17

Subjective Well-Being Pada Mantan Pecandu Narkoba

  • Upload
    uad

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

2

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA MANTAN PECANDU NARKOBA

Arsepta Kurnia Sandra

Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan (2015) [email protected]

Abstrak Kontribusi stigma dan diskriminasi pada mantan pecandu narkoba

berdampak pada afek negatif. Masalah tersebut mampu memicu

ketidakbahagiaan pada mantan pecandu narkoba. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui subjective well-being mantan pecandu narkoba

dan faktor yang mempengaruhi. Metodologi penelitian menggunakan

pendekatan kualitatif dengan menggunakan strategi penelitian studi

kasus. Selain itu, peneliti menggunakan significant person sebagai

triangulasi sumber dan subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang

mantan pecandu narkoba. Hasil penelitian menunjukkan subjective well-

being subjek pertama terlihat dari kepuasan hidupnya di seluruh domain

kepuasan dan afek positif yang lebih mendominasi afek negatifnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi yakni faktor kepribadian, hubungan

sosial dan pekerajaan. Subjective well-being subjek kedua terlihat dari

kepuasan hidupnya yang berasal domain pekerjaan. Afek negatif yang

dimiliki lebih dominan dibandingkan afek positifnya sehingga hal tersebut

cukup memberi pengaruh pada kesejahteraan subjektifnya. Faktor-faktor

yang mempengaruhi antara lain faktor pekerjaan dan agama.

Kata Kunci : Mantan pecandu narkoba, subjective well-being.

3

Pembahasan

Hasil penelitian Luoma et all (2007) menunjukkan bahwa 60%

mantan pecandu narkoba mendapatkan perlakuan berbeda, 46% orang

takut dengan mantan pecandu narkoba, 45% anggota keluarga

menyerah dengan keluarganya yang diketahui pernah menggunakan

narkoba, 38% mendapatkan penolakan dari teman-teman, 14% mantan

pecandu narkoba menerima gaji rendah dan 39,5% mendapatkan tiga

atau lebih pengalaman tersebut. Diskriminasi dan perlakuan yang

didapatkan oleh mantan pecandu narkoba akan berdampak negatif bagi

kehidupan mereka dan hal tersebut akan berpengaruh secara langsung

maupun tidak langsung terhadap mantan pecandu narkoba. Suyono

(Ariwibowo, 2013) menginformasikan bahwa mantan pecandu narkoba

memiliki kesulitan-kesulitan ketika kembali ke masyarakat bahkan dalam

mencari pekerjaan. Hal ini disebabkan oleh stigma masyarakat mengenai

mantan pecandu narkoba. Stigma atau diskriminasi yang diberikan oleh

masyarakat tersebut bertolak belakang dengan dukungan sosial yang

seharusnya diberikan.

Dalam penelitiannya Siedlecki et all (2013) menemukan bahwa

kedekatan antar keluarga dan pemberian dukungan sosial pada seorang

individu mampu mempengaruhi afek positif seseorang dan begitu juga

dengan afek negatif yang timbul. Dukungan sosial yang diterima seorang

individu juga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan hidupnya. Apabila

stigma dan diskriminasi yang diberikan terus menerus dilakukan maka

probabilitas menurunnya tingkat kepuasan hidup seorang mantan

4

pecandu narkoba bisa saja terjadi. Dengan demikian kebutuhan akan

dukungan sosial menjadi penting bagi mantan pecandu narkoba.

Menurut Junaiedi (2009) mantan narkoba memiliki perasaan

seperti putus asa, hampa dan banyak perasaan negatif lainnya. Mantan

pecandu narkoba juga tidak memiliki teman dan tidak bisa mendapatkan

sesuatu yang diinginkan. Rosydah dan Nurdibyanandaru (2010)

