Upload
astri-sulistia
View
78
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
“BIOAVAILABILITAS OBAT”
Disusun Oleh :
Damayanti Kemit (21083099)
Yulianti Sabatina (21083097)
Erika Siringo-ringo (21083100)
Arni Flora S (21091131)
Intan Ginting (21092191)
Jln. Soekarno-Hatta No.754 Cibiru- Bandung
2012
1
Halaman
DAFTAR ISI ............................................ 2
BAB I PENDAHULUAN.................................... 3
I.1 Latar belakang
I.2 Tujuan penetapan bioavabilitas............ 5
I.3 Jenis penelitian bioavabilitas obat........ 5
I.4 Pelaksanaan penelitian bioavabilitas obat...... 6
I.5 Obat-obat yang perlu bioavabilitas................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................... 8
II.1 Uji bioavabilitas dan uji invitro
II.2 Simitidine...................... 9
II.3 Metode penelitian........... 11
II.4 Hasil penelitian.............. 13
BAB III PEMBAHASAN.................................... 16
BAB IV PENUTUP.......................................... 18
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA............................................. 19
2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu
pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama
kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah
bioavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah
bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin
banyaknya produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan
dari pasien dan dokter di man obat yang sama memberikan efek terapeutik yang berbeda,
kemudian dengan adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang
tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Penggunaan obat generik untuk terapi suatu
penyakit sering dipertanyakan dalam hal mutu. Hal ini karena harga obat generic relatif lebih
murah sekitar 24-67 % dibandingkan dengan harga obat dagang. Sehingga muncul anggapan
bahwa mutu obat generic lebih rendah dibandingkan obat paten.
Sedangkan penggunaan obat generik dapat meringankan beban masyarakat mengingat
harga relatif murah, sehingga efisiensi dan pemerataan layanan kesehatan masyarakat
meningkat. Dua hal tersebut menimbulkan dilemma tersendiri dalam masyarakat, di satu sisi
masyarakat memerlukan pelayanan kesehatan yang terjangkau secara ekonomi, di sisi lain
masyarakat kurang percaya akan mutu obat generik.Salah satu obat yang terdapat dalam
sediaan generik maupun sediaan paten, ialah cimetidine. Cimetidine merupakan antihistamin
penghambat reseptor H2 (AH2) yang digunakan untuk pengobatan tukak lambung, tukak
preptikum duodenal, esofagitis erosif. Proses kerja cimetidine adalah menghambat sekresi
cairan lambung.2-7 Seperti halnya obat generik lain penggunaan obat cimetidine generik juga
diragukan kemanjurannya untuk terapi penyakit.Untuk mengetahui perbandingan kualitas obat
sediaan generik dengan sediaan paten perlu diketahui bioekuivalensi antara dua sediaan
tersebut. Masing-masing sediaan diukur bioavailabilitasnya. Perbandingan bioavailabilitas ini
disebut bioekivalansi obat. Dasar untuk menentukan bioavailabilitas suatu obat terlebih dahulu
harus diketahui profil disolusinya.
3
Disolusi tablet ialah jumlah atau persen zat aktif dari sediaan padat yang larut pada
waktu tertentu dalam kondisi baku. Kondisi yang dimaksud misalnya, dalam suhu, kecepatan,
pengadukan, dan komposisi media tertentu. Uji disolusi merupakan suatu metode fisika kimia
yang penting sebagai parameter dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan
obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan melarut zat aktif dari
sediaannya.1,2 Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in vitro, karena hasil uji
disolusiberkorelasi dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh.Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbandingan bioavailabilitas (bioekivalensi) Cimetidine sediaan generik berlogo
dan sediaan paten secara in vitro.
Pengertian bioavalabilitas
Bioavailabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan jumlah obat dalam
persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk aktif/utuh. Sedangkan
bioekuivalensi atau kesetaraan biologis dapat diartikan sebagai kesetaraan kadar/jumlah obat
bentuk aktif dalam darah dan jaringan antara satu sediaan obat dengan sediaan obat lain yang
memiliki zat berkhasiat sama. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetapi tidak
berekuivalensi biologik dikatakan bioinekuivalensi. Perbedaan bioavailabilitas sampai dengan
10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan yang berarti dalam efek kliniknya artinya
memperlihatkan ekuivalensi terapi. Jadi obat yang memiliki ekuivalensi biologis atau
bioekuivalensi (BE) dengan obat inovatornya (obat pendahulu, dan dijadikan referensi untuk
sediaan-sediaan obat yang diproduksi berikutnya oleh perusahaan farmasi lain) dapat diklaim
sebagai obat yang memiliki kualitas setara dengan obat innovator.
Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang
bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas
adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat
yang perlu dipertimbangkan, yaitu :
1) kecepatan absorpsi obat
2) jumlah obat yang diabsorpsi
4
Ke dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan
dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana
seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang
relative lebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah:
Definisi 1: Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan
jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam
sirkulasi sistemik.
Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan
jumlah obat tersebut yang diabsorpsi.
I.2 TUJUAN PENETAPAN BIOAVAILABILITAS
Dengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan obat berada dalam
sirkulasi sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya efek terapi yang dikehendaki menurut
formulasinya. Dengan demikian, bioavailabilitas dapat digunakan untuk mengetahui faktor
formulasi yang dapat mempengaruhi efektivitas obat. Beberapa manfaat studi bioavailabilitas
yang berkaitan dengan mutu produk obat yaitu :
1) bagi apoteker dalam bidang penelitian kefarmasian, bioavailabilitas merupakan uji yang
penting dalam penelitian peningkatan mutu obat
2) bagi dokter dan apoteker di apotek, bioavailabilitas merupakan pertimbangan kritis yang
digunakan untuk pemilihan obat yang bermutu baik
I.3 JENIS PENELITIAN BIOAVAILABILITAS OBAT
Penelitian bioavailabilitas obat dapat merupakan :
1) Penelitian bioavailabilitas absolut, yaitu membandingkan bioavailabilitas suatu bentuk
sediaan obat per oral dengan pemberian secara intravena.
5
2) Penelitian bioavailabilitas relatif, yaitu membandingkan secara relatif bioavailabilitas suatu
bentuk sediaan obat per oral dengan bentuk sediaan obat sejenis lainnya. Sebagai produk
standar dapat digunakan :
1) produk larutan oral
2) produk inovator/originator, yaitu produk yang dibuat oleh pabrik penemunya, yang dianggap
mempunyai bioavailabilitas terbaik yang sudah teruji secara klinik dengan hasil terapi yang
baik (biasanya ditentukan oleh lembaga resmi, misalnya FDA).
Penelitian bioavailabilitas relatif dapat diterapkan untuk :
1) memilih satu dari alternatif dua atau lebih bentuk sediaan yang sama dengan formulasi yang
berbeda yang akan diproduksi oleh suatu pabrik, sehingga diketahui pengaruh komponen
formulasi terhadap bioavailabilitas.
2) memilih bentuk sediaan yang mempunyai bioavailabilitas terbaik dari beberapa alternatif
bentuk sediaan yang akan dikembangkan.
3) mengontrol variabilitas yang mungkin terjadi antar batch dari bentuk sediaan yang sama dari
batch yang berlainan.
4) membandingkan secara komparatif produk pabrik mana yang mempunyai bioavailabilitas
terbaik.
I.4 Pelaksanaan Penelitian Bioavabilitas Obat
Penelitian bioavailabilitas obat memerukan fasilitas laboratorium analisis/bioanalitik
yang canggih dengan tenaga ahli yang profesional dan harus memenuhi persyaratan tertentu.
Untuk beberapa macam obat, persyaratan pelaksanaannya telah dikeluarkan oleh American
Pharmaceutical Association dalam bukunya The Bioavailability of Drug Products. Protokol
penelitian bioavailabilitas obat hendaknya memuat tujuan percobaan, latar belakang obat yang
hendak diteliti, bahan obat, pemilihan sukarelawan, disain penelitian, penanganan sampel,
metoda analisis kadar obat dalam darah, dan hal-hal lain. Secara garis besar pelaksanaan
suatu penelitian bioavailabilitas obat dilakukan sebagai berikut :
1) Pemilihan sukarelawan yang mencakup pemeriksaan kesehatan, penandatanganan informed
consent.
