Upload
buidat
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DASAR-DASAR PEMBANGUNAN SOSIAL
BAB V: ACHIEVING SOCIAL DEVELOPMENT; THE INSTITUTIONAL
PERSPECTIVE
Disusun Oleh:
Kelompok 6
Agus Riyadi 1306459953
Ahmad Rofai 1406618682
Nisa Adlina Sharfina 1406618700
Fariza Nur Latifa 1506728384
Ribka Utami 1306459915
PROGRAM SARJANA ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2016
5
Achieving Social Development: The Institutional Perspective
Tujuan utama dari buku ini telah memberikan gambaran yang komprehensif tentang
bidang pembangunan sosial, karena telah menawarkan definisi pembangunan sosial dalam
kerangka pendekatan yang berbeda untuk mempromosikan kesejahteraan manusia, mempelajari
sejarah pembangunan sosial, meneliti perdebatan teoritis dalam pembangunan sosial dan
menggambarkan strategi pembangunan sosial. Buku ini juga menunjukkan bahwa ada perbedaan
berbagai macam pendapat tentang banyaknya pertanyaan tentang pembangunan sosial,
pembangunan sosial telah didefinisikan dalam cara yang berbeda dari berbagai macam disiplin
ilmu, orang yang berbeda dan kelompok orang-orang dengan kepentingan yang berbeda juga
yang telah memberikan kontribusi terhadap evolusi sejarah perkembangan sosial; isu-isu teoritis
dilihat dari sudut pandang yang berbeda; dan strategi pembangunan sosial yang berbeda yang
telah dirumuskan.
Meskipun buku ini telah berusaha untuk memberikan gambaran yang luas di lapangan,
dan tidak akan membatasi diri untuk melakukan survei, tetapi akan berusaha untuk
mengintegrasikan materi dengan menawarkan pandangan strategis dalam pembangunan sosial.
Bab terakhir ini akan berusaha untuk merumuskan pendekatan strategis yang koheren untuk
pembangunan sosial dan berusaha untuk menggabungkan strategi beragam yang dibahas
sebelumnya. Meskipun tidak mungkin bahwa upaya tersebut dalam sintesis akan diterima secara
universal, itu mengartikulasikan pendekatan pembangunan sosial yang akan disebut Institutional
perspective dan menawarkan satu set cara yang bisa diterapkan untuk mempromosikan tujuan
pembangunan sosial.
Institutional perspective berusaha untuk memobilisasi lembaga-lembaga sosial yang
beragam termasuk pasar, masyarakat dan negara untuk mempromosikan kesejahteraan rakyat.
Hal ini terinspirasi oleh sebuah ideologi yang menampung beragam keyakinan dan oleh teori-
teori ilmu sosial yang selaras. Ini menyatakan bahwa strategi pembangunan sosial yang dibahas
dalam bab sebelumnya tidak saling eksklusif, tetapi mereka dapat diintegrasikan untuk
mempromosikan pencapaian tujuan pembangunan sosial dalam hubungannya dengan proses
yang dinamis dari pembangunan ekonomi. Namun, disini akan berpendapat bahwa pemerintah
harus memainkan peran utama dalam proses harmonisasi strategi yang berbeda dan dalam
mengelola upaya pembangunan sosial. Untuk alasan ini, ‘perspektif institusional’ ditandai
dengan gaya administrasi aktivis yang dikenal sebagai ‘managed pluralism’.
Dalam pembahasan ini dimulai dengan menggambarkan fitur dari Institutional
perspective, dengan cara menelusuri ide ideologis dan teoritis yang mendasari, kemudian
mempertimbangkan bagaimana perspektif institusional dapat diimplementasikan. Perhatian
khusus untuk mengatur organisasi diperlukan untuk melaksanakan perspektif institusional, dan
meneliti cara-cara di mana kebijakan ekonomi dan sosial dapat dihubungkan dalam konteks
socio-spatial tertentu. Maka, bab ini menyajikan beberapa contoh ilustrasi dari keberhasilan
pelaksanaan perspektif pembangunan sosial institusional. Hal Ini menunjukkan bahwa
kemungkinan untuk menyelaraskan pendekatan strategis yang beragam untuk melakukan
pembangunan sosial dalam konteks upaya yang lebih luas. Meskipun perspektif institusional
diartikulasikan dalam bab ini, akan menjadi jelas bahwa itu telah di bahas pada bab-bab
sebelumnya, dan khususnya definisi pembangunan sosial dalam bab 1.
THE INSTITUTIONAL PERSPECTIVE
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perspektif institusional berpendapat bahwa
yang dibahas adalah lembaga sosial termasuk negara, pasar dan masyarakat dapat dimobilisasi
untuk mempromosikan pencapaian tujuan pembangunan sosial. Pendekatan strategis yang
berbeda untuk pembangunan sosial dibahas dalam bab sebelumnya yang mengandalkan hanya
satu dari lembaga. Pendekatan institusional percaya bahwa strategi ini tidak harus dianggap
sebagai persaingan tetapi sebagai kompatibel. Mereka berusaha untuk menyelaraskan strategi
yang berbeda dan memfasilitasi pelaksanaannya dengan cara yang kompatibel daripada
kompetitif. Perspektif institusional dapat dilihat, sebagai pendekatan strategis yang bertujuan
untuk menggabungkan berbagai intervensi pembangunan sosial yang dibahas dalam bab
sebelumnya.
Untuk mendorong sintesis strategi yang berbeda, perspektif institusional mensyaratkan
bahwa pemerintah berperan aktif dalam mengelola dan koordinasi pelaksanaan
strategi.Pemerintah harus secara aktif mengarahkan proses pembangunan sosial dengan cara
yang memaksimalkan partisipasi masyarakat, pasar dan individu. Selain memfasilitasi dan
mengarahkan pembangunan sosial, pemerintah juga harus memberikan kontribusi langsung
kepada pembangunan sosial melalui berbagai kebijakan sektor publik dan program.
