32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) à berakibat kerusakan otak iskemik. Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode yang lebih akurat dan non invasif. Semoga dengan adanya makalah ini, dapat membantu perawat dalam melakukan pengamatan penting karena otak letaknya terkurung dalam kerangka yang kaku, penekanan tekanan dalam rongga tengkorak dapat menghambat aliran darah otak yang bisa berakibat gangguan fungsi otak yang permanen. Tengkorak bayi, yang belum kaku, merupakan pengecualian dan penekanan tekanan intrakranial dapat diamati dari adanya penonjolan fontanel. Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk memulai terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu : 1. Apa yang dimaksud dengan peningkatan tekanan intrakranial? 2. Apakah etiologi dari peningkatan tekanan intrakranial? 3. Bagaimanakah patofisiologinya? 4. Jelaskan manifestasi klinis yang terjadi pada peningkatan tekanan intrakranial? 5. Jelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk peningkatan tekanan intrakranial? 6. Apakah komplikasi yang terjadi pada peningkatan tekanan intrakranial? 7. Bagaimanakah penatalaksanaan pada peningkatan tekanan intrakranial? 8. Asuhan Keperawatan pada peningkatan tekanan intrakranial. 1

Peningkatan TIK

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh peningkatan

tekanan intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan

penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60

mmHg) à berakibat kerusakan otak iskemik. Pengendalian TIK yang berhasil mampu

meningkatkan outcome yang signifikan.

Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode yang lebih

akurat dan non invasif. Semoga dengan adanya makalah ini, dapat membantu perawat

dalam melakukan pengamatan penting karena otak letaknya terkurung dalam kerangka

yang kaku, penekanan tekanan dalam rongga tengkorak dapat menghambat aliran darah

otak yang bisa berakibat gangguan fungsi otak yang permanen. Tengkorak bayi, yang

belum kaku, merupakan pengecualian dan penekanan tekanan intrakranial dapat

diamati dari adanya penonjolan fontanel. Pemantauan TIK yang berkesinambungan

bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk memulai terapi dan mengefektifkan terapi,

serta menentukan prognosis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang akan dibahas

dalam makalah ini yaitu :

1. Apa yang dimaksud dengan peningkatan tekanan intrakranial?

2. Apakah etiologi dari peningkatan tekanan intrakranial?

3. Bagaimanakah patofisiologinya?

4. Jelaskan manifestasi klinis yang terjadi pada peningkatan tekanan intrakranial?

5. Jelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk peningkatan tekanan

intrakranial?

6. Apakah komplikasi yang terjadi pada peningkatan tekanan intrakranial?

7. Bagaimanakah penatalaksanaan pada peningkatan tekanan intrakranial?

8. Asuhan Keperawatan pada peningkatan tekanan intrakranial.

1

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan  makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui definisi peningkatan TIK

2. Untuk mengetahui etiologi dari peningkatan TIK

3. Untuk menjelaskan patofisiologi dari peningkatan TIK

4. Unuk menjelaskan manifestasi klinis dari peningkatan TIK

5. Untuk mengetahui jenis pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk

peningkatan TIK

6. Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada peningkatan TIK

7. Untuk menjelaskan penatalaksanaan dari peningkatan TIK

8. Untuk menjelaskan askep pada peningkatan TIK

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi

Prinsip TIK diuraikan pertama kali oleh Profesor Munroe dan Kellie pada

tahun 1820. Mereka menyatakan bahwa pada orang dewasa, otak berada dalam

tengkorak yang volumenya selalu konstan. Ruang intrakranial terdiri atas parenkim

otak sekitar 83%, darah 6%, dan cairan serebrospinal (LCS) 11% .

TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal

adalah 7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-anak, dan

1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur. Definisi hipertensi intracranial tergantung

pada patologi spesifik dan usia, walaupun TIK>15 mmHg umumnya abnormal.

Contohnya TIK>15 mmHg umumnya abnormal, akan tetapi penanganan diberikan

pada tingkat berbeda tergantung patologinya. TIK>15 mmHg memerlukan

penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera kepala, penanganan

diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi pada anak-anak dan telah

direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai selama penanganan cedera

kepala ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18 mmHg pada anak<8 tahun, dan 20

mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.

Peningkatan volume salah satu komponen akan dikompensasi oleh penurunan

volume komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan yang konstan Jaringan

otak pada dasarnya tidak dapat dimampatkan, jadi peningkatan TIK karena

pembengkakan otak akan mengakibatkan ekstrusi LCS dan darah (terutama vena)

dari ruang intrakranial, fenomena ini disebut kompensasi spasial. LCS memegang

peranan pada kompensasi ini karena LCS dapat dibuang dari ruang intrakranial ke

rongga spinalis . Hubungan antara TIK dan volume intrakranial digambarkan

dalam bentuk kurva yang terbagi dalam tiga bagian yaitu bagian pertama kurva

adalah datar sebab cadangan kompensasi adekuat dan TIK tetap rendah walaupun

volume intraserebral meningkat (A-B). Bila mekanisme kompensasi ini lemah,

kurva akan naik secara cepat. Compliance intrakranial sangat menurun dan

sedikit peningkatan volume akan menyebabkan peningkatan TIK (B-C). Pada TIK

3

yang tinggi, kurva kembali datar akibat hilangnya kapasitas arteriol otak untuk

melebar sebagai respons terhadap penurunan CPP. Tekanan jaringan otak yang

tinggi menyebabkan gagalnya fungsi pembuluh darah sebagairespon

serebrovaskular (C-D).

Peningkatan TIK pada cedera kepala dapat berkaitan dengan lesi massa

intrakranial, cedera kontusio, pembengkakan pembuluh darah, dan edema otak.

Baru-baru ini studi klinis telah menunjukkan bahwa edema otak adalah penyebab

utama yang bertanggung jawab atas pembengkakan otak setelah cedera kepala.

Edema otak vasogenik dianggap sebagai edema yang lazim setelah cedera kepala,

tetapi studi MRI (Magnetic Resonance Imaging) terbaru menunjukkan bahwa,

pada pasien dengan pembengkakan otak yang signifikan, edema seluler atau

sitotoksik terjadi karena akumulasi air intraseluler. Bila autoregulasi serebral tidak

ada, peningkatan tekanan darah arteri menyebabkan peningkatan volume darah otak

(Cerebral Blood Volume/ CBV) dan TIK. Peningkatan CBV dan TIK juga bisa

terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sistemik seperti tekanan CO2

arterial, temperatur dan tekanan intrathorakal dan intraabdominal, atau karena

peristiwa intrakranial seperti kejang. Hipertensi intrakranial juga bisa terjadi karena

gangguan aliran LCS baik akut maupun kronik (hidrosefalus), seringkali difus, atau

proses patologi seperti edema serebri akibat gagal hati.

TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal

adalah 7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-anak, dan

1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur. Definisi hipertensi intracranial tergantung

pada patologi spesifik dan usia, walaupun TIK>15 mmHg umumnya abnormal.

Contohnya TIK>15 mmHg umumnya abnormal, akan tetapi penanganan diberikan

pada tingkat berbeda tergantung patologinya. TIK>15 mmHg memerlukan

penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera kepala, penanganan

diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi pada anak-anak dan telah

direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai selama penanganan cedera

kepala ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18 mmHg pada anak<8 tahun, dan 20

mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.

4

B. Etiologi

Penyebab yang paling sering dari peningkatan tekanan intrakranial yaitu, trauma

kepala, tumor otak, perdarahan subarachnoid, ensepalopaties, toxic, dan viral.

