis hukuman dalam

lingkup berlakunya Hukum Pidana di Indonesia, berikut ini akan dibahas

hukuman dilihat dari sifat dan tugasnya.

2.1.3 Tujuan, Sifat dan Tugas Hukuman

2.1.3.1 Hukum

Dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, Hukum mempunyai

3(tiga) sifat yaitu Publik, Perdata (Privat), dan Admnistratif.

Pembahasan disini hanya membahas masalah Hukuman Pidana (Publik)

artinya hukuman tersebut mempunyai daya memaksa terhadap pihak

yang melakukan perbuatan melawan hukum atau pihak yang tidak

menjalankan hukum sesuai kesepakatan (Wanprestasi). Sanksi dalam

42 Soeryono Soekanto (2), Op.cit. hal. 8

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 4: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

18

hukum pidana dalam pelaksanaannya dapat dilihat dari sifat maupun

tugasnya. Ketiga jenis hukum tersebut keberlakuannya didasarkan pada

tujuan, sifat dan tugas dari sanksi sebagai salah satu komponen dalam

penegakan hukum.

Pengertian Hukuman (Sanksi) menurut Black's Law Dictionary adalah43:

" Sanction is penalty or other mechanism of enforcement used toprovide incentives for obedience with the law or ith rules andregulations. That part of a law which is designed to secureenforcement by imposing a penalty for its violation or offering areward for its observance”.(“Hukuman diartikan sebagai suatu mekanisme dari penegakan,menggunakan insentif yang mencukupi untuk dapat dipatuhinyahukum atau peraturan perundang-undangan. Merupakan bagian dariUndang-undang yang dibuat untuk mengamankan penegakan hukummelalui hukuman atas pelanggaranya.”)

2.1.3.2 Tujuan Hukuman44

Secara umum pembahasan mengenai sanksi (hukuman), dapat

dilihat dari sifat dan tugasnya dikaitkan dengan tujuan

pemberlakuannya. Menurut tujuannya, sanksi atau hukuman

diberlakukan untuk memberikan balasan yang setimpal (aliran Absolute)

atau untuk memberikan manfaat yang optimal (aliran relatieve), atau

untuk memberantas kejahatan (aliran verenigingstheorieen).

a. Menurut teori Absolute, tujuan hukuman (sanksi) adalah

memberikan balasan yang setimpal terhadap pelaku pelanggaran

ataupun kejahatan. Oleh karena pelanggaran atau kejahatan dapat

menimbulkan penderitaan terhadap korbannya, maka sudah

selayaknya pelaku mendapatkan pembalasan penderitaan pula

sebagai imbalan atas perbuatannya. Dengan demikian apabila

hukuman tersebut telah dijalankan, maka dapat dikatakan bahwa ia

telah "menebus dosa" atas perbuatanya yang merugikan orang lain.

43 Henry Camphell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St.Paul Minnesota :WestPublishing Co, 1990), hal.30.

44 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed. 2. Cet. 6 (Bandung :PT.Eresco 1989 ), hal.20-24

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 5: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

19

b. Menurut teori Relatief tujuan hukuman adalah memberikan

manfaat atas pemberlakuan hukuman itu sendiri, baik manfaat bagi

masyarakat maupun terhadap pelaku kejahatan. Teori ini kemudian

berkembang bahwa tujuan hukuman tidak saja memberikan

manfaat bagi ketertiban umum, tetapi juga harus dapat

memperbaiki ketidakpuasan yang terjadi pada anggota masyarakat

dan dapat pula sebagai sarana untuk mencegah terjadinya

kejahatan.

2.1.3.3 Sifat Hukuman

Menurut sifatnya, sanksi merupakan akibat hukum (rechtsge-

volg) dari pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum. Akibat

pelanggaran ini berupa suatu tindakan yang dikenakan kepada pelanggar

kaidah hukum tersebut. Sedangkan menurut tugasnya, sanksi merupakan

jaminan bahwa kaidah hukum akan ditaati/dipatuhi keberlakuannya45.

Sanksi pidana merupakan sanksi yang sangat tajam. Sanksi ini biasanya

baru akan diterapkan bila sanksi lainnya yang bersifat perdata atau

administratif sudah tidak dapat menjamin bahwa norma (kaidah hukum)

ditaati (ultimatum remudium). Sanksi dalam hukum pidana terdiri atas46:

a. Sanksi yang bersifat siksaan (leed), yaitu sanksi yang berwujud

siksaan terhadap fisik atau yang menimbulkan penderitaan.

Bentuknya berupa: hukuman mati, hukuman penjara, hukuman

kurungan atau hukuman berupa denda.

b. Sanksi yang berupa tindakan (Maatregel), yaitu sanksi yang

berbentuk suatu tindakan melindungi masyarakat dari

perbuatan-perbuatan yang dianggap merugikan, atau dapat pula

berbentuk suatu tindakan untuk memperbaiki pelaku kejahatan.

Berdasarkan sifatnya tersebut, maka pelanggaran terhadap

norma/kaidah hukum yang telah ditetapkan dapat diancam hukuman

45 Satochid Kartanegara , Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu, ( Jakarta : BalaiLektur Mahasiswa ), hal. 46.

46 Ibid, hal 47.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 6: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

20

pidana, hukuman perdata, dan hukuman admnistrasi sekaligus. Akan

tetapi tidak menutup kemungkinan hanya dikenakan terhadap salah satu

sanksi saja. Dapat pula berupa alternatif pilihan sanksi misalnya

hukuman pidana dapat diganti dengan denda atau denda dapat

menggantikan ganti kerugian secara perdata.

2.1.3.4 Tugas Hukuman

Hukuman keberlakuannya bertugas untuk menjamin bahwa

norma/kaidah hukum dilaksanakan dengan baik dalam masyarakat.

Jaminan ini tidak saja ditujukan atas pelanggaran undang-undang

(wetsdelicten), tetapi juga atas pelanggaran terhadap rasa keadilan

(rechtsdelicten). Mungkin saja terjadi suatu perbuatan hukum yang

dianggap melanggar rasa keadilan, akan tetapi tidak dilarang oleh

undang-undang dan tidak diancam oleh hukuman. Oleh karena keadilan

tetap harus ditegakkan, maka perumusan sanksi baik pidana, perdata,

maupun administrasi harus tetap menjangkau perbuatan-perbuatan

tercela yang merugikan pihak lain.

2.2 Pertanggungjawaban Pidana

Pelaku dalam peristiwa pidana harus orang yang bertanggung jawab atas

perbuatannya yang salah, kecuali ada anasir yang menghapus pertanggungan jawab

seperti dalam pasal 44 ayat1-2 KUH Pidana karena jiwanya cacat atau karena

terganggu penyakit atau belum dewasa sesuai pasal 45 KUHP47, sehingga penegakan

hukum sangatlah perlu pembahasannya dalam hubungan pertanggungan jawab

pidana. Jerome Hall48 mengemukakan bahwa terlepas dari baik atau tidaknya motif

tindak kejahatan ( walaupun ini tidak penting ) namun prinsip umum pertanggung

jawaban pidana ialah ”menghendaki atau karena kelalaian melakukan suatu

perbuatan secara moral adalah salah ”.

2.2.1 Syarat Mampunya Bertanggung Jawab

47 Hilman Hadikusuma , Op.cit. hal. 116.48 Roeslan Saleh, Pemikiran-pemikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta :

Ghalia Indonesia, 1986), hal. 23.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 7: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

21

Syarat utamanya ialah bahwa telah dilakukannya suatu perbuatan pidana

dan siapa yang bertanggung jawab atas dilakukan perbuatan pidana tersebut

Pada umumnya orang yang disangka telah melakukan perbuatan itu,tetapi ada

kejadian orang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain yang disebut

”vicarious responsibility”49. Tetapi, aturan undang-undanglah yang menetapkan

siapa sajakah dipandang sebagai pembuat yang bertanggung jawab itu. Satu kali

telah ditegaskan jika seseorang bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang

terjadi, maka selanjutnya ialah menegaskan apakah ia memenuhi syarat-syarat

yang diperlukan untuk pertanggungan jawab itu. Disamping syarat-syarat

obyektif melakukan perbuatan pidana, harus dipenuhi pula syarat subyektifnya,

atau mentalnya. Syarat ini disebut kesalahan50.

Yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannnya perbuatan

pidana ialah yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana.Pidana dapat

dikenakan secara sah berarti bahwa untuk tindakan itu telah ada aturanya dalam

suatu sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatannya,

atau dikatakan bahwa tindakannya dibenarkan oleh sistem hukum tersebut51.

