Upload
ui
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Robert A. Dahl’s Most Influential Theory on Democracy:
DEMOCRACY PLURALISM; POLYARCHY
Case study: “Pengaruh Pluralisme sub-kultur Indonesia terhadap Tumbuh dan
Berkembangnya Poliarki.”
Disusun oleh:
Anggina Mutiara Hanum
1406517960
DEMOKRASI & DEMOKRATISASI
PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2014
3
Abstract
We live in an era of democracy; for the first time in history, most
people in the world live under tolerably democratic rule. This upsurge in
democracy reflects the transformation of the world’s political landscape
in the final quarter of twentieth century. As democracy continues to
spread, so it becomes more varied, only over this short period, the number
of democratic countries increase more than doubled compare to the
previous era. Understanding the forms taken by democracy in today’s
world has become important.
4
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sejak perang dingin berakhir dan dunia memasuki abad ke dua puluh, salah satu
isu paling populer yang muncul ke permukaan secara masif dan berkesinambungan secara
terus-menerus hingga dewasa ini adalah demokrasi. Demokrasi muncul sebagai ikon yang
bersifat hegemonik, dalam artian bahwa tidak ada satu Negara yang bisa mengelak dari
tuntutan demokrasi menjadikan perhatian terhadap masalah-masalah demokrasi semakin
meningkat secara kontinuitas.
Dalam mendefinisikan apa yang disebut dengan Demokrasi setiap individu pasti
memiliki cara pandang yang berbeda, baik dalam konteks ideologi atau dalam praktik
sistem pemerintahan satu Negara. Ukuran demokrasi yang paling jelas ialah persamaan
hak pilih universal1, dimana pola umumnya adalah demokrasi mengandung persamaan
(on equality) hak setiap warganegara, laki-laki dan perempuan, kaya ataupun miskin
untuk memilih dalam pemilihan, tidak memandang perbedaan bangsa ataupun agama
yang ditegaskan oleh pemerintahan demokrasi. Lebih jauh lagi, di setiap Negara yang
menganut paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi dan kompetisi rakyat yang
mempunyai dasar ideologis bahwa setiap warga negara juga berhak turut menentukan
kebijaksanaan umum (public policies,-red).
Perkembangan pemikiran di Barat pada umumnya dan di Amerika Serikat pada
khususnya, mengenai demokrasi baik dalam penafsiran tentang teori, praktik demokrasi
liberal, dan poliarki (demokrasi pluralisme) yang diadopsi pemerintah AS, diharapkan
dapat membantu memperluas pengetahuan Pemerintah Indonesia sebagai Negara
berkembang untuk dapat melakukan komparasi, analisa, menemukan indikator-indikator
keberhasilan/kelemahan dalam mengukur keberhasilan penyelenggaraan demokrasi di
Indonesia, sehingga dapat mendistingsikan demokrasi yang sesungguhnya dari demokrasi
yang semu, terakhir sebagai upaya pencarian model demokrasi yang paling tepat untuk
diterapkan di Indonesia.
1 Carlton Clymer Rodee, Carl Quimby Christol, Totton James Anderson, Thomas H. Greene. 1988 Introduction to political science. Padmo Wahjono, Nazaruddin Syamsuddin. Pengantar Ilmu Politik—Karakteristik demokrasi yang stabil. [PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000], hlm.218
5
Demokrasi dan Pluralisme
Prinsip-prinsip universal demokrasi diperlukan, dimana demokrasi harus
menerima keberagaman2 agar Negara atau masyarakat mampu mentolerir perbedaan-
perbedaan kultural, apirasi-aspirasi dan orientasi kepentingan yang ada. Fakta empiris
bahwa sebagian besar Negara di dunia bersifat pluralistic, sehingga pluralisme
merupakan isu normative penting yang berkaitan dengan demokrasi serta problem dan
prospek demokratisasi,3 singkatnya demokrasi harus mengakui keberagaman.
Pluralisme semakin meningkat dikarenakan adanya transformasi demokrasi dalam
tautan scale, yakni perubahan dari city-polis atau negara-kota menjadi nation-state atau
negara-bangsa.4 Dalam proses transformasi ini menyebabkan Negara-negara tersebut
akan mencakup kelompok-kelompok lain (yang sudah ada sebelum nation-state itu
didirikan). Transformasi ini selain menyebabkan negara bertambah luas teritorinya,
keragaman masyarakatnya juga semakin bertambah,5 menjadikan Negara tersebut sebagai
Negara majemuk yang dinamis dan modern.
Selanjutnya, pluralisme merupakan salah satu pilar demokrasi, dimana Negara
Demokrasi Modern (NDM) dewasa ini, masyarakatnya terdiri dari berbagai lapisan,
golongan, karakter, budaya, suku yang kesemuanya membaur menjadi satu, Masyarakat
Majemuk yang Dinamis dan Modern (MDM). Ketika direlasikan dengan konteks
demokrasi, prinsip on equality in participation dalam sistem demokrasi menjamin adanya
kebebasan dalam berpendapat bersinergi dengan keragaman pola pikir, budaya, suku, ras,
agama, dan lain-lain.
Sehingga dalam demokrasi pluralist menekankan pemaknaan, dimana pluralisme
lebih dari sekedar mengakui pluralitas dan perbedaan, tetapi juga bentuk keterlibatan
aktif partisipasi masyarakat dalam keragaman dan perbedaan untuk tujuan sosial yang
lebih tinggi, terdapatnya kesempatan berkompetisi yang sama membangun peradaban
yang demokratis bersama-sama, demi tercapainya poliarki demokrasi (polyarchy) yang
akan tumbuh berkembang di Negara Indonesia.
