Upload
trinhkhue
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS KETERSEDIAAN PANGAN BERAS
DI PROVINSI JAMBI
Oleh : Adlaida Malik, MS dan A. Rahman 1
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan beras di daerah Provinsi Jambi untuk beberapa dekade terakhir pada masa sebelum atau sesudah periode penyuluhan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri – Menteri Pertanian tahun 1996 dimana penyuluhan pertanian diserahkan ke daerah otonom. Selain itu untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan beras, khususnya pengadaan daerah, nilai tukar petani, tingkat konsumsi per kapita, serta luas panen padi dan kebijakan otonomi daerah. Penelitian ini memakai data sekunder, dari tahun 1984 sampai tahun 2009, yang dibagi dalam dua fase yaitu periode sebelum SKB (1984–1995) dan periode sesudah SKB (1996–2009). Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan menghitung pertumbuhan, baik data ketersediaan beras yang terdiri atas produksi dan perubahan stok pada Bulog. Kemudian untuk menganalisis pengaruh variabel bebas terhadap variabel ketersediaan beras, digunakan analisis regresi linieir berganda (multiple linear regression). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat trend perkembangan yang cenderung meningkat pada ketersediaan pangan beras, konsumsi beras, dan pengadaan beras, sementara indeks nilai tukar petani dan luas panen memiliki trend yang menurun. Variabel pengadaan beras, indeks nilai tukar petani, konsumsi beras, luas panen dan peranan penyuluhan pertanian secara nyata mempengaruhi ketersediaan pangan beras di Provinsi Jambi. Secara parsial konsumsi beras per kapita dan luas panen padi berpengaruh sangat nyata terhadap kemampuan ketersediaan pangan beras.
Key word :Ketersediaan, Pangan dan beras
PENDAHULUANLatar Belakang
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar hampir seperempat miliar
jiwa dan wilayah yang sangat luas memberikan konsekuensi bahwa pangan dan
pemenuhannya merupakan agenda yang penting dalam pembangunan ekonomi.
Status konsumsi pangan penduduk misalnya ’cukup pangan’ merupakan salah
satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Pemenuhan konsumsi pangan
melalui penyediaan dalam negeri saat ini merupakan tema sentral pembangunan
pertanian. Walaupun suplai bahan pangan yang dibutuhkan mungkin lebih murah
melalui impor, namun pemenuhan melalui produksi dalam negeri tetap menjadi
penting dalam rangka mengurangi ketergantungan pada pasar dunia. Betapa
pentingnya pengembangan sistem ketahanan pangan ini dilakukan secara dinamis
dan berkelanjutan mengingat (a) konsumsi pangan saat ini khususnya beras cukup
tinggi dengan rata-rata diatas 100 kg/kapita/tahun, (b) konsumsi sayuran dan
buah-buahan sekitar 30 kg/kapita/tahun, (c) konsumsi ikan 20 kg/kapita/tahun.
Dibandingkan dengan konsumsi pangan beras di negara-negara Asia
khususnya Jepang, Indonesia jauh lebih tinggi dimana rata-rata konsumsi beras di
Jepang hanya sekitar 60 kg/kapita/ tahun (Sutrisno dan Rudi Wibowo, 2005).
Untuk Provinsi Jambi, walaupun belum ada penelitian khusus untuk itu,
diperkirakan konsumsi beras 135 kg/kapita/tahun. Dengan pertambahan
penduduk Provinsi Jambi sekitar 2% per tahun, sementara laju pertumbuhan
produktivitas menurun, maka analisis terhadap ketersediaan beras perlu dilakukan
karena selain konsumsi untuk rumah tangga, beras juga digunakan sebagai bahan
baku industri terutama untuk tepung beras, bihun dan industri makanan lainnya.
Krisis penyediaan pangan menjadi masalah besar dan sensistif karena
semakin mahal terutama sejak terjadinya perubahan iklim global dan semakin
gencarnya alih fungsi lahan produktif padi menjadi lahan kelapa sawit, termasuk
yang terjadi di Provinsi Jambi. Memperhatikan data statistik produksi beras di
Provinsi Jambi, dapat dikatakan ada peningkatan, tetapi jika diperhatikan laju
tumbuh produktifitasnya ternyata relatif rendah. Hal ini dapat dijadikan sebagai
salah satu indikator bahwa adanya pertumbuhan produksi padi tersebut dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat lebih disebabkan oleh upaya
ekstensifikasi dibandingkan dengan intensifikasi.
Fenomena ini pada gilirannya menimbulkan masalah baru dalam konsumsi
beras dikemudian hari disatu pihak mengurangi kemampuam melestarikan
swasembada beras, sementara di lain pihak dapat meningkatkan ketergantungan
terhadap impor. Dengan demikian, konsumsi beras rumahtangga penting
diantisipasi secara cermat pada masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 dimana pemerintah mengambil posisi
kebijakan dengan pilihan kecukupan pangan dengan menjaga ketat produksi beras
dalam negeri pada tingkat ketersediaan minimal 90% dari kebutuhan domestik
bagi kemandirian pangan. Kemandirian mampu menjamin kecukupsediaan
makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri, untuk mengantisipasi
ancaman fluktuasi pasar dan tekanan politik internasinal seminimum mungkin.
