13
JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 12 _________________________________________________________ *) Peneliti Muda – Bidang Hidrologi Pusat Litbang Sumber Daya Air IDENTIFIKASI KEBERADAAN AIR TANAH DAN KELUARAN AIR DAERAH KARST DI KABUPATEN SUMBA BARAT Oleh : Bambang Soenarto *) ABSTRACT Regency of West Sumba, East Nusa Tenggara Province is a developing region which has experienced water shortage for domestic use in many villages. Possibly one third of the area is considered as a karstic region, since limestone dominantly occupies this area. Drilled wells which exist in the area did not show significant yields, which may be due to karstic conditions of limestone beneath or due to marly conditions of the limestone. In karst condition the only water available is in solution channels of the limestone, however, to drill wells penetrate into these underground channels are very difficult. Only if this solution channels become underground rivers which exposed to the surface, then, it is possible to map these routes. Finally, wells can be arranged such a way to penetrate into such underground rivers. Preliminary geophysical prospection using a geoelectric method at least supports a part of these conclusions. Future water development should involve detail investigation on the karst water resources and the surface water resources of West Sumba.However, the available sources from karst area such as springs and underground river should be exploited first before the others.Partly by pumping and the rest by gravitational means. Keywords: karstic, limestone, geoelectric methods PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kondisi wilayah Kabupaten Sumba Barat di bagian timur pada umumnya tergolong sebagai daerah yang tandus. Hanya daerah-daerah yang berupa lembah tergolong lebih subur jika dibandingkan dengan daerah bukan lembah. Di bagian lembah inilah sering dijumpai mata air dan tempat lahan lembab berada, sehingga vegetasi di tempat tumbuh sangat baik. Sementara itu di bagian barat, terdapat daerah karst yang menempati lebih dari separuh Kabupaten Sumba Barat. Batuan yang dominan mendasari daerah ini adalah batugamping, kebanyakan dalam kondisi karst yang cukup kompleks. Penduduk pedesaan di daerah ini sering mengalami kesulitan perolehan air bersih karena kondisi tersebut, terlebih-lebih pada musim kemarau, meskipun tidak terjadi di setiap tempat . Air tanah dangkal di daerah demikian ini sama sekali tidak atau boleh dikata sangat terbatas ketersediaannya, sehingga sumur-sumur dangkalpun sangat jarang dijumpai. Pembuatan sumur bor di daerah ini tergolong cukup berat, di mana dijumpai sumur bor dalam dengan kedalaman sekitar 90 m yang ternyata hanya mampu berproduksi dengan debit kurang dari 2 l/s. Mengingat dilakukannya pembangunan rumah sangat sederhana di Weekarou, Kecamatan Loli, Waikabubak yang membutuhkan air dan di beberapa daerah perdesaan yang sering mengalami kesulitan air, maka dibutuhkan pengadaan air bersih dengan segera. Salah satu cara adalah dengan langsung membuat sumur bor pada lokasi tersebut. Namun untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan dalam pekerjaan pengeboran sumur dalam, perlu dilakukan pendugaan geofisika lapangan yaitu pengukuran geolistrik terlebih dahulu. Dengan cara ini diharapkan bisa diidentifikasi keberadaan air tanah dengan kondisi yang diinginkan. Selain itu keberadaan air tanah bisa dilihat pada keluaran sungai bawah tanah dari daerah karst. Mengingat daerah ber morfologi karst diduga merupakan sumber air satu-satunya yang bisa diharapkan, maka dalam penelitian ini perlu diadakan pula identifikasi keberadaannya. 1.2 Maksud dan tujuan Maksud dilakukannya penelitian di beberapa lokasi yang membutuhkan air dari sumur bor secara segera di Kabup aten Sumba Barat, yaitu yang berupa kegiatan pendugaan atau pengukuran geolistrik, dengan mengukur nilai tahanan jenis semu dari batuan pada kedalaman duga yang telah dirancang dengan tujuan: 1) Mendapatkan data mengenai sifat kelistrikan batuan atau formasi batuan di lokasi duga sampai pada

02-bambang soenarto

Embed Size (px)

Citation preview

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 12

    _________________________________________________________ *) Peneliti Muda Bidang Hidrologi Pusat Litbang Sumber Daya Air

    IDENTIFIKASI KEBERADAAN AIR TANAH DAN KELUARAN AIR DAERAH KARST DI KABUPATEN

    SUMBA BARAT

    Oleh : Bambang Soenarto *)

    ABSTRACT Regency of West Sumba, East Nusa Tenggara Province is a developing region which has experienced water shortage for domestic use in many villages. Possibly one third of the area is considered as a karstic region, since limestone dominantly occupies this area. Drilled wells which exist in the area did not show significant yields, which may be due to karstic conditions of limestone beneath or due to marly conditions of the limestone. In karst condition the only water available is in solution channels of the limestone, however, to drill wells penetrate into these underground channels are very difficult. Only if this solution channels become underground rivers which exposed to the surface, then, it is possible to map these routes. Finally, wells can be arranged such a way to penetrate into such underground rivers. Preliminary geophysical prospection using a geoelectric method at least supports a part of these conclusions. Future water development should involve detail investigation on the karst water resources and the surface water resources of West Sumba.However, the available sources from karst area such as springs and underground river should be exploited first before the others.Partly by pumping and the rest by gravitational means.

