Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Sikap Kiai Terhadap Politik Era Reformasi Penulis: Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA.
Penerbit:
Lembaga Penerbitan Pascasarjana
Universitas Islam “45” Bekasi
Jl. Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113
Telp. (021) 71685361
Fax. (021) 8801192
e-mail: [email protected]
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Copyright @ Abdul Wahid Hasyim
Editor Naskah: Siti Asiah
Perancang Sampul: Suswoyo
Cetakan Pertama: Maret 2009
ISBN: 978-979-19414-6-4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL - i
KATA PENGANTAR - iii
DAFTAR ISI - viii
BAB I PENDAHULUAN - 1
A. Latar Belakang Masalah - 1
B. Identifikasi Masalah - 24
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah - 26
D. Kajian Pustaka Terdahulu - 27
E. Metodologi Penelitian - 37
BAB II KIAI, PESANTREN DAN POLITIK - 51
A. Peran dan Fungsi Kiai Pesantren - 51
1. Bidang Sosial Keagamaan - 51
2. Bidang Sosial Budaya - 59
3. Tipologi Kiai dan Pesantren – 64
a. Tipologi Kiai – 64
b. Tipologi Pesantren - 82
B. Pesantren dan Perubahan Sosial - 89
1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
Keagamaan - 89
2. Pesantren Sebagai Lembaga Pencetak
Ulama - 105
3. Pesantren Sebagai Lembaga Transmisi
Nilai Tradisi Keagamaan - 109
4. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial
Ekonomi - 112
C. Pesantren dan Politik - 116
1. Pesantren dan Modernisasi Birokrasi - 116
2. Pesantren dan Partai Politik - 122
3. Sikap Politik Kiai Pesantren - 160
BAB III PESANTREN DAN DINAMIKA
POLITIK NASIONAL ERA REFORMASI
1998-2004 - 165
A. Era Reformasi dan Kebijakan Politik
Menuju Demokrasi - 165
B. Bangkitnya Ragam Partai Politik Dalam
Bingkai Kekuasaan Era Reformasi - 208
C. Pesantren dan Pembentukan
Partai Politik Nasional - 228
1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) - 228
2. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
- 256
3. Implikasi Kebangkitan PKB dan PKNU
Terhadap Dunia Pesantren - 282
BAB IV KIAI PESANTREN DI JAWA TIMUR DALAM
ARENA SOSIAL POLITIK 1998-2004 - 289
A. Biografi Sosial-Intelektual Kiai Pesantren – 289
1. Kiai Abdullah Faqih - 289
2. Kiai Muhammad Yusuf Hasyim - 309
3. Kiai Alawy Muhammad - 318
4. Kiai Muhammad As’ad Umar - 326
5. Kiai Muhammad Hasib Wahab - 341
B. Motif dan Konteks Sosial-Politik Kiai Pesantren
- 354
BAB V POLITIK KIAI PESANTREN DI JAWA TIMUR
1998-2004 - 369
A. Kendaraan Politik Kiai Pesantren - 369
B. Peran Politik Kiai Pesantren pada Lembaga
Negara - 378
1. Lembaga Legislatif - 378
2. Lembaga Eksekutif - 390
3. Lembaga Yudikatif - 412
C. Peran Politik Kiai Pesantren pada Organisasi
Sosial Keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) - 416
D. Implikasi Keterlibatan Politik Kiai bagi Dunia
Pesantren - 550
BAB VI KESIMPULAN - 563
DAFTAR PUSTAKA – 568
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada penghujung akhir abad XX, tepatnya tahun
1998, perpolitikan di Indonesia, negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, mengalami perubahan
yang sangat dramatis. Krisis multidimensi,
demonstrasi mahasiswa yang terjadi di berbagai
daerah menuntut reformasi struktural di bidang
ekonomi, hukum dan politik serta berbagai
persoalah yang tidak terselesaikan, telah memaksa
Presiden Soeharto yang telah memerintah negara
berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa, secara
2 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
otoriter dan represif, untuk periode yang ketujuh
dalam waktu 76 hari, meletakkan jabatan. Dalam
pidatonya, antara lain ia menyatakan sebagai berikut:
Bahwa karena rencana pembentukan komite reformasi tidak terwujud, maka rencana perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi, sehingga sulit bagi saya untuk dapat menjalankan pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhati-kan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, maka saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998. Selanjutnya, sesuai Pasal 8 UUD 1945, Wapres Prof. Dr. B.J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/ Mandataris MPR periode 1998-2003.1
Dengan demikian, Prof. Dr. B.J. Habibie (nama
selanjutnya penulis sebut B.J. Habibie), seorang
teknokrat lulusan Jerman, kelahiran Pare-Pare,
Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, mengucapkan sumpah
jabatan Presiden/Mandataris MPR yang dilaksana-
kan oleh Ketua Mahkamah Agung di hadapan para
1 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan, Jalan
Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006), h.
65-66.
Pendahuluan 3
Anggota Mahkamah Agung lainnya.2 Sejak itu, B.J.
Habibie resmi menjadi Presiden Republik Indonesia
ke-3, menggantikan mentornya. Orde Baru tumbang
dan digantikan dengan Era Reformasi,3 sebuah jargon
populer yang sering diperbicangkan dan
dikumandangkan dalam diskusi-diskusi di kampus-
kampus di seluruh Indonesia. Tetapi, gonjang-ganjing
mengenai perpolitikan di Indonesia belum juga reda
dan surut, bahkan memanas. Pada tingkat tertentu,
B.J. Habibie yang melanjutkan sisa waktu jabatan
presiden yang ditinggalkan oleh gurunya memang
sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, tetapi, bagi para
demonstran, justru melukai hati mahasiswa.
Pengangkatannya tidak mempunyai legitimasi.
Dalihnya, ia tidak dipilih oleh wakil rakyat yang
terpilih lewat pemilu yang jujur dan adil,4 sehingga
2 Karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan
pengucapan sumpah di hadapan DPR/MPR dan untuk menghindari
kekosongan pimpinan dalam pemerintahan Negara, maka pengucapan
sumpah dilaksanakan di Istana Negara. Lihat Diro Aritonang,
Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto, Rekaman Perjuangan Mahasiswa
Indonesia 1998, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 206-
207. 3 Reformasi berasal dari bahasa Inggris Reform yang berarti
memperbaiki atau memperbaharui. Kemudian, pengertian kata
Reformation memiliki arti perubahan ke arah perbaikan sesuatu yang
baru. Perubahan itu dapat meliputi segala hal, entah itu sistem,
mekanisme, aturan, kebijakan, tingkah laku, kebiasaan, cara-cara atau
praktik-praktik yang selama ini dinilai tidak baik dan diubah menjadi
baik. 4 Agung Supriyo, Menimbang Keterlibatan Tiga Aktor Politik
Dalam Pemilu Transisional, dalam Yopie Renyaan, Theodure B. dan
Daniel P. Junaedi, (ed.), Transisi Demokrasi, Evaluasi Kritis
Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 175.
4 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
jalan keluar dari krisis adalah “suksesi dua pintu”: di
tingkat presiden dan wakil presiden sekaligus.5 Oleh
karena itu, ada anggapan bahwa B.J. Habibie yang
juga dianggap sebagai bagian dari Orde Baru tidak
mampu bertahan lebih dari 100 jam. Ada pula yang
sedikit optimistis meramalkan bahwa pemerintahan-
nya tidak akan bertahan lebih dari 100 hari.6 Tetapi
kenyataannya, pemerintahan B.J. Habibie mampu
bertahan dalam waktu 512 hari, dan meskipun
kekuasaannya sendiri dikategorikan sebagai
pemerintahan transisi, ia bersama kabinet reformasi
yang dibentuknya selama kurun waktu 17 bulan
mampu membidani kelahiran reformasi bagi bangsa
ini.7 Oleh karena itu, masanya dikenal sebagai awal
Orde Reformasi, sebuah orde transisi menuju
demokrasi berdasarkan ketentuan UUD 1945 dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai pemerintahan transisi, B.J. Habibie yang
berperilaku, karakter dan sifat yang sangat bebas,
terbuka dan transparan, tidak ragu-ragu untuk
menindaklanjuti tuntutan reformasi yang diteriakkan
5 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,
Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h.
32. 6 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan
Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006),
Cet. Ke-1, h. 76-77. 7 Ketika Teknokrat Memimpin Negara, Republika, (Jakarta), 22
September 2006, h. 24.
Pendahuluan 5
oleh masyarakat, cendikiawan dan mahasiswa.8
Dalam tulisannya, B.J. Habibie antara lain
menyatakan sebagai berikut:
Saya memperhatikan dengan sungguh-sungguh dinamika aspirasi yang berkembang dalam pelaksanaan reformasi secara menyeluruh, baik yang disampaikan oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan, maupun yang berkembang di masyarakat dan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peningkatan kehidupan politik yang sesuai dengan tuntutan zaman dan generasinya, kepemimpinan yang bersih dan bebas dari inefisiensi dan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kehidupan ekonomi yang lebih memberi peluang berusaha secara adil, telah saya tangkap sebagai aspirasi rakyat.9
Sebagai realisasi dan jawaban atas
pernyataannya itu, B.J. Habibie melakukan
pembongkaran terhadap ketamakan negara, antara
lain dengan memperkenalkan sebuah aura yang
8 Rumusan mahasiswa tentang reformasi politik dan ekonomi itu
sangat gamblang dan tegas. Dalam bidang politik, mereka menuntut
penghapusan paket lima UU politik, menuntut pengembalian peran MPR
sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan lain sebagainya, sedangkan
dalam bidang ekonomi, mereka menuntut pelaksanaan ekonomi yang
berpijak pada Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin hak kesejahteraan
rakyat, menuntut dihapuskannya kebijakan monopoli, serta menuntut
penghapusan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. 9 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan
Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006),
Cet. Ke-1, h. 70.
6 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
menjadikan kepresidenan sebuah jabatan yang bisa
dijabat oleh siapa saja yang dipercaya oleh rakyat,
melepaskan tahanan politik, memberikan kebebasan
berbicara, mengeluarkan pendapat, kebebasan pers
dan kebebasan unjuk rasa, membuka kesempatan
untuk mendirikan partai politik asal tidak melanggar
UUD 1945 dan Ketetapan MPR, menyelenggarakan
Sidang Umum MPR dan Pemilu, membubarkan BP7,
menghentikan P4 dan menandatangani Undang-
Undang Perimbangan Keuangan dan Otonomi
Daerah, memperlihatkan sikap demokratis dan tidak
bereaksi negatif terhadap kritik yang disampaikan
oleh lawan politiknya10
Dengan demikian, menurut M.C. Ricklefs dari
lima isu terbesar yang dihadapinya, B.J. Habibie
hanya berhasil merealisasikan isu tentang masa
depan reformasi, sedangkan keempat isu lainnya,
yakni tentang masa depan ABRI, masa depan daerah-
daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia,
masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya,
kroni-kroninya, serta masa depan perekonomian dan
10 Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Setya
Historika, 2001), Cet. Ke-1, h. 166-167. Lihat pula Suharko, Merajut
Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan Pengembangan Tata
Pemerintahan Demokratis 1966-2001, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2005), Cet. Ke-1, h. 187. Juga lihat Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-
Detik yang Menentukan, jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi,
(Jakarta: THC Mandiri, 2006), Cet. Ke-1, h. 57-58.
Pendahuluan 7
kesejahteraan rakyat belum terselesaikan,11 dan jika
bisa dilaksanakan salah satu di antara keempat isu
lainnya, khususnya terkait masalah Timor Timur,
justru menimbulkan kecaman dan bom waktu
baginya.12 R. William Liddle menguatkan keberhasil-
an satu isu, antara lain menyatakan sebagai berikut:
Selepas jatuhnya rezim Orde Baru, terjadi
banyak perubahan yang patut disimak, antara
lain liberalisasi politik berlangsung cukup
signifikan, pembatasan terhadap kebebasan
berbicara, berekspresi, berserikat dan berkumpul
serta hak-hak sipil lainnya dicabut. Partai-partai
politik dengan beragam ideologi diperbolehkan
berdiri. Kebijakan depolitisasi dan pendekatan
warisan Orde Baru diakhiri dan digantikan
dengan pluralisme politik yang mengarah pada
kompetisi dan representasi demokrasi.13
Meskipun hanya satu isu yang berhasil
dilaksakanan, capaian itu tergolong luar biasa,
mengingat krisis yang terjadi saat itu demikian parah.
11 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:
Serambi, 2005), Cet. Ke-1, h. 655-656. 12 Referendum yang menawarkan kepada penduduk Timor Timur
pilihan antara otonomi dalam Indonesia atau kemerdekaan, berakhir
dengan kemerdekaan Timor Timur. Masalah ini merupakan salah satu
noda B.J. Habibie, sehingga laporan pertanggungjawabannya ditolak
oleh MPR, di samping noda-noda lainnya. 13 R. William Liddle, “Indonesia’s Unexpected Failure of
Leadership” dalam Adam Schwarz & Jonathan Paris (ed.), The Politics
of Post Soeharto Indonesia, (New York: The Council on Foreign
Relation, 1999), h. 21.
8 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Salahuddin Wahid menyebut bahwa capaian itu
dimungkinkan karena kecerdasan B.J. Habibie,
kesediaannya untuk bekerja sampai jauh larut malam,
kesehatannya yang bagus, tidak menghindar dari
masalah detail, sikapnya dalam berkomunikasi yang
terlihat demokratis, bahkan mentolelir huu … dalam
pembukaan Sidang Umum MPR adalah tambahan
nilai plus bagi B.J. Habibie.14 Bahkan keberhasilan
menelorkan satu isu yang diikuti dengan
diterbitkannya beberapa perundang-undangan baru,
misalnya dalam bidang politik, tiga undang-undang
baru diberlakukan, yakni undang-undang tentang
pemilu, tentang partai politik dan tentang struktur
lembaga legislatif, yang oleh Suharko dapat
dipandang menjadi jaminan formal bagi kompetisi
politik dan partisispasi dalam penyelenggaraan
pemilu 7 Juni 1999,15 ditanggapi dan disambut secara
sukaria dan positif oleh berbagai kalangan, dengan
mendirikan beragam partai politik.
Dari kalangan nasionalis, misalnya Ny. Supeni,
Usep Ranuwijaya, IM. Sunakha dan lain-lain
mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI);
Soenardi, Dharmono, Anton R. Hutomo dan lain-lain
14 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-
Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2000), h. 66-67. 15 Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan
Pengembangan Tata Pemerintahan Demokrasi 1966-2001, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 186.
Pendahuluan 9
mendirikan Partai Rakyat Marhaen; Hadidjojo
Nitimihardjo, Zulfikar Tan dan lain-lain mendirikan
Partai Murba; dan Sri Bintang Pamungkas
mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI).16
Dari kaum modernis, misalnya Amien Rais, Ketua
Umum PP Muhammadiyah dan tokoh reformasi,
mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN); Yusril
Ihza Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang
(PBB); dan Deliar Noer mendirikan Partai Umat Islam
(PUI).17 Dari kaum tradisionalis, misalnya para kiai
pesantren dan politisi lainnya melalui Ormas NU
mendirikan PKB, namun, karena dianggap
diskriminatif, kiai Muhammad Yusuf Hasyim dan
kiai Salahuddin Wahid mendirikan Partai
Kebangkitan Ummat (PKU), kiai Syukron Makmun
mendirikan Partai Nahdhatul Ummah (PNU) dan
Abu Hasan, rival kiai Abdurrahman Wahid dalam
memperebutkan jabatan Ketua Umum NU,
mendirikan Partai Serikat Uni Nasional Indonesia
(Partai Suni).18 Sementara kiai Alawy Muhammad
16 Lihat al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-
Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999),
Cet. Ke-1, h. 120-121. 17 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,
Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 29-151.
Lihat pula al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-
Partai Islam versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999),
Cet. Ke-1, h. 122 dan 141. 18 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi?”, Jejak
Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma
Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 110. Lihat
10 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
tetap bergabung dengan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), kiai As’ad Umar bergabung
dengan Partai Golkar, gus Saifullah Yusuf dan kiai
Hasib Wahab bergabung dengan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Kiai-kiai tersebut baik
yang membentuk partai baru maupun yang
menggabungkan diri dengan partai lain, umumnya
merupakan warga dan ulama NU, karena mereka
pernah menduduki jabatan sebagai pengurus NU,
baik tingkat Pusat maupun Cabang. Selain itu,
mereka juga pengasuh pesantren kenamaan, yang
materi pelajaran yang diberikan kepada para
santrinya, memakai kitab-kitab menurut faham
Aswaja, sedangkan faham Aswaja merupakan aqidah
Jam’iyah Dīniyah Islāmiyah NU.19
Dengan demikian, situasi politik tahun 1998 yang
diiringi dengan diterbitkannya tiga undang-undang
baru dalam bidang politik oleh pemerintahan B.J.
Habibie di atas, secara tidak langsung mempunyai
hubungan dan pengaruh terhadap sikap politik kiai
pesantren, karena dari sayap NU, sebuah Ormas
Islam yang didirikan oleh para kiai pesantren, berdiri
beragam partai yang kebanyakan dibidani
pendiriannya oleh para kiai pesantren, di samping
pula Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 106-131. 19 Lihat Anggaran Dasar NU, Pasal 3 Tentang Aqidah. Mahbub
Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung:
Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 126-127.
Pendahuluan 11
ada pula kiai pesantren yang tetap menyalurkan
aspirasinya pada partai yang telah mapan
sebelumnya, seperti PPP, Golkar atau bahkan PDI.
Kiai pesantren yang menyikapi kondisi perpolitikan
tahun 1998 tersebut adalah kiai pesantren yang
berada di wilayah Jawa Timur, sebuah wilayah yang
warganya menjadi basis pendukung dan pengawal
Ormas NU, tetapi, tidak berarti dengan adanya
sikap20 politik kiai pesantren tersebut, NU berubah
menjadi partai politik. NU sesuai keputusan
Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo,21 tetap
pada Khittah/Garis Perjuangan 1926, sebagai sebuah
20 Sikap adalah kecenderungan individu untuk menanggapi situasi,
benda, ide, orang dan isu dengan cara tertentu. Sikap seseorang terhadap
sesuatu biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman,
pengetahuan, perasaan, emosi, cara berfikir, kebutuhan dan tujuan yang
inging dicapai. Lihat Lau & James B. Shani, A.B., Behaviour in
Organizations: An Experiential Approach, (Homewood: Richard Irwin
Inc, 1992), h. 98. Dalam konteks perpolitikan di Indonesia 1998-2004,
disikapi oleh kiai pesantren di Jawa Timur, salah satunya, dengan
mendirikan partai politik, di samping tetap bergabung dengan partai
yang telah mapan atau menjadi anggota parlemen dan anggota kabinet
dan lain sebagainya, guna mencapai ‘izz al-Islam wa al-Muslimin,
melalui institusi pendidikan pesantren dan lain sebagainya. 21 Mahbub Djunaidi, Ketua Tanfidziyah NU, mewakili KH. As’ad
Syamsul Arifin, menegaskan bahwa dalam Pemilu 1987 nanti warga NU
wajib menyukseskan pesta demokrasi, tetapi tidak wajib berkampanye
untuk PPP. Sekali lagi NU bukan PPP dan PPP bukan NU, karena
keduanya punya dunia sendiri-sendiri. Keduanya tidak punya ikatan
organisasi. Ini merupakan keputusan Muktamar PPP sendiri dan
keputusan Muktamar NU. NU tidak melarang warga NU atau
anggotanya termasuk para kiai yang menjadi pendukung dan pengawal
NU untuk berpolitik, tetapi melarang semua jabatan rangkap para
pengurusnya. Mereka diharuskan memilih antara karier politik atau
sosial keagamaan. Lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah
Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 2.
12 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Jam’iyah yang memusatkan perhatiannya pada
kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan
kebudayaan serta bidang sosial dan ekonomi.
Sikap politik kiai pesantren di Jawa Timur
tersebut, kemungkinan dimotivasi oleh besarnya
jumlah pesantren di wilayah itu.22 Secara kuantitatif,
jumlah santri dan pesantren di Jawa Timur,
sebagaimana dikatakan Siti Fadilah Supari, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, merupakan yang
terbesar di antara pesantren yang ada di Indonesia.23
22 Kiai Achmad Taufiqurrohman, Ketua Umum Yayasan Pondok
Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur dalam
kesempatan wawancara dengan penulis tanggal 27 Pebruari 2007, antara
lain menyatakan bahwa argumen yang bisa menjadi pertimbangan
mengapa kiai pesantren melakukan kegiatan politik, selain karena
wilayah Jawa Timur,memiliki banyak pesantren dengan jumlah santri
yang besar pula, juga karena kiainya mempunyai naluri sebagai pejuang,
sebagaimana telah ditunjukkan oleh kiai Hasyim Asy’ari, kiai A. Wahid
Hasyim, kiai Wahab Hasbullah dan lain-lain. Selain itu, pada Pemilu
Pertama, tanggal 29 September 1955 dan menjadi symbol
eksperimentasi Islam politik jilid I, NU muncul sebagai empat partai
besar dengan perimbangan kekuatan Parlemen PNI 57 kursi, Masyumi
57 kursi, NU 45 kursi dan PKI 39 kursi. Juga pada Pemilu Kedua tahun
1971 dan menjadi symbol ekperimentasi Islam politik jilid II, NU
memperoleh suara terbanyak di antara Parpol Islam yang lain, sekitar
18,67 % (lebih tinggi dibandingkan 18,4 % suara yang diperoleh pada
Pemilu tahun 1955), setara dengan 58 kursi DPR. Perolehan suara
sebesar itu, baik pada Pemilu 1955 maupun Pemilu 1971, terbanyak
diperoleh di Jawa Timur, daerah kantong pesantren, sehingga tidak bisa
diabaikan betapa besar peran kiai pesantren dalam mempengaruhi
kontituennya. Lihat Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan
Perwakilan Rakyat, (Jakarta: Leknas, 1971), h. 9-13. Juga lihat Martin
Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana
Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), Cet. Ke-1, h. 103. 23 Pernyataan itu, ia sampaikan dalam kunjungannya ke sejumlah
ponpes untuk menghadiri istighotsah atau acara resmi lainnya. Hampir di
Pendahuluan 13
Berdasarkan data statistik Ditjen Kelembagaan Islam,
Departemen Agama Republik Indonesia tahun 1980,
jumlah pesantren di Indonesia mencapai 5.373 buah
dengan jumlah santri 1.238.967 orang. Dari jumlah
tersebut, 1.344 buah terdapat di Jawa Timur dengan
santri berjumlah 427.517 orang.24 Pada tahun 2005
jumlah institusi tersebut meningkat menjadi 14.798
buah dengan santri berjumlah 3.464.334 orang. Dari
jumlah tersebut, 3.582 buah terdapat di Jawa Timur
dengan santri mencapai 1.169.256 orang.25 Jadi,
melalui pemilihan umum, mereka berharap dapat
mendulang suara dari para santri dan orang tua
beserta para keluarganya, bahkan dari para alumni
setiap acara yang diikuti, ribuan masyarakat turut hadir. Mereka larut
dalam do’a serta mendengarkan seksama wejangan dari para kiai. Oleh
karena itu, “Ini sangat luar biasa, jika pesantren juga dapat menyebarkan
pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat. Rencananya ia akan
membangun Poskestren di 200 pesantren yang tersebar di Jawa Timur.
Jadi, diawali dari Jawa Timur. Peresmian program ini dilakukan di
Ponpes Langitan Widang Tuban, sebagai salah satu dari lima pesantren
yang mengawali program ini. Keempat ponpes lainnya adalah Darul
Ulum, Peterongan Jombang, Bachrul Ulum, Tambak Beras Jombang, al-
Tanwir, Bojonegoro dan Raudhatul Muta’allimin, Babat Lamongan.
Lihat “Pesan Kesehatan Dari Pesantren”, Dialog Jum’at Tabloid
Republika, (Jakarta), 15 September 2006. 24 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen Pembinaan
Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 25 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen
Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Lihat pula
Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri
2009”, Republika, (Jakarta), 15 September 2006.
14 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dan keluarganya. Dalam hangar-bingar politik,
mereka berebut posisi kaum santri.26
Dengan demikian, suara dari pesantren
mempunyai daya jual yang tinggi, sehingga sebagai
pemilik, pengasuh dan elite,27 setidak-tidaknya elite
pesantren atau bahkan elite agama di tengah-tengah
masyarakat sekitarnya, kiai dapat melakukan
bargaining position dengan pihak-pihak yang punya
kepentingan. Jadi, pantas bila pesantren dan
warganya diperebutkan oleh banyak kalangan. Pada
era Orde Baru, para politisi Golkar biasa melakukan
kunjungan ke beberapa pesantren di berbagai
wilayah di Indonesia: Jawa dan luar Jawa, apalagi
saat menjelang pelaksanaan pemilu lima tahunan
tiba. Mereka datang selain meminta restu dan
dukungan atas pencalonan seseorang menjadi
presiden dan jabatan lainnya, juga tak jarang
menawarkan berbagai jabatan, baik jabatan pada
lembaga legislatif maupun eksekutif atau bahkan
26 Parpol Berebut Posisi Kaum Santri, Republika, (Jakarta), 12
Nopember 2007, h. 3. 27 Secara umum berarti sekelompok orang yang dalam masyarakat
menempati kedudukan tinggi, sedangkan secara khusus, berarti
sekelompok orang terkemuka pada bidang-bidang tertentu dan
khususnya golongan kecil yang memegang kekuasaan. Bahkan diartikan
sebagai posisi di dalam masyarakat, di pucak struktur-struktur sosial
yang terpenting, yaitu posisi tinggi dalam ekonomi, pemerintahan,
kemiliteran, politik, pekerjaan dinas, pengajaran dan agama dan lain
sebagainya. Dari pengertian ini, terdapatlah beragam sebutan elite, di
antaranya adalah elite politik, ekonomi, militer, diplomatik,
cendikiawan, filsuf, pendidik dan pemuka masyarakat serta elite agama
dan lain sebagainya.
Pendahuluan 15
menawarkan bantuan dana dan lainnya untuk
perbaikan sarana dan prasarana dalam rangka
kemajuan institusi pesantren, asalkan kiai dan warga
pesantren lainnya memberikan dukungan pada
Golkar. Kiai Karim Hasyim, pengasuh Pondok
Pesantren Tebuireng, yang juga putra pendiri Ormas
NU dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng KH.
Hasyim Asy’ari misalnya, pada tahun 1971, awal
Orde Baru, merupakan salah seorang di antara sekian
banyak kiai yang berhasil direkrut oleh Golkar untuk
menjadi juru kampanyenya.28 Begitu pula, kiai
Musta’in Romly, tokoh kharismatik, mursyid dan
Ketua Umum Tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah,
Rektor Universitas Darul Ulum dan Ketua Umum
Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum
Jombang adalah kiai pesantren yang secara terang-
terangan menyeberang dan menjadi pendukung
Golkar pada tahun 1978,29 padahal sebelumnya, ia
28 Ketika penulis menjadi santri Pondok Modern Darussalam Gontor
tahun 1969-1974, ia pernah berkunjung ke Gontor untuk bersilaturahmi
kepada KH. Ahmad Salah, salah seorang dari tiga pengasuh (Trimurti)
pondok. Kepadanya, ia memohon agar berkenan memberikan dukungan
kepada Golkar pada Pemilu yang akan diselenggarakan pada 1971,
tetapi, ia menolaknya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. 29 Kiai Musta’in Romly dengan institusi pendidikan dan keagamaan
yang dipimpinnya tidak sepantasnya meninggalkan NU, sedangkan di
pihak lain, Rejoso sebagai salah satu dari 4 pesantren di Jombang yang
paling berpengaruh dan memiliki sistem pendidikan yang paling modern
-ada SMP, SMA, Fisipol dan Fakultas Hukum- ternyata alumninya
belum semujur alumni 3 pesantren lainnya. Dari keempat pesantren
“bibit NU” di Jombang itu, Rejoso adalah satu-satunya yang belum
memperoleh kedudukan tertinggi dalam tubuh NU, maupun dalam
pemerintahan melalui NU. Rais ‘Am NU yang pernah menjabat sampai
16 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
merupakan pendukung utama Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), satu-satunya partai yang
dianggap mewakili aspirasi ummat Islam. Terlepas
dari interes pribadi, keduanya akhirnya dikucilkan
dan diasingkan bahkan kiai Musta’in Romly hampir
dibuang dari komunitasnya.
Dua contoh di atas menggambarkan betapa
pentingnya pesantren dan warganya – pada
dasawarsa tujuh puluhan – bagi Golkar sebagai
pengawal rezim yang berkuasa saat itu, untuk
mendulang suara pemilih, suatu kenyataan yang juga
diamini dan dilanjutkan oleh para ketua dan
pengurus Golkar periode berikutnya. Harmoko,
Ketua Umum Golkar 1992-1997 dan Menteri
Penerangan RI, sebagaimana pengurus sebelumnya,
saat itu berturut adalah KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, KH. Abdul
Wahab Hasbullah dari Tambak Beras dan KH. Moh. Bisri Syansuri dari
Dinanyar. Sedangkan dua Menteri Agama dari Jombang yang pernah
ada adalah KH. Abd. Wahid Hasyim dari Tebuireng dan KH. Wahib
Wahab dari Tambak Beras. Sedangkan Rejoso, tampaknya tidak pernah
melahirkan tokoh dalam bidang politik maupun pemerintahan yang
mampu mencapai jabatan setinggi itu. “Saya toh tidak dapat menitipkan
amanat pesantren Rejoso kepada orang-orang Tambak Beras atau
Tebuireng yang ada di pusat itu! Maka saya harus berjalan sendiri,
menembus ke pusat sendiri. Sikap politik kiai Musta’in Romly selain
menghasilkan keuntungan yang sifatnya materiil bagi pengembangan
dan kemajuan institusinya, juga mengubah pandangan sebagian besar
politisi yang berpredikat kiai pesantren terhadap Orde Baru yang
berkeinginan memisahkan Islam sebagai agama dengan Islam sebagai
ideology. Lihat Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret
Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. 80-81. Lihat pula
Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES,
1999), Cet. Ke-1, h. 304-309.
Pendahuluan 17
juga melakukan hal yang sama, bahkan ia
mencanangkan “Safari Ramadhan”, semacam
kegiatan mengunjungi pesantren pada bulan puasa.
Demikian juga Siti Hardiyanti Rukmana (selanjutnya
disebut Tutut), Ketua Golkar, saat ayahnya, Presiden
Soeharto berada di puncak kewibawaan,
menggandeng Gus Dur, Ketua Umum PBNU dan
tokoh masyarakat yang sangat populer, dalam
kampanye pemilu 1997, keliling pesantren.30 Tak lupa
Gus Dur, ketika itu mengucapkan sejenis “Pesan
Sponsor” dengan menyatakan “Tutut adalah calon
pemimpin nasional masa depan. Para kiai dan santri,
banyak yang mengamini pernyataan Gus Dur.”31
Sebagaimana Golkar, politisi PPP, partai yang
merupakan fusi dari Parmusi, Partai NU, PSII dan
Partai Perti, juga melakukan strategi yang sama. PPP
bahkan menempatkan kiai-kiai pesantren kharismatik
dalam struktur organisasi kepengurusan PPP, antara
lain kiai Moh. Bisri Syansuri, Rais ‘Am NU dan
pendiri pesantren Denanyar, dipilih menjadi Rais
‘Am Majelis Syuro PPP, kiai Maimun Zubeir dari
Ponpes Sarang, dipilih menjadi Ketua Majelis
Pertimbangan Partai, kiai Alawy Muhammad,
30 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,
Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h.
232. 31 Fransiskus Surdiasis, (ed.), Opini Denny J.A. Harian Suara
Pembaharuan, Jalan Panjang Reformasi, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006), 178.
18 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Pengasuh Ponpes al-Taroqqy, Sampang Madura,
dipilih menjadi Wakil Ketua Majelis Pertimbangan
Partai, sedangkan kiai Muhammad Yusuf Hasyim,
Direktur Ponpes Tebuireng dipilih menjadi Ketua
PPP. Penempatannya dalam struktur kepengurusan
partai, selain untuk membangun citra PPP sebagai
satu-satunya partai Islam, juga dalam rangka merebut
hati dan suara warga pesantren dan ummat Islam
yang tersebar di berbagai penjuru negeri ini,
khususnya Pulau Jawa. Tetapi, aliansi kiai pesantren
dengan PPP mengalami hambatan sejalan dengan
diserahkannya jabatan Ketua Umum PPP kepada H.J.
Naro tanpa melalui rapat partai, apalagi muktamar,
oleh H.M.S. Mintaredja, Ketua Umum PPP 1973-1978.
Konflik antara keduanya ini semakin meruncing,
ketika H.J. Naro, yang memegang kendali
kepemimpinan partai sampai tahun 1989, secara
sepihak menyerahkan kepada pemerintah, daftar
calon anggota legislatif untuk pemilu 1982, dengan
mengurangi proporsi anggota NU secara drastis, dan
bila ada kiai pesantren didaftar maka kiai pesantren
yang vokal seperti kiai Muhammad Yusuf Hasyim,
kiai Saifuddin Zuhri dan Imron Rosjadi diletakkan
pada urutan paling bawah, sehingga tidak mungkin
terpilih. Dampaknya, kiai pesantren beserta NU yang
dikawalnya keluar dari PPP dan meninggalkan
politik praktis. Keputusan itu, dua tahun kemudian
Pendahuluan 19
diformalkan dalam Muktamar NU di Situbondo
tahun 1984.32
Dalam pada itu, sikap politik kiai pesantren yang
mendirikan beragam partai atau dengan bergabung
pada partai yang telah established tersebut, barangkali
juga dipicu oleh tujuan politiknya, yakni ‘izz al-Islām
wa al-Muslimīn. Mereka berpandangan bahwa warga
NU, yang juga warga pesantren, secara ekonomi
merupakan masyarakat yang lemah, sedang secara
intelektual, merupakan komunitas yang rendah dan
tertinggal. Jadi, berbeda dengan Muhammadiyah,
secara ekonomi, warganya merupakan masyarakat
yang berada, sedang secara intelektual, merupakan
komunitas yang maju, yang ditandai dengan
banyaknya warga Muhammadiyah yang mengenyam
pendidikan tinggi, sehingga mereka dikategorikan
sebagai kelompok rasional dan modernis.33
Sebaliknya, warga NU dikategorikan sebagai
kelompok tradisionalis dan ortodok. Oleh karena itu,
untuk mengentaskan mereka dari kedua kondisi di
atas, maka kiai pesantren merasa perlu untuk
melakukan kegiatan politik, dengan target utama
lembaga legilatif dan eksekutif atau bila mungkin
32 Lihat Mahbub Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah
1926, (Bandung: Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 27-28. 33 M.M. Billah, “Muhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama: Reorientasi
Wawasan Pergerakan”, dalam Yunahar Ilyas, M. Masyhur Amin dan M
Daru Lalito (ed.), Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan
KeIslaman, (Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP
al-Muhsin, 1993), Cet. Ke-1, h. 18-22.
20 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
lembaga yudikatif dan lembaga non pemerintah
lainnya.
Lewat kedua lembaga negara yang bergengsi itu
khususnya dan umumnya, lembaga-lembaga non
pemerintah lainnya, kiai pesantren dan mereka yang
duduk mewakili kepentingan kiai pesantren dan
Ormas NU,34 dapat memainkan peran-peran
politiknya, misalnya peran dalam pengambilan
berbagai keputusan, peran dalam melaksanakan
fungsi-fungsi DPR, yakni bersama-sama Presiden
membentuk undang-undang, membentuk undang-
undang tentang APBN, melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan
APBN dan kebijakan pemerintah serta berperan
sebagai forum komunikasi antara rakyat dengan
34 Organisasi ini didirikan oleh kiai Hasyim Asy’ari bersama ulama
terkemuka lainnya, pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Jika kiai Hasyim
Asy’ari dikenal sebagai tokoh pembentuk isi Nahdlatul Ulama, maka
kiai Wahab Hasbullah adalah tokoh yang mewujudkannya menjadi
organisasi. Jadi, keduanya, baik kiai Hasyim Asy’ari, Rais Akbar
maupun kiai Wahab Hasbullah, Rais ‘Am adalah Bapak dan Pendiri
Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Adapun faktor yang melatarbelakangi
didirikannya ormas ini antara lain adalah dua peristiwa besar yang
menyangkut agama Islam yang terjadi setelah tahun 1924, yakni
dihapuskannya khalifah oleh Turki dan serbuan Kaum Wahabi ke
Mekkah. Kepada yang terakhir, para kiai pengusulkan agar tata cara
ibadah keagamaan yang dipertanyakan oleh Kaum Wahabi puritan
seperti membangun kuburan, berziarah, membaca do’a Dalāil al-
Khairāt, ajaran mazhab Syafi’I yang kebanyakan dianut oleh umat Islam
Indonesia dan kepercayaan terhadap para wali tetap dipertahankan. Lihat
Lothrop Stoddard, the New World of Islam, (Jakarta: Panitia Penerbit,
1966), h. 323. Lihat pula Deliar Noer, the Modernist Muslim Movement
in Indonesia 1900-1942, (Singapore: Oxford University Press, 1973), h.
243.
Pendahuluan 21
pemerintah dan DPR.35 Tentu, untuk sampai pada
lembaga negara dan non negara tersebut, perlu ada
sarana yang mengantarkannya, sedangkan kendaraan
yang dipandang sangat efektif adalah partai politik.
Oleh karena itu, pada tempatnya, bila para elite
politik, elite agama, elite pesantren dan elite-elite
lainnya, sebagaimana dijelaskan terdahulu, kemudian
mendirikan partai yang sangat variatif. Khusus untuk
elite pesantren, pendirian beragam partai itu, bisa
direalisasikan karena NU telah kembali ke khittah
1926, dari organisasi politik menjadi organisasi atau
Jam’iyah yang memusatkan perhatiannya pada
kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan
kebudayaan serta bidang sosial ekonomi, sehingga
membuka kesempatan kepada kiai pesantren untuk
berkiprah di partai politik, baik baru maupun lama.
Dalam hal ini, kiai Abdurrahman Wahid menyatakan
bahwa kiai khususnya dan NU pada umumnya, kini
sebaiknya berusaha masuk ke segala lingkungan dan
semua partai. Mereka harus berada di semua tempat,
di dalam angkatan bersenjata, PDI, Golkar dan PPP.
Kita harus berada di semua tempat.36 Jadi, kiai dan
NU sedikit banyak mengikuti contoh
Muhammadiyah yang sudah berada di tiga partai
35 Kiai As’ad Umar, Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok
Pesantren Darul Ulum dan Anggota DPR Dari Golkar, Wawancara
Pribadi, Peterongan, Jombang, 21 Pebruari 2007. 36 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan
Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 265.
22 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
politik,37 lantaran Muhammadiyah merupakan
Jam’iyah dan persyarikatan yang berorientasi pada
gerakan dakwah, amar makruf nahi munkar,
pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya,38 sehingga
memungkinkan anggotanya berada di semua tempat,
Partai Politik, ABRI, LSM dan lain sebagainya.
Dengan demikian, sikap politik kiai di atas,
nampak dipicu oleh banyak faktor dan untuk
melengkapi faktor tersebut, berikut argumen-
argumen yang barangkali bisa dikategorikan sebagai
factor pemacu. Pertama, bahwa sumber ajaran Islam
memiliki lingkup tidak terbatas pada aspek ritual dan
bimbingan moral, tetapi juga memberikan nilai-nilai
pada semua sisi kehidupan, baik dalam ilmu
ekonomi, hukum dan sosial maupun dalam persoalan
37 Pada periode 1987-1992, Muhammadiyah memiliki 9 wakil di
DPR dari PPP, 3 dari Golkar dan 1 dari PDI. Di pemerintahan juga
terwakili dengan diangkatnya Munawir Sjadzali menjadi Menteri
Agama. Meskipun begitu, Muhammadiyah tidak bisa menyetujui semua
usulan Menteri Munawir, misalnya dalam masalah pembagian warisan
yang diusulkan sama bagi anak laki-laki dan perempuan. 38 Sikap menarik garis pemisah yang jelas antara kegiatan sosial
keagamaan dengan dunia politik telah lama dilakukan oleh
Muhammadiyah, terutama setelah kegagalan beberapa pemimpinnya
mengambil alih pimpinan partai baru, Parmusi, pada tahun 1968. Sejak
itu, ia menyatakan diri tidak mempunyai ikatan apapun dengan partai
politik pada tahun 1971, sehingga ia dikritik dan dicap sebagai
kelompok Islam radikal. Lihat Anggaran Dasar dan Rumah Tangga
Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1962),
h. 3-4. Lihat pula Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi,
Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 338.
Pendahuluan 23
politik dan Negara.39 Kedua, dengan posisinya sebagai
pemuka (elite) agama, kiai pesantren memiliki
pengikut dan pengaruh yang luas di tengah-tengah
santri dan masyarakat di sekitar pesantren, sehingga
menyebabkannya terlibat dalam persoalan peng-
ambilan keputusan bersama, proses kepemimpinan,
penyelesaian problem-problem sosial, pengembangan
pendidikan, ekonomi dan kesehatan.40 Ketiga, dari
segi sejarah, ulama, baik wali maupun kiai pesantren
memiliki peran yang cukup besar dalam politik, yang
bisa dilihat dalam pengambilan keputusan sepanjang
sejarah Islam di Indonesia.41
Fenomena sikap politik kiai pesantren terhadap
perpolitikan di Indonesia, khususnya pada era
reformasi, sejauh pengamatan penulis menarik untuk
dicermati, diteliti, dikaji dan dijadikan sebagai
bahasan dalam sebuah tulisan, mengingat masa itu
merupakan bagian yang menentukan dari demo-
kratisasi di Indonesia yang ditandai oleh pelaksanaan
pemilu multi partai yang bebas, rahasia, jujur dan
adil, pada 7 Juni 1999.
39 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-1, h. 8. 40 Ali Maschan Musa, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil Society,
(Surabaya: LEPKISS, 1999), 116-124. 41 Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di
Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), Cet. Ke-1. Juga
lihat Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad
XX, (Jakarta: Arsip Nasional RI, 1981).
24 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka penulis
meneliti pesantren dan politik, studi tentang sikap
politik kiai pesantren di Jawa Timur 1998-2004. Untuk
meneliti masalah tersebut, maka dapat dikemukakan
identifikasi masalah sebagai berikut:
Pertama, pesantren dan politik merupakan dua
hal yang berbeda. Politik merupakan usaha yang
ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan
dan mewujudkan kebaikan bersama melalui
penyelenggaraan negara dan pemerintahan, sehingga
menimbulkan kegiatan yang diarahkan untuk
mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam
masyarakat yang terkadang dibarengi dengan
konflik, di samping kegiatan yang berkaitan dengan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum.
Sedangkan pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam, tempat murid-murid belajar
mengaji dan mempelajari ilmu pengetahuan agama
Islam kepada seorang guru, pemilik pesantren itu
sendiri yang dikenal dengan sebutan kiai. Dengan
demikian, kiai pesantren merupakan kiai yang
memusatkan perhatiannya pada pengajaran di
pesantren untuk mencerdaskan sumber daya
masyarakat melalui pendidikan. Tetapi,
kenyataannya mereka mengambil garapan para
negarawan dan politisi, dengan menyikapi
perpolitikan era reformasi melalui pendirian partai.
Pendahuluan 25
Persoalannya, apakah perpolitikan era reformasi
berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren
pesantren?
Kedua, manusia selain disebut sebagai homo social
juga dikenal sebagai homo politicus. Artinya bahwa
manusia tidak bisa hidup sendiri dan sangat
tergantung pada yang lain, di samping ia juga saling
mempengaruhi satu sama lainnya. Kiai pesantren
adalah manusia. Oleh karena itu, kiai pesantren juga
punya kepentingan politik, dan untuk mencapainya,
kiai pesantren menyikapi kebijakan politik
pemerintah era reformasi dengan mendirikan partai.
Persoalannya, apakah kebijakan pemerintah
berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren?
Ketiga, seseorang melakukan berbagai macam
aktivitas, terutama politik, karena adanya kekuatan
yang mendorong. Kekuatan pendorong itu ada yang
datang dari dalam diri orang itu sendiri atau
kekuatan internal dan ada pula yang datang dari luar
diri orang itu sendiri atau kekuatan eksternal.
sehingga tujuan yang dicita-citakan bisa tercapai.
Dalam konteks kiai pesantren persoalannya adalah
apakah tujuan dan motivasi politiknya berhubungan
dengan sikap politik kiai pesantren?
Keempat, dalam mencapai tujuan yang
diinginkan tentu diperlukan sarana dan tempat
berupa lembaga yang menjadi target politiknya.
26 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Persoalannya, apakah sarana yang menjadi target
politiknya berhubungan dengan sikap politik kiai
pesantren?
Kelima, bila sarana dan tempat berupa lembaga
telah dapat direalisasikan dan didapat, maka melalui
lembaga itu, diharapkan dapat dimainkan peran-
peran strategisnya, sehingga motif dan tujuannya
tercapai. Dalam konteks kiai pesantren, masalahnya
adalah apakah peran-peran strategis yang dimainkan
pada lembaga berhubungan dengan sikap politik kiai
pesantren?
Keenam, aktivitas kiai pesantren dalam politik,
seringkali banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran
dan lain sebagainya, sehingga kegiatan pokonya
sebagai pengasuh sekaligus pengajar di pesantren
untuk mencerdaskan sumber daya manusia melalui
pendidikan menjadi terabaikan. Oleh karena itu,
muncul permasalahan, apakah dampak bagi dunia
pesantren berhubungan dengan sikap politik kiai
pesantren?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang akan dikaji
sebagaimana dikemukakan di atas, maka penulis
hanya akan membatasi permasalahan pada sikap
politik kiai pesantren di Jawa Timur tahun 1998-2004
Pendahuluan 27
saja, sehingga permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan antara perpolitikan
era reformasi dengan sikap politik kiai
pesantren?
2. Apakah terdapat hubungan antara kebijakan
politik pemerintah era reformasi dengan sikap
politik kiai pesantren?
3. Apakah terdapat hubungan antara tujuan dan
motivasi politik kiai pesantren dengan sikap
politiknya?
4. Apakah terdapat hubungan antara lembaga,
tempat kiai pesantren memainkan peran
politiknya dengan sikap politik kiai pesantren?
5. Apakah terdapat hubungan antara dampak bagi
dunia pesantren dengan sikap politik kiai
pesantren?
D. Kajian Pustaka Terdahulu
Kajian tentang pesantren dan warganya, baik kiai
maupun santri dalam hubungannya dengan
kehidupan di dalam dan luar pesantren sebenarnya
telah banyak dilakukan orang. Kajian itu ada yang
sudah dibukukan dan tersebar luas dan ada yang
hanya dipublikasikan secara terbatas. Di antaranya
28 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
ada yang berupa kumpulan makalah dari hasil studi
literatur dan ada pula yang berupa refleksi
pengalaman penulis yang bersangkutan bahkan ada
yang berupa hasil penelitian yang sederhana. Selain
itu, ada beberapa kajian mendalam berupa disertasi
yang ditulis sebagai bagian untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar doktor.
Kajian yang bersifat mendalam yang ditulis
dalam bentuk disertai ditulis oleh Imam Suprayogo,42
berjudul Kiai dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian
Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai.
Dalam disertasi ini, penulis mencoba mengkaji kiai
dari sisi variasi dan bentuk keterlibatan politiknya di
Kecamatan Tebon, daerah penghasil tebu terbesar di
wilayah Kabupaten Malang. Mulanya diduga bahwa
variasi dan bentuk keterlibatan politik kiai tunggal,
tetapi kenyataaanya tidaklah demikian, sangat
variatif. Begitu pula bentuk keterlibatan kiai
bervariatif dalam politik pada masyarakat yang
berada di lapis bawah sangat beragam, terutama
dalam memandang pemerintah sebagai rival baik
dalam afiliasi politik dan pemilihan kepala desa
maupun dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengembangan ekonomi umat. Terdapat kiai yang
berekonomi kuat, sehingga memiliki independensi
42 Imam Suprayogo, “Kiai dan Politik di Pedesaan, Suatu Kajian
Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai,” Disertasi Doktor
Ilmu Sosial, (Surabaya: Perpustakaan Pascasarjana Universitas
Airlangga, 1998). td.
Pendahuluan 29
kuat dan mengambil jarak dengan pemerintah, tetapi
ada pula kiai yang lemah secara ekonomi, sehingga
tidak memiliki independensi. Akibatnya, ia selalu
tergantung pada pihak-pihak lain, dan secara politik
dekat dengan penguasa. Oleh karena itu, kiai
seringkali diperebutkan oleh berbagai kelompok
kepentingan. Kiai yang berada pada kategori
pertama, biasanya menjadi mitra kritis terhadap
penguasa, sebaliknya kiai berada pada kategori
kedua, mengambil sikap politik adaptif dan
akomodatif.
Mahmud Suyuthi43 dalam karyanya berjudul
Politik Tarekat, mencoba menjelaskan bahwa penataan
politik yang dikembangkan Orde Baru mempunyai
dampak politis yang terelakkan oleh kaum tarekat.
Akibatnya tarekat Qidīriyah wa Naqsyabandiyah di
Jombang pecah menjadi tiga kelompok: Tarekat Rejo
(akomodasional), Tarekat Cukir (fundamentalis) dan
Tarekat Kedinding Lor (reformis). Perbedaan pola
perilaku kaum tarekat tersebut disebabkan oleh
perbedaan pandangan atau pendapat mereka
terhadap pemerintah Orde Baru, serta perbedaan
pemaknaan dan penafsiran terhadap kepentingan
Islam.
Meskipun secara kategoris perilaku politik
Tarekat Rejoso akomodasionis, Tarekat Cukir
43 Mahmud Suyuthi, Politik Tarekat, (Yogyakarta: Gilang, 2002),
Cet. Ke-1.
30 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
fundamentalis dan Tarekat Kedinding Lor reformis,
namun tidak berarti bahwa perilaku politik murid
pada masing-masing tarekat itu sama dengan
perilaku politik mursyidnya, meskipun masih dalam
satu payung tarekat yang sama: Qodīriyah wa
Naqsyabandiyah. Selain itu, hubungan tarekat dan
politik Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari
kerangka besar yang membingkainya, yaitu
hubungan Islam dan negara di Indonesia. Hubungan
Islam dan negara di Indonesia mengalami beberapa
fase perkembangan yaitu fase ketegangan (sejak
menjelang kemerdekaan sampai masa awal Orde
Baru), fase pencarian dan penyesuaian hubungan
(sejak tahun 1970-an sampai ditetapkannya Pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan
sosial kemasyarakatan tahun 1985) dan fase
akomodatif (sejak tahun 1985 sampai sekarang).
Sementara sejak tahun 1970-an telah terjadi
pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam.
Akibatnya terdapat pola pemikiran, sikap dan
perilaku politik dalam memberikan respon terhadap
politik pemerintah Orde Baru. Perbedaan pola-pola
pemikiran, sikap dan perilaku politik tersebut tidak
hanya berlaku bagi organisasi dalam skala besar,
tetapi dalam suatu organisasi Islam terdapat
kelompok-kelompok yang mempunyai pola perilaku
politik yang berbeda satu sama lain. Dengan kata
lain, pluralitas pemikiran di kalangan umat Islam
Pendahuluan 31
telah memasuki segmen-segmen yang lebih kecil,
termasuk di kalangan kaum tarekat. Jadi, komunitas
Islam yang majemuk menjadi semakin majemuk.
Dalam pada itu, komunitas tarekat sebagai
komunitas keagamaan tidak berdaya dalam
menghadapi kekuasaan pemerintah Orde Baru.
Namun sebagai gerakan keagamaan, tarekat dapat
menjadi saluran dari proses santrinisasi priyayi atau
birokrasi, dengan semakin banyaknya elite birokrasi
yang masuk menjadi penganut atau pengamal
tarekat. Sementara, tarekat sebagai salah satu dimensi
ajaran Islam yang bersifat esoteris (batiniyah)
semakin menarik minat dalam kehidupan modern
yang kehilangan dimensi spiritual dan transedental.
Zamakhsyari Dhofier,44 dalam bukunya The
Pesantren Tradition, The Role of Kiai in the Maintenance
of Traditional Islam in Java, mencoba mengkritik studi
tentang Islam di Jawa yang terpaku oleh pola
pendekatan dikotomi tradisionalisme dan modernisme
yang tidak dapat dipertemukan, yang kemudian
menghasilkan penyederhanaan dan penyifatan yang
kasar sebagai dua kutub yang saling berlawanan.
Pendekatan seperti ini menurutnya dianggap tidak
akan membuahkan pengetahuan yang baru. Oleh
karena itu, ia menawarkan alternatif pendekatan lain
44 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren tradition, The Role of the
Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, op. cit., h. xx-xxii
dan xxx.
32 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
yang disebutnya “Kesinambungan di tengah-tengah
perubahan” – continuity and change. Lewat
pendekatan ini, ia menyimpulkan bahwa dalam
membangun masa depannya, pesantren berdiri
dengan teguh di atas tradisi masa lampaunya.
Bahkan, pada pesantren telah terjadi perubahan-
perubahan yang mendasar tanpa kehilangan jati diri
kiai atau pesantren yang bersangkutan. Pendekatan
dikotomis tradisionalis dan modernis hanya akan
memberikan gambaran yang tidak tepat, yaitu seolah-
olah pada suatu ketika kelompok tradisionalis akan
hilang setelah kelompok modernis mencapai
keberhasilan secara penuh, padahal yang demikian
menurutnya tidak akan pernah terjadi.
Tampaknya, Zamakhsyari Dhofier ingin
menunjukan pada dunia luar, bahwa pada dunia kiai
telah terjadi perubahan dan adaptasi sesuai dengan
tuntutan masyarakat, dimana kiai telah berhasil
memperbaharui penafsiran mereka terhadap Islam
tradisional untuk disesuaikan dengan dimensi
kehidupan yang baru. Begitu pula, dalam lapangan
sosial dan politik, para kiai dan anak cucunya telah
menjadi bagian dari kehidupan politik nasional, tidak
kalah moderen dibandingkan dengan kelompok-
kelompok sosial politik lainnya. Di antara kiai ada
yang memiliki kemampuan berpartisipasi dengan
memberikan alternatif pemikiran dalam rangka
pembangunan bangsa dalam skala yang lebih luas.
Pendahuluan 33
Keterlibatan kiai dalam merumuskan dasar Negara
Republik Indonesia dapat menjadi contoh betapa
peran strategis yang diambil oleh para kiai dalam
bidang politik.
Martin Van Bruinessen,45 dalam karyanya
berjudul Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, banyak
berbicara tentang tradisi keilmuan pesantren, kitab
kuning dan hubungan pesantren dengan tarekat.
Buku ini memang tidak banyak menyinggung posisi
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tetapi
banyak menyinggung mengenai asal usul pesantren,
metode dan materi pelajaran yang diajarkan di
seluruh pesantren di Indonesia, termasuk di pulau
Jawa, bahkan juga dibahas mengenai gerakan tarekat
di pesantren dalam hubungannya dengan proses
pertumbuhan dan perkembangan wacana keagamaan
dan semangatnya dalam perjuangan kemerdekaan
Negara Republik Indonesia. Jadi, persoalan politik
dibicarakan secara sederhana dan eksplisit.
Manfred Ziemek,46 dalam karyanya berjudul
Pesantren dalam Perubahan Sosial memberikan
penjelasan ala kadarnya tentang asal usul pesantren,
tetapi unsur-unsur lembaga pendidikan pesantren
yang mengalami perkembangan pada abad XX dan
45 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat,
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke1. 46 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, alih bahasa
oleh Butche B. Soendjojo dari Pesantren Islamische Bildung in Sozialen
Wandel, (Jakarta: P3M, 1983).
34 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
peranannya terhadap perubahan sosial banyak
mendapatkan porsi penjelasan yang memadai. Tetapi,
Karel A. Steenbrink,47 dalam karyanya berjudul
Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Moderen banyak menyinggung masalah asal
usul sistem pendidikan di pesantren. Oleh karena
tulisannya banyak difokuskan pada pembahasan
pendidikan Islam era modern, maka uraiannya
mengenai pesantren hanya sekilas dan tidak
membahas sejarah lembaga pesantren, apalagi soal
pesantren dan politik tidak disinggung sama sekali
Abdul Munir Mulkhan,48 dalam karyanya
berjudul Runtuhnya Mitos Politik Santri banyak
menguraikan tentang betapa para santri secara
terbuka mulai memasuki seluruh golongan dan
kekuatan politik yang ada. Sebagian besar santri yang
aktif dalam kegiatan politik praktis mewakili PPP
dalam lembaga legislative dan hampir separo dari
mereka secara aktif memberikan dukungan kepada
Golkan bahkan ada di antaranya yang berada dalam
PDI. Fenomena ini menunjukkan satu kecenderungan
baru yang mematahkan mitos santri sebagai oposan
dan pembangkang. Sedangkan Ali Maschan Moesa,49
47 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan
Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1974). 48 Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri,
(Yogyakarta: Sipress, 1992), Cet. ke-1. 49 H. Ali Maschan Moesa, Kiai Politik dalam Wacana Civil Society,
(Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet.ke-1.
Pendahuluan 35
dalam karyanya berjudul Kiyai dan Politik dalam
Wacana Civil Society menjelaskan mengenai cara-cara
para kiai tradisional melestarikan kelembagaan
mereka sebagai society berhadapan dengan Negara.
Kiai sebagai pemimpin kharismatik dalam bidang
agama dan kemasyarakatan, bagi masyarakat Islam
perdesaan memegang peranan penting untuk
membentengi ummat dan cita-cita Islam terhadap
ancaman kekuatan struktural dari luar. Oleh karena
itu, dalam wacana yang berkaitan dengan
pembangunan, paradigma yang berorientasi dari atas
(top down), seharusnya diubah menjadi paradigma
yang berorientasi dari bawah (bottom up), dalam arti
para kiai tidak hanya sekedar dijadikan selender yang
berfungsi meratakan dan meluruskan jalan dan
setelah itu mereka ditinggalkan, tetapi mereka
berharap dapat turut ambil bagian dalam proses
pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan
masyrakat. Mereka tidak hanya pasif melihat proses
perubahan, tetapi juga ikut menentukan arah
perubahan. Uraian Ali Maschan Moesa jelas
mengenai gerakan politik kiai, tidak seluruh daerah
Provinsi Jawa Timur, tetapi hanya terbatas pada
masyarakat di pulau Madura, sebuah daerah yang
terletak di sebelah timur Surabaya, Provinsi Jawa
Timur.
Dari beberapa kajian para sarjana yang telah
diuraikan dalam sub bab ini, sejauh pengamatan
36 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
penulis, belum memberikan informasi yang banyak
tentang pesantren dan politik, terutama mengenai
sikap politik kiai pesantren di Jawa Timur. Oleh
karena itu, melalui penelitian ini, penulis akan
mencoba mengkaji bahwa kiai sesuai dengan
habitatnya sebagai penyebab adanya pesantren,
pemilik, pengasuh dan tokoh sentral di pesantren
seharusnya mengajarkan pengetahuan agama kepada
para santrinya, tetapi, mengapa ia cenderung
melakukan aktivitas politik yang semestinya
dilakukan oleh politisi dan negarawan. Aktivitas itu
justru banyak dilakukan oleh kiai pesantren di Jawa
Timur, Propinsi yang menurut data statistik Ditjen
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI
tahun 2004-2005, memiliki jumlah kiai dan pesantren
jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah kiai
dan pesantren yang ada di daerah lain di Indonesia.
Sedangkan tahun 1998 dipandang sebagai Era
Reformasi, yang selain ditandai oleh mundurnya
Soeharto dari jabatannya sebagai presiden, juga
ditandai oleh bangkitnya Islam politik, yang tecermin
dengan munculnya beragam partai politik, di
antaranya ada yang dibidani pendiriannya oleh kiai
pesantren dan bahkan menjadi salah satu kendaraan
politiknya.
Pendahuluan 37
E. Metodologi Penelitian
Penelitian akan mencoba mengkaji Pesantren dan
politik, Studi Tentang Sikap Politik Kiai Pesantren di
Jawa Timur 1998-2004. Oleh karena itu, data yang
digunakan, selain data yang diperoleh langsung dari
lapangan baik dengan mengadakan interview maupun
survey lapangan, juga memanfaatkan informasi yang
telah terdokumentasi baik berupa buku, hasil
penelitian, makalah ilmiah, artikel pada surat kabar,
majalah dan jurnal ilmiah maupun dokumen yang
tersedia dan lain sebagainya.
Penelitian tentang Pesantren dan Politik; Studi
Tentang Sikap Politik Kiai Pesantren di Jawa Timur
1998-2004 akan dilihat dalam beberapa aspek, terkait
dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik pada era
reformasi, latar belakang, motif dan sikap politik kiai
pesantren, kendaraan politiknya, peran-perannya di
lembaga negara dan non negara serta dampak
keterlibatan politiknya bagi dunia pesantren. Aspek-
aspek ini dinilai menarik, karena meskipun memiliki
misi yang sama, para kiai ternyata mengambil posisi
yang berlainan dalam menjaga eksistensi dirinya dan
mempertahankan institusi yang dipimpin dan
diasuhnya.
Sikap politik kiai pesantren, khususnya di Jawa
Timur tersebut barangkali disebabkan oleh beberapa
faktor, bisa karena faktor ajaran Islam, ‘izz al-Islām wa
38 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
al-Muslimīn dan karena faktor kebijakan pemerintah.
Dua faktor pertama merupakan faktor internal terkait
dengan pandangan hidup kiai, nilai, persepsi dan
pertimbangan-pertimbangan etik terhadap ummat
pendukungnya, sedangkan faktor terakhir bisa
disebut sebagai faktor eksternal terkait dengan
masalah kepentingan-kepentingan material atau
ekonomi,50 kebijakan politik penguasa dan pengaruh
kekuatan politik yang berkembang saat itu. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini digunakan
pendekatan sejarah, sosial dan politik. Pendekatan
sejarah dimaksud sebagai upaya melihat kejadian-
kejadian masa lampau yang berhubungan dengan
kelembagaan pesantren baik kiai, santri dan warga
masyarakat, kedudukan dan peran kiai baik di
pesantren maupun di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, penggalian data dilakukan melalui
penyelidikan dan pengkajian terhadap naskah-
naskah lama yang menjelaskannya.
Selain studi pustaka, penelitian ini juga
dilengkapi dengan penelitian lapangan. Observasi
dilakukan pada beberapa pesantren di Jawa Timur,
seperti Pesantren Langitan, Widang, Tuban;
Pesantren Tebuireng, Jombang; Pesantren Bahrul
Ulum, Tambak Beras, Jombang; Pesantren Darul
50 Marcus Mietzner, “Between Pesantren and Palace: Nahdlatul
Ulama and Its Role in The Tradition”, dalam Geoff Forrester & RJ May
(ed.), The Fall of Soeharto, (Bathurst, NSW: Crawford House
Publishing, 1998), h. 176 dan 198-199.