2 Henry Mayer. English Political Pluralism: The Problem Of Freedom and Organization. [Colombia university, NY, 1941]. Pp. 3 Robert A. Dahl. Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Jilid II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. Hal.63 4 Ibid. Hal.10 5 Ibid. hal.11
6
1.2 Rumusan Masalah
Demokrasi Poliarki tumbuh dan berkembang di dalam Masyarakat Majemuk yang
Dinamis dan Modern (MDM), kemajemukan sub-kultur yang merupakan atribut utama
Negara Demokrasi Maju atau yang dinamakan Dahl dengan sebutan MDP (Modern,
Dynamic, Pluralist)6, dalam merumuskan konstitusional negaranya berlandaskan pada
prinsip persamaan (on equality), dimana semua warganegara memiliki hak dan kewajiban
yang sama didepan hukum tanpa diskriminasi ras, warna kulit, gender, bahasa, agama,
pandangan politik atau lainnya.
Permasalahan yang muncul dan tidak bisa dihindari ialah ketika
keanekegaragaman sub-kultur menjadi semakin kompleks dan problematis dalam
menjaga pertumbuhan poliarki di Negara tersebut, upaya penyelesaiaan yang dilakukan
pemerintahan MDP tersebut dapat menjadi pelajaran bagi negara-negara demokrasi baru
yang memiliki cita-cita menjadi Negara MDP dengan Poliarki yang tumbuh baik dalam
MDM.
Indonesia sebagai Negara Demokrasi Baru dengan tingkat heterogenitas yang
tinggi didalam masyarakatnya, dikatakan telah menerapkan model demokrasi pluralisme,
sedang menjalani proses menjadi Negara MDP dengan tujuan terciptanya tatanan
Demokrasi Poliarki skala nasional. Namun dalan proses tersebut, dinilai terdapat banyak
faktor yang menjadi hambatan dalam stabilitas penyelenggaran demokrasi di Indonesia,
sehingga menghalangi proses Indonesia menjadi Negara MDP dan berkembangnya
poliarki demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan uraian permasalahan singkat diatas, makalah ini secara umum akan
mengekspolrasi perkembangan teori demokrasi kontemporer; Poliarki dan Demokrasi
Pluralis. Dan secara khusus sebagai upaya menjawab pertanyaan penelitian yang juga
merupakan rumusan masalah dalam penelitian ini, peneliti mengajukan dua pertanyaan
penelitian yaitu;
1. Perkembangan konsep poliarki telah melalui berapa tahap sampai akhir
abad-20, bagaimana perkembangan tersebut bertransformasi?
2. Bagaimana Pelaksanaan Demokrasi Pluralisme di Indonesia?
3. Apakah Poliarki tumbuh dan berkembang di Indonesia? 6 Robert A. Dahl. Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Jilid II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. Hal.xxxxiii
7
1.3 Kerangka Pemikiran: Demokrasi Pluralisme dan Poliarki
Model demokrasi pluralis mewarisi tiga tradisi besar demokrasi liberal, dimana
dari banyak konsep dan teori demokrasi, Amerika Serikat sebagai negara pelopor
demokrasi menerapkan demokrasi liberal dengan beberapa karakteristik yang mengacu
pada teori demokrasi pluralis atau pluralism klasik, dimana salah satu model pluralisme
klasik yang paling terkemuka adalah ‘democracy polyarchy’ yang dirumuskan oleh
Robert A.Dahl.
1.3.1 Demokrasi Pluralisme: Pluralism and Pluralist Democracy
…..‘In the expressions democratic pluralism or pluralist democracy, the terms pluralism and pluralist refer to organizational pluralism, that is, to the existence of a
plurality of relatively autonomous (independent) organizations (subsystems) within the domain of a state.’ 7
Melalui kutipan pernyataan Dahl diatas terlihat bahwa penekanan Dahl akan
demokrasi pluralis/pluralisme ialah dengan distingsi antara istilah pluralisme dan
demokrasi. Dimana penggunaan istilah pluralisme atau pluralis merujuk pada pluralisme
organisasi yaitu adanya keragaman sebagian besar organisasi atau subsistem yang secara
relatif bersifat otonom di dalam wilayah sebuah negara—In all democratic countries,
some important organizations are relatively autonomous— .
…A country is a pluralist democracy if (a) it is a democracy in the sense of
polyarchy and (b) important organizations are relatively autonomous. Hence all democratic countries are pluralist democracies.8
Menurutnya, sebuah negara disebut demokrasi pluralis, jika: (1) ia merupakan
demokrasi dalam arti poliarki,9 dan (2) organisasi-organisasi penting lainnya relatif
bersifat otonom. Maka dengan demikian semua negara yang demokratis merupakan
pelaksana demokrasi pluralis. 7 Robert A. Dahl. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control. �New Haven and London: Yale University Press, 1983. Pp.4-‐5 8 ibid. 9 Mengenai demokrasi yang diidentikkan dengan poliarki, Dahl menyatakan bahwa poliarki adalah sistem politik yang bercirikan suatu kompetisi yang bebas dan wajar di antara kelompok minoritas yang berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan. Dia juga memandang proses yang menentukan untuk meyakinkan bahwa para pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga negara biasa dan tampaknya percaya bahwa dengan segala kelemahannya akan memungkinkan setiap kelompok yang aktif dan diakui menjadikan dirinya didengar secara efektif pada tingkat tertentu proses pembuatan keputusan. Lihat Robert A. Dahl, Polyarchy, Pluralism, and Scale, 1984.
8
Demokrasi pluralis secara sederhana dipahami sebagai model demokrasi yang
lebih modern. Dengan bentuk yang bersifat sesuai dengan zaman, model ini mampu
menjawab pluralitas suatu negara, atauapun keragaman yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Demokrasi pluralis seperti yang telah diungkaapkan ahli, sifatnya lebih
otonom. Daerah relatif mandiri secara pengambilan kebijakan yang mengutamakan
kepentingan rakyat banyak, yang terpenting adalah suara ataupun pendapat minoritas juga
bisa tersampaikan dengan baik, dan lebih spesifik lagi biasanya di setiap daerah yang
bersifat tersebut, cenderung melakukan dan diberikan konsensus untuk pengambilan
sebuah kebijakan.
