Upload
unpad
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MITOS KECANTIKAN DALAM NOVEL BIRU,
ASTRAL ASTRIA, DAN PARIS PANDORA
KARYA FIRA BASUKI
Penulis: Sri Ulpah
Pembimbing Utama: Abdul Hamid, M.Hum
Pembimbing Pendamping: Dr. Lina Meilinawati, M. Hum
(Program Studi Sastra Indonesia)
ABSTRACT
This paper is entitled “The Myth of Beauty in Novel Biru of Astral Astria
and Paris Pandora by Fira Basuki. The discussion was focused on the behavior of
the characters in responding to the beauty or the symbol of female beauty. To
conduct the research the author used Qualitative Research Method by analyzing
the myth of beauty which was initiated by Naomy Wolf. The result of the study
showed that there were a lot of problems in manuscript of Novel Biru of Astral
Astria and Paris Pandora, the problems concerned on the beauty its self and in
affording redefinition of beauty. The redefinition was conducted by opposition or
by contradicting between bodies which were seen as separated parts and women
which were seen as a whole, between statics beauty and dynamics beauty,
between defining beauty which was coming from others and defining beauty
which was coming from own self, between painful beauty and entertaining beauty.
In essence, the redefinitions of beauty are aimed to free female bodies from
shackles of the myth of beauty.
Kata cantik merupakan jenis kata sifat yang berarti elok, molek, atau
rupawan tentang wajah atau muka (Moeliono dkk., 1988:150). Kecantikan berarti
keelokan atau kemolekan tentang wajah atau muka (Moeliono dkk., 1988:151).
Istilah cantik atau kecantikan pada hakikatnya menunjukkan sifat umum, tidak
hanya melekat pada perempuan. Hal itu terbukti dengan pemahaman kecantikan
dalam mitologi kuno di Barat, juga pada Suku Woodabe di Negeria dan suku
Fulani di Afrika Barat.
Dalam mitologi dikisahkan dewa-dewa perempuan yang memerintah
Mediterania sejak tahun 25.000 SM hingga 700 SM digambarkan sebagai sosok
penentu atau pemilih laki-laki (Wolf, 2004:31). Dalam kedudukan sebagai
pemerintah, dewa-dewa perempuan memiliki otoritas untuk memilih sesuatu yang
diinginkannya. Begitu pula dalam hal memilih laki-laki. Dewa-dewa perempuan
memiliki otoritas untuk memilih laki-laki yang diinginkan sesuai dengan
kriterianya.
Dalam mitologi tersebut, dikisahkan bahwa dewa-dewa perempuan yang
berusia lebih tua menyukai dan menikahi lebih dari satu dewa laki-laki yang lebih
muda, misalnya Ishtar dengan Tammuz, Venus, dan Adonis, Cybele dan Attis,
Isis, dan Orisis, atau yang lainnya (Wolf, 2004:31). Atas dasar hal itu, dewa laki-
laki yang lebih muda tentunya akan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
menarik perhatian dewa-dewa perempuan. Seperti halnya perempuan yang
berusaha untuk menarik perhatian laki-laki, dewa laki-laki akan merias diri sesuai
dengan simbol kecantikan atau ketentuan yang berlaku.
Laki-laki suku Woodabe juga dikisahkan pandai merias diri untuk
menarik perhatian perempuan di suku tersebut. Bukan hanya itu, mereka juga
menggunakan busana provokatif, menunjukkan pinggang-pinggang mereka yang
ramping, dan memasang tampang yang menggoda untuk menarik perhatian
perempuan yang berperan sebagai pemengang perekonomian di suku Woodabe
(Wolf, 2004:31). Hal-hal yang dilakukan lelaki suku Woodabe merupakan
tindakan atau sikap penyesuaian kecantikannya dengan simbol kecantikan yang
berlaku atau yang umum diinginkan perempuan di kebudayaan tersebut.
Hal serupa terjadi pada suku pedalaman Fulani, para perempuan suku
Fulani memilih suami berdasarkan kecantikannya (Wolf, 2004:592). Namun, tidak
diketahui pembagian peran laki-laki sebagai yang dipilih dan perempuan yang
memilih atas dasar kekuasaan perempuan tertentu atau hal lainnya.
Perilaku para dewa laki-laki, para laki-laki di suku Woodabe dan Fulani
yang melakukan penyesuaian penampilannya dengan simbol kecantikan yang
berlaku, menjelaskan bahwa istilah kecantikan dapat melekat pada laki-laki.
Kecantikan tidak hanya melekat pada perempuan. Kecantikan menjadi kegiatan
yang biasa dilakukan laki-laki untuk menarik perhatian perempuan. Hal tersebut
terjadi karena perempuan pada masa dan ruang tersebut memegang kekuasaan
tertentu.
Namun, seiring dengan perkembangan budaya kecantikan, istilah tersebut
identik untuk rupa perempuan. Hal itu lebih jelas dengan adanya kontes
kecantikan, seperti ajang Pemilihan Putri Indonesia dan Miss World. Cantik atau
kecantikan menjadi sifat khusus bagi perempuan dan melekat hanya pada
perempuan. Saat ini, apabila laki-laki melakukan hal yang berkaitan dengan
kecantikan, ia akan dikategorikan sebagai banci atau waria, bukan laki-laki
(Munfarida, 2007:2). Kini, bila laki-laki mempercantik diri akan dianggap tidak
normal.