Pendahuluan 39
Ulum, Rejoso Peterongan, Jombang; dan Pesantren at-
Taroqqy, Sampang, Madura. Pesantren-pesantren
tersebut, selain usianya cukup tua, didirikan oleh
tokoh yang punya peran penting dalam sejarah NU,51
punya cabang dan memiliki puluhan ribu atau
bahkan ratus ribu alumni yang tersebar di berbagai
wilayah atau bahkan ada yang menjadi tokoh dan
ulama kenamaan. Selain itu, pesantren-pesantren itu
diasuh oleh kiai kharismatik, warga dan ulama NU
yang pernah menjadi pengurus NU, baik tingkat
Pusat maupun Cabang, memiliki jumlah santri sekitar
5.000 sampai 8.000 santri, terbanyak di antara
pesantren di Jawa Timur,52 yang diajar dengan
memakai kitab-kitab menurut faham Aswaja,
sedangkan faham Aswaja merupakan aqidah
jam’iyah NU.53 Kiai pesantren yang menjadi observasi
tersebut, juga menunjukkan keterwakilan partai yang
menjadi kendaraan politiknya, misalnya Kiai
Muhammad Yusuf Hasyim, aspirasi politiknya
disalurkan melalui PPP dan kemudian PKU, Kiai
Abdullah Faqih, aspirasi politiknya disalurkan
melalui PKB dan kemudian PKNU, Kiai Alawy
Muhammad, aspirasi politiknya disalurkan melalui
51 Asrori S. Karni, “Ibukota” Kaum Nahdliyyin”, Gatra Edisi
Khusus, XI, 1-2 (Nopember, 2004), h. 23. 52 Daftar Identitas Pondok Pesantren (2004-2005), Ditjen
Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 53 Lihat Anggaran Dasar NU, Pasal 3 Tentang Aqidah. Mahbub
Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung:
Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 126-127.
40 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
PPP, Kiai Muhammad As’ad Umar, aspirasi
politiknya disalurkan melalui Partai Golkar dan Kiai
M. Hasib Wahab, aspirasi politiknya disalurkan
melalui PDIP.
Selain pengamatan lapangan, juga dilakukan
wawancara dengan para tokoh agama, pimpinan dan
pengasuh pesantren tersebut khususnya dan
pesantren lain di Jawa Timur pada umumnya. Jadi,
hanya sebagian kecil pesantren di Jawa Timur yang
disurvey. Meskipun demikian, pesantren-pesantren
tersebut sebagaimana dijelaskan cukup representatif
untuk diteliti. Hal lain, yang menjadi pertimbangan
adalah karena keterbatasan waktu maupun biaya.
Pendekatan sosial dimaksudkan selain berupaya
menelusuri hubungan sebab akibat sebagaimana
paradigma fakta sosial, juga berupaya mencari
pemahaman yang mendalam. Max Weber,54
menyebutnya versteheen, yaitu upaya memahami
secara lebih dalam khususnya terhadap realitas
sosial. Keputusan-keputusan politik kiai yang
seringkali dianggap kontroversial ternyata me-
nyimpan makna yang dalam. Dalam menentukan
afiliasi politik terdapat kiai yang menyesuaikan diri
dengan kemauan pemerintah padahal pada
lembaganya terdapat pendidikan formal yang
kurikulumnya tidak mengikuti kurikulum
54 Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization,
(New York: Macmillan, 1946), h. 110.
Pendahuluan 41
pemerintah, sebaliknya terdapat pula kiai yang dalam
menentukan afiliasi politik berseberangan dengan
kemauan pemerintah padahal pada lembaganya
terdapat pendidikan formal yang kurikulumnya
mengikuti kurikulum pemerintah. Selain itu, juga
terdapat kiai yang tidak saja melakukan peran
sebagai guru agama dengan memimpin kegiatan
keagamaan, tetapi juga berpartisipasi pada
pengembangan ekonomi dan kesehatan ummat. Oleh
karena itu, timbul pertanyaan yang layak dijawab,
mengapa semua itu mereka lakukan dan apa
maknanya? Untuk menjawab secara lebih mendalam
dan menyeluruh, tidak cukup dengan hanya melihat
adanya hubungan sebab akibat dari beberapa
variabel, tetapi harus digali makna, nilai dan
pemahaman yang lebih dalam terhadap keputusan-
nya itu, sehingga paradigma yang disebut dengan
versteheen menjadi tepat adanya.
Selanjutnya, soal pendekatan politik dimaksud-
kan bahwa manusia itu homo social sekaligus makhluk
politik dalam arti manusia tidak bisa hidup sendiri
dan tidak bisa dipisahkan dari persoalan
kemasyarakatan dan persoalan pengaruh mem-
pengaruhi dalam arti terdapat usaha penggalangan
dukungan, memperebutkan dan mempertahankan
kekuasaan dan seni manusia memerintah lainnya
dengan memperdayakan mereka dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, pertanyaan yang layak dijawab ialah
42 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
mengapa semua itu mereka – termasuk di dalamnya
kiai – lakukan? Untuk menjawab secara lebih
mendalam dan komprehensif tidak cukup dengan
melihat hubungan sebab akibat dari beberapa
variabel, tetapi juga dilihat pemahaman doktrin
agama yang dianutnya, posisinya sebagai pemuka
agama dan pengaruhnya yang luas di tengah-tengah
masyarakat serta secara ekternal dilihat dari
kebijakan pemerintah yang barangkali sangat
merugikan umat dan pesantren. Jadi umat dan
pesantren dalam posisi terpinggirkan.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka penelitian
ini bersifat kualitatif yaitu jenis penelitian yang tidak
saja berambisi mengumpulkan data dari sisi
kuantitas, tetapi juga ingin memperoleh pemahaman
yang lebih dalam di balik fenomena yang berhasil
direkam, misalnya menggali tentang makna yang
sebenarnya di balik keputusan mengapa kiai
berpolitik, atau mengapa dalam menentukan sikap
politiknya, kok tidak bergabung pada partai politik
yang berasaskan Islam saja, seperti pada masa Orde
Baru berafiliasi pada Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), dan pada masa Orde Reformasi pada PKB,
sebuah partai politik yang pendiriannya dibidani oleh
para kiai yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul
Ulama, tetapi justru afiliasi politik mereka beragam,
bisa ke PPP, Golkar dan PDI pada masa Orde Baru,
dan pada masa Orde Reformasi bisa ke Partai Golkar,
Pendahuluan 43
PDI Perjuangan, PKU (Partai Kebangkitan Ummat),
PNU (Partai Nahdlatul Ummah) dan Partai Suni
(Partai Serikat Uni Nasional Indonesia).
Dengan demikian, anggapan bahwa kiai hanya
bisa berperan sebagai pemimpin spiritual dan tidak
bisa berperan dalam politik ternyata tidak bisa
diterima. Ulama dalam hal ini kiai harus melekat
dengan politik.55 Kedua peran baik sebagai pemimpin
spiritual maupun sebagai pemimpin politik,
nampaknya dapat dilakukan oleh para kiai. Persoalan
peran kiai tersebut, dipandang lebih tepat jika
dijawab lewat penelitian yang bersifat mementingkan
aspek kedalaman, dan tidak lewat penelitian yang
hanya berorientasi pada keluasan cakupannya.
Penelitian seperti ini dikenal dengan penelitian
kualitatif, dimana secara praktis, penelitian lebih
dikonsentrasikan pada segi individu pelaku politik,
yaitu kiai pesantren itu sendiri, sedangkan informasi
lainnya, jika digali, hanya berfungsi sebagai
pelengkap atau komplementer. S.P. Varma, mengata-
kan bahwa penelitian yang didasarkan pada individu
perlu lebih jauh melihat posisi individu tersebut
dalam masyarakat serta peran yang harus
dilakukannya. Bila setiap individu mempunyai peran
yang berbeda dalam konteks yang berlainan, maka
55 KH. Abdurrochman Chudlori, Ketua Dewan Syura PKNU, Ulama
Harus Melekat Dengan Politik, Republika, (Jakarta), 17 Desember 2006,
h. 3.
44 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
hal itu dapat menjelaskan keragaman tingkah laku
yang berbeda.56 Jadi, sikap, pemikiran dan perilaku
pribadi harus dijelaskan dari segi posisi dan peran
setiap individu tersebut.
Data yang diperlukan untuk mendukung
penelitian ini, tentu data yang berkaitan dengan
pokok permasalahan. Oleh karena itu, jenis-jenis
sumber data secara ringkas adalah sebagai berikut:
a. Data Literatur dari perpustakaan, khususnya
tentang kiai, pesantren dan politik, dikaji dari
perspektif teoritisnya. Dari segi peran dan fungsi
kiai pesantren, pesantren dan perubahan sosial,
serta dari pesantren dan modernisasi birokrasi,
pesantren dan partai politik, dan sikap politik kiai
pesantren. Selain itu, data literatur juga dipakai
untuk mengkaji pesantren dan dinamika politik
nasional era reformasi, yang meliputi situasi dan
kondisi sosial, ekonomi dan politik pada akhir
rezim Orde Baru dan lengsernya Soeharto dari
kursi kepresidenan. Di samping juga mengkaji
persoalan bangkitnya beragam partai politik dan
secara khusus mengkaji partai yang dibidani
pendiriannya oleh kiai pesantren.
b. Data tentang kiai pesantren di Jawa Timur dalam
arena sosial politik dan politik kiai pesantren di
56 S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1982),
h. 30.
Pendahuluan 45
Jawa Timur 1998-2004, diperoleh sumbernya dari
dokumentasi pesantren, realitas keadaan fisik dan
keterangan lisan kiai, para ustadz dan ustadzah,
staf pengelola dan pihak-pihak lain yang terkait
baik langsung maupun tidak langsung.
Sesuai dengan jenis, ciri-ciri dan sumbernya,
maka pengumpulan data dari seluruh aktifitas
penelitian ini dilakukan melalui teknik sebagai
berikut:
a. Studi Pustaka, dalam wujud menelaah buku-buku,
hasil penelitian, jurnal dan makalah ilmiah, artikel
pada berbagai media massa, baik surat kabar
maupun majalah dan lain sebagainya, khususnya
yang berkaitan langsung dan tidak langsung
dengan informasi tentang kiai, pesantren dan
politik, situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan
politik, awal bangkitnya politik Islam jilid III pada
era reformasi, kiai pesantren di Jawa Timur dalam
arena sosial politik di Jawa timur yang meliputi
biografi kiai pesantren dan sikap dan motif
politiknya, serta politik kiai pesantren di jawa
Timur 1998-2004, yang meliputi kendaraan politik
kiai pesantren, peran-peran politik kiai pesantren
pada lembaga negara dan non negara serta
dampak keterlibatan politik kiai bagi dunia
pesantren.
46 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
b. Dokumentasi, dalam rangka mencari, meng-
himpun dan menelaah arsip-arsip pesantren yang
menyimpan data historis pada masa lalu, di
samping data tertulis lain yang menginformasikan
kondisi riil pesantren dan warganya, dahulu dan
sekarang.
c. Wawancara, dengan informan yang terdiri dari
para tokoh masyarakat, para kiai, para ustadz dan
ustadzah, staff dan para pengelola pesantren
lainnya, para santri dan pihak lain yang
dipandang relevan dengan inti permasalahan yang
menjadi fokus perhatian penelitian ini.
d. Observasi, dengan sasaran profil dan kondisi fisik
bangunan pesantren, kondisi kehidupan para
santri, kegiatan belajar mengajar di pesantren dan
hubungan pesantren dengan masyarakat yang ada
di sekitarnya.
Kiai yang tampaknya sama, ternyata mempunyai
karakteristik yang berlainan. Oleh karena itu, setelah
diperoleh catatan tentang beberapa kiai, kemudian
diinventarisasi kesamaan dan perbedaannya yang
menonjol. Beberapa kesamaan kiai, misalnya selalu
terkait dengan pondok pesantren, mengajarkan
agama kepada para santri melalui kitab kuning atau
klasik dan bentuk pakaian yang dikenakannya yang
selalu mengenakan kopiah putih dan bersorban jika
berada di lingkungan pondok, sedangkan perbedaan-
Pendahuluan 47
nya yang diinventarisasi misalnya terkait dengan
lembaga pendidikan yang dikembangkannya, sikap
politiknya, pandangannya tentang doktrin agama
dan keperduliannya terhadap masyarakat. Perhatian
secara seksama terhadap beberapa perbedaan kiai
tersebut, kemudian dipilih jenis kegiatan yang
menonjol di antara masing-masing kiai dan akhirnya
diperoleh tipologi yang masing-masing kurang lebih
berbeda antara satu dengan lainnya.
Penemuan tipologi tersebut melewati proses
yang panjang, sebab hasil sementara terus diuji
berulangkali dengan data yang dipandang akurat,
apakah masing-masing tipe itu benar-benar berbeda
antara satu dengan yang lain. Tipologi yang
dihasilkan benar-benar diangkat dari data lapangan,
begitu pula ukuran yang digunakan untuk
menemukan tipologi itu tidak disusun terlebih
dahulu, sebagaimana penelitian yang bersifat
kuantitatf, tetapi digali dari sejarah kehidupan
masing-masing kiai secara lebih mendalam.
Untuk mengetahui penyebab perbedaan tipe kiai
dan pilihan politik yang diambilnya, baik terkait
dengan latar belakang politiknya maupun afiliasi
politiknya, maka perlu dikaji bagaimana kiai
memahami dokrin agama, memahami masyarakatnya
dan memahami untung rugi, baik bagi lembaganya
maupun ummatnya. Aspek-aspek itu dipahami
melalui perspektif fenomenologis, yang menurut
48 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Noeng Moehadjir, metode fenomenologi digunakan
untuk menyelidiki unsur-unsur apa yang ada dalam
pengalaman atau kesadaran moral.57
Analisis data dalam penelitian kualitatif
dilakukan bersamaan waktunya dengan pe-
ngumpulan data itu sendiri dalam arti bahwa
instrumen data adalah peneliti itu sendiri. Oleh
karena itu, data yang diperoleh diklasifikasi, disaring,
digeneralisasi dan kemudian ditarik kontruksi-
konstruksi teoritisnya. Lewat proses ini, peneliti
berusaha memahami, menyusun kategori-kategori,
menginventarisasi karakteristik masing-masing
kategori, sehingga jelas perbedaan satu dengan yang
lainnya. Pekerjaan seperti ini jelas memakan waktu
lama dan perlu kehati-hatian. Oleh karena itu,
rumusan yang dihasilkan, tidak bisa sekali jadi. Jadi,
jika ternyata pada fase tertentu diperoleh data yang
tidak mendukung rumusan yang telah dihasilkan,
maka terpaksa hasil sementara atau hipotesis harus
diubah dan diganti dengan yang lain, sampai
menemukan titik kejenuhan informasi pada saat
kegiatan studi dipandang cukup, untuk kemudian
diakhiri. Proses semacam ini berjalan sepanjang
penelitian sampai ditemukan rumusan yang mantap,
karena kegiatan pengumpulan dan analisis data
senantiasa beranjak dari hasil pengumpulan dan
57 Noeng Moehadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 1996), Cet. Ke-3, h. 15.
Pendahuluan 49
analisis data yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh
karena itu, proses penelitian, lebih berbentuk siklus
dari pada linier.
Untuk mempertajam kepekaan peneliti,
ditempuh dua cara, yaitu pertama, senantiasa melihat
kembali hasil penelitian tentang topik serupa oleh
peneliti terdahulu, dan kedua, melakukan diskusi dan
penulisan laporan sementara secara bertahap,
sehingga dapat diperoleh pemahaman yang memadai
baik dari sisi kedalaman maupun reliabilitasnya,
lantaran telah didukung oleh data yang cukup. Selain
itu, dalam pemanfaatannya secara proporsional,
analisis data kualitatif juga tidak mengabaikan sama
sekali perolehan informasi atau data yang berwujud
angka, khususnya berkaitan dengan upaya untuk
mengetahui atau menggambarkan adanya ke-
cenderungan-kecenderungan umum tertentu di
masyarakat sehubungan dengan hadirnya bentuk
dan kecenderungan politik kalangan warga
pesantren, khususnya kiai dan santri, suatu hal yang
boleh jadi tidak terdeskripsikan secara tuntas, jika
semata-mata mengandalkan dukungan data verbal
dalam wujud kata-kata.
BAB II
KIAI, PESANTREN DAN POLITIK
A. Peran dan Fungsi Kiai Pesantren
1. Bidang Sosial Keagamaan
Sebagai pendiri, penyebab adanya pesantren dan
sekaligus pemilik dan pewakaf, kiai pesantren
berperan sebagai pelestari nilai keagamaan dan
moralitas warganya. Sebagai pelestari nilai
keagamaan, kiai telah merumuskan bahwa tujuan
52 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
pendidikan pesantren adalah untuk memberikan
bekal pengetahuan agama Islam kepada para
santrinya, yang merupakan penerusan materi yang
telah diterimanya pada pengajian di rumah-rumah
dan langgar-langgar. Jika pada tempat terakhir
diistilahkan dengan sekolah rendah, maka pesantren
merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah
dan tinggi.1 Oleh karena itu, materi pelajarannya pun
juga lebih mendalam, seperti mengenai pokok-pokok
agama, yang terutama adalah ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan syariat sehari-hari (ilmu fiqh
baik ibadah maupun muamalah), bahasa Arab (ilmu
shorof, nahwu dan ilmu alat lainnya), al-Qur’an
seperti tajwīd dan tafsir-tafsirnya, ilmu tauhīd, ilmu
akhlaq dan ilmu tasauf.2
Berdasarkan kitab-kitab tersebut, maka dapat
dipastikan bahwa pengetahuan agama yang
diberikan di pesantren, dalam bidang akidah
mengikuti ajaran Imam Abū Hasan al-Mātūridi,
dalam bidang tasauf, mengikuti ajaran Imam
Ghazzāli dan dalam bidang Fiqh mengikuti ajaran
1 I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung:
Ilmu, 1974), Cet. Ke-9, h. 112. 2 L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammedansche
Godsdienstonderwijs op Java en Madoera,” Tijdschrif voor Indische
Taal Land-en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886, h. 518-555. Lihat pula
Soebardi, “Santri Relegious Element as Reflected in The Book of
Tjentini,” Bidragen Tot De Taal Land-en Volkenkunde, Vol. CXXVII,
(Martinus Nijhoff, 1971), h. 335-340. serta KH. Siradjuddin Abbas,
Ulama Syafi’I dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1975), h. 36-65.
Kiai, Pesantren dan Politik 53
Imam Syāfi’i. Suatu kenyataan yang juga diberikan
pada lembaga perguruan tinggi Islam di Indonesia.
H. Aboe Bakar Atjeh menyatakan, bahwa hampir
semua perguruan tinggi Islam dalam memperlajari
agama Islam memakai kitab-kitab yang dikarang oleh
ulama-ulama dari mazhab Syāfi’i, sedangkan faktor
yang memungkinkannya menurut H. Sulaiman
Rasyid adalah bahwa ulama pemimpin pesantren di
Indonesia kebanyakan mengambil pelajaran dan
belajar di kota Mekkah di Hijaz, suatu daerah yang
terdapat ulama bermazhab Syāfi’i.3 Abd. Qahar
Mudzakkir, dalam buku “Biografi Empat Serangkai
Imam Mazhab,” melengkapi pendapat Sulaiman,
menyatakan bahwa para kiai selama bermukim di
Mekkah berguru kepada para ulama yang berhaluan
hukum mazhab Syāfi’i; Para muballigh yang mula-
mula datang ke Indonesia juga berasal dari
Hadramaut yang bermazhab Syāfi’i dan kemudian
mazhab yang disahkan oleh pemerintah Hindia
Belanda dahulu sebagai haluan hukum syara’ di
Indonesia adalah juga Syāfi’i.4
Adapun faktor yang memungkinkan karya Imam
Ghazzāli seperti Bidāyatul Hidāyah, Minhajul
3 H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta: al-Thohiriyah, 1955),
Cet. Ke-13, h. 27. 4 H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1955), h. 6. Lihat pula M. Habib Chirzin,
“Agama dan Ilmu dalam Pesantren,” dalam M. Dawam Rahardjo (ed),
Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), Cet. Ke-1, h. 94.
54 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
‘Ābidin, al-Hikam, Ihyā ‘Ulūmuddīn dan lain
sebagainya, dipelajari di pesantren dan perguruan
tinggi, antara lain karena “pribadi pengarang Imam
Ghazzāli sendiri, di mana sebagai seorang sufi yang
zuhud, ia tidak mengindahkan keindahan dunia dan
kecantikannya, karena dunia merupakan tempat
hidup sementara, sedangkan baginya akhiratlah
tempat hidup yang baka.”5 Selain itu, mutu kitab Ihyā
‘Ulīmuddīn sendiri, yang karena kebaikannya, ia
mempunyai pengaruh yang sangat besar baik di
kalangan kaum muslimin di dunia Timur maupun
dunia Barat. “Manakala al-Ghazzāli menulis kitabnya
Ihyā Ulūmuddīn, gemparlah dunia dibuatnya dari
Timur sampai ke Barat. Namanya, menjadi buah bibir
orang. Segala perhatian dan pikiran tertuju pada
kitab Ihyā Ulūmuddīn.”6
Dengan demikian, sekali lagi pesantren hanya
mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam. Tetapi,
dalam ilmu agama yang akan diajarkan, tidak jarang
adanya pesantren yang mengenalkan ilmu agama
atau fak tertentu sesuai dengan keahlian kiainya,
sehingga ditemukan pesantren Khusus Bahasa Arab
seperti pada Pesantren Tremas, Pacitan; Pesantren
Khusus Hadīs seperti pada Pesantren Tebuireng era
KH. Hasyim Asy’ari dan Pesantren Khusus
5 H.M.K. Bakry, al-Ghazzali, (Jakarta: Wijaya, 1962), h. 7. 6 H.M.K. Bakry, al-Ghazzali, (Jakarta: Wijaya, 1962), h. 78.
Kiai, Pesantren dan Politik 55
Tasawwuf seperti pada Pesantren Jampes di Kediri.7
Bahkan M. Habib Chirzin memetakan kekhasan
pesantren dengan menyebutkan pesantren khas Fiqh
dan Hadīs, seperti pada Pesantren Tebuireng era KH.
Hasyim Asy’ari, Pesantren Tambak Beras era KH.
Wahab Hasbullah, Pesantren Denanyar era KH. Bisri
Syansuri, Pesantren Termas era KH. Dimyati dan KH.
A. Hamid Dimyati dan Pesantren Lasem era KH.
Chalil; Pesantren Khusus Ilmu Alat, seperti pada
Pesantren Lirboyo era KH. Mahrus, Pesantren Bendo
dan pada Pesantren Jampes; Pesantren Khusus
Qiraah al-Qur’an seperti pada Pesantren Krapyak era
KH. Munawir dan KH. Ali Ma’shum, Pesantren
Cintapada, Tasikmalaya era KH. Dimyati, Pesantren
Wonokromo era KH. Abdul Aziz dan KH. Hasbullah,
serta pada pondok pesantren yang ada di Cirebon
dan Banten. Pesantren Khusus Tasauf seperti pada
pesantren Rejoso era KH. Musta’in Romli, pesantren
Tegal Rejo era KH. Khudari, Pesantren al-Falak
Pagentongan Cirebon era KH. Falak dan Pesantren
Watu Congol era KH. Dalhar. Pesantren Khusus
Tafsir al-Qur’an seperti pada Pesantren Lasem era
KH. Baidlowi dan Pesantren Jamsaren era KH. Abu
Amar. Bahkan ditemui pula pesantren yang
mengkhususkan diri pada pendidikan kemasyarakat-
an dan pengajaran bahasa Arab dan Inggris seperti
7 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the
Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU,
1999), h. 6.
56 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Pondok Modern Gontor pada masa KH. Ahmad
Sahal, KH. Zainuddin Fanani dan KH. Imam
Zarkasyi.8
Adapun sebagai pelestari moralitas, maka ilmu
pengetahuan agama Islam diberikan oleh kiai di
pesantren tidak hanya diajarkan melalui pengajian
sorogan atau wetonan dan bandongan, tetapi juga
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kehidupan di pesantren layaknya sebuah keluarga
besar yang penuh dengan berbagai aktivitas, di mana
santri dilatih dan dibiasakan untuk hidup sederhana,
ibadah dengan tertib, saling menghormati, saling
tolong-menolong, saling mengatasi kebutuhannya
sendiri, mencuci, mengatur kamar dan memasak
sendiri, mendirikan pondok dengan penukangan dan
pembiayaan sendiri, mengatur keuangannya sendiri,
bahkan ada santri yang membiayai hidupnya sendiri.
Dalam hal ini, R.A. Kern menyatakan bahwa jarang
sekali santri bisa mengandalkan kiriman dari
rumahnya. Mereka mencari nafkah sendiri dengan
bekerja pada tanah-tanah milik penduduk setempat
atau bekerja di sawah milik gurunya. Mereka juga
memperoleh nafkah dari karya kecil dengan
8 M. Habib Chirzin, Agama dan Ilmu Dalam Pesantren dalam M.
Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan. (Jakarta: LP3ES,
1974), Cet. Ke-1, h. 86.
Kiai, Pesantren dan Politik 57
membuat kopi al-Qur’an, membikin tikar dan lain
sebagainya.9
Sikap saling menghormati merupakan sifat yang
sangat terpuji dan di pesantren, penghormatan santri
juga dilakukan kepada kiai dan keluarganya. Sebagai
sesepuh, kiai adalah guru yang harus ditaati,
diteladani dan dihormati dengan berusaha me-
nyenangkannya, misalnya tidak sekali-kali berjalan di
depannya, tidak duduk di kursi yang biasa
didudukinya, tidak mengetok pintu rumahnya
sebelum dibuka, tidak membuka percakapan
dengannya sebelum ia mengajak bicara, tidak bicara
terlalu banyak dengannya dan tidak menanyakan
masalah yang kurang berkenan di hatinya. Selain itu,
santri juga patuh menjalankan perintahnya dan tidak
melupakan ikatan dengan kiai dan pondoknya,
karena jika terjadi, maka akan dianggap sebagai aib,
yang dapat menghilangkan barakah kiai.10 Oleh
karena itu, sering ditemukan adanya santri yang telah
hidup di tengah-tengah masyarakat, tetap berusaha
untuk berkunjung ke rumah kiai dan selalu
memegang teguh anjuran untuk berjihad. Dalam
Ta’līm al-Muta’allim, kitab yang biasa menjadi
pegangan pesantren, Zarnuji menyatakan:
9 R.A. Kern, De Islam in Indonesia, (Uitgeverij W. Van Hoeve’s
Gravenhage, 1947), h. 91. 10 Sadikun Sugihwaras, Pondok Pesantren Dan Pembangunan
Pedesaan, (Jakarta: Dharma Bakti, 1979), h. 64-66.
58 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Bahwa mereka yang mencari ilmu senantiasa akan mendapatkan pengetahuan dan pe-ngetahuannya akan berguna sepanjang mereka menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan kepada guru yang mengajarkannya. Sayyidina Ali berkata: “Saya ini hamba dari orang yang mengajar saya, walaupun hanya satu kata saja.” Jadi, sesungguhnya guru dan dokter apabila tidak dihormati, maka keduanya tidak akan memberikan nasehat. Apabila Anda tidak menghormati dokter, maka hendaklah Anda bersabar terhadap penyakit. Begitu pula, jika Anda tidak menghormati guru, maka hendaklah Anda puas dengan kebodohan Anda.11
Sebaliknya, sebagai orang yang dihormati dan
diteladani, kiai juga berusaha menjadikan dirinya
ikutan yang baik, baik dalam kesetiaan iman kepada
Allah, dalam menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya maupun dalam kesederhanaan hidup-
nya, dalam menjaga kesopanan, dalam keikhlasannya
membimbing dan memberikan pelajaran serta dalam
menanamkan sifat yang baik dan berguna kepada
para santri. Sikap memberi, mengambil dan menjaga
dan lain sebagainya bisa terpelihara, karena kiai dan
santri tinggal bersama dalam satu kompleks pondok
atau kampus, sehingga karenanya membentuk
11 Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Kudus: Menara Kudus, 1963), h.
62-63 dan 177.
Kiai, Pesantren dan Politik 59
sebuah sub-kultur,12 yang membedakan kultur yang
yang ada di luar pesantren. Bahkan kebiasaan dan
kultur di pesantren, berimplikasi ketika santri berada
di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti
kesediaannya untuk menerima hidup bersahaja,
kebiasaan tirakat, hidup mandiri, demokratis dan lain
sebagainya.
2. Bidang Sosial Budaya
Sebagai pemilik sekaligus pengasuh, kiai juga
berperan sebagai pelestari budaya. Meskipun tidak
setiap pesantren merupakan pusat gerakan tarekat,
tetapi tidak sedikit pesantren melalui kiainya
mengamalkan ajaran tarekat. Salah satu ajaran yang
biasa dijalankan adalah kebiasaan mengadakan
pemujaan para wali dan makamnya serta ajaran
tentang wasilah, yaitu anggapan bahwa kita yang
hidup ini dapat “mengirim” pahala kepada yang
telah meninggal. Anggapan itu dipraktikkan dalam
kebiasaan mengirimkan pahala bacaan tertentu,
umumnya al-fātihah kepada orang-orang yang
12 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam
Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES,
1974), Cet. Ke-1, h. 40, menjelaskan bahwa kegiatan di pesantren
berputar pada pembagian periode berdasarkan waktu sembahyang
wajib,sehingga pengertian pagi, siang dan sore di pesantren menjadi
berlainan dengan pengertian di luarnya. Dalam hal ini, misalnya sering
dijumpai santri menanak nasi di tengah malam buta atau mencuci
pakaian menjelang matahari terbenam.
60 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dianggap dapat melimpahkan kembali pahala itu
kepada pengirimnya secara berlipat ganda, yaitu
selain Nabi sendiri adalah para wali. Perkataan
mengirim do’a adalah petunjuk adanya limpahan
kembali pahala itu. Justru untuk memperbesar pahala
yang dikirimkan kepada seseorang yang telah
meninggal, do’a itu didahului dengan bacaan-bacaan
yang pahalanya dikirimkan kepada arwah para wali,
baru kepada arwah orang yang meninggal yang
bersangkutan. Ini merupakan kelanjutan yang wajar
dari ajaran tentang barakah dan syafā’ah yang
dipelajari di pesantren.
Sebagai pelestari nilai budaya, kiai pesantren
juga bertindak sebagai pembimbing spritual kepada
para santri yang taat, imam ‘ubūdiyah dan upacara
keagamaan, memberi nasehat dalam masalah
kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual
penting, dan membacakan do’a pada berbagai acara
penting. Dalam pandangannya, sembahyang
(syari’ah) dan dzikir (tasauf) sebagai cara utama
dalam meningkatkan kehidupan spiritual seseorang,
dan dalam tradisi pesantren, “pendekatan diri
sebagai hamba Allah” merupakan tujuan dan
kebahagiaan hidup yang paling utama. Banyak ayat
al-Qur’an dan hadīs Nabi yang memerintahkan agar
manusia mengagungkan nama Allah. Oleh karena
itu, dalam setiap sebelum atau bahkan sesudah salat
berjama’ah, kiai, guru dan santri secara bersama-
Kiai, Pesantren dan Politik 61
sama selalu mengamalkan dzikir di pesantren. Kiai
Syamsuri Badawi menjelaskan bahwa dalam
mengamalkan syari’ah dan dzikir, para kiai
pesantren, mengikuti tradisi Imam Māliki yang
mengajarkan, bahwa “Seorang muslim yang
mempelajari syari’ah Islam, tetapi melupakan aspek
tasauf, akan menjadi munāfiq; seorang muslim yang
mempelajari tasauf, tetapi mengabaikan syariah akan
menjadi kāfir zindiq; dan seorang muslim yang
mempelajari dan mengamalkan dua-duanya (syari’ah
dan tasauf) akan memperoleh kesempurnaan dalam
ke-Islaman”.13
Berangkat dari penjelasan kiai Syamsuri tersebut,
maka dapat dipastikan bahwa dzikir merupakan
salah satu amalan yang dipentingkan oleh kiai
pesantren. Pengamalannya sebenarnya tidak hanya
dilakukan sebelum dan sesudah Salat Lima Waktu,
Salat Jum’at dan Salat Sunnah Rawātīb, tetapi juga
dilaksanakan dalam berbagai kegiatan keagamaan
bersama seperti tahlilan, manaqiban atau takhtiman,
bahkan dalam memperingati hari besar Islam seperti
Tahun Baru Islam, Maulid Nabi (Muludan), Isrā’ dan
Mi’rāj (Rejeban), Ruwahan (Permulaan Puasa), dan
lain sebagainya. Juga dilaksanakan ketika menghadiri
undangan pada acara slametan Sawalan, Besaran,
Tingkeban, Babaran, Pasaran, Pitonan, Khitanan,
13 Abdul Jalil, Tuhfah al-Asfiya, (Semarang: Toha Putra, 1963),
h.28-32.
62 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Perkawinan dan Kematian dan lain sebagainya.14
Pada tingkat yang terakhir ini, biasanya kiai diminta
untuk membaca tahlīl bersama beberapa orang yang
diundang, sebagai do’a yang dikirim untuk salah
seorang atau beberapa anggota keluarga yang sudah
meninggal.15
Dengan demikian, kiai pesantren dapat berfungsi
sebagai penyaring dan asimilator aspek-aspek
kebudayaan dari luar yang masuk ke pesantren,
seperti dalam penggunaan legenda pewayangan Jawa
dalam menerangkan aspek-aspek keimanan dalam
tabligh-tabligh keagamaan dan dalam penggunaan
lagu Melayu terbaru sebagai medium penyampaian
pesan-pesan keagamaannya.16 Kiai juga berfungsi
sebagai orang yang dapat mengusir roh jahat,
membuat jimat-jimat atau mengajarkan berbagai
teknik kekebalan tubuh. Martin Van Bruinessen
menegaskan bahwa banyak kiai yang menjadi guru
pencak silat17, yang menggabungkan berbagai teknik
14 Lihat lebih lanjut Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi
Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), Cet. Ke-1, 48-
91. 15 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai
Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 124. 16 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, dalam
Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES,
1974), h. 47. 17 Salah satu dari tiga bentuk kesenian yang cukup hidup di
kalangan masyarakat, di sekitar system pesantren. Pencak Silat, tarian
bela diri itu bukanlah suatu seni yang seluruhnya santri dan tidak hanya
dilakukan oleh orang santri saja. Asal usulnya tidak ada hubungannya
dengan Islam, tetapi, karena berbagai hal pencak silat itu telah
Kiai, Pesantren dan Politik 63
olah fisik dengan teknik-teknik mistik untuk
meningkatkan kelincahan bertarung dan kekebalan
terhadap senjata atau untuk membuat tidak mempan
terhadap pukulan, senjata tajam atau senjata api dari
pihak lawan.18 Juga tidak jarang kiai mempunyai
peran mengobati orang sakit19, memberikan ceramah
agama dan do’a untuk melariskan barang
dagangan.20 Bahkan di kalangan masyarakat Islam
Jawa tradisional, juga dalam pandangan hidup kaum
abangan, kebanyakan kiai dipercaya, karena
penguasaannya atas ilmu-ilmu ke-Islaman, mampu
mengusir jin, menangkal pengaruh-pengaruh buruk
dari dunia gaib, menjalin hubungan dengan arwah-
arwah orang yang sudah meninggal. Juga dengan
diasosiasikan dengan kultur pondok. Dua kesenian lainnya adalah
terbangan dan gambusan. Terbangan merupakan jenis nyanyian khusus
yang rumit dan berasal dari Persia, gendang-gendang dimana dengan
diiringi tabuhan kecil sejarah Nabi dinyanyikan., berganti-ganti dalam
prosa berirama dan puisi. Sedangkan gambusan merupakan orkes tipe
Timur Tengah terdiri dari alat musik petik dan alat tabuh dari berbagai
ukuran yang disebut Terbang. 18 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa,
Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LkiS, 1999), Cet. Ke-3, h. 22, 19 Dua hal yang selalu diasosiasikan dengan pondok, yaitu pencak
silat atau tari bela diri dan kiyai sebagai juru obat. Biasanya kiyai
mengobati santri atau orang di sekitar pesantren dengan ramuan tumbuh-
tumbuhan, tetapi juga berdo’a. Do’a itu sangat penting, karena ia tidak
ingin pasien mengira bahwa ramuan itulah yang menyembuhkannya
bukan Tuhan., karena kalau tidak demikian, pasien menjadi materialistis
dan mengira bahwa yang diperlukan adalah obat bukan Tuhan. Oleh
karena itu, banyak kiai yang menanam segala jenis tumbuhan obat di
kebunnya, tetapi, tak jarang tanaman itu perlu dicari di tempat yang jauh. 20 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat
Jawa (Jakarta: Pustaka jaya, 1989), h. 244.
64 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
ilmu laduni21 terdapat banyak cerita tentang kiai yang
dapat melakukan perjalanan jarak jauh dengan cara
yang menakjubkan, misalnya pergi melaksanakan
salat Jum’at ke Mekkah.22 Kiai Kholil Bangkalan dan
Kiai Syamsul Arifin merupakan contoh, bahwa
setelah menaiki krucut, semacam sampan, sampailah
keduanya di Mekkah, lalu keduanya menunaikan
salat Asar di Masjid al-Haram.23
3. Tipologi Kiai dan Pesantren
a) Tipologi Kiai
Perkataan kiai menurut asal usulnya dalam
bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang
saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan
bagi barang-barang yang dianggap keramat, seperti
“Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta
Emas yang ada di Kraton Yogyakarta. Kedua, sebagai
gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada
umumnya, dan ketiga, sebagai gelar yang diberikan
oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan
21 Pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui kegiatan belajar,
tetapi dengan cara-cara supernatural. Oleh karena itu, hanya sedikit kiyai
yang memperoleh pengetahuan seperti itu. 22 Martin Van Bruinessen NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa,
Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LkiS, 1999), Cet. Ke-3, h. 22-23. 23 Choirul Anam (ed.), KHR. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup
dan Perjuangannya, op. cit., h. 5-6.
Kiai, Pesantren dan Politik 65
mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para
santrinya, bahkan selain gelar kiai, juga sering
disebut dengan alim yakni orang yang dalam
pengetahuan Islamnya.24 Jadi, pada kategori ketigalah
kiai dipakai dalam pembahasan ini, yaitu sebagai
sebutan yang diberikan kepada seseorang yang
mempunyai kelebihan dalam ilmu pengetahuan
agama Islam dan berusaha menyampaikan serta
menyebarkannya kepada masyarakat.
Pada awal perkembangan Islam, sebutan untuk
mereka yang memiliki predikat ahli agama Islam
dikenal dengan “wali”, dan di Pulau Jawa terdapat
sembilan wali yang biasa disebut dengan “wali
Songo”. Wali berasal dari bahasa Arab. Jika ditulis
dengan “waliyyun,” maka berarti orang yang
mencintai dan dicintai. Jika ditulis dengan “wāliyun,”
maka berarti seorang penguasa atau yang
memerintah. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia
terdapatlah sebutan “Wali Negeri”. Namun, dalam
pembahasan ini, yang dimaksud dengan “Wali”
adalah dalam pengertian pertama. Oleh karena itu,
kata “Wali” merupakan kependekan dari kata
“Waliyullah”, yang berarti orang yang mencintai dan
24 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the
Kiai in the Maintenance of Tradistional Islam in Java, (USA: Southest
Asian Studies, 1999), h. 34.
66 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bentuk Jama’
dari kata itu adalah “Auliyā’ ” atau “Auliyāullah”.25
Imam Abu al-Qāsim Abu Kārim bin Hawāzin al-
Qusyairi menjelaskan bahwa kata wali mengandung
dua pengertian. Pertama, wali berasal dari wazan fā-
ilun sebagai mubālaghah dari wazan fā-ilun, seperti kata
‘alīmun, qatīlun dan lain sebagainya yang berarti
orang yang taat kepada Allah tanpa mencampuri
dengan kemaksiatan. Kedua, wali berasal dari wazan
fa-īlun yang menunjukkan dari isim maf’ulnya, seperti
perkataan Qatīlun dengan arti Maqtūlun yaitu orang
yang terbunuh yang berarti orang yang selalu
dipelihara dan dijaga oleh Allah. Oleh karena itu,
seorang wali tidak diberi kemampuan oleh Allah
untuk berbuat maksiat yang dapat membawa
kerendahan derajatnya, tetapi diberi taufīq, sehingga
mampu untuk selalu berbakti kepada Allah.26 Syarif
Ali bin Muhammad al-Jurjani mendifinisikan Wali
adalah orang yang selalu mengenal Allah beserta
sifat-sifat-Nya semaksimal mungkin serta senantiasa
berbakti kepada-Nya, menjauhi segala maksiat serta
berpaling untuk tidak terjerumus ke dalam kelezatan
dunia dan syahwat.27 Syekh Ahmad al-Kasyqanawi
25 KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: al-Maarif, 1981), Cet. Ke-3,
h. 247. 26 Imam Abu al-Qāsim Abu Karīm bin Hawāzin al-Qusyairi, al-
Risālah al-Qusyairiyah, h. 100. 27 Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rifāt. h. 227.
Kiai, Pesantren dan Politik 67
al-Naqsabandi lebih lanjut mendefinisikan Wali
adalah orang yang terus menerus beribadah kepada
Allah dan berbakti kepada-Nya tanpa dicampuri
dengan kemaksiatan-kemaksiatan dan kemalasan.28
Muhammad Jamāluddin al-Qāsimi mendefinisikan
kata wali sebagai kebalikan dari musuh, sehingga
berarti orang yang mencintai Allah dengan ketaatan
penyembahan dan pengabdian kepada-Nya. Kecuali
itu, ia mempunyai makna sebagai penderita/maf’ul,
sehingga mempunyai arti orang-orang yang dicintai
oleh Allah dengan memperoleh kemuliaan dari-
Nya.29
Pendapat di atas mempunyai pengertian yang
sama, di samping terdapat pula perbedaan.
Perbedaan itu disebabkan adanya segi-segi yang
menonjol dari masing-masing teori, misalnya ada
definisi yang mengandung pengertian bahwa wali
mempunyai sifat mahfūdz atau terpelihara dari segala
dosa, sebuah sifat yang harus ada pada diri wali
sebagaimana sifat ma’shum yang harus ada pada diri
Nabi. Selain itu, ada definisi yang mengandung
penjelasan bahwa wali merupakan seorang yang
berpaling dari kemaksiatan dunia dan nafsu syahwat
yang tidak diijinkan oleh syara’. Namun, jika suatu
ketika wali mengenyam kenikmatan dunia dan
28 Syekh Ahmad al-Kasyqani al-Naqsabandi, Jmīi al-Ushūl Fi al-
Auliyā’, h. 161. 29 Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahāsinu al-Ta’wīl IX,
(Cairo: al-Babi al-Halabi, 1378-1959), h. 30.
68 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
syahwat, maka tidak berarti ia telah menuruti hawa
nafsunya, tetapi untuk menguatkan jasmaninya agar
dapat berbakti kepada Allah. Bahkan, terdapat pula
definisi yang menjelaskan seorang wali selalu mengisi
waktunya dengan ibadah dan hampir tidak ada
sesaat pun yang tercampur dengan kemaksiatan.
Al-Qur’an yang menjadi sumber utama ajaran
Islam banyak menyebutkan kata “wali”, tetapi dalam
pengertian khusus dan lain, yaitu kata sifat Allah
yang artinya “Maha Pelindung atau Maha Penolong”,
seperti ayat 257 surah al-Baqarah, ayat 68 surah Ali
Imrān, ayat 19 surah al-Jātsiyah, ayat 4 surah al-
Sajdah, ayat 9 surah al-Syurā, dan lain sebagainya.
Sedangkan kata Wali atau Waliyullah sebagaimana
teori di atas merupakan predikat bagi seorang
muslim atau muslimah yang kecintaannya kepada
Allah melebihi segala-galanya dan dibuktikan
dengan amal perbuatannya, tutur katanya, tingkah
lakunya bahkan angan-angan dalam hatinya selalu
sesuai dan cocok dengan syariat agama Islam. Jadi,
wali dalam pengertian sebagai seorang ahli agama di
atas, sebagaimana kiai, merupakan predikat yang
diberikan oleh masyarakat dan orang lain yang taraf
kondisinya setingkat atau hampir sama dengannya,
“Lā Ya’rifu al-Wāli Illa al-Wāli” (tidak ada orang yang
mengetahui seseorang itu wali, kecuali wali juga).
Dalam pada itu, kiai dengan kelebihan ilmu
pengetahuan agama dan usahanya untuk me-
Kiai, Pesantren dan Politik 69
nyampaikan dan menyebarkannya kepada masya-
rakat sebagaimana diuraikan di atas, juga biasa
diidentikkan dengan “’ulamā”. ‘Ulamā berasal dari
bahasa Arab, yang asal katanya (masdarnya) adalah
‘ilman dan fi’il madlinya adalah ‘alima, yang berarti
telah mengetahui. Perkataan ‘ulamā merupakan
bentuk jama’ dari kata ‘Ālimun, yang berarti orang
yang mengetahui dan dalam uraian Syekh Ahmad
bin Ajibah sebagaimana telah disebutkan, ‘ulamā
mempunyai tiga kriteria, sebagai berikut:
Pertama, Yang ‘Ālim, mewarisi ucapan-ucapan
Rasulullah Saw. sebagai ilmu dan pengajaran dengan
syarat ikhlas; Kedua, Yang ‘Ābid, mewarisi perbuatan
Nabi, salatnya, puasanya, mujahadahnya dan
perjuangannya, dan ketiga, Yang ‘Ārif, mewarisi ilmu
dan amal Rasulullah Saw. ditambah dengan
pewarisan akhlak yang sesuai dengan bathin (mental)
beliau, berupa zuhud, wara’, takut (kepada Allah),
berharap akan ridlo-Nya, sabar, hilm (stabilitas
mental), kecintaan (kepada Allah dan segala yang
dicintai oleh-Nya), ma’rifah (penghayatan yang
tuntas tentang KETUHANAN) dan lain sebagainya.30
Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana Ahmad bin
Ajībah, menjelaskan bahwa ada enam karakter
penting yang dimiliki oleh ‘ulamā, yaitu amanah,
keilmuan, rendah hati, mulia, berbuat baik sesuai
30 Dipetik dari KH.Ahmad Siddiq, Khittah Nahdliyah, (Surabaya:
Balai Buku, 1979), h. 17.
70 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dengan ilmu dan ambisi menyebarkan Islam dan
tanggung jawab di hadapan Allah SWT.31 Karakter
tarakhir merupakan tanggung jawab ‘ulamā untuk
menjaga dan mempertahankan ilmunya agar tetap
kekal, untuk selalu mendalami dan menelitinya agar
dapat berkembang, untuk mengajarkannya kepada
orang yang menginginkannya agar terhindar dari
fitnah, untuk melaksanakannya agar membuahkan
hasil, untuk menyebarluaskannya agar merata
manfaatnya dan tanggung jawab untuk mempersiap-
kan kader-kader generasi penerusnya yang akan
mewarisi ilmunya agar kelestariannya terjamin;
sedangkan ambisi ulama menyebarkan Islam berarti
menyampaikan apa yang ulama dengar darinya, agar
dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang datang
kemudian. Oleh karenanya, ulama biasa disebut
pewaris para Nabi.32
Imam Ghazzāli lebih lanjut menegaskan bahwa
ulama itu ada tiga macam. Pertama, ‘ulamā yang
membinasakan dirinya dan orang lain dengan
mengejar-ngejar kesenangan dunia. Kedua, ‘ulamā
31 Yusuf al-Qardhawi, Konsep Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah,
terjemahan Amir Hamzah Fahruddin, Mabrur Buang Tarmudzi dan
Zainal Arif Fachruddin RM, (Jakarta: Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h. 13-
64. 32 Yusuf al-Qardhawi, Konsep Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah,
terjemahan Amir Hamzah Fahruddin, Mabrur Buang Tarmudzi dan
Zainal Arif Fachruddin RM, (Jakarta: Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h. 13.
Lihat pula M. Imam Aziz, dalam Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama,
Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LkiS, 2003), Cet. Ke-1, h. XV.
Kiai, Pesantren dan Politik 71
yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan
menyeru dan memanggil manusia untuk berbakti
kepada Allah SWT secara lahir dan batin. Ketiga,
‘ulamā yang membinasakan dirinya tetapi me-
nyelamatkan orang lain, pada lahirnya dia
memanggil manusia untuk mengerjakan kebaikan,
tetapi secara diam-diam dia sendiri hanya mengejar
harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia.
Maka hendaklah kita mengoreksi diri masing-masing,
termasuk golongan manakah kita di antara ketiga
macam ulama itu.33 Dari argumen di atas, dapat
dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
prinsip antara ketiga istilah tersebut, sehingga dalam
Majelis Ulama Indonesia, sebuah lembaga yang
didirikan tahun 1975, pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto, duduk sebagai ketua dan
pengurusnya, terdiri dari ulama dan kiai seperti Prof.
Dr. Hamka, E.Z. Muttaqin, KH. Hasan Basri, Prof. Dr.
Umar Syihab (‘ulamā) dan KH. Syukri Ghozali (kiai)
dan lain sebagainya.
Adapun kiai, khususnya di Jawa Timur,
mempunyai keragaman. Endang Turmudi
menjelaskan bahwa kiai di wilayah itu dapat
dibedakan menjadi empat kategori, yaitu kiai
pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai panggung
33 Dipetik dari Syaikh Abdul Aziz al-Badri, Ulama Mengoreksi
Penguasa, terjemahan Salim Muhammad Wakid, (Solo, Pustaka Mantiq,
1991), Cet. Ke-2, h. 63.
72 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
sesuai dengan kegiatan-kegiatan khusus mereka
dalam pengembangan Islam.34 Kiai Panggung adalah
para dai. Mereka menyebarkan dan mengembangkan
Islam melalui kegiatan dakwah. Pengikutnya bisa
tersebar di seluruh kabupaten, bahkan tidak jarang
mereka, khususnya kiai panggung yang populer
mempunyai pengikut di kabupaten-kabupaten lain,
karena biasa diundang untuk berceramah di daerah
itu. Namun, kebanyakan kiai panggung bersifat lokal,
karena hanya dikenal oleh ummat Islam di
daerahnya. Sedangkan kiai politik merupakan kiai
yang kegiatannya dalam waktu yang lama terpusat
pada pengembangan Nahdlatul Ulama secara politik.
Oleh karena itu, mereka tidak banyak mempunyai
pengikut sebagaimana kiai yang lain.
Adapun kiai tarekat merupakan kiai yang
memusatkan kegiatannya pada pembangunan batin
ummat Islam dalam sebuah lembaga formal gerakan
tarekat. Oleh karena itu, pengikutnya bisa lebih
banyak melintas ke berbagai kota di Indonesia
melalui cabang-cabangnya yang ada di daerah itu.
Kiai tarekat jenis ini biasanya menduduki jabatan
sebagai mursyid. Sedangkan kiai tarekat jenis lain,
dengan jabatan sebagai khalifah atau pembantu
mursyid mempunyai pengikut yang lebih sedikit,
karena otoritasnya dalam memimpin ritual-ritual
34 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan,
(Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. Ke-1, h. 32.
Kiai, Pesantren dan Politik 73
tarekat juga terbatas hanya pada daerah-daerah
tertentu, sehingga para pengikut dari daerah-daerah
lain mungkin tidak mengetahuinya. Besar kecilnya
pengaruh seorang mursyid di kalangan para
pengikutnya juga tidak sama. Seorang mursyid yang
langsung memimpin para pengikutnya atau yang
tinggal di kota yang sama atau kota-kota tetangga
dengan para pengikutnya mempunyai pengaruh
lebih besar dari seorang mursyid yang tinggal jauh
dari para pengikutnya. Jadi, jaringan yang diletakkan
kiai tarekat bersifat formal, dalam pengertian bahwa
komunikasi antara mereka dihubungkan dengan
jaringan formal atau organisasi.
Adapun kiai pesantren merupakan kiai yang
memusatkan perhatiannya pada pengajaran di
pesantren untuk meningkatkan sumber daya
masyarakat melalui pendidikan. Hubungan antara
kiai dengan santri menyebabkan keluarga santri
secara tidak langsung menjadi pengikut kiai,
mengingat orang tua ketika mengirimkan anak-
anaknya kepada seorang kiai, secara tidak langsung
telah mengakui bahwa kiai itu merupakan orang
yang patut untuk diikuti dan seorang pengajar yang
layak untuk mengembangkan pengetahuan Islam.
Dengan demikian, santri tidak saja penting bagi
eksistensi pesantren, tetapi juga menjadi sumber yang
dapat menjamin eksistensi kiai pada masa
mendatang. Bahkan, santri dapat menjadi sumber
74 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
jaringan yang akan menghubungkan satu pesantren
dengan pesantren lainnya, lantaran santri yang telah
menyelesaikan pendidikannya pada suatu pesantren
dan kemudian menjadi kiai, juga membangun
jaringan yang menghubungkannya dengan kiai
pesantren dimana ia nyantri atau dengan
penggantinya yang melanjutkan kepemimpinan
pesantren.
Dari keempat varian kiai tersebut di atas, dapat
dibagi menjadi dua kategori ditinjau dari
pengikutnya. Pertama, kiai yang mempunyai
pengikut yang lebih banyak dan pengaruh yang lebih
luas, menyebar ke seluruh daerah. Pengikutnya
bukan hanya berasal dari daerahnya, melainkan juga
berasal dari daerah lain, kota-kota lain, bahkan
propinsi lain. Kiai yang termasuk kategori ini adalah
kiai pesantren dan kiai tarekat. Sedangkan kiai
kategori kedua merupakan kiai yang mempunyai
pengikut yang sedikit dan pengaruh yang terbatas.
Kiai yang termasuk kategori ini adalah kiai panggung
dan kiai politik. Meskipun demikian, pada
kenyataannya, melalui kegiatan yang dilakukannya,
seorang kiai dapat digolongkan dalam lebih dari satu
kategori, sebagai kiai panggung sekaligus sebagai kiai
tarekat dan kiai politik.
Berbeda dengan Endang Turmudi, Imam
Suprayogo membagi kiai dalam tiga tipe ditinjau dari
keterlibatannya dalam politik, yaitu kiai politik, kiai
Kiai, Pesantren dan Politik 75
netral dan kiai yang tidak perduli pada politik
praktis.35 Kiai yang tidak begitu perduli pada politik
praktis adalah kiai yang lebih banyak memusatkan
perhatiannya pada kehidupan spiritual dan
memberikan pengajaran agama di pesantren. Politik
bagi mereka dipandang bukan bidangnya dan
mereka merupakan jumlah yang terbanyak. Kiai
netral adalah kiai yang mengambil jarak baik dengan
pemerintah maupun dengan partai politik.
Sedangkan kiai politik adalah kiai yang banyak
melakukan kegiatan politik praktis, misalnya dengan
menempatkan diri dekat dengan pemerintah dan
masuk Golkar, atau dengan menempatkan diri
sebagai mitra kritis dengan aktif di Partai Persatuan
Pembangunan/PPP. Untuk kasus terakhir, bisa jadi
aktifitas itu tidak hanya dilakukan oleh kiai yang
tinggal di perdesaan, tetapi juga oleh mereka yang
tinggal di perkotaan. Oleh karena itu, tidak jarang
terjadi benturan dengan pemerintah. Sebagai pemuka
agama dan merasa memiliki ummat, kiai melakukan
pembelaan terhadap ummat dan masyarakat yang
terganggu hak-haknya, dengan pembelaan yang tidak
sama. Ada di antara mereka yang berpihak kepada
pemerintah, tetapi ada pula yang sebaliknya, berada
pada posisi yang berlainan dengan pemerintah,
sehingga kemudian memunculkan istilah di tengah-
35 Imam Suprayogo, “Kiyai Dan Politik Di Pedesaan, Suatu
Kajian Tentang Variasi Dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiyai”,
Disertasi Doktor, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), h. 66, t.d.
76 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
tengah masyarakat kiai pemerintah dan kiyai bukan
pemerintah.36
Perbedaan kiai, selain bisa ditinjau dari
ketelibatannya dalam politik, juga bisa dilihat dari
garis keturunan, penguasaan keilmuan dan
keikutsertaannya dalam tarekat. Dalam tipe yang
terakhir memunculkan istilah kiai tarekat dan kiai
bukan tarekat. Kiai Tarekat adalah kiai yang
tergabung dalam kelompok jamaah dengan
mengikuti salah satu aliran tarekat mu’tabarah,
seperti tarekat Qadīriyah, Naqsabandiyah, Siddīqiyah
dan Satāriyah.37 Tetapi kebanyakan kiai di Jawa
Timur, baik yang tinggal di wilayah bagian utara dan
selatan maupun yang tinggal di wilayah Madura
mengikuti aliran tarekat Qodīriyah wa Naqsbandiyah.38
Sedangkan tipe kiai non tarekat adalah kiai yang
tidak mengikuti aliran tarekat. Oleh karena itu,
pengaruhnya juga sangat terbatas, hanya di sekitar
pondok pesantren saja. Tetapi sebaliknya, kiai tarekat
atau tergabung dalam salah satu aliran tarekat,
sebagaimana telah diuraikan mempunyai pengikut
36 Imam Suprayogo, “Kiyai Dan Politik Di Pedesaan, Suatu
Kajian Tentang Variasi Dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiyai”,
Disertasi Doktor, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), h. 67, t.d. 37 Imam Suprayogo, “Kiyai Dan Politik Di Pedesaan, Suatu
Kajian Tentang Variasi Dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiyai”,
Disertasi Doktor, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), h. 134, t.d. 38 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,
Survey Historis, Geografis dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1995),
Cet. Ke-3, h. 174, 176 dan 185.
Kiai, Pesantren dan Politik 77
yang sangat banyak, sangat luas dan jaringan yang
tidak terbatas, bahkan sangat dihormati.
Pengelompokan kiai dikaitkan dengan penguasa-
an keilmuan, memunculkan sebutan kiai dhahir dan
kiai batin. Kiai dhahir adalah kiai yang memiliki
keahlian ilmu agama Islam yang ditunjukkan dari
kemampuannya membaca kitab-kitab klasik karang-
an ulama salaf,39 atau kitab kuning dan atas
penguasaannya terhadap kitab-kitab itu, persoalan
agama yang muncul di tengah-tengah masyarakat
dapat diselesaikannya. Sedangkan kiai batin adalah
kiai yang dikenal memiliki kekuatan spiritual yang
tinggi, yang dengan kekuatannya, masyarakat
menganggapnya memiliki karamah dari Allah SWT.
Kiai dalam tipe ini, dianggap mampu melakukan
layanan sosial melalui doa yang dipanjatkannya.
Kedua jenis kiai ini, masing-masing mempunyai
kelebihan dan bobot peran yang berbeda. Kiai dhahir,
aktifitasnya lebih menonjol dalam pengajaran dan
berorganisasi, sedangkan kiai batin, aktifitasnya lebih
menonjol sebagai pembaca doa, imam salat dan
kegiatan ritual lainnya.
Adapun pengelompokan kiai dikaitkan dengan
garis nasabnya dapat dibedakan menjadi kiai
39 Ulama periode klasik, pada masa puncak kejayaan Islam, seperti
dalam bidang Fiqh terdapat nama Imam Syafi’i, dalam bidang Tasauf
terdapat nama Imam Ghazzali, dan dalam bidang Tauhid terdapat nama
Hasan Basri dan lain sebagainya.
78 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
keturunan dan bukan keturunan. Disebut kiai
keturunan, jika yang bersangkutan berasal dari
keturunan kiai, sedangkan kiai bukan nasab, identitas
kekiaiannya diperoleh dari prestasinya selama
menjadi santri yang ditunjukkan oleh kepribadian-
nya, kealimannya, kemampuannya menguasai ilmu
pengetahuan agama Islam dan tingginya respon
masyarakat terhadapnya, ketika ia kembali ke
daerahnya dan mendirikan pondok pesantren. Kedua
jenis kiai ini, masing-masing mempunyai bobot yang
berbeda. Kiai bukan nasab dalam batas-batas tertentu
masih dihormati, tetapi kiai nasab, biasanya sekali
pun kurang alim, masih lebih dihormati, dan bahkan
sekalipun melakukan kesalahan asal tidak termasuk
dosa besar, predikat kekiaiannya tidak akan hilang.
Bahkan jika seorang putra kiai melakukan kesalahan,
masih dianggap sebagai hal yang wajar. Santri atau
ummat yang memiliki hubungan guru-murid dengan
putra kiai maupun keluarga, ayah, kakek dan
seterusnya, akan tetap hormat dan mengakuinya
sebagai pemimpin. Lebih dari itu, di lingkungan kiai,
ternyata keturunan dipandang sangat penting. Oleh
karena itu, tidak jarang seorang kiai memiliki catatan
silsilah keluarga yang demikian panjang dan
memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan
antara seorang kiai pesantren dengan kiai pesantren
lainnya.40 Dalam konteks kiai nasab ini, Laode Ida
40 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the
Kiai, Pesantren dan Politik 79
membaginya menjadi tiga stratifikasi utama, yaitu
kiai aristokrat, kiai non aristokrat dan kiai biasa. Kiai
aristokrat atau biasa disebut kiai darah biru adalah
mereka yang terdiri dari keluarga pendiri NU yang
umumnya berada di Jawa Timur. Mereka ini,
termasuk keluarganya, di lingkungan NU,
menempati posisi tertinggi dan seolah-olah bersifat
permanen. Kelompok ini kemudian berkembang
dengan cara kawin-mawin, sehingga jumlahnya pun
terus bertambah.41
Kiai non aristokrat adalah kiai yang selain belajar
pada pesantren keluarga darah biru, juga belajar pada
pesantren-pesantren lain, sehingga memiliki ilmu
yang bervariasi dan memiliki kelebihan tersendiri
yang tidak dimiliki oleh kiai lainnya. Ketenaran kiai
seperti ini dikenal luas baik oleh komunitas NU
maupun oleh masyarakat di luar NU, sehingga selalu
dijadikan rujukan baik dalam kaitan dengan
kepentingan keduniaan maupun yang bersifat
ukhrawi. Sedangkan kiai biasa adalah kiai yang
Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU,
1999), h. 42-57. 41 Keluarga Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, keluarga KH.
Wahab Hasbullah dan keluarga KH. Kholil Bangkalan, Madura,
merupakan keluarga generasi pertama pendiri NU yang sekaligus
dianggap sebagai darah biru NU. Kendati demikian, yang paling
menonjol di masyarakat sebagai keluarga inti darah biru NU saat ini
adalah keluarga turunan KH. Hasyim Asy’ari, yang sering
direpresentasikan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Lihat Laode Ida, NU
Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004),
h. 6 dan 47.
80 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
belajar pada pesantren NU tertentu dan kemudian
mengajar pada pesantren tertentu atau
mengembangkan pendidikan pesantren dengan
ajaran-ajaran yang sudah digariskan oleh NU.42
Dalam pada itu, Pradjarta Dirdjosanjoto
sebagaimana Turmudi, Laode Ida dan Suprayogo,
juga membedakan kiai menjadi kiai tarekat, kiai
pesantren dan kiai langgar.43 Kiai pesantren
sebagaimana uraian di atas, merupakan kiai yang
berada di lingkungan pesantren yang hubungannya
lebih bersifat ke dalam dan agak terisolasi dari
masyarakat, tetapi memiliki jaringan yang luas
dengan kiai-kiai di luar daerah bahkan di luar
propinsi. Sedangkan kiai langgar merupakan kiai
yang memiliki hubungan langsung dengan ummat
dan bisa menjadi perantara hubungan antara kiai
pesantren dengan ummat, karena di langgar banyak
ummat Islam yang mendengarkan pengajian dan
mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar agama
kepada sang kiai. Bahkan kegiatan keagamaan
bersama, baik yang bersifat umum seperti peringatan
hari besar Islam, pengajian maupun yang berkaitan
dengan kepentingan keluarga seringkali dilaksana-
kan di sana. Dengan demikian, langgar tidak sekedar
tempat beribadah dan merupakan pusat masyarakat
42 Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru,
(Jakarta: Erlangga, 2004), h. 6-7. 43 Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai
Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 159.
