Upload
vothien
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11. TINJAUAN PUBTAKA
A. Affroekoaistem dan Dinamika Iklim
Sistem merupakan gugus proses-proses fisik, kimia
danlatau biologi yang bekerja pada satu atau lebih peubah . input (masukan) dan merobahnya men jadi peubah (peubah-
peubah) output (keluaran) (Dooge dalam Mustari, 1985) . Sedangkan ~ko-sistem adalah suatu sistem ekologi sebagai
satu unit komuniti tumbuh-tumbuhan dan binatang bersama-
sama dengan semua interaksi faktor-faktor fisik yang ada
di dalamnya (~shby, 1971). Selanjutnya agak lebih seder-
hana, Ismal (1979) dan Odum (1961) sama-sama mendefinisi-
kan ekosistem sebagai tatanan kesatuan secara utuh dan
menyeluruh antara segenap unsur-unsur lingkungan abiotik
dan biotik yang saling mempengaruhi (berinteraksi) . Oleh karena itu dimungkinkan bahwa salah satu atau lebih
komponennya dapat mencirikan atau sebagai indikator ter-
hadap komponen yang lain pada ekosistem yang sama.
Agroekosistem merupakan proses dan hubungan yang ru-
mit dan ditandai dengan berbagai lintasan sebab akibat
(interaksi) antar komponen-komponen ekosistem yang diper-
untukkan bagi pertanian (Cox dan Atkins, 1979). Selanjut-
nya jika dikaitkan dengan def inisi sistem oleh Manetsch
dan Park (1976) agroekosistem dapat juga dikatakan seba-
gai suatu perangkat elemen (unsur) alami yang saling ber-
kaitan dan hingga batas-batas tertentu dapat dikelola dan
dimanfaatkan untuk pertanian.
Secara umum, pada suatu agroekosistem terdapat kom-
ponen-komponen dasar yang terdiri dari iklim dan tanah
sebagai komponen abiotik, tanaman, binatang dan manusia C
sebagai komponen biotik. Disamping itu terlibat pula cam-
pur tangan manusia (man-made) dalam bentuk pengelolaan
dan pembangunan sarana/prasarana (infrastruktur) yang se-
cara langsung atau tidak langsung mempengaruhi komponen-
komponen dasar. Oleh sebab itu berbagai pakar berpendapat
bahwa dalam -mengevaluasi dan menganalisa suatu agroeko-
sistem, campur tangan manusia ini kadang kala menjadi
faktor yang lebih dominan (Cox dan Atkins, 1979; F . A . 0 ,
1977; Ismal, 1979). Hal ini disebabkan faktor tersebut
secara serempak dapat mempengaruhi seluruh komponen seka-
ligus dan dalam periode yang lebih pendek.
Sebagai contoh, pada agroekosistem lahan kering jika
dibangun jaringan irigasi dan dilakukan pencetakan sawah
atau konversi hutan menjadi lahan pertanian. Pembangunan
jaringan irigasi, pencetakan sawah dan penebangan hutan
merupakan contoh dari campur tangan manusia yang sangat
besar dampaknya terhadap perubahan atau transformasi
suatu agroekosistem.
Iklim (dan cuaca) merupakan salah satu komponen abio-
tik (fisik) yang berpengaruh terhadap semua komponen da-
10
lam suatu ekosistem. Secara global dan deskriptif dapat
dinyatakan bahwa pokok pangkal dari proses dan dinamika
iklim adalah perubahan neraca bahanglenergi yang berkait-
an dengan embut dan keragaman energi dipermukaan bumi.
Embut dan keragaman tersebut disebabkan karena rotasi
dan revolusi bumi dengan posisi sumbunva mirina 2g029'
terhadap bidang normal lintasannya yang ternyata berben-
tuk ellips (Barry dan Chorley, 1968; Longley, 1970;
Oliver, 1982).
Menurut ~olton (1979) , gerakan atmosfir sebagai pe- ngendali utama terjadinya proses iklim dan cuaca, sangat
berkaitan dengan hukum-hukum dasar fisika tentang keke-
kalan (konservasi) massa atau zat alir (air, uap air,
udara), momentum dan energi. Ketiga unsur fisika tersebut
lebih mudah dipahami dan dimanifestasikan sebagai volume,
tekanan dan suhu. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa
proses terjadinya iklim dan cuaca dikendalikan oleh ber-
bagai proses fisika yang berkaitan dengan dinamika ketiga
gatra tersebut. Suhu, volume dan tekanan tidak saja seba-
gai subjek (pengendali) proses iklim secara keseluruhan,
tetapi juga inerupakan objek (unsur iklim).
Hess (1959) menyimpulkan bahwa untuk mengkaji proses
yang mengakibatkan dinamika dan keragaman iklim harus
melalui tiga bidang kajian, yaitu termodinamika, radiasi
dan hidrodinamika. Termodinamika adalah ilmu tentang pro-
ses atau transformasi energi menuju keadaan (status) equ-
iblirium dalam suatu sistem. Sedangkan radiasi adalah
kajian tentang emisi energi gelombang elektromagnetik
yang merambat pada suatu ruang dan diabsorbsi oleh suatu
zat atau material. Selanjutnya bidrodinamika ilmu yang
berkaitan dengan gerakan zat alir atau massa yang dise-
babkan berbagai gaya yang bekerja padanya.
B. Neraca Air dan Lenuas Tanah
Produktivitas lahan per tahun dan produksi tanaman
setiap panen sangat ditentukan oleh ketersediaan air. Se-
cara teknis ketersediaan air merupakan faktor utama yang
menentukan jenis dan sebaran tanaman serta lamanya masa
tanam (growing season) di daerah tropik. Masing-masing
jenis tanaman dan sistem usahatani membutuhkan air yang
beragam menurut sif at genetik, f enologi dan f aktor ling-
kungan fisiknya.
Hampir semua tanaman mendapatkan air melalui tanah,
sehingga status dan keragaman lengas tanah menjadi penen-
tu utama terhadap produksi tanaman. Lengas tanah sering
menjadi kendala produksi, baik karena rendahnya masukan
(curah hujan danlatau irigasi) maupun sifat fisik tanah
yang poros dan bersolum tipis. Keadaan ini banyak ditemui
di daerah beriklim kering danlatau pada lahan kering (te-
galan) serta sawah tadah hujan. Menurut Lettau dan Bara-
das (1973) dan Virmani (1983) , keragaman dan perubahan
lengas tanah merupakan komponen neraca air yang rumit dan
melibatkan berbagai faktor, baik tanah maupun iklim.