    Keywords: karstic, limestone, geoelectric methods

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar belakang

    Kondisi wilayah Kabupaten Sumba Barat di bagian timur pada umumnya tergolong sebagai daerah yang tandus. Hanya daerah-daerah yang berupa lembah tergolong lebih subur jika dibandingkan dengan daerah bukan lembah. Di bagian lembah inilah sering dijumpai mata air dan tempat lahan lembab berada, sehingga vegetasi di tempat tumbuh sangat baik. Sementara itu di bagian barat, terdapat daerah karst yang menempati lebih dari separuh Kabupaten Sumba Barat. Batuan yang dominan mendasari daerah ini adalah batugamping, kebanyakan dalam kondisi karst yang cukup kompleks. Penduduk pedesaan di daerah ini sering mengalami kesulitan perolehan air bersih karena kondisi tersebut, terlebih-lebih pada musim kemarau, meskipun tidak terjadi di setiap tempat . Air tanah dangkal di daerah demikian ini sama sekali tidak atau boleh dikata sangat terbatas ketersediaannya, sehingga sumur-sumur dangkalpun sangat jarang dijumpai. Pembuatan sumur bor di daerah ini tergolong cukup berat, di mana dijumpai sumur bor dalam dengan kedalaman sekitar 90 m yang ternyata hanya mampu berproduksi dengan debit kurang dari 2 l/s. Mengingat dilakukannya pembangunan rumah sangat sederhana di Weekarou, Kecamatan Loli, Waikabubak yang

    membutuhkan air dan di beberapa daerah perdesaan yang sering mengalami kesulitan air, maka dibutuhkan pengadaan air bersih dengan segera. Salah satu cara adalah dengan langsung membuat sumur bor pada lokasi tersebut. Namun untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan dalam pekerjaan pengeboran sumur dalam, perlu dilakukan pendugaan geofisika lapangan yaitu pengukuran geolistrik terlebih dahulu. Dengan cara ini diharapkan bisa diidentifikasi keberadaan air tanah dengan kondisi yang diinginkan. Selain itu keberadaan air tanah bisa dilihat pada keluaran sungai bawah tanah dari daerah karst. Mengingat daerah ber morfologi karst diduga merupakan sumber air satu-satunya yang bisa diharapkan, maka dalam penelitian ini perlu diadakan pula identifikasi keberadaannya.

    1.2 Maksud dan tujuan

    Maksud dilakukannya penelitian di beberapa lokasi yang membutuhkan air dari sumur bor secara segera di Kabup aten Sumba Barat, yaitu yang berupa kegiatan pendugaan atau pengukuran geolistrik, dengan mengukur nilai tahanan jenis semu dari batuan pada kedalaman duga yang telah dirancang dengan tujuan: 1) Mendapatkan data mengenai sifat kelistrikan batuan

    atau formasi batuan di lokasi duga sampai pada

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 13

    kedalaman 150 m, dan mengidentifikasikan jenis batuan-batuan sampai pada kedalaman itu dengan atau tanpa melakukan korelasi dengan data litologi hasil pengeboran yang sudah ada.

    2) Mengklasifikasikan semua batuan yang teridentifikasi tersebut untuk bisa digolongkan sebagai bersifat akuifer, akuitar atau akuiklud.

    3) Menduga posisi atau letak muka air tanah termasuk memperkirakan arah gerakannya.

    4) Mengidentifikasikan struktur geologi yang ada, jika hal ini memungkinkan.

    Dengan cara-cara ini bisa ditetapkan lokasi rencana dari titik-titik pengeboran sumur bor yang diharapkan mampu untuk menghasilkan air dalam jumlah yang boleh dikata cukup berarti, jika kondisi lapangan memang mendukung hal ini.

    Selanjutnya dari pemahaman kondisi air tanah pada lokasi pendugaan geolistrik, juga perlu dikaitkan dengan keberadaan sumber-sumber air yang terdekat dengan lokasi pendugaan ini. Ini berarti bahwa perlu dilakukan juga identifikasi lokasi besarnya keluaran air daerah karst yang berada di dalam Kabupaten Sumba Barat.

    METODE Terdapat dua macam penelitian, yang dilakukan di

    daerah Kabupaten Sumba Barat, yaitu pertama, penelitian mengenai penentuan lokasi sumur bor dengan cara pendugaan geolistrik dan kedua, penelitian mengenai keluaran air daerah karst.

    Metode penelitian untuk penentuan lokasi sumur bor yang berprospek, yang dilaksanakan dengan cara menerapkan pendugaan geolistrik di lapangan ini, sebenarnya merupakan penentuan yang bersifat tidak langsung. Tujuan utama mula-mula adalah untuk menentukan nilai tahanan jenis kelistrikan di lapangan dan menciri letak bidang batas antara lapisan-lapisan yang mempunyai tahanan jenis yang berbeda (yaitu ?i dan di). Sifat ketidaklangsungan ini ditunjukkan dalam penentuan jenis-jenis material yang diteliti, yaitu dengan mengaplikasikan energi listrik arus searah (Direct Current) ke dalam tanah agar tercipta medan listrik induksi secara artifisial. Arus listrik searah dialirkan ke dalam tanah melalui sepasang elektrode arus dan kemudian diukur perbedaan potensialnya melalui sepasang elektrode potensial yang berada di antara kedua elektrode sebelumnya. Jika nilai kepadatan arus listrik dan nilai perbedaan potensial bisa diketahui, maka bisa dihitung nilai tahanan jenis semu lapangan (apparent specific resistivity) berdasarkan nilai tahanan R yang terbaca pada alat. Pernyataan matematik dari hubungan antara tahanan jenis semu dengan tahanan R yang ditimbulkan oleh besar arus dan perbedaan potensial (yang berasal dari Hukum Ohm), ditunjukkan dalam persamaan berikut (Geirnaert, 1985):

    Ir

    drdV

    a

    2.2?? ??

    sedangkan untuk besarnya selisih potensial V mengikuti persamaan:

    ??

    ???

    ??? ?

    ?

    00

    1 )..().(21

    2.

    ????

    ?drJK

    rI

    V

    yang dengan demikian, maka diperoleh pernyataan:

    ??