2.2.2 Tanggung jawab Dan Kemampuan Bertanggung Jawab

Penanggung jawab peristiwa pidana dapat diklasifikasikan menjadi 52:

a. Penanggung jawab penuh, yaitu tiap orang yang menyebabkan (turut serta

menyebabkan) peristiwa pidana , meliputi :

1). dader; penanggung jawab mandiri

2). Mededader; penanggung jawab bersama

3). medepleger; penanggung jawab serta

4). doen pleger ; penanggung jawab penyuruh

5). uitlokker; penanggung jawab pembujuk/ perencana

49 Roeslan Saleh, ibid, hal. 32.50 Roeslan Saleh, Ibid, hal. 32, 33.51 Roeslan Saleh, Ibid, hal. 34.52 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad. Intisari Hukum Pidana, Cet. 2, (Jakarta : Ghalia

Indonesia,1986) , hal. 30, 31.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 8: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

22

b. Penanggung jawab sebagian53, yaitu apabila seseorang bertanggung jawab

atas bantuan dan percobaan atas suatu kejahatan yang berupa :

1). poging

2). medeplictige; penanggung jawab bantuan

Banyak pendapat yang membicarakan tentang syarat- syarat dari mampu

atau tidaknya bertanggung jawab. Syarat utamanya ialah telah dilakukannya

suatu perbuatan pidana dan siapa yang bertanggung jawab atas dilakukanya

perbuatan pidana tersebut? Dengan sendirinya apa yang dilakukan tersangka

apa bila terbukti harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri.

Sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggung jawaban dan

pemidanaan itu merupakan sistem normatif54. Berpangkal pada sistem inilah

kemudian dianalisa tentang pertanggung jawaban pidana yang berarti yang

bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatanya itu.

2.2.3 Melawan Hukum

Dalam Hukum Pidana, dengan memperhatikan Pasal 1 ayat (1) KUHP,

maka kata-kata yang digunakan untuk merumuskan ketentuan pidana harus

tepat. Mengapa demikian? sebab dengan rumusan yang jelas, orang akan

mengetahui dengan pasti tentang perbuatan apa yang dilarang dan ancaman

pidana bagi siapa saja yang melakukannya.

2.2.3.1 Pengertian “Melawan Hukum”

Pengertian “melawan hukum” (wederrechterlijk) merupakan istilah

yang banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana55. Dalam hal

ini, Achmad S. Soemadi Pradja menggunakan istilah “tindak pidana”,

sedangkan Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”. Selain itu,

penggunaan istilah “perbuatan pidana” juga membawa akibat-akibat

tertentu di bidang Hukum Acara Pidana, sebab arti dari “perbuatan

pidana” adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi

53 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad. ibid, hal. 34.54 Roeslan Saleh, Op.cit. hal. 34.55 Achmad S. Soema Dipradja, Pengertian Serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi Terjadinya

Tindak Pidana, (Bandung: CV. Armoco, 1983), hal.14.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 9: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

23

siapa yang melanggar larangan tersebut. Selanjutnya Moeljatno

mengatakan bahwa56:

“Tinjauan dari segi formil ini perlu, karena berhubungan denganazas legaliter..,yang mengharuskan adanya aturan hukum yangrumusan mengenai larangan dan ancaman pidananya lebih dahuluditentukan, sedangkan untuk hal itu seharusnya ada aturanperundang-undangannya terlebih dahulu”, yaitu dalam Pasal 1KUHP”.

Selanjutnya disamping harus memenuhi syarat formil, perbuatan

dimaksud haruslah benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu

perbuatan yang tidak diperbolehkan atau tidak patut dilakukan, karena

berlawanan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan

masyarakat. Sifat ini merupakan sifat yang melawan hukumnya tidak

hanya dilihat dari sudut perundang-undangan, tetapi juga dari dilihat dari

segi materiil57.

Rumusan perbuatan pidana ini kemudian dikembangkan lebih jauh

kepada suatu pemikiran bahwa adanya perbuatan pidana itu. Pertama,

harus dimulai dengan adanya perbuatan orang yang melanggar larangan

yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana,

yaitu pasal 1 ayat 1 KUHP. Kedua, perbuatan tersebut juga harus bersifat

melawan hukum. Dengan demikian persoalan melawan hukum ini

memegang peranan penting dalam menentukan perbuatan pidana,

sehingga dalam hal terjadi perbuatan yang melawan hukum itu tidak

disebut dalam perumusan delik. Unsur tersebut dianggap secara diam-

diam sudah termasuk dalam hal ini, namun tidak berarti bahwa sifat

tersebut harus dibebankan pembuktiannya kepada jaksa selaku penuntut

umum. Oleh karena itu bila kita teliti tindak-tindak pidana sebagai

tercantum dalam KUHP, ternyata perbuatan melawan hukum itu

dicantumkan secara tegas.

56 Ibid, hal. 15.57 Ibid, hal. 16.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 10: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

24

Suatu hal yang mendorong pembentuk undang-undang

mencantumkan unsur perbuatan melawan hukum meliputi setiap larangan

ataupun keharusan yang ditentukan dalam undang-undang pidana

ditujukan terhadap setiap perbuatan yang tidak diperbolehkan, dalam arti

perbuatan tersebut sudah melawan hukum. Dalam pembentukan undang-

undang pidana, hal tersebut dikemukakan dengan alasan bahwa tanpa

dicantumkannya kata “melawan hukum”, ada kekhawatiran jika orang

yang menggunakan haknya tanpa melaksanakan peraturan perundang-

undangan dinyatakan telah melakukan pelanggaran undang-undang

pidana. Untuk mencegahnya, pembentuk undang-undang akan lebih

mudah untuk mencantumkan “melawan hukum” dalam setiap tindak

pidana.

Mengenai permasalahan tersebut di atas, terdapat tiga pandangan.

Pertama, perbedaan dalam redaksi sedemikian rupa sehingga mempunyai

arti tertentu. Kedua, dengan dihilangkannya kata penghubung “dan”

dimaksud tidak mempunyai arti apa-apa. Semua tindak pidana dari jenis

ini harus dibaca sebagai sengaja dan melawan hukum yang menunjukkan

dua ciri tersendiri yang tidak mempengaruhi. Ketiga, penempatan dalam

kata hubung “dan” itu, tidak mempunyai arti apa-apa. Semua delik dalam

jenis ini harus dibaca sebagai sengaja melawan hukum, dimana

kesengajaan itu menguasai melawan hukum. Dalam pandangan ini azas

dipertahankan, bahwa sengaja menguasai semua unsur yang dalam

perumusan delik dicantumkan setelah unsur dimaksud.

2.2.3.2 Sifat Melawan Hukum

Dalam dogmatik hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” tidak

selalu berarti sama. Ada empat makna yang berbeda-beda tetapi yang

masing-masing dinamakan sama, yaitu sifat melawan hukum harus

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 11: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

25

ditanyakan dalam hubungan apa istilah itu dipakai. Untuk itu perlu

dibedakan58 :

1). Sifat melawan hukum umum yang diartikan sebagai syarat

umum untuk dapat dipidana.

2). Sifat melawan hukum khusus yang tercantum secara tertulis

dalam rumusan delik atau ”sifat melawan hukum faset“.

3). Sifat melawan hukum formal yang berarti semua bagian yang

tertulis dari semua rumusan delik telah dipenuhi dan bersumber

pada asas legalitas.

4). Sifat melawan hukum materiil yang berarti melanggar atau

membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi

oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.

Menyikapi hal ini,ada 2 aliran59:

a. Menurut Simons, tidak adanya unsur melawan hukum

dalam suatu perbuatan yang termasuk dalam suatu larangan

ataupun suatu keharusan hanya dapat diterima apabila untuk

pengecualian itu. Landasannya dapat diketemukan dalam

hukum yang berlaku terhadap ketentuan umum termaksud.

b. Menurut Hamel, secara materiil sifat melawan hukum tidak

hanya hukum yang tertulis (UU) tetapi juga hukum yang tak

tertulis.

“Apabila sifat melawan hukum itu tidak dinyatakan dalam perumusan

delik itu sendiri, pidana tidak akan dijatuhkan apabila dalam kejadian

dimaksud sifat melawan hukumnya dari perbuatan yang telah dilakukan

itu ternyata tidak terdapat”.60

58 D.Schaffmeistep, N.Keijzer, dan E.PH.Sutorius. Diterjemahkan J.E Sahetapy, KumpulanBahan Penataran Hukum Pidana. Dalam Rangka Kerjasama Hukum. Indonesia-Belanda., Cet ke.2,(Yogyakarta,.Liberty, 2005), hal. 39, 40.

59 Ibid,hal. 22-24.60 Van Bemmelen, en H. Burgersdijk, Arresten Over Strafrecht versameld en uitgege ven

door, 1949, Hal. 22.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 12: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

26

Sebagai contoh, X menyuruh Andi, seorang sakit jiwa, memukul Y.

Sesuai pasal 44 KUHP Andi tidak dapat dikenai tuntutan sebab tidak

dapat bertanggung jawab dan/atau adanya kesengajaan perbuatannya.

