34
CATATAN KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA Dr. Hanif Nurcholis, M. Si Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka [email protected] ; [email protected] Abstrak UU No. 6/ 2014 mengatur dua obyek material: 1) Desa Orde Baru dan 2) Desa Adat. Desa Orde Baru adalah desa bentukan Pemerintahan Soeharto melalui UU No. 5/ 1979 yang diteruskan dengan UU No. 22/ 1999 jo UU No. 32/ 2004 sedangkan Desa Adat adalah desa yang pada zaman Belanda dinamakan volksgemeenschappen atau kesatuan masyarakat hukum adat pribumi. UU No. 6/ 2014 menggunakan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai payung konstitusinya. Padahal Pasal 18 B ayat (2) tidak mengatur Desa tapi mengatur kesatuan masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang Desa Adat tentu sesuai dengan norma Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Akan tetapi, pengaturan tentang Desa Orde Baru dipertanyakan validitas juridisnya. Berdasarkan masalah ini, dilakukan penelitian pustaka atas teks UU No. 6/ 2014. Metode yang digunakan adalah kajian atas naskah UU No. 6/ 2014 dan dianalis dengan cara content analysis berdasarkan teori hukum adat. Disimpulkan bahwa pengaturan terhadap Desa Orde Baru adalah melenceng, misleading dari norma Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Kata Kunci: Desa Orde Baru, Desa Adat, volksgemeenschappen, kesatuan masyarakat hukum adat. A. PENDAHULUAN UUD 1945 Pasal 18 dan 18 A mengatur daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/kota. Pasal 18 B ayat (1) mengatur daerah yang bersifat khusus dan daerah yang bersifat istimewa sedangkan Pasal 18 B ayat (2) mengatur tentang kesatuan masyarakat hukum

TINJAUAN KRITIS TERHADAP UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

Embed Size (px)

Citation preview

CATATAN KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

Dr. Hanif Nurcholis, M. SiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka

[email protected] ; [email protected]

Abstrak

UU No. 6/ 2014 mengatur dua obyek material: 1) Desa Orde Baru dan2) Desa Adat. Desa Orde Baru adalah desa bentukan PemerintahanSoeharto melalui UU No. 5/ 1979 yang diteruskan dengan UU No. 22/1999 jo UU No. 32/ 2004 sedangkan Desa Adat adalah desa yang padazaman Belanda dinamakan volksgemeenschappen atau kesatuan masyarakathukum adat pribumi. UU No. 6/ 2014 menggunakan Pasal 18 B ayat (2)UUD 1945 sebagai payung konstitusinya. Padahal Pasal 18 B ayat (2)tidak mengatur Desa tapi mengatur kesatuan masyarakat hukum adat.Pengaturan tentang Desa Adat tentu sesuai dengan norma Pasal 18 Bayat (2) UUD 1945. Akan tetapi, pengaturan tentang Desa Orde Barudipertanyakan validitas juridisnya. Berdasarkan masalah ini,dilakukan penelitian pustaka atas teks UU No. 6/ 2014. Metode yangdigunakan adalah kajian atas naskah UU No. 6/ 2014 dan dianalisdengan cara content analysis berdasarkan teori hukum adat. Disimpulkanbahwa pengaturan terhadap Desa Orde Baru adalah melenceng,misleading dari norma Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.

Kata Kunci: Desa Orde Baru, Desa Adat, volksgemeenschappen, kesatuan

masyarakat hukum adat.

A. PENDAHULUAN

UUD 1945 Pasal 18 dan 18 A mengatur daerah otonom provinsi dan

daerah otonom kabupaten/kota. Pasal 18 B ayat (1) mengatur daerah

yang bersifat khusus dan daerah yang bersifat istimewa sedangkan

Pasal 18 B ayat (2) mengatur tentang kesatuan masyarakat hukum

adat. Dengan demikian, UUD 1945 tidak mengatur tentang Desa secara

harfiah.

Akan tetapi, dalam praktik pemerintahan sejak zaman pra kolonial,

kolonial, dan kemerdekaan terdapat pemerintahan desa yang masih

eksis sampai sekarang. Berdasarkan fakta empirik ini Negara membuat

UU yang mengatur tentang Desa. Pada awal kemerdekaan sampai dengan

tahun 1980, pemerintahan tradisional/ desa yang pada zaman Belanda

dinamakan volksgemeenschappen dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan

formal sebagai daerah otonom tingkat ketiga. Akan tetapi, Desa

batal masuk ke dalam sistem pemeritahan formal karena Orde Baru

mencabut UU No. 19/ 1965 tentang Desapraja. Regim Orde Baru melalui

UU No. 5/ 1979 Desa menjadikannya sebagai kesatuan masyarakat

(bukan unit pemerintahan formal) di bawah pejabat dekonsentrasi

Camat. Kebijakan Desa pada era Reformasi di bawah UU No. 22/ 1999

dan UU No. 32/ 2004 tidak berubah: sebagai kesatuan masyarakat

(bukan unit pemerintahan formal) yang diberi tugas pemerintahan

oleh pemerintah atasan.

UU terakhir yang mengatur tentang Desa adalah UU No. 6/ 2014. UU

ini mengatur dua obyek material: 1) Desa Orde Baru dan Desa Adat.

Desa Orde Baru adalah desa bentukan Pemerintahan Soeharto melalui

UU No. 5/ 1979 yang diteruskan dengan UU No. 22/ 1999 jo UU No. 32/

2004 sedangkan Desa Adat adalah desa yang pada zaman Belanda

dinamakan volksgemeenschappen atau kesatuan masyarakat hukum adat

pribumi. Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah payung

konstitusi yang digunakan sebagai dasar pengaturan UU ini yaitu

Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Padahal Pasal ini tidak mengatur Desa

baik Desa Orde Baru maupun Desa Adat. Pasal 18 B ayat (2) hanya

memberi mandat kepada Negara untuk mengakui dan menghormati

kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup, perkembangannya

sesuai dengan kehidupan masyarakat beradab, dan tidak bertentangan

dengan sistem NKRI. Dengan pengertian Desa Adat adalah kesatuan

masyarakat hukum adat sebagaimana maksud Pasal 18 B ayat (2) maka

pengaturannya dalam UU ini sudah benar. Akan tetapi, mengenai Desa

Orde Baru validitas juridisnya dipertanyakan karena Desa Orde Baru

bukan kesatuan masyarakat hukum adat. Berdasarkan masalah ini,

dilakukan penelitian pustaka atas teks UU No. 6/ 2014. Metode yang

digunakan adalah kajian atas naskah UU No. 6/ 2014. Teori yang

digunakan untuk analis teori hukum adat dengan cara content

analysis. Menurut Van Vollenhoven dan Teer Har kesatuan masyarakat

hukum adat adalah kesatuan masyarakat yang tercermin dalam tata

kelola kehidupannya yang berdasarkan norma hukum adat. Masyarakat

hukum adat mempunyai penguasanya sendiri, harta kekayaan sendiri,

dan benda-beda adat baik materiil maupun immateriil.

B. CATATAN KRITIS TERHADAP UU NO. 6/ 2014

1. DASAR PEMIKIRAN UU NO. 6/ 2014

Dasar Pemikiran UU No. 6/ 2014 dijelaskan dalam Penjelasan Umum.

