137
Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sejarah Disusun Oleh : CHANDRA HALIM 024314004 JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan

Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat

Surakarta (1932-1959)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sejarah

Disusun Oleh :

CHANDRA HALIM

024314004

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

Page 2: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

2

Page 3: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

3

Page 4: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

4

Page 5: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

5

MOTTOMOTTOMOTTOMOTTO

� Keinginan tanpa disertai dengan tindakan adalah sia-sia. Sebaliknya

ketekunan dan kerja keras akan mendatangkan keberhasilan yang

melimpah.

(Amsal 13:4)

Page 6: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

6

HALAMAN PERSEMBAHAN Tiada kebahagiaan yang terindah selain mempersembahkan

skripsi ini kepada :

� Thian Yang Maha Kuasa serta Para Buddha Boddhisattva dan dewa

dewi semuanya yang berkenan membukakan jalan bagi kelancaran

studiku.

� Papa dan Mama tercinta, serta adik-adikku tersayang yang selalu

mendoakan aku untuk keberhasilanku.

� Om Frananto Hidayat dan keluarga yang berkenan memberikan doa

restunya demi keberhasilan studi dan skripsiku.

Page 7: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

7

ABSTRAK

Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta

(1932-1959)

Chandra Halim 024314004

Skripsi ini berjudul “Komunitas Tionghoa di Solo : Dari Terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan yang diungkapkan, yaitu sejarah masuknya Etnik Tionghoa di Solo, kehidupan berorganisasi Etnik Tionghoa di Solo dan pembentukan organisasi Chuan Min Kung Hui (CMKH) hingga berubah menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan. Selain itu juga menggunakan metode wawancara sebagai sumber utama, dan studi pustaka sebagai sumber sekunder dengan mencari sumber yang berasal dari buku-buku, koran, dan majalah.

Penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan Tionghoa di Solo sudah ada sejak 1740, tepatnya ketika Solo dalam kekuasaan Mataram Islam. Keberadaan mereka membuat terbentuknya organisasi Tionghoa yang bermanfaat bagi kalangan intern Tionghoa dan juga masyarakat umum. Salah satu contoh adalah Organisasi CMKH yang merupakan sebuah wadah bagi Tionghoa di Solo untuk menyelesaikan permasalahan intern mereka. Latar belakang perbedaan yang ada dalam tubuh masyarakat Tionghoa, ternyata tidak mempengaruhi kehidupan berorganisasi mereka. Penelitian ini tentunya menjelaskan terlebih dahulu bagaimana keberadaan Tionghoa di Indonesia, termasuk didalamnya hasil kebudayaan Tionghoa yang mampu membentuk karakter berorganisasi mereka. Setelah mendapatkan gambaran mengenai hasil kebudayaan Tionghoa, penelitian ini mencoba menguraikan bagaimana kehidupan berorganisasi mereka. Pembentukan CMKH merupakan sebuah bukti bagaimana kehidupan berorganisasi orang Tionghoa di Solo. Meskipun harus merubah nama organisasi tersebut menjadi PMS, namun eksistensi organisasi tersebut masih terasa hingga saat ini dan sudah mengalami beberapa rejim pemerintahan. Perubahan dalam AD / ART organisasi CMKH, termasuk di dalamnya terdapat orang-orang dari Etnik Jawa, membawa suatu perubahan bagi CMKH. Untuk lebih menunjukkan rasa nasionalismenya, dan untuk tetap menjaga hubungan dengan etnik lain, orang-orang Tionghoa di Solo mengadakan rapat untuk merubah nama organisasi dan mengubah AD / ART mereka. Kata Kunci : Organisasi Sosial, Tionghoa.

Page 8: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

8

ABSTRACT

Chinese Community in Solo: From the Formed of Chuan Min Kung Hui until Organization of Surakarta Society

(1932-1959)

Chandra Halim 024314004

The title of this thesis is “Komunitas Tionghoa di Solo: Dari Terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)” (Chinese Comunity in Solo: From the Formed of Chuan Min Kung Hui until Organization of Surakarta Society 1932-1959). This research purposed to describe and analyze three revealed problems; these are a history of Tionghoa in Solo; how about the system organisation of Tionghoa in Solo; and the establishment of Chuan Min Kung Hui (CMKH) until to reform into Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).

Method was used in this thesis writing was historical method of which included heuristic, critics, interpretation, and historiography. Beside it also used interview method as the main source and the literature study as the secondary source by finding any sources which produced from literary books, daily news, and magazine.

This research revealed that the existence of the Tionghoa in Solo is since 1740, exactly when The Mataram Islam has the authority in Solo. With their existence make a forming of Tionghoa organization that useful not for intern of Tionghoa but also the other community. For example is CMKH that using as a coordinating institution for Tionghoa in Solo to finishing their intern problem. The difference back ground that show on their, isn’t influence their system organisation. CMKH is an instrument for overseas Chinese in Solo to solve their problem. For The First, this research is certainly to explain how about existence of Tionghoa in Indonesia, include them is a result of their culture that makes their organization Character. After get an illustration about their culture, these researches try to analyze how about their system organisation. Establishment CMKH is an evidence of their system organisastion. Although the name of their organisation change into PMS, but the existence of that organisation can be feeling as yet and experienced some government. The change of AD/ ART CMKH, included of inside them is contains the people from Javanese ethnic, that make a change for CMKH. To show their nationalism, and to keep in touch with the other ethnic, the Tionghoa in Solo make a board meeting to change the name of organisation and change their AD / ART too. Keyword: Social Organization, Tionghoa.

Page 9: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

9

Page 10: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

10

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Thian Yang Maha Pemurah karena atas segala

kebaikan-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Komunitas

Tionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga

Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“.

Penulisan Skripsi ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai

sejarah komunitas Tionghoa di Indonesia dan Komunitas Tionghoa yang ada di

Solo. Selain itu, diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat umum dapat

mengenal Kehidupan masyarakat Tionghoa khususnya Tionghoa di Solo dan

kehidupan berorganisasi mereka. Skripsi ini juga bertujuan untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Sejauh ini, penulis mengakui bahwa tanpa adanya bantuan dari pihak lain

maka penulisan skripsi ini tidak akan selesai. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi,

M.Hum. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

beserta staf kerja yang sudah memberikan kesempatan serta ijin kepada penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih tak lupa juga saya tujukan

kepada Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Ilmu

Sejarah, Fakultas Sastra Univeritas Sanata Dharma dan selaku dosen akademik

yang telah memberikan nasehat dan dorongan kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada

para dosen pembimbing akademik, antara lain : Rm. Dr. F.X. Baskara T Wardoyo

Page 11: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

11

SJ., Rm. Dr. G. Budi Subanar SJ., Dr. ST. Sunardi, Prof. Dr. PJ. Suwarno S.H.,

Drs. H Purwanta, M.A., Drs. Ign. Sandiwan Suharso; Drs. Anton Haryono,

M.Hum., Dra. Lucia Juningsih, M.Hum, yang berkenan menjadi pengajar bagi

kami dan menularkan ilmunya selama kami menjadi mahasiswa di kampus ini.

Sebagai hasil penelitian pemula, dalam proses penelitian dan penulisan

skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari Bapak Drs.

Silverio R.L. Aji Sampurno, M.Hum. yang telah berkenan dengan sabar

meluangkan waktu untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini dari awal

hingga akhir sekaligus menjadi teman diskusi dengan pemikiran-pemikirannya

yang aktual. Pada masa-masa penelitian saya mendapat bantuan dari staf

sekretariat Fakultas Sastra, Perpustakaan Sanata Dharma Yogyakarta seperti : Bu

Wiwiek, Mas Drajat dan Mbak Tina yang dengan sabar berkenan memberikan

pelayanan terbaiknya selama pencarian bahan sebagai sumber dari skripsi ini.

Oleh sebab itu, sudah selayaknyalah penulis mengucapkan terimakasih. Dikota

Solo, penulis juga banyak mendapatkan bantuan dan dukungan baik itu berupa

bahan-bahan tertulis, maupun bahan dari diskusi.

Dukungan muncul dari berbagai pihak antara lain Keluarga besar

Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) yang di wakili oleh Bapak Martono,

Kelurga besar Khong Kauw Hwee yang didalamnya ada Haksu Tjhie Tjay Ing,

Bapak Adjie Candra, Bapak Tan Gik Hin, serta Bapak Joko Prananto dari Hoo

Hap Hwee Solo dan Bapak Iswahyudia; kepada mereka penulis mengucapkan

terimakasih buat segala masukan dan dukungannya. Kepada teman-teman di

Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma angkatan 2002, antara

Page 12: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

12

lain Feni, Nana Bul-bul, Ida, Gusti, Yosi, Daniel, Markus, Hananto, Devi, dan

Eva, dengan tulus penulis mengucapkan terimakasih karena telah berkenan

memberikan dorongan semangat untuk didalam menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terimakasih yang tulus juga penulis berikan kepada Sahabat-sahabat

tersayang, antara lain : Koh Han, Koh Jiang, Koh Tiong Ping, Koh San-san, Koh

Candra, Koh Willy, Koh Agus Swijono, Koh Roby, Erwin, Richie, Henry

Kupang, Andre Kis, Andre Agung, Yesaya, Teguh, Kevin, Grace, Wulan, Dini,

Lusi, Nurrita Ling-ling, Nana, Agustina, Hana, Linda pesek dan sahabat yang lain,

yang berkenan memberikan masukan, nasehat, dan dorongan semangat didalam

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sangat bersyukur memiliki keluarga yang hangat dan akrab, baik

Papa, Mama, Adik-adik maupun keluarga Om Frananto Hidayat di Yogyakarta.

Dari mereka penulis mendapat dorongan moral yang kuat hingga bisa

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada mereka, penulis tidak lupa

mengucapkan terimakasih.

Seperti pepatah yang berbunyi : “ Tiada Gading yang tak retak “, demikian

halnya dengan tulisan ini yang tentunya tak luput dari kekurangan dan kelemahan

meskipun penulis telah berusaha menyusunnya dengan sebaik mungkin. Oleh

sebab itu, penulis menerima sumbangan pemikiran, saran atau kritik. Semoga

penulisan skripsi ini berguna bagi siapa saja.

Yogyakarta, 5 Juni 2008

Penulis

Page 13: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

13

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA..................................... iv

HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi

ABSTRAK ....................................................................................................... vii

ABSTRACT..................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix

DAFTAR ISI.................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL............................................................................................ xiv

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xv

BAB I : PENDAHULUAN........................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1 B. Identifikasi dan Batasan Masalah ............................................ 6 C. Rumusan Masalah .................................................................... 9 D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9 E. Manfaat Penelitian ................................................................... 11 F. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 12 G. Metodologi ............................................................................... 16

a) Lokasi penelitian ................................................................ 16 b) Landasan Teori................................................................... 16 c) Metode Penelitian .............................................................. 21

H. Sistematika Penulisan .............................................................. 22

BAB II : LATAR BELAKANG TIONGHOA DI INDONESIA .................. 25

A. Dari kedatangannya sampai munculnya istilah Tionghoa Peranakan................................................................. 25

Page 14: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

14

B. Sekilas budaya dan Peradaban Tionghoa di Indonesia ............ 48 a. Hari-hari Raya Tionghoa.................................................... 50 b. Kepercayaan dan Kuil pemujaan masyarakat

Tionghoa............................................................................. 62

BAB III : MASYARAKAT TIONGHOA DI SOLO ..................................... 71

A. Keberadaan Orang Tionghoa di Solo....................................... 73 B. Keragaman Suku – Antara Tionghoa Totok dan Peranakan.... 75 C. Agama dan Budaya .................................................................. 82 D. Organisasi Tionghoa di Solo.................................................... 85

BAB IV : TERBENTUKNYA CHUAN MIN KUNG HUI ........................... 89

A. Sejarah Berdirinya Chuan Min Kung Hui (CMKH)................ 89 B. Kepengurusan CMKH.............................................................. 91 C. Peran CMKH dan PMS dalam Masyarakat.............................. 103

a. Peran CMKH ..................................................................... 104 b. Peran PMS ......................................................................... 107

BAB V : PENUTUP ..................................................................................... 113

A. Kesimpulan... ........................................................................... 113 B. Saran......................................................................................... 116

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 118

Page 15: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

15

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Lokasi Pemukiman terbesar Etnik Tionghoa tahun 1906-1910......... 37

Tabel 2: Penyebaran Penduduk Tionghoa tahun 1961..................................... 38

Tabel 3: Penduduk Tionghoa di Indonesia menurut generasi dan daerah ....... 38

Tabel 4: Perkembangan Penduduk Tionghoa .................................................. 46

Tabel 5: Komunitas Tionghoa Peranakan dan Totok di Indonesia 1920 ......... 47

Tabel 6: Suku Bangsa Tionghoa di Solo Tahun 1930...................................... 77

Page 16: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

16

DAFTAR GAMBAR

Gb. 1: Model Kapal Jung yang dipakai oleh Laksamana Cheng Ho ............... 29

Gb. 2: Foto Sebagian Sekolah-sekolah THHK di Indonesia ........................... 42

Gb. 3: Para Boddhisattva dalam Agama Buddha............................................. 49

Gb. 4: Upacara Ceng Beng............................................................................... 56

Gb. 5: Meja Abu Leluhur ................................................................................. 56

Gb. 6: Perayaan Peh Cun ................................................................................. 57

Gb. 7: Upacara Ulambana atau Sembahyang Cioko........................................ 59

Gb. 8: Model Kue Tiong Ciu Phia ................................................................... 60

Page 17: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunitas Tionghoa merupakan gambaran sebuah etnik yang unik di

Indonesia. Bermacam-macam suku terdapat dalam etnik ini yang datang ke

Indonesia1. Khususnya di wilayah Surakarta sendiri, Etnik Tionghoa terdiri dari

beberapa suku meskipun mereka mengakui berasal dari keturunan yang sama,

yakni keturunan bangsa Han2. Gambaran mengenai Etnik Tionghoa di Surakarta

(selanjutnya disebut Solo), memang terasa lain dari pada di daerah lain; seperti di

Surabaya, Jakarta, Bandung, dan kota lainnya di Indonesia meskipun sifat atau

karakteristik Etnik Tionghoa Solo mirip dengan Tionghoa di Yogyakarta3.

1Terdapat paling tidak 5 etnik yang datang ke Indonesia, yakni : Hokkian,

Hakka (Khek), Teo Ciu, Hokjia dan Kwang Fu (Cantonis). 2 Wawancara dengan Bp. Iswayudya (Chou Hong Yen) yang berusia 56

tahun. Beliau merupakan tokoh pemerhati komunitas Tionghoa di Solo dan aktif di organisasi seperti PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta) dan Perhimpunan INTI cabang Solo.

3Seperti yang telah diketahui bahwa Surakarta (Solo) dan Yogyakarta pada

awalnya merupakan satu kesatuan yang dikuasai oleh Kerajaan Mataram Islam, hingga dipisahkan oleh perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Meskipun demikian, budaya jawa yang ada (ada perbedaan antara keduanya, meskipun batas pemisah Budaya Jawa diantara dua daerah ini sangatlah tipis) mempengaruhi karakteristik masyarakat Tionghoa di Solo maupun di Yogyakarta.

Page 18: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

18

Pada masa Kolonial Belanda, Solo merupakan sebuah kota karesidenan dan

masih berada dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat4, namun setelah

Indonesia merdeka, Solo menjadi sebuah Kotamadya yang memiliki lima

kecamatan dan 51 kelurahan, dan dikelilingi oleh 6 wilayah kabupaten di

sekitarnya, yaitu : di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar

dan Sukoharjo; di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klaten; di sebelah

utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Karanganyar; di sebelah selatan

berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri. Dari setiap wilayah kabupaten tersebut

setidaknya dihuni oleh keluarga yang berasal dari golongan atau Etnik Tionghoa,

namun penelitian ini lebih memfokuskan pada wilayah kota Solo sebagai pusat

kota kabupaten yang dihuni oleh banyak keluarga Tionghoa. Di Solo terdapat

berbagai macam etnik, yang paling terlihat oleh masyarakat adalah Etnik Jawa,

India, Arab, dan Tionghoa; Etnik yang terakhir ini yang akan dikaji sebagai bahan

penelitian untuk skripsi. Masyarakat Tionghoa sendiri di Solo ada berbagai

macam suku yang datang dari negaranya (RRT), ada Hokkian, Hokjia, Tio Ciu,

Gek (Hakka) dan masih banyak suku yang lain dalam masyarakat Tionghoa di

Solo.

Orang-orang Tionghoa datang ke Solo pada waktu wilayah ini masih

menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Pada waktu itu kerajaan yang

berkembang ini dipimpin oleh Pakubuwana II. Ketika terjadi pemberontakan oleh

4Kerajaan Mataram Islam pasca Pemerintahan Pakubuwana II, dipecah

menjadi dua oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Perjanjian Giyanti 1755 di Desa Giyanti, Karanganyar. Menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Page 19: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

19

orang-orang Tionghoa di Kartasura, keraton yang berada di Kartasura berhasil

dikuasai oleh orang-orang Tionghoa5. Namun karena kala itu Pakubuwana II

bekerjasama dengan Belanda, maka Keraton berhasil direbut kembali, dan orang-

orang Tionghoa yang menjadi pelaku pemberontakan berhasil disingkirkan.

Akibat dari peristiwa tersebut, pamor keraton menjadi suram dan harus

dipindahkan ketempat lain. Pusat kerajaan Mataram Islam yang semula berada di

Kartasura, pindah ke Desa Solo yang letaknya di sebelah timur Kartasura.

Kepindahan Keraton Mataram Islam pemerintahan Pakubuwana II ke Solo, diikuti

pula dengan kepindahan Klenteng Tien Kok Sie ke wilayah baru tersebut, maka

secara tidak langsung banyak Etnik Tionghoa yang juga hengkang ke wilayah ini.

Dari tahun pembuatan Klenteng Tien Kok Sie (ketika itu masih di Kartasura) yang

berangka 1745, diketahui bahwa Etnik Tionghoa sudah ada di Solo kurang lebih

sekitar tahun 17406.

Sebelum melangkah lebih jauh perlu dijelaskan lebih lanjut tentang

masyarakat Tionghoa sendiri, bahwa masyarakat Tionghoa dibagi ke dalam dua

5Moedjanto G., 2002, Suksesi dalam sejarah jawa, Yogyakarta : Kanisius.

Hal 116. 6Di setiap daerah manapun di Indonesia, dimana ada Etnik Tionghoa di situ

pasti ada tempat ibadat yang berupa Klenteng, Vihara atau Lithang. Ketika orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia, mereka membawa serta budaya dan agama/ kepercayaan mereka (pada waktu itu, orang-orang Tionghoa masih beragama Buddha, Tao, Khonghucu atau disebut Tridharma/ Sam Kau Hwee). Setelah menetap hampir 4-5 tahun didaerah asing tersebut, mereka baru membangun kuil atau Klenteng sebagai tempat peribadatan mereka. Mereka biasanya sibuk mengurus keadaan perekonomian mereka terlebih dahulu, baru jikalau dirasa cukup mapan dan tercukupi, mereka akan membangun Klenteng sebagai ucapan terimakasih pada Ie Wang Shangdi/ Tuhan Yang Maha Esa.

Page 20: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

20

macam, yaitu : Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok7. Mereka yang menjadi

Tionghoa peranakan biasanya memakai bahasa Tionghoa dialek Hokkian dengan

dicampur bahasa setempat dan bagi mereka orang Tionghoa totok biasanya masih

memakai bahasa Kuo-yü8 atau dialek masing-masing suku (dialek Hokkian,

Hakka, Tio ciu dan lain-lain), dan biasanya bersekolah pada sekolah-sekolah

Tionghoa, namun pada prakteknya di Solo sekolah-sekolah Tionghoa seperti

Khong kau, Wakung, Shin Min, dan lain lain; juga terdapat Tionghoa peranakan

yang ikut serta belajar di dalamnya. Berdagang adalah keahlian yang sudah

mendarah daging pada komunitas ini, semasa jaman kolonial pun, golongan

minoritas Tionghoa menjadi suatu alat bagi Belanda untuk melakukan

perdagangan perantara, walaupun pada prakteknya nanti, justru etnik ini akan

disingkirkan oleh Belanda karena terlalu banyak memonopoli perdagangan kala

itu. Selain halnya berdagang, orang – orang tionghoa juga memiliki keahlian lain,

seperti memasak (dalam hal ini berbisnis rumah makan), menjadi tukang kayu

(dalam hal ini sebagai pembuat mebel), juga menjadi seorang ahli politik.

Era tahun 1740, para imigran Tionghoa masih terlalu sedikit di Indonesia.

Baru pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, penyebaran orang-orang

Tionghoa ke Indonesia (dulu Hindia Belanda) semakin meningkat tajam. Emigrasi

besar-besaran termasuk kaum perempuan Tiongkok ini terjadi akibat

perkembangan teknologi perkapalan dan dicabutnya larangan bepergian ke luar

Tiongkok oleh Kaisar Dinasti Ching. Namun dapat dibedakan bahwa ketika tahun

7Melly G Tan, 1981, GOLONGAN ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA –

Suatu masalah pembinaan kesatuan bangsa, Jakarta : LIPI , cetakan ke-2. hal : xi 8Kuo-yü : bahasa Nasional Cina (bahasa Mandarin).

Page 21: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

21

1800, kedatangan orang-orang Tionghoa secara berkelompok dan tujuan mereka

kebanyakan ke daerah di luar jawa seperti Sumatera, Kalimantan dan daerah

perkebunan lainnya9. Sedangkan para periode pasca tahun 1900, kedatangan

orang-orang Tionghoa sudah secara individu, kebanyakan dari mereka yang

datang tersebut merupakan seorang pedagang atau pelajar yang memiliki

kemampuan secara finansial10.

Orang-orang Tionghoa yang datang pada masa tersebut kebanyakan

menetap di wilayah-wilayah di pulau Jawa; seperti halnya di Solo. Mereka

kemudian menikah dengan penduduk setempat atau pribumi11 dan menghasilkan

Tionghoa peranakan. Hal pertama yang mereka lakukan ketika menetap di Solo

selain berdagang adalah membentuk organisasi sosial untuk mengurusi masalah

kematian, pernikahan, dan masalah intern mereka12.

Banyak organisasi yang dibentuk oleh orang-orang Tionghoa ini namun

salah satu organisasi sosial yang besar adalah Chuan Min Kung Hui, dan

kebanyakan anggotanya adalah Tionghoa peranakan. Eksistensi organisasi

9 Orang-orang Tionghoa yang datang kala ini, dapat dikatakan, kebanyakan merupakan seorang budak atau kuli di perkebunan-perkebunan milik asing. Mereka didatangkan dari Tiongkok hanya dengan bermodalkan pakaian seadanya bahkan hanya dengan kolor jelek, untuk bekerja sebagai buruh.

10Dikatakan demikian, karena kedatangan mereka dengan memakai kapal

motor. Jika mereka tidak memiliki uang, mereka tidak akan mampu membayar tiket kapalnya. Ini berbeda jauh dengan kedatangan orang-orang Tionghoa periode tahun 1800an. Tujuan kedatangan mereka pun juga ke wilayah-wilayah di pulau jawa.

11 yang dimaksud dengan orang pribumi adalah orang yang masih asli dari

daerah tersebut, bukan seorang pendatang. 12Berita mengenai pembentukan organisasi ini, didapatkan dari hasil

pembicaraan dengan Bp. Iswayudia, pada hari minggu tanggal 23 Desember 2007 di kediaman beliau (Jl.Mahabharata, Palur, Surakarta)

Page 22: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

22

tersebut hingga saat ini masih terlihat, dan menariknya organisasi ini tidak bubar

akibat tergerus oleh kerasnya politik di Negara Indonesia ini. Berawal masalah

mengenai organisasi sosial orang-orang Tionghoa di Solo ini, maka penulis

mencoba untuk meneliti dan mengetengahkan bagaimana sejarah keberadaan

orang-orang Tionghoa di Solo dan bagaimana awal mula terbentuknya Chuan Min

Kung Hui. Selain untuk menambah perbendaharaan Sejarah Tinghoa di Solo,

tulisan yang berjudul : “Komunitas Tionghoa di Solo : Dari terbentuknya

Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-

1959)“ juga diharapkan menjadi inspirasi bagi masyarakat Tionghoa untuk lebih

meningkatkan kehidupan berorganisasi mereka, dan mengubah pandangan mereka

bahwa berorganisasi itu berbeda dengan berpolitik13. Selain sebagai bahan

penelitian tentang Kecinaan di Solo, tulisan ini diharapkan mampu dipakai untuk

pengajuan syarat kelulusan mencapai gelar S1.

B. IDENTIFIKASI DAN BATASAN MASALAH

Pada latar belakang di atas telah dijelaskan bagaimana kehidupan

masyarakat Etnik Tionghoa yang ada di kota solo, bahwasanya yang berhubungan

dengan kehidupan berorganisasi mereka antara tahun 1932 hingga 1959, sehingga

mampu membentuk sebuah organisasi sosial Tionghoa yang mampu bertahan

hingga saat ini. Adapun penelitian tentang Tionghoa ini, di batasi hanya pada

13Pandangan dari kebanyakan orang-orang Tionghoa di Solo adalah bahwa

berorganisasi sama halnya dengan berpolitik, mereka beranggapan bahwa berkumpul dalam sebuah organisasi akan terseret oleh iklim politik di Indonesia (masih terdapat adanya truma politik, akibat tragedi tahun 1965).

Page 23: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

23

kaum Tionghoa Peranakan dan salah satu organisasinya. Dasar tersebut diambil

karena terdapat perbedaan yang besar antara Tionghoa peranakan dengan

Tionghoa totok14 meskipun dari satu leluhur. Selain itu, beberapa pertimbangan

telah diambil di dalam penelitian ini untuk memilih periodisasi antara tahun 1932

sampai 1959. Tahun 1932 ditandai dengan berdirinya organisasi Chuan Min Kung

Hui meskipun sebelum dan hingga pada tahun tersebut sudah berdiri banyak

organisasi Tionghoa. Sementara diakhiri dengan batasan tahun 1959, disebabkan

organisasi Chuan Min Kung Hui (CMKH) yang berdiri berubah nama menjadi

Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) agar lebih ke Indonesiaan.

Dengan iklim yang kurang kondusif dan corak kota yang sejak jaman

kemerdekaan sampai sekarang merupakan kota oposisi, membentuk karakteristik

manusia Solo yang keras, arogan, egois atau individualis dan sedikit radikal.

Namun demikian peradaban yang sudah terbentuk di Solo tersebut, tidak

mempengaruhi ambisi yang demikian besar bagi golongan Etnik Tionghoa

khususnya Tionghoa peranakan untuk membentuk sebuah organisasi sosial

sebagai wadah pemersatu mereka. Solo memang kala itu dikenal sebagai pusat

Budaya Jawa15, tetapi jati diri yang melekat dalam kota ini adalah sebuah kota

14 Dilihat dari aspek Sosial, terdapat sedikit perbedaan antara Tionghoa

Totok dan Peranakan. Dalam pergaulan sehari-hari, orang Tionghoa Totok cenderung memakai bahasa mandarin atau dialek suku masing-masing ketika mereka berbicara dengan sesama mereka, dan cenderungnya mereka lebih memilih untuk menutup diri. Sedangkan Tionghoa Peranakan sudah meninggalkan bahasa asli mereka dan cenderung memakai bahasa setempat, pergaulan mereka luas dan tidak terbatas pada komunitas mereka saja.

15Budaya Jawa identik dengan bahasa yang halus, perilaku sopan dan

lembut, dan tingkah laku yang sesuai dengan patrapan/ norma yang ada. Apalagi

Page 24: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

24

perjuangan yang ditandai dengan banyaknya gerakan-gerakan oposisi yang sangat

revolusioner.

Peranan keraton Kasunan Surakarta Hadiningrat yang diharapkan mampu

menjadi panutan dan pusat dari segala bidang ternyata lambat laun semakin

memudar. Dasar yang dibangun adalah yang berdasarkan campuran antara nilai-

nilai budaya jawa dengan nilai pola pikir yang modern, sehingga campuran itu

akan membentuk karakteristik masyarakat yang intelektual namun memiliki

perilaku yang sopan dan temperamen yang halus. Meskipun Solo tidak memiliki

sebuah fondasi yang kuat mengenai karakter masyarakat yang halus, orang-orang

Tionghoa mampu beradaptasi dengan masyarakat asli. Hal tersebut terbukti

dengan banyak berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa pada masa pra dan

pasca kolonial Belanda.

Pengaruh dari sebuah tradisi yang maju16, membentuk Etnik Tionghoa yang

demikian berkembang meskipun hanya golongan minoritas di kota tersebut.

Tradisi atau budaya leluhur sangat dipegang kuat oleh Tionghoa generasi penerus,

hal tersebut tidak lepas dari kata bijak orang-orang tua Tionghoa, yang

mengatakan bahwasanya “Air harus ingat akan sumbernya” artinya: orang harus

ingat kepada leluhurnya17. Selain itu, semakin banyak orang-orang Tionghoa yang

ditunjang dengan keberadaan sebuah kerajaan besar seperti Kasunanan Surakarta Hadiningrat (pecahan dari Kerajaan Mataram Islam).

16Tradisi yang maju identik dengan adanya struktur sosial masyarakat yang

terorganisir dengan baik ditunjang dengan perangkat/sistem ekonomi yang maju. 17”Ingat” disini diartikan tidak hanya menghormati leluhurnya yang sudah

meninggal, tetapi juga bagian-bagian dari mereka, seperti sistem Sosial, budaya, Ekonomi dan Politik yang sudah diajarkan oleh mereka. Orang-orang Tionghoa

Page 25: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

25

tinggal di Solo akan mempengaruhi kompleksitas permasalahan yang terjadi. Oleh

karenanya, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi, penulis

memiliki sebuah pemikiran bahwasanya dibentuklah suatu organisasi sosial18

dikalangan mereka.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

beberapa permasalahan yang diteliti, yakni :

1. Bagaimana sejarah masuknya Etnik Tionghoa ke Solo ?

2. Bagaimana sejarah terbentuknya Chuan Min Kung Hui ?

3. Apakah yang melatarbelakangi terbentuknya organisasi tersebut

hingga berubah menjadi PMS?

