324

Sikap Kiai Terhadap Politik Era Reformasi

Embed Size (px)

Citation preview

Sikap Kiai Terhadap Politik

Era Reformasi

Sikap Kiai Terhadap Politik Era Reformasi Penulis: Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA.

Penerbit:

Lembaga Penerbitan Pascasarjana

Universitas Islam “45” Bekasi

Jl. Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113

Telp. (021) 71685361

Fax. (021) 8801192

e-mail: [email protected]

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Copyright @ Abdul Wahid Hasyim

Editor Naskah: Siti Asiah

Perancang Sampul: Suswoyo

Cetakan Pertama: Maret 2009

ISBN: 978-979-19414-6-4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL - i

KATA PENGANTAR - iii

DAFTAR ISI - viii

BAB I PENDAHULUAN - 1

A. Latar Belakang Masalah - 1

B. Identifikasi Masalah - 24

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah - 26

D. Kajian Pustaka Terdahulu - 27

E. Metodologi Penelitian - 37

BAB II KIAI, PESANTREN DAN POLITIK - 51

A. Peran dan Fungsi Kiai Pesantren - 51

1. Bidang Sosial Keagamaan - 51

2. Bidang Sosial Budaya - 59

3. Tipologi Kiai dan Pesantren – 64

a. Tipologi Kiai – 64

b. Tipologi Pesantren - 82

B. Pesantren dan Perubahan Sosial - 89

1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan

Keagamaan - 89

2. Pesantren Sebagai Lembaga Pencetak

Ulama - 105

3. Pesantren Sebagai Lembaga Transmisi

Nilai Tradisi Keagamaan - 109

4. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial

Ekonomi - 112

C. Pesantren dan Politik - 116

1. Pesantren dan Modernisasi Birokrasi - 116

2. Pesantren dan Partai Politik - 122

3. Sikap Politik Kiai Pesantren - 160

BAB III PESANTREN DAN DINAMIKA

POLITIK NASIONAL ERA REFORMASI

1998-2004 - 165

A. Era Reformasi dan Kebijakan Politik

Menuju Demokrasi - 165

B. Bangkitnya Ragam Partai Politik Dalam

Bingkai Kekuasaan Era Reformasi - 208

C. Pesantren dan Pembentukan

Partai Politik Nasional - 228

1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) - 228

2. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)

- 256

3. Implikasi Kebangkitan PKB dan PKNU

Terhadap Dunia Pesantren - 282

BAB IV KIAI PESANTREN DI JAWA TIMUR DALAM

ARENA SOSIAL POLITIK 1998-2004 - 289

A. Biografi Sosial-Intelektual Kiai Pesantren – 289

1. Kiai Abdullah Faqih - 289

2. Kiai Muhammad Yusuf Hasyim - 309

3. Kiai Alawy Muhammad - 318

4. Kiai Muhammad As’ad Umar - 326

5. Kiai Muhammad Hasib Wahab - 341

B. Motif dan Konteks Sosial-Politik Kiai Pesantren

- 354

BAB V POLITIK KIAI PESANTREN DI JAWA TIMUR

1998-2004 - 369

A. Kendaraan Politik Kiai Pesantren - 369

B. Peran Politik Kiai Pesantren pada Lembaga

Negara - 378

1. Lembaga Legislatif - 378

2. Lembaga Eksekutif - 390

3. Lembaga Yudikatif - 412

C. Peran Politik Kiai Pesantren pada Organisasi

Sosial Keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) - 416

D. Implikasi Keterlibatan Politik Kiai bagi Dunia

Pesantren - 550

BAB VI KESIMPULAN - 563

DAFTAR PUSTAKA – 568

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada penghujung akhir abad XX, tepatnya tahun

1998, perpolitikan di Indonesia, negara berpenduduk

muslim terbesar di dunia, mengalami perubahan

yang sangat dramatis. Krisis multidimensi,

demonstrasi mahasiswa yang terjadi di berbagai

daerah menuntut reformasi struktural di bidang

ekonomi, hukum dan politik serta berbagai

persoalah yang tidak terselesaikan, telah memaksa

Presiden Soeharto yang telah memerintah negara

berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa, secara

2 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

otoriter dan represif, untuk periode yang ketujuh

dalam waktu 76 hari, meletakkan jabatan. Dalam

pidatonya, antara lain ia menyatakan sebagai berikut:

Bahwa karena rencana pembentukan komite reformasi tidak terwujud, maka rencana perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi, sehingga sulit bagi saya untuk dapat menjalankan pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhati-kan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, maka saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998. Selanjutnya, sesuai Pasal 8 UUD 1945, Wapres Prof. Dr. B.J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/ Mandataris MPR periode 1998-2003.1

Dengan demikian, Prof. Dr. B.J. Habibie (nama

selanjutnya penulis sebut B.J. Habibie), seorang

teknokrat lulusan Jerman, kelahiran Pare-Pare,

Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, mengucapkan sumpah

jabatan Presiden/Mandataris MPR yang dilaksana-

kan oleh Ketua Mahkamah Agung di hadapan para

1 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan, Jalan

Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006), h.

65-66.

Pendahuluan 3

Anggota Mahkamah Agung lainnya.2 Sejak itu, B.J.

Habibie resmi menjadi Presiden Republik Indonesia

ke-3, menggantikan mentornya. Orde Baru tumbang

dan digantikan dengan Era Reformasi,3 sebuah jargon

populer yang sering diperbicangkan dan

dikumandangkan dalam diskusi-diskusi di kampus-

kampus di seluruh Indonesia. Tetapi, gonjang-ganjing

mengenai perpolitikan di Indonesia belum juga reda

dan surut, bahkan memanas. Pada tingkat tertentu,

B.J. Habibie yang melanjutkan sisa waktu jabatan

presiden yang ditinggalkan oleh gurunya memang

sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, tetapi, bagi para

demonstran, justru melukai hati mahasiswa.

Pengangkatannya tidak mempunyai legitimasi.

Dalihnya, ia tidak dipilih oleh wakil rakyat yang

terpilih lewat pemilu yang jujur dan adil,4 sehingga

2 Karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan

pengucapan sumpah di hadapan DPR/MPR dan untuk menghindari

kekosongan pimpinan dalam pemerintahan Negara, maka pengucapan

sumpah dilaksanakan di Istana Negara. Lihat Diro Aritonang,

Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto, Rekaman Perjuangan Mahasiswa

Indonesia 1998, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 206-

207. 3 Reformasi berasal dari bahasa Inggris Reform yang berarti

memperbaiki atau memperbaharui. Kemudian, pengertian kata

Reformation memiliki arti perubahan ke arah perbaikan sesuatu yang

baru. Perubahan itu dapat meliputi segala hal, entah itu sistem,

mekanisme, aturan, kebijakan, tingkah laku, kebiasaan, cara-cara atau

praktik-praktik yang selama ini dinilai tidak baik dan diubah menjadi

baik. 4 Agung Supriyo, Menimbang Keterlibatan Tiga Aktor Politik

Dalam Pemilu Transisional, dalam Yopie Renyaan, Theodure B. dan

Daniel P. Junaedi, (ed.), Transisi Demokrasi, Evaluasi Kritis

Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 175.

4 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

jalan keluar dari krisis adalah “suksesi dua pintu”: di

tingkat presiden dan wakil presiden sekaligus.5 Oleh

karena itu, ada anggapan bahwa B.J. Habibie yang

juga dianggap sebagai bagian dari Orde Baru tidak

mampu bertahan lebih dari 100 jam. Ada pula yang

sedikit optimistis meramalkan bahwa pemerintahan-

nya tidak akan bertahan lebih dari 100 hari.6 Tetapi

kenyataannya, pemerintahan B.J. Habibie mampu

bertahan dalam waktu 512 hari, dan meskipun

kekuasaannya sendiri dikategorikan sebagai

pemerintahan transisi, ia bersama kabinet reformasi

yang dibentuknya selama kurun waktu 17 bulan

mampu membidani kelahiran reformasi bagi bangsa

ini.7 Oleh karena itu, masanya dikenal sebagai awal

Orde Reformasi, sebuah orde transisi menuju

demokrasi berdasarkan ketentuan UUD 1945 dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai pemerintahan transisi, B.J. Habibie yang

berperilaku, karakter dan sifat yang sangat bebas,

terbuka dan transparan, tidak ragu-ragu untuk

menindaklanjuti tuntutan reformasi yang diteriakkan

5 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,

Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h.

32. 6 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan

Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006),

Cet. Ke-1, h. 76-77. 7 Ketika Teknokrat Memimpin Negara, Republika, (Jakarta), 22

September 2006, h. 24.

Pendahuluan 5

oleh masyarakat, cendikiawan dan mahasiswa.8

Dalam tulisannya, B.J. Habibie antara lain

menyatakan sebagai berikut:

Saya memperhatikan dengan sungguh-sungguh dinamika aspirasi yang berkembang dalam pelaksanaan reformasi secara menyeluruh, baik yang disampaikan oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan, maupun yang berkembang di masyarakat dan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peningkatan kehidupan politik yang sesuai dengan tuntutan zaman dan generasinya, kepemimpinan yang bersih dan bebas dari inefisiensi dan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kehidupan ekonomi yang lebih memberi peluang berusaha secara adil, telah saya tangkap sebagai aspirasi rakyat.9

Sebagai realisasi dan jawaban atas

pernyataannya itu, B.J. Habibie melakukan

pembongkaran terhadap ketamakan negara, antara

lain dengan memperkenalkan sebuah aura yang

8 Rumusan mahasiswa tentang reformasi politik dan ekonomi itu

sangat gamblang dan tegas. Dalam bidang politik, mereka menuntut

penghapusan paket lima UU politik, menuntut pengembalian peran MPR

sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan lain sebagainya, sedangkan

dalam bidang ekonomi, mereka menuntut pelaksanaan ekonomi yang

berpijak pada Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin hak kesejahteraan

rakyat, menuntut dihapuskannya kebijakan monopoli, serta menuntut

penghapusan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. 9 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan

Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006),

Cet. Ke-1, h. 70.

6 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

menjadikan kepresidenan sebuah jabatan yang bisa

dijabat oleh siapa saja yang dipercaya oleh rakyat,

melepaskan tahanan politik, memberikan kebebasan

berbicara, mengeluarkan pendapat, kebebasan pers

dan kebebasan unjuk rasa, membuka kesempatan

untuk mendirikan partai politik asal tidak melanggar

UUD 1945 dan Ketetapan MPR, menyelenggarakan

Sidang Umum MPR dan Pemilu, membubarkan BP7,

menghentikan P4 dan menandatangani Undang-

Undang Perimbangan Keuangan dan Otonomi

Daerah, memperlihatkan sikap demokratis dan tidak

bereaksi negatif terhadap kritik yang disampaikan

oleh lawan politiknya10

Dengan demikian, menurut M.C. Ricklefs dari

lima isu terbesar yang dihadapinya, B.J. Habibie

hanya berhasil merealisasikan isu tentang masa

depan reformasi, sedangkan keempat isu lainnya,

yakni tentang masa depan ABRI, masa depan daerah-

daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia,

masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya,

kroni-kroninya, serta masa depan perekonomian dan

10 Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Setya

Historika, 2001), Cet. Ke-1, h. 166-167. Lihat pula Suharko, Merajut

Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan Pengembangan Tata

Pemerintahan Demokratis 1966-2001, (Yogyakarta: Tiara Wacana,

2005), Cet. Ke-1, h. 187. Juga lihat Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-

Detik yang Menentukan, jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi,

(Jakarta: THC Mandiri, 2006), Cet. Ke-1, h. 57-58.

Pendahuluan 7

kesejahteraan rakyat belum terselesaikan,11 dan jika

bisa dilaksanakan salah satu di antara keempat isu

lainnya, khususnya terkait masalah Timor Timur,

justru menimbulkan kecaman dan bom waktu

baginya.12 R. William Liddle menguatkan keberhasil-

an satu isu, antara lain menyatakan sebagai berikut:

Selepas jatuhnya rezim Orde Baru, terjadi

banyak perubahan yang patut disimak, antara

lain liberalisasi politik berlangsung cukup

signifikan, pembatasan terhadap kebebasan

berbicara, berekspresi, berserikat dan berkumpul

serta hak-hak sipil lainnya dicabut. Partai-partai

politik dengan beragam ideologi diperbolehkan

berdiri. Kebijakan depolitisasi dan pendekatan

warisan Orde Baru diakhiri dan digantikan

dengan pluralisme politik yang mengarah pada

kompetisi dan representasi demokrasi.13

Meskipun hanya satu isu yang berhasil

dilaksakanan, capaian itu tergolong luar biasa,

mengingat krisis yang terjadi saat itu demikian parah.

11 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:

Serambi, 2005), Cet. Ke-1, h. 655-656. 12 Referendum yang menawarkan kepada penduduk Timor Timur

pilihan antara otonomi dalam Indonesia atau kemerdekaan, berakhir

dengan kemerdekaan Timor Timur. Masalah ini merupakan salah satu

noda B.J. Habibie, sehingga laporan pertanggungjawabannya ditolak

oleh MPR, di samping noda-noda lainnya. 13 R. William Liddle, “Indonesia’s Unexpected Failure of

Leadership” dalam Adam Schwarz & Jonathan Paris (ed.), The Politics

of Post Soeharto Indonesia, (New York: The Council on Foreign

Relation, 1999), h. 21.

8 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Salahuddin Wahid menyebut bahwa capaian itu

dimungkinkan karena kecerdasan B.J. Habibie,

kesediaannya untuk bekerja sampai jauh larut malam,

kesehatannya yang bagus, tidak menghindar dari

masalah detail, sikapnya dalam berkomunikasi yang

terlihat demokratis, bahkan mentolelir huu … dalam

pembukaan Sidang Umum MPR adalah tambahan

nilai plus bagi B.J. Habibie.14 Bahkan keberhasilan

menelorkan satu isu yang diikuti dengan

diterbitkannya beberapa perundang-undangan baru,

misalnya dalam bidang politik, tiga undang-undang

baru diberlakukan, yakni undang-undang tentang

pemilu, tentang partai politik dan tentang struktur

lembaga legislatif, yang oleh Suharko dapat

dipandang menjadi jaminan formal bagi kompetisi

politik dan partisispasi dalam penyelenggaraan

pemilu 7 Juni 1999,15 ditanggapi dan disambut secara

sukaria dan positif oleh berbagai kalangan, dengan

mendirikan beragam partai politik.

Dari kalangan nasionalis, misalnya Ny. Supeni,

Usep Ranuwijaya, IM. Sunakha dan lain-lain

mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI);

Soenardi, Dharmono, Anton R. Hutomo dan lain-lain

14 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-

Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,

2000), h. 66-67. 15 Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan

Pengembangan Tata Pemerintahan Demokrasi 1966-2001, (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 186.

Pendahuluan 9

mendirikan Partai Rakyat Marhaen; Hadidjojo

Nitimihardjo, Zulfikar Tan dan lain-lain mendirikan

Partai Murba; dan Sri Bintang Pamungkas

mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI).16

Dari kaum modernis, misalnya Amien Rais, Ketua

Umum PP Muhammadiyah dan tokoh reformasi,

mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN); Yusril

Ihza Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang

(PBB); dan Deliar Noer mendirikan Partai Umat Islam

(PUI).17 Dari kaum tradisionalis, misalnya para kiai

pesantren dan politisi lainnya melalui Ormas NU

mendirikan PKB, namun, karena dianggap

diskriminatif, kiai Muhammad Yusuf Hasyim dan

kiai Salahuddin Wahid mendirikan Partai

Kebangkitan Ummat (PKU), kiai Syukron Makmun

mendirikan Partai Nahdhatul Ummah (PNU) dan

Abu Hasan, rival kiai Abdurrahman Wahid dalam

memperebutkan jabatan Ketua Umum NU,

mendirikan Partai Serikat Uni Nasional Indonesia

(Partai Suni).18 Sementara kiai Alawy Muhammad

16 Lihat al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-

Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999),

Cet. Ke-1, h. 120-121. 17 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,

Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 29-151.

Lihat pula al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-

Partai Islam versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999),

Cet. Ke-1, h. 122 dan 141. 18 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi?”, Jejak

Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma

Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 110. Lihat

10 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

tetap bergabung dengan Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), kiai As’ad Umar bergabung

dengan Partai Golkar, gus Saifullah Yusuf dan kiai

Hasib Wahab bergabung dengan Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDIP). Kiai-kiai tersebut baik

yang membentuk partai baru maupun yang

menggabungkan diri dengan partai lain, umumnya

merupakan warga dan ulama NU, karena mereka

pernah menduduki jabatan sebagai pengurus NU,

baik tingkat Pusat maupun Cabang. Selain itu,

mereka juga pengasuh pesantren kenamaan, yang

materi pelajaran yang diberikan kepada para

santrinya, memakai kitab-kitab menurut faham

Aswaja, sedangkan faham Aswaja merupakan aqidah

Jam’iyah Dīniyah Islāmiyah NU.19

Dengan demikian, situasi politik tahun 1998 yang

diiringi dengan diterbitkannya tiga undang-undang

baru dalam bidang politik oleh pemerintahan B.J.

Habibie di atas, secara tidak langsung mempunyai

hubungan dan pengaruh terhadap sikap politik kiai

pesantren, karena dari sayap NU, sebuah Ormas

Islam yang didirikan oleh para kiai pesantren, berdiri

beragam partai yang kebanyakan dibidani

pendiriannya oleh para kiai pesantren, di samping

pula Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:

LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 106-131. 19 Lihat Anggaran Dasar NU, Pasal 3 Tentang Aqidah. Mahbub

Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung:

Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 126-127.

Pendahuluan 11

ada pula kiai pesantren yang tetap menyalurkan

aspirasinya pada partai yang telah mapan

sebelumnya, seperti PPP, Golkar atau bahkan PDI.

Kiai pesantren yang menyikapi kondisi perpolitikan

tahun 1998 tersebut adalah kiai pesantren yang

berada di wilayah Jawa Timur, sebuah wilayah yang

warganya menjadi basis pendukung dan pengawal

Ormas NU, tetapi, tidak berarti dengan adanya

sikap20 politik kiai pesantren tersebut, NU berubah

menjadi partai politik. NU sesuai keputusan

Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo,21 tetap

pada Khittah/Garis Perjuangan 1926, sebagai sebuah

20 Sikap adalah kecenderungan individu untuk menanggapi situasi,

benda, ide, orang dan isu dengan cara tertentu. Sikap seseorang terhadap

sesuatu biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman,

pengetahuan, perasaan, emosi, cara berfikir, kebutuhan dan tujuan yang

inging dicapai. Lihat Lau & James B. Shani, A.B., Behaviour in

Organizations: An Experiential Approach, (Homewood: Richard Irwin

Inc, 1992), h. 98. Dalam konteks perpolitikan di Indonesia 1998-2004,

disikapi oleh kiai pesantren di Jawa Timur, salah satunya, dengan

mendirikan partai politik, di samping tetap bergabung dengan partai

yang telah mapan atau menjadi anggota parlemen dan anggota kabinet

dan lain sebagainya, guna mencapai ‘izz al-Islam wa al-Muslimin,

melalui institusi pendidikan pesantren dan lain sebagainya. 21 Mahbub Djunaidi, Ketua Tanfidziyah NU, mewakili KH. As’ad

Syamsul Arifin, menegaskan bahwa dalam Pemilu 1987 nanti warga NU

wajib menyukseskan pesta demokrasi, tetapi tidak wajib berkampanye

untuk PPP. Sekali lagi NU bukan PPP dan PPP bukan NU, karena

keduanya punya dunia sendiri-sendiri. Keduanya tidak punya ikatan

organisasi. Ini merupakan keputusan Muktamar PPP sendiri dan

keputusan Muktamar NU. NU tidak melarang warga NU atau

anggotanya termasuk para kiai yang menjadi pendukung dan pengawal

NU untuk berpolitik, tetapi melarang semua jabatan rangkap para

pengurusnya. Mereka diharuskan memilih antara karier politik atau

sosial keagamaan. Lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah

Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 2.

12 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Jam’iyah yang memusatkan perhatiannya pada

kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan

kebudayaan serta bidang sosial dan ekonomi.

Sikap politik kiai pesantren di Jawa Timur

tersebut, kemungkinan dimotivasi oleh besarnya

jumlah pesantren di wilayah itu.22 Secara kuantitatif,

jumlah santri dan pesantren di Jawa Timur,

sebagaimana dikatakan Siti Fadilah Supari, Menteri

Kesehatan Republik Indonesia, merupakan yang

terbesar di antara pesantren yang ada di Indonesia.23

22 Kiai Achmad Taufiqurrohman, Ketua Umum Yayasan Pondok

Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur dalam

kesempatan wawancara dengan penulis tanggal 27 Pebruari 2007, antara

lain menyatakan bahwa argumen yang bisa menjadi pertimbangan

mengapa kiai pesantren melakukan kegiatan politik, selain karena

wilayah Jawa Timur,memiliki banyak pesantren dengan jumlah santri

yang besar pula, juga karena kiainya mempunyai naluri sebagai pejuang,

sebagaimana telah ditunjukkan oleh kiai Hasyim Asy’ari, kiai A. Wahid

Hasyim, kiai Wahab Hasbullah dan lain-lain. Selain itu, pada Pemilu

Pertama, tanggal 29 September 1955 dan menjadi symbol

eksperimentasi Islam politik jilid I, NU muncul sebagai empat partai

besar dengan perimbangan kekuatan Parlemen PNI 57 kursi, Masyumi

57 kursi, NU 45 kursi dan PKI 39 kursi. Juga pada Pemilu Kedua tahun

1971 dan menjadi symbol ekperimentasi Islam politik jilid II, NU

memperoleh suara terbanyak di antara Parpol Islam yang lain, sekitar

18,67 % (lebih tinggi dibandingkan 18,4 % suara yang diperoleh pada

Pemilu tahun 1955), setara dengan 58 kursi DPR. Perolehan suara

sebesar itu, baik pada Pemilu 1955 maupun Pemilu 1971, terbanyak

diperoleh di Jawa Timur, daerah kantong pesantren, sehingga tidak bisa

diabaikan betapa besar peran kiai pesantren dalam mempengaruhi

kontituennya. Lihat Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan

Perwakilan Rakyat, (Jakarta: Leknas, 1971), h. 9-13. Juga lihat Martin

Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana

Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), Cet. Ke-1, h. 103. 23 Pernyataan itu, ia sampaikan dalam kunjungannya ke sejumlah

ponpes untuk menghadiri istighotsah atau acara resmi lainnya. Hampir di

Pendahuluan 13

Berdasarkan data statistik Ditjen Kelembagaan Islam,

Departemen Agama Republik Indonesia tahun 1980,

jumlah pesantren di Indonesia mencapai 5.373 buah

dengan jumlah santri 1.238.967 orang. Dari jumlah

tersebut, 1.344 buah terdapat di Jawa Timur dengan

santri berjumlah 427.517 orang.24 Pada tahun 2005

jumlah institusi tersebut meningkat menjadi 14.798

buah dengan santri berjumlah 3.464.334 orang. Dari

jumlah tersebut, 3.582 buah terdapat di Jawa Timur

dengan santri mencapai 1.169.256 orang.25 Jadi,

melalui pemilihan umum, mereka berharap dapat

mendulang suara dari para santri dan orang tua

beserta para keluarganya, bahkan dari para alumni

setiap acara yang diikuti, ribuan masyarakat turut hadir. Mereka larut

dalam do’a serta mendengarkan seksama wejangan dari para kiai. Oleh

karena itu, “Ini sangat luar biasa, jika pesantren juga dapat menyebarkan

pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat. Rencananya ia akan

membangun Poskestren di 200 pesantren yang tersebar di Jawa Timur.

Jadi, diawali dari Jawa Timur. Peresmian program ini dilakukan di

Ponpes Langitan Widang Tuban, sebagai salah satu dari lima pesantren

yang mengawali program ini. Keempat ponpes lainnya adalah Darul

Ulum, Peterongan Jombang, Bachrul Ulum, Tambak Beras Jombang, al-

Tanwir, Bojonegoro dan Raudhatul Muta’allimin, Babat Lamongan.

Lihat “Pesan Kesehatan Dari Pesantren”, Dialog Jum’at Tabloid

Republika, (Jakarta), 15 September 2006. 24 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen Pembinaan

Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 25 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen

Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Lihat pula

Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri

2009”, Republika, (Jakarta), 15 September 2006.

14 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dan keluarganya. Dalam hangar-bingar politik,

mereka berebut posisi kaum santri.26

Dengan demikian, suara dari pesantren

mempunyai daya jual yang tinggi, sehingga sebagai

pemilik, pengasuh dan elite,27 setidak-tidaknya elite

pesantren atau bahkan elite agama di tengah-tengah

masyarakat sekitarnya, kiai dapat melakukan

bargaining position dengan pihak-pihak yang punya

kepentingan. Jadi, pantas bila pesantren dan

warganya diperebutkan oleh banyak kalangan. Pada

era Orde Baru, para politisi Golkar biasa melakukan

kunjungan ke beberapa pesantren di berbagai

wilayah di Indonesia: Jawa dan luar Jawa, apalagi

saat menjelang pelaksanaan pemilu lima tahunan

tiba. Mereka datang selain meminta restu dan

dukungan atas pencalonan seseorang menjadi

presiden dan jabatan lainnya, juga tak jarang

menawarkan berbagai jabatan, baik jabatan pada

lembaga legislatif maupun eksekutif atau bahkan

26 Parpol Berebut Posisi Kaum Santri, Republika, (Jakarta), 12

Nopember 2007, h. 3. 27 Secara umum berarti sekelompok orang yang dalam masyarakat

menempati kedudukan tinggi, sedangkan secara khusus, berarti

sekelompok orang terkemuka pada bidang-bidang tertentu dan

khususnya golongan kecil yang memegang kekuasaan. Bahkan diartikan

sebagai posisi di dalam masyarakat, di pucak struktur-struktur sosial

yang terpenting, yaitu posisi tinggi dalam ekonomi, pemerintahan,

kemiliteran, politik, pekerjaan dinas, pengajaran dan agama dan lain

sebagainya. Dari pengertian ini, terdapatlah beragam sebutan elite, di

antaranya adalah elite politik, ekonomi, militer, diplomatik,

cendikiawan, filsuf, pendidik dan pemuka masyarakat serta elite agama

dan lain sebagainya.

Pendahuluan 15

menawarkan bantuan dana dan lainnya untuk

perbaikan sarana dan prasarana dalam rangka

kemajuan institusi pesantren, asalkan kiai dan warga

pesantren lainnya memberikan dukungan pada

Golkar. Kiai Karim Hasyim, pengasuh Pondok

Pesantren Tebuireng, yang juga putra pendiri Ormas

NU dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng KH.

Hasyim Asy’ari misalnya, pada tahun 1971, awal

Orde Baru, merupakan salah seorang di antara sekian

banyak kiai yang berhasil direkrut oleh Golkar untuk

menjadi juru kampanyenya.28 Begitu pula, kiai

Musta’in Romly, tokoh kharismatik, mursyid dan

Ketua Umum Tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah,

Rektor Universitas Darul Ulum dan Ketua Umum

Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum

Jombang adalah kiai pesantren yang secara terang-

terangan menyeberang dan menjadi pendukung

Golkar pada tahun 1978,29 padahal sebelumnya, ia

28 Ketika penulis menjadi santri Pondok Modern Darussalam Gontor

tahun 1969-1974, ia pernah berkunjung ke Gontor untuk bersilaturahmi

kepada KH. Ahmad Salah, salah seorang dari tiga pengasuh (Trimurti)

pondok. Kepadanya, ia memohon agar berkenan memberikan dukungan

kepada Golkar pada Pemilu yang akan diselenggarakan pada 1971,

tetapi, ia menolaknya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. 29 Kiai Musta’in Romly dengan institusi pendidikan dan keagamaan

yang dipimpinnya tidak sepantasnya meninggalkan NU, sedangkan di

pihak lain, Rejoso sebagai salah satu dari 4 pesantren di Jombang yang

paling berpengaruh dan memiliki sistem pendidikan yang paling modern

-ada SMP, SMA, Fisipol dan Fakultas Hukum- ternyata alumninya

belum semujur alumni 3 pesantren lainnya. Dari keempat pesantren

“bibit NU” di Jombang itu, Rejoso adalah satu-satunya yang belum

memperoleh kedudukan tertinggi dalam tubuh NU, maupun dalam

pemerintahan melalui NU. Rais ‘Am NU yang pernah menjabat sampai

16 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

merupakan pendukung utama Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), satu-satunya partai yang

dianggap mewakili aspirasi ummat Islam. Terlepas

dari interes pribadi, keduanya akhirnya dikucilkan

dan diasingkan bahkan kiai Musta’in Romly hampir

dibuang dari komunitasnya.

Dua contoh di atas menggambarkan betapa

pentingnya pesantren dan warganya – pada

dasawarsa tujuh puluhan – bagi Golkar sebagai

pengawal rezim yang berkuasa saat itu, untuk

mendulang suara pemilih, suatu kenyataan yang juga

diamini dan dilanjutkan oleh para ketua dan

pengurus Golkar periode berikutnya. Harmoko,

Ketua Umum Golkar 1992-1997 dan Menteri

Penerangan RI, sebagaimana pengurus sebelumnya,

saat itu berturut adalah KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, KH. Abdul

Wahab Hasbullah dari Tambak Beras dan KH. Moh. Bisri Syansuri dari

Dinanyar. Sedangkan dua Menteri Agama dari Jombang yang pernah

ada adalah KH. Abd. Wahid Hasyim dari Tebuireng dan KH. Wahib

Wahab dari Tambak Beras. Sedangkan Rejoso, tampaknya tidak pernah

melahirkan tokoh dalam bidang politik maupun pemerintahan yang

mampu mencapai jabatan setinggi itu. “Saya toh tidak dapat menitipkan

amanat pesantren Rejoso kepada orang-orang Tambak Beras atau

Tebuireng yang ada di pusat itu! Maka saya harus berjalan sendiri,

menembus ke pusat sendiri. Sikap politik kiai Musta’in Romly selain

menghasilkan keuntungan yang sifatnya materiil bagi pengembangan

dan kemajuan institusinya, juga mengubah pandangan sebagian besar

politisi yang berpredikat kiai pesantren terhadap Orde Baru yang

berkeinginan memisahkan Islam sebagai agama dengan Islam sebagai

ideology. Lihat Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret

Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. 80-81. Lihat pula

Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES,

1999), Cet. Ke-1, h. 304-309.

Pendahuluan 17

juga melakukan hal yang sama, bahkan ia

mencanangkan “Safari Ramadhan”, semacam

kegiatan mengunjungi pesantren pada bulan puasa.

Demikian juga Siti Hardiyanti Rukmana (selanjutnya

disebut Tutut), Ketua Golkar, saat ayahnya, Presiden

Soeharto berada di puncak kewibawaan,

menggandeng Gus Dur, Ketua Umum PBNU dan

tokoh masyarakat yang sangat populer, dalam

kampanye pemilu 1997, keliling pesantren.30 Tak lupa

Gus Dur, ketika itu mengucapkan sejenis “Pesan

Sponsor” dengan menyatakan “Tutut adalah calon

pemimpin nasional masa depan. Para kiai dan santri,

banyak yang mengamini pernyataan Gus Dur.”31

Sebagaimana Golkar, politisi PPP, partai yang

merupakan fusi dari Parmusi, Partai NU, PSII dan

Partai Perti, juga melakukan strategi yang sama. PPP

bahkan menempatkan kiai-kiai pesantren kharismatik

dalam struktur organisasi kepengurusan PPP, antara

lain kiai Moh. Bisri Syansuri, Rais ‘Am NU dan

pendiri pesantren Denanyar, dipilih menjadi Rais

‘Am Majelis Syuro PPP, kiai Maimun Zubeir dari

Ponpes Sarang, dipilih menjadi Ketua Majelis

Pertimbangan Partai, kiai Alawy Muhammad,

30 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,

Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h.

232. 31 Fransiskus Surdiasis, (ed.), Opini Denny J.A. Harian Suara

Pembaharuan, Jalan Panjang Reformasi, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2006), 178.

18 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Pengasuh Ponpes al-Taroqqy, Sampang Madura,

dipilih menjadi Wakil Ketua Majelis Pertimbangan

Partai, sedangkan kiai Muhammad Yusuf Hasyim,

Direktur Ponpes Tebuireng dipilih menjadi Ketua

PPP. Penempatannya dalam struktur kepengurusan

partai, selain untuk membangun citra PPP sebagai

satu-satunya partai Islam, juga dalam rangka merebut

hati dan suara warga pesantren dan ummat Islam

yang tersebar di berbagai penjuru negeri ini,

khususnya Pulau Jawa. Tetapi, aliansi kiai pesantren

dengan PPP mengalami hambatan sejalan dengan

diserahkannya jabatan Ketua Umum PPP kepada H.J.

Naro tanpa melalui rapat partai, apalagi muktamar,

oleh H.M.S. Mintaredja, Ketua Umum PPP 1973-1978.

Konflik antara keduanya ini semakin meruncing,

ketika H.J. Naro, yang memegang kendali

kepemimpinan partai sampai tahun 1989, secara

sepihak menyerahkan kepada pemerintah, daftar

calon anggota legislatif untuk pemilu 1982, dengan

mengurangi proporsi anggota NU secara drastis, dan

bila ada kiai pesantren didaftar maka kiai pesantren

yang vokal seperti kiai Muhammad Yusuf Hasyim,

kiai Saifuddin Zuhri dan Imron Rosjadi diletakkan

pada urutan paling bawah, sehingga tidak mungkin

terpilih. Dampaknya, kiai pesantren beserta NU yang

dikawalnya keluar dari PPP dan meninggalkan

politik praktis. Keputusan itu, dua tahun kemudian

Pendahuluan 19

diformalkan dalam Muktamar NU di Situbondo

tahun 1984.32

Dalam pada itu, sikap politik kiai pesantren yang

mendirikan beragam partai atau dengan bergabung

pada partai yang telah established tersebut, barangkali

juga dipicu oleh tujuan politiknya, yakni ‘izz al-Islām

wa al-Muslimīn. Mereka berpandangan bahwa warga

NU, yang juga warga pesantren, secara ekonomi

merupakan masyarakat yang lemah, sedang secara

intelektual, merupakan komunitas yang rendah dan

tertinggal. Jadi, berbeda dengan Muhammadiyah,

secara ekonomi, warganya merupakan masyarakat

yang berada, sedang secara intelektual, merupakan

komunitas yang maju, yang ditandai dengan

banyaknya warga Muhammadiyah yang mengenyam

pendidikan tinggi, sehingga mereka dikategorikan

sebagai kelompok rasional dan modernis.33

Sebaliknya, warga NU dikategorikan sebagai

kelompok tradisionalis dan ortodok. Oleh karena itu,

untuk mengentaskan mereka dari kedua kondisi di

atas, maka kiai pesantren merasa perlu untuk

melakukan kegiatan politik, dengan target utama

lembaga legilatif dan eksekutif atau bila mungkin

32 Lihat Mahbub Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah

1926, (Bandung: Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 27-28. 33 M.M. Billah, “Muhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama: Reorientasi

Wawasan Pergerakan”, dalam Yunahar Ilyas, M. Masyhur Amin dan M

Daru Lalito (ed.), Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan

KeIslaman, (Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP

al-Muhsin, 1993), Cet. Ke-1, h. 18-22.

20 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

lembaga yudikatif dan lembaga non pemerintah

lainnya.

Lewat kedua lembaga negara yang bergengsi itu

khususnya dan umumnya, lembaga-lembaga non

pemerintah lainnya, kiai pesantren dan mereka yang

duduk mewakili kepentingan kiai pesantren dan

Ormas NU,34 dapat memainkan peran-peran

politiknya, misalnya peran dalam pengambilan

berbagai keputusan, peran dalam melaksanakan

fungsi-fungsi DPR, yakni bersama-sama Presiden

membentuk undang-undang, membentuk undang-

undang tentang APBN, melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan

APBN dan kebijakan pemerintah serta berperan

sebagai forum komunikasi antara rakyat dengan

34 Organisasi ini didirikan oleh kiai Hasyim Asy’ari bersama ulama

terkemuka lainnya, pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Jika kiai Hasyim

Asy’ari dikenal sebagai tokoh pembentuk isi Nahdlatul Ulama, maka

kiai Wahab Hasbullah adalah tokoh yang mewujudkannya menjadi

organisasi. Jadi, keduanya, baik kiai Hasyim Asy’ari, Rais Akbar

maupun kiai Wahab Hasbullah, Rais ‘Am adalah Bapak dan Pendiri

Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Adapun faktor yang melatarbelakangi

didirikannya ormas ini antara lain adalah dua peristiwa besar yang

menyangkut agama Islam yang terjadi setelah tahun 1924, yakni

dihapuskannya khalifah oleh Turki dan serbuan Kaum Wahabi ke

Mekkah. Kepada yang terakhir, para kiai pengusulkan agar tata cara

ibadah keagamaan yang dipertanyakan oleh Kaum Wahabi puritan

seperti membangun kuburan, berziarah, membaca do’a Dalāil al-

Khairāt, ajaran mazhab Syafi’I yang kebanyakan dianut oleh umat Islam

Indonesia dan kepercayaan terhadap para wali tetap dipertahankan. Lihat

Lothrop Stoddard, the New World of Islam, (Jakarta: Panitia Penerbit,

1966), h. 323. Lihat pula Deliar Noer, the Modernist Muslim Movement

in Indonesia 1900-1942, (Singapore: Oxford University Press, 1973), h.

243.

Pendahuluan 21

pemerintah dan DPR.35 Tentu, untuk sampai pada

lembaga negara dan non negara tersebut, perlu ada

sarana yang mengantarkannya, sedangkan kendaraan

yang dipandang sangat efektif adalah partai politik.

Oleh karena itu, pada tempatnya, bila para elite

politik, elite agama, elite pesantren dan elite-elite

lainnya, sebagaimana dijelaskan terdahulu, kemudian

mendirikan partai yang sangat variatif. Khusus untuk

elite pesantren, pendirian beragam partai itu, bisa

direalisasikan karena NU telah kembali ke khittah

1926, dari organisasi politik menjadi organisasi atau

Jam’iyah yang memusatkan perhatiannya pada

kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan

kebudayaan serta bidang sosial ekonomi, sehingga

membuka kesempatan kepada kiai pesantren untuk

berkiprah di partai politik, baik baru maupun lama.

Dalam hal ini, kiai Abdurrahman Wahid menyatakan

bahwa kiai khususnya dan NU pada umumnya, kini

sebaiknya berusaha masuk ke segala lingkungan dan

semua partai. Mereka harus berada di semua tempat,

di dalam angkatan bersenjata, PDI, Golkar dan PPP.

Kita harus berada di semua tempat.36 Jadi, kiai dan

NU sedikit banyak mengikuti contoh

Muhammadiyah yang sudah berada di tiga partai

35 Kiai As’ad Umar, Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok

Pesantren Darul Ulum dan Anggota DPR Dari Golkar, Wawancara

Pribadi, Peterongan, Jombang, 21 Pebruari 2007. 36 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan

Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 265.

22 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

politik,37 lantaran Muhammadiyah merupakan

Jam’iyah dan persyarikatan yang berorientasi pada

gerakan dakwah, amar makruf nahi munkar,

pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya,38 sehingga

memungkinkan anggotanya berada di semua tempat,

Partai Politik, ABRI, LSM dan lain sebagainya.

Dengan demikian, sikap politik kiai di atas,

nampak dipicu oleh banyak faktor dan untuk

melengkapi faktor tersebut, berikut argumen-

argumen yang barangkali bisa dikategorikan sebagai

factor pemacu. Pertama, bahwa sumber ajaran Islam

memiliki lingkup tidak terbatas pada aspek ritual dan

bimbingan moral, tetapi juga memberikan nilai-nilai

pada semua sisi kehidupan, baik dalam ilmu

ekonomi, hukum dan sosial maupun dalam persoalan

37 Pada periode 1987-1992, Muhammadiyah memiliki 9 wakil di

DPR dari PPP, 3 dari Golkar dan 1 dari PDI. Di pemerintahan juga

terwakili dengan diangkatnya Munawir Sjadzali menjadi Menteri

Agama. Meskipun begitu, Muhammadiyah tidak bisa menyetujui semua

usulan Menteri Munawir, misalnya dalam masalah pembagian warisan

yang diusulkan sama bagi anak laki-laki dan perempuan. 38 Sikap menarik garis pemisah yang jelas antara kegiatan sosial

keagamaan dengan dunia politik telah lama dilakukan oleh

Muhammadiyah, terutama setelah kegagalan beberapa pemimpinnya

mengambil alih pimpinan partai baru, Parmusi, pada tahun 1968. Sejak

itu, ia menyatakan diri tidak mempunyai ikatan apapun dengan partai

politik pada tahun 1971, sehingga ia dikritik dan dicap sebagai

kelompok Islam radikal. Lihat Anggaran Dasar dan Rumah Tangga

Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1962),

h. 3-4. Lihat pula Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi,

Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 338.

Pendahuluan 23

politik dan Negara.39 Kedua, dengan posisinya sebagai

pemuka (elite) agama, kiai pesantren memiliki

pengikut dan pengaruh yang luas di tengah-tengah

santri dan masyarakat di sekitar pesantren, sehingga

menyebabkannya terlibat dalam persoalan peng-

ambilan keputusan bersama, proses kepemimpinan,

penyelesaian problem-problem sosial, pengembangan

pendidikan, ekonomi dan kesehatan.40 Ketiga, dari

segi sejarah, ulama, baik wali maupun kiai pesantren

memiliki peran yang cukup besar dalam politik, yang

bisa dilihat dalam pengambilan keputusan sepanjang

sejarah Islam di Indonesia.41

Fenomena sikap politik kiai pesantren terhadap

perpolitikan di Indonesia, khususnya pada era

reformasi, sejauh pengamatan penulis menarik untuk

dicermati, diteliti, dikaji dan dijadikan sebagai

bahasan dalam sebuah tulisan, mengingat masa itu

merupakan bagian yang menentukan dari demo-

kratisasi di Indonesia yang ditandai oleh pelaksanaan

pemilu multi partai yang bebas, rahasia, jujur dan

adil, pada 7 Juni 1999.

39 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-1, h. 8. 40 Ali Maschan Musa, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil Society,

(Surabaya: LEPKISS, 1999), 116-124. 41 Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di

Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), Cet. Ke-1. Juga

lihat Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad

XX, (Jakarta: Arsip Nasional RI, 1981).

24 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka penulis

meneliti pesantren dan politik, studi tentang sikap

politik kiai pesantren di Jawa Timur 1998-2004. Untuk

meneliti masalah tersebut, maka dapat dikemukakan

identifikasi masalah sebagai berikut:

Pertama, pesantren dan politik merupakan dua

hal yang berbeda. Politik merupakan usaha yang

ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan

dan mewujudkan kebaikan bersama melalui

penyelenggaraan negara dan pemerintahan, sehingga

menimbulkan kegiatan yang diarahkan untuk

mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam

masyarakat yang terkadang dibarengi dengan

konflik, di samping kegiatan yang berkaitan dengan

perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum.

Sedangkan pesantren merupakan lembaga

pendidikan Islam, tempat murid-murid belajar

mengaji dan mempelajari ilmu pengetahuan agama

Islam kepada seorang guru, pemilik pesantren itu

sendiri yang dikenal dengan sebutan kiai. Dengan

demikian, kiai pesantren merupakan kiai yang

memusatkan perhatiannya pada pengajaran di

pesantren untuk mencerdaskan sumber daya

masyarakat melalui pendidikan. Tetapi,

kenyataannya mereka mengambil garapan para

negarawan dan politisi, dengan menyikapi

perpolitikan era reformasi melalui pendirian partai.

Pendahuluan 25

Persoalannya, apakah perpolitikan era reformasi

berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren

pesantren?

Kedua, manusia selain disebut sebagai homo social

juga dikenal sebagai homo politicus. Artinya bahwa

manusia tidak bisa hidup sendiri dan sangat

tergantung pada yang lain, di samping ia juga saling

mempengaruhi satu sama lainnya. Kiai pesantren

adalah manusia. Oleh karena itu, kiai pesantren juga

punya kepentingan politik, dan untuk mencapainya,

kiai pesantren menyikapi kebijakan politik

pemerintah era reformasi dengan mendirikan partai.

Persoalannya, apakah kebijakan pemerintah

berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren?

Ketiga, seseorang melakukan berbagai macam

aktivitas, terutama politik, karena adanya kekuatan

yang mendorong. Kekuatan pendorong itu ada yang

datang dari dalam diri orang itu sendiri atau

kekuatan internal dan ada pula yang datang dari luar

diri orang itu sendiri atau kekuatan eksternal.

sehingga tujuan yang dicita-citakan bisa tercapai.

Dalam konteks kiai pesantren persoalannya adalah

apakah tujuan dan motivasi politiknya berhubungan

dengan sikap politik kiai pesantren?

Keempat, dalam mencapai tujuan yang

diinginkan tentu diperlukan sarana dan tempat

berupa lembaga yang menjadi target politiknya.

26 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Persoalannya, apakah sarana yang menjadi target

politiknya berhubungan dengan sikap politik kiai

pesantren?

Kelima, bila sarana dan tempat berupa lembaga

telah dapat direalisasikan dan didapat, maka melalui

lembaga itu, diharapkan dapat dimainkan peran-

peran strategisnya, sehingga motif dan tujuannya

tercapai. Dalam konteks kiai pesantren, masalahnya

adalah apakah peran-peran strategis yang dimainkan

pada lembaga berhubungan dengan sikap politik kiai

pesantren?

Keenam, aktivitas kiai pesantren dalam politik,

seringkali banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran

dan lain sebagainya, sehingga kegiatan pokonya

sebagai pengasuh sekaligus pengajar di pesantren

untuk mencerdaskan sumber daya manusia melalui

pendidikan menjadi terabaikan. Oleh karena itu,

muncul permasalahan, apakah dampak bagi dunia

pesantren berhubungan dengan sikap politik kiai

pesantren?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat luasnya masalah yang akan dikaji

sebagaimana dikemukakan di atas, maka penulis

hanya akan membatasi permasalahan pada sikap

politik kiai pesantren di Jawa Timur tahun 1998-2004

Pendahuluan 27

saja, sehingga permasalahan dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan antara perpolitikan

era reformasi dengan sikap politik kiai

pesantren?

2. Apakah terdapat hubungan antara kebijakan

politik pemerintah era reformasi dengan sikap

politik kiai pesantren?

3. Apakah terdapat hubungan antara tujuan dan

motivasi politik kiai pesantren dengan sikap

politiknya?

4. Apakah terdapat hubungan antara lembaga,

tempat kiai pesantren memainkan peran

politiknya dengan sikap politik kiai pesantren?

5. Apakah terdapat hubungan antara dampak bagi

dunia pesantren dengan sikap politik kiai

pesantren?

D. Kajian Pustaka Terdahulu

Kajian tentang pesantren dan warganya, baik kiai

maupun santri dalam hubungannya dengan

kehidupan di dalam dan luar pesantren sebenarnya

telah banyak dilakukan orang. Kajian itu ada yang

sudah dibukukan dan tersebar luas dan ada yang

hanya dipublikasikan secara terbatas. Di antaranya

28 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

ada yang berupa kumpulan makalah dari hasil studi

literatur dan ada pula yang berupa refleksi

pengalaman penulis yang bersangkutan bahkan ada

yang berupa hasil penelitian yang sederhana. Selain

itu, ada beberapa kajian mendalam berupa disertasi

yang ditulis sebagai bagian untuk memenuhi

persyaratan memperoleh gelar doktor.

Kajian yang bersifat mendalam yang ditulis

dalam bentuk disertai ditulis oleh Imam Suprayogo,42

berjudul Kiai dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian

Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai.

Dalam disertasi ini, penulis mencoba mengkaji kiai

dari sisi variasi dan bentuk keterlibatan politiknya di

Kecamatan Tebon, daerah penghasil tebu terbesar di

wilayah Kabupaten Malang. Mulanya diduga bahwa

variasi dan bentuk keterlibatan politik kiai tunggal,

tetapi kenyataaanya tidaklah demikian, sangat

variatif. Begitu pula bentuk keterlibatan kiai

bervariatif dalam politik pada masyarakat yang

berada di lapis bawah sangat beragam, terutama

dalam memandang pemerintah sebagai rival baik

dalam afiliasi politik dan pemilihan kepala desa

maupun dalam penyelenggaraan pendidikan dan

pengembangan ekonomi umat. Terdapat kiai yang

berekonomi kuat, sehingga memiliki independensi

42 Imam Suprayogo, “Kiai dan Politik di Pedesaan, Suatu Kajian

Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai,” Disertasi Doktor

Ilmu Sosial, (Surabaya: Perpustakaan Pascasarjana Universitas

Airlangga, 1998). td.

Pendahuluan 29

kuat dan mengambil jarak dengan pemerintah, tetapi

ada pula kiai yang lemah secara ekonomi, sehingga

tidak memiliki independensi. Akibatnya, ia selalu

tergantung pada pihak-pihak lain, dan secara politik

dekat dengan penguasa. Oleh karena itu, kiai

seringkali diperebutkan oleh berbagai kelompok

kepentingan. Kiai yang berada pada kategori

pertama, biasanya menjadi mitra kritis terhadap

penguasa, sebaliknya kiai berada pada kategori

kedua, mengambil sikap politik adaptif dan

akomodatif.

Mahmud Suyuthi43 dalam karyanya berjudul

Politik Tarekat, mencoba menjelaskan bahwa penataan

politik yang dikembangkan Orde Baru mempunyai

dampak politis yang terelakkan oleh kaum tarekat.

Akibatnya tarekat Qidīriyah wa Naqsyabandiyah di

Jombang pecah menjadi tiga kelompok: Tarekat Rejo

(akomodasional), Tarekat Cukir (fundamentalis) dan

Tarekat Kedinding Lor (reformis). Perbedaan pola

perilaku kaum tarekat tersebut disebabkan oleh

perbedaan pandangan atau pendapat mereka

terhadap pemerintah Orde Baru, serta perbedaan

pemaknaan dan penafsiran terhadap kepentingan

Islam.

Meskipun secara kategoris perilaku politik

Tarekat Rejoso akomodasionis, Tarekat Cukir

43 Mahmud Suyuthi, Politik Tarekat, (Yogyakarta: Gilang, 2002),

Cet. Ke-1.

30 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

fundamentalis dan Tarekat Kedinding Lor reformis,

namun tidak berarti bahwa perilaku politik murid

pada masing-masing tarekat itu sama dengan

perilaku politik mursyidnya, meskipun masih dalam

satu payung tarekat yang sama: Qodīriyah wa

Naqsyabandiyah. Selain itu, hubungan tarekat dan

politik Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari

kerangka besar yang membingkainya, yaitu

hubungan Islam dan negara di Indonesia. Hubungan

Islam dan negara di Indonesia mengalami beberapa

fase perkembangan yaitu fase ketegangan (sejak

menjelang kemerdekaan sampai masa awal Orde

Baru), fase pencarian dan penyesuaian hubungan

(sejak tahun 1970-an sampai ditetapkannya Pancasila

sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan

sosial kemasyarakatan tahun 1985) dan fase

akomodatif (sejak tahun 1985 sampai sekarang).

Sementara sejak tahun 1970-an telah terjadi

pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam.

Akibatnya terdapat pola pemikiran, sikap dan

perilaku politik dalam memberikan respon terhadap

politik pemerintah Orde Baru. Perbedaan pola-pola

pemikiran, sikap dan perilaku politik tersebut tidak

hanya berlaku bagi organisasi dalam skala besar,

tetapi dalam suatu organisasi Islam terdapat

kelompok-kelompok yang mempunyai pola perilaku

politik yang berbeda satu sama lain. Dengan kata

lain, pluralitas pemikiran di kalangan umat Islam

Pendahuluan 31

telah memasuki segmen-segmen yang lebih kecil,

termasuk di kalangan kaum tarekat. Jadi, komunitas

Islam yang majemuk menjadi semakin majemuk.

Dalam pada itu, komunitas tarekat sebagai

komunitas keagamaan tidak berdaya dalam

menghadapi kekuasaan pemerintah Orde Baru.

Namun sebagai gerakan keagamaan, tarekat dapat

menjadi saluran dari proses santrinisasi priyayi atau

birokrasi, dengan semakin banyaknya elite birokrasi

yang masuk menjadi penganut atau pengamal

tarekat. Sementara, tarekat sebagai salah satu dimensi

ajaran Islam yang bersifat esoteris (batiniyah)

semakin menarik minat dalam kehidupan modern

yang kehilangan dimensi spiritual dan transedental.

Zamakhsyari Dhofier,44 dalam bukunya The

Pesantren Tradition, The Role of Kiai in the Maintenance

of Traditional Islam in Java, mencoba mengkritik studi

tentang Islam di Jawa yang terpaku oleh pola

pendekatan dikotomi tradisionalisme dan modernisme

yang tidak dapat dipertemukan, yang kemudian

menghasilkan penyederhanaan dan penyifatan yang

kasar sebagai dua kutub yang saling berlawanan.

Pendekatan seperti ini menurutnya dianggap tidak

akan membuahkan pengetahuan yang baru. Oleh

karena itu, ia menawarkan alternatif pendekatan lain

44 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren tradition, The Role of the

Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, op. cit., h. xx-xxii

dan xxx.

32 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

yang disebutnya “Kesinambungan di tengah-tengah

perubahan” – continuity and change. Lewat

pendekatan ini, ia menyimpulkan bahwa dalam

membangun masa depannya, pesantren berdiri

dengan teguh di atas tradisi masa lampaunya.

Bahkan, pada pesantren telah terjadi perubahan-

perubahan yang mendasar tanpa kehilangan jati diri

kiai atau pesantren yang bersangkutan. Pendekatan

dikotomis tradisionalis dan modernis hanya akan

memberikan gambaran yang tidak tepat, yaitu seolah-

olah pada suatu ketika kelompok tradisionalis akan

hilang setelah kelompok modernis mencapai

keberhasilan secara penuh, padahal yang demikian

menurutnya tidak akan pernah terjadi.

Tampaknya, Zamakhsyari Dhofier ingin

menunjukan pada dunia luar, bahwa pada dunia kiai

telah terjadi perubahan dan adaptasi sesuai dengan

tuntutan masyarakat, dimana kiai telah berhasil

memperbaharui penafsiran mereka terhadap Islam

tradisional untuk disesuaikan dengan dimensi

kehidupan yang baru. Begitu pula, dalam lapangan

sosial dan politik, para kiai dan anak cucunya telah

menjadi bagian dari kehidupan politik nasional, tidak

kalah moderen dibandingkan dengan kelompok-

kelompok sosial politik lainnya. Di antara kiai ada

yang memiliki kemampuan berpartisipasi dengan

memberikan alternatif pemikiran dalam rangka

pembangunan bangsa dalam skala yang lebih luas.

Pendahuluan 33

Keterlibatan kiai dalam merumuskan dasar Negara

Republik Indonesia dapat menjadi contoh betapa

peran strategis yang diambil oleh para kiai dalam

bidang politik.

Martin Van Bruinessen,45 dalam karyanya

berjudul Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, banyak

berbicara tentang tradisi keilmuan pesantren, kitab

kuning dan hubungan pesantren dengan tarekat.

Buku ini memang tidak banyak menyinggung posisi

pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tetapi

banyak menyinggung mengenai asal usul pesantren,

metode dan materi pelajaran yang diajarkan di

seluruh pesantren di Indonesia, termasuk di pulau

Jawa, bahkan juga dibahas mengenai gerakan tarekat

di pesantren dalam hubungannya dengan proses

pertumbuhan dan perkembangan wacana keagamaan

dan semangatnya dalam perjuangan kemerdekaan

Negara Republik Indonesia. Jadi, persoalan politik

dibicarakan secara sederhana dan eksplisit.

Manfred Ziemek,46 dalam karyanya berjudul

Pesantren dalam Perubahan Sosial memberikan

penjelasan ala kadarnya tentang asal usul pesantren,

tetapi unsur-unsur lembaga pendidikan pesantren

yang mengalami perkembangan pada abad XX dan

45 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat,

Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke1. 46 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, alih bahasa

oleh Butche B. Soendjojo dari Pesantren Islamische Bildung in Sozialen

Wandel, (Jakarta: P3M, 1983).

34 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

peranannya terhadap perubahan sosial banyak

mendapatkan porsi penjelasan yang memadai. Tetapi,

Karel A. Steenbrink,47 dalam karyanya berjudul

Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam

Kurun Moderen banyak menyinggung masalah asal

usul sistem pendidikan di pesantren. Oleh karena

tulisannya banyak difokuskan pada pembahasan

pendidikan Islam era modern, maka uraiannya

mengenai pesantren hanya sekilas dan tidak

membahas sejarah lembaga pesantren, apalagi soal

pesantren dan politik tidak disinggung sama sekali

Abdul Munir Mulkhan,48 dalam karyanya

berjudul Runtuhnya Mitos Politik Santri banyak

menguraikan tentang betapa para santri secara

terbuka mulai memasuki seluruh golongan dan

kekuatan politik yang ada. Sebagian besar santri yang

aktif dalam kegiatan politik praktis mewakili PPP

dalam lembaga legislative dan hampir separo dari

mereka secara aktif memberikan dukungan kepada

Golkan bahkan ada di antaranya yang berada dalam

PDI. Fenomena ini menunjukkan satu kecenderungan

baru yang mematahkan mitos santri sebagai oposan

dan pembangkang. Sedangkan Ali Maschan Moesa,49

47 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan

Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1974). 48 Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri,

(Yogyakarta: Sipress, 1992), Cet. ke-1. 49 H. Ali Maschan Moesa, Kiai Politik dalam Wacana Civil Society,

(Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet.ke-1.

Pendahuluan 35

dalam karyanya berjudul Kiyai dan Politik dalam

Wacana Civil Society menjelaskan mengenai cara-cara

para kiai tradisional melestarikan kelembagaan

mereka sebagai society berhadapan dengan Negara.

Kiai sebagai pemimpin kharismatik dalam bidang

agama dan kemasyarakatan, bagi masyarakat Islam

perdesaan memegang peranan penting untuk

membentengi ummat dan cita-cita Islam terhadap

ancaman kekuatan struktural dari luar. Oleh karena

itu, dalam wacana yang berkaitan dengan

pembangunan, paradigma yang berorientasi dari atas

(top down), seharusnya diubah menjadi paradigma

yang berorientasi dari bawah (bottom up), dalam arti

para kiai tidak hanya sekedar dijadikan selender yang

berfungsi meratakan dan meluruskan jalan dan

setelah itu mereka ditinggalkan, tetapi mereka

berharap dapat turut ambil bagian dalam proses

pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan

masyrakat. Mereka tidak hanya pasif melihat proses

perubahan, tetapi juga ikut menentukan arah

perubahan. Uraian Ali Maschan Moesa jelas

mengenai gerakan politik kiai, tidak seluruh daerah

Provinsi Jawa Timur, tetapi hanya terbatas pada

masyarakat di pulau Madura, sebuah daerah yang

terletak di sebelah timur Surabaya, Provinsi Jawa

Timur.

Dari beberapa kajian para sarjana yang telah

diuraikan dalam sub bab ini, sejauh pengamatan

36 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

penulis, belum memberikan informasi yang banyak

tentang pesantren dan politik, terutama mengenai

sikap politik kiai pesantren di Jawa Timur. Oleh

karena itu, melalui penelitian ini, penulis akan

mencoba mengkaji bahwa kiai sesuai dengan

habitatnya sebagai penyebab adanya pesantren,

pemilik, pengasuh dan tokoh sentral di pesantren

seharusnya mengajarkan pengetahuan agama kepada

para santrinya, tetapi, mengapa ia cenderung

melakukan aktivitas politik yang semestinya

dilakukan oleh politisi dan negarawan. Aktivitas itu

justru banyak dilakukan oleh kiai pesantren di Jawa

Timur, Propinsi yang menurut data statistik Ditjen

Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI

tahun 2004-2005, memiliki jumlah kiai dan pesantren

jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah kiai

dan pesantren yang ada di daerah lain di Indonesia.

Sedangkan tahun 1998 dipandang sebagai Era

Reformasi, yang selain ditandai oleh mundurnya

Soeharto dari jabatannya sebagai presiden, juga

ditandai oleh bangkitnya Islam politik, yang tecermin

dengan munculnya beragam partai politik, di

antaranya ada yang dibidani pendiriannya oleh kiai

pesantren dan bahkan menjadi salah satu kendaraan

politiknya.

Pendahuluan 37

E. Metodologi Penelitian

Penelitian akan mencoba mengkaji Pesantren dan

politik, Studi Tentang Sikap Politik Kiai Pesantren di

Jawa Timur 1998-2004. Oleh karena itu, data yang

digunakan, selain data yang diperoleh langsung dari

lapangan baik dengan mengadakan interview maupun

survey lapangan, juga memanfaatkan informasi yang

telah terdokumentasi baik berupa buku, hasil

penelitian, makalah ilmiah, artikel pada surat kabar,

majalah dan jurnal ilmiah maupun dokumen yang

tersedia dan lain sebagainya.

Penelitian tentang Pesantren dan Politik; Studi

Tentang Sikap Politik Kiai Pesantren di Jawa Timur

1998-2004 akan dilihat dalam beberapa aspek, terkait

dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik pada era

reformasi, latar belakang, motif dan sikap politik kiai

pesantren, kendaraan politiknya, peran-perannya di

lembaga negara dan non negara serta dampak

keterlibatan politiknya bagi dunia pesantren. Aspek-

aspek ini dinilai menarik, karena meskipun memiliki

misi yang sama, para kiai ternyata mengambil posisi

yang berlainan dalam menjaga eksistensi dirinya dan

mempertahankan institusi yang dipimpin dan

diasuhnya.

Sikap politik kiai pesantren, khususnya di Jawa

Timur tersebut barangkali disebabkan oleh beberapa

faktor, bisa karena faktor ajaran Islam, ‘izz al-Islām wa

38 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

al-Muslimīn dan karena faktor kebijakan pemerintah.

Dua faktor pertama merupakan faktor internal terkait

dengan pandangan hidup kiai, nilai, persepsi dan

pertimbangan-pertimbangan etik terhadap ummat

pendukungnya, sedangkan faktor terakhir bisa

disebut sebagai faktor eksternal terkait dengan

masalah kepentingan-kepentingan material atau

ekonomi,50 kebijakan politik penguasa dan pengaruh

kekuatan politik yang berkembang saat itu. Oleh

karena itu, dalam penelitian ini digunakan

pendekatan sejarah, sosial dan politik. Pendekatan

sejarah dimaksud sebagai upaya melihat kejadian-

kejadian masa lampau yang berhubungan dengan

kelembagaan pesantren baik kiai, santri dan warga

masyarakat, kedudukan dan peran kiai baik di

pesantren maupun di tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian, penggalian data dilakukan melalui

penyelidikan dan pengkajian terhadap naskah-

naskah lama yang menjelaskannya.

Selain studi pustaka, penelitian ini juga

dilengkapi dengan penelitian lapangan. Observasi

dilakukan pada beberapa pesantren di Jawa Timur,

seperti Pesantren Langitan, Widang, Tuban;

Pesantren Tebuireng, Jombang; Pesantren Bahrul

Ulum, Tambak Beras, Jombang; Pesantren Darul

50 Marcus Mietzner, “Between Pesantren and Palace: Nahdlatul

Ulama and Its Role in The Tradition”, dalam Geoff Forrester & RJ May

(ed.), The Fall of Soeharto, (Bathurst, NSW: Crawford House

Publishing, 1998), h. 176 dan 198-199.