Perspektif institusional membutuhkan pembentukan organisasi formal yang dapat
memikul tanggung jawab untuk mengelola upaya pengembangan sosial dan harmonisasi
pelaksanaan pendekatan strategis yang berbeda. Organisasi-organisasi ini ada pada tingkat yang
berbeda tetapi mereka harus dikoordinasikan di tingkat nasional. Mereka juga ekstensif
menggunakan tenaga spesialis yang memiliki pelatihan dan keterampilan untuk mendorong
pencapaian tujuan pembangunan sosial.
Perspektif institusional mengacu pada ideologis yang mempromosikan pluralisme dan
mengakomodasi beragam keyakinan. Itu juga terinspirasi oleh ide-ide teoritis ilmuwan sosial
yang berpendapat untuk sebuah 'jalan tengah' atau kompromi antara polaritas ideologi yang
berbeda dari pemikiran politik Barat. Pekerjaan mereka telah mengakibatkan munculnya
pendekatan konseptual yang didirikan pada ilmu-ilmu sosial seperti Keynesianisme, welfarisme
dan institusionalisme. Ini adalah istilah terakhir yang dikaitkan dengan karya Thorstein Veblen,
Richard Titmuss dan Gunnar Myrdal, yang akan digunakan dalam buku ini yang berkonotasi
dalam upaya untuk mensintesiskan berbagai pendekatan untuk pembangunan sosial dan
memupuk konsepsi koheren untuk mencapai tujuan pembangunan sosial.
Ideological Roots of Institutionalism
Perspektif institusional didasarkan pada posisi ideologis yang melampaui ideologi utama
dalam pemikiran politik Barat. Dari pada menegaskan nilai hanya satu sistem kepercayaan, itu
menganjurkan toleransi untuk posisi lain dan berusaha untuk mengakomodasi wawasan mereka
yang beragam. Itu posisi kelembagaan, oleh karena itu, mengakui bahwa ideologi yang berbeda
memiliki validitas, dan bahwa wawasan mereka yang beragam dapat diselaraskan.
Perspektif institusional dalam pembangunan sosial berakar pada upaya untuk
mempromosikan toleransi dan koeksistensi keyakinan yang berbeda. Di Eropa modern, ide ini
dapat ditelusuri kembali ke Renaissance ketika ulama seperti Sir Thomas More dan Desiderius
Erasmus pertama memohon untuk toleransi beragama.
Gagasan toleransi beragama berkembang menjadi proposal untuk toleransi dari ide-ide
politik yang beragam. Tulisan-tulisan John Milton, John Locke dan Voltaire, serta pergolakan
dahsyat dari perang saudara di Inggris, revolusi Perancis dan Amerika, dan perang Napoleon
semua mengguncang fondasi Eropa dan dipupuk artikulasi dan ekspresi keyakinan politik baru.
Dulu selama abad kesembilan belas bahwa gagasan pluralisme politik mendapat dukungan.
Meskipun tidak disukai oleh mereka yang berkuasa dan tidak sempurna diimplementasikan,
gagasan bahwa rasional diartikulasikan dalam keyakinan politik harus bersaing untuk
keuntungan elektoral secara bertahap, dan membentuk dasar untuk sistem politik demokrasi
modern. Ideologis pluralism juga membuka jalan pada abad kesembilan belas penyebab
munculnya keyakinan politik yang berusaha untuk mendamaikan ekstrem kapitalisme tak
terkekang dan sosialisme totaliter. Ini ideologi sentris telah memberitahu perspektif institusional.
Upaya untuk mendamaikan liberalisme laissez-faire dan revolusioner sosialisme dimulai
ketika faksi dalam gerakan sosialis dan liberal berusaha untuk merumuskan suatu kompromi
antara dua kutub. Di Inggris, anggota progresif dari Partai Liberal seperti Joseph Chamberlain
berkampanye untuk sekolah umum gratis, mengurangi kemiskinan dan untuk meningkatkan hak-
hak bagi pekerja. Kebijakan serupa yang diusulkan oleh pemimpin Progresif dan Pihak populis
di Amerika Serikat. Di Eropa, banyak sosialis menerima konsep pluralisme dan digunakan
proses pemilu untuk berkampanye dan kontrol pemerintah yang lebih besar dari ekonomi. Di
Inggris, kaum Fabian mengadopsi strategi gradualisme, permeasi dan persuasi untuk
mempromosikan tujuan sosialis. Namun, mereka yang menganjurkan kompromi dan beberapa
difitnah sebagai pengkhianat perjuangan mereka. Lenin difitnah kaum Fabian dan, di Jerman,
ide-ide demokrasi Eduard Bernstein yang diserang oleh Rosa Luxemburg dan lain-lain dalam
gerakan Marxis utama untuk meninggalkan perlunya revolusi.
Theoretical Origins of the Institutional Approach
Istilah ‘institusionalisme’ terutama terkait dengan pekerjaan ekonom Amerika, Thorstein
Veblen, yang merupakan salah satu dan yang pertama menyerang klaim ekonom neo-classical
bahwa pasar adalah satu-satunya mekanisme kelembagaan yang layak untuk mencapai
kesejahteraan. Veblen menolak pandangan ini dan harus menarik perhatian motif sosial yang
lebih luas dan kekuatan dalam masyarakat yang membentuk perilaku ekonomi. Dia berpendapat
bahwa mengejar kepentingan ekonomi hanyalah salah satu dari banyak faktor yang
mempengaruhi motif manusia. Dia percaya bahwa nilai-nilai dan lembaga-lembaga yang lebih
luas dari masyarakat adalah penting karena pasar dalam menentukan perilaku ekonomi.
Penekanan Veblen pada lembaga-lembaga sosial yang lebih luas daripada pertimbangan ekonomi
yang sempit, awal muncul penggunaan 'institusionalisme' istilah untuk menggambarkan ide-
idenya.