Sebagai contoh, dari sekian banyak konsep dan teori demokrasi, Amerika Serikat
menerapkan demokrasi liberal, poliarki dengan beberapa karakteristik tentunya (MDM
dan NDM). Jika ditarik konsep demokrasi liberal ini, ia akan mengacu pada teori
demokrasi pluralis atau pluralisme demokrasi yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl.
Dalam kaitan itulah, penerapan demokrasi di Amerika Serikat dengan demokrasi liberal
dilihat dari sisi pengakuan atas pluralismenya.
1.3.2 Poliarki: Sistem Politik dan Model Demokrasi
Dalam perkembangan konsep poliarki, poliarki menjadi salah satu teori demokrasi
kontemporer dalam pengertiannya sebagai sistem politik. Poliarki dalam pengertiannya
sebagai sistem politik didefinisikan oleh Dahl sebagai suatu perangkat lembaga politik
yang penting bagi negara demokrasi berskala luas (nation-state). Dimana di dalam
tatanan politik tersebut secara umum Poliarki memiliki dua ciri khas dengan melakukan
penekanan dua dimensi dalam mengukur berjalannya demokrasi di suatu Negara, yaitu
‘kontestasi’ dan ‘partisipasi’10— dan secara lebih khusus untuk memberikan makna yang
lebih besar kepada kedua dimensi tersebut, dengan indikator keberadaan 7 (tujuh)
lembaga Institusional poliarki11 di dalam pemerintahan satu Negara (tipologi rezim yang
memerintah) untuk dikategorikan sebagai Poliarki.
10 Robert A. Dahl. Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Jilid II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. Hal.16 11 Ibid. Hal.17, 7 lembaga institusi poliarki akan diuraikan pada bab selanjutnya.
9
PEMBAHASAN
2.1 Dahl: Gagasan Demokrasi sebagai Sistem Politik
Demokrasi dianggap Dahl sebagai suatu sistem politik dimana para anggotanya
saling memandang antara yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama
dipandang dari segi politik, dan mereka itu secara bersama-sama adalah berdaulat, dan
memiliki segala kemampuan, sumberdaya dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan
demi untuk memerintah diri mereka sendiri.12
“Democracy is a form of government offering a workable solution to the fundamental political pronlem of reaching collective decisions by peaceful means,
but it is also an ideal and an aspiration. So we cannot understand democracy simply by looking at contemporary examples. Judged against the democratic
ideal, even the most secure ‘democracies’ are found wanting. Indeed the tension between high ideals and prosaic reality has itself become part of the democratic
condition (Dahl, 2000).”13
Kutipan diatas menunjukkan pandangan Dahl akan Demokrasi, dimana
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang menawarkan solusi yang bisa diterapkan
untuk masalah-masalah politik yang mendasar untuk mencapai keputusan kolektif dengan
cara damai, dalam suatu frame yang ideal dan aspiratif. Dahl menyampaikan bahwa kita
tidak dapat memahami demokrasi hanya dengan melihat contoh-contoh kontemporer. Hal
tersebut dikarenakan apabila rujukan yang ada ialah penilaiaan atas cita-cita demokrasi
dengan realitas politik yang ada, sesungguhnya menunjukkan suatu dilema demokrasi.
Bahkan negara yang dikatakan pelopor demokrasi (Amerika Serikat,-red) masih kerap
menemui hambatan dalam merealisasikan cita-cita demokrasi yang sesungguhnya. Perlu
diakui dilema antara nilai-nilai ideal demokrasi dan realitas yang ada merupakan masalah
yang menjadi bagian dari perkembangan demokrasi yang berlangsung di semua Negara.
12 Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Jilid II, [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hal. Xxviii 13 Rod Hague and Martin Harrop. 2004. Comparative Government and Politics, An Introduction—Chapter 3, Democracy. [New York: PALGRAVE MACMILLAN]. Pp. 36
10
2.1.1 Transformasi Demokrasi: Munculnya gagasan Polyarchy
Demokrasi mengalami beberapa transformasi, Dahl mengkategorisasikannya
menjadi dua transformasi dengan ciri-ciri khusus yang dilihat Dahl sebagai masalah
sehingga memunculkan transformasi demokrasi yang berikutnya:
1. Transformasi demokrasi pertama:14 Direct democracy atau demokrasi langsung,
tidak mengenal perwakilan terjadi di Yunani.
-‐ Dimana warga negara merasakan sebagai orang-orang yang sama, dan sama-
sama pula berdaulat dalam memerintah dan menjalankan roda
pemerintahannya.
-‐ Ciri-ciri demokrasi ini ialah; diterapkan dalam ruang lingkup kecil yaitu city-
polis (negara-kota), dikatakan sebagai demokrasi murni.
-‐ Masalah-masalah yang kemudian dipertanyakan oleh Dahl: Istilah demos
masih kabur dan kenyataan bahwa yang dinamakan rakyat bagi orang Yunani
itu adalah rakyat dari sebuah polis atau kota kecil.
2. Transformasi demokrasi kedua: Republikanisme, perwakilan (Representative) dan
logika persamaan (the logic of equality).15
-‐ Demokrasi ini mempertahankan gagasan bahwasanya manusia adalah mahluk
sosial dan makhluk politik (zoon politicon) yang hidup dalam suatu masyarakat
(manusia yang baik adalah warga masyarakat yang baik).
-‐ Berada dalam ruang lingkup Negara Bangsa (city-polis menjadi nation-state).
-‐ Explicitely stated: Equality, persamaan politik
-‐ Implicitely stated: Liberty, kebebasan, perkembangan dan nilai dari manusia.
-‐ Sebuah masyarakat berskala luas yang terdiri dari orang-orang yang dipandang
dari segi politik adalah orang-orang yang sama, yaitu warganegara-warganegara
yang sama dari sebuah negara.
