Upload
biomagister
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PASTEURIZATION OF FRESH BOVINE MILK
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pilihan II
(Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Makanan)
Disusun Oleh :
1. Febrian Murvianto (21030110120004)
2. Tito Setiawan Nugroho (21030110120059)
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2013
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2. Tujuan ....................................................................................................... 2
1.3. Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
2.1. Susu Sapi Perah ........................................................................................ 3
2.2. Mikroorganisme dalam Susu Sapi ............................................................ 5
2.3. Pasteurisasi susu sapi ................................................................................ 7
2.3.1. In-package pasteurization (packed) ...................................................... 9
2.3.2. Pasteurization prior to packaging (unpacked) ...................................... 9
2.3.3. Batch pasteurization (low temperature & long-time process) ............ 10
2.3.4. Continuous pasteurization (high temperature & short-time process). 10
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ............................................................. 11
3.1. Bahan ...................................................................................................... 11
3.2. Alat ......................................................................................................... 11
3.3. Variabel Operasi ..................................................................................... 11
3.4. Rancangan Percobaan ............................................................................. 11
3.5. Prosedur Percobaan ................................................................................ 12
BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 13
4.1. Hasil Percobaan ...................................................................................... 13
4.2. Pembahasan ........................................................................................... 134
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 137
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 137
5.2. Saran ..................................................................................................... 137
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 188
LAMPIRAN ..............................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Susu merupakan suatu emulsi lemak dalam air yang mengandung beberapa
senyawa terlarut. Agar lemak dan air dalam susu tidak mudah terpisah, maka
protein susu bertindak sebagai emulsifier (zat pengemulsi). Kandungan air di
dalam susu sangat tinggi, yaitu sekitar 87,1%, dengan kandungan gula susu
(laktosa) sekitar 5%, protein sekitar 3,3%, mineral 0,7% dan lemak sekitar 3,9%
(Wong et al. 1966). Susu juga merupakan sumber kalsium, enzim (yaitu
Lactoperoxidase dan Acid phosphatase), fosfor, vitamin A, C serta komponen lain
yang sangat baik (Swaisgood, 1996). Mutu protein susu sepadan nilainya dengan
protein daging dan telur, dan terutama sangat kaya akan lisin, yaitu salah satu
asam amino esensial yang sangat dibutuhkan tubuh.
Konsumsi kebanyakan di masyarakat adalah susu segar yang berasal dari
sapi. Namun, karakteristik susu sapi segar ini adalah sangat mudah rusak. Susu
sapi segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, sehingga bukan
saja bermanfaat bagi manusia tetapi juga bagi jasad renik pembusuk. Kontaminasi
bakteri mampu berkembang dengan cepat sekali sehingga susu menjadi rusak dan
tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk memperpanjang daya guna, daya tahan
simpan, serta untuk meningkatkan nilai ekonomi susu, maka diperlukan teknik
penanganan dan pengolahan. Salah satu upaya pengolahan susu yang sangat
prospektif adalah dengan cara pasteurisasi susu.
Metode pasteurisasi susu ini diperkenalkan oleh Louis Pasteur pada tahun
1860 dan 1870. Saat itu, metode pengolahannya dengan menggunakan pemanasan
dengan suhu rendah (50-60oC) untuk menghilangkan organisme kontaminan
dalam susu. Secara umum pasteurisasi dapat bertujuan untuk mematikan mikroba
pathogen (penyebab sakit) yang ada didalam susu, sehingga susu menjadi aman
untuk dikonsumsi. Beberapa jenis mikroba pathogen yang sering dijumpai dalam
susu adalah Mycobacterium tubercolusis penyebab sakit tuberkulosis (TBC),
Salmonella dan Shigella sp. penyebab sakit saluran pencernaan. Selain itu,
2
pasteurisasi juga mengurangi kerusakan enzim dalam susu, sehingga dapat
meningkatkan dan menjaga kualitas susu.
Banyak kemungkinan kombinasi suhu dan waktu pemanasan yang dapat
diterapkan untuk pasteurisasi susu. Secara umum berdasarkan suhu dan waktu
yang digunakan, dikenal ada dua metode pasteurisasi susu yaitu :
(1) Pasteurisasi susu dengan suhu rendah dan waktu pemanasan lama atau
metode LTLT (Low Temperature Long Time), yaitu sekurangnya pada suhu
63oC selama 30 menit. Metode yang disebut juga holding method ini biasanya
diterapkan untuk skala industri kecil.