D. Tujuan Penelitian

a. Akademis

Komunitas tionghoa jika dipahami secara mendalam memang merupakan

gambaran sebuah komunitas yang unik, dan banyak hal-hal menarik yang ada di

dalamnya. Dari aspek sosial, budaya, ekonomi maupun politik mampu dijadikan

asli (Chungkuoren) memiliki suatu ikatan organisasi yang kuat, biasanya mereka membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti organisasi kematian dan lain-lain.

18Dalam sekumpulan masyarakat yang semakin membesar jumlahnya, maka

akan sangat diperlukan yang namanya organisasi/ lembaga sosial, karena ini merupakan bagian dari Pranata Sosial.

Page 26: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

26

sebagai bahan kajian untuk penelitian akademisi. Dalam dunia sejarah, penelitian

dan penulisan mengenai sejarah Etnik Tionghoa di Indonesia sudah terlalu

banyak. Namun penulisan dan penelitian mengenai Etnik Tionghoa di Solo, masih

sedikit dan dapat dikatakan belum begitu berkembang. Dalam penelitian

mengenai komunitas Tionghoa di Solo ini, diharapkan menambah perbendaharaan

penulisan mengenai mereka, sehingga nantinya dapat dijadikan referensi bagi

penulisan Komunitas Tionghoa masa mendatang. Selain itu, penelitian ini

dimaksudkan untuk memahami kehidupan Etnik Tionghoa yang ada di kota Solo

dan mendeskripsikan dinamika dan gejolak yang terjadi sebagai proses dari

perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia, khususnya di Solo; sehingga

mampu membentuk sebuah organisasi yang bernafaskan sosial yang masih eksis

hingga saat ini.

b. Praktis

Diharapkan dengan adanya tulisan mengenai komunitas Tionghoa di Solo

ini, masyarakat umum di luar akademisi dan di luar komunitas ini, tahu dengan

jelas bagaimana sejarah mereka, bagaimana kehidupan yang ada di dalam

komunitas ini, sehingga mampu membentuk sebuah organisasi sosial yang kala itu

dapat dikatakan sudah bercorak modern dan dapat bertahan hingga saat ini

meskipun harus mengalami pergantian nama.

Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat secara dekat

bagaimana kehidupan Etnik Tionghoa di Solo dan apa saja bentuk-bentuk

kegiatan yang ada di dalam organisasi sosial yang dibentuk oleh mereka.

Page 27: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

27

E. Manfaat Penelitian

a. Akademis

Dalam dunia akademisi, penelitian mengenai Etnik Tionghoa Solo ini

kurang mengalami perkembangan, apalagi yang menyangkut masalah organisasi

tionghoa yang ada di Solo. Referensi yang memprioritaskan tentang Etnik

Tionghoa Solo dan organisasi sosialnya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karenanya, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah diharapkan

mampu menjadi bahan bagi penelitian-penelitian tentang Etnik Tionghoa di Solo

khususnya mengenai organisasi yang didirikan oleh mereka. Selain itu, penelitian

ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan sejarah etnisitas di Indonesia

yang selama kurun waktu belakangan ini masih kurang produktif. Dengan adanya

penelitian mengenai komunitas Tionghoa di Solo ini, akan menambah referensi

yang menyoroti mengenai seluk beluk kehidupan yang ada di dalam Etnik

Tionghoa, termasuk kehidupan berorganisasi mereka.

b. Praktis

Tulisan ini juga diharapkan mampu menjadi suatu pertimbangan sikap dan

tindakan setiap orang-orang Tionghoa yang ada di Solo saat ini, untuk mengubah

pandangan mereka bahwa berorganisasi identik dengan politik, yang diakibatkan

oleh trauma politik peninggalan era tahun 196519. Selain itu, dengan adanya

19Sebagian besar Etnik Tionghoa di Solo sangat takut apabila di ajak untuk

menjadi anggota dari sebuah organisasi sosial yang didirikan oleh komunitas mereka sendiri. Hal ini diakibatkan oleh peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1965 (Pembantai PKI oleh pemerintahan Orde Baru), dimana ketika itu BAPERKI yang notabene merupakan organisasi Tionghoa terbesar di

Page 28: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

28

penelitian mengenai kehidupan mereka ini, masyarakat umum boleh memahami

lebih lanjut seperti apa kehidupan komunitas ini, sehingga sikap saling pengertian

akan muncul dalam benak mereka dan menambah rasa kebersamaan. Sikap

rasialis yang selama ini ada di solo boleh luntur seiring dengan pemahaman

mereka mengenai komunitas Tionghoa ini20.

F. Tinjauan Pustaka

Buku-buku yang membahas mengenai Etnik Tionghoa di Solo sangat

terbatas, kalaulah ada hanya berupa cuplikan-cuplikan dalam buku sejarah

Tionghoa Indonesia atau majalah yang diterbitkan oleh organisasi-organisasi

Tionghoa yang ada di Solo.

Penulisan tentang Komunitas Tionghoa, terdapat hanya beberapa buku yang

boleh dikatakan fokus di dalam membahas mengenai permasalahan Tionghoa di

Indonesia secara umum dan Tionghoa di kota-kota besar seperti Jakarta,

Surabaya, Malang, Yogyakarta dan lain-lain. Buku-buku tersebut diantaranya :

Tionghoa Dalam Pusaran Politik, ditulis oleh Benny G Setiono, diterbitkan

oleh ELKASA, 2006. Isi yang terkandung di dalamnya berkaitan dengan masalah

Etnik Tionghoa di Indonesia dan kiprahnya di dalam dunia perpolitikan tanah air. Indonesia masa Orde Lama disangkutkan oleh Pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi yang berbau komunis, sehingga anggotanya sebagian besar di bunuh tanpa diadili terlebih dahulu. Etnik Tionghoa lebih suka menjadi anggota dari sebuah organisasi yang didirikan oleh lembaga keagamaan tertentu dari pada organisasi sosial swasta seperti PMS, Perhimpunan INTI dan lain-lain.

20Dari hasil observasi dan diambil suatu perbandingan etnik yang dilakukan

pada masyarakat di Solo dan di Yogyakarta (baik Orang Jawa atau Tionghoa); diambil suatu kesimpulan bahwa masyarakat/ penduduk di Solo cenderung lebih rasialis dibandingkan dengan di Yogyakarta.

Page 29: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

29

Benny memusatkan perhatiannya lebih pada masalah Tionghoa dibidang politik,

peranan mereka dalam bidang lain seperti budaya dan sosial tidak dibahas secara

signifikan olehnya. Dalam buku ini Benny mampu menerangkan secara terinci

bagaimana sejarah keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia, meskipun buku ini

lebih menitik beratkan pada permasalahan politik yang berkaitan dengan Etnik

Tionghoa di Indonesia. Buku ini akan dipakai untuk menjelaskan sejarah

keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia juga penjelasan mengenai Tionghoa pada

masa kolonial khususnya mengenai hubungan keduanya yang akan diuraikan

dalam bab II.

Kemudian buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, ditulis oleh Nio

Joe Lan, diterbitkan oleh Keng Po, 1961. Dalam bukunya ini, Nio bermaksud

menjelaskan mengenai Etnik Tionghoa secara keseluruhan dan budaya mereka di

Indonesia. Buku ini cocok untuk dipakai sebagai acuan mengenai ketionghoaan

Indonesia, tetapi apabila dipakai untuk penelitian mengenai kompleksitas masalah

Tionghoa Indonesia dewasa ini, buku ini tidak up to date. Tetapi buku ini masih

boleh dipakai untuk menjelaskan bagaimana sejarah asal usul Tionghoa dan

budayanya di Indonesia21.

Hoa Kiau di Indonesia, ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, diterbitkan

oleh Bintang Press, 1960. Pram bermaksud menjelaskan mengenai keadaan Etnik

Tionghoa di Indonesia dan bagaimana interaksi mereka serta sikap masyarakat

lokal di dalam menerima keberadaan etnik tersebut. Secara spesifik, Pram

mencoba mengangkat masalah sosial dan ekonomi yang ada dikalangan Tionghoa

21Dapat dikatakan bahwa buku ini merupakan buku babon mengenai

Tionghoa di Indonesia.

Page 30: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

30

dan pandangan masyarakat lokal di dalam menyikapi masalah ekonomi yang

dikuasai oleh golongan Tionghoa. Pram juga membahas mengenai sikap

diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal akibat peraturan-peraturan

yang dibuat oleh pemerintah. Meskipun demikian, Pram kurang jeli di dalam

memasukkan asal usul keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia. Buku ini dipakai

untuk menjelaskan uraian dalam bab III.

Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia – suatu masalah pembinaan

kesatuan Bangsa, ditulis oleh Melly G Tan, diterbitkan oleh Gramedia, 1981. isi

yang terkandung di dalam buku ini merupakan sebuah karya banyak orang yang

dijadikan satu dalam sebuah buku dan diedit oleh Melly. Dalam buku ini terlihat

jelas bagaimana keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia dan pemisahan antara

Tionghoa peranakan dan Totok. Melly bermaksud menguraikan panjang lebar

mengenai suatu golongan yakni Tionghoa, namun uraian tersebut dirasa masih

kurang jelas dan penggunaan Tionghoa Totok dan Peranakan sekarang sudah

tidak up to date lagi. Meskipun demikian, buku ini tetap dipakai sebagai

penjelasan di dalam uraian pada bab II.

Tan Djin Sing- dari Kapitein Cina sampai Bupati Yogyakarta, ditulis oleh

Werdoyo T, diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti, 1990. Dalam buku ini

tertulis dengan jelas bagaimana interaksi golongan Tionghoa dengan masyarakat

lokal, khususnya interaksi mereka dengan pihak Keraton yang merupakan pusat

dari budaya jawa/ lokal. Werdoyo menjelaskan bagaimana perjalanan hidup Tan

Djin Sing atau Secodiningrat yang diawali menjadi seorang Kapitein Cina

kemudian berlanjut menjadi seorang Bupati di Yogyakarta akibat jasa-jasanya

Page 31: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

31

kepada pihak keraton Yogyakarta. Namun demikian buku ini kurang di dalam

penjelasan mengenai asal usul seorang Secodiningrat, karena Werdoyo

kemungkinannya ragu untuk memastikan bahwasanya Secodiningrat adalah

seorang jawa tulen atau Tionghoa tulen. Buku ini dipakai sebagai acuan mengenai

keberadaan Tionghoa di Yogyakarta dan interaksinya dengan penduduk lokal, dan

dipakai untuk menjelaskan uraian pada bab II.

Orang jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825), terjemahan, ditulis oleh Dr.

Peter Carey, diterbitkan oleh Pustaka Azet, 1985. Peter mengulas mengenai

keberadaan Tionghoa di Solo dan interaksinya dengan penduduk lokal, disini

diceritakan bagaimana konflik antara masyarakat jawa dengan Tionghoa yang

disebabkan juga oleh masalah-masalah politik yang kemudian menjalar kearah

diskriminasi ras. Kegagalan yang dilakukan oleh Peter dalam bukunya ini adalah

terlalu banyak Peter menyudutkan golongan Tionghoa dan seakan-akan mereka

menjadi tersangka di dalam konflik tersebut.

70 tahun PMS 1932-2002, diterbitkan oleh Perkumpulan Masyarakat

Surakarta (PMS), 2002. Ini hanya majalah yang menjelaskan mengenai

eksistensi PMS yang merupakan organisasi sosial yang didirikan oleh Etnik

Tionghoa di Solo. Majalah ini diterbitkan sekedar untuk mengisi Ulang Tahun

PMS yang ke-70, namun di dalamnya berisi sejarah singkat Etnik Tionghoa dan

peranannya di dalam masyarakat di Solo.

Referensi di dalam buku-buku yang disebutkan di atas, menjelaskan

mengenai keberadaan dan sejarah Etnik Tionghoa di Indonesia, sedangkan

mengenai etnik ini di Solo, masih jauh dari sempurna. Penjelasan mengenai

Page 32: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

32

komunitas Tionghoa di Solo, tidak disebutkan dalam tulisan-tulisan di buku-buku

referensi tersebut di atas. Oleh sebab itu, skripsi ini mencoba untuk mengangkat

masalah mengenai kehidupan (dari sisi berorganisasi) komunitas Tionghoa di

Solo, meskipun tidak menutup kemungkinan juga akan menjelaskan mengenai

sejarah komunitas Tionghoa di Indonesia.

G. Metodologi

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini, mengambil batas spasial pada kota Solo, jangkauan yang

mungkin akan masuk dalam penelitian ini adalah wilayah Karanganyar, Boyolali,

Sragen, Klaten, Sukoharjo dan Wonogiri; karena tidak menutup kemungkinan

bahwa di wilayah-wilayah itu dapat membantu menjelaskan keberadaan

komunitas Tionghoa di Solo.

Setelah Clash II (Agresi Militer Belanda II), banyak komunitas Tionghoa

yang ada di Solo, berpencar lari ke wilayah kabupaten bahkan ada yang lari

mengungsi hingga ke wilayah pedesaan. Terjadinya Agresi militer Belanda yang

kedua pada 19 Desember 1948, membuat ketakutan kalangan Etnik Tionghoa di

Solo, sehingga banyak yang menyelamatkan diri hingga ke desa-desa di wilayah

eks. Karesidenan Surakarta seperti Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Sragen,

Boyolali, Klaten, dan Wonogiri.

b. Landasan Teori

Sebagai suatu landasan berpikir untuk memperjelas dalam tulisan ini, maka

sebelum masuk pada pembahasan tentang permasalahan tersebut, perlu dijelaskan

Page 33: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

33

beberapa konsep atau teori yang digunakan dalam penelitian ini, secara garis besar

teori yang akan dipakai meminjam dari teori para ahli sosiolog, meskipun juga

tidak menutup kemungkinan akan memakai beberapa teori yang dikemukakan

oleh para antropolog. Misalnya seperti Teori Tindakan sosial dan teori asimilasi

yang keduanya meminjam teori sosiolog dan antropolog seperti Talcott Parsons

dan Koentjaraningrat. Penjelasan mengenai beberapa teori tersebut sangat penting,

sebab merupakan landasan berpikir dan sebagai pembatas masalah, supaya tidak

terjadi salah penafsiran.

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Antropologi,

Koentjaraningrat membahas mengenai teori akulturasi dan asimilasi. Teori ini

dipakai menindaklanjuti mengenai fenomena yang terjadi di dalam kehidupan

orang-orang Tionghoa di Indonesia. Tionghoa di Indonesia seperti sudah dibahas

di atas, bukan lagi disebut sebagai seorang berkebangsaan Tiongkok, karena

secara hukum mereka sudah bukan warganegara Tiongkok di samping juga secara

fisik sudah merupakan perpaduan antara orang Indonesia asli dan Tiongkok22.

Selain itu, Koentjaraningrat juga menguraikan mengenai masalah kebudayaan,

dimana dijelaskan juga unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan, salah satunya

adalah organisasi sosial. Oleh para sosiolog, ini diartikan sebagai sebuah Sistem

22 Beberapa istilah mengenai orang Tionghoa :

• Tionghoa Perantarauan / Overseas Chinese disebut sebagai Hoa Kiau; adalah semua orang-orang Etnik Tionghoa yang hidup di luar negara RRT (Republik Rakyat Tiongkok), namun berwarganegara Cina/ Tiongkok.

• Chungkuoren/ Chungkuo cungming; adalah orang-orang Tionghoa asli/ warganegara Tiongkok atau RRT.

• Huaren; adalah orang-orang Tionghoa asli yang telah melepaskan kewarganegaraan RRT dan memilih kewarganegaraan lain. Lebih tepatnya disebut sebagai Etnik Tionghoa.

Page 34: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

34

kemasyarakatan atau dapat disebut juga sebagai Pranata Sosial. Pranata sosial

merupakan sebuah sistem norma/ aturan-aturan yang menyangkut suatu aktivitas

masyarakat yang bersifat khusus, untuk mengatur dan melaksanakan pranata

tersebut diperlukan adanya suatu “lembaga” atau “Institut” yang berupa

organisasi23.

Semakin banyak orang-orang yang berkumpul dalam satu daerah, yang

memiliki ciri khas yang sama maka diperlukan suatu kelembagaan untuk

mengaturnya. Sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto mengatakan bahwa dalam

suatu lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan pokok dari manusia, pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, antara

lain:

1. Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana

mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi

masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut

kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan.

2. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem

pengendalian-sosial (Social control) yaitu artinya sistem pengawasan

daripada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya24.

23Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka

Cipta. Hal: 165. 24Soerjono Soekanto, 1982, Sosiologi suatu pengantar, Jakarta : CV.

Rajawali. Hal: 193.

Page 35: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

35

Selain teori tersebut di atas, dipakai juga suatu teori Tindakan Sosial yang

dikemukakan oleh Talcott Parsons, yang merupakan elemen penting di dalam

pembentukan konsep mengenai “sistem sosial”. Parsons melihat suatu sistem

sosial sebagai satu dari tiga cara dimana tindakan sosial bisa terorganisir. Selain

terdapat dua sistem tindakan lain yang saling melengkapi yaitu : sistem kultural

yang mengandung nilai dan simbol-simbol serta sistem kepribadian para pelaku

individual. Menurut Parsons, masyarakat merupakan sebuah sistem sosial yang

dilihat secara total. Talcott Parsons juga mengembangkan suatu “ Pattern

variables” yang terkenal sebagai sarana untuk mengkategorikan tindakan atau

untuk “mengklarifikasikan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial”. The Pattern

variables itu adalah:

1. Affective versus affective neutrality. Dalam suatu hubungan sosial orang

bisa bertindak untuk pemuas afeksi/ kebutuhan emosional atau bertindak

tanpa unsur afeksi itu (netral). Misalnya : hubungan suami-istri, dalam

hubungan ini dianggap sebagai hubungan antara pelanggan dan penjual.

2. Self-orientation versus collective-orientation. Dalam hubungan yang

berorientasi hanya pada dirinya orang mengejar kepentingan pribadi,

sedang dalam hubungan berorientasi kolektif, kepentingan tersebut

sebelumnya telah didominir oleh kelompok.

3. Universalism versus particularism. Dalam hubungan yang universalitas,

para pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat diterapkan

kepada semua orang; sedang dalam hubungan partikularistik digunakan

ukuran-ukuran tertentu. Pemerintah yang akan mempekerjakan pegawai

Page 36: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

36

dengan dasar kualifikasi pekerjaan, termasuk lulus ujian pegawai negeri,

adalah contoh hubungan-hubungan universalistik. Secara teoritis

pemerintah menggaji orang berdasarkan ukuran-ukuran yang dapat

diterapkan pada pegawai itu, terlepas dari jenis kelamin, suku bangsa, dan

sebagainya. Sedang kalau tidak menyertakan seseorang karena termasuk

anggota kelompok suku bangsa, jenis kelamin tertentu dan lain sebagainya

merupakan hubungan particularistik.

4. Quality versus performance. Variable quality menunjuk pada “status

askrib” (ascribed status) atau keanggotaan dalam kelompok berdasarkan

kelahiran. Performance berarti prestasi (“achievement”) atau apa yang

dicapai oleh seseorang. Contoh hubungan kualitas adalah seorang pemuda

kaya yang membina persahabatan hanya dengan pemuda kaya lainnya;

sedangkan hubungan performance adalah berupa persahabatan yang

berdasarkan suka atau tidak suka secara timbal balik, terlepas dari

perbedaan dalam usia atau kelas sosial.

5. Specificity versus diffusness. Dalam hubungan yang spesifik, orang dengan

orang lain berhubungan dalam situasi yang terbatas atau segmented.

Seorang penjual dan pelanggan merupakan ilustrasi hubungan sangat

terbatas yang berdasarkan jual-beli. Di pihak lain, hubungan keluarga

adalah contoh dari hubungan diffuse, dimana semua orang (bukan karena

status tertentu) terlibat dalam proses interaksi25.

25Margaret M Poloma, 1979, Sosiologi Kontemporer, Jakarta : CV.

Rajawali. Hal: 175-176.

Page 37: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

37

c. Metode Penelitian

Dalam dunia sejarah dikatakan bahwa metode penelitian sejarah memiliki 4

tahapan yakni, heuristik, kritik sumber, interpretasi data, dan historiografi.

Pengertian metode penelitian itu sendiri adalah proses analisa terhadap suatu

peristiwa sejarah secara kritis dan teruji.

Heuristik merupakan metode pengumpulan sumber-sumber yang ada, entah

itu sumber tertulis maupun sumber lisan. Sumber sejarah memang bermacam-

macam ada yang berupa naskah, artefak benda, atau juga yang bersifat lisan.

Untuk penelitian kali ini, peneliti memperoleh data melalui sumber lisan dan

sumber tertulis. Kategori sumber lisan diperoleh melalui wawancara dan diskusi

dengan banyak orang-orang Tionghoa khususnya mereka yang masih eksis dalam

organisasi orang-orang Tionghoa; dalam hal ini ada PMS (Perkumpulan

Masyarakat Surakarta), Khong Kauw Hwee, Hoo Hap, Fu Qing, dan masih

banyak yang lain. Sedangkan untuk sumber tertulis, skripsi ini mendapatkan

referensi bantu dari buku-buku karangan Nio Joe lan, Melly G Tan, Leo

Suryadinata, P. Haryono, Benny G Setiono, Ig. Wibowo dan buku – buku lain

yang diperoleh dari perpustakaan USD, arsip dan perpustakaan daerah Solo dan

arsip PMS.

Dalam penulisan skripsi dan penelitian sejarah ini selain memakai metode

studi pustaka juga menggunakan metode wawancara. Faktor yang ditentukan

adalah orang yang mewawancara, responden, topik penelitian, dan situasi

wawancara. Pada kesempatan kali ini, juga dicoba dengan mencari dan

mewawancarai orang-orang yang terkait dengan masalah ini, dapat dikatakan

Page 38: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

38

sebagai sumber lisan dalam dunia sejarah. Wawancara dianggap menunjang

penelitian karena observasi harus dilengkapi dengan wawancara; dengan

melakukan wawancara maka pewawancara dapat memasuki dunia pikiran dan

perasaan responden26.

Kritik sumber merupakan proses pengujian data yang diperoleh dalam

penelitian sejarah, pengujian data ini dilihat dari segi kredibilitas dan otentisitas

data tersebut (valid atau tidak data tersebut). Data-data yang telah diseleksi dan

diuji ini lalu dianalisa dan ini akan menunjukkan tingkat keberhasilan sebuah

penelitian sehingga mampu mendekati kebenarannya.

Interpretasi data merupakan suatu metode untuk memilah data yang sudah

ada kemudian mengolah data tersebut menjadi sebuah sumber yang dapat dipakai

dalam penulisan. Dalam metode ini, diadakan pembandingan sumber satu dengan

sumber yang lain sebelum melangkah ke pengolahan data oleh penulis. Metode

akhir setelah melalui interpretasi data adalah historiografi atau dapat dikatakan

sebagai suatu proses penulisan. Artinya, data-data yang sudah diolah melalui

beberapa langkah di atas, kemudian ditulis berdasarkan deskripsi dari penulis

sehingga menjadi sebuah tulisan yang mampu dikonsumsi oleh umum.

H. Sistematika penulisan

Pada akhirnya nanti hasil penelitian tersebut akan disajikan antara lain

meliputi bab satu hingga bab lima, yang diawali dengan pendahuluan dan diakhiri

dengan penutupan yang berupa kesimpulan dan saran.

26Nasution S, 1988, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung : Tarsito. hal 69.

Page 39: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

39

Pada Bab satu yang merupakan suatu pendahuluan, berisi mengenai latar

belakang penelitian dan permasalahan yang akan diangkat sebagai skripsi ini.

Selain itu dalam bab pendahuluan ini juga berisi mengenai tujuan dan manfaat

penelitian serta meliputi beberapa metodologi penelitian yang memuat hal-hal

mengenai lokasi penelitian, landasan teori dan metode penelitian. Adapun pada

bab pendahuluan ini akan diakhiri dengan sistematika penulisan.

Setelah melalui Bab pendahuluan, penulisan skripsi ini akan dilanjutkan

pada bab dua, tiga, dan bab empat yang merupakan bab pokok atau isi dari hasil

penelitian skripsi. Tulisan ini apabila diuraikan adalah sebagai berikut : bab dua

mengandung uraian mengenai latar belakang Etnik Tionghoa di Indonesia, yang

diawali dengan mendeskripsikan kedatangannya ke Indonesia, hingga pada

pembentukan Tionghoa di Indonesia sehingga membentuk suatu budaya dan

peradaban Tionghoa di Indonesia.

Sedangkan pada bab tiga akan membahas mengenai masyarakat Tionghoa

di Solo; dimulai dari melihat keberadaan mereka di solo, lalu yang membentuk

Tionghoa Peranakan dan perbedaannya dengan Tionghoa Totok dan diakhiri

dengan melihat bagaimana pekerjaan dan organisasi mereka serta agama dan

budaya yang mereka masih anut. Setelah melihat bab tiga yang juga menceritakan

bagaimana orang-orang Tionghoa berorganisasi, maka pada bab empat akan

membahas mengenai salah satu organisasi Tionghoa yang terbesar di Solo dan

masih eksis hingga saat ini. Yakni organisasi Chuan Min Kung Hui (CMKH)

yang sampai saat ini masih eksis meskipun harus merubah nama mereka menjadi

PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta).

Page 40: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

40

Skripsi ini akan diakhiri dengan penutupan yang masuk pada bab lima,

berupa kesimpulan dari hasil penelitian mengenai Komunitas Tionghoa di Solo,

dan beberapa saran yang mungkin akan mempermudah penelitian-penelitian

berikutnya mengenai Tionghoa di Solo.

Page 41: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

41

BAB II

LATAR BELAKANG TIONGHOA DI INDONESIA

A. Dari kedatangan sampai munculnya istilah Peranakan

Perlu diketahui bahwa asal usul keberadaan orang-orang Tionghoa yang

pertama di Nusantara tidaklah begitu jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan

hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat,

Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat maupun yang disimpan di

berbagai keraton dan Nekara perunggu Dongson atau Heger type I, yang

diproduksi di Dongson, sebuah desa kecil di Propinsi Thanh Hoa, teluk Tongkin,

sebelah utara Vietnam pada masa antara tahun 600 SM sampai abad III Masehi.

Jauh sebelum abad ke-11, sudah ada kunjungan-kunjungan kapal-kapal Tionghoa

ke pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tetapi baru pada jaman Sriwijaya-lah,

perantau ini mulai menetap terutama di daerah pesisir. Sekalipun masih dalam

jumlah kecil, pada abad ke-14, setelah perang Tionghoa-Sriwijaya, orang-orang

Tionghoa datang dan mendirikan koloni-koloni di Palembang. Pada abad ke-15

dan 16 mereka mulai berdatangan lebih banyak ke pulau Jawa dan Kalimantan

sampai berjumlah ratusan ribu orang.

Dugaan lain, orang Tionghoa yang pertama kali datang ke Nusantara adalah

seorang Pendeta agama Buddha bernama Fa Hian yang melakukan lawatan ke

pulau Jawa dalam perjalanannya ke India antara tahun 399 – 414. Pengalamannya

ditulis dalam buku Fahueki. Seratus tahun kemudian Sun Yun dan Hwui Ning

Page 42: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

42

mengikutinya dengan melakukan ziarah dari Tiongkok ke India. Sekitar tahun

629-645, Pendeta Hiuen Thsang mengembara di India dan pengalamannya

diuraikan secara teliti dalam buku Si Yu Ki. Pada tahun 671 Pendeta I-tsing

berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya. Seluruh pengalamannya

diuraikan dengan cermat dalam bukunya yang berjudul Nan Hai Chi Kuei Fa

Ch’uan dan Ta T’ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch’uan. Pendeta I Tsing

mengembara di luar Tiongkok selama 25 tahun, Ia kembali ke Guandong

(Kwantung) pada pertengahan musim panas tahun pertama pemerintahan Cheng

Heng (tahun 695 M) dengan membawa pulang empat ribu naskah yang terdiri dari

500.000 Sloka27. Hingga abad ke VII hanya pendeta Buddha Tionghoa yang

melakukan perjalanan ke India yang mengunjungi Sriwijaya28.

Pendeta I-tsing tinggal di Sriwijaya selama 14 tahun dan banyak menulis

segala adat-istiadat dan kejadian di Sriwijaya. Menurut catatan dari dinasti Han,

pada tahun 131 SM telah ada hubungan resmi antara Tiongkok dengan

Jawadwipa. Prof. Dr. Moh. Yamin, S.H. dalam makalah yang tidak sempat

dibacakannya sendiri karena keburu meninggal dunia, dihadapan kongres Ilmu

Pengetahuan ke-2 di Yogyakarta pada Nopember 1962 menceritakan tentang

penemuan batu tulis (Linggapala) yang ditemukan di Guangzhou (Canton) secara

lebih terperinci. Dalam prasasti yang ditemukan tahun 1961 tersebut terdapat

tulisan yang mendeskripsikan hubungan antara Sriwijaya dengan Tiongkok

27Benny G Setiono, 2002, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta :

ELKASA. Hal : 19. 28Slamet Mulyana, 2005, Runtuhnya kerajaan Hindu-Djawa dan timbulnya

negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LkiS. Hal : 82.

Page 43: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

43

(Dinasti Sung) khususnya mengenai sumbangan Kedatuan Sriwijaya guna

keperluan pembangunan kembali kuil Tien Ching di Canton. Prasasti tersebut

ditemukan di sebuah sekolah rakyat di lorong Cusou, jalan Taicu Utara, Canton.

Tempat tersebut bekas letak kuil Tien Ching pada jaman Dinasti Sung29.

Tugu Batu itu merupakan prasasti yang dibuat oleh Ho Sun To, ketika

melakukan pembangunan kembali kuil Tien Ching pada tanggal 9 bulan 9 tahun

Yuang-feng kedua jaman Kaisar Sung Cen Cung. Ketika itu usaha penyebaran

agama Dao (Tao) merata diseluruh kecamatan di Tiongkok, demikian pula di

Canton. Tahun 1052 M (Huang-Yu ke-4), suku bangsa minoritas dari daerah

Kwang-Yuan yang dipimpin Nung Ce Kau menyerbu kota Canton, yang

mengakibatkan kuil Tien Ching musnah dimakan api.

