22
1 Robert A. Dahl’s Most Influential Theory on Democracy: DEMOCRACY PLURALISM; POLYARCHY Case study: “Pengaruh Pluralisme sub-kultur Indonesia terhadap Tumbuh dan Berkembangnya Poliarki.” Disusun oleh: Anggina Mutiara Hanum 1406517960 DEMOKRASI & DEMOKRATISASI PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2014

“Pengaruh Pluralisme sub-kultur Indonesia terhadap Tumbuh dan Berkembangnya Demokrasi Poliarki.”

  • Upload
    ui

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  1  

 

 

 

 

 

 

Robert A. Dahl’s Most Influential Theory on Democracy:

DEMOCRACY PLURALISM; POLYARCHY

Case study: “Pengaruh Pluralisme sub-kultur Indonesia terhadap Tumbuh dan

Berkembangnya Poliarki.”

 

 

Disusun oleh:

Anggina Mutiara Hanum

1406517960

DEMOKRASI & DEMOKRATISASI

PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2014

  2  

“Democracy is the democratic way of life and

an actual form of government in practice.”

-A.M

  3  

Abstract

We live in an era of democracy; for the first time in history, most

people in the world live under tolerably democratic rule. This upsurge in

democracy reflects the transformation of the world’s political landscape

in the final quarter of twentieth century. As democracy continues to

spread, so it becomes more varied, only over this short period, the number

of democratic countries increase more than doubled compare to the

previous era. Understanding the forms taken by democracy in today’s

world has become important.

  4  

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sejak perang dingin berakhir dan dunia memasuki abad ke dua puluh, salah satu

isu paling populer yang muncul ke permukaan secara masif dan berkesinambungan secara

terus-menerus hingga dewasa ini adalah demokrasi. Demokrasi muncul sebagai ikon yang

bersifat hegemonik, dalam artian bahwa tidak ada satu Negara yang bisa mengelak dari

tuntutan demokrasi menjadikan perhatian terhadap masalah-masalah demokrasi semakin

meningkat secara kontinuitas.

Dalam mendefinisikan apa yang disebut dengan Demokrasi setiap individu pasti

memiliki cara pandang yang berbeda, baik dalam konteks ideologi atau dalam praktik

sistem pemerintahan satu Negara. Ukuran demokrasi yang paling jelas ialah persamaan

hak pilih universal1, dimana pola umumnya adalah demokrasi mengandung persamaan

(on equality) hak setiap warganegara, laki-laki dan perempuan, kaya ataupun miskin

untuk memilih dalam pemilihan, tidak memandang perbedaan bangsa ataupun agama

yang ditegaskan oleh pemerintahan demokrasi. Lebih jauh lagi, di setiap Negara yang

menganut paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi dan kompetisi rakyat yang

mempunyai dasar ideologis bahwa setiap warga negara juga berhak turut menentukan

kebijaksanaan umum (public policies,-red).

Perkembangan pemikiran di Barat pada umumnya dan di Amerika Serikat pada

khususnya, mengenai demokrasi baik dalam penafsiran tentang teori, praktik demokrasi

liberal, dan poliarki (demokrasi pluralisme) yang diadopsi pemerintah AS, diharapkan

dapat membantu memperluas pengetahuan Pemerintah Indonesia sebagai Negara

berkembang untuk dapat melakukan komparasi, analisa, menemukan indikator-indikator

keberhasilan/kelemahan dalam mengukur keberhasilan penyelenggaraan demokrasi di

Indonesia, sehingga dapat mendistingsikan demokrasi yang sesungguhnya dari demokrasi

yang semu, terakhir sebagai upaya pencarian model demokrasi yang paling tepat untuk

diterapkan di Indonesia.

                                                                                                                         1  Carlton  Clymer  Rodee,  Carl  Quimby  Christol,  Totton  James  Anderson,  Thomas  H.  Greene.  1988  Introduction  to  political  science.  Padmo  Wahjono,  Nazaruddin  Syamsuddin.  Pengantar  Ilmu  Politik—Karakteristik  demokrasi  yang  stabil.  [PT  RajaGrafindo  Persada,  Jakarta,  2000],  hlm.218  

  5  

Demokrasi dan Pluralisme

Prinsip-prinsip universal demokrasi diperlukan, dimana demokrasi harus

menerima keberagaman2 agar Negara atau masyarakat mampu mentolerir perbedaan-

perbedaan kultural, apirasi-aspirasi dan orientasi kepentingan yang ada. Fakta empiris

bahwa sebagian besar Negara di dunia bersifat pluralistic, sehingga pluralisme

merupakan isu normative penting yang berkaitan dengan demokrasi serta problem dan

prospek demokratisasi,3 singkatnya demokrasi harus mengakui keberagaman.

Pluralisme semakin meningkat dikarenakan adanya transformasi demokrasi dalam

tautan scale, yakni perubahan dari city-polis atau negara-kota menjadi nation-state atau

negara-bangsa.4 Dalam proses transformasi ini menyebabkan Negara-negara tersebut

akan mencakup kelompok-kelompok lain (yang sudah ada sebelum nation-state itu

didirikan). Transformasi ini selain menyebabkan negara bertambah luas teritorinya,

keragaman masyarakatnya juga semakin bertambah,5 menjadikan Negara tersebut sebagai

Negara majemuk yang dinamis dan modern.

Selanjutnya, pluralisme merupakan salah satu pilar demokrasi, dimana Negara

Demokrasi Modern (NDM) dewasa ini, masyarakatnya terdiri dari berbagai lapisan,

golongan, karakter, budaya, suku yang kesemuanya membaur menjadi satu, Masyarakat

Majemuk yang Dinamis dan Modern (MDM). Ketika direlasikan dengan konteks

demokrasi, prinsip on equality in participation dalam sistem demokrasi menjamin adanya

kebebasan dalam berpendapat bersinergi dengan keragaman pola pikir, budaya, suku, ras,

agama, dan lain-lain.

Sehingga dalam demokrasi pluralist menekankan pemaknaan, dimana pluralisme

lebih dari sekedar mengakui pluralitas dan perbedaan, tetapi juga bentuk keterlibatan

aktif partisipasi masyarakat dalam keragaman dan perbedaan untuk tujuan sosial yang

lebih tinggi, terdapatnya kesempatan berkompetisi yang sama membangun peradaban

yang demokratis bersama-sama, demi tercapainya poliarki demokrasi (polyarchy) yang

akan tumbuh berkembang di Negara Indonesia.

