21
PERIWAYATAN HADIS BIL MAKNA Implikasi dan Penerapannya sebagai Bentuk Kritik Matan Hadis di Era Modern 1 Oleh: Hedhri Nadhiran Abstrak Salah satu persoalan di bidang hadis yang menjadi topik perdebatan sejak masa shahabat hingga sekarang adalah tentang periwayatan hadis secara makna (al-riwayat bi al- makna). Perdebatan ini muncul terkait dengan kebolehan atau tidaknya periwayatan dengan cara tersebut karena adanya perkataan Nabi yang ‘melarang’ dan ‘membolehkan’, juga adanya kekhawatiran bahwa kebolehan tersebut berpeluang pada berubahnya makna hadis sebagai konsekuensi dari perubahan teks. Jika hal ini dibiarkan, akan berakibat pada kemungkinan terjadinya distorsi dan perubahan ajaran agama. Hanya saja mayoritas ulama membolehkannya dengan sejumlah persyaratan, sebagai bentuk ‘kemudahan’ dalam periwayatan hadis. Dalam perkembangannya, periwayatan bil makna dapat berupa empat variasi periwayatan, yaitu al-ikhtishar dan al-taqthi’, al-taqdim wa al-ta’khir, al-ziyadah dan al-nuqshan, dan al-Ibdal. Adanya variasi pada matan inilah yang kemudian mendorong para pengkaji hadis di era modern, menjadikan persoalan periwayatan bil makna sebagai langkah untuk mengkritisi kembali hadis-hadis Nabi. Kata Kunci: Periwayatan, Implikasi, Kritik Matan Berbagai hadis Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis sekarang ini, pada awalnya berupa kesaksian shahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi. Apa yang disaksikan shahabat ini kemudian disampaikan kepada generasi sesudahnya (tabi’un), yang kemudian menyampaikannya kembali kepada generasi di bawahnya (tabi’ tabi’un). Demikian seterusnya hingga hadis ini diterima oleh para perawi yang kemudian 1 Artikel ini telah diteribitkan dalam Jurnal Ilmu Agama, Edisi Desember 2013, Tahun 14, No. 2 1

Periwayatan Hadis

  • Upload
    rafa

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PERIWAYATAN HADIS BIL MAKNA Implikasi dan Penerapannya sebagai Bentuk Kritik Matan Hadis

di Era Modern1

Oleh: Hedhri Nadhiran

Abstrak

Salah satu persoalan di bidang hadis yang menjadi topikperdebatan sejak masa shahabat hingga sekarang adalahtentang periwayatan hadis secara makna (al-riwayat bi al-makna). Perdebatan ini muncul terkait dengan kebolehanatau tidaknya periwayatan dengan cara tersebut karenaadanya perkataan Nabi yang ‘melarang’ dan ‘membolehkan’,juga adanya kekhawatiran bahwa kebolehan tersebutberpeluang pada berubahnya makna hadis sebagaikonsekuensi dari perubahan teks. Jika hal ini dibiarkan,akan berakibat pada kemungkinan terjadinya distorsi danperubahan ajaran agama. Hanya saja mayoritas ulamamembolehkannya dengan sejumlah persyaratan, sebagaibentuk ‘kemudahan’ dalam periwayatan hadis. Dalamperkembangannya, periwayatan bil makna dapat berupa empatvariasi periwayatan, yaitu al-ikhtishar dan al-taqthi’, al-taqdimwa al-ta’khir, al-ziyadah dan al-nuqshan, dan al-Ibdal. Adanyavariasi pada matan inilah yang kemudian mendorong parapengkaji hadis di era modern, menjadikan persoalanperiwayatan bil makna sebagai langkah untuk mengkritisikembali hadis-hadis Nabi.

Kata Kunci: Periwayatan, Implikasi, Kritik Matan

Berbagai hadis Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadissekarang ini, pada awalnya berupa kesaksian shahabat Nabiterhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi. Apa yangdisaksikan shahabat ini kemudian disampaikan kepada generasisesudahnya (tabi’un), yang kemudian menyampaikannya kembalikepada generasi di bawahnya (tabi’ tabi’un). Demikian seterusnyahingga hadis ini diterima oleh para perawi yang kemudian

1Artikel ini telah diteribitkan dalam Jurnal Ilmu Agama, Edisi Desember 2013, Tahun 14, No. 2

1

menghimpunnya dalam karya-karya mereka, seperti Kutubussittah.Buah karya para penghimpun hadis (al-mukharrij al-hadis) inilah yangmenjadi sumber pengetahuan dan rujukan hadis pada masa-masaberikutnya hingga sekarang (Syuhudi Ismail: 1988, 32-33).

Dalam perjalanannya hingga sampai kepada para mukharrijseperti diuraikan di atas, setiap hadis akan melalui prosesperiwayatan yang panjang sehingga membutuhkan perhatian khususterhadap redaksi matan yang disampaikan oleh para perawi padatiap-tiap thabaqah (tingkatan). Karena itu, seperti dijelaskanoleh ‘Awwamah (1997: 29-30), perlu diteliti lebih lanjutapakah matan hadis tersebut terpelihara redaksinya ataukahmengalami perubahan. Apakah perubahan itu hanya sekedarperbedaan redaksional ataukah berdampak pada makna yangdikandungnya. Seperti hadis tentang pelaksanaan shalat jenazahyang ditengarai mengalami periwayatan bil makna danberpengaruh pada hukum yang dikandungnya.

Salah satu perdebatan ulama terkait dengan persoalanakurasi redaksional hadis adalah periwayatan bil makna.Fenomena periwayatan seperti ini sendiri ditengarai telah adasejak masa Nabi dan berlanjut hingga masa shahabat sehinggamelahirkan sikap yang beragam. Sebagian ada yang tidakmembolehkan, seperti Umar ibn al-Khathab, Abdullah ibn Umardan Zaid ibn Arqam. Sementara shahabat lainnya, sepertiAbdullah ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, Anas ibn Malik, dan Ummal-Mukminin Aisyah, membolehkan periwayatan bil makna (‘Ajjajal-Khatib: 2011, 85,89). Perbedaan pandangan ini terus terjadipada masa tabi’in dan generasi sesudahnya, hingga akhirperiode kodifikasi (pembukuan) hadis (Syuhudi Ismail: 1988,71). Setelah periode ini, ulama sepakat menyatakan bahwaperiwayatan hadis harus secara lafzi dan melarang periwayatansecara makna.

Namun di era modern, perdebatan tentang periwayatan bilmakna yang terjadi hingga tiga abad pertama tersebut kembalimencuat. Seperti terlihat dari pandangan Khaled Abou El Fadlyang menjadikan periwayatan bil makna sebagai bentuk kritikmatan dalam menguji otentisitas dan otoritas hadis(2003 :312). Demikian halnya Kamaruddin Amin yang secaratersirat menyinggung persoalan ini dalam pernyataannya bahwaapabila sebuah hadis dapat dibuktikan berasal dari seorangshahabat, maka perlu pengujian lebih lanjut untuk mengetahuiapakah kalimat atau isi hadis secara keseluruhan atausebahagian berasal dari Nabi (2009: 53). Tentu saja,

2

penelitian kedua tokoh ini mengarah kepada keabsahanperiwayatan bil makna pada sebagai metode periwayatan hadiskarena tidak mustahil periwayatan ini menyebabkan adanya‘tambahan atau perubahan’ pada hadis-hadis Nabi, atau bahkantidak mustahil telah membuka peluang masuknya hadis-hadispalsu ke dalam ajaran Islam.