Berbicara mengenai kecantikan perempuan, kita akan mengetahui beragam
gambaran simbol kecantikan. Simbol kecantikan merupakan bentuk, standar,
ukuran, atau ketentuan kecantikan yang dapat dilihat pada tubuh bagian luar atau
fisik. Perawan, mampu bereproduksi, langsing, kulit terang, kulit mulus, tinggi,
cantik, rambut lurus, dan hidung mancung merupakan contoh dari simbol
kecantikan pada masa kini.
Kecantikan perempuan pada peradaban Barat dapat ditelusuri dari
mitologi (Munfarida, 2007:4). Dalam mitologi terdapat kisah mengenai para
perempuan cantik yang menjadi iblis-iblis mematikan, seperti medusa. Medusa
dikisahkan sebagai perempuan cantik yang menempati kuil Athena. Namun
karena Medusa diperkosa oleh Poseidon, Zeus merasa murka dan akhirnya
mengubah wujudnya menjadi buruk rupa, dan rambutnya menjadi ular. Selain itu,
Medusa juga dikutuk, siapa pun yang melihat matanya maka orang itu akan
menjadi batu. Kisah ini dikutip dari http://gohotkaskus.blogspot.com/2012/11/13-
wanita-cantik-dan-mematikan-dalam.html.
Keperawan Medusa secara implisit menjadi syarat atau simbol kecantikan
perempuan disamping cantik rupanya. Setelah keperawanan hilang, meskipun
bukan karena kesalahannya Medusa diubah menjadi buruk rupa dan dikutuk. Hal
yang terjadi pada Medusa menjadi dasar untuk simbol kecantikan perempuan.
Keperawanan menjadi salah satu simbol kecantikan perempuan. Ketentuan
tersebut berlaku di kehidupan masa kini. Bila perempuan hilang keperawanannya
baik kecelakaan atau disengaja yang terjadi dengan dasar di luar norma, hilanglah
kecantikan dan datanglah kutukan. Perempuan akan merasakan kutukan sepanjang
hidupnya dengan pandangan-pandangan pengasingan, atau penghinaan.
Beranjak ke kecantikan perempuan di Barat yang tergambar pada abad
tertentu yang dapat ditelusuri dari patung-patung dan lukisan-lukisan kuno
(Munfarida, 2007:4). Penelusuran dapat pula seperti yang dilakukan Wolf. Ia
menelusuri simbol kecantikan dari fenomena-fenomena yang terjadi di
masyarakat melalui media massa. Simbol kecantikan di Barat menurut Wolf
terbagi ke dalam empat simbol kecantikan yang dominan dalam tenggang waktu
yang berbeda sesuai masa keberlakuannya.
Pada abad pertengahan perempuan dikatakan cantik apabila ia mampu
bereproduksi (Wolf, 2004). Bila tidak dapat bereproduksi seperti mandul dan
menopause, perempuan akan merasa terasing, dan terhina di dalam
lingkungannya. Kemampuan bereproduksi menjadi simbol kecantikan bagi
perempuan pada masa tersebut. Masa kini pun, rahim yang produktif masih
berlaku sebagai simbol kecantikan perempuan.
Pada abad ke 15-17 perempuan yang dianggap cantik adalah perempuan
yang memiliki perut dan panggul mengembang, serta dada yang montok (Wolf,
2004:361). Bagian-bagian tubuh tersebut masih berkaitan dengan hal kemampuan
bereproduksi. Hanya bergeser, dari kemampuan bereproduksi ke anggota tubuh
yang menandakan kemampuan bereproduksi atau kesuburan. Perut dan panggul
mengembang menandakan kesuburan yang terwujud dalam banyaknya lemak.
Karena lemak pada tubuh perempuan berfungsi sebagai pengatur reproduksi
(Wolf, 2004: 380). Disamping itu, dada yang montok menandakan kemampuan
menyusui. Dengan demikian kemampuan reproduksi masih menjadi simbol
kecantikan perempuan, hanya berbeda wujudnya.
Perempuan cantik pada abad ke-18 dan ke-19 ialah perempuan berwajah,
dan berbahu bulat atau gemuk (Wolf, 2004:361). Wujud kegemukan menjadi hal
yang dipuja-puja dan diusahakan perempuan pada tersebut. Oleh karena itu hal
yang sebaliknya akan terjadi. Tubuh kurus akan menjadi sebab terasingnya atau
terhinanya perempuan. Untuk itu, kegemukan menjadi simbol kecantikan pada
masa tersebut.
Pada abad ke 20, perempuan yang dianggap cantik ialah perempuan yang
memiliki paha serta pantat yang besar dan kencang (Wolf, 2004:361). Pada masa
itu perempuan sudah memiliki hak untuk bekerja di ruang publik dan hak
mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Namun, perempuan tetap
menjadi pengurus rumah tangga tunggal. Simbol kecantikan pada abad ini identik
dengan sebutan super women. Peran domestisitas dan peran pekerja menjadi dasar
simbol kecantikan perempuan.
