Upload
uad
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2
SUBJECTIVE WELL-BEING PADA MANTAN PECANDU NARKOBA
Arsepta Kurnia Sandra
Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan (2015) [email protected]
Abstrak Kontribusi stigma dan diskriminasi pada mantan pecandu narkoba
berdampak pada afek negatif. Masalah tersebut mampu memicu
ketidakbahagiaan pada mantan pecandu narkoba. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui subjective well-being mantan pecandu narkoba
dan faktor yang mempengaruhi. Metodologi penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif dengan menggunakan strategi penelitian studi
kasus. Selain itu, peneliti menggunakan significant person sebagai
triangulasi sumber dan subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang
mantan pecandu narkoba. Hasil penelitian menunjukkan subjective well-
being subjek pertama terlihat dari kepuasan hidupnya di seluruh domain
kepuasan dan afek positif yang lebih mendominasi afek negatifnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi yakni faktor kepribadian, hubungan
sosial dan pekerajaan. Subjective well-being subjek kedua terlihat dari
kepuasan hidupnya yang berasal domain pekerjaan. Afek negatif yang
dimiliki lebih dominan dibandingkan afek positifnya sehingga hal tersebut
cukup memberi pengaruh pada kesejahteraan subjektifnya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi antara lain faktor pekerjaan dan agama.
Kata Kunci : Mantan pecandu narkoba, subjective well-being.
3
Pembahasan
Hasil penelitian Luoma et all (2007) menunjukkan bahwa 60%
mantan pecandu narkoba mendapatkan perlakuan berbeda, 46% orang
takut dengan mantan pecandu narkoba, 45% anggota keluarga
menyerah dengan keluarganya yang diketahui pernah menggunakan
narkoba, 38% mendapatkan penolakan dari teman-teman, 14% mantan
pecandu narkoba menerima gaji rendah dan 39,5% mendapatkan tiga
atau lebih pengalaman tersebut. Diskriminasi dan perlakuan yang
didapatkan oleh mantan pecandu narkoba akan berdampak negatif bagi
kehidupan mereka dan hal tersebut akan berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap mantan pecandu narkoba. Suyono
(Ariwibowo, 2013) menginformasikan bahwa mantan pecandu narkoba
memiliki kesulitan-kesulitan ketika kembali ke masyarakat bahkan dalam
mencari pekerjaan. Hal ini disebabkan oleh stigma masyarakat mengenai
mantan pecandu narkoba. Stigma atau diskriminasi yang diberikan oleh
masyarakat tersebut bertolak belakang dengan dukungan sosial yang
seharusnya diberikan.
Dalam penelitiannya Siedlecki et all (2013) menemukan bahwa
kedekatan antar keluarga dan pemberian dukungan sosial pada seorang
individu mampu mempengaruhi afek positif seseorang dan begitu juga
dengan afek negatif yang timbul. Dukungan sosial yang diterima seorang
individu juga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan hidupnya. Apabila
stigma dan diskriminasi yang diberikan terus menerus dilakukan maka
probabilitas menurunnya tingkat kepuasan hidup seorang mantan
4
pecandu narkoba bisa saja terjadi. Dengan demikian kebutuhan akan
dukungan sosial menjadi penting bagi mantan pecandu narkoba.