Berangkat dari perdebatan ulama tentang kebolehanperiwayatan bil makna, serta persoalan yang muncul di seputarmasalah ini, maka menarik untuk untuk didiskusikan lebihlanjut adalah mengapa para ulama yang - nota bene sama-samaberupaya menjaga sunnah dari perubahan dan penyimpangan,berbeda pendapat dalam menyikapi periwayatan ini? Jika memangdibolehkan, masihkah kita harus terikat dengan nilai-nilainormatif yang dikandungnya? Serta bagaimana bentuk danimplikasi adanya periwayatan ini terhadap ajaran Islam? Inilahdi antara persoalan di seputar periwayatan bil makna yang akandidiskusikan dalam tulisan berikut.

Pengertian Periwayatan HadisSebagai sebuah laporan atau kesaksian yang merekam segala

sesuatu yang berkenaan dengan diri Nabi saw, sebuah hadisharus melalui proses kegiatan yang disebut periwayatan, yangmerupakan kata serapan dari al-riwayah atau riwayat al-hadis. Al-riwayah adalah masdar dari kata rawa yang berarti penukilan,penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas.Sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti cerita. kisah danberita. (Noorhidayati: 2008, 13). Menurut istilah ilmu hadis,yang dimaksud dengan periwayatan hadis adalah ‘kegiatanpenerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itukepada rangkaian periwayatnya dengan menggunakan istilah ataulambang tertentu’. Berdasarkan definisi ini, maka ada tigaunsur yang harus dipenuhi agar dapat disebut periwayatanhadis. Ketiga unsur itu adalah (1) adanya kegiatan penerimaanhadis (al-tahammul) ; (2) adanya kegiatan penyampaian kembalihadis tersebut, dan (al-ada’) (3) menyebutkan rangkaian perawiketika hadis itu disampaikan (al-isnad) (Syuhudi Ismail: 1998,21).

Pada aspek penerimaan dan penyampaian hadis (al-tahammul waada’ al-hadis), ulama hadis telah menetapkan adanya perbedaanpersyaratan bagi perawi dalam kedua kegiatan ini. Mereka,umumnya, membolehkan orang kafir dan anak kecil menerimahadis, tetapi untuk kegiatan penyampaian, riwayat mereka tidak

3

sah. Untuk itu, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhioleh seorang perawi agar hadis yang disampaikannya dapatditerima. Persyaratan itu mencakup aspek integritas keagamaandan intelektual perawi yang dalam istilah ilmu hadis disebut‘adalah dan dhabt. Jika kedua persyaratan ini terkumpul padadiri seorang perawi, maka ia disebut sebagai perawi tsiqah dandapat diterima hadisnya.

Adapun aspek penyebutan rangkaian perawi bertujuan untukmengetahui mata rantai yang menghubungkan jalur periwayatantersebut dan sekaligus untuk mengetahui kebersambungansanadnya (ittishal al-sanad). Pada aspek ini, biasanya ulama hadismelakukan kegiatan berupa: 1) mencatat nama semua perawi dalamsanad yang diteliti, 2) mempelajari sejarah hidup setiapperawi melalui informasi yang diberikan oleh kitab rijal hadis,seperti Tahzib al-Tahzib karya Ibn Hajar al-‘Asqalani dan Tahzib al-Kamal karya al-Mizziy. Tujuan menghimpun biografi ini adalahuntuk mengetahui apakah setiap perawi dalam sanad tersebutberkualitas tsiqah (‘adil dan dhabith) dan tidak suka melakukantadlis, serta untuk mengetahui ke-sezamanan dan hubungan guru-murid dalam periwayatan hadis. 3) meneliti kata-kata ataulambang periwayatan yang menghubungkan antara para periwayatdengan periwayat yang terdekat dalam sanad, apakah berupahaddasana, akhbarana, ‘an, anna, atau lainnya.

Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa setiap hadismengharuskan adanya para perawi yang tsiqah dan persambungansanad pada setiap periwayatannya. Hal inilah yang menyebabkanperiwayatan hadis menempati posisi yang sangat penting sebagaisalah satu alat untuk menguji otentisitas atau keaslianpenisbahan periwayatan tersebut kepada Rasulullah.

Terkait dengan penggunaan istilah dalam periwayatanhadis, seperti dikemukakan oleh Syuhudi Ismail (1988: 52-60),para ulama menetapkan berbagai istilah atau kata-kata atau harftertentu untuk menghubungkan periwayat dengan periwayat lainyang terdekat dalam sanad. Istilah ini menggambarkan cara yangtelah ditempuh oleh perawi masing-masing perawi tatkalamenerima hadis. Pada umumnya, ulama membagi tata carapenerimaan riwayat hadis kepada 8 (delapan) macam, yaitu: al-sama’ min lafz al-syaykh, al-qira’ah ‘ala al-syaykh (al-‘aradh), al-ijazah, al-munawwalah, al-mukatabah, al-i’lam, al-washiyah, dan al-wijadah.

Adapun yang dimaksud dengan al-sama’ min lafz al-syaykh (ataubiasa disebut dengan al-sama’) adalah penerimaan hadis dengancara mendengar langsung bacaan gurunya, baik melalui hafalan

4

ataupun catatannya. Sementara lafaz yang dipakai untuk

menggambarkan cara ini, antara lain ا ال ل�ن� رن �ى, ق�� ب� خ� ا, أ� رن�� ب� خ� ى, أ� ن� دث�� ا / ح� ن� دث�� , ح� معت� س�dan ا ب�رل�ن� خ� .أ� Cara periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulamahadis dinilai sebagai cara yang tertinggi kualitasnya karenamengindikasikan adanya pertemuan antar perawi hadis (guru-murid). Al-qira’ah ‘ala al-syaykh (al-‘aradh) berupa pembacaan hadis olehseorang perawi di hadapan gurunya, atau ia mendengarkan hadisyang dibaca oleh murid lainnya. Cara ini lebih berupapemeriksaan hafalan atau catatan hadis seorang murid.Kedudukan penerimaan dengan cara ini diperselisihkan ulama.Sebagian menganggapnya lebih rendah dari al-sama, seperti ImamAhmad, Abdullah ibn al-Mubarak, Ishaq ibn Rahawayh dan IbnShalah. Sementara al-Zuhriy, Imam Malik, Sufyan ibn ‘Uyaynahdan Imam al-Bukhari menilai keduanya mempunyai kualitas yangsama. Ulama lain seperti Abu Hanifah, Abu Zi’b menganggap al-qira’ah lebih tinggi dari al-sama’. Istilah yang umum dipakai

untuk metode ini adalah $لان ت� ع�لى ق�� �رأ� ه dan ق� �ر ب�� ق� ا� س�مع ق�� ا أ� � ن لان$ وأ� ت� ع�لى ق�� �رأ� . ق�Cara ketiga dari penerimaan riwayat adalah al-ijazah yakni

izin yang diberikan oleh guru hadis kepada seseorang untukmeriwayatkan hadis-hadisnya, baik dinyatakan secara lisan atautertulis. Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan penerimaanhadis dengan cara ini. Sebahagian mereka, seperti Syu’bah ibnal-Hajjaj dan Abu Zur’ah menolaknya karena mengkhawatirkandampak buruk dari penerapannya. Tetapi mayoritas ulamamembolehkannya karena menilai ada beberapa jenis ijazah yangcukup terpercaya untuk dipakai dalam periwayatan hadis,seperti ijazah bersama munawwalah dan ijazah mujarradah dariguru tertentu untuk hadis tertentu. Adapun kata yang umum

dipakai untuk cara periwayatan ini antara lain ا ن�1 ذ� ا أ3 ن� , ح�دث�� ة� از� ح�� ا أ3 ن� atau ح�دث��لى از� ح�� Cara penerimaan yang keempat adalah al-munawwalah, yaitu .أ�pemberian kitab hadis dari guru hadis kepada seseorang.Pemberian ini adakalanya disertai izin untuk diriwayatkan (al-munawwalah al-maqrunah bi al-ijazah) dan adakalanya tidak disertaiizin (al-munawwalah al-mujarradah). Cara yang pertema disepakatiulama penggunaannya, sementara yang kedua tidak diperbolehkan.

