Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENILAIAN PRAKTEK ILLEGAL, UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING PADA
PUKAT CINCIN DI KOTA KENDARI
Mohammad Rais1), Faisal Abdaud2), Parman3)
PENGARUH TEKNOLOGI FAKTOR PRODUKSI TERHADAP PENINGKATAN USAHATANI
JAGUNG
Asriani1), Siti Rahma Ma’Mun2)
PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL
BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU (VIGNA RADIATA L .) EFFECT OF ORGANIC
FERTILIZER ON GROWTH AND YIELD VARIETIES SOME GREEN BEANS (VIGNA RADIATA L.)
Hijria1), Pertiwi Syarni2)
BIOTEKNOLOGI PUPUK BOKASHI PLUS DAN SISTEM INTERCROPPING PADA TANAMAN
HORTIKULTURA
Arsy Aysyah Anas 1), Nini Mila Rahni2) dan Sitti Nur Isnian3)
PEMANTAUAN KUALITAS UDARA PADA SEKOLAH DASAR PINGGIR JALAN PERKOTAAN
MENGGUNAKAN EPIPHYTIC LICHEN
Sumarlin1), Mochammad Assiddieq2)
MEMBANGUN SUMBER DAYA MANUSIA BERKELANJUTAN PADA KOMUNITAS ADAT
TERPENCIL (STUDI KASUS SUKU ANAK DALAM DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS
JAMBI)
Rina Astarika1), Partini2), Endang Sulastri3)
KARAKTERISTIK KIMIA TULANG IKAN GABUS (CHANNA STRIATA) DARI BOBOT BADAN
BERBEDA
Rosmawati1), Abu Bakar Tawali2), Metusalach3), Amran Laga4)
POTENSI ANTIJAMUR TERHADAP ASPERGILLUS FLAVUS SENYAWA METABOLIT
SEKUNDER ORGANISME LICHEN TELOSCHISTES FLAVICANS
Maulidiyah1), Asriani Hasan2), Wa Ode Irna3), Ishmah Farah Adiba Nurdin4) Akhmad Darmawan5)
2
KETUA EDITOR
Eddy Hamka
DEWAN EDITOR
Ahmad Muhlis Nuryadi
Mohammad Rais
Sumarlin
Suharta Amijaya Husen
MITRA BESTARI
Prof. Dr. Nurdin, M.Si
Dr. Musadar Mappasomba, SP., MP
Dr. Muhammad Anas, M.Pd
LAYOUT
Jumiatin
Alwas Muis
ALAMAT REDAKSI
Kantor Pusat Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat UMK.
Jl. KH. Ahmad Dahlan No 10 Kota Kendari, Gedung Islamic Canter, Lt. 2
email:[email protected]/website: lppm.umkendari.ac.id, https:lppm.umkendari.ac.id/saintek
3
DAFTAR ISI
PENILAIAN PRAKTEK ILLEGAL, UNREPORTED AND
UNREGULATED FISHING PADA PUKAT CINCIN DI KOTA
KENDARI
Mohammad Rais1), Faisal Abdaud2), Parman3) ..................................................... 1-13
PENGARUH TEKNOLOGI FAKTOR PRODUKSI TERHADAP
PENINGKATAN USAHATANI JAGUNG
Asriani1), Siti Rahma Ma’Mun2) ........................................................................... 14-22
PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS KACANG
HIJAU (VIGNA RADIATA L .) EFFECT OF ORGANIC FERTILIZER ON
GROWTH AND YIELD VARIETIES SOME GREEN BEANS (VIGNA
RADIATA L.)
Hijria1), Pertiwi Syarni2) ....................................................................................... 23-35
BIOTEKNOLOGI PUPUK BOKASHI PLUS DAN SISTEM
INTERCROPPING PADA TANAMAN HORTIKULTURA
Arsy Aysyah Anas 1), Nini Mila Rahni2), Sitti Nur Isnian3) .................................. 36-41
PEMANTAUAN KUALITAS UDARA PADA SEKOLAH DASAR
PINGGIR JALAN PERKOTAAN MENGGUNAKAN EPIPHYTIC
LICHEN
Sumarlin1), Mochammad Assiddieq2) .................................................................. 42-51
MEMBANGUN SUMBER DAYA MANUSIA BERKELANJUTAN PADA
KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (STUDI KASUS SUKU ANAK
DALAM DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS JAMBI)
Rina Astarika1), Partini2), Endang Sulastri3) ......................................................... 52-62
KARAKTERISTIK KIMIA TULANG IKAN GABUS
(CHANNA STRIATA) DARI BOBOT BADAN BERBEDA
Rosmawati1), Abu Bakar Tawali2), Metusalach3), Amran Laga4).......................... 63-80
POTENSI ANTIJAMUR TERHADAP ASPERGILLUS FLAVUS
SENYAWA METABOLIT SEKUNDER ORGANISME LICHEN
TELOSCHISTES FLAVICANS
Maulidiyah1), Asriani Hasan2), Wa Ode Irna3), Ishmah Farah Adiba Nurdin4),
Akhmad Darmawan5) ............................................................................................ 81-92
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
1
PENILAIAN PRAKTEK ILLEGAL, UNREPORTED AND
UNREGULATED FISHING PADA PUKAT
CINCIN DI KOTA KENDARI
Mohammad Rais1), Faisal Abdaud2), Parman3)
1)Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Muhammadiyah Kendari
2)Program Studi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
3)Yayasan Bajo Bangkit
ABSTRAK
Praktek Illegal, Unreported dan Unregulated fishing (IUU Fishing) merupakan salah satu
permasalahan sektor perikanan yang berdampak ekonomi, sosial dan ekologi. Pemerintah
telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut. Hingga saat ini
data dan informasi yang terkait dengan permasalahan IUU fishing pada berbagai wilayah
pengelolaan perikanan di Indonesia masih sangat kurang, kebanyakan kajian yang ada
masih bersifat umum. Pukat cincin Salah satu alat tangkap yang banyak dijumpai di
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari. Tercatat ada sekitar 21.235 ton
sumberdaya perikanan yang didaratkan oleh berbagai jenis armada penangkapan (PPS
Kendari, 2016). Kondisi ini berpotensi menciptakan praktek – praktek IUU fishing,
sehingga diperlukan adanya kajian terkait hal tersebut. Tujuan dari penelitan ini adalah
mengetahui tingkat kepatuhan armada kapal pukat cincin di PPS Kendari terhadap praktek
IUU Fishing serta mengidentifikasi jenis pelanggarannya serta merumuskan rekomendasi
strategi penanggulannya. Penelitian dilaksanakan pada Mei sampai dengan September
2018 di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari. Metode penelitian yang digunakan yaitu
metode survey. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Instrumen
utama penelitian adalah kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan Tingkat kepatuhan
armada pukat cincin di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari terhadap praktek IUU
Fishing sangat bervariasi tergantung aspeknya. Tingkat kepatuhan pada aspek Illegal lebih
tinggi dibandingkan dengan aspek unreported dan unregulated. Jenis - jenis pelanggaran
IUU Fishing adalah Pencatatatn loogbook hasil tangkapan tidak sesuai dengan
kenyataannya, tidak melaporkan lokasi penangkapan dengan baik dan tidak meregistrasi
rumpon yang digunakan.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
2
Rekomendasi Strategi penyelesaian yang paling efektif adalah penegakan hukum dan
pemberian sanksi administrasi.
Kata kunci : IUU Fishing, PPS Kendari, Pukat cincin
1. PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan utama yang saat ini mendapat perhatian dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan di Indonesia adalah isu Ilegal, Unreported and Unregulated (IUU)
Fishing dan saat ini telah menjadi isu global. FAO (2001) telah merumuskan panduan khusus
untuk membantu mengatasi kegiatan IUU fishing yang dikenal dengan nama International
Plan of Action to Prevent, Determine and Eliminate IUU fishing (IPOA-IUU fishing),
pedoman tersebut bertujuan untuk mencegah, menghambat dan menghilangkan kegiatan
IUU fishing dengan menyiapkan langkah-langkah pengelolaan sumber daya perikanan yang
komprehensip, terintegrasi, efektif, transparan serta memperhatikan kelestarian sumber daya
bagi negara-negara perikanan dunia (Neka, 2010). Dokumen dimaksud pada bagian awalnya
berisikan pemahaman mengenai arti dan istilah (Illegal , unreported dan unregullated). Di
beberapa wilayah di Indonesia, kenyataan yang ada saat ini fenomena IUU fishing masih
banyak terjadi dan pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk mengantisipasi dengan
mengeluarkan beberapa peraturan tentang perikanan, dan pengawasan. Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang terkait dengan
IUU fishing, antara lain (1) Permen KP No.56/PERMENKP/2014 tentang penghentian
sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan
perikanan negara Republik Indonesia, (2) Permen KP No. 57/PERMENKP/2014 tentang
Perubahan Kedua Atas Permen KP No.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang memuat larangan transhipment
atau bongkar muat ikan di tengah laut; (3) Permen KP No.1/PERMENKP/2015 tentang
Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus
pelagicus.); serta (4) Permen KP No. 2/ PERMENKP/2015 tentang Larangan Penggunaan
Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Net) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Wilayah perairan Kota Kendari secara geografis berbatasan langsung dengan Laut
Banda (bagian timur - barat) sehingga memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap yang
cukup tinggi. Data laporan statistik Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari tahun
2015 mencatat sekitar 21.235 ton produksi sumberdaya perikanan tangkap yang
dimanfaatkan dari perairan Sulawesi Tenggara didominasi oleh alat tangkap pukat cincin
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
3
sebanyak 325 buah (PPS Kendari, 2016). Potensi sumberdaya ikan yang ada didominasi oleh
ikan jenis ekonomis penting seperti Tuna, Cakalang dan Tongkol. Tingginya potensi
sumberdaya perikanan di Kota Kendari memerlukan pengelolaan yang dapat menjamin
keberlangsungan ikan dan pemanfaatannya.
Kendala yang dihadapai pemerintah saat ini baik di daerah ataupun pusat adalah
masih kurangnya kajian penilaian terhadap praktek IUU fishing untuk level kawasan,
sementara hal ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
perikanan di kawasan tertentu, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk memeranginya
dengan cara melakukan penilaian kawasan tertentu apakah sudah terbebas atau tidaknya dari
praktek-praktek IUU Fishing. Penilaian praktek IUU fishing dengan pendekatan kawasan
akan berkontribusi dalam upaya pengelolaan perikanan secara berkelanjutan, serta
membantu pemerintah dalam menyusun tahapan atau langkah-langkah yang harus dilakukan
untuk mengatasi praktek IUU Fishing di Kota Kendari.Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui tingkat kepatuhan armada kapal pukat cincin di PPS Kendari terhadap praktek
IUU Fishing, mengidentifikasi jenis – jenis pelanggaran IUU Fishing di PPS Kendari serta
menyusun rekomendasi strategi penanggulangan IUU Fishing PPS Kendari.
Berdasarkan hal diatas maka kajian untuk menilai tingkat kepatuhan pengelolaan
sumberdaya perikanan di Kota Kendari terhadap praktek IUU fishing sangat diperlukan
disamping sebagai bahan informasi bagi penataan sektor perikanan di Kota Kendari juga
dapat membantu pemerintah dalam menyusun rencana atau strategi dalam penanggulangan
IUU fishing di Kota Kendari.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
4
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2018 di Pelabuhan
Perikanan Samudera (PPS) Kendari.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
a) Metode Pengambilan Data
Penelitian ini menggunakan metode survey dengan objek penelitian adalah armada kapal
Pukat Cincin yang mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Samudera
(PPS) Kendari. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari beberapa responden dengan menggunakan metode purposive sampling, untuk
memudahkan proses wawancara maka digunakan kuisioner yang terdiri dari beberapa
pertanyaan yang dipersyaratkan dalam analisis IUU Fishing. Adapun responden dan jumlah
sampel dapat dilihat pada Tabel 1. Data sekunder diperoleh dengan melakukan studi literatur
dan data dari intansi pelabuhan perikanan samudera kendari yang terkait dengan tujuan
penelitian
Tabel 1. Klasifikasi responden target
No Responden Target Jumlah Responden
1 Nelayan (ukuran kapal < 30 GT) 30 responden
2 Nelayan (ukuran kapal > 30 GT) 30 responden
3 Pengelola PPS Kendari 5 responden
4 Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
(PSDKP) Provinsi Sulawesi Tenggara
5 responden
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
5
5 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 3 responden
b) Tahapan Penelitian
Pencapaian tujuan penelitian sangat terkait dengan tahapan pelaksanaan penelitian,
agar tujuan dapat tercapai dengan baik. Berikut ini tahapan penelitian yang akan dilakukan,
yaitu :
1. Koordinasi dengan tim peneliti dan enumerator (mahasiswa)
Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang cara pengumpulan
data, penentuan target responden serta mekanisme pelaksanaan dilapangan agar waktu
dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.
2. Koordinasi dengan instansi terkait
Tahap selanjutnya adalah melakukan koordinasi dengan instansi terkait, khususnya
instansi PPS Kendari, Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Sulawesi Tenggara dan
PSDKP Prov. Sulawesi Tenggara agar memudahkan proses identifikasi dan penentuan
responden dan pengumpulan data sekunder.
3. Wawancara Responden dan pengumpulan data sekunder
Tim peneliti yang dibantu dengan enumerator melakukan wawancara dengan responden
terpilih menggunakan kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya. Data yang
dikumpulkan terkait dengan aktivitas setiap armada pukat cincin (sampel responden
nelayan) meliputi praktek-praktek illegal, unrepoted dan unregulated.
4. Tabulasi data dan analisis data
Hasil wawancara dan data sekunder yang dikumpulkan, kemudian akan dianalisis untuk
mengetahui jenis – jenis pelanggaran IUU Fishing serta menyusun strategi
penanganannya.
c) Metode Analisis Data
Analisis IUU Fishing
Analisis IUU Fishing menggunakan pendekatan yang dikembangan oleh WWF
Indonesia (WWF Indonesia, 2014), pendekatan ini bersifat semi kuantitatif dengan metode
bobot dan skoring. Analisis ini sangat berguna untuk mengetahui sejauh mana praktek –
praktek IUU fishing terjadi dalam sebuah kawasan secara cepat dan akurat. Seluruh
komponen yang dianalisis (Tabel 2) telah tercantum dalam kuisioner.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
6
Tabel 2. Komponen analisis IUU Fishing
Komponen IUU Fishing Sub komponen
Illegal Fishing Pendaftaran dan pendataan kapal
Perizinan usaha perikanan tangkap
Ketentuan anak buah kapal
Ketaatan wilayah operasi, jenis dan
spesifikasi alat tangkap dan alat bantu
penangkapan ikan
Kelayakan operasi kapal ikan
Penangkapan spesies target yang sudah
diatur
Tangkapan sampingan (by-catch)
termasuk spesies yang dilindungi
Unreported Fishing Transhipment dilaut dan bongkar muat
di pelabuhan
Ketentuan tentang sertifikasi hasil
tangkapan
Sistem pemantauan kapal (VMS)
Pelaksanaan logbook penangkapan ikan
Pemantauan diatas kapal
Unregulated Fishing Kebijakan pengelolaan perikanan
Setiap pertanyaan terdiri dari 3 jawaban yang berberda dan akan diberi skor 1,2 dan 3,
kemudian pembobotan diberikan terhadap kualitas data dan derajat kepentingannya. Adapun
nilai pembobotan berkisar antara 1,2 dan 3. Selanjutnya akan dilakukan perkalian antara
skor dan bobot antara skor jawaban dengan nilai bobot pertanyaannya. Hasil akhir dari
analisis ini adalah kategorisasi tingkat pelanggaran IUU Fishing yang terjadi (Tabel 3).
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
7
Tabel 3. Kategorisasi penilaian IUU Fishing
Kategorisasi IUU Fishing Skor (persentase)
Pelanggaran rendah < 25%
Pelanggaran sedang >25 – 75%
Pelanggaran tinggi >75%
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat kepatuhan kapal pukat cincin di PPS Kendari terhadap praktek IUU Fishing
Tingkat kepatuhan armada kapal pukat cincin di Pelabuhan Perikanan Samudera
Kendari terhadap praktek IUU Fishing sangat bervariasi tergantung aspeknya. Tingkat
kepatuhan pada aspek Illegal lebih tinggi dibandingkan dengan aspek unreported dan
unregulated.
Tabel 4. Tabulasi tingkat kepatuhan Armada kapal Pukat cincin
No Indeks Parameter Strategis (PS) Skor Bobot Total
1 Illegal Fishing 1. Pendaftaran kapal yang dibuktikan
dengan Buku Kapal Perikanan
3 3 9
2. Tanda pengenal kapal perikanan
pada lambung kapal
3 2 6
3. Pengurangan nilai bobot (mark
down) kapal dari ukuran sebenarnya
3 3 9
4. SIUP 3 3 9
5. SIPI/SIKPI kapal ikan > 5GT 3 3 9
6. Bukti Pencatatan Kapal (BPK) < 5
GT
3 3 9
7. KII di WPP-NRI menggunakan
Nakhoda dan ABK
Berkewarganegaraan Indonesia
3 2 6
8. Sertifikat Nakhoda dan Juru Mesin
(Ankapin/Atkapin atau SKK)
1 2 2
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
8
9. Kepatuhan wilayah operasi/lokasi
penangkapan/pengangkutan ikan
sesuai dengan tercantum di
SIPI/SIKPI
1 3 3
10. Kepatuhan penggunaan API sesuai
SIPI
1 3 3
11. Kepatuhan penggunaan alat bantu
lampu
3 3 9
12. Izin penggunaan rumpon 1 3 3
13. Pelanggaran penangkapan di lokasi
zona inti Kawasan Konservasi
Perairan
3 3 9
14. penerapan Surat Laik Operasi
(SLO)
3 2 6
15. Penerapan SPB/SIB 3 2 6
16. Kepatuhan aturan lobster, kepiting,
rajungan, napoleon, dan tuna sirip
biru
2 3 6
17. Penangkapan ikan yang dilindungi
(by-catch)
3 3 9
2 Unreported
Fishing
1. Transhipment 3 3 9
2. SHTI 3 3 9
3. VMS 2 3 6
4. Logbook Perikanan 3 3 9
5. Pengisian Logbook Perikanan 1 3 3
6. Observer 1 3 3
3 Unregulated
Fishing
1. Pencatatan penangkapan nelayan
kecil
1 2 2
2. Dokumen RPP 1 2 2
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
9
3. Pengaturan pengelolaan perikanan
berbasis kuota untuk spesies target,
jumlah kapal berdasarkan ukuran
dan alat tangkap, ukuran ikan yang
layak tangkap, atau pembatasan
waktu tangkapan
1 3 3
4. Modifikai alat tangkap 3 3 9
Kapal armada pukat cincin di pelabuhan perikanan samudera kendari menunjukkan
tingkat pelanggaran sedang. Hasil analisis proporsi tingkat kepatuhan atau penilaian
tingkat pelanggaran dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2 . Tingkat Pelanggaran IUU Fishing armada Pukat cincin
Aspek Illegal fishing diartikan sebagai aktifitas usaha perikanan yang dilakukan dengan
tidak mengindahkan aspek keberlanjutan sumberdaya perikanan atau menggunakan alat
tangkap yang sifatnya merusak sumberdaya dan ekosistem (FAO.2001). Aspek ini
paling banyak memiliki indikator penilaian dibandingkan dengan aspek yang lainnya
meskipun tingkat kepentingan pada setiap unsur tersebut berbeda satu dengan yang lain
dalam menilai tingkat kepatuhan atau tingkat pelanggaran suatu alat tangkap. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari setiap responden yang ditanyakan berkaitan dengan
seluruh unsur dalam aspek illegal memberikan penilaian tingkat pelanggarannya sedang
dengan nilai 34 %. Hal ini disebabkan karena tingkat penertiban administrasi kapal
sebagai syarat untuk melakukan operasi penagkapan ikan sudah ditingkatkan menjadi
pusat pelayanan terpadu satu pintu. Hal ini memudahkan para nelayan untuk memenuhi
34 35
60
0
10
20
30
40
50
60
70
Illegal Fishing Unreported Fishing Unregulated Fishing
Pe
nila
ian
Aspek IUU Fishing
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
10
seluruh administrasi perijinan sebelum melakukan penangkapan sehingga seluruh data
kapal telah tercatat di Syahbandar PPS Kendari. Selain itu, penegakan hukum kepada
nelayan yang tidak patuh dalam pengurusan dokumen kapal akan dikenakan sanksi
administrasi yaitu tidak dikeluarkannya surat ijin berlayar sehingga para nelayan
berusaha untuk menerapkan seluruh prinsip illegal fishing ini. Armada kapal pukat
cincin di pelabuhan perikanan samudera kendari telah mematuhi beberapa kompenen
pada aspek Illegal fishing yaitu telah memiliki buku kapal perikanan sebagai tanda
bahwa kapal tersebut telah terdaftar di pelabuhan. Tanda pengenal kapal perikanan pada
lambung kapal pukat cincin juga sudah terpasang. Sejak tahun 2015 seluruh kapal pukat
cincin telah dilakukan pengukuran ulang bobot kapal yang selama ini terjadi mark down.
Telah memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan
(SIPI)/Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI). Seluruh ABK armada kapal pukat
cincin adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan tidak melakukan praktek “pinjam
bendera” (Flag of Convenience –FOC) sebagaimana banyak kasus pada perairan yang
lain bahwa praktek praktek FOC merupakan salah satu bentuk aksi pencurian ikan dari
negara lain (Dahuri. 2017). Kapal pukat cincin juga tidak melakukan penangkapan di
daerah lokasi zona inti kawasan konservasi perairan atau beroperasi di daerah karang
karena rata rata kedalaman jaring pukat cincin adalah 100 meter. Setiap armada kapal
yang akan melakukan trip penangkapan harus dilengkapi dengan Surat Laik Operasi
(SLO) dan juga merupakan syarat penerbitan SIB
Unreported fishing diartikan sebagai kegiatan usaha perikanan yang tidak dilaporkan
seperti jumlah hasil tangkapan dan lokasi penangkapan kepada pihak terkait termasuk
juga aktivitas bongkar muat ikan di tengah laut (FAO.2001). Rata-rata responden
menyampaiakn bahwa proses pelaporan hasil tangkapan dan lokasi penangkapan tidak
dilakukan sesuai dengan yang sebenarnya. Salah satu alasan yang membuat para
nelayan tidak melaporkan hasil tangkapan dengan baik adalah untuk menghindari
tingginya pajak. Pajak dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan yang dilaporkan ke
pihak pelabuhan. Selain itu, nelayan juga tidak melaporkan daerah penangkapan ikan
secara detail dengan lokasi penangkapan dan hanya melaporkan range daerah
penangkapan ikan sehingga kesulitan melacak ikan hasil tangkapan bersal dari daerah
mana. Dampak terburuk dari unreported adalah kurangnya data ikan di pelabuhan yang
menjadi bahan untuk menganalisis berapa jumlah stok ikan yang berada di dalam suatu
perairan. Kesalahan dalam memunculkan informasi jumlah stok akan berdampak buruk
terhadap sumberdaya ikan. Nilai pelanggaran pada aspek ini adalah 35% dengan
kategori pelanggaran sedang. Unregulated fishing adalah usaha perikanan yang
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
11
dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan atau kebijakan suatu negara atau
hukum internasional yang berlaku (FAO. 2001)
d) Menyusun rekomendasi strategi penanggulangan IUU Fishing PPS Kendari
Berdasarkan hasil penelitian IUU Fishing yang dilakukan di PPS Kendari pada alat tangkap
purse seine, maka dapat kami rekomendasi beberapa hal yang dapat membantu
terlaksananya upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di Sulawesi Tenggara.
1. Nilai indeks illegal fishing menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan indeks lainnya,
hal ini memberi gambaran perlunya prioritas perbaikan pada aspek tersebut. Beberapa
hal yang harus dilakukan yaitu (1) perlunya program sertifikasi bagi nahkoda dan juru
mesin kapal purse seine, (2) perlunya pendataan sebaran rumpon yang beroperasi
mengingat alat bantu ini sangat efektif untuk mengumpulkan ikan karena bersifat
permanen, (3) Perlunya sosialiasi yang efektif tentang lokasi kawasan konservasi
khususnya di wilayah Sulawesi Tenggara.
2. Untuk aspek unreported fishing hal yang harus ditata yaitu (1) program observer diatas
kapal harus dilakukan secara kontinyu agar tingkat keakurata data perikanan dapat
ditingkatkan, (2) pemantauan dalam penggunaan VMS agar lebih diperhatikan.