Pendahuluan 39

Ulum, Rejoso Peterongan, Jombang; dan Pesantren at-

Taroqqy, Sampang, Madura. Pesantren-pesantren

tersebut, selain usianya cukup tua, didirikan oleh

tokoh yang punya peran penting dalam sejarah NU,51

punya cabang dan memiliki puluhan ribu atau

bahkan ratus ribu alumni yang tersebar di berbagai

wilayah atau bahkan ada yang menjadi tokoh dan

ulama kenamaan. Selain itu, pesantren-pesantren itu

diasuh oleh kiai kharismatik, warga dan ulama NU

yang pernah menjadi pengurus NU, baik tingkat

Pusat maupun Cabang, memiliki jumlah santri sekitar

5.000 sampai 8.000 santri, terbanyak di antara

pesantren di Jawa Timur,52 yang diajar dengan

memakai kitab-kitab menurut faham Aswaja,

sedangkan faham Aswaja merupakan aqidah

jam’iyah NU.53 Kiai pesantren yang menjadi observasi

tersebut, juga menunjukkan keterwakilan partai yang

menjadi kendaraan politiknya, misalnya Kiai

Muhammad Yusuf Hasyim, aspirasi politiknya

disalurkan melalui PPP dan kemudian PKU, Kiai

Abdullah Faqih, aspirasi politiknya disalurkan

melalui PKB dan kemudian PKNU, Kiai Alawy

Muhammad, aspirasi politiknya disalurkan melalui

51 Asrori S. Karni, “Ibukota” Kaum Nahdliyyin”, Gatra Edisi

Khusus, XI, 1-2 (Nopember, 2004), h. 23. 52 Daftar Identitas Pondok Pesantren (2004-2005), Ditjen

Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 53 Lihat Anggaran Dasar NU, Pasal 3 Tentang Aqidah. Mahbub

Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung:

Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 126-127.

40 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

PPP, Kiai Muhammad As’ad Umar, aspirasi

politiknya disalurkan melalui Partai Golkar dan Kiai

M. Hasib Wahab, aspirasi politiknya disalurkan

melalui PDIP.

Selain pengamatan lapangan, juga dilakukan

wawancara dengan para tokoh agama, pimpinan dan

pengasuh pesantren tersebut khususnya dan

pesantren lain di Jawa Timur pada umumnya. Jadi,

hanya sebagian kecil pesantren di Jawa Timur yang

disurvey. Meskipun demikian, pesantren-pesantren

tersebut sebagaimana dijelaskan cukup representatif

untuk diteliti. Hal lain, yang menjadi pertimbangan

adalah karena keterbatasan waktu maupun biaya.

Pendekatan sosial dimaksudkan selain berupaya

menelusuri hubungan sebab akibat sebagaimana

paradigma fakta sosial, juga berupaya mencari

pemahaman yang mendalam. Max Weber,54

menyebutnya versteheen, yaitu upaya memahami

secara lebih dalam khususnya terhadap realitas

sosial. Keputusan-keputusan politik kiai yang

seringkali dianggap kontroversial ternyata me-

nyimpan makna yang dalam. Dalam menentukan

afiliasi politik terdapat kiai yang menyesuaikan diri

dengan kemauan pemerintah padahal pada

lembaganya terdapat pendidikan formal yang

kurikulumnya tidak mengikuti kurikulum

54 Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization,

(New York: Macmillan, 1946), h. 110.

Pendahuluan 41

pemerintah, sebaliknya terdapat pula kiai yang dalam

menentukan afiliasi politik berseberangan dengan

kemauan pemerintah padahal pada lembaganya

terdapat pendidikan formal yang kurikulumnya

mengikuti kurikulum pemerintah. Selain itu, juga

terdapat kiai yang tidak saja melakukan peran

sebagai guru agama dengan memimpin kegiatan

keagamaan, tetapi juga berpartisipasi pada

pengembangan ekonomi dan kesehatan ummat. Oleh

karena itu, timbul pertanyaan yang layak dijawab,

mengapa semua itu mereka lakukan dan apa

maknanya? Untuk menjawab secara lebih mendalam

dan menyeluruh, tidak cukup dengan hanya melihat

adanya hubungan sebab akibat dari beberapa

variabel, tetapi harus digali makna, nilai dan

pemahaman yang lebih dalam terhadap keputusan-

nya itu, sehingga paradigma yang disebut dengan

versteheen menjadi tepat adanya.

Selanjutnya, soal pendekatan politik dimaksud-

kan bahwa manusia itu homo social sekaligus makhluk

politik dalam arti manusia tidak bisa hidup sendiri

dan tidak bisa dipisahkan dari persoalan

kemasyarakatan dan persoalan pengaruh mem-

pengaruhi dalam arti terdapat usaha penggalangan

dukungan, memperebutkan dan mempertahankan

kekuasaan dan seni manusia memerintah lainnya

dengan memperdayakan mereka dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, pertanyaan yang layak dijawab ialah

42 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

mengapa semua itu mereka – termasuk di dalamnya

kiai – lakukan? Untuk menjawab secara lebih

mendalam dan komprehensif tidak cukup dengan

melihat hubungan sebab akibat dari beberapa

variabel, tetapi juga dilihat pemahaman doktrin

agama yang dianutnya, posisinya sebagai pemuka

agama dan pengaruhnya yang luas di tengah-tengah

masyarakat serta secara ekternal dilihat dari

kebijakan pemerintah yang barangkali sangat

merugikan umat dan pesantren. Jadi umat dan

pesantren dalam posisi terpinggirkan.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka penelitian

ini bersifat kualitatif yaitu jenis penelitian yang tidak

saja berambisi mengumpulkan data dari sisi

kuantitas, tetapi juga ingin memperoleh pemahaman

yang lebih dalam di balik fenomena yang berhasil

direkam, misalnya menggali tentang makna yang

sebenarnya di balik keputusan mengapa kiai

berpolitik, atau mengapa dalam menentukan sikap

politiknya, kok tidak bergabung pada partai politik

yang berasaskan Islam saja, seperti pada masa Orde

Baru berafiliasi pada Partai Persatuan Pembangunan

(PPP), dan pada masa Orde Reformasi pada PKB,

sebuah partai politik yang pendiriannya dibidani oleh

para kiai yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul

Ulama, tetapi justru afiliasi politik mereka beragam,

bisa ke PPP, Golkar dan PDI pada masa Orde Baru,

dan pada masa Orde Reformasi bisa ke Partai Golkar,

Pendahuluan 43

PDI Perjuangan, PKU (Partai Kebangkitan Ummat),

PNU (Partai Nahdlatul Ummah) dan Partai Suni

(Partai Serikat Uni Nasional Indonesia).

Dengan demikian, anggapan bahwa kiai hanya

bisa berperan sebagai pemimpin spiritual dan tidak

bisa berperan dalam politik ternyata tidak bisa

diterima. Ulama dalam hal ini kiai harus melekat

dengan politik.55 Kedua peran baik sebagai pemimpin

spiritual maupun sebagai pemimpin politik,

nampaknya dapat dilakukan oleh para kiai. Persoalan

peran kiai tersebut, dipandang lebih tepat jika

dijawab lewat penelitian yang bersifat mementingkan

aspek kedalaman, dan tidak lewat penelitian yang

hanya berorientasi pada keluasan cakupannya.

Penelitian seperti ini dikenal dengan penelitian

kualitatif, dimana secara praktis, penelitian lebih

dikonsentrasikan pada segi individu pelaku politik,

yaitu kiai pesantren itu sendiri, sedangkan informasi

lainnya, jika digali, hanya berfungsi sebagai

pelengkap atau komplementer. S.P. Varma, mengata-

kan bahwa penelitian yang didasarkan pada individu

perlu lebih jauh melihat posisi individu tersebut

dalam masyarakat serta peran yang harus

dilakukannya. Bila setiap individu mempunyai peran

yang berbeda dalam konteks yang berlainan, maka

55 KH. Abdurrochman Chudlori, Ketua Dewan Syura PKNU, Ulama

Harus Melekat Dengan Politik, Republika, (Jakarta), 17 Desember 2006,

h. 3.

44 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

hal itu dapat menjelaskan keragaman tingkah laku

yang berbeda.56 Jadi, sikap, pemikiran dan perilaku

pribadi harus dijelaskan dari segi posisi dan peran

setiap individu tersebut.

Data yang diperlukan untuk mendukung

penelitian ini, tentu data yang berkaitan dengan

pokok permasalahan. Oleh karena itu, jenis-jenis

sumber data secara ringkas adalah sebagai berikut:

a. Data Literatur dari perpustakaan, khususnya

tentang kiai, pesantren dan politik, dikaji dari

perspektif teoritisnya. Dari segi peran dan fungsi

kiai pesantren, pesantren dan perubahan sosial,

serta dari pesantren dan modernisasi birokrasi,

pesantren dan partai politik, dan sikap politik kiai

pesantren. Selain itu, data literatur juga dipakai

untuk mengkaji pesantren dan dinamika politik

nasional era reformasi, yang meliputi situasi dan

kondisi sosial, ekonomi dan politik pada akhir

rezim Orde Baru dan lengsernya Soeharto dari

kursi kepresidenan. Di samping juga mengkaji

persoalan bangkitnya beragam partai politik dan

secara khusus mengkaji partai yang dibidani

pendiriannya oleh kiai pesantren.

b. Data tentang kiai pesantren di Jawa Timur dalam

arena sosial politik dan politik kiai pesantren di

56 S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1982),

h. 30.

Pendahuluan 45

Jawa Timur 1998-2004, diperoleh sumbernya dari

dokumentasi pesantren, realitas keadaan fisik dan

keterangan lisan kiai, para ustadz dan ustadzah,

staf pengelola dan pihak-pihak lain yang terkait

baik langsung maupun tidak langsung.

Sesuai dengan jenis, ciri-ciri dan sumbernya,

maka pengumpulan data dari seluruh aktifitas

penelitian ini dilakukan melalui teknik sebagai

berikut:

a. Studi Pustaka, dalam wujud menelaah buku-buku,

hasil penelitian, jurnal dan makalah ilmiah, artikel

pada berbagai media massa, baik surat kabar

maupun majalah dan lain sebagainya, khususnya

yang berkaitan langsung dan tidak langsung

dengan informasi tentang kiai, pesantren dan

politik, situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan

politik, awal bangkitnya politik Islam jilid III pada

era reformasi, kiai pesantren di Jawa Timur dalam

arena sosial politik di Jawa timur yang meliputi

biografi kiai pesantren dan sikap dan motif

politiknya, serta politik kiai pesantren di jawa

Timur 1998-2004, yang meliputi kendaraan politik

kiai pesantren, peran-peran politik kiai pesantren

pada lembaga negara dan non negara serta

dampak keterlibatan politik kiai bagi dunia

pesantren.

46 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

b. Dokumentasi, dalam rangka mencari, meng-

himpun dan menelaah arsip-arsip pesantren yang

menyimpan data historis pada masa lalu, di

samping data tertulis lain yang menginformasikan

kondisi riil pesantren dan warganya, dahulu dan

sekarang.

c. Wawancara, dengan informan yang terdiri dari

para tokoh masyarakat, para kiai, para ustadz dan

ustadzah, staff dan para pengelola pesantren

lainnya, para santri dan pihak lain yang

dipandang relevan dengan inti permasalahan yang

menjadi fokus perhatian penelitian ini.

d. Observasi, dengan sasaran profil dan kondisi fisik

bangunan pesantren, kondisi kehidupan para

santri, kegiatan belajar mengajar di pesantren dan

hubungan pesantren dengan masyarakat yang ada

di sekitarnya.

Kiai yang tampaknya sama, ternyata mempunyai

karakteristik yang berlainan. Oleh karena itu, setelah

diperoleh catatan tentang beberapa kiai, kemudian

diinventarisasi kesamaan dan perbedaannya yang

menonjol. Beberapa kesamaan kiai, misalnya selalu

terkait dengan pondok pesantren, mengajarkan

agama kepada para santri melalui kitab kuning atau

klasik dan bentuk pakaian yang dikenakannya yang

selalu mengenakan kopiah putih dan bersorban jika

berada di lingkungan pondok, sedangkan perbedaan-

Pendahuluan 47

nya yang diinventarisasi misalnya terkait dengan

lembaga pendidikan yang dikembangkannya, sikap

politiknya, pandangannya tentang doktrin agama

dan keperduliannya terhadap masyarakat. Perhatian

secara seksama terhadap beberapa perbedaan kiai

tersebut, kemudian dipilih jenis kegiatan yang

menonjol di antara masing-masing kiai dan akhirnya

diperoleh tipologi yang masing-masing kurang lebih

berbeda antara satu dengan lainnya.

Penemuan tipologi tersebut melewati proses

yang panjang, sebab hasil sementara terus diuji

berulangkali dengan data yang dipandang akurat,

apakah masing-masing tipe itu benar-benar berbeda

antara satu dengan yang lain. Tipologi yang

dihasilkan benar-benar diangkat dari data lapangan,

begitu pula ukuran yang digunakan untuk

menemukan tipologi itu tidak disusun terlebih

dahulu, sebagaimana penelitian yang bersifat

kuantitatf, tetapi digali dari sejarah kehidupan

masing-masing kiai secara lebih mendalam.

Untuk mengetahui penyebab perbedaan tipe kiai

dan pilihan politik yang diambilnya, baik terkait

dengan latar belakang politiknya maupun afiliasi

politiknya, maka perlu dikaji bagaimana kiai

memahami dokrin agama, memahami masyarakatnya

dan memahami untung rugi, baik bagi lembaganya

maupun ummatnya. Aspek-aspek itu dipahami

melalui perspektif fenomenologis, yang menurut

48 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Noeng Moehadjir, metode fenomenologi digunakan

untuk menyelidiki unsur-unsur apa yang ada dalam

pengalaman atau kesadaran moral.57

Analisis data dalam penelitian kualitatif

dilakukan bersamaan waktunya dengan pe-

ngumpulan data itu sendiri dalam arti bahwa

instrumen data adalah peneliti itu sendiri. Oleh

karena itu, data yang diperoleh diklasifikasi, disaring,

digeneralisasi dan kemudian ditarik kontruksi-

konstruksi teoritisnya. Lewat proses ini, peneliti

berusaha memahami, menyusun kategori-kategori,

menginventarisasi karakteristik masing-masing

kategori, sehingga jelas perbedaan satu dengan yang

lainnya. Pekerjaan seperti ini jelas memakan waktu

lama dan perlu kehati-hatian. Oleh karena itu,

rumusan yang dihasilkan, tidak bisa sekali jadi. Jadi,

jika ternyata pada fase tertentu diperoleh data yang

tidak mendukung rumusan yang telah dihasilkan,

maka terpaksa hasil sementara atau hipotesis harus

diubah dan diganti dengan yang lain, sampai

menemukan titik kejenuhan informasi pada saat

kegiatan studi dipandang cukup, untuk kemudian

diakhiri. Proses semacam ini berjalan sepanjang

penelitian sampai ditemukan rumusan yang mantap,

karena kegiatan pengumpulan dan analisis data

senantiasa beranjak dari hasil pengumpulan dan

57 Noeng Moehadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:

Rake Sarasin, 1996), Cet. Ke-3, h. 15.

Pendahuluan 49

analisis data yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh

karena itu, proses penelitian, lebih berbentuk siklus

dari pada linier.

Untuk mempertajam kepekaan peneliti,

ditempuh dua cara, yaitu pertama, senantiasa melihat

kembali hasil penelitian tentang topik serupa oleh

peneliti terdahulu, dan kedua, melakukan diskusi dan

penulisan laporan sementara secara bertahap,

sehingga dapat diperoleh pemahaman yang memadai

baik dari sisi kedalaman maupun reliabilitasnya,

lantaran telah didukung oleh data yang cukup. Selain

itu, dalam pemanfaatannya secara proporsional,

analisis data kualitatif juga tidak mengabaikan sama

sekali perolehan informasi atau data yang berwujud

angka, khususnya berkaitan dengan upaya untuk

mengetahui atau menggambarkan adanya ke-

cenderungan-kecenderungan umum tertentu di

masyarakat sehubungan dengan hadirnya bentuk

dan kecenderungan politik kalangan warga

pesantren, khususnya kiai dan santri, suatu hal yang

boleh jadi tidak terdeskripsikan secara tuntas, jika

semata-mata mengandalkan dukungan data verbal

dalam wujud kata-kata.

BAB II

KIAI, PESANTREN DAN POLITIK

A. Peran dan Fungsi Kiai Pesantren

1. Bidang Sosial Keagamaan

Sebagai pendiri, penyebab adanya pesantren dan

sekaligus pemilik dan pewakaf, kiai pesantren

berperan sebagai pelestari nilai keagamaan dan

moralitas warganya. Sebagai pelestari nilai

keagamaan, kiai telah merumuskan bahwa tujuan

52 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

pendidikan pesantren adalah untuk memberikan

bekal pengetahuan agama Islam kepada para

santrinya, yang merupakan penerusan materi yang

telah diterimanya pada pengajian di rumah-rumah

dan langgar-langgar. Jika pada tempat terakhir

diistilahkan dengan sekolah rendah, maka pesantren

merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah

dan tinggi.1 Oleh karena itu, materi pelajarannya pun

juga lebih mendalam, seperti mengenai pokok-pokok

agama, yang terutama adalah ilmu pengetahuan yang

berhubungan dengan syariat sehari-hari (ilmu fiqh

baik ibadah maupun muamalah), bahasa Arab (ilmu

shorof, nahwu dan ilmu alat lainnya), al-Qur’an

seperti tajwīd dan tafsir-tafsirnya, ilmu tauhīd, ilmu

akhlaq dan ilmu tasauf.2

Berdasarkan kitab-kitab tersebut, maka dapat

dipastikan bahwa pengetahuan agama yang

diberikan di pesantren, dalam bidang akidah

mengikuti ajaran Imam Abū Hasan al-Mātūridi,

dalam bidang tasauf, mengikuti ajaran Imam

Ghazzāli dan dalam bidang Fiqh mengikuti ajaran

1 I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung:

Ilmu, 1974), Cet. Ke-9, h. 112. 2 L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammedansche

Godsdienstonderwijs op Java en Madoera,” Tijdschrif voor Indische

Taal Land-en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886, h. 518-555. Lihat pula

Soebardi, “Santri Relegious Element as Reflected in The Book of

Tjentini,” Bidragen Tot De Taal Land-en Volkenkunde, Vol. CXXVII,

(Martinus Nijhoff, 1971), h. 335-340. serta KH. Siradjuddin Abbas,

Ulama Syafi’I dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pustaka

Tarbiyah, 1975), h. 36-65.

Kiai, Pesantren dan Politik 53

Imam Syāfi’i. Suatu kenyataan yang juga diberikan

pada lembaga perguruan tinggi Islam di Indonesia.

H. Aboe Bakar Atjeh menyatakan, bahwa hampir

semua perguruan tinggi Islam dalam memperlajari

agama Islam memakai kitab-kitab yang dikarang oleh

ulama-ulama dari mazhab Syāfi’i, sedangkan faktor

yang memungkinkannya menurut H. Sulaiman

Rasyid adalah bahwa ulama pemimpin pesantren di

Indonesia kebanyakan mengambil pelajaran dan

belajar di kota Mekkah di Hijaz, suatu daerah yang

terdapat ulama bermazhab Syāfi’i.3 Abd. Qahar

Mudzakkir, dalam buku “Biografi Empat Serangkai

Imam Mazhab,” melengkapi pendapat Sulaiman,

menyatakan bahwa para kiai selama bermukim di

Mekkah berguru kepada para ulama yang berhaluan

hukum mazhab Syāfi’i; Para muballigh yang mula-

mula datang ke Indonesia juga berasal dari

Hadramaut yang bermazhab Syāfi’i dan kemudian

mazhab yang disahkan oleh pemerintah Hindia

Belanda dahulu sebagai haluan hukum syara’ di

Indonesia adalah juga Syāfi’i.4

Adapun faktor yang memungkinkan karya Imam

Ghazzāli seperti Bidāyatul Hidāyah, Minhajul

3 H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta: al-Thohiriyah, 1955),

Cet. Ke-13, h. 27. 4 H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1955), h. 6. Lihat pula M. Habib Chirzin,

“Agama dan Ilmu dalam Pesantren,” dalam M. Dawam Rahardjo (ed),

Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), Cet. Ke-1, h. 94.

54 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

‘Ābidin, al-Hikam, Ihyā ‘Ulūmuddīn dan lain

sebagainya, dipelajari di pesantren dan perguruan

tinggi, antara lain karena “pribadi pengarang Imam

Ghazzāli sendiri, di mana sebagai seorang sufi yang

zuhud, ia tidak mengindahkan keindahan dunia dan

kecantikannya, karena dunia merupakan tempat

hidup sementara, sedangkan baginya akhiratlah

tempat hidup yang baka.”5 Selain itu, mutu kitab Ihyā

‘Ulīmuddīn sendiri, yang karena kebaikannya, ia

mempunyai pengaruh yang sangat besar baik di

kalangan kaum muslimin di dunia Timur maupun

dunia Barat. “Manakala al-Ghazzāli menulis kitabnya

Ihyā Ulūmuddīn, gemparlah dunia dibuatnya dari

Timur sampai ke Barat. Namanya, menjadi buah bibir

orang. Segala perhatian dan pikiran tertuju pada

kitab Ihyā Ulūmuddīn.”6

Dengan demikian, sekali lagi pesantren hanya

mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam. Tetapi,

dalam ilmu agama yang akan diajarkan, tidak jarang

adanya pesantren yang mengenalkan ilmu agama

atau fak tertentu sesuai dengan keahlian kiainya,

sehingga ditemukan pesantren Khusus Bahasa Arab

seperti pada Pesantren Tremas, Pacitan; Pesantren

Khusus Hadīs seperti pada Pesantren Tebuireng era

KH. Hasyim Asy’ari dan Pesantren Khusus

5 H.M.K. Bakry, al-Ghazzali, (Jakarta: Wijaya, 1962), h. 7. 6 H.M.K. Bakry, al-Ghazzali, (Jakarta: Wijaya, 1962), h. 78.

Kiai, Pesantren dan Politik 55

Tasawwuf seperti pada Pesantren Jampes di Kediri.7

Bahkan M. Habib Chirzin memetakan kekhasan

pesantren dengan menyebutkan pesantren khas Fiqh

dan Hadīs, seperti pada Pesantren Tebuireng era KH.

Hasyim Asy’ari, Pesantren Tambak Beras era KH.

Wahab Hasbullah, Pesantren Denanyar era KH. Bisri

Syansuri, Pesantren Termas era KH. Dimyati dan KH.

A. Hamid Dimyati dan Pesantren Lasem era KH.

Chalil; Pesantren Khusus Ilmu Alat, seperti pada

Pesantren Lirboyo era KH. Mahrus, Pesantren Bendo

dan pada Pesantren Jampes; Pesantren Khusus

Qiraah al-Qur’an seperti pada Pesantren Krapyak era

KH. Munawir dan KH. Ali Ma’shum, Pesantren

Cintapada, Tasikmalaya era KH. Dimyati, Pesantren

Wonokromo era KH. Abdul Aziz dan KH. Hasbullah,

serta pada pondok pesantren yang ada di Cirebon

dan Banten. Pesantren Khusus Tasauf seperti pada

pesantren Rejoso era KH. Musta’in Romli, pesantren

Tegal Rejo era KH. Khudari, Pesantren al-Falak

Pagentongan Cirebon era KH. Falak dan Pesantren

Watu Congol era KH. Dalhar. Pesantren Khusus

Tafsir al-Qur’an seperti pada Pesantren Lasem era

KH. Baidlowi dan Pesantren Jamsaren era KH. Abu

Amar. Bahkan ditemui pula pesantren yang

mengkhususkan diri pada pendidikan kemasyarakat-

an dan pengajaran bahasa Arab dan Inggris seperti

7 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the

Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU,

1999), h. 6.

56 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Pondok Modern Gontor pada masa KH. Ahmad

Sahal, KH. Zainuddin Fanani dan KH. Imam

Zarkasyi.8

Adapun sebagai pelestari moralitas, maka ilmu

pengetahuan agama Islam diberikan oleh kiai di

pesantren tidak hanya diajarkan melalui pengajian

sorogan atau wetonan dan bandongan, tetapi juga

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kehidupan di pesantren layaknya sebuah keluarga

besar yang penuh dengan berbagai aktivitas, di mana

santri dilatih dan dibiasakan untuk hidup sederhana,

ibadah dengan tertib, saling menghormati, saling

tolong-menolong, saling mengatasi kebutuhannya

sendiri, mencuci, mengatur kamar dan memasak

sendiri, mendirikan pondok dengan penukangan dan

pembiayaan sendiri, mengatur keuangannya sendiri,

bahkan ada santri yang membiayai hidupnya sendiri.

Dalam hal ini, R.A. Kern menyatakan bahwa jarang

sekali santri bisa mengandalkan kiriman dari

rumahnya. Mereka mencari nafkah sendiri dengan

bekerja pada tanah-tanah milik penduduk setempat

atau bekerja di sawah milik gurunya. Mereka juga

memperoleh nafkah dari karya kecil dengan

8 M. Habib Chirzin, Agama dan Ilmu Dalam Pesantren dalam M.

Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan. (Jakarta: LP3ES,

1974), Cet. Ke-1, h. 86.

Kiai, Pesantren dan Politik 57

membuat kopi al-Qur’an, membikin tikar dan lain

sebagainya.9

Sikap saling menghormati merupakan sifat yang

sangat terpuji dan di pesantren, penghormatan santri

juga dilakukan kepada kiai dan keluarganya. Sebagai

sesepuh, kiai adalah guru yang harus ditaati,

diteladani dan dihormati dengan berusaha me-

nyenangkannya, misalnya tidak sekali-kali berjalan di

depannya, tidak duduk di kursi yang biasa

didudukinya, tidak mengetok pintu rumahnya

sebelum dibuka, tidak membuka percakapan

dengannya sebelum ia mengajak bicara, tidak bicara

terlalu banyak dengannya dan tidak menanyakan

masalah yang kurang berkenan di hatinya. Selain itu,

santri juga patuh menjalankan perintahnya dan tidak

melupakan ikatan dengan kiai dan pondoknya,

karena jika terjadi, maka akan dianggap sebagai aib,

yang dapat menghilangkan barakah kiai.10 Oleh

karena itu, sering ditemukan adanya santri yang telah

hidup di tengah-tengah masyarakat, tetap berusaha

untuk berkunjung ke rumah kiai dan selalu

memegang teguh anjuran untuk berjihad. Dalam

Ta’līm al-Muta’allim, kitab yang biasa menjadi

pegangan pesantren, Zarnuji menyatakan:

9 R.A. Kern, De Islam in Indonesia, (Uitgeverij W. Van Hoeve’s

Gravenhage, 1947), h. 91. 10 Sadikun Sugihwaras, Pondok Pesantren Dan Pembangunan

Pedesaan, (Jakarta: Dharma Bakti, 1979), h. 64-66.

58 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Bahwa mereka yang mencari ilmu senantiasa akan mendapatkan pengetahuan dan pe-ngetahuannya akan berguna sepanjang mereka menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan kepada guru yang mengajarkannya. Sayyidina Ali berkata: “Saya ini hamba dari orang yang mengajar saya, walaupun hanya satu kata saja.” Jadi, sesungguhnya guru dan dokter apabila tidak dihormati, maka keduanya tidak akan memberikan nasehat. Apabila Anda tidak menghormati dokter, maka hendaklah Anda bersabar terhadap penyakit. Begitu pula, jika Anda tidak menghormati guru, maka hendaklah Anda puas dengan kebodohan Anda.11

Sebaliknya, sebagai orang yang dihormati dan

diteladani, kiai juga berusaha menjadikan dirinya

ikutan yang baik, baik dalam kesetiaan iman kepada

Allah, dalam menjalankan perintah dan menjauhi

larangan-Nya maupun dalam kesederhanaan hidup-

nya, dalam menjaga kesopanan, dalam keikhlasannya

membimbing dan memberikan pelajaran serta dalam

menanamkan sifat yang baik dan berguna kepada

para santri. Sikap memberi, mengambil dan menjaga

dan lain sebagainya bisa terpelihara, karena kiai dan

santri tinggal bersama dalam satu kompleks pondok

atau kampus, sehingga karenanya membentuk

11 Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Kudus: Menara Kudus, 1963), h.

62-63 dan 177.

Kiai, Pesantren dan Politik 59

sebuah sub-kultur,12 yang membedakan kultur yang

yang ada di luar pesantren. Bahkan kebiasaan dan

kultur di pesantren, berimplikasi ketika santri berada

di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti

kesediaannya untuk menerima hidup bersahaja,

kebiasaan tirakat, hidup mandiri, demokratis dan lain

sebagainya.

2. Bidang Sosial Budaya

Sebagai pemilik sekaligus pengasuh, kiai juga

berperan sebagai pelestari budaya. Meskipun tidak

setiap pesantren merupakan pusat gerakan tarekat,

tetapi tidak sedikit pesantren melalui kiainya

mengamalkan ajaran tarekat. Salah satu ajaran yang

biasa dijalankan adalah kebiasaan mengadakan

pemujaan para wali dan makamnya serta ajaran

tentang wasilah, yaitu anggapan bahwa kita yang

hidup ini dapat “mengirim” pahala kepada yang

telah meninggal. Anggapan itu dipraktikkan dalam

kebiasaan mengirimkan pahala bacaan tertentu,

umumnya al-fātihah kepada orang-orang yang

12 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam

Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES,

1974), Cet. Ke-1, h. 40, menjelaskan bahwa kegiatan di pesantren

berputar pada pembagian periode berdasarkan waktu sembahyang

wajib,sehingga pengertian pagi, siang dan sore di pesantren menjadi

berlainan dengan pengertian di luarnya. Dalam hal ini, misalnya sering

dijumpai santri menanak nasi di tengah malam buta atau mencuci

pakaian menjelang matahari terbenam.

60 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dianggap dapat melimpahkan kembali pahala itu

kepada pengirimnya secara berlipat ganda, yaitu

selain Nabi sendiri adalah para wali. Perkataan

mengirim do’a adalah petunjuk adanya limpahan

kembali pahala itu. Justru untuk memperbesar pahala

yang dikirimkan kepada seseorang yang telah

meninggal, do’a itu didahului dengan bacaan-bacaan

yang pahalanya dikirimkan kepada arwah para wali,

baru kepada arwah orang yang meninggal yang

bersangkutan. Ini merupakan kelanjutan yang wajar

dari ajaran tentang barakah dan syafā’ah yang

dipelajari di pesantren.

Sebagai pelestari nilai budaya, kiai pesantren

juga bertindak sebagai pembimbing spritual kepada

para santri yang taat, imam ‘ubūdiyah dan upacara

keagamaan, memberi nasehat dalam masalah

kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual

penting, dan membacakan do’a pada berbagai acara

penting. Dalam pandangannya, sembahyang

(syari’ah) dan dzikir (tasauf) sebagai cara utama

dalam meningkatkan kehidupan spiritual seseorang,

dan dalam tradisi pesantren, “pendekatan diri

sebagai hamba Allah” merupakan tujuan dan

kebahagiaan hidup yang paling utama. Banyak ayat

al-Qur’an dan hadīs Nabi yang memerintahkan agar

manusia mengagungkan nama Allah. Oleh karena

itu, dalam setiap sebelum atau bahkan sesudah salat

berjama’ah, kiai, guru dan santri secara bersama-

Kiai, Pesantren dan Politik 61

sama selalu mengamalkan dzikir di pesantren. Kiai

Syamsuri Badawi menjelaskan bahwa dalam

mengamalkan syari’ah dan dzikir, para kiai

pesantren, mengikuti tradisi Imam Māliki yang

mengajarkan, bahwa “Seorang muslim yang

mempelajari syari’ah Islam, tetapi melupakan aspek

tasauf, akan menjadi munāfiq; seorang muslim yang

mempelajari tasauf, tetapi mengabaikan syariah akan

menjadi kāfir zindiq; dan seorang muslim yang

mempelajari dan mengamalkan dua-duanya (syari’ah

dan tasauf) akan memperoleh kesempurnaan dalam

ke-Islaman”.13

Berangkat dari penjelasan kiai Syamsuri tersebut,

maka dapat dipastikan bahwa dzikir merupakan

salah satu amalan yang dipentingkan oleh kiai

pesantren. Pengamalannya sebenarnya tidak hanya

dilakukan sebelum dan sesudah Salat Lima Waktu,

Salat Jum’at dan Salat Sunnah Rawātīb, tetapi juga

dilaksanakan dalam berbagai kegiatan keagamaan

bersama seperti tahlilan, manaqiban atau takhtiman,

bahkan dalam memperingati hari besar Islam seperti

Tahun Baru Islam, Maulid Nabi (Muludan), Isrā’ dan

Mi’rāj (Rejeban), Ruwahan (Permulaan Puasa), dan

lain sebagainya. Juga dilaksanakan ketika menghadiri

undangan pada acara slametan Sawalan, Besaran,

Tingkeban, Babaran, Pasaran, Pitonan, Khitanan,

13 Abdul Jalil, Tuhfah al-Asfiya, (Semarang: Toha Putra, 1963),

h.28-32.

62 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Perkawinan dan Kematian dan lain sebagainya.14

Pada tingkat yang terakhir ini, biasanya kiai diminta

untuk membaca tahlīl bersama beberapa orang yang

diundang, sebagai do’a yang dikirim untuk salah

seorang atau beberapa anggota keluarga yang sudah

meninggal.15

Dengan demikian, kiai pesantren dapat berfungsi

sebagai penyaring dan asimilator aspek-aspek

kebudayaan dari luar yang masuk ke pesantren,

seperti dalam penggunaan legenda pewayangan Jawa

dalam menerangkan aspek-aspek keimanan dalam

tabligh-tabligh keagamaan dan dalam penggunaan

lagu Melayu terbaru sebagai medium penyampaian

pesan-pesan keagamaannya.16 Kiai juga berfungsi

sebagai orang yang dapat mengusir roh jahat,

membuat jimat-jimat atau mengajarkan berbagai

teknik kekebalan tubuh. Martin Van Bruinessen

menegaskan bahwa banyak kiai yang menjadi guru

pencak silat17, yang menggabungkan berbagai teknik

14 Lihat lebih lanjut Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi

Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), Cet. Ke-1, 48-

91. 15 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai

Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 124. 16 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, dalam

Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES,

1974), h. 47. 17 Salah satu dari tiga bentuk kesenian yang cukup hidup di

kalangan masyarakat, di sekitar system pesantren. Pencak Silat, tarian

bela diri itu bukanlah suatu seni yang seluruhnya santri dan tidak hanya

dilakukan oleh orang santri saja. Asal usulnya tidak ada hubungannya

dengan Islam, tetapi, karena berbagai hal pencak silat itu telah

Kiai, Pesantren dan Politik 63

olah fisik dengan teknik-teknik mistik untuk

meningkatkan kelincahan bertarung dan kekebalan

terhadap senjata atau untuk membuat tidak mempan

terhadap pukulan, senjata tajam atau senjata api dari

pihak lawan.18 Juga tidak jarang kiai mempunyai

peran mengobati orang sakit19, memberikan ceramah

agama dan do’a untuk melariskan barang

dagangan.20 Bahkan di kalangan masyarakat Islam

Jawa tradisional, juga dalam pandangan hidup kaum

abangan, kebanyakan kiai dipercaya, karena

penguasaannya atas ilmu-ilmu ke-Islaman, mampu

mengusir jin, menangkal pengaruh-pengaruh buruk

dari dunia gaib, menjalin hubungan dengan arwah-

arwah orang yang sudah meninggal. Juga dengan

diasosiasikan dengan kultur pondok. Dua kesenian lainnya adalah

terbangan dan gambusan. Terbangan merupakan jenis nyanyian khusus

yang rumit dan berasal dari Persia, gendang-gendang dimana dengan

diiringi tabuhan kecil sejarah Nabi dinyanyikan., berganti-ganti dalam

prosa berirama dan puisi. Sedangkan gambusan merupakan orkes tipe

Timur Tengah terdiri dari alat musik petik dan alat tabuh dari berbagai

ukuran yang disebut Terbang. 18 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa,

Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LkiS, 1999), Cet. Ke-3, h. 22, 19 Dua hal yang selalu diasosiasikan dengan pondok, yaitu pencak

silat atau tari bela diri dan kiyai sebagai juru obat. Biasanya kiyai

mengobati santri atau orang di sekitar pesantren dengan ramuan tumbuh-

tumbuhan, tetapi juga berdo’a. Do’a itu sangat penting, karena ia tidak

ingin pasien mengira bahwa ramuan itulah yang menyembuhkannya

bukan Tuhan., karena kalau tidak demikian, pasien menjadi materialistis

dan mengira bahwa yang diperlukan adalah obat bukan Tuhan. Oleh

karena itu, banyak kiai yang menanam segala jenis tumbuhan obat di

kebunnya, tetapi, tak jarang tanaman itu perlu dicari di tempat yang jauh. 20 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat

Jawa (Jakarta: Pustaka jaya, 1989), h. 244.

64 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

ilmu laduni21 terdapat banyak cerita tentang kiai yang

dapat melakukan perjalanan jarak jauh dengan cara

yang menakjubkan, misalnya pergi melaksanakan

salat Jum’at ke Mekkah.22 Kiai Kholil Bangkalan dan

Kiai Syamsul Arifin merupakan contoh, bahwa

setelah menaiki krucut, semacam sampan, sampailah

keduanya di Mekkah, lalu keduanya menunaikan

salat Asar di Masjid al-Haram.23

3. Tipologi Kiai dan Pesantren

a) Tipologi Kiai

Perkataan kiai menurut asal usulnya dalam

bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang

saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan

bagi barang-barang yang dianggap keramat, seperti

“Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta

Emas yang ada di Kraton Yogyakarta. Kedua, sebagai

gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada

umumnya, dan ketiga, sebagai gelar yang diberikan

oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam

yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan

21 Pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui kegiatan belajar,

tetapi dengan cara-cara supernatural. Oleh karena itu, hanya sedikit kiyai

yang memperoleh pengetahuan seperti itu. 22 Martin Van Bruinessen NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa,

Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LkiS, 1999), Cet. Ke-3, h. 22-23. 23 Choirul Anam (ed.), KHR. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup

dan Perjuangannya, op. cit., h. 5-6.

Kiai, Pesantren dan Politik 65

mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para

santrinya, bahkan selain gelar kiai, juga sering

disebut dengan alim yakni orang yang dalam

pengetahuan Islamnya.24 Jadi, pada kategori ketigalah

kiai dipakai dalam pembahasan ini, yaitu sebagai

sebutan yang diberikan kepada seseorang yang

mempunyai kelebihan dalam ilmu pengetahuan

agama Islam dan berusaha menyampaikan serta

menyebarkannya kepada masyarakat.

Pada awal perkembangan Islam, sebutan untuk

mereka yang memiliki predikat ahli agama Islam

dikenal dengan “wali”, dan di Pulau Jawa terdapat

sembilan wali yang biasa disebut dengan “wali

Songo”. Wali berasal dari bahasa Arab. Jika ditulis

dengan “waliyyun,” maka berarti orang yang

mencintai dan dicintai. Jika ditulis dengan “wāliyun,”

maka berarti seorang penguasa atau yang

memerintah. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia

terdapatlah sebutan “Wali Negeri”. Namun, dalam

pembahasan ini, yang dimaksud dengan “Wali”

adalah dalam pengertian pertama. Oleh karena itu,

kata “Wali” merupakan kependekan dari kata

“Waliyullah”, yang berarti orang yang mencintai dan

24 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the

Kiai in the Maintenance of Tradistional Islam in Java, (USA: Southest

Asian Studies, 1999), h. 34.

66 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bentuk Jama’

dari kata itu adalah “Auliyā’ ” atau “Auliyāullah”.25

Imam Abu al-Qāsim Abu Kārim bin Hawāzin al-

Qusyairi menjelaskan bahwa kata wali mengandung

dua pengertian. Pertama, wali berasal dari wazan fā-

ilun sebagai mubālaghah dari wazan fā-ilun, seperti kata

‘alīmun, qatīlun dan lain sebagainya yang berarti

orang yang taat kepada Allah tanpa mencampuri

dengan kemaksiatan. Kedua, wali berasal dari wazan

fa-īlun yang menunjukkan dari isim maf’ulnya, seperti

perkataan Qatīlun dengan arti Maqtūlun yaitu orang

yang terbunuh yang berarti orang yang selalu

dipelihara dan dijaga oleh Allah. Oleh karena itu,

seorang wali tidak diberi kemampuan oleh Allah

untuk berbuat maksiat yang dapat membawa

kerendahan derajatnya, tetapi diberi taufīq, sehingga

mampu untuk selalu berbakti kepada Allah.26 Syarif

Ali bin Muhammad al-Jurjani mendifinisikan Wali

adalah orang yang selalu mengenal Allah beserta

sifat-sifat-Nya semaksimal mungkin serta senantiasa

berbakti kepada-Nya, menjauhi segala maksiat serta

berpaling untuk tidak terjerumus ke dalam kelezatan

dunia dan syahwat.27 Syekh Ahmad al-Kasyqanawi

25 KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan

Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: al-Maarif, 1981), Cet. Ke-3,

h. 247. 26 Imam Abu al-Qāsim Abu Karīm bin Hawāzin al-Qusyairi, al-

Risālah al-Qusyairiyah, h. 100. 27 Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rifāt. h. 227.

Kiai, Pesantren dan Politik 67

al-Naqsabandi lebih lanjut mendefinisikan Wali

adalah orang yang terus menerus beribadah kepada

Allah dan berbakti kepada-Nya tanpa dicampuri

dengan kemaksiatan-kemaksiatan dan kemalasan.28

Muhammad Jamāluddin al-Qāsimi mendefinisikan

kata wali sebagai kebalikan dari musuh, sehingga

berarti orang yang mencintai Allah dengan ketaatan

penyembahan dan pengabdian kepada-Nya. Kecuali

itu, ia mempunyai makna sebagai penderita/maf’ul,

sehingga mempunyai arti orang-orang yang dicintai

oleh Allah dengan memperoleh kemuliaan dari-

Nya.29

Pendapat di atas mempunyai pengertian yang

sama, di samping terdapat pula perbedaan.

Perbedaan itu disebabkan adanya segi-segi yang

menonjol dari masing-masing teori, misalnya ada

definisi yang mengandung pengertian bahwa wali

mempunyai sifat mahfūdz atau terpelihara dari segala

dosa, sebuah sifat yang harus ada pada diri wali

sebagaimana sifat ma’shum yang harus ada pada diri

Nabi. Selain itu, ada definisi yang mengandung

penjelasan bahwa wali merupakan seorang yang

berpaling dari kemaksiatan dunia dan nafsu syahwat

yang tidak diijinkan oleh syara’. Namun, jika suatu

ketika wali mengenyam kenikmatan dunia dan

28 Syekh Ahmad al-Kasyqani al-Naqsabandi, Jmīi al-Ushūl Fi al-

Auliyā’, h. 161. 29 Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahāsinu al-Ta’wīl IX,

(Cairo: al-Babi al-Halabi, 1378-1959), h. 30.

68 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

syahwat, maka tidak berarti ia telah menuruti hawa

nafsunya, tetapi untuk menguatkan jasmaninya agar

dapat berbakti kepada Allah. Bahkan, terdapat pula

definisi yang menjelaskan seorang wali selalu mengisi

waktunya dengan ibadah dan hampir tidak ada

sesaat pun yang tercampur dengan kemaksiatan.

Al-Qur’an yang menjadi sumber utama ajaran

Islam banyak menyebutkan kata “wali”, tetapi dalam

pengertian khusus dan lain, yaitu kata sifat Allah

yang artinya “Maha Pelindung atau Maha Penolong”,

seperti ayat 257 surah al-Baqarah, ayat 68 surah Ali

Imrān, ayat 19 surah al-Jātsiyah, ayat 4 surah al-

Sajdah, ayat 9 surah al-Syurā, dan lain sebagainya.

Sedangkan kata Wali atau Waliyullah sebagaimana

teori di atas merupakan predikat bagi seorang

muslim atau muslimah yang kecintaannya kepada

Allah melebihi segala-galanya dan dibuktikan

dengan amal perbuatannya, tutur katanya, tingkah

lakunya bahkan angan-angan dalam hatinya selalu

sesuai dan cocok dengan syariat agama Islam. Jadi,

wali dalam pengertian sebagai seorang ahli agama di

atas, sebagaimana kiai, merupakan predikat yang

diberikan oleh masyarakat dan orang lain yang taraf

kondisinya setingkat atau hampir sama dengannya,

“Lā Ya’rifu al-Wāli Illa al-Wāli” (tidak ada orang yang

mengetahui seseorang itu wali, kecuali wali juga).

Dalam pada itu, kiai dengan kelebihan ilmu

pengetahuan agama dan usahanya untuk me-

Kiai, Pesantren dan Politik 69

nyampaikan dan menyebarkannya kepada masya-

rakat sebagaimana diuraikan di atas, juga biasa

diidentikkan dengan “’ulamā”. ‘Ulamā berasal dari

bahasa Arab, yang asal katanya (masdarnya) adalah

‘ilman dan fi’il madlinya adalah ‘alima, yang berarti

telah mengetahui. Perkataan ‘ulamā merupakan

bentuk jama’ dari kata ‘Ālimun, yang berarti orang

yang mengetahui dan dalam uraian Syekh Ahmad

bin Ajibah sebagaimana telah disebutkan, ‘ulamā

mempunyai tiga kriteria, sebagai berikut:

Pertama, Yang ‘Ālim, mewarisi ucapan-ucapan

Rasulullah Saw. sebagai ilmu dan pengajaran dengan

syarat ikhlas; Kedua, Yang ‘Ābid, mewarisi perbuatan

Nabi, salatnya, puasanya, mujahadahnya dan

perjuangannya, dan ketiga, Yang ‘Ārif, mewarisi ilmu

dan amal Rasulullah Saw. ditambah dengan

pewarisan akhlak yang sesuai dengan bathin (mental)

beliau, berupa zuhud, wara’, takut (kepada Allah),

berharap akan ridlo-Nya, sabar, hilm (stabilitas

mental), kecintaan (kepada Allah dan segala yang

dicintai oleh-Nya), ma’rifah (penghayatan yang

tuntas tentang KETUHANAN) dan lain sebagainya.30

Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana Ahmad bin

Ajībah, menjelaskan bahwa ada enam karakter

penting yang dimiliki oleh ‘ulamā, yaitu amanah,

keilmuan, rendah hati, mulia, berbuat baik sesuai

30 Dipetik dari KH.Ahmad Siddiq, Khittah Nahdliyah, (Surabaya:

Balai Buku, 1979), h. 17.

70 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dengan ilmu dan ambisi menyebarkan Islam dan

tanggung jawab di hadapan Allah SWT.31 Karakter

tarakhir merupakan tanggung jawab ‘ulamā untuk

menjaga dan mempertahankan ilmunya agar tetap

kekal, untuk selalu mendalami dan menelitinya agar

dapat berkembang, untuk mengajarkannya kepada

orang yang menginginkannya agar terhindar dari

fitnah, untuk melaksanakannya agar membuahkan

hasil, untuk menyebarluaskannya agar merata

manfaatnya dan tanggung jawab untuk mempersiap-

kan kader-kader generasi penerusnya yang akan

mewarisi ilmunya agar kelestariannya terjamin;

sedangkan ambisi ulama menyebarkan Islam berarti

menyampaikan apa yang ulama dengar darinya, agar

dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang datang

kemudian. Oleh karenanya, ulama biasa disebut

pewaris para Nabi.32

Imam Ghazzāli lebih lanjut menegaskan bahwa

ulama itu ada tiga macam. Pertama, ‘ulamā yang

membinasakan dirinya dan orang lain dengan

mengejar-ngejar kesenangan dunia. Kedua, ‘ulamā

31 Yusuf al-Qardhawi, Konsep Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah,

terjemahan Amir Hamzah Fahruddin, Mabrur Buang Tarmudzi dan

Zainal Arif Fachruddin RM, (Jakarta: Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h. 13-

64. 32 Yusuf al-Qardhawi, Konsep Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah,

terjemahan Amir Hamzah Fahruddin, Mabrur Buang Tarmudzi dan

Zainal Arif Fachruddin RM, (Jakarta: Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h. 13.

Lihat pula M. Imam Aziz, dalam Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama,

Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LkiS, 2003), Cet. Ke-1, h. XV.

Kiai, Pesantren dan Politik 71

yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan

menyeru dan memanggil manusia untuk berbakti

kepada Allah SWT secara lahir dan batin. Ketiga,

‘ulamā yang membinasakan dirinya tetapi me-

nyelamatkan orang lain, pada lahirnya dia

memanggil manusia untuk mengerjakan kebaikan,

tetapi secara diam-diam dia sendiri hanya mengejar

harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia.

Maka hendaklah kita mengoreksi diri masing-masing,

termasuk golongan manakah kita di antara ketiga

macam ulama itu.33 Dari argumen di atas, dapat

dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

prinsip antara ketiga istilah tersebut, sehingga dalam

Majelis Ulama Indonesia, sebuah lembaga yang

didirikan tahun 1975, pada masa pemerintahan

Presiden Soeharto, duduk sebagai ketua dan

pengurusnya, terdiri dari ulama dan kiai seperti Prof.

Dr. Hamka, E.Z. Muttaqin, KH. Hasan Basri, Prof. Dr.

Umar Syihab (‘ulamā) dan KH. Syukri Ghozali (kiai)

dan lain sebagainya.

Adapun kiai, khususnya di Jawa Timur,

mempunyai keragaman. Endang Turmudi

menjelaskan bahwa kiai di wilayah itu dapat

dibedakan menjadi empat kategori, yaitu kiai

pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai panggung

33 Dipetik dari Syaikh Abdul Aziz al-Badri, Ulama Mengoreksi

Penguasa, terjemahan Salim Muhammad Wakid, (Solo, Pustaka Mantiq,

1991), Cet. Ke-2, h. 63.

72 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

sesuai dengan kegiatan-kegiatan khusus mereka

dalam pengembangan Islam.34 Kiai Panggung adalah

para dai. Mereka menyebarkan dan mengembangkan

Islam melalui kegiatan dakwah. Pengikutnya bisa

tersebar di seluruh kabupaten, bahkan tidak jarang

mereka, khususnya kiai panggung yang populer

mempunyai pengikut di kabupaten-kabupaten lain,

karena biasa diundang untuk berceramah di daerah

itu. Namun, kebanyakan kiai panggung bersifat lokal,

karena hanya dikenal oleh ummat Islam di

daerahnya. Sedangkan kiai politik merupakan kiai

yang kegiatannya dalam waktu yang lama terpusat

pada pengembangan Nahdlatul Ulama secara politik.

Oleh karena itu, mereka tidak banyak mempunyai

pengikut sebagaimana kiai yang lain.

Adapun kiai tarekat merupakan kiai yang

memusatkan kegiatannya pada pembangunan batin

ummat Islam dalam sebuah lembaga formal gerakan

tarekat. Oleh karena itu, pengikutnya bisa lebih

banyak melintas ke berbagai kota di Indonesia

melalui cabang-cabangnya yang ada di daerah itu.

Kiai tarekat jenis ini biasanya menduduki jabatan

sebagai mursyid. Sedangkan kiai tarekat jenis lain,

dengan jabatan sebagai khalifah atau pembantu

mursyid mempunyai pengikut yang lebih sedikit,

karena otoritasnya dalam memimpin ritual-ritual

34 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan,

(Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. Ke-1, h. 32.

Kiai, Pesantren dan Politik 73

tarekat juga terbatas hanya pada daerah-daerah

tertentu, sehingga para pengikut dari daerah-daerah

lain mungkin tidak mengetahuinya. Besar kecilnya

pengaruh seorang mursyid di kalangan para

pengikutnya juga tidak sama. Seorang mursyid yang

langsung memimpin para pengikutnya atau yang

tinggal di kota yang sama atau kota-kota tetangga

dengan para pengikutnya mempunyai pengaruh

lebih besar dari seorang mursyid yang tinggal jauh

dari para pengikutnya. Jadi, jaringan yang diletakkan

kiai tarekat bersifat formal, dalam pengertian bahwa

komunikasi antara mereka dihubungkan dengan

jaringan formal atau organisasi.

Adapun kiai pesantren merupakan kiai yang

memusatkan perhatiannya pada pengajaran di

pesantren untuk meningkatkan sumber daya

masyarakat melalui pendidikan. Hubungan antara

kiai dengan santri menyebabkan keluarga santri

secara tidak langsung menjadi pengikut kiai,

mengingat orang tua ketika mengirimkan anak-

anaknya kepada seorang kiai, secara tidak langsung

telah mengakui bahwa kiai itu merupakan orang

yang patut untuk diikuti dan seorang pengajar yang

layak untuk mengembangkan pengetahuan Islam.

Dengan demikian, santri tidak saja penting bagi

eksistensi pesantren, tetapi juga menjadi sumber yang

dapat menjamin eksistensi kiai pada masa

mendatang. Bahkan, santri dapat menjadi sumber

74 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

jaringan yang akan menghubungkan satu pesantren

dengan pesantren lainnya, lantaran santri yang telah

menyelesaikan pendidikannya pada suatu pesantren

dan kemudian menjadi kiai, juga membangun

jaringan yang menghubungkannya dengan kiai

pesantren dimana ia nyantri atau dengan

penggantinya yang melanjutkan kepemimpinan

pesantren.

Dari keempat varian kiai tersebut di atas, dapat

dibagi menjadi dua kategori ditinjau dari

pengikutnya. Pertama, kiai yang mempunyai

pengikut yang lebih banyak dan pengaruh yang lebih

luas, menyebar ke seluruh daerah. Pengikutnya

bukan hanya berasal dari daerahnya, melainkan juga

berasal dari daerah lain, kota-kota lain, bahkan

propinsi lain. Kiai yang termasuk kategori ini adalah

kiai pesantren dan kiai tarekat. Sedangkan kiai

kategori kedua merupakan kiai yang mempunyai

pengikut yang sedikit dan pengaruh yang terbatas.

Kiai yang termasuk kategori ini adalah kiai panggung

dan kiai politik. Meskipun demikian, pada

kenyataannya, melalui kegiatan yang dilakukannya,

seorang kiai dapat digolongkan dalam lebih dari satu

kategori, sebagai kiai panggung sekaligus sebagai kiai

tarekat dan kiai politik.

Berbeda dengan Endang Turmudi, Imam

Suprayogo membagi kiai dalam tiga tipe ditinjau dari

keterlibatannya dalam politik, yaitu kiai politik, kiai

Kiai, Pesantren dan Politik 75

netral dan kiai yang tidak perduli pada politik

praktis.35 Kiai yang tidak begitu perduli pada politik

praktis adalah kiai yang lebih banyak memusatkan

perhatiannya pada kehidupan spiritual dan

memberikan pengajaran agama di pesantren. Politik

bagi mereka dipandang bukan bidangnya dan

mereka merupakan jumlah yang terbanyak. Kiai

netral adalah kiai yang mengambil jarak baik dengan

pemerintah maupun dengan partai politik.

Sedangkan kiai politik adalah kiai yang banyak

melakukan kegiatan politik praktis, misalnya dengan

menempatkan diri dekat dengan pemerintah dan

masuk Golkar, atau dengan menempatkan diri

sebagai mitra kritis dengan aktif di Partai Persatuan

Pembangunan/PPP. Untuk kasus terakhir, bisa jadi

aktifitas itu tidak hanya dilakukan oleh kiai yang

tinggal di perdesaan, tetapi juga oleh mereka yang

tinggal di perkotaan. Oleh karena itu, tidak jarang

terjadi benturan dengan pemerintah. Sebagai pemuka

agama dan merasa memiliki ummat, kiai melakukan

pembelaan terhadap ummat dan masyarakat yang

terganggu hak-haknya, dengan pembelaan yang tidak

sama. Ada di antara mereka yang berpihak kepada

pemerintah, tetapi ada pula yang sebaliknya, berada

pada posisi yang berlainan dengan pemerintah,

sehingga kemudian memunculkan istilah di tengah-

35 Imam Suprayogo, “Kiyai Dan Politik Di Pedesaan, Suatu

Kajian Tentang Variasi Dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiyai”,

Disertasi Doktor, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), h. 66, t.d.

76 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

tengah masyarakat kiai pemerintah dan kiyai bukan

pemerintah.36

Perbedaan kiai, selain bisa ditinjau dari

ketelibatannya dalam politik, juga bisa dilihat dari

garis keturunan, penguasaan keilmuan dan

keikutsertaannya dalam tarekat. Dalam tipe yang

terakhir memunculkan istilah kiai tarekat dan kiai

bukan tarekat. Kiai Tarekat adalah kiai yang

tergabung dalam kelompok jamaah dengan

mengikuti salah satu aliran tarekat mu’tabarah,

seperti tarekat Qadīriyah, Naqsabandiyah, Siddīqiyah

dan Satāriyah.37 Tetapi kebanyakan kiai di Jawa

Timur, baik yang tinggal di wilayah bagian utara dan

selatan maupun yang tinggal di wilayah Madura

mengikuti aliran tarekat Qodīriyah wa Naqsbandiyah.38

Sedangkan tipe kiai non tarekat adalah kiai yang

tidak mengikuti aliran tarekat. Oleh karena itu,

pengaruhnya juga sangat terbatas, hanya di sekitar

pondok pesantren saja. Tetapi sebaliknya, kiai tarekat

atau tergabung dalam salah satu aliran tarekat,

sebagaimana telah diuraikan mempunyai pengikut

36 Imam Suprayogo, “Kiyai Dan Politik Di Pedesaan, Suatu

Kajian Tentang Variasi Dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiyai”,

Disertasi Doktor, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), h. 67, t.d. 37 Imam Suprayogo, “Kiyai Dan Politik Di Pedesaan, Suatu

Kajian Tentang Variasi Dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiyai”,

Disertasi Doktor, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), h. 134, t.d. 38 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,

Survey Historis, Geografis dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1995),

Cet. Ke-3, h. 174, 176 dan 185.

Kiai, Pesantren dan Politik 77

yang sangat banyak, sangat luas dan jaringan yang

tidak terbatas, bahkan sangat dihormati.

Pengelompokan kiai dikaitkan dengan penguasa-

an keilmuan, memunculkan sebutan kiai dhahir dan

kiai batin. Kiai dhahir adalah kiai yang memiliki

keahlian ilmu agama Islam yang ditunjukkan dari

kemampuannya membaca kitab-kitab klasik karang-

an ulama salaf,39 atau kitab kuning dan atas

penguasaannya terhadap kitab-kitab itu, persoalan

agama yang muncul di tengah-tengah masyarakat

dapat diselesaikannya. Sedangkan kiai batin adalah

kiai yang dikenal memiliki kekuatan spiritual yang

tinggi, yang dengan kekuatannya, masyarakat

menganggapnya memiliki karamah dari Allah SWT.

Kiai dalam tipe ini, dianggap mampu melakukan

layanan sosial melalui doa yang dipanjatkannya.

Kedua jenis kiai ini, masing-masing mempunyai

kelebihan dan bobot peran yang berbeda. Kiai dhahir,

aktifitasnya lebih menonjol dalam pengajaran dan

berorganisasi, sedangkan kiai batin, aktifitasnya lebih

menonjol sebagai pembaca doa, imam salat dan

kegiatan ritual lainnya.

Adapun pengelompokan kiai dikaitkan dengan

garis nasabnya dapat dibedakan menjadi kiai

39 Ulama periode klasik, pada masa puncak kejayaan Islam, seperti

dalam bidang Fiqh terdapat nama Imam Syafi’i, dalam bidang Tasauf

terdapat nama Imam Ghazzali, dan dalam bidang Tauhid terdapat nama

Hasan Basri dan lain sebagainya.

78 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

keturunan dan bukan keturunan. Disebut kiai

keturunan, jika yang bersangkutan berasal dari

keturunan kiai, sedangkan kiai bukan nasab, identitas

kekiaiannya diperoleh dari prestasinya selama

menjadi santri yang ditunjukkan oleh kepribadian-

nya, kealimannya, kemampuannya menguasai ilmu

pengetahuan agama Islam dan tingginya respon

masyarakat terhadapnya, ketika ia kembali ke

daerahnya dan mendirikan pondok pesantren. Kedua

jenis kiai ini, masing-masing mempunyai bobot yang

berbeda. Kiai bukan nasab dalam batas-batas tertentu

masih dihormati, tetapi kiai nasab, biasanya sekali

pun kurang alim, masih lebih dihormati, dan bahkan

sekalipun melakukan kesalahan asal tidak termasuk

dosa besar, predikat kekiaiannya tidak akan hilang.

Bahkan jika seorang putra kiai melakukan kesalahan,

masih dianggap sebagai hal yang wajar. Santri atau

ummat yang memiliki hubungan guru-murid dengan

putra kiai maupun keluarga, ayah, kakek dan

seterusnya, akan tetap hormat dan mengakuinya

sebagai pemimpin. Lebih dari itu, di lingkungan kiai,

ternyata keturunan dipandang sangat penting. Oleh

karena itu, tidak jarang seorang kiai memiliki catatan

silsilah keluarga yang demikian panjang dan

memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan

antara seorang kiai pesantren dengan kiai pesantren

lainnya.40 Dalam konteks kiai nasab ini, Laode Ida

40 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the

Kiai, Pesantren dan Politik 79

membaginya menjadi tiga stratifikasi utama, yaitu

kiai aristokrat, kiai non aristokrat dan kiai biasa. Kiai

aristokrat atau biasa disebut kiai darah biru adalah

mereka yang terdiri dari keluarga pendiri NU yang

umumnya berada di Jawa Timur. Mereka ini,

termasuk keluarganya, di lingkungan NU,

menempati posisi tertinggi dan seolah-olah bersifat

permanen. Kelompok ini kemudian berkembang

dengan cara kawin-mawin, sehingga jumlahnya pun

terus bertambah.41

Kiai non aristokrat adalah kiai yang selain belajar

pada pesantren keluarga darah biru, juga belajar pada

pesantren-pesantren lain, sehingga memiliki ilmu

yang bervariasi dan memiliki kelebihan tersendiri

yang tidak dimiliki oleh kiai lainnya. Ketenaran kiai

seperti ini dikenal luas baik oleh komunitas NU

maupun oleh masyarakat di luar NU, sehingga selalu

dijadikan rujukan baik dalam kaitan dengan

kepentingan keduniaan maupun yang bersifat

ukhrawi. Sedangkan kiai biasa adalah kiai yang

Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU,

1999), h. 42-57. 41 Keluarga Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, keluarga KH.

Wahab Hasbullah dan keluarga KH. Kholil Bangkalan, Madura,

merupakan keluarga generasi pertama pendiri NU yang sekaligus

dianggap sebagai darah biru NU. Kendati demikian, yang paling

menonjol di masyarakat sebagai keluarga inti darah biru NU saat ini

adalah keluarga turunan KH. Hasyim Asy’ari, yang sering

direpresentasikan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Lihat Laode Ida, NU

Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004),

h. 6 dan 47.

80 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

belajar pada pesantren NU tertentu dan kemudian

mengajar pada pesantren tertentu atau

mengembangkan pendidikan pesantren dengan

ajaran-ajaran yang sudah digariskan oleh NU.42

Dalam pada itu, Pradjarta Dirdjosanjoto

sebagaimana Turmudi, Laode Ida dan Suprayogo,

juga membedakan kiai menjadi kiai tarekat, kiai

pesantren dan kiai langgar.43 Kiai pesantren

sebagaimana uraian di atas, merupakan kiai yang

berada di lingkungan pesantren yang hubungannya

lebih bersifat ke dalam dan agak terisolasi dari

masyarakat, tetapi memiliki jaringan yang luas

dengan kiai-kiai di luar daerah bahkan di luar

propinsi. Sedangkan kiai langgar merupakan kiai

yang memiliki hubungan langsung dengan ummat

dan bisa menjadi perantara hubungan antara kiai

pesantren dengan ummat, karena di langgar banyak

ummat Islam yang mendengarkan pengajian dan

mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar agama

kepada sang kiai. Bahkan kegiatan keagamaan

bersama, baik yang bersifat umum seperti peringatan

hari besar Islam, pengajian maupun yang berkaitan

dengan kepentingan keluarga seringkali dilaksana-

kan di sana. Dengan demikian, langgar tidak sekedar

tempat beribadah dan merupakan pusat masyarakat

42 Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru,

(Jakarta: Erlangga, 2004), h. 6-7. 43 Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai

Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 159.

