13
1 Perbandingan Perkembangan Film Independen ( Indie ) Korea Selatan dan Indonesia Ahmad Ozy 1 Pendahuluan Beberapa dasawarsa ini dalam perkembangan produksi film antara Korea Selatan dengan Indonesia telah memiliki pola-pola yang mirip. Kemiripan itu bermula dari proses reformasi kebijakan pemerintahan yang luwes terhadap ide-ide konten cerita yang diluar ideologi politik seperti : Komunis, Pancasila, dan lain sebagainya. Produksi film di Indonesia pada tahun 1990an diatas telah dinilai sangat mahal, karena membeli pita film seluloid yang harganya masih berkisar 2 juta untuk satu adegan saja ( per scene ). Pita seluloid film yang sering dipakai berukuran 35 mm. Merupakan pita yang dipakai dalam pembuatan film era 1990an keatas. 2 Kemudian masalah tarif penyewaan kamera sinematografi beserta lampu film yang harga sewanya per hari mencapai 50 sampai 100 juta. Produksi film komersial ala industri seperti ini dinilai sangat mewah ( glamour ) sehingga produsen film dianggap konglomerator film seperti Keluarga Punjabi dengan berbagai rumah produksinya ( Production House ) seperti Raam Punjabi ( RAPI ) Film, Soraya Intercine Film, dan Sinemart. Kritik atas produksi film yang terlalu mahal membuat para sineas muda di Indonesia menggagas kreasi film pendek independen yang memiliki durasi antara 7 menit hingga 24 menit. Produksi film pendek ini begitu merakyat sehingga digemari oleh kalangan kelas menengah ke bawah. Karya film pendek di Indonesia yang digemari adalah buatan sineas Ifa Isfansyah. Karya film Ifa seperti “ Sudah Sore, Pukul Lima..Cepat Pulang !” dan “ Harap Tenang, Ada Ujian ! “. Film pendek yang ditayangkan di film festival independen Konfiden 1 Alumnus Ilmu Sejarah 2008, Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada dan Art Film School Yogyakarta. 2 Riri Riza, “ Diskusi Sejumlah Masalah Sinema Digital di Indonesia”. Komunitas Salihara. 5 Maret 2013.

Perbandingan Perkembangan Film Independen ( Indie ) Korea Selatan dan Indonesia

  • Upload
    ugm

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

Perbandingan Perkembangan Film Independen ( Indie ) Korea Selatan dan Indonesia

Ahmad Ozy1

Pendahuluan

Beberapa dasawarsa ini dalam perkembangan produksi film antara Korea Selatan

dengan Indonesia telah memiliki pola-pola yang mirip. Kemiripan itu bermula dari proses

reformasi kebijakan pemerintahan yang luwes terhadap ide-ide konten cerita yang diluar

ideologi politik seperti : Komunis, Pancasila, dan lain sebagainya. Produksi film di Indonesia

pada tahun 1990an diatas telah dinilai sangat mahal, karena membeli pita film seluloid yang

harganya masih berkisar 2 juta untuk satu adegan saja ( per scene ).

Pita seluloid film yang sering dipakai berukuran 35 mm. Merupakan pita yang dipakai dalam

pembuatan film era 1990an keatas.2

Kemudian masalah tarif penyewaan kamera sinematografi beserta lampu film yang

harga sewanya per hari mencapai 50 sampai 100 juta. Produksi film komersial ala industri

seperti ini dinilai sangat mewah ( glamour ) sehingga produsen film dianggap konglomerator

film seperti Keluarga Punjabi dengan berbagai rumah produksinya ( Production House )

seperti Raam Punjabi ( RAPI ) Film, Soraya Intercine Film, dan Sinemart.