Oleh karena itu, pendugaqn keragaman dan laju pertu-
karan (perubahan) lengas tanah harus didasarkan kepada
pendekatanlanalisis neraca air yang komprehensif melibat-
kan segenap parameter yang berperan pada masing-masing
komponennya. Prinsip analisis neraca air adalah menghi-
tung masukan (input) dan keluaran (output) pada suatu
sistem yang dikaj i . Persamaan sederhana neraca air pada suatu sistem atau lahan adalah :
CH + (Ir) = ET, + P, + R, + AT atau :
dimana : CH = curah hujan Ir = irigasi (jika diairi)
ETo = evapotranspirasi potensial PC = perkolasi R = limpasan permukaan A@ = perubahan lengas tanah
Evapotranspirast sebagai salah satu komponen neraca
air mempunyai beberapa gatra dalam sistem tanaman, baik
fisiologis maupun fisik. Menurut Bey (1981) dan Chang
(1969), evapotranspirasi merupakan komponen neraca air
yang unik karena peranannya langsung dan serempak dalam
dua proses fisika, yaitu proses pertukaran energi dan
pertukaran massa air. Selanjutnya ia juga.berperan pada
mobilitas berbagai hara dan ion dari tanah dan di dalam
jaringan tanaman.
Secara langsung kehilangan danlatau kebutuhan air
tanaman sangat ditentukan oleh laju penggunaan komsumtif
(compsumtive use) yang identik dengan laju evapotranspi-
rasi tanaman. Chang (1969) dan Hillel (1971) membenarkan
asumsi tersebut atas dasar bahwa proporsi air yang secara
langsung terlibat dan kemudian terikat secara kimia dalam
biomassa sangat rendah ( C 2 , 5 % ) . Bahkan menurut teori
wsoil-plant-atmosphere systemw atau ~soil-plant-atmos-
phere continuumfl, tanaman dianalogikan sekadar tabung ka-
piler sebagai media/tempat air lewat dari tanah yang ke-
mudian diuapkan melalui permukaan (stomata) daun ke at-
mosfir (Philip dalam Hillel, 1971). Dalam ha1 ini laju
evapotranspirasi ditentukan oleh gradien tekanan uap air
di dekat/dalam jaringan daun dengan lapisan perbatas.
Sama halnya dengan lengas tanah, evapotranspirasi
pada suatu kawasan atau wilayah, agak sulit diukur secara
langsung karena sangat beragam menurut j arak (space) dan
tapak (site) serta cepat berubah menurut waktu. Oleh se-
bab itu banyak metode atau pendekatan yang dirancang un-
tuk menduga evapotranspirasi dalam mengevaluasi potensi
dan neraca air, baik secara mikro (tapak) maupun makro
atau regional (wilayah) (Chang, 1969; Doorenbos & Pruitt,
1978; Oke, 1979). Metode-metode pendugaan tersebut antara
lain dengan "f ormulasi empiriktl , dan pendekatan "neraca bahangw , Itwater badget", dan *@aerodinamikW .
Metode yang lebih klasik untuk menduga evapotrans- C
pirasi dan neraca air suatu wilayah adalah cara Thornth-
waite dan Mather (1957) dan Mather (1978) . Mereka menya- rankan dengan pendekatan sistem tata buku (book-kee~inq
system), yaitu menghitung masukan dan keluaran air dengan
analisis komponen neraca air pada periode yang sama. Cara
ini hanya efektif untuk sistem neraca air mikro (petakan).
Oke (1979) menyarankan pendugaan evapotranspirasi
dengan pendekatan "water-budgetw, yaitu melalui evaluasi
kuantitatif kaskad air dalam bidang tertentu. Cara ini
dilakukan dengan dua pendekatan, tergantung kepada keter-
sediaan data dan aras wilayah yang dievaluasi. Untuk aras
regional dengan data yang mungkin terbatas, pendekatan
pemodelan telah dimungkinkan dan lebih bermanfaatguna.
C. Analisis Sistem, ~imulasi clan Model
Analisis sistem (seperti agroekosistem dan tanaman)
adalah suatu studi tentang sistem danlatau organisasi
dengan menggunakan azas-azas ilmiah yang dapat menghasil-
kan suatu konsepsi danlatau model. Konsepsi .dan model ter-
sebut dapat digunakan sebagai dasar kebi jakan, perubahan
struktur, taktik dan strategi pengelolaan sistem tersebut.
Patten (dalam Mustari, 1985) mengemukakan bahwa ana-
lisis sistem adalah serangkaian teknik untuk :
.. (1) mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem, yang merupakan perwujudan interaksi antar komponen ekosistem atau antar subsistem.
(2) menjelaskan interaksi atau proses-proses yang berpe- ran pada suatu sistem secara keseluruhan akibat adanya masukan. .
(3) menduga atau meramal apa yang mungkin terjadi pada sistem jika beberapa faktor atau komponen dalam sistem tersebut berubah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenar-
nya analisis sistem (dalam ha1 ini agroekosistem dan ta-
naman) adalah metode ilmiah yang merupakan dasar dalam pe-
mecahan masalah dalam pengelolaan sistem tersebut.
Simulasi sebagai salah satu kegiatan dalam analisis
agroekosistem dan tanaman secara garis besar meliputi ti-
ga kegiatan utama (Soerianegara, 1978), yaitu :
(1) merumuskan model yang menggambarkan sistem dan proses yang terjadi di dalamnya.
(2) memodifikasi/memanipulasi model atau melakukan ekspe- rimentasi.
(3) mempergunakan model dan data untuk memecahkan perso- alan .
Dalam analisis agroekosistem dan simulasi yang
paling banyak berperan adalah model. Model dapat dianggap
sebagai konsepsi mental, hubungan empirik atau kumpulan
pernyataan-pernyataan matematik/statistik atau dapat juga
dinyatakan sebagai representasi sederhana dari suatu sis-
tem yang kompleks (Bey, 1987). Ini sejalan dengan rumusan
Mize dan Cox (1968) bahwa model merupakan gambaran abs-
strak dari suatu sistem, dimana hubuqgan antara peubah-
peubah digambarkan sebagai hubungan sebab akibat.