Menurut Junaiedi (2009) mantan narkoba memiliki perasaan
seperti putus asa, hampa dan banyak perasaan negatif lainnya. Mantan
pecandu narkoba juga tidak memiliki teman dan tidak bisa mendapatkan
sesuatu yang diinginkan. Rosydah dan Nurdibyanandaru (2010)
menjelaskan dinamika emosi mantan pecandu narkoba ketika berbicara
terkait peristiwa yang berhubungan dengan gejala putus zat atau proses
relapse individu merasakan adanya reaksi tubuh dan diakhiri dengan
afek negatif seperti marah, sedih atau takut. Perasaan yang dirasakan ini
merupakan bagian dari afek negatif. Hal ini menunjukkan adanya indikasi
rasa ketidakbahagiaan pada mantan pecandu narkoba. Jika ditelaah
ketidakbahagiaan seseorang didominasi oleh afek negatif. Salah satunya
seperti putus asa, sedih, marah dan hampa yang dirasakan oleh mantan
pecandu narkoba. Berdasarkan pemaparan berbagai penelitian tentang
mantan pecandu narkoba terlihat bahwa afek negatif yang dimiliki oleh
mantan pecandu narkoba berupa perasaan putus asa dan hampa
menunjukkan indikasi subjective well-being yang rendah. Harapannya
penelitian ini dapat mengungkap subjective well-being pada mantan
pecanduknarkoba. Penelitian ini bertujuan untuk melihat evaluasi kognitif
dan afektif seorang mantan pecandu narkoba setelah lepas dari
ketergantungan menggunakan narkoba. Adanya berbagai hasil temuan
pada mantan pecandu narkoba tersebut membuat peneliti tertarik untuk
5
melakukan penelitian tentang subjective well-being pada mantan
pecandu narkoba.
Subjective well-being (kesejahteraan subjektif) adalah istilah
ilmilah dari kebahagiaan. Subjective well-being didapat berdasarkan
faktor internal dan eksternal (Diener, 2009). Andrews dan Whitey
(Diener, 2009) mengatakan bahwa Subjective Well-Being dapat
didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang. Apabila
afek negatif seseorang lebih tinggi maka dapat diprediksi tingkat
subjective well-being pada seseorang rendah. Sebaliknya apabila afek
positif pada seseorang lebih besar jika dibandingkan dengan afek
negatifnya, maka dapat diprediksi seseorang tersebut memiliki tingkat
subjective well-being yang tinggi. Sebagaimana diketahui dalam temuan
Diener (2009) menyatakan kebahagiaan seseorang didominasi oleh afek
positif dan kepuasan hidup.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan design
penelitian studi kasus. Subjek penelitian berjumlah dua orang dengan
criteria mantan pecandu narkoba yang telah abstinensia minimal dua
tahun. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara
semiterstruktur dengan observasi secara keseluruhan. Selain itu, untuk
memenuhi keterpercayaan penelitian peneliti menggunakan triangulasi
sumber berupa significant person.
6
Hasil dan pembahasan
Subjek I
Subjek puas dengan kehidupannya saat ini. Subjek lebih
menikmati hidupnya saat ini karena subjek mampu lepas dari
ketergantungan narkoba. Hal ini telah dijelaskan dalam Diener
(Diponegoro, 2013) bahwa kepuasan merupakan hasil dari perbandingan
antara segala peristiwa yang dialami dalam kehidupan. Selain itu,
kepuasan hidup subjek juga terlihat dari kedekatan hubungan sosial
subjek baik dalam lingkup keluarga masyarakat maupun lingkungan
kerja. Subjek mengakui bahwa kedekatan hubungan sosial yang terjalin
seperti keluarga mampu memberikannya kepuasan dalam memandang
lingkungan sosialnya. Seligman dan Diener (2002) menjelaskan bahwa
individu yang masuk dalam kategori sangat bahagia adalah individu yang
memliki kualitas hubungan sosial yang baik. Selain itu, hubungan sosial
yang baik diperlukan untuk mencapai level kebahagiaan yang tinggi.
subjek memiliki afek positif yang lebih banyak dibandingkan afek
negatif. Afek negatif yang dirasakan oleh subjek yakni rasa bersalah dan
penyesalan akibat perbuatan yang ia lakukan dimasa lalu. Selain itu,
stigma sebagai mantan pecandu narkoba yang diberikan oleh
masyarakat mampu memunculkan afek negatif yakni seperti perasaan
sedih. Kemudian subjek juga memiliki afek positif seperti perasaan
senang, bahagia, bersyukur, enjoy, haru, nyaman, optimis dan bangga.
