104
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan merupakan cermin kehidupan masyarakat suatu daerah, dari tata cara hidup dapat dinilai tingkat keberadaanya serta derajat kemanusiaan dalam masyarakat daerah tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut upaya pelestarian budaya asli Indonesia harus ditingkatkan serta dijaga kemurniannya dari pengaruh asing. Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar, jadi dapat dikatakan seluruh tindakan adalah kebudayaan. (Koenjaraningrat,1990:180). Kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai- nilai luhur bangsa harus dipelihara, dibina dan di kembangkan guna memperkuat penghayatan dan

eprints.unm.ac.ideprints.unm.ac.id/5509/1/SKRIPSIKU.docx · Web viewSalah satu kesenian yang masih hidup dalam masyarakat Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa

  • Upload
    voxuyen

  • View
    237

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan merupakan cermin kehidupan masyarakat suatu

daerah, dari tata cara hidup dapat dinilai tingkat keberadaanya serta derajat

kemanusiaan dalam masyarakat daerah tersebut. Sehubungan dengan hal

tersebut upaya pelestarian budaya asli Indonesia harus ditingkatkan serta

dijaga kemurniannya dari pengaruh asing.

Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar, jadi dapat

dikatakan seluruh tindakan adalah kebudayaan.

(Koenjaraningrat,1990:180).

Kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa

harus dipelihara, dibina dan di kembangkan guna memperkuat

penghayatan dan pengalaman pancasila, meningkatkan kualitas hidup,

memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan

kebangsaan nasional serta memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan

bangsa serta menjadi penggerak bagi terwujudnya cita-cita bangsa di masa

depan. (GBHN, 1983: 94).

Perkembangan kesenian khususnya kesenian tradisional

mengalami banyak hambatan akibat modernisasi dalam pembangunan

1

2

pada masa transisi seperti di Indonesia sekarang ini. Banyak diantara

mereka yang lebih menyukai budaya-budaya barat dan cenderung

meninggalkan beberapa bentuk kebudayaan asli milik bangsa sendiri.

Salah satu kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan (kesenian) dan

yang lebih mengkhusus adalah kebudayaan kesenian tradisionalisme.

Kesenian tradisional adalah merupakan pencerminan hidup dan

kehidupan dalam segala aspek dari suatu pada zamannya. Kesenian

tradisional yang ada di daerah dipelihara dan diselamatkan dari kepunahan

untuk dijadikan dokumen hidup yang abadi dari suatu masyarakat yang

berlangsung dari zaman ke zaman.

Tindakan pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional

bertujuan menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat

pendukungnya. Perlu adanya partisipasi dari berbagai pihak baik

pemerintah maupun masyarakat setempat.

Kesenian mempunyai kedudukan dalam bagian hidup ini

karenanya kesenian dapat dimiliki oleh siapapun yang memerlukannya,

seperti diuraikan oleh S. budhisantoso :

Sesungguhnya kesenian sebagai ungkapan rasa keindahan yang merupakan salah satu kebutuhan manusia yang universal, tidak hanya milik orang kaya atau yang serba kecukupan melainkan juga menjadi kebutuhan orang miskin. (Budhisantoso, 1981 : 23).

Salah satu kesenian yang masih hidup dalam masyarakat Desa

Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa adalah kesenian

tradisi A’dengka Ase Lolo. A’dengka Ase Lolo adalah suatu tradisi ritual

3

pesta panen bagi para petani masyarakat Makassar di Desa Pallantikang

sebagai bentuk rasa terima kasih kepada sang pencipta, karena hasil panen

yang di dapatkan sesuai dengan apa yang diharapkan. A’dengka Ase Lolo

jika diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah “Menumbuk Padi Muda”.

Pada dasarnya permainan ini didasarkan dari bunyi tumbukan alu ke

lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk padi, dan yang menarik

dalam kesenian tradisional ini adalah kita dapat mendengar alunan irama

lebih teratur pada saat alu di tumbukan ke lesung. Seiring berkembangnya

zaman telah banyak perubahan dari kesenian tradisional ini.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk

mengangkat Pertunjukan a’dengka ase lolo dalam panen padi masyarakat

Makassar di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa.

Selain itu penulisan tentang pertunjukan a’dengka ase lolo di desa tersebut

belum pernah ada yang meneliti. Maka dari itu, penulis lebih tertarik lagi

untuk menjadikan penulisan ini sebagai aset budaya yang potensial di

Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Gowa dengan diberi judul

“Pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi masyarakat

Makassar di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten

Gowa”.

4

B. Rumusan Masalah

Mengingat banyaknya masalah yang timbul dalam penelitian ini

serta keterbatasan kemampuan peneliti, maka perlu adanya suatu

pembatasan. Pembatasan masalah tersebut dimaksudkan untuk menghindari

timbulnya pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal yang tidak dibahas

dalam penelitian ini. Maka dari itu, perlu ditegaskan pembatasannya karena

luasnya ruang lingkup seperti yang dideskripsikan di atas, Berdasarkan

penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana Bentuk penyajian Pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam

ritual panen padi masyarakat Makassar di Desa Pallantikang Kecamatan

Pattallassang Kabupaten Gowa.

2. Apa fungsi Pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi

masyarakat makassar di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang

Kabupaten Gowa.

C. Tujuan Peneletian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan

maupun gambaran pada masyarakat luas secara jelas dan nyata tentang

keberadaan suatu bentuk kesenian tradisional yaitu A’dengka Ase Lolo

dalam panen padi masyarakat Makassar di Desa pallantikang Kecamatan

Pattallassang Kabupaten Gowa. Selani itu pula dengan adanya tulisan ini

bertujuan untuk mengetahui:

5

1. Bagaimana bentuk penyajian pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam

ritual panen padi masyarakat Makassar di Desa Pallantikang Kecamatan

Pattallassang Kabupaten Gowa.

2. Apa fungsi pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi

masyarakat makassar di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang

Kabupaten Gowa.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat

pada masyarakat luas. Ada pun manfaat yang bisa didapat dalam penelitian

ini adalah :

1. Menbantu pelestarian budaya dalam hal ini tentang pertunjukan

A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi dalam masyarakat Makassar

di Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa.

2. Berguna bagi masyarakat khususnya generasi penerus agar dapat

mengenal dan mengetahui tentang salah satu bentuk kesenian daerah dan

pelaksanaanya dalam kehidupan.

3. Sebagai bahan kajian sekaligus pelengkap informasi menyangkut nilai-

nilai budaya Kabupaten Gowa.

4. Secara pribadi dapat menambah pengetahuan penulis.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka seperti biasanya, berisi landasan-landasan teori

yang berkaitan dengan penelitian ini baik teori-teori yang sifatnya

mendukung dengan uraian tentang apa yang menjadi bahan pembahasan

pada variable penelitian. Berikut ini diuraikan beberapa hal sehubungan

judul penelitian dengan sebuah studi pustaka sebagai landasan teori, adapun

hal-hal yang diuraikan adalah sebagai berikut:

1. Pengertian Seni

Seni merupakan hasil kreasi dan getaran jiwa manusia yang

dapat menimbulkan perasaan suka maupun duka seseorang. Sesuatu

ciptaan mengandung nilai seni jika memenuhi beberapa syarat, antara

lain kehalusan dan keindahan.

Menurut salah seorang tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar

Dewantara mengatakan bahwa “seni adalah keindahan yang berdasar

pada ketertiban, sedangkan moral (kesucian) berdasar pada ketertiban

lain”. (Wardhana, 1990 : 8)

Thomas Munro juga berpendapat bahwa “ Seni adalah buatan

manusia yang menimbulkan efek-efek yang psikologi tanggapan-

tanggapan yang berwujud pengamatan, pengenalan, imajinasi yang

rasional”. Yang dimaksud dengan seni disini, lebih memerlukan

6

7

perhatian secara serius untuk menanggapi nilai-nilai yang terdapat

dibalik wujud tampak (Soedarsono, 1990 : 33)

Kesenian merupakan suatu pengertian yang luas mencakup

segala sesuatu yang mengenai rasa indah yang menjadi salah satu

kebutuhan dan pembawaan manusia. Walaupun pengertian kesenian itu

luas, tetapi sebenarnya ia sendiri hanyalah merupakan bagian dari

kebudayaan. (S. Saripin, 1976 : 4).

Kesenian sebagai kata yang mempunyai pengertian lebih lias

dari seni, yang merupakan bagian dari kebudayaan, seperti yang

diungkapkan oleh Koentjaningrat bahwa kesenian termasuk dalam unsur

kebudayaan yaitu :

a. Bahasa

b. Sistem ilmu pengetahuan

c. Organisasi sosial

d. Sistem peralatan hidup dan teknologi

e. Sistem mata pencaharian

f. Sistem religi

g. Kesenian (Koentjaraningrat, 1985 : 7).