Kiai, Pesantren dan Politik 81

Islam lokal, tetapi juga dapat dikatakan sebagai

simbol kesatuan ummat setempat dengan seorang

kiai langgar sebagai pemimpinnya. Jadi, berbeda

dengan kiai pesantren yang tinggal bersama para

santrinya dalam kompleks yang relatif terpisah dari

penduduk desa di sekitarnya, kiai langgar

merupakan seorang ‘patriarch’ yang memimpin

ummat dalam kehidupan sehari-hari. Di samping

sebagai guru mengaji, kiai langgar juga seorang imam

dan sekaligus tokoh masyarakat Islam setempat.44

Selain itu, batas antara kiai langgar dengan kiai

pesantren seringkali kabur, lantaran beberapa kiai

langgar kemudian mendirikan pesantren dan menjadi

seorang kiai pesantren, yang berarti perkembangan

sebagian pesantren berawal dari sebuah langgar.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kiai itu

sangat beragam dan variatif. Keragaman itu terjadi

karena kiai merupakan ulama panutan yang

keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Ia berusaha mengajarkan apa yang dimilikinya

kepada masyarakat, sehingga mereka menyebutnya

dengan beragam ungkapan.

44 Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai

Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LkiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 116.

82 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

b) Tipologi Pesantren

Perkataan “Pesantren” menurut asal usulnya

berasal dari bahasa Sanskerta dari kata “Santri” yang

berarti pelajar sekolah agama.45 Sedangkan kata santri

sendiri merupakan bentuk baru yang berubah dari

kata “Castri” yang juga mempunyai arti orang yang

belajar mengaji.46 Sesuai kaidah dalam bahasa

Indonesia, kata dasar santri tersebut, kemudian

mendapatkan awalan Pe- dan akhiran -An, sehingga

menjadi “Pesantrian.” Tetapi, karena dalam bahasa

Indonesia dikenal “Sandhi” (dua bunyi disatukan

membentuk bunyi baru, misal, ia jadi e, ua jadi o),

maka kata “Pesantrian” berubah menjadi

“Pesantren,” yang menunjukkan tempat yang

dimaksud oleh kata dasar “Santri,” sehingga

“Pesantren” berarti lembaga pendidikan Islam

tempat murid-murid belajar mengaji dan mem-

pelajari ilmu pengetahuan agama Islam.47

Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua,

pesantren dalam perkembangannya hingga sekarang

di Indonesia, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa

tipe. Chatibul Umam, secara sederhana, membagi

pesantren menjadi tiga tipe. Pertama, pesantren

45 W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1976), h. 870. 46 A. Mukti Ali, Modern Thought in Indonesia, (Yogyakarta:

Yayasan Nida, 1971), h. 7. 47 KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang Dari Pesantren,

(Bandung: al-Ma’arif, 1977), h. 51.

Kiai, Pesantren dan Politik 83

tradisional, di mana pesantren hanya mengajarkan

ilmu pengetahuan agama secara sorogan dan

wetonan; Kedua, pesantren semi tradisional, dimana

pesantren selain mengajarkan ilmu pengetahuan

secara sorogan dan bandongan, juga mengajarkan

secara klasikal dan bentuk madrasah; Ketiga,

Pesantren Modern, di mana pesantren hanya

mengajarkan ilmu pengetahuan agama secara

klasikal.48 Sementara Sadikun Sugihwaras, sebagai-

mana Chatib, juga membagi pesantren menjadi tiga

golongan. Pertama, Pesantren, di mana seorang kiai

mengajar santri yang tinggal di asrama, berdasarkan

kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar abad

pertengahan secara non klasikal atau sorogan dan

bandongan. Kedua, pesantren, di mana seorang kiai

mengajar santri ilmu pengetahuan agama Islam

berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar

abad pertengahan secara wetonan. Santri tidak

disediakan pemondokan di kompleks pesantren,

tetapi mereka tinggal tersebar di seluruh penjuru

desa di sekeliling pesantren. Ketiga, pesantren yang

merupakan gabungan yang pertama dan kedua,

tetapi mereka disediakan asrama, atau merupakan

santri kalong. Selain itu, pesantren juga

menyelenggarakan pendidikan non formal dan

formal berbentuk madrasah, dan bahkan sekolah

48 Chatibul Umam, “Pesantren dan Variasinya,” Makalah

Disampaikan Dalam Diskusi Dosen Fakultas Adab, (Jakarta, Fakultas

Adab, 1989), h. 4-5.

84 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

umum dalam berbagai tingkatan dan aneka kejuruan

menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.49

Kafrawi Ridlwan tidak jauh berbeda dengan dua

pendapat terdahulu, membagai pesantren menjadi

empat tipe, sebagai berikut: Ponpes A, dimana

pesantren tidak memiliki madrasah, para santri

belajar dan bertempat tinggal bersama-sama dengan

kiai, dan kiai mengajar secara individual dengan

kurikulum terserah kiai. Ponpes B, dimana pesantren

telah memiliki madrasah, kurikulum tertentu,

pengajaran kiai hanya aplikasi, pengajaran pokok

terletak pada madrasah yang didirikannya, kiai

memberikan pelajaran secara umum pada waktu

yang telah ditentukan, dan para santri bertempat

tinggal di pesantren dengan mengikuti pelajaran

yang diberikan oleh kiai, di samping mereka juga

mendapatkan pelajaran umum dan agama di

madrasah. Ponpes C, di mana pesantren hanya tempat

tinggal (asrama), santri belajar di madrasah-madrasah

atau sekolah umum, sedang kiai berfungsi sebagai

pengawas dalam pembinaan mental. Ponpes D, di

mana pesantren telah menyelenggarakan sekolah

umum atau sekolah umum dengan sistem pondok.50

49 Sadikun Sugihwaras, Pondok Pesantren Dan Pembangunan

Pedesaan, (Jakarta: Dharma Bakti, 1979), h.72-73. 50 Kafrawi Ridlwan, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok

Pesantren, Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi kerja dan Pembinaan

Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 139-140.

Kiai, Pesantren dan Politik 85

Hasil penelitian LP3ES Jakarta melengkapi

klasifikasi pesantren di atas, menyodorkan lima tipe,

sebagai berikut:

Pertama, pesantren masih bersifat sederhana,

dimana kiai mempergunakan masjid atau rumahnya

sendiri untuk tempat mengajar, sedangkan santri

hanya datang dari daerah sekitar pesantren. Mereka

mempelajari ilmu agama secara kontinyu dan

sistematis dengan metode weton dan sorogan; Kedua,

pesantren telah memiliki pondok atau asrama yang

disediakan bagi para santri yang datang dari daerah

lain. Mereka mempelajari ilmu agama secara

kontinyu dan sistematis dengan metode weton dan

sorogan; Ketiga, pesantren telah memakai sistem

klasikal, dimana santri yang mondok mendapat

pendidikan di madrasah, di samping ada murid

madrasah yang datang dari daerah sekitar pesantren

itu sendiri. Pengajaran, selain diberikan secara

klasikal oleh guru agama atau ustadz, juga diberikan

secara weton oleh kiai; Keempat, pesantren, selain

telah memiliki kriteria tipe ketiga, juga melengkapi

tempat untuk latihan keterampilan, seperti

peternakan, kerajinan rakyat, toko koperasi, sawah,

lading dan lain sebagainya; Kelima, pesantren, selain

telah memiliki kriteria tipe keempat, juga melengkapi

dengan bangunan perpustakaan, dapur umum, ruang

86 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

makan, kantor administrasi, ruang penginapan tamu

dan ruang operation-room, dan lain sebagainya.51

Klasifikasi tipe pesantren tersebut berlaku untuk

semua pesantren yang tersebar di seluruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sekarang

mencapai 14.798 buah dengan santri berjumlah

3.464.334 orang, sedangkan di Pulau Jawa, khususnya

Jawa Timur, jumlah pesantren mencapai 3.582 buah

dengan santri berjumlah 1.169.256 orang. Tetapi, jika

merujuk pada pesantren yang didirikan atau diasuh

oleh kiai yang berafiliasi pada organisasi keagamaan

Nahdlatul Ulama dan menjadi anggota Rabithah

Ma’ahid al-Islamiyah, maka pesantren dapat

diklasifikan menjadi dua, yaitu pesantren salaf serta

pesantren salaf dan khalaf sekaligus. Pesantren salaf

adalah pesantren yang hanya mengajarkan ilmu

pengetahuan agama Islam berdasarkan kitab-kitab

yang ditulis oleh ulama besar abad pertengahan

secara klasikal, sorogan atau wetonan dan

bandongan, sebagaimana telah lama dilaksanakan

oleh Ponpes al-Taroqqi, Sampang, Madura, Ponpes

Sidogiri, Pasuruan dan Ponpes Langitan Widang

Tuban. Pada ketiga institusi itu, pesantren menyusun

kurikulum sendiri sesuai kebutuhan, tidak memakai

kurikulum pemerintah, sehingga para santri juga

51 Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil

Penelitian Pesantren Al-Falak & Delapan Pesantren Lain di Bogor,

(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 139-140.

Kiai, Pesantren dan Politik 87

tidak menerima ijazah dari pemerintah. Sedangkan

pesantren salaf dan khalaf adalah pesantren yang

selain mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam

berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar

abad pertengahan secara sorogan atau wetonan dan

bandongan, juga mengajakan secara klasikal. Bahkan

pada sistem klasikal juga diajarkan ilmu pengetahuan

umum dan beberapa keterampilan lainnya. Ponpes

Tebuireng,52 Ponpes Darul Ulum53 dan Ponpes Bahrul

52 Pembaharuan di Ponpes Tebuireng jauh lebih awal dari

pemerintah, dimulai tahun 1934, ketika usulan kiai Wahid untuk

mendirikan Madrasah Nidhomiyah disetujui oleh ayahnya Hadlratus

Syekh Hasyim Asy’ari. Kurikulum pada Madarasah ini terdiri dari 70 %

Umum dan 30 % Agama. Di samping itu, juga didirikan Perpustakaan

dan lain sebagainya. Pada tahun 1950-an didirikan Madrasah Ibtidaiyah,

Tsanawiyah, Aliyah dan Madrasah Muallimin, dan pada tahun 1975-an

didirikan SMP, SMA dan Universitas Hasyim Asy’ari tahun 1967. Lihat

H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan

Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid

Hasyim, 1957), h. 820-824. Lihat pula Zamakhsyari Dhofier, The

Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of

Traditional Islam in Java, (USA: ASU, 1999), h. 84, 87, 95, 100 dan

103. 53 Sebagaimana Ponpes Tebuireng, pembaharuan di Ponpes Darul

Ulum jauh lebih awal dari pemerintah, dimulai ketika KH. Musta’in

Romly menjabat Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren

Darul Ulum tahun 1958, dengan didirikannya SMP dan SMA di samping

Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Pada tahun 1965 didirikan

Universitas Darul Ulum dan pada 1968 sekolah yang berafiliasi ke

Depag dinegerikan melalui keputusan Menag No. 67 tahun 1968.

Setelah KH. Must’ain wafat 1983, Ketua Majelis Pimpinan Pondok

dijabat oleh KH. As’ad Umar dan pada 1988 dibuka Program Komputer,

1989 didirikan SMEA, 1991 didirikan AKPER dan tahun 1992 didirikan

STM Darul Ulum. Lihat Yayasan Darul Ulum, Pondok Pesantren Darul

Ulum, (Jombang: 2006), h. 15-16. Program pengembangan Pondok

Pesantren Darul Ulum, (Yayasan Darul Ulum Periode 2001-2006), h. 8-

15. Trisula, Nilai-Nilai Moral Pendidikan Darul Ulum, (Jombang:

88 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Ulum54 adalah pesantren yang telah lama

menerapkan pengajaran seperti itu, bahkan ketiga

ponpes yang berlokasi di wilayah Jombang, Jawa

Timur, tersebut telah menyelenggarakan sekolah

umum, mulai dari tingkat SD, SMP, SMU dan

perguruan tinggi dengan kurikulum pemerintah,

sehingga alumninya selain ada yang memperoleh

ijazah dari dari Departemen Agama RI, juga ada yang

memperoleh ijazah dari Departemen Pendidikan

Nasional RI. Jadi, ketiga ponpes terakhir ini

khususnya, lebih cepat di dalam merespon

perubahan dan pembaharuan, sebuah pembaharuan

yang mulai dikenalkan oleh pemerintah, ketika

Departemen Agama RI dijabat oleh Prof. Dr. A. Mukti

Ali dan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat seperti

LP3ES dan P3M, sehingga termasuk ponpes modern

berdasarkan klasifikasi Kafrawi Ridlwan dan LP3ES

di atas.

Undar, 1982), h. 8-17. Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren,

(Jakarta: LP3ES, 1999), Cet. Ke-1, h. 152-162. 54 Sebagaimana Tebuireng dan Darul Ulum, pembaharuan di

Ponpes Bahrul Ulum jauh lebih awal dari pemerintah, dimulai tahun

1967. Berdasarkan SK Menag tanggal 4 Maret 1969, No. 23 Tahun

1969, Status Madrasah Muallimin Muallimat menjadi negeri dengan

perincian kelas 1,2 dan 3 menjadi MTsAIN (Madrasah Tsanawiyah

Agama Islam Negeri), sedangkan kelas 4,5 dan 6 menjadi MAAIN

(Madarasah Aliyah Agama Islam Negeri). Pada tahun 1973 didirikan

Perguruan Tinggi, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam

dan pada tahun 1983/1984 dibuka Jurusan Bahasa Arab. Selain itu, juga

dibuka MI, MTs dan MA Bahrul Ulum, TK, MIPK, MD, Madrasah al-

Qur’an, MMA, SPPT Bahrul Ulum, MAK, SMA, SMK dan SMK-TI.

Lihat Pondok Pesantren Bahrul Ulum, (Tambak Beras, Jombang:

Yayasan Ponpes Bahrul Ulum, 2006), h. 13-14.

Kiai, Pesantren dan Politik 89

B. Pesantren dan Perubahan Sosial

1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Keagamaan

Secara teoritis, minimal ada tiga bentuk lembaga

pendidikan yaitu informal, non formal dan formal.

Bentuk informal adalah bentuk lembaga pendidikan

yang tidak diatur, dalam arti tidak ada jadwal

pelajarannya, kurikulumnya, ijazahnya, gurunya,

tidak jelas berapa biayanya dan lain sebagainya. Oleh

karena itu, lembaga pendidikan keluarga biasa

dimasukkan ke dalam kelompok ini. Bentuk non

formal adalah bentuk lembaga pendidikan setengah

diatur, dalam arti ada jadwal pelajarannya,

kurikulumnya, tetapi tidak jelas bagaimana pakaian

murid dan siswanya serta dimana tempat kegiatan

belajar mengajarnya dan lain sebagainya. Oleh karena

itu, lembaga kursus, lembaga mushalla dan masjid

serta pesantren salaf/tradisional biasa dimasukkan ke

dalam kelompok ini. Adapun bentuk formal adalah

bentuk lembaga pendidikan yang diatur semua

kegiatan belajar mengajarnya, misalnya ada

kurikulumnya, jadwal pelajarannya, gurunya, tempat

belajarnya, biayanya, ijazahnya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan ini biasa disebut

dengan lembaga pendidikan klasikal dan yang

termasuk ke dalam kelompok ini adalah sekolah

90 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

umum, madrasah dan pesantren semi tradisional55

dan modern.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa

pesantren bisa dikategorikan pada kelompok kedua

dan ketiga, mengingat pesantren selain mengenalkan

pengajian, juga mengenalkan belajar mengajar secara

klasikal. R.A. Kern mengemukakan bahwa sebagian

besar pesantren sebelum Perang Dunia I kurang ada

kecenderungan untuk merumuskan pendidikan dan

pengajarannya yang berlangsung sehari semalam

dalam bentuk susunan yang teratur sesuai dengan

pengertian kurikulum,56 yaitu rencana pelajaran plus

kegiatan di luar jam pelajaran di pesantren yang

merupakan usaha bantuan untuk memudahkan

tercapainya tujuan dari pada pesantren.57 Sebabnya

adalah sifat kesederhanaan pesantren itu sendiri,

55 Disebut semi tradisional, karena pesantren selain

mempertahankan model pengajian, juga mengenalkan model

pembelajaran madrasah/sekolah agama dan umum mulai dari tingkat

dasar sampai menengah atas, bahkan perguruan tinggi. Sedangkan

disebut modern, karena pesantren selain mengenalkan model

pembelajaran madrasah/sekolah agama dan umum mulai dari tingkat

dasar sampai menengah atas dan perguruan tinggi, juga mengenalkan

keterampilan lain seperti bertukang, bercocok tanam, perbengkelan dan

montir, menjahit dan lain sebagainya. Lihat Kafrawi, Pembaharuan

Sistem Pendidikan Pondok Pesantren, Sebagai Usaha Peningkatan

Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara

Indah, 1978), 139-140. 56 R.A. Kern, De Islam in Indonesia, (Uitgeverij W. Van Hoeve’s

Gravenhage, 1974), h. 91. 57 A. Mukti Ali, “Kurikulum Pondok Pesantren” materi

disampaikan pada Seminar Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahap

I, Yogyakarta, 1965, h. 122.

Kiai, Pesantren dan Politik 91

dimana kiai mengajar dan santri belajar semata-mata

untuk ibadah Lillāhi Ta’āla, tidak pernah dihubung-

kan dengan tujuan tertentu dalam lapangan peng-

hidupan, kecuali tujuan tercapainya manusia mukmin,

muslim, ālim dan sāleh.58 Oleh karena itu, penjadwalan

waktu belajar yang dilaksanakan di masjid misalnya,

baik teori maupun praktik, biasanya disesuaikan

dengan sebelum dan sesudah salat lima waktu. Di

siang hari dan malam hari biasanya lebih panjang

waktu belajar-mengajarnya, sedang di pagi dan

petang hari waktu belajar mengajarnya sangat

pendek. Selain itu, ukuran lamanya belajar juga tidak

menentu, sehingga biasa dijumpai adanya santri yang

hanya belajar satu bulan, satu tahun atau bahkan

bertahun-tahun. Dengan demikian, penentuan masa

belajar sangat tergantung pada kecakapan santri,

tujuan yang hendak dicapai dan minat santri itu

sendiri. Selama masih memerlukan bimbingan dari

kiai, selama itu pula santri tidak merasakan adanya

keharusan untuk menyelesaikan pelajarannya di

pesantren.59

Di luar jam pelajaran, sebagaimana telah

dijelaskan, banyak kegiatan yang mempunyai nilai

pendidikan seperti latihan hidup sederhana, saling

hormat menghormati, ibadah dengan tertib, saling

58 M. Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan,

(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 86. 59 D.G. Stibbi, Encyclopaedia Van Nederlandsch Indie, Vol. III,

(Leiden: Martinus Nijhoff, 1919), h. 388.

92 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

mengatasi kebutuhannya sendiri, mencuci sendiri,

mengatur dan memasak sendiri, mendirikan pondok

dengan penukangan dan pembiayaan sendiri,

mengatur keuangannya sendiri bahkan ada santri

yang membiayai hidupnya sendiri. R.A. Kern

menjelaskan “jarang sekali santri bisa mengandalkan

kiriman dari rumahnya. Mereka mencari nafkahnya

sendiri dengan bekerja pada tanah-tanah kepunyaan

penduduk setempat atau bekerja pada sawah milik

gurunya. Mereka juga memperoleh nafkah dari karya

kecil dengan membuat kopi al-Qur’an, membikin

tikar dan lain sebagainya.”60

Dalam kegiatan belajar mengajar seperti

dijelaskan terdahulu, pada dasarnya materi yang

dikaji merupakan kelanjutan materi pengetahuan

agama yang diterima santri pada pengajian di rumah-

rumah dan langgar-langgar atau musalla-musalla.

Jika di langgar atau musalla diistilahkan dengan

sekolah rendah, maka pesantren merupakan tingkat

menengah dan tinggi. Oleh karena itu, bahan atau

materi pelajaran yang diberikan khususnya yang

berkaitan dengan pengetahuan agama Islam, juga

lebih mendalam. Masalah syariat sehari-hari (ilmu

fiqh baik ibādah maupun mu’āmalah), bahasa Arab

(ilmu shorof, nahwu dan ilmu alat lainnya), al-Qur’an

(tajwīd dan tafsir-tafsirnya), ilmu tauhīd, ilmu

60 R.A. Kern, De Islam in Indonesia, (Uitgeverij W. Van Hoeve’s

Gravenhage, 1974), h. 91.

Kiai, Pesantren dan Politik 93

pengetahuan yang berhubungan dengan akhlāq dan

tasawuf).61

Adapun metode pengajaran di pesantren dalam

waktu yang sangat panjang, secara agak seragam

diberikan dengan pembacaan kitab-kitab yang

berkaitan dengan ilmu pengetahuan tersebut, dimana

santri seorang demi seorang datang menghadap kiai

atau pembantunya dengan membawa kitabnya

masing-masing. Kiai atau pembantunya membacakan

baris-baris al-Qur’an atau kitab-kitab berbahasa Arab,

lalu menterjemahkannya dan pada gilirannya santri

mengulangi dan menterjemahkan kata-kata sepersis

mungkin seperti yang dilakukan kiai tersebut, suatu

system individual yang lazim disebut dengan

“sorogan”,62 berasal dari kata “sorog” yang berarti

menyodorkan kitabnya kepada kiai atau

pembantunya. Dalam sistem ini, pembelajaran

diberikan kepada siapa saja yang ingin mendapatkan

penjelasan yang lebih detail tentang berbagai masalah

yang dibahas dalam sebuah kitab. Oleh karena itu,

sistem sorogan hanya diikuti oleh dua hingga lima

orang santri dengan kiai dan santri senior, sebagai

pembantunya, yang memiliki pengetahuan dan

kemampuan dalam masalah-masalah tertentu sebagai

61 L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammedansche Godsdien

stonderwijs op Java en Madoera”, Tijdschrif Voor Indische Taal Land-

en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886, h. 518-555. 62 A. Djajadiningrat, “Het Leven in Een Pesantren, Tijdscrift Voor

Het Binnenlandsche, Vol. 34, 1908, h. 11.

94 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

pihak pemberi penjelasan. Jadi, sistem sorogan

bertujuan memberikan pelatihan khusus kepada

santri dan membantu mereka mengembangkan

pengetahuan dan keahlian tertentu yang dalam

sistem pendidikan modern di Indonesia barangkali

sama dengan sistem KBK (kurikulum berbasis

kompetensi), karena yang ingin dicapai dalam sistem

sorogan adalah aspek psikomotorik, bukan aspek

kognetif dan afektif semata.

Metode lainnya dan paling umum digunakan di

pesantren adalah “weton”,63 dan seringkali disebut

dengan “balaghan atau bandungan.64 Weton berasal dari

bahasa Jawa yang berarti waktu, lantaran waktu

belajar dilaksanakan sebelum atau sesudah salat

fardlu, sedangkan “Bandungan” dikarenakan santri

yang mengikuti pengajian duduk bersama-sama

dalam lingkaran lebar di sekitar kiai atau santri senior

yang membacakan, menerjemahkan dan menerang-

kan kitab berbahasa Arab, karya ulama terdahulu

dalam bahasa lokal secara kuliah, sementara santri

menyimak kitabnya masing-masing dengan mem-

bubuhi jabar atau harakat dan catatan padanya.

Dalam bandongan, pembelajaran dihadiri oleh

sejumlah besar santri, mencapai sekitar lima sampai

63 Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok Pesantren

Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan

Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 54. 64 A. Djajadiningrat, “Het Leven in Een Pesantren, Tijdscrift Voor

Het Binnenlandsche, Vol. 34, 1908, h. 11.

Kiai, Pesantren dan Politik 95

200 santri dari berbagai usia dan tingkat ilmu

pengetahuan. Jadi, cukup banyak pesertanya, karena

santri dianggap telah memiliki kecukupan penge-

tahuan dasar tentang tata bahasa Arab dan al-Qur’an.

Pada kedua metode pengajaran itu, baik sorogan

maupun bandongan, tidak diadakan pengulangan dan

pertanyaan. Meskipun demikian, santri tetap berada

dalam pengawasan kiai, selaku pengayom dan

pembimbing secara tut wuri handayani, sebagaimana

nampak dalam sistem individual dimana kiai atau

pembantunya secara langsung dapat mengawasi,

menilai dan membimbing dengan maksimal

kemampuan seorang santri. Bahkan sistem ini lebih

efektif bagi kiai untuk memberikan dan melimpahkan

nilai-nilai secara tersendiri kepada santri. Oleh karena

itu, tidaklah tepat, jika dikatakan bahwa sistem

pendidikan di pesantren secara keseluruhan bersifat

bebas, bebas untuk tidak belajar sekalipun.65 Sistem

pendidikan di pesantren dengan semua aspeknya

tersebut dalam beberapa hal dipandang mempunyai

kesamaan dengan sistem pendidikan pada zaman pra

Islam yang diidentifikasi dengan sistem Mandala.66

Kesamaan itu menurut Soegarda Poerbakawatja,

antara lain terletak pada adanya penghormatan yang

65 A. Mukti Ali “Kurikulum Pondok Pesantren” materi

disampaikan pada Seminar Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahap

I, Yogyakarta, 1965, h. 11. 66 W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition a Study of

Social Change, (Bandung: W.V. Van Hoeve, 1956), h. 240-241.

96 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

tinggi pada seorang guru, adanya suasana gotong

royong yang mewarnai kehidupannya dan adanya

santri yang pergi mencari nafkah untuk keperluan

hidupnya.67

I.P. Simandjuntak selain mengakui adanya

kesamaan sebagaimana pendapat di atas, juga

menunjukkan adanya perbedaan antara keduanya,

dimana kalau pada zaman Hindu/Buddha materi

yang dipelajari terkait dengan ajaran agama

Hindu/Buddha, bahasa pengantarnya bahasa Pali

dan Sanskerta dan latar belakang muridnya hanya

dibatasi pada golongan tertentu dari kasta Brahmana

dan kasta Ksatria, maka pada zaman Islam yang

dipelajari adalah ilmu pengetahuan Islam, bahasa

pengantarnya bahasa Arab dan latar belakang

muridnya terdiri dari semua orang dalam segala

tingkatan.68

Dalam pada itu, di dunia Islam pada zaman

tabi’in telah ada pendidikan dan pengajaran yang

diselenggarakan pada suatu pojok di bagian masjid

sebelah Barat yang disebut dengan zawiyah.69

Pendidikan tersebut diberikan untuk semua anak dan

semua orang dari berbagai lapisan dengan cara

67 Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia

Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung, 1970), h. 18. 68 I.P. Simandjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia,

(Bandung: Angkasa, 1973), h. 21-27. 69 Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam,

(Jakarta: Pustaka Antara, 1962), h. 122.

Kiai, Pesantren dan Politik 97

murid-murid duduk bersama-sama dalam lingkaran

lebar di sekitar seorang guru yang membacakan

kitab-kitab berbahasa Arab atau mendiktekannya,70

meliputi kitab fiqh, hādis dan kitab yang berhubungan

dengan bahasa Arab seperti arūdl dan lain

sebagainya. Ahmad Syalabi dalam kaitannya dengan

pojok masjid dan pengajaran di tempat itu,

menjelaskan, “dalam masjid ada beberapa pojok

tempat mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam

dan salah satunya adalah pojok Imam Syafi’i, karena

Imam Syafi’i mengajar di tempat ini sampai wafat.

Pojok ini disamping memiliki tanah wakaf yang luas

sekali, juga sampai masa al-Maqrizi masih tetap

dipakai para Fuqahā dan ‘Ulamā untuk mengajar

ilmu pengetahuan agama Islam.”71

Sejalan dengan zawiyah menurut pengertian di

atas, H.A.R. Gibb dan J. Kramer lebih lanjut

menambahkan bahwa zawiyah tidak hanya merupa-

kan tempat pendidikan dan pengajaran, tetapi juga

menjadi tempat kehidupan orang-orang sufi dan para

muridnya. Selain itu, zawiyah juga merupakan asrama

para pelajar, musafir dan lain sebagainya. Mereka

disediakan perlengkapan yang cukup, makanan dan

70 Ibnu Batuthah, Rihlatu Ibnu Batuthah al-Musammat Tujfatu al-

Nadhar fi Gharāibi al-Amshor wa ‘Ajāibi al-Asfār, (Cairo: al-Istiqamah,

1386/1967), Juz. I, h. 56. 71 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, alih bahasa H.

Muhtar Yahya dan M. Sanusi Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h.

102.

98 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

sekaligus menjadi tempat makan.72 Dengan demikian,

zawiyah dan sistem pendidikan dan pengajaran di

dalamnya dalam beberapa hal, nampak lebih banyak

mempunyai persamaan dengan sistem pendidikan

dan pengajaran di pesantren, sehingga dapat

diperkirakan bahwa sistem pendidikan yang tersebut

terakhir, merupakan penerapan sistem pendidikan

dan pengajaran di zawiyah yang disesuaikan dengan

kondisi dan situasi yang ada melalui proses

Islamisasi di negeri ini, yang menurut B.J.O. Schrieke,

bersifat sufistik.73 Oleh karena itu, lahirlah lembaga

pendidikan pesantren dalam warna dan corak

Indonesia, suatu sistem pendidikan yang oleh Ki

Hadjar Dewantoro disebut dengan sistem nasional.74

Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, kiai di

pesantren mempunyai kedudukan yang sangat

sentral dan strategis. Abdurrahman Wahid menegas-

kan bahwa kedudukan yang dipegang oleh seorang

kiai adalah kedudukan ganda sebagai pengasuh dan

sekaligus sebagai pemilik, yang secara kultural

kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan

feodal yang biasa dikenal dengan nama “kanjeng” di

72 H.A.R. Gibb and J. Kramer, Shorter Encyclopaedia of Islam,

(Leiden: E.J. Brill, 1953), h. 657. 73 B.J.O. Schrieke, Indonesia Sosiological Studies, (The Hague and

Bandung: W. Van Hoeve, Gravenhage), Vol. I, h. 237. 74 Ki Hadjar Dewantoro, Taman Siswa, (Yogyakarta: Majlis Luhur

Persatuan Taman Siswa, 1962), h. 369-380.

Kiai, Pesantren dan Politik 99

Pulau Jawa.75 Oleh karena itu, dalam penentuan

struktur organisasi pondok, terutama dalam me-

nentukan pengganti atau penerus pesantren, maka

pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan

kecil, dimana kiai merupakan sumber mutlak dari

kekuasaan dan kewenangan dalam lingkungan dan

kehidupan pesantren, sehingga tidak seorang pun

santri atau orang lain yang dapat melawan

kekuasaannya di lingkungan pesantren, kecuali kiai

lain yang lebih besar pengaruhnya. Jika dalam tradisi

budaya kerajaan-kerajaan, khususnya Kerajaan

Mataram Islam, jika seorang raja berkuasa di seluruh

negeri, maka seluruh kekuasaan negara berada di

tangannya, karena negara adalah miliknya atau dia

sendirilah negara itu,76 sehingga raja berwenang

mewajibkan semua pemuda berperang sebagai

prajuritnya. Lebih dari itu, raja juga berwenang

menentukan penggantinya dan biasanya ditunjuk

putera tertua atau saudara terdekat untuk menjadi

putera mahkota, yang kelak akan menggantikannya

setelah sang raja meninggal, maka dalam tradisi

pesantren, pengganti kiai adalah juga putera tertua

75 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam

Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, op. cit., h. 46-47. 76 Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa,

Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, terjemahan P. Soemitro,

(Jakarta: Yayasan Obor, 2001), Cet. Ke-1, h. XVII. Juga disebutkan

dalam buku ini, bahwa Louis XIV, raja Perancis yang mninggal 1715 M.

membuat pernyataan yang sama, yakni l’etat c’est moi (negara adalah

saya), sehingga dapat dimaklumi kalau milik pribadi dan kerajaan

disatukan saja.

100 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

atau kerabat terdekat yang sudah dipersiapkan.

Zamakhsyari Dhofier menjelaskan “Para kiai selalu

menaruh perhatian istimewa terhadap pendidikan

putera-puteranya sendiri untuk dapat menjadi

pengganti pimpinan dalam lembaga-lembaga

pesantrennya. Jika seorang kiai mempunyai anak

laki-laki lebih dari satu, biasanya ia mengharapkan

anak tertua dapat menggantikan kedudukannya

sebagai pemimpin pesantren setelah ia meninggal.

Sedangkan anak laki-lakinya yang lain dilatih untuk

dapat mendirikan suatu pesantren yang baru, atau

dapat menggantikan kedudukan mertuanya yang

kebanyakan juga pemimpin pesantren.”77 Penegasan

Zamakhsyari Dhofier tersebut, juga dapat diperkuat

melalui skema silsilah pengasuh Pondok Pesantren

Langitan Widang Tuban; silsilah pengasuh Pondok

Pesantren Tebuireng Jombang; silsilah pengasuh

Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo

Situbondo; silsilah pengasuh Pondok Pesantren

Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo dan lain sebagainya.

Bahkan berdasarkan silsilah pengasuh pondok

pesantren Langitan Widang Tuban dan silsilah

pengasuh pondok pesantren Tebuireng Jombang,

juga diketahui bahwa bila ditarik ke atas, maka

silsilahnya akan sampai pada Pangeran Benawa, anak

Adiwijaya atau Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan

77 Zamkahsyari Dhofier Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren

Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam

in Java, (USA: ASU, 1999), h. 42.

Kiai, Pesantren dan Politik 101

Pajang di Kartosuro.78 Ini berarti di antara kiai juga

berasal dari keturunan raja. Oleh karena itu, wajar

bila pola suksesi di pesantren juga seperti kerajaan,

dengan pengecualian bahwa anak yang dipersiapkan

menjadi pengganti kiyai merupakan anak yang

pintar, lantaran ia akan menjadi pengasuh dan

pembimbing yang bertugas mentranmissikan ilmu-

nya kepada pada santri. Sedangkan suksesi di dalam

kerajaan kadang tanpa memperhatikan kesanggupan,

kesiapan dan kemampuan penggantinya. Meskipun

demikian, suksesi di pesantren yang berdasarkan

keturunan juga mengandung kelemahan, karena jika

sang anak, calon kiai, tidak mempunyai kemampuan

yang sama dengan kiai yang akan digantikannya,

maka akan menghilangkan kewibawaan dan

pengaruh pesantren. Oleh karena itu, H. Aboe Bakar

Atjeh menambahkan bahwa selain keturunan, faktor

lain untuk dapat menjadi kiai adalah pengetahuan-

nya, kesalehannya dan jumlah muridnya.79

Vredenbregt memberikan skema yang hampir sama

yaitu keturunan (seorang kiai besar mempunyai

silsilah yang cukup panjang), pengetahuan

78 Lihat Abd Wahid Hasyim, “Pondok Pesantren Langitan Widang

Tuban, SEjarah berdiri Dan Perkembangannya 1852-1982, Skripsi

Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Perpustakaan Adab,

1983), h. 107. Lihat pula Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A.

Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan

KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 820-824. 79 H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan

Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid

Hasyim, 1957), h. 55.

102 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

agamanya, jumlah muridnya dan cara dia

mengabdikan dirinya pada masyarakat.80 Begitu juga

Team Penelitian Kuantitatif LP3ES menyebutkan

bahwa untuk memperoleh status kiai seorang

berilmu harus melewati jalur-jalur, yaitu mengaji

pada seorang kiai yang telah ada di pesantren; wara’ie

dan zuhud, yang dengan amaliyah (menjalankan

dalam praktik apa yang diketahui), dan istiqamah

(mencapai kemantapan dalam sikap atau ketenangan

batin); faham tentang barakah dan ijazah; dan jalur

keturunan.81

Soal keturunan dan keluarga kiai ini, biasanya

memperoleh prestis sosial yang khusus dan para

santri khususnya serta masyarakat pada umumnya,

memanggilnya dengan sebutan kehormatan. Istri dan

putri-putrinya yang telah menikah memperoleh gelar

“Nyai”, sedangkan putra-putra, cucu laki-laki dan

menantu laki-laki diberi julukan “Gus”, yang berasal

dari kata Si Bagus.82 Dari mereka ini diharapkan

dapat menjadi calon-calon potensial sebagai

pimpinan pesantren pada masa mendatang. Oleh

karena itu, jika seorang kiai tidak punya putra, maka

80 Vredenbregt, J., De Baweanners in hun moederland en in

Singapore, (Leiden: 1968), h. 29. 81 Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil

Penelitian Pesantren al-Falak & Delapan Pesantren Lainnya di Bogor,

(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 47-48. 82 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the

Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU,

1999), h. 69.

Kiai, Pesantren dan Politik 103

salah seorang menantunya laki-laki akan diarahkan

menjadi calon utama, tetapi sebaliknya jika punya

putra laki-laki, maka akan diberikan didikan secara

khusus, yang dapat menjamin adanya seorang

pengganti kepemimpinan pesantren. Jadi, gus dengan

ditambah sifat perorangan atau personal hubungan

antara kiai dengan santri, merupakan keturunan yang

paling mudah meneruskan kegiatan suatu pesantren

sepeninggal kiai pendiri dan pemiliknya. Orang lain,

meskipun peranan praktisnya mungkin lebih besar,

hanya menduduki tempat sebagai pembantu saja.83

Apalagi gus biasanya mempunyai beberapa kelebih-

an, karena dianggap mempunyai ilmu laduni,84 yaitu

suatu kemampuan untuk menguasai berbagai cabang

pengetahuan Islam tanpa harus mempelajarinya.

83 Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil

Penelitian Pesantren al-Falah & Delapan Pesantren Lain di

Bogor,(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 48. 84 Ilmu Laduni berasal dari bahasa Arab yang artinya

“Pengetahuan yang datang dengan sendirinya Dari Yang Maha Benar”

atau “Pengetahuan yang datang langsung dari ketinggian jiwa sebagai

buah dari ilham”. Dalam pengertian Tasauf, ilmu laduni berarti

“Pengetahuan yang dimiliki oleh para wali yang masuk ke dalam hati

mereka yang berasal langsung dari ciptaan Yang Maha Benar”. Sebagai

contoh Zamakhsyari menguraikan tentang seorang putera yang memiliki

ilmu laduni yaitu Kiyai Zainuddin, pemimpin Pondok Pesantren al-

Huda, Tarogong, kira-kira 6 Km sebelah Barat Laut Garut. Ayahnya,

Kiyai Ilyas menyekolahkannya pada SMP Garut antara tahun 1954-

1957. Sewaktu Kiai Ilyas meninggal, ia baru berusia 17 tahun. Sebagai

putera tertua, ia menggantikan ayahnya memimpin pesantren dan ia telah

berhasil mengajarkan kitab-kitab tingkat tinggi kepada para santrinya,

padahal usianya masih sangat muda. Sukses dari kepemimpinannya

dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa Pesantren al-Huda pada tahun

1978 mempunyai 600 santri.

104 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dengan kata lain, Tuhan memberkahi para gus

dengan pengetahuan Islam semenjak mereka

dilahirkan. Mereka lahir dan telah ditakdirkan untuk

menjadi ahli-ahli ilmu pengetahuan dan mereka lahir

ke dunia ini untuk memimpin pesantren.

Selanjutnya, dalam mengelola urusan internal

pesantren, hampir dipastikan bahwa kiai pesantren

berpedoman pada Kitab Ta’līm al-Muta’allim, Tariqatu

al-Ta’līm,85 sebuah kitab karya Syekh al-Zarnuji;

dalam materi pelajaran, sebagaimana telah diuraikan

di atas berpegang pada kitab-kitab karya para ulama

salaf, sedangkan dalam hal tempat pendidikan atau

kegiatan belajar-mengajar, terutama dalam praktik

sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang

Jum’ah dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik,

sebelum memperkenalkan sistem klasikal, kebanyak-

an pesantren memanfaatkan masjid,86 sebagai tempat

85 Kitab ini dibagi dalam beberapa bab. Di antaranya bab tentang

hakekat ilmu dan keutamaannya, tentang niat saat belajar, tentang

memilih ilmu, guru dan teman, tentang memuliakan ilmu dan ahli ilmu,

tentang kesungguhan, ketekunan belajar dan cita-cita, tentang awal

belajar, ukuran dan aturannya, tentang tawakkal, tentang waktu

memperoleh ilmu, tentang iba dan nasehat, tentang mengambil faidah

dan wara dalam mencarai ilmu, tentang perkara yang memudahkan

dalam menghafal dan lupa, tentang cara mencari rizqi dan yang

merintanginya, dan bab tentang tambah dan kurangnya umur, yang tidak

ada seorang-pun yang bisa menolong, kecuali Allah SWT. 86 Masjid berasal dari bahasa Arab, dari kata “Sajada” yang berarti

dia telah sujud. Dalam tradisi Islam, sujud bisa dilakukan dimana saja,

karena setiap jengkal tanah adalah masjid. Tetapi, di Indonesia, masjid

kemudian diwujudkan dalam sebuah bangunan segi empat dengan

“Mihrab” untuk mengarahkan salat ke kiblat (Ka’bah) ditempatkan di

bagian Barat. Dalam tradisi pengajaran Islam, sebelum pesantren berdiri,

Kiai, Pesantren dan Politik 105

kegiatannya. Oleh karena itu, masjid dapat disebut

sebagai elemen yang tak dapat dipisahkan dalam

tradisi pesantren, bahkan bagi kaum muslimin sejak

zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang,

terutama yang belum terpengaruh oleh kehidupan

Barat, dimana pun berada, selalu menggunakan

masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan,

aktivitas administrasi dan kultural.

2. Pesantren Sebagai Lembaga Pencetak Ulama

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa materi

pelajaran yang diberikan di pesantren lebih banyak

terkait dengan pokok-pokok agama, yang terutama

adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan

syariat sehari-hari (ilmu fiqh baik ibādah maupun

mu’āmalah), bahasa Arab (ilmu shorof, nahwu dan

ilmu alat lainnya), al-Qur’an seperti tajwīd dan tafsir-

tafsirnya, ilmu tauhīd, ilmu akhlāq dan ilmu tasauf,87

biasanya kiyai menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di

rumahnya. Tetapi, setelah rumah kiyai tidak mampu lagi menampung

banyaknya santri yang datang mencari ilmu, ia kemudian mendirikan

masjid, yang berfungsi sebagaimana diuraikan di atas. Jadi, kedudukan

masjid di pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem

pendidikan Islam tradisional, bahkan kesinambungan sistem pendidikan

Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid al-Qubba didirikan dekat

Madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam sistem

pesantren. 87 L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammedansche

Godsdienstonderwijs op Java en Madoera,” Tijdschrif voor Indische

Taal Land-en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886, h. 518-555. Lihat pula

Soebardi, “Santri Relegious Element as Reflected in The Book of

106 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

sehingga dapat dipastikan bahwa pengetahuan

agama yang diberikan di pesantren, dalam bidang

akidah mengikuti ajaran Imam Abu Hasan al-

Mātūridi, dalam bidang tasauf, mengikuti ajaran

Imam Ghazzāli dan dalam bidang Fiqh mengikuti

ajaran Imam Syāfi’i.

Para santri memulai pelajarannya di pesantren

dengan rukun Islam yang lima dan peraturan ibadah

dengan teks-teks yang sederhana seperti Safīnah al-

Najāh, Sullam al-Taufīq, al-Sittīn al-Mas’alah,

Mukhtashar oleh Ba-fadhl, dan Risālah oleh Sayyid

Ahmad bin Zain al-Habsyi. Selanjutnya, mereka

mempelajari satu dari beberapa kitab fiqh seperti

Minhaj al-Qawīm, al-Hawāsyi al-Madaniyah, Fath al-

Qarīb, Bajuri, al-Iqnā’, Bujairimi, al-Muharrar, Minhaj

al-Thālibīn, Syarh Minhaj oleh al-Mahalli, Fath al-

Wahhāb, Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Mu’īn.

Kurikulum yang dipakai di pesantren tidak

distandarisasi dan hampir setiap pesantren

mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda-beda dan

banyak kiai terkenal sebagai spesialis kitab tertentu.

Oleh karena itu, banyak santri tekun berpindah dari

satu pesantren ke pesantren lainnya dalam upaya

mempelajari semua kitab yang ingin mereka kuasai.

Tjentini,” Bidragen Tot De Taal Land-en Volkenkunde, Vol. CXXVII,

(Martinus Nijhoff, 1971), h. 335-340. serta KH. Siradjuddin Abbas,

Ulama Syafi’I dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pustaka

Tarbiyah, 1975), h. 36-65.

Kiai, Pesantren dan Politik 107

Bila ditelusuri tentang harapan orang tua santri

menyerahkan anaknya untuk didik di pesantren,

maka akan nampak harapan yang paling mendasar

adalah agar anaknya menjadi orang baik, menjadi

orang yang saleh, bertaqwa dan taat beragama. Jadi,

tidak ada tujuan khusus, untuk jabatan tertentu di

kemudian hari. Kalau toh ada tokoh yang disebut

untuk personifikasi bagi tujuan pendidikan anaknya,

maka umumnya adalah menjadi ‘ulamā atau

pemimpin Islam. Dengan demikian, keinginan orang

tua sejalan dengan materi yang diajarkan, sehingga

harapan pesantren sebagai lembaga pembentuk

ulama juga bisa direalisasikan. Kiai A. Wahid

Hasyim, putra tertua KH. Hasyim Asy’ari, pendiri

Ponpes Tebuireng, menegaskan bahwa pengajaran

kitab-kitab asli Islam dalam bahasa Arab di

pesantren, memang untuk diarahkan mendidik santri

menjadi ulama.88 Survey LP3ES terhadap lembaga

pendidikan pesantren di Bogor, juga menunjukkan

bahwa harapan orang tua terhadap anaknya yang

dididik di pesantren lebih bersifat agama, dan apabila

dikaitkan dengan lapangan kerja, maka pekerjaan

88 H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan

Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid

Hasyim, 1957), h. 820-824.

108 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

yang diharapkan adalah yang langsung berhubungan

dengan agama yaitu guru agama, kiai atau ‘ulamā.89

Dengan demikian, pantas bila dari satu atau

banyak pesantren kemudian lahir alumni yang

menjadi guru agama, pegawai Departemen Agama

atau bahkan menjadi penyiar agama, ‘ulamā90 dan

kiai yang mendirikan pesantren baru di daerahnya

asalnya, yang dalam proses perjalanannya pada

89Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil

Penelitian Pesantren al-Falah & Delapan Pesantren Lain di Bogor,

(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 126. 90 H.A. Hasyim Muzadi menegaskan bahwa KH. Hasyim Asy’ari

secara kultural sangat berwibawa karena hampir seluruh kiai di tanah

Jawa berguru dan menjadi muridnya di Pesantren Tebuireng. Kiai yang

berguru dan menjadi muridnya itu kelak menjadi ulama terkenal di

antaranya adalah kiai Ma’sum Ali, kiai Baidlawi, kiai Syansuri Badawi,

kiai Wahab Hasbullah, kiai Mahfudz Siddiq, kiai Ahmad Siddiq, kiai

Muhith Muzadi, kiai Wahib Wahab, kiai Romli, kiai Mahrus Ali, kiai

As’ad Syamsul Arifin, kiai Idris, kiai Adlan Ali, kiai Manan, kiai

Saifuddin Zuhri, kiai sahal Mahfudz, kiai Ma’sum, kiai Khalil, kiai

Masykur, kiai Syukri Ghazali dan lain sebagainya. Dari Ponpes Langitan

lahir ulama kenamaan di antaranya adalah kiai Muhammad Siddiq, ayah

kiai Mahfudz, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah, kiai Mahrus

Ali, kiai Rafi’i, kiai Idris, kiai Umar, kiai Zainuddin, kiai As’ad, kiai

Abdul Manan, KH. Mas Mansur dan lain sebagainya. Sedangkan dari

Ponpes kiai Khalil Bangkalan Madura, lahir ulama kenamaan di

antaranya kiai hasyim Asy’ari, kiai Abd. Manan Abdul Karim, kiai

Muhammad Siddiq, kiai Munawwir, kiai Maksum, kiai Abdullah

Mubarok, Tasikmalaya, kiai Wahab Hasbullah dan lain sebagainya.

Lihat H.A. Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda

Persoalan Bangsa, (Jakarta: Logos wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999),

Cet. Ke-1, h. 13. lihat pula Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren

Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam

in Java, (USA: ASU, 1999), h. 70 dan 189-191. Abd. Wahid Hasyim,

“Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, Sejarah Berdiri Dan

Perkembangannya 1852-1982, Skripsi Sarjana Sejarah dan Kebudayaan

Islam, (Jakarta: Perpustakaan Adab, 1983), h. 82-97.

Kiai, Pesantren dan Politik 109

tahun 1980, lembaga pendidikan pesantren di

Indonesia telah mencapai 5.373 buah dengan santri

1.238.967 orang. Dari jumlah itu, 1.344 buah terdapat

di Jawa Timur dengan santri berjumlah 427.517

orang.91 Pada tahun 2005 jumlah instiutsi pesantren

meningkat menjadi 14.798 buah dengan santri

berjumlah 3.464.334 orang. Dari jumlah itu, 3.582

buah terdapat di Jawa Timur dengan santri berjumlah

1.169.256 orang.92

3. Pesantren sebagai Lembaga Transmisi Nilai Tradisi

Keagamaan

Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa para

pendiri dan pemilik pesantren kebanyakan adalah

kiai. Mereka umumnya berasal dari keluarga yang

cukup berada dari segi materi. Oleh karena itu, untuk

melengkapi keberadaannya sebagai kiai, mereka

pergi ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam

yang kelima, ibadah haji. Mereka umumnya

berangkat pada bulan Sya’ban, yang berarti mereka

mempunyai banyak waktu, sehingga sebagai ulama,

mereka ada yang tinggal empat sampai lima bulan

91 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen pembinaan

Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 92 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen

Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Lihat pula

Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri 2009,”

Republika (Jakarta), 15 September 2006.

110 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

atau bahkan beberapa beberapa tahun di sana93 dan

memanfaatkan waktu senggangnya dengan meng-

ikuti pengajian halaqah di Masjidil Haram yang

diberikan oleh para ulama kenamaan, baik yang

berasal dari nusantara maupun dari negara-negara

Islam lainnya di dunia, seperti Syekh Ahmad Chatib

Sambas, Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Nawawi,

Syekh Abdul Hamid dan lain sebagainya.94

Sekembalinya di tanah air, ilmu-ilmu yang

dipelajari di Tanah Suci, mereka ajarkan kepada para

santri di pesantren yang baru dibangunnya atau

pesantren yang sudah ada, atau bahkan kepada

masyarakat sekitarnya, sehingga nampak bahwa

materi, metode dan lain sebagainya sama dengan

materi dan metode yang mereka dapatkan di

Mekkah. Di Masjidil Haram, demikian Azyumardi

Azra menjelaskan, murid-murid duduk dalam

halaqah mengelilingi guru-guru dan orang beilmu

lainnya, dengan kitab-kitab keagamaan dan al-Qur’an

di tengah mereka.95 Sementara di pesantren seperti

93 Van der Plas sebagaimana dikutip Martin menjelaskan bahwa

jamaah haji nusantara yang mukim (menetap) di sana tahun 1931

sekurang-kurangnya 10.000 jiwa, sedangkan jumlah jamaah haji yang

berangkat waktu itu sekitar 30.000 jiwa. Lihat Martin Van Bruinessen,

Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di

Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-1, 1995, h. 50. 94 C. Snouck Hurgronje, Mekka in The Latter Part of The 19th

Century, translation J.H. Monahan, (Leiden: E.J. Brill, 1931), h. 262-

267. 95 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan

Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar

Kiai, Pesantren dan Politik 111

telah dijelaskan, dalam sistem “Bandungan,” santri

yang mengikuti pengajian duduk bersama-sama

dalam lingkaran lebar di sekitar kiai atau santri senior

yang membacakan, menerjemahkan dan menerang-

kan kitab berbahasa Arab, dalam berbagai jenis

seperti di atas, karya ulama terdahulu dalam bahasa

lokal secara kuliah, sementara santri karena dianggap

telah memiliki kecukupan pengetahuan dasar tentang

tata bahasa Arab dan al-Qur’an, menyimak kitabnya

masing-masing dengan membubuhi jabar atau

harakat dan catatan padanya. Dalam bandongan,

pembelajaran dihadiri oleh sejumlah besar santri,

mencapai sekitar lima sampai 200 santri dari berbagai

usia dan tingkat ilmu pengetahuan.

Sebagaimana di Masjidil Haram, di pesantren

juga tidak ada kurikum tetap. Tetapi pengajian

dengan metode sorogan dan balaghan di pesantren

dilaksanakan terpisah antara kaum lelaki dan

perempuan, tidak dicampur, sebagaimana terjadi di

luar pesantren. Pemisahan itu dimaksudkan untuk

menjaga ikhtilaf antara keduanya dan menjaga hal-

hal yang tidak diinginkan, di samping secara syar’i,

Islam telah mengajarkan bahwa seorang lelaki

dilarang melihat perempuan yang bukan mahram-

nya, kecuali dalam empat hal, yaitu ketika seorang

Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994),

Cet. Ke-1, h. 79. Lihat pula Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,

Pesantren Dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung:

Mizan, 1995), Cet. Ke-1, 1995, h. 34-35.

112 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

lelaki berprofesi sebagai dokter, sebagai pedagang,

sedang meminang calon istri dan sedang tampil

sebagai guru. Khusus yang trakhir, meskipun

dibolehkan, tetapi kiai di pesantren hanya mengajar

santri laki-laki, sedangkan santri perempuan diajar

oleh ibu nyai atau guru perempuan. Karena hanya

meneruskan misi seperti apa yang telah diperoleh

kiai selama di tanah suci dan tidak ada perubahan

yang signifikan, maka pesantren sering disebut

sebagai lembaga yang hanya sekedar melakukan

transmisi nilai tradisi keagamaan Islam semata.

4. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Ekonomi

Sejalan dengan perjalanan waktu, pesantren yang

mulanya merupakan lembaga pendidikan

keagamaan, lembaga pencetak ulama dan lembaga

transmisi nilai tradisi keagamaan, telah berkembang

pula menjadi lembaga sosial ekonomi. Pondok

Pesantren Langitan Widang, Tuban, sebuah lembaga

pendidikan keagamaan yang didirikan tahun 1852

oleh KH. Muhammad Nur, pada dasawarsa delapan

puluhan telah mengembangkan berbagai jenis

keterampilan, seperti Perikanan, Pertanian, Petukang-

an Batu, Jahit-Menjahit, Pangkas Rambut, Koperasi,

PKK dan lain sebagainya,96 selain mengirimkan

96 Abd. Wahid Hasyim, “Pondok Pesantren Langitan Widang

Tuban, Sejarah Berdiri Dan Perkembangannya 1852-1982,” Skripsi

Kiai, Pesantren dan Politik 113

beberapa orang santri untuk mengikuti pendidikan

keterampilan yang diselenggarakan oleh Pusat

Pendidikan dan Latihan Keterampilan di Pondok

Pesantren Sabīlil Muttaqīn, Takeran, Magetan, Jawa

Timur dan diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian,

Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial

(LP3ES) di Jakarta. Bahkan pada awal tahun 2001,

Pondok Pesantren Langitan telah mengembangkan

usaha Air Minum Kemasan “Ihsan” kerjasama

dengan sebuah perusahaan swasta nasional.97

Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton,

Probolinggo, Jawa Timur, sebagaimana Ponpes

Langitan, sejak berdirinya hingga kini telah

mengembangkan sistem pendidikan, pengembangan

bakat keterampilan yang meliputi jahit-menjahit,

Percetakan dan Sablon, Perajutan, Bengkel Las,

Fotografi/Cuci Cetak Hitam Putih, Petukangan,

Pertanian dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga

(PKK).98 Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan,

Jombang, telah mengembangkan jenis perekonomian

seperti Pertanian, Koperasi, Wartel, Warnet, Kantin,

Unit Kesehatan, Percetakan dan Sablon, PKK dan lain

Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Perpustakaan Adab,

1983), h. 72. 97 KH. Abdullah Faqih, Pimpinan Pondok Pesantren Langitan,

Wawancara Pribadi, Widang, 15 Pebruari 2007. 98 M. Masyhur Amin dan M. Nasikh Ridwan, KH. Zaini Mun’im,

Pengabdian dan Karya Tulisnya, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), Cet. Ke-

1, h. 141.

114 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

sebagainya,99 dan Pondok Pesantren Bahrul Ulum,

Tambak Beras Jombang, telah mengembangkan

koperasi, di mana masyarakat sekitar dapat

menitipkan barang dan membuat kantin di dalam

pondok, bahkan dewasa ini Ponpes Bahrul Ulum

sedang merintis kerjasama dengan Supermarket Alfa

untuk mendirikan minimarket dan pusat grosir pada

semua koperasi filial pondok.100

Pengembangan berbagai jenis keterampilan dan

koperasi pondok pesantren di atas, erat kaitannya

dengan usaha pemerintah dalam memberdayakan

pesantren melalui berbagai macam bantuan baik

berupa peralatan maupun pelatihan. Berdasarkan

data, pembinaan dan bantuan keterampilan oleh

Departemen Agama RI telah dapat menjangkau 4

pesantren pada tahun 1975 dengan dana sebesar Rp

40.000.000,-, 42 pesantren pada tahun 1976 dengan

dana sebesar Rp 200.000.000,-, 92 pesantren pada

tahun 1977 dengan dana sebesar Rp 255.000.000,-, 500

pesantren pada tahun 1978 dengan dana sebesar Rp

300.000.000,-, 500 pesantren pada tahun 1979 dengan

dana sebesar Rp 360.000.000,- dan 505 pesantren pada

tahun 1980 dengan dana sebesar Rp 380.000.000,-101

99 Pondok Pesantren Darul Ulum, (Jombang: Pondok Pesantren

Darul Ulum, 2006), h. 21-22. 100 Pondok Pesantren Bahrul Ulum, (Tambak Beras, Jombang:

2006), h. 16-17. 101Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok Pesantren

Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan

Kiai, Pesantren dan Politik 115

Dengan demikian sebelum dilakukan pembinaan dan

pelatihan, jumlah koperasi pondok pesantren di

Jawa-Madura baru 7 (tujuh) buah, tetapi sekarang

hampir semua pondok pesantren di seluruh

Indonesia telah tumbuh koperasi dalam berbagai

jenis konsumsi, simpan-pinjam dan serba usaha,

sehingga koperasi pondok pesantren memiliki

prospek yang sangat cerah. Berangkat dari kenyataan

tersebut, maka Kementerian Koperasi dan UKM sejak

tahun 2006 mengembangkan kebijakan Program

Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren melalui

Pemberdayaan Koperasi Pondok Pesantren yaitu

program bantuan pengadaan Tempat Praktek Usaha

Santri (TPUS).102

Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 97. Sadikun Sugihwaras,

Pondok Pesantren Dan Pembangunan Pedesaan, (Jakarta: Dharma

Bakti, 1979), h. 101. 102 Kebijakan Program Pengembangan Ekonomi Pondok

Pesantren, Melalui Pemberdayaan Koperasi Pondok Pesantren,

Republika, (Jakarta), 9 Nopember 2007, h. 8. Sasaran jangka pendek

Program Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren melalui

Koppontren tahun 2007 adalah 180 Koppontren, meliputi pengembangan

“Tempat Praktek Usaha Santri” di bidang Bengkel Otomotif/Sepeda

Motor dengan bantuan dana masing-masing Rp 200.000.000,-.

Pengembangan “TPUS” di bidang Bengkel Elektronik dengan bantuan

masing-masing Rp 200.000.000,- Pengembangan “TPUS” di bidang

Indutsri Konveksi dengan bantuanmasing-masing Rp 200.000.000,-

penegmbangan “TPUS” di bidang Industri Kerajinan dengan bantuan

masing-masing Rp 200.000.000,- pengembangan “TPUS” di bidang

Pengolahan Agribisnis dengan bantuan masing-masing Rp 200.000.000,-

serta pengembangan “TPUS” di bidang lainnya. Pada tahun 2008 akan

disalurkan ke 425 Koppontren di seluruh Indonesia.

116 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dari program tersebut diharapkan Koperasi

Pondok Pesantren selain dapat mencetak santri

wirausaha baru, koperasinya juga dapat lebih

berkembang, karena adanya berbagai diversifikasi

usaha, sehingga pondok pesantren pada masa yang

akan datang dapat bertindak sebagai pencetak calon

wirausaha baru dan motor pembangunan ekonomi

pedesaan, sebuah gagasan yang sejalan dengan

mimpi Abdurrahman Wahid 30 tahun yang lalu,

lewat sebuah sub artikel yang ditulisnya dengan

judul “Manfaat Konperasi bagi Pesantren dan

Lembaga Pendidikan Islam.103

C. Pesantren dan Politik

1. Pesantren dan Modernisasi Birokrasi

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa pesan-

tren dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami

pembaharuan, sehingga pesantren dapat di-

klasifikasikan menjadi Pesantren Salaf serta Pesantren

Salaf dan Khalaf sekaligus atau pesantren modern.

Pada pesantren jenis terakhir, pengajaran selain

berupa pengajian secara sorogan, wetonan dan

bandongan, juga mulai diperkenalkan pengajaran

103 Lihat Abdurrahman Wahid, “Pemikiran Abdurrahman Wahid,”

dalam Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia, Pemikiran

Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib

dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. Ke-1, h.

346.

Kiai, Pesantren dan Politik 117

secara klasikal. Madrasah mulai dari tingkat

Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Perguruan

Tinggi yang berafiliasi ke Departemen Agama

didirikan, bahkan SD, SMP dan SMA yang berafiliasi

ke Departemen Pendidikan Nasional juga diadakan.

Implikasinya, kurikulum yang dikembangkan me-

rupakan kurikulum pemerintah, atau perpaduan

antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran

umum, sehingga pesantren mengalami pergeseran

dan perubahan paradigma dari lembaga pencetak

calon ulama menjadi lembaga yang mendidik para

santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya

menjadi “‘ulama intelek” (‘ulama yang menguasai

pengetahuan umum) dan “intelektual ‘ulama”

(sarjana dalam bidang pengetahuan umum yang juga

menguasai pengetahuan Islam).104

Beberapa pesantren yang telah melakukan

perubahan paradigma tersebut adalah Pondok

Pesantren Tebuireng, Jombang, Pondok Pesantren

Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang, Pondok

Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, Pondok

Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus

Situbondo, Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton

Probolinggo dan lain sebagainya. Pondok Pesantren

Tebuireng mulai menyesuaikan diri dan sedikit

104 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the

Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU,

1999), h. 95.

118 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan

umum sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan

Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1916,

Pesantren Tebuireng mendirikan sebuah “Madrasah

Salafiyah” yang tidak hanya mengadopsi sistem

pendidikan modern, tetapi juga memasukkan

beberapa pelajaran umum seperti berhitung, bahasa

Melayu, ilmu bumi dan menulis dengan huruf latin

ke dalam kurikulumnya.105 Model ini kemudian

diikuti oleh banyak pesantren lainnya. Salah satu

yang terpenting adalah Pondok Pesantren Darul

Ulum, Rejoso, Jombang yang mendirikan madrasah

pada tahun 1926 dengan memperkenalkan mata

pelajaran non keagamaan.106

Bila pada pra kemerdekaan, penyesuian diri

pada pesantren lebih karena mendapatkan tantangan

dari sistem pendidikan Belanda dengan sekolah

rakyat atau sekolah desanya, dan karena men-

dapatkan tantangan dari kaum reformis atau

modernis muslim dengan sistem pendidikan Islam

modern-nya, misalnya sekolah-sekolah umum model

Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam dan

madrasah-madrasah modern yang secara terbatas

105 Heru Soekardi, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Pusat

penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pndidikan dan Kebudayaan,

1979), h. 56. 106 Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,

(Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. xv.

Kiai, Pesantren dan Politik 119

mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan

modern Belanda;107 maka pada pasca kemerdekaan,

penyesuaian diri pesantren, lebih karena ekspansi

pendidikan umum yang disebarkan oleh pemerintah.