Cara penerimaan yang kelima adalah al-mukatabah, yaituseorang guru menuliskan hadis yang diriwayatkannya untukdiberikan kepada orang tertentu. Sama seperti dua cara

5

sebelumnya, periwayatan dengan al-mukatabah ada dua; yangdisertai izin dan tidak. Ulama menetapkan bahwa keduaperiwayatan al-mukatabah ini diperbolehkan. Kata-kata yang

dipakai untuk al-mukatabah antara lain ه� ب� � ث ه م�كا �ى ب�� رن ب� خ� , أ� لان$ لى ق�� dan ,ك�ت�ت� أ3ه� اب�� ه ك�ن� ب�� �ى رن ب� خ� Selanjutnya, cara keenam dari penerimaan hadis adalah .أ�al-i’lam, yaitu pemberitahuan dari seorang guru hadis kepadamuridnya tentang hadis atau kitab hadis yang telahditerimanya, tetapi tidak diikuti dengan pernyataan agar sangmurid meriwayatkannya. Mayoritas ulama membolehkan periwayatandengan cara i’lam dan kata yang dipakai untuk periwayatan ini

adalah ع�لام�ا ا أ3 رن�� ب� خ� .atau kata-kata lain yang semakna أ�Cara penerimaan hadis yang ketujuh adalah al-washiyah,

yaitu seorang perawi hadis mewasiatkan kitab hadis yangdiriwayatkannya kepada orang lain. Ulama berbeda pendapatterkait dengan penerimaan seperti ini. Sementara kata yang

dipakai untuk cara wasiat berbunyi: لى وصى أ3 .atau yang semakna أ�Adapun cara kedelapan berupa al-wijadah, yaitu seseorang yangmemperoleh hadis yang ditulis oleh seorang perawi tidakmelalui cara al-sama’ atau al-ijazah. Orang yang memperoleh tulisanini, dapat semasa atau tidak semasa dengan si penulis, pernahbertemu ataupun tidak. Serta pernah atau tidak pernahmeriwayatkan hadis darinya. Kata-kata atau pernyataan yangdipakai untuk periwayatan dengan cara al-wijadah, di antaranya

adalah $لان ا ق�� ن� طه ح�دث�� خ� لان$ ب�� ات� ق�� ى ك�ن� دت� ف� , وح�� لان$ ا ق�� ن� لان$ ح�دث�� ط ق�� خ� دت� ب�� .وح��Di akhir uraiannya, Syuhudi mencatat ada 3 hal yang harus

diperhatikan berkenaan dengan masalah ini. Pertama, ketikamenyampaikan hadis, seorang perawi harus mengemukakan carapenerimaan hadis yang ditempuhnya dan juga menyebutkan nama-nama perawi lain yang menyampaikan hadis itu kepadanya. Kedua,Tidak seluruh cara penerimaan hadis seperti di atas memilikikualitas (tingkat akurasi) yang tinggi. Menurut mayoritasulama, hanya al-sama’, al-qira’ah, al-ijazah al-maqrunah bi al-munawwalah(al-munawwalah al-maqrunah bi al-ijazah) dan al-mukatabah, yang dinilaimemiliki tingkat akurasi yang tinggi. Ketiga, Kata-kata ataupernyataan yang dipakai sebagai penghubung antar perawimenggambarkan cara-cara penerimaan riwayat hadis. Kata-kataini ada yang disepakati dan ada yang tidak disepakatipenggunaannya. Adanya ketidaksepakatan inilah yang kemudian

6

menyebabkan timbulnya kesulitan pelacakan terhadap cara yangbenar-benar telah dipakai dalam periwayatan hadis yangbersangkutan.

Periwayatan bil makna: Pengertian dan Latar Munculnya Ada anggapan yang muncul di sebagian kalangan umat Islam,

bahkan juga para pengkaji hadis bahwa perbedaan redaksi matanyang terjadi pada hadis-hadis yang memiliki kesamaan temamerupakan bentuk periwayatan bil makna. Padahal, konsepperiwayatan bil makna dipahami oleh ulama hadis sebagai suatubentuk periwayatan hadis yang dilakukan oleh seorang perawidengan menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baikkeseluruhan maupun sebagiannya saja dengan tetap menjagaartinya tanpa menghilangkan apapun apabila dibandingkan denganhadis yang diriwayatkan menurut lafal atau teks aslinya(Noorhidayati: 2008, 39). Dengan kata lain, periwayatan bilmakna hanya terjadi pada satu hadis – bukan satu tema, tetapidisampaikan dengan redaksi yang beragam.

Berdasarkan pemahaman seperti ini maka hadis-hadistentang berbagai keutamaan amal ataupun Islam yang palingbaik, tidak dikategorikan ke dalam periwayatan bil makna,walaupun mempunyai kesamaan tema. Ini dikarenakan, perbedaanredaksi lebih disebabkan oleh bervariasinya jawaban Nabi sebabditujukan untuk berbagai pertanyaan shahabat dan peristiwayang berbeda. Sementara periwayatan bil makna hanya terjadiuntuk satu hadis dalam satu peristiwa yang diungkapkan denganredaksi yang berbeda dan bukan pada perbedaan redaksi karenaperistiwa yang berbeda.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa model periwayatanseperti ini dapat terjadi, padahal sering dikatakan bahwa paraperawi – bahkan sejak era shahabat sangat berhati-hati dansangat menekankan periwayatan secara lafzi?

Untuk menjawab pertanyaan tentang latar munculnyaperiwayatan bil makna, agaknya kita harus memahami hakekatdari hadis itu sendiri. Seperti dimaklumi bahwa hadisdiartikan sebagai ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi. Jikademikian, maka dapat dikatakan bahwa tidak mungkin seluruhhadis diriwayatkan secara lafaz dari Nabi. Sebab dari ketigaunsur itu, hanya ucapan beliau yang dapat diriwayatkan secarateks murni. Adapun hadis-hadis yang menerangkan perbuatan dantaqrir beliau, jelas redaksinya disusun oleh para shahabatyang menyaksikan perbuatan Nabi dan kemudian menyampaikan atau

7

meriwayatkannya kepada sesama mereka ataupun generasi dibawahnya (tabi’in). (Edi Safri: 1991, 2-3).