Poppy Sudjana mengemukakan pendapatnya yaitu kesenian

adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan perasaan seseorang

karena kehalusan dan keindahan. (Sudjana, 1980 : 11)

8

Pendapat lain tentang kesenian menurut S. Budhisantoso adalah :

Kesenian dapat diartikan sebagai penghias kehidupan sehari-hari yang dapat dicapai dengan kemampuan tertentu, yang mempunyai bentuk-bentuk yang dapat dilukiskan oleh pendukungnya dan dapat dianggap sebagai manifestasi segala dorongan yang mengejar keindahan dan karenanya dapat meningkatkan kesenangan dalam segala tahap kehidupan. (Budhisantoso, 1981 : 24).

Setelah menyimak beberapa definisi tentang seni diatas, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa kesenian merupakan hasil karya

manusia yang mempunyai nilai estetis atau keindahan yang tinggi

serta suatu proses pengungkapan pengalaman bathin dan jiwa.

2. Kesenian Tradisional

Kesenian tradisional adalah seni yang mengikuti

perkembanngan dan pola yang diwariskan secara turun temurun.

Dalam perkembangannya hampir tidak mengalami pembaharuan

karena ada kecenderungan mempertahankan kemurnian dan kesucian

yang dianggap sebagi warisan. Pernyataan artistik selalu dikaitkan

dengan perbuatan magis, kerena ada maksud-maksud tertentu,

misalnya ingin terhindar dari marabahaya, ingin mendapat

kesejahteraan, ingin terhindar dari penyakit dan sebagainya. Bentuk

dan coraknya adalah bersifat lokal bervariasi sesuai denga masing-

masing daerah.

Kesenian tradisional lahir bukan dari konsep seseorang,

kesenian tradisional tidak dapat dipastikan siapa penciptanya.

Hadirnya ditengah-tengah masyarakat karena inprovisasi dan

9

spontanitas para pelakunya dan perbuatan itu dilakukan berulang-

ulang.

Kesenian tradisional memiliki sifat-sifat yaitu antara lain :

a. Asli, artinya benar-benar hasil kreasi bukan tiruan, sebab

dilahirkan secara spontan.

b. Murni, artinya dari ketulusan hati sanubari dan

dilahirkan tanpa pamrih.

c. Kumunial, artinya lahir ditengah-tengah masyarakat dan

dimiliki oleh masyarakat banyak.

d. Kedaerahan karena biasanya lahir dan didukung oleh

masyarakat didaerah tertentu. (kutipan langsung skripsi

Johar Linda kesenian tradisional di Desa Tamarunang

Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa).

Kesenian tradisional mempunyai corak dan gaya khusus yang

memcerminkan pribadi masyarakat pemiliknya. Oleh karena itu

mempunyai sifat kedaerahan dimana seni itu lahir tumbuh dan

berkembang sehiingga kesenian tradisional sering disebut seni daerah.

Pada dasarnya kesenia tradisional adalah seni asli yang lahir

karena adanya dorongan emosi dan kehidupan batin yang murni atas

dasar pandangan hidup dan kepentingan pribadi masyarakat

pendukungnya. Maka dari itu nilai kesenian tradisional adalah nilai

pribadi dan nilai pandangan hidup masyarakat pendukungnya.

10

Kesenian tradisional yang ada di daerah mengalami

perkembangan yang berbeda-beda, hal ini sangat bergantung pada

kondisi setempat serta pengaruh lingkungan. Pada garis besarnya

dapatlah dibedakan antara dua golongan yang mewarisi kutub

kesenian masa lalu dengan perkembangan yang berlainan yaitu :

a. Golongan pertama adalah golongan yang bersifat pasif

terhadap kesenian tradisional. Golongan ini tidak dapat berbuat

apa-apa karena dorongan untuk mencipta tidak ada lagi maka

ia mempertahankan tradisi tidak dibarengi dengan kesempatan

untuk mencipta hal-hal yang baru, akibatnya kemurnian seni

yang mencerminkan kejujuran tidak lepas dari tanggapan

hidup yang diliputi oleh pikiran-pikiran teramat tekun,

sehingga tidak ada kesempatan untuk menemukan pernyataan-

pernyataan baru.

b. Golongan aktif, yaitu aktif mencipta karena mereka adalah

koreografer, sehingga kesenian tradisional dan

perkembangannya ditangan para koreografer yang kreatif.

Golongan ini senantiasa terpanggil untuk menghasilkan seni

dengan dasar pertimbangan baru. Hal ini terjadi disuatu daerah

kesenian yang masyarakat penciptanya bersifat positif.

Segala jenis kesenian tradisional yang terdapat didaerah-daerah

Indonesia perlu dikembangluaskan dan ditingkatkan mutunya agar

seluruh warga masyarakat Indonesia merasa memiliki dan

11

membanggakannya. Dengan demikian jenis seni yang terdapat di

tanah air Indonesia yang menjadi puncaknya akan menjadi salah satu

identitas nasional Indonesia.

Usaha pengembangan kesenian nasional Indonesia antara lain

dengan meningkatkan pembinaan kesenian yang ada di daerah-daerah

agar dapat memperkaya kesenian Indonesia yang beraneka ragam.

Pendidikan seni yang diselenggarakan di sekolah-sekolah, dalam

rumah tangga, maupun dalam kursus dilingkungan masyarakat

merupakan langkah-langkah yang baik untuk peningkatan pembinaan

kesenian nasional Indonesia.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri

kesenian tradisional yaitu :

a. Kesenian tradisional lahir bukan dari konsep seseorang.

b. Tidak dapat dipastikan siapa penciptanya.

c. Hadir ditengah-tengah masyarakat karena inprovisasi dan

spontanitas pelakunya.

d. Perbuatan ini dilakukan berulang-ulang.

e. Kesenian tradisional memiliki sifat-sifat : Asli, murni,

kumunial, dan kedaerahan.

3. Tradisi

Tradisi berasal dari bahasa Yunani, yaitu tradiun yang artinya

mewariskan. Rendra memberikan batasan tentang pengertian bahwa

tradisi adalah kebiasaan yang turun-temurun dalam sebuah masyarakat.

12

Ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat: sifatnya luas

sekali, meliputi segala kompleks kehidupan sehingga sukar

disisihkan dalam perincian yang tetap dan pasti (Rendra, 1084: 3).

Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan

pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, kesenian, tarian dari generasi ke

generasi, dari leluhur ke anak cucu secara lisan. (Sal Murgianto, 2004 :

15).

4. Musik

Musik merupakan nada atau suara yang disusun sedemikian rupa

sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang

menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi), atau ilmu

seni menyusun nada suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan

temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai

kesatuan dan kesinambungan (KBBI, 2002 : 766). Musik juga bisa

dikatakan sebagai suatu jenis kesenian yang mempergunakan suara

sebagai media ekspresinya baik suara manusia atau alat-alat (Yaya

Surakarya, 1982: 2).

Tradisional berasal dari bahasa Yunani, yaitu tradiun yang

mengandung pengertian sesuatu atau barang-barang yang diwariskan atau

dilimpahkan secara turun temurun. (Arief Hidayat, 1984: 10). Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa, tradisional ialah

sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalau berpegang teguh

pada norma-norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun

13

(M. Ali, 1989: 74). Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa musik

tradisi merupakan nada atau suara yang dihasilkan suatu instrumen musik

yang khas pada suatu masyarakat yang dikembangkan secara turun

temurun oleh masyarakat itu sendiri (M.A Arifin, 1997: 17).

Jika musik dan tradisi dikaitkan, maka M.A Arifin berpendapat bahwa:

Musik Tradisional adalah cermin watak jiwa dari semua suku bangsa

dari etnis daerah yang lahir dan tumbuh berkembang mengikuti lajunnya

zaman yang sifatnya turun temurun (1997: 21). Musik tradisional

merupakan salah satu cabang dari seni budaya yang dijadikan sebagai

sarana komunikasi untuk menyampaikan maksud dari dalam kalbu melalui

keindahan suara dalam bernyanyi (Arifin, 1991: 1). Sedangkan Aristoteles

berpendapat bahwa musik adalah curahan kekuatan tenaga batin dan

kekuatan tenaga penggambaran yang berasal dari gerak ras dalam suatu

rentetan suara (melodi ) yang berirama.

Sangatlah jelas bahwa musik tidak dapat dipisahkan dengan curahan

hati sebagai kekuatan yang diungkapkan melalui gerak, suara atau melodi

dengan nada dan birama yang teratur. Oleh sebab itu, yang bisa memberi

nilai indahnya suatu bunyi atau melodi melalui rasa estetika adalah

komponen panca indera seperti pendengaran dan pengelihatan.

Sesuai dengan pemaparan dan pandangan tersebut diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa pengertian musik adalah semua unsur-unsur yang

terkandung didalamnya dan saling mendukung satu dengan yang lainnya

14

dan membentuk satu kesatuan yang utuh sehingga mempunyai nilai

estetika (keindahan).

Ada dua unsur yang dapat dipetik dari kegiatan pa’dekko, unsur

pertama yaitu dari segi gerak saat melakukan kegiatan akdengka ase lolo,

dapat digolongkan dalam suatu unsur tari. Kemudian yang kedua yaitu

bunyi yang timbul saat alu ditumbukkan ke lesung silih berganti saat

proses menumbuk padi, menghasilkan suatu ensambel bunyi dalam bentuk

ritmis sehingga dapat dikatan suatu unsur musik.