Upaya-upaya dalam program ketahanan pangan belum dapat sepenuhnya
terlepas dari beras, ini tercermin dari strategi pembangunan pertanian dimana
komoditas utama tanaman pangan sampai tahun 2006 dan cadangan pangan
pemerintah masih berbasis beras. Dengan semakin terbatasnya areal pangan per
petani dan ketersediaan pasokan air irigasi serta semakin meningkatnya harga
input khususnya pupuk dan insektisida menjadi faktor-faktor pembatas untuk
peningkatan produksi beras.
Sebagaimana diketahui bahwa produsen beras pada umumnya tergolong
petani subsisten dalam arti bahwa petani padi sawah berperan sebagai produsen
sekaligus sebagai konsumen. Ini berarti bahwa produksi yang dijual ke pasar
tergantung dari surplus konsumsi rumah tangga, harga beras dan harga komoditas
lain yang tidak dihasilkan oleh petani atau sering diidentifikasi melalui nilai tukar
beras. Dengan demikian ketersediaan beras daerah Provinsi Jambi dipengaruhi
oleh pengadaan daerah, nilai tukar, tingkat konsumsi per kapita, serta luas panen
padi. Sejak tahun 1996 dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB)
Mendagri – Mentan (April 1996) yang lebih menegaskan pelaksanaan penyuluhan
sub sektor, dan Kepala Daerah Provinsi Jambi sebagai penanggung jawab
pelaksanaan penyuluhan dalam pelaksanaan otonomi daerah, diduga berpengaruh
pada ketersediaan beras daerah ini. Pada masa sebelum timbulnya SKB tersebut,
keberhasilan pembangunan pertanian khususnya untuk padi, telah dinikmati yang
menggambarkan adanya suatu jalinan kerja yang harmonis.
Setelah tahun 1996, sistem kerja penyuluhan pertanian tidak diuraikan
secara eksplisit walaupun disebutkan adanya aturan tentang program
penyelenggaraan penyuluhan pertanian, programa penyuluhan pertanian beserta
rencana kerja penyuluhannya sampai pada kelembagaan, ketenagaan serta
pembiayaan penyuluhan pertanian. Berbeda dengan periode sebelumnya, secara
tegas disebutkan dengan pendekatan latihan dan kunjungan. Hal ini sangat erat
kaitannya dengan kinerja penyuluhan pertanian dan petani produsen, yang
mempengaruhi ketersediaan beras dimaksud.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini berusaha menjawab masalah di atas dengan tujuan :
Mengetahui laju pertumbuhan ketersediaan pangan beras dan beberapa variabel-
variabel ekonomi yang mempengaruhinya; dan untuk mengetahui begaimana
pengaruh pengadaan pangan beras, nilai tukar petani, konsumsi beras dan luas
panen serta kebijakan pemerintah dalam program penyuluhan terhadap
ketersediaan pangan beras.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Belum banyak penelitian yang dapat diakses berkaitan dengan ketersediaan
pangan beras hingga saat ini apalagi skala provinsi. Untuk skala nasional, dengan
mengambil sampel tiga provinsi yaitu Jawa barat, Jawa Tengan dan Jawa Timur
tentang dampak negatif pembangunan di bidang pangan termasuk beras
menghasilkan rekomendasi antara lain (a) memperketat konversi lahan pertanian
ke lahan non pertanian, (b) meningkatkan peran kelembagaan yang menunjang
peningkatan produksi, (c) meningkatkan pemantauan terhadap distribusi sarana
produksi agar dapat mencapai sasaran secara tepat, (d) meningkatkan
kerjasama/kemitraan dengan pengusaha/swasta. Sedangkan strategi yang
direkomendasikan adalah (a) pemanfaatan lahan pertanian secara maksimal baik
riil maupun yang potensial, (b) memantapkan kelembagaan yang menunjang, baik
di tingkat produksi, pengolahan maupun pemasaran, (c) merancang dan
memantapkan jaringan informasi tentang ketersediaan pangan antara lain
mengenai produksi dan harga, (d) memantapkan pola pembinaan dengan
pendekatan agribisnis melalui konsep kemitraan (Anonim, 1995).
Apabila diasumsikan bahwa produksi beras sebagai mata pencaharian
pokok rumah tangga, maka sudah barang tentu kontribusinya dalam pendapatan
rumah tangga akan semakin besar. Namun demikian petani akan mengalokasikan
produksi berasnya (Q0) untuk konsumsi keluarga (C0) dan selebihnya dijual ke
pasar yaitu sejumlah M0.Pada kondisi ini, petani akan mencapai ekuilibrium pada
titik E0. Jika terjadi perubahan harga komoditas yang tidak diproduksi petani,
dalam arti rasio harga beras semakin besar maka utilitas petani akan ekuilibrium
paa E1, maka jumlah beras yang dijual ke pasar semakin sedikit (M1). Demikian
seterusnya, jika rasio harga beras dengan komoditas lain semakin besar maka
pasokan beras di pasar semakin kecil (M2). Oleh karena itu rasi harga beras
dengan harga komoditas lain yang dipahami sebagai indeks nilai tukar petani akan
berpengaruh terhadap ketersediaan beras. Perlu diantisipasi dalam hal ini jika
semakijn banyak beras dijual ke pasar karena pengaruh NTP, berarti kesejahteraan
petani semakin rendah.