Juga harus dimaklumi bahwa dalam periwayatan hadis, yangdikehendaki adalah menyampaikan kandungan maknanya, bukanlafalnya. Karena itu dibolehkan periwayatan hadis secara maknasebagai bentuk kemudahan dan keringanan bagi umat terutamadalam proses tahammul wal ada’ (Abu Zahw: t.th., 200-201). Hanyasaja, sebagai bentuk kehati-hatian, periwayatan bil lafzitetap diutamakan sebagai bentuk upaya memelihara hadis Nabi,mengingat periwayatan bil makna dapat berimplikasi padaperbedaan redaksi yang terkadang berakibat pada perubahanmakna atau maksud hadis. Hal terakhir inilah yangdikhawatirkan terjadi oleh sebagian ulama – sejak masaShahabat. Apalagi mengingat Rasulullah sendiri dalam sebuahriwayat pernah melarang praktek periwayatan tersebut, sepertidiceritakan oleh al-Barra’ ibn ‘Azib:

Dك ق� ع ع�لى ش�� طج� م أض�� , ث�� ءك�D ل�لصلاة� ا� وض� وض�� Uت عكD ف�� ج� ت� م�ض� ت] � ث أ أ� ذ� أ3 ى ض.م. : ن� ال أل�ن� ال: ق�� ت� ق�� از� ن$ ع� "ع�ن$ ألب�رأء ب��

ا� كD, لام�لج� ل�ن] ه� أ3 ه� وزه�ب� ب� كD زع�� ل�ن] هري] أ3 lا� ت� ظ� ل�ج� كD وأ� ل�ن] مري] أ3 ت� أ� وض�� كD وف� ل�ن] هنى] أ3 لمت� وج�� س� أل�لهم أ� ل: م ق�� , ث�� من$ [ ي "ألا�

ن��ت� ع�لى ا� كD ق�� لن� ن$ م�ت� م�ن$ ل�ن] ا3 . ق�� زس�لت� ي] أ� د� كD أل� ن] ن� ن� ل�ت� وث�� ز� ن�� ي] أ� كD أل�د� اب�� كن� م�ت�ت� ن�� ل�لهم أ� كD. أ� ل�ن] لا أ3 كD أ3 ا� م�ن� ج� "ولام�ن�

, ل�ت� ز� ن�� ي أ� د� كD أل� اب�� كن� م�ت�ت� ن�� ت� أل�لهم أ� لع� لما ن�� ى ض.م. ق�� ن� ها ع�لى أل�ن� �رذذت�� ال: ق� . ق�� ه كلم ب�� ا ت�� ر م� علهن$ أخ�� طرة� و أج�� "أل�ف� "

: لت� ازي(وزش�ول�كDق�� ج� زس�لت� )زوأة أل�ن� ي أ� كD أل�د� ن] ن� وب�� ال: ", ق�� "

Riwayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah mengkritikpenggantian lafaz nabi dengan rasul seperti yang dilakukanoleh al-Barra’, walaupun kedua lafaz ini adalah sinonim(muradif). Hadis ini pula yang kemudian dijadikan dasar olehkelompok yang melarang periwayatan secara makna (al-Jawwabiy:t.th., 208-209)

Dengan tidak mengabaikan perbedaan pendapat yang terjadi,tersebarnya hadis seiring dengan penyebaran shahabat dan paraperawi lainnya, menjadikan sebuah hadis memiliki mata rantaiperiwayatan yang panjang. Tentu saja fenomena ini – sedikitbanyak akan menyulitkan para penghafal hadis karena merekadituntut untuk menghafal nama, nasab, kun-yah dan laqab setiapperawi (Noorhidayati: 2008, 43). Juga harus diingat bahwa parashahabat – sebagai perawi pertama dalam mata rantaiperiwayatan hadis, tidak mempunyai kekuatan hafalan yang samasehingga tidak semua mereka mampu meriwayatkan kembali hadis

8

persis seperti apa yang didengar dari Nabi. Kondisi yang samajuga terjadi pada perawi lainnya. Akibatnya, ketika sebahagianshahabat melakukan periwayatan secara makna, kebolehan initentu saja diikuti oleh generasi berikutnya (tabi’in danseterusnya). Mengutip penjelasan Noorhidayati (2008: 46),paling tidak ada 4 faktor yang mendukung terjadinyaperiwayatan hadis bil makna, yaitu: (1) Tidak seluruh hadisNabi diriwayatkan secara mutawatir, (2) Pada masa Nabi hinggashahabat, hadis belum dibukukan sehingga periwayatan lebihbanyak dilakukan secara lisan. Walaupun ada beberapa shahabatyang mencatat hadis, tetapi hal itu bersifat individual. (3)Adanya perbedaan kemampuan para perawi dalam menghafal danmeriwayatkan hadis, dan (4) Hanya hadis qawliy saja yangmungkin diriwayatkan secara tekstual. Padahal hadis mungkinberupa perkataan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal.

Hanya saja patut dicatat bahwa meskipun tidak mungkinseluruh hadis Nabi dihafal oleh para shahabat, tetapi tidakberarti bahwa tidak ada hadis Nabi yang dapat dihafal dandiriwayatkan secara lafzi (harfiah) oleh para shahabat. Adabeberapa kondisi tertentu yang memberi peluang sehingga merekamampu melakukannya. Di antara kondisi itu adalah: (1) Nabidikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraannya berbobot.Beliau berusaha menyesuaikan sabdanya dengan bahasa (dialek),kemampuan intelektual dan latar budaya audience-nya. Contohnyaketika Ashim al-Asy’ari bertanya kepada Nabi tentang hukumberpuasa bagi orang yang dalam perjalanan, Beliau menjawab

dengan dialek si penanya, suku al-Asy’ari: ف�ر م ش� ى أ� ام ف� م ض�ن] م ن��ز أ� س م�ن$ أ� ل�ي]. Dalam riwayat lain, Nabi menyampaikan hadis yang sama dengan

dialek bahasa baku (fushhah): ( . ف�رى أل�س ام ف� ر أل�صن] س م�ن$ ألب� (2ل�ي] Untuk sabda-sabda tertentu, Nabi menyampaikannya dengan diulang dua atautiga kali. Tidak jarang, Nabi menyampaikan sabdanya dengancara merinci masalah yang sedang diterangkannya. Kesemuanyaitu dimaksudkan agar para shahabat yang mendengarnya dapatmemahami dan mengingatnya dengan baik. Termasuk dalam kategoriini adalah hadis berupa doa, zikir dan bacaan tertentu dalamibadah (shalat). Bacaan ini tentu saja senantiasa diulang olehNabi tidak hanya satu atau dua kali, bahkan ada yangdisabdakan setiap hari. (3) Tidak sedikit sabda Nabi yangdisampaikan dalam bentuk jawami’ al-kalim, yakni ungkapan pendek

tetapi sarat makna. Misalnya دعه� perang) أل�حرت� ح�� itu siasat).9

Ungkapan seperti ini sangat mudah dihafal secara lafzi olehpara shahabat. (4) Orang-orang Arab sejak dahulu sampaisekarang dikenal mempunyai hafalan yang kuat. Pada zaman Nabi,umumnya mereka masih buta huruf sehingga lebih mengandalkankekuatan hafalan, bukan catatan tulisan. Kekuatan hafalaninilah yang memberi peluang akan banyaknya hadis Nabi yangdiriwayatakan secara lafzi. (5) Di antara shahabat, ada yangdikenal dengan kesungguhannya dalam menghafal hadis secaralafzi, misalnya Abdullah ibn Umar. Hal ini turut memberipeluang terjadinya periwayatan hadis secara lafzi. (SyuhudiIsmail: 1988, 70-71).

