Upload
itm-ac
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I. TEORI DASAR
1.1. Latar Belakang
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan
mikroba tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal
abad 19. Sejak itu proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai
pengolah air limbah domestik sekunder secara biologi. Proses ini
pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi
material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa baru.
Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi
mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki
penjernihan (Gariel Bitton, 1994).
Anna dan Malte (1994) berpendapat keberhasilan pengolahan
limbah secara biologi dalam batas tertentu diatur oleh kemampuan
bakteri untuk membentuk flok, dengan demikian akan memudahkan
pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah ekosistem
yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan
organisme-organisme lain. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa
parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI)
dan Stirrd Sludge Volume Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut
tergantung dari bentuk flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape
Factor = S).
Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan
bahwa proses lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung
pada pembentukan flok lumpur aktif yang terbentuk oleh
mikroorganisme (terutama bakteri), partikel inorganik, dan polimer
exoselular. Selama pengendapan flok, material yang terdispersi,
seperti sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok.
Pembentukan flok lumpur aktif dan penjernihan dengan pengendapan
flok akibat agregasi bakteri dan mekanisme adesi. Selanjutnya
dinyatakan pula bahwa flokulasi dan sedimentasi flok tergantung pada
hypobisitas internal dan eksternal dari flok dan material exopolimer
dalam flok, dan tegangan permukaan larutan mempengaruhi
hydropobisitas lumpur granular dari reaktor lumpur anaerobik.
Frank et all (1996) mencoba menggambarkan bahwa dalam
sistem pengolah lumpur aktif baik untuk domestik maupun industri
mengandung 1-5% padatan total dan 95-99% bulk water (liqour ?).
Pembuangan kelebihan lumpur merupakan proses yang mahal, dilakukan
dengan mengurangi volume lumpur melalui proses pengepresan
(dewatering). Pada bagian lain dinyatakan pula bahwa konsentrasi besi
yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam bentuk Fe
(III), ditemukan dalam lumpur aktif.
Akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah
atau melalui penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan
fosfor. Jumlah besi dalam lumpur aktif akan berkurang setelah
memasuki kondisi anaerobik dan mungkin berasosiasi dengan adanya
aktifitas bakteri heterotrofik. Berkurangnya fosfor dalam lumpur
aktif dapat menyebabkan fosfor terlepas kedalam air. Jika ini
terjadi merupakan potensi untuk terjadinya eutrofikasi pada
perairan.
Enri dan Anni (1995) juga mengemukan bahwa limbah padat
yang berasal dari suatu instalasi pengolah air limbah industri
tekstil dapat digolongkan ke dalam limbah berbahaya karena
mengandung logam berat. Mereka mengkaji kemungkinan proses
solidifikasi mempergunakan tanah lempung dengan hasil yang cukup
baik dari segi kekuatan tekan bebas, permeabilitas, dan hasil
lindinya.
1.2. Karakteristik air limbah
Air limbah adalah air dari suatu daerah pemukiman yang telah
dipergunakan untuk berbagai keperluan, harus dikumpulkan dan dibuang
untuk menjaga lingkungan hidup yang sehat dan baik. Air limbah
memiliki ciri-ciri yang dapat dikelompokan menjadi 3 bagian, yaitu :
A. Ciri-ciri fisik
Ciri-ciri fisik utama air limbah adalah kandungan bahan padat,
warna, bau dan suhunya.
1. Bahan padat
Air yang terpolusi selalu mengandung padatan yang dapat
dibedakan atas empat kelompok berdasarkan besar partikelnya
dan sifat-sifat lainnya Empat kelompok tersebut yaitu:
1. Padatan terendap (sedimen)
2. Padatan tersuspensi dan koloid
3. Padatan terlarut
4. Minyak dan lemak
2. Warna
Warna adalah ciri kualitatif yang dapat dipakai
untukmengkaji kondisi umum air limbah. Air buangan industri
serta bangkai benda organis yang menentukan warna air limbah
itu sendiri .
3. Bau
Pembusukan air limbah adalah merupakan sumber dari bau
air limbah (Sugiharto, 1987). Hal ini disebabkan karena adanya
zat organik terurai secara tidak sempurna dalam air limbah.
4. Suhu
Suhu air limbah biasanya lebih tinggi daripada air
bersih, karena adanya tambahan air hangat dari perkotaan.
B. Ciri-ciri kimiawi
Air limbah tentunya mengandung berbagai macam zat kimia.
Bahan organik pada air limbah dapat menghabiskan oksigen serta
akan menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap pada penyediaan
air bersih. Pengujian kimia yang utama adalah yang
bersangkutan dengan amonia bebas, nitrogen organik, nitrit,
nitrat, fosfor organik dan fosfor anorganik.
C. Ciri-ciri biologis
Pemeriksaan biologis di dalam air limbah untuk
memisahkan apakah ada bakteri-bakteri pathogen berada di dalam
air limbah. Berbagai jenis bakteri yang terdapat di dalam air
limbah sangat berbahaya karena menyebabkan penyakit.
Kebanyakan bakteri yang terdapat dalam air limbah merupakan
bantuan yang sangat penting bagi proses pembusukan bahan
organik .
1.3. Identifikasi jaringan pengolahan
Jaringan pengolahan air limbah pada dasarnya dikelompokkan
menjadi tiga tahap yaitu pengolahan primer, pengolahan sekunder dan
pengolahan tersier ( Sunu, 2001). Pengertian dari ketiga pengolahan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Pengolahan primer
Pengolahan primer semata-mata mencakup pemisahan
kerikil, lumpur, dan penghilangan zat padat yang terapung
(Sugiharto,1987). Hal ini biasa dilakukan dengan penyaringan
dan pengendapan di kolam-kolam pengendapan. Buangan
daripengolahan primer biasanya akan mengandung bahan organik
yang lumayan banyak dan BOD-nya relatif tinggi.
B. Pengolahan sekunder
Pengolahan sekunder mencakup pengolahan lebih lanjut
dari buangan pengolahan primer. Hal ini menyangkut pembuangan
bahan organik dan sisa-sisa bahan terapung dan biasanya
dilaksanakan dengan proses biologis mempergunakan filter,
aerasi, kolam oksidasi dan cara-cara lainnya
(Tchobanoglous,1991). Buangan dari pengolahan sekunder
biasanya mempunyai BOD5 yang kecil dan mungkin mengandung
beberapa mg/L oksigen terlarut.
C. Pengolahan lanjutan (tersier)
Pengolahan lanjutan dipergunakan untuk membuang
bahanbahan terlarut dan terapung yang masih tersisa setelah
pengolahan biologis yang normal apabila dibutuhkan untuk
pemakaian air kembali atau untuk pengendalian etrofikasi di
air penerima (Tchobanoglous,1991). Pemilihan seperangkat
metode pengolahan tergantung pada berbagai faktor, termasuk
sarana pembuangan yang tersedia. Sebenarnya, perbedaan antara
pengolahan primer, sekunder dan tersier (lanjutan) hanyalah
bersifat perjanjian, karena kebanyakan metode pengolahan air
limbah modern mencakup proses-proses fisik, kimiawi,
dan biologis dalam operasi yang sama.