6
2) Periode puasa dari minum obat apapun (1 minggu)
3) Puasa 1 malam sebelum pemberian obat
4) Pemberian obat
5) Pengambilan sampel material hayati (darah dan/atau urin) pada interval waktu tertentu.
I.5 Obat-obat yang Perlu Diteliti Bioavabilitasnya
1) Obat-obat yang batas keamanannya sempit
2) Obat-obat yang absorpsinya berfluktuasi
3) Obat-obat yang variasi individunya besar dalam kadar plasma pada dosis biasa
4) Diperlukan untuk mempertahankan MEC/MIC obat dalam cairan hayati selama terapi
5) Obat-obat baru
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 UJI BIOAVAILABILITAS DAN UJI IN-VITRO
Untuk menjamin ekivalensi terapeutik dan klinik dari suatu produk obat dalam berbagai
batch produksi, secara ideal penting untuk mengukur secara tepat efek klinik dan potensi dari
sampel yang representatif dari masing-masing batch produk obat tersebut. Walaupun demikian,
pada prakteknya hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena adanya pertimbangan praktis dan
aspeketis seperti :
1) Uji klinik memerlukan populasi penderita yang ekstensif dengan jenis dan keparahanpenyakit
yang seragam
2) Uji klinik pelaksanaannya kompleks dan mahal
3) Teknik pengukuran yang obyektif sulit ditemukan dan seringkali tidak sensitif terhadap
berbagai kondisi penyakit.
Cara pendekatan yang terbaik untuk memperkirakan efek klinik suatu obat adalah
dengan pengukuran kadar obat dalam darah, karena ada hubungan yang erat antara kadar
obat dalam darah dengan efek klinik obat tersebut. Tetapi dalam hal ini
juga ditemukan beberapa kelemahan seperti :
1) Uji kadar obat dalam darah biayanya mahal, memerlukan peralatan analitis yang canggih,
tenaga ahli yang terampil, dan sejumlah sukarelawan sehat. Dengan demikian kelayakan
untuk melakukan uji bioavailabilitas dari setiap batch produk obat patut dipertanyakan.
2) Konsep bioavailabilitas berpijak pada asumsi bahwa parameter biologis suatu obat (kadar
obat dalam darah dan jarringan, ekskresi obat dalam urin atau pengukuran produk
metabolit) secara langsung berkaitan dengan efek klinik obat. Sementara asumsi ini
mungkin saja absah, tetapi sulit untuk memperkirakan ketepatan korelasinya. Misalnya, jika
dua produk menunjukkan perbedaan bioavailabilitas sebesar 20%, apakah perbedaan ini
secara klinik bermakna Sementara saat ini tidak mungkin untuk melakukan uji kadar obat
dalam darah untuk setiap batch produk obat, industry obat dapat menggunakan uji
bioavailabilitas untuk menentukan bahwa produk obatnya dengan formulasi dan proses
8
produksi yang spesifik akan memberikan efek klinik yang sebanding dengan produk obat
sejenis yang diproduksi industry obat lain (produk originator atau produk inovator), yang
pada uji kliniknya memberikan hasil yang baik. Sebagai salah satu alternatif untuk
melakukan uji bioavailabilitas pada setiap batch produk obat, uji in vitro telah
dikembangkan sebagai indikator bioavailabilitas, atau untuk menetapkan bahwa batch
produk obat selanjutnya akan menunjukkan bioavailabilitas dan efek klinik yang sebanding
dengan batch sebelumnya yang telah ditetapkan uji kadar obat dalam darah dan uji
kliniknya.
Uji laju disolusi dan uji difraksi sinar X merupakan 2 contoh prosedur laboratoris yang
dapat merefleksikan perilaku obat in-vivo. Uji ini telah dimasukkan dalam USP dan NF dan telah
diterapkan pada sejumlah obat. Uji laju disolusi mengukur laju disolusi sejumlah obat dalam
medium tertentu dan pada kondisi tertentu. Uji difraksi sinar X melengkapi beberapa indikasi
dari laju dan jumlah obat yang melarut, dengan demikian akan bermanfaat dalam
memperkirakan absorpsi obat. Sementara kedua uji ini bukan merupakan uji bioavailabilitas
yang sebenarnya, maka kedua uji ini hanya merupakan indikator yang dapat digunakan untuk
memperkirakan bioavailabilitas obat. Suatu industri obat yang mempunyai data klinik atau
informasi yang menunjukkan bahwa produk obatnya secara klinik efektif, dan bila data ini
dikorelasikan dengan uji in vitro dengan tepat, dan bila formulasi serta prosedur produksi tidak
berubah, maka konsistensi dari batch ke batch dapat dijamin dengan melakukan uji laju
disolusi, uji difraksi sinar X atau uji in vitro lainnya yang relevan.
