Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5 Universitas Kristen Petra
2. LANDASAN TEORI
2.1 Pendahuluan
Material konstruksi merupakan bagian penting dalam pelaksanaan suatu
kontruksi. Tiap tahap pada konstruksi berhubungan langsung dengan material
konstruksi. Penggunaan energi, eksploitasi material alam, polusi yang ditimbulkan
sampai sisa material merupakan bagian-bagian yang menjadi pertimbangan dalam
aspek material konstruksi.
Krisis energi dunia yang mulai terjadi mengharuskan pelaku konstruksi
untuk turut serta mengamankan cadangan energi dengan meminimalisasi
penggunaan energi, dan jika ditinjau dari aspek material maka dapat dilakukan
dengan menggunakan material yang hemat energi, baik hemat energi saat proses
produksi sampai pada proses pemakaian material itu sendiri.
Eskploitasi material dari alam sering kali tidak memperhatikan dampak
lingkungan. Eksploitasi material secara berlebihan tanpa diikuti dengan
peremajaan maupun perbaikan kondisi lingkungan sekitar menjadi faktor utama
kerusakan lingkungan.
Penanganan sisa material sebagai tahap terakhir dari proses material itu
sendiri harus dilakukan secara tepat untuk mengurangi dampak negatif bagi
lingkungan, 15-30% sampah padat suatu kota merupakan sampah konstruksi
(Bossink, 1996) . Selain berpengaruh pada lingkungan, material merupakan
komponen yang penting dan sangat menentukan biaya suatu proyek karena 50-
60% biaya proyek digunakan untuk memenuhi kebutuhan material proyek
(Stukhart, 1995).
Jika ditinjau dari proses material itu sendiri, tahap perencanaan dan
pelaksanaan kostruksi memiliki peran yang besar dalam mengimplementasikan
bangunan berwawasan lingkungan dari aspek material. Hasil desain dan proses
pemilihan material pada tahap perencanaan menjadi penting karena mengatur
material yang digunakan pada bangunan hasil desain tersebut. Sedangkan pada
tahap pelaksanaan konstruksi, penanganan material dan penanganan sisa material
6 Universitas Kristen Petra
secara tepat dapat menjadi awal perhatian terhadap lingkungan terkait aspek
material konstruksi.
2.2 Dampak Lingkungan
Kondisi alam sangat tidak menentu, hal ini diakibatkan kerusakan yang
terjadi akibat perbuatan manusia sendiri. Tanpa memikirkan dampak yang terjadi
pada masa yang akan datang, manusia sering sekali merusak alam dengan
mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebih tanpa mengadakan perbaikan
lingkungan. Penggunaan energi yang tidak tepat guna dapat pula mengganggu
stabilitas lingkungan terutama karena energi fosil dunia telah menipis.
2.2.1 Dampak Kerusakan Lingkungan Secara Umum
Berikut ini beberapa masalah lingkungan yang terjadi belakangan ini yang
kemudian menjadi pola pikir manusia untuk kembali kepada lingkungan;
1) Pemanasan global
Suhu permukaan bumi saat ini secara global mengalami peningkatan, akibat
dari meningkatnya suhu permukaan bumi pada saat ini tingkat kenyamanan
berada di udara terbuka menjadi tidak memenuhi syarat, di sebagian wilayah
dunia bahkan suhu permukaan bumi bisa mencapai 45 derajat Celsius dan hal ini
dapat berdampak negatif bagi manusia terutama dapat mengakibatkan terjadinya
kangker kulit. Selain berimbas langsung bagi manusia, pemanasan global juga
dapat mengakibatkan es di kutub bumi mencair dan hal ini dapat berimbas pada
naiknya permukaan air laut dan konsisi seperti ini tentu tidak baik karena dapat
mengurangi daratan dan berimbas pada tenggelam atau semakin kecilnya
beberapa kota. Pemanasan global disebabkan banyak faktor seperti penipisan
lapisan ozon akibat penggunaan CFC sebagai refrigerant pada pendingin udara,
sehingga radiasi sinar matahari sangat tinggi masuk pada permukaan bumi,
gundulnya hutan dengan eksploitasi secara liar hutan-hutan yang sebenarnya
diproyeksikan menjadi paru-paru dunia. Demikian juga penggunaan material-
material yang banyak mengkonsumsi energi, dengan konsumsi energi maka
didapat pula emisi gas buang yang dihasilkan dari proses pembuatan material
sampai tahap konstruksi itu sendiri. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan
penghijauan hutan dan menggunakan material ramah lingkungan serta tidak
mempergunaan material yang berbahaya bagi lingkungan.
7 Universitas Kristen Petra
2) Penipisan lapisan ozon,
Penipisan lapisan ozon terjadi karena penggunaan material yang mengandung
Chloro Fluoro Carbon (CFC), material tersebut biasanya terdapat pada refrigerant
pendingin ruangan maupun halon pada bahan pemadam kebakaran. (GBCI,
2011). Penggunaan material gas tersebut dapan menipiskan ozon (O3) karena gas
tersebut akan bereaksi dan merusak ozon sehingga merubahnya menjadi oksigen
(O2) dan proses ini akan berlangsung trus menerus. Upaya penanggulangan dapat
dilakukan dengan tdk menggunakan material-material gas yang dapat merusak
ozon tersebut.
3) Efek rumah kaca,
Efek rumah kaca merupakan suatu proses dimana gas CO2 dan beberapa gas
buang lainnya membentuk suatu lapisan di udara, Energi yang diserap bumi
dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan
bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh
awan dan gas CO2 dan gas lainnya tersebut. Dalam keadaan normal, efek rumah
kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan
malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda. Efek rumah kaca sering terjadi terutama
pada kota-kota besar dengan emisi gas buang yang sangat tinggi. Efek rumah kaca
telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 °C. Penggunaan material berpengaruh
juga pada terjadinya efek rumah kaca, penggunaan material yang tidak hemat
energi member dampak pada terjadinya efek rumah kaca, penggunaan energi
berbanding lurus dengan emisi gas buang yang dihasilkan sehingga jika energi
yang di konsumsi besar oleh suatu material maka emisi gas buang akibat material
tersebut juga besar. Industri konstruksi cukup berperan karena 30% dari emisi gas
CO2 merupakan hasil dari konstruksi (Hajek, 2002).
4) Kontaminasi udara
Kontaminasi udara terjadi terutama menyangkut gas buang asap knalpot
kendaraan dan hasil buangan pabrik sangat mempengaruhi kondisi udara. Tidak
hanya memberi dampak buruk buat lingkungan, polusi pada udara bisa berdampak
langsung bagi manusia. Masyarakat konstruksi juga dapat mengurangi polusi
udara terutama saat pelaksanaan konstruksi karena debu yang dihasilkan saat
pelaksanaan konstruksi sangat banyak dan dapat mengganggu masyarakat.
