15. Dampak Pada Iklim Dan Atmosfer

Embed Size (px)

DESCRIPTION

book

Citation preview

  • Bahan Ajar Pelatihan Penilaian AMDAL

    DAMPAK PADA IKLIM DAN ATMOSFER

    PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

    KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

    2009

  • Bahan Ajar Pelatihan Penilaian AMDAL

    DAMPAK PADA IKLIM DAN ATMOSFER

    Disclaimer

    Bahan ajar ini merupakan bahan referensi lepas yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan Pelatihan Penilaian AMDAL. Bahan ajar ini dapat dikembangkan oleh pengajar sesuai kebutuhan dengan tetap

    mengacu pada kaidah kurikulum dan peraturan yang berlaku.

  • iv

    KATA PENGANTARBahan ajar ini dimaksudkan sebagai salah satu bahan pendukung dalam proses pembelajaran untuk Pelatihan Penilaian AMDAL yang diadakan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup untuk membantu Pemerintah Daerah memenuhi persyaratan lisensi bagi Komisi Penilai AMDAL Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 06 Tahun 2008 tentang Tata Laksana Lisensi Komisi Penilai AMDAL Kabupaten/Kota.

    Bahan ajar ini disusun atas kerjasama Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementrian Negara Lingkungan Hidup.

    Bahan ajar ini disusun secara singkat dan sederhana agar mudah dipahami oleh peserta diklat, yaitu para penilai AMDAL, yang umumnya memiliki kemampuan beragam. Bahan ajar ini dapat dikembangkan oleh pengajar sesuai kebutuhan dengan tetap mengacu pada kaidah kurikulum dan peraturan yang berlaku. Bahan ajar ini masih perlu disempurnakan, karena itu saran dan kritik membangun untuk penyempurnaannya sangat diharapkan.

    Maret, 2009

    Penyusun

  • vDAFTAR ISIKATA PENGANTAR iv

    DAFTAR ISI v

    DAFTAR TABEL vi

    DAFTAR GAMBAR vii

    BAB I PENDAHULUAN 1

    1.1 Latar Belakang 1

    1.2 Deskripsi Singkat 1

    1.3 Manfaat Modul Bagi Peserta 1

    1.4 Tujuan Pembelajaran 1

    1.4.1 Kompetensi Dasar 1

    1.4.2 Indikator Keberhasilan 1

    1.5 Materi Pokok 2

    BAB II PENGERTIAN IKLIM DAN ATMOSFER 3

    BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERU-BAHAN IKLIM DAN KERUSAKAN ATMOSFER 5

    3.1Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Iklim 5

    3.1.1 Energi 7

    3.1.2 Kehutanan 8

    3.1.3 Pertanian dan Peternakan 9

    3.1.4 Sampah 10

    3.2Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Atmosfer 11

    BAB IV DAMPAK TERHADAP IKLIM DAN ATMOSFER 13

    4.1Dampak Terhadap Iklim 13

    4.2 Dampak Perubahan Iklim Pada Manusia 14

    4.2.1 Dampak Pada Kenaikan Muka Air Laut 14

    4.2.2 Dampak Kenaikan Suhu Pada Daerah Pantai 15

    4.2.3 Dampak Pada Pertanian 15

    4.2.4 Dampak Pada Kesehatan Manusia 16

    4.3Dampak Terhadap Atmosfer 16

    4.4Dampak Kerusakan Atmosfer Pada Makhluk Hidup 16

    BAB V PRINSIP-PRINSIP PENANGANAN DAMPAK PADA IKLIM DAN ATMOSFER 18

    5.1Prinsip-Prinsip Penanganan Dampak Pada Iklim 18

    5.1.1 Mitigasi Perubahan Iklim 18

    5.1.2 Adaptasi Perubahan Iklim 21

    5.2 Prinsip-Prinsip Penanganan Dampak Pada KerusakanAtmosfer 22

    5.3 Program Perlindungan Lapisan Ozon Di Indonesia 24

    BAB VI PENUTUP 25

    6.1 Rangkuman 25

    6.2 Evaluasi 25

    DAFTAR PUSTAKA 26

  • vi

    Tabel 1 Jenis-jenis GRK Berdasarkan UNFCCC dan Sumber sumbernya 6

    Tabel 2 Indeks Potensi Pemanasan Global (GWP) 7

    Tabel 3 Sektor yang Mempengaruhi Perubahan Iklim 7

    Tabel 4 Kandungan Emisi Karbon Tiap Jenis Bahan Bakar (KLH, 2004a) 8

    Tabel 5 Sumber Emisi dan Rosot GRK dari Sektor Kehutanan di Indonesia (dalam Gg) (KLH, 1996) 9

    Tabel 6 Emisi GRK dari Sektor Pertanian di Indonesia (dalam Gg) (KLH, 1996) 9

    Tabel 7 Waktu Hidup Atmosferik, Emisi dan Potensi Perusak Ozon Gas-Gas Halogen 11

    Tabel 8 Daerah Rentan Terkena Dampak Pemanasan Global 15

    Tabel 9 Kegiatan Sektoral Penurunan GRK 19

    Tabel 10 Kegiatan-Kegiatan yang Dapat Dilaksanakan Sebagai Proyek CDM 20

    Tabel 11 Adaptasi terhadap Dampak Perubahan Iklim 21

    Tabel 12 Jadwal Penghentian Impor Bahan Perusak Ozon 23

    DAFTAR TABEL

    DAFTAR GAMBARGambar 1. Efek Rumah Kaca 11

    Gambar 2. Emisi CO2 dari Tiap Sektor di Indonesia 15

    Gambar 3. Komposisi Sampah Berdasarkan Sumber 18

    Gambar 4. Komposisi Sampah Berdasarkan Material 19

  • 11.1 LATAR BELAKANGKegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari memberikan dampak terhadap lingkungan yang tidak saja bersifat lokal tapi juga berskala global. Di antara dampak global yang sudah terjadi saat ini adalah dampak terhadap iklim yaitu pemanasan global yang memicu perubahan iklim, serta penipisan lapisan ozon di atmosfer. Beberapa faktor yang telah diketahui berkontribusi terhadap terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim adalah diemisikannya gas-gas rumah kaca dari kegiatan manusia ke atmosfer. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup kegiatan pada sektor energi, kehutanan, pertanian dan peternakan serta sampah. Sedangkan pemicu terjadinya penipisan lapisan ozon adalah penggunaan bahan-bahan yang mengandung klorin dan bromin yang dapat merusak lapisan ozon stratosfer.

    Menyadari dampak negatif terhadap iklim dan atmosfer tersebut, masyarakat internasional telah menanggapi dengan menyepakati beberapa konvensi internasional serta protokol-protokolnya untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan-kegiatan penyebab dampak negatif tersebut. Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) dengan Protokol Kyotonya serta Konvensi Wina dengan Protokol Montrealnya merupakan kesepakatan internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer serta mengawasi pembuatan, penggunaan serta perdagangan bahan-bahan perusak ozon.

    1.2 DESKRIPSI SINGKATModul ini menjelaskan pengertian iklim dan atmosfer, faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan iklim dan kerusakan atmosfer, dampak terhadap iklim dan atmosfer termasuk dampak perubahan iklim pada manusia serta dampak kerusakan atmosfer pada makhluk hidup, dan prinsip-prinsip penanganan dampak pada iklim dan atmosfer.

    1.3 MANFAAT MODUL BAGI PESERTAPeserta Diklat ini adalah calon-calon penilai dokumen AMDAL. Sebagai penilai dokumen AMDAL, peserta perlu mengetahui dampak-dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan dari kegiatan-kegiatan yang akan dinilai AMDAL-nya. Di antara dampak yang perlu diketahui adalah dampak terhadap iklim dan atmosfer. Modul ini memberikan penjelasan mengenai iklim dan atmosfer, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan iklim dan kerusakan atmosfer, dampak terhadap iklim dan atmosfer serta prinsip-prinsip penanganan dampak pada iklim dan atmosfer.

    1.4 TUJUAN PEMBELAJARAN

    1.4.1 KOMPETENSI DASAR

    Setelah mempelajari materi di dalam modul ini, peserta diharapkan dapat memahami dan menjelaskan mengenai dampak timbal balik yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan terhadap iklim dan atmosfer, termasuk prinsip-prinsip penanganan dampak pada iklim dan atmosfer.

    1.4.2 INDIKATOR KEBERHASILAN

    Kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta setelah mempelajari modul ini adalah:

    Menjelaskan pengertian iklim dan atmosfer

    Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan iklim dan kerusakan atmosfer

    Menjelaskan dampak terhadap iklim dan atmosfer

    Menjelaskan dampak perubahan iklim dan kerusakan atmosfer pada manusia dan makhluk hidup lainnya

    BAB I. PENDAHULUAN

  • 2Menjelaskan mengenai kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta program perlindungan lapisan ozon.0.2

    1.5 MATERI POKOK Paparan mengenai dampak terhadap iklim dan atmosfer dalam modul ini disampaikan dalam materi pokok dan sub materi pokok dengan struktur sebagai berikut :

    .Pengertian iklim dan atmosfera.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan iklim dan kerusakan atmosferb.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan iklim

    Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan atmosfer

    Dampak terhadap iklim dan atmosferc.

    Dampak terhadap iklim

    Dampak terhadap atmosfer

    Prinsip-prinsip penanganan dampak pada iklim dan atmosferd.