Selain di Barat, simbol kecantikan di suku-suku bangsa yang berada di
negara tertentu dan pada masa tertentu, berbeda-beda pula. Di Cina pada abad ke
10 sampai 1900-an, dikenal istilah foot binding atau pengecilan telapak kaki pada
perempuan sebagai simbol kecantikan. Foot binding diberlakukan bagi
perempuan-perempuan dari keluarga kaya, dan anak perempuan pertama dari
keluarga miskin. Proses pengecilan dilakukan dengan mengikat kuat telapak kaki
hingga menekuk ke tumit. Tujuannya ialah sebagai penanda kasta bagi perempuan
kaya, upaya peninggian derajat bagi anak perempuan dari keluarga miskin, dan
utamanya sebagai penanda seksualitas perempuan.
Sebagaimana dikatakan Drowkin dalam Wolf (2004:487) bagi masyarakat
Cina pada masa itu, mengikat kaki ... memiliki alasan yang sifatnya seksual,
berguna untuk memperbaiki vagina dan memunculkan kesenangan yang
supranatural dalam melakukan hubungan seksual. Fungsi kaki berubah, dari
fungsi untuk berjalan ke fungsi seksual. Untuk itu, dalam pemahaman masyarakat
tersebut, kaki kecil menjadi ciri seksualitas perempuan. Dalam pandangan sosial
di masyarakat tersebut, kaki kecil dianggap kaki yang cantik, sementara kaki yang
normal dianggap kaki yang buruk.
Pada kenyataannya tidak demikian. Secara biologis Kaki kecil yang cantik
merupakan kaki yang tidak normal dan tidak berfungsi dengan baik. Dworkin
menjelaskan bahwa dalam pengecilan kaki, lapisan kulitnya seringkali menjadi
berada dalam kondisi kontraksi organik selama diikat dan sering kali satu atau
lebih jari kaki fungsinya menurun (Wolf, 2004:487). Dengan demikian pengecilan
kaki merupakan tindakan yang menyimpang secara biologis.
Lain lagi yang terjadi pada perempuan di Suku Karen yang mendiami
perbatasan Thailand dan Myanmar. Perempuan pada suku Karen diwajibkan
untuk memanjangkan leher. Proses memanjangkan leher dilakukan dengan
menggunakan gelang leher yang terbuat kuningan. Gelang tersebut akan
ditambahkan satu persatu setiap umur bertambah, hingga usia 25 tahun. Saat ini
ketentuan tersebut masih berlaku dan dilestarikan sebagai aset budaya oleh
pemerintah Thailand. Pada kenyataannya kebiasaan tersebut jelas-jelas
menampakkan kesakitan dan penderitaan pada tubuh perempuan yang akan
dialami sepanjang hidupnya. Bila gelang-gelang leher ditanggalkan, tulang leher
tidak akan mampu menyangga kepala dengan baik. Kesehatan dan keberfungsian
tubuh yang normal secara biologis terabaikan hanya untuk melestarikan
kecantikan yang berlaku di kebudayaan tersebut. Fungsi leher secara sosial beralih
menjadi simbol kecantikan perempuan.
Beralih ke kecantikan perempuan suku Masai di Benua Afrika. Telinga
panjang dengan anting-anting yang berdiameter besar diyakini perempuan suku
tersebut sebagai sumber kecantikan sebenarnya. Perempuan tertuntut untuk
memperbesar diameter anting-anting pada telinga sepanjang hidupnya. Karena
semakin besar diameter anting-anting di telinga, semakin tinggilah nilai
kecantikan. Pemanjangan telinga dilakukan dengan cara menindikkan anting-
anting yang terbuat dari benda-benda berdiameter besar seperti ranting, bebatuan,
atau gading gajah.
Selain memanjangkan telinga, perempuan suku Masai juga memplontosi
kepala dan mencabut dua gigi tengah bagian atas. Panjangnya telinga, plontosnya
kepala, dan pencabutan dua gigi tengah bagian atas menjadi simbol kecantikan
bagi perempuan suku Masai. Telinga, kepala, dan gigi memiliki fungi khusus
secara sosial sebagai penentu kecantikan perempuan.
Tindakan untuk menjadi cantik yang lebih ekstrim terjadi pada perempuan
suku Mursi, di Sundan-Afrika. Perempuan menindik dan meregangkan bibir
bagian bawah, kemudian memasang piringan berbentuk bulat datar, yang
ukurannya semakin besar setiap waktu tertentu. Besarnya piringan pada bibir
menandakan kecantikan, ketinggian status, dan kematang seksualitas perempuan.
Fungsi bibir sebagai alat ucap beralih secara sosial menjadi simbol kecantikan.
Keberagaman simbol kecantikan perempuan tampak pula di Indonesia
yang tentunya diketahui memiliki suku-suku yang beragam. Sejarah klasik Jawa
menggambarkan simbol kecantikan perempuan pada masanya dalam relief-relief,
candi-candi, dan serat-serat di keraton kesultanan (Herliany, 2008:18). Sosok
ideal dalam kebudayaan Jawa adalah perempuan yang mampu merawat kedua
bagian tubuh, yaitu jiwa dan raga. Perempuan Jawa diajarkan untuk merawat
kehalusan tubuh juga kehalusan dalam tingkah laku sebagai cerminan kebaikan
jiwa.