8 Universitas Kristen Petra
5) Kontaminasi air,
Pembuangan air limbah pada saluran kota tanpa proses normalisasi terlebih
dahulu dapat mengkontaminasi, selain itu exploitasi air tanah secara berlebih juga
tdk baik karena dapat merusak struktur dan kondisi tanah itu sendiri, kontaminasi
pada air serign kali terjadi pada pelaksanaan proyek dengan pembuangan air
limbah konstruksi yang mengandung semen pada saluran kota.
6) Kontaminasi dan kerusakan tanah,
Exploitasi material alam saat mempengaruhi kondisi tanah, banyak terjadi
exploitasi hutan dan bahan tambang pada daerah tanah namun tidak dilakukan
peremajaan terhadap kondisi hutan maupun tanah tersebut. Pembuangan material
sisa pada tanah dapat merusak ekosistem tanah itu sendiri, terutama material sisa
yang berbahaya maupun yang tidak dapat diuraikan oleh tanah seperti steroform.
Pada kawasan negara eropa bidang konstruksi menghasilkan limbah padat 40%
dari keseluruhan limbah padat yang dihasilkan suatu kota (Hajek, 2002).
7) Krisis energi
Isu energi menjadi kepedulian utama dunia. Energi yang berasal dari bahan bakar
fosil sudah sangat menipis, sedangkan pemakaian enargi yang dikonsumsi dunia
terus meningkat. Penggunaan energi alternative dan terbaharukan masih belum
dapat menggantikan energi fosil . Pada saat ini yg sering dilakukan yaitu
percobaab menyangkut penggunaan energi sinar matahari, sumber energi dari
matahari yang tidak pernah habis berupaya terus di manfaatkan. Isu energi juga
menjadi perhatian bidang konstruksi karena 40% dari penggunaan energi di eropa
digunakan dalam industri konstruksi.(Hajek, 2002).
2.2.2 Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Material Konstruksi
Pelaksanaan konstruksi pada umumnya memberi dampak negatif pada
lingkungan. Dampak negatif dapat berasal dari mana saja dan salah satunya ialah
penggunaan material konstruksi. Penggunaan material menjadi penting dalam
dunia konstruksi karena 60% anggaran biaya proyek dialokasikan buat pengadaan
material (Nugraha, 1985). Selain itu material pun memberi dampak lingkungan
karena dalam proses pembuatan material sampai penggunaan membutuhkan
energi dan menghasilkan sisa (Gambar 2.1). Sisa dari material konstruksi
menyumbang 15-30% dari sampah padat suatu kota (Bossink, 1996)
9 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.1 Proses perjalanan material konstruksi
Tiap tahapan pada material melibatkan keberadaan energi dan sisa material
yang berdampak bagi lingkungan, contohnya material marmer sebagai bahan
finishing lantai maupun dinding. Berikut ini tahapan pengadaan batu marmer
untuk menggambarkan penjabaran terhadap kebutuhan material dan sisa material
dalam tiap proses pengadaan material:
• Tahap awal raw material diambil dari gunung marmer, batu marmer di
lakukan pemotongan dalam ukutan yang sangat besar kemudian dibawa ke
pabrik pembuatan. Dalam proses pengambilan material melibatkan energi
untuk pemotongan dan menghasilkan sisa material berupa debu hasil
potongan maupun material marmer kecil yang tdk dapat digunakan lagi
Waste
Installation
Waste
Waste
Waste
Waste
Waste
Distribution
Packaging
Raw Material
Processing& ManufacturinDisposal
Use & Maintenanc
Energy
Waste
EnergyEnergy
Energy
Energy
Energy
Energy
Sumber: Eco-Interiors, Pilatowicsz,G
10 Universitas Kristen Petra
• Setelah raw material sampai di pabrik maka akan dilakukan pemotongan
sesuai dengan ukuran yang diinginkan dan sekali lagi melibatkan energi dan
menghasilkan sisa.
• Tahap berikutnya material akan dipaket, dan pembungkugan material marmer
biasanya menggunakan peti kayu tergantung ukuran tiap jenis material
• Material kemudian dibawa ke tempat proyek, saat distribusi ini material
menggunakan energi kembali dalam bentuk alat transportasi dan
menghasilkan sisa akibat kerusakan material selama proses di transportasi.
• Kemudian marmer dipasang sesuai tempat, dan proses pemasangan juga
membutuhkan energi terutama untuk pemotongan marmer-marmer yang perlu
disesuaikan. Dalam proses pemotongan material tersebut kemungkinan pula
menhasilkan sisa material yang tidak mungkin dapat dipakai lagi.
• Dalam proses penggunaannya marmer terlebih dahulu dipoles, dan proses
pemolesan ini memerlukan energi untuk alat poles dan menghasilkan sisa
berupa cairan kental hasil polesan marmer
• Proses terakhir ialah pembuangan material sisa maupun pembongkaran
material lama jika ingin diganti, proses pembuangan dan pembongkaran
material lama membutuhkan energi dan menghasilkan sisa material juga
Tiap proses dalam pengadaan material selalu membutuhkan energi dan
menghasilkan sisa material dan hal ini berpengaruh negatif pada lingkungan.
Berikut ini dampak kerusakan lingkungan yang di akibatkan penggunaan material:
• Eksplorasi Material Alam.
Semua material konstruksi diambil dari alam, dan proses eksplorasi
material ini sangat diperhatikan karena pengaruhnya besar bagi lingkungan.
Eksplorasi material alam yang berlebihan dapat mengganggu stabilitas material di
masa yang akan datang. Selain pengaruh bagi material itu sendiri, efek negatif
eksploitasi juga berdampak pada lingkungan terutama tanah. Contohnya pada
proses eksploitasi kayu. Sering kali dilakukan secara berlebihan pada material
kayu di daerah-daerah yang kaya akan material kayu, kemudian tidak dilakukan
reboisasi atau peremajaan terhadap tanah yang di ekplorasi. Sehingga kondisi
tanah sekitar tempat eksplorasi menjadi rusak.
11 Universitas Kristen Petra
• Penggunaan energi
Proses pembuatan suatu material konstruksi pasti membutuhkan energi,
ditengah krisis energi yang mulai melanda dunia maka perhatian kita pada
penggunaan energi menjadi lebih besar. Proses produksi tiap material diharapkan
menggunakan energi dalam jumlah yang minimal guna menjaga kesinambungan
persediaan energi dunia. Penggunaan material yang minim penggunaan energinya
dalam proses pembuatannya sangat dianjurkan. Misalnya penggunaan aluminium,
aluminium merupakan material dengan konsumsi energi terbesar selama proses
pembuatannya yaitu mencapai 56kWh/kg (Tabel 2.1). Penggunaan material
aluminium dengan konsumsi energi yang demikian besar diharapkan lebih
diperhatikan dalam tiap pelaksanaan konstruksi.