Veblen menyerang keyakinan laissez-faire. Buku yang paling terkenal, The Theory of the
Leisure Class (1899), mencemoohkan nilai-nilai dan gaya hidup dari bisnis masyarakat, dan
frase saham diperkenalkan seperti 'konsumsi mencolok' dan 'kapten industri' ke dalam bahasa
Inggris. Sebaliknya, Veblen disukai pendekatan teknokratis yang mana keahlian bisa
dimanfaatkan untuk melayani lebih luas dari kepentingan sosial. Meskipun teknokratis tidak
seperti Fabian dalam advokasi pemerintah.
Tulisan Veblen tidak diterima dengan baik di kalangan akademisi di Amerika Serikat.
Namun, mereka menginspirasi banyak ekonom muda yang kemudian membantu merumuskan
kebijakan New Deal. Di Amerika, pendekatan institusional terkait dengan John Kenneth
Galbraith yang mungkin penerus Veblen terbaik yang akan dikenal. Banyak buku Galbraith ini
telah menegaskan kritik intervensionis laissez-faire liberalisme, terkena kekuatan perusahaan
besar dan mencela kemiskinan dan kemelaratan yang terus hidup berdampingan dengan
kemakmuran dan kesejahteraan (seperti dalam Galbraith, 1958).
Pendekatan institusional juga telah dipengaruhi oleh karya John Dewey dan William
James. Dewey dan James pendukung dari Pendekatan filosofis dikenal sebagai pragmatisme.
Pragmatisme menekankan pengetahuan pendekatan empiris. Pendekatan ini didasarkan pada
gagasan bahwa manusia tidak tahu dunia dengan menyerap informasi melalui indera mereka
tetapi mereka menguji kebenaran pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Pragmatisme
menumbuhkan pendekatan yang fleksibel yang kontras dengan lebih dogmatis posisi teoritis
laissez-faire liberalisme dan Marxisme. Pragmatisme mengajukan banding ke Fabian dan
terinspirasi empirisme mereka. Fabian dan organisasi Eropa sosialis demokrasi lainnya sangat
percaya pada kebutuhan untuk mengumpulkan dan menggunakan data faktual untuk mendukung
kampanye politik mereka.
Pengaruh lain munculnya pendekatan institusional dari teori solidaritas dari sosiolog
Prancis, Emile Durkheim, yang mengkritik individualisme ekstrim akhir abad kesembilan belas
dan berpendapat untuk langkah-langkah yang meningkatkan perasaan memiliki dan saling
ketergantungan. Durkheim percaya bahwa masyarakat modern ditandai dengan penurunan
solidaritas dan bahwa ini menciptakan perasaan anomie dan keterasingan. Dia mendesak agar
lembaga-lembaga sosial yang mendorong integrasi harus didorong. Seperti yang akan
ditampilkan, ide ini kuat disajikan kembali dalam tulisan-tulisan R. H. Tawney dan Richard
Titmuss, para pendukung pendekatan institusional terkemuka.
Karya Veblen berbagi kesamaan dengan tulisan-tulisan John Maynard Keynes tentu saja,
yang dikenal sebagai institusionalis tapi nama saat ini digunakan eponymously untuk
menggambarkan teori dan orang-orang dari pengikutnya. Tidak seperti Veblen, Keynes adalah
kurang peduli dengan mengkritik kapitalisme daripada dengan moderasi ekses dari sistem
kapitalis. Namun, Keynes menantang ortodoksi ekonomi laissez-faire, menolak gagasan bahwa
ekonomi adalah sistem yang mengatur diri sendiri. Dia berpendapat bahwa pemerintah harus
campur tangan untuk mengelola permintaan dan dengan demikian untuk mempertahankan
lapangan kerja yang tinggi dan pendapatan yang stabil. Keynes tidak percaya bahwa negara
harus menasionalisasi perekonomian atau memperkenalkan perencanaan ekonomi Soviet-style
terpusat. Sebaliknya, 'jalan tengah' nya menyerukan perencanaan tidak langsung melalui kontrol
fiskal dan moneter sebagai program bijaksana pekerjaan umum.
Meskipun tulisan Keynes dipengaruhi penciptaan kesejahteraan negara, munculnya
welfarisme biasanya dikaitkan dengan William Beveridge yang bertanggung jawab untuk
mempersiapkan proposal untuk pengenalan pelayanan sosial yang luas di Inggris setelah Perang
Dunia Kedua. Seperti ditunjukkan dalam bab 3, rekomendasi dari Beveridge, laporan yang
umumnya diadopsi setelah perang dan mengakibatkan penciptaan perawatan kesehatan yang
komprehensif, jaminan sosial, pendidikan dan program perumahan.
Kedua Keynes dan Beveridge adalah anggota British Paartai Liberal, dan keduanya
dipengaruhi oleh para pemikir New Liberal seperti Leonard Hobhouse, seperti yang ditunjukkan
di awal buku ini, telah menggunakan istilah ‘social development' untuk menganjurkan
penggunaan perencanaan untuk mengarahkan proses perubahan sosial. Hobhouse (1911)
eksposisi ide Liberal baru pada umumnya dianggap sebagai pernyataan definitif dari pendekatan
ini. Sementara Keynes dan Beveridge percaya bahwa pemerintah harus berperan aktif dalam
mengelola perekonomian dan menciptakan layanan sosial untuk memastikan bahwa standar
minimum kesejahteraan dipertahankan, negara harus mengambil kontrol penuh dari ekonomi
atau intervensi negara harus menggantikan kapitalisme. Kedua pemikir tetap individualis
daripada kolektivis.
