Upload
ndiendie-swiuphy
View
568
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN…………………………………… 1
A. Latar belakang…………………………………… 1
B. Permasalahan…………………………………….. 7
C. Tujuan penelitian………………………………… 7
D. Manfaat penelitian…………………………….…. 8
E. Keaslian……………………………………….…. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………... 11
A. Landasan teori…………………………………… 11
B. Kerangka konsep………………………………… 29
C. Hipotesis…………………………………….…… 30
III. METODOLOGI PENELITIAN………………….….. 31
A. Desain penelitian………………………………… 31
B. Tempat dan waktu………………………………. 31
C. Populasi dan sample………………………….….. 32
D. Kriteria inklusi dan eksklusi……………….…….. 33
E. Variabel penelitian dan definisi operasional…….. 33
F. Alat dan bahan…………………………………... 35
G. Cara kerja………………………………………... 37
H. Analisa data……………………………………... 41
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….. 42
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Obesitas merupakan masalah yang banyak dijumpai di masyarakat.
Seseorang dikatakan obesitas yaitu apabila indeks massa tubuh seseorang
mencapai nilai ≥ 30 kg/m2. Secara fisiologi, obesitas sebenarnya lebih
merujuk pada keadaan berlebih dari jaringan lemak atau adiposa, tetapi
penggunaanya dalam klinis memang tidak dianjurkan karena berbagai faktor
yang terkait dengan alat pengukuran dari jaringan lemak, sehingga
pengukuran demikian biasanya hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian.
Obesitas terjadi oleh karena berbagai faktor yang mendasarinya. Beberpa
diantaranya adalah genetik, pola aktivitas yang pasif, pola makan yang
berlebih, dan bisa juga karena kelainan hormon. Karena sifatnya yang
sistemik, maka keadaan obesitas dapat melibatkan berbagai sistem penting
dalam tubuh seperti masalah sistem peredaran darah, pernapasan, hormon,
seksual, dan lain sebagainya. Sebagai contohnya adalah obesitas sering
dikaitkan dengan resiko terjadinya hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus
tipe 2, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit kantung empedu,
osteoartritis, sleep apnea, kanker endometrium, payudara, prostat, kolon, dan
belum lagi jika dikaitkan dengan komplikasi dari masing-masing masalah
tersebut. Hal ini jelas perlu mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan
2
khususnya kalangan medis mengingat kejadian ini sering kali ditemukan
dalam masyarakat dan klinis.
Berbagai penatalaksanaan medis sudah banyak yang ditujukan untuk
mengatasi masalah obesitas ini, mulai dari pengaturan pola hidup,
penggunaan obat-obatan tertentu, hingga yang harus berakhir pada meja
operasi. Dua poin terakhir tersebut tentunya sangat tidak diinginkan oleh para
pasien obesitas karena dapat memakan banyak biaya, beresiko, dan
mengurangi kenyamanan pasien.
Dari pernyataan di atas, berarti dapat disimpulkan bahwa masih tersisa
satu poin dalam penanganan masalah obesitas yaitu pengaturan pola hidup.
Pengaturan pola hidup dalam pengendalian masalah obesitas mungkin sudah
sering dibahas pada penelitian-penelitian sebelumnya. Pengaturan pola hidup
tersebut bisa berupa pengaturan pola makan (waktu makan dan jenis makanan
yang sebaiknya dikonsumsi) ataupun pengaturan pola aktivitas (olahraga dan
bekerja). Pengaturan pola makan memang terbukti dapat mengurangi
kandungan lemak jaringan dan juga indeks massa tubuh apalagi jika
dikombinasikan dengan olahraga. Olahraga sendiri juga memiliki
kemampuan mengurangi kadar trigliserida dalam darah, tetapi jika tidak
diimbangi dengan pengaturan pola makan, berat badan dan indeks massa
tubuh tidak akan terpengaruh secara signifikan (Ounis et al., 2008). Yang
jadi masalah lain adalah jenis olahraga apa yang sebaiknya dilakukan untuk
mengurangi masalah obesitas. Biasanya pasien obesitas dianjurkan untuk
melakukan olahraga aerobik jika memungkinkan. Olahraga aerobik tersebut
3
dapat berupa kegiatan berjalan, lari-lari kecil (jogging), bersepeda dengan
ergometer, dan berenang. Dua olahraga terakhir yang disebutkan tadi
merupakan olahraga yang paling cocok dilakukan pada penderita obesitas
(Sato, 2005). Dikarenakan aktivitas berenang menggunakan hampir seluruh
otot-otot besar, maka ada kemungkinan berenang akan lebih efektif dalam
membantu mempercepat pembongkaran lemak dibandingkan dengan
bersepeda ergometer. Disamping itu, kegiatan berenang yang lebih
menyenangkan ini mungkin juga tidak hanya dapat mengurangi tekanan fisik
tapi juga tekanan mental para penderita obesitas yang masih dalam menjalani
masa pemulihan berat badan dan lemak jaringan.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa olahraga sendiri terkadang masih
kurang efektif dalam menangani masalah obesitas. Atas dasar itulah penulis
berpikir bahwa mungkin masih ada pendekatan lain yang bisa ditambahkan
pada penanganan masalah obesitas tanpa harus memberatkan pasien tersebut.
Beberapa pendekatan alternatif telah banyak dikemukakan sebelumnya
oleh peneliti lain, diantaranya adalah akupuntur dan pengobatan herbal.
Dikarenakan akupuntur juga masih terkendala dengan masalah
kekurangnyamanan pasien, maka pilihan tersebut akhirnya sering beralih
pada pengobatan herbal.
Pengobatan herbal ialah pengobatan yang menggunakan unsur-unsur
alami yang mempunyai efek terapi. Sebenarnya banyak sekali jenis
pengobatan herbal yang sudah ada di masyarakat, sebagai contohnya adalah
ginkgo biloba dan teh hijau. Sekalipun demikian, beberapa pasien yang
4
menjalankan terapi dengan pengobatan herbal tersebut sering merasa tidak
puas karena terapi yang dilakukannya tidak seperti menjalankan terapi pada
umumnya, melainkan hanya seperti menjalankan aktivitas biasa.
Ketika digali lebih dalam, akan didapakan bahwa teh hijau memiliki
beberapa komponen penting di dalamnya. Salah satu komponen penting yang
sering disebut-sebut memiliki efek terapi adalah epigallocatechin.
Epigallocatechin telah diketahui memiliki banyak sekali khasiat seperti
menurunkan kadar glukosa, menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar
trigliserida, hingga menurunkan berat badan (Kao et al., 2000). Hal ini
tentunya akan sangat menguntungkan bagi para pasien dengan masalah
obesitas, dikarenakan para penderita biasanya sering mengalami peningkatan
kadar trigliserida di atas batas normal yang menandakan telah terjadinya
suatu gangguan fungsi metabolik dalam tubuh. Penelitian yang dilakukan Kao
et al. (2000) ini membuktikan bahwa epigallocatechin yang diberikan secara
intraperitoneal pada tubuh tikus Zucker yang obes mampu menurunkan kadar
trigliserida dalam darah, tetapi masih belum dijelaskan bagaimana efeknya
jika diberikan secara per oral seperti halnya jika masyarakat meminum teh
hijau pada umumnya.