-‐ Masalah yang kemudian muncul: transformasi demokrasi kedua yang berbentuk
negara-bangsa ini tidak dapat lagi memberikan tempat yang layak kepada
gagasan-gagasan demokrasi yang diidamkan Dahl, (Equality, liberty in a large
scale community), yang memunculkan gagasan poliarchy democracy.
3.2 Perkembangan Gagasan Poliarki dan Demokrasi Pluralisme 14 Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Jilid I, [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hlm. xxx 15 Ibid. Hlm. xxxi
11
Poliarki memang baru berkembang pesat di penghujung abad ke-20, namun
gagasan poliarki sudah dikemukakan Dahl jauh sebelumnya, pertama kali diperkenalkan
oleh Dahl dalam buku yang berjudul Politic, Economic, and Welfare (PEW) yang terbit
pada tahun 1953. Pada buku ini poliarki merupakan salah satu dari empat mekanisme
kontrol, dimana tiga yang lainnya adalah market pricing, bergaining, dan hierarchy.16
Pada buku tersebut disebutkan Poliarki sebagai mekanisme kontrol17, poliarki
diartikan tidak adanya penghalang yang sewenang-wenang terhadap partisipasi politik
dan orang-orang harus berpartisipasi dalam proses pemerintahan sehingga dengan
demikiran terdapat upaya melembagakan bentuk kompetisi di antara para pemimpin
untuk memperoleh dukungan dari masyarakat atau dalam sumber aslinya disebut sebagai
golongan non-leaders.18
Polyarchy as Political Sytem: Dahl’s Most Influential Theory on Democracy
Pluralism
Konsep poliarki mengalami perkembangan makna pada tahun 1971 bertepatan
ketika Dahl menerbitkan sebuah buku yang berjudul ‘Poliarchy, Participation and
Opposition: (PPO)’, yang mana secara komprehensif atau bisa dikatakan karya yang
menjelaskan poliarki lebih spesifik dan mudah. Robert Dahl menggunakan istilah
“poliarki” (poliarchy) untuk menyebut demokrasi, bagi Dahl ciri khas demokrasi adalah
sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga
negaranya.
Di dalam PPO Dahl melakukan penyederhanaan konsepsi tentang poliarki yang
dapat dipahami dalam dua dimensi utama yaitu; kontestasi/oposisi dan
16 Robert A. Dahl, “Poliarchy, Pluralism, and Scale,” dalam Scandinavian Political Studies, Vol. 7 – New Series – No. 4, 1984, hlm. 227. (Dikutip dari Firadus Ali Firmansyah, Gagasan Demokrasi Porsedural Robert Alan Dahl. Universitas Brawijaya, 2015) 17 Namun konsep Poliarki yang demikian menuai banyak kritik dari Ilmuwan politik lainnya, khususnya dalam aspek inti poliarki itu sendiri dan 6 (enam) jaminan institutionalnya yang tercantum di dalam PEW. Hal ini merujuk kepada pernyataan Muhll, yang mengatakan bahwa PEW masih memiliki kecacatan konseptual, dimana masih terdapat pengaruh teori ekonomi di dalamnya sehingga tidak dapat sepenuhnya menjadi konsep dalam menjelaskan rezim politik. 18 Robert A. Dahl, “Poliarchy, Pluralism, and Scale,” dalam Scandinavian Political Studies, Vol. 7 – New Series – No. 4, 1984, hlm. 227. (Dikutip dari Firadus Ali Firmansyah, Gagasan Demokrasi Porsedural Robert Alan Dahl. Universitas Brawijaya, 2015)
12
partisipasi/inklusifitas.19 Penekanan atas dua dimensi tersebut dimaksudkan untuk melihat
bagaimana demokrasi bekerja dalam satu Negara dapat dilakukan dengan mengacu
kepada dua ukuran minimal tersebut:
1. Kontestasi/Oposisi; Makna kontestasi di sini sebagai secara relatif
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap oposisi (right to oppose)20 terhadap
tingkah laku pemerintahan. Seberapa tinggi tingkat liberalisasi dalam
kontestasi atau kompetisi yang memungkinkan hadirnya oposisi (opposition).
Liberalisasi dimensi ini didefinisikan dengan persaingan yang terorganisir
melalui pemilu yang teratur, bebas dan adil.
2. Partisipasi; Sedangkan dimensi partisipasi (right to participate)21 dengan
melihat seberapa banyak warganegara yang memperoleh kesempatan
berpartisipasi dalam kompetisi politik (Inclusiveness), keterlibatan dalam
seluruh proses pemerintahan, termasuk mempengaruhi proses tersebut.22
Contoh; adanya hak bagi semua orang dewasa (memenuhi prasyarat sebagai
voters) untuk memilih dalam pemilu dan dalam berkompetisi di ruang
perpolitikan Negara.
