43
BAB I PENDAHULUAN I. TEORI DASAR 1.1. Latar Belakang Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal abad 19. Sejak itu proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik sekunder secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO 2 dan H 2 O, NH 4 . dan sel biomassa baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan (Gariel Bitton, 1994). Anna dan Malte (1994) berpendapat keberhasilan pengolahan limbah secara biologi dalam batas tertentu diatur oleh kemampuan bakteri untuk membentuk flok, dengan demikian akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah ekosistem yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan organisme-organisme lain. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI) dan Stirrd Sludge Volume Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari bentuk flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor = S). Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan bahwa proses lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung pada pembentukan flok lumpur aktif yang terbentuk oleh mikroorganisme (terutama bakteri), partikel inorganik, dan polimer

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil

  • Upload
    itm-ac

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

I. TEORI DASAR

1.1. Latar Belakang

           Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan

mikroba tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal

abad 19. Sejak itu proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai

pengolah air limbah domestik sekunder secara biologi. Proses ini

pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi

material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa baru.

Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi

mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki

penjernihan (Gariel Bitton, 1994).

           Anna dan Malte (1994) berpendapat keberhasilan pengolahan

limbah secara biologi dalam batas tertentu diatur oleh kemampuan

bakteri untuk membentuk flok, dengan demikian akan memudahkan

pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah ekosistem

yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan

organisme-organisme lain. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa

parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI)

dan Stirrd Sludge Volume Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut

tergantung dari bentuk flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape

Factor = S).

           Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan

bahwa proses lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung

pada pembentukan flok lumpur aktif yang terbentuk oleh

mikroorganisme (terutama bakteri), partikel inorganik, dan polimer

exoselular. Selama pengendapan flok, material yang terdispersi,

seperti sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok.

Pembentukan flok lumpur aktif dan penjernihan dengan pengendapan

flok akibat agregasi bakteri dan mekanisme adesi. Selanjutnya

dinyatakan pula bahwa flokulasi dan sedimentasi flok tergantung pada

hypobisitas internal dan eksternal dari flok dan material exopolimer

dalam flok, dan tegangan permukaan larutan mempengaruhi

hydropobisitas lumpur granular dari reaktor lumpur anaerobik.

           Frank et all (1996) mencoba menggambarkan bahwa dalam

sistem pengolah lumpur aktif baik untuk domestik maupun industri

mengandung 1-5% padatan total dan 95-99% bulk water (liqour ?).

Pembuangan kelebihan lumpur merupakan proses yang mahal, dilakukan

dengan mengurangi volume lumpur melalui proses pengepresan

(dewatering). Pada bagian lain dinyatakan pula bahwa konsentrasi besi

yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam bentuk Fe

(III), ditemukan dalam lumpur aktif.

           Akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah

atau melalui penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan

fosfor. Jumlah besi dalam lumpur aktif akan berkurang setelah

memasuki kondisi anaerobik dan mungkin berasosiasi dengan adanya

aktifitas bakteri heterotrofik. Berkurangnya fosfor dalam lumpur

aktif dapat menyebabkan fosfor terlepas kedalam air. Jika ini

terjadi merupakan potensi untuk terjadinya eutrofikasi pada

perairan.

           Enri dan Anni (1995) juga mengemukan bahwa limbah padat

yang berasal dari suatu instalasi pengolah air limbah industri

tekstil dapat digolongkan ke dalam limbah berbahaya karena

mengandung logam berat. Mereka mengkaji kemungkinan proses

solidifikasi mempergunakan tanah lempung dengan hasil yang cukup

baik dari segi kekuatan tekan bebas, permeabilitas, dan hasil

lindinya.

1.2. Karakteristik air limbah

Air limbah adalah air dari suatu daerah pemukiman yang telah

dipergunakan untuk berbagai keperluan, harus dikumpulkan dan dibuang

untuk menjaga lingkungan hidup yang sehat dan baik. Air limbah

memiliki ciri-ciri yang dapat dikelompokan menjadi 3 bagian, yaitu :

A. Ciri-ciri fisik

Ciri-ciri fisik utama air limbah adalah kandungan bahan padat,

warna, bau dan suhunya.

1. Bahan padat

Air yang terpolusi selalu mengandung padatan yang dapat

dibedakan atas empat kelompok berdasarkan besar partikelnya

dan sifat-sifat lainnya Empat kelompok tersebut yaitu:

1. Padatan terendap (sedimen)

2. Padatan tersuspensi dan koloid

3. Padatan terlarut

4. Minyak dan lemak

2. Warna

Warna adalah ciri kualitatif yang dapat dipakai

untukmengkaji kondisi umum air limbah. Air buangan industri

serta bangkai benda organis yang menentukan warna air limbah

itu sendiri .

3. Bau

Pembusukan air limbah adalah merupakan sumber dari bau

air limbah (Sugiharto, 1987). Hal ini disebabkan karena adanya

zat organik terurai secara tidak sempurna dalam air limbah.

4. Suhu

Suhu air limbah biasanya lebih tinggi daripada air

bersih, karena adanya tambahan air hangat dari perkotaan.

B. Ciri-ciri kimiawi

Air limbah tentunya mengandung berbagai macam zat kimia.

Bahan organik pada air limbah dapat menghabiskan oksigen serta

akan menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap pada penyediaan

air bersih. Pengujian kimia yang utama adalah yang

bersangkutan dengan amonia bebas, nitrogen organik, nitrit,

nitrat, fosfor organik dan fosfor anorganik.

C. Ciri-ciri biologis

Pemeriksaan biologis di dalam air limbah untuk

memisahkan apakah ada bakteri-bakteri pathogen berada di dalam

air limbah. Berbagai jenis bakteri yang terdapat di dalam air

limbah sangat berbahaya karena menyebabkan penyakit.

Kebanyakan bakteri yang terdapat dalam air limbah merupakan

bantuan yang sangat penting bagi proses pembusukan bahan

organik .

1.3. Identifikasi jaringan pengolahan

Jaringan pengolahan air limbah pada dasarnya dikelompokkan

menjadi tiga tahap yaitu pengolahan primer, pengolahan sekunder dan

pengolahan tersier ( Sunu, 2001). Pengertian dari ketiga pengolahan

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Pengolahan primer

Pengolahan primer semata-mata mencakup pemisahan

kerikil, lumpur, dan penghilangan zat padat yang terapung

(Sugiharto,1987). Hal ini biasa dilakukan dengan penyaringan

dan pengendapan di kolam-kolam pengendapan. Buangan

daripengolahan primer biasanya akan mengandung bahan organik

yang lumayan banyak dan BOD-nya relatif tinggi.

B. Pengolahan sekunder

Pengolahan sekunder mencakup pengolahan lebih lanjut

dari buangan pengolahan primer. Hal ini menyangkut pembuangan

bahan organik dan sisa-sisa bahan terapung dan biasanya

dilaksanakan dengan proses biologis mempergunakan filter,

aerasi, kolam oksidasi dan cara-cara lainnya

(Tchobanoglous,1991). Buangan dari pengolahan sekunder

biasanya mempunyai BOD5 yang kecil dan mungkin mengandung

beberapa mg/L oksigen terlarut.