II. 2 SIMITIDINE
Dosis Dewasa :
Pengobatan Tukak duodenal : 800 mg per oral pada malam hari, 400 mg per oral sehari 2 kali,
atau 300 mg per oral sehari 4 kali atau 300 mg IM/ IV setiap 6-8 jam.
Pemeliharaan tukak duodenal : 400 mg per oral atau IM/ IV pada malam hari.
Pengobatan Tukak peptik per oral : 800 mg pada malam hari atau 300 mg sehari 4 kali. Secara
IV/IM 300 mg diberikan setiap 6-8 jam hingga maksimum 2400 mg/hari.
Pemeliharaan tukak peptik : 400 mg per oral pada malam hari.
Refluks esofageal : 1600 mg per oral sehari dalam 2 atau 4 dosis terbagi. Perdarahan
gastrointestinal bagian atas, profilaksis: 50 mg/jam infus IV kontinyu sampai 7 hari.
9
Zollinger-Ellison syndrome : 300 mg per oral sehari 4 kali atau 300 mg IM/IV setiap 6-8 jam,
dosis maksimum 2400 mg/ hari.
Dosis anak-anak :
Pemeliharaan tukak peptik untuk anak usia >= 16 tahun : 400 mg per oral pada malam hari.
Untuk anak usia < 16 tahun, tidak dianjurkan kecuali dengan persetujuan dokter setelah
mempertimbangkan manfaat dan risikonya.
Dalam beberapa pengalaman telah digunakan dosis 20-40 mg/kg/hari. Penyesuaian dosis1 :
Gangguan ginjal, CrCL kurang dari 30 ml/mnt, setengah dosis yang dianjurkan.
Gangguan ginjal parah, 300 mg tiap 12 jam, dapat ditingkatkan menjadi tiap 8 jam. Penyakit
liver berat: pengurangan 50% dosis.
indikasi
Benign gastric, tukak lambung, tukak duodenal, refluks esofagitis, Zollinger-Ellison syndrome.
kontraindikasi
Hipersensitif terhadap Simetidine atau komponen lain dalam produk
efek samping
Kemerahan, diare, pusing, sakit kepala, gynaecomastia
interaksi
Dengan Obat Lain :
Penggunaan bersama antacid tidak direkomendasikan, karena antacid dapat mengganggu
absorpsi Simetidine. Simetidine menghambat / memperlambat metabolisme oxidative hepatic
drug melalui ikatan dengan microsomal cytochrome P450; sehingga sebaiknya dihindari pada
pasien yang telah rutin menggunakan warfarin, fenitoin, dan teofilin. Simetidine mengurangi
absorpsi Ketoconazole, Itraconazole, dimana absorpsinya tergantung pada pH asam lambung
Dengan Makanan : -
mekanisme kerja
Pengeblok reseptor H2 yang bekerja menyembuhkan tukak peptik dan duodenal dengan cara
pengeblokan reseptor H2 sehingga mengurangi sekresi asam lambung dan pepsin.
bentuk sediaan
Tablet/Kaplet 200 mg dan 400 mg, Kapsul 200 mg, Ampul 100 mg/ml, Ampul 200 mg/2 ml
10
parameter monitoring
Berkurangnya rasa tidak nyaman pada bagian perut/abdomen atau gastroesofageal, perbaikan
hasil endoskopik, CBC (Complete Blood Count).
stabilitas penyimpanan
Simetidine tablet, Simetidine HCl larutan oral dan injeksi disimpan pada suhu 15-30°C, dalam
wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya. Sediaan injeksi cimetidine tidak boleh disimpan
dalam freezer karena dapat mengendap. Simetidine HCl secara fisik dapat tercampurkan
dengan sebagian besar cairan infus IV (NaCl 0,9%, Dextrose 5% atau 10%, Ringer lactate,
Sodium Bicarbonate 5%). Sediaan Simetidine HCl injeksi dalam NaCl 0,9% stabil selama 24
bulan setelah tanggal produksi. Wadah yang digunakan terbuat dari PVC.
informasi pasien
Jika diperlukan satu kali minum, maka cimetidine diminum malam hari. Jika diperlukan dua kali
dalam sehari, dosis pertama diminum pagi hari dan berikutnya malam hari. Cimetidine bisa
diminum bersama dengan makanan.