                                                                                                                         2 Henry Mayer. English Political Pluralism: The Problem Of Freedom and Organization. [Colombia university, NY, 1941]. Pp. 3 Robert  A.  Dahl.  Robert  A.  Dahl,  1989.  Demokrasi  dan  Para  Pengkritiknya,  diterjemahkan  oleh  A.  Rahman  Zainuddin,  Jilid  II,  (Jakarta:  Yayasan  Obor  Indonesia,  1992.  Hal.63 4 Ibid.  Hal.10 5 Ibid. hal.11  

  6  

1.2 Rumusan Masalah

Demokrasi Poliarki tumbuh dan berkembang di dalam Masyarakat Majemuk yang

Dinamis dan Modern (MDM), kemajemukan sub-kultur yang merupakan atribut utama

Negara Demokrasi Maju atau yang dinamakan Dahl dengan sebutan MDP (Modern,

Dynamic, Pluralist)6, dalam merumuskan konstitusional negaranya berlandaskan pada

prinsip persamaan (on equality), dimana semua warganegara memiliki hak dan kewajiban

yang sama didepan hukum tanpa diskriminasi ras, warna kulit, gender, bahasa, agama,

pandangan politik atau lainnya.

Permasalahan yang muncul dan tidak bisa dihindari ialah ketika

keanekegaragaman sub-kultur menjadi semakin kompleks dan problematis dalam

menjaga pertumbuhan poliarki di Negara tersebut, upaya penyelesaiaan yang dilakukan

pemerintahan MDP tersebut dapat menjadi pelajaran bagi negara-negara demokrasi baru

yang memiliki cita-cita menjadi Negara MDP dengan Poliarki yang tumbuh baik dalam

MDM.

Indonesia sebagai Negara Demokrasi Baru dengan tingkat heterogenitas yang

tinggi didalam masyarakatnya, dikatakan telah menerapkan model demokrasi pluralisme,

sedang menjalani proses menjadi Negara MDP dengan tujuan terciptanya tatanan

Demokrasi Poliarki skala nasional. Namun dalan proses tersebut, dinilai terdapat banyak

faktor yang menjadi hambatan dalam stabilitas penyelenggaran demokrasi di Indonesia,

sehingga menghalangi proses Indonesia menjadi Negara MDP dan berkembangnya

poliarki demokrasi di Indonesia.

Berdasarkan uraian permasalahan singkat diatas, makalah ini secara umum akan

mengekspolrasi perkembangan teori demokrasi kontemporer; Poliarki dan Demokrasi

Pluralis. Dan secara khusus sebagai upaya menjawab pertanyaan penelitian yang juga

merupakan rumusan masalah dalam penelitian ini, peneliti mengajukan dua pertanyaan

penelitian yaitu;

1. Perkembangan konsep poliarki telah melalui berapa tahap sampai akhir

abad-20, bagaimana perkembangan tersebut bertransformasi?

2. Bagaimana Pelaksanaan Demokrasi Pluralisme di Indonesia?

3. Apakah Poliarki tumbuh dan berkembang di Indonesia?                                                                                                                          6  Robert  A.  Dahl.  Robert  A.  Dahl,  1989.  Demokrasi  dan  Para  Pengkritiknya,  diterjemahkan  oleh  A.  Rahman  Zainuddin,  Jilid  II,  (Jakarta:  Yayasan  Obor  Indonesia,  1992.  Hal.xxxxiii  

  7  

1.3 Kerangka Pemikiran: Demokrasi Pluralisme dan Poliarki

Model demokrasi pluralis mewarisi tiga tradisi besar demokrasi liberal, dimana

dari banyak konsep dan teori demokrasi, Amerika Serikat sebagai negara pelopor

demokrasi menerapkan demokrasi liberal dengan beberapa karakteristik yang mengacu

pada teori demokrasi pluralis atau pluralism klasik, dimana salah satu model pluralisme

klasik yang paling terkemuka adalah ‘democracy polyarchy’ yang dirumuskan oleh

Robert A.Dahl.

1.3.1 Demokrasi Pluralisme: Pluralism and Pluralist Democracy

…..‘In the expressions democratic pluralism or pluralist democracy, the terms pluralism and pluralist refer to organizational pluralism, that is, to the existence of a

plurality of relatively autonomous (independent) organizations (subsystems) within the domain of a state.’ 7

Melalui kutipan pernyataan Dahl diatas terlihat bahwa penekanan Dahl akan

demokrasi pluralis/pluralisme ialah dengan distingsi antara istilah pluralisme dan

demokrasi. Dimana penggunaan istilah pluralisme atau pluralis merujuk pada pluralisme

organisasi yaitu adanya keragaman sebagian besar organisasi atau subsistem yang secara

relatif bersifat otonom di dalam wilayah sebuah negara—In all democratic countries,

some important organizations are relatively autonomous— .

…A country is a pluralist democracy if (a) it is a democracy in the sense of

polyarchy and (b) important organizations are relatively autonomous. Hence all democratic countries are pluralist democracies.8

Menurutnya, sebuah negara disebut demokrasi pluralis, jika: (1) ia merupakan

demokrasi dalam arti poliarki,9 dan (2) organisasi-organisasi penting lainnya relatif

bersifat otonom. Maka dengan demikian semua negara yang demokratis merupakan

pelaksana demokrasi pluralis.                                                                                                                          7  Robert  A.  Dahl.  Dilemmas  of  Pluralist  Democracy:  Autonomy  vs.  Control.  �New  Haven  and  London:  Yale  University  Press,  1983.  Pp.4-­‐5  8  ibid.  9  Mengenai  demokrasi  yang  diidentikkan  dengan  poliarki,  Dahl  menyatakan  bahwa  poliarki  adalah  sistem  politik  yang  bercirikan  suatu  kompetisi  yang  bebas  dan  wajar  di  antara  kelompok  minoritas  yang  berpengaruh  dan  mempunyai  kekuasaan  untuk  membuat  kebijakan.  Dia  juga  memandang  proses  yang  menentukan  untuk  meyakinkan  bahwa  para  pemimpin  politik  akan  lebih  tanggap  terhadap  kepentingan  warga  negara  biasa  dan  tampaknya  percaya  bahwa  dengan  segala  kelemahannya  akan  memungkinkan  setiap  kelompok  yang  aktif  dan  diakui  menjadikan  dirinya  didengar  secara  efektif  pada  tingkat  tertentu  proses  pembuatan  keputusan.    Lihat  Robert  A.  Dahl,  Polyarchy,  Pluralism,  and  Scale,  1984.  