Peningkatan TIK paling sering berhubungan dengan lesi otak yang meluas (seperti

perdarahan), obstruksi aliran CSF (seperti dalam tumor) dan formasi CSF meningkat

seperti hidrosefalus dan swelling dan edema otak. Keadaan lain yang dapat

meningkatkan TIK, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Gangguan pada CSF

1. Perubahan absorbsi CSF seperti stenosis Aquadatus, meningitis, infeksi otak lain

yang menyebar ke ruang dimana CSF berada, kompresi atau obstruksi pada jalur

CSF, edema interstisial, fistula pada dura.

2. Perubahan pada produksi CSF seperti : gangguan fleksus koroid, hiper atau hipo

osmolal, keadaan hidrocepalik kronik.

b. Gangguan serebrovaskular

1. Kerusakan pada otak sentral seperti trombosis, emboli, arteri vena malformasi,

aneurisma, hemoragik dan formasi hematom, edema vasogenik,

hipervaskularisasi pada tumor otak.

2. Gangguan perifer yang menimbulkan ketidakseimbangan status serebrovaskuler

seperti: hipo atau hiiper kardia, oklusi atau kompresi vena jugularis internal,

sindrom vena kava superior, CHF, dan keadaan overload cairan dan syok yang

menimbulkan hipoksia otak.

5

c. Keadaan yang mempengaruhi parenkim otak seperti trauma kepala, termasuk

hemoregik, tumor, edema serebral, abses, toksik ensepalopati.

C. Patofisiologi

Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan cairan

serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi terhadap meningkatnya

tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan compliance. Perpindahan cairan

serebrospinal keluar dari kranial adalah mekanisme kompensasi pertama dan utama,

tapi lengkung kranial dapat mengakomodasi peningkatan volume intrakranial hanya

pada satu titik. Ketika compliance otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala

klinis, dan usaha kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai (Black &

Hawks, 2005)

Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika volume

darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah otak

hilang, gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme otak,

sering mengarah pada hipoksia jaringan otak dan iskemia (Black & Hawks, 2005).

Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak

melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum ke dalam

kanal spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari

kompresi batang otak. Otak disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial.

Kompartemen supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas otak tengah

ke bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan kanan yang dipisahkan oleh falx serebri.

Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan serebellum) oleh tentorium

serebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen itu. Tekanan yang meningkat

pada satu kompartemen akan mempengaruhi area sekeliling yang tekanannya lebih

rendah (Black&Hawks, 2005). Autoregulasi juga bentuk kompensasi berupa

perubahan diameter pembuluh darah intrakranial dalam mepertahankan aliran darah

selama perubahan tekana perfusi serebral. Autoregulasi hilang dengan meningkatnya

TIK. Peningkatan volume otak sedikit saja dapat menyebabkan kenaikan TIK yang

drastis dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk kembali ke batas normal (Black

& Hawks, 2005).

6

Manifestasi klinik dari peningkatan TIK disebabkan oleh tarikan pembuluh darah

dari jaringan yang merenggang dan karena tekanan pada duramater yang sensitif dan

berbagai struktur dalam otak. Indikasi peningkatan TIK berhubungan dengan lokasi

dan penyebab naiknya tekanan dan kecepatan serta perluasannya. Manifestasi klinis

dari peningkatan TIK meliputi beberapa perubahan dalam kesadaran seperti kelelahan,

iritabel, confusion, penurunan GCS, perubahan dalam berbicara, reaktifias pupil,

kemampuan sensorik/ motorik dan ritme/ denyut jantung. Sakit kepala, mual, muntah,

penglihatan kabur sering terjadi. Papiledema juga tanda terjadinya peningkatan TIK.

Cushing triad yaitu peningkatan tekanan sistolik, baradikardi dan melebarnya tekanan

pulsasi adalah respon lanjutan dan menunjukkan peningkatan TIK yang berat dengan

hilangnya aoturegulasi (Black & Hawks, 2005).

Perubahan pola nafas dari cheyne-stokes ke hiperventilasi neurogenik pusat ke

pernafasan apnuestik dan pernafasan ataksik menunjukkan kenaikan TIK. Pembuktian

adanya kenaikan TIK dibuktikan dengan pemeriksaan diagnostik seperti radiografi

tengkorak, CT scan, MRI. Lumbal pungsi tidak direkomendasikan karena berisiko

terjadinya herniasi batang otak ketika tekanan cairan serebrsopinal di spinal lebih

rendah daripada di kranial. Lagipula tekanan cairan serebrospinal di lumbal tidak selalu

menggambarkan keakuratan tekanan cairan serebrospinal intracranial (Black & Hawks,

2005).

7

D. Pathway

8

Pertumbuhan sel otak yg abnormal

Girus medialis lobus temporalis tergeser

PENINGKATAN TIK

Gangguan Kesadaran

Mesenfalon tertekan

Herniasi unkus

Massa otak bertambah

Penekanan jaringan otak terhadap sirkulas darah dan O2

Peningkatan volume Intrakranial

Perpindahan cairan intravaskuler kejaringan serebrospinal

Hipoksia serebral

Penurunan suplai O2 ke jaringan otak akibat obstruksi sirkulasi otak

Pola nafas tidak efektif

TakipnueGg. Perfusi jaringan serebral

Manifetasi :

Mual, muntah, pupil edema, pandangan kabur, nyeri kepala

Terputusnya kontinuitas jar. Kulit, otot, dan vaskuler

Perdarahan

hematoma

Perubahan sirkulasi CSS

Tumor otakTrauma Kepala

E. Manifestasi

1. Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit kepeala terjadi

karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan durameter akan memberikan gejala

yang berat pada pagi hari dan diperberat oleh aktivitas, batuk, mengangkat beban,

dan bersin.

2. Muntah proyektil dapat menyertai gejala dan peningktan TIK.

3. Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus optikus yang

berhubungan dengan rongga subarachnoid di otak. Hal ini merupakan indikator

klinis yang baik untuk hipertensi intrakranial.

4. Defisit neurologis seperti gejala perubahan tingkat kesadaran, gelisah, iritabilitas,

letargi, dan penurunan fungsi motorik.

5. Bila peningktan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan pergeseran

jaringan otak, maka akan terjadi sindroma herniasi dan tanda-tanda umum

Cushing’s triad (hipertensi bradikardi dan respirasi ireguler). Pola napas akan dapat

membantu melokalisasi level cedera.

Onset terjadinya juga harus diperhatikan seperti onset yang cepat biasanya karena

perdarahan, hidrosefalus akut, atau trauma; onset yang bertahap karena tumor,

hidrosefalus yang sudah lama, atau abses. Riwayat kanker sebelumnya,

berkurangnya berat badan, merokok, penggunaan obat-obatan, koagulopati, trauma

atau penyakit iskemik dapat berguna dalam mencari etiologi peningkatan TIK ini.

F. Komplikasi

Komplikasi dari peningkatan Tekanan Intrakranial, yaitu:

1. Herniasi batang otak

2. Ireversible anoxia otak.

3. Diabetes Insipidus    akibat penurunan sekresi ADH    kelebihan urine, penurunan

osmolaritas urine, serum hiperosmolaritas dengan terapi: cairan, elektrolit,

vasopresin.

4. Sindrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH)    peningkatan sekresi

ADH   kebalikan Diabetes insipidus , terapi: batasi cairan, 3 % hipertonic saline

solution hati-hati central pontine myelolysis    tetraplegia dengan defisit nerves

9

cranial. Terapi lain SIADH     lithium carbonate/ demeclocycline      blok aksi

ADH.

G. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan umum berdasarkan teori, yaitu:

a. Kaji kepatenan jalan napas, pernapasan (frekuensi, irama, kedalaman), dan

sirkulasi.

b. Berikan obat diuretik osmosis seperti manitol atau urea, sesuai intruksi untuk

mengeluarkan cairan dari daerah otak dan darah yang berada pada otak.

c. Berikan steroid seperti deksametason, sesuai intruksi untuk mengurangi edema

sekitar otak, jika ada.

d. Bantu hiperventilasi dengan menggunakan ventilator volume untuk alkalosis

respiratorik, yang menyebabkan vasokontriksi serebral dan penurunan volume

yang menyebabkan pengurangan TIK.

e. Monitor efek obat paralis neuromuskular seperti pancurmonium, yang mungkin

diberikan selama penggunaan ventilasi mekanik untuk mencegah perubahan

tekanan intrakranial secara mendadak berhubungan dengan bentuk, tegang, atau

akibat pemakaian ventilator.

f. Obati demam sesuai permintaan, sebab peningkatan volume cairan CSS dan

kejadian peningkatan TIK yang mendadak terjadi bersama dengan serangan

demam.

g. Berikan barbiturat dosis tinggi dan obat anestesi lainnya sesuai intruksi untuk

mengurangi status koma dan tekanan metabolisme otak yang dapat mengurangi

aliran darah serebral dan TIK.

h. Hindari posisi atau aktivitas yang mungkin meningkatkan TIK seperti memutar

kepala klien, posisi, dan fleksi leher.

i. Meminimalkan pengisapan (suction) atau rangsangan lainnya yang dapat

meningkatkan TIK.

j. Jaga posisi kepala, tinggikan sekitar 30 derajat untuk mengurangi tekanan vena

jugularis dan penurunan TIK.

k. Gunakan monitoring/ Pemantuan TIK untuk mengetaui peningkatan TIK (di

atas 20 mmHG persisten 15 menit atau lebih jika sesuai peningkatan TIK).

10

2. Penatalaksaan Kegawatdaruratan peningkatan TIK, yaitu :

Berdasarkan jurnal Kayana, dkk (2013) penatalaksanaan kegawatdaruratan

pada pasien peningkatan TIK yaitu :

1) Pemantauan TIK

Pemantauan TIK digunakan untuk mencegah terjadinya fase kompensasi

ke fase dekompensasi. Secara obyektif, pemantauan TIK adalah untuk

mengikuti kecenderungan TIK tersebut, karena nilai tekanan menentukan

tindakan yang perlu dilakukan agar terhindar dari cedera otak selanjutnya,

dimana dapat bersifat ireversibel dan letal. Dengan pemantauan TIK juga kita

dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat penting, dimana menunjukkan

tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan oksigenasi otak.

2) Indikasi Pemantauan TIK

Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi bahwa

TIK harus dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma

Scale/GCS 3-8 setelah resusitasi) dan hasil CT scan kepala abnormal

(menunjukkan hematoma, kontusio, pembengkakan, herniasi, dan/atau

penekanan sisterna basalis) (Level II), TIK juga sebaiknya dipantau pada

pasien cedera kepala berat dengan CT scan kepala normal jika diikuti

dua atau lebih kriteria antara lain usia>40 tahun, sikap motorik, dan

tekanan darah sistolik <90 mmHg (level III).

3) Kontraindikasi Pemantauan TIK

Tidak ada kontrindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya ada

beberapa kontraindikasi relatif yaitu:

a. Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pemasangan

pemantauan TIK. Bila memungkinkan pemantauan TIK ditunda sampai

International Normalized Ratio (INR), Prothrombin Time (PT) dan Partial

Thromboplastin Time (PTT) terkoreksi ( INR <1,4 dan PT <13,5

detik). Pada kasus emergensi dapat diberikan Fresh Frozen Plasma (FFP)

dan vitamin K.

b. Trombosit < 100.000/mm³

11

c. Bila pasien menggunakan obat anti platelet, sebaiknya berikan

sekantong platelet dan fungsi platelet dengan menghitung waktu

perdarahan.

d. Imunosupresan baik iatrogenik maupun patologis juga merupaka

kontraindikasi relatif pemasangan pemantauan TIK

4) Metode pemantauan TIK

Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara langsung)

dan non invasive (tidak langsung). Metode non invasif (secara tidak

langsung) dilakukan pemantauan status klinis, neuroimaging dan

neurosonology (Trancranial Doppler Ultrasonography/ TCD). Sedangkan

metode invasif (secara langsung) dapat dilakukan di beberapa lokasi anatomi

yang berbeda yaitu intraventrikular, intraparenkimal, subarakhnoid/ subdural,

dan epidural. Metode yang umum dipakai yaitu intraventrikular dan

intraparenkimal (microtransducer sensor). Metode subarakhnoid dan

epidural sekarang jarang digunakan karena akurasinya rendah. Pengukuran

tekanan LCS lumbal tidak memberikan estimasi TIK yang cocok dan

berbahaya bila dilakukan pada TIK meningkat. Beberapa metode lain seperti

Tympanic Membrane Displacement/ TMD, Optic nerve sheath diameter/

ONSD namun akurasinya sangat rendah.

a) Pemantauan TIK secara tidak langsung

Pemantauan status klinis Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada

peningkatan TIK yaitu:

- Tingkat kesadaran (GCS)

- Pemeriksaan pupil

- Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)

- Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis)

- Adanya mual atau muntah

- Keluhan nyeri kepala

- Tanda-tanda vital saat itu

12

Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada

peningkatan TIK. Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah

terjadi lebih dari sehari. Tapi sebaiknya tetap dinilai pada evaluasi awal,

ada atau tidak ada papil edema dapat memberikan informasi mengenai

proses perjalanan penyakit.Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK

sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT scan kepala. Beberapa temuan pada

neuroimaging yang dicurigai kondisi patologis yang menyebabkan

peningkatan Adanya lebih dari satu kelainan ini sangat mungkin suatu

peningkatan TIK, sedangkan adanya salah satu temuan diatas

menunjukkan potensi peningkatan TIK. Bila diperlukan dapat

diteruskan dengan pemeriksaan MRI atau CT scan kontras untuk

menggambarkan patologi intrakranial dengan lebih baik, untuk

pengambilan keputusan awal, meskipun CT scan tanpa kontras pun

seringkali cukup. Keputusan penting yang harus dilakukan pada pasien

dengan TIK meningkat adalah apakahperangkat pemantauan TIK harus

dipasang. Neuroimaging digunakan untuk menetapkan diagnosa yang

mengakibatkan TIK meningkat, serta melengkapi informasi yang

diperoleh dari anamnesa dan pemeriksaan. Pencitraan tidak dapat

menggantikanpemantauan TIK invasif. Pengulangan CT scan dapat

digunakan ketika status klinis pasienhanya membutuhkan penempatan

monitor TIK dalam waktu singkat. Dalam keadaan ini, pengulangan

pencitraan setiap kali perubahan status pasien dapat

mendokumentasikan munculnya temuan baru (misalnya, hematoma

cedera kepala) yang kemudian memerlukan penempatan monitor.

Pendekatan ini dapat digunakan untuk menunda atau menghindari

penempatan monitor TIK dalam kasus di mana kebutuhan untuk itu awalnya

kurang jelas.

Neurosonology

TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna

untuk penilaian aliran darah arteri basal otak. Semua cabang utama

arteri intrakranial biasanya dapat diinsonasi baik arteri kranial anterior,

13

media dan posterior melalui tulang temporal (kecuali pada 10%

pasien, dimana insonasi transtemporal tidak memungkinkan), arteri

oftalmika dan carotid siphon melalui orbita, dan arteri vertebral dan

arteri basilar melalui foramen magnum. TCD mengukur kecepatan

aliran darah, dalam sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70.