1.4 Metode-metode pengolahan fisik
Pada umumnya, sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap
air buangan, diinginkan agar bahan-bahan tersuspensi berukuran besar
dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung disisihkan
(Dephut, 2004). Metode-metode pengolahan fisik meliputi penyaringan,
pengecilan ukuran, pembuangan serpih, pengendapan dan filtrasi
(Tchobanoglous,1991). Pengertian singkat masing-masing tahap di
jelaskan sebagai berikut:
A. Penyaringan
Saringan kasar atau kisi-kisi dengan lubang sebesar 2 inci
(50mm) atau lebih dipergunakan untuk memisahkan bendabenda
terapung yang besar dari air limbah. Alat-alat dipasang di
depan pompa untuk mencegah penyumbatan. Saringan kasar dapat
menyaring bahan yang biasanya terdiri dari kayu, sampah dan
kertas yang tidak akan membusuk dan dapat dibuang dengan cara
membakar, mengubur, atau memupuknya. Saringan menengah
mempunyai lubang antara 0,5 atau 1,5 inci (12 sampai 40mm).
Saringan kasar dan menengah haruslah cukup besar agar
kecepatan aliran melalui lubanglubangnya tidak lebih dari
1m/detik. Hal ini membatasi kehilangan tinggi tekanan dan
mengurangi kemungkinan terdorong lolosnya bahan yang harus
disaring melalui lubanglubang itu. Saringan halus dengan
lubang antara 0,0625 hingga 0,125 inci (1,6 hingga 3mm) sering
dipergunakan untuk pengolah pendahuluan dari air limbah atau
untuk mengurangi beban kolam pengendapan pada instalasi kota
di mana terdapat limbah industri berat. Saringan ini akan
membuang hingga 20 persen bahan padat terapung yang ada dalam
air limbah. Penyaringan biasanya meliputi bahan organik yang
cukup banyak yang akan membusuk dan menjadi ganas, sehingga
harus dibuang dengan pembakaran atau penguburan .
B. Pengecilan ukuran
Alat pengecil ukuran (penyerpih) adalah alat-alat yang
dipergunakan untuk menggiling atau memotong bahan padat limbah
hingga berukuran kira-kira 0,25 inci (6mm). Alat pengecil
ukuran memecahkan persoalan pembuangan bahan saringan dengan
mengecilkan bahan padat ke dalam ukuran yang dapat diproses di
tempat lain dalam instalasi yang akan bersangkutan.
C. Pembuangan serpih
Kolam serpih yang direncanakan secara khusus dipergunakan
untuk membuang partikel-partikel anorganik (berat jenis kira-
kira 1,6 hingga 2,65), misalnya pasir, kerikil, kulit telur
dan tulang yang ukurannya 0,2mm atau lebih besar untuk
mencegah kerusakan pompa dan untuk mencegah penumpukan bahan-
bahan ini di dalam pencerna lumpur. Serpih dapat dipergunakan
untuk urugan atau diangkut bila tidak mengandung bahan organik
terlalu banyak
D. Pengendapan
Fungsi utama dari kolam pengendapan biasa dalam
pengolahan air limbah adalah untuk membuang bahan terlarut
yang lebih besar dari air limbah yang masuk. Pengendapan
mendapatkan hasil endapan yang optimal melalui pengaturan
besar kecilnya bak yang akan dibangun. Bahan yang harus
dibuang adalah yang tinggi kandungan organiknya (50 hingga 75
persen) dan mempunyai berat jenis 1,2 atau kurang. Kecepatan
turun dari partikel-partikel organik ini biasanya rendah,
dapat hingga 1,25m/jam. Jenis-jenis sarana pengendapan yang
dipergunakan meliputi kolam serpih, tangki pengendapan biasa,
kolam pengendapan kimiawi, tangki septik, tangki Imhoff, dan
alat-alat lainnya.
E. Filter cepat berbutir kasar dan pasir lambat
Penggunaan filter cepat berbutir kasar guna membersihkan
air buangan setelah pengolahan sekunder. Filter pasir lambat
kadang-kadang dipergunakan untuk pengolahan akhir atau lanjuta
setelah proses pengolahan sekunder atau lainnya. Air limbah
dialirkan terus-menerus dengan kecepatan kira-kira 0,4m/hari
dan kegiatan penyaringan oleh pasir diandalkan untuk membuang
sebagian besar dari bahan padat terapung yang masih tersisa di
dalam air limbah (Tchobanoglous,1991).
5.Metode-metode pengolahan biologis
Metode-metode ini merupakan unsur-unsur pokok bagi hampir semua
jaringan pengolahan sekunder. Konsepsi dasar pengolahan biologis
dapat dinyatakan bahwa pengolahan biologis meliputi:
1. Konversi bahan organik terlarut dan kolodial dalam air
limbah menjadi serat-serat biologis dan menjadi produk
akhir.
2. Pembuangan selanjutnya dari serat-serat sel, biasanya
dengan cara pengendapan gravitasi (Tchobanoglous,1991).
Walapun konversi biologis dapat dilaksanakan baik dengan
cara aerobik (dengan adanya oksigen) maupun anaerobik (tanpa
adanya oksigen), tetapi biasanya dipergunakan konversi
aerobik karena laju konversinya jauh lebih cepat daripada
untuk konversi anaerobik. Konversi biologis dari bahan
organik oleh organisme mikro yang terapung dilaksanakan
dalam tangki-tangki yang disebut reaktor
(Tchobanoglous,1991). Dua jenis yang paling umum adalah
reaktor aliran gabus (PFR) dan rektor taangki berpengaduk
dengan aliran tetap (CFSTR). Salah satu pengolahan biologis
pertumbuhan terapung aerobik yang paling terkenal adalah
proses lumpur yang diaktifkan.
A. Proses lumpur yang diaktifkan
Proses lumpur aktif adalah proses biologik aerobik yang
dapat digunakan untuk menangani berbagai jenis limbah (Rahayu,
1993). Pada proses lumpur yang diaktifkan, air limbah yang tak
diolah atau yang diendapkan dicampur dengan lumpur yang
diaktifkan balik, yang volumenya 20 hingga 50 persen dari
volumenya sendiri. Campuran itu akan memasuki suatu tangki
aerasi dimana organisme dan air limbah dicampur bersama dengan
sejumlah besar udara. Pada kondisi ini, organisme akan
mengoksidasikan sebagian dari bahan limbah organik menjadi
karbon dioksida dan air, kemudian mensintesakan bagian yang
lain menjadi sel-sel mikrobial yang baru (Tchobanoglous,1991).
