21
PASTEURIZATION OF FRESH BOVINE MILK Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pilihan II (Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Makanan) Disusun Oleh : 1. Febrian Murvianto (21030110120004) 2. Tito Setiawan Nugroho (21030110120059) JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013

PASTEURIZATION OF FRESH BOVINE MILK

Embed Size (px)

Citation preview

PASTEURIZATION OF FRESH BOVINE MILK

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pilihan II

(Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Makanan)

Disusun Oleh :

1. Febrian Murvianto (21030110120004)

2. Tito Setiawan Nugroho (21030110120059)

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2013

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2. Tujuan ....................................................................................................... 2

1.3. Manfaat ..................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3

2.1. Susu Sapi Perah ........................................................................................ 3

2.2. Mikroorganisme dalam Susu Sapi ............................................................ 5

2.3. Pasteurisasi susu sapi ................................................................................ 7

2.3.1. In-package pasteurization (packed) ...................................................... 9

2.3.2. Pasteurization prior to packaging (unpacked) ...................................... 9

2.3.3. Batch pasteurization (low temperature & long-time process) ............ 10

2.3.4. Continuous pasteurization (high temperature & short-time process). 10

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ............................................................. 11

3.1. Bahan ...................................................................................................... 11

3.2. Alat ......................................................................................................... 11

3.3. Variabel Operasi ..................................................................................... 11

3.4. Rancangan Percobaan ............................................................................. 11

3.5. Prosedur Percobaan ................................................................................ 12

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 13

4.1. Hasil Percobaan ...................................................................................... 13

4.2. Pembahasan ........................................................................................... 134

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 137

5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 137

5.2. Saran ..................................................................................................... 137

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 188

LAMPIRAN ..............................................................................................................

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Susu merupakan suatu emulsi lemak dalam air yang mengandung beberapa

senyawa terlarut. Agar lemak dan air dalam susu tidak mudah terpisah, maka

protein susu bertindak sebagai emulsifier (zat pengemulsi). Kandungan air di

dalam susu sangat tinggi, yaitu sekitar 87,1%, dengan kandungan gula susu

(laktosa) sekitar 5%, protein sekitar 3,3%, mineral 0,7% dan lemak sekitar 3,9%

(Wong et al. 1966). Susu juga merupakan sumber kalsium, enzim (yaitu

Lactoperoxidase dan Acid phosphatase), fosfor, vitamin A, C serta komponen lain

yang sangat baik (Swaisgood, 1996). Mutu protein susu sepadan nilainya dengan

protein daging dan telur, dan terutama sangat kaya akan lisin, yaitu salah satu

asam amino esensial yang sangat dibutuhkan tubuh.

Konsumsi kebanyakan di masyarakat adalah susu segar yang berasal dari

sapi. Namun, karakteristik susu sapi segar ini adalah sangat mudah rusak. Susu

sapi segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, sehingga bukan

saja bermanfaat bagi manusia tetapi juga bagi jasad renik pembusuk. Kontaminasi

bakteri mampu berkembang dengan cepat sekali sehingga susu menjadi rusak dan

tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk memperpanjang daya guna, daya tahan

simpan, serta untuk meningkatkan nilai ekonomi susu, maka diperlukan teknik

penanganan dan pengolahan. Salah satu upaya pengolahan susu yang sangat

prospektif adalah dengan cara pasteurisasi susu.

Metode pasteurisasi susu ini diperkenalkan oleh Louis Pasteur pada tahun

1860 dan 1870. Saat itu, metode pengolahannya dengan menggunakan pemanasan

dengan suhu rendah (50-60oC) untuk menghilangkan organisme kontaminan

dalam susu. Secara umum pasteurisasi dapat bertujuan untuk mematikan mikroba

pathogen (penyebab sakit) yang ada didalam susu, sehingga susu menjadi aman

untuk dikonsumsi. Beberapa jenis mikroba pathogen yang sering dijumpai dalam

susu adalah Mycobacterium tubercolusis penyebab sakit tuberkulosis (TBC),

Salmonella dan Shigella sp. penyebab sakit saluran pencernaan. Selain itu,

2

pasteurisasi juga mengurangi kerusakan enzim dalam susu, sehingga dapat

meningkatkan dan menjaga kualitas susu.