Variabel konsumsi per kapita per tahun merupakan variabel selanjutnya
yang dideteksi sebagai variabel yang mempengaruhi ketersediaan beras di daerah
ini. Semakin besar jumlah penduduk maka ketersediaan beras semakin besar.
Namun demikian, konsumsi per kapita yang semakin menurun dapat berlaku lain.
Hal ini berarti konsumsi non beras semakin rendah dengan adanya diversifikasi
makanan pokok. Variabel lain yang diduga mempengaruhi adalah produksi beras
daerah itu sendiri melalui luas panen tanaman padi. Semakin besar luas panen
tanaman padi maka diharapkan menunjang ketersediaan beras. Namun demikian
ada peluang lain yang menyebabkan tidak demikian, mengingat prasarana
pengairan yang kurang baik atau iklim yang berubah sehingga air irigasi tidak
tersedia. Salah satu variabel yang cukup menarik dianalisis dalam penelitan ini
adalah penyuluhan pertanian.Sebagaimana diketahui sejak 1996 dengan adanya
otonomi daerah, kegiatan penyuluhan beserta lembaganya diserahkan sepenuhnya
kepada kepala daerah masing-masing. Diduga setelah otonomi daerah, dengan
pengelolaan penyuluhan pertanian yang belum mantap, turut mempengaruhi
ketersediaan pangan beras di daerah.
Ruang Lingkup Penelitian dan Variabel Penelitian
Penelitian ini memakai memakai data sekunder yang tersedia pada Badan
Ketahanan Pangan Provinsi Jambi, BPS dan atau Bappeda Provinsi Jambi serta
Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jambi termasuk Bank Indonesia Bulog dan BPS
Pusat. Sedapat mungkin dianalisis dalam jangka panjang yaitu perode 1984 –
2009. Periode jangka panjang ini dibagi dalam periode jangka pendek yaitu 1984
–1995 dan periode 1996–2009.
Variabel dalam penelitian ini terdiri atas ketersediaan beras pada Provinsi
Jambi sebagai variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas (independent
variable) yang akan dideteksi pengaruhnya terdiri atas (a) buffer stock (pengadaan
daerah), (b) nilai tukar petani, (c) konsumsi beras per kapita per tahun, (d) luas
panen padi dan (e) kebijakan penyuluhan pertanian sebelum tahun 1996 dan
sesudah tahun 1996.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah sesuai dengan variabel
penelitian. Pengumpulannya dilakukan dengan pengisian kuesioner dari dokumen
instansi Pemerintah Daerah maupun Pusat. Selain itu juga dilakukan
pengumpulan data melalui penulusuran internet, khususnya data dari BPS Pusat.
Analisis Data
Data yang dikumpulkan dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung
pertumbuhan, baik data ketersediaan beras yang terdiri atas produksi dan
perubahan stok pada Bulog,. Menghitung pertumbuhan dilakukan menurut rata-
rata ukur :
r ={k√ ( x1, x2, … xn )−1 }❑
100%
dengan r = rata-rata pertumbuhan
xi = rasio data tahun ke-i dengan tahun i-1
k = n – 1
Selain menghitung rata-rata pertumbuhan dari data yang diperoleh, juga
digambarkan trend Y = f(X), dengan adalah variabel
Untuk menganalisis pengaruh variabel bebas terhadap variabel
ketersediaan beras pada periode jangka pendek maupun periode jangka,
digunakan analisis regresi linier berganda (multiple linear) dengan matematis
model :
Yt= f(PDt, INTPt, KKPt, LPi, P, ε)
: Yt = Ketersediaan beras pada tahun ke-t (ton)
PDt = Pengadaan daerah pada tahun ke–t
INTPt = Indeks nilai tukar petani pada tahun ke–t
KKPt = Tingkat konsumsi per kapita pada tahun ke-t
LPt = Luas panen padi pada tahun ke-t
P = Variabel dummy kebijakan penyuluhan pertanian
P = 1, sebelum tahun 1996
P = 0, sesudah tahun 1996
ε = error
Pendugaan parameter menggunakan metode kuadrat minimum (OLS) atas
dasar asumsi parameter dugaan yang diperoleh merupakan parameter tak bias
(Pindyck and Rubinfeld, 1981, Maddala, 1977). Penafsiran hasil penelitian
dilakukan dengan uji-t dengan criteria
t = ¿
Analisis data menggunakan program SPSS versi 17,0. Selain kriteria
statistik, juga diperhatikan arti ekonomik dan logika hubungan antara variabel
bebas dengan variabel tidak bebas (Soekartawi, 1984). Kemudian analisis dengan
data deret waktu sangat sering terjadi masalah otokorelasi (Makridakis,
Wheelwright, McGee, 1983), karena itu dilakukan uji D-W untuk mengetahui
otokorelasi dimaksud.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Pangan
Beras di Provinsi Jambi
Ketersediaan beras di Provinsi Jambi ini berdasarkan produksi beras yang ada di
Provinsi Jambi. Ketersediaan beras memiliki peran secara langsung dalam
pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat. Laju pertumbuhan ketersediaan
beras di Provinsi Jambi adalah sebesar 61,88%, artinya ketersediaan beras
cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya, dimana ketersediaan beras yang
tertinggi terjadi pada tahun 1996 sebesar 396.714 ton.