Kiai, Pesantren dan Politik 81
Islam lokal, tetapi juga dapat dikatakan sebagai
simbol kesatuan ummat setempat dengan seorang
kiai langgar sebagai pemimpinnya. Jadi, berbeda
dengan kiai pesantren yang tinggal bersama para
santrinya dalam kompleks yang relatif terpisah dari
penduduk desa di sekitarnya, kiai langgar
merupakan seorang ‘patriarch’ yang memimpin
ummat dalam kehidupan sehari-hari. Di samping
sebagai guru mengaji, kiai langgar juga seorang imam
dan sekaligus tokoh masyarakat Islam setempat.44
Selain itu, batas antara kiai langgar dengan kiai
pesantren seringkali kabur, lantaran beberapa kiai
langgar kemudian mendirikan pesantren dan menjadi
seorang kiai pesantren, yang berarti perkembangan
sebagian pesantren berawal dari sebuah langgar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kiai itu
sangat beragam dan variatif. Keragaman itu terjadi
karena kiai merupakan ulama panutan yang
keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Ia berusaha mengajarkan apa yang dimilikinya
kepada masyarakat, sehingga mereka menyebutnya
dengan beragam ungkapan.
44 Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai
Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LkiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 116.
82 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
b) Tipologi Pesantren
Perkataan “Pesantren” menurut asal usulnya
berasal dari bahasa Sanskerta dari kata “Santri” yang
berarti pelajar sekolah agama.45 Sedangkan kata santri
sendiri merupakan bentuk baru yang berubah dari
kata “Castri” yang juga mempunyai arti orang yang
belajar mengaji.46 Sesuai kaidah dalam bahasa
Indonesia, kata dasar santri tersebut, kemudian
mendapatkan awalan Pe- dan akhiran -An, sehingga
menjadi “Pesantrian.” Tetapi, karena dalam bahasa
Indonesia dikenal “Sandhi” (dua bunyi disatukan
membentuk bunyi baru, misal, ia jadi e, ua jadi o),
maka kata “Pesantrian” berubah menjadi
“Pesantren,” yang menunjukkan tempat yang
dimaksud oleh kata dasar “Santri,” sehingga
“Pesantren” berarti lembaga pendidikan Islam
tempat murid-murid belajar mengaji dan mem-
pelajari ilmu pengetahuan agama Islam.47
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua,
pesantren dalam perkembangannya hingga sekarang
di Indonesia, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
tipe. Chatibul Umam, secara sederhana, membagi
pesantren menjadi tiga tipe. Pertama, pesantren
45 W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1976), h. 870. 46 A. Mukti Ali, Modern Thought in Indonesia, (Yogyakarta:
Yayasan Nida, 1971), h. 7. 47 KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang Dari Pesantren,
(Bandung: al-Ma’arif, 1977), h. 51.
Kiai, Pesantren dan Politik 83
tradisional, di mana pesantren hanya mengajarkan
ilmu pengetahuan agama secara sorogan dan
wetonan; Kedua, pesantren semi tradisional, dimana
pesantren selain mengajarkan ilmu pengetahuan
secara sorogan dan bandongan, juga mengajarkan
secara klasikal dan bentuk madrasah; Ketiga,
Pesantren Modern, di mana pesantren hanya
mengajarkan ilmu pengetahuan agama secara
klasikal.48 Sementara Sadikun Sugihwaras, sebagai-
mana Chatib, juga membagi pesantren menjadi tiga
golongan. Pertama, Pesantren, di mana seorang kiai
mengajar santri yang tinggal di asrama, berdasarkan
kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar abad
pertengahan secara non klasikal atau sorogan dan
bandongan. Kedua, pesantren, di mana seorang kiai
mengajar santri ilmu pengetahuan agama Islam
berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar
abad pertengahan secara wetonan. Santri tidak
disediakan pemondokan di kompleks pesantren,
tetapi mereka tinggal tersebar di seluruh penjuru
desa di sekeliling pesantren. Ketiga, pesantren yang
merupakan gabungan yang pertama dan kedua,
tetapi mereka disediakan asrama, atau merupakan
santri kalong. Selain itu, pesantren juga
menyelenggarakan pendidikan non formal dan
formal berbentuk madrasah, dan bahkan sekolah
48 Chatibul Umam, “Pesantren dan Variasinya,” Makalah
Disampaikan Dalam Diskusi Dosen Fakultas Adab, (Jakarta, Fakultas
Adab, 1989), h. 4-5.
84 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
umum dalam berbagai tingkatan dan aneka kejuruan
menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.49
Kafrawi Ridlwan tidak jauh berbeda dengan dua
pendapat terdahulu, membagai pesantren menjadi
empat tipe, sebagai berikut: Ponpes A, dimana
pesantren tidak memiliki madrasah, para santri
belajar dan bertempat tinggal bersama-sama dengan
kiai, dan kiai mengajar secara individual dengan
kurikulum terserah kiai. Ponpes B, dimana pesantren
telah memiliki madrasah, kurikulum tertentu,
pengajaran kiai hanya aplikasi, pengajaran pokok
terletak pada madrasah yang didirikannya, kiai
memberikan pelajaran secara umum pada waktu
yang telah ditentukan, dan para santri bertempat
tinggal di pesantren dengan mengikuti pelajaran
yang diberikan oleh kiai, di samping mereka juga
mendapatkan pelajaran umum dan agama di
madrasah. Ponpes C, di mana pesantren hanya tempat
tinggal (asrama), santri belajar di madrasah-madrasah
atau sekolah umum, sedang kiai berfungsi sebagai
pengawas dalam pembinaan mental. Ponpes D, di
mana pesantren telah menyelenggarakan sekolah
umum atau sekolah umum dengan sistem pondok.50
49 Sadikun Sugihwaras, Pondok Pesantren Dan Pembangunan
Pedesaan, (Jakarta: Dharma Bakti, 1979), h.72-73. 50 Kafrawi Ridlwan, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok
Pesantren, Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi kerja dan Pembinaan
Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 139-140.
Kiai, Pesantren dan Politik 85
Hasil penelitian LP3ES Jakarta melengkapi
klasifikasi pesantren di atas, menyodorkan lima tipe,
sebagai berikut:
Pertama, pesantren masih bersifat sederhana,
dimana kiai mempergunakan masjid atau rumahnya
sendiri untuk tempat mengajar, sedangkan santri
hanya datang dari daerah sekitar pesantren. Mereka
mempelajari ilmu agama secara kontinyu dan
sistematis dengan metode weton dan sorogan; Kedua,
pesantren telah memiliki pondok atau asrama yang
disediakan bagi para santri yang datang dari daerah
lain. Mereka mempelajari ilmu agama secara
kontinyu dan sistematis dengan metode weton dan
sorogan; Ketiga, pesantren telah memakai sistem
klasikal, dimana santri yang mondok mendapat
pendidikan di madrasah, di samping ada murid
madrasah yang datang dari daerah sekitar pesantren
itu sendiri. Pengajaran, selain diberikan secara
klasikal oleh guru agama atau ustadz, juga diberikan
secara weton oleh kiai; Keempat, pesantren, selain
telah memiliki kriteria tipe ketiga, juga melengkapi
tempat untuk latihan keterampilan, seperti
peternakan, kerajinan rakyat, toko koperasi, sawah,
lading dan lain sebagainya; Kelima, pesantren, selain
telah memiliki kriteria tipe keempat, juga melengkapi
dengan bangunan perpustakaan, dapur umum, ruang
86 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
makan, kantor administrasi, ruang penginapan tamu
dan ruang operation-room, dan lain sebagainya.51
Klasifikasi tipe pesantren tersebut berlaku untuk
semua pesantren yang tersebar di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sekarang
mencapai 14.798 buah dengan santri berjumlah
3.464.334 orang, sedangkan di Pulau Jawa, khususnya
Jawa Timur, jumlah pesantren mencapai 3.582 buah
dengan santri berjumlah 1.169.256 orang. Tetapi, jika
merujuk pada pesantren yang didirikan atau diasuh
oleh kiai yang berafiliasi pada organisasi keagamaan
Nahdlatul Ulama dan menjadi anggota Rabithah
Ma’ahid al-Islamiyah, maka pesantren dapat
diklasifikan menjadi dua, yaitu pesantren salaf serta
pesantren salaf dan khalaf sekaligus. Pesantren salaf
adalah pesantren yang hanya mengajarkan ilmu
pengetahuan agama Islam berdasarkan kitab-kitab
yang ditulis oleh ulama besar abad pertengahan
secara klasikal, sorogan atau wetonan dan
bandongan, sebagaimana telah lama dilaksanakan
oleh Ponpes al-Taroqqi, Sampang, Madura, Ponpes
Sidogiri, Pasuruan dan Ponpes Langitan Widang
Tuban. Pada ketiga institusi itu, pesantren menyusun
kurikulum sendiri sesuai kebutuhan, tidak memakai
kurikulum pemerintah, sehingga para santri juga
51 Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil
Penelitian Pesantren Al-Falak & Delapan Pesantren Lain di Bogor,
(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 139-140.
Kiai, Pesantren dan Politik 87
tidak menerima ijazah dari pemerintah. Sedangkan
pesantren salaf dan khalaf adalah pesantren yang
selain mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam
berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar
abad pertengahan secara sorogan atau wetonan dan
bandongan, juga mengajakan secara klasikal. Bahkan
pada sistem klasikal juga diajarkan ilmu pengetahuan
umum dan beberapa keterampilan lainnya. Ponpes
Tebuireng,52 Ponpes Darul Ulum53 dan Ponpes Bahrul
52 Pembaharuan di Ponpes Tebuireng jauh lebih awal dari
pemerintah, dimulai tahun 1934, ketika usulan kiai Wahid untuk
mendirikan Madrasah Nidhomiyah disetujui oleh ayahnya Hadlratus
Syekh Hasyim Asy’ari. Kurikulum pada Madarasah ini terdiri dari 70 %
Umum dan 30 % Agama. Di samping itu, juga didirikan Perpustakaan
dan lain sebagainya. Pada tahun 1950-an didirikan Madrasah Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, Aliyah dan Madrasah Muallimin, dan pada tahun 1975-an
didirikan SMP, SMA dan Universitas Hasyim Asy’ari tahun 1967. Lihat
H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan
Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid
Hasyim, 1957), h. 820-824. Lihat pula Zamakhsyari Dhofier, The
Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of
Traditional Islam in Java, (USA: ASU, 1999), h. 84, 87, 95, 100 dan
103. 53 Sebagaimana Ponpes Tebuireng, pembaharuan di Ponpes Darul
Ulum jauh lebih awal dari pemerintah, dimulai ketika KH. Musta’in
Romly menjabat Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren
Darul Ulum tahun 1958, dengan didirikannya SMP dan SMA di samping
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Pada tahun 1965 didirikan
Universitas Darul Ulum dan pada 1968 sekolah yang berafiliasi ke
Depag dinegerikan melalui keputusan Menag No. 67 tahun 1968.
Setelah KH. Must’ain wafat 1983, Ketua Majelis Pimpinan Pondok
dijabat oleh KH. As’ad Umar dan pada 1988 dibuka Program Komputer,
1989 didirikan SMEA, 1991 didirikan AKPER dan tahun 1992 didirikan
STM Darul Ulum. Lihat Yayasan Darul Ulum, Pondok Pesantren Darul
Ulum, (Jombang: 2006), h. 15-16. Program pengembangan Pondok
Pesantren Darul Ulum, (Yayasan Darul Ulum Periode 2001-2006), h. 8-
15. Trisula, Nilai-Nilai Moral Pendidikan Darul Ulum, (Jombang:
88 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Ulum54 adalah pesantren yang telah lama
menerapkan pengajaran seperti itu, bahkan ketiga
ponpes yang berlokasi di wilayah Jombang, Jawa
Timur, tersebut telah menyelenggarakan sekolah
umum, mulai dari tingkat SD, SMP, SMU dan
perguruan tinggi dengan kurikulum pemerintah,
sehingga alumninya selain ada yang memperoleh
ijazah dari dari Departemen Agama RI, juga ada yang
memperoleh ijazah dari Departemen Pendidikan
Nasional RI. Jadi, ketiga ponpes terakhir ini
khususnya, lebih cepat di dalam merespon
perubahan dan pembaharuan, sebuah pembaharuan
yang mulai dikenalkan oleh pemerintah, ketika
Departemen Agama RI dijabat oleh Prof. Dr. A. Mukti
Ali dan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat seperti
LP3ES dan P3M, sehingga termasuk ponpes modern
berdasarkan klasifikasi Kafrawi Ridlwan dan LP3ES
di atas.
Undar, 1982), h. 8-17. Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren,
(Jakarta: LP3ES, 1999), Cet. Ke-1, h. 152-162. 54 Sebagaimana Tebuireng dan Darul Ulum, pembaharuan di
Ponpes Bahrul Ulum jauh lebih awal dari pemerintah, dimulai tahun
1967. Berdasarkan SK Menag tanggal 4 Maret 1969, No. 23 Tahun
1969, Status Madrasah Muallimin Muallimat menjadi negeri dengan
perincian kelas 1,2 dan 3 menjadi MTsAIN (Madrasah Tsanawiyah
Agama Islam Negeri), sedangkan kelas 4,5 dan 6 menjadi MAAIN
(Madarasah Aliyah Agama Islam Negeri). Pada tahun 1973 didirikan
Perguruan Tinggi, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam
dan pada tahun 1983/1984 dibuka Jurusan Bahasa Arab. Selain itu, juga
dibuka MI, MTs dan MA Bahrul Ulum, TK, MIPK, MD, Madrasah al-
Qur’an, MMA, SPPT Bahrul Ulum, MAK, SMA, SMK dan SMK-TI.
Lihat Pondok Pesantren Bahrul Ulum, (Tambak Beras, Jombang:
Yayasan Ponpes Bahrul Ulum, 2006), h. 13-14.
Kiai, Pesantren dan Politik 89
B. Pesantren dan Perubahan Sosial
1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Keagamaan
Secara teoritis, minimal ada tiga bentuk lembaga
pendidikan yaitu informal, non formal dan formal.
Bentuk informal adalah bentuk lembaga pendidikan
yang tidak diatur, dalam arti tidak ada jadwal
pelajarannya, kurikulumnya, ijazahnya, gurunya,
tidak jelas berapa biayanya dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, lembaga pendidikan keluarga biasa
dimasukkan ke dalam kelompok ini. Bentuk non
formal adalah bentuk lembaga pendidikan setengah
diatur, dalam arti ada jadwal pelajarannya,
kurikulumnya, tetapi tidak jelas bagaimana pakaian
murid dan siswanya serta dimana tempat kegiatan
belajar mengajarnya dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, lembaga kursus, lembaga mushalla dan masjid
serta pesantren salaf/tradisional biasa dimasukkan ke
dalam kelompok ini. Adapun bentuk formal adalah
bentuk lembaga pendidikan yang diatur semua
kegiatan belajar mengajarnya, misalnya ada
kurikulumnya, jadwal pelajarannya, gurunya, tempat
belajarnya, biayanya, ijazahnya dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, lembaga pendidikan ini biasa disebut
dengan lembaga pendidikan klasikal dan yang
termasuk ke dalam kelompok ini adalah sekolah
90 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
umum, madrasah dan pesantren semi tradisional55
dan modern.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa
pesantren bisa dikategorikan pada kelompok kedua
dan ketiga, mengingat pesantren selain mengenalkan
pengajian, juga mengenalkan belajar mengajar secara
klasikal. R.A. Kern mengemukakan bahwa sebagian
besar pesantren sebelum Perang Dunia I kurang ada
kecenderungan untuk merumuskan pendidikan dan
pengajarannya yang berlangsung sehari semalam
dalam bentuk susunan yang teratur sesuai dengan
pengertian kurikulum,56 yaitu rencana pelajaran plus
kegiatan di luar jam pelajaran di pesantren yang
merupakan usaha bantuan untuk memudahkan
tercapainya tujuan dari pada pesantren.57 Sebabnya
adalah sifat kesederhanaan pesantren itu sendiri,
55 Disebut semi tradisional, karena pesantren selain
mempertahankan model pengajian, juga mengenalkan model
pembelajaran madrasah/sekolah agama dan umum mulai dari tingkat
dasar sampai menengah atas, bahkan perguruan tinggi. Sedangkan
disebut modern, karena pesantren selain mengenalkan model
pembelajaran madrasah/sekolah agama dan umum mulai dari tingkat
dasar sampai menengah atas dan perguruan tinggi, juga mengenalkan
keterampilan lain seperti bertukang, bercocok tanam, perbengkelan dan
montir, menjahit dan lain sebagainya. Lihat Kafrawi, Pembaharuan
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren, Sebagai Usaha Peningkatan
Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara
Indah, 1978), 139-140. 56 R.A. Kern, De Islam in Indonesia, (Uitgeverij W. Van Hoeve’s
Gravenhage, 1974), h. 91. 57 A. Mukti Ali, “Kurikulum Pondok Pesantren” materi
disampaikan pada Seminar Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahap
I, Yogyakarta, 1965, h. 122.
Kiai, Pesantren dan Politik 91
dimana kiai mengajar dan santri belajar semata-mata
untuk ibadah Lillāhi Ta’āla, tidak pernah dihubung-
kan dengan tujuan tertentu dalam lapangan peng-
hidupan, kecuali tujuan tercapainya manusia mukmin,
muslim, ālim dan sāleh.58 Oleh karena itu, penjadwalan
waktu belajar yang dilaksanakan di masjid misalnya,
baik teori maupun praktik, biasanya disesuaikan
dengan sebelum dan sesudah salat lima waktu. Di
siang hari dan malam hari biasanya lebih panjang
waktu belajar-mengajarnya, sedang di pagi dan
petang hari waktu belajar mengajarnya sangat
pendek. Selain itu, ukuran lamanya belajar juga tidak
menentu, sehingga biasa dijumpai adanya santri yang
hanya belajar satu bulan, satu tahun atau bahkan
bertahun-tahun. Dengan demikian, penentuan masa
belajar sangat tergantung pada kecakapan santri,
tujuan yang hendak dicapai dan minat santri itu
sendiri. Selama masih memerlukan bimbingan dari
kiai, selama itu pula santri tidak merasakan adanya
keharusan untuk menyelesaikan pelajarannya di
pesantren.59
Di luar jam pelajaran, sebagaimana telah
dijelaskan, banyak kegiatan yang mempunyai nilai
pendidikan seperti latihan hidup sederhana, saling
hormat menghormati, ibadah dengan tertib, saling
58 M. Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan,
(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 86. 59 D.G. Stibbi, Encyclopaedia Van Nederlandsch Indie, Vol. III,
(Leiden: Martinus Nijhoff, 1919), h. 388.
92 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
mengatasi kebutuhannya sendiri, mencuci sendiri,
mengatur dan memasak sendiri, mendirikan pondok
dengan penukangan dan pembiayaan sendiri,
mengatur keuangannya sendiri bahkan ada santri
yang membiayai hidupnya sendiri. R.A. Kern
menjelaskan “jarang sekali santri bisa mengandalkan
kiriman dari rumahnya. Mereka mencari nafkahnya
sendiri dengan bekerja pada tanah-tanah kepunyaan
penduduk setempat atau bekerja pada sawah milik
gurunya. Mereka juga memperoleh nafkah dari karya
kecil dengan membuat kopi al-Qur’an, membikin
tikar dan lain sebagainya.”60
Dalam kegiatan belajar mengajar seperti
dijelaskan terdahulu, pada dasarnya materi yang
dikaji merupakan kelanjutan materi pengetahuan
agama yang diterima santri pada pengajian di rumah-
rumah dan langgar-langgar atau musalla-musalla.
Jika di langgar atau musalla diistilahkan dengan
sekolah rendah, maka pesantren merupakan tingkat
menengah dan tinggi. Oleh karena itu, bahan atau
materi pelajaran yang diberikan khususnya yang
berkaitan dengan pengetahuan agama Islam, juga
lebih mendalam. Masalah syariat sehari-hari (ilmu
fiqh baik ibādah maupun mu’āmalah), bahasa Arab
(ilmu shorof, nahwu dan ilmu alat lainnya), al-Qur’an
(tajwīd dan tafsir-tafsirnya), ilmu tauhīd, ilmu
60 R.A. Kern, De Islam in Indonesia, (Uitgeverij W. Van Hoeve’s
Gravenhage, 1974), h. 91.
Kiai, Pesantren dan Politik 93
pengetahuan yang berhubungan dengan akhlāq dan
tasawuf).61
Adapun metode pengajaran di pesantren dalam
waktu yang sangat panjang, secara agak seragam
diberikan dengan pembacaan kitab-kitab yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan tersebut, dimana
santri seorang demi seorang datang menghadap kiai
atau pembantunya dengan membawa kitabnya
masing-masing. Kiai atau pembantunya membacakan
baris-baris al-Qur’an atau kitab-kitab berbahasa Arab,
lalu menterjemahkannya dan pada gilirannya santri
mengulangi dan menterjemahkan kata-kata sepersis
mungkin seperti yang dilakukan kiai tersebut, suatu
system individual yang lazim disebut dengan
“sorogan”,62 berasal dari kata “sorog” yang berarti
menyodorkan kitabnya kepada kiai atau
pembantunya. Dalam sistem ini, pembelajaran
diberikan kepada siapa saja yang ingin mendapatkan
penjelasan yang lebih detail tentang berbagai masalah
yang dibahas dalam sebuah kitab. Oleh karena itu,
sistem sorogan hanya diikuti oleh dua hingga lima
orang santri dengan kiai dan santri senior, sebagai
pembantunya, yang memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam masalah-masalah tertentu sebagai
61 L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammedansche Godsdien
stonderwijs op Java en Madoera”, Tijdschrif Voor Indische Taal Land-
en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886, h. 518-555. 62 A. Djajadiningrat, “Het Leven in Een Pesantren, Tijdscrift Voor
Het Binnenlandsche, Vol. 34, 1908, h. 11.
94 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
pihak pemberi penjelasan. Jadi, sistem sorogan
bertujuan memberikan pelatihan khusus kepada
santri dan membantu mereka mengembangkan
pengetahuan dan keahlian tertentu yang dalam
sistem pendidikan modern di Indonesia barangkali
sama dengan sistem KBK (kurikulum berbasis
kompetensi), karena yang ingin dicapai dalam sistem
sorogan adalah aspek psikomotorik, bukan aspek
kognetif dan afektif semata.
Metode lainnya dan paling umum digunakan di
pesantren adalah “weton”,63 dan seringkali disebut
dengan “balaghan atau bandungan.64 Weton berasal dari
bahasa Jawa yang berarti waktu, lantaran waktu
belajar dilaksanakan sebelum atau sesudah salat
fardlu, sedangkan “Bandungan” dikarenakan santri
yang mengikuti pengajian duduk bersama-sama
dalam lingkaran lebar di sekitar kiai atau santri senior
yang membacakan, menerjemahkan dan menerang-
kan kitab berbahasa Arab, karya ulama terdahulu
dalam bahasa lokal secara kuliah, sementara santri
menyimak kitabnya masing-masing dengan mem-
bubuhi jabar atau harakat dan catatan padanya.
Dalam bandongan, pembelajaran dihadiri oleh
sejumlah besar santri, mencapai sekitar lima sampai
63 Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok Pesantren
Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan
Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 54. 64 A. Djajadiningrat, “Het Leven in Een Pesantren, Tijdscrift Voor
Het Binnenlandsche, Vol. 34, 1908, h. 11.
Kiai, Pesantren dan Politik 95
200 santri dari berbagai usia dan tingkat ilmu
pengetahuan. Jadi, cukup banyak pesertanya, karena
santri dianggap telah memiliki kecukupan penge-
tahuan dasar tentang tata bahasa Arab dan al-Qur’an.
Pada kedua metode pengajaran itu, baik sorogan
maupun bandongan, tidak diadakan pengulangan dan
pertanyaan. Meskipun demikian, santri tetap berada
dalam pengawasan kiai, selaku pengayom dan
pembimbing secara tut wuri handayani, sebagaimana
nampak dalam sistem individual dimana kiai atau
pembantunya secara langsung dapat mengawasi,
menilai dan membimbing dengan maksimal
kemampuan seorang santri. Bahkan sistem ini lebih
efektif bagi kiai untuk memberikan dan melimpahkan
nilai-nilai secara tersendiri kepada santri. Oleh karena
itu, tidaklah tepat, jika dikatakan bahwa sistem
pendidikan di pesantren secara keseluruhan bersifat
bebas, bebas untuk tidak belajar sekalipun.65 Sistem
pendidikan di pesantren dengan semua aspeknya
tersebut dalam beberapa hal dipandang mempunyai
kesamaan dengan sistem pendidikan pada zaman pra
Islam yang diidentifikasi dengan sistem Mandala.66
Kesamaan itu menurut Soegarda Poerbakawatja,
antara lain terletak pada adanya penghormatan yang
65 A. Mukti Ali “Kurikulum Pondok Pesantren” materi
disampaikan pada Seminar Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahap
I, Yogyakarta, 1965, h. 11. 66 W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition a Study of
Social Change, (Bandung: W.V. Van Hoeve, 1956), h. 240-241.
96 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
tinggi pada seorang guru, adanya suasana gotong
royong yang mewarnai kehidupannya dan adanya
santri yang pergi mencari nafkah untuk keperluan
hidupnya.67
I.P. Simandjuntak selain mengakui adanya
kesamaan sebagaimana pendapat di atas, juga
menunjukkan adanya perbedaan antara keduanya,
dimana kalau pada zaman Hindu/Buddha materi
yang dipelajari terkait dengan ajaran agama
Hindu/Buddha, bahasa pengantarnya bahasa Pali
dan Sanskerta dan latar belakang muridnya hanya
dibatasi pada golongan tertentu dari kasta Brahmana
dan kasta Ksatria, maka pada zaman Islam yang
dipelajari adalah ilmu pengetahuan Islam, bahasa
pengantarnya bahasa Arab dan latar belakang
muridnya terdiri dari semua orang dalam segala
tingkatan.68
Dalam pada itu, di dunia Islam pada zaman
tabi’in telah ada pendidikan dan pengajaran yang
diselenggarakan pada suatu pojok di bagian masjid
sebelah Barat yang disebut dengan zawiyah.69
Pendidikan tersebut diberikan untuk semua anak dan
semua orang dari berbagai lapisan dengan cara
67 Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia
Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung, 1970), h. 18. 68 I.P. Simandjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia,
(Bandung: Angkasa, 1973), h. 21-27. 69 Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam,
(Jakarta: Pustaka Antara, 1962), h. 122.
Kiai, Pesantren dan Politik 97
murid-murid duduk bersama-sama dalam lingkaran
lebar di sekitar seorang guru yang membacakan
kitab-kitab berbahasa Arab atau mendiktekannya,70
meliputi kitab fiqh, hādis dan kitab yang berhubungan
dengan bahasa Arab seperti arūdl dan lain
sebagainya. Ahmad Syalabi dalam kaitannya dengan
pojok masjid dan pengajaran di tempat itu,
menjelaskan, “dalam masjid ada beberapa pojok
tempat mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam
dan salah satunya adalah pojok Imam Syafi’i, karena
Imam Syafi’i mengajar di tempat ini sampai wafat.
Pojok ini disamping memiliki tanah wakaf yang luas
sekali, juga sampai masa al-Maqrizi masih tetap
dipakai para Fuqahā dan ‘Ulamā untuk mengajar
ilmu pengetahuan agama Islam.”71
Sejalan dengan zawiyah menurut pengertian di
atas, H.A.R. Gibb dan J. Kramer lebih lanjut
menambahkan bahwa zawiyah tidak hanya merupa-
kan tempat pendidikan dan pengajaran, tetapi juga
menjadi tempat kehidupan orang-orang sufi dan para
muridnya. Selain itu, zawiyah juga merupakan asrama
para pelajar, musafir dan lain sebagainya. Mereka
disediakan perlengkapan yang cukup, makanan dan
70 Ibnu Batuthah, Rihlatu Ibnu Batuthah al-Musammat Tujfatu al-
Nadhar fi Gharāibi al-Amshor wa ‘Ajāibi al-Asfār, (Cairo: al-Istiqamah,
1386/1967), Juz. I, h. 56. 71 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, alih bahasa H.
Muhtar Yahya dan M. Sanusi Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h.
102.
98 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
sekaligus menjadi tempat makan.72 Dengan demikian,
zawiyah dan sistem pendidikan dan pengajaran di
dalamnya dalam beberapa hal, nampak lebih banyak
mempunyai persamaan dengan sistem pendidikan
dan pengajaran di pesantren, sehingga dapat
diperkirakan bahwa sistem pendidikan yang tersebut
terakhir, merupakan penerapan sistem pendidikan
dan pengajaran di zawiyah yang disesuaikan dengan
kondisi dan situasi yang ada melalui proses
Islamisasi di negeri ini, yang menurut B.J.O. Schrieke,
bersifat sufistik.73 Oleh karena itu, lahirlah lembaga
pendidikan pesantren dalam warna dan corak
Indonesia, suatu sistem pendidikan yang oleh Ki
Hadjar Dewantoro disebut dengan sistem nasional.74
Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, kiai di
pesantren mempunyai kedudukan yang sangat
sentral dan strategis. Abdurrahman Wahid menegas-
kan bahwa kedudukan yang dipegang oleh seorang
kiai adalah kedudukan ganda sebagai pengasuh dan
sekaligus sebagai pemilik, yang secara kultural
kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan
feodal yang biasa dikenal dengan nama “kanjeng” di
72 H.A.R. Gibb and J. Kramer, Shorter Encyclopaedia of Islam,
(Leiden: E.J. Brill, 1953), h. 657. 73 B.J.O. Schrieke, Indonesia Sosiological Studies, (The Hague and
Bandung: W. Van Hoeve, Gravenhage), Vol. I, h. 237. 74 Ki Hadjar Dewantoro, Taman Siswa, (Yogyakarta: Majlis Luhur
Persatuan Taman Siswa, 1962), h. 369-380.
Kiai, Pesantren dan Politik 99
Pulau Jawa.75 Oleh karena itu, dalam penentuan
struktur organisasi pondok, terutama dalam me-
nentukan pengganti atau penerus pesantren, maka
pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan
kecil, dimana kiai merupakan sumber mutlak dari
kekuasaan dan kewenangan dalam lingkungan dan
kehidupan pesantren, sehingga tidak seorang pun
santri atau orang lain yang dapat melawan
kekuasaannya di lingkungan pesantren, kecuali kiai
lain yang lebih besar pengaruhnya. Jika dalam tradisi
budaya kerajaan-kerajaan, khususnya Kerajaan
Mataram Islam, jika seorang raja berkuasa di seluruh
negeri, maka seluruh kekuasaan negara berada di
tangannya, karena negara adalah miliknya atau dia
sendirilah negara itu,76 sehingga raja berwenang
mewajibkan semua pemuda berperang sebagai
prajuritnya. Lebih dari itu, raja juga berwenang
menentukan penggantinya dan biasanya ditunjuk
putera tertua atau saudara terdekat untuk menjadi
putera mahkota, yang kelak akan menggantikannya
setelah sang raja meninggal, maka dalam tradisi
pesantren, pengganti kiai adalah juga putera tertua
75 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam
Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, op. cit., h. 46-47. 76 Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa,
Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, terjemahan P. Soemitro,
(Jakarta: Yayasan Obor, 2001), Cet. Ke-1, h. XVII. Juga disebutkan
dalam buku ini, bahwa Louis XIV, raja Perancis yang mninggal 1715 M.
membuat pernyataan yang sama, yakni l’etat c’est moi (negara adalah
saya), sehingga dapat dimaklumi kalau milik pribadi dan kerajaan
disatukan saja.
100 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
atau kerabat terdekat yang sudah dipersiapkan.
Zamakhsyari Dhofier menjelaskan “Para kiai selalu
menaruh perhatian istimewa terhadap pendidikan
putera-puteranya sendiri untuk dapat menjadi
pengganti pimpinan dalam lembaga-lembaga
pesantrennya. Jika seorang kiai mempunyai anak
laki-laki lebih dari satu, biasanya ia mengharapkan
anak tertua dapat menggantikan kedudukannya
sebagai pemimpin pesantren setelah ia meninggal.
Sedangkan anak laki-lakinya yang lain dilatih untuk
dapat mendirikan suatu pesantren yang baru, atau
dapat menggantikan kedudukan mertuanya yang
kebanyakan juga pemimpin pesantren.”77 Penegasan
Zamakhsyari Dhofier tersebut, juga dapat diperkuat
melalui skema silsilah pengasuh Pondok Pesantren
Langitan Widang Tuban; silsilah pengasuh Pondok
Pesantren Tebuireng Jombang; silsilah pengasuh
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo
Situbondo; silsilah pengasuh Pondok Pesantren
Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo dan lain sebagainya.
Bahkan berdasarkan silsilah pengasuh pondok
pesantren Langitan Widang Tuban dan silsilah
pengasuh pondok pesantren Tebuireng Jombang,
juga diketahui bahwa bila ditarik ke atas, maka
silsilahnya akan sampai pada Pangeran Benawa, anak
Adiwijaya atau Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan
77 Zamkahsyari Dhofier Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren
Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam
in Java, (USA: ASU, 1999), h. 42.
Kiai, Pesantren dan Politik 101
Pajang di Kartosuro.78 Ini berarti di antara kiai juga
berasal dari keturunan raja. Oleh karena itu, wajar
bila pola suksesi di pesantren juga seperti kerajaan,
dengan pengecualian bahwa anak yang dipersiapkan
menjadi pengganti kiyai merupakan anak yang
pintar, lantaran ia akan menjadi pengasuh dan
pembimbing yang bertugas mentranmissikan ilmu-
nya kepada pada santri. Sedangkan suksesi di dalam
kerajaan kadang tanpa memperhatikan kesanggupan,
kesiapan dan kemampuan penggantinya. Meskipun
demikian, suksesi di pesantren yang berdasarkan
keturunan juga mengandung kelemahan, karena jika
sang anak, calon kiai, tidak mempunyai kemampuan
yang sama dengan kiai yang akan digantikannya,
maka akan menghilangkan kewibawaan dan
pengaruh pesantren. Oleh karena itu, H. Aboe Bakar
Atjeh menambahkan bahwa selain keturunan, faktor
lain untuk dapat menjadi kiai adalah pengetahuan-
nya, kesalehannya dan jumlah muridnya.79
Vredenbregt memberikan skema yang hampir sama
yaitu keturunan (seorang kiai besar mempunyai
silsilah yang cukup panjang), pengetahuan
78 Lihat Abd Wahid Hasyim, “Pondok Pesantren Langitan Widang
Tuban, SEjarah berdiri Dan Perkembangannya 1852-1982, Skripsi
Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Perpustakaan Adab,
1983), h. 107. Lihat pula Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A.
Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan
KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 820-824. 79 H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan
Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid
Hasyim, 1957), h. 55.
102 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
agamanya, jumlah muridnya dan cara dia
mengabdikan dirinya pada masyarakat.80 Begitu juga
Team Penelitian Kuantitatif LP3ES menyebutkan
bahwa untuk memperoleh status kiai seorang
berilmu harus melewati jalur-jalur, yaitu mengaji
pada seorang kiai yang telah ada di pesantren; wara’ie
dan zuhud, yang dengan amaliyah (menjalankan
dalam praktik apa yang diketahui), dan istiqamah
(mencapai kemantapan dalam sikap atau ketenangan
batin); faham tentang barakah dan ijazah; dan jalur
keturunan.81
Soal keturunan dan keluarga kiai ini, biasanya
memperoleh prestis sosial yang khusus dan para
santri khususnya serta masyarakat pada umumnya,
memanggilnya dengan sebutan kehormatan. Istri dan
putri-putrinya yang telah menikah memperoleh gelar
“Nyai”, sedangkan putra-putra, cucu laki-laki dan
menantu laki-laki diberi julukan “Gus”, yang berasal
dari kata Si Bagus.82 Dari mereka ini diharapkan
dapat menjadi calon-calon potensial sebagai
pimpinan pesantren pada masa mendatang. Oleh
karena itu, jika seorang kiai tidak punya putra, maka
80 Vredenbregt, J., De Baweanners in hun moederland en in
Singapore, (Leiden: 1968), h. 29. 81 Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil
Penelitian Pesantren al-Falak & Delapan Pesantren Lainnya di Bogor,
(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 47-48. 82 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the
Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU,
1999), h. 69.
Kiai, Pesantren dan Politik 103
salah seorang menantunya laki-laki akan diarahkan
menjadi calon utama, tetapi sebaliknya jika punya
putra laki-laki, maka akan diberikan didikan secara
khusus, yang dapat menjamin adanya seorang
pengganti kepemimpinan pesantren. Jadi, gus dengan
ditambah sifat perorangan atau personal hubungan
antara kiai dengan santri, merupakan keturunan yang
paling mudah meneruskan kegiatan suatu pesantren
sepeninggal kiai pendiri dan pemiliknya. Orang lain,
meskipun peranan praktisnya mungkin lebih besar,
hanya menduduki tempat sebagai pembantu saja.83
Apalagi gus biasanya mempunyai beberapa kelebih-
an, karena dianggap mempunyai ilmu laduni,84 yaitu
suatu kemampuan untuk menguasai berbagai cabang
pengetahuan Islam tanpa harus mempelajarinya.
83 Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil
Penelitian Pesantren al-Falah & Delapan Pesantren Lain di
Bogor,(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 48. 84 Ilmu Laduni berasal dari bahasa Arab yang artinya
“Pengetahuan yang datang dengan sendirinya Dari Yang Maha Benar”
atau “Pengetahuan yang datang langsung dari ketinggian jiwa sebagai
buah dari ilham”. Dalam pengertian Tasauf, ilmu laduni berarti
“Pengetahuan yang dimiliki oleh para wali yang masuk ke dalam hati
mereka yang berasal langsung dari ciptaan Yang Maha Benar”. Sebagai
contoh Zamakhsyari menguraikan tentang seorang putera yang memiliki
ilmu laduni yaitu Kiyai Zainuddin, pemimpin Pondok Pesantren al-
Huda, Tarogong, kira-kira 6 Km sebelah Barat Laut Garut. Ayahnya,
Kiyai Ilyas menyekolahkannya pada SMP Garut antara tahun 1954-
1957. Sewaktu Kiai Ilyas meninggal, ia baru berusia 17 tahun. Sebagai
putera tertua, ia menggantikan ayahnya memimpin pesantren dan ia telah
berhasil mengajarkan kitab-kitab tingkat tinggi kepada para santrinya,
padahal usianya masih sangat muda. Sukses dari kepemimpinannya
dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa Pesantren al-Huda pada tahun
1978 mempunyai 600 santri.
104 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Dengan kata lain, Tuhan memberkahi para gus
dengan pengetahuan Islam semenjak mereka
dilahirkan. Mereka lahir dan telah ditakdirkan untuk
menjadi ahli-ahli ilmu pengetahuan dan mereka lahir
ke dunia ini untuk memimpin pesantren.
Selanjutnya, dalam mengelola urusan internal
pesantren, hampir dipastikan bahwa kiai pesantren
berpedoman pada Kitab Ta’līm al-Muta’allim, Tariqatu
al-Ta’līm,85 sebuah kitab karya Syekh al-Zarnuji;
dalam materi pelajaran, sebagaimana telah diuraikan
di atas berpegang pada kitab-kitab karya para ulama
salaf, sedangkan dalam hal tempat pendidikan atau
kegiatan belajar-mengajar, terutama dalam praktik
sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang
Jum’ah dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik,
sebelum memperkenalkan sistem klasikal, kebanyak-
an pesantren memanfaatkan masjid,86 sebagai tempat
85 Kitab ini dibagi dalam beberapa bab. Di antaranya bab tentang
hakekat ilmu dan keutamaannya, tentang niat saat belajar, tentang
memilih ilmu, guru dan teman, tentang memuliakan ilmu dan ahli ilmu,
tentang kesungguhan, ketekunan belajar dan cita-cita, tentang awal
belajar, ukuran dan aturannya, tentang tawakkal, tentang waktu
memperoleh ilmu, tentang iba dan nasehat, tentang mengambil faidah
dan wara dalam mencarai ilmu, tentang perkara yang memudahkan
dalam menghafal dan lupa, tentang cara mencari rizqi dan yang
merintanginya, dan bab tentang tambah dan kurangnya umur, yang tidak
ada seorang-pun yang bisa menolong, kecuali Allah SWT. 86 Masjid berasal dari bahasa Arab, dari kata “Sajada” yang berarti
dia telah sujud. Dalam tradisi Islam, sujud bisa dilakukan dimana saja,
karena setiap jengkal tanah adalah masjid. Tetapi, di Indonesia, masjid
kemudian diwujudkan dalam sebuah bangunan segi empat dengan
“Mihrab” untuk mengarahkan salat ke kiblat (Ka’bah) ditempatkan di
bagian Barat. Dalam tradisi pengajaran Islam, sebelum pesantren berdiri,
Kiai, Pesantren dan Politik 105
kegiatannya. Oleh karena itu, masjid dapat disebut
sebagai elemen yang tak dapat dipisahkan dalam
tradisi pesantren, bahkan bagi kaum muslimin sejak
zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang,
terutama yang belum terpengaruh oleh kehidupan
Barat, dimana pun berada, selalu menggunakan
masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan,
aktivitas administrasi dan kultural.
2. Pesantren Sebagai Lembaga Pencetak Ulama
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa materi
pelajaran yang diberikan di pesantren lebih banyak
terkait dengan pokok-pokok agama, yang terutama
adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
syariat sehari-hari (ilmu fiqh baik ibādah maupun
mu’āmalah), bahasa Arab (ilmu shorof, nahwu dan
ilmu alat lainnya), al-Qur’an seperti tajwīd dan tafsir-
tafsirnya, ilmu tauhīd, ilmu akhlāq dan ilmu tasauf,87
biasanya kiyai menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di
rumahnya. Tetapi, setelah rumah kiyai tidak mampu lagi menampung
banyaknya santri yang datang mencari ilmu, ia kemudian mendirikan
masjid, yang berfungsi sebagaimana diuraikan di atas. Jadi, kedudukan
masjid di pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem
pendidikan Islam tradisional, bahkan kesinambungan sistem pendidikan
Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid al-Qubba didirikan dekat
Madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam sistem
pesantren. 87 L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammedansche
Godsdienstonderwijs op Java en Madoera,” Tijdschrif voor Indische
Taal Land-en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886, h. 518-555. Lihat pula
Soebardi, “Santri Relegious Element as Reflected in The Book of
106 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
sehingga dapat dipastikan bahwa pengetahuan
agama yang diberikan di pesantren, dalam bidang
akidah mengikuti ajaran Imam Abu Hasan al-
Mātūridi, dalam bidang tasauf, mengikuti ajaran
Imam Ghazzāli dan dalam bidang Fiqh mengikuti
ajaran Imam Syāfi’i.
Para santri memulai pelajarannya di pesantren
dengan rukun Islam yang lima dan peraturan ibadah
dengan teks-teks yang sederhana seperti Safīnah al-
Najāh, Sullam al-Taufīq, al-Sittīn al-Mas’alah,
Mukhtashar oleh Ba-fadhl, dan Risālah oleh Sayyid
Ahmad bin Zain al-Habsyi. Selanjutnya, mereka
mempelajari satu dari beberapa kitab fiqh seperti
Minhaj al-Qawīm, al-Hawāsyi al-Madaniyah, Fath al-
Qarīb, Bajuri, al-Iqnā’, Bujairimi, al-Muharrar, Minhaj
al-Thālibīn, Syarh Minhaj oleh al-Mahalli, Fath al-
Wahhāb, Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Mu’īn.
Kurikulum yang dipakai di pesantren tidak
distandarisasi dan hampir setiap pesantren
mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda-beda dan
banyak kiai terkenal sebagai spesialis kitab tertentu.
Oleh karena itu, banyak santri tekun berpindah dari
satu pesantren ke pesantren lainnya dalam upaya
mempelajari semua kitab yang ingin mereka kuasai.
Tjentini,” Bidragen Tot De Taal Land-en Volkenkunde, Vol. CXXVII,
(Martinus Nijhoff, 1971), h. 335-340. serta KH. Siradjuddin Abbas,
Ulama Syafi’I dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1975), h. 36-65.
Kiai, Pesantren dan Politik 107
Bila ditelusuri tentang harapan orang tua santri
menyerahkan anaknya untuk didik di pesantren,
maka akan nampak harapan yang paling mendasar
adalah agar anaknya menjadi orang baik, menjadi
orang yang saleh, bertaqwa dan taat beragama. Jadi,
tidak ada tujuan khusus, untuk jabatan tertentu di
kemudian hari. Kalau toh ada tokoh yang disebut
untuk personifikasi bagi tujuan pendidikan anaknya,
maka umumnya adalah menjadi ‘ulamā atau
pemimpin Islam. Dengan demikian, keinginan orang
tua sejalan dengan materi yang diajarkan, sehingga
harapan pesantren sebagai lembaga pembentuk
ulama juga bisa direalisasikan. Kiai A. Wahid
Hasyim, putra tertua KH. Hasyim Asy’ari, pendiri
Ponpes Tebuireng, menegaskan bahwa pengajaran
kitab-kitab asli Islam dalam bahasa Arab di
pesantren, memang untuk diarahkan mendidik santri
menjadi ulama.88 Survey LP3ES terhadap lembaga
pendidikan pesantren di Bogor, juga menunjukkan
bahwa harapan orang tua terhadap anaknya yang
dididik di pesantren lebih bersifat agama, dan apabila
dikaitkan dengan lapangan kerja, maka pekerjaan
88 H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan
Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid
Hasyim, 1957), h. 820-824.
108 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
yang diharapkan adalah yang langsung berhubungan
dengan agama yaitu guru agama, kiai atau ‘ulamā.89
Dengan demikian, pantas bila dari satu atau
banyak pesantren kemudian lahir alumni yang
menjadi guru agama, pegawai Departemen Agama
atau bahkan menjadi penyiar agama, ‘ulamā90 dan
kiai yang mendirikan pesantren baru di daerahnya
asalnya, yang dalam proses perjalanannya pada
89Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil
Penelitian Pesantren al-Falah & Delapan Pesantren Lain di Bogor,
(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 126. 90 H.A. Hasyim Muzadi menegaskan bahwa KH. Hasyim Asy’ari
secara kultural sangat berwibawa karena hampir seluruh kiai di tanah
Jawa berguru dan menjadi muridnya di Pesantren Tebuireng. Kiai yang
berguru dan menjadi muridnya itu kelak menjadi ulama terkenal di
antaranya adalah kiai Ma’sum Ali, kiai Baidlawi, kiai Syansuri Badawi,
kiai Wahab Hasbullah, kiai Mahfudz Siddiq, kiai Ahmad Siddiq, kiai
Muhith Muzadi, kiai Wahib Wahab, kiai Romli, kiai Mahrus Ali, kiai
As’ad Syamsul Arifin, kiai Idris, kiai Adlan Ali, kiai Manan, kiai
Saifuddin Zuhri, kiai sahal Mahfudz, kiai Ma’sum, kiai Khalil, kiai
Masykur, kiai Syukri Ghazali dan lain sebagainya. Dari Ponpes Langitan
lahir ulama kenamaan di antaranya adalah kiai Muhammad Siddiq, ayah
kiai Mahfudz, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah, kiai Mahrus
Ali, kiai Rafi’i, kiai Idris, kiai Umar, kiai Zainuddin, kiai As’ad, kiai
Abdul Manan, KH. Mas Mansur dan lain sebagainya. Sedangkan dari
Ponpes kiai Khalil Bangkalan Madura, lahir ulama kenamaan di
antaranya kiai hasyim Asy’ari, kiai Abd. Manan Abdul Karim, kiai
Muhammad Siddiq, kiai Munawwir, kiai Maksum, kiai Abdullah
Mubarok, Tasikmalaya, kiai Wahab Hasbullah dan lain sebagainya.
Lihat H.A. Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda
Persoalan Bangsa, (Jakarta: Logos wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999),
Cet. Ke-1, h. 13. lihat pula Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren
Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam
in Java, (USA: ASU, 1999), h. 70 dan 189-191. Abd. Wahid Hasyim,
“Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, Sejarah Berdiri Dan
Perkembangannya 1852-1982, Skripsi Sarjana Sejarah dan Kebudayaan
Islam, (Jakarta: Perpustakaan Adab, 1983), h. 82-97.
Kiai, Pesantren dan Politik 109
tahun 1980, lembaga pendidikan pesantren di
Indonesia telah mencapai 5.373 buah dengan santri
1.238.967 orang. Dari jumlah itu, 1.344 buah terdapat
di Jawa Timur dengan santri berjumlah 427.517
orang.91 Pada tahun 2005 jumlah instiutsi pesantren
meningkat menjadi 14.798 buah dengan santri
berjumlah 3.464.334 orang. Dari jumlah itu, 3.582
buah terdapat di Jawa Timur dengan santri berjumlah
1.169.256 orang.92
3. Pesantren sebagai Lembaga Transmisi Nilai Tradisi
Keagamaan
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa para
pendiri dan pemilik pesantren kebanyakan adalah
kiai. Mereka umumnya berasal dari keluarga yang
cukup berada dari segi materi. Oleh karena itu, untuk
melengkapi keberadaannya sebagai kiai, mereka
pergi ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam
yang kelima, ibadah haji. Mereka umumnya
berangkat pada bulan Sya’ban, yang berarti mereka
mempunyai banyak waktu, sehingga sebagai ulama,
mereka ada yang tinggal empat sampai lima bulan
91 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen pembinaan
Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 92 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen
Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Lihat pula
Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri 2009,”
Republika (Jakarta), 15 September 2006.
110 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
atau bahkan beberapa beberapa tahun di sana93 dan
memanfaatkan waktu senggangnya dengan meng-
ikuti pengajian halaqah di Masjidil Haram yang
diberikan oleh para ulama kenamaan, baik yang
berasal dari nusantara maupun dari negara-negara
Islam lainnya di dunia, seperti Syekh Ahmad Chatib
Sambas, Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Nawawi,
Syekh Abdul Hamid dan lain sebagainya.94
Sekembalinya di tanah air, ilmu-ilmu yang
dipelajari di Tanah Suci, mereka ajarkan kepada para
santri di pesantren yang baru dibangunnya atau
pesantren yang sudah ada, atau bahkan kepada
masyarakat sekitarnya, sehingga nampak bahwa
materi, metode dan lain sebagainya sama dengan
materi dan metode yang mereka dapatkan di
Mekkah. Di Masjidil Haram, demikian Azyumardi
Azra menjelaskan, murid-murid duduk dalam
halaqah mengelilingi guru-guru dan orang beilmu
lainnya, dengan kitab-kitab keagamaan dan al-Qur’an
di tengah mereka.95 Sementara di pesantren seperti
93 Van der Plas sebagaimana dikutip Martin menjelaskan bahwa
jamaah haji nusantara yang mukim (menetap) di sana tahun 1931
sekurang-kurangnya 10.000 jiwa, sedangkan jumlah jamaah haji yang
berangkat waktu itu sekitar 30.000 jiwa. Lihat Martin Van Bruinessen,
Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-1, 1995, h. 50. 94 C. Snouck Hurgronje, Mekka in The Latter Part of The 19th
Century, translation J.H. Monahan, (Leiden: E.J. Brill, 1931), h. 262-
267. 95 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar
Kiai, Pesantren dan Politik 111
telah dijelaskan, dalam sistem “Bandungan,” santri
yang mengikuti pengajian duduk bersama-sama
dalam lingkaran lebar di sekitar kiai atau santri senior
yang membacakan, menerjemahkan dan menerang-
kan kitab berbahasa Arab, dalam berbagai jenis
seperti di atas, karya ulama terdahulu dalam bahasa
lokal secara kuliah, sementara santri karena dianggap
telah memiliki kecukupan pengetahuan dasar tentang
tata bahasa Arab dan al-Qur’an, menyimak kitabnya
masing-masing dengan membubuhi jabar atau
harakat dan catatan padanya. Dalam bandongan,
pembelajaran dihadiri oleh sejumlah besar santri,
mencapai sekitar lima sampai 200 santri dari berbagai
usia dan tingkat ilmu pengetahuan.
Sebagaimana di Masjidil Haram, di pesantren
juga tidak ada kurikum tetap. Tetapi pengajian
dengan metode sorogan dan balaghan di pesantren
dilaksanakan terpisah antara kaum lelaki dan
perempuan, tidak dicampur, sebagaimana terjadi di
luar pesantren. Pemisahan itu dimaksudkan untuk
menjaga ikhtilaf antara keduanya dan menjaga hal-
hal yang tidak diinginkan, di samping secara syar’i,
Islam telah mengajarkan bahwa seorang lelaki
dilarang melihat perempuan yang bukan mahram-
nya, kecuali dalam empat hal, yaitu ketika seorang
Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994),
Cet. Ke-1, h. 79. Lihat pula Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,
Pesantren Dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1995), Cet. Ke-1, 1995, h. 34-35.
112 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
lelaki berprofesi sebagai dokter, sebagai pedagang,
sedang meminang calon istri dan sedang tampil
sebagai guru. Khusus yang trakhir, meskipun
dibolehkan, tetapi kiai di pesantren hanya mengajar
santri laki-laki, sedangkan santri perempuan diajar
oleh ibu nyai atau guru perempuan. Karena hanya
meneruskan misi seperti apa yang telah diperoleh
kiai selama di tanah suci dan tidak ada perubahan
yang signifikan, maka pesantren sering disebut
sebagai lembaga yang hanya sekedar melakukan
transmisi nilai tradisi keagamaan Islam semata.
4. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Ekonomi
Sejalan dengan perjalanan waktu, pesantren yang
mulanya merupakan lembaga pendidikan
keagamaan, lembaga pencetak ulama dan lembaga
transmisi nilai tradisi keagamaan, telah berkembang
pula menjadi lembaga sosial ekonomi. Pondok
Pesantren Langitan Widang, Tuban, sebuah lembaga
pendidikan keagamaan yang didirikan tahun 1852
oleh KH. Muhammad Nur, pada dasawarsa delapan
puluhan telah mengembangkan berbagai jenis
keterampilan, seperti Perikanan, Pertanian, Petukang-
an Batu, Jahit-Menjahit, Pangkas Rambut, Koperasi,
PKK dan lain sebagainya,96 selain mengirimkan
96 Abd. Wahid Hasyim, “Pondok Pesantren Langitan Widang
Tuban, Sejarah Berdiri Dan Perkembangannya 1852-1982,” Skripsi
Kiai, Pesantren dan Politik 113
beberapa orang santri untuk mengikuti pendidikan
keterampilan yang diselenggarakan oleh Pusat
Pendidikan dan Latihan Keterampilan di Pondok
Pesantren Sabīlil Muttaqīn, Takeran, Magetan, Jawa
Timur dan diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
(LP3ES) di Jakarta. Bahkan pada awal tahun 2001,
Pondok Pesantren Langitan telah mengembangkan
usaha Air Minum Kemasan “Ihsan” kerjasama
dengan sebuah perusahaan swasta nasional.97
Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton,
Probolinggo, Jawa Timur, sebagaimana Ponpes
Langitan, sejak berdirinya hingga kini telah
mengembangkan sistem pendidikan, pengembangan
bakat keterampilan yang meliputi jahit-menjahit,
Percetakan dan Sablon, Perajutan, Bengkel Las,
Fotografi/Cuci Cetak Hitam Putih, Petukangan,
Pertanian dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga
(PKK).98 Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan,
Jombang, telah mengembangkan jenis perekonomian
seperti Pertanian, Koperasi, Wartel, Warnet, Kantin,
Unit Kesehatan, Percetakan dan Sablon, PKK dan lain
Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Perpustakaan Adab,
1983), h. 72. 97 KH. Abdullah Faqih, Pimpinan Pondok Pesantren Langitan,
Wawancara Pribadi, Widang, 15 Pebruari 2007. 98 M. Masyhur Amin dan M. Nasikh Ridwan, KH. Zaini Mun’im,
Pengabdian dan Karya Tulisnya, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), Cet. Ke-
1, h. 141.
114 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
sebagainya,99 dan Pondok Pesantren Bahrul Ulum,
Tambak Beras Jombang, telah mengembangkan
koperasi, di mana masyarakat sekitar dapat
menitipkan barang dan membuat kantin di dalam
pondok, bahkan dewasa ini Ponpes Bahrul Ulum
sedang merintis kerjasama dengan Supermarket Alfa
untuk mendirikan minimarket dan pusat grosir pada
semua koperasi filial pondok.100
Pengembangan berbagai jenis keterampilan dan
koperasi pondok pesantren di atas, erat kaitannya
dengan usaha pemerintah dalam memberdayakan
pesantren melalui berbagai macam bantuan baik
berupa peralatan maupun pelatihan. Berdasarkan
data, pembinaan dan bantuan keterampilan oleh
Departemen Agama RI telah dapat menjangkau 4
pesantren pada tahun 1975 dengan dana sebesar Rp
40.000.000,-, 42 pesantren pada tahun 1976 dengan
dana sebesar Rp 200.000.000,-, 92 pesantren pada
tahun 1977 dengan dana sebesar Rp 255.000.000,-, 500
pesantren pada tahun 1978 dengan dana sebesar Rp
300.000.000,-, 500 pesantren pada tahun 1979 dengan
dana sebesar Rp 360.000.000,- dan 505 pesantren pada
tahun 1980 dengan dana sebesar Rp 380.000.000,-101
99 Pondok Pesantren Darul Ulum, (Jombang: Pondok Pesantren
Darul Ulum, 2006), h. 21-22. 100 Pondok Pesantren Bahrul Ulum, (Tambak Beras, Jombang:
2006), h. 16-17. 101Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok Pesantren
Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan
Kiai, Pesantren dan Politik 115
Dengan demikian sebelum dilakukan pembinaan dan
pelatihan, jumlah koperasi pondok pesantren di
Jawa-Madura baru 7 (tujuh) buah, tetapi sekarang
hampir semua pondok pesantren di seluruh
Indonesia telah tumbuh koperasi dalam berbagai
jenis konsumsi, simpan-pinjam dan serba usaha,
sehingga koperasi pondok pesantren memiliki
prospek yang sangat cerah. Berangkat dari kenyataan
tersebut, maka Kementerian Koperasi dan UKM sejak
tahun 2006 mengembangkan kebijakan Program
Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren melalui
Pemberdayaan Koperasi Pondok Pesantren yaitu
program bantuan pengadaan Tempat Praktek Usaha
Santri (TPUS).102
Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 97. Sadikun Sugihwaras,
Pondok Pesantren Dan Pembangunan Pedesaan, (Jakarta: Dharma
Bakti, 1979), h. 101. 102 Kebijakan Program Pengembangan Ekonomi Pondok
Pesantren, Melalui Pemberdayaan Koperasi Pondok Pesantren,
Republika, (Jakarta), 9 Nopember 2007, h. 8. Sasaran jangka pendek
Program Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren melalui
Koppontren tahun 2007 adalah 180 Koppontren, meliputi pengembangan
“Tempat Praktek Usaha Santri” di bidang Bengkel Otomotif/Sepeda
Motor dengan bantuan dana masing-masing Rp 200.000.000,-.
Pengembangan “TPUS” di bidang Bengkel Elektronik dengan bantuan
masing-masing Rp 200.000.000,- Pengembangan “TPUS” di bidang
Indutsri Konveksi dengan bantuanmasing-masing Rp 200.000.000,-
penegmbangan “TPUS” di bidang Industri Kerajinan dengan bantuan
masing-masing Rp 200.000.000,- pengembangan “TPUS” di bidang
Pengolahan Agribisnis dengan bantuan masing-masing Rp 200.000.000,-
serta pengembangan “TPUS” di bidang lainnya. Pada tahun 2008 akan
disalurkan ke 425 Koppontren di seluruh Indonesia.
116 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Dari program tersebut diharapkan Koperasi
Pondok Pesantren selain dapat mencetak santri
wirausaha baru, koperasinya juga dapat lebih
berkembang, karena adanya berbagai diversifikasi
usaha, sehingga pondok pesantren pada masa yang
akan datang dapat bertindak sebagai pencetak calon
wirausaha baru dan motor pembangunan ekonomi
pedesaan, sebuah gagasan yang sejalan dengan
mimpi Abdurrahman Wahid 30 tahun yang lalu,
lewat sebuah sub artikel yang ditulisnya dengan
judul “Manfaat Konperasi bagi Pesantren dan
Lembaga Pendidikan Islam.103
C. Pesantren dan Politik
1. Pesantren dan Modernisasi Birokrasi
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa pesan-
tren dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami
pembaharuan, sehingga pesantren dapat di-
klasifikasikan menjadi Pesantren Salaf serta Pesantren
Salaf dan Khalaf sekaligus atau pesantren modern.
Pada pesantren jenis terakhir, pengajaran selain
berupa pengajian secara sorogan, wetonan dan
bandongan, juga mulai diperkenalkan pengajaran
103 Lihat Abdurrahman Wahid, “Pemikiran Abdurrahman Wahid,”
dalam Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia, Pemikiran
Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib
dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. Ke-1, h.
346.
Kiai, Pesantren dan Politik 117
secara klasikal. Madrasah mulai dari tingkat
Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Perguruan
Tinggi yang berafiliasi ke Departemen Agama
didirikan, bahkan SD, SMP dan SMA yang berafiliasi
ke Departemen Pendidikan Nasional juga diadakan.
Implikasinya, kurikulum yang dikembangkan me-
rupakan kurikulum pemerintah, atau perpaduan
antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran
umum, sehingga pesantren mengalami pergeseran
dan perubahan paradigma dari lembaga pencetak
calon ulama menjadi lembaga yang mendidik para
santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya
menjadi “‘ulama intelek” (‘ulama yang menguasai
pengetahuan umum) dan “intelektual ‘ulama”
(sarjana dalam bidang pengetahuan umum yang juga
menguasai pengetahuan Islam).104
Beberapa pesantren yang telah melakukan
perubahan paradigma tersebut adalah Pondok
Pesantren Tebuireng, Jombang, Pondok Pesantren
Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang, Pondok
Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus
Situbondo, Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton
Probolinggo dan lain sebagainya. Pondok Pesantren
Tebuireng mulai menyesuaikan diri dan sedikit
104 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the
Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU,
1999), h. 95.
118 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan
umum sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1916,
Pesantren Tebuireng mendirikan sebuah “Madrasah
Salafiyah” yang tidak hanya mengadopsi sistem
pendidikan modern, tetapi juga memasukkan
beberapa pelajaran umum seperti berhitung, bahasa
Melayu, ilmu bumi dan menulis dengan huruf latin
ke dalam kurikulumnya.105 Model ini kemudian
diikuti oleh banyak pesantren lainnya. Salah satu
yang terpenting adalah Pondok Pesantren Darul
Ulum, Rejoso, Jombang yang mendirikan madrasah
pada tahun 1926 dengan memperkenalkan mata
pelajaran non keagamaan.106
Bila pada pra kemerdekaan, penyesuian diri
pada pesantren lebih karena mendapatkan tantangan
dari sistem pendidikan Belanda dengan sekolah
rakyat atau sekolah desanya, dan karena men-
dapatkan tantangan dari kaum reformis atau
modernis muslim dengan sistem pendidikan Islam
modern-nya, misalnya sekolah-sekolah umum model
Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam dan
madrasah-madrasah modern yang secara terbatas
105 Heru Soekardi, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Pusat
penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pndidikan dan Kebudayaan,
1979), h. 56. 106 Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. xv.