(2) Pasteurisasi dengan suhu tinggi dan waktu cepat atau metode HTST (High
Temperature Short Time), yaitu sekurangnya pada suhu 72oC selama 15 detik.
Metode ini sering disebut juga flash method yang memerlukan peralatan
khsus yang relative kompleks, tetapi dapat dioperasikan secara kontinyu
dengan kapasitas besar. Oleh sebab itu, metode HTST banyak digunakan di
industri pengolahan susu berskala besar.
Pilihan metode pasteurisasi merupakan hal yang cukup prospektif. Oleh
karena itu, didalam makalah ini digunakan metode LTLT, dimana prosesnya
sederhana dan dapat diterapkan pada berbagai skala usaha. Selain itu, makalah
juga akan membandingkan beberapa perlakuan yang berbeda setelah pasteurisasi
untuk melihat ketahanan susu sapi melalui bau atau aroma.
1.2. Tujuan
1. Mengetahui alternative metode pengawetan susu sapi segar.
2. Membandingkan ketahanan susu sapi melalui aroma atau bau dari
beberapa perlakuan yang diberikan.
1.3. Manfaat
1. Dapat meningkatkan nilai ekonomis dan kualitas susu sapi segar.
2. Dapat mengetahui metode yang tepat untuk mempertahankan kualitas
susu sapi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Susu Sapi Perah
Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang
dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan
(Hadiwiyoto, S., 1983). Pada zaman 9000 tahun sebelum masehi sususapi
digunakan untuk makanan, persembahan, korban, kosmetika dan obat di
AmerikaSerikat. Masyarakat India menghasilkan mentega untuk keperluan
pangan dan persembahan suci sejak 2000 tahun sebelum masehi, sedangkan di
Mesir, masyarakat telah memanfaatkan susu, keju dan mentega sejak 3000 tahun
sebelum Masehi (Blakely, J dan David, H.B.,1991).
Sekarang, susu sapi perah merupakan merupakan minuman bergizi yang
telah lama dikonsumsi manusia karena rasanya yang lezat dan kandungan gizinya
yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia.
Tabel 2.1 Komposisi Susu Sapi
Komponen Konsentrasi rata-rata (%)
Total Solid 13,4
Lemak 4,1
Protein 3,6
Laktosa 5
Abu 0,7
Sumber : (Swaisgood, 1996)
Di Indonesia, susu sapi perah dihasilkan dari peternak susu sapi. Susu sapi
ini diperah dari sapi yang sehat dan kemudian susu sapi perah ini bisa langsung
dijual atau dikirim ke industri pengolahan susu untuk diproses lebih lanjut.
Gambar 2.1. Susu sapi perah tradisional
4
Susu sapi perah ini juga dapat digunakan sebagai bahan mentah untuk
diolah menjadi beberapa produk turunan susu sesuai dengan skema gambar di
bawah ini.
Gambar 2.2. Pohon industri Susu
Sumber : (Goff & Sahagian, 1996)
Karena susu sapi merupakan bahan mentah yang akan diproses menjadi
produk, maka kualitas susu sangat penting untuk diperhatikan. Karakteristik susu
sapi perah mentah ini meliputi komposisi dan kontaminasi mikroba yang
nantinya akan berpengaruh secara langsung terhadap kualitas susu dan ketahanan
susu. Pada umumnya kualitas susu sapi juga dipengaruhi oleh kesehatan sapi,
5
fasilitas penunjang pemerahan sapi (kebersihan kandang, peralatan pemerah,dll)
serta sistem sanitasi yang bersih.
Sesuai dengan standar The Food and Drug Administration’s Pasteurized
Milk Ordinance (PMO) Susu sapi Grade A memiliki cemaran mikroorganisme
tidak boleh lebih dari 100.000 cfu/ml (PMO, 2001).
2.2. Mikroorganisme dalam Susu Sapi
Susu merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme tersebut ditunjang oleh susu
yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi serta susu memiliki pH yang
relatif netral (pH 6.4 - 6.6).