Kritik atas produksi film yang terlalu mahal membuat para sineas muda di Indonesia

menggagas kreasi film pendek independen yang memiliki durasi antara 7 menit hingga 24

menit. Produksi film pendek ini begitu merakyat sehingga digemari oleh kalangan kelas

menengah ke bawah. Karya film pendek di Indonesia yang digemari adalah buatan sineas Ifa

Isfansyah. Karya film Ifa seperti “ Sudah Sore, Pukul Lima..Cepat Pulang !” dan “ Harap

Tenang, Ada Ujian ! “. Film pendek yang ditayangkan di film festival independen Konfiden

1 Alumnus Ilmu Sejarah 2008, Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada dan

Art Film School Yogyakarta.

2 Riri Riza, “ Diskusi Sejumlah Masalah Sinema Digital di Indonesia”. Komunitas

Salihara. 5 Maret 2013.

2

tahun 1999 ini mampu membuat industri film Indonesia kocar-kacir. Ifa pun mengakui pada

saat itu ia hanya menggunakan kamera handycam. Sedangkan Ifa belajar workshop

pembuatan film yang diselenggarakan Pop Corner.

Perkembangan film yang bernuansa indie di Korea dipelopori oleh Hong Sang So dan

Kim Ki Duk. Hong menyutradarai film berjudul The Day a Pig Fell Into The Well. Kemudian

Kim menyutradarai film berjudul Crocodile. Setelah itu disusul oleh Lee Chang Dong yang

menyutradarai film berjudul Green Fish pada tahun 1997.3 Tiga karya ini menjadi pionir

gelombang baru ( New Wave ) dalam perfilman Korea Selatan layaknya revolusi yang terjadi

di Perancis. Didukung oleh pendidikan film yang mumpuni dan artistikal seperti Korean

Academy of Film Art ( KAFA ) dan Korean National University of Art ( KNUA ). Maka

pembuatan film bisa didapatkan melalui rekanan kuliah yang memuat beberapa jurusan yang

lengkap dalam pembuatan film seperti untuk proses castingnya dapat diambil melalui Jurusan

Seni Peran atau Drama. Sedangkan pembuatan film indie di Indonesia rata-rata dibuat oleh

komunitas film seperti Klub Kine yang menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa ( UKM ) di

beberapa kampus namun pembuat film indie bukan mesti dari pendidikan film melainkan

hobi yang membentuk independensi dalam melawan arus film komersial.

Pengembangan film indie khususnya film pendek di Indonesia tidak lepas dari

peranan Yayasan Konfiden yang dibentuk tokoh-tokoh senior kritikus film seperti J.B.

Kristanto dan Lisabona Rahman. Konfiden dibentuk pada tahun 1998 oleh Kristanto dan

Lisabona dilengkapi katalogisasi karya-karya film di Indonesia yang diproduksi dari tahun

1926 hingga 1995. Mereka berdua dibantu oleh kurator film bernama SM Ardan. Hingga

tahun 2010 Konfiden mempunyai program pendidikan film yang terdiri dari lokakarya,

perpustakaan, riset, dan konsultasi produksi film. Kemudian produksi visual proposal dan

gerilya sinema. Dan terakhir adalah penyelenggaraan film pendek festival sekaligus eksibisi

seperti pemutaran non-bioskop. Akan tetapi mulai tahun 2010 program kerja Konfiden

beralih pada bidang database dan pengarsipan yang terdiri dari videotek Konfiden dengan

beberapa koleksi film pendek hingga akhirnya berubah menjadi situs laman film Indonesia.4

Logo Yayasan Nirlaba Konfiden di Jakarta

3 Ifa Isfansyah, “ Film Independen : Indonesia VS Korea “ Public Lecture Jogja Net

Pac Asian Film Festival ( JAFF ) 5 November Tahun 2013, Yogyakarta. hlm. 2.

4 http://filmindonesia.or.id/tentang-kami#, 2 Januari 2014, 19:28.