Tabel 2.1. Kebutuhan energi material konstruksi (Priatman, 2007)
Material kWh/kg
Sand, gravel 0.01
Wood 0.1
Concrete 0.2
Sand-lime brickwork 0.4
Lightweight concrete 0.5
Plasterboard 1.0
Brickwork 1.2
Lime 1.5
Cement 2.2
Mineral fibre insulation 3.9
Glass 6.0
Porcelain 6.1
Plastics 10
Steel 10
Lead 14
Zinc 15
Copper 16
Aluminium 56
12 Universitas Kristen Petra
• Polusi
Dalam tiap proses pada material pasti menghasilkan polusi baik pada
udara, air, tanah dan sebagainya. Polusi terjadi dari proses pengadaan saat
eksplorasi material dari alam, proses produksi, distribusi sampai penggunaan
material itu sendiri. Polusi berdampak besar bagi manusia sekitar sehingga perlu
perhatian dari masyarakan konstruksi menyangkut material yang menjadi sumber
polusi. Contohnya penggunaan material cat yang tidak sesuai standart. Beberapa
material cat memiliki bau yang menyengat hidung, hal ini disebabkan nilai
volatine organic compounds (VOCs) sangat tinggi. Hal ini menimbulkan polusi
pada udara karena bau yang tidak sedap. Penggunaan material seperti ini dianggap
tidak baik terutama karena mengurangi kenyamanan pengguna gedung.
• Sisa material.
Tiap tahap dalam proses pembuatan material pasti menghasilkan sisa
material (Gambar 2.1) . Pengelolaan sisa ini harus ramah terhadap lingkungan.
Sering kali sisa material yang tidak memiliki nilai ekonomis lagi dibuang tanpa
memperhatikan dampak lingkungan. Sisa material konstruksi yang merupakan
bahan anorganik sangat berdampak buruk bagi lingkungan. Penanganan sisa
material konstruksi sering kali hanya ditimbun pada tanah, dan hal ini
membutuhkan waktu yang sangat lama dalam proses peruraiannya, adapula
material lain seperti styrofoam yang tidak dapat terurai sehingga penggunaan
bahan ini tidak di perbolehkan seperti yang diatur pada greenship rating tools
(GBCI 2010). Sisa material kontruksi diharapkan dipakai kembali ataupun didaur
ulang kembali. Contohnya material besi tulangan, besi bekas potongan diolah
kembali dengan cara di lebur dan kemudian menjadi besi tulangan yang baru.
Dengan melakukan reuse dan recycle pada sisa material maka upaya mereduksi
dampak negatif yang terjadi pada lingkungan akibat penggunaan material akan
terlaksana.
Pelaksanaan konstruksi pasti memberi dampak negatif bagi lingkungan
dan upaya para masyarakat kontruksi untuk meminimalisasi dampak negatif
tersebut harus diupayakan segera agar kelestarian lingkungan dapat pula di
perhatikan.
13 Universitas Kristen Petra
2.3 Material Konstruksi
Material dalam konstruksi dapat digolongkan menjadi dua bagian besar (Gavilan, 1994), yaitu: 1. Consumable material, merupakan material yang akhirnya akan menjadi
bagian dari struktur bangunan, misalnya semen, pasir, batu bata, besi tulangan.
2. Non-consumable material, merupakan material penunjang dalam proses konstruksi, dan bukan merupakan bagian fisik dari bangunan setelah bangunan tersebut selesai, material tersebut kemudian bisa digunakan ulang ataupun dapat menjadi sampah konstruksi misalnya perancah, bekisting.
Dua golongan material tersebut dapat mengakibatkan sisa material maupun sampah yang besar dalam tiap aktifitas konstruksi. Material kayu sebagai bekisting misalnya, dalam pengerjaannya hanya dapat dipakai beberapa kali atau memiliki umur pakai tertentu sehingga penyediannya harus terus diperbaharui sehingga pasti menimbulkan sisa pada material. Penggunaan Consumable material juga berdampak sama. Dalam pengerjaannya Consumable material memerlukan pemotongan agar sesuai dengan kebutuhan sehingga sering kali potongan tersebut tidak dapat digunakan lagi sehingga menjadi sisa material yang kemudian menjadi sampah konstruksi.
Material merupakan bagian penting dalam pelaksanaan konstruksi. Penanganan sisa material pun perlu dianalisa dari awal yaitu mulai tahap perencanaan terkait hasil desain dan pelaksanaan yang dapat mencegah maupun mereduksi sisa material sampai tahap penanganan sisa material itu sendiri. Menurut dobler(1990), penanganan material dapat membantu mengefektifkan penggunaan material, mempertahankan kualitas material dan dapat pula meminimalisasi sisa material yang akan dihasilkan dari suatu proyek konstruksi.
2.3.1 Tahap Perencanaan Berkaitan dengan Material Konstruksi.
Pada tahap perencanaan dihasilkan desain bangunan dan spesifikasi
material. Desain yang dihasilkan pun erat kaitannya dengan material yang di
gunakan. Desain terkait langsung dengan spesifikasi material maupun dampaknya
juga dapat terlihat pada aspek sisa material. Tujuan utama dari lingkungan terkait
material ialah untuk mengoptimalkan pemakaian material dan mengurangi
dampak negatif yang di timbulkan olah material konstruksi.
14 Universitas Kristen Petra
2.3.1.1 Hasil Desain
Pelaksanaan desain sangat terkait material, tujuan dari penanganan
material yang tepat itu sendiri ialah efisiensi material dan minimalisasi sisa
material. Menurut fishbein 1998, dikatakan bahwa efektifitas material dan proses
meminimalisasi sisa material dilakukan mulai tahap desain dengan melakukan
pencegahan terhadap terjadinya sisa material. Berikut ini penjabaran faktor desain
yang dapat meminimalisasi sisa material
• Penggunaan kembali bangunan lama
Dengan mendesain menggunakan sebagian bangunan lama berarti kita
meminimalisasi sisa material yang terjadi akibat pembongkaran total suatu
bangunan atau demolition waste. Dampak terbesar dari demolition waste ialah
ke aspek tanah, berarti di perlukan area tanah tertentu untuk menampung dan
mengolah maupun menimbun material hasil demolition waste tersebut
• Mendesain bangunan tahan lama
Dengan mendesain bangunan tahan lama berarti menghasilkan umur
bangunan yang panjang. Hal ini berimbas pada proses renovasi atau
perbaikan maupun proses pembangunan bangunan baru. Usia bangunan yang
lama berarti lama pula proses renovasi maupun bangunan baru, hal ini berarti
efisiensi atas kebutuhan material energi dan sebagainya menyangkut proses
tahap renovasi maupun bangunan baru dan efeknya juga berimbas pada sisa
material yang tidak terjadi karena usia bangunan yang panjang
• Mendesain bangunan yang fleksible terhadap fungsi dan kegunaan.
Fleksibel disini dimaksudkan bahwa banguan sebaiknya di rencanakan untuk
beberapa alternatif dan fungsi lain, sehingga jika perlu perubahan terhadap
fungsi bangunan tidak perlu di lakukan renovasi besar maupun pembongkaran
total yang dapat menimbulkan sisa material.
• Mendesain bangunan dengan dinding yang dapat berpindah.