Dalam bidang hidrologi (termasuk klimatologi/meteo-
rologi), model kuantitatif dikelompokkan menjadi determi-
nistik, parametrik, stokastik, dan kombinasinya (Haan,
1977; Hillel, 1977). Dengan dasar itu, dapat dipandang
bahwa model sebagai kombinasi dari komponen-komponen yang
masing-masing mewakili sebuah titik dalam suatu spektrum
yang kontiniu, mulai dari deterministik murni pada satu
sisi hingga stokastik murni pada sisi lain (Gambar 1).
PARAMETRIK
DETERMINIBTIK MURNI
Gambar 1. Bkema arah dan alternatif sifat suatu metode analisis kuantiatif dan model (Bey, 1989)
STOKASTIX MURNI
Lebih lanjut Bey (1987) mengemukakan bahwa - untuk tu juan #If orecasting" (peramalan) , metode analisis kuanti- tatif iklim dibedakan atas metode kausal dan time series.
Metode Kausal mengasumsikan bahwa faktor yang akan dira-
ma1 mempunyai hubungan sebab akibat yang konstan dengan
satu atau lebih'peubah bebas. Pada tahap awal metode ana-
lisis ini menentukan bentuk hubungan tersebut. Sedangkan
dalam metode Time Series (runut waktu), sistem yang dira-
ma1 dianggap sebagai suatu kotak hitam (black box) yang
mengabaikan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem terse-
but. Jadi peramalan hanya didasarkan pada nilai-nilai
(numerik) kejadian yang telah lalu.
Penggunaan model sangat bermanfaat untuk mengkaji
suatu sistem yang rumit, seperti suatu ekosistem spesifik
atau agroekosistem dan neraca (tata) air suatu wilayah.
Menurut Soerianegara (1978) dan Walter (dalam Mustari,
1985) keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan
pendekatan analisis sistem adalah :
(1) memungkinkan kita melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup lebih luas.
(2) mampu menentukan tujuan kegiatan pengelolaan dan per- baikan terhadap sistem yang dihadapi.
(3) dapat dipakai untuk melakukan eksperimentasi atau skenario tanpa mengganggulmemberikan perlakuan ter- tentu terhadap sistem.
(4) dapat dipakai untuk mendugalmeramal kelakuan dan kea- daan sistem pada masa yang akan datang dan/atau me- nyusun suatu skenario yang mungkin terjadi pada sis- tem tersebut.
(5) dari segi waktu dan biaya lebih efisien.
Bey (1989), Manetsch dan Park (dalam Soerianegara,
1978) berpendapat bahwa bagaimanapun baiknya model yang
dirancang ia tetap mempunyai keterbatasan dan merupakan
distorsi dari sistem yang sebenarnya. Oleh karena itu,
model harus digunakan secara teliti dan seksama dengan
data yang sesahih dan selengkap mungkin.
Penyusunan suatu model dilakukan melalui tahapan-ta-
hapan utama yang terdiri dari (Hillel, 1977; Soeriane-
gara, 1978) :
(1) Menspesifikasi dan identifikasi sistem dan masalah
(2) Penyusunan/penentuan model konsepsi untuk sistem
(3) Penyusunan dan pemeriksaan program (komputer)
(4) Pemeriksaan parameter dan pengumpulan data
(5) Pelaksanaan ekspermentasi dan pengujian model
(6) Penyusunan kesimpulan dan rekomendasi
Pada Gambar 2. disajikan alur kegiatan dan tahapan
dari pemodelan suatu sistem.
+ &MAT1 RELAKUKAN SISTEM
I
DEFINISIKAN PERMASALAHAN -T=' FORMULASIKAN DALAM BENTUK
MATEMATIK
3 SUSUN ALGORITMA
/ *I TERIMA I 3
SALLY KE KODE KOMPUTER 4 \
4 DUGA NILAI-NILAI PARAMETER
T E R M A
ERIKSA PARAMETE
TERIMA PrnLAK -
TERIMA
GUNAKAN MODEL UNTUK TUJUAN PRAKTIS
Gambar 2. Diagram alir tahapan Model Simulasi. Disederhanakan dari Hillel (1977) dan Soerianegara (1978).
D. Hodel Iklim dan Eva~oklimatonomi
Konsep neraca air (Oke, 1979) dan neraca energi oleh
Hess (1959) dan Geiger (1975) dalam menilai ~otensi air
dan variasi suhu suatu wilayah cukup sederhana, ternyata
.. dalam pelaksanaannya sangat rumit jika memperhitungkan
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Demikian juga kon-
sep neraca air dan energi lain yang membutuhkan banyak
pengamatan, sehingga agak sulit diterapkan dalam kajian
yang bersifat regional atau wilayah. Sebaliknya konsep
yang terlalu sederhana tidak mampu menunjukkan diskrimi-
nasi antara keadaanlwilayah dengan.iklim, tanah atau ve-
getasi. Salah satu konsep yang mampu memberikan keluaran
neraca air dan energi berikut hubungan antar komponen dan /
perubahannya pada suatu wilayah adalah teknik dan model
klimatonomi (Bey, 1981 dan Molion, 1975).
Model klimatonomi yang mulanya dikembangkan oleh
Lettau (1969; 1977), Lettau dan Lettau (1975), pada dae-
rah subtropik dan kutub bertujuan untuk (a) menjelaskan
sebab-sebab (secara fisik) keragaman iklim menurut ruang
dan waktu berdasarkan hukum-hukum fisika radiasi, kon-
duksi dan konveksi, (b) mensintesis iklim lokal danlatau
regional dengan model numerik (kuantitatif) dengan meng-
gunakan prinsip konservasi energi dan massa. Model klima-
tonomi ini kemudian dikembangkan pula untuk daerah tropik
antara lain oleh Supornrutana (dalam Bey, 1981) di Bang-
kok, pengaruh pembukaan hutan ter.hadap neraca air di DAS
(daerah aliran .sungai) Amazon oleh Molion (1975) dan ne-
raca air DAS di Fipilina oleh Lettau dan Baradas (1973).
Di Indonesia model ini dikembangkan oleh Bey (1981) dan r
Bey, Irsal dan Koesmaryono (1990) untuk menyusun skenario
proses rekolonisasi tumbuhan hutan di pulau Krakatau dan
tata air Sub-DAS Konto, Kali Brantas, Jawa Timur.
Prinsip dasar dari model klimatonomi adalah menspe-
sifikasi keseimbangan (balance requirement) dan paramete-
risasi aliran energi dan massa (zat alir, khususnya air
dan uap air) dengan menurunkan runut waktu masukan (for-
cing input) untuk runut waktu keluaran (response funct-
ion). Dalam ha1 ini studi daur (siklus) harian, bulanan
dan tahunan dari suhu dan lengas tanah pada suatu lokasi
atau wilayah didasarkan kepada tanggapan terhadap masukan
insolasi (energi surya) dan presipitasi yang juga menye-
babkan adanya proses terhadap masukan (Lettau dan Lettau,
1975;- Bey 1982).