Campuran itu lalu memasuki suatu kolam pengendapan di mana
organisme flokulan mengendap dan dibuang dari aliran buangan.
Organisme yang terendapkan atau lumpur yang diaktifkan
kemudian dikembalikan lagi ke ujung hulu dari tangki aerasi
untuk dicampur lagi dengan air limbah .
Buangan dari instalasi lumpur aktif yang dioperasikan
dengan baik mempunyai mutu yang sangat tinggi, biasanya
mempunyai BOD yang lebih rendah daripada yang dihasilkan
oleh filter tetesan. BOD dan konsentrasi bahan padat terapung
dalam buangan ini berkisar antara 10 dan 20mg/l untuk kedua
kandungan tersebut.
Kolam aerasi biasanya memiliki kedalaman 3 hingga 5m dan
kira-kira lebarnya 6m. Panjangnya tergantung pada waktu
penahanan, yang umumnya bervariasi dari 4 hingga 8 jam untuk
air perkotaan. Dari ruang aerasi bahan buangan akan mengalir
ke kolam pengendapan akhir dengan jangka waktu penahanan
selama kira-kira 2 jam. Salah satu masalah yang paling berat
pada proses lumpur yang diaktifkan adalah fenomena yang
disebut penggumpalan, di mana lumpur dari tangki aerasi tidak
mau mengendap. Bila terjadi penggumpalan yang luar biasa,
sebagian bahan padat terapung dari aerator akan dialirkan
dalam buangan . Keuntungan utama dari proses lumpur yang
diaktifkan adalah karena dapat menghasilkan buangan yang
bermutu tinggi dengan kebutuhan luas instalasi pengolahan yang
minimum. Biaya awal lebih kecil daripada untuk instalasi
filter tetesan, tetapi biaya operasinya lebih besar karena
kebutuhan energi dari kompresor udara dan pompa-pompa
sirkulasi lumpur .
BAB II
PROSES PENGOLAHAAN
II. PROSES LUMPUR AKTIF
2.1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional
Proses Lumpur Aktif Konvensional dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional
2.1.1 Tangki aerasi
Oksidasi aerobik material organik dilakukan dalam tangki
ini. Efluent pertama masuk dan tercampur dengan Lumpur Aktif Balik
(Return Activated Sludge =RAS) atau disingkat LAB membentuk lumpur campuran
(mixed liqour), yang mengandung padatan tersuspensi sekitar 1.500 -
2.500 mg/l. Aerasi dilakukan secara mekanik. Karakteristik dari
proses lumpur aktif adalah adanya daur ulang dari biomassa. Keadaan
ini membuat waktu tinggal rata-rata sel (biomassa) menjadi lebih
lama dibanding waktu tinggal hidrauliknya (Sterritt dan Lester,
1988). Keadaan tersebut membuat sejumlah besar mikroorganisme
mengoksidasi senyawa organik dalam waktu yang singkat. Waktu tinggal
dalam tangki aerasi berkisar 4 - 8 jam.
2.1.2 Tangki Sedimentasi
Tangki ini digunakan untuk sedimentasi flok mikroba
(lumpur) yang dihasilkan selama fase oksidasi dalam tangki aerasi.
Seperti disebutkan diawal bahwa sebaghian dari lumpur dalam tangki
penjernih didaur ulang kembali dalam bentuk LAB kedalam tangki
aerasi dan sisanya dibuang untuk menjaga rasio yang tepat antara
makanan dan mikroorganisme (F/M Ratio).
2.1.3 Parameter
Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis
dan Cornwell, 1985; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah
sebagai berikut:
1. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem
lumpur aktif disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan
sebagai lumpur campuran. MLSS adalah jumlah total dari
padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral,
termasuk didalamnya adalah mikroorganisma. MLSS ditentukan
dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring
(filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur 1050C,
dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
2. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik
pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik
bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel
(Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan
terus sampel filter yang telah kering pada 600 - 6500C, dan
nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.
3. Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan
indikasi beban organik yang masuk kedalam sistem lumpur aktif
dan diwakili nilainya dalam kilogram BOD per kilogram MLSS
per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986). Adapun
formulasinya sebagai berikut :
F/M = Q x BOD5
MLSS x V
dimana :
Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)
BOD5 = BOD5 (mg/l)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l)
V = Volume tangki aerasi (Gallon)
Rasio F/M dikontrol oleh laju sirkulasi lumpur aktif.
Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula
rasio F/M-nya. Untuk tangki aerasi konvensional rasio F/M
adalah 0,2 - 0,5 lb BOD5/hari/lb MLSS, tetapi dapat lebih
tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer,
1986). Rasio F/M yang rendah mencerminkan bahwa
mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar,
semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien.
4. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah
waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk
dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya
berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D) (Sterritt dan
Lester, 1988).
HRT = 1/D = V/ Q
dimana :
V = Volume tangki aerasi
Q = Laju influent air limbah ke dalam tangki aerasi
D = Laju pengenceran.
5. Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-
rata mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu
dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi
dapat dalam hari lamanya. Parameter ini berbanding terbalik
dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dihitung dengan
formula sebagai berikut (Hammer, 1986; Curds dan Hawkes,
1983) :
Umur Lumpur (Hari) = MLSS x V
SSe x Qe + SSw X Qw
dimana :
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l).
V = Volume tangki aerasi (L)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe = Laju effluent limbah (m3/hari)
Qw = Laju influent limbah (m3/hari).
Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam
konvensional lumpur aktif. Pada musim dingin lebih lama
dibandingkan musim panas (U.S. EPA, 1987a). Parameter penting
yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah laju pemuatan
organik, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi tangki
pengendapan akhir. Tangki ini mempunyai dua fungsi: penjernih
dan penggemukan mikroba. Untuk operasi rutin, orang harus
mengukur laju pengendapan lumpur dengan menentukan indeks
volume lumpur (SVI), Voster dan Johnston, 1987.
II. PROSES LUMPUR AKTIF
2.2. Modifikasi Proses Lumpur Aktif Konvensional
Gambar 2. Modifikasi proses lumpur aktif.
2.2.1 Sistem Aerasi Lanjutan
Proses ini dipakai dalam instalasi paket pengolahan
dengan cara sebagai berikut :
1. Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem
konvensional. Usia lumpur juga lebih lama dan dapat
diperpanjang sampai 15 hari.
2. Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu
dalam pengendapan primer.
3. Sistem beroperasi dalam F/M ratio yang lebih rendah (umumnya
<0,1 lb BOD/hari/lb MLSS) dari sistem konvensional (0,2 -
0,5 lb BOD/hari/lb MLSS).
4. Sistem ini membutuhkan membutuhkan sedikit aerasi
dibandingkan dengan pengolahan konvensional dan terutama
cocok untuk komunitas yang kecil yang menggunakan paket
pengolahan.