Desain dengan dinding yang dapat berpindah berarti mempermudah
pengaturan ruang dalam bangunan dan menghindari pembongkaran dinding
karena material dinding dibuat dapat berpindahkan. Penataan ruang menjadi
lebih muda tanpa kuatir terjadinya renovasi besar maupun pembongkaran
total terhadap material dinding.
15 Universitas Kristen Petra
• Menghasilkan desain dalam ukuran standar material
Desain seringkali tidak mempertimbangkan ukuran material dilapangan,
misalnya desain suatu ruangan yang menggunakan material karpet, sebaiknya
lebar ruangan disesuaikan dengan ketersediaan material dipasaran dalam hal
ini untuk karpet ukuran 4 meter dan tidak menimbulkan sisa akibat potong,
untuk ukuran besi juga telah distandarkan oleh pasar yaitu 12 meter sehingga
ukuran-ukuran penulangan beton yang menggunakan ukuran 12 meter
dianggap cocok karena tidak perlu dilakukan pemotongan material.
• Menghasilkan desain dengan warna standar.
Warna sebaiknya dipilih berdasarkan warna umum dipasaran dan juga
memakai jumlah warna yang minimal. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi pengerjaan ulang saat renovasi. Selain itu warna yang sama
juga meminimalisasi sisa karena dapat diaplikasikan untuk bagian lain.
• Menggunakan teknik yang efisien dalam penggunaan material
Teknik pelaksanaan kontruksi pun harus telah direncanakan pada tahap
perencanaan dan setiap teknik yang dipilih diupayakan mengoptimalkan
penggunaan material. Misalnya desain menggunakan plat bondek baja untuk
struktur plat beton, hal ini mengefisienkan penggunaan kayu untuk bekisting.
2.3.1.2 Pemilihan Material Konstruksi
Pemilihan material yang tepat mengurangi dampak lingkungan yang
terjadi dan dapat pula meminimalisasi sisa material pada proyek konstruksi.
Menurut Fishbein tahun 1998, pemilihan material berikut memenuhi bangunan
berwawasan lingkungan
• Penggunaan material dari bangunan lama
• Menggunakan material yang tahan lama
• Menggunakan material tidak beracun
Misalnya tidak menggunakan material asbes yang beracun maupun material
lain dengan nilai VOCs (Volatile Organic Compounds) yang tinggi sehingga
mengganggu pernafasan.
• Menggunakan material yang dapat direuse dan recycle
• Menggunakan material prefabrikasi
16 Universitas Kristen Petra
2.3.2 Tahap Pelaksanaan Konstruksi
Pelaksanana konstruksi berkaitan langsung dengan material. Pada fase
penggunaan material dilakukan. Penanganan material yang tepat dapat
berpengaruh pada kualitas material serta meminimalisasi terjadinya sisa material.
Beberapa literatur membahas pencegahan yang dapat dilakukan terhadap sisa
material selama proses konstruksi mulai dari proses pengadaan material sampai
penggunaan material
2.3.2.1 Pengadaan Material
• Merencanakan pembelian dan pengadaan material (Fishbein, 1998)
• Mengkomunikasikan perencanaan dan perubahan perencanaan kerja terhadap
material ( Ekanayake, 2000)
• Mengestimasi kebutuhan material dengan tepat (Urio, 2006)
• Menggunaan suplier berpengalaman (Fishbein, 1998)
• Melakukan pengecekan kondisi material saat didistribusikan (Formoso, 2000)
2.3.2.2 Penyimpanan dan Penanganan Material
• Pembuatan gudang penyimpanan yang memenuhi syarat.
Pembuatan gudang yang memenuhi syarat dirasa sangat perlu, baik buat
material maupun sisa material. Pembuatan gudang standar menghindarkan
material dari kerusakan terutama material yang memiliki syarat tertentu untuk
tempat penyimpanan seperti semen, silicone dan lain-lain
• Penataan lapangan untuk tempat penyimpanan material (Urio, 2006)
• Training tentang transportasi material yang tepat di proyek (Urio, 2006)
• Penyimpanan sesuai anjuran pabrik atau produsen material (Bossink, 1996)
• Mengurangi sampah akibat kemasan (Fishbein, 1998)
2.3.2.3 Pemakaian Material
Pemakaian material harus tepat untuk meminimalisasi terjadinya sisa
material pada pelaksanaan konstruksi dan untuk tahap pemakaian material.
Ekanayake (2000) dan Urio (2006) mengutarakan cara meminimalisasi
sisa material yaitu
17 Universitas Kristen Petra
• Pemakaian peralatan yang baik dan memenuhi kualifikasi
• Pemilihan operator yang memenuhi kualifikasi
• Melakukan kontrol penggunaan material
• Mengadakan aturan untuk meminimalisasi sisa material
• Menempatkan supervisior lapangan yang profesional
• Mengedukasi penggunaan material secara tepat
• Training dan pelatihan pada pekerja terkait sisa material.
• Mengedukasi pekerja untuk menggunakan material sisa daripada
menggunakan material baru
2.3.3 Sisa Material Konstruksi
Sisa material konstruksi sangat berpengaruh pada lingkungan. Banyak
dampak yang ditimbulkan akibat adanya sisa material, baik dampak langsung
maupun tidak langsung. Sisa material konstruksi yang mencapai 15-30% dari total
sampah kota (Bossink, 1996) sangat berdampak negatif bagi lingkungan,terutama
karena sisa material kontruksi merupakan sampah-sampah anorganik yang susah
diuraikan oleh alam. Meminimalisasi sisa material yang terjadi pada suatu proyek
kontruksi sangat berdampak bagi lingkungan. Berikut ini dampak meminimalisasi
sisa material:
• Pengurangan sisa material yang harus di buang.
Penanganan lanjutan dari sisa material sangat berdampak pada lingkungan
terutama dalam hal menimbun bahan material sisa kontruksi dalam tanah
karena material kontruksi merupakan material anorganik susah terurai tanah.
• Efisiensi penggunaan material
Dengan meminimalisasi sisa material berarti terjadi efektifitas dalam
penggunanan material, hal ini berarti semua dampak yang timbul dari tahapan
produksi material pun bisa diminimalisasi. Seperti penggunaan energi dan
sisa material pada proses manufaktur, polusi yang timbul maupun energi
akibat transportasi dan dampak dari pengambilan material asli itu sendiri dari
alam. Dampak akibat material kontruksi telah dibahas pada bab ini juga.
18 Universitas Kristen Petra
• Minimalisasi polusi akibat penanganan sisa material
Pengananan lanjutan pada sisa material juga mengakibatkan terjadinya polusi
terutama jiga terjadi pembakaran sisa material, polusi pada air pun bisa terjadi
jika material di timbun pada tanah dan terjadi hujan maka kualitas air tanah
yang masuk ke dalam tanah tersebut sudah terkontaminasi dengan sisa
material konstruksi tersebut.
• Mengurangi penggunaan energi saat tahap penanganan lanjutan.
Tahap pengolahan lanjutan sisa material juga memerlukan energi terutama
saat transportasi maupun proses pengolahannya itu sendiri. Dengan
minimalisasi maka minimal pula dampak sisa material konstruksi terhadap
penggunaan energi.