The Influence of Statism
Beberapa institusionalis lebih dipengaruhi oleh ideologi kolektivis dan intervensi statis
dari tradisi liberal reformis. Beberapa termasuk R. H. Tawney, Richard Titmuss dan Gunnar
Myrdal. Meskipun penulis ini biasanya diidentifikasi dengan sosialisme demokratis daripada ide-
ide dari Veblen, ada kesamaan antara pekerjaan mereka dan Veblen. Kedua Tawney dan Titmuss
menekankan pentingnya nilai-nilai dan lembaga-lembaga yang lebih luas dikehidupan sosial,
kritikus yang kuat dari sikap kompetitif yang ditandai Tawney (1921) yang disebut The
Acquisitive Society and Titmuss (1960) yang digambarkan sebagai The Irresponsible Society..
Pekerjaan mereka juga ditandai dengan penekanan pada nilai-nilai solidaritas. Seperti Durkheim,
Tawney berpendapat bahwa kedua kegiatan ekonomi dan sosial harus direncanakan oleh
pemerintah dengan maksud sengaja meningkatkan solidaritas dan meminimalkan kelas dan
lainnya. Dalam The Gift Relationship (1971), Titmuss membuat permohonan yang sama, yaitu
kebijakan sosial, ia berpendapat, harus mendorong solidaritas sosial dan altruisme, nilai-nilai
persaudaraan dan menolong anonim antara orang-orang. Sementara Tawney dan Titmuss sangat
menganjurkan intervensi negara, statisme bukan hanya mekanisme untuk mengelola ekonomi
atau menyediakan layanan sosial, tetapi sarana mempromosikan lebih tinggi nilai-nilai sosial dan
moral.
Titmuss adalah salah satu institusionalis pertama yang terlibat dengan Dunia Ketiga. Dia
memimpin sebuah misi ke Mauritius pada tahun 1950 dan merombak total sistem kesejahteraan
sosial negara itu. Dia juga membantu merencanakan sistem perawatan kesehatan Tanzania.
Selain itu, ia mendukung penciptaan program perencanaan sosial di London School of Economic
yang dirancang untuk melatih tenaga profesional untuk perkembangan sosial. Disutradarai oleh
Margaret Hardiman dan James Midgley (1980), program ini menganjurkan pendekatan statis dan
Sesuai dengan perspektif institusional, disiapkan ilmuwan sosial untuk memikul tanggung jawab
untuk pembangunan kebijakan sosial, pelaksanaan program dan administrasi sosial di kedua
pusat badan perencanaan dan sektoral kementerian pelayanan sosial dalam mengembangkan
negara.
Mungkin institusionalis paling dikenal dalam studi pembangunan adalah Gunnar Myrdal
yang, seperti yang ditunjukkan di awal buku ini, memainkan kunci peran dalam merumuskan
pendekatan terpadu PBB untuk perencanaan pembangunan. Karena advokasi yang kuat tentang
posisi kelembagaan , Myrdal sering digambarkan dalam literatur sebagai pemimpin gerakan neo-
institusionalis. Myrdal mengakui utang kepada sosialisme demokratis Swedia dan komitmennya
untuk kesetaraan, solidaritas dan nilai-nilai sosialis pusat lainnya. Seperti sosialis lainnya, ia
pendukung peran aktivis negara dalam urusan ekonomi dan sosial.
Namun, Myrdal pesimistis tentang kemampuan negara-negara Dunia Ketiga untuk
melaksanakan agenda statis. Pada tahun 1970, ia merumuskan konsep ‘soft state' yang
disinggung rupanya masalah inefisiensi administrasi, korupsi dan kelemahan yang ia percaya
ditandai administrasi publik di banyak negara berkembang. Jika perencanaan untuk menjadi
efektif, masalah ini harus diatasi dan ‘soft state’ harus diganti oleh yang kuat, pemerintah yang
terpusat, dikelola oleh administrator terlatih dan efisien.
Tulisan Myrdal juga mengungkapkan komitmen yang kuat untuk egalitarianisme.
Komitmen ini jelas terinspirasi oleh gerakan social demokrasi Swedia tekanan yang ditempatkan
besar pada pengurangan kesenjangan kelas. Myrdal (1968, 1970) berpendapat bahwa masalah
ketidaksetaraan adalah halangan utama untuk kemajuan ekonomi dan sosial di Dunia Ketiga dan
bahwa pengurangan ketidaksetaraan merupakan prasyarat bagi pembangunan, seperti kelas yang
mengakar dan perbedaan kasta, ketidaksetaraan dalam distribusi tanah, membagi perkotaan-
pedesaan, penindasan perempuan dan akses terhadap layanan sosial semua perlu ditangani. Ide-
ide ini kemudian disajikan kembali oleh banyak penulis neo-institusionalis tetapi mereka tidak
mengerahkan banyak pengaruh di kalangan pembangunan saat ini.
Selain itu, beberapa neo-institusionalis tidak menekankan perlunya strategi egaliter.
Seperti ditunjukkan dalam bab terakhir, Paul Streeten dan rekan-rekannya (1981) berpendapat
bahwa pengurangan ketidaksetaraan bukan persyaratan utama dalam pembangunan, dan bahwa
pemenuhan kebutuhan dasar harus diberikan prioritas sebagai gantinya. meskipun Streeten
adalah neo-institusionalis, dan intelektual yang jelas untuk Myrdal, ia berbeda dari mainstream
neo-institusionalis dengan menganjurkan lebih pragmatis, pendekatan empiris dan menekankan
penyediaan layanan oleh negara bukan promosi egalitarianisme (Preston, 1982). Namun
demikian, penyediaan kebutuhan dasar membutuhkan perencanaan, pelaksanaan program oleh
administrator yang terlatih dan, pada akhirnya, adanya pemerintahan pusat yang kuat dengan
sumber dan tekad untuk menyelesaikan masalah sosial.