  8  

Demokrasi pluralis secara sederhana dipahami sebagai model demokrasi yang

lebih modern. Dengan bentuk yang bersifat sesuai dengan zaman, model ini mampu

menjawab pluralitas suatu negara, atauapun keragaman yang ada di tengah-tengah

masyarakat. Demokrasi pluralis seperti yang telah diungkaapkan ahli, sifatnya lebih

otonom. Daerah relatif mandiri secara pengambilan kebijakan yang mengutamakan

kepentingan rakyat banyak, yang terpenting adalah suara ataupun pendapat minoritas juga

bisa tersampaikan dengan baik, dan lebih spesifik lagi biasanya di setiap daerah yang

bersifat tersebut, cenderung melakukan dan diberikan konsensus untuk pengambilan

sebuah kebijakan.

Sebagai contoh, dari sekian banyak konsep dan teori demokrasi, Amerika Serikat

menerapkan demokrasi liberal, poliarki dengan beberapa karakteristik tentunya (MDM

dan NDM). Jika ditarik konsep demokrasi liberal ini, ia akan mengacu pada teori

demokrasi pluralis atau pluralisme demokrasi yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl.

Dalam kaitan itulah, penerapan demokrasi di Amerika Serikat dengan demokrasi liberal

dilihat dari sisi pengakuan atas pluralismenya.

1.3.2 Poliarki: Sistem Politik dan Model Demokrasi

Dalam perkembangan konsep poliarki, poliarki menjadi salah satu teori demokrasi

kontemporer dalam pengertiannya sebagai sistem politik. Poliarki dalam pengertiannya

sebagai sistem politik didefinisikan oleh Dahl sebagai suatu perangkat lembaga politik

yang penting bagi negara demokrasi berskala luas (nation-state). Dimana di dalam

tatanan politik tersebut secara umum Poliarki memiliki dua ciri khas dengan melakukan

penekanan dua dimensi dalam mengukur berjalannya demokrasi di suatu Negara, yaitu

‘kontestasi’ dan ‘partisipasi’10— dan secara lebih khusus untuk memberikan makna yang

lebih besar kepada kedua dimensi tersebut, dengan indikator keberadaan 7 (tujuh)

lembaga Institusional poliarki11 di dalam pemerintahan satu Negara (tipologi rezim yang

memerintah) untuk dikategorikan sebagai Poliarki.

                                                                                                                         10  Robert  A.  Dahl.  Robert  A.  Dahl,  1989.  Demokrasi  dan  Para  Pengkritiknya,  diterjemahkan  oleh  A.  Rahman  Zainuddin,  Jilid  II,  (Jakarta:  Yayasan  Obor  Indonesia,  1992.  Hal.16  11  Ibid.  Hal.17,  7  lembaga  institusi  poliarki  akan  diuraikan  pada  bab  selanjutnya.  

  9  

PEMBAHASAN

2.1 Dahl: Gagasan Demokrasi sebagai Sistem Politik

Demokrasi dianggap Dahl sebagai suatu sistem politik dimana para anggotanya

saling memandang antara yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama

dipandang dari segi politik, dan mereka itu secara bersama-sama adalah berdaulat, dan

memiliki segala kemampuan, sumberdaya dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan

demi untuk memerintah diri mereka sendiri.12

“Democracy is a form of government offering a workable solution to the fundamental political pronlem of reaching collective decisions by peaceful means,

but it is also an ideal and an aspiration. So we cannot understand democracy simply by looking at contemporary examples. Judged against the democratic

ideal, even the most secure ‘democracies’ are found wanting. Indeed the tension between high ideals and prosaic reality has itself become part of the democratic

condition (Dahl, 2000).”13

Kutipan diatas menunjukkan pandangan Dahl akan Demokrasi, dimana

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang menawarkan solusi yang bisa diterapkan

untuk masalah-masalah politik yang mendasar untuk mencapai keputusan kolektif dengan

cara damai, dalam suatu frame yang ideal dan aspiratif. Dahl menyampaikan bahwa kita

tidak dapat memahami demokrasi hanya dengan melihat contoh-contoh kontemporer. Hal

tersebut dikarenakan apabila rujukan yang ada ialah penilaiaan atas cita-cita demokrasi

dengan realitas politik yang ada, sesungguhnya menunjukkan suatu dilema demokrasi.

Bahkan negara yang dikatakan pelopor demokrasi (Amerika Serikat,-red) masih kerap

menemui hambatan dalam merealisasikan cita-cita demokrasi yang sesungguhnya. Perlu

diakui dilema antara nilai-nilai ideal demokrasi dan realitas yang ada merupakan masalah

yang menjadi bagian dari perkembangan demokrasi yang berlangsung di semua Negara.

                                                                                                                         12 Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Jilid II, [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hal. Xxviii 13 Rod Hague and Martin Harrop. 2004. Comparative Government and Politics, An Introduction—Chapter 3, Democracy. [New York: PALGRAVE MACMILLAN]. Pp. 36  

  10  

2.1.1 Transformasi Demokrasi: Munculnya gagasan Polyarchy

Demokrasi mengalami beberapa transformasi, Dahl mengkategorisasikannya

menjadi dua transformasi dengan ciri-ciri khusus yang dilihat Dahl sebagai masalah

sehingga memunculkan transformasi demokrasi yang berikutnya:

1. Transformasi demokrasi pertama:14 Direct democracy atau demokrasi langsung,

tidak mengenal perwakilan terjadi di Yunani.

-­‐ Dimana warga negara merasakan sebagai orang-orang yang sama, dan sama-

sama pula berdaulat dalam memerintah dan menjalankan roda

pemerintahannya.

-­‐ Ciri-ciri demokrasi ini ialah; diterapkan dalam ruang lingkup kecil yaitu city-

polis (negara-kota), dikatakan sebagai demokrasi murni.

-­‐ Masalah-masalah yang kemudian dipertanyakan oleh Dahl: Istilah demos

masih kabur dan kenyataan bahwa yang dinamakan rakyat bagi orang Yunani

itu adalah rakyat dari sebuah polis atau kota kecil.

2. Transformasi demokrasi kedua: Republikanisme, perwakilan (Representative) dan

logika persamaan (the logic of equality).15

-­‐ Demokrasi ini mempertahankan gagasan bahwasanya manusia adalah mahluk

sosial dan makhluk politik (zoon politicon) yang hidup dalam suatu masyarakat

(manusia yang baik adalah warga masyarakat yang baik).