Kiai, Pesantren dan Politik 119
mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan
modern Belanda;107 maka pada pasca kemerdekaan,
penyesuaian diri pesantren, lebih karena ekspansi
pendidikan umum yang disebarkan oleh pemerintah.
Pada tingkat ini pesantren misalnya secara agak hati-
hati mulai melakukan revisi kurikulumnya dengan
memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan
ketrampilan umum; dan membuka kelembagaan dan
fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan
pendidikan umum, sebuah usaha yang terjadi karena
pesantren mendapatkan saingan dari sistem ke-
lembagaan madrasah modern yang ditempatkan di
bawah tanggung jawab dan pengawasan Departemen
Agama, yang sejak 1950-an melancarkan pembaharu-
an madrasah setelah sebelumnya ‘menegerikan’
banyak madrasah swasta.
Pada pesantren yang telah melakukan revisi
kurikulumnya dan membuka kelembagaan dan
fasilitas pendidikannya bagi kepentingan umum,
maka para santri yang telah menyelesaikan
pendidikannya pada tingkat Sekolah Lanjutan Atas
akan mendapatkan ijazah yang diterbitkan oleh
kedua lembaga pemerintah tersebut, sehingga
mereka memiliki akses lebih besar dalam lapangan
kerja dan dalam melanjutkan pendidikan pada
107 Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. xii-xiii.
120 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
lembaga pendidikan yang lebih tinggi, baik perguran
tinggi agama maupun umum, seperti STAIN, IAIN,
UIN, UI, ITB, ITS, Unibraw, Universitas Airlangga,
UGM dan lain sebagainya. Bahkan mereka juga
mudah mendapatkan peluang memperoleh bantuan
dan beasiswa dari pemerintah.
Pada saat yang sama juga terdapat ke-
cenderungan kuat pesantren untuk melakukan
konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada
aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara
tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh
satu atau dua orang kiai, yang biasanya merupakan
pendiri pesantren, tetapi bersamaan dengan
diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya,
banyak pesantren yang kemudian mengembangkan
kelembagaan yayasan, yang merupakan
kepemimpinan kolektif. Pondok Pesantren
Maskumambang, Gresik, yang sejak didirikan tahun
1859 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Abdul
Jabbar, tetapi pada tahun 1958 kepemimpinan
pesantren diserahkan kepada Yayasan Kebangkitan
Umat Islam. Begitu pula Pondok Pesantren Darul
Ulum, Peterongan Jombang, yang sejak didirikan
tahun 1885 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH.
Tamim Irsyad, tetapi pada 4 Nopember 1961
kepemimpinan pesantren diserahkan kepada
Kiai, Pesantren dan Politik 121
Yayasan Pondok Pesantren Darul Ulum.108 Pondok
Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, sebagaimana
dua pesantren di atas, sejak didirikan tahun 1835
dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Abdus
Salam, tetapi pada 6 September 1966 diserahkan
kepada yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum,
Tambak Beras, Jombang.109 Pondok Pesantren Nurul
Jadid, Paiton, Probolinggo, melakukan hal yang
sama, sejak didirikan oleh KH. Zaini Mun’im tahun
1960, langsung membentuk kepemimpinan pesantren
dalam sebuah wadah Yayasan Pondok Pesantren
Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.110
Dengan perubahan pola kepemimpinan dan
manajemen ini, maka ketergantungan kepada
seorang kiai seperti pada pesantren-pesantren jaman
awal pembentukannya, tidak lagi terjadi. Kenyataan
ini merupakan salah satu faktor penting yang
membuat pesantren semakin lebih mungkin untuk
bertahan dalam menghadapi perubahan dan
tantangan zaman. Bahkan pesantren diharapkan
tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya,
sebagai transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam,
pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama,
108 Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta:
LP3ES, 1999), Cet. Ke-1, h. 231-232. 109 Pondok Pesantren Bahrul Ulum, (Tambak Beras, Jombang:
2006), h. 2. 110 M. Masyhur Amin dan M. Nasikh Ridwan, KH. Zaini Mun’im,
Pengabdian dan Karya Tulisnya, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), Cet. Ke-
1, h. 127.
122 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
tetapi juga diharapkan dapat menjadi salah satu agen
perubahan dan pembangunan masyarakat, sebagai
pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan
teknologi tepat guna, pusat usaha-usaha penyelamat-
an dan pelestarian lingkungan hidup serta pusat
pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya.111
2. Pesantren dan Partai Politik
Sebagaimana dijelaskan di muka, pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tempat murid-
murid belajar mengaji dan mempelajari ilmu
pengetahuan agama Islam, dengan kiai sebagai tokoh
sentralnya dan masjid sebagai pusat lembaganya.
Pada tahun 1980, jumlah pesantren di Indonesia telah
mencapai 5.373 buah dengan santri 1.238.967 orang.
Dari jumlah itu, 1.344 buah terdapat di Jawa Timur
dengan santri berjumlah 427.517 orang.112 Tetapi pada
tahun 2005, jumlah pesantren meningkat menjadi
14.798 buah dengan santri berjumlah 3.464.334 orang.
Dari jumlah itu, 3.582 buah terdapat di Jawa Timur
dengan santri berjumlah 1.169.256 orang.113
111 Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. xxi-xxii. 112 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen pembinaan
Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 113 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen
Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Lihat pula
Kiai, Pesantren dan Politik 123
Sedangkan partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang
sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik –
biasanya dengan cara konstitusionil – untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya.114
Jadi, kelompok ini bertujuan memperjuangkan
sesuatu “kepentingan” dan mempengaruhi lembaga-
lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang
menguntungkan atau menghindarkan keputusan
yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak
berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya pada
dewan perwakilan rakyat, tetapi cukup
mempengaruhi satu atau beberapa partai di
dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang
Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri 2009,”
Republika (Jakarta), 15 September 2006. 114 Bandingkan dengan terminologi yang dikemukakan oleh Carl J.
Friedrch bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan
berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. R.H. Soltau
mengartikan partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan
yang –dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilik– bertujuan
menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaannya.
Sedangkan Sigmund Neumann mengartikan bahwa partai politik adalah
organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha menguasai
kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar
persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda.
124 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
berwenang. Oleh karena itu, partai politik sebagai
lembaga politik dapat menjadi penghubung antara
rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.
Pada awal Orde Baru, jumlah partai politik peserta
pemilu 9 (sembilan) partai dan Golkar, kemudian
diciutkan, hingga runtuhnya rezim Orde Baru jumlah
partai peserta pemilu hanya tinggal 2 (dua) dan
Golkar. Tetapi, sejalan dengan lahirnya era reformasi
tahun 1998, jumlah partai membengkak hingga
mencapai 148 partai. Setelah melewati seleksi Tim 11
yang diketuai Nurcholish Madjid, partai yang layak
mengikuti pemilu tinggal 48 partai, 20 di antaranya
merupakan partai Islam.115
Dengan demikian, pesantren berbeda dengan
partai politik. Pesantren merupakan pranata
pendidikan keagamaan yang berusaha mencerdaskan
kehidupan warganya dalam bidang ilmu
pengetahuan, sedangkan partai politik merupakan
pranata politik yang bertujuan memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik,
untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan-
nya. Namun, karena jumlah pesantren dan santrinya
sangat besar, maka seringkali partai politik
mendekati pesantren guna mendulang suara
kalangan santri. Sebaliknya, kiai baik sebagai pemilik
115 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto”,
dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed), Indonesia di Tengah
Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKiS,
2000), h. 375.
Kiai, Pesantren dan Politik 125
maupun tokoh sentral dalam pesantren, melalui basis
konstituen pesantren seringkali menggunakan partai
politik sebagai kendaran untuk mencapai tujuan
politiknya, yaitu ‘izz al-Islām wa al-
Muslimīn/keagungan Islam dan umatnya.116 Menurut
Achmad Siddiq, ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn harus
direfleksikan dalam sikap dan tindakan ummat Islam,
yakni semua tindakan yang dapat dianggap
meningkatkan keyakinan/iman atau kepentingan
masyarakat, termasuk di dalam cakupannya. Mereka
harus mempunyai kebanggaan atas agamanya,
berjuang menegakkan dan menyebarkan ajarannya
dan menciptakan ummat yang adil, makmur dan
dinamis, yang pantas sebagai penganut keyakinan
yang benar,117 atau dalam pengertian lain, harus
diarahkan dan difokuskan pada pemikiran tentang
penciptaan situasi yang mensejahterahkan ummat
Islam dalam kehidupan sehari-hari, yang dapat
mengangkat ummat Islam di tingkat akar rumput
dari kemiskinan.118 Implikasi politik dan ekonominya
dapat diwujudkan melalui berbagai cara, termasuk
melalui ummat Islam yang telah memperoleh
kedudukan tinggi dalam bidang politik, ekonomi dan
116 ‘Izz dapat diterjemahkan dalam beberapa arti seperti kekuatan,
kekuasaan, kemuliaan, kebesaran dan keunggulan. 117 Achmad Siddiq, Pedoman Berfikir ‘Nahdlatul Ulama’
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Cabang Jember, (Jember: TP,
1969), h. 12 b. 118 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan,
(Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. Ke-1, h. 243.
126 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
masyarakat.119 Kedudukan politik sedapat mungkin
diarahkan pada usaha mendapatkan kedudukan
dalam birokrasi pemerintahan termasuk kabinet,
dalam keanggotaan di parlemen atau Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dan Mahkamah
Agung,120 sehingga, tujuan Islam seperti penegakan
hukum dan pembuatan undang-undang serta
penerapannya, yang menyangkut aspek hukum
pernikahan dan waris, peraturan pembayaran dan
penyaluran zakat, penetapan waktu pelaksanaan
salat Jum’at atau kegiatan keagamaan di bulan
Ramadlan dan lain sebagainya, dapat tercapai.
Kedudukan dalam ekonomi sedapat mungkin
diarahkan pada usaha mendapatkan peluang bisnis
dari pemerintah bagi para pebisnis kaum
tradisionalis. Peluang semacam itu akan memberikan
keuntungan langsung kepada mereka yang mampu
mendapatkan kedudukan dan dianggap dapat
membantu Islam dan ummat pada umumnya.
Semakin sejahtera anggota masyarakat, maka akan
119 Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyah, (Bangil: Percetakan
Persatuan, 1979), h. 72-73. 120 Selama masa Kolonial para kiai dan santri tradisionalis
umumnya menjauhkan diri dari lembaga-lembaga pemerintahan dan
mengembangkan usaha di sektor-sektor swasta dan sektor informal
lainnya. Tetapi, setelah masa kemerdekaan, birokrasi dipandang sebagai
jalan menuju mobilitas dan status sosial. Perhatian selalu tertuju pada
Kementerian Agama Republik Indonesia yang mengendalikan
pelaksanaan hukum pernikahan dan perceraian, waris, ibadah haji serta
pendidikan agama.
Kiai, Pesantren dan Politik 127
semakin meningkat pula kemampuan mereka untuk
memenuhi kewajiban sosial dan keagamaannya,
seperti menunaikan ibadah haji, membayar zakat dan
mendukung upaya peningkatan pendidikan Islam
dan kesejahteraan. Kesejahteraan sangat diperlukan
karena sebagian besar sumber pendapatan kiai dan
pesantrennya berasal dari sumbangan keuangan dan
materi kalangan ummat Islam yang kaya.121 Jadi,
muslim yang mampu diharapkan akan menggunakan
kekayaannya untuk membantu perkembangan Islam.
Adapun kedudukan sosial diarahkan pada cara-
cara informal seperti melakukan lobi kepada
pemerintah, dalam menyalurkan dana pemerintah
kepada masyarakat, khususnya untuk meningkatkan
fasilitas pendidikan dan keagamaan, seperti
pesantren, madrasah, masjid, membangun dan
merawat prasarana sosial seperti klinik kesehatan,
panti asuhan dan balai pertemuan. Dengan demikian,
keberhasilan dalam bidang-bidang tersebut sangat
penting, karena ummat mampu mencukupi
kebutuhannya sendiri, sehingga memiliki harga diri.
Sebaliknya, ummat yang terpaksa menggantungkan
diri pada bantuan atau belas kasihan kelompok lain
121 Iik Arifin Mansurnoor, Islam in Indonesian World: Ulama of
Madura, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), h. 261.
Lihat pula Hiroko Horikoshi, “A Traditional Leader in a Time for
Change: The Kijaji and Ulama in West Java”, Disertasi, University of
Illinois, 1976, h. 188 dan 223-224.
128 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
bertentangan dengan semangat keagungan Islam dan
ummatnya/’izzul Islam wa al-Muslimin.122
Konsep lain yang serupa dengan ‘Izz al-Islam wa
al-Muslimin, dirumuskan pertama kalinya oleh KH.
Mahfoedz Siddiq pada tahun 1930 dan diberi nama
Mabadi Khaira Ummah atau prinsip-prinsip kebaikan
bagi ummat.123 Konsep ini difokuskan pada masalah
sosial ekonomi dan bertujuan membangun
kemampuan swadaya ummat melalui usaha-usaha
bersama, sebuah konsep yang didasarkan pada
keyakinan bahwa Islam tidak akan dapat
mewujudkan aspirasi sosial dan keagamaannya tanpa
landasan ekonomi yang kuat. Dengan demikian,
pemberian penekanan pada kedua aspek tersebut
sangat diperlukan, mengingat kuatnya budaya
wiraswasta di kalangan ummat Islam tradisional.
Selain itu, melalui statuta pembentukan NU124 pada
122 KH. Achmad Siddiq, Pedoman Berfikir ‘Nahdlatul Ulama’
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Cabang Jember, (Jember: TP,
1969), h. 12 b. 123 Konsep ini merupakan strategi pengembangan kooperasi
Syirkah Mu’awanah pada masa sebelum perang. Walaupun ditemukan
beberapa rujukan mengenai hal ini selama tahun 1950 an dan tahun 1960
an, tetapi baru setelah adanya komitmen baru pada kegiatan
pengembangan sosio-ekonomi lapis bawah pada tahun 1980, perhatian
pada Mabadi Khaira Ummah diutamakan. Sebagai contoh bagaimana
konsep ini dipahami pada masa pemerintahan Soekarno, dapat dibaca
pada komentar KH. Idham Chalid dalam buku Kenang-Kenangan
Mu’tamar XXII, h. 101. 124 Sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh para
kiai, pendiri dan pengasuh pondok pesantren di Surabaya. KH. Wahab
Hasbullah dan KH. Hasjim Asj’ari sama-sama memiliki peran yang
tidak bisa diabaikan dalam keberhasilan pembentukan NU. KH. Wahab
Kiai, Pesantren dan Politik 129
1926, para kiai juga menyatakan dengan tegas
mengenai upaya meningkatkan kegiatan ekonomi di
bidang pertanian, perdangan dan bisnis,125 bahkan
selama tahun 1930-an, kiai terlibat dan semakin
tenggelam dalam kegiatan politik, dalam upaya
untuk melindungi kepentingan ekonominya dalam
persaingan dengan orang-orang Belanda dan Cina.126
Setelah masa kemerdekaan, politik, khususnya
keterlibatan kiai dalam pemerintahan sebagaimana
diuraikan di atas, dianggap sebagai cara yang paling
penting untuk mencapai tujuan sosial ekonomi
ummat tersebut.
Hasbullah menyediakan konsep dan ketrampilan berorganisasi,
sedangkan KH. Hasjim Asj’ari memberikan legitimasi keagamaan. 125 Chairul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul
Ulama, (Surabaya: Jatayu Solo, 1985), h. 11. Dalam Pasal 3f dinyatakan
bahwa sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuannya, NU akan
mendirikan badan-badan untuk meningkatkan sector-sektor pertanian,
perdagangan dan bisnis yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 126 Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonilalisme Sampai Nasionalisme
(Jakarta: Gramedia, 1990), Cet. Ke-1, Jilid 2, h. 111, menjelaskan bahwa
golongan Cina semakin banyak jumlahnya, sejalan dengan
diperlunaknya peraturan-peraturan perjalanan bagi golongan ini. Mereka
mempunyai tempat pemukiman dan sekaligus menjadi pusat pertokoan.
Lokasinya selalu di tepi jalan raya kota dan sangat bedekatan dengan
pasar. Jumlah anggotanya telah mencukupi untuk membuat komunitas
tersendiri sehingga terdapatlah nama Pecinan, suatu ciri yang sangat
tipikal bagi kota kolonial. Mereka mempunyai peranan sebagai perantara
antara Belanda dan pribumi, antara lain sebagai pemborong pajak,
distribusi candu, pegadaian, sebagai pemberi kredit dengan bunga tinggi
dan lain sebagainya. Lihat pula Lance Castles, Tingkah Laku Agama,
Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1982), Cet. Ke-1.
130 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Pemahaman terhadap dimensi sosial ekonomi
dalam pemikiran politik kiai, telah memberikan
wawasan yang lebih luas tentang bagaimana
mendefinisikan konsep-konsep dasar seperti manfaat,
kerusakan, resiko, kebaikan dan kejahatan. Oleh
karena itu, ketika akan mempertimbangkan
konsekuensi negatif dan positif suatu tindakan, kiai
tidak hanya membuat penilaian dari segi hukum
mengenai apakah tindakan itu sesuai dengan
syari’ah, tetapi juga mempertimbangkan dampak
sosial ekonominya terhadap ummat. Apabila hukum
Islam membolehkan beberapa cara yang memungkin-
kan, maka cukup kuat dasar untuk memilih cara yang
paling banyak memberikan keuntungan bagi
masyarakat luas atau sebaliknya yang paling sedikit
resikonya. Inilah argumen yang mendasari mengapa
kiai tetap berpartisipasi dalam kabinet, khususnya
sebagai Presiden, Wakil Perdana Menteri dan Menteri
Agama dan lain sebagainya,127 serta terus menerus
127 Untuk sekian lama dan kali para kiai menduduki jabatan
sebagai Menteri Agama, Wakil Perdana Menteri bahkan Presiden
Republik Indonesia, di antaranya KH. Wahid Hasyim sebagai Menteri
Agama dalam Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, KH. Masykur
sebagai menteri Agama dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo Pertama, KH.
Mohammad Iljas dalam Kabinet Burhanuddin Harahap dan Kabinet
Karya serta Menteri Hubungan Ulama Pemerintah sebagai Menteri
Agama dalam Kabinet Dwikora, KH. Wahib Wahab sebagai Menteri
Kerjasama Sipil dan Militer dan Menteri Agama dalam Kabinet Kerja,
KH. Fatah Jasin sebagai Menteri Muda untuk Hubungan dengan Ulama
dalam Kabinet Kerja, KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri
dalam Kabinet Karya, Juru Bicara Kedua MPRS dan Menteri Utama
Kesra dalam Kabinet Ampera, KH. Achmad Sjaichu sebagai Juru Bicara
Kiai, Pesantren dan Politik 131
menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang
dihadapi, disebabkan oleh kepentingan untuk
melindungi dan memperluas sumber-sumber ke-
untungan sosial ekonominya dalam pemerintahan.
Setiap tindakan yang menghambat dukungan negara
bagi pesantren atau peluang bisnis bagi pebisnis
dapat dianggap sebagai ancaman bagi seluruh
masyarakat tradisional dan oleh karena itu, sedapat
mungkin harus dihindari. Jika alasan sosial ekonomi
ini digabungkan dengan pertimbangan hukum dan
legislatif, maka ada alasan untuk memilih jalan aman.
Suatu argumen yang sering digunakan selama masa
pemerintahan Presiden Soekarno sebagai
pembenaran atas sikap akomodasinya.
Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan
oleh kiai dalam keterlibatan di bidang politik
didasarkan pada pandangan bahwa politik menjadi
alat agama, bukan sebaliknya agama menjadi alat
politik, sebagaimana dapat diperhatikan pada
pendefinisian konsep-konsep dasar dalam pemikiran
Keempat DPR Gotong Royong, KH. Sjaifuddin Zuhri sebagai Menteri
Koordinator Urusan Agama dalam Kabinet Dwikora dan Menteri Agama
dalam Kabinet Dwikora Hasil Resuffle dan Kabinet Ampera, KH. Fatah
Jasin sebagai Menteri Negara Pembantu Koordinator Urusan Agama
dalam Kabinet Dwikora, KH. Mohammad Dachlan sebagai Menteri
Agama dalam Kabinet Ampera, KH. Mohammad Thalhah Hasan sebagai
Menteri Agama dalam Kabinet Abdurrahman Wahid, KH. Said Agil
Hussein al-Munawwar sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Gotong
Royong, KH. Maftuh Basuni sebagai Menteri Agama dalam Kabinet
Indonesia Bersatu, serta KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden
Republik Indonesia 1999-2001.
132 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
politiknya, seperti manfaat, bahaya, resiko, kebaikan
dan kejahatan.128 Politik sebagai alat agama juga
dapat dijelaskan melalui karya tulis A. Gaffar Aziz,
berjudul “Berpolitik untuk Agama”,129 dan karya tulis
Karen Armstrong, berjudul “Berperang Demi Tuhan,
Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan
Yahudi”.130
Dalam buku pertama, A. Gaffar Aziz, antara lain
menjelaskan bahwa misi agama, baik agama langit
maupun agama bumi, agar dapat berkembang luas,
pasti membutuhkan kekuatan (power) yang mampu
memberikan perlindungan kepada para pengikut
yang setia menyebarluaskan ajarannya, membangun
tatanan keagamaan dan politik. Semua agama langit
berkembang di bawah lindungan negara dan
pemerintahan yang memeluk agama tersebut. Negara
itulah yang menjamin aktivitas dakwah, melindungi
dan menyebarluaskan agama. Nabi Musa bersama
para pengikutnya, untuk menghindar dari intimidasi
dan kekejaman Fir’aun, melakukan eksodus dari
128 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah Nahdlatul Ulama
1952-1967, alih bahasa Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar,
(Yogyakarta: LkiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 85. 129 Judul asli buku ini adalah al-Dīn wa al-Siyāsah fil Adyān al-
Tsalātsah, alih bahasa Ilyas Siraj, terdiri dari 5 (lima) halaman
pengantar, 198 halaman pembahasan dan 9 (sembilan) halaman indeks. 130 Judul asli buku ini adalah The Battle for God, alih bahasa Satrio
Wahono, Muhammad Helmi dan Abdullah Ali, terdiri dari dua belas
halaman pendahuluan, 583 halaman pembahasan, 10 halaman glosari, 26
halaman pustaka, 2 (dua) halaman ucapan terima kasih dan enam belas
halaman indeks.
Kiai, Pesantren dan Politik 133
Mesir ke suatu daerah yang memungkinkan mereka
melakukan aktivitas dakwah, membangun negara
yang melindungi missinya dan mempertahankan diri.
Akhirnya, ia sampai di Gurun Sinai. Di wilayah
itulah, ia dan para pengikutnya berdomisili dan
membangun negara yang dipimpin langsung oleh
Musa dan dibantu oleh Nabi Harun.131
Dengan demikian, Musa menjadi pemimpin
politik dan pemimpin agama yang menjalankan
pemerintahan di tengah-tengah pengikutnya
berdasarkan wahyu. Mereka hidup tolong menolong
dan memegang teguh yang diajarkan Musa. Mereka
mempelajari itu dari Kitab Taurat yang mencakup
aturan-aturan yang mereka perlukan dalam
kehidupan politik dan agama. Sementara untuk
melindungi rakyat dan negara dari ancaman musuh,
Nabi Musa membentuk angkatan perang dan
melatihnya memanggul senjata. Jumlahnya sekitar
600.000 personel dan melakukan pertempuran serta
ekspansi sampai wilayah Urdun. Beberapa tahun
setelah Nabi Musa wafat negara ini terus berjalan,
hingga akhirnya runtuh setelah para pengikutnya
tidak konsisten menjalankan agama. Mereka diserang
dan dijajah oleh bangsa lain. Istri dan anak-anak
131 A. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Missi Islam, Kristen
dan Yahudi Tentang Politik, alih bahasa Ilyas Siraj, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), Cet. Ke-1, h. 20.
134 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dijadikan budak belian, harta kekayaan dirampas dan
wilayah diduduki132
Dalam pada itu, Yesus Kristus dalam agama
Kristen, tidak mendirikan negara, karena ia hanya
pembawa missi, bukan seorang raja dan bukan pula
pemegang pemerintahan, bahkan ia tidak pernah
berusaha untuk mendirikan negara yang dapat
menjamin kelangsungan dakwahnya. Nabi Isa datang
di tengah-tengah kehancuran masyarakat Timur
Yahudi sebagai akibat dari sikap hidup yang sangat
materialistik dan individualistik. Mereka hidup
diwarnai oleh konflik yang merobek hubungan antar
individu dan kerabat. Oleh karena itu, misi Nabi Isa
berorientasi pada pemulihan keseimbangan hidup
yang menjunjung tinggi persaudaraan, toleransi dan
cinta kasih. Apalagi misi Nabi Isa hanya berlangsung
tidak lebih dari tiga tahun, tiga bulan dan tiga hari,133
sehingga tidak punya kesempatan untuk membentuk
sebuah komunitas yang dapat dijadikan kekuatan
untuk melawan dekadensi moral dan tirani, terlebih
untuk mendirikan negara, karena proses pendirian-
nya memerlukan kerja keras dan kondisi lingkungan
yang kondusif, di samping waktu yang lama. Dengan
demikian, negara Kristen tidak pernah berdiri melalui
tangan Yesus sendiri, yang bersama-sama dengan
132 Ibid, h. 20-21. 133 Abi al-Fath Muhammad Abdul Karim Ibn Abi bakr Ahmad al-
Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, Tt.), h. 221.
Kiai, Pesantren dan Politik 135
para pengikutnya, sesungguhnya berjalan menurut
perintah Taurat, yang mereka yakini isi
kandungannya, baik yang menyangkut keagamaan
maupun keduniawian,134 tetapi baru berdiri setelah
masuknya, Konstantin Agung, seorang raja adidaya
kerajaan Romawi, ke dalam agama Kristen dan
menjadikan Kristen sebagai agama resmi kerajaan
pada masa pemerintahannya, maka Kristen bisa
tersebar luas ke berbagai penjuru penjuru dunia.
Andaikata tidak ada dukungan kerajaan ini,
penyebaran agama Kristen tidak akan demikian luas
dan pesat.135
Selanjutnya, Nabi Muhammad saw. tidak
membangun negara dalam waktu sehari semalam. Ia
harus bekerja keras selama 13 tahun di Makkah
sampai berlangsungnya Baiat al-Aqabah kedua,136 yang
134 A. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Missi Islam, Kristen
dan Yahudi Tentang Politik, alih bahasa Ilyas Siraj, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), Cet. Ke-1, h. 31. 135 Ibid, h. 34. 136 Sebenarnya Bai’at al-Aqabah itu terjadi dua kali. Bai’at al-
Aqabah Pertama terjadi pada tahun kesebelas dari awal kenabian, ketika
itu enam orang dari suku Khazraj, penduduk Yatsrib, datang ke Mekkah
untuk haji, menemui Nabi Muhammad dan menyatakan masuk Islam
dengan memberikan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kemudian pada tahun kedua
belas dari awal kenabian, dua belas orang laki-laki penduduk Yatsrib
menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka selain mengakui
kerasulan Nabi atau masuk Islam, juga berbai’at atau berjanji kepada
Nabi bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan
mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan berbohong dan tidak akan
mengkhianati Nabi. Sedangkan pada Bai’at al-Aqabah Kedua yang
terjadi pada musim haji berikutnya, sebanyak tujuh puluh tiga penduduk
136 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
menghantarkannya menjadi pemimpin politik bagi
ummat Islam. Setelah hijrah hingga akhir hayatnya,
posisinya menjadi kuat di dalam negara yang
didirikannya, bahkan ia mampu mengintegrasikan
suku-suku yang bercerai-berai dan terpecah-belah
dalam sebuah Negara Islam Madinah.
Adapun dalam buku kedua, Karen Armstrong
menjelaskan bahwa demi Tuhan, agama dan
penyebaran ajarannya diperlukan perang dan
bertempur, sedangkan perang dan bertempur hanya
bisa dijalankan, jika terdapat senjata, persiapan yang
matang dan latihan. Ketiganya hanya mungkin
dilakukan, apabila terbentuk angkatan perang dan
angkatan bersenjata yang kuat, sedangkan angkatan
bersenjata dan angkatan perang yang kuat tidak akan
terbentuk tanpa negara. Oleh karena itu, keberadaan
negara merupakan suatu keharusan dan keniscayaan,
suatu realita yang diperlihatkan oleh pasukan Raja
Ferdinand dan Ratu Isabella, dua penguasa Katholik
yang pernikahannya pada waktu itu mampu
menyatukan dua kerajaan Iberia Kuno, Aragon dan
Yatsrib yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka
mengundang Nabi untuk berhijrah ke Yatsrib dan menyatakan lagi
pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan pemimpin
mereka, bahkan mereka di Aqabah, Mina, mengucapkan bai’at bahwa
mereka tidak akan mempersekutukan Allah dan akan membela Nabi
sebagaimana mereka membela istri dan anak mereka. Sementara Nabi
juga akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan
bersahabat dengan sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Oleh
karena itu, Bai’at al-Aqabah Pertama dan Kedua dapat dipandang
sebagai batu-batu pertama dari bangunan negara Islam.
Kiai, Pesantren dan Politik 137
Castile dan berhasil menaklukkan negara kota
Granada, sehingga dengan penuh haru dan bangga,
para khalayak memandangi panji-panji Kristen
dikibarkan di tembok-tembok kota, sementara kaum
muslimin terusir dari Granada, benteng pertahanan
terakhir di Eropa, bahkan mereka diberikan pilihan
pindah agama atau dideportasi.137
Meskipun terusir dari Eropa Barat, ummat Islam
pada abad XVI M. masih merupakan kekuatan global
terhebat. Ummat Islam saat itu hanya berjumlah
sepertiga penduduk dunia, namun, mereka tersebar
begitu merata di sepanjang Timur Tengah, Asia dan
Afrika, sehingga dinasti Islam yaitu Usmaniyah di
Asia Kecil, Anatolia, Irak, Suriah dan Afrika Utara,
Syafawiyah di Iran dan Mongol di India, dianggap
sebagai mikrokosmos sejarah dunia, sebuah
anggapan yang menandakan bagaimana kaum
muslimin mampu menempati sebagian besar dunia
berperadaban pada masa awal modern dan bertahan,
baik secara politik dan ekonomi.138 Semua itu terjadi
antara lain karena dinasti Islam memperoleh
legitimasi akibat kesetiaannya pada hukum Islam
atau karena para penguasa telah mempertahankan
syariat Islam.
137 Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme
Dalam Islam, Kristen dan Yahudi terjemahan, Satrio Wahono,
Muhammad Helmi dan Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-
3, h. 3-4. 138 Ibid, h. 49-50.
138 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Dengan demikian, ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn
merupakan tujuan politik kiai. Tetapi, bila
diperhatikan lebih jauh, sebenarnya ada faktor lain
yang mendorong kiai berpolitik di antaranya ajaran
Islam dan kebijakan pemerintah. Sebagai agama,
Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang
tidak hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai
berbagai segi dari kehidupann manusia. Sumber dari
ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu
ialah al-Qur’an dan Hadis. Harun Nasution menegas-
kan bahwa diperbandingkan dengan jumlah 6360
ayat yang terkandung dalam al-Qur’an, maka ayat
ahkam,139 hanya sedikit, sekitar 368 ayat atau 5,8
persen dari seluruh ayat al-Qur’an. Dari jumlah 368
ini, hanya 228 ayat atau 3½ persen yang merupakan
ayat yang mengurus soal hidup kemasyarakatan
ummat, termasuk di dalamnya negara yang
merupakan lembaga tertinggi yang mengatur urusan
masyarakat.140
139 Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum baik mengenai
ibadat maupun mengenai hidup kemasyarakatan, dan kebanyakan
diturunkan di Madinah. 140 Yusuf al-Qardhawy, Min Fiqhid Daulah Fil Islam, (Cairo:
Durusy Syuruq, 1997), Cet. Ke-1, h. 29, antara lain menjelaskan bahwa
nash Islam tidak datang menegaskan kewajiban mendirikan daulah bagi
Islam, begitu juga sejarah Rasulullah dan para sahabat tidak datang
sebagai penerapan praktis dari seruan nash. Tetapi, tabiat risalah Islam
itu sendiri sudah memastikan keharusan adanya daulah atau wilayah
bagi Islam, agar bisa mengembangkan akidah, syiar, ajaran, akhlak,
keutamaan, dan syariat-syariatnya di sana.Ayat al-Qur’an antara lain
terdapat dalam Surah al-Nisa’/3: 58-59 dan 97-99. Juga dalam hadis
riwayat al-Buchari dinyatakan bahwa “Jika amanah disia-siakan, maka
Kiai, Pesantren dan Politik 139
Dari perincian di atas, sebagaimana al-
Qardhawy, memungkinkan para ahli lainnya men-
terjemahkannya, sehingga melahirkan pemikiran-
pemikiran, yang biasa dijadikan sandaran dan
rujukan para ‘ulamā atau kiai dalam menjalankan
aktifitasnya, misalnya soal keterlibatannya dalam
politik, mereka merujuk pada pendapat al-Mawardi
bahwa konsep politik Islam didasarkan pada adanya
kewajiban mendirikan lembaga kekuasaan, karena ia
dibangun sebagai pengganti kenabian untuk
melindungi agama dan mengatur dunia.141
Membangun lembaga negara merupakan suatu
kewajiban dan jika ternyata telah berdiri lembaga
negara serta memenuhi persyaratan yang berlaku,
dalam arti personil yang memegang kekuasaan
dipandang telah cakap dan mampu melaksanakan
tugasnya, maka kewajiban dipandang telah
mencukupi.142
tunggulah kehancurannya.” Ada yang bertanya, “Bagaimana menyia-
nyiakannya? “Beliau menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada bukan
ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Hadis riwayat Muslim
lebih lanjut juga menjelaskan “Barang siapa mati dan di lehernya tidak
ada baiat, maka dia mati dengan kematian Jahiliyah.” 141 Lihat M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia,
Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1994), h. 25. Lihat pula Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik Dalam
Wacana Civil Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet. Ke-1, h. 25.
Lihat pula Ali Ibn Habib al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah Wa al-
Wilayah al-Diniyah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1960), h. 5. 142 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, Ibid.
Lihat pula Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil
Society, Ibid., h. 26.
140 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Selain kepada al-Mawardi, para ulama atau kiai
juga merujuk pada pendapat al-Ghazzāli, bahwa jika
al-Mawardi menyatakan kewajiban mendirikan
negara karena ijma’ (kesepakatan ulama), maka
menurut al-Ghazzāli, kewajiban mendirikan negara,
bukan karena pertimbangan akal, melainkan karena
pertimbangan syari’ah dengan menggunakan
pendekatan akal, sedangkan dalil syari’ah yang
dikemukakannya merupakan dalil syari’ah yang
qath’i (pasti), yaitu al-Qur’an.143 Jadi, baginya
ketertiban agama tidak mungkin bisa terwujud tanpa
negara/imamah yang ditaati, karena itu bila
ketertiban agama merupakan suatu kemestian, maka
ketertiban negara/imamah merupakan kemestian
pula, dan hal itu tidak mungkin terwujud tanpa
kekuasaan sultan (kekuasaan) yang ditaati.144 Bahkan
143 M. Ali Haidar, Nahdhatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, Ibid,
h. 31. Lihat pula Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik dalam Wacana
Civil Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet. Ke-1, h. 27. Lihat pula
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Iqtisad Fi al-I’tiqad, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Islamiyah, 1983), h. 28. 144 Pendapatnya sejalan dengan pendapat al-Mawardi, karena dasar
pertimbangan yang dikemukakan keduanya ialah penegasan al-Qur’an,
surah al-Nisa/4: 58-59, sebagai berikut; Wahai orang-orang yang
beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada Ulul-
Amri di antaramu; yaitu orang yang berkuasa memimpin, baik formal
maupun informal. Ketaatan menjadi soal yang inti dalam system
kekuasaan, karena itu menjadi kewajiban kita untuk taat kepada pihak
yang berkuasa yaitu a’immah yang memerintah kita. Bahkan sebagai
model ketaatan yang bagaimana yang harus dilaksanakan dirujuklah
hadis Nabi, riwayat Muslim Ibn ‘Urwah sebagai berikut; Akan
memerintah kalian sesudahku nanti penguasa (pemerintah) yang baik
dengan kebaikannya, dan yang jahat dengan kejahatannya. Dengarkanlah
mereka dana patuhilah segala apa yang sesuai dengan kebenaran. Jika
Kiai, Pesantren dan Politik 141
ia mengatakan “Dunia adalah ladang akhirat. Agama
tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia.
Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama
merupakan dasar dan sultan merupakan penjaga.
Sesuatu yang tidak memiliki dasar pasti akan binasa
dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan
mudah sirna. Kekuasaan dan penerapan tidak akan
menjadi sempurna kecuali dengan adanya sultan.145
Meskipun argumentasi yang dikemukakan oleh
al-Ghazali mengenai ide dasar imamah dilihat dari
segi logika (mantiq), tetapi dalam uraian selanjutnya,
ia juga melihatnya dari sudut fiqih,146 karena dalam
fiqih pun logika itu digunakan, misalnya dalam
kehidupan keseharian manusia, fiqih tidak bisa
menghindari kemungkinan keragaman pemecahan,
karena masalah-masalah dalam kehidupan manusia
itu terus berkembang bahkan sangat kompleks.147
Dengan logika fiqih dan kaidah-kaidah fiqih –
merupakan hasil dari analisis induktif dengan
mereka berbuat baik, itu adalah untuk kalian dan untuk mereka; jika
mereka berbuat jahat, akibat baiknya untuk kalian, sedangkan akibat
buruknya untuk mereka. 145 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (Cairo:
Musthafa al-Babi al-Halby, 1936), h. 71. 146 Fiqih merupakan pengetahuan praksis (‘amaliyah) hukum
syari’ah yang dihasilkan dari dalil-dalil tafsili, yaitu yang berkaitan
dengan masalah tertentu dan menunjukkan hukum tertentu pula. 147 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam karyanya Ihya
‘Ulumuddin dengan bab-babnya banyak memuat tentang
imamah/lembaga kekuasaan dan memberi beberapa alternatif pemecahan
apabila dalam praktek menghadapi masalah.
142 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
memperhatikan faktor-faktor kesamaan berbagai
macam hukum fiqih lalu disimpulkan menjadi kaidah
umum – pulalah kiai umumnya merujuk dalam
merespon tindakan politik, yang menurut kitab-kitab
klasik (kitab kuning) berjumlah 65 kaidah, dengan
perincian, 5 (lima) kaidah yang bisa dijadikan rujukan
semua pokok persoalan, termasuk politik; 40 (empat
puluh) kaidah yang hampir semua persoalan bisa
dikembalikan padanya; dan 20 (dua puluh) kaidah
yang diperselisihkan di antara para kiyai.148
Dari kaidah-kaidah tersebut yang cukup sering
dijadikan pegangan kiai dalam proses pemaknaan
tindakan politik, di antaranya sebagai berikut:
a) Al-Umūr bi Maqāsidiha (segala persoalan
tergantung maksudnya atau niatnya); b). Al-‘Ādah al-
Muhakkamah (adat kebiasaan bisa ditetapkan sebagai
hukum); c). Dar’u al-Mafāsid Aula Min Jalbi al-
Mashālih (menolak bahaya/sesuatu yang negatif
didahulukan dari mengambil manfaat); d). Tasarruf
al-Imām Manūthun bi al-Maslahah (tindakan kepala
negara harus didasarkan atas kemaslahatan rakyat);
e). Al-Muhāfadhah ‘Ala al-Qadīmi al-Shālih wa al-
Akhdzu bi al-Jadīd al-Ashlah (menjaga hal-hal yang
lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru
yang lebih baik); f). Maqāsid al-Lafdz’ ‘Ala al-Niyah
al-Lafidz (maksud perkataan tergantung yang
148 Lihat Abd. Mudjib, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Nur
Cahaya, 1980), h. 9.
Kiai, Pesantren dan Politik 143
mengartikulasikan); dan g). Yughtafar Fi al-Wasāil
Mala Yughtafar Fi al-Maqāshid (diampuni kekeliruan
dalam hal-hal yang teknis, namun tidak diampuni
kekeliruan dalam hal-hal maksud/niat).149
Ali Haidar lebih lanjut, menambahkan kaidah-
kaidah fiqih melengkapi kaidah-kaidah di atas,
sebagai berikut:
a) Al-Yaqīn Lā Yuzālu Bi al-Syakk (keyakinan
tidak hilang karena keraguan); b). Al-Dlararu Yuzālu,
La Dlarara Wa La Dlirāra (bahaya dihilangkan atau
tidak ada bahaya dan tidak ada yang
membahayakan); c). Al-Masyaqqatu Tajlibu al-Taisīr
(kesulitan dapat memberikan kemudahan); d).Idzā
Ta’āradla Mafsadatāni Ru’iya A’dhamuhuma
Dlararan Bi Irtikābi Akhaffihima (jika terjadi
pertentangan beberapa bahaya dipertimbangkan
bahaya yang paling besar akibatnya dengan
melaksanakan yang paling kecil resikonya); e). Mā Lā
Yatimmu al-Wajib Illa Bihi Fahuwa Wājib (kewajiban
yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu,
maka syarat itupun wajib); dan f). Al-Maisūr la
Yasqutu Bi al-Ma’sūr (kemudahan tidak gugur
karena kesulitan).150
149 Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik dalam Wacana Civil
Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet. Ke-1, h. 29. 150 Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia,
Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1994), h. 9-10.
144 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Kaidah-kaidah tersebut merupakan generalisasi
masalah, baik yang bersumber dari dasar-dasar
hukum syari’ah maupun dari kesamaan-kesamaan
hukum fiqih yang beraneka ragam. Dengan
memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah
fiqih tersebut akan memudahkan memahami hukum
fiqih yang beraneka ragam dan kompleks, sehingga
akan mempermudah pula mengambil keputusan
hukum terhadap problematika yang muncul, baik
yang terkait dengan masalah-masalah kemasyarakat-
an pada umumnya maupun yang terkait dengan
lembaga kekuasaan/imaman pada khususnya.
Khususnya dengan yang terakhir, al-Mawardi
mengemukakan tentang tugas dan fungsi imamah
meliputi 10 (sepuluh) hal, yaitu:
a). Memelihara dan melindungi agama dari
ancaman dan gangguan serta perlakuan tidak adil; b).
Melaksanakan hukum yang adil untuk melindungi
kaum yang lemah; c). Melindungi hak asasi agar
masyarakat merasa aman bekerja dan melaksanakan
tugas kewajiban mereka; d). Menegakkan hukum
untuk melindungi hak-hak Tuhan dan hak-hak
manusia untuk memperoleh keselamatan dan
perlindungan dari ancaman musuh; e). Melindungi
keamanan dan keselamatan negara dari ancaman
musuh (fungsi sebagai panglima angkatan perang); f).
Mengorganisasi penuntutan jihad terhadap siapa saja
yang menentang dakwah Islam sampai akhirnya
Kiai, Pesantren dan Politik 145
menyerah dan tunduk kepada negara. Imam terikat
perjanjian dengan Tuhan untuk menegakkan
supremasi agama ini melebihi agama dan
kepercayaan apapun; g). Memungut pajak dan zakat
yang telah ditetapkan syariat maupun penetapan
lainnya yang dianggap diperlukan untuk
kepentingan negara tanpa rasa takut dan tertekan; h).
Menetapkan anggaran belanja yang diperlukan dari
kas baitul mal (semacam lembaga keuangan yang
berlaku dewasa ini); i).Mengangkat pejabat dan
pembantu yang diperlukan untuk melaksanakan
tugas-tugas administrasi pemerintahan; dan j). Imam
haruslah aktif memimpin sendiri tugas-tugas dan
tanggung jawab pemerintahan untuk melindungi
ummat dan agama, tidak boleh sekedar berfungsi
sebagai simbol (dalam arti tidak bekerja sebagaimana
mestinya) belaka.151
Adapun kebijakan pemerintah yang menjadi
pendorong kiai berpolitik, lebih terkait pada
kebijakan pemerintah kolonial dan pemerintah
Indonesia sendiri. Portugis pada awal kedatangannya
ke Indonesia beranggapan, bahwa semua orang Islam
adalah orang Moor dan musuh yang harus diperangi.
Begitu pula Spanyol yang datang ke berbagai pelosok
dunia, termasuk Indonesia, antara lain juga
151 Ali Ibn Muhammad Habib al-Mawardi, al-Ahkam al-
Suthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1983), h. 14-
15.
146 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
mempunyai kebijakan untuk memerangi Islam dan
berusaha menggantikannya dengan agama Kristen.
Tetapi, penaklukan yang dibarengi dengan aktivitas
misi yang hebat ini justru membangkitkan lawan-
lawannya untuk beraksi dan memacu masuknya
pangeran-pangeran Indonesia untuk memeluk agama
Islam.152
Sebagaimana Portugis dan Spanyol, pada awal
kedatangannya di Indonesia, Belanda dengan VOC
sebagai kendaraannya, memang tidak memiliki
politik Islam, tetapi hanya berusaha mencapai
keuntungan, sebagaimana terlihat pada tahun 1602
M., ketika diwajibkan menyebarkan agama Kristen,
VOC tidak memikirkan cara lain, selain meniru
Portugis dan Spanyol, yaitu cara paksa. Pada tahun
1661 M. ibadah umum agama Islam untuk
melaksanakan haji ke Makkah dilarang oleh VOC.153
Cara paksa semacam ini oleh Kernkamp,
sebagaimana dikutip Aqib Suminto, sebagai
152 B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, II, (The Hague
and Bandung: W. Van Hoeve, 1957), h. 234-246. Lihat pula Harry J.
Benda, The Crescent and The Rising Sun, Indonesian Islam under The
Japanese Occupation 1942-1945, (Den Haag: The Hague, 1958), h. 10.,
lihat pula W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition, A Study of
Social Change, (Bandung: The Hague, 1956), h. 278. 153 Di sini terdapat interaksi antara instruksi resmi dari negeri
Belanda yang mewajibkan Kristenisasi, tujuan mencapai keuntungan
sebanyak-banyaknya dan belum adanya politik Islam yang jelas.
Interaksi ini kemudian terwujud dalam kebijaksanaan VOC tentang
agama. Kepada Kristen mendukung sepenuhnya dan kepada yang lain
justru menghindari dan tidak langsung mencampuri.
Kiai, Pesantren dan Politik 147
energik.154 Bahkan pada tahun 1859 M. pemerintah
Belanda mengeluarkan suatu ordonansi yang
mengatur masalah ibadah haji lebih ketat dari
sebelumnya. Diduga ordonansi ini diilhami oleh
kekhawatiran pemerintah kolonial akan timbulnya
pemberontakan, sebagaimana terjadi di Inggris pada
tahun 1857 M.155 Bogardt, seorang Katholik dan
anggota Parlemen Belanda tahun 1908 M., lebih
lanjut, menyatakan bahwa pemerintah kolonial harus
mengambil tindakan terhadap ibadah haji ke
Mekkah. Para haji secara politis dinilainya berbahaya,
dan karena itu ditegaskannya bahwa melarang
perjalanan ibadah haji lebih baik dari pada kemudian
terpaksa harus menembak mati mereka.156
154 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:
LP3ES, 1985), h. 17. Dalam uraiannya Kernkamp menyatakan bahwa
andaikata yang demikian itu dilaksanakan, maka Belanda tidak harus
takut ke pada Pan Islam maupun jihad. Juga tidak ada kesulitan tentang
haji. Penduduk pun tidak akan terikat dengan ulama Islam, dan masalah
poligami maupun perceraian juga tidak perlu dikhawatirkan. Semua ini
kemudian terjadi, “akibat kurang enerjiknya nenek moyang kita”. Ia
menilai cara paksa seperti tersebut di atas sebagai giat dan gesit. 155 Ibid, h. 28. Dijelaskan pula bahwa pada tahun 1857 M. di India,
terjadi suatu pemberontakan melawan pemerintah kolonial Inggris, yang
terkenal dengan peristiwa Mutiny. Pemberontakan ini berhasil ditumpas,
dan banyak pelakunya ditangkap dan dibunuh. Dalam perdebatan di
Parlemen Belanda pada tahun 1859 M. peristiwa Mutiny ini
dihubungkan dengan para haji dan peranannya. Kemudian pada tahun itu
juga (6 Juli 1859 M.) keluarlah Ordonansi Haji tersebut. Dengan
menaruh perhatian peristiwa di India Inggris, kepala-kepala daerah di
Hindia Belanda diperintahkan untuk mengadakan kewaspadaan
istimewa. 156 Ibid, h. 22.
148 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Selain kebijakan tentang haji, demi “ketertiban
keamanan”, padahal sebenarnya penyebaran agama
Kristen atau Kristenisasi, pada tahun 1867 M.
pemerintah kolonial mengeluarkan instruksi yang
ditujukan kepada kepala daerah dan bupati serta
wedana di seluruh Jawa dan Madura, tentang
pemberian kebebasan dalam masalah agama, tetapi
juga pengawasan secara ketat atasnya, sejauh
menyangkut kepentingan umum. Pada tahun 1882 M.
Lembaga Peradilan Agama diresmikan,157 bahkan
dalam bidang pendidikan, pada tahun 1905 M.
keluarlah Ordonansi Guru yang mewajibkan minta
ijin bagi guru-guru Islam.158 Dengan demikian,
kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap
ummat sampai tahun-tahun terakhir kekuasaannya,
antara lain meliputi:
a) Peradilan agama, sudah diatur sejak tahun
1882 M. b). Pengangkatan Penghulu sebagai
penasehat pada Pengadilan Umum. c). Pengawasan
terhadap Perkawinan dan Perceraian bagi orang
Islam, sejak tahun 1905 M. d). Ordonansi Perakwinan
157 Ibid. h. 29. Dijelaskan juga bahwa disinilah letak perbedaan
antara pemerintah kolonial Belanda dengan Inggris. Meskipun sama-
sama menyatakan netral dalam masalah agama, di India Inggris, para
pemuka agama – Kristen atau bukan – bebas dari campur tangan
pemerintah, kecuali organisasi Bala Keselamatan. Mereka mendapatkan
bantuan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan
kebijaksanaan netral di Hindia Belanda berarti ganda, kebebasan dan
pengawasan ketat. 158 I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Orderwijs in Ned. Indie,
(Batavia: Groningen, 1938), h. 8.
Kiai, Pesantren dan Politik 149
di Jawa Madura tahun 1929 M., diubah tahun 1931 M.
e). Ordonansi Perkawinan untuk luar Jawa, tahun
1932 M. f). Pengawasan terhadap pendidikan Islam
g). Ordonansi Guru 1905 M., diubah 1925 M. h).
Pengawasan terhadap kas Masjid sudah sejak 1829 M.
i). Pengawasan terhadap Ibadah Haji sebagaimana
tersebut di atas.159
Pada tanggal 8 Maret 1942 M. berakhirlah
pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan
dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan
Jepang. Tetapi, selama pendudukannya selama tiga
setengah tahun, sebagaimana Belanda, Jepang juga
menerapkan beberapa kebijakan yang merugikan
bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam, baik di
kota maupun desa yang kebanyakan hidup bermata
pencaharian sebagai petani, di antaranya dengan
memaksa penduduk pulau Jawa, terutama kaum
petani di desa-desa menjadi pekerja paksa atau
“Romusha,”160 dengan menanam komoditas tertentu
seperti kapas,161 memelihara jarak dan lain
159 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:
LP3ES, 1985), h. 30. 160 Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun, Indonesian
Islam under The Japanese Occupation 1942-1945, (Den Haag: The
Hague, 1958), h. 189. 161 Masalah Pokok yang menyangkut kehidupan rakyat di
Indonesia, selain pangan adalah sandang, yang sejak masa sebelum
perang, sangat tergantung pada impor dari negeri belanda. Oleh karena
itu, pada masa pendudukan Jepang, masalah itu diatasi dengan
mengusahakan percobaan penanaman kapas dan usaha lainnya di
berbagai daerah, seperti Cirebon, Malang, Kediri, Besuki, Bekasi,
150 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
sebagainya. Akibatnya, para petani kurang bergairah,
karena gizi kurang dan stamina mundur, suatu
tindakan yang berlawanan dengan gagasan untuk
meningkatkan produksi. Bagi mereka, tindakan
pemerintah mengakibatkan kesengsaraan yang
berlipat ganda. Penyakit akibat kekurangan gizi
merajalela, apalagi timbul berbagai bencana alam.
Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang
lainnya yang memperlihatkan gambaran buruk
adalah bidang pengajaran. Jumlah Sekolah Dasar
yang dibangun menurun dari 21.500 buah menjadi
13.500 buah, Sekolah Lanjutan menurun dari 850
buah menjadi 20 buah, Perguruan tinggi/Fakultas
terdiri dari 4 (empat) buah. Jumlah murid Sekolah
Dasar merosot 30 %, murid Sekolah Menengah
merosot 90 %, guru Sekolah Dasar berkurang 35 %,
guru Sekolah Menengah yang aktif tinggal 5 %.
Angka buta huruf tinggi sekali, meskipun di
beberapa tempat dilakukan usaha pemberantasan
buta huruf.162 Selain itu, untuk menciptakan
“semangat Jepang”, murid juga dipaksa melakukan
kerja bakti seperti mengumpulkan bahan-bahan
untuk perang, menanam bahan makanan,
Palembang, Bali dan Sulawesi. Penanaman kapas itu dimasukkan
sebagai rencana lima tahun dan setelah dua tahun percobaan berjalan,
maka daerah Kediri dan Besuki merupakan pengasil kapas terbaik. 162 Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,
Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), Cet. Ke-
5, h. 51.
Kiai, Pesantren dan Politik 151
membersihkan asrama, memperbaiki jalan-jalan,
latihan jasmani dan kemiliteran, menyanyikan lagu
kebangsaan Jepang “Kimigayo” dan lagu-lagu
lainnya, melakukan penghormatan ke arah istana
Kaisar di Tokyo (Seikeirei), menghormati bendera
Jepang dan melakukan gerak badan-badan (taiso) dan
sebagainya.163 Jadi, sekolah-sekolah dan perguruan-
perguruan menjadi tempat indoktrinasi Jepang, baik
terhadap siswa, bahkan juga terhadap guru, karena
pada yang terakhir juga diberikan pelajaran
pendidikan semangat, bahasa dan adat istiadat
Jepang, nyanyian Jepang, pendidikan tentang dasar-
dasar pertahanan dan lain sebagainya, sehingga
dapat dibentuk kader-kader untuk mempelopori dan
melaksanakan konsepsi “Kemakmuran Bersama Asia
Timur Raya,” sebuah konsep yang sangat tergantung
pada kemenangan dalam ”Perang Asia Timur Raya”.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,
pemerintah Orde Lama juga sering menerapkan
kebijakan yang menyudutkan ummat, sehingga
masyarakat Islam selama kurun tertentu menjadi
ummat yang terpinggirkan. Ummat Islam, sebagai
mayoritas memperdebatkan mengenai bentuk
negara164 di Majelis Konstituante selama tahun 1956-
163 Ibid, h. 52. 164 Para Kiai yang banyak menyalurkan aspirasinya melalui Partai
NU meskipun lebih lunak dibanding Masyumi dalam menghadapi
152 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
1958 tidak membuahkan hasil,165 bahkan terhenti
dengan dikeluarkannya dekrit kembali kepada UUD
’45 oleh Presiden RI tanggal 5 Juli 1959. Pada tanggal
9 Juli 1959 Presiden menegakkan demokrasi
terpimpin166 dengan Soekarno sebagai Perdana
Soekarno dan kaum nasionalis, tetap tegas mengenai masalah negara.
Mereka menyatakan diri sebagai penganjur negara nasional yang
berdasarkan Islam. Kepala negara harus seorang Indonesia asli dan
muslim, tetapi Menteri yang tidak mempunyai tanggung jawab langsung
mengenai soal rohani, Ketua DPR dan Kepala Daerah tidaklah
disyaratkan harus orang-orang Islam. Pengajaran agama menjadi wajib,
namun agama non Islam juga dapat diajarkan di sekolah. Islam berguna
bagi negara sebagai satu jaminan atas ketertiban dalam masyarakat.
Dasar Ketuhanan menjadi tidak jelas batasannya, tetapi, jika dasarnya
Islam ada jaminan hukum untuk dipraktekkan dengan adil dan benar,
karena ada sanksi yang sangat kuat, yaitu keinsyafan diri sendiri
terhadap apa yang dinamakan dosa besar manakala tidak dilaksanakan
dengan adil dan benar, dosa besar yang akan menuntut kita kelak di
hadapan Tuhan Y.M.E. Lihat Andree Feilland, NU vis-à-vis Negara,
Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa Lesmana, (Yogyakarta:
LKiS, 1999), h. 54-55. 165 Karena perdebatan yang terjadi sangat menegangkan,
disebabkan oleh rasa takut terhadap semakin membesarnya PKI (dan
ateisme yang diduga menungganginya) dan rasa khawatir terhadap
semakin populernya aliran kebatinan Jawa. Para kiyai khawatir bila
orang-orang kebatinan memanfaatkan sila pertama (yang dinilai terlalu
kabur) mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa untuk tetap bertahan hidup
menghadapi upaya-upaya Islamisasi lewat dakwah. Andree Feilland, NU
vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa
Lesmana, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 56. 166 Demokrasi yang kemudian dinamakan Manipol-Usdek (UUD
’45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia) ini menimbulkan perpecahan di
kalangan para kiai. Kiai Bisri Syansuri dan kiai Ahmad Siddiq di satu
pihak menganggap DPR anti demokrasi. Ikut serta dalam DPR yang
tidak seluruhnya dipilih rakyat bertentangan denga fiqh. Tetapi, kiai
Wahab Hasbullah di pihak lain berpendapat bahwa ummat Islam masih
belum siap melakukan politik konfrontasi menghadapi penguasa dan bila
suatu waktu ingin meninggalkan DPR, ia akan dapat melakukannya.
Kiai, Pesantren dan Politik 153
Menteri. Tetapi, demokrasi ini justru memberi angin
kepada PKI dengan semboyan persatuan Nasakom
(Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu upaya yang
cukup meresahkan para kiai, karena pembagian hasil
panen mengancam kepentingan para kiai yang
memiliki tanah yang luas, termasuk tanah wakaf167
atau yang diserahkan oleh orang lain yang berusaha
menghindari penyitaan, di samping juga merupakan
upaya untuk mengimbangi Angkatan Bersenjata yang
semakin memantapkan kedudukannya menghadapi
PKI.
Dengan demikian, ABRI dan kiai mempunyai
keluhan yang sama, sehingga yang terakhir merasa
perlu bekerjasama dengan ABRI,168 sebagaimana
Jadi, ummat Islam harus ikut dalam DPR untuk membetulkan kesalahan
pemerintah yang akan dibentuk menurut prinsip menganjurkan yang
baik dan melarang yang jelek. 167 Pihak PKI yang melaksanakan Landreform sejak tahun 1964
menyebut para pemilik tanah muslim sebagai “setan desa” atau
“borjuis”, sebagai refleksi dari pertikaian terselubung antara ulama-
ulama pemilik tanah dengan buruh tani. 168 Beberapa kiai menyerukan kepada para aktivis untuk
membantu ABRI mengganyang orang-orang komunis dan memulihkan
ketenteraman. Keputusan yang paling tepat dan paling baik adalah
memberaantas para komunis, “akar-akarnya”, komplotannya,
pembelanya, dan semua yang bertindak bersamanya, baik secara terbuka
maupun tersembunyi. Tetapi, kiai juga sangat sayang kepada Soekarno.
Tidak dapat dibayangkan Indonesia tanpa “Bapak revolusi”. Soekarno
memang telah melakukan kesalahan, mestinya ia dimaafkan, karena
sejak dulu ia adalah orang besar. Menurut ajaran Islam, Allah
mengampuni siapa saja yang mengakui kesalahannya. Jadi kiai berada
dalam posisi dilematis antara rasa permusuhan terhadap PKI dan rasa
sayang terhadap Presiden Soekarno yang tidak mau melarang partai
komunis.
154 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
diperlihatkan di Jawa Timur, sebuah daerah basis kiai
dan juga basis komunis, untuk menghadapi komunis
dan mengimbangi partai-partai yang disusun atas
dasar Nasakom. Puncaknya pada tanggal 30
September 1965 terjadi pemberontakan G 30 S PKI,
yang diikuti dengan penculikan, penyiksaan dan
pembunuhan terhadap enam Jenderal Angkatan
Darat tanggal 1 Oktober 1965. Tetapi, Jenderal
Soeharto, Panglima Kostrad (Komando Strategi
Angkatan Darat), berhasil menggilas gerakan itu,
sehingga terjadilah pelimpahan kekuasaan dari
Soekarno ke Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966.
Sejak saat itu, mulailah awal pemerintahan baru,
yang dikenal dengan Orde Baru.
Pada awal Orde Baru, para kiai melalui partai
yang dibentuknya memainkan peran kunci dalam
peralihan kekuasaan dan dalam pengambilalihan
kekusaan secara konstitusional oleh Jenderal
Soeharto. Jadi, antara ABRI dengan kaum tradionalis
telah terjalin kerjasama dan persekutuan yang
diibaratkan sebagai hubungan antara “saudara
sekandung.” Tetapi, hubungan itu segera berubah,
seiring dengan kritik yang dilontarkan kaum
muslimin dan beberapa pemuda radikal yang
diketuai Subchan, terhadap pemerintah. Kritik juga
dilontarkan terhadap kebijakan pemerintah di bidang
ekonomi, karena tampak mulai mematikan
pengusaha kecil, membuka sedikit pintu bagi
Kiai, Pesantren dan Politik 155
pengusaha Tionghoa dan membuka pintu bagi
bantuan dan penanaman modal asing seperti Jepang,
Amerika Serikat dan lain-lain.169 Akibatnya, para
penguasaha muslim yang kegiatannya masih
tradisional seperti pabrik-pabrik kecil, kerajinan dan
industri tekstil menderita akibat politik ekonomi baru
itu, di samping masuknya modal asing dan ledakan
ekonomi dalam negeri juga menyebabkan pelacuran,
perjudian dan pornografi cepat menjalar dalam
kehidupan perkotaan Indonesia, sehingga menimbul-
kan koflik-konflik sosial.170
Dalam bidang agama, pemerintah menggambar-
kan netralitasnya terhadap lima agama yang diakui.
Golongan agama yang paling besar (Islam) tidak
boleh berlaku sewenang-wenang/menindas golong-
an agama yang kecil begitu pula sebaliknya. Juga
ditegaskan “perlakuan dan jaminan yang sama dari
pemerintah. Tidak ada anak kandung dan tidak ada
pula anak tiri. Tetapi, ketika sebuah majalah sastra,
terbitan bulan Agustus 1968 memuat sebuah cerita
pendek di mana Allah ditampilkan sebagai manusia
biasa, maka terjadilah demonstrasi besar dan
menuntut H.B. Yasin, pemimpin redaksinya dijatuhi
169 Bantuan luar negeri meningkat dari 200 juta dolar Amerika
pada tahun 1967 menjadi 500 juta dolar pada tahun 1969 bahkan sejak
tahun 1976 melampaui dua miliar dolar Amerika, dengan urutan
Amerika lalu Jepang. Lihat Andree feillard, Andree Feillanrd, Andree
Feillard, Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk
dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. Ke-1, h. 114. 170 Ibid., h. 149-150.