Tabel 2.2. Bakteri berdasarkan kondisi suhu tumbuhnya
Group Growth Temperature (
oC)
Minimum Optimum Maximum
Thermophiles 34 –to 45 55 to 75 60 to 90
Mesophiles 5 to 10 30 to 45 35 to 47
Psychotropes -5 to 5 20 to 30 30 to 35
Psychrophiles -5 to 5 12 to 15 15 to 20
Sumber : Food Process Engineering and Technology , 2009
Grafik 2.1. Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan respon terhadap suhu
6
Pada umumnya kontaminasi mikroorganisme / bakteri pada susu sapi
berasal dari faktor internal (sapi itu sendiri), faktor luar (kebersihan kandang) dan
peralatan yang digunakan dalam pemerahan sampai pemrosesan susu sapi.
Tabel 2.3. Perkiraan kontribusi bakteri dalam Susu sapi yang disebabkan oleh
sumber kontaminan
Sumber : (Walstra, et al. 1999).
Beberapa mikroorganisme dapat menyebabkan peradangan pada sapi
(mastitis) dan mikroorganisme tersebut pada akhirnya akan menjadi kontaminan
susu sapi. Beberapa mikroorganisme tersebut diantara lain Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, Streptococcus agalactiae, Streptococcus uberis, Pseudomonas
aeruginosa, and Corynebacterium pyogenes. Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, Streptococcus agalactiae merupakan bakteri yang berpotensi menjadi bakteri
pathogen bagi manusia (Adams & Moss, 2000). Keberadaan bakteri pathogen
dalam susu dapat menyebabkan infeksi dan penyakit bagi manusia yang
mengkonsumsinya. Selain mikroorganisme / bakteri tersebut menyebabkan
penyakit, mikroorganisme tersebut juga dapat menyebabkan rusaknya kualitas
susu. Kualitas susu yang rusak ini dapat dilihat dari adanya perubahan
rasa,perubahan warna, dan ketahanan susu yang sangat singkat.
7
Tabel 2.4. Beberapa kerugian yang disebabkan mikroorganisme pada susu sapi
Sumber : (Banwart, 1989; Fields, 1976; Hayes & Boor, 2001)
2.3. Pasteurisasi susu sapi
Aplikasi industri mengenai food preservation dengan menggunakan panas
telah dimulai oleh seorang penemu dari perancis Nicolas Appert (1749–1841)
yang pertama kali mencoba untuk mengawetkan berbagai jenis makanan dalam
waktu yang sangat lama (beberapa jam) dan dilakukan pada wadah tertutup.
Kemudian hubungan antara aktivitas mikroba dan food preservation diteliti lebih
lanjut oleh Louis Pasteur (1822-1895) seorang chemist & biologist yang berasal
dari perancis. Di era 20th
century penelitian mengenai aktifitas mikroba yang
berkaitan dengan pengawetan makanan mulai popular, terutama proses thermal
untuk pengawetan makanan.
Dibedakan secara intensitasnya, pengawetan makanan menggunakan
metode pemanasan ini terbagi menjadi 2 jenis, yaitu
1. Pasteurisasi
8
Proses pemanasan (70-100oC), proses pasteurisasi ini akan mematikan
pertumbuhan sel vegetative mikroba, tetapi tidak berpengaruh terhadap
aktifitas spora.
2. Sterilisasi
Proses pemanasan (≥100oC) yang bertujuan untuk mematikan
pertumbuhan semua mikroorganisme termasuk mikroba.
Pasteurisasi merupakan proses pemanasan yang bertujuan untuk
mematikan segala aktifitas mikroba dan enzim yang sensitif terhadap suhu, proses
tersebut diusahakan seminimal mungkin tidak merubah rasa & kandungan nutrisi
yang terkandung dalam bahan tersebut. Melalui proses pasteurisasi maka aktifitas
mikroorganisme & enzim akan mati, sehingga kerugian (spoilage) akibat
degradasi produk oleh aktifitas mikroorganisme dapat dihindari dan secara
langsung akan meningkatkan kualitas dan nilai jual produk. Tujuan utama dari
proses pasteurisasi ini adalah untuk mematikan berbagai macam aktifitas bakteri
pathogen yang dapat membahayakan konsumer apabila produk tanpa pasteurisasi
dikonsumsi.