3

Lalu menurut Stanley Kwak, pengembangan film independen di Korea Selatan

diorganisir oleh Indie Story Incorporation.5 Lembaga ini berdiri tahun 1998 yang telah

memberikan dedikasi kepada film independen terutama film pendek, animasi pendek, dan

film dokumenter baik skala domestik maupun internasional.6

LO

Logo Indiestory Inc. Di Jong Roh-Gu, Seoul

Selama sembilan tahun Indiestory melakukan distribusi secara nirlaba dengan 650

judul film. Proses jangka lama itu memberikan akuisisi dan royalti kepada para pembuat film

( filmmakers ). Akan tetapi menurut Ifa Isfansyah yang studi film di Korea Selatan telah

menyatakan bahwa pembuat film independen di Korea masih didukung oleh pemerintah

dengan dana dan birokrasi yang memadai sehingga para pembuat film masih dapat

melanjutkan karya seni filmnya yang komersial. Sedangkan pembuat film independen di

Indonesia selalu tertatih-tatih dalam setiap produksi perdana.

Lalu gelombang film independen dipicu oleh banyaknya festival film baik yang

diselenggarakan Korea maupun Indonesia. Menurut catatan Ifa Isfansyah telah terdapat 30

festival film yang diselenggarakan setiap tahun di Korea Selatan. Perhelatan festival film

adalah sebagai berikut :7

1. Korean Independent Film Festival.

2. Korean Independent Film & Video Maker’s Forum.

3. Daegu Independent Short Film Festival.

4. Busan Asian Short Film Festival.

5. Asiana Int’l Short Film Festival.

6. Mise-en-Scene’s Genres Film Festival.

7. Seoul Int’l Cartoon & Animation Festival ( SICAF ).

8. Puchon Int’l Student Animation Festival.

5 Stanley Kwak, “ Production And Distribution Korean Cinema “ Public Lecture

Jogja Net Pac Asian Film Festival ( JAFF ) 5 November Tahun 2013, Yogyakarta.

6 http://indiestory.com/English/html/indie_Background, 2 Januari 2014, 19:45.

7 Ifa Isfansyah, op. cit. Hlm 3-4.

4

9. Indie Anifest.

10. Chuncheon Anitown Festival.

11. EBS International Documentary Film Festival.

12. Seoul Independent Documentary Film & Video Festival.

Kemudian di Indonesia terdapat 9 festival film independen yang berumur antara 1

sampai 5 tahun. Perhelatan film festival adalah sebagai berikut :

1. Festival Film Pendek Konfiden.

2. OK Video.

3. Eagle Award.

4. Festival Film Dokumenter Jogjakarta.

5. AINAKI.

6. Hello Fest.

7. Jember Film Festival.

8. Mavfie Fest.

9. Parade Film Banyumas.

Motivasi filmmaker Korea memang ingin menang kompetisi festival dengan hadiah

sebesar 30 hingga 100 juta Won sehingga filmmaker Korea masih dapat melakukan produksi

lagi pada sekuel berikutnya. Bedanya dengan filmmaker di Indonesia adalah berhenti

berproduksi ketika penghargaan hadiah hanya dibawah 10 juta rupiah, padahal setiap

produksi film pendek beserta proses editing dengan standar sinematografi dan artifisial

cahaya dibutuhkan minimal 4 juta kecuali cerita film hanya menampilkan realitas yang paling

sederhana mungkin dibawah 1 juta.

Festival Film Internasional Dan Domestik

Festival film merupakan bentuk apresiasi karya pada setiap produksi film. Para sineas

internasional selalu menyelenggarakan agenda ini demi pengembangan proses kreatif dalam

produksi film. Pada level Hollywood Amerika Serikat terdapat Oscar Film Festival namun

jika pada level film independen terdapat Sundance Festival Film Independent. Lalu di

Perancis terdapat Cannes Film Festival, kemudian di Jerman terdapat Berlin International