Kemudian perkembangan teori poliarkinya pada karya-karya berikutnya yaitu On
Democracy (OD) dan On Political Equality (OPE). Dimana Dahl mengajukan lima
kriteria—apa yang banyak disebut oleh ilmuwan politik sebagai lima kriteria/nilai intrisik
demokrasi prosedural—partisipasi efektif, kesetaraan politik, pemahaman yang
tercerahkan, pengawasan terhadap agenda, dan inklusifitas—,untuk prasyarat
mendemokratiskan poliarki, dimana kelima kriteria ini berhubungan dengan jaminan
yang dilembagakan oleh 7 insitusi sebagai prasyarat Poliarki, 23 yaitu: (1) Para Pejabat
yang dipilih, (2) Pemilihan umum yang bebas dan adil, (3)Hak suara yang inklusif,
(4)Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, (5)Kebebasan menyatakan pendapat,
19 Robert A. Dahl, Polyarchy: Opposition and Participation, New Haven and London: Yale University Press, 1971, hlm. 1. 20 Ibid. 21 Robert A. Dahl, Polyarchy: Opposition and Participation, New Haven and London: Yale University Press, 1971, hlm. 1-‐5 22 ibid 23 Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II, Transformasi Demokrasi Kedua: Negara-‐Kota ke Negara-‐Bangsa, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hal. 17
13
(6)Informasi alternative, (7)Otonomis asosiasional, kendati satu negara memenuhi semua
persyaratan diatas ini sesuai pengakuannya dalam PPO, poliarki bukanlah rezim yang
sepenuhnya demokratis tapi rezim yang berjalan ke arah demokratis.24
Memasuki era kontemporer Dahl melanjutkan perkembangan teori poliarkinya
pada buku Democracy and Its Critics dan Polyarchy, Pluralism and Scale. Pada buku ini
poliarki dipahami sebagai salah satu dampak adanya pergeseran fokus dan lokus
demokrasi baik secara teori maupun praktik dari city-state menjadi nation-state atau dari
small-scale democracy menjadi large-scale democracy.25
Kemudian, mengutip ungkapan Dahl dalam bukunya Polyarchy, Pluralism & Scale, di
halaman 13, ia menyiratkan bahwa:
“Perubahan skala dan akibat-akibat yang ditimbulkan dalam transformasi demokrasi tahap II, adanya pemerintahan perwakilan, keanekaragaman yang lebih
banyak, bertambahnya pertentangan dan konflik, membantu membentuk pengembangan serangkaian lembaga politik yang secara keseluruhan membedakan demokrasi
perwakilan modern dari semua sistem politik yang lain. Sistem politik jenis ini yang dinamakan poliarki.”26
Untuk memperjelas hubungan Demokrasi pluralisme dengan Poliarki dijelaskan
Dahl, dalam bukunya yang bertajuk Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs.
Control, satu paragprah di halaman 4 dahl menjelaskan makna poliarki dalam model
demokarasi pluralisme;
…..‘In the expressions democratic pluralism and pluralist democracy, the term democracy may refer either to an ideal or to a specific type of actual regime.
Historically, the term democracy has been applied to two specific types of actual regimes, the second regime can be understood as an attempt to democratize large-scale
governments where its relatively democratized nation-states (countries), which may also be called polyarchy.27
24 ibid. 25 Robert A. Dahl, Polyarhcy, op. cit., hlm. 2-‐3. 26 Bersama-‐sama dengan istilah-‐istilah seperti demokrasi modern, demokrasi perwakilan modern, negara-‐negara demokrasi dan seterusnya. Istilah ‘poliarki’ itu dimaksudkan untuk menekankan kekhasan lembaga-‐lembaganya. Asal-‐usul istilah itu secara pendek telah dibicarakan dalam Dahl (1984, 227-‐228, 289), Robert A. Dahl. Polyarchy, Pluralism and Scale,” Scandinavian Political Studies 7, no.4 (1984): 225-‐240 (Rokkan Memorial Lecture, Bergen, May 16, 1984). Diambil dari Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Jilid Ii, [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hlm.13 27 Robert A. Dahl. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control. �New Haven and London: Yale University Press, 1983. Pp.4
14
Kutipan diatas merujuk kepada konsepsi Robert Dahl dalam menjelaskan
estimologi istilah demokrasi pluralism, Dahl mendefinisikan demokrasi pluralism dengan
distingsi dalam penggunaan istilah demokrasi dan pluralisme. Istilah demokrasi merujuk
secara spesifik kepada satu tipe rezim pemerintahan yang ideal, berdasarkan sejarah
istilah demokrasi ditujukan kepada dua bentuk spesifik rezim pemerintahan, dimana
bentuk rezim kedua merupakan pemerintahan demokrasi dalam skala luas, demokratisasi
dalam wilayah nation-states.—bentuk rezim ini juga dapat disebut dengan istilah
‘polyarchy’.28
Poliarki dan MDM
Poliarki tumbuh dengan baik di masyarakat majemuk yang dinamis dan modern
(MDM)29, menurur sejarah poliarki erat sekali hubungannya dengan suatu masyarakat
yang ditandai oleh sejumlah ciri khas yang saling berhubungan: pendapatan dan kekayaan
perkapita yang relatif tinggi tingkatnya, pertumbuhan yang berlangsung lama dalam
pendapatan dan kekayaan perkapita, tingkat urbanisasi yang tinggi, penduduk pertanian
yang cepat berkurang atau relatif kecil. Secara ringkas dua watak umum MDM ialah; (1)
Suatu Masyarakat yang membagikan kekuasaan, pengaruh, wewenang dan pengawasan
sehingga tidak terpusat dan terbagi pada bermacam-macam pribadi, kelompok,
perkumpulan dan organisasi.30 dan (2) masyarakat MDM menggalakan sikap dan
kepercayaan yang menguntungkan gagasan-gagasan demokrasi. Meskipun kedua watak
ini tumbuh secara mandiri, keduanya itu saling memperkuat.31
28 Dahl, Robert Alan. 1982. Dilemmas of Pluralist Democracy Autonomy vs. Control. �New Haven and London Yale University Press. Hlm.4 29 Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II, Transformasi Demokrasi Kedua: Negara-‐Kota ke Negara-‐Bangsa, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hal. 62-‐65 30 ibid. 31 Vanhanen(1984) betul-‐betul menekankan yang pertama: “demokrasi akan timbul di dalam situasi dimana sumber-‐sumber kekuasaan telah terbagi demikian meluasnya, sehingga tidak ada lagi kelompok yang mampu menekan pihak-‐pihak yang menyainginya atau mempertahankan hegemoninya” (18). Tetapi dmeokrasi sama sekali tidak memberikan kemandirian kepada faktor yang kedua dan tampaknya percaya bahwa hal itu hanya merupakan hasil dari yang pertama.