Tabel 2.5. Beberapa tujuan proses pasteurisasi pada berbagai macam produk
Sumber : (Handbook of Food Preservation, Rahman, M. Safiur (ed), 2007)
9
Terdapat beberapa macam proses pasteurisasi, berdasarkan kemasan produknya
2.3.1. In-package pasteurization (packed)
Pada In-Package pasteurization process, proses pasteurisasi dilakukan di
dalam kemasan, terutama kemasan botol kaca yang memiliki ketahanan terhadap
suhu (thermal shock) atau kemasan kaleng yang memiliki ketahanan terhadap
korosi. Produk susu yang akan dipasterisasi kemudian dikemas di dalam botol
kaca / kaleng kemudian kemasan tersebut dimasukan ke dalam water bath yang
berisi air panas yang berfungsi sebagai pasteurizer agent.
2.3.2. Pasteurization prior to packaging (unpacked)
Proses pasteurisasi juga dapat berlangsung tanpa kemasan produk, proses
pasteurisasi ini menggunakan alat heat-exchanger atau jacketed- process vessels
dalam proses pasteurisasi. Susu sapi yang akan dipasteurisasi dialirkan /
dimasukan ke dalam heat exchanger / jacketed- process vessel. Di dalam kedua
alat tersebut nantinya akan terjadi proses pemanasan pada temperature dan waktu
tertentu. Steam jenuh dapat digunakan sebagai media pemanas di Heat Exchanger
/ jacketed process vessel. Karena produk yang diolah merupakan produk makanan
maka peralatan yang digunakan haru terbuat dari bahan stainless stell dan steril.
Gambar 2.3. Jacketed Process Vessel Pasteurizer
10
Sedangkan proses pasteurisasi berdasarkan kondisi operasinya terbagi menjadi 2
yaitu :
2.3.3. Batch pasteurization (low temperature & long-time process)
Proses pasteurisasi batch berjalan pada suhu 63oC selama 30 menit. Proses
ini menggunakan sistem batch karena dibutuhkan waktu 30 menit pada proses
pasteurisasinya.
2.3.4. Continuous pasteurization (high temperature & short-time process)
Proses pasteurisasi batch berjalan pada suhu 71,5oC selama 15 detik.
Proses ini menggunakan sistem kontinyu karena dibutuhkan waktu yang singkat
(15 detik) pada proses pasteurisasinya.
11
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1. Bahan
- Susu sapi segar 300 ml
- Air
- Es batu
3.2. Alat
- Waterbath - Baskom
- Heater - Penyaring
- Termometer - Kulkas
- 3 buah botol kaca
3.3. Variabel Operasi
- Variabel tetap : 1. Suhu pasteurisasi (63oC)
2. Lama waktu pasteurisasi (30 menit)
3. Jenis susu sapi
4. Tekanan operasi (atmosferik 1 atm)
5. Volume susu sapi (@100 ml)
- Variabel berubah : Perlakuan sampel (Botol A = tidak dipasteurisasi,
Botol B = pasteurisasi, Botol C = pasteurisasi +
cooling).
3.4. Rancangan Percobaan
Gambar 3.1. Rancangan Percobaan
Persiapan Alat & Bahan
Sampel B
(Pasteurisasi) Sampel C
(Pasteurisasi-Cooling)
Sampel A (tanpa
Pasteurisasi)
Analisa Aroma
12
3.5. Prosedur Percobaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Saring susu sapi dari partikel atau padatan pengotor menggunakan
penyaring.
3. Masukkan susu sapi segar kedalam botol kaca A, B, C masing-masing
100 ml.
4. Siapkan waterbath dan masukkan air kedalamnya, kemudian rendam
botol kaca B dan C yang berisi susu (botol tertutup rapat) untuk proses
pasteursasi dan botol yang berisi air untuk kalibrasi (botol terbuka)
dalam waterbath yang telah terisi air pemanas.
5. Setting temperature control pada heater sesuai suhu pasteurisasi (63oC),
masukkan sensor suhu dan termometer kedalam botol yang berisi air
sebagai kalibrasi, lalu rendam koil pemanas dalam waterbath yang
berisi air.
6. Nyalakan heater dan tunggu sampai suhu operasi tercapai (63oC),
kemudian lakukan pasteurisasi selama 30 menit dimulai setelah suhu
operasi tercapai.