Bila hakim menganut ajaran monistis maka Andi tidak dapat

dihukum. Maka hakim akan membebaskan atau melepaskannya dari

segala tuntutan Andi sebagai pelaku (in casus ministra) karena terbukti

tidak adanya delik dengan konsekuensi manus domina sebagai penganjur

( uitlocker ) yaitu X tidak dapat dijatuhi sanksi sebab tidak ada delik ,

tetapi bagi aliran dualistis dalam delik terbukti dalam kasus ini sudah

terwujud adanya delik, perbuatan criminal, sebab unsur kemampuan

pertanggung jawaban pidana yang oleh pandangan monistis disebut unsur

subyektif

Di dalam sistem dualistis dapat dibuat bagan tentang syarat

pemidanaan yaitu 61:

a). Actus reus (delictum ), perbuatan kriminal sebagai syarat

pemidanaan obyektif,

b). Mens rea, pertanggung jawaban kriminal sebagai syarat

pemidanaan subyektif, sehingga dengan kata lain actus reus +

mens rea= syarat pemidanaan62. Hal yang sama diuraikan oleh

Andi Hamzah dalam rumusan delik dalam teori dualistisnya

memisahkan antara perbuatan yang dilarang oleh undang-

undang dan diancam pidana (actus reus) di satu pihak dan

pertanggung jawaban (mens rea) di lain pihak.

Mengapa pertanggung jawaban ini penting karena dilihat

dalam kenyataan di pengadilan dapat terjadi hal yang menarik

sebab tidak secara matematis dengan rumus tertentu yang

dalam praktek mungkin terjadi seorang pembantu

61 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Cet.2 edisi revisi ( Jakarta : PT Rineka Cipta ,1994 ), hal.89 – 90.

62 A.Z. Abidin , Asas-asas Hukum Pidanaa, 1987 , hal. 259-260.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 13: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

27

(medeplichtige) dijatuhi pidana yang lebih berat daripada

pidana bagi dader-nya sendiri63.

Dalam penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system)

pertanggungan jawab pidana menempati posisi sentral karena putusan

dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi luas, baik bagi pelaku

maupun terhadap masyarakat. Apalagi bila keputusan itu dianggap tidak

tepat, dampak yang terjadi ialah timbulnya reaksi yang kontroversial,

sebab pandangan yang sangat beragam. Sesuatu yang tidak diharapkan

akan terjadi bila pemberian pertanggung jawaban dengan disparitas tidak

dapat diatasi maka akan timbul demoralisasi dan sikap anti-rehabilitasi di

kalangan terpidana yang merasakan pertanggung jawabannya lebih berat

daripada yang seharusnya diterima bila dibandingkan dengan terpidana

lain yang sejenis dan sebanding64.

Alf Ross berpendapat bahwa keadilan ialah kesamaan, dimana syarat

kesamaan adalah tidak seorangpun akan diperlakukan secara sewenang-

wenang atau tanpa dasar berbeda dari orang lain. Sedangkan arti kesamaan

ditentukan berdasarkan ukuran norma kesusilaan dan norma-norma

hukum yang berlaku. Keputusan yang patut dan adil ialah keputusan yang

terjadi sesuai norma yang berlaku, sehingga keadilan diterapkan dalam

rumusan pertanggung jawaban pidana yaitu penjatuhan pidana karena

perbuatanya memang ada aturan hukumnya65

2.2.4 Keadilan Dalam Pertanggungjawaban Pidana.

Alf Ross mengatakan bahwa keadilan dalam suatu keputusan adalah patut

dan adil. Hal ini tidak lain bahwa ini telah sesuai dengan norma yang berlaku

atau sistem norma yang berlaku66. Menurut GustafRadbruch keadilan adalah

suatu ukuran nilai bagi hukum positif dan merupakan tujuan yang dikejar oleh

63 Abdullah Mustafa dan Achmad Ruben, Intisari Hukum Pidana, Cet. 2, (Jakarta : GhaliaIndonesia, 1986), hal. 67.

64 Muladi dan Nawawi Arief, Op.cit, hal. 52-57.65 Roeslan Saleh, Op.cit, hal. 20-23.66 Roeslan Saleh, Ibid. hal. 12, 13.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 14: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

28

pembentuk undang-undang dan ini sulit dicapai. Sedangkan hukum itu sendiri

sebagai kenyataan yang harus melayani keadilan.67

2.3 Kemampuan Bertanggung Jawab

Jerome Hall mengemukakan bahwa terlepas dari baik atau tidak baiknya motif

dilakukanya kejahatan (walaupun ini penting), namun prinsip umum pertanggung

jawaban pidana adalah menghendaki atau karena kelalaian melakukan suatu

perbuatan yang salah secara moral68. Pertanggungjawaban pidana merupakan salah

satu sokoguru dari hukum pidana yaitu terdiri atas perbuatan pidana dan pertanggung

jawaban pidana69. Pertanggung jawaban pidana tidak hanya merupakan masalah

akademik, melainkan telah terwujud dalam perundang–undangan pidana dan

diterapkan dalam kehidupan hukum sehari-hari yang sampai saat ini masih terjadi

perbedaan pendapat, karena menyangkut masalah pandangan falsafah yang banyak

kurang diperhatikan.

Pemikiran hukum pidana menurut sejarah ilmu hukum pidana, mempunyai

tiga fase, yaitu:

“Fase normatif-sistematis, fase empiris dan fase falsafah yang merupakan suatu siklus

atau berjalan terus menerus. Pemikiran hukum pidana tidak akan sempurna dan utuh

jika dilepaskan dari pandangan–pandangan falsafah dan ini akan pula berpengaruh

terhadap masalah pertanggung jawaban pidana dan yang sangat penting ialah masalah

keadilan”70.

Dalam proses perancangan undang-undang hukum pidana, kesulitan utama dijumpai

pada saat penentuan jenis dan besaran sanksi pidana terhadap suatu tindak pidana.

Kejadian ini tidak hanya dijumpai di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain.71

2.3.1 Sifat Obyektif dari Rasa Keadilan.

67 Roeslan Saleh, Ibid. hal. 14, 15.68 Roeslan Saleh, Ibid. hal. 23.69 Roestan Saleh, Ibid, hal. 3.70 Ibid, hal. 4.71 Harkristuti Harkrisnowo. Op.cit. hal. 17.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 15: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

29

Rasa keadilan pada pokoknya merupakan buah pekerjaan kerohanian

dari seorang manusia. Seorang manusia pada pokoknya bersifat perseorangan

atau ”subyektif”. Rasa keadilan tiap-tiap masyarakat (yang meskipun melekat

pada tiap-tiap orang dapat juga berbeda) pada umumnya sudah mengandung

unsur saling menghargai berbagai kepentingan masing-masing, sehingga sudah

selayaknya apabila diantara rasa keadilan dari berbagai anggota masyarakat ada

persamaan irama yang memungkinkan persamaan wujud dari hasil rasa

keadilan.

Secara filosofis tujuan hukum ialah mencapai kedamaian, dan

kedamaian berarti keserasian antara nilai ketertiban dengan ketenteraman, yang

mengejawantah pada tugas hukum, yakni kepastian hukum dan kesebandingan

hukum.72 Dengan demikian apabila dihubungkan dengan hukum pidana, maka

tujuannya juga untuk memenuhi rasa keadilan.73 Agar rasa keadilan itu dapat

terlaksana, dikemukakan dua sokoguru dalam hukum pidana, yaitu perbuatan

pidana dan pertanggung jawaban pidana74.

Dengan demikian juga tercapai sekedar suatu “obyetifitas” dari rasa

keadilan, yang menjadi ukuran,sampai dimana harus diadakan sanksi pidana

terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum75.

2.3.2 Kesulitan penentuan besaran sanksi

Suatu penetapan bagi sanksi pidana baru perlu diciptakan dan masalah

pertanggung jawaban ini memang sulit menentukan hal paritas, peringkat

maupun jarak kualitas (pirity, rank ordering and spacing) antara satu tindak

pidana dengan yang lain76. Upaya menentukan proporsi ini memang tidak

mudah tapi perlu adanya keadilan dengan cara adanya konstistensi. Hal ini

dapat dilakukan melalui legislasi maupun pada saat implemetasi oleh lembaga

peradilan, karena sanksi adalah pertanggung jawaban pidana yang perlu

72 Soerjono Soekanto (2) Op.cit. hal. 5.73 Wiryono Prodjodikoro, Op.cit. hal. 17-18.74 Roeslan Saleh, Op.cit, hal. 11.75 Wirjono Prodjodikoro ,op.cit, hal.17.76 Harkristuti Harkrisnowo, op.cit, hal. 19.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 16: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

30

dilandasi keadilan demi penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan.