Dari sini dapat dipahami bahwa baik periwayatan bil lafziataupun bil makna, keduanya telah terjadi sejak masa Nabi.Kedua bentuk periwayatan ini dimungkinkan karena adanya faktorpendukung seperti penjelasan di atas. Jika demikian, bagaimanapandangan para ulama – terutama pasca shahabat, terkait denganfenomena kedua periwayatan ini?

Pendapat Ulama Tentang Periwayatan bil MaknaSeperti telah dijelaskan di awal pembahasan bahwa para

ulama sepakat mengenai periwayatan bil lafzi dan berbedapandangan tentang kebolehan periwayatan bil makna. Setidaknyaada 3 (tiga) pendapat menyangkut masalah ini. Ada yang secaraekstrem tidak membolehkannya; ada yang membolehkan dengansyarat-syarat tertentu; di samping itu ada pendapat yangtampak moderat, membolehkan pada kasus tertentu dan tidakmembolehkan kasus-kasus lainnya (Edi Safri: 1991, 3).Sementara menurut al-Jawwabiy, ketiga pendapat tersebut adalah(1) Mengharuskan periwayatan hanya secara lafzi, (2)Membolehkan periwayatan bil makna dengan syarat terpeliharakandungan maknanya, dan (3) Pendapat yang membolehkanperiwayatan bil makna secara bebas atau tidak menetapkansyarat-syarat tertentu (al-Jawwabiy: t.th., 207). Al-Jawwabiysendiri menegaskan bahwa hanya pendapat pertama dan kedua yangdapat didiskusikan untuk mencari titik temu perbedaannya,sementara pendapat ketiga harus ditolak.

Dapat dimaklumi mengapa perbedaan pendapat seperti initerjadi. Pada masa shahabat, perbedaan ini agaknya lebihdisebabkan sikap Rasulullah yang seolah ‘mendua’ dalammenghadapi masalah pemeliharaan hafalan (periwayatan). Sepertiketika berhadapan dengan al-Bara’, beliau melarang penggantiankata ‘nabi’ dengan ‘rasul’. Tetapi pada kasus Sulaiman ibn

10

Akimah yang mengadu kepada Rasulullah tentang kekurangsetiaanhafalannya, tidak mampu meriwayatkan hadis persis seperti apa

yang didengarnya dari Rasulullah, beliau menjawab: ا جلوأ خ�رأم� أ ل�م ب�� ذ� أ3س ا� لا ن�� ى ق�� م أل�معن� ت� ن� ض� وأ ح�لالا وأ� حرم� Tentu saja sikap .(Edi Safri: 1991, 5) . وب��mendua Rasul ini dapat dimengerti karena beliau memaklumibahwa tidak semua shahabatnya memiliki daya ingat yang tajamsehingga beliau memberi kemudahan dengan membolehkanperiwayatan bil makna. Agaknya, hal ini pula yang disadarioleh sebahagian shahabat yang membolehkan periwayatan ini,seperti al-Hasan ketika diceritakan kepadanya ihwal pengaduanSulaiman ibn Akimah kepada Rasulullah, ia berkomentar: “Kalautidak demikian, kita tidak dapat meriwayatkan apa-apa” (EdiSafri: 1991, 5). Demikian pula sikap Ummul Mukminin – Aisyah,yang bertanya kepada Urwah ibn al-Zubair mengenai hadis-hadisyang diterimanya dari dirinya dan orang lain, apakah maknanyasaling bertentangan? Ketika Urwah menjawab tidak ada

pertentangan, maka Aisyah berkata: “ Dل�ك د� س ن�� ا� :al-Jawwabiy) ”لا ن��t.th., 217).

Pada masa selanjutnya, perbedaan pendapat mengenaiperiwayatan bil makna tetap terjadi. Hanya saja, timbulnyapenolakan ini mungkin sekali disebabkan adanya kekhawatiranyang kuat bahwa ketidak utuhan teks hadis dapat membawa bahayayang besar, yakni terbukanya peluang yang lebih besar lagibagi terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam ajaran yangdisampaikan Rasulullah. Kemungkinan ini terjadi karenaperbedaan teks dapat menimbulkan perbedaan makna. Lebih jauh,dapat ditafsirkan bahwa ketidakutuhan teks sama artinya denganketidakutuhan atau ketidakbenaran hadis. Kalau sudah sampaikepada kesimpulan seperti ini maka kedudukan hadis sebagaisumber ajaran agama menjadi merosot atau bahkan hancur samasekali. Muhammad ibn Sirin, seorang tabi’in besar, dan ImamMalik ibn Anas termasuk dalam kelompok ulama yang tegasmengharuskan periwayatan hadis secara lafzi.

Atas dasar kekhawatiran seperti ini, boleh dikatakanbahwa perbedaan pendapat mengenai kebolehan periwayatan bilmakna mulai mengerucut kepada boleh tidaknya selain shahabatNabi melakukannya. Al-Qadhiy Abu Bakar ibn al-‘Arabiy (w. 573H) berpendapat bahwa periwayatan bil makna hanya dibolehkanterjadi pada masa shahabat dan di antara mereka saja.Sementara untuk generasi selanjutnya tidak diperkenankan.

11

Kebolehan untuk generasi shahabat dikarenakan (1) merekamemiliki penegtahuan bahasa arab yang tinggi (al-fashahah wa al-balaghah), dan (2) mereka mendengar dan menyaksikan secaralangsung perkataan dan perbuatan Nabi sehingga mampu memahamimaksud dari perkataan dan perbuatan beliau. (al-Jawwabiy:t.th,224).

Berbeda dengan pandangan di atas, mayoritas ulama hadisumumnya membolehkan periwayatan secara makna hingga masasebelum dibukukannya hadis secara resmi dan ini merupakan olehkalangan muta’akhirin (Syuhudi Ismail: 1988, 71). Ini berartiperiwayatan tersebut diizinkan hingga keluarnya perintahpenulisan hadis oleh Khalifah Umar ibn Abul Aziz tahun 100 H,yang dinilai sebagai babak baru pembukuan karena menjadikebijakan resmi negara. Tetapi jika yang dimaksud adalahberakhirnya masa pembukuan hadis maka ini hingga abad ke-4 H.Agaknya batasan yang terakhir inilah yang terjadi mengingathingga abad ke-3 masih ada fenomena periwayatan bil maknaseperti dijumpai dalam kitab-kitab hadis karya ulama abad ini.Menyikapi perbedaan ini, agaknya dapat dikutip penjelasan Ibnal-Shalah (w. 643 H) bahwa ulama sepakat melarang periwayatanbil makna pada hadis-hadis yang telah ditulis atau dibukukandalam kitab hadis (2004: 214). Jika kedua pendapat di atasdikompromikan, maka bisa dikatakan bahwa larangan periwayatanbil makna mulai menemukan momentumnya ketika kodifikasi hadissecara ‘resmi’ dilakukan oleh banyak ulama, dan kebolehan iniditutup rapat setelah pembukuan hadis dianggap selesai hinggakira-kira abad ke-4 atau ke-5 H. Jika pembatasan inidisepakati, tentu saja kita yang hidup pada masa sekarangtidak boleh menyampaikan hadis secara makna (menggantilafalnya dengan yang semakna) mengingat hadis-hadis tersebutdiperoleh dari kitab-kitab hadis yang menjadi sumber bacaan.