menjelaskan dinamika emosi mantan pecandu narkoba ketika berbicara

terkait peristiwa yang berhubungan dengan gejala putus zat atau proses

relapse individu merasakan adanya reaksi tubuh dan diakhiri dengan

afek negatif seperti marah, sedih atau takut. Perasaan yang dirasakan ini

merupakan bagian dari afek negatif. Hal ini menunjukkan adanya indikasi

rasa ketidakbahagiaan pada mantan pecandu narkoba. Jika ditelaah

ketidakbahagiaan seseorang didominasi oleh afek negatif. Salah satunya

seperti putus asa, sedih, marah dan hampa yang dirasakan oleh mantan

pecandu narkoba. Berdasarkan pemaparan berbagai penelitian tentang

mantan pecandu narkoba terlihat bahwa afek negatif yang dimiliki oleh

mantan pecandu narkoba berupa perasaan putus asa dan hampa

menunjukkan indikasi subjective well-being yang rendah. Harapannya

penelitian ini dapat mengungkap subjective well-being pada mantan

pecanduknarkoba. Penelitian ini bertujuan untuk melihat evaluasi kognitif

dan afektif seorang mantan pecandu narkoba setelah lepas dari

ketergantungan menggunakan narkoba. Adanya berbagai hasil temuan

pada mantan pecandu narkoba tersebut membuat peneliti tertarik untuk

5

melakukan penelitian tentang subjective well-being pada mantan

pecandu narkoba.

Subjective well-being (kesejahteraan subjektif) adalah istilah

ilmilah dari kebahagiaan. Subjective well-being didapat berdasarkan

faktor internal dan eksternal (Diener, 2009). Andrews dan Whitey

(Diener, 2009) mengatakan bahwa Subjective Well-Being dapat

didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang. Apabila

afek negatif seseorang lebih tinggi maka dapat diprediksi tingkat

subjective well-being pada seseorang rendah. Sebaliknya apabila afek

positif pada seseorang lebih besar jika dibandingkan dengan afek

negatifnya, maka dapat diprediksi seseorang tersebut memiliki tingkat

subjective well-being yang tinggi. Sebagaimana diketahui dalam temuan

Diener (2009) menyatakan kebahagiaan seseorang didominasi oleh afek

positif dan kepuasan hidup.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan design

penelitian studi kasus. Subjek penelitian berjumlah dua orang dengan

criteria mantan pecandu narkoba yang telah abstinensia minimal dua

tahun. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara

semiterstruktur dengan observasi secara keseluruhan. Selain itu, untuk

memenuhi keterpercayaan penelitian peneliti menggunakan triangulasi

sumber berupa significant person.

6

Hasil dan pembahasan

Subjek I

Subjek puas dengan kehidupannya saat ini. Subjek lebih

menikmati hidupnya saat ini karena subjek mampu lepas dari

ketergantungan narkoba. Hal ini telah dijelaskan dalam Diener

(Diponegoro, 2013) bahwa kepuasan merupakan hasil dari perbandingan

antara segala peristiwa yang dialami dalam kehidupan. Selain itu,

kepuasan hidup subjek juga terlihat dari kedekatan hubungan sosial

subjek baik dalam lingkup keluarga masyarakat maupun lingkungan

kerja. Subjek mengakui bahwa kedekatan hubungan sosial yang terjalin

seperti keluarga mampu memberikannya kepuasan dalam memandang

lingkungan sosialnya. Seligman dan Diener (2002) menjelaskan bahwa

individu yang masuk dalam kategori sangat bahagia adalah individu yang

memliki kualitas hubungan sosial yang baik. Selain itu, hubungan sosial

yang baik diperlukan untuk mencapai level kebahagiaan yang tinggi.

subjek memiliki afek positif yang lebih banyak dibandingkan afek

negatif. Afek negatif yang dirasakan oleh subjek yakni rasa bersalah dan

penyesalan akibat perbuatan yang ia lakukan dimasa lalu. Selain itu,

stigma sebagai mantan pecandu narkoba yang diberikan oleh

masyarakat mampu memunculkan afek negatif yakni seperti perasaan

sedih. Kemudian subjek juga memiliki afek positif seperti perasaan

senang, bahagia, bersyukur, enjoy, haru, nyaman, optimis dan bangga.