Pada tingkat ini pesantren misalnya secara agak hati-

hati mulai melakukan revisi kurikulumnya dengan

memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan

ketrampilan umum; dan membuka kelembagaan dan

fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan

pendidikan umum, sebuah usaha yang terjadi karena

pesantren mendapatkan saingan dari sistem ke-

lembagaan madrasah modern yang ditempatkan di

bawah tanggung jawab dan pengawasan Departemen

Agama, yang sejak 1950-an melancarkan pembaharu-

an madrasah setelah sebelumnya ‘menegerikan’

banyak madrasah swasta.

Pada pesantren yang telah melakukan revisi

kurikulumnya dan membuka kelembagaan dan

fasilitas pendidikannya bagi kepentingan umum,

maka para santri yang telah menyelesaikan

pendidikannya pada tingkat Sekolah Lanjutan Atas

akan mendapatkan ijazah yang diterbitkan oleh

kedua lembaga pemerintah tersebut, sehingga

mereka memiliki akses lebih besar dalam lapangan

kerja dan dalam melanjutkan pendidikan pada

107 Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,

(Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. xii-xiii.

120 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

lembaga pendidikan yang lebih tinggi, baik perguran

tinggi agama maupun umum, seperti STAIN, IAIN,

UIN, UI, ITB, ITS, Unibraw, Universitas Airlangga,

UGM dan lain sebagainya. Bahkan mereka juga

mudah mendapatkan peluang memperoleh bantuan

dan beasiswa dari pemerintah.

Pada saat yang sama juga terdapat ke-

cenderungan kuat pesantren untuk melakukan

konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada

aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara

tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh

satu atau dua orang kiai, yang biasanya merupakan

pendiri pesantren, tetapi bersamaan dengan

diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya,

banyak pesantren yang kemudian mengembangkan

kelembagaan yayasan, yang merupakan

kepemimpinan kolektif. Pondok Pesantren

Maskumambang, Gresik, yang sejak didirikan tahun

1859 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Abdul

Jabbar, tetapi pada tahun 1958 kepemimpinan

pesantren diserahkan kepada Yayasan Kebangkitan

Umat Islam. Begitu pula Pondok Pesantren Darul

Ulum, Peterongan Jombang, yang sejak didirikan

tahun 1885 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH.

Tamim Irsyad, tetapi pada 4 Nopember 1961

kepemimpinan pesantren diserahkan kepada

Kiai, Pesantren dan Politik 121

Yayasan Pondok Pesantren Darul Ulum.108 Pondok

Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, sebagaimana

dua pesantren di atas, sejak didirikan tahun 1835

dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Abdus

Salam, tetapi pada 6 September 1966 diserahkan

kepada yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum,

Tambak Beras, Jombang.109 Pondok Pesantren Nurul

Jadid, Paiton, Probolinggo, melakukan hal yang

sama, sejak didirikan oleh KH. Zaini Mun’im tahun

1960, langsung membentuk kepemimpinan pesantren

dalam sebuah wadah Yayasan Pondok Pesantren

Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.110

Dengan perubahan pola kepemimpinan dan

manajemen ini, maka ketergantungan kepada

seorang kiai seperti pada pesantren-pesantren jaman

awal pembentukannya, tidak lagi terjadi. Kenyataan

ini merupakan salah satu faktor penting yang

membuat pesantren semakin lebih mungkin untuk

bertahan dalam menghadapi perubahan dan

tantangan zaman. Bahkan pesantren diharapkan

tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya,

sebagai transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam,

pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama,

108 Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta:

LP3ES, 1999), Cet. Ke-1, h. 231-232. 109 Pondok Pesantren Bahrul Ulum, (Tambak Beras, Jombang:

2006), h. 2. 110 M. Masyhur Amin dan M. Nasikh Ridwan, KH. Zaini Mun’im,

Pengabdian dan Karya Tulisnya, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), Cet. Ke-

1, h. 127.

122 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

tetapi juga diharapkan dapat menjadi salah satu agen

perubahan dan pembangunan masyarakat, sebagai

pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan

teknologi tepat guna, pusat usaha-usaha penyelamat-

an dan pelestarian lingkungan hidup serta pusat

pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya.111

2. Pesantren dan Partai Politik

Sebagaimana dijelaskan di muka, pesantren

merupakan lembaga pendidikan Islam tempat murid-

murid belajar mengaji dan mempelajari ilmu

pengetahuan agama Islam, dengan kiai sebagai tokoh

sentralnya dan masjid sebagai pusat lembaganya.

Pada tahun 1980, jumlah pesantren di Indonesia telah

mencapai 5.373 buah dengan santri 1.238.967 orang.

Dari jumlah itu, 1.344 buah terdapat di Jawa Timur

dengan santri berjumlah 427.517 orang.112 Tetapi pada

tahun 2005, jumlah pesantren meningkat menjadi

14.798 buah dengan santri berjumlah 3.464.334 orang.

Dari jumlah itu, 3.582 buah terdapat di Jawa Timur

dengan santri berjumlah 1.169.256 orang.113

111 Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,

(Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. xxi-xxii. 112 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen pembinaan

Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 113 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen

Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Lihat pula

Kiai, Pesantren dan Politik 123

Sedangkan partai politik adalah suatu kelompok

yang terorganisir yang anggota-anggotanya

mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang

sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik –

biasanya dengan cara konstitusionil – untuk

melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya.114

Jadi, kelompok ini bertujuan memperjuangkan

sesuatu “kepentingan” dan mempengaruhi lembaga-

lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang

menguntungkan atau menghindarkan keputusan

yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak

berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya pada

dewan perwakilan rakyat, tetapi cukup

mempengaruhi satu atau beberapa partai di

dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang

Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri 2009,”

Republika (Jakarta), 15 September 2006. 114 Bandingkan dengan terminologi yang dikemukakan oleh Carl J.

Friedrch bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang

terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan

penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan

berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya

kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. R.H. Soltau

mengartikan partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit

banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan

yang –dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilik– bertujuan

menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaannya.

Sedangkan Sigmund Neumann mengartikan bahwa partai politik adalah

organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha menguasai

kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar

persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang

mempunyai pandangan yang berbeda.

124 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

berwenang. Oleh karena itu, partai politik sebagai

lembaga politik dapat menjadi penghubung antara

rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.

Pada awal Orde Baru, jumlah partai politik peserta

pemilu 9 (sembilan) partai dan Golkar, kemudian

diciutkan, hingga runtuhnya rezim Orde Baru jumlah

partai peserta pemilu hanya tinggal 2 (dua) dan

Golkar. Tetapi, sejalan dengan lahirnya era reformasi

tahun 1998, jumlah partai membengkak hingga

mencapai 148 partai. Setelah melewati seleksi Tim 11

yang diketuai Nurcholish Madjid, partai yang layak

mengikuti pemilu tinggal 48 partai, 20 di antaranya

merupakan partai Islam.115

Dengan demikian, pesantren berbeda dengan

partai politik. Pesantren merupakan pranata

pendidikan keagamaan yang berusaha mencerdaskan

kehidupan warganya dalam bidang ilmu

pengetahuan, sedangkan partai politik merupakan

pranata politik yang bertujuan memperoleh

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik,

untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan-

nya. Namun, karena jumlah pesantren dan santrinya

sangat besar, maka seringkali partai politik

mendekati pesantren guna mendulang suara

kalangan santri. Sebaliknya, kiai baik sebagai pemilik

115 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto”,

dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed), Indonesia di Tengah

Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKiS,

2000), h. 375.

Kiai, Pesantren dan Politik 125

maupun tokoh sentral dalam pesantren, melalui basis

konstituen pesantren seringkali menggunakan partai

politik sebagai kendaran untuk mencapai tujuan

politiknya, yaitu ‘izz al-Islām wa al-

Muslimīn/keagungan Islam dan umatnya.116 Menurut

Achmad Siddiq, ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn harus

direfleksikan dalam sikap dan tindakan ummat Islam,

yakni semua tindakan yang dapat dianggap

meningkatkan keyakinan/iman atau kepentingan

masyarakat, termasuk di dalam cakupannya. Mereka

harus mempunyai kebanggaan atas agamanya,

berjuang menegakkan dan menyebarkan ajarannya

dan menciptakan ummat yang adil, makmur dan

dinamis, yang pantas sebagai penganut keyakinan

yang benar,117 atau dalam pengertian lain, harus

diarahkan dan difokuskan pada pemikiran tentang

penciptaan situasi yang mensejahterahkan ummat

Islam dalam kehidupan sehari-hari, yang dapat

mengangkat ummat Islam di tingkat akar rumput

dari kemiskinan.118 Implikasi politik dan ekonominya

dapat diwujudkan melalui berbagai cara, termasuk

melalui ummat Islam yang telah memperoleh

kedudukan tinggi dalam bidang politik, ekonomi dan

116 ‘Izz dapat diterjemahkan dalam beberapa arti seperti kekuatan,

kekuasaan, kemuliaan, kebesaran dan keunggulan. 117 Achmad Siddiq, Pedoman Berfikir ‘Nahdlatul Ulama’

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Cabang Jember, (Jember: TP,

1969), h. 12 b. 118 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan,

(Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. Ke-1, h. 243.

126 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

masyarakat.119 Kedudukan politik sedapat mungkin

diarahkan pada usaha mendapatkan kedudukan

dalam birokrasi pemerintahan termasuk kabinet,

dalam keanggotaan di parlemen atau Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dan Mahkamah

Agung,120 sehingga, tujuan Islam seperti penegakan

hukum dan pembuatan undang-undang serta

penerapannya, yang menyangkut aspek hukum

pernikahan dan waris, peraturan pembayaran dan

penyaluran zakat, penetapan waktu pelaksanaan

salat Jum’at atau kegiatan keagamaan di bulan

Ramadlan dan lain sebagainya, dapat tercapai.

Kedudukan dalam ekonomi sedapat mungkin

diarahkan pada usaha mendapatkan peluang bisnis

dari pemerintah bagi para pebisnis kaum

tradisionalis. Peluang semacam itu akan memberikan

keuntungan langsung kepada mereka yang mampu

mendapatkan kedudukan dan dianggap dapat

membantu Islam dan ummat pada umumnya.

Semakin sejahtera anggota masyarakat, maka akan

119 Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyah, (Bangil: Percetakan

Persatuan, 1979), h. 72-73. 120 Selama masa Kolonial para kiai dan santri tradisionalis

umumnya menjauhkan diri dari lembaga-lembaga pemerintahan dan

mengembangkan usaha di sektor-sektor swasta dan sektor informal

lainnya. Tetapi, setelah masa kemerdekaan, birokrasi dipandang sebagai

jalan menuju mobilitas dan status sosial. Perhatian selalu tertuju pada

Kementerian Agama Republik Indonesia yang mengendalikan

pelaksanaan hukum pernikahan dan perceraian, waris, ibadah haji serta

pendidikan agama.

Kiai, Pesantren dan Politik 127

semakin meningkat pula kemampuan mereka untuk

memenuhi kewajiban sosial dan keagamaannya,

seperti menunaikan ibadah haji, membayar zakat dan

mendukung upaya peningkatan pendidikan Islam

dan kesejahteraan. Kesejahteraan sangat diperlukan

karena sebagian besar sumber pendapatan kiai dan

pesantrennya berasal dari sumbangan keuangan dan

materi kalangan ummat Islam yang kaya.121 Jadi,

muslim yang mampu diharapkan akan menggunakan

kekayaannya untuk membantu perkembangan Islam.

Adapun kedudukan sosial diarahkan pada cara-

cara informal seperti melakukan lobi kepada

pemerintah, dalam menyalurkan dana pemerintah

kepada masyarakat, khususnya untuk meningkatkan

fasilitas pendidikan dan keagamaan, seperti

pesantren, madrasah, masjid, membangun dan

merawat prasarana sosial seperti klinik kesehatan,

panti asuhan dan balai pertemuan. Dengan demikian,

keberhasilan dalam bidang-bidang tersebut sangat

penting, karena ummat mampu mencukupi

kebutuhannya sendiri, sehingga memiliki harga diri.

Sebaliknya, ummat yang terpaksa menggantungkan

diri pada bantuan atau belas kasihan kelompok lain

121 Iik Arifin Mansurnoor, Islam in Indonesian World: Ulama of

Madura, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), h. 261.

Lihat pula Hiroko Horikoshi, “A Traditional Leader in a Time for

Change: The Kijaji and Ulama in West Java”, Disertasi, University of

Illinois, 1976, h. 188 dan 223-224.

128 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

bertentangan dengan semangat keagungan Islam dan

ummatnya/’izzul Islam wa al-Muslimin.122

Konsep lain yang serupa dengan ‘Izz al-Islam wa

al-Muslimin, dirumuskan pertama kalinya oleh KH.

Mahfoedz Siddiq pada tahun 1930 dan diberi nama

Mabadi Khaira Ummah atau prinsip-prinsip kebaikan

bagi ummat.123 Konsep ini difokuskan pada masalah

sosial ekonomi dan bertujuan membangun

kemampuan swadaya ummat melalui usaha-usaha

bersama, sebuah konsep yang didasarkan pada

keyakinan bahwa Islam tidak akan dapat

mewujudkan aspirasi sosial dan keagamaannya tanpa

landasan ekonomi yang kuat. Dengan demikian,

pemberian penekanan pada kedua aspek tersebut

sangat diperlukan, mengingat kuatnya budaya

wiraswasta di kalangan ummat Islam tradisional.

Selain itu, melalui statuta pembentukan NU124 pada

122 KH. Achmad Siddiq, Pedoman Berfikir ‘Nahdlatul Ulama’

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Cabang Jember, (Jember: TP,

1969), h. 12 b. 123 Konsep ini merupakan strategi pengembangan kooperasi

Syirkah Mu’awanah pada masa sebelum perang. Walaupun ditemukan

beberapa rujukan mengenai hal ini selama tahun 1950 an dan tahun 1960

an, tetapi baru setelah adanya komitmen baru pada kegiatan

pengembangan sosio-ekonomi lapis bawah pada tahun 1980, perhatian

pada Mabadi Khaira Ummah diutamakan. Sebagai contoh bagaimana

konsep ini dipahami pada masa pemerintahan Soekarno, dapat dibaca

pada komentar KH. Idham Chalid dalam buku Kenang-Kenangan

Mu’tamar XXII, h. 101. 124 Sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh para

kiai, pendiri dan pengasuh pondok pesantren di Surabaya. KH. Wahab

Hasbullah dan KH. Hasjim Asj’ari sama-sama memiliki peran yang

tidak bisa diabaikan dalam keberhasilan pembentukan NU. KH. Wahab

Kiai, Pesantren dan Politik 129

1926, para kiai juga menyatakan dengan tegas

mengenai upaya meningkatkan kegiatan ekonomi di

bidang pertanian, perdangan dan bisnis,125 bahkan

selama tahun 1930-an, kiai terlibat dan semakin

tenggelam dalam kegiatan politik, dalam upaya

untuk melindungi kepentingan ekonominya dalam

persaingan dengan orang-orang Belanda dan Cina.126

Setelah masa kemerdekaan, politik, khususnya

keterlibatan kiai dalam pemerintahan sebagaimana

diuraikan di atas, dianggap sebagai cara yang paling

penting untuk mencapai tujuan sosial ekonomi

ummat tersebut.

Hasbullah menyediakan konsep dan ketrampilan berorganisasi,

sedangkan KH. Hasjim Asj’ari memberikan legitimasi keagamaan. 125 Chairul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul

Ulama, (Surabaya: Jatayu Solo, 1985), h. 11. Dalam Pasal 3f dinyatakan

bahwa sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuannya, NU akan

mendirikan badan-badan untuk meningkatkan sector-sektor pertanian,

perdagangan dan bisnis yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 126 Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru:

Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonilalisme Sampai Nasionalisme

(Jakarta: Gramedia, 1990), Cet. Ke-1, Jilid 2, h. 111, menjelaskan bahwa

golongan Cina semakin banyak jumlahnya, sejalan dengan

diperlunaknya peraturan-peraturan perjalanan bagi golongan ini. Mereka

mempunyai tempat pemukiman dan sekaligus menjadi pusat pertokoan.

Lokasinya selalu di tepi jalan raya kota dan sangat bedekatan dengan

pasar. Jumlah anggotanya telah mencukupi untuk membuat komunitas

tersendiri sehingga terdapatlah nama Pecinan, suatu ciri yang sangat

tipikal bagi kota kolonial. Mereka mempunyai peranan sebagai perantara

antara Belanda dan pribumi, antara lain sebagai pemborong pajak,

distribusi candu, pegadaian, sebagai pemberi kredit dengan bunga tinggi

dan lain sebagainya. Lihat pula Lance Castles, Tingkah Laku Agama,

Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, (Jakarta: Sinar

Harapan, 1982), Cet. Ke-1.

130 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Pemahaman terhadap dimensi sosial ekonomi

dalam pemikiran politik kiai, telah memberikan

wawasan yang lebih luas tentang bagaimana

mendefinisikan konsep-konsep dasar seperti manfaat,

kerusakan, resiko, kebaikan dan kejahatan. Oleh

karena itu, ketika akan mempertimbangkan

konsekuensi negatif dan positif suatu tindakan, kiai

tidak hanya membuat penilaian dari segi hukum

mengenai apakah tindakan itu sesuai dengan

syari’ah, tetapi juga mempertimbangkan dampak

sosial ekonominya terhadap ummat. Apabila hukum

Islam membolehkan beberapa cara yang memungkin-

kan, maka cukup kuat dasar untuk memilih cara yang

paling banyak memberikan keuntungan bagi

masyarakat luas atau sebaliknya yang paling sedikit

resikonya. Inilah argumen yang mendasari mengapa

kiai tetap berpartisipasi dalam kabinet, khususnya

sebagai Presiden, Wakil Perdana Menteri dan Menteri

Agama dan lain sebagainya,127 serta terus menerus

127 Untuk sekian lama dan kali para kiai menduduki jabatan

sebagai Menteri Agama, Wakil Perdana Menteri bahkan Presiden

Republik Indonesia, di antaranya KH. Wahid Hasyim sebagai Menteri

Agama dalam Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, KH. Masykur

sebagai menteri Agama dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo Pertama, KH.

Mohammad Iljas dalam Kabinet Burhanuddin Harahap dan Kabinet

Karya serta Menteri Hubungan Ulama Pemerintah sebagai Menteri

Agama dalam Kabinet Dwikora, KH. Wahib Wahab sebagai Menteri

Kerjasama Sipil dan Militer dan Menteri Agama dalam Kabinet Kerja,

KH. Fatah Jasin sebagai Menteri Muda untuk Hubungan dengan Ulama

dalam Kabinet Kerja, KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri

dalam Kabinet Karya, Juru Bicara Kedua MPRS dan Menteri Utama

Kesra dalam Kabinet Ampera, KH. Achmad Sjaichu sebagai Juru Bicara

Kiai, Pesantren dan Politik 131

menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang

dihadapi, disebabkan oleh kepentingan untuk

melindungi dan memperluas sumber-sumber ke-

untungan sosial ekonominya dalam pemerintahan.

Setiap tindakan yang menghambat dukungan negara

bagi pesantren atau peluang bisnis bagi pebisnis

dapat dianggap sebagai ancaman bagi seluruh

masyarakat tradisional dan oleh karena itu, sedapat

mungkin harus dihindari. Jika alasan sosial ekonomi

ini digabungkan dengan pertimbangan hukum dan

legislatif, maka ada alasan untuk memilih jalan aman.

Suatu argumen yang sering digunakan selama masa

pemerintahan Presiden Soekarno sebagai

pembenaran atas sikap akomodasinya.

Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan

oleh kiai dalam keterlibatan di bidang politik

didasarkan pada pandangan bahwa politik menjadi

alat agama, bukan sebaliknya agama menjadi alat

politik, sebagaimana dapat diperhatikan pada

pendefinisian konsep-konsep dasar dalam pemikiran

Keempat DPR Gotong Royong, KH. Sjaifuddin Zuhri sebagai Menteri

Koordinator Urusan Agama dalam Kabinet Dwikora dan Menteri Agama

dalam Kabinet Dwikora Hasil Resuffle dan Kabinet Ampera, KH. Fatah

Jasin sebagai Menteri Negara Pembantu Koordinator Urusan Agama

dalam Kabinet Dwikora, KH. Mohammad Dachlan sebagai Menteri

Agama dalam Kabinet Ampera, KH. Mohammad Thalhah Hasan sebagai

Menteri Agama dalam Kabinet Abdurrahman Wahid, KH. Said Agil

Hussein al-Munawwar sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Gotong

Royong, KH. Maftuh Basuni sebagai Menteri Agama dalam Kabinet

Indonesia Bersatu, serta KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden

Republik Indonesia 1999-2001.

132 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

politiknya, seperti manfaat, bahaya, resiko, kebaikan

dan kejahatan.128 Politik sebagai alat agama juga

dapat dijelaskan melalui karya tulis A. Gaffar Aziz,

berjudul “Berpolitik untuk Agama”,129 dan karya tulis

Karen Armstrong, berjudul “Berperang Demi Tuhan,

Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan

Yahudi”.130

Dalam buku pertama, A. Gaffar Aziz, antara lain

menjelaskan bahwa misi agama, baik agama langit

maupun agama bumi, agar dapat berkembang luas,

pasti membutuhkan kekuatan (power) yang mampu

memberikan perlindungan kepada para pengikut

yang setia menyebarluaskan ajarannya, membangun

tatanan keagamaan dan politik. Semua agama langit

berkembang di bawah lindungan negara dan

pemerintahan yang memeluk agama tersebut. Negara

itulah yang menjamin aktivitas dakwah, melindungi

dan menyebarluaskan agama. Nabi Musa bersama

para pengikutnya, untuk menghindar dari intimidasi

dan kekejaman Fir’aun, melakukan eksodus dari

128 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah Nahdlatul Ulama

1952-1967, alih bahasa Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar,

(Yogyakarta: LkiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 85. 129 Judul asli buku ini adalah al-Dīn wa al-Siyāsah fil Adyān al-

Tsalātsah, alih bahasa Ilyas Siraj, terdiri dari 5 (lima) halaman

pengantar, 198 halaman pembahasan dan 9 (sembilan) halaman indeks. 130 Judul asli buku ini adalah The Battle for God, alih bahasa Satrio

Wahono, Muhammad Helmi dan Abdullah Ali, terdiri dari dua belas

halaman pendahuluan, 583 halaman pembahasan, 10 halaman glosari, 26

halaman pustaka, 2 (dua) halaman ucapan terima kasih dan enam belas

halaman indeks.

Kiai, Pesantren dan Politik 133

Mesir ke suatu daerah yang memungkinkan mereka

melakukan aktivitas dakwah, membangun negara

yang melindungi missinya dan mempertahankan diri.

Akhirnya, ia sampai di Gurun Sinai. Di wilayah

itulah, ia dan para pengikutnya berdomisili dan

membangun negara yang dipimpin langsung oleh

Musa dan dibantu oleh Nabi Harun.131

Dengan demikian, Musa menjadi pemimpin

politik dan pemimpin agama yang menjalankan

pemerintahan di tengah-tengah pengikutnya

berdasarkan wahyu. Mereka hidup tolong menolong

dan memegang teguh yang diajarkan Musa. Mereka

mempelajari itu dari Kitab Taurat yang mencakup

aturan-aturan yang mereka perlukan dalam

kehidupan politik dan agama. Sementara untuk

melindungi rakyat dan negara dari ancaman musuh,

Nabi Musa membentuk angkatan perang dan

melatihnya memanggul senjata. Jumlahnya sekitar

600.000 personel dan melakukan pertempuran serta

ekspansi sampai wilayah Urdun. Beberapa tahun

setelah Nabi Musa wafat negara ini terus berjalan,

hingga akhirnya runtuh setelah para pengikutnya

tidak konsisten menjalankan agama. Mereka diserang

dan dijajah oleh bangsa lain. Istri dan anak-anak

131 A. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Missi Islam, Kristen

dan Yahudi Tentang Politik, alih bahasa Ilyas Siraj, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000), Cet. Ke-1, h. 20.

134 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dijadikan budak belian, harta kekayaan dirampas dan

wilayah diduduki132

Dalam pada itu, Yesus Kristus dalam agama

Kristen, tidak mendirikan negara, karena ia hanya

pembawa missi, bukan seorang raja dan bukan pula

pemegang pemerintahan, bahkan ia tidak pernah

berusaha untuk mendirikan negara yang dapat

menjamin kelangsungan dakwahnya. Nabi Isa datang

di tengah-tengah kehancuran masyarakat Timur

Yahudi sebagai akibat dari sikap hidup yang sangat

materialistik dan individualistik. Mereka hidup

diwarnai oleh konflik yang merobek hubungan antar

individu dan kerabat. Oleh karena itu, misi Nabi Isa

berorientasi pada pemulihan keseimbangan hidup

yang menjunjung tinggi persaudaraan, toleransi dan

cinta kasih. Apalagi misi Nabi Isa hanya berlangsung

tidak lebih dari tiga tahun, tiga bulan dan tiga hari,133

sehingga tidak punya kesempatan untuk membentuk

sebuah komunitas yang dapat dijadikan kekuatan

untuk melawan dekadensi moral dan tirani, terlebih

untuk mendirikan negara, karena proses pendirian-

nya memerlukan kerja keras dan kondisi lingkungan

yang kondusif, di samping waktu yang lama. Dengan

demikian, negara Kristen tidak pernah berdiri melalui

tangan Yesus sendiri, yang bersama-sama dengan

132 Ibid, h. 20-21. 133 Abi al-Fath Muhammad Abdul Karim Ibn Abi bakr Ahmad al-

Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, Tt.), h. 221.

Kiai, Pesantren dan Politik 135

para pengikutnya, sesungguhnya berjalan menurut

perintah Taurat, yang mereka yakini isi

kandungannya, baik yang menyangkut keagamaan

maupun keduniawian,134 tetapi baru berdiri setelah

masuknya, Konstantin Agung, seorang raja adidaya

kerajaan Romawi, ke dalam agama Kristen dan

menjadikan Kristen sebagai agama resmi kerajaan

pada masa pemerintahannya, maka Kristen bisa

tersebar luas ke berbagai penjuru penjuru dunia.

Andaikata tidak ada dukungan kerajaan ini,

penyebaran agama Kristen tidak akan demikian luas

dan pesat.135

Selanjutnya, Nabi Muhammad saw. tidak

membangun negara dalam waktu sehari semalam. Ia

harus bekerja keras selama 13 tahun di Makkah

sampai berlangsungnya Baiat al-Aqabah kedua,136 yang

134 A. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Missi Islam, Kristen

dan Yahudi Tentang Politik, alih bahasa Ilyas Siraj, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000), Cet. Ke-1, h. 31. 135 Ibid, h. 34. 136 Sebenarnya Bai’at al-Aqabah itu terjadi dua kali. Bai’at al-

Aqabah Pertama terjadi pada tahun kesebelas dari awal kenabian, ketika

itu enam orang dari suku Khazraj, penduduk Yatsrib, datang ke Mekkah

untuk haji, menemui Nabi Muhammad dan menyatakan masuk Islam

dengan memberikan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan

bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kemudian pada tahun kedua

belas dari awal kenabian, dua belas orang laki-laki penduduk Yatsrib

menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka selain mengakui

kerasulan Nabi atau masuk Islam, juga berbai’at atau berjanji kepada

Nabi bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan

mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan berbohong dan tidak akan

mengkhianati Nabi. Sedangkan pada Bai’at al-Aqabah Kedua yang

terjadi pada musim haji berikutnya, sebanyak tujuh puluh tiga penduduk

136 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

menghantarkannya menjadi pemimpin politik bagi

ummat Islam. Setelah hijrah hingga akhir hayatnya,

posisinya menjadi kuat di dalam negara yang

didirikannya, bahkan ia mampu mengintegrasikan

suku-suku yang bercerai-berai dan terpecah-belah

dalam sebuah Negara Islam Madinah.

Adapun dalam buku kedua, Karen Armstrong

menjelaskan bahwa demi Tuhan, agama dan

penyebaran ajarannya diperlukan perang dan

bertempur, sedangkan perang dan bertempur hanya

bisa dijalankan, jika terdapat senjata, persiapan yang

matang dan latihan. Ketiganya hanya mungkin

dilakukan, apabila terbentuk angkatan perang dan

angkatan bersenjata yang kuat, sedangkan angkatan

bersenjata dan angkatan perang yang kuat tidak akan

terbentuk tanpa negara. Oleh karena itu, keberadaan

negara merupakan suatu keharusan dan keniscayaan,

suatu realita yang diperlihatkan oleh pasukan Raja

Ferdinand dan Ratu Isabella, dua penguasa Katholik

yang pernikahannya pada waktu itu mampu

menyatukan dua kerajaan Iberia Kuno, Aragon dan

Yatsrib yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka

mengundang Nabi untuk berhijrah ke Yatsrib dan menyatakan lagi

pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan pemimpin

mereka, bahkan mereka di Aqabah, Mina, mengucapkan bai’at bahwa

mereka tidak akan mempersekutukan Allah dan akan membela Nabi

sebagaimana mereka membela istri dan anak mereka. Sementara Nabi

juga akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan

bersahabat dengan sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Oleh

karena itu, Bai’at al-Aqabah Pertama dan Kedua dapat dipandang

sebagai batu-batu pertama dari bangunan negara Islam.

Kiai, Pesantren dan Politik 137

Castile dan berhasil menaklukkan negara kota

Granada, sehingga dengan penuh haru dan bangga,

para khalayak memandangi panji-panji Kristen

dikibarkan di tembok-tembok kota, sementara kaum

muslimin terusir dari Granada, benteng pertahanan

terakhir di Eropa, bahkan mereka diberikan pilihan

pindah agama atau dideportasi.137

Meskipun terusir dari Eropa Barat, ummat Islam

pada abad XVI M. masih merupakan kekuatan global

terhebat. Ummat Islam saat itu hanya berjumlah

sepertiga penduduk dunia, namun, mereka tersebar

begitu merata di sepanjang Timur Tengah, Asia dan

Afrika, sehingga dinasti Islam yaitu Usmaniyah di

Asia Kecil, Anatolia, Irak, Suriah dan Afrika Utara,

Syafawiyah di Iran dan Mongol di India, dianggap

sebagai mikrokosmos sejarah dunia, sebuah

anggapan yang menandakan bagaimana kaum

muslimin mampu menempati sebagian besar dunia

berperadaban pada masa awal modern dan bertahan,

baik secara politik dan ekonomi.138 Semua itu terjadi

antara lain karena dinasti Islam memperoleh

legitimasi akibat kesetiaannya pada hukum Islam

atau karena para penguasa telah mempertahankan

syariat Islam.

137 Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme

Dalam Islam, Kristen dan Yahudi terjemahan, Satrio Wahono,

Muhammad Helmi dan Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-

3, h. 3-4. 138 Ibid, h. 49-50.

138 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dengan demikian, ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn

merupakan tujuan politik kiai. Tetapi, bila

diperhatikan lebih jauh, sebenarnya ada faktor lain

yang mendorong kiai berpolitik di antaranya ajaran

Islam dan kebijakan pemerintah. Sebagai agama,

Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang

tidak hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai

berbagai segi dari kehidupann manusia. Sumber dari

ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu

ialah al-Qur’an dan Hadis. Harun Nasution menegas-

kan bahwa diperbandingkan dengan jumlah 6360

ayat yang terkandung dalam al-Qur’an, maka ayat

ahkam,139 hanya sedikit, sekitar 368 ayat atau 5,8

persen dari seluruh ayat al-Qur’an. Dari jumlah 368

ini, hanya 228 ayat atau 3½ persen yang merupakan

ayat yang mengurus soal hidup kemasyarakatan

ummat, termasuk di dalamnya negara yang

merupakan lembaga tertinggi yang mengatur urusan

masyarakat.140

139 Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum baik mengenai

ibadat maupun mengenai hidup kemasyarakatan, dan kebanyakan

diturunkan di Madinah. 140 Yusuf al-Qardhawy, Min Fiqhid Daulah Fil Islam, (Cairo:

Durusy Syuruq, 1997), Cet. Ke-1, h. 29, antara lain menjelaskan bahwa

nash Islam tidak datang menegaskan kewajiban mendirikan daulah bagi

Islam, begitu juga sejarah Rasulullah dan para sahabat tidak datang

sebagai penerapan praktis dari seruan nash. Tetapi, tabiat risalah Islam

itu sendiri sudah memastikan keharusan adanya daulah atau wilayah

bagi Islam, agar bisa mengembangkan akidah, syiar, ajaran, akhlak,

keutamaan, dan syariat-syariatnya di sana.Ayat al-Qur’an antara lain

terdapat dalam Surah al-Nisa’/3: 58-59 dan 97-99. Juga dalam hadis

riwayat al-Buchari dinyatakan bahwa “Jika amanah disia-siakan, maka

Kiai, Pesantren dan Politik 139

Dari perincian di atas, sebagaimana al-

Qardhawy, memungkinkan para ahli lainnya men-

terjemahkannya, sehingga melahirkan pemikiran-

pemikiran, yang biasa dijadikan sandaran dan

rujukan para ‘ulamā atau kiai dalam menjalankan

aktifitasnya, misalnya soal keterlibatannya dalam

politik, mereka merujuk pada pendapat al-Mawardi

bahwa konsep politik Islam didasarkan pada adanya

kewajiban mendirikan lembaga kekuasaan, karena ia

dibangun sebagai pengganti kenabian untuk

melindungi agama dan mengatur dunia.141

Membangun lembaga negara merupakan suatu

kewajiban dan jika ternyata telah berdiri lembaga

negara serta memenuhi persyaratan yang berlaku,

dalam arti personil yang memegang kekuasaan

dipandang telah cakap dan mampu melaksanakan

tugasnya, maka kewajiban dipandang telah

mencukupi.142

tunggulah kehancurannya.” Ada yang bertanya, “Bagaimana menyia-

nyiakannya? “Beliau menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada bukan

ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Hadis riwayat Muslim

lebih lanjut juga menjelaskan “Barang siapa mati dan di lehernya tidak

ada baiat, maka dia mati dengan kematian Jahiliyah.” 141 Lihat M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia,

Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1994), h. 25. Lihat pula Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik Dalam

Wacana Civil Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet. Ke-1, h. 25.

Lihat pula Ali Ibn Habib al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah Wa al-

Wilayah al-Diniyah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1960), h. 5. 142 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, Ibid.

Lihat pula Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil

Society, Ibid., h. 26.

140 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Selain kepada al-Mawardi, para ulama atau kiai

juga merujuk pada pendapat al-Ghazzāli, bahwa jika

al-Mawardi menyatakan kewajiban mendirikan

negara karena ijma’ (kesepakatan ulama), maka

menurut al-Ghazzāli, kewajiban mendirikan negara,

bukan karena pertimbangan akal, melainkan karena

pertimbangan syari’ah dengan menggunakan

pendekatan akal, sedangkan dalil syari’ah yang

dikemukakannya merupakan dalil syari’ah yang

qath’i (pasti), yaitu al-Qur’an.143 Jadi, baginya

ketertiban agama tidak mungkin bisa terwujud tanpa

negara/imamah yang ditaati, karena itu bila

ketertiban agama merupakan suatu kemestian, maka

ketertiban negara/imamah merupakan kemestian

pula, dan hal itu tidak mungkin terwujud tanpa

kekuasaan sultan (kekuasaan) yang ditaati.144 Bahkan

143 M. Ali Haidar, Nahdhatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, Ibid,

h. 31. Lihat pula Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik dalam Wacana

Civil Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet. Ke-1, h. 27. Lihat pula

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Iqtisad Fi al-I’tiqad, (Beirut: Dar

al-Kutub al-Islamiyah, 1983), h. 28. 144 Pendapatnya sejalan dengan pendapat al-Mawardi, karena dasar

pertimbangan yang dikemukakan keduanya ialah penegasan al-Qur’an,

surah al-Nisa/4: 58-59, sebagai berikut; Wahai orang-orang yang

beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada Ulul-

Amri di antaramu; yaitu orang yang berkuasa memimpin, baik formal

maupun informal. Ketaatan menjadi soal yang inti dalam system

kekuasaan, karena itu menjadi kewajiban kita untuk taat kepada pihak

yang berkuasa yaitu a’immah yang memerintah kita. Bahkan sebagai

model ketaatan yang bagaimana yang harus dilaksanakan dirujuklah

hadis Nabi, riwayat Muslim Ibn ‘Urwah sebagai berikut; Akan

memerintah kalian sesudahku nanti penguasa (pemerintah) yang baik

dengan kebaikannya, dan yang jahat dengan kejahatannya. Dengarkanlah

mereka dana patuhilah segala apa yang sesuai dengan kebenaran. Jika

Kiai, Pesantren dan Politik 141

ia mengatakan “Dunia adalah ladang akhirat. Agama

tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia.

Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama

merupakan dasar dan sultan merupakan penjaga.

Sesuatu yang tidak memiliki dasar pasti akan binasa

dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan

mudah sirna. Kekuasaan dan penerapan tidak akan

menjadi sempurna kecuali dengan adanya sultan.145

Meskipun argumentasi yang dikemukakan oleh

al-Ghazali mengenai ide dasar imamah dilihat dari

segi logika (mantiq), tetapi dalam uraian selanjutnya,

ia juga melihatnya dari sudut fiqih,146 karena dalam

fiqih pun logika itu digunakan, misalnya dalam

kehidupan keseharian manusia, fiqih tidak bisa

menghindari kemungkinan keragaman pemecahan,

karena masalah-masalah dalam kehidupan manusia

itu terus berkembang bahkan sangat kompleks.147

Dengan logika fiqih dan kaidah-kaidah fiqih –

merupakan hasil dari analisis induktif dengan

mereka berbuat baik, itu adalah untuk kalian dan untuk mereka; jika

mereka berbuat jahat, akibat baiknya untuk kalian, sedangkan akibat

buruknya untuk mereka. 145 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (Cairo:

Musthafa al-Babi al-Halby, 1936), h. 71. 146 Fiqih merupakan pengetahuan praksis (‘amaliyah) hukum

syari’ah yang dihasilkan dari dalil-dalil tafsili, yaitu yang berkaitan

dengan masalah tertentu dan menunjukkan hukum tertentu pula. 147 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam karyanya Ihya

‘Ulumuddin dengan bab-babnya banyak memuat tentang

imamah/lembaga kekuasaan dan memberi beberapa alternatif pemecahan

apabila dalam praktek menghadapi masalah.

142 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

memperhatikan faktor-faktor kesamaan berbagai

macam hukum fiqih lalu disimpulkan menjadi kaidah

umum – pulalah kiai umumnya merujuk dalam

merespon tindakan politik, yang menurut kitab-kitab

klasik (kitab kuning) berjumlah 65 kaidah, dengan

perincian, 5 (lima) kaidah yang bisa dijadikan rujukan

semua pokok persoalan, termasuk politik; 40 (empat

puluh) kaidah yang hampir semua persoalan bisa

dikembalikan padanya; dan 20 (dua puluh) kaidah

yang diperselisihkan di antara para kiyai.148

Dari kaidah-kaidah tersebut yang cukup sering

dijadikan pegangan kiai dalam proses pemaknaan

tindakan politik, di antaranya sebagai berikut:

a) Al-Umūr bi Maqāsidiha (segala persoalan

tergantung maksudnya atau niatnya); b). Al-‘Ādah al-

Muhakkamah (adat kebiasaan bisa ditetapkan sebagai

hukum); c). Dar’u al-Mafāsid Aula Min Jalbi al-

Mashālih (menolak bahaya/sesuatu yang negatif

didahulukan dari mengambil manfaat); d). Tasarruf

al-Imām Manūthun bi al-Maslahah (tindakan kepala

negara harus didasarkan atas kemaslahatan rakyat);

e). Al-Muhāfadhah ‘Ala al-Qadīmi al-Shālih wa al-

Akhdzu bi al-Jadīd al-Ashlah (menjaga hal-hal yang

lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru

yang lebih baik); f). Maqāsid al-Lafdz’ ‘Ala al-Niyah

al-Lafidz (maksud perkataan tergantung yang

148 Lihat Abd. Mudjib, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Nur

Cahaya, 1980), h. 9.

Kiai, Pesantren dan Politik 143

mengartikulasikan); dan g). Yughtafar Fi al-Wasāil

Mala Yughtafar Fi al-Maqāshid (diampuni kekeliruan

dalam hal-hal yang teknis, namun tidak diampuni

kekeliruan dalam hal-hal maksud/niat).149

Ali Haidar lebih lanjut, menambahkan kaidah-

kaidah fiqih melengkapi kaidah-kaidah di atas,

sebagai berikut:

a) Al-Yaqīn Lā Yuzālu Bi al-Syakk (keyakinan

tidak hilang karena keraguan); b). Al-Dlararu Yuzālu,

La Dlarara Wa La Dlirāra (bahaya dihilangkan atau

tidak ada bahaya dan tidak ada yang

membahayakan); c). Al-Masyaqqatu Tajlibu al-Taisīr

(kesulitan dapat memberikan kemudahan); d).Idzā

Ta’āradla Mafsadatāni Ru’iya A’dhamuhuma

Dlararan Bi Irtikābi Akhaffihima (jika terjadi

pertentangan beberapa bahaya dipertimbangkan

bahaya yang paling besar akibatnya dengan

melaksanakan yang paling kecil resikonya); e). Mā Lā

Yatimmu al-Wajib Illa Bihi Fahuwa Wājib (kewajiban

yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu,

maka syarat itupun wajib); dan f). Al-Maisūr la

Yasqutu Bi al-Ma’sūr (kemudahan tidak gugur

karena kesulitan).150

149 Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik dalam Wacana Civil

Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet. Ke-1, h. 29. 150 Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia,

Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1994), h. 9-10.

144 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Kaidah-kaidah tersebut merupakan generalisasi

masalah, baik yang bersumber dari dasar-dasar

hukum syari’ah maupun dari kesamaan-kesamaan

hukum fiqih yang beraneka ragam. Dengan

memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah

fiqih tersebut akan memudahkan memahami hukum

fiqih yang beraneka ragam dan kompleks, sehingga

akan mempermudah pula mengambil keputusan

hukum terhadap problematika yang muncul, baik

yang terkait dengan masalah-masalah kemasyarakat-

an pada umumnya maupun yang terkait dengan

lembaga kekuasaan/imaman pada khususnya.

Khususnya dengan yang terakhir, al-Mawardi

mengemukakan tentang tugas dan fungsi imamah

meliputi 10 (sepuluh) hal, yaitu:

a). Memelihara dan melindungi agama dari

ancaman dan gangguan serta perlakuan tidak adil; b).

Melaksanakan hukum yang adil untuk melindungi

kaum yang lemah; c). Melindungi hak asasi agar

masyarakat merasa aman bekerja dan melaksanakan

tugas kewajiban mereka; d). Menegakkan hukum

untuk melindungi hak-hak Tuhan dan hak-hak

manusia untuk memperoleh keselamatan dan

perlindungan dari ancaman musuh; e). Melindungi

keamanan dan keselamatan negara dari ancaman

musuh (fungsi sebagai panglima angkatan perang); f).

Mengorganisasi penuntutan jihad terhadap siapa saja

yang menentang dakwah Islam sampai akhirnya

Kiai, Pesantren dan Politik 145

menyerah dan tunduk kepada negara. Imam terikat

perjanjian dengan Tuhan untuk menegakkan

supremasi agama ini melebihi agama dan

kepercayaan apapun; g). Memungut pajak dan zakat

yang telah ditetapkan syariat maupun penetapan

lainnya yang dianggap diperlukan untuk

kepentingan negara tanpa rasa takut dan tertekan; h).

Menetapkan anggaran belanja yang diperlukan dari

kas baitul mal (semacam lembaga keuangan yang

berlaku dewasa ini); i).Mengangkat pejabat dan

pembantu yang diperlukan untuk melaksanakan

tugas-tugas administrasi pemerintahan; dan j). Imam

haruslah aktif memimpin sendiri tugas-tugas dan

tanggung jawab pemerintahan untuk melindungi

ummat dan agama, tidak boleh sekedar berfungsi

sebagai simbol (dalam arti tidak bekerja sebagaimana

mestinya) belaka.151

Adapun kebijakan pemerintah yang menjadi

pendorong kiai berpolitik, lebih terkait pada

kebijakan pemerintah kolonial dan pemerintah

Indonesia sendiri. Portugis pada awal kedatangannya

ke Indonesia beranggapan, bahwa semua orang Islam

adalah orang Moor dan musuh yang harus diperangi.

Begitu pula Spanyol yang datang ke berbagai pelosok

dunia, termasuk Indonesia, antara lain juga

151 Ali Ibn Muhammad Habib al-Mawardi, al-Ahkam al-

Suthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1983), h. 14-

15.

146 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

mempunyai kebijakan untuk memerangi Islam dan

berusaha menggantikannya dengan agama Kristen.

Tetapi, penaklukan yang dibarengi dengan aktivitas

misi yang hebat ini justru membangkitkan lawan-

lawannya untuk beraksi dan memacu masuknya

pangeran-pangeran Indonesia untuk memeluk agama

Islam.152

Sebagaimana Portugis dan Spanyol, pada awal

kedatangannya di Indonesia, Belanda dengan VOC

sebagai kendaraannya, memang tidak memiliki

politik Islam, tetapi hanya berusaha mencapai

keuntungan, sebagaimana terlihat pada tahun 1602

M., ketika diwajibkan menyebarkan agama Kristen,

VOC tidak memikirkan cara lain, selain meniru

Portugis dan Spanyol, yaitu cara paksa. Pada tahun

1661 M. ibadah umum agama Islam untuk

melaksanakan haji ke Makkah dilarang oleh VOC.153

Cara paksa semacam ini oleh Kernkamp,

sebagaimana dikutip Aqib Suminto, sebagai

152 B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, II, (The Hague

and Bandung: W. Van Hoeve, 1957), h. 234-246. Lihat pula Harry J.

Benda, The Crescent and The Rising Sun, Indonesian Islam under The

Japanese Occupation 1942-1945, (Den Haag: The Hague, 1958), h. 10.,

lihat pula W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition, A Study of

Social Change, (Bandung: The Hague, 1956), h. 278. 153 Di sini terdapat interaksi antara instruksi resmi dari negeri

Belanda yang mewajibkan Kristenisasi, tujuan mencapai keuntungan

sebanyak-banyaknya dan belum adanya politik Islam yang jelas.

Interaksi ini kemudian terwujud dalam kebijaksanaan VOC tentang

agama. Kepada Kristen mendukung sepenuhnya dan kepada yang lain

justru menghindari dan tidak langsung mencampuri.

Kiai, Pesantren dan Politik 147

energik.154 Bahkan pada tahun 1859 M. pemerintah

Belanda mengeluarkan suatu ordonansi yang

mengatur masalah ibadah haji lebih ketat dari

sebelumnya. Diduga ordonansi ini diilhami oleh

kekhawatiran pemerintah kolonial akan timbulnya

pemberontakan, sebagaimana terjadi di Inggris pada

tahun 1857 M.155 Bogardt, seorang Katholik dan

anggota Parlemen Belanda tahun 1908 M., lebih

lanjut, menyatakan bahwa pemerintah kolonial harus

mengambil tindakan terhadap ibadah haji ke

Mekkah. Para haji secara politis dinilainya berbahaya,

dan karena itu ditegaskannya bahwa melarang

perjalanan ibadah haji lebih baik dari pada kemudian

terpaksa harus menembak mati mereka.156

154 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:

LP3ES, 1985), h. 17. Dalam uraiannya Kernkamp menyatakan bahwa

andaikata yang demikian itu dilaksanakan, maka Belanda tidak harus

takut ke pada Pan Islam maupun jihad. Juga tidak ada kesulitan tentang

haji. Penduduk pun tidak akan terikat dengan ulama Islam, dan masalah

poligami maupun perceraian juga tidak perlu dikhawatirkan. Semua ini

kemudian terjadi, “akibat kurang enerjiknya nenek moyang kita”. Ia

menilai cara paksa seperti tersebut di atas sebagai giat dan gesit. 155 Ibid, h. 28. Dijelaskan pula bahwa pada tahun 1857 M. di India,

terjadi suatu pemberontakan melawan pemerintah kolonial Inggris, yang

terkenal dengan peristiwa Mutiny. Pemberontakan ini berhasil ditumpas,

dan banyak pelakunya ditangkap dan dibunuh. Dalam perdebatan di

Parlemen Belanda pada tahun 1859 M. peristiwa Mutiny ini

dihubungkan dengan para haji dan peranannya. Kemudian pada tahun itu

juga (6 Juli 1859 M.) keluarlah Ordonansi Haji tersebut. Dengan

menaruh perhatian peristiwa di India Inggris, kepala-kepala daerah di

Hindia Belanda diperintahkan untuk mengadakan kewaspadaan

istimewa. 156 Ibid, h. 22.

148 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Selain kebijakan tentang haji, demi “ketertiban

keamanan”, padahal sebenarnya penyebaran agama

Kristen atau Kristenisasi, pada tahun 1867 M.

pemerintah kolonial mengeluarkan instruksi yang

ditujukan kepada kepala daerah dan bupati serta

wedana di seluruh Jawa dan Madura, tentang

pemberian kebebasan dalam masalah agama, tetapi

juga pengawasan secara ketat atasnya, sejauh

menyangkut kepentingan umum. Pada tahun 1882 M.

Lembaga Peradilan Agama diresmikan,157 bahkan

dalam bidang pendidikan, pada tahun 1905 M.

keluarlah Ordonansi Guru yang mewajibkan minta

ijin bagi guru-guru Islam.158 Dengan demikian,

kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap

ummat sampai tahun-tahun terakhir kekuasaannya,

antara lain meliputi:

a) Peradilan agama, sudah diatur sejak tahun

1882 M. b). Pengangkatan Penghulu sebagai

penasehat pada Pengadilan Umum. c). Pengawasan

terhadap Perkawinan dan Perceraian bagi orang

Islam, sejak tahun 1905 M. d). Ordonansi Perakwinan

157 Ibid. h. 29. Dijelaskan juga bahwa disinilah letak perbedaan

antara pemerintah kolonial Belanda dengan Inggris. Meskipun sama-

sama menyatakan netral dalam masalah agama, di India Inggris, para

pemuka agama – Kristen atau bukan – bebas dari campur tangan

pemerintah, kecuali organisasi Bala Keselamatan. Mereka mendapatkan

bantuan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan

kebijaksanaan netral di Hindia Belanda berarti ganda, kebebasan dan

pengawasan ketat. 158 I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Orderwijs in Ned. Indie,

(Batavia: Groningen, 1938), h. 8.

Kiai, Pesantren dan Politik 149

di Jawa Madura tahun 1929 M., diubah tahun 1931 M.

e). Ordonansi Perkawinan untuk luar Jawa, tahun

1932 M. f). Pengawasan terhadap pendidikan Islam

g). Ordonansi Guru 1905 M., diubah 1925 M. h).

Pengawasan terhadap kas Masjid sudah sejak 1829 M.

i). Pengawasan terhadap Ibadah Haji sebagaimana

tersebut di atas.159

Pada tanggal 8 Maret 1942 M. berakhirlah

pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan

dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan

Jepang. Tetapi, selama pendudukannya selama tiga

setengah tahun, sebagaimana Belanda, Jepang juga

menerapkan beberapa kebijakan yang merugikan

bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam, baik di

kota maupun desa yang kebanyakan hidup bermata

pencaharian sebagai petani, di antaranya dengan

memaksa penduduk pulau Jawa, terutama kaum

petani di desa-desa menjadi pekerja paksa atau

“Romusha,”160 dengan menanam komoditas tertentu

seperti kapas,161 memelihara jarak dan lain

159 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:

LP3ES, 1985), h. 30. 160 Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun, Indonesian

Islam under The Japanese Occupation 1942-1945, (Den Haag: The

Hague, 1958), h. 189. 161 Masalah Pokok yang menyangkut kehidupan rakyat di

Indonesia, selain pangan adalah sandang, yang sejak masa sebelum

perang, sangat tergantung pada impor dari negeri belanda. Oleh karena

itu, pada masa pendudukan Jepang, masalah itu diatasi dengan

mengusahakan percobaan penanaman kapas dan usaha lainnya di

berbagai daerah, seperti Cirebon, Malang, Kediri, Besuki, Bekasi,

150 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

sebagainya. Akibatnya, para petani kurang bergairah,

karena gizi kurang dan stamina mundur, suatu

tindakan yang berlawanan dengan gagasan untuk

meningkatkan produksi. Bagi mereka, tindakan

pemerintah mengakibatkan kesengsaraan yang

berlipat ganda. Penyakit akibat kekurangan gizi

merajalela, apalagi timbul berbagai bencana alam.

Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang

lainnya yang memperlihatkan gambaran buruk

adalah bidang pengajaran. Jumlah Sekolah Dasar

yang dibangun menurun dari 21.500 buah menjadi

13.500 buah, Sekolah Lanjutan menurun dari 850

buah menjadi 20 buah, Perguruan tinggi/Fakultas

terdiri dari 4 (empat) buah. Jumlah murid Sekolah

Dasar merosot 30 %, murid Sekolah Menengah

merosot 90 %, guru Sekolah Dasar berkurang 35 %,

guru Sekolah Menengah yang aktif tinggal 5 %.

Angka buta huruf tinggi sekali, meskipun di

beberapa tempat dilakukan usaha pemberantasan

buta huruf.162 Selain itu, untuk menciptakan

“semangat Jepang”, murid juga dipaksa melakukan

kerja bakti seperti mengumpulkan bahan-bahan

untuk perang, menanam bahan makanan,

Palembang, Bali dan Sulawesi. Penanaman kapas itu dimasukkan

sebagai rencana lima tahun dan setelah dua tahun percobaan berjalan,

maka daerah Kediri dan Besuki merupakan pengasil kapas terbaik. 162 Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,

Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), Cet. Ke-

5, h. 51.

Kiai, Pesantren dan Politik 151

membersihkan asrama, memperbaiki jalan-jalan,

latihan jasmani dan kemiliteran, menyanyikan lagu

kebangsaan Jepang “Kimigayo” dan lagu-lagu

lainnya, melakukan penghormatan ke arah istana

Kaisar di Tokyo (Seikeirei), menghormati bendera

Jepang dan melakukan gerak badan-badan (taiso) dan

sebagainya.163 Jadi, sekolah-sekolah dan perguruan-

perguruan menjadi tempat indoktrinasi Jepang, baik

terhadap siswa, bahkan juga terhadap guru, karena

pada yang terakhir juga diberikan pelajaran

pendidikan semangat, bahasa dan adat istiadat

Jepang, nyanyian Jepang, pendidikan tentang dasar-

dasar pertahanan dan lain sebagainya, sehingga

dapat dibentuk kader-kader untuk mempelopori dan

melaksanakan konsepsi “Kemakmuran Bersama Asia

Timur Raya,” sebuah konsep yang sangat tergantung

pada kemenangan dalam ”Perang Asia Timur Raya”.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara

Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,

pemerintah Orde Lama juga sering menerapkan

kebijakan yang menyudutkan ummat, sehingga

masyarakat Islam selama kurun tertentu menjadi

ummat yang terpinggirkan. Ummat Islam, sebagai

mayoritas memperdebatkan mengenai bentuk

negara164 di Majelis Konstituante selama tahun 1956-

163 Ibid, h. 52. 164 Para Kiai yang banyak menyalurkan aspirasinya melalui Partai

NU meskipun lebih lunak dibanding Masyumi dalam menghadapi

152 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

1958 tidak membuahkan hasil,165 bahkan terhenti

dengan dikeluarkannya dekrit kembali kepada UUD

’45 oleh Presiden RI tanggal 5 Juli 1959. Pada tanggal

9 Juli 1959 Presiden menegakkan demokrasi

terpimpin166 dengan Soekarno sebagai Perdana

Soekarno dan kaum nasionalis, tetap tegas mengenai masalah negara.

Mereka menyatakan diri sebagai penganjur negara nasional yang

berdasarkan Islam. Kepala negara harus seorang Indonesia asli dan

muslim, tetapi Menteri yang tidak mempunyai tanggung jawab langsung

mengenai soal rohani, Ketua DPR dan Kepala Daerah tidaklah

disyaratkan harus orang-orang Islam. Pengajaran agama menjadi wajib,

namun agama non Islam juga dapat diajarkan di sekolah. Islam berguna

bagi negara sebagai satu jaminan atas ketertiban dalam masyarakat.

Dasar Ketuhanan menjadi tidak jelas batasannya, tetapi, jika dasarnya

Islam ada jaminan hukum untuk dipraktekkan dengan adil dan benar,

karena ada sanksi yang sangat kuat, yaitu keinsyafan diri sendiri

terhadap apa yang dinamakan dosa besar manakala tidak dilaksanakan

dengan adil dan benar, dosa besar yang akan menuntut kita kelak di

hadapan Tuhan Y.M.E. Lihat Andree Feilland, NU vis-à-vis Negara,

Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa Lesmana, (Yogyakarta:

LKiS, 1999), h. 54-55. 165 Karena perdebatan yang terjadi sangat menegangkan,

disebabkan oleh rasa takut terhadap semakin membesarnya PKI (dan

ateisme yang diduga menungganginya) dan rasa khawatir terhadap

semakin populernya aliran kebatinan Jawa. Para kiyai khawatir bila

orang-orang kebatinan memanfaatkan sila pertama (yang dinilai terlalu

kabur) mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa untuk tetap bertahan hidup

menghadapi upaya-upaya Islamisasi lewat dakwah. Andree Feilland, NU

vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa

Lesmana, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 56. 166 Demokrasi yang kemudian dinamakan Manipol-Usdek (UUD

’45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi

Terpimpin, Kepribadian Indonesia) ini menimbulkan perpecahan di

kalangan para kiai. Kiai Bisri Syansuri dan kiai Ahmad Siddiq di satu

pihak menganggap DPR anti demokrasi. Ikut serta dalam DPR yang

tidak seluruhnya dipilih rakyat bertentangan denga fiqh. Tetapi, kiai

Wahab Hasbullah di pihak lain berpendapat bahwa ummat Islam masih

belum siap melakukan politik konfrontasi menghadapi penguasa dan bila

suatu waktu ingin meninggalkan DPR, ia akan dapat melakukannya.

Kiai, Pesantren dan Politik 153

Menteri. Tetapi, demokrasi ini justru memberi angin

kepada PKI dengan semboyan persatuan Nasakom

(Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu upaya yang

cukup meresahkan para kiai, karena pembagian hasil

panen mengancam kepentingan para kiai yang

memiliki tanah yang luas, termasuk tanah wakaf167

atau yang diserahkan oleh orang lain yang berusaha

menghindari penyitaan, di samping juga merupakan

upaya untuk mengimbangi Angkatan Bersenjata yang

semakin memantapkan kedudukannya menghadapi

PKI.

Dengan demikian, ABRI dan kiai mempunyai

keluhan yang sama, sehingga yang terakhir merasa

perlu bekerjasama dengan ABRI,168 sebagaimana

Jadi, ummat Islam harus ikut dalam DPR untuk membetulkan kesalahan

pemerintah yang akan dibentuk menurut prinsip menganjurkan yang

baik dan melarang yang jelek. 167 Pihak PKI yang melaksanakan Landreform sejak tahun 1964

menyebut para pemilik tanah muslim sebagai “setan desa” atau

“borjuis”, sebagai refleksi dari pertikaian terselubung antara ulama-

ulama pemilik tanah dengan buruh tani. 168 Beberapa kiai menyerukan kepada para aktivis untuk

membantu ABRI mengganyang orang-orang komunis dan memulihkan

ketenteraman. Keputusan yang paling tepat dan paling baik adalah

memberaantas para komunis, “akar-akarnya”, komplotannya,

pembelanya, dan semua yang bertindak bersamanya, baik secara terbuka

maupun tersembunyi. Tetapi, kiai juga sangat sayang kepada Soekarno.

Tidak dapat dibayangkan Indonesia tanpa “Bapak revolusi”. Soekarno

memang telah melakukan kesalahan, mestinya ia dimaafkan, karena

sejak dulu ia adalah orang besar. Menurut ajaran Islam, Allah

mengampuni siapa saja yang mengakui kesalahannya. Jadi kiai berada

dalam posisi dilematis antara rasa permusuhan terhadap PKI dan rasa

sayang terhadap Presiden Soekarno yang tidak mau melarang partai

komunis.

154 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

diperlihatkan di Jawa Timur, sebuah daerah basis kiai

dan juga basis komunis, untuk menghadapi komunis

dan mengimbangi partai-partai yang disusun atas

dasar Nasakom. Puncaknya pada tanggal 30

September 1965 terjadi pemberontakan G 30 S PKI,

yang diikuti dengan penculikan, penyiksaan dan

pembunuhan terhadap enam Jenderal Angkatan

Darat tanggal 1 Oktober 1965. Tetapi, Jenderal

Soeharto, Panglima Kostrad (Komando Strategi

Angkatan Darat), berhasil menggilas gerakan itu,

sehingga terjadilah pelimpahan kekuasaan dari

Soekarno ke Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966.

Sejak saat itu, mulailah awal pemerintahan baru,

yang dikenal dengan Orde Baru.

Pada awal Orde Baru, para kiai melalui partai

yang dibentuknya memainkan peran kunci dalam

peralihan kekuasaan dan dalam pengambilalihan

kekusaan secara konstitusional oleh Jenderal

Soeharto. Jadi, antara ABRI dengan kaum tradionalis

telah terjalin kerjasama dan persekutuan yang

diibaratkan sebagai hubungan antara “saudara

sekandung.” Tetapi, hubungan itu segera berubah,

seiring dengan kritik yang dilontarkan kaum

muslimin dan beberapa pemuda radikal yang

diketuai Subchan, terhadap pemerintah. Kritik juga

dilontarkan terhadap kebijakan pemerintah di bidang

ekonomi, karena tampak mulai mematikan

pengusaha kecil, membuka sedikit pintu bagi

Kiai, Pesantren dan Politik 155

pengusaha Tionghoa dan membuka pintu bagi

bantuan dan penanaman modal asing seperti Jepang,

Amerika Serikat dan lain-lain.169 Akibatnya, para

penguasaha muslim yang kegiatannya masih

tradisional seperti pabrik-pabrik kecil, kerajinan dan

industri tekstil menderita akibat politik ekonomi baru

itu, di samping masuknya modal asing dan ledakan

ekonomi dalam negeri juga menyebabkan pelacuran,

perjudian dan pornografi cepat menjalar dalam

kehidupan perkotaan Indonesia, sehingga menimbul-

kan koflik-konflik sosial.170

Dalam bidang agama, pemerintah menggambar-

kan netralitasnya terhadap lima agama yang diakui.

Golongan agama yang paling besar (Islam) tidak

boleh berlaku sewenang-wenang/menindas golong-

an agama yang kecil begitu pula sebaliknya. Juga

ditegaskan “perlakuan dan jaminan yang sama dari

pemerintah. Tidak ada anak kandung dan tidak ada

pula anak tiri. Tetapi, ketika sebuah majalah sastra,

terbitan bulan Agustus 1968 memuat sebuah cerita

pendek di mana Allah ditampilkan sebagai manusia

biasa, maka terjadilah demonstrasi besar dan

menuntut H.B. Yasin, pemimpin redaksinya dijatuhi

169 Bantuan luar negeri meningkat dari 200 juta dolar Amerika

pada tahun 1967 menjadi 500 juta dolar pada tahun 1969 bahkan sejak

tahun 1976 melampaui dua miliar dolar Amerika, dengan urutan

Amerika lalu Jepang. Lihat Andree feillard, Andree Feillanrd, Andree

Feillard, Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk

dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. Ke-1, h. 114. 170 Ibid., h. 149-150.

