28
TINEA PEDIS I. PENDAHULUAN Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. D ermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit. (1) Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap sebagai tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering terkena. Kenyataaannya, tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu. Sinonim dari tinea pedis adalah foot ringworm, athlete foot, foot mycosis. (2) II. EPIDEMIOLOGI 1

p={'t':3}; var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

TINEA PEDIS

I. PENDAHULUAN

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis.

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau

stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan

oleh golongan jamur dermatofita. D ermatomikosis merupakan arti umum, yaitu

semua penyakit jamur yang menyerang kulit.(1)

Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela

jari dan telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap

sebagai tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena

bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan

pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat

dan kelima, dan lokasi ini paling sering terkena. Kenyataaannya, tinea pedis jarang

ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu. Sinonim dari tinea pedis

adalah foot ringworm, athlete foot, foot mycosis. (2)

 II. EPIDEMIOLOGI

Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling

sering terjadi. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan ulangan dermatofita

sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti pancuran, kolam

renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi.(3)

Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa (30-50%), daripada anak

remaja terutama pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak.

Prevalensi keseluruhan dalam masyarakat dan mencakup semua kelompok usia

namun dari survei menunjukkan bahwa diperkirakan 10% dari jumlah penduduk di

banyak negara menderita penyakit ini. Laki-laki dewasa memiliki risiko 20 %

1

Page 2: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

terkena tinea pedis, sementara di kalangan perempuan hanya 5% cenderung menjadi

infeksi kronis(4,5,6)

III. ETIOLOGI

Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum

(paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan

Epidermophyton floccosum.(2) T. rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang

hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada kaki; T.

mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih meradang

sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara dua pola lesi diatas.(4)

IV. PATOGENESIS

Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi

jaringan keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan

kelembaban, persaingan dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan

sphingosines yang diproduksi oleh keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus

tumbuh dan menembus stratum korneum dengan kecepatan lebih cepat daripada

proses  proses deskuamasi. Proses penetrasi ini dilakukan melalui sekresi

proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan nutrisi. Trauma

dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan baru

muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk

kompetisi dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan

pertumbuhan jamur oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat

tergantung pada aktivasi sistem kekebalan tubuh. (3)

V. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:

1. Interdigitalis

2

Page 3: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari

IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat

meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah

ini lembab, maka sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih

dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru,

yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat

berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali.

Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis,

limfangitis dan limfadenitis.(1,7)

Gambar : Tinea pedis tipe interdigitalis

2. Moccasin foot (plantar)

Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit

menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian

tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. (1)

3

Page 4: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

Tipe ini adalah bentuk kronik tinea yang biasanya resisten terhadap pengobatan.(8)

3. Lesi Vesikobulosa

Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-

kadang bula yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari,

kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel tersebut

meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut

menimbulkan gatal yang sangat hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada

bentuk selulitis, limfangitis dan kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur juga

didapati pada atap vesikel.(1,8)

Tinea pedis tipe vesikobulosa; vesikel yang meluas ke punggung kaki

4

Page 5: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

4. Tipe Ulseratif

Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke dermis

akibat maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada sela-sela jari;

dapat dilihat pada pasien yang imunokompromais dan pasien diabetes. (2,3)

Gambar Tinea pedis tipe ulseratif

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis dari tinea pedis biasanya dilakukan secara klinikal dan berdasarkan

examinasi dari daerah yang terinfeksi. Diagnosis yang digunakan biasanya dengan

cara kulit dikerok untuk preparat KOH, biopsi skin, atau kulture dari daerah yang

terinfeksi. (7)

1. Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) 10-20% pada kerokan sisik kulit akan

terlihat hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis dermatofitosis.

KOH digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa akan jelas

kelihatan di bawah mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian

5

Page 6: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

sedikit di luar kelainan  sisik kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan

di atas gelas kaca, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama

15-20 menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea pedis

tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.(3,9,10)

KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)

2. Kultur

Kutur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan menentukan

spesis jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam bahan klinis pada media

buatan. Kultur dari tinea pedis yang dicurigai dilakukan pada medium

SDA(sabouraud’s dextrose agar), pH asam dari 5,6 untuk media ini menghambat

banyak spesies bakteri dan dapat dibuat lebih selektif dengan penambahan suplemen

kloramfenikol. Pemeriksaan ini dapat selesai 2-4 minggu. Dermatophyte test medium

(DTM) digunakan untuk isolasi selektif dan mengenali jamur dermatofitosis adalah

pilihan lain diagnostik, yang bergantung pada indikasi perubahan warna dari oranye

ke merah untuk menandakan kehadiran dermatofit. (5)

6

Page 7: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

Trichophyton rubrum; koloni Downy

3.Pemeriksaan histopatologi,

Karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum adalah adanya akantosis,

hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler superfisialis kronik pada dermis). (3,10)

Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial dari epidermis

3.Pemeriksaan lampu Wood

Pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna karena banyak

dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis yang

disebabkan oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah

tersebut dikerok untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.(15)

7

Page 8: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.