15
III. ANALISA: Implementasi Demokrasi Pluralism di Indonesia & Proses Poliarki
Democracy Pluralism; The Logic of equality on Indonesia democracy
Dalam menjawab pertanyaan penelitian nomor. 2 dan 3 untuk melihat indikator-
indikator dalam mengukur pelaksanaan Demokrasi Pluralisme dan Poliarki di Indonesia,
penulis melakukan analisanya dengan menekankan dimensi asas ganda poliarki, yaitu
adanya oposisi/konstetasi dan iklusivitas/partisipasi, sebagaimana terefleksikan di
penyelenggaraan demokrasi di Indonesia pada masa demokrasi parlementer dan era
reformasi.
Praktik kontestasi/oposisi tinggi antara parpol-parpol yang terbentuk dan adanya
inclusivitas kelas dalam partisipasi masyarakat di koridor perpolitikan sebagai Negara
Demokrasi. Dalam kondisi masyarakat dengan heterogenitas yang tinggi seperti di
Indonesia prinsip majority rule memang ditakutkan akan menjadi tirani kelompok besar
terhadap golongan minoritas.32
Kebijaksanaan dalam menampung prinsip – prinsip lain seperti penegakan hukum
dan akuntabilitas, pemisahan kekuasaan, kebebasan pers dan kebebasan individu.
Permusyawaratan harus pula diartikan sebagai pentingnya kehadiran kelompok oposisi
yang diakui dan dihormati sebagai check and balance, sekaligus mengakomodasikan
prinsip berbagi dan turut serta dalam kekuasaan atau sharing and participation in power
on democracy system.
Coalition as Opposition: Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat
Oposisi dapat diartikan secara umum dalam konteks Indonesia, terefleksikan
melalui mekanisme check and balances antara Badan Eksekutif (Presiden dan
adminsitrasi-nya), Badan Legislatif (DPR) dan Badan Yudikatif (MK). Lebih lanjut, di
dalam kompetisi politik negara demokrasi juga harus membuka peluang bagi mereka
yang disebut sebagai oposisi, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menempatkan
diri sebagai oposan dalam struktur kelembagaan politik. Menurut Dahl, keberadaan
32 Namun kembali lagi kepada prinsip utama dalam berdemokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, sehingga sistem pemilihan langsung mencerminkan prinsip ini, dengan memberikan kuasa kepada rakyat untuk memilih perwakilannya di DPR, kuasa rakyat dalam memilih perwakilannya merupakan refleksi dari dimensi nomor 2 yaitu partisipasi/inclusivitas.
16
oposisi adalah merupakan syarat terbentuknya sebuah negara demokrasi yang lebih baik
sekaligus sebagai salah satu ciri sebuah negara demokrasi. 33
Koalisi Merah Putih (KMP) untuk mengawasi KIH (Koalisi Indonesia Hebat),
dimaksudkan agar KIH dapat menjalankan janji-janjinya dan menjadi kontrol atas
legislatif, oposisi dalam badan legislatif ini merupakan cerminan atas equality on
democracy; seperti yang terjadi di AS, congress kuat dalam melakukan kontrol
pengawasan terhadap presiden. Hal ini menunjukkan pentingnya kehadiran kelompok
oposisi yang diakui legitimasinya dan memiliki fungsi dalam check and balance,
sekaligus mengakomodasikan kepentingan konstituennya dan turut serta dalam
kekuasaan atau sharing and participation in legislative body on democracy system.
“Democracy means ‘government by the people’. In large political systems, such as contemporary states, democracy must be achieved largely though indirect participation
in policymaking. Elections, competitive political parties, free mass media and representatives’ assemblies are political structures that make some degree of democracy. Some degree of ‘government by the people.” Possible at the level of the nation-state, this indirect democracy is not completed or ideal. But the more citizens are involved and the
more influential their choices, the more democratic system.”34
‘Participation’: Inclusivitas
Menurut Dahl yang demokrasi yang sempurna tidak akan tercapai, diperlukan
partisipasi efektif dalam persamaan suara (The Logic of equality On Democracy), untuk
menciptakan adanya kontrol/pengawasan agenda bersama.35 Tatanan politik yang akan
mampu memenuhi preferensi warga masyarakat adalah tatanan politik yang memainkan
peran-peran politik signifikan, yaitu tatanan politik yang memberikan peluang bagi
masyarakat untuk mengikuti proses-proses demokratisasi yang berlangsung.
Dimensi partisipasi melihat seberapa banyak rakyat yang diberikan
hak/kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kompetisi politik (Inclusiveness),
33 Robert A. Dahl, Polyarchy: Opposition and Participation, New Haven and London: Yale University Press, 1971, hlm. 1-‐5 34 Gabriel A. Almond, G. Bingham Powell, JR. Political Structure and Political Recruitment—Democratic and Authoritarian Political Structure. [USA: HarperCollins Publishers Inc., 1996], Pp. 55 35 Robert A. Dahl, Polyarchy: Opposition and Participation, New Haven and London: Yale University Press, 1971, hlm. 1-‐5
17
keterlibatan dalam proses pemerintahan, mempengaruhi kebijakan, melalui 7 institusi
yang prasyarat poliarki, yaitu:36
1. Para Pejabat yang dipilih
2. Pemilihan umum yang bebas dan adil
3. Hak suara yang inklusif
4. Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan
5. Kebebasan menyatakan pendapat
6. Informasi alternatif
7. Otonomis asosiasional
Melalui indikator-indikator ini dapat dilihat bahwa Indonesia memenuhi
keberadaan 7 indikator sistem poliarki, misalnya dalam Indikator no.7 yang menunjukan
eksistensi lembaga otonom dalam sistem yang demokratis, dimana masyarakat Indonesia
era reformasi memiliki jaminan untuk membentuk dan bergabung pada organisasi,
termasuk partai politik, LSM, asosiasi-asosiasi dan kelompok kepentingan.