Musik pada hakikatnya adalah bagian dari seni yang menggunakan

bunyi sebagai media penciptaannya. Walaupun dari waktu ke waktu

beraneka ragam bunyi, seperti klakson maupun mesin sepeda motor dan

mobil, handphone, radio, televisi, tape recorder, dan sebagainya senantiasa

mengerumuni kita, tidak semuanya dapat dianggap sebagai musik karena

sebuah karya musik harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat

tersebut merupakan suatu system yang ditopang oleh berbagai komponen

seperti melodi, harmoni, ritme, timbre (warna suara), tempo, dinamika,

danbentuk.(Blogspot.com)(http://ochanbhancine.wordpress.com/2009/12/0

5/ pengertian-musik)

Musik adalah kesenian yang bersumber dari bunyi. Musik dibangun

atas empat unsur yaitu: nada atau bunyi yang teratur, amplitude atau kuat-

lemahnya bunyi yang dalam bahasa musiknya disebut dinamik, unsure

waktu yang terdiri atas panjang pendeknya bunyi, serta timbre atau warna

suara.

15

Musik adalah seni yang paling abstrak sekaligus juga merupakan

realitas fisika bunyi yang memiliki banyak keunggulan untuk membantu

pendidikan watak halus seseorang. Ia telah banyak dikaji oleh para

pemikir, kaum agama, pendidik, dan teoretikus seni, selain sebagai seni ia

banyak digunakan untuk berbagai keperluan mulai dari tradisi, adat,

hiburan, maupun pendidikan. (Blogspot.com)

(http://yunacahnjati.blogspot.com/ 2008/12/ pengertian-musik.html)

Ritme atau irama adalah susunan di antara durasi nada-nada yang pendek dan panjang, nada-nada yang bertekanan dan yang tak bertekanan, menurut pola tertentu yang berulang-ulang. Dapat juga dikatakan bahwa ritme ialah melodi yang monoton. Dalam berbagai situasi ritme ialah bagaikan denyut jantung bagi suatu karya musik sehingga tanpanya sebuah karya musik tidak bisa hidup atau bernafas (Moh. Mutaqin. 2008 :101)

Ritme adalah pengaturan bunyi dalam waktu. Birama merupakan

pembagian kelompok ketukan dalam waktu. Tanda birama menunjukkan

jumlah ketukan dalam birama dan not mana yang dihitung dan dianggap

sebagai satu ketukan. Nada-nada tertentu dapat diaksentuasi dengan

pemberian tekanan (dan pembedaan durasi) (id.wikipedia.org/wiki/

teori_musik)

Ritme sangat berkaitan erat dengan beat, metrum dan tempo. Dalam

musik, beat merupakan lamanya suatu nada dinyanyikan atau dibunyikan.

Lamanya nada dinyanyikan atau dibunyikan ini dihitung dengan satuan

ketuk. Dengan satuan ketuk, nada dapat diketahui berapa lama

dinyanyikan atau dibunyikan. (id.wikipedia.org/wiki/ teori_musik)

16

Irama adalah alunan-alunan dalam lagu yang dimainkan secara

teratur sehingga membentuk suatu pola tertentu. Pola irama

dikelompokkan berdasarkan ketukannya menjadi beberapa unit hitungan.

Pengelompokkan beberapa unit hitungan ini sering disebut birama atau

metrum.Tempo adalah kecepatan lagu, yaitu banyaknya ketukan (beat)

dalam satu menitnya. Ukuran kecepatan lagu adalah dengan Metronom

Maelzel (M.M.) (id.wikipedia.org/ wiki/teori_musik)

5. Teori Fungsi

Pengertian fungsi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah :

fungsi ialah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan : jika ketua tidak ada,

wakil ketua yang melakukan. (KBBI, 2007 : 231).

Fungsi musik secara umum adalah sebagai media rekreatif atau

hiburan bagi masyarakat. Selain itu, musik juga berfungsi sebagai sarana

upacara adat, pengiring tari dan pertunjukan lain, media bermain, juga

media komunikasi atau penerangan. (Setyobudi dkk, 2007: 150).

Fungsi sosial musik hadir sebagai ungkapan nilai-nilai dan apa yang

dianggap penting oleh suatu masyarakat. (Tedi Sutardi, 2007: 8). Fungsi

musik dalam media pertunjukan sama halanya dengan suatu proses

kegiatan mengirim dan menerima pesan, sebagaimana Sin Nakagawa

dalam buku Musik dan Kosmos mengemukakan bahwa pertunjukan musik

selalu tergantung pada konteks dan setiap pertunjukan selalu ada

improvisasi.

17

Dalam buku “anthropology of music” menjelaskan bahwa ada

sepuluh fungsi penting dalam seni musik yaitu:

(a)The Function Of Emotional Expression, (b) The Function Of Aesthetic Enjoyment, (c) The Function Of Entertainment, (d) The Function Of Communication, (e) The Function Of Symbolic Repentation, (f) The Function Of Physical Response, (g) The Function Of Enforcing Conformity To Social Norms, (h) The Function Of Validation Of Social Institutions And Religious Rituals, (i) The Function Of Contribution To The Continuity And Stability Of Culture, (j) The Function Of Contribution To The Integration Of Society (Alam P Merriam, 1964: 219-226). (Kutipan langsung skripsi La Ode Abdul Ghaniyu Siadi Fungsi Latatou Pada Masyarakat Etnik Cia-Cia di Kelurahan Gonda Baru Kecamatan Sorawolio Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara).

a. Fungsi musik sebagai pengungkapan emosional. Bahwa musik

dapat berfungsi sebagai satu mekanisme dari pengungkapan

emosi dari suatu kelompok dari suatu kelompok besar

masyarakat yang beraktifitas bersama-sama.

b. Fungsi kenikmatan estetis, meliputi si pencipta dan penikmat,

dan ini dapat di pertimbangkan sebagai satu fungsi utama musik

yakni musik dapat mencerminkan budaya selain budaya kita

sendiri.

c. Sebagai fungsi media hiburan, musik dapat memberikan hiburan

kepada seluruh masyarakat. Musik memiliki fungsi hiburan

mengacu kepada pengertian bahwa sebuah musik pasti

mengandung unsur-unsur yang bersifat menghibur.

d. Fungsi sebagai media komunikasi, musik bukan bahasa dunia,

tetapi menjadi unsur budaya di manapun ia berada. Dalam

naskah lagu yang di gunakan, secara langsung

18

mengkomunikasikan informasi kepada merekayang mengerti

bahasa yang di gunakan dalam lagu.

e. Fungsi musik sebagai media simbolis atau gambaran symbol.

Terdapat sedikit keragaman bahwa musik berfungsi pada

seluruh kelompok masyarakat sebagai gambaran symbol selain

dari ide dan perilaku.

f. Fungsi musik sebagai respon fisik. Misalnya musik khas pada

suatu kelompok masyarakat, musik ini berfungsi untuk

menenangkan masyarakat.Selain itu musik juga bisa

mendatangkan kegembiraan, perilaku brutal, membangkitkan

semangat para pejuang yang menjadi kebutuhan sangat penting

saat itu.

g. Fungsi musik sebagai penjaga keserasian norma-norma sosial.

Lagu yang bersifat kontrol sosial memegang peranan penting

dalam substansi budaya, secara langsung dapat mengingatkan

anggota kelompok masyarakat dan secara tidak langsung dapat

mendukung penegakan aturan tentang prilaku yang pantas.

h. Fungsi musik sebagai pengesahan institusi sosial dan ritual

keagamaan. System keagamaan di sahkan oleh cerita rakyat,

mitos dan legenda yang di tuangkan dalam syair-syair lagu.

Musik juga dapat mengekspresikan aturan keagamaan, institusi

sosial yang disahkan dalam lagu yang menekankan dalam hal

yang pantas dan tidak pantas dalam masyarakat, selanjutnya

19

menjelaskan pada masyarakat apa yang harus di lakukan dan

bagaimana melakukannya.

i. Fungsi musik untuk menjaga kelestarian dan stabilitas budaya.

Dalam hal ini musik berisi tentang ajaran-ajaran untuk

meneruskan sebuah sistem dalam kebudayaan terhadap generasi

selanjutnya.

j. Fungsi musik sebagai kontribusi pada integrasi dalam kelompok

masyarakat. Musik memiliki fungsi dalam pengintegrasian

masyarakat. Suatu musik jika dimainkan secara bersama-sama

maka tanpa disadari musik tersebut menimbulkan rasa

kebersamaan diantara pemain atau penikmat musik itu.

6. Musik Tradisional

Musik tradisional adalah musik yang hidup dimasyarakat secara

turun-temurun, dipertahankan sebagai sarana hiburan. Tiga komponen

yang saling mempengaruhi di antaranya Seniman, musik itu sendiri dan

masyarakan penikmatnya. Sedangkan maksudnya untuk mempersatukan

persepsi antara pemikiran seniman dan masyarakat tentang usaha

bersama dalam mengembangkan dan melestarikan seni musik tradisional

manjadikan musik tradisional sebagai pembendaharaan seni di

masyarakat sehingga musik tradisional lebih menyentuh pada sector

komersial umum. (Di kutip dari Wikipedia, ensiklopedia

bebas,http//Wikipedia.org/Wiki/Musik Tradisional).