Film Festival. Festival film merupakan bukti diskursus suatu bangsa dengan karya-karya seni

filmnya mampu mengalir deras dengan membentuk corak aliran dalam pengambilan gambar,

adegan dan suara dalam setiap praktek sinematografi. Perihal ini dikarenakan setiap bangsa

memiliki langgam dan karakteristik budaya seni dalam pembuatan cerita film. Karakteristik

ini dapat diamati dengan mudah seperti model-model film India seputar drama percintaan

pemuda-pemudi yang selalu menampilkan tarian tradisional diikuti alunan tata suara musik

khas gendang India dengan kombinasi musik dan tari modern. Begitu juga dengan film Korea

dan Indonesia yang memiliki pola-pola kemiripan, seperti karakter cerita drama percintaan,

kehidupan suatu keluarga, pertemanan, dan drama kehidupan anak-anak.

5

Pada tingkat festival film independen internasional maka Korea memiliki Busan

Internasional Film Festival ( BIFF ). BIFF ini dianggap setara dengan Berlin Internasional

Film Festival sehingga Korea Selatan sekarang dianggap mempunyai aliran tersendiri dalam

pembuatan produksi film. BIFF ini telah mempunyai kantor di Haeundae-gu Kota Busan.

Logo BIFF yang diselenggarakan setiap tahun

Dewasa ini sineas Indonesia seperti Dirmawan Hatta mampu memenangi perhelatan

festival ini dengan film indie berjudul “ Toilet Blues “ pada bulan Oktober tahun 2013. Film

ini setidaknya mampu memiliki hubungan karakteristik yang sesuai dengan kategori penilaian

juri-juri film yang berasal dari Korea. Maka hubungan budaya mempengaruhi selera

pembuatan film antara kedua bangsa ini.

Pada dinamika festival film yang berada di Korea telah mempunyai dewan komisi

yang mengatur berbagai parade film independen. Yaitu Komisi Film Seoul ( KFS ), lembaga

dewan ini mirip dengan Dewan Kesenian Jakarta ( DKJ ). KFS ini sepertinya mengatur dan

mendaftar berbagai festival film independen dengan urutan daftar laman internet sebagai

berikut :8

1. Busan Internasional Film Festival ( www.biff.kr )

2. Busan Asian Short Film Festival ( www.basff.org )

3. Jeonju International Film Festival ( www.jiff.or.kr )

4. Puchon International Fantastic Film Festival ( www.pifan.com )

5. Jecheon International Music & Film Festival ( www.jimff.or.kr )

6. Jeju Film Festival ( www.jff.or.kr )

7. Seoul International Film Festival ( www.senef.net )

8. Chungmuro International Film Festival in Seoul ( www.chiffs.kr )

9. Seoul Independent Film Festival ( www.siff.or.kr )

10. Seoul Independent Documentary Film Festival ( www.sidof.org )

11. Seoul International Cartoon & Animation Festival ( www.sicaf.org )

12. Women’s Film Festival in Seoul ( www.wffis.or.kr )

13. Experimental Film and Video Festival in Seoul ( EXiS ) ( www.ex-is.org )

14. Asian International Short Film Festival in Seoul ( www.aisff.org )

15. Green Film Festival in Seoul ( www.gffis.org )

8 http://eng.seoulfc.or.kr/contents.asp?doc=linksFf , 3 Januari 2014, 07:58.

6

16. Korean Independent Film & Video Makers Forum Seoul ( Indieforum ) (

www.indieforum.co.kr )

17. Resfest ( www.resfest.co.kr )

Dengan banyaknya penyelenggaraan film festival maka Korea Selatan menjadi

tempat diskursus keberagaman genre film dan trendsetter filmmaker baik secara domestik

maupun internasional. Pada setiap laman mereka hampir terbuka dalam menerima karya-

karya film diluar Korea sehingga tidak menutup kemungkinan film independen yang berasal

dari Indonesia mampu berpartisipasi dan berkompetisi. Tentunya dengan format dan konsep

film independen. Maka dari itu, di setiap ajang film festival membentuk corak karya seni film

tersendiri yang terkadang menjadi purwarupa ( prototype ) untuk industri film dengan capaian

komersial. Industri film yang komersial setidaknya mengikuti eksperimentasi dari film

independen yang mengedepankan konten cerita yang padat dan teknikalisasi penggunaan

kamera dan audio visual yang sederhana namun mengikuti konsep emosi cerita.