Selain keuntungan yang telah sedikit dipaparkan di atas, teh hijau juga
jarang sekali dilaporkan memiliki efek samping yang merugikan. Data dari
BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan FDA (US Food and Drug
Administration) menunjukkan bahwa teh hijau aman untuk dikonsumsi.
5
Dari semua kenyataan tadi, harus dipahami juga bahwa Allah SWT. tidak
akan menurunkan segala sesuatu tanpa ada suatu manfaat, dan bahkan
mungkin hanya dari sehelai daun berwarna hijau yang dahulu cuma dianggap
sebagai bahan pembuat minuman biasa, padahal dari situlah kita bisa
mengetahui tanda-tanda kebesaran-Nya. Dalam suatu ayat Allah berfirman:
[6:99] Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami
tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami
keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami
keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari
mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun
anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang
tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan
(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. (SURAT
AL AN'AAM (Binatang ternak) ayat 99)
6
Berdasarkan sedikit bukti-bukti di atas, dapat disimpulkan sementara
bahwa olahraga (khususnya berenang) terkadang masih kurang efektif dalam
menangani masalah obesitas dan dapat disimpulkan juga bahwa komponen
utama teh hijau dapat membantu mengatasi beberapa masalah yang ada pada
individu obes. Melihat keadaan tersebut, penulis merasa perlu sekali meneliti
lebih jauh mengenai efek terapetik dari aktivitas berenang dan teh hijau ini
terhadap keadaan obesitas, terutama hubungannya dengan penurunan kadar
trigliserida dalam tubuh individu obes. Sampai saat ini penulis juga belum
pernah mengetahui adanya sumber yang meneliti efek dari aktivitas berenang
dan teh hijau dalam hubungannya dengan penurunan kadar trigliserida pada
individu obes jika keduanya dikombinasikan. Hal inilah yang kemudian
semakin mendorong keinginan penulis untuk menelitinya.
Banyak peneliti sering kali memilih menggunakan hewan uji sebagai
subjek penelitiannya, karena dengan hewan uji hampir seluruh aktivitas yang
dilakukan selama proses penelitian dapat dikendalikan, sehingga dapat
mengurangi terjadinya bias penelitian (khususnya penelitian-penelitian
eksperimental). Menurut pengalaman di laboratorium, tikus dikatakan lebih
mudah untuk dijadikan obes daripada mencit, dan ketersediaan tikus lebih
banyak dibandingkan dengan hewan uji lain seperti kelinci dan anjing.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka penulis kali ini
memutuskan untuk melakukan suatu penelitian menggunakan hewan uji
7
berupa tikus. Pertimbangan lainnya meliputi masalah kemudahan,
ketersediaan dana, alasan etis, dan lain lain sebagainya.
B. Permasalahan
Apakah terdapat perbedaan kadar trigliserida antara tikus obes kontrol
dengan tikus obes yang diberi perlakuan berupa aktivitas berenang dengan
atau tanpa pemberian per oral teh hijau?
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui dan mengkaji perbedaan kadar trigliserida antara
tikus obes kontrol dengan tikus obes yang diberi perlakuan berupa
aktivitas berenang dengan atau tanpa pemberian per oral teh hijau.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui kadar trigliserida darah awal pada kelompok kontrol
obes.
b. Mengetahui kadar trigliserida darah akhir pada kelompok kontrol
obes.
c. Mengetahui kadar trigliserida darah awal pada kelompok renang
obes.
d. Mengetahui kadar trigliserida darah akhir pada kelompok renang
obes.
8
e. Mengetahui kadar trigliserida darah awal pada kelompok renang
dengan kombinasi pemberian per oral seduhan teh hijau obes.
f. Mengetahui kadar trigliserida darah akhir pada kelompok renang
dengan kombinasi pemberian per oral seduhan teh hijau obes.
g. Mengetahui selisisih kadar trigliserida awal dan akhir pada masing-
masing kelompok.
h. Mengetahui perbedaan kadar trigliserida awal dan akhir semua
kelompok.
D. Manfaat penelitian
Diharapkan dengan penelitian ini, para penderita obesitas akan lebih
yakin dalam mempertimbangkan teh hijau sebagai salah satu alternatif
terapetik pada kasus yang mereka hadapi disamping hanya sekedar
melakukan olahraga (terutama berenang), yang akan dibuktikan dengan
penurunan salah satu parameter penanda obesitas, yaitu kadar trigliserida.
E. Keaslian
Sebelumnya, Kao et al. (2000). telah mencoba melakukan penelitian
mengenai efek dari epigallocatechin (salah satu komponen utama teh hijau)
terhadap beberapa komponen kimia dalam darah, salah satunya adalah
trigliserida. Penelitian tersebut menggunakan 3 kelompok hewan uji yang
mana salah satu kelompok tidak diberi perlakuan khusus terhadap berat
9
badannya (tikus Sprague Dawley), dan dua kelompok sisanya masing-masing
dibuat kurus dan obes (tikus Zucker). Ketiga kelompok tersebut kemudian
diberi epigallocatechin intraperitoneal. Setelah itu, dilakukan pengukuran
beberapa komponen kimia dalam darah. Dari hasil pengukuran dan analisa
dari sampel tersebut, didapatkan kadar trigliserida berbeda secara bermakna
pada ketiga kelompok tersebut, dan di dalam setiap kelompok didapatkan
penurunan kadar trigliserida sebelum dan sesudah diberi epigallocatechin.
Dengan kata lain, epigallocatechin dalam teh hijau tidak hanya menurunkan
kadar trigliserida tikus obes, tapi juga pada tikus normal dan kurus.
Di lain penelitian, Ounis et al. (2008) membuktikan bahwa olahraga yang
selama ini dikenal dapat membantu mengatasi masalah obesitas ternyata tidak
mampu mengatasi seluruh permasalahan yang ada pada pasien obesitas
tersebut jika tidak dikombinasikan dengan pengaturan pola makan. Penelitian
tersebut menggunakan 18 wanita obes sebagai subjek penelitiannya dan
menggunakan metode eksperimental sebagai metode penelitiannya. Dari 18
wanita obes tersebut kemudian dibentuk 3 kelompok perlakuan dengan
jumlah masing-masing kelompok adalah 6 orang. Perlakuan masing-masing
kelompok tersebut berupa restriksi makanan, olahraga, dan kombinasi di
antara keduanya. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sekalipun
olahraga dapat sedikit menurunkan kadar trigliserida secara bermakna, tetapi
berat badan dan kadar glukosa tidak turun secara bermakna ketika tidak
dikombinasikan dengan pengaturan pola makan.
10
Seperti yang telah diuraikan di atas, beberapa penelitian mengenai
masalah teh hijau dan aktivitas olahraga secara terpisah pernah dikemukakan
sebelumnya, tetapi penulis kali ini akan mencoba mengkombinasikan kedua
intervensi tersebut atau dengan kata lain memberikan intevensi berupa
pemberian teh hijau per oral dan aktivitas olahraga (khususnya berenang)
secara bersamaan, yang menurut sepengetahuan penulis belum pernah
dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain.