Sisa meterial akan terus bertambah sesuai dengan perkembangan
pembangunan yang sedang dilaksanakan. Penanganan sisa material pun
memerlukan perhatian khusus. Metode serta pengendalian terhadap sisa material
pada tiap negara sangat berbeda. penangananan sisa material sendiri dapat
digambarkan seperti pada Gambar 2.2
Gambar 2.3 Penanganan sisa material (Wikipedia, 2010)
Penjelasan mengenai penanganan sisa material adalah sebagai berikut:
1. Prevention, merupakan penanganan paling awal yaitu dengan mencegah agar
tidak terjadinya sisa material selama pelaksanaan proyek konstruksi. contohnya
penggunaan beton prefabrikasi. Pelaksanaan pengecoran pada suatu proyek
19 Universitas Kristen Petra
sering kali menghasilkan sisa beton dalam jumlah besar, untuk menghindari
sisa material tersebut kita dapat menggunakan beton prefabrikasi sehingga
tidak diperlukan lagi proses pengecoran langsung di lapangan sehingga sisa
material beton tidak terjadi dalam suatu proyek. Tahapan prevention dilakukan
dari fase desain, jadi saat perencanaan bangunan telah dibicarakan bagaimana
cara dan upaya untuk mencegah terjadinya sisa material. Sampah pembungkus
dan proteksi material juga besar pengaruhnya terhadap sisa material konstruksi
secara total, pengadaan material konstruksi tanpa pembungkus atau proses
paket dianggap mencegah terjadinya sisa material dan menjadi salah satu
prevention
2. Reduce, mengurangi sisa material yang dihasilkan. Reduce hampir sama
dengan proses prevention. Pada tahap prevention, hal penyebab sisa material
dihindari dan dicari alternatif penyelesaian lain. Sedang pada tahap reduce hal
itu tetap dilakukan tetapi berusaha diminimalisasi sisa material yang akan
terjadi Contohnya saat menggunakan beton pengecoran langsung pada area
proyek, dapat dilakukan estimasi secara tepat agar tidak terjadi sisa beton. Jika
tetap terjadi sisa beton maka telah dipikirkan alternatif pekerjaan yang dapat
menampung sisa material beton basah tersebut sehingga sisa beton hasil
pekerjaan beton dapat tetap digunakan misalnya sisa beton digunakan untuk
pembuatan car stoper pada area parkir kendaraan. Penanganan sisa material
secara reduce berkaitan dengan tahap pelaksanaan konstruksi, terutama
mengenai penanganan material.
3. Reuse, menggunakan kembali sisa material yang ada pada proyek agar tidak
menjadi sampah proyek. Proses ini dilakukan agar material tidak mengalami
proses produksi kembali namun langsung dilakukan penggunaan dari material
yang ada. Contohnya menggunakan besi sisa potongan saat pembuatan beton
untuk penyangga pintu lift. Tahapan penanganan ini dilakukan pada tahap
konstruksi dengan menyediakan tempat penyimpanan sementara untuk
material-material sisa, dilakukan pemilahan tiap jenis material dan pencatatan.
Pelaksanaan yang tepat dapat mengefektifkan jumlah material yang kemudian
dapat dipakai kembali pada proyek konstruksi yang sedang dijalankan.
20 Universitas Kristen Petra
4. Recycle, sisa material yang dihasilkan proyek kemudian digunakan kembali
dengan cara diolah terlebih dahulu atau mengalami proses produksi kembali
sehingga material tersebut bisa di gunakan atau memiliki fungsi baru atau
fungsi yang sama. Contohnya penggunaan sisa material besi beton yang
kemudian didaur ulang sehingga menghasilkan besi tulangan yang baru.
Penanganan sisa material ini pun harus disiapkan tempat penimbunan material
sisa sementara. Dapat pula dibuat daftar rekanan pihak ke 3 yang dapat
membantu pengolahan material sisa supaya dapat di daur ulang dengan proses
yang lebih ramah lingkungan.
5. Sisa material yang tidak dapat digunakan lagi. Jika tidak dapat digunakan lagi
dan tidak dapat didaur ulang. Maka dapat dikatakan material tersebut menjadi
material sisa tanpa nilai jual, sering kali material seperti ini penanganannnya
tidak tepat sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Sisa material
tersebut adalah sampah konstruksi sehingga harus ditangani pemusnahannya,
dan dapat dilakukan dengan cara:
• Compost, pengolahan untuk material organik seperti daun-daunan.
• Burn, pemusnahan dengan cara dibakar.
Pengolahan jenis ini dilakukan pada material kayu dan material lain yang
dapat di bakar dengan suhu normal pembakaran biasa. Penanganan jenis ini
kurang baik karena dapat menimbulkan polusi pada udara. Sebaiknya pembakaran
dilakukan pada insenerator atau tanur tinggi sehingga minim polusi.
• Landfill, penimbunan sisa material dengan tanah secara berlapis.
Pengolahan jenis ini dilakukan pada material beton, pasir, krikil dan bahan
anorganik lainnya yang dibuang. Biasanya material ini tidak dapat dibuang pada
sampah kota sehingga butuh penanganan lanjutan dengan pihak lain yang lebih
ahli dan perhatian pada lingkungan sehingga penangananya lebih tepat. Namun
karena biaya yang lebih tinggi sering kali pihak kontraktor tidak mau untuk
penanganan lanjutan dan memilih mengatasi sendiri masalah sampah konstruksi
walaupun menghadirkan efek negatif bagi lingkungan.
21 Universitas Kristen Petra
2.4 Green Building
Green building merupakan suatu aturan yang membahas mengenai
lingkungan dalam kaitannya dengan perencanaan dan pelaksanaan suatu
konstruksi. Indonesia sebagai suatu negara berkembang juga telah menghasilkan
aturan green building yang diberi nama greenship rating tool (GRT), pada saat ini
aturan tersebut bersifat anjuran dan belum menjadi suatu.
Inti dari pelaksanaan green building itu sendiri (Wikipedia, 2011)ialah :
1. Efisiensi penggunaan energi, air dan sumber daya lainnya
2. Melakukan penjagaan terhadap kualitas kesehatan pengguna bangunan dan
meningkatkan produktifitas pengguna bangunan.
3. Mereduksi sisa sumber daya, mereduksi polusi dan mengurangi kerusakan
yang terjadi pada lingkungan
Aspek material konstruksi yang menjadi landasan pada penelitian ini juga
dibahas secara khusus pada aturan green building. Sehingga aturan green building
dapat dijadikan sumber literatur untuk parameter-parameter aspek material yang
akan diteliti.
2.4.1 Green Building di Dunia
Seiring berjalannya waktu dan perhatian dunia yang semakin besar
mengenai lingkungan maka dibentuklah organisasi lingkungan yang tujuannya
menghasilkan peraturan dan tata cara pembangunan yang nantinya dipakai dalam
menghasilkan konstruksi yang ramah lingkungan pada tiap-tiap negara.