Dijelaskan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada

sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti

keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa

“Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250

“Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di

Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang,

dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh

karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah

istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-

daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh

sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan

keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Catatan:

Pembuat Undang-Undang mengalami sesat pikir (fallacy) ketikamembuat kesimpulan: “Oleh sebab itu, keberadaannya wajibtetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnyadalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” atas keberadaanvolksgemeenschappen. Kesimpulan ini sesat karena terlepas darikonteks historis dan juridis Penjelasan Pasal 18 UUD 1945tersebut. Pertama, Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 bukan normakonstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.Yang mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah diktumnya:Pasal 18. Kedua, Penjelasan Pasal 18 adalah upaya menguraikanlebih operasional atas diktum Pasal 18 yang bersumber darimateri pembahasan Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI Mei-Agustus1945 tentang pemerintahan daerah, bukan tentang “Zelfbesturendelandschappen” dan “Volksgemeenschappen”. Ketiga, Penjelasantersebut berisi arahan (bukan pengaturan) bahwa dalam rangkamembentuk daerah otonom besar dan daerah otonom kecil (diktum

Pasal 18) haruslah memperhatikan “Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen”.

Sesuai dengan ilmu berpikir benar atau logika/ mantiq,kesimpulan yang berbunyi, “’Zelfbesturende landschappen’ dan‘Volksgemeenschappen’ keberadaannya wajib tetap diakui dandiberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia” adalah sesat, fallacy, karenakesimpulan yang ditarik tidak berhubungan dengan premis mayordan premis minornya:Premis mayor : Pembagian daerah (otonom) di Indonesia

terdiri atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.

Premis minor : Di Indonesia terdapat lebih kurang 250 “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” yang dianggap sebagai daerah istimewa karena memiliki susunan asli.

Kesimpulan : Oleh sebab itu, keberadaan “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesimpulan tersebut sesat pikir (fallacy) karena tidakberhubungan dengan premis-premisnya: premis mayor berisipengaturan daerah otonom besar dan daerah otonom kecilsedangkan premis minornya berisi informasi adanya“zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” dan arahanagar dalam membentuk daerah otonom besar dan daerah otonomkecil memperhatikan “zelfbesturende landschappen” dan“volksgemeenschappen”. Akan tetapi kesimpulannya berisipengawetan “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeen-schappen”.

Kesimpulan yang benar atas proposisi tersebut adalah sebagaiberikut.

Premis mayor : Pembagian daerah (otonom) di Indonesia terdiri atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.

Premis minor : Di Indonesia terdapat lebih kurang 250 “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” yang dianggap sebagai daerah istimewa karena memiliki susunan asli.

Kesimpulan : Oleh sebab itu, “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” dijadikan daerah otonom istimewa besar dan daerah otonom istimewa kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.

Dengan demikian, pemahaman yang benar atas Penjelasan Pasal18 tersebut adalah sebagai berikut. Dalam rangka membentukdaerah otonom besar dan daerah otonom kecil bangsa Indonesiaharuslah memperhatikan “Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen” karena dalam territori Negara Indonesiaterdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen”seperti Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta,Kesultanan Deli, dan sebagainya dan “Volksgemeenschappen”,seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusundan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itumempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggapsebagai daerah otonom yang bersifat istimewa/ asimetris.Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerahotonom istimewa/ asimetris tersebut dan segala peraturannegara mengenai pembentukannya menjadi daerah otonom besardan daerah otonom kecil haruslah mengingati hak asalusulnya. Zelfbesturende landschappen yang masih eksis sepertiKesultanan Yogyakarta dijadikan daerah otonom asimetris besarkarena memiliki susunan asli. Begitu juga volksgemeenschappenyang masih eksis seperti desa, nagari, marga, gampong, dansebagainya dijadikan daerah otonom kecil sebagai daerah

istimewa/ asimetris kecil karena memiliki susunan asli. Semuaperaturan perundang-undangan untuk mengatur Zelfbesturendelandschappen” atau daerah swapraja dan “Volksgemeenschappen” ataukesatuan masyarakat hukum adat pribumi tersebut menjadidaerah otonom asimetris harus mengingati hak asal usulnya.

Hal ini sesuai dengan penjelasan Mohammad Yamin1 yangdisampaikan dalam sidang BPUPKI 29 Mei 1945,

negeri, desa, dan segala persekutan hukum adat yangdibarui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman,dijadikan kaki susunan negara sebagai bagian bawah.

Penjelasan Yamin tersebut dipertegas oleh Soepomo2 yangdisampaikan pada 15 Juli 1945 dalam forum yang sama,

Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan(eenheidstaat). Oleh karena itu, di bawah NegaraIndonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada“onderstaat”, akan tetapi hanya ada daerah-daerahpemerintahan belaka. Pembagian daerah Indonesia danbentuknya pemerintahan daerah ditetapkan dengan Undang-undang. Menurut pasal 16 (kemudian berubah menjadi pasal18 dalam UUD 1945, pen.) pembagian daerah Indonesia atasdaerah besar dan daerah kecil dengan bentuk susunanpemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, denganmemandang dan mengingati dasar permusyawartan dalamsistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalamdaerah-daerah yang bersifat istmewa. Jadi, rancanganUndang-Undang Dasar memberi kemungkinan untuk mengadakanpembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah yangbesar dan untuk membagi daerah-daerah yang besar ituatas daerah-daerah kecil. Dengan memandang danmengingati “dasar permusyawaratan”, artinya bagaimanapunbentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harusberdasar atas permusyawaratan, jadi misalnya denganmengadakan dewan perwakilan daerah. Hak-hak asal usul

1 Sekretariat Negara RI, 1995, Risalah Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945, Jakarta: Setneg, hlm. 22.

2 Ibid, hlm. 271-272

dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harusdiperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewaitu ialah pertama daerah kerajaan (Kooti), baik di Jawamaupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasaBelanda dinamakan “zelfbesturende lanschappen”. Kedua daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, ialahDorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyaisusunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari diMinangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dankuria di Tapanuli, gampong di Aceh.

Jadi, substansi Penjelasan Pasal 18 tersebut adalahmenjadikan zelfbesturende landschappen atau daerah swaprajasebagai daerah otonom besar yang bersifat asimetris danmenjadikan volksgemeenschappen atau kesatuan masyarakat hukumadat pribumi sebagai daerah otonom kecil yang bersifatasimetris pula, bukan tetap mempertahankan dan mengawetkanmasing-masing sebagai zelfbesturende landschappen danvolksgemeencahppen sebagaimana sediakala.

Dalam Dasar Pemikiran juga dijelaskan bahwa pembentukan desa dan

desa adat menurut UU ini menggunakan konstruksi menggabungkan

fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan

kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian

dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa

Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir

sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-

usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan

dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan

ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta

pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.

Catatan:

Apa dasar teoritik dan juridis menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government dalam pembentukanpemerintahan Desa? Self governing community merujuk pada teoricommunity sedangkan local self government merujuk pada teori localgovernment. Sesuai dengan teori community, komunitas dibentukoleh anggoata komunitas. Lembaga dan tata kelolanya tidak dibawah hirarki pemerintah dan di luar regim negara. Dalamteori local government, local self government dibentuk pemerintahpusat dan di bawah pemerintah pusat. Bagaimana caramenggabungkan keduanya menjadi sebuah lembaga yang bernamaDesa sebagiamana diatur dalam UU No. 6/ 2014. Secara juridis,penggabungan community dengan local self government juga tidak adadasar hukumnya.

