Upload
denada-florencia-leona
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKENARIO : ADA APA DENGAN RANI DAN TEMANNYA
Rani, perempuan 20 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mudah lelah, malaise
dan demam subfebril. Dokter Puskesmas melakukan pemeriksaan fisik, ditemukan konjungtiva
anemis, sklera subikterik dan splenomegali. Hasil pemeriksaan darah rutin didapatkan Hb 7,2 g/dl,
leukosit 10.800/mm3 LED 70/jam I, hitung jenis 0/2/3/65/24/6, sedangkan hasil pemeriksaan urine
rutin dalam batas normal. Dokter bertanya apakah ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini?
Rani menjawab tidak tahu. Kemudian Dokter merujuk Rani ke bagian Penyakit Dalam RSUP M.
Djamil dengan diagnosis observasi anemia.
Dokter Penyakit Dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah perifer
lengkap, coomb’s test dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Ketika di IGD, Rani bertemu
dengan temannya laki-laki 21 tahun yang terlihat pucat, karena baru saja mengalami kecelakaan
lalulintas dengan perdarahan yang banyak. Rani kemudian dirawat di bagian Penyakit Dalam,
sedangkan temannya dirawat di bagian Bedah. Rani bertanya apakah penyakitnya bisa sembuh dan
bagaimana dengan temannya?
Bagaimana anda menjelaskan apa yang dialami Rani dan temannya serta bagaimana
penatalaksanaannya?
I. TERMINOLOGI
1. Demam subfebril
Suhu tubuh di atas 370C tetapi tidak melebihi 380C.
2. Coomb’s test
mendeteksi antibodi pada eritrosit, dimana antibodi tersebut menyebabkan usia eritrosit
memendek.
mereaksikan sel eritrosit atau serum dengan antiserum atau antibodi monoclonal terutama
IgG dan C3d.
II. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa Rani mudah lelah, demam, dan malaise?
2. Apa makna ditemukannya leukosit 10.800 pada rani?
3. Mengapa pada Rani ditemukan sclera subikterik dan splenomegali?
4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan urin rutin dalam batas normal?
5. Mengapa dokter menanyakan apakah ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini?
6. Bagaimana pengaruh dari perdarahan yang banyak pada teman Rani?
7. Bagaimana pemeriksaan coomb’s test itu?
8. Bagaimana penatalaksanaan terhadap penyakit yang diderita oleh Rani?
9. Bagaimana penatalaksanaan terhadap teman Rani?
10. Bagaimana prognosis dari penyakit Rani dan temannya?
III. ANALISA MASALAH
1. Mengapa Rani mudah lelah, demam, dan malaise?
Mudah lelah kekurangan sel darah merah. Fungsi sel darah merah adalah untuk
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh, termasuk otot. Otot memerlukan oksigen untuk
berkontraksi, jika tidak ada oksigen, terjadi pembentukan energi secara anaerob
menghasilkan asam laktat, sehingga jika terjadi penimbunan asam laktat dapat menyebabkan
cepat lelah pada otot setelah lama beraktivitas.
Demam subfebril akibat kompensasi tubuh untuk meningkatkan sel-sel darah dari
sumsum tulang termasuk leukosit.
2. Apa makna ditemukannya leukosit 10.800 pada rani?
Kemungkinan Rani menderita anemia hemolitik eritrosit↓ kompensasi sumsum
tulang untuk memproduksi sel-sel darah lebih banyak termasuk leukosit.
3. Mengapa pada Rani ditemukan sclera subikterik dan splenomegali?
Sclera subikterik peningkatan bilirubin indirect akibat peningkatan pemecahan eritrosit.
Splenomegali hiperaktivitas limpa untuk menghancurkan eritrosit.
4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan urin rutin dalam batas normal?
Kemungkinan terjadi hemolisis ekstravaskular tidak ditemukan hemoglobin dalam urin
dan bilirubin indirect tidak terlalu meningkat sehingga tidak terjadi peningkatan
urobilinogen dalam urin.
5. Mengapa dokter menanyakan apakah ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini?
Untuk menentukan penyebab anemia hemolitik pada Rani, apakah herediter atau autoimun.