20

Musik tradisi adalah musik yang tertentu selama beberapa generasi

dan selalu berhubungan dengan masyarakat pendukungnya. Oleh karena

diturunkan dari generasi ke generasi mengakibatkan musik tradisional

menjadi tradisi, yaitu menjadi adat dengan mengikat diri pada tradisi

lama masyarakat yang menjadi tradisialisme, yaitu memuja pandangan

dan praktek lama serta menjaga supaya tetap lestari dan berkembang.

(Sampurno, 1976 : 40).

Ciri-ciri dari musik tradisional antara lain Karya seni tersebut

berkembang dalam suatu masyarakat, Menggambarkan kepribadian

komunal, karya tersebut menyuarakan semangat dan spirit kebersamaan

masyarakat yang bersangkutan, karya tersebut senantiasa bersangkutan

dengan kehidupan sehari-hari anggota, bersifat fungsional, dan proses

pewarisannya tidak mengenal cara-cara tertulis. (Mustopo, 1983 : 67).

7. Masyarakat

Masyarakat adalah setiap kelompok manusia, yang hidup dan

bekerja sama dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga meraka

dapat mengorganisir diri sendiri dan sadar, bahwa mereka merupakan

suatu kesatuan sosial dengan batas batas yang jelas. (Prof Dr. Ralph

Linton,1984:118)

8. Etnik

Pengertian Etnik dalam Kamus Umum Indonesia adalah berkaitan

dengan bangsa,suku, atau kelompok sosial yang dibedakan oleh

keturunan, adat, agama, budaya dan bahasa. (KUBI, 1994: 412).

21

Jika dilihat dari karakter biologisnya, umat manusia wajib

dikelompokkan dalam berbagai ras. Selanjutnya bila ras tersebut

dikaitkan dengan kebudayaan, maka terbentuklah etnik. Dengan

demikian suatu ras yang sama dapat menimbulkan berbagai macam etnik.

Mengutip Naroll, federich barth yang merumuskan etnik sebagai berikut :

“Etnik adalah suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan sendiri cirri kelompoknya, yang diterima kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain”. (Barth, 1988: 1)

9. Pertunjukan

Pengertian pertunjukan dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah

sesuatu yang dipertunjukan atau mempertontonkan atau

mendemonstrasikan keahlian atau kepandaian di depan orang.

(Depdikbud, Balai pustaka, 1994: 1086). Seni pertunjukan (performance

art) sebagai salah satu cabang seni yang selalu hadir dalam kehidupan

manusia, ternyata memiliki perkembangan yang cukup kolmpleks,

mengingat seni pertunjukan dapat dikatakan pula sebagai seni yang

hilang dalam waktu, yaitu hanya dinikmati apabila seni tersebut sedang

dipertunjukan. Kata ‘pertunjukan secara eksplisit lebih mendorong

kepada manusia untuk menikmatinya cenderung dengan kasatmata (Amir

dkk, 2007: 81).

22

Bentuk penyajian merupakan kesatuan dari beberapa unsur yang

menunjang dalam pertunjukan. Ragam ini dapat berupa garapan atau ide-

ide. Ide atau garapan merupakan suatu kreatifitas yang lahir dari pelaku

seni. Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu kondisi yang

tumbuh dalam lingkungan-lingkungan etnik yang satu sama lainnya

memilki ciri khas masing-masing. Dalam lingkungan-lingkungan etnik

tersebut, adat atau norma/nilai dari hasil kesepakatan bersama yang

terjadi secara turun temurun mengenai sikap dan perilaku memiliki

pengaruh yang sangat dominan untuk menentukan mati hidupnya

kesenian. Dengan demikian proses yang terjadi di adat yang seperti ini

dapat dikatakan sebagai landasan eksistensi yang paling urgen bagi

pementasan-pementasan seni pertunjukan. (Hardianan, 1995:46).

10. Ritual dan Kepercayaan

Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama

untuk tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau

bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-

kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak

dapat dilaksanakan secara sembarangan. Sedangkan Kepercayaan atau

religi adalah kegiatan keagamaan manusia dalam konteks budaya.

Artinya, perilaku keagamaan dilihat sebagai bagian dari kebudayaan, dan

terpisah dari pengertian agama menurut devinisi agama-agama seperti

Islam, Kristen, atau Agama wahyu lainnya. (Wikipedia bahasa Indonesia,

ensiklopedia bebas). (http://id.wikipedia.org/wiki/Ritual)

23

Bidang kepercayaan, baik yang profetis maupun non profetis,

melibatkan ikatan emosi yang kokoh para pengikutnya. Terlebih lagi

kalau kepercayaan tersebut dilihat sebagai bagian kebudayaan secara

umum. Pengaruh keagamaan terhadap umatnya merupakan respon dari

system kayakinan yang didominasi citra ideal dan pada gilirannya

membentuk karakter dan pola sosialisasi (Hubungan terhadap sesama

manusia, khususnya antara sesama pemeluk serta terhadap hal-hal

supranatural yang berkaitan dengan hal yang diyakini). (Yusuf Akib

2003 : 9-10).

Teori asal mula religi adalah membebaskan diri dari sikap dan

perasaan “curiga” terhadap selain religi yang dianut. Hal ini ditegaskan J.

Van Ball dalam dalam buku sejarah dan pertumbuhan Antropologi

Budaya (hingga decade 1970) I, bahwa : …sebab pada hakikatnya sangat

banyak metafisik adalah religi dan hampir selalu ia datang dengan

gagasan dan ide-ide yang tidak dapat di buktikan melalui pengamatan

dan oleh sebab itu terbebas dari pembuktian dan sanggahan (J. Van Ball

1987 : 34). (http://id.wikipedia.org/wiki/Ritual).

11. A’dengka Ase Lolo

A’dengka Ase Lolo adalah ritual perayaan pesta panen yang sudah

menjadi rutinitas warga batubassi setiap tahun. Ritual budaya ini

berlangsung menjelang panen raya dan dilakukan di rumah Pinati.

Persiapan kegiatan ini dimulai dari penataan lokasi pesta, tetapi umumnya

pesta ditempatkan pada halaman rumah Pinati, sedangkan alat yang

24

disediakan warga berupa Lesung atau Assung dan penumbuk padi atau Alu

serta dapur penggorengan padi yang akan ditumbuk.

(http://batubassi.blogspot.com/2012/02/adengka-ase-lolo.html)

12. Panen Padi

Panen padi adalah pemungutan atau pemetikan hasil sawah atau

ladang. Memetik hasil tanaman dari sawah atau ladang (Anto M.

Moeliono, 1988:643).

13. Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu

buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)

diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata

latin Colore, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga

sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang

diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia

(http://seabass86.wordpress.com/2009/05/07pengetian-budaya-dan-asal-

usul-kebudayaan-serta-macam-macam-kebudayaan/).

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan memiliki bersama

oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Budaya terbentuk dari banyak unsure yang rumit, termasuk system

agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,

dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian

25

yang takterpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung

menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha

berkounikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan

menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu

dipelajari. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya).

Adat sebagai budaya menggariskan ketentuan bagi segenap sikap dan

tingkah laku yang diketahui, dimiliki, dan dipertahankan sebagai milik

bersama. Mereka yang mematuhinya akan mendapat penghargaan

sebaliknya bagi mereka yang melanggarnya akan memperoleh hukuman.

(Sugira. 2008 : 67).

14. Upacara

Upacara Tradisional merupakan bahagian yang integral dari

kebudayaan masyarakat pendukungnya yang berfungsi sebagai pengokoh

norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku dalam

masyarakat secara turun temurun. Upacara Tradisional sebagai pranata

social penuh dengan simbol-simbol yang berperan sebagai alat

komunikasi antara sesame manusia dan menjadi penghubung antar dunia

nyata dan dunia gaib. (Drs. Nonci S.Pd 2003 4:5)

Upacara adat dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah

rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait pada aturan-aturan

tertentu menurut adat atau agama (Yudistira. 2005:892)

26

15. Alat Musik yang di Gunakan

a. Lesung

Lesung adalah alat tradisional dalam pengolahan padi atau gabah

menjadi beras. Fungsi alat ini memisahkan kulit gabah (sekam, Jawa

merang) dari beras secara mekanik. Lesung terbuat dari kayu berbentuk

seperti perahu berukuran kecil dengan panjang sekitar 2 meter, lebar 0,5

meter dan kedalaman sekitar 40 cm. Lesung sendiri sebenarnya hanya

wadah cekung, biasanya dari kayu besar yang dibuang bagian dalamnya.