-­‐ Berada dalam ruang lingkup Negara Bangsa (city-polis menjadi nation-state).

-­‐ Explicitely stated: Equality, persamaan politik

-­‐ Implicitely stated: Liberty, kebebasan, perkembangan dan nilai dari manusia.

-­‐ Sebuah masyarakat berskala luas yang terdiri dari orang-orang yang dipandang

dari segi politik adalah orang-orang yang sama, yaitu warganegara-warganegara

yang sama dari sebuah negara.

-­‐ Masalah yang kemudian muncul: transformasi demokrasi kedua yang berbentuk

negara-bangsa ini tidak dapat lagi memberikan tempat yang layak kepada

gagasan-gagasan demokrasi yang diidamkan Dahl, (Equality, liberty in a large

scale community), yang memunculkan gagasan poliarchy democracy.

3.2 Perkembangan Gagasan Poliarki dan Demokrasi Pluralisme                                                                                                                          14  Robert  A.  Dahl,  1989.  Demokrasi  dan  Para  Pengkritiknya,  diterjemahkan  oleh  A.  Rahman  Zainuddin,  Jilid  I,  [Jakarta:  Yayasan  Obor  Indonesia,  1992].  Hlm.  xxx  15  Ibid.  Hlm.  xxxi  

  11  

Poliarki memang baru berkembang pesat di penghujung abad ke-20, namun

gagasan poliarki sudah dikemukakan Dahl jauh sebelumnya, pertama kali diperkenalkan

oleh Dahl dalam buku yang berjudul Politic, Economic, and Welfare (PEW) yang terbit

pada tahun 1953. Pada buku ini poliarki merupakan salah satu dari empat mekanisme

kontrol, dimana tiga yang lainnya adalah market pricing, bergaining, dan hierarchy.16

Pada buku tersebut disebutkan Poliarki sebagai mekanisme kontrol17, poliarki

diartikan tidak adanya penghalang yang sewenang-wenang terhadap partisipasi politik

dan orang-orang harus berpartisipasi dalam proses pemerintahan sehingga dengan

demikiran terdapat upaya melembagakan bentuk kompetisi di antara para pemimpin

untuk memperoleh dukungan dari masyarakat atau dalam sumber aslinya disebut sebagai

golongan non-leaders.18

Polyarchy as Political Sytem: Dahl’s Most Influential Theory on Democracy

Pluralism

Konsep poliarki mengalami perkembangan makna pada tahun 1971 bertepatan

ketika Dahl menerbitkan sebuah buku yang berjudul ‘Poliarchy, Participation and

Opposition: (PPO)’, yang mana secara komprehensif atau bisa dikatakan karya yang

menjelaskan poliarki lebih spesifik dan mudah. Robert Dahl menggunakan istilah

“poliarki” (poliarchy) untuk menyebut demokrasi, bagi Dahl ciri khas demokrasi adalah

sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga

negaranya.

Di dalam PPO Dahl melakukan penyederhanaan konsepsi tentang poliarki yang

dapat dipahami dalam dua dimensi utama yaitu; kontestasi/oposisi dan

                                                                                                                         16  Robert A. Dahl, “Poliarchy, Pluralism, and Scale,” dalam Scandinavian Political Studies, Vol. 7 – New Series – No. 4, 1984, hlm. 227. (Dikutip dari Firadus Ali Firmansyah, Gagasan Demokrasi Porsedural Robert Alan Dahl. Universitas Brawijaya, 2015)  17  Namun  konsep  Poliarki  yang  demikian  menuai  banyak  kritik  dari  Ilmuwan  politik  lainnya,  khususnya  dalam  aspek  inti  poliarki  itu  sendiri  dan  6  (enam)  jaminan  institutionalnya  yang  tercantum  di  dalam  PEW.  Hal  ini  merujuk  kepada  pernyataan  Muhll,  yang  mengatakan  bahwa  PEW  masih  memiliki  kecacatan  konseptual,  dimana  masih  terdapat  pengaruh  teori  ekonomi  di  dalamnya  sehingga  tidak  dapat  sepenuhnya    menjadi  konsep  dalam  menjelaskan  rezim  politik.  18 Robert A. Dahl, “Poliarchy, Pluralism, and Scale,” dalam Scandinavian Political Studies, Vol. 7 – New Series – No. 4, 1984, hlm. 227. (Dikutip dari Firadus Ali Firmansyah, Gagasan Demokrasi Porsedural Robert Alan Dahl. Universitas Brawijaya, 2015)

  12  

partisipasi/inklusifitas.19 Penekanan atas dua dimensi tersebut dimaksudkan untuk melihat

bagaimana demokrasi bekerja dalam satu Negara dapat dilakukan dengan mengacu

kepada dua ukuran minimal tersebut:

1. Kontestasi/Oposisi; Makna kontestasi di sini sebagai secara relatif

mempunyai toleransi yang tinggi terhadap oposisi (right to oppose)20 terhadap

tingkah laku pemerintahan. Seberapa tinggi tingkat liberalisasi dalam

kontestasi atau kompetisi yang memungkinkan hadirnya oposisi (opposition).

Liberalisasi dimensi ini didefinisikan dengan persaingan yang terorganisir

melalui pemilu yang teratur, bebas dan adil.

2. Partisipasi; Sedangkan dimensi partisipasi (right to participate)21 dengan

melihat seberapa banyak warganegara yang memperoleh kesempatan

berpartisipasi dalam kompetisi politik (Inclusiveness), keterlibatan dalam

seluruh proses pemerintahan, termasuk mempengaruhi proses tersebut.22

Contoh; adanya hak bagi semua orang dewasa (memenuhi prasyarat sebagai

voters) untuk memilih dalam pemilu dan dalam berkompetisi di ruang

perpolitikan Negara.