Aspek unregulated fishing yang paling penting berdasarkan hasil kajian ini adalah (1)
perlunya penerapan pengelolaan perikanan berbasis kuota oleh PPS Kendari dan DKP
Prov. Sulawesi Tenggara, mengingat alat tangkap purse seine merupakan jenis alat
tangkap yang paling efektif menangkap ikan yang bersifat schooling (bergerombol),
sehingga jika tidak diatur akan menyebabkan potensi overfishing beberapa jenis ikan
seperti layang, cakalang dan tongkol akan semakin tinggi. (2) Perlunya dilakukan
pendataan kapal bagang yang beroperasi di Sulawesi Tenggara, mengingat kapal ini
masih belum banyak yang memilki SIUP/SIKPI dan sering melakukan kegiatan
transhipment
4. KESIMPULAN
Hasil penelitian yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari Sulawesi
Tenggara adalah sebagai berikut :
1. Tingkat kepatuhan armada kapal ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari
terhadap praktek Illegal, Unreported and Unregulated Fishing sangat bervariasi
tergantung aspeknya. Tingkat kepatuhan pada aspek Illegal lebih tinggi dibandingkan
dengan aspek unreported dan unregulated.
2. Jenis – jenis pelanggaran IUU Fishing di Pelabuhan perikanan samudera teridentifikasi
setelah melakukan wawancara kepada stakeholder adalah Pencatatatn loogbook hasil
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
12
tangkapan tidak sesuai dengan kenyataannya, Tidak melaporkan lokasi penangkapan
dengan baik dan rinci dan Nelayan pada dasarnya tidak ada yang meregistrasi
rumponnya baik itu jumlah maupun lokasi pemasangannya.
Penelitian lanjutan sangat perlu dilakukan terutama mengenai Lokasi pemasangan
rumpon hubungannya terhadap konflik pemanfaatan daerah penangkapan ikan Perairan Laut
Timur Sulawesi Tenggara.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, H.H.I. 2015. Peluang dan tantangan kerjasama indonesia – filipina dalam
menangani illegal fishing. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
David, F.R. 2007. Manajemen Strategis, edisi kesembilan. PT. Indeks Kelompok Gramedia.
Jakarta.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. FAO International Plan of Action to
Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome,
FAO. 24p. http://www.fao.org/DOCREP/003/y1224E/Y1224E00.htm. Diakses
tanggal 27 Mei 2017.
Jaelani, A.Q dan Basuki, U. 2014. Illegal, Unreported adn Unregulated (IUU) Fishing :
Upaya mencegah dan memberantas Illegal fishing dalam membangun poros maritim
Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum. 3 (1):168-192.
Jaya, BPM. 2016. Tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal
fishing di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Skripsi. Universitas Lampung.
Lampung
Naim, A. 2010. Pengawasan Pengawasan sumberdaya perikanan dalam penanganan Illegal
fishing di perairan Provinsi Maluku Utara. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 3
(2): 1-14.
Neka, A. 2010. Analisis Kebijakan Penanggulangan Illegal Fishing di Kabupaten Halmahera
Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nugrah, H.T. 2017. Kajian yuridis tingkat pidana illegal fishing di wilayah perairan
kepulauan riau oleh aparat penegakan hukum dengan undang – undang nomor 45
tahun 2009 tentang perikanan. Skripsi. Universitas Pasundan Bandung. Bandung.
Rangkuti, F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep
Perencanaan Strategis untuk Abad 21. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
13
Renhoran, M. 2012. Strategi Penanganan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing
di Laut Arafura. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.
Rudiansyah, B. 2015. Peran aparatur negara dalam penangan kegiatan perikanan yang tidak
sah di perairan Raja Empat. Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan. 11 (2):
1717-1730.
Sunyowati, D. 2014. Dampak kegiatan IUU fishing di Indonesia. Seminar Nasional “Peran
dan Upaya Penegak Hukum dan Pemangku Kepentingan Dala Penanganan dan
Pemberantasan IUU Fishing di Wilayah Perbatasan Indonesia”. 22, September 2014,
Surabaya. 1 – 5
[PPS] Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari. 2016. Data Statistik Perikanan PPS Kendari
tahun 2015. Kendari
Permen KP No.56/PERMENKP/2014 tentang penghentian sementara (moratorium)
perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik
Indonesia,
Permen KP No. 57/PERMENKP/2014 tentang Perubahan Kedua Atas Permen KP
No.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia yang memuat larangan transhipment atau bongkar muat
ikan di tengah laut
Permen KP No.1/PERMENKP/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.),
Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus pelagicus.)
Permen KP No. 2/ PERMENKP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan
Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Net) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia
WWF Indonesia. 2014. Panduan Analisis Illegal,Unreported, Unregulated (IUU) Fishing
Berbasis Kawasan. WWF Indonesia. Jakarta.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
14
PENGARUH TEKNOLOGI FAKTOR PRODUKSI TERHADAP
PENINGKATAN USAHATANI JAGUNG
Asriani1), Sitti Rahma Ma’Mun2)
1)Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Kendari
Email: 1)[email protected]
ABSTRAK
Program pemerintah swasembada pangan perlu mendapat dukungan melalui peningkatan
produktivitas komoditas pangan. Jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang
memiliki peranan strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk
dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein
setelah beras. Untuk meningkatkan produksi jagung dapat melalui peningkatan luas areal
tanam dan peningkatan produktivitas tanaman jagung. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis faktor-faktor produksi yang dapat mempengaruhi produktivitas jagung di
Indonesia. Data yang dipergunakan adalah data time series. Metode analisis yang
digunakan adalah Partial Adjusment Model berupa persamaan tunggal regresi berganda
dengan fungsi Natural Logaritma (Ln) dengan menggunakan teknik estimasi Ordinary Least
Square (OLS). Hasil penelitian produksi jagung dipengaruhi oleh faktor harga jagung,
harga pupuk, harga pestisida dan lag produktivitas.
Kata kunci: Produksi, jagung, Partial Adjusment Model,
1. PENDAHULUAN
Undang-undang pangan no. 18 tahun 2012 Kedaulatan pangan adalah hak negera dan
bangsa secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi
rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang
sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sedangkan katahan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam dan bergizi,
merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Sementara
itu pengertian Kemandirian Pangan adalah kemampuan suatu negara dan bangsa dalam
memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin
pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
15
memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal
secara bermartabat. Proses transformasi sektor pertanian yang mampu menghasilkan
produksi atau surplus pertanian di tingkat domestik dalam jumlah yang besar juga dianggap
sebagai syarat pokok pertumbuhan ekonomi, pembangunan jati diri dan identitas suatu
bangsa (Ditjen Tanaman Pangan, 2012)
Menurut Arifin, B. (2015) dalam Peningkatan kedaulatan pangan RPJM 2015 – 2019
kedaulatan pangan tercermin dari kekuatan untuk mengatur masalah pangan secara mandiri
dapat didukung oleh a) ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari
produksi dalam negeri b) pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan
oleh bangsa sendiri dan c) kemampuan melindungi dan mensejahterakan pelaku pangan
terutama petani dan nelayan.
Sistem ketahanan pangan terdiri dari 3 (tiga) subsistem yaitu (1) sub sistem
ketersediaan, yang berfungsi untuk menjamin pasokan pangan guna memenuhi kebutuhan
seluruh penduduk dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya (2) subsistem
aksesibilita/distribusi, yang berperan untuk mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan
efisien sebagai prasyarat untuk menjamin untuk seluruh rumah tangga dapat memperoleh
pangan dalam jumlah dan kuantitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang
terjangkau dan (3) subsistem konsumsi yang berfungsi untuk mengarahkan agar pola
pemanfaatan pangan secara nasional dapat memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan
gizi, keamanan dan kehalalan disamping efisiensi untuk mencegah pemborosan (Yuwono,
2015)
Sektor pertanian secara umum terdiri dari beberapa sub sektor yaitu sektor pertanian
pangan, hortikultura, dan perkebunan. Jagung merupakan salah satu komoditas sub sektor
tanaman pangan pada sektor pertanian yang memiliki peranan sangat penting dalam
perekonomian nasional setelah beras. Peranan jagung terhadap perekonomian nasional telah
menempatkan jagung sebagai kontributor terbesar kedua terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) setelah padi dalam subsektor tanaman pangan. Kondisi demikian mengindikasikan
besarnya peranan jagung dalam memacu pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan
perekonomian nasional secara umum.
Jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang memiliki peranan strategis dan
bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya
sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras (food), disamping itu juga
jagung berperan sebagai bahan baku industri pakan (feed) dan bahan bakar nabati (biofuel).
Dengan dikeluarkannya Perpres No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional yang
didukung dengan dikeluarkannya Inpres No. 1 Tahun 2006, peran sektor pangan menjadi
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
16
semakin penting karena komoditi pangan pertanian juga berpotensi untuk menjadi bahan
baku bahan bakar nabati (BBN) sebagai energi alternatif dimana pada tahun 2025
kontribusinya diharapkan diatas sebesar lima persen. Jagung merupakan salah satu komoditi
yang potensial untuk menjadi bahan bakar nabati khususnya dalam bentuk bioetanol.
Seiring dengan peranan jagung yang semakin meluas, maka kebutuhan jagung juga akan
semakin besar. Hal tersebut harus diiringi dengan produksi (penawaran) yang semakin
meningkat agar kebutuhan jagung dalam negeri dapat terpenuhi.
Indonesia pada 2010 memiliki ketersediaan lahan yang cocok ditanami jagung seluas
27 juta hektar, akan tetapi baru 3,7 juta hektar yang dimanfaatkan untuk ditanami jagung.
Begitu juga dengan produktivitas jagung yang baru mencapai 4,44 ton/ha pada 2011, masih
lebih rendah dibandingkan dengan potensi hasil varietas unggul yang mencapai 7-9 ton/ha.
Jika potensi yang ada dimanfaatkan dengan maksimal, maka peluang Indonesia untuk
mencapai swasembada jagung dan menjadi eksporter jagung dunia sangat terbuka seiring
dengan semakin meningkatnya permintaan jagung, khususnya sebagai bahan baku pakan
dan bahan bakar nabati (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian, 2012)
Beberapa penelitian tentang jagung di Indonesia dapat menghasilkan 10-11 t/ha,
namum produktivitas di lahan petani sangat beragam, berkisar antara 3,2-8 t/ha (Girsang et
al. 2010). Produktivitas jagung nasional pada tahun 2014 menurut data BPS adalah 4,8 t/ha.
Secara empiris keragaman produktivitas jagung antarwilayah di Indonesia dan antarpetani
disebabkan oleh perbedaan penerapan teknologi budi daya yang mencakup benih, varietas,
pupuk, dan pengelolaan air. Di Indonesia wilayah tengah dan barat, usahatani jagung pada
umumnya dilakukan secara komersil, menggunakan benih varietas hibrida, pupuk anorganik
dan suplementasi pengairan pada musim kemarau. Akan tetapi di wilayah timur, jagung
sebagian besar merupakan komponen usahatani subsistensi, menggunakan benih varietas
lokal, pemupukan minimal atau pupuk organik dosis rendah dan sumber air sepenuhnya
berasal dari hujan (Sutoro, 2015)
Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka tujuan utama penelitian ini adalah:
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas komoditas jagung di
Indonesia.
2. METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang dipergunakan adalah data time series dari tahun 1980 sampai dengan tahun
2011. Permasalahan dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis yaitu melalui
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
17
analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif tersebut berupa analisis
terhadap variabel-variabel utama atau faktor-faktor yang mempengaruhi respon penawaran
komoditas jagung melalui fungsi respon produktivitas panen komoditas jagung dan
produktivitas komoditas jagung.
Metode Analisis Data
Analisis respons penawaran komoditas jagung dalam penelitian ini menggunakan
metode partial adjustment model (PAM) atau dikenal analisis model penyesuaian parsial
Nerlove yang sering digunakan untuk studi mengenai respons penawaran berbagai
komoditas berupa persamaan tunggal regresi berganda dengan fungsi natural logaritma atau
logaritma natural (ln) ganda dengan menggunakan teknik estimasi ordinary least square
(OLS). Pengolahan data meggunakan program eviews.
Hipotesis yang mendasari dalam memformulasikan model respon produktivitas
komoditas jagung, yaitu:
1. Diduga harga jagung, lag produktivitas dan kebijakan pemerintah berpengaruh positif
terhadap produktivitas komoditas jagung.
2. Diduga harga masukan (input) yaitu harga pupuk urea, harga pestisida akan
berpengaruh negatif terhadap produktivitas komoditas jagung.
Respon Produksi Secara Empiris
Variabel-variabel yang dianggap relevan mempengaruhi produktivitas jagung adalah
harga jagung, tingkat penerapan teknologi sebagai faktor utama dalam perubahan
produktivitas yang tercernin dalam harga urea, harga pestisida, dan produktivitas tahun
sebelumnya. Pada penelitian ini, harga jagung dan harga input yang digunakan sudah
dirilkan.
Persamaan dari fungsi produktivitas jagung dapat dituliskan sebagai berikut:
Yt = f (HJGt-1, HPUKt-1, HPSTt-1, Yt-1, ut )
Dengan demikian model ekonometrik respon produktivitas jagung adalah:
Yt = d0+d1HJGt-1+d2HPUKt-1+d3HPSTt-1+d4Yt-1 + ut ................. (3)
Untuk mendapatkan nilai elastisitas dari peubah tak bebas terhadap peubah bebas,
maka bentuk fungsi yang digunakan adalah fungsi logaritma natural. Sehingga fungsi respon
areal panen:
Ln Yt = d0 +d1lnHJGt-1+d2lnHPUKt-1+d3lnHPSTt-1+d4lnYt-1 + ut ..... (4)
Nilai yang diharapkan sebagai berikut:
d1, d4, > 0 ; d2, d3 < 0
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
18
Keterangan:
Yt : Produksi jagung pada tahun t (Ton/ha),
HJGt-1 : Harga jagung pada tahun sebelumnya (Rp/kg),
HPUKt-1 : Harga pupuk pada tahun sebelumnya (Rp/kg),
HPSTt-1 : Harga pestisida pada tahun sebelumnya (Rp/kg;Rp/ltr),
Yt-1 : Produktivitas jagung pada tahun t-1 (Ton/ha),
ut : Galat pada tahun ke t.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Dugaan Respon Produksi
Dari hasil estimasi respon Produksi jagung di Indonesia yang diperoleh pada table
2 dibawah, maka kemudian dilakukan pengujian secara ekonometrik untuk mengetahui
apakah parameter yang diestimasi melakukan pelanggaran atau tidak terhadap asumsi klasik
OLS. Dari ketiga uji ekonometrika, model respon produktivitas jagung di Indonesia sudah
tidak mempunyai masalah dalam asumsi multikolinearitas, autokorelasi, dan
heterokedastisitas. Hasil estimasi persamaan produktivitas jagung di Indonesia (Tabel 2)
Tabel 2 Hasil Estimasi Produktivitas Jagung di Indonesia
Peubah Bebas Tanda
Harapan
Koefisien Standart
Error
t-statistik P-value
KONSTANTA -0.786 0.445 -1.767 0.0899*
Yt-1 + 0.899 0.043 20.940 0.0000***
HJGt-1 + 0.113 0.055 2.031 0.0535**
HPUKt-1 - 0.036 0.027 1.332 0.1952
HPSTt-1 - -0.011 0.016 -0.681 0.5027
R2 0.994 F-statistic 698. 155***
Autokorelasi Tidak Ada
Multikolinieritas Tidak Ada
Heteroskedastisitas Tidak Ada
Sumber : Data sekunder, diolah
Keterangan:
*** signifikan pada = 1%
** signifikan pada = 5%
* signifikan pada = 10%
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
19
Pengujian masalah serial korelasi (autokorelasi) dalam fungsi respon produktivitas
jagung dilakukan dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test dan
dari hasil uji ini dapat dilihat bahwa probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf
nyata 10 persen, yaitu sebesar 0,115 sehingga dapat disimpulkan bahwa model persamaan
produktivitas jagung tidak mengalami masalah autokorelasi. Pengujian masalah
heterokedastisitas dilakukan dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test. Dari hasil
uji ini tersebut dapat diketahui bahwa persamaan produktivitas mempunyai nilai probabilitas
Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata 10 persen, yaitu sebesar 0,664. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa model produktivitas jagung tidak mengalami masalah
heterokedastisitas. Pengujian terhadap multikolinearitas dengan menggunakan uji korelasi
antar variabel bebas, dari uji tersebut memperli hatkan bahwa nilai-nilai koefisien
determinasi parsial antara dua variable bebas, yang bila dibandingkan dengan koefisien
determinasi (R-sq), dari hasil analisis diketahui bahwa nilai R-square dari peubah peubah
tersebut masih lebih kecil dari R-square, sehingga dapat disimpulkan bahwa model maka
persamaan produktivitas jagung tersebut tidak memiliki masalah multikolinearitas serius.
Berdasarkan hasil estimasi model produktivitas jagung di Indonesia yang tergambar
dari Tabel. 2 di atas, dapat diketahui bahwa model respon produktivitas jagung di Indonesia
mempunyai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0.994. Hal ini berarti bahwa variasi
dari variabel independen yang masuk ke dalam model mampu menerangkan variabel
dependen (produktivitas) sebesar 99,4 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-
faktor di luar model.
Berdasarkan uji-F yang dilakukan terhadap respon produktivitas untuk melihat
interval kepercayaan pada model, dapat diketahui bahwa variabel-variabel independen
mampu menerangkan variabel dependen yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas sebesar
0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 10 persen (α = 10%).
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan dalam
model secara bersama-sama mempengaruhi produktivitas jagung Indonesia secara nyata
pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel
dependen secara parsial maka digunakan uji t-statistik dapat dilihat pada (Tabel 5.2).
Adapun hasil uji parsial faktor-faktor yang mempengaruhi peoduktivitas jagung di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Produktivitas jagung tahun lalu
Variabel lag produktivias berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen
terhadap produktivitas jagung. Kenaikan 1 persen produktivitas tahun sebelumnya akan
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
20
meningkatkan jumlah produktivitas 0,89 persen, cateries paribus. Pengaruh positif
berarti Produktivitas jagung saat ini merupakan keberlanjutan produktivitas tanaman
jagung sebelumnya, petani merespon dengan dengan meningkatkan produktivitas saat ini
berdasarkan produktivitas tahun sebelumnya. Dengan menggunakan parameter ini pula,
maka elastisitas jangka panjang dapat dihitung dan tanda koefisien variabel yang positif
ini akan menjamin nilai elastisitas jangka panjang lebih besar dari nilai elastisitas jangka
pendek.
2. Harga jagung
Variabel harga riil jagung tahun sebelumnya berpengaruh signifikan dengan tingkat
kepercayaan 95 persen terhadap produktivitas jagung. Tanda positif yang berarti bahwa
kenaikan harga jagung sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas jagung sebesar
0,11 persen. Hal ini sesuai dengan teori yang ada dan rasionalitas petani dimana jika
terjadi peningkatan harga jagung domestik maka akan ada tambahan insentif bagi petani,
sehingga petani akan bertindak untuk menambah jumlah produksi jagung dengan cara
meningkatkan produktivitas jagung dan mengoptimalkan pemakaian input produksi.
3. Harga Pupuk
Variabel harga pupuk urea memiliki tanda positif yang tidak sesuai dengan hipotesis dan
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan produktivitas jagung. Pupuk
urea merupakan pupuk utama yang dibutuhkan pada usahatani jagung, karena pupuk urea
berperan penting terutama saat pertumbuhan tanaman jagung. Pupuk urea mengandung
unsur Nitrogen (N) yang merupakan unsur makro yang dibutuhkan oleh tanaman. Unsur
makro merupakan unsur yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang besar dan apabila
tanaman jagung kekurangan unsur ini maka akan mengalami gejala defisiensi pada
tanaman tersebut. Oleh sebab itu, unsur ini sulit atau tidak bisa digantikan dengan unsur
hara yang lain. Jumlah takaran pemakaian pupuk urea untuk memperoleh hasil maksimal
adalah 200-300 kg/ha, dimana pada saat tanam, jumlah pupuk urea yang diberikan
sebesar 90-120 kg/ha dan sepanjang pemeliharaan diperlukan pupuk urea sebesar 100-
200 kg/ha. Oleh karena itu, meskipun harga pupuk urea meningkat, pupuk ini harus tetap
digunakan oleh petani. Di samping itu, keberadaan pupuk urea selama ini masih disubsidi
oleh pemerintah, sehingga jika terjadi kenaikan harga urea petani masih bisa membeli
dan menggunakan pupuk ini. Hasil analisis ini juga sejalan dengan temuan Puteri (2009)
bahwa harga pupuk urea berhubungan positif terhadap produktivitas.
4. Harga Pestisida
Variabel harga riil pestisida meskipun tidak secara signifikan tapi berpengaruh negatif
terhadap produktivitas jagung. Variabel pestisida tidak bepengaruh signifikan
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
21
disebabkan karena saat ini petani jagung masih banyak menerapkan cara tradisional
untuk mengedalikan hama dan penyakit, karena jagung merupakan salah satu tanaman
yang mempunyai sedikit resiko dalam serangan organisme pengganngu tanaman,
ditambah lagi penggunaan bibit unggul dan komposit yang tahan terhadap hama dan
penyakit, sehingga pestisida tidak terlalu banyak dibutuhkan oleh petani jagung.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Faktor harga jagung, harga upuk, harga pestisida dan lag produktivitas pengaruh terhadap
jagung di Indonesia. Faktor produksi tersebut merupakan faktor yang dapat dilakukan
melalui program intensifikasi yakni peningkatan produksi melalui perbaikan teknologi
dalam rangka mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, B. (2015). Pembangunan Kedaulatan Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Seminar
Nasional Perhepi Komda Kendari dan Jurusan Agribisnis Universitas Haluoleo.
Kendari
BPS. (2017). Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. (2011). Road Map Pencapaian Sasaran Produksi
Jagung 2012-2014. Departemen Pertanian. Jakarta.
Gujarati, D. (1995). Basic Econometrics. Third Edition, Mc-Graw-Hill International
Edition. New York, USA.
Girsang, S.S., M.P. Yufdy, and Akmal. (2010). Fertilizer recommendation based on the
SSNM approach in upland Karo district, North Sumatera. p.540-544. In: P.H. Zaidi,
M. Azrai, and K. Pixley (eds.): Maize for Asia. Proc. of the 10th Asian Regional Maize
Workshop.Ministry of Agriculture (Indonesia), CIMMYT, ADB and S.M. Sehgal
Foundation.IAARD. Jakarta.
Koutsoyianis, A.(1977). Theory of Econometrics. Second Edition. The Macmillan Press,
New York.
Nerlove, M. (1958). The dynamics of supply : Estimation of Farmers Response to Price.
The Johns Hopkins Press, Baltimore. USA.
Puteri, G. (2009). Analisis Respon dan Proyeksi Penawaran Ubi Kayu di Indonesia.
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
22
Sutoro, (2015). Determinan Agronomis Produktivitas Jagung. Jurnal Iptek Tanaman
Pangan Vol 10 (1) 2015
Widarjono, A . (2009). Ekonometrika : Pengantar dan Aplikasinya. Ekonesia Fakulatas
Ekonomi UII, Yogyakarta
Yuwono, B. (2015). Analisis Kemandirian Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal di Provinsi
Sulawesi Tenggara. Seminar Nasional Perhepi Komda Kendari dan Jurusan Agribisnis
Universitas Halu Oleo. Kendari
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
23
PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU
(VIGNA RADIATA L.) EFFECT OF ORGANIC FERTILIZER ON GROWTH
AND YIELD VARIETIES SOME GREEN BEANS (VIGNA RADIATA L.)
Hijria1) Pertiwi Syarni2)
1)Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A.
Mokodompit, Kampus Hijau Bumi Tridharma, Kendari
2)Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A. Mokodompit,
Kampus Hijau Bumi Tridharma, Kendari
1)E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau, serta mengetahui varietas terbaik terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.). Penelitian dilakukan di
Desa Cialam Jaya, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Februari
sampai Mei 2018. Penelitian ini menggunakan dua Faktorial yang disusun dalam
rancangan acak lengkap kelompok, terdiri atas tiga ulangan sebagai blok, faktor pertama
yaitu pupuk organik dengan tiga macam, yaitu tanpa pemberian pupuk organik (kompos),
pupuk Takakura dan pupuk Bokashi. Faktor kedua adalah varietas yang terdiri dari tiga
perlakuan yaitu varietas Vima 1, varietas Vima 3 dan varietas Murai. Sehingga terdapat
sembilan kombinasi perlakuan. Selanjutnya kombinasi perlakuan ditempatkan pada
rancangan acak lengkap kelompok dengan tiga ulangan, sehingga terdapat 27 satuan
percobaan berupa petak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik
Takakura memberikan hasil bobot kering 100 biji lebih baik dan varietas Murai memberikan
pertumbuhan jumlah bintil akar lebih tinggi. Perlakuan pupuk organik dan macam varietas
tidak terjadi interaksi.