Keuntungan utama dari model ini tidak hanya dapat
digunakan untuk menduga potensi dan pertukaran lengas/air
tanah dan energi pada suatu lahan tetapi dimungkinkan un-
tuk menduga perubahan yang terjadi akibat berbagai alter-
natif pengelolaan dan masukan pada suatu lahan. Jika data
runut waktu dari berbagai parameter tersedia, model ini
lebih berdayaguna dalam perancangan pembangunan dan pe-
ngembangan pertanian suatu daerah. Hal ini semakin mudah
dan efisien dilaksanakan dengan adanya berbagai kemasan
program komputer
Model klimatonomi terdiri dari tiga submodel klima-
tonomi, yaitu "short wave climatonomvw (klimatonomi gelom-
bang pendek), weva~oclimatonomy~ (evapoklimatonomi) dan
m@thermoclimatonom~B@ (termoklimatonomi) . Submodel klimato- nomi gelombang pendek yang berkaitan dengan runut waktu
irradiasi ekstra-atmosfir (masukan) dan energi surya yang
diserap permukaan aktif (keluaran).
Submodel evapoklimatonomi berkaitan dengan energi
yang diserap permukaan dan presipitasi (terutama curah
hujan) sebagai masukan. Sedangkan keluarannya adalah per-
tukaran dan pola lengas tanah. Selanjutnya masukan pada
submodel termoklimatonomi adalah selisih antara variasi
tahunan atau harian energi surya dengan bahang laten, dan
keragamanlperubahan suhu permukaan sebagai keluaran.
E. Model 8imulasi dan Potensi Basil Tanaman
Hasil panen yang ditentukan oleh produksi biomassa
(bahan kering), merupakan perujudan akhir hasil proses
fotosintesis. Oleh sebab itu produksi bahan kering meru-
pakan fungsi dari radiasi aktif fotosintesis (PAR, photo-
synthetic active radiation) yang diintersepsi oleh daun,
laju pertumbuhan dan tipe daun (Elston, 1983; Chang, 1968;
dan de Witt, Brouwer dan Penning de Vries, 1971) . Lebih lanjut Rabbige (1983), Squire (1990), Thornley (1976) dan
Wigham (1983) merinci bahwa produksi bahan kering berasal "
dari aliran assimilat yang besarnya tergantung kepada
radiasi datang dan luas daun aktif berfotosintesis. Namun
demikian faktor air (lengas tanah), suhu udara dan hara
tanaman juga sangat berperan.
Potensi produksi suatu tanaman menurut Alberda (1971)
dan Tanaka (1983) adalah produksi bahan kering pada peri-
ode tertentu, dimana akar tumbuh pada kondisi lingkungan
optimal, memperoleh pasokan air dan hara yang cukup. Laju
pertumbuhan tanaman hanya tergantung kepada energi surya
yang diperoleh tanaman. Oleh sebab itu unfuk menduga po-
tensi hasil suatu tanaman pada umumnya adalah mengkon-
versi total PAR yang diterima tanaman menjadi bahan ke-
ring sesuai dengan kemampuan genetik tanaman, pengelolaan
dan masukan. Dengan teknik simulasi dan modeling,
berbagai peubah tersebut dapat diintegrasikan secara
langsung dalam menentukan potensi tanaman.
Bakema dan Jansen (1985) menyatakan bahwa model si-
mulasi tanaman disusun oleh satu gugus persamaan yang
menghitung fotosintesis potensial tanaman sebagai fu'ngsi
dari data cuaca harian dan perkembangan tanaman, luas
24
daun. Charles-Edward (1982) menuliskan persamaan laju
produksi biomassa per satuan waktu sebagai berikut :
Ri adalah jumlah energi radiasi yang diintersepsi tanaman C
selama i hari dengan efisiensi tanaman menggunakan energi
(e) . Rs adalah kehilangan (perombakan) biomassa akibat
respirasi. Efisiensi e, merupakan fungsi dari pengelolaan,
pemupukan, lengas tanah dan konstanta genetik tanaman.
France dan Thornley (1984), Penning de Vries et a1
(1989) mengisyaratkan bahwa model simulasi'untuk menduga
potensi hasil tanaman, setidaknya harus bertitik tolak
dari peubah genetik dan cuaca. Peubah genetik yang digu-
nakan antara lain fenologi, laju pertumbuhan potensial,
dan tipe daun, sedangkan peubah cuaca adalah radiasi sur-
ya dan suhu udara. Diassumsikan bahwa air dan atmosfir
(C02) tidak menjadi kendala atau dapat dimanipulasi.
Sesuai dengan tujuannya, assumsi yang dipakai, jum-
lah dan jenis peubah yang dilibatkan, Penning de ~ r i e s
et a1 (1989) menstratifikasi sistem simulasi pendugaan
potensi tanaman atas empat aras, yakni :
1. Aras I : potensi hasil suatu tanaman (dengan peubah genetik tertentu) pada suatu kondisi iklim,' dengan asumsi bahwa air, faktor tanah dan hara pada kondisi optimal. Laju pertumbuhan tanaman hanya dipengaruhi oleh radiasi surya dan suhu udara.
2. Aras 11 : potensi hasil suatu tanaman pada kondisi lengas tanah dan iklim tertentu, dimana faktor tanah dan hara dianggap dalam keadaan optimal. Laju pertum- buhan tanaman merupakan fungsi dari surya dan suhu udara, dan status lengas tanah.
3. Aras I11 : potensi suatu tanaman pada kondisi iklim, v lengas tanah dengan aras nitrogen tertentu. Laju per-
tumbuhan tanaman merupakan fungsi dari radiasi surya, s&u udara, lengas tanah dan aras nitrogen dalam tanah.
4. Aras IV : potensi hasil suatu tanaman pada kondisi iklim, lengas tanah, aras nitrogen, aras fosfor dan hara lainnya. Hampir semua faktor dalam sistem produk- si tanaman, kecuali konsentrasi C02 di udara merupakan peubah-peubah dalam model pertumbuhan tanaman.
Lebih jauh dikatakan bahwa simulasi pada aras I le-
bih banyak ditujukan untuk menduga potensi genetik suatu
tanaman pada suatu lahan dengan kondisi iklim tertentu.