Untuk mendukung ketersediaan pangan beras tersebut produksi pengadaan beras
terutama dari sumber-sumber daerah. Selama sepuluh tahun terakhir (2000-2009)
perkembangan luas tanam dan produksi di daerah penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1. Ada kecenderungan luas tanam maupun luas panen fluktuatif dengan laju
yang menurun dari waktu ke waktu, begitu pula dengan produksi meskipun naik
pada tahun 2009, tetapi perubahannya relative kecil.
Tabel 1. Perkembangan Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Padi di Provinsi
Jambi Tahun 2000– 2009
Tahun Luas tanam padi (Ha) Luas panen padi (Ha) Produksi
Padi
sawah
Padi
ladang
Padi sawah Padi
ladang
Padi
sawah
Padi
ladang
2000 193.904 49.827 135.187 36.208 456.884 79.895
2001 198.744 44.383 137.698 27.128 496.952 59.612
2002 190.316 40.148 138.323 27.406 501.125 59.882
2003 185.884 38.821 132.571 26.892 518.442 59.893
2004 171.992 33.985 131.601 25.202 519.512 59.892
2005 174.382 45.014 129.082 25.859 518.140 61.495
2006 158.919 47.774 115.127 25.486 481.183 63.414
2007 171.400 46.028 120.210 29.678 510.989 75.642
2008 170.270 39.242 119.486 23.548 514.941 66.762
2009 180.316 44.821 127.981 27.821 556.007 88.940
Rataan 203.149,7 62.099,5 137.487,9 35.536,4 481.943,2 72.759,5
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi/Dinas Pertanian Provinsi Jambi
Pengadaan beras di Provinsi Jambi selain berasal dari pengadaan beras
dalam daerah, juga berasal luar daerah (Move Nasional) serta stok (persediaan)
beras dari tahun sebelumnya. Adapun tujuan pengadaan beras dari luar daerah
(Move Nasional) adalah untuk menjamin ketersediaan beras apabila pengadaan
beras dari dalam daerah Provinsi Jambi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi. Seperti pada tahun 2006 dimana produksi dari dalam daerah tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, sehingga pengadaan beras
mengalami gangguan, maka untuk mengatasi kondisi ini dilakukan dengan
mendatangkan beras dari luar daerah (move nasional). Dari data yang ada laju
pertumbuhan pengadaan beras di Provinsi Jambi dari tahun 1984-2009 sebesar
8,98 %, dimana pengadaan beras tertinggi di Provinsi Jambi pada tahun 1998
sebesar 47.291.588 kg.
Pengadaan beras di Provinsi Jambi mengalami fluktuasi, dimana pada tahun 1985
pengadaan beras mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Kemudian pada
tahun 1986 sampai tahun 1988 pengadaan beras di Provinsi Jambi mengalami
peningkatan. Tetapi setelah itu pengadaan beras mengalami penurunan kembali,
yang mengakibatkan pengadaan beras mengalami fluktuasi. Adapun fluktuasi
yang terbesar terjadi dari tahun 1997 sampai tahun 1999 dimana pada tahun 1998
pengadaan beras mengalami peningkatan yang sangat tajam, kemudian pada tahun
1999 pengadaan beras mengalami penurunan yang sangat tajam juga.
Untuk melihat trend perubahan data perkembangan pengadaan beras, nilai tukar
petani, konsumsi beras dan luas panen dapat dilihat hasil perhitungan persamaan
garis trend yang telah dipilih berdasarkan nilai R2 terbesar dari model terpilih
yang dipakai sebagai berikut (Tabel 2) :
Tabel 2. Hasil Perhitungan Trend Perkembangan Variabel Pengadaan Beras,
Nilai Tukar Petani, Konsumsi Beras dan Luas Panen Padi di Provinsi
Jambi (1984-1996)
Variabel
Koefisien Model R2
(%)Konstanta X2 X
Pengadaan beras 3.107 23643 – 26452 27.7
Nilai Tukar Petani (NTP) 100,2 0,029 0,994 4,6
Konsumsi Beras 3. 108 - 4.106 68,6
Luas panen 16157 -225,9 4838 70,7
Perkembangan pengadaan beras di Provinsi Jambi ke depan dapat diestimasi
dengan menggunakan garis trend diatas meskipun memiliki kelemahan dari aspek
koefisien determinasi model yang relative kecil yaitu R2 sebesar 27,7 persen.
Keadaan ini disebabkan oleh berfluktuasinya pengadaan beras dari luar daerah
(move nasional).
Indeks nilai tukar petani (INTP) merupakan perbandingan antara indeks harga
yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani. Adapun untuk laju
pertumbuhan indeks nilai tukar petani di Provinsi Jambi adalah sebesar -90,09 %,
artinya indeks nilai tukar petani di Provinsi Jambi cenderung mengalami
penurunan.