Gabah yang akan diolah ditaruh di dalam lubang tersebut. Padi atau

gabah lalu ditumbuk dengan alu, tongkat tebal dari kayu, berulang-ulang

sampai beras terpisah dari sekam. (Wikipedia bahasa Indonesia,

ensiklopedia bebas)

b. Alu

Alu adalah berupa kayu silinder yang berbentuk tongkat panjang,

berdiameter kurang lebih 7 Cm, ukurannya setinggi orang dewasa,

panjangnya sekitar 1,5 meter. Alu digunakan oleh para pemain pa’dekko

untuk memukul padi yang diletakkan di kedalam lesung

27

B. Kerangka pikir

Skema 1. kerangka pikir

Bentuk Penyajian Pertunjukan A’dengka Ase Lolo

Fungsi Pertunjukan A’dengka Ase Lolo

Pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi masyarakat Makassar di

desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa

Kesimpulan

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Desain Denelitian

Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah variabel

tentang fungsi serta bentuk penyajian trasdisi ritual a’dengka ase lolo.

Desain penelitian ini dimaksudkan agar mempermudah dalam

melaksanakan penelitian dan juga agar dalam pelaksanaannya penelitian

dapat lebih terarah, terkontrol dan penelitian yang dikemukakan dapat

mencapai hasil atau sasaran yang diteliti. Agar lebih jelasnya dapat

dilihat pada desain penelitian berikut:

Skema 2. Desain penelitian

28

Pengelolaan data

Bentuk penyajian Pertunjukan A’dengka

Ase Lolo Hasil

skripsi

Fungsi pertunjukan A’dengka Ase Lolo

Pengumpulan data

29

B. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variable adalah penjelasan tentang apa yang

dimaksudkan dalam setiap poin dalam rumusan masalah. Untuk mencegah

efek bias dalam penelitian ini maka fokus yang akan diteliti diupayakan

untuk dioprasionalkan sehingga tidak terdapat pengertian ganda dan

tumpang tindih antara fokus yang satu dengan yang lain. Ada pun definisi

yang dimaksudkan adalah :

1. Bentuk penyajian pertunjukan A’dengka Ase Lolo meliputi: orang-orang

yang terlibat serta alat-alat yang digunakan.

2. Fungsi pertunjukan A’dengka Ase Lolo yang meliputi fungsi dari

keberadaan dan perkembangan dalam tradisi ritual masyarakat Gowa.

C. Sasaran dan Responden

1. Sasaran

Sasaran dalam penelitian ini ialah masyarakat yang bermukim di

Desa Pallantikang khususnya yang menampilkan pertunjukan A’dengka

Ase Lolo di Desa pallantikang Kabupaten Gowa.

2. Responden

Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah

Pemain atau kelompok yang terlibat dalam kegiatan pertunjukan

A’dengka Ase Lolo di desa pallantikang Kabupaten Gowa.

30

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data diperlukan teknik pengumpulan data

sebagai berikut :

1. Observasi

Menurut Suharsini Arikunto (2010: 200), mengobservasi dapat

dilakukan melalui penglihatan, penciuman, perabaan, dan pengecapan.

Pengamatan langsung di dalam artian penelitian observasi dapat

dilakukan tes, kusioner, rekaman suara. Mengetes adalah mengadakan

pengamatan terhadap aspek kejiwaan yang diukur. Kuesioner di berikan

kepada respon untuk mengamati aspek-aspek yang ingin diselidiki.

Rekaman gambar dan rekaman suara sebenarnya hanyalah menyimpan

kejadian untuk penundaan observasi.

Kegiatan observasi meliputi melakukan pencatatan secara

sitematik kejadian-kejadian, perilaku, objek-objek yang dilihat dan hal-

hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian. Pada tahap awal

obsservasi peneliti telah mengumpulkan beberapa data atau informasi.

Tahap selanjutnya peneliti melakukan observasi yang terfokus, yaitu

mulai menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga

peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus

menerus terjadi. Sehingga dalam penelitian ini , penulis menggunakan

teknik observasi terhadap bentuk penyajian dan fungsi pertunjukan

A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi masyarakat Makassar di

Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa.

31

Disamping itu juga observasi dilakukan untuk mendapatkan data

tambahan sekiranya terdapat hal yang kurang jelas pada teknik

pengumpulan data sebelumnya.

2. Wawancara

Menurut Lexy, wawancara terbagi atas tiga yaitu wawancara

informal, pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara dan

wawancara baku terbuka. Pendekatan menggunakan petunjuk umum

wawancara yang mengharuskan untuk membuat kerangka dan garis

besar pokok rumusan dan tidak perlu ditanyakan secara berurutan.

Penggunaaan dan pemilihan kata untuk wawancara dalam hal tertentu

tidak perlu dilakukan sebelumnya. Pelaksanaan wawancara dan

pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam

konteks wawancara yang sebenarnya (Moleong, 2009: 186-187)

Wawancara dilakukan sebagai sebuah kegiatan mengumpulkan

data yang dilakukan kapada beberapa Narasumber yang memiliki

kapastias dalam objek yang bersangkutan. Metode ini dilakukan dengan

tanya jawab serta langsung dengan responden yang telah ditentukan.

Wawancara ini bersifat bebas dan santai, dengan maksud memberikan

para informan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk keterangan

mengenai pertunjukan A’dengka Ase Lolo dalam ritual panen padi

masyarakat Makassar tersebut serta dapat memberikan keterangan

umum karena seringkali para informan memberikan keterangan yang

32

tidak diduga yang tidak dapat diketahui sehingga penulis mengadakan

wawacanra langsung.

3. Dokumentasi

Dokumentasi, berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-

barang tertulis. Di dalam melakukan metode dokumentasi, peneliti

menyelidki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,

peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya

(Arikunto, 2010: 201). Penggunaan dokumentasi ini berkaitan dengan

apa yang disebut analisis isi. Cara menganalisis isi dokumen ialah

dengan memeriksa dokumen secara sistematik bentuk-bentuk

komunikasi yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk dokumen

secara objektif.

Dokumentasi sebagai salah satu upaya penulis dalam melakukan

pengumpulan data yang bertujuan untuk memberikan keterangan yang

jelas dan lebih akurat, maka dilakukan dengan cara pengambilan

gambar, rekaman audio atau video tentang peliputan pertunjukan.

4. Studi Pustaka

Studi Pustaka yaitu pengumpulan data dengan membaca

berbagai literatur tentang kondisi masyarakat baik secara geografis dan

sosial budaya. Data didapatkan melalui kalangan birokrasi/pemerintah

dan dokumen ataupun website dari instansi yang terkait. Hal ini

dimaksud untuk pengetahuan tambahan dan dasar teori yang

berhubungan dengan obyek yang diteliti.

33

Sumber bacaan yang dilakukan dapat berasal dari penelitian luar

maupun peneliti dari Indonesia sendiri. Selain bacaan yang dapat

berupa majalah, koran, buletin, buku, jurnal, skripsi, tesis, berita dan

lain-lain, penulis juga menggunakan artikel-artikel yang penulis dapat

dari beberapa situs internet dan buku-buku yang dianggap cukup

relevan dengan topik permasalahan dalam penelitian ini, terutama yang

menyangkut A’dengka Ase Lolo.

E. Teknik Analisis Data

Data primer yang terkumpul melalui teknik pengumpulan data

dianalisis sesuai permasalahan yang diajukan, dengan demikian data-

data yang ada berdasarkan variabel ditafsirkan berdasarkan metode

deskriptif yaitu penggambaran data sesuai fakta yang terjadi di lapangan.

Berdasarkan hasil pengamatan dan penafsiran data tersebut hasilnya

disebut data kualitatif. Demikian teknik analisis data yang digunakan

disebut analisis kualitatif atau analisis non statistik.

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Tentang Desa Pallantikang Kecamatan

Pattallassang Kabupaten Gowa

Masyarakat Sulawesi Selatan terdiri atas empat suku bangsa, yaitu

suku Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja. Setiap suku bangsa tersebut

secara geografis menempati wilayah tertentu dalam keadaan terpisah,

masing-masing membentuk kelompok social serta mengembangkan

kebudayaannya.

Dalam hal ini sasaran penelitian adalah kesenian yang ada di

kabupaten Gowa yang menempati daerah wilayah tertentu, yakni

kecamatan Pattallassang.

Daerah kabupaten Gowa terletak di sebelah selatan kota Makassar.

Ibu kota kabupaten Gowa adalah Sungguminasa terletak kurang lebih 11

kilometer disebelah selatan pusat kota Makassar. Mempunyai 18

kecamatan 167 Desa dan Kelurahan, Jumlah penduduk sebanyak ±

652.329 jiwa dan luas daerah ini adalah 1.883,32 Km2 dengan batas

wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara dengan kota Makassar, Kabupaten Maros

b. Sebelah Timur dengan Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba,

Kabupaten Bantaeng.

34

35

c. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Takalar, dan Kabupaten

Jeneponto.

d. Sebelah Barat dengan Kota Makassar.

Penduduk asli Kabupaten Gowa adalah orang-orang suku Makassar

yang beragama Islam. Selain penduduk asli terdapat juga suku Bugis,

Toraja, Mandar dan penduduk orang asing (cina). Penduduknya selain

beragama Islam terdapat pula yang beragama Kristen, Katolik atau

Protestan, Hindu dan Budha.