Kemudian perkembangan teori poliarkinya pada karya-karya berikutnya yaitu On

Democracy (OD) dan On Political Equality (OPE). Dimana Dahl mengajukan lima

kriteria—apa yang banyak disebut oleh ilmuwan politik sebagai lima kriteria/nilai intrisik

demokrasi prosedural—partisipasi efektif, kesetaraan politik, pemahaman yang

tercerahkan, pengawasan terhadap agenda, dan inklusifitas—,untuk prasyarat

mendemokratiskan poliarki, dimana kelima kriteria ini berhubungan dengan jaminan

yang dilembagakan oleh 7 insitusi sebagai prasyarat Poliarki, 23 yaitu: (1) Para Pejabat

yang dipilih, (2) Pemilihan umum yang bebas dan adil, (3)Hak suara yang inklusif,

(4)Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, (5)Kebebasan menyatakan pendapat,

                                                                                                                         19  Robert  A.  Dahl,  Polyarchy:  Opposition  and  Participation,  New  Haven  and  London:  Yale  University  Press,  1971,  hlm.  1.  20  Ibid.  21  Robert  A.  Dahl,  Polyarchy:  Opposition  and  Participation,  New  Haven  and  London:  Yale  University  Press,  1971,  hlm.  1-­‐5  22  ibid  23  Robert  A.  Dahl,  1989.  Demokrasi  dan  Para  Pengkritiknya,  Jilid  II,  Transformasi  Demokrasi  Kedua:  Negara-­‐Kota  ke  Negara-­‐Bangsa,  diterjemahkan  oleh  A.  Rahman  Zainuddin.  [Jakarta:  Yayasan  Obor  Indonesia,  1992].  Hal.  17  

  13  

(6)Informasi alternative, (7)Otonomis asosiasional, kendati satu negara memenuhi semua

persyaratan diatas ini sesuai pengakuannya dalam PPO, poliarki bukanlah rezim yang

sepenuhnya demokratis tapi rezim yang berjalan ke arah demokratis.24

Memasuki era kontemporer Dahl melanjutkan perkembangan teori poliarkinya

pada buku Democracy and Its Critics dan Polyarchy, Pluralism and Scale. Pada buku ini

poliarki dipahami sebagai salah satu dampak adanya pergeseran fokus dan lokus

demokrasi baik secara teori maupun praktik dari city-state menjadi nation-state atau dari

small-scale democracy menjadi large-scale democracy.25

Kemudian, mengutip ungkapan Dahl dalam bukunya Polyarchy, Pluralism & Scale, di

halaman 13, ia menyiratkan bahwa:

“Perubahan skala dan akibat-akibat yang ditimbulkan dalam transformasi demokrasi tahap II, adanya pemerintahan perwakilan, keanekaragaman yang lebih

banyak, bertambahnya pertentangan dan konflik, membantu membentuk pengembangan serangkaian lembaga politik yang secara keseluruhan membedakan demokrasi

perwakilan modern dari semua sistem politik yang lain. Sistem politik jenis ini yang dinamakan poliarki.”26

Untuk memperjelas hubungan Demokrasi pluralisme dengan Poliarki dijelaskan

Dahl, dalam bukunya yang bertajuk Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs.

Control, satu paragprah di halaman 4 dahl menjelaskan makna poliarki dalam model

demokarasi pluralisme;

…..‘In the expressions democratic pluralism and pluralist democracy, the term democracy may refer either to an ideal or to a specific type of actual regime.

Historically, the term democracy has been applied to two specific types of actual regimes, the second regime can be understood as an attempt to democratize large-scale

governments where its relatively democratized nation-states (countries), which may also be called polyarchy.27

                                                                                                                         24  ibid.  25  Robert  A.  Dahl,  Polyarhcy,  op.  cit.,  hlm.  2-­‐3.  26  Bersama-­‐sama  dengan  istilah-­‐istilah  seperti  demokrasi  modern,  demokrasi  perwakilan  modern,  negara-­‐negara  demokrasi  dan  seterusnya.  Istilah  ‘poliarki’  itu  dimaksudkan  untuk  menekankan  kekhasan  lembaga-­‐lembaganya.  Asal-­‐usul  istilah  itu  secara  pendek  telah  dibicarakan  dalam  Dahl  (1984,  227-­‐228,  289),  Robert  A.  Dahl.  Polyarchy,  Pluralism  and  Scale,”  Scandinavian  Political  Studies  7,  no.4  (1984):  225-­‐240  (Rokkan  Memorial  Lecture,  Bergen,  May  16,  1984).  Diambil  dari  Robert  A.  Dahl,  1989.  Demokrasi  dan  Para  Pengkritiknya,  diterjemahkan  oleh  A.  Rahman  Zainuddin,  Jilid  Ii,  [Jakarta:  Yayasan  Obor  Indonesia,  1992].  Hlm.13  27  Robert  A.  Dahl.  Dilemmas  of  Pluralist  Democracy:  Autonomy  vs.  Control.  �New  Haven  and  London:  Yale  University  Press,  1983.  Pp.4  

  14  

Kutipan diatas merujuk kepada konsepsi Robert Dahl dalam menjelaskan

estimologi istilah demokrasi pluralism, Dahl mendefinisikan demokrasi pluralism dengan

distingsi dalam penggunaan istilah demokrasi dan pluralisme. Istilah demokrasi merujuk

secara spesifik kepada satu tipe rezim pemerintahan yang ideal, berdasarkan sejarah

istilah demokrasi ditujukan kepada dua bentuk spesifik rezim pemerintahan, dimana

bentuk rezim kedua merupakan pemerintahan demokrasi dalam skala luas, demokratisasi

dalam wilayah nation-states.—bentuk rezim ini juga dapat disebut dengan istilah

‘polyarchy’.28

Poliarki dan MDM

Poliarki tumbuh dengan baik di masyarakat majemuk yang dinamis dan modern

(MDM)29, menurur sejarah poliarki erat sekali hubungannya dengan suatu masyarakat

yang ditandai oleh sejumlah ciri khas yang saling berhubungan: pendapatan dan kekayaan

perkapita yang relatif tinggi tingkatnya, pertumbuhan yang berlangsung lama dalam

pendapatan dan kekayaan perkapita, tingkat urbanisasi yang tinggi, penduduk pertanian

yang cepat berkurang atau relatif kecil. Secara ringkas dua watak umum MDM ialah; (1)