2.4 Pikiran-Pikiran Pertanggungan Jawab Pidana

Banyak tulisan yang membicarakan tentang syarat-syarat dari mampu

bertanggung jawab atau tidak mampu bertanggung jawab. Syarat utamanya ialah

telah dilakukan suatu perbuatan pidana. Siapakah yang bertanggung jawab atas

dilakukannya perbuatan pidana tersebut? Pada umumnya ialah orang yang disangka

telah melakukan perbuatan itu77.

Seseorang yang harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang

terjadi, maka langkah selanjutnya ialah menegaskan apakah ia juga memenuhi syarat-

syarat yang diperlukan untuk pertanggungjawaban itu. Menurut pandangan-

pandangan tradisional, di samping syarat-syarat obyektif melakukan perbuatan

pidana, harus dipenuhi pula syarat-syarat subyektif atau syarat-syarat mental untuk

dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhkan pidana. Syarat subyektif ini disebut

kesalahan.78 Menurut sistem hukum kontinental syarat-syarat subyektif ini dibagi dua

yaitu bentuk kesalahan (kesengajaan dan kealpaan) dan mampu bertanggungjawab.

Dalam Sistem hukum Common Law syarat-syarat ini disatukan dalam means rea.79

2.4.1 Aliran dalam delik atau perbuatan pidana

Ada dua golongan aliran yang berbicara mengenai delik, ada aliran yang

merumuskan delik sebagai suatu kesatuan bulat dan yang terpisahkan menjadi

dua bagian, yaitu aliran monistis dan aliran dualistis yang dapat dijelaskan

sebagai berikut:

2.4.2 Aliran Monistis

Aliran monotis tentang delik ini menggambarkan delik sebagai kesatuan

yang bulat dimana strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana

yang bersifat melawan hukum serta berhubungan dengan kesalahan oleh orang

yang mampu bertanggung jawab. Simons, Van Hamel dan Vos semuanya

77 Roeslan Saleh, Op.cit. hal. 32.78 Ibid, hal. 33.79 Ibid.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 17: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

31

merumuskan delik itu secara bulat diantaranya mereka merumuskan strafbaar

feit yang paling lengkap oleh Simons meliputi80:

a. Diancam pidana oleh hukum;

b. Bertentangan dengan hukum;

c. Dilakukan oleh orang bersalah;

d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Mereka tidak memisahkan antara perbuatan dan akibatnya yang oleh kalangan

disebut aliran monistis tentang delik.

2.4.3 Aliran Dualistis

Aliran ini memisahkan antara perbuatan yang dilarang oleh undang–

undang dan diancam pidana (actus reus) dan pertanggung jawaban pidana

(mens rea) atau dapat dikatakan dipisahkan antara perbuatan dan rumusan delik

di satu pihak sebagai actus reus dan kesalahan, di lain pihak sebagai mens rea81.

Gambar 1.

Aliran Dualistis

80 Andi Hamzah, Op.cit. hal. 88-89.81 Andi Hamzah , Ibid. hal. 103.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 18: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

32

Di Indonesia aliran ini dianut oleh Moelyatno, kemudian diikuti oleh

Roeslan Saleh dan A.Z. Abidin, menurut mereka bertiga aliran monistis yang

dianut sebagian besar sarjana hukum dapat menghasilkan ketidak adilan82.

82 Ibid, hal. 89.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 19: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

33

3. RUANG LINGKUP PENGAMBILAN KEPUTUSAN HAKIM

Membicarakan masalah putusan hakim maka keadilan adalah tujuan atau output

dari suatu proses yang terjadi dari suatu sistem peradilan, dimana sesuai pendapat

Plato dalam bukunya Republic keadilan merupakan kebijakan penting dari negara83

sehingga diharapkan peradilan yang merupakan perangkat suatu Negara juga dapat

mencerminkan suatu keadilan lewat putusan-putusan hakim. Penegakan hukum

sebagai suatu proses , pada hakikatnya merupakan penerapan deskresi yang

menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum.84

3.1 Tugas Hakim Dalam Penegakan Hukum

Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatannya

yaitu upaya untuk menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-

kaidah yang mantap dan mengejawantah dalam sikap tindak. Sebagai rangkaian

penjabaran nilai-nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup dimana konsepsi filosofis ini masih

memerlukan penjelasan lebih lanjut sehingga tampak lebih kongkrit.85

Penegakan hukum tidak hanya “law inforcement”, tetapi juga “peace

maintenance” 86 dan yang terlibat ialah bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian,

kepengacaraan dan lembaga pemasyarakatan sehingga hukum dapat berfungsi

sebagai perlindungan kepentingan manusia. Dan untuk itu hukum harus dilaksanakan.

Menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu87: kepastian

hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan

(Gerechtigheit). Undang-undang tidak sempurna dan memang tidak mungkin

83 Henry J. Schmandt, History of Political philosophy, Filsafat Politik, Kajian Histories DariZaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, Penterjemah Ahmad Baidlowi ,Imam Bahehaq i (Yogyakarta; Pustaka pelajar, 2002 ), hal 64, 65.

84 Soeryono Soekanto (1), Op.cit. hal.7.85 Soerjono Soekanto (1), Ibid. hal. 5.86 Ibid. hal.19.87 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta : PT. Citra Aditya

Bakti, 1993), hal. 1-3.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 20: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

34

undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada

kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya juga tidak jelas tetapi tetap

harus dilaksanakan.

Hukum harus ditegakkan dan dilaksanakan karena setiap orang mengharapkan

dapat ditetapkan hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Meskipun dunia ini

runtuh hukum harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mudus),88 dan itulah yang

diharapkan oleh kepastian hukum. Kalau dalam menegakkan hukum hanya

diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur–unsur lain dikorbankan dan begitu

selanjutnya. Sehingga dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga

unsur tersebut dan secara proporsional seimbang. Hal yang menyangkut keadilan,

pengertiannya tidak termasuk dalam tugas dari ilmu pengetahuan hukum yang

tradisional melainkan termasuk bidang filsafat hukum atau teori hukum89.Kemudian

perkembangan positivisme dengan mengungkapkan prinsip dasar filsafat yang antara

lain90 :

a. Sesuatu yang benar-benar tampil dalam pengalaman adalah benar( prinsip

empirisme Locke dan David Hume);

b. Pengalaman yang pasti secara nyata diakui sebagai kebenaran;

c. Pengalaman nyata hanya dapat dibuktikan melalui ilmu ;

d. Semua kebenaran hanya didapat melalui ilmu maka tugas filsafat adalah

mengatur hasil penyelidikan ilmu itu.

Kepastian hukum bukan satu-satunya penjamin keterwujudan keadilan. Karena

John Chipman Gray dalam penelitiannya telah menyimpulkan bahwa kepastian

hukum dalam hukum tertulis itu tidak ditaati oleh hakim dalam memutus perkara-

perkara yang dihadapi, karena hukum bukanlah hukum dalam kitab undang-undang

tetapi apa yang berlaku dalam praktek91. Saint Simon, Aguste Comte dari Perancis

serta Herbert Spencer dari Inggris mengatakan bahwa untuk mendapatkan kebenaran

88 Ibid.89 Roeslan Saleh, opcit. hal. 9.90 Lily Rasyidi dan Wyasa Putra, Op.cit. hal. 118.91 Ibid. hal. 126.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 21: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

35

yang seluas-luasnya termasuk kebenaran dalam kehidupan manusia maka metode

ilmiah juga diterapkan.92

Dalam rangka menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup yang mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai yang

baik dan buruk yang selalu terwujud dalam pasangan tertentu seperti nilai ketertiban

dengan nilai ketentraman. Nilai kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Nilai

kelestarian dengan inovativisme dan seterusnya yang keduanya saling bertegangan

seperti ketentraman bertitik tolak dengan kebebasan Ketertiban bertitik tolak dengan

keterikatan, sehingga dalam kehidupan manusia selalu memerlukan keterikatan

maupun kebebasan dalam ujud yang serasi yang kemudian mengejawantah ke dalam

kaidah hukum pidana berwujud perintah atau anjuran, larangan-larangan, dan

kebolehan untuk melakukan perbuatan–perbuatan tertentu.93

Undang-undang itu tidak sempurna dan memang tidak mungkin bisa mengatur

segala kegiatan kehidupan manusia. Mungkin tidak lengkap atau tidak jelas tapi harus

tetap dipakai sebagai alat pelaksanaan.94

Di dalam KUHAP landasan filosofis merupakan landasan yang bersifat ideal,

yang memotivasi aparat penegak hukum dan mengarahkan semangat serta dedikasi

pengabdian penegak hukum untuk mewujudkan keluhuran kebenaran dan keadilan.

Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap undang-undang, hakim harus melaksanakan

atau menegakkan undang–undang. Hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan

atau penegakan undang–undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat dan tidak

boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena

hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan

dengan dalih tidak sempurnanya undang–undang atau tidak adanya peraturan umum

mengenai undang–undang, sesuai Undang–Undang Nomor 4 tahun 2004, Tentang

Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 ayat(1).