Banyak kemungkinan kombinasi suhu dan waktu pemanasan yang dapat

diterapkan untuk pasteurisasi susu. Secara umum berdasarkan suhu dan waktu

yang digunakan, dikenal ada dua metode pasteurisasi susu yaitu :

(1) Pasteurisasi susu dengan suhu rendah dan waktu pemanasan lama atau

metode LTLT (Low Temperature Long Time), yaitu sekurangnya pada suhu

63oC selama 30 menit. Metode yang disebut juga holding method ini biasanya

diterapkan untuk skala industri kecil.

(2) Pasteurisasi dengan suhu tinggi dan waktu cepat atau metode HTST (High

Temperature Short Time), yaitu sekurangnya pada suhu 72oC selama 15 detik.

Metode ini sering disebut juga flash method yang memerlukan peralatan

khsus yang relative kompleks, tetapi dapat dioperasikan secara kontinyu

dengan kapasitas besar. Oleh sebab itu, metode HTST banyak digunakan di

industri pengolahan susu berskala besar.

Pilihan metode pasteurisasi merupakan hal yang cukup prospektif. Oleh

karena itu, didalam makalah ini digunakan metode LTLT, dimana prosesnya

sederhana dan dapat diterapkan pada berbagai skala usaha. Selain itu, makalah

juga akan membandingkan beberapa perlakuan yang berbeda setelah pasteurisasi

untuk melihat ketahanan susu sapi melalui bau atau aroma.

1.2. Tujuan

1. Mengetahui alternative metode pengawetan susu sapi segar.

2. Membandingkan ketahanan susu sapi melalui aroma atau bau dari

beberapa perlakuan yang diberikan.

1.3. Manfaat

1. Dapat meningkatkan nilai ekonomis dan kualitas susu sapi segar.

2. Dapat mengetahui metode yang tepat untuk mempertahankan kualitas

susu sapi.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Susu Sapi Perah

Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang

dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan

(Hadiwiyoto, S., 1983). Pada zaman 9000 tahun sebelum masehi sususapi

digunakan untuk makanan, persembahan, korban, kosmetika dan obat di

AmerikaSerikat. Masyarakat India menghasilkan mentega untuk keperluan

pangan dan persembahan suci sejak 2000 tahun sebelum masehi, sedangkan di

Mesir, masyarakat telah memanfaatkan susu, keju dan mentega sejak 3000 tahun

sebelum Masehi (Blakely, J dan David, H.B.,1991).

Sekarang, susu sapi perah merupakan merupakan minuman bergizi yang

telah lama dikonsumsi manusia karena rasanya yang lezat dan kandungan gizinya

yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia.

Tabel 2.1 Komposisi Susu Sapi

Komponen Konsentrasi rata-rata (%)

Total Solid 13,4

Lemak 4,1

Protein 3,6

Laktosa 5

Abu 0,7

Sumber : (Swaisgood, 1996)

Di Indonesia, susu sapi perah dihasilkan dari peternak susu sapi. Susu sapi

ini diperah dari sapi yang sehat dan kemudian susu sapi perah ini bisa langsung

dijual atau dikirim ke industri pengolahan susu untuk diproses lebih lanjut.

Gambar 2.1. Susu sapi perah tradisional

4

Susu sapi perah ini juga dapat digunakan sebagai bahan mentah untuk

diolah menjadi beberapa produk turunan susu sesuai dengan skema gambar di

bawah ini.

Gambar 2.2. Pohon industri Susu

Sumber : (Goff & Sahagian, 1996)

Karena susu sapi merupakan bahan mentah yang akan diproses menjadi

produk, maka kualitas susu sangat penting untuk diperhatikan. Karakteristik susu

sapi perah mentah ini meliputi komposisi dan kontaminasi mikroba yang

nantinya akan berpengaruh secara langsung terhadap kualitas susu dan ketahanan

susu. Pada umumnya kualitas susu sapi juga dipengaruhi oleh kesehatan sapi,

5

fasilitas penunjang pemerahan sapi (kebersihan kandang, peralatan pemerah,dll)

serta sistem sanitasi yang bersih.

Sesuai dengan standar The Food and Drug Administration’s Pasteurized

Milk Ordinance (PMO) Susu sapi Grade A memiliki cemaran mikroorganisme

tidak boleh lebih dari 100.000 cfu/ml (PMO, 2001).

2.2. Mikroorganisme dalam Susu Sapi

Susu merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan

mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme tersebut ditunjang oleh susu

yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi serta susu memiliki pH yang

relatif netral (pH 6.4 - 6.6).