156 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

hukuman penjara.171 Bahkan ummat Islam

menyatakan akan mengangkat senjata bila diserang

dan bila kesucian agama dikotori.172 Di bawah Orde

Lama yang paling merasakan kekerasan Soekarno

ialah kaum muslimin sendiri, tetapi di bawah

Soeharto, ummat Islam merasa di bawah tentara

pendudukan di negerinya sendiri, karena subsidi

pemerintah bagi yang menunaikan ibadah haji ke

Mekkah, yang mencapai 1 milyar rupiah pada bulan

Nopember 1968 dihapus.

Selain subsidi, para kiai juga protes terhadap

rancangan undang-undang perkawinan yang dibuat

oleh Pemerintah dan dikuatkan melalui Surat Edaran

Mahkamah Agung bulan Pebruari 1977 mengenai

perzinaan, memperkuat penerapan monogami,

sehingga membuat poligami tidak sah, kecuali

mendapatkan dispensasi pengadilan,173 yang ditandai

171 Pada tahun 1970 H.B. Yasin dijatuhi hukuman penjara selama

satu tahun, bahkan ia juga mengajukan permohonan maaf kepada

masyarakat Islam. 172 Teks lengkap pernyataan “Penjelasan humas Departemen

Agama mengenai Toleransi Agama”, (siaran Pers Departemen Agama

mengenai toleransi kehidupan beragama) diterbitkan dalam DM., 3-1-

1969. 173 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) bulan Pebruari 1977,

berdasarkan pasal 279 dan 284 KUHP. Dalam kasus yang sangat jarang,

hukuman penjara selama 2 hingga 6 bulan dapat dijatuhkan terhadap

orang yang melakukan poligami tanpa ijin pengadilan. Pers

membeberkan cerita tentang seorang pegawai negeri, Abdurrahim

Nasution, usia 41 tahun, yang memenangkan kasus poligaminya di

Lhokseumawe, Aceh, meskipun kariernya menjadi hancur. Lihat Tempo,

19 Januari 1991, h. 75.

Kiai, Pesantren dan Politik 157

dengan usaha kiai Bisri Syansuri yang dikenal tidak

mau kompromi dan penganut penerapan fiqh secara

ketat, untuk mengumpulkan sembilan ulama besar di

Jombang, guna membuat rancangan tandingan yang

disalurkan lewat Partai Persatuan Pembangunan di

Jakarta. Mereka menuntut hal-hal sebagai berikut:

a) Perkawinan bagi orang muslim harus

dilakukan secara keagamaan dan tidak secara sipil.

b). Masa ‘iddah, saat istri mendapatkan nafkah

setelah diceraikan harus diperpendek, tidak satu

tahun, tetapi 3 (tiga) bulan, karena suami berhak

rujuk kembali kepada istri selama ‘iddah itu. c).

Pernikahan setelah kehamilan di luar nikah tidak

diijinkan. d). Pertunangan dilarang, karena dapat

mendorong ke arah perzinahan. e). Anak angkat

tidak memiliki hak sama dengan anak kandung. f).

Penghapusan sebuah pasal dari rancangan undang-

undang yang diajukan yang menyatakan bahwa

perbedaan agama bukan halangan bagi perkawinan.

g). Batas usia yang diperkenankan untuk menikah

ditetapkan 16 tahun,bukan 18 tahun bagi wanita dan

19 tahun, bukan 21 tahun bagi pria. h). Penghapusan

pasal mengenai pembagian rata harta bersama antara

wanita dan pria karena dalam Islam “hasil usaha

masing-masing suami atau istri secara sendiri-sendiri

menjadi milik masing-masing yang mengusahakan-

nya”. i). Menolak larangan perkawinan antara dua

orang yang memiliki hubungan sebagai anak angkat

158 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang-

orang tua angkat, dan j). Menolak larangan me-

langsungkan perkawinan lagi antra suami-istri yang

telah bercerai.174

Rancangan undang-undang itu, kemudian

diajukan ke DPR dan hasilnya bahwa perkawinan

dari agama Islam tidak akan dikurangi atau pun

diubah, dan hal-hal yang bertentangan dengan agama

Islam tidak mungkin disesuaikan dengan undang-

undang ini dihilangkan atau didrop. Selanjutnya,

perkawinan akan dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaan, namun harus

dicatat. Perceraian dan poligami akan diatur oleh

ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya

kesewenang-wenangan.175

Dalam bidang ideologi dan kepartaian, pada

tahun 1971 pemerintah melemparkan gagasan

penyederhanaan partai-partai dengan mengadakan

pengelompokan menjadi satu kelompok golongan

karya dan dua kelompok partai. Kelompok partai-

partai politik Islam seperti NU, Parmusi, PSII dan

174 Andree Feillard, Andree Feillard, Andree Feillard, NU vis-à-vis

Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999),

cet. Ke-1, h. 193-194. Lihat pula K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan

Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), h. 19. 175 Kesepakatan tersebut ditandatangani tanggal 29 Nopember

1973 oleh KH. Masykur dan Nuddin Lubis dari PPP, Domo Pranoto dan

Mansjoer dari Fraksi ABRI (Catatan Sementara Sidang tertutup no. 5

Komisi Kerja Rancangan Undang-Undang Perkawinan, 10 Desember

1973, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia).

Kiai, Pesantren dan Politik 159

Perti kemudian bergabung ke dalam Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), sedangkan partai-partai politik

seperti Katolik, Parkindo, PNI dan IPKI bergabung ke

dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Yang

terakhir mengadakan fusi pada tanggal 10 Januari

1973, sedangkan yang pertama mengadakan fusi

pada tanggal 5 Januari 1973.176

Dengan demikian, aspirasi kiai pesantren tidak

lagi disalurkan melalui Partai NU, tetapi melalui

Partai Persatuan Pembangunan. Berarti mereka

mendapatkan rival baru yang lebih sulit dari pada

Golkar, karena berada dalam satu partai, yaitu

Muslimin Indonesia. Meskipun demikian, kiai

pesantren tetap kritis. Mereka menentang pelembaga-

an penataran P4, karena khawatir P4 dapat

menggantikan agama dan menjadi dasar pedoman

segala kegiatan, meminta aliran kepercayaan tidak

diberi hak yang sama dengan agama-agama resmi

dan meminta para pengikutnya kembali pada

agamanya masing-masing,177 bahkan mereka

mengeluhkan pembatasan terhadap para muballigh.

Oleh karena itu, mereka menganjurkan agar materi

176 Pidato Presiden di depan Sidang Pleno DPR pada tanggal 16

Agustus 1973. Lihat pula Kompas, 12 Januari 1973, h. 1 dan 7. 177 Andree Feillard, Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara,

Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. Ke-1,

h. 200-203.

160 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dakwah tidak menyentuh masalah politik, tetapi

cukup terkait dengan masalah moral saja.178

3. Sikap Politik Kiai Pesantren

Sikap adalah kecenderungan individu untuk

menanggapi situasi, benda, ide, orang dan isu dengan

cara tertentu. Sikap seseorang terhadap sesuatu bisa

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti peng-

alaman, pengetahuan, perasaan, emosi, cara berfikir,

kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai.179

Sedangkan politik terambil dari bahasa Yunani dan

atau Latin politicos atau politicus yang berarti relating

to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang

berarti kota. Dalam bahasa Arab, kata politik

biasanya diterjemahkan dengan kata Siyāsah, terambil

dari kata sasa-yasūsu, yang berarti mengemudi,

mengendalikan, mengatur dan lain sebagainya.180

Sedangkan terminologi politik secara umum berarti

178 Melihat ini semua, maka diadakanlah pertemuan para

ulama/kiyai membahas situasi yang serba baru. Hasilnya, para

ulama/kiyai memutuskan untuk mempergiat usaha-usaha bidang social,

sambil menyesuaikan diri dengan identitas baru organisasi keagamaan.

Sejak itu, ketegangan hubungan dengan penguasa mulai mengendor,

yang ditandai dengan diperbolehkannya memasang papan nama di

sekolah dan kantor. Para ulama/kiayi memang tetap menjadi pengikat

persatuan, tetapi mereka tidak selalu bisa muncul sebagai wasit tunggal

arah politik yang akan diikuti. Lihat Andree Feillard, Ibid, h. 189-190. 179 Lau & James B. Shani, A.B., Behaviour in Organizations: An

Experiential Approach, (Homewood: Richard Irwin Inc, 1992), h. 98. 180 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,

1996), Cet. Ke-1, h. 416.

Kiai, Pesantren dan Politik 161

usaha untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar

atau memperluas serta mempertahankan ke-

kuasaan.181 Politik juga berarti bermacam-macam

kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang

menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari

sistem itu dan melaksanakan tujuan itu,182 bahkan

Joyce Mitchell menyatakan politik adalah peng-

ambilan keputusan kolektif atau pembuatan

kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya,183

atau politik adalah pengambilan keputusan melalui

sarana umum, sedangkan keputusan yang dimaksud

adalah keputusan mengenai tindakan umum atau

nilai-nilai, yaitu mengenai apa yang akan dilakukan

dan siapa mendapat apa,184 atau politik adalah

masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagai-

mana.185

181 Soelistyati Ismail Gani, Pengantar IlmuPolitik, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1991), h. 17. Lihat pula Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, al-

Tarbiyah al-Siyāsiyah ‘Inda Jamā’ah al-Ikhwān al-Muslimīn, fi al-Fatrah

min 1928 ila 1954 fi MIshr, (Mesir: Dār al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-

Islamiyah, 1960), 68. Juga Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2001), Cet. Ke-1, h. 44-46. 182 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta:

Gramedia, 1999), Cet. ke-20, h. 8. 183 Joyce M. Mitchell, William C. Mitchell, Political Analysis and

Public Policy: An Introduction to Political Science, (Chicago, Rand Mc.

Nally, 1969), h. 4-5. 184 Karl W. Deutsch, Politics and Government: How People Dicide

Their Fate, (Boston, Houghton Mifflin Co., 1970), h. 5. 185 Harold D. Laswell, Politics, Who Gets What, When, How, (New

York: World Publishing, 1972), h. 12.

162 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Berangkat dari kedua pengertian itu, di samping

merujuk bahwa ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn

merupakan tujuan politiknya, maka sikap politik kiai

pesantren adalah memperjuangkan tujuan itu,

melalui partai politik. Karena NU sebagai organisasi

keagamaan yang didirikan oleh para kiai pesantren

beranggapan, bahwa Masyumi merupakan satu-

satunya Partai Islam yang dapat menyalurkan

aspirasi dan kepentingan kiai pesantren, maka NU

pun bergabung dengannya. Hal yang sama juga

mereka lakukan pada tahun 1973, ketika pemerintah

menyederhanakan jumlah partai menjadi dua partai

politik dan satu Golkar, maka kiai pesantren

menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP, sebuah

partai Islam, gabungan Partai NU, Perti, PSII dan

Parmusi. Tetapi, ketika Parmusi melalui John Naro,

Presiden PPP, melakukan tindakan yang merugikan

NU dan kepentingan kiai pesantren, maka

berdasarkan Keputusan Muktamar ke 27, tanggal 8-

12 Desember di Situbondo, NU menyatakan keluar

dari PPP186 dan kembali ke Khittah 1926, sebagai

Jam’iyah yang memusatkan perhatiannya pada

186 Mahbub Djunaidi, Ketua Tanfidziyah NU, mewakili KH. As’ad

Syamsul Arifin, menegaskan bahwa dalam Pemilu 1987 nanti warga NU

wajib menyukseskan pesta Demokrasi, tetapi tidak wajib berkampanye

untuk PPP. Sekali lagi NU bukan PPP dan PPP bukan NU, karena

keduanya punya dunia sendiri-sendiri. Keduanya tidak punya ikatan

organisasi. Ini merupakan keputusan Muktamar PPP sendiri dan

Keputusan Muktamar NU. Lihal Kacung Marijan, Quo Vadis NU

Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 160.

Kiai, Pesantren dan Politik 163

kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan

kebudayaan serta bidang sosial dan ekonomi.

Berbeda dengan yang terakhir, maka ketika

dibodohi dan atau dirugikan oleh Masyumi, maka

kiai pesantren justru menjadikan NU sebagai partai

politik, berdampingan dengan partai politik lainnya,

baik partai nasionalis religius seperti Masyumi, PSII,

Perti dan lain sebagainya, maupun partai nasionalis

sekuler seperti PNI, Partai Murba, Parindra, PSI dan

lain sebagainya, atau bahkan Partai Komunis

Indonesia (PKI). Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa sikap politik kiai pesantren saat itu adalah

dengan bergabung kepada Partai Islam Masyumi

atau PPP, karena partai itu dipandang dapat

memperjuangkan aspirasi politiknya. Tetapi, ketika

kedua partai itu dianggap tidak lagi merupakan

wadah yang efektif, maka mereka pun menyatakan

keluar. Pada kasus yang terakhir, NU, sebagai

organisasi yang dibidani pendiriannya oleh para kiai

pesantren menyatakan kembali ke Khittah 1926,

sedangkan pada kasus pertama, kiai pesantren malah

menjadikan NU sebagai kendaraan politiknya.

BAB III

PESANTREN DAN DINAMIKA POLITIK NASIONAL ERA REFORMASI 1998 - 2004

A. Era Reformasi dan Kebijakan Politik Menuju

Demokrasi

Sejak kemerdekaan hingga akhir milenium dua,

di Negara Republik Indonesia terdapat tri orde dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, Orde

166 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Reformasi, Orde Baru dan Orde Lama. Masa Orde

Lama bermula ketika Soekarno diangkat sebagai

presiden kesatu. Tetapi, kegagalan Gerakan 30

September 1965 telah membawa Soekarno dengan

sistem demokrasi terpimpinnya beserta PKI pada

kehancuran politik secara total. Dengan demikian,

Orde Lama1 digantikan oleh Orde Baru, suatu tata

kehidupan baru dan sikap mental baru, yang

bertujuan menciptakan kehidupan sosial, politik,

ekonomi dan kulturil, yang dijiwai oleh moral

Pancasila, khususnya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu, Orde Baru juga merupakan suatu tata

politik dan tata ekonomi yang berlandaskan Pancasila

dan UUD 1945 serta menghendaki suatu tata pikir

yang lebih realistis dan pragmatis, diutamakannya

kepentingan nasional, tata susunan yang lebih stabil

dan lain sebagainya.2 Jenderal Soeharto, sebagai

presiden kedua, dalam pidato kenegaraan, 16

Agustus 1967 menyatakan bahwa tujuan Orde Baru

1 Suatu periode rezim/pemerintahan antara tanggal 5 Juli 1959 - 11

Maret 1966, berpancangkan tonggak sejarah yaitu Dekrit

Presiden/Pangti ABRI Soekarno tentang pembubaran konstituante

pilihan rakyat dan kembali kepada UUD 1945 dan Surat perintah

Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPR Soekarno tanggal 11

Maret 1966 kepada Letjen Soeharto yang terkenal dengan singkatan

“Super Semar”. Tetapi, juga dapat dikatakan bahwa Orde Lama

merupakan periode sejak Soekarno diangkat sebagai Presiden sampai

terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret 1966, meskipun pada awalnya

kabinet Soekarno berbentuk Parlementer, lalu Liberal dan terakhir

Kabinet Ampera. Lihat Ismaun, Pancasila Dasar Falsafah Negara

Republik Indonesia, (Bandung: Carya Remadja, 1972), h. 32. 2 Ibid, h. 27-31.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 167

adalah untuk mempertahankan dan memurnikan

eksistensi dan implementasi Pancasila serta UUD

1945.3 Bahkan, Tap.MPRS No.10/MPRS/1966 lebih

lanjut menegaskan sebagai berikut:

Pembukaan UUD 1945 sebagai penjelasan rinci dari deklarasi kemerdekaan, yang berisi cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara, satu rangkaian dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan karena itu tidak dapat diubah oleh siapa pun, termasuk oleh MPR yang dipilih dalam pemilu berdasarkan pasal 3 dan 37 UUD, karena penghapusan terhadap isi pembukaan berarti penghapusan negara4

Namun demikian, tujuan Orde Baru tersebut

dalam sejarah perkembangannya berjalan tidak

sesuai dengan kenyataan dan harapan, karena setelah

32 tahun berkuasa, mengawal pemerintahan Orde

Baru, Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 akhirnya

meletakkan jabatan dan menyerahkan singgasana

kekuasaannya kepada Wakil Presiden Republik

Indonesia,5 yang juga anak didiknya, Prof. Dr.

3 Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto Tentang

Pancasila, (Jakarta: CSIS, 1976), h. 17. 4 Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar

Negara, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 37. 5 Rumusan Pasal 8, Ayat 1, UUD 1945 yang dimandemen

menyebutkan “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak

dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan

oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Terkait dengan

168 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Bacharuddin Jusuf Habibie, seorang teknokrat,

kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936,

berdarah campuran Jawa-Bugis. Ayahnya wafat

tahun 1950 ketika Habibie berusia 14 tahun, tetapi,

pada tahun itu juga ia mendapatkan pengasuh baru

yang bertugas sebagai komandan militer muda dan

bermarkas di seberang rumahnya di Ujung Pandang,

yakni Soeharto,6 seorang yang kemudian menjadi

orang pertama di Indonesia. Presiden Soeharto

mundur dari gelanggang politik, setelah usai pemilu

1997 atau menjelang berlangsung dan pasca Sidang

Umum MPR 1998, terjadi berbagai aksi demonstrasi

dari kelompok-kelompok masyarakat yang melaku-

kan kritik terbuka, menentang kepemimpinan dan

kebijakan Presiden Soeharto.7 Akibatnya, kredibilitas

peletakan jabatan Soeharto sebagai presiden, ada spekulasi perihal

dugaan penghianatan oleh B.J. Habibie, sehingga Soeharto tidak pernah

membuka pintu bagi Habibie sejak dilantik menjadi presiden. Soeharto

mencurigai Habibie sebagai dalang penolkan 14 (empat belas) menteri

untuk duduk kembali dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang

direncanakannya, suatu dugaan yang tidak pernah diklarifikasi, sehingga

masyarakat tak pernah tahu kebenarannya. Lihat A. Pambudi,

Kontroversi “Kudeta” Prabowo, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007),

h. 44. 6 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:

Serambi, 2005), Cet. ke-1, h. 631. 7 Demonstrasi dan kerusuhan terjadi di mana-mana di Surakarta,

Kupang, Ambon, Sambas, Medan, Banyuwangi dengan ninjanya dan

Jakarta dengan tragedi Trisakti dan Semangginya. Kerusuhan-kerusuhan

itu, di satu pihak memberi kesan sebagai persambungan dari krisis sosial

yang telah bermula sejak tahun 1996, bahkan bisa ditarik ke tahun 1994,

dan di pihak lain, menunjukkan betapa unsur-unsur konflik yang laten

akhirnya meletus menjadi tragedi lokal yang melukai seluruh bangsa dan

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 169

Soeharto dan para elite pengambil kebijakan politik

dan ekonomi bangsa ini semakin merosot di mata

publik, terlebih setelah terjadinya krisis ekonomi

Indonesia yang dimulai pada Juli 1997, di mana

Soeharto tidak lagi mampu menyelesaikannya. Nilai

tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS)

semakin melemah, sementara pada saat yang sama

jumlah penduduk miskin digambarkan semakin

bertambah.8

Kelompok-kelompok masyarakat yang ber-

demonstrasi itu, intinya menuntut agar Soeharto

mundur atau melepaskan jabatannya sebagai

presiden, dan atau para politisi di MPR didesak

untuk tidak lagi memilih Soeharto sebagai Presiden

RI. Tetapi, para anggota MPR justru menunjukkan

wataknya dengan tidak mau mendengarkan aspirasi

masyarakat, sehingga gelombang demontrasi massa

semakin hari semakin banyak, termasuk di dalamnya

para intelektual dari kampus ikut memberikan

dukungan terhadap aksi-aksi masyarakat tersebut.

mengancam integrasi nasional. Lihat Taufik Abdullah, Nasionalisme &

Sejarah, (Bandung: satya Historika, 2001), h. 34. 8 Nilai tukar rupiah berada di bawah Rp 10.000,- per dolar, bahkan

hingga mencapai level Rp 15.000-Rp 17.000,- per dolar. Diperkirakan

113 juta orang Indonesia (56 % dari jumlah penduduk ) berada di bawah

garis kemiskinan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa 40 juta orang

Indonesia tidak mampu membeli makanan dan dalam kondisi rawan

pangan. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Sejarah

Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005), Cet. ke-1, h.

656-657. Lihat pula Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan

Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 186.

170 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Jadi, kekuasaan Soeharto dan Orde Baru saat itu,

telah didera oleh krisis multi dimensi, mulai dari

krisis ekonomi dan moneter, krisis sosial, krisis

kepercayaan sampai krisis politik,9 sehingga Presiden

Soeharto sebagaimana dijelaskan terpaksa melimpah-

kan kekuasaannya pada Wakil Presiden Republik

Indonesia.

Berangkat dari kenyataan tersebut, maka

mundurnya Soeharto sebagai presiden menjadi

pertanda berakhirnya masa kekuasaan Orde Baru dan

sebagai gantinya lahir Era Reformasi yang menjadi

kelahiran Orde Reformasi. Pada masa itu, khususnya

masa antara tahun 1998-2004, telah tampil tiga orang

presiden, yaitu B.J. Habibie sebagai presiden ketiga,

KH. Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat

dan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden

kelima. Sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3,

B.J. Habibie10 telah berhasil memimpin bangsa dan

9 Inflasi ditargetkan mencapai angka 80 % untuk tahun berjalan,

terjadi kekurangan panen beras karena badai El NiH’o, beberapa

prusahan utama (Sempati Air, PT. Astra) tidak beroperasi, hutan tropis

menyusut jumlahnya, kerusuhan terjadi di berbagai daerah, Timor

Timur, Situbondo, (Jawa Timur), Tasikmalaya (Jawa Barat), Ujung

Pandang, Irian Jaya, Kalimantan Barat, Jakarta dan provinsi lain terjadi

kerusuhan sosial dan penculikan. Lihat Taufik Abdullah, Nasionalisme

dan Sejarah, (Bandung: Satya Historika, 2001), h. 161-171. Lihat pula

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi,

2005), Cet. ke-1, h. 465-467 dan 656. 10 Habibie, anak keempat dari sembilan putra putri keluarga Alwi

Abdul Djalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, menikah

dengan dr. Ainun, anak keempat dari delapan bersaudara, keluarga Haji

Muhammad Besari, pada 12 Mei 1962 dan dikaruniai dua putra dan lima

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 171

negara kesatuan selama 512 hari, padahal kalangan

pakar dan pengamat, menganalisis dan meramalkan

bahwa B.J. Habibie hanya akan bertahan 100 jam,

kemudian “diperpanjang” menjadi 100 hari.

Semuanya meleset dan B.J. Habibie bisa bertahan

hingga 17 bulan, bahkan bersama kabinetnya

membidani kelahiran reformasi bagi bangsa ini.11

Oleh karena itu, masanya dikenal sebagai awal Orde

Reformasi, sebuah orde transisi menuju demokrasi

berdasarkan ketentuan UUD 1945 dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Sebagai orde transisi menuju demokrasi, B.J.

Habibie yang menggantikan mentornya sebagai

presiden dan kepala pemerintahan, dalam waktu

cucu. Setelah kuliah selama satu tahun di Institut Teknologi Bandung

(ITB), tahun 1955, ia dikirim oleh ibunya untuk belajar di Rhenisch

Wesfalische Tehnische Hochscule, Aachen Jerman. Setelah belajar di

sana selama lima tahun, ia memperoleh Diplom-Ingenieur dengan

prestasi cum laude dari Fakultas Teknik Mesin Jurusan Desain dan

Konstruksi Pesawat Terbang, kemudian dari Fakultas dan jurusan yang

sama, ia memperoleh gelar Doktor Ingenieur, dengan predikat summa

cum laude. Pada tahun 1974, ia kembali ke Indonesia dan diserahi tugas

sebagai penasehat pemerintah bidang teknologi pesawat terbang dan

teknologi tinggi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden

Republik Indonesia. Tugas ini diembannya sampai tahun 1978 dan

setelah itu, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi

sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),

selama periode Kabinet Pembangunan yang berakhir pada tahun 1998, di

samping menjabat sebagai ketua Dewan Riset Nasional. Pada tanggal 11

Maret 1998, ia diangkat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia

yang ke-7, menggantikan Tri Soetrisno, yang telah berakhir masa

jabatannya. 11 Ketika Teknokrat Memimpin Negara, Republika, (Jakarta), 22

September 2006, h. 24.

172 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

yang relatif singkat itu, telah melakukan berbagai

perubahan. M.C. Ricklefs menyebutkan minimal ada

lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu masa

depan reformasi, masa depan ABRI, masa depan

daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari

Indonesia, masa depan Soeharto, keluarganya,

kekayaannya dan kroni-kroninya, serta masa depan

perekonomian dan kesejahteraan rakyat.12 Mengingat

krisis demikian parah, maka keempat isu terakhir

belum terselesaikan dan jika bisa dilaksanakan salah

satu di antaranya, khususnya terkait dengan Timor

Timur, malah menimbulkan kecaman dan bom waktu

baginya.13 Tetapi, isu pertama, masa depan reformasi,

justru menunjukkan perkembangan yang positif

bahkan capaiannya tergolong luar biasa. Reformasi

diawali dengan proses pembongkaran terhadap

ketamakan negara, antara lain dengan memperkenal-

kan sebuah aura yang menjadikan kepresidenan

suatu jabatan tanpa kesakralan, tetapi sebuah jabatan

yang bisa dijabat oleh siapa saja yang dipercaya

rakyat, menyelenggarakan Sidang Umum MPR dan

Pemilu, membubarkan BP7, menghentikan P4 dan

menandatangani dua undang-undang yang serta

12 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:

Serambi, 2005), Cet. ke-1, h. 655-656. 13 Referendum yang menawarkan kepada penduduk Timor Timur

pilihan antara otonomi dalam Indonesia atau kemerdekaan, berakhir

dengan kemerdekaan Timor Timur. Masalah ini merupakan salah satu

dari sekian noda Habibie, sehingga laporan pertanggungjawabannya

ditolak oleh MPR di samping noda lainnya

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 173

merta menuntut banyak hal dalam hubungan pusat

dan daerah, yaitu Undang-Undang Pertimbangan

Keuangan dan Otonomi Daerah,14 dimana

pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang lebih

besar untuk memutuskan program dan kebijakannya

sendiri.15 Di samping ia juga memberikan kebebasan

kepada pers, dan memperlihatkan sikap yang

demokratis dan tidak bereaksi negatif terhadap kritik

yang disampaikan oleh lawan politiknya.16

R. William Liddle dalam kaitan dengan reformasi

era pemerintahan B.J. Habibie antara lain

menambahkan sebagai berikut:

Selepas jatuhnya rezim Orde Baru, terjadi banyak perubahan yang patut disimak, antara lain liberalisasi politik berlangsung cukup signifikan, pembatasan terhadap kebebasan berbicara, berekspresi, berserikat dan berkumpul serta hak-hak sipil lainnya dicabut. Partai-partai politik dengan beragam ideologi diperbolehkan berdiri. Kebijakan depolitisasi dan pendekatan warisan Orde Baru diakhiri dan digantikan

14 Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Setya

Historika, 2001), Cet. Ke-1, h. 166-167. 15 Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan

Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis 1966-2001,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 187. 16 Salahuddin Wahid, “Menimbang Tiga Calon Presiden” dalam

Soedjono Dirdjosisworo, Aspirasi Dan Sikap Politik Gus Dur Di Tengah

Reformasi Menuju Indonesia Baru, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h.

23.

174 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dengan pluralisme politik yang mengarah pada kompetisi dan representasi demokratis.17

Salahuddin Wahid sebagaimana Liddle

menyatakan bahwa harus diakui cukup banyak

kegagalannya, tetapi keberhasilannya jauh lebih

banyak. Keberhasilan B.J. Habibie antara lain:

Menurunkan inflasi, menurunkan suku bunga, menaikkan nilai tukar rupiah, membebas-kan tapol-napol, memberikan kebebasan kepada pers, memberikan kebebasan berserikat dengan terbentuknya 160-an partai politik, melaksanakan pemilu yang jurdil, mendudukkan hubungan yang tepat antara DPR dengan pemerintah. Semua itu bisa terealisir, karena kecerdasannya, kesediaannya untuk bekerja sampai jauh larut malam, kesehatannya yang bagus, tidak menghindar dari masalah detail, sikapnya dalam berkomunikasi yang terlihat demokratis, bahkan mentolelir teriakan huu… dalam pembukaan Sidang Umum MPR, adalah tambahan nilai plus bagi B.J. Habibie.18

Dengan demikian, keberhasilan yang telah diukir

B.J. Habibie sangat banyak, bahkan akan menjadi

semakin panjang catatan prestasinya, ketika Suharko

17 R. William Liddle, “Indonesia’s Unexpected Failure of

Leadership “ dalam Adam Schwarz & Jonathan Paris (ed.), The Politics

of Post Suharto Indonesia, (New: The Council on Foreign Relation,

1999), h. 21. 18 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-

Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,

2000), h. 66-67.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 175

juga menambahkan dan menguatkan penjelasan di

atas, bahwa pemerintahan B.J. Habibie dalam

menanggapi tuntutan demokratisasi telah mengeluar-

kan beberapa perundang-undangan baru. Dalam

proses politik misalnya, tiga undang-undang baru

diberlakukan, yakni undang-undang tentang pemilu,

tentang partai politik dan tentang struktur lembaga

legislatif. Tiga undang-undang tersebut sekaligus

manjadi jaminan formal bagi kompetisi politik,

partisipasi dalam penyelenggaraan pemilu 7 Juni

1999.19 Ia bahkan telah melakukan upaya untuk

menyempurnakan Undang-Undang No. 3 tahun 1971

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan

membentuk undang-undang tentang penyelenggara-

an negara yang bersih dan bebas KKN.20

Namun, karena hubungannya yang akrab

dengan Soeharto dan Orde Baru, pemerintahannya

justru dinilai belum sungguh-sungguh berdiri tegas

sebagai pemerintahan reformasi, dalam pengertian

merombak total sisa-sisa sistem sosial lama yang

menindas dan represif. Ia masih sibuk dengan politik

basa-basi dan meladeni tarik menarik dalam

19 Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan

Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis 1966-2001,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 186. 20 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”? Jejak

langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma

Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), Cet. Ke-1, h. 125.

176 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

pertikaian kelompok elite.21 Oleh karena itu, timbul

kecemasan, jangan-jangan pemerintahan B.J. Habibie

malah melahirkan rezim Orde Baru lagi dalam

bentuknya yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh

Indonesianis terkemuka, Jeffry Winters, bahwa yang

terjadi di Indonesia adalah “change without change”

(perubahan tanpa perubahan).22

Kecemasan itu, barangkali karena B.J. Habibie

dianggap tidak peka dalam mendengarkan aspirasi

masyarakat dan tidak serius dalam menyelesaikan isu

keempat, terkait masalah KKN mantan Presiden

Soeharto, Andi M. Galib dan Bank Bali, di samping

soal jajak pendapat Timor Timur dan masalah tindak

kekerasan oleh TNI di Aceh, Ambon, Trisakti,

Semanggi I dan II. Salahuddin Wahid antara lain

mengungkapkan masalah-masalah itu, sebagai

berikut:

Bahwa masalah utama yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintahan B.J. Habibie adalah pemberantasan KKN, khususnya terhadap Pak Harto, yang merupakan amanat ketetapan MPR. Masyarakat sebenarnya membaca berita tentang tindakan pemerintah memberantas KKN yang jumlahnya cukup lumayan, berupa pembatalan sejumlah kontrak

21 Ibid., h. 124. 22 Jeffery Winters, “Perubahan Tanpa Perubahan”, dalam Imam

Baehaqi (Peny.), Soeharto Lengser; Perspektif Luar Negeri,

(Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 151-152.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 177

berbau KKN yang masih berjalan untuk bisa menyelamatkan negara dari kerugian. Tetapi, tidak seorang pun yang diadili dan dijatuhi hukuman. Kalau B.J. Habibie terkesan enggan membawa Pak Harto ke pengadilan karena kurang bukti pendukung, maka mungkin dengan berat hati masyarakat bisa menerima. Namun, kasus rekening Andi M. Galib menjadi tanda tanya bagi masyarakat tentang ketidakseriusan pemerintah memberantas KKN, padahal berdasarkan jajak pendapat masalah itu sangat penting. Selain itu, kasus Bank Bali, meskipun secara hukum tidak terlibat, tetap menambah citra buruk padanya. Dalam kasus Pak Harto dan Bank Bali, B.J. Habibie cenderung melakukan pendekatan aspek hukum dari pada aspek politis, padahal masalahnya lebih bersifat politis yang mengandung aspek hukum. Selain itu, soal jajak pendapat Timor Timur, B.J. Habibie dianggap keras kepala karena terlalu berani melaksanakan gagasannya, tetapi soal tindak kekerasan oleh TNI, B.J. Habibie dianggap tidak mempunyai kepekaan politik.23

Uraian terakhir ini minimal menunjukkan

kelemahan seorang Habibie sebagai kepala

pemerintahan. Sebaliknya, pada uraian sebelumnya

memperlihatkan betapa Habibie tampil sebagai

seorang demokrat dan mampu menyelenggarakan

23 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-

Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia satu,

2000), Cet. Ke-1, h. 68.

178 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

“Pesta Demokrasi”, pemilihan umum secara lang-

sung, jujur, adil, bebas dan rahasia.24 Tujuannya,

adalah untuk mengakhiri pemerintahan transisional

yang dianggap tidak memiliki legitimasi, sekaligus

membentuk pemerintahan baru yang kredibel dan

mempunyai basis legitimasi yang kokoh.

Pemilu diselenggarakan pada bulan Juni 1999.

Tetapi, menjelang pelaksanaannya, peta politik

nasional terbelah menjadi dua kutub yang bertolak

belakang, kubu reformis dan kubu status quo.25 Kubu

yang disebut terakhir ini oleh komponen non-negara

dilekatkan pada Partai Golkar, sedangkan kubu yang

pertama ditempati oleh partai-partai Islam, yang

bersepakat menghadang dan menyingkirkan Partai

Golkar dari panggung politik nasional pasca

Soeharto. Untuk itu, muncullah dua pernyataan

bersama yang bertujuan mengamankan dan

menyelamatkan agenda reformasi dari ancaman kubu

status quo (Partai Golkar) yang dinilai masih

24 Pemilu 1999 itu diikuti oleh 48 partai dari 158 partai yang

dinyatakan lolos seleksi dan layak menjadi kontestan oleh Tim 11

melalui surat Keputusan Mendagri selaku Ketua Lembaga Pemilihan

Umum (LPU) No. 3 tahun 1999. Sedangkan untuk penyelenggaraan

pemilu, pemerintah membentu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang

kemudian ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.

77/M/1999, yang diketuai oleh Rudini. Jadi, peserta pemilu jauh lebih

besar dibandingkan dengan peserta pemilu pertama era Demokrasi

Parlementer dan pemilu-pemilu pada masa Orde Baru. Lihat Pax

Benedanto (et.al), Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau Rebutan

Kursi?, (Jakarta: LSPP, 1999), 29. 25 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta:

LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 289.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 179

mempunyai kekuatan politik yang besar dan sangat

berhasrat kembali ke arena pergulatan politik

nasional yang baru.26 Komunike I dipandang paling

ideal, karena melibatkan dan memadukan tiga

kekuatan politik penting dengan latar belakang

berbeda PKB (Islam Tradisionalis), PAN (Islam

Modernis) dan PDIP (Nasionalis). Mereka ber-

komitmen terhadap reformasi dan mempunyai basis

sosial yang tak perlu diragukan lagi. Komunike II

dibentuk oleh PAN, PPP dan PK. Komunike terakhir

ini dinilai kurang ideal, karena unsur-unsurnya

hanya berasal dari satu kelompok Islam, sehingga

sangat rentan terhadap penetrasi Partai Golkar, lewat

tokoh-tokohnya yang memang dekat dengan para

pemimpin Islam yang tergabung dalam Komunike II.

Ketika pelaksanaan pemilu, 7 Juni 1999, ternyata

tidak ada satu partai yang meraih suara mayoritas.

PDIP berada pada peringkat pertama dengan

memperoleh suara 30,8%, disusul Golkar dengan

memperoleh suara 24,0%, PKB memperoleh suara

11,8%, PPP memperoleh suara 10,2%, PAN

memperoleh suara 7,0%, PBB memperoleh suara

2,6%, PK memperoleh suara 1,2%, Partai Keadilan

dan Persatuan memperoleh suara 1,2% dan partai-

partai lainnya memperoleh suara kurang dari 1,0%.27

26 Ibid, h. 290. 27 Pax Benedanto, (et.al), Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau

Rebutan Kursi? (Jakarta: LSPP, 1999), h. 37 dan 88-89. Lihat pula

180 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dengan demikian, tidak ada partai yang bisa

mengusung calonnya untuk menjadi presiden, karena

tidak ada satu partai pun yang memperoleh suara

mayoritas tunggal (single majority), sebagaimana

pemilu-pemilu zaman Orde Baru. Oleh karena itu, isu

politik utama pasca pemilu yang kemudian mampu

menggeser pola pengelompokan politik sebelum

pemilu yang berbentuk pro-reformasi melawan status

quo menjadi Islam versus nasionalis adalah masalah

pengisian jabatan presiden keempat Republik

Indonesia, dengan cara memenangkan pertarungan

politik pada Sidang Umum MPR. Kekuatan

nasionalis memancar lewat PDIP dan partai-partai

lain yang sealiran dengannya, sedangkan kekuatan

Islam menyusun kaukus politik dari partai-partai

Islam melalui Poros Tengah (central axis).28

Dalam kaitan dengan berdirinya Poros Tengah,

Amien Rais sebagai tokoh politik Islam memberikan

komentar, dengan mengatakan bahwa “Kalau Poros

Tengah bisa dibentuk dengan bagus, kemudian bisa

menawarkan resep-resep pemecahan masalah bangsa

Mulyana W. Kusuma, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1999”,

dalam Juri Andiantoro F., Transisi Demokrasi; Evaluasi, Kritis

Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 127-136. 28 Ide awal Poros Tengah berasal dari Bambang Sudibyo (eks

Menteri Keuangan era Presiden Abdurrahman Wahid), sebagaimana

diakuinya sendiri dalam wawancaranya dengan Kompas, lihat Kompas,

16 Januari 2000). Tetapi, versi lain menyebutkan bahwa ide Poros

Tengah telah dimunculkan oleh Faisal Basir dan Husni Thamrin. Bahkan

versi lainnya menyebutkan bahwa ide itu muncul dari Amien Rais

sendiri.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 181

dengan paket sharing kekuasaan, sekaligus program-

program yang jelas, akan menjadi kekuatan yang bisa

melampaui dan mengakhiri konflik tajam antara dua

kubu, bahkan dua kubu yang sekarang bertikai akan

terbuka matanya, bahwa ada kekuatan lain yang

lebih besar dari mereka. Kami tidak mau didikte

bahwa seolah-olah hanya harus memilih Mega atau

Habibie.29

Manuver yang ditunjukkan melalui Poros

Tengah, menambah suhu politik semakin panas.

Kubu Megawati melalui kekuatan massa dari PDIP

menggertak dengan cap jempol darah, sebagai wujud

dukungan fanatisme kepada Megawati agar terpilih

sebagai presiden, karena perolehan suaranya

menempati urutan pertama, sementara basis pen-

dukung Habibie dari Partai Golkar yang tetap

menjagokan Habibie sebagai presiden, melalui

dukungan fanatis dari rakyat Makassar yang

mengancam akan menyatakan merdeka bila Habibie

tidak terpilih sebagai presiden.30

Bachtiar Effendy terkait munculnya “politik

kekuatan” sehubungan dengan kemunculan Habibie

29 Amien Rais, “Saya Sudah bulat Mencalonkan Gus Dur”, dalam

Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah?

Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan

Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), cet. Ke-1, h. 353. 30 Bahrul ‘Ulum,“Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”? Jejak

langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma

Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, Cet. Ke-1, h. 159.

182 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dan Megawati sebagai front runners, antara lain

menjelaskan dua hal pokok yang harus dicermati.

Pertama, ini berkaitan dengan modal sosial politik

yang dimiliki keduanya. Kedua, baik Habibie maupun

Megawati belum memperoleh dukungan terbuka dari

kekuatan politik lain. Bahkan pencalonan Habibie

sesekali masih dipersoalkan oleh sebagian fungsio-

naris Partai Golkar. Jadi, dalam konteks hasil pemilu

ini menandakan bahwa politik kepresidenan masih

merupakan every body’s game.31

Dengan demikian, realitas politik sangat me-

negangkan. Pencalonan Habibie masih dipersoalkan

oleh sebagian fungsionaris Partai Golkar, begitu juga

Megawati belum didukung secara terbuka oleh

kekuatan politik lain. Bahkan pencalonannya

cenderung dipersoalkan oleh kiai di Jawa Timur

dengan mengatakan tidak setuju presiden wanita

karena alasan yang didasarkan pada penafsiran

fiqih.32 Oleh karena itu, para elite pro-reformasi

31 Bahtiar Effendy, “Gus Dur dan Poros Tengah”, dalam Abd.

Rohim Ghazali, Gus Dur Dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah,

(Bandung: Mizan, 1999), h. 59-60. 32 Penolakan sebagian pers kepadanya, karena Habibie digambarkan

sebagai tokoh yang akan membawa Indonesia menuju kehancuran, jika

ia terpilih lagi, karena pers terlalu membesarkan kegagalannya dan

mengecilkan keberhasilannya. Jadi, pers tidak dapat melihatnya secara

proporsional. sedangkan penolakan kepada Megawati, karena kalangan

Islam menganggapnya sebagai ancaman “perjuangan Islam”.

Indikasinya, tingginya jumlah caleg non muslim PDI-P dan dominasi

kalangan non Islam (Theo Syafei, Kwik Kian Gie, Sabam Sirait dan

lain-lain) dalam menentukan kebijaksanaan PDI-P, diantaranya menolak

masuknya syariat Islam (secara terbatas dan melalui proses demokratis)

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 183

dengan kendaraan Poros Tengahnya, melihat peluang

emas untuk melibatkan diri dalam kompetisi

memperebutkan kursi presiden bersama dua capres

yang dinilai bermasalah, dengan mengajukan nama

Gus Dur sebagai capres alternatif. Mulanya Gus Dur

belum menjawab tawaran itu, tetapi akhirnya

menyatakan sangat antusias menanggapi pencalonan

dirinya sebagai presiden oleh Amien Rais. Ia yakin

bahwa dukungan Amien kepadanya sangat tulus,

begitu juga percaya, bahwa selain didukung

kelompok “Poros Tengah”, anggota MPR dari Partai

Kebangkitan Bangsa juga akan mendukungnya. Oleh

karena itu, ia menyatakan siap bertarung dengan

Habibie atau Megawati dalam memperebutkan kursi

presiden mendatang.33 Katanya, ia tidak mengejar-

ke dalam undang-undang seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,

dan menolak masuknya pendidikan agama dalam sekolah umum di

dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, adanya sikap PDI-P

yang tidak ingin melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dan

keengganannya untuk mengurangi fungsi sosial politik ABRI. Lihat

Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-Catatan

Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet.

Ke-1, h. 54 dan 80. 33 Soedjono Dirdjosisworo, Aspirasi Dan Sikap Politik Gus Dur Di

Tengah Reformasi Menuju Indonesia Baru, (Bandung: Mandar Maju,

1999), h. 27. Setidaknya ide Fraksi reformasi yang mengedepankan Gus

Dur untuk bersaing dan siap cukup realistis, karena selain Gus Dur

paling baik komunikasi politiknya dengan dua rivalnya, juga jumlah

kursi partai-partai dalam fraksi reformasi di DPR sekitar 169. Jumlah

kursi PDI-P ditambah jumlah kursi dari partai nasionalis lain (PKP, PNI

Fron Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai IPKI dan PBTI) dan partai

Kristen (PDKB) juga sekitar 169. Perhitungan ini mengabaikan

kemungkinan tak bergabungnya PDI Budi Hardjono dan TNI dengan

PDI-P. Sementara Partai Golkar yang kemungkinan didukung TNI, PDI

184 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

ngejar jabatan itu, tetapi tidak menolak ketika

ditawari, sebagaimana hadis yang dikutip oleh KH.

Abdullah Faqih, kiai asal Langitan, Tuban, Jawa

Timur yang selalu menjadi rujukannya, bahwa

seseorang dilarang mengejar jabatan. Tetapi, jika

amanah itu datang, maka jabatan itu harus dipikul.34

Kesediaan dan kesiapan Gus Dur untuk me-

nerima pencalonan oleh Amien Rais sebagai presiden,

setelah sedikitnya ada tiga kali pertemuan yang

dilakukan antara tokoh-tokoh Poros Tengah dengan

kiai NU, masing-masing di Pesantren Langitan

JawaTimur, di rumah Abdurrahman Wahid sendiri

dan di Buntet Jawa Barat.35 Bahkan KH. Yusuf

Hasyim, pamannya sekaligus pengasuh Pondok

Pesantren Tebuireng, juga ikut meyakinkannya agar

dan PDR akan memperoleh suara di bawah jumlah dua kubu ini. Jadi,

yang akan bersaing ketat adalah kubu Fraksi Reformasi dan kubu Fraksi

PDI-P. Kemungkinan yang akan menang adalah Gus Dur, karena di

antara anggota MPR dari Partai Golkar dan PDI-P ada orang-orang NU

yang jumlahnya signifikan yang bisa memberikan suaranya untuk Gus

Dur, terutama jika voting dilakukan secara tertutup. Lihat Saiful Mujani,

“Fraksi reformasi”, dalam Ahmad Basyaib dan Hamid Abidin (ed.),

Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu

’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h.

324-325. Lihat pula Salahuddin Wahid, Membaca Peluang “Poros

Tengah” dalam Ahmad Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa

Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99

Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 333-

335. 34 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-

Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,

2000), Cet. Ke-1, h. 60. 35 Muhammad Najib, Ijtihad Poros Tengah dan Dinamika Partai

Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 49.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 185

bersedia menerima pencalonan itu. Kesediaanya itu

pertama kali ia sampaikan dalam acara yang digelar

oleh BM PAN di Hotel Arya Duta. Kemudian,

diulanginya dengan bahasa yang lebih lugas ketika

memberi sambutan pada acara tasyakuran di

rumahnya di Ciganjur dengan ungkapan “Pencalon-

an Mega saja saya dukung, apalagi pencalonan diri

saya sendiri.36

Berangkat dari penerimaan Gus Dur atas

tawaran itu, maka persoalan lain yang perlu

diperjuangkan adalah masalah mekanisme pemilihan

presiden. Elite Poros Tengah, sebagaimana politisi

Partai Golkar, memandang bahwa pemilihan

Presiden Indonesia harus mengacu pada Pasal 6 UUD

1945, yaitu jika Megawati dari PDI-P yang me-

menangi pemilu 1999 ingin memimpin pemerintahan,

paling tidak ia harus memperoleh suara 50 persen

plus satu di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

36 Ibid, h. 42-44. Dalam sejarah hubungan NU dan Muhammadiyah,

belum pernah ada dukungan yang begitu besar dari “Muhammadiyah”

kepada “Nahdlatul Ulama” atau sebaliknya. Oleh karena itu, keberanian

Amien Rais, ketua umum PAN dan ketua Pimpinan Pusat

Muhammadiyah untuk menjagokan Abdurrahman Wahid menjadi calon

presiden merupakan catatan penting dalam sejarah politik Islam di

Indonesia. Implikasi positifnya adalah digelarnya acara “pengajian

bersama” yang diselenggarakan di Kantor PP Muhammadiyah, tanggal

26 September 1999. Pada kesempatan itu, Amien Rais menegaskan

kembali dukungannya kepada Abdurrahman Wahid sebagai calon

presiden dari Poros Tengah. Lihat Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” atau

“NU Dibodohi”?, Jejak langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah

Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, Cet. Ke-

1, h.161-162.

186 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Sebaliknya, kaum nasionalis meyakini bahwa capres

mereka telah berhak memimpin pemerintahan setelah

pemilu, karena berdasar pada logika demokrasi yang

paling mendasar, bahwa kekuasaan diberikan kepada

partai pemenang pemilu.37 Oleh karena itu, ketika

memasuki Sidang Umum MPR, yang dimulai tanggal

1 Oktober 1999, lobi-lobi antar partai semakin intensif

mewarnai sidang itu, sehingga pada rapat paripurna

pertama melalui voting, Poros Tengah berhasil

mengalahkan PDI-P dan PKB dalam masalah jumlah

dan jenis fraksi MPR serta komposisi MPR.38

Selanjutnya, dalam rapat paripurna kedua untuk

menetapkan komposisi pimpinan MPR yang

dilakukan melalui voting, koalisi PDI-P dan PKB lagi-

lagi harus menderita kekalahan.39 Poros Tengah yang

menjagokan Amien Rais, memperoleh 305 suara,

sedangkan Matori Abdul Djalil dari kubu PDI-P dan

PKB, memperoleh 279 suara.40 Menurut Amien Rais,

keberhasilannya untuk naik menjadi ketua MPR tidak

lepas dari restu Abdurrahman Wahid, yang diakui

sebagai “Saudara Tua”.41 Terpilihnya Amien Rais

37 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta:

LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 291-292. 38 Muhammad Najib, Ijtihad Politik Poros Tengah dan Dinamika

Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 49. 39 Ibid, h. 54. 40 Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, (Jakarta: Parenial Press,

1999), h. 107. 41 Dalam pidato setelah terpilih sebagai ketua MPR, Amien Rais

mengatakan, “Khusus saya mengucapkan terima kasih yang tulus dan

ikhlas kepada saudara tua saya, my senior brother, yaitu KH.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 187

juga mendapatkan dukungan dari Rais ‘Am PBNU,

KH. M. Ilyas Ruhyat, dengan menyatakan “Terpilih-

nya Amien Rais menunjukkan bahwa demokrasi

mulai terwujud”. Oleh karena itu, ia mengharapkan

berbagai kalangan agar mendukung langkah-langkah

Amien Rais berikutnya.42

Dalam pada itu, pada pemilihan ketua DPR,

muncul nama Akbar Tanjung dan melalui voting, ia

terpilih sebagai ketua DPR dengan memperoleh 411

suara dari 491 suara pemilih.43 Besarnya peluang

Akbar Tanjung untuk terpilih menjadi ketua DPR,

sebagaimana disampaikan oleh AM. Fatwa dari PAN

dan Hamzah Haz dari PPP, juga tidak terlepas dari

dukungan Poros Tengah.44 Dengan demikian, PDI-P

setelah mengalami kekalahan tiga kali melalui voting

di MPR, khususnya dalam memperebutkan kursi

ketua MPR, membuktikan bahwa koalisi beberapa

partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah

plus Partai Golkar sangat solid dan efektif.45 Bahkan

Abdurrahman Wahid”. Amien mengakui,”Sesungguhnya, mula-mula

menurut rekayasa manusia dan keinginan kami sebagai manusia yang

duduk di sini bukan Amien Rais, tapi KH. Abdurrahman Wahid. Tetapi

ternyata beliau yang selalu kontak dengan isyarat langit mengatakan,

“Mas Amien, insya Allah anda saja yang sekarang ke sana (Ketua

MPR), mudah-mudahan menjadi kenyataan. Lihat Kompas (Jakarta), 5

Oktober 1999, h. 1. 42 Muhammad Nadjib, Ijtihad Politik Poros Tengah dan Dinamika

Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 57. 43 Ibid, h. 61. 44 Ibid, h. 57. 45 Lobi-lobi politik selama berlangsungnya Sidang Umum MPR

1999, khususnya antara kekuatan politik Islam plus Partai Golkar dapat

188 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

tampilnya Amien Rais sebagai Ketua MPR, semakin

melapangkan jalan bagi Abdurrahman Wahid untuk

menjadi presiden.

Sebaliknya, kekalahan demi kekalahan yang

dialami oleh PDI-P dan PKB, menyebabkan partai

terakhir goyah untuk meneruskan aliansinya dengan

partai pertama. Dalam posisi yang dilematis, PKB

akhirnya berpaling kepada KH. Abdurrahman

Wahid,46 yang berarti dukungan terhadap Poros

Tengah juga semakin kuat, sehingga menimbulkan

kekhawatiran dan ancaman bagi kubu PDI-P. Oleh

karena itu, untuk menghadang laju KH.

Abdurrahman Wahid, beredar informasi tentang

penetapan syarat kesehatan jasmani bagi calon

presiden, suatu realitas yang mendorong Poros

Tengah segera memiliki calon alternatif. Pilihan yang

muncul jatuh kepada Nurcholis Madjid, yang

meskipun tidak dicalonkan oleh salah satu fraksi di

MPR,47 tetapi, dimungkinkan oleh tata tertib dengan

terjalin dengan baik berkat adanya jaringan yang bertumpu pada basis-

basis organisasi di luar institusi kepartaian. Koneksi antaralumni HMI,

PMII, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memegang peranan

penting. Lihat Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto,

(Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 292. 46 Dukungan PKB secara resmi disampaikan dalam jumpa pers di

ruang Komisi III, gedung MPR. Hadir dalam jumpa pers itu, ketua PKB

Alwi Shihab dan Khofifah Indar Parawansa, Sekjen PKB, Muhaimin

Iskandar, ketua Fraksi PKB MPR, Yusuf Muhammad dan Ali Masykur

Musa. Lihat Kompas (Jakarta), 9 Oktober 1999, h. 3. 47 Muhammad Nadjib, Ijtihad Politik Poros Tengan dan Dinamika

Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 66.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 189

cara mendapatkan dukungan minimal 70 orang

anggota MPR. Namun, wacana ini tidak sempat

menguat, menyusul pernyataan Nurcholis Madjid,

bahwa ia baru akan maju, jika Abdurrahman Wahid

memintanya.

Ketika membacakan laporan pertanggung-

jawabannya sebagai presiden selama 512 hari dan

kemudian ditolak oleh MPR melalui pemungutan

suara, dengan perbandingan 355 suara menolak dan

322 suara menerima, 9 suara abstain dan 4 suara tidak

sah,48 Habibie secara ksatria dan sportif menarik diri

dari pencalonannya sebagai presiden.49 Dengan

demikian, pengunduran dirinya secara otomatis

melapangkan jalan bagi kubu PDI-P dan Poros

Tengah untuk memperebutkan kursi presiden.

Menjelang sidang paripurna MPR dengan

agenda pemilihan presiden, secara tiba-tiba Fraksi

Bulan Bintang, memunculkan Yusril Ihza Mahendra

sebagai calon presiden. Inisiatif itu dilakukan oleh

PBB untuk mengantisipasi jika KH. Abdurrahman

Wahid mengundurkan diri dan memberikan jalan

kepada Megawati untuk menjadi calon tunggal

48 Arief Mudatsir Mandan, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih

Gus Dur Menjadi Presiden, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000), h.

151-152. 49 Setelah jelas hasil voting itu, di kediamannya Habibie

menyempatkan diri untuk sujud syukur, dan menyatakan sebaik-baik

rencana manusia, masih lebih baik lagi rencana Tuhan. Lihat Suharsono,

Cemerlangnya Poros Tengah, (Jakarta: Parenial Press, 1999), h. 82.

190 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

presiden. Namun, untungnya sebelum proses

pemilihan presiden berlangsung, Yusril mengundur-

kan diri dan menyatakan dukungan kepada KH.

Abdurrahman Wahid. Dengan demikian, hanya ada

dua calon presiden. Megawati Soekarnoputri dan KH.

Abdurrahman Wahid. Pemilihan dilaksanakan pada

20 Oktober 1999, melalui voting tertutup dan dalam

penghitungan suara yang berlangsung dalam suasana

tegang, terjadi saling kejar, tetapi, akhirnya KH.

Abdurrahman memperoleh 373 suara, Megawati

Soekarnoputri 313 suara, 9 suara abstain dan 4 suara

dinyatakan tidak sah.50 Dengan demikian, KH.

Abdurrahman Wahid, yang lahir pada tanggal 4

Sya’ban/7 September 1940 di Denanyar, Jombang,

Jawa Timur terpilih sebagai presiden keempat

menggantikan Prof. Dr. Bacharuddin Yusuf Habibie.

Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ibunya,

Solichah,51 yang pernah menjadi salah satu pimpinan

50 Arief Mudatsir Mandan, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih

Gus Dur Menjadi Presiden, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000), h.

158-159. 51 Ia dalam usia 14 tahun menikah dengan kiai Wahid Hasyim yang

berusia dua puluh enam tahun. Tetapi, pada usia 38 tahun, Kiai Wahid

Hasyim wafat dalam suatu kecelakaan mobil yang terjadi antara Cimahi

dan Bandung. Dengan begitu, Solichah yang berusia 29 tahun

mengambil alih fungsi suaminya sebagai ibu dan kepala keluarga dari

keenam orang anaknya yang masih kecil dan Gus Dur saat itu baru

berusia 12 tahun. Berkat ketekunan dan keuletannya dalam berusaha

serta berkat belaian tangan dan kasihnya, keenam putra putrinya

akhirnya tumbuh dewasa bahkan putra pertamanya, KH. Abdurrahman

Wahid (Gus Dur) melalui voting tertutup di MPR pada tanggal 20

Oktober tahun 1999 terpilih dan diambil sumpahnya, sebagai orang

nomor satu, sebagai Presiden Keempat Negara Republik Indonesia.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 191

puncak PP Muslimat NU selama puluhan tahun

adalah putri Kiai Bisri Syansuri, pendiri pesantren

Denanyar, Jombang52 dan pernah menjadi Rais ‘Am

NU tahun 1972-1980, masa Orde Baru, era

pemerintahan Presiden Soeharto. Sedangkan ayah-

nya, kiai A. Wahid Hasyim yang pernah menjadi

Menteri Agama pada era pemerintahan Soekarno,

sebagaimana kakeknya Kiai Hasyim Asy’ari adalah

orang yang sangat dihormati oleh masyarakat

menengah kota, karena kedekatannya dengan

gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan

revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir

Perang Dunia II. Oleh karena itu, kedua orang ini

secara resmi dikenang sebagai pahlawan nasional.53

52 Ada empat pesantren yang terbesar dari puluhan pesantren yang

bertebaran di Jombang dan menorehkan peran penting dalam sejarah

NU. Lokasinya seolah membentengi pusat Kota Jombang. Sebelah utara

Pesantren Tambak Beras (Bahrul Ulum), sebelah selatan Pesantren

Tebuireng, sebelah timur Pesantren Rejoso (Darul Ulum) dan sebelah

barat Pesantren Denanyar (Mambaul Ma’arif). Selain itu, selama lebih

dari setengah abad, NU dipimpin oleh tokoh asal pesantren-pesantren

Jombang tersebut. KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng) menjadi Rais Akbar

NU sejak berdiri tahun 1926 sampai meninggal tahun 1947. Diteruskan

oleh KH. Wahab Hasbullah (Tambak Beras), saudara mindo (sepupu dua

kali) KH. Hasyim Asy’ari, sebagai Rais ‘Am Syuriah tahun 1947-1972

dan disambung oleh KH. Bisri Syansuri (Denanyar), adik ipar KH.

Wahab Hasbullah dan besan KH. Hasyim Asy’ari, tahun 1972-1980.

Empat tahun setelah itu, KH. Abdurrahman Wahid (cucu KH. Hasyim

Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri) menjadi Ketua Umum Tanfidziyah

PBNU tahun 1984-1999. Jadi, baru tujuh tahun terakhir, posisi tertinggi

Syuriah dan Tanfidziyah tidak diduduki oleh orang Jombang. 53 Dari garis ayahnya, ia keturunan ulama terkenal. Kakeknya Kiai

Hasyim Asy’ari (lahir pada bulan Pebruari 1871 di Jombang dan

meninggal pada bulan Juli 1947 di Jombang) adalah salah seorang

pendiri dan Rais ‘Am sejak organisasi kemasyarakatan Nahdlatul

192 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Nama mereka sebagaimana juga nama pahlawan-

pahlawan nasional lainnya, diabadikan sebagai

nama-nama jalan di Jakarta Pusat.

Kemenangan Poros Tengah melalui KH.

Abdurrahman Wahid disambut oleh para pen-

dukungnya di dalam gedung MPR dengan Shalawat

Badar, lagu “kebangsaan NU”, dan dengan

mengangkat tangan Megawati Soekarnoputri, KH.

Abdurrahman Wahid berteriak “merdeka”. Ia me-

nyampaikan terima kasih kepadanya dan me-

nyerukan agar Megawati Soekarnoputri serta para

pendukungnya dilindungi.54 Sebaliknya, para pen-

dukung PDI-P justru bereaksi marah dengan

melakukan demonstrasi-demonstrasi emosional di

Ulama (NU) didirikan pada tahun 1926 sampai 1947, pendiri Pondok

Pesantren Tebuireng yang sangat terkenal, seorang guru yang banyak

memberi inspirasi sekaligus sebagai seorang terpelajar dan seorang

nasionalis yang teguh dalam pendirian, sehingga Pemerintah Republik

Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 294

tanggal 17 Nopember 1964, mengangkatnya sebagai Pahlawan

Pergerakan Nasional. Bahkan bila ditarik ke atas lagi, keturunan

kakeknya akan sampai pada Brawijaya V, raja terakhir yang berkuasa

pada Kerajaan Majapahit abad XV. Jadi, KH. Abdurrahman Wahid

adalah seorang ulama keturunan darah biru. Lihat H. Aboe Bakar Atjeh,

Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta

Panitia Buku Peringatan al-Marhūm KH.A. Wahid Hasyim, 1957), h.

958. Heru Soekardi, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Pusat Penelitian

Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah

Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979/1980), 121.

Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta:

Erlangga, 2004), h. 6 dan 47. Greg Barton, Biografi Gus Dur,

(Yogyakarta: LKiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 25-27. 54Arief Mudatsir Mandan, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih Gus

Dur Menjadi Presiden, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000), h. 159.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 193

beberapa kota, tetapi kemudian mereda setelah

Megawati Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden

mendampingi Presiden KH. Abdurrahman Wahid.55

Pesta demokrasi yang berlangsung sejak awal

pelaksanaan pemilu dan berakhir dengan terpilihnya

KH. Abdurrahman Wahid melalui voting tertutup di

Gedung MPR/DPR dinilai oleh sejumlah lembaga

pemantau pemilu independen sudah jauh lebih baik

dan memenuhi syarat-syarat sebagai “free and fair

election”, dibanding dengan pemilu-pemilu masa

Orde Baru. Namun, tidak dapat dipungkiri masih

banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran baik

sebelum maupun sesudah pemilu berlangsung.56

Blair King, pelaksana program National Democratic

Institute (NDI), lembaga pendorong demokrasi yang

bermarkas di Wasingthon D.C., mengatakan

“Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu yang

serba baru, baik sistem dan peserta pemilu maupun

penyelenggaranya, dan secara relatif cukup baik

dibandingkan dengan penyelenggaraan pemilu

55 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 670. 56 Dalam pemantauan KIPP ada lima pelanggaran yang paling

menonjol dalam pemilu kali ini, yaitu Tempat Pemungutan Suara (TPS)

tidak netral (misalnya di gedung pemerintah) sebanyak 13.785 kasus

(13,62 %), peralatan TPS tidak lengkap sebanyak 13.696 kasus (13,53

%), pembukaan TPS tidak tepat waktu 10.719 kasus (10,59 %), kotak

suara tidak kosong 8.310 kasus (8,21 %) dan pemilih ganda 8.282 kasus

(8,18 %). Lihat Pax Benedanto (et.al), Pemilihan Umum 1999,

Demokrasi atau Rebutan Kursi?, (Jakarta: LSPP, 1999), h. 32.

194 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

transisional di negara lain, misalnya di Thailand”.57

Bahkan pada pelaksanaan pemilu tahun 2004,58

demokrasi telah mengakar dengan cara mengesan-

kan. Di mana-mana dan di lokakarya berkembang

perbincangan yang sangat menghangatkan, sehingga

pantaslah bila karena prestasinya itu, kemudian

Indonesia menerima ‘Menerima Medali Demokrasi.’59

57 Pax Benedanto, (et. al), Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau

Rebutan Kursi?, (Jakarta: LSPP, 1999), h. 30. 58 Pemilu tahun 2004 didasarkan pada Undang-Undang Pemilu No.