2.2.2 Selokan Oksidasi (Oxidation Ditch)
Selokan oksidasi terdiri dari saluran aerasi yang
berbentuk oval yang dilengkapi dengan satu atau lebih rotor rotasi
untuk aerasi limbah. Saluran ini menerima limbah yang telah disaring
dan mempunyai waktu tinggal hidraulik (hidraulic retention time) mendekati
24 jam.
2.2.3 Aerasi Bertingkah
Limbah hasil dari pengolahan primer (pengendapan) masuk dalam
tangki aerasi melalui beberapa lubang atau saluran, sehingga
meningkatkan distribusi dalam tangki aerasi dan membuat lebih
efisien dalam penggunaan oksigen. Proses ini dapat meningkatkan
kapasitas sistem pengolahan.
2.2 .4 Stabilisasi Kontak
Setelah limbah dan lumpur bercampur dalam tangki reaktor
kecil untuk waktu yang singkat (20-40 menit), aliran campuran
tersebut dialirkan ke tangki penjernih dan lumpur dikembalikan ke
tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4 - 8 jam. Sistem ini
menghasilkan sedikit lumpur.
2.2.5 Sistem Aerasi Campuran
Pada sistem ini limbah hanya diaerasi dalam tangki aerasi
secara merata. Sistem ini dapat menahan shock load dan racun.
2.2.6 Lumpur Aktif Kecepatan Tinggi
Sistem ini digunakan untuk mengolah limbah konsentrasi
tinggi dan dioperasikan untuk beban BOD yang sangat tinggi
dibandingkan proses lumpur aktif konvensional. Proses ini mempunyai
waktu tinggal hidraulik sangat singkat. Sistem ini beroperasi pada
konsentrasi MLSS yang tinggi.
2.2.7 Aerasi Oksigen Murni
Sistem aerasi dengan oksigen murni didasarkan pada
prinsip bahwa laju tranfer oksigen lebih tinggi pada oksigen murni
dari pada oksigen atmosfir. Proses ini menghasilkan kemampuan
oksigen terlarut menjadi lebih tinggi, sehingga meningkatkan
efisiensi pengolahan dan mengurangi produksi lumpur.
2.3. Biologi Lumpur Aktif
Dua tujuan dari sistem lumpur aktif pertama adalah
oksidasi material organik yang biodegradable dalam tangki aerasi
kemudian dikonversi menjadi bentuk sel yang baru, kedua flokulasi,
memisahkan biomassa yang baru terbentuk dari air effluent.
2.3.1 Bakteri
Bakteri merupakan unsur utama dalam flok lumpur aktif. Lebih
dari 300 jenis bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif.
Bakteri tersebut bertanggung jawab terhadap oksidasi material
organik dan tranformasi nutrien, dan bakteri menghasilkan
polisakarida dan material polimer yang membantu flokulasi biomassa
mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah : Zooglea, Pseudomonas,
Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter, Corynebacterium, Comomonas,
Brevibacterium, dan Acinetobacter, disamping itu ada pula mikroorganisme
berfilamen, yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa, Vitreoscilla yang dapat
menyebabkan sludge bulking.
Karena tingkat oksigen dalam difusi terbatas, jumlah
bakteri aktif aerobik menurun karena ukuran flok meningkat (Hanel,
1988). Bagian dalam flok yang relatif besar membuat kondisi
berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen. Kehadiran
metanogen dapat dijelaskan dengan pembentukan beberapa kantong
anaerobik didalam flok atau dengan metanogen tertentu terhdap
oksigen (Wu et al., 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup baik
dan cocok untuk material bibit bagi pengoperasian awal reaktor
anaerobik.
Tabel 1. Distribusi Bakteri Heteropik Aerobik Dalam Lumpur Aktif
Standard
(Hiraishi et al. (1989).
GENUS
KELOMPOK
PERSENTASI
DARI TOTAL ISOLAT
Comamonas-Pseudomonas 50
Alkaligenes 5,8
Pseudomonas (Kelompok
Florescent)1,9
Paracoccus 11,5
Unidentified (gram negative
rods) 1,9
Aeromomas 1,9
Flavobacterium – Cytophaga 13,5
Bacillus 1,9
Micrococcus 1,9
Coryneform 5,8
Arthrobacter 1,9
Aureobacterium-Microbacterium 1,9
Jumlah total bakteri dalam lumpur aktif standard adalah
108 CFU/mg lumpur. Tabel 1. menunjukkan beberapa genus bakteri yang
ditemui dalam standard lumpur aktif. Sebagian besar bakteri yang
diisolasi diidentifikasi sebagai spesies-spesies Comamonas-
Psudomonas.
Caulobacter, bakteri bertangkai umumnya ditemukan dalam air yang
miskin bahan organik, dapat diisolasi dari kebanyakan pengolahan
limbah, khususnya lumpur aktif (MacRae dan Smit, 1991).
Zoogloea adalah bakteri yang menghasilkan exopolysaccharide yang
membentuk proyeksi khas seperti jari tangan dan ditemukan dalam air
limbah dan lingkungan yang kaya bahan organik (Norberg dan Enfors,
1982; Unz dan Farrah, 1976; Williams dan Unz, 1983). Zoogloea
diisolasi dengan menggunakan media yang mengandung m-butanol, pati,
atau m-toluate sebagai sumber karbon. Bakteri ini ditemukan dalam
berbagai tahap pengolahan limbah tetapi jumlahnya hanya 0,1-1% dari
total bakteri dalam mixed liqour (Williams dan Unz, 1983). Kepentingan
relatif bakteri ini dalam air limbah membutuhkan penelitian lebih
lanjut.
Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri
autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat
merubah amonia menjadi nitrat dan bakteri fototrofik seperti bakteri
ungu non sulfur (Rhodospilrillaceae), yang dapat dideteksi pada
konsentrasi sekitar 105 sel/ml. Bakteri ungu dan hijau ditemukan
dalam jumlah yang sangat kecil. Barangkali, bakteri fototrofik hanya
sedikit berperan dalam penurunan nilai BOD dalam lumpur aktif
(Madigan, 1988; Siefert et al., 1978).
2.3.2 Fungi
Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun
beberapa fungi berfilamen kadang-kadang ditemukan dalam flok lumpur
aktif. Fungi dapat tumbuh pesat dibawah kondisi pH yang rendah,
toksik, dan limbah yang kekurangan nitrogen. Genus yang dominan
ditemukan dalam lumpur aktif adalah Geotrichum, Penicillium, Cephalosporium,
Cladosporium, dan Alternaria (Pipes dan Cooke, 1969; Tomlinson dan
Williams, 1975). Lumpur ringan (Sludge Bulking) dapat dihasilkan oleh
pertumbuhan yang pesat Geotrichum candidum, yang dirangsang oleh pH
rendah dari limbah yang asam.