Sumber-sumber yang digunakan pada penelitian kali ini dicari melalui
dua buah search engine utama, yaitu Pubmed dan Google. Beberapa
kombinasi keyword digunakan dalam pencarian, diantaranya: “intitle:”,
“allintitle:”, “green tea”, “teh hijau”, “catechin”, “epigallocatechin”, “herbal
medicine”, “adverse effect”, “obesity”, “swim”, “exercise”, “2006..2009”,
“p<0.05”, “p<0.01”, “filetype:pdf”.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan teori
1. Fisiologi
a. Masuknya lemak dari makanan
Lemak dapat berasal dari berbagai macam makanan yang biasa
dimakan sehari-hari (terutama lemak hewani, karena lemak nabati
lebih bersifat jenuh sehingga susah untuk diabsorbsi), ataupun dapat
disintesis oleh tubuh.Lemak sendiri sebenarnya terdiri dari beberapa
komponen penting yaitu asam lemak, trigliserida/triasilgliserol,
fosfolipid, serebrosida, dan sterol (kolesterol dan turunannya).
Lemak tersebut kemudian memasuki beberapa tahap metabolisme
sebelum akhirnya dapat dicerna oleh tubuh. Tahap paling awal ialah
metabolisme lemak di rongga mulut oleh enzim lipase yang
disekresikan oleh kelenjar Ebner pada permukaan dorsal lidah.
Enzim tersebut menjadi sangat aktif pada keadaan asam, yaitu ketika
memasuki antrum lambung. Selain itu, lambung ternyata juga
mensekresikan lipase guna mencerna lemak dalam makanan.
Meskipun demikian, enzim dari kedua tempat tersebut ternyata
kurang dominan dalam mencerna lemak dibanding dengan lipase
yang dihasilkan oleh pankreas. Tetapi, enzim tersebut akan sangat
12
berguna ketika terjadi kerusakan dalam pankreas yang akhirnya akan
menyebabkan gangguan dalam sekresi enzim lipase pankreas.
Pankreas juga mensekresikan enzim ester kolesteril hidrolase guna
menghidrolisis kolesteril ester (kolesterol utama dalam makanan)
menjadi kolesterol yang lebih mudah diabsorbsi oleh usus halus
bersama dengan produk lemak lainnya.
Kerja enzim lipase pankreas ialah mengubah trigliserida
menjadi asam lemak dan gliserol (monogliserida). Enzim ini bekerja
pada lemak yang telah diemulsikan oleh garam empedu. Kemudian,
beberapa dari asam lemak tersebut membentuk misel, yang
merupakan agregat-agregat silindris yang umumnya terdiri dari asam
lemak, monogliserida, dan kolesterol pada pusat hidrofobiknya, dan
sebagian lainnya tetap dalam bentuk asam lemak bebas. Misel
kemudian bergerak menuju brush border pada sel-sel mukosa usus.
Asam lemak, monogliserida, dan kolesterol akhirnya berdifusi
keluar dari misel dan memasuki sel-sel penyerapan usus.
b. Penyerapan lemak
Nasib asam lemak di enterosit bergantung pada ukurannya.
Asam lemak yang atom karbonnya kurang dari 10-12, dari sel
mukosa langsung masuk ke aliran darah portal bersama dengan
albumin serum sebagai asam lemak bebas (tanpa esterifikasi). Asam
lemak dengan atom karbon lebih dari 10-12 mengalami esterifikasi
13
kembali menjadi trigliserida yang terlebih dahulu diubah menjadi
asil lemak KoA dalam sel-sel mukosa. Trigliserida juga dihasilkan
dari perubahan digliserida yang berasal dari monogliserida yang ikut
terserap dalam usus maupun dari hasil metabolisme glukosa dalam
sel mukosa usus. Produk dari metabolisme glukosa usus ini dapat
berupa trigliserida maupun gliserofosfolipid, yang keduanya
berperan dalam pembentukan kilomikron pada akhirnya. Selain itu,
sebagian kolesterol yang diserap juga diesterifikasi sehingga berubah
kembali menjadi kolesteril ester. Trigliserida dan kolesteril ester
kemudian dilapisi oleh lapisan protein, kolesterol, dan fosfolipid
membentuk kilomikron dengan gugus polarnya yang bersifat
hidrofilik dan gugus non-polarnya yang bersifat hidrofobik. Zat ini
kemudian meninggalkan sel mukosa dan masuk ke peredaran
limfatik (Ganong, 2003).
c. Pengangkutan dan metabolisme lemak
Beberapa pengangkut utama lemak dalam tubuh yaitu :
(1) Kilomikron : disintesis oleh sel-sel mukosa usus dan
dikeluarkan ke jaringan limfatik dan membawa lemak menuju
ke jaringan ekstrahepatik, setelah itu akan dirombak di hati.
Lemak utamanya yaitu berupa trigliserida dan kolesterol,
sedangkan apolipoprotein tamanya berupa Apo B-48, Apo C-I,
Apo C-II, Apo C-III, dan Apo E.
14
(2) VLDL (Very Low Density Lipoprotein) : disintesis oleh sel
parenkim hati untuk membawa lemak dalam jaringan hepatik
menuju ke jaringan ekstrahepatik, dan nantinya sebagian VLDL
ini akan dirombak di jaringan tersebut dan sebagian sisanya
beredar lagi dalam bentuk IDL. Lemak utamanya yaitu berupa
trigliserida dan kolesterol, sedangkan apolipoprotein utamanya
berupa Apo B-100, Apo C-I, Apo C-II, Apo C-III, dan Apo E.
(3) IDL (Intermediate Density Lipoprotein) : merupakan hasil sisa
dari VLDL. Sebagian IDL kemudian dirombak di hati dan
sebagian lainnya berubah menjadi LDL. Lemak utamanya yaitu
berupa trigliserida dan kolesterol, sedangkan apolipoprotein
utamanya berupa Apo B-100 dan Apo E.
(4) LDL (Low Density Lipoprotein) : terbentuk dari IDL.
Membawa lemak ke jaringan hepatik dan ekstrahepatik
sekaligus terjadi perombakan LDL di tempat tersebut. Lemak
utamanya yaitu berupa kolesterol, sedangkan apolipoprotein
utamanya berupa Apo B-100.
(5) HDL (High Density Lipoprotein): disintesis oleh sel parenkim
hati dan sel usus yang berfungsi untuk mengangkut lemak dari
jaringan ekstrahepatik. Lemak utamanya yaitu berupa fosfolipid,
kolesterol, dan kolesteril ester, sedangkan apolipoprotein
utamanya berupa Apo A-I, Apo A-II, Apo A-IV, Apo C-I, Apo
C-II, Apo C-III, Apo D, dan Apo E.
15
Apolipoprotein atau apoprotein ialah bagian protein pada
lipoprotein. Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa Apo B-100
terutama tampak pada VLDL karena apolipoprotein ini dihasilkan
oleh sel parenkim hati, sedangkan pada kilomikron
apolipoproteinnya berupa Apo B-48 karena apolipoprotein ini
dihasilkan oleh sel usus. Apolipoprotein-apolipoprotein ini memiliki
beberapa peran seperti sebagai penyusun bagian protein
apolipoprotein, sebagai kofaktor enzim, dan sebagai ligand untuk
interaksi dengan reseptor lipoprotein dalam jaringan (Murray et al.,
2003).
d. Pembongkaran lemak
Pada keadaan normal cadangan glikogen akan cukup untuk
memenuhi kebutuhan energi dalam waktu 10-12 jam. Sesudah itu
cadangan glikogen akan habis dan tubuh akan melakukan
pembongkaran lemak (lipolisis) menjadi asam lemak dan gliserol
untuk diubah menjadi asetil KoA sebagai bahan dalam siklus
Krebs/oksidasi seluler (Buhner, 2003).