Karena pada sferositosis herediter dan anemia hemolitik autoimun tipe hangat meempunyai
gejala yang sama.
6. Bagaimana pengaruh dari perdarahan yang banyak pada teman Rani?
Perdarahan akut yang banyak dapat menyebabkan volume darah tubuh menurun, sehingga
tubuh akan mengkompensasi dengan meningkatkan volume plasma yaitu dengan cara
mengencerkan darah secara lambat selama 36-72 jam berikutnya. Hal ini menyebabkan
secara bertahap terjadi anemia normositik normokrom dengan konsentrasi hemoglobin
terendah selama 36-72 jam. Pengenceran darah juga dapat menyebabkan hematokrit
menurun sehingga kadar oksigen menurun, akibatnya denyut nadi meningkat sebagai
kompensasi dari jantung.
7. Bagaimana pemeriksaan coomb’s test itu?
Test coombs langsung digunakan untuk mendeteksi sel darah merah yang disensitisasi
dengan antibody IgG, autoantibody IgG dan protein serum.. tes ini akan mendeteksi anti
body yang berikatan dengan permukaan sel darah merah secara in vivo. Sel darah merah
dicuci untuk menghilangkan plasma dan diinkubasi dengan reagen coombs. Jika terjadi
aglutinasi, tes Coombs +.
Tes coombs tidak langsung digunakan untuk mendeteksi antibody sel darah merah yang
tidak berikatan pada serum. Serum diekstraksi dari darah dan diinkubasi dengan sel darah
merah yang tidak diketahui sifat antigennya, jika terjadi aglutinasi tes coombs +.
8. Bagaimana penatalaksanaan terhadap penyakit yang diderita oleh Rani?
Anemia hemolitik herediter pemberian asam folat, transfusi darah jika kadar Hb sangat
rendah, splenektomi
Anemia hemolitik autoimun pemberian kortikosteroid, splenektomi
9. Bagaimana penatalaksanaan terhadap teman Rani?
Hentikan perdarahan terlebih dulu, dapat diberikan tablet besi, jika tubuh tidak dapat
mengkompensasi untuk meningkatkan volum plasma dapat dilakukan transfusi darah.
10. Bagaimana prognosis dari penyakit Rani dan temannya?
Prognosis Rani Tergantung etiologi, jika herediter sulit atau tidak bias disembuhkan.
Prognosis teman Rani baik, jika tidak terkena organ vital.
IV. SKEMA
Teman Rani kecelakaan
prognosis
pucat
penatalaksanaan
Anemmia post
hemoragik
perdarahan
Hb↓
anemia
LED↑ Konjungtiva
subanemis
Sclera
subikterik
Splenomegali
Anemia hemolitik
penatalaksanaan Coomb’s test
Pemeriksaan lengkap
Rani, 20 th
Demam, mudah lelah, malaise
pemeriksaan
V. LEARNING OBJECTIVE
Mahasiswa mampu menjelaskan anemia hemolitik dan anemia pasca perdarahan :
1. Epidemiologi
2. Etiologi
3. Patofisiologi dan paatogenesis
4. Diagnosis
5. Penatalaksanaan
6. Komplikasi
7. Prognosis
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE
I. ANEMIA HEMOLITIK
1. Epidemiologi
Anemia hemolitik yang disebabkan oleh sferositosis herediter
Penyakit ini didapat pada orang kulit putih yang berasal dari Eropa Utara. Insiden di
London diperkirakan 1/10.000 penduduk. Di AS dilaporkan sekitar 1/5000 penduduk. Di
Indonesia penyakit ini sangat jarang ditemukan. Di Surabaya ditemukan hanya 5 kasus pada
anak usia sekolah selama 15 tahun. Di Jakarta hanya tercatat 1 keluarga.