    Prinsip-prinsip penanganan dampak pada iklim

    Prinsip-prinsip penanganan dampak pada atmosfer

  • 3Atmosfer adalah lapisan pelindung yang melindungi kehidupan di bumi termasuk dari lingkungan luar angkasa yang tidak aman. Atmosfer merupakan sumber gas karbon dioksida yang diperlukan untuk fotosintesis tumbuh-tumbuhan serta sumber oksigen untuk bernapas. Atmosfer juga mengandung nitrogen yang digunakan oleh bakteri dan tumbuhan penghasil amonia untuk menghasilkan nitrogen yang terikat secara kimia, suatu komponen penting bagi kehidupan molekul-molekul. Sebagai suatu bagian dasar dari siklus hidrologi, atmosfer mengangkut air dari lautan menuju daratan (Manahan, 1993).

    Dalam perannya yang penting sebagai pelindung, atmosfer menyerap hampir seluruh sinar kosmik dari luar angkasa dan melindungi organisme-organisme dari akibat yang ditimbulkan oleh sinar-sinar tersebut. Atmosfer juga menyerap hampir seluruh radiasi elektromagnetik dari matahari dengan hanya mentransmisikan radiasi pada daerah panjang gelombang 300-2500 nanometer (sinar ultraviolet dekat, tampak dan radiasi infra merah dekat) dan 0.01-40 meter (gelombang radio). Dengan menyerap radiasi elektromagnetik di bawah 300 nm, atmosfer menyaring radiasi ultraviolet yang berbahaya bagi makhluk hidup. Selain itu, karena atmosfer menyerap kembali radiasi infra merah di mana energi panas yang telah diserap dipantulkan kembali ke angkasa, atmosfer menstabilkan suhu bumi dengan cara mencegah terjadinya suhu ekstrim yang umum terjadi pada planet-planet lain yang tidak memiliki lapisan atmosfer yang cukup (ibid).

    Salah satu bagian terpenting dari atmosfer adalah ozon. Molekul ozon terdiri dari tiga atom oksigen yang secara kimia dilambangkan sebagai O3. Ozon berada pada lapisan atmosfer bagian atas, yaitu lapisan stratosfer, yang berjarak sekitar 10 km dari permukaan bumi. Pada lapisan tersebut terdapat sekitar 90% ozon atmosferik yang membentuk lapisan ozon, yang melindungi manusia dari sinar ultraviolet (UV) dari matahari yang berbahaya. Ozon lainnya (10%) berada pada lapisan yang lebih rendah yaitu pada lapisan troposfer. Ozon stratosfer bermanfaat bagi kehidupan di bumi karena lapisan ini menyerap sinar UV B dari matahari. Tanpa adanya penyerapan ini, sinar UV B akan mencapai bumi dalam jumlah yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup di bumi. Ozon pada lapisan troposfer terbentuk dari reaksi kimia alami serta karena adanya reaksi yang disebabkan oleh gas-gas polutan yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Ozon yang dihasilkan dari polutan ini tidak baik bagi makhluk hidup. Dampak negatif meningkatnya ozon troposfer sangat berlawanan dengan dampak positif ozon stratosfer (Fahey et.al, 2002).

    Ozon stratosfer terbentuk secara alami melalui reaksi kimia yang melibatkan sinar UV dari matahari dan molekul-molekul oksigen yang berjumlah 21% di atmosfer. Pada tahap pertama, sinar matahari memutus molekul oksigen menjadi dua atom oksigen. Selanjutnya, tiap atom oksigen akan bergabung dengan molekul oksigen lain membentuk molekul ozon (O3). Reaksi ini terjadi secara terus-menerus dengan kehadiran sinar UV dari matahari pada lapisan stratosfer. Dalam reaksi kimia, pembentukan ozon stratosfer berlangsung setimbang dengan penguraiannya (ibid).

    Sistem iklim merupakan suatu sistem yang kompleks dan interaktif yang terdiri dari atmosfer, permukaan tanah, salju dan es, lautan dan badan air lainnya, serta makhluk hidup. Komponen atmosferik dari sistem iklim membentuk sifat-sifat iklim; iklim seringkali didefi nisikan sebagai cuaca rata-rata. Iklim biasanya dijelaskan dengan suhu rata-rata dan variabilitas suhu, presipitasi dan angin selama suatu periode waktu, yang berkisar dari bulan ke berjuta-juta tahun (biasanya periode yang digunakan 30 tahun). Sistem iklim berubah dengan waktu dengan adanya pengaruh dinamika internal iklim itu sendiri dan sebagai akibat dari perubahan-perubahan pada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi iklim.

    Hal-hal yang termasuk kekuatan-kekuatan eksternal yaitu fenomena alam seperti letusan gunung berapi dan variasi sinar matahari, serta perubahan-perubahan pada komposisi atmosferik yang disebabkan oleh manusia. Radiasi sinar matahari memberi kekuatan pada sistem iklim (IPCC, 2007). Secara umum iklim dapat didefi nisikan sebagai kondisi rata-rata suhu, curah hujan, tekanan udara dan angin dalam jangka waktu yang panjang, yaitu antara 30 100 tahun. Iklim adalah pola cuaca yang terjadi selama bertahun-tahun. Perbedaannya dengan cuaca adalah bahwa cuaca merupakan kondisi harian suhu, curah hujan,

    BAB II. PENGERTIAN IKLIM DAN ATMOSFER

  • 4tekanan udara dan angin (KLH, 2004a). Sedangkan cuaca adalah keadaan atmosfer, terutama dilihat dari segi pengaruhnya terhadap kegiatan manusia dan dari segi keterubahannya yang berjangka pendek (Neiburger, 1995).

  • 5BAB III. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN IKLIM DAN KERUSAKAN ATMOSFER3.1 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

    PERUBAHAN IKLIM Sejak Revolusi Industri pada abad ke-19, hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada satu abad terakhir telah terjadi peningkatan suhu global akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang bersifat menyerap atau memerangkap panas yang diterimanya di atmosfer bumi. Dalam Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC), terdapat enam jenis gas yang digolongkan ke dalam GRK, yaitu karbondioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), metan (CH4), sulfurheksafl uorida (SF6), perfl uorokarbon (PFCs) dan hidrofl uorokarbon (HFCs). Beberapa gas yang termasuk GRK penting di antaranya CO2 (karbondioksida), CH4 (metan), dan N2O (nitrous oksida).

    Efek rumah kaca adalah proses penghangatan permukaan bumi yang disebabkan oleh radiasi matahari yang berupa gelombang pendek (tidak bersifat panas), masuk ke bumi menembus lapisan atmosfer. Setelah radiasi matahari masuk diterima permukaan bumi, radiasi tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer menjadi gelombang panjang (inframerah) yang kita rasakan berupa energi panas. Namun tak semua radiasi tersebut dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar, karena sebagian tertahan oleh gas-gas rumah kaca (GRK) yang berada di atmosfer. Akumulasi radiasi matahari yang terperangkap di atmosfer bumi menyebabkan suhu di bumi menjadi hangat, dan layak dihuni oleh makhluk hidup.

    Peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) atmosferik serta gas-gas rumah kaca lainnya selama era industri disebabkan oleh kegiatan manusia. Kenyataannya, peningkatan yang diamati pada konsentrasi CO2 atmosferik tidak menunjukkan bahwa seluruh emisi berasal dari kegiatan manusia, hanya 55% CO2 yang berasal dari kegiatan manusia sejak tahun 1959. Sisanya telah diserap oleh tumbuh-tumbuhan di darat dan oleh laut. Untuk semua kasus, konsentrasi gas-gas rumah kaca atmosferik, serta peningkatannya, ditentukan oleh kesetimbangan antara sumber-sumber (emisi gas dari kegiatan manusia dan sistem alam) dan rosot (penyerapan gas dari atmosfer melalui konversi menjadi suatu senyawa kimia yang berbeda). Pembakaran bahan bakar fosil (ditambah sejumlah kecil dari pabrik semen) bertanggung jawab terhadap lebih dari 75% emisi CO2 yang disebabkan oleh manusia.

    Perubahan fungsi lahan (terutama deforestasi) bertanggung jawab terhadap 25% emisi CO2. Untuk metan, yaitu salah satu gas rumah kaca penting lainnya, emisi yang dihasilkan dari kegiatan manusia melampaui emisi alami selama 25 tahun terakhir. Untuk nitrous oksida, emisi yang dihasilkan dari kegiatan manusia setara dengan emisi alami ke atmosfer. Hampir semua gas-gas yang mengandung halogen yang memiliki waktu hidup panjang (seperti klorofl uorokarbon) dibuat oleh manusia, dan tidak terdapat di atmosfer sebelum era industri. Secara rata-rata, ozon troposfer saat ini telah meningkat 38% sejak masa sebelum industrialisasi, dan peningkatan tersebut dihasilkan dari reaksi-reaksi atmosferik polutan-polutan yang berusia pendek yang dilepaskan dari kegiatan manusia. Konsentrasi CO2 saat ini 379 ppm dan metan lebih besar dari 1774 ppb, keduanya dipastikan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pada masa-masa sekitar 650 ribu tahun yang lalu (masa-masa di mana konsentrasi CO2 berkisar antara 180 dan 300 ppm dan metan antara 320 dan 790 ppb). Laju perubahan saat ini sangat luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya; peningkatan konsentrasi CO2 belum pernah melampaui 30 ppm dalam seribu tahun saat ini CO2 telah meningkat sebesar 30 ppm hanya dalam 17 tahun terakhir.

    Peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca ini menyebabkan terjadinya efek rumah kaca yang berlebihan sehingga memperbesar terperangkapnya radiasi panas balik di atmosfer kembali ke permukaan bumi, sehingga suhu udara di permukaan bumi meningkat, yang kemudian diketahui dampaknya sebagai pemanasan global. Dampak dari kenaikan suhu udara akan menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim yang lain seperti meningkatnya penguapan di udara serta berubahnya pola curah hujan

  • 6dan tekanan udara. Perubahan-perubahan ini akhirnya merubah pola iklim dunia, atau biasa disebut sebagai perubahan iklim global.

    Gambar 1. Efek Rumah Kaca (Sumber: UNEP).

    Pemanasan global dan perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia sehari-hari.

    Tabel 1 Jenis-jenis GRK Berdasarkan UNFCCC dan Sumber-sumbernya

    Gas Rumah Kaca Sumber

    Karbondioksida (CO2) Pembakaran bahan bakar fosil, transportasi, deforestasi, pertanian

    Metan (CH4)Pertanian, perubahan tata guna lahan, pembakaran biomassa, tempat

    pembuangan akhir sampah

    Nitrous oksida (N2O) Pembakaran bahan bakar fosil, industri, pertanian

    Hidrofl uorokarbon (HFCs) Industri manufaktur, industri pendingin (freon), penggunaan aerosol

    Perfl uorokarbon (PFCs) Industri manufaktur, industri pendingin (freon), penggunaan aerosol

    Sulfur heksafl uorida (SF6) Transmisi listrik, manufaktur, industri pendingin (freon), penggunaan aerosol

    Sumber: KLH (2004b).

    Untuk jumlah konsentrasi yang sama, masing-masing GRK memiliki dampak terhadap pemanasan global yang berbeda-beda. Perbandingan perbedaan ini dinyatakan dalam indeks GWP (Global Warming Potential), dengan menggunakan CO2 sebagai acuan. Melalui cara ini, satu satuan berat GRK tertentu dibandingkan dengan sejumlah CO2 yang memberikan dampak pemanasan global yang sama. Misalnya, 1 ton emisi gas

  • 7metan akan memberikan dampak pemanasan global yang sama dengan 21 gas CO2 (KLH, 2004a).

    Tabel 2 Indeks Potensi Pemanasan Global (GWP)

    GasWaktu

    hidup (th)

    GWP

    20 th

    GWP

    100 th

    GWP

    500 thKarbon dioksida, CO2 1 1 1

    Metan, CH4 12 62 23 7

    Nitrous oksida, N2O 114 275 296 156

    Hidrofl uorokarbon, HFC 0.3 260 40 9400 12 12000 4 - 10000

    Sumber: IPCC Third Assessment Report, Table 6.1.

    Secara umum, kegiatan-kegiatan di Indonesia yang mempengaruhi terjadinya perubahan iklim berasal dari sektor energi, kehutanan, pertanian dan peternakan, serta sampah. Emisi GRK dari sektor-sektor tersebut di Indonesia berdasarkan inventarisasi GRK tahun 1994 (KLH, 1999), adalah sbb:

    Tabel 3 Sektor yang Mempengaruhi Perubahan Iklim

    Sumber CO2 (kT) CH4 (kT) N2O (kT) CO2eq (kT) %

    Total energi 170,02 2,40 5,72 220,2 24,84Proses industri

    19,12 - 0,51 19,15 2,16

    Pertanian - 3,24 52,86 71,35 8,05

    Perubahan tata guna lahan dan kehutanan

    559,47 367 2,52 567,33 64

    Sampah - 402 - 8,44 0,95Total 748,61 774,64 61,61 886,47 100

    3.1.1 ENERGI

    Dalam perspektif global, 85 persen konsumsi energi utama dunia berasal dari bahan bakar fosil, yaitu minyak bumi (40%), batu bara (25%) serta gas alam (20%). Sisanya berasal dari energi hidro dan nuklir. Pada tahun 2000, kebutuhan energi dunia meningkat 34 kali dibandingkan pada pertengahan tahun 70-an. Peningkatan yang signifi kan berasal dari negara-negara di kawasan Asia Timur termasuk Asia Tenggara yaitu sekitar 56 kalinya (KLH, 1999).

    Sumber energi utama yang biasa digunakan sebagai pembangkit energi pada industri, rumah tangga, sektor komersial dan transportasi terdiri dari batubara, biomassa, minyak bumi dan hasil pemurniannya, gas alam, tenaga air dan panas bumi. Dari berbagai penggunaan sumber energi tersebut, yaitu batubara, hasil pemurnian minyak bumi dan gas alam, mengemisikan GRK dengan kandungan yang berbeda-beda.

  • 8Tabel 4 Kandungan Emisi Karbon Tiap Jenis Bahan Bakar

    (KLH, 2004a)

    Jenis Bahan Bakar Emisi CO2/kWh (gr CO2)Batubara 940

    Minyak bumi 798Gas alam cair 581

    Di Indonesia, kegiatan ekonomi nasional masih sangat bergantung pada ketersediaan dan keberlanjutan suplai energi, terutama dari bahan bakar fosil. Sektor industri sebagai salah satu kegiatan pemanfaatan energi diketahui sebagai penyumbang terbesar emisi GRK (lihat gambar berikut) dan diikuti oleh transportasi dan listrik.

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    1990

    1991

    1992

    1993

    1994

    1995

    1996

    1997

    1998

    1999

    2000

    Tahun

    Emis

    i CO

    2 (0

    00 0

    00 T

    on)

    ListrikIndustriRT & KomersialTransportasiLain-lain

    Gambar 2. Emisi CO2 dari Tiap Sektor di Indonesia (Handbook of Indonesias Energy Economy Statistic 2002)

    3.1.2 KEHUTANAN

    Hutan merupakan sumber rosot GRK utama karena hutan dapat menyerap CO2, namun sebaliknya sektor kehutanan juga dapat menjadi sumber emisi GRK melalui proses alih guna lahan. Luas hutan di Indonesia saat ini adalah 126,8 juta ha (Dephut, 2007), namun berdasarkan data World Research Institue tahun 1997 seperti yang dikutip WALHI, Indonesia telah kehilangan lebih dari 72% hutan aslinya. Laju kerusakan hutan selama periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta ha per tahun dan naik menjadi 3,8 juta ha per tahun pada periode 1997-2000 (WALHI, 2004). Penggundulan hutan terjadi sebagai akibat dari kegiatan manusia merubah fungsi hutan menjadi penggunaan lain seperti pertanian, pengembangan area transmigrasi dan sarana dan prasarana, perladangan berpindah, penebangan liar dan kebakaran hutan (KLH, 2005).

    Berdasarkan hasil studi ALGAS tahun 1997, emisi GRK dari sektor kehutanan adalah 339,448.05 Gg CO2 per tahun. Emisi tersebut berasal dari pembakaran biomassa (57%), menurunnya jumlah biomassa (24%), pelepasan karbon tanah (11%) serta penebangan hutan (2%). Tiga proses pertama merupakan akibat

  • 9dari kegiatan konversi hutan serta deforestasi. Gas-gas rumah kaca lainnya yang dihasilkan dari kegiatan konversi hutan adalah CH4 (527.71 Gg/tahun), CO (4,591.51 Gg/tahun), N2O (3.61 Gg/tahun) dan NOx (130.39 Gg/tahun) (KLH, 1999).

    Tabel 5 Sumber Emisi dan Rosot GRK dari Sektor Kehutanan di Indonesia (dalam Gg) (KLH, 1996)

    CO2 CH4 CO N2O NOxSumber emisiA. Konversi hutan dan

    lahan berumput257,436 919 8,042 6 228

    B. Perubahan pada hutan serta biomassa berkayu lainnya

    41,515 - - - -

    C. Emisi CO2 dari tanah yang berasal dari manajemen alih guna lahan

    17,604 - - - -

    Emisi total 316556 919 8,042 6 228RosotA. Konversi hutan dan

    lahan berumput-4147 - - - -

    B. Perubahan pada hutan serta biomassa berkayu lainnya

    -1234378 - - - -

    Penyerapan total -1238525 0 0 0 0

    3.1.3 PERTANIAN DAN PETERNAKAN

    Emisi GRK yang berasal dari sektor pertanian dan peternakan terdiri dari CH4, NOx, N2O dan CO. Emisi GRK tersebut berasal dari pengelolaan peternakan, persawahan, lahan pertanian dan pembakaran sisa pertanian, dengan jumlah yang berbeda-beda. Peternakan dan persawahan merupakan sumber utama emisi CH4 sedangkan lahan pertanian mengemisikan N2O.

    Tabel 6 Emisi GRK dari Sektor Pertanian di Indonesia (dalam Gg) (KLH, 1996)

    Sumber CH4 N2O CO NOxSawah basah 2,758.0 - - -Penggunaan pupuk - 24.70 - -Pembakaran sisa pertanian

    26.8 0.63 564.4 22.83

    Peternakan 864.4 - - -Total 3,649.2 25.33 564.4 22.83

    Sektor peternakan berkontribusi terhadap 23.41% emisi CH4 dari total emisi sektor pertanian. Dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi seperti saat ini, konsumsi daging, susu serta telur cenderung meningkat dengan tren peningkatan sebesar 2% per tahun, sehingga akan terjadi peningkatan emisi CH4 dari kegiatan peternakan ini dengan jumlah yang sebanding. Peternakan unggas berkontribusi terhadap emisi CH4 sebesar 0.86% dan peternakan sapi sebesar 2.34% dari emisi GRK total peternakan. Berdasarkan lokasinya, emisi CH4 dari sektor peternakan terbesar berasal dari provinsi Jawa Timur (22.3%) diikuti

  • 10

    dengan Sulawesi Selatan (13.0%) dan Jawa Tengah (10.5%) (KLH, 1999). Emisi CH4 ini terutama berasal dari pengelolaan limbah cair kotoran ternak.