Perkiraan perkembangan INTP di Provinsi Jambi ke depan dengan menggunakan
garis trend menunjukkan nilai R2 hanya sebesar 4,6 persen sehingga kurang kuat
untuk maksud estimasi. Pada tahun 1984 sampai 1996 nilai INTP cenderung
tetap, tetapi pada saat terjadi krisis moneter INTP mengalami fluktuasi yang
sangat tajam. Pada tahun 1997-1998 INTP mengalami peningkatan yang sangat
tajam, tetapi pada tahun 1999 INTP berbalik arah mengalami penurunan yang
sangat tajam.
Dari aspek konsumsi, beras merupakan kebutuhan yang setiap tahunnya
harus dipenuhi. Apabila semakin tinggi tingkat konsumsi beras maka kebutuhan
beras yang harus dipenuhi akan semakin tinggi pula. Tingkat konsumsi beras di
Provinsi Jambi yang tertinggi yaitu pada tahun 1989 sebasar 155,93
kg/kapita/tahun. Sementara ini semenjak tahun 1990-2009, konsumsi beras
perkapita di Provinsi Jambi mulai mengalami penurunan. Adapun untuk laju
pertumbuhan tingkat konsumsi beras di Provinsi Jambi periode 1984-2009 adalah
sebesar 9,66 %. Dari garis trend dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi otonom
dengan tingkat rata-rata variasi sebesar 3.108 kg beras. Dari garis trend dengan
nilai R2 sebesar 0,686, maka dapat diperkirakan bahwa setiap tahunnya konsumsi
beras di Provinsi Jambi akan bertambah 4.106 kg beras.
Apabila dilihat dari aspek luas panen sebagaimana pada data pada Tabel 1,
penyumbang luas panen padi terbanyak berasal dari luas panen padi sawah,
sedangkan luas panen padi darat menyumbang sebagian kecilnya. Selama periode
tahun 1984-200, laju pertumbuhan total luas panen padi di Provinsi Jambi adalah
sebesar -8,97 %, artinya luas panen padi di Provinsi Jambi cenderung mengalami
penurunan.
Hal ini dapat saja terjadi karana banyaknya masyarakat petani padi yang
beralih mengusahakan tanaman perkebunan terutama kelapa sawit, kerena setelah
adanya krisis moneter tahun 1997 yang melanda Indonesia produk perkebunan ini
mampu bersaing dipasar internasional, bahkan mampu meingkatkan taraf hidup
petaninya. Meskipun demikian pemerintah pada akhirnya haurs tetap
memperhatikan masalah ketersediaan pangan terutama beras, hal ini ditunjukkan
dengan adanya peningkatan luas panen padi pada tahun 2009 dari tahun 2008.
Tingkat presisi model peramalan perkembangan luas panena (R2 cukup
tinggi yaitu sebesar 70.7. Oleh karena itu sejalan dengan waktu dengan asumsi
tidak ada alih fungsi lahan berkelanjutan dan masih cukup tersedia lahannya, baik
lahan tidur maupun lahan baru, maka setiap tahun akan ada tambahan seluas 20,769.1 ha lahan padi baru yang bisa dipanen di Provinsi Jambi untuk menopang
ketersediaan pangan
Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan Pangan Beras
Ketersediaan beras memiliki kontribusi bagi pertumbuhan dan
pembangunan pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan pangan
beras (Y) sangat bergantung pada pengadaan beras (X1), nilai tukar petani (X2),
konsumsi perkapita (X3), luas panen (X4), dan kebijakan penyuluhan pertanian
(D). Dari hasil pengolahan data yang telah dikumpulkan, terlihat koefisien
parameter hasil penelitian Y = f(Xi), dengan persamaan regresi linier berganda
yang diperoleh sebagai berikut :
Y= 9,528E6 – 0,503 X1– 556912,1 X2 + 1,115X3 + 293,624X4 + 6,599E6 D
(-1.2) (-2.488*) (11.301**) (2.027*) (0.905)
Adapun Analisis sidik ragam faktor-faktor yang mempengaruhi
ketersediaan pangan beras di Provinsi Jambi bahwa secara bersama-sama
pengadaan beras, nilai tukar petani, konsumsi beras, luas panen, dan kebijakan
penyuluhan pertanian berpengaruh secara signifikan terhadap ketersediaan beras
(F hit = 57.85> F Tabel 0.01 (5,20) = 4.1).
Besarnya koefisien determinasi R2 adalah 0,935. Hal ini berarti 93,5 persen
variasi besarnya ketersediaan beras di Provinsi Jambi dipengaruhi oleh besarnya
variasi nilai-nilai pengadaan beras, nilai tukar petani, luas panen, konsumsi, dan
kebijakan penyuluhan, sedangkan sisanya 6,5 persen dipengaruhi oleh variabel
lain yang tidak dimasukkan dalam model regresi berganda yang digunakan.