156 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
hukuman penjara.171 Bahkan ummat Islam
menyatakan akan mengangkat senjata bila diserang
dan bila kesucian agama dikotori.172 Di bawah Orde
Lama yang paling merasakan kekerasan Soekarno
ialah kaum muslimin sendiri, tetapi di bawah
Soeharto, ummat Islam merasa di bawah tentara
pendudukan di negerinya sendiri, karena subsidi
pemerintah bagi yang menunaikan ibadah haji ke
Mekkah, yang mencapai 1 milyar rupiah pada bulan
Nopember 1968 dihapus.
Selain subsidi, para kiai juga protes terhadap
rancangan undang-undang perkawinan yang dibuat
oleh Pemerintah dan dikuatkan melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung bulan Pebruari 1977 mengenai
perzinaan, memperkuat penerapan monogami,
sehingga membuat poligami tidak sah, kecuali
mendapatkan dispensasi pengadilan,173 yang ditandai
171 Pada tahun 1970 H.B. Yasin dijatuhi hukuman penjara selama
satu tahun, bahkan ia juga mengajukan permohonan maaf kepada
masyarakat Islam. 172 Teks lengkap pernyataan “Penjelasan humas Departemen
Agama mengenai Toleransi Agama”, (siaran Pers Departemen Agama
mengenai toleransi kehidupan beragama) diterbitkan dalam DM., 3-1-
1969. 173 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) bulan Pebruari 1977,
berdasarkan pasal 279 dan 284 KUHP. Dalam kasus yang sangat jarang,
hukuman penjara selama 2 hingga 6 bulan dapat dijatuhkan terhadap
orang yang melakukan poligami tanpa ijin pengadilan. Pers
membeberkan cerita tentang seorang pegawai negeri, Abdurrahim
Nasution, usia 41 tahun, yang memenangkan kasus poligaminya di
Lhokseumawe, Aceh, meskipun kariernya menjadi hancur. Lihat Tempo,
19 Januari 1991, h. 75.
Kiai, Pesantren dan Politik 157
dengan usaha kiai Bisri Syansuri yang dikenal tidak
mau kompromi dan penganut penerapan fiqh secara
ketat, untuk mengumpulkan sembilan ulama besar di
Jombang, guna membuat rancangan tandingan yang
disalurkan lewat Partai Persatuan Pembangunan di
Jakarta. Mereka menuntut hal-hal sebagai berikut:
a) Perkawinan bagi orang muslim harus
dilakukan secara keagamaan dan tidak secara sipil.
b). Masa ‘iddah, saat istri mendapatkan nafkah
setelah diceraikan harus diperpendek, tidak satu
tahun, tetapi 3 (tiga) bulan, karena suami berhak
rujuk kembali kepada istri selama ‘iddah itu. c).
Pernikahan setelah kehamilan di luar nikah tidak
diijinkan. d). Pertunangan dilarang, karena dapat
mendorong ke arah perzinahan. e). Anak angkat
tidak memiliki hak sama dengan anak kandung. f).
Penghapusan sebuah pasal dari rancangan undang-
undang yang diajukan yang menyatakan bahwa
perbedaan agama bukan halangan bagi perkawinan.
g). Batas usia yang diperkenankan untuk menikah
ditetapkan 16 tahun,bukan 18 tahun bagi wanita dan
19 tahun, bukan 21 tahun bagi pria. h). Penghapusan
pasal mengenai pembagian rata harta bersama antara
wanita dan pria karena dalam Islam “hasil usaha
masing-masing suami atau istri secara sendiri-sendiri
menjadi milik masing-masing yang mengusahakan-
nya”. i). Menolak larangan perkawinan antara dua
orang yang memiliki hubungan sebagai anak angkat
158 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang-
orang tua angkat, dan j). Menolak larangan me-
langsungkan perkawinan lagi antra suami-istri yang
telah bercerai.174
Rancangan undang-undang itu, kemudian
diajukan ke DPR dan hasilnya bahwa perkawinan
dari agama Islam tidak akan dikurangi atau pun
diubah, dan hal-hal yang bertentangan dengan agama
Islam tidak mungkin disesuaikan dengan undang-
undang ini dihilangkan atau didrop. Selanjutnya,
perkawinan akan dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaan, namun harus
dicatat. Perceraian dan poligami akan diatur oleh
ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan.175
Dalam bidang ideologi dan kepartaian, pada
tahun 1971 pemerintah melemparkan gagasan
penyederhanaan partai-partai dengan mengadakan
pengelompokan menjadi satu kelompok golongan
karya dan dua kelompok partai. Kelompok partai-
partai politik Islam seperti NU, Parmusi, PSII dan
174 Andree Feillard, Andree Feillard, Andree Feillard, NU vis-à-vis
Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999),
cet. Ke-1, h. 193-194. Lihat pula K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan
Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), h. 19. 175 Kesepakatan tersebut ditandatangani tanggal 29 Nopember
1973 oleh KH. Masykur dan Nuddin Lubis dari PPP, Domo Pranoto dan
Mansjoer dari Fraksi ABRI (Catatan Sementara Sidang tertutup no. 5
Komisi Kerja Rancangan Undang-Undang Perkawinan, 10 Desember
1973, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia).
Kiai, Pesantren dan Politik 159
Perti kemudian bergabung ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), sedangkan partai-partai politik
seperti Katolik, Parkindo, PNI dan IPKI bergabung ke
dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Yang
terakhir mengadakan fusi pada tanggal 10 Januari
1973, sedangkan yang pertama mengadakan fusi
pada tanggal 5 Januari 1973.176
Dengan demikian, aspirasi kiai pesantren tidak
lagi disalurkan melalui Partai NU, tetapi melalui
Partai Persatuan Pembangunan. Berarti mereka
mendapatkan rival baru yang lebih sulit dari pada
Golkar, karena berada dalam satu partai, yaitu
Muslimin Indonesia. Meskipun demikian, kiai
pesantren tetap kritis. Mereka menentang pelembaga-
an penataran P4, karena khawatir P4 dapat
menggantikan agama dan menjadi dasar pedoman
segala kegiatan, meminta aliran kepercayaan tidak
diberi hak yang sama dengan agama-agama resmi
dan meminta para pengikutnya kembali pada
agamanya masing-masing,177 bahkan mereka
mengeluhkan pembatasan terhadap para muballigh.
Oleh karena itu, mereka menganjurkan agar materi
176 Pidato Presiden di depan Sidang Pleno DPR pada tanggal 16
Agustus 1973. Lihat pula Kompas, 12 Januari 1973, h. 1 dan 7. 177 Andree Feillard, Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara,
Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. Ke-1,
h. 200-203.
160 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dakwah tidak menyentuh masalah politik, tetapi
cukup terkait dengan masalah moral saja.178
3. Sikap Politik Kiai Pesantren
Sikap adalah kecenderungan individu untuk
menanggapi situasi, benda, ide, orang dan isu dengan
cara tertentu. Sikap seseorang terhadap sesuatu bisa
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti peng-
alaman, pengetahuan, perasaan, emosi, cara berfikir,
kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai.179
Sedangkan politik terambil dari bahasa Yunani dan
atau Latin politicos atau politicus yang berarti relating
to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang
berarti kota. Dalam bahasa Arab, kata politik
biasanya diterjemahkan dengan kata Siyāsah, terambil
dari kata sasa-yasūsu, yang berarti mengemudi,
mengendalikan, mengatur dan lain sebagainya.180
Sedangkan terminologi politik secara umum berarti
178 Melihat ini semua, maka diadakanlah pertemuan para
ulama/kiyai membahas situasi yang serba baru. Hasilnya, para
ulama/kiyai memutuskan untuk mempergiat usaha-usaha bidang social,
sambil menyesuaikan diri dengan identitas baru organisasi keagamaan.
Sejak itu, ketegangan hubungan dengan penguasa mulai mengendor,
yang ditandai dengan diperbolehkannya memasang papan nama di
sekolah dan kantor. Para ulama/kiayi memang tetap menjadi pengikat
persatuan, tetapi mereka tidak selalu bisa muncul sebagai wasit tunggal
arah politik yang akan diikuti. Lihat Andree Feillard, Ibid, h. 189-190. 179 Lau & James B. Shani, A.B., Behaviour in Organizations: An
Experiential Approach, (Homewood: Richard Irwin Inc, 1992), h. 98. 180 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1996), Cet. Ke-1, h. 416.
Kiai, Pesantren dan Politik 161
usaha untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar
atau memperluas serta mempertahankan ke-
kuasaan.181 Politik juga berarti bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari
sistem itu dan melaksanakan tujuan itu,182 bahkan
Joyce Mitchell menyatakan politik adalah peng-
ambilan keputusan kolektif atau pembuatan
kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya,183
atau politik adalah pengambilan keputusan melalui
sarana umum, sedangkan keputusan yang dimaksud
adalah keputusan mengenai tindakan umum atau
nilai-nilai, yaitu mengenai apa yang akan dilakukan
dan siapa mendapat apa,184 atau politik adalah
masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagai-
mana.185
181 Soelistyati Ismail Gani, Pengantar IlmuPolitik, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1991), h. 17. Lihat pula Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, al-
Tarbiyah al-Siyāsiyah ‘Inda Jamā’ah al-Ikhwān al-Muslimīn, fi al-Fatrah
min 1928 ila 1954 fi MIshr, (Mesir: Dār al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-
Islamiyah, 1960), 68. Juga Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001), Cet. Ke-1, h. 44-46. 182 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta:
Gramedia, 1999), Cet. ke-20, h. 8. 183 Joyce M. Mitchell, William C. Mitchell, Political Analysis and
Public Policy: An Introduction to Political Science, (Chicago, Rand Mc.
Nally, 1969), h. 4-5. 184 Karl W. Deutsch, Politics and Government: How People Dicide
Their Fate, (Boston, Houghton Mifflin Co., 1970), h. 5. 185 Harold D. Laswell, Politics, Who Gets What, When, How, (New
York: World Publishing, 1972), h. 12.
162 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Berangkat dari kedua pengertian itu, di samping
merujuk bahwa ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn
merupakan tujuan politiknya, maka sikap politik kiai
pesantren adalah memperjuangkan tujuan itu,
melalui partai politik. Karena NU sebagai organisasi
keagamaan yang didirikan oleh para kiai pesantren
beranggapan, bahwa Masyumi merupakan satu-
satunya Partai Islam yang dapat menyalurkan
aspirasi dan kepentingan kiai pesantren, maka NU
pun bergabung dengannya. Hal yang sama juga
mereka lakukan pada tahun 1973, ketika pemerintah
menyederhanakan jumlah partai menjadi dua partai
politik dan satu Golkar, maka kiai pesantren
menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP, sebuah
partai Islam, gabungan Partai NU, Perti, PSII dan
Parmusi. Tetapi, ketika Parmusi melalui John Naro,
Presiden PPP, melakukan tindakan yang merugikan
NU dan kepentingan kiai pesantren, maka
berdasarkan Keputusan Muktamar ke 27, tanggal 8-
12 Desember di Situbondo, NU menyatakan keluar
dari PPP186 dan kembali ke Khittah 1926, sebagai
Jam’iyah yang memusatkan perhatiannya pada
186 Mahbub Djunaidi, Ketua Tanfidziyah NU, mewakili KH. As’ad
Syamsul Arifin, menegaskan bahwa dalam Pemilu 1987 nanti warga NU
wajib menyukseskan pesta Demokrasi, tetapi tidak wajib berkampanye
untuk PPP. Sekali lagi NU bukan PPP dan PPP bukan NU, karena
keduanya punya dunia sendiri-sendiri. Keduanya tidak punya ikatan
organisasi. Ini merupakan keputusan Muktamar PPP sendiri dan
Keputusan Muktamar NU. Lihal Kacung Marijan, Quo Vadis NU
Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 160.
Kiai, Pesantren dan Politik 163
kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan
kebudayaan serta bidang sosial dan ekonomi.
Berbeda dengan yang terakhir, maka ketika
dibodohi dan atau dirugikan oleh Masyumi, maka
kiai pesantren justru menjadikan NU sebagai partai
politik, berdampingan dengan partai politik lainnya,
baik partai nasionalis religius seperti Masyumi, PSII,
Perti dan lain sebagainya, maupun partai nasionalis
sekuler seperti PNI, Partai Murba, Parindra, PSI dan
lain sebagainya, atau bahkan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa sikap politik kiai pesantren saat itu adalah
dengan bergabung kepada Partai Islam Masyumi
atau PPP, karena partai itu dipandang dapat
memperjuangkan aspirasi politiknya. Tetapi, ketika
kedua partai itu dianggap tidak lagi merupakan
wadah yang efektif, maka mereka pun menyatakan
keluar. Pada kasus yang terakhir, NU, sebagai
organisasi yang dibidani pendiriannya oleh para kiai
pesantren menyatakan kembali ke Khittah 1926,
sedangkan pada kasus pertama, kiai pesantren malah
menjadikan NU sebagai kendaraan politiknya.
BAB III
PESANTREN DAN DINAMIKA POLITIK NASIONAL ERA REFORMASI 1998 - 2004
A. Era Reformasi dan Kebijakan Politik Menuju
Demokrasi
Sejak kemerdekaan hingga akhir milenium dua,
di Negara Republik Indonesia terdapat tri orde dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, Orde
166 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Reformasi, Orde Baru dan Orde Lama. Masa Orde
Lama bermula ketika Soekarno diangkat sebagai
presiden kesatu. Tetapi, kegagalan Gerakan 30
September 1965 telah membawa Soekarno dengan
sistem demokrasi terpimpinnya beserta PKI pada
kehancuran politik secara total. Dengan demikian,
Orde Lama1 digantikan oleh Orde Baru, suatu tata
kehidupan baru dan sikap mental baru, yang
bertujuan menciptakan kehidupan sosial, politik,
ekonomi dan kulturil, yang dijiwai oleh moral
Pancasila, khususnya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu, Orde Baru juga merupakan suatu tata
politik dan tata ekonomi yang berlandaskan Pancasila
dan UUD 1945 serta menghendaki suatu tata pikir
yang lebih realistis dan pragmatis, diutamakannya
kepentingan nasional, tata susunan yang lebih stabil
dan lain sebagainya.2 Jenderal Soeharto, sebagai
presiden kedua, dalam pidato kenegaraan, 16
Agustus 1967 menyatakan bahwa tujuan Orde Baru
1 Suatu periode rezim/pemerintahan antara tanggal 5 Juli 1959 - 11
Maret 1966, berpancangkan tonggak sejarah yaitu Dekrit
Presiden/Pangti ABRI Soekarno tentang pembubaran konstituante
pilihan rakyat dan kembali kepada UUD 1945 dan Surat perintah
Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPR Soekarno tanggal 11
Maret 1966 kepada Letjen Soeharto yang terkenal dengan singkatan
“Super Semar”. Tetapi, juga dapat dikatakan bahwa Orde Lama
merupakan periode sejak Soekarno diangkat sebagai Presiden sampai
terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret 1966, meskipun pada awalnya
kabinet Soekarno berbentuk Parlementer, lalu Liberal dan terakhir
Kabinet Ampera. Lihat Ismaun, Pancasila Dasar Falsafah Negara
Republik Indonesia, (Bandung: Carya Remadja, 1972), h. 32. 2 Ibid, h. 27-31.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 167
adalah untuk mempertahankan dan memurnikan
eksistensi dan implementasi Pancasila serta UUD
1945.3 Bahkan, Tap.MPRS No.10/MPRS/1966 lebih
lanjut menegaskan sebagai berikut:
Pembukaan UUD 1945 sebagai penjelasan rinci dari deklarasi kemerdekaan, yang berisi cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara, satu rangkaian dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan karena itu tidak dapat diubah oleh siapa pun, termasuk oleh MPR yang dipilih dalam pemilu berdasarkan pasal 3 dan 37 UUD, karena penghapusan terhadap isi pembukaan berarti penghapusan negara4
Namun demikian, tujuan Orde Baru tersebut
dalam sejarah perkembangannya berjalan tidak
sesuai dengan kenyataan dan harapan, karena setelah
32 tahun berkuasa, mengawal pemerintahan Orde
Baru, Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 akhirnya
meletakkan jabatan dan menyerahkan singgasana
kekuasaannya kepada Wakil Presiden Republik
Indonesia,5 yang juga anak didiknya, Prof. Dr.
3 Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto Tentang
Pancasila, (Jakarta: CSIS, 1976), h. 17. 4 Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar
Negara, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 37. 5 Rumusan Pasal 8, Ayat 1, UUD 1945 yang dimandemen
menyebutkan “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan
oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Terkait dengan
168 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Bacharuddin Jusuf Habibie, seorang teknokrat,
kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936,
berdarah campuran Jawa-Bugis. Ayahnya wafat
tahun 1950 ketika Habibie berusia 14 tahun, tetapi,
pada tahun itu juga ia mendapatkan pengasuh baru
yang bertugas sebagai komandan militer muda dan
bermarkas di seberang rumahnya di Ujung Pandang,
yakni Soeharto,6 seorang yang kemudian menjadi
orang pertama di Indonesia. Presiden Soeharto
mundur dari gelanggang politik, setelah usai pemilu
1997 atau menjelang berlangsung dan pasca Sidang
Umum MPR 1998, terjadi berbagai aksi demonstrasi
dari kelompok-kelompok masyarakat yang melaku-
kan kritik terbuka, menentang kepemimpinan dan
kebijakan Presiden Soeharto.7 Akibatnya, kredibilitas
peletakan jabatan Soeharto sebagai presiden, ada spekulasi perihal
dugaan penghianatan oleh B.J. Habibie, sehingga Soeharto tidak pernah
membuka pintu bagi Habibie sejak dilantik menjadi presiden. Soeharto
mencurigai Habibie sebagai dalang penolkan 14 (empat belas) menteri
untuk duduk kembali dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang
direncanakannya, suatu dugaan yang tidak pernah diklarifikasi, sehingga
masyarakat tak pernah tahu kebenarannya. Lihat A. Pambudi,
Kontroversi “Kudeta” Prabowo, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007),
h. 44. 6 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:
Serambi, 2005), Cet. ke-1, h. 631. 7 Demonstrasi dan kerusuhan terjadi di mana-mana di Surakarta,
Kupang, Ambon, Sambas, Medan, Banyuwangi dengan ninjanya dan
Jakarta dengan tragedi Trisakti dan Semangginya. Kerusuhan-kerusuhan
itu, di satu pihak memberi kesan sebagai persambungan dari krisis sosial
yang telah bermula sejak tahun 1996, bahkan bisa ditarik ke tahun 1994,
dan di pihak lain, menunjukkan betapa unsur-unsur konflik yang laten
akhirnya meletus menjadi tragedi lokal yang melukai seluruh bangsa dan
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 169
Soeharto dan para elite pengambil kebijakan politik
dan ekonomi bangsa ini semakin merosot di mata
publik, terlebih setelah terjadinya krisis ekonomi
Indonesia yang dimulai pada Juli 1997, di mana
Soeharto tidak lagi mampu menyelesaikannya. Nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS)
semakin melemah, sementara pada saat yang sama
jumlah penduduk miskin digambarkan semakin
bertambah.8
Kelompok-kelompok masyarakat yang ber-
demonstrasi itu, intinya menuntut agar Soeharto
mundur atau melepaskan jabatannya sebagai
presiden, dan atau para politisi di MPR didesak
untuk tidak lagi memilih Soeharto sebagai Presiden
RI. Tetapi, para anggota MPR justru menunjukkan
wataknya dengan tidak mau mendengarkan aspirasi
masyarakat, sehingga gelombang demontrasi massa
semakin hari semakin banyak, termasuk di dalamnya
para intelektual dari kampus ikut memberikan
dukungan terhadap aksi-aksi masyarakat tersebut.
mengancam integrasi nasional. Lihat Taufik Abdullah, Nasionalisme &
Sejarah, (Bandung: satya Historika, 2001), h. 34. 8 Nilai tukar rupiah berada di bawah Rp 10.000,- per dolar, bahkan
hingga mencapai level Rp 15.000-Rp 17.000,- per dolar. Diperkirakan
113 juta orang Indonesia (56 % dari jumlah penduduk ) berada di bawah
garis kemiskinan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa 40 juta orang
Indonesia tidak mampu membeli makanan dan dalam kondisi rawan
pangan. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005), Cet. ke-1, h.
656-657. Lihat pula Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan
Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 186.
170 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Jadi, kekuasaan Soeharto dan Orde Baru saat itu,
telah didera oleh krisis multi dimensi, mulai dari
krisis ekonomi dan moneter, krisis sosial, krisis
kepercayaan sampai krisis politik,9 sehingga Presiden
Soeharto sebagaimana dijelaskan terpaksa melimpah-
kan kekuasaannya pada Wakil Presiden Republik
Indonesia.
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka
mundurnya Soeharto sebagai presiden menjadi
pertanda berakhirnya masa kekuasaan Orde Baru dan
sebagai gantinya lahir Era Reformasi yang menjadi
kelahiran Orde Reformasi. Pada masa itu, khususnya
masa antara tahun 1998-2004, telah tampil tiga orang
presiden, yaitu B.J. Habibie sebagai presiden ketiga,
KH. Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat
dan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden
kelima. Sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3,
B.J. Habibie10 telah berhasil memimpin bangsa dan
9 Inflasi ditargetkan mencapai angka 80 % untuk tahun berjalan,
terjadi kekurangan panen beras karena badai El NiH’o, beberapa
prusahan utama (Sempati Air, PT. Astra) tidak beroperasi, hutan tropis
menyusut jumlahnya, kerusuhan terjadi di berbagai daerah, Timor
Timur, Situbondo, (Jawa Timur), Tasikmalaya (Jawa Barat), Ujung
Pandang, Irian Jaya, Kalimantan Barat, Jakarta dan provinsi lain terjadi
kerusuhan sosial dan penculikan. Lihat Taufik Abdullah, Nasionalisme
dan Sejarah, (Bandung: Satya Historika, 2001), h. 161-171. Lihat pula
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi,
2005), Cet. ke-1, h. 465-467 dan 656. 10 Habibie, anak keempat dari sembilan putra putri keluarga Alwi
Abdul Djalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, menikah
dengan dr. Ainun, anak keempat dari delapan bersaudara, keluarga Haji
Muhammad Besari, pada 12 Mei 1962 dan dikaruniai dua putra dan lima
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 171
negara kesatuan selama 512 hari, padahal kalangan
pakar dan pengamat, menganalisis dan meramalkan
bahwa B.J. Habibie hanya akan bertahan 100 jam,
kemudian “diperpanjang” menjadi 100 hari.
Semuanya meleset dan B.J. Habibie bisa bertahan
hingga 17 bulan, bahkan bersama kabinetnya
membidani kelahiran reformasi bagi bangsa ini.11
Oleh karena itu, masanya dikenal sebagai awal Orde
Reformasi, sebuah orde transisi menuju demokrasi
berdasarkan ketentuan UUD 1945 dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sebagai orde transisi menuju demokrasi, B.J.
Habibie yang menggantikan mentornya sebagai
presiden dan kepala pemerintahan, dalam waktu
cucu. Setelah kuliah selama satu tahun di Institut Teknologi Bandung
(ITB), tahun 1955, ia dikirim oleh ibunya untuk belajar di Rhenisch
Wesfalische Tehnische Hochscule, Aachen Jerman. Setelah belajar di
sana selama lima tahun, ia memperoleh Diplom-Ingenieur dengan
prestasi cum laude dari Fakultas Teknik Mesin Jurusan Desain dan
Konstruksi Pesawat Terbang, kemudian dari Fakultas dan jurusan yang
sama, ia memperoleh gelar Doktor Ingenieur, dengan predikat summa
cum laude. Pada tahun 1974, ia kembali ke Indonesia dan diserahi tugas
sebagai penasehat pemerintah bidang teknologi pesawat terbang dan
teknologi tinggi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Republik Indonesia. Tugas ini diembannya sampai tahun 1978 dan
setelah itu, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi
sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),
selama periode Kabinet Pembangunan yang berakhir pada tahun 1998, di
samping menjabat sebagai ketua Dewan Riset Nasional. Pada tanggal 11
Maret 1998, ia diangkat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia
yang ke-7, menggantikan Tri Soetrisno, yang telah berakhir masa
jabatannya. 11 Ketika Teknokrat Memimpin Negara, Republika, (Jakarta), 22
September 2006, h. 24.
172 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
yang relatif singkat itu, telah melakukan berbagai
perubahan. M.C. Ricklefs menyebutkan minimal ada
lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu masa
depan reformasi, masa depan ABRI, masa depan
daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari
Indonesia, masa depan Soeharto, keluarganya,
kekayaannya dan kroni-kroninya, serta masa depan
perekonomian dan kesejahteraan rakyat.12 Mengingat
krisis demikian parah, maka keempat isu terakhir
belum terselesaikan dan jika bisa dilaksanakan salah
satu di antaranya, khususnya terkait dengan Timor
Timur, malah menimbulkan kecaman dan bom waktu
baginya.13 Tetapi, isu pertama, masa depan reformasi,
justru menunjukkan perkembangan yang positif
bahkan capaiannya tergolong luar biasa. Reformasi
diawali dengan proses pembongkaran terhadap
ketamakan negara, antara lain dengan memperkenal-
kan sebuah aura yang menjadikan kepresidenan
suatu jabatan tanpa kesakralan, tetapi sebuah jabatan
yang bisa dijabat oleh siapa saja yang dipercaya
rakyat, menyelenggarakan Sidang Umum MPR dan
Pemilu, membubarkan BP7, menghentikan P4 dan
menandatangani dua undang-undang yang serta
12 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:
Serambi, 2005), Cet. ke-1, h. 655-656. 13 Referendum yang menawarkan kepada penduduk Timor Timur
pilihan antara otonomi dalam Indonesia atau kemerdekaan, berakhir
dengan kemerdekaan Timor Timur. Masalah ini merupakan salah satu
dari sekian noda Habibie, sehingga laporan pertanggungjawabannya
ditolak oleh MPR di samping noda lainnya
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 173
merta menuntut banyak hal dalam hubungan pusat
dan daerah, yaitu Undang-Undang Pertimbangan
Keuangan dan Otonomi Daerah,14 dimana
pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang lebih
besar untuk memutuskan program dan kebijakannya
sendiri.15 Di samping ia juga memberikan kebebasan
kepada pers, dan memperlihatkan sikap yang
demokratis dan tidak bereaksi negatif terhadap kritik
yang disampaikan oleh lawan politiknya.16
R. William Liddle dalam kaitan dengan reformasi
era pemerintahan B.J. Habibie antara lain
menambahkan sebagai berikut:
Selepas jatuhnya rezim Orde Baru, terjadi banyak perubahan yang patut disimak, antara lain liberalisasi politik berlangsung cukup signifikan, pembatasan terhadap kebebasan berbicara, berekspresi, berserikat dan berkumpul serta hak-hak sipil lainnya dicabut. Partai-partai politik dengan beragam ideologi diperbolehkan berdiri. Kebijakan depolitisasi dan pendekatan warisan Orde Baru diakhiri dan digantikan
14 Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Setya
Historika, 2001), Cet. Ke-1, h. 166-167. 15 Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan
Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis 1966-2001,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 187. 16 Salahuddin Wahid, “Menimbang Tiga Calon Presiden” dalam
Soedjono Dirdjosisworo, Aspirasi Dan Sikap Politik Gus Dur Di Tengah
Reformasi Menuju Indonesia Baru, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h.
23.
174 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dengan pluralisme politik yang mengarah pada kompetisi dan representasi demokratis.17
Salahuddin Wahid sebagaimana Liddle
menyatakan bahwa harus diakui cukup banyak
kegagalannya, tetapi keberhasilannya jauh lebih
banyak. Keberhasilan B.J. Habibie antara lain:
Menurunkan inflasi, menurunkan suku bunga, menaikkan nilai tukar rupiah, membebas-kan tapol-napol, memberikan kebebasan kepada pers, memberikan kebebasan berserikat dengan terbentuknya 160-an partai politik, melaksanakan pemilu yang jurdil, mendudukkan hubungan yang tepat antara DPR dengan pemerintah. Semua itu bisa terealisir, karena kecerdasannya, kesediaannya untuk bekerja sampai jauh larut malam, kesehatannya yang bagus, tidak menghindar dari masalah detail, sikapnya dalam berkomunikasi yang terlihat demokratis, bahkan mentolelir teriakan huu… dalam pembukaan Sidang Umum MPR, adalah tambahan nilai plus bagi B.J. Habibie.18
Dengan demikian, keberhasilan yang telah diukir
B.J. Habibie sangat banyak, bahkan akan menjadi
semakin panjang catatan prestasinya, ketika Suharko
17 R. William Liddle, “Indonesia’s Unexpected Failure of
Leadership “ dalam Adam Schwarz & Jonathan Paris (ed.), The Politics
of Post Suharto Indonesia, (New: The Council on Foreign Relation,
1999), h. 21. 18 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-
Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2000), h. 66-67.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 175
juga menambahkan dan menguatkan penjelasan di
atas, bahwa pemerintahan B.J. Habibie dalam
menanggapi tuntutan demokratisasi telah mengeluar-
kan beberapa perundang-undangan baru. Dalam
proses politik misalnya, tiga undang-undang baru
diberlakukan, yakni undang-undang tentang pemilu,
tentang partai politik dan tentang struktur lembaga
legislatif. Tiga undang-undang tersebut sekaligus
manjadi jaminan formal bagi kompetisi politik,
partisipasi dalam penyelenggaraan pemilu 7 Juni
1999.19 Ia bahkan telah melakukan upaya untuk
menyempurnakan Undang-Undang No. 3 tahun 1971
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan
membentuk undang-undang tentang penyelenggara-
an negara yang bersih dan bebas KKN.20
Namun, karena hubungannya yang akrab
dengan Soeharto dan Orde Baru, pemerintahannya
justru dinilai belum sungguh-sungguh berdiri tegas
sebagai pemerintahan reformasi, dalam pengertian
merombak total sisa-sisa sistem sosial lama yang
menindas dan represif. Ia masih sibuk dengan politik
basa-basi dan meladeni tarik menarik dalam
19 Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan
Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis 1966-2001,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 186. 20 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”? Jejak
langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma
Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), Cet. Ke-1, h. 125.
176 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
pertikaian kelompok elite.21 Oleh karena itu, timbul
kecemasan, jangan-jangan pemerintahan B.J. Habibie
malah melahirkan rezim Orde Baru lagi dalam
bentuknya yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh
Indonesianis terkemuka, Jeffry Winters, bahwa yang
terjadi di Indonesia adalah “change without change”
(perubahan tanpa perubahan).22
Kecemasan itu, barangkali karena B.J. Habibie
dianggap tidak peka dalam mendengarkan aspirasi
masyarakat dan tidak serius dalam menyelesaikan isu
keempat, terkait masalah KKN mantan Presiden
Soeharto, Andi M. Galib dan Bank Bali, di samping
soal jajak pendapat Timor Timur dan masalah tindak
kekerasan oleh TNI di Aceh, Ambon, Trisakti,
Semanggi I dan II. Salahuddin Wahid antara lain
mengungkapkan masalah-masalah itu, sebagai
berikut:
Bahwa masalah utama yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintahan B.J. Habibie adalah pemberantasan KKN, khususnya terhadap Pak Harto, yang merupakan amanat ketetapan MPR. Masyarakat sebenarnya membaca berita tentang tindakan pemerintah memberantas KKN yang jumlahnya cukup lumayan, berupa pembatalan sejumlah kontrak
21 Ibid., h. 124. 22 Jeffery Winters, “Perubahan Tanpa Perubahan”, dalam Imam
Baehaqi (Peny.), Soeharto Lengser; Perspektif Luar Negeri,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 151-152.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 177
berbau KKN yang masih berjalan untuk bisa menyelamatkan negara dari kerugian. Tetapi, tidak seorang pun yang diadili dan dijatuhi hukuman. Kalau B.J. Habibie terkesan enggan membawa Pak Harto ke pengadilan karena kurang bukti pendukung, maka mungkin dengan berat hati masyarakat bisa menerima. Namun, kasus rekening Andi M. Galib menjadi tanda tanya bagi masyarakat tentang ketidakseriusan pemerintah memberantas KKN, padahal berdasarkan jajak pendapat masalah itu sangat penting. Selain itu, kasus Bank Bali, meskipun secara hukum tidak terlibat, tetap menambah citra buruk padanya. Dalam kasus Pak Harto dan Bank Bali, B.J. Habibie cenderung melakukan pendekatan aspek hukum dari pada aspek politis, padahal masalahnya lebih bersifat politis yang mengandung aspek hukum. Selain itu, soal jajak pendapat Timor Timur, B.J. Habibie dianggap keras kepala karena terlalu berani melaksanakan gagasannya, tetapi soal tindak kekerasan oleh TNI, B.J. Habibie dianggap tidak mempunyai kepekaan politik.23
Uraian terakhir ini minimal menunjukkan
kelemahan seorang Habibie sebagai kepala
pemerintahan. Sebaliknya, pada uraian sebelumnya
memperlihatkan betapa Habibie tampil sebagai
seorang demokrat dan mampu menyelenggarakan
23 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-
Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia satu,
2000), Cet. Ke-1, h. 68.
178 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
“Pesta Demokrasi”, pemilihan umum secara lang-
sung, jujur, adil, bebas dan rahasia.24 Tujuannya,
adalah untuk mengakhiri pemerintahan transisional
yang dianggap tidak memiliki legitimasi, sekaligus
membentuk pemerintahan baru yang kredibel dan
mempunyai basis legitimasi yang kokoh.
Pemilu diselenggarakan pada bulan Juni 1999.
Tetapi, menjelang pelaksanaannya, peta politik
nasional terbelah menjadi dua kutub yang bertolak
belakang, kubu reformis dan kubu status quo.25 Kubu
yang disebut terakhir ini oleh komponen non-negara
dilekatkan pada Partai Golkar, sedangkan kubu yang
pertama ditempati oleh partai-partai Islam, yang
bersepakat menghadang dan menyingkirkan Partai
Golkar dari panggung politik nasional pasca
Soeharto. Untuk itu, muncullah dua pernyataan
bersama yang bertujuan mengamankan dan
menyelamatkan agenda reformasi dari ancaman kubu
status quo (Partai Golkar) yang dinilai masih
24 Pemilu 1999 itu diikuti oleh 48 partai dari 158 partai yang
dinyatakan lolos seleksi dan layak menjadi kontestan oleh Tim 11
melalui surat Keputusan Mendagri selaku Ketua Lembaga Pemilihan
Umum (LPU) No. 3 tahun 1999. Sedangkan untuk penyelenggaraan
pemilu, pemerintah membentu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
kemudian ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.
77/M/1999, yang diketuai oleh Rudini. Jadi, peserta pemilu jauh lebih
besar dibandingkan dengan peserta pemilu pertama era Demokrasi
Parlementer dan pemilu-pemilu pada masa Orde Baru. Lihat Pax
Benedanto (et.al), Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau Rebutan
Kursi?, (Jakarta: LSPP, 1999), 29. 25 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 289.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 179
mempunyai kekuatan politik yang besar dan sangat
berhasrat kembali ke arena pergulatan politik
nasional yang baru.26 Komunike I dipandang paling
ideal, karena melibatkan dan memadukan tiga
kekuatan politik penting dengan latar belakang
berbeda PKB (Islam Tradisionalis), PAN (Islam
Modernis) dan PDIP (Nasionalis). Mereka ber-
komitmen terhadap reformasi dan mempunyai basis
sosial yang tak perlu diragukan lagi. Komunike II
dibentuk oleh PAN, PPP dan PK. Komunike terakhir
ini dinilai kurang ideal, karena unsur-unsurnya
hanya berasal dari satu kelompok Islam, sehingga
sangat rentan terhadap penetrasi Partai Golkar, lewat
tokoh-tokohnya yang memang dekat dengan para
pemimpin Islam yang tergabung dalam Komunike II.
Ketika pelaksanaan pemilu, 7 Juni 1999, ternyata
tidak ada satu partai yang meraih suara mayoritas.
PDIP berada pada peringkat pertama dengan
memperoleh suara 30,8%, disusul Golkar dengan
memperoleh suara 24,0%, PKB memperoleh suara
11,8%, PPP memperoleh suara 10,2%, PAN
memperoleh suara 7,0%, PBB memperoleh suara
2,6%, PK memperoleh suara 1,2%, Partai Keadilan
dan Persatuan memperoleh suara 1,2% dan partai-
partai lainnya memperoleh suara kurang dari 1,0%.27
26 Ibid, h. 290. 27 Pax Benedanto, (et.al), Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau
Rebutan Kursi? (Jakarta: LSPP, 1999), h. 37 dan 88-89. Lihat pula
180 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Dengan demikian, tidak ada partai yang bisa
mengusung calonnya untuk menjadi presiden, karena
tidak ada satu partai pun yang memperoleh suara
mayoritas tunggal (single majority), sebagaimana
pemilu-pemilu zaman Orde Baru. Oleh karena itu, isu
politik utama pasca pemilu yang kemudian mampu
menggeser pola pengelompokan politik sebelum
pemilu yang berbentuk pro-reformasi melawan status
quo menjadi Islam versus nasionalis adalah masalah
pengisian jabatan presiden keempat Republik
Indonesia, dengan cara memenangkan pertarungan
politik pada Sidang Umum MPR. Kekuatan
nasionalis memancar lewat PDIP dan partai-partai
lain yang sealiran dengannya, sedangkan kekuatan
Islam menyusun kaukus politik dari partai-partai
Islam melalui Poros Tengah (central axis).28
Dalam kaitan dengan berdirinya Poros Tengah,
Amien Rais sebagai tokoh politik Islam memberikan
komentar, dengan mengatakan bahwa “Kalau Poros
Tengah bisa dibentuk dengan bagus, kemudian bisa
menawarkan resep-resep pemecahan masalah bangsa
Mulyana W. Kusuma, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1999”,
dalam Juri Andiantoro F., Transisi Demokrasi; Evaluasi, Kritis
Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 127-136. 28 Ide awal Poros Tengah berasal dari Bambang Sudibyo (eks
Menteri Keuangan era Presiden Abdurrahman Wahid), sebagaimana
diakuinya sendiri dalam wawancaranya dengan Kompas, lihat Kompas,
16 Januari 2000). Tetapi, versi lain menyebutkan bahwa ide Poros
Tengah telah dimunculkan oleh Faisal Basir dan Husni Thamrin. Bahkan
versi lainnya menyebutkan bahwa ide itu muncul dari Amien Rais
sendiri.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 181
dengan paket sharing kekuasaan, sekaligus program-
program yang jelas, akan menjadi kekuatan yang bisa
melampaui dan mengakhiri konflik tajam antara dua
kubu, bahkan dua kubu yang sekarang bertikai akan
terbuka matanya, bahwa ada kekuatan lain yang
lebih besar dari mereka. Kami tidak mau didikte
bahwa seolah-olah hanya harus memilih Mega atau
Habibie.29
Manuver yang ditunjukkan melalui Poros
Tengah, menambah suhu politik semakin panas.
Kubu Megawati melalui kekuatan massa dari PDIP
menggertak dengan cap jempol darah, sebagai wujud
dukungan fanatisme kepada Megawati agar terpilih
sebagai presiden, karena perolehan suaranya
menempati urutan pertama, sementara basis pen-
dukung Habibie dari Partai Golkar yang tetap
menjagokan Habibie sebagai presiden, melalui
dukungan fanatis dari rakyat Makassar yang
mengancam akan menyatakan merdeka bila Habibie
tidak terpilih sebagai presiden.30
Bachtiar Effendy terkait munculnya “politik
kekuatan” sehubungan dengan kemunculan Habibie
29 Amien Rais, “Saya Sudah bulat Mencalonkan Gus Dur”, dalam
Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah?
Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan
Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), cet. Ke-1, h. 353. 30 Bahrul ‘Ulum,“Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”? Jejak
langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma
Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, Cet. Ke-1, h. 159.
182 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dan Megawati sebagai front runners, antara lain
menjelaskan dua hal pokok yang harus dicermati.
Pertama, ini berkaitan dengan modal sosial politik
yang dimiliki keduanya. Kedua, baik Habibie maupun
Megawati belum memperoleh dukungan terbuka dari
kekuatan politik lain. Bahkan pencalonan Habibie
sesekali masih dipersoalkan oleh sebagian fungsio-
naris Partai Golkar. Jadi, dalam konteks hasil pemilu
ini menandakan bahwa politik kepresidenan masih
merupakan every body’s game.31
Dengan demikian, realitas politik sangat me-
negangkan. Pencalonan Habibie masih dipersoalkan
oleh sebagian fungsionaris Partai Golkar, begitu juga
Megawati belum didukung secara terbuka oleh
kekuatan politik lain. Bahkan pencalonannya
cenderung dipersoalkan oleh kiai di Jawa Timur
dengan mengatakan tidak setuju presiden wanita
karena alasan yang didasarkan pada penafsiran
fiqih.32 Oleh karena itu, para elite pro-reformasi
31 Bahtiar Effendy, “Gus Dur dan Poros Tengah”, dalam Abd.
Rohim Ghazali, Gus Dur Dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah,
(Bandung: Mizan, 1999), h. 59-60. 32 Penolakan sebagian pers kepadanya, karena Habibie digambarkan
sebagai tokoh yang akan membawa Indonesia menuju kehancuran, jika
ia terpilih lagi, karena pers terlalu membesarkan kegagalannya dan
mengecilkan keberhasilannya. Jadi, pers tidak dapat melihatnya secara
proporsional. sedangkan penolakan kepada Megawati, karena kalangan
Islam menganggapnya sebagai ancaman “perjuangan Islam”.
Indikasinya, tingginya jumlah caleg non muslim PDI-P dan dominasi
kalangan non Islam (Theo Syafei, Kwik Kian Gie, Sabam Sirait dan
lain-lain) dalam menentukan kebijaksanaan PDI-P, diantaranya menolak
masuknya syariat Islam (secara terbatas dan melalui proses demokratis)
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 183
dengan kendaraan Poros Tengahnya, melihat peluang
emas untuk melibatkan diri dalam kompetisi
memperebutkan kursi presiden bersama dua capres
yang dinilai bermasalah, dengan mengajukan nama
Gus Dur sebagai capres alternatif. Mulanya Gus Dur
belum menjawab tawaran itu, tetapi akhirnya
menyatakan sangat antusias menanggapi pencalonan
dirinya sebagai presiden oleh Amien Rais. Ia yakin
bahwa dukungan Amien kepadanya sangat tulus,
begitu juga percaya, bahwa selain didukung
kelompok “Poros Tengah”, anggota MPR dari Partai
Kebangkitan Bangsa juga akan mendukungnya. Oleh
karena itu, ia menyatakan siap bertarung dengan
Habibie atau Megawati dalam memperebutkan kursi
presiden mendatang.33 Katanya, ia tidak mengejar-
ke dalam undang-undang seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,
dan menolak masuknya pendidikan agama dalam sekolah umum di
dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, adanya sikap PDI-P
yang tidak ingin melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dan
keengganannya untuk mengurangi fungsi sosial politik ABRI. Lihat
Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-Catatan
Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet.
Ke-1, h. 54 dan 80. 33 Soedjono Dirdjosisworo, Aspirasi Dan Sikap Politik Gus Dur Di
Tengah Reformasi Menuju Indonesia Baru, (Bandung: Mandar Maju,
1999), h. 27. Setidaknya ide Fraksi reformasi yang mengedepankan Gus
Dur untuk bersaing dan siap cukup realistis, karena selain Gus Dur
paling baik komunikasi politiknya dengan dua rivalnya, juga jumlah
kursi partai-partai dalam fraksi reformasi di DPR sekitar 169. Jumlah
kursi PDI-P ditambah jumlah kursi dari partai nasionalis lain (PKP, PNI
Fron Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai IPKI dan PBTI) dan partai
Kristen (PDKB) juga sekitar 169. Perhitungan ini mengabaikan
kemungkinan tak bergabungnya PDI Budi Hardjono dan TNI dengan
PDI-P. Sementara Partai Golkar yang kemungkinan didukung TNI, PDI
184 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
ngejar jabatan itu, tetapi tidak menolak ketika
ditawari, sebagaimana hadis yang dikutip oleh KH.
Abdullah Faqih, kiai asal Langitan, Tuban, Jawa
Timur yang selalu menjadi rujukannya, bahwa
seseorang dilarang mengejar jabatan. Tetapi, jika
amanah itu datang, maka jabatan itu harus dipikul.34
Kesediaan dan kesiapan Gus Dur untuk me-
nerima pencalonan oleh Amien Rais sebagai presiden,
setelah sedikitnya ada tiga kali pertemuan yang
dilakukan antara tokoh-tokoh Poros Tengah dengan
kiai NU, masing-masing di Pesantren Langitan
JawaTimur, di rumah Abdurrahman Wahid sendiri
dan di Buntet Jawa Barat.35 Bahkan KH. Yusuf
Hasyim, pamannya sekaligus pengasuh Pondok
Pesantren Tebuireng, juga ikut meyakinkannya agar
dan PDR akan memperoleh suara di bawah jumlah dua kubu ini. Jadi,
yang akan bersaing ketat adalah kubu Fraksi Reformasi dan kubu Fraksi
PDI-P. Kemungkinan yang akan menang adalah Gus Dur, karena di
antara anggota MPR dari Partai Golkar dan PDI-P ada orang-orang NU
yang jumlahnya signifikan yang bisa memberikan suaranya untuk Gus
Dur, terutama jika voting dilakukan secara tertutup. Lihat Saiful Mujani,
“Fraksi reformasi”, dalam Ahmad Basyaib dan Hamid Abidin (ed.),
Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu
’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h.
324-325. Lihat pula Salahuddin Wahid, Membaca Peluang “Poros
Tengah” dalam Ahmad Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa
Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99
Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 333-
335. 34 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-
Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2000), Cet. Ke-1, h. 60. 35 Muhammad Najib, Ijtihad Poros Tengah dan Dinamika Partai
Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 49.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 185
bersedia menerima pencalonan itu. Kesediaanya itu
pertama kali ia sampaikan dalam acara yang digelar
oleh BM PAN di Hotel Arya Duta. Kemudian,
diulanginya dengan bahasa yang lebih lugas ketika
memberi sambutan pada acara tasyakuran di
rumahnya di Ciganjur dengan ungkapan “Pencalon-
an Mega saja saya dukung, apalagi pencalonan diri
saya sendiri.36
Berangkat dari penerimaan Gus Dur atas
tawaran itu, maka persoalan lain yang perlu
diperjuangkan adalah masalah mekanisme pemilihan
presiden. Elite Poros Tengah, sebagaimana politisi
Partai Golkar, memandang bahwa pemilihan
Presiden Indonesia harus mengacu pada Pasal 6 UUD
1945, yaitu jika Megawati dari PDI-P yang me-
menangi pemilu 1999 ingin memimpin pemerintahan,
paling tidak ia harus memperoleh suara 50 persen
plus satu di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
36 Ibid, h. 42-44. Dalam sejarah hubungan NU dan Muhammadiyah,
belum pernah ada dukungan yang begitu besar dari “Muhammadiyah”
kepada “Nahdlatul Ulama” atau sebaliknya. Oleh karena itu, keberanian
Amien Rais, ketua umum PAN dan ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah untuk menjagokan Abdurrahman Wahid menjadi calon
presiden merupakan catatan penting dalam sejarah politik Islam di
Indonesia. Implikasi positifnya adalah digelarnya acara “pengajian
bersama” yang diselenggarakan di Kantor PP Muhammadiyah, tanggal
26 September 1999. Pada kesempatan itu, Amien Rais menegaskan
kembali dukungannya kepada Abdurrahman Wahid sebagai calon
presiden dari Poros Tengah. Lihat Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” atau
“NU Dibodohi”?, Jejak langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah
Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, Cet. Ke-
1, h.161-162.
186 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Sebaliknya, kaum nasionalis meyakini bahwa capres
mereka telah berhak memimpin pemerintahan setelah
pemilu, karena berdasar pada logika demokrasi yang
paling mendasar, bahwa kekuasaan diberikan kepada
partai pemenang pemilu.37 Oleh karena itu, ketika
memasuki Sidang Umum MPR, yang dimulai tanggal
1 Oktober 1999, lobi-lobi antar partai semakin intensif
mewarnai sidang itu, sehingga pada rapat paripurna
pertama melalui voting, Poros Tengah berhasil
mengalahkan PDI-P dan PKB dalam masalah jumlah
dan jenis fraksi MPR serta komposisi MPR.38
Selanjutnya, dalam rapat paripurna kedua untuk
menetapkan komposisi pimpinan MPR yang
dilakukan melalui voting, koalisi PDI-P dan PKB lagi-
lagi harus menderita kekalahan.39 Poros Tengah yang
menjagokan Amien Rais, memperoleh 305 suara,
sedangkan Matori Abdul Djalil dari kubu PDI-P dan
PKB, memperoleh 279 suara.40 Menurut Amien Rais,
keberhasilannya untuk naik menjadi ketua MPR tidak
lepas dari restu Abdurrahman Wahid, yang diakui
sebagai “Saudara Tua”.41 Terpilihnya Amien Rais
37 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 291-292. 38 Muhammad Najib, Ijtihad Politik Poros Tengah dan Dinamika
Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 49. 39 Ibid, h. 54. 40 Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, (Jakarta: Parenial Press,
1999), h. 107. 41 Dalam pidato setelah terpilih sebagai ketua MPR, Amien Rais
mengatakan, “Khusus saya mengucapkan terima kasih yang tulus dan
ikhlas kepada saudara tua saya, my senior brother, yaitu KH.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 187
juga mendapatkan dukungan dari Rais ‘Am PBNU,
KH. M. Ilyas Ruhyat, dengan menyatakan “Terpilih-
nya Amien Rais menunjukkan bahwa demokrasi
mulai terwujud”. Oleh karena itu, ia mengharapkan
berbagai kalangan agar mendukung langkah-langkah
Amien Rais berikutnya.42
Dalam pada itu, pada pemilihan ketua DPR,
muncul nama Akbar Tanjung dan melalui voting, ia
terpilih sebagai ketua DPR dengan memperoleh 411
suara dari 491 suara pemilih.43 Besarnya peluang
Akbar Tanjung untuk terpilih menjadi ketua DPR,
sebagaimana disampaikan oleh AM. Fatwa dari PAN
dan Hamzah Haz dari PPP, juga tidak terlepas dari
dukungan Poros Tengah.44 Dengan demikian, PDI-P
setelah mengalami kekalahan tiga kali melalui voting
di MPR, khususnya dalam memperebutkan kursi
ketua MPR, membuktikan bahwa koalisi beberapa
partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah
plus Partai Golkar sangat solid dan efektif.45 Bahkan
Abdurrahman Wahid”. Amien mengakui,”Sesungguhnya, mula-mula
menurut rekayasa manusia dan keinginan kami sebagai manusia yang
duduk di sini bukan Amien Rais, tapi KH. Abdurrahman Wahid. Tetapi
ternyata beliau yang selalu kontak dengan isyarat langit mengatakan,
“Mas Amien, insya Allah anda saja yang sekarang ke sana (Ketua
MPR), mudah-mudahan menjadi kenyataan. Lihat Kompas (Jakarta), 5
Oktober 1999, h. 1. 42 Muhammad Nadjib, Ijtihad Politik Poros Tengah dan Dinamika
Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 57. 43 Ibid, h. 61. 44 Ibid, h. 57. 45 Lobi-lobi politik selama berlangsungnya Sidang Umum MPR
1999, khususnya antara kekuatan politik Islam plus Partai Golkar dapat
188 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
tampilnya Amien Rais sebagai Ketua MPR, semakin
melapangkan jalan bagi Abdurrahman Wahid untuk
menjadi presiden.
Sebaliknya, kekalahan demi kekalahan yang
dialami oleh PDI-P dan PKB, menyebabkan partai
terakhir goyah untuk meneruskan aliansinya dengan
partai pertama. Dalam posisi yang dilematis, PKB
akhirnya berpaling kepada KH. Abdurrahman
Wahid,46 yang berarti dukungan terhadap Poros
Tengah juga semakin kuat, sehingga menimbulkan
kekhawatiran dan ancaman bagi kubu PDI-P. Oleh
karena itu, untuk menghadang laju KH.
Abdurrahman Wahid, beredar informasi tentang
penetapan syarat kesehatan jasmani bagi calon
presiden, suatu realitas yang mendorong Poros
Tengah segera memiliki calon alternatif. Pilihan yang
muncul jatuh kepada Nurcholis Madjid, yang
meskipun tidak dicalonkan oleh salah satu fraksi di
MPR,47 tetapi, dimungkinkan oleh tata tertib dengan
terjalin dengan baik berkat adanya jaringan yang bertumpu pada basis-
basis organisasi di luar institusi kepartaian. Koneksi antaralumni HMI,
PMII, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memegang peranan
penting. Lihat Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto,
(Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 292. 46 Dukungan PKB secara resmi disampaikan dalam jumpa pers di
ruang Komisi III, gedung MPR. Hadir dalam jumpa pers itu, ketua PKB
Alwi Shihab dan Khofifah Indar Parawansa, Sekjen PKB, Muhaimin
Iskandar, ketua Fraksi PKB MPR, Yusuf Muhammad dan Ali Masykur
Musa. Lihat Kompas (Jakarta), 9 Oktober 1999, h. 3. 47 Muhammad Nadjib, Ijtihad Politik Poros Tengan dan Dinamika
Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 66.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 189
cara mendapatkan dukungan minimal 70 orang
anggota MPR. Namun, wacana ini tidak sempat
menguat, menyusul pernyataan Nurcholis Madjid,
bahwa ia baru akan maju, jika Abdurrahman Wahid
memintanya.
Ketika membacakan laporan pertanggung-
jawabannya sebagai presiden selama 512 hari dan
kemudian ditolak oleh MPR melalui pemungutan
suara, dengan perbandingan 355 suara menolak dan
322 suara menerima, 9 suara abstain dan 4 suara tidak
sah,48 Habibie secara ksatria dan sportif menarik diri
dari pencalonannya sebagai presiden.49 Dengan
demikian, pengunduran dirinya secara otomatis
melapangkan jalan bagi kubu PDI-P dan Poros
Tengah untuk memperebutkan kursi presiden.
Menjelang sidang paripurna MPR dengan
agenda pemilihan presiden, secara tiba-tiba Fraksi
Bulan Bintang, memunculkan Yusril Ihza Mahendra
sebagai calon presiden. Inisiatif itu dilakukan oleh
PBB untuk mengantisipasi jika KH. Abdurrahman
Wahid mengundurkan diri dan memberikan jalan
kepada Megawati untuk menjadi calon tunggal
48 Arief Mudatsir Mandan, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih
Gus Dur Menjadi Presiden, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000), h.
151-152. 49 Setelah jelas hasil voting itu, di kediamannya Habibie
menyempatkan diri untuk sujud syukur, dan menyatakan sebaik-baik
rencana manusia, masih lebih baik lagi rencana Tuhan. Lihat Suharsono,
Cemerlangnya Poros Tengah, (Jakarta: Parenial Press, 1999), h. 82.
190 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
presiden. Namun, untungnya sebelum proses
pemilihan presiden berlangsung, Yusril mengundur-
kan diri dan menyatakan dukungan kepada KH.
Abdurrahman Wahid. Dengan demikian, hanya ada
dua calon presiden. Megawati Soekarnoputri dan KH.
Abdurrahman Wahid. Pemilihan dilaksanakan pada
20 Oktober 1999, melalui voting tertutup dan dalam
penghitungan suara yang berlangsung dalam suasana
tegang, terjadi saling kejar, tetapi, akhirnya KH.
Abdurrahman memperoleh 373 suara, Megawati
Soekarnoputri 313 suara, 9 suara abstain dan 4 suara
dinyatakan tidak sah.50 Dengan demikian, KH.
Abdurrahman Wahid, yang lahir pada tanggal 4
Sya’ban/7 September 1940 di Denanyar, Jombang,
Jawa Timur terpilih sebagai presiden keempat
menggantikan Prof. Dr. Bacharuddin Yusuf Habibie.
Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ibunya,
Solichah,51 yang pernah menjadi salah satu pimpinan
50 Arief Mudatsir Mandan, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih
Gus Dur Menjadi Presiden, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000), h.
158-159. 51 Ia dalam usia 14 tahun menikah dengan kiai Wahid Hasyim yang
berusia dua puluh enam tahun. Tetapi, pada usia 38 tahun, Kiai Wahid
Hasyim wafat dalam suatu kecelakaan mobil yang terjadi antara Cimahi
dan Bandung. Dengan begitu, Solichah yang berusia 29 tahun
mengambil alih fungsi suaminya sebagai ibu dan kepala keluarga dari
keenam orang anaknya yang masih kecil dan Gus Dur saat itu baru
berusia 12 tahun. Berkat ketekunan dan keuletannya dalam berusaha
serta berkat belaian tangan dan kasihnya, keenam putra putrinya
akhirnya tumbuh dewasa bahkan putra pertamanya, KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) melalui voting tertutup di MPR pada tanggal 20
Oktober tahun 1999 terpilih dan diambil sumpahnya, sebagai orang
nomor satu, sebagai Presiden Keempat Negara Republik Indonesia.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 191
puncak PP Muslimat NU selama puluhan tahun
adalah putri Kiai Bisri Syansuri, pendiri pesantren
Denanyar, Jombang52 dan pernah menjadi Rais ‘Am
NU tahun 1972-1980, masa Orde Baru, era
pemerintahan Presiden Soeharto. Sedangkan ayah-
nya, kiai A. Wahid Hasyim yang pernah menjadi
Menteri Agama pada era pemerintahan Soekarno,
sebagaimana kakeknya Kiai Hasyim Asy’ari adalah
orang yang sangat dihormati oleh masyarakat
menengah kota, karena kedekatannya dengan
gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan
revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir
Perang Dunia II. Oleh karena itu, kedua orang ini
secara resmi dikenang sebagai pahlawan nasional.53
52 Ada empat pesantren yang terbesar dari puluhan pesantren yang
bertebaran di Jombang dan menorehkan peran penting dalam sejarah
NU. Lokasinya seolah membentengi pusat Kota Jombang. Sebelah utara
Pesantren Tambak Beras (Bahrul Ulum), sebelah selatan Pesantren
Tebuireng, sebelah timur Pesantren Rejoso (Darul Ulum) dan sebelah
barat Pesantren Denanyar (Mambaul Ma’arif). Selain itu, selama lebih
dari setengah abad, NU dipimpin oleh tokoh asal pesantren-pesantren
Jombang tersebut. KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng) menjadi Rais Akbar
NU sejak berdiri tahun 1926 sampai meninggal tahun 1947. Diteruskan
oleh KH. Wahab Hasbullah (Tambak Beras), saudara mindo (sepupu dua
kali) KH. Hasyim Asy’ari, sebagai Rais ‘Am Syuriah tahun 1947-1972
dan disambung oleh KH. Bisri Syansuri (Denanyar), adik ipar KH.
Wahab Hasbullah dan besan KH. Hasyim Asy’ari, tahun 1972-1980.
Empat tahun setelah itu, KH. Abdurrahman Wahid (cucu KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri) menjadi Ketua Umum Tanfidziyah
PBNU tahun 1984-1999. Jadi, baru tujuh tahun terakhir, posisi tertinggi
Syuriah dan Tanfidziyah tidak diduduki oleh orang Jombang. 53 Dari garis ayahnya, ia keturunan ulama terkenal. Kakeknya Kiai
Hasyim Asy’ari (lahir pada bulan Pebruari 1871 di Jombang dan
meninggal pada bulan Juli 1947 di Jombang) adalah salah seorang
pendiri dan Rais ‘Am sejak organisasi kemasyarakatan Nahdlatul
192 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Nama mereka sebagaimana juga nama pahlawan-
pahlawan nasional lainnya, diabadikan sebagai
nama-nama jalan di Jakarta Pusat.
Kemenangan Poros Tengah melalui KH.
Abdurrahman Wahid disambut oleh para pen-
dukungnya di dalam gedung MPR dengan Shalawat
Badar, lagu “kebangsaan NU”, dan dengan
mengangkat tangan Megawati Soekarnoputri, KH.
Abdurrahman Wahid berteriak “merdeka”. Ia me-
nyampaikan terima kasih kepadanya dan me-
nyerukan agar Megawati Soekarnoputri serta para
pendukungnya dilindungi.54 Sebaliknya, para pen-
dukung PDI-P justru bereaksi marah dengan
melakukan demonstrasi-demonstrasi emosional di
Ulama (NU) didirikan pada tahun 1926 sampai 1947, pendiri Pondok
Pesantren Tebuireng yang sangat terkenal, seorang guru yang banyak
memberi inspirasi sekaligus sebagai seorang terpelajar dan seorang
nasionalis yang teguh dalam pendirian, sehingga Pemerintah Republik
Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 294
tanggal 17 Nopember 1964, mengangkatnya sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional. Bahkan bila ditarik ke atas lagi, keturunan
kakeknya akan sampai pada Brawijaya V, raja terakhir yang berkuasa
pada Kerajaan Majapahit abad XV. Jadi, KH. Abdurrahman Wahid
adalah seorang ulama keturunan darah biru. Lihat H. Aboe Bakar Atjeh,
Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta
Panitia Buku Peringatan al-Marhūm KH.A. Wahid Hasyim, 1957), h.
958. Heru Soekardi, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Pusat Penelitian
Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979/1980), 121.
Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta:
Erlangga, 2004), h. 6 dan 47. Greg Barton, Biografi Gus Dur,
(Yogyakarta: LKiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 25-27. 54Arief Mudatsir Mandan, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih Gus
Dur Menjadi Presiden, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000), h. 159.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 193
beberapa kota, tetapi kemudian mereda setelah
Megawati Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden
mendampingi Presiden KH. Abdurrahman Wahid.55
Pesta demokrasi yang berlangsung sejak awal
pelaksanaan pemilu dan berakhir dengan terpilihnya
KH. Abdurrahman Wahid melalui voting tertutup di
Gedung MPR/DPR dinilai oleh sejumlah lembaga
pemantau pemilu independen sudah jauh lebih baik
dan memenuhi syarat-syarat sebagai “free and fair
election”, dibanding dengan pemilu-pemilu masa
Orde Baru. Namun, tidak dapat dipungkiri masih
banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran baik
sebelum maupun sesudah pemilu berlangsung.56
Blair King, pelaksana program National Democratic
Institute (NDI), lembaga pendorong demokrasi yang
bermarkas di Wasingthon D.C., mengatakan
“Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu yang
serba baru, baik sistem dan peserta pemilu maupun
penyelenggaranya, dan secara relatif cukup baik
dibandingkan dengan penyelenggaraan pemilu
55 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 670. 56 Dalam pemantauan KIPP ada lima pelanggaran yang paling
menonjol dalam pemilu kali ini, yaitu Tempat Pemungutan Suara (TPS)
tidak netral (misalnya di gedung pemerintah) sebanyak 13.785 kasus
(13,62 %), peralatan TPS tidak lengkap sebanyak 13.696 kasus (13,53
%), pembukaan TPS tidak tepat waktu 10.719 kasus (10,59 %), kotak
suara tidak kosong 8.310 kasus (8,21 %) dan pemilih ganda 8.282 kasus
(8,18 %). Lihat Pax Benedanto (et.al), Pemilihan Umum 1999,
Demokrasi atau Rebutan Kursi?, (Jakarta: LSPP, 1999), h. 32.