C. Pengolahan lanjutan (tersier)

Pengolahan lanjutan dipergunakan untuk membuang

bahanbahan terlarut dan terapung yang masih tersisa setelah

pengolahan biologis yang normal apabila dibutuhkan untuk

pemakaian air kembali atau untuk pengendalian etrofikasi di

air penerima (Tchobanoglous,1991). Pemilihan seperangkat

metode pengolahan tergantung pada berbagai faktor, termasuk

sarana pembuangan yang tersedia. Sebenarnya, perbedaan antara

pengolahan primer, sekunder dan tersier (lanjutan) hanyalah

bersifat perjanjian, karena kebanyakan metode pengolahan air

limbah modern mencakup proses-proses fisik, kimiawi,

dan biologis dalam operasi yang sama.

1.4 Metode-metode pengolahan fisik

Pada umumnya, sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap

air buangan, diinginkan agar bahan-bahan tersuspensi berukuran besar

dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung disisihkan

(Dephut, 2004). Metode-metode pengolahan fisik meliputi penyaringan,

pengecilan ukuran, pembuangan serpih, pengendapan dan filtrasi

(Tchobanoglous,1991). Pengertian singkat masing-masing tahap di

jelaskan sebagai berikut:

A. Penyaringan

Saringan kasar atau kisi-kisi dengan lubang sebesar 2 inci

(50mm) atau lebih dipergunakan untuk memisahkan bendabenda

terapung yang besar dari air limbah. Alat-alat dipasang di

depan pompa untuk mencegah penyumbatan. Saringan kasar dapat

menyaring bahan yang biasanya terdiri dari kayu, sampah dan

kertas yang tidak akan membusuk dan dapat dibuang dengan cara

membakar, mengubur, atau memupuknya. Saringan menengah

mempunyai lubang antara 0,5 atau 1,5 inci (12 sampai 40mm).

Saringan kasar dan menengah haruslah cukup besar agar

kecepatan aliran melalui lubanglubangnya tidak lebih dari

1m/detik. Hal ini membatasi kehilangan tinggi tekanan dan

mengurangi kemungkinan terdorong lolosnya bahan yang harus

disaring melalui lubanglubang itu. Saringan halus dengan

lubang antara 0,0625 hingga 0,125 inci (1,6 hingga 3mm) sering

dipergunakan untuk pengolah pendahuluan dari air limbah atau

untuk mengurangi beban kolam pengendapan pada instalasi kota

di mana terdapat limbah industri berat. Saringan ini akan

membuang hingga 20 persen bahan padat terapung yang ada dalam

air limbah. Penyaringan biasanya meliputi bahan organik yang

cukup banyak yang akan membusuk dan menjadi ganas, sehingga

harus dibuang dengan pembakaran atau penguburan .

B. Pengecilan ukuran

Alat pengecil ukuran (penyerpih) adalah alat-alat yang

dipergunakan untuk menggiling atau memotong bahan padat limbah

hingga berukuran kira-kira 0,25 inci (6mm). Alat pengecil

ukuran memecahkan persoalan pembuangan bahan saringan dengan

mengecilkan bahan padat ke dalam ukuran yang dapat diproses di

tempat lain dalam instalasi yang akan bersangkutan.

C. Pembuangan serpih

Kolam serpih yang direncanakan secara khusus dipergunakan

untuk membuang partikel-partikel anorganik (berat jenis kira-

kira 1,6 hingga 2,65), misalnya pasir, kerikil, kulit telur

dan tulang yang ukurannya 0,2mm atau lebih besar untuk

mencegah kerusakan pompa dan untuk mencegah penumpukan bahan-

bahan ini di dalam pencerna lumpur. Serpih dapat dipergunakan

untuk urugan atau diangkut bila tidak mengandung bahan organik

terlalu banyak

D. Pengendapan

Fungsi utama dari kolam pengendapan biasa dalam

pengolahan air limbah adalah untuk membuang bahan terlarut

yang lebih besar dari air limbah yang masuk. Pengendapan

mendapatkan hasil endapan yang optimal melalui pengaturan

besar kecilnya bak yang akan dibangun. Bahan yang harus

dibuang adalah yang tinggi kandungan organiknya (50 hingga 75

persen) dan mempunyai berat jenis 1,2 atau kurang. Kecepatan

turun dari partikel-partikel organik ini biasanya rendah,

dapat hingga 1,25m/jam. Jenis-jenis sarana pengendapan yang

dipergunakan meliputi kolam serpih, tangki pengendapan biasa,

kolam pengendapan kimiawi, tangki septik, tangki Imhoff, dan

alat-alat lainnya.

E. Filter cepat berbutir kasar dan pasir lambat

Penggunaan filter cepat berbutir kasar guna membersihkan

air buangan setelah pengolahan sekunder. Filter pasir lambat

kadang-kadang dipergunakan untuk pengolahan akhir atau lanjuta

setelah proses pengolahan sekunder atau lainnya. Air limbah

dialirkan terus-menerus dengan kecepatan kira-kira 0,4m/hari

dan kegiatan penyaringan oleh pasir diandalkan untuk membuang

sebagian besar dari bahan padat terapung yang masih tersisa di

dalam air limbah (Tchobanoglous,1991).

5.Metode-metode pengolahan biologis

Metode-metode ini merupakan unsur-unsur pokok bagi hampir semua

jaringan pengolahan sekunder. Konsepsi dasar pengolahan biologis

dapat dinyatakan bahwa pengolahan biologis meliputi:

1. Konversi bahan organik terlarut dan kolodial dalam air

limbah menjadi serat-serat biologis dan menjadi produk

akhir.

2. Pembuangan selanjutnya dari serat-serat sel, biasanya

dengan cara pengendapan gravitasi (Tchobanoglous,1991).

Walapun konversi biologis dapat dilaksanakan baik dengan

cara aerobik (dengan adanya oksigen) maupun anaerobik (tanpa

adanya oksigen), tetapi biasanya dipergunakan konversi

aerobik karena laju konversinya jauh lebih cepat daripada

untuk konversi anaerobik. Konversi biologis dari bahan

organik oleh organisme mikro yang terapung dilaksanakan

dalam tangki-tangki yang disebut reaktor

(Tchobanoglous,1991). Dua jenis yang paling umum adalah

reaktor aliran gabus (PFR) dan rektor taangki berpengaduk

dengan aliran tetap (CFSTR). Salah satu pengolahan biologis

pertumbuhan terapung aerobik yang paling terkenal adalah

proses lumpur yang diaktifkan.