Untuk menghaluskan tubuh, ramuan-ramuan dalam bentuk jamu menjadi
bahan-bahan penghalusan tubuh atau fisik. Hal itu seperti tertuang dalam visi dan
misi dari produk-produk Martha Tilaar yang mengemas ramuan-ramuan tersebut
menjadi kosmetik yang modern untuk perawatan tubuh (Herliany, 2008:19).
Sementara untuk kecantikan jiwa, perempuan Jawa diajarkan untuk menapaki
jejak dari karakteristik dewi-dewi dalam kisah pewayangan. Perempuan diajarkan
untuk memiliki sifat setia seperti Dewi Sinta, berani seperti Srikandi, keibuan
seperti Dewi Kunti dan Subadra, dan cerdas seperti Dewi Saraswat (Herliani,
2008:22). Dengan demikian simbol kecantikan di Jawa ialah sosok yang memiliki
kelembutan tubuh yang terawat ramuan atau kosmetik, dan kelembutan jiwa yang
tercermin dalam kesetiaan, keberanian, keibuan, dan kecerdasan.
Selanjutnya, perempuan cantik di suku Kayan Kalimantan ialah
perempuan yang bercuping telinga panjang (Herliany, 2008:35). Perbedaan
pemanjangan telinga dengan suku Masai ialah pada penggunaan anting-anting.
Pada suku Masai anting yang digunakan terbuat dari benda-benda seperti ranting,
dan gading yang berdiameter besar. Di suku Kayan anting yang digunakan terbuat
dari kuningan dengan diameter serupa gelang tangan. Konon anting-anting ini
akan ditambahkan sesuai penambahan usia. Panjang ideal cuping ialah hingga
menyentuh dada.
Disamping itu, perempuan suku tersebut mempercantik diri dengan
menato tubuhnya. Tubuh yang ditato antara lain tangan, lengan dan paha.
Penatoan dilakukan dengan menggunakan jarum (tedak), dan dibubuhi asap pelita
minyak tanah sebagai catnya (Herliany, 2008:35). Dalam kegiatan penatoan,
dijelaskan selalu timbul rasa sakit dan pembengkakan kulit yang dirasakan selama
beberapa hari. Namum hal itu tetap dilakukan perempuan di suku tersebut.
Pemanjangan cuping telinga dan penatoan tubuh menjadi simbol kecantikan
perempuan di suku Kayan.
Selanjutnya kecantikan dalam kebudayaan Islam seperti yang dibudayakan
di Serambi Mekah atau Aceh, pada hakikatnya bersebrangan dengan kecantikan-
kecantikan yang telah dipaparkan. Islam tidak menentukan simbol kecantikan bagi
perempuan yang selalu terwujud dalam keindahan atau kecantikan tubuh. Dalam
hadis dikatakan bahwa Allah tidak melihat kamu dari anggota tubuhmu dan
rupamu, Allah hanya melihat hatimu (Yahya, 2002:11).
Hadis tersebut mengisyaratkan kepada manusia (laki-laki dan perempuan)
bahwa Allah tidak memandang siapa pun dari hidung, wajah, mata, telinga, kulit,
atau apapun dari tubuh yang sering diistimewakan manusia. Allah juga tidak akan
melihat manusia dari rupa hitam-putih, indo-jawa tulen, kaukasian-asia, kaya-
miskin, atau pejabat-rakyat. Allah hanya akan melihat pada hati. Hati yang
dimaksud adalah sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai
tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian,
perasaan-perasaan, dan pertimbangan-pertimbangan (Moeliono dkk., 1988:301).
Islam tidak mengajarkan bagaimana perempuan menjadi cantik. Islam
hanya mengajarkan manusia untuk menjaga dan mensyukuri tubuh ciptaan-Nya,
seperti adanya larangan menato tubuh (Hamidy, 1986:45). Penatoan tubuh
dipahami sebagai perbuatan mendzalimi atau menyakiti tubuh. Untuk itu, hal-hal
yang sifatnya menyakiti tubuh, meskipun dengan alasan mempercantik diri tidak
dibenarkan dalam Islam.
Berbanding terbalik dengan kecantikan di masa kini. Peribahasa Prancis
menyatakan bahwa pada masa kini seseorang harus menderita bila ingin cantik,
dan dikatakan Yeats perempuan harus bekerja keras bila ingin cantik (dalam
Wolf, 2004:433). Sebagai contoh, perempuan yang bertubuh gemuk akan
menjadwalkan diet, atau bahkan operasi sedok lemak guna melangsingkan tubuh.
Diet yang keras dapat menimbulkan gejala anorexia atau bulimia. Operasi sedot
lemak dapat menimbulkan pendarahan dan kehilangan rasa (Wolf, 2004:504).
Perempuan masa kini rela menyakiti tubuhnya untuk menjadi cantik. Rasa sakit
seolah dinikmati dan dianggap biasa. Di samping itu, perempuan harus kehilangan
waktu dan uang untuk mengusahakan kecantikan. Untuk melakukan diet atau
sedot lemak sudah tentu ada waktu yang diluangkan dan uang yang dikeluarkan.