    ???

    ??? ?

    ?

    01

    21 .)..().(.21 ?????? drJKra

    Keterangan : ?a adalah tahanan jenis semu, dalam ohm m dV adalah perubahan potensial dalam bentuk diferensial, dalam milivolt I adalah arus listrik searah, dalam miliamper r adalah lokasi yang ingin diketahui nilai tahanan jenisnya (m) ?1 adalah tahanan jenis semu lap isan pertama K adalah fungsi Kernel ? adalah variabel integrasi J0 adalah fungsi Bessel order nol J1 adalah fungsi Bessel order satu

    Dalam hal ini ?a diukur di lapangan untuk berbagai jarak r. Sedangkan K sendiri mengandung nilai ?i dan di (ketebalan lapisan). Hal ini berarti terdapat hubungan antara besaran ?a yang diukur di lapangan dengan nilai ?i dan di yang menjadi sasaran di dalam penelitian jenis-jenis batuan yang dijumpai.

    Interpretasi dikerjakan dengan cara menggunakan lengkung standar atau lengkung model, yang diperbandingkan satu sama lain dengan lengkung yang diperoleh di lapangan, sampai diperoleh kesesuaian yang terbaik. Mengingat terlalu banyaknya kesamaan lengkung-lengkung yang mungkin, dan guna mengurangi persoalan dalam pekerjaan pemilihan, maka digunakan kertas grafik skala logaritma dalam pembuatan lengkung standar maupun lengkung yang merepresentasikan data lapangan. Dengan demikian, dalam lengkung baku yang sering disebut sebagai lengkung master, akan muncul beberapa kondisi berikut (dengan L yang merupakan jarak antara dua elektrode arus yaitu sama dengan 3 a): 1) Untuk nilai L kecil, maka ?a akan mendekati ?1

    dan pada gambar terlihat bahwa ?a/ ?1 =1 2) Untuk nilai L besar, maka ?a akan mendekati ?2

    dan pada gambar terlihat bahwa ?a/ ?1 = ? 2/ ?1

    Dengan menggunakan skala logaritma tersebut, ternyata nilai yang sangat tinggi bisa ditekan, sedangkan nilai yang sangat rendah bisa diperkuat, dan grafik bisa dibuat tidak terlalu panjang baik secara vertikal maupun horisontal.

    Berhubung akan dilakukan penggunaan lengkung master, yaitu lengkung tahanan jenis Wenner, maka dalam pelaksanaan pengukuran nilai tahanan jenis semu ?a ini harus diterapkan konfigurasi pemasangan

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 14

    elektrode di lapangan menurut Wenner (lihat gambar 1). Dalam konfigurasi ini kedua elektrode arus (current electrodes) dan kedua elektrode potensial (potential electrodes) sama-sama dipindahkan dengan jarak pindah yang sesuai dengan kedalaman duga menurut konfigurasi tersebut. Panjang bentangan adalah sekitar 500 m dengan sasaran kedalaman duga 150 m. Dengan cara menerapkan konfigurasi ini bisa diperoleh harga-harga serta hubungan antara nilai tahanan jenis semu ?a dengan besaran fisika lainnya, yaitu dengan menggunakan rumus:

    aaL

    IV

    a

    22

    4. ??? ?? (Geirnaert,1985), dan

    mengingat bahwa terdapat hubungan:

    RIV ?? dan L = 3 a

    (persyaratan konfigurasi Wenner), maka persamaan awal sebelumnya berubah menjadi berbentuk sebagai berikut :

    ?a = 2 pa. R.

    Keterangan : ?a adalah nilai tahanan jenis semu (ohm meter) a adalah jarak antara kedua elektrode potensial MN R adalah besaran fisika yang dibaca pada alat (ohm), yaitu yang berasal dari perbedaan potensial yang terjadi pada kedua elektrode potensial, dibagi dengan besarnya arus listrik yang digunakan melalui kedua elektrode arus.

    Nilai-nilai tahanan jenis versus kedalaman duga ini diplot pada kertas grafik log-log, yang akan membentuk lengkung atau garis lengkung. Lengkung ini selanjutnya dibandingkan dengan lengkung baku yang sudah tersedia, guna mendapatkan nilai tahanan jenis batuan untuk setiap satuan batuan atau lapisan batuan. Berdasarkan hasil analisis data tahanan jenis dan penafsirannya, maka dapat dilakukan beberapa hal berikut: 1) Penentuan lokasi titik bor secara tepat pada posisi

    akuifer prospektif yang mungkin dijumpai, dan selanjutnya dilakukan pengembangan dengan cara melaksanakan pengeboran sumur bor.

    2) Memberikan gambaran mengenai susunan serta penyebaran litologi di daerah duga, yang bisa digunakan untuk penelitian terkait lainnya.

    Secara teoritis setiap batuan memiliki daya hantar listrik dan nilai tahanan jenis yang bersifat spesifik, sesuai dengan kondisi yang mempengaruhinya. Batuan yang sama belum dipastikan mempunyai harga tahanan jenis sama, dan demikian pula sebaliknya. Faktor yang berpengaruh bisa berupa antara lain: komposisi litologi dan kondisi batuan, komposisi mineral yang dikandung, kandungan benda cair dan faktor eksternal lainnya.

    Beberapa aspek yang mempengaruhi nilai tahanan jenis suatu batuan, digambarkan sebagai berikut: 1) Batuan sedimen urai, bernilai tahanan jenis yang

    lebih rendah dibandingkan dengan batuan sedimen kompak.

    2) Batuan beku dan batuan ubahan mempunyai nilai tahanan jenis yang tinggi.

    3) Batuan yang basah dan mengandung air, nilai tahanan jenisnya rendah, dan akan lebih rendah lagi apabila air yang dikandungnya terasa payau atau asin.