Sasaran penelitian ini adalah tradisi ritual A’dengka Ase Lolo di Desa

Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa maka data

tentang Desa Pallantikang perlu dituliskan dalam skripsi ini yaitu :

Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor desa setempat, Desa

Pallantikang mempunyai jumlah penduduk 3.035 jiwa, laki-laki 1.205 jiwa

dan perempian 1.830 jiwa, mempunyai luas kurang lebih 1.204,00 Ha atau

12.04 KM2, berjarak 2 km dari ibukota kecamatan Pattalasang, dan 15 km

dari ibukota Kabupaten Gowa, serta 25 km dari Kota Makassar. Terdiri

dari 5 dusun, yaitu: 1) Birring Bonto, 2) Teamate, 3) Borongloe, 4)

Tamalayu dan 5) Bilaya. Batas-batas desa Pallantikang adalah: a) sebelah

Utara berbatasan Desa Panaikang, b) sebelah Selatan berbatasan dengan

Desa Timbuseng, c) sebelah Timur berbatasan dengan desa Pattalasang,

dan d) sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Parangloe. (Sumber

Kantor Desa Pallantikang).

36

a. Asal mula adanya tradisi ritual A’dengka Ase Lolo

Sejarah tradisi ritual A’dengka Ase Lolo di Desa Pallantikang

Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa tidak diketahui secara tertulis,

tapi hanya diketahui melalui cerita-cerita para leluhur yang bersifat mitos.

A’dengka Ase Lolo dipercaya muncul pada masa manusia menganut

kepercayaan animisme atau percaya pada dewata. A’dengka Ase Lolo

termasuk permainan rakyat yang berfungsi sebagai upacara syukuran jika

panen telah selesai. Konon kabarnya asal mula munculnya tradisi ritual

A’dengka Ase Lolo pada suatu waktu panen masyarakat Desa Pallantikang

mengalami kerusakan, maka pada tahun berikutnya pada saat petani mulai

menanam padinya, mereka bernasar bahwa bila panen yang akan datang

berhasil, maka akan diadakan acara A’dengka Ase Lolo.

Pada dasarnya permainan ini berdasarkan dari bunyi tumbukan alu

ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk padi. Dalam fase-fase

berikutnya permainan ini lebih dikembangkan lagi, alunan irama lebih

teratur disertai dengan variasi bunyi dan gerakan bahkan diiringi dengan

tarian yang dalam istilah daerah Makassar disebut asse’re atau melakukan

gerakan tari sambil menumbuk lesung.

37

2. Bentuk Penyajian Tradisi Ritual A’dengka Ase lolo di Desa

Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa

Tradisi ritual A’dengka Ase Lolo dilaksanakan dengan beberapa

syarat-syarat yang mesti dilakukan, awalnya sebelum petani mau

mengambil padi muda tersebut harus membakar Dupa atau Kemenyan,

dan cara mengambil padinya pun berbeda, jika pada umumnya padi di

ambil dengan cara di potong batangnya di ritual ini padinya di keruk dari

tongkolnya setelah itu padinya di rendam semalaman setelah itu padi

tersebut di sangrai.

Gambar 1

Saat padi muda sedang di sangrai

(dok. Penulis)

Setelah di sangrai, padi akan ditumbuk didalam lesung, tetapi

sebelum ditumbuk terlebih dahulu dibacakan mantra (do’a) memohon

38

keselamatan dan kesuksesan dalam pelaksanaan tradisi ritual A’dengka

Ase Lolo.

Gambar 2

Pinati menuangkan padi muda (Ase Lolo) kedalam lesung sebelum

ditumbuk

(dok Penulis)

Sebelum para penumbuk padi muda (Ase Lolo) memulai ritual

A’dengka Ase Lolo, para penumbuk akan dibacakan mantra (do’a) terlebih

39

dahulu oleh Pinati (pemimpin upacara) sebelum melakukan ritual

A’dengka Ase Lolo.

Gambar 3

Prosesi pembacaan mantra (do’a) oleh Pinati bersama para penumbuk

padi muda (Ase Lolo)

(dok. Penulis)

Setelah dibacakan mantra (do’a) oleh Pinati barulah para

penumbuk padi muda (Ase Lolo) melangkah menuju lesung untuk

melakukan ritual A’dengka Ase Lolo. Ada pun alat yang biasa di gunakan

dalam tradisi ritual a’dengka ase lolo adalah Alu dan Lesung. Alu berupa

kayu silinder yang berbentuk tongkat panjang, berdiameter kurang lebih 7

Cm, ukurannya setinggi orang dewasa, panjangnya sekitar 1,5 meter. Alu

digunakan oleh para pemain pa’dekko untuk memukul padi yang

diletakkan di kedalam lesung, sedangkan Lesung adalah alat tradisional

dalam pengolahan padi atau gabah menjadi beras yang terbuat dari kayu

40

nangka. Fungsi alat ini memisahkan kulit gabah dari beras secara mekanik.

Lesung terbuat dari kayu berbentuk seperti perahu berukuran kecil dengan

panjang sekitar 2 meter, lebar 0,5 meter dan kedalaman sekitar 40 cm.

Lesung sendiri sebenarnya hanya wadah cekung, biasanya dari kayu besar

yang dibuang bagian dalamnya. Gabah yang akan diolah ditaruh di dalam

lubang tersebut. Padi atau gabah lalu ditumbuk dengan alu, tongkat tebal

dari kayu, berulang-ulang sampai beras terpisah dari sekam.

Gambar 4

Lesung dan Alu

(dok. Penulis)

Kedua alat inilah yang digunakan untuk menumbuk padi pada saat

ritual A’dengka Ase Lolo dilaksanakan, tapi sebelumnya kepala Assung

atau lesung di gantung terlebih dahulu menghadap ke barat sedangkan

ekornya tidak di gantung tapi dilapisi dengan sebatang kayu.

41

Dalam sebuah ritual dupa dan sesajen selalu ada karena sudah

menjadi salah satu hal yang wajib ada saat melakukan ritual, guna untuk

menambah kesakralan dalam sebuah ritual.

Gambar 5

Dupa dan sesajen yang disiapkan sebelum melakukan ritual

(dok. Penulis)

Dupa yang dimaksud adalah sebuah wadah yang terbuat dari tanah

liat dan diberi bara arang, sebagai wewangiannya maka diatas bara arang

tersebut diberi kemenyan, sedangkan sesajennya yaitu roko’-roko’ (kue yg

terbuat dari terigu dan tengahnya diisi dengan gula merah dan luarnya di

bungkus oleh daun pisang), Lappo Ase (padi yang telah mempunyai beras

didalamnya lalu disangrai sehingga padi tersebut mekar seperti pop corn),

Leko’ (daun sirih) dan lain-lain.

42

Ketika ritual telah berlangsung, semua warga Desa Pallantikang

berbondong-bondong menuju rumah Pinati sambil membawa beras ketan

(Ase Punu) lalu mengikuti ritual A’dengka Ase Lolo. Bukan hanya

masyarakat pallantikang saja yang hadir dalam ritual ini, tetapi banyak

juga warga dari desa-desa lain yang turut meramaikan acara ini, karena

bagi sebagian besar masyarakat desa khususnya kaum pemuda dan pemudi

menganggap acara ini sebagai tempat pencarian jodoh, karena biasanya

pada acara inilah mereka saling bertemu dan menjalin kasih hinggah ke

jenjang pernikahan. Setelah ritual selesai semua warga akan makan

bersama dengan memakan padi muda (Ase Lolo) yang telah ditumbuk

tersebut. Padi muda (Ase Lolo) yang selesai ditumbuk akan disaring

terlebih dahulu (Ri Tapi) setelah disaring barulah padi muda (Ase Lolo) di

campur dengan gula merah dan kelapa kemudian disajikan dan dimakan

bersama. Menurut keyakinan tetua kampung, bagi orang yang hadir pada

ritual tersebut dapat diberi berkah (Barakka) terhadap hasil panen

berikutnya.

Kesenian tradisional A’dengka Ase Lolo menghasilkan musik dari

tabuhan alu ke lesung yaitu :

ALkr 1:

ALkn 2:

43

PT :

V 1 :

V 2 :

Keterangan : a. AL-kr = Penabuh (Alu), Perempuan Kiri

b. AL-kn = Penabuh (Alu), Perempuan Kanan

c. PT = Pengatur Tempo

d. V1 = Variasi 1

e. V2 = Variasi 2

44

3. Apa fungsi tradisi ritual A’dengka ase lolo di Desa Pallantikang

Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa

Dalam buku “’antropology of music” menjelaskan bahwa fungsi

musik untuk menjaga kelestarian dan stabilitas budaya. Dalam hal ini

musik berisi tentang ajaran-ajaran untuk meneruskan sebuah system dalam

kebudayaan terhadap generasi selanjutnya. (Alam P Meriam, 1964: 219-

226).

Kesenian tradisional A’dengka Ase Lolo dalam kehidupan

masyarakat Desa Pallantikang dilaksanakan secara turun temurun dan

berfungsi sebagai sarana upacara pengucapan syukur atas keberhasilan

panen mereka. Ditambah lagi tradisi ini dilakukan hanya sekali dalam

setahun dan yang hadir rata-rata kaum petani jadi Pa’se’re-se’reang

(kebersamaan) dalam acara ini sangat terasa.