Simbol kecantikan masa kini tidak hanya terdapat dalam tubuh yang
langsing. Simbol itu umumnya terdapat dalam kulit yang putih mulus tanpa noda,
rambut ikal atau lurus yang terawat salon, hidung yang mancung, dan payudara
berisi. Simbol kecantikan tersebut biasanya direpresentasikan oleh paras-paras
model atau aktris indo yang tersebar di berbagai media masa.
Media massa memiliki peran penting dalam menyebarkan simbol
kecantikan. Contoh nyata pada masa kini penyebaran simbol kecantikan dilakukan
melalui televisi, khususnya tayangan iklan. Iklan-iklan di televisi baik produk
yang berkaitan dengan kecantikan maupun produk yang tidak berkaitan dengan
kecantikan, umumnya memanfaatkan jasa model iklan atau aktris yang bertubuh
langsing, berkulit putih, berwajah mulus, dan berambut ikal atau lurus, berhidung
mancung, dan bermata bulat (tidak sipit), seperti pada iklan, Sliming Tea,
Termolite Plus, Clear, Pond’s. Tanpa disadari iklan-iklan itu mengajarkan
perempuan dan laki-laki yang telah dewasa, remaja, atau kanak-kanak untuk
mendefinisikan kecantikan tubuh perempuan hanya pada simbol-simbol
kecantikan tersebut. Definisi cantik pada umumnya hanya tergambar dalam tubuh
model dan aktris, yaitu langsing, putih, mulus, mancung dan lainnya, seperti tubuh
perempuan indo Eropa.
Namun seiring perkembangan budaya populer, kecantikan masa kini
diketahui telah mengalami sedikit pergeseran. Kecantikan itu mengarah ke
kecantikan Asia Timur seperti pada Jepang, Cina, dan Korea (Prabasmoro,
2004:328). Dengan kata lain, wajah indo tergeser oleh wajah oriental. Pergeseran
itu menurut Prabasmoro terletak pada tren rambut, dari tren yang beragam ke tren
yang hanya memberlakukan tren rambut lurus (2004:328-329). Sementara itu
simbol kecantikan lainnya tetap, yaitu tubuh yang langsing, kulit yang putih dan
mulus, hidung yang mancung, dan lainnya.
Keberagaman simbol kecantikan pada ruang dan waktu tertentu
menyiratkan bahwa tidak ada yang hakiki dalam simbol kecantikan. Simbol itu
hakikatnya akan berubah atau bergeser, dan berbeda-beda seiring perkembangan
kebudayaan. Kecantikan perempuan di Barat dari abad ke abad tertentu berubah-
ubah. Dari kemampuan reproduksi, ke kegemukan bagian-bagian tubuh yang
berkaitan dengan reproduksi. Kemudian berubah lagi ke kegemukan dan
kebulatan pada wajah dan bahu, dan berubah lagi ke bentuk super women.
Begitu juga kecantikan perempuan di berbagai suku bangsa di dunia dan di
Indonesia, berbeda-beda atau beragam. Simbol-simbol tersebut antara lain:
berkaki kecil, bertelinga panjang, berleher panjang, berbibir lebar, bertato, bersifat
lembut, berbudi luhur, dan berhati mulia. Kecantikan masa kini mengalami sedikit
pergeseran dalam hal rambut, dari beragam ke seragam, atau dari ikal atau lurus
ke lurus saja.
Perubahan, perbedaan, dan pergeseran simbol kecantikan menyiratkan
bahwa simbol kecantikan tertentu tidak harus diyakini sebagai satu-satunya
simbol kecantikan yang harus dicapai oleh tubuh perempuan. Kriteria, bentuk
nilai, atau ukuran kecantikan akan terus berubah dan bergeser dari masa ke masa,
dan berbeda penafsiran di berbagai ruang dalam masyarakat dan bahkan dalam
ruang benak perorangan. Munfarida mengatakan sebagai berikut.
Ukuran kecantikan terkait dengan idealitas bentuk tubuh perempuan sangat
relatif, serta berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya,
bahkan satu masyarakat pada masa tertentu dengan masa yang lain, di
samping perbedaan-perbedaan antarsetiap individu. (2009:5)
Kecantikan tubuh hakikatnya bersifat relatif, tidak akan sama dalam
pandangan seseorang, antara yang satu dengan yang lain, dan antara ruang dan
waktu tertentu. Hal itu perlu dipahami dengan baik oleh siapapun agar tidak ada
intimidasi terhadap perempuan yang didasarkan atas kecantikan tubuh, misalnya
antara si gemuk dan yang langsing, atau si hitam dan yang putih.
Berdasarkan penggambaran simbol kecantikan di berbagai ruang dan
waktu tertentu perlu disadari pula bahwa kecantikan itu dibentuk oleh lingkungan
sosial. Menurut Wolf, masyarakat telah memberikan penghargaan yang lebih
terhadap kecantikan pada sisi luar ketimbang kesehatan pada sisi dalam
(2004:458). Dengan demikian lingkungan sosial berperan aktif dalam menentukan
norma-norma kecantikan untuk tubuh perempuan.