Pengaruh Pengadaan Beras Terhadap Ketersediaan Pangan Beras
Pengadaan beras termasuk faktor utama yang berhubungan dengan
ketersediaan pangan beras.Pengadaan beras berkaitan dengan aksesbilitas,
keamanan pangan, dan stabilitas pangan beras. Apabila pengadaan beras cukup
terjamin maka ketersediaan beras dari aspek produksi akan berkurang. Besarnya
koefisien regresi pengadaan beras terhadap ketersediaan pangan beras adalah b1 = -
0,503. Hal ini berarti apabila terjadi penambahan pengadaan beras sebesar 1.000
Kg maka akan mengakibatkan berkurangnya ketersediaan pangan beras sebesar
503 Kg. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besarnya elastisitas pengaruh
pengadaan beras terhadap ketersediaan beras adalah EX1|Y = -5,48. Hal ini berarti
apabila terjadi perubahan kenaikan dalam pengadaan beras sebesar 1 persen,
mengakibatkan berkurangnya ketersediaan pangan beras di Provinsi Jambi sebesar
5,48 persen. Hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa thit = -1,200 < ttabel
(α/2 = 5%, 21) = 1,96, (terima H0). Artinya pengaruh pengadaan beras terhadap
ketersediaan pangan beras adalah tidak berbeda nyata. Hal ini berarti variasi
besarnya ketersediaan pangan beras tidak dipengaruhi oleh pengadaan beras.
Pengaruh Indeks Nilai Tukar Petani Terhadap Ketersediaan Pangan Beras
Besarnya nilai tukar petani dapat digunakan sebagai indikator ekonomi yang
menyajikan besarnya kemampuan daya beli petani. Nilai tukar petani
menggambarkan besarnya pendapatan petani yang dapat dibelanjakan untuk
tujuan konsumsi. Aksesibilitas petani terhadap ketahanan pangan beras, stabilitas
pangan beras, dan pangan beras sangat tergantung pada besarnya nilai tukar
petani. Besarnya rata-rata indeks nilai tukar petani adalah 106,52 dan rata-rata
ketersediaan pangan beras adalah 3,3441.108 kg. Besarnya koefisien regresi
indeks nilai tukar petani terhadap ketersediaan pangan beras adalah b2= -
556912,1. Hal ini berarti apabila terjadi penambahan indeks nilai tukar petani
sebesar 1 maka akan mengakibatkan bertambahnya ketersediaan pangan beras
sebesar 556912,1 ton. Hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa besarnya
elastisitas pengaruh indeks nilai tukar petani terhadap ketersediaan pangan beras
EX2|Y = -13,32. Hal ini berarti apabila terjadi perubahan kenaikan dalam indeks
nilai tukar petani sebesar 1 persen maka akan mengakibatkan berkurangnya
ketersediaan pangan beras sebesar 13,32 persen. Dalam hal ini apabila nilai tukar
petani meningkat maka akan terjadi diversifikasi pangan dan akibatnya terjadi
pergeseran dari konsumsi pangan beras ke pangan non beras. Hasil uji t terhadap
pengaruh indeks nilai tukar petani terhadap ketersediaan pangan beras
menunjukkan beda yang nyata. Hal ini berarti variasi besarnya ketersediaan
pangan beras tergolong faktor yang berpengaruh nyata terhadap ketersediaan
pangan beras.(thit = -2,488>t tab = (α/2 = 5 % db = 21 =1,96 tolak H0). Hal ini
berarti variasi besarnya nilai–nilai indeks nilai tukar petani berpengaruh secara
nyata terhadap ketersediaan pangan beras.
Pengaruh Konsumsi Beras Terhadap Ketersediaan Pangan Beras
Pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi (BPS 2010) sebesar 1,93% atau
62.563 jiwa pertahun mendorong terjadinya penurunan struktur kebutuhan pangan
(Balitbangda, 2010). Pertumbuhan konsumsi pangan beras ini mengakibatkan
terjadinya perkembangan ketersediaan pangan beras. Ada kecenderungan apabila
konsumsi pangan beras bertambah maka harus ada upaya meningkatkan
ketersediaan pangan beras. Konsumsi pangan beras berkaitan dengan kemampuan
penduduk untuk menyediakan pangan beras, dan dipengaruhi oleh aksesibilitas,
keamanan pangan, dan stabilitas pangan beras.
Dari data diketahui bahwa rata-rata konsumsi pangan beras sebesar
3.100.828 kg dan rata-rata ketersediaan pangan sebesar 3.344.108 kg, dan
koefisien regresi konsumsi pangan beras terhadap ketersediaan pangan ini adalah
1.115. Hal ini berarti apabila terjadi penambahan konsumsi sebesar 10 kg maka
akan berakibat keharusan untuk menambah ketersediaan pangan beras sebesar
1.115 kg. Hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa besarnya elastisitas
pengaruh konsumsi pangan beras terhadap ketersediaan pangan beras adalah
sebesar EX3|Y= 7,24. Hal ini berarti apabila terjadi perubahan kenaikan dalam
konsumsi pangan beras sebesar 10% maka akan mengakibatkan berkurangnya
ketersediaan pangan beras sebesar 7,24%. Dalam hal ini apabila konsumsi
penduduk meningkat maka perlu dilakukan diversifikasi pangan, sehingga dapat
menggeser konsumsi pangan beras ke pangan non beras. Hasil uji t menunjuk-
kan bahwa terdapat pengaruh nyata antara konsumsi penduduk terhadap
ketersediaan pangan beras. Hal ini berarti variasi besarnya ketersediaan pangan
beras merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap ketersediaan pangan
beras (thit ;11,301> tα/0.025;21 = 3,47 ; tolak H0). Dengan demikian dapat diketahui
bahwa variasi besarnya nilai-nilai ketersediaan pangan beras dipengaruhi secara
nyata oleh besarnya konsumsi pangan beras. Hal ini sejalan dengan pendapat
Mulyadi (2007), yang menyatakan bahwa konsumsi pangan beras sangat
mempengaruhi keterbatasan dalam pengadaan beras. Apabila konsumsi pangan
beras bertambah maka akan terbatas ketersediaan pangan beras, dan masalah
ketersediaan pangan beras akan menjadi bertambah apabila terjadi peningkatan
konsumsi pangan beras.