Pada penyelenggaraan festival film independen yang berada di Indonesia terdapat

sembilan yang disebutkan Ifa Isfansyah pada halaman sebelumnya, namun penyelenggaraan

mereka tidak begitu panjang karena tidak didukung dana yang memadai sehingga terdapat

festival film yang berhenti. Akan tetapi setidaknya terdapat enam festival film independen

yang senantiasa berjalan tiap tahun dan dianggap prestisius di Indonesia. Keenam festival

film adalah sebagai berikut :

1. Jakarta International Film Festival ( JIFFEST )

2. Hello Fest

3. Jogja Net Pac Asian Film Festival ( JAFF )

4. Festival Film Solo ( FFS )

5. Piala Maya

6. Festival Film Cinema 21

Pola dan tujuan festival film independen diselenggarakan di Indonesia hanya sebagai

pengembangan sosial perusahaan eksibisi film atau CSR bioskop jaringan 21, XXI, dan

Cineplex.

Aspek Penggunaan Teknologi Audio Visual

Pada kalangan filmmaker independen generasi muda terdapat akses penggunaan

teknologi kamera yang mampu menyamai gambar film komersial. Kemudahan ini disebabkan

terdapat produk teknologi yang mampu dijangkau dan disewa kelas menengah. Baik

filmmaker Indonesia sering menggunakan kamera Digital Single Lens Reflex ( DSLR )

dengan tipe electrofocus yang mampu merekam gambar secara utuh ( full frame ). Tipe

kamera yang sering dipakai adalah Canon seri 7 D dan 5 D. Jika untuk kelas minimum

anggaran ( low budget ) kebanyakan memakai 7 D namun jika ingin mendapat gambar film

yang lebih artistikal maka 5 D menjadi solusi untuk filmmaker independen.

7

Canon EOS 5D Mark II. ( Foto koleksi pribadi )

Kamera digital yang sering digunakan filmmaker Korea adalah DV 6 mm hingga

HDV sedangkan untuk proses editing rata-rata filmmaker Korea maupun Indonesia

menggunakan perangkat lunak ( software ) seperti Adobe Premiere untuk kategori yang

prestisius dan lainnya adalah program sederhana seperti Ulead, Sony Vegas, dan yang paling

sederhana adalah Windows Movie Maker.

Lalu untuk urusan tata suara, filmmaker Indonesia telah biasa menggunakan H 2 N

Recorder beserta boomer yang murah disewakan di pasaran. Akan tetapi menurut Ifa

Isfansyah, filmmaker Korea lebih peka terhadap urusan tata suara sehingga mereka menyewa

perangkat alat audio setingkat dengan film komersial. Filmmaker independen Korea

serendah-rendahnya menggunakan Fostex PD-4 yang dipasaran Indonesia sangat mahal

untuk disewakan.9 Untuk di pasar sewa alat audio film seperti Fostex PD-4 sudah berkisar 4

juta per hari. Perihal ini maklum karena nilai mata uang Won lebih tinggi daripada Rupiah.

Pada aspek penyewaan alat-alat audio visual yang berbasis pada produksi film. Rata-

rata filmmaker Korea sering menyewa kepada lembaga Mediact. Yaitu lembaga yang

mengelola alat produksi maupun pasca produksi dan distribusi.10 Sedangkan filmmaker

Indonesia sering menyewa Elang Perkasa dan Fokus untuk urusan lampu film. Kemudian alat

audio menyewa kepada Banyumili Jalan Salihara Jakarta dengan mengajukan permohonan

proposal. Untuk urusan kamera dapat menyewa atau meminjam produser film dan

kameramen nasional. Jika vendor penyewaan kamera seperti I-frame, Jogja Kamera 24 Jam,

Four Colour dan lain sebagainya.