Tabel 2.2. Bakteri berdasarkan kondisi suhu tumbuhnya

Group Growth Temperature (

oC)

Minimum Optimum Maximum

Thermophiles 34 –to 45 55 to 75 60 to 90

Mesophiles 5 to 10 30 to 45 35 to 47

Psychotropes -5 to 5 20 to 30 30 to 35

Psychrophiles -5 to 5 12 to 15 15 to 20

Sumber : Food Process Engineering and Technology , 2009

Grafik 2.1. Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan respon terhadap suhu

6

Pada umumnya kontaminasi mikroorganisme / bakteri pada susu sapi

berasal dari faktor internal (sapi itu sendiri), faktor luar (kebersihan kandang) dan

peralatan yang digunakan dalam pemerahan sampai pemrosesan susu sapi.

Tabel 2.3. Perkiraan kontribusi bakteri dalam Susu sapi yang disebabkan oleh

sumber kontaminan

Sumber : (Walstra, et al. 1999).

Beberapa mikroorganisme dapat menyebabkan peradangan pada sapi

(mastitis) dan mikroorganisme tersebut pada akhirnya akan menjadi kontaminan

susu sapi. Beberapa mikroorganisme tersebut diantara lain Staphylococcus aureus,

Escherichia coli, Streptococcus agalactiae, Streptococcus uberis, Pseudomonas

aeruginosa, and Corynebacterium pyogenes. Staphylococcus aureus, Escherichia

coli, Streptococcus agalactiae merupakan bakteri yang berpotensi menjadi bakteri

pathogen bagi manusia (Adams & Moss, 2000). Keberadaan bakteri pathogen

dalam susu dapat menyebabkan infeksi dan penyakit bagi manusia yang

mengkonsumsinya. Selain mikroorganisme / bakteri tersebut menyebabkan

penyakit, mikroorganisme tersebut juga dapat menyebabkan rusaknya kualitas

susu. Kualitas susu yang rusak ini dapat dilihat dari adanya perubahan

rasa,perubahan warna, dan ketahanan susu yang sangat singkat.

7

Tabel 2.4. Beberapa kerugian yang disebabkan mikroorganisme pada susu sapi

Sumber : (Banwart, 1989; Fields, 1976; Hayes & Boor, 2001)

2.3. Pasteurisasi susu sapi

Aplikasi industri mengenai food preservation dengan menggunakan panas

telah dimulai oleh seorang penemu dari perancis Nicolas Appert (1749–1841)

yang pertama kali mencoba untuk mengawetkan berbagai jenis makanan dalam

waktu yang sangat lama (beberapa jam) dan dilakukan pada wadah tertutup.

Kemudian hubungan antara aktivitas mikroba dan food preservation diteliti lebih

lanjut oleh Louis Pasteur (1822-1895) seorang chemist & biologist yang berasal

dari perancis. Di era 20th

century penelitian mengenai aktifitas mikroba yang

berkaitan dengan pengawetan makanan mulai popular, terutama proses thermal

untuk pengawetan makanan.

Dibedakan secara intensitasnya, pengawetan makanan menggunakan

metode pemanasan ini terbagi menjadi 2 jenis, yaitu

1. Pasteurisasi

8

Proses pemanasan (70-100oC), proses pasteurisasi ini akan mematikan

pertumbuhan sel vegetative mikroba, tetapi tidak berpengaruh terhadap

aktifitas spora.

2. Sterilisasi

Proses pemanasan (≥100oC) yang bertujuan untuk mematikan

pertumbuhan semua mikroorganisme termasuk mikroba.

Pasteurisasi merupakan proses pemanasan yang bertujuan untuk

mematikan segala aktifitas mikroba dan enzim yang sensitif terhadap suhu, proses

tersebut diusahakan seminimal mungkin tidak merubah rasa & kandungan nutrisi

yang terkandung dalam bahan tersebut. Melalui proses pasteurisasi maka aktifitas

mikroorganisme & enzim akan mati, sehingga kerugian (spoilage) akibat

degradasi produk oleh aktifitas mikroorganisme dapat dihindari dan secara

langsung akan meningkatkan kualitas dan nilai jual produk. Tujuan utama dari

proses pasteurisasi ini adalah untuk mematikan berbagai macam aktifitas bakteri

pathogen yang dapat membahayakan konsumer apabila produk tanpa pasteurisasi

dikonsumsi.