3.1.1 Hakim dan Kekuasaan Kehakiman

92 Ibid. hal. 118.93 Lihat Soerjono Soekanto (1), op. cit. hal. 5-6.94 Sudikno Mertokusumo, op. cit. hal. 3.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 22: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

36

Dalam Undang-Undang No.4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

disebutkan dalam Pasal 28 ayat 1: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

a. Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Hakim yang bebas dan tidak memihak merupakan ketentuan

universal yang merupakan ciri dari suatu Negara hukum.

Kekuasaan kehakimam adalah kekuasaan negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keaadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum

Republik Indonesia95. Tetapi agar semua dapat berjalan baik maka

diperlukan persyaratan seorang hakim.

b. Syarat Seorang Hakim

Hakim yang bebas dan tidak memihak merupakan ketentuan

universal yang merupakan ciri dari Negara hukum. Disamping itu Hakim

harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,

professional, dan berpengalaman di bidang hukum dan telah mengucapkan

sumpah dan janji menurut agamanya96. untuk menjalankan fungsinya,

hakim memerlukan perangkat lunak yang menyangkut tugas dan

wewenangnya.

c. Tugas dan Wewenang Hakim

Dasar pertimbangan hukum dalam putusan Hakim ialah:

Pasal 1 ad 8 KUHAP

“Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk mengadili”

Pasal 1 ad 9 KUHAP

“Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,

memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,

95 Undang Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 2004 , Tentang Kekuasaan Kehakiman ,Ps. 1

96 Ibid. Ps. 30, 32.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 23: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

37

jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Sedangkan Pasal 1 ad 11 KUHAP menyatakan:

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan

dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan

atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam serta

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”

Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

“Peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan

mengadilinya.”

Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum,

sedangkan pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan.

Andaikata tidak menemukan hukum tertulis, Hakim wajib menggali

hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang

yang bijaksana dan bertanggung–jawab penuh Kepada Tuhan Yang Maha

Esa, diri sendiri ,masyarakat, Bangsa dan Negara.

3.1.2 Putusan Hakim

Tugas hakim adalah mengambil atau menjatuhkan keputusan yang

mempunyai akibat hukum bagi pihak lain dan tidak mungkin menolak

menjatuhkan apabila perkaranya sudah mulai diperiksa97. Karena undang-

undang tidak lengkap dan sumber hukum tidak hanya undang-undang atau

peradilan saja, maka hakim harus mampu mengisi kekosongan ini.98

3.1.2.1 Acara Pengambilan Keputusan

Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang selesai, maka giliran

hakim mempersilahkan jaksa penuntut umum membacakan requisitor

97 Sudikno Mertokusumo, op. cit. hal. 31.98 Ibid. hal. 45.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 24: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

38

(tuntutannya), dan kemudian terdakwa atau pengacaranya (mewakili

terdakwa) membacakan pembelaannya. Selanjutnya pembelaan tersebut

akan dijawab oleh penuntut umum, dan di sinilah terdakwa/pembelanya

dalam pasal 182 ayat (1) KUHAP mendapat giliran terakhir. Setelah acara

tersebut selesai, hakim menyatakan pemeriksaan ditutup.

Sesuai pasal 182 ayat (5) KUHAP diadakan musyawarah dan

menanyakan dari Hakim termuda ke Hakim yang tertua mengenai

pendapatnya disertai pertimbangan serta alasannya. Bila suara bulat tidak

didapat maka sesuai pasal 182 ayat (6) KUHAP, putusan diambil dengan

cara: Putusan dengan suara terbanyak atau; jika hal di atas tidak didapat

maka dipilih pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

3.1.2.2 Putusan Pengadilan

Yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim

yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa

pemidanaan, bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam KUHAP pasal 191, dimana diterjemahkan

putusan pengadilan itu berupa :

“Bebas dari segala tuduhan (vrijspraak), jika pengadilan berpendapat

bahwa dari hasil pemeriksaan dalam persidangan, kesalahan terdakwa atas

perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”.

Lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging),

jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak

pidana, maka ia dipidana sesuai pasal 193 ayat(1) yang menentukan

pemidanaan (veroordelend vonnis), jika pengadilan berpendapat bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya99.

Dari keadaan tersebut di atas, apabila hakim telah yakin berdasarkan

alat bukti yang sah, maka putusan dapat dijatuhkan.

99 Abdullah, Mustafa dan Achmad Ruben, Op.cit. hal. 86 .

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 25: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

39

Pemidanaan ini merupakan putusan hakim berisi suatu perintah

kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatanya yang

dilakukan sesuai dengan amar putusan. Dari keadaan tersebut di atas, fakta

di persidangan yang cukup meyakinkan bahwa terdakwa melakukan

perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan, putusan dapat dijatuhkan

(dengan ketentuan tidak melanggar pasal 183 KUHAP).100

Keputusan hakim ini akan sah dan mempunyai kekuatan hukum

apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP) dan

harus ditandatangani hakim dan panitera seketika setelah putusan

diucapkan (Pasal 200 KUHAP) yang pada hakikatnya terdiri atas 2 (dua)

jenis yaitu putusan akhir, dan putusan yang bukan putusan akhir atau

putusan sela atau berupa penetapan sesuai pasal 156 ayat (1) KUHAP

dimana putusan ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila

terdakwa/penasehat hukum dan penuntut umum telah menerima putusan

itu. Akan tetapi, secara material perkara tersebut dapat dibuka kembali

apabila salah satu pihak (terdawa/penasehat hukum atau Penuntut Umum)

mengajukan perlawanan dan perlawanan tersebut dibenarkan oleh

Pengadilan Tinggi, sehingga Pengadilan Tinggi memerintahkan

Pengadilan Negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang

bersangkutan101. Apabila majelis hakim telah memeriksa sampai selesai

pokok perkaranya sesuai pasal 182 ayat (3) dan ayat (8) KUHAP dan

pasal 199 KUHAP putusan itu dinamakan ”putusan akhir” atau

”putusan”.

3.1.2.3 Putusan Yang Adil

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang pengadilan terbuka yang tertera pada pasal 1 butir 22 KUHAP

dengan alasan pemeriksaan dinyatakan sudah ditutup.

100 Lihat Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana “Suatu Tinjauan Khusus Terhadap SuratDakwaan Eksepsi dan Putusan Peradilan”, (Bandung: .PT. Citra Aditya Bakti , 2002), hal. 126-127.

101 Ibid. hal. 125.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 26: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

40

Sebelum membicarakan tentang masalah pertanggung jawaban

pidana, perlu diperhatikan bahwa masalah pertanggung jawaban pidana itu

erat sekali hubungannya dengan masalah keadilan sehingga perlu kita

bahas masalah keadilan sebagai soal filsafat.

Dilihat dari pengertian-pengertian yang bersifat linguistik maupun

dari konsepsi filsafat, ada suatu ikatan yang erat antara hukum dan

keadilan. Oleh karenanya ahli hukum seyogyanya menguasai masalah–

masalah tentang keadilan dan harus dipecahkan dengan pemikiran-

pemikiran filsafat102. Pembahasan sistematis yang membicarakan tentang

pertanggungjawaban pidana dari pengertian keadilan tidaklah termasuk

dalam tugas ilmu pengetahuan hukum tradisional, melainkan dalam

bidang filsafat hukum atau teori hukum.

Walaupun ada kecenderungan bahwa ahli hukum enggan melibatkan

diri dengan pemikiran-pemikiran filsafat, tetapi sudah sejak dulu kita

melihat adanya pandangan-pandangan falsafah dalam pemikiran-

pemikiran hukum bahkan ada dalam yurisprudensinya. Menurut Ulpanus

dari Romawi kata ‘hukum’ berasal dari kata ‘keadilan’, yang menurut

Celcus telah dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan mengenai hak dan

kepatutan. Ulpanus juga mengatakan bahwa sebelum ada hukum sudah

dituntut adanya keadilan. Atau dengan kata lain, cita-cita hukum

dilahirkan oleh cita-cita keadilan103. Keterangan Ulpanus tentang

keadilan dan Cicero dalam pidatonya serta Plato dalam Politea menyebut

keadilan adalah Kehendak yang tetap ada dan berlaku terus untuk

memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

Aristotoles mengatakan dalam buku “Politea” bahwa keadilan

adalah kepastian dan persamaan, yang mana persamaan itu ada dua;

pertama, persamaan numeris yang berarti diperlakukan secara sama dan

identik dalam jumlah dan volume hal-hal yang Anda dapatkan; kedua,

102 Roeslan Saleh, op. cit., hal. 9.103 Ibid. hal. 10

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 27: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

41

persamaan yang sebanding artinya diperlukan berdasarkan persamaan

perbandingan104. Demikian pula diuraikan oleh Aristotoles mengenai

keadilan,mereka sepakat bahwa prinsip keadilan adalah persamaan yang

sebanding105 sehingga didalam suatu konflik ketidaksamaan hanya bisa

diatasi bila dilakukan dengan cara yang sebanding, sehingga persamaan

yang sebanding ini diperlakukan berdasarkan persamaan perbandingan106.