Salah satu peristiwa penting pada proses katabolisme lemak ialah
proses metabolisme VLDL yaitu ketika VLDL akan melewatkan
trigliserida ke dalam jaringan ekstrahepatik. Di sini terjadi reaksi
hidrolisis oleh kerja enzim lipoprotein lipase yang terletak pada
dinding endotel di sekitar jaringan. Hal ini penting dikarenakan
16
VLDL merupakan komponen yang terlalu besar untuk dilewatkan
melalui celah kapiler, sehinga harus dihidrolisis dulu menjadi asam
lemak yang lebih kecil. Pada saat itu juga terjadi penempelan VLDL
pada reseptor VLDL di endotel tersebut, yang pada akhirnya
berfungsi untuk katabolisme VLDL.
Di lain sisi, adiponektin juga memiliki peran dalam katabolisme
lemak, terutama hubungannya dengan VLDL. Adiponektin
merupakan hormon yang dihasilkan oleh sel-sel lemak/adiposit.
Diantara fungsinya ialah meningkatkan lipoprotein lipase, reseptor
VLDL, meningkatkan HDL, dan menurunkan sensitifitas insulin.
Peningkatan lipoprotein lipase dan reseptor VLDL di jaringan pada
akhirnya akan mempercepat katabolisme dari VLDL (Qiao, et al.
2008).
2. Obesitas
a. Obesitas menurut WHO (1998)
BMI (Body Mass Index ) merupakan suatu pengukuran yang
menghubungkan (membandingkan) berat badan dengan tinggi badan.
Walaupun dinamakan "indeks", BMI sebenarnya adalah rasio atau
nisbah yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi
dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter).
17
Rumusnya:
Berat badan (Kg)
Body Mass Index = ——————–
Tinggi Badan (m2)
Seseorang dikatakan mengalami obesitas jika memiliki nilai
BMI sebesar 30 atau lebih.
Jika nilai BMI sudah didapat, hasilnya dibandingkan
dengan ketentuan berikut :
Nilai BMI < 18,5= Berat badan di bawah normal
Nilai BMI 18,5 - 22,9 = Normal
Nilai BMI 23,0 - 24,9 = Normal Tinggi
Nilai BMI 25,0 - 29,9 = di atas normal
Nilai BMI >= 30,0 = Obesitas
b. Patofisiologi
Obesitas dapat menimbulkan beberapa masalah penting dalam
tubuh. Jika dihubungkan dengan gangguan metabolisme, dapat
dikatakan bahwa obesitas mempengaruhi kerja insulin baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, obesitas
menurunkan sensitivitas insulin dengan jalan menurunkan kadar
adiponektin plasma (Hara et al., 2003). Penurunan kadar adiponektin
18
plasma nantinya juga akan berpengaruh pada komponen lainnya,
salah satunya ialah peningkatan kadar trigliserida.
Dalam suatu penelitian dikatakan juga bahwa kadar adiponectin
berkorelasi negatif dengan indeks massa tubuh, sehingga secara
berkebalikan pada keadaan underweight kadar adiponectin akan
meningkat secara signifikan dalam darah dibanding dengan keadaan
normal maupun obesitas, dan begitu pula pada keadaan normal akan
mempunyai kadar adiponectin lebih tinggi daripada keadaan
obesitas, sehinga dapat dikatakan bahwa keadaan obesitas
mempunyai kadar adponectin terendah (Tomoda et al., 2007).
c. Penatalaksanaan non-herbal
Sudah banyak cara diupayakan guna mengatasi keadaan
obesitas, diantaranya adalah pengaturan pola makan, pola aktifitas,
penggunaan obat penurun berat badan, hingga operasi. Beberapa
obat yang sudah sering diberikan kepada para pasien obesitas ialah
orlistat, sibutramine, phentermine, rimonabant (tergolong baru), dan
kombinasi dari orlistat, dan sibutramine
Sebuah studi meta-analysis dari beberapa RCT (Randomised
Controlled Trial) yang dikeluarkan oleh BMJ (British Medical
Journal) mencoba untuk memaparkan semua obat tersebut di atas.
Dari keterangan pada studi tersebut dikatakan bahwa orlistat ternyata
mempunyai efek samping yang lebih dari efek terapetiknya, yaitu
19
berupa gejala-gejala gastrointestinal seperti diare, nyeri abdominal,
dan juga dispepsia. Sibutramine dikatakan memiliki kemampuan
menengah untuk menurunkan kadar trigliserida, tetapi efek
sampingnya dapat berupa insomnia, konstipasi, hingga peningkatan
tekanan darah sistol dan diastol. Jika kedua obat tersebut
digabungkan efek sampingnya pada gastrointestinal ternyata lebih
hebat daripada hanya menggunakan sibutramine. Phentermine
dilaporkan hanya efektif jika dikombinasikan dengan pengaturan
pola hidup, tetapi efek sampingnya masih jarang diteliti sehingga
tidak di sebutkan dalam studi ini. Sekalipun obat baru, rimonabant
sudah banyak dilaporkan memiliki efek terapetik terhadap obesitas,
tetapi efek sampingnya hampir sebanding, yaitu berupa depresi,
cemas, kebingungan, yang kebanyakan berupa gejala psikiatri,
sehingga EMEA menunda pemasaran obat tersebut (Arterburn et al.,
2008).
Intervensi yang lebih beresiko juga dilaporkan dalam studi di
atas seperti gastric bypass, vertical banded gastroplasty,
biliopancreatic diversion, sleeve gastrectomy. Sekalipun sudah
banyak studi RCT yang melaporkan mengenai keuntungan dan
kerugian dari beberapa intervensi invasif di atas, penulis studi meta-
analisis tersebut tetap tidak memberikan komentar terhadap masing-
masing laporan studi itu (Arterburn et al., 2008).
20
Di lain tempat, sebuah studi di Taiwan mencoba melaporkan
prevalensi penggunaan obat-obatan untuk terapi obesitas. Dilaporkan
bahwa dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan herbal,
penggunaan obat-obatan seperti yang telah disebutkan di atas jauh
lebih banyak, tertuma orlistat dan sibutramine (Liou et al., 2007),
padahal diketahui bahwa kedua obat tersebut memiliki efek samping
yang tidak sedikit.
Jika dilihat kembali, sebenarnya jika para pasien obesitas ini
bersedia untuk bersabar, mereka tidak perlu melakukan intervensi-
intervensi beresiko yang sudah disebutkan sebelumnya. Masih ada
cara lain yang masih terbukti efektif dalam mengurangi masalah
obesitas, yaitu pengaturan pola makan dan pengaturan pola aktivitas.
Pada pengaturan pola makan, biasanya pasien disarankan untuk
makan makanan yang rendah kandungan lemak dan karbohidrat.
Jenis makanan yang disarankan pun begitu banyak, sehingga tidak
mungkin diuraikan satu-persatu di sini.