Afek tersebut muncul dari pengalaman keseharian subjek dan berbagai
faktor diantaranya faktor kepribadian, hubungan sosial dan pekerjaan
7
yang dimiliki subjek. Andrews dan Whitey (Diener, 2009) menjelaskan
apabila afek negatif seseorang lebih tinggi maka dapat diprediksi tingkat
subjective well-being rendah. Sebaliknya apabila afek positif lebih besar
jika dibandingkan dengan afek negatifnya, maka dapat diprediksi tingkat
subjective well-being tinggi.
Tabel 1. Aspek subjective well-being subjek I
Aspek subjective well-being
Life
satisfaction
Subjek menikmati hidupnya setelah lepas dari
ketergantungan narkoba. Subjek memiliki kedekatan
sosial di seluruh area lingkungan sosial.
Affect Subjek memiliki afek positif dan afek negatif. Afek positif
yang dimiliki subjek adalah perasaan senang, bahagia,
bersyukur, enjoy, haru, nyaman, optimis dan bangga.
Afek negatif yang dimiliki subjek yakni perasaan sedih,
kesal dan rasa bersalah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I
Hasil temuan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-
being subjek dilaporkan terdapat dua jenis faktor yakni faktor yang
meningkatkan dan faktor yang mengurangi. Faktor-faktor yang
meningkatkan subjective well-being subjek yakni kepribadian, hubungan
sosial dan pekerjaan. Kepribadian subjek tergolong kepribadian
ekstrovert dan mudah bergaul. Kepribadian ekstrovert yang dimiliki oleh
subjek membuat subjek merasa tidak memiliki beban karena subjek
merasa bahagia ketika mampu mengutarakan apapun keluh kesahnya.
Selain itu, kepribadian subjek yang mudah bergaul memudahkan subjek
8
dalam menjalin hubungan sosial. Hal ini telah dijelaskan dalam penelitian
Fleeson Malanos dan Achille (2002) bahwa kepribadian extraversion
(ekstrovert) adalah salah satu prediktor yang baik bagi well-being
seseorang. Orang-orang yang memiliki kepribadian extrovert, ceria,
lincah dan mudah bergaul cenderung lebih bahagia daripada yang lain.
Kedua, faktor yang mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif
subjek adalah hubungan sosial. Weiten (2013) menyatakan bahwa
hubungan sosial adalah prediktor yang baik bagi peningkatan
kesejahteraan subjektif. Subjek memiliki hubungan sosial yang
berkualitas dengan semua orang. Hubungan sosial yang berkualitas
dapat dibuktikan dengan hubungan baik yang masih terjalin di antara
subjek dan lingkungannya. Hubungan baik tersebut terjalin sejak dulu
ketika subjek masih menggunakan narkoba hingga saat ini subjek telah
lepas dari ketergantungan narkoba. Campbel dkk (Eid dan Larsen, 2008)
menjelaskan bahwa domain terpenting dari keseluruhan kepuasan hidup
salah satunya adalah hubungan hubungan sosial, keluarga dan
pertemanan. selain itu, subjek juga mendapatkan dukungan sosial.
Dukungan sosial tersebut berupa bimbingan semangat yang diberikan
oleh keluarga senior maupun masyarakat ditempat subjek tinggal.
Semangat atau support diberikan sejak subjek direhabilitasi hingga
keadaan subjek saat ini berkontribusi bagi kesejahteraan subjektif
khususnya pada afek positif. Afek positif tersebut berupa perasaan
bahagia dan membuat subjek merasa diperhatikan oleh lingkungan
sekitarnya. Myers (2000) mengemukakan bahwa dukungan sosial adalah
9
salah satu faktor yang menunjukkan korelasi positif dengan kepuasan
hidup.