12 tahun 2003 yang menampilkan perubahan dibandingkan aturan

sebelumnya. Undang-Undang itu menyatakan bahwa pemilu 2004 akan

memilih anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan

empat anggota Dewan Perwakilan Daerah dari masing-masing propinsi

melalui sistem pemilu yang disebut dengan sistem proporsional dengan

daftar calon terbuka. Oleh karena itu, sesuai jadwal, pada bulan April

2004 diselenggarakan pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat

Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tingkat Propinsi dan pada

tingkat Kota atau Kabupaten dan instansi baru Dewan Perwakilan

Daerah di Pusat. Pada bulan Juli 2004 diselenggarakan pemilihan

presiden (pilpres) putaran pertama dan pada bulan September 2004

diselenggarakan pemilihan presiden (pilpres) putaran kedua. Pada

pilpres putaran pertama terdapat lima pasangan calon presiden dan wakil

presiden, yaitu Jendral (purn.) Wiranto dari Partai Golkar dengan

Salahuddin Wahid dari NU, Megawati Soekarnoputri dari PDIP dengan

Hasyim Muzadi dari NU, Amien Rais dari PAN dengan Siswono Yudo

Husodo yang dulu dari Golkar, Susilo Bambang Yudoyono dari Partai

Demokrat dengan Yusuf Kalla dari Partai Golkar dan NU, dan Hamzah

Haz dari PPP dengan Agum Gumelar dari TNI. Sedangkan pada pilpres

putaran kedua terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden,

yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat dengan Yusuf

Kalla dari Partai Golkar dan NU serta Megawati Soekarnoputri dari

PDIP dengan Hasyim Muzadi dari NU. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah

Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005),

Cet. Ke-1, h. 679-683. Lihat pula Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik

Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 309. 59 RI Terima Medali Demokrasi, Republika, (Jakarta), 13 Nopember

2007, h. 1.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 195

Azyumardi Azra menandaskan bahwa sejauh ini

belum ada model ideal demokrasi di negara muslim.

Yang sering disebut adalah Turki. Tetapi, negara ini

menganut demokrasi sekuler yang cenderung

bermusuhan dengan agama. Sebaliknya “Demokrasi

Indonesia” tidak bermusuhan terhadap agama; tetapi

pada saat yang sama, Indonesia bukanlah negara

agama. Oleh karena itu, kasus Indonesia bisa menjadi

model alternatif bagi kompatibilitas Islam dan

demokrasi.60 Islam di Indonesia, demikian Robert W.

Hefner, (antropolog Boston University) berkata,

punya modal sosial yang bisa menyumbang

demokratisasi.61 Oleh karena itu, tepat jika Jimmy

Carter, mantan Pesiden Amerika Serikat, kemudian

lanjut mencatat bahwa:

“Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Mayoritas penduduk ketiga negara itu berasal dari agama yang berbeda. India dengan penduduk 1,069 milyar, 81 % beragama Hindu (865 jutaan), Amerika berpenduduk 290 juta, 56 % beragama Protestan (162 jutaan) dan Indonesia berpenduduk 220 juta, 88 % beragama Islam (193 jutaan). Jadi fakta ini meneguhkan tesis bahwa demokrasi bisa diserap masyarakat dengan berbagai latar belakang agama. Tergantung

60 Harmonisasi Islam dan Demokrasi, Gatra Edisi Khusus, (Jakarta),

27 Nopember 2004, h. 12. 61 Ibid, h. 13.

196 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

bagaimana si pemeluk agama memaknai doktrin agamanya dalam merespon demokrasi.”62

Terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid sebagai

presiden keempat pada negara berpenduduk

mayoritas muslim dan memiliki legitimasi yang

kuat,63 merupakan babak baru dalam sejarah

perpolitikan di Indonesia. Keberadaan dan posisinya

sebagai orang nomor satu, telah mengangkat citra

kelompok Islam santri yang selama ini diletakkan

pada posisi marjinal dan membuktikan bahwa

kelompok santri dapat tampil sejajar dengan

kelompok nasionalis.64 Selama 21 bulan

62 Ibid, h. 12. Lihat pula Azyumardi Azra, “Islam dan Politik Luar

Negeri”, Republika, (Jakarta), 7 Desember 2006, h. 12. 63 Legitimasi itu ditandai oleh sedikitnya empat faktor. Pertama,

secara materiil, pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid merupakan hasil

pemilu 1999, yang cukup demokratis. Kedua, legitimasi

pemerintahannya diperoleh dari dimensi-dimensi simbolisnya sebagai

politisi yang memiliki kharisma luar biasa di massa pendukungnya.

Ketiga, secara psikopolitik, pemerintahannya sebagai pemerintahan

baru, bersentuhan dengan ekspektasi publik yang tengah meluap-luap

dan menginginkan perubahan. Ia seorang tokoh yang dipandang belum

tercemar oleh noda Orde Baru. Keempat, pemerintahannya menjanjikan

perbaikan mendasar terhadap kondisi materiil masyarakat yang diterpa

kemiskinan akibat krisis moneter. Lihat Anas Urbaningrum, “Legitimasi

Gus Dur”, Panji Masyarakat, IV, 02 (April, 2000), h. 27. 64 Selama Orde Baru, pada masa kekuasaan Soeharto warga NU

(simbol komunitas kaum santri) termarjinalkan. Tetapi dengan tampilnya

Gus Dur sebagai presiden jelas telah menaikkan popularitas dan citra

NU dalam kontelasi perpolitikan nasional. Oleh karena itu, pantas jika

warga NU di berbagai daerah di seluruh Indonesia, kemudian

mengekspresikan kegembiraannya dengan berbagai hajatan dan

tasyakkuran. Bahkan sebuah perusahaan bus antar kota di Jawa Timur

membebaskan para penumpangnya sehari penuh naik bus tersebut tanpa

bayar dari dan ke berbagai jurusan, baik bus antar kota di wilayah Jawa

Timur maupun antarprovinsi. Lihat Halaqah, P3M, Edisi XI/2000, h. 5.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 197

pemerintahannya, ia telah mencatat berbagai

keberhasilan. Pertama, melakukan reposisi terhadap

peran sosial-politik TNI. Kedua, menumbuhkan

kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia. Ketiga,

melanjutkan diberikannya kebebasan pers, bahkan

akhirnya sampai kebablasan. Keempat, adalah

demokratisasi dan penegakan hak-hak sipil.65 M.C.

Ricklefs lebih lanjut menambahkan, bahwa pada

masanya, polisi dipisahkan dari militer, sehingga

ABRI tidak lagi menjadi entitas tunggal, bahkan

pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi pada

masa Soeharto dikejar dengan semangat lebih

tinggi.66

65 Keberhasilan lainnya, bahwa pemerintah telah membuat tiga

pedoman dalam proses penentuan dan pemilihan Dirut Pertamina

sebagai model penentuan dan pemilihan dirut BUMN lainnya. Tiga

pedoman itu adalah sang calon harus mempunyai konsep mengenai

pengembangan Pertamina ke depan, harus bersikap transparan dan harus

jujur dan hidup sederhanan. Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut

Sejarah, Catatan-Catatan pendek Salahuddin Wahid, (Jakrta: Pustaka

Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 223 dan 255. 66 Kekuatan militer secara internal terpecah-belah dan beberapa

perwira diselidiki atas tuduhan pelanggaran HAM dan korupsi. Soeharto

berusaha menghindar introgasi dengan alasan sakit, tetapi penyelidik

mulai mendapatkan gambaran yang jelas tentang dana milyaran yang

dipegang oleh yayasan yang diketuai Soeharto, proses desentralisasi

yang termasuk di dalamnya penyerahan sumberdaya ekonomi dan politik

mulai dijalankan, tetapi peluang korupsi dan penyimpangan bertambah

luas. Jadi tantangan yang paling mendasar bagi bangsa ini adalah

memulihkan ekonomi, memperbaiki kondisi sosial masyarakat dan

memulihkan kembali negara hukum dengan merombak hampir seluruh

sistem hukum. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-

2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 673.

198 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Namun demikian, pemerintahan KH.

Abdurrahman Wahid banyak pula kegagalannya,

sehingga ia dinilai tidak mampu mengemban tugas

sebagai presiden. Pemerintahannya tidak berjalan

baik dan tidak berbuat banyak dalam menangani

masalah sosial dan ekonomi, yang ditandai dengan

semakin meluasnya kesulitan ekonomi dan terus

berlanjutnya kerusuhan antaretnis.67 Bahkan kinerja

pemerintahan yang buruk itu menjadi semakin

buruk, ketika pemerintah seringkali membuat

kebijakan yang bertentangan dan melanggar Undang-

Undang, Tap MPR dan GBHN serta mengeluarkan

pernyataan yang kontroversial.68

67 Di Maluku terjadi pembunuhan antara umat Islam dan Kristen,

lebih kurang seribu orang tewas sepanjang tahun 1999. Di Jakarta,

sekitar 300.000 orang berdemonstrasi menanggapi peristiwa itu dengan

menuntut adanya jihad terhadap umat Kristen, sehingga muncul

organisasi Laskar Jihad tahun 2000. Di Lombok, umat Kristen diserang

dan harus dievakuasi, bahkan di Yogyakarta terjadi kerusuhan anti

Kristen secara kecil-kecilan. Di Aceh terjadi kekerasan antara kaum

separatis dan aparat keamanan bahkan konflik bersenjata pun terus

berkobar. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,

(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 671-672. 68 Pernyataan KH. Abdurrahman Wahid yang dinilai kontroversial

dan melanggar Undang-Undang dan lain sebagainya itu, misalnya bahwa

pemicu dari kerusuhan di Maluku, karena tindakan menganakemaskan

ummat Islam oleh pemda, keputusannya untuk menaikkan gaji Presiden

dan/atau Wakil Presiden, menteri dan para pejabat tinggi lainnya dalam

jumlah yang fantastis dan menaikkan tunjangan pejabat struktural

sampai ribuan persen, keputusan perimbangan keuangan antara

pemerintah daerah 75 persen dan pemerintah pusat 25 persen,

keinginannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel,

pemberhentian beberapa menteri (Yusuf Kalla dari Menteri

Perindustrian dan Perdagangan, Laksamana Sukardi dari Menteri Negara

Pembinaan BUMN dan Hamzah Haz dari Menko Kesra) karena alasan

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 199

Kebijakan yang dipandang melanggar Undang-

Undang, Tap MPR dan GBHN serta pernyataan yang

kontroversial ini, kemudian dijadikan alasan DPR

untuk mempertimbangkan kembali mandat yang

sudah diberikan oleh MPR kepadanya, pada Sidang

Tahunan, Agustus 2000, bahkan realitas itu

diperparah lagi oleh adanya dugaan penyelewengan

dana Yanatera Bulog dan dugaan penyalahgunaan

dana hibah dari Sultan Brunei darussalam yang

melibatkan Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Greg

Barton dalam kaitannya dengan skandal ini men-

jelaskan, bahwa pemecatan Laksamana Sukardi,

empat juta dolar yang diambil dari Bulog oleh

Suwondo (yang kemudian dikenal dengan skandal

Buloggate), dan kemudian pemberian dua juta dolar

dari Sultan Brunei (juga dijuluki Bruneigate)

sangatlah merusak reputasi Gus Dur.69 Bahkan

KKN secara tiba-tiba, pengusulan pencabutan Tap MPR XXV/1966

tentang larangan ajaran komunisme, memerintahkan penangguhan

hukum tiga konglomerat, menghentikan Kapolri Rusdihardjo dan

mengangkat Kapolri tanpa persetujuan DPR dan lain sebagainya

dianggap telah melanggar TAP MPR. Lihat Media Indonesia, 22

Nopember 2000. 69 Diketahui dana Yanatera Bulog ini selain melibatkan Suwondo

(seorang keturunan Cina yang dikenal sebagai tukang pijet Gus Dur),

juga melibatkan orang dekat Gus Dur lainnya yaitu Siti Farikha

(pengusaha dari Semarang), Aris Junaidi (pengurus GP Ansor) dan Haji

Masnuh, bahkan melibatkan Wakil Kepala Bulog, Ir. Sapuan, yang

berperan mencairkan dana itu. Pada akhirnya sebagian dana itu

dikembalikan kepada negara, dan hanya Suwondo yang diproses secara

hokum. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS,

2003), Cet. Ke-1, h. 401-402. Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan

Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 214.

200 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

menurut Bahtiar Effendy, perkembangan kedua

kasus terakhir itu membuat kepemimpinan KH.

Abdurrahman Wahid tidak efektif, yang disebabkan

oleh merosotnya tingkat kepercayaan sebagian besar

anggota parlemen dan masyarakat terhadap presiden.

Implikasinya, kemungkinan lepasnya kursi ke-

presidenan.70 Buktinya, Ketua DPR, Akbar Tandjung,

berpendapat bahwa kedua kasus itu dapat menjadi

pintu masuk untuk menggiring KH. Abdurrahman

Wahid ke Sidang Istimewa (SI) MPR.71 Sebaliknya,

Salahuddin Wahid berpendapat bahwa soal Pansus

Bruneigate dan Buloggate hanyalah upaya mencari-

cari kesalahan KH. Abdurrahman Wahid, sementara,

banyak kasus yang lebih besar seperti kasus BLBI

(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang jumlahnya

sampai trilyunan rupiah tidak mereka perdulikan.72

Terlepas dari polemik itu, DPR akhirnya

membentuk panitia khusus (pansus) untuk

menyelidiki dua kasus skandal itu, dan hasilnya

kemudian disidangkan secara paripurna di DPR RI

pada akhir Januari 2001, yang kemudian menghasil-

70 Bahtiar Effendy, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya

Hubungan NU, Presiden, dan Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), Cet.

Ke-1, h. 85. 71 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” atau “NU Dibodohi”?, Jejak

langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma

Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), Cet. Ke-1, h.195. 72 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-

Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,

2000), Cet. Ke-1, h. 256-257.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 201

kan Memorandum I, yang isinya adalah meminta

penjelasan dari KH. Abdurrahman Wahid tentang

dugaan penyalahgunaan dana non budgetter Bulog

dan hibah dari Sultan Brunei.73 Sebagai respon atas

permintaan itu, maka KH. Abdurrahman Wahid

memberikan penjelasannya di hadapan Sidang

Paripurna DPR pada tanggal 30 April 2001. Kecuali

para anggota Fraksi PKB dan Fraksi PDKB, para

anggota fraksi partai lainnya secara umum tidak

merasa puas, sehingga DPR mengeluarkan

Memorandum II, yang intinya semakin luas, karena

bukan hanya meminta pertanggungjawaban KH.

Abdurrahman Wahid atas dana non budgeter Bulog

dan hibah Sultan Brunei, melainkan juga menjangkau

soal kinerja Presiden.

Sebagai tanggapan terhadap perkembangan yang

semakin “tidak sehat” itu, massa populis pendukung

fanatik KH. Abdurrahman Wahid menjadi sangat

emosional dan marah. Mereka berdemonstrasi,

berunjuk rasa damai, berdo’a bersama (istighatsah)74

73 Dalam kaitan ini, Gus Dur juga dituduh tetap melanggengkan

praktek KKN yang antara lain ditunjukkan oleh keterlibatan adik

kandungnya Hasyim Wahid. Semua itu dianggap oleh Gus Dur sebagai

upaya menjelek-jelekkan pemerintahan dan dirinya. Oleh karena itu,

timbullah reaksi berupa demonstrasi dan “pendudukan” massa

pendukung Gus Dur yang tergabung dalam Banser NU. Laode Ida, NU

Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004),

h. 214. 74 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” atau “NU Dibodohi”?, Jejak

langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma

Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, Cet. Ke-1, h.197.

202 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dan bahkan melakukan pengrusakan terhadap

gedung Partai Golkar dan fasilitas Muhammadiyah di

Jawa Timur, suatu realita yang oleh para elite NU di

Jakarta dan Jawa Timur disikapi dengan menyatakan

bahwa mereka tidak bisa lagi mengendalikan

tindakan emosional pendukung Gus Dur.75

Sebaliknya, DPR tidak bergeming, diam seribu

bahasa dan menyatakan tetap tidak merasa puas

dengan jawaban KH. Abdurrahman Wahid, sehingga

melalui rapat paripurna pada akhir Mei 2001

menetapkan untuk melangsungkan Sidang Istimewa

(SI) MPR pada awal Agustus 2001, tetapi kemudian

dipercepat beberapa hari, yakni tanggal 21-26 Juli

2001.76 Pada Sidang Istimewa MPR antara tanggal

tersebut, KH. Abdurrahman Wahid melalui Tap MPR

No. III/MPR/2001, diberhentikan dari jabatannya

75 Ibid., h. 199. 76 Skenario awalnya, bahwa MPR bakal mengelar sidang tahunan

pada 1-10 Nopember 2001 untuk menghindari penilaian bahwa MPR,

sebagai lembaga tertinggi, hanya bersidang sekali dalam lima tahun,

sesuatu yang telah berjalan selama tiga dasawarsa. Seperti pengalaman

sidang tahunan Agustus 2000, pertemuan itu akan diwarnai oleh

berbagai laporan perkembangan (progress report) lembaga-lembaga

tinggi negara serta aneka putusan dan ketetapan penting MPR. Namun,

karena soal-soal teknis yang berguna bagi penyelesaian krisis menjadi

berantakan gara-gara tindakan-tindakan yang mengganggu kohesi

nasional, baik pada tingkat individu, atau daerah, maka Sidang Tahunan

dipercepat dari jadwal yang sudah diagendakan, bahkan substansinya

juga diubah menjadi Sidang Istimewa. Lihat Bahtiar Effendy, Gus Dur

dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan

Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), Cet. Ke-1, h. 83.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 203

dan mengangkat Megawati Soekarnoputri77 menjadi

Presiden menggantikannya. Selanjutnya, melalui

voting tertutup Hamzah Haz memperoleh suara

terbanyak, sehingga MPR menetapkannya sebagai

Wakil Presiden78 mendampingi Megawati

Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia.

77 Di samping persoalan yang melilit Presiden, sebenarnya antara

Gus Dur dengan Megawati sebagai Wakil Presiden ada ketidakcocokan

dan mencapai puncaknya ketika Laksamana Sukardi diberhentikan dari

jabatannya sebagai Menteri Negara BUMN. Oleh karena itu,

mengusulkan Megawati untuk mundur sambil meniru langkah Hatta

adalah hal yang bersifat “jauh panggang dari api.” Menurut Bahtiar

Effendy ada perbedaan antara Megawati dengan Gus Dur yang tidak bisa

disamakan dengan perbedaan yang ada pada Soekarno dan Hatta.

Pertama, Hatta mundur lebih disebabkan oleh perbedaan mengenai arah

mana Indonesia ketika itu hendak ditujukan. Konflik yang ada pada

Megawati dan Abdurrahman Wahid dipicu oleh persoalan yang bersifat

politis, dengan mengganti sejumlah menteri dengan alasan yang tidak

jelas. Kedua, baik Megawati maupun Abdurrahman Wahid sebenarnya

lebih merupakan pemimpin yang bersifat “pencipta solidaritas”.

Karenanya, jika muncul konflik di antara keduanya, sulit diharapakan

salah satu di antara mereka akan mengalah, apalagi mundur. Ketiga,

tidak seperti Hatta, Megawati adalah seorang pimpinan partai politik

besar. Meskipun berkedudukan sebagai Wakil Presiden, ia adalah Ketua

Umum PDIP. Dengan posisi seperti itu, ia harus memainkan peran

ganda, yang seringkali tidak sinkron. Sebagai Wakil Presiden, bisa saja

ia mengalah atas kebijakan yang digariskan Presiden. Tetapi ketika

kebijakan itu dirasa keluar dari mandat yang diberikan oleh MPR,

Megawati akan memainkan posisi Ketua Umum PDIP melalui orang-

orangnya di parlemen. Dari perspektif inilah, Megawati menyatakan

bahwa memorandum merupakan hal yang konstitusional, dan SI adalah

sesuatu yang tak terelakkan harus dipahami.Lihat Bahtiar Effendy, Gus

Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya Hubungan NU, Presiden dan

Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), cet. Ke1, h. 87-89. 78 Pasal 8, Ayat 2, UUD 1945 yang diamandemen tertera rumusan

bahwa dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-

lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan

Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari

204 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Sebagai presiden kelima, Megawati melanjutkan

sisa waktu pemerintahan yang ditinggalkan oleh

presiden sebelumnya dan ia masih bisa berlaga dan

mencalonkan kembali sebagai presiden pada pemilu

berikutnya tahun 2004.79 Selama pemerintahannya,

Megawati harus menghadapi tantangan yang berat

sekali, mulai dari KKN, terorisme, desentralisasi dan

otonomi daerah. KKN (Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme) merupakan semacam ‘pajak’ tidak resmi

atau pungutan liar (pungli) yang menghambat

pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga banyak

orang menilai bahwa pada masanya KKN malah

lebih buruk dibandingkan dengan di era Soeharto.80

Terorisme juga sangat mengganggu harapan

banyak orang. Baru beberapa bulan menjadi

Presiden, Megawati dikejutkan oleh serangan bom

dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Dalam hal ini terdapat tiga

calon Wakil Presiden yang mengemuka dan menjadi pembicaraan, yaitu

Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusril Ihza Mahendra mewakili daerah

dan Hamzah Haz mewakili partai. Tetapi dalam pemilihan yang

dilakukan lewat voting tertutup, Hamzah Haz terpilih menjadi Wakil

Presiden. Bisa jadi, terpilihnya Hamzah dari PPP dan atau unsur NU

sebagai kompromi, dan akomodasi bagi warga NU setelah

diberhentikannya KH. Abdurrahman Wahid dari kedudukannya sebagai

Presiden. Lihat Bahtiar Effendy, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal,

Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara, (Jakarta: Ushul Press,

2005), Cet. Ke1, h. 83. 79 Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 yang dimandemen terdapat

rumusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama

lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang

sama, hanya untuk satu kali dalam masa jabatan. 80 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 675.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 205

pesawat al-Qaedah di New York dan Washington,

tanggal 11 September 2001 yang menewaskan 3000

orang. Di Indonesia, kelompok yang bersimpati

dengan al-Qaedah dipimpin oleh bekas mujahidin

yang berpengalaman di Afghanistan turun ke jalan.

Mereka mencela dan mengecam rencana Amerika

dan sekutu-sekutunya untuk menyerang Afghanistan

yang saat itu masih diperintah oleh kelompok

Taliban. Bahkan di Indonesia sendiri sudah meng-

alami banyak kasus pengeboman sejak tahun 1970-

an,81 dan berdasarkan investigasi diduga pelakunya

81 Sejak tahun 1998 serangan pengeboman meningkat, misalnya 11

Desember 1998 bom di Plaza Atrium, Senen, Jakarta; 2 Januari 1999 di

Toserba Ramayana, Jakarta; 9 Pebruari 1999 di Plaza Hayam Wuruk,

Jakarta; 19 April 1999 di Masjid Istiqlal, Jakarta; 28 April dan 9 Mei

2000 di Gereja Kristen Protestan Indonesia dan Gereja Katholik, Medan;

Agustus 2000 di Kedutaan Besar Philipina, Jakarta; 13 September 2000

di Bursa Efek Jakarta yang mengorbankan 10 orang; pada malam Natal

Desember 2000, 38 bom ditempatkan di 11 kota di seluruh Indonesia,

yang menewaskan 19 orang; Januari 2001 bom di Pasar Minggu,

Jakarta; Maret 2001 di Rumah Sakit saint Carolus, Jakarta; 10 Mei 2001

di Yayasan kesejahteraan Mahasiswa Iskandar Muda, Jakarta, yang

menewaskan 3 orang; Juli 2001 di Gereja santa Anna, Jakarta; Agustus

dan September 2001 di Plaza Atrium, Senen, Jakarta; Juni 2002 di Hotel

Jayakarta, Jakarta; 1 Juli 2002 di Mal Graha Cijantung, Jakarta; Oktober

2002 di Bandung Supermal dan Istana Plaza, Bandung; 12 Oktober

2002, di Sari Club dan Paddy’s Bar, Kuta, Bali, yang menewaskan 202

orang dari 22 negara, kebanyakan turis muda. Di antara yang tewas, 88

orang warga Australia, dan 38 orang warga negara Indonesia, di samping

200 orang terluka; 5 Desember 2002, di Mal Ratu Indah, Makasar yang

menewaskan 3 orang; 27 April 2003 di Bandara Soekarno-Hatta; 5

Agustus 2003 di Hotel Marriott, Jakarta, yang menewaskan 13 orang, 12

orang di antaranya orang Indonesia dan melukai 74 orang dan pada 9

September terjadi ledakan di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta.

Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 676-678.

206 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

merupakan suatu jaringan radikal/terorisme yang

berani menamakan diri Jamaah Islamiyah, karena

jaringan ini juga bertanggung jawab untuk bom-bom

yang terjadi pada malam natal 2000 dan beberapa

kasus lain yang pada saat terjadi tidak berhasil

diungkapkan oleh polisi. Mereka secara umum

bertujuan untuk mendirikan suatu negara Islam di

Asia Tenggara. Tetapi, tetap ada dugaan lain bahwa

oknum-oknum tertentu dalam militer telah memain-

kan kelompok-kelompok itu untuk kepentingan

sendiri, terutama untuk membuktikan bahwa

pengaruh militer atas urusan negara seharusnya

dikuatkan lagi.

Dalam pada itu, soal desentralisasi juga telah

membatasi pemerintah pusat untuk mengatasi

persoalan-persoalan. Kinerja pemerintahan daerah

sangat berbeda. Ada yang dipimpin oleh tokoh yang

berbakat, tetapi, ada juga yang kurang terampil dan

korup, bahkan kriminal. Selama tahun 2004, cukup

banyak anggota DPRD di seluruh Indonesia dituduh

melakukan korupsi, ditangkap oleh polisi dan diadili.

Jadi kasus-kasus itu membuktikan bahwa Indonesia

masih mengalami kesulitan dengan KKN, di samping

juga mengindikasikan bahwa dasar hukum negara

mulai menguat, suatu yang memberikan harapan

kepada banyak orang. Selain itu, di beberapa daerah,

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 207

terutama Aceh dan Irian Jaya/Papua,82 ada gerakan

yang ingin menambah otonomi, malah ingin

melepaskan diri dari Indonesia. Di Papua, pada bulan

Nopember 2001, seorang pemimpin gerakan ke-

merdekaan, Theys Eluay, dibunuh dan pembunuh-

nya, 7 anggota TNI dihukum penjara. Di Aceh, terjadi

konflik berdarah yang melibatkan Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) dan TNI/Polri, suatu konflik yang

menyebabkan keduanya dituduh melanggar hak

asasi manusia.

Meskipun demikian, ada beberapa kemajuan

yang dicapai oleh pemerintahan Megawati. Investasi

mulai mengalir baik dari luar maupun dari dalam

negeri. Tetapi, investasi itu belum dapat mengatasi

persoalan pengangguran dan kemiskinan. Berdasar-

kan informasi terakhir menunjukkan bahwa selama

1999-2000, persentase penduduk di bawah garis

kemiskinan turun dari 23 % menjadi 18 %, tetapi

mereka tetap terancam kalau ada syok ekonomi lagi.

Selain itu, kemajuan lain yang dicapai pemerintahan

Megawati adalah bahwa demokrasi telah mengakar

dengan cara yang mengesankan, yang ditandai

dengan terselenggaranya pemilu 2004, langsung,

jujur, bebas dan rahasia, sehingga menempatkan

Indonesia sebagai model yang dapat menjadi

82 Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Satya

Historika, 2001), h. 184-185.

208 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

alternatif bagi model Turki yang kian tidak menarik

bagi banyak kaum muslim.83

B. Bangkitnya Ragam Partai Politik Dalam Bingkai

Kekuasaan Era Reformasi

Sejalan dengan terjadinya krisis moneter yang

menimpa Indonesia pada tahun 1997 dan diikuti

dengan mundurnya Soeharto dari kursi kekuasaan-

nya pada bulan Mei 1998, yang ditandai dengan

peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Baharudin

Jusuf Habibie, maka dimulailah sejarah baru politik

Indonesia. Sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4,

B.J. Habibie mempunyai tugas, salah satunya adalah

melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) secepatnya

untuk membentuk pemerintahan yang memiliki

legitimasi. Untuk itu, konsep otonomi daerah

diperkenalkan, kesempatan mendirikan partai politik

yang akan ikut ambil bagian pada Pemilu 1999

dibuka dan paket Undang-Undang Politik dicabut.84

83 Harmonisasi Islam dan Demokrasi, Gatra Edisi Khusus, (Jakarta),

27 Nopember, 2004 , h. 12. 84 Pada masa Orde Baru Undang-Undang Politik yang restriktif dan

diskriminatif, yaitu (1). UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu, Anggota-

anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan diubah dengan UU No. 4

tahun 1975 jo UU No. 1 tahun 1980 jo No. 1 tahun 1985; (2). UU No. 16

tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD

diubah dengan UU No. 5 tahun 1975 jo UU No. 2 tahun 1985 jo No. 5

tahun 1985; (3). UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya diubah dengan UU No. 3 tahun 1985; (4). UU No. 8

tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan diganti dengan

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 209

Dengan demikian, sistem tiga partai yang dipaksakan

oleh rezim Soeharto dihapus dan karena itu, para

elite agama, elite masyarakat, elite pendidikan, elite

budayawan dan seniman, elite politik dan elite agama

ramai-ramai dan bersuka cita mendirikan partai,85

ada yang sekuler dan ada pula yang berasaskan

Islam. Khusus yang terakhir terjadi beda pendapat

tentang perlu tidaknya mendirikan partai Islam.

Kuntowijoyo, budayawan dan sejarawan dari

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berpendapat

bahwa pembentukan partai politik (parpol) Islam

adalah sebuah kesalahan fatal. Ada enam alasan

sosio-historis bagi pendapatnya, sebagai berikut:

Pertama, terhentinya mobilitas sosial, kalau kaum santri kembali berpolitik, sebaliknya kaum abangan mengalami mobilitas vertikal pasca 1965, karena yang terakhir tidak mempunyai tanggung jawab sosial dalam penyebaran agama, sehingga dana, perhatian dan tenaga dapat

Perundang-undangan Politik yang lebih demokratis, yaitu (1). UU No. 2

tahun 1999 tentang Partai Politik; (2). UU No. 3 tahun 1999 tentang

Pemilu, (3). UU No. 4 tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan

MPR, DPR dan DPRD. Lihat Muhammad Tohadi. Oase Kebangsaan,

(Jakarta: Lembaga Kajian Wacana Indonesia, 2000), h. 141-142. 85 Ketika terjadi “liberalisasi politik” dan “Euphoria Politik”, rakyat

mengekspresikan luapan politiknya dalam bentuk yang beragam. Bila

rakyat kelas bawah (grassroot) mengekspresikan luapan politiknya

dalam bentuk hura-hura, kekerasan massa, pengrusakan dan penjarahan

kolektif, maka rakyat kelas atas dalam berbagai macam profesi,

mengekspresikan luapan politiknya dengan melakukan gerakan-gerakan

dan aksi-aksi, membentuk kelompok oposisi, memperkuat peran LSM

dan mendirikan partai politik.

210 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dicurahkan untuk pembinaan SDM, sementara kaum santri yang terpinggirkan secara politik pada era 1970-1990 justru berhasil naik ke atas. Kedua, terbentuknya integrasi umat hasil konvergensi sosial yang terjadi selama era 1970-1990 justru akan berubah menjadi disintegrasi umat, dengan berdirinya parpol Islam aliran tradisionalis, modernis dan puritan, karena ketiganya akan lebih menonjolkan perbedaan (ciri khas) dari pada persamaan. Ketiga, umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat. Karena orientasi politik adalah kekuasaan, sedang kekuasaan dalam kaitannya dengan agama, tidak menjamin penyebaran agama, sebagaimana kekuasaan kaum muslimin di Andalusia dan India. Keempat, kekayaan agama akan menjadi miskin kalau putra-putri terbaik umat dijuruskan ke politik. Kelima, runtuhnya proliferasi dalam arti tokoh umat dari segala bidang sosial akan sirna, jika parpol Islam muncul. Keenam, alienasi generasi muda. Pembentukan parpol berarti pengingkar-an perubahan sosial: para pemuda yang telah non sektarian sudah tidak berminat pada politik Islam seperti generasi yang dulu merasakan persaingan antara aliran beragama.86

86 Kuntowijoyo, Enam Alasan Tidak Mendirikan Partai Islam, dalam

Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden, Belajar

Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999),

Cet. Ke-1, h. 27-33.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 211

Berbeda dengan Kuntowijoyo, Eggi Sujana,

Ketua Umum Persaudaraan Pekerja Muslim

Indonesia, mengatakan bahwa rasa pesimis

Kuntowijoyo berlebihan dan tampak terlalu percaya

dengan ilmu sosiologi, sehingga hampir semua

analisisnya yang bersifat sosio-historis itu seolah

hendak memastikan bahwa kasus-kasus sejarah bakal

menjadi kenyataan bilamana parpol Islam ber-

munculan di Indonesia. Oleh karena itu, Eggi lebih

lanjut, berpendapat jika perjuangan parpol Islam

adalah hendak menegakkan kalimat Allah, maka misi

parpol adalah misi yang luhur. Dan lantaran status

hukum berdirinya jamaah amar ma’ruf nahi mungkar

adalah wajib, maka berdirinya parpol Islam

sebenarnya adalah kewajiban yang luhur. Parpollah

yang bisa menegur dan mengingatkan penguasa akan

tanggung jawabnya memelihara urusan umat.87

Sementara M. Anton Athoillah Hasyim, pengajar

Pesantren Kiara Kuda Tasikmalaya mencari jalan

tengah antara keduanya dengan mengatakan bila

pendirian parpol Islam didasarkan untuk menegak-

kan kalimat Allah, maka pernyataan Eggi dapat

87 Misi parpol Islam adalah mencerdaskan kehidupan kaum

muslimin di Indonesia agar mampu bersaing dengan umat mana pun di

dunia dengan pembinaan al-Qur’an dan Sunah secara luas, serta

membela kepentingan kaum muslimin yang banyak terabaikan dan

terdzalimi selama kekuasaan Orde Baru. Lihat Eggi Sujana, Parpol Islam

Antara Kelayakan Dan Kewajiban, dalam Mustofa (ed.), Memilih Partai

Mendambakan Presiden, Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium,

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), cet. Ke-1, h. 40-44.

212 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dibenarkan bahwa misi parpol adalah misi yang

luhur, begitu pula dengan logika formal ala ushul

fiqih yang digunakannya. Tetapi persoalannya,

benarkah pendirian parpol Islam hanya sekedar itu?

Tentu tidak. Oleh karena itu, pernyataan

Kuntowijoyo cukup representatif, karena ia melihat

kegagalan kaum muslimin di Spanyol dan India

sebagai alat uji konfirmatif apakah kekuasaan sebagai

tujuan jangka pendek dapat mewujudkan tegaknya

kalimat Allah itu atau tidak. Atas realitas itu, M.

Anton, lebih lanjut berpendapat bahwa sikap yang

harus ditempuh adalah memunculkan perhatian

kaum muslimin terhadap sesuatu yang tidak hanya

sekedar berputar pada nama apakah ada “Islam”-nya

atau tidak. Tetapi, bagaimana konsekuensi yang

muncul dari nama itu. Jangan-jangan, banyak di

antara anggota partai itu yang tidak mencerminkan

nilai-nilai keislaman, seperti toleransi, persaudaraan

dan menghargai pendapat orang lain. Ketiga nilai

itulah yang mestinya menjadi takaran bagi para calon

anggota parpol Islam.88

Terlepas dari polemik tersebut, partai politik

dalam berbagai macam ragamnya nampak

bermunculan pada era reformasi ini. Secara

kuantitatif, jumlahnya kira-kira mencapai 148 partai

88 M. Anton Athoillah Hasyim, Parpol Islam, Kewajiban Atau

Alternatif, dalam Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden

Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1999), cet. Ke-1, h. 46-50.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 213

yang mendaftar, 40 di antaranya merupakan partai-

partai Islam. Namun, setelah melewati seleksi oleh

Tim 11 yang diketuai oleh Nurcholis Madjid,89

akhirnya ditetapkan sebanyak 48 partai yang layak

mengikuti pemilu, 20 di antaranya merupakan partai

Islam.90 Angka ini menunjukkan peningkatan 10

partai lebih besar dari partai Islam yang ikut

berpartisipasi pada pemilu 1955,91 atau secara

keseluruhan, kontestan partai peserta pemilu pada

Era Reformasi lebih besar dibandingkan dengan

parpol yang mengikuti pemilu pada masa Orde

Lama, padahal saat itu, Mohammad Hatta, Wakil

Presiden RI dalam merespon tuntutan dunia

internasional dan pengembangan sistem demokrasi,

telah menerbitkan Maklumat Pemerintah bulan

Nopember 1945 tentang multi partai. Oleh karena itu,

Era Reformasi sebagai masa transisi menuju

demokrasi oleh M. Alfan Alfian M., pengamat sosial

politik, diistilahkan sebagai umat Islam Indonesia

89 Sebuah panitia yang dibentuk oleh pemerintah dan dipercaya

untuk menyeleksi partai-partai politik yang akan ikut berlaga dalam

pemilu 1999. 90 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto”,

dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.), Indonesia di Tengah

Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LkiS,

2000), h. 375. 91 Partai-Partai Islam peserta Pemilu Pertama 1955 adalah Masyumi,

NU, PSII, Perti, PSI, Permi, Parii, Penyadar, PII, PPTI dan PSII

Kartosuwirjo

214 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

memasuki sebuah wilayah-waktu eksperimentasi

Islam politik jilid III.92

Dalam kaitannya dengan 20 partai Islam peserta

Pemilu 1999 yang dapat dianggap “Islami”,

Azyumardi Azra memberikan batasan sebagai

berikut:

Pertama, Partai yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologi mereka, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan (PK); Kedua, Partai yang menggunakan Pancasila sebagai dasar ideologinya, tetapi, pada saat yang sama juga menggunakan simbol-simbol Islam, seperti Bintang, Ka’bah atau simbol-simbol Islam lainnya, misalnya Partai Cinta Damai (PCD), Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII); sedangkan beberapa partai yang pengurus dan basis massanya pada umumnya muslim, adalah seperti Partai Kebangkitan

92 Jika Orde Reformasi disebut eksperimentasi Islam politik Jilid III,

maka masa Orde Lama, disebut eksperimentasi Islam politik jilid I dan

bolehlah dikatakan gagal, sementara masa Orde Baru, disebut

eksperimentasi Islam politik jilid II juga boleh dikatakan gagal, karena

rezim Orde Baru tidak memberikan kesempatan bagi kekuatan Islam

untuk bangkit kembali sebagai kekuatan yang dominan, di samping

karena terpecahnya orientasi politik umat Islam. Di satu pihak, mereka

sepakat mendoorong bangkitnya partai politik Islam, dan di pihak lain,

mereka terpaksa mendukung kekuatan politik bikinan Orde Baru, yakni

Golkar. Lihat M. Alfan Alfian M., Eksperimentasi Islam Poliitik Jilid

III, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai

Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai

Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 118.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 215

Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai-partai ini biasanya berhubungan erat dengan organisasi-organisasi sosio-religius muslim. PKB misalnya dapat “dipastikan” sebagai sayap politik NU yang mewakili spektrum tradisional Indonesia, sedangkan PAN didukung besar-besaran oleh kelompok modernis Muhammadiyah.93

Begitu banyaknya partai-partai Islam yang

berdiri, telah menyebabkan munculnya perdebatan di

kalangan para pengamat politik dan kelompok

intelektual, sekitar logika dan alasan pendiriannya.

Kuntowijoyo misalnya mengemukakan bahwa

munculnya partai-partai Islam hanya merupakan

luapan politik di era reformasi, sebagai wujud

kebebasan politik dan demokrasi. Jadi, baginya,

ledakan jumlah partai politik Islam hanyalah ekspresi

dari euphoria politik di antara elite politik Islam yang

telah lama dipinggirkan selama hampir keseluruhan

era rezim Soeharto.94 Sementara Azyumardi Azra

berpendapat bahwa begitu banyaknya partai Islam

yang berdiri, karena didorong oleh keinginan para

elite muslim untuk mendapatkan kekuasaan dari

93 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto,”

dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.), Indonesia di Tengah

Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKiS,

2000), h. 376. 94 Kuntowijoyo, “Peta Politik Bagi Umat“ dalam Hamid Basyaib dan

Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik

Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta:

Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 18.

216 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

pada didorong oleh alasan-alasan yang murni

keagamaan.95

Dengan demikian, cukup beralasan pendapat

pengamat politik dan cendikiawan tersebut di atas,

mengingat dari internal Islam atau kelompok Islam

sendiri justru muncul banyak partai baru. Dari sayap

NU, mewakili santri tradisionalis justru muncul

banyak partai seperti Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB), Partai Serikat Uni Nasional Indonesia (Partai

Suni), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), dan Partai

Kebangkitan Ummat (PKU), belum termasuk Partai

Persatuan Pembangunan, yang juga dipimpin oleh

tokoh NU. Dari sayap eks Masyumi, mewakili santri

modernis juga muncul beberapa partai seperti Partai

Bulan Bintang (PBB), Partai Masyumi Baru (PMB),

dan Partai Islam Indonesia Masyumi (PIIM). Dari

Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) terdapat dua

partai, yaitu PSII dan PSII 1905, di samping partai

politik Islam lain, seperti Partai Ummat Islam (PUI),

Partai Ummat Muslimin Indonesia (PUMI), Partai

Keadilan (PK) dan Partai Islam Demokrat (PID).

Secara umum, partai-partai tersebut oleh

Kuntowijoyo dapat diklasifikan menjadi tiga bentuk,

sebagai berikut:

95 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto”,

dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.), Indonesia di Tengah

Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKiS,

2000), h. 377.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 217

Pertama, Partai berasas Islam, seperti PUI, PKU, PMB, PPP, PSII, PSII 1905, PPIM, PBB, PK, PNU dan PP (Partai Persatuan); Kedua, Partai berdasarkan objektifitas,96 seperti Partai Indonesia Baru (PIB), KAMI, Partai Abul Yatama (PAY), PAN, PDR, PCD, PID, SUNI dan PUMI; Ketiga, Partai berdasarkan spesialisasi, seperti PKB, Partai Golkar, Partai Rakyat Indonesia (PARI), dan semua partai yang tidak benar-benar sekuler dapat digolongkan pada kelompok ini. Agama mempunyai tempatnya sendiri dalam urusan kenegaraan, tetapi antara keduanya terpisah secara jelas. Agama hanya urusan personal bukan urusan publik. Agama ber-pengaruh pada person dan pada gilirannya person pada negara. Keempat, Partai Sekuler, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).97

Sebagaimana Kuntowijoyo, Riswandha Imawan,

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UGM, membagi partai-partai yang muncul selama

era reformasi ke dalam empat kategori. Pertama,

Keagamaan Islam dan Kristen, seperti Partai Islam

96 Disebut objektif, karena partai-partai itu mengakui adanya

pluralisme masyarakat dalam SARA, menjadikan moral agama sebagai

landasan gerakan, burusaha agar moral agama menjadi kenyataan

objektif dan menjadikan Pancasila sebagai asas. 97 Kuntowijoyo, “Peta Politik Bagi Umat Islam” dalam Hamid

Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa partai-Partai Islam Kalah ?

Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan

Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 88-93.

218 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Indonesia dan Partai Kristen Nasional Indonesia.

Kedua, Religius Demokratis, seperti Partai Amanat

Nasional dan Partai kebangkitan Bangsa. Ketiga,

Nasional Pragmatis, seperti Partai Golkar dan Partai

Sarekat Sejahtera Indonesia. Keempat, Nasional

Demokratis, seperti Partai Murba, Partai Bhineka

Tunggal Ika dan PDIP.98 Klasifikasi bentuk partai

tersebut belum dapat dikatakan tepat, karena baik

Kuntowijoyo maupun Riswanda sendiri mengakui

tidak tahu – kita tidak banyak tahu – dimana akan

memasukkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI),

Partai Nasional Indonesia Front Marhaenis (PNI

Front Marhaenis), Partai Nasional Massa Marhaen

(PNI Massa Marhaen) dan Partai Nasional Demokrat

(PND).

Fenomena munculnya partai partai yang meng-

gunakan simbol-simbol agama, kemungkinan di-

sebabkan oleh tiga hal. Pertama, agama itu sendiri

memiliki dukungan teologis untuk mencapai cita-cita

berdasarkan gagasan-gagasan keagamaan yang di-

percayai; Kedua, ikatan politik dari warganya

menyebabkan agama sebagai faktor pengikat untuk

mendukung pemimpin dari kelompok agama

tersebut; Ketiga, umat agama merasa telah nyaman

dengan pemimpin politik yang muncul dari

98 Al Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-Partai

Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet.

Ke-1, h. 14-16.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 219

komunitasnya sendiri, dan kurang percaya bila

politik dikuasai oleh kelompok agama lain.99 Namun,

Kuntowijoyo dengan merujuk pada partai era Orde

Baru, menjelaskan sebagai berikut:

Bahwa semua partai mengklaim mewakili umat Islam, semua partai punya lembaga keislaman dan semua partai sangat tergantung pada pemilih muslim, sebagai mayoritas pemilih. Dari partai yang mewakili santri tradisionalis dan modernis, tentu berusaha menjaring suara yang secara tradisional menyalurkan suaranya ke partai “Islam”, bahkan Golkar percaya bahwa ia pun berhak mewakili suara Islam, sehingga berdirilah Majlis Dakwah Islam, tarbiyah Islamiyah, Satkar Ulama Indonesia, Lembaga pengkajian al-Hidayah dan Angkatan Muda Islam Indonesia (AMII). Sementara PDI yang pada mulanya fusi dari partai-partai “sekuler” dan non muslim, meskipun mendapat kesulitan, karena tidak bisa mengklaim mewakili nasionalis, tetap berusaha dengan mendirikan Majlis Muslimin Indonesia (MMI) sejak tahun 1984.100

99 Th. Sumartana, “Menakar Signifikansi Partai Politik Agama dan

Partai Pluralis Dalam Pemilu 1999 di Indonesia”, dalam Arief Subchan

(Penyunting), Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 101. 100 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan,

1997), Cet. Ke-1, h. 191-193. Lihat pula A. Malik Fajar, “Kalangan

Islam harud Tampil Percaya Diri, dalam Hamid Basyaib dan Hamid

Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam

dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet,

1999),Cet. Ke-1, h. 77.

220 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Berdasarkan sebab kedua dan ketiga pendapat

Th. Sumartana serta penjelasan Kutowijoyo tersebut,

maka wajar bila elite politik mendirikan partai

dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Eks

Masyumi, mewakili santri modernis misalnya

memiliki tiga partai, begitu pula ormas Islam yang

lain memiliki partai, bahkan NU, mewakili santri

tradisionalis, memiliki empat partai baru, PKB, SUNI,

PNU dan PKU, belum termasuk PPP yang telah

berdiri pada tahun 1973. Jadi, sebagaimana sayap

politik nasionalis, pada sayap politik nasionalis Islam

baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis,

juga terdapat banyak partai. Tetapi, ketika berlaga

pada Pemilu, 7 Juni 1999, tidak ada satu pun partai

yang meraih suara mayoritas. PDIP sebagaimana

telah disebutkan berada pada peringkat pertama,

memperoleh suara 30,8%, disusul Partai Golkar

memperoleh suara 24,0%, PKB memperoleh suara

11,8%, PPP memperoleh suara 10,2%, PAN memper-

oleh suara 7,0%, PBB memperoleh suara 2,6%, PK

memperoleh suara 1,2%, Partai Keadilan dan

Persatuan memperoleh suara 1,2% dan partai-partai

lainnya memperoleh suara kurang dari 1,0%.101 Jadi

dari 12 parpol Islam, hanya PPP yang masuk dalam

101 Pax Benedanto, (et.al)., Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau

Rebutan Kursi? op. cit., h. 37 dan 88-89. Lihat pula Mulyana W.

Kusuma, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1999, dalam Juri

Andiantoro F., Transisi Demokrasi; Evaluasi, Kritis Penyelenggaraan

Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 127-136.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 221

lima besar, dan masih terkalahkan oleh PDIP, Partai

Golkar dan PKB, sementara 11 parpol Islam lainnya

jauh tertinggal di belakang. Bahkan untuk memper-

oleh jumlah suara yang dapat memenuhi kuota dua

persen jumlah kursi di DPR saja, partai-partai itu

masih harus terus menunggu dengan memper-

hitungkan kesepakatan stembuus accoord.

Fenomena keterpurukan dan kekalahan parpol

Islam tersebut menurut Farid Wadjdi, peneliti pada

Forum on Islamic World Studies Bandung, disebab-

kan oleh tiga faktor sebagai berikut:

Pertama, masyarakat belum memiliki kesadar-an politik Islam yang tinggi, karena secara sistematis umat Islam mengalami proses sekularisasi atau pemisahan agama dari kehidup-an. Islam digambarkan hanya sebagai agama ritual yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya saja. Kedua, ideologi dan konsep kapitalisme Barat seperti sekularisme, plural-isme, demokrasi, HAM, nasionalisme, liberalisme dan globalisasi, secara sadar atau tidak, diadopsi secara bulat-bulat oleh umat Islam, sehingga mereka jauh dari akidah dan hukum-hukum Islam serta tidak melihat hal yang penting dari tawaran ideologis parpol Islam. Ketiga, ber-dirinya parpol yang mengatasnamakan Islam akan tetap gagal untuk melayani umat, kalau tidak memperbaiki empat perkara yang sering menimpa parpol Islam, yaitu parpol Islam yang berdiri secara terburu-buru hanya membawa

222 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

konsep pemikiran umum tanpa batasan yang jelas; banyak parpol Islam yang tidak mengenal metode untuk menerapkan ide-ide Islam; banyak parpol Islam yang hanya bertumpu pada orang-orang yang sepenuhnya belum mempunyai kesadaran yang benar dan niat yang lurus, serta parpol Islam hanya terikat pada aturan administrasi, keorganisasian, simbol-simbol atau slogan-slogan organisasi.102

Berbeda dengan Farid Wadjdi, Efa Ainul Fatah

mengemukakan beberapa faktor penyebab kekalahan

parpol Islam, sebagai berikut:

Pertama, kesiapan partai peserta pemilu sangat minim terutama partai baru yang sama sekali belum mempunyai basis massa. Fakta politik menunjukkan dari 48 partai, ada partai yang betul-betul siap berlaga di kancah politik, ada yang setengah-setengah, dan ada pula yang tidak siap. Kedua, common issue yang terus beredar dan menguat di tengah-tengah masyarakat adalah isu keterpasungan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan nation state. Dari common issue kemudian melahirkan common enemy terhadap mereka yang selama ini menebar janji dan membayarnya dengan kebohongan belaka, yakni kelompok elite yang tergabung razim Orde Baru. Ketiga, parpol Islam kurang

102 Farid Wadjdi, Mengevaluasi Parpol Islam Pasca Pemilu, dalam

Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah?

Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan

Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h.157-162.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 223

mempunyai tempat, bahkan disinyalir akan menjadi penyangga munculnya kekuatan neo-Orde Baru. Keempat, budaya politik masyarakat masih mencerminkan kuat feodalisme. Kelima, money politic. Keenam, pendirian partai tidak memperhatikan pola strategi politik. Kebanyakan parpol Islam dibuat asal jadi dan tidak memikirkan peluang politik yang bisa dicapai. Ketujuh, kehadiran parpol Islam tidak mendapatkan momentum yang baik dan bahkan sebaliknya. Kedelapan, parpol Islam belum menampakkan inklusivitasnya, baik dari segi program dan pemikiran maupun dari segi perjuangan terhadap semua kepentingan yang bersifat umum.103

Mochtar Naim, Guru Besar Fakultas Sastra

Universitas Andalas, Padang, mengatakan lebih

lanjut bahwa kekalahan parpol Islam disebabkan

antara lain:

Pertama, keberanian parpol Islam untuk berjuang dengan platform Islam, karena selama Orde Lama dan Orde Baru, Islam sebagai kekuatan politik telah dilumpuhkan dan lebih menampakkan wajahnya sebagai umbul-umbul perisai untuk tujuan seremonial dan upaya-upaya keagamaan. Kedua, politik Islamofobia, telah menyebabkan bagian terbesar umat justru

103 Eva Ainul Falah, Kalah-Menang Bagi Parpol Islam, dalam Hamid

Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan

Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta:

Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h.163-169.

224 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

tidak memilih parpol Islam, walau jelas-jelas dinyatakan bahwa parpol Islam menginginkan tegaknya Islam dan berlakunya syariat Islam bagi pemeluk Islam seperti bunyi Jakarta Charter. Karena alasan ketakutan dan kerisihan terhadap Islam politik inilah agaknya yang mendasari pemikiran PKB dan PAN untuk berasaskan Islam. Ketiga, sudah peluangnya yang tersedia untuk memperlihatkan diri sangat terbatas, jumlahnya parpol Islam pun mencapai belasan, sehingga kelompok ummat sendiri bingung tidak tahu mana yang akan dipilihnya. Keempat, parpol Islam secara keseluruhan adalah dari antara yang paling miskin dan tidak punya dana, kecuali mungkin satu-dua yang berhasil mendapatkan dana dari luar, secara keseluruhan mereka hanya mencukupkan saja dari apa yang ada, yang dibantu oleh pemerintah yang serba sedikit itu. Kelima, kecenderungan egosentrisme para pemimpin partai-partai Islam itu sendiri, yang lebih suka melihat perbedaan dari pada persamaan di antara sesama mereka, sebagai-mana terlihat dari berdirinya partai-partai dari akar yang sama.104

Keterpurukan parpol Islam tersebut, minimal

masih dapat menunjukkan relevansinya dengan

jargon Nurcholish Madjid yang diucapkannya pada

dasawarsa tujuh puluhan dengan hasil pemilu 1999

104 Mochtar Naim, Kekalahan Partai Politik Islam, dalam Hamid

Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan

Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta:

Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h.172-176.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 225

bahwa “Islam Yes, Partai Islam No”, suatu ungkapan

yang didasarkan pada kenyataan bahwa Islam yang

formilnya dijadikan dasar perjuangan partai, sudah

tidak lagi dijadikan sumber inspirasi, tidak lagi

dijadikan sumber dinamika dan militansia. Islam

hanya sekedar dijadikan mode, karena memang Islam

sudah sangat jauh disudutkan, bahkan Hadis Nabi

yang berbunyi “Al-Islām ya’lū walā yu’la alaih”

ditafsirkan – dan sangat konsekuen dengan tafsir

tersebut – menjadi partaiku (golonganku, pemimpin-

ku bahkan Aku-ku) ya’lū walā yu’lā alaih. Apalagi para

penguasa muslim saat itu dengan sadar sangat

mencurigai Islam dan umatnya yang setia kepada

Islam.105 Akan tetapi, sejalan dengan pelaksanaan

pemilu 2004, jargon Nurcholish Madjid itu telah

mengalami pergeseran. Menurut Hidayat Nurwahid,

mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan

Ketua MPR RI, bahwa jargon Cak Nur yang begitu

terkenal pada era Orde Baru “Islam Yes, Partai Islam

No” telah mengalami perubahan dari waktu ke

waktu dan pada akhirnya Cak Nur menyatakan

“Islam Yes, Partai Islam Yes,” suatu pernyataan yang

dikatakannya ketika Cak Nur meminta dukungan

PKS untuk menjadi calon presiden pada pilpres 2004.

Ketika dikatakan dulu Cak Nur pernah menyatakan

bahwa “Islam Yes, Partai Islam No”, lalu bagaimana

105 E. Saifuddin Anshari, Kritik Atas Faham Dan Gerakan

“Pembaharuan” Drs. Nucholish Madjid, (Bandung: Bulan Sabit, 1973),

h. 3-4.

226 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

saya memberikan dukungan kepada Cak Nur, karena

partai saya adalah partai Islam, maka Cak Nur

menjelaskan kata-kata itu bersifat kondisional, saat

perkataan kontroversial itu terlontar, kondisi di

Indonesia tak memungkinkan Islam berkembang

melalui jalur politik. Islam dicurigai serta diintimidasi

dan untuk mensiasati kondisi yang tak menguntung-

kan itu, maka harus dicari formula di luar partai

politik, tetapi kini kondisinya telah berubah. Partai

Islam memungkinkan untuk berkembang.106 Saat

banyak orang menjustifikasi fenomena kekalahan

partai pada pemilu 1999 dengan slogannya,

Nurcholis justru berkomentar: “Itu sebetulnya

membacanya kurang pas.” Kegagalan partai-partai

Islam adalah kegagalan simbol yang juga dialami

partai-partai nasionalis dan Kristen/Katholik, karena

pemilih lebih mencari esensi.107

Eksperimen pun kembali dilanjutkan. Dalam

pemilu 2004, ada 7 partai Islam baik pecahan maupun

reinkarnasi yang bertahan jadi kontestan, yaitu PPP,

PKS, PBB, PBR, PPNUI, PAN dan PKB. Kali ini terjadi

pergeseran. Ketujuh partai itu mampu mengantongi

suara 42,18 persen. Bila perhitungan hanya dilakukan

untuk lima partai berasas Islam, tanpa PAN dan PKB,

106 Hidayat: Cak Nur Akhirnya, ‘Partai Islam Yes!’, Republika,

(Jakarta), 3 Oktober 2006, h. 3. Lihat pula Harun Husein, Islam Yes,

Partai Islam Yes?, Republika, (Jakarta), 17 Nopember 2006, h. 4. 107 Harus Husein, Islam Yes, Partai Islam Why Not? Republika,

(Jakarta), 18 Nopember 2006, h. 4.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 227

raihan suaranya adalah 23 persen.108 Sementara PDIP

hanya meraih 18,53 persen dan Partai Golkar 21,58

persen. Kalaupun suara Partai Golkar digabung

dengan PDIP, jumlahnya hanya 40,11 persen, masih

kalah jika dibandingkan 42,18 persen suara tujuh

partai.109 Kendati belum sanggup menyamai

perolehan partai Islam dalam pemilu 1955, raihan itu

memperlihatkan partai-partai Islam punya prospek

dan makin kompetitif, karena telah dapat tampil

menganalisis aspirasi berbagai macam golongan dan

terampil mengartikulasikan esensi Islam secara

rasional dan otentik di dataran politik yang penuh

ranjau. Politisi Islam bisa tampil berpolitik dengan

santun, peduli pada nasib rakyat, tidak korup,

menjadi rahmatan li al-’Ālamin dan seterusnya. Hasil

survei LSI atas hasil Pemilu 2004, tak kurang dari 2,5

persen dari 8,3 juta pemilih PKS adalah non-Muslim.

Angka ini tidak sedikit, karena sekitar 200 ribu:

hampir satu kursi.110

108 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, 680. 109 Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Why Not ? Republika,

(Jakarta), 18 Nopember 2006, h. 4. 110 Ibid.

228 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

C. Pesantren dan Pembentukan Partai Politik

Nasional

1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

a) Proses pembentukan partai

Partai Kebangkitan Bangsa (selanjutnya disebut

PKB) merupakan salah satu dari sekian banyak partai

yang berdiri pada era reformasi. Pembentukannya

berawal, sehari setelah Soeharto meletakkan jabatan

sebagai presiden, Kamis, 21 Mei 1998, PBNU mulai

kebanjiran usulan warga NU di seluruh pelosok

tanah air, yang disampaikan melalui berbagai macam

cara: faksimil, telegram, surat, e-mail, ada yang

langsung datang ke Sekretariat Jenderal PBNU,

bahkan ribuan orang yang datang menjenguk Gus

Dur yang sedang sakit, secara langsung mengajukan

permintaan kepadanya yang ketika itu menjabat

sebagai Ketua Umum PBNU, agar mendirikan

parpol.111

Usulan itu mempunyai nada yang sama, yakni

agar PBNU membantu mewujudkan adanya satu

wadah, tempat warga NU baik perorangan dan

kelompok maupun pengurus vertikal, badan otonom

dan lembaga di lingkungan NU, menyalurkan

111 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:

LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 109.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 229

aspirasi politiknya.112 Usulan itu sangat beragam, ada

yang mengusulkan agar PBNU membentuk partai

politik, ada juga yang mengusulkan agar NU menjadi

partai politik, dan ada yang mengusulkan nama

parpol. Tercatat ada 39 nama parpol yang diusulkan,

dan nama yang paling banyak mengemuka adalah

Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat dan

Kebangkitan Bangsa.113 Sedangkan gambar bumi,

bintang sembilan dan warna hijau merupakan pilihan

yang paling disukai oleh para pencetus ide. Aneka

usulan semakin marak dengan masuknya daftar

nama yang dipandang layak untuk duduk dalam

jajaran kepengurusan parpol, di samping usulan

rancangan AD/ART.114

Dari sederetan usulan tersebut, yang cukup

lengkap adalah draft yang dikemukakan oleh Lajnah

Sebelas Rembang yang dikawal oleh KH. Cholil Bisri

dan draft yang berasal dari Pengurus Wilayah NU

Jawa Barat. Tetapi, draft Rembang lebih lengkap dan

mencerminkan kerja keras sebuah tim yang me-

libatkan unsur ulama/kiai, politisi dan akademisi.

Proses penyusunannya juga berawal dari pertemuan

di Ponpes Roudlatul Thalibin yang dihadiri oleh

112 DPW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan

Bangsa, (Jakarta, 1998), h. 25. 113 DPW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan

Bangsa, (Jakarta, 1998), 26. 114 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:

LP3ES, 2003) Cet. Ke-1, h. 109.

230 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

sekitar seratus kiai pada pertengahan Juni 1998.

Pertemuan yang berlangsung sampai dini hari itu,

diawali dengan penjelasan tuan rumah KH. Cholil

Bisri, tentang arti penting keberadaan sebuah parpol

yang mampu mengumandangkan kepentingan kaum

Nahdliyyin. Melalui uraian-uraian yang disandarkan

pada perpaduan kitab-kitab Fiqih Siyasah dan kondisi

objektif warga NU, dia antara lain menyatakan

sebagai berikut:

“Ini (pembentukan partai) adalah untuk memenuhi tuntutan warga NU di era reformasi. Lebih dari 30 tahun masa pemerintahan rezim Soeharto, kekuatan politik NU dikebiri secara sistematis. Orang-orang NU di PPP hanya nunut urip (numpang hidup). Karena itu, adalah sesuatu yang aneh, bila warga NU yang jumlahnya seperempat penduduk Indonesia tidak mempunyai rumah politik. Wajar bila warga NU kini mempunyai rumah politik sendiri, tidak numpang lagi di rumah. Aspirasinya selama ini numpang ke PPP, Golkar dan PDI.115

KH. Ma’ruf Amin, Rais Syuriah NU dan

Koordinator Harian PBNU, yang hadir dalam

pertemuan itu, lebih lanjut menyatakan “warga NU

terus dipinggirkan dan aspirasinya belum tersalurkan

dengan baik dalam orsospol yang ada dan belum ada

115 Asmawi, PKB : Jendela Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian

Ilahi Press, 1999), h. 23.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 231

orsospol yang mampu menampung aspirasi warga

NU.116 Atas pernyataan itu, maka pertemuan

Rembang akhirnya menyepakati dibentuknya Komite

Pembentukan Partai Baru (KPPB), yang diketuai KH.

