22
STRATEGI MEWUJUDKAN TRUST MELALUI PENCEGAHAN KORUPSI DI KEPOLISIAN Han’s Ia Papahit Program Pascasarjana STIK-PTIK Dosen : Dr. Bambang Indriyanto Email : hans.ndan @gmail.com Abstrak Tujuan tulisan ini adalah merumuskan strategi pencegahan korupsi di kepolisian yang bertujuan untuk membangun kondisi yang menghambat dan menurunkan perilaku korupsi di kepolisian dalam rangka mewujudkan trust. Untuk mewujudkan trust tersebut, tulisan ini mengajukan suatu model pencegahan korupsi di kepolisian yang dibangun melalui pendekatan perpolisian berorientasi pemecahan masalah (problem oriented policing - POP) dan pencegahan kejahatan. Pendekatan POP difokuskan pada upaya penanggulangan akar masalah secara kreaf, pengembangan solusi inovaf, dan pelibatan para pemangku kepenngan ( benefeciaries) untuk mencegah korupsi di kepolisian, sedangkan pendekatan pencegahan kejahatan difokuskan pada perumusan intervensi dan pemantauan terhadap perilaku korupsi di kepolisian dam pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian dengan melibatkan para pemangku kepenngan. Trust sebagai target dari strategi pencegahan korupsi di kepolisian yang menjadi pusat perhaan pada tulisan ini berorientasi pada kondisi organisasi kepolisian yang paripurna ( excellence). Dua pendekatan dalam pencegahan korupsi di kepolisian menjadi dasar perencanaan program untuk mempersiapkan pondasi kepolisian yang bergerak menuju organisasi yang paripurna ( strive to excellence). Adanya program yang bertujuan untuk membangun trust terhadap organisasi kepolisian yang memiliki sikap, perilaku, dan budaya non korupf, merupakan prasyarat mutlak bagi organisasi kepolisian untuk mewujudkan keberhasilan Grand Strategi Polri secara keseluruhan. Tulisan ini mengajukan saran agar pencegahan korupsi di kepolisian mengedepankan ga strategi utama, yaitu pengintegrasian program pencegahan korupsi di kepolisian kedalam kebijakan trust building Grand Strategi Polri, pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian, pembangunan kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan program pencegahan korupsi di kepolisian. Melalui ga strategi tersebut, langkah strategis untuk mewujudkan trust terhadap organisasi kepolisian melipu integrasi program pencegahan korupsi di kepolisian dalam Strategi Trust Building GSP , integrasi pencegahan korupsi di kepolisian dalam Program “Reformasi Birokrasi Polri”(RBP), integrasi pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam acon plan “Pelayanan Prima, An KKN, dan An Kekerasan”, Kerjasama dengan instansi terkait, peningkatan kemampuan Polres untuk mencegah korupsi di kepolisian, dan pembangunan kemitraan yang sinergis untuk mencegah korupsi di kepolisian. Kata Kunci : korupsi, kepolisian, pencegahan, manajemen strategis, trust, problem oriented policing

STRATEGI MEWUJUDKAN TRUST MELALUI PENCEGAHAN KORUPSI

Embed Size (px)

Citation preview

STRATEGI MEWUJUDKAN TRUST MELALUI PENCEGAHAN KORUPSI DI KEPOLISIAN

Han’s Itta Papahit

Program Pascasarjana STIK-PTIK

Dosen : Dr. Bambang Indriyanto

Email : hans.tindan @gmail.com

Abstrak

Tujuan tulisan ini adalah merumuskan strategi pencegahan korupsi di kepolisian yang bertujuan

untuk membangun kondisi yang menghambat dan menurunkan perilaku korupsi di kepolisian dalam

rangka mewujudkan trust. Untuk mewujudkan trust tersebut, tulisan ini mengajukan suatu model

pencegahan korupsi di kepolisian yang dibangun melalui pendekatan perpolisian berorientasi

pemecahan masalah (problem oriented policing - POP) dan pencegahan kejahatan. Pendekatan POP

difokuskan pada upaya penanggulangan akar masalah secara kreatif, pengembangan solusi inovatif,

dan pelibatan para pemangku kepentingan (benefeciaries) untuk mencegah korupsi di kepolisian,

sedangkan pendekatan pencegahan kejahatan difokuskan pada perumusan intervensi dan

pemantauan terhadap perilaku korupsi di kepolisian dam pelaksanaan pencegahan korupsi di

kepolisian dengan melibatkan para pemangku kepentingan.

Trust sebagai target dari strategi pencegahan korupsi di kepolisian yang menjadi pusat perhatian

pada tulisan ini berorientasi pada kondisi organisasi kepolisian yang paripurna (excellence). Dua

pendekatan dalam pencegahan korupsi di kepolisian menjadi dasar perencanaan program untuk

mempersiapkan pondasi kepolisian yang bergerak menuju organisasi yang paripurna (strive to

excellence). Adanya program yang bertujuan untuk membangun trust terhadap organisasi kepolisian

yang memiliki sikap, perilaku, dan budaya non koruptif, merupakan prasyarat mutlak bagi organisasi

kepolisian untuk mewujudkan keberhasilan Grand Strategi Polri secara keseluruhan.

Tulisan ini mengajukan saran agar pencegahan korupsi di kepolisian mengedepankan tiga strategi

utama, yaitu pengintegrasian program pencegahan korupsi di kepolisian kedalam kebijakan trust

building Grand Strategi Polri, pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas

kepolisian, pembangunan kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk mendukung

pelaksanaan program pencegahan korupsi di kepolisian. Melalui tiga strategi tersebut, langkah

strategis untuk mewujudkan trust terhadap organisasi kepolisian meliputi integrasi program

pencegahan korupsi di kepolisian dalam Strategi Trust Building GSP , integrasi pencegahan korupsi di

kepolisian dalam Program “Reformasi Birokrasi Polri”(RBP), integrasi pencegahan korupsi di

kepolisian ke dalam action plan “Pelayanan Prima, Anti KKN, dan Anti Kekerasan”, Kerjasama dengan

instansi terkait, peningkatan kemampuan Polres untuk mencegah korupsi di kepolisian, dan

pembangunan kemitraan yang sinergis untuk mencegah korupsi di kepolisian.

Kata Kunci : korupsi, kepolisian, pencegahan, manajemen strategis, trust, problem oriented policing

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Publikasi hasil riset Transparency International Indonesia (TII) menyebutkan tiga instansi

paling korup. Pertama bea cukai (62 persen), kedua kepolisian (56 persen), dan ketiga TNI

(46 persen).1 Predikat sebagai instansi yang korup mencerminkan ketidakpercayaan

masyarakat terhadap Polri. Tanpa adanya kepercayaan yang merupakan pondasi dari

rangkaian Grand Strategi Polri, tujuan untuk menjadi organisasi yang excellence dapat

dipastikan sulit terwujud.

Galford mengemukakan bahwa salah satu faktor utama untuk memperoleh kepercayaan

adalah perilaku yang non-self oriented, kontradiktif dengan upaya memperoleh keuntungan

atau manfaat pribadi sebagai tujuan korupsi yang sangat self oriented. Konsekuensi logis dari

hal tersebut adalah lemahnya trust, yang sesungguhnya merupakan pondasi utama bagi

kesuksesan Grand Strategi Polri (GSP).