Pada tahun 1064 ketika jaman pemerintahan Kaisar Sung Ing Cung (1064-

1067), raja Kerajaan Sriwijaya mengutus orang (yakni saudaranya, bernama Ce-

lol-lo) berkunjung ke Canton. Dia melihat kuil Tien Ching dikota Canton yang

telah hancur dan melaporkan hal ini kepada raja (Tie-hua-cia-lo). Maka atas

kebaikan raja, dengan rela disumbangkan lima ratus ribu tail emas untuk

perbaikan kuil besar Tien Ching tersebut. Hal itu terlihat dari sebuah batu yang

ditulis ketika jaman Dinasti Tang (618-906) yang ditemukan sekitar tahun 1959 di

Guangzhou.

Dalam catatan sejarah melayu, disebutkan ada seorang anak Pangeran (tidak

dituliskan namanya dengan pasti) dari Tiongkok yang menjadi Raja di

Palembang. Kemudian pada abad ke-15, Kaisar Dinasti Ming mengirim delegasi

29Benny G Setiono, op. cit. Hal : 20.

Page 44: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

44

persahabatan kepada Raja Zulkarnaen dari Kerajaan Malaka, disertai seorang

Putri Cina yang diiringi oleh 500 dayang-dayangnya30. Sementara itu pada sumber

lain disebutkan bahwa pada tahun 525, 528, 666, dan 669 SM; Kaisar Dinasti

Tang kedatangan utusan kerajaan To-Lo-Mo yang ternyata Tarumanegara (To-Lo-

Mo sesuai dengan ucapan lidah orang-orang Tionghoa).

Orang-orang Tionghoa mulai berdatangan pada abad ke-9 yakni pada masa

pemerintahan Dinasti Song (960-1279M) untuk berdagang dengan membawa

barang-barang kerajinan seperti barang-barang porselen, sutera, teh, alat-alat

pertukangan, pertanian untuk ditukar dengan hasil-hasil pertanian lain terutama

rempah-rempah, sarang burung walet, gambir, bahan obat-obatan dan sebagainya.

Mereka yang semula hanya menunggu pedagang-pedagang asing (seperti Arab

dan India) yang datang ke Canton dengan menggunakan kapal-kapal Persia

kemudian tertarik untuk melakukan perdagangan sendiri ke negara-negara Laut

Selatan (Nanyang). Mereka pada umumnya datang dengan Jung-jung31 melalui

perjalanan panjang dengan menghadapi gelombang laut dan perompak yang

ganas. Mereka harus tinggal berbulan-bulan menunggu bergantinya musim dan

angin yang akan membawa mereka kembali ke daratan Tiongkok, tentunya yang

30Prof. Liang Liji dalam ceramah yang diselenggarakan perhimpunan INTI

di Omni Batavia hotel, Jakarta, 15 desember 1999. 31Jung adalah sejenis kapal fery jaman sekarang, namun lebih sederhana dan

sedikit lebih kecil, biasanya memakai layar yang lebar-lebar. Lihat pada gambar 1.

Page 45: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

45

datang ketika itu hanya laki-laki saja karena perjalanan tersebut sangat

berbahaya32.

Gambar 1 Model Kapal Jung yang dipakai oleh Laksamana Cheng Ho

Sekitar abad ke-13, pasukan Mongol dari Dinasti Yuan (1280-1367)

menyerbu kerajaan-kerajaan Pagan, Angkor, Campa, dan Jawa. Hanya kerajaan

Sukhotai dari Thailand mempunyai hubungan yang baik dengan Tiongkok dengan

mengirimkan misi-misi persahabatan timbal-balik antara 1293-1323. Pada tahun

1293, Kaisar Kubilai Khan memerintahkan gubernur Hokkian untuk mengirimkan

Shih-Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing memimpin tentara untuk menekan Jawa.

Sebanyak 20.000 orang tentara direkrut dari Hokkian, Kiangsi, dan Hukuang.

Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari dianggap tidak bersahabat oleh Kaisar

32Sedikit catatan penting, bahwa emigrasi besar-besaran orang-orang

Tionghoa termasuk kaum perempuan Tiongkok baru dimulai pada pertengahan abad ke-19 dan abad ke-20 bertalian dengan berkembangnya fasilitas kapal motor dan dicabutnya larangan bepergian keluar Tiongkok oleh Kaisar Dinasti Ching.

Page 46: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

46

Kubilai Khan karena telah memotong muka dan telinga Meng Chi (utusan Kaisar

Mongol) dan kemudian mengusir rombongannya untuk kembali ke Tiongkok.

Namun ketika pasukan Shih-pi, Ike Mese, dan Kau Hsing tiba di Tu-ping-

tsuh (Tuban) dan melanjutkan perjalanan ke mulut sungai Sugalu (Sedayu) lalu

memasuki sebuah sungai kecil Pa-tsieh (Kali Mas), maka oleh Raden Wijaya

dibujuk dan dikelabui untuk membantunya menggulingkan Raja Jayakatwang dari

Kediri. Setelah berhasil, pasukan Mongol tersebut diusir keluar dari Pulau Jawa,

sementara Raden Wijaya berhasil mendirikan kerajaan baru yakni Majapahit dan

menjadi raja pertamanya dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana33. Majapahit

dapat menjadi kerajaan yang kuat disebabkan oleh orang-orang Tionghoa yang

mempraktekan teknologi-teknologi dari Tiongkok di Jawa. Teknologi tersebut

antara lain : Teknik pembuatan kapal dan mata uang serta senjata api.

Pada abad ke-15 jaman Dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa

dari wilayah Yunnan mulai banyak berdatangan untuk menyebarkan agama Islam

terutama di Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Kaisar Yung Lo (1402) ini

diterapkan kebijaksanaan baru berupa modifikasi sistem perpajakan34. Dalam

sejarah pemerintahan raja tersebut, tercatat adanya perjalanan laut ’legendaris’

yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho/Zheng He. Ekspedisi pertama Cheng

ho pada tahun 1405 singgah di pelabuhan Samudera Pasai dan bertemu dengan

Sultan Zainal Abidin Bahian Sjah. Kedatangannya di Samudera Pasai dalam

rangka membangun hubungan politik dan dagang antara kedua negara. Setelah

33Drs. G Moedjanto, M.A., 2003, Suksesi dalam Sejarah Jawa, Yogyakarta:

USD Press. Hal : 30. 34Dr. Hari Poerwanto, 2003, komunitas Cina di Indonesia, Hand Out.

Page 47: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

47

terbentuk hubungan baik antara Tiongkok dan Samudera Pasai, semakin banyak

pedagang-pedagang Tionghoa yang datang ke Pasai dan banyak diantaranya yang

beragama Islam dan mengawini perempuan-perempuan setempat yang kemudian

menetap dan berbaur di sana.

Tahun 1410 dan 1416 Sam Po Kong (Laksamana Cheng Ho/ Zheng He/

Haji Sam Po Bo)35 dan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan,

Semarang; selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja

Majapahit, ia juga membawa misi untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Pengiriman armada Dinasti Ming yang dipimpin Laksmana Cheng Ho dan Ma

Huan juga bertujuan untuk mengamankan jalur pelayaran niaga di Nanyang (Asia

Tenggara) yang banyak diganggu bajak laut orang-orang Hokkian dipimpin Lin

Tao-ch’ien yang telah menguasai Pattani, sebuah pelabuhan di selatan Siam

(Thailand) dan Kukang (Palembang). Seorang pemimpin bajak laut lainnya yang

berasal dari Canton bernama Tan Tjo Gi berhasil menguasai kota Palembang dan

dari sana melakukan perompakan terhadap kapal-kapal yang melalui Selat Malaka

yang sempit. Hal ini bisa terjadi karena pemerintah Palembang sangat lemah,

sehingga Palembang berhasil dikuasai gerombolan perompak Tionghoa tersebut

beberapa tahun sebelum kedatangan Cheng Ho yang kemudian berhasil

menumpasnya. Tan Tjo Gi berhasil ditangkap, dirantai kemudian dibawa ke

35Masalah mengenai Cheng Ho naik haji ketika armadanya mendarat di

Afrika masih kontroversi hingga saat ini. ada yang mengatakan bahwa yang naik haji adalah 7 orang pembantunya yang muslim dan pandai berbahasa Arab, termasuk Ma Huan dan Fei Hsin di bawah pimpinan Laksamana Muda Hong Bao, sedangkan Cheng Ho saat itu sedang sakit dan menunggu di Kalikut.

Page 48: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

48

Peking. Disana ia dipancung di muka umum sebagai peringatan kepada orang-

orang Tionghoa Hokkian di seluruh Nanyang.

Pada tahun 1405-1433 Kaisar Yung Lo dan penggantinya memerintahkan

sampai tujuh kali ekspedisi pelayaran kekaisaran yang spektakuler menuju laut

Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia. Tujuan ekspedisi itu adalah untuk

menjalin persahabatan dan perdagangan dengan negara-negara lain. Di samping

itu penduduk sepanjang pantai Tiongkok dilarang merantau ke luar negeri tanpa

ijin, maksudnya agar perompak-perompak Jepang yang sering mengganggu

keamanan pantai Tiongkok menjadi terkucil. Ketika Kekaisaran Dinasti Ming

berlangsung, para perantau Tionghoa di negeri asing yang terpaksa meninggalkan

tempat asalnya karena kemiskinan atau sebab lainnya diharapkan menjadi

penduduk yang baik di negeri tempat mereka menetap. Namun dibalik semuanya

itu pelayaran tersebut juga bertujuan menunjukkan kejayaan Dinasti Ming dan

mengembangkan pengaruh politik dan militernya di negara-negara Asia-Afrika di

samping juga untuk mengamankan jalur pelayaran niaga Tiongkok dengan

menumpas para perompak yang selalu mengganggu kapal-kapal niaga di jalur

tersebut. Pelayaran ini merupakan suatu ekspedisi yang menakjubkan, bahkan bila

diukur dengan standar Abad ke XX sekalipun. Tiap armada terdiri dari 62 buah

kapal yang disebut bao chuan atau kapal harta, yang paling besar berukuran

panjang 132 meter dan lebar 54 meter dan membawa 27.800 orang prajurit dan

sejumlah besar emas, porselen, barang-barang tembikar, karya-karya seni yang

indah dan kain sutera untuk ditukar dengan gading gajah, cula badak, kulit penyu,

bahan obat-obatan, rempah-rempah, sarang burung walet, mutiara dan batu-batu

Page 49: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

49

permata. Di samping kapal penumpang untuk mengangkut pasukan dan kapal

kargo, armada ini juga terdiri dari kapal tangki air, kapal pengangkut kuda untuk

pasukan kavaleri, kapal-kapal tempur dan kapal patroli cepat yang mempunyai

banyak dayung.

Pelayaran pertama Cheng Ho dimulai dari Su-chou ke Hokkian dan terus

melalui Campa menuju Jawa, Sumatera, Malaka, Siam, Sri Langka, dan pantai

selatan India. Lalu dilanjutkan ke Teluk Persia, Aden, Afrika Timur, dan pantai

Selatan Arab. Cheng Ho dengan setia telah mengabdi pada tiga Kaisar Dinasti

Ming dan selama 7 kali dikirim sebagai utusan, ia telah mengunjungi Campa,

Jawa, Kamboja, Kukang, Siam, Kalikut, Malaka, Brunei, Sumatera, Aru, Cochin,

Lambri, Pahang, Kelantan, Hormus, Pi-ja, Kepulauan Maldives, Sunda,

Magadoxu, Ma-lin-la-sah, Dsaffar, Sa-li-wa-ni, Jubo (Dsheba), Bengal, Arabia,

Li-tai, dan Nakur; seluruhnya lebih dari 30 negeri yang berbeda36. Sam Po Kong

menjadi legenda tanda kebesaran dari kejayaan Dinasti Ming serta turut

mendorong orang-orang Tionghoa terutama para pedagang dari bagian selatan

Propinsi Hokkian untuk pergi dan menetap di daerah Nanyan. Cheng Ho

meninggal di Nanking (Nanjing) pada tahun 143537, namun menurut Louis

Levathes dan Prof. Kong Yuanzi, dalam pelayaran kembali dari Mekkah setelah

seluruh armadanya dipersatukan kembali di Kalikut, India, dalam ekspedisi ke-7

atau ekspedisi terakhir (Cheng Ho yang karena kesehatannya terganggu dan sakit-

36Benny G Setiono., op. cit. Hal : 29. 37H. J. de Graaf dkk, 1988, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI –

Antara Historis dan Mitos, Yogyakarta: Tiara Wacana Raya. Hal : 198-199.

Page 50: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

50

sakitan sejak 1432, terpaksa menunggu di Kalikut dan tidak turut ke Mekkah),

pada tahun 1433 meninggal dunia pada usia 62 tahun38. Pelayaran Cheng Ho ini

berlangsung lebih dari 60 tahun sebelum Bartolomeus Diaz dengan armadanya

pada tahun 1487 berhasil memutari Tanjung Harapan di Ujung Selatan Afrika

menuju Samudera Hindia dan Vasco da Gama pada tahun 1497 mendarat di India.

Puncak penyebaran orang-orang Tionghoa ke Nusantara adalah pada akhir

abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, dimana para emigran ini berasal dari

tiongkok bagian selatan dan Tengah. Emigrasi besar-besaran termasuk kaum

perempuan Tiongkok ini bermula dari berkembangnya fasilitas kapal motor dan

dicabutnya larangan bepergian ke luar Tiongkok oleh Kaisar Dinasti Ching.

Ketertarikan akan keindahan dan kesuburan daerah-daerah yang mereka kunjungi

dan keramahan penduduk setempat, membuat sebagian dari mereka menetap dan

bahkan yang laki-laki (masih bujang atau tidak membawa serta istrinya dari

Tiongkok) mengawini perempuan-perempuan setempat39. Mereka pada umumnya

menjadi petani, tukang dan pedagang pengumpul hasil-hasil pertanian dan hasil

hutan untuk ditukar dengan barang-barang dari daratan Tiongkok. Akhirnya

mereka berasimilasi40 dengan penduduk setempat dan saling mempengaruhi

dalam proses percampuran budaya, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan lainnya

termasuk dalam hal bahasa, kesenian, makanan, bahkan cara berpakaiannya pun

38Benny G Setiono., op. cit. Hal : 32. 39Dari proses perkawinan ini kemudian menghasilkan Tionghoa Peranakan

atau sering disebut Babah; dan para peranakan Tionghoa ini akan mengikuti tradisi dari Ibunya (notebene merupakan pribumi) namun juga tidak meninggalkan budaya leluhur ayahnya (merupakan orang asli Tiongkok).

40Tentang konsep Asimilasi, Lih. Koentjaraningrat, op. cit. Hal : 247-256.

Page 51: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

51

juga mengadopsi pakaian setempat, inilah yang kemudian menghasilkan budaya

tionghoa peranakan atau babah41.

Sejak kedatangan orang-orang Tionghoa kenusantara, mereka hidup

berdampingan secara damai dan rukun dengan penduduk lokal atau setempat.

Bahkan ketika jaman Cheng Ho (sekitar abad ke-15), armadanya yang datang

dengan persenjataan yang besar dan kuat (dapat dikatakan jauh melebihi armada

negara-negara Eropa manapun pada masa tersebut), ternyata hanya bermaksud

mengadakan kunjungan persahabatan, perdagangan, menarik upeti bagi daerah-

daerah protektoratnya dan menyiarkan agama Islam. Orang-orang Tionghoa kala

itu, selain datang untuk tujuan berdagang juga mengajarkan teknik baru mengenai

pengolahan padi, antara lain pada tahun 1750 memperkenalkan alat penyosoh padi

(dengan memakai jasa dua-tiga ekor sapi) yang dapat mengolah sampai 500 ton

padi per hari, untuk menggantikan sistem tumbuk tradisional memakai lesung

yang hanya menghasilkan 100 ton per hari. Selain itu orang-orang Tionghoa juga

memperkenalkan pompa berpedal, pemeras kelapa dan bajak serta teknik

pembuatan garam. Orang-orang Tionghoa juga mengenalkan jarum jahit (dengan

cara menjahit atau menyulamnya), bahkan kain yang dijahit untuk pakaian pun

berasal dari Tiongkok. Mereka juga mengembangkan budi daya tanaman kacang

tanah, kacang hijau, kacang kedelai, semangka dan nila atau tarum yang dijadikan

bahan pewarna. Sejak tahun 1611 mereka mengembangkan penyulingan arak

41Bentuk-bentuk budaya Tionghoa peranakan atau babah akan diterangkan

lebih lanjut pada sub bab berikutnya dengan judul “Sekilas budaya dan peradaban Tionghoa di Indonesia” .

Page 52: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

52

yang dibuat dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira. Dari kacang hijau

dan kedelai mereka menghasilkan taoge, tahu, tauco dan kecap.

Ketika Kolonial Belanda masuk ke Nusantara, keadaan menjadi berbeda.

Tercatat dalam sejarah Indonesia, bahwa pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa

secara resmi di Hindia Timur (Indonesia) tanggal 31 Desember 1799. Memang

tidak dapat dibantah, bahwa pada bulan Juni 1596 Belanda sudah menjejakkan

kakinya di Indonesia, dan daerah yang pertama menjadi tempat pendaratan

mereka adalah Banten42. Setelah melalui tahapan yang pertama, ekspedisi itu

berkembang menjadi sebuah perdagangan dalam skala besar. Baru pada tahun

1602, perwakilan dagang Belanda membentuk sebuah kongsi dagang yang diberi

nama VOC (Verenigde Oost Indische Campagnie). Hubungan perdagangan

tersebut dijalin juga oleh orang-orang Belanda dengan orang-orang Tionghoa di

Indonesia, kebanyakan dari mereka dipakai sebagai pedagang perantara dan

menghubungkan antara Belanda dengan penduduk setempat. Pada awalnya

praktek semacam ini berjalan lancar, dan membuat hubungan Tionghoa dengan

penduduk setempat bertambah dekat. Hubungan yang erat antara orang-orang

Tionghoa dengan penduduk setempat hampir terjadi di berbagai wilayah di

Indonesia, penyebaran ini menimbulkan suatu generasi-generasi Tionghoa baru

baik itu yang peranakan maupun yang Totok. Berikut adalah data mengenai lokasi

pemukiman Tionghoa di Indonesia tahun 1906-1910, disertai dengan data jumlah

42Ekspedisi Belanda ini di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan

membawa 4 buah kapal yang memuat 249 awak dan 64 pucuk meriam. Lebih lengkapnya lih. M.C. Ricklefs, 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu. Hal : 70.

Page 53: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

53

penyebaran penduduk Tionghoa dan data jumlah penduduk Tionghoa menurut

generasi dan daerahnya :

TABEL 1

Lokasi Pemukiman terbesar golongan Etnik Tionghoa antara tahun 1906-1910

KOTA

TOTAL PENDUDUK

DI WILAYAH

JUMLAH

TIONGHOA DALAM ANGKA

JUMLAH

TIONGHOA DALAM %

Jakarta 138.551 28.150 20,31 Semarang 96.660 13.636 14,11 Palembang 60.985 7.304 11,98 Solo 118.378 6.532 5,51 Medan 14.230 6.397 44,95 Jogjakarta 79.567 5.266 6,61 Padang 47.607 5.103 10,72 Bandung 47.491 3.704 7,80 Surabaya 133.632 2.693 2,02 Tanjung pinang 4.088 2.406 58,86 Jatinegara 33.989 2.398 7,06 Pangkal pinang 3.017 1.566 51,91 Kutaraja 3.704 1.025 27,67 Tanjung pandan 4.900 1.015 20,71 Sumber : Mely G Tan., ed., 1981, Golongan etnis Tionghoa di Indonesia : Suatu masalah

pembinaan kesatuan bangsa, Jakarta : Gramedia. Hal : xiii.

Tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 1906 masyarakat Tionghoa

sudah banyak menetap di Indonesia. Dilihat dari jumlah keseluruhan penduduk

dimasing-masing wilayah di Indonesia dan jumlah penduduk Tionghoa, dapat

dikatakan bahwa masyarakat Tionghoa menduduki hampir ¼ jumlah penduduk di

Indonesia.

Page 54: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

54

TABEL 2 Penyebaran Penduduk Tionghoa tahun 1961

Wilayah Penduduk Tionghoa Seluruh penduduk % orang

Tionghoa dari seluruh

penduduk Jawa dan Madura 1.230.000 63.059.000 2,0 Sumatera 690.000 15,739.000 4,4 Kalimantan 370.000 4.102.000 9,0 Indonesia Timur 160.000 13.427.000 1,2 Jumlah 2.450.000 96.327.000 2,5

Sumber : Skinner, 1981, Golongan minoritas Tionghoa, dalam Mely G Tan, 1981,

Golongan etnis Tionghoa di Indonesia : Suatu masalah pembinaan kesatuan bangsa, Jakarta : Gramedia. Hal: 3.

Hampir sebagian besar masyarakat Tionghoa menghuni wilayah Jawa dan

Madura, hal tersebut terlihat dari tabel persebaran penduduk Tionghoa di

Indonesia. Namun prosentasi terbesar penyebaran penduduk Tionghoa justru

terjadi di wilayah Indonesia bagian Timur.

TABEL 3 Penduduk Tionghoa di Indonesia menurut generasi dan daerah (dalam ribuan)

Tahun 1930

Imigran Generasi I

Imigran Generasi II

Imigran Generasi III

Jumlah Daerah

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jawa & Madura

120 20,6 93 15,9 370 63,5 582 100

Sumatera 259 57,8 111 24,7 78 17,5 449 100 Kalimantan

Barat 17 25,1 14 20,6 36 54,3 67 100

Tempat Lain

37 40,6 25 27,5 29 31,9 92 100

Jumlah 434 36,4 243 20,5 514 43,2 1.190 100 Sumber : Charles A Coppel, 1994, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Jakarta : Pustaka

Sinar Harapan. Hal : 22.

Page 55: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

55

Pertambahan jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia semakin lama

semakin bertambah pesat. Terlihat dari tabel, bahwa Imigran Tionghoa sudah

mencapai generasi ke-3, dan dari generasi awal hingga generasi ke-3 mengalami

lonjakan yang demikian besar.

Bertahun-tahun, dari awal menjejakkan kaki ke Indonesia hingga akhir abad

ke-19, Belanda melihat keakraban yang terjadi antara orang-orang Tionghoa

dengan penduduk setempat atau pribumi. Melihat kenyataan semacam ini,

pemerintah Hindia Belanda merasa iri dan ketakutan43, kemudian mulai

melakukan politik pecah belah atau segregasi terhadap orang-orang Tionghoa.

Dengan dibuat suatu sistem 3 kelompok atau lapisan ras yakni golongan Eropa

(menduduki lapisan pertama), golongan Timur asing seperti Tionghoa, India, dan

Arab (Vreemde Oosterlingen) menduduki lapisan kedua atau tengah, dan

golongan Indonesia Pribumi (Inlanders) yang berada pada lapisan terakhir atau

paling bawah. Selain itu, bagi golongan Tionghoa diwajibkan untuk tinggal di

wilayah-wilayah yang ditentukan pemerintah (Wijkenstelsel) untuk memisahkan

orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat. Untuk keluar dari permukiman

atau wilayah tersebut orang-orang Tionghoa harus mempunyai surat jalan

43Alasan yang tepat mengenai hal ini, bahwasanya Belanda tidak diterima

dengan baik oleh penduduk setempat, ini yang membuat Belanda menjadi iri hati terhadap orang-orang Tionghoa. Ketakutan yang terjadi dari Belanda disebabkan karena kedekatan antara penduduk setempat dengan orang-orang Tionghoa, karena jika kedekatan ini berlanjut akan menggagalkan upaya politik kolonialisme Belanda di Indonesia/ Hindia Timur.

Page 56: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

56

(Passenstelsel)44. Bagi yang melanggar akan diadili oleh politie roll, sebuah

pengadilan tanpa hak membela diri. Wilayah yang ditempati oleh orang-orang

Tionghoa ini yang kemudian disebut dengan Pecinan. Orang-orang Tionghoa juga

dilarang memakai pakaian orang-orang bumiputera atau pakaian barat sehingga

mudah dikenali. Ordonansi yang dikeluarkan pada tahun 1854 tersebut membuat

ketiga kelompok itu tunduk kepada sejumlah buku undang-undang yang berbeda-

beda. Tetapi khusus untuk perdagangan sejak awal VOC, bagi orang Tionghoa

diberlakukan Hukum Dagang Belanda, sepanjang hukum itu masih dapat

diterapkan. Dalam bidang Hukum atau untuk masalah kriminal, status orang-

orang Tionghoa disamakan dengan golongan Indonesia Pribumi (Inlanders) dan

perkaranya diadili di Pengadilan Polisi (Politie roll) untuk pelanggaran kriminal

kecil-kecil, dan di pengadilan pribumi (Landraad) untuk pelanggaran berat.

Perseteruan orang-orang Tionghoa dengan pemerintah Belanda semakin

besar dengan diumumkannya Undang-undang Agraria (1870) yang melarang

orang Tionghoa dan golongan nonpribumi lainnya untuk memiliki tanah pertanian

baru. Tetapi puncak dari semuanya ini terjadi menjelang akhir abad ke-19 ketika

Belanda memberlakukan Politik etis45 yang menyerang kekuatan ekonomi dari

44Passenstelsel biasanya dapat diperoleh dari wijkmeester yang biasa

disebut sebagai Kapiten Tionghoa, dengan membayarkan uang sejumlah f. 0,50, 10 cent untuk meterai, dan 40 cent untuk ongkos bagi juru tulis.

45Tahun 1901 dimana Ratu Wilhelmina mengumumkan suatu penyelidikan

tentang kesejahteraan dijawa, maka pada tahun itu politik etis resmi disahkan. Lih. M. C. Ricklefs, op. cit. Hal : 320. Politik etis ini bermula dari kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh C. Th. Van Deventer melalui artikel yang berjudul “Een eereschuld” (Debt of Honour atau Hutang Budi) dalam sebuah majalah atau jurnal belanda de Gids pada tahun 1899. Lihat juga. Drs. G. Moedjanto, M. A., 2001, INDONESIA ABAD KE-20 Jilid I, Yogyakarta : Kanisius. Hal : 21-22.

Page 57: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

57

orang-orang Tionghoa46. Dalam waktu yang bersamaan pula, semangat

nasionalisme Tiongkok telah menyebar ke wilayah Asia Tenggara. Semangat

nasionalisme inilah yang kemudian membentuk perhimpunan-perhimpunan Cina

Raya (Pan-Cina) seperti Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Tepatnya tanggal 17

maret 1900 di Batavia berdiri THHK di bawah pimpinan Phoa Keng Hek.

THHK yang merupakan organisasi peranakan Tionghoa didirikan dengan

tujuan untuk memajukan kembali budaya Tionghoa dan agama Khonghucu serta

mendidik orang-orang Tionghoa agar menghentikan kebiasaan buruk berjudi dan

menghambur-hamburkan uang dalam melaksanakan upacara kematian. Tahun

1901, THHK membuka sekolah untuk anak-anak Tionghoa bertempat di jalan

Patekoan No.19 Jakarta (sekarang Jl. Perniagaan). Sekolah THHK ini memiliki

orientasi ke daratan Tiongkok, dan mendapat sambutan yang luar biasa dari

masyarakat Tionghoa di Indonesia; sehingga dalam waktu singkat, di kota-kota

lain juga dibuka sekolah Tionghoa. Sebagai contoh, pada tanggal 2 nopember

1902 berdiri sekolah THHK di Bogor, 1903 di Cirebon, 17 januari 1904 di

Semarang, 30 Juli 1904 di Tangerang, 19 Oktober 1904 di Solo, 11 Nopember

1904 di Bandung, tahun 1905 di Pemalang dan Jombang, 28 maret 1905 di

Indramayu, 5 mei 1905 di Malang, 22 desember 1905 di Purbalingga, 21 April

1907 di Sumedang, 29 juni 1907 di Cilacap, 21 agustus 1907 di Purwokerto, tahun

1909 di Demak, 26 mei 1912 di Kebumen, 22 juni 1917 di Banyumas, 26 oktober

46Dengan adanya politik etis, secara tidak langsung posisi perekonomian

Tionghoa terusik akibat peluang ekonomi yang diberikan Belanda kepada masyarakat Pribumi. Lih. Leo Suryadinata, 1986, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Hal : 22.

Page 58: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

58

1917 di Tasikmalaya, 1 juli 1939 di Wonosobo dan masih banyak sekolah THHK

yang didirikan di kota-kota lain di Indonesia47.

Gambar 2 Sebagian sekolah-sekolah THHK di Indonesia

THHK Solo THHK Surabaya THHK Jombang

THHK Indramayu THHK Yogyakarta THHK Cilacap

Pada awal mulanya oleh pemerintah Belanda, cara berpakaian orang-orang

Tionghoa harus sesuai dengan adat istiadatnya dan tidak diperkenankan meniru

cara pakaian orang-orang eropa kala itu. Termasuk juga pemotongan kuncir orang

Tionghoa, meskipun orang tersebut adalah seorang konglomerat atau pejabat

Tionghoa. Kebijakan tersebut dapat sedikit melonggar mana kala pada tahun 1905

seorang pengusaha Tionghoa di Semarang bernama Oei Tiong Ham mengusulkan

kebebasan berpakain dan pemotongan kuncir. Baru ketika usulan tersebut diterima

oleh pemerintah Belanda, secara otomatis orang-orang Tionghoa boleh memakai

47Untuk lebih jelasnya, Lih. Nio Joe Lan, 1940, RIWAJAT 40 TAON dari

TIONG HOA HWE KOAN-BATAVIA (1900-1939), Batavia: THHK. Hal : 69.

Page 59: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

59

pakaian orang-orang Eropa seperti Jas dan celana pantolan48. Adapun salinan surat

izin berpakaian bebas dan pemotongan kuncir yang ditujukan kepada pembesar

negeri (Gubernur Jendral atau Resident), adalah sebagai berikut :

De Resident, Sudah denger enz. Mengambil putusan : Kepada Cina The…….(nama orang tersebut) Diberi izin akan zonder kuncir dan dengen pakean Europa boleh mengunjukkan diri ditempat umum. Salinan dari ini putusan diserahkan pada yang tersangkut supaya jadi tau. Cocok dengen bunyinya register, Secretaris dari Residentie, (w.g.)…………………….

(dikutip dari buku karangan Liem Thian Joe yang berjudul Riwayat Semarang)

Dengan dibukanya sekolah-sekolah Tionghoa di berbagai wilayah yang

pada awalnya terinspirasi oleh sekolah THHK-batavia, pemerintah Hindia

Belanda merasa kuatir dengan perkembangan yang terjadi diwilayahnya tersebut.