2. KONSIDERAN MENIMBANG HURUF a

Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan

cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Catatan:

Konsideran Menimbang huruf a ini, sebagian benar yaitu untukDesa Adat tapi salah untuk Desa bentukan PemerintahanSoeharto melalui UU No. 5/ 1979. Desa yang memiliki hak asalusul dan hak tradisional adalah Desa Adat sebagaimana diaturdalam Pasal 96-111 UU ini. Adapun Desa Orde Baru sudah tidakmemiliki hak asal usul dan hak tradisional karena UU No. 5/1979 mencabut UU No. 19/ 1965 dimana UU No. 19/ 1965 mencabutIGO 1906 dan IGOB 1938 yang berarti juga menghapus semuakesatuan masyarakat hukum pribumi yang diakui IGO 1906 danIGOB 1938 tersebut. Melalui UU No. 5/ 1979 bekas kesatuanmasyarakat hukum adat yang diakui IGO 1906 dan IGOB 1938dirubah menjadi lembaga baru dengan nomenklatur PemerintahanDesa. Lembaga baru ini bukan mengakui dan menghormatikesatuan masyarakat hukum adat yang diakui IGO 1906 dan IGOB

1938 tapi membentuk lembaga baru: struktur organisasi,fungsi, tugas, tata kelola, dan infrastruktur. Lembaga baruini didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat di bawan Camat.Jadi, lembaga baru yang dibentuk Pemerintahan Soehartotersebut bukan volksgemeenschappen (zaman Belanda) ataukesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945).

Disamping itu, menurut UUD 1945 yang dihormati dan diakuiNegara adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memenuhitiga syarat: 1) masih hidup; 2) sesuai dengan perkembanganmasyarakat; dan 3) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsipNegara Kesatuan Republik Indonesia. Kesatuan masyarakathukum adat baik yang masih hidup atau yang sudah matidijelaskan oleh Asshiddiqi3 sebagai berikut. Pertama,masyarakatnya masih asli, tradisinya juga masih dipraktekkan,dan tersedia catatan mengenai tradisi tersebut. Kedua,masyarakatnya masih asli dan tradisinya masih dipraktekkantapi catatan mengenai tradisi tersebut tidak ada. Ketiga,masyarakatnya masih asli tapi tradisinya tidak dipraktekkantapi tersedia catatan rekaman atau catatan tertulis mengenaitradisi tersebut yang suatu waktu bisa dipraktekkan kembali.Keempat, masyarakatnya masih asli tapi tradisinya sudahhilang dan tidak ada catatan atau rekaman mengenai tradisitersebut. Kelima, masyarakatnya tidak asli lagi, tradisinyajuga sudah hilang, dan catatannya juga sudah tidak adakecuali hanya ada dalam legenda-legenda yang tidak tertulis.Keenam, masyarakatnya tidak asli lagi, tradisinya juga sudahmenghilang dari praktik sehari-hari tapi catatannya masihtersedia dan sewaktu-waktu dapat dihidupkan kembali. Ketujuh,masyarakatnya sudah tidak asli lagi tapi tradisinya masihdipraktikkan dan catatannya juga masih tersedia cukupmemadai. Kedelapan, masyarakatnya tidak asli lagi dan tidakada catatan mengenai hal tersebut tapi tradisinya masih hidupdalam praktik. Berdasarkan delapan kategori tersebut kesatuanmasyarakat hukum adat dapat dibedakan menjadi tiga kelompok:

3 Asshidiqqi, Jimly, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press hlm. 77-78

1) kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah benar-benarmati; 2) kesatuan masyarakat hukum adat sudah tidak hidupdalam praktik tapi belum benar-benar mati sehingga jikadiberi pupuk bisa hidup kembali; dan 3) kesatuan masyarakathukum adat yang memang masih hidup. Kesatuan masyarakat hukumadat kategori keempat, kelima, dan ketujuh termasuk kesatuanmasyarakat hukum adat yang sudah benar-benar mati.

Semua kesatuan masyarakat hukum adat, volksgemeenschappen yangsudah dirubah menjadi Desa Orde Baru melalui UU No. 5/ 1979jo UU No. 22/ 1999 jo UU No. 32/ 2004 termasuk yang sudahmati karena tradisinya sudah hilang dan tidak dipraktikkanserta tidak ada catatan mengenai tradisi tersebut. Matinyatradisi tersebut sudah ditulis dalam Penjelasan Umum angka 18UU No. 22/ 1948 sebagai berikut. “Menurut Undang-Undang Pokokini, maka daerah otonom yang terbawah adalah Desa, Marga,Kota Kecil, dan sebagainya. Ini berarti desa ditaruh ke dalamlingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik di luarnyasebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunyapemerintahan penjajah mengerti, bahwa desa itu sendi negara,mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaikisegala-galanya diperkuat dan didinamiseer, supaya denganbegitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untukkepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis(tetap keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini,Gemeente Ordonanntie adalah tidak berati apa-apa, karena desadengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidakmempunyai keuangan dan oleh ordonanntie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya di desa sudah tidak hidup lagi. Malahsering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atausebaliknya, adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengankemauan penduduk desa, hanya oleh karena kepentingan penjajahmenghendaki itu”.

3. KONSIDERAN MENIMBANG HURUF b

Bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa

telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi

dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis

sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan

pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur,

dan sejahtera.

Catatan:

Konsideran Menimbang huruf b, Desa yang perlu dlindungiadalah Desa Adat karena merupakan amanat UUD 1945 pasal 18 Bayat (2), bukan Desa Orde Baru bentukan Pemerintahan Soehartomelalui UU No. 5/ 1979 jo. UU No. 22/ 1999 jo. UU No. 32/2004.

4. KETENTUAN UMUM ANGKA 1

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang

diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Catatan:

Ketentuan Umum angka 1 yang berbunyi “Desa adalah desa dan desaadat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desaadalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untukmengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempatberdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dandihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia” samadengan definisi daerah otonom sebagaimana tertulis dalam UU No.

32/ 2004 Pasal 1 angkat 6 yang berbunyi “ Daerah otonom, selanjutnyadisebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-bataswilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentinganmasyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalamsistem Negara Kesatuan Republik Indonesia” dengan sedikit perbedaan yaitufrasa sesudah “kepentingan masyarakat setempat”. Dalam UU No. 6/2014 frasanya berbunyi “berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NegaraKesatuan Republik Indonesia” sedangkan dalam UU No. 32/ 20014 berbunyi“menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NegaraKesatuan Republik Indonesia”.

Dalam teori local government dan hukum tata negara kesatuanmasyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untukmengatur (regeling) dan mengurus (bestuur) urusan pemerintahanadalah daerah otonom formal yang dibentuk oleh pemerintah pusat,bukan kesatuan masyarakat hukum adat. Kesatuan masyarakat hukumadat tidak dibentuk oleh Negara tapi dibentuk oleh komunitas yangbersangkutan berdasarkan norma hukum adat. Oleh karena itu,kesatuan masyarakat hukum adat tidak mengatur (regeling) danmengurus (bestuur) urusan pemerintahan tapi hanya mengurus urusanmasyarakat menurut norma hukum adat yang berlaku pada masyarakatyang bersangkutan.

Ketika Desa dan Desa Adat didefinisikan sama dengan daerah otonomdengan sedikit tambahan frasa jelas keliru karena Desa dan DesaAdat bukan daerah otonom. Pasal 1-95 UU No. 6/ 2014 tidakmendudukan Desa dan Desa Adat sebagai daerah otonom karena, 1)Negara tidak menjadikan Desa sebagai organisasi pemerintahanformal karena tidak menempatkan pejabat negara dan aparatur sipilnegara di Desa; 2) Negara tidak menyerahkan urusan pemerintahantertentu (desentralisasi) kepada Desa; dan 3) Negara tidakmembentuk council dan badan pelaksana formal untuk membuat kebijakanpengaturan (regeling) dan melaksanakan kebijakan tsb (bestuur)atas urusan pemerintahan yang didesentralisasikan.