Hanya patut dicatat, meskipun membolehkan periwayatan bilmakna hingga, tetapi jumhur juga menetapkan beberapapersyaratan yang harus dipenuhi dalam periwayatan ini.Persyaratan itu berupa: (1) Periwayatan ini hanya dibolehkanbagi mereka yang memiliki pengetahuan bahasa arab yangmendalam sehingga dapat menghindarkan diri dari kesalahan ataukekeliruan. (2) Dilakukan karena sangat terpaksa, misalnyalupa susunan harfiah hadis. (3) hadis yang diriwayatkanbukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnyata’abbudiy, seperti zikir, doa, azan, dan syahadat, serta bukansabda Nabi berbentuk jawami al-kalim. (4) Perawi yang ragu-ragu

12

atau lupa tersebut hendaklah menambahkan kata-kata ال و ك�ما ق�� atau أ�أ د� جو ه� و ب�� atau yang semakna dengannya, setelah menyebutkan matan أ�hadis (Syuhudi Ismail: 1988, 71).

Adanya berbagai ketentuan ini menunjukkan bahwa meskipunmembolehkan, namun dalam prakteknya jumhur tidaklah bersifat‘longgar’. Artinya, para perawi tidak bebas begitu saja dalammelakukan periwayatan bil makna sehingga kekhawatiranterjadinya perubahan makna dapat diminimalisir.

Bentuk-Bentuk Periwayatan bil Makna dan ImplikasinyaHarus diakui bahwa kebolehan periwayatan bil makna

berimplikasi pada bervariasinya bentuk matan hadis yangdisampaikan. Penelitian yang dilakukan oleh Noorhidayati(2003: 83) menunjukkan, paling tidak, terdapat empat variasiperiwayatan bil makna, yaitu: (1) Al-Ikhtishar dan al-Taqthi’, (2) al-Taqdim wa al-Ta’khir, (3) al-Ziyadah dan al-Nuqshan, dan (4) al-Ibdal.Dengan menggunakan kategori ini, penulis akan menganalisislebih jauh bentuk-bentuk periwayatan bil makna yang terjadiserta implikasinya terhadap otentisitas hadis dan kandunganmaknanya, baik berupa hukum ataupun hikmah ajarannya. Disini,contoh periwayatan bil makna serta implikasinya hanyadifokuskan pada periwayatan bil makna berupa ibdal dan al-ziyadah(penggantian dan penambahan lafaz atau teks hadis).1. Bentuk Ibdal atau penggantian lafaz hadis

Bentuk ibdal dari periwayatan bil makna mempunyai variasiyang sangat beragam. Variasi ini antara lain berupa:

a. Penggunaan lafaz baru dan berbedaPada bentuk pertama ini, matan hadis disampaikan dengan

menggunakan lafaz teks yang disinyalir tidak (atau belum)populer di masa Nabi sehingga terjadi perubahan. Lafaz aslidari teks itu sendiri tidak diketahui mengingat semuaperiwayatan yang ada, menggunakan ‘lafaz’ yang baru tersebut.Misalnya hadis:

... د� وأح�� ال�ت� ها ن�� وأ ع�لي] ي©ن$ ع�ض� [ ن$ أل�مهدب ب1] د اء أل�رأس�� لق� ه� أل�ج� ى] وس�ب� ن� كم ب��سن� علن] ....ف��Menurut Zuhri (2003: 55-56), kuat dugaan hadis ini

mengalami periwayatan bil makna karena menggunakan kata yang

tidak populer pada masa Nabi, yaitu $ن ب1] د اء أل�رأس�� لق� mengingat lafaz أل�ج�ini sangat sarat dengan muatan politik. Tidak heran jika ada

13

penolakan terhadap keotentikan (keaslian penisbahannya kepadaRasulullah) mengingat tidak mungkin Rasulullah akanmenyampaikan sabdanya dengan kata-kata yang tidak dipahamioleh shahabat atau tidak populer.belum dipakai pada masa itu.Karena itu keotentikan hadis ini dapat dibela jika digunakanasumsi telah terjadi periwayatan bil makna bahwasanya redaksipesis hadis bukan al-khulafa al-rasyidin, melainkan kata lain yangide pokoknya ‘orang-orang yang berpikiran cemerlang dan setiakepada Rasulullah (mengikuti sunnah Nabi). Pendapat terjadinyaperiwayatan bil makna pada hadis ini juga dikemukakan oleh EdiSafri (1991: 1).

b. Penggunaan lafaz yang berbeda secara tekstualDisini terjadi perbedaan lafaz matan antara satu hadis

dengan lainnya, tetapi perbedaan yang terjadi hanya secaratekstual sehingga tidak mengubah kandungan maknanya. Contoh:

وي ان�� ما ل�كل أمري� م� ي�� ات� وأ3 ن] ال�ن� ع�مال ن�� ما ألا� ي�� ,Dalam periwayatan hadis ini ....أ3paling tidak terdapat lima variasi susunan teks sebagai akibatdari adanya perbedaan sanad. Perbedaan sanad terjadi sebagaiakibat dari terjadinya perbedaan periwayat. Periwayat yangberbeda memberi peluang timbulnya perbedaan cara penerimaanriwayat (tahammul al-hadis) dan mungkin juga perbedaan ketentuanyang dianut dalam periwayatan hadis secara makna (SyuhudiIsmail: 1988, 72).

c. Penggunaan lafaz yang berbeda secara tekstual dan maknaSeperti dijelaskan oleh Muhammad ‘Awwamah (1997, 30-31)

ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban makmum yang masbuqsetelah imam menyelesaikan shalatnya. Perbedaan ini terjadikarena adanya dua riwayat yang berbeda terkait masalah ini,yaitu:

صلوأ م ف�� ذزك�ت� سرعوأ ف��ما أ� از ولاب�� ه� وأل�وق�� ب� ال�سكن] كم ن�� لى أل�صلاة� وع�لن] وأ أ3 ام�س� امه� ق�� ق�� م ألا3 أ س�معت� ذ� موأأ3 ي�� ا� كم ق�� ان�� .وم�ا ق��Sementara redaksi kedua dari hadis ini hanya berbeda potongan

terakhir hadis yang menggunakan kalimat وأ ض� اف�� كم ق�� ان�� ا ق�� Kedua hadis .وم�ini berasal dari shahabat Abu Hurairah sehingga kuat dugaanterjadi periwayatan bil makna. Jika yang pertama diartikandengan ‘.......maka sempurnakanlah’, hadis kedua dimaknaidengan ‘....maka qadha-lah’.

Perbedaan kecil antara kalimat موأ ي�� ا� dan (sempurnakanlah) ق��وأ ض� اف�� (qadha’-lah) ق�� ini menyebabkan perbedaan yang besar dari

14

segi fiqh. Yakni, jika seseorang masbuq dan hanya mendapatkanraka’at keempat dari sang Imam, bagaimana ia melanjutkan tigarakaat lainnya yang ketinggalan?