Norma kecantikan tersebut cenderung menempatkan kondisi perempuan
pada keadaan yang hiperealistis. Ketentuan biologis tentang tubuh tergeser
ketentuan sosial. Dalam pandangan sosial tubuh normal yang berfungsi dengan
baik dianggap tubuh yang tidak cantik. Sementara itu tubuh yang tidak normal
dan tidak berfungsi baik dianggap tubuh yang cantik. Hal tersebut contohnya
penetapan foot binding sebagai simbol kecantikan pada masyarakat Cina.
Pada masyarakat Cina kaki normal dan berfungsi dengan baik dianggap
tidak cantik. Sebaliknya, kaki kecil yang tidak normal dan tidak berfungsi dengan
baik dianggap cantik. Dengan demikian, pandangan terhadap tubuh perempuan
berubah dari realistis ke hiperealistis.
Kondisi seperti itu terjadi pula pada masa kini. Sebagai contoh kasus
terjadi di Kanada, 25 % perempuan menggunakan pil diet untuk mencuci perut
dan melakukan puasa dalam upaya mengendalikan dan mengekang bobot tubuh
(Prabasmoro, 2003:20). Perempuan menjadi tidak realistis dengan mengagungkan
satu bentuk tubuh untuk kecantikan tubuh perempuan. Begitu pula dalam hal
bedah kosmetik. Bedah kosmetik merupakan bidang spesialisasi medis yang
berkembang paling cepat dan 87% pasiennya adalah perempuan. Hal tersebut
dikutip dari Media Watch Canada Transcripts 2000 (Prabasmoro, 2003:21).
Perempuan menjadi tidak realistis dengan menganggap kecantikan hanya terdapat
dalam topeng hasil bedah kosmetik.
Dapat disimpulkan bahwa kecantikan perempuan secara umum dipandang
dan diakui oleh masyarakat hanya tercermin pada fisik. Perempuan sebagaimana
manusia lainnya tidak tercipta dengan fisik semata. Ia juga tercipta dengan tubuh
non fisik. Masyarakat sebagai penentu norma kecantikan sering abai untuk
memandang dan mengakui kecantikan non fisik pada perempuan. Padahal
kecantikan non fisik merupakan nilai kecantikan yang tidak akan lekang oleh
waktu, seperti budi pekerti yang luhur dan akhlak mulia. Berbeda halnya dengan
kecantikan fisik yang akan habis dimakan waktu.
Berdasarkan permasalahan-permasalah mengenai kecantikan maka wacana
mengenai kecantikan menjadi hal yang penting untuk diungkapkan.
Pengungkapan wacana dapat ditinjau melalui analisis mitos. Hal itu didasari
pendapat Barthes (2010:296) bahwa segala hal yang ada di masyarakat dapat
menjadi mitos asalkan dituangkan dalam sebuah wacana.
Mitos yang berlaku dalam hal kecantikan dikhususkan dalam kajian mitos
kecantikan. Mitos kecantikan menyatakan bahwa kualitas yang disebut dengan
cantik benar-benar ada, secara objektif dan universal (Wolf, 2004: 29). Kualitas
cantik benar-benar ada secara objektif pada tubuh perempuan seperti yang
tercermin dalam simbol kecantikan seperti tubuh langsing, kulit putih dan mulus,
rambut lurus, atau hidung mancung. Simbol kecantikan itu kemudian diyakini
secara universal karena disebarluaskan secara intens oleh media massa. Untuk itu,
siapa pun bila ditanya mengenai kecantikan perempuan seperti apa, tentu jawaban
pada umumnya akan mengarah pada tubuh langsing, kulit putih mulus, rambut
lurus, atau hidung mancung. Kecantikan hakikatnya relatif bukan objektif.
Kecantikan di dalam benak orang per orangan berbeda-beda sehingga kecantikan
tidak harus berlaku universal.
Mitos kecantikan dikembangkan dari perilaku yang mengidealkan atau
mengidolakan perempuan yang rela mengorbankan diri (Beauvoir dalam Tong,
2010:268). Jejaknya dapat dilihat dalam kisah pewayangan, Sinta rela
mengorbankan diri demi kesucian rama. Pada abad ke-15 sampai ke-17
perempuan mengorbankan diri dengan hanya berdiam di dalam rumah demi suami
dan anak-anak dan mengabaikan peningkatan diri. Pada abad 20-an perempuan
mengorbankan diri untuk mengerjakan perkerjaan dengan dua shift, di kantor dan
di rumah demi keluarga. Masa kini, perempuan mengorbankan diri untuk
menghabiskan waktu dan uang demi menjadi cantik. Perempuan masa kini sudah
meraih hak atas ruang publik, tetapi menjadi sangat sibuk memperhatikan
ketidaksempurnaan tubuhnya, dibanding sibuk meraih prestasi atau pencapaian
lainnya dalam hidup. Pada akhirnya perempuan tidak mempunyai banyak waktu
untuk meningkatkan pikirannya (Beauvoir dalam Tong, 2010:277).