Lebih dari 30 negera telah membentuk organisasi dan aturan tentang
penerapan konsep green building. Negara-negara di eropa menjadi pelopor
dibentuknya green building council (GBC).
Lembaga GBC inilah yang kemudian didirikan diberbagai negara lain dan
membuat aturan green building yang disesuaikan dengan karakteristik dan aturan
pada masing-masing Negara. Pada landasan teori penelitian ini akan dibahas
aturan atau tools dari lima Negara antara lain Indonesia (INA), Amerika Serikat
(US), Inggris (UK), Australia (AUS) dan Hongkong (HK) (Table 2.2). Dalam
pembahasan selanjutnya akan diuraikan mengenai tools yang berkaitan dengan
aspek material pada tiap pembahasan aturan masing-masing Negara.
22 Universitas Kristen Petra
Tabel 2.2 Green Building Council lima negara
No Negara INA US UK AUS HK
1 Nama Aturan Greenship LEED BREEAM Greenstar HK-BEAM
2 Nama Organisasi GBCI USGBC BRE-GL GBCA HK-BEAM
3 Tuhun Berdirinya 2010 1993 1990 2010 1996
4 Versi 2010 1998
2002
2009
1990
…
2011
2010
2011
2004
2010
5 % Material 14% 14% 20% 18% 8%
Keterangan :
GBCI Green Building Council Indonesia
USCBC U.S Green Building Council
LEED Leadership in Energy and Environmental Design
BREEAM Building Research Establishment’s Environmental Assessment
Method
BRE-GL Building research Establishment’s Global Limited
HK-BEAM Hongkong Building Environmental Assessment Method
GBCA Green Building Council of Australian
Penerapan green building diharapkan dapat mereduksi dampak lingkungan
terutama terkait aspek material konstruksi. Perlu disadari bahwa pembangunan
pasti akan memberi dampak negatif bagi lingkungan, namun dengan penerapan
green building secara tepat dapat mengurangi dampak negatif tersebut. Berikut ini
5 negara yang digunakan aturan green buildingnya sebagai landasan teori :
1. Indonesia (INA)
Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang telah memiliki
aturan green building. Awalnya terbentuk Green Building Council Indonesia
(GBCI) yang merupakan organisasi green building council di Indonesia.
Organisasi ini di dirikan pada 2009. Kemudian pada juni tahun 2010 dihasilkanlah
aturan Greenship Rating Tools (GRT). Awalnya dibuat versi 1.0 untuk greenship
new building, lalu pada januari 2011 dihasilkan pula versi 1.0 greenship existing
building.
23 Universitas Kristen Petra
2. Amerika Serikat (US)
Pada 1993 U.S Green Building Council (USGBC) didirikan dengan
melibatkan arsitek, agen perumahan, pemilik bangunan, praktisi lingkungan,
pengacara dan wakil dari industry. USGBC mengeluarkan aturan dengan nama
Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) versi 1.0 pada tahun
1998. Kemudian mengalami beberapa penyempurnaan sampai yang terbaru
merupakan versi 3.0 tahun 2009. Amerika Serikat merupakan negara maju yang
memiliki aturan green building yang lengkap. Selain aturan konstruksi untuk
bangunan baru, USGBC juga menghasilkan LEED untuk interior, operasional dan
perawatan gedung dan untuk rumah tinggal.
3. Inggris (UK).
Inggris merupakan Negara pertama yang membentuk aturan green building.
Tahun 1990 telah di bentuk aturan yang dikenal dengan istilah Building Research
Establishment’s Environmental Assessment Method (BREEAM) oleh Building
research Establishment’s Global Limited (BRE-GL) dan berjalannya waktu telah
melakukan sertifikasi pada lebih dari 200.000 gedung. Selain membahas material,
BREEAM juga membahas sisa material secara khusus. Aturan terbaru yang
merupakan revisi dari aturan terdahulu di keluar pada 2011 untuk gedung baru.
4. Australia (AUS)
Awalnya dibentuk GBCA (Green Building Council of Australian) yang
kemudian menjadi lembaga mandiri yang membentuk aturan untuk Green
Building di Australia. Aturan atau tools yang kemudian dikenal dengan Greenstar.
Pilot Greenstar awalnya pada oktober 2010, kemudian diperbaharui pada 2011
dengan judul office design versi 2.
5. Hongkong (HK)
Hongkong mulai membentuk aturan dengan nama Hongkong Building
Environmental Assessment Method disingkat HK-BEAM.aturan awalnya dimulai
pada 1996 dengan mengeluarkan aturan untuk pengkondisian udara dalam gedung
kemudian berkembang dan akhirnya pada 2010 mengeluarkan aturan terbaru HK-
BEAM plus.
24 Universitas Kristen Petra
2.4.2 Greenship Rating Tools (GRT) Indonesia
Perhatian Indonesia terhadap pelaksanaan konstruksi berkonsep green
building cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan pembuatan aturan konsep green
building, aturan bernama Greenship Rating Tools (GRT) oleh Green Building
Council Indonesia (GBCI). GBCI sendiri merupakan lembaga non profit yang
berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam mengaplikasi praktik-
praktik terbaik buat lingkungan dan mengfasilitasi transformasi industri bangunan
global yang berkelanjutan. Kehadiran GBCI dianggap baik terutama untuk
mengaplikasikan konsep green building pada pelaksanaan proyek pembangunan
di Indonesia, sehingga lingkungan Indonesia yang dianggap paru-paru dunia dapat
tetap terjaga dan pelaksanaan pembangunan gedung menjadi lebih berorientasi
lingkungan. GBCI diselenggarakan oleh sinergi di antara para pemangku
kepentingannya, meliputi:
• Profesional bidang jasa konstruksi,
• Kalangan industri sektor bangunan dan property
• Pemerintah,
• Institusi pendidikan dan penelitian,
• Asosiasi profesi dan masyarakat peduli lingkungan.
Greenship Rating Tools (GRT) menitik-beratkan pada 6 aspek dalam pembahasannya yaitu :
1. Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development/ASD)
Aturan yang dibahas meliputi ruang terbuka hijau dan vegetasi yang di
rencanakan pada perencanaan desain, ketersediaan fasilitas umum terutama
transportasi publik, dan pengaruh bangunan terhadap lingkungan sekitar. Desain
bangunan pun diharapkan telah menyediakan fasilitas pendukung terkait
lingkungan seperti lahan parkir khusus dan shower buat pengguna sepeda. Dalam
aspek ini juga diatur terkait material atap dan non atap yang berhubungan
langsung dengan lingkungan luar bangunan. Aspek tepat guna lahan diberi bobot
17 poin atau 17 persen dari keseluruhan nilai dalam GRT.