    Lahan sawah merupakan kontributor terbesar terhadap emisi CH4 di Indonesia yaitu sebesar 2.565 Tg/tahun atau sebanding dengan 75.2% dari emisi CH4 nasional. Sawah yang diairi secara terus-menerus dengan irigasi teknis menghasilkan emisi terbesar yaitu sebesar 56.1% dari emisi total dari lahan sawah (KLH, 1999).

    3.1.4 SAMPAH

    Berdasarkan statistik sampah, produksi sampah rata-rata di Indonesia saat ini sekitar 800 g/kapita/hari yang setara dengan 172 ribu ton timbulan sampah per hari secara nasional. Dari jumlah tersebut, sumber sampah terbesar berasal dari rumah tangga (82 ribu ton), pasar serta pertokoan (57 ribu ton). Komposisi terbesar sampah di Indonesia adalah bahan organik layak kompos sebesar 65%.

    Rumah tangga47%

    Pasar24%

    Jalan6%

    Kantor1%

    Industri1%

    Fasilitas umum

    5%

    Saluran

  • 11

    3.2 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERUSAKAN ATMOSFER1

    Kerusakan pada atmosfer yang berpengaruh kepada kehidupan makhluk hidup di bumi adalah terjadinya penipisan lapisan ozon stratosfer. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap lapisan ozon, penipisan terjadi akibat adanya gangguan pada kesetimbangan pada proses pembentukan dan penguraian ozon di stratosfer. Gangguan ini berasal dari kegiatan manusia yang mengemisikan gas-gas yang mengandung klorin dan bromin yang dapat merusak ozon, atau biasa disebut sebagai bahan perusak ozon (BPO).

    Secara kimia, perusakan ozon tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagian besar gas-gas yang merupakan BPO terakumulasi pada lapisan atmosfer yang lebih rendah karena sifat dari gas-gas tersebut yang tidak reaktif serta tidak larut dalam hujan atau salju. Gas-gas yang teremisi tersebut kemudian naik ke stratosfer, di mana pada lapisan tersebut gas-gas tadi berubah dengan adanya sinar matahari menjadi gas-gas yang lebih reaktif yang mengandung klorin dan bromin, yang kemudian berperan dalam reaksi yang merusak ozon. Gas-gas yang lebih reaktif ini akan terbawa bersama udara yang kembali ke lapisan atmosfer lebih rendah dan hilang bersama hujan atau salju.

    Beberapa proses industri serta produk-produk yang digunakan konsumen mengemisikan gas-gas halokarbon yang mengandung atom-atom klorin dan bromin yang dikenal berbahaya bagi lapisan ozon. Gas-gas ini hanya mengandung karbon, klorin dan fl uorin dan disebut sebagai klorofl uorokarbon atau biasa disingkat sebagai CFC. CFC, bersama-sama dengan karbon tetraklorida (CCl4) dan metil kloroform (CH3CCl3) merupakan gas-gas yang mengandung klorin yang paling penting yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan merusak ozon stratosfer. Gas-gas yang mengandung klorin digunakan pada banyak peralatan seperti refrigerasi, pendingin udara, pengembang busa, pendorong aerosol serta pembersih logam dan komponen elektronik. Kegiatan-kegiatan ini khususnya menyebabkan emisi gas-gas yang mengandung halogen ke atmosfer.

    Kategori gas-gas halokarbon lainnya adalah yang mengandung bromin. Gas-gas yang terpenting dalam kategori ini adalah halon dan metil bromide (CH3Br). Halon adalah gas-gas hidrokarbon yang terhalogenasi yang pada mulanya digunakan untuk memadamkan api. Halon juga digunakan secara luas untuk pemeliharaan komputer, peralatan militer serta mesin-mesin pesawat komersial. Dengan penggunaan-penggunaan tersebut, halon dapat terlepas ke atmosfer. Halon-1211 dan Halon-1301 merupakan halon yang paling banyak diemisikan dari kegiatan manusia. Metil bromida, yang digunakan terutama pada fumigasi hama, juga merupakan sumber penting bromin di atmosfer. Emisi gas-gas yang mengandung klorin dan bromin dari kegiatan manusia terus meningkat sejak abad ke-20, yang berdampak pada penipisan lapisan ozon global dengan kerusakan terparah terjadi pada daerah-daerah kutub.

    Kotak 1.

    Bahan-bahan Perusak Ozon (BPO) Foam/busa: CFC 11 Pendingin: CFC 11, CFC 12, CFC 115 Pemadam kebakaran: Halon-1211, Halon-1301 Aerosol: CFC 12 Pelarut: CFC 113, TCA, CTC Tembakau: CFC 11

    Tabel 7 Waktu Hidup Atmosferik, Emisi dan Potensi Perusak Ozon Gas-Gas Halogen

    1 Fahey et.al (2002) Twenty Questions and Answers About the Ozone Layer. Panel Review Meeting,

    Switzerland.

  • 12

    Gas halogen

    Waktu

    hidup

    (tahun)

    Emisi global

    pada tahun

    2000 (Gg/th)

    Potensi Perusak Ozon

    (Ozone Depletion Potential-ODP)

    Klorin

    CFC-12

    CFC-113

    CFC-11

    Karbon tetraklorida

    HCFC

    Metil kloroform

    Metil klorida

    Bromin

    Halon-1301

    Halon-1211

    Metil bromida

    Gas-gas dengan waktu hidup sangat pendek

    100

    85

    45

    26

    1-26

    5

    1.3

    65

    16

    0.7

  • 13

    4.1 DAMPAK TERHADAP IKLIMKegiatan-kegiatan manusia sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu menimbulkan pemanasan global yang berdampak terhadap iklim, yaitu terjadinya perubahan iklim. Perubahan pada iklim tersebut dapat terjadi secara perlahan maupun ekstrim. Perubahan yang terjadi secara perlahan meliputi kenaikan suhu udara sedangkan perubahan iklim ekstrim yaitu peningkatan curah hujan di musim hujan, peningkatan penguapan di musim kemarau, serta peningkatan intensitas badai tropis (Pelangi, -).

    Pemantauan instrumental selama 157 tahun terakhir menunjukkan bahwa suhu pada permukaan bumi telah meningkat secara global, dengan variasi penting berskala regional. Untuk rata-rata global, pemanasan pada abad terakhir telah terjadi dalam dua tahap, yaitu dari tahun 1910-an hingga 1940-an (0.350C), dan pemanasan yang lebih kuat mulai dari tahun 1970-an hingga sekarang (0.550C).Laju peningkatan pemanasan telah terjadi selama 25 tahun terakhir, dan 11 dari 12 tahun-tahun terpanas yang tercatat terjadi pada 12 tahun terakhir. Di atas permukaan bumi, pemantauan global sejak akhir tahun 1950 menunjukkan bahwa lapisan troposfer (di atas 10 km) telah memanas dengan laju yang sedikit lebih besar dibandingkan pada permukaan, sementara stratosfer (sekitar 10-30 km) telah mendingin secara drastis sejak tahun 1979. Hal ini sesuai dengan perkiraan fi sik dan hasil-hasil sebagian besar model. Kepastian terjadinya pemanasan global berasal dari pemanasan pada lautan, meningkatnya permukaan air laut, pelelehan gletser, pencairan es laut di daerah Artik dan hilangnya tutupan salju di belahan bumi utara (IPCC, 2007).

    Pengamatan menunjukkan bahwa perubahan-perubahan juga terjadi pada jumlah, intensitas, frekuensi dan jenis presipitasi. Aspek-aspek presipitasi ini umumnya menunjukkan variabilitas alami yang besar. Jumlah presipitasi pada tren jangka panjang yang telah diketahui dari tahun 1900 hingga 2005 telah diamati di beberapa tempat: lebih basah secara signifi kan pada bagian timur Amerika Utara dan Selatan, bagian utara Eropa, dan bagian utara dan tengah Asia, namun lebih kering di Sahel, bagian selatan Afrika, Mediterania dan bagian selatan Asia. Sebagian besar presipitasi di daerah utara saat ini turun sebagai hujan daripada sebagai salju. Peningkatan yang meluas pada kejadian presipitasi berat telah diamati, bahkan pada tempat-tempat di mana jumlah total presipitasi telah mengalami penurunan. Perubahan-perubahan ini berhubungan dengan peningkatan uap air di atmosfer yang disebabkan oleh pemanasan samudera, terutama pada garis lintang yang lebih rendah. Kekeringan dan banjir juga mengalami peningkatan di beberapa daerah (ibid).

    Pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan salju dan es skala global selama bertahun-tahun, khususnya sejak 1980 dan meningkat selama 10 tahun terakhir, meskipun terjadi pertambahan salju dan es di beberapa tempat dan perubahan kecil di tempat lainnya. Sebagian besar gunung gletser menjadi semakin kecil. Tutupan salju berkurang lebih awal pada musim semi.Es laut di daerah Artik menyusut pada semua musim, dan penyusutan terbesar terjadi terutama pada musim panas.Pengurangan dilaporkan terjadi pada salju permanen, tanah yang membeku secara musiman, es di sungai dan danau. Lapisan-lapisan es yang berada di daerah-daerah perairan pantai di Greenland dan Antartika Barat serta gletser di Semenanjung Antartika telah mengalami penipisan dan berkontribusi terhadap kenaikan muka air laut. Kontribusi total lelehan gletser, tutupan es dan lapisan es terhadap kenaikan muka air laut diperkirakan sebesar 1.2 0.4 mm/tahun selama periode 1993-2003 (ibid).Terdapat bukti yang kuat bahwa permukaan air laut global meningkat secara bertahap dalam abad ke-20 dan saat ini terus naik dengan laju yang meningkat setelah periode antara abad ke-0 and 1900. Permukaan air laut diperkirakan akan meningkat dalam laju yang lebih besar pada abad ini.Dua penyebab utama naiknya muka air laut global adalah ekspansi termal samudera (air akan mengembang pada saat panas) dan hilangnya daratan es akibat meningkatnya pelelehan (ibid).