7. Setelah selesai operasi pasteurisasi, tiriskan botol yang berisi susu
(botol B dan botol C).
8. Masukkan botol kaca C kedalam baskom yang berisi air dan es batu,
biarkan pendinginan berlangsung. Setelah itu masukkan dalam kulkas.
9. Amati bau dan warna susu sapi dari botol A, B, dan C tiap 12 jam
sehari selama 3 hari.
13
BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Percobaan
Tabel 4.1. Identifikasi aroma susu sapi
Sampel Hari 1 Hari 2 Hari 3
12 jam 24 jam 12 jam 24 jam 12 jam 24 jam
A AN TN TN TN TN TN
B AN AN TN TN TN TN
C AN AN AN AN AN AN
Keterangan : AN = Aroma Normal
TN = Tidak Normal
Tabel 4.2. Identifikasi warna susu sapi
Sampel Hari 1 Hari 2 Hari 3
12 jam 24 jam 12 jam 24 jam 12 jam 24 jam
A PB PK PK PK PK PK
B PB PB-PK PB-PK PB-PK PB-PK PB-PK
C PB PB PB PB PB PB
Keterangan : PB = Putih Bersih
PK = Putih Kekuningan
14
4.2. Pembahasan
Dari hasil eksperimen mengenai pasteurisasi susu sapi menggunakan
metode In-Packed Low Temperature Long Time selama 30 menit pada suhu 63oC
terlihat bahwa terjadi perubahan yang sangat signifikan pada warna dan aroma
susu sapi yang tidak tidak dipasteurisasi. Susu yang tidak dipasteurisasi
mengalami perubahan warna dan aroma setelah 12 jam. Hal tersebut disebabkan
karena adanya aktivitas bakteri dan mikroba yang tumbuh dan berkembang biak
didalam susu sapi.
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa terjadinya perubahan warna
didalam susu sapi (botol A) yang tidak dipasteurisasi disebabkan oleh beberapa
mikroflora berikut : Pseudomonas syncyanera, P. synxantha, Serratia
marcescens, dan P. fluorescens. Perubahan warna tersebut sangat nampak dari
susu yang pada umumnya berwarna putih bersih hingga menjadi putih
kekuningan. Sedangkan proses terjadinya perubahan aroma pada susu sapi sangat
dimungkinkan akibat tumbuhnya mikroflora berikut : Clostridium, Bacillus,
yeasts, coliform bacteria, heterofermentative lactic, dan propionics.
15
Pada susu yang tidak dipasteurisasi bakteri atau mikroflora dapat tumbuh
dan berkembang biak pada media susu sapi karena susu sapi tersebut tidak
mengalami proses heat-treatment (pasteurisasi). Proses pasteurisasi tersebut
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri / mikroflora didalam susu sapi.
Dengan adanya pemanasan akan menghambat tumbuhnya bakteri, sehingga susu
sapi yang telah dipasteurisasi menjadi lebih tahan lama seperti perlakuan botol B
dan botol C (telah dipasteurisasi).
Pada botol B (pasteurisasi dan penyimpanan kondisi atmosferik) nampak
bahwa terjadi perubahan warna dan aroma setelah 24 jam sedangkan botol C
(pasteurisasi dan cooling storage) nampak bahwa selama waktu pengamatan 3
hari tidak mengalami perubahan warna dan aroma (normal). Peristiwa tersebut
disebakan oleh perlakuan penyimpanan, dimana botol B disimpan pada suhu ±
30oC dan botol C disimpan dalam kulkas pada suhu ± 5
oC.
Dari grafik diatas nampak bahwa adanya pengaruh suhu penyimpanan dan
waktu terhadap total jumlah bakteri. Pada botol B yang disimpan pada kondisi
atmosferik akan terjadi kenaikan jumlah dan aktvitas bakteri yang lebih cepat
16
dibandingkan botol C yang disimpan dalam kulkas pada suhu ±5oC. Perbedaan
suhu penyimpanan akan sangat berpengaruh pada fase pertumbuhan mikroba,
dimana pada suhu 30OC pertumbuhan bakteri terjadi dalam waktu yang singkat
±12 jam dan bakteri yang dihasilkan pasti lebih banyak daripada bakteri yang
tumbuh pada suhu 5oC. Pada botol C yang disimpan dalam kulkas nampak bahwa
bakteri atau mikroba akan melalui fase lag phase yang lebih lama, sehingga
pertumbuhannya konstan sampai ±30 jam. Kemudian, bakteri/mikroflora akan
tumbuh secara perlahan tetapi mikroflora yang tumbuh tidak begitu besar
jumlahnya dibandingkan penyimpanan pada suhu 30oC (botol B). Dari penjelasan
diatas, maka susu yang telah dipasteurisasi dan disimpan dalam kulkas memiliki
ketahanan yang paling awet dibandingkan yang lain.