A. Proses lumpur yang diaktifkan

Proses lumpur aktif adalah proses biologik aerobik yang

dapat digunakan untuk menangani berbagai jenis limbah (Rahayu,

1993). Pada proses lumpur yang diaktifkan, air limbah yang tak

diolah atau yang diendapkan dicampur dengan lumpur yang

diaktifkan balik, yang volumenya 20 hingga 50 persen dari

volumenya sendiri. Campuran itu akan memasuki suatu tangki

aerasi dimana organisme dan air limbah dicampur bersama dengan

sejumlah besar udara. Pada kondisi ini, organisme akan

mengoksidasikan sebagian dari bahan limbah organik menjadi

karbon dioksida dan air, kemudian mensintesakan bagian yang

lain menjadi sel-sel mikrobial yang baru (Tchobanoglous,1991).

Campuran itu lalu memasuki suatu kolam pengendapan di mana

organisme flokulan mengendap dan dibuang dari aliran buangan.

Organisme yang terendapkan atau lumpur yang diaktifkan

kemudian dikembalikan lagi ke ujung hulu dari tangki aerasi

untuk dicampur lagi dengan air limbah .

Buangan dari instalasi lumpur aktif yang dioperasikan

dengan baik mempunyai mutu yang sangat tinggi, biasanya

mempunyai BOD yang lebih rendah daripada yang dihasilkan

oleh filter tetesan. BOD dan konsentrasi bahan padat terapung

dalam buangan ini berkisar antara 10 dan 20mg/l untuk kedua

kandungan tersebut.

Kolam aerasi biasanya memiliki kedalaman 3 hingga 5m dan

kira-kira lebarnya 6m. Panjangnya tergantung pada waktu

penahanan, yang umumnya bervariasi dari 4 hingga 8 jam untuk

air perkotaan. Dari ruang aerasi bahan buangan akan mengalir

ke kolam pengendapan akhir dengan jangka waktu penahanan

selama kira-kira 2 jam. Salah satu masalah yang paling berat

pada proses lumpur yang diaktifkan adalah fenomena yang

disebut penggumpalan, di mana lumpur dari tangki aerasi tidak

mau mengendap. Bila terjadi penggumpalan yang luar biasa,

sebagian bahan padat terapung dari aerator akan dialirkan

dalam buangan . Keuntungan utama dari proses lumpur yang

diaktifkan adalah karena dapat menghasilkan buangan yang

bermutu tinggi dengan kebutuhan luas instalasi pengolahan yang

minimum. Biaya awal lebih kecil daripada untuk instalasi

filter tetesan, tetapi biaya operasinya lebih besar karena

kebutuhan energi dari kompresor udara dan pompa-pompa

sirkulasi lumpur .

BAB II

PROSES PENGOLAHAAN

II. PROSES LUMPUR AKTIF

2.1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional

Proses Lumpur Aktif Konvensional dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional

2.1.1 Tangki aerasi

           Oksidasi aerobik material organik dilakukan dalam tangki

ini. Efluent pertama masuk dan tercampur dengan Lumpur Aktif Balik

(Return Activated Sludge =RAS) atau disingkat LAB membentuk lumpur campuran

(mixed liqour), yang mengandung padatan tersuspensi sekitar 1.500 -

2.500 mg/l. Aerasi dilakukan secara mekanik. Karakteristik dari

proses lumpur aktif adalah adanya daur ulang dari biomassa. Keadaan

ini membuat waktu tinggal rata-rata sel (biomassa) menjadi lebih

lama dibanding waktu tinggal hidrauliknya (Sterritt dan Lester,

1988). Keadaan tersebut membuat sejumlah besar mikroorganisme

mengoksidasi senyawa organik dalam waktu yang singkat. Waktu tinggal

dalam tangki aerasi berkisar 4 - 8 jam.

2.1.2 Tangki Sedimentasi

           Tangki ini digunakan untuk sedimentasi flok mikroba

(lumpur) yang dihasilkan selama fase oksidasi dalam tangki aerasi.

Seperti disebutkan diawal bahwa sebaghian dari lumpur dalam tangki

penjernih didaur ulang kembali dalam bentuk LAB kedalam tangki

aerasi dan sisanya dibuang untuk menjaga rasio yang tepat antara

makanan dan mikroorganisme (F/M Ratio).

2.1.3 Parameter

           Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis

dan Cornwell, 1985; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah

sebagai berikut:

1. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem

lumpur aktif disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan

sebagai lumpur campuran. MLSS adalah jumlah total dari

padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral,

termasuk didalamnya adalah mikroorganisma. MLSS ditentukan

dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring

(filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur 1050C,

dan berat padatan dalam contoh ditimbang.

2. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik

pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik

bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel

(Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan

terus sampel filter yang telah kering pada 600 - 6500C, dan

nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.

3. Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan

indikasi beban organik yang masuk kedalam sistem lumpur aktif

dan diwakili nilainya dalam kilogram BOD per kilogram MLSS

per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986). Adapun

formulasinya sebagai berikut :

F/M = Q x BOD5

MLSS x V

dimana :

Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)

BOD5 = BOD5 (mg/l)

MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l)

V = Volume tangki aerasi (Gallon)

Rasio F/M dikontrol oleh laju sirkulasi lumpur aktif.

Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula

rasio F/M-nya. Untuk tangki aerasi konvensional rasio F/M

adalah 0,2 - 0,5 lb BOD5/hari/lb MLSS, tetapi dapat lebih

tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer,

1986). Rasio F/M yang rendah mencerminkan bahwa

mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar,

semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien.

4. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah

waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk

dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya

berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D) (Sterritt dan

Lester, 1988).

HRT = 1/D = V/ Q

dimana :

V = Volume tangki aerasi

Q = Laju influent air limbah ke dalam tangki aerasi

D = Laju pengenceran.

5. Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-

rata mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu

dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi

dapat dalam hari lamanya. Parameter ini berbanding terbalik

dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dihitung dengan

formula sebagai berikut (Hammer, 1986; Curds dan Hawkes,

1983) :

Umur Lumpur (Hari) =   MLSS x V

SSe x Qe + SSw X Qw

dimana :

MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l).

V = Volume tangki aerasi (L)

SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)

SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)

Qe = Laju effluent limbah (m3/hari)

Qw = Laju influent limbah (m3/hari).

Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam

konvensional lumpur aktif. Pada musim dingin lebih lama

dibandingkan musim panas (U.S. EPA, 1987a). Parameter penting

yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah laju pemuatan

organik, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi tangki

pengendapan akhir. Tangki ini mempunyai dua fungsi: penjernih

dan penggemukan mikroba. Untuk operasi rutin, orang harus

mengukur laju pengendapan lumpur dengan menentukan indeks

volume lumpur (SVI), Voster dan Johnston, 1987.

II. PROSES LUMPUR AKTIF

2.2. Modifikasi Proses Lumpur Aktif Konvensional

Gambar 2. Modifikasi proses lumpur aktif.

2.2.1 Sistem Aerasi Lanjutan

Proses ini dipakai dalam instalasi paket pengolahan

dengan cara sebagai berikut :

1. Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem

konvensional. Usia lumpur juga lebih lama dan dapat

diperpanjang sampai 15 hari.

2. Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu

dalam pengendapan primer.