Misalnya potensi hasil suatu varietas padi pada lahan sa-
wah beririgasi dengan masukan teknologi yang optimal.
Simulasi pada aras I1 bertujuan untuk menduga poten-
si hasil tanaman pada musim tanam (growing season) ter-
tentu dengan menerapkan masukan teknologi usahatani seca-
ra optimal. Kebanyakan simulasi aras I1 ini digunakan
untuk menduga potensi agroekologi dan/atau produktivitas
tanaman pada suatu wilayah/daerah. Keluarannya dapat di-
gunakan dalam pewilayahan agroekologi dan komoditi.
Sedangkan simulasi pada aras 111 dan IV bersifat
lebih spesifik lokasi atau tapak (site), yaitu pendugaan
26
hasil tanaman dengan aras masukan teknologi usahatani,
khususnya pemupukan dengan dosis tertentu. Simulasi ini
banyak digunakan dalam menguji hasil nyata lapang (actual
yield) dengan potensi tanamanlvarietas dengan tindakan
agronomis dan sistem usahatani tertentu. C
Jagung merupakan tanaman C-4 dengan titik j enuh ca-
haya yang cukup tinggi, laju fotorespirasi dan titik kom-
pensasi C02 yang rendah. Oleh sebab itu, pada kondisi in-
tensitas radiasi surya tinggi laju pertumbuhan dan poten-
si hasil tinggi dengan laju fotosintesa 70-100 mg co2/dm2
per jam (F.A.O., 1978; Hatch dan Slack, 1970).
Cuany, Swink dan Shafer (1970) bahwa hasil jagung di
daerah temperate seperti di Amerika mencapai 17-22 t/ha
dengan rata-rata hasil petani sekitar 11 t/ha. Selanjut-
nya Frey (1971) melaporkan bahwa di daerah tropik lintang
menengah hasil jagung tertinggi mencapai 10-12 t/ha. Se-
dangkan di lintang rendah dengan pengelolaan yang optimal
menghasilkan biji 5-9 t/ha. Pada radiasi surya sekitar
448-603 kal/cm2/hari, produksi biomassa total di daerah
tropik berkisar antara 10-19 t/ha dengan ILD 3.7-4.8 de-
ngan indeks panen 0.34-0.41 (Fisher dan Palmer, 1983). Di
Indonesia hasil rata-rata jagung hanya 2.19 t/ha, namun
hasil penelitian, jagung varietas Arjuna mampu menghasil-
kan 4.6 t/ha di Jawa (Muhajir, 1984; Puslitbangtan, 1988;
Subandi, 1988) .
Model simulasi untuk pendugaan potensi hasil jagung
telah dikembangkan di Amerika, khususnya oleh Badan Lit-
bang Pertanian USA (USDA-ARS) sejak lebih dari 20 tahun
yang lalu. Salah satu model simulasi yang terkenal adalah
IICERES-MAYZE Model1' yang terdiri dari dua versi, yaitu
versi baku (standard) dan versi nitrogen. Menurut Ritchi
(1986) dan it chi et a1 (1986), versi baku mensimulasi
potensi hasil berdasarkan potensi genotipe, cuaca harian
selama pertwnbuhan dan karakteristik umum tanah. Sedang-
kan pada versi nitrogen mensimulasi hasil j agung berda-
sarkan dinamika nitrogen dalam tanah dan tanaman, selain
potensi genetik dan cuaca.
Kedelai termasuk tanaman kelompok adaptasi C-3 yang
aktivitas respirasi dipengaruhi oleh radiasi surya dengan
titik jenuh cahaya sedang (FAO, 1978; dan Whigham, 1983) . Menurut Kassam (dalam FAO, 1978) pada saat langit cerah
dengan intensitas radiasi surya 1.4 lylmenit atau kurang
lebih setara 650 lylhari mempunyai laju fotosintesis se-
kitar 35 mg ~o~/drn~/rnenit atau 2.1-3.5 g bahan keringlhal
hari. ~erbagai penelitian menunjukkan bahwa produksi biji
kedelai mencapai 6.9 t/ha dengan produksi bahan kering
10.2 tlha, terutama di daerah temperatelsub-tropis.
Whigham, Minor, dan Carmer (1978) melaporkan bahwa
penanaman kedelai di daerah tropis dengan lintang sekitar
lo0 Utara memberikan produksi biji rata-rata 2.0 t/ha de-
. ngan kisaran 0.5-4.5 t/ha. ~erangkaian penelitian terha-
dap varietas Wilis di Indonesia menghasilkan biji sekitar
* 1.6-2.7 t/ha, namun pada tingkat petani masih di bawah
0.9 t/ha (Manwan et al, 1990; dan Guhardja, 1991).
Selanjutnya penelitian pot oleh Boer (1988), varietas P
yang sama menghasilkan biji sekitar 17.2 glrumpun atau
sekitar 3.2 t/ha dengan produksi bahan kering 9.4 t/ha.
Dari banyak model simulasi tanaman yang dapat digu-
nakan untuk menduga potensi hasil kedelai, model simulasi
dan paket program SOYGRO termasuk metode yang lebih prak-
tis namun dengan keluaran yang lebih lengkap. Model si-
mulasi SOYGRO mulai dikembangkan sejak tahun 1980 oleh
Universitas Florida dan IBSNAT (Inter. Benchmark Sites
Network for Agrotech. Transfer) di Amerika Serikat (IBS-
NAT, 1986; Jones et all 1989). Model SOYGRO telah meng-
alami beberapa kali penyempurnaan sesuai dengan perubahan
versinya. Versi terakhir adalah SOYGRO 4.2 yang 'lebih
sensitif terhadap peubah-peubah genetik menurut varietasl
galur, tanggal dan jarak tanam, serta pengelolaan irigasi.
Setiap tanaman (komoditi) membutuhkan syarat tumbuh
serta mempunyai daya adaptasi (kisaran) dan tanggap ter-
tentu terhadap lingkungan. Di lapangan, kondisi tersebut
29
merupakan interaksi antara potensi agroekologi (alamiah)
dengan paket teknologi sistem usahatani dan infrastruktur.