Kata kunci : Pupuk Organik, Varietas Kacang Hijau
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
24
1. PENDAHULUAN
Di Indonesia kacang hijau mempunyai arti yang strategis karena menyediakan
kebutuhan paling esensial bagi kehidupan sebagai bahan pangan serta sumber protein nabati
yang sangat dibutuhkan. Kebutuhan akan kacang hijau akan semakin meningkat sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan dan pakan. Di
sisi lain produksi kacang hijau yang dihasilkan belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut
(Mustakim, 2012).
Produksi kacang hijau cenderung menurun selama kurun waktu empat tahun terakhir
(2013 sampai 2016) produksi kacang hijau adalah berturut-turut 205 ton, 245 ton, 271 ton,
dan 253 ton, sehingga untuk memenuhi kebutuhan kacang hijau dilakukan impor sebesar
23,45 ribu ton per tahun (BPS, 2014). Upaya untuk meningkatkan produksi kacang hijau
terus dilakukan. Salah satu cara usaha peningkatan produksi yaitu dengan perbaikan tehnik
budidaya seperti penggunaan pupuk organik berupa kompos dan penggunaan varietas yang
tepat.
Pupuk kompos dari bahan organik merupakan salah satu pupuk organik yang
digunakan pada pertanian untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Penggunaan
kompos dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan mikrobiologi tanah (Syam, 2003). Kompos
memiliki kandungan unsur hara seperti nitrogen dan fosfat dalam bentuk senyawa kompleks
argon, protein, dan humat yang sulit diserap tanaman (Setyotini et al., 2006). Banyak
diperdagangkan pupuk organik yang siap diaplikasikan ke tanaman yaitu pupuk organik
Takakura. Pupuk organik Takakura adalah salah satu jenis pupuk yang terbuat dari sampah
rumah tangga yang berupa sisa-sisa bahan organik (sisa sayuran, makanan dll) yang melalui
proses pengomposan sehingga bisa diberikan ke tanah, mengandung unsur hara makro,
mikro lengkap. Hasil analisis dari kompos sampah rumah tangga yang diproduksi oleh BPTP
Jawa Timur menunjukkan kandungan C-organik berkisar 15,41 - 18,89, C/N- rasio berkisar
11,88, 12,04 - 18,29, dan N-total berkisar 0,58 - 1,57%. Dari uji laboratorium diketahui
bahwa pupuk organik sampah rumah tangga dengan dekomposer promi ditambah dengan
pupuk kandang, dedak, dan tetes tebu mengandung C-organik yang tinggi. Menurut Zainal
et al. (2008), zat arang atau karbon yang terdapat dalam bahan organik merupakan sumber
energi bagi mikroorganisme. Pupuk organik yang siap di aplikasikan ke tanaman selain
pupuk Takakura yaitu Bokashi. Pupuk organik Bokashi adalah pupuk kompos yang
dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM4
(Effective Microorganisms). Tujuan dari pupuk bokashi adalah mempercepat pembusukan
materi organik dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, dan bukan
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
25
meningkatkan unsur hara tanah (Azzamy, 2015). Pupuk organik bokashi memiliki
kandungan berupa C-organik 1,88%, N 0,68%, P2O5 136,78%, K2O 136,78%, Fe 1,14%, B
1,39%, Cl 24,29%, dan Zn 0,05% (Elpawati, dkk., 2015).
Salah satu alternatif untuk mempertahankan dan meningkatkan hasil tanaman kacang
hijau adalah dengan pemberian pupuk organik. Pupuk organik tidak menimbulkan efek
buruk bagi kesehatan tanaman karena bahan dasarnya alamiah, sehingga mudah diserap
secara menyeluruh oleh tanaman. Pupuk organik kebanyakan diaplikasikan langsung ke
dalam tanah sehingga hara makro dan mikro esensial (N, P, K, S, Ca, Mg, B, Mo, Cu, Fe,
Mn, dan bahan organik) dapat diserap baik oleh tanaman. Pupuk organik mempunyai
beberapa manfaat diantaranya dapat mendorong dan meningkatkan pembentukan klorofil
daun dan pembentukan bintil akar pada tanaman leguminosa sehingga meningkatkan
kemampuan fotosintesis tanaman dan menyerap nitrogen dari udara (Sulistyorini, 2012).
Purwono dan Hartono (2008) mengemukakan tanamaan kacang hijau tumbuh
dengan baik pada tanah yang tidak terlalu banyak mengandung liat. Tanah dengan
kandungan bahan organik tinggi sangat disukai oleh tanaman kacang hijau, asalkan
kandungan air tanah tetap terjaga dengan baik adapun jenis tanah yang dianjurkan adalah
latosol atau regosol. Keasaman tanah yang diperlukan tanaman kacang hijau untuk tumbuh
optimal yaitu pH tanah antara 5,8 - 6,8. Tanah dengan pH di bawah 5,8 perlu diberikan
pengapuran.
Varietas kacang hijau yang berdaya hasil tinggi belum tentu memberikan keuntungan
yang tinggi kepada petani. Selera konsumen atau permintaan pasar terhadap kualitas tertentu,
seperti ukuran dan warna biji, turut menentukan harga jual. Kriteria mutu biji kacang hijau
yang baik adalah biji berukuran besar (65-70 g /1000 biji), tidak mengandung biji keras,
kandungan protein tinggi (>30%), bentuk biji bundar, dan warna biji hijau kusam. Varietas
unggul yang sudah dilepas mempunyai kandungan protein berkisar antara 18-26%
(Suhartina, 2005).
Sifat lain yang turut menentukan mutu biji kacang hijau adalah ukuran dan warna
biji. Ukuran biji berhubungan erat dengan kandungan biji keras. Varietas kacang hijau yang
berbiji kecil mengandung biji keras lebih tinggi daripada varietas berbiji besar, makin besar
ukuran biji maka kandungan biji keras makin rendah. Oleh karena itu, kacang hijau yang
berbiji besar dan biji berwarna hijau kusam lebih disenangi petani karena rasanya lebih enak
(pulen) serta harga jualnya lebih tinggi daripada yang berbiji kecil. Karakterisasi terhadap
kacang hijau berbiji besar 70-73g/1.000 biji (Alfandi, 2015). Suhartina (2005), semua
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
26
varietas kacang hijau yang telah lepas cocok ditanam di lahan sawah maupun lahan kering.
Varietas terbaru tahan penyakit embun tepung dan bercak daun seperti Vima 1, Sriti, Kenari,
Perkutut, Murai dan Kutilang dapat dianjurkan untuk ditanam di daerah endemik tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut penggunaan pupuk organik dan macam varietas pada
budidaya tanaman kacang hijau sangat diperlukan untuk memaksimalkan produktifitasnya,
Saat ini belum diketahui pengaruh pemberian pupuk Takakura dan Bokashi terhadap varietas
kacang hijau yang menunjukan pertumbuhan dan hasil yang terbaik. Oleh karena itu
penelitian tentang Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Beberapa Varietas Kacang Hijau (Vigna radiata L.).
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Cialam Jaya, Kecamatan Konda, Kabupaten
Konawe Selatan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei
2018.
Penelitian ini dilakukan di lapangan yang disusun dalam rancangan acak lengkap
kelompok (RALK) yang terdiri dari 2 faktor : Faktor pertama adalah pupuk organik (C)
dalam 3 macam, yaitu : C0 (Tanpa pupuk), C1 (Pupuk Takakura) 10 ton/ha, dan C2 (Pupuk
Bokashi) 10 ton/ha. Faktor kedua adalah kultivar kacang hijau (V) dalam 3 macam, yaitu
: V1 (varietas Vima 1 ), V2 (varietas Vima 3), dan V3 (varietas Murai). Dari kedua faktor
tersebut diperoleh 3 x 3 = 9 kombinasi perlakuan dan masing-masing kombinasi perlakuan
diulang tiga kali sehingga diperlukan 9 x 3 = 27 petak perlakuan. Data hasil pengamatan di
amati dengan analisis varians atau ragam (Anova) pada taraf 5%. Untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan digunakan Uji Jarak Berganda Duncan pada jenjang nyata 5%.
Penelitian dilakukan pada variabel pengamatan terhadap tinggi tanaman (cm),
diameter batang (mm), jumlah daun (helai), bobot segar tanaman (g), bobot kering tanaman
(g), jumlah bintil akar (buah), jumlah polong per tanaman, bobot kering 100 biji (g), bobot
kering biji per tanaman (g) dan indeks panen.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
27
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tinggi tanaman
Hasil analisis ragam Lampiran 1, terhadap tinggi tanaman umur 2, 3, 4, dan 5
minggu setelah tanam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk organik dan
perlakuan macam varietas tidak berpengaruh beda nyata pada rerata tinggi tanaman.
Perlakuan pupuk organik dengan macam varietas tidak terjadi interaksi nyata terhadap
tinggi tanaman. Untuk lebih jelasnya rerata tinggi tanaman dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman (cm)
Umur Pengamatan (MST)
Perlakuan 2 3 4 5
Pupuk Organik
Tanpa pupuk 8,79 a 16,01 a 29,03 a 36,72 a
Takakura 10,30 a 16,70 a 30,05 a 36,50 a
Bokashi 9,40 a 16,45 a 28,36 a 37,50 a
Varietas
Vima 1 9,20 r 15,10 r 29,20 r 36,30 r
Vima 3 10,25 r 15,20 r 30,58 r 38,50 r
Murai 9,30 r 15,30 r 29,40 r 37,20 r
(-) (-) (-) (-)
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
2. Diameter batang
Hasil analisis ragam Lampiran 2, terhadap diameter batang umur 2, 3, 4, dan 5 minggu
setelah tanam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk organik dan perlakuan
macam varietas tidak berpengaruh beda nyata pada rerata diameter batang. Perlakuan pupuk
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
28
organik dengan macam varietas tidak terjadi interaksi nyata terhadap diameter batang.
Untuk lebih jelasnya rerata diameter batang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rerata Diameter Batang (mm)
Umur Pengamatan (MST)
Perlakuan 2 3 4 5
Pupuk Organik
Tanpa pupuk 0,23 a 0,35 a 0,48 a 0,52 a
Takakura 0,25 a 0,35 a 0,46 a 0,53 a
Bokashi 0,27 a 0,34 a 0,48 a 0,54 a
Varietas
Vima 1 0,26 r 0,35 r 0,43 r 0,50 r
Vima 3 0,25 r 0,34 r 0,35 r 0,52 r
Murai 0,25 r 0,37 r 0,36 r 0,54 r
(-) (-) (-) (-)
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
3. Jumlah daun
Hasil analisis ragam Lampiran 3, terhadap jumlah daun umur 2, 3, 4, dan 5 minggu
setelah tanam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk organik dan perlakuan
macam varietas tidak berpengaruh beda nyata pada rerata jumlah daun. Perlakuan pupuk
organik dengan macam varietas tidak terjadi interaksi nyata terhadap jumlah daun. Untuk
lebih jelasnya rerata jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 3.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
29
Tabel 3. Rerata Jumlah Daun (helai)
Umur Pengamatan (MST)
Perlakuan 2 3 4 5
Pupuk Organik
Tanpa pupuk 5,56 a 7,23 a 19,20 a 22,20 a
Takakura 4,60 a 8,01 a 19,21 a 20,01 a
Bokashi 4,20 a 7,20 a 18,40 a 21,23 a
Varietas
Vima 1 5,30 r 6,78 r 18,05 r 23,01 r
Vima 3 4,56 r 7,10 r 19,11 r 22,12 r
Murai 4,27 r 7,30 r 19,20 r 22,11 r
(-) (-) (-) (-)
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
4. Bobot segar tanaman
Analisis ragam terhadap bobot segar menunjukkan bahwa perlakuan pemberian
pupuk organik dan perlakuan macam varietas tidak berpengaruh nyata terhadap rerata bobot
segar tanaman. Perlakuan pemberian pupuk organik dan perlakuan macam varietas tidak
terjadi interaksi nyata terhadap rerata bobot segar tanaman. Untuk lebih jelasnya rerata bobot
segar tanaman dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rerata Bobot Segar Tanaman (g)
Varietas
Pupuk Organik
Rerata
Tanpa pupuk Takakura Bokashi
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
30
Vima 1 18,20 18,04 17,70 17,98 r
Vima 3 18,47 18,83 20,96 19,42 r
Murai 17,3 19,5 19,57 18,79 r
Rerata 17,99 a 18,79 a 19,41 a (-)
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
5. Bobot Kering Tanaman
Analisis ragam terhadap bobot kering tanaman menunjukkan bahwa perlakuan
pemberian pupuk organik dan macam varietas tidak berpengaruh terhadap rerata berat
kering tanaman. Perlakuan pemberian pupuk organik dan perlakuan macam varietas tidak
terjadi interaksi nyata terhadap rerata bobot kering tanaman dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rerata Bobot Kering Tanaman (g)
Varietas
Pupuk Organik
Rerata
Tanpa pupuk Takakura Bokashi
Vima 1 6,63 6,20 6,72 6,52 r
Vima 3 6,90 6,84 6,74 6,83 r
Murai 7,25 7,01 6,71 6,99 r
Rerata 6,93a 6,68a 6,72a (-)
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
6. Jumlah Bintil Akar
Analisis ragam terhadap jumlah bintil akar menunjukkan bahwa perlakuan
pemberian pupuk organik tidak berpengaruh nyata dan perlakuan macam varietas
memberikan pengaruh beda nyata terhadap jumlah bintil akar. Perlakuan pemberian pupuk
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
31
organik dan perlakuan macam varietas tidak terjadi interaksi nyata terhadap rerata jumlah
bintil akar dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rerata Jumlah Bintil Akar (buah)
Varietas
Pupuk Organik
Rerata
Tanpa pupuk Takakura Bokashi
Vima 1 9,20 10,32 8,70 9,41 r
Vima 3 9,80 12,85 12,40 11,68 r
Murai 10,12 8.25 10,80 9,72 r
Rerata 9,71 a 10,47 a 10,63 a (-)
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
7. Jumlah Polong per Tanaman
Analisis ragam terhadap jumlah polong per tanaman menunjukkan bahwa perlakuan
pemberian pupuk organik dan perlakuan macam varietas tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah polong per tanaman. Perlakuan pupuk organik dan macam varietas tidak terjadi
interaksi nyata terhadap rerata jumlah polong per tanaman dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rerata Jumlah Polong per Tanaman (buah)
Varietas
Pupuk Organik
Rerata
Tanpa pupuk
Tak
akura Bokashi
Vima 1 8,78 10,32 9,12 5,97 r
Vima 3 9,76 10,80 12,11 10,89 r
Murai 8,47 12.10 10,11 10,23 r
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
32
Rerata 9,00a 7,63a 10,45a (-)
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
8. Bobot Kering 100 Biji
Analisis ragam terhadap bobot kering 100 biji menunjukkan bahwa perlakuan
pemberian pupuk organik Takakura berpengaruh beda nyata dan perlakuan macam varietas
tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering 100 biji. Perlakuan pupuk organik dan
macam varietas tidak terjadi interaksi nyata terhadap rerata bobot kering 100 biji dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rerata Bobot Kering 100 Biji (g)
Varietas
Pupuk Organik
Rerata
Tanpa pupuk Takakura Bokashi
Vima 1 7,65 11,32 9,12 9,36 r
Vima 3 7,78 10,83 8,45 9,02 r
Murai 8,47 10,11 10,11 9,56 r
Rerata 7,97a 10,75a 9,23a
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
9. Bobot Kering Biji per Tanaman
Analisis ragam terhadap bobot kering biji per tanaman menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian pupuk organik dan perlakuan macam varietas tidak berpengaruh
terhadap rerata bobot kering biji per tanaman. Perlakuan pemberian pupuk organik dan
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
33
perlakuan macam varietas tidak terjadi interaksi nyata terhadap rerata bobot kering biji per
tanaman dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rerata Bobot Biji per Tanaman (g)
Varietas
Pupuk Organik
Rerata
Tanpa pupuk Takakura Bokashi
Vima 1 8,40 8,91 8,24 8,52r
Vima 3 7,56 7,89 7,43 7,63r
Murai 7,24 7,50 7,63 7,46r
Rerata 7,73a 8,10a 7,77a (-)
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
10. Indeks panen
Analisis ragam terhadap indeks panen menunjukkan bahwa perlakuan pemberian
pupuk organik dan perlakuan macam varietas tidak berpengaruh terhadap rerata indeks
panen. Perlakuan pupuk organik dan perlakuan macam varietas tidak terjadi interaksi nyata
terhadap rerata indeks panen dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rerata Indeks Panen
Varietas
Pupuk Organik
Rerata
Tanpa pupuk Takakura Bokashi
Vima 1 0,91 0,94 0,87 0,91r
Vima 3 0,78 0,78 0,85 0,80r
Murai 0,84 0,86 0,87 0,86r
Rerata 0,84a 0,86a 0,86a (-)
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
34
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom maupun baris
menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan berdasarkan uji DMRT
pada jenjang nyata 5%.
(-) : Tidak ada interaksi
Perlakuan pemberian pupuk organik menghasilkan bobot kering 100 biji yang
berbeda. Bobot kering 100 biji yang dihasilkan varietas Vima-1 lebih berat dari yang
dihasilkan varietas Vima 3 dan Murai. Dilihat dari deskripsi masing-masing varietas yaitu
pada perbedaan berat kering 100 biji, varietas Vima 1 6,3 g, Vima 3 6,0 g dan Murai 6,0 g.
Utami (2007), menyatakan bahwa beratnya biji bervariasi tergantung dari genetik suatu
varietas. Pengaruh macam varietas yang berbeda, juga menghasilkan rerata jumlah bintil
akar yang berbeda pula. Tanaman kacang hijau memiliki bintil akar yang berisi bakteri
Rhizobium dimana bakteri ini mengikat nitrogen dari udara yang akhirnya dipergunakan
oleh tanaman dan terbentuknya bintil akar karena ada rangsangan pada permukaan akar yang
menyebabkan bakteri Rhizobium pada saat tanaman kacang hijau masih muda yaitu setelah
terbentuk rambut akar pada akar utama atau pada akar cabang. Jumlah bintil akar pada tiap
perlakuan ada hubungannya dengan aktivitas penambatan nitrogen yang difisaksi oleh bintil
akar pada tanaman kacang hijau. Macam varietas memiliki genetik berbeda dan sistem
perakaran kacang hijau lebih dipengaaruhi oleh sifat genetik, selain sistem perakaran juga
dipengaruhi oleh kondisi tanah. Lebih lanjut Hanum (2009), menjelaskan bahwa, tanah
merupakan faktor terpenting dan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat
kaitannya dengan tanaman yang tumbuh di atasnya.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemberian pupuk organik Takakura memberikan hasil bobot kering 100 biji lebih baik.
2. Varietas Vima 3 memberikan pertumbuhan jumlah bitil akar lebih tinggi tanaman kacang
hijau.
3. Tidak terjadi interaksi antar perlakuan pupuk organik dan macam varietas.
Penanaman kacang hijau sebaiknya menggunakan Pupuk organik, dan dengan pemberian
pupuk organik memberikan solusi bagi petani dalam meminimalisir penggunaan pupuk
kimia sintetik.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
35
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada pihak Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal
Penguatan Riset dan Pengembangan) atas bantuan dana penelitian tahun 2018 melalui skim
Program Kemitraan Masyarakat (PKM).
DAFTAR PUSTAKA
Alfandi, 2015. Kajian Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Hijau (Phaseolus radiatus
L.) Akibat Pemberian Pupuk P dan Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula
(CMA). Fakultas Pertanian Unswagati. Jurnal Agrijati Vol. 28 No 1, hal 158-171.
Azzamy, 2015. Cara Pembuatan Pupuk Bokashi. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2014. Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat Dalam Angka 2016.
Jakarta.
Elpawati, Stephani D.D., dan Dasumiati. 2015. Optimalisasi Penggunaan Pupuk Kompos
dengan Penambahan Effective Microorganism 10 (EM10) Pada Produktivitas
Tanaman Jagung (Zea mays L.). Jurnal Biologi Vol. 8 No 2, hal 77-87.
Hanum, C. 2009. Ekologi tanaman. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.
Mustakim, M. 2012. Budidaya Kacang Hijau Secara Intensif. Pustaka Baru Press.
Yogyakarta.
Purwono dan R. Hartono, 2008. Kacang Hijau. Penebar Swadaya, Jakarta.
Setyotini, D. R., Saraswati, dan Anwar, E. K., 2006. Kompos. Jurnal Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati. Vol. 2, Ed. 3, hal 11-40.
Suhartina. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-Kacangan dan Umbi- Umbian. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI). Malang.
Sulistyorini, S., M.Pd, 2012. Keranjang Takakura, Biopori dan Komposting. Pendidikan
Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
Syam, A., 2003. Efektivitas Pupuk Organik dan Anorganik terhadap Produktivitas Padi di
Lahan Sawah. Jurnal Agrivigor Vol.3, Ed. 2, hal 232–244.
Utami, S. 2007. Struktur Morfologi dan Anatomi Akar Kacang Hijau (Vigna radiata L.)
Pada Media Lumpur Lapindo. Skripsi. Prodi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Surabaya.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
36
BIOTEKNOLOGI PUPUK BOKASHI PLUS DAN SISTEM
INTERCROPPING PADA TANAMAN HORTIKULTURA
Arsy Aysyah Anas1), Nini Mila Rahni2) dan Sitti Nur Isnian3)
1)Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
Jl. H.E.A. Mokodompit, Kampus Hijau Bumi Tridharma, Kendari 93231
2)Jurusan Penyuluhan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
Jl. H.E.A. Mokodompit, Kampus Hijau Bumi Tridharma, Kendari 93231
Email: 1)[email protected], 2)[email protected], 3)[email protected]
ABSTRAK
Tanaman hortikultura merupakan bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh karena
menjadi sumber vitamin, mineral, protein dan karbohidrat. Komoditas hortikultura memiliki
nilai ekonomis cukup tinggi, dengan tingkat permintaan yang terus mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini menjadikan komoditas hortikultura
memiliki potensi pasar yang sangat besar, namun tidak didukung oleh peningkatan
produksi. Hal tersebut diakibatkan sebagian besar budidaya hortikultura dilakukan pada
lahan marginal dengan teknik budidaya yang tidak memadai. Kabupaten Muna, khususnya
Kecamatan Watopute memiliki potensi luas lahan untuk pengembangan hortikultura,
khususnya sayuran. Namun, lahan-lahan tersebut didominasi oleh lahan kering marginal
yang perlu segera ditangani agar produktivitasnya meningkat. Solusi untuk permasalahan
tersebut diantaranya adalah teknologi inovatif hasil penelitian dari perguruan tinggi
berupa bioteknologi pemupukan yang memanfaatkan sumber-sumber daya lokal dan
penerapan sistem intercropping. Bioteknologi pemupukkan berbasis organik seperti pupuk
bokasi plus merupakan teknologi inovatif yang dapat meningkatkan ketersediaan produk
pertanian khususnya hortikultura, sedangkan sistem intercropping, selain mampu
meningkatkan efesiensi penggunaan lahan dan meningkatkan produksi tanaman per satuan
luas lahan, juga mampu memperbaiki kesuburan tanah, dan meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap hama dan penyakit. Program Kemitraan Masyarakat (PKM) merupakan
program yang sangat tepat untuk mendiseminasikan solusi dari permasalahan tersebut
sehingga dapat diadopsi oleh masyarakat secara luas
Kata Kunci : Hortikultura, lahan kering marginal, teknologi, inovasi, bokashi
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
37
1. PENDAHULUAN
Tanaman hortikultura khususnya sayur-sayuran merupakan salah satu bahan
pangan yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral,
protein dan karbohidrat (Kasno, et al., 2006). Komoditas sayuran juga berperan dalam
mendukung perekonomian nasional karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan
dapat menjadi sumber pendapatan bagi petani berskala kecil, menengah ataupun besar.
Permintaan terhadap komoditas sayuran cenderung meningkat dari tahun ke tahun sejalan
dengan peningkatan/pertambahan jumlah penduduk sehingga potensi pasar sangat terbuka
luas (Mutiarawati, 2007). Ironisnya, potensi tersebut tidak didukung oleh peningkatan
produksi tanaman. Hal tersebut diakibatkan karena sebagian besar budidaya sayuran
dilakukan pada lahan-lahan kering yang kurang subur dengan teknik budidaya yang kurang
memadai dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip pertanian berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan (Sujitno et al., 2012).
Di Indonesia, rendahnya produksi tanaman terkait dengan aspek adaptasi. Kondisi
iklim kering dengan lahan marginal masam yang kurang subur menjadi faktor pembatas
utama dalam budidaya tanaman (Simanungkalit, 2001; Matsumoto et al., 2003). Problema
lahan tersebut sebagai lahan budidaya hortikultura adalah reaksi tanah masam (pH rendah),
kapasitas tukar kation rendah, kejenuhan Al-dd tinggi, kandungan Al, Fe dan Mn tinggi,
kandungan hara (nitrogen, fosfor dan kalium) rendah serta sangat peka terhadap erosi
(Nursyamsi, 2004). Dengan pengelolaan dan cara budidaya yang baik, lahan kering marginal
tersebut sangat potensial untuk daerah pengembangan hortikultura (Sopandie, 2006;
Abdurachman et al., 2008). Selain itu, sistem pertanaman yang sering dipraktekanoleh
masyarakat belum memperhatikan prinsip-prinsip pertanian berwawasan lingkungan.