B. Tujuan, Sasaran, dan Ruang Lingkup

Strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian secara umum adalah

suatu rencana kegiatan jangka panjang yang diutamakan untuk pencegahan perilaku korupsi

di kepolisian, untuk memperoleh dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap

kepolisian. Terbentuknya Kepercayaan masyarakat yang merupakan tujuan dari strategi ini

diharapkan dapat mendukung GSP untuk mewujudkan Polri yang excellence.

Sasaran dalam pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di

kepolisian adalah sebagai berikut:

1. Unit kerja terkait di lingkungan Mabes Polri sesuai dengan bidang pembinaan dan/atau

tugas masing-masing sebagai unsur pendukung di tingkat nasional untuk menjabarkan

lebih rinci seluruh strategi pencegahan korupsi di kepolisian dalam bentuk panduan-

panduan.

2. Unit Kerja kewilayahan sebagai unsur pendukung di tingkat daerah untuk melakukan

koordinasi dan supervisi terhadap implementasi strategi mewujudkan trust melalui

pencegahan korupsi di kepolisian di daerahnya masing-masing.

Satuan fungsi operasional dan pembinaan pada tingkat KOD sebagai unsur penentu

keberhasilan mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian.

Strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian mencakup jenis-jenis

perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam UU 31 tahun

1http://www.antikorupsi.org/id/content/instansi-paling-korup, diakses 5 November 2015.

1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

Perubahannya, korupsi meliputi 7 (tujuh) jenis kegiatan yang meliputi:

1. Korupsi terkait keuangan negara/perekonomian negara (pasal 2 dan 3);

2. korupsi terkait suap-menyuap (pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, pasal 5 ayat (2), dalam

pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, pasal 6 ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a-d, dan pasal

13);

3. Korupsi terkait penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, 10 huruf a-c);

4. Korupsi terkait pemerasan (pasal 12 huruf e-g);

5. Korupsi terkait perbuatan curang (pasal 7 ayat (1) huruf a-d, pasal 7 ayat (2), dan pasal

12 huruf h);

6. Korupsi terkait benturan kepentingan dalam pengadaan(pasal 12 huruf I);

7. Korupsi terkait gratifikasi (pasal 12 B jo. Pasal 12 C);

II. KONSEP DALAM STRATEGI

Meskipun istilah korupsi seringkali dikelilingi oleh perdebatan konseptual (Simpson 1977;

Duchaine 1979), korupsi umumnya diasosiasikan dengan suap (atau gratifikasi), melibatkan

perilaku pejabat layanan publik yang tidak benar dan melanggar hukum yang posisinya

menciptakan peluang untuk pengalihan uang dan aset dari pemerintah untuk diri mereka sendiri

dan kaki tangannya. Korupsi di kepolisian adalah penyalahgunaan keputusan, pengaruh, uang

atau kekayaan melalui kemampuan seorang pejabat kepolisian untuk bertindak (action) atau

tidak bertindak (ommision) dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau manfaat pribadi

(World Bank : 1997, Haryatmoko : 2003).

POP merupakan pendekatan pemecahan masalah dengan prinsip partisipasi, informasi, tindakan

dan dapat dipergunakan berulang kali. Pemecahan masalah dilakukan melalui tahapan scanning,

analyze, response, dan Assesment (SARA), yang dititikberatkan pada tiga tema utama:

peningkatan efektivitas dengan menanggulangi akar masalah yang menimbulkan insiden yang

menyita waktu; bergantung pada keahlian dan kreativitas polisi untuk mempelajari masalah

secara cermat dan mengembangkan solusi inovatif; dan pelibatan para pemangku kepentingan

untuk memastikan bahwa polisi menangani kebutuhan permasalahan. (Spelman dan Eck :1987,

Stephen & NIJ dalam Spelman dan Eck : 1987).

Serupa dengan alasan dan penyebabnya, strategi pencegahan akan berbeda dari satu jenis

perilaku korup dengan perilaku korup yang lain. Oleh karena itu, untuk mencegah perilaku korup

tertentu, (daripada berpikir tentang 'korupsi' sebagai suatu keseluruhan perilaku) akan berguna

untuk memecahkan masalah perilaku korup dalam bentuk yang berbeda.Dikarenakan akan ada

banyak bentuk perilaku korupsi, maka lebih baik memprioritaskan bentuk-bentuk tertentu dan

kemudian mencari strategi terbaik untuk meminimalkan bentuk-bentuk perilaku korup tersebut

(Gorta 1998; Gorta 2006).

Dalam upaya pencegahan korupsi di kepolisian, maka yang pertama harus dilakukan oleh

organisasi dan anggota kepolisian adalah berani untuk menyatakan korupsi tersebut ada di

kepolisian. Tanpa adanya kejujuran akan keberadaan korupsi di kepolisian dengan

mengedepankan “esprit de corps” maupun berbagai alasan lainnya, maka pencegahan korupsi di

kepolisian hanya akan menjadi lips service belaka.

Pencegahan kejahatan merupakan adaptasi dari model pencegahan penyakit dalam ilmu

kesehatan. Pencegahan kejahatan dapat dibagi ke dalam tiga pendekatan (primer, sekunder, dan

tersier) yang serupa dengan model-model pencegahan penyakit yang telah dikenal umum

(pengelolaan lingkungan yang sehat, peningkatan daya tahan, dan pengobatan) maupun

pendekatan penanganan kepolisian (pre-emtif, preventif, dan represif) (Brantingham &

Fraust:1976, Caplan : 1964, Leavell dkk:1965, Shah & Roth : 1974, P. Lab : 1992).

Pencegahan korupsi di kepolisian merupakan suatu kegiatan berkesinambungan, sebagai dari

bagian dari good governance, melalui tahapan scanning, analyzing, responses,dan assesment

(SARA) dalam model Problem Oriented Policing (POP) yang dibangun Goldstein, dipadukan

dengan model pencegahan kejahatan (crime prevention-CP) yang dikembangkan oleh Stephen P.

Lab (pencegahan primer, sekunder, dan tersier), untuk membangun kondisi yang menghambat

dan menurunkan perilaku korupsi di kepolisian.

Mengapa Pencegahan Korupsi di Kepolisian dilaksanakan untuk mewujudkan trust?

Ketika Kebijakan Pelayanan Prima, Anti KKN, dan Anti kekerasan disampaikan kepada publik

untuk memperoleh Organizational Trust, sebagaimana dikemukakan Galford, kebijakan tersebut

perlu diimplementasikan sebagaimana dijanjikan, termasuk anti korupsi. Galforld juga

mengemukakan bahwa inconsistent messages merupakan “musuh trust”. Ketika terjadi

ketidaksesuaian antara pernyataan dan tindakan, maka trust akan menurun.

Trust merupakan prasyarat keberhasilan Grand Strategi Polri (GSP). Adanya perilaku korupsi di

kepolisian yang bertentangan dengan kebijakan anti KKN akan menurunkan trust kepada Polri,

dan dampaknya akan mempengaruhi ketercapaian kinerja GSP secara keseluruhan.