    4) Kandungan logam sangat berpengaruh terhadap harga tahanan jenis batuan.

    5) Faktor luar seperti: kabel dan tiang listrik, saluran pipa logam dan lain-lainnya juga dapat mempengaruhi hasil pengukuran di lapangan.

    a a a

    V

    A B M N

    Gambar 1. Bagan konfigurasi elekt rode dari Wenner

    I

    Baterei

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 15

    Metode untuk mengidentifikasi keberadaan sungai bawah tanah, dilakukan dengan cara menentukan batas-batas daerah karst terlebih dahulu, mengingat bahwa batugamping yang bersifat karstik, pada umumnya menumpang di atas atau berkontak dengan batuan lainnya. Di sini hanya dibahas tentang analisis orientasi arah aliran dan kenampakan sungai bawah tanah yang muncul dan besaran keluaran air daerah karst serta kemungkinan pengembangan sumber daya airnya.

    Penelitian mengenai keluaran air daerah karst di Waekelosawah, yang berkaitan dengan keluaran air pada musim kemarau, digunakan metode analisis lengkung resesi, mengingat tersedianya informasi mengenai keluaran air terendah dan keluaran air tertinggi. Patokan nilai k dan K dari BP 11 & Bambang Soenarto (2002), dipakai sebagai pedoman pengujian. Sedangkan untuk keluaran air pada titik lokasinya dikerjakan dengan cara regionalisasi parameter yang sangat sederhana. Tentu saja hasilnya nanti perlu dikonfirmasi melalui penelitian yang lebih tersistematik dengan menggunakan data terbaru.

    STUDI PUSTAKA 3.1 Geologi Kabupaten Sumba Barat

    Umur batuan yang ada mulai dari Resen sampai Jura (Van Bemmelen, 1949), yang terakhir merupakan umur batuan dasar yang sangat tua, dengan dominasi batuan sedimen. Sebagian besar dari sungai yang ada pada musim kemarau tidak ada aliran air. Susunan batuan dari termuda hingga tertua terdiri dari aluvium (Resen), konglomerat dan batugamping terumbu (Kwarter), kapur, napal, tuf, aglomerat (Miosen-Pliosen), batugamping, napal, lanau (Eosen Tengah - Ologosen), Diorit dan intrusi Gabro (Kretasius) dan yang paling tua batulanau, batupasir breksi, lava (Jura). Batugamping ini penyebarannya cukup luas dan tebal, bersifat karst, mengandung retakan dan rekahan yang menghasilkan alur sungai bawah tanah. Sedangkan batuan-batuan lainnya, selain aluvium, kondisinya kompak, porositas kecil sampai sedang.

    Gambar 2 Geologi dari daerah Waikabubak dan sekitarnya (Nyoman Cenik, 1996) dan lokasi pendugaan geolistrik (yang diarsir)

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 16

    3.2 Geologi sekitar daerah Waikabubak Geologi dari daerah Waikabubak diperlihatkan dalam Gambar 2, di mana batuan batugamping dan napal mendominasi wilayah ini dari Waikabubak sampai ke Elopada, dengan sedikit lapisan aluvium yang bersifat lokal. Secara regional daerah karst hampir meliputi sekitar 55% dari wilayah Kabupaten Sumba Barat. Selanjutnya di deretan sebelah selatan Waikabubak bisa ditemukan antara lain breksi (sebelah barat daya), aluvium (sebelah selatan), batupasir dan lanau (sebelah tenggara) dan konglomerat (terlihat sedikit). Selanjutnya di sebelah selatan deretan ini kembali diduduki oleh batugamping dan napal.

    Dari gambaran geologi ini sudah bisa dilakukan perkiraan mengenai rentang nilai tahanan jenis dari batuan yang tampak di permukaan tersebut, yang bisa dipakai sebagai penuntun penggambaran litologi secara vertikal. 3.3 Pendugaan geolistrik

    Dalam interpretasi sangat diperlukan perolehan gambaran tentang besarnya tahanan jenis untuk berbagai macam air dan batuan, maupun kombinasi antara keduanya secara umum, yang dapat dilihat pedomannya dalam Tabel 1 (Astier, 1971). Di dalamnya dijelaskan pula besar tahanan jenis untuk kondisi batuan yang kering dan yang basah (dalam keadaan terendam), yang lapuk dan yang tak lapuk. Namun di lapangan sering dijumpai batuan yang mengalami berbagai pengaruh lainnya, sehingga tahanan jenis yang terukur bukanlah merupakan nilai untuk batuan murni seperti yang tercantum di dalam tabel tersebut. Oleh karena itu, nilai dalam tabel hanya merupakan angka patokan pedoman atau rujukan yang bersifat kualitatif, kecuali jika dijumpai batuan yang tepat seperti gambaran yang tercantum di dalam tabel. Lagi pula cukup banyak angka yang tercantum di dalamnya, yang sebenarnya

    merupakan angka kisaran saja. Dari uraian mengenai geologi permukaan dan penjelasan dari tabel, maka setiap hasil pengukuran nilai tahanan jenis ini bisa diinterpretasi tentang jenis batuan yang dijumpai.

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Langkah pendugaan

    Mengingat begitu luasnya wilayah penyelidikan, kondisi medan dan sasaran yang dituju, maka dalam pelaksanaan pendugaan ini, disusun kegiat an-kegiatan dengan urutan berikut: 1) Survei awal, yaitu yang meliputi survei lokasi,

    medan, geologi, geohidrologi dan aspek-aspek lain untuk penentuan lokasi pendugaan geolistrik.

    2) Pelaksanaan pendugaan geolistrik di tiga lokasi duga, dengan kedalaman duga berkisar antara 80 - 150 m.