3. Sistem beroperasi dalam F/M ratio yang lebih rendah (umumnya

<0,1 lb BOD/hari/lb MLSS) dari sistem konvensional (0,2 -

0,5 lb BOD/hari/lb MLSS).

4. Sistem ini membutuhkan membutuhkan sedikit aerasi

dibandingkan dengan pengolahan konvensional dan terutama

cocok untuk komunitas yang kecil yang menggunakan paket

pengolahan.

2.2.2 Selokan Oksidasi (Oxidation Ditch)

           Selokan oksidasi terdiri dari saluran aerasi yang

berbentuk oval yang dilengkapi dengan satu atau lebih rotor rotasi

untuk aerasi limbah. Saluran ini menerima limbah yang telah disaring

dan mempunyai waktu tinggal hidraulik (hidraulic retention time) mendekati

24 jam.

2.2.3 Aerasi Bertingkah

Limbah hasil dari pengolahan primer (pengendapan) masuk dalam

tangki aerasi melalui beberapa lubang atau saluran, sehingga

meningkatkan distribusi dalam tangki aerasi dan membuat lebih

efisien dalam penggunaan oksigen. Proses ini dapat meningkatkan

kapasitas sistem pengolahan.

2.2 .4 Stabilisasi Kontak

           Setelah limbah dan lumpur bercampur dalam tangki reaktor

kecil untuk waktu yang singkat (20-40 menit), aliran campuran

tersebut dialirkan ke tangki penjernih dan lumpur dikembalikan ke

tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4 - 8 jam. Sistem ini

menghasilkan sedikit lumpur.

2.2.5 Sistem Aerasi Campuran

           Pada sistem ini limbah hanya diaerasi dalam tangki aerasi

secara merata. Sistem ini dapat menahan shock load dan racun.

2.2.6 Lumpur Aktif Kecepatan Tinggi

           Sistem ini digunakan untuk mengolah limbah konsentrasi

tinggi dan dioperasikan untuk beban BOD yang sangat tinggi

dibandingkan proses lumpur aktif konvensional. Proses ini mempunyai

waktu tinggal hidraulik sangat singkat. Sistem ini beroperasi pada

konsentrasi MLSS yang tinggi.

2.2.7 Aerasi Oksigen Murni

           Sistem aerasi dengan oksigen murni didasarkan pada

prinsip bahwa laju tranfer oksigen lebih tinggi pada oksigen murni

dari pada oksigen atmosfir. Proses ini menghasilkan kemampuan

oksigen terlarut menjadi lebih tinggi, sehingga meningkatkan

efisiensi pengolahan dan mengurangi produksi lumpur.

2.3. Biologi Lumpur Aktif

           Dua tujuan dari sistem lumpur aktif pertama adalah

oksidasi material organik yang biodegradable dalam tangki aerasi

kemudian dikonversi menjadi bentuk sel yang baru, kedua flokulasi,

memisahkan biomassa yang baru terbentuk dari air effluent.

2.3.1 Bakteri

Bakteri merupakan unsur utama dalam flok lumpur aktif. Lebih

dari 300 jenis bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif.

Bakteri tersebut bertanggung jawab terhadap oksidasi material

organik dan tranformasi nutrien, dan bakteri menghasilkan

polisakarida dan material polimer yang membantu flokulasi biomassa

mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah : Zooglea, Pseudomonas,

Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter, Corynebacterium, Comomonas,

Brevibacterium, dan Acinetobacter, disamping itu ada pula mikroorganisme

berfilamen, yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa, Vitreoscilla yang dapat

menyebabkan sludge bulking.

           Karena tingkat oksigen dalam difusi terbatas, jumlah

bakteri aktif aerobik menurun karena ukuran flok meningkat (Hanel,

1988). Bagian dalam flok yang relatif besar membuat kondisi

berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen. Kehadiran

metanogen dapat dijelaskan dengan pembentukan beberapa kantong

anaerobik didalam flok atau dengan metanogen tertentu terhdap

oksigen (Wu et al., 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup baik

dan cocok untuk material bibit bagi pengoperasian awal reaktor

anaerobik.

Tabel 1. Distribusi Bakteri Heteropik Aerobik Dalam Lumpur Aktif

Standard

(Hiraishi et al. (1989).

GENUS

KELOMPOK

PERSENTASI

DARI TOTAL ISOLAT

Comamonas-Pseudomonas 50

Alkaligenes 5,8

Pseudomonas (Kelompok

Florescent)1,9

Paracoccus 11,5

Unidentified (gram negative

rods) 1,9

Aeromomas 1,9

Flavobacterium – Cytophaga 13,5

Bacillus 1,9

Micrococcus 1,9

Coryneform 5,8

Arthrobacter 1,9

Aureobacterium-Microbacterium 1,9

           Jumlah total bakteri dalam lumpur aktif standard adalah

108 CFU/mg lumpur. Tabel 1. menunjukkan beberapa genus bakteri yang

ditemui dalam standard lumpur aktif. Sebagian besar bakteri yang

diisolasi diidentifikasi sebagai spesies-spesies Comamonas-

Psudomonas.

           Caulobacter, bakteri bertangkai umumnya ditemukan dalam air yang

miskin bahan organik, dapat diisolasi dari kebanyakan pengolahan

limbah, khususnya lumpur aktif (MacRae dan Smit, 1991).

Zoogloea adalah bakteri yang menghasilkan exopolysaccharide yang

membentuk proyeksi khas seperti jari tangan dan ditemukan dalam air

limbah dan lingkungan yang kaya bahan organik (Norberg dan Enfors,

1982; Unz dan Farrah, 1976; Williams dan Unz, 1983). Zoogloea

diisolasi dengan menggunakan media yang mengandung m-butanol, pati,

atau m-toluate sebagai sumber karbon. Bakteri ini ditemukan dalam

berbagai tahap pengolahan limbah tetapi jumlahnya hanya 0,1-1% dari

total bakteri dalam mixed liqour (Williams dan Unz, 1983). Kepentingan

relatif bakteri ini dalam air limbah membutuhkan penelitian lebih

lanjut.

Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri

autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat

merubah amonia menjadi nitrat dan bakteri fototrofik seperti bakteri

ungu non sulfur (Rhodospilrillaceae), yang dapat dideteksi pada

konsentrasi sekitar 105 sel/ml. Bakteri ungu dan hijau ditemukan

dalam jumlah yang sangat kecil. Barangkali, bakteri fototrofik hanya

sedikit berperan dalam penurunan nilai BOD dalam lumpur aktif

(Madigan, 1988; Siefert et al., 1978).

2.3.2 Fungi

Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun

beberapa fungi berfilamen kadang-kadang ditemukan dalam flok lumpur

aktif. Fungi dapat tumbuh pesat dibawah kondisi pH yang rendah,

toksik, dan limbah yang kekurangan nitrogen. Genus yang dominan

ditemukan dalam lumpur aktif adalah Geotrichum, Penicillium, Cephalosporium,

Cladosporium, dan Alternaria (Pipes dan Cooke, 1969; Tomlinson dan

Williams, 1975). Lumpur ringan (Sludge Bulking) dapat dihasilkan oleh

pertumbuhan yang pesat Geotrichum candidum, yang dirangsang oleh pH

rendah dari limbah yang asam.