Kekuatiran tersebut kemudian disalurkan dengan mendirikan sekolah-sekolah

berbahasa Belanda bagi orang-orang Tionghoa dan pribumi (tentunya yang

memiliki uang atau yang masih keturunan bangsawan). Sekolah setara SD seperti

HCS (Hollands Chineesche Scholen), HIS (Hollandsch Inlandsche School) pada

tahun 1914; sekolah setara SMP seperti MULO (Meer Uitgebreid Lager

Onderwijs), ELS (Europeesche Lagere School); HBS (Hoogere Burger School),

AMS (Algemeene Middelbare Scholen) yang setara dengan SMU. Selain sekolah-

sekolah tersebut, Belanda juga membuka sekolah yang lebih tinggi seperti : HCK

(Hollandsch Chineesche Kweekschool) atau sekolah Guru Belanda untuk orang-

orang Tionghoa; KWS (Koningen Wilhelmina School) atau sekolah Ratu

48Liem Thian Joe, 2001, Riwayat Semarang, Jakarta : Hasta wacana. Hal:

184-5

Page 60: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

60

Wilhelmina-sekolah perdagangan di batavia; NIAS (Nederlandsch-Indische

Artsen School) atau sekolah Tinggi Kedokteran Hindia Belanda.

Selain membuka sekolah-sekolah swasta, orang-orang Tionghoa juga

membentuk Siang Hwee (kamar dagang Tionghoa) pada tahun 1907 / 1908. Pada

tahun 1910, Belanda memberlakukan UU tentang Kawula Negara Belanda atau

biasa disebut WNO (Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap). Isi UU tersebut

antara lain, bahwasanya orang-orang Tionghoa peranakan dianggap sebagai

kawula Belanda dan diskriminasi mereka dimata hukum secara bertahap

dihapuskan. Pengadilan Polisi (Politie roll) dihapus tahun 1914, Sistem penetapan

wilayah tempat tinggal (Wijkenstelsel) dan surat pas jalan (Passenstelsel)

dilonggarkan dan pada akhirnya dihapus tahun 1917 dan 1918. Pembentukan

organisasi seperti THHK dan Siang Hwee ini ternyata berpengaruh kepada orang-

orang pribumi yang berpendidikan. Mereka kemudian meniru dengan mendirikan

organisasi-organisasi yang berorientasi pada kemajuan masyarakat pribumi

khususnya dibidang pendidikan dan ekonomi. Organisasi seperti Boedi Oetomo

(BO) yang didirikan oleh para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van

Inlandsche Artsen-sekolah pendidikan dokter pribumi) di Jakarta seperti : Sutomo,

Gunawan, Suraji dan Dr. Wahidin Sudirohusodo (dokter di Yogyakarta), pada

tanggal 20 mei 1908.

Selain BO, berdiri juga Serikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1911 oleh

Haji Samanhudi di Surakarta sebagai suatu koperasi pedagang batik jawa. SDI

didirikan untuk menandingi ekonomi orang-orang Tionghoa dan sikap rasialistis

mereka, khususnya penguasaan ekonomi oleh orang-orang Tionghoa di Solo.

Page 61: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

61

Pada perkembangannya SDI dilarang pemerintah Belanda, dan berubah nama

menjadi Serikat Islam (SI). Dengan bantuan dari Tirtoadisuryo dan H.O.S.

Cokroaminoto, dibangunlah organisasi SI pada tahun 1912. Berdirinya SI

tampaknya sebagai suatu alat bagi orang-orang pribumi khususnya di pedesaan

untuk menyerang orang-orang Tionghoa. Istilah Islam yang dipakai dalam

organisasi ini mencerminkan bahwa anggota-anggotanya yang berkebangsaan

Indonesia adalah kaum muslim, sedangkan orang-orang Tionghoa dan Belanda

dipandang mereka bukan muslim. Sikap diskriminasi terhadap golongan Tionghoa

yang didukung oleh SI pada awalnya terjadi di Surakarta, dimana terjadi aksi

boikot menentang pedagang Batik Tionghoa yang ada di Surakarta. Peristiwa

tersebut bermula dari rasa iri para pedagang batik pribumi yang merasa bahwa

pedagang batik Tionghoa selalu mendominasi perdagangan yang ada di Surakarta.

Namun pada kelanjutannya, justru meningkat menjadi peristiwa saling menghina

Cina-Indonesia dan terjadi tindakan anarkhis49.

Organisasi pribumi yang secara tidak langsung berdiri atas inspirasi dari

THHK adalah Muhammadiyah. Organisasi Islam modern di Indonesia ini berdiri

pada tahun 1912, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan yang berasal dari elit agama

di Yogyakarta. Muhammadiyah merupakan organisasi bercorak Islam modern

dengan tujuan pemurnian agama dari unsur-unsur non Islam. Selain itu,

perkumpulan ini juga mencurahkan kegiatannya pada usaha-usaha pendidikan

serta kesejahteraan dan pada program dakwah guna melawan agama kristen dan

49M.C. Ricklefs., op. cit. Hal : 348-349.

Page 62: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

62

takhyul-takhyul lokal50. Masih banyak organisasi-organisasi yang didirikan oleh

orang-orang Pribumi yang merupakan inspirasi dari THHK, namun yang terbesar

dan paling begitu dikenal masyarakat umum adalah organisasi yang disebutkan di

atas.

Perkembangan orang-orang Tionghoa di Indonesia semakin pesat, meskipun

jumlah imigran Tionghoa relatif berkurang dari tahun 1930. Hal yang terjadi

justru perkembangan pesat dari jumlah Tionghoa Peranakan di Indonesia. Bahkan

sejak awal tahun 1930 hingga 1961. Berikut data jumlah penduduk Tionghoa dari

tahun 1860-1961 dan data mengenai jumlah Komunitas Tionghoa Peranakan dan

Totok di Indonesia tahun 1920 :

TABEL 4 Perkembangan penduduk Tionghoa (dalam ribuan)

Dari tahun 1860 - 1961

Jawa Sumatera Kal-Bar Lain-lain Luar Jawa Tahun ‘000 % ‘000 % ‘000 % ‘000 % ‘000 %

Jumlah

1860 150 67,6 - - - - - - 72 32,4 222 1880 207 60,2 94 27,3 28 8,1 15 4,4 137 39,8 344 1895 256 54,6 159 33,9 38 8,1 17 3,6 213 45,4 469 1905 295 52,4 195 34,6 48 8,5 25 4,4 268 47,6 563 1920 384 47,5 304 37,6 68 8,4 54 6,7 425 52,5 809 1930 582 47,2 449 36,4 108 8,8 94 7,6 651 52,8 1233 1956 1.145 52,0 605 27,5 271 12,3 179 8,1 1.055 48,0 2.200 1961 1.230 50,0 690 28,2 315 12,9 215 8,8 1.220 49,8 2.450

Sumber : Skinner, 1981, Golongan minoritas Tionghoa, dalam Mely G Tan, 1981, Golongan etnis Tionghoa di Indonesia : Suatu masalah pembinaan kesatuan bangsa, Jakarta : Gramedia. Hal: 4.

Dari data tabel di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa laju

pertumbuhan orang-orang Tionghoa di Indonesia dari tahun 1860 hingga 1961

semakin cepat dan bertambah banyak. Prosentase yang terbesar terjadi justru di

50 Ibid. Hal : 356. lihat juga. Drs. G. Moedjanto, M.A.,2001, Indonesia Abad

ke-20 Jilid 1, Yogyakarta: Kanisius. Hal: 32.

Page 63: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

63

Pulau Jawa. Hal tersebut tak luput dari kestabilan politik yang terjadi di Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang demikian pesat di Jawa, menarik banyak orang-orang

Tionghoa yang bermukim di luar Jawa untuk mengadu nasib di Jawa. Ini berarti

bahwa dengan adanya jaminan ekonomi yang baik, menarik perhatian orang-

orang Tionghoa luar Jawa yang semula hanya bekerja sebagai buruh. Hal itulah

yang menyebabkan terjadinya laju pertambahan penduduk Tionghoa di Jawa yang

semakin cepat.

TABEL 5 Komunitas Tionghoa Peranakan dan Totok di Indonesia tahun 1920

(dalam ribuan)

Peranakan Totok Daerah

Orang Tionghoa Jumlah % Jumlah %

Jawa 384 268 69,9 116 30,1

Sumatera 304 18 5,8 286 94,2 (Pantai Barat) 11 7 64,9 4 35,1 (Palembang) 13 4 31,9 9 68,1

Kalimantan Barat 68 - 0,3 68 99,7 Lain Lain 54 27 49,5 27 50,5 (Manado) 11 9 82,3 2 17,7 (Sulawesi) 13 6 48,5 7 51,5

(Kal-Sel& Kal-Tim) 15 5 31,4 10 68,6 (Timor) 4 3 74,4 1 25,6

(Bali& Lombok) 7 2 31,5 5 68,5 Jumlah 810 313 39,3 497 60,1

Sumber : Charles A Coppel, 1994, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Jakarta : Pustaka

Sinar Harapan. Hal : 44.

Setelah mengalami suatu proses asimilasi dan melahirkan istilah Tionghoa

Peranakan, jumlah penduduk Tionghoa semakin bertambah. Lahirnya Tionghoa

Peranakan yang merupakan percampuran antara Tionghoa Totok dengan pribumi,

menambah jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia. Tercatat dalam tabel, bahwa

pada tahun 1920, jumlah penduduk Tionghoa berkisar antara 810.000 jiwa, yang

Page 64: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

64

terdiri dari 313.000 jiwa penduduk Tionghoa peranakan dan 497.000 jiwa

penduduk Tionghoa totok. Dominasi terbesar Tionghoa peranakan justru berada di

Jawa, sedangkan Tionghoa Totok justru mendominasi wilayah Sumatera.

B. Sekilas Budaya dan Peradaban Tionghoa di Indonesia

Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia (dulu nusantara atau Hindia

timur), membawa pengaruh yang sangat besar. Di samping pengaruh fisik yang

menghasilkan Tionghoa peranakan, namun juga membawa pengaruh pada

perkembangan budaya. Meskipun budaya tersebut tidak mempengaruhi budaya

lokal secara langsung, tetapi justru menghasilkan kebudayaan yang biasa disebut

sebagai budaya Tionghoa Peranakan51.

Orang-orang Tionghoa yang pertama datang ke Indonesia pada umumnya

juga membawa beragam kepercayaannya. Agama yang dianut oleh mereka pada

umumnya Khonghucu, namun ada juga yang beragama Buddha, Tao, dan Islam52.

Khonghucu, mengajarkan tentang hidup bermasyarakat (yang meliputi: membina

hubungan dengan Orang tua, sesama, dan negara). Agama Buddha mengajarkan

orang Tionghoa untuk selalu berdoa dengan membaca mantera suci Buddha atau

51Budaya Tionghoa Peranakan atau babah dapat dikatakan sebagai suatu hasil akulturasi budaya. Perpaduan antara budaya tiongkok (biasanya dari pihak ayah) dengan budaya lokal (biasanya dari pihak Ibu).

52Mengapa tidak disebutkan adanya agama Kristen atau Katolik? Karena

pada masa awal kedatangan mereka, tidak ada orang Tionghoa totok yang beragama Kristen atau Katolik. Kebanyakan dari mereka baik itu Totok atau Peranakan, beralih atau pindah agama menjadi Kristen atau Katolik ketika mereka sudah berada di Indonesia. Secara tidak langsung, itupun juga atas pengaruh dari Kolonial Belanda atau orang-orang barat. Di Tiongkok sendiri, maraknya agama Kristen juga baru menginjak tahun 1912. Ketika Dr. Sun Yat Sen memproklamirkan berdirinya sebuah negara republik.

Page 65: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

65

Liam Keng (dalam dialek Hokkian) dan menciptakan sebuah legenda mengenai

hidup para Bodhisatva53. Agama Tao mengajarkan bagaimana membina

keselarasan diri dengan alam semesta (antara lain hubungan dengan Sang

Pencipta), sedangkan agama Islam tidak menurunkan budaya apapun kepada

orang-orang Tionghoa, karena di Tiongkok sendiri Islam merupakan agama

minoritas.

Gambar 3 Para Boddhisatva dan Dewa dalam Agama Buddha & Tao

Kwan Iem Poosat Tee Cong Ong Poosat Hok Tek Cheng Sin

Hampir rata-rata orang-orang Tionghoa yang pertama datang ke Indonesia

beragama Khonghucu, Buddha, Tao atau Sam Kauw Hwee (Tri Dharma) dan

Islam. Pada masa tersebut, orang-orang Tionghoa yang beragama Kristen atau

Katolik sangat jarang atau bisa dikatakan tidak ada, karena doktrin Kristen dan

Katolik berbeda jauh dengan tradisi yang sudah lama ada dalam diri orang-orang

Tionghoa. Banyak tradisi dan budaya Tiongkok yang dipengaruhi oleh

53Bodhisatva yang terkenal dikalangan orang-orang Tionghoa adalah

Avalokitesvara Bodhisatva atau orang tionghoa biasa menyebutnya Mak Coo Kwan Im Poosat/ Kwan Im Hudco. Lihat gambar 3.

Page 66: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

66

Khonghucu dan Taoisme54, baru setelah agama Buddha masuk ke Tiongkok,

tradisi mereka mengalami perkembangan. Selain ketiganya, ada juga orang-orang

Tionghoa yang menganut ketiga ajaran tersebut menjadi satu atau biasa disebut

Sam Kauw Hwee (Perkumpulan Tiga Agama), di Indonesia biasa disebut Tri

Dharma55.

Tradisi yang ada dalam masyarakat Tionghoa sangatlah bermacam-macam.

Namun di dalam penelitian ini, hanya menyebut beberapa yang mewakili tradisi

atau budaya Tionghoa, diantaranya : Hari-hari raya Tionghoa, Kepercayaan dan

Kuil-kuil pemujaan masyarakat Tionghoa. Hari-hari raya orang-orang Tionghoa di

Indonesia (selanjutnya disebut sebagai Tionghoa Peranakan atau Babah)

sesungguhnya sangatlah beragam. Namun yang lazim diikuti oleh orang-orang

Tionghoa dari semua kalangan agama adalah : Sincia atau Tahun baru Imlek, Cap

Go Meh, Ceng Beng, Peh Cun, Sembahyang Cioko atau Ulambana, Tiong Ciu,

dan Sembahyang Tang Ceh atau sembahyang ronde.

a. Hari-hari Raya Tionghoa

Perayaan Tahun baru Imlek atau biasa disebut Sincia (Dalam Mandarin

“Xin Jia”) dapat juga disebut sebagai pesta tahun baru musim semi. Perayaan ini

54Tidak dapat dipungkiri bahwasanya agama Tao dan Khonghucu

(meskipun ada yang mengatakan bahwa Khonghucu hanya ajaran falsafah hidup) merupakan ajaran tertua di Tiongkok. Perbedaan mereka, dikatakan bahwa Khonghucu lebih mengajarkan Filosofi hidup sedangkan Tao mengajarkan pada filosofi agama (mulai dari tatacara upacara pemujaan terhadap Alam Semesta/ Tuhan YME sampai pada pemujaan terhadap leluhur).

55Masih terdapat kerancuan mengenai Siapa yang pertama kali mencetuskan

istilah tersebut dan berjasa menggabungkan ketiganya menjadi satu agama. Namun di Indonesia, Alm. Kwee Tek Hoay yang berjasa membentuk ajaran Sam Kauw Hwee ini dan dinamakan Tri Dharma.

Page 67: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

67

memakai penanggalan berdasarkan sistem lunar atau sistem peredaran bulan.

Tahun baru Imlek (selanjutnya disebut Sincia) jatuh pada tanggal 1 Cia gwee dan

berakhir pada tanggal 15 Cia gwee yakni pada saat hari raya Cap Go Meh. Sejarah

diadakannya perayaan ini masih simpang siur, berbagai versi bermunculan

menceritakan bagaimana asal muasal perayaan sincia tersebut. Dari sisi ilmiah,

perayaan Sincia diadakan karena memperingati musim semi atau cun56. Hal

tersebut terjadi saat bulan purnama sangat besar atau sempurna dan air pasang.

Suatu keuntungan bagi para petani, karena rata-rata pekerjaan orang-orang

Tionghoa kala itu menjadi petani. Menurut versi lain (yang lebih mendekati sisi

religius), diceritakan bahwa Sincia diperingati sebagai penghormatan terhadap

Giok Hong Siang Tee (Kaisar Langit) yang menitis kebumi dan menjadi seorang

raja atau kaisar. Selain itu, Sincia juga dianggap sebagai peringatan akan kelahiran

Bodhisattva Maitreya atau Bi Lek Hud (dialek Hokkian). Namun agama

Khonghucu mengklaim bahwasanya Sincia merupakan peringatan akan kelahiran

Nabi Besar Khong Cu57.

Sincia yang diperingati sebagai pesta tahun baru musim semi ini, selalu

diikuti dengan berbagai hal-hal yang menggembirakan. Pada hari raya tersebut,

sebuah keluarga Tionghoa akan berkumpul untuk saling memberi selamat. Yang

56Perlu diketahui bahwa di Tiongkok terdapat empat musim, yakni Cun

(musim semi), Chiu (musim gugur), Hsia (musim panas) dan Tang (musim dingin). Oleh sebab itu, di dalam perayaan ini orang-orang tionghoa mengucapkan selamat dengan ucapan “Sin Cun Kiong Hi” (dialek Hokkian) atau cukup mengucap “Kiong Hi” saja.

57Dalam pembicaraan tidak resmi dengan Haksu Tjhie Tjay Ing yang

merupakan tokoh penting dalam MATAKIN.

Page 68: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

68

lebih muda harus menghaturkan salam terlebih dahulu terhadap yang lebih tua

dengan bersalaman atau Paypay58. Dalam perayaan ini, banyak dihidangkan

masakan-masakan untuk dimakan dalam perjamuan malam Sincia atau hari Sincia

tersebut. Hidangan tersebut antara lain : Ayam Babi Cah, Babi Kecap, Ayam Soun

Kuah, Ayam semur tomat, dan masih banyak yang lain. Lazimnya selain hidangan

berupa masakan tersebut, tersedia juga Kue keranjang atau kue ranjang yang

terbuat dari ketan dicampur dengan gula jawa atau aren. Namun biasanya kue

ranjang ini akan dimakan ketika perayaan Cap Go Meh.

Kebiasaan yang sudah ada dalam masyarakat Tionghoa Peranakan di

Indonesia sebelum Sincia adalah membersihkan rumah mereka (diantaranya

mengecat, menyapu dan merapikan semua perabotan), membelikan baju baru bagi

anak-anak mereka dan mempersiapkan segala perlengkapan sembahyangan59.

Pada malam sebelum pergantian tahun, diadakan sembahyang tahun baru. Bagi

yang memiliki meja sembahyang leluhur atau Hio Lou (Hio: Dupa, Lou: perapian;

Hio Lou berarti perapian dupa), biasanya akan bersembahyang tepat jam 12

malam sebelum tahun baru tiba. Thiam Hio ditujukan kepada Tuhan YME, guna

58Tradisi memberi salam dengan Paypay di Indonesia sekarang sangat

berkurang, karena dianggap berbau China. Sehingga kadangkala orang-orang Tionghoa lebih suka bersalaman. Biasanya, untuk pemberian salam terhadap orangtua mereka, orang-orang Tionghoa juga melakukan Paykui atau sujud sungkem (dalam tradisi jawa). Pay-kui ini pun juga tidak lazim dilakukan oleh orang Tionghoa modern saat ini, karena dianggap terlalu merepotkan.

59Untuk tradisi membeli baju baru, itu tidak harus dilakukan, tergantung dari

kemampuan ekonomi orang tersebut. Selain itu, dalam tradisi mempersiapkan perlengkapan sembahyangan, juga tidak berlaku bagi sebagian orang-orang Tionghoa apalagi yang sudah beragama “KRISTEN”. Persiapan perlengkapan sembahyangan biasanya berlaku bagi orang-orang Tionghoa yang masih menganut agama Khonghucu, Tao, dan Buddha atau gabungan ketiga agama tersebut (Tri Dharma).

Page 69: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

69

ditahun yang baru akan menjadi lebih baik. Thiam Hio juga dilakukan untuk

menghormati arwah leluhur yang sudah tiada, di dekat Hio Lou diletakkan

persembahan berupa kue keranjang (Kue Ranjang), Lilin dan bunga-bunga yang

terbuat dari kertas warna (biasanya terbuat dari Toa Kim). Setiap keluarga

Tionghoa akan bertahan tidak tidur hingga pergantian tahun, bahkan ada yang

juga bertahan hingga pagi hari (dalam bahasa Jawa disebut laku prihatin). Hal

tersebut dipercaya akan mendapatkan berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pada hari Sincia, banyak keluarga Tionghoa tidak menyapu rumahnya

sampai waktu tibanya Cap Go Meh (15 hari setelah Sincia). Hal tersebut

dipercaya oleh orang-orang Tionghoa, jika menyapu pada hari tersebut mereka

tidak akan mendapatkan rejeki karena rejeki-rejeki tersebut akan ikut tersapu.

Selain itu, selama tiga hari lamanya orang tidak boleh mengucapkan kata-kata

kasar ataupun berkelahi. Perayaan Sincia diisi dengan kunjungan ke sanak famili

yang lebih tua, dan biasanya dalam setiap kunjungan tersebut tuan rumah akan

memberikan ang-pao60.

Pada tanggal 8 bulan 1 Imlek (malam hari), ada juga orang Tionghoa yang

melakukan “Sembahyang Tuhan Allah”. Ritual ini sangat penting dilakukan bagi

orang-orang Tionghoa yang menganut agama Tao, Buddha, Khonghucu atau Tri

Dharma. Mereka mengatur meja sembahyang di depan pintu muka rumahnya, dan

melakukan ritual penghormatan kepada Giok Hong Siang Tee. Hal tersebut

60Ang-pao biasa diberikan oleh orang yang sudah tua tetapi sudah

berkeluarga, kepada yang lebih muda yang belum menikah (biasanya anak-anak), dengan catatan memiliki hubungan famili yang dekat atau erat (misalnya Kakek-Nenek, Papa-Mama, atau Om-Tante). Ang-pao adalah amplop berwarna merah yang dalamnya berisi uang.

Page 70: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

70

dilakukan karena pada esok harinya tanggal 9 bulan 1 Imlek, merupakan senjit

atau Ulang tahun dari Giok Hong Siang Tee61.

Perayaan 15 hari setelah Sincia disebut sebagai Goan Siao atau di Indonesia

dikenal dengan perayaan Cap Go Meh (Cap Go: 15, dan Meh : Malam; artinya :

Malam tanggal 15). Cap Go Meh adalah malam pertama dengan bulan purnama

yang sempurna dalam tahun yang baru. Pada malam ini, orang Tionghoa biasanya

bergembira dan memasang lampion-lampion indah dan beraneka ragam yang

berisi lilin atau bahan penerang lain. Tidak ada upacara khusus pada perayaan ini,

hanya beberapa keluarga (yang tentunya masih menganut agama Tri Dharma)

mengatur meja sembahyangan di halaman muka rumahnya, dan mereka

melakukan “sembahyang sam kai” yakni menyembah langit, bumi, dan manusia62.

Cap Go Meh juga dirayakan meriah di klenteng-klenteng, umumnya orang-orang

Tionghoa beramai-ramai ke klenteng untuk bersembahyang di depan patung Dewi

Kwan Im Poosat. Mereka juga ada mencoba keberuntungan ditahun yang baru

tersebut dengan mengambil Ciam Sie untuk menanyakan rejeki, keberuntungan

atau juga jodoh.

Masih dalam perayaan Cap Go Meh, pada hari tersebut orang-orang

Tionghoa menurunkan kue ranjang dari atas meja abu leluhur mereka dan

menggorengnya untuk dimakan bersama keluarga. Selain kue ranjang, orang

Tionghoa juga memiliki masakan yang khas pada perayaan ini, yakni Lontong

61Giok Hong Siang Tee adalah Kaisar langit yang menguasai Alam Semesta,

dipercaya merupakan Penguasa dari alam semesta. Seperti dalam Film Sun Go kong/ Kera Sakti.

62Nio Joe Lan, 1961, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, Jakarta:

Kengpo. Hal : 152.

Page 71: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

71

Cap Go Meh yang dimakan dengan opor ayam dan sambal goreng hati atau jeroan

(makanan ini mirip Lontong opor). Masakan lontong Cap go meh ini bukan resep

asli Tiongkok, tetapi resep khas peranakan Tionghoa di Indonesia.

Penutupan bulan 1 Imlek jatuh pada tanggal 29. hari ini disebut So Tin Jit

atau hari menyapu debu (tadi sudah disebutkan bahwa orang Tionghoa tidak

diperkenankan menyapu pada hari Tahun baru Imlek atau Sincia). Tradisi yang

ada menceritakan bahwa pada tanggal 29 Cia gwee ini, orang-orang Tionghoa

akan menyapu debu rumah mereka dan menampungnya ke dalam sebuah perahu-

perahu dari kertas lalu menghanyutkan ke dalam sungai.

Perayaan hari raya Tionghoa sangatlah banyak, namun dalam penulisan ini

hanya disebutkan beberapa perayaan yang dianggap penting dan besar. Perayaan

Ceng Beng misalnya, merupakan suatu perayaan yang jatuh pada tanggal 3 bulan

3 Imlek. Ceng beng adalah perayaan bersih kubur para leluhur atau Hio Lou

leluhur mereka (Lihat gambar 4 dan 5). Ini adalah peringatan hari wafat orangtua

atau leluhur yang sudah meninggal dunia. Umumnya orang-orang Tionghoa akan

mengunjungi Bong tempat leluhur disemayamkan dan membawa masakan untuk

disajikan di depan Bong Pai (Nisan) sebagai rasa hormat dan bhakti pada leluhur

tersebut. Setelah selesai, mereka akan berdoa memohon restu pada leluhur dan

pay-kui di depan makam lalu berpamitan. Makanan sesaji tadi ada yang dibawa

pulang untuk disantap ada juga yang ditinggal.

Page 72: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

72

Gambar 4 Gambar 5 Upacara Ceng Beng Meja Abu Leluhur

Hal yang perlu diingat, bahwasanya orang-orang Tionghoa yang memiliki

Hio Lou biasanya jenasah leluhur tersebut dibakar atau dikremasi, dan abunya

dilarung ke laut. Di Jawa Tengah khususnya Yogyakarta dan Surakarta, laut yang

dipakai untuk melarung abu tersebut adalah Pantai baron, Kukup, atau

Parangtritis. Hio lou di rumah tempat mereka bersembahyang kepada leluhur

biasanya diambil dari abu hio yang dipakai ketika jenasah masih disemayamkan di

rumah duka.

Hari raya Ceng Beng jatuh pada bulan 3 Yun li. Dipandang dari sudut

tradisi bangsa Tionghoa, sembahyang Yun-li ini sama pentingnya dengan upacara

sembahyang Tso-Chih atau peringatan hari wafat orang tua mereka. Di Indonesia,

biasanya jatuh pada tanggal 3, 4, atau 5 april setiap tahunnya.

Hari raya setelah Ceng Beng adalah hari raya Toan Jang yang jatuh pada

tanggal 5 bulan 5 Imlek (5 Go gwee). Di Indonesia Toan Jang dikenal dengan

nama Peh Cun, yang artinya perlombaan mendayung perahu atau perlombaan

perahu naga. Peh artinya dayung, dan Cun artinya perahu. Para pendayung perahu

naga ini biasanya membawa bekal makanan Ki-cang (seperti lemper, namun berisi

Page 73: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

73

gula cair dan dibungkus dengan daun bambu) dan Bak-cang (seperti Ki-cang,

namun isinya daging babi cincang yang diberi bumbu dan kacang). Makanan ini

kemudian dilempar ke laut atau tempat dimana perlombaan akan dilakukan. Itu

juga tidak selalu sama, di Yogyakarta misalnya ketika Perayaan Peh Cun 2007

yang lalu, makanan seperti Ki-cang disebar untuk dibagikan pada para penonton

atau menjadi rebutan.

Gambar 6 Perayaan Peh Cun

Pada perayaan Peh-cun ini, selain dimeriahkan dengan berbagai perahu naga

juga berbagai atraksi seperti petasan, tambur dan genderang, barongsai, dan acara

mendirikan telur mentah. Dalam perayaan itu, tepat tengah hari antara pukul

12.00-12.45, telur ayam atau bebek mentah dapat berdiri tegak dari sudut

manapun63. Dimasa lalu dirumah-rumah orang Tionghoa, dapat dilihat banyak

yang menggantungkan daun Dringo dan daun Hia di atas pintu rumah mereka.

Arti kedua simbol daun tersebut adalah : Daun Dringo diumpamakan sebagai

pedang yang tajam dan daun Hia diumpamakan sebagai bendera yang artinya

63Secara ilmiah dapat dijelaskan bahwa pada tengah hari tersebut, matahari

dan bumi pada satu garis lurus, sehingga gravitasi semakin besar karena langit dan bumi berjarak pendek.

Page 74: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

74

bendera mendatangkan keselamatan dan pedang yang tajam akan membunuh

semua siluman.

Perayaan Peh cun memiliki sejarah yang panjang dan banyak versi. Hingga

saat ini versi yang terkenal adalah mengenai Khut Goan. Jaman dinasti Chou

(340-278 SM) berkuasa, dinegeri chou hidup seorang bernama Khut peng alias

Khut goan. Dia menjabat sebagai menteri pada kerajaan Chou tersebut, dan

dikenal sebagai menteri yang bijaksana, setia dan budiman. Berkat kerja kerasnya

tersebut, negeri itu menjadi aman, tentram dan makmur. Banyak menteri-menteri

lain yang iri dengan keberhasilan Khut Goan. Singkat cerita, mereka bermaksud

menyingkirkan Khut goan dan rencana tersebut berjalan dengan baik. Pemecatan

Khut Goan berakibat pada kehancuran negeri tersebut, melihat hal ini Khut Goan

merasa sedih hingga akhirnya bunuh diri dengan menceburkan diri ke sungai.