Variabel pemantauan esensial kedua berasal dari rekaman gelombang

yang menggunakan indikator pulsatility index (PI), rasio perbedaan

antara kecepatan aliran sistolik dan diastolik dibagi rata-rata kecepatan

aliran, biasanya kurang lebih sama dengan 1. Penggunaan klinis yang

paling umum dari TCD adalah pemantauan untuk vasospasme, terutama

setelah SAH. Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran sistolik dan

penurunan diastolik (aliran sistolik 120 sangat sugestif dan 200

konfirmasi dari penurunan diameter lumen), mengakibatkan peningkatan PI

(nilai di atas 3:1 sangat sugestif terjadi penyempitan lumen). Penilaian

TCD serial dapat mendeteksi perubahan progresif dalam kecepatan

aliran dan PI akibat vasospasme pada SAH. Penyempitan lumen dapat

diproduksi oleh penyempitan arteri intrinsik sendiri seperti dalam

autoregulasi dan vasospasme yang benar, atau dengan hiperplasia intimal

seperti dalam "vasospasme" pada SAH. Vasospasme juga bisa terjadi

karena kompresi ekstrinsik dari arteri terutama peningkatan difus TIK

mengakibatkan penekanan yang menyebabkan penyempitan arteri basal.

Seluruh peningkatan dalam kecepatan aliran dan PI dapat

menunjukkan kompresi ekstrinsik difus arteri karena TIK meningkat.

Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik untuk memberikan alternatif

pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak dapat menggantikan pemantauan

TIK langsung. Para dokter yang menggunakan TCD untuk monitor

pasien SAH harus selalu ingat bahwa perubahan penyempitan lumen

yang difus mungkin menunjukkan peningkatan TIK. Beberapa upaya telah

dilakukan memanfaatkan TCD untuk menilai hilangnya autoregulasi dan

menilai adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.

b) Pemeriksaan TIK secara langsung

14

Pemantauan TIK secara langsung dapat dilakukan dibeberapa lokasi sesuai

dengan anatomi kepala.

Subarachnoid Screw. Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer

eksternal melalui tabung. Alat ini ditempatkan ke dalam tengkorak

berbatasan dengan dura. Ini adalah sekrup berongga yang

memungkinkan CSF untuk mengisi baut, memungkinkan tekanan

untuk menjadi sama. Keuntungan metode ini adalah infeksi dan

risiko perdarahan rendah. Aspek negatif termasuk kemungkinan

kesalahan permantauan TIK, salah penempatan sekrup, dan

oklusioleh debris.

Kateter subdural/ epidural adalah metode lain untuk memantau TIK.

Metode ini kurang invasif tetapi juga kurang akurat. Hal ini tidak

dapat digunakan untuk mengalirkan CSF, namun kateter memiliki

risiko yang lebih rendah dari infeksi atau perdarahan.

Pemantauan TIK intraparenkim menggunakan microtransducer yang

diletakkan di parenkim otak melalui lubang kecil dan baut

tengkorak yang memungkinkan pemantauan TIK simultan,

mikrodialisis serebral dan oksigenasi jaringan otak. Posisi pilihan

perangkat tersebut adalah pada subtansia alba regio frontal nondominan

pada cedera otak difus, atau parenkim perikontusional pada cedera

otak fokal. Probe tekanan intraparenkimal ditempatkan pada

hemisfer kontralateral dari hematoma intraserebral. Perangkat yang

berbeda juga tersedia, termasuk fiberoptic dan teknologi pneumatik.

Monitor TIK pneumatic Spiegelberg juga memungkinkan kalibrasi in

vivo dan pemantauan intrakranial. Monitor TIK Neurovent-P adalah

kateter serbaguna yang menggabungkan TIK, oksigenasi jaringan

otak dan pemantauan temperatur otak. Nilai TIK harus

diinterpretasikan dengan hati-hati dan berhubungan dengan penilaian

klinis dan radiologis pasien. Ketika ada perbedaan yang signifikan

antara nilai pemantauan dan gejala klinis, penggantian atau

penempatan kembali probe harus dipertimbangkan.

15

5) Interpretasi pemantauan TIK

Rekaman TIK memberikan dua macam informasi yaitu level baseline

dan variasi tekanan (gelombang), dengan kata lain peningkatan TIK bisa tetap

atau periodik.

a) Tekanan baseline

TIK normal adalah pulsatil akibat pulsasi arteri intracranial yang

mencerminkan siklus kardiak dan respirasi. TIK normal rata-rata 0-10

mmHg dan abnormal bila >15 mmHg. Lunberg mengusulkan bahwa

TIK >20 mmHg adalah meningkat sedang, dan TIK>40 mmHg adalah

meningkat berat. Pada cedera kepala lebih umum melihat peningkatan

pada tekanan baseline daripada gelombang peningkatan TIK.

b) Gelombang tekanan

Lundberg mengidentifikasi 3 jenis gelombang yang berbeda yaitu

gelombang A,B dan C. Gelombang A (gelombang plateau) secara

klinis sangat penting karena mengindikasikan penurunan compliance

intracranial yang berbahaya. Gelombang A meningakat tajam pada

TIK dari baseline sampai puncaknya 50-80 mmHg dan bertahan

selama 5-20 menit. Gelombang ini selalu patologis dan mungkin

berkaitan dengan tanda awal terjadinya herniasi otak, seperti bradikardi

dan hipertensi. Hal ini terjadi pada pasien yang autoregulasinya masih

baik dan compliance intrakranial berkurang, vasodilatasi sebagai

respon terhadap menurunnya perfusi serebral. Gelombang B biasanya

ritmik, terjadi setiap 1-2 menit, dengan puncak sekitar 20-30 mmHg diatas

baseline. Gelombang ini berhubungan dengan perubahan tonus vaskuler,

kemungkinan disebabkan oleh ketidakstabilan vasomotor saat CPP

berada pada batas terendah autoregulasi. Sedangkan gelombang C terjadi

dengan frekuensi4-8/menit dan amplitudonya sangat kecil, puncaknya pada

20 mmHg. Gelombang ini perubahan pada sinkron dengan tekanan

darah arteri, mencerminkan tonus vasomotor dan tidak bermakna

patologis.

16

c) Amplitudo

Bila TIK meningkat di atas level istirahat, amplitudo komponen

denyut jantungmeningkat sementara komponen pernapasan menurun.

Jadi denyut amplitudo TIKmeningkat linear dengan peningkatan TIK,

sebuah observasi yang dibuat oleh Cushing lebih dari 90 tahun yang

lalu. Tekanan nadi juga dapat meningkat sebelum TIK meningkat. Hal

ini memiliki kepentingan klinis karena dapat memprediksi kerusakan

sebelum kenaikan TIK. Dengan kata lain, suatu pelebaran amplitudo

tanpa adanya suatu peningkatan TIK menunjukkan adanya perburukan

compliance dan cadangan intrakranial

d) Bentuk gelombang TIK

Gelombang TIK mempunyai dua frekuensi berbeda, satu gelombang

sinkron dengan denyut arteri sementara gelombang lainnya lebih lambat

bersamaan waktu bernafas Gelombang vaskuler disebabkan oleh pulsasi

arteri pada pembuluh darah besar di dalam otak, menghasilkan osilasi

volume system ventrikel. Bentuk gelombang tekanan TIK mirip dengan

tekanan darah sistemik dan mempunyai tiga komponen yaitu percussion

wave (P1), tidal wave (P2), dan dicrotic wave (P3) .Gelombang

pernapasan sinkron dengan perubahan dalam tekanan vena sentral,

mencerminkan tekanan intrathorakal. Gelombang ini terlihat menonjol

pada pasien dengan ventilator. Biasanya, amplitudo denyut jantung

adalah sekitar 1,1 mmHg, dan gabungan jantung dan pernapasan

bervariasi sekitar 3,3 mmHg.