II.3 Metode Penelitian (jurnal PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS ( BIOEKIVALENSI
OBAT CIMETIDINE DALAM SEDIAAN GENERIK DAN PATEN SECARA IN VITRO;ARTIKEL
KARYA TULIS ILMIAH)
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang dan BPOM Jawa Tengah. Disiplin ilmu yang terkait adalah Farmasi dan
Farmakologi.Jenis penelitian adalah analitik observasional dengan sampel 1 jenis tablet
cimetidine 200 mg sediaan generik dan sediaan paten. Masing - masing sediaan 6 tablet.
Bahan yang diperlukan adalah cimetidine tablet 200 mg 6 buah masing – masing dalam
sediaan generik dan paten,aquades 7200 ml untuk mengisi 8 vessel sebagai media disolusi dan
sebanyak 16 liter sebagai penangas air pada disolusi tester, dan baku pembanding cimetidine
BPFI yang telah mengalami pengeringan selama 2 jam pada suhu 1100C.Pada tahap pertama
sampel akan mengalami uji disolusi. Alat uji disolusi yang digunakan adalah Disolution Tester
11
tipe 1 ERWEKA DT600HH, diset pada suhu 370C, kecepatan 100 rpm selama 20 menit.5
Kemudian tablet Cimetidine 200 mg dimasukkan dalam 6 vessel masing – masing 1 buah.
Sampel diambil dengan spuit tiap 5 menit sehingga dalam waktu 20 menit total data yang
didapat untuk Cimetidine sediaan generik dan sediaan paten adalah 48 data.
Setelah semua data didapat kemudian dilanjutkan dengan pembacaan hasil uji disolusi
melalui aspirasi pada spektrofotometer. Alat yang digunakan adalah Spektrofotometer UV. Alat
diatur pada panjang gelombang 218 kemudian dilihat absorbansinya dengan memasukkan
media disolusi pada sel 1 dan 2. media disolusi ini sebagai blanko.5 Blanko diambil dari sel ke-2
lalu diganti dengan cuvet yang berisi 1 ml larutan larutan baku pembanding , dilihat grafik dan
absorbansi larutan baku. Kemudian pada sel ke-2 diganti dengan sampel, lihat grafik dan
absorbansi sampel. Pengukuran dilakukan untuk semua sampel. Dari hasil tersebut dapat
dihitung kadar zat
aktif yang terlarut (%)17.
Kadar zat aktif yang terlarut (%) =
V x Mb x Fu/Fb x Au/Abx Cb/Ke x 100 %
Dimana;
V = volum media disolusi (dalam ml)
Mb = penimbangan baku (dalam mg)
Fu = faktor pengenceran sampel
Fb = faktor pengenceran larutan baku
Au = absorbansi larutan sampel
Ab = absorbansi larutan baku
Cb = kadar larutan baku yang diukur (dalam mg per ml)
Ke = kadar Cimetidine per tablet yang tertera pada etiket ( mg)
Dari hasil perhitungan tersebut didapat data yang diolah dengan menggunakan SPSS 13,00 For
Windows dengan derajat kemaknaan p>0,05.
12
II.4 Hasil Penelitian
Hasil perhitungan kadar zat aktif yang terlarut sebagai berikut.