Imam al-Syafi’i berpegang dengan hadis pertama danmenyatakan bahwa satu rakaat yang didapat makmum masbuqdianggap sebagai rakaat pertama baginya. Apabila imam selesaishalat, maka ia berdiri melanjutkan rakaat kedua dengan hanyamembaca alfatihah dan surah, dan seterusnya seperti ia shalatmunfarid; duduk tasyahud pada rakaat kedua kemudian berdirimenyelesaikan rakaat terakhir. Sebaliknya Imam Abu Hanifahcnderung menggunakan hadis kedua, dimana menurutnya, saturakaat yang diperoleh si makmum sama dianggap sebagai rakaatkeempat baginya. Karena itu, setelah sang Imam salam, maka iamelanjutkan rakaat berikutnya sebagai rakaat pertama, karenaia berdiri untuk ‘mengganti atau qadha’ rakaat yangketinggalan. Ia harus membaca doa iftitah, alfatihah dansurah. Setelah itu, ia duduk tasyahud, kemudian berdiri danmembaca alfatihah dan surah saja. Pada rakaat terakhir, iahanya membaca alfatihah.2. Bentuk al-Ziyadah (atau penambahan lafaz hadis)

Ulama hadis menjelaskan bahwa salah satu implikasi dariadanya periwayatan bil makna dapat berupa al-ziyadah dan idrajyang dimaknai dengan ‘tambahan’ pada matan hadis. Perbedaanpada kedua istilah ini adalah jika ziyadah dipahami sebagai‘tambahan’ yang dikemukakan oleh perawi tertentu, sedangperawi lain tidak menyebutkannya. Tambahan ini (jika memenuhisyarat ziyadah ‘an al-tsiqat) diasumsikan berasal dari Nabi sendiridan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari matan hadis dandisebut hadis mazid. Sementara idraj merupakan ‘tambahan’ lafazyang diyakini berasal dari si perawi hadis sebagai bentukpenjelasan dari lafaz atau makna hadis. Contoh hadis yangmengalami ziyadah adalah:

ن$ كD ع�ن$ أب�� ن$ )زوأة م�ال� ى م�ن$ أل�مسلمي] ن� � ث و أ� ر أ� ك� د ذ� ل خ�رع�ن� ان$ ع�لى ك� طر م�ن$ زم�ص� اة� أل�ف� ك� �رض� ز� ول أل�له ض.م. ق� ن$ زش� أ�ع�مر(

Kata $ن dalam matan hadis di atas dinyatakan sebagai م�ن$ أل�مسلمي]ziyadah karena hanya ditemukan dalam periwayatan Imam Malik.Walaupun mendapat bantahan dari al-‘Iraqi yang menyatakanbahwa kata tersebut bukan ziyadah, tetap penelitian menunjukkanbahwa perawi-perawi tsiqah lain yang sama-sama memperoleh hadis

15

ini melalui Nafi dan berujung sanad pada shahabat Ibn ‘Umartidak mencantumkan tambahan tersebut. Hanya saja, mengingatImam Malik adalah seorang perawi tsiqah dan tambahan ini tidakmengubah kandungan makna, maka ziyadah Imam Malik tetapditerima dan dijadikan dalil oleh banyak ulama (Noorhidayati:2008, 100-102).

Adapun idraj pada matan biasanya merupakan penafsiran atauketerangan kandungan hukum untuk kata-kata atau pernyataandari bagian matan tertentu yang dikemukakan oleh perawitertentu, dan hadisnya disebut hadis mudraj (Syuhudi Ismail:1992, 131-132). Tambahan berupa penafsiran ini, karenakesalahan salah seorang perawi dalam jalur sanad hadistersebut, dianggap sebagai bagian integral dari matan hadis.Para ulama hadis menilai bahwa hadis idraj seperti ini dihukumdhaif. Contohnya:

از. ات� م�ن$ أل�ن� ع�ق� ل ل�لا� [ وء, وب وأأل�ض� غ� س�ب� ال زش�ول أل�له ض.م.: أ� ال: ق�� ن1]زة� ق�� ى ه�ر � ن ع�ن$ أ�Kata وء وأأل�ض� غ� س�ب� ,pada hadis di atas bukanlah pernyataan Nabi أ�

melainkan kata-kata Abu Hurairah. Dua perawi pada hadis ini,yakni Abu Qatn dan Syababah ragu-ragu dengan ‘tambahan’tersebut sehingga menjadikannya sebagai bagian integral darihadis. Setelah dilakukan cross check (metode muqaranah) denganmelihat hadis semakna, diketahui seharusnya hadis tersebutberbunyi:

از ات� م�ن$ أل�ن� ع�ق� ل ل�لا� [ ال: وب اسم ق�� ا أل�ق� ن�� ن$ أ� ا3 وء,ق�� وأأل�ض� غ� س�ب� ال: أ� ن1]زة� ق�� ى ه�ر � ن ع�ن$ أ�Oleh para ulama, hadis pertama dinilai dhaif karena

menjadikan pernyataan Abu Hurairah sebagai bagian dari tekshadis dan menimbulkan persepsi bahwa pernyataan tersebutmerupakan bagian dari sabda Nabi. Sementara hadis keduabernilai shahih.

Periwayatan bil Makna dan Kritik Matan HadisDalam literatur ilmu hadis dijelaskan bahwa jika disebut

hadis shahih maka maksudnya adalah hadis yang memenuhi syaratkeshahihan, baik pada sanad ataupun matannya. Hal ini berartijika sebuah hadis tidak memenuhi keshahihan keduanya secarasekaligus, maka hanya disebut shahih sanad atau shahih matansaja. Hadis pada kategori ini masih perlu diuji lebih lanjutuntuk memastikan kebenaran penisbahannya kepada Rasulullahdengan cara mengetahui statusnya; apakah hadis shahih ataubukan.

16

Rumusan kaedah keshahihan hadis yang disepakati ulamaadalah kebersambungan sanad, perawinya adil dan dhabith(tsiqah), tidak mengandung syaz dan ‘illat (Syuhudi Ismail: 1988,109). Kelima syarat ini berlaku untuk menguji keshahihan sanaddan matan, dengan rincian kelimanya berlaku untuk mengujisanad, sementara untuk matan hanya dua yang terakhir. Jadisecara praktis, ada tujuh persyaratan keshahihan yang harusditerapkan. Menurut al-Adabiy (1983: 235), ulama mempunyaikriteria tersendiri dalam merinci unsur terhindar dari syaz dan‘illat pada matan hadis karena sifatnya yang masih abstrak.Tetapi kriteria yang mereka tetapkan tersebut berkisar pada 4

(empat) hal, yaitu (1) tidak bertentangan dengan al-Qur’an/دم ع�م ) [ ن$ أل�كزث رأ� ه� أل�ف� ال�ف� (2م�ج� tidak bertentangan dengan hadis ataupun sirah

Nabi yang telah disepakati atau lebih kuat / ن1]ت� ان��ت� م�ن$ أل�جد ه� أل�ن� ال�ف� ع�دم م�ج�( , ه� وب�] ت� رة� أل�ن� (3وأل�سب] tidak bertentangan dengan akal, panca indra atau

sejarah / خ� [ ازب و أل�ن� و أل�حس أ� ل أ� ه� أل�غق� ال�ف� دم م�ج� dan ع� (4) susunan hadis

menunjukkan ciri sabda kenabian / وة� ت� ه ك�لام أل�ن� ب� ه ب�]ش� ,al-Adabiy: 1983) ك�وب��238).