2.3.4 Protozoa

Protozoa adalah significant predator dalam lumpur aktif seperti

dalam lingkungan akuatik alam (Curds, 1982; Drakides, 1980; Fenchel

dan Jorgensen, 1977; LaRiviere, 1977). Pemakanan bakteri oleh

protozoa dapat ditentukan dengan eksperimen pemakanan bakteri yang

telah diberi 14C atau 35C atau flouresen (Hoffmann dan Atlas, 1987;

Sherr et al, 1987). Pemakanan bakteri tersebut dapat mereduksi

toksikan. Contoh, Aspidisca costata yang memakan bakteri dalam lumpur

aktif dapat menurunkan Kadmium (Hoffmann dan Atlas, 1987). Protozoa

paling sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Carchesium,

Paramecium sp, Opercularia sp, Chilodenella sp, Vorticella sp, Apidisca sp (Dart dan

Stretton, 1980, Edeline, 1988; Eikelboom dan van Buijsen, 1981).

           Cilliata. Siliata atau bulu getar digunakan untuk pergerakan

dan mendorong partikel makanan kedalam mulut . Siliata dibagi

menjadi tiga, yaitu : Siliata bebas (free), merayap (creeping), dan

bertangkai (stalked). Siliata bebas (tidak terikat) memakan bakteri

bebas yang terbang. Genus yang paling penting sering ditemukan dalam

lumpur aktif adalah Chilodonella, Colpidium, Blepharisma, Euplotes, Paramecium,

Lionotus, Trachelophyllum, dan Spirostomum. Siliata merayap memakan bakteri

yang berada dipermukaan flok lumpur aktif. Dua genus penting,

yaitu : Aspidisca dan Euplotes. Cilitas bertangkai menempel tangkainya

pada flok. Tangkai mempunyai myoneme untuk menangkap mangsa. Contoh

siliata bertangkai adalah Vorticella, Carchesium, Opercularia, dan Epistylis.

2.3.5 Rotifers

Rotifers adalah metazoa (organisme bersel banyak) dengan ukuran

bervariasi dari 100 mm - 500 m m. Tubuhnya menancap pada partikel

flok dan sering tercabut dari permukaan flok (Doohan, 1975;

Eikelboom dan van Buijsen, 1981). Rotifers ditemukan dalam instalasi

pengolahan air limbah termasuk dua orde pertama, Bdelloidea

(contoh : Philodina spp., Habrotrocha spp.) dan Monogononta

(contoh : Lecane spp., Notommata spp.). Peranan rotifers dalam

lumpur aktif adalah : (1) menghilangkan bakteri tersuspensi

(contoh : bakteri yang tidak membentuk flok; (2) memberi kontribusi

terhadap pembentukan flok melalui pelet kotoran yang dikelilingi

oleh mukus. Kehadiran rotifers dalam tahap akhir pengolahan limbah

sistem lumpur aktif dikarenakan kenyataan bahwa hewan ini mempunyai

siliata yang kuat yang menolong dalam mencari makan dan menurunkan

jumlah bakteri tersuspensi (membuat air lebih jernih) dan aksi

siliatanya lebih kuat dibandingkan protozoa.

2.4. Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi

Air limbah domestik mempunyai rasio C:N:P sebesar 100 : 5 : 1,

yang mencukupi untuk kebutuhan sebagian besar mikroorganisme. Bahan

organik dalam air limbah terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan

fraksi partikel. Bahan organik terlarut sebagai sumber makanan bagi

mikroorganisme heterotrophik dalam mixed liquor. Bahan organik ini

cepat hilang oleh adsorpsi dan proses flokulasi, dan juga oleh

absorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme. Aerasi dalam beberapa jam

dapat membuat perubahan dari BOD terlarut menjadi biomassa

mikrobial. Aerasi mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi

mikroorganisme aerobik, dan (2) menjaga lumpur aktif agar selalu

konstan teragitasi untuk melaksanakan kontsak yang cukup antara flok

dengan air limbah yang baru datang pada sistem pengolahan limbah.

Konsentrasi oksigen yang cukup juga diperlukan untuk aktifitas

mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik, khususnya bakteri

nitrit. Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l. Proses

nitrifikasi berhenti jika oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l (Dart

dan Stretton, 1980). Curds dan Hawkes (1983) membuat ringkasan

reaksi degradasi dan biosintesis yang terjadi dalam tangki aerasi

dalam proses lumpur aktif (Gambar 5).

Gambar 5. Penghilangan Bahan Organik Dalam Proses Lumpur Aktif

2.5. Pengendapan Lumpur

           Campuran air dan lumpur (mixed liqour) dipindahkan dari

tangki aerasi ke tangki pengendapan, tempat lumpur dipisahkan dari

air yang telah diolah. sebagian lumpur aktif dikembalikan ke tangki

aerasi dan sebagian lagi dibuang dan dipindahkan ke pengolahan

aerobik. Sel mikrobial terjadi dalam bentuk agregat atau flok,

densitasnya cukup untuk mengendap dalam tangki penjernih.

Pengendapan lumpur tergantung ratio F/M dan umur lumpur. Pengendapan

yang baik dapat terjadi jika lumpur mikroorganisme berada dalam fase

endogeneous, yang terjadi jika karbon dan sumber energi terbatas dan

jika pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan lumpur yang baik dapat

terjadi pada rasio F/M yang rendah (contoh : tingginya konsentrasi

MLSS). Sebaliknya, Rasio F/M yang tinggi mengakibatkan pengendapan

lumpur yang buruk.

           Dalam airlimbah pemukiman, rasio F/M yang optimum antara

0,2 dan 0,5 (Gaudy dan Gaudy, 1988; Hammer, 1986). Rata-rata waktu

tinggal sel yang diperlukan untuk pengendapan yang efektif adalah 3

- 4 hari (Metcalf dan Eddy, 1991). Pengendapan yang tidak baik dapat

terjadi akibat gangguan yang tiba-tiba pada parameter fisik (suhu

dan pH), kekurangan makanan (contoh N, suhu, mikronutrien), dan

kehadiran zat racun (seperti logam berat) yang dapat menyebabkan

hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989). Cara

konvensional untuk monitoring pengendapan lumpur adalah dengan

menentukan Indeks Volume Sludge (Sludge Volume Index = SVI). Caranya

adalah sebagai berikut : Lumpur campuran dari tangki aerasi

dimasukkan dalam silinder volume 1 liter dan dibiarkan selama 30

menit. Volume sludge dicatat. Volume lumpur yang mengendap adalah

SV, MLSS adalah mixed liqour suspended solid (mg/l). Dalam

pengolahan lumpur yang konvensional (MLSS < 3 50 0 mg/l) nilai SVI

berkisar 50 - 150 ml/g.