Anemia hemolitik yang disebabkan defisiensi G6PD
Sering ditemukan hampir diseluruh bagian dunia. Menurut WHO diperkirakan ±400 juta
penduduk dunia menderita penyakit ini dengan angka prevalensi yang cukup tinggi di
berbagai Negara di Afrika. Di Eropa dilaporkan terdapat 1 kasus dalam 1000 penduduk. Di
Indonesia didapatkan rata-rata 1,1% dan di Padang sekitar 1,4%. Menurut penelitian
terdapat hubungan antara defisiensi G6PD dengan anemia sel sabit, dimana prevalensi
defisiensi G6PD lebih tinggi pada bangsa Afrika yang menderita anemia sel sabit
dibandingkan populasi normal.
Thalasemia β
Penyakit ini tersebar luas dari daerah mediteranian seperti Italia, Yunani, Afrika bagian
Utara, Timur Tengah, dan kawasan Asia Tenggara. Frekuensi di Asia Tenggara adalah antara
3-9%. Frekuensi di Indonesia sekitar 3-5% sama seperti Malaysia dan Singapura.
Thalasemia α
Paling sering ditemukan di Asia Tenggara, Timur tengah dan Afrika Barat, dimana
frekuensinya sekitar 30-40%. Di Asia Tenggara dapat ditemukan kedua jenis thalasemia α+
dan α0, sedangkan di Afrika hanya α+ sedangkan α0 jarang ditemukan.
2. Etiologi
1. Herediter
a. Defek Membran
- sferositosis herediter
disebabkan karena defek pada spektrin, aktin dan ankirin yang merupakan
unsur-unsur protein membran eritrosit. Protein tersebut bertanggung jawab dalam
mempertahankan bentuk bikonkaf eritrosit.
- Eliptositosis herediter
Eritrosit berbentuk oval, elips, atau batang). Penyebabnya adalah kelainan
pada spektrin atau protein 4.1
b. Kelainan enzim-enzim eritrosit
- Defisiensi G6PD
Rendahnya aktivitas G6PD mengakibatkan menurunnya kemampuan untuk
mereduksi NADPH dan GSH. Dimana, fungsi kedua senyawa tersebut adalah
untuk mempertahankan sel eritrosit dari proses oksidasi dengan cara
mempertahankan hemoglobin dalam bentuk tereduksi dan aktif. Pada orang
yang aktivitas enzim ini rendah, maka ia tidak terlindungi terhadap bahan-bahan
yang bersifat oksidan. Jadi bila oksidan masuk ke tubuh, maka ia akan merubah
hemoglobin menjadi methemoglobin dan akhirnya merusaknya sehingga
menjadi endapan di dalam eritrosit yang berbentuk sebagai gumpalan massa
disebut sebagai badan Heinz. Badan Heinz ini akan dibuang oleh makrofag limpa
ketika eritrosit berjalan melalui limpa. Sel yang telah bebas dari badan Heinz
menunjukkan adanya suatu daerah tidak bewarna ditepinya yang disebut bite
cells dan akan mengalami hemolisis ekstravaskular.
- Defisiensi piruvat kinase
Menyebabkan eritrosit menjadi kaku karena berkurangnya pembentukan ATP.
c. Abnormalitas struktur atau sintesa hemoglobin
- Hemoglobinopati terjadi perubahan urutan asam amino dari sebuah rantai
globin tanpa mengalami pengurangan dalam sintesa.
- Sindrom talasemia terjadi penekanan dalam produksi salah satu rantai globin,
tetapi biasanya urutan asam amino dari rantai globinnya normal.
2. Didapat
a. Anemia hemolitik imun
- Anemia hemolitik imun
Disebabkan oleh produksi antibody oleh tubuh terhadap eritrosit sendiri. Terdiri
dari :
Tipe hangat eritrosit biasanya dilapisi oleh IgG
Tipe dingin eritrosit biasanya dilapisi oleh IgM yang paling efisien pada
suhu 4oC
- Anemia hemolitik aloimun
Antibody yang dihasilkan oleh seseorang bereaksi dengan eritrosit orang lain. Hal
ini biasanya terjadi pada transfusi darah yang tidak sesuai ABO dan penyakit
rhesus pada neonates.