Suatu Masyarakat yang membagikan kekuasaan, pengaruh, wewenang dan pengawasan

sehingga tidak terpusat dan terbagi pada bermacam-macam pribadi, kelompok,

perkumpulan dan organisasi.30 dan (2) masyarakat MDM menggalakan sikap dan

kepercayaan yang menguntungkan gagasan-gagasan demokrasi. Meskipun kedua watak

ini tumbuh secara mandiri, keduanya itu saling memperkuat.31

                                                                                                                         28  Dahl,  Robert  Alan.  1982.  Dilemmas  of  Pluralist  Democracy  Autonomy  vs.  Control.  �New  Haven  and  London  Yale  University  Press.  Hlm.4  29  Robert  A.  Dahl,  1989.  Demokrasi  dan  Para  Pengkritiknya,  Jilid  II,  Transformasi  Demokrasi  Kedua:  Negara-­‐Kota  ke  Negara-­‐Bangsa,  diterjemahkan  oleh  A.  Rahman  Zainuddin.  [Jakarta:  Yayasan  Obor  Indonesia,  1992].  Hal.  62-­‐65  30  ibid.  31  Vanhanen(1984)  betul-­‐betul  menekankan  yang  pertama:  “demokrasi  akan  timbul  di  dalam  situasi  dimana  sumber-­‐sumber  kekuasaan  telah  terbagi  demikian  meluasnya,  sehingga  tidak  ada  lagi  kelompok  yang  mampu  menekan  pihak-­‐pihak  yang  menyainginya  atau  mempertahankan  hegemoninya”  (18).  Tetapi  dmeokrasi  sama  sekali  tidak  memberikan  kemandirian  kepada  faktor  yang  kedua  dan  tampaknya  percaya  bahwa  hal  itu  hanya  merupakan  hasil  dari  yang  pertama.  

  15  

III. ANALISA: Implementasi Demokrasi Pluralism di Indonesia & Proses Poliarki

Democracy Pluralism; The Logic of equality on Indonesia democracy

Dalam menjawab pertanyaan penelitian nomor. 2 dan 3 untuk melihat indikator-

indikator dalam mengukur pelaksanaan Demokrasi Pluralisme dan Poliarki di Indonesia,

penulis melakukan analisanya dengan menekankan dimensi asas ganda poliarki, yaitu

adanya oposisi/konstetasi dan iklusivitas/partisipasi, sebagaimana terefleksikan di

penyelenggaraan demokrasi di Indonesia pada masa demokrasi parlementer dan era

reformasi.

Praktik kontestasi/oposisi tinggi antara parpol-parpol yang terbentuk dan adanya

inclusivitas kelas dalam partisipasi masyarakat di koridor perpolitikan sebagai Negara

Demokrasi. Dalam kondisi masyarakat dengan heterogenitas yang tinggi seperti di

Indonesia prinsip majority rule memang ditakutkan akan menjadi tirani kelompok besar

terhadap golongan minoritas.32

Kebijaksanaan dalam menampung prinsip – prinsip lain seperti penegakan hukum

dan akuntabilitas, pemisahan kekuasaan, kebebasan pers dan kebebasan individu.

Permusyawaratan harus pula diartikan sebagai pentingnya kehadiran kelompok oposisi

yang diakui dan dihormati sebagai check and balance, sekaligus mengakomodasikan

prinsip berbagi dan turut serta dalam kekuasaan atau sharing and participation in power

on democracy system.

Coalition as Opposition: Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat

Oposisi dapat diartikan secara umum dalam konteks Indonesia, terefleksikan

melalui mekanisme check and balances antara Badan Eksekutif (Presiden dan

adminsitrasi-nya), Badan Legislatif (DPR) dan Badan Yudikatif (MK). Lebih lanjut, di

dalam kompetisi politik negara demokrasi juga harus membuka peluang bagi mereka

yang disebut sebagai oposisi, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menempatkan

diri sebagai oposan dalam struktur kelembagaan politik. Menurut Dahl, keberadaan

                                                                                                                         32  Namun  kembali  lagi  kepada  prinsip  utama  dalam  berdemokrasi  adalah  pemerintahan  dari  rakyat,  untuk  rakyat  dan  oleh  rakyat,  sehingga  sistem  pemilihan  langsung  mencerminkan  prinsip  ini,  dengan  memberikan  kuasa  kepada  rakyat  untuk  memilih  perwakilannya  di  DPR,  kuasa  rakyat  dalam  memilih  perwakilannya  merupakan  refleksi  dari  dimensi  nomor  2  yaitu  partisipasi/inclusivitas.  

  16  

oposisi adalah merupakan syarat terbentuknya sebuah negara demokrasi yang lebih baik

sekaligus sebagai salah satu ciri sebuah negara demokrasi. 33

Koalisi Merah Putih (KMP) untuk mengawasi KIH (Koalisi Indonesia Hebat),

dimaksudkan agar KIH dapat menjalankan janji-janjinya dan menjadi kontrol atas

legislatif, oposisi dalam badan legislatif ini merupakan cerminan atas equality on

democracy; seperti yang terjadi di AS, congress kuat dalam melakukan kontrol

pengawasan terhadap presiden. Hal ini menunjukkan pentingnya kehadiran kelompok

oposisi yang diakui legitimasinya dan memiliki fungsi dalam check and balance,

sekaligus mengakomodasikan kepentingan konstituennya dan turut serta dalam

kekuasaan atau sharing and participation in legislative body on democracy system.

“Democracy means ‘government by the people’. In large political systems, such as contemporary states, democracy must be achieved largely though indirect participation

in policymaking. Elections, competitive political parties, free mass media and representatives’ assemblies are political structures that make some degree of democracy. Some degree of ‘government by the people.” Possible at the level of the nation-state, this indirect democracy is not completed or ideal. But the more citizens are involved and the

more influential their choices, the more democratic system.”34

‘Participation’: Inclusivitas

Menurut Dahl yang demokrasi yang sempurna tidak akan tercapai, diperlukan

partisipasi efektif dalam persamaan suara (The Logic of equality On Democracy), untuk

menciptakan adanya kontrol/pengawasan agenda bersama.35 Tatanan politik yang akan

mampu memenuhi preferensi warga masyarakat adalah tatanan politik yang memainkan

peran-peran politik signifikan, yaitu tatanan politik yang memberikan peluang bagi

masyarakat untuk mengikuti proses-proses demokratisasi yang berlangsung.

Dimensi partisipasi melihat seberapa banyak rakyat yang diberikan

hak/kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kompetisi politik (Inclusiveness),

                                                                                                                         33  Robert  A.  Dahl,  Polyarchy:  Opposition  and  Participation,  New  Haven  and  London:  Yale  University  Press,  1971,  hlm.  1-­‐5  34  Gabriel  A.  Almond,  G.  Bingham  Powell,  JR.  Political  Structure  and  Political  Recruitment—Democratic  and  Authoritarian  Political  Structure.  [USA:  HarperCollins  Publishers  Inc.,  1996],  Pp.  55  35  Robert  A.  Dahl,  Polyarchy:  Opposition  and  Participation,  New  Haven  and  London:  Yale  University  Press,  1971,  hlm.  1-­‐5  

  17  

keterlibatan dalam proses pemerintahan, mempengaruhi kebijakan, melalui 7 institusi

yang prasyarat poliarki, yaitu:36

1. Para Pejabat yang dipilih

2. Pemilihan umum yang bebas dan adil

3. Hak suara yang inklusif

4. Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan

5. Kebebasan menyatakan pendapat

6. Informasi alternatif

7. Otonomis asosiasional

Melalui indikator-indikator ini dapat dilihat bahwa Indonesia memenuhi

keberadaan 7 indikator sistem poliarki, misalnya dalam Indikator no.7 yang menunjukan

eksistensi lembaga otonom dalam sistem yang demokratis, dimana masyarakat Indonesia

era reformasi memiliki jaminan untuk membentuk dan bergabung pada organisasi,

termasuk partai politik, LSM, asosiasi-asosiasi dan kelompok kepentingan.