Tiga tujuan strategis adalah sebagai berikut:

1. Integrasi yang lebih efektif pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam kebijakan Grand

Strategi Polri, perencanaan dan penyusunan program pada semua satuan kewilayahan

maupun fungsi kepolisian dengan secara khusus memberikan penekanan pada pemetaan

potensi korupsi, penyebab munculnya perilaku korupsi, intervensi penyebab korupsi, dan

intervensi peristiwa korupsi;

2. Pengembangan dan penguatan kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas pada semua tingkat

manajemen, maupun pengembangan dan penguatan kapasitas masyarakat, yang dapat

secara sistematis memberi sumbangan terhadap efektivitas pencegahan korupsi di

kepolisian;

3. Kerjasama sistematis dari pendekatan pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam rencana

dan pelaksanaan program Pelayanan Prima, Anti KKN, dan Anti Kekerasan dalam Reformasi

Birokrasi Polri.

Konsep-konsep tersebut menjadi acuan dan diadopsi dalam kegiatan pencegahan korupsi di

kepolisian untuk mewujudkan trust.

III. STRATEGI MEWUJUDKAN TRUST MELALUI PENCEGAHAN KORUPSI DI KEPOLISIAN

A. Visi dan Misi

Visi pencegahan korupsi di kepolisian untuk mewujudkan trust yaitu: “Terwujudnya

kepercayaan masyarakat terhadap Polri yang memiliki sikap, perilaku, dan budaya non

koruptif untuk mendukung Grand Strategi Polri”.

Misi pencegahan korupsi di kepolisian untuk mewujudkan trust sebagai berikut:

1. Menciptakan lingkungan kerja dan interaksi yang menghambat peluang terjadinya

korupsi di kepolisian.

2. Memberdayakan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian untuk

dapat mewujudkan praktik-praktik pencegahan korupsi.

3. Mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian dalam kegiatan internal dan

eksternal.

4. Membangun kemitraan antar berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan

pencegahan korupsi di kepolisian.

5. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan

pencegahan korupsi di kepolisian.

6. Mempertahankan kesinambungan (sustainability) pencegahan korupsi di kepolisian

melalui diseminasi, modifikasi dan replikasi.

B. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus

Tujuan umum mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian: “Membangun

budaya anti korupsi, perilaku anti korupsi, dan lingkungan anti korupsi di kepolisian dalam

lingkup Polres untuk mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian serta

menumbuhkan dukungan masyarakat terhadap Grand Strategi Polri”.

Tujuan khusus mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian adalah sebagai

berikut:

1. Mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian kedalam kebijakan trust building

Grand Strategi Polri.

2. Memberdayakan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian.

3. Membangun kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk mendukung

pelaksanaan program pencegahan korupsi di kepolisian.

C. Strategi Pencegahan Korupsi di Kepolisian

Upaya mewujudkan trust dilaksanakan melalui tindakan pencegahan korupsi di kepolisian

yang dirancang melalui 3 strategi, yaitu:

1. Pengintegrasian program pencegahan korupsi di kepolisian kedalam kebijakan trust

building Grand Strategi Polri .

2. Pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian;

3. Pembangunan kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk mendukung

pelaksanaan program pencegahan korupsi di kepolisian.

Adapun penjabaran dari strategi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Integrasi program pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam kebijakan trust building

GSP

Integrasi program pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam kebijakan trust building

GSP bertujuan agar setiap level manajemen kepolisian turut berperan aktif dalam

melakukan kreasi dan inovasi serta implementasi program pencegahan korupsi di

kepolisian pada fungsi kepolisian yang diemban, dan keterkaitannya dengan kegiatan

kepolisian sehari-hari.

Pelaksanaan integrasi dilakukan pada Satuan kewilayahan dan Komando Operasional

Dasar (KOD), yaitu Polres, melalui kegiatan manajemen operasional dan pengawasan

internal sesuai dengan fungsi kepolisian dan potensi korupsi yang teridentifikasi pada

satuan/fungsi tersebut. Pengintegrasian program pencegahan korupsi di kepolisian ke

dalam GSP dapat dilakukan melalui model berikut:

a. Integrasi program pencegahan korupsi di kepolisian dalam Strategi Trust Building

GSP, sesuai dengan karakteristik korupsi di kesatuan kewilayahan / fungsi kepolisian

masing-masing.

1) Scanning : Pemetaan potensi korupsi di kepolisian yang merupakan “enemy of

trust” (meminjam istilah Galford) dalam faktor-faktor yang mempengaruhi

pencapaian trust dalam GSP melalui metode TASP (Task, Activity, Sector, Places)

yang dikembangkan oleh Adam Graycar.

2) Analyzing : Analisis penyebab perilaku korupsi di kepolisian dengan

menggunakan GONE theory (greeds,opportunities,needs,exposures) dari Jack

Bologne dan mengintegrasikan penyebab korupsi di kepolisian sebagai threats

dalam mewujudkan trust, serta analisis perilaku korupsi yang merupakan

penyebab utama penurunan tingkat kepercayaan masyarakat.

3) Responses : Mengintegrasikan alternatif pencegahan dan intervensi korupsi di

kepolisian dengan menggunakan model pencegahan kejahatan yang

dikembangkan Stephen P. Lab (primer, sekunder, tersier) kedalam GSP, serta

melibatkan komunitas kepolisian secara aktif dan partisipatif dalam pelaksanaan

pencegahan korupsi di kepolisian dan peningkatan kepercayaan masyarakat.

4) Assesment : Perumusan prosedur dan teknik penilaian dan evaluasi capaian

kinerja pencegahan korupsi di kepolisian dan capaian tingkat kepercayaan

masyarakat yang diintegrasikan dengan penilaian dan evaluasi GSP.

b. Integrasi pencegahan korupsi di kepolisian dalam Program “Reformasi Birokrasi

Polri”(RBP), sesuai dengan karakteristik korupsi di kesatuan kewilayahan / fungsi

kepolisian masing-masing.

1) Perumusan indikator kinerja pencegahan korupsi di kepolisian dan indikator

tingkat kepercayaan masyarakat yang akan diintegrasikan ke dalam Reformasi

Birokrasi Polri.

2) Penyusunan rencana program dan rencana kegiatan pelaksanaan pencegahan

korupsi yang mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam

Reformasi Birokrasi Polri.

3) Pelaksanaan pencegahan korupsi yang mengintegrasikan pencegahan korupsi di

kepolisian ke dalam Reformasi Birokrasi Polri, dan pelibatan komunitas

kepolisian secara aktif dan partisipatif dalam pencegahan korupsi di kepolisian.

4) Perumusan prosedur dan teknik penilaian terkait pelaksanaan pencegahan

korupsi di kepolisian, serta teknik dan metode penilaian terkait tingkat

kepercayaan masyarakat kedalam program RBP.

c. Integrasi pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam action plan “Pelayanan Prima,

Anti KKN, dan Anti Kekerasan” sesuai dengan karakteristik perilaku korupsi di

kepolisian setempat.

Upaya ini dilakukan dengan cara menyelenggarakan prinsip-prinsip pencegahan

korupsi di kepolisian ke dalam berbagai kegiatan manajemen, operasional dan

pelayanan kepolisian yang merupakan action laden units :2

Revenue earning units, yaitu unit-unit yang memungut pendapatan negara.