Selain pengaturan pola makan, pengaturan pola aktivitas juga
memegang peranan penting. Pengaturan aktivitas yang sering kali
dibahas yaitu mengenai olahraga. Meskipun olahraga memiliki
kemampuan mengurangi kadar trigliserida dalam darah, tetapi jika
tidak diimbangi dengan pengaturan pola makan, berat badan dan
indeks massa tubuh tidak akan terpengaruh secara signifikan (Ounis
et al., 2008). Biasanya pasien obesitas dianjurkan untuk melakukan
21
olahraga aerobik jika memungkinkan. Beberapa contoh olahraga
aerobik yaitu berjalan, lari-lari kecil (jogging), bersepeda dengan
ergometer, dan berenang. Bersepeda ergometer dan berenang
dikatakan lebih cocok untuk para penderita obesitas dibanding
olahraga aerobik lainnya (Sato, 2005). Meskipun belum diketahui
secara pasti mana yang lebih efektif dari kedua olahraga tersebut,
berenang lebih dari satu jam dalam seminggu telah diketahui lebih
efektif dalam menurunkan resiko terjadinya penyakit jantung
koroner (salah satu komplikasi obesitas) dibandingkan degan
bersepeda pada intensitas yang sama (Tanasescu et al., 2002).
Meskipun pada studi kohort ini didapatkan hasil yang tidak
signifikan untuk efektifitas kedua olahraga tersebut dalam
menurunkan resiko penyakit jantung koroner, tetapi peneliti tersebut
mengatakan bahwa hasil yang tidak signifikan tersebut kemungkinan
dikarenakan karena dari sejumlah sampel yang diambil hanya sekitar
2% yang melakukan aktivitas renang lebih dari satu jam seminggu
dan 7% yang melakukan aktivitas bersepeda lebih dari satu jam
seminggu.
22
3. Pengaruh teh hijau dalam tubuh
a. Efek positif
Khasiat teh hijau tentu tidak terlepas dari bahan-bahan yang
menyusunnya. Untuk lebih mudah memahaminya, komposisi dan
struktur dari masing-masing komponen teh hijau tersebut dapat
dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 2.1. Komposisi ekstrak teh hijau
Campuran Kandungan dalam teh hijau (%)
Karbohidrat
Protein
Lipid
Abu
Air
Serat
Polyphenol
Cathecin
Caffein
Lainnya
20,8
17,3
0,9
6,2
4,1
4,2
29,0
20,0
5,0
12,5
Sumber : Sogawa et al., 2009
Data pada tabel menunjukkan bahwa campuran phenol
mempunyai persentase tertinggi. Polyphenol pada teh hijau sebagian
23
besar adalah berupa catechin. Polyphenol sendiri adalah senyawa
kimia yang mempunyai struktur lebih dari dua gugus phenol.
Cathecin dikategorikan ke dalam grup polyphenol karena
mempunyai 2 atau 3 gugus phenol. Catechin sendiri masih dapat
dibagi lagi menjadi beberapa komponen, yaitu seperti terlihat pada
gambar di bawah ini:
Gambar 2.1
Komponen penyusun polyphenol teh hijau (GA, gallic acid; EGCG,
(-)-epigallocatechin-3-gallate; EGC, (-)-epigallocatechin; ECG, (-)-
epicatechin-3-gallate; EC, (-)-epicatechin)
Sumber : (Cabrera et al., 2006)
24
Gambar 2.2
Masing-masing struktur kimia senyawa penyusun teh hijau
Sumber : (Cabrera et al., 2006)
Dapat terlihat bahwa komposisi utama polyphenol dalam teh
hijau adalah berupa epigallocatechin. Sehingga pembahasan
mengenai teh hijau sering sekali ditujukan pada senyawa ini,
sehingga dalam menggunakannya seseorang harus tahu berapa
kadarnya dalam teh hijau. Pada keadaan sebenarnya, dalam satu
cangkir teh hijau (2,5 g teh hijau dalam 0,2 l air) mengandung 0,09 g
epigallocatechin (Wu dan Wei, 2002 cit. Cabrera et al., 2006).
Epigallocathecin sebenarnya mempunyai banyak sekali efek
dalam tubuh. Sebagai contohnya adalah, senyawa ini mampu
menurunkan berat badan, kadar insulin, IGF-I, kadar leptin, kadar
testosterone, ukuran testis, ukuran prostat bagian ventral, ukuran
ginjal, ukuran liver, glukosa, trigliserida, kolesterol, lemak subkutan,
dan sebagainya (Kao et al., 2000). Dalam penelitian tersebut
25
dikatakan bahwa kadar trigliserida menurun secara signifikan pada
semua hewan uji pada berbagai tingkat berat badan, mulai dari yang
berat badannya normal, kemudian diikuti dengan hewan uji yang
mengalami obesitas dan mempunyai berat badan kurus. Pada
penelitian ini, epigallocathecin diberikan secara intraperitoneal pada
tubuh mencit, yang artinya kita belum bisa mengetahui bagaimana
efeknya jika diberikan secara per oral bersama dengan semua
komponen teh hijau yang lain seperti halnya jika masyarakat
meminum teh hijau pada umumnya. Hewan uji yang digunakan pada
penelitian itu tidak dalam satu species, sehingga masih ada
kemungkinan terjadi perbedaan mekanisme pada kedua species
tersebut dalam merespon intervensi yang dilakukan.
Penelitian lain menyebutkan bahwa kandungan epigallocatechin
dapat meningkatkan secara signifikan sekresi adiponektin oleh
adiposit pada mencit dengan Diabetes Mellitus tipe-2 yang tidak
mengalami obesitas (p<0.005) (Shimada et al., 2007).
Pada suatu penelitian yang khusus meneliti mengenai masalah
adiponektin, dikatakan bahwa adiponektin ternyata terbukti dapat
meningkatkan kadar lipoprotein lipase (p<0.01) dan reseptor VLDL
di jaringan (p<0.005), yang pada akhirnya dapat membuktikan
terjadinya peningkatan katabolisme VLDL-trigliserida, sehingga
jumlah VLDL-trigliserida yang beredar dalam darah menjadi
berkurang secara signifikan, meskipun dikatakan tidak terjadi
26
perbedaan signifikan terhadap tingkat sintesis VLDL di hati. (Qiao et
al., 2008). Penelitian ini merupakan suatu penelitian besar. Peneliti
tersebut menggunakan 2 metode penelitian, yaitu secara in vivo dan
in vitro, yang keduanya dilakukan pada saat yang hampir bersamaan
di semua variabel, sehingga metode yang satu mengkoreksi metode
lainnya. Sebagai contohya adalah, pada penelitian-penelitian
sebelumya dikatakan bahwa insulin berkorelasi langsung terhadap
penurunan kadar trigliserida darah karena kejadian tersebut sering
terjadi secara bersamaan, tetapi pada penelitian ini dapat dibuktikan
baik secara in vivo maupun in vitro bahwa penurunan trigliserida
tidak berkorelasi langsung terhadap peningkatan kadar insulin, tetapi
karena ada faktor lainnya yang lebih utama, yaitu penurunan kadar
adiponectin. Hal ini dapat menjelaskan kebingungan peneliti
sebelumnya yang masih mempertanyakan apakah perubahan kadar
trigliserida disebabkan oleh perubahan sensitivitas insulin ataukah
karena perubahan kadar adiponectin setelah melalui penelitian
terhadap penderita obesitas yang sensitif terhadap insulin dan yang
resisten terhadap insulin (Weiss et al., 2005)
b. Efek negatif
Tidak menutupi kenyataan bahwa masih sering terjadi
kontroversi dalam penggunaan pengobatan herbal, dan teh hijau
adalah salah satu diantaranya. Bahkan teori yang sudah ada
27
sebelumnya pun dapat digagalkan oleh penelitian-penelitian terbaru.