Beberapa usaha perbaikan telah dilakukan, namun belum menunjukkan hasil yang
memuaskan (Beauchamp dan Hume, 2007).
Berdasarkan data monografi desa tahun 2016 (BPS Kabupaten Muna, 2016),
diketahui bahwa keseluruhan lahan dari Desa Lakapodo ini merupakan lahan kering
(dryland). Petani di desa ini sebagian besar mengolah lahannya secara konvensional dan
menggunakan input kimia (pupuk dan pestisida) secara berlebihan. Umumnya, lahan diolah
secara keseluruhan dan menanam jenis tanaman yang sama secara terus menerus (sistem
monokultur) tanpa melakukan rotasi tanaman. Kondisi tersebut diperparah dengan
penggunaan pupuk kimia sintetik seperti urea, ZA, KCl dan pestisida yang dilaksanakan
secara serampangan dan terjadwal setiap musim tanam dengan dosis yang semakin
meningkat. Akibatnya, lahan-lahan tersebut mengalami kejenuhan atau degradasi (levelling
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
38
off) yang menyebabkan produktivitasnya menurun drastis.Pada sebagian lahan, tanaman
sayuran bahkan tidak dapat tumbuh sama sekali.
Berdasarkan hal tersebut di atas, inovasi teknologi yang memanfaatkan sumberdaya
lokal untuk mengatasi berbagai kendala pada lahan kering marginal mutlak diperlukan
(Rahni dan Karimuna, 2015). Beberapa vegetasi sekunder (gulma) yang tumbuh dominan di
sekitar lahan pertanian sering terabaikan dankehadirannya tidak dikehendaki serta limbah
serbuk gergaji yang banyak tersedia dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
bioteknologi bokashi plus. Karimuna dan Rahni, 2016 melaporkan bahwa vegetasi sekunder
yang diinokulasi dengan mikoorganisme efektif dapat dimanfaatkan sebagai produk
bioteknologi berupa Pupuk bokasi plus sebagai salah satu upaya konkrit dalam
meningkatkan produksi kacang tanah lokal pada lahan kering marginal.
Program Kemitraan Wilayah (PKM) ini difokuskan pada pemberdayaan masyarakat
khususnya kelompok petani untuk mendiseminasikan inovasi bioteknologi pupuk bokasi
plus dan sistem intercropping yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Program ini juga
bertujuan untuk mengkaji pengaruh aplikasi bioteknologi Pupuk bokasi plus dan sistem
intercroppingterhadap budidaya hortikultura khususnya sayuran sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman sayuran pada lahan kering marginal.
2. METODE PENELITIAN
Program Kemitraan Wilayah (PKM) ini dilaksanakan pada Bulan April – November
2018 di Desa Lakapodo, Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Bahan-bahan yang digunakan adalah beberapa jenisvegetasi sekunder, bakaran serbuk
gergaji dan kotoran ternak.
Pelaksanaan program ini menggunakan pendekatan PRA (Paticipatory Rural
Appraisal) yang meliputi metode sosialisasi, bimbingan teknis, penyuluhan dan
pendampingan serta analisis laboratorium. Metode-metode tersebut diterapkan untuk
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat/petani (SDM). Pelaksanaan
evaluasi oleh pihak internal perguruan tinggi dalam hal ini oleh LPPM Universitas Halu
Oleo dan pihak eksternal dari DRPPM Ditjen Penguatan Risbang Kemenristek Dikti melalui
mekanisme pelaporan, seminar hasil dan target luaran pelaksanaan program. Untuk
keberlanjutan program, tim pelaksana akan terus menjalin kerjasama dengan mitra dengan
melakukan penguatan kelembagaan kelompok tani di wilayah sasaran dan selalu membuka
ruang konsultasi dan pendampingan. Tim pelaksana juga melibatkan mahasiswa dalam
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
39
pelaksanaan program untuk lebih mengintensifkan pendampingan dan keberlanjutan
program melalui kegiatan penelitian mahasiswa.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa tahapan Program Kemitraan Masyarakat (PKM) telah dilaksanakan sesuai
dengan jadwal yang ditetapkan dan diikuti oleh masyarakat khususnya kelompok tani
dengan antusias, yaitu :
1). Pemberian pemahaman kepada petani tentang dampak negatif penggunaan input kimia
terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan
2). Sosialisasi/introduksi pemanfaatan vegetasi sekunder dan limbah serbuk gergaji
sebagai bioteknologi pupuk bokasi plus yang efektif, efisien, ekonomis dan ramah
lingkungan.
3). Sosialisasi/demonstrasi budidaya tanaman sayuran (kangkung, kacang panjang,
terong, tomat dan cabai) dengan sistem intercropping.
3). Bimbingan teknis dan pelatihan cara pembuatan bioteknologi pupuk organik plus.
4). Diseminasi dan pembuatan model/demplot budidaya sayuran dengan sistem
intercropping dan pendampingan yang intensif
Prioritas kegiatan tersebut dilaksanakan secara bertahap dan terencana dengan
melibatkan partisipasi aktif dari petani. Pelaksanaan PKM ini diharapkan dapat mengubah
prilaku masyarakat petani dari sistem pertanian konvensional yang berdampak buruk
terhadap lingkungan menjadi sistem pertanian berwawasan lingkungan. Partisipasi mitra
dalam pelaksanaan PKM ini adalah :
1). Berperan aktif dalam kegiatan sosialisasi/introduksi dan penyuluhan tentang
pemanfaatan dan pembuatan bioteknologi pupuk bokasi plus dengan memanfaatkan
vegetasi sekunder dan limbah serbuk gergaji serta demonstrasi dan bimbingan teknis
penerapan sistem intercropping dalam budidaya tanaman sayuran.
2). Menyediakan lahan dan turut serta secara aktif dalam pembuatan model/demplot
budidaya tanaman sayuran yang mengadopsi inovasi bioteknologi pupuk bokasi plus
dan sistem pertanaman intercropping.
3). Bersama–sama tim pelaksana menyelesaikan keseluruhan program
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
40
4. KESIMPULAN
Hasil kegiatan Program Kemitraan Masyarakan (PKM) sementara menunjukkan
bahwa vegetasi sekunder yang tumbuh dominan di sekitar lahan pertanian dan umumnya
dianggap sebagai gulma dapat dikembangkan menjadi produk bioteknologi pemupukkan
berupa pupuk bokasi plus yang mudah dibuat, efektif meningkatkan hara tanah, ekonomis
dan ramah lingkungan. Di sisi lain, kelompok tani dan masyarakat umum sangat tertarik
mengikuti kegiatan ini dan berkeinginan untuk mempraktekannya pada lahan budidaya
mereka masing- masing.
Program Kemitraan Masyarakat ini sebaiknya dilaksanakan multi tahun agar
pelaksanaanya tidak terputus sehingga masyarakat memiliki waktu yang cukup untuk
mengadopsi bioteknologi baru yang didiseminasikan sehingga tujuan dari program ini
terwujud seperti yang diharapkan dan dapat memperkaya khasana ilmu pengetahuan serta
lebih bermanfaat bagi masyarakat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementeriaan Riset, Teknologi dan
PerguruanTinggi Republik Indonesia. Serta ucapan terima kasih juga untuk pemenrintah
Kecamatan Watoputeh, dan kepada kelompok tani yang menjadi mitra kami yaitu
Kelompok Cahaya Tani Saongkoleo dan KelompokBerkah Tani Lakapodo.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Dariah dan A. Mulyani. 2008. Teknologi pengelolaan lahan kering
mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian. 27(2):43-49.
Beauchamp, E.G. and D.J. Hume. 2007. Agricultural soil manipulation : The using of
bacteria, manuring and plowing. Modern Soil Microbiology Journal. 4(3):643-664.
BPS Kabupaten Muna. 2016. Kabupaten Muna dalam Angka. BPS Kabupaten Muna.
Raha.
Kasno, A., D. Setyorini dan E. Tuberkih. 2006. Budidaya Hortikultura pada tanah
Inveptisol dan Ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 8(2):91-98.
Karimuna, L. dan Rahni, N.M. 2016. The Use of Bokashi to Enhance Agricultural
Productivity of Marginal Soil in Southeast Sulawesi, Indonesia. 4(2):11-20.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
41
Matsumoto, H., Y. Yamamoto and B. Ezaki. 2003. Recent advances in the physiological
and molecular mechanism of Al toxicity and tolerance in higher plants. Adv. Plant
Physiol. 5:29-74.
Mutiarawati, T. 2007. Kendala dan peluang dalam produksi pertanian organik di Indonesia.
Ceramah Ilmiah Himpunan Mahasiswa Sosek Pertanian Unpad. 15 April, 2007.
Jatinangor, Indonesia. Hal. 1-6.
Nursyamsi, D. 2004. Beberapa upaya untuk meningkatkan produktivitas tanah di lahan
kering. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahni, N.M. dan L. Karimuna. 2015. Respons Kacang Tanah Lokal (Arachis hypogaea L.)
terhadap Aplikasi Bioteknologi Pupuk Hijau Plus Berbasis Vegetasi Sekunder pada
Lakan Kering Marginal. Prosiding: Seminar dan Kongres Nasional HITI, Universitas
Brawijara 2015. Malang.
Simanungkalit, R.D.M. 2006. Aplikasi pupuk hayati dan pupuk kimia : Suatu pendekatan
terpadu. Buletin AgroBio. 4(2):56-61.
Sujitno, E., Fahmi, T. dan I. Djatnika. 2012. Usahatani tumpeng sari tanaman tomat dan
cabai di dataran tinggi Kabupaten Garut. Inovasi Hortikultura Pengungkit
Pendapatan Rakyat. IAARD Press. Badan Pengembangan dan Penelitian Pertanian.
Jakarta. 58-64.
Sopandie, D. 2006. Perspektif fisiologi dalam pengembangan tanaman pangan di lahan
marjinal. Orasi ilimiah guru besar tetap fisiologi tanaman. 16 September 2006.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
42
PEMANTAUAN KUALITAS UDARA PADA SEKOLAH DASAR
PINGGIR JALAN PERKOTAAN MENGGUNAKAN
EPIPHYTIC LICHEN
Sumarlin1), Mochammad Assiddieq2)
1)Teknik Lingkungan Universitas Muhammadiyah Kendari;
e-mail: 1)[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh tingkat kepadatan lalu lintas pada dengan
karakteristik makroskopis epiphytic lichen kaitannya dengan kualitas udara di sekolah yang
terletak dipinggir jalan. Dalam penelitian didapatkan volume lalulintas harian tertinggi di
SDN Poasia sebanyak 8.065 kend/hari, di SDN 2 Baruga sebanyak 7.948 kend/hari dan di
SDN 18 Baruga sebanyak 366 kend/hari sedangkan kehadiran ephypitic lichen persentase
kehadiran ephypitic lichen tertinggi di SDN 18 Baruga sebanyak 90% dengan warna talus
cerah dan tebal, sedangkan pada SDN 2 Baruga 67% dan SDN 1 Poasia 66% dengan
warna talus kusam dan tipis. Uji Spearman’s rank correlation didapatkan rs = -1,00 dan
Pvalue (0,0); Pvalue (0,0) < (0,01) maka H0 : s = 0 ditolak, artinya semakin tinggi volume
lalulintas maka persentase kehadiran lichen semakin rendah. Gas buang kendaraan
bermotor yang intens dan periodik memungkinkan menurunnya prosentase kehadiran dan
warna epiphytic lichen, hal ini berkaitan erat dengan penurunan kualitas udara di sekolah-
sekolah pinggir jalan. Berdasarkan karakteristik tampakan epiphytic lichen di lokasi
pemantauan menunjukkan lingkungan SDN 1 Poasia dan SDN 2 Baruga telah telah
tercemar sedang sedang dan berpotensi tercemar berat sedangkan pada lingkungan SDN
18 Baruga masih pada taraf lingkungan bersih dan berpotensi tercemar ringan.
Kata kunci: Epiphytic Lichen, Kualitas Udara, Pemantauan, Sekolah Dasar
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
43
1. PENDAHULUAN
Pembangunan sosial ekonomi telah mendorong meningkatnya stok kendaraan bermotor
dalam tiap tahunnya. Kepemilikan kendaraan pada dasarnya dipengaruhi harga yang
terjangkau, iklan, gaya hidup, pekerjaan, situasi ekonomi konsumen, kelas sosial (Saputra,
2013; Indayani, 2014; Winarti, 2015). Melonjaknya jumlah kendaraan menciptakan
sejumlah tantangan substansial seperti kerawanan energi, polusi udara dan kesehatan
masyarakat di berbagai negara. Dalam skala global paling tidak emisi kendaraan bermotor
bertanggungjawab terhadap meningkatnya 29% NOx antropogenik di China (MEP, 2014),
37% di Amerika Serikat (US EPA, 2014 ), dan 40% di Uni Eropa (EEA, 2014).
Dampak paparan polusi udara menurut WHO (2017) telah menjadi penyebab meninggalnya
570.000 anak setiap tahun karena infeksi saluran pernapasan, lebih dari setengah dari
jumlah tersebut terjadi di negara-negara miskin dan negara berkembang. Menurut Villareal
et. al (2008) polusi udara dari kendaraan bermotor telah menyebabkan radang saluran napas
akut dan penurunan fungsi paru pada anak sekolah di Mexico City. Dampak polusi udara
dari lalulintas juga diungkap oleh Schultz et al. (2012) yakni paparan polusi udara saat
umur kanak-kanak mempengaruhi fungsi paru pada anak sampai dengan 8 tahun.
Saat ini pemerintah sedang giatnya mempersiapkan generasi emas 2045, dimana ditahun
tersebut Indonesia diyakini akan mengalami siklus kejayan kembali dengan bonus
demografinya (Sugiharto, 2012). Dalam menyosong generasi emas tahun 2045 tersebut
langkah yang harus dilakukan diantaranya adalah menurunkan kematian anak dan
memastikan kelestarian lingkungan hidup. Pertambahan jumlah kendaraan beberapa tahun
belakangan ini akan memicu turunnya kualitas udara terutama di daerah perkotaan. Di kota
Kendari peningkatan jumlah kendaraan disinyalir menjadi penyebab meningkatnya jumlah
SO2 dan PM10. Parameter SO2 pada tahun 2014 sebesar 127.97µg/Nm3 dan tahun 2015
sebesar 219, 4 µg/Nm3 atau meningkat sebesar 41,7%. Parameter PM10 pada tahun 2014
sebesar 119.1 4 µg/Nm3 dan tahun 2015 sebesar 184,6 µg/Nm3 meningkat sebesar 35,47%
(BLH Sultra, 2015). Sekolah-sekolah yang berada di pinggiran jalan perkotaan disinyalir
akan mendapatkan dampak yang serius pula sehingga akan mengancam kesehatan anak-
anak di sekolah-sekolah tersebut sehingga keberlanjutan generasi akan terganggu.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
44
Tidak hanya fisiologi manusia, penurunan kualitas udara dapat mempengaruhi fisiologis
tumbuhan. Tumbuhan lebih responsive terhadap perubahan lingkungan, sehingga dapat
dijadikan indikator biologi. Salah satu indikator biologi yang diakui sensitive terhadap
penuruan kualitas udara adalah Epiphytic lichen (Blasco et. al, 2011). Sensivitas lichen
dalam penurunan kualitas udara dapat ditunjukkan dengan penurunan keragaman,
terjadinya perubahan morfologi, fisiologis dan anatomis yang disertai hilangnya spesies
yang sensitif (Bajpai et. al, 2010). Terpaparnya atmosfer oleh polutan toksik dalam jumlah
besar terutama SO2 dan NOx pada daerah perkotaan menyebabkan hilangnya secara
dramatis mayoritas spesies epiphytic di kota-kota dunia (Adamo et. al, 2008). Warna
ephypitic lichen pucat bahkan mati dan persentase kehadiran lichen sedikit pada
persimpangan jalan dengan volume lalulintas tinggi (Sumarlin dan Dikman, 2017).
Kontrol kualitas udara perkotaan sebagai tindakan preventif untuk mengatasi masalah
kesehatan masyarakat terutama anak-anak karena organnya belum sesempurna orang
dewasa harus secara kontinu dilakukan. Kontrol kualitas udara dengan menggunakan alat
monitor membutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit, sementara indikator biologi dianggap
dapat menggambarkan karakteristik dampak (Holt dan Miller, 2011), dan lebih efisen
dibandingan dengan alat monitor.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survey sebagian anggota
populasi yang ditentukan secara purposive sampling yang diharapkan merepresentasikan
populasi. Variabel yang diamati dan diukur adalah volume lalulintas dan epiphytic lichen.
Penentuan lokasi penelitian mempertimbangkan aktivitas lalulintas perkotaan yang padat,
sedang dan rendah yang akan berkaitan dengan kualitas udara. Adapun lokasi penelitian ini
adalah SDN 18 Baruga (pinggiran kota), SDN 02 Baruga (pusat kota), SDN 01 Poasia
(pengembangan kota). Waktu pengukuran kepadatan lalulintas mempertimbangkan
kepadatan aktivitas lalulintas pekanan/hari yaitu hari senin (awal pekan), hari rabu (tengah
pekan), hari jum’at (akhir pekan) dan kepadatan aktivitas harian/jam yaitu pukul 06.30-
07.30 WITA (pagi), pukul 10.30-11.30 WITA (siang), dan pukul 15.30-16.30 WITA (sore).
Karakteristik epiphytic lichen diamati pada vegetasi sekolah berdiameter minimal 5 cm
dengan ketinggian 1 meter dari permukaan tanah dengan jarak 5 meter, 20 meter, 35 meter
dari pinggir jalan raya. Gambaran variabel dan informasi yang didapatkan dalam penelitian
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
45
ini kemudian dideskripsikan secara kualitatif. Bagan alur (flowchart) metode penelitian ini
dapat diilustrasikan pada gambar sebagai berikut.
Gambar. 1 Flowchart Penelitian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemantauan jumlah maksimum kendaraan yang melewati 3 (tiga) titik diketahui
volume lalulintas harian yang melewati SD Negeri 1 Poasia sebanyak 8.065 kend/hari,
volume lalulintas harian yang melewati SD Negeri 2 Baruga sebanyak 7.948 kend/hari dan
volume lalulintas harian yang melewati SD Negeri 18 Baruga sebanyak 366 kend/hari. Hal
ini menunjukkan bahwa volume lalulintas harian tertinggi terjadi pada jalan di depan SDN
1 Poasia dan terendah terjadi di SD Negeri 18 Baruga. Sementara itu, kehadiran lichen pada
Observasi Lapangan
Interview
oIdentifikasi Masalah
oPerumusan Masalah
oPenentuan Tujuan dan Manfaat
Tinjauan Pustaka
(Jurnal Ilmiah, Artikel Ilmiah, Buku)
Pengumpulan dan Pengukuran Data:
Volume Lalulintas
Karakteristik Epiphytic Lichen
Kualitas Udara
Pengolahan dan Analisis Data
Memenuhi kriteria
tujuan penelitian?
Tidak
Hasil dan Pembahasan
Ya
Kesimpulan dan Saran
Mulai
Selesai
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
46
vegetasi di SD Negeri Poasia mencapai 66 % dengan persentase luas penutupan lichen
sebesar 20%, kehadiran lichen pada vegetasi di SD Negeri 2 Baruga mencapai 67% dengan
persentase luas penutupan lichen sebesar 21% dan kehadiran lichen pada vegetasi di SD
Negeri 18 Baruga mencapai 100% dengan persentase luas penutupan lichen sebesar 90%.
Karakteristik talus lichen yang ditemukan secara umum dikelompokan 2 (dua) tipe
bentukan yakni bentukan seperti daun, datar, lebar, banyak lekukan seperti daun yang
mengkerut berputar, dan bentukan seperti bercak putih, melekat erat pada kulit pohon
(substrat), datar dan tipis permukaannya. Menurut Nash (2008), lichen yang melekat erat
pada subsrat dan mungkin tidak bisa hilang karena permukaannya tipis adalah karakteristik
lichen tipe crustose, sedangkan lichen yang hanya melekat sebagian pada subrat, datar dan
seperti daun adalah ciri dari lumut tipe foliese. Berdasarkan hal tersebut ini berarti, tipe
lichen yang ditemukan pada 3 titik pemantauan adalah tipe foliese dan tipe crustose.
Menurut Consorsium North America Lichen Herbarium (2016) menyatakan famili
Graphidaceae dan Arthoniceae yang termasuk lichen tipe crustose (www.lichenportal.
org). Menurut Thower (1988) ciri dari family graphidaceae adalah polanya unik seperti
hieroglyph, memanjang, bentuk askus linier, elongate,
Hubungan antara volume lalulintas dengan prosentase kehadiran lichen pada
setiap titik pengamatan diuji dengan menggunakan Spearman’s rank correlation dan
didapatkan koefisien korelasi (rs) = -1,00 dan probabilitas hitung (Pvalue) =0,0; dikarenakan
nilai hitung (Pvalue) lebih kecil dari nilai signifikasi () = 0,01 maka H0 : s = 0 ditolak, ini
artinya, ada korelasi antara tingginya volume kendaraan dengan prosentase kehadiran
lichen di sekolah-sekolah pinggir jalan. Korelasi antara volume lalulintas dengan
prosentase kehadiran lichen dapat dilihat pada Gambar. 2 berikut ini.
Gambar 2. Grafik antara volume lalulintas dan kehadiran lichen
Vo
lum
e l
alu
lin
tas
x 1
00
0(k
end
/jam
)
Persentase kehadiran dan density lichen
volume lalulintas Frekuensi kehadiran lichen
density
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
47
Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi volume lalulintas maka
maka presentase kehadiran lichen semakin rendah. Volume lalulintas yang tinggi di yang
melintasi sekolah dasar memungkinkan terjadinya pencemaran udara, Noer dalam Pratiwi
(2006) menjelaskan parameter yang digunakan untuk mengungkapkan terjadinya
pencemaran udara dengan menggunakan lichen sebagai bioindikator adalah pada daerah
dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada sedikit dan jenis-jenis yang peka
sekali akan hilang. Pada area dimana volume lalulintas tinggi jumlah polutan gas buang dari
kendaraan konsentrasinya akan tinggi karena terakumulasi secara intens dan periodik setiap
saat. Menurut Sumarlin dan Maheng (2017), perbedaan tampakan warna epiphytic lichen
dihubungkan dengan volume kendaraan dapat dilihat pada gambar berikut.
Simpang Adibahasa
Volume
Lalulintas:
6370 smp/jam
Simpang Wua-Wua
Jaya
Volume
Lalulintas:
6602 smp/jam
Simpang Stainless
Volume
lalulintas: 7.135
smp/jam
Gambar 5.7 Tampakan parmelia. sp pada 3 (tiga) titik pemantauan
(Sumber: Sumarlin & Maheng, 2016)
Menurut Sumarlin dan Maheng (2017), menyatakan bahwa semakin tinggi volume
kendaraan warna lichen semakin berubah, lichen di daerah yang tercemar pertumbuhannya
kurang baik, warnanya pucat atau berubah. Adapun tampakan lichen pada titik pengamatan
dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
48
SDN 1 Poasia
Volume Lalulintas
8065 kend/hari
SDN 2 Baruga
Volume lalulintas
7498 kend/hari
SDN 18 Baruga
Volume lalulintas
366 kend/hari
Gambar 5.8 Tampakan Cryptothecia striata (atas) dan
Graphis.sp (bawah) pada tiga titik pemantauan.
Berdasarkan tampakan talus lichen di atas area dengan volume lalulintas tinggi
berbeda dengan tampakan lichen dengan volume lalulintas rendah, semakin sedikit volume
lalulintas maka warna talus semakin terang begitupun pertumbuhan lichen. Berdasarkan
spesiesnya lichen yang ditemukan di SDN 1 Poasia dan SDN 1 Baruga tergolong dalam
spesies graphidaceae dan arthoniceae, berdasarkan Syamsudin et.all (2012) spesies ini
moderat dengan adanya polutan dan dapat hidup area dengan pencemaran sedang dan
berpotensi tercemar berat sedangkan di SD 18 Baruga masih ditemukan spesies yang sensitif
dengan polutan (spesies physcia, sp) hal ini menujukkan bahwa lingkungan SDN 18 Baruga
berada pada taraf lingkungan udara bersih berpotensi tercemar ringan.