3. Penatalaksanaan berdasarkan jurnal Measurement and Management of Increased

Intracranial Pressure tahun 2013.

a. Langkah Awal

- Optimalisasi oksigenasi (O2 saturasi> 94% atau PaO2> 80 mmHg) dan aliran

darah otak (tekanan darah sistolik lebih besar dari 90 mm Hg) sangat penting.

BP harus cukup untuk mempertahankan CPP> 60 mmHg dan penekanan dapat

digunakan secara aman, terutama ketika hipotensi iatrogenik terjadi karena

sedasi. Normalisasi tekanan darah pada pasien dengan hipertensi kronis pada

17

kurva autoregulatori yang bergeser ke kanan harus dihindari, kecuali ada

pertimbangan lain, yaitu perdarahan intrakranial akut di mana BP menurunkan

penurunan ekspansi hematoma.

- Mengatasi obstruksi aliran vena dengan posisi kepala tegak garis tengah adalah

langkah awal yang kritis. Kepala tempat tidur harus dipertahankan pada 30 °,

dan kepala pasien harus tetap di posisi garis tengah, tanpa kompresi jugularis,

untuk mendorong aliran balik vena. Elevasi kepala lebih dari 45 derajat

umumnya harus dihindari karena kenaikan paradoks pada ICP dapat terjadi

sebagai respon terhadap penurunan CPP yang berlebihan. Manuver penting

termasuk mengurangi fleksi berlebihan atau rotasi leher, menghindari

pembatasan leher, dan meminimalkan rangsangan yang bisa menyebabkan

batuk dan respon valsava, seperti penyedotan endotrakeal.

- Pemeliharaan pemantauan eufolemik dan pemantauan ketat keseimbangan

cairan sangat diperlukan. Hanya cairan isotonik harus digunakan dan cairan

hipotonik seperti dextrose 5% dan 0,45% (setengah normal) saline harus benar-

benar dihindari. Hipoosmolalitas sistemik (<280 mOsm/ L) harus terbalik.

Terapi dehidrasi tidak dianjurkan, dan pada kenyataannya, hipovolemia dapat

menyebabkan CPP tidak memadai dan menyebabkan peningkatan ICP. Pilihan

cairan yang optimal untuk resusitasi masih belum jelas, studi perbandingan

koloid dengan kristaloid tidak meyakinkan. Namun, satu studi besar

menunjukkan bahwa pada pasien dengan trauma cedera otak, albumin dapat

membahayakan dan harus dihindari, karena dikaitkan dengan kematian lebih

tinggi dibandingkan dengan salin normal.

- Membius pasien dengan tepat, mengobati agitasi dan mengendalikan rasa sakit

dengan analgesia dapat menurunkan ICP dengan mengurangi kebutuhan

metabolik, ventilator asynchrony, kemacetan vena, dan tanggapan simpatik dari

hipertensi dan takikardia.

- Demam meningkatkan metabolisme otak dan harus diperlakukan agresif. Hal

ini meningkatkan ICP dengan meningkatkan metabolisme otak dan aliran darah,

dan telah terbukti memperburuk cedera neuronal hipoksia-iskemik pada hewan.

Sebuah studi Perancis menunjukkan bahwa pengontrolan demam menggunakan

pendinginan eksternal aman dan menurunkan persyaratan vasopressor dan

18

kematian dini pada syok septik. Oleh karena itu, pengobatan agresif demam,

termasuk acetaminophen dan pendinginan mekanik, tampaknya aman dan

dianjurkan pada pasien dengan peningkatan ICP dengan demam berkelanjutan

lebih dari 38,3 ° C.

- Status epileptikus kejang dan bahkan non-kejang yang mencolok umumnya

pada cedera otak. Hal ini meningkatkan kebutuhan metabolik otak dan

menyebabkan hiperemia, yang dapat secara signifikan berkontribusi pada

peningkatan ICP. Oleh karena itu, obat-obat antiepilepsi profilaksis harus

dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan lesi kortikal fokal besar dengan

efek massa yang signifikan dan pergeseran garis tengah, dan harus ada ambang

rendah untuk memesan video pemantauan EEG pada pasien koma.

- Deksametason dan steroid lainnya tidak boleh digunakan untuk pengobatan

ICP, kecuali pada pasien tumor, karena tidak efektif melawan edema sitotoksik.

Umumnya steroid tidak berperan dalam pengobatan efek massa terkait infark

serebral, perdarahan intraserebral, atau TBI. Pada percobaan MRC CRASH

efek kortikosteroid pada kematian dan kecacatan setelah cedera kepala dalam

waktu 8 jam dari cedera telah diperiksa. Risiko kematian lebih tinggi pada

kelompok kortikosteroid dibandingkan pada kelompok plasebo. Mereka

menyimpulkan bahwa kortikosteroid tidak boleh digunakan secara rutin dalam

pengobatan cedera kepala. Penggunaan kortikosteroid untuk abses otak

kontroversial dan digunakan ketika efek massa yang signifikan terlihat pada

pencitraan dan status mental pasien tertekan. Ketika digunakan untuk

mengurangi edema serebral, terapi harus berlangsung singkat.

b. Terapi Hiperosmolar

Agen osmotik mengurangi volume jaringan otak dengan menarik air bebas

dari jaringan otak dan ke sirkulasi sistemik, di mana ia kemudian diekskresikan

oleh ginjal. Efek menguntungkan dari terapi hiperosmolar mengharuskan

pembatas darah-otak utuh. Di daerah kerusakan jaringan otak, seperti pada luka

memar traumatis, pembatasnya terganggu dan memungkinkan keseimbangan

molekul antara darah dan cairan interstitial otak. Demikian, agen hiperosmolar

mengerahkan efeknya terutama dengan memindahkan air dari jaringan otak

normal yang tersisa. Sebagian besar pengurangan volume otak terjadi selama

19

dan segera setelah periode osmolaritas maksimal disebabkan oleh masuknya

agen hiperosmolar. Otak perlahan mengakomodasi hiperosmolaritas serum

dengan meningkatkan konsentrasi zat terlarut intraseluler melalui sejumlah

cara, yang sebagian besar tidak dipahami dengan jelas.

Bukti klinis menunjukkan kemanjuran manitol dan salin hipertonik untuk

hipertensi intrakranial akut dalam pengaturan TBI, edema sekunder untuk

tumor, ICH, SAH, dan stroke. Manitol dan salin hipertonik telah dibandingkan

di setidaknya lima percobaan acak dari pasien dengan peningkatan ICP dari

berbagai penyebab (cedera otak traumatis, stroke, tumor.. Sebuah meta-analisis

dari uji coba ini menemukan bahwa salin hipertonik ternyata memiliki khasiat

yang lebih besar dalam mengelola peningkatan ICP, tetapi efek pada hasil klinis

tidak dinilai.

Dosis manitol yang telah disarankan antara 0,18 dan 2,5 g/ kg, meskipun

dosis <0,5 g/ kg kurang efektif dan kurang tahan lama, dan korelasi positif telah

menunjukkan antara dosis dan besarnya penurunan ICP. Dosis bolus saline

hipertonik (konsentrasi mulai 1,5-23,4%) dapat digeneralisasi mulai dari 240

mOsm/ dosis (misalnya 30 ml 23,4%) untuk 640 mOsm/ dosis (misalnya, 250

ml 7,5%). Jumlah saline hipertonik yang diperlukan untuk mencapai

konsentrasi sasaran natrium serum dapat diperkirakan dari rumus berikut:

kebutuhan natrium dalam milimol = (berat badan dalam kilogram × proporsi

berat badan yaitu air, yang mana 0,5 untuk wanita dan 0,6 untuk pria) ×

(sodium yang diinginkan – sodium sesaat dalam milimol per liter mmol/ L).