2.6. Pengolah Limbah

SVI (ml/g) = SV x 1.000

MLSS

           Indonesia dalam satu dasa warsa ini dikenal sebagai

penghasil tekstil yang besar disamping India dan Pakistan. Dalam

proses produksi industri tekstil banyak menggunakan bahan kimia dan

air. Bahan kimia yang digunakan antara lain untuk proses pencucian,

pemutihan, dan pewarnaan. Akibat dari itu pencemaran lingkungan

menjadi masalah bagi masyarakat yang tinggal disekitar industri

tekstil. Mengingat pentingnya industri tekstil sebagai penghasil

devisa negara dan perlunya perlindungan lingkungan, maka diperlukan

adanya teknologi pengolah limbah tekstil yang handal. Salah satu

contoh pengolahan limbah tekstil yang hingga saat ini beroperasi

adalah pengolahan limbah tekstil milik P.T. Unitex di Bogor.

           Gagasan unit pengolah limbah tekstil di PT. Unitek lahir

dari Presiden Direktur Mr. S. Okabe karena pada tahun tersebut belum

ada perusahaan yang dapat dijadikan contoh dalam pengolahan air

limbah. Kemudian rancang bangunnya dilaksanakan oleh perusahaan

induknya di Jepang, yaitu Unitika Ltd. Dalam perkembangan

selanjutnya terus mengalami perbaikan dan penambahan sejalan dengan

peningkatan produk. Proses produksinya meliputi pemintalan (spinning),

pertenunan (weaving), pencelupan (dyeing) dan penyelesaian akhir

(finishing). Pada umumnya polutan yang terkandung dalam limbah industri

tekstil dapat berupa padatan tersuspensi, padatan terlarut serta gas

terlarut. Karakteristik limbah pada umumnya bersifat alkalis (pH =

7), suhunya tinggi serta berwarna pekat. Untuk menghilangkan polutan

tersebut, diperlukan pengolahan yang dapat memisahkan dan

menghancurkan polutan yang terkandung didalamnya.

BAB III

TAHAPAN

III .THAPAN

           Instalasi Pengelolaan Air Limbah PT. Unitek dibangun

Tahun 1988 di atas tanah seluas 4000 m2, dan mampu mengolah limbah

tekstil lebih dari 2000 m3/hari. Proses pengolahan air limbah PT.

Unitek terbagi atas tiga tahap pemrosesan, yaitu :

1. Proses primer yang meliputi penyaringan kasar, penghilangan

warna, ekualisasi, penyaringan halus, pendinginan.

2. Proses sekunder yang meliputi proses biologi dan sedimentasi.

3. Proses tersier yang merupakan tahap lanjutan dengan penambahan

bahan kimia.

           Melalui upaya pengelolaan yang telah dilakukan, maka air

limbah yang dibuang tidak akan mencemari lingkungan. Biaya investasi

pembangunan instalasi ini hanya sekitar 2% dari total investasi atau

sekitar 2,5 milyard rupiah. Sistem pengolah limbah yang digunakan

merupakan perpaduan antara proses fisika, kimia, dan biologi. Proses

yang berperan dalam pengurangan bahan pencemar adalah proses biologi

yang menggunakan sistem lumpur aktif dengan aerasi lanjutan (extended

aeration).

Selain limbah cair terdapat pula limbah padat yang berupa

lumpur, hasil samping dari sistem pengolahan yang digunakan. Lumpur

hasil olahan digunakan sebagai bahan campuran pembuatan conblock dan

batako press serta pupuk organik. Hal ini merupakan salah satu

alternatif dan langkah lebih maju dari PT. Unitek dalam memanfaatkan

kembali limbah padat.

Gambar 6. Unit Pengolah Limbah Tekstil Kapasitas 200 m3/hari.

Gambar 7. Bak penampung yang masih panas.

Gambar 8. Bak pengendap pertama

Gambar 9. Pemberian koagulan (ferro sulfat) untuk menghilangkan

warna

Gambar 10. Bak pengendap (clarifier) setelah diberi koagulan ferro

sulfat.

Gambar 11. Menara pendingin (Colling Tower) sebelum air masuk ke

dalam bak aerasi.

Gambar 12. Bak aerasi tahap petama

Gambar 13. Lumpur aktif dari bak pengendap akhir dikembalikan ke bak

aerasi tahap pertama.

Gambar 14. Bak pengendap akhir

Gambar 15. Contoh air di bak pengendap akhir.

Gambar 16. Air hasil olahan sebelum dibuang ke lingkungan.

Gambar 17. Bioassay

BAB IV

PENGOLAHAAN

IV. CARA PENGOLAHAAN

Urutan proses pengolahan limbah di industri testil secara

garis besar dibagi dalam 5 unit proses yang meliputi proses primer,

sekunder, dan tersier, yaitu :

Unit 1 : adalah proses penghilangan warna dengan sistem

koagulasi dan sedimentasi.

Unit 2 : adalah proses penguraian bahan organik yang terkandung

di dalam air limbah dengan sistem lumpur aktif.

Unit 3 : adalah proses pemisahan air yang telah bersih dengan

lumpur aktif dari kolam aerasi.

Unit 4 : adalah proses penghilangan padatan tersuspensi setelah

pengendapan.

Unit 5 : adalah proses pemanfaatan lumpur padat setelah

pengepresan di belt press.

4.1. Proses Pengolahan Limbah

Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi menjadi tiga tahap

pemrosesan, yaitu :

1. Proses primer, Proses primer merupakan perlakuan pendahuluan

yang meliputi : a). Penyaringan kasar,

b). Penghilangan warna,

c). Ekualisasi,

d). Penyaringan halus, dan

e). Pendinginan.

2. Proses sekunder, Proses biologi dan sedimentasi.

3. Proses tersier, merupakan tahap lanjutan setelah proses

biologi dan sedimentasi.

Tabel 2. Dimensi, Debit Air Masuk, dan Waktu Tinggal

dari masing-masing Unit Pengolah Limbah Cair PT. UNITEX.

Unit

Penanganan

Jumla

h

Vol

Tangki

(m3)

Total Vol

(m3)

Debit

(m3/hari

)

Waktu

Retens

i

Kolam

equalisasi

Limbah air

warna

 

2

 

59 + 56

 

115

 

1200

 

2.3

jam

Limbah air

umum

1 653 653 1800 8.7

jam

Tangki

Koagulasi I

1 3.1 3.6 720 7.2

menit

Tangki

Sedimentasi I

2 14.2 28.4 720 25

menit

Kolam Aerasi 3 2(1250) +

925

3425 3000 27.4

jam

Tangki

Sedimentasi

II

1 407 407 3394 2.9

jam

Tangki 1 6 6 3394 2.5

Koagulasi II menit

Tangki

Intermeadiat

1 57 57 3394 24

menit

Tangki

Sedimentasi

III

1 178 178 3394 1.26

jam

Kolam Ikan 1 15 15 3394 6.4

menit

Gambar 19. Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif PT. UNITEX

4.2 DIAGRAM ALIR PENDOLAHAAN LIMBAH INDUSTRI TESTIL

4.3 Proses Primer

4.3.1 Penyaringan Kasar

Air limbah dari proses pencelupan dan pembilasan dibuang

melalui saluran pembuangan terbuka menuju pengolahan air

limbah. Saluran tersebut terbagi menjadi dua bagian, yakni

saluran air berwarna dan saluran air tidak berwarna. Untuk

mencegah agar sisa-sisa benang atau kain dalam air limbah

terbawa pada saat proses, maka air limbah disaring dengan

menggunakan saringan kasar berdiameter 50 mm dan 20 mm.