The Big Spenders, yaitu unit yang membiayai proyek besar dengan anggaran negara

yang juga besar.

Unit pemerintahan yang memberi perizinan dalam arti luas, termasuk wewenang

yang dapat merugikan dan menguntungkan orang. (Authoritative Power – pen)

(Djamin : 2015)

2 Paul Douglas dalam Djamin 2015

Guna mendukung proses pengintegrasian pencegahan korupsi di kepolisian ke

dalam action plan “Pelayanan Prima, Anti KKN, dan Anti Kekerasan”, maka pra-

syarat yang harus dipenuhi adalah:

1) Penyusunan modul-modul pelatihan bagi manajer, supervisor dan pelaksana

dalam pengintegrasian pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam berbagai

kegiatan manajemen, operasional, dan pelayanan kepolisian, termasuk modul

pelatihan survei tingkat kepercayaan masyarakat.

2) Penyusunan modul-modul pelatihan bagi supervisor dalam pengembangan

teknik dan metode pengawasan kegiatan manajemen, operasional dan

pelayanan kepolisian, termasuk modul pelatihan teknik dan metode survei

tingkat kepercayaan masyarakat.

3) Penyelenggaraan pelatihan bagi manajer, supervisor dan pelaksana dalam

pengintegrasian pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam berbagai kegiatan

manajemen, operasional dan pelayanan kepolisian, serta bagi supervisor dalam

implementasi teknik dan metode pengawasan kegiatan manajemen, operasional

dan pelayanan kepolisian.

2. Pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian

Pemberdayaan Peran Kelembagaan dan Kemampuan Komunitas Kepolisian berkenaan

dengan peningkatan kapasitas, dengan mengukur terlebih dahulu kapasitas lembaga

maupun komunitas kepolisian, serta menggali dan membangun pengetahuan

pencegahan korupsi di kepolisian, termasuk adanya contoh-contoh praktis dan

pengalaman yang berkaitan dengan implementasi pencegahan korupsi di kepolisian.

Peningkatan kemampuan pencegahan korupsi di kepolisian kepada komunitas kepolisian

dilaksanakan dengan memberikan teori, konsep, dan metode yang digunakan untuk

mengembangkan kemampuan pemetaan, analisa, perumusan alternatif tindakan, dan

penilaian (SARA), dalam upaya perwujudan perilaku anti korupsi bagi seluruh unsur

manajemen, supervisor, pelaksana, dan mitra kepolisian.

Pemberdayaan peran kelembagaan dan komunitas kepolisian dalam konteks

pencegahan korupsi di kepolisian dibangun melalui penguatan manajemen berbasis KOD

(Polres) sehingga Polres secara leluasa dan fleksibel dapat menentukan sendiri

kebutuhan-kebutuhannya yang berkaitan dengan pelaksanaan pencegahan korupsi di

kepolisian, baik di lingkungan internal Polres itu sendiri maupun komunitas kepolisian.

Selain itu, penguatan komitmen Polres dan komunitas kepolisian untuk melaksanakan

pencegahan korupsi di kepolisian dalam konteks manajemen berbasis KOD mutlak

diperlukan.

Pemberdayaan peran kelembagaan Polres dalam konteks pencegahan korupsi di

kepolisian dilakukan oleh satuan kewilayahan setingkat Polda dengan dukungan Set RBP

Mabes Polri yang menyediakan berbagai pedoman pelaksanaannya.

Berkenaan dengan pengembangan kemampuan pencegahan korupsi di kepolisian bagi

komunitas kepolisian, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan:

a. Kerja sama dengan Kemeterian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi

Birokrasi, Deputi Bidang Pencegahan KPK, dan organisasi non-pemerintah yang

memiliki kapasitas terkait dengan pencegahan korupsi di kepolisian dan tingkat

kepercayaan masyarakat untuk penyusunan modul dan penyelenggaraan pelatihan.

1) Penyusunan modul pelatihan mengenai pemetaan, analisa, perumusan alternatif

tindakan, dan penilaian implementasi pencegahan korupsi di kepolisian untuk

Kapolres, Kasatfung, dan Itwasda serta modul pelatihan penyajian hasil

pencegahan korupsi di kepolisian kepada masyarakat.

2) Penyusunan modul pelatihan mengenai survei tingkat kepercayaan masyarakat

untuk Kapolres, Kasatfung, dan Itwasda.

3) Pelatihan mengenai pemetaan, analisa, perumusan alternatif tindakan, dan

penilaian implementasi pencegahan korupsi di kepolisian untuk Kapolres,

Kasatfung, dan Itwasda, serta pelatihan penyajian hasil pencegahan korupsi di

kepolisian kepada masyarakat.

4) Pelatihan mengenai survei tingkat kepercayaan masyarakat untuk Kapolres,

Kasatfung, dan Itwasda.

b. Peningkatan kemampuan Polres dalam pencegahan korupsi di kepolisian, baik

secara struktur maupun secara non-struktur, serta peningkatan keterbukaan

informasi pencegahan korupsi di kepolisian.

1) Identifikasi dan pemetaan potensi korupsi di kepolisian dengan menggunakan

metode TASP (Task, Activity, Sector, Places) dari Graycar, serta menyusun

rencana aksi Polres sebagai upaya pencegahan korupsi di kepolisian berbasis

KOD.3

3 Professor Adam Graycar dari Australian National University & Flinders University, dalam paparannya kepada World Bank pada tahun 2014 menjelaskan pemetaan korupsi. korupsi dipetakan kedalam jenis, kegiatan, sektor, dan lokasi (type, activity, sector, dan place / TASP). Dalam jenis korupsi tertentu peristiwa korupsi tidak dapat dipastikan lokasinya namun melekat pada peristiwa/kegiatan tertentu.

2) Fasilitasi penyusunan standar kinerja Polres dalam pencegahan korupsi di

kepolisian yang dilakukan melalui konsultasi publik.

3) Penyelenggaraan Polres sebagai pilot project Wilayah Bebas Korupsi.

4) Fasilitasi publikasi hasil dan penilaian pencegahan korupsi di kepolisian secara

publik.

3. Pembangunan kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk mendukung

pelaksanaan program pencegahan korupsi di kepolisian.

Pembangunan kemitraan dan jaringan adalah upaya memperkuat kerjasama dan

menyebarkan informasi mengenai berbagai kegiatan pencegahan korupsi di kepolisian.

Dilaksanakan oleh Polres dengan bantuan teknis dari Set RBP Mabes Polri yang

menyediakan berbagai pedoman pelaksanaannya dan Polda sebagai pelaksana supervisi.