Ketiga, faktor yang mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif
subjek adalah pekerjaan. Weiten (2013) menjelaskan bahwa salah satu
faktor yang berkorelasi positif dengan kesejahteraan subjektif adalah
pekerjaan. Pekerjaan subjek sebagai pendamping cukup memberikan
kontribusi bagi kesejahteraan subjektifnya. Bekerja sebagai pendamping
memiliki kepuasan tersendiri bagi subjek dan membuat perasaannya
bahagia. Selain itu, dengan bekerja sebagai pendamping subjek juga
mampu merasakan keperdulian pada para residen. Jugde, Klinger dan
Warr (Weiten, 2013) menjelaskan bahwa seorang individu tidak memiliki
ekspektasi bahwa pekerjaan sebagai sumber utama kebahagiaan,
Tetapi, meskipun kontribusi pekerjaan tidak lebih berpengaruh daripada
cinta dan perkawinan namun kepuasan kerja memiliki hubungan
signifikan dengan kebahagiaan.
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I
Faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I
Kepribadian Subjek memiliki kepribadian extrovert sehingga
memudahkan subjek dalam bergaul dan
menjalin pertemanan. dengan menjadi
seseorang yang terbuka subjek merasa senang
dan mengurangi beban.
Hubungan sosial subjek memiliki hubungan sosial yang positif
berupa dukungan sosial yang diberikan oleh
keluarga, masyarakat dan lingkungan kerja.
Hubungan sosial yang berkualitas
10
memunculkan afek positif.
Pekerjaan Subjek merasa puas dengan pekerjaannya
saat ini sebagai pendamping dan bekerja
sebagai pendamping membuat subjek merasa
bahagia.
Subjek pertama memiliki kepuasan hidup yang berasal dari
kedekatan sosial dan subjek mampu menikmati hidupnya. Kedekatan
sosial yang terjalin antara subjek dan masyarakat baik di lingkungan
sosial maupun lingkungan kerja memunculkan perasaan nyaman dan
perasaan puas terhadap hubungan sosialnya. Kemudian kehidupan
subek didominasi oleh afek positif yang berasal dari pengalaman
keseharian subjek maupun faktor-faktor yang meningkatkan subjective
well-being subjek seperti kepribadian, hubungan sosial dan pekerjaan.
Faktor tersebut berkontribusi besar bagi kesejahteraan subjektifnya
khususnya dalam aspek kepuasan hidup dan afek positif. Adapun faktor
yang mengurangi kesejahteraan subjek yakni pengalaman masa lalu dan
stigma sebagai mantan pecandu narkoba. Kedua faktor tersebut
mempengaruhi kesejahteraan subjektif subjek dari segi afek negatif.
Namun jumlah afek positif dan kepuasan hidup subjek lebih
mendominasi jika dibandingkan dengan afek negatifnya sehingga dapat
dikatakan bahwa subjek memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi.
Diener (2009) menyatakan seseorang merasakan kebahagiaan yang
lebih apabila kehidupannya didominasi oleh afek positif dan kepuasan
hidup.
11
Subjek II
Kepuasan hidup subjek berasal dari kemampuan subjek dalam
menikmati hidupnya yang lebih baik. Kepuasan tersebut diukur dari
keadaan keluarga dan keadaan subjek pribadi yakni seperti kemampuan
subjek dalam hidup mandiri. Hal ini telah dijelaskan dalam Diener
(Diponegoro, 2013) bahwa kepuasan merupakan hasil dari perbandingan
antara segala peristiwa yang dialami dalam kehidupan. Jika
dibandingkan dengan kehidupan subjek yang dulu, kehidupan subjek
dimasa lalu memiliki banyak permasalahan keluarga sehingga jika
dibandingkan dengan keadaan subjek saat ini subjek jelas terlihat puas
dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, subjek memiliki kedekatan
hubungan sosial dalam lingkungan pekerjaannya. Kedekatan sosial yang
terjalin antara subjek dan orang-orang dilingkungan pekerjaannya
membuat subjek merasakan bahwa dirinya memiliki keluarga dan hal
tersebut berkontribusi bagi kepuasan hidup subjek.
Afek negatif yang terdapat didalam kehidupan subjek hampir
mendekati jumlah afek positifnya. Afek negatif tersebut berupa perasaan
terkucilkan, terendahkan dan terlecehkan akibat stigma yang diterima.