4. KESIMPULAN
Penilaian kualitas udara menggunakan epiphytic lichen pada sekolah pinggir jalan
perkotaan, hasil pemgamatan menujukkan ada korelasi antara tingginya volume kendaraan
dengan prosentase kehadiran lichen di sekolah-sekolah pinggir jalan dan semakin tinggi
volume lalulintas yang melewati suatu sekolah maka pertumbuhan epiphytic lichen semakin
tidak subur, talus tipis dan warna pucat. Gas buang dari kendaraan bermotor yang intens
dan periodik memungkinkan menurunnya prosentase kehadiran lichen dan perubahan
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
49
pertumbuhan serta warna epiphytic lichen di titik pengamatan. Hal ini sangat berkaitan erat
dengan penurunan kualitas udara di sekolah-sekolah pinggir jalan, berdasarkan karakteristik
tampakan epiphytic lichen di lokasi pemantauan menujukkan bahwa pada lingkungan SDN
1 Poasia dan SDN 2 Baruga telah tercemar sedang dan berpotensi tercemar berat sedangkan
pada lingkungan SDN 18 Baruga masih dalam taraf udara bersih dan berpotensi tercemar
ringan.
5. SARAN
Penelitian selanjutnya dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan lokasi dan kuantitas
pengambilan data dengan jangka waktu yang lebih lama.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal
Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
yang telah membiaya ini penelitian ini serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Muhammadiyah Kendari atas kerjasama selama berlangsungnya
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adamo. P, Bargagli. R, Giordano. S, et. al., 2008. Natural and pre-treatments induced
variability in the chemical composition and morphology of lichens and mosses
selected for active monitoring of airborne elements. Environ Pollut 152:11–19
Bajpai, R, Upreti, D.K, Nayaka S, Kumari, B., 2010. Biodiversity, bioaccumulation and
physiological changes in lichens growing in the vicinity of coal-based thermal power
plant of of Raebareli district, north India. Journal Hazard Mater 174:429–436
BLH (Badan Lingkungan Hidup) Kota Kendari, 2015. Laporan Evaluasi Kualitas Udara
Perkotaan, Tahun 2015 Badan Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara, Kendari
Blasco, M., Domeno., C, Lopez. P., Nerın, C. 2011. Behaviour of different lichen species as
biomonitors of air pollution by PAHs in natural ecosystems. Journal Environment
Monitor 13:2588
EEA (European Environmental Agency): European Union emission inventory report 1990–
2012 under the UNECE Convention on Long-range Ransboundary Air Pollution
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
50
(LRTAP), Annex I, European Union (EU-27) LRTAP emission data
(http://www.eea.europa.eu/publications/lrtap-2017, diakses: 10 Maret 2017)
Holt, E.A,. Miller, S.W., 2011. Bioindicators: using organisms to measure environmental
impacts. Nature Education Knowledge (diakses, 10 Januari 2016)
http://www.lichens.ie/lichens-as-biomonitors/( diakses: 11 Maret, 2017)
Indayani, K.,Kirya, I.K., Yulianthini, N.N,. 2014. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli mobil. e-Journal Bisma.
Universitas Ganesha Jurusan Managemen. Volume. 2
MEP (Ministry of Environmental Protection, P. R. China): Bulletin of China’s
Environmental Status in 2013, ( http://jcs. mep.gov.cn/hjzl/zkgb/2013zkgb, diakses:
20 Maret 2017)
Pratiwi, M. E., 2006. Kajian lichen sebagai bioindikator kualitas udara studi kasus: kawasan
industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Skripsi.
IPB, Bogor.
Samsuddin, MW., Din, L., Zakaria, Z,. Latip, at.al., 2012. Measuring air Quality Using
Lichen mapping at Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) Campus. Procedia-Sosial
and Behavorial Sciences. 655-643.
Saputra, D., A. 2013. Pengaruh Kualitas produk, Harga, dan Iklan terhadap Keputusan
Pembelian Sepeda Motor Yamaha. Naskah Publikasi Ilmiah. Prodi Manajemen Fak.
Ekonomi UMS. Solo.
Sugiharto, 2012. Menyongsong Indonesia Emas 2045 Disampaikan pada Kuliah Perdana
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta. Tanggal 17 September
2013 (https://lutfiyah17.files.wordpress.com/2013/01/
Sumarlin, M.M. Dikaman, 2017. Pendeteksian Kualitas Udara Perkotaan Melalui
Karakteristik Epiphytic Lichen Pada Persimpangan Jalan. Laporan Penelitian.
Universitas Muhammadiyah Kendari
Schultz, Erica.S., Gruzieva, O., Bellander, T., Bottai, M, et.al, 2012. Traffic-related Air
Pollution and Lung Function in Children at 8 Years Age. American Journal of
Respiratory and Critical Care Medicine. Vol 186 pp: 1286-129.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
51
US. EPA (United States Environmental Proction Agency), 2014. The 2014 National
emissions Inventory (http: //www.epa.gov/ttn/chief/net/2014 inventory. Html
(diakses: 30 April 2017)
Villareal, A.B., Sunyer, J., Cadena, L.H., Nunez, M.C.E,. 2008. Air Pollution, Airway
Inflammation, and Lung Function in Cohort Study of Mexico City Schollchildren.
Research. Environmental Health Perspectives. Vol. 116 (6) pp 832-838
Winarti, E.Ch. 2015. Pengaruh Motivasi Konsumen, Persepsi Kualitas, Sikap Konsumen
dan Harga terhadap Keputusan Pembelian Mobil Nissan Grand Livina di Dealer Pusat
PT. Nissan Motor Indonesia, JL. MT. Haryono Kav. 10 Jakarta Timur. Kelola Vol. 2.
No. 3 (ISSN: 2337-5965)
WHO, 2017. Health and Air Pollution (http://www.who.int/mediacentre/factsheets, diakses:
11 April 2017
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
52
MEMBANGUN SUMBER DAYA MANUSIA BERKELANJUTAN
PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (STUDI KASUS
SUKU ANAK DALAM DI TAMAN NASIONAL
BUKIT DUABELAS JAMBI)
Rina Astarika1) Partini Endang2) Sulastri3)
Email: 1)[email protected]
ABSTRAK
Moderenisasi dan Globalisasi mengancam keberlanjutan kehidupan Komunitas Adat
Terpencil (KAT) di Indonesia, khususnya Suku Anak Dalam (SAD) yang mendiami hutan
belantara Sumatera. Karakter SAD yang terpencar dan belum terlibat dalam berbagai
jaringan dan pelayanan sosial,ekonomi, politik, membuat komunitas ini semakin
termarginalkan. Pendidikan merupakan salah satu solusi untuk mengubah keadaan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model pendidikan seperti apa yang dibutuhkan
SAD dan mengetahui pemberdayaan apa saja yang sudah dilakukan untuk mereka.
Penelitian dilakukan di Desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun.
Data penelitian dianalisis dengan menggunakan model studi kasus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Model pembedayaan pendidikan alternatif yang berdasarkan pada
aspek Kultural budaya setempat , yang mudah diterima oleh SAD. Pemerintah, Swasta dan
LSM terlibat aktif dalam pemberdayaan pendidikan bagi SAD. Swasta dan LSM bergerak
di pendidikan alternatif yang bersifat non formal, sedangkan Pemerintah memberikan
pelayanan pendidikan formal dan juga non formal. Pendidikan membawa perubahan cara
pandang, pendidikan bagi SAD merupakan simbol perlawanan dari penindasan.
Kata Kunci: Pendidikan, Suku Anak Dalam (SAD), Perubahan
I. PENDAHULUAN
Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu dari 2349 Komunitas Adat Terpencil
(KAT) yang ada di Indonesia. Komunitas Adat Terpencil atau disingkat KAT adalah
kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan hidup terpencar serta kurang atau belum
terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. SAD adalah
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
53
kelompok suku bangsa yang mendiami hutan di Jambi, Sumatera. SAD digolongkan sebagai
suku bangsa minoritas (Suparlan, 2004). Keminoritasan suatu kelompok tidak selalu
berkaitan dengan jumlah populasi atau keanggotaan suatu kelompok, tetapi lebih pada status
marginal yang dipunyai kelompok tersebut terhadap kelompok lain yang dianggap lebih
dominan ( Seymour, 1987). Sebagai suku bangsa minoritas, SAD diperlakukan berbeda
dengan suku lainnya. Masyarakat Jambi mengenal SAD dengan sebutan suku Kubu yang
identik dengan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan ( Prasetijo, 2011)
Tingginya arus modernisasi dan globalisasi pada dua dekade terakhir berimplikasi
kepada sustainable Suku Anak Dalam (SAD). Arus modernisasi tersebut menjadi sebuah
ancaman bagi SAD, baik dari segi ekonomi, sosial politik dan kebudayaan. Untuk mampu
mempertahankan keberlangsungan hidupnya, SAD harus menyikapi modernisasi ini dengan
bijak dan menggunakan segala pengetahuan yang mereka miliki. Dengan begitu, mereka
mampu untuk tetap hidup dan bertahan di dunia modern seperti sekarang.
Pengetahuan yang dimiliki SAD, adalah pengetahuan lisan yang bersumber dari
norma dan adat yang berlaku serta petatah petitih tetua adat. Awalnya dengan pengetahuan
yang di miliki, SAD sudah tinggal dengan tenang di dalam hutan. Akan tetapi ketika praktek-
praktek pembangunan giat dilancarkan mulai tahun 1970-an, membuat kehancuran hutan
hujan tropis di wilayah Bukit Duabelas Jambi. Eksploitasi sumber daya alam besar besaran
dilakukan demi mendorong pertumbuhan ekonomi, menyebabkan hutan di Jambi
mendapatkan tekanan yang siginifikan (Rokhdian, 2012).
Dipicu oleh kerusakan hutan, maka kehidupan SAD pun berubah. Semakin sempit
hutan berarti semakin sempit luas jelajah dari SAD yang menyebabkan mereka kesulitan
mencari sumber makanan dan kebutuhan. Selain itu keterbukaan akses dengan dunia luar
menimbulkan efek negatif bagi SAD. Posisi SAD yang kurang mendapatkan pendidikan
semakin menyulitkan mereka jika dihadapkan dengan keterbukaan akses. Ketidaktahuan
mereka dengan angka dan huruf menyebabkan mereka sering ditipu oleh pihak luar.
Seringkali SAD ditipu oleh oknum tertentu yang menunjukkan sepucuk surat perintah,
karena SAD tidak mampu membaca maka mereka hanya mengikuti apa yang diperintah
oknum tersebut. Kerap kali surat tersebut membawa kerugian bagi masyarakat SAD.
Pengusiran dan penipuan dalam hal perdagangan seringkali SAD alami. Melihat kondisi ini,
SAD mulai menyadari arti pentingnya pendidikan (Manan, 2018)
Pendidikan bagi KAT dijamin dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa “ Warga Negara di daerah terpencil
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
54
atau terbelakang serta masyarakat adat terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus.” Pasal diatas memberikan gambaran kepada kita semua bahwa dari segi hak,
jaminan bagi masyarakat adat untuk memperoleh layanan pendidikan dari Negara sudah
cukup jelas. Artinya undang-undang menjamin hak hak mereka secara jelas. Negara
memiliki kewajiban untuk memenuhinya, karena mencerdaskan kehidupan bangsa
merupakan salah satu tugas Negara yang diamanatkan oleh konstitusi ( Apriansyah, 2015).
Masih banyak masyarakat SAD yang belum mendapatkan pendidikan, baik itu
pendidikan non formal maupun formal. Pendidikan yang layak, sesuai dengan adat dan
budaya setempat tentu merupakan harapan semua pihak Hanya saja meski sudah 73 Tahun
Indonesia merdeka, pendidikan yang layak dan merata masih belum dirasakan sebagian
warga negara, terutama masyarakat adat (SAD) yang hidup dalam kondisi marginal dan
terpinggirkan. Dari satu aspek yaitu pendidikan saja (SAD) belum mendapatkan keadilan
yang merata. Jika melihat fenomena di atas, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian
ini. Pedidikan seperti apa yang dibutuhkan SAD untuk menunjang kehidupan modern, apa
saja upaya yang sudah dilakukan “Aktor Pemberdaya” (Pemerintah, Swasta, LSM) untuk
meningkatkan dan mengembangkan kualitas SDM SAD merupakan tujuan utama dalam
penelitian ini.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Kabupaten
Sarolangun Propinsi Jambi, yaitu pada rombong Suku Anak Dalam yang telah menetap.
Lokasi penelitian ditentukan dengan sengaja (purposive), karena didaerah ini merupakan
kawasan terpadu dalam memberdayakan SAD. Penelitian dilakukan selama satu bulan,
dimulai Februari sampai Maret 2018. Data yang diperlukan dalam penelitian adalah data
primer dan data sekunder. Pengumpulan data menggunakan tekhnik bola salju ( snowball).
Secara spesifik penelitian ini menggunakan metode studi kasus.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Arti Pengetahuan Bagi Suku Anak Dalam
“Education is the last War”
Pendidikan adalah perang terakhir bagi bangsa untuk tetap berjati diri dan
bermartabat. Arus Globalisasi yang begitu deras telah menjadikan pendidikan sebagai salah
satu mediumnya, pendidikan nasional Indonesia bahkan mulai lupa bahwa budaya bangsa
seharusnya menjadi common interest bagi dunia pendidikan. Ketika orang Indonesia jauh
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
55
lebih bangga dengan nilai dan budaya dari luar dibandingkan dari dalam negeri sendiri,
menandakan ada yang tidak beres dalam pendidikan kita. (Apriansyah, 2014).
Sebelum hadirnya pendidikan, masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) mempelajari
pengetahuan dengan menggunakan sistem sekola pada indok bepak. Sistem ini merupakan
sebuah sistem pengasuhan anak oleh orang tuanya. Secara harfiah sekola pada indok bepak
berarti sekolah pada ibu dan bapak (orang tua). Proses ini merupakan pendidikan tradisional
yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak SAD. Segala sesuatu yang sangat erat
dengan kehidupan SAD wajib diajarkan kepada anak-anak agar nantinya anak-anak mampu
hidup mandiri ( Manan, 2018).
Berbagai pengetahuan diberikan kepada anak anak mereka. Memasuki umur 5
tahun, sudah ada pembedaan materi ajar antara perempuan dan laki-laki. Untuk perempuan,
mereka diajarkan mengenai aktivitas perempuan SAD seperti kegiatan domistik dan
kerajinan tangan. Anak laki-laki mulai diajarkan untuk memimpin dan bertanggung jawab.
Selain itu, anak laki-laki wajib membantu orang tua mereka untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarga. Dari mulai berburu, meramu hingga bercocok tanam harus dapat dimengerti
oleh sang anak. Pengalaman yang didapat selama membantu orang tua berburu, meramu dan
bercocok tanam itulah yang menjadi bahan ajar agar mampu menjalani kehidupan di masa
mendatang.
Menginjak dewasa atau pada usia remaja mereka juga diikutsertakan pada setiap
proses adat dan forum adat. Pengajaran adat dilakukan oleh orang tua, dan para pemegang
jabatan dalam suatu kelompok seperti Temenggung, Depati, Mangku atau rerayo. Kegiatan
ini menjadi sebuah proses pengenalan adat dan budaya Suku Anak Dalam kepada generasi
berikutnya. Puluhan bahkan ratusan tahun SAD menikmati pola pengetahuan sepertini ini.
Dengan pengetahuan yang didapat dari Indok bepak, para rerayo dan Tetua adat mereka
belajar menjaga hubungan yang baik dengan hutannya. Alam hutan (Halom Rimba) adalah
nadi kehidupan SAD yang harus mereka jaga dan rawat dengan baik. Namun sayangnya
nadi kehidupan ini banyak dirusak oleh pihak pihak yang memiliki banyak kepentingan.
HPH (Hak Penguasaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), Transmigrasi, illegal
logging yang berdampak pada kerusakan Halom Rimba.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
56
3.1. Model Pendidikan Suku Anak Dalam
Ditengah kehidupan saat ini, rusaknya Halom Rimba dan moderenisasi melanda
kehidupan SAD, maka model pendidikan yang mereka butuhkan adalah yang menekankan
pada aspek budaya lokal, karakter geografis,ekonomi, sosial, ekonomi setempat, sebab
terlalu naïf bila pendidikan SAD ini tunduk sepenuhnya pada ketentuan legal formal.
Pendidikan pada KAT hendaknya dilakukan tanpa menarik komunitas tersebut tercabut dari
budaya lokalnya. Pendidikan formal yang diagung agungkan menjadi bias bagi SAD. SAD
tidak bisa memahami konsep pendidikan sebagai sebuah investasi jangka panjang. SAD di
Jambi sulit menerima investasi yang demikian panjangnya ( sekolah formal selama 12 tahun
dari SD-SMA) dengan hasil yang belum pasti. Sebagai pembanding, lebih baik mereka
berinvestasi menanam karet alam selama 8 tahun sudah menghasilkan, Tapi sekolah ? Belum
tentu.
3.3. Pendidikan Alternatif Upaya Meningkatkan Kualitas SDM Suku Anak Dalam
Pendidikan tidak serta merta hadir dalam kehidupan SAD. Memberikan pendidikan
bagi SAD bukanlah hal yang mudah. SAD berkeyakinan apapun yang dihadirkan pada
mereka akan mengubah adat dan budaya mereka, atau mengubah Halom (alam) dalam
bahasa mereka. Awalnya SAD dihadapkan pada dua situasi yang berat. Pemilihan salah satu
dari dua situasi tersebut telah menunjukkan adanya kesadaran yang dipahami oleh SAD.
Memilih pendidikan dengan resiko melanggar salah satu adat nenek moyang merupakan
proses dialogis untuk memecahkan masalah yang dialami oleh mereka. Sebelum menerima
pembelajaran alternatif, mereka harus mendapatkan persetujuan dari rerayo terlebih dahulu
agar diijinkan belajar). Pada saat itu rerayo berkumpul untuk mendiskusikan kehadiran
pendidikan di tengah-tengah masyarakat Suku Anak Dalam. Adanya ruang dialog antar
rerayo menandakan telah muncul kesadaran bersama untuk kepentingan masyarakat SAD.
Dialog antar rerayo itu menghasilkan keputusan bahwa pendidikan alternatif boleh
dilaksanakan diwilayah mereka.
Pendidikan yang layak dikembangkan bagi SAD bersifat alternatif disesuaikan
dengan adat dan budaya mereka. Pola pendidikan seperti ini telah dikembangkan oleh
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi atau sekarang disebut Warsi. Sejak tahun
1997 Warsi sudah aktif mengembangkan pendidikan alternatif dengan metode baca tulis
hitung (BTH) untuk komunitas SAD. Guru pertama SAD di Bukit Duabelas bernama Yusak
Adrian Hutapea (alm) telah melakukan studi awal untuk pendidikan mereka (Apriansyah,
2015). Metode pendidikan alternatif memiliki kebebasan untuk mengembangkan
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
57
pembelajaran sesuai karakter geografis, ekonomi,sosial dan budaya setempat. Terlalu naïf
bila pendidikan masyarakat adat tunduk sepenuhnya pada ketentuan legal formal, yang
justru menghasilkan generasi yang tercabut dari akar geografis,ekonomi, sosial dan budaya
mereka. Sebagai contoh, mereka setiap hari berhadapan dengan berbagai jenis tanaman dan
makhluk lain di hutan, makanan yang serba alami dan budaya agraris, tiba tiba
diperkenalkan dengan semua produk industri, tanaman industri, budaya kota dan kebiasaan
orang kota (Sukrameni, 2015).
Selain Warsi, pendidikan alternatif juga dikembangkan oleh Sokola Rimba. Sokola
Rimba terbentuk atas prakarsa Butet Manurung, yang awalnya dulu juga bekerja sebagai
fasilitator Warsi, dan pada tanggal 30 September 2003 lahirlah Sokola Rimba (Manurung,
2007) Sokola Rimba di dirikan untuk mendidik anak anak SAD (anak Rimba). Tempat
belajar mereka di rumah pelajoron yang ada di dalam Rimba (hutan). Namun jika belum
ada rumah pelajoron-nya maka mereka mendirikan susudungon. Anak-anak SAD ( Rimba)
yang menjadi murid Sokola Rimba banyak melakukan aktivitas bersama sang guru. Mulai
dari pagi hari, mereka akan mencari kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak.
Kemudian bersama-sama mencari bahan makanan yang bisa dikonsumi. Setelah
mendapatkan bahan makanan, biasanya mereka akan memasak bersama kemudian makan.
Setelah kenyang, barulah mereka belajar bersama sang guru. Untuk jadwal belajar sangat
tentatif tergantung keinginan dari murid-murid. Setelah dirasa bosan, murid-murid akan
bermain bersama atau kadang akan membantu orang tua mencari louk. Ketika hari
menjelang sore atau malam, barulah murid-murid kembali ke rumah pelajoron untuk
menyiapkan makan malam bersama sang guru. Seperti sebelumnya, setelah kenyang mereka
akan melanjutkan pembelajaran hingga larut malam (Gambar 1 dan 2)
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
58
Gambar 1 dan 2 (Anak anak Rimba (SAD) bersama Fasilitator Sokola Rimba
(Dokumentasi Sokola Rimba)
Upaya pendidikan alternatif yang lain adalah menghadirkan rumah singgah yang
menjadi tempat bersekolah anak anak SAD. Sudah kebiasaaan bagi SAD setiap hari pasar
mereka akan berbondong bondong ke pasar terdekat dari pemukiman mereka. Hari pasar
merupakan moment yang sangat penting bagi SAD, selain untuk menjual hasil hutan juga
dimanfaatkan mereka untuk membeli berbagai barang kebutuhan sehari hari. Pada hari
pasar, biasanya para orang tua akan mengajak serta anak anak mereka, dan mereka akan
datang sehari sebelum hari pasar. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh beberapa fasilitator
pendidikan untuk ikut memberikan pendidikan bagi anak-anak SAD. Pada periode 2008-
2015 tercatat ada 451 anak SAD yang mengikuti program baca-tulis-hitung (BTH) yang
terdiri atas 451 siswa BTH, 53 siswa SD, 12 siswa SLTP, 4 siswa SLTA dan 1 orang
mahasiswa di Perguruan Tinggi ( Muchlis, 2017).
Upaya pendidikan alternatif juga dilakukan oleh Balai Taman Nasional Bukit
Duabelas (BTNBD) yang ikut mendirikan sekolah non formal bernama Rimbo Pintar.
Fasilitator pendidikan mendatangi anak anak SAD dan memberikan pelajaran pada mereka.
Dalam seminggu sebnayak 3 kali mereka mengunjungi anak anak SAD. Selain BTNBD,
upaya pendidikan alternatif juga dilakukan oleh pihak perusahaan yang mendiami sekitar
hutan, seperti yang dilakukan oleh PT. SAL Sarana Aditya Loka). Melalui program CSR
( corporate social responsibility) PT SAL memberikan pemberdayaan pendiidikan bersifat
non formal, selain itu melalui program CSR, Perusahaan juga memberikan makan siang
gratis pada anak anak SAD (Gambar 3 dan 4)
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
59
Gambar 3 dan 4 Program CSR (Corporate Social Responsibility) oleh PT SAL untuk
memberdayakan anak anak SAD
Setelah lebih dari lima belas tahun proses fasilitasi pendidikan terus dilakukan silih
berganti, seiring dengan perkembangannya SAD tidak hanya membutuhkan fasilitasi
sebatas baca tulis hitung. Mulai ada upaya mengenalkan anak anak SAD pada pendidikan
formal. Upaya memasukkan anak anak SAD kesekolah formal sama sekali bukan hal yang
mudah. Perlu usaha keras untuk menyakinkan berbagai pihak hingga sampai pada tahapan
tersebut. Butuh proses yang tidak pendek untuk memotivasi anak anak, menyakinkan para
orang tua, berkoordinasi dengan pihak sekolah dan instansi terkait. Pendidikan formal
terlalu kaya akan muatan tetapi miskin akan konteks lokal. Upaya mendorong pengakuan
terhadap pendiidkan alternatif oleh Negara tentunya sudah menjadi sebuah kemutlakkan.
Tanpa intervensi Negara akan sulit bagi anak SAD untuk memiliki pengakuan legal formal
akan kemampuan akademik mereka. Ketiadaan pengakuan legal formal sama artinya
dengan merampas kesempatan mereka berkompetisi memperebutkan peluang-peluang
hidup untuk kehidupan yang lebih baik.
3.2. Pendidikan Formal Tonggak Sejarah Bagi Suku Anak Dalam
Tonggak sejarah pendidikan bagi SAD mengalami babak baru di tahun 2005,
dimana pendidikan formal mulai di rintis. Saat itu kesadaran kritis dari anak anak SAD
mulai mucul. Mereka mulai menanyakan : “Macammano caronye akeh mdok jadi lokoter?
Akeh ndok jadi lurah.” (Bagaimana caranya saya mau jadi dokter ? Saya mau jadi lurah?)