Pengaruh Luas Panen Terhadap Terhadap Ketersediaan Pangan Beras
Luas panen merupakan faktor penentu terhadap produksi beras di Provinsi
Jambi. Dalam hal ini luas panen menjadi faktor yang menentukan tingkat
ketersediaan pangan beras apabila luas panen padi bertambah dan diikuti dengan
peningkatan produktifitas usaha tani padi akan mengakibatkan meningkatnya
ketersediaan pangan beras. Rata-rata luas panen padi Provinsi Jambi adalah
173.024 ha dengan rata-rata ketersediaan pangan beras 320.310.ton . Data ini
menunjukkan bahwa rasio ketersediaan pangan beras dengan luas panen adalah
1,85. Hal ini menggambarkan bahwa ketersediaan pangan beras beras sebesar
1,85 ton maka memerlukan luas lahan panen sebesar 1 ha. Hasil analisis data luas
panen dan ketersediaan pangan menghasilkan koefisien regresi sebesar 293,624
dengan derajat signifikansi sebesar 0.05 (nyata). Hal ini mengindikasikan bahwa
bila terjadi perubahan luas lahan / jika meningkat sebanyak 1 satuan (ha) maka
akan meningkatkan ketersediaan pangan beras sebanyak 293.6 kg. Berdasarkan
data rata-rata produksi beras dan luas panen, maka selama periode 1984-2009 satu
hektar hanya menghasilkan 999 kg beras. Artinya hanya sebagian kecil saja (29,5
%) produksi beras yang bersedia disumbangkan petani untuk memenuhi
ketersediaan pangan.
Pengaruh Kebijakan Pemerintah di Bidang Penyuluhan
Adanya kebijakan Pemerintah sejak tahun 1996 mengenai kelembagaan
Penyuluhan Pertanian, tidak memiliki dampak atau pengaruh terhadap
ketersediaan pangan beras. Koefisien regressi dari variabel Dummy kebijakan
penyuluhan pertanian sebesar 5,999E6 dengan signifikansi sebesar 38 % artinya
tidak signifikan. Dengan demikian pemerintah perlu didorong untuk membuat
kebijakan yang lebih progresif dan relevan dengan cita-cita swasembada pangan
khususnya beras yang pernah diraih pada masa lalu.
Implikasi Hasil Penelitian
Betapa pentingnya pengembangan sistem ketahanan pangan secara
dinamis dan berkelanjutan terhadap konsumsi pangan saat ini masih bertumpu
pada beras. Fenomena ini pada akhirnya menimbulkan masalah baru dalam
konsumsi beras terutama dalam melestarikan swasembada beras, dan terhindar
dari ketergantungan terhadap impor. Dengan demikian ketersedian beras rumah
tangga penting diantisipasi secara cermat pada masa yang akan datang.
Ketersediaan pangan sangat ditentukan oleh kemandirian pangan. Adanya
kemandirian pangan akan menjamin kecukupan dan ketersediaan pangan serta
diharapkan mampu mengantisipasi ancaman fluktuasi pasar dan ketergantungan
impor.
Ketersediaan beras di daerah Provinsi Jambi untuk dekade terakhir baik
sebelum dan sesudah periode penyuluhan dengan keluarnya SKB Mendagri-
Mentan tahun 1996 bahwa kebijakan ketahanan pangan diserahkan kepada
otonomi daerah. Banyak faktor yang dianggap mempengaruhi ketersediaan
pangan beras seperti pengadaan beras, nilai tukar petani, tingkat konsumsi
perkapita, serta luas panen padi. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa
ketersediaan pangan beras meningkat 6,188% pertahun, pengadaan beras 8,981%
pertahun, nilai tukar petani -9,0% pertahun, tingkat konsumsi 9,66% pertahun dan
luas panen padi -8,97% pertahun. Dari variabel–variabel tersebut yang paling
berpengaruh terhadap ketersedian pangan di Provinsi Jambi adalah tingkat
konsumsi dan luas panen padi.