Penurunan trigliserida karena efek dari catechin sebelumnya pun
masih coba dibantah oleh penelitian Inami et al. (2007) yang
menyatakan bahwa penggunaan catechin langsung pada manusia
hanya akan menurunkan LDL-oksidasi, dan tidak mempengaruhi
kadar LDL, HDL, dan trigliserida.
Penelitian lain tentang efek samping dari teh hijau adalah
penelitian oleh Saman et al. (2001), yang menyatakan bahwa ekstrak
teh hijau dapat menurunkan penyerapan zat besi ke dalam tubuh. Hal
ini harus sangat diperhatikan khususnya oleh para penderita anemia
dan ibu hamil yang membutuhkan banyak asupan zat besi.
Di Amerika, terdapat suatu badan resmi yang mengurusi
masalah peredaran makanan dan obat-obatan yaitu FDA (US Food
and Drug Administration) seperti halnya BPOM (Badan Pengawas
Obat dan Makanan). Tetapi sayangnya FDA tidak mempunyai
autoritas untuk melakukan penelitian terhadap produk obat-obatan
herbal. FDA baru bisa melakukan penarikan terhadap suatu produk
obat-obatan herbal ketika telah mendapatkan laporan dari banyak
peneliti tentang bahaya suatu produk herbal (Tuso, 2002). Sehingga
tugas untuk meneliti tentang ada atau tidaknya bahaya suatu produk
herbal merupakan tugas bagi para kalangan medis. Sampai saat
tulisan ini selesai, penulis belum mendapatkan laporan bahwa FDA
telah mencabut izin dari peredaran teh hijau, hal ini mungkin
28
mengisyaratkan bahwa teh hijau masih aman untuk dikonsumsi.
Bahkan setelah penulis melakukan pengecekan terhadap website
resmi BPOM (http://www.pom.go.id), tidak didapatkan informasi
bahwa produk teh hijau sudah dilarang penggunaannya, bahkan
malah sudah teregistrasi. Ekstrak teh hijau dan teh hijau instan
masing-masing mempunyai nomor registrasi HS 1302.19.30.00 dan
HS 2101.20.10.00 di BPOM (Pengawasan pemasukan bahan baku
obat tradisional. 2009, 13 Januari). Beberapa produk obat herbal
yang telah dilarang oleh BPOM adalah produk yang berasal dari
tanaman kava-kava karena sifatnya yang hepatotoksik (Larangan
peredaran obat tradisional dan suplemen makanan yang mengandung
tanaman Kava-kava. 2002, 26 Agustus) dan produk yang
mengandung Aristolochia sp. karena diketahui dapat mengakibatkan
gagal ginjal hingga terjadinya kanker (Larangan produksi dan distribusi
obat dan suplemen makanan yang mengandung tanaman
Aristolochia sp. 2001, 26 Desember).
29
B. Kerangka konsep
Gambar 2.3
Kerangka konsep penelitian
Teh hijau:
Karbohidrat
Protein
Lipid
Abu
Air
Serat
Polyphenol
Catechin
Caffein
Lain-lain
Obesitas
Mempengaruhi:
Trigliserida
Kolesterol
Berat badan
Genetik
Lingkungan
Pola hidup
Kelainan hormonal
Perubahan:
Trigliserida
Kolesterol
Nafsu makan
Berat badan
P
A
D
A
M
E
N
C
I
T
PADA
MANUSIA
Induksi makanan
tinggi lemak
Berenang
30
Keterangan : : Variabel yang diteliti
: Variabel yang tak diteliti
Huruf bercetak tebal : Variabel yang diteliti
Huruf tidak bercetak tebal : Variabel yang tidak diteliti
C. Hipotesis
Berdasarkan semua uraian di atas dapat dirumuskan hipotesa,”perlakuan
berenang akan menurunkan kadar trigliserida darah pada tikus obes secara
bermakna apalagi jika dikombinasikan dengan pemberian per oral seduhan
teh hijau.”
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimental / intervensional di
laboratorium untuk menilai efektiitas perpaduan program olahraga berenang
dan teh hijau pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague
Dawley terhadap kadar trigliserida dalam plasma. Pada penelitian ini setiap
kelompok hewan uji diikuti secara prospektif selama periode tertentu untuk
mencari ada tidaknya efek dari perlakuan yang diberikan.
Metode yang digunakan adalah dengan mengamati kadar trigliserida
sebelum dan sesudah diberi perlakuan khusus dengan tujuan untuk
mengetahui keadaan awal trigliserida semua kelompok uji dan kadar
trigliserida pada hari ke-30 setelah diberikan perlakuan khusus sehingga
dapat diketahui apakah ada perbedaan yang signifikan atau tidak pada ketiga
kelompok penelitian.
B. Tempat dan waktu
1. Tempat Penelitian
32
Penelitian ini dilakukan di LPPT PAU Pasca-sarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian
Penelitian akan mulai dilakukan pada tanggal 1 Juni 2009 sampai
dengan 7 Juli 2009.
C. Populasi dan sampel
Populasi dan sampel dalam penelitian ini :
1. Populasi Target (Target Population) : tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan yang sehat galur sprague dawley sehat dengan bobot + 150 –
250 gram usia 2 – 3 bulan.
2. Sampel yang digunakan pada penelitian ini : Sampel yang digunakan
diambil dari populasi dengan jumlah 16 ekor, dibagi ke dalam 3
kelompok dengan pembagian kelompok sebagai berikut:
a. Kelompok sampel I / kelompok kontrol : 4 tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diobeskan dengan
induksi lemak babi selama satu minggu.
b. Kelompok sampel II / kelompok perlakuan I : 6 tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diobeskan dengan
33
induksi lemak babi selama satu minggu ditambah pemberian program
olah raga berenang selama 30 hari.
c. Kelompok sample III / kelompok perlakuan II : 6 tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diobeskan dengan
induksi lemak babi selama satu minggu ditambah pemberian program
olah raga berenang dan pemberian teh hijau per oral (sonde) selama
30 hari.
D. Kriteria inklusi dan eksklusi
1. Kriteria inklusi
a. Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang
sehat.
b. Tikus putih dengan bobot + 150 – 250 gram.
c. Tikus putih yang berusia 2 – 3 bulan.
2. Kriteria eksklusi
a. Tikus putih yang cacat.
b. Tikus putih yang mati.
E. Variabel penelitian dan definisi operasional
34
1. Variabel penelitian
a. Variabel perlakuan (bebas) / variabel independen : aktivitas berenang
dengan atau tanpa seduhan Cammelia Sinensis (teh hijau).
b. Variabel tergantung / variabel dependen : kadar trigliserida darah pada
tikus obes.
c. Variabel pengganggu terkendali:
(1) Ras. Sama halnya pada manusia, perbedaan ras dapat
mempengaruhi farmakokinetik, dan efek samping dari suatu obat.