Cita-cita anak SAD berkaitan dengan apa yang mereka lihat secara langsung dalam
kehidupannya (Muchlis, 2017)
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
60
Pern dari Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan Kabupaten setempat
sangat diharafkan. Salah satu Kabupaten di Propinsi Jambi yang intens dan konsisten
membina dan memberdayakan SAD adalah Kabupaten Sarolangun. Pemberdayaan di
bidang pendidikan mulai dilakukan oleh Dnas Pendidikan Kabupaten Sarolangun sejak
tahun 2008 sampai saat ini. Berbagai jenis bantuan pendidikan telah diberikan pada SAD
antara lain : bantuan pakaian sekolah, perlengkapan alat sekolah, makanan gizi tambahan,
bahan material olahraga, beasiswa SAD, insentif tambahan untuk guru SAD dan kunjungan
pembinaan kelokasi SAD. (Data primer, wawancara dengan Kabid Pendidikan Kab.
Saorlangun, 2018).
Untuk melihat kondisi pendidikan SAD di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten
Sarolangun seperti pada Tabel 1 dibawah ini :
Tabel 1. Kondisi Pendidikan SAD di Kabupaten Sarolangun Pada Tahun 2017
No Lembaga
Pendidikan
Tempat Jumlah
Murid
1 PAUD 1. PAUD Putri Tijah Air Hitam
2. Nurul Islam Air Hitam
3. Nurul Ikhlas Air Hitam
4. Uslahul Ummah CNG
5. PAUD SAD Punti Kayu I Air Hitam
6. PAUD SAD Punti Kayu II Air Hitam
34
33
27
25
30
20
2 Paket - -
3 SD 1. SD No 198/VII Sei Pelakar Kec Bathin VIII
2. SD No 89/VII Pl Lintang Kec. Bathin VIII
3. SD YPPL PT Emal Pauh Kec. Pauh
4. SD No 213/VII Sepintun Kec. Pauh
5. SD No 204/VII Tj raden Kec. Limun
6. SD No 34/VII Lubuk Bedorong Kec Limun
7. SD No 191?VII Pematang Kabau, Air Hitam
30
21
13
51
35
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
61
8. SD No 197/VII Kampung VII Sekar Kec
CNG
23
37
23
4 SMP SMP Satu Atap 12 Negeri Sarolangun 12
5 SLTA SMK Sarolangun 5
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Sarolangun Tahun 2017
Tabel 1 menunjukkan bahwa Pemerintah (Negara) turut memperhatikan
pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia, khususnya pengembangan Suku
Anak Dalam . Anak-anak SAD diberikan pendidikan secara gratis mulai dari PAUD sampai
SLTA. Akan tetapi tetap saja minat pendidikan anak anak SAD untuk mengikuti pendidikan
formal masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah jauhnya jarak yang ditempuh anak
anak SAD untuk belajar ke sekolah formal. Bila ingin belajar kesekolah formal mereka harus
menempuh sekitar 6-7 km atau 2 jam perjalanan baru sampai, karena kesekolah formal yang
terdekat ada di sekitar pemukiman warga transmigrasi.
3.5. Perubahan Pendidikan SAD, Simbol Perlawaanan Penindasan
Pada tahap awal masuknya pendidikan kedalam struktur masyarakat Suku Anak
Dalam, pendidikan diharafkan dapat membantu mereka untuk menjaga halom rimba (alam
hutan) Dengan pendidikan semoga halom Rimba terjaga. Kehadiran pendidikan di tengah-
tengah masyarakat SAD juga mengubah struktur yang telah lama dijalankan oleh mereka.
Sejalan dengan diperbolehkannya pendidikan masuk kedalam masyarakat SAD membuat
mereka memiliki pengaturan baru mengenai pendidikan tersebut. Semua ini dilakukan
semata-mata agar terlepas dari penindasan yang selama ini dialami oleh mereka.
Anak anak SAD kini mulai mengakses bahan bacaan seperti koran, buku, majalah
dll. Anak-anak tersebut juga mulai memahami bacaan-bacaan yang berkaitan dengan
bagaimana Suku Anak Dalam dipahami oleh orang luar. Mereka mulai memahami bahwa
dengan bisa membaca, menulis dan berhitung maka mereka akan mengerti lebih banyak lagi.
Keadaan tersebut membawa pemahaman akan posisi mereka di dalam struktur masyarakat
secara umum dan diharapkan dengan pendidikan mereka juga dapat menjaga lingkungan
hutannya untuk menjamin keberlanjutan kehidupan mereka di masa depan.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
62
4. KESIMPULAN
Pendidikan bagi kelompok suku minoritas di Indonesia, khususnya masyarakat Suku
Anak Dalam sangat penting dilakukan. Model pendidikan yang berbasis adat dan budaya
setempat adalah kunci keberhasilannya. Pengembangan model pendidikan alternatif
berbasis budaya dan kearifan lokal setempat merupakan model pendidikan yang paling tepat
diterapkan untuk membina Komunitas Adat Terpencil (KAT). Integrasi dan kerjasama
semua aktor pemberdaya baik Pemerintah, Swasta dan NGO adalah faktor utama pendukung
keberhasilan pemberdayaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Apriansyah, Huzer. Masa depan Pendidikan Orang Rimba sebuah Refleksi. Alam Sumatera,
Eisi Oktober 2014.KKI –Warsi
Prasetijo, Adi. 2011. Serah Jajah dan Perlawanan Yang Tersisa. Etnografi Orang Rimba di
jambi. Wedatama Widya Sastra. Jakarta
Muchlis Fuad, 2017. Praktik Komunikasi dalam pemberdayaan Orang Rimba di Taman
Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana.IPB. Bogor
Manurung, Butet.2007. Sokola Rimba ( Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba).Insist
Press Yogyakarta
Manan, 2018. Pendidikan dan Perubahan Sosial : Studi di Kalangan Suku Anak Dalam
Mengenyam Pendidikan. Skripsi S1 Fisipol. UGM
Rokhdian D. 2012. Alim Rajo Disembah, Piado Alim Rajo Disangah: Ragam Bentuk
Perlawanan Orang Rimba Makekal Hulu Terhadap Kebijakan Zonasi Taman
Nasional Bukit Dua Belas. Jambi. Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Jakarta.
Seymou Smith Charlotte.1986. Maximillan Dictionary of Anthropology. Landon. Macmillan
Press.
Suparlan, Parsudi,.2004 Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta. YPKIK Apriansyah,
Huzer. Masa depan Pendidikan Orang Rimba sebuah Refleksi. Alam Sumatera, Eisi
Oktober 2014.KKI –Warsi
Sukrameni & Hermayulis. Mewujudkan Kemerdekaan Pendidikan Bagi Komunitas Adat ,
Eisi Oktober 2014.KKI –Warsi
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
63
KARAKTERISTIK KIMIA TULANG IKAN GABUS (CHANNA
STRIATA) DARI BOBOT BADAN BERBEDA
Rosmawati1), Abu Bakar Tawali2), Metusalach3), Amran Laga4)
1)Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univeraitas Muhammadiyah Kendari, Kendari-
Indonesia
2)Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian Univeritas Hasanuddin,
Makassar-Indonesia
3)Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Univeritas Hasanuddin, Makassar-Indonesia
1)Email: [email protected]
ABSTRAK
Tulang ikan termasuk bahan baku yang terdiri dari komponen organik dan non-organik
(mineral) yang penting, dan termasuk produk sampingan utama dari industri perikanan dan
budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi komponen organik dan
anorganik yang terkandung dalam tulang ikan gabus . Sampel ikan gabus pada bobot yang
berbeda diperoleh dari Bili Bili Dam, Gowa. Penelitian ini bersifat eksperimental di
laboratorium menggunakan metode Experimental Design. Contoh tulang ikan untuk
analisis proksimat, kadar kolagen, tingkat protein, kadar mineral dan fitur mikroskopis
menggunakan tulang ikan segar dan liopilisasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar
air dan kolagen ikan gabus cenderung menurun dengan bertambahnya bobot badan,
sedangkan kadar lemak dan abu cenderung meningkat, tetapi protein relatif tidak berbeda.
Gambar mikroskopis dari Scanning Electron Microscopy dan kandungan mineral berbasis
tulang dapat menjadi informasi penting untuk penggunaan tulang ikan gabus yang lebih
luas.
Kata kunci: Asam amino, kolagen, proksimat, SEM-EDS, tulang ikan gabus
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
64
1. PENDAHULUAN
Populasi penduduk yang cenderung meningkat, dengan kondisis sosial ekonomi
yang semakin baik sangat berdampak positif terhadap tingginya kebutuhan pangan dengan
kualitas dan kuantitas yang layak. Akhir-akhir ini potensi pangan tidak hanya fokus pada
pemenuhan kebutuhan sebagai bahan pangan pokok untuk memenuhi kebutuhan nutrisi,
tetapi juga telah mulai dikembangkan ke arah pemanfaatan yang lebih luas dan lebih
kompleks. Diperkirakan bahwa beberapa tahun kedepan seiring pertambahan penduduk,
kebutuhan pangan akan semakin meningkat, sehingga akan mendorong dilakukannya
pencarian berbagai sumber-sumber pangan baru yang dapat mensubstitusi kebutuhan
konsumsi manusia dari sumber pangan yang telah ada sebelumnya. Salah satu sumber
pangan masa depan adalah sisa hasil pengolahan produk pangan itu sendiri.
Produk perikanan adalah sumber pangan potensial yang cukup berkembang pesat,
dengan keunggulan pada kandungan protein dan asam-asam lemak yang baik dan aman
untuk kesehatan. Salah satu hasil perikanan yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian
adalah ikan gabus (Channa striata). Ikan gabus termasuk ikan karnivora yang hidup di air
tawar, mudah berkembang biak dan survive pada kondisi lingkungan sedikit air. Saat ini,
ikan gabus telah menjadi produk makanan kesehatan dengan kandungan protein albumin
yang secara ilmiah terbukti berfungsi dalam proses penyembuhan penyakit maupun untuk
memulihkan kesehatan tubuh (Haniffa et al., 2014; Tawali dkk., 2012; Mustafa et al., 2012;
Paul et al., 2013). Pengolahan ikan ini ke arah industri makanan kesehatan telah menjadi
peluang pemanfaatan ikan dalam skala yang lebih besar, tetapi aktivitas ini juga membuka
peluang bagi timbulnya masalah pada meningkatnya produk samping hasil pengolahan,
termasuk diantaranya tulang.
Tulang ikan merupakan bahan baku yang tersusun atas komponen organik maupun
non-organik (mineral) penting, dan merupakan produk sampingan utama dari perikanan dan
industri akuakultur. Limbah setelah filleting dapat mencapai sekitar 75% dari total berat
ikan dan terdapat sekitar 30% dari limbah tersebut berupa tulang dan kulit (Songchotikunpan
et al., 2008). Mohtar et al. (2011) mengemukakan berdasarkan informasi MSC (2009)
bahwa jumlah produk samping ikan memberikan kontribusi hampir 36% dari total berat
ikan. Lebih lanjut Mohtar et al. (2011) juga menyebutkan bahwa limbah pengolahan ikan
saat ini masih kurang dimanfaatkan dalam industri perikanan, dan gelatin ikan akan menjadi
cara yang baik untuk meningkatkan nilai tambah produk sampingan ini. Selain memecahkan
masalah pembuangan limbah, Songchotikunpan et al. (2008) menyebutkan bahwa
pemanfaatan produk samping perikanan akan menciptakan produk bernilai tambah.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
65
Penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi komponen organik dan anorganik yang
terkandung dalam tulang ikan gabus, sebagai bahan informasi bagi pemanfaatan lebih lanjut.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian berlangsung sejak April sampai November 2016. Ikan gabus diperoleh
dari Bendungan Bili Bili, Gowa. Preparasi sampel dilaksanakan di beberapa laboratorium,
antara lain Laboratorium Pengembangan Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian (Preparasi
tulang ikan untuk uji karakteristik, Laboratorium Bioteknologi Terpadu Fakultas Peternakan
(liofilisasi sampel), Laboratorium Kimia Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Peternakan
(analisis proksimat), Laboratorium Fisika FMIPA-UNM (SEM-EDS), Laboratorium
Terpadu Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB (analisis Hidroksiprolin), dan PT.
Saraswanti Indo Genetech, Bogor (analisis asam amino).
Materi Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang yang berasal dari
ikan gabus (Channa Striata) dengan ukuran 300-400 g/ekor, 600-700 g/ekor dan 900-1.000
g/ekor. Beberapa bahan kimia untuk analisis berupa H2SO4, H3BO3, NaOH 30%, HCl 0,02N,
chloroform, dan hidroksiprolin standard.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan antara lain alat untuk proses preparasi dan alat untuk
analisis uji sampel. Alat proses antara lain pisau, tang dan peralatan penunjang lain untuk
preparasi tulang. waterbath, freezer, freeze dryer, (ALPHA 1-2 LD plus), grinder,
timbangan analitik, plastik kemasan dan botol kemasan. Peralatan untuk analisis proksimat
antara lain neraca analitik, cawan porselen, oven, tanur, desikator, labu Kjeldhal, destilator,
penangas listrik, lemari asam, buret, labu Erlenmeyer, labu ukur. High-Performance Liquid
Chromatography (HPLC, 1200 Infinity Series by Agilent Technologies) (kadar
hidroksiprolin) dan UPLC (Ultra Performance Liquid Chromatograph, ACQUITY UPLC-
H Class) (asam amino) dan Scanning Electron Microscopis-Energy Dispersive Spectroscopy
(SEM-EDS, Tescan Vega3SB).
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
66
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat percobaan di laboratorium dengan menggunakan metode
Rancangan Percobaan. Penelitian terdiri atas prersiapan bahan baku, preparasi sampel dan
analisis karakteristik fisiko-kimia sampel.
1. Persiapan bahan baku
Ikan gabus segar ditimbang untuk menetapkan kelompok perlakuan. Perbedaan
bobot badan diduga dapat mewakili usia ikan gabus, semakin besar bobot badan maka usia
ikan semakin tua. Ikan dibersihkan dengan mengeluarkan bagian sisik, kepala, sirip dan
viseranya. Ikan di-fillet untuk mendapatkan bagian tulang. Tulang dibersihkan dan dikemas
dalam kantung plastik polietilen tertutup untuk dianalisis lebih lanjut.
2. Preparasi tulang ikan gabus
Preparasi tulang merujuk pada Wulandari dkk. (2013) dan Kittiphattanabawon et al.
(2005). Sebelum digunakan, terlebih dahulu lemak dan daging yang masih menempel pada
tulang dihilangkan dengan cara degreasing, yaitu merendamnya dalam air panas suhu 60-
70 oC sekitar 30 menit. Analisis proksimat tulang menggunakan tulang hasil degreasing.
Tulang untuk analisis kadar asam amino, dan mikrostruktur jaringan dan komposisi mineral
terlebih dahulu diperkecil ukurannya, kemudian diliofilisasi (sekitar 24 jam). Tulang yang
telah kering, digiling membentuk tepung menggunakan alat penggiling dan disimpan pada
suhu di bawah 4 oC hingga siap dianalisis.
3. Prosedur Penelitian
3.1 Analisis Proksimat (AOAC, 1995)
Komposisi terdekat ditentukan menggunakan prosedur AOAC (1995). Kadar air
ditentukan dengan menggunakan metode gravimetri. Metode Kjeldahl digunakan untuk
penentuan kadar protein kasar (faktor konversi 6,25 × N). Konten lipid ditentukan dengan
menggunakan metode Soxhlet. Kandungan abu ditentukan oleh insinerasi selama 16 jam
pada 550 ° C.
3.2 Analisis Asam Amino
Kandungan asam amino ditentukan menurut Nollet (1996). Asam amino dianalisis
dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Ultra (UPLC, ACQUITY UPLC-H Class).
Sampel (0,1 g) dihidrolisis dalam 5 mL 6N HCl dan dipanaskan pada 100 ° C selama 22
jam. Suatu larutan yang mengandung 500 μL filtrat, 40 μm AABQ, dan 460 μL air suling
disiapkan. Larutan (10 μL) ditambahkan dengan AccQ-Fluor Borat dan 20 μL reagent Flour-
A diinkubasi selama 10 menit pada 550 ° C, kemudian disuntikkan dalam sistem UPLC.
3.3 Analisis Hydroxyproline
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
67
Kandungan kolagen yang diperkirakan ditentukan berdasarkan nilai hidroksiprolin
asam amino. Kadar hidroksiprolin diukur menggunakan High-Performance Liquid
Chromatography (HPLC, 1200 Infinity Series oleh Agilent Technologies), berdasarkan
Henderson Jr. dan Brooks (2010) metode. Sebelum injeksi HPLC, sampel dihidrolisis dalam
1 mL 6N HCl dan dipanaskan pada 110 ° C selama 24 jam. Larutan standar menggunakan
L-hydroxyproline (Sigma, USA) digunakan. Perkiraan kadar kolagen yang terkandung
dalam kulit ikan snakehead dihitung berdasarkan nilai hidroksiprolin dikalikan dengan
faktor 8,0 (Muralidharan et al, 2013).
Gambar 1. Diagram alir penelitian
Gambar 1. Alur penelitian
3.4 Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)
Mikro kulit ikan snakehead diamati dengan Scanning Electron Microscopy (SEM,
Tescan Vega3SB) dengan perbesaran 500 kali, mengacu pada prosedur Ramadhan dkk.
(2014). Sampel yang siap ditempelkan ke pemegang dilapisi dengan pita karbon. Sampel
kemudian dilapisi dengan menggunakan emas paladium untuk mencegah kontak langsung
dengan sampel elektron. Sampel dilapisi ditempatkan di ruang SEM. Ruang SEM disedot
Ikan gabus (Channa striata)
Tulang segar
Komposisi kimia
(Air, protein,
lemak dan abu) Degreasing
Liofilisasi
Tulang ikan gabus kering
Komposisi: asam amino, hidroksiprolin, mineral,
mikrostruktur kulit dan tulang
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
68
dengan menyalakan pompa otomatis pada perangkat lunak VEGA. Proses vakum harus
dilakukan dengan sempurna. Di ruang, akan ada tembakan elektron ke arah sampel sehingga
ada rekaman pada monitor dan pemotretan berikutnya.
3.5 Analisis Energy Dispersive Spectroscopy (EDS)
Spektroskopi Dispersif Energi (EDS, Tescan Vega3SB) adalah perangkat yang sama
dengan SEM. EDS digunakan untuk menentukan komponen mineral dari sampel (Yin et al.,
2016). Komposisi permukaan mineral yang terkandung dalam sampel menggunakan
peralatan emisi SEM dengan detektor untuk spektroskopi Energy Dispersive X-ray.
Pengukuran dilakukan pada tegangan akselerasi berkas elektron 20 kV. Untuk mengetahui
komponen mineral dari sampel, sampel dilapisi dengan emas Palladium untuk membuatnya
konduktif.
Analisis statistik
Data eksperimen dievaluasi menggunakan analisis varians (ANOVA) berdasarkan
desain acak lengkap (RAL). Signifikansi varians diverifikasi menggunakan Uji Duncan.
Data dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS. Data lainnya dianalisis secara
deskriptif.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Proksimat dan Kolagen Tulang Ikan Gabus
Analisis proksimat berfungsi sebagai metode untuk mengidentifikasi komposisi
kimia yang dijadikan dasar dalam memahami karakteristik fisiko-kimia suatu bahan pangan.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bobot badan, berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap kadar air. Kadar proksimat tulang ikan gabus meliputi kadar air, protein, lemak,
dan abu, serta kadar kolagen tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Kadar proksimat dan kolagen tulang ikan gabus pada bobot badan berbeda
Bobot badan
(g)
Air Protein Lemak Abu Kolagen
(%)
300-400 46,69±1,53a 15,01±0,81a 2.54±0,02a 29,82±0,63a 9,88±0,49a
600-700 43,16±0,09b 16,09±0,62a 4,05±0,44b 31,88±0,46b 8,85±0,84b
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
69
900-1.000 42,48±1,30b 15,24±0,29a 4,19±0,31b 32,05±0,51b 8,90±0,32b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05), n=3
Air merupakan komponen utama penyusun tubuh ikan (Njinkoue et al., 2016) yang
terikat secara fisik dan kimia. Terdapat indikasi semakin bertambah bobot badan maka kadar
air ikan gabus cenderung menurun, sebagaimana pada Tabel 1. Adanya penurunan ini
mungkin saja dipengaruhi oleh komposisi kimia lain yang juga cenderung mengalami
perubahan, Sebagai penyusun utama, air sangat dibutuhkan terutama pada proses
metabolisme, transportasi, dan berbagai aktivitas vital dan untuk mempertahankan sistem
keseimbangan tubuh ikan. Proses pertumbuhan menyebabkan perubahan persentase kadar
air. Pertambahan bobot badan mengakibatkan kadar air cenderung menurun. Hal ini menurut
Breck (2014) disinyalir oleh aktivitas biokimia tubuh, dimana peningkatan massa tubuh
bertanggung jawab atas penurunan kadar air dan adanya kecenderungan peningkatan pada
kandungan protein. Saat bertumbuh, pada banyak spesies ikan kadar lemak, protein dan
energi meningkat yang disertai oleh penurunan kadar air (Jonsson dan Jonsson, 1998).
Kadar air yang tinggi ini menjadi salah satu faktor perlunya penanganan tulang ikan untuk
mengurangi timbulnya masalah bagi pencemaran lingkungan, karena terjadinya
dekomposisi komponen-komponen tulang baik oleh enzim maupun mikroorganisme.
Protein merupakan komponen tubuh utama setelah air, dan hasil analisis sidik ragam
memperlihatkan tidak ada pengaruh nyata (P>0,05) perbedaan bobot badan terhadap kadar
protein pada tulang. Meskipun telah menjadi kesepakatan sejumlah peneliti (Naeem et al.,
2016) bahwa ada korelasi positif pertambahan bobot dengan peningkatan kadar protein
tubuh, tetapi pertambahan kadar protein ikan gabus dalam penelitian ini tampaknya cukup
lambat sehingga tidak menunjukkan perbedaan nyata antara bobot yang berbeda (P>0,05),
sebagaimana halnya pada kulit ikan gabus (Rosmawati et al., 2018). Lambatnya peningkatan
kadar protein ikan gabus seiring meningkatnya bobot badan mungkin ada kaitannya dengan
respon tubuh mensintesis protein, atau ada hubungannya dengan ketersediaan pakan di
lingkungan tempat ikan gabus ditangkap. Kadar protein tulang ikan gabus sebagaimana pada
Tabel 1 cenderung sedikit lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Hemung (2013) pada
tepung tulang ikan tilapia yaitu 14,81 ± 0,33%, demikian halnya protein tulang ikan leather
jacket (Odonus niger) yang dilaporkan oleh Muralidharan et al. (2013) yaitu 11,86 ± 0,35%.
Persentase protein tulang yang lebih rendah mungkin dapat dikaitkan dengan proporsi
mineral tulang yang relatif tinggi.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
70
Terdapat kecenderungan pertambahan bobot badan ikan gabus berkorelasi positif
dengan peningkatan kadar lemak pada tulang. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan ada
pengaruh pertambahan bobot badan (P<0,05) terhadap kadar lemak pada tulang ikan.
Semakin bertambah bobot badan cenderung mengakibatkan terjadinya peningkatan terhadap
kadar lemak pada tulang ikan gabus, sebagaimana Abdel-Tawwab et al. (2015), tetapi
kadarnya dapat bervariasi di antara jenis ikan berbeda (Henderson dan Tocher, 1987;
Yeannes dan Almandos, 2003). Beberapa penelitian lain menunjukkan variasi kadar lemak
pada ikan dari species berbeda antara lain Ama-Abasi dan Ogar (2012) pada ikan gabus
Nigeria (Parachanna obscura) pada bobot 130-195 g yaitu 17,10 ± 0,01 sampai 17,40 ±
0,02 mg/100 g, dan Zuraini et al. (2006) pada Channa striata yaitu 5,7 ± 1,9 %. Adanya
perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis seperti jenis kelamin dan reproduksi,
musim dan kondisi lingkungan dimana ikan tersebut ditangkap (Shim et al., 2017; Suseno
et al., 2014; Boran dan Karaçam, 2011; Puwastien et al., 1999). Patrick Saoud et al. (2008)
mengemukakan bahwa persentase lemak dalam jaringan menurun saat pemijahan, yang
menurut Boran dan Karaçam (2011) menjadi salah satu faktor menyebabkan komposisi
kimia ikan bervariasi.