Tabel 2.5. Beberapa tujuan proses pasteurisasi pada berbagai macam produk

Sumber : (Handbook of Food Preservation, Rahman, M. Safiur (ed), 2007)

9

Terdapat beberapa macam proses pasteurisasi, berdasarkan kemasan produknya

2.3.1. In-package pasteurization (packed)

Pada In-Package pasteurization process, proses pasteurisasi dilakukan di

dalam kemasan, terutama kemasan botol kaca yang memiliki ketahanan terhadap

suhu (thermal shock) atau kemasan kaleng yang memiliki ketahanan terhadap

korosi. Produk susu yang akan dipasterisasi kemudian dikemas di dalam botol

kaca / kaleng kemudian kemasan tersebut dimasukan ke dalam water bath yang

berisi air panas yang berfungsi sebagai pasteurizer agent.

2.3.2. Pasteurization prior to packaging (unpacked)

Proses pasteurisasi juga dapat berlangsung tanpa kemasan produk, proses

pasteurisasi ini menggunakan alat heat-exchanger atau jacketed- process vessels

dalam proses pasteurisasi. Susu sapi yang akan dipasteurisasi dialirkan /

dimasukan ke dalam heat exchanger / jacketed- process vessel. Di dalam kedua

alat tersebut nantinya akan terjadi proses pemanasan pada temperature dan waktu

tertentu. Steam jenuh dapat digunakan sebagai media pemanas di Heat Exchanger

/ jacketed process vessel. Karena produk yang diolah merupakan produk makanan

maka peralatan yang digunakan haru terbuat dari bahan stainless stell dan steril.

Gambar 2.3. Jacketed Process Vessel Pasteurizer

10

Sedangkan proses pasteurisasi berdasarkan kondisi operasinya terbagi menjadi 2

yaitu :

2.3.3. Batch pasteurization (low temperature & long-time process)

Proses pasteurisasi batch berjalan pada suhu 63oC selama 30 menit. Proses

ini menggunakan sistem batch karena dibutuhkan waktu 30 menit pada proses

pasteurisasinya.

2.3.4. Continuous pasteurization (high temperature & short-time process)

Proses pasteurisasi batch berjalan pada suhu 71,5oC selama 15 detik.

Proses ini menggunakan sistem kontinyu karena dibutuhkan waktu yang singkat

(15 detik) pada proses pasteurisasinya.

11

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Bahan

- Susu sapi segar 300 ml

- Air

- Es batu

3.2. Alat

- Waterbath - Baskom

- Heater - Penyaring

- Termometer - Kulkas

- 3 buah botol kaca

3.3. Variabel Operasi

- Variabel tetap : 1. Suhu pasteurisasi (63oC)

2. Lama waktu pasteurisasi (30 menit)

3. Jenis susu sapi

4. Tekanan operasi (atmosferik 1 atm)

5. Volume susu sapi (@100 ml)

- Variabel berubah : Perlakuan sampel (Botol A = tidak dipasteurisasi,

Botol B = pasteurisasi, Botol C = pasteurisasi +

cooling).

3.4. Rancangan Percobaan

Gambar 3.1. Rancangan Percobaan

Persiapan Alat & Bahan

Sampel B

(Pasteurisasi) Sampel C

(Pasteurisasi-Cooling)

Sampel A (tanpa

Pasteurisasi)

Analisa Aroma

12

3.5. Prosedur Percobaan

1. Siapkan alat dan bahan.

2. Saring susu sapi dari partikel atau padatan pengotor menggunakan

penyaring.

3. Masukkan susu sapi segar kedalam botol kaca A, B, C masing-masing

100 ml.

4. Siapkan waterbath dan masukkan air kedalamnya, kemudian rendam

botol kaca B dan C yang berisi susu (botol tertutup rapat) untuk proses

pasteursasi dan botol yang berisi air untuk kalibrasi (botol terbuka)

dalam waterbath yang telah terisi air pemanas.

5. Setting temperature control pada heater sesuai suhu pasteurisasi (63oC),

masukkan sensor suhu dan termometer kedalam botol yang berisi air

sebagai kalibrasi, lalu rendam koil pemanas dalam waterbath yang

berisi air.

6. Nyalakan heater dan tunggu sampai suhu operasi tercapai (63oC),

kemudian lakukan pasteurisasi selama 30 menit dimulai setelah suhu

operasi tercapai.

7. Setelah selesai operasi pasteurisasi, tiriskan botol yang berisi susu

(botol B dan botol C).