    3) Pada setiap titik duga dipasang tonggak pancang yang diberi nomor berdasarkan titik ikat terhadap letak geografi atau bangunan permanen, dan pengukuran jaraknya dilakukan dengan memakai tali pengukur.

    4) Pendugaan dirancang mencapai kedalaman 100 - 150 m, tergantung dari luas medan yang tersedia untuk posisi bentangan.

    5) Arah bentangan diusahakan searah dengan arah jurus lapisan batuan.

    6) Jarak antara titik duga satu dengan yang lain dalam suatu lokasi duga berkisar antara 30-250 m.

    7) Pengolahan dan analisis terhadap data dilakukan dengan memakai beberapa metode yang tersedia dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk penampang geologi.

    Tabel 1 Besar tahanan jenis dari berbagai macam air dan batuan secara umum sebagai patokan kualitatif (Astier, 1971)

    Air atau batuan Tahanan dalam Ohm m Air laut (Eau de mer ) 0,2 Air dalam akuifer aluvial (Eau de nappes alluviales) 10 - 30 Air sumber ( Eau de sources) 50 - 100 Pasir dan kerikil kering (Sables et graviers secs) 1000 - 10000 Pasir dan kerikil terendam air tawar (Sables et graviers imbibes d'eau douce) 50 - 500 Pasir dan kerikil terendam air laut (Sables et graviers imbibes d'eau salee) 0,5 - 5 Lempung (Argiles) 2 - 20 Marl (Marnes ) 20 - 100 Batugamping (Calcaires) 300 - 10000 Batupasir berlempung (Gres argileux) 50 - 300 Batupasir berkwarsa (Gres quartzites ) 300 - 10000 Tuf volkanik (Cinerites, tufs volcaniques) 20 - 100 Lava (Laves) 300 - 10000 Skis grafit (Schistes graphiteux) 0,5 - 5 Skis berlempung atau lapuk (Schistes argileux ou alteres) 100 - 300 Skis tak lapuk (Schistes sains) 300 - 3000 Gneis, granit lapuk (Gneiss, granite alteres ) 100 - 1000 Gneis, granit tak lapuk (Gneiss, granite sains) 1000 - 10000

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 17

    Dalam pengolahan data untuk mendapat gambaran yang teliti, diperlukan beberapa pendekatan antara lain: 1) Lengkung logaritmis dalam log-log yang didapat

    dari hasil pengeplotan, dibandingkan (matching) dengan lengkung baku Wenner, sehingga diperoleh tafsiran tentang banyaknya lapisan atau satuan batuan sampai kedalaman duga, dan banyaknya bidang-bidang perlapisan berdasarkan atas titik potong lengkung yang ada.

    2) Bila tidak didapat lengkung yang baik, maka diperlukan analisis kumulatif Moore, untuk selang kedalaman 10 m. Data kemudian dianalisis dengan cara Barnes Dari hasil analisis ini akan didapat grafik vertikal, yang selanjutnya bisa dievaluasi tentang keberadaan akuifer, posisi muka air tanah dan bidang perlapisan, serta kemungkinan dijumpainya pola struktur geologi. Guna mengetahui penyebaran batuan, telah dilakukan pula pengkorelasian antara titik duga satu dengan titik duga yang lainnya. Berdasarkan hasil analisis ini, dapat ditentukan lokasi-lokasi akuifer yang paling potensial dan lokasi rencana titik bor yang tepat.

    3) Grafik vertikal yang didapat untuk selang 10 m, dapat menunjukkan keberadaan dan posisi akuifer serta muka air tanahnya.

    Dengan cara pendekatan ini bisa dilakukan evaluasi dan penafsiran yang lebih teliti. 4.2 Pendugaan geolistrik dan interpretasi

    geohidrologi

    Pendugaan geolistrik dilaksanakan di lokasi: 1) Desa Lolokalai, Kecamatan Katiku-tana, yaitu

    lokasi yang berada pada Km 19 di sebelah timur kota Waikabubak (lihat Gambar 3)

    2) Kompleks RSS Weekarou Permai, Waikabubak (lihat Gambar 4)

    Lokasi pendugaan ini dapat dilihat pada peta geologi dalam Gambar 2, yang selain dilakukan pendugaan geolistrik di lapangan juga telah dilaksanakan survei sumber air di sekitar lokasi pendugaan. Dari data nilai tahanan jenis lapangan untuk desa Lolokalai telah dibuatkan gambar penampang, yang diperlihatkan dalam Gambar 5, sedangkan untuk kompleks RSS Weekarou ditunjukkan dalam Gambar 6.

    Berdasarkan atas hasil survei, pendugaan geolistrik dan penafsiran terhadap data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa: 1) Sampai kedalaman sekitar 150 m, komposisi

    batuannya terdiri atas tanah penutup, batu gamping, batu pasir dan pasir tufaan.

    2) Batugamping ini mempunyai struktur perlapisan dan perlipatan, menebal ke arah barat, bersifat masif dan kedap air, kecuali jika terdapat saluran

    terlarut (sungai bawah tanah) yang sulit di deteksi letaknya. Air tanah pada batuan ini secara umum berpotensi kecil.

    3) Batu pasir bisa merupakan batuan yang dapat bersifat sebagai akuifer atau akuitar, namun juga tergantung apakah batuan ini tergolong batuan padu (consolidated) atau bukan, sekalipun penyebarannya luas dan tebal. Jika bersifat padu dan tidak ada ruang pori yang tersedia untuk keberadaan air, maka batuan ini bisa mempunyai sifat kedap air. 4) Pasir tufaan merupakan batuan dasar dengan kondisinya yang kompak.