Afek tersebut muncul dari pengalaman keseharian subjek dan berbagai

faktor diantaranya faktor kepribadian, hubungan sosial dan pekerjaan

7

yang dimiliki subjek. Andrews dan Whitey (Diener, 2009) menjelaskan

apabila afek negatif seseorang lebih tinggi maka dapat diprediksi tingkat

subjective well-being rendah. Sebaliknya apabila afek positif lebih besar

jika dibandingkan dengan afek negatifnya, maka dapat diprediksi tingkat

subjective well-being tinggi.

Tabel 1. Aspek subjective well-being subjek I

Aspek subjective well-being

Life

satisfaction

Subjek menikmati hidupnya setelah lepas dari

ketergantungan narkoba. Subjek memiliki kedekatan

sosial di seluruh area lingkungan sosial.

Affect Subjek memiliki afek positif dan afek negatif. Afek positif

yang dimiliki subjek adalah perasaan senang, bahagia,

bersyukur, enjoy, haru, nyaman, optimis dan bangga.

Afek negatif yang dimiliki subjek yakni perasaan sedih,

kesal dan rasa bersalah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I

Hasil temuan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-

being subjek dilaporkan terdapat dua jenis faktor yakni faktor yang

meningkatkan dan faktor yang mengurangi. Faktor-faktor yang

meningkatkan subjective well-being subjek yakni kepribadian, hubungan

sosial dan pekerjaan. Kepribadian subjek tergolong kepribadian

ekstrovert dan mudah bergaul. Kepribadian ekstrovert yang dimiliki oleh

subjek membuat subjek merasa tidak memiliki beban karena subjek

merasa bahagia ketika mampu mengutarakan apapun keluh kesahnya.

Selain itu, kepribadian subjek yang mudah bergaul memudahkan subjek

8

dalam menjalin hubungan sosial. Hal ini telah dijelaskan dalam penelitian

Fleeson Malanos dan Achille (2002) bahwa kepribadian extraversion

(ekstrovert) adalah salah satu prediktor yang baik bagi well-being

seseorang. Orang-orang yang memiliki kepribadian extrovert, ceria,

lincah dan mudah bergaul cenderung lebih bahagia daripada yang lain.

Kedua, faktor yang mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif

subjek adalah hubungan sosial. Weiten (2013) menyatakan bahwa

hubungan sosial adalah prediktor yang baik bagi peningkatan

kesejahteraan subjektif. Subjek memiliki hubungan sosial yang

berkualitas dengan semua orang. Hubungan sosial yang berkualitas

dapat dibuktikan dengan hubungan baik yang masih terjalin di antara

subjek dan lingkungannya. Hubungan baik tersebut terjalin sejak dulu

ketika subjek masih menggunakan narkoba hingga saat ini subjek telah

lepas dari ketergantungan narkoba. Campbel dkk (Eid dan Larsen, 2008)

menjelaskan bahwa domain terpenting dari keseluruhan kepuasan hidup

salah satunya adalah hubungan hubungan sosial, keluarga dan

pertemanan. selain itu, subjek juga mendapatkan dukungan sosial.

Dukungan sosial tersebut berupa bimbingan semangat yang diberikan

oleh keluarga senior maupun masyarakat ditempat subjek tinggal.

Semangat atau support diberikan sejak subjek direhabilitasi hingga

keadaan subjek saat ini berkontribusi bagi kesejahteraan subjektif

khususnya pada afek positif. Afek positif tersebut berupa perasaan

bahagia dan membuat subjek merasa diperhatikan oleh lingkungan

sekitarnya. Myers (2000) mengemukakan bahwa dukungan sosial adalah

9

salah satu faktor yang menunjukkan korelasi positif dengan kepuasan

hidup.