The Theory of Corporatism
Pengaruh selanjutnya terhadap perspektif institusional dalam pembangunan sosial adalah
korporatisme. Korporatisme adalah teori representasional yang berdasar pada studi tentang cara
pemerintah dalam berbagai masyarakat industry mencoba menciptakan kepadatan di antara
masyarakat, tenaga kerja yang teorganisasi dan mendukung kesejahteraan sosial. Masyarakat
korporatis berbeda dengan Negara-negara sosialis atau komunis karna pemerintahnya tidak
memiliki atau mengontrol ekonomi. Mereka juga berbeda dengan masyarakat kapitalis karena
pemerintahnya lebih campur tangan dan mengarahkan kebijakan sosial dan ekonomi dalam kerja
sama dengan tenaga kerja dan industri. Latar belakang munculnya perspektif ini bermula dari
respon terhadap tumbuhnya tenaga kerja terorganisasi dan kekuasaan dari para industrialis dan
pemimpin usaha yang teroganasasi. Munculnya korporatisme kontemporer seiring dengan
bertumbuhnya kekuatan dari gerakan tenaga kerja dan usaha untuk memitigasi kerusakan yang
diakibatkan kerusuhan dari tenaga kerja. Pendekatan ini kemudian memiliki 2 permasalahan,
yaitu adanya perdebatan mengenai kategorisasi masyarakat mana yang dapat dikatakan sebagai
korporatis; korporatisme tidak lagi dilihat lagi seperti semula karna bentuk kegiatan ekonomi
yang berubah-ubah seperti munculnya sektor-sektor jasa dan integrasi ekonomi. Sebagai
menyimpulkan, Philippe Schmitter (1974) dalam definisi klasiknya menjelaskan bahwa
korporatisme adalah sebuah sistem sosial yang di mana interest group terorganisasi ke dalam
kategori yang non-kompetitif dan secara fungsional berbeda dalam jumlah yang terbatas melalui
agensi aktif dari negara. Kelompok ini diberikan hak monopoli untuk merepresentasikan
anggotanya dan mereka setuju untuk berpartisipasi dalam struktur korporasi dan terikat dengan
perjanjian. Sehingga pada dasarnya korporatisme didasari oleh ide perjanjian yang dinegosiasi
dari antara pemerintah, tenaga kerja, dan bisnis yang akan mendukung kepentingan dari semua
pihak dan meningkatkan kebaikan bersama. Dalam sistem korporatis yang umum, perjanjian
yang dinegosiasikan adalah seputar isu seperti harga, keuntungan, kebijakan ekonomi, kondisi
kerja, pendapatan, dan kesejahteraan sosial.
IMPLEMENTATING AN INSTITUTIONAL PERPECTIVE
Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai bagaimana mengimplementasikan perspektif
insitusional dalam pembangunan dalam diskusi tentang rancangan personil organisasional dan
professional yang dibutuhkan untuk mendukung pendekatan ini. Bagian ini juga akan
mendiskusikan mengenai peran pemerintah dalam mengkordinasikan strategi untuk mencapai
tujuan pembangunan sosial. Selain itu, perbedaan socio-spatial setting di mana strategi akan
diimplementasikan juga akan dibahas beserta dengan bagaimana menjalankannya dengan
harmonis.
The Organizational Basis for Social Development
Strategi dalam mewujudkan pembangunan sosial tidaklah dilakukan secara spontanius. Kegiatan
ini harus dilakukan oleh orang-orang yang spesifik di dalam konteks organisasional.
Komunitarian dan individualis percaya bahwa kegiatan ini tidak seharusnya hanya dilakukan
pada tingkat sentral pemerintahan karena dianggap kurang tanggap, kuran efisien, dan bahkan
korup. Komunitarian beranggapan bahwa implementasi pendekatan ini paling baik dilakukan
pada tingkat lokal masyarakat dengan memafaatkan partisipasi masyarakat lokal sebesar-
besarnya. Komunitarian juga mendukung kontribusi organisasi non-pemerintah di tingkat lokal
karna dianggap lebih efektif mengimplementasikan pendekatan ini. Sedangkan individualis
beranggapan bahwa kontrol utuh negara dalam pembangunan sosial bertentangan dengan
tanggung jawab individual atas kesejahteraan. Kedua anggapan tersebut adalah benar, sehingga
peran organisasi non-pemerintahan dan komersial menjadi lebih besar dan aktif dalam
pembangunan sosial dibanding sebelumnya.
Namun, tetap dibutuhkannya kerangka pemikiran utuh mengenasi organisasi yang mana kegiatan
pembangunan sosial dari kelompok-kelompok berbeda dapat difasilitasi, dikoordinasi dan
diharmonisasikan. Tidak adanya kerangka ini akan menghasilkan usaha pembangunan sosial
yang terpecah, tidak terorganisasi dan tidak efisien. Untuk itu, pendekatan ini membutuhkan
sistem organisasi yang harus dibangun untuk memegang tanggung jawab keseluruhan dalam
implementasi pembangunan sosial. Dan organisasi ini harus mampu memfasilitasi berbagai
strategi pendekatan pembangunan sosial.
Personnel and Professional Roles for Social Development
Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai personil yang dibutuhkan dalam
mewujudkan pembangunan sosial dan keahlian apa yang harus dimilikinya. Seperti pada bab
sebelumnya, beberapa ahli berargumen bahwa spesialis professional pembangunan sosial adalah
orang-orang yang paling baik menangani pekerjaan ini. Namun, pandangan berbeda muncul dari
beberapa ahli juga bahwa pelatihan ilmu sosial yang multidisiplin seperti sosiologi, antropologi,
dan pekerjaan sosial juga dibutuhkan dalam hal ini. Sedangkan dari pendukung komunitarian,
mereka melihat kebutuhan akan tenaga ahli justru minim. Menurut mereka, pekerja ahli yang
dipekerjakan dari luar komunitas justru dirasa tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat
lokal. Komunitarian lebih menyarankan pekerjaan diberikan kepada pekerja komunitas lokal dari
masyarakat lokal itu sendiri.