Menurut Odum (1977), Cox dan Atkins (1979), akibat - interaksi antara lingkungan dengan vegetasi (tanaman) ter-
dapat zona-zona vegetasi secara alami di muka bumi. Pada r
kondisi alami peranan iklim lebih menonjol dalam menentu-
kan zona vegetasi tersebut. Bahkan para pakar sering meng-
gunakan j enis dan penyebaran vegetasi alami untuk meng-
identifikasi dan mendeliniasi iklim, seperti yang dilaku-
kan oleh Koppen (dalam Chambers 1978) serta Schmidt dan
Ferguson (1951). Namun demikian pada suatu agroekosistem,
campur tangan manusia kadangkala lebih dominan, tergan-
tung kepada kemampuan untuk menyesuaikan diri danlatau
memanipulasi lingkungan tersebut.
Berdasarkan prinsip ekologi di atas, studi tentang
karakteristik lingkungan terutama iklim dapat digunakan
untuk menentukan jehis komoditi' yang cocok pada suatu
agroekosistem. Dalam ha1 ini pada suatu agroekosistem da-
pat dimungkinkan beberapa alternatif sistem usahatani dan
komoditi. Oleh karena itu, berbagai gatra lain perlu di-
pertimbangkan, seperti keunggulan banding suatu komoditi,
sosial ekonomi, kebijakan, infrastrutur dan lain-lain.
Irsal et a1 (1990) mengemukakan konsepsi dasar dalam
pewilayahan (zonasi) komoditi secara bertahap diawali
dengan studi agroekologi utama yang hanya mempertimbang-
kan faktor bio-fisik, yaitu iklim, tanah, dan topofisio-
grafi. Faktor lingkungan biologis, sosial ekonomi, kebi-
jaksanaanlpolitik dan f aktor penunjang lainnya dipertim-
bangkan pada' tahap-tahap berikutnya (Gambar 3 ) . Menurut banyak pakar yang dituangkan dalam rumusan
" Seminar Sehari tentang Peningkatan Pemanfaatan Agrometeo-
rologi Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Pe-
ngembangan Perkebunan (PERHIMPI, 1989), penggunaan faktor
iklim dan topografi sebagai parameter utama dalam pewila-
yahan komoditi suatu daerah didasarkan kepada beberapa
pertimbangan antara lain :
1. iklim dan topografi secara teknis operasional sangat sulit dimodifikasi.
2. iklim merupakan salah satu komponen agroekosistem yang sulit diduga.
3. iklim dalam batas tertentu dapat digunakan untuk mengindikasikan komponen agroekosistem lain, ter- utama faktor tanah dan vegetasi.
Iklim tidak hanya menentukan kesesuaian lahan mela-
lui kemungkinan tumbuh tidaknya suatu komoditi dan tinggi
rendahnya (magnitute) hasil panen, tetapi juga sangat
mempengaruhi kemantapan (stabilitas) hasil komoditi ter-
sebut (Arsyad, 1988; Karama dan Irsal, 1988). Untuk ta-
naman industri dan komoditi eksport, kualitas, kemantapan
produksi merupakan tuntutan dalam pengolahan dan pema-
. Rktor Dominan 6 Zona K- Spcsifik tiap TIpe A p k o l o g i . Ekolo@.
A#. E P n g m I Pngmatik I - ~ o r n o d ~ u . J .
& A
1 Kewuaian Potcnsi Komoditi Penanaman
Komoditi Priorifas "' I (Pcailayahan Komoditi)
Kebijaksanaan Pemcrintah
I
Gambar 3. Diagram alir tahapan studi dan pewila- yahan agroekologi dan zona komoditi.
Faktor Sosial Ekonomi
saran. Sedangkan pada tanaman pangan, kedua gatra ini
'
penting dalam menjaga keamanan pangan (food security)..
Gatra lumintu (sustainable) merupakan salah satu tuntutan
dalam pembangunan pertanian tangguh berwawasan lingkungan
(Satari dan Darwis, 1988).
Gatra lain'yang harus dipertimbangkan dalam menetap-
kan zona komoditi akhir-akhir ini adalah mmwawasan ling-
kunganw dalam arti : cocok, sesuai dan layak untuk menda-
patkan produksi optimal, mantap dan tidak menganggu ke-
lestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Dalam ha1 ini
secara ekologis sesuai dan cocok dengan syarat tumbuh ko-
moditi dan dapat berproduksi secara optimal, layak (fea-
sible) dalam arti secara ekonomis menguntungkan serta
secara teknis operasional memungkinkan. Selanjutnya ma-
sukan yang diberikan dalam pembudidayaan komoditi terse-
but tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan dan menjamin
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta menja-
min keberlanjutan produktivitas lahan.
G. Aqroekoloqi dan Sistem Usahatani Kabupaten Sikka dan Kabu~aten Ende
1. Geologi, Topografi dan Tanah
Pulau Flores termasuk pulau-pulau vulkanik Nusa
Tenggara bersama Bali, Lombok, Sumbawa, Alor, dan Wetar
(Bemmelen, 1949) . Kondisi f isiograf i dan topograf i Kabu- paten Sikka dan Kabupaten Ende yang berada dibagian te-
ngah Pulau Flores beragam, terletak dari no1 hingga 1200
m. dpl (meter di atas permukaan laut).. Lebih dari 24%
dari wilayahnya terletak >500 m.dpl. Sekitar 17% wilayah
mempunyai kemiringan 0-15%, 34 dan 49% wilayah dengan ke-
miringan 15-40, dan >41%. Kebanyakan wilayah ini berge-
lombang hingga berbukit, bahkan beberapa di antaranya,
khususnya bagian tengah merupakan wilayah perbukitan de-
ngan kemiringan yang terjal atau torehan.
Faktor pembentuk tanah yang dominan di daerah ini
adalah iklim. Pergantian musim kemarau dan musim hujan
yang sangat nyata secara intensif mempengaruhi proses pem-
bentukan tanah (Brouwer, 1942). Pada daerah hilir dan da-
taran terbentuk tanah ~luvial dan Grumosol, pada daerah
berombak adalah tanah Regosol, sedang di daerah bergelom-
bang tanah Latosol, Mediteran, ~ambisol, ~itosol, dan Kom-
pleks (Regosol, Kambisol dan Litosol) a am pi ran 1).
Sebagian besar tanah di wilayah penelitian ini mem-
punyai tekstur sedang hingga kasar dengan kadar bahan.or-
ganik rendah (Balittro, 1986; dan Puslittanak, 1990), se-
hingga kapasitas menahan air (water holding capacity)
rendah. Menurut Blantran de Rozari (1989) , Tim Rintisan Iklim BMG mendapatkan nilai kapasitas menahan air tanah
di daerah ini sekitar 10% volume tanah.