Volume yang dibutuhkan dalam mililiter kemudian dihitung sebagai kebutuhan

sodium, dibagi dengan konsentrasi natrium dari solusi yang dipilih. Dosis terapi

infus saline hipertonik telah efektif menggunakan 3% NaCl pada 0,1-2,0 ml/

kg/ jam pada pergeseran skala titrasi ke konsentrasi sodium serum dari 145-

155mmol/ L. Pedoman yang jelas dan target spesifik untuk konsentrasi sodium

serum yang optimal tidak berkedudukan kuat. Di ICU biasanya menggunakan

saline hipertonik 3%, dimulai pada 30 ml / jam melalui vena perifer dengan

tujuan konsentrasi natrium serum 145-155 mmol / L didapatkan dalam waktu 6

jam. Tujuannya dapat dicapai lebih cepat dengan pemberian simultan lain 3%

infuse saline hipertonik melalui IV perifer kedua, atau alternatif konsentrasi

20

garam yang lebih tinggi melalui jalur sentral. Tujuan sodium serum biasanya

dipertahankan setidaknya 72 jam.

Tingkat pemberian beban osmolar dapat mempengaruhi keberhasilan dalam

menurunkan ICP. Pemberian berkelanjutan dan dosis manitol rendah

berdasarkan berat badan manitol telah terbukti memiliki dampak yang kurang

jelas pada peningkatan ICP. Dosis bolus dapat membuat gradien osmolar BBB

yang lebih tinggi, akhirnya mendorong penurunan lebih besar pada cairan

parenkim. Dalam kasus refrakter, manitol dan sodium hipertonik dapat

diberikan berganti-ganti atau serentak.

Infus saline hipertonik mampu mencapai penurunan ICP untuk jangka

waktu <72 jam tetapi efek ini mungkin tidak tahan lama dengan terapi

berkepanjangan. Penggunaan jangka panjang dari hipertonik saline

memungkinkan mekanisme homeostatis otak untuk menyeimbangkan gradien

osmotik dan hasil dalam hipotesis peningkatan edema dan hipertensi

intrakranial jika saline hipertonik dihentikan tiba-tiba. Melambungnya

peningkatan ICP dilaporkan dengan terapi hiperosmolar (terutama dengan

manitol), tetapi tidak jelas apakah peningkatan ini sekunder untuk pembalikan

iatrogenik dari gradien hiperosmolar, atau apakah pembalikan spontan benar

terjadi.

c. Hiperventilasi

Hiperventilasi harus digunakan hanya untuk mencapai PaCO2 26-30

mmHg; hiperventilasi dengan cepat menurunkan ICP melalui vasokonstriksi

dan menurunkan volume darah intrakranial. Efek vasokonstriksi pada arteriol

serebral sementara berlangsung kurang dari 24 jam. pH CSF seimbang dengan

kadar PaCO2 baru, arteriol serebral redilatasi, memungkinkan untuk kaliber

lebih besar daripada di awal, dan penurunan awal volume darah otak datang

pada biaya dari fase kemungkinan melambungnya peningkatan ICP. Jika

digunakan, hiperventilasi harus meruncing perlahan-lahan selama 4-6 jam

untuk menghindari vasodilatasi dan melambungnya peningkatan ICP.

Hasil hiperventilasi pada vasokonstriksi dan sementara ini bisa menurunkan

ICP, bersamaan, penurunan kritis dalam perfusi serebral lokal mungkin terjadi

yang dapat berpotensi memperburuk cedera neurologis, khususnya pada 24

21

sampai 48 jam pertama. Meskipun iskemi hiperventilasi-induksi belum jelas

ditampilkan, hiperventilasi kronis rutin (untuk PaCO2 20-25 mm Hg) telah

ditunjukkan memiliki efek yang merugikan pada hasil dalam satu percobaan

klinis acak. Oleh karena itu, hiperventilasi digunakan paling efektif sebagai

pengukur yang meragukan sampai pengobatan yang lebih definitif untuk

peningkatan tekanan intrakranial yang dimulai.

d. Barbiturat

Terapi barbiturat untuk menginduksi elektroensefalografik penekanan

meledak telah menjadi andalan penekanan farmakologis metabolik untuk

peningkatanan ICP, meskipun tidak diindikasikan untuk pemberian profilaksis.

Penggunaan barbiturat didasarkan pada kemampuannya untuk mengurangi

metabolisme dan aliran darah otak, sehingga menurunkan ICP dan

mengerahkan efek neuroprotektif. Pentobarbital umumnya digunakan, dengan

dosis muatan 5 sampai 20 mg/ kg sebagai bolus, diikuti dengan 1-4 mg/ kg per

jam. Morbiditas yang signifikan, yaitu hipotensi yang biasanya memerlukan

penggunaan vasopressor, mungkin berhubungan dengan terapi ini, oleh karena

itu itu harus disediakan untuk kasus ICP refrakter terhadap standar perawatan

medis lini pertama. Pemantauan ketat ICP dan CPP adalah wajib. Pemantauan

EEG terus menerus umumnya digunakan karena barbiturat digunakan terkait

dengan hilangnya pemeriksaan neurologis; rentetan penekanan EEG adalah

indikasi dari dosis maksimal. Sebuah uji coba secara acak dari 73 pasien

dengan peningkatan ICP refrakter terhadap terapi standar menunjukkan bahwa

pasien yang diobati dengan pentobarbital ada 50 persen lebih mungkin untuk

mendapatkan pengontrolan ICP mereka, tetapi tidak ada perbedaan dalam hasil

klinis antara kelompok, meninggalkan nilai terapi pengobatan ini tidak jelas.

e. Hipotermia Terapeutik

Hipotermia mengurangi metabolisme otak dan mungkin mengurangi

CBF dan ICP. Pertama kali dilaporkan sebagai pengobatan untuk cedera otak

pada tahun 1950-an, sebagian besar bukti menunjukkan bahwa pendinginan

dapat efektif pada pasien dengan TBI berat dan hipertensi intrakranial asalkan

pengobatan dimulai lebih awal, dilanjutkan untuk durasi waktu yang tepat (2-5

hari), dan diikuti oleh pemanasan kembali bertahap. Hipotermia jelas efektif

22

dalam mengontrol hipertensi intrakranial. Namun, efek positif pada

kelangsungan hidup dan hasil neurologis memiliki telah dicapai hanya pada

pusat-pusat rujukan besar dengan pengalaman hipotermia digunakan dan ketika

pengobatan diterapkan dalam beberapa jam setelah cedera. Dalam stroke

iskemik, studi terhadap hewan dan beberapa data klinis menunjukkan bahwa

hipotermia bisa membatasi cedera neurologis, tapi tidak ada cukup bukti yang

merekomendasikan penggunaannya di luar konteks uji coba klinis. Beberapa

studi kelayakan kecil non-kontrol menggunakan hipotermia ringan pada pasien

dengan stroke iskemik dan semua peneliti melaporkan penurunan yang

signifikan pada edema otak dan peningkatan hasil dibandingkan dengan kontrol

terdahulu. Di lembaga kami, sebuah studi percontohan sedang dilakukan untuk

menyelidiki keamanan dan kelayakan dalam merangsang dan mempertahankan

hipotermia ringan pada pasien stroke berat (Percobaan Induksi Hipotermia

Stroke Cepat Akut). Percobaan POLAR yang merupakan uji coba multicenter

secara acak saat ini sedang merekrut pasien juga telah dikembangkan untuk

menyelidiki apakah pendinginan awal pasien dengan cedera otak berat

traumatis dikaitkan dengan hasil yang lebih baik. Uji coba eurotherm3235

adalah uji internasional lain, uji coba control multicenter secara acak yang akan

memeriksa efek dari hipertermi titrasi hipotermia terapeutik (32-35 ° C) sebagai

pengobatan untuk peningkatan tekanan intrakranial setelah kerusakan otak

traumatis.

f. Penyisihan CSF

Jika kompartemen CSF berkontribusi terhadap peningkatan ICP, seperti

dalam kasus obstruktif atau komunikasi hidrosefalus dari SAH atau perdarahan

intraventrikular; strategi pengobatan pilihan adalah pengalihan CSF. Hal ini

dapat dicapai dengan perangkat ventrikel drainase eksternal (EVD), saluran

lumbal, atau LP serial. Aspirasi yang cepat dari CSF harus dihindari karena

dapat menyebabkan terhalangnya kateter pembukaan oleh jaringan otak. Juga,

pada pasien dengan perdarahan aneurisma subarachnoid, penurunan perbedaan

tekanan pada kubah aneurisma secara tiba-tiba bisa menimbulkan perdarahan

berulang. Saluran lumbal umumnya kontraindikasi pada pengaturan ICP tinggi

karena risiko herniasi transtentorial.