Terlepas dari antipati kepada profesionalisme personil dari pendukung komunitarian, sulit untuk
menyangkal bahwa spesialis personil dengan paling tidak pelatihan formal di lapangan juga
sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembangunan sosial. Dan pendekatan ini menyarankan
berbagai jenis personil dibutuhkan di berbagai strategi pembangunan sosial karena kebutuhannya
pun berbeda-beda. Namun, setiap personil ini harus diidentiikasikan secar jelas mengenai peran
dan tanggung jawabnya.
Location of Development Effort
Pespektif institusional dalam pembangunan sosial membutuhkan strategi pembangunan sosial
diimplementasikan pada semua level dan semua upaya pada level yang berbeda ini harus
dikordinasikan dengan baik. Level paling atas adalah level national yaitu level yang dilihat
sebagai produk dari diplomasi intenasional dan upaya-upaya politis. Komunitas internasional
memberikan focus sumber dayanya kepada tingkat nasional untuk melakukan tujuan-tujuan
pembangunan. Pendekatan institusional juga menuntut implementasi dari kebijakan dan program
pembangunan sosial dilakukan baik di tingkat regional maupun lokal. Biasanya pembangunan
regional berfokus pada area-area tertinggal dan mencoba untuk meningkatkan transdorfasi sosial
dan ekonomi. Terakhir, pada level lokal, area ini mencakup kota kecil, desa, dan lain-lain.
Integrating Economic and Social Development Effort
Masalah yang dihadapi oleh kebanyakan negara saat ini adalah bukan kurangnya
pembangunan ekonomi, tetapi masalah disorted development. Disorted development terjadi
ketika pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pengembangan kesejahteraan dalam semua
aspek populasi, oleh karena itu, pembangunan sosial berusaha untuk mengharmonisasi kebijakan
ekonomi dan sosial dalam jalan meningkatkan kesejahteraan sosial untuk semua.
Terdapat tiga cara dimana pendekatan pembangunan sosial mencoba mengharmoniskan
usaha ekonomi dan sosial, pertama, membangun organisasi dan institusi formal agar kebijakan
sosial dan ekonomi dapat teritegrasi lebih baik. Kedua, pembangunan sosial berusaha untuk
mempercepat proses integrasi kebijakan sosial dan ekonomi melalui penjaminan bahwa
pembangunan ekonomi telah secara langsung berdampak pada kondisi well-being masyakat.
Ketiga, pembangunan sosial membuat regulasi dan formulasi kebijakan sosial dan program yang
berkontribusi secara positing terhadap pembangunan ekonomi.
Ketiga metode integrasi pembangunan sosial dan ekonomi diatas didesain untuk
mempercepat kebutuhan perspektif pembangunan yang tidak jelas. Meskipun keduanya memiliki
karakteristik berbeda, harmonisasi antara keduanya menawarkan kemungkinan terbaik dalam
promosi kesejahteraan sosial saat ini.
Harmonizing Social Development Strategies
Pemerintah memiliki peran penting dalam promosi pembangunan sosial dalam benyak
bagian didunia ini. Ditambah lagi dengan beberapa pakar pembangunan sosial yang secara
antusias mendukung pendekatan dasar-pasar, sektor informal juga menyumbang dalam
kehidupan kesejahteraan sosial. Selain itu terdapat juga pendekatan pembangunan komunitas
(community development). Kemudian muncul pendekatan lain seperti pendekatan partisipasi
komunitas. Lalu muncul pendekatan “enterprise” .
Dari berbagai contoh pendekatan yang ada, merupakan hal yang sangat mungkin untuk
mengharmonisasi strategi pembangunan sosial yang berbeda dalam bingkai perspektif
institusional yang mengenalkan validitas pendekatan berbeda dan berusaha untuk
mempromosikan implementasinya dalam pengaturan sosial-spasial berbeda.
ACHIEVING SOCIAL DEVELOPMENT: SOME CASE ILUSTRATION
Terdapat beberapa contoh mengenai bagaimana strategi-strategi pembangunan sosial
dapat terintegrasi serta kebijakan sosial dan ekonomi dapat terharmonisasi melalui literatur dari
beberapa negara dan juga pada tingkat lokal maupun regional yang telah mengimplementasikan
perspektif institusional ini. Contoh kasus pertama terjadi pada komunitas lokal di Thailand yang
melakukan usaha mengangkat pembangunan sosial dan ekonomi dengan menggunakan
pendekatan strategi yang berbeda. Kedua mengenai inisiatif pembangunan regional di Mississipi,
Amerika Serikat. Ketiga, kasus tentang usaha berbagai negara untuk mengangkat pembangunan
sosial dalam paham yang netral berdasarkan ide institusionalis dan pluralisme yang telah
dibahas.
Mencapai Pembangunan Sosial pada Tingkat Lokal
Shigetomi menunjukan bagaimana ketiga pendekatan besar pada bab akhir ini dapat
terintegrasi melalui satu contoh kasus di kampung Sri Phon Thong, Thailand Tenggara yang
mampu meningkatkan perekonomian dan pembangunan sosial dengan menggunakan sumber dari
pemerintah secara baik, menciptakan institusi kemasyarakatan dan mendukung usaha lokal.
Kampung Sri Phon Thong ini terletak di bagian Thailand yang miskin dan penduduknya
bergantung pada pertanian untuk kelangsungan hidup. Kepala desa kampung ini memiliki
inisiatif dengan melibatkan ketiga strategi yang dibahas pada bab akhir ini.
Pertama, berusaha meningkatkan aktifitas koperasi lokal dan dengan ini menguatkan
hubungan antar penduduk desa. Selain itu juga membantu mereka membangun fasilitas yang
dibutuhkan dan bekerja sama dalam proyek ekonomi yang meningkatkan perekonomian.