Mendengar aksi bunuh diri Khut goan tersebut, warga disekitar mendatangi sungai

dengan maksud menyelamatkan Khut Goan, namun hal tersebut tidak berhasil

bahkan jasad Khut Goan juga tidak ditemukan. Peristiwa tersebut terjadi tepat

pada tanggal 5 Go gwee (5 bulan 5 Imlek). Dari peristiwa tersebut, setiap tahun

warga selalu memperingati kematian Khut Goan dengan beramai-ramai turun

kesungai tersebut dan melempar makanan yang berisi daging babi (Bak-cang) ke

dalam sungai. Maksud mereka mengirim makanan untuk Khut Goan yang mati

penasaran di dasar sungai tersebut.

Perayaan yang tak kalah seru adalah perayaan sembahyang rebutan atau

sembahyang cioko yang jatuh pada tanggal 30 Lak gwee (tanggal 30 bulan 6

Imlek). Sembahyang Cioko atau rebutan merupakan sembahyang yang dilakukan

Page 75: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

75

untuk roh-roh yang tidak disembahyangi oleh sanak keluarganya didunia.

Sembahyang ini disebut sembahyang rebutan karena ketika selesai sembahyang,

semua sesaji di atas meja sembahyangan yang berjumlah besar menjadi barang

rebutan orang-orang yang suka. Dalam agama Buddha, sembahyang ini disebut

juga upacara “Ulambana” (upacara penyeberangan arwah). Umat Buddha pada

perayaan ini, mempersembahkan sesaji atau persembahan kepada Bodhisattva

Kstigarbha atau Tee Cong Ong Poosat (dialek Hokkian). Ti Cang Wang Poosat

(dialek Mandarin) dipercaya sebagai Bodhisattva penguasa neraka, yang mampu

menghantarkan para arwah penasaran untuk segera berenkarnasi. Sedangkan umat

Tao, dalam upacara ini lebih kepada Hok Tek Cheng Sin (Amurva bhumi), karena

dianggap kuburan berada di bawah kekuasaan Toapekong ini. Pada perayaan

sembahyang cioko, terdapat banyak sesaji diantaranya Ngo Seng yang terdiri dari

Ayam rebus, Bebek rebus, kepala babi rebus, ikan bandeng, dan kepiting rebus;

atau dapat juga cukup dengan Sam Seng (ayam atau bebek rebus, kepala babi

rebus, dan ikan bandeng).

Gambar 7 Upacara Ulambana atau Sembahyang Cioko

Page 76: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

76

Pada tanggal 15 bulan 8 (15 pek gwee), orang-orang Tionghoa merayakan

sembahyang Tiong Ciu Phia atau sembahyang kue bulan. Pada saat musim

sembahyang ini, di pasar-pasar dijual kue-kue Tiong ciu phia. Kue ini berbentuk

bulat gepeng menyerupai bulan, ada yang berukuran kecil dan besar yang terbuat

dari tepung terigu dan diisi dengan beraneka rasa. Ada rasa durian, rasa mangga,

babi, kacang ijo, dan kacang kumbu (yang di tengahnya diisi telur asin). Perayaan

Tiong ciu phia dipercaya bahwa bulan berbentuk bulat sempurna melebihi bulan

purnama ketika Cap Go Meh. Upacara ini dipercaya sebagai penghormatan

kepada dewi Bulan (Dai ing Poosat).

Gambar 8 Model Kue Tiong Ciu Phia

Perayaan Tionghoa yang lain adalah sembahyang Tang ceh atau

sembahyang kue onde (selanjutnya disebut sembahyang ronde). Perayaan ini jatuh

pada Tanggal 25 bulan 11 atau sekitar tanggal 22-23 desember. Pesta ini pada

umumnya hanya dirayakan secara sederhana atau dapat disebut pula pesta

Page 77: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

77

rumahan64. Pesta ini mengandung makna yang dalam meskipun hanya pesta

sederhana. Kebiasaan sembahyang ronde ini dimulai ketika jaman kaisar Song

Kho Cong dari dinasti song (1127-1152 M). Sembahyang ini ditujukan kepada

Toapekong, arwah leluhur, dan kepada lima unsur alam yakni : air, api, tanah,

logam dan kayu. Dalam bahasa hokkian lima unsur itu disebut Kim (Logam/

emas), Hwee (Api), Tho (Tanah), Sui (Air), dan Bok (Kayu).

Sembahyang ronde akan menjadi lebih lengkap apabila terdapat wedang

ronde. Kue onde (orang jawa menyebutnya ronde) terbuat dari tepung ketan

dengan warna merah, putih, kuning, atau hijau yang menghiasi luarnya. Ronde ini

kemudian dicampur dengan air gula yang dicampur dengan sedikit jahe agar

terasa lebih sedap dan hangat dibadan jika diminum. Pada jaman dahulu, kaum

wanita Tionghoa bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan membuat ronde dan

campurannya. Tetapi pada jaman modern sekarang ini, kaum wanita Tionghoa

modern lebih suka membeli jadi ronde nya di Swalayan atau bahkan wedang

ronde di warung.

Ronde juga dapat dipakai sebagai alat nujum, ini merupakan sebuah tradisi

yang unik dikalangan orang-orang Tionghoa saat merayakan sembahyang ronde.

Ronde dijadikan alat meramal untuk menentukan jenis kelamin anak yang

dikandung oleh wanita dalam keluarga tersebut. Ronde yang sudah dibuat bulat-

bulat, ditusuk dengan lidi dan dibakar dalam tungku api (seperti membakar sate).

Jika ronde tersebut menonjol melar, maka dipercaya wanita tersebut akan

64Nio Joe Lan, op. cit. Hal : 163.

Page 78: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

78

melahirkan anak laki-laki, sebaliknya jika ronde yang dibakar tersebut merekah

pecah maka dipercaya akan melahirkan anak perempuan.

b. Kepercayaan dan macam Kuil pemujaan masyarakat Tionghoa

Tradisi atau budaya masyarakat Tionghoa lebih banyak dipengaruhi oleh

agama atau kepercayaan mereka. Terbukti dengan adanya setiap perayaan selalu

ada kaitannya dengan ritual keagamaan seperti sembahyangan, dan Thiam Hio.

Seperti sudah disinggung di atas secara singkat bahwa orang-orang Tionghoa

yang pertama datang ke Indonesia masih beragama Khonghucu, Tao atau Buddha.

Sangat jarang yang beragama Nasrani atau Isam yang datang ke Indonesia65.

Agama yang paling tua di Tiongkok adalah Taoisme, diperkirakan usia

agama tersebut sudah lebih dari 5000 tahun. Ajaran Taoisme sangat berpengaruh

terhadap tradisi-tradisi yang melekat dalam benak orang-orang Tionghoa kala itu.

Ritual-ritual yang hingga saat ini masih dipakai oleh orang-orang Tionghoa

merupakan warisan dari ajaran Taoisme, meskipun tidak dipungkiri juga sudah

tercampur oleh ajaran Khonghucu dan Buddha. Di Tiongkok juga ada campuran

antara ketiga agama tersebut, yang disebut sebagai Sam Kauw Hwee

(perkumpulan tiga agama). Di Indonesia, perkumpulan tiga agama disebut sebagai

Tri Dharma dan bernaung di bawah agama Buddha Mahayana. Disebut Tri

Dharma karena mereka mengakui ketiga agama yakni Buddha, Taoisme dan

Khonghucu; dapat diperinci sebagai berikut: secara ritual atau tatacara upacara

65Agama Islam di Tiongkok merupakan agama dengan pemeluk paling

sedikit. Memang ada orang-orang Tionghoa beragama Islam yang ketika itu masuk ke Indonesia, seperti Laksamana Cheng Ho. Namun jumlahnya terbatas.

Page 79: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

79

mereka lebih memakai cara Taoisme dan Khonghucu, sedangkan ritual

pembacaan mantera (Liam Keng) mereka memakai tradisi Buddha Mahayana66.

Di bawah hanya akan dijelaskan mengenai inti dari ajaran Khonghucu, Taoisme

dan Buddha.

Antara ketiga kepercayaan itu, ajaran Khonghucu yang lebih berpengaruh

dan mendarah daging dalam kehidupan orang-orang Tionghoa sehari-hari. Selama

Dinasti Han (205-220 SM) berkuasa, ajaran Khonghucu dipakai sebagai ajaran

agama negara. Oleh sebab itu tidak dapat dipungkiri lagi bahwa agama

Khonghucu semakin melekat dalam kepribadian orang-orang tionghoa. Dalam

dunia religiusitas, hubungan atau interaksi orang-orang Tionghoa dengan Tuhan

sangat sedikit, pengejawantahan Tuhan tidak sedalam orang-orang Eropa. Ini

bukan berarti bahwa mereka orang Tionghoa adalah kaum atheis, mereka

mengenal Tuhan dan alam semesta yang diwujudkan dalam rupa Sang Pencipta

(Thian Kung) namun justru yang bersifat falsafah hidup yang sungguh mereka

jaga, orang-orang Tionghoa bahkan memahamkan agama mereka secara ke

filsafatan. Sarjana Barat memandang Tiongkok sebagai bangsa yang kurang

memperhatikan agama dibanding bangsa-bangsa lain, Etika dan bukannya agama

(setidak-tidaknya bukan agama yang bercorak formal atau agama wahyu),

merupakan dasar kejiwaan peradaban Cina67.

66Tatacara atau ritual yang berkaitan dengan Taoisme dan Khonghucu antara

lain: Sembahyang dengan Hio (Thiam Hio), adanya penanggalan Sincia (misalnya sembahyang Ce It & Cap Go) dll. Memang terlihat agak aneh, namun Tri Dharma sangat berkembang di Indonesia.

67Fung Yu Lan, 1990, Sejarah Ringkas Filsafat Cina, Yogyakarta : Liberty.

Hal : 4

Page 80: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

80

Etika atau falsafah hidup yang berkembang di Tiongkok adalah dipengaruhi

oleh ajaran Nabi Khong Hoe Cu atau Khong Cu68, seorang yang dianggap mampu

memainkan peranannya dalam lingkungan atau dunia kefilsafatan Cina hingga

saat ini. Khong cu adalah orang yang mengajarkan banyak falsafah hidup kepada

orang-orang Tionghoa, bahkan tindakan dan perbuatannya jelas-jelas menjadi

contoh bagi corak hidup orang-orang Tionghoa yang ketika itu di Tiongkok terjadi

banyak anarkhi sosial.

Inti ajaran Nabi Khongcu adalah Tripusaka yakni Bijak (Zhi – Wisdom and

enlightment), Cinta Kasih (Ren – Love), dan Berani (Yong – Bold). Dengan

Tripusaka ini, manusia dapat memahami bagaimana membina diri; dengan diri

yang terbina, niscaya dapat memahami bagaimana cara mengatur manusia; dan

dengan kemampuan mengatur manusia, niscaya dapat pula memahami bagaimana

mengatur dunia, negara dan rumah tangga69. “Yang Bijaksana tidak dilamun

bimbang. Yang berperi cinta kasih tidak merasakan susah payah. Dan yang berani

tidak dirundung ketakutan…..” (Sabda Suci IX : 29). Ajaran Khongcu lebih

menekankan hubungan manusia dengan manusia yang berlandaskan akan

kebajikan, cinta atau kasih satya dan semuanya itu termuat dalam Kitab Su Si atau

Lun Yu yang memuat: Thai Hak (ajaran Besar), Tiong Yong (Ajaran tengah), Lun

Gi (Sabda Suci), dan Bingcu. Jika diterangkan secara gamblang maka akan

menjadi sebuah pengertian sebagai berikut :

68Nama Confusius dipakai oleh Sarjana-sarjana Barat, sedangkan nama

aslinya Khongzi dan dikalangan orang-orang Tionghoa Beliau dihormati dengan nama Khong Hoe Cu atau Khong Cu (Nabi Yang Suci).

69Ajaran Tengah Sempurna (Tiong Yong) XIX. Lih. Kitab Su Si, terbitan

MATAKIN, 1970.

Page 81: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

81

1. Jen (Perikemanusiaan) adalah kebajikan dari segala kebajikan. Artinya bahwa manusia yang bijaksana adalah apabila dia mau untuk berbuat baik terhadap orang lain dengan segala resikonya. Khongcu bersabda : “ Manusia Jen adalah orang yang karena ingin mengukuhkan kedudukannya, mengukuhkan kedudukan orang lain, dan karena ingin mengembangkan dirinya mengembangkan orang-orang lain. Mampu menarik garis sejajar yang bertolak dari diri sendiri dalam memperlakukan orang-orang lain; itulah yang dapat dinamakan jalan untuk mengamalkan Jen “ (VI : 28) dengan kata lain bahwa berbuatlah terhadap orang lain yang engkau sendiri ingin hal itu terjadi pada dirimu. Jen pada kelanjutannya oleh sejumlah murid-murid Khongcu dikenal sebagai prinsip Tepa Sarira yang artinya bahwa manusia harus dapat mengatur perilakunya sendiri dan memakainya sebagai tolok ukur. ” Perikemanusiaan terwujud dalam bentuk mengasihi manusia-manusia lain “ (Sabda Suci XII : 22).

2. Chun-Tzu (Etiket atau Kemanusiaan yang benar) merupakan pengamalan akan penghayatan tentang konsep Jen sebagai manusia yang berhati mulia atau manusiawi. Pada ajaran ini dijelaskan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang tidak memikirkan apa yang akan diperoleh dari orang lain melainkan apa yang dapat diperbuatnya untuk melayani orang lain tersebut. Khongcu berkata bahwa : “ Jika ada kebenaran dalam hati maka akan ada keindahan dalam watak; Jika ada keindahan dalam watak maka akan ada keserasian dalam rumah tangga; Jika ada keserasian dalam rumah tangga maka akan ada ketertiban dalam bangsa; dan Jika ada ketertiban dalam bangsa maka akan ada perdamaian di dunia.”

3. Li (Kesopanan) adalah bagaimana cara manusia tersebut berperilaku dan menempatkan dirinya sepentas mungkin. Namun pada pengertian lain bahwa kesopanan itu meliputi bidang yang sangat luas dan inti dari apa yang menjadi perhatian Khongcu yaitu : Meluruskan nama-nama, Ajaran Jalan Tengah (Chung Yung), konsep lima hubungan penting dan Keluarga dan Usia70.

4. Wen ( Perdamaian ) memang secara harafiah kata ini diartikan seni perdamaian, tetapi makna yang ada di dalamnya adalah seni, misalnya : seni musik, seni lukis, puisi dll. Wen dalam hal ini oleh Khongcu tidak hanya seni dalam seni namun lebih jauh seni sebagai sarana pendidikan dan untuk menetukan keberhasilannya dalam hubungan antar negara. Pandangan Khongcu mengatakan bahwa kemenangan terakhir terletak pada negara yang mengembangkan Wen yang paling tinggi, yakni peradaban yang mulia, watak moral dari suatu lingkungan yang memberikan suatu kemuliaan. Ini terlihat dari hasil peradaban yang ada di Tiongkok, dimana Tiongkok pernah memiliki peradaban yang paling tinggi dan sempurna di dunia.

70Hariyono P., 1993, Kultur Cina dan Jawa, Jakarta : Pustaka Sinar

Harapan. Hal : 25

Page 82: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

82

Selain ajaran tersebut di atas ada juga terdapat ajaran Khongcu yang paling

utama yang tujuannya untuk membentuk pribadi dan sifat atau watak orang-orang

Tionghoa yang disebut sebagai Pat-Tik71. Ajaran ini meliputi hal-hal berikut :

1) Berbhakti (Hao), 2) Rendah hati (Tee), 3) Satya (Tiong), 4) Susila (Lee), 5) Menjunjung kebenaran, keadilan, kewajiban dan kepantasan (Gie), 6) Suci Hati (Lian), 7) Dapat dipercaya (Sien), 8) Tahu malu atau mengenal harga diri (Thee).

Kedelapan rumusan ini sungguh bermanfaat bagi terwujudnya suatu keluarga

yang baik dan bermoral. Ajaran pat-tik ini tampaknya mendukung bagi

terciptanya suatu penghormatan dan kepatuhan anak terhadap orangtuanya, karena

kedelapan pokok rumusan itu mendukung dan saling berhubungan.

Kedelapan rumusan itu banyak diterapkan dan diajarkan oleh para orangtua

kepada anaknya dalam kehidupan sehari-hari, sangsi moral biasanya akan

mengikuti rumusan ini jika seorang anak tidak melakukannya. Di dalam keluarga

tionghoa ajaran pat-tik itu akan membawa kepada suatu perubahan yang baik dan

menjamin kelangsungan nilai-nilai sosial budaya yang ditanamkan kepada anak

dari generasi ke generasi; sehingga tradisi yang kuat akan terbentuk pada orang-

orang tionghoa yang memang sengaja diciptakan dan dicita-citakan oleh Nabi

Khongcu. Dengan terciptanya suatu tradisi ini dengan alamiah akan

mempengaruhi pola pikir, pola tingkah laku, watak dan interaksinya dengan orang

lain.

71Ibid. Hal : 29 – 30

Page 83: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

83

Selain Khonghucu atau Confusianisme (dalam istilah barat), terdapat ajaran

yang juga tak kalah tuanya. Dapat dikatakan bahwa ini merupakan ajaran paling

tua di Tiongkok, yakni Taoisme. Ajaran Taoisme ada dan berkembang sebelum

kemunculan Khonghucu atau Confusianisme72. Peletak dasar ajaran Taoisme

adalah Lao Tze yang hidup kira-kira 605 SM, dan ditulis dalam suatu kitab

bernama Kitab Tao Te Ching yang terdiri dari 5000 huruf73. Ajaran ini

menekankan pada perilaku manusia yang selaras dengan alam semesta atau

intinya bahwa manusia hidup harus sesuai dengan alam sekitar (Balancing life

with Nature). Taoisme dibangun dengan tiga kata :

1. Tao Te : Tao adalah kebenaran, hukum alam; sedangkan Te adalah kebajikan. Jadi Tao Tee artinya hukum alam merupakan sumber kebajikan, asa penata di balik semua yang ada.

2. Tzu Ran : artinya wajar, manusia seharusnya hidup secara wajar, selaras dengan alam.

3. Wu Wei : Berbuat tanpa pamrih. Perbuatan terhadap sesama bukan dilandasi dengan sikap pamrih atau mengharap sesuatu tetapi menolong dengan tulus.

Dari ketiga kata itu ajaran Taoisme dapat diringkas menjadi tiga kata : “Kebajikan

yang benar”, “Bersikap wajar“, “Berbuat tanpa pamrih“. Dalam ajaran taoisme

diterangkan bahwa manusia harus hidup sederhana, memiliki jalan tengah dan

penyesuaian diri dengan lingkungan sehingga dapat hidup dimanapun dia berada.

Ajaran Taoisme mengacu pada Maha Dewa Thay Siang Lo Kun (Tai Shang Lao

Jun), yang merupakan dewa tertinggi dalam agama Tao. Lao Tze merupakan

peletak dasar Filsafat Tao, sedangkan tokoh yang berperan penting membawa Tao

dan menyusunnya menjadi sebuah agama adalah Zhang Dao Ling. Dalam agama

72 Tao berumur 5000 tahun jika dilihat dari Huang Di, sedangkan jika di

lihat dari Lao Tze, Tao berumur 2460 tahun. 73Ibid. Hal : 21-22.

Page 84: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

84

Tao, banyak Dewa dan Dewi yang dipuja, namun yang menjadi pujaan paling

tinggi adalah Maha Dewa Thay Siang Lo Kun (Tai Shang Lao Jun). Adapun

dewa-dewi Tao yang terkenal antara lain : Dewa Erl Lang Shen (Ji Liong Sin), Dewi

Jiu Tian Xuan Nu (Kiu Thian Hian Li), Dewa Xuan Tian Shang Di (Hian Thian Siang

Tee), Dewa Guan Gong (Kwan Kong), Dewa Fu De Zheng Shen (Hok Tek Ceng Sin),

dan Dewi Tian Shang Sheng Mu (Thian Siang Sing Bo).

Ajaran agama yang terakhir adalah Buddha. Agama Buddha merupakan

agama yang berkembang setelah melewati masa perkembangan Taoisme dan

Khonghucu. Buddha berasal dari India, tetapi tidak dijelaskan siapa yang pertama

kali membawa agama Buddha ke Tiongkok. Agama Buddha yang berkembang di

Tiongkok merupakan Buddha aliran Mahayana, yang mengakui adanya

Bodhisattva. Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwasanya Kwan Im Poosat

merupakan Bodhisatva yang terkenal diantara semua Bodhisattva-bodhisattva

yang ada dalam Buddha Mahayana. Inti dari ajaran Buddha adalah melepaskan

penderitaan diri (samsara) karena Karma buruk yang dimiliki seseorang akibat

perbuatannya dimasa lalu. Untuk membebaskan diri dari Samsara tersebut,

buddha mengajarkan jalan Tengah untuk mencapai pencerahan. Ketika

mencapaian pencerahan, maka seseorang tidak akan mengalami roda reinkarnasi

lagi. Buddha mengajarkan “pancasila Buddhist” sebagai pedoman manusia awam

untuk mencapai pencerahan. Pancasila buddhist tersebut adalah : Jangan

Membunuh, Jangan mencuri, Jangan berzina, Jangan mabuk-mabukan dan jangan

bicara yang tidak berguna (memfitnah).

Dalam Mitologi Buddhisme, roda kehidupan ada ditangan mara yang

merupakan akar kejahatan. Oleh karenanya, manusia harus membebaskannya.

Page 85: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

85

Dengan membebaskan diri dari akar kejahatan, sama dengan membebaskan diri

dari penderitaan. Untuk membebaskan diri, manusia harus melakukan perbuatan

benar, ucapan yang benar, penghidupan yang benar, daya upaya benar, perhatian

benar, konsentrasi benar, pikiran benar, dan pengertian benar (Jalan mulia

berunsur delapan / Ariya Atthangika Magga ).

Tempat atau kuil pemujaan orang-orang Tionghoa di Indonesia dikenal

dengan berbagai macam nama. Antara lain : Klenteng, Tao Kwan, Lithang, dan

Vihara atau cetýa. Istilah “Klenteng” pada awalnya berasal dari istilah Kwan Im

Ting atau disebut Yin-Ting, yakni tempat pemujaan bagi Dewi Kwan Im Poosat

(Bodhisattva Avalokitesvara). Pengucapan kata Yin-Ting didengar oleh orang-

orang Indonesia sebagai Klen-Teng. Namun ada versi lain yang menceritakan asal

usul kata Klenteng, yakni berasal dari bunyi-bunyian alat sembahyang (genta)

dalam tempat pemujaan tersebut. Genta tersebut berbunyi ‘klinting’ sedang genta

besar berbunyi 'klenteng'. Maka bunyi-bunyian seperti yang keluar dari tempat

ibadat orang tionghoa ini yang dijadikan dasar acuan untuk merujuk tempat

tersebut74. Klenteng dipakai sebagai kuil untuk bersembahyang orang-orang dari

Agama Khonghucu, Taoisme, dan Buddha atau gabungan ketiganya (Tri

Dharma). Tetapi pada prakteknya, Klenteng justru banyak dihuni oleh Dewa-dewi

dari agama Taoisme, seperti Kongcoo Thai Sang Lauw Cin (Mahadewa Tao),

Kongcoo Hok Tek Ceng Shin (Fuk De Zheng Shen), Makco Tian Shang Sheng

74Moerthiko, 1980, Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang – Tempat ibadat Tri

Dharma Sejawa, Semarang : Sekretariat Empeh Wong Kam Fu. Hal : 97.

Page 86: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

86

Mu (Macopo), dan masih banyak yang lain75. Meskipun demikian, juga tidak

menutup kemungkinan terdapat dewa-dewi dari agama Buddha maupun

Khonghucu. Selain Klenteng ada kuil ibadat khusus yakni “Tao Kwan”. Orang-

orang Tionghoa yang menganut agama Taoisme biasanya bersembahyang

disebuah Tao Kwan. Sedangkan bagi Orang-orang Tionghoa yang menjadi

pengikut Khonghucu dalam hal ini orang yang tergabung dalam Khong Kauw

Hwee, biasanya beribadat di dalam sebuah “Lithang”76. Lithang merupakan

tempat Ibadat agama Khonghucu, ukurannya yang kecil sekiranya hampir dapat

disamakan dengan Cetya (dalam agama Buddha) atau Kapel (dalam agama

Katolik). Kuil pemujaan masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha biasanya

disebut sebagai “Vihara atau Cetýa”. Di dalam vihara terdapat banyak rupang

buddha, dari aliran Mahayana ataupun Theravadha. Perbedaan keduanya terletak

pada rupang-rupang yang dipuja; untuk aliran Buddha Theravadha biasanya hanya

meletakkan patung Buddha Sakyamuni untuk pemujaan, sedangkan Buddha

Mahayana selain terdapat patung Buddha Sakyamuni juga terdapat rupang suci

Kwan Im Poosat, Maitreya dan para Bodhisattva lainnya. Buddha Mahayana lah

yang sejauh ini berkembang dikalangan orang-orang Tionghoa di Indonesia.

75Mereka Dewa-dewi penghuni Klenteng, biasanya disebut oleh orang-orang

Tionghoa dengan panggilan Kongcoo untuk Dewa dan Makcoo untuk Dewi. 76Mengenai tempat ibadah bagi umat Khonghucu, dalam bukunya yang

berjudul “Panduan Pengajaran Dasar Agama Khonghucu” yang diterbitkan oleh MAKIN solo dan ditulis oleh Xs. Tjhie Tjay Ing. Diceritakan bahwa Tempat Ibadah umat Khonghucu selain Lithang, masih ada lagi yang lain, yaitu Kongzi Miao, Wen Miao, dan Kelenteng (ada Klenteng Tao dan Khonghucu). Kongzi Miao adalah kompleks bangunan kuil kebaktian kepada Nabi Khongcu, sedangkan Wen Miao adalah sama dengan Kongzi Miao dengan catatan terdapat lambing-lambang altar dengan Shenzu, tanpa gambar atau patung.

Page 87: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

87

BAB III

MASYARAKAT TIONGHOA DI SOLO

Pembahasan mengenai Komunitas Tionghoa di Solo diawali dengan

penjelasan tentang keberadaan mereka di Solo, keragaman etnik yang membagi

antara Tionghoa totok dan peranakan, agama dan budaya, serta organisasi dan

pekerjaannya.

Kota Surakarta yang dikenal dengan nama kota Sala atau Solo, pada

awalnya hanya sebuah desa kecil yang masih terdapat banyak hutan-hutan. Akibat

geger pecinan yang terjadi di Kartasura, kerajaan Mataram Islam yang berada di

bawah kekuasaan Pakubuwana II (1727-1749) keratonnya harus berpindah dari

Kartasura ke Solo yang letaknya sedikit ke arah timur dari keraton lama.

Pakubuwana II membangun keraton di desa Solo untuk menggantikan keraton

lamanya yang rusak di daerah Kartasura77. Pada tanggal 17 Februari 1746,

pindahan dilakukan dari keraton lama ke keraton yang baru, meskipun proses

pembangunan belum selesai sepenuhnya78. Status Keraton Surakarta pada masa

sebelum perjanjian Giyanti (1755) adalah sebagai pusat pemerintahan atau ibukota

kerajaan Mataram Islam. Namun setelah perjanjian Giyanti pada 13 Februari

77 Keraton Kartasura sudah diduduki oleh orang-orang Tionghoa, akibatnya

harus hancur oleh peperangan antara pasukan Tionghoa dengan Pasukan keraton yang dibantu VOC. Menurut kepercayaan jawa, keraton kartasura sudah kehilangan pamornya akibat peristiwa tersebut, sehingga harus dipindahkan. lih. Drs. G. Moedjanto. M.A., 2002, Suksesi dalam sejarah Jawa, Yogyakarta: USD Press. Hal : 117.

78 Rustopo, 2007, Menjadi Jawa : Orang-orang Tionghoa dan kebudayaan

Jawa, Yogyakarta: Ombak. Hal : 15.

Page 88: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

88

1755, Mataram Islam dipecah menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta

Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat79. Dengan demikian

maka Keraton Solo menjadi ibukota dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Oleh

Belanda, Kasunanan Surakarta wilayahnya dipecah lagi menjadi dua melalui

perjanjian Kalicacing Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757. Isi perjanjian tersebut

antara lain membagi wilayah Kasunanan Surakarta menjadi dua yakni Kasunanan

Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Adapun wilayah kekuasaan Kasunanan

Surakarta adalah Surakarta, Kartasura, Klaten, Boyolali, Ampel dan Sragen, serta

satu kawedanan yaitu Larangan. Sedangkan kadipaten Mangkunegaran

membawahi tiga kawedanan yaitu Ibu Kota, Karanganyar, dan Wonogiri. Untuk

Belanda sendiri membawahi 5 deel (bagian/wilayah) yang berada di Kasunanan

Surakarta dan Mangkunegaran80. Campur tangan pemerintah kolonial Belanda

makin besar dengan diangkat seorang residen untuk wilayah Surakarta

(selanjutnya disebut Solo81). Dengan demikian Solo menjadi sebuah kota

karesidenan yang dipimpin oleh seorang residen yang diangkat Gubernur Jendral

Belanda di Batavia.

Dengan berdirinya Solo sebagai kota karesidenan, semakin membuat posisi

Belanda menjadi sangat penting. Pengaruh yang dibawa Belanda begitu besar,

dari segi tata pemerintahan, tata kota, gaya arsitektur bangunan di Solo, dan

79 Moedjanto., op. cit. Hal 119. 80 Rustopo., op. cit. Hal 17. 81 Secara formal administratif, Solo disebut sebagai Surakarta, sedangkan

oleh masyarakat lokal kata Surakarta dikenal dan disebut dengan nama Solo. Istilah ini diambil dari nama Lagu “Bengawan Solo” yang diciptakan oleh Gersang, sehingga masyarakat luar lebih mengenal Surakarta dengan nama atau istilah Solo.

Page 89: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

89

masuknya kebudayaan Barat melalui tradisi pesta-pesta (termasuk dansa), musik

dan agama (gereja) mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Solo

khususnya orang-orang Tionghoa yang ada di tempat tersebut.

A. Keberadaan orang Tionghoa di Solo

Berdasarkan bukti sejarah yang ada, menunjukkan bahwa pemukiman

keluarga-keluarga Tionghoa sudah ada di Solo selama beberapa abad yang lalu.