Indikator no.5 dimana Negara menjamin kebebasan warganya dalam

menyuarakan pendapat, mengeluarkan aspirasi-aspirasinya, dan apabila ada kesamaan

ideologi dan kepentingan-kepentingan untuk tujuan mencapai kesejahteraan bersama

yang terakumulasi sehingga kemudian membentuk institusi-institusi (indikator no.7) yang

secara substansial memiliki legitimasi dan dapat menjadi alat mediasi kepada pemerintah

untuk mendorong kepentingan-kepentingan mereka melalui perwakilan-

perwakilan(indikator no.2) yang dipilih secara demokratis (indikator no.1).

Uraian diatas memperlihatkan bahwa pelaksanaan demokrasi pluralisme berjalan

dengan baik di Indonesia, penekanan pada equality terefleksikan dalam praktik-praktik

demokrasi yang dijalankan. Namun untuk mengukur tumbuh dan berkembangnya

poliarki di Indonesia, dibutuhkan beberapa persyaratan khusus yang terkait dengan MDM

MDP, yang akan diuraikan lebih details di pembahasan selanjutnya.

                                                                                                                         36 Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II, Transformasi Demokrasi Kedua: Negara-Kota ke Negara-Bangsa, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hal. 17

  18  

Pernahkah Poliarki Tumbuh di Indonesia?

Poliarki demokrasi dikatakan hanya sempat dialami oleh Indonesia pada masa

demokrasi parlementer37,—dimana Indonesia sebagai negara baru mengawali

kemerdekaannya dengan menyusun sistem pemerintahannya berisikan lembaga-lembaga

politik yang demokratis, yang memenuhi persyaratan 7 lembaga poliarki dan mencakup

dua dimensi poliarki; partisipasi yang luas dan adanya oposisi.

Periode setelahnya sampai di era reformasi saat ini Indonesia masih dalam proses

menuju demokrasi konsolidasi (apabila ada goncangan-goncangan demokrasi, dikatakan

bisa mengalami arus balik)38. Berangkat dari fakta bahwa poliarki seringkali gagal di

Negara yang secara budaya terpecah-pecah, sehingga umumnya poliarki kecil

kemungkinannya dan sudah pasti jarang berhasil di negara-negara dunia ketiga yang

memiliki berbagai sub-kultur relatif kuat,39 kendati tatanan demokrasi konsosional yang

kemudian diterapkan di Indonesia dinilai berhasil dalam menanggulangi perpecahan

potensial dari pluralisme yang merupakan bagian dari karakter Indonesia yang majemuk.

Namun, dalam konteks Indonesia tidak hanya ancaman konflik sub-kultur yang

menjadi penghambat terciptanya demokrasi poliarki, pertimbangan utama lainnya lebih

kepada kondisi-kondisi prasyarat menguntungkan yang masih belum dimiliki oleh

Indonesia, seperti dikatakan bahwa poliarki dapat tumbuh dengan baik di Masyarakat

Majemuk Modern (MDM) yang terkait erat dengan Negara Demokrasi Modern (MDP).

Dimana pada kenyataanya persyaratan-persyaratan sebagai MDM tidak terpenuhi oleh

Indonesia, dimana kesejahteraan masyarakat relatif rendah, pendapatan perkapita kecil,

pertanian masih lebih maju daripada bidang industry, masih banyaknya dinasti politik

dalam hal pemusatan kekuasaan, oligarki partai politik, terbatasnya kesempatan bagi

individu berkompeten yang mau berkompetisi dalam ranah politk nasional diakibatkan

ketiadaan dana.

                                                                                                                         37 Berakhirnya PDII, jumlah negara yang diperintah oleh poliarki—dengan kaum wanita termasuk ke dalam demos, negara-negara itu sekarang telah menjadi poliarki penuh (MDM). Runtuhnya Kolonialisme secara masif, jumlah negara yang mendeklarasikan kemerdekaanya juga mengalami peningkatan, negara-negara baru tersebut secara spesifik memulai kemerdekaannya dengan menyusung perangkat penuh lembaga-lembaga politik yang demokratis (lembaga poliarki)  38  Arus  balik  Demokrasi  39  Robert  A.  Dahl,  1989.  Demokrasi  dan  Para  Pengkritiknya,  Jilid  II,  Mengapa  Poliarki  Berkembang  di  Beberapa  Negara?,  diterjemahkan  oleh  A.  Rahman  Zainuddin.  [Jakarta:  Yayasan  Obor  Indonesia,  1992].  Hal.  77    

  19  

Walaupun aspek dimensi partisipasi dan oposisi terpenuhi, begitupula 7 sistem

institusi indikator lembaga poliarki tercermin dalam praktik-praktik demokrasi di

Indonesia, namun tantangan utama dalam proses Indonesia menuju Demokrasi Poliarki

merupakan suatu permasalahan penting bagi pembangunan nasional jangka panjang.

Kemudian, dalam konteks hubungan poliarki dengan pluralisme sub-kultur

Indonesia adalah rumit, diperkuat oleh analisis Dahl yang menyatakan dimana pluralisme

sub-kultur yang lebih kerap ditemui di negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya

setelah tahun 1945,40 dank arena itu telah mengalami trauma proses pembentukan bangsa,

dan juga tingkat perkembangan ekonominya lebih rendah. Hal ini merupakan bagian

sejarah dari dibentuknya Indonesia sehingga penulis berasumsi bahwa dibutuhkan

periode yang cukup lama bagi Indonesia untuk dapat memenuhi segala persyaratan

demokrasi poliarki.