Kadar zat aktif yang terlarut (dalam % )
Waktu
(menit)
Jumlah zat aktif yang melarut (dalam %)
Generik paten
5 56.17251 80.14459
10 80.49131 78.01548
15 82.91342 99.90728
20 80.21784 96.07878
13
14
15
BAB III
PEMBAHASAN
Bioavailabilitas merupakan kecepatan dan jumlah zat aktif yang terkandung dalam suatu
sediaan untuk lepas mencapai sirkulasi.Berdasarkan definisi tersebut maka dengan mengetahui
bioavaibilitas suatu obat dapat diketahui bagaimana daya terapeutik, aktivitas klinik serta
aktivitas toksik suatu obat. Absorbsi berperan penting dalam menentukan bioavailabilitas
terapetik yang sesuai. Perjalanan obat dalam tubuh diawali dengan proses absorpsi yaitu
disintegrasi, deagregasi dan disolusi. Penelitian ini bertujuan menguji proses awal perjalanan
obat Cimetidine compressi sediaan generik dan paten yaitu disolusi, untuk kemudian dapat
ditentukan bioavailabilitasnya, sehingga dapat diketahui bioekivalensinya. Pada tabel 1 tampak
bahwa rata-rata kadar zat aktif Cimetidine yang terlarut pada sediaan generik lebih kecil
daripada sediaan paten. Hal ini diperjelas pada profil disolusi pada tiap-tiap pengambilan yang
berjarak 5 menit ( gambar 2-5 ). Pabrik sebagai produsen obat akan menentukan formulasi
obat.
Formulasi obat yang baik harus memenuhi standar penilaian tertentu. Salah satu
parameter yang gunakan adalah kelarutan. Kelarutan zat aktif ini dapat dipengaruhi berbagai
faktor, antara lain sifat fisikokimia obat dan sifat bahan tambahan obat. Sifat fisikokimia dapat
dilihat dari segi luas permukaan partikel obat. Semakin luas permukaan partikel makin cepat
pelarutan. Hal ini dikarenakan semakin luas pemukaan partikel semakin luas pula daerah yang
kontak langsung dengan pelarut, sehingga partikel tersebut akan menjadi lebih mudah larut
dalam pelarut. Saat tablet kontak dengan pelarut,tablet akan pecah menjadi partikel-partikel
kecil atau granul.15 Formulasi menentukan perubahan ini menjadi bentuk partikel-partikel kecil
atau granul. Luas permukaan tablet yang pecah menjadi partikel-partikel kecil lebih luas
daripada tablet yang pecah menjadi granul sehingga proses kelarutan tablet yang pecah
menjadi partikel-partikel kecil lebih cepat. Dari dasar pemikiran ini, dapat diasumsikan bahwa
luas permukaan partikel tablet Cimetidine sediaan paten lebih besar daripada sediaan generik.
Bahan tambahan dalam suatu tablet yang mempengaruhi proses kelarutan obat adalah bahan
pengisi, bahan pengikat dan bahan penghancur. Bahan pengisi adalah bahan yang inert yang
ditambahkan untuk membuat bulk agar dapat dibuat tablet yang acceptable. Sebuah pabrik
dapat saja memilih bahan pengisi yang berbeda untuk zat aktif yang sama dengan pabrik lain.
Salah satu dasar pertimbangan pemilihan bahan pengisi adalah kecepatan kelarutan bahan
pengisi, disamping faktor harga.
16
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelarutan Cimetidine sediaan paten lebih baik
daripada sediaan generik. Berarti, hal ini dapat pula dikarenakan kelarutan bahan pengisi untuk
tablet Cimetidine sediaan paten lebih baik daripada sediaan generic Bahan pengikat adalah
bahan yang digunakan untuk meningkatkankan kualitas kohesi tablet. Seperti pada bahan
pengisi maka tiap-tiap pabrik berhak menentukan jenis bahan pengikat, asalkan tidak
mempengaruhi zat aktif (inert). Jenis bahan pengikat dapat mempengaruhi proses kehancuran
tablet. Ada beberapa jenis bahan pengikat yang memiliki daya ikat yang sangat kuat, misalnya
gom arab dan tragakan. Jenis ini dapat menghambat kehancuran tablet. Oleh karena itu, dapat
diasumsikan bahwa tablet Cimetidine sediaan generik menggunakan bahan pengikat dengan
daya ikat yang lebih kuat dari pada sediaan paten. Bahan penghancur adalah bahan yang
ditambahkan untuk memudahkan tablet hancur atau pecah ketika kontak dengan pelarut.