2. Hidrologi
Sesuai dengan kondisi fisiografi dan geografi serta
curah hujan yang rendah, di kedua kabupaten ini tidak
terdapat sungai-sungai besar dan panjang. Namun demikian
di sini terdapat banyak sungai kecil yang kebanyakan ber-
34
air hanya selama musim hujan. Dari 4 sungai yang relatif
besar dan panjang 3 diantaranya bermuara di selatan (laut
Sawu) , Nangapanda yang bermuara di dekat Ende. Tiga su-
ngai lainnya adalah, Mautenda, Iligetang dan Nebe (Kantor
~tattistik NTT, 1986; Sandi, 1976). "
~ a s i l studi Ditjen Pengairan dan PT Indah Karya
(1982) menyimpulkan bahwa kedua kabupaten terdiri dari 8
DAS, yakni Lowo Rea, Nanga Panda, Lowo Dondo, Wai Wajo,
Mage Panda, Wai Doing, Wai Gete dan Nanga Gete. Masing
masing DAS diberi nomor dari 12 hingga 19. Pada masing-
masing DAS mengalir 18-21 sungai dan anak sungai.
3. Iklim
3.1. Sirkulasi Udara dan Musim
Iklim Pulau Flores sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
angin musim secara latitudinal yang bergerak dari dan ke
arah katulistiwa. Namun demikian dengan adanya pegunungan
dibagian tengah pulau, angin lokal agak mempengaruhi cu-
rah dan distribusi hujan (Blantran de Rozari, 1986).
Berdasarkan sirkulasi udara dan angin musim, periode
satu tahun di Flores dibedakan atas dua musim. Selama De-
sember-April angin Monsoon Barat Laut bertiup melalui
laut Flores dan Pulau Sumbawa. Kelembaban nisbi massa
udara pada angin tersebut meningkat dengan adanya pegu-
nungan di bagian tengah pulau Flores. Akibatnya selama
periode ini hujan tercurah di sebagian besar wilayah ini,
kecuali di pantai utara sekitar teluk Pedang yang merupa-
kan daerah bayangan hujan dan datangnya angin bersifat
Selama periode Juni-September/Oktober, angin
Monsoon Tenggara dari Australia bertiup secara dominan I.
dengan cepat menuju laut Flores. Angin tersebut kurang
lembab, sehingga periode ini merupakan musim kemarau.
Selama masa peralihan selama bulan Oktober/Nopember
dan Mei angin bertiup dari berbagai jurusan dan memberi-
kan dampak lokal yang ikut meragamkan curah hujan tergan-
tung kepada sifat dan arah angin serta kondisi topografi
dan ciri khas setiap'lokasi.(Metzner, 1982).
3 .2 . Curah Hujan dan Tipe Iklim
Metzner (1982) mengemukakan bahwa di Flores terdapat
tiga wilayah (zona) curah hujan menurut pola umumnya,
yaitu :
1. Pantai Utara Kering, curah hujan <I000 mm/tahun, periode hujan yang pendek (Desember-Maret); contoh Maumere dan Reo.
2. Daerah Pegunungan (bagian tengah), curah hujan >2000 mm/tahun dan dua periode hujan yang cukup
. panjang (~opember-April dan Mei-~uli); contoh : Bajawa dan Ruteng.
3. Lerenglsisi Selatan Pegunungan, curah hujan 1000- 2000 mm/tahun; contoh : Ende, Lela dan Ladelero.
36
Blantran de Rozari (1986), membedakan NTT atas tiga
klas curah hujan berdasarkan bulan basah dan kering
(<60 mmlbulan) , yaitu : kemarau kering, kemarau sedang, dan kemarau basah. Sebagian besar wilayah Kabupaten Sikka
dan Kabupaten Ende, termasuk klas curah hujan Kernarau
Sedang (2-5 bulan kering), kecuali sebagian daerah pantai
utara, terutama di sekitar Magepanda dan Nebe mernpunyai
klas curah hujan Kemarau Kering (2 6 bulan kering).
Wilayah penelitian mempunyai curah hujan yang rendah
dengan periode yang relatif pendek (<6 bulan), tetapi
tidak dapat digolongkan sebagai daerah Semi Arid Tropics,
kecuali Waingapu (Blantran de Rozari, 1987). Apalagi jika
kelembaban nisbi dan suhu ikut dipertimbangkan.
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson
(1951), sebagian besar wilayah ini mempunyai tipe iklim E
dan F yang berarti jumlah bulan kering (<60 mmlbulan) le-
bih sedikit dari jumlah bulan basah (>60 mm/bulan). Sela-
ras dengan itu menurut klasifikasi Koppen (dalam : Cham-
bers, 1978 ) tipe iklirn di Flores pada umumnya Awa, dan
sebagian Aw atau Af yaitu daerah bertipe Iklim Hujan Tro-
pik kering dan suhu pada bulan terpanas >22,2O~.
Dari peta agroklimat Oldeman, Irsal dan Muladi
(1979), Flores terdiri dari lima wilayah tipe agroklimat,
yaitu C3, D3, D4, E3 dan E4, khusus Kabupaten Sikka dan
Kabupaten Ende hanya terdiri dari tipe agroklimat E3 dan
37
E4. Tipe agroklimat E3 mempunyai bulan basah (>200 mm/bu-
lan) <3 bulan dan bulan kering (<I00 mmlbulan) 4-6 bulan,
sedangkan tipe E4 dengan bulan kering >6 bulan. Tipe E3
terutama terdapat di pedalaman dan pantai selatan Ende.
4. Status Sistem Usahatani dan Komoditi Pertanian C
4.1. Agroekosistem dan Bistem Usahatani
Menurut studi agroekosistem Kepas (1986), Momuat dan
Malian (1988), Poffenberger dan Suryanata (1986) di wila-
yah penelitian terdapat empat agroekosistem lahan yang
sekaligus yang mencirikan sistem usahatani (SUT) dan ko-
moditi yang diusahakan, yakni persawahan, pekarangan,
tegalan serta lahan kering dan padang pengembalaan.
Lahan persawahan umumnya ditanam hanya sekali padi -
sawah dengan sistem pengairan teknis, sederhana dan tadah
hujan. Lahan pekarangan ditanam beraneka jenis tanaman
tahunan seperti kelapa, pisang, alpukat, kemiri, dan cok-
lat. Di sela-sela tanaman tersebut selama musim hujan se-
ring di tanam beberapa jenis tanaman pangan seperti
jagung, kacang hijau dan ubi kayu.