Secara singkat disebutkan bahwa saat Solo menjadi bagian dari wilayah Kerajaan

Pajang di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, komunitas

Tionghoa sudah banyak yang bermukim di wilayah tersebut. Solo dan Yogyakarta

merupakan daerah-daerah pertanian yang sangat subur, dari akhir abad ke-16

sampai awal abad ke-19, kedua wilayah ini menjadi pusat politik utama Jawa

Tengah dan Jawa Timur, negeri Etnik bangsa Jawa82. Di daerah Solo sendiri,

merupakan daerah yang dikuasai oleh 2 generasi kerajaan Islam, yaitu Kerajaan

Pajang dan Kerajaan Mataram Islam.

Ketika Solo di bawah kekuasaan Mataram Islam yang dipimpin oleh

Pakubuwana II, wilayah ini merupakan sentral dari segala bidang. Bermacam-

macam suku bangsa hidup di wilayah ini, salah satunya Etnik Tionghoa. Pusat

pemerintahan Mataram Islam kala itu berada di Kartasura, namun oleh karena

geger Pecinan akhirnya dipindahkan ke Solo. Kepindahan Keraton Mataram Islam

pemerintahan Pakubuwana II ke Solo, diikuti pula dengan kepindahan Klenteng

“Tien Kok Sie” ke wilayah baru tersebut, maka secara tidak langsung banyak

Etnik Tionghoa yang juga menyebar ke wilayah ini. Dari tahun pembuatan

82 Ricklefs., op. cit. Hal : 96.

Page 90: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

90

Klenteng “Tien Kok Sie” (ketika itu masih di Kartasura) yang terletak di Jalan.

Pasar Besar Ketandan No. 65 Solo yakni tahun 1745, diketahui bahwa Etnik

Tionghoa sudah ada di Solo sekitar tahun 174083 dan membentuk koloni.

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika jaman Kolonial Belanda berkuasa

di Indonesia, masyarakat Tionghoa di Solo harus tunduk pada peraturan-peraturan

pemerintah kolonial yang bersifat diskriminatif seperti halnya Tionghoa di daerah

lain. Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Belanda menetapkan

peraturan dalam bidang hukum yang bersifat memojokkan komunitas Tionghoa.

Sistem Lapisan ras, sistem wilayah tempat tinggal (wijkenstelsel) dan surat jalan

(Passenstelsel)84, serta sistem agraria (mengacu pada UU Agraria 1870) yang

melarang mereka memiliki tanah, membuat komunitas ini semakin terkekang.

Masyarakat Tionghoa di Solo ditempatkan dalam sebuah pecinan di daerah

Balong dan sekitar Pasar Gedhe Solo. Namun tempat tinggal orang-orang

Tionghoa tidak lagi di pecinan tetapi menyebar ke tempat-tempat lain setelah

tahun 1917 yakni dengan dihapuskannya sistem Wijkenstelsel dan Passenstelsel

83 Di setiap daerah manapun di Indonesia, dimana ada Etnik Tionghoa (yang

banyak jumlahnya) di situ pasti ada tempat ibadat yang berupa Klenteng, Vihara atau Lithang. Ketika orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia, mereka membawa serta budaya dan agama/ kepercayaan mereka (pada waktu itu, orang-orang Tionghoa masih beragama Buddha, Tao, Khonghucu atau disebut Tridharma/ Sam Kau Hwee). Setelah menetap hampir 4-5 tahun didaerah asing tersebut, mereka baru membangun kuil atau Klenteng sebagai tempat peribadatan mereka. Mereka biasanya sibuk mengurus keadaan perekonomian mereka terlebih dahulu, baru jikalau dirasa cukup mapan dan tercukupi, mereka akan membangun Klenteng sebagai ucapan terimakasih pada Ie Wang Shangdi/ Tuhan YME.

84 Wijkenstelsel berasal dari kata “Wijk-en” dan “stel’sel” yang artinya

Wijk-en (kampung atau lingkungan) dan stel’sel (aturan atau keseluruhan prinsip), aturan tempat tinggal; sedangkan Passenstelsel berasal dari kata “Passen” dan stel’sel yang artinya Passen (langkah/perjalanan) dan stel’sel (aturan), aturan langkah atau perjalanan

Page 91: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

91

tadi. Sejak dihapusnya peraturan tersebut dan dengan bertambahnya jumlah

emigran Tionghoa ke Indonesia, maka orang-orang Tionghoa tidak harus tinggal

di pecinan itu85.

Daerah Balong tetap menjadi Pecinan. Tetapi pada perkembangannya,

hanya sedikit orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Di daerah Balong ini

terdapat orang-orang Tionghoa Solo yang dapat dikatakan sebagai Tionghoa yang

paling tua di kota ini. rata-rata penduduknya yang tinggal di sana merupakan

masyarakat Tionghoa yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Oleh sebab

itulah, terjalin suatu komunikasi sosial dengan masyarakat pribumi yang

berlangsung sangat akrab. Di kampung ini pula yang menghasilkan banyak

Tionghoa peranakan, akibat perkawinan campur antara Tionghoa dengan Jawa.

Penyebaran orang-orang Tionghoa di Solo terjadi mulai abad ke-20. Tempat

strategis seperti Nonongan dan Coyudan menjadi pilihan mereka. Tahun 1960-an,

para pedagang Tionghoa sudah menyebar ke lokasi strategis lain seperti jalan-

jalan sekitar Pasar legi, Pasar Gedhe, dan Pasar Singosaren86.

B. Keragaman Suku – Antara Tionghoa Totok dan Peranakan

Secara fisik, orang-orang Tionghoa terlihat sama dan mudah untuk

dibedakan dari etnik lain. Tetapi jika diamati lebih seksama, sesungguhnya orang-

85 Jumlah Orang Timur asing di wilayah Karesidenan Suarakarta pada akhir

abad ke-19 berjumlah 8.403 jiwa, 56,7% berada di kota Solo. Pada tahun 1930, jumlah orang tionghoa di Karesidenan Surakarta mencapai 21.227 jiwa. Lih. Benny Juwono, 1999, Etnis Cina di Surakarta 1890-1927 : Tinjauan Sosial-Ekonomi, dalam lembaran Sejarah Volume. 2, No.1. Hal : 51,63, dan 69.

86 Rustopo., op. cit. Hal : 64.

Page 92: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

92

orang Tionghoa di Solo terdiri dari berbagai kelompok yang memiliki banyak

perbedaan.

Para imigran dari Tiongkok berasal dari bermacam-macam suku bangsa.

Kedatangan mereka setelah abad ke-19 umumnya secara individual. Kelompok

suku bangsa lain yang banyak datang ke Jawa adalah Hokkian, Hakka, Tio ciu,

dan Kwang Fu (Cantonis) dan lain-lain. Berikut adalah data mengenai Suku

bangsa Tionghoa yang ada di Solo pada tahun 1930 :

TABEL 6

Suku Bangsa Tionghoa di Solo Tahun 1930

Suku Bangsa Jumlah Laki-laki Jumlah Perempuan Hokkian 309.253 245.728 Hakka (Khe) 124.905 75.831 Tio Ciu 63.423 24.389 Kwang Fu 97.740 38.390 Lain-lain 123.941 64.468 Jumlah 719.262 448.806

Sumber : “Volkstelling 1930 deel VII. Chineezen en ondere Vreemde Oosterlingen in

Netherland Indie”. Departement van Economische Zaken, Batavia, 1935. Hal : 88.

Melihat data yang ada pada tabel diatas, terlihat bahwa di wilayah Solo

jumlah etnik Hokkian lebih banyak mendominasi dibandingkan etnik yang

lainnya. Sehingga patut dikatakan bahwa suku bangsa Hokkian memiliki peran

penting di dalam kegiatan sehari-hari komunitas Tionghoa yang ada di Solo.

Satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka hanyalah dari bahasa

sehari-hari yang mereka gunakan. Ada empat bahasa yang dipakai oleh masing-

masing Etnik dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia, antara lain bahasa

Hokkian, Tio ciu, Hakka dan Canton. Para imigran Tionghoa ini umumnya

Page 93: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

93

berasal dari propinsi Fukien bagian selatan, propinsi Swatow, dan propinsi

Kuangtung (Guangdong). Orang Hokkian dan keturunnya yang telah berasimilasi

sebagai keseluruhan paling bnyak ada di Jawa Tengah, Jawa Timur Indonesia

bagian timur dan Pantai barat Sumatera87.

Sedangkan imigran Tionghoa yang berasal dari Etnik Tio ciu, dan Hakka,

umumnya berimigrasi ke Sumatera Timur, Bangka, dan Belitung. Tenaga mereka

dipahami sebagai kuli perkebunan dan pertambangan. Di wilayah solo, setidaknya

terdapat empat suku bangsa Tionghoa yang menetap. Mereka adalah Etnik

Hokkian, Hakka, Tio ciu, dan Kwong Fu (Cantonis). Mengenai jumlah mereka

dapat dilihat dalam tabel.

Etnik Hokkian berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Daerah tersebut

adalah daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang-orang

Tionghoa ke seberang lautan. Mereka pada umumnya sangat menguasai sifat

dagang yang dikenal begitu ulet, tahan uji dan rajin. Oleh sebab itu, tidaklah

mengherankan apabila sebagian besar perdagangan di Solo dipegang oleh orang-

orang Hokkian.

Etnik Hakka dan Kwong Fu umumnya berasal dari propinsi Kwangtung

(Guangdong). Untuk Etnik Hakka menghuni wilayah Kwantung bagian selatan

sedangkan Etnik Kwong Fu menghuni wilayah Kwantung bagian barat. Pusat

daerah mereka terdiri dari daerah gunung-gunung kapur yang tandus dan sulit

untuk pertanian. Oleh sebab itulah mereka lebih memilih untuk merantau ke

87 Puspa Vasanti, “Kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia” dalam

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 1979, Jakarta : Djambatan. Hal. 346.

Page 94: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

94

daerah diseberang lautan. Selama berlangsungnya gelombang imigrasi dari tahun

1850-1930, orang-orang Hakka adalah yang paling miskin diantara para perantau

Tionghoa88.

Sementara itu, etnik Tio Ciu juga banyak memasuki Indonesia. Etnik ini

berasal dari pantai selatan Cina, daerah pedalam Swatow di bagian timur propinsi

Kwangtung. Mereka dipakai jasanya oleh Belanda sebagai kuli tambang dan

pekerja perkebunan di luar Jawa. Ini terjadi pula pada etnik Kwong Fu89.

Keragaman Etnik dalam masyarakat Tionghoa di Solo disebabkan oleh

masuknya orang-orang Tionghoa yang semula didaerah pertambangan dan

perkebunan di luar jawa ke Batavia, Jawa Barat dan Jawa Timur. Mereka yang

semula menjadi kuli beralih profesi menjadi pedagang. Hal ini mereka lakukan

karena tidak memiliki biaya yang cukup untuk kembali ke daerah asal atau karena

memang berkeinginan tinggal diperantauan.

Masyarakat Tionghoa di Solo terbentuk sebagai hasil dari aktivitas individu

yang tidak terorganisasi dengan baik. Mereka yang berasal dari Tiongkok ataupun

perantauan yang berasal dari daerah-daerah pertambangan dan perkebunan di luar

Jawa seperti yang disebutkan di atas, datang secara individu dan sukarela.

Keragaman ini memunculkan beberapa bahasa yang berlainan, sehingga dalam

interaksi sosialnya sukar bagi mereka untuk dapat saling berkomunikasi satu sama

lain. Suatu tuntutan bagi para pendatang baru Tionghoa untuk lekas mengerti dan

menggunakan bahasa setempat secara fasih. Dengan demikian mereka dapat

melaksanakan fungsinya sebagai pedagang, mempertahankan mata

88 Puspa Vasanti, op. cit., Hal : 347. 89 Ibid.

Page 95: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

95

pencahariannya dan memperoleh perlindungan keamanan dari masyarakat

setempat demi kelangsungan hidup di tempat baru.

Semenjak kedatangan para imigran Tionghoa ini, pada akhirnya membentuk

komunitas baru yang merupakan sebuah perpaduan dua individu yang berbeda

dan dua kebudayaan yang berbeda pula. Dalam dunia antropologi, disebutkan

bahwa percampuran dua kebudayaan yang berbeda disebut sebagai sebuah proses

Asimilasi90. Demikian halnya yang terjadi di Solo, dimana golongan Tionghoa

yang ada merupakan sebuah bentuk masyarakat baru yang merupakan

percampuran antara kebudayaan Jawa (mayoritas) dan kebudayaan Tionghoa

(minoritas). Proses asimilasi ini yang membawa suatu dinamika masyarakat baru

yang disebut sebagai golongan Tionghoa Peranakan. Dengan masih menganut

budaya dari ayahnya (Tionghoa totok) dan juga budaya ibunya (Pribumi Jawa),

meskipun mereka sudah tidak lagi memakai dialek masing-masing etnik atau

dialek Tionghoa.

Dialek Tionghoa dipertahankan hanya oleh keluarga-keluarga Tionghoa

totok yang menghendaki kemurnian adat dan tradisi mereka sebagai komunikasi

dalam keluarga dan diantara mereka yang satu etnik. Faktor yang mendorong

hilangnya bahasa asli adalah proses perkawinan dengan orang-orang setempat

yang melahirkan Tionghoa Peranakan. Ditambah pula ketika golongan Peranakan

mendapatkan pendidikan barat khususnya di sekolah-sekolah Belanda, yang

90 Koentjaraningrat., 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka

Cipta. Hal : 255.

Page 96: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

96

membuat mereka cenderung memakai bahasa Belanda atau melayu untuk

berkomunikasi dan mulai melupakan bahasa asli leluhur mereka91.

Masyarakat Tionghoa terdiri dari bermacam-macam etnik seperti dalam

penjelasan diatas tetapi jika dilihat dari pembagian golongannya, di Indonesia

masyarakat Tionghoa terbagi menjadi dua golongan, yaitu Tionghoa Totok dan

Peranakan. Berdasarkan atas kenyataan yang ada, yang disebut sebagai Tionghoa

Totok adalah pertama, seorang Tionghoa yang dilahirkan dari Ayah dan Ibu yang

berasal dari daratan Tiongkok (RRT) di wilayah Indonesia (dulu hindia belanda).

Kedua, seseorang yang dilahirkan di Tiongkok dari ayah dan ibu yang kemudian

orang tersebut merantau hingga menetap di Indonesia. Tionghoa Totok pada

umumnya masih memakai bahasa mandarin atau Kuoÿu (bahasa nasional

Tiongkok) atau memakai bahasa masing-masing etnik. Mereka pada umumnya

berorientasi penuh pada budaya Tiongkok dan tidak mau melebur dengan budaya

setempat atau lokal. Tionghoa totok oleh kaum Tionghoa peranakan disebut

sebagai singkeh (baca: Singkek) yang berarti tamu baru.

Sedangkan yang disebut sebagai Tionghoa Peranakan adalah pertama, orang

Tionghoa yang lahir akibat perkawinan campur antara ayah Tionghoa dan Ibu

Pribumi. Biasanya mereka akan diakui secara sah oleh ayahnya dan didaftarkan

sebagai anak sah dengan diberi nama marga (She) ayah. Kedua, orang Tionghoa

91 Wawancara dengan Bp. Ir. Djoko Prananto (Khok Ping), pada tanggal 9

Februari 2008. Tionghoa Peranakan yang mendapatkan pendidikan barat atau Belanda (biasa diistilahkan sebagai Hol’land Spre’ken) cenderung tidak suka dengan kebudayaan leluhurnya termasuk pemakaian bahasa Mandarin atau Kuo-ÿu (bahasa nasional RRT) atau dialek masing-masing Etnik (bahasa Hokkian, Tio Ciu, Kwong Fu). Mereka lebih bangga jika memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar sehari-hari.

Page 97: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

97

yang dilahirkan dari perkawinan campur antara seorang ayah Pribumi dan ibu

Tionghoa. Namun karena alasan tertentu (biasanya masalah sosial dan ekonomi)

diberi nama marga (She) dari keluarga Ibu dan mendapatkan pendidikan Tionghoa

dari keluarga tersebut. Ketiga, seorang Tionghoa yang lahir dari hasil perkawinan

antara seorang ayah peranakan dan ibu peranakan dan diberi nama Tionghoa.

Orang-orang Tionghoa Totok menyebut Tionghoa peranakan dengan sebutan

Babah.

Dalam kalangan Tionghoa Peranakan (Babah), terdapat dua golongan yang

berbeda. Tionghoa peranakan yang berorientasi penuh ke Tiongkok (budaya

Tionghoa dan Jawa) dan Tionghoa peranakan yang berorientasi ke barat (budaya

belanda). Seorang Babah yang berorientasi ke Tiongkok, umumnya masih

menjaga tradisi Tionghoa yang diturunkan dari garis ayah atau ibu (Tionghoa).

Mereka masih memakai aturan-aturan yang sama dengan aturan yang ada pada

Tionghoa Totok, namun dari segi bahasa, mereka sudah memakai bahasa

setempat. Cara berpakaian Tionghoa Peranakan yang berkiblat ke Tiongkok, bagi

yang laki-laki selalu memakai baju Thang-sha (baju panjang Tiongkok) dan yang

perempuan memakai kebaya (seperti cara berpakaian ibunya yang pribumi).

Sedangkan bagi golongan Tionghoa peranakan yang berkiblat ke barat, umumnya

cara berpakaian mereka bagi yang laki-laki memakai stelan kemeja dan jas diikuti

dengan yang perempuan memakai kain model rok. Orang-orang Tionghoa

peranakan yang berkiblat ke Tiongkok biasa menyebut golongan Tionghoa

Peranakan yang berkiblat ke barat dengan sebutan “Hol’land Spre’ken”. Orang-

orang Tionghoa Peranakan yang Hol’land Spre’ken selalu mengikuti tradisi yang

Page 98: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

98

ada pada orang-orang Belanda (khususnya) dan barat pada umumnya. Mereka

mendapatkan pendidikan model Belanda atau barat, dan meninggalkan tradisi

leluhur mereka yang dianggapnya kolot atau kuno.

C. Agama dan Budaya

Masyarakat Tionghoa di Solo pada abad ke-20 sudah mengalami akulturasi

budaya, adat, dan agama; walaupun ada diantara mereka yang masih menjaga

keyakinan pada tanah leluhur. Pada umumnya orang-orang Tionghoa yang datang

dianggap sebagai pemeluk agama Buddha92. Anggapan ini disebabkan bentuk-

bentuk peribadatan yang mereka lakukan ada semacam kesamaan, juga karena

keawaman masyarakat tentang agama dan kepercayaan yang orang Tionghoa di

Solo. Secara umum, agama dan kepercayaan mereka dapat dikelompokkan dalam

kategori berikut : 1) Khong Hu Cu (Confusianism), 2) Taoisme dan Buddha, 3)

Kristen, 4) Katolik, 5) ajaran Tri Dharma (ajaran Buddha, Taoisme dan

Khonghucu), dan 6) Islam. Tetapi sangat disayangkan, data mengenai jumlah

penganut agama dan kepercayaan orang-orang Tionghoa di Solo pada masa itu

tidak diperoleh, sehingga kehidupan religi mereka tak dapat digambarkan secara

jelas disini.

Ketika Solo masih di bawah kekuasaan Keraton Kasunanan Surakarta

Hadiningrat, hingga pada masa Indonesia merdeka (Ketika Solo menjadi

Kotamadya), Orang-orang Tionghoa di Solo masih menganut agama Khonghucu

Taoisme dan Buddha atau gabungan ketiganya yang disebut dengan Tri Dharma

92 Puspa Vasanti., op. cit., Hal : 360.

Page 99: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

99

(Sam Kauw Hwee). Terbukti dengan adanya berbagai tempat ibadah yang

diperuntukkan bagi agama Khonghucu, Taoisme dan Buddha. Di Solo terdapat

tiga tempat ibadah yang terkenal bagi ketiga agama tersebut atau gabungannya

(yang biasa disebut Tri Dharma), yakni Kelenteng Tien Kok Sie (1745) yang

berada di Jl. Ketandan no.63, Kelenteng Poo An Kiong (1818) yang berada di Jl.

Seloyudan, dan Lithang MAKIN solo yang berada di Jl. Jagalan no.15. Selain

ketiga tempat ibadah tersebut, masih terdapat tempat ibadah lain di Solo tetapi

tidak begitu terkenal. Diantaranya : Kelenteng San Tek Tong (1940) yang berada

di Jl. Kebalen no.11, Cetýa Kstigarbha di Jl. Hasanudin, dan Vihara Mapanbumi

yang berada di Jl. Timah.

Perlu dijelaskan lebih lanjut, bahwasanya penganut agama Khonghucu di

Solo selalu beribadah di Lithang MAKIN Solo, yakni tempat untuk sembahyang

kepada Thian dan menghormati Nabi Khongcu93. Ditempat tersebut biasanya

diadakan sembahyang memperingati hari lahir dan wafatnya Nabi Khongcu94,

selain itu juga sembahyang tiap tanggal 1 dan 15 penanggalan IMLEK. Umat

khonghucu juga mengadakan sembahyang untuk memperingati hari-hari raya

tionghoa seperti Sincia (Xin Jia), Sembahyang Tuan Alah (tanggal 8 bulan 1

IMLEK), Tongciu dll.

93 Mengenai Tempat-tempat Ibadah agama Khonghucu, dapat dilihat pada

tulisan sebelumnya di Bab 2 sub bab B point b yang berjudul “Kepercayaan dan macam kuil pemujaan masyarakat Tionghoa”.

94 Adapun Nabi Khongcu lahir pada tanggal 27 bulan 8 IMLEK (551 SM)

dan wafat pada tanggal 18 bulan 2 IMLEK (479 SM). Lih. Xs. Tjhie Tjay Ing., 1957, Riwayat hidup Nabi Khongcu, Surakarta : MAKIN. Hal : 14 & 131.

Page 100: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

100

Bagi umat yang beragama Buddha, atau Taoisme; biasanya selalu beribadah

di Kelenteng-kelenteng yang sudah disebutkan di atas. Adapun kelenteng paling

tua di Solo adalah Kelenteng Tien Kok Sie yang berada di Jl. Ketandan no.63,

memiliki altar pemujaan utama kepada Dewi Kwan Im Poosat95. Kebanyakan

orang-orang Tionghoa di Solo selalu menyebut dirinya menganut ajaran Tri

Dharma (yang mengakui ketiga orang suci : Buddha Sakyamuni, Nabi Khongcu,

dan Mahadewa Taisan Laocun).

Orang-orang Tionghoa di Solo yang beragama Islam sangatlah sedikit,

demikian halnya dengan yang beragama Kristen ataupun Katolik ketika abad ke-

20. Masuknya Belanda ke Indonesia, yang membawa serta agama Kristen sebagai

simbol utama Belanda, tidak berpengaruh terhadap komunitas Tionghoa di Solo

meskipun ada orang-orang Tionghoa yang masuk ke agama Kristen96.

Secara umum, budaya atau tradisi yang masih dilestarikan oleh orang-orang

Tionghoa di Solo tak berbeda jauh dengan Tionghoa di daerah lain di Indonesia.

Orang Tionghoa di Solo meskipun dia seorang Kristen, Katolik ataupun Islam,

juga masih merayakan Tahun Baru Imlek (Sincia) dan Ceng beng. Meskipun

tradisi lainnya seperti Tong Ciu Phia, Sembahyang Tangceh atau Ronde dan

95 Namun pada akhir tahun 2002 hingga saat ini, umat Buddha yang

beraliran Theravada di Solo dapat beribadah di “Vihara Sundoro” yang berada di Pucangsawit.

96 Orang-orang Tionghoa yang beragama Kristen ini, biasanya merupakan

orang-orang Tionghoa peranakan yang mendapatkan pendidikan ala Barat atau Belanda. Biasa disebut sebagai Tionghoa Babah Hol’land Spre’ken (lihat penjelasan pada sub bab sebelumnya). Sebagai perbandingan; bahwa maraknya mobilitas agama dari Buddha, Taoisme, dan Khonghucu ke Kristen atau Katolik baru terjadi ketika jaman orde baru yang ditandai dengan Inpres No. 14 tahun 1967.

Page 101: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

101

tradisi-tradisi Tionghoa lainnya97, tidak dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di

Solo. Dapat dihitung jumlah orang-orang Tionghoa di Solo yang masih

melestarikan budaya leluhur mereka. Umumnya, orang-orang Tionghoa di Solo

lebih banyak mengikuti perayaan-perayaan yang berkaitan dengan agama yang

mereka anut, seperti Katolik, Kristen, dan Islam. Perayaan tersebut (misalnya :

Perayaan Natal), justru sudah melekat dalam diri mereka daripada tradisi yang

sudah turun temurun diwariskan oleh leluhur mereka.

D. Organisasi Tionghoa di Solo

Orang-orang Tionghoa peranakan di Solo sudah sejak lama berasimilasi

dengan masyarakat setempat. Bahkan mereka juga dekat dengan kalangan istana,

baik itu dengan kasunanan Surakarta maupun dengan kadipaten Mangkunegaran.

Kaum peranakan ini umumnya sudah tidak fasih berbicara dengan dengan bahasa

mandarin, tetapi sudah berkomunikasi dengan memakai bahasa setempat98.

Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat Tionghoa di Solo

membentuk suatu wadah berupa organisasi sosial untuk memfasilitasi kaum

mereka. Baik orang-orang Tionghoa Totok ataupun peranakan juga membentuk

organisasi sosial yang berguna sebagai tempat mereka berkumpul. Penyebab

97 Tradisi yang tentunya berkaitan dengan agama Khonghucu, Taoisme dan

Buddha. Yang sebagian besar dibahas pada bab 2 sub bab B dalam judul ”Sekilas budaya dan peradaban Tionghoa di Indonesia”.

98 Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwasanya budaya pribumi dari

pihak Ibu lebih mendominasi orang-orang Tionghoa peranakan, termasuk dalam struktur bahasa mereka.

Page 102: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

102

semuanya ini selain karena mereka harus mempunyai alat pemersatu diantara

orang-orang Tionghoa juga diakibatkan oleh politik kolonial Belanda99.

Pada dekade pertama tahun 1900, tercatat hampir di seluruh kota besar di

Jawa termasuk Solo, telah tumbuh organisasi-organisasi sosial-politik. Jumlah

organisasi tersebut terus berkembang pada tahun-tahun berikutnya. Tetapi ditinjau

dari segi “Ideologis”, organisasi yang ada terbelah menjadi tiga aliran yang saling

bertentangan dalam memandang nasionalisme.

Aliran yang pertama adalah organisasi sosial-politik yang dipelopori oleh

kelompok Sin-Po. Kelompok ini memiliki pandangan untuk tetap

mempertahankan dan memelihara nasionalisme serta kebudayaan Tiongkok.

Kelompok Sin-Po beranggotakan orang-orang Tionghoa Totok yang memiliki

suatu pendapat bahwa mereka menganggap orang-orang Tionghoa Peranakan

sudah terpengaruh budaya barat, dan lebih suka bersekolah di sekolah-sekolah

Belanda yang diperuntukan khusus bagi anak-anak Tionghoa. Kelompok ini juga

melontarkan kritikan bahwa melalui pendidikan barat, generasi Tionghoa menjadi

lebih bersifat kapitalis dan mulai meninggalkan tradisi leluhur orang-orang

Tionghoa. Mereka juga menganggap bahwa dengan adanya pengangkatan

pemimpin Tionghoa (seperti Mayor, Kapitein, Leutnan dll) oleh pemerintah

Belanda; hal tersebut justru akan menimbulkan suatu sikap keberpihakan terhadap

99 Mengenai politik yang dilakukan oleh pemerintah colonial Belanda pada

bab sebelumnya sudah dijelaskan. Secara garis besar diterangkan bahwa Belanda membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu : Golongan Eropa (menduduki kelas pertama), Golongan Timur asing seperti Tionghoa, India dan Arab (menduduki kelas kedua), dan Golongan Indonesia Pribumi (menduduki kelas terakhir).

Page 103: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

103

pemerintah Belanda dan mementingkan diri sendiri daripada memperhatikan

kelompoknya.

Aliran kedua adalah kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang menganut

“ideologi” yang berorientasi ke Hindia Belanda dan lebih bersifat kompromis

terhadap penguasa kolonial Belanda. Sedangkan aliran ketiga adalah kelompok

yang menghendaki adanya integrasi atau penyatuan dengan masyarakat pribumi.

Mereka berpandangan bahwa mereka merupakan bagian dari Warga Negara

Indonesia (WNI), sehingga orientasi mereka cenderung ke Indonesia dan turut

memberikan kontribusi bagi perjuangan kemerdekaan. Kelompok yang menganut

aliran ini adalah Partai Tionghoa Indonesia (PTI).

Selain organisasi yang bercorak politik tersebut, terdapat banyak organisasi

yang berorientasi penuh pada masalah sosial, kematian dan kemasyarakatan.

Seperti perkumpulan kematian, olahraga, seni budaya, ekonomi dan perkumpulan

pemuda maupun kebatinan. Mengenai banyaknya perkumpulan atau organisasi

Tionghoa yang berorientasi pada berbagai bidang seperti sosial, politik, kematian

dan kemasyarakatan tersebut, diberitakan dalam surat kabar Mata Hari terbitan

semarang, edisi 3 mei 1936. Isi berita tersebut adalah :

“meskipoen berlaenan kepentingan jang dikedjarnya di Indonesia ada banyak sekali perkoempoelan Tionghoa....Ada perkoempoelan kematian, sport, moeziek, ekonomis, social, dan politiek, malah perkoempoelan pemoeda tida ketinggalan maoepoen perkoempoelan kebathinan... Perkoempoelan jang terbanjak jalan perkoempoelan jang kandoeng arti pergaoelan oempamanya boeat sokong menjokong didalem oeroesan kematian, perkawinan ataoe laen-laen keperloean pergaoelan. Tegesnya jang bersifat social, jaitoe oentok perhoeboengan satoe sama laen, sehingga orang Tionghoa tida oesah merasa hidoep terpencil.”100

100 70 tahun PMS (1932-2002). Hal : 4

Page 104: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

104

Berdasarkan pemberitaan dari surat kabar Mata Hari tersebut di atas, dapat

diketahui dengan jelas bahwa orang-orang Tionghoa memiliki organisasi-

organisasi Tionghoa yang tidak hanya berorientasi pada masalah kematian dan

sosial namun juga bidang lain seperti olahraga, ekonomi dan politik.