5. KETENTUAN UMUM ANGKA 2

Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Catatan:

Ketentuan Umum angka 2 mendefinisikan Pemerintahan Desa. KonsepPemerintahan Desa mestinya mengacu kepada konsep tata kelolapemerintah pada tingkat desa. Pemerintah adalah badan publik yangdibentuk Negara yang mencakup struktur organisasi, fungsi, tugas,tata kelola, dan penempatan pejabat dan aparaturnya. Penempatanpejabat dan aparaturnya tersebut meliputi rekrutmen, pengangkatan,penempatan, pengembangan, pembinaan, penggajian, dan pensiun.Dalam UU ini, Negara memang menetapkan struktur organisasi,fungsi, tugas, tata kelola lembaga desa tapi rekrutmen,pengangkatan, penempatan, pengembangan, pembinaan, penggajian, danpensiun pejabat dan aparaturnya tidak berdasarkan UU No. 5/ 2014.Artinya pejabat dan staf pada pemerintah desa bukan pejabat negarajuga bukan aparatur sipil negara. Pejabat dan aparatur pemerintahdesa juga bukan pekerja/ buruh sebagaimana diatur dalam UU No. 13/2003. Dengan demikian, pejabat dan staf pemerintah desa statusnyatidak jelas dilihat dari UU No. 5/ 2014 tentang Aparatur SipilNegara dan UU No. 13/ 2003 Tentang Ketenagakerjaan: bukan PNS atauaparatur sipil negara dan juga bukan pekerja/ buruh. Denganketidakjelasan status pejabat dan stafnya, Pemerintah desa dalamUU ini mirip dengan RW dan RT yaitu lembaga kemasyarakatan yangdibentuk Negara dan diberi tugas membantu menyelengarakan urusanpemerintahan.

Dalam Penjelasan UU ini, dituliskan bahwa status desa adalahgabungan antara pendekatan local self government (daerah otonom) denganself government community (komunitas yang mengatur dirinya sendiri).Hal ini menunjukkan kekacauan juridis dan teoritis dalam UU ini.Lembaga publik yang merupakan gabungan local self government dengan selfgovernment community tersebut tidak mempunyai dasar teoritis danjuridis.

6. KETENTUAN UMUM ANGKA 7

Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan

oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan

Permusyawaratan Desa.

Catatan:

Ketentuan Umum angka 7 yang mendefinisikan Perarturan Desa dalahperaturan perundang-undangan tidak mempunyai dasar logika juridis.Apa dasar hukumnya dan bagaimana logika berpikirnya bahwaPeraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan? PemerintahDesa hanya sebuah “psuedo government unit, unit pemerintahanpalsu”, bukan lembaga negara yang sebenarnya. Peraturan perundang-undangan adalah semua produk hukum legal yang dibuat oleh lembaganegara. Pemerintah Desa sebagai unit pemerintahan palsu tidak bisamembuat peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangansudah ditentukan dalam UU No. 12/ 2011. Dalam UU No. 12/ 2011,tidak ada peraturan perundang-undangan yang bernama PeraturanDesa.

7. PASAL 6 AYAT (1)

Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.

Catatan:

Pasal 6 ini tidak ada acuannya dalam Ketentuan Umum sehingga tidakjelas apa yang dimaksud dengan Desa dan Desa Adat itu. Akantetapi, dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 95 bisa dipahami bahwayang dimaksud dengan Desa adalah Desa Orde Baru yaitu desa yangdibentuk regim Orde Baru melalui UU No. 5/ 1979 kemudianditeruskan oleh UU No. 22/ 1999 jo UU No. 32/ 2004. Adapun yangdimaksud Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adatsebagaimana dimaksud Pasal 18 B ayat (2) yang pada zamanpenjajahan Belanda dinamakan volksgemeenschappen yang diakui olehIGO 1906 dan IGOB 1938 yang diatur dalam Pasal 96 – 111 UU No. 6/2014.

Dengan demikian, UU No. 6/ 2014 mengatur dua obyek material: 1)Desa Orde Baru dan 2) Kesatuan masyarakat hukum adat. Desa OrdeBaru adalah desa baru bentukan regim Orde Baru yang tidak adahubungannya dengan kesatuan masyarakat hukum adat karena UU No. 5/1979 yang diteruskan dengan UU No. 22/ 1999 jo UU No. 32/ 2004telah mencabut UU No. 19/ 1965 dimana UU No 19/ 1965 telahmencabut IGO 1906 dan IGOB 1938 yang mengakui keberadaaan kesatuanmasyarakat hukum adat sebagai badan hukum. Dengan demikian, DesaOrde Baru secara juridis bukan kesatuan masyarakat hukum adat.Secara empirik, Desa Orde Baru juga bukan kesatuan masyarakathukum adat karena tidak memenuhi indikator-indikator sebagaikesatuan masyarakat hukum adat:. Menurut Van Vollenhoven4

masyarakat hukum adat adalah,suatu kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kewibawaan(authority) di dalam pembentukan, pelaksanaan, dan pembinaanhukum. Dalam pada itu, yang dikemukakan sebagai masyarakathukum di dalam uraiannya mengenai Hukum Adat Jawa-Pusat ialah“masyarakat yang dibentuk sendiri” (perseroan Bumiputera,perhimpunan Bumiputra, pasamuan Kristen Bumiputra).

Ter Haar5 menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat menyatakandiri dalam ketua-ketua rakyat dan kerabatnya yang dalamproses abadi membuat keputusan-keputusan dalam rapat-rapatsebagai kristilasisasi dari kenyataan sosial. Asshidiqqi6

menjelaskan kesatuan masyarakat hukum adat merujuk kepadapengertian masyarakat organik yang menjalankan fungsinyamelalui organisasi pemerintahannya sebagai instrumenmasyarakat adat. Menurut Sudiyat7 Desa dalam pengertiankesatuan masyarakat hukum adat adalah suatu kesatuankemasyarakatan berdasarkan ketunggalan wilayah yang

4 Sudiyat, Iman, 2010, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta: Liberty hlm. 1395 Ter Haar, B. et al., 2011, Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat, Bandung:

Mandar Maju 6 Asshidiqqi, Jimly, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta:Konstitusi Press hlm. 77-78

7 Sudiyat, op.cit. hlm. 142

organisasinya didasarkan atas tradisi yang hidup dalamsuasana rakyat dan mempunyai suatu badan tata urusan pusatyang berwibawa di seluruh lingkungan wilayahnya.

Penjelasan Mahkamah Konstitusi8 yang merupakan ringkasan daripenjelasan Ter Haar yang dimaksud kesatuan masyarakat hukumadat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) adalah,

kesatuan masyarakat hukum adat adalah kelompok-kelompokteratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yangmemiliki benda-benda materiil dan immaterial, yang memilikiciri-ciri: a. Adanya kelompok-kelompok teratur; b. Menetap di suatu wilayah tertentu; c. Mempunyai pemerintahan sendiri; d. Memiliki benda-benda materiil dan immateriil.

Secara lebih rinci Rahman, dkk.9 menjelaskan,suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakansecara de facto masih hidup (actual existence) baik yangbersifat teritorial, genealogis, maupun bersifat fungsionalsetidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:(i) adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan

kelompok (ingroup feeling);(ii) adanya pranata pemerintahan adat;(iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan(iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan

masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial jugaterdapat unsur adanya wilayah tertentu.