Kemampuan tiap-tiap bahan penghancur berbeda. Pada Cimetidine sediaan paten mungkin
memiliki bahan penghancur dengan kemampuan penghancuran yang lebih baik daripada bahan
penghancur dari Cimetidine sediaan generik. Hal ini menyebabkan proses kelarutan Cimetidine
sediaan paten lebih cepat sehingga tercapai bioavailabilitas yang diharapkan. Dari pembahasan
di atas dapat dirangkum bahwa tablet Cimetidine sediaan paten memiliki formulasi obat yang
lebih baik daripada tablet Cimetidine sediaan generik.
Namun perlu diingat walaupun jumlah zat aktif yang larut (%) cimetidine sediaan generik
lebih rendah daripada sediaan paten, sediaan generiknya tetap layak untuk terapi penyakit.
Karena telah memenuhi standar Q1, yaitu rata-rata kadar zat aktif yang larut (%) 6 sampel pada
titik puncak 75% + 5%= 80%. 5,15 Dengan 80% ini telah memenuhi standar yang ditetapkan
Farmakope Indonesia. Pada hasil penelitian ini Cimetidine sediaan generik kadar zat aktif yang
terlarut adalah 82,91342%. Dengan kata lain obat ini memenuhi standar untuk terapi.
BAB IV
17
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Obat cimetidine sediaan paten memiliki daya kelarutan zat aktif yang lebih besar
daripada obat cimetidine sediaan generic dengan implikasi obat Cimetidine sediaan
paten mempunyai bioavailabilitas yang lebih tinggi dibanding sediaan generiknya dan
kedua obat tidak bioekivalensi. Namun Cimetidine sediaan generik tetap memenuhi
standar sesuai Farmakope Indonesia.
2. SARAN
Sebaiknya dilakukuan penelitian serupa yang menguji bioekivalensi sediaan generik
dan sediaan paten secara in vivo.
18
Daftar pustaka:
1. V. Hosiana, M.H Mukhtar, N. Wahid. Ujicoba antimikroba secara invivo dan studi
farmakokinetik amoksisilin generic dan merek dagang. Jurnal Sains dan Teknologi
Farmasi Vol. 5, No 1, 2000.hal 5
2. . S Udin dan D Hedi R. Histamin dan Antialergi dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi IV.
Bagian Farmakologi Universitas Indonesia. Jakarta. 2003. hal 256-258
3. Burkhalter Alan, David Julius, Oscar L Frick. Histamin, Serotonin & Alkaloid Ergot dalam
Farmakologi Dasar dan Klinik Bertram G Katzung Edisi IV. EGC. 1998. hal 273-276
4. Editorial. MIMS Indonesia 2002: Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Infomaster,2002. hal
1-3 dan 14
5. Soesilo S, dkk. Farmakope Indonesia, edisi keempat. Jakarta : Depkes RI, 1995. hal
224-225
6. Editorial. British National Formulary. Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.
London.1999. pages 35-36
7. . Berardi Rosemary. Peptic Ulcer Disease and Zollinger-Ellison Syndrome in
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Book Two Third Edition. Appleton &
Lange. 1997. pages 705-706
8. Sunoko, Henna Rya. Calculations Associated with Drug Availability and
Pharmacokineticsin Strategy to Improve Drug Rationality. Medical Faculty Diponegoro
University. Semarang. 2004. pages 26-40
9. S. Alegantina, P Lastari, D Mutiatikum. Penelitian disolusi dan penetapan kadar
isosorbid dinitrat dalam sediaan generic dan sediaan inovator. Media Litbang Kesehatan
Vol. XIII No 4. 2003.hal 3-5
10. A Isnawati, S Alegantina, KM Arifin. Profil disolusi dan penetapan kadar tablet
kotrimoksazol generik berlogo dan tablet dengan nama dagang. Media Litbang
Kesehatan Vol. XIII No 2. 2003. hal 21
11. Editorial. Metode Analisis PPOMN 2000 : OBAT, Badan POM, Jakarta : 2000. hal 250
12. Leon Shargel, Andrew B.C. YU. Biofarmasetika dan farmakokinetika terapan, Edisi
kedua, Leon Shargel, Andrew B.C. YU Surabaya: Airlangga University Press, 1988.hal
85.
13. . Martin. A et al. Farmasi Fisik; Dasar-Dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik,
Jakarta : UI Press, 1993. Hal 846h
19