Cholil Bisri dan sekretaris KH. Yusuf Muhammad,

pengasuh Ponpes Darussalam, Jember, Jawa Timur,

yang juga mantan pegiat Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia (PMII) Yogyakarta. Anggotanya

terdiri dari sembilan kiai, mewakili daerah Jawa,

Sumatera dan Kalimantan. Bahkan dibentuk pula Tim

Asistensi yang bertugas membantu kelancaran KPPB,

dengan ketua Matori Abdul Jalil, seorang politisi

yang telah lama malang melintang dalm pergulatan

politik Orba, dan Kacung Marijan, MA. ilmuwan

politik muda dari Universitas Airlangga yang

berafiliasi dengan NU.117

Menanggapi usulan tersebut, PBNU bersikap

sangat hati-hati, karena berdasarkan Muktamar NU

ke-27 di Situbondo, telah diputuskan bahwa secara

organisatoris, NU tidak terkait dengan partai politik

manapun dan tidak lagi menerjuni kegiatan politik

praktis. Tetapi, jika sikap ini itu diambil, maka akan

membuat banyak pihak kecewa, bahkan tidak

menutup kemungkinan warga NU di daerah, yang

116 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai

Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet.

Ke-1, h. 134. 117 Asmawi, PKB: Jendela Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian

Ilahi Press, 1999), h. 22-23.

232 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

tidak sabar, mendeklarasikan berdirinya parpol

untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat,

seperti pendeklarasian “Partai Bintang Sembilan” di

Purwokerto dan “Partai Kebangkitan Umat” di

Cirebon.

Fenomena tersebut bila dibiarkan akan

merugikan NU sendiri. Oleh karena itu, pada harian

Syuriah dan Tanfidziyah PBNU, 3 Juni 1998,

diputuskan untuk membentuk Tim Lima,118 yang

bertugas membahas segala sesuatu untuk memenuhi

aspirasi warga NU tersebut. Bahkan untuk

memperkuat dan mempercepat kerja Tim Lima, maka

berdasarkan surat tugas PBNU No.

925/A.11.03/6/1998, tanggal 22 Juni 1998, dibentuk

pula Tim Asistensi yang beranggotakan sembilan

orang.119 Tim Asistensi membantu Tim Lima dalam

menginventarisasi dan merangkum usulan warga NU

untuk mendirikan parpol baru, mengkordinasikan

warga NU yang ingin membentuk parpol baru dan

118 Tim Lima diketuai KH. Makruf Amin (Rais Syuriah

NU/Koordinator Harian PBNU), KH. M. Dawam Anwar (Katib ‘Am

PBNU), KH. Dr. Said Agiel Siradj, MA. (Wakil Katib PNBU), H.M.

Rozi Munir, SE. M.Sc. (Ketua PBNU) dan H. Ahmad Bagdja (Sekjen

PBNU), masing-masing sebagai anggota. 119 Tim Asistensi diketuai Arifin Junaidi (Wakil Sekjen PBNU),

dengan anggota H. Muhyidin Aburusman, H.M. Fachri Thaha Ma’ruf,

Lc., Drs. H. Abdul Aziz , MA., Drs. H. Andi Muarly Sunrawa, H.M.

Nasihin Hasan, Drs. Muhaimin Iskandar, Drs. H. Lukman Saifuddin

Zuhri dan Drs. Amin Said Husni. Lihat PW PKB Jawa Timur, Dokumen

Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, h. 127.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 233

membantu warga NU dalam melahirkan satu parpol

yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU.

Pada 22 Juni 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi

menyelenggarakan rapat dengan tujuan mendefinisi-

kan dan mengelaborasi tugas-tugasnya. Selanjutnya

pada 26-28 Juni 1998, kedua tim menggelar

pertemuan di Villa La Citra Cipanas, untuk

menyusun rancangan awal pembentukan parpol dan

menghasilkan 5 rancangan yaitu: (1). Pokok-Pokok

Pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, (2). Mabda’

Siyāsy, (3). Hubungan Partai Politik dengan NU, (4).

AD/ART, dan (5). Naskah Deklarasi. Lima rancangan

itu kemudian dibawa ke Silaturahmi Nasional Ulama

dan Tokoh NU di Bandung, 4-5 Juli 1998, untuk

memperoleh masukan lebih lanjut.120 Puncaknya,

pada 17 Juli 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi

mengadakan pertemuan finalisasi dan setelah melalui

diskusi yang melelahkan, akhirnya dapat menyelesai-

kan tugasnya, bahkan dapat menyerahkan hasil akhir

rancangan pembentukan parpol kepada rapat harian

Syuriah dan Tanfidziyah PBNU, 22 Juli 1998. Rapat

menyepakati bahwa parpol yang diharapkan dapat

menampung warga NU yang berjumlah lebih dari 40

juta khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya,

dibentuk dan diberi nama PKB (Partai Kebangkitan

Bangsa), salah satu dari tiga nama yang paling

120 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:

LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 112.

234 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

banyak disebut dalam usulan di atas. PKB

dideklarasikan pada 23 Juli 1998, di halaman Pondok

Pesantren Luhur “KH. A. Wahid Hasyim” Ciganjur,

Jakarta Selatan,121 dengan dihadiri lima ulama

terkemuka NU, yaitu KH. Ilyas Ruhiyat, KH.

Abdurrahman Wahid, KH. Munasir Ali, KH. Muchit

Muzadi dan KH. Mustofa Bisri. Bahkan beberapa

petinggi Orde Baru yang memiliki karier cemerlang

pada jajaran militer juga menyempatkan diri untuk

hadir. Mereka antara lain mantan Wakil Presiden dan

Panglima ABRI Try Sutrisno, mantan Menhankam

Edi Sudrajat, mantan Wakil Kasad Soerjadi dan

mantan Kabakin Ari Sudewo. Tampak pula Ribhi

Awad, Duta Besar Palestina untuk Indonesia.

Dengan demikian, PKB yang lahir atas desakan

warga NU, kiai pesantren, politisi dan para

simpatisan lainnya, dapat dikatakan sebagai

121 Arifin Junaedi, Wakil Sekjen PBNU, di depan sekitar 3000 warga

NU yang memadati halaman ponpes, membacakan latar belakang dan

kronologis pembentukan partai, yang dimulai dengan mundurnya

Soeharto dari kursi Presiden dan diiringi dengan lahirnya Era Reformasi,

sebagai upaya mewujudkan kehendak rakyat untuk mengubah semua

aspek kehidupan, ideologi, sosial, politik, ekonomi, budaya dan sistem

pertahanan keamanan. Kehidupan berbangsa dan bernegara harus

dikembalikan ke rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan oleh

karena itu, sesuai aspirasi warga NU, PBNU membidani lahirnya sebuah

parpol yang pada hari ini dideklarasikan. Lihat Musa Kazhim & Alfian

Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung:

Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 236-240.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 235

penjelmaan dari partai NU,122 yang pada tahun 1970-

an difusikan dengan tiga partai Islam lainnya –

Parmusi, PSII dan Perti – menjadi Partai Persatuan

Pembangunan (selanjutnya disebut PPP), karena

pendiriannya dibidani oleh organisasi kemasyarakat-

an Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama

(selanjutnya disebut dengan NU). Selain itu,

pembentukan PKB juga merupakan jalan tengah dari

warga NU untuk berjuang pada lini struktural

melalui proses pembuatan dan perumusan kebijakan

publik yang berpihak kepada rakyat, sambil terus

melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap

dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan

(jam’iyah dīniyah) pada era perubahan yang terjadi di

pentas politik nasional. Untuk memberi landasan

perjuangan PKB di sektor struktural, maka

dirumuskanlah mabda’ siyāsy (titik tolak politik)

dengan pendekatan fiqih siyāsy untuk menerapkan

nilai-nilai dan etika sosial Islam dalam bernegara,

sebagaimana telah menjadi tradisi NU.123

Selanjutnya, pembentukan PKB sebagai satu-

satunya partai yang diakui dan direstui oleh PBNU

122 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai

Islam Versus Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h.

133. 123 A. Muhaimin Iskandar, “PKB: Politik Rahmatan Lil-‘Alamin,”

dalam Sahar L. Hasan, (ed.), Memilih Partai Islam, Visi, Misi dan

Persepsi, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 25-26.

236 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

juga tidak bisa dipisahkan dari peran kiai pesantren,

lantaran NU merupakan organisasi keagamaan yang

dibentuk dan dikawal oleh para kiai dan menjadikan

pesantren sebagai basis massanya. Oleh karena itu

pantas, bila dalam pentas pemilu 1999, PKB yang

secara formal organisatoris masih belia, bisa

mendulang suara cukup besar dan muncul sebagai

partai yang menduduki posisi keempat dalam

perolehan suara setelah PDIP, Partai Golkar dan PPP.

Sebaliknya PNU, PKU dan Partai SUNI yang tidak

dideklasikan dan karenanya tidak direstui oleh PBNU

tidak mendapat dukungan luas dari jama’ah NU.

Faisal Ismail terkait dengan kedigjayaan PKB

tersebut, memprediksi karena tiga hal. Pertama,

pengakuan dan pemberian restu oleh PBNU terhadap

berdirinya PKB; Kedua, peran pesantren-pesantren

NU dan para kiai pengasuhnya sebagai jaringan

komunikasi politik yang efektif; dan Ketiga, sosok dan

peran Gus Dur yang memiliki reputasi yang baik

sehingga bisa menarik simpati mayoritas warga NU

untuk mendukung dan memilih PKB.124

Khusus prediksi yang terakhir itu, pada tingkat

tertentu, peran Gus Dur tidak hanya dalam menarik

simpati mayoritas warga NU, karena slogannya

“pejah gesang nderek Gus Dur. Atau dalam bahasa

124 Faisal Ismail, NU, Gusdurisme dan Politik Kiai, (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1999), Cet. Ke-1, h. 142-144.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 237

Inggrisnya, Gus Dur can do no wrong,”125 tetapi, ia

sebagai Ketua Umum PBNU, sebagaimana diuraikan

terdahulu, juga berperan dalam pembentukan,

perumusan visi dan misi PKB dan lain sebagainya.

Laode Ida, doktor sosiologi UI, percaya dengan

rumusan dari seorang kawannya tentang Gus Dur

dan NU. Katanya:

Gus Dur + NU = Gus Dur dan NU + Gus Dur = Gus Dur. Maksudnya, Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari NU atau NU – setidaknya sampai saat ini – tidak bisa dilepaskan dari Gus Dur. Kalau diteruskan, rumusan itu sekarang jadi begini: Gus Dur + NU + PKB = Gus Dur, NU + PKB + Gus Dur = Gus Dur dan PKB + NU + Gus Dur = Gus Dur. Jadi, Gus Dur ibarat spektrum dari semua prisma NU dan PKB. Boleh jadi, begitulah wujud tanggung jawab Gus Dur terhadap posisinya sebagai Ketua Umum PBNU.126

b) Azas dan Tujuan

Sebagai partai warga Nahdliyyin yang pertama

dan paling asli di Era Reformasi, PKB dengan tegas

tidak memilih Islam, tetapi lebih memilih Pancasila

125 Tim INCRes, Beyond Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran

dan Gerakan Gus Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. Ke-

1, h. xvi. 126 Musa Kazhim & Alfian hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,

Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h.

234.

238 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

sebagai azasnya.127 Dalam Anggaran Dasar (AD)

PKB, Bab III, Pasal 3 dikatakan “Partai berazaskan

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil

dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang

Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilam Sosial

bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pemakaian Pancasila sebagai azas partai

dilandasi oleh cara pandang tokoh-tokoh PKB dalam

melihat Islam, yakni bahwa Islam tidak perlu

dituangkan dalam bentuk formal kelembagaan, tetapi

yang terpenting adalah bahwa ajaran Islam harus

tecermin dalam tingkah laku sehari-hari, yang

disebut akhlakul karimah, dalam pengertian

sejauhmana partai mampu mewujudkan nilai-nilai

Islam di dunia politik.128 Jadi, para pendiri PKB

merancang partainya sebagai instrumen untuk

menerapkan nilai-nilai Islam dalam berpolitik,

sehingga salah besar jika PKB ditempatkan di luar

barisan partai-partai Islam, hanya karena PKB tidak

mengusung simbol-simbol Islam. Dalam hal ini, Gus

127 Bandingkan dengan partai Islam lainnya yang berdiri pada Era

Reformasi, cenderung memilih Islam sebagai azas organisasi, bila

seluruh penggagas dan sebagian besar pendukungnya menganut agama

Islam. Lihat Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-

Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999),

Cet. Ke-1, h. 121-141. 128 Uraian lebih jauh dapat dilihat dalam Salahuddin Wahid, Negeri

Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-Catatan Pendek Salahuddin Wahid,

(Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 22-25.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 239

Dur, antara lain menyatakan: “Tidak penting bagi

PKB berazaskan Islam. Yang penting PKB adalah

partai Islam. Banyak partai berazaskan Islam, tetapi,

mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak

Islami. Islam hanya dibuat mereknya saja. Jadi,

parpol berazaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan.

PKB bukan mementingkan mereknya, tetapi

isinya”.129 “Akhlak dan tauhid PKB adalah Islam.

Dari pada parpol berazas Islam, tetapi tidak Islami,

maka lebih baik seperti PKB, azas bukan Islam, tetapi,

kelakuan dan tauhidnya orang Islam.”130

Alwi Shihab, salah seorang Ketua DPP PKB lebih

lanjut menyatakan: “PKB didirikan dan ditegakkan

atas dasar nilai-nilai kebenaran ajaran Islam…,

biarlah orang menghujat PKB dengan berbagai

tuduhan. Ada yang menuduh murtad, tidak Islami,

partainya orang sarungan, kampungan dan sebagai-

nya. Semua tuduhan itu tidak benar adanya. Bahwa

PKB partai yang Islami 100 %,”131 sebagaimana dapat

disimak pada Prinsip Perjuangan Partai yang

berbunyi “Pengabdian kepada Allah Subhanahu

Wata’ala, menjunjung tinggi kebenaran dan

kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan,

menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan

129 Republika, 27 Mei 1999. 130 Jawa Pos, 29 Mei 1999. 131 Republika, 30 Mei 1999.

240 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Wal-

Jamā’ah.132

Meskipun tidak mendefinisikan dirinya secara

tegas sebagai partai Islam, kekentalan PKB dengan

aspek-aspek keislaman di atas, merupakan satu

kenyataan yang tak terbantahkan. Sedangkan

identifikasi PKB sebagai partai terbuka, selain secara

teoritis dimaksudkan agar orang di luar NU, bahkan

non muslim sekali pun bisa bergabung dengan PKB,

juga dipicu oleh tiga alasan. Pertama, semua orang

tahu bahwa PKB pada dasarnya Islam, karena

dibangun oleh warga NU. Oleh karena itu, teriakan

mengenai label Islam dan non Islam, tidak ada

artinya. Kedua, menjaga agar Islam tidak menjadi

komoditas politik belaka, lantaran mengedepankan

sebutan-sebutan partai Islam dan politik Islam,

sangat berisiko, karena jika dalam tataran realitas,

ajaran Islam tidak bisa direalisasikan, maka Islam

akan menjadi korban.133 Ketiga, PKB berusaha

mewujudkan politik Rahmatan li al-‘Ālamīn yang

berusaha mengintegrasikan spiritualitas keagamaan

dengan paham keindonesiaan yang majemuk,

mengedepankan nilai-nilai kebangsaan Indonesia

dari pada mendirikan Negara Islam atau menerapkan

132 Lihat Anggaran Dasar PKB Bab III Pasal 4. 133 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:

LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 115.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 241

hukum-hukum Islam secara formal.134 Komitmen

terhadap argumen yang terakhir ini, kemudian

dituangkan dalam tiga tujuan partai, yakni

mewujudkan cita-cita kemerdekaan Negara Republik

Indonesia, sebagaimana terdapat dalam pembukaan

UUD 1945; mewujudkan masyarakat adil dan

makmur, lahir dan batin, material dan spiritual; serta

mewujudkan tatanan nasional yang demokratis,

terbuka, bersih dan ber-akhlāk al karimāh.135

c) Visi & Misi

Visi PKB adalah terwujudnya bangsa dan

masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya,

yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran,

kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan bersumber

pada hati nurani (al-shidqu), dapat dipercaya, setia

dan tepat janji serta mampu memecahkan per-

masalahan sosial yang dihadapi (al-amānah wa al-

wafā’u bi al-‘abdi), bersikap dan bertindak adil dalam

segala situasi (al-‘adālah), tolong menolong dalam

kebajikan (al-ta’āwun), dan konsisten menjalankan

ketentuan yang telah disepakati bersama (al-

istiqāmah). Musyawarah dalam menyelesaikan

persoalan sosial (al-syūra) yang menempatkan

134 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-

Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,

2000), Cet. Ke-1, h. 23. 135 Lihat Anggaran Dasar PKB Bab V Pasal 7.

242 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

demokrasi sebagai pilar utamanya, dan persamaan

kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al-

musāwa) adalah prinsip dasar yang harus

ditegakkan.136

Misi PKB untuk mewujudkan visi di atas, adalah

mewujudkan tatanan masyarakat beradab yang

sejahtera lahir dan batin, yang setiap warganya

mampu mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaan,

yang meliputi: terpeliharanya jiwa raga, terpenuhi-

nya hak kemerdekaan, terpenuhinya kebutuhan

dasar manusia seperti pangan, sandang dan papan,

hak atas penghidupan/perlindungan pekerjaan, hak

mendapatkan keselamatan dan bebas dari peng-

aniayaan (hifzhu al-nafs), terpeliharanya agama dan

larangan adanya pemaksaan agama (hifzhu al-dīn),

terpeliharanya akal, dan jaminan atas kebebasan

berekspresi serta berpendapat (hifzhu al-‘aql),

terpeliharanya harta benda, ditempuh dengan

pendekatan amar ma’ruf nahi munkar, yakni upaya

menyerukan kebajikan serta mencegah segala

kemungkinan dan kenyataan yang mengandung

kemungkaran.137

Penjabaran dari misi yang diemban guna

mencapai terwujudnya masyarakat yang dicita-

136 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,

Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke1, h.

244. 137 Ibid., h. 244-245.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 243

citakan tersebut tidak bisa tidak harus dicapai melalui

keterlibatan dalam penetapan kebijakan publik. Jalur

kekuasaan menjadi amat penting ditempuh dalam

proses mempengaruhi pembuatan kebijakan publik

melalui perjuangan politik. Garis perjuangan politik

adalah melakukan pemberdayaan pada masyarakat

lemah, terpinggirkan dan tertindas; memberikan rasa

aman, tentram dan terlindungi kepada kelompok

masyarakat minoritas; dan membongkar sistem

politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya yang

memasung kedaulatan rakyat. Bagi PKB, upaya

mengartikulasikan garis perjuangan politiknya dalam

jalur kekuasaan menjadi suatu hal yang niscaya dan

dapat dipertanggungjawabkan. PKB juga yakin

bahwa kekuasaan itu sejatinya adalah milik Tuhan

Yang Maha Esa. Kekuasaan yang ada pada diri

manusia merupakan titipan dan amanat Tuhan yang

diberikan kepada manusia, yang oleh manusia hanya

boleh diberikan kepada pihak lain yang memiliki

keahlian dan kemampuan untuk mengemban dan

memikulnya. Keahlian memegang amanat kekuasaan

itu mensyaratkan kemampuan menerapkan kejujur-

an, keadilan dan kejuangan yang senantiasa memihak

kepada pemberi amanat.138

138 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai

Islam versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet.

Ke-1, h. 138-139.

244 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dalam kaitan dengan kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara, kekuasaan yang bersifat

demikian itu harus dapat dikelola dengan sebaik-

baiknya dalam rangka menegakkan nilai-nilai agama

yang mampu menebarkan rahmat, kedamaian dan

kemaslahatan bagi semesta. Manifestasi kekuasaan

itu harus digunakan untuk memperjuangkan

pemberdayaan rakyat agar menyelesaikan persoalan

hidupnya dengan lebih maslahat. PKB berketetapan

bahwa kekuasaan yang hakekatnya adalah amanat

itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan di

hadapan Tuhan dan dapat dikontrol pengelolaannya

oleh rakyat. Kontrol terhadap kekuasaan hanya

mungkin dilakukan manakala kekuasaan itu tidak

tak-terbatas dan tidak memusat di satu tangan, serta

berada pada mekanisme sistem yang institusi-

onalistik, bukan tertumpu pada kekuasaan

individualistik. Harus selalu dibuka ruang untuk

melakukan kompetisi kekuasaan dan perimbangan

kekuasaan sebagai arena mengasah ide-ide perbaikan

kualitas bangsa dalam arti yang sesungguhnya.

Pemahaman akan hal ini tidak hanya berlaku saat

memandang kekuasaan dalam tatanan kenegaraan,

melainkan juga harus terefleksikan dalam tubuh

internal partai.

PKB menyadari bahwa sebagai suatu bangsa

pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama

dan ras, tatanan kehidupan bangsa Indonesia harus

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 245

senantiasa berpijak pada nilai-nilai Ketuhanan Yang

Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,

persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/

perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Penetapan nilai-nilai Pancasila tersebut

haruslah dijiwai dengan sikap mengembangkan

hubungan tali persaudaraan antara sesama yang

terbuhul dengan ikatan keagamaan (ukhuwwah

dīniyyah), kebangsaan (ukhuwwah wathoniyyah) dan

kemanusiaan (ukhuwwah insāniyyah), dengan selalu

menjunjung tinggi semangat akomodatif, kooperatif,

dan integratif tanpa harus saling dipertentangkan

antara satu dengan yang lainnya.139

PKB bercirikan humanisme religius (insaniyah

diniyah), amat peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan

yang agamis dan berwawasan kebangsaan menjaga

dan melestarikan tradisi yang baik serta mengambil

hal-hal baru yang lebih baik untuk ditradisikan

menjadi corak perjuangan yang ditempuh dengan

cara-cara yang santun dan akhlak mulia. Partai

adalah ladang persemaian untuk mewujudkan

masyarakat beradab yang dicitakan, serta menjadi

sarana dan wahana sekaligus sebagai wadah

kaderisasi kepemimpinan bangsa. Partai dalam posisi

ini berkehendak untuk menyerap, menampung,

139 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta:

LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 114.

246 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

merumuskan, menyampaikan dan memperjuangkan

aspirasi rakyat guna menegakkan hak-hak rakyat dan

menjamin pelaksanaan ketatanegaraan yang jujur,

adil dan demokratis. PKB adalah partai terbuka

dalam pengertian lintas agama, lintas suku, lintas ras

dan lintas golongan, yang dimanifestasikan dalam

bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan

dan kepemimpinan. Partai bersifat independen dalam

pengertian menolak intervensi segala bentuk ke-

kuasaan dari pihak mana pun yang bertentangan

dengan tujuan didirikannya partai.

d) Basis Massa

Melalui visi kebangsaan dan nasionalisme, PKB

mencoba untuk membuka diri dan pintu bagi setiap

warga negara Indonesia, muslim dan non muslim

untuk menjadi anggota partai. AD/ART PKB

menyebutkan bahwa syarat menjadi anggota partai

adalah warga negara Indonesia dan telah berumur 17

tahun atau telah menikah; dapat membaca dan

menulis; serta menyetujui dan menerima Anggaran

Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Partai

Politik.140 Jadi, PKB tidak mensyaratkan Islam sebagai

syarat keanggotaan, meskipun secara mendasar ia

merupakan partai yang didirikan oleh warga NU dan

140 Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 4.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 247

dibidani oleh PBNU, yang notabene menganut agama

Islam.

Dalam menjaring anggota sebanyak-banyaknya,

PKB mempermudah prosedur pendaftaran anggota,

yang dimulai dengan pengajuan untuk menjadi

anggota kepada Dewan Pengurus Cabang melalui

Pengurus Ranting setempat, disertai pernyataan

persetujuan terhadap AD/ART, politik partai dan

membayar uang pangkal. Jika permohonan

dikabulkan, maka status sebagai calon anggota

selama 6 (enam) bulan dapat dimiliki dengan hak

menghadiri kegiatan-kegiatan partai yang dilakukan

secara terbuka. Jika tahap ini terlampaui, maka status

anggota penuh dapat diberikan oleh Dewan

Pengurus Cabang dengan penerbitan Kartu Anggota

Partai. Namun demikian permintaan anggota dapat

ditolak, jika ditemukan alasan-alasan yang ber-

tentangan dengan AD/ART.141

Secara mendasar, keanggotaan partai dapat

dibagi menjadi tiga kategori, yaitu anggota langsung,

anggota tak langsung dan anggota kehormatan.142

Dari ketiga jenis keanggotaan itu, kategori kedua

menempati urutan pertama dari keseluruhan massa

PKB, sedangkan urutan kedua ditempai oleh anggota

langsung, suatu realita yang barangkali disebabkan

oleh budaya politik kebanyakan warga negara

141 Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 5. 142 Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 3.

248 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Indonesia yang enggan berhubungan dengan

persoalan-persoalan administratif yang rumit dan

birokratis, di samping karena konsentrasi partai pada

hal-hal yang lebih mendesak seperti konsolidasi

internal kepemimpinan, menghadapi konflik politik

antar politisi NU, merespon isu-isu politik nasional

dan keterbatasan waktu karena harus segera

berancang-ancang mengikut pemilu. Sementara

anggota kehormatan, tidak banyak jumlahnya,

lantaran kualifikasi untuk masuk di dalamnya

tergolong tidak mudah.143

Selain diberi hak dan kewajiban, anggota partai

juga dilarang merangkap menjadi anggota partai lain,

menjadi organisasi kemasyarakatan yang azas dan

tujuannya berseberangan dengan azas dan tujuan

partai, serta harus tunduk pada struktur organisasi

partai yang lebih tinggi sepanjang tidak melanggar

AD/ART.144 Bila melanggar, maka diancam dengan

pembatalan keanggotaan, yang pelaksanaannya

dilakukan melalui beberapa tahap.145 Meskipun

demikian, upaya PKB untuk menampung seluruh

warga Nahdliyyin, sehingga dapat menjadikannya

sebagai partai politik yang tangguh, seperti dijelaskan

143 Mengenai proses untuk menjadi Anggota Kehormatan, dapat

dilihat pada ‘Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 6’. 144 Mengenai hak dan kewajiban anggota partai, dapat dilihat pada

‘Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 7 dan 8’. 145 Mengenai sanksi bagi yang melakukan pelanggaran dapat dilihat

pada ‘Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 10 dan 11’.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 249

terdahulu menemui batu sandungan dari para kiai

dan politisi, karena dari sayap NU selain Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) masih tetap eksis dan

established, berdiri pula Partai Nahdlatul Ummah

(PNU), Partai Kebangkitan Ummat dan Partai Serikat

Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI).

Sebagai partai yang dibidani kelahirannya oleh

PBNU, PKB sangat menggantungkan dukungan dari

komunitas NU, khususnya pesantren-pesantren NU

dan para kiai pengasuhnya, yang tersebar di wilayah

perdesaan Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat146

dan Kalimantan Selatan. Kecuali Kalimantan Selatan,

pada pemilu 1999, PKB ternyata mampu dan berhasil

mendulang kursi di tiga propinsi yang menjadi

kantong NU lainnya, terbanyak dibandingkan kursi

yang didulang oleh partai sayap NU lainnya. Dari

Propinsi Jawa Timur, PKB dapat mengumpulkan 24

(dua puluh empat) kursi DPR, Jawa Tengah 10

(sepuluh) kursi dan Jawa Barat mengumpulkan 6

(enam) kursi DPR. Sedangkan Propinsi Kalimantan

Selatan yang oleh PKB diprediksi dapat

menyumbang 11 (sebelas) kursi DPR, ternyata hanya

memperoleh 1 (satu) kursi DPR, sisanya terbagi

secara hampir berimbang di antara partai-partai

Islam, yakni masing-masing mendapatkan 1 (satu)

146 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan,

Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke1, h.

251.

250 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

kursi dan hanya PPP yang memperoleh 2 (dua) kursi

DPR.147

Dengan demikian, identifikasi seorang

konstituen sebagai warga NU di Kalimantan Selatan

pada pemilu 1999 tidak serta merta orang itu

mengalirkan dukungan politiknya kepada partai

yang didirikan oleh kaum Nahdliyyin, suatu

kenyataan yang barangkali terjadi karena para kiai

tidak merubah dirinya sebagai vote getter bagi partai-

partai Islam, atau barangkali karena kurangnya

koordinasi dan sosialisasi tokoh-tokoh partai dengan

para kiai, atau barangkali karena para kiai,

pendulang suara menempatkan dirinya sebagai

“kaum independen”, sehingga membuka peluang

kepada para pengikutnya untuk menentukan

pilihannya secara mandiri, baik dengan tidak

mengikuti pemilu/golput maupun dengan

mendukung partai yang sudah established, Golkar

dengan berbagai pertimbangan yang sifatnya

pribadi.148 Di daerah ini, Partai Golkar berhasil

menggaet 3 (tiga) kursi DPR, disusul PDIP yang

memperoleh 2 (dua) kursi DPR. Jadi, di propinsi ini,

Partai Golkar tampil sebagai pemenang pemilu 1999.

147 Mulyana W. Kusumah, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun

1999”, dalam Juri Ardiantoro F., Transisi Demokrasi; Evaluasi Kritis

Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 127-136. Lihat

pula Panitia Pemeilihan Indonesia, Jakarta 1 September 1999. 148 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta:

LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 121.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 251

Sementara di Lampung, daerah yang sebagian besar

penduduknya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa

Timur, sehingga menjadi kantong NU, menyumbang

2 (dua) kursi DPR bagi PKB.

Dengan demikian, perolehan kursi DPR di atas,

menggambarkan kedigjayaan PKB di Pulau Jawa,

khususnya Jawa Timur, daerah yang paling besar

jumlah pesantrennya di Indonesia. Pada tahun 1980

jumlah pesantren di propinsi ini mencapai 1.344 buah

dengan santri berjumlah 427.517 orang,149 sementara

pada tahun 2004, institusi pesantren tersebut

mengalami peningkatan hingga mencapai 3.582 buah

dengan santri berjumlah 1.169.256 orang dari 14.798

buah pesantren di Indonesia dengan santri berjumlah

3.464.334 orang.150 Jadi, melalui jaringan pesantren

yang ada, diiringi dengan peran kiai yang sangat

efektif, PKB mampu merebut hati rakyat dan

konstituennya, sehingga unggul dan menempati

urutan pertama dalam perolehan kursi DPR

dibandingkan partai Islam dan sekuler lainnya.

149 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen Pembinaan

Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 150 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen

Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia.

252 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

e) Struktur dan Kepemimpinan Partai

Struktur organisasi PKB berbentuk seperti garis

vertikal, merentang dari tingkat pusat sampai tingkat

daerah dan desa. Organisasi Tingkat Pusat dipimpin

oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP); Organisasi

Daerah Tingkat I dipimpin oleh Dewan Pengurus

Wilayah (DPW); Organisasi Tingkat II dipimpin oleh

Dewan Pengurus Cabang (DPC); Organisasi Tingkat

Kecamatan dipimpin oleh Pengurus Anak Cabang

dan Organisasi Tingkat Desa/Kelurahan dipimpin

oleh Pengurus Ranting. Pada masing-masing

tingkatan organisasi partai, susunan kepengurusan-

nya terbelah menjadi Dewan Syura dan Dewan

Tanfidzi. Struktur organisasi ini bersifat hirarkis dan

birokratis, sehingga kewenangan, tugas dan ke-

wajiban pimpinan di Tingkat Pusat adalah yang

paling besar, diikuti oleh Pengurus Wilayah,

Pengurus Cabang, Pengurus Anak Cabang dan

Pengurus Ranting. Dalam konteks kepemimpinan

partai, khususnya PKB, Dewan Pengurus Pusat

merupakan pimpinan tertinggi partai. Oleh karena

itu, dengan kepemimpinan yang bersifat kolektif,

DPP memiliki wewenang dan kewajiban paling besar.

Kewenangannya meliputi penentuan kebijaksanaan

partai pada tingkat nasional sesuai dengan Anggaran

Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan

Musyawarah Tingkat Nasional dan Peraturan Partai

lainnya, serta pengesahan komposisi dan personalia

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 253

Dewan Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang.

Sedangkan kewajibannya meliputi penyampaian

laporan pertanggungjawaban pada muktamar, serta

pelaksanaan segala ketentuan dan kebijaksanaan

partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran

Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat

Nasional dan Peraturan Partai lainnya.151

Dalam pada itu, Dewan Syura dalam PKB

menempati posisi sentral, karena merupakan

pimpinan tertinggi yang menentukan kebijakan

partai. Dewan Syura adalah dewan pengurus kolektif

yang terdiri atas para ulama dan para ahli yang

mencerminkan representasi daerah sebagai

pemegang amanah kepengurusan partai tertinggi

pada setiap tingkatan. Pada tingkat pusat, jumlah

anggota Dewan Syura tidak boleh melebihi 17 (tujuh

belas) orang, dipilih oleh dan bertanggung jawab

kepada muktamar untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.

Susunan Dewan Syura terdiri atas ketua, wakil ketua,

sekretaris dan anggota. Bila ketua, wakil ketua dan

sekretaris berhalangan, maka dapat ditunjuk pejabat

sementara berdasarkan musyawarah Dewan Syura.

Selain Dewan Syura, kepengurusan partai juga

dipegang oleh Dewan Tanfidzi, yaitu dewan

pelaksana partai yang mengelola organisasi dan

program-program partai pada setiap tingkatan. Di

151 Anggaran Rumah Tangga PKB Bab III, Pasal 12.

254 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Tingkat Pusat dipilih oleh dan bertanggung jawab

kepada Dewan Syura Tingkat Pusat untuk masa

jabatan 5 (lima) tahun. Kepengurusannya terdiri dari

ketua umum, beberapa ketua, sekretaris jenderal,

beberapa wakil sekretaris jenderal, bendahara dan

beberapa wakil bendahara. Dewan Tanfidzi memiliki

kewenangan menentukan pola pengelolaan partai

sesuai dengan kebijaksanaan Dewan Syura serta

berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah

Tangga, Keputusan Forum-Forum Musyawarah

Partai dan Peraturan Partai lainnya; serta

mengusulkan pembentukan perangkat-perangkat

partai pada tingkatannya masing-masing sesuai

dengan kebutuhan dan berdasarkan ketentuan yang

berlaku. Sedangkan tugas-tugasnya meliputi (1)

Melaksanakan kebijaksanaan partai sesuai dengan

Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga,

Keputusan Forum-Forum Permusyawaratan Partai

dan Peraturan Partai lainnya; (2) Mengelola

organisasi dan program-program partai secara efektif

dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan partai

dan (3) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban

kepada Dewan Syura.

Untuk kelancaran pelaksanaan program-

program, Dewan Pengurus Pusat membentuk

kelengkapan partai yang disebut departemen, yang

terdiri dari Departemen Organisasi, Keanggotaan dan

Kaderisasi, Departemen EKUIN, Departemen

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 255

Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen

Pemuda dan Mahasiswa, Departemen Hubungan

Internasional, Departemen Media Massa dan

Pengembangan Opini, Departemen Jaringan

Informasi dan Data, Departemen Seni dan Budaya

dan Departemen Tenaga Kerja, Buruh, Tani dan

Nelayan.152

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat

dikatakan struktur organisasi dan kepengurusan PKB

memperlihatkan kesamaan dengan struktur

organisasi massa Nahdlatul Ulama, suatu kenyataan

yang sangat mungkin karena antara PKB dan NU

memiliki hubungan yang bersifat historis, kultural

dan aspiratif. Sebagaimana NU, susunan pengurus

PKB di setiap tingkatan ada dua, Dewan Syura dan

Dewan Tanfidzi, di mana kewenangan pertama lebih

besar dibandingkan kewenangan yang kedua. Dewan

Syura yang anggotanya terdiri dari para kiai adalah

jajaran pimpinan yang menentukan kebijaksanaan,

melakukan kontrol, mengevaluasi bahkan bisa mem-

veto keputusan partai yang operasionalisasinya

dilakukan oleh Dewan Tanfidzi.

Kewenangan yang begitu besar yang diberikan

kepada Dewan Syura, bagi PKB merupakan

penghargaan, lantaran salah satu kekuatan yang

terpenting dalam PKB adalah pesantren dan para kiai

152 Julia I. Suryakusuma, Almanak Parpol Indonesia, (Jakarta: API,

1999), h. 279-280.

256 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

pengasuhnya. Melalui otoritas agama yang

disandangnya, mereka mampu menyerap aspirasi

masyarakat yang ada di sekitarnya, bahkan melalui

kharisma dan kepiawaiannya dalam mengemas

bidang-bidang di luar agama, mereka juga dapat

berperan sebagai lokomotif perubahan dalam bidang

sosial, ekonomi, kesehatan, kebudayaan dan cara

pandang masyarakat, yang pada gilirannya mereka

dapat menjadi kekuatan politik yang empiris. Jadi,

sebagai partai yang dibentuk untuk menyalurkan

aspirasi warga NU yang sangat menghormati ulama,

PKB tidak ingin tercerabut dari akar realitas tersebut.

PKB tidak dapat mengingkari bahwa sejatinya yang

memiliki umat dan massa secara nyata adalah para

kiai, sehingga keberadaannya di dalam partai harus

dihargai dengan menempatkannya pada posisi yang

strategis. Oleh karena itu, seperti telah diuraikan,

PKB merancang struktur organisasi yang

mengkolaborasikan struktur organisasi politik

modern, rasional, idealistik yang diilhami oleh nilai-

nilai keagamaan dan pragrmatisme dalam pengertian

yang positif.

2. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)

a) Proses Pembentukan Partai

Sejalan perjalanan waktu, dari sayap NU berdiri

Partai Kebangkitan Nasional Ulama (selanjutnya

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 257

disebut PKNU).153 Pendirian partai politik baru ini

bermula dari pertemuan para kiai/ulama, Rabu, 6

September 2006 di Graha Astra Nawa Jl. Gayungan

Timur, Surabaya. Dalam rapat ini, mereka sepakat

untuk mendirikan partai dan oleh karena itu, mereka

memberikan mandat dan amanah kepada KH.

Abdullah Faqih, kiai kharismatik, pengasuh Pondok

Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur dan

KH. Abdurrochman Chudlori, pengasuh Pondok

Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo,

Magelang, Jawa Tengah, untuk mempersiapkan

pendirian partai baru sekaligus melakukan istikhoroh

guna memperoleh isyaroh atau petunjuk-petunjuk

dari Allah.154

Sebagai ulama kenamaan, KH. Abdullah Faqih

dan Mbah Dur, demikian KH. Abdurrochman

Chudlori akrab disapa, pada pertemuan di Ponpes

Langitan, Widang, Tuban, Kamis, 14 September 2006,

mengembangkannya menjadi Tim 9 (sembilan).

Selanjutnya, pada pertemuan di Ponpes Lirboyo,

Kediri, Jawa Timur, Jum’at 21 September 2006, rapat

sepakat mengembangkan Tim 9 (sembilan) menjadi

153 Berdirinya PKNU bermula dari perseteruan panjang antara PKB

Gus Dur+Muhaimin Iskandar dengan PKB Alwi Shihab+Saifullah

Yusuf. Dari PKB yang terakhir inilah kemudian muncul PKB Ulama dan

selanjutnya lahir PKNU, setelah PKB Gus Dur+Muhaimin Iskandar

memperoleh kemenangan dan pengesahan dari Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia (Depkumham) Republik Indonesia. 154 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara

Merdeka (Semarang), 30 Maret 2007.

258 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Tim 17 (tujuh belas), dan dilengkapi dengan Tim

Asistensi yang terdiri dari 13 orang. Pada pertemuan

tanggal 10 Nopember 2006, di Ponpes al-Falah, Ploso,

Mojo, Kediri, Jawa Timur, draft rancangan pendirian

partai yang telah dibuat, diolah dan didiskusikan

kembali, dan pada pertemuan puncak, tanggal 21

Nopember 2006, di Ponpes Langitan, Widang, antara

para kiai dengan Tim 17 (tujuh belas), yang

merupakan representasi para ulama NU, yaitu KH.

Abdullah Faqih (Langitan, Widang, Tuban, Jatim),

KH. Ma’ruf Amin (Tenara, Banten), KH.

Abdurrochman Chudlori (Tegalrejo, Magelang,

Jateng), KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin (Panji,

Situbondo, Jatim), KH. M. Idris Marzuki (Lirboyo,

Kediri, Jatim), KH. Ahmad Warson Munawwir

(Krapyak, Daerah Istimewa Yogyakarta), KH.

Muhaimin Gunardo (Parakan, Temanggung, Jateng),

KH. Abdullah Schal (Bangkalan, Jatim), KH. Sholeh

Qosim (Sepanjang, Sidoarjo, Jatim), KH. Nurul Huda

Djazuli (Ploso, Kediri, Jatim), KH. Chasbullah Badawi

(Cilacap, Jateng), KH. Abdul Adzim Abdullah

Suhaimi, MA. (Mampang Prapatan, Jakarta Selatan),

KH. Mas Muhammad Subadar (Besuki, Pasuruan,

Jatim), KH. A. Humaidi Dakhlan, Lc. (Banjarmasin,

Kalsel), KH. M. Thahir Syarkawi (Pinrang, Sulsel),

Habib Hamid bin Hud al-Atthos (Cililitan, Jakarta

Timur) dan KH. Aniq Muhammadun (Pati, Jateng),

dihasilkan 9 butir kesepakatan, antara lain para kiai

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 259

sepakat mendirikan parpol baru bernama PKNU

sebagai kelanjutan PKB Ulama yang didlholimi oleh

pengadilan dan kekuasaan. Dengan demikian, 21

Nopember 2006 merupakan tanggal, para kiai sepuh

yang berjumlah tujuh belas kiai tersebut, bertempat

di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban,

sepakat dan menandatangani akad politik pendirian

PKNU.155

Pendirian PKNU oleh para kiai/ulama yang oleh

masyarakat dikenal mempunyai integritas keilmuan

dan bermoral, dapat dipandang sebagai wadah

politik untuk menegakkan kebenaran dan keadilan

(iqāmah al-haq wa al-‘adl), di samping harus dimaknai

sebagai kebangkitan nasional “dari” (min al) ulama,

karena melalui PKNU, para kiai/ulama menjadi

motor yang menandai kebangkitan nasional kedua

untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan

berbangsa dan bernegara yang sudah rusak. Selain

itu, kehadirannya juga harus dimaknai sebagai alat

politik untuk memperjuangan kebangkitan nasional

sebagaimana ditunjukkan oleh para ulama terdahulu

yang telah mewujudkan rasa cinta tanah air (hub al-

wathan) dengan perlawanan terhadap penjajah.156

155 PKNU Diklaim sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka,

(Semarang), 27 Nopember 2006. 156 KH. Abdullah Faqih, Ketua Tim Tujuh Belas Kiai dan Anggota

Dewan Mustasyar PKNU, Wawancara Pribadi, Widang 15 Pebruari

2007.

260 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dengan demikian, melalui PKNU para kiai/

ulama mempunyai keinginan untuk memperbaiki

keadaan bangsa dan negara yang mengalami

keterpurukan berkepanjangan pada semua sektor

kehidupan, di samping juga menghendaki tercipta-

nya tatanan sosial dan politik di Indonesia selaras

dengan visi keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah,

sehingga tercapai harmonisasi serta dapat meng-

hindari benturan antara agama dan negara (li al-Ishlāh

al-Ummah Dīniyyatan wa Ijtimāiyyatan, Iqtishādiyyatan

wa Siyāsiyyatan, Fikriyyatan wa Akhlāqiyyatan). Karena

parpol yang ada tidak ada yang memiliki struktur

dan platform sesuai dengan tanggung jawab para

ulama, bahkan ada parpol yang hanya menjadikan

ulama sebagai pelengkap dan alat legitimasi belaka,

maka para kiai/ulama pun sepakat untuk men-

dirikan PKNU yang berangkat dengan visi ke-

agamaan, sebagai wadah politik untuk menyalurkan

dan memperjuangkan aspirasi warga NU. Jadi,

PKNU adalah warna politik baru yang jauh dari

arogansi kekuasaan, karena dikawal oleh para

ulama.157

PKNU dideklarasikan pada Sabtu, 31 Maret 2007

di Pondok Pesantren Langitan Widang, Tuban, Jawa

Timur, bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi

Muhammad Saw dan istighotsah untuk mendo’akan

157 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara

Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 261

keselamatan bangsa dan negara atas berbagai

berbagai bencana yang terjadi. Di depan 20 ribu

massa, puluhan ulama “Kelompok Kiai Sepuh”, Tim

17 pendiri PKNU dan sejumlah habaib dari berbagai

daerah, yang memenuhi halaman, Ketua Umum DPP

PKNU, optimis mampu menarik mayoritas suara

Nahdliyyīn pada pemilu 2009, bahkan yakni suara

Nahdliyyīn yang secara nasional kurang lebih 18

persen bisa dipungut PKNU.“158 PKNU ini, klaim

Anam, merupakan wujud baru Partai NU dulu”.

Pada Pemilu 1955 dan 1971, Partai NU meraup suara

18 persen dari total suara pemilih nasional. Oleh

karena itu, PKNU yang didirikan oleh para ulama

senior NU berani menargetkan perolehan suara 18

persen pada Pemilu 2009. Dengan basis utama Jawa

Timur, yang juga basis utama NU, maka PKNU yakin

target 18 persen tidak mengada-ada.159 Ia optimis

massa PKB Jawa Timur akan berpindah ke PKNU

karena kiai-kiai berpengaruh di Jawa Timur adalah

nyata-nyata atau notabene merupakan pendiri partai

yang diketuainya itu. Para kiai itu antara lain KH.

Abdullah Faqih, KH. Ahmad Sufyan, KH. M. Idris

Marzuki, KH. Abdullah Schal, KH. Sholeh Qosim,

KH. Nurul Huda Jazuli, KH. Mas Muhammad

Subadar dan Lora Cholil, kiai muda, putera kiai besar

NU almarhum KH. As’ad Syamsul Arifin. Perolehan

158 Deklarasi PKNU, Republika, (Jakarta), 2 April 2007, h. 3. 159 PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyīn, Antara News, (Jakarta), 31

Maret 2007.

262 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

11 juta suara nasional PKB pada Pemilu 2004, tujuh

juta di antaranya merupakan sumbangan dari Jawa

Timur. Sementara di luar Jawa Timur, sejumlah kiai

NU berpengaruh juga bergabung di PKNU, seperti

KH. Abdurrochman Chudlori, KH. Muhaimin

Gunardo, KH. Aniq Muhammadun, KH. Chasbullah

Badawi (Jateng), KH. Warson Munawwir (DIY), KH.

Humaidi Dahlan (Kalsel), KH. M. Thahir Syarkawi

(Sulsel), dan Habib Hamid bin Hud al-Atthos dan

KH. Abdul Adzim Suhaimi (Jakarta) dan KH. Ma’ruf

Amin (Banten).160 PKNU sendiri telah didaftarkan ke

Departemen Hukum dan HAM pada 18 Oktober 2006

dan secara organisatoris telah siap mengikuti Pemilu

2009. Ia optimis PKNU lolos verifikasi dan dapat

mengikuti pemilu, karena sesuai aturan, kepengurus-

an PKNU sudah ada di 30-an propinsi dan 350-an

kabupaten/kota yang merupakan peralihan dari

kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hasil

Muktamar Surabaya.

KH. Ma’ruf Amin Ketua Dewan Mastasyar

PKNU, yang juga salah seorang Rois Syuriah PBNU

dan Ketua Komisi Fatwa MUI, menyatakan PKNU

meski berazas Islam, tidak akan mengarahkan

Indonesia menjadi Negara Islam. “PKNU meyakini

NKRI adalah bentuk final Negara ini.” PKNU

mempunyai tiga pandangan dalam meletakkan

syariat Islam di dalam bingkai NKRI, sehingga tidak

160 Ibid.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 263

akan terjadi benturan antara Islam dan Negara serta

antara umat Islam dengan penganut agama lain.

Pertama, PKNU mendukung dan mengupayakan

formalisasi syariat yang ruang lingkupnya privat dan

tidak mengundang keberatan pemeluk agama lain,

misalnya UU Haji, Zakat, Perkawinan, Wakaf dan

Waris. Kedua, terkait persoalan yang menentukan

wilayah publik, PKNU akan berusaha memasukkan

substansi atau nilai-nilai dasar agama Islam. Ketiga,

apabila ha-hal tersebut tidak bisa dicapai, maka

PKNU akan memperjuangkan terciptanya kesesuaian

aturan dengan nilai dari tujuan-tujuan syariat.

Dengan demikian, agama dan negara bisa tumbuh

bersama-sama dan saling mengisi, sehingga tercapai

harmonisasi. Ini dimungkinkan karena azas PKNU

itu Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang bermakna

mendasar untuk membentuk karakter dan sikap

politik yang moderat, toleran, reformatif, dinamis dan

bermetode.161

KH. Ma’ruf Amin selanjutnya menegaskan,

bahwa NU sebagai organisasi telah memilih

mengambil jarak dengan partai politik, sedangkan

partai politik yang ada dinilai kurang sejalan dengan

aspirasi para ulama, terutama dalam penataan dan

perbaikan kehidupan umat. Oleh karena itu, mereka

mendirikan PKNU dan keterlibatan mereka dalam

PKNU bukan untuk mengejar kedudukan politik,

161 Ibid.

264 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

melainkan untuk memenuhi tanggung jawab

keulamaan, salah satunya adalah tanggung jawab

yang berkenaan dengan kehidupan berbangsa dan

bernegara. NKRI adalah fitrah. Oleh karena itu, harus

dikawal melalui perjuangan politik agar cita-cita

negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945

dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Jadi, tidak

ada kepentingan politik pribadi, baik jangka pendek

maupun jangka panjang.162

KH. Abdurrochman Chudlori, Ketua Dewan

Syuro yang juga dikenal sebagai pengasuh Pondok

Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo,

Magelang, Jawa Tengah, menegaskan, politik

bukanlah sesuatu yang haram bagi kalangan ulama.

Justru, para ulama harus terlibat di dalamnya agar

bisa turut langsung dalam upaya memperbaiki dan

mengatur negara, di samping mengurus umat. Jadi,

PKNU ini merupakan bangkitnya ulama untuk ikut

mengatur negara agar tidak semakin rusak. Kiai dan

ulama wajib mendirikan partai sebagai sarana ikut

mengatur negara, bukan untuk mengejar

kekuasaan.163

162 Ibid. 163 Ulama Harus Melekat Dengan Politik, Republika, (Jakarta), 17

Desember 2006, h. 3.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 265

b) Azas dan Tujuan

Sebuah partai cenderung memilih Islam sebagai

azasnya jika seluruh penggagas dan sebagian besar

pendukungnya menganut agama Islam. PKNU yang

didirikan oleh para kiai sepuh dan didukung oleh

warga NU juga punya kecenderungan yang sama,

dengan menjadikan Islam menurut faham Ahl al-

Sunnah wa al-Jamā’ah sebagai azas (ciri khusus yang

dapat membentuk karakter politik bagi sebuah

partai), yakni membentuk karakter dan sikap politik

yang moderat (tawassuthiyyah), toleran

(tasammuhiyyah), reformatif (islāhiyyah), dinamis

(tathowwuriyyah) dan bermetode (manhījiyyah).

Sedangkan tujuan perjuangannya adalah untuk

mengabdi kepada Allah SWT, menegakkan

kebenaran dan keadilan, mewujudkan kebersamaan

dan persaudaraan sejati sesuai dengan nilai-nilai

Islam ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah di dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.164

c) Visi & Misi

Visi PKNU adalah menciptakan negara dan

bangsa yang adil, damai, dan sejahtera (baldatun

164 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara

Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007. Lihat pula Anggaran Dasar

PKNU BAB III, Pasal 3 dan 4.

266 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

thoyyibatun wa robbun ghafūr) sebagai perwujudan

dari rasa keimanan yang berlandaskan keagamaan

dan rasa cinta tanah air. Sedangkan misi PKNU

tecermin dari tiga bentuk tanggung jawab yang

diemban ulama. Pertama, tanggung jawab yang

berkaitan dengan agama Islam (dīniyyah Islāmiyyah),

yakni ulama menjadi penjaga keberlangsungan

agama Islam yang berdasarkan aqidah Ahl al-Sunnah

wa al-Jamā’ah (mas’uliyyah dīniyyah Islāmiyah ‘ala

thariqah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah) sebagai kerangka

berfikir dan bertindak dalam beragama dan ber-

bangsa, sehingga antara agama dan negara tumbuh

bersama saling mengisi dan tercapai harmonisasi.

Tanggung jawab kedua yang dipikul ulama

adalah bertalian dengan umat (mas’uliyyah

ummatiyah), yakni ulama berupaya untuk memenuhi

tuntutan umat atas tiga hal yang menjadi kebutuhan-

nya, antara lain kebutuhan primer (dharuriyyah/

asāsiyyah), kebutuhan sekunder (hājiyyah), dan ke-

butuhan yang sifatnya aksesoris (tahsīniyyah/

takmīliyyah). Kebutuhan umat baik yang primer,

sekunder maupun aksesoris ini menjadi tanggung

jawab ulama untuk memenuhinya agar tercapai

kesejahteraan.

Ketiga, tanggung jawab ulama yang berkenaan

dengan berbangsa dan bernegara (mas’uliyyah

wathaniyyah). Terkait tanggung jawab ini, para ulama

meyakini, bahwa Negara Kesatuan Republik

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 267

Indonesia (NKRI) adalah final. Keyakinan ini harus

senantiasa dikawal melalui artikulasi (perjuangan)

politik ulama agar cita-cita Negara Republik

Indonesia seperti termaktub dalam Pembukaan

Undang Undang Dasar 1945 dapat terwujud dengan

sebaik-baiknya.165

PKB adalah partai yang dibentuk dan dibesarkan

oleh para kiai yang berkomitmen kuat terhadap Islam

Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Berkat keterlibatan kiai-

kiai sepuh di dalamnya, PKB berhasil meraih

peringkat ketiga perolehan suara pemilu 1999 dengan

persiapan yang hanya enam bulan. Ironisnya, dalam

perjalanan selanjutnya, partai ini mempertontonkan

tingkah laku yang melenceng jauh dari cita-cita

politik kiai. Akibatnya, para kiai yang semuanya

merupakan tokoh-tokoh NU terkemuka bersepakat

bahwa partai ini tidak dapat lagi dijadikan sebagai

alat perjuangan politiknya. Karena, sudah sangat

menyimpang dari rancang bangun partai politik yang

diharapkan baik dari sisi perilaku, platform, struktur

dan terutama ideologi. Sekalipun pembentukannya

difasilitasi oleh PBNU, namun, akibat dari pelbagai

penyimpangan tersebut, pada Muktamar NU ke-30 di

Asrama Haji Donohudan, Solo, PBNU secara tegas

165 Lihat Anggaran Dasar PKNU Bab V Pasal 7.

268 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

menyatakan tidak lagi ada ikatan politik, kultural dan

emosional dengan PKB.166

Bertolak dari serangkaian pertemuan yang

dilakukan secara marathon oleh sejumlah kiai sepuh

yang terakui kredibilitas moral dan keilmuannya atas

dinamika politik seperti dijelaskan di atas dan

diiringi dengan permohonan petunjuk kepada Allah

SWT., maka dicapailah satu kesepakatan untuk

mendirikan partai baru bernama PKNU sebagai alat

perjuangan bukan untuk meraih kekuasaan. Ke-

lahiran PKNU berarti kebangkitan nasional dari (min

al) ulama. Partai ini didirikan oleh para kiai untuk

dijadikan sebagai kekuatan penggerak yang paling

andal bagi kebangkitan nasional kedua di Indonesia,

guna melakukan pelbagai perubahan dalam kehidup-

an berbangsa dan bernegara yang sudah rusak.

Perubahan mendasar yang dikehendaki oleh PKNU

mencakup perubahan tatanan nilai, sistem, dan

kepemimpinan yang pada saat ini sangat mendesak

untuk dibenahi.167

166 A. Adib, “Politik Kiai dan Kiai Politik,” Semarang, (Suara

Merdeka), 5 April 2007. 167 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara

Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 269

d) Basis Massa

Melalui visi dan misi yang telah digariskan di

atas, PKNU mencoba untuk membuka diri dan pintu

bagi setiap muslim, warga negara Indonesia,

terutama kalangan Nahdliyyīn untuk menjadi anggota

partai. AD/ART PKNU menyebutkan bahwa syarat

menjadi anggota partai adalah warga negara

Indonesia, muslim dan telah berumur 17 tahun atau

telah menikah; dapat membaca dan menulis; serta

menyetujui dan menerima Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga serta Partai Politik.168 Jadi,

PKNU tetap mensyaratkan Islam sebagai syarat

keanggotaan, lantaran PKNU merupakan partai yang

didirikan oleh para kiai sepuh, kharismatik dan

berpengaruh, yang notabene merupakan warga dan

pengawal NU, bahkan di antara mereka ada yang

menduduki jabatan sebagai Rais Syuriah PBNU.169

Dalam menjaring anggota sebanyak-banyaknya,

PKNU mempermudah prosedur pendaftaran

anggota, yang dimulai dengan pengajuan untuk

menjadi anggota kepada Dewan Pengurus Cabang

melalui Pengurus Ranting setempat, disertai

pernyataan persetujuan terhadap AD/ART, politik

partai dan membayar uang pangkal. Jika per-

mohonan dikabulkan, maka status sebagai calon

168 Anggaran Rumah Tangga PKNU Bab II, Pasal 3. 169 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara

Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.

270 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

anggota selama 6 (enam) bulan dapat dimiliki dengan

hak menghadiri kegiatan-kegiatan partai yang

dilakukan secara terbuka. Jika tahap ini terlampaui,

maka status anggota penuh dapat diberikan oleh

Dewan Pengurus Cabang dengan penerbitan Kartu

Anggota Partai. Namun demikian permintaan

anggota dapat ditolak, jika ditemukan alasan-alasan

yang bertentangan dengan AD/ART.170

Secara mendasar, keanggotaan partai dapat

dibagi menjadi tiga kategori, yaitu anggota langsung,

anggota tak langsung dan anggota kehormatan.171

Dari ketiga jenis keanggotaan itu, kategori kedua

menempati urutan pertama dari keseluruhan massa

PKNU, sedangkan urutan kedua ditempati oleh

anggota langsung, suatu realita yang barangkali

disebabkan oleh budaya politik kebanyakan warga

negara Indonesia yang enggan berhubungan dengan

persoalan-persoalan administratif yang rumit dan

birokratis, di samping karena konsentrasi partai pada

hal-hal yang lebih mendesak seperti konsolidasi

internal kepemimpinan, menghadapi konflik politik

antar politisi NU, merespon isu-isu politik nasional

dan keterbatasan waktu dan lain sebagainya.

Sementara anggota kehormatan, tidak banyak

jumlahnya, lantaran kualifikasi untuk masuk di

dalamnya tergolong tidak mudah.

170 Anggaran Rumah Tangga PKNU Pasal 5. 171 Anggaran Rumah Tangga PKNU Pasal 4.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 271

Selain diberi hak dan kewajiban, anggota partai

juga dilarang merangkap menjadi anggota partai lain,

menjadi organisasi kemasyarakatan yang azas dan

tujuannya berseberangan dengan azas dan tujuan

partai, serta harus tunduk pada struktur organisasi

partai yang lebih tinggi sepanjang tidak melanggar

AD/ART. Bila melanggar, maka diancam dengan

pembatalan keanggotaan, yang pelaksanaannya

dilakukan melalui beberapa tahap.172 Meskipun

demikian, upaya PKNU untuk menampung seluruh

warga Nahdliyyin, sehingga dapat menjadikannya

sebagai partai politik yang tangguh, bisa jadi akan

menemui batu sandungan dari para kiai dan politisi,

karena dari sayap NU selain Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB) juga terdapat Partai Persatuan

Pembangunan (PPP). PPP masih tetap eksis dan

established, serta menyatakan diri sebagai partai

berazas Islam, menggantikan azas Pancasila dan

berlambang Ka’bah menggantikan lambang

Bintang.173

172 Anggaran Rumah Tangga PKNU Bab II, Pasal 11. 173 Pada Muktamar PPP, Rabu, 9 Desember 1998, di Asrama Haji,

Pondok Gede, Jakarta Timur, ada 2 (dua) wacana yang mencuat yakni

penggantian tanda gambar dan Islam sebagai azas partai. Fenomena

pertama tidak lebih dari sebuah fenomena simbolik, sementara wacana

kedua bersifat substansial, karena dengan fenomena itu, PPP berupaya

“mengidentifikasi” dirinya secara tegas agar ia dapat “mendefinisikan”

diri dan didefinisikan” sebagai partai politik modern, dengan basis

konstituen yang khas. Konkretnya, pertama, ia tetap memiliki jatidiri

dan citra positif sebagai partai politik berbasis massa Islam. Kedua,

dengan demikian, PPP telah melakukan terobosan politik: agar

272 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Sebagai partai yang dibentuk oleh para kiai

pesantren, pengawal NU dan warga NU, PKNU

sangat menggantungkan dukungan dari komunitas

NU, khususnya pesantren-pesantren NU dan para

kiai pengasuhnya, yang tersebar di wilayah

perdesaan Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah

Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten

Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan daerah-

daerah lain di Indonesia. Khusus untuk Jawa Timur,

Ketua Umum optimis pada Pemilu 2009, partai yang

dipimpinnya mampu mendulang 11 juta suara

Nahdliyyin yang tersebar di daerah itu, mengingat

Jawa Timur merupakan daerah yang paling besar

jumlah pesantrennya di Indonesia. Pada tahun 1980

jumlah pesantren di propinsi ini mencapai 1.344 buah

dengan santri berjumlah 427.517 orang, sementara

pada tahun 2004, institusi pesantren tersebut

mengalami peningkatan hingga mencapai 3.582 buah

dengan santri berjumlah 1.169.256 orang dari 14.798

buah pesantren di Indonesia dengan santri berjumlah

3.464.334 orang. Jadi, melalui jaringan pesantren yang

ada, diiringi dengan peran kiai yang sangat efektif,

PKNU mampu merebut hati rakyat dan konstituen-

nya, sehingga unggul dan menempati urutan pertama

dalam perolehan kursi DPR kelak dibandingkan

perolehan suara dalam pemilu kelak bertambah, atau setidaknya

bertahan. Lihat M. Alfan Alfian, ‘Islam Politik’ PPP, dalam Musa

Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan

Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 305.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 273

partai Islam dari sayap NU khususnya dan partai

sekuler lainnya.174

e) Struktur dan Kepemimpinan Partai

Struktur organisasi PKNU berbentuk seperti

garis vertikal, merentang dari tingkat pusat sampai

tingkat daerah dan desa. Organisasi Tingkat Pusat

dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP);

Organisasi Daerah Tingkat I dipimpin oleh Dewan

Pengurus Wilayah (DPW); Organisasi Tingkat II

dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC);

Organisasi Tingkat Kecamatan dipimpin oleh

Pengurus Anak Cabang dan Organisasi Tingkat

Desa/Kelurahan dipimpin oleh Pengurus Ranting.

Pada masing-masing tingkatan organisasi partai,

susunan kepengurusannya terdiri dari Dewan

Mustasyar (Dewan Pertimbangan), Dewan Syura

(Dewan Permusyawaratan) dan Dewan Tanfidzi

(Dewan Eksekutif).175 Struktur organisasi ini bersifat

174 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara

Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007. Lihat pula PKNU Tarik

Mayoritas Nahdliyyīn, Antra News, (Jakarta), 31 Maret 2007. 175 Bandingkan dengan struktur organisasi PKB yang hanya terdiri

dari Dewan Syuro dan Dewan Tanfidzi, sedangkan struktur organisasi

PPP terdiri dari Majelis Pertimbangan Partai, Majelis Pakar dan Dewan

Pimpinan Pusat. Bila pada PKB, Dewan Syuro mempunyai posisi

sentral, karena ia merupakan pimpinan tertinggi yang menentukan

kebijaksanaan partai, maka pada PPP, Dewan Pimpinan Pusat Partai

justru menempati posisi sentral, karena sebagai Dewan Pelaksana, ia

menentukan kebijakan partai, bukan Majelis Pertimbangan Partai atau

274 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

hirarkis dan birokratis, sehingga kewenangan, tugas

dan kewajiban pengurus di tingkat Pusat adalah yang

paling besar, diikuti oleh Pengurus Wilayah,

Pengurus Cabang, Pengurus Anak Cabang dan

Pengurus Ranting. Dalam konteks kepengurusan

partai, khususnya PKNU, Dewan Pengurus Pusat

merupakan pimpinan tertinggi partai. Oleh karena

itu, dengan kepengurusan yang bersifat kolektif, DPP

memiliki wewenang dan kewajiban paling besar.