Ketiga, faktor yang mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif

subjek adalah pekerjaan. Weiten (2013) menjelaskan bahwa salah satu

faktor yang berkorelasi positif dengan kesejahteraan subjektif adalah

pekerjaan. Pekerjaan subjek sebagai pendamping cukup memberikan

kontribusi bagi kesejahteraan subjektifnya. Bekerja sebagai pendamping

memiliki kepuasan tersendiri bagi subjek dan membuat perasaannya

bahagia. Selain itu, dengan bekerja sebagai pendamping subjek juga

mampu merasakan keperdulian pada para residen. Jugde, Klinger dan

Warr (Weiten, 2013) menjelaskan bahwa seorang individu tidak memiliki

ekspektasi bahwa pekerjaan sebagai sumber utama kebahagiaan,

Tetapi, meskipun kontribusi pekerjaan tidak lebih berpengaruh daripada

cinta dan perkawinan namun kepuasan kerja memiliki hubungan

signifikan dengan kebahagiaan.

Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I

Faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I

Kepribadian Subjek memiliki kepribadian extrovert sehingga

memudahkan subjek dalam bergaul dan

menjalin pertemanan. dengan menjadi

seseorang yang terbuka subjek merasa senang

dan mengurangi beban.

Hubungan sosial subjek memiliki hubungan sosial yang positif

berupa dukungan sosial yang diberikan oleh

keluarga, masyarakat dan lingkungan kerja.

Hubungan sosial yang berkualitas

10

memunculkan afek positif.

Pekerjaan Subjek merasa puas dengan pekerjaannya

saat ini sebagai pendamping dan bekerja

sebagai pendamping membuat subjek merasa

bahagia.

Subjek pertama memiliki kepuasan hidup yang berasal dari

kedekatan sosial dan subjek mampu menikmati hidupnya. Kedekatan

sosial yang terjalin antara subjek dan masyarakat baik di lingkungan

sosial maupun lingkungan kerja memunculkan perasaan nyaman dan

perasaan puas terhadap hubungan sosialnya. Kemudian kehidupan

subek didominasi oleh afek positif yang berasal dari pengalaman

keseharian subjek maupun faktor-faktor yang meningkatkan subjective

well-being subjek seperti kepribadian, hubungan sosial dan pekerjaan.

Faktor tersebut berkontribusi besar bagi kesejahteraan subjektifnya

khususnya dalam aspek kepuasan hidup dan afek positif. Adapun faktor

yang mengurangi kesejahteraan subjek yakni pengalaman masa lalu dan

stigma sebagai mantan pecandu narkoba. Kedua faktor tersebut

mempengaruhi kesejahteraan subjektif subjek dari segi afek negatif.

Namun jumlah afek positif dan kepuasan hidup subjek lebih

mendominasi jika dibandingkan dengan afek negatifnya sehingga dapat

dikatakan bahwa subjek memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi.

Diener (2009) menyatakan seseorang merasakan kebahagiaan yang

lebih apabila kehidupannya didominasi oleh afek positif dan kepuasan

hidup.

11

Subjek II

Kepuasan hidup subjek berasal dari kemampuan subjek dalam

menikmati hidupnya yang lebih baik. Kepuasan tersebut diukur dari

keadaan keluarga dan keadaan subjek pribadi yakni seperti kemampuan

subjek dalam hidup mandiri. Hal ini telah dijelaskan dalam Diener

(Diponegoro, 2013) bahwa kepuasan merupakan hasil dari perbandingan

antara segala peristiwa yang dialami dalam kehidupan. Jika

dibandingkan dengan kehidupan subjek yang dulu, kehidupan subjek

dimasa lalu memiliki banyak permasalahan keluarga sehingga jika

dibandingkan dengan keadaan subjek saat ini subjek jelas terlihat puas

dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, subjek memiliki kedekatan

hubungan sosial dalam lingkungan pekerjaannya. Kedekatan sosial yang

terjalin antara subjek dan orang-orang dilingkungan pekerjaannya

membuat subjek merasakan bahwa dirinya memiliki keluarga dan hal

tersebut berkontribusi bagi kepuasan hidup subjek.

Afek negatif yang terdapat didalam kehidupan subjek hampir

mendekati jumlah afek positifnya. Afek negatif tersebut berupa perasaan

terkucilkan, terendahkan dan terlecehkan akibat stigma yang diterima.