Fungsi tradisi ritual A’dengka Ase Lolo menurut Pinati (pemimpin

upacara) Abdul Muthalib Daeng Nambung.

“I katte anne parangta rupa tau tena naki akkulle takkalupa mange ri karaeng allataala, sukkurukki ka na sareki kabajikang mange ri katte ngaseng, iamintu na a’dengka ase lolo tawwa punna lebbakki angngalle ase ri tanayya (akkatto) ri Pallantikang ka le’ba’ a’jari kabiasangi poeng jari mara’-maraengi rikasia’ punna tena na a’dengka ase lolo tawwa, sollanna tamattappu anjo tarimakasika siagang kasukkuranga mange ri karaeng allataala attaung-taung saba punna teai sarenna tala bajikai jarinna asea ri tanayya ri pallantikang, anne acarayya riolo anjoengi ritanayya ri pare, mingka sallo-sallo kammanjo ri paletteki mange ri dallekang ballana pinatiya sollanna na tenamo na ballasa dudu tawa a’nassa-nassa.”

“Sebagai manusia kita harus senantiasa ingat kepada sang pencipta dan selalu mengucap syukur atas apa yang dianugrahkannya kepada kita, maka itulah A’dengka Ase Lolo dilaksanakan setiap selesai panen di Desa

45

Pallantikang karena sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat setempat, guna untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada sang pencipta yang telah memberikan hasil panen yang melimpah disetiap tahunnya di Desa Pallantikang, ritual ini dulunya di laksanakan di persawahan tapi seiring berjalannya waktu tradisi ini dilaksanakan dihalaman rumah Pinati (pemimpin upacara) untuk mempermudah masyarakat untuk berkumpul dan saling bercengkrama”. (wawancara penulis pada tanggal 21 maret 2013).

Tradisi A’dengka Ase Lolo ini juga diistilakan sebagai Paddekko

oleh masyarakat desa pallantikang dan kian berkembang dan mempunyai

beberapa fungsi :

a. Paddekko Upacara

b. Paddekko Ase Lolo

d. Paddekko Singara’ Bulang

e. Paddekko Pa’se’re-se’reang

Paddekko Pa’se’re-se’reang dilaksanakan pada saat mereka

berkumpul untuk mengadakan hajatan, seperti ada perkawinan dan

khitanan. Paddekko semacam ini boleh saja diadakan setiap hari, dan

semakin meriah ketika dilaksanakan dimalam hari.

46

B. Pembahasan

1. Bentuk Penyajian Tradisi Ritual A’dengka Ase Lolo di Desa

Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupateng Gowa

Tradisi ritual a’dengka ase lolo ini merupakan suatu ritual yang

sudah turun temurun di laksanakan sebagai warisan leluhur yang di

peringati setiap tahun oleh masyarakat Desa Pallantikang, ritual ini

merupakan suatu bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta atas

keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat sehingga dapat menikmati

kembali hasil panen seperti yang diharapkan.

Rendra memberikan batasan tentang pengertian bahwa tradisi

adalah kebiasaan turun temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan

kesadaran sebuah masyarakat, sifatnya luas sekali, meliputi segala

kompleks kehidupan sehingga sukar disisihkan dalam perincian yang tetap

dan pasti. (Rendra, 1984 : 3).

Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran,

kebiasaan, kepercayaan, kesenian, tarian dari generasi ke generasi, dari

leluhur ke anak cucu secara lisan. (Sal Murgianto, 2004 : 15).

Sebelum tradisi ritual A’dengka Ase Lolo tersebut di lakukan, ada

beberapa syarat-syarat yang mesti dilakukan, awalnya sebelum petani mau

mengambil padi muda tersebut harus membakar Dupa atau Kemenyan,

dan cara mengambil padinya pun berbeda, jika pada umumnya padi di

ambil dengan cara di potong batangnya di ritual ini padinya di keruk dari

47

tongkolnya setelah itu padinya di rendam semalaman setelah itu padi

tersebut di sangrai. Pengambilan padi muda atau ase lolo tersebut juga

tidak boleh sembarangan orang, harus orang yang di percaya atau yang

biasa di sebut Pinati (Pemimpin Upacara).

A’dengka Ase Lolo adalah ritual perayaan pesta panen yang sudah

menjadi rutinitas warga batubassi setiap tahun. Ritual budaya ini

berlangsung menjelang panen raya dan dilakukan di rumah Pinati.

Persiapan kegiatan ini dimulai dari penataan lokasi pesta, tetapi umumnya

pesta ditempatkan pada halaman rumah Pinati, sedangkan alat yang

disediakan warga berupa Lesung atau Assung dan penumbuk padi atau Alu

serta dapur penggorengan padi yang akan ditumbuk.

(http://batubassi.blogspot.com/2012/02/adengka-ase-lolo.html)

Tradisi ritual a’dengka ase lolo bisa dilaksanakan ketika semua

padi yang ada disawah telah selesai di panen atau telah masuk ke areal

perkampungan setempat. Ritual a’dengka ase lolo biasa dilaksanakan satu

kali dalam satu tahun, jika dalam satu tahun panen mencapai tiga kali

panen, ritual a’dengka ase lolo dilaksanakan pada saat panen ke tiga tepat

pada saat pada bulan purnama karena dulunya masyarakat Desa

Pallantikang belum mengenal listrik jadi masyarakat dahulu

memanfaatkan bulan purnama sebagai bantuan penerangan, pelaksanaan

tradisi ritual a’dengka ase lolo itu sendiri biasa dilaksanakan di Saukan

atau Balai-balai atau tempat dimana masyarakat bisa berkumpul untuk

melaksanakan ritual tersebut tapi seiring berjalannya waktu tradisi ritual

48

A’dengka Ase Lolo sekarang dilaksanakan di halaman rumah Pinati

(pemimpin upacara). Dalam acara ritual a’dengka ase lolo dulunya

dirangkaikan pula beberapa acara tradisional A’pa’batte atau sabung ayam,

A’domi-domi atau bermain kartu domino, guna untuk menambah

kemeriahan dalam tradisi ini. Dalam rangkaian acara ini masyarakat yang

ikut terlibat kadang melakukan judi dalam rangkaian acara tersebut

khususnya A’ppa”batte (sabung ayam) sehingga banyak warga yang tidak

suka dengan rankaian acara ini walaupun sebenarnya rangkaian acara ini

dilakukan secara sembunyi-sembuyi. Ada pun alat yang biasa di gunakan

dalam tradisi ritual a’dengka ase lolo adalah Assung dan Alu, kedua alat

inilah yang digunakan untuk menumbuk padi pada saat ritual dilakukan,

tapi sebelumnya kepala Assung atau lesung di gantung terlebih dahulu

menghadap ke barat sedangkan ekornya tidak di gantung tapi dilapisi

dengan sebatang kayu. Sebelum menumbuk padi Pinati akan melakukan

beberapa ritual, awalnya Pinati akan membakar Dupa dan membaca

mantra di sekitar lesung sebelum menurunkan padi yang akan di tumbuk,

setelah padi di turunkan Pinati akan memulai penumbukan pertama dan

akan dilanjutkan oleh penumbuk-penumbuk lainnya, dikepala lesung yang

tergantung terdapat tiga sampai empat orang yang menumbuk yang disebut

Angngului (penentu birama, sekaligus yang Appaddekko membuat variasi

dengan menggunakan “alu”), hanya laki-laki dewasa yang dapat

Angngului di acara ini, sedangkan yang berada di tengah atau di badan

lesung ada empat orang dan masing-masing memakai baju adat, Baju Bodo

49

atau pakaian adat untuk perempuan Makassar dan Passapu atau ikat kepala

untuk laki-laki Makassar.

Setelah semuanya telah siap Pinati (Pemimpin Upacara) akan

memulai dengan menumbuk kepala lesung dengan alu beberapa tumbukan

dan dilanjutkan oleh orang yang Appaddekko/Angngului, dan dimulailah

ritual A’dengka Ase Lolo tersebut. Ritual A’dengka Ase Lolo biasanya

dimulai pada pukul 17.00 Wita sampai dengan adzan magrib di

kumandangkan di mesjid dan dilanjutkan pada saat selesai shalat isya atau

pada pukul 20.00 wita sampai selesai. Setelah semua Ase Lolo (padi muda)

selesai ditumbuk maka Ase Lolo (padi muda) akan dibersihkan terlebih

dahulu (Ri Tapi) guna untuk memisahkan kulit Ase Lolo (padi muda),

setelah bersih maka Ase Lolo (padi muda) akan dicampur dengan gula

merah dan kelapa parut kemudian Ase Lolo tersebut disajikan dan dimakan

bersama.