2.3.4 Protozoa
Protozoa adalah significant predator dalam lumpur aktif seperti
dalam lingkungan akuatik alam (Curds, 1982; Drakides, 1980; Fenchel
dan Jorgensen, 1977; LaRiviere, 1977). Pemakanan bakteri oleh
protozoa dapat ditentukan dengan eksperimen pemakanan bakteri yang
telah diberi 14C atau 35C atau flouresen (Hoffmann dan Atlas, 1987;
Sherr et al, 1987). Pemakanan bakteri tersebut dapat mereduksi
toksikan. Contoh, Aspidisca costata yang memakan bakteri dalam lumpur
aktif dapat menurunkan Kadmium (Hoffmann dan Atlas, 1987). Protozoa
paling sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Carchesium,
Paramecium sp, Opercularia sp, Chilodenella sp, Vorticella sp, Apidisca sp (Dart dan
Stretton, 1980, Edeline, 1988; Eikelboom dan van Buijsen, 1981).
Cilliata. Siliata atau bulu getar digunakan untuk pergerakan
dan mendorong partikel makanan kedalam mulut . Siliata dibagi
menjadi tiga, yaitu : Siliata bebas (free), merayap (creeping), dan
bertangkai (stalked). Siliata bebas (tidak terikat) memakan bakteri
bebas yang terbang. Genus yang paling penting sering ditemukan dalam
lumpur aktif adalah Chilodonella, Colpidium, Blepharisma, Euplotes, Paramecium,
Lionotus, Trachelophyllum, dan Spirostomum. Siliata merayap memakan bakteri
yang berada dipermukaan flok lumpur aktif. Dua genus penting,
yaitu : Aspidisca dan Euplotes. Cilitas bertangkai menempel tangkainya
pada flok. Tangkai mempunyai myoneme untuk menangkap mangsa. Contoh
siliata bertangkai adalah Vorticella, Carchesium, Opercularia, dan Epistylis.
2.3.5 Rotifers
Rotifers adalah metazoa (organisme bersel banyak) dengan ukuran
bervariasi dari 100 mm - 500 m m. Tubuhnya menancap pada partikel
flok dan sering tercabut dari permukaan flok (Doohan, 1975;
Eikelboom dan van Buijsen, 1981). Rotifers ditemukan dalam instalasi
pengolahan air limbah termasuk dua orde pertama, Bdelloidea
(contoh : Philodina spp., Habrotrocha spp.) dan Monogononta
(contoh : Lecane spp., Notommata spp.). Peranan rotifers dalam
lumpur aktif adalah : (1) menghilangkan bakteri tersuspensi
(contoh : bakteri yang tidak membentuk flok; (2) memberi kontribusi
terhadap pembentukan flok melalui pelet kotoran yang dikelilingi
oleh mukus. Kehadiran rotifers dalam tahap akhir pengolahan limbah
sistem lumpur aktif dikarenakan kenyataan bahwa hewan ini mempunyai
siliata yang kuat yang menolong dalam mencari makan dan menurunkan
jumlah bakteri tersuspensi (membuat air lebih jernih) dan aksi
siliatanya lebih kuat dibandingkan protozoa.
2.4. Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi
Air limbah domestik mempunyai rasio C:N:P sebesar 100 : 5 : 1,
yang mencukupi untuk kebutuhan sebagian besar mikroorganisme. Bahan
organik dalam air limbah terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan
fraksi partikel. Bahan organik terlarut sebagai sumber makanan bagi
mikroorganisme heterotrophik dalam mixed liquor. Bahan organik ini
cepat hilang oleh adsorpsi dan proses flokulasi, dan juga oleh
absorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme. Aerasi dalam beberapa jam
dapat membuat perubahan dari BOD terlarut menjadi biomassa
mikrobial. Aerasi mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi
mikroorganisme aerobik, dan (2) menjaga lumpur aktif agar selalu
konstan teragitasi untuk melaksanakan kontsak yang cukup antara flok
dengan air limbah yang baru datang pada sistem pengolahan limbah.
Konsentrasi oksigen yang cukup juga diperlukan untuk aktifitas
mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik, khususnya bakteri
nitrit. Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l. Proses
nitrifikasi berhenti jika oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l (Dart
dan Stretton, 1980). Curds dan Hawkes (1983) membuat ringkasan
reaksi degradasi dan biosintesis yang terjadi dalam tangki aerasi
dalam proses lumpur aktif (Gambar 5).
Gambar 5. Penghilangan Bahan Organik Dalam Proses Lumpur Aktif
2.5. Pengendapan Lumpur
Campuran air dan lumpur (mixed liqour) dipindahkan dari
tangki aerasi ke tangki pengendapan, tempat lumpur dipisahkan dari
air yang telah diolah. sebagian lumpur aktif dikembalikan ke tangki
aerasi dan sebagian lagi dibuang dan dipindahkan ke pengolahan
aerobik. Sel mikrobial terjadi dalam bentuk agregat atau flok,
densitasnya cukup untuk mengendap dalam tangki penjernih.
Pengendapan lumpur tergantung ratio F/M dan umur lumpur. Pengendapan
yang baik dapat terjadi jika lumpur mikroorganisme berada dalam fase
endogeneous, yang terjadi jika karbon dan sumber energi terbatas dan
jika pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan lumpur yang baik dapat
terjadi pada rasio F/M yang rendah (contoh : tingginya konsentrasi
MLSS). Sebaliknya, Rasio F/M yang tinggi mengakibatkan pengendapan
lumpur yang buruk.
Dalam airlimbah pemukiman, rasio F/M yang optimum antara
0,2 dan 0,5 (Gaudy dan Gaudy, 1988; Hammer, 1986). Rata-rata waktu
tinggal sel yang diperlukan untuk pengendapan yang efektif adalah 3
- 4 hari (Metcalf dan Eddy, 1991). Pengendapan yang tidak baik dapat
terjadi akibat gangguan yang tiba-tiba pada parameter fisik (suhu
dan pH), kekurangan makanan (contoh N, suhu, mikronutrien), dan
kehadiran zat racun (seperti logam berat) yang dapat menyebabkan
hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989). Cara
konvensional untuk monitoring pengendapan lumpur adalah dengan
menentukan Indeks Volume Sludge (Sludge Volume Index = SVI). Caranya
adalah sebagai berikut : Lumpur campuran dari tangki aerasi
dimasukkan dalam silinder volume 1 liter dan dibiarkan selama 30
menit. Volume sludge dicatat. Volume lumpur yang mengendap adalah
SV, MLSS adalah mixed liqour suspended solid (mg/l). Dalam
pengolahan lumpur yang konvensional (MLSS < 3 50 0 mg/l) nilai SVI
berkisar 50 - 150 ml/g.