Kemudian subjek juga merasakan afek negatif lain seperti sedih, kesal

dan cemas. Kecemasan yang subjek alami adalah mengenai kehidupan

sosial bermasyarakatnya dimasa depan. Selain itu subjek juga memiliki

afek positif seperti perasaan senang, bersyukur, bernilai, dihormati

bangga dan perasaan nyaman. Afek postif tersebut muncul dari evaluasi

12

kehidupan subjek yakni seperti bersyukur dengan kehidupan yang telah

berjalan selama ini dan muncul dari berbagai faktor lainnya seperti

pekerjaan dan agama. Andrews dan Whitey (Diener, 2009) menjelaskan

apabila afek negatif seseorang lebih tinggi maka dapat diprediksi tingkat

subjective well-being rendah.

Tabel 3. Aspek subjective well-being subjek II

Aspek subjective well-being

Life

satisfaction

Subjek menikmati keadaan hidupnya yang lebih baik

jika dibandingkan dengan yang dulu. Subjek memiliki

kedekatan hubungan sosial di area lingkungan

pekerjaan.

Affect Subjek memiliki afek positif dan afek negatif. Afek positif

yang dimiliki subjek adalah perasaan senang,

bersyukur, bernilai, dihormati bangga dan nyaman. Afek

negatif yang dimiliki subjek yakni perasaan sedih, kesal,

terkucilkan, terendahkan, terlecehkan, cemas dan

pengalaman traumatik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek II

Hasil temuan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-

being subjek dilaporkan terdapat dua jenis faktor yakni faktor yang

meningkatkan dan faktor yang mengurangi. Faktor-faktor yang

meningkatkan subjective well-being subjek yakni pekerjaan dan agama.

Pekerjaan subjek sebagai pendamping cukup memberikan kontribusi

bagi kesejahteraan subjektifnya. Bekerja sebagai pendamping membuat

subjek mampu merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tersebut muncul

karena dengan bekerja sebagai pendamping, subjek mampu berbagi

13

pengalaman dan mengaplikasikan pengalaman kepada residen lain.

Selain itu, penentuan treatment dan segala tugas yang subjek lakukan di

dalam pekerjaannya membuat subjek mampu merasa bahagia

dibandingkan dengan pekerjaan subjek sebelumnya. Jugde, Klinger dan

Warr (Weiten, 2013) menjelaskan bahwa kontribusi pekerjaan tidak lebih

berpengaruh daripada cinta dan perkawinan namun kepuasan kerja

memiliki hubungan signifikan dengan kebahagiaan.

Kedua, faktor yang mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif

subjek yakni agama baik sugesti agama dan keyakinannya. Myers

(Khavari, 2001) menjelaskan bahwa orang orang yang memiliki agama

hidupnya lebih jauh bahagia jika dibandingkan orang yang tidak memiliki

agama. Prinsip agama dan keyakinan bahwa agama adalah tempat

subjek bersandar membuat subjek lebih bahagia, bersyukur dan

menerima segala yang terjadi dikehidupannya. Keyakinan tersebut

seperti kepercayaan bahwa “Allah tidak tidur” dan keyakinan tersebut

membuat subjek yakin bahwa yang terjadi dikehidupannya adalah yang

terbaik untuknya. Pargament (2002) menjelaskan bahwa keyakinan

agama adalah komponen kunci dari kehidupan beragama. Dalam rangka

untuk memiliki pemahaman lengkap tentang hubungan antara agama

dan kesejahteraan subjektif, penting untuk memperhitungkan efek

keyakinan agama. Agama adalah faktor yang sangat mampu

mempengaruhi kehidupan manusia dengan cara menciptakan makna,

memotivasi, dan membantu orang-orang percaya untuk mengatasi

peristiwa traumatis.

14

Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I

Faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I

Pekerjaan subjek merasa bahagia bekerja sebagai

pendamping. Bekerja sebagai pendamping

membuat subjek mampu berbagi pengalaman

dengan orang lain dan memunculkan afek

positif.