Untuk mengendalikan penyakit dari faktor ini maka tikus yang
digunakan pada penelitian ini dipilih dari galur yang sama, yaitu
galur Sprague Dawley.
(2) Berat badan. Berat badan yang berbeda dengan pemberian dosis
obat yang sama maka ada kemungkinan akan munculnya efek yang
bebeda, sehingga untuk meminimalkan efek tersebut maka tikus
yang digunakan dalam satu kelompok dipilih yang memiliki berat
badan yang hampir sama, yaitu + 150 – 250 gram.
(3) Diet. Makanan dapat mengganggu farmakokinetik obat dan
kemunkinan juga dapat berinteraksi dengan rebusan daun teh hijau
sehingga hasil kurang tepat. Oleh karena itu kita pergunakan pellet
sebagai bahan makanan pada semua obyek penelitian.
35
(4) Jenis kelamin. Dengan mempertimbangkan adanya siklus
menstruasi yag dapat mengganggu penilaian dari tes terhadap
kadar trigliserida dalam plasma, maka dipilih tikus Sprague
Dawley dengan jenis kelamin jantan. dengan kelompok kontrol.
d. Variabel pengganggu tak terkendali :
Faktor genetik. Hal ini berpengaruh pada semua aktivitas biologis
dan biokimia tiap hewan yang bersifat khas sehingga setiap hewan
akan memiliki tingkat kepekaan atau kesensitifitasan yang berbeda
pada pemberian dosis obat.
2. Definisi Operasional
a. Perlakuan berenang pada tikus, yaitu : Memasukkan tikus ke dalam
ember yang berisi air dengan suhu ± 32-34ºC, tikus dibiarkan
berenang-renang selama 20 menit. Perlakuan berenang dilakukan 3
kali seminggu. Tipe data yang digunakan adalah numerik dengan skala
rasio
b. Pemberian teh hijau, yaitu : seduhan teh hijau diberikan kepada
tikus putih melalui sonde sebesar 5ml perhari, setelah pemberian
makan (pelet). Induksi teh hijau dilakukan setiap hari. Tipe data adalah
numerik dengan skala rasio.
36
c. Enzymatic colorimetric test, “GPO”, yaitu: prosedur pemeriksaan
kadar trigliserida plasma dengan menggunakan reagen yang dalam
keadaan siap pakai kemudian hasilnya dihitung berdasar nilai
absorbansi yang terbaca oleh alat spektrofotometer.
F. Alat dan bahan
1. Alat
a. Sentrifuge
b. Pipet
c. Kompor
d. Inkubator
e. Stopwatch
f. Tabung reaksi
g. Timbangan digital
h. Sonde
37
i. Micro-hematokrit tube
j. Spektrofotometer
k. Spuit injeksi
l. Alat infus
m. Kandang tikus
n. Wadah untuk berenang
2. Bahan
a. Untuk perlakuan dan pemeliharaan
(1) Pakan
(2) Lemak babi
(3) Seduhan teh hijau (Camelia Sinensis)
b. Untuk pemeriksaan kadar trigliserida darah
(1) Plasma EDTA
(2) Reagen, berisi:
38
(a) GOOD’s buffer ph 7,2 : 50 mmol/l
(b) 4-Chlorophenol : 4 mmol/l
(c) ATP : 2 mmol/l
(d) Mg2+ : 15 mmol/l
(e) Glycerokinase : ≥ 0,4 KU/l
(f) Peroxidase : ≥ 2 KU/l
(g) Lipoprotein lipase : ≥ 4 KU/l
(h) 4-Aminotipyrine : 0,5 mmol/l
(i) Glycerol-3-Phosphate-Oxidase : ≥ 1,5 KU/l
(j) Standard : 200 mg/dl (2,3 mmol/l)
Reagen yang akan digunakan dipastikan dalam keadaan stabil dan siap
digunakan serta dilihat tanggal kadaluarsanya. Selain itu, reagen juga harus
dihindarkan terhadap kontaminasi dan dipastikan dulu dalam kondisi suhu 2
– 8 oC dan juga terlindungi dari cahaya.
39
G. Cara kerja
1. Pembuatan seduhan Cammelia Sinensis (teh hijau)
Pada manusia setiap cangkir teh hijau biasanya digunakan kadar teh
hijau sebanyak 2,5 gram untuk tiap 200 mL air, tetapi jika digunakan pada
tikus maka harus dikonversi dulu menggunakan nilai konversi dari
Laurence sebesar 0,018 untuk massanya dan menggunakan pelarut sesuai
jumlah yang sering digunakan untuk melakukan prosedur sonde, sehingga
nantinya akan didapatkan kadar teh hijau dengan nilai 0,045 gram untuk
tiap 5 ml air. Pada penelitian kali ini akan digunakan dosis ganda sebesar
0,09 gram tiap 5 ml air.
2. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji
Enam belas ekor tikus putih dibagi ke dalam tiga kelompok, masing-
masing berjumlah enam ekor untuk tiap-tiap sampel perlakuan. Tikus
kelompok sampel I, II, III diinduksi dengan lemak babi setiap hari sampai
hari ke-7 sebagai kelompok kontrol. Setelah 7 hari, masing-masing
kelompok akan mendapat perlakuan yang berbeda. Tikus kelompok
sampel I (kontrol, n = 4) kemudian tidak diberi perlakuan khusus, hanya
aktivitas seperti biasanya. Tikus kelompok sampel II (n = 6) diberi
perlakuan berupa aktivitas berenang selama 30 hari dengan waktu renang
perhari 30 menit per ekor. Tikus kelompok sampel III (n = 6) diberi
40
perlakuan seperti perlakuan pada tikus kelompok sampel II bersamaan
dengan tambahan pemberian ekstrak teh hijau selama 30 hari.
Setelah 7 hari induksi dengan lemak babi, ketiga kelompok tikus
diambil cuplikan darahnya melalaui vena orbital, kemudian dipusingkan
(sentrifuge) agar dapat diambil plasmanya. Kemudian diukur aktivitas
trigliserida sampel plasmanya secara spektrofotometri menggunakan
metode enzymatic colorimetric test, “GPO”. Hal ini juga dilakuakan
setelah 30 hari setelah pengambilan sampel pertama.
3. Penetapan aktivitas trigliserida plasma
Metode yang digunakan untuk pengukuran kadar trigliserida kali ini
adalah dengan metode enzymatic colorimetric test, “GPO” (Glycerol-
Phospate-Oxidase). Caranya adalah dengan membuat sediaan plasma
EDTA terlebih dahulu. Sediaan plasma dibuat dengan pemusingan
(sentrifugasi) darah tikus kemudian diambil bagian jernihnya. Plasma yang
ditambah dengan EDTA kemudian menjadi sampel yang akan digunakan
berikutnya. Setelah itu, semua bahan di atas dicampurkan dengan
komposisi sebagai berikut :
Tabel 3.1. Cara pencampuran bahan
Elemen Tabung Tabung Tabung
Sampel
41
Blanko Standard
Larutan
Standard
- 10 μl -
Larutan
Sampel
- - 10 μl
Larutan
Reagen
1000 μl 1000 μl 1000 μl
Setelah semua bahan di atas selesai dicampurkan kedalam masing-
masing tabung reaksi, langkah selanjutnya adalah melakukan prosedur
spectrofotometri dengan menggunakan panjang gelombang 500 nm pada
suhu 20 – 25 oC.