Kemudian subjek juga merasakan afek negatif lain seperti sedih, kesal
dan cemas. Kecemasan yang subjek alami adalah mengenai kehidupan
sosial bermasyarakatnya dimasa depan. Selain itu subjek juga memiliki
afek positif seperti perasaan senang, bersyukur, bernilai, dihormati
bangga dan perasaan nyaman. Afek postif tersebut muncul dari evaluasi
12
kehidupan subjek yakni seperti bersyukur dengan kehidupan yang telah
berjalan selama ini dan muncul dari berbagai faktor lainnya seperti
pekerjaan dan agama. Andrews dan Whitey (Diener, 2009) menjelaskan
apabila afek negatif seseorang lebih tinggi maka dapat diprediksi tingkat
subjective well-being rendah.
Tabel 3. Aspek subjective well-being subjek II
Aspek subjective well-being
Life
satisfaction
Subjek menikmati keadaan hidupnya yang lebih baik
jika dibandingkan dengan yang dulu. Subjek memiliki
kedekatan hubungan sosial di area lingkungan
pekerjaan.
Affect Subjek memiliki afek positif dan afek negatif. Afek positif
yang dimiliki subjek adalah perasaan senang,
bersyukur, bernilai, dihormati bangga dan nyaman. Afek
negatif yang dimiliki subjek yakni perasaan sedih, kesal,
terkucilkan, terendahkan, terlecehkan, cemas dan
pengalaman traumatik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek II
Hasil temuan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-
being subjek dilaporkan terdapat dua jenis faktor yakni faktor yang
meningkatkan dan faktor yang mengurangi. Faktor-faktor yang
meningkatkan subjective well-being subjek yakni pekerjaan dan agama.
Pekerjaan subjek sebagai pendamping cukup memberikan kontribusi
bagi kesejahteraan subjektifnya. Bekerja sebagai pendamping membuat
subjek mampu merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tersebut muncul
karena dengan bekerja sebagai pendamping, subjek mampu berbagi
13
pengalaman dan mengaplikasikan pengalaman kepada residen lain.
Selain itu, penentuan treatment dan segala tugas yang subjek lakukan di
dalam pekerjaannya membuat subjek mampu merasa bahagia
dibandingkan dengan pekerjaan subjek sebelumnya. Jugde, Klinger dan
Warr (Weiten, 2013) menjelaskan bahwa kontribusi pekerjaan tidak lebih
berpengaruh daripada cinta dan perkawinan namun kepuasan kerja
memiliki hubungan signifikan dengan kebahagiaan.
Kedua, faktor yang mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif
subjek yakni agama baik sugesti agama dan keyakinannya. Myers
(Khavari, 2001) menjelaskan bahwa orang orang yang memiliki agama
hidupnya lebih jauh bahagia jika dibandingkan orang yang tidak memiliki
agama. Prinsip agama dan keyakinan bahwa agama adalah tempat
subjek bersandar membuat subjek lebih bahagia, bersyukur dan
menerima segala yang terjadi dikehidupannya. Keyakinan tersebut
seperti kepercayaan bahwa “Allah tidak tidur” dan keyakinan tersebut
membuat subjek yakin bahwa yang terjadi dikehidupannya adalah yang
terbaik untuknya. Pargament (2002) menjelaskan bahwa keyakinan
agama adalah komponen kunci dari kehidupan beragama. Dalam rangka
untuk memiliki pemahaman lengkap tentang hubungan antara agama
dan kesejahteraan subjektif, penting untuk memperhitungkan efek
keyakinan agama. Agama adalah faktor yang sangat mampu
mempengaruhi kehidupan manusia dengan cara menciptakan makna,
memotivasi, dan membantu orang-orang percaya untuk mengatasi
peristiwa traumatis.