Sehingga orang sekarang siap untuk menyetujui bahwa keadilan absolut

terletak pada proporsi ganjaran, dikatakan pula mengenai keadilan

distributive yang dijelaskan pula oleh Aristotoles bahwa keadilan ini

bukanlah persamaan tetapi kesebandingan yang harus diperhatikan dan

keadilan ini diperlukan dengan masalah hubungan antara masyarakat,

khususnya Negara dengan perseorangan tertentu107

3.2 Penemuan Hukum Oleh Hakim

Ada beberapa hal yang patut di perhatikan di antaranya:

3.2.1 Keterbatasan Undang-Undang

Akibat ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang, yang

mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.

Kalau setiap kali ada putusan berlainan mengenai perkara sejenis,

maka tidak ada kepastian hukum. Tetapi sebaliknya hakim terikat mutlak

pada putusan perkara sejenis yang pernah diputuskan maka hakim tidak

bebas untuk mengikuti perkembangan masyarakat melalui putusan-

putusannya. Kalau perundang-undangan tidak memberi jawaban dan tidak

pula ada putusan pengadilan, maka hakim mencari jawaban pada pendapat

104 Aristotoles, Politics (New York : Oxford University Press 1995) Ditejemahkan oleh SautPasaribu. Hal. 218-223

105 Aristotoles. Ibid. hal,219106 Aristotoles. Ibid. hal,221107 Soetiksno. Filsafat Hukum, bagian 1, Cet. ke-9 (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2002)

hal.15.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 28: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

42

sarjana hukum dan ilmu pengetahuan karena ini merupakan salah satu

sumber untuk menemukan hukum108.

3.2.2 Upaya hakim dalam keterbatasan undang-undang

Penemuan hukum berawal dari suatu upaya hakim untuk mengadili

sesuatu yang belum jelas dasar hukumnya. Disamping itu karena undang-

undang tidak sempurna dan memang tidak mungkin undang-undang

mengatur segala kegiatan manusia. Adakalanya undang-undang tidak

lengkap atau tidak jelas, tetapi harus tetap dilaksanakan109. Sebagai

akibatnya pengadilan tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 ayat 1, Undang-Undang No.4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa:

“Peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan

mengadilinya.”

Masyarakat berpandangan bahwa hakim merupakan organ

pengadilan dianggap memahami hukum, sehingga pencari keadilan datang

padanya untuk memohon keadilan. Andaikata tidak menemukan hukum

tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus

berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung–

jawab penuh Kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat,

Bangsa dan Negara.

Mereka tidak boleh menolak karena undang–undangnya tidak

lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya dan harus

menemukan hukumnya sesuai pasal 16 ayat (1) UU (rechtsvindinding),

meskipun tidak lengkap dan ada kalanya undang–undang tidak jelas, tetapi

undang-undang harus tetap dilaksanakan. Penemuan hukum lazimnya

diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-

108 Sudikno Mertokusumo, op. cit. hal. 30-31.109 Sudikno Mertokusumo dan Pitlo.A. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, ( Yogyakarta :

PT. Citra Aditya Bakti , 1993), hal. 3.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 29: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

43

petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap

hukum yang kongkrit. Hasil penemuan hukum oleh hakim disebut hukum,

sedangkan bila penemuan hukum ini dilakukan oleh ilmuwan disebut

doktrin. Apabila doktrin ini diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam

putusannya, maka otomatis menjadi hukum 110.

3.2.3 Doktrin

Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar

pengaruhnya terhadap hakim dalam pengambilan keputusanya. Dalam

mengambil keputusan hakim sering menyebut dasar keputusan dengan

menyebut pendapat para sarjana hukum tertentu sebagai dasar

pertimbangannya yang dengan demikian hakim menemukan hukumnya

dalam doktrin itu111.

Ilmu pengetahuan bersifat obyektif dan mempunyai wibawa karena

diikuti oleh pendukung maupun pengikutnya. Karena putusan hakim itu

juga harus obyetif maka ilmu pengetahuan merupakan sumber untuk

mendapatkan jawaban guna mendukung atau mempertanggung jawabkan

putusan hakim.

3.3 Perkembangan Penemuan Hukum Oleh Hakim

Dalam penemuan hukum yang otonom ini putusan hakim menurut apresiasi

pribadi dan hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang–

undang terhadap peristiwa hukum konkrit. Pandangan baru ini oleh Van Eikema

Hommes disebut pandangan yang materiil yuridis, yang di Jerman diikuti oleh Oskar

Bullow dan Eugen Erlich dan dikembangkan di Perancis oleh Fancois Geny.

Undang–Undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan

terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktek hukum dari hakim. Dalam

110 Ibid.111 J.B.Daliyo., Pengantar Ilmu Hukum Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT. Penhallindo,

2001), hal.63.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 30: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

44

kenyataaanya tidak ada batas yang tajam antara penemuan hukum yang heteronom

dan otonom, tetapi dalam praktek penemuan hukum mengandung kedua unsur di atas.

3.3.1 Penemuan hukum dalam Anglo Saxon

Dalam sistem Anglo Saxon, penemuan hukum yang otonom juga

sekaligus heteronom karena hakim terikat pada putusan–putusan terdahulu.

Sedangkan dalam sistem hukum Kontinental yang berlaku di Indonesia, dikenal

penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang–undang,

tetapi penemuan hukum ini mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena

seringkali hakim harus melengkapi undang–undang menurut pandangannya

sendiri112, sedangkan Pasal 1 KUH Pidana membatasi ruang gerak hakim

pidana.

3.3.2 Putusan Hakim di Indonesia

Indonesia yang menganut sistim continental dalam praktek, tugas utama

hakim ialah: menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Namun

demikian dalam konteks dan sistem penegakan hukum di pengadilan-

pengadilan, hakim belum mampu menyelesaikan sengketa dan menegakkan

keadilan dan dalam peradilan legalistic formalistic (Eropa Continental),

mengarahkan Hakim bukan sebagai corong keadilan (speaker of justice)

melainkan sekedar sebagai corong undang-undang (speaker of law). Manusia

dengan segala kelemahanya ditempatkan pada posisi sentral dalam menegakkan

hukum dan keadilan. Dalam sistem continental (Eropa), Hakim diibaratkan

sebagai wakil Tuhan di dunia sehingga hakim punya segudang kekebalan

hukum apapun, sehingga kepadanya tidak dapat dituntut dan dihukum dan di

dunia ini tidak ada hukum yang dapat menghukum hakim. Semata-mata

keyakinan Hakim menjadi ukuran perasaan keadilan yang subyektif dan

sepihak, yang mana dalam hukum pidana menjadi alat bukti yang sah. Sehingga

keyakinan dan perasaan keadilan masyarakat hanya menjadi obyek dari proses

penegakkan hukum di pengadilan dimana balutan formalisme yang disimbulkan

dengan ‘Jubah Hakim’ mencerminkan kekakuan dan keangkeran kultural

112 Ibid. hal. 9.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 31: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

45

Sistem peradilan yang tidak menegakkan keadilan tetapi menegakkan

formalisme hukum113.

Di sini hakim tidak menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan

undang-undang terhadap peristiwa hukum konkrit. Tetapi hakim hanyalah

corong dari undang-undang yang tidak dapat mengubah atau menambah

undang-undang. Pandangan klasik yang dipertahankan oleh Montesquieu dan

Kant, ini didasarkan pada pandangan Montesqueiu bahwa pembentukan

undang–undang merupakan satu-satunya sumber hukum positif, demi kepastian

hukum, kesatuan hukum dan kebebasan warganya oleh tindakan sewenang–

wenang dari hakim.

Dalam pandangan ini peradilan tidak lain hanyalah suatu bentuk

silogisme, dimana undang-undang merupakan premisse mayor, peristiwanya

yang konkrit merupakan premisse minor, sedangkan putusan hakim merupakan

konklusi atau kesimpulanya. Demikian pula suatu keputusan hakim tidak akan

berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam undang–undang yang

berhubungan dengan peristiwa konkrit sehingga hakim harus mengadili

menurut undang-undang dan hakim tidak diperkenankan menilai inti atau

keadilan dari undang–undang. Hakim bukanlah pembentuk undang–undang dan

menurut Wiandra karena hakim memutuskan berdasarkan pada peraturan-

peraturan di luar dirinya yang berarti hakim tidak mandiri dan dinamakan

sebagai heteronom.

Pandangan yang logisistis dari Montesqiueu yang berdasarkan aspek logis

analitis yang dimutlakkan mengenai peradilan oleh Van Eikema Hommes tidak

dapat dipertahankan dan sejak tahun 1850 condong pada peranan yang mandiri

dalam pembentukan hukum oleh hakim114.