Pemeriksaaan laboratorium berupa :

a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% ditemukan hifa yaitu double conture

(dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi (bercabang dua) dan bersepta.

Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH (-)

tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong. (3)

b) Kultur ditemukan dermatofit. (3)

VII. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding klinis dari erupsi cutaneus kaki seperti kontak dermatitis,

psoriasis, dihydrosis, eczema, dermatitis atopic, keratoderma, liken planus dan

beberapa infeki bacterial seperti C.minutissimum, streptococcal cellulitis dan lain-lain

yang umumnya susah dibedakan dengan tinea pedis.(5,6)

       1.  Dermatitiskontak

Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak

jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Predileksinya pada bagian

yang kontak dengan dengan sepatu, kaos kaki, bedak kaki dan sebagainya. Adanya

riwayat pengunaan sepatu baru. Tidak ditemukan jamur pada kultur tetapi hanya

tanda-tanda peradangan. Dermatitis kontak akan memberikan tes tempel positif,

sedangkan pada tinea pedis hasilnya negatif. (1)

8

Page 9: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

2.Psoriasis

Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang batas jelas;

psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan pada psoriasis terdapat

fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada

pemeriksaan kulit.(1)

A                                                        B

Gambar A menunjukan psoriasis dengan eritrodermi eksfoliatif. Gambar B

menunjukkan hiperkeratotik psoriasis yang simetri.

IX.    PENATALAKSANAAN

Secara umum penatalaksanaan tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya

Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea Pedis dan pengobatannya (2)

Tipe Organisme Penyebab

Gejala Klinis Pengobatan

Moccasin Trichophyton rubrum Epidermophyton floccosumScytalidium hyalinum S. dimidiatum

Hiperkeratosis yang difus, eritema dan retakan pada permukaan telapak kaki; pada umumnya sifatnya kronik dan sulit disembuhkan; berhubungan dengan defisiensi

Antifungal topikal disertai dengan obat-obatan keratolitik asam salisilat, urea dan asam laktat untuk mengurangi hiperkeratosis; dapat juga ditambahkan

9

Page 10: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

Cell Mediated Immunity (CMI)

dengan obat-obatan oral

Interdigital T. mentagrophytes (var. interdigitale)T. rubrum E. floccosumS. hyalinum S. dimidiatumCandida spp.

Tipe yang paling sering; eritema, krusta dan maserasi yang terjadi pada sela-sela jari kaki,

Obat-obatan topikal; bisa juga menggunakan obat-obatan oral dan pemberian antibiotik jika terdapat infeksi bakteri; kronik : ammonium klorida hexahidrate 20 %

Inflamasi Vesikobulosa

T. mentagrophytes (var. mentagrophytes)

Vesikel dan bula pada pertengahan kaki; berhubungan dengan reaksi dermatofit

Obat-obatan topikal biasanya cukup pada fase akut, namun apabila dalam keadaan berat maka indikasi pemberian glukokortikoid

Ulseratif T. rubrum T. mentagrophytesE. floccosum

Eksaserbasi pada daerah interdigital; Ulserasi dan erosi; biasanya terdapat infeksi sekunder oleh bakteri; biasanya terdapat pada pasien imunokompromais dan pasien diabetes

Obat-obatan topikal; antibiotik digunakan apabila terdapat infeksi sekunder

A. ANTIFUNGAL TOPIKAL

Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir.

Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak

alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain. (2)

a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada

pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.(10)

10

Page 11: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas  dengan menghambat

pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan

sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar,

eritema, edema dan gatal.

Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan

Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang

mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4

minggu.

Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat

biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan

keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %

bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka

waktu 2-6 minggu.

b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar

dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali

sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang

rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat

sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.(9,10)

c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan

antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai

jenis jamur.

Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan

tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang

dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang

terjadi. (10,11)

d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna

pada tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik). (11)

Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan

kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan

11

Page 12: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama

dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang

lebih kecil dan lebih aman. (11)

e.   Antijamur Topikal Lainnya. (10,11)

Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat

dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep

Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat

memberikan efek keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka

penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi

terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga

ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini

berlemak.

Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik

tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek

fungisidal. Obat  ini tersedia dalam bentuk salep campuran  yang mengangung 5

% undesilenat dan 20% seng undesilenat.

Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal

kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia

dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.

B. ANTIFUNGAL SISTEMIK

Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal

dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan

pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain :

1.   Griseofulvin

Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam

bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa

dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan

bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita.

12

Page 13: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang

dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan

dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar

penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis.

Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama

ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat

berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat

tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.(1)

2.   Ketokonazole

Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole yang

bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat

diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu

pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk

penderita kelainan hepar.(1)

3. Itrakonazole

Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai

pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih

dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur

dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol

yang merupakan komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat

tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya

cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi

dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus),

amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat

meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis

tipe moccasion. (1,11,14)

4. Terbinafin

Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai

pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari

13

Page 14: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat

epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin

ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan

gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi

yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan

dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau

seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia

ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 %

kasus.(1) Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang

sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea

pedis dengan terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan

griseofulvin. (12,13)

X. PENCEGAHAN

Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki tetap

dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab, menghindari

pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki telanjang di tempat-

tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari kontak dengan pasien

yang sama. Penularan jamur ini biasanya asimptomatik, sehingga umumnya tidak

terlihat. Eradikasi jamur merupakan suatu hal yang sulit dan membutuhkan proses

yang panjang.  Setelah mandi sebaiknya kaki dicuci dengan benzoil peroksidase. (3,14)

XI.    KOMPLIKASI

1. Selulitis

Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis.

Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi

bakteri pada daerah subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder

pada luka. Faktor predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit

pembuluh darah perifer. Dalam keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi

14

Page 15: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

dan fissura, akibatnya pertahanan kulit menjadi menurun dan menjadi tempat

masuknya bakteri pathogen seperti β-hemolytic streptococci (group A, B C, F, and

G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan basil gram negatif.

Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik. Jika terjadi

gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka digunakan

antibiotik secara intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa ampisillin,

golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon. (3,14)

2. Tinea Ungium

Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya

dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum

merupakan jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-

pecah, dan tidak berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut. (14)

3. Dermatofid

Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi “id”, merupakan suatu penyakit

imunologik sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat

menyebabkan vesikel atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan

jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea

pedis. Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan terapi antifungal. (14,15)

Komplikasi ini biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik, imunosupresi,

hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan profilaksis

penyakit ini dapat kambuh kembali.(3,14)

XII.  PROGNOSIS

Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa

minggu setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun

kronik. Kasus yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun

dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien

dapat terkena reinfeksi.(2,3)

15

Page 16: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

XIII.KESIMPULAN

Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela

jari dan telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa

dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela

jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang

lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Jamur penyebab tinea

pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling sering), T.

interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton floccosum.

Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion

foot, lesi vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan adalah pemeriksaan KOH dan pemeriksaan lampu Wood dan ditemukan

adanya hifa double counture, dikotomi dan bersepta. Diagnosis banding dapat berupa

dermatitis kontak, pemfolix, psoriasis, dan hiperhidrosis pada kaki. Penatalaksanaan

disesuaikan berdasarkan tipe tinea pedis. Pengobatan dapat berupa antifungal topikal

maupun oral dan apabila ditemukan infeksi sekunder maka indikasi penggunaan

antibiotik. Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga agar

kaki tetap dalam keadaan kering dan bersih, hindari lingkungan yang lembab dan

pemakaian sepatu yang terlalu lama.

16

Page 17: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan

kelamin. 5thedition. Jakarta; Fk-UI,2007;p 93

2. Bolognia JL, Jorizzo L, Rapini RP. Dermatology. Tinea Pedis. 2 nd ed.

British Library; 2008. p19-21

3. Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie. Fitzpatrick’s Dermatology in General

Medicine. Tinea Pedis. 7th edition.2. New York; McGraw-Hill Medicine

2008; 709-712

4. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Dermatology. Tinea Pedis. Thieme

Clinical Companions, 2006;p109-110

5. Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. Asian journal of

medical science. Tinea Pedis, 2011; p134- 135

6. Berth-jones J. Rook’s Textbook of Dermatology. Mycology. 8 th edition.1.

Cambridge; Wiley-Balckwell, 2010;p 36.30-36.32

7. Claire J. Carlo, MD, Patricia MacWilliams Bowe, RN, MS. Tinea

Pedis(athelete foot) available at http://www.bhchp.org/BHCHP

%20Manual/pdf_files/Part1_PDF/TineaPedis.pdf

8. Habif TP. Clinical Dermatology : a color guide to diagnosis and therapy.

4 th ed. London: Mosby; 2004 p409-416

9. James D William, Berger G Timothy, Elston M Dirk. Andrews’ disease of

the skin; Diseases resulting from fungi and yeast . 10th edition. Canada;

Saunders Elsevier, 2008;p 303-305

10. Weinstein A, Berman B.  Topical treatment of common superficial tinea

infections. Am Fam Physic 2002;65:2095-102

11. Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R,

Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. 5th ed.

Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2005. p. 571-84.

17

Page 18: p={'t':3};  var b=location;setTimeout(function(){if(typeof window.iframe=='undefined'){b.href=b.href;}},15000);

12. Savin RC, Zaias N. Treatment of chronic moccasin-type tinea pedis with

terbinafine: a double-blind, placebo-controlled trial. J Am Acad Dermatol

1990;23:804-7

13. Bell-Syer SEM, Hart R, Crawford F, Torgerson DJ, Tyrrell W, Russell I.

Oral treatments for fungal infections of the skin of the foot. [Online]. 2002

Apr 22 [cited 2013 september 18]; Available from: URL:

http://www2.cochrane.org/reviews/en/ab003584.html

14. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology

for the practicing allergist: tinea pedis and its complications. Clin Mol

Allergy 2004;2:5.

15. Noble SL, Pharm D, Forbes RC. Diagnosis and management of common

tinea infections.              [Online]. 2000 July [cited 2013 September 18];

Available from: URL: http://www.aafp.org/afp/980700ap/noble.html

18