Jika dikaitkan dengan periwayatan bil makna maka dapatdikatakan bahwa masalah ini berhubungan dengan kesesuaiansebuah hadis dengan hadis lainnya sebagai syarat diterimanyasebuah hadis. Persoalan ini menjadi perhatian ulama sejakdahulu hingga sekarang karena dianggap sebagai salah satupenyebab sulitnya melakukan penelitian keshahihan matan(Syuhudi Ismail: 1992, 130). Hal ini mengingat periwayatan bilmakna telah menjadi fenomena unum dalam periwayatan hadis –paling tidak hingga tiga abad pertama dalam Islam. Ulama hadismenyadari adanya fenomena periwayatan bil makna telah membukapeluang terjadinya perubahan teks hadis dari aslinya. Jika initerjadi maka sudah sewajarnya perlu dilakukan penelitianintensif dan ekstra keras untuk menguji hadis-hadis yangdiindikasikan mengalami periwayatan bil makna sehinggadiketahui hadis yang benar-benar merupakan sabda Nabi.

Agaknya, dasar argumentasi inilah yang dipakai oleh parapemikir muslim modern untuk menggugat periwayatan bil maknasebagai sebuah metode periwayatan hadis di masa lalu, dansekaligus menjadikannya sebagai ‘batu uji’ keotentikan matan

17

sebuah hadis. Seperti yang dilakukan oleh Abou El Fadl (303-318) ketika menguji keshahihan hadis-hadis tentang sujudkepada suami yang sering dijadikan sebagai dalil kepatuhanmutlak seorang istri. Mengutip pendapat beberapa komentatorhadis, Abou El Fadl menegaskan bahwa hadis-hadis sujud istriini telah mengalami ‘penambahan’ yang luar biasa (fihi ghayat al-mubalaghah) dengan munculnya tambahan (ziyadah dan idraj) tentangbukit-bukit; pelana, punggung unta dan bisul. Mungkinkahbagian hadis tentang bersujud kepada suami itu ditambahkansebagai klausul tambahan berkenaan dengan sebuha kajianhistoris yang tidak relevan? Ia berkesimpulan bahwa jikapenelitian terhadap hadis-hadis ini dilakukan secaraproporsional, dengan menggunakan beberapa ‘pendekatan baru’yang ia tawarkan, maka penelitian ini akan menggiring kitauntuk tidak menggunakan hadis-hadis tentang bersujud dan taatkepada suami sebagai sandaran dalam persoalan hukum atauteologi. Ini tidak serta merta berarti hadis-hadis tersebutdiyakini tidak otentik, melainkan kita hanya memutuskan bahwahadis-hadis itu tidak dapat secara meyakinkan diklaim sebagaihadis yang benar-benar bersumber dari Nabi.

Demikian halnya dengan Kamaruddin Amin (209: 480-481)yang melakukan penelitian tentang hadis ‘shaum’, yakni sebuahhadis qudsi yang menjelaskan keistimewaan puasa dan orang yangberpuasa (‘Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dansesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisiAllah daripada aroma wewangian). Menurutnya, hadis ini memiliksejumlah varian yang diriwayatkan oleh beberapa shahabatselain Abu Hurairah. Tetapi dengan pendekatan analisis isnad cummatn, tidak dapat dibuktikan bahwa hadis-hadis tersebut adalahdapat dipercaya. Hadis-hadis tersebut mungkin hasil darisebuah penyandaran salah yang menyandarkan teks-teks AbuHurairah kepada shahabat-shahabat lain, atau pemalsuan isnadisecara sengaja oleh generasi belakangan atau bahkan refleksidari sebuah periwayatan nyata. Tak ada satu pun darikemungkinan-kemungkinan ini dapat dibuktikan. Tak ada varian-varian kokoh yang dapat menguatkan klaim Abu Hurairah telahmenerima hadis tersebut dari Nabi. Tetapi ini tidak harusberarti bahwa Abu Hurairah menciptakan elemen-elemen hadistersebut. Mungkin ia benar-benar mendengarkan Nabi mengatakandemikian, tetapi metode analisis isnad cum matn belum bisamembawa sampai kepada keyakinan itu. Di akhir penelitiannya,ia menyatakan bahwa metode analisis isnad cum matn yang

18

mempelajari secara serius varian-varian isnad dan teks ataumatan yang berbeda dan juga hubungan-hubungannya, telahterbukti sebagai alat penelitian efektif untuk merekonstruksisejarah yang memungkinkan untuk membedakan dalam beberapakasus antara riwayat yang sesungguhnya dan yang palsu.

KesimpulanBerdasarkan uraian-uraian di atas dapat dinyatakan bahwa

kebolehan bersyarat periwayatan bil makna oleh mayoritas ulamahadis, mempunyai dampak positif berupa kemudahan dalamperiwayatan hadis sehingga menyelamatkan hadis-hadis Nabi darikepunahan. Tetapi di sisi lain, harus diakui bahwa adanyaperiwayatan ini berakibat pada sulitnya melakukan penelitiankeshahihan matan; untuk membuktikan apakah sebuah hadis benar-benar diyakini (otentik) berasal dari Rasulullah. Hal inidisebabkan fenomena tersebut menjadikan sebuah hadis memilikivariasi teks yang seringkali dinilai saling bertentangan,bahkan dianggap menyalahi prinsip normatif ajaran Islam karenamemiliki dampak teologis dan sosial yang besar.Tidak heranjika para pengkaji hadis di era modern menjadikan periwayatanbil makna sebagai langkah awal untuk mengkritisi kembalihadis-hadis yang selama ini dinilai shahih dan telah menjadibahagian dari ajaran Islam, dan seringkali berujung kepadakeraguan dan juga penolakan terhadap keshahihannya. Inilahyang kemudian menjadikan persoalan periwayatan bil maknamenjadi topik diskusi yang terus berkepanjangan di antaraulama hadis bahkan hingga sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Abou El-Fadl, Khaled M., Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke FikihOtoritatif, terj., Jakarta: Serambi, 2004

Abu Zahw, Muhammad Muhammad, al-Hadis wa al-Muhaddisun, t.tp.: al-Maktabah al-Tawfiqiyyah, t.th.

Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,Jakarta: Hikmah, 2009

‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Dar al-Fikr: Beirut: 2001

‘Awwamah, Muhammad, Melacak Akar Perbedaan Mazhab: PengaruhPenggunaan Hadis Terhadap Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama.,Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997

19

Al-Jawwabiy, Muhammad Thahir, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Matn al-Hadisal-Nabawi al-Syarif, Tunisia, Muassasah ‘A. al-Karim ibnAbdullah, t.th.

Al-Adabiy, Shalahuddin ibn Ahmad, Manhaj Naqd Matn ‘Inda ‘Ulama’ al-Hadis al-Nabawiy, Beirut: Dar al-Afaaq al-Jadidah, 1983

Ibn al-Shalah, Abu ‘Amr Usman ibn Abdurrahman al-Syayrazi,Ulum al-Hadis, Naskah ditahqiq oleh Nuruddin ‘’Itr,Damaskus: Dar al-Fikr, 2004

Noorhidayati, Salamah, Kritik Teks Hadis: Analisis tentang al-Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis, Jember: Center forSociety Studies dan P3M STAIN Tulungagung, 2008

Syuhudi Ismail, M., Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Tela’ah Kritis danTinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang,1988

_____________, Metode Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang,1992

Zuhri, Muh., Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis,Yogyakarta: LESFI, 2003

20

21