Kadar abu tulang ikan gabus cenderung meningkat seiring dengan pertambahan
bobot badan. Sebagaimana hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bobot badan
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar abu tulang ikan gabus (Tabel 1). Pertambahan
bobot badan menyebabkan proses mineralisasi cenderung meningkat. Salam dan Davies
(1994) yang melakukan pengamatan pada ikan pike (Esox lucius L.) menemukan
peningkatan kadar abu yang cukup konstan, bahkan korelasinya dengan ukuran tubuh adalah
negatif sebagaimana kadar air. Hal yang sama dijumpai oleh Naeem et al. (2016) bahwa ada
hubungan negatif antara peningkatan bobot tubuh dengan kadar air dan kadar abu. Tetapi
temuan ini tidak dapat dianggap telah mewakili secara tepat kadar abu pada tulang ikan
gabus pada bobot berbeda, karena adanya sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi, karena
itu perlu validasi dengan melakukan pengamatan berulang pada rentang bobot yang lebih
beragam dan pada kondisi fisiologis berbeda. Mungkin juga, ketersediaan mineral di habitat
akan memberi andil terhadap persentase kadar abu pada tulang ikan, sebagaimana bahwa
kadar abu adalah representasi dari kandungan mineral tubuh yang terakumulasi di dalam
tubuh ikan. Kadar abu tulang ikan gabus adalah sekitar 31,25% dari total bahan penyusun
tulang, yang lebih rendah dari kadar abu tulang ikan Pseudotolithus elongatus dan
Pseudotolithus typus yaitu berturut-turut 39,30 ± 0,44% dan 45,54 ± 0,35% (Njinkoue et al.,
2016). aktivitas tubuh yang tinggi menurut Toppe et al. (2007) seperti berenang
mengindikasikan adanya kebutuhan elastisitas tulang yang lebih baik untuk mendukung
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
71
aktivitas fisik yang tinggi, yang berimplikasi pada rendahnya kadar abu, sebagaimana yang
dijumpai pada beberapa jenis ikan.
Data yang tersaji pada Tabel 1 menunjukkan ada pengaruh bobot badan (P<0,05)
terhadap kandungan kolagen tulang ikan gabus. Ada kecenderungan semakin tinggi bobot
badan kadar kolagen relatif menurun. Keadaan ini dapat dikaitkan dengan kebutuhan tubuh
akan asam amino hidroksiprolin yang diduga cenderung menurun seiring meningkatnya
bobot badan. Hidroksiprolin adalah asam amino hasil sintesis dari prolin dengan bantuan
enzim prolyl-hydroksilase sebagai katalis, dan sebagai ko-faktornya adalah zat besi, asam
askorbat dan oksigen (Albaugh et al., 2017; Zhang et al., 2015). Asam amino ini menurut
Li et al. (2009) dianggap merupakan asam amino esensial kondisional (Conditionally
Essential Amino Acid, CEAA), karena asam amino ini menurutnya harus ada dalam diet
akibat tingkat pemanfaatannya lebih besar dari yang mampu disentesis oleh tubuh.
Rendahnya kadar kolagen pada tulang ikan gabus mungkin ada hubungannya dengan asupan
asam amino hidroksiprolin maupun prolin di habitatnya. Ini telah dibuktikan oleh Aksnes et
al. (2008) dan Blanco et al. (2017) terhadap suplementasi hidroksiprolin, dan
mengindikasikan adanya peningkatan pada kadar hidroksiprolin jaringan dan kadar kolagen
yang terkandung dalam otot ikan. Hidroksiprolin adalah salah satu asam amino penting dan
unik, dan bersama prolin merupakan penyusun utama protein kolagen tubuh yang berfungsi
mempertahankan struktur dan fungsi sel (Wu et al. 2011). Kadar kolagen ikan gabus lebih
rendah dari yang telah dilaporkan oleh Blanko et al. (2017) pada beberapa jenis ikan laut.
Adanya perbedaan kadar kolagen ini dapat dikaitkan dengan sturktur/tipe kolagen yang
berbeda, tergantung pada species, jenis organ maupun lingkungan hidup ikan (Blanko et al.,
2017; Duan et al., 2009), dan faktor teknis-analisis serta komposisi asam iminonya (Liu et
al., 2015). Kolagen merupakan protein khas yang hanya terdapat pada jaringan ikat dengan
untaian asam amino yang dicirikan oleh adanya asam amino glisin, prolin dan
hidroksiprolin, dan untuk memastikan adanya kolagen maka menurut Albaugh et al. (2017)
uji asam amino hidroksiprolin adalah cara yang tepat untuk menandainya.
Asam Amino
Asam amino adalah representasi dari kandungan protein. Ikan gabus merupakan
sumber asam amino potensial dengan manfaatnya dalam pengobatan dan penyembuhan
luka. Profil asam amino tulang ikan pada bobot berbeda tersaji pada Tabel 2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit dan tulang ikan gabus termasuk bagian
dari sisa hasil pengolahan yang mengandung asam-asam amino dengan kadar yang relatif
lebih rendah dibanding pada kulit (Rosmawati et al., 2018). Tulang ikan gabus mengandung
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
72
semua asam amino esensial (histidin, arginin, treonin, lisin, metionin, valin, isoleusin,
leusin, phenilalanin dan triptofan), beberapa asam amino non esensial (serin, asam aspartate,
asam glutamate, alanine, dan tirosin) dan asam amino esensial secara kondisional (glisin,
prolin dan sistin). Glisin, prolin dan sistin (termasuk hidroksiprolin) menurut Li et al. (2009),
Li dan Wu (2017) sekarang ini telah dianggap sebagai asam amino esensial bagi sejumlah
hewan termasuk di antaranya ikan, sebagaimana pembuktian yang telah dilakukan oleh
Aksnes et al. (2008), Liu et al. (2014), Xie et al. (2016), Zhang et al. (2015). Meskipun
kadar asam amino pada kulit ikan gabus lebih tinggi (Rosmawati et al., 2018) dibandingkan
tulang, tetapi antara asam-asam amino yang sama relatif berada pada kisaran yang tidak
berbeda jauh
Tabel 2. Kandungan asam amino kulit dan tulang ikan gabus pada bobot badan berbeda
Asam amino 300-400 g 600-700 g 900-1.000 g
L-Histidin 1,54 1,48 1,53
L-Serin 4,18 4,10 4,16
L-Arginin 7,46 7,24 7,78
Glisin 22,48 21,33 23,34
L-Asam aspartat 6,21 6,76 5,71
L-Asam glutamat 12,03 12,84 11,50
L-Threonin 3,60 3,54 3,66
L-Alanin 9,67 9,88 9,57
L-Prolin 11,84 11,45 12,12
L-Sistin 0,07 0,04 0,06
L-Lisin 5,51 5,92 5,22
L-Tirosin 1,43 1,43 1,43
L-Metionin 1,45 1,41 1,57
L-Valin 3,25 3,22 3,19
L-Isoleuin 2,18 2,21 2,14
L-Leusin 3,88 3,92 3,84
L-Phenilalanin 3,05 3,10 3,05
Triptophan 0,16 0,13 0,12
Asam amino memiliki fungsi vital dalam proses biokimia (Mat Jais et al., 1994).
Mereka juga merupakan prekursor penting untuk sintesis berbagai molekul serta regulasi
berbagai fungsi metabolik, seperti kesehatan, pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dan
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
73
homeostasis (Haniffa et al., 2014; Zuraini et al., 2006). Tulang ikan gabus mengandung
asam amino yang hampir lengkap sebagaimana yang dijumpai pada daging ikan gabus
(Zuraini et al., 2006; Tan dan Azhar, 2014; Mat Jais et al., 1994; Gam et al., 2005), meskipun
masing-masing jaringan tersebut memiliki mekanisme dan fungsi yang berbeda, karena
terkait dengan komposisi masing-masing asam aminonya.
Mikrostruktur Tulang Ikan Gabus
Pengamatan mikrostruktur tulang ikan gabus menggunakan scanning elektron
mikroscopis (SEM) disajikan pada Gambar 2. Profil mikrostruktur tulang ikan gabus tidak
memperlihatkan adanya serabut maupun fibril sebagaimana pada serat daging maupun kulit.
Hal ini karena tulang tersusun dari bahan anorganik yang relatif padat, sehingga bagian-
bagian tulang berdasarkan SEM masih sulit diidentifikasi.
Kolagen adalah salah satu protein utama jaringan ikat, terdiri dari fibril dan tersusun
dalam rangkaian heliks yang membentuk struktur jaringan yang kuat dan elastis. Pada
tulang, protein yang didominasi oleh kolagen merupakan komposit penyusun bersama
dengan bahan anorganik (hidroksiapatite) bersama protein non-kolagen (Olszta et al., 2007)
lemak dan air (Szpak, 2011). Kolagen bersama dengan mineral menyusun matriks tulang
yang memberi kekuatan dan elastisitas pada tulang sehingga tulang tidak menjadi kaku.
Tidak ada perbedaan yang mencolok antara mikrostruktur sampel pada bobot badan berbeda
baik pada kulit maupun tulang. Namun, Suárez et al. (2015) menyarankan bahwa umur ikan
menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan; termasuk kegiatan budidaya menjadi penting
dengan pertimbangan diet yang tepat dalam rangka mengarahkan potensi dan tujuan
pemanfaatan.
a b C
d
e
e
d
d
d
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
74
Gambar 2. Mikrostruktur tulang ikan gabus. Sampel tulang ukuran 300-400 g (a); 600-
700 g (b) 900-1.000 g (c); komposit organik-anorganik penyusun tulang (d);
kristal hidroksiapatit yang terinvestasi dalam bundle kolagen (e).
Kadar Mineral
Kadar abu dari bahan anorganik adalah akumulasi mineral yang terkandung dalam
bahan baku. Secara umum, SEM-EDS (Scanning Electron Microscopis-Energy Dispersive
Spectroscopy) dapat mendeteksi adanya sejumlah mineral yang terkandung pada sampel,
termasuk tulang, tetapi hanya mampu menjangkau pada bagian permukaan saja. Kelemahan
alat ini mengakibatkan sulitnya memprediksi kadar mineral sampel berdasarkan satuan
bobot sampel. Distribusi mineral pada permukaan sampel yang diamati tidak seragam, baik
secara jenis maupun kuantitas, dikarenakan sampel uji yang dianalisis dalam bentuk tepung
dengan tingkat homogenitas yang relatif tidak merata. Tetapi setidaknya alat ini dapat
membantu memprediksi kandungan mineral dari tulang ikan gabus yang diamati.
Berdasarkan data perkiraan mineral pada Tabel 3 di atas menunjukkan kandungan mineral
tertinggi yang terdapat pada tulang yaitu kalsium kemudian fosfor, adapun mineral lain
berada dalam kisaran yang lebih rendah.
Tabel 3. Komposisi mineral yang terkandung dalam kulit dan tulang ikan
Mineral 300-400 g 600-700 g 900-1.000 g
Kalsium
Fosfor
Magnesium
Natrium
Kalium
Sulfur
Klorin
Besi
Mangan
Aluminium
Chromium
Silikon
Titanium
22,00
12,95
1,34
2,59
0,41
0,44
0,05
td
td
0,41
td
0,21
td
18,58
12,44
1,76
2,87
0,51
0,61
0,32
td
td
0,69
td
0,44
0,18
21,74
12,82
1,29
2,33
0,63
0,53
td
0,18
0,13
0,35
0,09
0,12
td
*td: tidak terdeteksi
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
75
Sejumlah mineral sebagaimana pada Tabel 3 adalah mineral penting yang
dibutuhkan oleh tubuh ikan, meskipun beberapa di antaranya seperti titanium termasuk
mineral yang terinduksi masuk dalam tubuh ikan gabus sehingga dijumpai ada dalam sampel
uji. Mengetahui kandungan mineral kulit dan tulang akan bermanfaat terutama sebagai
informasi awal, apakah bahan baku ini aman dari paparan sejumlah logam berat yang dapat
terakumulasi dalam produk turunan tulang yang akan dihasilkan. Rivas et al. (2014)
menyatakan bahwa mineral memainkan peran penting dalam proses metabolisme, dan
bertanggung jawab untuk mengendalikan fungsi biologis tubuh. Sejumlah mineral menurut
Atanasoff et al. (2013) tidak terpengaruh oleh bobot ikan namun dapat dikaitkan dengan
faktor-faktor seperti musim, usia, kondisi reproduksi, sumber pakan, dan habitat ikan.
4. KESIMPULAN
Kadar proksimat dan kolagen tulang ikan gabus cenderung dipengaruhi oleh
pertambahan bobot badan meskipun antara bobot 600˗700 g/ekor sampai 900-1.000 g/ ekor
menunjukkan adanya kesamaan pada komposisi kimianya. Berdasarkan profil asam amino
menunjukkan kadar asam amino glisin dan prolin adalah tertinggi pada ketiga kisaran bobot
badan, yang mengindikasikan bahwa tulang berpotensi dijadikan sebagai bahan baku
sumber kolagen. Kandungan mineral terutama kalsium dan fosfor yang relatif tinggi
berpotensi menjadikan tulang ikan gabus sebagai sumber mineral baik untuk pakan
ternak/ikan, maupun fortifikasi produk berbasis pangan fungsional.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini didukung oleh Kemenristek Dikti dan Rektor Universitas Hasanuddin
melalui Hibah Riset Unggulan Universitas Hasanuddin (RUNAS) No.
41740/UN4.3.2/LK.23/2016
DAFTAR PUSTAKA
Assosiation of Official Analytical Chemists (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis
(16th ed.). Washington, DC.
Abdel-Tawwab, M., Ahmed E. Hagras, A. E., Heba Allah M. Elbaghdady, H. A. M., and
Monier, M. N. 2015. Effects of dissolved oxygen and fish size on Nile tilapia,
Oreochromis niloticus (L.): growth performance, wholebody composition, and
innate immunity. Aquacultur International. Vol. 23(5): 1261-1274.
https://doi.org/10.1007/s10499-015-9882-y
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
76
Ama-Abasi, D. and Ogar, A. 2012. Proximate analysis of snakehead fish, Parachanna
obscura (Gunther, 1861) of the Cross Rivers, Nigeria. Journal of Fisheries and
Aquatic Science. 1-4. doi: 10.3923/jfas.2012.
Albaugh, V. L., Mukherjee, K., and Barbul, A. 2017. Proline Precursors and Collagen
Synthesis: Biochemical Challenges of Nutrient.Supplementation and Wound
Healing. The Journal of Nutrition. 1-7. https://doi.org/10.3945/jn.117.256404
Aksnes A, Mundheim H, Toppe J, and Albrektsen S. (2008) The effect of dietary
hydroxyproline supplementation on salmon (Salmo salar L.) fed high plant protein
diets. Aquaculture 275 (1-4): 242–249.
https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2007.12.031
Atanasoff, A., Nikolov, G., Staykov, Y., Zhelyazkov, G., & Sirakov, I., (2013). Proximate
and mineral analysis of Atlantic salmon (Salmo Salar) cultivated in Bulgaria.
Biotechnol. Anim. Husb. 29, 571–579. doi:10.2298/BAH1303571A
Blanco, M., José Antonio Vázquez, J.A, Pérez-Martín, R.I., and Carmen G. Sotelo, C.G.
Hydrolysates of Fish Skin Collagen: An Opportunity for Valorizing Fish Industry
Byproducts. Marine Drugs. 131:1-15. doi:10.3390/md15050131
Boran, G., and Karaçam, H. 2011. Seasonal changes in the proximate composition of some
fish species from the Black Sea. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences,
11, 01-05. doi:10.4194/trjfas.2011.0101
Boran, G. and J. M. Regenstein. 2010. Chapter 5 – Fish Gelatin. Advances in Food and
Nutrition Research, 60. pp. 119–143.Breck, J. 2014. Body composition in fishes:
Body size matters. Aquaculture, 433, 40–49.
http://dx.doi.org/10.1016/j.aquaculture.2014.05.049
Duan, R., Junjie Zhang, J., Du, X., Yao, X., and Konno, K. 2009. Properties of collagen
from skin, scale and bone of carp (Cyprinus carpio). Food Chemistry, 112 (2009)
702–706. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2008.06.020
Gam, L.H., Leow, C.Y., & Baie, S. 2005. Amino acid composition of snakehead fish
(Channa striatus) of various size obtained at different time of the year. Malaysian
Journal of Pharmaceutical Science, 3(2), 19-30.
Haniffa, M. A. K., P. A. J. Sheela, K. Kavitha and A. M. M. Jais. 2014. Salutary value of
haruan, the striped snakehead Channa striata - A Review. Asian Pacific Journal of
Tropical Biomedicine. Vol. 4 (Suppl 1). Pp. S8-S15.
https://doi.org/10.12980/APJTB.4.2014C1015
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
77
Hemung, B. O. 2013. Properties of Tilapia Bone Powder and Its Calcium Bioavailability
Based on Transglutaminase Assay. International Journal of Bioscience,
Biochemistry and Bioinformatics, 3(4): 306-309. DOI: 10.7763/IJBBB.2013.V3.219
Henderson Jr., J.W. and A. Brooks. 2010. Improved Amino acid methods using Agilent
ZORBAX Eclipse plus C18 colums for a variety of Agilent LC instrumentation and
separation goals. Agilent Pub #5990-4547EN.
Henderson R. J. and Tocher, D. R. 1987. The lipid composition and biochemistry of fresh
water fish. Progress in Lipid Research, 26(4): 281-347.
https://doi.org/10.1016/0163-7827(87)90002-6
Jonsson, N and Jonsson B. 1998. Body composition and energy allocation in life-history
stages of brown trout. Journal of Fish Biology, 53(6), 1306–1316.
https://doi.org/10.1111/j.1095-8649.1998.tb00250.x
Kittiphattanabawon, P., Benjakul, S., Visessanguan, W., Nagai, T., and Tanaka, M. 2005.
Characterisation of acid-soluble collagen from skin and bone of bigeye snapper
(Priacanthus tayenus). Food Chemistry, 89(3): 363–372.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2004.02.042
Li, P., Mai K.S., Trushenski J. and Wu, G. 2009. New developments in fish amino acid
nutrition: towards functional and environmentally oriented aquafeeds. Amino Acids
37(1):43–53. https://doi.org/10.1007/s00726-008-0171-1
Li, P. and Wu, G. 2017. Roles of dietary glycine, proline, and hydroxyproline in collagen
synthesis and animal growth. Amino Acids. 1-10. https://doi.org/10.1007/s00726-
017-2490-6
Liu Y, He G, Wang Q, Mai K, Xu W, Zhou H (2014) Hydroxyproline supplementation on
the performances of high plant protein source based diets in turbot (Scophthalmus
maximus L.). Aquaculture 433:476–480.
https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2014.07.002
Liu, D., Wei, G., Li, T., Hu, J., Lu, N., Regenstein, J.M., Zhou, P. (2015) Effects of alkaline
pretreatments and acid extraction conditions on the acid-soluble collagen from grass
carp (Ctenopharyngodon idella) skin, Food Chemistry, 172 : 836-843
http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2014.09.147
Mat Jais, A.M., McCulloch, R., and Croft, K. 1994. Fatty acids and amino acids
composition in Haruan as a potential role in wound healing. General Pharmacology,
25(5), 947-950. http://dx.doi.org/10.1016/0306-3623(94)90101-5Mustafa, A.,
Widodo, M.A., & Kristianto, Y. (2012). Albumin and zinc content of snakehead fish
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
78
(Channa striata) extract and its role in health. IEESE International Journal of
Science and Technology, 1(2), 1-8.
Mohtar, N. F., C. O. Perera, and S. Y. Quek. 2011. Utilisation of gelatine from NZ hoki
(Macruronus novaezelandiae) fish skins. International Food Research
Journal.Vol.18(3): 1111-1115
Muralidharan, N., Jeya Shakila, R., Sukumar, D., and Jeyasekaran, G. 2013. Skin, bone,
and muscle collagen extraction from the trash fish, leather jacket (Odonus niger) and
their characterization. J. Food Sci Techno. Vol 50 (6): 1106 -1113.
https://doi.org/10.1007/s13197-011-0440-y
Naeem, M., Salam, A., and Zuburi, A. 2016. Proximate composition of freshwater in
relation to body size and condition factor from Pakistan. Pakistan Journal of
Agricultural Sciences, 53(2), 468-476. http://dx.doi.org/10.21162/PAKJAS/16.2653
Njinkoue, J. M., Gouado, I., Tchoumbougnang, F., Yanga Ngueguim, J. H., Ndinteh, D. T.,
Fomogne-Fodjo, C.Y. and Schweigert, F. J. 2016. Proximate composition, mineral
content and fatty acid profile of two marine fishes from Cameroonian coast:
Pseudotolithus typus (Bleeker, 1863) and Pseudotolithus elongatus (Bowdich,
1825). NFS Journal. 4, 27-31. http://dx.doi.org/10.1016/j.nfs.2016.07.002 Nollet,
L.M.L. (1996). Handbook of Food Analysis. Vol 1. New York, USA, Marcel Dekker
Inc., 1088 pp.
Olszta, M. J., Cheng, X Jee, S. S. Kumar, R. Kim, Y. Y. Kaufman, M. J., Elliot, P. D. and
Gower, L. B. (2007). Bone Structure and Formation: A new Perspective. Materials
Science and Engineering: R: Reports. 58. 77-116. doi:10.1016/j.mser.2007.05.001
Patrick Saoud, I., Batal, M., Ghanawi, J., & Lebbos, N. (2008). Seasonal evaluation of
nutritional benefits of two fish species in the eastern Mediterranean Sea.
International Journal of Food Science and Technology, 43, 538-542.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2621.2006.01491.x
Puwastien, P., Judprasong, K., Kettwan, E., Vasanachitt, K., Nakngamanong, Y., & Bhattacharjee, L.
(1999). Proximate composition of raw and cooked Thai freshwater and marine fish. Journal
of Food Composition and Analysis, 12(1), 9-16. http://dx.doi.org/10.1006/jfca.1998.0800
Paul, D. K., R. Islam and M. A. Sattar. 2013. Physico-chemical studies of lipids and nutrient
contents of Channa striatus and Channa marulius. Turk. J. Fish. Aquat Sci. Vol 13,
pp. 487-493.
Ramadhan, W., J. Santoso dan W. Trilaksani. 2014. Pengaruh defatting, frekuensi
pencucian dan jenis dry protectant terhadap mutu tepung surimi ikan lele kering
beku. J. Teknol dan Industri Pangan. Vol. 25 (1): 47–56.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
79
Rivas, A., Pena-Rivas, L. Ortega, E., Lopez-Martinez, C., Olea-Serrano, F., & Lorenzo, M.
L. (2014). Mineral elements contents in commercially valuable fish species in Spain.
The Scientific World Journal. Scientific World Journal, 2014, 1-7.
http://dx.doi.org/10.1155/2014/949364
Rosmawati, Abustam, E., Tawali, A.B., Said, M.I., and Sari, D.K. (2018). Effect of body
weight on the chemical composition and collagen content of snakehead fish Channa
striata skin. Fish Sci, Vol. 84 (6): 1081–1089. https://doi.org/10.1007/s12562-018-
1248-8
Salam, A. and Davies, P. M. C. 1994. Body composition of northern Pike (Esox Lucius L.) in relation
to body size and condition factor. Fisheries Research. Vol 19 (3-4), 193-204.
https://doi.org/10.1016/0165-7836(94)90038-8
Shim, K., Yoon, N., Lim, C., Kim, M., Kang, S., Choi, K., & Oh, T. (2017). The relationship
between Seasonal Variations in Body and Proximate Compositions Chub Mackerel
Scomber japonicus from the Korea Coast. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic
Sciences, 17, 735-744. doi:10.4194/1303-2712-v17_4_09
Szpak, P. 2011. Fish bone chemistry and ultrastructure: Implications for taphonomy and
stable isotope analysis. Journal of Archaeological Science, 38(12): 3358-3372.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jas.2011.07.022
Songchotikunpan, P., J. Tattiyakul and P. Supaphol.2008. Extraction and electrospinning
of gelatin from fish skin. International Journal of Biological Macromolecules. Vol.
42: 247-255.
Suárez, H., Gaitán, O., & Díaz, C. (2015). Microstructural and Physicochemical Analysis of
Collagen in Intramuscular Pin Bones of Bocachico Fish (Prochilodus Sp.). Revista
Colombiana de Ciencias Pecuarias, 28(2), 188-196.
http://dx.doi.org/10.17533/udea.rccp.v28n2a08
Suseno, S. H., Syari, C., Zakiyah, E. R., Jacoeb, A. M., Izaki, A. F., Saraswati, and Hayati,
S. 2014. Chemical Composition and Fatty Acid Profile of Small Pelagic Fish
(Amblygaster sirm and Sardinella gibbosa) from Muara Angke, Indonesia. Oriental
Journal of Chemistry, 30(3), 1153-1158. http://dx.doi.org/10.13005/ojc/300328
Tan, B.H., & Azhar, M.E. (2014). Physicochemical properties and composition of
Snakehead fish (Channa striatus) whole fillet powder prepared with pre-filleting
freezing treatments. International Food Research Journal, 21(3), 1255-1260
Tawali, A.B., M. K. Roreng, M. Mahendradatta dan Suryani. 2012. Difusi Teknologi
Produksi Konsentrat Protein dari Ikan Gabus Sebagai Food Supplement Di Jayapura.
Prosiding InSINas. PG243-PG247.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
80
Toppe, J., Albrektsen, S., Hope, B., & Aksnes, A. (2007). Chemical composition, mineral
content and amino acid and lipid profiles in bones from various fish species.
Comparative Biochemistry and Physiology, Part B 146, 395-401.
http://dx.doi.org/10.1016/j.cbpb.2006.11.020Wulandari, A. Supriadi dan B.