8. Masukkan botol kaca C kedalam baskom yang berisi air dan es batu,

biarkan pendinginan berlangsung. Setelah itu masukkan dalam kulkas.

9. Amati bau dan warna susu sapi dari botol A, B, dan C tiap 12 jam

sehari selama 3 hari.

13

BAB IV

HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Percobaan

Tabel 4.1. Identifikasi aroma susu sapi

Sampel Hari 1 Hari 2 Hari 3

12 jam 24 jam 12 jam 24 jam 12 jam 24 jam

A AN TN TN TN TN TN

B AN AN TN TN TN TN

C AN AN AN AN AN AN

Keterangan : AN = Aroma Normal

TN = Tidak Normal

Tabel 4.2. Identifikasi warna susu sapi

Sampel Hari 1 Hari 2 Hari 3

12 jam 24 jam 12 jam 24 jam 12 jam 24 jam

A PB PK PK PK PK PK

B PB PB-PK PB-PK PB-PK PB-PK PB-PK

C PB PB PB PB PB PB

Keterangan : PB = Putih Bersih

PK = Putih Kekuningan

14

4.2. Pembahasan

Dari hasil eksperimen mengenai pasteurisasi susu sapi menggunakan

metode In-Packed Low Temperature Long Time selama 30 menit pada suhu 63oC

terlihat bahwa terjadi perubahan yang sangat signifikan pada warna dan aroma

susu sapi yang tidak tidak dipasteurisasi. Susu yang tidak dipasteurisasi

mengalami perubahan warna dan aroma setelah 12 jam. Hal tersebut disebabkan

karena adanya aktivitas bakteri dan mikroba yang tumbuh dan berkembang biak

didalam susu sapi.

Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa terjadinya perubahan warna

didalam susu sapi (botol A) yang tidak dipasteurisasi disebabkan oleh beberapa

mikroflora berikut : Pseudomonas syncyanera, P. synxantha, Serratia

marcescens, dan P. fluorescens. Perubahan warna tersebut sangat nampak dari

susu yang pada umumnya berwarna putih bersih hingga menjadi putih

kekuningan. Sedangkan proses terjadinya perubahan aroma pada susu sapi sangat

dimungkinkan akibat tumbuhnya mikroflora berikut : Clostridium, Bacillus,

yeasts, coliform bacteria, heterofermentative lactic, dan propionics.

15

Pada susu yang tidak dipasteurisasi bakteri atau mikroflora dapat tumbuh

dan berkembang biak pada media susu sapi karena susu sapi tersebut tidak

mengalami proses heat-treatment (pasteurisasi). Proses pasteurisasi tersebut

sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri / mikroflora didalam susu sapi.

Dengan adanya pemanasan akan menghambat tumbuhnya bakteri, sehingga susu

sapi yang telah dipasteurisasi menjadi lebih tahan lama seperti perlakuan botol B

dan botol C (telah dipasteurisasi).

Pada botol B (pasteurisasi dan penyimpanan kondisi atmosferik) nampak

bahwa terjadi perubahan warna dan aroma setelah 24 jam sedangkan botol C

(pasteurisasi dan cooling storage) nampak bahwa selama waktu pengamatan 3

hari tidak mengalami perubahan warna dan aroma (normal). Peristiwa tersebut

disebakan oleh perlakuan penyimpanan, dimana botol B disimpan pada suhu ±

30oC dan botol C disimpan dalam kulkas pada suhu ± 5

oC.

Dari grafik diatas nampak bahwa adanya pengaruh suhu penyimpanan dan

waktu terhadap total jumlah bakteri. Pada botol B yang disimpan pada kondisi

atmosferik akan terjadi kenaikan jumlah dan aktvitas bakteri yang lebih cepat

16

dibandingkan botol C yang disimpan dalam kulkas pada suhu ±5oC. Perbedaan

suhu penyimpanan akan sangat berpengaruh pada fase pertumbuhan mikroba,

dimana pada suhu 30OC pertumbuhan bakteri terjadi dalam waktu yang singkat

±12 jam dan bakteri yang dihasilkan pasti lebih banyak daripada bakteri yang

tumbuh pada suhu 5oC. Pada botol C yang disimpan dalam kulkas nampak bahwa

bakteri atau mikroba akan melalui fase lag phase yang lebih lama, sehingga

pertumbuhannya konstan sampai ±30 jam. Kemudian, bakteri/mikroflora akan

tumbuh secara perlahan tetapi mikroflora yang tumbuh tidak begitu besar

jumlahnya dibandingkan penyimpanan pada suhu 30oC (botol B). Dari penjelasan

diatas, maka susu yang telah dipasteurisasi dan disimpan dalam kulkas memiliki

ketahanan yang paling awet dibandingkan yang lain.