3.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hakim Dalam Pengambilan Keputusan

3.4.1 Proses Pembuktian Dalam Pengadilan

113 Sidik Sunaryo, Op.cit. hal. 27- 28.114 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 6-7.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 32: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

46

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam

proses pengadilan. Melalui proses pembuktian ini bila terdakwa akan

dinyatakan bersalah atau tidak bersalah alias bebas yang berdasarkan alat

bukti yang disebut dalam pasal 184 KUHAP sebagai kekuatan pembuktian.

Pembuktian ini merupakan inti dari pemeriksaan perkara dalam persidangan dan

dalam sistem pembuktian ada beberapa teori cara mulai dari hakim yang punya

peranan mutlak sampai undang-undang yang punya peranan menentukan:

a.Conviction in time, Semata-mata keyakinan hakim sudah dapat memutuskan

terdakwa bersalah atau tidaknya dan dari mana hakim menyimpulkan tidak

menjadi masalah.

b.Conviction–raisonee, Meskipun keyakinan hakim masih memegang peranan

penting dalam penentuan terdakwa terhadap kesalahanya tetapi faktor

keyakinan hakim dibatasi dengan alasan–alasan yang jelas dan hakim wajib

menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinanya

atas kesalahan terdakwa itu.

c.Pembuktian menurut undang–undang secara positif Dalam hal ini, keyakinan

hakim sama sekali tidak mempengaruhi proses pembuktian. Yang dipakai

pedoman hanya cukup dengan aturan yang sesuai dengan undang-undang

dan itu sudah cukup dipakai sebagai alat untuk menentukan salah tidaknya

terdakwa dalam proses pembuktian.

d.Pembuktian menurut undang-undang secara negatif Teori ini merupakan

gabungan dari dua teori conviction in-time dengan pembuktian secara

undang-undang positif diharapkan terdapat keseimbangan antara peranan

hakim dan peranan undang-undang, sehingga komponen:

1). Pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah menurut undang-

undang.

2). Keyakinan hakim juga berdasarkan atas cara dan dasar titik di atas.

Sistem pembuktian yang dianut didalam KUHAP dalam pasal 183

KUHAP berbunyi:

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 33: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

47

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukanya”.

Semua dilakukan dengan harapan dapat tegaknya kebenaran sejati, tegaknya

keadilan serta kepastian hukum115.

3.4.2 Undang-Undang (KUHAP, KUHP, dan yang lain).

Gangguan terhadap penegakkan hukum yang berasal dari undang-undang

disebabkan tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, atau belum

adanya aturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-

undang, atau ketidak jelasan arti kata-kata dalam undang-undang akibat

terjemahan dan memilih kata yang kurang tepat mengakibatkan

kesimpangsiuran penafsiran serta penerapannya116.

3.4.3 Penentuan besaran sanksi pidana

Hakim mempunyai kebebasan dalam memilih besarnya pidana yang akan

dijatuhkan selama mengikuti pasal 12 ayat 2 KUHP antara 1(satu) hari sebagai

minimum umum dan maksimal umum 15(lima belas) tahun atau untuk

kurungan sesuai pasal 18 ayat 1 KUHP antara 1(satu) hari minimum umum dan

maksimal umum 1(satu) tahun dan pada tiap-tiap pasal akan ada ketentuan

maksimal khusus, seperti kasus yang paling banyak yang terjadi di negara kita

ialah kasus pencurian, pasal 362 KUHP kata “selama-lamanya” 5 tahun

merupakan ketentuan maksimum khusus117.

Dalam batas-batas itulah hakim mempunyai kebebasan bergerak untuk

menentukan penjatuhan pidana, tetapi karena kebebasan itu penilaian pribadi

memegang peranan118.

115 Yahya Harahap.M., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: “PemeriksaanSidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali”,. Ed .ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika,2001)., hal 252-260.

116 Surjono Sukanto (1), Op.cit. hal. 16-18.117 Muladi dan Barda Nawawi. Op.cit. 56. 57118 Surjono Sukanto (1), Op.cit. hal. 21.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 34: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

48

Cecare Lambroso mengatakan (1835-1909): ”Different criminals have different

needs” maka dimungkinkan adanya “judicial discretion”, tetapi hal ini

mengandung kelemahan berhubung adanya “judicial discretion“ yang berakibat

luas sehingga tidak ada “sentencing standard”119. Inilah penyebab adanya

disparitas sehingga putusan hakim juga dinilai masyarakat luas sangat ringan

dan tidak adanya perbedaan pemidanaan terhadap kasus kakap dan teri120.

3.4.4 Diskresi

Diskresi (Dicretion) diartikan keleluasaan atau kebijaksanaan121, Pertama-

tama dapat dikemukakan bahwa disparitas pidana dimulai dari hukum itu

sendiri, karena menurut hukum positif Indonesia hakim mempunyai kebebasan

yang luas untuk memilih beratnya pidana yang akan dijatuhkan, sebab didalam

undang-undang hanya ditentukan batas maksimum umum dan minimum

umumnya atau maksimum khususnyanya saja122, yang dalam hal ini Molly

Cheang dari Singapore yang ada persamaanya dengan Indonesia menyatakan

sebagai berikut123:

“The formal lawas expressed in our criminal law givesenormousdiscretionary power to the judge without guidance as to how that poweris to be exercised. The law generally authorizes a wide range ofpossibilities. The legislature often does little than establish an upper andlower limit“ (Cheang,1977 : 4 )

Berhubung adanya judicial discretion yang terlalu luas karena tidak adanya

sentencing standard yang dipunyai hakim tentu menghasilkan kelemahan-

kelemahan yang menimbulkan disparitas.124

Penegak hukum lebih banyak tertuju pada adanya diskresi dan ini menyangkut

pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum dan penilaian

pribadi juga memegang peranan, diskresi ini diperlukan karena125:

119 Muladi dan Barda Nawawi, Op.cit. hal. 58.120 Muladi dan Barda Nawawi Arief , Ibid.121 John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia , Cet. 12 (Jakarta: P.T.

Gamedia, 1983), hal. 185.122 Muladi dan Barda Nawawi Arif,Op.cit, hal. 56.57123 Ibid, hal.58.124 Ibid125 Ibid, hal. 21–22.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 35: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

49

1). Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya yang dapat

mengatur semua perilaku manusia.

2). Kemampuan perundang-undangan mengejar perkembangan dan kemajuan

masyarakat sangat lambat, sehingga menimbulkan ketidak pastian.

3). Kekurangan biaya untuk menerapkan perundang-udangan sebagaimana yang

dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.

4). Adanya kasus-kasus bersifat individual yang memerlukan penanganan

secara khusus.

Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakekatnya merupakan

penerapan diskresi yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara

ketat diatur oleh kaidah hukum akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi

(Wayne La-Favre). Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, La-Favre

menyatakan bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral

(etika dalam arti sempit)126.

3.4.5 Pribadi Hakim

Dengan latar belakang asal-usul lingkungan serta asal usul pendidikan dan

keyakinan serta pengalaman maka ada tiga hal yang akan mempengaruhi diri

seorang hakim yang secara otomatis pula mempengaruhi pengambilan

keputusanya yaitu127 Kecerdasan, Persepsi, dan filosofinya. Ketiga faktor ini

selalu akan ada dalam setiap diri manusia. Kecerdasan dibawa sejak lahir

sedangkan persepsi dan filosofinya yang berkembang sesuai pendidikan dan

pengalamanya128. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak

tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum dan telah

mengucapkan sumpah dan janji menurut agamanya129.

3.4.6 Sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi hakim:

1). Perundang-undangan yang berlaku.

126 Soerjono Soekanto (1), Op.cit. hal.7.127 Kunntoro Mangkusubroton dan Listiarini Trisnadi. Op.cit. hal. 15-16.128 Ibid. hal. 18-27.129 Undang- undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 30 dan 32

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 36: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

50

2). Hukum tidak tertulis, yang hidup di masyarakat dan hakim wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum tersebut sesuai

kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat.

3). Yurisprudensi dan,

4). Ilmu pengetahuan130.

3.5 Persepsi Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Oleh Hakim

3.5.1 Keadaan yang mempengaruhi

Dalam pengadilan keputusan dimulai dengan tuntutan oleh jaksa penuntut

terhadap terdakwa yang dilanjutkan dengan pembuktian terhadap tuntutan

tersebut dan diakhiri dengan putusan hakim. Jika dalam ira-ira hakim seolah–

olah bertanggung jawab kepada Tuhan, sehingga tercermin hakim mewakili

Tuhan di dunia. Dan bagi hakim keputusannya tidak berakibat apa-apa bagi

dirinya kecuali hakim yang bermoral. Tidak ada resiko bagi hakim kecuali

tanggung jawabnya kepada Tuhan bila keputusannya tidak benar dan tidak adil.