194 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
transisional di negara lain, misalnya di Thailand”.57
Bahkan pada pelaksanaan pemilu tahun 2004,58
demokrasi telah mengakar dengan cara mengesan-
kan. Di mana-mana dan di lokakarya berkembang
perbincangan yang sangat menghangatkan, sehingga
pantaslah bila karena prestasinya itu, kemudian
Indonesia menerima ‘Menerima Medali Demokrasi.’59
57 Pax Benedanto, (et. al), Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau
Rebutan Kursi?, (Jakarta: LSPP, 1999), h. 30. 58 Pemilu tahun 2004 didasarkan pada Undang-Undang Pemilu No.
12 tahun 2003 yang menampilkan perubahan dibandingkan aturan
sebelumnya. Undang-Undang itu menyatakan bahwa pemilu 2004 akan
memilih anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan
empat anggota Dewan Perwakilan Daerah dari masing-masing propinsi
melalui sistem pemilu yang disebut dengan sistem proporsional dengan
daftar calon terbuka. Oleh karena itu, sesuai jadwal, pada bulan April
2004 diselenggarakan pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat
Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tingkat Propinsi dan pada
tingkat Kota atau Kabupaten dan instansi baru Dewan Perwakilan
Daerah di Pusat. Pada bulan Juli 2004 diselenggarakan pemilihan
presiden (pilpres) putaran pertama dan pada bulan September 2004
diselenggarakan pemilihan presiden (pilpres) putaran kedua. Pada
pilpres putaran pertama terdapat lima pasangan calon presiden dan wakil
presiden, yaitu Jendral (purn.) Wiranto dari Partai Golkar dengan
Salahuddin Wahid dari NU, Megawati Soekarnoputri dari PDIP dengan
Hasyim Muzadi dari NU, Amien Rais dari PAN dengan Siswono Yudo
Husodo yang dulu dari Golkar, Susilo Bambang Yudoyono dari Partai
Demokrat dengan Yusuf Kalla dari Partai Golkar dan NU, dan Hamzah
Haz dari PPP dengan Agum Gumelar dari TNI. Sedangkan pada pilpres
putaran kedua terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden,
yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat dengan Yusuf
Kalla dari Partai Golkar dan NU serta Megawati Soekarnoputri dari
PDIP dengan Hasyim Muzadi dari NU. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005),
Cet. Ke-1, h. 679-683. Lihat pula Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik
Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 309. 59 RI Terima Medali Demokrasi, Republika, (Jakarta), 13 Nopember
2007, h. 1.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 195
Azyumardi Azra menandaskan bahwa sejauh ini
belum ada model ideal demokrasi di negara muslim.
Yang sering disebut adalah Turki. Tetapi, negara ini
menganut demokrasi sekuler yang cenderung
bermusuhan dengan agama. Sebaliknya “Demokrasi
Indonesia” tidak bermusuhan terhadap agama; tetapi
pada saat yang sama, Indonesia bukanlah negara
agama. Oleh karena itu, kasus Indonesia bisa menjadi
model alternatif bagi kompatibilitas Islam dan
demokrasi.60 Islam di Indonesia, demikian Robert W.
Hefner, (antropolog Boston University) berkata,
punya modal sosial yang bisa menyumbang
demokratisasi.61 Oleh karena itu, tepat jika Jimmy
Carter, mantan Pesiden Amerika Serikat, kemudian
lanjut mencatat bahwa:
“Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Mayoritas penduduk ketiga negara itu berasal dari agama yang berbeda. India dengan penduduk 1,069 milyar, 81 % beragama Hindu (865 jutaan), Amerika berpenduduk 290 juta, 56 % beragama Protestan (162 jutaan) dan Indonesia berpenduduk 220 juta, 88 % beragama Islam (193 jutaan). Jadi fakta ini meneguhkan tesis bahwa demokrasi bisa diserap masyarakat dengan berbagai latar belakang agama. Tergantung
60 Harmonisasi Islam dan Demokrasi, Gatra Edisi Khusus, (Jakarta),
27 Nopember 2004, h. 12. 61 Ibid, h. 13.
196 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
bagaimana si pemeluk agama memaknai doktrin agamanya dalam merespon demokrasi.”62
Terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid sebagai
presiden keempat pada negara berpenduduk
mayoritas muslim dan memiliki legitimasi yang
kuat,63 merupakan babak baru dalam sejarah
perpolitikan di Indonesia. Keberadaan dan posisinya
sebagai orang nomor satu, telah mengangkat citra
kelompok Islam santri yang selama ini diletakkan
pada posisi marjinal dan membuktikan bahwa
kelompok santri dapat tampil sejajar dengan
kelompok nasionalis.64 Selama 21 bulan
62 Ibid, h. 12. Lihat pula Azyumardi Azra, “Islam dan Politik Luar
Negeri”, Republika, (Jakarta), 7 Desember 2006, h. 12. 63 Legitimasi itu ditandai oleh sedikitnya empat faktor. Pertama,
secara materiil, pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid merupakan hasil
pemilu 1999, yang cukup demokratis. Kedua, legitimasi
pemerintahannya diperoleh dari dimensi-dimensi simbolisnya sebagai
politisi yang memiliki kharisma luar biasa di massa pendukungnya.
Ketiga, secara psikopolitik, pemerintahannya sebagai pemerintahan
baru, bersentuhan dengan ekspektasi publik yang tengah meluap-luap
dan menginginkan perubahan. Ia seorang tokoh yang dipandang belum
tercemar oleh noda Orde Baru. Keempat, pemerintahannya menjanjikan
perbaikan mendasar terhadap kondisi materiil masyarakat yang diterpa
kemiskinan akibat krisis moneter. Lihat Anas Urbaningrum, “Legitimasi
Gus Dur”, Panji Masyarakat, IV, 02 (April, 2000), h. 27. 64 Selama Orde Baru, pada masa kekuasaan Soeharto warga NU
(simbol komunitas kaum santri) termarjinalkan. Tetapi dengan tampilnya
Gus Dur sebagai presiden jelas telah menaikkan popularitas dan citra
NU dalam kontelasi perpolitikan nasional. Oleh karena itu, pantas jika
warga NU di berbagai daerah di seluruh Indonesia, kemudian
mengekspresikan kegembiraannya dengan berbagai hajatan dan
tasyakkuran. Bahkan sebuah perusahaan bus antar kota di Jawa Timur
membebaskan para penumpangnya sehari penuh naik bus tersebut tanpa
bayar dari dan ke berbagai jurusan, baik bus antar kota di wilayah Jawa
Timur maupun antarprovinsi. Lihat Halaqah, P3M, Edisi XI/2000, h. 5.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 197
pemerintahannya, ia telah mencatat berbagai
keberhasilan. Pertama, melakukan reposisi terhadap
peran sosial-politik TNI. Kedua, menumbuhkan
kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia. Ketiga,
melanjutkan diberikannya kebebasan pers, bahkan
akhirnya sampai kebablasan. Keempat, adalah
demokratisasi dan penegakan hak-hak sipil.65 M.C.
Ricklefs lebih lanjut menambahkan, bahwa pada
masanya, polisi dipisahkan dari militer, sehingga
ABRI tidak lagi menjadi entitas tunggal, bahkan
pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi pada
masa Soeharto dikejar dengan semangat lebih
tinggi.66
65 Keberhasilan lainnya, bahwa pemerintah telah membuat tiga
pedoman dalam proses penentuan dan pemilihan Dirut Pertamina
sebagai model penentuan dan pemilihan dirut BUMN lainnya. Tiga
pedoman itu adalah sang calon harus mempunyai konsep mengenai
pengembangan Pertamina ke depan, harus bersikap transparan dan harus
jujur dan hidup sederhanan. Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut
Sejarah, Catatan-Catatan pendek Salahuddin Wahid, (Jakrta: Pustaka
Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 223 dan 255. 66 Kekuatan militer secara internal terpecah-belah dan beberapa
perwira diselidiki atas tuduhan pelanggaran HAM dan korupsi. Soeharto
berusaha menghindar introgasi dengan alasan sakit, tetapi penyelidik
mulai mendapatkan gambaran yang jelas tentang dana milyaran yang
dipegang oleh yayasan yang diketuai Soeharto, proses desentralisasi
yang termasuk di dalamnya penyerahan sumberdaya ekonomi dan politik
mulai dijalankan, tetapi peluang korupsi dan penyimpangan bertambah
luas. Jadi tantangan yang paling mendasar bagi bangsa ini adalah
memulihkan ekonomi, memperbaiki kondisi sosial masyarakat dan
memulihkan kembali negara hukum dengan merombak hampir seluruh
sistem hukum. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-
2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 673.
198 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Namun demikian, pemerintahan KH.
Abdurrahman Wahid banyak pula kegagalannya,
sehingga ia dinilai tidak mampu mengemban tugas
sebagai presiden. Pemerintahannya tidak berjalan
baik dan tidak berbuat banyak dalam menangani
masalah sosial dan ekonomi, yang ditandai dengan
semakin meluasnya kesulitan ekonomi dan terus
berlanjutnya kerusuhan antaretnis.67 Bahkan kinerja
pemerintahan yang buruk itu menjadi semakin
buruk, ketika pemerintah seringkali membuat
kebijakan yang bertentangan dan melanggar Undang-
Undang, Tap MPR dan GBHN serta mengeluarkan
pernyataan yang kontroversial.68
67 Di Maluku terjadi pembunuhan antara umat Islam dan Kristen,
lebih kurang seribu orang tewas sepanjang tahun 1999. Di Jakarta,
sekitar 300.000 orang berdemonstrasi menanggapi peristiwa itu dengan
menuntut adanya jihad terhadap umat Kristen, sehingga muncul
organisasi Laskar Jihad tahun 2000. Di Lombok, umat Kristen diserang
dan harus dievakuasi, bahkan di Yogyakarta terjadi kerusuhan anti
Kristen secara kecil-kecilan. Di Aceh terjadi kekerasan antara kaum
separatis dan aparat keamanan bahkan konflik bersenjata pun terus
berkobar. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 671-672. 68 Pernyataan KH. Abdurrahman Wahid yang dinilai kontroversial
dan melanggar Undang-Undang dan lain sebagainya itu, misalnya bahwa
pemicu dari kerusuhan di Maluku, karena tindakan menganakemaskan
ummat Islam oleh pemda, keputusannya untuk menaikkan gaji Presiden
dan/atau Wakil Presiden, menteri dan para pejabat tinggi lainnya dalam
jumlah yang fantastis dan menaikkan tunjangan pejabat struktural
sampai ribuan persen, keputusan perimbangan keuangan antara
pemerintah daerah 75 persen dan pemerintah pusat 25 persen,
keinginannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel,
pemberhentian beberapa menteri (Yusuf Kalla dari Menteri
Perindustrian dan Perdagangan, Laksamana Sukardi dari Menteri Negara
Pembinaan BUMN dan Hamzah Haz dari Menko Kesra) karena alasan
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 199
Kebijakan yang dipandang melanggar Undang-
Undang, Tap MPR dan GBHN serta pernyataan yang
kontroversial ini, kemudian dijadikan alasan DPR
untuk mempertimbangkan kembali mandat yang
sudah diberikan oleh MPR kepadanya, pada Sidang
Tahunan, Agustus 2000, bahkan realitas itu
diperparah lagi oleh adanya dugaan penyelewengan
dana Yanatera Bulog dan dugaan penyalahgunaan
dana hibah dari Sultan Brunei darussalam yang
melibatkan Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Greg
Barton dalam kaitannya dengan skandal ini men-
jelaskan, bahwa pemecatan Laksamana Sukardi,
empat juta dolar yang diambil dari Bulog oleh
Suwondo (yang kemudian dikenal dengan skandal
Buloggate), dan kemudian pemberian dua juta dolar
dari Sultan Brunei (juga dijuluki Bruneigate)
sangatlah merusak reputasi Gus Dur.69 Bahkan
KKN secara tiba-tiba, pengusulan pencabutan Tap MPR XXV/1966
tentang larangan ajaran komunisme, memerintahkan penangguhan
hukum tiga konglomerat, menghentikan Kapolri Rusdihardjo dan
mengangkat Kapolri tanpa persetujuan DPR dan lain sebagainya
dianggap telah melanggar TAP MPR. Lihat Media Indonesia, 22
Nopember 2000. 69 Diketahui dana Yanatera Bulog ini selain melibatkan Suwondo
(seorang keturunan Cina yang dikenal sebagai tukang pijet Gus Dur),
juga melibatkan orang dekat Gus Dur lainnya yaitu Siti Farikha
(pengusaha dari Semarang), Aris Junaidi (pengurus GP Ansor) dan Haji
Masnuh, bahkan melibatkan Wakil Kepala Bulog, Ir. Sapuan, yang
berperan mencairkan dana itu. Pada akhirnya sebagian dana itu
dikembalikan kepada negara, dan hanya Suwondo yang diproses secara
hokum. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS,
2003), Cet. Ke-1, h. 401-402. Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan
Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 214.
200 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
menurut Bahtiar Effendy, perkembangan kedua
kasus terakhir itu membuat kepemimpinan KH.
Abdurrahman Wahid tidak efektif, yang disebabkan
oleh merosotnya tingkat kepercayaan sebagian besar
anggota parlemen dan masyarakat terhadap presiden.
Implikasinya, kemungkinan lepasnya kursi ke-
presidenan.70 Buktinya, Ketua DPR, Akbar Tandjung,
berpendapat bahwa kedua kasus itu dapat menjadi
pintu masuk untuk menggiring KH. Abdurrahman
Wahid ke Sidang Istimewa (SI) MPR.71 Sebaliknya,
Salahuddin Wahid berpendapat bahwa soal Pansus
Bruneigate dan Buloggate hanyalah upaya mencari-
cari kesalahan KH. Abdurrahman Wahid, sementara,
banyak kasus yang lebih besar seperti kasus BLBI
(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang jumlahnya
sampai trilyunan rupiah tidak mereka perdulikan.72
Terlepas dari polemik itu, DPR akhirnya
membentuk panitia khusus (pansus) untuk
menyelidiki dua kasus skandal itu, dan hasilnya
kemudian disidangkan secara paripurna di DPR RI
pada akhir Januari 2001, yang kemudian menghasil-
70 Bahtiar Effendy, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya
Hubungan NU, Presiden, dan Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), Cet.
Ke-1, h. 85. 71 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” atau “NU Dibodohi”?, Jejak
langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma
Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), Cet. Ke-1, h.195. 72 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-
Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2000), Cet. Ke-1, h. 256-257.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 201
kan Memorandum I, yang isinya adalah meminta
penjelasan dari KH. Abdurrahman Wahid tentang
dugaan penyalahgunaan dana non budgetter Bulog
dan hibah dari Sultan Brunei.73 Sebagai respon atas
permintaan itu, maka KH. Abdurrahman Wahid
memberikan penjelasannya di hadapan Sidang
Paripurna DPR pada tanggal 30 April 2001. Kecuali
para anggota Fraksi PKB dan Fraksi PDKB, para
anggota fraksi partai lainnya secara umum tidak
merasa puas, sehingga DPR mengeluarkan
Memorandum II, yang intinya semakin luas, karena
bukan hanya meminta pertanggungjawaban KH.
Abdurrahman Wahid atas dana non budgeter Bulog
dan hibah Sultan Brunei, melainkan juga menjangkau
soal kinerja Presiden.
Sebagai tanggapan terhadap perkembangan yang
semakin “tidak sehat” itu, massa populis pendukung
fanatik KH. Abdurrahman Wahid menjadi sangat
emosional dan marah. Mereka berdemonstrasi,
berunjuk rasa damai, berdo’a bersama (istighatsah)74
73 Dalam kaitan ini, Gus Dur juga dituduh tetap melanggengkan
praktek KKN yang antara lain ditunjukkan oleh keterlibatan adik
kandungnya Hasyim Wahid. Semua itu dianggap oleh Gus Dur sebagai
upaya menjelek-jelekkan pemerintahan dan dirinya. Oleh karena itu,
timbullah reaksi berupa demonstrasi dan “pendudukan” massa
pendukung Gus Dur yang tergabung dalam Banser NU. Laode Ida, NU
Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004),
h. 214. 74 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” atau “NU Dibodohi”?, Jejak
langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma
Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, Cet. Ke-1, h.197.
202 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dan bahkan melakukan pengrusakan terhadap
gedung Partai Golkar dan fasilitas Muhammadiyah di
Jawa Timur, suatu realita yang oleh para elite NU di
Jakarta dan Jawa Timur disikapi dengan menyatakan
bahwa mereka tidak bisa lagi mengendalikan
tindakan emosional pendukung Gus Dur.75
Sebaliknya, DPR tidak bergeming, diam seribu
bahasa dan menyatakan tetap tidak merasa puas
dengan jawaban KH. Abdurrahman Wahid, sehingga
melalui rapat paripurna pada akhir Mei 2001
menetapkan untuk melangsungkan Sidang Istimewa
(SI) MPR pada awal Agustus 2001, tetapi kemudian
dipercepat beberapa hari, yakni tanggal 21-26 Juli
2001.76 Pada Sidang Istimewa MPR antara tanggal
tersebut, KH. Abdurrahman Wahid melalui Tap MPR
No. III/MPR/2001, diberhentikan dari jabatannya
75 Ibid., h. 199. 76 Skenario awalnya, bahwa MPR bakal mengelar sidang tahunan
pada 1-10 Nopember 2001 untuk menghindari penilaian bahwa MPR,
sebagai lembaga tertinggi, hanya bersidang sekali dalam lima tahun,
sesuatu yang telah berjalan selama tiga dasawarsa. Seperti pengalaman
sidang tahunan Agustus 2000, pertemuan itu akan diwarnai oleh
berbagai laporan perkembangan (progress report) lembaga-lembaga
tinggi negara serta aneka putusan dan ketetapan penting MPR. Namun,
karena soal-soal teknis yang berguna bagi penyelesaian krisis menjadi
berantakan gara-gara tindakan-tindakan yang mengganggu kohesi
nasional, baik pada tingkat individu, atau daerah, maka Sidang Tahunan
dipercepat dari jadwal yang sudah diagendakan, bahkan substansinya
juga diubah menjadi Sidang Istimewa. Lihat Bahtiar Effendy, Gus Dur
dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan
Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), Cet. Ke-1, h. 83.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 203
dan mengangkat Megawati Soekarnoputri77 menjadi
Presiden menggantikannya. Selanjutnya, melalui
voting tertutup Hamzah Haz memperoleh suara
terbanyak, sehingga MPR menetapkannya sebagai
Wakil Presiden78 mendampingi Megawati
Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia.
77 Di samping persoalan yang melilit Presiden, sebenarnya antara
Gus Dur dengan Megawati sebagai Wakil Presiden ada ketidakcocokan
dan mencapai puncaknya ketika Laksamana Sukardi diberhentikan dari
jabatannya sebagai Menteri Negara BUMN. Oleh karena itu,
mengusulkan Megawati untuk mundur sambil meniru langkah Hatta
adalah hal yang bersifat “jauh panggang dari api.” Menurut Bahtiar
Effendy ada perbedaan antara Megawati dengan Gus Dur yang tidak bisa
disamakan dengan perbedaan yang ada pada Soekarno dan Hatta.
Pertama, Hatta mundur lebih disebabkan oleh perbedaan mengenai arah
mana Indonesia ketika itu hendak ditujukan. Konflik yang ada pada
Megawati dan Abdurrahman Wahid dipicu oleh persoalan yang bersifat
politis, dengan mengganti sejumlah menteri dengan alasan yang tidak
jelas. Kedua, baik Megawati maupun Abdurrahman Wahid sebenarnya
lebih merupakan pemimpin yang bersifat “pencipta solidaritas”.
Karenanya, jika muncul konflik di antara keduanya, sulit diharapakan
salah satu di antara mereka akan mengalah, apalagi mundur. Ketiga,
tidak seperti Hatta, Megawati adalah seorang pimpinan partai politik
besar. Meskipun berkedudukan sebagai Wakil Presiden, ia adalah Ketua
Umum PDIP. Dengan posisi seperti itu, ia harus memainkan peran
ganda, yang seringkali tidak sinkron. Sebagai Wakil Presiden, bisa saja
ia mengalah atas kebijakan yang digariskan Presiden. Tetapi ketika
kebijakan itu dirasa keluar dari mandat yang diberikan oleh MPR,
Megawati akan memainkan posisi Ketua Umum PDIP melalui orang-
orangnya di parlemen. Dari perspektif inilah, Megawati menyatakan
bahwa memorandum merupakan hal yang konstitusional, dan SI adalah
sesuatu yang tak terelakkan harus dipahami.Lihat Bahtiar Effendy, Gus
Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya Hubungan NU, Presiden dan
Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), cet. Ke1, h. 87-89. 78 Pasal 8, Ayat 2, UUD 1945 yang diamandemen tertera rumusan
bahwa dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan
Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari
204 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Sebagai presiden kelima, Megawati melanjutkan
sisa waktu pemerintahan yang ditinggalkan oleh
presiden sebelumnya dan ia masih bisa berlaga dan
mencalonkan kembali sebagai presiden pada pemilu
berikutnya tahun 2004.79 Selama pemerintahannya,
Megawati harus menghadapi tantangan yang berat
sekali, mulai dari KKN, terorisme, desentralisasi dan
otonomi daerah. KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) merupakan semacam ‘pajak’ tidak resmi
atau pungutan liar (pungli) yang menghambat
pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga banyak
orang menilai bahwa pada masanya KKN malah
lebih buruk dibandingkan dengan di era Soeharto.80
Terorisme juga sangat mengganggu harapan
banyak orang. Baru beberapa bulan menjadi
Presiden, Megawati dikejutkan oleh serangan bom
dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Dalam hal ini terdapat tiga
calon Wakil Presiden yang mengemuka dan menjadi pembicaraan, yaitu
Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusril Ihza Mahendra mewakili daerah
dan Hamzah Haz mewakili partai. Tetapi dalam pemilihan yang
dilakukan lewat voting tertutup, Hamzah Haz terpilih menjadi Wakil
Presiden. Bisa jadi, terpilihnya Hamzah dari PPP dan atau unsur NU
sebagai kompromi, dan akomodasi bagi warga NU setelah
diberhentikannya KH. Abdurrahman Wahid dari kedudukannya sebagai
Presiden. Lihat Bahtiar Effendy, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal,
Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara, (Jakarta: Ushul Press,
2005), Cet. Ke1, h. 83. 79 Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 yang dimandemen terdapat
rumusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, hanya untuk satu kali dalam masa jabatan. 80 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 675.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 205
pesawat al-Qaedah di New York dan Washington,
tanggal 11 September 2001 yang menewaskan 3000
orang. Di Indonesia, kelompok yang bersimpati
dengan al-Qaedah dipimpin oleh bekas mujahidin
yang berpengalaman di Afghanistan turun ke jalan.
Mereka mencela dan mengecam rencana Amerika
dan sekutu-sekutunya untuk menyerang Afghanistan
yang saat itu masih diperintah oleh kelompok
Taliban. Bahkan di Indonesia sendiri sudah meng-
alami banyak kasus pengeboman sejak tahun 1970-
an,81 dan berdasarkan investigasi diduga pelakunya
81 Sejak tahun 1998 serangan pengeboman meningkat, misalnya 11
Desember 1998 bom di Plaza Atrium, Senen, Jakarta; 2 Januari 1999 di
Toserba Ramayana, Jakarta; 9 Pebruari 1999 di Plaza Hayam Wuruk,
Jakarta; 19 April 1999 di Masjid Istiqlal, Jakarta; 28 April dan 9 Mei
2000 di Gereja Kristen Protestan Indonesia dan Gereja Katholik, Medan;
Agustus 2000 di Kedutaan Besar Philipina, Jakarta; 13 September 2000
di Bursa Efek Jakarta yang mengorbankan 10 orang; pada malam Natal
Desember 2000, 38 bom ditempatkan di 11 kota di seluruh Indonesia,
yang menewaskan 19 orang; Januari 2001 bom di Pasar Minggu,
Jakarta; Maret 2001 di Rumah Sakit saint Carolus, Jakarta; 10 Mei 2001
di Yayasan kesejahteraan Mahasiswa Iskandar Muda, Jakarta, yang
menewaskan 3 orang; Juli 2001 di Gereja santa Anna, Jakarta; Agustus
dan September 2001 di Plaza Atrium, Senen, Jakarta; Juni 2002 di Hotel
Jayakarta, Jakarta; 1 Juli 2002 di Mal Graha Cijantung, Jakarta; Oktober
2002 di Bandung Supermal dan Istana Plaza, Bandung; 12 Oktober
2002, di Sari Club dan Paddy’s Bar, Kuta, Bali, yang menewaskan 202
orang dari 22 negara, kebanyakan turis muda. Di antara yang tewas, 88
orang warga Australia, dan 38 orang warga negara Indonesia, di samping
200 orang terluka; 5 Desember 2002, di Mal Ratu Indah, Makasar yang
menewaskan 3 orang; 27 April 2003 di Bandara Soekarno-Hatta; 5
Agustus 2003 di Hotel Marriott, Jakarta, yang menewaskan 13 orang, 12
orang di antaranya orang Indonesia dan melukai 74 orang dan pada 9
September terjadi ledakan di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 676-678.
206 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
merupakan suatu jaringan radikal/terorisme yang
berani menamakan diri Jamaah Islamiyah, karena
jaringan ini juga bertanggung jawab untuk bom-bom
yang terjadi pada malam natal 2000 dan beberapa
kasus lain yang pada saat terjadi tidak berhasil
diungkapkan oleh polisi. Mereka secara umum
bertujuan untuk mendirikan suatu negara Islam di
Asia Tenggara. Tetapi, tetap ada dugaan lain bahwa
oknum-oknum tertentu dalam militer telah memain-
kan kelompok-kelompok itu untuk kepentingan
sendiri, terutama untuk membuktikan bahwa
pengaruh militer atas urusan negara seharusnya
dikuatkan lagi.
Dalam pada itu, soal desentralisasi juga telah
membatasi pemerintah pusat untuk mengatasi
persoalan-persoalan. Kinerja pemerintahan daerah
sangat berbeda. Ada yang dipimpin oleh tokoh yang
berbakat, tetapi, ada juga yang kurang terampil dan
korup, bahkan kriminal. Selama tahun 2004, cukup
banyak anggota DPRD di seluruh Indonesia dituduh
melakukan korupsi, ditangkap oleh polisi dan diadili.
Jadi kasus-kasus itu membuktikan bahwa Indonesia
masih mengalami kesulitan dengan KKN, di samping
juga mengindikasikan bahwa dasar hukum negara
mulai menguat, suatu yang memberikan harapan
kepada banyak orang. Selain itu, di beberapa daerah,
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 207
terutama Aceh dan Irian Jaya/Papua,82 ada gerakan
yang ingin menambah otonomi, malah ingin
melepaskan diri dari Indonesia. Di Papua, pada bulan
Nopember 2001, seorang pemimpin gerakan ke-
merdekaan, Theys Eluay, dibunuh dan pembunuh-
nya, 7 anggota TNI dihukum penjara. Di Aceh, terjadi
konflik berdarah yang melibatkan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dan TNI/Polri, suatu konflik yang
menyebabkan keduanya dituduh melanggar hak
asasi manusia.
Meskipun demikian, ada beberapa kemajuan
yang dicapai oleh pemerintahan Megawati. Investasi
mulai mengalir baik dari luar maupun dari dalam
negeri. Tetapi, investasi itu belum dapat mengatasi
persoalan pengangguran dan kemiskinan. Berdasar-
kan informasi terakhir menunjukkan bahwa selama
1999-2000, persentase penduduk di bawah garis
kemiskinan turun dari 23 % menjadi 18 %, tetapi
mereka tetap terancam kalau ada syok ekonomi lagi.
Selain itu, kemajuan lain yang dicapai pemerintahan
Megawati adalah bahwa demokrasi telah mengakar
dengan cara yang mengesankan, yang ditandai
dengan terselenggaranya pemilu 2004, langsung,
jujur, bebas dan rahasia, sehingga menempatkan
Indonesia sebagai model yang dapat menjadi
82 Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Satya
Historika, 2001), h. 184-185.
208 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
alternatif bagi model Turki yang kian tidak menarik
bagi banyak kaum muslim.83
B. Bangkitnya Ragam Partai Politik Dalam Bingkai
Kekuasaan Era Reformasi
Sejalan dengan terjadinya krisis moneter yang
menimpa Indonesia pada tahun 1997 dan diikuti
dengan mundurnya Soeharto dari kursi kekuasaan-
nya pada bulan Mei 1998, yang ditandai dengan
peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Baharudin
Jusuf Habibie, maka dimulailah sejarah baru politik
Indonesia. Sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4,
B.J. Habibie mempunyai tugas, salah satunya adalah
melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) secepatnya
untuk membentuk pemerintahan yang memiliki
legitimasi. Untuk itu, konsep otonomi daerah
diperkenalkan, kesempatan mendirikan partai politik
yang akan ikut ambil bagian pada Pemilu 1999
dibuka dan paket Undang-Undang Politik dicabut.84
83 Harmonisasi Islam dan Demokrasi, Gatra Edisi Khusus, (Jakarta),
27 Nopember, 2004 , h. 12. 84 Pada masa Orde Baru Undang-Undang Politik yang restriktif dan
diskriminatif, yaitu (1). UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu, Anggota-
anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan diubah dengan UU No. 4
tahun 1975 jo UU No. 1 tahun 1980 jo No. 1 tahun 1985; (2). UU No. 16
tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD
diubah dengan UU No. 5 tahun 1975 jo UU No. 2 tahun 1985 jo No. 5
tahun 1985; (3). UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya diubah dengan UU No. 3 tahun 1985; (4). UU No. 8
tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan diganti dengan
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 209
Dengan demikian, sistem tiga partai yang dipaksakan
oleh rezim Soeharto dihapus dan karena itu, para
elite agama, elite masyarakat, elite pendidikan, elite
budayawan dan seniman, elite politik dan elite agama
ramai-ramai dan bersuka cita mendirikan partai,85
ada yang sekuler dan ada pula yang berasaskan
Islam. Khusus yang terakhir terjadi beda pendapat
tentang perlu tidaknya mendirikan partai Islam.
Kuntowijoyo, budayawan dan sejarawan dari
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berpendapat
bahwa pembentukan partai politik (parpol) Islam
adalah sebuah kesalahan fatal. Ada enam alasan
sosio-historis bagi pendapatnya, sebagai berikut:
Pertama, terhentinya mobilitas sosial, kalau kaum santri kembali berpolitik, sebaliknya kaum abangan mengalami mobilitas vertikal pasca 1965, karena yang terakhir tidak mempunyai tanggung jawab sosial dalam penyebaran agama, sehingga dana, perhatian dan tenaga dapat
Perundang-undangan Politik yang lebih demokratis, yaitu (1). UU No. 2
tahun 1999 tentang Partai Politik; (2). UU No. 3 tahun 1999 tentang
Pemilu, (3). UU No. 4 tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD. Lihat Muhammad Tohadi. Oase Kebangsaan,
(Jakarta: Lembaga Kajian Wacana Indonesia, 2000), h. 141-142. 85 Ketika terjadi “liberalisasi politik” dan “Euphoria Politik”, rakyat
mengekspresikan luapan politiknya dalam bentuk yang beragam. Bila
rakyat kelas bawah (grassroot) mengekspresikan luapan politiknya
dalam bentuk hura-hura, kekerasan massa, pengrusakan dan penjarahan
kolektif, maka rakyat kelas atas dalam berbagai macam profesi,
mengekspresikan luapan politiknya dengan melakukan gerakan-gerakan
dan aksi-aksi, membentuk kelompok oposisi, memperkuat peran LSM
dan mendirikan partai politik.
210 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dicurahkan untuk pembinaan SDM, sementara kaum santri yang terpinggirkan secara politik pada era 1970-1990 justru berhasil naik ke atas. Kedua, terbentuknya integrasi umat hasil konvergensi sosial yang terjadi selama era 1970-1990 justru akan berubah menjadi disintegrasi umat, dengan berdirinya parpol Islam aliran tradisionalis, modernis dan puritan, karena ketiganya akan lebih menonjolkan perbedaan (ciri khas) dari pada persamaan. Ketiga, umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat. Karena orientasi politik adalah kekuasaan, sedang kekuasaan dalam kaitannya dengan agama, tidak menjamin penyebaran agama, sebagaimana kekuasaan kaum muslimin di Andalusia dan India. Keempat, kekayaan agama akan menjadi miskin kalau putra-putri terbaik umat dijuruskan ke politik. Kelima, runtuhnya proliferasi dalam arti tokoh umat dari segala bidang sosial akan sirna, jika parpol Islam muncul. Keenam, alienasi generasi muda. Pembentukan parpol berarti pengingkar-an perubahan sosial: para pemuda yang telah non sektarian sudah tidak berminat pada politik Islam seperti generasi yang dulu merasakan persaingan antara aliran beragama.86
86 Kuntowijoyo, Enam Alasan Tidak Mendirikan Partai Islam, dalam
Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden, Belajar
Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999),
Cet. Ke-1, h. 27-33.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 211
Berbeda dengan Kuntowijoyo, Eggi Sujana,
Ketua Umum Persaudaraan Pekerja Muslim
Indonesia, mengatakan bahwa rasa pesimis
Kuntowijoyo berlebihan dan tampak terlalu percaya
dengan ilmu sosiologi, sehingga hampir semua
analisisnya yang bersifat sosio-historis itu seolah
hendak memastikan bahwa kasus-kasus sejarah bakal
menjadi kenyataan bilamana parpol Islam ber-
munculan di Indonesia. Oleh karena itu, Eggi lebih
lanjut, berpendapat jika perjuangan parpol Islam
adalah hendak menegakkan kalimat Allah, maka misi
parpol adalah misi yang luhur. Dan lantaran status
hukum berdirinya jamaah amar ma’ruf nahi mungkar
adalah wajib, maka berdirinya parpol Islam
sebenarnya adalah kewajiban yang luhur. Parpollah
yang bisa menegur dan mengingatkan penguasa akan
tanggung jawabnya memelihara urusan umat.87
Sementara M. Anton Athoillah Hasyim, pengajar
Pesantren Kiara Kuda Tasikmalaya mencari jalan
tengah antara keduanya dengan mengatakan bila
pendirian parpol Islam didasarkan untuk menegak-
kan kalimat Allah, maka pernyataan Eggi dapat
87 Misi parpol Islam adalah mencerdaskan kehidupan kaum
muslimin di Indonesia agar mampu bersaing dengan umat mana pun di
dunia dengan pembinaan al-Qur’an dan Sunah secara luas, serta
membela kepentingan kaum muslimin yang banyak terabaikan dan
terdzalimi selama kekuasaan Orde Baru. Lihat Eggi Sujana, Parpol Islam
Antara Kelayakan Dan Kewajiban, dalam Mustofa (ed.), Memilih Partai
Mendambakan Presiden, Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), cet. Ke-1, h. 40-44.
212 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dibenarkan bahwa misi parpol adalah misi yang
luhur, begitu pula dengan logika formal ala ushul
fiqih yang digunakannya. Tetapi persoalannya,
benarkah pendirian parpol Islam hanya sekedar itu?
Tentu tidak. Oleh karena itu, pernyataan
Kuntowijoyo cukup representatif, karena ia melihat
kegagalan kaum muslimin di Spanyol dan India
sebagai alat uji konfirmatif apakah kekuasaan sebagai
tujuan jangka pendek dapat mewujudkan tegaknya
kalimat Allah itu atau tidak. Atas realitas itu, M.
Anton, lebih lanjut berpendapat bahwa sikap yang
harus ditempuh adalah memunculkan perhatian
kaum muslimin terhadap sesuatu yang tidak hanya
sekedar berputar pada nama apakah ada “Islam”-nya
atau tidak. Tetapi, bagaimana konsekuensi yang
muncul dari nama itu. Jangan-jangan, banyak di
antara anggota partai itu yang tidak mencerminkan
nilai-nilai keislaman, seperti toleransi, persaudaraan
dan menghargai pendapat orang lain. Ketiga nilai
itulah yang mestinya menjadi takaran bagi para calon
anggota parpol Islam.88
Terlepas dari polemik tersebut, partai politik
dalam berbagai macam ragamnya nampak
bermunculan pada era reformasi ini. Secara
kuantitatif, jumlahnya kira-kira mencapai 148 partai
88 M. Anton Athoillah Hasyim, Parpol Islam, Kewajiban Atau
Alternatif, dalam Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden
Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), cet. Ke-1, h. 46-50.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 213
yang mendaftar, 40 di antaranya merupakan partai-
partai Islam. Namun, setelah melewati seleksi oleh
Tim 11 yang diketuai oleh Nurcholis Madjid,89
akhirnya ditetapkan sebanyak 48 partai yang layak
mengikuti pemilu, 20 di antaranya merupakan partai
Islam.90 Angka ini menunjukkan peningkatan 10
partai lebih besar dari partai Islam yang ikut
berpartisipasi pada pemilu 1955,91 atau secara
keseluruhan, kontestan partai peserta pemilu pada
Era Reformasi lebih besar dibandingkan dengan
parpol yang mengikuti pemilu pada masa Orde
Lama, padahal saat itu, Mohammad Hatta, Wakil
Presiden RI dalam merespon tuntutan dunia
internasional dan pengembangan sistem demokrasi,
telah menerbitkan Maklumat Pemerintah bulan
Nopember 1945 tentang multi partai. Oleh karena itu,
Era Reformasi sebagai masa transisi menuju
demokrasi oleh M. Alfan Alfian M., pengamat sosial
politik, diistilahkan sebagai umat Islam Indonesia
89 Sebuah panitia yang dibentuk oleh pemerintah dan dipercaya
untuk menyeleksi partai-partai politik yang akan ikut berlaga dalam
pemilu 1999. 90 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto”,
dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.), Indonesia di Tengah
Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LkiS,
2000), h. 375. 91 Partai-Partai Islam peserta Pemilu Pertama 1955 adalah Masyumi,
NU, PSII, Perti, PSI, Permi, Parii, Penyadar, PII, PPTI dan PSII
Kartosuwirjo
214 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
memasuki sebuah wilayah-waktu eksperimentasi
Islam politik jilid III.92
Dalam kaitannya dengan 20 partai Islam peserta
Pemilu 1999 yang dapat dianggap “Islami”,
Azyumardi Azra memberikan batasan sebagai
berikut:
Pertama, Partai yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologi mereka, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan (PK); Kedua, Partai yang menggunakan Pancasila sebagai dasar ideologinya, tetapi, pada saat yang sama juga menggunakan simbol-simbol Islam, seperti Bintang, Ka’bah atau simbol-simbol Islam lainnya, misalnya Partai Cinta Damai (PCD), Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII); sedangkan beberapa partai yang pengurus dan basis massanya pada umumnya muslim, adalah seperti Partai Kebangkitan
92 Jika Orde Reformasi disebut eksperimentasi Islam politik Jilid III,
maka masa Orde Lama, disebut eksperimentasi Islam politik jilid I dan
bolehlah dikatakan gagal, sementara masa Orde Baru, disebut
eksperimentasi Islam politik jilid II juga boleh dikatakan gagal, karena
rezim Orde Baru tidak memberikan kesempatan bagi kekuatan Islam
untuk bangkit kembali sebagai kekuatan yang dominan, di samping
karena terpecahnya orientasi politik umat Islam. Di satu pihak, mereka
sepakat mendoorong bangkitnya partai politik Islam, dan di pihak lain,
mereka terpaksa mendukung kekuatan politik bikinan Orde Baru, yakni
Golkar. Lihat M. Alfan Alfian M., Eksperimentasi Islam Poliitik Jilid
III, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai
Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai
Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 118.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 215
Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai-partai ini biasanya berhubungan erat dengan organisasi-organisasi sosio-religius muslim. PKB misalnya dapat “dipastikan” sebagai sayap politik NU yang mewakili spektrum tradisional Indonesia, sedangkan PAN didukung besar-besaran oleh kelompok modernis Muhammadiyah.93
Begitu banyaknya partai-partai Islam yang
berdiri, telah menyebabkan munculnya perdebatan di
kalangan para pengamat politik dan kelompok
intelektual, sekitar logika dan alasan pendiriannya.
Kuntowijoyo misalnya mengemukakan bahwa
munculnya partai-partai Islam hanya merupakan
luapan politik di era reformasi, sebagai wujud
kebebasan politik dan demokrasi. Jadi, baginya,
ledakan jumlah partai politik Islam hanyalah ekspresi
dari euphoria politik di antara elite politik Islam yang
telah lama dipinggirkan selama hampir keseluruhan
era rezim Soeharto.94 Sementara Azyumardi Azra
berpendapat bahwa begitu banyaknya partai Islam
yang berdiri, karena didorong oleh keinginan para
elite muslim untuk mendapatkan kekuasaan dari
93 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto,”
dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.), Indonesia di Tengah
Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKiS,
2000), h. 376. 94 Kuntowijoyo, “Peta Politik Bagi Umat“ dalam Hamid Basyaib dan
Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik
Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta:
Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 18.
216 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
pada didorong oleh alasan-alasan yang murni
keagamaan.95
Dengan demikian, cukup beralasan pendapat
pengamat politik dan cendikiawan tersebut di atas,
mengingat dari internal Islam atau kelompok Islam
sendiri justru muncul banyak partai baru. Dari sayap
NU, mewakili santri tradisionalis justru muncul
banyak partai seperti Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Serikat Uni Nasional Indonesia (Partai
Suni), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), dan Partai
Kebangkitan Ummat (PKU), belum termasuk Partai
Persatuan Pembangunan, yang juga dipimpin oleh
tokoh NU. Dari sayap eks Masyumi, mewakili santri
modernis juga muncul beberapa partai seperti Partai
Bulan Bintang (PBB), Partai Masyumi Baru (PMB),
dan Partai Islam Indonesia Masyumi (PIIM). Dari
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) terdapat dua
partai, yaitu PSII dan PSII 1905, di samping partai
politik Islam lain, seperti Partai Ummat Islam (PUI),
Partai Ummat Muslimin Indonesia (PUMI), Partai
Keadilan (PK) dan Partai Islam Demokrat (PID).
Secara umum, partai-partai tersebut oleh
Kuntowijoyo dapat diklasifikan menjadi tiga bentuk,
sebagai berikut:
95 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto”,
dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.), Indonesia di Tengah
Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKiS,
2000), h. 377.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 217
Pertama, Partai berasas Islam, seperti PUI, PKU, PMB, PPP, PSII, PSII 1905, PPIM, PBB, PK, PNU dan PP (Partai Persatuan); Kedua, Partai berdasarkan objektifitas,96 seperti Partai Indonesia Baru (PIB), KAMI, Partai Abul Yatama (PAY), PAN, PDR, PCD, PID, SUNI dan PUMI; Ketiga, Partai berdasarkan spesialisasi, seperti PKB, Partai Golkar, Partai Rakyat Indonesia (PARI), dan semua partai yang tidak benar-benar sekuler dapat digolongkan pada kelompok ini. Agama mempunyai tempatnya sendiri dalam urusan kenegaraan, tetapi antara keduanya terpisah secara jelas. Agama hanya urusan personal bukan urusan publik. Agama ber-pengaruh pada person dan pada gilirannya person pada negara. Keempat, Partai Sekuler, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).97
Sebagaimana Kuntowijoyo, Riswandha Imawan,
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UGM, membagi partai-partai yang muncul selama
era reformasi ke dalam empat kategori. Pertama,
Keagamaan Islam dan Kristen, seperti Partai Islam
96 Disebut objektif, karena partai-partai itu mengakui adanya
pluralisme masyarakat dalam SARA, menjadikan moral agama sebagai
landasan gerakan, burusaha agar moral agama menjadi kenyataan
objektif dan menjadikan Pancasila sebagai asas. 97 Kuntowijoyo, “Peta Politik Bagi Umat Islam” dalam Hamid
Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa partai-Partai Islam Kalah ?
Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan
Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 88-93.
218 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Indonesia dan Partai Kristen Nasional Indonesia.
Kedua, Religius Demokratis, seperti Partai Amanat
Nasional dan Partai kebangkitan Bangsa. Ketiga,
Nasional Pragmatis, seperti Partai Golkar dan Partai
Sarekat Sejahtera Indonesia. Keempat, Nasional
Demokratis, seperti Partai Murba, Partai Bhineka
Tunggal Ika dan PDIP.98 Klasifikasi bentuk partai
tersebut belum dapat dikatakan tepat, karena baik
Kuntowijoyo maupun Riswanda sendiri mengakui
tidak tahu – kita tidak banyak tahu – dimana akan
memasukkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI),
Partai Nasional Indonesia Front Marhaenis (PNI
Front Marhaenis), Partai Nasional Massa Marhaen
(PNI Massa Marhaen) dan Partai Nasional Demokrat
(PND).
Fenomena munculnya partai partai yang meng-
gunakan simbol-simbol agama, kemungkinan di-
sebabkan oleh tiga hal. Pertama, agama itu sendiri
memiliki dukungan teologis untuk mencapai cita-cita
berdasarkan gagasan-gagasan keagamaan yang di-
percayai; Kedua, ikatan politik dari warganya
menyebabkan agama sebagai faktor pengikat untuk
mendukung pemimpin dari kelompok agama
tersebut; Ketiga, umat agama merasa telah nyaman
dengan pemimpin politik yang muncul dari
98 Al Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-Partai
Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet.
Ke-1, h. 14-16.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 219
komunitasnya sendiri, dan kurang percaya bila
politik dikuasai oleh kelompok agama lain.99 Namun,
Kuntowijoyo dengan merujuk pada partai era Orde
Baru, menjelaskan sebagai berikut:
Bahwa semua partai mengklaim mewakili umat Islam, semua partai punya lembaga keislaman dan semua partai sangat tergantung pada pemilih muslim, sebagai mayoritas pemilih. Dari partai yang mewakili santri tradisionalis dan modernis, tentu berusaha menjaring suara yang secara tradisional menyalurkan suaranya ke partai “Islam”, bahkan Golkar percaya bahwa ia pun berhak mewakili suara Islam, sehingga berdirilah Majlis Dakwah Islam, tarbiyah Islamiyah, Satkar Ulama Indonesia, Lembaga pengkajian al-Hidayah dan Angkatan Muda Islam Indonesia (AMII). Sementara PDI yang pada mulanya fusi dari partai-partai “sekuler” dan non muslim, meskipun mendapat kesulitan, karena tidak bisa mengklaim mewakili nasionalis, tetap berusaha dengan mendirikan Majlis Muslimin Indonesia (MMI) sejak tahun 1984.100
99 Th. Sumartana, “Menakar Signifikansi Partai Politik Agama dan
Partai Pluralis Dalam Pemilu 1999 di Indonesia”, dalam Arief Subchan
(Penyunting), Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 101. 100 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan,
1997), Cet. Ke-1, h. 191-193. Lihat pula A. Malik Fajar, “Kalangan
Islam harud Tampil Percaya Diri, dalam Hamid Basyaib dan Hamid
Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam
dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet,
1999),Cet. Ke-1, h. 77.
220 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Berdasarkan sebab kedua dan ketiga pendapat
Th. Sumartana serta penjelasan Kutowijoyo tersebut,
maka wajar bila elite politik mendirikan partai
dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Eks
Masyumi, mewakili santri modernis misalnya
memiliki tiga partai, begitu pula ormas Islam yang
lain memiliki partai, bahkan NU, mewakili santri
tradisionalis, memiliki empat partai baru, PKB, SUNI,
PNU dan PKU, belum termasuk PPP yang telah
berdiri pada tahun 1973. Jadi, sebagaimana sayap
politik nasionalis, pada sayap politik nasionalis Islam
baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis,
juga terdapat banyak partai. Tetapi, ketika berlaga
pada Pemilu, 7 Juni 1999, tidak ada satu pun partai
yang meraih suara mayoritas. PDIP sebagaimana
telah disebutkan berada pada peringkat pertama,
memperoleh suara 30,8%, disusul Partai Golkar
memperoleh suara 24,0%, PKB memperoleh suara
11,8%, PPP memperoleh suara 10,2%, PAN memper-
oleh suara 7,0%, PBB memperoleh suara 2,6%, PK
memperoleh suara 1,2%, Partai Keadilan dan
Persatuan memperoleh suara 1,2% dan partai-partai
lainnya memperoleh suara kurang dari 1,0%.101 Jadi
dari 12 parpol Islam, hanya PPP yang masuk dalam
101 Pax Benedanto, (et.al)., Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau
Rebutan Kursi? op. cit., h. 37 dan 88-89. Lihat pula Mulyana W.
Kusuma, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1999, dalam Juri
Andiantoro F., Transisi Demokrasi; Evaluasi, Kritis Penyelenggaraan
Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 127-136.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 221
lima besar, dan masih terkalahkan oleh PDIP, Partai
Golkar dan PKB, sementara 11 parpol Islam lainnya
jauh tertinggal di belakang. Bahkan untuk memper-
oleh jumlah suara yang dapat memenuhi kuota dua
persen jumlah kursi di DPR saja, partai-partai itu
masih harus terus menunggu dengan memper-
hitungkan kesepakatan stembuus accoord.
Fenomena keterpurukan dan kekalahan parpol
Islam tersebut menurut Farid Wadjdi, peneliti pada
Forum on Islamic World Studies Bandung, disebab-
kan oleh tiga faktor sebagai berikut:
Pertama, masyarakat belum memiliki kesadar-an politik Islam yang tinggi, karena secara sistematis umat Islam mengalami proses sekularisasi atau pemisahan agama dari kehidup-an. Islam digambarkan hanya sebagai agama ritual yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya saja. Kedua, ideologi dan konsep kapitalisme Barat seperti sekularisme, plural-isme, demokrasi, HAM, nasionalisme, liberalisme dan globalisasi, secara sadar atau tidak, diadopsi secara bulat-bulat oleh umat Islam, sehingga mereka jauh dari akidah dan hukum-hukum Islam serta tidak melihat hal yang penting dari tawaran ideologis parpol Islam. Ketiga, ber-dirinya parpol yang mengatasnamakan Islam akan tetap gagal untuk melayani umat, kalau tidak memperbaiki empat perkara yang sering menimpa parpol Islam, yaitu parpol Islam yang berdiri secara terburu-buru hanya membawa
222 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
konsep pemikiran umum tanpa batasan yang jelas; banyak parpol Islam yang tidak mengenal metode untuk menerapkan ide-ide Islam; banyak parpol Islam yang hanya bertumpu pada orang-orang yang sepenuhnya belum mempunyai kesadaran yang benar dan niat yang lurus, serta parpol Islam hanya terikat pada aturan administrasi, keorganisasian, simbol-simbol atau slogan-slogan organisasi.102
Berbeda dengan Farid Wadjdi, Efa Ainul Fatah
mengemukakan beberapa faktor penyebab kekalahan
parpol Islam, sebagai berikut:
Pertama, kesiapan partai peserta pemilu sangat minim terutama partai baru yang sama sekali belum mempunyai basis massa. Fakta politik menunjukkan dari 48 partai, ada partai yang betul-betul siap berlaga di kancah politik, ada yang setengah-setengah, dan ada pula yang tidak siap. Kedua, common issue yang terus beredar dan menguat di tengah-tengah masyarakat adalah isu keterpasungan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan nation state. Dari common issue kemudian melahirkan common enemy terhadap mereka yang selama ini menebar janji dan membayarnya dengan kebohongan belaka, yakni kelompok elite yang tergabung razim Orde Baru. Ketiga, parpol Islam kurang
102 Farid Wadjdi, Mengevaluasi Parpol Islam Pasca Pemilu, dalam
Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah?
Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan
Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h.157-162.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 223
mempunyai tempat, bahkan disinyalir akan menjadi penyangga munculnya kekuatan neo-Orde Baru. Keempat, budaya politik masyarakat masih mencerminkan kuat feodalisme. Kelima, money politic. Keenam, pendirian partai tidak memperhatikan pola strategi politik. Kebanyakan parpol Islam dibuat asal jadi dan tidak memikirkan peluang politik yang bisa dicapai. Ketujuh, kehadiran parpol Islam tidak mendapatkan momentum yang baik dan bahkan sebaliknya. Kedelapan, parpol Islam belum menampakkan inklusivitasnya, baik dari segi program dan pemikiran maupun dari segi perjuangan terhadap semua kepentingan yang bersifat umum.103
Mochtar Naim, Guru Besar Fakultas Sastra
Universitas Andalas, Padang, mengatakan lebih
lanjut bahwa kekalahan parpol Islam disebabkan
antara lain:
Pertama, keberanian parpol Islam untuk berjuang dengan platform Islam, karena selama Orde Lama dan Orde Baru, Islam sebagai kekuatan politik telah dilumpuhkan dan lebih menampakkan wajahnya sebagai umbul-umbul perisai untuk tujuan seremonial dan upaya-upaya keagamaan. Kedua, politik Islamofobia, telah menyebabkan bagian terbesar umat justru
103 Eva Ainul Falah, Kalah-Menang Bagi Parpol Islam, dalam Hamid
Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan
Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta:
Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h.163-169.
224 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
tidak memilih parpol Islam, walau jelas-jelas dinyatakan bahwa parpol Islam menginginkan tegaknya Islam dan berlakunya syariat Islam bagi pemeluk Islam seperti bunyi Jakarta Charter. Karena alasan ketakutan dan kerisihan terhadap Islam politik inilah agaknya yang mendasari pemikiran PKB dan PAN untuk berasaskan Islam. Ketiga, sudah peluangnya yang tersedia untuk memperlihatkan diri sangat terbatas, jumlahnya parpol Islam pun mencapai belasan, sehingga kelompok ummat sendiri bingung tidak tahu mana yang akan dipilihnya. Keempat, parpol Islam secara keseluruhan adalah dari antara yang paling miskin dan tidak punya dana, kecuali mungkin satu-dua yang berhasil mendapatkan dana dari luar, secara keseluruhan mereka hanya mencukupkan saja dari apa yang ada, yang dibantu oleh pemerintah yang serba sedikit itu. Kelima, kecenderungan egosentrisme para pemimpin partai-partai Islam itu sendiri, yang lebih suka melihat perbedaan dari pada persamaan di antara sesama mereka, sebagai-mana terlihat dari berdirinya partai-partai dari akar yang sama.104
Keterpurukan parpol Islam tersebut, minimal
masih dapat menunjukkan relevansinya dengan
jargon Nurcholish Madjid yang diucapkannya pada
dasawarsa tujuh puluhan dengan hasil pemilu 1999
104 Mochtar Naim, Kekalahan Partai Politik Islam, dalam Hamid
Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan
Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta:
Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h.172-176.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 225
bahwa “Islam Yes, Partai Islam No”, suatu ungkapan
yang didasarkan pada kenyataan bahwa Islam yang
formilnya dijadikan dasar perjuangan partai, sudah
tidak lagi dijadikan sumber inspirasi, tidak lagi
dijadikan sumber dinamika dan militansia. Islam
hanya sekedar dijadikan mode, karena memang Islam
sudah sangat jauh disudutkan, bahkan Hadis Nabi
yang berbunyi “Al-Islām ya’lū walā yu’la alaih”
ditafsirkan – dan sangat konsekuen dengan tafsir
tersebut – menjadi partaiku (golonganku, pemimpin-
ku bahkan Aku-ku) ya’lū walā yu’lā alaih. Apalagi para
penguasa muslim saat itu dengan sadar sangat
mencurigai Islam dan umatnya yang setia kepada
Islam.105 Akan tetapi, sejalan dengan pelaksanaan
pemilu 2004, jargon Nurcholish Madjid itu telah
mengalami pergeseran. Menurut Hidayat Nurwahid,
mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan
Ketua MPR RI, bahwa jargon Cak Nur yang begitu
terkenal pada era Orde Baru “Islam Yes, Partai Islam
No” telah mengalami perubahan dari waktu ke
waktu dan pada akhirnya Cak Nur menyatakan
“Islam Yes, Partai Islam Yes,” suatu pernyataan yang
dikatakannya ketika Cak Nur meminta dukungan
PKS untuk menjadi calon presiden pada pilpres 2004.
Ketika dikatakan dulu Cak Nur pernah menyatakan
bahwa “Islam Yes, Partai Islam No”, lalu bagaimana
105 E. Saifuddin Anshari, Kritik Atas Faham Dan Gerakan
“Pembaharuan” Drs. Nucholish Madjid, (Bandung: Bulan Sabit, 1973),
h. 3-4.
226 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
saya memberikan dukungan kepada Cak Nur, karena
partai saya adalah partai Islam, maka Cak Nur
menjelaskan kata-kata itu bersifat kondisional, saat
perkataan kontroversial itu terlontar, kondisi di
Indonesia tak memungkinkan Islam berkembang
melalui jalur politik. Islam dicurigai serta diintimidasi
dan untuk mensiasati kondisi yang tak menguntung-
kan itu, maka harus dicari formula di luar partai
politik, tetapi kini kondisinya telah berubah. Partai
Islam memungkinkan untuk berkembang.106 Saat
banyak orang menjustifikasi fenomena kekalahan
partai pada pemilu 1999 dengan slogannya,
Nurcholis justru berkomentar: “Itu sebetulnya
membacanya kurang pas.” Kegagalan partai-partai
Islam adalah kegagalan simbol yang juga dialami
partai-partai nasionalis dan Kristen/Katholik, karena
pemilih lebih mencari esensi.107
Eksperimen pun kembali dilanjutkan. Dalam
pemilu 2004, ada 7 partai Islam baik pecahan maupun
reinkarnasi yang bertahan jadi kontestan, yaitu PPP,
PKS, PBB, PBR, PPNUI, PAN dan PKB. Kali ini terjadi
pergeseran. Ketujuh partai itu mampu mengantongi
suara 42,18 persen. Bila perhitungan hanya dilakukan
untuk lima partai berasas Islam, tanpa PAN dan PKB,
106 Hidayat: Cak Nur Akhirnya, ‘Partai Islam Yes!’, Republika,
(Jakarta), 3 Oktober 2006, h. 3. Lihat pula Harun Husein, Islam Yes,
Partai Islam Yes?, Republika, (Jakarta), 17 Nopember 2006, h. 4. 107 Harus Husein, Islam Yes, Partai Islam Why Not? Republika,
(Jakarta), 18 Nopember 2006, h. 4.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 227
raihan suaranya adalah 23 persen.108 Sementara PDIP
hanya meraih 18,53 persen dan Partai Golkar 21,58
persen. Kalaupun suara Partai Golkar digabung
dengan PDIP, jumlahnya hanya 40,11 persen, masih
kalah jika dibandingkan 42,18 persen suara tujuh
partai.109 Kendati belum sanggup menyamai
perolehan partai Islam dalam pemilu 1955, raihan itu
memperlihatkan partai-partai Islam punya prospek
dan makin kompetitif, karena telah dapat tampil
menganalisis aspirasi berbagai macam golongan dan
terampil mengartikulasikan esensi Islam secara
rasional dan otentik di dataran politik yang penuh
ranjau. Politisi Islam bisa tampil berpolitik dengan
santun, peduli pada nasib rakyat, tidak korup,
menjadi rahmatan li al-’Ālamin dan seterusnya. Hasil
survei LSI atas hasil Pemilu 2004, tak kurang dari 2,5
persen dari 8,3 juta pemilih PKS adalah non-Muslim.
Angka ini tidak sedikit, karena sekitar 200 ribu:
hampir satu kursi.110
108 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, 680. 109 Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Why Not ? Republika,
(Jakarta), 18 Nopember 2006, h. 4. 110 Ibid.
228 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
C. Pesantren dan Pembentukan Partai Politik
Nasional
1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
a) Proses pembentukan partai
Partai Kebangkitan Bangsa (selanjutnya disebut
PKB) merupakan salah satu dari sekian banyak partai
yang berdiri pada era reformasi. Pembentukannya
berawal, sehari setelah Soeharto meletakkan jabatan
sebagai presiden, Kamis, 21 Mei 1998, PBNU mulai
kebanjiran usulan warga NU di seluruh pelosok
tanah air, yang disampaikan melalui berbagai macam
cara: faksimil, telegram, surat, e-mail, ada yang
langsung datang ke Sekretariat Jenderal PBNU,
bahkan ribuan orang yang datang menjenguk Gus
Dur yang sedang sakit, secara langsung mengajukan
permintaan kepadanya yang ketika itu menjabat
sebagai Ketua Umum PBNU, agar mendirikan
parpol.111
Usulan itu mempunyai nada yang sama, yakni
agar PBNU membantu mewujudkan adanya satu
wadah, tempat warga NU baik perorangan dan
kelompok maupun pengurus vertikal, badan otonom
dan lembaga di lingkungan NU, menyalurkan
111 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 109.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 229
aspirasi politiknya.112 Usulan itu sangat beragam, ada
yang mengusulkan agar PBNU membentuk partai
politik, ada juga yang mengusulkan agar NU menjadi
partai politik, dan ada yang mengusulkan nama
parpol. Tercatat ada 39 nama parpol yang diusulkan,
dan nama yang paling banyak mengemuka adalah
Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat dan
Kebangkitan Bangsa.113 Sedangkan gambar bumi,
bintang sembilan dan warna hijau merupakan pilihan
yang paling disukai oleh para pencetus ide. Aneka
usulan semakin marak dengan masuknya daftar
nama yang dipandang layak untuk duduk dalam
jajaran kepengurusan parpol, di samping usulan
rancangan AD/ART.114
Dari sederetan usulan tersebut, yang cukup
lengkap adalah draft yang dikemukakan oleh Lajnah
Sebelas Rembang yang dikawal oleh KH. Cholil Bisri
dan draft yang berasal dari Pengurus Wilayah NU
Jawa Barat. Tetapi, draft Rembang lebih lengkap dan
mencerminkan kerja keras sebuah tim yang me-
libatkan unsur ulama/kiai, politisi dan akademisi.
Proses penyusunannya juga berawal dari pertemuan
di Ponpes Roudlatul Thalibin yang dihadiri oleh
112 DPW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan
Bangsa, (Jakarta, 1998), h. 25. 113 DPW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan
Bangsa, (Jakarta, 1998), 26. 114 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2003) Cet. Ke-1, h. 109.
230 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
sekitar seratus kiai pada pertengahan Juni 1998.
Pertemuan yang berlangsung sampai dini hari itu,
diawali dengan penjelasan tuan rumah KH. Cholil
Bisri, tentang arti penting keberadaan sebuah parpol
yang mampu mengumandangkan kepentingan kaum
Nahdliyyin. Melalui uraian-uraian yang disandarkan
pada perpaduan kitab-kitab Fiqih Siyasah dan kondisi
objektif warga NU, dia antara lain menyatakan
sebagai berikut:
“Ini (pembentukan partai) adalah untuk memenuhi tuntutan warga NU di era reformasi. Lebih dari 30 tahun masa pemerintahan rezim Soeharto, kekuatan politik NU dikebiri secara sistematis. Orang-orang NU di PPP hanya nunut urip (numpang hidup). Karena itu, adalah sesuatu yang aneh, bila warga NU yang jumlahnya seperempat penduduk Indonesia tidak mempunyai rumah politik. Wajar bila warga NU kini mempunyai rumah politik sendiri, tidak numpang lagi di rumah. Aspirasinya selama ini numpang ke PPP, Golkar dan PDI.115
KH. Ma’ruf Amin, Rais Syuriah NU dan
Koordinator Harian PBNU, yang hadir dalam
pertemuan itu, lebih lanjut menyatakan “warga NU
terus dipinggirkan dan aspirasinya belum tersalurkan
dengan baik dalam orsospol yang ada dan belum ada
115 Asmawi, PKB : Jendela Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1999), h. 23.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 231
orsospol yang mampu menampung aspirasi warga
NU.116 Atas pernyataan itu, maka pertemuan
Rembang akhirnya menyepakati dibentuknya Komite
Pembentukan Partai Baru (KPPB), yang diketuai KH.