Jadi, Desa Orde Baru secara empirik bukan kesatuan masyarakathukum adat karena, 1) pemerintahannya bukan pemerintahan adat tapipemerintahan formal yang ditentukan Negara, 2) tidak mempunyaiharta kekayaan dan/ atau benda adat, dan 3) tidak mempunyaiperangkat hukum adat.

8 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/20079 Rahman, Irfan Nur, dkk., 2011 Dasar PertimbanganYuridis Kedudukan Hukum(Legal Standing) Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undangdi Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 5, Oktober 2011

Berdasarkan fakta ini maka Desa Orde Baru tidak bisa diatur denganUU No. 6/ 2014 sebagai undang-undang organik yang diturunkan dariPasal 18 B ayat (2) karena Desa Orde Baru bukan kesatuanmasyarakat hukum adat. UU No. 6/ 2014 hanya sah untuk mengaturDesa Adat sebagaimana diatur dalam Pasal 96-111.

8. PASAL 7-11

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.

Catatan:

Pasal 7-11 ini mengatur, menata, dan memperkuat desa bentukanregim Soeharto di bawah UU No. 5/ 1979, bukan mengakui danmenghormati kesatuan masyarakat hukum adat seperti Desa Kanekes/Baduy, Lebak-Rangkkasbitung, Banten. Dengan demikian, Pasal inibertentangan dengan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.

9. PASAL 12

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan

menjadi Desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi

persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Catatan:

Pasal 12 ini sesat logika, sesat teoritis, dan sesat juridis.Sesat logika karena menganggap desa dan kelurahan itu apple to applesehingga statusnya bisa dipertukarkan dalam struktur organisasipemerintahan. Kelurahan dalam UU No. 32/ 2004 adalah unitpelaksana teknis kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerahsedangkan desa adalah pseudo government unit yang diberi status badanhukum sehingga mempunyai: 1) batas-batas wilayah, 2) penguasanyasendiri, 3) kekayaan, dan 4) dapat melakukan tindakan hukum baikdi dalam maupun di luar pengadilan. Bagaimana logikanya unitpelaksana teknis kecamatan yang bukan badan hukum bisa bertukar

status dengan desa yang badan hukum? Sebagai analog, kantordepartemen agama kabupaten adalah instansi vertikal kementerianagama sedangkan pemerintah kabupaten adalah badan hukum daerahotonom. Kabupaten tidak bisa bertukar status dengan kantordepartemen agama kabupaten atau sebaliknya.

Sesat teoritis (Tonnies) karena desa berbasis masyarakat paguyuban(gemeinschaft) sedangkan kelurahan berbasis masyarakat patembayan(geselschaft). Masyarakat paguyuban, gemeinschaft, dan masyarakatpatembayan, geselschaft masing-masing mempunyai karakteristiksendiri berdasarkan sejarah dan dinamikanya sendiri sehinggatidak bisa dibolak balik seenaknya melalui prosedur politik danadministratif.

Sesat juridis karena kelurahan adalah bekas perangkatdekonsentrasi yang dibentuk regim Orde Baru di bawah UU No. 5/1974 jo. UU No. 5/ 1979 dengan status sebagai agent of local stategovernment kecamatan. Dalam UU No. 32/ 2004 status kelurahan adalahunit pelaksana teknis (UPT) kecamatan sebagai SKPD Kabupaten/Kota.Dengan demikian, kelurahan adalah bagian dari SKPD Kecamatan. SKPDtidak bisa dirubah menjadi badan hukum (Desa).

10. PASAL 18

Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan

Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan

kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan

prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.

Catatan:

Pasal 18 ini adalah kewenangan atributif, bukan kewenanganberdasarkan norma hukum adat. Padahal norma Pasal 18 B ayat (2)adalah mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adatyang sudah barang tentu kewenangannya adalah kewenanganberdasarkan norma hukum adat, bukan kewenangan atributif formalyang dibuat oleh pembuat UU.

11. PASAL 19

Kewenangan Desa meliputi kewenangan berdasarkan hak asal usul;

Catatan:

Pasal 19 huruf a materinya dirinci dalam Penjelasan sbb.: Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakanwarisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsamasyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat,antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan,pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalamkehidupan masyarakat Desa. Kemudian dalam PP No. 43/ 2014 Pasal34 (1) ditulis sbb.:

a. sistem organisasi masyarakat adat; b. pembinaan kelembagaan masyarakat; c. pembinaan lembaga dan hukum adat; d. pengelolaan tanah kas Desa; dan e. pengembangan peran masyarakat Desa.

Kewenangan huruf b, c, d, dan e bertentangan dengan amanat Pasal18 B ayat (2) karena norma yang terkandung dalam huruf b, c, d,dan e bukan mengakui dan menghormati tapi membuat kewenangan baru:(1) pembinaan kelembagaan masyarakat, (2) pembinaan lembaga danhukum adat, (3) pengelolaan tanah kas Desa, dan (4) pengembanganperan masyarakat Desa.

Di samping itu, hak asal usul terhadap “pembinaan kelembagaanmasyarakat; pembinaan lembaga dan hukum adat; pengelolaan tanahkas Desa; dan pengembangan peran masyarakat Desa” ini tidak jelasdefinisi operasionalnya dan obyek materialnya.

Kewenangan Desa meliputi kewenangan berdasarkan Kewenangan lokal

berskala Desa

Catatan:

Pasal 19 b ini materinya dirinci dalam Penjelasan dan PP No. 43/2014:

Yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalahkewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desayang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankanoleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasamasyarakat Desa, antara lain:a. pengelolaan tambatan perahu; b. pengelolaan pasar Desa; c. pengelolaan tempat pemandian umum; d. pengelolaan jaringan irigasi; e. pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa; f. pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan

terpadu; g. pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar; h. pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan; i. pengelolaan embung Desa; j. pengelolaan air minum berskala Desa; dan k. pembuatan jalan Desa antarpermukiman ke wilayah pertanian.

Pasal 19 b ini tidak mengacu pada adat istiadat berdasarkan risetdan tulisan para ahli seperti Koentjaraningrat (1963) dan SutardjoKartohadikusumo (1984). Kewenangan sebagaimana diatur dalam PP No.43/ 2014, menurut Penjelasan UU No. 22/ 1948 tentang PemerintahanDaerah adalah mengada-ada kerena semua Desa di Indonesia tidakmempunyai kewenangan skala lokal semacam ini.

Kewenangan Desa meliputi kewenangan berdasarkan kewenangan yang

ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan kewenangan lain yang

ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Catatan:

Pasal 19 huruf c dan d yaitu kewenangan yang ditugaskan dankewenangan lain yang ditugaskan ini jenis kewenangan apa: delegasiatau medebewind? Kalau delegasi, dari siapa ke siapa: Daripemerintah atasan kepada local self government, dari pemerinth atasankepada kepada local state government, atau dari pemerintah atasankepada agent of government? Kalau dari pemerintah atasan kepada localself government, jelas salah karena Desa bukan local self government. Kalaukepada local state governent, juga salah karena kedudukan Desa bukan localstate government tapi “unit pemerintahan palsu” sehingga tidak bisadiberi delegasi oleh pemerintah atasan. Kalau kepada agent ofgovernment, juga salah karena kedudukan Desa juga bukan agent ofgovernment seperti kelurahan.