Dalam menjatuhkan sanksi hakim seharusnya tahu apa yang dilakukanya

dan apa yang diharapkan dari tindakan ini, apa pula yang menjadi tujuan

keputusannya, bahkan mungkin sekali terjadi hakim menjatuhkan penjara untuk

beberapa tahun, sedangkan ia sendiri tidak mempunyai gambaran apakah yang

akan terjadi dengan terhukum ini dalam rumah penjara, atau bahkan hakim itu

mungkin sekali belum pernah melihat keadaan rumah penjara131.

3.5.2 Hal-hal yang menjadi faktor penyimpangan keputusan hakim

Dalam pengadilan keputusan dimulai dengan tuntutan oleh jaksa penuntut

terhadap terdakwa yang dilanjutkan dengan pembuktian terhadap tuntutan

tersebut dan diakhiri dengan putusan hakim. Penghayatan terhadap pandangan

modern mengenai tujuan pemidanaan tidak tampak secara nyata. Hal ini

terbukti bahwa perhatian terhadap faktor-faktor yang memberatkan dan

130 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 37.131 Roeslan Saleh., op. cit., hal. 41- 42.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 37: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

51

meringankan si pelaku tindak pidana tidak menyangkut keadaan obyektif

mengenai perbuatan dan pembuatnya, melainkan kebanyakan dikaitkan pada

sikap-sikap terdakwa selama persidangan berlangsung132 sehingga terputus

jalinan mata rantai pemberian pidana dengan tujuan pidana terhadap

pelaksanaan pidana itu.

Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang

disebabkan oleh133 :

a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang.

Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk

menerapkan undang-undang.

b. Ketidak jelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang mengakibatkan

kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.

Kalau setiap kali ada putusan yang berlainan mengenai perkara yang

sejenis, maka tidak ada kepastian hukum. Tetapi sebaliknya hakim terikat

mutlak pada putusan perkara yang sejenis yang pernah diputuskan, maka hakim

tidak bebas untuk mengikuti perkembangan masyarakat melalui putusan-

putusannya. Jika perundang-undangan tidak memberi jawaban dan tidak pula

ada putusan pengadilan, maka hakim mencari jawaban pada pendapat sarjana

hukum dan ilmu pengetahuan karena merupakan salah satu sumber untuk

menemukan hukum134.

3.6 Disparitas Pidana, Dampak dan Usaha Mengatasinya

Yang dimaksud dengan disparitas pidana ( disparity of sentencing ) adalah

penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap

tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat dibandingkan ( offences of

comparable seriousness ) tanpa dasar pembenaran yang jalas. Selanjutnya, tanpa

menunjuk ”legal category” disparitas pidana dapat terjadi pada penghukuman

132 Muladi, Barda Nawawi arief, op. cit., hal. 117.133 Soerjono Soekanto (1), op. cit., hal 17-18.134 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 30-31.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 38: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

52

terhadap mereka yang melakukan bersama suatu delik ( co’defedants )135 secara

bersama.

3.6.1 Faktor-faktor penyebab disparitas136

Kegiatan pemidanaan yang sangat kompleks serta adanya pengakuan

bahwa masalah pemidanaan merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan

hukum pidana menyebabkan faktor-faktor penyebabnya bersifat multi kausal

dan multi dimensional

3.6.2 Dampak disparitas137

Dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana ( criminal justice system ),

pidana menempati posisi sentral. Hal ini disebabkan keputusan dalam

pemidanaan akan mempunyai konsekwensi luas, baik yang menyangkut

langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas138. Disparitas

pidana akan berakibat fatal bilamana dikaitkan dengan “correction

administration”. Terpidana yang setelah membandingkan pidana kemudian

merasa menjadi korban “the judicial caprice” akan menjadi terpidana yang

tidak menghargai hukum. Padahal penghargaan terhadap hukum tersebut

merupakan salah satu target tujuan pemidanaan. Dari sini akan tampak suatu

persoalan yang serius, sebab akan merupakan indikator dan manifestasi

kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan dalam negara

hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap

sistem penyelenggaraan hukum pidana139.

3.7 Kesulitan Penentuan Besaran Sanksi

Suatu penetapan bagi sanksi pidana baru perlu diciptakan dan masalah

pertanggung jawaban ini memang sulit menentukan hal paritas, peringkat maupun

135 Muladi, Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 52-53.136 Muladi, Barda Nawawi Arief, ibid. hal. 52-53.137 Muladi, Barda Nawawi Arief, Ibid. hal. 54138 Muladi, Barda Nawawi Arief, Ibid. hal. 52139 Muladi, Barda Nawawi Arief, Ibid. hal. 54

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 39: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

53

jarak kualitas (pirity, rank ordering and spacing) antara satu tindak pidana dengan

yang lain140. Upaya menentukan proporsi ini memang tidak mudah tapi perlu adanya

keadilan dengan cara adanya konstistensi. Ini dapat dilakukan melalui legislasi

maupun pada saat implemetasi oleh lembaga peradilan, karena sanksi merupakan

pertanggung jawaban pidana yang perlu dilandasi keadilan demi penyelesaian konflik

dan pemulihan keseimbangan.

Dalam menentukan disparitas pidana akan lebih kompleks lagi dikarenakan

adanya beberapa katagori disparitas 141:

a. Disparitas antara tindak-tindak pidana yang sama.

b. Disparitas antara tindak-tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang

sama.

c. Disparitas antara tindak-tindak pidana yang sama dengan putusan yang dijatuhkan

oleh satu majelis hakim.

d. Disparitas antara tindak-tindak pidana yang sama dengan putusan yang dijatuhkan

oleh satu majelis hakim yang berbeda.

Tuduhan “hakim tidak adil” umumnya dikaitkan dengan masalah disparitas ini.

Untuk menghindari disparitas yang tidak jelas ialah dengan memberikan rambu-

rambu yang lebih dari sekedar penetapan pidana maksimum dan minimum dalam

undang-undang tetapi peranan hakim merupakan kunci khususnya yang berkaitan

dengan kemampuan, kepribadian dan integritasnya dan anggapan adanya mafia

peradilan. Ini merupakan ketidak percayaan terhadap hakim dalam pengambilan

keputusan, dinilai oleh masyarakat belum atau tidak bermuara pada keadilan dalam

memutuskan perkara kepada terdakwa sesuai pertanggung jawabannya.

Kondisi peradilan semakin runyam dengan adanya kasus suap di lingkungan

peradilan tertinggi yaitu MA yang melibatkan tiga hakim ditambah kemungkinan

terlibatnya Ketua MA Bagir Manan yang masalahnya sudah ditangani Komite

Pemberantasan Korupsi (KPK) sehubungannya dengan kasasi Probosutejo mengenai

dana reboisasi hutan di Kalimantan Selatan. Tindakan ini berkaitan dengan harapan

140 Harkristuti Harkrisnowo, Op.cit. hal. 19.141 Ibid. hal. 23.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009

Page 40: 2. PERTANGGUNGAN JAWABAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124093-PK III 625.8175-Patokan... · 2.1 Penegakan Hukum Manusia di dalam pergaulan hidup

Universitas Indonesia

54

adanya keringanan hukuman atau pembebasan dari segala tuntutan yang tentu saja hal

ini akan menghasilkan keputusan yang jauh dari harapan masyarakat pada umumnya

dan akan tidak sesuai dengan pertanggung jawaban yang seharusnya diterima.

Sebagai dasar untuk menjelaskan pertanggung jawaban pidana kita perlu melihat dulu

dasar pembagian delik.

3.8 Usaha-Usaha Untuk Mengatasi Akibat Disparitas Pidana

Dalam hal ini digunakan 2 (dua) macam pendekan yakni:

a. Pendekatan untuk memperkecil disparitas (approach to minimize disparity).

1. Dengan cara menciptakan suatu pedoman pemberian pidana (statutory

guidelines for sentencing), yang memberikan kemungkinan bagi hakim untuk

memperhitungkan. Seluruh facet daripada kejadian-kejadian, yaitu dengan berat

ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, dengan pribadi daripada

sipembuatnya.

2. Adanya lembaga “sentencing council” seperti yang terdapat Eastern District

of Michigan Amerika Serikat yang menjadi partner hakim.

b. Pendekatan untuk memperkecil pengaruh negatif disparitas (approach to

minimize the effect of disparity)142. Untuk memecahkan masalah disparitas pidana

pada dasarnya dengan cara pendekatan untuk memperkecil disparitas pidana

dengan membuat pedoman pemberian pidana karena bila siterpidana akan

menjadi korban “judicial caprice” sebagai akibat disparitas tadi menjadi tidak

menghargai hukum untuk itu perlu dilakukan usaha rehabilitasi karena didalam

criminal justice system adanya disparitas pidana merupakan adanya indicator

kegagalan system dalam mencapai keadilan 143.

142 Muladi,, Barda Nawawi arief, op. cit., hal 67.143 Muladi, Ibid. hal. 67-71.

Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009