23

g. Kraniektomi Dekompresi

Ketika mengelola pasien dengan peningkatan ICP, kraniectomi kompresif

emergensi dapat dipertimbangkan jika pasien memburuk dengan cepat atau jika

ICP terus meningkat meskipun manajemen medis sedang berlangsung.

Keputusan untuk melakukan operasi dekompresi harus, bagaimanapun, dibuat

secara individual pada setiap pasien. Studi menunjukkan bahwa beberapa

pasien dengan perluasan lesi massa fokal dan percepatan sindrom herniasi

progresif bisa menguntungkan dari craniectomy dekompresif emergensi dan

reseksi massa. Lesi massa yang jelas terkait dengan peningkatan ICP harus

dihapus, jika mungkin. Studi yang berbeda menunjukkan bahwa kontrol ICP

yang cepat dan berkelanjutan, termasuk penggunaan craniectomy

decompressive, meningkatkan hasil pada trauma, stroke, dan perdarahan

subarachnoid pada kasus yang dipilih dengan hati-hati. Berdasarkan meta-

analisis dari pasien dari tiga percobaan Eropa terkontrol secara acak;

DESIMAL (DEcompressive Craniectomy In MALignant middle cerebral artery

infarction), DESTINY (DEcompressive Surgery for the Treatment of malignant

Infarction of the middle cerebral artery), dan HAMLET (the Hemicraniotomy

After Middle Cerebral Artery infarction with Life-threatening Edema Trial)

dekompresi bedah mengurangi kasus kematian dan hasil yang buruk pada

pasien dengan space-occupying infart. Data individu untuk pasien berusia

antara 18 dan 60 tahun, dengan MCA infark space-occupying, termasuk dalam

salah satu dari tiga percobaan, dan diperlakukan dalam waktu 48 jam setelah

onset stroke dikumpulkan untuk dianalisis. Pasien termasuk yang memiliki

defisit klinis yang menunjukkan infark di wilayah MCA dengan skor pada

National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS)> 15, penurunan tingkat

kesadaran untuk skor 1 atau lebih besar pada item 1a dari NIHSS, tanda-tanda

infark pada CT dari setidaknya 50% dari wilayah MCA, dengan atau tanpa

tambahan infark di wilayah anterior atau posterior serebral arteri di sisi yang

sama, atau volume infark > 145 cm3 seperti ditampilkan pada difusi-tertimbang

MRI. 93 pasien termasuk dalam analisis yang dikumpulkan. Efek operasi sangat

konsisten di tiga uji coba. Pada pasien dengan infark MCA ganas, operasi

dekompresi dilakukan dalam waktu 48 jam dari onset stroke mengurangi

24

mortalitas dan meningkatkan jumlah pasien dengan hasil fungsional yang

menguntungkan. Dalam uji coba DECRA, uji coba secara acak dari orang

dewasa dengan penyebaran cedera otak traumatis yang parah dan hipertensi

intrakranial refrakter, craniectomy decompressive bifrontotemporoparietal awal

menurunkan tekanan intrakranial dan lama tinggal di ICU tetapi dikaitkan

dengan hasil yang lebih tidak baik. Kesimpulan ini tidak benar-benar didukung

oleh pemeriksaan lebih dekat dari data dasar. Beberapa pihak telah mengklaim

bahwa hasil uji coba DECRA seharusnya tidak memiliki pengaruh pada praktek

klinis. Studi RESCUEicp berkelanjutan (Randomised Evaluation of Surgery

with Craniectomy for Uncontrollable Elevation of Intra-Cranial Pressure)

diharapkan untuk mengatasi masalah ini.

4. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan pada semua pasien. Pada

pemeriksaan neurologis yang diperhatikan adalah :

1) Perubahan mental status penderita dapat mulai dari kurang perhatian

(inattention) hingga koma.

2) Pemeriksaan nervi kraniales : gambaran pupil menetukan lokasi. Kelumpuhan

nervus tiga (menunjukkan herniasi unkal, ruptur aneurisma arteri komunikan

anterior), kelumpuhan nervus enam, dan papil edema.

3) Pemeriksaan motorik : posturing – dekortikasi atau flexor posturing

disebabkan gangguan pada traktus motorik. Deserebrasi atau extensor

posturing disebabkan kerusakan berat pada mesensefalon dan batang otak.

Namun, posturing ini tidak selalu berlaku.

4) Fenomena Kernohan’s notch (kelemahan pada sisi ipsilateral lesi karena

adanya herniasi dan kompresi pedunkulus serebri kontralateral).

H. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Riwayat terkait dengan penyebab peningkatan tekanan intrakranial, seperti

trauma kepala, tumor otak, abses, hipoksia, peradangan selaput otak, mendapat

terapi cairan hipertonik, dan kelebihan cairan serebrospinal.

25

b. Pengkajian fisik yang meliputi: tingkat kesadaran, pupil, perubahan motorik

dan sensorik, tanda-tanda vital, keluhan sakit kepala, mual muntah.

c. Psikososial yang meliputi: usia, jenis kelamin, strategi koping dan penerimaan

terhadap kondisi.

d. Pengkajian pengetahuan :etiologi, pengobatan, tanda dan gejala peningkatan

tekanan intrakranial, tingkat pengetahuan dan kemampuan membaca.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan jaringan

otak, volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal.

b. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neurologis.

c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya refleks

pelindung

(batuk, muntah).

3. Intervensi

1) Diagnosa I

a. Perubahan perfusi jaringan : serebral berhubungan dengan peningkatan jaringan

otak, volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal

b. Tujuan : Klien akan memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat

c. Intervensi

Observasi tingkat klien, tingkah laku, fungsi motorik/ sensorik, pupil setiap

1-2 jam sekali dan sebagaimana kebutuhan.

Monitor tanda-tanda vital setiap 15 menit sampai dengan 1 jam dan

sebagaimana kebutuhan: perubahan pernafasan merupakan tanda awal dari

peningkatan tekana n intakranial dan hipoksia/ hiperkapnia.

Monitor nilai analisa gas darah arteri untuk ketidaknormalan asam basa dan

penurunan saturasi oksigen.

Hiperventilasi sebelum penghisapan sekret; batasi penghisapan sekret 10-15

detik untuk mengurangi kadar CO2, untuk meningkatkan kadra oksigenasi

dan mencegas hipoksia.

Monitor peningkatan takanan intrakranial setiap 15 menit sampai dengan 1

jam dan sebagaimana kebutuhan.

26

Pertahankan aliran vena yang keluar dari otak dengan meninggikan bagian

kepala tempat tidur.

Monitor pemasukan dan pengeluaran, elektrolit dan berat jenis untuk

menetapkan kemungkinan ketidakseimbangan cairan yang mendukung

terjadinya edema serebral.

Berikan cairan dengan jumlah terbatas (1400cc/ 24jam) untuk mencegah

edema serebral.