2.6. Pengolah Limbah
SVI (ml/g) = SV x 1.000
MLSS
Indonesia dalam satu dasa warsa ini dikenal sebagai
penghasil tekstil yang besar disamping India dan Pakistan. Dalam
proses produksi industri tekstil banyak menggunakan bahan kimia dan
air. Bahan kimia yang digunakan antara lain untuk proses pencucian,
pemutihan, dan pewarnaan. Akibat dari itu pencemaran lingkungan
menjadi masalah bagi masyarakat yang tinggal disekitar industri
tekstil. Mengingat pentingnya industri tekstil sebagai penghasil
devisa negara dan perlunya perlindungan lingkungan, maka diperlukan
adanya teknologi pengolah limbah tekstil yang handal. Salah satu
contoh pengolahan limbah tekstil yang hingga saat ini beroperasi
adalah pengolahan limbah tekstil milik P.T. Unitex di Bogor.
Gagasan unit pengolah limbah tekstil di PT. Unitek lahir
dari Presiden Direktur Mr. S. Okabe karena pada tahun tersebut belum
ada perusahaan yang dapat dijadikan contoh dalam pengolahan air
limbah. Kemudian rancang bangunnya dilaksanakan oleh perusahaan
induknya di Jepang, yaitu Unitika Ltd. Dalam perkembangan
selanjutnya terus mengalami perbaikan dan penambahan sejalan dengan
peningkatan produk. Proses produksinya meliputi pemintalan (spinning),
pertenunan (weaving), pencelupan (dyeing) dan penyelesaian akhir
(finishing). Pada umumnya polutan yang terkandung dalam limbah industri
tekstil dapat berupa padatan tersuspensi, padatan terlarut serta gas
terlarut. Karakteristik limbah pada umumnya bersifat alkalis (pH =
7), suhunya tinggi serta berwarna pekat. Untuk menghilangkan polutan
tersebut, diperlukan pengolahan yang dapat memisahkan dan
menghancurkan polutan yang terkandung didalamnya.
BAB III
TAHAPAN
III .THAPAN
Instalasi Pengelolaan Air Limbah PT. Unitek dibangun
Tahun 1988 di atas tanah seluas 4000 m2, dan mampu mengolah limbah
tekstil lebih dari 2000 m3/hari. Proses pengolahan air limbah PT.
Unitek terbagi atas tiga tahap pemrosesan, yaitu :
1. Proses primer yang meliputi penyaringan kasar, penghilangan
warna, ekualisasi, penyaringan halus, pendinginan.
2. Proses sekunder yang meliputi proses biologi dan sedimentasi.
3. Proses tersier yang merupakan tahap lanjutan dengan penambahan
bahan kimia.
Melalui upaya pengelolaan yang telah dilakukan, maka air
limbah yang dibuang tidak akan mencemari lingkungan. Biaya investasi
pembangunan instalasi ini hanya sekitar 2% dari total investasi atau
sekitar 2,5 milyard rupiah. Sistem pengolah limbah yang digunakan
merupakan perpaduan antara proses fisika, kimia, dan biologi. Proses
yang berperan dalam pengurangan bahan pencemar adalah proses biologi
yang menggunakan sistem lumpur aktif dengan aerasi lanjutan (extended
aeration).
Selain limbah cair terdapat pula limbah padat yang berupa
lumpur, hasil samping dari sistem pengolahan yang digunakan. Lumpur
hasil olahan digunakan sebagai bahan campuran pembuatan conblock dan
batako press serta pupuk organik. Hal ini merupakan salah satu
alternatif dan langkah lebih maju dari PT. Unitek dalam memanfaatkan
kembali limbah padat.
Gambar 6. Unit Pengolah Limbah Tekstil Kapasitas 200 m3/hari.
Gambar 7. Bak penampung yang masih panas.
Gambar 8. Bak pengendap pertama
Gambar 9. Pemberian koagulan (ferro sulfat) untuk menghilangkan
warna
Gambar 10. Bak pengendap (clarifier) setelah diberi koagulan ferro
sulfat.
Gambar 11. Menara pendingin (Colling Tower) sebelum air masuk ke
dalam bak aerasi.
Gambar 12. Bak aerasi tahap petama
Gambar 13. Lumpur aktif dari bak pengendap akhir dikembalikan ke bak
aerasi tahap pertama.
Gambar 14. Bak pengendap akhir
Gambar 15. Contoh air di bak pengendap akhir.
Gambar 16. Air hasil olahan sebelum dibuang ke lingkungan.
Gambar 17. Bioassay
BAB IV
PENGOLAHAAN
IV. CARA PENGOLAHAAN
Urutan proses pengolahan limbah di industri testil secara
garis besar dibagi dalam 5 unit proses yang meliputi proses primer,
sekunder, dan tersier, yaitu :
Unit 1 : adalah proses penghilangan warna dengan sistem
koagulasi dan sedimentasi.
Unit 2 : adalah proses penguraian bahan organik yang terkandung
di dalam air limbah dengan sistem lumpur aktif.
Unit 3 : adalah proses pemisahan air yang telah bersih dengan
lumpur aktif dari kolam aerasi.
Unit 4 : adalah proses penghilangan padatan tersuspensi setelah
pengendapan.
Unit 5 : adalah proses pemanfaatan lumpur padat setelah
pengepresan di belt press.
4.1. Proses Pengolahan Limbah
Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi menjadi tiga tahap
pemrosesan, yaitu :
1. Proses primer, Proses primer merupakan perlakuan pendahuluan
yang meliputi : a). Penyaringan kasar,
b). Penghilangan warna,
c). Ekualisasi,
d). Penyaringan halus, dan
e). Pendinginan.
2. Proses sekunder, Proses biologi dan sedimentasi.
3. Proses tersier, merupakan tahap lanjutan setelah proses
biologi dan sedimentasi.
Tabel 2. Dimensi, Debit Air Masuk, dan Waktu Tinggal
dari masing-masing Unit Pengolah Limbah Cair PT. UNITEX.
Unit
Penanganan
Jumla
h
Vol
Tangki
(m3)
Total Vol
(m3)
Debit
(m3/hari
)
Waktu
Retens
i
Kolam
equalisasi
Limbah air
warna
2
59 + 56
115
1200
2.3
jam
Limbah air
umum
1 653 653 1800 8.7
jam
Tangki
Koagulasi I
1 3.1 3.6 720 7.2
menit
Tangki
Sedimentasi I
2 14.2 28.4 720 25
menit
Kolam Aerasi 3 2(1250) +
925
3425 3000 27.4
jam
Tangki
Sedimentasi
II
1 407 407 3394 2.9
jam
Tangki 1 6 6 3394 2.5
Koagulasi II menit
Tangki
Intermeadiat
1 57 57 3394 24
menit
Tangki
Sedimentasi
III
1 178 178 3394 1.26
jam
Kolam Ikan 1 15 15 3394 6.4
menit
Gambar 19. Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif PT. UNITEX
4.2 DIAGRAM ALIR PENDOLAHAAN LIMBAH INDUSTRI TESTIL
4.3 Proses Primer
4.3.1 Penyaringan Kasar
Air limbah dari proses pencelupan dan pembilasan dibuang
melalui saluran pembuangan terbuka menuju pengolahan air
limbah. Saluran tersebut terbagi menjadi dua bagian, yakni
saluran air berwarna dan saluran air tidak berwarna. Untuk
mencegah agar sisa-sisa benang atau kain dalam air limbah
terbawa pada saat proses, maka air limbah disaring dengan
menggunakan saringan kasar berdiameter 50 mm dan 20 mm.