Strategi ini diharapkan dapat membangun kemitraan dan jaringan yang solid antar

berbagai pihak yang dapat mendukung pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian

dan meningkatkan kepercayaan masyarakat:

a. Pertukaran informasi antar Polres dalam pelaksanaan pencegahan korupsi di

Kepolisian.

b. Kerjasama kegiatan antar Polres untuk meningkatkan kualitas pencegahan korupsi di

kepolisian di Polres masing-masing.

c. Penyediaan data dan informasi korupsi di kepolisian yang dapat diakses oleh Polres-

Polres maupun masyarakat guna mendukung pencegahan korupsi di kepolisian pada

Polres-Polres dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.

d. Mendokumentasikan dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian mengenai korupsi

di kepolisian yang dapat mendukung proses pencegahan korupsi di kepolisian dan

meningkatkan kepercayaan masyarakat.

e. Melakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan

pencegahan korupsi di kepolisian.

f. Menyebarluaskan data dan informasi mengenai upaya pencegahan korupsi di

kepolisian dalam berbagai bentuk dan metoda komunikasi.

g. Membangun kemitraan dan jaringan informasi dengan dengan Polda, organisasi

non-pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota dan media massa

(cetak/elektronik) yang memiliki kapasitas terkait dengan korupsi di kepolisian

maupun tingkat kepercayaan masyarakat.

IV. PELAKSANAAN STRATEGI

Keberhasilan dalam pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di

kepolisian tidak terlepas dari berbagai dukungan para pemangku kepentingan. Dalam

pelaksanaannya, strategi ini juga memiliki serangkaian peluang dan tantangan serta kekuatan

dan kelemahan. Identifikasi melalui analisis SWOT dimaksudkan untuk mengoptimalkan

pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian karena setiap

strategi memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Berdasarkan hal tersebut maka

tingkat keberhasilan dari pelaksanaan strategi ini akan sangat bergantung dari dukungan para

pemangku kepentingan yang memiliki peran masing-masing.

A. Peran Para Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan Strategi

1. Peran Polres

Polres sebagai Komando Operasional Dasar yang memiliki fungsi kepolisian lengkap yang

bersentuhan langsung dengan masyarakat merupakan tempat atau wahana yang

strategis untuk mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian. Dalam

lingkup Polres, anggota kepolisian berinteraksi dengan masyarakat melalui proses

pelayanan kepolisian untuk memelihara keamanan dan keteriban masyarakat,

melindungi mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Oleh

karena itu, Polres harus menjadi lingkungan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan

nepotisme. Kapolres, Kasatfung, Kapolsek jajaran, pegawai administrasi dan layanan

kepolisian harus menjadi tenaga profesional yang selalu dan secara terus menerus

memiliki kemampuan menciptakan lingkungan pelayanan kepolisian yang bebas dari

perilaku korupsi.

Berkenaan dengan implementasi pencegahan korupsi di kepolisian untuk mewujudkan

trust, Polres sebagai suatu sistem pelayanan kepolisian bagi masyarakat harus didukung

dengan kemampuan Kapolres untuk:

a. Menumbuhkan semangat anti korupsi secara intensif untuk meningkatkan

kepercayaan masyarakat antara lain dengan membentuk budaya anti KKN dan

mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam rencana kerja Polres.

b. Membantu dan mendorong anggota kepolisian dan komunitas kepolisian untuk

mengembangkan potensi secara optimal, dengan memberikan keterampilan

identifikasi, analisa, solusi dan evaluasi (SARA) pencegahan korupsi di kepolisian.

c. Melaksanakan proses pencegahan korupsi di kepolisian secara efektif, efisien,

partisipatif, dan kontekstual.

d. Mengajak stakeholders untuk bekerja bersama dalam meningkatkan mutu

pelayanan Polres, khususnya berkenaan dengan implementasi strategi pencegahan

korupsi di kepolisian.

e. Melibatkan seluruh komunitas kepolisian dalam pengambilan keputusan untuk

implementasi strategi pencegahan korupsi di kepolisian.

f. Memberikan informasi secara transparan tentang korupsi di kepolisian, upaya

pencegahan korupsi di kepolisian, dan hasil pelaksanaan pencegahan korupsi di

kepolisian kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan.

2. Peran pengguna layanan kepolisian

Pengguna layanan kepolisian merupakan komponen yang sangat diperlukan untuk

memberikan dukungan secara penuh dan langsung kepada Polres dalam implementasi

pencegahan korupsi di kepolisian. Pengguna layanan kepolisian berperan dalam

peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan informasi bagi pemetaan potensi

korupsi di kepolisian (scanning), pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana

dan prasarana, serta pengawasan (monitoring) dalam pelaksanaan pelayanan kepolisian

bagi Polres yang bersangkutan.

Pengguna layanan kepolisian sebagai anggota masyarakat berkenaan dengan

pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian mempunyai hak sebagai berikut:

a. Mendapatkan perlindungan hukum dan rasa aman, khususnya bagi kelompok

masyarakat rentan terhadap perilaku korupsi di kepolisian.

b. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam pencegahan korupsi di

kepolisian.

c. Mendapatkan informasi tentang kebijakan pencegahan korupsi di kepolisian.

d. Berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pencegahan

korupsi di kepolisian.

e. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan pencegahan korupsi

di kepolisian, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya.

f. Turut melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas

pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian.

Selain memiliki hak, pengguna layanan kepolisian juga memiliki kewajiban yang

berkenaan dengan pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian, yaitu:

a. Menjaga ketaatan dan kepatuhan hukum dalam proses penerimaan layanan

kepolisian.

b. Melakukan pencegahan korupsi di kepolisian melalui partisipasi aktif melaporkan

perilaku korupsi di kepolisian.

c. Memberikan informasi yang benar mengenai perilaku korupsi di kepolisian.

d. Menyebarluaskan capaian kinerja pencegahan korupsi di kepolisian secara

bertanggung jawab.

3. Peran organisasi non pemerintahan

Organisasi non pemerintahan (Yayasan, lembaga survei, LSM, Organisasi

kemasyarakatan) merupakan komponen yang sangat diperlukan untuk memberikan

dukungan secara penuh dan langsung kepada Polres dalam implementasi pencegahan

korupsi di kepolisian. Organisasi non pemerintahan berperan dalam peningkatan mutu

pelayanan dengan memberikan informasi bagi pemetaan potensi korupsi di kepolisian

(scanning), penelitian dan analisa faktor-faktor terkait korupsi di kepolisian (analyzing)

pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan

dan penilaian (assesment) dalam pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian bagi

Polres yang bersangkutan, termasuk menyampaikan hasil penilaian pencegahan korupsi

di kepolisian kepada masyarakat.

4. Peran pemerintah

Pemerintah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan pencegahan korupsi di

kepolisian, terutama dalam perumusan kebijakan penceghan korupsi di kepolisian dan

pemaduan pencegahan korupsi dikepolisian dengan program pembangunan.