- Anemia hemolitik imun yang diinduksi obat
Penisilin akan bergabung dengan komponen pada permukaan sel eritrosit
membentuk suatu kompleks yang bersifat antigen. Antibodi yang kemudian
timbul akan bereaksi dengan kompleks obat dan permukaan sel sehingga
mengakibatkan terjadinya destruksi sel.
b. Sindrom fragmentasi eritrosit
Akibat kerusakan fisik pada eritrosit
c. Hemoglobinuria mars
Disebabkan oleh kerusakan pada eritrosit antara tulang-tulang kecil kaki.
d. Infeksi
Misalnya malaria dapat menyebabkan hemolisis melalui destruksi extravaskular
eritrosit yang berparasit dan lisis intravascular langsung. Selain itu septikimia
clostridium perfringens dapat menyebabkan terjadinya hemolisis intravascular.
e. Agen kimia dan fisika
Obat tertentu (mis. Dapson dan salazopirin) pada dosis besar dapat menyebabkan
terjadinya hemolisis pada penderita defisiensi G6PD. Luka bakar berat dapat
merusak eritrosit dan menyebabkan akantositosis atau sferositosis.
f. Hemoglobinuria nocturnal paroksimal
Kelainan dimana suatu tiruan abnormal dari sel hemopoetik yang berasal dari sel
induk multipoten tumbuh membentuk eritrosit, leukosit, dan trombosit yang
mempunyai defek pada membrannya. Defek ini berhubungan dengan protein
membran yang bersangkutan dengan inaktivasi komplemen sehingga menyebabkan
sel yang cacat ini sangat sensitive terhadap peristiwa lisis.
3. Pathogenesis
Sferositosis herediter
Disebabkan oleh defek pada spektrin, aktin, atau ankirin yang merupakan protein
membrane eritrosit. Protein tersebut bertanggung jawab dalam mempertahankan bentuk
bikonkaf eritrosit. Kelainan pada membrane ini menyebabkan eritrosit menjadi kaku
sehingga tidak dapat melalui kanalis billroth di sinusoid limpa. Akibatnya, eritrosit yang
terperangkap dimakan oleh makrofag limpa sehingga menyebabkan umur hidup eritrosit
menjadi pendek
Defisiensi G6PD
Penggunaan obat-obat yang bersifat oksidan akan menyebabkan terbentuknya
hydrogen peroksidase atau radikal bebas yang menyebabkan terjadinya proses oksidasi GSH
(glutation tereduksi) menjadi GSSH dan hemoglobin menjadi bentuk disulfide. Ikatan ini
tidak stabil sehingga menyebabkan terjadinya denaturasi Hb secara ireversibel dan
mengendap sehingga terbentuk Heinz Bodies.
Dalam keadaan normal, sel eritrosit mempertahankan dirinya dari proses oksidasi
dengan mereduksi GSSH menjadi GSH dan Hb melalui reaksi glutation reduktase. Proses
reduksi senyawa disulfide ini membutuhkan NADPH.
Enzim G6PD berperan pada reaksi reduksi NADP+ menjadi NADPH. Apabila enzim ini
berkurang, maka NADPH tidak terbentuk dalam jumlah yang cukup, sehingga proses
oksidasi GSH dan Hb terus berlangsung. Akibatnya pembentukan Heinz Bodies terus
berlangsung dan Heinz bodies akan melekat pada stroma sel eritrosit yang akan
mengakibatkan sel ini terhalang melalui pulpa merah limpa dan relative mudah rusak Dalam
sirkulasi darah sehingga mengakibatkan terjadinya hemolisis sel eritrosit.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Eritrosit biasanya dilapisi oleh imunoglobulin (Ig), yaitu umumnya imunoglobulin G(IgG)
saja atau dengan komplemen, dan karena itu, diambil oleh makrofag RE yangmempunyai
reseptor untuk fragmen Fc IgG. Bagian dari membran yang terlapis hilang sehingga sel
menjadi semakin sferis secara progresif untuk mempertahankanvolume yang sama dan
akhirnya dihancurkan secara prematur, terutama di limpa.
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Antibodi IgM melekat pada eritrosit, terutama pada sirkulasi perifer, dengan suhu4°C.
Antibodi IgM sangat efisien dalam memfiksasi komplemen dan dapat terjadihemolisis
intravaskular dan ekstravaskular.