2. Apa fungsi tradisi ritual A’dengka Ase Lolo di Desa Pallantikang

Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa

Kesenian ada dan berkembang dalam lingkungan masyarakat

pendukungnya, seperti kesenian tradisi lainnya yang ada di Sulawesi

Selatan. Tradisi ritual A’dengka Ase Lolo berfungsi sebagai sarana upacara

pengucapan syukur atas keberhasilan panen mereka yang dulu

dilaksanakan di persawahan yang berkembang dan dipindahkan kerumah-

rumah Pinati (pemimpin upacara), selain itu juga berfungsi sebagai

50

pertunjukan rakyat yang dilaksanakan di rumah-rumah penduduk yang

mengadakan hajatan.

Fungsi lain dari ritual ini adalah :

a. Paddekko Upacara

Ritual ini diadakan pada saat menjelang panen, sebelum

dilaksanakan terlebih dahulu diadakan persembahan sesajen, memohon

rahmat dari Yang Maha Kuasa. Pada saat itu pemain berada pada posisi

masing-masing dalam keadaan siap. Setelah upacara selesai yang disertai

dengan mantra (do’a), maka ritual dimulai tanpa mengisi lesung dengan

padi, karena yang di utamakan adalah upacaranya.

b. Paddekko Ase Lolo

Nama dari ritual tersebut yaitu ritual yang sedang berlangsung,

dengan mengisi padi muda (Ase Lolo) pada lesung yang akan ditumbuk

dan pemainnya sementara mengadakan atraksi.

c. Paddekko Singarak Bulang

Ritual menumbuk padi pada saat bulan purnama atau lebih dikenal

dalam bahasa Singarak Bulang yang artinya Bulan Purnama. Paddekko

Singarak Bulang ini sangat ramai dikunjungi, selain tertarik pada bunyi

lesung dan alunya juga diundang oleh orang yang mengadakan pesta.

Paddekko semacam ini diadakan sebelum padi selesai ditunai tetapi sudah

ada yang dijemur, acara menumbuk diadakan pada malam hari. Penonton

51

turut bermain apabila melempar dialog, ataupun masuk arena sambil

menumbuk padi secara bergantian. Disinilah biasanya awal pertemuan

antara putra dan putri dan terjadilah kasih diantara mereka sampai

kejenjang perkawinan.

d. Paddekko Pa’se’re-se’reang

Paddekko ini biasanya dilaksanakan pada saat mereka sedang

berkumpul untuk mengadakan pesta seperti khitanan atau perkawinan.

Paddekko semacam ini dapat dilaksanakan setiap hari. Untuk penumbuk,

putri bisa saja wanita yang sudah berkeluarga dalam kelompok penumbuk

enam orang. Paddekko ini sangat meriah apabila dilaksanakan pada malam

hari, selain suasana terasa intim juga bunyi lesung sangat indah

kedengarannya.

Tradisi ritual A’dengka Ase Lolo adalah suatu pesta rakyat yang

didukung oleh seluruh anggota masyarakat. Puncak keberhasilan mereka

tercermin dalam pelaksanaan Paddekko, maka timbul istilah dari pemuka-

pemuka masyarakat, sebagai berikut :

“Manna niundangi cipuruka antama ripa’rasanganga tenamemantong na ero antama”

Artinya :

“Biar kelaparan itu diundang ke daerah ini, ia tidak akan masuk atau tidak akan dijumpai kelaparan di daerah ini walaupun diundang”

52

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pertunjukan Tradisi Ritual A’dengka Ase Lolo di Desa Pallantikang

Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa adalah merupakan bahagian

dari masyarakat setempat.

Melihat cara melakukan Ritual A’dengka Ase Lolo bagi masyarakat

Desa Pallantikang dapat dikatakan bahwa Pertunjukan Tradisi Ritual

A’dengka Ase Lolo dilaksanakan setiap tahun dalam menyambut

keberhasilan panen mereka yang dilakukan setiap permulaan tahun padi.

Pertunjukan Tradisi Ritual A’dengka Ase Lolo sebagai pengucapan

syukur, juga berfungsi sebagai kesenian atau pertunjukan rakyat yang

dilaksanakan di rumah-rumah perduduk yang mengadakan hajatan. Tapi

zaman dulu dilaksanakan dipersawahan, sebagai sarana upacara.

Pertunjukan Tradisi Ritual A’dengka Ase Lolo sebagai salah satu

kesenian tradisional yang dalam pertumbuhannya mengalami banyak

perubahan artistik, dan membutuhkan respon dan keikutsertaan

penontonnya sebagaimana layaknya seni permainan rakyat.

52

53

B. Saran

1. Perlunya pendokumentasian tentang tradisi ritual A’dengka Ase Lolo

yang merupakan warisan leluhur turun temurun yang perlu dijaga dan

dilestarikan.

2. Perlunya pengetahuan baik pengalaman/praktek maupun teori bagi

generasi pelanjut guna menuju sasaran dan tujuan yang diinginkan

demi pengembangan pertunjukan tradisi ritual A’dengka Ase Lolo.

3. Diperlukan adanya dukungan dari masyarakat setempat untuk sadar

akan perlunya seni budaya tradisional untuk pelestarian kebudayaan

Nasional.

4. Perlunya kesenian tradisional diajarkan di sekolah-sekolah agar dapat

dilestarikan dan dijaga keberadaannya.

54

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumber Tercetak.

Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Besar Indonesia (edisi ketiga)

Jakarta: Balai Pustaka.

Hidayat, Arif. 1984. Pengantar Apresiasi Seni, Depdikbud: Jakarta.

Hardianan. Suka, 1995. Seni Pertunjukan Indonesia, Yogyakarta: Bentang

budaya.

Linda Johar, 1997. Kesenian Tradisional Paddekko di Desa Tamarunang

Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa, Ujung Pandang, Institut Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Ujung Pandang.

Merriam P, Alan. 1964. The Antrophology Of Music. Northwestern University Press.

Monoharto, Goenawan, dkk. 2003. Seni Tradisional Sulawesi Selatan ,

Makassar: Lamacca Press.

Moelino, Anton, M. 1988. Kamus Musik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Mahartono dkk. 2005. Seni Tradisional Sulawesi Selatan , Makassar: Lamacca

Press.

M. Soeharto, 1978. Kamus Musik Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 1994. Kamus Besar Indonesia,

Jakarta : Balai Pustaka.

Rendra. 1984. Mempertimbangkan tradisi, PT Grahamedia: Jakarta.

Soedarsono, 2002. Seni Pertunjukan Indonesia. Jogjakarta, Gadja Mada

UNIVERSTY PRESS.

54

55

Solihing, 1990. Kesenian Paddekko Desa Tamarunang Kabupaten Gowa

Sulawesi Selatan. Yogyakarta, Institut Seni Indonesia.

S. Saripin dkk. 1976. Sejarah Kesenian Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramitha

Sal Murgiyanto. 2004. Tradisi dan Inovasi. Jakarta: Suku Dayarsana

Surakarya, Yayu. 1982. Musik Tradisional: Yogyakarta

Soedarsono. R.M,1992. Pengatar Apresiasi Seni, Jakarta. Depdikbud.

2. Sumber tidak tercetak.

Sunarso, 1996. Kemajemukan Etnik di Indonesia (Sebuah Resiko atau Potensi?) : Cakrawala Pendidikan

56

Lampiran I

Foto Narasumber

Narasumber 1

Nama : Abdul Muthalib Daeng Nambung

57

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Kepala Dusun Desa Pallantikang

Alamat : Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa

58

Gambar. 1

(Dok. Penulis)

Narasumber II

Nama : Daeng Nyau

Umur : -

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Pallantikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa

59

Gambar 2.

(Dok. Penulis)

Lampiran II

60

Gambar 1. Pemain Paddekko di acara tradisi ritual A’dengka Ase Lolo

(Dok. Penulis)

61

Gambar 3. Pinati (pemimpin upacara) memeriksa Lesung dan alu

(Dok. Penulis, 02 Maret 2013)

62

Gambar 4. Membersihkan lesung

(Dok. Penulis)

63

Gambar 5. Pinati (pemimpin upacara) menabur Ase Lolo (padi muda) yang telah

disangrai kedalam lesung

(Dok. Penulis)

64

Gambar 6. Pinati (pemimpin upacara) membacakan mantra sebelum memulai

ritual A’dengka Ase Lolo

(Dok. Penulis)

65

Gambar 7. Pinati (pemimpin upacara) memulai penumbukan pertama tradisi ritual

A’dengka Ase Lolo

(Dok. Penulis)

66

Gambar 8. Acara tradisi ritual A’dengka Ase Lolo telah dimulai

(Dok. Penulis)

67

Gambar 9. Paddekko

(Dok. Penulis)

68

Gambar 10. Tradisi ritual A’dengka Ase Lolo

(Dok. Penulis)

69

Gambar 11. Keceriaan para pemain Paddekko Anak-anak

(Dok. Penulis)

70

Gambar 12. Paddekko

(Dok. Penulis)

71

Gambar 13. Tradisi ritual A’dengka Ase Lolo

(Dok. Penulis)

72

Gambar 14. Masyarakat sekitar juga ikut meramaikan tacara tradisi ritual

A’dengka Ase Lolo

(Dok. Penulis)

73

Gambar 15. Pemain Paddekko Anak-anak

(Dok. Penulis)