Kebijakan pemerintah sangat menentukan akan keberhasilan pelaksanaan pencegahan

korupsi di kepolisian. Upaya yang dapat dilakukan yaitu sebagai berikut:

a. Menyiapkan perangkat kebijakan dan pedoman terhadap usaha pencegahan korupsi

di kepolisian yang mencakup pemetaan potensi korupsi di kepolisian, analisis faktor

korupsi di kepolisian, intervensi korupsi di kepolisian, dan penilaian pencegahan

korupsi di kepolisian, yang dijadikan sebagai acuan implementasi pencegahan

korupsi di kepolisian.

b. Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan pencegahan korupsi di

kepolisian yang mencakup pemetaan potensi korupsi di kepolisian, analisis faktor

korupsi di kepolisian, intervensi korupsi di kepolisian, dan penilaian pencegahan

korupsi di kepolisian.

c. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta korupsi di kepolisian.

d. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap pencegahan korupsi di kepolisian.

e. Melaksanakan penyelenggaraan pencegahan korupsi di kepolisian.

f. Memberikan dana hibah dan fasilitas lainnya bagi Polres yang melaksanakan

pencegahan korupsi di kepolisian.

g. Melaksanakan berbagai pelatihan pencegahan korupsi di kepolisian secara

berkelanjutan bagi para pengawas, Kapolres, Kasatfung, Kapolsek jajaran, dan

komunitas kepolisian.

h. Meningkatkan peran koordinasi dan supervisi dalam pelaksanaan pencegahan

korupsi di kepolisian.

i. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi strategi pencegahan

korupsi di kepolisian.

j. Memberikan informasi kegiatan kepada masyarakat, termasuk komunitas kepolisian

k. Membangun sistem informasi pencegahan korupsi di kepolisian yang dapat diakses

dengan mudah oleh Polres dan masyarakat.

l. Melakukan penelitian dan penilaian tingkat kepercayaan masyarakat terhadap

kepolisian.

B. Peluang dan Tantangan

Pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian akan dihadapkan pada peluang dan

tantangan. Peluang yang dimiliki untuk melaksanakan pencegahan korupsi di kepolisian yaitu

modalitas yang berbentuk antara lain sebagai berikut:

1. Perangkat peraturan perundang-undangan dan berbagai kebijakan yang terkait dengan

pencegahan korupsi di kepolisian.

2. Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang pencegahan

korupsi dan peningkatan kepercayaan masyarakat.

3. Organisasi Kepolisian tingkat Polres (KOD) yang tersebar di seluruh Indonesia.

4. Kemitraan dengan organisasi maupun individu pengguna layanan kepolisian seperti

penyalur tenaga kerja, sekolah mengemudi, perbankan, obyek vital, dan lain-lain.

5. Kemitraan dengan berbagai lembaga dan organisasi kemasyarakatan dalam negeri, luar

negeri, dan internasional yang terkait dengan pencegahan korupsi dan kepercayaan

masyarakat seperti ICW, IPW, Kompolnas.

6. Adanya organisasi profesi kepolisian yang dapat mendukung dan memperkuat upaya

pencegahan korupsi di kepolisian seperti kementerian PAN-RB, Deputi pencegahan KPK,

dan Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian.

Tantangan yang dihadapi untuk melaksanakan pencegahan korupsi di kepolisian untuk

mewujudkan trust antara lain sebagai berikut:

1. Luasnya ruang lingkup kegiatan kepolisian yang meliputi hampir seluruh perilaku korupsi

yang didefinisikan dalam UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan Perubahannya.4

2. Luasnya bidang tugas kepolisian yang meliputi semua action laden units sebagaimana

dikemukakan Paul Douglas, yaitu unit-unit yang memungut pendapatan negara (Revenue

earning units) 5, unit yang membiayai proyek besar dengan anggaran negara yang juga besar

(The Big Spenders), Unit pemerintahan yang memberi perizinan dalam arti luas, termasuk

wewenang yang dapat merugikan dan menguntungkan orang (Authoritative Power).6

3. Terbatasnya dukungan finansial di berbagai tingkatan organisasi kepolisian yang

dialokasikan secara khusus untuk pencegahan korupsi di kepolisian.

4. Lemahnya kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap pentingnya pelayanan

kepolisian yang bebas korupsi.

5. Beban dan kegiatan manajemen maupun operasional kepolisian akan semakin

bertambah.

6. Belum atau tidak ada pedoman dan model-model pelaksanaan pencegahan korupsi di

kepolisian yang berlaku secara nasional

7. Baru sebagian kecil Polres yang sudah melaksanakan pencegahan korupsi di kepolisian

secara rutin dan terprogram.

8. Minimnya motivasi, koordinasi, dan inisiasi dari beberapa pihak yang terkait untuk

menunjang terwujudnya pencegahan korupsi di kepolisian.

9. Kondisi masyarakat yang cenderung permisif, bahkan suportif terhadap perilaku korupsi

di kepolisian (faktor opportunities).

10. Resistensi para pelaku korupsi di kepolisian (faktor greed).7

4 7 (tujuh) jenis kegiatan yang meliputi: Keuangan negara/perekonomian negara (pasal 2 dan 3); suap-menyuap (pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, pasal 5 ayat (2), dalam pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, pasal 6 ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a-d, dan pasal 13); penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, 10 huruf a-c); pemerasan (pasal 12 huruf e-g); perbuatan curang (pasal 7 ayat (1) huruf a-d, pasal 7 ayat (2), dan pasal 12 huruf h); benturan kepentingan dalam pengadaan(pasal 12 huruf I); gratifikasi (pasal 12 B jo. Pasal 12 C);5 Dalam PP nomor 50 tahun 2010, terdapat 12 jenis kegiatan yang merupakan sektor PNBP di Polri. 12 (dua belas), meliputi penerbitan SIM; pelayanan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator; penerbitan STNK; penerbitan STCK; penerbitan TNKB; penerbitan BPKB; penerbitan SMKD; penerbitan Surat Izin Senjata Api dan Bahan Peledak; penerbitan SKCK; penerbitan Surat Keterangan Lapor Diri; penerbitan Kartu Sidik Jari (Inafis Card); dan denda pelanggaran lalu lintas.6 Dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Polri, pada pasal 15 dan pasal 16, tedapat 36 (tiga puluh enam) kewenangan yang dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu 13 (tiga belas) kewenangan dalam pelaksanaan tugas pokok Polri, 11 (sebelas) kewenangan berdasarkan undang-undang lain, serta 12 (dua belas) kewenangan dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan.7 Resistensi merupakan akibat rasionalisasi, umumnya dilakukan dengan mengemukakan alasan-alasan seperti: semua orang melakukannya; ini adil; saya tidak punya pilihan; tidak ada yang dirugikan; saya layak

11. Penghasilan anggota kepolisian yang belum memadai (faktor need).8

12. Rendahnya sanksi bagi pelaku korupsi di kepolisian, seringkali perilaku korupsi hanya

dikenakan sanksi disiplin/kode etik (faktor exposure).

13. Stigma negatif yang sudah melekat dengan berbagai jargon/istilah yang menggambarkan

perilaku korupsi di kepolisian (hanya tiga polisi jujur, hilang ayam jadi hilang sapi, damai

itu lima puluh ribu, prit jigo, dll).

C. Kekuatan dan Kelemahan Pelaksanaan Strategi

Beberapa kekuatan dan kelemahan dari pelakanaan strategi dapat diidentifikasi

sebagaimana yang diuraikan dalam tabel berikut ini.

No Strategi Kekuatan Kelemahan

1 2 3 4

1 Pengintegrasian program pencegahan korupsi di kepolisian kedalam kebijakan trust building Grand Strategi Polri .

Pencegahan korupsi di kepolisian akan efektif melalui integrasi dalam strategi yang lebih besar (GSP).

Tidak diperlukan penambahan strategi baru dalam GSP untuk mencegah korupsi di kepolisian.

Fokus dan tujuan pencegahan korupsi di kepolisian lebih terarah untuk mewujudkan trust.