Indikator no.5 dimana Negara menjamin kebebasan warganya dalam
menyuarakan pendapat, mengeluarkan aspirasi-aspirasinya, dan apabila ada kesamaan
ideologi dan kepentingan-kepentingan untuk tujuan mencapai kesejahteraan bersama
yang terakumulasi sehingga kemudian membentuk institusi-institusi (indikator no.7) yang
secara substansial memiliki legitimasi dan dapat menjadi alat mediasi kepada pemerintah
untuk mendorong kepentingan-kepentingan mereka melalui perwakilan-
perwakilan(indikator no.2) yang dipilih secara demokratis (indikator no.1).
Uraian diatas memperlihatkan bahwa pelaksanaan demokrasi pluralisme berjalan
dengan baik di Indonesia, penekanan pada equality terefleksikan dalam praktik-praktik
demokrasi yang dijalankan. Namun untuk mengukur tumbuh dan berkembangnya
poliarki di Indonesia, dibutuhkan beberapa persyaratan khusus yang terkait dengan MDM
MDP, yang akan diuraikan lebih details di pembahasan selanjutnya.
36 Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II, Transformasi Demokrasi Kedua: Negara-Kota ke Negara-Bangsa, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hal. 17
18
Pernahkah Poliarki Tumbuh di Indonesia?
Poliarki demokrasi dikatakan hanya sempat dialami oleh Indonesia pada masa
demokrasi parlementer37,—dimana Indonesia sebagai negara baru mengawali
kemerdekaannya dengan menyusun sistem pemerintahannya berisikan lembaga-lembaga
politik yang demokratis, yang memenuhi persyaratan 7 lembaga poliarki dan mencakup
dua dimensi poliarki; partisipasi yang luas dan adanya oposisi.
Periode setelahnya sampai di era reformasi saat ini Indonesia masih dalam proses
menuju demokrasi konsolidasi (apabila ada goncangan-goncangan demokrasi, dikatakan
bisa mengalami arus balik)38. Berangkat dari fakta bahwa poliarki seringkali gagal di
Negara yang secara budaya terpecah-pecah, sehingga umumnya poliarki kecil
kemungkinannya dan sudah pasti jarang berhasil di negara-negara dunia ketiga yang
memiliki berbagai sub-kultur relatif kuat,39 kendati tatanan demokrasi konsosional yang
kemudian diterapkan di Indonesia dinilai berhasil dalam menanggulangi perpecahan
potensial dari pluralisme yang merupakan bagian dari karakter Indonesia yang majemuk.
Namun, dalam konteks Indonesia tidak hanya ancaman konflik sub-kultur yang
menjadi penghambat terciptanya demokrasi poliarki, pertimbangan utama lainnya lebih
kepada kondisi-kondisi prasyarat menguntungkan yang masih belum dimiliki oleh
Indonesia, seperti dikatakan bahwa poliarki dapat tumbuh dengan baik di Masyarakat
Majemuk Modern (MDM) yang terkait erat dengan Negara Demokrasi Modern (MDP).
Dimana pada kenyataanya persyaratan-persyaratan sebagai MDM tidak terpenuhi oleh
Indonesia, dimana kesejahteraan masyarakat relatif rendah, pendapatan perkapita kecil,
pertanian masih lebih maju daripada bidang industry, masih banyaknya dinasti politik
dalam hal pemusatan kekuasaan, oligarki partai politik, terbatasnya kesempatan bagi
individu berkompeten yang mau berkompetisi dalam ranah politk nasional diakibatkan
ketiadaan dana.
37 Berakhirnya PDII, jumlah negara yang diperintah oleh poliarki—dengan kaum wanita termasuk ke dalam demos, negara-negara itu sekarang telah menjadi poliarki penuh (MDM). Runtuhnya Kolonialisme secara masif, jumlah negara yang mendeklarasikan kemerdekaanya juga mengalami peningkatan, negara-negara baru tersebut secara spesifik memulai kemerdekaannya dengan menyusung perangkat penuh lembaga-lembaga politik yang demokratis (lembaga poliarki) 38 Arus balik Demokrasi 39 Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II, Mengapa Poliarki Berkembang di Beberapa Negara?, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hal. 77
19
Walaupun aspek dimensi partisipasi dan oposisi terpenuhi, begitupula 7 sistem
institusi indikator lembaga poliarki tercermin dalam praktik-praktik demokrasi di
Indonesia, namun tantangan utama dalam proses Indonesia menuju Demokrasi Poliarki
merupakan suatu permasalahan penting bagi pembangunan nasional jangka panjang.
Kemudian, dalam konteks hubungan poliarki dengan pluralisme sub-kultur
Indonesia adalah rumit, diperkuat oleh analisis Dahl yang menyatakan dimana pluralisme
sub-kultur yang lebih kerap ditemui di negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya
setelah tahun 1945,40 dank arena itu telah mengalami trauma proses pembentukan bangsa,
dan juga tingkat perkembangan ekonominya lebih rendah. Hal ini merupakan bagian
sejarah dari dibentuknya Indonesia sehingga penulis berasumsi bahwa dibutuhkan
periode yang cukup lama bagi Indonesia untuk dapat memenuhi segala persyaratan
demokrasi poliarki.
Kendati demikian, upaya-upaya yang terus-menerus dilakukan oleh seluruh
masyarakat ataupun apparatus negara menjadi faktor penting dalam proses Konsolidasi
Demokrasi, menuju pencapaian cita-cita sebagai Indonesia sebagai Negara Demokrasi
Modern. Prospek-prospek bagi Indonesia menjadi negara MDP dapat diperkuat apabila
sarana/tingkat kekerasan/kriminalitas domestic dapat diminamilisirkan, koherensi
masyarakat majemuk yang dinamis dan modern (MDM), para pemimpin negara harus
dapat memformulasikan suatu tatanan konsosiasional untuk meredam konflik-konflik
sub-kultur, dan tidak ada intervensi dari pihak luar yaitu negara non-demokratis. Dengan
tujuan akhir tercapainya cita-cita bangsa, sebagai bagian dari negara demokrasi modern
dengan Masyarakat Majemuk yang dinamis dan Modern, menjadi tempat strategis untuk
Poliarki dapat tumbuh dan berkembang.