4.3.2 Penghilangan Warna
Limbah cair berwarna yang berasal dari proses pencelupan
setelah melewati tahap penyaringan ditampung dalam dua bak
penampungan, masing-masing berkapasitas 64 m3 dan 48 m3, air
tersebut kemudian dipompakan ke dalam tangki koagulasi pertama
(volume 3,1 m3) yang terdiri atas tiga buah tangki, yaitu :
Pada tangki pertama ditambahkan koagulasi FeSO4 (Fero Sulfat)
konsentrasinya 600 - 700 ppm untuk pengikatan warna.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki kedua dengan ditambahkan
kapur (lime) konsentrasinya 150 - 300 ppm, gunanya untuk
menaikkan pH yang turun setelah penambahan FeSO4. Dari tangki
kedua limbah dimasukkan ke dalam tangki ketiga pada kedua
tangki tersebut ditambahkan polimer berkonsentrasi 0,5 - 0,2
ppm, sehingga akan terbentuk gumpalan-gumpalan besar (flok) dan
mempercepat proses pengendapan.
Setelah gumpalan-gumpalan terbentuk, akan terjadi
pemisahan antara padatan hasil pengikatan warna dengan cairan
secara gravitasi dalam tangki sedimentasi. Meskipun air hasil
proses penghilangan warna ini sudah jernih, tetapi pH-nya masih
tinggi yaitu 10, sehingga tidak bisa langsung dibuang ke
perairan. Untuk menghilangkan unsur-unsur yang masih terkandung
didalamnya, air yang berasal dri koagulasi I diproses dengan
sistem lumpur aktif. Cara tersebut merupakan perkembangan baru
yang dinilai lebih efektif dibandingkan cara lama yaitu air
yang berasal dari koagulasi I digabung dalam bak ekualisasi.
Tabel 3. Hasil pengamatan konsentrasi, debit, dan laju penambahan
koagulan
dan flokulan terhadap limbah air warna (Rapto, 1996)
Agent Konsentras
i (kg/l)
Debit
(l/jam)
Laju Penambahan
(kg/jam)
Fe SO4 0.21 13.28 2.84
Lime 0.11 806.76 86.44
Polimer ANP-
102. 10-4 561.60 0.11
Tabel 4. Efisiesi removal proses koagulasi dan flokulasi air limbah
warna
Tahun 1994 (Rapto, 1996)
ParameterInlet
(mg/l)
Outlet
(mg/l)
Efisiensi
removal (%)
TSS 132.33 17.33 86.9
BOD5 266.12 54.92 79.4
COD 432.33 112.00 74.1
DO 0.4 0.25 37.5
4.3.3. Ekualisasi
Bak ekualisasi atau disebut juga bak air umum
memiliki volume 650 m3 menampung dua sumber pembuangan yaitu
limbah cair tidak berwarna dan air yang berasal dari mesin
pengepres lumpur. Kedua sumber pembuangan pengeluarkan air
dengan karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu untuk
memperlancar proses selanjutnya air dari kedua sumber ini
diaduk dengan menggunakan blower hingga mempunyai karakteristik
yang sama yaitu pH 7 dan suhunya 32oC. Sebelum kontak dengan
sistem lumpur aktif, terlebih dahulu air melewati saringan
halus dan cooling tower, karena untuk proses aerasi memerlukan
suhu 32oC. Untuk mengalirkan air dari bak ekualisasi ke bak
aerasi digunakan dua buah submerble pump atau pompa celup (Q=
60 m3/jam).
4.3.4 Saringan Halus (Bar Screen f = 0,25 in)
Air hasil ekualisasi dipompakan menuju saringan
halus untuk memisahkan padatan dan larutan, sehingga air limbah
yang akan diolah bebas dari padatan kasar berupa sisa-sisa
serat benang yang masih terbawa.
4.3.5 Cooling Tower
Karakteristik limbah produksi tekstil umumnya
mempunyai suhu antara 35-40oC, sehingga memerlukan pendinginan
untuk menurunkan suhu yang bertujuan mengoptimalkan kerja
bakteri dalam sistem lumpur aktif. Karena suhu yang diinginkan
adalah berkisar 29-30oC.
4.4 Proses Sekunder
4.4.1 Proses Biologi
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. Unitek
memiliki tiga bak aerasi dengan sistem lumpur aktif, yang
pertama berbentuk oval mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan bentuk persegi panjang. Karena pada bak oval tidak
memerlukan blower sehingga dapat menghemat biaya listrik, selain
itu perputaran air lebih sempurna dan waktu kontak bakteri
dengan limbah lebih merata serta tidak terjadi pengendapan
lumpur seperti layaknya terjadi pada bak persegi panjang.
Kapatas dari ketiga bak aerasi adalah 2175 m3. Pada masing-
masing bak aerasi ini terdapat sparator yang mutlak diperlukan
untuk memasok oksigen ke dalam air bagi kehidupan bakteri.
Parameter yang diukur dalam bak aerasi dengan sistem lumpur
aktif adalah DO, MLSS, dan suhu. Dari pengalaman yang telah
dijalani, parameter-parameter tersebut dijaga sehingga
penguraian polutan yang terdapat dalam limbah dapat diuraikan
semaksimal mungkin oleh bakteri. Oksigen terlarut yang
diperlukan berkisar 0,5 – 2,5 ppm, MLSS berkisar 4000 – 6000
mg/l, dan suhu berkisar 29 – 30oC.
4.4.2 Proses Sedimentasi
Bak sedimentasi II (volume 407 m3) mempunyai bentuk bundar
pada bagian atasnya dan bagian bawahnya berbentuk kronis yang
dilengkapi dengan pengaduk (agitator) dengan putaran 2 rph.
Desain ini dimaksudkan untuk mempermudah pengeluaran endapan
dari dasar bak. Pada bak sedimentasi ini akan terjadi settling
lumpur yang berasal dari bak aerasi dan endapan lumpur ini harus
segera dikembalikan lagi ke bak aerasi (return sludge=RS),
karena kondisi pada bak sedimentasi hampir mendekati anaerob.
Besarnya RS ditentukan berdasarkan perbandingan nilai MLSS dan
debit RS itu sendiri. Pada bak sedimentasi ini juga dilakukan
pemantauan kaiment (ketinggian lumpur dari permukaan air) dan
MLSS dengan menggunakan alat MLSS meter.
4.5 Proses Tersier
Pada proses pengolahan ini ditambah bahan kimia, yaitu
Alumunium Sulfat (Al2(SO4)3), Polimer dan Antifoam (Silicon Base);
untuk mengurangi padatan tersuspensi yang masih terdapat dalam air.