Gelombang Baru ( New Wave ) Karya Film Independen Korea Selatan dan Indonesia

Karya sutradara film independen Korea seperti pasca generasi Wong Kar Wai adalah

seperti arahan sutradara Kim Jae Won dengan judul “ The Whale in The West “. Film ini

memenangi Clermont-Ferrand Film Festival. Kemudian arahan sutradara Ji Young Che

9 Ifa Isfansyah, op. cit. Hlm 4.

10 Ifa Isfansyah, ibid.

8

dengan judul film “ Stand By Me “. Film ini memenangi Seoul Film Festival. Kedua

sutradara Korea ini berusaha menyajikan kehidupan keseharian orang Korea dalam cerita

film. Film pendek independen di Korea berkisar antara 25-35 menit, yakni jauh lebih lama

dibandingkan film pendek independen di Indonesia yang berkisar antara 10-24 menit. Kedua

sutradara ini menonjolkan emosi dalam cerita sehingga teknis pengambilan gambar menjadi

nomor dua. Uniknya, filmmaker di Korea adalah orang-orang yang berusia lebih tua karena

dituntut menyelesaikan kuliah terlebih dahulu dan harus menjalani wajib militer selama 2

tahun sehingga filmmaker Korea rata-rata berusia 30 hingga 40 tahun.11 Dan tidak semua

filmmaker Korea bekerja profesional sebagai pekerja film, maka pola seperti ini sangat

berbeda dengan pola kenyataan yang terjadi pada filmmaker Indonesia.

Untuk memenangkan dalam perhelatan festival film independen, sineas Indonesia

mampu menunjukkan kelasnya dengan nominasi terbaik dari De Cannes International film

festival seperti “ Postcard in The Zoo ‘ dengan sutradara Edwin. Lalu “ Vakansi Yang

Janggal dan Penyakit Lain-Lainnya “ dengan garapan sutradara Yosep Anggi Noen mampu

menang dalam Rotterdam International Film Festival. Kemudian “ Toilet Blues “ karya

Dirmawan Hatta telah berhasil menembus di Busan International Film Festival. Dan terakhir

adalah Film “ Isyarat “ dengan garapan omnibus dengan digawangi empat aktor seperti Reza

Rahadian, Monty Tiwa, Adhyatmika, Asmirandah, dan Donny Alamsyah.

Aspek Distribusi Film Independen

Indonesia telah dianggap paling lemah dalam bidang distribusi film independen

karena hampir tidak ada lembaga yang mengelola karya-karya film indie dengan cara

sistematis. Apalagi pasca beralihnya Konfiden kepada program pengarsipan film. Oleh

karena itu, filmmaker indie Indonesia hanya berambisi untuk memenangkan festival

kemudian diputar ke beberapa kampus dan kafe untuk mengisi acara-acara pendidikan

maupun kesenian. Menurut Ifa Isfansyah, bahkan terdapat pemburu film indie dari luar negeri

juga mengaku kesulitan mencari film indie Indonesia. Perihal ini disebabkan tidak adanya

lembaga distributor yang khusus menangani alur distribusi maupun sirkulasi.

Berbeda dengan apa yang terjadi di Korea. Filmmaker Korea tidak perlu bingung dan

pusing jika karya mereka telah selesai dibuat. Seorang filmmaker indie Korea cukup

menitipkan dan menandatangani ketentuan formulir kepada lembaga seperti Indiestory,

NADA Art, Sangsangmadang, Indie Space, dan Seoul Cinematheque. Dari penitipan ke pihak

distributor dan art cinema, maka filmmaker indie di Korea sudah mendapatkan hak cipta dan

royalti sesuai dengan permintaan penonton yang penasaran terhadap konten cerita yang

ditawarkan.

Kemudian terdapat lembaga eksebisi atau penyedia ruang penonton alternatif selain

bioskop-bioskop besar di Korea seperti CGV, Megabox, Primus, dan lain sebagainya.