25 Universitas Kristen Petra
2. Efisiensi Energi & Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant/EER)
Pembahasan aspek energi meliputi system tata udara dan tata cahaya terkait
dengan penghematan penggunaan energi. Dilakukan upaya penghematan energi
terkait system tata udara dan tata cahaya, namun tetap memenuhi standar
kebutuhan bangunan sesuai fungsi bangunan tersebut. Dibahas pula efek
lingkungan terhadap penggunaan energi terutama mengenai emisi gas buang CO2
yang harus di kurangi. Penggunaan energi terbaharukan pada sebagian kebutuhan
energi bangunan juga memberi poin pada yang mengaplikasikannya. Aspek
energi memiliki bobot 26 % dari nilai keseluruhan GRT. Aspek energi
merupakan bahasan dengan poin tertinggi di bandingkan dengan aspek lain, hal
ini dimungkinkan karena saat ini energi menjadi perhatian dunia karena konsumsi
energi yang semakin hari terus bertambah sedang penggunaan energi alternatif
belum dikembangkan.
3. Konservasi Air (Water Conservation/WAC)
Pembahasan menitik beratkan pada efisiensi penggunaan air, menggunakan
sumber air alternatif selain air tanah dan PDAM, serta pengurangan baban
limpasan air hujan pada saluran kota dengan membuat tangki penyimpanan air
hujan disesuaikan dengan intensitas curah hujan pada daerah tersebut menurut
BMKG. Konservasi air berbobot penilaian sebesar 21%.
4. Sumber & Siklus Material (Material Resources & Cycle/MRC)
Penggunaan material bekas, hasil daur ulang dan material bersertifikasi dan
material terbaharukan menjadi poin penting dalam pembahasan tentang material.
Penggunaan material prefabrikasi dan material lokal juga berpengaruh terhadap
penilaian aspek material yang berbobot total 14%.
5. Kualitas Udara & Kenyamanan Udara (Indoor Air Health & Comfort/IHC)
Pada aspek ini dibahas mengenai kenyamanan saat penggunaan gedung,
terutama kualitas udara pada suatu bangunan, penataan suhu dan cahaya yang
memenuhi syarat kenyamanan. Dalam tahap ini dibahas pula material berbahaya
yang berpotensi menurunkan kualitas udara, dan berbahaya bagi kesehatan
terutama yang berbau seperti material cat dan produk kayu komposit. Penataan
kualitas udara memiliki bobot penilaian 10%.
26 Universitas Kristen Petra
6. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building & Enviroment Management)
Aspek ini mengatur manajemen bangunan terkait testing commissioning,
pengolahan sampah baik saat konstruksi maupun sampah setelah penggunaan
bangunan atau masa operasional. serta langkah selama penggunaan bangunan
terkait survei pada pengguna dan aturan pendukung lainnya yang perlu di siapkan
pihak management dari bangunan itu sendiri. Bobot pelaksanaan keseluruhan
aspek manajemen lingkungan bangunan adalah 13%
2.4.3 GRT Indonesia dan 4 Negara Lain Terkait Aspek Material
Aspek material merupakan salah satu pembahasan penting dalam konsep
green building. Material memiliki porsi penilaian sebesar 8-20 persen dalam
pembahasan penerapan konsep green building di berbagai Negara.
Selain pembahasan khusus menyangkut aspek material, hal terkait material
juga terdapat pada aspek-aspek pembahasan lainnya. Pemilihan material yang
tidak berbau dalam hal ini dengan nilai VOCs rendah seperti pada material cat dan
kayu komposit diatur dalam aspek kualitas dan kenyaman udara. Penerapan aturan
atau tools pada konsep green building secara tepat terkait material konstruksi
dapat membantu kelestarian terhadap lingkungan dan kelestarian jenis material
dan sumber daya itu sendiri.
2.4.3.1 Greenship Rating Tools
Pembahasan aspek material dalam GRT menitik beratkan pada pemilihan
jenis material meliputi material bekas, material hasil daur ulang, material
terbaharukan, material bersertifikasi dan material lokal (Tabel 2.3).
27 Universitas Kristen Petra
Tabel 2.3. Aturan terkait material menurut Greenship Indonesia
No Tools Penggunaan Material Poin Standart A.Material Resource and Cycle (14)
1 Non CFC untuk refrigeran dan halon P prasyarat 2 Reuse material dari bangunan lama atau tempat lain 2 >10, 20% 3 Material bersertifikat 1 >30% 4 Material hasil produk recycle 1 >5% 5 Material terbaharukan (<10 tahun) 1 >2% 6 Tidak menggunakan bahan perusak ozon 2 7 Material kayu bersertifikat legal 1 100% 8 Material kayu sertifikasi LEI atau FSC 1 >30% 9 Material modular atau prafabrikasi 3 >30% 10 Material lokal ( r < 1000 km ) 1 >50% 11 Material lokal dalam Indonesia 1 >80% B. Indoor Health and Comfort (3)
12 Material cat dan coating rendah VOCs 1 13 Material kayu komposit dan agrifiber non formaldehyde 1 14 Material tidak mengandung asbes, merkuri dan styrofoam 1 C. Building Environmental Management (3)
15 Menyediakan area pengumpulan, pemisahan, pencatatan 1 16 Kualitas air konstruksi tidak mencemari drainase kota 1 17 Kerjasama pihak ke 3 untuk mengelola limbah anorganik 1 D. Appropriate Site Development (2)
18 Material atap daya refleksi min 0,3 sesuai perhitungan 1 19 Material nonatap daya refleksi min 0,3 sesuai perhitungan 1
2.4.3.2 Leadership in Energy and Environmental Design (LEED)
Dalam LEED pembahasan difokuskan pada penggunaan gedung lama pada
proses pembuatan gedung baru baik gedung secara utuh maupun penggunaan
material bekas yang ada di gedung lama tersebut. Pemilihan material yang dapat
menimbulkan bau juga diatur lebih terperinci meliputi sealants, cat, penutup
lantai seperti karpet serta berbagai jenis kayu komposit. (Tabel 2.4)
28 Universitas Kristen Petra
Tabel 2.4 Aturan terkait material menurut LEED Amerika Serikat
No Tools Penggunaan Material Poin Standart A.Material and Resource (14)
1 Menyediakan gudang penyimpanan pengumpulan sisa material P 2 Reuse kembali gedung material struktur bangunan lama 3 >55,75,95% 3 Reuse kembali gedung material non-struktur bangunan lama 1 >50% 4 Sisa material dapat di daur ulang dan dipakai kembali 2 >50,75% 5 Menggunakan kembali material lama 2 >5,10% 6 Menggunakan material hasil daur ulang 2 >10,20% 7 Material lokal dan regional (<500miles) 2 >10,20% 8 Material dapat terbaharukan (<10tahun) 1 >2.5% 9 Material kayu bersertifikat FSC 1 >50% B. Indoor Health and Comfort (4)
10 Material adhesives dan sealants rendah VOCs 1 11 Material cat dan coating rendah VOCs 1 12 Material penutup lantai rendah VOCs 1 13 Material kayu komposit dan produk agrifiber rendah VOCs 1 C. Sustainable Sites (1)
14 Material atap dengan indeks refleksi sinar matahari min 1
2.4.3.3 BREEAM Inggris
Tabel 2.5 Aturan terkait material menurut BREEAM Inggris
No Tools Penggunaan Material Poin Standart A.Material Resource and Cycle
1 Material dari bangunan lama digunakan kembali 2 Reuse material 3 Material hasil produk recycle 4 Material bersertifikasi 5 Desain dengan kemampuan adaptasi tinggi B. Waste
6 Menetapkan target efisiensi material 7 Minimalisasi sisa material 8 Melakukan pemilahan, reuse dan recycle sisa material 9 Penggunaan kembali material pada proyek yang sama 10 Penggunaan kembali pada proyek yang lain 11 Mengembalikan pada supplier 12 Penyedian tempat untung penanganan sisa material
29 Universitas Kristen Petra
Pembahasan pada BREEAM yang di terapkan di Inggris sedikit berbeda
dalam memandang aspek material. Pembahasan terkait aspek material di beri
bobot 12,5% sedang pembahasan mengenai sisa material dilakukan secara khusus
dan merupakan satu aspek pembahasan tersendiri dengan bobot 7,5%.