Kampung ini juga mendapat dukungan dari organisasi non pemerintah lokal yang membantu
kampung menjalankan inisiatif/rencana mereka. Inisiatif ekonomi lokal seperti pembangunan
lumbung beras, kredit masyarakat, toko koperasi, penumbukan padi,dll. Kemudian diambil
langkah-langkah untuk membantu petani lokal meningkatkan penghasilan mereka melalui teknik
pertanian yang lebih baik dan aktifitas lainnya yang didisain tidak hanya untuk meningkatkan
pertanian tetapi juga membantu petani memasarkan produk mereka ke luar dengan menggunakan
orientasi ekspor.
Terdapat proyek yang dikerjakan oleh beberapa kelompok tertentu, contohnya koperasi
kredit yang dijalankan oleh perempuan di kampung tersebut dengan memberikan bunga yang
kecil untuk petani. Kegiatan ini sukses dan kemudian bergabung dalam liga koperasi nasional
Thailand. Banyak aktifitas koperasi yang didesain khusus untuk meningkatkan penghasilan
anggota. Bantuan dari Departemen Pertanian Thailand dimanfaatkan dengan baik seperti untuk
pembersihan rawa-rawa yang telah terpolusi dan pendirian tambak ikan untuk kemudian dijual
dan hasilnya dibagikan ke anggotanya.
Terdapat juga beberapa proyek yang dibangun untuk memberikan keuntungan bagi
lingkungan, salah satunya pelestarian hutan yang dijalankan oleh warga kampung dibantu oleh
organisasi non pemerintah dan pemerintah sebagai fasilitator untuk mengedukasi warga dalam
mempelajari manajemen perhutanan dan mengambil keuntungan dari sumber hutan. Proyek
ramah lingkungan lainnya adalah produksi pupuk dari gabah padi yang sukses melindungi
lingkungan.
Penjelasan Shigetomi menunjukan adanya kemungkinan untuk mengintegrasikan
pendekatan strategis yang berbeda dalam pembangunan sosial pada tingkat lokal dan mendukung
pembangunan sosial dalam konteks usaha pembangunan ekonomi. Kombinasi perspektif
komunitarian dan individualis ini digambarkan dengan meskipun kampung ini membangun
koperasi dan aktifitas lainnya, tetapi aktifitas ini tidak menghalangi usaha pribadi mereka justru
mendukung dan menguatkan kapasitas petani untuk meningkatkan penghasilan mereka. Intinya,
kesejahteraan materi mereka meningkat dengan signifikan. Walaupun contoh dari Shigetomi ini
terkait dengan komunitas pedesaan, strategi pembangunan sosial yang diintegrasikan dan
diselaraskan dengan pembangunan ekonomi ini bisa saja diterapkan pada tingkat regional dan
nasional.
Pembangunan Sosial pada Tingkat Regional
Salah satu perencanaan regional adalah proyek Delta Mississipi yang berada di Amerika
Serikat yang dikenal sebagai bentuk perkembangan yang terdistorsi. Bagian negara ini memiliki
angka kemiskinan terbesar dan tingkat kematian bayi yang lebih besar dari negara berkembang.
Dengan adanya masalah ini, gubernur ketiga daerah delta, Arkansas, Lousiana, dan Mississipi,
meminta pemerintah untuk mendanai persiapan perencanaan pembangunan untuk daerah ini
yang kemudian dikabulkan dan dibentuk sebuah komisi untuk menyiapkan perencanaan tersebut.
Pusat komisi ini mulai melakukan penelitian pada masalah sosial dan ekonomi daerah ini dan
membuat kebijakan untuk menanganinya. Hasilnya didokumentasikan dalam The Delta
Initiatives 1990 yang berupa perencanaan komprehensif tentang pembangunan sosial dan
ekonomi.
Perencanaan ini berbeda secara signifikan dari sebagian besar perencanaan pembangunan
regional karena tidak menekankan pada pembangunan infrastruktur dan tidak bergantung pada
pendekatan tradisional untuk menarik investor luar untuk menciptakan manufaktur skala besar di
daerah ini. Selanjutnya, pendekatan ini lebih bersifat bottom up artinya tidak hanya menekankan
pada partisipasi masyarakat tetapi memberikan prioritas pada kebijakan yang mendukung usaha
ekonomi pribumi.
Proposal pembangunan ekonomi regional ini sangat erat terkait dengan keadaan sosial
negara dan kebutuhan akan pembangunan sosial. Dilihat dari investasi yang diarahkan untuk
pembangunan SDM agar masyarakat dapat memiliki kualifikasi dan keterampilan yang
dibutuhkan, pembangunan ekonomi dan lingkungan yang menyentuh isu pembangunan sosial,
peningkatan pendidikan dan kesehatan untuk pembangunan ekonomi, serta kebutuhan akan
pemukiman. Pembangunan di daerah ini juga memperhatikan hubungan antar kelompok,
diskriminasi, dan keterasingan sosial dengan mendesak pembangunan ekonomi lewat pelatihan
usaha kecil, pinjaman, dan bantuan teknis bagi kaum minoritas sehingga dapat meningkatkan
kesempatan kaum minoritas.
Meskipun perencanaan ini sedang dalam tahap pengerjaan, perencanaan ini belum
sepenuhnya didanai dan tidak ada struktur organisasi yang komprehensif yang telah dibentuk
untuk usaha implementasi ini. Defisit negara dan faktor politik telah menghambat implementasi
perencanaan pembangunan sosial ini. Namun, beberapa usaha telah dilakukan untuk
mengimplementasikan proposal tentang pembangunan sosial dan ekonomi di daerah ini.
Social Development at the National Level
Pendekatan pembangunan sosial telah diimplementasikan oleh beberapa pemerintah
dengan beberapa keberhasilan. Walaupun ada beberapa negara yang belum menyentuh
kebutuhan sosial, namun mereka telah mengadopsi perspektif institusional yang menunjukan
bahwa mereka telah mengembangkan adanya tujuan ekonomi dan sosial pada pembangunan
Contohnya adalah negara industri dengan pendapatan tinggi seperti Austria, Denmark,
Jepang, dan Swedia, dan negara industrialisasi yang masih baru seperti Kostarika, Malaysia,
Boswana, dan Srilangka yang memandang dirinya sebagai negara sosialis, tetapi pemerintahnya
turut turun tangan dalam urusan ekonomi dan sosial. Hal ini mengakibatkan negara mereka telah
membuat kemajuan yang signifikan dalam mempromosikan pembangunan sosial dan ekonomi
dalam beberapa dekade terakhir.