Intruksi untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat meningkatan

intratoraks dan intra abdomen (misalnya mengedan, latihan isometric, fleksi

panggul, batuk).

Observasi tingkat kenyamanan klien (sakit kepala, mual, muntah) dimana

merupakan indikasi adanya peningkatan tekanan intrakranial.

Berikan obat-obatan sesuai dengan intruksi

Berikan steroid untuk mencegah edema serebri sebagaimana intruksi.

Kelola asuahan keperawatan yang diberikan untuk memberikan waktu

istirahat yang optimal bagi klien.

Gunakan teknik aseptik dan antiseptik secara optimal pada setiap

memgganti selang atau balutan.

Laporkan segera pada dokter bila ada perubahan neorologi (misalnya tanda-

tanda vital).

Lakukan tindakan sesuai kebijakan institusi untuk mengatasi peningkatan

tekanan intrakranial sebagaimana intruksi: pemberian diuretik, mengatasi

keadaan hiportemia, mempersiapkan klien untuk pembedahan.

Kriteria evaluasi klien :

Memiliki tekanan intrakranial 0-15 mmHg

Memperlihatkan perbaikan status neurologi

2) Diagnosa II

a. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neurologis

(kompresi batang otak, perpindahan struktural.)

b. Tujuan : Mencapai pola nafas adekuat

c. Intervensi :

27

Monitor irama napas Cheyene-Stokes (tekanan pada struktur nidline),

Hyperventilasi (tekanan pada otak tengah), ireguler/ henti (tekanan

batang otak)

Monitor PaCO2 pertahankan level 35-45 mmHg

28

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peningkatan tekanan intracranial atau hipertensi intracranial adalah suatu keadaan

terjadinya peningkatan tekanan intracranial sebesar > 15 mmHg atau > 250 mmH2O.

Peningkatan tekanan intracranial merupakan komplikasi yang serius yang biasanya

terjadi pada trauma kepala, perdarahan subarahnoid, hidrosefalue, SOL, infeksi

intracranial, hipoksia dan iskemi pada otak yang dapat menyebabkan herniasi sehingga

bisa terjadi henti nafas dan jantung.

Konsep tekanan intrakranial ada 4 yaitu hipotesis moro-kellie, lengkung volume-

tekanan, aliran darah sereberal dan autoregulasi, dan tekanan perfusi serebral.

Sedangkan etiologi atau penyebabnya yaitu space occupying yang meningkatkan

volume jaringan, masalah serebral, edema  serebral.

Adapun tanda dan gejala dari peningkatan TIK yaitu penurunan tingkat kesadaran,

perubahan pupil, perubahan tanda-tanda vital, disfungsi motorik dan sensorik, kelainan

pengelihatan, sakit kepala, muntah tanpa nausea dan proyektil, perubahan tekanan

darah dan denyut nadi, perubahan pola pernafasan, perubahn suhu badan, hilangnya

refleks-refleks batang otak, papiledema.

Bila peningkatan TIK ini tidak segera di atasi maka dapat menimbulkan beberapa

komplikasi diantaranya herniasi batang otak, diabetes Insipidus, sindrome of

Inappropriate Antidiuretic Hormone

B. Saran

Penulis berharap semoga penyusunan makalah tentang peningkatan Tekanan

intrakranial ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan dalam bidang pendidikan dan

praktik keperawatan. Dan juga dengan makalah ini dapat menjadi acuan untuk tindakan

proses keperawatan.

29

CRITICAL REVIEW ARTIKEL PENELITIAN

A. Judul jurnal

1. Teknik Pemantauan Tekanan Intrakranial

Ida Bagus Adi Kayana, Sria Maliawan, I Ketut Siki Kawiyana (2013)

2. Measurement and Management of Increased Intracranial Pressure

Ali Sadoughi, Igor Rybinnik, Rubin Cohen (2013)

B. Latar Belakang

Pemilihan jurnal ini didasarkan pada kelengkapan dalam penatalaksanaan

kegawatdaruratan neurologis pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial

(TIK), dimana ini sesuai dengan kasus yang diambil oleh kelompok. Setelah dianalisa,

jurnal ini membahas secara lengkap dan detail langkah-langkah penatalaksanaan pasien

dengan peningkatan TIK.

C. Kritisi Jurnal

Kedua jurnal saling melengkapi terutama dalam pembahasan penatalaksanaan. Jurnal

pertama membahas tentang jenis monitoring pada pasien dengan peningkatan TIK

secara lengkap. Sedangkan jurnal kedua membahas berbagai macam terapi medikasi

tambahan yang bisa dilakukan untuk menangani pasien dengan peningkatan TIK.

D. Analisa Kemungkinan Penerapan Hasil Penelitian

Menurut kelompok, untuk kemungkinan penerapan hasil penelitian diruang rawat

masih minimal, terutama dilihat dari aspek ketersediaan alat/ fasilitas. Hal ini

dikarenakan ketersediaan alat/ fasilitas di ruangan terbatas. Jadi, penatalaksanaan yang

mungkin bisa dilakukan oleh perawat adalah monitoring secara tidak langsung, yaitu

pemantauan status klinis seperti: tingkat kesadaran (GCS), pemeriksaan pupil,

pemeriksaan motorik okular, adanya mual atau muntah, keluhan nyeri kepala, dan

tanda-tanda vital pasien saat itu. Setelah dilakukan monitoring secara tidak langsung,

barulah pasien diberikan medikasi yang sesuai dengan etiologi dari peningkatan TIK

nya.

E. Kesimpulan dan Saran

Penatalaksanaan kegawatdaruratan untuk pasien dengan peningkatan tekanan

intrakranial (TIK) terdiri atas monitoring secara langsung (menggunakan alat-alat) dan

30

monitoring secara tidak langsung (didapatkan dari pemantauan klinis), serta kolaborasi

dalam pemberian medikasi yang sesuai dengan etiologi peningkatan TIK pada pasien.

Dari jurnal penelitian yang didapat, tidak semua tindakan penatalaksanaan bisa

diaplikasikan diruangan karena keterbatasan alat/ fasilitas. Oleh karena itu, kita sebagai

perawat diharapkan untuk memantapkan keahlian dalam melakukan monitoring secara

tidak langsung untuk mengetahui etiologi peningkatan TIK sebagai dasar dalam

memberikan terapi medikasi segera untuk meminimalisir angka kematian pasien

dengan peningkatan TIK akibat penanganan yang lama.

31

DAFTAR PUSTAKA

Batticia, FB. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Black, J. M.dan Hawks, J. H. 2005. Medical Surgical Nursing. Newyork: Elsevier.

Corwin, Elizabeth J. (2009). Patofisiologi: Buku Saku Ed. 3. Jakarta: EGC.

Gupta, G. 2015. Intracranial Pressure Monitoring. Diperoleh dari

http://emedicine.medscape.com/article/1829950-overview pada tanggal 7

Desember 2015.

Kanaya, I. B. A., Maliawan, S., dan Kawiyana, I. K. S. 2013. Teknik pemantauan

tekanan intrakranial. Diperoleh dari http://download.portalgaruda.org>article

pada tanggal 7 Desember 2015.

Ropper, A. H. 2014. Management of raised intracranial pressure and

hyperosmolar therapy. Diperoleh dari

http://www.medscape.com/viewarticle/825178 pada tanggal 7 Desember 2015.

Sadoughi, A., Rybinnik, I., and Cohen, R. 2013. Measurement and management of

increased intracranial pressure. Diperoleh dari

http://bentamophen.com/contents/pdf/TOCCMJ-6-56.pdf pada tanggal 7

Desember 2015.

Widagdo, Wahyu dkk. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan

Gangguan

Sistem Persyarafan. Jakarta: Trans Info Media

32