    Terjadinya perubahan pada iklim tentu saja ikut berdampak pada kehidupan manusia. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan termasuk yang rentan terhadap perubahan iklim.Perubahan pada pola curah hujan, kenaikan muka air laut, banjir serta kebakaran hutan adalah beberapa dampak penting yang harus

    BAB IV. DAMPAK TERHADAP IKLIM DAN ATMOSFER

  • 14

    ditanggung oleh Indonesia.Beberapa dampak perubahan iklim yang dialami Indonesia sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh ADB pada tahun 1994 diuraikan pada bagian berikut ini.

    4.2 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA MANUSIAPerkiraan-perkiraan dampak perubahan iklim yang akan terjadi di abad ke-21 adalah (AGO, 2005):

    Gelombang panas akan lebih sering terjadi yang menimbulkan kematian pada manusia dan ternak serta kerusakan pada pertanian. Resiko kebakaran semak akan meningkat di beberapa daerah.

    Hari-hari dingin dan beku akan berkurang yang akan mengurangi kematian pada manusia dan ternak, serta mengurangi kerusakan akibat dingin, namun akan memperluas sebaran hama dan penyakit. Hasil beberapa jenis tanaman buah seperti aprikot di beberapa daerah akan berkurang karena berkurangnya pendinginan.

    Curah hujan akan semakin besar dan menyebar (termasuk dari badai tropis) yang akan meningkatkan kejadian banjir dan kerugian seperti kematian, kerugian materil dan produktifi tas. Banjir juga akan mempengaruhi erosi tanah serta pencemaran sungai dan laut.

    Musim kering akan lebih sering terjadi dan lebih berat yang akan meningkatkan kerugian pada tanaman pertanian, peternakan, perikanan dan kehidupan satwa liar, serta menurunkan aliran sungai dan kualitas air.

    Perubahan pada pola curah hujan dan berkurangnya kelembaban tanah di beberapa tempat yang dapat mengurangi pasokan air untuk pertanian, penggunaan rumah tangga dan industri, pembangkit energi dan keanekaragaman hayati.

    Pengaruh perubahan iklim pada pertumbuhan tanaman bergantung pada interaksi antara karbon dioksida, suhu, nutrien dan curah hujan. Konsentrasi karbon dioksida yang tinggi meningkatkan produktifi tan tanaman tetapi suhu yang lebih tinggi serta curah hujan yang berkurang, yang dapat terjadi di daerah garis lintang tengah, dapat menurunkan pertumbuhan tanaman.

    Perkiraan terhadap pemanasan global akan berkontribusi terhadap kerusakan pada batu karang di seluruh dunia karena pemanasan laut yang menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching), badai tropis yang lebih kuat, kenaikan muka air laut dan tingkat konsentrasi karbon dioksida yang lebih tinggi yang dapat mengurangi laju pertumbuhan batu karang.

    Berkurangnya salju dan lebih singkatnya musim dingin akan mengancam ekosistem pegunungan es.

    4.2.1 DAMPAK PADA KENAIKAN MUKA AIR LAUT

    Estuaria, belukar perairan laut, pantai, serta daerah rendah pada daerah pantai merupakan daerah-daerah yang rentan dengan adanya kenaikan muka air laut. Intrusi air laut akan mempengaruhi sungai-sungai serta daerah perairan pantai lainnya.Kenaikan muka air laut juga mengancam kehidupan masyarakat nelayan yang dapat ditemukan pada hampir setiap pulau di Indonesia.Tidak hanya itu, lima dari enam kota di Indonesia yang berpenduduk setidaknya satu juta orang berada di daerah pantai, di mana kegiatan sosio-ekonomi, infrastruktur, serta institusi terkonsentrasi di sepanjang garis pantai. Beberapa dampak yang terjadi akibat naiknya muka air laut adalah sebagai berikut:

    Relokasi penduduk di daerah pantai

    Perkiraan mengenai penduduk mana yang harus direlokasi terlebih dahulu sulit untuk dilakukan mengingat tidak terdapatnya peta kontur serta informasi spesifi k mengenai erosi dan deposisi garis pantai. Namun, berdasarkan parameter demografi k, topografi tanah serta asumsi mengenai jumlah penduduk Indonesia akan stabil antara tahun 2030 dan 2045, sekitar 3.3 juta penduduk harus direlokasi akibat adanya banjir di daerah dataran rendah pada tahun 2070.

  • 15

    Tabel 8 Daerah Rentan Terkena Dampak Pemanasan Global

    Daerah Rentan Penduduk yang Terkena Dampak1990 2010 2070

    Pantai Utara Jawa Barat 132,000 171,745 192,606

    Pantai Utara Jawa Tengah dan Timur 500,000 650,549 729,569

    Pantai Utara Jakarta 650,000 1,150,000 1,289,686

    Pantai Timur Sumatera 400,000 520,439 583,655

    Pantai Selatan Kalimantan 200,000 260,220 291,828

    Pantai Selatan Sulawesi 100,000 130,110 145,914

    Pantai Selatan Papua 50,000 65,055 72,957

    Total dalam 7 daerah 2,032,000 2,948,118 3,306,215

    Sumber: ADB (1994)

    Hilangnya lahan

    Studi terhadap dampak kenaikan muka air laut setinggi 60 cm telah dilakukan oleh KLH bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1992. Daerah yang dikaji adalah Subang, Kerawang dan Bekasi. Pada ketiga daerah tersebut, hilangnya lahan akibat kenaikan air laut setinggi 60 cm adalah sekitar 124,584 hektar, yang mengakibatkan gagal panen sebesar 150,000 ton serta pengurangan tangkapan udang, ikan serta hasil pertanian lainnya sebesar 54,000 ton.

    Infrastruktur

    Mengingat kegiatan sosio-ekonomi dan institusi terkonsentrasi di kota-kota, maka daerah perkotaan merupakan daerah utama yang rentan terhadap perubahan iklim dalam hal infrastruktur dan komunikasi. Di Indonesia, lima dari enam kota besar dengan jumlah penduduk melebihi satu juta jiwa berada di garis pantai. Kenaikan muka air laut merupakan salah satu dampak yang dapat mempengaruhi infrastruktur yang berada di sekitar daerah pantai.

    4.2.2 DAMPAK KENAIKAN SUHU PADA DAERAH PANTAI

    Meningkatnya suhu air laut sebesar 0.2 hingga 2.5 0C akan mempengaruhi pertumbuhan dan kecepatan reproduksi organisme yang hidup di daerah laut tropis. Telah ditemukan pada daerah pantai Jakarta banyak batu karang yang mati akibat bleaching. Batu karang memegang peranan penting dalam daur hidup spesies laut. Perubahan yang terjadi pada habitat laut akan berdampak kepada nelayan-nelayan di Indonesia. Peningkatan suhu muka air laut di antaranya akan mempengaruhi sirkulasi air, memutuskan rantai makanan, yang pada akhirnya akan mengurangi produktifi tas sumber daya laut. Dari beberapa studi yang telah dilakukan dilaporkan bahwa bisnis pariwisata di Indonesia juga dapat terpengaruh dengan terjadinya pemanasan global.

    4.2.3 DAMPAK PADA PERTANIAN

    Studi dampak perubahan iklim terhadap pertanian telah dilakukan oleh KLH dan IPB pada tahun 1991 dan menunjukkan hasil-hasil sebagai berikut. Produksi pertanian untuk tanaman pangan dan non-pangan cenderung berkurang dengan adanya banjir, erosi serta berkurangnya lahan yang subur, serta peningkatan evapotraspirasi selama musim kemarau. Perubahan pada pola presipitasi akan mengganggu sistem pertanian baik pada sawah tadah hujan maupun irigasi, yang disebabkan karena perubahan pada kelembaban tanah akibat perubahan suhu dan erosi. Peningkatan presipitasi akan meningkatkan erosi tanah; peningkatan curah hujan akan meningkatkan hilangnya tanah, menurunkan kesuburan tanah serta produktifi tas lahan.

  • 16

    4.2.4 DAMPAK PADA KESEHATAN MANUSIA

    Beberapa dampak langsung perubahan iklim terhadap kesehatan manusia yang dilaporkan adalah kanker kulit, perubahan respon kekebalan tubuh, katarak dan lain-lain. Dampak tidak langsungnya sebagai akibat dari kegiatan pertanian adalah perkembang- biakan nyamuk serta siput yang dapat menyebarkan penyakit. Perubahan pada jangka waktu atau intensitas musim kemarau dan hujan akan mengakibatkan banjir serta kemarau berkepanjangan. Kondisi tersebut dapat meningkatkan berbagai wabah penyakti seperti diare yang bergantung kepada suplai air bersih serta sanitasi yang memenuhi syarat. Selain itu perubahan iklim juga mempengaruhi pola transmisi vektor nyamuk seperti malaria dan demam berdarah. Dengan berubahnya suhu akan mempengaruhi masa inkubasi suatu penyakit.