Cholil Bisri dan sekretaris KH. Yusuf Muhammad,
pengasuh Ponpes Darussalam, Jember, Jawa Timur,
yang juga mantan pegiat Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) Yogyakarta. Anggotanya
terdiri dari sembilan kiai, mewakili daerah Jawa,
Sumatera dan Kalimantan. Bahkan dibentuk pula Tim
Asistensi yang bertugas membantu kelancaran KPPB,
dengan ketua Matori Abdul Jalil, seorang politisi
yang telah lama malang melintang dalm pergulatan
politik Orba, dan Kacung Marijan, MA. ilmuwan
politik muda dari Universitas Airlangga yang
berafiliasi dengan NU.117
Menanggapi usulan tersebut, PBNU bersikap
sangat hati-hati, karena berdasarkan Muktamar NU
ke-27 di Situbondo, telah diputuskan bahwa secara
organisatoris, NU tidak terkait dengan partai politik
manapun dan tidak lagi menerjuni kegiatan politik
praktis. Tetapi, jika sikap ini itu diambil, maka akan
membuat banyak pihak kecewa, bahkan tidak
menutup kemungkinan warga NU di daerah, yang
116 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai
Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet.
Ke-1, h. 134. 117 Asmawi, PKB: Jendela Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1999), h. 22-23.
232 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
tidak sabar, mendeklarasikan berdirinya parpol
untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat,
seperti pendeklarasian “Partai Bintang Sembilan” di
Purwokerto dan “Partai Kebangkitan Umat” di
Cirebon.
Fenomena tersebut bila dibiarkan akan
merugikan NU sendiri. Oleh karena itu, pada harian
Syuriah dan Tanfidziyah PBNU, 3 Juni 1998,
diputuskan untuk membentuk Tim Lima,118 yang
bertugas membahas segala sesuatu untuk memenuhi
aspirasi warga NU tersebut. Bahkan untuk
memperkuat dan mempercepat kerja Tim Lima, maka
berdasarkan surat tugas PBNU No.
925/A.11.03/6/1998, tanggal 22 Juni 1998, dibentuk
pula Tim Asistensi yang beranggotakan sembilan
orang.119 Tim Asistensi membantu Tim Lima dalam
menginventarisasi dan merangkum usulan warga NU
untuk mendirikan parpol baru, mengkordinasikan
warga NU yang ingin membentuk parpol baru dan
118 Tim Lima diketuai KH. Makruf Amin (Rais Syuriah
NU/Koordinator Harian PBNU), KH. M. Dawam Anwar (Katib ‘Am
PBNU), KH. Dr. Said Agiel Siradj, MA. (Wakil Katib PNBU), H.M.
Rozi Munir, SE. M.Sc. (Ketua PBNU) dan H. Ahmad Bagdja (Sekjen
PBNU), masing-masing sebagai anggota. 119 Tim Asistensi diketuai Arifin Junaidi (Wakil Sekjen PBNU),
dengan anggota H. Muhyidin Aburusman, H.M. Fachri Thaha Ma’ruf,
Lc., Drs. H. Abdul Aziz , MA., Drs. H. Andi Muarly Sunrawa, H.M.
Nasihin Hasan, Drs. Muhaimin Iskandar, Drs. H. Lukman Saifuddin
Zuhri dan Drs. Amin Said Husni. Lihat PW PKB Jawa Timur, Dokumen
Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, h. 127.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 233
membantu warga NU dalam melahirkan satu parpol
yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU.
Pada 22 Juni 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi
menyelenggarakan rapat dengan tujuan mendefinisi-
kan dan mengelaborasi tugas-tugasnya. Selanjutnya
pada 26-28 Juni 1998, kedua tim menggelar
pertemuan di Villa La Citra Cipanas, untuk
menyusun rancangan awal pembentukan parpol dan
menghasilkan 5 rancangan yaitu: (1). Pokok-Pokok
Pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, (2). Mabda’
Siyāsy, (3). Hubungan Partai Politik dengan NU, (4).
AD/ART, dan (5). Naskah Deklarasi. Lima rancangan
itu kemudian dibawa ke Silaturahmi Nasional Ulama
dan Tokoh NU di Bandung, 4-5 Juli 1998, untuk
memperoleh masukan lebih lanjut.120 Puncaknya,
pada 17 Juli 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi
mengadakan pertemuan finalisasi dan setelah melalui
diskusi yang melelahkan, akhirnya dapat menyelesai-
kan tugasnya, bahkan dapat menyerahkan hasil akhir
rancangan pembentukan parpol kepada rapat harian
Syuriah dan Tanfidziyah PBNU, 22 Juli 1998. Rapat
menyepakati bahwa parpol yang diharapkan dapat
menampung warga NU yang berjumlah lebih dari 40
juta khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya,
dibentuk dan diberi nama PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa), salah satu dari tiga nama yang paling
120 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 112.
234 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
banyak disebut dalam usulan di atas. PKB
dideklarasikan pada 23 Juli 1998, di halaman Pondok
Pesantren Luhur “KH. A. Wahid Hasyim” Ciganjur,
Jakarta Selatan,121 dengan dihadiri lima ulama
terkemuka NU, yaitu KH. Ilyas Ruhiyat, KH.
Abdurrahman Wahid, KH. Munasir Ali, KH. Muchit
Muzadi dan KH. Mustofa Bisri. Bahkan beberapa
petinggi Orde Baru yang memiliki karier cemerlang
pada jajaran militer juga menyempatkan diri untuk
hadir. Mereka antara lain mantan Wakil Presiden dan
Panglima ABRI Try Sutrisno, mantan Menhankam
Edi Sudrajat, mantan Wakil Kasad Soerjadi dan
mantan Kabakin Ari Sudewo. Tampak pula Ribhi
Awad, Duta Besar Palestina untuk Indonesia.
Dengan demikian, PKB yang lahir atas desakan
warga NU, kiai pesantren, politisi dan para
simpatisan lainnya, dapat dikatakan sebagai
121 Arifin Junaedi, Wakil Sekjen PBNU, di depan sekitar 3000 warga
NU yang memadati halaman ponpes, membacakan latar belakang dan
kronologis pembentukan partai, yang dimulai dengan mundurnya
Soeharto dari kursi Presiden dan diiringi dengan lahirnya Era Reformasi,
sebagai upaya mewujudkan kehendak rakyat untuk mengubah semua
aspek kehidupan, ideologi, sosial, politik, ekonomi, budaya dan sistem
pertahanan keamanan. Kehidupan berbangsa dan bernegara harus
dikembalikan ke rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan oleh
karena itu, sesuai aspirasi warga NU, PBNU membidani lahirnya sebuah
parpol yang pada hari ini dideklarasikan. Lihat Musa Kazhim & Alfian
Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 236-240.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 235
penjelmaan dari partai NU,122 yang pada tahun 1970-
an difusikan dengan tiga partai Islam lainnya –
Parmusi, PSII dan Perti – menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (selanjutnya disebut PPP), karena
pendiriannya dibidani oleh organisasi kemasyarakat-
an Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama
(selanjutnya disebut dengan NU). Selain itu,
pembentukan PKB juga merupakan jalan tengah dari
warga NU untuk berjuang pada lini struktural
melalui proses pembuatan dan perumusan kebijakan
publik yang berpihak kepada rakyat, sambil terus
melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap
dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan
(jam’iyah dīniyah) pada era perubahan yang terjadi di
pentas politik nasional. Untuk memberi landasan
perjuangan PKB di sektor struktural, maka
dirumuskanlah mabda’ siyāsy (titik tolak politik)
dengan pendekatan fiqih siyāsy untuk menerapkan
nilai-nilai dan etika sosial Islam dalam bernegara,
sebagaimana telah menjadi tradisi NU.123
Selanjutnya, pembentukan PKB sebagai satu-
satunya partai yang diakui dan direstui oleh PBNU
122 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai
Islam Versus Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h.
133. 123 A. Muhaimin Iskandar, “PKB: Politik Rahmatan Lil-‘Alamin,”
dalam Sahar L. Hasan, (ed.), Memilih Partai Islam, Visi, Misi dan
Persepsi, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 25-26.
236 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
juga tidak bisa dipisahkan dari peran kiai pesantren,
lantaran NU merupakan organisasi keagamaan yang
dibentuk dan dikawal oleh para kiai dan menjadikan
pesantren sebagai basis massanya. Oleh karena itu
pantas, bila dalam pentas pemilu 1999, PKB yang
secara formal organisatoris masih belia, bisa
mendulang suara cukup besar dan muncul sebagai
partai yang menduduki posisi keempat dalam
perolehan suara setelah PDIP, Partai Golkar dan PPP.
Sebaliknya PNU, PKU dan Partai SUNI yang tidak
dideklasikan dan karenanya tidak direstui oleh PBNU
tidak mendapat dukungan luas dari jama’ah NU.
Faisal Ismail terkait dengan kedigjayaan PKB
tersebut, memprediksi karena tiga hal. Pertama,
pengakuan dan pemberian restu oleh PBNU terhadap
berdirinya PKB; Kedua, peran pesantren-pesantren
NU dan para kiai pengasuhnya sebagai jaringan
komunikasi politik yang efektif; dan Ketiga, sosok dan
peran Gus Dur yang memiliki reputasi yang baik
sehingga bisa menarik simpati mayoritas warga NU
untuk mendukung dan memilih PKB.124
Khusus prediksi yang terakhir itu, pada tingkat
tertentu, peran Gus Dur tidak hanya dalam menarik
simpati mayoritas warga NU, karena slogannya
“pejah gesang nderek Gus Dur. Atau dalam bahasa
124 Faisal Ismail, NU, Gusdurisme dan Politik Kiai, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1999), Cet. Ke-1, h. 142-144.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 237
Inggrisnya, Gus Dur can do no wrong,”125 tetapi, ia
sebagai Ketua Umum PBNU, sebagaimana diuraikan
terdahulu, juga berperan dalam pembentukan,
perumusan visi dan misi PKB dan lain sebagainya.
Laode Ida, doktor sosiologi UI, percaya dengan
rumusan dari seorang kawannya tentang Gus Dur
dan NU. Katanya:
Gus Dur + NU = Gus Dur dan NU + Gus Dur = Gus Dur. Maksudnya, Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari NU atau NU – setidaknya sampai saat ini – tidak bisa dilepaskan dari Gus Dur. Kalau diteruskan, rumusan itu sekarang jadi begini: Gus Dur + NU + PKB = Gus Dur, NU + PKB + Gus Dur = Gus Dur dan PKB + NU + Gus Dur = Gus Dur. Jadi, Gus Dur ibarat spektrum dari semua prisma NU dan PKB. Boleh jadi, begitulah wujud tanggung jawab Gus Dur terhadap posisinya sebagai Ketua Umum PBNU.126
b) Azas dan Tujuan
Sebagai partai warga Nahdliyyin yang pertama
dan paling asli di Era Reformasi, PKB dengan tegas
tidak memilih Islam, tetapi lebih memilih Pancasila
125 Tim INCRes, Beyond Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran
dan Gerakan Gus Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. Ke-
1, h. xvi. 126 Musa Kazhim & Alfian hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,
Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h.
234.
238 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
sebagai azasnya.127 Dalam Anggaran Dasar (AD)
PKB, Bab III, Pasal 3 dikatakan “Partai berazaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang
Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilam Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pemakaian Pancasila sebagai azas partai
dilandasi oleh cara pandang tokoh-tokoh PKB dalam
melihat Islam, yakni bahwa Islam tidak perlu
dituangkan dalam bentuk formal kelembagaan, tetapi
yang terpenting adalah bahwa ajaran Islam harus
tecermin dalam tingkah laku sehari-hari, yang
disebut akhlakul karimah, dalam pengertian
sejauhmana partai mampu mewujudkan nilai-nilai
Islam di dunia politik.128 Jadi, para pendiri PKB
merancang partainya sebagai instrumen untuk
menerapkan nilai-nilai Islam dalam berpolitik,
sehingga salah besar jika PKB ditempatkan di luar
barisan partai-partai Islam, hanya karena PKB tidak
mengusung simbol-simbol Islam. Dalam hal ini, Gus
127 Bandingkan dengan partai Islam lainnya yang berdiri pada Era
Reformasi, cenderung memilih Islam sebagai azas organisasi, bila
seluruh penggagas dan sebagian besar pendukungnya menganut agama
Islam. Lihat Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-
Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999),
Cet. Ke-1, h. 121-141. 128 Uraian lebih jauh dapat dilihat dalam Salahuddin Wahid, Negeri
Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-Catatan Pendek Salahuddin Wahid,
(Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 22-25.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 239
Dur, antara lain menyatakan: “Tidak penting bagi
PKB berazaskan Islam. Yang penting PKB adalah
partai Islam. Banyak partai berazaskan Islam, tetapi,
mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak
Islami. Islam hanya dibuat mereknya saja. Jadi,
parpol berazaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan.
PKB bukan mementingkan mereknya, tetapi
isinya”.129 “Akhlak dan tauhid PKB adalah Islam.
Dari pada parpol berazas Islam, tetapi tidak Islami,
maka lebih baik seperti PKB, azas bukan Islam, tetapi,
kelakuan dan tauhidnya orang Islam.”130
Alwi Shihab, salah seorang Ketua DPP PKB lebih
lanjut menyatakan: “PKB didirikan dan ditegakkan
atas dasar nilai-nilai kebenaran ajaran Islam…,
biarlah orang menghujat PKB dengan berbagai
tuduhan. Ada yang menuduh murtad, tidak Islami,
partainya orang sarungan, kampungan dan sebagai-
nya. Semua tuduhan itu tidak benar adanya. Bahwa
PKB partai yang Islami 100 %,”131 sebagaimana dapat
disimak pada Prinsip Perjuangan Partai yang
berbunyi “Pengabdian kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, menjunjung tinggi kebenaran dan
kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan,
menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan
129 Republika, 27 Mei 1999. 130 Jawa Pos, 29 Mei 1999. 131 Republika, 30 Mei 1999.
240 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Wal-
Jamā’ah.132
Meskipun tidak mendefinisikan dirinya secara
tegas sebagai partai Islam, kekentalan PKB dengan
aspek-aspek keislaman di atas, merupakan satu
kenyataan yang tak terbantahkan. Sedangkan
identifikasi PKB sebagai partai terbuka, selain secara
teoritis dimaksudkan agar orang di luar NU, bahkan
non muslim sekali pun bisa bergabung dengan PKB,
juga dipicu oleh tiga alasan. Pertama, semua orang
tahu bahwa PKB pada dasarnya Islam, karena
dibangun oleh warga NU. Oleh karena itu, teriakan
mengenai label Islam dan non Islam, tidak ada
artinya. Kedua, menjaga agar Islam tidak menjadi
komoditas politik belaka, lantaran mengedepankan
sebutan-sebutan partai Islam dan politik Islam,
sangat berisiko, karena jika dalam tataran realitas,
ajaran Islam tidak bisa direalisasikan, maka Islam
akan menjadi korban.133 Ketiga, PKB berusaha
mewujudkan politik Rahmatan li al-‘Ālamīn yang
berusaha mengintegrasikan spiritualitas keagamaan
dengan paham keindonesiaan yang majemuk,
mengedepankan nilai-nilai kebangsaan Indonesia
dari pada mendirikan Negara Islam atau menerapkan
132 Lihat Anggaran Dasar PKB Bab III Pasal 4. 133 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 115.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 241
hukum-hukum Islam secara formal.134 Komitmen
terhadap argumen yang terakhir ini, kemudian
dituangkan dalam tiga tujuan partai, yakni
mewujudkan cita-cita kemerdekaan Negara Republik
Indonesia, sebagaimana terdapat dalam pembukaan
UUD 1945; mewujudkan masyarakat adil dan
makmur, lahir dan batin, material dan spiritual; serta
mewujudkan tatanan nasional yang demokratis,
terbuka, bersih dan ber-akhlāk al karimāh.135
c) Visi & Misi
Visi PKB adalah terwujudnya bangsa dan
masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya,
yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran,
kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan bersumber
pada hati nurani (al-shidqu), dapat dipercaya, setia
dan tepat janji serta mampu memecahkan per-
masalahan sosial yang dihadapi (al-amānah wa al-
wafā’u bi al-‘abdi), bersikap dan bertindak adil dalam
segala situasi (al-‘adālah), tolong menolong dalam
kebajikan (al-ta’āwun), dan konsisten menjalankan
ketentuan yang telah disepakati bersama (al-
istiqāmah). Musyawarah dalam menyelesaikan
persoalan sosial (al-syūra) yang menempatkan
134 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-
Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2000), Cet. Ke-1, h. 23. 135 Lihat Anggaran Dasar PKB Bab V Pasal 7.
242 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
demokrasi sebagai pilar utamanya, dan persamaan
kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al-
musāwa) adalah prinsip dasar yang harus
ditegakkan.136
Misi PKB untuk mewujudkan visi di atas, adalah
mewujudkan tatanan masyarakat beradab yang
sejahtera lahir dan batin, yang setiap warganya
mampu mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaan,
yang meliputi: terpeliharanya jiwa raga, terpenuhi-
nya hak kemerdekaan, terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia seperti pangan, sandang dan papan,
hak atas penghidupan/perlindungan pekerjaan, hak
mendapatkan keselamatan dan bebas dari peng-
aniayaan (hifzhu al-nafs), terpeliharanya agama dan
larangan adanya pemaksaan agama (hifzhu al-dīn),
terpeliharanya akal, dan jaminan atas kebebasan
berekspresi serta berpendapat (hifzhu al-‘aql),
terpeliharanya harta benda, ditempuh dengan
pendekatan amar ma’ruf nahi munkar, yakni upaya
menyerukan kebajikan serta mencegah segala
kemungkinan dan kenyataan yang mengandung
kemungkaran.137
Penjabaran dari misi yang diemban guna
mencapai terwujudnya masyarakat yang dicita-
136 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,
Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke1, h.
244. 137 Ibid., h. 244-245.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 243
citakan tersebut tidak bisa tidak harus dicapai melalui
keterlibatan dalam penetapan kebijakan publik. Jalur
kekuasaan menjadi amat penting ditempuh dalam
proses mempengaruhi pembuatan kebijakan publik
melalui perjuangan politik. Garis perjuangan politik
adalah melakukan pemberdayaan pada masyarakat
lemah, terpinggirkan dan tertindas; memberikan rasa
aman, tentram dan terlindungi kepada kelompok
masyarakat minoritas; dan membongkar sistem
politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya yang
memasung kedaulatan rakyat. Bagi PKB, upaya
mengartikulasikan garis perjuangan politiknya dalam
jalur kekuasaan menjadi suatu hal yang niscaya dan
dapat dipertanggungjawabkan. PKB juga yakin
bahwa kekuasaan itu sejatinya adalah milik Tuhan
Yang Maha Esa. Kekuasaan yang ada pada diri
manusia merupakan titipan dan amanat Tuhan yang
diberikan kepada manusia, yang oleh manusia hanya
boleh diberikan kepada pihak lain yang memiliki
keahlian dan kemampuan untuk mengemban dan
memikulnya. Keahlian memegang amanat kekuasaan
itu mensyaratkan kemampuan menerapkan kejujur-
an, keadilan dan kejuangan yang senantiasa memihak
kepada pemberi amanat.138
138 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai
Islam versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet.
Ke-1, h. 138-139.
244 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Dalam kaitan dengan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, kekuasaan yang bersifat
demikian itu harus dapat dikelola dengan sebaik-
baiknya dalam rangka menegakkan nilai-nilai agama
yang mampu menebarkan rahmat, kedamaian dan
kemaslahatan bagi semesta. Manifestasi kekuasaan
itu harus digunakan untuk memperjuangkan
pemberdayaan rakyat agar menyelesaikan persoalan
hidupnya dengan lebih maslahat. PKB berketetapan
bahwa kekuasaan yang hakekatnya adalah amanat
itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan di
hadapan Tuhan dan dapat dikontrol pengelolaannya
oleh rakyat. Kontrol terhadap kekuasaan hanya
mungkin dilakukan manakala kekuasaan itu tidak
tak-terbatas dan tidak memusat di satu tangan, serta
berada pada mekanisme sistem yang institusi-
onalistik, bukan tertumpu pada kekuasaan
individualistik. Harus selalu dibuka ruang untuk
melakukan kompetisi kekuasaan dan perimbangan
kekuasaan sebagai arena mengasah ide-ide perbaikan
kualitas bangsa dalam arti yang sesungguhnya.
Pemahaman akan hal ini tidak hanya berlaku saat
memandang kekuasaan dalam tatanan kenegaraan,
melainkan juga harus terefleksikan dalam tubuh
internal partai.
PKB menyadari bahwa sebagai suatu bangsa
pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama
dan ras, tatanan kehidupan bangsa Indonesia harus
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 245
senantiasa berpijak pada nilai-nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Penetapan nilai-nilai Pancasila tersebut
haruslah dijiwai dengan sikap mengembangkan
hubungan tali persaudaraan antara sesama yang
terbuhul dengan ikatan keagamaan (ukhuwwah
dīniyyah), kebangsaan (ukhuwwah wathoniyyah) dan
kemanusiaan (ukhuwwah insāniyyah), dengan selalu
menjunjung tinggi semangat akomodatif, kooperatif,
dan integratif tanpa harus saling dipertentangkan
antara satu dengan yang lainnya.139
PKB bercirikan humanisme religius (insaniyah
diniyah), amat peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang agamis dan berwawasan kebangsaan menjaga
dan melestarikan tradisi yang baik serta mengambil
hal-hal baru yang lebih baik untuk ditradisikan
menjadi corak perjuangan yang ditempuh dengan
cara-cara yang santun dan akhlak mulia. Partai
adalah ladang persemaian untuk mewujudkan
masyarakat beradab yang dicitakan, serta menjadi
sarana dan wahana sekaligus sebagai wadah
kaderisasi kepemimpinan bangsa. Partai dalam posisi
ini berkehendak untuk menyerap, menampung,
139 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 114.
246 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
merumuskan, menyampaikan dan memperjuangkan
aspirasi rakyat guna menegakkan hak-hak rakyat dan
menjamin pelaksanaan ketatanegaraan yang jujur,
adil dan demokratis. PKB adalah partai terbuka
dalam pengertian lintas agama, lintas suku, lintas ras
dan lintas golongan, yang dimanifestasikan dalam
bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan
dan kepemimpinan. Partai bersifat independen dalam
pengertian menolak intervensi segala bentuk ke-
kuasaan dari pihak mana pun yang bertentangan
dengan tujuan didirikannya partai.
d) Basis Massa
Melalui visi kebangsaan dan nasionalisme, PKB
mencoba untuk membuka diri dan pintu bagi setiap
warga negara Indonesia, muslim dan non muslim
untuk menjadi anggota partai. AD/ART PKB
menyebutkan bahwa syarat menjadi anggota partai
adalah warga negara Indonesia dan telah berumur 17
tahun atau telah menikah; dapat membaca dan
menulis; serta menyetujui dan menerima Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Partai
Politik.140 Jadi, PKB tidak mensyaratkan Islam sebagai
syarat keanggotaan, meskipun secara mendasar ia
merupakan partai yang didirikan oleh warga NU dan
140 Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 4.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 247
dibidani oleh PBNU, yang notabene menganut agama
Islam.
Dalam menjaring anggota sebanyak-banyaknya,
PKB mempermudah prosedur pendaftaran anggota,
yang dimulai dengan pengajuan untuk menjadi
anggota kepada Dewan Pengurus Cabang melalui
Pengurus Ranting setempat, disertai pernyataan
persetujuan terhadap AD/ART, politik partai dan
membayar uang pangkal. Jika permohonan
dikabulkan, maka status sebagai calon anggota
selama 6 (enam) bulan dapat dimiliki dengan hak
menghadiri kegiatan-kegiatan partai yang dilakukan
secara terbuka. Jika tahap ini terlampaui, maka status
anggota penuh dapat diberikan oleh Dewan
Pengurus Cabang dengan penerbitan Kartu Anggota
Partai. Namun demikian permintaan anggota dapat
ditolak, jika ditemukan alasan-alasan yang ber-
tentangan dengan AD/ART.141
Secara mendasar, keanggotaan partai dapat
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu anggota langsung,
anggota tak langsung dan anggota kehormatan.142
Dari ketiga jenis keanggotaan itu, kategori kedua
menempati urutan pertama dari keseluruhan massa
PKB, sedangkan urutan kedua ditempai oleh anggota
langsung, suatu realita yang barangkali disebabkan
oleh budaya politik kebanyakan warga negara
141 Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 5. 142 Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 3.
248 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Indonesia yang enggan berhubungan dengan
persoalan-persoalan administratif yang rumit dan
birokratis, di samping karena konsentrasi partai pada
hal-hal yang lebih mendesak seperti konsolidasi
internal kepemimpinan, menghadapi konflik politik
antar politisi NU, merespon isu-isu politik nasional
dan keterbatasan waktu karena harus segera
berancang-ancang mengikut pemilu. Sementara
anggota kehormatan, tidak banyak jumlahnya,
lantaran kualifikasi untuk masuk di dalamnya
tergolong tidak mudah.143
Selain diberi hak dan kewajiban, anggota partai
juga dilarang merangkap menjadi anggota partai lain,
menjadi organisasi kemasyarakatan yang azas dan
tujuannya berseberangan dengan azas dan tujuan
partai, serta harus tunduk pada struktur organisasi
partai yang lebih tinggi sepanjang tidak melanggar
AD/ART.144 Bila melanggar, maka diancam dengan
pembatalan keanggotaan, yang pelaksanaannya
dilakukan melalui beberapa tahap.145 Meskipun
demikian, upaya PKB untuk menampung seluruh
warga Nahdliyyin, sehingga dapat menjadikannya
sebagai partai politik yang tangguh, seperti dijelaskan
143 Mengenai proses untuk menjadi Anggota Kehormatan, dapat
dilihat pada ‘Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 6’. 144 Mengenai hak dan kewajiban anggota partai, dapat dilihat pada
‘Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 7 dan 8’. 145 Mengenai sanksi bagi yang melakukan pelanggaran dapat dilihat
pada ‘Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 10 dan 11’.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 249
terdahulu menemui batu sandungan dari para kiai
dan politisi, karena dari sayap NU selain Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) masih tetap eksis dan
established, berdiri pula Partai Nahdlatul Ummah
(PNU), Partai Kebangkitan Ummat dan Partai Serikat
Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI).
Sebagai partai yang dibidani kelahirannya oleh
PBNU, PKB sangat menggantungkan dukungan dari
komunitas NU, khususnya pesantren-pesantren NU
dan para kiai pengasuhnya, yang tersebar di wilayah
perdesaan Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat146
dan Kalimantan Selatan. Kecuali Kalimantan Selatan,
pada pemilu 1999, PKB ternyata mampu dan berhasil
mendulang kursi di tiga propinsi yang menjadi
kantong NU lainnya, terbanyak dibandingkan kursi
yang didulang oleh partai sayap NU lainnya. Dari
Propinsi Jawa Timur, PKB dapat mengumpulkan 24
(dua puluh empat) kursi DPR, Jawa Tengah 10
(sepuluh) kursi dan Jawa Barat mengumpulkan 6
(enam) kursi DPR. Sedangkan Propinsi Kalimantan
Selatan yang oleh PKB diprediksi dapat
menyumbang 11 (sebelas) kursi DPR, ternyata hanya
memperoleh 1 (satu) kursi DPR, sisanya terbagi
secara hampir berimbang di antara partai-partai
Islam, yakni masing-masing mendapatkan 1 (satu)
146 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,
Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke1, h.
251.
250 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
kursi dan hanya PPP yang memperoleh 2 (dua) kursi
DPR.147
Dengan demikian, identifikasi seorang
konstituen sebagai warga NU di Kalimantan Selatan
pada pemilu 1999 tidak serta merta orang itu
mengalirkan dukungan politiknya kepada partai
yang didirikan oleh kaum Nahdliyyin, suatu
kenyataan yang barangkali terjadi karena para kiai
tidak merubah dirinya sebagai vote getter bagi partai-
partai Islam, atau barangkali karena kurangnya
koordinasi dan sosialisasi tokoh-tokoh partai dengan
para kiai, atau barangkali karena para kiai,
pendulang suara menempatkan dirinya sebagai
“kaum independen”, sehingga membuka peluang
kepada para pengikutnya untuk menentukan
pilihannya secara mandiri, baik dengan tidak
mengikuti pemilu/golput maupun dengan
mendukung partai yang sudah established, Golkar
dengan berbagai pertimbangan yang sifatnya
pribadi.148 Di daerah ini, Partai Golkar berhasil
menggaet 3 (tiga) kursi DPR, disusul PDIP yang
memperoleh 2 (dua) kursi DPR. Jadi, di propinsi ini,
Partai Golkar tampil sebagai pemenang pemilu 1999.
147 Mulyana W. Kusumah, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun
1999”, dalam Juri Ardiantoro F., Transisi Demokrasi; Evaluasi Kritis
Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 127-136. Lihat
pula Panitia Pemeilihan Indonesia, Jakarta 1 September 1999. 148 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 121.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 251
Sementara di Lampung, daerah yang sebagian besar
penduduknya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur, sehingga menjadi kantong NU, menyumbang
2 (dua) kursi DPR bagi PKB.
Dengan demikian, perolehan kursi DPR di atas,
menggambarkan kedigjayaan PKB di Pulau Jawa,
khususnya Jawa Timur, daerah yang paling besar
jumlah pesantrennya di Indonesia. Pada tahun 1980
jumlah pesantren di propinsi ini mencapai 1.344 buah
dengan santri berjumlah 427.517 orang,149 sementara
pada tahun 2004, institusi pesantren tersebut
mengalami peningkatan hingga mencapai 3.582 buah
dengan santri berjumlah 1.169.256 orang dari 14.798
buah pesantren di Indonesia dengan santri berjumlah
3.464.334 orang.150 Jadi, melalui jaringan pesantren
yang ada, diiringi dengan peran kiai yang sangat
efektif, PKB mampu merebut hati rakyat dan
konstituennya, sehingga unggul dan menempati
urutan pertama dalam perolehan kursi DPR
dibandingkan partai Islam dan sekuler lainnya.
149 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen Pembinaan
Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 150 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen
Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia.
252 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
e) Struktur dan Kepemimpinan Partai
Struktur organisasi PKB berbentuk seperti garis
vertikal, merentang dari tingkat pusat sampai tingkat
daerah dan desa. Organisasi Tingkat Pusat dipimpin
oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP); Organisasi
Daerah Tingkat I dipimpin oleh Dewan Pengurus
Wilayah (DPW); Organisasi Tingkat II dipimpin oleh
Dewan Pengurus Cabang (DPC); Organisasi Tingkat
Kecamatan dipimpin oleh Pengurus Anak Cabang
dan Organisasi Tingkat Desa/Kelurahan dipimpin
oleh Pengurus Ranting. Pada masing-masing
tingkatan organisasi partai, susunan kepengurusan-
nya terbelah menjadi Dewan Syura dan Dewan
Tanfidzi. Struktur organisasi ini bersifat hirarkis dan
birokratis, sehingga kewenangan, tugas dan ke-
wajiban pimpinan di Tingkat Pusat adalah yang
paling besar, diikuti oleh Pengurus Wilayah,
Pengurus Cabang, Pengurus Anak Cabang dan
Pengurus Ranting. Dalam konteks kepemimpinan
partai, khususnya PKB, Dewan Pengurus Pusat
merupakan pimpinan tertinggi partai. Oleh karena
itu, dengan kepemimpinan yang bersifat kolektif,
DPP memiliki wewenang dan kewajiban paling besar.
Kewenangannya meliputi penentuan kebijaksanaan
partai pada tingkat nasional sesuai dengan Anggaran
Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan
Musyawarah Tingkat Nasional dan Peraturan Partai
lainnya, serta pengesahan komposisi dan personalia
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 253
Dewan Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang.
Sedangkan kewajibannya meliputi penyampaian
laporan pertanggungjawaban pada muktamar, serta
pelaksanaan segala ketentuan dan kebijaksanaan
partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional dan Peraturan Partai lainnya.151
Dalam pada itu, Dewan Syura dalam PKB
menempati posisi sentral, karena merupakan
pimpinan tertinggi yang menentukan kebijakan
partai. Dewan Syura adalah dewan pengurus kolektif
yang terdiri atas para ulama dan para ahli yang
mencerminkan representasi daerah sebagai
pemegang amanah kepengurusan partai tertinggi
pada setiap tingkatan. Pada tingkat pusat, jumlah
anggota Dewan Syura tidak boleh melebihi 17 (tujuh
belas) orang, dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada muktamar untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.
Susunan Dewan Syura terdiri atas ketua, wakil ketua,
sekretaris dan anggota. Bila ketua, wakil ketua dan
sekretaris berhalangan, maka dapat ditunjuk pejabat
sementara berdasarkan musyawarah Dewan Syura.
Selain Dewan Syura, kepengurusan partai juga
dipegang oleh Dewan Tanfidzi, yaitu dewan
pelaksana partai yang mengelola organisasi dan
program-program partai pada setiap tingkatan. Di
151 Anggaran Rumah Tangga PKB Bab III, Pasal 12.
254 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Tingkat Pusat dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada Dewan Syura Tingkat Pusat untuk masa
jabatan 5 (lima) tahun. Kepengurusannya terdiri dari
ketua umum, beberapa ketua, sekretaris jenderal,
beberapa wakil sekretaris jenderal, bendahara dan
beberapa wakil bendahara. Dewan Tanfidzi memiliki
kewenangan menentukan pola pengelolaan partai
sesuai dengan kebijaksanaan Dewan Syura serta
berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga, Keputusan Forum-Forum Musyawarah
Partai dan Peraturan Partai lainnya; serta
mengusulkan pembentukan perangkat-perangkat
partai pada tingkatannya masing-masing sesuai
dengan kebutuhan dan berdasarkan ketentuan yang
berlaku. Sedangkan tugas-tugasnya meliputi (1)
Melaksanakan kebijaksanaan partai sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga,
Keputusan Forum-Forum Permusyawaratan Partai
dan Peraturan Partai lainnya; (2) Mengelola
organisasi dan program-program partai secara efektif
dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan partai
dan (3) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada Dewan Syura.
Untuk kelancaran pelaksanaan program-
program, Dewan Pengurus Pusat membentuk
kelengkapan partai yang disebut departemen, yang
terdiri dari Departemen Organisasi, Keanggotaan dan
Kaderisasi, Departemen EKUIN, Departemen
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 255
Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen
Pemuda dan Mahasiswa, Departemen Hubungan
Internasional, Departemen Media Massa dan
Pengembangan Opini, Departemen Jaringan
Informasi dan Data, Departemen Seni dan Budaya
dan Departemen Tenaga Kerja, Buruh, Tani dan
Nelayan.152
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dikatakan struktur organisasi dan kepengurusan PKB
memperlihatkan kesamaan dengan struktur
organisasi massa Nahdlatul Ulama, suatu kenyataan
yang sangat mungkin karena antara PKB dan NU
memiliki hubungan yang bersifat historis, kultural
dan aspiratif. Sebagaimana NU, susunan pengurus
PKB di setiap tingkatan ada dua, Dewan Syura dan
Dewan Tanfidzi, di mana kewenangan pertama lebih
besar dibandingkan kewenangan yang kedua. Dewan
Syura yang anggotanya terdiri dari para kiai adalah
jajaran pimpinan yang menentukan kebijaksanaan,
melakukan kontrol, mengevaluasi bahkan bisa mem-
veto keputusan partai yang operasionalisasinya
dilakukan oleh Dewan Tanfidzi.
Kewenangan yang begitu besar yang diberikan
kepada Dewan Syura, bagi PKB merupakan
penghargaan, lantaran salah satu kekuatan yang
terpenting dalam PKB adalah pesantren dan para kiai
152 Julia I. Suryakusuma, Almanak Parpol Indonesia, (Jakarta: API,
1999), h. 279-280.
256 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
pengasuhnya. Melalui otoritas agama yang
disandangnya, mereka mampu menyerap aspirasi
masyarakat yang ada di sekitarnya, bahkan melalui
kharisma dan kepiawaiannya dalam mengemas
bidang-bidang di luar agama, mereka juga dapat
berperan sebagai lokomotif perubahan dalam bidang
sosial, ekonomi, kesehatan, kebudayaan dan cara
pandang masyarakat, yang pada gilirannya mereka
dapat menjadi kekuatan politik yang empiris. Jadi,
sebagai partai yang dibentuk untuk menyalurkan
aspirasi warga NU yang sangat menghormati ulama,
PKB tidak ingin tercerabut dari akar realitas tersebut.
PKB tidak dapat mengingkari bahwa sejatinya yang
memiliki umat dan massa secara nyata adalah para
kiai, sehingga keberadaannya di dalam partai harus
dihargai dengan menempatkannya pada posisi yang
strategis. Oleh karena itu, seperti telah diuraikan,
PKB merancang struktur organisasi yang
mengkolaborasikan struktur organisasi politik
modern, rasional, idealistik yang diilhami oleh nilai-
nilai keagamaan dan pragrmatisme dalam pengertian
yang positif.
2. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
a) Proses Pembentukan Partai
Sejalan perjalanan waktu, dari sayap NU berdiri
Partai Kebangkitan Nasional Ulama (selanjutnya
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 257
disebut PKNU).153 Pendirian partai politik baru ini
bermula dari pertemuan para kiai/ulama, Rabu, 6
September 2006 di Graha Astra Nawa Jl. Gayungan
Timur, Surabaya. Dalam rapat ini, mereka sepakat
untuk mendirikan partai dan oleh karena itu, mereka
memberikan mandat dan amanah kepada KH.
Abdullah Faqih, kiai kharismatik, pengasuh Pondok
Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur dan
KH. Abdurrochman Chudlori, pengasuh Pondok
Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo,
Magelang, Jawa Tengah, untuk mempersiapkan
pendirian partai baru sekaligus melakukan istikhoroh
guna memperoleh isyaroh atau petunjuk-petunjuk
dari Allah.154
Sebagai ulama kenamaan, KH. Abdullah Faqih
dan Mbah Dur, demikian KH. Abdurrochman
Chudlori akrab disapa, pada pertemuan di Ponpes
Langitan, Widang, Tuban, Kamis, 14 September 2006,
mengembangkannya menjadi Tim 9 (sembilan).
Selanjutnya, pada pertemuan di Ponpes Lirboyo,
Kediri, Jawa Timur, Jum’at 21 September 2006, rapat
sepakat mengembangkan Tim 9 (sembilan) menjadi
153 Berdirinya PKNU bermula dari perseteruan panjang antara PKB
Gus Dur+Muhaimin Iskandar dengan PKB Alwi Shihab+Saifullah
Yusuf. Dari PKB yang terakhir inilah kemudian muncul PKB Ulama dan
selanjutnya lahir PKNU, setelah PKB Gus Dur+Muhaimin Iskandar
memperoleh kemenangan dan pengesahan dari Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia (Depkumham) Republik Indonesia. 154 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara
Merdeka (Semarang), 30 Maret 2007.
258 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Tim 17 (tujuh belas), dan dilengkapi dengan Tim
Asistensi yang terdiri dari 13 orang. Pada pertemuan
tanggal 10 Nopember 2006, di Ponpes al-Falah, Ploso,
Mojo, Kediri, Jawa Timur, draft rancangan pendirian
partai yang telah dibuat, diolah dan didiskusikan
kembali, dan pada pertemuan puncak, tanggal 21
Nopember 2006, di Ponpes Langitan, Widang, antara
para kiai dengan Tim 17 (tujuh belas), yang
merupakan representasi para ulama NU, yaitu KH.
Abdullah Faqih (Langitan, Widang, Tuban, Jatim),
KH. Ma’ruf Amin (Tenara, Banten), KH.
Abdurrochman Chudlori (Tegalrejo, Magelang,
Jateng), KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin (Panji,
Situbondo, Jatim), KH. M. Idris Marzuki (Lirboyo,
Kediri, Jatim), KH. Ahmad Warson Munawwir
(Krapyak, Daerah Istimewa Yogyakarta), KH.
Muhaimin Gunardo (Parakan, Temanggung, Jateng),
KH. Abdullah Schal (Bangkalan, Jatim), KH. Sholeh
Qosim (Sepanjang, Sidoarjo, Jatim), KH. Nurul Huda
Djazuli (Ploso, Kediri, Jatim), KH. Chasbullah Badawi
(Cilacap, Jateng), KH. Abdul Adzim Abdullah
Suhaimi, MA. (Mampang Prapatan, Jakarta Selatan),
KH. Mas Muhammad Subadar (Besuki, Pasuruan,
Jatim), KH. A. Humaidi Dakhlan, Lc. (Banjarmasin,
Kalsel), KH. M. Thahir Syarkawi (Pinrang, Sulsel),
Habib Hamid bin Hud al-Atthos (Cililitan, Jakarta
Timur) dan KH. Aniq Muhammadun (Pati, Jateng),
dihasilkan 9 butir kesepakatan, antara lain para kiai
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 259
sepakat mendirikan parpol baru bernama PKNU
sebagai kelanjutan PKB Ulama yang didlholimi oleh
pengadilan dan kekuasaan. Dengan demikian, 21
Nopember 2006 merupakan tanggal, para kiai sepuh
yang berjumlah tujuh belas kiai tersebut, bertempat
di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban,
sepakat dan menandatangani akad politik pendirian
PKNU.155
Pendirian PKNU oleh para kiai/ulama yang oleh
masyarakat dikenal mempunyai integritas keilmuan
dan bermoral, dapat dipandang sebagai wadah
politik untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
(iqāmah al-haq wa al-‘adl), di samping harus dimaknai
sebagai kebangkitan nasional “dari” (min al) ulama,
karena melalui PKNU, para kiai/ulama menjadi
motor yang menandai kebangkitan nasional kedua
untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sudah rusak. Selain
itu, kehadirannya juga harus dimaknai sebagai alat
politik untuk memperjuangan kebangkitan nasional
sebagaimana ditunjukkan oleh para ulama terdahulu
yang telah mewujudkan rasa cinta tanah air (hub al-
wathan) dengan perlawanan terhadap penjajah.156
155 PKNU Diklaim sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka,
(Semarang), 27 Nopember 2006. 156 KH. Abdullah Faqih, Ketua Tim Tujuh Belas Kiai dan Anggota
Dewan Mustasyar PKNU, Wawancara Pribadi, Widang 15 Pebruari
2007.
260 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Dengan demikian, melalui PKNU para kiai/
ulama mempunyai keinginan untuk memperbaiki
keadaan bangsa dan negara yang mengalami
keterpurukan berkepanjangan pada semua sektor
kehidupan, di samping juga menghendaki tercipta-
nya tatanan sosial dan politik di Indonesia selaras
dengan visi keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah,
sehingga tercapai harmonisasi serta dapat meng-
hindari benturan antara agama dan negara (li al-Ishlāh
al-Ummah Dīniyyatan wa Ijtimāiyyatan, Iqtishādiyyatan
wa Siyāsiyyatan, Fikriyyatan wa Akhlāqiyyatan). Karena
parpol yang ada tidak ada yang memiliki struktur
dan platform sesuai dengan tanggung jawab para
ulama, bahkan ada parpol yang hanya menjadikan
ulama sebagai pelengkap dan alat legitimasi belaka,
maka para kiai/ulama pun sepakat untuk men-
dirikan PKNU yang berangkat dengan visi ke-
agamaan, sebagai wadah politik untuk menyalurkan
dan memperjuangkan aspirasi warga NU. Jadi,
PKNU adalah warna politik baru yang jauh dari
arogansi kekuasaan, karena dikawal oleh para
ulama.157
PKNU dideklarasikan pada Sabtu, 31 Maret 2007
di Pondok Pesantren Langitan Widang, Tuban, Jawa
Timur, bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw dan istighotsah untuk mendo’akan
157 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara
Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 261
keselamatan bangsa dan negara atas berbagai
berbagai bencana yang terjadi. Di depan 20 ribu
massa, puluhan ulama “Kelompok Kiai Sepuh”, Tim
17 pendiri PKNU dan sejumlah habaib dari berbagai
daerah, yang memenuhi halaman, Ketua Umum DPP
PKNU, optimis mampu menarik mayoritas suara
Nahdliyyīn pada pemilu 2009, bahkan yakni suara
Nahdliyyīn yang secara nasional kurang lebih 18
persen bisa dipungut PKNU.“158 PKNU ini, klaim
Anam, merupakan wujud baru Partai NU dulu”.
Pada Pemilu 1955 dan 1971, Partai NU meraup suara
18 persen dari total suara pemilih nasional. Oleh
karena itu, PKNU yang didirikan oleh para ulama
senior NU berani menargetkan perolehan suara 18
persen pada Pemilu 2009. Dengan basis utama Jawa
Timur, yang juga basis utama NU, maka PKNU yakin
target 18 persen tidak mengada-ada.159 Ia optimis
massa PKB Jawa Timur akan berpindah ke PKNU
karena kiai-kiai berpengaruh di Jawa Timur adalah
nyata-nyata atau notabene merupakan pendiri partai
yang diketuainya itu. Para kiai itu antara lain KH.
Abdullah Faqih, KH. Ahmad Sufyan, KH. M. Idris
Marzuki, KH. Abdullah Schal, KH. Sholeh Qosim,
KH. Nurul Huda Jazuli, KH. Mas Muhammad
Subadar dan Lora Cholil, kiai muda, putera kiai besar
NU almarhum KH. As’ad Syamsul Arifin. Perolehan
158 Deklarasi PKNU, Republika, (Jakarta), 2 April 2007, h. 3. 159 PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyīn, Antara News, (Jakarta), 31
Maret 2007.
262 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
11 juta suara nasional PKB pada Pemilu 2004, tujuh
juta di antaranya merupakan sumbangan dari Jawa
Timur. Sementara di luar Jawa Timur, sejumlah kiai
NU berpengaruh juga bergabung di PKNU, seperti
KH. Abdurrochman Chudlori, KH. Muhaimin
Gunardo, KH. Aniq Muhammadun, KH. Chasbullah
Badawi (Jateng), KH. Warson Munawwir (DIY), KH.
Humaidi Dahlan (Kalsel), KH. M. Thahir Syarkawi
(Sulsel), dan Habib Hamid bin Hud al-Atthos dan
KH. Abdul Adzim Suhaimi (Jakarta) dan KH. Ma’ruf
Amin (Banten).160 PKNU sendiri telah didaftarkan ke
Departemen Hukum dan HAM pada 18 Oktober 2006
dan secara organisatoris telah siap mengikuti Pemilu
2009. Ia optimis PKNU lolos verifikasi dan dapat
mengikuti pemilu, karena sesuai aturan, kepengurus-
an PKNU sudah ada di 30-an propinsi dan 350-an
kabupaten/kota yang merupakan peralihan dari
kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hasil
Muktamar Surabaya.
KH. Ma’ruf Amin Ketua Dewan Mastasyar
PKNU, yang juga salah seorang Rois Syuriah PBNU
dan Ketua Komisi Fatwa MUI, menyatakan PKNU
meski berazas Islam, tidak akan mengarahkan
Indonesia menjadi Negara Islam. “PKNU meyakini
NKRI adalah bentuk final Negara ini.” PKNU
mempunyai tiga pandangan dalam meletakkan
syariat Islam di dalam bingkai NKRI, sehingga tidak
160 Ibid.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 263
akan terjadi benturan antara Islam dan Negara serta
antara umat Islam dengan penganut agama lain.
Pertama, PKNU mendukung dan mengupayakan
formalisasi syariat yang ruang lingkupnya privat dan
tidak mengundang keberatan pemeluk agama lain,
misalnya UU Haji, Zakat, Perkawinan, Wakaf dan
Waris. Kedua, terkait persoalan yang menentukan
wilayah publik, PKNU akan berusaha memasukkan
substansi atau nilai-nilai dasar agama Islam. Ketiga,
apabila ha-hal tersebut tidak bisa dicapai, maka
PKNU akan memperjuangkan terciptanya kesesuaian
aturan dengan nilai dari tujuan-tujuan syariat.
Dengan demikian, agama dan negara bisa tumbuh
bersama-sama dan saling mengisi, sehingga tercapai
harmonisasi. Ini dimungkinkan karena azas PKNU
itu Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang bermakna
mendasar untuk membentuk karakter dan sikap
politik yang moderat, toleran, reformatif, dinamis dan
bermetode.161
KH. Ma’ruf Amin selanjutnya menegaskan,
bahwa NU sebagai organisasi telah memilih
mengambil jarak dengan partai politik, sedangkan
partai politik yang ada dinilai kurang sejalan dengan
aspirasi para ulama, terutama dalam penataan dan
perbaikan kehidupan umat. Oleh karena itu, mereka
mendirikan PKNU dan keterlibatan mereka dalam
PKNU bukan untuk mengejar kedudukan politik,
161 Ibid.
264 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
melainkan untuk memenuhi tanggung jawab
keulamaan, salah satunya adalah tanggung jawab
yang berkenaan dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara. NKRI adalah fitrah. Oleh karena itu, harus
dikawal melalui perjuangan politik agar cita-cita
negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Jadi, tidak
ada kepentingan politik pribadi, baik jangka pendek
maupun jangka panjang.162
KH. Abdurrochman Chudlori, Ketua Dewan
Syuro yang juga dikenal sebagai pengasuh Pondok
Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo,
Magelang, Jawa Tengah, menegaskan, politik
bukanlah sesuatu yang haram bagi kalangan ulama.
Justru, para ulama harus terlibat di dalamnya agar
bisa turut langsung dalam upaya memperbaiki dan
mengatur negara, di samping mengurus umat. Jadi,
PKNU ini merupakan bangkitnya ulama untuk ikut
mengatur negara agar tidak semakin rusak. Kiai dan
ulama wajib mendirikan partai sebagai sarana ikut
mengatur negara, bukan untuk mengejar
kekuasaan.163
162 Ibid. 163 Ulama Harus Melekat Dengan Politik, Republika, (Jakarta), 17
Desember 2006, h. 3.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 265
b) Azas dan Tujuan
Sebuah partai cenderung memilih Islam sebagai
azasnya jika seluruh penggagas dan sebagian besar
pendukungnya menganut agama Islam. PKNU yang
didirikan oleh para kiai sepuh dan didukung oleh
warga NU juga punya kecenderungan yang sama,
dengan menjadikan Islam menurut faham Ahl al-
Sunnah wa al-Jamā’ah sebagai azas (ciri khusus yang
dapat membentuk karakter politik bagi sebuah
partai), yakni membentuk karakter dan sikap politik
yang moderat (tawassuthiyyah), toleran
(tasammuhiyyah), reformatif (islāhiyyah), dinamis
(tathowwuriyyah) dan bermetode (manhījiyyah).
Sedangkan tujuan perjuangannya adalah untuk
mengabdi kepada Allah SWT, menegakkan
kebenaran dan keadilan, mewujudkan kebersamaan
dan persaudaraan sejati sesuai dengan nilai-nilai
Islam ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah di dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.164
c) Visi & Misi
Visi PKNU adalah menciptakan negara dan
bangsa yang adil, damai, dan sejahtera (baldatun
164 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara
Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007. Lihat pula Anggaran Dasar
PKNU BAB III, Pasal 3 dan 4.
266 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
thoyyibatun wa robbun ghafūr) sebagai perwujudan
dari rasa keimanan yang berlandaskan keagamaan
dan rasa cinta tanah air. Sedangkan misi PKNU
tecermin dari tiga bentuk tanggung jawab yang
diemban ulama. Pertama, tanggung jawab yang
berkaitan dengan agama Islam (dīniyyah Islāmiyyah),
yakni ulama menjadi penjaga keberlangsungan
agama Islam yang berdasarkan aqidah Ahl al-Sunnah
wa al-Jamā’ah (mas’uliyyah dīniyyah Islāmiyah ‘ala
thariqah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah) sebagai kerangka
berfikir dan bertindak dalam beragama dan ber-
bangsa, sehingga antara agama dan negara tumbuh
bersama saling mengisi dan tercapai harmonisasi.
Tanggung jawab kedua yang dipikul ulama
adalah bertalian dengan umat (mas’uliyyah
ummatiyah), yakni ulama berupaya untuk memenuhi
tuntutan umat atas tiga hal yang menjadi kebutuhan-
nya, antara lain kebutuhan primer (dharuriyyah/
asāsiyyah), kebutuhan sekunder (hājiyyah), dan ke-
butuhan yang sifatnya aksesoris (tahsīniyyah/
takmīliyyah). Kebutuhan umat baik yang primer,
sekunder maupun aksesoris ini menjadi tanggung
jawab ulama untuk memenuhinya agar tercapai
kesejahteraan.
Ketiga, tanggung jawab ulama yang berkenaan
dengan berbangsa dan bernegara (mas’uliyyah
wathaniyyah). Terkait tanggung jawab ini, para ulama
meyakini, bahwa Negara Kesatuan Republik
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 267
Indonesia (NKRI) adalah final. Keyakinan ini harus
senantiasa dikawal melalui artikulasi (perjuangan)
politik ulama agar cita-cita Negara Republik
Indonesia seperti termaktub dalam Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 dapat terwujud dengan
sebaik-baiknya.165
PKB adalah partai yang dibentuk dan dibesarkan
oleh para kiai yang berkomitmen kuat terhadap Islam
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Berkat keterlibatan kiai-
kiai sepuh di dalamnya, PKB berhasil meraih
peringkat ketiga perolehan suara pemilu 1999 dengan
persiapan yang hanya enam bulan. Ironisnya, dalam
perjalanan selanjutnya, partai ini mempertontonkan
tingkah laku yang melenceng jauh dari cita-cita
politik kiai. Akibatnya, para kiai yang semuanya
merupakan tokoh-tokoh NU terkemuka bersepakat
bahwa partai ini tidak dapat lagi dijadikan sebagai
alat perjuangan politiknya. Karena, sudah sangat
menyimpang dari rancang bangun partai politik yang
diharapkan baik dari sisi perilaku, platform, struktur
dan terutama ideologi. Sekalipun pembentukannya
difasilitasi oleh PBNU, namun, akibat dari pelbagai
penyimpangan tersebut, pada Muktamar NU ke-30 di
Asrama Haji Donohudan, Solo, PBNU secara tegas
165 Lihat Anggaran Dasar PKNU Bab V Pasal 7.
268 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
menyatakan tidak lagi ada ikatan politik, kultural dan
emosional dengan PKB.166
Bertolak dari serangkaian pertemuan yang
dilakukan secara marathon oleh sejumlah kiai sepuh
yang terakui kredibilitas moral dan keilmuannya atas
dinamika politik seperti dijelaskan di atas dan
diiringi dengan permohonan petunjuk kepada Allah
SWT., maka dicapailah satu kesepakatan untuk
mendirikan partai baru bernama PKNU sebagai alat
perjuangan bukan untuk meraih kekuasaan. Ke-
lahiran PKNU berarti kebangkitan nasional dari (min
al) ulama. Partai ini didirikan oleh para kiai untuk
dijadikan sebagai kekuatan penggerak yang paling
andal bagi kebangkitan nasional kedua di Indonesia,
guna melakukan pelbagai perubahan dalam kehidup-
an berbangsa dan bernegara yang sudah rusak.
Perubahan mendasar yang dikehendaki oleh PKNU
mencakup perubahan tatanan nilai, sistem, dan
kepemimpinan yang pada saat ini sangat mendesak
untuk dibenahi.167
166 A. Adib, “Politik Kiai dan Kiai Politik,” Semarang, (Suara
Merdeka), 5 April 2007. 167 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara
Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 269
d) Basis Massa
Melalui visi dan misi yang telah digariskan di
atas, PKNU mencoba untuk membuka diri dan pintu
bagi setiap muslim, warga negara Indonesia,
terutama kalangan Nahdliyyīn untuk menjadi anggota
partai. AD/ART PKNU menyebutkan bahwa syarat
menjadi anggota partai adalah warga negara
Indonesia, muslim dan telah berumur 17 tahun atau
telah menikah; dapat membaca dan menulis; serta
menyetujui dan menerima Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga serta Partai Politik.168 Jadi,
PKNU tetap mensyaratkan Islam sebagai syarat
keanggotaan, lantaran PKNU merupakan partai yang
didirikan oleh para kiai sepuh, kharismatik dan
berpengaruh, yang notabene merupakan warga dan
pengawal NU, bahkan di antara mereka ada yang
menduduki jabatan sebagai Rais Syuriah PBNU.169
Dalam menjaring anggota sebanyak-banyaknya,
PKNU mempermudah prosedur pendaftaran
anggota, yang dimulai dengan pengajuan untuk
menjadi anggota kepada Dewan Pengurus Cabang
melalui Pengurus Ranting setempat, disertai
pernyataan persetujuan terhadap AD/ART, politik
partai dan membayar uang pangkal. Jika per-
mohonan dikabulkan, maka status sebagai calon
168 Anggaran Rumah Tangga PKNU Bab II, Pasal 3. 169 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara
Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.
270 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
anggota selama 6 (enam) bulan dapat dimiliki dengan
hak menghadiri kegiatan-kegiatan partai yang
dilakukan secara terbuka. Jika tahap ini terlampaui,
maka status anggota penuh dapat diberikan oleh
Dewan Pengurus Cabang dengan penerbitan Kartu
Anggota Partai. Namun demikian permintaan
anggota dapat ditolak, jika ditemukan alasan-alasan
yang bertentangan dengan AD/ART.170
Secara mendasar, keanggotaan partai dapat
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu anggota langsung,
anggota tak langsung dan anggota kehormatan.171
Dari ketiga jenis keanggotaan itu, kategori kedua
menempati urutan pertama dari keseluruhan massa
PKNU, sedangkan urutan kedua ditempati oleh
anggota langsung, suatu realita yang barangkali
disebabkan oleh budaya politik kebanyakan warga
negara Indonesia yang enggan berhubungan dengan
persoalan-persoalan administratif yang rumit dan
birokratis, di samping karena konsentrasi partai pada
hal-hal yang lebih mendesak seperti konsolidasi
internal kepemimpinan, menghadapi konflik politik
antar politisi NU, merespon isu-isu politik nasional
dan keterbatasan waktu dan lain sebagainya.
Sementara anggota kehormatan, tidak banyak
jumlahnya, lantaran kualifikasi untuk masuk di
dalamnya tergolong tidak mudah.
170 Anggaran Rumah Tangga PKNU Pasal 5. 171 Anggaran Rumah Tangga PKNU Pasal 4.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 271
Selain diberi hak dan kewajiban, anggota partai
juga dilarang merangkap menjadi anggota partai lain,
menjadi organisasi kemasyarakatan yang azas dan
tujuannya berseberangan dengan azas dan tujuan
partai, serta harus tunduk pada struktur organisasi
partai yang lebih tinggi sepanjang tidak melanggar
AD/ART. Bila melanggar, maka diancam dengan
pembatalan keanggotaan, yang pelaksanaannya
dilakukan melalui beberapa tahap.172 Meskipun
demikian, upaya PKNU untuk menampung seluruh
warga Nahdliyyin, sehingga dapat menjadikannya
sebagai partai politik yang tangguh, bisa jadi akan
menemui batu sandungan dari para kiai dan politisi,
karena dari sayap NU selain Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) juga terdapat Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). PPP masih tetap eksis dan
established, serta menyatakan diri sebagai partai
berazas Islam, menggantikan azas Pancasila dan
berlambang Ka’bah menggantikan lambang
Bintang.173
172 Anggaran Rumah Tangga PKNU Bab II, Pasal 11. 173 Pada Muktamar PPP, Rabu, 9 Desember 1998, di Asrama Haji,
Pondok Gede, Jakarta Timur, ada 2 (dua) wacana yang mencuat yakni
penggantian tanda gambar dan Islam sebagai azas partai. Fenomena
pertama tidak lebih dari sebuah fenomena simbolik, sementara wacana
kedua bersifat substansial, karena dengan fenomena itu, PPP berupaya
“mengidentifikasi” dirinya secara tegas agar ia dapat “mendefinisikan”
diri dan didefinisikan” sebagai partai politik modern, dengan basis
konstituen yang khas. Konkretnya, pertama, ia tetap memiliki jatidiri
dan citra positif sebagai partai politik berbasis massa Islam. Kedua,
dengan demikian, PPP telah melakukan terobosan politik: agar
272 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Sebagai partai yang dibentuk oleh para kiai
pesantren, pengawal NU dan warga NU, PKNU
sangat menggantungkan dukungan dari komunitas
NU, khususnya pesantren-pesantren NU dan para
kiai pengasuhnya, yang tersebar di wilayah
perdesaan Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan daerah-
daerah lain di Indonesia. Khusus untuk Jawa Timur,
Ketua Umum optimis pada Pemilu 2009, partai yang
dipimpinnya mampu mendulang 11 juta suara
Nahdliyyin yang tersebar di daerah itu, mengingat
Jawa Timur merupakan daerah yang paling besar
jumlah pesantrennya di Indonesia. Pada tahun 1980
jumlah pesantren di propinsi ini mencapai 1.344 buah
dengan santri berjumlah 427.517 orang, sementara
pada tahun 2004, institusi pesantren tersebut
mengalami peningkatan hingga mencapai 3.582 buah
dengan santri berjumlah 1.169.256 orang dari 14.798
buah pesantren di Indonesia dengan santri berjumlah
3.464.334 orang. Jadi, melalui jaringan pesantren yang
ada, diiringi dengan peran kiai yang sangat efektif,
PKNU mampu merebut hati rakyat dan konstituen-
nya, sehingga unggul dan menempati urutan pertama
dalam perolehan kursi DPR kelak dibandingkan
perolehan suara dalam pemilu kelak bertambah, atau setidaknya
bertahan. Lihat M. Alfan Alfian, ‘Islam Politik’ PPP, dalam Musa
Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan
Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 305.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 273
partai Islam dari sayap NU khususnya dan partai
sekuler lainnya.174
e) Struktur dan Kepemimpinan Partai
Struktur organisasi PKNU berbentuk seperti
garis vertikal, merentang dari tingkat pusat sampai
tingkat daerah dan desa. Organisasi Tingkat Pusat
dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP);
Organisasi Daerah Tingkat I dipimpin oleh Dewan
Pengurus Wilayah (DPW); Organisasi Tingkat II
dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC);
Organisasi Tingkat Kecamatan dipimpin oleh
Pengurus Anak Cabang dan Organisasi Tingkat
Desa/Kelurahan dipimpin oleh Pengurus Ranting.