Hemoglobinuria nocturnal Paroksimal
Suatu penyakit klonal sel induk sumsum tulang yang didapat dan jarang terjadi, dengan
gangguan sintesis jangkar glikosilfosfatidilinositol (GPI), yaitu suatu struktur yang
melekatkan beberapa protein permukaan pada membrane sel. Kelainan ini disebabkan oleh
mutasi pada kromosom X yang mengode untuk protein yaitu fosfatidilinositol glikan protein
A (PIG-A) yang diperlukan untuk pembentukan jangkar GPI. Hasil akhirnya adalah tidak
adanya protein terkait GPI pada permukaan semua sel yang berasal dari sel induk yang
abnormal tersebut. Tidak adanya molekul permukaan, factor pengaktif pembusukan (decay
activating factor), dan inhibitor lisis reaktif pada membrane menyebabkan eritrosit menjadi
rentan terhadap lisis oleh komplemen dan mengakibatkan hemolisis intravascular kronik.
4. Diagnosis
- Sferositosis herediter
Gejala klinis : ikterus, splenomegali
Pemeriksaan lab :
Eritrosit berbentuk sferosit
Retikulosit ↑
Bilirubin serum ↑
Tes coomb’s +
Besi serum ↑
Haptoglobin serum ↓ atau tidak ada
- Defisiensi G6PD
Gejala klinis : demam menggigil, kadang-kadang terjadi sakit pinggang, urin berwarna
gelap
Pemeriksaan lab :
sediaan apus darah dapat memperlihatkan sel-sel yang mengerut dan
berfragmentasi (bite cell dan blister cell) dan badan Heinz telah dikeluarkan oleh limpa.
Badan Heinz sendiri dapat dilihat pada preparat retikulosit.
- AHA tipe hangat
Gejala klinis : anemia, ikterik, demam, urin berwarna gelap
Pemeriksaan lab :
Hb <7 g/dl
Tes coombs +
Ditemukan autoantibody tipe hangat dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel
eritrosit
- AHA tipe dingin
Gejala klinis : anemia ringan, temperature kulit turun dibawah 320C, akrosianosis
Pemeriksaan lab :
Hb 9-12 g/dl
Sferositosis
Polikromatosia
Tes coombs +
Hemoglobinemia
hemoglobinuria
5. Penatalaksanaan
Sferositosis herediter
Pada kasus tanpa anemia, hanya memerlukan pengobatan suportif, misalnya pemberian
asam folat 20 mg/oral setiap hari. Apabila terjadi krisis hemolitik dapat diberikan transfuse
darah. Pada kasus berat perlu dilakukan splenektomi secepatnya sebelum pasien berumur 5
tahun. Setelah splenektomi, sferositosis masih ada tetapi masa hidup eritrosit menjadi
normal.
Defisiensi G6PD
Untuk penyembuhan penyakit belum ada. Namun terdapat tindakan untuk
menanggulangi penyakitnya yaitu dengan cara menghindari pemakaian obat-obat yang
bersifat oksidan, stress dan infeksi.
Thalasemia
Pemberian transfuse darah sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Kadar Hb tersebut akan
mengurangi hemopoeisis yang berlebihan di dalam sumsum tulang dan juga mengurangi
absorpsi Fe dari saluran cerna. Apabila terjadi hemosiderosis dapat diberikan chelating
agent (desferal). Jika terdapat hipersplenisme atau kebutuhan transfusi yang meningkat
atau karena sangat besarnya limpa dapat dipertimbangkan untuk melakukan splenektomi.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Kortikosteroid : 1-1,5 mg/kgBB/hari.
Bila terapi steroid tidak adekuat perlu dipertimbangkan untuk splenektomi
Imunosupresi : azathioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari
Transfusi : ketika kadar Hb <3g/dl
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis
Chlorambucil 2-4 mg/hari
6. Komplikasi
Sferositosis herediter
Dapat terjadi batu empedu akibat peningkatan ekskresi pigmen dan hemosiderosis
akibat pemberian transfuse darah yang berulang.