Lembaga tersebut adalah sejenis kine sinema bernama The Seoul Art Cinema ( SAC ). SAC

11 Ifa Isfansyah, ibid. Hlm 5.

9

ini mendapat keuntungan periklanan dari laman pariwisata Korea sehingga turis juga dapat

menikmati film indie khas Korea.12

Pada distribusi film independen Indonesia adalah bergantung pada inisiatif dan

kemauan filmmaker. Pada tahap ini nyaris tidak ada perhatian dari dewan komisi film

ataupun bantuan dari pemerintah. Akan tetapi terdapat lembaga distributor film independen

dalam hal pembuatan DVD seperti Four Colours ( FC ) di Yogyakarta dan Ezy Mata di

Jakarta. FC bahkan mengadakan regulasi sebagai pihak distributor namun tetap berbagi

keuntungan ( profit sharing ) dengan filmmaker.13

Untuk soal eksebisi film-film independen memang sangat terbatas. Kebanyakan

diputar dalam acara kampus dan kafe-kafe yang memiliki kerjasama dengan komunitas studi

film seperti Komunitas Salihara, Kineforum TIM Jakarta, Forum Lenteng, Filmmaker

Kaskus, Sarasehan Filmmaker, Cinema Poetica, kine sinema yang menjadi Unit Kegiatan

Mahasiswa ( UKM ). Dapat dikatakan kesemua ini adalah komunitas penikmat dan pengkaji

film bernama Kineforum. Kineforum ini adalah forum menonton dan diskusi mengenai film

yang ditonton entah mengenai premis film, cerita film, latar belakang pembuatan film dan

teknik pembuatan film.

Jika dibanding dengan Kineforum Korea memang sedikit lebih rumit hingga

membahas mengenai aspek budaya, politik, dan filosofi pembuatan film. Namun memang

akhirnya berdampak tidak begitu diminati masyarakat. Akan tetapi menjadi alternatif

tontonan hiburan maupun yang kegiatan menonton bersifat edukatif, hingga laman pariwisata

Korea selalu memberi ruang iklan bagi mereka. Terutama kineforum yang berada di ibukota

Seoul selalu didukung oleh sineas-sineas yang telah sukses di industri film seperti Park

Chong Hwon.

Pada pemberitaan karya film independen di Korea telah memiliki majalah khusus

yang mengupas detail soal film-film independen yang baru rilis maupun sedang menjadi

bahan topik pembicaraan ( trending topics ). Majalah ini bernama “ Indie.Alt. Zine “ ( IAZ ).

IAZ ini mengupas dan menampilkan ulasan awal ( preview ) dan resensi film independen

yang beredar di Korea maupun mancanegara. Majalah ini juga berasal dari sosialisasi agenda

Seoul Independent Documentary Festival.

Jika di Indonesia terdapat Film Indonesia Or Id atau Konfiden dalam bidang

pengarsipan dan katalogisasi maka di Korea terdapat Indiedb. Net yang mengelola database

12 http://english.visitkorea.or.kr/enu/SI/SI_EN_3_1_1_1.jsp?cid=1215617, 4 Januari

2014. 18 : 54.

13 http://fourcoloursfilms.com/distribusi-fourcolours-regulasi, 4 Januari 2014. 20:13.

10

film independen. Akan tetapi lembaga seperti ini sangat didukung secara finansial oleh

pemerintah Korea melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.14

Kesimpulan

Perbedaan yang menonjol antara filmmaker independen Korea Selatan dan Indonesia

adalah pada dukungan pendanaan dari pemerintah. Pemerintahan Korea sangat

memperhatikan produksi film independen karena dipandang ekspresi murni dari masyarakat

Korea baik yang berupa kesenian maupun edukasi dan non-komersil. Pemerintah Korea

melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ( Ministry of Culture and Tourism ) telah

membentuk lembaga dan dewan komisi film yang menata dan membiayai film independen.