Dalam strategi yabg di gunakan oleh negara Swedia dan Denmark pada pertengahan
tahun 1980-an memberikan sepertiga dari pengeluaran pemerintah untuk pelayanan soaial dan
menaikan pajak. Sehingga dampaknya adalah terdapatnya pelayanan sosial yang menyeluruh dan
universal yang tujuannya untuk mengurasi adanya divisi kelas dalam masyarakat. Dampak dari
strategi ini adalah angka standar hidup warga negaranya yang tinggi, dan memiliki pendapatan
perkapita yang sangat tinggi.
Menurut Gosta Esping-Andersen (1992) kebijakan sosial memainkan fungsi produktivis.
Dimana kebijakan sosial di negara tersebut telah berusaha mendukung pertumbuhan ekonomi
dan tenaga kerja daripada merespon secara aktif kebutuhab sosial. Hal ini dibuktikan oleh
pemerintah Swedia yang menghabiskan lebih banyak pada penciptaan lapangan pekerjaan lewat
pendidikan, pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja dan layanan serupa daripada tunjangan
bagi pengangguran. Pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemerintah justru di alirkan untuk biaya
kesehatan, pendidikan, dan layanan anak dan keluarga. Hal ini dianggap sebagai inverstasi yang
produktif bukan pengeluaran yang konsumtif.
Pada negara Austria, dimana negara ini sebagian masyarakatnya adalah kapitalis tetap
memahami bahwa korporatisme dapat mendorong usaha bersama untuk mengarahkan
perekonomian dan mamastikan bahwa pembangunan ekonomi akan memberikan keuntungan
pada masyarakat keseluruhan. Begiti juga dengan negara Jepang, Jepang adalah negara yang
kapitalis tetapi tidak ada pemerintahnya seelah perang yang percaya bahwa pasar bebas yang
tidak terbatas adalah cara terbaik untuk mengangkat pembangunan. Tetapi pemerintahnya telah
mengarahkan pembangunan ekonomi lewat sebuah gabungan cara korporatis dan teknokratik.
Selain itu pendapatan perkapita nehara ini bisa tinggi dikarena keturut sertaan produsen kecil
dalam hubungan antara usaha ekonomi lokal lewat industrialisasi dan hasil eksport.
Di negara kostarika yang di gambarkan sebagai negara welfare state, mengangkat
pembangunan ekonominya dengan cara mendorong kemajuan sosial bagi rakyatnya dengan
menaruh inverstasi pada pendidikan. Selain itu, negara ini juga memberikan kebijakan pelayanan
kesehatan dalam sektor sanitasi dan air minum bersih untuk seluruh warganya. Dalam sektor
kesehatan terdapatnya layanan klinik bagi ibu dan anak (pemberian imunisasi massal). Ketika
negara lain berfokus pada pembangunan rumah sakit, negara ini justru lebih berfokus pada
layanan kesehatan yang dapat diakses oleh rakyatnya, seperti peningkatan jumlah fasilitas untuk
rawat jalan.
Sebelum kemerderkaannya dari jajahan Inggris. Negara Srilangka telah memperkenalkan
pendidikan gratis tingkat dasar dan menengah, adanya layanan kesehatan umum gratis dan
program subsidi makanan yabg universal. Seperti halnya dengan Kostarika, Srilangka menarik
perhatian international dengan kampanye kesehatan dalam upaya untuk memberantas malaria. Di
Negara Bostawa, Afrika mengiplementasikan kebijakan sosial dalam bentuk pendidikan
(kemampuan membaca) kematian bayi dan harapan hidup khususnya dibandingan dengan negara
afrika lainnya.
THE CHALLENGE AHEAD
Pada bab ini telah berusaha untuk menunjukan bahwa pembangunan sosial bukanlah sesuatu
yang ideal dan abstrak tetapi merupakan pendekatan yang realistis untuk mengangkat
kesejahteraan rakyat. Pendekatan bini berbeda dengan pendekatan besar lainnya, seperti
Philanthropy. Pendekatan yang diambil buku ini merujuk pada keharmonisasian dengan
memobilisasi institusi sosial yang berbeda untuk mengangkat kesejahteraan sosial. Seperti yang
telah di bahas bahwa sumber dipasar, masyarakat, dan negara dapat dipersatukan untuk
mendukung tercapainya tujuan pembangunan sosial. Pembangunan sosial akan dengan baik
diangkat ketika pemerintah memainkan peranan positif dalam memfasilitasi, mengkoordinasi,
dan mengarahkan usaha dari kelompok yang berbeda baik dari individu, kelompok dan
masyarakat secara efektif menggunakan pasar, masyarakat, dan negara untuk mengangkat
pembangunan sosial
Dalam konteksnya bahwa dalam contoh kasus yang di berikan bukan berarti bahwa
pembangunan sosial menawarkan cara cepat dan mudah untuk mencapai negara yang utopis.
Adanya tantangan dan masalah yang harus mereka hadapi adalah sebagai bukti bahwa terdapat
proses menuju pencapaian pembangunan sosial.
Tantangannya adalah apakah pendekatan pembangunan sosial ini akan diadopsi untuk
memperbaiki kondisi kekurangan dan keterlantaran sosial? Serta adanya usaha bersama yang
dibutuhkan untuk memastikan bahwa pembangunan sosial dapat dicapai dan dikenal luas.
REFERENSI
James Midgley, 1995, Social Development: The Developmental Perspective in Social Welfare.
London: SAGE Publication