17
BAB V
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Susu sapi segar merupakan susu yang mengandung Lemak & Protein
hewani yang sangat berguna bagi manusia.
2. Susu sapi merupakan media yang sangat optimum untuk pertumbuhan
berbagai mikroba & bakteri yang dapat menyebabkan degradasi pada susu,
Sehingga diperlukan proses pasteurisasi untuk menghambat pertumbuhan
mikroba & bakteri yang men-degradasi susu.
3. Pengawetan susu sapi menggunakan Heat-Treatment (Pasteurisasi)
merupakan salah satu upaya untuk mengawetkan susu sapi sehingga
meningkatkan nilai guna & nilai ekonomis susu tersebut.
4. Proses pasteurisasi dilakukan menggunakan metode In-Packed Low
Temperature Long Time (LTLT) @63oC selama 30 menit pada tekanan
atmospheric (1 atm).
5. Perubahan warna & aroma pada susu disebabkan oleh adanya aktifitas
bakteri & mikroba yang berkembang biak dalam media susu.
6. Keawetan susu sapi dari yang tidak tahan lama hingga paling tahan lama
adalah susu yang tidak dipasteurisasi (tidak tahan lama); susu yang
dipasteurisasi dan disimpan kondisi atmosferik (sedikit lebih tahan lama)
dan yang paling tahan lama susu yang dipasteusrisasi dan disimpan dalam
kulkas.
3.2. Saran
1. Proses pasteurisasi hendaknya menggunakan alat-alat yang steril dan
diperuntukkan untuk bahan makanan dan minuman.
2. Usahakan untuk selalu mensetting dan mengkalibrasi heater dan
temperatur control yang digunakan dalam proses pasteurisasi susu.
18
DAFTAR PUSTAKA
Adams, M. R., & Moss, M. O. (2000). Food Microbiology (2nd Edition ed.).
Cambride, UK: The Royal Society of Chemistry.
Banwart, G. (1989). Basic Food Microbiology (2nd Edition ed.). New York:
Chapman & Hall.
Blakely, J. dan D.H. Bade., 1985. The Science of Animel Husbandry. Four
Edition. Prenticeall,Inc. A Division of Simon and Schuster,Engzlewood Cliffs,
Newjersey 07632. USA.
Fields, M. L. (1976). Fundamentals of Food Microbiology. Westport, CT.: AVI
Publishing Company, Inc.
Goff, H. D., & Sahagian, M. E. (1996). Freezing Effects on Food Quality. (L. E.
Jeremiah, Ed.) New York: Marcel Dekker, Inc.
Hadiwiyoto, S., 1994. Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Penerbit
Liberty. Yogyakarta.
Hayes, M. C., & Boor, K. (2001). Applied Dairy Microbiology (2nd Edition ed.).
(J. Steele, & E. Marth, Eds.) New York: Marcel Dekker, Inc.
PMO. (2001). Revision U.S. Department of Health and Human Services, Public
Health Services. Food and Drug Administration (FDA). Washington DC.
Rahman, M. S. (Ed.). (2007). Handbook of Food Preservation (2nd Edition ed.).
New York: CRC Press Taylor & Francis Group.
Swaisgood, H. A. (1996). Characteristics of milk. In Food Chemistry (3rd edition
ed.). (O. Fennema, Ed.) New York: Marcek Dekker, Inc.
Walstra, P., Geurts, T. J., Noomen, A., Jellema, A., & Van Boekel, M. A. (1999).
Dairy Technology : Principles of Milk Properties and Processes. New York:
Marcel Dekker, Inc.
Wong, D. W., Camirand, W. M., & Pavlath, A. E. (1966). Structures and
Functionalities of milk proteins. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. , 36, 807.