Penyesuaian desain juga diatur dalam BREEAM, hal ini untuk menghindari
pembongkaran total gedung jika akan difungsikan lain, pembentukan desain
bangunan yang fleksibel terhadap fungsi dan kegunaan dianggap perlu diatur pada
pembahasan terkait material. Pembahasan sisa material yang dilakukan secara
khusus karana minim lahan kosong untuk proses disposal sisa material (Tabel 2.5)
2.4.3.4 Greenstar Australia
Pembahasan aspek material menurut greenstar Australia juga sama dengan
beberapa tools di Negara lain, penggunaan material bekas gedung lama dan
material daur ulang di beri bobot poin yang tinggi dalam penilaian greenstar
Australia (Table 2.6).
Tabel 2.6.Aturan terkait material menurut Greenstar Australia
No Tools Penggunaan Material Poin Standart
A.Material Resource and Cycle (21)
1 Menyediakan gudang penyimpanan pengumpulan sisa material 2
2 Reuse kembali gedung material struktur bangunan lama 4 >30,60,90%
3 Reuse kembali gedung material non-struktur bangunan lama 2 >30%
4 Menggunakan beton hasil daur ulang 2 >20,40%
5 Menggunakan besi hasil daur ulang 4 >60,90%
6 Minimalisasi penggunaan PVC 4 >30,60%
7 Material kayu hasil reuse 1
8 Material kayu bersertifikat FSC 2 >95%
B. Indoor Environmental Quality (4)
9 Material cat dan coating rendah VOCs 1 >95%
10 Material karpet rendah VOCs 1 100%
11 Material adhesives dan sealants rendah VOCs 1 100%
12 Material kayu komposit dan produk agrifiber rendah VOCs 1 100%
C. Management (2)
13 Sisa material dapat di daur ulang atau pakai kembeli 2 >60,80%
30 Universitas Kristen Petra
2.4.3.5 HK-BEAM Hongkong
Pengaturan desain pada HK-BEAM saat banyak, desain terkait material
perlu diterapkan terutama untuk meminimalisasi sisa material. Desain modular
standar dengan adaptasi fungsi bangunan yang tinggi saat diharapkan dipenuhi
dalam perencanaan suatu bangunan. Pemakaian gedung lama pada desain gedung
baru juga diatur guna menghindari terjadinya pembongkaran total (Tabel 2.7).
Tabel 2.7. Aturan terkait material menurut Hongkong BEAM
No Tools Penggunaan Material Poin Standart
A.Material and Resource (22+1)
1 Tidak menggunakan hasil hutan u/ non consumable material P
2 Tidak menggunakan CFC untuk refrigerant P
3 Merencanakan penanganan construction demolation waste P
4 Memfasilitasi pengumpulan, pemilahan sisa material P
5 Reuse kembali gedung material struktur bangunan lama 2+1 >30,60,90%
6 Menghasilkan desain modular dan standart 1
7 Material prefabrikasi 2 >20,40%
8 Menghasilkan desain yang fleksibel dan adaptable 3
9 Material dapat di perbaharui 2 >2.5,5%
10 Menggunakan hasil hutan ramah lingkungan 1 >50%
11 Menggunakan material hasil daur ulang 3 >10%
12 Menggunakan bahan material yang tidak merusak ozon 2
13 Menggunakan regional material (< 800km) 2 >10,20%
14 Menunjukan daur ulang sisa material saat demolation 2 >30,60%
15 Menunjukan daur ulang sisa material konstruksi 2 >30,60%
B. Sustainable Sites (1)
16 Material atap dengan indeks refleksi sinar matahari min 0.3 1
2.4.3.6 Rekapitulasi Tools Menurut Lima Negara
Penerapan aturan tiap-tiap Negara saat berbeda terkait material namun jika ditata
kembali dapat disimpulkan bahwa pengaturan aturan terkait material dapat dibagi
menjadi 3 bagian besar yaitu aturan desain yang terkait penggunaan material,
pemilihan material serta penanganan sisa material. (Table 2.8)
31 Universitas Kristen Petra
Tabel 2.8. Rekapitulasi menurut aturan pada 5 negara
No Tools berkaitan dengan Material INA US UK AUS HK
A.Desain yang dihasilkan 1 Desain menggunakan sebagian bangunan lama √ √ √ √
2 Desain yang fleksibel dan dengan adaptasi tinggi √ √ 3 Desain modular dan standart √
B. Pemilihan material 1 Reuse material dari bangunan lama atau tempat lain √ √ √ √ √
2 Material hasil produk recycle √ √ √ √ √ 3 Material kayu sertifikasi LEI atau FSC √ √ √ √ √
4 Material terbaharukan (<10 tahun) √ √ √ 5 Material lokal √ √ √
6 Material cat dan coating rendah VOCs √ √ √ 7 Material kayu komposit & agrifiber non formaldehyde √ √ √
8 Material atap daya refleksi sesuai standart √ √ √ 9 Non CFC untuk refrigeran dan halon √ √
10 Material bersertifikat √ √ 11 Material modular atau prafabrikasi √ √
12 Tidak menggunakan bahan perusak ozon √ 13 Material kayu bersertifikat legal √
14 Material lokal dalam Indonesia √ 15 Material nonatap daya refleksi sesuai standart √
16 Material non-asbes, non-merkuri dan non-styrofoam √ 17 Material produk reuse √ √
18 Material penutup lantai rendah VOCs √ √ 19 Material adhesives dan sealants rendah VOCs √ √
20 Tidak gunakan hasil hutan u/non-consumable material √ 21 Penggunaan kayu hasil reuse √
22 Minimalisasi penggunaan PVC √ C. Penanganan Sisa Material
1 Menyediakan area pengumpulan,pemisahan, pencatatan √ √ √ √ √
2 Sisa material dapat dipakai kembali atau di daur ulang √ √ √ √ 3 Merencanakan penanganan sisa material konstruksi √ √
4 Mengembalikan material sisa pada supplier √ 5 Kualitas air konstruksi tidak mencemari drainase kota √
6 Kerjasama pihak ke 3 untuk mengelolaan limbah √