Pencegahan korupsi di kepolisian dapat dilaksanakan secara fleksibel, praktis dan spesifik.

Komitmen dan motivasi setiap elemen dan komunitas kepolisian untuk melaksanakan pencegahan korupsi di kepolisian tidak sama.

Tanggung jawab anggota kepolisian tidak terfokus hanya pada pencegahan korupsi di kepolisian.

Waktu dan upaya lebih diperlukan untuk mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian kedalam GSP.

Kapasitas manajer pelaksana fungsi pembinaan dan operasional kepolisian dalam mengintegrasikan tidak sama.

Perlu manajer pembinaan dan operasional kepolisian atau instruktur yang memiliki keahlian khusus.

Perlu sarana dan prasarana yang memadai.

Perlu dana yang memadai.

1 2 3 4

2 Pemberdayaan peran Polres menjadi pelaksana utama Anekaragam kegiatan kepolisian

mendapatkannya; mereka layak mendapatkannya; ini bukanlah kejahatan; mereka tidak keberatan; ini untuk kebaikan, dll. (Venegas, April 2014).8 Bagi sebagian besar golongan pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk memenuhi kebutuhan selama dua minggu. Situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan, dan banyak diantaranya memperoleh tambahan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan (Parker dalam Asia Survey : 1980, Schoorl : 1960 dalam Hamzah : 2007, Augusto Lopez-Claros : 2014).

kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian.

pencegahan korupsi di kepolisian.

Komunitas kepolisian menjadi pendukung utama dalam pencegahan korupsi di kepolisian di tingkat Polres.

Komunitas kepolisian mempunyai pemahaman dan kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya pencegahan korupsi di kepolisian.

yang bertumpu di Polres dapat mengurangi keseriusan upaya pencegahan korupsi di kepolisian.

Pemahaman dan kesadaran terhadap pencegahan korupsi di kepolisian akan berkurang jika treatment tidak dilakukan secara terprogram dan berkala.

3 Pembangunan kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan program pencegahan korupsi di kepolisian.

Setiap Polres dapat bertukar informasi melalui internet.

Polres memperoleh bantuan teknis dari pihak-pihak terkait.

Manajer pembinaan dan operasional kepolisian dapat mengakses berbagai sumber dan referensi untuk kepentingan pencegahan korupsi di kepolisian.

Tidak semua Polres mempunyai kemampuan dan fasilitas yang memadai.

Kurangnya koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Hanya sedikit Manajer pembinaan dan operasional kepolisian yang mempunyai kemampuan mengakses informasi.

V. PEMANTAUAN DAN ASSESMENT PELAKSANAAN STRATEGI

Pemantauan dan evaluasi perlu dilaksanakan untuk menjamin bahwa semua strategi pencegahan

korupsi di kepolisian dilaksanakan di Polres-Polres secara optimal. Hasil dari pemantauan dan

evaluasi digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan untuk menyempurnakan pelaksanaan

strategi, baik yang menyangkut proses maupun produk.

Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dapat dilaksanakan secara internal dan eksternal.

Pelaksanaan pemantauandan evaluasi internal dilaksanakan oleh Polres itu sendiri. Sedangkan,

pelaksanaan pemantauandan evaluasi eksternal dilakukan secara koordinatif Set RBP Mabes

Polri dan Itwasda Polda.

Dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dapat juga melibatkan berbagai pihak yang terkait

seperti Kementerian PAN-RB, Deputi pencegahan KPK, perguruan tinggi, dan organisasi

nonpemerintah yang mempunyai kapasitas dalam bidang pencegahan korupsi dan kepercayaan

publik trust.

A. Pelaksanaan Pemantauan

Pemantauan merupakan upaya untuk mengendalikan proses pelaksanaan suatu program

agar program tersebut dilaksanakan sesuai dengan perencanaannya dan menghasilkan

produk yang bermutu. Oleh karena itu, pemantauan biasanya dilakukan dalam kurun waktu

selama proses berlangsungnya suatu program.

Dalam hal pelaksanaan strategi pencegahan korupsi di kepolisian untuk mewujudkan trust

yang dilaksanakan oleh Polres, pemantauan dilakukan selama berlangsungnya pelaksanaan

program tersebut dengan maksud untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

1. Sejauh manakah kemajuan dari proses pencegahan korupsi di kepolisian?

2. Sejauh manakah kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan pencegahan korupsi

di kepolisian?

3. Seberapa banyakkah masalah yang dapat menghambat proses pelaksanaan pencegahan

korupsi di kepolisian?

4. Sejauh manakah para pelaksana dapat melakukan perbaikan secara langsung terhadap

proses pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian?

Pemantauan terhadap proses pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian mencakup

unsur-unsur: Apa yang akan dipantau; Bagaimana cara memantau; Waktu atau frekuensi

pemantauan; Lokasi pemantauan; Siapa yang akan melakukan pemantauan; Siapa yang akan

menganalisis hasil pemantauan; dan Siapa yang akan menerima hasil atau tindakan dari

pemantauan.

Agar kegiatan pemantauan dapat dilaksanakan secara optimal perlu mempertimbangkan

hal-hal sebagai berikut:

1. Membuat disain pemantauan terhadap pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian.

2. Menyusun dan mengembangkan indikator-indikator yang ditungkan kedalam instrumen

pemantauan.

3. Menyusun instrumen pemantauan dengan berdasarkan pada kisi-kisi yang telah dibuat

sebelumnya.

4. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan dan peran pemangku kepentingan dalam

pencegahan korupsi di kepolisian secara berkala.

5. Menyusun modul-modul pelatihan pemantauan bagi para pemangku kepentingan

mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian.

6. Menyelenggarakan pelatihan pemantauan bagi para pemangku kepentingan

mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian.

7. Mendokumentasikan hasil pemantauan sebagai bahan perumusan atau penyempurnaan

proses pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian.

B. Pelaksanaan Assesment

Assesment bukan hanya sekadar proses evaluasi. Evaluasi adalah proses ilmiah untuk

menentukan apakah korupsi di kepolisian berkurang, dan menentukan apakah intervensi yang

dilakukan merupakan penyebab berkurangnya korupsi tersebut. Assesment merupakan titik

puncak dari evaluasi, yaitu ketika kita mengambil kesimpulan atas pemasalahan dan solusinya

(Eck:2002).

Evaluasi dilaksanakan terhadap kemajuan atau setelah suatu program berlangsung dalam

suatu kurun waktu atau periode tertentu untuk mengetahui dampak pelaksanaan dari

program tersebut terhadap subyek program tersebut, baik dalam jangka pendek maupun

jangka panjang.

Kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan

korupsi di kepolisian dimaksudkan untuk mengetahui dampak dan keberhasilan melalui

indikator utama sebagai berikut:

1. Pencegahan korupsi di kepolisian terhadap tingkat korupsi di kepolisian pada Polres yang

diperoleh melalui kegiatan integrasi kedalam strategi trust building dalam GSP melalui

action plan pelayanan prima, anti KKN, dan anti kekerasan.

2. Pencegahan korupsi di kepolisian di Polres terhadap peningkatan kelembagaan dan

kemampuan Kapolres, manajer operasional dan pembinaan kepolisian, dan pengawas

dalam pencegahan korupsi di kepolisian.