17

BAB V

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Susu sapi segar merupakan susu yang mengandung Lemak & Protein

hewani yang sangat berguna bagi manusia.

2. Susu sapi merupakan media yang sangat optimum untuk pertumbuhan

berbagai mikroba & bakteri yang dapat menyebabkan degradasi pada susu,

Sehingga diperlukan proses pasteurisasi untuk menghambat pertumbuhan

mikroba & bakteri yang men-degradasi susu.

3. Pengawetan susu sapi menggunakan Heat-Treatment (Pasteurisasi)

merupakan salah satu upaya untuk mengawetkan susu sapi sehingga

meningkatkan nilai guna & nilai ekonomis susu tersebut.

4. Proses pasteurisasi dilakukan menggunakan metode In-Packed Low

Temperature Long Time (LTLT) @63oC selama 30 menit pada tekanan

atmospheric (1 atm).

5. Perubahan warna & aroma pada susu disebabkan oleh adanya aktifitas

bakteri & mikroba yang berkembang biak dalam media susu.

6. Keawetan susu sapi dari yang tidak tahan lama hingga paling tahan lama

adalah susu yang tidak dipasteurisasi (tidak tahan lama); susu yang

dipasteurisasi dan disimpan kondisi atmosferik (sedikit lebih tahan lama)

dan yang paling tahan lama susu yang dipasteusrisasi dan disimpan dalam

kulkas.

3.2. Saran

1. Proses pasteurisasi hendaknya menggunakan alat-alat yang steril dan

diperuntukkan untuk bahan makanan dan minuman.

2. Usahakan untuk selalu mensetting dan mengkalibrasi heater dan

temperatur control yang digunakan dalam proses pasteurisasi susu.

18

DAFTAR PUSTAKA

Adams, M. R., & Moss, M. O. (2000). Food Microbiology (2nd Edition ed.).

Cambride, UK: The Royal Society of Chemistry.

Banwart, G. (1989). Basic Food Microbiology (2nd Edition ed.). New York:

Chapman & Hall.

Blakely, J. dan D.H. Bade., 1985. The Science of Animel Husbandry. Four

Edition. Prenticeall,Inc. A Division of Simon and Schuster,Engzlewood Cliffs,

Newjersey 07632. USA.

Fields, M. L. (1976). Fundamentals of Food Microbiology. Westport, CT.: AVI

Publishing Company, Inc.

Goff, H. D., & Sahagian, M. E. (1996). Freezing Effects on Food Quality. (L. E.

Jeremiah, Ed.) New York: Marcel Dekker, Inc.

Hadiwiyoto, S., 1994. Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Penerbit

Liberty. Yogyakarta.

Hayes, M. C., & Boor, K. (2001). Applied Dairy Microbiology (2nd Edition ed.).

(J. Steele, & E. Marth, Eds.) New York: Marcel Dekker, Inc.

PMO. (2001). Revision U.S. Department of Health and Human Services, Public

Health Services. Food and Drug Administration (FDA). Washington DC.

Rahman, M. S. (Ed.). (2007). Handbook of Food Preservation (2nd Edition ed.).

New York: CRC Press Taylor & Francis Group.

Swaisgood, H. A. (1996). Characteristics of milk. In Food Chemistry (3rd edition

ed.). (O. Fennema, Ed.) New York: Marcek Dekker, Inc.

Walstra, P., Geurts, T. J., Noomen, A., Jellema, A., & Van Boekel, M. A. (1999).

Dairy Technology : Principles of Milk Properties and Processes. New York:

Marcel Dekker, Inc.

Wong, D. W., Camirand, W. M., & Pavlath, A. E. (1966). Structures and

Functionalities of milk proteins. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. , 36, 807.

19

LAMPIRAN

Rangkaian Eksperimen Pasteurisasi Susu Sapi

Hasil Ekperimen Susu Sapi Hari Terakhir (Hari Ke-3)

Keterangan :

A – Susu Tanpa Dipasteurisasi

B – Susu Dipasteurisasi (Normal Storage @30oC)

C – Susu Dipasteurisasi (Cooling Storage @5oC)

B C

A