Adapun organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang berdiri sejak

tahun 1920 di Solo antara lain : Siang Boe Tjong Hwee, Tiong Hoa Hwee Kwan

(THHK), Kok Sia Hwee, Kong Tong Hoo, Poen Sing Hwee, Hua Chiao Tsing

Nien Hui (HCTNH), Hiang Gie Hwee, Giok Tjong Hwee, Tiong Lian Tjong

Hwee, Sam Ban Hien, Hoo Hap, Ping Bin Hak Hauw, Hwa Kiauw Kong Hak,

Tay Tong Hwee, Giok Hiong, Kioe Kok Gie Tjien Hwee, serta Kok Bin Tong.

Diantara kesemua organisasi di atas, THHK dan HCTNH cenderung memiliki visi

politik segaris dengan kelompok Sin Po, namun mereka masih tetap juga

menggeluti bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Hubungan yang

terjalin antar perkumpulan tersebut, meskipun berbeda visi misi atau ideologi

sangatlah erat. Kedekatan mereka terbangun secara konstruktif, khususnya dalam

hal menyikapi setiap persoalan atau ekonomi. Pada beberapa kasus, memang

kadang terjadi perbedaan pandangan antar organisasi tersebut, namun relatif tidak

sempat berkepanjangan sehingga tidak menimbulkan perpecahan atau konflik

yang menajam diantara pengikut organisasi-organisasi itu.

Page 105: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

105

BAB IV

TERBENTUKNYA CHUAN MIN KUNG HUI

A. Sejarah berdirinya Chuan Min Kung Hui (CMKH)

Pada tahun 1920, di Solo sudah banyak berdiri organisasi-organisasi yang

berpandangan politik maupun sosial kemasyarakatan, seperti pada penjelasan

sebelumnya. Banyaknya organisasi Tionghoa di Solo, membuktikan adanya

kemajemukan masyarakat Tionghoa yang ada. Organisasi-organisasi Tionghoa

yang menjamur di Solo pada era 1920, tidak hanya sebatas pada organisasi yang

berideologi politik melainkan juga yang berkaitan dengan bidang sosial. Dengan

banyaknya organisasi-organisasi Tionghoa yang ada di Solo, ternyata tidak

mempengaruhi tingkat kedekatan intern Tionghoa. Hubungan komunikasi antar

perkumpulan tersebut terbangun secara konstruktif, meskipun mereka memiliki

ideologi yang berbeda (seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya).

Komunikasi yang konstruktif tersebut, dapat dicontohkan ketika terjadi

permasalahan tarif listrik di Solo. Ketika itu SEM (Solosche Electriciteit

Maatschappij) suatu perusahaan listrik seperti PLN, menetapkan kenaikan harga

tarif listrik serta alat-alat listrik yang dijual SEM. Masyarakat Tionghoa di Solo

memprotes kenaikan tarif tersebut karena dianggap tidak sepadan dengan

pelayanan SEM yang mengecewakan. Mereka kemudian mengadakan pertemuan

untuk membahas mengenai permasalahan listrik tersebut. Pertemuan yang

difasilitasi oleh Ong Siang Tjoen (Ketua Siang Boe Tjong Hwee), diadakan di

Page 106: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

106

gedung THHK Poerwadiningratan yang dihadiri oleh 40 utusan dari perkumpulan

seperti : Kok Sia Hwee, Kong Tong Hoo, Poen Sing Hwee, Hua Chiao Tsing Nien

Hui, Hiang Gie Hwee, Giok Tjong Hwee, Tiong Lian Tjong Hwee, dan Sam Ban

Hien101.

Hubungan komunikasi yang sangat baik itu, menumbuhkan inisiatif

penyatuan diantara mereka. Upaya penyatuan tersebut mulai dirintis pada tahun

1929, terdapat enam perkumpulan sosial kemasyarakatan yang akan bergabung

menjadi satu wadah, yaitu : Kong Tong Hoo, Hiang Gie Hwee, Hap Gie Hwee,

Kong Sing Hwee, Sam Ban Hien dan Tiong Hoa Poen Sing Hwee. Mereka

kemudian melakukan serangkaian pertemuan untuk membicarakan rencana

penyatuan organisasi yang mereka ikuti. Pada tanggal 7 Juli 1931 terbentuk

panitia persiapan penggabungan keenam perkumpulan tersebut. Pembentukan

panitia tersebut ternyata tidak serta merta langsung melahirkan wadah baru yang

menampung keenam organisasi tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa

penggabungan boleh dibilang sangat sulit, karena masing-masing perkumpulan

memiliki pandangan berbeda mengenai nama organisasi dan asas yang akan

digunakan. Banyaknya pertentangan dari masing-masing anggota keenam

perkumpulan yang akan menggabungkan diri menjadi kendala bagi pembentukan

satu wadah yang utuh.

Hampir setahun panitia bekerja keras, baru pada tanggal 1 April 1932

tercapai suatu kesepakatan untuk membentuk wadah baru, yang diberi nama

Chuan Min Kung Hui (disingkat CMKH). Pada rapat panitia tersebut, selain

101 Dikutip dari Surat Kabar Mata Hari, edisi 3 Juni 1929.

Page 107: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

107

menentukan nama organisasi gabungan, panitia juga menyepakati pengangkatan

ketua bagi organisasi baru tersebut. Nama Tan Gwan Swie dipilih menjadi ketua

organisasi CMKH. Kas awal organisasi didapat dari hasil iuran rapat anggota

berupa uang kontan, dan perabotan senilai f.52.600.22. Sebagai pusat kegiatan

dipilih gedung di Jalan Sorogenen 124 Solo yang biasa dikenal masyarakat

dengan nama Gedung Gajah.

B. Kepengurusan CMKH

Organisasi dengan nama CMKH ini, memang belum memiliki pelindung

dalam struktur organisasinya ketika pertama kali dibentuk. Hanya ada seorang

ketua, dua wakil ketua, dan beberapa anggota kehormatan yang kesemuanya

adalah pimpinan dari keenam organisasi yang melebur dalam Chuan Min Kung

Hui (CMKH)102. Tetapi belakangan, pada bulan Februari 1933 dibentuklah

struktur organisasi yang lengkap dengan pelindung organisasi. Dari awal

terbentuknya CMKH hingga berubah nama menjadi PMS (Perkumpulan

Masyarakat Surakarta), sudah melewati 9 periode kepengurusan. Berikut data

kepengurusan dari organisasi CMKH selama kurun waktu 1933-1957 :

I. Kepengurusan tahun 1932-1933 :

Pelindung : Mayor Bhe Kwat Koen103

102 Nama anggota kehormatan tersebut adalah : Tan Gwan Swie, Mong

Siang San, Tan Poo Liang, Tjan Ing Tjwan, The Tjioe Tik, Ang Hie Ling, Tan Tjie Giam, Liem Sio Bwak, dan Tan Ing Tjong.

103 Mayor, Kapten, Leutnant, Lotia/ Lurah merupakan sebuah gelar

kepangkatan yang diberikan oleh Belanda kepada orang-orang Tionghoa terpilih.

Page 108: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

108

Ketua : Tan Gwan Swie

Wakil Ketua I : Ong Siang Tjoen

Wakil Ketua II : Yap Kioe Ong

Anggota kehormatan :

Tan Gwan Swie, The Tjioe Tik, Ang Hie Ling, Tan Poo Liang, Tan Ing

Tjong, Tjan Ing Tjwan, Mong Siang San, Tan Tjie Giam, Liem Sio Bwak.

Segera setelah dibentuk susunan pengurus, maka organisasi ini mengadakan

sosialisasi dengan semua pihak dan sekaligus membina hubungan baik. Sebagai

contoh, Tanggal 22 April 1932 diadakan jamuan makan malam untuk

menghormati Residen Solo JH. Johan yang telah mengakhiri masa baktinya dan

akan kembali ke negeri Belanda. Perjamuan makan tersebut juga dihadiri oleh

Pangeran Nataningrat, Mr. Wongsonagoro, Ramelan, Van Roozen, Van Aken

Buitendyck, Van Noort, Ir. Steuerwald, Dr. Wedel, Dr. Oei Swie Poen, dan tokoh

lainnya yang mewakili organisasi seperti Hoo Hap, Ping Bin Hak Hauw, Hwa

Kiauw Kong Hak, Tay Tong Hwee, Giok Hiong, HCTNH, Kioe Kok Gie Tjien

Hwee, Kok Bin Tong dan THHK104.

Seperti sudah dijelaskan dari awal, bahwa organisasi ini berdiri dengan

tujuan sosial dan tugasnya lebih berkonsentrasi mengenai masalah kematian. Pada

kurun waktu kepengurusan ini, CMKH sudah memiliki Thiong Ting yakni sebuah

tempat untuk memelihara abu-abu leluhur yang jenasahnya diperabukan, sekaligus

Artinya mereka ditunjuk Belanda untuk memimpin komunitas Tionghoa disuatu kota tertentu. Misalnya di Karesidenan Solo: Mayoor Bhe Kwat Koen yang ditunjuk sebagai pemimpin Tionghoa.

104 Koran Djawa Tengah, tanggal 25 April 1932.

Page 109: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

109

sebagai tempat merawat jenasah-jenasah orang Tionghoa di Solo dan sekitarnya.

Tanah dan Gedung Thiong Ting105 berdiri ini merupakan hadiah dari Pakubuwana

VII kepada masyarakat Tionghoa di Solo dan sekitarnya. Pengesahan pemberian

tanah tersebut tertulis dalam Besluit pemerintah Hindia Belanda tertanggal 5

Oktober 1856. Kepemilikan dan pengelolaan gedung ini oleh CMKH baru pada

tanggal 11 Maret 1937, diserahkan dari Kapitein Tuan Liem Djie Bo106 kepada

Ketua CMKH. Hal ini diberitakan dalam surat kabar Mata Hari edisi 2 April 1941

yang berbunyi: “ Atas moefakatnja Kok Sia Hwee combinatie vergadering jang

paling belakang Chuan Min Kung Hui poenja permintaan boeat selandjutnya

akan merawat roema Thiong Ting mengoeroes sembajangan Tjhing Bing dan

Tiong Gwan dengan oeroes djuga pemoengoetan dermaan telah diterima baek,

Chuan Min poen diwajibkan oeroes dan atoer itu roema Thiong Ting dan

pekarangan-nya masi tetep milikja publiek Tionghoa”.

II. Kepengurusan tahun 1934-1936 :

Pada kepengurusan periode tahun 1934-1936, pergantian terjadi pada

jabatan ketua. Pada periode sebelumnya, ketua dijabat oleh Tan Gwan Swie,

setelah berakhir jabatannya digantikan oleh Ang Hie Ling. Pada masa ini, CMKH

105 Thiong Ting pada awalnya dikelola oleh masyarakat Tionghoa secara

bersama-sama. Tanah yang dipakai untuk pendirian gedung tersebut merupakan hadiah dari Pakubuwana VII kepada masyarakat Tionghoa di Solo. Gedung dan pengelolaan Thiong Ting pada awalnya sempat tidak terurus dengan baik. Namun berkat Kapitein Tuan Liem Djie Bo, Thiong Ting dibangun kembali dengan lebih baik dan dikelola oleh beliau, baru kemudian diserahkan kepada CMKH.

106 Kapitein Liem adalah seorang pemimpin masyarakat Tionghoa di Solo

dengan pangkat Kapten, dan beliau adalah orang yang berjasa membangun gedung Thiong Ting dan mengurusnya sebelum diserahkan ke CMKH.

Page 110: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

110

telah memperoleh pengakuan resmi sebagai suatu Badan Hukum (Ketetapan

Pemerintah Hindia Belanda no. 20 besluit Gouvernment, tanggal 24 oktober

1936).

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CMKH pada masa kepemimpinan

Ang Hie Ling antara lain : pertama, mengurusi masalah kematian (Liep Siang

Soe) yang tugas-tugasnya memberikan bantuan berupa uang dan peralatan-

peralatan kematian kepada para anggota CMKH yang meninggal dunia, selain itu

bagi orang-orang yang miskin pun, jika meninggal dunia dengan terlantar dan

tidak ada ahli waris maka akan diberikan bantuan berupa penguburan

selengkapnya (pemberian peti jenasah, tempat pemakaman dan uang sekedar);

kedua, mengadakan pelayanan dibidang kesenian dan olahraga serta memberikan

fasilitas lengkap untuk menunjang bidang tersebut berupa gedung olahraga,

tempat bilyard, meja buat tenis meja (Ping Pong), dan gedung kesenian untuk

kegiatan pertunjukan kesenian seperti Klenengan (gending-gending Jawa), tari-

tarian jawa, musik pop dan keroncong. Pada bagian kesenian, bekerjasama dengan

SRI (Siaran Radio Indonesia)107 di dalam penampilan hasil seni dan budaya

tersebut; ketiga, mendirikan sekolah-sekolah untuk menunjang pendidikan bagi

anak-anak muda Tionghoa, seperti mendirikan sekolah Taman Kanak-kanak,

menyelenggarakan kursus-kursus bahasa asing (Inggris, Mandarin, dan Belanda),

serta memberikan bantuan dan subsidi kepada AMS (Aglemene Middelbare

107 SRI adalah radio lokal yang ada di Solo. SRI dulu merupakan radio yang

dikelola oleh orang-orang Solo dan ikut memperjuangkan kemerdekaan RI dengan siaran-siarannya yang berbau nasionalisme Indonesia. Oleh sebab itulah mereka memakai kata Indonesia di dalam nama stasiun radio tersebut. Ketika Indonesia merdeka, SRI dikelola oleh pemerintah dan menjadi RRI.

Page 111: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

111

School) swasta di Solo dan beberapa sekolah lain; keempat, memberikan bantuan

dan subsidi pada Rumah Sakit Tsi Sheng Yuan (Sekarang bernama Rumah Sakit

dr. Oen). Kegiatan-kegiatan lain dari bagian sosial yang tercatat pada tahun 1934,

adalah pembentukan suatu Komite Penolong Kaum Pengangguran (KPKP).

Hubungan antara Tionghoa dan Pribumi juga sudah terjalin cukup akrab.

Hal tersebut terbukti dengan aktifnya beberapa tokoh-tokoh pribumi seperti

Sasrosunarto, Sudaryo Tjokrosisworo, Moelyadi Djojomartono, KRMH

Wiryadiningrat, Yosodipuro, H Sutadi, Sempu Sundaru, Sastrosudiro, Notosuroto,

dan lain-lain. Bukti yang nyata dan kongkret dari hubungan yang akrab tersebut

terlihat ketika CMKH merayakan ulang tahunnya yang ke-5. Dalam kesempatan

tersebut, CMKH telah menerima sumbangan kesenian jawa berupa tari Golek

mataram lengkap dengan pengrawit dan swarawatinya dari Pakubuwana X melalui

KRMH Wiryadiningrat108.

III. Kepengurusan tahun 1936-1940 :

Ketua terpilih pada periode tahun 1936-1940 adalah The Tjhioe Tik. Di

bawah kepemimpinannya, CMKH telah mengembangkan kegiatan sosialnya

dengan mendirikan bagian urusan perkawinan (Hoo Soe Poet). Tugas-tugas yang

diemban bagian perkawinan ini adalah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan

dalam urusan perkawinan, khususnya diantara anggota dan masyarakat pada

umumnya. Awal mulanya berdiri, bagian ini hanya khusus melayani para anggota

108 Hubungan tersebut berlanjut juga ketika jaman kemerdekaan hingga

sekarang. Meskipun sifatnya lebih khusus atau pribadi. Sebagai contoh, pada tahun 1972 Pakubuwana XII mengangkat derajat Go Tik Swan menjadi bupati anom dengan nama Raden Tumenggung Hardjonagoro karena jasanya dalam budaya jawa.

Page 112: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

112

perkumpulan, namun karena begitu banyak masyarakat yang ingin memakai

fasilitas kegiatan yang disediakan, maka dibuka untuk umum.

Pada periode ini, CMKH juga turut serta merayakan peringatan tumbuk

dalem IX (usia 9 windu/ 72 tahun) dari Pakubuwana X. Akibat dari peran sertanya

tersebut, maka pada tanggal 2 Mei 1936, ketua CMKH, The Tjhioe Tik menerima

bintang penghargaan dari Pakubuwana X di Surakarta.

IV. Kepengurusan tahun 1940-1943 :

Pada periode ini, posisi ketua CMKH diduduki oleh Tjan Ing Tjwan yang

menggantikan The Tjhioe Tik. Periode tahun 1940-1943 merupakan periode yang

sangat menyedihkan bagi perkembangan CMKH, disebabkan oleh situasi politik

Indonesia yang pada waktu itu terjadi penjajahan oleh Jepang. Kekalahan Belanda

oleh Jepang, menyebabkan terjadinya pergantian pemerintahan dari Belanda ke

Jepang. Secara umum, hal tersebut berdampak pada situasi politik Indonesia yan

tidak stabil, dan secara khusus menyebabkan situasi kepengurusan dari CMKH

yang tidak teratur109.

Vakumnya segala aktifitas yang ada di tubuh CMKH pada periode ini,

menyebabkan pergantian kepengurusan yang tidak teratur. Tercatat sebagai

kelanjutan kurun waktu kepengurusannya, dimulai tahun 1942-1945.

109 Alasan yang pasti dari kepengurusan yang tidak stabil dari CMKH pada periode ini merupakan dampak dari situasi politik di Solo yang juga sedang tidak nyaman akibat pergeseran kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Apalagi Solo merupakan kota penting bagi Indonesia, karena di Solo terdapat satu kerajaan penting yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Page 113: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

113

V. Kepengurusan tahun 1942-1945 :

Kurun waktu tahun 1942-1945 adalah masa pendudukan Jepang di

Indonesia. Kevakuman terjadi pada masa-masa ini, dimana CMKH tidak dapat

bergerak sesuai dengan dasar-dasar tujuan dari suatu badan sosial. Ketika masa

pemerintahan Jepang, praktis hanya satu organisasi Tionghoa yang diijinkan untuk

beroperasi. Organisasi yang diijinkan tersebut merupakan organisasi bentukan dari

pemerintah Jepang, organisasi tersebut adalah Solo Kakyo Sokai. Pemimpin

organisasi ini harus bertanggung jawab kepada pimpinan militer Jepang.

Ketua Solo Kakyo Sokai adalah Ong Siang Tjoen dengan dibantu oleh

wakilnya bernama Tan Ing Tjong, yang memiliki sekretaris bernama Kwik Thiam

Hwat (AMK Wignyosaputro). Kwik Thiam Hwat juga berperan sebagai

penghubung dengan pejabat-pejabat Jepang dengan orang-orang Tionghoa. Akibat

yang ditimbulkan dengan terbentuknya Solo Kakyo Sokai adalah bekunya

aktivitas-aktivitas CMKH. Secara formal kegiatan CMKH memang beku, namun

Ong Siang Tjoen selaku ketua umum CMKH tetap melakukan kegiatan sosial

(pemberian pakaian bekas dan bahan makanan serta mengurus masalah kematian)

mewakili CMKH110.

110Hal tersebut dilakukan karena secara Formal organisasi-organisasi

Tionghoa di Solo tidak diijinkan beroperasi oleh pemerintah Jepang, termasuk CMKH. Oleh sebab itu, Ong Siang Tjoen (Ketua umum CMKH dan Ketua Solo Kakyo Sokai) memiliki inisiatif untuk tetap melakukan kegiatan sosial meskipun bukan secara resmi mewakili CMKH.

Page 114: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

114

VI. Kepengurusan tahun 1945-1947 :

Ketika Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan berakhirnya

penjajahan Jepang, maka secara resmi Solo Kakyo Sokai dibubarkan pula. Hal itu

membawa angin segar bagi kembalinya CMKH untuk beraktivitas setelah vakum

selama beberapa tahun. Bulan Oktober 1945, gedung Gajah di Jl. Sorogenen 124

Solo yang semula milik CMKH dan dipakai Solo Kakyo Sokai, resmi kembali lagi

ke tangan CMKH. Ketua umum pada periode ini dijabat oleh Tan Ing Tjong. Pada

masa ini, para anggota CMKH juga turut serta mempertahankan penjajahan

Belanda111 dengan membentuk Organisasi Persatuan Tionghoa Indonesia

Surakarta dan BPRI Tionghoa Solo (Barisan Pemberontak Republik Indonesia

Tionghoa wilayah Solo). BPRI diketuai oleh AMK Wignyosaputro dan Tony Wen

sebagai wakil ketua. Dalam perkembangannya, Tony Wen112 menjadi ketua

menggantikan AMK Wignyosaputro.

VII. Kepengurusan tahun 1947-1950 :

Posisi ketua umum pada periode tahun 1947-1950 diisi oleh Liem Yong

Djien. Pada masa ini, situasi negara semakin gawat. Belanda melakukan agresi

militer yang pertama yakni pada 14 juli 1947 dan disusul dengan agresi militer

yang kedua pada 19 desember 1948. Gedung Gajah pusat organisasi CMKH

111 Setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu, maka secara resmi Indonesia

kembali kepada Belanda. Namun Rakyat Indonesia menolak masuknya Belanda, sehingga terjadi pemberontakan dan peperangan melawan Belanda di berbagai daerah, termasuk di Solo.

112 Sebagai sedikit catatan, bahwa Tony wen adalah orang yang pada masa

Demokrasi Parlementer (1950-1959) terpilih menjadi anggota DPRS menggantikan Yap Tjwan Bing.

Page 115: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

115

menjadi tempat bagi masyarakat umum untuk mendapatkan keterangan mengenai

keluarga mereka yang sebelumnya mengungsi akibat penyerbuan Belanda ke Solo

dan sekitarnya. CMKH terlibat aktif dalam membantu menolong masyarakat

korban perang, dan bersama dengan Organisasi Pusat Perkumpulan Tionghoa

Surakarta membentuk Panitia Penolong Bahaya Perang (PPBP). Salah satu tugas

panitia tersebut antara lain mencari masyarakat Tionghoa yang hilang akibat

Agresi Militer Belanda ke-2 (Clash II). Sedikitnya 194 orang Tionghoa berhasil

ditemukan dalam pencarian tersebut. CMKH juga memberikan bantuan tempat

atau kebutuhan lain (seperti obat-obatan dan makanan) bagi pengungsi yang

berdatangan ke kota Solo dari luar kota seperti Boyolali, Salatiga, Ampel,

Purwodadi, Karanganyar, dan lain-lain.

Ketika Clash I berakhir, disusul Clash II pada tanggal 19 Desember 1948.

Belanda kembali menduduki kota Solo. CMKH kembali melakukan kegiatan

sosialnya, selain itu CMKH juga aktif membantu pejuang-pejuang Indonesia

dengan secara teratur mengirimkan obat-obatan. Setelah Belanda keluar dari Solo,

pada bulan september 1949 CMKH bersama dengan Organisasi Pusat

Perkumpulan Tionghoa Surakarta membantu pemerintah dalam menangani

pemindahan jenasah-jenasah korban perang sipil yang tersebar dimana-mana.

Tanggal 26 September 1949, tidak kurang dari 250 jenasah korban perang sipil

dari daerah-daerah seperti Wonogiri, Sukoharjo, Sragen dan Klaten telah

dipindahkan untuk mendapatkan pemakaman yang layak. Mereka dimakamkan di

sebelah selatan Gedung Thiong Ting di Jebres.

Page 116: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

116

VIII. Kepengurusan tahun 1950-1955 :

Pada periode tahun 1950-1955, jabatan ketua umum diisi oleh Nyoo Hong

Yauw. Pada masa kepemimpinan Nyoo Hong Yauw, tercatat beberapa hal antara

lain, berdirinya bagian kebatinan pada CMKH dan diangkatnya dr. Oen Boen Ing

sebagai pelindung CMKH menggantikan Mayor Bhe Kwat Koen yang wafat pada

tanggal 16 Agustus 1945. Tanggal 1 April 1952, merupakan hari jadi CMKH yang

ke-20. Pada Masa kepemimpinan Nyoo Hong Yauw ini, diadakan motorisasi

kereta jenasah. Semula menggunakan kuda sebagai penarik kereta jenasah,

sekarang memakai mobil meskipun masih sederhana.

Pada periode ini pula, beberapa akuntan didatangkan untuk pendataan ulang

dan memeriksa keuangan dari CMKH. Tercatat per 31 Maret 1952, saldo kas dari

CMKH sebesar f. 30.231.78, dengan jumlah anggota tercatat 1764 orang.

Keanggotaan CMKH yang semula hanya beberapa orang menjadi semakin

bertambah banyak. Masuknya orang-orang Pribumi tepatnya ketika periode tahun

1934-1936 pada periode ini semakin bertambah. Secara rinci tidak disebutkan

berapa tepatnya jumlah anggota PMS yang berasal dari kalangan Pribumi, namun

dapat diperkirakan sekitar 5% dari 1764 orang merupakan orang-orang Pribumi113.

113 Wawancara dengan Bp. Iswayudia, pada hari minggu tanggal 23

Desember 2007 di kediaman beliau (Jl.Mahabharata, Palur, Surakarta). Beliau mengatakan bahwa jumlah orang-orang Jawa di dalam organisasi CMKH semakin bertambah meskipun pertambahannya tidak terlalu banyak; sedangkan orang-orang Tionghoa Totok justru baru bergabung dengan CMKH ketika organisasi sudah berubah nama menjadi PMS dan bergabungnya mereka sekitar tahun 1969-1970. Keanggotaan CMKH berasal dari orang-orang Tionghoa Peranakan yang berpendidikan ala Belanda ataupun yang berpandangan ke Tiongkok.

Page 117: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

117

IX. Kepengurusan tahun 1955-1957 :

Jabatan ketua pada masa kepengurusan tahun 1955-1957 diisi oleh dr. Oen

Boen Ing114. Pada masa kepemimpinan dr. Oen ini, diadakan kegiatan-kegiatan

keorganisasian antara lain : pemantapan dan konsolidasi dalam tubuh organisasi.

Kegiatan-kegiatan kesenian pun juga dirasakan semakin lebih mantap dan eksis.

X. Kepengurusan tahun 1957-1965 :

Pada periode tahun 1957-1965, kepemimpinan CMKH dijabat oleh Liem

Thiam Bie. Pada masa kepemimpinannya ini, disusun rencana-rencana kerja

secara rapi dan pragmatis berkaitan dengan upaya menumbuhkan rasa

nasionalisme Indonesia115. Selain itu terjadi perubahan pada Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang disebabkan oleh proses peleburan dan

asimilasi dalam tubuh organisasi ini. Masuknya beberapa tokoh-tokoh pribumi ke

dalam organisasi CMKH ini, membuat organisasi ini merubah namanya menjadi

PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta). Tepat pada tanggal 1 Oktober 1959,

nama CMKH resmi berubah menjadi PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta).

Setelah masa Transisi terjadi dari CMKH menjadi PMS, aktivitas yang

dilakukannya pun semakin bertambah. Dengan diadakan beberapa tournament

olahraga dan beberapa pertunjukan-pertunjukan kesenian di Gedung Gajah,

114 Dr. Oen Boen Ing merupakan pendiri dari Yayasan Panti Kosala yang

memiliki Rumah Sakit bernama RS. Dr. Oen (Panti Kosala). Dr. Oen Boen Ing adalah tokoh Tionghoa yang dekat dengan Pribumi dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Kedekatan dengan Tokoh Pribumi tersebut dibuktikan dengan penganugerahan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Obi Darmohusodo oleh Mangkunegara VIII pada tahun 1975 karena dianggap berjasa sebagai dokter Pura Mangkunegaran.

115 70 tahun PMS (1932-2002). Hal : 12-13.

Page 118: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

118

membuktikan bahwa kinerja organisasi ini semakin bertambah baik. Pada periode

PMS ini, situasi negara RI sedang mengalami krisis politik. Terjadinya peristiwa

G 30 S 1965, membawa dampak yang buruk juga terhadap keberadaan PMS.

Organisasi PMS hampir terkena imbas dari peristiwa tersebut karena dianggap

organisasi politik oleh pemerintahan kala itu, padahal PMS hanya merupakan

organisasi sosial-kemasyarakatan. PMS juga tidak luput menjadi target operasi

dari RPKAD, tetapi karena adanya kedekatan ketua umum PMS (Kwik Thiam

Hwat) dengan TNI Angkatan Udara, maka disiagakan satu regu kesatuan TNI AU

di Gedung Gajah untuk menghadapi terjadinya kesalahpahaman dengan

RPKAD116. Meskipun organisasi ini bukan organisasi Politik dan bebas dari unsur

PKI, namun banyak juga anggota PMS yang ikut terseret dalam kasus PKI.

Orang-orang Tionghoa yang menjadi anggota PMS ada yang dipenjara akibat

diduga PKI.

Setelah berubah nama menjadi PMS, organisasi CMKH semakin

melebarkan sayapnya. Kegiatan yang ada di dalam organisasi ini semakin

berkembang dan tidak hanya berkaitan dengan masalah sosial-kemanusiaan.

Ketika organisasi CMKH berubah nama menjadi PMS, pahit dan manisnya

pengalaman berorganisasi dirasakan oleh PMS. Banyaknya golongan Tionghoa

Totok yang masuk ke dalam PMS pasca tahun 1965, membawa perubahan dalam

116 Ketika itu, RPKAD (Sekarang Koppasus) pimpinan Kolonel Sarwo Edi

Wibowo ditugasi oleh Soeharto untuk menggempur unsur-unsur PKI yang dianggap pelaku KUP G 30 S. Salah satu unsur yang dianggap komunis oleh Soeharto adalah orang-orang Tionghoa yang tergabung di dalam organisasi politik ataupun tani. Oleh sebab itu, PMS juga tak luput dari sorotan pemerintah. Jika terbukti PMS sebagai organisasi politik, maka akan diberantas habis karena dianggap sebagai bagian dari komunis.

Page 119: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

119

tubuh organisasi ini. Orang-orang Tionghoa Peranakan terdesak oleh masuknya

Tionghoa Totok ke dalam organisasi PMS dari kepengurusan. Pengurus inti dari

organisasi PMS banyak diisi oleh orang-orang Tionghoa Totok, karena faktor

ekonomi. Akibatnya banyak orang-orang Tionghoa peranakan yang mundur dari

keanggotaan PMS, meskipun secara resmi mereka masih anggota PMS.