    4) Air tanah yang berpotensi relatif baik, akan dijumpai pada batu pasir, namun tergantung kepada kondisi yang telah diuraikan sebelumnya. Keberadaan air tanah pada batugamping hanya berada pada rongga retakan dan rekahan di mana terdapat aliran bawah tanah yang sulit dideteksi..

    5) Mengingat begitu luasnya daerah batugamping, keberadaan sumur dangkal di daerah ini menjadi sangat terbatas. Air tanah dangkal yang berpotensi baik sebagian terdapat pada daerah lembah dan zone antar bukit.

    6) Beberapa mata air yang muncul pada batugamping merupakan rembesan-rembesan kecil, sedangkan yang berdebit besar diduga muncul dari aliran sungai bawah tanah.

    Penafsiran ini sebagian besar merujuk pada geologi umum wilayah di sekitar lokasi pendugaan geolistrik, mengingat data sumur bor pada lokasi ini sama sekali tidak tersedia.

    4.3 Keberadaan sumber air

    Peta kawasan karst Kabupaten Sumba Barat diperlihatkan dalam Gambar 10, yang terpisah dari kawasan nonkarst, yaitu Daerah Pengaliran Sungai Polapare, yang merupakan sungai permukaan. Dalam penelitian mengenai keberadaan air pada sungai bawah tanah telah dipelajari keberadaannya secara khusus di tiga lokasi, yakni Waekelosawah, Jawila dan Mataliku, mengingat lokasi-lokasi lainnya masih sulit untuk dijangkau dengan waktu penelitian yang terbatas.

    Daerah karst utama di Kabupaten Sumba Barat membentang dari lokasi Waekelosawah sampai ke sebelah Barat Laut dengan suatu enclave daerah karst kecil di sebelah selatannya. Daerah karst utama mempunyai keluaran air di sebelah Barat, yang ditunjukkan oleh keberadaan sungai bawah tanah di Waekelosawah yang terletak sejauh 20 km sebelah barat kota Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat (lihat Gambar 11)> Aliran airnya mempunyai debit minimum pada musim kemarau sebesar 1500 liter/s. Dalam musim hujan debitnya bisa mencapai 2500 l/s. Dengan memakai angka-angka ini dengan menganggapnya berlaku untuk tinjauan waktu rata-rata

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 18

    Gambar 3 Lokasi pendugaan geolistrik di desa Lolokalai, Kecamatan

    Katikutana

    Gambar 4 Lokasi pendugaan geolistrik di komplek RSS Weekarou

    Permai

    Gambar 5 Penampang litologi batuan berdasarkan nilai tahanan jenis di desa Lolokalai

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 19

    Gambar 6 Penampang litologi batuan berdasarkan nilai tahanan jenis di lokasi kompleks RSS Weekarou di lintasan titik -tit ik R.1 R.2 R.3

    Gambar 7 Penampang litologi batuan berdasarkan nilai tahanan jenis di lokasi kompleks RSS Weekarou di lintasan titik-titik R.4 R.5

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 20

    Gambar 8 Penampang litologi batuan berdasarkan nilai tahanan jenis di lokasi kompleks RSS Weekarou di lintasan titik -titik R.6 R.7

    Gambar 9 Penampang litologi batuan berdasarkan nilai tahanan jenis di lokasi km 19 ke Waikabubak

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 21

    Gambar 10 Pengklasifikasian tentatif daerah karst (warna lebih gelap) dan nonkarst

    (warna terang) di Kabupaten Sumba Barat.

    Gambar 11 Keluaran air daerah karst di Waikelosawah dengan debit minimum 1500 l/s

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 22

    Gambar 12 Keluaran air dengan debit 30

    l/s di Jawilla

    Gambar 13 Keluaran air dengan debit 30

    l/s di Mataliku

    tahunan jangka panjang, maka dengan mengambil waktu t = 7 bulan atau 210 hari, dan berdasarkan analisis lengkung resesi berikut bisa diperoleh angka k dan K:

    ktt eQQ

    ?? 0 (1) Ini berarti: 1,500x24x60x60=2,500x24x60x60x e-kx.210 atau k=0,002431 hari-1

    Hasilnya menunjukkan bahwa nilai k adalah 0,002431. Angka ini berada dalam kisaran angka ketentuan k dari BP 11 & Bambang Soenarto (2002)> Dalam ketentuan ini dinyatakan bahwa untuk batugamping yang mempunyai morfologi karst, kisaran nilai k adalah 0,0005 - 0,0030 hari-1. Dengan demikian,

    bisa diperoleh angka keluaran air dalam musim kemarau berdasarkan perhitungan berikut:

    kQQ

    VV tt?

    ?? 00 (2)

    = (2,5-1,5)x24x60x60/0,002431 =35540930 m 3 atau 35,54 juta m3. yang berlangsung selama 7 bulan.

    Untuk mencari besarnya keluaran air pada musim hujan dilakukan pendekatan dengan perhitungan bentuk trapesium yang tersusun oleh Qt, Q0 dan t = 5 bulan. Bentuk trapesium sendiri menghasilkan keluaran air sekurang-kurangnya adalah 0,5 x 150 x 24 x 60 x 60 (2,5+1,5) = 25920000 m3 atau 25,92 juta m3. Jumlahnya sekurang-kurangnya menjadi sebanyak 61,46 juta m3 setahun.

    Dengan memakai analisis lengkung penyusutan terbalik (lengkung kenaikan) menggunakan angka k berbeda dan t =5 bulan (150 hari) dan menambahkannya pada bentuk trapesium tadi, bisa ditentukan keluaran air total. Bentuk ini menghasilkan keluaran sebesar

    ktt eQQ 0? (3)

    Qt=1,5 m3/s, Q 0=2,5 m3/s, t = 150 hari

    2,500x24x60x60=1,500x24x60x60x ekx150 ln2,5=ln1,5 + kx150 k=(0,9163-0,4055)/150 k= 0,003405 hari-1

    kQQ

    VV tt ??