Jika penugasan tersebut maksudnya adalah medebewind, juga salahkarena tugas pembantuan atau medebewind hanya bisa ditugaskankepada daerah otonom, local self government dan dilaksanakan oleh dinas-dinas daerah otonom sedangkan Desa bukan daerah otonom oleh karenaitu tidak mempunyai dinas pelaksana atas urusan yang ditugaskan.

Di samping itu, materi kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasaliini tidak bisa diidentifikasi dan sangat kabur.

12. PASAL 25-30

Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama

lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan

nama lain. Kemudian dalam Pasal 26-30 diatur tentang hak,

kewajiban, larangan, dan sanksi pelanggaran kepala desa.

Catatan:

Pasal 25 berisi pengaturan pemerintah desa yang terdiri ataskepala desa dan perangkat desa. Hal ini bertentangan Pasal 18 Bayat (2) karena Pasal 18 B ayat (2) memberi amanat kepada Negarauntuk menghormati dan mengakui kesatuan masyarakat hukum adat.Pasal 25 ini bukan mengakui dan menghormati tapi membuat

pengaturan baru atas lembaga desa yang sama sekali tidak adahubungannya dengan kesatuan masyarakat hukum adat.

13. PASAL 31-38

Pasal 31-39 mengatur tentang pemilihan kepala desa

Catatan:

Pasal 31 adalah pengaturan Negara berdasarkan hukum positif, bukanberdasarkan norma hukum adat. Pengaturan ini adalah kelanjutankebijakan Gubernur Jenderal Raffles di bawah Revenue Instruction1811, ketika memberlakukan kebijakan sewa/pajak tanah, land rente.Melalui kebijakan ini Raffles memutus hubungan feodal antarakepala desa lama dengan bupati dan/atau keluarga Raja. Melaluipemilihan langsung, kepala desa lama yang umumnya orang yangditunjuk oleh keluarga raja/ bupati untuk menjadi patuh/ bekel/lurah dalam rangka mengumpulkan upeti tersingkirkan karena yangterpilih adalah jagoan-jagoan desa yang berani menyukseskan bayarsewa tanah kepada Pemerintahan Raffles. Kebijakan ini laludiperkuat dengan Stbl 1818 No. 15, dan Stbl. 1819 No. 5, 6, 10,dan 14, dan Stbl. 1907 No. 212, dan Osamu Seirei No. 7/ 1944, UUNo. 14/ 1946, UU No. 5/ 1979, UU No. 22/ 1999, UU No. 32/ 2004,dan PP No. 72/ 2005.

Jadi, berdasarkan fakta historis dan juridis, Pilkades langsungini bukan adat istiadat rakyat desa tapi kebijakan pemerintahkolonial yang diteruskan Pemerintah RI yang dipaksakan kepadarakyat desa yang belum memahami hakekat demokrasi. Yang terjadi dilapangan sampai hari ini, Pilkades identik dengan jor-joran pestaopen house gratis antarcalon selama tiga-enam bulan menjelangpemilihan dan jor-joran beli suara antarcalon dan budaya judiPilkades pada penduduk desa yang berakhir pada terpilihnya kepaladesa dari orang desa yang paling kuat bayar suara dan ditakuti.Contoh, di Kecamatan Karang Anyar dan Gajah Kabupaten Demak, JawaTengah pemenang Pilkades tahun 2009 menghabiskan uang satumilyar. Menurut Sekretaris Asosiasi Pemerintah Desa, pemenangPilkades tahun 2012 di Kabupaten Karawang Jawa Barat menghabiskanuang 2 milyar.

14. PASAL 39

(1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung

sejak tanggal pelantikan.

(2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat

paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut

atau tidak secara berturut-turut.

Catatan:

Pasal 39 yang mengatur kepala desa bisa menjabat tiga kali masajabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turutmengingkari asas-asas pemerintahan demokratis. Salah satu asaspemerintahan demokratis adalah pembatasan periode masa jabatan.Periode masa jabatan di seluruh negara demokrasi paling banyak duaperiode masa jabatan, kecuali di negara totaliter atau negarademokrasi-demokrasian.

Pasal ini diindikasikan merupakan konspirasi anggota DPR denganpara kepala desa dan moral hazard anggota DPR. Dalam konspirasi ini,kepala desa menginginkan masa jabatannya seumur hidup sebagaimanadiatur dalam Stbl. 1907 No. 212 yang berlaku sampai dengan tahun1980-an sedangkan anggota DPR menginginkan kepala desa mengerahkanrakyatnya memilihnya dalam Pemilu 2014. Di sini tampak moral hazardanggota DPR yang mengorbankan nilai demokrasi untuk kepentinganpribadi jangka pendek daripada menjunjung tinggi nilai demokrasiuntuk memantapkan sistem NKRI.

15. PASAL 40-47

Pasal 40 mengatur tentang pemberhentian kepala desa dan mekanismenya.

Catatan:

Pasal 40-47 ini hanyalah penyempurnaan Stbl. 1907 No. 212, OsamuSeirei No. 7/ 1944, UU No. 14/ 1946, UU No. 5/ 1979, UU No. 32/

2004, dan PP No. 72/ 2005 yang tidak ada hubungannya dengan normahukum adat.

16. PASAL 48-53

Pasal 48-53 mengatur tentang perangkat desa

Catatan:

Pasal 48-53 adalah menjiplak UU No. 5/ 1979 jo. UU No. 22/ 1999jo. UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005 dimana UU No. 5/ 1979menjiplak pemerintahan ku zaman Jepang. Pengaturan ini tidak benarkarena, 1) tidak berdasarkan norma hukum adat; dan 2) statusperangkat desa tidak jelas: bukan perangkat pemerintahan adat,bukan PNS, bukan pegawai honorer pemerintah/ pemda, bukan pekerja/buruh dan bukan pengurus kesatuan masyarakat hukum adat.

17. PASAL 54-65 Pasal 54 mengatur tentang lembaga Musyawarah Desa dan Badan

Permusyawartan Desa

Catatan:

Pasal 54 tentang lembaga Musyawarah Desa adalah pembentukanlembaga baru yang tidak berdasarkan norma hukum adat. Pasal 55-65tentang Badan Permusyawaratan Desa adalah pembentukan lembaga baruyang bersumber dari UU No. 5/ 1979 jo. UU No. 22/ 1999 jo. UU No.32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005, tidak bersumber dari norma hukumadat. Cikal bakal lembaga ini adalah Lembaga Musyawarah Desa (LMD)yang dibuat oleh regim Soeharto di bawah UU No. 5/ 1979. LMDkemudian bermetamorfose menjadi Badan Perwakilan Desa (UU No. 22/1999) lalu menjadi Badan Permusyawaratan Desa (UU No. 32/ 2004).

18. PASAL 66

Pasal 66 mengatur tentang penghasilan pemerintah desa

Catatan:

Pasal 66 memposisikan Pemerintah Desa sebagai pemerintah formaldaerah otonom kecil sehingga berhak mendapatkan dana dari ABPN/ABPD. Padahal Pemerintah Desa statusnya tidak jelas: bukan daerahotonom, bukan wilayah adminstrasi, juga bukan unit pelaksanateknis kecamatan. Bahkan dalam Penjelasan UU No. 6/ 2014 disebutgabungan antara local self government dan self government community. Dalampraktik, Pemerintah Desa lebih sebagai pemerintahan komunitas yangdiatur Negara daripada pemerintah formal karena diselenggarakanoleh pengurus desa yang bukan pejabat negara dan bukan aparatursipil negara. Dalam statusnya yang tidak jelas demikian, Desatidak bisa menerima dana dari Negara: APBN/ APBD.