Kewenangannya meliputi penentuan kebijaksanaan

partai pada tingkat nasional sesuai dengan Anggaran

Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan

Musyawarah Tingkat Nasional dan Peraturan Partai

lainnya, serta pengesahan komposisi dan personalia

Dewan Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang.

Sedangkan kewajibannya meliputi penyampaian

laporan pertanggungjawaban pada muktamar, serta

pelaksanaan segala ketentuan dan kebijaksanaan

partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran

Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat

Nasional dan Peraturan Partai lainnya.176

Majelis Pakar. Keduanya hanya berfungsi memberi pertimbangan

semata dan penentu akhir tetap pada DPP. Sementara pada PKNU,

Dewan Mustasyar menempati posisi sentral, karena ia merupakan

pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pengarah dan penentu

kebijakan partai yang mendasar. Dengan demikian, letak posisi sentral

penentu kebijakan partai sangat kondisional dan tergantung pada

masing-masing partai politik. 176 Anggaran Rumah Tangga PKNU Bab III, Pasal 13.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 275

Dalam pada itu, Dewan Mustasyar dalam PKNU

menempati posisi sentral, karena merupakan

pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pengarah

dan penentu kebijakan partai yang mendasar. Dewan

Mustasyar adalah dewan pengurus kolektif yang

beranggotakan para kiai senior dengan KH. Ma’ruf

Amin sebagai Rois. KH. Ma’ruf Amin menegaskan,

keterlibatan ulama dalam PKNU bukan untuk

mengejar kedudukan politik, melainkan untuk

memenuhi tanggung jawab keulamaan, salah satunya

adalah tanggung jawab yang berkenaan dengan

kehidupan berbangsa dan bernegara.177 Pada tingkat

pusat, jumlah anggota Dewan Mustasyar 26 (dua

puluh enam) orang kiai senior, dipilih oleh dan

bertanggung jawab kepada muktamar untuk masa

jabatan 5 (lima) tahun. Susunan Dewan Mustasyar

terdiri dari seorang ketua dan beberapa orang

anggota. Bila ketua, berhalangan, maka berdasarkan

musyawarah dapat ditunjuk anggota senior sebagai

pejabat sementara. Karena berfungsi sebagai peng-

arah dan penentu, maka Dewan Mustasyar melalui

Dewan Syura dapat melakukan kontrol dan meng-

evaluasi, bahkan bisa menveto keputusan partai yang

secara operasional dilakukan oleh Dewan Tanfidzi.

Dengan demikian, dalam kepengurusan PKNU,

selain Dewan Mustasyar, juga terdapat Dewan Syuro

177 PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret

2007.

276 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dan Dewan Tanfidzi. Struktur keduanya berada di

bawah Dewan Mustasyar. Sebagaimana Dewan

Mustasyar, kepengurusan Dewan Syuro juga diisi

oleh para kiai dan terdiri dari seorang ketua dan 5

(lima) wakil ketua, seorang sekretaris dan wakil

sekretaris serta 14 (empat belas) anggota. Ketua

Dewan Syuro terpilih KH. Abdurrochman Chudlori,

pengasuh Ponpes Asrama Perguruan Islam, Tegal-

reja, Magelang, sementara sekretaris terpilih Prof. Dr.

Alwi Shihab, mantan Ketua Umum PKB dan mantan

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI.

Sementara Kepengurusan Dewan Eksekutif diduduki

oleh politisi dan terdiri dari seorang ketua umum, 8

(delapan) ketua, seorang sekretaris jenderal, 8

(delapan) wakil sekjen, seorang bendahara dan 5

(lima) wakil bendahara. Ketua Umum PKNU terpilih

Drs. H. Choirul Anam, mantan Ketua Pengurus

Wilayah PKB Jawa Timur dan Ketua Umum PKB

hasil Muktamar Ulama Surabaya, sekretaris jenderal

terpilih H. Idham Cholied, sedangkan bendahara

umum terpilih Ridwan Zai.178 Dewan Tanfidzi

merupakan dewan pelaksana partai yang mengelola

organisasi dan program-program partai pada setiap

tingkatan. Di tingkat Pusat dipilih oleh dan

bertanggung jawab kepada Dewan Syura dan Dewan

Mustasyar Tingkat Pusat untuk masa jabatan 5 (lima)

178 PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret

2007. Dalam Deklarasi itu, juga disebutkan Struktur Organisasi PKNU

di atas.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 277

tahun. Dewan Tanfidzi memiliki kewenangan

menentukan pola pengelolaan partai sesuai dengan

arahan dan kebijaksanaan Dewan Mustasyar, Dewan

Syura serta berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran

Rumah Tangga, Keputusan Forum-Forum Musya-

warah Partai dan Peraturan Partai lainnya; serta

mengusulkan pembentukan perangkat-perangkat

partai pada tingkatannya masing-masing sesuai

dengan kebutuhan dan berdasarkan ketentuan yang

berlaku. Sedangkan tugas-tugasnya meliputi (1)

Melaksanakan kebijaksanaan partai sesuai dengan

Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga,

Keputusan Forum-Forum Permusyawaratan Partai

dan Peraturan Partai lainnya; (2) Mengelola

organisasi dan program-program partai secara efektif

dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan partai;

dan (3) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban

kepada Dewan Mustasyar dan Dewan Syuro.

Untuk kelancaran pelaksanaan program-

program, Dewan Pengurus Pusat membentuk

kelengkapan partai yang disebut departemen, yang

terdiri dari Departemen Organisasi, Keanggotaan dan

Kaderisasi, Departemen EKUIN, Departemen

Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen

Pemuda dan Mahasiswa, Departemen Hubungan

Internasional, Departemen Media Massa dan

Pengembangan Opini, Departemen Jaringan

Informasi dan Data, Departemen Seni dan Budaya

278 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dan Departemen Tenaga Kerja, Buruh, Tani dan

Nelayan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat

dikatakan struktur organisasi dan kepengurusan

PKNU tidak memperlihatkan kesamaan dengan

struktur organisasi massa Nahdlatul Ulama, suatu

kenyataan yang sangat mungkin, karena antara

PKNU dan NU meskipun didirikan oleh para kiai

pesantren, tidak memiliki hubungan yang bersifat

historis, kultural dan aspiratif. Namun, karena

dibentuk oleh para kiai, Ketua Umum PKNU

mengklaim bahwa PKNU adalah kelanjutan dari PKB

Ulama hasil Muktamar Surabaya, berdasarkan salah

satu butir keputusan final rapat para kiai “Tim Tujuh

Belas” di Ponpes langitan, Widang, Tuban, 21

Nopember 2006, bahkan juga dikalim bahwa “PKNU

merupakan wujud baru Partai NU dulu.”179

Kewenangan yang begitu besar yang diberikan

kepada Dewan Mustasyar dan Dewan Syura, bagi

PKNU merupakan penghargaan, lantaran salah satu

kekuatan yang terpenting dalam PKNU adalah

pesantren dan para kiai pengasuhnya. Melalui

otoritas agama yang disandangnya, mereka mampu

menyerap aspirasi masyarakat yang ada di sekitar-

nya, bahkan melalui kharisma dan kepiawaiannya

179 Lihat “PKNU Diklaim Sebagai kelanjutan PKB,” Suara

Merdeka, (Jakarta), 27 Nopember 2006. lihat pula “PKNU Tarik

Mayoritas Nahdliyyin,” ANTARA News, (Jakarta), 31 Maret 2007.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 279

dalam mengemas bidang-bidang di luar agama,

mereka juga dapat berperan sebagai lokomotif

perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, kesehatan,

kebudayaan dan cara pandang masyarakat, yang

pada gilirannya mereka dapat menjadi kekuatan

politik yang empiris. Jadi, sebagai partai yang

dibentuk untuk menyalurkan aspirasi warga NU

yang sangat menghormati ulama, PKNU tidak ingin

tercerabut dari akar realitas tersebut. PKNU tidak

dapat mengingkari bahwa sejatinya yang memiliki

umat dan massa secara nyata adalah para kiai,

sehingga keberadaannya di dalam partai harus

dihargai dengan menempatkannya pada posisi yang

strategis. Oleh karena itu, seperti telah diuraikan,

PKNU merancang struktur organisasi yang

mengkolaborasikan struktur organisasi politik

modern, rasional, idealistik yang diilhami oleh nilai-

nilai keagamaan dan pragmatisme dalam pengertian

yang positif.180

Kepengurusan PKNU, untuk Dewan Mustasyar

(Dewan Pertimbangan) diisi antara lain oleh para

deklarator dan anggota Tim Tujuh Belas dengan

Rois/Ketua, KH. Ma’ruf Amin, Anggota, KH.

Abdullah Faqih, KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin,

KH. Zainal Aibidin Munawwir, KH. Muhaiman

Gunardo, KH. Achmad Basyir (Kudus), KH.

180 KH. Abdurrochman Chudlori, Politik Kiai dan PKNU, Suara

Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.

280 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Abdullah Schal, KH. M. Idris Marzuki, KH. Nurul

Huda Djazuli, KH. Mas Muhammad Subadar, KH.

Mansur Sholeh, KH. Hasbullah Badawi, KH. Afif

Astari, KH. Abdul Hamid Baedhowi, Habib Syagaf

al-Jufri, MA., KH. Abdul Jalil Ma’ruf, KH. Hasan

Syarif, Lc., KH. Choiruddin Rais, KH. Abdurrahman,

KH. Achmad Basyir (Sumenep), KH. Ahmad Damiri,

KH. Ahya’ al-Anshori, KH. Abdul Aziz Afandi,

Habib Hamid bin Hud al-Atthos, Nyai Hj. Nihayah

Achmad Shiddiq dan Nyai Hj. Umroh Thalhah

Mansur. Dewan Syuro (Dewan Permusyawaratan)

juga diisi antara lain oleh para deklator dan anggota

Tim Tujuh Belas dengan Ketua, KH. Abdurrochman

Chudlori, Wakil Ketua, KH. Ahmad Warson

Munawwir, KH. Anwar Iskandar, KH. Ubaidillah

Faqih, KH. A. Humaidi Dakhlan, Lc., dan KH. M.

Thahir Syarkawi. Sekretaris, Prof. Dr. H. Alwi Shihab,

Wakil Sekretaris, KH. Aly As’ad, Anggota, KH. R.

Muhammad Cholil As’ad, KH. Sholeh Qosim, KH.

Hasan Aminuddin, KH. Muchtar Amin, KH.

Machrus, KH. Abdul Haq Zaini, KH. Sulthon Daeng

Rowa, KH. Amir Asyikin, KH. Abdul Latif Faqih, KH.

Abdul Adzim Abdullah Suhaimi, MA., KH. Aniq

Muhammadun, KH. Amin Siradj, Habib Anis al-

Hinduwan dan Tengku H. Razali Irsyad. Sedangkan

Dewan Tanfidz (Dewan Eksekutif) diduduki oleh

politisi dengan Ketua Umum, Drs. H. Choirul Anam,

Ketua, R. Saleh Abdul Malik, MBA., Dr. H. Zein

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 281

Heflin Frinces, B.Sc., M.Sc., Soc., MA., H. Chudry

Sitompul, SH., MH., Ir. H. Mukhtar Thaher, MT.,

Muhammad Nazief, SE., MBA., H. Muhammad Said,

Dra. Hj. Siti Ma’rifah, SH., MM. dan Ahmad Anas

Yahya. Sekretaris Jenderal, H. Idham Cholied, Wakil

Sekjen, Drs. M. Jamaluddin Shofisa, SH., M.Kn.,

Muhammad Tohadi, SH., M.Si., H. Andi Najmi

Fuaidi, SH., Drs. H. Nur Hasan, M.Si., Drs. H. Ni’am

Syukri MSR., Galih Fachruddin Qurbani, ST.,

Abdullah Mufied Mubarok, dan Zainal Abidin Amir,

S.Ag., SIP. Bendahara Umum, Ridwan Zai, Dipo

Nusantara Pua Upa, SH., Drs. HT. Jakin Sobri, MM.,

Bambang Sungkono, H. Abdul Chalim dan Dra. Hj.

Farichatul Aini.181

Berdasarkan akad yang telah disepakati dan

struktur organisasi partai di atas, maka para kiai

ingin menegaskan bahwa PKNU pada pentas politik

nasional, akan membangun warna baru: politik kiai,

yakni bahwa partai politik dan politisi bergerak

sesuai dengan arahan dan bimbingan para kiai,

bukan kiai politik, yang cenderung berarti kiai-lah

yang terseret arus politik. Jadi, karakter politik kiai

dibangun di atas landasan bahwa politik merupakan

alat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan

(iqomah al-haq wa al-‘adl) dengan orientasi amar ma’ruf

181 PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret

2007. Dalam Deklarasi itu, juga disebutkan Struktur Organisasi PKNU

di atas.

282 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

nahi al-munkar, sehingga bagi PKNU politik tidak

sekedar, meraih dan mempertahankan kekuasaan

belaka, tetapi sebagai ibadah mencari ridlo Allah

SWT.182

Dari terminologi politik kiai tersebut, maka

nampak bahwa yang membedakan PKNU dari

partai-partai politik lain yang sudah ada adalah

terletak pada kehadiran Dewan Mustasyar – selain

Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz – yang tidak

sekedar hiasan berisikan kiai sepuh, tetapi memiliki

bobot politik yang besar, sehingga bisa mengeluarkan

veto atas perilaku yang dinilai bertentangan dengan

arahan perjuangan partai. Karena posisi politiknya

yang besar itu, maka Dewan Mustasyar berfungsi

pula sebagai problem solver dari sengketa politik yang

mungkin muncul.183

3. Implikasi Kebangkitan PKB dan PKNU Terhadap

Dunia Pesantren

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan salah satu

dari sekian banyak partai yang berdiri pada era

reformasi. Pembentukannya yang terjadi, sehari

setelah Soeharto meletakkan jabatan sebagai

182 A. Adib, Politik Kiai dan Kiai Politik, Suara Merdeka,

(Semarang), 5 April 2007. 183 Ibid.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 283

Presiden, Kamis, 21 Mei 1998, tidak bisa dipisahkan

dari desakan warga NU, kiai pesantren, politisi dan

para simpatisan, kepada PBNU. Oleh karena itu,

tepat bila dikatakan bahwa PKB merupakan partai

yang kelahirannya dibidani oleh PBNU dan direstui

oleh para kiai pesantren yang menjadi pendukung

dan pengawal NU.184 Selain itu, PKB juga dapat

dikatakan sebagai partai jelmaan dari partai NU,185

yang pada tahun 1970-an difusikan dengan tiga partai

Islam lainnya – Parmusi, PSII dan Perti – menjadi

Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan

pembentukan PKB juga dapat dikatakan sebagai jalan

tengah dari warga NU untuk berjuang pada lini

struktural melalui proses pembuatan dan perumusan

kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat,

sambil terus melakukan gerakan kultural melalui NU

yang tetap dipertahankan sebagai organisasi sosial

keagamaan (jam’iyah dīniyah) pada era perubahan

yang terjadi di pentas politik nasional. Untuk

memberi landasan perjuangan PKB di sektor

struktural, maka dirumuskanlah mabda’ siyāsy (titik

tolak politik) dengan pendekatan fiqih siyāsy untuk

184 Pengawalan kiai pesantren terhadap PKB terlihat dari suara yang

diperolehnya. Sebagai partai partai yang masih belia, PKB bisa

mendulang suara cukup besar dan muncul sebagai partai yang

menduduki posisi keempat, setelah PDIP, Partai Golkar dan PPP. 185 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai

Islam Versus Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h.

133.

284 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

menerapkan nilai-nilai dan etika sosial Islam dalam

bernegara, sebagaimana telah menjadi tradisi NU.186

Adapun PKNU merupakan partai politik yang

pendiriannya dibidani oleh para kiai pesantren yang

sebelumnya menjadi pendukung dan pengawal PKB.

Pendirian PKNU juga tidak bisa dipisahkan dari

konflik berkepanjangan antara PKB versi Muktamar

Semarang yang dipimpin oleh Gus Dur-Muhaimin

Iskandar dengan PKB versi Muktamar Surabaya

pimpinan Choirul Anam. Karena keputusan

Mahkamah Agung memberikan kemenangan kepada

kepengurusan PKB versi Muktamar Semarang, maka

sejumlah kiai pesantren yang tergabung dalam

Forum Langitan, langsung mengambil sikap

mendirikan partai baru.187 Partai yang dideklarasikan

di Pondok Pesantren Langitan pada Sabtu, 31 Maret

2006 di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa

Timur itu diberi nama Partai Kebangkitan Nasional

Ulama (PKNU). Dengan demikian, pada era

reformasi ini terdapat tiga partai yang

kepengurusannya didominasi oleh warga NU, yakni

PPP, PKB dan PKNU. Khusus dua yang terakhir ini,

pendiriannya banyak melibatkan kiai pesantren.

186 A. Muhaimin Iskandar, “PKB: Politik Rahmatan Lil-‘Alamin,”

dalam Sahar L. Hasan, (ed.), Memilih Partai Islam, Visi, Misi dan

Persepsi, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 25-26. 187 Kiai Langitan Siapkan Partai Baru, Republika, (Jakarta), 26

Agustus 2006, h. 3.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 285

Sebagai partai politik, pendirian PKB dan PKNU

jelas banyak melibatkan kiai pesantren. Tetapi

kemudian, persoalannya pada basis akar rumput,

terutama warga pesantren yang menjadi

pendukungnya, juga akan terpolakan mengingat

kedua partai tersebut, pembentukannya juga dibidani

oleh para pengasuh pesantren? Pada era Orde Baru,

khususnya pada era 1970-1980-an, pesantren bisa

terpolakan, misalnya ada pesantren Golkar dan ada

pesantren PPP.188 Pesantren Golkar diwakili oleh

Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang.

Sedangkan pesantren PPP diwakili oleh Pondok

Pesantren Tebuireng, Pondok Pesantren al-Taroqqy,

Sampang Madura, Pondok Pesantren Sidogiri,

Pasuruan, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah

Asembagus, Situbondo, Pondok Pesantren Langitan,

Widang Tuban dan lain sebagainya. Tetapi pada era

reformasi, berkaitan dengan keberadaan dua partai,

PKB dan PKNU, pola-pola pesantren bisa jadi masih

ada, tetapi tidak sekental era pemerintah Presiden

Soeharto, sebagaimana terlihat pada Pemilu 2004

yang lalu, ada satu atau bahkan banyak pesantren

yang santrinya menyalurkan aspirasinya kepada

banyak partai, misalnya ada yang memberikan

188 Imam Suprayogo, “Kiai dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian

Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai,” Disertasi Doktor

Ilmu Sosial, (Surabaya: Perpustakaan Pascasarjana Universitas

Airlangga, 1998), h. 14.

286 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

suaranya ke PKB, PPP, Golkar, Partai Demokrat, PKS

atau bahkan PDI dan lain sebagainya.189

Dalam pandangan kiai, pemberian suara oleh

para santri yang tidak tunggal itu biasa di era

reformasi ini. KH. Abdullah Faqih, Ketua Deklarator

PKNU, menanggapi pernyataan Khadziq, Ketua

Umum DKN Garda Bangsa, yang menyatakan bahwa

tidak wajib hukumnya bagi kader PKB masuk ke

PKNU, tetapi, tidak dilarang jika kader PKB masuk

ke PPP sebagaimana dijelaskan di atas, justru

menegaskan bahwa tidak perlu saling menggembosi,

apalagi saling menjatuhkan. Para kiai yang selama ini

menjadi panutan PKB hasil Muktamar Surabaya

sudah mufakat mendirikan PKNU sebagai wadah

baru. Kalau mau gabung sumonggo (silahkan), jika

tidak, ya tidak usahlah komentar macam-macam.190

Dalam konteks pesantren, penegasan KH. Abdullah

Faqih tersebut juga menunjukkan kearifan seorang

kiai bahwa sesama pesantren tidak perlu bersitegang

apalagi konflik, sehingga menyebabkan perpecahan

pesantren. Masing-masing pesantren dapat menjalan-

189 Lihat lebih lanjut Asrori S. Karni dan Arif Sujatmiko, Politik

Seribu Pintu, Gatra, XI, 1-2 (November, 2004), h. 20-25. Kondisinya

tidak seperti pada era Orde Lama dan Orde Baru yang membenturkan

Islam Nasionalis (Nasionalis Religius) dengan bukan Islam (Nasionalis

Sekuler), sehingga terdapat anggapan yang tidak mencoblos Masyumi

berarti tidak Islam dan yang tidak mencoblos PPP juga berarti tidak

Islam. Pesantren Tebuireng dipandang sebagai pendukung PPP,

sedangkan Pesantren Darul Ulum sebagai pendukung Golkar. 190 PKNU Diklaim Sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka,

(Semarang), 27 Nopember 2006.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional

Era Reformasi 1998 – 2004 287

kan aktivitasnya sesuai dengan ketentuan yang telah

digariskannya, bahkan juga dapat bersinergi dalam

memperjuangkan hak-hak pesantren sebagai lembaga

pendidikan melalui mekanisme penyusunan

anggaran pada lembaga legislatif dan eksekutif,

sehingga keberadaan dan keberlangsungannya tetap

dapat terjaga. Abdullah Mufiet Mubarok, Wakil

Sekjen PKNU, lebih lanjut, menyatakan bahwa semua

pihak hendaknya saling menghargai dan meng-

hormati, tidak perlu memberikan himbauan yang

tidak-tidak kepada yang lain, mau bergabung ya

silahkan, tidak maun bergabung ya tidak masalah.

Semua diserahkan kepada para santri dan warga

pesantren untuk menentukan pilihannya.191 Kiai M.

Hasib Wahab, Anggota Dewan Pembina Yayasan

Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang, malah

menyatakan bahwa partai bukan barang sakral.

Dakwah bisa dilakukan di mana saja. Jadi, dengan

bekal spirit NU, para santri dipersilahkan memilih

jalur politik mana saja, ibarat melalui seribu pintu.192

191 PKNU Diklaim Sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka,

(Semarang), 27 Nopember 2006. 192 Asrori S. Karni dan Arif Sujatmiko, Politik Seribu Pintu, Gatra,

XI, 1-2 (November, 2004), h.23-24.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, KH. Siradjuddin, Ulama Syafi’i dan Kitab-

kitabnya dari Abad ke Abad, Jakarta: Pustaka

Tarbiyah, 1975.

Abdullah, Taufik, Nasionalisme & Sejarah, Bandung:

Setya Historika, 2001, Cet. Ke-1.

Abdullah, Taufiq (ed), Sejarah Ummat Islam Indonesia,

Jakarta: MUI, 1991.

Aidit, D.N., Revolusi, Angkatan Bersenjata dan Partai

Komunis, Jakarta: Pembaruan, 1964.

Alfian, “Sekitar Lahirnya Nahdlatul Ulama” (NU),

Sebuah Resume Dalam Bentuk Booklet, Jakarta:

Leknas-LIPI, 1969.

Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan

Perwakilan Rakyat, Jakarta: Leknas, 1971.

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia,

Jakarta: Gramedia, 1978.

Ali, A. Mukti, Modern Thought in Indonesia,

Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971.

Ambary, Hasan Muarif (ed.), Geger Cilegon 1888

Peranan Pejuang Banten Melawan Penjajah

Belanda, Serang: Panitia Hari Jadi Ke-462 Pemda

Tk. II Kebupaten Serang, 1988.

Ambary, Hasan Muarif, Michrob, Halwani (ed), Geger

Cilegon 1888, Peranan Pejuang Banten Melawan

569

Penjajah Belanda, Serang: Pemda Tk. II

Kabupaten Serang, 1988.

Amin, M. Masyhur dan Ridwan, M. Nasikh, KH. Zaini

Mun’im, Pengabdian dan Karya Tulisnya,

Yogyakarta: LKPSM, 1996, Cet. Ke-1.

Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto,

Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1.

Anam, Choirul (ed.), KHR. As’ad Syamsul Arifin,

Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya:

Sahabat Ilmu, 1994, Cet. Ke-1.

Anam, Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan

Nahdlatul Ulama, Surabaya: Jatayu Sala, 1985.

Anderson, Benedict R.O.G., Some Aspects of Indonesian

Politics under the Japanese Occupation 1944-1945,

Ithaca: Modern Indonesia Project, 1967.

Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Muhammadiyah,

Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah,

1962.

Anggaran Dasar dan Rumah Tangga PKB, Jakarta: DPP

PKB, 1999.

Anggaran Dasar dan Rumah Tangga PKNU, Jakarta:

DPP PKNU, 2006.

Anshari, E. Saifuddin, Kritik Atas Faham Dan Gerakan

“Pembaharuan” Drs. Nucholish Madjid, Bandung:

Bulan Sabit, 1973.

Antlov, Hans dan Cederroth, Sven, Kepemimpinan

Jawa, Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter,

terjemahan P. Soemitro, Jakarta: Yayasan Obor,

2001, Cet. Ke-1.

570

Aritonang, Diro, Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto,

Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998,

Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. Ke-1.

Armstrong, Karen, Berperang demi Tuhan,

Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan Yahudi

terjemahan, Satrio Wahono, Muhammad Helmi

dan Abdullah Ali, Bandung: Mizan, 2001, Cet.

Ke-1.

Asmawi, PKB: Jendela Politik Gus Dur, Yogyakarta:

Titian Ilahi Press, 1999.

Atjeh, H. Aboe Bakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid

Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia

Buku Peringatan KH. A. Wahid Hasyim, 1957.

Azhari, Muntaha dan Saleh, Abdul Mun’im (ed.),

Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta:

Perhimpunan Pengembangan Pesantren Dan

Masyarakat, 1989.

Aziz, A. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Missi

Islam, Kristen dan Yahudi Tentang Politik, alih

bahasa Ilyas Siraj, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000, Cet. Ke-1.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan

Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,

Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam Di

Indonesia, Bandung: Mizan, 1994, Cet. Ke-1.

Al-Badri, Syaikh Abdul Aziz, Ulama Mengoreksi

Penguasa, terjemahan Salim Muhammad Wakid,

Solo: Pustaka Mantiq, 1991, Cet. Ke-2.

571

Baehaqi, Imam (Peny.), Soeharto Lengser; Perspektif

Luar Negeri, Yogyakarta: LKiS, 1999.

Bakry, H.M.K., al-Ghazzali, Jakarta: Wijaya, 1962.

Barton, Greg, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS,

2003, Cet. Ke-1.

---------------, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia,

Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid,

Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman

Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999, Cet. Ke-1.

Basyaib, Hamid dan Abidin, Hamid (ed.), Mengapa

Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari

Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden,

Jakarta: Alvabet, 1999, Cet. Ke-1.

Batuthah, Ibnu, Rihlatu Ibnu Batuthah al-Musammat

Tujfatu al-Nadhar fi Gharāibi al-Amshor wa ‘Ajāibi

al-Asfār, Cairo: al-Istiqamah, 1386/1967, Juz. I.

Benda, Harry J., The Crescent and The Rising Sun,

Indonesian Islam under The Japanese Occupation

1942-1945, Den Haag: The Hague, 1958.

Benedanto, Pax, (et.al.), Pemilihan Umum 1999,

Demokrasi atau Rebutan Kursi?, Jakarta: LSPP,

1999.

Brugmans, I.J., Geschiedenis van het Orderwijs in Ned.

Indie, Batavia: Groningen, 1938.

Budiardjo, Miriam (ed), Partisipasi dan Partai Politik,

Jakarta: Gramedia, 1982.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:

Gramedia, 1999, Cet. Ke-20.

572

Cahyono, Heru, Peranan Ulama Dalam Golkar: 1971-

1980, Dari Pemilu Sampai Malari, Jakarta: Sinar

Harapan, 1992.

Castles, Lance, Tingkah Laku Agama, Politik dan

Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, Jakarta:

Sinar Harapan, 1982, Cet. Ke-1.

Chaidar, Manaqib Mbah Ma’sum, Kudus: Menara

Kudus, 1972.

Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-

Partai Islam versus Partai-Partai Sekuler, Jakarta:

Darul Falah, 1999, Cet. Ke-1.

Chalil, H. Moenawar, Biografi Empat Serangkai Imam

Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1955.

Deutsch, Karl W., Politics and Government: How People

Decide Their Fate, Boston, Houghton Mifflin Co.,

1970.

Dewantoro, Ki Hadjar, Taman Siswa, Yogyakarta:

Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962.

Dhakidae, Daniel, “Pemilihan Umum di Indonesia:

Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik”,

dalam Demokrasi dan Proses Politik, kumpulan

artikel di dalam Majalah Prisma, Jakarta: LP3ES,

1986.

Dhoefier, Zamakhsyari, The Pesantren Tradition, The

Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional

Islam in Java, USA: ASU, 1999.

Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat, Kiai

Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta:

LKiS, 1999, Cet. Ke-1.

573

Dirdjosisworo, Soedjono, Aspirasi Dan Sikap Politik

Gus Dur Di Tengah Reformasi Menuju Indonesia

Baru, Bandung: Mandar Maju, 1999.

Djajadiningrat, A., “Het Leven in Een Pesantren,

Tijdscrift Voor Het Binnenlandsche, Vol. 34,

1908.

Djumhur, I dan Danasuparta, H., Sejarah Pendidikan,

Bandung: Ilmu, 1974), Cet. Ke-9.

Djunaidi, H. Mahbub, Nahdlatul Ulama Kembali Ke

Khittah 1926, Bandung: Risalah, 1985, Cet. Ke-1.

DPW NU Daerah Istimewa Yogyakarta, Hasil Bahtsul

Masail Sekitar Pemilu Antar Pondok Pesantren Se-

Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Karya

Grafika, 1987.

Ecip, S. Sinansari (ed), NU Khittah dan Godaan Politik,

Bandung: Mizan, 1994.

---------------, NU Dalam Tantangan, Jakarta: al-Kautsar,

1989, Cet. Ke-1.

Effendy, Bachtiar, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal,

Retaknya Hubungan NU, Presiden dan Negara,

Jakarta: Ushul Press, 2005.

---------------, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran

dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta:

Paramadina, 1998.

F., Juri Andiantoro, Transisi Demokrasi; Evaluasi, Kritis

Penyelenggaraan Pemilu 1999, Jakarta: KIPP,

1999.

574

Fathoni, Khoirul dan Zen, Muhammad NU Pasca

Khittah, Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah,

Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992.

Fealy, Greg dan Barton, Greg, Tradisionalisme Radikal:

Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara,

Yogyakarta: LKiS, 1997, Cet. Ke-1.

Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-

1967, Yogyakarta: LKiS, 2003, Cet. Ke-1.

Feillard, Andree, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi,

Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999, Cet.

Ke-1.

Feillard, Andree, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi,

Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999, Cet.

Ke-1.

Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy

in Indonesia, Ithaca, Cornell University Press,

1962.

Forrester, Geoff & May, RJ (ed.), The Fall of Soeharto,

Bathurst, NSW: Crawford House Publishing,

1998.

Gani, Soelistyati Ismail, Pengantar IlmuPolitik, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1991.

Gazalba, Sidi, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan

Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1962.

Geertz, Clifford, “The Javanese Kijaji: The Changing

Role of a Cultural Broker,” Comparative Studies

in Society and History, 2, No. 2 (Januari 1960).

575

---------------, The Religion Of Java, London: Collier-

Macmillan Limited, 1960.

Ghazali, Abd. Rohim, Gus Dur Dalam Sorotan

Cendekiawan Muhammadiyah, Bandung: Mizan,

1999.

Al-Ghazzali, Abu Hamid Muhammad, Ihya

‘Ulumuddin, Cairo: Musthafa al-Babi al-Halby,

1936.

---------------, al-Iqtisad Fi al-I’tiqad, Beirut: Dar al-Kutub

al-Islamiyah, 1983.

Gibb, H.A.R. and Kramer, J., Shorter Encyclopaedia of

Islam, Leiden: E.J. Brill, 1953.

Habibie, Bacharuddin Jusuf, Detik-Detik Yang

Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju

Demokrasi, Jakarta: THC Mandiri, 2006, Cet. Ke-

1.

Haidar, M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama Dan Islam Di

Indonesia, Pendekatan Fikih Dalam Politik, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1994, Cet. Ke-1.

Hamidi, Jazim (ed), Persepsi dan Sikap Masyarakat

Santri Jawa Timur Terhadap Bank Syariah,

Malang: Centre for Business & Islamic

Economics Studies, Faculty of Economics-

Brawijaya University, 2006.

Hasan, Sahar L., (ed.), Memilih Partai Islam, Visi, Misi

dan Persepsi, Jakarta: Gema Insani, 1998.

Hasyim, Abd. Wahid, “Pondok Pesantren Langitan

Widang Tuban, Sejarah Berdiri dan

Perkembangannya 1852-1982”, Skripsi Sarjana

576

Sejarah kebudayaan Islam, Jakarta:

Perpustakaan Fakultas Adab UIN Syarif

Hidayatullah, 1982.

Hiroko, Horikoshi, “A Traditional Leader in a Time for

Change: The Kijaji and Ulama in West Java”,

Disertasi, University of Illinois, 1976.

Hurgronje, C. Snouck, Mekka in the Latter Part of the

19th Century, translation J.H. Monahan, Leiden:

E.J. Brill, 1931.

Ida, Laode, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara,

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

---------------, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme

Baru, Jakarta: Erlangga, 2004.

Ilyas, Yunahar, Amin, M. Masyhur dan Lalito, M

Daru (ed.), Muhammadiyah dan NU Reorientasi

Wawasan KeIslaman, Yogyakarta: Kerjasama

LPPI UMY, LKPSM NU dan PP al-Muhsin,

1993, Cet. Ke-1.

Irsyam, Mahrus, Ulama dan Partai Politik, Jakarta:

Yayasan Perhidmatan, 1984.

Ismail, Faisal, NU, Gusdurisme dan Politik Kiai,

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, Cet. Ke-1.

Ismaun, Pantjasila, Dasar Filsafah Negara Republik

Indonesia, Bandung: Carya Remadja, 1972.

J., Vredenbregt, De Baweanners in hun moederland en in

Singapore, Leiden: 1968.

Jalil, Abdul, Tuhfah al-Asfiya, Semarang: Toha Putra,

1963.

577

Jansen, G.H., Islam Militan Bandung: Pustaka, 1980.

Al-Jurjani, Syarif Ali bin Muhammad, al-Ta’rifāt,

Beirut: Dar al-Fikr, 1970.

Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:

Universitas Yarsi, 1998.

Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution

in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press,

1952.

Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen

P&K., 1974.

Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:

Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonilalisme

Sampai Nasionalisme Jakarta: Gramedia, 1990,

Cet. Ke-1, Jilid 2.

---------------, Protest Movement in Rural Java, A Study of

Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early

Twentieth Centuries, Kuala Lumpur: Oxford

University Press, 1973, Cet. Ke-1.

---------------, The Peasants Revolt of Banten in 1888,

Bandung: Gravenhage: Nijhoff, 1966.

Kazhim, Musa Kazhim & Hamzah, Alfian, 5 Partai

Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek,

Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. Ke-1.

Kern, R.A., De Islam in Indonesia, Uitgeverij W. Van

Hoeve’s Gravenhage, 1974.

Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto Tentang

Pancasila, Jakarta: CSIS, 1976.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung:

Mizan, 1997, Cet. Ke-1.

578

Kusumah, Mulyana W., (dkk)., Penata Politik Pasca

Reformasi, Jakarta: KIPP INDONESIA, 2000, Cet.

Ke-1.

Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada

Abad XX, Jakarta: Arsip Nasional RI, 1981.

Laswell, Harold D., Politics, Who Gets What, When,

How, New York: World Publishing , 1972.

Lau & Shani, A.B., James B., Behaviour in

Organizations: An Experiential Approach,

Homewood: Richard Irwin Inc, 1992.

Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia a Study in

The Political Basses of Legal Institution, Jakarta:

Intermasa, 1980.

---------------, The Transition to Guided Democracy:

Indonesian Politics 1957-1959, New York: Cornell

University, 1966.

Liddle, William, Pemilu Pemilu Orde Baru, Pasang

Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992.

Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik Di Indonesia

Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965),

Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988,

Cet. Ke-1.

---------------, Studi Tentang Percaturan dalam

Konstituante, Islam Dan Masalah Kenegaraan,

Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. Ke-1.

Machfoedz, Maksoem, Kebangkitan Ulama dan

Bangkitnya Ulama, Surabaya: Yayasan Kesatuan

Ummat, 1983.

579

Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret

Perjalanan Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. Ke-1.

Mandan, Arief Mudatsir, Sidang Umum MPR RI 1999

Memilih Gus Dur Menjadi Presiden, Jakarta:

Forum Indonesia Satu, 2000.

Manning, Chris dan Van Diermen, Peter (ed),

Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial

Reformasi dan Krisis, Yogyakarta: LKiS, 2000.

---------------, Perkembangan Mutakhir dan Aspek Sosial,

Yogyakarta: LKiS, 2000.

Mansurnoor, Iik Arifin, Islam in Indonesian World:

Ulama of Madura, Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1990.

Marijan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali Ke

Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992.

Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren,

Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS,

2004, Cet. Ke-1.

Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn

Habib al-Basri al-Baghdadi, al-Ahkām al-

Sulthāniyah wa al-Wilayāt al-Dīniyah Cairo: Dar

al-Fikr, 1960.

Miri, M. Djamaluddin, Ahkāmul Fuqahā, Solusi

Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan

Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama

(1926-2004), Surabaya: LTN NU Jawa Timur,

2004, Cet. Ke-1

580

Mitchell, Joyce M. Mitchell, William C., Political

Analysis and Public Policy: An Introduction to

Political Science, Chicago, Rand Mc. Nally, 1969.

Moehadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif,

Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, Cet. Ke-3, h. 15.

Moesa, Ali Maschan, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil

Society, Surabaya: LEPKISS, 1999, Cet. Ke-1.

Mudjib, Abdul, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Yogyakarta:

Nur Cahaya, 1980.

Muhammad Said Abdurrahim, I’lāmu al-Munadldlimīn

Biwujūbi Luzūmi al-Jam’iyat ‘Ala Jamā’ati al-

Muslimīn, tp: tt.

Muhammad, Muhib Huda, Pro Kontra Partai

Kebangkitan Bangsa, Jakarta: Fatma Press, 1988.

Mukhtar (ed), Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia,

Bandung: Rosdakarya, 1990.

Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik

Santri, Yogyakarta: Sipress, 1992, Cet. ke-1.

Mulyati, Sri (et.al), Mengenal & Memahami Tarekat-

Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2004, Cet. Ke-1.

Murtopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS,

1974, Cet. Ke-2.

Musthofa, KH. Bisri, Risalah Ahlu al-Sunnah wa al-

Jama’ah, Kudus, Yayasan al-Ibriz Menara

Kudus, 1967.

Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden

Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1999, Cet. Ke-1.

581

Muzadi, H. A. Hasyim, Membangun NU di Era Pasca

Gus Dur; dari Sunan Bonang Sampai Paman Sam,

Jakarta: Grasindo, 1999.

---------------, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda

Persoalan Bangsa, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu

dan Pemikiran, 1999), Cet. Ke-1.

Nadjib, Muhammad, Ijtihad Politik Poros Tengah dan

Dinamika Partai Amanat Nasional, Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2000.

Al-Naqsyabandi, Syekh Ahmad al-Kasyqani, Jami al-

Ushūl Fi al-Auliyā’, Beirut: Dar al-Fikr, 1970.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai

Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974),

Cet. Ke-1.

Noeh, Munawar Fuad dan HS., Mastuki (ed),

Menghidupkan Ruh Pemikiran K.H. Achmad

Siddiq, Jakarta: Logos Wcana Ilmu dan

Pemikiran, 1999, Cet. Ke-1.

Noer, Deliar, Partai-Partai Islam Di Pentas Nasional,

Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia

1945-1965, Jakarta; Grafiti Pers, 1987, Cet. Ke-1.

---------------, The Modernist Muslim Movement in

Indonesia 1900-1942, Singapore: Oxford

University Press, 1973.

Notonegoro, Pancasila Falsafah Negara, Jakarta:

Pantjuran Tudjuh, 1974.

Notosusanto, Nugroho, Proses Perumusan Pancasila

Dasar Negara, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.

582

Pambudi, A., Kontroversi “Kudeta” Prabowo,

Yogyakarta: Media Pressindo, 2007.

PBNU, Permasalahan dan Jawaban Muktamar NU ke-28,

Kudus: Menara Kudus, 1989.

PBNU, Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama, Jakarta:

Panitia Harlah 40 NU, 1966.

Penuntun Santri, Lamongan: Pondok Pesantren

Langitan, 2004, Cet. Ke-1.

Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga ‘Fatayat

Nahdlatul Ulama’ Jakarta: Pucuk Pimpinan

Fatayat NU, 1990.

Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan dalam Alam

Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung,

1970.

Poerwodarminto, W.J.S., Kamus Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Poesponegoro, Marwati Djoenet dan Notosusanto,

Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta:

Balai Pustaka,1984, Cet. Ke-4.

Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras,

Jombang: Yayasan Ponpes Bahrul Ulum, 2006.

Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang:

Yayasan Darul Ulum, 2006.

Prasodjo, Sudjoko, (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil

Penelitian Pesantren al-Falak & Delapan Pesantren

Lainnya di Bogor, Jakarta: LP3ES, 1974.

Prijono, “Riwayat Penjajahan Barat dan Perlawanan

Umat Islam”, dalam Beberapa Penggalan dari

Sejarah Perjuangan Islam, Jakarta: 2605/1945.

583

Profil Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang:

Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, 2006.

Program Pengembangan Pondok Pesantren Darul Ulum,

Peterongan Jombang: Yayasan Darul Ulum,

2001.

Program Pengembangan Pondok Pesantren Tebuireng,

Jombang: Yayasan Pondok Pesantren

Tebuireng, 2000.

Quzwain, Chatib (dkk), Kompilasi Perundang-

Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama,

Jakarta: Departemen Agama RI, 1995.

Radi, Umaidi, Strategi Partai Persatuan Pembangunan

(PPP) Semasa 1973-1982, Jakarta: Integritas

Press, 1984.

Rahardjo, M. Dawam (ed), Pesantren dan Pembaharuan,

Jakarta: LP3ES, 1974, Cet. Ke-1.

Rahim, Husni, Madrasah Dalam Politik Pendidikan Di

Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan

Pemikiran, 2005.

Rasyid, H. Sulaiman, Fiqih Islam, Jakarta: al-

Thohiriyah, 1955, Cet. Ke-13.

Renyaan, Yopie, B., Theodure dan Junaedi, Daniel P.

(ed.), Transisi Demokrasi, Evaluasi Kriitis

Penyelenggaraan Pemilu 1999, Jakarta: KIPP,

1999.

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,

Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005, Cet. Ke-1.

Ridlwan, Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan

Pondok Pesantren, Sebagai Usaha Peningkatan

584

Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa,

Jakarta: Cemara Indah, 1978.

Ruslan, Utsman Abdul Mu’iz, al-Tarbiyah al-Siyāsiyah

‘Inda Jamā’ah al-Ikhwān al-Muslimīn, fi al-Fatrah

min 1928 ila 1954 fi Mishr, Mesir: Dār al-Tauzi’

wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1960.

Al-Qardhawi, Yusuf, Konsep Ilmu Dalam Persepsi

Rasulullah, terjemahan Amir Hamzah

Fahruddin, Mabrur Buang Tarmudzi dan

Zainal Arif Fachruddin RM, Jakarta: Firdaus,

1994, Cet. Ke-1.

---------------, Min Fiqhid Daulah Fil Islam, Cairo:

Durusy Syuruq, 1997, Cet. Ke-1.

Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Mahāsinu al-

Ta’wīl IX, Cairo: al-Babi al-Halabi, 1378-1959.

Al-Qusyairi, Imam Abu al-Qāsim Abu Karīm bin

Hawāzin, al-Risālah al-Qusyairiyah, Beirut: Dar

al-Fikr, 1970.

Siradj, Said Agiel, Islam Kebangsaan, Fiqih Demokratik

Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.

Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976.

Salim, Hairus dan Ridwan, Muhammad (ed), “Kultur

Hibrida”, Anak Muda di Jalur Kultural,

Yogyakarta: LKiS, 1999.

Salim, Peter, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 1980.

585

Saragih, Bintan R., Lembaga Perwakilan Dan Pemilihan

Umum Di Indonesia, Jakarta: Gaya Media

Pratama, 1988, Cet. Ke-1.

Schrieke, B., Indonesian Sociological Studies,Part Two,

The Hague and Bandung: W. Van Hoeve,1957.

---------------, Indonesian Sosiological Studies, Part One,

The Hague, Bandung: W. Van Hoeve, 1955.

---------------, Sedikit Uraian Tentang Pranata Perdikan,

Jakarta: Bhratara, 1975.

Schwarz, Adam & Paris, Jonathan (ed.), The Politics of

Post Soeharto Indonesia, New York: The Council

on Foreign Relation, 1999.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap terbuka

Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997, Cet. Ke-

1.

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung:

Mizan, 1996, Cet. Ke-1.

Siddiq, KH. Ahmad Siddiq, Khittah al-Nahdliyah,

Surabaya, Balai Buku, 1979.

---------------, Khittah Nahdliyah, Bangil: Percetakan

Persatuan, 1979.

---------------, Pedoman Berfikir ‘Nahdlatul Ulama’

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Cabang

Jember, Jember: TP, 1969.

Simandjuntak, I.P., Perkembangan Pendidikan di

Indonesia, Bandung: Angkasa, 1973.

Simorangkir, J.C.T., Kansil. C.ST. dan Erwin, Rudy T.,

Aku Warga Negara Indonesia, Jakarta: Gunung

Agung, 1970, Cet. Ke-1.

586

Sitompul, Einar Martahan, NU dan Pancasila, Sejarah

dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam di

Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila

Sebagai Satu-satunya Asas, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1989, Cet. Ke-1.

Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota, Aktivis Muda

NU Merambah Jalan Lain, Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2000.

Soebardi, “Santri Relegious Element as Reflected in The

Book of Tjentini,” Bidragen Tot De Taal Land-en

Volkenkunde, Vol. CXXVII, Martinus Nijhoff,

1971.

Soekardi, Heru, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Jakarta:

Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya,

Departemen Pndidikan dan Kebudayaan, 1979.

Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005),

Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama

Republik Indonesia.

Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen

Pembinaan Kelembagaan Islam, Departemen

Agama Republik Indonesia.

Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Ulama, Gresik: Arsip

NU, 1926.

Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah:

Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta:

LP3ES, 1974.

---------------, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia

Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, Cet.

Ke-1.

587

---------------, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial

Belanda Dan Islam Di Indonesia (1596-1942),

Bandung: Mizan, 1995.

Stibbi, D.G., Encyclopaedia Van Nederlandsch Indie, Vol.

III, Leiden: Martinus Nijhoff, 1919.

Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, Jakarta: Panitia

Penerbit, 1966.

Subchan, Arief (Penyunting), Indonesia Dalam Transisi

Menuju Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1999.

Sugihwaras, Sadikun, Pondok Pesantren Dan

Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Dharma Bakti,

1979.

Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO,

Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan

Demokratis 1966-2001, Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2005, Cet. Ke-1.

Suharno, Sejarah Kelahiran dan Perjuangan Nahdlatul

Ulama, Jakarta: Lakpesdam NU, 1980.

Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, Terpilihnya

GUSDUR Terobosan Besar Elite Politik Islam,

Jakarta: Perenial Press, 1999, Cet. Ke-1.

Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2001, Cet. Ke-1.

Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Jakarta:

LP3ES, 1999, Cet. Ke-1.

Suminto, H. Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Het

kantoor voor Inlandsche zaken, Jakarta: LP3ES,

1985, Cet. Ke-1.

588

Suprayogo, Imam, “Kiai dan Politik Di Pedesaan,

Suatu Kajian Tentang Variasi dan Bentuk

Keterlibatan Politik Kiai,” Disertasi Doktor Ilmu

Sosial, Surabaya: Perpustakaan Pascasarjana

Universitas Airlangga, 1998.

Surdiasis, Fransiskus (ed.), Opini Denny J.A. Harian

Suara Pembaharuan, Jalan Panjang Reformasi,

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.

Suryadinata, Leo, Political Parties and The 1982 General

Election in Indonesia, Singapore: Institute of

Southeast Asian Studies, 1982.

Suryakusuma, Julia I., Almanak Parpol Indonesia,

Jakarta: API, 1999.

Suyuthi, Mahmud, Politik Tarekat, Yogyakarta: Gilang,

2002, Cet. Ke-1.

Al-Syahrastani, Abi al-Fath Muhammad Abdul Karim

Ibn Abi bakr Ahmad, al-Milal wa al-Nihal,

Beirut: Dar al-Fikr, Tt.

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, alih bahasa

H. Muhtar Yahya dan M. Sanusi Latief, Jakarta:

Bulan Bintang, 1970.

Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kiai, NU,

Pesantren dan Kkekuasaan: Pencarian Tak Kunjung

Usai, Yogyakarta: Kutub, 2003, Cet. Ke-1.

Thohir, Ajid, Gerakan Politik Kaum Tarekat, Telaah

Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat

Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,

Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, Cet. Ke-1.

589

Tim INCRes, Beyond Symbols, Jejak Antropologis

Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. Ke-1.

Tohadi, Muhammad, Oase Kebangsaan, Jakarta:

Lembaga Kajian Wacana Indonesia, 2000.

Trisula, Nilai-Nilai Moral Pendidikan Darul Ulum,

Jombang: Undar, 1982.

Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan,

Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1.

Ulum, Bahrul, “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”?

Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah,

Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta: Ar-

Ruzz Press, 2002, Cet. Ke-1.

Umam, Chatibul, “Pesantren dan Variasinya,”

Makalah Disampaikan Dalam Diskusi Dosen

Fakultas Adab, Jakarta, Fakultas Adab, 1989.

van Bruinessen, Martin, NU, Tradisi, Relasi-relasi

Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS,

1994, Cet. Ke-1.

---------------, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,

Bandung: Mizan, 1992, Cet. Ke-1.

---------------, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,

Survey Historis, Geografis dan Sosiologis,

Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke-3.

---------------, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,

Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung:

Mizan, 1995, Cet. Ke1.

van Den Berg, L.W.C., “Het Mohammedansche Godsdien

stonderwijs op Java en Madoera”, Tijdschrif Voor

590

Indische Taal Land-en Volkenkunde, Vol. XXXI,

1886.

Varma, S.P., Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali

Press, 1982.

Wahid, Salahuddin, Negeri Di Balik Kabut Sejarah,

Catatan-Catatan Pendek Salahuddin Wahid,

Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000, Cet. Ke-1.

Weber, Max, The Theory of Social and Economic

Organization, New York: Macmillan, 1946.

Wertheim, W.F., From Aliran to Class Struggle in The

Country Side of Java, Pacific Viewpoint, 1969.

---------------, Indonesian Society in Transition a Study of

Social Change, The Hague and Bandung: W.V.

Van Hoeve, 1956.

Yamin, H.M., Tata Negara Majapahit II, Jakarta:

Yayasan Prapanca, tt.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam Di

Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.

Yusuf, Slamet Effendi (et al.), Dinamika Kaum Santri,

Menelusuri Jejak & Pergolakan Internal NU,

Jakarta: Rajawali, 1983, Cet. Ke-1.

Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, Kudus: Menara Kudus,

1963.

Zidane, Mehdy (ed), Nasihat Spiritual, Mengenal

Tarekat ala Habib Luthfi Bin Yahya, Bekasi: Hayat

Publishing, 2006, Cet. Ke-1.

Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial,

alih bahasa oleh Butche B. Soendjojo dari

591

Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel,

Jakarta: P3M, 1983.

Zuhri, KH. Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren,

Jakarta: Gunung Agung, 1987.

---------------, KH. Abdulwahab Chasbullah: Bapak dan

Pendiri Nahdlatul Ulama, Jakarta: Yamunu, 1972.

---------------, Sejarah Kebangkitan Islam Dan

Perkembangannya Di Indonesia, Bandung: al-

Ma’arif, 1981, Cet. Ke-3.

---------------, Guruku Orang-orang Dari Pesantren,

Bandung: al-Ma’arif, 1977.

SURAT KABAR/MAJALAH

A. Adib, Politik Kiai dan Kiai Politik, Suara Merdeka,

(Semarang), 5 April 2007.

Ahmad Tohari, “Kiai Soft Power,”, Republika,

(Jakarta), 21 Mei 2007. Anas Urbaningrum,

“legitimasi Gus Dur”, Panji Masyarakat, IV, 02

(April, 2000).

Arief Mudatsir Mandan, “al-Muhafadhotu ala al-Qadim

al-Sholeh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah,”

Pesan, (Jakarta). 5 Nopember 1980.

Asrori S. Karni dan Arif Sujatmiko, “Politik Seribu

Pintu”, Gatra Edisi Khusus, XI, 1-2 (Nopember,

2004).

Asrori S. Karni, “Ibukota” Kaum Nahdliyyin”, Gatra

Edisi Khusus, XI, 1-2 (Nopember, 2004), h. 23.

592

Azyumardi Azra, “Islam dan Politik Luar Negeri”,

Republika, (Jakarta), 7 Desember 2006.

Bachtiar Effendi, “NU Harus Tegaskan Khittah”,

Taswirul Afkar, 06 (Tahun 1999).

Gus Dur, “Kiai Jangan Berorientasi Kekuasaan”,

Republika, (Jakarta), 14 Maret 2007.

Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Why Not?

Republika, (Jakarta), 18 Nopember 2006.

Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Yes?,

Republika, (Jakarta), 17 Nopember 2006.

Hidayat: Cak Nur Akhirnya, ‘Partai Islam Yes!’,

Republika, (Jakarta), 3 Oktober 2006.

Ketua Umum PP RMI: “Pemerintah Diminta

Keluarkan PP Tentang Kepesantrenan,”

www.syirah.com/syirah ol/print2.php.2007.

KH. Abdullah Faqih, Menolak Istilah Kiai Khas dan

Kiai Kampung, Jawa Pos, (Surabaya), 2 April

2007.

KH. Abdurrochman Chudlori, “Ketua Dewan Syura

PKNU, Ulama Harus Melekat Dengan Politik,”

Republika, (Jakarta), 17 Desember 2006.

KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan

PKNU,” Suara Merdeka (Semarang), 30 Maret

2007.

KH. Alawy Muhammad, “Daerah-Daerah Rawan

Rusuh”, Panji Masyarakat, No. 4 (Mei, 1999).

KH. Idham Chalid, Kenang-Kenangan Mu’tamar Ke-

22, Jakarta, 13-18 Desember 1960.

593

Kholis Bahtiar Bakri dan Mujib Rahman, “Suara

Langit Tutupi Mega,” Gatra Edisi Khusus, XI, 1-

2 (November, 2004).

Syamsuddin Haris, NU dan Politik: Perjalanan

Mencari Identitas, Jurnal Ilmu Politik (Jakarta)

7, 1990.

Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore

Pramuka Santri 2009,” Republika (Jakarta), 15

September 2006.

Yusuf Hasyim, Panjimas, (Jakarta), 19 September

1987.

Yusuf Kalla, “Parpol Jangan Dikritik Terus”,

Republika, (Jakarta), 10 April 2007.

‘Asalkan Kompeten, Ulama Boleh Berpolitik’,

Republika, (Jakarta), 20 Mei 2007.

‘Banyak Ulama Lebih Suka Di Dunia Politik,

Republika, (Jakarta), 19 Mei 2007.

“Daerah-daerah Rawan Rusuh”, Panji Masyarakat, No.

4, (12 Mei, 1999). “Pesan Kesehatan Dari Pesantren”, Dialog Jum’at

Tabloit Republika, (Jakarta), 15 September 2006.

“PKNU Bertujuan Memperbaiki Bangsa”, Republika,

(Jakarta), 19 Pebruari 2007.

“PKNU Diklaim Sebagai kelanjutan PKB,” Suara

Merdeka, (Jakarta), 27 Nopember 2006.

“PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyin,” ANTARA News,

(Jakarta), 31 Maret 2007.

594

“Ulama Harus Melekat Dengan Politik”, Republika,

(Jakarta), 17 Desember 2006.

Banjir Klaim Dukungan Jelang Muktamar PPP,

Republika, (Jakarta), 22 Januari 2007.

Deklarasi PKNU, Republika, (Jakarta), 2 April 2007, h.

3.

DPW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai

Kebangkitan Bangsa, (Jakarta, 1998).

Halaqah, P3M, Edisi XI/2000, h. 5.

Harmonisasi Islam dan Demokrasi, Gatra Edisi

Khusus, (Jakarta), 27 Nopember 2004.

Jabat Tangan Soeharto-Gus Dur Sudah Lama

Dirindukan oleh Warga NU, Kompas, (Jakarta),

6 Nopember 1996.

Jawa Pos, 29 Mei 1999.

Kebijakan Program Pengembangan Ekonomi Pondok

Pesantren, Melalui Pemberdayaan Koperasi

Pondok Pesantren, Republika, (Jakarta), 9

Nopember 2007.

Ketika Teknokrat Memimpin Negara, Republika,

(Jakarta), 22 September 2006.

Kiai Langitan Siapkan Partai Baru, Republika,

(Jakarta), 26 Agustus 2006.

Kompas (Jakarta), 5 Oktober 1999.

Kompas (Jakarta), 9 Oktober 1999, h. 3.

Kompas, 16 Januari 2000.

Mazhab Maliki terkadang juga diikuti di Banten, Jawa

Barat.

595

Media Indonesia, 22 Nopember 2000.

Parpol Berebut Posisi Kaum Santri, Republika,

(Jakarta), 12 Nopember 2007.

Pidato Presiden di depan Sidang Pleno DPR pada

tanggal 16 Agustus 1973. Kompas, 12 Januari

1973.

PKNU Diklaim Sebagai Kelanjutan PKB, Suara

Merdeka, (Semarang), 27 Nopember 2006.

PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta),

31 Maret 2007.

PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyīn, Antara News,

(Jakarta), 31 Maret 2007.

Pondok Pesantren, Aset Bangsa Yang Tak Ternilai,

www.depag.go.id/ index. php.2007.

Republika, 27 Mei 1999.

Republika, 30 Mei 1999.

RI Terima Medali Demokrasi, Republika, (Jakarta), 13

Nopember 2007.

RMI Kumpulkan Pimpinan Ponpes Se-Indonesia,

Bahas ‘Ancaman Ideologi Transnasional, Warta,

(Jakarta), 16 Mei 2007.

Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Ulama, Gresik:

Arsip NU, 1926.

Ulama Harus Melekat Dengan Politik, Republika,

(Jakarta), 17 Desember 2006.

596

MAKALAH/UNDANG-UNDANG

Ali, A. Mukti, “Kurikulum Pondok Pesantren” materi

disampaikan pada Seminar Pondok Pesantren

Seluruh Indonesia Tahap I, Yogyakarta, 1965.

Bab I, Pasal 2, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman

Bab II, Pasal 11 Ayat 2, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman

Daftar Nama-Nama Anggota DPR RI Fraksi Partai

Kebangkitan Bangsa, Jakarta: Sekretariat DPR

RI, 1999.

Daftar Nama-Nama Anggota DPR RI Fraksi Partai

Persatuan Pembangunan, Jakarta: Sekretariat

DPR RI, 1999.

Daftar Pendidikan Agama Islam 2005, Ditjen

Kelembagaan Islam Departemen Agama

Republik Indonesia

Panitia Pemilihan Indonesia, Jakarta 1 September

1999.

Pasal 7, ayat 2, UU No. 5 Tahun 2004, Tentang

Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung.

Pasal 7, ayat 2, UU No. 5 Tahun 2004, Tentang

Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung.

Pasal 8, ayat 4, UU No. 5 Tahun 2004, Tentang

Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung.

597

Penuntun Santri, Lamongan: Pondok Pesantren

Langitan, 2004, Cet. Ke-1.

Peraturan Pondok Pesantren Langitan Widang

Tuban, 2005/2006.

PW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai

Kebangkitan Bangsa.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah,

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38

Tahun 1999, Tentang Pengelolaan Zakat dan

Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581

Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang

Pengelolaan Zakat Jakarta: Dirjen Bimas Islam

dan Urusan Haji, Departemen Agama RI, 1999.

UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Badan Peradilan di lingkungan Peradilan

Agama tersebut dialihkan ke Mahkamah

Agung.

UU No. 7 Tahun 1989, Organisasi, Administrasi dan

Finansial, Badan Peradilan di lingkungan

Peradilan Agama berada di bawah Departemen

Agama.

UU RI No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU

No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

598

UU RI No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,

Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 1990.

WAWANCARA

A. Effendy Choirie, Anggota FPKB DPR, Wawancara

Pribadi, Jakarta, 10 Januari 2007.

Ahmad Mawardi, Ketua Pengurus Pondok Pesantren

al-Taroqqy, Wawancara Pribadi, Sampang

Madura, 02 Maret 2007.

Ahmad Murtaji, Ketua Pondok Pesantren Langitan,

Wawancara Pribadi, Widang, Tuban, 17

Pebruari 2007.

Gus Hakam, Keluarga Pondok Pesantren Tebuireng,

Wawancara Pribadi, Jombang, 13 Pebruari 2007.

Gus Munib Marzuqi, Pengasuh Pondok Pesantren

Langitan, Wawancara Pribadi, Widang Tuban,

18 Pebruari 2007.

Gus Zahrul Azhar Asumta, Putra kiai As’ad Umar

dan Pendiri Pesantren Tinggi Darul Ulum,

Wawancara Pribadi, Peterongan Jombang, 22

Pebruari 2007.

KH. Abdullah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren

Langitan dan Ketua Dewan Mustasyar PKNU,

Wawancara Pribadi, Widang Tuban, 15

Pebruari 2007.

599

Kiai A. Dimyathi Romli, Ketua Bidang Khusus

Pendidikan, Wawancara Pribadi, Peterongan

Jombang, 20 Pebruari 2007.

Kiai A. Hamid Wahid, Anggota FPKB DPR,

Wawancara Pribadi, Jakarta, 5 Januari 2007.

Kiai Achmad Taufiqurrohman, Ketua Umum

Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum,

Wawancara Pribadi, Tambak Beras Jombang, 27

Pebruari 2007.

Kiai Alawy Muhammad, Pimpinan Pondok Pesantren

al-Taroqqy, Wawancara Pribadi, Sampang, 28

Pebruari 2007.

Kiai As’ad Umar, Ketua Umum Majelis Pimpinan

Pondok Pesantren Darul Ulum dan Anggota

DPR Dari Golkar, Wawancara Pribadi,

Peterongan Jombang, 21 Pebruari 2007.

Kiai Fadlulloh Malik, Anggota Dewan Pengawas

Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum,

Wawancara Pribadi, Tambak Beras Jombang, 26

Pebruari 2007.

Kiai Faruq Alawy, Pengasuh Pondok Pesantren al-

Taroqqy, Wawancara Pribadi, Sampang

Madura, 01 Maret 2007.

Kiai Ishak, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng,

Wawancara Pribadi, Jombang, 12 Pebruari 2007.

Kiai Muhammad Hasib Wahab, Anggota Dewan

Pembina Yayasan Pondok Pesantren Bahrul

600

Ulum dan Anggota DPR dari Fraksi PDIP,

Wawancara Pribadi, Jakarta, 08 Maret 2007.

Kiai Roqib Wahab, Koordinator Departemen

ketertiban, Wawancara Pribadi, Tambak Beras,

Jombang, 24 Pebruari 2007.

Kiai Salahuddin Wahid, Direktur Pondok Pesantren

Tebuireng, Wawancara Pribadi, Jombang, 11

Pebruari 2007.

Kiai Ubaidilah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren

Langitan, Wawancara Pribadi, Widang Tuban,

16 Pebruari 2007.

Salman al-Fariesi, Koordinator Departemen

Pendidikan, Wawancara Pribadi, Tambak Beras

Jombang, 25 Pebruari 2007.