14
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I
Faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek I
Pekerjaan subjek merasa bahagia bekerja sebagai
pendamping. Bekerja sebagai pendamping
membuat subjek mampu berbagi pengalaman
dengan orang lain dan memunculkan afek
positif.
Agama Subjek memiliki keyakinan dan prinsip yang
berasal dari agama. Agama sebagai tempat
subjek bersandar. Subjek yakin bahwa “Allah
tidak tidur” sehingga subjek percaya bahwa
segala yang diberikan Tuhan adalah yang
terbaik untuknya. Keyakinan terhadap Tuhan
membuat subjek lebih bahagia, bersyukur dan
menerima segala yang terjadi dikehidupannya.
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa subjective well-being subjek pertama terlihat dari kepuasan
hidupnya di seluruh domain kepuasan. Selain itu, afek positif yang
dimiliki oleh subjek lebih mendominasi afek negatifnya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi yakni faktor kepribadian, hubungan sosial dan
pekerajaan. Subjective well-being subjek kedua terlihat dari kepuasan
hidupnya yang berasal domain pekerjaan. Selain itu, subjek memiliki afek
postif yang berasal dari domain pekerjaan. Namun, Afek negatif yang
dimiliki subjek yang lebih dominan cukup memberi pengaruh pada
15
kesejahteraan subjektifnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain
faktor pekerjaan dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ariwibowo, K. (2013). Stigma negatif menjadi faktor utama mantan
pecandu relapse. Retrived from http://dedihumas.bnn.go.id/read
/section/berita/2013/06/28/675/stigma-negatif-menjadi-faktor-
utara-mantan -pecandu-relapse
Diener, E. (2009). Assessing well-being: The collected works of Ed
Diener. New York: Springer.
Diponegoro, A. M. (2013). Psikologi konseling dan islam. Yogyakarta:
Multi Presindo.
Eid, M., & Larsen,R. J. (Eds.). (2008). The science of subjective well-
being. New York: Guilford.
Fleeson, W., Malanos, A., & Achille, N. (2002). An intra-individual
process approach to the relationship between extraversion and
16
positive affect: Is acting extraverted as ‘good’ as being extraverted?
Journal of Personality and Social Psychology, 83, 1409-1422.
Heatherton, T. F., Kleck, R. E., Hebl, M. R., & Hull, J. G. (2003). The
social psychology of stigma (Eds.). New York, NY: Guilford Press.
Hutton, V E., Misajon, R A., & Collins, F E. (2013). Subjective wellbeing
and 'felt' stigma when living with HIV. Quality of Life Research 22,
65-73.
Luoma, J. B., Twohig, M. P., Waltz, T., Hayes, S. C., Roget, N., Padilla,
M., & Fisher, G. (2007). An investigation of stigma in individuals
receiving treatment for substance abuse. Addictive Behaviors, 32,
1331–1346.
Jalilian, F., Motlagh, F. Z., Amoei M. R., Hatamzadeh, N., Gharibnavaz
H., & Alavijeh, M. (2014). Which one support (family, friend or other
significant) is much more important to drug cessation? A study
among men Kermanshah addicts, the West of Iran. J Addict Res
Ther 5: 174. doi: 10.4172/2155-6105.1000174.
Junaiedi. (2009). Makna hidup pada mantan pengguna napza. Skripsi.
Depok: Universitas Gunadarma. Fakultas Psikologi.
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/20
09/Artikel_10503099.pdf.
Khavari, Khalil A. (2006). The art of happiness: mencipta kebahagiaan
dalam setiap keadaan. Jakarta : Serambi.
Pargament, K. I. (2002b). Is religion nothing but . . .? Explaining religion
versus explaining religion away. Psychological Inquiry, 13, 239–
244.
Siedlecki, K. L., Salthouse, T. A., Oishi, S., & Jeswani, S. (2013). The
relationship between social support and subjective well-being
across age. Volume 1/2 No. 2 ISSN 0303-8300 Social Indicators
Research. Publisher Springer Science. DOI 10.1007/s11205-013-
0361-4.