19. PASAL 69

Pasal 69 mengatur tentang Peraturan Desa

Catatan:

Norma Pasal 69 tidak mempunyai dasar juridis karena PemerintahDesa hanya sebuah “psuedo government unit, unit pemerintahanpalsu”, bukan lembaga negara yang sebenarnya. Dengan demikian, iatidak bisa membuat peraturan perundangan sebagaimana diatur dalamUU No. 12/ 2011. Dalam UU No. 12/ 2011 tidak ada peraturanperundangan-undangan yang bernama Peraturan Desa.

Di samping itu, secara praktis, Pemerintah Desa tidak mampumembuat Peraturan Desa karena tidak mempunyai alat-alatkelengkapan organisasi dan SDM yang memadai: 1) tidak mempunyaipejabat ahli hukum di bawah sekretariat desa; 2) semua perangkatdesa yang rata-rata hanya lulusan SMP tidak bisa membuat legaldrafting; 3) prosedur dan mekanisme pembuatannya yang mirip denganpembuatan Perda di kantor Bupati/ Walikota dan kantor DPRD tidakmungkin bisa dilaksanakan dengan benar oleh kepala desa dan BPDkarena kantor kepala desa tidak bisa menyiapkan legal draftingyang benar dan BPD sebagai lembaga amatir yang semua anggotanyajuga bekerja amatiran tidak mempunyai staf full time, tidakmempunyai sekretariat, tidak mempunyai staf ahli, dan tidakmempunyai sarana dan prasarana yang memadai. Saat ini Desa yangmempunyai Peraturan Desa dibuatkan oleh pihak ketiga.

20. PASAL 71-77

Pasal 71-72 mengatur tentang Keuangan Desa dan Aset Desa

Catatan:

Norma Pasal 71-72 memposisikan Desa sebagai lembaga formalpemerintahan sehingga mendapat alokasi anggararan dari Negara.Padahal status Desa adalah unit pemerintahan palsu: kepala desanyabukan pejabat negara dan perangkat desanya juga bukan aparatursipil negara. Sesuai dengan hukum tata negara, Negara hanya bisamemberikan anggaran kepada unit pemerintahan formal.

Norma Pasal 75 ayat (1) tidak benar karena melanggar UU No. 12/2003 Tentang Keuangan Negara. Kepala desa bukan pejabat negara. Iahanya kepala lembaga antara komunitas dan unit pemerintahan. Olehkarena itu, ia tidak bisa menjadi pemegang kekuasaan pengelolaankeuangan yang berasal dari APBN/ APBD sebagaimana diatur dalam UUNo. 12/ 2003. Begitu juga, kepala desa tidak boleh menguasakansebagian kekuasaan pengelolaan keuangan desa yang berasal dariAPBN/APBD tersebut kepada perangkat desa karena perangkat desaadalah pegawai yang tidak jelas statusnya: bukan pegawai ASN,bukan pegawai honorer Pemda, bukan pegawai kontrak.

Pasal 71-77 memposisikan Pemerintah Desa semacam daerah otonomkecil sehingga pengaturan keuangannya sama dengan kabupaten/ kota.Padahal Pemerintah Desa adalah unit pemerintahan palsu yang bukandaerah otonom kecil karena tidak mempunyai alat-alat kelengkapanorganisasi yang memadai. Pemerintah Desa tidak mempunyai, 1)dinas pendapatan desa, 2) Badan Perencanaan Pembangunan Desa, 3)dinas pelaksana urusan pemerintahan, 4) kantor dan badan desa, 5)dan sekretariat desa dengan bagian-bagian yang memadai: hukum,pemerintahan, kesra, organisasi, dll. Oleh karena itu, pengelolaankeuangannya tidak bisa disamakan dengan pengelolaan keuangan padadaerah otonom kabupaten/kota.

21. PASAL 78- 86

Pasal 78-86 mengatur tentang Pembangunan Desa

Catatan:

Pasal 78-81 memposisikan Pemerintah Desa semacam daerah otonomkecil lengkap dengan alat-alat kelengkapan organisasi dan SDM yangmemenuhi syarat: sekretariat desa; badan perencanaan pembangunandesa; dinas, badan, kantor desa; dan unit pelaksana teknis desadengan aparatur sipil negara yang kompeten dan profesional(birokrat desa). Padahal Desa bukan daerah otonom kecil tapi unitpemerintahan palsu dengan alat-alat kelengkapan organisasi yangsangat sederhana dan kualifikasi SDM yang sangat rendah: kepaladesa yang dibantu oleh sekretaris desa, 3 kepala urusan, kepaladusun, dan 3 staf pelaksana teknis dengan kualifikasi akademik dankompetensi yang sangat rendah.

Bagaimana mungkin lembaga yang sangat sederhana dan bergayalembaga adat demikian dituntut membuat perencanaan pembangunancanggih ala daerah otonom kabupaten/kota dengan prosedurteknokratis yang rigit seperti itu. Di Desa tidak ada Bappedes.Oleh karena itu, lembaga apa yang akan membuat RPJM Desa dan RKPDesa? Lembaba apa pula yang membuat laporan pertanggungjawabankepada bupati dan laporan keterangan pertanggungjawban kepada BPDdan rakyat? Diserahkan ke Sekretaris Desa dengan tiga orang kepalaurusan? Jelas sangat dipaksakan.

Dalam praktik, semuanya hanya formalitas. Semua dokumenperencanaan dan pelaporannya dibuat oleh pihak ketiga. Kepaladesa tinggal tanda tangan. Dalam UU ini Desa akan didampingitenaga pendamping dari staf SKPD kabupaten/kota dan tenagaprofesional dari NGO. Oleh karena itu, nanti yang berutung adalahtenaga pendamping ini. Mereka yang membuat semua dokumen yangtidak bisa dikerjakan oleh pemerintah desa tersebut. Kepala desadan perangkat desa akan sangat tergantung kepada tenaga pendampingsehingga sangat potensial menjadi sapi perahan tenaga pendampingini.

22. PASAL 87-90

Pasal 87-90 mengatur tentang Badan Usaha Milik Desa

Catatan:

Pasal 87-90 memposisikan Pemerintah Desa sebagai daerah otonomkecil sehingga diberi wewenang mendirikan badan usaha sepertiBUMD. Dalam statusnya yang hanya sebagai unit pemerintahan palsuia tidak bisa diberi kewenangan ini karena melanggar UU No. 12/2003 Tentang Keuangan Negara. Dilihat dari skala ekonomi, BUMDesjustru akan mematikan usaha rakyat kecil desa karena ia akanmemonopoli transaksi ekonomi desa yang skalanya sangat kecil. Disamping itu, BUMDes yang menjiplak model BUMD justeru merugikankas desa sebagaimana sebagian besar BUMD yang merugikan kas Daerahkarena terus merugi yang berakibat pada pengurangan kas Daerahuntuk menghidupi BUMD melalui subsidi. Sebagaimana BUMD yangdijadikan sapi perah oleh pejabat Pemda, BUMDes juga potensialdijadikan sapi perah oleh kepala desa, perangkat desa, anggotaBPD, dan para pendamping. Dalam praktik nantinya manajemen dankinerja BUMDes lebih buruk daripada BUMD karena terbatasnya SDMterampil dan profesional serta pengawasan yang benar di Desa.