Dalam rangka meningkatkan ketersediaan pangan beras pada tingkat daerah
maka terdapat dua pilihan yaitu untuk mencapai swasembada pangan beras atau
mencapai kecukupan pangan beras. Untuk meningkatkan ketersediaan pangan
beras dapat dilakukan dengan berbagai kebijakan pertanian diantaranya (1)
meperluas jaringan irigasi, kualitas dan layanan irigasi yang dapat menunjang
perluasan sawah, (2) meningkatkan produktivitas usahatani padi dengan
menerapkan teknologi terpadu melalui pengelolaan tanaman terpadu (PTT), (3)
meningkatkan bimbingan dan pelayanan PPL terhadap petani, (4) menjamin
pengadaan sarana produksi bagi petani untuk menunjang penerapan teknologi
baru pada usahatani padi, (5) menjamin kemitraan petani dengan lembaga
ekonomi lain yang dapat menjamin harga dan distribusi beras. Sedangkan
kebijakan kecukupan pangan beras dapat dilakukan dengan kebijakan impor
beras. Kebijakan ini bertujuan agar makanan pokok berupa beras tersedia dalam
jangkauan seluruh rumah tangga dengan tepat harga, tepat tempat, tepat waktu dan
mutu. Kebijakan impor haruslah mampu menjaga keberlanjutan dan
kecukupsediaan beras dalam jangka panjang dengan meminimalkan
ketergantungan impor pangan beras. Kebijakan ini hendaknya ditinjau kembali
dari waktu ke waktu untuk melindungi petani dan mendorong produksi domestik.
Selain itu masyarakat perlu didorong untuk meningkatkan keanekaragaman
ketersediaan bahan pangan beras dan non beras. Untuk itu dukungan pemerintah
terhadap agroindustri pengolah pangan nonberas yang berbasis produk pengganti
yang dapat dihasilkan masyarakat di daerah harus semakin diperkuat secara politis
berupa penyusunan kebijakan dan program pembinaan, maupun ekonomi berupa
komitmen untuk bantuan finansial dan permodalan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : terdapat trend
perkembangan yang cenderung meningkat pada ketersediaan pangan beras,
konsumsi beras, pengadaan beras sedangkan variable indeks nilai tukar petani dan
luas panen memiliki trend yang menurun. Adanya kesenjangan diantara faktor ini
terhadap ketersediaan, kecukupan dan swasembada akan cenderung menjadi
faktor pembatas dalam peningkatan kemandirian pangan.
Kemampuan ketersediaan pangan beras dipengaruhi secara bersama-sama oleh
pengadaan beras, indeks nilai tukar petani, konsumsi beras, luas panen dan
kebijakan penyuluhan pertanian secara nyata. Variabel yang paling
mempengaruhi variasi nilai-nilai kemampuan ketersediaan pangan beras adalah
besar kecilnya tingkat konsumsi beras dan luas panen padi.
Kebijakan otonomi daerah di bidang penyuluhan belum memiliki peran yang
signifikan karena terbukti belum mampu melampaui sasaran seperti periode
sebelum pelaksanaan otonomi daerah.
Saran
Dari hasil kesimpulan maka dalam rangka meningkatkan kemampuan
ketersediaan pangan beras yang dapat disarankan sebagai berikut:Program
diversifikasi pangan non-beras melalui usaha-usaha peningkatan ketersediaan
pangan non-beras, aksesibiltas, stabilitas, dan kualitas pangan non-beras.
Program perluasan sawah, ladang dan sawah tadah hujan harus diikuti dengan
upaya peningkatan produktifitas sehingga menunjang ketersediaan pangan beras.
Program pemberian insentif berupa pengadaan sarana produksi, permodalan,
bimbingan dan latihan penggunaan teknologi baru sehingga petani dapat
meningkatkan intensitas tanam usahatani padi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995. Pengkajian Penanggulangan Dampak Negatif Pembangunan di Bidang Pangan. Kerjasama Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dengan
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, Jakarta.
______, 1997. Dilema Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian: Persfektif Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian dalam Operasional SKB Mendagri-Mentan 1996. Ekstensia Vol. 5 Tahun IV Februari 1997. Hal 5 – 28.
______, 2000. Kebijakan Operasional Pembangunan Pertanian Kabinet Persatuan Nasional: Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Ekstensia, Vol. 11 Tahun VI Ha15-20.
Darwant, D.H an Prima Y Ratnaningtyas, 2007. Kesejahteraan Petani dan Peningkatan Ketersediaan Pangan: Sebuah Dilemma?. Makalah pada Kompernas XV dan Kongres XIV Perhepi, Solo, 3 Agustus 2007.
Maddala, G.S. 1977. Econometrics. McGraw-Hill, Inc.
Makridarkis, S., Steven C. Wheelwright, Victor E. McGee, 1983. Forcasting, 2nd
edition. Yohn Wiley & Sons, Inc.
Mulyadi. 2007. Indeks Ketahanan Pangan Nasional Pada Berbagai Provinsi di Indonesia. Badan Survei Susenas Bappenas. Jakarta.
Pindyk, R.S, and Daniel L Rubineld, 1981. Econometrics Model and Economic Forcasts. 2nd McGraw-Hill, Ltd.
Soekartawi, 1984. Pendugaan dan Penggunaan Fungsi Produksi Cobb-Doughlas. EKI Vol. XXX N. 1 LPEM- FE UI Jakarta.
Sutrisno, N dan Rudi Wibowo, 2007. Strategi Pembangunan Katahanan Pangan. Makalah pada Kompernas XV dan Kongres XIV PERHEPI, Solo, 3-5 Agustus 2007.