    4.3 DAMPAK TERHADAP ATMOSFER1Penipisan ozon stratosfer telah terjadi sejak tahun 1980-an. Pada rentang tahun 1997-2001 telah terjadi penipisan sebesar 3%. Penipisan tersebut terutama terjadi karena meningkatnya gas-gas halogen reaktif pada lapisan stratosfer. Nilai ozon terendah terjadi pada tahun 1991 akibat meletusnya Gunung Pinatubo, yang meningkatkan jumlah partikel-partikel yang mengandung sulfur pada stratosfer. Partikel-partikel ini tetap tinggal di stratosfer selama beberapa tahun, yang meningkatkan keaktifan gas-gas halogen dalam merusak ozon.

    Gas-gas perusak ozon terdapat di seluruh lapisan ozon stratosfer karena adanya pergerakan udara atmosferik. Kerusakan lapisan ozon terparah yang terjadi di Antartika, yang dikenal sebagai lubang ozon, terbentuk karena kondisi cuaca khusus yang muncul di daerah tersebut dan tidak terjadi di bagian bumi lainnya. Suhu yang sangat dingin di daerah lapisan stratosfer Antartika membentuk awan es yang disebut awan stratosfer kutub (polar stratospheric clouds-PSC). Reaksi-reaksi khusus yang terjadi pada PSC serta terisolasinya udara stratosfer kutub memungkinkan terjadinya reaksi klorin dan bromin membentuk lubang ozon pada musim semi di Antartika. Luas lubang ozon yang terbentuk biasanya lebih besar dari benua Antartika.

    Kerusakan lapisan ozon di daerah Artik juga terjadi pada periode akhir musim dingin/musim semi (Januari-April). Namun kerusakan maksimum lapisan ozon Artik tidak separah pada Antartika serta lebih berubah-ubah dari tahun ke tahun. Lubang ozon besar dan sering terjadi seperti di daerah Antartika tidak terjadi pada lapisan stratosfer Artik.

    Kerusakan ozon yang teramati sangat bervariasi pada berbagai tempat di bumi. Penipisan terbesar terjadi pada garis lintang selatan tertinggi akibat menipisnya lapisan ozon di daerah Antartika setiap periode musim dingin/semi. Penipisan terbesar kedua diamati pada Northern Hemisphere, yang sebagian disebabkan oleh berkurangnya musim dingin/semi di daerah Artik. Udara yang rusak pada lapisan ozon di atas kedua daerah kutub menjauh dari kedua kutub selama dan setiap setelah periode musim dingin/semi.

    4.4 DAMPAK KERUSAKAN ATMOSFER PADA MAKHLUK HIDUP2

    Kerusakan pada lapisan ozon stratosfer menimbulkan peningkatan radiasi sinar UV permukaan. Peningkatan terjadi terutama pada komponen UV-B dari radiasi matahari. UV-B adalah radiasi yang terjadi pada daerah panjang gelombang antara 280 hingga 315 nanometer. Sinar UV-B yang mencapai bumi berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup. Pada manusia, peningkatan keterpaparan dengan sinar UV-B dapat

    1 Fahey et.al (2002) Twenty Questions and Answers About the Ozone Layer. Panel Review Meeting,

    Switzerland.

    2 Fahey et.al (2002) Twenty Questions and Answers About the Ozone Layer. Panel Review Meeting,

    Switzerland.

  • 17

    menimbulkan resiko kanker kulit, katarak serta merusak sistem imunitas tubuh. Keterpaparan terhadap sinar UV-B sebelum dewasa serta keterpaparan yang bersifat kumulatif merupakan faktor penyebab yang penting dalam resiko-resiko tersebut. Berlebihnya radiasi sinar UV-B dapat merusak tanaman, organisme bersel tunggal serta ekosistem air.

  • 18

    BAB V. PRINSIP-PRINSIP PENANGANAN DAMPAK PADA IKLIM DAN ATMOSFER5.1 PRINSIP-PRINSIP PENANGANAN DAMPAK PADA

    IKLIMPenanganan dampak pada iklim dikategorikan ke dalam dua bentuk pendekatan yaitu kegiatan mitigasi dan adaptasi. Kegiatan mitigasi yaitu kegiatan yang bertujuan untuk memperlambat terjadinya perubahan iklim lebih lanjut, yaitu dengan cara mengurangi emisi GRK ke atmosfer atau kegiatan yang menyerap GRK. Kegiatan adaptasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi perubahan iklim yang telah terjadi.

    Pemanasan global dan perubahan iklim bukanlah isu lingkungan lokal, namun bersifat global karena penyebab terjadinya serta dampaknya dirasakan oleh seluruh penduduk bumi di berbagai belahan. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka masyarakat internasional melalui Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development UNCED) yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro bersepakat untuk melakukan tindakan antisipatif terhadap perubahan iklim melalui Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC). Konvensi ini bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer sampai pada tingkatan tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Tingkat tersebut harus dicapai dalam kurun waktu tertentu dan memungkinkan ekosistem untuk dapat beradaptasi secara alamiah terhadap perubahan iklim, serta dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Indonesia meratifi kasi Konvensi ini melalui UU No.6 tahun 1994.

    Untuk mencapai tujuan Konvensi, sebuah protokol telah diadopsi pada pelaksanaan COP ke-3 tahun 1997 di Kyoto. Protokol ini kemudian dikenal dengan nama Protokol Kyoto. Aspek terpenting dari Protokol Kyoto ini adalah komitmen yang berkekuatan hukum dari 39 negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya secara global hingga rata-rata sekitar 5.2% di bawah tingkat emisi tahun 1990. Pengurangan emisi ini harus dicapai pada rentang waktu 2008-2012, yang disebut sebagai Periode Komitmen Pertama. Negara-negara maju yang dikenai target pengurangan emisi disebut sebagai negara-negara Annex 1, dan negara-negara tanpa target disebut negara Non-Annex 1. Indonesia yang termasuk ke dalam negara Non-Annex 1 meratifi kasi Protokol Kyoto melalui UU No.17 tahun 2004.

    Protokol Kyoto menyediakan mekanisme pencapaian target pengurangan emisi GRK negara maju melalui tiga mekanisme fl eksibel. Mekanisme tersebut adalah Emissions Trading - ET (perdagangan emisi antar negara maju); Joint Implementation - JI (pelaksanaan penurunan emisi secara bersama-sama antar negara maju); dan Clean Development Mechanism - CDM (kerjasama antara negara maju dan berkembang).

    Selain tujuan untuk mengurangi emisi GRK, salah satu tujuan Konvensi yang juga perlu mendapat perhatian, terutama dari negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti Indonesia, adalah mengenai kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim. Adaptasi perlu dilakukan terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada sistem pertanian, peningkatan muka air laut, serta peningkatan terjadinya bencana.

    5.1.1 MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

    Upaya-upaya untuk menurunkan emisi GRK ke atmosfer dapat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan di berbagai sektor, di antaranya adalah:

  • 19

    Tabel 9 Kegiatan Sektoral Penurunan GRK

    Sektor Kegiatan

    Pertanian

    Pengelolaan air: proses penggenangan berkala;

    Pengelolaan tanah: penggunaan pupuk urea tablet pengganti urea tabur;

    Pemilihan praktek pertanian: pemakaian varietas padi jenis unggul;

    Diversifi kasi pangan: konsumsi karbohidrat selain beras, seperti kentang, sagu dan jagung.

    PeternakanPenggunaan pakan ternak berkualitas baik;

    Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber pembangkit listrik tenaga biogas.

    Transportasi

    Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di bawah kapasitas angkutnya;

    Penggunaan transportasi massal;

    Penggunaan sistem transportasi non-motor untuk jarak pendek.

    Energi

    Pemanfaatan energi terbarukan:

    Panas bumi;

    Mikrohidro;

    Surya;

    Angin;

    Biomassa.

    Kehutanan

    Pengelolaan hutan:

    Reboisasi;

    Penanaman kawasan penyangga;

    Penghijauan kembali

    Pengelolaan

    sampah

    Mengurangi jumlah sampah (dari rumah tangga);

    Pemilahan sampah untuk tujuan daur ulang;

    Pemanfaatan gas metana dari sampah sebagai sumber energi

    Jika dikaitkan dengan kegiatan berskala internasional sesuai dengan UNFCCC dan Protokol Kyoto, maka kegiatan-kegiatan tersebut di atas dapat dilaksanakan di bawah mekanisme seperti CDM. Sebagai salah satu instrumen dalam mitigasi perubahan iklim, CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih merupakan satu-satunya mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang melibatkan negara berkembang. Indonesia termasuk sebagai salah satu negara berkembang yang terlibat aktif dalam pengembangan proyek CDM. CDM memiliki dua tujuan utama, yaitu:

    Membantu negara berkembang yang menjadi tuan rumah proyek CDM untuk mencapai pembangunan berkelanjutan;

    Membantu negara maju untuk mencapai target pengurangan emisinya (yang tidak mungkin dipenuhi di dalam negerinya) dengan cara mengambil kredit dari pengurangan emisi yang dihasilkan dari proyek-proyek yang dilakukan di negara berkembang.

    CDM berusaha untuk memadukan perbedaan kepentingan antara negara-negara maju dan berkembang, namun tetap mempertimbangkan usaha perlindungan iklim global. Negara maju memiliki potensi untuk

  • 20

    mendapatkan CER dengan biaya yang relatif rendah dibandingkan jika kegiatan pengurangan dilakukan di dalam negeri mereka, sedangkan negara berkembang mendapatkan keuntungan fi nansial dari hasil penjualan CER, teknologi ramah lingkungan, dan ilmu pengetahuan baru.

    Berdasarkan UNFCCC, proyek yang dapat dijadikan proyek CDM dibagi ke dalam 2 kategori:

    Proyek pengurangan emisi;1.