Agama Subjek memiliki keyakinan dan prinsip yang

berasal dari agama. Agama sebagai tempat

subjek bersandar. Subjek yakin bahwa “Allah

tidak tidur” sehingga subjek percaya bahwa

segala yang diberikan Tuhan adalah yang

terbaik untuknya. Keyakinan terhadap Tuhan

membuat subjek lebih bahagia, bersyukur dan

menerima segala yang terjadi dikehidupannya.

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan

bahwa subjective well-being subjek pertama terlihat dari kepuasan

hidupnya di seluruh domain kepuasan. Selain itu, afek positif yang

dimiliki oleh subjek lebih mendominasi afek negatifnya. Faktor-faktor

yang mempengaruhi yakni faktor kepribadian, hubungan sosial dan

pekerajaan. Subjective well-being subjek kedua terlihat dari kepuasan

hidupnya yang berasal domain pekerjaan. Selain itu, subjek memiliki afek

postif yang berasal dari domain pekerjaan. Namun, Afek negatif yang

dimiliki subjek yang lebih dominan cukup memberi pengaruh pada

15

kesejahteraan subjektifnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain

faktor pekerjaan dan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Ariwibowo, K. (2013). Stigma negatif menjadi faktor utama mantan

pecandu relapse. Retrived from http://dedihumas.bnn.go.id/read

/section/berita/2013/06/28/675/stigma-negatif-menjadi-faktor-

utara-mantan -pecandu-relapse

Diener, E. (2009). Assessing well-being: The collected works of Ed

Diener. New York: Springer.

Diponegoro, A. M. (2013). Psikologi konseling dan islam. Yogyakarta:

Multi Presindo.

Eid, M., & Larsen,R. J. (Eds.). (2008). The science of subjective well-

being. New York: Guilford.

Fleeson, W., Malanos, A., & Achille, N. (2002). An intra-individual

process approach to the relationship between extraversion and

16

positive affect: Is acting extraverted as ‘good’ as being extraverted?

Journal of Personality and Social Psychology, 83, 1409-1422.

Heatherton, T. F., Kleck, R. E., Hebl, M. R., & Hull, J. G. (2003). The

social psychology of stigma (Eds.). New York, NY: Guilford Press.

Hutton, V E., Misajon, R A., & Collins, F E. (2013). Subjective wellbeing

and 'felt' stigma when living with HIV. Quality of Life Research 22,

65-73.

Luoma, J. B., Twohig, M. P., Waltz, T., Hayes, S. C., Roget, N., Padilla,

M., & Fisher, G. (2007). An investigation of stigma in individuals

receiving treatment for substance abuse. Addictive Behaviors, 32,

1331–1346.

Jalilian, F., Motlagh, F. Z., Amoei M. R., Hatamzadeh, N., Gharibnavaz

H., & Alavijeh, M. (2014). Which one support (family, friend or other

significant) is much more important to drug cessation? A study

among men Kermanshah addicts, the West of Iran. J Addict Res

Ther 5: 174. doi: 10.4172/2155-6105.1000174.

Junaiedi. (2009). Makna hidup pada mantan pengguna napza. Skripsi.

Depok: Universitas Gunadarma. Fakultas Psikologi.

http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/20

09/Artikel_10503099.pdf.

Khavari, Khalil A. (2006). The art of happiness: mencipta kebahagiaan

dalam setiap keadaan. Jakarta : Serambi.

Pargament, K. I. (2002b). Is religion nothing but . . .? Explaining religion

versus explaining religion away. Psychological Inquiry, 13, 239–

244.

Siedlecki, K. L., Salthouse, T. A., Oishi, S., & Jeswani, S. (2013). The

relationship between social support and subjective well-being

across age. Volume 1/2 No. 2 ISSN 0303-8300 Social Indicators

Research. Publisher Springer Science. DOI 10.1007/s11205-013-

0361-4.

17

Rosyidah, R., & Nurdibyanandaru, D. (2010) Dinamika emosi pecandu

narkotika dalam masa pemulihan. Fakultas Psikologi Universitas

Airlangga Surabaya INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010.

Weiten, W. (2013). Psychology: themes and variations, briefer version,

9th Edition. Belmont: Cengage Learning.