Purwanto. 2013. pengaruh defatting dan suhu ekstraksi terhadap karakteristik fisik
gelatin tulang ikan gabus (Channa striata). Fishtech. Vol. II (1): 38-45
Wu, G, Bazer, F. W., Burghardt, R. C., Johnson, G. A., Kom, S. W., Knabe, D. A., Li, P.,
Li, X., McKnight, J. R., Satterfield, M. C., & Spencer, T. E. 2011. Proline and
hydroxyproline metabolism: Implication for animal and human nutrition. Amino
Acids, 40(4), 1053-1063. http://dx.doi.org/10.1007/s00726-010-0715-z
Xie S, Zhou W, Tian L, Niu J, Liu Y (2016) Effect of N-acetyl cysteine and glycine
supplementation on growth performance, glutathione synthesis, anti-oxidative and
immune ability of Nile tilapia, Oreochromis niloticus. Fish Shellfish Immunol,
55:233–24/ http://dx.doi.org/10.1016/j.fsi.2016.05.033
Yeannes, M. I., and Almandos, M.E. (2003). Estimation of fish proximate composition
starting from water content. Food Composition and Analysis, 16(1), 81-92.
http://dx.doi.org/10.1016/S0889-1575(02)00168-0
Yin T, Du H, Zhang J, and Xiong S (2016) Preparation and characterization of ultrafine fish
bone powder. J Aquat Food Prod Technol 25:1045–1055
Zhang, K., Mai, K., Xu, Wi., Zhou H., Liufu Z., Zhang, Y., Peng M., and Ai, Q. 2015.
Proline with or without Hydroxyproline Influences Collagen Concentration and
Regulates Prolyl 4-Hydroxylase α (I) Gene Expression in Juvenile Turbot
(Scophthalmus maximus L.). J. Ocean Univ. China. 14 (3): 541-548. DOI
10.1007/s11802-015-2436-0
Zuraini, A., Somchit, M.N., Solihah, M.H., Goh, Y.M., Arifah, A.K., Zakaria, M. S,
Somchit, N., Rajion, M.A., Zakaria, Z.A., & Mat Jais, A.M. (2006). Fatty acid and
amino acid composition of three local Malaysian Channa spp. fish. Food Chemistry,
97, 674-678. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2005.04.031
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
81
POTENSI ANTIJAMUR TERHADAP ASPERGILLUS FLAVUS
SENYAWA METABOLIT SEKUNDER ORGANISME
LICHEN TELOSCHISTES FLAVICANS
Maulidiyah1), Asriani Hasan2), Wa Ode Irna3), Ishmah Farah Adiba Nurdin4), Akhmad
Darmawan5)
1)Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Halu
Oleo, Jl. HEA Mokodompit, Kendari 93232 – Sulawesi Tenggara, Indonesia
2)Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo, Jl. HEA Mokodompit,
Kendari 93232 – Sulawesi Tenggara, Indonesia
3)Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kawasan Puspitek,
Serpong 15314 – Indonesia
Email: 1)Maulidyah: [email protected]; Phone : +6281388327118
ABSTRAK
Lichen adalah organisme simbiosis unik yang terbentuk dari hubungan mutualisme antara
alga dan jamur. Lichen sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan obat modern,
terutama di Indonesia yang belum banyak meneliti tentang lumut. Penelitian ini bertujuan
untuk mengisolasi dan uji aktivitas antijamur senyawa metabolit sekunder dari lichen
Teloschistes flavicans. Penelitian ini dilakukan dengan mengekstraksi serbuk kering lichen
dengan menggunakan pelarut aseton selama 3×24 jam. Ekstrak aseton diisolasi dengan
kromatografi kolom (KK) dan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan fase diam silika gel
G.60 yang dielusi dengan pelarut n-heksan dan etil asetat secara bertahap. Isolat kristalin
dimurnikan dengan proses rekristalisasi. Senyawa murni ditentukan oleh strukturnya
menggunakan UV-VIS, FTIR, LC-MS, dan 1H-NMR. Senyawa yang diisolasi diperoleh
jarum oranye "3-[1'- (2", 3"-dihydroxy-phenyl)-propyl]-7hydroxy-chroman-4-one" dengan
rumus C18H18O5. Uji aktivitas antijamur terhadap Aspergillus flavus menggunakan metode
difusi cakram menunjukkan bahwa zona hambat adalah 11 mm pada konsentrasi 1000
mg/mL.
Kata Kunci: Lichen, Teloschistes flavicans, antijamur, Aspergillus flavus
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
82
1. PENDAHULUAN
Kecenderungan “back to nature” sangat dirasakan dalam dekade ini, dimana salah
satu bidang yang tidak lepas dari kecenderungan ini adalah penggunaan obat untuk
kesehatan. Indonesia sebagai salah satu negara megabiodiversity di dunia memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat melimpah dan memiliki potensi untuk digunakan
sebagai bahan baku obat yang baru. Kesadaran masyarakat meningkat terhadap penggunaan
obat bahan alam dikarenakan kurangnya efek samping yang ditimbulkan dibandingkan
dengan obat-obatan sintetik(i). Seiring dengan hal tersebut, menyebabkan terjadinya
peningkatan pencarian bahan baku obat dari bahan alam. Selain itu, peningkatan tersebut
dipengaruhi oleh berbagai jenis penyakit dengan penyebab yang beragam. Dari sekian
banyaknya bahan alam yang telah dijadikan bahan baku obat, salah satu yang perlu di
kembangkan adalah lichen atau lumut kerak.
Lichen merupakan organisme bersimbiosis antara fungi (mikobiont) dari kelompok
Ascomycetes dan Basidiomycetes, dengan alga (fikobiont) dari kelompok Cyanobacteria
atau Chlorophyceae. Lichen dikenal sebagai organisme yang memiliki banyak potensi,
khususnya dalam dunia pengobatan. Lichen telah digunakan dalam pengobatan tradisional
sebagai obat luka, penyakit kulit, gangguan pernapasan, dan pencernaan(ii).
Kandungan senyawa lichen terdiri dari banyak kelompok, seperti turunan asam
amino, asam pulvinat, peptida, gula alkohol, terpenoid, steroid, karotenoid, asam alifatik,
fenol monosiklik, depsida, depsidon dibenzofuran, antrakuinon, xanton dan turunan terpen
lainnya(iii,iv). Kelompok senyawa tersebut yang memberikan aktivitas pengobatan yang
jarang ditemukan pada tumbuhan maupun organisme lain. Senyawa kimia yang memiliki
aktivitas biologi yang telah diisolasi dari lichen kurang lebih 350 dan 200 dari senyawa
tersebut telah dikarekterisasi. Umumnya berbentuk kristal jarum yang memiliki bobot
molekul rendah(v).
Beberapa tahun terakhir, diketahui manfaat lichen diantaranya dapat digunakan
sebagai antioksidan(vi), antibakteri(vii), antijamur(viii,ix), antivirus(x), antimalaria(xi,xii),
antiproliferatif(xiii), aktivitas sitotoksik(xiv), dan anti HIV(xv). Tingginya permasalahan
keracunan bahan pangan yang diakibatkan oleh jamur Aspergillus flavus yang
membahayakan kesehatan dan berakibat kronis bahkan mematikan. Dimana jamur A. flavus
sangat mungkin untuk menyerang arteri paru-paru atau otak, dan dibuktikan dengan kasus
ratusan orang meninggal di Kenya akibat infeksi jamur tersebut(xvi). Senyawa aflatoksin
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
83
mengakibatkan aflatoksikosis pada manusia atau ternak karena menghirup atau
mengkonsumsi makanan atau pakan terkontaminasi aflatoksin dalam kadar yang tinggi.
Sehingga perlu dilakukan penelitian pencarian obat alami yang dapat menghambat
pertumbuhan jamur yang tidak menimbulkan resistensi. Berdasarkan potensi lichen sebagai
obat antijamur, maka perlu diteliti aktivitasnya terhadap jamur lain yang belum banyak
dilaporkan yaitu A. flavus. Salah satu jenis lichen yang memiliki potensi untuk eksplorasi
senyawa metabolit sekunder sebagai antijamur terhadap A. flavus adalah lichen
Teloschistes flavicans, dimana kajian mengenai senyawa aktifnya juga belum banyak
dilaporkan.
2. METODE PENELITIAN
Alat.
Alat-alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah rotary vacum evaporator,
timbangan analitik, kolom, lampu UV (λ 254 nm dan 365 nm), erlenmeyer, gelas ukur, gelas
kimia, chamber, plat KLT, cawan porselen, mikropipet, pipet tetes, botol vial, penotol/pipa
kapiler, statif & klem, spatula, batang pengaduk, gunting, pinset, cutter, mistar, cawan petri,
autoklaf, vortex, bunsen, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS (Jasco, Jepang), LC-MS
(Thermo Scientic), FTIR (shimadzu : irprestige 21), dan spektrometer NMR (JEOL JNM
ECA 500).
Bahan.
Bahan-bahan yang digunakan adalah organisme lichen T. flavicans yang diambil di
daerah pegunungan Desa Latimojong, Kecamatan Pasui, Kabupaten Enrekang, Provinsi
Sulawesi Selatan, aseton (Merck, Germany), etil asetat (Merck, Germany), n-heksana
(Merck, Germany), metanol (Merck, Germany), aqua bidestilata (IPHA, Indonesia), silika
gel G.60 (0.063-0.200 mm), asam sulfat 10% (Sigma-Aldrich), Potato Dextrose Agar (PDA)
(Sigma-Aldrich), isolat jamur Aspergillus flavus, larutan NaCl fisiologis, ketokonazol, dan
aluminium foil.
Metode.
Preparasi sampel.
Sampel lichen T. flavicans dibersihkan dari pengotornya dan dikeringkan pada suhu
ruang. Sampel tersebut dipotong kecil dan dihaluskan menggunakan blender sampai
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
84
diperoleh serbuk lichen kering. Selanjutnya, serbuk lichen ditimbang dan diperoleh
sebanyak 560 gram.
Isolasi dan Identifikasi Senyawa Kimia Lichen T. flavicans.
Sebanyak 560 gram Serbuk lichen T. flavicans diekstraksi dengan cara maserasi
menggunakan pelarut aseton selama 3×24 jam, dimana setiap 24 jam dilakukan penyaringan.
Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan rotary vacum evaporator pada suhu 30-
40°C hingga diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak kemudian dipisahkan menggunakan
kromatografi kolom gravitasi (KKG) dengan fasa diam silika gel G.60 dan eluen n-heksana:
etil asetat secara gradien sampai diperoleh fraksi. Fraksi dianalisis menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT) untuk melihat spot noda serta kemurnian senyawa. Senyawa
murni diidentifikasi strukturnya menggunakan spektrometer UV-Vis, FTIR, LC-MS, dan
1H-NMR.
Uji Aktivitas Antijamur terhadap A. flavus.
Uji aktivitas antijamur dilakukan menggunakan metode difusi cakram. Mula-mula
alat dan bahan seperti cawan petri, tabung reaksi, media PDA disterilisasi menggunakan
autoklaf pada suhu 121°C selama 30 menit. Jamur A. flavus diremajakan dengan
menggunakan media Potato Dextrose Agar (PDA) selama 5-7 hari. Jamur yang telah
diremajakan. Jamur diambil menggunakan kawat ose kemudian dimasukkan dalam tabung
reaksi yang berisi larutan NaCl 0,9%. Kemudian divortex hingga diperoleh kekeruhan sama
dengan standar Mc farland yaitu dinyatakan sama dengan 109 CFU/mL.
Ekstrak dan senyawa isolat dibuat dalam beberapa konsentrasi, yaitu 1000 g/mL, 750
g/mL, 500 g/mL, dan 100 g/mL. Kontrol positif digunakan ketokonazol dan kontrol negatif
digunakan aseton. Suspensi jamur diambil sebanyak 1000 µL kemudian dicampurkan
dengan media PDA dan dituang dalam cawan petri dan dibiarkan sampai memadat.
Selanjutnya disiapkan kertas cakram (6 mm) yang kemudian dicelupkan kedalam ekstrak
dan senyawa isolat yang telah diencerkan. Selanjutnya, cakram tersebut diletakkan diatas
permukaan media yang telah memadat diinkubasi selama 5-7 hari (37°C) sampai terlihat
zona bening disekitar cakram. Diameter zona bening yang terbentuk dihitung menggunakan
jangka sorong.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
85
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ekstraksi serbuk lichen.
Hasil ekstraksi serbuk lichen diperoleh ekatrak pekat sebanyak 57,27 gram. Hasil
isolasi menggunakan kromatografi kolom diperoleh 135 eluen yang kemudian dianalisis
menggunakan KLT. Spot noda dengan nilai Rf yang sama digabung, sehingga diperoleh 12
fraksi. Setelah dilakukan pengamatan, fraksi F3 berbentuk kristal jarum berwarna jingga
yang kemudian direkristalisasi hingga diperoleh senyawa murni. Analisis kemurnian
senyawa dilakukan menggunakan KLT 2 dimensi. Hasil analisis dapat dilihat pada
kromatogram Gambar 1.
Gambar 1. Kromatogram KLT 2 dimensi dibawah UV 254 dan 365 nm
Spot noda yang terlihat pada kromatogram tampak tunggal yang menandakan bahwa
senyawa isolat yang diperoleh telah murni. Isolat murni selanjutnya diidentifikasi
strukturnya menggunakan spektrometer UV-Vis. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Spektrum UV-Vis senyawa isolat
Berdasarkan hasil analisis spektrum UV-Vis senyawa isolat yang diukur pada
panjang gelombang 200-400 nm, diketahui panjang gelombang maksimum yang diperoleh
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
86
adalah 270 nm. Serapan pada panjang gelombang tersebut menunjukkan adanya serapan
karbonil yang umumnya terjadi pada 270-300 nm. Selanjutnya, berdasarkan hasil
interpretasi data spektrum LC-MS (Gambar 3), diperoleh berat molekul senyawa isolat
adalah [M+] = 315,21.
Gambar 3. Spektrum LC-MS senyawa isolat
Gambar 4. Spektrum FTIR senyawa isolat
Gambar 4 menunjukkan ada beberapa karakteristik daerah serapan gugus fungsi
yang muncul. Pita serapan yang muncul pada daerah 3321 cm-1, 3209 cm-1, dan 3170 cm-1
mengindikasikan adanya gugus hidroksil (-OH), daerah serapan 2932 cm-1 dan 2860 cm-1
menunjukkan adanya vibrasi streching ikatan Csp3-H serta C-H bending ditunjukkan pada
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
87
daerah 1453 cm-1 dan 1381 cm-1. Serapan yang ditunjukkan pada daerah 1326 cm-1 dan 1239
cm-1 adalah adanya ikatan C-C. Keberadaan ikatan C=C ditunjukkan pada daerah 1625 cm-
1 dan 1566 cm-1 serta uluran C-O pada daerah serapan 1037 cm-1 dan 978 cm-1. Berdasarkan
data spektrum FTIR dapat disimpulkan bahwa senyawa isolat memiliki gugus fungsi
hidroksil (–OH), karbon alifatik (CH3 dan CH2), karbonil (C=O), alkena (C=C), dan
eter (C-O). Keberadaan gugus fungsi hasil analisis spektrum FTIR didukung oleh analisis
spektroskopi 1H-NMR yang dapat dilihat dalam Gambar 5.
Gambar 5. Spektrum H-NMR senyawa isolat
Sinyal 1H NMR isolat pada Gambar 5. memperlihatkan 13 jenis sinyal proton yang
mewakili 18 proton. Terdapat 1 sinyal proton metil pada δH 0,833. Terdapat 4 jenis proton
yang memiliki geseran kimia di atas 6 ppm yaitu 6,82; 7,182; 7,289 dan 7,612 ppm yang
mengindikasikan bahwa proton tersebut memiliki kerapatan elektron yang rendah atau
terikat pada gugus penarik elektron seperti alkena.
Tabel 1. Data 1H-NMR senyawa isolat
δH (ppm) ƩH, Mult., J (Hz)
0,0883
1,33
1,599
1H, t, 3,5
1H, t, 3,5
1H, s
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
88
2,3
2,484
2,978
4,017
4,174
4,343
6,82
7,182
7,289
7,612
1H, q
1H, s
1H, s
1H, s
1H, dd, 7,5, 8
2H, q, 5, 5
1H, d, 3
1H, d, 1
1H, d, 3,5
1H, d, 2
Berdasarkan interpretasi data spektrum UV-Vis, LC-MS, FTIR, dan 1H-NMR,
senyawa isolat yang diperoleh mempunyai rumus molekul C18H18O5 dengan berat molekul
315,21 g/mol. Struktur senyawa yang diusulkan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur senyawa isolat
Hasil uji aktivitas antijamur ekstrak dan senyawa isolat lichen T. flavicans dapat
dilihat pada Gambar 7.
O
O
HO
OH
OH1"
2"
3"
4"
5"
6"
1
2
34
5
6
7
8
9
10
3-[1'-(2",3"-dihydroxy-phenyl)-propyl]-7-hydroxy-chroman-4-one
1'
2'
3'
(a) (b) (c)
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
89
Gambar 7. Hasil Uji antijamur (a) ekstrak lichen T. flavicans (b) senyawa isolat (c)
Kontrol
Hasil Uji Aktivitas Antijamur.
Hasil pengukuran diameter zona bening pada uji aktivitas antijamur dapat dilihat pada Tabel
2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Hasil pengukuran zona bening ekstrak lichen T. flavicans
Konsentrasi (mg/mL)
Diameter Zona Hambat (mm)
Ekstrak Isolat
1000
750
500
100
10
7
4
0
11
8
6
0
Tabel 3. Hasil pengukuran zona bening kontrol
Kontrol Diamter Zona Hambat (mm)
Ketokonazol (C+)
Aseton (C-)
24
0
Menurut Hutasoit et al. kategori hambatan terhadap pertumbuhan koloni jamur dapat
dilihat pada Tabel 4.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
90
Tabel 4. Kategori daya hambat terhadap pertumbuhan koloni jamur A. flavus(xvii)
Zona Hambat (mm) Daya Hambat
≤5 Lemah
6-10 Sedang
11-20 Kuat
>20 Sangat Kuat
Berdasarkan hasil pengukuran zona bening, ekstrak aseton lichen T. flavicans pada
konsentrasi 1000 dan 750 mg/mL mempunyai aktivitas antijamur yang sedang dan pada 500
mg/mL mempunyai aktivitas antijamur yang lemah. Senyawa isolat lichen T. flavicans pada
konsentrasi 1000 mg/mL mempunyai aktivitas antijamur yang kuat, kemudian pada
konsentrasi 750 dan 500 mg/mL, aktivitasnya dalam menghambat jamur A. flavus adalah
sedang. Sedangkan kontrol positif menghasilkan diameter zona bening 24 mm yang
menandakan bahwa ketokonazol yang merupakan obat jamur komersil sangat kuat dalam
menghambat pertumbuhan jamur A. flavus. Dengan demikian, ekstrak maupun senyawa
isolat lichen T. flavicans mempunyai potensi dalam menghambat jamur A. flavus.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan data spektrum dan elusidasi struktur senyawa isolat yang diperoleh dari
lichen T. flavicans bahwa senyawa isolat memiliki rumus molekul C18H18O5 dengan berat
molekul 315,21 g/mol. Senyawa tersebut diusulkan memiliki nama 3-[1’-(2”,3”-dihydroxy-
phenyl)-propyl]-7hydroxy-chroman-4-one. Hasil uji antijamur ekstrak dan senyawa isolat,
diperoleh data zona hambat tertinggi pada konsentrasi 1000 mg/mL yaitu 11 mm. Hal
tersebut menunjukkan bahwa senyawa metabolit sekunder yang telah diisolasi dari lichen T.
flavicans dalam penelitian ini, memiliki aktivitas antijamur terhadap A. flavus.
Perlu dilakukan kajian bioaktivitas yang lebih mendalam untuk mengetahui
konsentrasi bunuh minimum (KBM) pada ekstrak aseton lichen T. flavicans dan isolat dari
lichen T. flavicans serta bioaktivitasnya terhadap jamur lainnya, sehingga memberi nilai
tambah pada organisme tersebut.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
91
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi (Kemristekdikti) atas pendanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Maulidiyah, Sabarwati, S.H., Safutra, E., Nurdin, M. 2016. Atranorin secondary metabolite
from lichen Usnea sp. and Its antibacterial activity. International Journal of Pharma
and Bio Sciences. 7(3): 159-169.
Rankovic, B. 2015. Lichens Used in Traditional Medicine. Springer International
Publishing. Switzerland.
Vivek, M.N., Manasa, Yashoda, K. Prashith, K.T.R, Raghavendra, H.L. 2014. Antifungal
efficacy of three bioactive parmotrema species from western ghats of karnataka india.
International Journal of Agriculture and Crop Sciences. 7(12): 968-973.
Babiah, P.S., Upreti, D.K., John, S.A. 2014. Fungicidal efficacy of a foliose lichen
flavoparmelia caperata (L.) Hale against phytopthogenic fungi. International Journal
of Current Research Bioscience and Plant Biology. 1(5):38-44.
Kosanic, M., Rankovic, B., Sukdolak, S. 2010. Antimicrobial activity of the lichen Lecanora
frustulosa and Parmeliopsis hyperopta and their divaricatic acid and zeorin
constituents. African Journal of Microbiology Research. 4(9): 888-890.
Pavithra, Vinayaka, K.S., Rakesh, K.N., Syed, J., Dileep, N., Prashith, K.T.R., Saba, S.,
Abhishiktha, S.N. 2013. Antimicrobial and antioxidant activities of a macrolichen
Usnea pictoides G. Awasthi (Parmeliaceae). Journal of Applied Pharmaceutical
Science. 3(8): 154-160.
Maulidiyah, Imran, Watu, M., Nurdin, M. 2016. Secondary Metabolites Identification from
Lichen Usnea Longissima Ach: Bioactivity Test of Antibacteria. International Journal
of Applied Chemistry. 12(3): 347-357.
Sasidharan, N.K., Sreerag, R.S., Rajesh, L., Jubi, J., Dileep, K.B.N., Saraswathy, A., Bala,
N. 2014. Protolichesterinic acid: a prominent broad spectrum antimicrobial compound
from the lichen usnea albopunctata. International Journal of Antibiotics. 6(1): 1-6.
Guo, S., Wen-Xia, L., Liu-Fu, H., Jia-Zhang, C. 2017. Antifungal activity of lichen extracts
and usnic acid for controlling the saprolegniasis. International Journal of
Environmental and Agriculture Research. 3(5): 43-44.
Jurnal: Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK) ISSN: 2655-0563, Edisi: Vol 1, No 2, Februari 2019
92
Fazio, A.T., Adler, M.T., Bertoni, M.D., Sepulveda, C.S., Damonte, E.B., Maier, M.S. 2007.
Lichen secondary metabolites from the cultured lichen mycobionts of teloschistes
chryshophtalmus and ramalina celastri and their antiviral activities. Z. Naturforsch.
62(7): 543-549.
Maulidiyah, Thamrin, A., Hadija, S., Nurdin, M. 2015. Isolasi dan identifikasi senyawa (-)-
asam usnat dari lichen usnea sp. serta aktivitas sitotoksiknya terhadap sel murine
leukemia P388. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 13(1): 40-44.
Dini, I., Maryono, Akmal, Sitti, H. 2017. Phytochemical analysis and antimalarial activity
of usnea sp. from south sulawesi against P. falciparum. International Journal of
Current Microbiology and Applied Science. 6(9): 1653-1660.
Mitrovic, T., Stamenkovic, S., Cvetkovic, V. 2011. Antioxidant, antimicrobial and
antiproliferative activities of five lichen species. International Journal Molecular
Science. 12: 5428–5448.
Maulidiyah, Cahyana, A.H., Suwarso, W.P., Nurdin, M. 2015. Isolation and structure
elucidation of eumitrin A1 from lichen usnea blepharea Motyka and Its cytotoxic
activity. International Journal Pharmaceutical Technology Research. 8(4): 782-789.
Emadi, S.N., Bhatt, S.M., M’Imunya, J.M., Suleh, A.J., Raeeskarami, S.R., Rezai, M.S.,
Navaeifar, M.R. 2014. Cutaneous manifestation in children with HIV/AIDS. Journal of
Pediatric Review. 2(1): 17-28.
Lewis, Onsongo, L.M., Njapau, H., Schurz-rogers, H., Luber, G., Kieszak, S., Nyamongo,
J., Backer, L., Dahiye, A.M., Misore, A., Decock, K., Rubin, C. 2005. Aflatoxin
contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis
in eastern and central Kenya. Environmental Health Perspective. 113(12): 1763-1766.
Hutasoit, S., Suada, I.K, Susrama, I.G. 2013. Uji aktivitas antijamur ekstrak beberapa jenis
biota laut terhadap Aspergillus flavus LINK dan Penicillium sp. LINK. E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika. 2(1): 27-38.