    ?? 00 (4)

    = (1,5-2,5)x24x60x60/(-0,003405) = 25374449 m 3 atau 25,74 juta m3 selama 5 bulan.

    Jumlah keluaran total sama dengan 35,54 +25,74) juta m3 atau 61,28 juta m3 setahunnya.

    Jika dianggap bahwa k sama untuk penyusutan dan untuk kenaikan serta menggunakan lengkung kenaikan yang berasal dari lengkung penyusutan aslinya, maka tidak bisa dipakai rumus (3) di atas karena grafik tidak kembali ke titik yang seharusnya. Dengan tidak mengetahui bentuk fungsi aslinya, namun menganggap bahwa rumus (4) tetap berlaku, akan diperoleh:

    kQQ

    VV tt ??

    ?? 00

    = (1,5-2,5)x24x60x60/(-0,002431) = 35540930 m 3 atau 35,54 juta m3

    Namun volume air sebanyak ini berlangsung selama 5 bulan dan bukan 7 bulan. Jumlah total keluaran airnya menjadi sebanyak 71,08 juta m3 yang berlangsung selama setahun.

    Dari ketiga angka ini, yaitu keluaran total 61,46 juta m3, 61,28 juta m3 dan 71,08 juta m3 setahunnya akan bisa diperoleh angka rata debit keluaran harian rata-rata jangka panjang berturut -turut sebesar 1,976 m3/s, 1,970 m3/s dan 2,285 m3/s. Dengan demikian, bisa diperoleh kisaran angka tentatif keluaran air di

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 23

    Waekelosawah sebesar 1,970 2,285 m3/s. Pada saat ini, keluaran sungai bawah tanah sebanyak yang ditunjukkan angka tersebut sudah dimanfaatkan untuk keperluan air irigasi persawahan, dan baru kemudian dipergunakan sebagai air baku air minum untuk kota Waikabubak dengan cara dipompa. Keluaran air ini pernah juga digunakan sebagai penggerak energi pembangkit mikrohidro, namun pada saat ini sudah rusak dan tidak bisa dipakai lagi.

    Sedangkan pada daerah karst minor, dijumpai mata air Jawila dengan debit mata air pada musim kemarau kira-kira 150 l/s (lihat Gambar 12). Mata air ini terletak di daerah lembah desa Ekapata, Kecamatan Elopada, yang berada di kaki Gunung Jawila. Dari keluaran ini air masih mengalir sejauh 200 m sebelum menghilang di dalam luweng (sinkhole). Pada saat ini mata air Jawila masih belum dimanfaatkan sama sekali dan terbuang masuk ke dalam luweng.

    Pada batas utara daerah karst utama muncul keluaran air sungai bawah tanah Mataliku, yang keluar dari batugamping breksi. Keluaran air ini berada di daerah Waitabula dan sudah dimanfaatkan untuk air irigasi dan air minum, namun debitnya tidak terlalu besar, yaitu hanya sebesar 30 l/s. Pada saat ini debitnya terus menyusut dan belum diketahui sebabnya.

    Diduga masih banyak sekali keluaran mata air lainnya yang muncul di sepanjang lembah yang mengarah utara-selatan dari daerah karst, yaitu pada kenampakan lembah-lembah yang memotong daerah karst utama. Selain itu mata air berada pula di sepanjang batas selatan dan daerah utara daerah karst dengan bentangan arah barat -timur. Namun data debitnya sampai saat ini sama sekali belum tersedia, karena belum pernah dilakukan pengukuran debit. Demikian pula halnya dengan mata air di daerah karst yang terisolasi, yang berada di sebelah barat laut wilayah Kabupaten Sumba Barat.

    KESIMPULAN

    Kesimpulan yang bisa dikemukakan antara lain: 1) Hasil pendugaan geolistrik pada lokasi RSS

    Weekarou dan Desa Lolokalai. didapatkan kesan bahwa batugamping di daerah ini mempunyai penyebaran yang boleh dikata sangat luas, namun kurang mempunyai sifat sebagai akuifer. Air tanah yang berpotensi besar pada batuan ini sebenarnya terdapat pada alur sungai bawah tanah, yang sulit diduga letaknya dari permukaan tanah setempat dengan menggunakan alat pendugaan tersebut.

    2) Batupasir diduga merupakan akuifer di daerah ini, namun potensinya masih harus dibuktikan dengan cara melakukan pengeboran air tanah terlebih dahulu.

    3) Di lokasi RSS Weekarou sangat sulit diperoleh air tanah yang berpotensi besar. Bila hendak dipaksakan, maka sebaiknya dilakukan pengeboran di titik R4 dan R7 di mana masih terdapat sedikit

    indikasi mengenai potensi air tanahnya, walaupun tidak cukup besar.

    4) Pekerjaan pengeboran sebaiknya ditempatkan di Desa Lolokalai yang terletak pada lokasi km 19 di sebelah timur ibukota Waikabubak.

    5) Berdasarkan pendapat para ahli yang menyatakan bahwa letak muka air tanah sebenarnya tidak bisa ditentukan dari hasil pendugaan geolistrik. Hal ini masih menimbulkan perdebatan di antara para ahli mengenai tingkat kebenarannya (Freeze dan Cherry, 1979).

    Kesimpulan umum dari penelitian saat ini, yaitu dengan pengukuran geolistrik, sama sekali belum bisa menuntun kepada suatu rekomendasi pemanfaatan sumber daya air secara regional, melainkan hanya bersifat parsial.