    Proyek penyerapan karbon (kehutanan: aforestasi dan reforestasi).2.

    Tabel 10 Kegiatan-Kegiatan yang Dapat Dilaksanakan Sebagai Proyek CDM

    Proyek Pengurangan EmisiProyek Penyerapan

    KarbonIndustri pembangkitan energi (dari sumber-sumber terbarukan dan tidak terbarukan);

    Distribusi energi;

    Kebutuhan energi;

    Industri manufaktur;

    Industri kimia;

    Konstruksi;

    Transportasi;

    Pertambangan/produksi mineral;

    Produksi logam;

    Emisi fugitif dari bahan bakar (padat, minyak dan gas);

    Emisi fugitif dari produksi dan konsumsi halokarbon dan sulfur heksafl uorida;

    Penggunaan pelarut;

    enanganan dan pembuangan limbah;

    Pertanian (pengurangan emisi CH4 dan N2O).

    Aforestasi dan reforestasi;

    Sumber: UNFCCC.

    Berdasarkan UNFCCC, proyek yang dapat dijadikan proyek CDM dibagi ke dalam 2 kategori:

    Proyek pengurangan emisi;1.

    Proyek penyerapan karbon (kehutanan: aforestasi dan reforestasi).2.

    Kotak 2.

    Aforestasi:

    Konversi lahan menjadi hutan pada lahan yang bukan merupakan hutan sejak 50 tahun terakhir melalui penanaman, pembenihan dan/atau penggunaan sumber benih alami yang dilakukan oleh manusia.

    Reforestasi:

    Konversi lahan bukan hutan menjadi hutan melalui penanaman, pembenihan dan/atau penggunaan sumber benih alami yang dilakukan oleh manusia pada lahan yang sebelumnya adalah hutan namun diubah menjadi lahan bukan hutan.

  • 21

    Kotak 3.

    Kaitan kegiatan proyek CDM dengan AMDAL.

    Dalam pengembangan proyek CDM, pengembang proyek diharuskan menyusun sebuah dokumen disain proyek (project design document PDD) dari kegiatan yang diusulkan.

    Di dalam PDD tersebut pengembang proyek diminta untuk memberikan informasi mengenai pelaksanaan AMDAL bagi kegiatan proyek yang diusulkan. Jika proyek tersebut termasuk ke dalam kategori kegiatan yang wajib AMDAL, maka informasi mengenai dokumentasi AMDAL bagi proyek tersebut perlu disampaikan. Namun jika kegiatan proyek tidak wajib AMDAL, maka pengembang proyek cukup menyebutkan ketidak wajiban tersebut.

    5.1.2 Adaptasi Perubahan Iklim

    Adaptasi terhadap perubahan iklim berarti meminimalkan kerusakan-kerusakan yang diproyeksikan dapat terjadi pada aspek sosio-ekonomi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan fi sik pada iklim. Adaptasi dapat dilakukan melalui perbaikan sistem pada sumber-sumber yang terkena dampak atau melalui penggunaan teknologi yang dapat mencegah atau mengurangi dampak dan/atau resiko yang mungkin terjadi, sehingga akan mengurangi biaya yang diperlukan dibandingkan dengan apabila tidak dilakukan kegiatan adaptasi. Pada umumnya pilihan-pilihan yang banyak dilakukan adalah adaptasi melalui penggunaan teknologi. Walaupun demikian, usaha adaptasi dapat pula dilakukan secara individu atau masyarakat dengan cara yang mudah, murah dan sederhana.

    Adaptasi merupakan hal yang penting dalam perubahan iklim. Adaptasi merupakan satu-satunya cara untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang tak terelakkan. Adaptasi juga memberikan peluang untuk menyesuaikan kegiatan ekonomi pada sektor-sektor yang rentan sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan. Hingga saat ini kegiatan adaptasi difokuskan pada area-area yang dianggap rentan terhadap perubahan iklim yaitu daerah pantai, sumber-sumber air, pertanian, kesehatan manusia dan infrastruktur.

    Tabel 11 Adaptasi terhadap Dampak Perubahan Iklim

    AreaDampak

    Perubahan IklimKegiatan adaptasi

    Daerah pantai Peningkatan muka air laut

    Pembangunan tanggul-tanggul di daerah pantai;

    Penetapan daerah sempadan pantai;

    Perlindungan terhadap pelabuhan, bangunan atau infrastruktur lainnya yang rentan terhadap kenaikan air laut;

    Konservasi air a.l. melalui kampanye publik untuk mencegah kontaminasi oleh air laut;

    Penerapan teknologi untuk memperoleh air bersih dari air yang telah tercemar;

    Perubahan pola penangkapan ikan oleh nelayan.

  • 22

    Pertanian

    Gangguan pada sistem pertanian

    Erosi pada daerah dataran tinggi

    Konservasi tanah;

    Konservasi air;

    Aforestasi melalui agroforestry dengan tanaman pengikat nitrogen;

    Penyesuaian waktu tanam yang dilakukan oleh petani;

    Penanaman jenis tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan iklim.

    Kesehatan manusia

    Peningkatan kasus-kasus akibat:

    Malaria

    Demam berdarah

    Diare

    Pemusnahan tempat-tempat perkembang- biakan nyamuk;

    Pencegahan deforestasi melalui pencegahan transmigrasi spontan dan penebangan liar;

    Peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap lokasi-lokasi perkembang-biakan nyamuk;

    Peningkatan akses terhadap air bersih;

    Peningkatan imunisasi;

    Kampanye ASI;

    Peningkatan kebersihan diri dan sanitasi perorangan;

    Peningkatan sistem drainase;

    Peningkatan pengelolaan banjir.

    Beberapa kegiatan berskala nasional yang dapat dilakukan yang berkaitan dengan adaptasi perubahan iklim adalah antara lain:

    Pengumpulan dan penyebarluasan informasi mengenai dampak, kerentanan serta adaptasi, termasuk metodologi, teknologi dan kegiatan-kegiatan yang dilaporkan di dalam komunikasi nasional;

    Mendukung peningkatan kapasitas dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat;

    Pengembangan mekanisme untuk peningkatan kesadaran masyarakat melalui pembentukan Pusat Informasi, sistem informasi dan pelaksanaan seminar dan lokakarya terkait;

    Tukar-menukar informasi dan pengalaman serta pandangan-pandangan di antara Negara Pihak mengenai peluang-peluang serta solusi dalam pelaksanaan Konvensi yang terkait dengan adaptasi;

    Bekerjasama dengan PBB serta organisasi internasional lainnya dalam isu-isu adaptasi.

    5.2 PRINSIP-PRINSIP PENANGANAN DAMPAK PADA KERUSAKAN ATMOSFER1

    Konvensi untuk Perlindungan Lapisan Ozon atau dikenal dengan Konvensi Wina telah ditandatangani oleh 20 negara pada tahun 1985. Negara-negara penandatangan tersebut sepakat untuk melakukan tindakan-tindakan untuk melindungi lapisan ozon dari kegiatan manusia. Konvensi ini mendukung dilakukannya

    1 Fahey et.al (2002) Twenty Questions and Answers About the Ozone Layer. Panel Review Meeting, Switzerland.

  • 23

    penelitian, pertukaran informasi serta protokol-protokol yang akan muncul kemudian. Menanggapi kebutuhan terhadap kegiatan perlindungan tersebut, maka Protokol Montreal mengenai Bahan-bahan Perusak Ozon ditandatangani pada tahun 1987 dan diratifi kasi pada tahun 1989. Protokol tersebut mengatur kegiatan-kegiatan pengendalian yang mengikat secara hukum bagi negara-negara maju dan berkembang mengenai produksi dan konsumsi serta perdagangan gas-gas halogen yang diketahui dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ozon. Protokol Montreal mencantumkan jenis-jenis bahan kimia yang masuk dalam daftar pengawasan serta jadwal penghapusan masing-masing jenis BPO. Protokol ini kemudian direvisi untuk memasukkan bahan-bahan baru yang harus diawasi penggunaannya termasuk jadwal penghapusannya. Revisi-revisi tersebut ditetapkan dalam Amandemen London (1989), Amandemen Kopenhagen (1992), Amandemen Montreal (1997) serta Amandemen Beijing (1999).

    Protokol Montreal mengatur mengenai pengurangan produksi CFC dan halon; Amandemen London mengenai penghapusan sebagian besar BPO di Negara maju pada tahun 2000 dan di Negara berkembang pada tahun 2010, serta jenis bahan-bahan yang diawasi ditambah dengan jenis CFC dan halon lainnya, karbon tetraklorida dan metil kloroform; Amandemen Kopenhagen mempercepat jadwal penghapusan menjadi tahun 1996 untuk Negara-negara maju dan memasukkan metil bromida ke dalam bahan-bahan yang diawasi dan mengendalikan penggunaan HBFC (hydrobromofl uorocarbons) dan HCFC (hydrochloro-fl uorocarbons); pengawasan BPO selanjutnya disepakati pada pertemuan-pertemuan di Wina (1995), Montreal (1997): pemberlakuan kewajiban licensing system, dan Beijing (1999): memasukkan bromochloromethane ke dalam bahan-bahan yang diawasi.