Lahan tegalan umumnya berupa lahan kering di daerah
dataran atau sedikit bergelombang hingga miring. Keba-
nyakan daerah dataran di tanam jagung sebagai tanaman
utama, atau ditumpang sarikan dengan kacang hijau, kapas,
dan ubi kayu. Selain itu terdapat tanaman tahunan teru-
38
tama kelapa, asam, dan jambu mente. Di daerah lereng dan
perbukitan banyak juga ditanam tanaman pangan selain
tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri seperti
cengkeh, kemiri, kopi, kapuk, alpukat dan coklat.
Lahan peladangan merupakan lahan kering di celah-ce-
lah perbukitan dan agak subur di pegunungan yang umumnya
terjal, kebanyakan lahan ini ditanami selama satu atau
dua tahun kemudian ditinggalkan. Pada lahan ini umumnya
diusahakan tanaman pangan, terutama jagung, dan kacang-
kacangan. Sekarang sistem peladangan semakin berkurang,
terpencar secara sporadis di beberapa wilayah di Kabupa-
ten Ende bagian tengah dan utara atau di sekitar perba-
tasannya dengan Kabupaten Sikka.
4.2. Status Sitem Usahatani Tanaman Pangan
Sistem usahatani (SUT) tanaman pangan merupakan mata
pencarian sekitar 79.4% dan 83% dari penduduk Kabupaten
Sikka dan Kabupaten Ende, dan menyerap tenaga kerja seki-
tar 67 790 dan 64 190 orang. Sumbangan (kontribusi) SUT
tanaman pangan terhadap pendapatan daerah regional bruto
(PDRB) sekitar 28.3% dan 27.5% untuk masing-masing kabu-
paten dengan laju pertumbuhan 4.34 dan 3.72%/tahun.
Total luas panen tanaman pangan tahun 1989 di Kabu-
paten Sikka sekitar-30 104 ha dan di Kabupaten Ende seki-
tar 21 818 ha. Total 11 195 ha luas sawah yang dapat di-
airi di Kabupaten Ende hanya 3 505 ha ( 3 1 . 3 % ) yang telah
digarap, dan dari 44 728 ha lahan kering hanya 27 230 ha
( 6 0 . 9 1 % ) yang telah digarap (Tabel 1) . Tabel 1. Luas panen dan produksi beberapa jenis
tanaman pangan pada tahun 193? di Kabu- paten Sikka dan Kabupaten Ende.
.......................................................... : Luas Panen Produksi
Tanaman (ha) (ton) (tonlha) ' K.S K.E K.S K.E K.S K . E ~ ) ..........................................................
Padi sawah 889 3 951 5233 10996 5 . 8 8 3 . 2 7
Padi gogo 7 749 5 540 5792 8913 0 . 7 5 1 . 8 9
JWFng 12 873 6 049 139060 24435 1 0 . 8 0 4 . 0 4
~ b i kayu 3 454 6 017 22350 63290 6 . 4 7 1 0 . 5 2
Ubi jalar 355 126 1077 1434 3 . 0 3 1 1 . 3 8
Kacang tanah 1 071 , 135 632 239 0 . 9 0 1 . 7 7
Kacang hij au 3 713 td 1843 td 0 . 5 0 td
Total areal 30 104 2 1 818 175987 109307 - - .......................................................... 'I Sumber : Dipertan Kab. Sikka (1989) , Kantor Statistik
Sikka ( 1 9 9 0 ) , dan Dipertan Kab. Ende (1989) Kantor Statistik Ende ( 1 9 9 0 ) . .
2 , K.S = Kabupaten Sikka; K.E = Kabupaten Ende td = tidak ada data atau luasnya sangat kecil
Produktivitas tanaman pangan umumnya masih rendah,
selain karena curah hujan yang rendah dan eratik, sebagi-
an petani belum menggunakan verietas unggul, pemupukan
dan pola tanam yang optimal. Hal ini erat .kaitannya de-
ngan rendahnya apresiasi petani terhadap teknologi usaha-
tani introduksi danlatau terbatasnya penyediaan sarana
produksi (Momuat dan Malian, 1988; Poffenberger dan Sur-
yanata, 1986; Yasin et al, 1990).
4.3. Status Sistem Usahatani Tanaman Perkebunan/Industri
Pada umumnya areal pertanaman tanaman perkebunan dan
,. industri terpencar secara sporadis di berbagai kecamatan
di kedua kabupaten. Total luas areal tanaman perkebunan
di Kabupaten Sikka sekitar 47 000 ha. Hampir seperduanya
adalah tanaman kelapa, sisanya tanaman coklat,jambu mente,
dan kemiri. Total produksi tanaman perkebunan pada tahun
1989 adalah 16 049 ton, 12 ribu ton lebih di antaranya
adalah kelapa (Tabel 2). Banyak di antara tanaman merupa-
kan tanaman yang baru dikembangkan seperti coklat, ceng-
keh, dan kapas. Secara ekologis tanaman kapas mempunyai
prospek yang baik di wilayah ini, namun gangguan hama pe-
nyakit dan faktor pemasaran masih merupakan kendala. Pada
tahun 1989, SUT perkebunan menyumbang sekitar 6.96% PDRB
Sikka dengan laju pertumbuhan rata-rata 12.5%/tahun.
Luas areal tanaman perkebunan dan industri di Kabu-
paten Ende sekitar 23 567 ha dengan total produksi 5 765
ton aneka jenis komoditi perkebunan (Tabel 2). Tanaman
perkebunan agak luas diusahakan adalah kelapa, kopi, ke-
miri dan jambu mente. Pada tahun 1989, sumbangan SUT per-
kebunan (rakyat) terhadap PDRB Kabupaten Ende adalah se-
besar 3.98% dengan laju pertumbuhan sekitar 11.3%/tahun.
Tabel 2. Luas dan produksi beberapa tanaman perke- bunan dan industri tahun 1989 di Kabupa- ten Sikka dan Kabupaten Ende.
Luas Areal (ha) Produksi (ton) Tanaman K.S K.E K.S K.E
e Kelapa Kopi ,
cengkeh Kemiri Kapuk Coklat Jambu Mente Kapas Tembakau Jarak
'I Sumber : Kantor Statistik Sikka (1990) , dan Kantor Statistik Ende (1990), B . P . S (1987) .
2, K. S = Kabupaten Sikka; K. E = Kabupaten Ende td = tidak ada data atau luasnya sangat kecil