Perempuan masa kini harus bekerja dengan tiga shift, di kantor, di rumah,
dan di salon-salon atau spa (Wolf, 2004). Waktu dan hasil usaha perempuan
dikorbankan di salon dan spa. Akhirnya, perempuan terjerembab dalam lubang
yang sama meski berbeda bentuknya, yaitu mengorbankan diri. Mitos kecantikan
membuat perempuan tidak akan mampu membebaskan diri untuk meningkatkan
pikiran, kreativitas, atau potensi diri, sebelum terbebas dari tubuhnya. Dengan
demikian pengungkapan mitos kecantikan menjadi penting, agar perempuan dapat
terbebas dari mitos kecantikan yang menyarankan perempuan untuk
mengorbankan waktu dan uang yang dimilikinya, bahkan nyawanya .
Pengungkapan mitos kecantikan dapat dilakukan dengan menganalisis
iklan-iklan kecantikan, film, dan karya sastra. Sebuah karya sebagai hasil
perpaduan dari kenyataan dan imajinasi pengarang, tentunya dapat terlibat dengan
suatu mitos (Ayumika, 2012). Keterlibatan itu biasanya dimaksudkan untuk dua
hal yaitu pengukuhan dan pembebasan. Pengukuhan mitos berfungsi untuk
melanggengkan mitos yang telah ada. Sedang pembebasan mitos berfungsi untuk
mencari pesan atau makna yang seharusnya, atau yang keluar dari mitos.
Bentuk-bentuk yang digunakan mitos sebagai pengukuhan ialah dengan
mengakui kebenaran, menyetujui, atau mengekalkan mitos. Dalam hal
pembebasan mitos, cara yang biasa digunakan ialah dengan memitoskannya
kembali atau membuktikan ketidakbenaran mitos dengan fakta.
Novel dalam hal ini, dengan kapasitas yang lebih dari karya lain seperti
drama, cerpen, dan puisi dalam memuat suatu perjalanan suatu kehidupan,
memungkinkan untuk menciptakan mitos sebagai pengukuhan atau pembebasan
mitos dengan baik dan mudah dipahami. Untuk itu, tiga novel karya Fira Basuki
dipilih untuk diteliti. Novel karya Basuki yang dipilih ialah Biru, Astral Astria,
dan Paris Pandora. Ketiga novel ini dipilih karena memuat permasalahan
kecantikan pada masa kini.
Dalam Biru digambarkan bagaimana tokoh-tokoh perempuan terobsesi
dengan kecantikan tubuh, terutama tubuh yang dimiliki Candy. Tubuh Candy
menjadi objek acuan untuk kecantikan tubuh perempuan. Tubuh Candy
merupakan hasil perpaduan Indo-Eropa. Berikut kutipannya.
Wajahku adalah hasil dari perpaduan Mama yang Manado-Sunda-Belanda
dan Papa yang Jawa-Belanda-Inggris. Orang-orang menyebut mata sipitku
yang berpadu dengan hidung mancung, pipi menonjol, bibir kecil dan kulit
kuningku sebagai eksotis. Di Singapura sini mereka menyebutku ‘campur-
campur’. (Basuki, 2003:15)
Kecantikan tubuh Candy yang hasil campuran Manado-Sunda-Belanda
dan Jawa-Belanda-Inggris menjadi standar kecantikan bagi tokoh-tokoh
perempuan seperti Lindih, Kira, dan Anna. Kecantikan tubuh tokoh-tokoh tersebut
selalu dikaitkan, disamakan, atau bahkan dibandingkan dengan kecantikan tubuh
Candy. Tubuh Candy seakan dijadikan ukuran yang hakiki untuk kecantikan
tubuh perempuan. Bila diidentifikasi penggambaran tersebut menandakan adanya
proses kolonialisme dalam pandangan mengenai kecantikan perempuan.
Kolonialisme tersebut seakan mempromosikan pandangan bahwa
kecantikan perempuan hanya tercermin pada tubuh-tubuh perempuan yang
bergaris keturunan Eurasian atau Eropa. Tubuh Candy yang dapat dikatakan
sebagai tubuh Eurasian menjadi motor untuk mengungkapkan bahwa pandangan
mengenai kecantikan perempuan terjajah oleh pandangan yang mengekalkan
tubuh perempuan yang berketurunan Eurasian atau Eropa sebagai standar
kecantikan perempuan. Dengan demikian Biru hendak menggambarkan bahwa
pandangan mengenai kecantikan perempuan terjajah oleh pandangan sang
penjajah.
Berbeda dengan Biru, dwilogi Astral Astria dan Paris Pandora
menggambarkan pandangan yang bebas mengenai kecantikan. Disamping itu,
tergambar pandangan mengenai kecantikan yang berdasarkan idealisme Jawa.
Kecantikan perempuan tergambar sebagaimana dalam tuntunan serat-serat Jawa.
Kecantikan yang dimaksud ialah kecantikan yang dihasilkan dengan meneladani
kelembutan hati, dan kesatriaan peranan dewi-dewi dalam kisah pewayangan.
Dewi yang diacu dalam dwilogi ini adalah Dewi Sima.
Dewi Sima dikenal sebagai putri cantik yang memerintah kerajaan Keling.
Dewi Sima dikisahkan cantik, pandai, berani, dan berhati mulia. Jejaknya dapat
ditelusuri dari candi-candi yang berada di Dieng. Ia termashur sebagai pendiri
candi-candi tersebut.