40 Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II, Mengapa Poliarki Berkembang di Beberapa Negara?, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Hal. 70
20
KESIMPULAN
In the words of Abraham Lincoln, “Democracy is a government of the people, by
the people and for the people.”41 Dari pernyataan Lincoln tersebut dapat kita pahami
bagaimana penekanan kepentingan suatu negara terpusat kepada rakyat (the people),
sehingga nilai-nilai ideal yang dijunjung tinggi dalam demokrasi (ideologi ataupun
bentuk pemerintahan) menjadi harapan bagi rakyat agar negara dapat merealisasikan
nilai-nilai tersebut kedalam aspek-aspek politik kehidupan bernegara; rakyat merasakan
cara hidup yang demokratis di dalam negara yang berasaskan demokrasi.
Meskipun prinsip demokrasi berlaku universal, dalam penerapan dan ekspresinya
sangat bergantung pada kondisi riil sebuah negara dan bangsa. Kualitasnya tidaklah sama
karena sangat bergantung pada mutu kehidupan setiap bangsa, democracy can be
independently invented and reinvented whenever the appropriate conditions exist. Perlu
diakui pula, proses demokratisasi tidaklah sekali jadi, tetapi memakan waktu yang cukup
lama dengan berbagai kompleksitas di dalamnya. Demokrasi di berbagai negara tidak
jarang mengalami kemunduran dalam prosesnya, perkembaangan dan dinamikanya
berbeda-beda setiap negara. Yang mana sangat bergantung pada budaya, tingkat
kemajuan sosial ekonomi dan politik di negara tersebut.
Secara intelektualitas, logika, dan nalar Dahl mengembangkan teori dan
melakukan riset empiris demokrasi sangat dipengaruhi oleh pendekatan behavioral
khususnya dalam perbandingan politik yang pada saat itu di Amerika Serikat khususnya
pada kurun waktu 1950an dan 1960an mencapai masa kejayaan. Demokrasi pluralism
41 Robert K. Carr, Marver H. Bernstein, Donald H. Morrison, Richard C. Snyder and Joseph E. McLean. 1961. American Democracy in Theory and Practice—National, State and Local Government: Governing a democracy. p.26. Holt, Rinehart and Winston; New York.
21
memang relevan dengan heterogenitas politik, masyarakat dan budaya di Indonesia.
sehingga, kedudukan sentral demokrasi pluralisme dalam penyelenggaraan pemerintahan
bisa dikatakan sebagai penegas adanya upaya pemerintah untuk mengakomodir
kemajemukan unsur-unsur tersebut.
Demokrasi memang bukan yang terbaik tetapi dikatakan cenderung mendekati
terbaik, sehingga wajar apabila Dahl mengatakan demokrasi itu kabur dan akan masih
terus berkembang mengikuti zaman. Tetapi memang yang didambakan oleh rakyat
modern ialah demokrasi, karena hanya dalam sistem yang demokratik rakyat memiliki
hak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Sehingga model poliarki dinilai Dahl
memiliki sarana-sarana yang akan memungkinkannya untuk mendekati kesempurnaan
pada demokrasi.
“Some of the Expansion of Democracy – Perhaps a good deal of it –can be accounted for mainly by the diffusion of democratic ideas and practices, but diffusion cant provide the whole explanation. It seems to have been invented more than once, and in more than one
place. If the conditions for inventing democracy where favorable in one place at one time, why not in other places and times?” –Robert A. Dahl, On Democracy
22
DAFTAR PUSTAKA
[Book]
Robert K. Carr, Marver H. Bernstein, Donald H. Morrison, Richard C. Snyder and Joseph E. McLean. 1961. American Democracy in Theory and Practice—National, State and Local Government: Governing a democracy. Holt, Rinehart and Winston; New York. Dahl, Robert Alan. 1982. Dilemmas of Pluralist Democracy Autonomy vs. Control. New Haven and London Yale University Press. Robert A. Dahl, 1989. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II, Transformasi Demokrasi Kedua: Negara-Kota ke Negara-Bangsa, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. [Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992]. Carlton Clymer Rodee, Carl Quimby Christol, Totton James Anderson, Thomas H. Greene. 1988 Introduction to political science. Padmo Wahjono, Nazaruddin Syamsuddin. Pengantar Ilmu Politik—Karakteristik demokrasi yang stabil. [PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000] Henry Mayer. English Political Pluralism: The Problem Of Freedom and Organization. Robert A. Dahl. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control. New Haven and London: Yale University Press, 1983. Rod Hague and Martin Harrop. 2004. Comparative Government and Politics, An Introduction—Chapter 3, Democracy. [New York: PALGRAVE MACMILLAN]. Pp. 36 Robert A. Dahl, “Poliarchy, Pluralism, and Scale,” dalam Scandinavian Political Studies, Vol. 7 – New Series – No. 4, 1984, hlm. 227. (Dikutip dari Firadus Ali Firmansyah, Gagasan Demokrasi Porsedural Robert Alan Dahl. Universitas Brawijaya, 2015) Gabriel A. Almond, G. Bingham Powell, JR. Political Structure and Political Recruitment—Democratic and Authoritarian Political Structure. [USA: HarperCollins Publishers Inc., 1996], Pp. 55 Robert A. Dahl, Polyarchy: Opposition and Participation, New Haven and London: Yale University Press, 1971 Robert A. Dahl, “Poliarchy, Pluralism, and Scale,” dalam Scandinavian Political Studies, Vol. 7 – New Series – No. 4, 1984, hlm. 227. (Dikutip dari Firadus Ali Firmansyah, Gagasan Demokrasi Porsedural Robert Alan Dahl. Universitas Brawijaya, 2015)