    Gas-gas pengganti HCFC

    Protokol Montreal mengatur mengenai penggunaan hidroklorofl uorokarbon (HCFC) sebagai senyawa pengganti untuk gas-gas halogen seperti CFC-12. HCFC berbeda secara kimiawi dari sebagian besar gas-gas halogen di mana gas-gas tersebut mengandung atom-atom hidrogen selain atom-atom klorin dan fl uorin. HCFC digunakan untuk refrigerasi, pengembang busa, dan sebagai pelarut, yang biasanya menggunakan CFC. HCFC memiliki keefektifan merusak ozon stratosfer sebesar 1 hingga 15% dari CFC-12 karena sebagian besar HCFC telah habis pada lapisan troposfer. Hilangnya HCFC pada lapisan troposfer ini mengakibatkan terlindunganya ozon stratosfer dari halogen-halogen yang dikandung oleh HCFC. Sebaliknya, CFC serta gas-gas halogen lainnya bersifat inert pada troposfer sehingga dapat mencapai lapisan stratosfer.

    Karena HCFC masih berkontribusi terhadap kelimpahan halogen pada stratosfer, maka Protokol Montreal mengharuskan produksi dan konsumsi HCFC oleh Negara-negara maju dan berkembang berakhir pada tahun 2040.

    Gas-gas pengganti HFC

    Hidrofl uorokarbon (HFC) juga digunakan sebagai senyawa pengganti untuk CFC serta gas-gas halogen lainnya. HFC hanya mengandung atom-atom hydrogen, fl uorin dan karbon. Karena HFC tidak mengandung klorin dan bromin, maka HFC tidak merusak ozon. Oleh karena itu, HFC tidak diatur oleh Protokol Montreal. Namun HFC (serta seluruh gas-gas halogen) merupakan gas-gas yang aktif secara radiatif yang berperan dalam pemanasan global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia karena gas-gas ini terakumulasi di atmosfer. HFC termasuk di dalam kelompok gas-gas rumah kaca sebagaimana tercantum pada Protokol Kyoto.

    Tabel 12 Jadwal Penghentian Impor Bahan Perusak Ozon

    Bahan Perusak Ozon Jadwal Penghentian ImporHalon 1998CFC 2007

    Metil Bromida 2015Hidroklorofl uorokarbon 2040

  • 24

    5.3 PROGRAM PERLINDUNGAN LAPISAN OZON DI INDONESIAPemerintah Indonesia telah meratifi kasi Konvensi Wina, Protokol Montreal dan Amandemen London melalui Keppres No.23 tahun 1992. Untuk mendukung pelaksanaan program perlindungan lapisan ozon, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa perangkat hukum yang mengatur perdagangan dan penggunaan BPO (KLH, -).

    Kotak 4.

    Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia terkait program perlindungan lapisan ozon:

    Peraturan Menteri Kesehatan No. 376/Menkes/Per/VIII/1990 tentang Bahan, Zat, Warna, Zat Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetika

    Keppres No. 23 tahun 1992 tentang Ratifi kasi Konvensi Wina, Protokol Montreal dan Amandemen London

    Keppres No. 92 tahun 1998 tentang Ratifi kasi Amandemen Kopenhagen

    Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun

    Kepmen Indag No. 110/MPP/Kep/1/1998 tentang Larangan Memproduksi dan Memperdagangkan BPO dan Barang-Barang yang Mengandung BPO

    Kepmen Indag No. 111/MPP/Kep/1/1998 tentang Perubahan Kepmen Indag No. 230/MPP/ Kep/7/1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya

    Kepmen Indag No. 410/MPP/Kep/9/1998 tentang Perubahan Kepmen Indag No. 110/MPP/ Kep/1/1998

    Kepmen Indag No. 411/MPP/Kep/9/1998 tentang Perubahan Kepmen Indag No. 111/MPP/ Kep/1/1998

    Kepmen Indag No. 789/MPP/Kep/12/2002 tentang Perubahan Kepmen Indag No. 411/MPP/ Kep/1/1998

    Kepmen Indag No. 790/MPP/Kep/12/2002 tentang Perubahan Kepmen Indag No. 410/MPP/ Kep/1/1998

    Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menghapuskan konsumsi beberapa jenis BPO (CFC dan Halon) lebih awal (2007) dari masa tenggang (grace period/ 2010) yang diberikan kepada negara-negara artikel 5

    Keputusan Menteri Pertanian RI no 949/KPTS/TP.270/12/98, tentang Pestisida Terbatas

    Keputusan Menteri Pertanian RI no 123/KPTS/TP.270/2/2002, tentang Pendaftaran dan Pemberian Ijin sementara Pestisida

    Kotak 5.

    Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia terkait program perlindungan lapisan ozon:

    Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2005 mengenai pengesahan amandemen Beijing to the Montreal Protocol

    Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2005 mengenai pengesahan amandemen Montreal to the Montreal Protocol

    Peraturan Menteri Perdagangan No.24/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon

    Peraturan Menteri Perindustrian No.33/2007 tentang Larang Memproduksi Bahan Perusak Lapisan Ozon serta Memproduksi Barang yang Menggunakan Bahan Perusak Lapisan Ozon

    Pengelolaan BPO yang sudah beredar di Indonesia

    Penggantian BPO dengan bahan lain

    Penghapusan penggunaan BPO melalui kegiatan alih teknologi

  • 25

    BAB VI. PENUTUP6.1 RANGKUMANEmisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dapat menyebabkan bumi semakin panas atau pemanasan global yang kemudian mengakibatkan perubahan iklim. Gas-gas rumah kaca tersebut berdasarkan sumber emisinya berasal dari sektor energi, kehutanan, pertanian dan peternakan, serta sampah. Secara ilmiah telah diketahui bahwa emisi GRK dari sektor-sektor tersebut cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

    Terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim membawa dampak kepada kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Meningkatnya suhu udara, kenaikan muka air laut, peningkatan curah hujan di musim hujan, peningkatan penguapan di musim kemarau serta peningkatan intensitas badai tropis adalah contoh terjadinya perubahan pada iklim yang ditimbulkan dari pemanasan global. Perubahan-perubahan tersebut menuntut dilakukannya tindakan yang bersifat mitigatif, yaitu mengurangi emisi GRK ke atmosfer, dan adaptatif, yaitu kegiatan-kegiatan penyesuaian terhadap iklim yang telah berubah.

    Gas-gas yang mengandung klorin dan bromin yang diemisikan dari kegiatan manusia dapat merusak lapisan ozon stratosfer sehingga menjadi berlubang. Menipisnya lapisan ozon stratosfer menyebabkan radiasi ultraviolet B yang berbahaya bagi kehidupan dapat mencapai bumi. Dampak berlubangnya ozon pada manusia dan makhluk hidup lainnya antara lain adalah terjadinya kanker kulit, katarak mata, penurunan sistem imunitas tubuh, mengganggu ekosistem laut dan pertumbuhan tanaman.

    Bahan-bahan perusak ozon (BPO) tersebut telah diatur penggunaan, produksi dan perdagangannya oleh konvensi internasional yaitu Konvensi Wina dan Protokol Montreal. Pengaturan tersebut mencakup jadwal penghapusan produksi, penggunaan serta perdagangan jenis-jenis BPO tersebut. Beberapa senyawa pengganti telah ditemukan yang sifatnya lebih aman terhadap lapisan ozon stratosfer.

    6.2 EVALUASIJelaskan secara ringkas terjadinya perubahan iklim.1.

    Sebutkan gas-gas yang termasuk gas-gas rumah kaca dan sumber-sumbernya dari kegiatan 2. manusia.

    Uraikan secara ringkas dampak-dampak kegiatan manusia terhadap iklim.3.

    Uraikan secara ringkas hal-hal yang dapat dilakukan untuk memperlambat terjadinya perubahan 4. iklim.

    Jelaskan secara ringkas terjadinya kerusakan lapisan ozon.5.

    Sebutkan tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk melindungi lapisan ozon.6.

  • 26

    ADB (1994) Climate Change in Asia: Indonesia Country Report on Socioeconomic Impacts of Climate Change and National Response Strategy. ADB, Manila.

    AGO - Australian Greenhouse Offi ce (2005) Climate Change Science: Questions Answered. AGO, Canberra, Australia.

    Dephut - Departemen Kehutanan (2007), http://www.dephut.go.id.

    Fahey et.al. (2002) Twenty Questions and Answers About the Ozone Layer. Panel Review Meeting, Switzerland.

    Handbook of Indonesias Energy Economy Statistic 2002.

    IEA - International Energy Agency (2002) Beyond Kyoto: Energy Dynamics and Climate Stabilisation. IEA, Paris.

    IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change (2007) Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

    KLH-Kementerian Negara Lingkungan Hidup (1996) Inventory of Greenhouse Gases Emissions and Sinks in Indonesia, US-EPA: Indonesia Country Study Program, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.

    KLH-Kementerian Negara Lingkungan Hidup (1999) Indonesia National Action Plan on Climate Change. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.

    KLH (1999) Indonesia: The First National Communication under the United Nations Fremawork Convention on Climate Change. KLH, Jakarta.

    KLH (2004a) Bumi Makin Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, KLH, Jakarta.

    KLH (2004b) Indonesian DNAs Approval Mechanism. (Brosur). KLH, Jakarta.

    KLH (2005) Panduan Kegiatan MPB di Indonesia. KLH, Jakarta.

    KLH (-) Program Perlindungan Lapisan Ozon dan Bahan-bahan Perusak Lapisan Ozon. (Brosur). KLH, Jakarta.

    Manahan, S.E (1993) Environmental Chemistry.

    Neiburger, M (1995) Memahami Lingkungan Atmosfer Kita, Penerbit ITB, Bandung.

    Pelangi (-) Perubahan Iklim. (Brosur). Pelangi, Jakarta.

    WALHI (2004) Hutan Indonesia Menjelang Kepunahan. http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/hut_punah/

    DAFTAR PUSTAKA