Pada masing-masing tingkatan organisasi partai,
susunan kepengurusannya terdiri dari Dewan
Mustasyar (Dewan Pertimbangan), Dewan Syura
(Dewan Permusyawaratan) dan Dewan Tanfidzi
(Dewan Eksekutif).175 Struktur organisasi ini bersifat
174 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara
Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007. Lihat pula PKNU Tarik
Mayoritas Nahdliyyīn, Antra News, (Jakarta), 31 Maret 2007. 175 Bandingkan dengan struktur organisasi PKB yang hanya terdiri
dari Dewan Syuro dan Dewan Tanfidzi, sedangkan struktur organisasi
PPP terdiri dari Majelis Pertimbangan Partai, Majelis Pakar dan Dewan
Pimpinan Pusat. Bila pada PKB, Dewan Syuro mempunyai posisi
sentral, karena ia merupakan pimpinan tertinggi yang menentukan
kebijaksanaan partai, maka pada PPP, Dewan Pimpinan Pusat Partai
justru menempati posisi sentral, karena sebagai Dewan Pelaksana, ia
menentukan kebijakan partai, bukan Majelis Pertimbangan Partai atau
274 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
hirarkis dan birokratis, sehingga kewenangan, tugas
dan kewajiban pengurus di tingkat Pusat adalah yang
paling besar, diikuti oleh Pengurus Wilayah,
Pengurus Cabang, Pengurus Anak Cabang dan
Pengurus Ranting. Dalam konteks kepengurusan
partai, khususnya PKNU, Dewan Pengurus Pusat
merupakan pimpinan tertinggi partai. Oleh karena
itu, dengan kepengurusan yang bersifat kolektif, DPP
memiliki wewenang dan kewajiban paling besar.
Kewenangannya meliputi penentuan kebijaksanaan
partai pada tingkat nasional sesuai dengan Anggaran
Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan
Musyawarah Tingkat Nasional dan Peraturan Partai
lainnya, serta pengesahan komposisi dan personalia
Dewan Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang.
Sedangkan kewajibannya meliputi penyampaian
laporan pertanggungjawaban pada muktamar, serta
pelaksanaan segala ketentuan dan kebijaksanaan
partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat
Nasional dan Peraturan Partai lainnya.176
Majelis Pakar. Keduanya hanya berfungsi memberi pertimbangan
semata dan penentu akhir tetap pada DPP. Sementara pada PKNU,
Dewan Mustasyar menempati posisi sentral, karena ia merupakan
pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pengarah dan penentu
kebijakan partai yang mendasar. Dengan demikian, letak posisi sentral
penentu kebijakan partai sangat kondisional dan tergantung pada
masing-masing partai politik. 176 Anggaran Rumah Tangga PKNU Bab III, Pasal 13.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 275
Dalam pada itu, Dewan Mustasyar dalam PKNU
menempati posisi sentral, karena merupakan
pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pengarah
dan penentu kebijakan partai yang mendasar. Dewan
Mustasyar adalah dewan pengurus kolektif yang
beranggotakan para kiai senior dengan KH. Ma’ruf
Amin sebagai Rois. KH. Ma’ruf Amin menegaskan,
keterlibatan ulama dalam PKNU bukan untuk
mengejar kedudukan politik, melainkan untuk
memenuhi tanggung jawab keulamaan, salah satunya
adalah tanggung jawab yang berkenaan dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara.177 Pada tingkat
pusat, jumlah anggota Dewan Mustasyar 26 (dua
puluh enam) orang kiai senior, dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada muktamar untuk masa
jabatan 5 (lima) tahun. Susunan Dewan Mustasyar
terdiri dari seorang ketua dan beberapa orang
anggota. Bila ketua, berhalangan, maka berdasarkan
musyawarah dapat ditunjuk anggota senior sebagai
pejabat sementara. Karena berfungsi sebagai peng-
arah dan penentu, maka Dewan Mustasyar melalui
Dewan Syura dapat melakukan kontrol dan meng-
evaluasi, bahkan bisa menveto keputusan partai yang
secara operasional dilakukan oleh Dewan Tanfidzi.
Dengan demikian, dalam kepengurusan PKNU,
selain Dewan Mustasyar, juga terdapat Dewan Syuro
177 PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret
2007.
276 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dan Dewan Tanfidzi. Struktur keduanya berada di
bawah Dewan Mustasyar. Sebagaimana Dewan
Mustasyar, kepengurusan Dewan Syuro juga diisi
oleh para kiai dan terdiri dari seorang ketua dan 5
(lima) wakil ketua, seorang sekretaris dan wakil
sekretaris serta 14 (empat belas) anggota. Ketua
Dewan Syuro terpilih KH. Abdurrochman Chudlori,
pengasuh Ponpes Asrama Perguruan Islam, Tegal-
reja, Magelang, sementara sekretaris terpilih Prof. Dr.
Alwi Shihab, mantan Ketua Umum PKB dan mantan
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI.
Sementara Kepengurusan Dewan Eksekutif diduduki
oleh politisi dan terdiri dari seorang ketua umum, 8
(delapan) ketua, seorang sekretaris jenderal, 8
(delapan) wakil sekjen, seorang bendahara dan 5
(lima) wakil bendahara. Ketua Umum PKNU terpilih
Drs. H. Choirul Anam, mantan Ketua Pengurus
Wilayah PKB Jawa Timur dan Ketua Umum PKB
hasil Muktamar Ulama Surabaya, sekretaris jenderal
terpilih H. Idham Cholied, sedangkan bendahara
umum terpilih Ridwan Zai.178 Dewan Tanfidzi
merupakan dewan pelaksana partai yang mengelola
organisasi dan program-program partai pada setiap
tingkatan. Di tingkat Pusat dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada Dewan Syura dan Dewan
Mustasyar Tingkat Pusat untuk masa jabatan 5 (lima)
178 PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret
2007. Dalam Deklarasi itu, juga disebutkan Struktur Organisasi PKNU
di atas.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 277
tahun. Dewan Tanfidzi memiliki kewenangan
menentukan pola pengelolaan partai sesuai dengan
arahan dan kebijaksanaan Dewan Mustasyar, Dewan
Syura serta berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga, Keputusan Forum-Forum Musya-
warah Partai dan Peraturan Partai lainnya; serta
mengusulkan pembentukan perangkat-perangkat
partai pada tingkatannya masing-masing sesuai
dengan kebutuhan dan berdasarkan ketentuan yang
berlaku. Sedangkan tugas-tugasnya meliputi (1)
Melaksanakan kebijaksanaan partai sesuai dengan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga,
Keputusan Forum-Forum Permusyawaratan Partai
dan Peraturan Partai lainnya; (2) Mengelola
organisasi dan program-program partai secara efektif
dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan partai;
dan (3) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada Dewan Mustasyar dan Dewan Syuro.
Untuk kelancaran pelaksanaan program-
program, Dewan Pengurus Pusat membentuk
kelengkapan partai yang disebut departemen, yang
terdiri dari Departemen Organisasi, Keanggotaan dan
Kaderisasi, Departemen EKUIN, Departemen
Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen
Pemuda dan Mahasiswa, Departemen Hubungan
Internasional, Departemen Media Massa dan
Pengembangan Opini, Departemen Jaringan
Informasi dan Data, Departemen Seni dan Budaya
278 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
dan Departemen Tenaga Kerja, Buruh, Tani dan
Nelayan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dikatakan struktur organisasi dan kepengurusan
PKNU tidak memperlihatkan kesamaan dengan
struktur organisasi massa Nahdlatul Ulama, suatu
kenyataan yang sangat mungkin, karena antara
PKNU dan NU meskipun didirikan oleh para kiai
pesantren, tidak memiliki hubungan yang bersifat
historis, kultural dan aspiratif. Namun, karena
dibentuk oleh para kiai, Ketua Umum PKNU
mengklaim bahwa PKNU adalah kelanjutan dari PKB
Ulama hasil Muktamar Surabaya, berdasarkan salah
satu butir keputusan final rapat para kiai “Tim Tujuh
Belas” di Ponpes langitan, Widang, Tuban, 21
Nopember 2006, bahkan juga dikalim bahwa “PKNU
merupakan wujud baru Partai NU dulu.”179
Kewenangan yang begitu besar yang diberikan
kepada Dewan Mustasyar dan Dewan Syura, bagi
PKNU merupakan penghargaan, lantaran salah satu
kekuatan yang terpenting dalam PKNU adalah
pesantren dan para kiai pengasuhnya. Melalui
otoritas agama yang disandangnya, mereka mampu
menyerap aspirasi masyarakat yang ada di sekitar-
nya, bahkan melalui kharisma dan kepiawaiannya
179 Lihat “PKNU Diklaim Sebagai kelanjutan PKB,” Suara
Merdeka, (Jakarta), 27 Nopember 2006. lihat pula “PKNU Tarik
Mayoritas Nahdliyyin,” ANTARA News, (Jakarta), 31 Maret 2007.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 279
dalam mengemas bidang-bidang di luar agama,
mereka juga dapat berperan sebagai lokomotif
perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, kesehatan,
kebudayaan dan cara pandang masyarakat, yang
pada gilirannya mereka dapat menjadi kekuatan
politik yang empiris. Jadi, sebagai partai yang
dibentuk untuk menyalurkan aspirasi warga NU
yang sangat menghormati ulama, PKNU tidak ingin
tercerabut dari akar realitas tersebut. PKNU tidak
dapat mengingkari bahwa sejatinya yang memiliki
umat dan massa secara nyata adalah para kiai,
sehingga keberadaannya di dalam partai harus
dihargai dengan menempatkannya pada posisi yang
strategis. Oleh karena itu, seperti telah diuraikan,
PKNU merancang struktur organisasi yang
mengkolaborasikan struktur organisasi politik
modern, rasional, idealistik yang diilhami oleh nilai-
nilai keagamaan dan pragmatisme dalam pengertian
yang positif.180
Kepengurusan PKNU, untuk Dewan Mustasyar
(Dewan Pertimbangan) diisi antara lain oleh para
deklarator dan anggota Tim Tujuh Belas dengan
Rois/Ketua, KH. Ma’ruf Amin, Anggota, KH.
Abdullah Faqih, KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin,
KH. Zainal Aibidin Munawwir, KH. Muhaiman
Gunardo, KH. Achmad Basyir (Kudus), KH.
180 KH. Abdurrochman Chudlori, Politik Kiai dan PKNU, Suara
Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.
280 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
Abdullah Schal, KH. M. Idris Marzuki, KH. Nurul
Huda Djazuli, KH. Mas Muhammad Subadar, KH.
Mansur Sholeh, KH. Hasbullah Badawi, KH. Afif
Astari, KH. Abdul Hamid Baedhowi, Habib Syagaf
al-Jufri, MA., KH. Abdul Jalil Ma’ruf, KH. Hasan
Syarif, Lc., KH. Choiruddin Rais, KH. Abdurrahman,
KH. Achmad Basyir (Sumenep), KH. Ahmad Damiri,
KH. Ahya’ al-Anshori, KH. Abdul Aziz Afandi,
Habib Hamid bin Hud al-Atthos, Nyai Hj. Nihayah
Achmad Shiddiq dan Nyai Hj. Umroh Thalhah
Mansur. Dewan Syuro (Dewan Permusyawaratan)
juga diisi antara lain oleh para deklator dan anggota
Tim Tujuh Belas dengan Ketua, KH. Abdurrochman
Chudlori, Wakil Ketua, KH. Ahmad Warson
Munawwir, KH. Anwar Iskandar, KH. Ubaidillah
Faqih, KH. A. Humaidi Dakhlan, Lc., dan KH. M.
Thahir Syarkawi. Sekretaris, Prof. Dr. H. Alwi Shihab,
Wakil Sekretaris, KH. Aly As’ad, Anggota, KH. R.
Muhammad Cholil As’ad, KH. Sholeh Qosim, KH.
Hasan Aminuddin, KH. Muchtar Amin, KH.
Machrus, KH. Abdul Haq Zaini, KH. Sulthon Daeng
Rowa, KH. Amir Asyikin, KH. Abdul Latif Faqih, KH.
Abdul Adzim Abdullah Suhaimi, MA., KH. Aniq
Muhammadun, KH. Amin Siradj, Habib Anis al-
Hinduwan dan Tengku H. Razali Irsyad. Sedangkan
Dewan Tanfidz (Dewan Eksekutif) diduduki oleh
politisi dengan Ketua Umum, Drs. H. Choirul Anam,
Ketua, R. Saleh Abdul Malik, MBA., Dr. H. Zein
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 281
Heflin Frinces, B.Sc., M.Sc., Soc., MA., H. Chudry
Sitompul, SH., MH., Ir. H. Mukhtar Thaher, MT.,
Muhammad Nazief, SE., MBA., H. Muhammad Said,
Dra. Hj. Siti Ma’rifah, SH., MM. dan Ahmad Anas
Yahya. Sekretaris Jenderal, H. Idham Cholied, Wakil
Sekjen, Drs. M. Jamaluddin Shofisa, SH., M.Kn.,
Muhammad Tohadi, SH., M.Si., H. Andi Najmi
Fuaidi, SH., Drs. H. Nur Hasan, M.Si., Drs. H. Ni’am
Syukri MSR., Galih Fachruddin Qurbani, ST.,
Abdullah Mufied Mubarok, dan Zainal Abidin Amir,
S.Ag., SIP. Bendahara Umum, Ridwan Zai, Dipo
Nusantara Pua Upa, SH., Drs. HT. Jakin Sobri, MM.,
Bambang Sungkono, H. Abdul Chalim dan Dra. Hj.
Farichatul Aini.181
Berdasarkan akad yang telah disepakati dan
struktur organisasi partai di atas, maka para kiai
ingin menegaskan bahwa PKNU pada pentas politik
nasional, akan membangun warna baru: politik kiai,
yakni bahwa partai politik dan politisi bergerak
sesuai dengan arahan dan bimbingan para kiai,
bukan kiai politik, yang cenderung berarti kiai-lah
yang terseret arus politik. Jadi, karakter politik kiai
dibangun di atas landasan bahwa politik merupakan
alat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
(iqomah al-haq wa al-‘adl) dengan orientasi amar ma’ruf
181 PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret
2007. Dalam Deklarasi itu, juga disebutkan Struktur Organisasi PKNU
di atas.
282 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
nahi al-munkar, sehingga bagi PKNU politik tidak
sekedar, meraih dan mempertahankan kekuasaan
belaka, tetapi sebagai ibadah mencari ridlo Allah
SWT.182
Dari terminologi politik kiai tersebut, maka
nampak bahwa yang membedakan PKNU dari
partai-partai politik lain yang sudah ada adalah
terletak pada kehadiran Dewan Mustasyar – selain
Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz – yang tidak
sekedar hiasan berisikan kiai sepuh, tetapi memiliki
bobot politik yang besar, sehingga bisa mengeluarkan
veto atas perilaku yang dinilai bertentangan dengan
arahan perjuangan partai. Karena posisi politiknya
yang besar itu, maka Dewan Mustasyar berfungsi
pula sebagai problem solver dari sengketa politik yang
mungkin muncul.183
3. Implikasi Kebangkitan PKB dan PKNU Terhadap
Dunia Pesantren
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan salah satu
dari sekian banyak partai yang berdiri pada era
reformasi. Pembentukannya yang terjadi, sehari
setelah Soeharto meletakkan jabatan sebagai
182 A. Adib, Politik Kiai dan Kiai Politik, Suara Merdeka,
(Semarang), 5 April 2007. 183 Ibid.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 283
Presiden, Kamis, 21 Mei 1998, tidak bisa dipisahkan
dari desakan warga NU, kiai pesantren, politisi dan
para simpatisan, kepada PBNU. Oleh karena itu,
tepat bila dikatakan bahwa PKB merupakan partai
yang kelahirannya dibidani oleh PBNU dan direstui
oleh para kiai pesantren yang menjadi pendukung
dan pengawal NU.184 Selain itu, PKB juga dapat
dikatakan sebagai partai jelmaan dari partai NU,185
yang pada tahun 1970-an difusikan dengan tiga partai
Islam lainnya – Parmusi, PSII dan Perti – menjadi
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan
pembentukan PKB juga dapat dikatakan sebagai jalan
tengah dari warga NU untuk berjuang pada lini
struktural melalui proses pembuatan dan perumusan
kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat,
sambil terus melakukan gerakan kultural melalui NU
yang tetap dipertahankan sebagai organisasi sosial
keagamaan (jam’iyah dīniyah) pada era perubahan
yang terjadi di pentas politik nasional. Untuk
memberi landasan perjuangan PKB di sektor
struktural, maka dirumuskanlah mabda’ siyāsy (titik
tolak politik) dengan pendekatan fiqih siyāsy untuk
184 Pengawalan kiai pesantren terhadap PKB terlihat dari suara yang
diperolehnya. Sebagai partai partai yang masih belia, PKB bisa
mendulang suara cukup besar dan muncul sebagai partai yang
menduduki posisi keempat, setelah PDIP, Partai Golkar dan PPP. 185 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai
Islam Versus Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h.
133.
284 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
menerapkan nilai-nilai dan etika sosial Islam dalam
bernegara, sebagaimana telah menjadi tradisi NU.186
Adapun PKNU merupakan partai politik yang
pendiriannya dibidani oleh para kiai pesantren yang
sebelumnya menjadi pendukung dan pengawal PKB.
Pendirian PKNU juga tidak bisa dipisahkan dari
konflik berkepanjangan antara PKB versi Muktamar
Semarang yang dipimpin oleh Gus Dur-Muhaimin
Iskandar dengan PKB versi Muktamar Surabaya
pimpinan Choirul Anam. Karena keputusan
Mahkamah Agung memberikan kemenangan kepada
kepengurusan PKB versi Muktamar Semarang, maka
sejumlah kiai pesantren yang tergabung dalam
Forum Langitan, langsung mengambil sikap
mendirikan partai baru.187 Partai yang dideklarasikan
di Pondok Pesantren Langitan pada Sabtu, 31 Maret
2006 di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa
Timur itu diberi nama Partai Kebangkitan Nasional
Ulama (PKNU). Dengan demikian, pada era
reformasi ini terdapat tiga partai yang
kepengurusannya didominasi oleh warga NU, yakni
PPP, PKB dan PKNU. Khusus dua yang terakhir ini,
pendiriannya banyak melibatkan kiai pesantren.
186 A. Muhaimin Iskandar, “PKB: Politik Rahmatan Lil-‘Alamin,”
dalam Sahar L. Hasan, (ed.), Memilih Partai Islam, Visi, Misi dan
Persepsi, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 25-26. 187 Kiai Langitan Siapkan Partai Baru, Republika, (Jakarta), 26
Agustus 2006, h. 3.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 285
Sebagai partai politik, pendirian PKB dan PKNU
jelas banyak melibatkan kiai pesantren. Tetapi
kemudian, persoalannya pada basis akar rumput,
terutama warga pesantren yang menjadi
pendukungnya, juga akan terpolakan mengingat
kedua partai tersebut, pembentukannya juga dibidani
oleh para pengasuh pesantren? Pada era Orde Baru,
khususnya pada era 1970-1980-an, pesantren bisa
terpolakan, misalnya ada pesantren Golkar dan ada
pesantren PPP.188 Pesantren Golkar diwakili oleh
Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang.
Sedangkan pesantren PPP diwakili oleh Pondok
Pesantren Tebuireng, Pondok Pesantren al-Taroqqy,
Sampang Madura, Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Asembagus, Situbondo, Pondok Pesantren Langitan,
Widang Tuban dan lain sebagainya. Tetapi pada era
reformasi, berkaitan dengan keberadaan dua partai,
PKB dan PKNU, pola-pola pesantren bisa jadi masih
ada, tetapi tidak sekental era pemerintah Presiden
Soeharto, sebagaimana terlihat pada Pemilu 2004
yang lalu, ada satu atau bahkan banyak pesantren
yang santrinya menyalurkan aspirasinya kepada
banyak partai, misalnya ada yang memberikan
188 Imam Suprayogo, “Kiai dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian
Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai,” Disertasi Doktor
Ilmu Sosial, (Surabaya: Perpustakaan Pascasarjana Universitas
Airlangga, 1998), h. 14.
286 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi
suaranya ke PKB, PPP, Golkar, Partai Demokrat, PKS
atau bahkan PDI dan lain sebagainya.189
Dalam pandangan kiai, pemberian suara oleh
para santri yang tidak tunggal itu biasa di era
reformasi ini. KH. Abdullah Faqih, Ketua Deklarator
PKNU, menanggapi pernyataan Khadziq, Ketua
Umum DKN Garda Bangsa, yang menyatakan bahwa
tidak wajib hukumnya bagi kader PKB masuk ke
PKNU, tetapi, tidak dilarang jika kader PKB masuk
ke PPP sebagaimana dijelaskan di atas, justru
menegaskan bahwa tidak perlu saling menggembosi,
apalagi saling menjatuhkan. Para kiai yang selama ini
menjadi panutan PKB hasil Muktamar Surabaya
sudah mufakat mendirikan PKNU sebagai wadah
baru. Kalau mau gabung sumonggo (silahkan), jika
tidak, ya tidak usahlah komentar macam-macam.190
Dalam konteks pesantren, penegasan KH. Abdullah
Faqih tersebut juga menunjukkan kearifan seorang
kiai bahwa sesama pesantren tidak perlu bersitegang
apalagi konflik, sehingga menyebabkan perpecahan
pesantren. Masing-masing pesantren dapat menjalan-
189 Lihat lebih lanjut Asrori S. Karni dan Arif Sujatmiko, Politik
Seribu Pintu, Gatra, XI, 1-2 (November, 2004), h. 20-25. Kondisinya
tidak seperti pada era Orde Lama dan Orde Baru yang membenturkan
Islam Nasionalis (Nasionalis Religius) dengan bukan Islam (Nasionalis
Sekuler), sehingga terdapat anggapan yang tidak mencoblos Masyumi
berarti tidak Islam dan yang tidak mencoblos PPP juga berarti tidak
Islam. Pesantren Tebuireng dipandang sebagai pendukung PPP,
sedangkan Pesantren Darul Ulum sebagai pendukung Golkar. 190 PKNU Diklaim Sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka,
(Semarang), 27 Nopember 2006.
Pesantren dan Dinamika Politik Nasional
Era Reformasi 1998 – 2004 287
kan aktivitasnya sesuai dengan ketentuan yang telah
digariskannya, bahkan juga dapat bersinergi dalam
memperjuangkan hak-hak pesantren sebagai lembaga
pendidikan melalui mekanisme penyusunan
anggaran pada lembaga legislatif dan eksekutif,
sehingga keberadaan dan keberlangsungannya tetap
dapat terjaga. Abdullah Mufiet Mubarok, Wakil
Sekjen PKNU, lebih lanjut, menyatakan bahwa semua
pihak hendaknya saling menghargai dan meng-
hormati, tidak perlu memberikan himbauan yang
tidak-tidak kepada yang lain, mau bergabung ya
silahkan, tidak maun bergabung ya tidak masalah.
Semua diserahkan kepada para santri dan warga
pesantren untuk menentukan pilihannya.191 Kiai M.
Hasib Wahab, Anggota Dewan Pembina Yayasan
Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang, malah
menyatakan bahwa partai bukan barang sakral.
Dakwah bisa dilakukan di mana saja. Jadi, dengan
bekal spirit NU, para santri dipersilahkan memilih
jalur politik mana saja, ibarat melalui seribu pintu.192
191 PKNU Diklaim Sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka,
(Semarang), 27 Nopember 2006. 192 Asrori S. Karni dan Arif Sujatmiko, Politik Seribu Pintu, Gatra,
XI, 1-2 (November, 2004), h.23-24.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, KH. Siradjuddin, Ulama Syafi’i dan Kitab-
kitabnya dari Abad ke Abad, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1975.
Abdullah, Taufik, Nasionalisme & Sejarah, Bandung:
Setya Historika, 2001, Cet. Ke-1.
Abdullah, Taufiq (ed), Sejarah Ummat Islam Indonesia,
Jakarta: MUI, 1991.
Aidit, D.N., Revolusi, Angkatan Bersenjata dan Partai
Komunis, Jakarta: Pembaruan, 1964.
Alfian, “Sekitar Lahirnya Nahdlatul Ulama” (NU),
Sebuah Resume Dalam Bentuk Booklet, Jakarta:
Leknas-LIPI, 1969.
Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan
Perwakilan Rakyat, Jakarta: Leknas, 1971.
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia,
Jakarta: Gramedia, 1978.
Ali, A. Mukti, Modern Thought in Indonesia,
Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971.
Ambary, Hasan Muarif (ed.), Geger Cilegon 1888
Peranan Pejuang Banten Melawan Penjajah
Belanda, Serang: Panitia Hari Jadi Ke-462 Pemda
Tk. II Kebupaten Serang, 1988.
Ambary, Hasan Muarif, Michrob, Halwani (ed), Geger
Cilegon 1888, Peranan Pejuang Banten Melawan
569
Penjajah Belanda, Serang: Pemda Tk. II
Kabupaten Serang, 1988.
Amin, M. Masyhur dan Ridwan, M. Nasikh, KH. Zaini
Mun’im, Pengabdian dan Karya Tulisnya,
Yogyakarta: LKPSM, 1996, Cet. Ke-1.
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto,
Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1.
Anam, Choirul (ed.), KHR. As’ad Syamsul Arifin,
Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya:
Sahabat Ilmu, 1994, Cet. Ke-1.
Anam, Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan
Nahdlatul Ulama, Surabaya: Jatayu Sala, 1985.
Anderson, Benedict R.O.G., Some Aspects of Indonesian
Politics under the Japanese Occupation 1944-1945,
Ithaca: Modern Indonesia Project, 1967.
Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Muhammadiyah,
Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
1962.
Anggaran Dasar dan Rumah Tangga PKB, Jakarta: DPP
PKB, 1999.
Anggaran Dasar dan Rumah Tangga PKNU, Jakarta:
DPP PKNU, 2006.
Anshari, E. Saifuddin, Kritik Atas Faham Dan Gerakan
“Pembaharuan” Drs. Nucholish Madjid, Bandung:
Bulan Sabit, 1973.
Antlov, Hans dan Cederroth, Sven, Kepemimpinan
Jawa, Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter,
terjemahan P. Soemitro, Jakarta: Yayasan Obor,
2001, Cet. Ke-1.
570
Aritonang, Diro, Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto,
Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. Ke-1.
Armstrong, Karen, Berperang demi Tuhan,
Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan Yahudi
terjemahan, Satrio Wahono, Muhammad Helmi
dan Abdullah Ali, Bandung: Mizan, 2001, Cet.
Ke-1.
Asmawi, PKB: Jendela Politik Gus Dur, Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1999.
Atjeh, H. Aboe Bakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid
Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia
Buku Peringatan KH. A. Wahid Hasyim, 1957.
Azhari, Muntaha dan Saleh, Abdul Mun’im (ed.),
Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta:
Perhimpunan Pengembangan Pesantren Dan
Masyarakat, 1989.
Aziz, A. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Missi
Islam, Kristen dan Yahudi Tentang Politik, alih
bahasa Ilyas Siraj, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000, Cet. Ke-1.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam Di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1994, Cet. Ke-1.
Al-Badri, Syaikh Abdul Aziz, Ulama Mengoreksi
Penguasa, terjemahan Salim Muhammad Wakid,
Solo: Pustaka Mantiq, 1991, Cet. Ke-2.
571
Baehaqi, Imam (Peny.), Soeharto Lengser; Perspektif
Luar Negeri, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Bakry, H.M.K., al-Ghazzali, Jakarta: Wijaya, 1962.
Barton, Greg, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS,
2003, Cet. Ke-1.
---------------, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia,
Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid,
Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman
Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999, Cet. Ke-1.
Basyaib, Hamid dan Abidin, Hamid (ed.), Mengapa
Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari
Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden,
Jakarta: Alvabet, 1999, Cet. Ke-1.
Batuthah, Ibnu, Rihlatu Ibnu Batuthah al-Musammat
Tujfatu al-Nadhar fi Gharāibi al-Amshor wa ‘Ajāibi
al-Asfār, Cairo: al-Istiqamah, 1386/1967, Juz. I.
Benda, Harry J., The Crescent and The Rising Sun,
Indonesian Islam under The Japanese Occupation
1942-1945, Den Haag: The Hague, 1958.
Benedanto, Pax, (et.al.), Pemilihan Umum 1999,
Demokrasi atau Rebutan Kursi?, Jakarta: LSPP,
1999.
Brugmans, I.J., Geschiedenis van het Orderwijs in Ned.
Indie, Batavia: Groningen, 1938.
Budiardjo, Miriam (ed), Partisipasi dan Partai Politik,
Jakarta: Gramedia, 1982.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Gramedia, 1999, Cet. Ke-20.
572
Cahyono, Heru, Peranan Ulama Dalam Golkar: 1971-
1980, Dari Pemilu Sampai Malari, Jakarta: Sinar
Harapan, 1992.
Castles, Lance, Tingkah Laku Agama, Politik dan
Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, Jakarta:
Sinar Harapan, 1982, Cet. Ke-1.
Chaidar, Manaqib Mbah Ma’sum, Kudus: Menara
Kudus, 1972.
Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-
Partai Islam versus Partai-Partai Sekuler, Jakarta:
Darul Falah, 1999, Cet. Ke-1.
Chalil, H. Moenawar, Biografi Empat Serangkai Imam
Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1955.
Deutsch, Karl W., Politics and Government: How People
Decide Their Fate, Boston, Houghton Mifflin Co.,
1970.
Dewantoro, Ki Hadjar, Taman Siswa, Yogyakarta:
Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962.
Dhakidae, Daniel, “Pemilihan Umum di Indonesia:
Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik”,
dalam Demokrasi dan Proses Politik, kumpulan
artikel di dalam Majalah Prisma, Jakarta: LP3ES,
1986.
Dhoefier, Zamakhsyari, The Pesantren Tradition, The
Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional
Islam in Java, USA: ASU, 1999.
Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat, Kiai
Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta:
LKiS, 1999, Cet. Ke-1.
573
Dirdjosisworo, Soedjono, Aspirasi Dan Sikap Politik
Gus Dur Di Tengah Reformasi Menuju Indonesia
Baru, Bandung: Mandar Maju, 1999.
Djajadiningrat, A., “Het Leven in Een Pesantren,
Tijdscrift Voor Het Binnenlandsche, Vol. 34,
1908.
Djumhur, I dan Danasuparta, H., Sejarah Pendidikan,
Bandung: Ilmu, 1974), Cet. Ke-9.
Djunaidi, H. Mahbub, Nahdlatul Ulama Kembali Ke
Khittah 1926, Bandung: Risalah, 1985, Cet. Ke-1.
DPW NU Daerah Istimewa Yogyakarta, Hasil Bahtsul
Masail Sekitar Pemilu Antar Pondok Pesantren Se-
Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Karya
Grafika, 1987.
Ecip, S. Sinansari (ed), NU Khittah dan Godaan Politik,
Bandung: Mizan, 1994.
---------------, NU Dalam Tantangan, Jakarta: al-Kautsar,
1989, Cet. Ke-1.
Effendy, Bachtiar, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal,
Retaknya Hubungan NU, Presiden dan Negara,
Jakarta: Ushul Press, 2005.
---------------, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 1998.
F., Juri Andiantoro, Transisi Demokrasi; Evaluasi, Kritis
Penyelenggaraan Pemilu 1999, Jakarta: KIPP,
1999.
574
Fathoni, Khoirul dan Zen, Muhammad NU Pasca
Khittah, Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah,
Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992.
Fealy, Greg dan Barton, Greg, Tradisionalisme Radikal:
Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara,
Yogyakarta: LKiS, 1997, Cet. Ke-1.
Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-
1967, Yogyakarta: LKiS, 2003, Cet. Ke-1.
Feillard, Andree, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi,
Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999, Cet.
Ke-1.
Feillard, Andree, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi,
Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999, Cet.
Ke-1.
Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy
in Indonesia, Ithaca, Cornell University Press,
1962.
Forrester, Geoff & May, RJ (ed.), The Fall of Soeharto,
Bathurst, NSW: Crawford House Publishing,
1998.
Gani, Soelistyati Ismail, Pengantar IlmuPolitik, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1991.
Gazalba, Sidi, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan
Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1962.
Geertz, Clifford, “The Javanese Kijaji: The Changing
Role of a Cultural Broker,” Comparative Studies
in Society and History, 2, No. 2 (Januari 1960).
575
---------------, The Religion Of Java, London: Collier-
Macmillan Limited, 1960.
Ghazali, Abd. Rohim, Gus Dur Dalam Sorotan
Cendekiawan Muhammadiyah, Bandung: Mizan,
1999.
Al-Ghazzali, Abu Hamid Muhammad, Ihya
‘Ulumuddin, Cairo: Musthafa al-Babi al-Halby,
1936.
---------------, al-Iqtisad Fi al-I’tiqad, Beirut: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 1983.
Gibb, H.A.R. and Kramer, J., Shorter Encyclopaedia of
Islam, Leiden: E.J. Brill, 1953.
Habibie, Bacharuddin Jusuf, Detik-Detik Yang
Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju
Demokrasi, Jakarta: THC Mandiri, 2006, Cet. Ke-
1.
Haidar, M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama Dan Islam Di
Indonesia, Pendekatan Fikih Dalam Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994, Cet. Ke-1.
Hamidi, Jazim (ed), Persepsi dan Sikap Masyarakat
Santri Jawa Timur Terhadap Bank Syariah,
Malang: Centre for Business & Islamic
Economics Studies, Faculty of Economics-
Brawijaya University, 2006.
Hasan, Sahar L., (ed.), Memilih Partai Islam, Visi, Misi
dan Persepsi, Jakarta: Gema Insani, 1998.
Hasyim, Abd. Wahid, “Pondok Pesantren Langitan
Widang Tuban, Sejarah Berdiri dan
Perkembangannya 1852-1982”, Skripsi Sarjana
576
Sejarah kebudayaan Islam, Jakarta:
Perpustakaan Fakultas Adab UIN Syarif
Hidayatullah, 1982.
Hiroko, Horikoshi, “A Traditional Leader in a Time for
Change: The Kijaji and Ulama in West Java”,
Disertasi, University of Illinois, 1976.
Hurgronje, C. Snouck, Mekka in the Latter Part of the
19th Century, translation J.H. Monahan, Leiden:
E.J. Brill, 1931.
Ida, Laode, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
---------------, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme
Baru, Jakarta: Erlangga, 2004.
Ilyas, Yunahar, Amin, M. Masyhur dan Lalito, M
Daru (ed.), Muhammadiyah dan NU Reorientasi
Wawasan KeIslaman, Yogyakarta: Kerjasama
LPPI UMY, LKPSM NU dan PP al-Muhsin,
1993, Cet. Ke-1.
Irsyam, Mahrus, Ulama dan Partai Politik, Jakarta:
Yayasan Perhidmatan, 1984.
Ismail, Faisal, NU, Gusdurisme dan Politik Kiai,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, Cet. Ke-1.
Ismaun, Pantjasila, Dasar Filsafah Negara Republik
Indonesia, Bandung: Carya Remadja, 1972.
J., Vredenbregt, De Baweanners in hun moederland en in
Singapore, Leiden: 1968.
Jalil, Abdul, Tuhfah al-Asfiya, Semarang: Toha Putra,
1963.
577
Jansen, G.H., Islam Militan Bandung: Pustaka, 1980.
Al-Jurjani, Syarif Ali bin Muhammad, al-Ta’rifāt,
Beirut: Dar al-Fikr, 1970.
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Universitas Yarsi, 1998.
Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution
in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press,
1952.
Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen
P&K., 1974.
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonilalisme
Sampai Nasionalisme Jakarta: Gramedia, 1990,
Cet. Ke-1, Jilid 2.
---------------, Protest Movement in Rural Java, A Study of
Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early
Twentieth Centuries, Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1973, Cet. Ke-1.
---------------, The Peasants Revolt of Banten in 1888,
Bandung: Gravenhage: Nijhoff, 1966.
Kazhim, Musa Kazhim & Hamzah, Alfian, 5 Partai
Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. Ke-1.
Kern, R.A., De Islam in Indonesia, Uitgeverij W. Van
Hoeve’s Gravenhage, 1974.
Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto Tentang
Pancasila, Jakarta: CSIS, 1976.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung:
Mizan, 1997, Cet. Ke-1.
578
Kusumah, Mulyana W., (dkk)., Penata Politik Pasca
Reformasi, Jakarta: KIPP INDONESIA, 2000, Cet.
Ke-1.
Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada
Abad XX, Jakarta: Arsip Nasional RI, 1981.
Laswell, Harold D., Politics, Who Gets What, When,
How, New York: World Publishing , 1972.
Lau & Shani, A.B., James B., Behaviour in
Organizations: An Experiential Approach,
Homewood: Richard Irwin Inc, 1992.
Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia a Study in
The Political Basses of Legal Institution, Jakarta:
Intermasa, 1980.
---------------, The Transition to Guided Democracy:
Indonesian Politics 1957-1959, New York: Cornell
University, 1966.
Liddle, William, Pemilu Pemilu Orde Baru, Pasang
Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik Di Indonesia
Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965),
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988,
Cet. Ke-1.
---------------, Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante, Islam Dan Masalah Kenegaraan,
Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. Ke-1.
Machfoedz, Maksoem, Kebangkitan Ulama dan
Bangkitnya Ulama, Surabaya: Yayasan Kesatuan
Ummat, 1983.
579
Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret
Perjalanan Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. Ke-1.
Mandan, Arief Mudatsir, Sidang Umum MPR RI 1999
Memilih Gus Dur Menjadi Presiden, Jakarta:
Forum Indonesia Satu, 2000.
Manning, Chris dan Van Diermen, Peter (ed),
Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial
Reformasi dan Krisis, Yogyakarta: LKiS, 2000.
---------------, Perkembangan Mutakhir dan Aspek Sosial,
Yogyakarta: LKiS, 2000.
Mansurnoor, Iik Arifin, Islam in Indonesian World:
Ulama of Madura, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1990.
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali Ke
Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren,
Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS,
2004, Cet. Ke-1.
Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn
Habib al-Basri al-Baghdadi, al-Ahkām al-
Sulthāniyah wa al-Wilayāt al-Dīniyah Cairo: Dar
al-Fikr, 1960.
Miri, M. Djamaluddin, Ahkāmul Fuqahā, Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan
Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama
(1926-2004), Surabaya: LTN NU Jawa Timur,
2004, Cet. Ke-1
580
Mitchell, Joyce M. Mitchell, William C., Political
Analysis and Public Policy: An Introduction to
Political Science, Chicago, Rand Mc. Nally, 1969.
Moehadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif,
Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, Cet. Ke-3, h. 15.
Moesa, Ali Maschan, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil
Society, Surabaya: LEPKISS, 1999, Cet. Ke-1.
Mudjib, Abdul, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Yogyakarta:
Nur Cahaya, 1980.
Muhammad Said Abdurrahim, I’lāmu al-Munadldlimīn
Biwujūbi Luzūmi al-Jam’iyat ‘Ala Jamā’ati al-
Muslimīn, tp: tt.
Muhammad, Muhib Huda, Pro Kontra Partai
Kebangkitan Bangsa, Jakarta: Fatma Press, 1988.
Mukhtar (ed), Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia,
Bandung: Rosdakarya, 1990.
Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik
Santri, Yogyakarta: Sipress, 1992, Cet. ke-1.
Mulyati, Sri (et.al), Mengenal & Memahami Tarekat-
Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2004, Cet. Ke-1.
Murtopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS,
1974, Cet. Ke-2.
Musthofa, KH. Bisri, Risalah Ahlu al-Sunnah wa al-
Jama’ah, Kudus, Yayasan al-Ibriz Menara
Kudus, 1967.
Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden
Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999, Cet. Ke-1.
581
Muzadi, H. A. Hasyim, Membangun NU di Era Pasca
Gus Dur; dari Sunan Bonang Sampai Paman Sam,
Jakarta: Grasindo, 1999.
---------------, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda
Persoalan Bangsa, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu
dan Pemikiran, 1999), Cet. Ke-1.
Nadjib, Muhammad, Ijtihad Politik Poros Tengah dan
Dinamika Partai Amanat Nasional, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2000.
Al-Naqsyabandi, Syekh Ahmad al-Kasyqani, Jami al-
Ushūl Fi al-Auliyā’, Beirut: Dar al-Fikr, 1970.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
Cet. Ke-1.
Noeh, Munawar Fuad dan HS., Mastuki (ed),
Menghidupkan Ruh Pemikiran K.H. Achmad
Siddiq, Jakarta: Logos Wcana Ilmu dan
Pemikiran, 1999, Cet. Ke-1.
Noer, Deliar, Partai-Partai Islam Di Pentas Nasional,
Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia
1945-1965, Jakarta; Grafiti Pers, 1987, Cet. Ke-1.
---------------, The Modernist Muslim Movement in
Indonesia 1900-1942, Singapore: Oxford
University Press, 1973.
Notonegoro, Pancasila Falsafah Negara, Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, 1974.
Notosusanto, Nugroho, Proses Perumusan Pancasila
Dasar Negara, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.
582
Pambudi, A., Kontroversi “Kudeta” Prabowo,
Yogyakarta: Media Pressindo, 2007.
PBNU, Permasalahan dan Jawaban Muktamar NU ke-28,
Kudus: Menara Kudus, 1989.
PBNU, Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama, Jakarta:
Panitia Harlah 40 NU, 1966.
Penuntun Santri, Lamongan: Pondok Pesantren
Langitan, 2004, Cet. Ke-1.
Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga ‘Fatayat
Nahdlatul Ulama’ Jakarta: Pucuk Pimpinan
Fatayat NU, 1990.
Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan dalam Alam
Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung,
1970.
Poerwodarminto, W.J.S., Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Poesponegoro, Marwati Djoenet dan Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta:
Balai Pustaka,1984, Cet. Ke-4.
Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras,
Jombang: Yayasan Ponpes Bahrul Ulum, 2006.
Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang:
Yayasan Darul Ulum, 2006.
Prasodjo, Sudjoko, (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil
Penelitian Pesantren al-Falak & Delapan Pesantren
Lainnya di Bogor, Jakarta: LP3ES, 1974.
Prijono, “Riwayat Penjajahan Barat dan Perlawanan
Umat Islam”, dalam Beberapa Penggalan dari
Sejarah Perjuangan Islam, Jakarta: 2605/1945.
583
Profil Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang:
Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, 2006.
Program Pengembangan Pondok Pesantren Darul Ulum,
Peterongan Jombang: Yayasan Darul Ulum,
2001.
Program Pengembangan Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang: Yayasan Pondok Pesantren
Tebuireng, 2000.
Quzwain, Chatib (dkk), Kompilasi Perundang-
Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama,
Jakarta: Departemen Agama RI, 1995.
Radi, Umaidi, Strategi Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) Semasa 1973-1982, Jakarta: Integritas
Press, 1984.
Rahardjo, M. Dawam (ed), Pesantren dan Pembaharuan,
Jakarta: LP3ES, 1974, Cet. Ke-1.
Rahim, Husni, Madrasah Dalam Politik Pendidikan Di
Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan
Pemikiran, 2005.
Rasyid, H. Sulaiman, Fiqih Islam, Jakarta: al-
Thohiriyah, 1955, Cet. Ke-13.
Renyaan, Yopie, B., Theodure dan Junaedi, Daniel P.
(ed.), Transisi Demokrasi, Evaluasi Kriitis
Penyelenggaraan Pemilu 1999, Jakarta: KIPP,
1999.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005, Cet. Ke-1.
Ridlwan, Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan
Pondok Pesantren, Sebagai Usaha Peningkatan
584
Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa,
Jakarta: Cemara Indah, 1978.
Ruslan, Utsman Abdul Mu’iz, al-Tarbiyah al-Siyāsiyah
‘Inda Jamā’ah al-Ikhwān al-Muslimīn, fi al-Fatrah
min 1928 ila 1954 fi Mishr, Mesir: Dār al-Tauzi’
wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1960.
Al-Qardhawi, Yusuf, Konsep Ilmu Dalam Persepsi
Rasulullah, terjemahan Amir Hamzah
Fahruddin, Mabrur Buang Tarmudzi dan
Zainal Arif Fachruddin RM, Jakarta: Firdaus,
1994, Cet. Ke-1.
---------------, Min Fiqhid Daulah Fil Islam, Cairo:
Durusy Syuruq, 1997, Cet. Ke-1.
Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Mahāsinu al-
Ta’wīl IX, Cairo: al-Babi al-Halabi, 1378-1959.
Al-Qusyairi, Imam Abu al-Qāsim Abu Karīm bin
Hawāzin, al-Risālah al-Qusyairiyah, Beirut: Dar
al-Fikr, 1970.
Siradj, Said Agiel, Islam Kebangsaan, Fiqih Demokratik
Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976.
Salim, Hairus dan Ridwan, Muhammad (ed), “Kultur
Hibrida”, Anak Muda di Jalur Kultural,
Yogyakarta: LKiS, 1999.
Salim, Peter, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1980.
585
Saragih, Bintan R., Lembaga Perwakilan Dan Pemilihan
Umum Di Indonesia, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1988, Cet. Ke-1.
Schrieke, B., Indonesian Sociological Studies,Part Two,
The Hague and Bandung: W. Van Hoeve,1957.
---------------, Indonesian Sosiological Studies, Part One,
The Hague, Bandung: W. Van Hoeve, 1955.
---------------, Sedikit Uraian Tentang Pranata Perdikan,
Jakarta: Bhratara, 1975.
Schwarz, Adam & Paris, Jonathan (ed.), The Politics of
Post Soeharto Indonesia, New York: The Council
on Foreign Relation, 1999.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap terbuka
Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997, Cet. Ke-
1.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 1996, Cet. Ke-1.
Siddiq, KH. Ahmad Siddiq, Khittah al-Nahdliyah,
Surabaya, Balai Buku, 1979.
---------------, Khittah Nahdliyah, Bangil: Percetakan
Persatuan, 1979.
---------------, Pedoman Berfikir ‘Nahdlatul Ulama’
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Cabang
Jember, Jember: TP, 1969.
Simandjuntak, I.P., Perkembangan Pendidikan di
Indonesia, Bandung: Angkasa, 1973.
Simorangkir, J.C.T., Kansil. C.ST. dan Erwin, Rudy T.,
Aku Warga Negara Indonesia, Jakarta: Gunung
Agung, 1970, Cet. Ke-1.
586
Sitompul, Einar Martahan, NU dan Pancasila, Sejarah
dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam di
Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila
Sebagai Satu-satunya Asas, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1989, Cet. Ke-1.
Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota, Aktivis Muda
NU Merambah Jalan Lain, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000.
Soebardi, “Santri Relegious Element as Reflected in The
Book of Tjentini,” Bidragen Tot De Taal Land-en
Volkenkunde, Vol. CXXVII, Martinus Nijhoff,
1971.
Soekardi, Heru, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Jakarta:
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya,
Departemen Pndidikan dan Kebudayaan, 1979.
Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005),
Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama
Republik Indonesia.
Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen
Pembinaan Kelembagaan Islam, Departemen
Agama Republik Indonesia.
Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Ulama, Gresik: Arsip
NU, 1926.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah:
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta:
LP3ES, 1974.
---------------, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia
Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, Cet.
Ke-1.
587
---------------, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial
Belanda Dan Islam Di Indonesia (1596-1942),
Bandung: Mizan, 1995.
Stibbi, D.G., Encyclopaedia Van Nederlandsch Indie, Vol.
III, Leiden: Martinus Nijhoff, 1919.
Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, Jakarta: Panitia
Penerbit, 1966.
Subchan, Arief (Penyunting), Indonesia Dalam Transisi
Menuju Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Sugihwaras, Sadikun, Pondok Pesantren Dan
Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Dharma Bakti,
1979.
Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO,
Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan
Demokratis 1966-2001, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2005, Cet. Ke-1.
Suharno, Sejarah Kelahiran dan Perjuangan Nahdlatul
Ulama, Jakarta: Lakpesdam NU, 1980.
Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, Terpilihnya
GUSDUR Terobosan Besar Elite Politik Islam,
Jakarta: Perenial Press, 1999, Cet. Ke-1.
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001, Cet. Ke-1.
Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Jakarta:
LP3ES, 1999, Cet. Ke-1.
Suminto, H. Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Het
kantoor voor Inlandsche zaken, Jakarta: LP3ES,
1985, Cet. Ke-1.
588
Suprayogo, Imam, “Kiai dan Politik Di Pedesaan,
Suatu Kajian Tentang Variasi dan Bentuk
Keterlibatan Politik Kiai,” Disertasi Doktor Ilmu
Sosial, Surabaya: Perpustakaan Pascasarjana
Universitas Airlangga, 1998.
Surdiasis, Fransiskus (ed.), Opini Denny J.A. Harian
Suara Pembaharuan, Jalan Panjang Reformasi,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.
Suryadinata, Leo, Political Parties and The 1982 General
Election in Indonesia, Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 1982.
Suryakusuma, Julia I., Almanak Parpol Indonesia,
Jakarta: API, 1999.
Suyuthi, Mahmud, Politik Tarekat, Yogyakarta: Gilang,
2002, Cet. Ke-1.
Al-Syahrastani, Abi al-Fath Muhammad Abdul Karim
Ibn Abi bakr Ahmad, al-Milal wa al-Nihal,
Beirut: Dar al-Fikr, Tt.
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, alih bahasa
H. Muhtar Yahya dan M. Sanusi Latief, Jakarta:
Bulan Bintang, 1970.
Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kiai, NU,
Pesantren dan Kkekuasaan: Pencarian Tak Kunjung
Usai, Yogyakarta: Kutub, 2003, Cet. Ke-1.
Thohir, Ajid, Gerakan Politik Kaum Tarekat, Telaah
Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat
Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,
Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, Cet. Ke-1.
589
Tim INCRes, Beyond Symbols, Jejak Antropologis
Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. Ke-1.
Tohadi, Muhammad, Oase Kebangsaan, Jakarta:
Lembaga Kajian Wacana Indonesia, 2000.
Trisula, Nilai-Nilai Moral Pendidikan Darul Ulum,
Jombang: Undar, 1982.
Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan,
Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1.
Ulum, Bahrul, “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”?
Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah,
Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta: Ar-
Ruzz Press, 2002, Cet. Ke-1.
Umam, Chatibul, “Pesantren dan Variasinya,”
Makalah Disampaikan Dalam Diskusi Dosen
Fakultas Adab, Jakarta, Fakultas Adab, 1989.
van Bruinessen, Martin, NU, Tradisi, Relasi-relasi
Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS,
1994, Cet. Ke-1.
---------------, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,
Bandung: Mizan, 1992, Cet. Ke-1.
---------------, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,
Survey Historis, Geografis dan Sosiologis,
Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke-3.
---------------, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung:
Mizan, 1995, Cet. Ke1.
van Den Berg, L.W.C., “Het Mohammedansche Godsdien
stonderwijs op Java en Madoera”, Tijdschrif Voor
590
Indische Taal Land-en Volkenkunde, Vol. XXXI,
1886.
Varma, S.P., Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali
Press, 1982.
Wahid, Salahuddin, Negeri Di Balik Kabut Sejarah,
Catatan-Catatan Pendek Salahuddin Wahid,
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000, Cet. Ke-1.
Weber, Max, The Theory of Social and Economic
Organization, New York: Macmillan, 1946.
Wertheim, W.F., From Aliran to Class Struggle in The
Country Side of Java, Pacific Viewpoint, 1969.
---------------, Indonesian Society in Transition a Study of
Social Change, The Hague and Bandung: W.V.
Van Hoeve, 1956.
Yamin, H.M., Tata Negara Majapahit II, Jakarta:
Yayasan Prapanca, tt.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam Di
Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.
Yusuf, Slamet Effendi (et al.), Dinamika Kaum Santri,
Menelusuri Jejak & Pergolakan Internal NU,
Jakarta: Rajawali, 1983, Cet. Ke-1.
Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, Kudus: Menara Kudus,
1963.
Zidane, Mehdy (ed), Nasihat Spiritual, Mengenal
Tarekat ala Habib Luthfi Bin Yahya, Bekasi: Hayat
Publishing, 2006, Cet. Ke-1.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial,
alih bahasa oleh Butche B. Soendjojo dari
591
Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel,
Jakarta: P3M, 1983.
Zuhri, KH. Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren,
Jakarta: Gunung Agung, 1987.
---------------, KH. Abdulwahab Chasbullah: Bapak dan
Pendiri Nahdlatul Ulama, Jakarta: Yamunu, 1972.
---------------, Sejarah Kebangkitan Islam Dan
Perkembangannya Di Indonesia, Bandung: al-
Ma’arif, 1981, Cet. Ke-3.
---------------, Guruku Orang-orang Dari Pesantren,
Bandung: al-Ma’arif, 1977.
SURAT KABAR/MAJALAH
A. Adib, Politik Kiai dan Kiai Politik, Suara Merdeka,
(Semarang), 5 April 2007.
Ahmad Tohari, “Kiai Soft Power,”, Republika,
(Jakarta), 21 Mei 2007. Anas Urbaningrum,
“legitimasi Gus Dur”, Panji Masyarakat, IV, 02
(April, 2000).
Arief Mudatsir Mandan, “al-Muhafadhotu ala al-Qadim
al-Sholeh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah,”
Pesan, (Jakarta). 5 Nopember 1980.
Asrori S. Karni dan Arif Sujatmiko, “Politik Seribu
Pintu”, Gatra Edisi Khusus, XI, 1-2 (Nopember,
2004).
Asrori S. Karni, “Ibukota” Kaum Nahdliyyin”, Gatra
Edisi Khusus, XI, 1-2 (Nopember, 2004), h. 23.
592
Azyumardi Azra, “Islam dan Politik Luar Negeri”,
Republika, (Jakarta), 7 Desember 2006.
Bachtiar Effendi, “NU Harus Tegaskan Khittah”,
Taswirul Afkar, 06 (Tahun 1999).
Gus Dur, “Kiai Jangan Berorientasi Kekuasaan”,
Republika, (Jakarta), 14 Maret 2007.
Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Why Not?
Republika, (Jakarta), 18 Nopember 2006.
Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Yes?,
Republika, (Jakarta), 17 Nopember 2006.
Hidayat: Cak Nur Akhirnya, ‘Partai Islam Yes!’,
Republika, (Jakarta), 3 Oktober 2006.
Ketua Umum PP RMI: “Pemerintah Diminta
Keluarkan PP Tentang Kepesantrenan,”
www.syirah.com/syirah ol/print2.php.2007.
KH. Abdullah Faqih, Menolak Istilah Kiai Khas dan
Kiai Kampung, Jawa Pos, (Surabaya), 2 April
2007.
KH. Abdurrochman Chudlori, “Ketua Dewan Syura
PKNU, Ulama Harus Melekat Dengan Politik,”
Republika, (Jakarta), 17 Desember 2006.
KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan
PKNU,” Suara Merdeka (Semarang), 30 Maret
2007.
KH. Alawy Muhammad, “Daerah-Daerah Rawan
Rusuh”, Panji Masyarakat, No. 4 (Mei, 1999).
KH. Idham Chalid, Kenang-Kenangan Mu’tamar Ke-
22, Jakarta, 13-18 Desember 1960.
593
Kholis Bahtiar Bakri dan Mujib Rahman, “Suara
Langit Tutupi Mega,” Gatra Edisi Khusus, XI, 1-
2 (November, 2004).
Syamsuddin Haris, NU dan Politik: Perjalanan
Mencari Identitas, Jurnal Ilmu Politik (Jakarta)
7, 1990.
Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore
Pramuka Santri 2009,” Republika (Jakarta), 15
September 2006.
Yusuf Hasyim, Panjimas, (Jakarta), 19 September
1987.
Yusuf Kalla, “Parpol Jangan Dikritik Terus”,
Republika, (Jakarta), 10 April 2007.
‘Asalkan Kompeten, Ulama Boleh Berpolitik’,
Republika, (Jakarta), 20 Mei 2007.
‘Banyak Ulama Lebih Suka Di Dunia Politik,
Republika, (Jakarta), 19 Mei 2007.
“Daerah-daerah Rawan Rusuh”, Panji Masyarakat, No.
4, (12 Mei, 1999). “Pesan Kesehatan Dari Pesantren”, Dialog Jum’at
Tabloit Republika, (Jakarta), 15 September 2006.
“PKNU Bertujuan Memperbaiki Bangsa”, Republika,
(Jakarta), 19 Pebruari 2007.
“PKNU Diklaim Sebagai kelanjutan PKB,” Suara
Merdeka, (Jakarta), 27 Nopember 2006.
“PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyin,” ANTARA News,
(Jakarta), 31 Maret 2007.
594
“Ulama Harus Melekat Dengan Politik”, Republika,
(Jakarta), 17 Desember 2006.
Banjir Klaim Dukungan Jelang Muktamar PPP,
Republika, (Jakarta), 22 Januari 2007.
Deklarasi PKNU, Republika, (Jakarta), 2 April 2007, h.
3.
DPW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai
Kebangkitan Bangsa, (Jakarta, 1998).
Halaqah, P3M, Edisi XI/2000, h. 5.
Harmonisasi Islam dan Demokrasi, Gatra Edisi
Khusus, (Jakarta), 27 Nopember 2004.
Jabat Tangan Soeharto-Gus Dur Sudah Lama
Dirindukan oleh Warga NU, Kompas, (Jakarta),
6 Nopember 1996.
Jawa Pos, 29 Mei 1999.
Kebijakan Program Pengembangan Ekonomi Pondok
Pesantren, Melalui Pemberdayaan Koperasi
Pondok Pesantren, Republika, (Jakarta), 9
Nopember 2007.
Ketika Teknokrat Memimpin Negara, Republika,
(Jakarta), 22 September 2006.
Kiai Langitan Siapkan Partai Baru, Republika,
(Jakarta), 26 Agustus 2006.
Kompas (Jakarta), 5 Oktober 1999.
Kompas (Jakarta), 9 Oktober 1999, h. 3.
Kompas, 16 Januari 2000.
Mazhab Maliki terkadang juga diikuti di Banten, Jawa
Barat.
595
Media Indonesia, 22 Nopember 2000.
Parpol Berebut Posisi Kaum Santri, Republika,
(Jakarta), 12 Nopember 2007.
Pidato Presiden di depan Sidang Pleno DPR pada
tanggal 16 Agustus 1973. Kompas, 12 Januari
1973.
PKNU Diklaim Sebagai Kelanjutan PKB, Suara
Merdeka, (Semarang), 27 Nopember 2006.
PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta),
31 Maret 2007.
PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyīn, Antara News,
(Jakarta), 31 Maret 2007.
Pondok Pesantren, Aset Bangsa Yang Tak Ternilai,
www.depag.go.id/ index. php.2007.
Republika, 27 Mei 1999.
Republika, 30 Mei 1999.
RI Terima Medali Demokrasi, Republika, (Jakarta), 13
Nopember 2007.
RMI Kumpulkan Pimpinan Ponpes Se-Indonesia,
Bahas ‘Ancaman Ideologi Transnasional, Warta,
(Jakarta), 16 Mei 2007.
Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Ulama, Gresik:
Arsip NU, 1926.
Ulama Harus Melekat Dengan Politik, Republika,
(Jakarta), 17 Desember 2006.
596
MAKALAH/UNDANG-UNDANG
Ali, A. Mukti, “Kurikulum Pondok Pesantren” materi
disampaikan pada Seminar Pondok Pesantren
Seluruh Indonesia Tahap I, Yogyakarta, 1965.
Bab I, Pasal 2, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
Bab II, Pasal 11 Ayat 2, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
Daftar Nama-Nama Anggota DPR RI Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa, Jakarta: Sekretariat DPR
RI, 1999.
Daftar Nama-Nama Anggota DPR RI Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan, Jakarta: Sekretariat
DPR RI, 1999.
Daftar Pendidikan Agama Islam 2005, Ditjen
Kelembagaan Islam Departemen Agama
Republik Indonesia
Panitia Pemilihan Indonesia, Jakarta 1 September
1999.
Pasal 7, ayat 2, UU No. 5 Tahun 2004, Tentang
Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
Pasal 7, ayat 2, UU No. 5 Tahun 2004, Tentang
Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
Pasal 8, ayat 4, UU No. 5 Tahun 2004, Tentang
Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
597
Penuntun Santri, Lamongan: Pondok Pesantren
Langitan, 2004, Cet. Ke-1.
Peraturan Pondok Pesantren Langitan Widang
Tuban, 2005/2006.
PW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai
Kebangkitan Bangsa.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 1999, Tentang Pengelolaan Zakat dan
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581
Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat Jakarta: Dirjen Bimas Islam
dan Urusan Haji, Departemen Agama RI, 1999.
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Badan Peradilan di lingkungan Peradilan
Agama tersebut dialihkan ke Mahkamah
Agung.
UU No. 7 Tahun 1989, Organisasi, Administrasi dan
Finansial, Badan Peradilan di lingkungan
Peradilan Agama berada di bawah Departemen
Agama.
UU RI No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
598
UU RI No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 1990.
WAWANCARA
A. Effendy Choirie, Anggota FPKB DPR, Wawancara
Pribadi, Jakarta, 10 Januari 2007.
Ahmad Mawardi, Ketua Pengurus Pondok Pesantren
al-Taroqqy, Wawancara Pribadi, Sampang
Madura, 02 Maret 2007.
Ahmad Murtaji, Ketua Pondok Pesantren Langitan,
Wawancara Pribadi, Widang, Tuban, 17
Pebruari 2007.
Gus Hakam, Keluarga Pondok Pesantren Tebuireng,
Wawancara Pribadi, Jombang, 13 Pebruari 2007.
Gus Munib Marzuqi, Pengasuh Pondok Pesantren
Langitan, Wawancara Pribadi, Widang Tuban,
18 Pebruari 2007.
Gus Zahrul Azhar Asumta, Putra kiai As’ad Umar
dan Pendiri Pesantren Tinggi Darul Ulum,
Wawancara Pribadi, Peterongan Jombang, 22
Pebruari 2007.
KH. Abdullah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren
Langitan dan Ketua Dewan Mustasyar PKNU,
Wawancara Pribadi, Widang Tuban, 15
Pebruari 2007.
599
Kiai A. Dimyathi Romli, Ketua Bidang Khusus
Pendidikan, Wawancara Pribadi, Peterongan
Jombang, 20 Pebruari 2007.
Kiai A. Hamid Wahid, Anggota FPKB DPR,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 5 Januari 2007.
Kiai Achmad Taufiqurrohman, Ketua Umum
Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum,
Wawancara Pribadi, Tambak Beras Jombang, 27
Pebruari 2007.
Kiai Alawy Muhammad, Pimpinan Pondok Pesantren
al-Taroqqy, Wawancara Pribadi, Sampang, 28
Pebruari 2007.
Kiai As’ad Umar, Ketua Umum Majelis Pimpinan
Pondok Pesantren Darul Ulum dan Anggota
DPR Dari Golkar, Wawancara Pribadi,
Peterongan Jombang, 21 Pebruari 2007.
Kiai Fadlulloh Malik, Anggota Dewan Pengawas
Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum,
Wawancara Pribadi, Tambak Beras Jombang, 26
Pebruari 2007.
Kiai Faruq Alawy, Pengasuh Pondok Pesantren al-
Taroqqy, Wawancara Pribadi, Sampang
Madura, 01 Maret 2007.
Kiai Ishak, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng,
Wawancara Pribadi, Jombang, 12 Pebruari 2007.
Kiai Muhammad Hasib Wahab, Anggota Dewan
Pembina Yayasan Pondok Pesantren Bahrul
600
Ulum dan Anggota DPR dari Fraksi PDIP,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 08 Maret 2007.
Kiai Roqib Wahab, Koordinator Departemen
ketertiban, Wawancara Pribadi, Tambak Beras,
Jombang, 24 Pebruari 2007.
Kiai Salahuddin Wahid, Direktur Pondok Pesantren
Tebuireng, Wawancara Pribadi, Jombang, 11
Pebruari 2007.
Kiai Ubaidilah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren
Langitan, Wawancara Pribadi, Widang Tuban,
16 Pebruari 2007.
Salman al-Fariesi, Koordinator Departemen
Pendidikan, Wawancara Pribadi, Tambak Beras
Jombang, 25 Pebruari 2007.