    Ketersediaan air sungai bawah tanah yang langsung terlihat di perm ukaan, tampaknya harus lebih dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum memanfaatkan sumber air tanah lainnya, yang hanya memberikan solusi parsial saja. Kisaran angka tentatif keluaran air sungai bawah tanah di Waekelosawah sebesar 1,970 2,285 m3/s sesungguhnya bisa segera dimanfaatkan. Setelah tahap ini barulah dipertimbangkan pemanfaatan sumber air dari DPS Polapare, yang mana sebenarnya memerlukan studi dengan waktu yang lebih lama. Namun bila kebutuhan sudah mendesak, bisa juga dilakukan secara bersamaan, jika tidak dapat dikembangkan pada kemudian hari.

    SARAN

    Saran yang bisa disampaikan, yaitu: 1) Untuk tujuan jangka pendek disarankan untuk

    membuat sumur eksplorasi atau produksi di titik L2 dan L3 di desa Lolokalai, dengan kedalaman sumur 120 m. Untuk pengembangan air tanah di lokasi RSS Weekarou nampaknya kurang prospektif, disebabkan oleh kondisi daerah yang didasari batugamping yang sangat tebal. Jika dipaksakan dilakukan pengeboran, maka debit air yang dihasilkan kemungkinan sangat kecil. Lagipula tidak jelas tentang daerah imbuhan dari sistem air tanahnya.

    2) Sebaiknya pendugaan geolistrik ini bisa diperluas ke daerah lainnya, untuk memperoleh gambaran kira-kira mengenai potensi air tanahnya.

    3) Dalam tahap awal sebaiknya sungai bawah tanah maupun keluaran air di daerah karst dalam bentuk mata air, bisa dimanfaatkan terlebih dahulu. Sebagian memang memerlukan teknologi pemompaan, dan sebagian lainnya bisa dialirkan airnya secara gravitasi. Hal yang perlu diingat adalah bahwa kondisi geologi Kabupaten Sumba Barat yang separuhnya merupakan daerah karst, akan banyak dijumpai sebaran mata air yang keluar di kaki-kaki perbukitan karst dalam bentuk keluaran sungai bawah tanah ataupun mata air yang berukuran lebih kecil.

  • JLP. Vol. 18. No. 54, Th. 2004 24

    4) Dengan pengeboran sebenarnya sangat sulit untuk bisa tepat mengenai alur sungai bawah tanah, kecuali alurnya bisa dipetakan dengan baik. Dua sumber yang telah teridentifikasi selama penelitian berlangsung diantaranya adalah keluaran air dari sungai bawah tanah di Waikelosawah dengan debit minimum 1500 liter/s untuk ibukota Waikabubak dan Jawilla dengan debit minimum 30 liter/s untuk daerah sekitarnya. Untuk saat ini mata air Jawila tidak digunakan dan mengalir menuju ke luweng terdekat.

    5) Inventarisasi dan penguasaan mata air oleh pihak pemerintah daerah harus segera dilaksanakan terlebih dahulu, demi terjaganya kepentingan pemenuhan kebutuhan air bagi rakyat banyak pada kemudian hari.

    6) Untuk lokasi di luar daerah karst, sebelum dilaksanakan pengeboran sebaiknya dilakukan pendugaan geolistrik. Jika dijumpai suatu daerah tidak prospektif untuk pengembangan air tanah skala besar, sebaiknya dilakukan pemanfaatan air tanah skala setempat. Ini berarti, tata ruang penempatan komunitas penduduk harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat tersebar secara terpencar dalam kelompok kecil-kecil. Selain itu harus tersedia fasilitas dasar lain yang memadai, terutama jaringan listrik untuk pemompaan air tanah. Dengan demikian, penyusunan tata ruang juga harus memperhatikan ketersediaan air sebagai pendukung sarana das ar pemukiman.

    7) Dalam tahap selanjutnya sebaiknya segera dilakukan penyelidikan mengenai pengembangan sumber air permukaan, misalnya terhadap Daerah Pengaliran Sungai (DPS) Polapare, yang merupakan DPS yang terluas di dalam Kabupaten Sumba Barat

    8) Untuk mengatasi masalah kesulitan perolehan air bersih, maka disarankan untuk mengelola sumber air permukaan maupun air tanah yang ada dengan

    perencanaan yang baik dan terpadu dan dituangkan dalam bentuk master plan . Jika terbentur masalah dana untuk pembiayaan pembangunan prasarana sumber daya air, maka pembangunan bisa dilakukan secara parsial terlebih dahulu dengan berpedoman kepada master plan yang telah disetujui.

    Dengan cara ini, pemanfaatan air tanah dan air permukaan, bisa dilakukan secara efisien, efektif dan terpadu. Sejumlah penerapan metode pemanfaatan air yang bersifat utama maupun yang bersifat pelengkap, bisa dilaksanakan melalui penelitian dan penyelidikan yang komprehensif, mengingat bahwa sebaran penduduk dan sebaran sumber-sumber airnya tidak selalu saling berimpit di banyak tempat di dalam wilayah kabupaten. Dengan keterpaduan mengenai pemanfaatan air tanah dan air permukaan ini diharapkan bisa mendukung usaha peningkatan kesejahteraan penduduk yang tinggal di Kabupaten Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Astier, J.L., 1971, Geophysique appliquee a l' hydrogeologie. Masson & Cie, Editeurs, Paris.

    2. Freeze, R.A dan Cherry, J.A., 1979. Groundwater.Prentice-Hall, Englewood Cliffs, N.J., USA.

    3. Geirnaert, W., 1985. Groundwater explorat ion. Free University Amsterdam, The Netherlands.

    4. Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia. Government Printing Office. The Hague. The Netherlands.

    Ucapan terima kasih: Terima kasih disampaikan kepada rekan Nyoman Cenik yang terlibat di dalam pelaksanaan penelitian yang dilakukan penulis, terutama dalam hal pelaksanaan pengukuran geolistrik di lapangan.