23. PASAL 112

Pasal 112 khususnya ayat (3) dan ayat (4) mengatur tentang

pemberdayaan masyarakat yang teknisnya diatur lebih rinci dalam PP

No. 43/ 2014 Pasal 128-131. Di sini diatur bahwa pemberdayaan

masyarakat harus menggunakan tenaga pendamping dari staf SKPD

Kabupaten/Kota dan tenaga profesional dari luar.

Catatan:

Melalui Pasal ini, Negara sengaja membentuk lembaga desa tidakberdaya menyelenggarakan tugas pelayanan dan pemberdayaanmasyarakat desa karena dibuat tergantung secara permanen kepadasumber daya manusia di luar Pemerintah Desa: staf SKPDKabupaten/Kota, tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaanmasyarakat Desa, dan/atau pihak ketiga. Dengan desain demikian,lembaga desa sengaja dibuat sangat lemah dan rapuh.

Dalam praktiknya nanti, Desa sangat potensial menjadi obyek,“bancakan” tenaga pendamping baik dari SKPD Kabupaten/Kota maupunorang-orang NGO. Merekalah nanti yang menentukan proyek dananggarannya bukan pemerintah desa sendiri. Pemerintah desa hanyamenjadi boneka dari orang kota yang merasa ahli di bidangpembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Dana desa yangmilyaran itu sebagian besar dipakai untuk membayar tenagapendamping dari kota ini. Dalam suatu pertemuan yang dihadiri olehpara aktivis NGO yang dulu menggebu-gebu mengadvokasi UU ini,mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan puluhan ribuan tenagapendamping yang siap menyerbu Desa.

Pasal ini adalah kemenangan NGO dan bukti ketidakberdayaan DPR danPemerintah menghadapi NGO yang didukung founding internasionalsehingga bisa disusupi kepentingan NGO atas nama pembangunan danpemberdayaan masyarakat desa. Melalui pasal ini, orang-orang kotaatas nama tenaga profesional, tenaga ahli pemberdayaan masyarakat,dan sebagainya akan menyerbu desa untuk memainkan dana dan proyekdesa yang milyaran itu. Pemerintah Desa dan rakyat desa akanmenjadi obyek dan penonton kegiatan pembangunan dan pemberdayaanyang dikendalikan oleh para pendamping dari kota secara permanen.Pada akhirnya yang untung adalah para pendamping tersebut, bukanrakyat desa. Rakyat desa hanya menerima remah-remahnya saja.

Pengaturan ini menunjukkan bahwa Pembuat UU tidak membentukpemerintah desa sebagai lembaga publik dengan alat-alatkelengkapan organisasi dan SDM yang memenuhi syarat sehinggakompeten dan profesional memberikan pelayanan publik dan sipil,melakukan pembangunan untuk menumbuhkan ekonomi rakyat, danmemberikan perlindungan kepada rakyat desa secara mandiri. PembuatUU justeru membentuk lembaga desa yang rapuh, lemah, tidakkompeten, dan tidak profesional. Pemerintah Desa yang dibuat olehUU ini tidak jauh berbeda dengan RW dan RT: sebagai lembagakemasyarakatan yang dibentuk Negara lalu diberi tugas membantumenyelenggarakan urusan pemerintahan. Organisasinya sederhana dandikelola secara amatiran.

C. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. KESIMPULAN

UU No. 6/ 2014 khususnya Pasal 1 – 95 yang mengatur tentang Desa

Orde Baru adalah melenceng, misleading, dari norma Pasal 18 B ayat

(2) UUD 1945 yang dijadikan payung konstitusinya. UU No. 6/ 2014

khususnya Pasal 1 – 95 melenceng karena norma Pasal 18 B ayat (2)

memberi mandat kepada Negara untuk mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sedangkan yang diatur

dalam UU ini adalah kesatuan masyarakat bentukan Negara di bawah

kabupaten/kota yang diberi status badan hukum dan diberi tugas

menyelenggarakan urusan pemerintahan atasan. Lembaga tersebut bukan

kesatuan masyarakat hukum adat tapi lembaga bentukan Negara melalui

UU No. 5/ 1979 jo. UU No. 22/ 1999 jo UU No. 32/ 2014 jo. PP No.

72/ 2005. Kesatuan masyarakat hukum adat tidak dibentuk Negara tapi

dibentuk oleh komunitas yang bersangkutan melalui proses panjang

puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Adapun UU No. 6/ 2014 khususnya

yang mengatur tentang Desa Adat (Pasal 96-111) adalah sah dengan

asumsi bahwa Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat

sebagaimana dimaksud Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.

2. REKOMENDASI

Untuk itu, direkomendasikan Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No.

6/ 2014 khususnya Pasal 1 – 95 yang mengatur tentang Desa Orde Baru

karena bertentangan dengan norma Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan

mempertahankan UU No. 6/ 2014 khususnya yang mengatur tentang Desa

Adat (Pasal 96-111) karena sesuai dengan norma Pasal 18 B ayat (2)

UUD 1945. Selanjutnya Pemerintah dan DPR membuat UU tentang Desa

sebagaimana visi founding fathers yaitu membentuk desa sebagai daerah

otonom formal asimetris karena mempunyai susunan asli sebaga

pemerintahan kaki. Visi founding fathers adalah membentuk pemerintahan

desa yang kokoh berbasiskan adat, modern, dan profesional. Founding

fathers yang sangat visoner tidak pernah berniat mempertahankan dan

mengawetkan volksgemeenschappen apa adanya karena sadar bahwa

masyarakat desa akan berubah menjadi urban10 oleh karena itu

dibentuk pemerintahan urban berbasis adat bukan pemerintahan rural

traditional. Hal ini tercermin dalam penyusunan Pasal 18 UUD 1945 dan

Penjelasannya dan UU No. 22/ 1948. Pembentukan desa sebagai daerah

otonom formal asimetris karena mempunyai susunan asli tersebut

sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 dan Penjelasannya (sebelum

perubahan), UUD 1945 Pasal 18 B ayat (1) (sesudah perubahan), dan

TAP MPR No. IV/ 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam

Penyelenggaraan Otonomi Daerah

DAFTAR PUSTAKA 10 Terbukti bahwa hasil Sensus 2010 penduduk desa tinggal 50,2 persen.

Tren ini akan terus berlanjut dan pada tahun 2040 sudah tidak ada lagi penduduk tinggal di desa sehingga tidak perlu lagi dibentuk lembaga rural traditional karena tidak fungsional.

Asshiddiqqi, Jimly, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta:Konstitusi Press

Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1984, Desa, Jakarta: Balai PustakaKoentjaraningrat, 1963, Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Jakarta:

Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas IndonesiaRahman, Irfan Nur, dkk., 2011, Dasar PertimbanganYuridis Kedudukan

Hukum (Legal Standing) Masyarakat Hukum Adat dalam ProsesPengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi,Volume 8, Nomor 5, Oktober 2011

Sekretariat Negara RI, 1995, Risalah Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei -22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara RI

Soekanto, Sorjono, 2012, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali PersSudiyat, Iman, 2010, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta:

Liberty Ter Haar, B. et al., 2011, Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat, Bandung:

Mandar Maju Inlandsche Gemeente Ordonnantie 1906Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten 1938Reglemen Bumi Putera Yang Dibarui 1848, 1926, 1941Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 (Sesudah Amandemen)Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Peraturan tentang

Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiridi Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus RumahTangganya Sendiri

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1966 Tentang Pernyataan TidakBerlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahandi Daerah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan DesaUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan DaerahUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan DaerahUndang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang DesaTAP MPR RI No. IV Tahun 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam

Penyelenggaraan Otonomi DaerahPeraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang DesaPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007