Kendati demikian, upaya-upaya yang terus-menerus dilakukan oleh seluruh

masyarakat ataupun apparatus negara menjadi faktor penting dalam proses Konsolidasi

Demokrasi, menuju pencapaian cita-cita sebagai Indonesia sebagai Negara Demokrasi

Modern. Prospek-prospek bagi Indonesia menjadi negara MDP dapat diperkuat apabila

sarana/tingkat kekerasan/kriminalitas domestic dapat diminamilisirkan, koherensi

masyarakat majemuk yang dinamis dan modern (MDM), para pemimpin negara harus

dapat memformulasikan suatu tatanan konsosiasional untuk meredam konflik-konflik

sub-kultur, dan tidak ada intervensi dari pihak luar yaitu negara non-demokratis. Dengan

tujuan akhir tercapainya cita-cita bangsa, sebagai bagian dari negara demokrasi modern

dengan Masyarakat Majemuk yang dinamis dan Modern, menjadi tempat strategis untuk

Poliarki dapat tumbuh dan berkembang.

                                                                                                                         40  Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II, Mengapa Poliarki Berkembang di Beberapa Negara?, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hal. 70  

  20  

KESIMPULAN

In the words of Abraham Lincoln, “Democracy is a government of the people, by

the people and for the people.”41 Dari pernyataan Lincoln tersebut dapat kita pahami

bagaimana penekanan kepentingan suatu negara terpusat kepada rakyat (the people),

sehingga nilai-nilai ideal yang dijunjung tinggi dalam demokrasi (ideologi ataupun

bentuk pemerintahan) menjadi harapan bagi rakyat agar negara dapat merealisasikan

nilai-nilai tersebut kedalam aspek-aspek politik kehidupan bernegara; rakyat merasakan

cara hidup yang demokratis di dalam negara yang berasaskan demokrasi.

Meskipun prinsip demokrasi berlaku universal, dalam penerapan dan ekspresinya

sangat bergantung pada kondisi riil sebuah negara dan bangsa. Kualitasnya tidaklah sama

karena sangat bergantung pada mutu kehidupan setiap bangsa, democracy can be

independently invented and reinvented whenever the appropriate conditions exist. Perlu

diakui pula, proses demokratisasi tidaklah sekali jadi, tetapi memakan waktu yang cukup

lama dengan berbagai kompleksitas di dalamnya. Demokrasi di berbagai negara tidak

jarang mengalami kemunduran dalam prosesnya, perkembaangan dan dinamikanya

berbeda-beda setiap negara. Yang mana sangat bergantung pada budaya, tingkat

kemajuan sosial ekonomi dan politik di negara tersebut.

Secara intelektualitas, logika, dan nalar Dahl mengembangkan teori dan

melakukan riset empiris demokrasi sangat dipengaruhi oleh pendekatan behavioral

khususnya dalam perbandingan politik yang pada saat itu di Amerika Serikat khususnya

pada kurun waktu 1950an dan 1960an mencapai masa kejayaan. Demokrasi pluralism

                                                                                                                         41  Robert K. Carr, Marver H. Bernstein, Donald H. Morrison, Richard C. Snyder and Joseph E. McLean. 1961. American Democracy in Theory and Practice—National, State and Local Government: Governing a democracy. p.26. Holt, Rinehart and Winston; New York.    

  21  

memang relevan dengan heterogenitas politik, masyarakat dan budaya di Indonesia.

sehingga, kedudukan sentral demokrasi pluralisme dalam penyelenggaraan pemerintahan

bisa dikatakan sebagai penegas adanya upaya pemerintah untuk mengakomodir

kemajemukan unsur-unsur tersebut.

Demokrasi memang bukan yang terbaik tetapi dikatakan cenderung mendekati

terbaik, sehingga wajar apabila Dahl mengatakan demokrasi itu kabur dan akan masih

terus berkembang mengikuti zaman. Tetapi memang yang didambakan oleh rakyat

modern ialah demokrasi, karena hanya dalam sistem yang demokratik rakyat memiliki

hak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Sehingga model poliarki dinilai Dahl

memiliki sarana-sarana yang akan memungkinkannya untuk mendekati kesempurnaan

pada demokrasi.

“Some of the Expansion of Democracy – Perhaps a good deal of it –can be accounted for mainly by the diffusion of democratic ideas and practices, but diffusion cant provide the whole explanation. It seems to have been invented more than once, and in more than one

place. If the conditions for inventing democracy where favorable in one place at one time, why not in other places and times?” –Robert A. Dahl, On Democracy

  22  

DAFTAR PUSTAKA

[Book]

Robert K. Carr, Marver H. Bernstein, Donald H. Morrison, Richard C. Snyder and Joseph E. McLean. 1961. American Democracy in Theory and Practice—National, State and Local Government: Governing a democracy. Holt, Rinehart and Winston; New York. Dahl, Robert Alan. 1982. Dilemmas of Pluralist Democracy Autonomy vs. Control. New Haven and London Yale University Press. Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II, Transformasi Demokrasi Kedua: Negara-Kota ke Negara-Bangsa, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Carlton Clymer Rodee, Carl Quimby Christol, Totton James Anderson, Thomas H. Greene. 1988 Introduction to political science. Padmo Wahjono, Nazaruddin Syamsuddin. Pengantar Ilmu Politik—Karakteristik demokrasi yang stabil. [PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000] Henry Mayer. English Political Pluralism: The Problem Of Freedom and Organization. Robert A. Dahl. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control. New Haven and London: Yale University Press, 1983. Rod Hague and Martin Harrop. 2004. Comparative Government and Politics, An Introduction—Chapter 3, Democracy. [New York: PALGRAVE MACMILLAN]. Pp. 36 Robert A. Dahl, “Poliarchy, Pluralism, and Scale,” dalam Scandinavian Political Studies, Vol. 7 – New Series – No. 4, 1984, hlm. 227. (Dikutip dari Firadus Ali Firmansyah, Gagasan Demokrasi Porsedural Robert Alan Dahl. Universitas Brawijaya, 2015) Gabriel A. Almond, G. Bingham Powell, JR. Political Structure and Political Recruitment—Democratic and Authoritarian Political Structure. [USA: HarperCollins Publishers Inc., 1996], Pp. 55 Robert A. Dahl, Polyarchy: Opposition and Participation, New Haven and London: Yale University Press, 1971 Robert A. Dahl, “Poliarchy, Pluralism, and Scale,” dalam Scandinavian Political Studies, Vol. 7 – New Series – No. 4, 1984, hlm. 227. (Dikutip dari Firadus Ali Firmansyah, Gagasan Demokrasi Porsedural Robert Alan Dahl. Universitas Brawijaya, 2015)