Diskriminasi yang terjadi dalam tubuh PMS bukan lagi berkaitan dengan

masalah keetnisan, melainkan masalah ekonomi. Para pengusaha yang notabene

berasal dari Tionghoa Totok, mendominasi kepemimpinan dalam PMS. Konflik

terbuka memang tidak terjadi dalam organisasi ini, namun keretakan hubungan

antara Tionghoa yang kaya dan miskin terjadi dalam organisasi ini khususnya

dalam bidang kematian. Ketika ada kematian dari salah satu orang Tionghoa yang

status ekonominya miskin, tidak ada keringan dan bantuan seperti ketika jaman

CMKH. Dengan semakin berkembangnya PMS menjadi sebuah organisasi yang

besar di Solo, semakin memantapkan sistem berorganisasi mereka. Tetapi dengan

kematangan berorganisasi tersebut, sistem birokrasi yang berbelit dan rumit justru

ikut terbawa di dalam sistem pelayanan mereka terhadap masyarakat umum117.

C. Peran CMKH dan PMS di Masyarakat

Organisasi CMKH pada awalnya memiliki peran yang penting hanya bagi

masyarakat Tionghoa di Solo. Pada perkembangannya, CMKH justru tidak hanya

117 Contoh yang sederhana dari kerumitan dan berbelitnya sistem birokrasi di dalam PMS terlihat dalam urusan kematian, pelayanan sosial dan keperluan pelayanan lain. Pelayanan dalam kantor PMS yang kurang menyenangkan, tidak sesuai dengan visi mereka: “PMS sebagai organisasi sosial kemasyarakatan tanpa membedakan suku, ras, agama, serta kedudukan sosial, selalu peduli, kebersamaan memberikan pelayanan kepada masyarakat umum”.

Page 120: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

120

berperan bagi orang-orang Tionghoa melainkan juga orang-orang Pribumi. Peran

organisasi tersebut masih terus berlanjut sampai organisasi tersebut sudah berubah

namanya menjadi PMS. Peran yang dirasakan cukup berarti bagi kalangan

Pribumi dan di samping juga keterlibatan Pribumi di dalam organisasi PMS ini.

a. Peran CMKH

Pada awal berdirinya, organisasi ini mula-mula lebih berkonsentrasi pada

masalah kematian (perkumpulan kematian-Begrafenisfund), yaitu bertujuan

memberi bantuan kepada tiap-tiap anggota yang sedang mendapat musibah

kematian dan memberi bantuan kepada orang-orang Tionghoa yang miskin di

Solo118. Kegiatan tersebut ditunjang dengan adanya rumah persemayaman jenasah

yang dikenal orang dengan nama “Thiong Ting”. Rumah tersebut selain berfungsi

sebagai tempat persemayaman jenasah juga sebagai tempat untuk memelihara

abu-abu leluhur yang jenasahnya diperabukan, dan juga tempat untuk merawat

jenasah-jenasah orang Tionghoa di Solo dan sekitarnya. Tetapi pada

perjalanannya, organisasi ini tidak hanya mengurusi masalah kematian melainkan

juga masalah sosial lain seperti bantuan-bantuan kemanusiaan bagi para korban

gempa, perang atau kelaparan.

Meskipun menangani masalah kematian merupakan aktivitas yang utama,

bukan berarti bahwa CMKH tidak melakukan aktivitas sosial yang lainnya.

Terbukti pada Juli 1932, CMKH membentuk bagian pendidikan yang menangani

118 Masalah kematian yang dimaksud disini adalah mengurusi hal-hal yang

berkaitan dengan kematian seperti masalah krematorium jenasah, tempat persemayaman jenasah, upacara-upacara untuk kematian, dan juga merawat abu sembahyangan orang-orang yang sudah meninggal (biasanya ini diperuntukkan khusus bagi keluarga Tionghoa yang tidak mampu).

Page 121: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

121

masalah pendidikan dan pembentukan sekolah. Bagian pendidikan mengadakan

pendidikan untuk kelas rendah (Taman Kanak-kanak), namun mulai maret 1935,

bagian pendidikan menambah sekolah malam untuk memberikan pelajaran

Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, dan Bahasa Belanda. Selain itu, bagian ini juga

menyediakan sarana perpustakaan dan memberikan bantuan kepada AMS

(Aglemene Middelbare School) swasta di Solo. Misi pembuatan perpustakaan

kecil oleh CMKH, dimaksudkan sebagai tempat para anggota CMKH dan

masyarakat umum untuk membaca buku atau surat kabar.

Kedekatan dengan pribumi terlihat dengan aktifnya para tokoh pribumi

seperti: Sasrosunarto, Sudaryo Tjokrosisworo, Moelyadi Djojomartono, KRMH

Wiryadiningrat, Yosodipuro, H Sutadi, Sempu Sundaru, Sastrosudiro, dan

Notosuroto dalam kegiatan CMKH. Kegiatan yang berkaitan dengan para tokoh

pribumi ini antara lain kegiatan kesenian yang berupa: tari-tarian Jawa, Gending-

gending Jawa (Klenengan), keroncong dan pertunjukan wayang. CMKH kerap

mengadakan pertunjukan wayang pada acara-acara tertentu khususnya pada setiap

acara Ulang Tahun CMKH. Acara klenengan dan keroncong juga kerap diadakan

meskipun sifatnya bukan pada acara-acara besar, karena klenengan sangat

diminati oleh orang-orang Tionghoa yang ada di Solo. Orang-orang Tionghoa

yang ada dalam CMKH kebanyakan merupakan Tionghoa Peranakan, sehingga

tidak asing lagi bagi mereka untuk mendengarkan lagu-lagu Jawa dan pertunjukan

kesenian Jawa. Dalam hal tari-tarian, CMKH sudah aktif mengadakan kegiatan

dan latihan menari, terbukti ketika acara peringatan tumbuk dalem IX (usia 9

windu/ 72 tahun) dari Pakubuwana X, CMKH ikut ambil bagian dalam acara

Page 122: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

122

tersebut. Oleh karena peran serta CMKH dalam acara keraton tersebut, maka pada

tanggal 2 Mei 1936, ketua CMKH, The Tjhioe Tik menerima bintang

penghargaan dari Pakubuwana X di Surakarta.

Kegiatan lain yang dilakukan oleh CMKH adalah peran mereka dalam dunia

kesehatan. Pemberian subsidi bagi poliklinik dan Rumah Sakit Tsi Sheng Yuan

agar mereka mampu memberikan pelayanan kesehatan yang maksimum bagi

masyarakat umum baik itu orang Tionghoa ataupun Pribumi. CMKH juga

membentuk Komite Penolong Kaum Pengangguran (KPKP); komite ini dibentuk

dengan tujuan membantu memberikan pekerjaan kepada orang-orang yang di

PHK atau tidak memiliki pekerjaan. Para pengangguran yang ada di Solo, di

kelola dan ditampung sementara oleh komite ini kemudian mereka disalurkan

untuk bekerja di berbagai tempat di Solo.

Ketika terjadi Perang (Agresi Militer Belanda I dan II), CMKH berperan

aktif di dalam menangani korban-korban perang. CMKH dan Organisasi Pusat

Perkumpulan Tionghoa Surakarta dibantu dengan PMI cabang Solo, membentuk

Panitia Penolong Bahaya Perang. Aktivitas panitia ini adalah memberikan bantuan

kepada para pengungsi yang berdatangan ke kota solo dari luar kota antara lain

dari Boyolali, Ampel, Salatiga, Kuwu, Purwodadi, dan lain-lain. Bantuan tersebut

antara lain berupa tempat penampungan (asrama pengungsi), makanan, dan

pertolongan kesehatan bagi pengungsi. Panitia ini juga bertugas membantu

Page 123: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

123

pemerintah dalam menangani pemindahan jenazah-jenazah korban perang sipil

yang tersebar dimana-mana119.

CMKH juga berperan aktif di dalam bidang olahraga. Penyediaan sarana-

sarana olahraga seperti Meja Bilyard, Meja Ping Pong atau Tenis meja, dan

permainan catur. Pada permainan catur, dibentuk Perkumpulan Catur Tionghoa

Surakarta pada tanggal 28 september 1950. Ketika CMKH berubah menjadi

PMS120, kegiatan Olahraga menjadi lebih maju. Pada masa PMS, regu bola sodok

PMS mendapatkan juara II dan III dalam kejuaraan Bola Sodok se-Indonesia yang

diadakan Persatuan Olahraga Bola Sodok Indonesia (POBSI). Pada masa PMS,

kegiatan olahraga semakin berkembang. Dibangunnya sarana olahraga seperti

lapangan bulu tangkis, lapangan sepakbola dan lapangan volley membuktikan

bahwa organisasi ini semakin bertambah solid.

b. Peran PMS

Ketika CMKH berubah nama menjadi PMS, anggotanya pun juga

bertambah. Keanggotaan organisasi CMKH yang semula hanya diisi oleh orang-

orang Tionghoa dan kegiatannya diperuntukkan hanya untuk intern Tionghoa,

semenjak PMS semakin membuka diri dengan masuknya orang-orang Pribumi

sebagai anggota. Kegiatan yang dilakukan oleh PMS semakin bertambah. Seperti

119 Tanggal 26 September 1950, tidak kurang dari 250 jenazah korban

perang sipil dari daerah-daerah seperti Wonogiri, Sukoharjo, Sragen dan Klaten telah dipindahkan untuk mendapatkan pemakaman yang layak. Keseluruhan korban dimakam kan di sebelah selatan Gedung Thiong Ting Jebres (Pemakaman tersebut sekarang ditempati bangunan STM Warga).

120 Melalui rapat-rapat anggota maka diputuskan pada tanggal 1 Oktober

1959, CMKH berubah namanya menjadi PMS.

Page 124: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

124

pada Tanggal 20 Desember 1965 dengan surat keputusan Walikota no.

137/DR/XII/65 dibentuklah LPKB (Lembaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa)

dengan PMS sebagai partisipan aktif.

Kegiatan sosial yang dilakukan oleh PMS selain melanjutkan kegiatan rutin

yang sudah dilakukan oleh CMKH juga mengadakan kegiatan lain. PMS

menyediakan juga lokasi tanah pemakaman untuk masyarakat umum. Gedung

Gajah yang diadakan juga untuk acara resepsi pernikahan, yang semula hanya

dipakai untuk intern Tionghoa saja dibuka untuk umum (disewakan untuk umum).

Bidang pernikahan PMS, juga membantu penyelenggaraan pernikahan bagi orang-

orang pribumi dengan memberikan bantuan mengurus acara tersebut.

PMS membantu beberapa panti asuhan di seluruh Jawa Tengah dengan

memberikan bantuan dana ataupun bantuan lainnya seperti pakaian layak pakai,

makanan dan fasilitas lain. Pada bulan Maret 1966, PMS mengadakan bhakti

sosial membantu korban banjir di Solo. Pemberian bantuan berupa uang, bahan

makanan, obat-obatan, dan tenaga membantu meringankan pemerintah di dalam

mengatasi bencana banjir di Solo. Dibidang kematian, PMS juga menyediakan

lokasi pemakaman yang lebih luas daripada ketika jaman CMKH. PMS

menyediakan empat lokasi tanah pemakaman (Kongtee), yaitu: Kuburan Kongtee

Siang Bu, yang digunakan untuk umum; Kuburan Kongtee Siang Buu, Kuburan

Kongtee Hiang Gie, dan Kuburan Kongtee Kong Sing yang digunakan khusus

untuk anggota PMS.

Perhatian PMS tidak hanya pada bidang Kematian, atau pun sosial.

Dibidang kesenian misalnya, PMS berperan aktif di dalam melestarikan kesenian

Page 125: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

125

Jawa seperti wayang orang, karawitan, tari-tarian, dan gending Jawa. PMS

menyediakan ruangan khusus untuk latihan Tari atau kegiatan kesenian lainnya.

Keanggotaan kesenian tersebut tidak hanya pada orang-orang Tionghoa

melainkan juga diisi oleh orang-orang Pribumi. Selain dengan pihak keraton, PMS

juga dekat dengan pribumi. Kedekatan dengan keraton sudah dimulai ketika

jaman CMKH, hal itu terlihat ketika acara lustrum pertama CMKH, pihak keraton

memberikan sumbangan berupa Tari Golek Mataram yang lengkap dengan

pengrawit dan swarawatinya. PMS kerap mengadakan pertunjukan wayang orang

dan wayang kulit. Latihan wayang orang ternyata tidak sia-sia, pada tahun 1960,

PMS berhasil menjadi juara III Tingkat Nasional dalam Festival Wayang Orang

Nasional. Selain itu, pada tanggal 24 Oktober 1970, PMS juga mengadakan

pementasan kesenian di Jakarta guna membantu pengumpulan dana sosial proyek

kemanusiaan Irian Barat. Pada tanggal 12 Agustus 1971, Misi kesenian PMS

diberangkatkan ke Singapura mewakili Indonesia di dalam pementasan kesenian

tradisional Jawa di National Theatre Singapura. Adapun tokoh-tokoh kesenian

yang menjadi anggota PMS dari CMKH dulu adalah: Go Tik Swan (KRT

Hardjonagoro), Tan Gwan Hien, Tan Tian Ping, Lo Tik Wan, Tan Cek Lee, dan

Gan Kam.

Untuk bidang keagamaan, PMS kerap mengadakan acara sembahyangan

bersama ketika penyambutan tahun baru Imlek. Kegiatan tersebut tidak hanya

diikuti oleh kalangan intern pemeluk agama Khonghucu, Taoisme dan Buddha

tetapi juga kalangan pemeluk agama lain. Bahkan dari orang-orang Tionghoa atau

Pribumi yang memeluk agama Kristen, Katolik dan Islam pun ikut serta ambil

Page 126: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

126

bagian dalam perayaan tahun baru Imlek. PMS juga kerap mengadakan siraman

rohani berupa ceramah-ceramah keagamaan dengan diisi oleh pemuka masing-

masing agama. Kegiatan yang dilakukan setahun sekali tersebut diselenggarakan

di gedung PMS bagian belakang. Masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam

PMS masih mempertahankan tradisi upacara memperingati Tahun baru Imlek.

Selain tradisi tersebut, mereka juga mengadakan upacara selamatan siklus

kehidupan seperti: upacara selamatan punya anak, ulangtahun dan kematian.

Tradisi keagamaan ini tidak dapat berkembang dengan baik pasca tahun 1965,

karena semakin bertambahnya pemeluk agama Kristen dan Katolik dari kalangan

Tionghoa. Banyaknya orang-orang Tionghoa yang memeluk agama Kristen dan

Katolik selain disebabkan karena kurang praktisnya upacara sembahyang yang

ada dalam agama Khonghucu, Buddha atau Taoisme tetapi juga disebabkan

adanya situasi politik Indonesia121.

Pada era PMS ini, kursus pendidikan Bahasa Mandarin dan Bahasa Inggris

didirikan. Selain didirikannya tempat kursus tersebut pada tahun 1959-1966, PMS

juga memperbaharui sistem perpustakaan yang sudah ada untuk menunjang sarana

pendidikan. Tahun 1966, sekolah-sekolah Tionghoa ditutup oleh Pemerintah.

Maka dari itu organisasi PMS memberikan jalan keluar bagi para peserta sekolah

Tionghoa yang kebanyakan anak-anak Tionghoa anggota PMS untuk bersekolah

di sekolah-sekolah Kristen atau Katolik, sekolah Warga, sekolah Tripusaka, dan

sekolah swasta lainnya yang diijinkan berdiri oleh pemerintah. Dengan adanya

perubahan orientasi pendidikan tersebut, secara otomatis telah menghasilkan

121 Adanya pelarangan budaya Tionghoa oleh pemerintahan Soeharto

melalui Inpres no.14 / 1967, tentang Agama, Kepercayaan, dan adat istiadat Cina

Page 127: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

127

integrasi antara golongan Pribumi (Jawa) dengan Tionghoa. Pendidikan yang

diajarkan dalam sekolah-sekolah ini, kebanyakan merupakan pelajaran umum dan

tidak ada kaitan yang erat dengan budaya Tionghoa122. Dalam sekolah-sekolah

Tionghoa, pergaulan hanya sebatas pada sesama anak-anak Tionghoa, sedangkan

di dalam sekolah swasta umum atau katolik pergaulan dengan anak-anak pribumi

dapat terjalin, meskipun masih terasa diskriminasi di dalam pergaulan mereka.

Perhatian PMS terhadap dunia pendidikan sangat besar, terbukti pada tahun 1973,

PMS telah berinisiatif meminjamkan tanah disebelah timur dan barat Thiong Ting

untuk Yayasan Pendidikan Tripusaka dengan bukti surat No. 65/PMS/73

tertanggal 4 Mei 1973, dan Yayasan Pendidikan Warga dengan surat No.

089/PMS/73. Peminjaman sebagian Tanah Thiong Ting yang luas totalnya sekitar

15.000 m2 kepada Yayasan Tripusaka dan Warga mengalami masa-masa yang

sulit. Terjadi silang pendapat diantara anggota PMS dan Pengurus. Sebagian besar

mendukung peminjaman tanah tersebut untuk kepentingan pendidikan, namun

yang lain tidak sepakat dengan peminjaman tersebut. Tetapi akibat dari

kesepakatan bersama akhirnya diputuskan boleh dipinjamkan123.

Kegiatan yang berbau nasionalisme yang dilakukan oleh PMS antara lain

kegiatan peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, Hari Kesaktian Pancasila,

122 Dalam sekolah-sekolah Tionghoa diajarkan bahasa Mandarin dan

pelajaran mengenai Tiongkok dan budayanya. Sedangkan dalam sekolah swasta umum atau sekolah katolik, mengajarkan budaya barat dan Indonesia. Bahasa pengantarnya pun memakai bahasa Indonesia.

123 Sedikit catatan, bahwa silang pendapat terjadi lagi pada tahun 1990

mengenai peminjaman tanah untuk kepentingan pendidikan tersebut. Gesekan terjadi juga dengan pihak Yayasan Pendidikan Warga yang bersikukuh ingin mempunyai hak atas tanah yang dipinjam tersebut.

Page 128: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

128

dan Hari-hari Nasional lainnya. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, yang

diikuti tidak hanya dari golongan Tionghoa namun juga Pribumi, menambah rasa

nasionalisme dalam diri orang-orang Tionghoa di Solo.

Ketika pada bulan maret 1966 terjadi banjir besar di Solo, organisasi PMS

ikut aktif membantu korban banjir dengan memberikan pelayanan pengobatan,

pemberian bahan makanan, uang, dan tenaga. Ketua PMS ketika periode ini yaitu

AMK Wignyosaputro dipilih menjadi ketua Pelaksana Komando Bencana Alam.

Page 129: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

129

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan melihat uraian tulisan di atas, dapat diperoleh gambaran tentang

kehidupan golongan Etnik Tionghoa di Solo. Dimulai dari sejarah umum Etnik

Tionghoa yang ada di Indonesia, hingga sejarah Tionghoa yang ada di Solo.

Tulisan ini membahas mengenai kebudayaan dari orang-orang Tionghoa, yang di

dalamnya mengangkat permasalahan kehidupan berorganisasi mereka.

Kedatangan orang-orang Tionghoa di Solo tidak dapat dipastikan waktu awalnya,

namun dapat disebutkan bahwa keberadaan orang-orang Tionghoa di Solo, sudah

ada sejak berdirinya kerajaan Mataram Islam. Meninjau dari berdirinya Klenteng

Tien Kok Sie yakni tahun 1745, maka dapatlah disimpulkan bahwa orang-orang

Tionghoa sudah ada di Solo kurang lebih tahun 1740.

Keberadaan Tionghoa di Solo pada waktu itu, juga masih berupa imigran

kelompok. Kedatangan para imigran ini, tidak lebih karena tuntutan ekonomi di

negerinya yang sulit, sehingga mereka mencari daerah baru yang dapat dipakai

untuk mencari uang. Pada awalnya, imigrasi besar-besaran terjadi akibat pengaruh

Belanda yang mengangkut orang-orang Tionghoa ke Indonesia untuk dijadikan

buruh dalam perkebunan-perkebunan mereka di Luar Jawa, namun setelah

mengalami perkembangan jaman, maka mereka sedikit mengalami perubahan

hingga menyebar ke Jawa yang dirasa mudah untuk mencari uang. Setelah begitu

banyak orang-orang Tionghoa yang bermukim di Jawa khususnya di wilayah

Page 130: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

130

Jawa Barat, kemudian mereka menyebar hingga ke Solo. Dari mereka inilah pada

awalnya yang membentuk suatu koloni Tionghoa yang menetap lama dan beranak

cucu.

Keturunan Tionghoa atau yang biasa disebut Tionghoa Peranakan memiliki

peranan yang sangat penting. Kehidupan berkelompok mereka, pada akhirnya

menciptakan suatu kehidupan berorganisasi yang sangat solid. Pembentukan

organisasi-organisasi Tionghoa tak luput dari rancangan orang-orang Tionghoa

peranakan, lebih-lebih ketika mereka mendapatkan pendidikan ala Belanda.

Organisasi yang semula mereka bentuk hanya berupa organisasi sederhana yang

berperan aktif di dalam masalah kematian saja, lama-lama berubah menjadi suatu

organisasi yang mengurusi masalah-masalah lain seperti sosial-ekonomi, politik

dan budaya.

Organisasi Tionghoa yang ada di Solo pada awalnya beragam dan menitik

beratkan pada masalah-masalah intern. Organisasi tersebut juga masih bercorak

mengelompok, tergantung dari etnik mereka masing-masing. Sebagai contoh

organisasi Hoo Hap yang diperuntukkan bagi orang-orang Hokkian. Kebijakan-

kebijakan pemerintahan yang berbeda dari model pemerintahan Belanda, Jepang

hingga Indonesia tidak merubah eksistensi berdirinya organisasi-organisasi

Tionghoa tersebut.

Munculnya generasi Tionghoa peranakan di Solo, membentuk organisasi

yang lebih besar dan tidak terbatas pada ke etnisan mereka. Pada awalnya,

pembentukan organisasi yang coraknya lebih ke etnisan, bergerak mengurusi

masalah intern dalam kelompok mereka. Namun hal tersebut tidak berjalan

Page 131: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

131

dengan baik, ketika menghadapi masalah yang lebih besar. Untuk mengatasi hal

tersebut, maka terbentuk organisasi yang sifatnya sudah bukan intern ke etnisan.

Organisasi ini bernama CMKH, yang merupakan gabungan dari bermacam-

macam organisasi Tionghoa yang ada di Solo124. Berdirinya CMKH, ternyata

membawa suatu perubahan dan membentuk karakter berorganisasi dari orang-

orang Tionghoa yang ada di Solo.

Salah satu manfaat yang dirasakan oleh masyarakat Tionghoa Solo adalah

memudahkan mereka untuk mengurus masalah sosial, budaya dan kemanusiaan

seperti kematian dan kemiskinan. Memang pada awal berdirinya organisasi

CMKH ini, hanya sebatas mengurusi masalah kematian, seperti pendirian rumah

kematian bernama Thiong Ting yang berada di bawah pengelolaan CMKH.

Dengan semakin bertambahnya usia organisasi ini, maka kinerja mereka juga

semakin bertambah banyak. Bidang-bidang yang semula hanya terbatas pada

masalah kematian dan kemiskinan, meluas ke bidang budaya, seni dan olahraga.

Dengan kata lain, bahwa berdirinya organisasi CMKH, menambah kemampuan

berorganisasi dari orang-orang Tionghoa di Solo.

Ketika Bangsa ini memasuki masa pemerintahan oleh orang-orang

Indonesia sendiri, maka situasi politik semakin tidak menentu. Akibat yang

dihasilkan oleh situasi politik yang melanda negeri ini, maka membawa dampak

yang tidak sedikit pada organisasi CMKH. Tranformasi terjadi dalam tubuh

CMKH, yang juga merubah nama organisasi ini menjadi organisasi PMS

124 Ada enam perkumpulan sosial kemasyarakatan yang bergabung menjadi

satu wadah, yaitu : Kong Tong Hoo, Hiang Gie Hwee, Hap Gie Hwee, Kong Sing Hwee, Sam Ban Hien dan Tiong Hoa Poen Sing Hwee

Page 132: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

132

(Perkumpulan Masyarakat Surakarta). Perubahan dalam AD / ART organisasi

CMKH, termasuk di dalamnya terdapat orang-orang dari Etnik Jawa, membawa

suatu perubahan bagi CMKH. Untuk lebih terlihat nasionalismenya, dan tidak

menyinggung pihak di luar orang-orang Tionghoa, maka terjadi kesepakatan

dalam rapat kepengurusan CMKH untuk merubah nama organisasi dan merubah

AD / ART mereka.

B. Saran

Keberadaan organisasi CMKH hingga berubah menjadi PMS tidak

mengurangi peran mereka di dalam masyarakat umum khususnya dalam

komunitas Tionghoa di Solo. CMKH memiliki peranan yang demikian besar bagi

etnik Tionghoa di Solo khususnya pada setiap permasalahan yang harus dihadapi

oleh orang-orang Tionghoa yang berkaitan dengan lingkungan sekeliling dimana

mereka tinggal. Organisasi ini ternyata juga menjadi harapan bagi tergalangnya

sikap solidaritas antara Tionghoa dengan Pribumi, meskipun harus mengubah

nama dan visi misi mereka dari CMKH menjadi PMS.

Terbentuknya PMS tak lepas dari partisipasi tokoh-tokoh masyarakat

pribumi di Solo. Masuknya orang-orang Jawa ke dalam keanggotaan CMKH

membuat organisasi ini harus memperlihatkan jiwa nasionalisme mereka sehingga

mau tidak mau harus mengubah nama organisasi tersebut. Tetapi perubahan itu

hanya sebatas pada nama dan fungsi organisasi tersebut, sistem birokrasi

kepengurusan yang ada di dalam PMS tidak mencerminkan solidaritas yang ada di

dalamnya. Seharusnya sebagai suatu organisasi yang memiliki rasa solidaritas

yang tinggi terhadap masyarakat diluar Tionghoa, PMS mampu membawa orang-

orang Jawa atau Pribumi untuk duduk bersama dalam kepengurusan yang penting

di PMS.

Page 133: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

133

Dengan duduknya orang-orang Pribumi di dalam kepengurusan inti PMS,

maka cerminan rasa solidaritas akan terlihat dimata masyarakat umum baik itu

dalam kota Solo maupun di luar kota Solo.

Page 134: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

i

DAFTAR PUSTAKA I. BUKU / ARTIKEL: Anata Toer Pramudya., 1960, Hoa Kiau di Indonesia, Jakarta: Bintang Press.

Carey Peter. Dr., 1985, Orang jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825), Jakarta: Pustaka Azet.

Cushman, Jennifer, dan Wang Gung Wu, ed., 1991, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara, Jakarta: Grafiti Press.

De Graaf., H. J. dkk., 1988, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI – Antara Historis dan Mitos, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Fung Yu Lan., 1990, SEJARAH RINGKAS FILSAFAT CINA : Sejak Confusius sampai Han Fei Tzu, Judul asli : A History Of Chinese Philosophy (1937), diterjemahkan oleh : Drs. Soejono Soemargono, Yogyakarta : Liberty.

Gottschalk, Louis., 1986, Mengerti Sejarah, Terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press.

Hariyono. P. Drs., 1993, KULTUR CINA DAN JAWA : Pemahaman Menuju asimilasi Kultural, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Joe Lan Nio., 1961, Peradaban Tionghoa selayang pandang, Jakarta: Keng Po.

Koentjaraningrat, ed., 1979, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.

Page 135: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

ii

Leo Suryadinata, 1988, The Culture Of Chinese Minority in Indonesia, Terj. Dede Oetomo, Kebudayaan Minoritas Tionghoa Di Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Liem Thian Joe, 2001, Riwayat Semarang, Jakarta: Hasta Wacana.

Moedjanto G., Drs. M.A., 2001, INDONESIA ABAD KE-20 jilid I, Yogyakarta: Kanisius

--------------------------------, 2003, Suksesi dalam sejarah Jawa, Yogyakarta: USD Press.

Mona Lohanda, 1996, The Kapitein Cina of Batavia 1837-1942, Jakarta: Djambatan.

Mulyana Slamet., Prof. Dr., 2005, Runtuhnya kerajaan Hindu-Djawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LkiS.

Nasution S., 1988, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito.

Poloma M Margareth., 1979, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: CV. Rajawali.

Purwanto Hari., Dr., 2003, Komunitas China di Indonesia, Handout.

Ricklefs M. C. Dr., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu.

Rustopo., 2007, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Ombak.

Setiono Benny G., 2006, Tionghoa dalam pusaran politik, Jakarta: ELKASA.

Soekanto Soerjono., Prof. Dr., 1982, Sosiologi suatu pengantar, Jakarta: CV. Rajawali.

Page 136: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

iii

Suryadinata Leo., 1981, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Grafiti Press.

--------------------, 1986, Politik Tionghoa peranakan di Jawa 1917-1942, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

---------------------, 1990, Mencari Identitas Nasional, Jakarta: LP3ES.

Tan Mely G., Dr., 1981, Cetakan kedua, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia – Suatu masalah pembinaan kesatuan bangsa, Jakarta: Gramedia.

Werdoyo T., 1990, Tan Djin Sing – dari Kapitein Cina sampai Bupati Yogyakarta, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Wilmott , Donald E., 1958, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, London: Cornell University Press.

II. SURAT KABAR DAN MAJALAH: Mata Hari, 3 Mei 1936.

Perkumpulan Masyarakat Surakarta, 2002, 70 Tahun PMS 1932-2002.

Joe Lan Nio, 1940, Riwajat 40 Taon dari TIONG HOA HWE KOAN- BATAVIA (1900-1939), Batavia: THHK.

Majelis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN), Seri Genta Suci Konfusian : RIWAYAT HIDUP NABI KHONGCU, Surakarta : MATAKIN, SAK TH XVIII No. 2/3.

__________ , KITAB SU SI , Terjemahan, Surakarta : MATAKIN, 1970.

III. NARA SUMBER:

Page 137: SKRIPSIrepository.usd.ac.id/27305/2/024314004_Full[1].pdfTionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penulisan Skripsi

iv

Haksu Tjhie Tjay Ing, 70 tahun, Surakarta.

Bunsu Adjie Candra, 49 tahun, Surakarta.

Ir. Djoko Prananto, 55 tahun, Surakarta.

Iswahyudia, 58 tahun, Surakarta.

Martono, 56 tahun, Surakarta.