Thalasemia β
Komplikasi neuromuscular. Biasanya pasien terlambat berjalan. Sindrom miopati juga
mungkin terjadi akibat kelemahan otot-otot terutama ekstremitas bawah. Akibat iskemia
serebral dapat terjadi kelainan neurologic fokal ringan. Gangguan pendengaran mungkin
terjadi. Ada peningkatan kecenderungan untuk terbentuknya batu empedu. Dapat terjadi
hemosiderosis akibat transfuse berulang. Hemosiderosis dapat mengakibatkan sirosis
hepatis, DM dan penyakit jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis
karena peningkatan endapan melanin yang dikatalisasi oleh endapan besi yang meningkat.
Deformitas pada tulang dan sendi mungkin terjadi. Kadang-kadang deformitas pada muka
sangat berat sehingga memberikan gamabaran yang menakutkan yang memerlukan
operasi.
7. Prognosis
Sferositosis herediter
Tergantung pada jenis dan frekuensi infeksi yang dapat mencetuskan krisis hemolitik.
Anak-anak yang telah dibedah limpanya perlu mendapat penisilin profilaks untuk
menghindari infeksi fatal misalnya oleh pneumokokus. Sebelum splenektomi dapat
dipertimbangkan pemberian vaksin terhadap pneumokokus.
Thalasemia
Thalasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai
usia decade ke 3, walaupun digunakan antibiotic untuk mencegah infeksi dan pemberian
chelating agents untuk mengurangi hemosiderosis. Thalasemia α1 dan α2 dengan fenotip
normal pada umumnya mempunyai prognosis baik dan tidak memerlukan pengobatan
khusus.
Anemia hemolitik tipe hangat
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlngsung kronik namun terkendali. Yang mampu
bertahan sampai 10 tahun berkisar 70% dan mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%.
II. ANEMIA PASCA PERDARAHAN
1. Etiologi
Perdarahan akut :
- Trauma
- Operasi
Perdarahan kronik :
- Ankilostomiasis
- Gastritis kronis
- Ulkus peptikum
- Colitis ulseratif
- Mioma uteri
2. Pathogenesis
Perdarahan akut
Akibat kehilangan darah yang cepat, terjadi reflek kardiovaskularyang fisiologis berupa
kontraksi arteriola, pengurangan aliran darah atau komponennya ke organ tubuh yang
kurang vital, dan penambahan aliran darah ke organ vital (jantung dan otak). Beberapa
jam setelah terjadi perdarahan, terjadi pergeseran cairan ekstravaskularke intravascular
yaitu agar isi intravascular dan tekanan osmotikdapat dipertahankan. Tetapi akibatnya
terjadi hemodilusi. Akibat hemodilusi terjadi penurunan eritrosit, hemoglobin dan
hematokrit sehingga terjadi anemia normositik normokrom
Perdarahan kronik
Kehilangan darah secara kronik mengakibatkan terjadinya defisiensi besi sehingga
terjadi anemia mikrositik hipokrom
3. Diagnosis
Pucat, takikardi, tekanan darah menurun, penderita merasa dingin, tangan berkeringat,
dan bias menjadi tidak sadar
Pemeriksaan lab:
a. Darah tepi
Hb ↓
Leukosit pada awal normal, selanjutnya bias terjadi leukositosis
LED↑
Hitung jenis leukosit neutrofilia
Retikulosit ↑
b. Sediaan hapus darah tepi
Eritrosit normositik normokrom, anisositosis, poikilositosis
Trombositosis
Polikromasi +
c. Sumsum tulang
Selularitas ↑
Eritropoetik aktif, semua seri ditemui, predominan rubrisit
Mielopoetik tertekan, semua seri ditemui
Trombopoetik megakariosit mudah ditemukan dengan pancaran
trombosit cukup banyak
Rasio M : E terbalik
4. Penatalaksanaan
Hentikan perdarahan
Transfusi darah
5. Komplikasi
Kehilangan darah sebanyak 20% akan menimbulkan renjatan (shock) yang
irreversible dengan angka kematian yang tinggi.
6. Prognosis
Tergantung asal perdarahan. Jika berasal dari vena, darah tidak memancar dengan
hebat seperti perdarahan arteri, sehingga mudah dihentikan.