Dalam dwilogi tersebut, Dewi Sima dikisahkan menitis dalam diri Astria
Sima. Kecantikan Astria menjadi contoh kecantikan perempuan yang berbeda,
yaitu tidak dilihat dan dipandang pada fisik semata. Kecantikan Astria
sebagaimana Dewi Sima terpancar dari kecerdasannya sebagai seorang arsitektur,
dan dari kebaikan hatinya sebagai seorang pendiri yayasan sosial.
Penggambaran kecantikan non fisik yang tercermin dalam sosok Astria,
dan penggambaran kecantikan perempuan lainnya yang tidak terpengaruh oleh
kecantikan sosok tertentu menandakan adanya keberagaman kecantikan yang
harus dipandang dan diakui masyarakat.
Dari uraian di atas, secara garis besar penggambaran dan pandangan
mengenai kecantikan di dalam Biru dan dwilogi Astral Astria dan Paris Pandora
berbeda. Perbedaan itu menjadi kaitan tersendiri antara Biru dan dwilogi Astral
Astria dan Paris Pandora untuk dikaji dalam lingkup penelitian mengenai mitos
kecantikan.
Untuk menggali mitos kecantikan dalam ketiga karya itu, penulis
menggunakan pendekatan Mitos kecantikan yang diusung Naomy Wolf. Analisis
yang digunakan Wolf dalam menggali mitos kecantikan terfokus pada perilaku.
Karena menurut Wolf, mitos kecantikan beroperasi di dalam perilaku bukan pada
penampakan (2004:32). Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang
terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan (Moeliono
dkk.1988:671).
Perilaku yang dimaksud contohnya melakukan diet atau melakukan
operasi sedot lemak dalam menanggapi simbol kecantikan langsing, atau
memutihkan tubuh dalam menanggapi simbol kecantikan putih, memakai krim
awet muda dalam menanggapi simbol kecantikan kemudaan, atau merasa iri
terhadap sosok yang diidealkan dalam menanggapi simbol-simbol kecantikan.
Perilaku-perilaku itu merupakan realisasi dari tanggapan seseorang terhadap
simbol kecantikan. Dalam tanggapan tersebut, mitos kecantikan berlaku. Mitos
kecantikan mendorong seseorang yang terpengaruhi mitos kecantikan untuk
melakukan hal-hal yang berlebihan dalam menanggapi simbol kecantikan.
Mitos kecantikan tidak dapat dilihat dari simbol kecantikan. Simbol
kecantikan tidak akan menjadi masalah, selama perempuan tidak
mempermasalahkan simbol kecantikan pada tubuhnya. Simbol kecantikan atau
penampakan seperti tubuh langsing, kulit putih atau mulus, rambut lurus, hidung
mancung, dan dada berisi tidak akan menjadi masalah bagi seseorang hingga
seseorang itu melakukan tindakan-tidakan yang mengarah pada penilaian atau
penyesuaian tubuhnya dengan simbol kecantikan tertentu. Maka dari itu, dalam
perilakulah mitos kecantikan dapat dilihat.
Sehubungan dengan hal di atas perilaku-perilaku tokoh atau tanggapan
individu yang dapat dilihat dari sikap (perasaan dan pikiran), gerak-gerik, atau
ucapan, dalam menanggapi simbol kecantikan tertentu di dalam ketiga naskah
novel tersebut menjadi objek kajian. Selanjutnya, perilaku-perilaku tersebut
diidentifikasi untuk mengetahui makna penggambarannya, yaitu sebagai
pengukuhan atau pembebasan dari mitos kecantikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hamidy, Zainudin, dkk. 1986. Terjemah Hadits Shahih Bukhari Jilid 4. Jakarta:
Widjaya Anggota IKAPI.
Herliany, Dorothea Rosa (Ed.). 2008. Kecantikan Perempuan Timur. Jakarta. Tera
Indonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Jakarta: Ganesha.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2003. Becoming White: Representasi Ras, Kelas,
Feminitas Dan Globalitas Dalam Iklan Sabun.Yogyakarta: Jalasutra.
____________. 2007. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop.
Yogyakarta: Jalasutra.
Sulistyaningrum, Rahma Kusuma. 2011. Mitos Kecantikan Dalam Tayangan
Pemilihan Putri Indonesia 2009. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang:
Program Sarjana Universitas Dipenogoro Semarang.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif
Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan oleh Aquarini
Priyatna Prabasmoro. 2010. Yogyakarta: Jalasutra.
Wolf, Naomy. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan.
Terjemahan Alia Swastika. 2004. Yogyakarta: Niagara.
Yahya, Imam Abu Jakariya bin Syarif Nawawi. 2002. Riyadussholihin. Semarang:
Toha Putra.
Daftar Referensi Internet
Munfarida, Elya. 2007. Genealogi Kecantikan. Vol. 5, No. 2, (http : // p3m. stain.
ibda/ diakses Juli-Desember 2007)
2012. Wanita Cantik dalam Mitologi.
(http://gohotkaskus.blogspot.com/2012/11/13-wanita-cantik-dan-
mematikan-dalam.html diakses November 2012)
DAFTAR KAMUS
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.