4.3.2 Penghilangan Warna

 Limbah cair berwarna yang berasal dari proses pencelupan

setelah melewati tahap penyaringan ditampung dalam dua bak

penampungan, masing-masing berkapasitas 64 m3 dan 48 m3, air

tersebut kemudian dipompakan ke dalam tangki koagulasi pertama

(volume 3,1 m3) yang terdiri atas tiga buah tangki, yaitu :

Pada tangki pertama ditambahkan koagulasi FeSO4 (Fero Sulfat)

konsentrasinya 600 - 700 ppm untuk pengikatan warna.

Selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki kedua dengan ditambahkan

kapur (lime) konsentrasinya 150 - 300 ppm, gunanya untuk

menaikkan pH yang turun setelah penambahan FeSO4. Dari tangki

kedua limbah dimasukkan ke dalam tangki ketiga pada kedua

tangki tersebut ditambahkan polimer berkonsentrasi 0,5 - 0,2

ppm, sehingga akan terbentuk gumpalan-gumpalan besar (flok) dan

mempercepat proses pengendapan.

           Setelah gumpalan-gumpalan terbentuk, akan terjadi

pemisahan antara padatan hasil pengikatan warna dengan cairan

secara gravitasi dalam tangki sedimentasi. Meskipun air hasil

proses penghilangan warna ini sudah jernih, tetapi pH-nya masih

tinggi yaitu 10, sehingga tidak bisa langsung dibuang ke

perairan. Untuk menghilangkan unsur-unsur yang masih terkandung

didalamnya, air yang berasal dri koagulasi I diproses dengan

sistem lumpur aktif. Cara tersebut merupakan perkembangan baru

yang dinilai lebih efektif dibandingkan cara lama yaitu air

yang berasal dari koagulasi I digabung dalam bak ekualisasi.

Tabel 3. Hasil pengamatan konsentrasi, debit, dan laju penambahan

koagulan

dan flokulan terhadap limbah air warna (Rapto, 1996)

Agent Konsentras

i (kg/l)

Debit

(l/jam)

Laju Penambahan

(kg/jam)

Fe SO4 0.21 13.28 2.84

Lime 0.11 806.76 86.44

Polimer ANP-

102. 10-4 561.60 0.11

Tabel 4. Efisiesi removal proses koagulasi dan flokulasi air limbah

warna

Tahun 1994 (Rapto, 1996)

ParameterInlet

(mg/l)

Outlet

(mg/l)

Efisiensi

removal (%)

TSS 132.33 17.33 86.9

BOD5 266.12 54.92 79.4

COD 432.33 112.00 74.1

DO 0.4 0.25 37.5

4.3.3. Ekualisasi

           Bak ekualisasi atau disebut juga bak air umum

memiliki volume 650 m3 menampung dua sumber pembuangan yaitu

limbah cair tidak berwarna dan air yang berasal dari mesin

pengepres lumpur. Kedua sumber pembuangan pengeluarkan air

dengan karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu untuk

memperlancar proses selanjutnya air dari kedua sumber ini

diaduk dengan menggunakan blower hingga mempunyai karakteristik

yang sama yaitu pH 7 dan suhunya 32oC. Sebelum kontak dengan

sistem lumpur aktif, terlebih dahulu air melewati saringan

halus dan cooling tower, karena untuk proses aerasi memerlukan

suhu 32oC. Untuk mengalirkan air dari bak ekualisasi ke bak

aerasi digunakan dua buah submerble pump atau pompa celup (Q=

60 m3/jam).

4.3.4 Saringan Halus (Bar Screen f = 0,25 in)

           Air hasil ekualisasi dipompakan menuju saringan

halus untuk memisahkan padatan dan larutan, sehingga air limbah

yang akan diolah bebas dari padatan kasar berupa sisa-sisa

serat benang yang masih terbawa.

4.3.5 Cooling Tower

           Karakteristik limbah produksi tekstil umumnya

mempunyai suhu antara 35-40oC, sehingga memerlukan pendinginan

untuk menurunkan suhu yang bertujuan mengoptimalkan kerja

bakteri dalam sistem lumpur aktif. Karena suhu yang diinginkan

adalah berkisar 29-30oC.

4.4 Proses Sekunder

4.4.1 Proses Biologi

Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. Unitek

memiliki tiga bak aerasi dengan sistem lumpur aktif, yang

pertama berbentuk oval mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan

dengan bentuk persegi panjang. Karena pada bak oval tidak

memerlukan blower sehingga dapat menghemat biaya listrik, selain

itu perputaran air lebih sempurna dan waktu kontak bakteri

dengan limbah lebih merata serta tidak terjadi pengendapan

lumpur seperti layaknya terjadi pada bak persegi panjang.

Kapatas dari ketiga bak aerasi adalah 2175 m3. Pada masing-

masing bak aerasi ini terdapat sparator yang mutlak diperlukan

untuk memasok oksigen ke dalam air bagi kehidupan bakteri.

Parameter yang diukur dalam bak aerasi dengan sistem lumpur

aktif adalah DO, MLSS, dan suhu. Dari pengalaman yang telah

dijalani, parameter-parameter tersebut dijaga sehingga

penguraian polutan yang terdapat dalam limbah dapat diuraikan

semaksimal mungkin oleh bakteri. Oksigen terlarut yang

diperlukan berkisar 0,5 – 2,5 ppm, MLSS berkisar 4000 – 6000

mg/l, dan suhu berkisar 29 – 30oC.

4.4.2 Proses Sedimentasi

Bak sedimentasi II (volume 407 m3) mempunyai bentuk bundar

pada bagian atasnya dan bagian bawahnya berbentuk kronis yang

dilengkapi dengan pengaduk (agitator) dengan putaran 2 rph.

Desain ini dimaksudkan untuk mempermudah pengeluaran endapan

dari dasar bak. Pada bak sedimentasi ini akan terjadi settling

lumpur yang berasal dari bak aerasi dan endapan lumpur ini harus

segera dikembalikan lagi ke bak aerasi (return sludge=RS),

karena kondisi pada bak sedimentasi hampir mendekati anaerob.

Besarnya RS ditentukan berdasarkan perbandingan nilai MLSS dan

debit RS itu sendiri. Pada bak sedimentasi ini juga dilakukan

pemantauan kaiment (ketinggian lumpur dari permukaan air) dan

MLSS dengan menggunakan alat MLSS meter.