Tahap lanjutan ini diperlukan untuk memperoleh kualitas air yang
lebih baik sebelum air tersebut dibuang ke perairan.
Air hasil proses biologi dan sedimentasi selanjutnya
ditampung dalam bak interdiet (Volume 2m3) yang dilengkapi dengan
alat yang disebut inverter untuk mengukur level air, kemudian
dipompakan ke dalam tangki koagulasi (volume 3,6 m3) dengan
menggunakan pompa sentrifugal. Pada tangki koagulasi ditambahkan
alumunium sulfat (konsentrasi antara 150 – 300 ppm) dan polimer
(konsentrasi antara 0,5 – 2 ppm), sehingga terbentuk flok yang mudah
mengendap. Selain kedua bahan koagulan tersebut juga ditambahkan
tanah yang berasal pengolahan air baku (water teratment) yang
bertujuan menambah partikel padatan tersuspensi untuk memudahkan
terbentuknya flok.
Pada tangki koagulasi ini terdapat mixer (pengaduk) untuk
mempercepat proses persenyawaan kimia antara air dan bahan koagulan,
juga terdapat pH kontrol yang berfungsi untuk memantau pH effluent
sebelum dikeluarkan ke perairan. Setelah penambahan koagulan dan
proses flokulasi berjalan dengan sempurna, maka gumpalan-gumpalan
yang berupa lumpur akan diendapkan pada tangki sedimentasi III
(volume = 178 m3). Hasil endapan kemudian dipompakan ke tangki
penampungan lumpur yang selanjutnya akan diolah dengan belt press
filter machine.
4.6 HASIL YANG PERNAH DICAPAI
Sebagai gambaran hasil proses dari Unit Pengolah Limbah
Tekstil tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Hasil Pengamatan Konsentrasi, Debit, dan Laju Penambahan
Koagulan dan Flokulan Pada Tangki Koagulasi II, tahun 1994 (Rapto,
1996).
AgentKosentrasi
(kg/l)
Debit
(l/jam)
Laju
Penambahan
(kg/jam)
Al2(SO4)3 0.30 128.95 38.69
Polimer
ANP-105. 10-4 53.21 0.03
Tabel 6. Efisiensi Removal Proses Koagulan dan Flokulasi Air Limbah
Pada Penanganan Tersier, Tahun 1994 (Rapto, 1996).
Paramet
erInlet (mg/l)
Outlet
(mg/l)
Efisiensi
Removal (%)
TSS 22.00 9.00 59.10
BOD5 46.69 25.09 46.30
COD 93.33 50.09 46.30
4.7 Parameter Pantau
4.7.1 Kimia
1. COD (Chemical Oxygen Demand) : Jumlah oksigen (ppm O2) yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi K2Cr2O7 yang digunakan sebagai
sumber oksigen (oxidizing agent).
2. BOD (Biochemical Oxygen Demand) : Suatu analisis empiris
yang mencoba mendekati secara global proses-proses
mikrobiologi yang benar-benar terjadi didalam air. Angka
BOD adalah jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan oleh
bakteri untuk mengoksidasi hampir semua zat organis yang
terlarut dan sebagian zat organis yang tersuspensi dalam
limbah cair.
3. DO (Dissolved Oksigen) : Jumlah oksigen (ppm O2) yang
terlarut dalam air dan merupakan kebutuhan mutlak bagi
mikroorganisma (khususnya bakteri) dalam menguraikan zat
organik.
4. pH (Derajat Keasaman) : Didefinisikan sebagai pH = - log
(H+) yang menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan.
4.7.2 Fisika
1. MLSS (Mixed Liqour Suspended Solid) : Jumlah seluruh
padatan tersuspensi dalam suatu cairan (ppm) yang
menggambarkan kepekatan lumpur pada kolam aerasi khususnya.
2. SV30 (Sludge Volume = 30) : Lumpur yang mengendap secara
gravitasi selama 30 menit (%) yang menunjukkan tingkat
kelarutan oksigen dalam lumpur aktif.
4.7. 3 Biologi
Parameter biologi yang diamati berupa mikroorganisme
predator bakteri, diantaranya prozoa dan avertebrata lainnya.
4.8 Kualitas Influen dan Efluen IPAL PT UNITEX
Efisiensi sistem IPAL PT. Unitex cuiup tinggi, terutama
untuk TSS, BOD dan FE. Hanya sayang dalam analisis keberhasilan
sistem lumpur aktif menjadi sulit karena parameter MLSS, MVSS, SVI
dan mikrobiologinya kurang banyak diteliti.
Tabel 7. Efisiensi Total Rata-Rata IPAL PT. UNITEX (RIPTO, 1996)
ParameterInlet (air
umum)Outlet Efisiensi
Air Umum
pH11.35 7.26 36.03
TSS (mg/l) 84.00 7.00 91.66
BOD5 (mg/l) 97.50 2.70 97.00
COD (mg/l) 428.50 162.70 62.03
Fe (mg/l) 2.33 0.07 96.99
DAFTAR PUSTAKA
Alaert, G., diterjemahkan oleh Santika, S., 1984, “ Metoda Penelitian
Air”,
Usaha Nasional, Surabaya.
BPPT,2008,“Buku Air Limbah Domestik DKI”, Dapat dilihat di:
http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/BukuAirLimbahDomes
ti kDKI/BAB9KOLAMLAGOON.pdf, (akses terakhir: 15 Juni
2012).
BPPT, 2008, “Publikasi Buku 10 Patek”, Dapat dilihat di:
http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/Buku10Patek/
08TEKSTI .pdf,
(akses terakhir: 15 Juni 2012).
Dephut, 2004, “Informasi Setjen Pusstan”, Dapat dilihat di:
http://www.dephut.go.id/informasi/setjen/pusstan/
info_5_1_060 4/isi_5.htm,
(akses terakhir: 15 Juni 2012).
Dwioktavia., 2011, “Pengolahan Limbah Industri Tekstil”, Dapat dilihat di:
http://dwioktavia.wordpress.com/2011/04/14/
pengolahanlimbah- industri-tekstil/,
(akses terakhir: 15 Juni 2012).
Fardiaz, H., 1992, “Polusi Air dan Udara”, Kanisius, Yogyakarta Hidayat,
W., 2008,
“Teknologi Pengolahan Air Limbah”, Dapat dilihat di:
http://majarimagazine.com/2008/01/teknologi-pengolahan-
airlimbah/, (akses terakhir: 15 Juni 2012).
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. KEP-51/MENLH/10/1995.
Rahayu, Betty S., 1993, ”Penanganan Limbah Industri Pangan”,
Kanisius, Yogyakarta. Siregar, S.A., 2005, “ Instalasi
Pengolahan Air Limbah”, Kanisius, Yogyakarta.
Sugiharto, 1987, “Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah”, Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.