3. Pencegahan korupsi di kepolisian pada Polres terhadap upaya penyediaan fasilitas

kemitraan dan jaringan informasi dalam pelaksanaan Pencegahan korupsi di kepolisian.

4. Kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap pelaksanaan strategi mewujudkan trust

melalui pencegahan korupsi di kepolisian yang dilaksanakan oleh Itwasda Polda.

5. Relevansi perangkat program yang disusun oleh unit-unit kerja terkait di lingkungan Polri

terhadap pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di

kepolisian.

6. Hasil survey tingkat kepercayaan masyarakat terhadap trust pada organisasi kepolisian

yang diakibatkan oleh pencegahan korupsi di kepolisian.

Adanya penjelasan yang meyakinkan tentang bagaimana pencegahan korupsi di kepolisian telah

meningkatkan kepercayaan masyarakat, adanya hubungan antara alternatif Intervensi (response)

pencegahan korupsi di kepolisian dan peningkatan trust, pelaksanaan pencegahan korupsi di

kepolisian dilakukan sebelum kepercayaan masyarakat meningkat, dan tidak ada penjelasan lain

yang meyakinkan tentang penyebab meningkatnya kepercayaan masyarakat adalah empat

kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan secara pasti bahwa pencegahan korupsi di

kepolisian yang dilakukan merupakan penyebab terwujudnya trust.

REFERENSI

UU No. 2 Tahun 2002 tentang “Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

UU No. 28 Tahun 1999 tentang “Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme”.

UU No. 31 Tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi."

UU No. 20 Tahun 2001 tentang “Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi."

PP No. 42 Tahun 2010 tentang “Hak-hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

PP No. 50 Tahun 2010 tentang “Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP Yang Berlaku di Lingkungan Polri.

PP No. 32 Tahun 2015 tentang “Perubahan Kesebelas atas PP No. 29 2001 Tentang Peraturan Gaji Anggota Polri”.

Bologna, Jack. Handbook of Corporate Fraud.1993 .

David, Master H., Green H. Charles, and Galford M. Robert."The trusted Advisor." (2007).

Bourdieu, Pierre. The logic of practice. (1990).

Bourdieu, Pierre. "Habitus."Habitus: A sense of place 2 (2005.

Brantingham, Paul J., and Frederic L. Faust."A conceptual model of crime prevention."Crime & Delinquency 22.3 (1976).

Caplan, Gerald. Principles of preventive psychiatry. (1964).

Clarke, Ronald Victor Gemuseus, and Marcus Felson, eds. Routine activity and rational choice.Vol. 5. (1993).

Cornish, Derek B., and Ronald V. Clarke, eds. The reasoning criminal: Rational choice perspectives on offending. (2014).

Homel, Ross, and R. Clarke.A revised classification of situational crime prevention techniques. (1997).

Houston, Douglas A. “Can corruption ever improve and economy.” Cato J. 27 (2007): 325.

Djamin, A. “Menghadapi Citra Polri Sebagai Institusi yang Paling Korup Menurut Transparansi Internasional”, makalah:

(2015).

Duchaine, N., John Jay Press, and USA. "Literature Of Police Corruption, V 2-A Selected, Annotated Bibliography." (1979).

Ede, Andrew, Ross Homel, and Tim Prenzler. "Reducing complaints against police and preventing misconduct: A diagnostic

study using hot spot analysis." Australian & New Zealand Journal of Criminology 35.1 (2002.

Eck, J. E. Problem-solving: Problem-oriented Policingin. (1987).

Eck, J.E., Responses to problems:An Introductory Guide for Police Problem-Solver Office of Community Oriented Police Services (2002).

Galford, Robert, and Drapeau, A.S. "The enemies of trust." Harvard Business Review 81.2 (2003): 88-95.

Galford, R. M., & Drapeau, A. S. The trusted leader. Simon and Schuster. (2003).

Gorta, Angela. Minimising Corruption: some lessons from the literature. Independent Commission Against Corruption.

(1998).

Gorta, Angela. "Corruption risk areas and corruption resistance." Measuring Corruption, Burlington. (2006).

Gorta, A. "Corruption prevention: Researching how and where to intervene." Second Meeting of the Network of Anti-

corruption agencies (ANCORAGENET). Empowering Anti-corruption agencies: Defying institutional failure and

strengthening preventative and repressive capacities. Lisbon. (2008).

Graycar, Adam, and Tim Prenzler.Understanding and preventing corruption.(2013).

Leavell, Hugh Rodman, and Edwin Gurney Clark.Preventive Medicine for the Doctor in His Community: An Epidemiologic

Approach [by] Hugh Rodman Leavell, E. Gurney Clark, and Twenty-three Contributors. (1965).

Hamzah, Andi. “Pemberantasan Korupsi”, Makalah. (2007).

Harlina, Indah. “Pencegahan Tindak Pidana Korupsi”. (2013).

Haryatmoko, Johannes. Etika politik dan kekuasaan. (2003).

Maister, D. H., Green, C. H., & Galford, R. M. The trusted advisor. Simon and Schuster. (2000).

Mayhall, Pamela D, Thomas Barker, and Ronald D. Hunter.Police-community relations and the administration of justice.

(1985).

Shah, Saleem A., and Loren H. Roth."Biological and psychophysiological factors in criminality."Handbook of criminology.

(1974).

Simpson, A. E. "Literature Of Police Corruption, V 1-A Guide To Bibliography And Theory." (1977).

Sparrow, M. K. .The regulatory craft: Controlling risks, solving problems and managing compliance. (2000).

Stachowitcz and Stanusch, Organizational Immunity to Corruption :Building Theoritical and Research Foundation. (2010).

Steve, Albrecht W., and O. Albrecht Chad."Fraud Examination." (2003).

Parker Guy J. "Indonesia 1979: The Record of three decades” (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123)

Prenzler, Tim, and Janet Ransley.Police reform: Building integrity. (2002).

Sutherland, Edwin Hardin. White collar crime. (1949).

Venegas, Juan C. Understanding and Preventing Corruption : Risk, Prevention, and Reporting”. Speech (2014).

Wolfe, David T., and Dana R. Hermanson.The fraud diamond: Considering the four elements of fraud. (2004).

Wortley, St. "Justice for All-Race and Perceptions Bias in the Ontario CJS-A Toronto Survey."Canadian J. Criminology 38

(1996)

https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/Digitization/102371NCJRS.pdf

http://www.antikorupsi.org/id/content/instansi-paling-korup

http://www.popcenter.org/about/?p=sara

http://kspsi.com/analisa-dan-data/analisa/standar-kebutuhan-hidup-layak-khl/

http://bdwinurcahyo.blogspot.com/2013/06/tentang-rumah-dinasnegara-aturan.html

http://www.antikorupsi.org/en/content/kapolri-baru-dan-pemberantasan-korupsi

http://www.viaconsultationgroup.com/en/board-of-directors/104-juan-carlos-venegas-icpa-cfc-icfs-cfip-ipfm

http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/palembang/attachments/178_MENGAPA-SESEORANG-KORUPSI.pdf

http://blogs.worldbank.org/futuredevelopment/six-strategies-fight-corruption