Hasil pengukuran kemudian dihitung untuk mendapatkan angka
trigliserida plasma dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
Trigliserida = kandungan trigliserida plasma yang diukur (mg/dl atau
mmol/l)
Δ Ast
Trigliserida CstΔ Asp
= X
42
Δ Asp = Absorbansi sampel – absorbansi blanko
Δ Ast = Absorbansi standard – absorbansi blanko
Cst = kandungan trigliserida standard yang diketahui (mg/dl
atau mmol/l)
Pada prinsipnya, dasar reaksi Colorimetric Enzymatic Test adalah sebagai
berikut :
Skema 3.1. Reaksi Colorimetric Enzymatic Test, ”GPO”
2H2O2 + Aminoantipyrine + 4-Chloropenol
Glycerol-3-Phospate + ADP
POD
Dihydroxyaceton-Phospate + H2O
Chinonimine + HCL + 4H2O
Glycerol-3-Phospate + O2
Glycerol + ATP
Glycerol + Fatty Acid
Tryglicerides
GK
GPO
LPL
43
Keterangan : LPL (lipoprotein lipase), GK (Glycerokinase), GPO
(Glycerol- Phospate-Oxidase), POD (Peroxidase), ATP
(Adeno-3-Phospate), ADP (Adeno-2-Phospate).
Semua prosedur diatas dapat digambarkan secara sederhana ke dalam
skema langkah kerja berikut :
Skema 3.2. Langkah kerja
Pemberian lemak babi
(7 hari)
Kelompok penelitian II
(n=6)
Kelompok penelitian III
(n=6)
Kelompok penelitian I
(n=4)
44
H. Analisa data
Pengolahan statistik dari data hasil penelitian trigliserida plasma dimulai
dengan uji normalitas data. Kemudian lakukan uji statistic dengan paired t test
(untuk data yang berdistribusi normal) atau dengan uji Wilcoxon test (jika data
tidak berdistribusi normal), untuk mengetehui kebermaknaan perbedaan kadar
trigliserida plasma pada kelompok sebelum dan sesudah perlakuan pada tikus
putih. Setelah itu lakukan uji one way anova (jika data berdistribusi normal)
atau Kruskal-Wallis (jika data tidak berdistribusi normal), untuk mengetahui
kebermaknaan perbedaan kadar trigliserida plasma antara kelompok kontrol
dengan masing-masing kelompok perlakuan dan juga antara dua kelompok
perlakuan
Pemeriksaan trigliserida plasma
Tanpa perlakuan
(30 hari)
Berenang
(30 hari)
Berenang + Teh hijau
(30 hari)
Pemeriksaan trigliserida plasma
DAFTAR PUSTAKA
Arterburn, D.E., DeLaet, D.E., Schauer, D.P. (2007). Obesity in adult. British Medical
Journal.
Buhner, S.H. (2003). The health benefits of water fasting, articles 1. Diakses 28 April
2009, dari http://gaianstudies.org/articles1.htm
Cabrera, C., Artacho, R., Gimenez, R. (2006). Beneficial effects of green tea-A
review. Journal of the American College of Nutrition.
Ganong, W.F. (2003). Buku ajar fisiologi kedokteran. E/20. Jakarta: EGC.
Hara, T., Fujiwara, H., Shoji, T., Mimura, T., Nakao, H., Fujimoto, S. (2003).
Decreased plasma adiponectin levels in young obese males. Journal of
Atherosclerosis and Thrombosis.
Inami, S., Takano, M., Yamamoto, M., Murakami, D., Tajika, K., Yodogawa, K.
(2007). Tea catechin consumption reduces circulating oxidized low-density
lipoprotein. Int Hearth J.
Kao, Y.H., Hiipakka, R.A., Liao, S. (2000). Modulation of endocrine systems and
food intake by green tea epigallocatechin gallate. The Endocrine Society. (2006).
Cathecin suppresses expression of Kruppel-like factor 7 and increases expression
and secretion of adiponectin protein in 3T3-L1 cells. American Physiological
Society.
Larangan peredaran obat tradisional dan suplemen makanan yang mengandung
tanaman Kava-kava (2002, 26 Agustus). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor: HK.00.05.4.62647.
Larangan produksi dan distribusi obat tradisional dan suplemen makanan yang
mengandung tanaman Aristolochia sp. (2001, 26 Desember). Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor: HK.00.05.4.03960.
Liou, T.H., Wu, C.H., Chien, H.C., Lin, W.Y., Lee, W.J., Chou, P. (2007). Anti-
obesity drug use before professional treatment in Taiwan. Asia Pacific Journal of
Clinical Nutrition.
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwel, V.W. (2003). Biokimia Harper.
Jakarta:EGC.
Ounis, O.B., Elloumi, M., Amri, M., Zbidi, A., Tabka, Z., Lac, G. (2008). Impact of
diet, exercise and diet combined with exercise programs on plasma lipoprotein
and adiponectin levels in obese girls. Journal of Sports Science and Medicine.
Pengawasan pemasukan bahan baku obat tradisional (2009, 13 Januari). Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor:
HK.00.05.1.42.0115.
Qiao, L., Zou, C., Westhuyzen, D.R., Shao, J. (2008). Adiponectin reduces plasma
triglycerides by increasing VLDL triglycerides catabolism. American Diabetes
Association.
Samman, S., Sandstrom, B., Toft, M.B., Bukhave, K., Jensen, M., Sorensen, S.S., et
al. (2001). Green tea or rosemary extract added to foods reduces nonheme-iron
absorption. American Journal of Clinical Nutrition.
Sato, Y. (2005). Practical aspects of exercise therapy for obesity. Journal of the Japan
Medical Association.
Shimada, M., Mochizuki, K., Sakurai, N., Goda, T. (2007). Dietary supplementation
with epigallocatechin gallate elevates levels of circulating adiponectin in non-
obese type-2 diabetic Goto-Kakizaki rats. University of Shizuoka.
Sogawa, M., Seura, T., Kohno, S., Yamaguchi, Y., Takagaki, R., Harada, A., et al.
(2009). Awa (Tokushima) lactate-fermented tea as well as green tea enhance the
effect of diet restriction on obesity in rats. The Journal of Medical Investigation.
Tanasescu, M., Leitzmann, M.F., Rimm, E.B., Willet, W.C., Stampfer, M.J., Hu, F.B.
(2002). Exercise type and intensity in relation to coronary heart disease in men.
Journal of the American Medical Association.
Tomoda, K., Yoshikawa, M., Itoh, T., Tamaki, S., Fukuoka, A., Komeda, K., et al.
(2007). Elevated circulating plasma adiponectin in underweight patient with
COPD. American College of Chest Physician.
Tuso, P.J. (2002). The herbal medicine pharmacy update. The Permanente Journal.
Weiss, R., Taksali, S.E, Dufour, S., Yeckel, C.W., Papademetris, X., Cline, G., et al.
(2005). The “obese insulin-sensitive” adolescent: Importance of adiponectin and
lipid partitioning. Journal of the Clinical Endocrinology Metabolism.