4.5 Proses Tersier

           Pada proses pengolahan ini ditambah bahan kimia, yaitu

Alumunium Sulfat (Al2(SO4)3), Polimer dan Antifoam (Silicon Base);

untuk mengurangi padatan tersuspensi yang masih terdapat dalam air.

Tahap lanjutan ini diperlukan untuk memperoleh kualitas air yang

lebih baik sebelum air tersebut dibuang ke perairan.

           Air hasil proses biologi dan sedimentasi selanjutnya

ditampung dalam bak interdiet (Volume 2m3) yang dilengkapi dengan

alat yang disebut inverter untuk mengukur level air, kemudian

dipompakan ke dalam tangki koagulasi (volume 3,6 m3) dengan

menggunakan pompa sentrifugal. Pada tangki koagulasi ditambahkan

alumunium sulfat (konsentrasi antara 150 – 300 ppm) dan polimer

(konsentrasi antara 0,5 – 2 ppm), sehingga terbentuk flok yang mudah

mengendap. Selain kedua bahan koagulan tersebut juga ditambahkan

tanah yang berasal pengolahan air baku (water teratment) yang

bertujuan menambah partikel padatan tersuspensi untuk memudahkan

terbentuknya flok.

           Pada tangki koagulasi ini terdapat mixer (pengaduk) untuk

mempercepat proses persenyawaan kimia antara air dan bahan koagulan,

juga terdapat pH kontrol yang berfungsi untuk memantau pH effluent

sebelum dikeluarkan ke perairan. Setelah penambahan koagulan dan

proses flokulasi berjalan dengan sempurna, maka gumpalan-gumpalan

yang berupa lumpur akan diendapkan pada tangki sedimentasi III

(volume = 178 m3). Hasil endapan kemudian dipompakan ke tangki

penampungan lumpur yang selanjutnya akan diolah dengan belt press

filter machine.

4.6 HASIL YANG PERNAH DICAPAI

           Sebagai gambaran hasil proses dari Unit Pengolah Limbah

Tekstil tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Hasil Pengamatan Konsentrasi, Debit, dan Laju Penambahan

Koagulan dan Flokulan Pada Tangki Koagulasi II, tahun 1994 (Rapto,

1996).

AgentKosentrasi

(kg/l)

Debit

(l/jam)

Laju

Penambahan

(kg/jam)

Al2(SO4)3 0.30 128.95 38.69

Polimer

ANP-105. 10-4 53.21 0.03

Tabel 6. Efisiensi Removal Proses Koagulan dan Flokulasi Air Limbah

Pada Penanganan Tersier, Tahun 1994 (Rapto, 1996).

Paramet

erInlet (mg/l)

Outlet

(mg/l)

Efisiensi

Removal (%)

TSS 22.00 9.00 59.10

BOD5 46.69 25.09 46.30

COD 93.33 50.09 46.30

4.7 Parameter Pantau

4.7.1 Kimia

1. COD (Chemical Oxygen Demand) : Jumlah oksigen (ppm O2) yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi K2Cr2O7 yang digunakan sebagai

sumber oksigen (oxidizing agent).

2. BOD (Biochemical Oxygen Demand) : Suatu analisis empiris

yang mencoba mendekati secara global proses-proses

mikrobiologi yang benar-benar terjadi didalam air. Angka

BOD adalah jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan oleh

bakteri untuk mengoksidasi hampir semua zat organis yang

terlarut dan sebagian zat organis yang tersuspensi dalam

limbah cair.

3. DO (Dissolved Oksigen) : Jumlah oksigen (ppm O2) yang

terlarut dalam air dan merupakan kebutuhan mutlak bagi

mikroorganisma (khususnya bakteri) dalam menguraikan zat

organik.

4. pH (Derajat Keasaman) : Didefinisikan sebagai pH = - log

(H+) yang menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan.

4.7.2 Fisika

1. MLSS (Mixed Liqour Suspended Solid) : Jumlah seluruh

padatan tersuspensi dalam suatu cairan (ppm) yang

menggambarkan kepekatan lumpur pada kolam aerasi khususnya.

2. SV30 (Sludge Volume = 30) : Lumpur yang mengendap secara

gravitasi selama 30 menit (%) yang menunjukkan tingkat

kelarutan oksigen dalam lumpur aktif.

4.7. 3 Biologi

           Parameter biologi yang diamati berupa mikroorganisme

predator bakteri, diantaranya prozoa dan avertebrata lainnya.

4.8 Kualitas Influen dan Efluen IPAL PT UNITEX

           Efisiensi sistem IPAL PT. Unitex cuiup tinggi, terutama

untuk TSS, BOD dan FE. Hanya sayang dalam analisis keberhasilan

sistem lumpur aktif menjadi sulit karena parameter MLSS, MVSS, SVI

dan mikrobiologinya kurang banyak diteliti.

Tabel 7. Efisiensi Total Rata-Rata IPAL PT. UNITEX (RIPTO, 1996)

ParameterInlet (air

umum)Outlet Efisiensi

Air Umum

pH11.35 7.26 36.03

TSS (mg/l) 84.00 7.00 91.66

BOD5 (mg/l) 97.50 2.70 97.00

COD (mg/l) 428.50 162.70 62.03

Fe (mg/l) 2.33 0.07 96.99

DAFTAR PUSTAKA

Alaert, G., diterjemahkan oleh Santika, S., 1984, “ Metoda Penelitian

Air”,

Usaha Nasional, Surabaya.

BPPT,2008,“Buku Air Limbah Domestik DKI”, Dapat dilihat di:

http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/BukuAirLimbahDomes

ti kDKI/BAB9KOLAMLAGOON.pdf, (akses terakhir: 15 Juni

2012).

BPPT, 2008, “Publikasi Buku 10 Patek”, Dapat dilihat di:

http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/Buku10Patek/

08TEKSTI .pdf,

(akses terakhir: 15 Juni 2012).

Dephut, 2004, “Informasi Setjen Pusstan”, Dapat dilihat di:

http://www.dephut.go.id/informasi/setjen/pusstan/

info_5_1_060 4/isi_5.htm,

(akses terakhir: 15 Juni 2012).

Dwioktavia., 2011, “Pengolahan Limbah Industri Tekstil”, Dapat dilihat di:

http://dwioktavia.wordpress.com/2011/04/14/

pengolahanlimbah- industri-tekstil/,

(akses terakhir: 15 Juni 2012).

Fardiaz, H., 1992, “Polusi Air dan Udara”, Kanisius, Yogyakarta Hidayat,

W., 2008,

“Teknologi Pengolahan Air Limbah”, Dapat dilihat di:

http://majarimagazine.com/2008/01/teknologi-pengolahan-

airlimbah/, (akses terakhir: 15 Juni 2012).

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. KEP-51/MENLH/10/1995.

Rahayu, Betty S., 1993, ”Penanganan Limbah Industri Pangan”,

Kanisius, Yogyakarta. Siregar, S.A., 2005, “ Instalasi

Pengolahan Air Limbah”, Kanisius, Yogyakarta.

Sugiharto, 1987, “Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah”, Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.