Lembaga ini bernama Korean Film Council ( KOFIC ). KOFIC melalui Seoul Komisi Film

dapat memberikan dukungan finansial dan total insentif sebanyak 100,000,000 KRW atau

sekitar 89,000 US$.15

Jika dibandingkan dengan Indonesia juga memiliki Badan Pertimbangan Perfilman

Nasional ( BP2N ) namun dewasa ini BP2N baru memperhatikan produksi film independen

pada tahun 2012 dengan menyelenggarakan festival film khususnya di Yogyakarta. BP2N

juga mengadakan dukungan finansial terhadap film independen namun harus terkait dengan

tema-tema Kebangsaan dan Kearifan Lokal ditambah lagi dengan birokrasi yang cukup sulit.

Pada perspektif konten cerita film independen Korea dengan Indonesia terbilang

mempunyai selera dan orientasi kultural yang mirip, karena selalu mengedepankan

dramatisasi yang partikular namun penuh pemaknaan kemudian disertai emosi cerita.

Terbukti filmmaker Dirmawan Hatta telah menang dalam Festival Film Internasional di

Busan dengan judul “ Toilet Blues “. Meski tidak sepenuhnya tesis ini benar namun

setidaknya representatif karena mewakili selera menonton ( taste of watching ) yang

dipengaruhi kesamaan simpatik ala budaya timur seperti tema-tema percintaan, kehidupan

paradoksal, penyimpangan sosial, dan toleransi.

Pada penyelenggaraan festival film antara Korea dan Indonesia juga memiliki hampir

sebanding antusiasnya meski secara kuantitas di Korea lebih banyak penyelenggaranya. Akan

tetapi hasilnya dapat dikatakan memiliki pola yang mirip seperti gambar film dengan masing-

masing corak cahaya. Kemudian yang membedakan hanya hasil tata suara. Perihal ini hanya

berkaitan dengan kemauan efek suara yang diinginkan disamping filmmaker Korea lebih

14 Ifa Isfansyah, op. cit. Hlm 7.

15 http://eng.seoulfc.or.kr/contents.asp?doc=incentivesOverview , 4 Januari 2014.

19:34.

11

mendapatkan dukungan dana yang sangat cukup untuk menyewa alat-alat film yang

mendekati industri film komersial.

REFERENSI

Ifa Isfansyah, “ Film Independen : Indonesia VS Korea ”, makalah disampaikan dalam

Public Lecture Jogja Net Pac Asian Film Festival ( JAFF ) 5 November Tahun 2013,

Yogyakarta.

Riri Riza,“ Diskusi Sejumlah Masalah Sinema Digital di Indonesia”.

Komunitas Salihara. 5 Maret 2013.

Stanley Kwak, “ Production And Distribution Korean Cinema”, makalah disampaikan dalam

Public Lecture Jogja Net Pac Asian Film Festival ( JAFF ) 5 November Tahun 2013,

Yogyakarta.

12

REFERENSI INTERNET

http://filmindonesia.or.id/tentang-kami#, diakses pada tanggal 2 Januari 2014, pada pukul

19:28.

http://indiestory.com/English/html/indie_Background, diakses pada tanggal 2 Januari 2014,

pada pukul 19:45.

http://eng.seoulfc.or.kr/contents.asp?doc=linksFf, diakses pada tanggal 3 Januari 2014, pada

pukul 07:58.

http://eng.seoulfc.or.kr/contents.asp?doc=incentivesOverview, diakses pada tanggal 4 Januari

2014, pada pukul 19:34.

http://fourcoloursfilms.com/distribusi-fourcolours-regulasi, diakses pada tanggal 4 Januari

2014, pada pukul 20:13.

http://english.visitkorea.or.kr/enu/SI/SI_EN_3_1_1_1.jsp?cid=1215617, diakses pada

tanggal 4 Januari 2014, pada pukul 18 : 54.

13