23
MITOS KECANTIKAN DALAM NOVEL BIRU, ASTRAL ASTRIA, DAN PARIS PANDORA KARYA FIRA BASUKI Penulis: Sri Ulpah Pembimbing Utama: Abdul Hamid, M.Hum Pembimbing Pendamping: Dr. Lina Meilinawati, M. Hum (Program Studi Sastra Indonesia) ABSTRACT This paper is entitled “The Myth of Beauty in Novel Biru of Astral Astria and Paris Pandora by Fira Basuki. The discussion was focused on the behavior of the characters in responding to the beauty or the symbol of female beauty. To conduct the research the author used Qualitative Research Method by analyzing the myth of beauty which was initiated by Naomy Wolf. The result of the study showed that there were a lot of problems in manuscript of Novel Biru of Astral Astria and Paris Pandora, the problems concerned on the beauty its self and in affording redefinition of beauty. The redefinition was conducted by opposition or by contradicting between bodies which were seen as separated parts and women which were seen as a whole, between statics beauty and dynamics beauty, between defining beauty which was coming from others and defining beauty which was coming from own self, between painful beauty and entertaining beauty.

MITOS KECANTIKAN DALAM NOVEL BIRU

  • Upload
    unpad

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MITOS KECANTIKAN DALAM NOVEL BIRU,

ASTRAL ASTRIA, DAN PARIS PANDORA

KARYA FIRA BASUKI

Penulis: Sri Ulpah

Pembimbing Utama: Abdul Hamid, M.Hum

Pembimbing Pendamping: Dr. Lina Meilinawati, M. Hum

(Program Studi Sastra Indonesia)

ABSTRACT

This paper is entitled “The Myth of Beauty in Novel Biru of Astral Astria

and Paris Pandora by Fira Basuki. The discussion was focused on the behavior of

the characters in responding to the beauty or the symbol of female beauty. To

conduct the research the author used Qualitative Research Method by analyzing

the myth of beauty which was initiated by Naomy Wolf. The result of the study

showed that there were a lot of problems in manuscript of Novel Biru of Astral

Astria and Paris Pandora, the problems concerned on the beauty its self and in

affording redefinition of beauty. The redefinition was conducted by opposition or

by contradicting between bodies which were seen as separated parts and women

which were seen as a whole, between statics beauty and dynamics beauty,

between defining beauty which was coming from others and defining beauty

which was coming from own self, between painful beauty and entertaining beauty.

In essence, the redefinitions of beauty are aimed to free female bodies from

shackles of the myth of beauty.

Kata cantik merupakan jenis kata sifat yang berarti elok, molek, atau

rupawan tentang wajah atau muka (Moeliono dkk., 1988:150). Kecantikan berarti

keelokan atau kemolekan tentang wajah atau muka (Moeliono dkk., 1988:151).

Istilah cantik atau kecantikan pada hakikatnya menunjukkan sifat umum, tidak

hanya melekat pada perempuan. Hal itu terbukti dengan pemahaman kecantikan

dalam mitologi kuno di Barat, juga pada Suku Woodabe di Negeria dan suku

Fulani di Afrika Barat.

Dalam mitologi dikisahkan dewa-dewa perempuan yang memerintah

Mediterania sejak tahun 25.000 SM hingga 700 SM digambarkan sebagai sosok

penentu atau pemilih laki-laki (Wolf, 2004:31). Dalam kedudukan sebagai

pemerintah, dewa-dewa perempuan memiliki otoritas untuk memilih sesuatu yang

diinginkannya. Begitu pula dalam hal memilih laki-laki. Dewa-dewa perempuan

memiliki otoritas untuk memilih laki-laki yang diinginkan sesuai dengan

kriterianya.

Dalam mitologi tersebut, dikisahkan bahwa dewa-dewa perempuan yang

berusia lebih tua menyukai dan menikahi lebih dari satu dewa laki-laki yang lebih

muda, misalnya Ishtar dengan Tammuz, Venus, dan Adonis, Cybele dan Attis,

Isis, dan Orisis, atau yang lainnya (Wolf, 2004:31). Atas dasar hal itu, dewa laki-

laki yang lebih muda tentunya akan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat

menarik perhatian dewa-dewa perempuan. Seperti halnya perempuan yang

berusaha untuk menarik perhatian laki-laki, dewa laki-laki akan merias diri sesuai

dengan simbol kecantikan atau ketentuan yang berlaku.

Laki-laki suku Woodabe juga dikisahkan pandai merias diri untuk

menarik perhatian perempuan di suku tersebut. Bukan hanya itu, mereka juga

menggunakan busana provokatif, menunjukkan pinggang-pinggang mereka yang

ramping, dan memasang tampang yang menggoda untuk menarik perhatian

perempuan yang berperan sebagai pemengang perekonomian di suku Woodabe

(Wolf, 2004:31). Hal-hal yang dilakukan lelaki suku Woodabe merupakan

tindakan atau sikap penyesuaian kecantikannya dengan simbol kecantikan yang

berlaku atau yang umum diinginkan perempuan di kebudayaan tersebut.

Hal serupa terjadi pada suku pedalaman Fulani, para perempuan suku

Fulani memilih suami berdasarkan kecantikannya (Wolf, 2004:592). Namun, tidak

diketahui pembagian peran laki-laki sebagai yang dipilih dan perempuan yang

memilih atas dasar kekuasaan perempuan tertentu atau hal lainnya.

Perilaku para dewa laki-laki, para laki-laki di suku Woodabe dan Fulani

yang melakukan penyesuaian penampilannya dengan simbol kecantikan yang

berlaku, menjelaskan bahwa istilah kecantikan dapat melekat pada laki-laki.

Kecantikan tidak hanya melekat pada perempuan. Kecantikan menjadi kegiatan

yang biasa dilakukan laki-laki untuk menarik perhatian perempuan. Hal tersebut

terjadi karena perempuan pada masa dan ruang tersebut memegang kekuasaan

tertentu.

Namun, seiring dengan perkembangan budaya kecantikan, istilah tersebut

identik untuk rupa perempuan. Hal itu lebih jelas dengan adanya kontes

kecantikan, seperti ajang Pemilihan Putri Indonesia dan Miss World. Cantik atau

kecantikan menjadi sifat khusus bagi perempuan dan melekat hanya pada

perempuan. Saat ini, apabila laki-laki melakukan hal yang berkaitan dengan

kecantikan, ia akan dikategorikan sebagai banci atau waria, bukan laki-laki

(Munfarida, 2007:2). Kini, bila laki-laki mempercantik diri akan dianggap tidak

normal.

Berbicara mengenai kecantikan perempuan, kita akan mengetahui beragam

gambaran simbol kecantikan. Simbol kecantikan merupakan bentuk, standar,

ukuran, atau ketentuan kecantikan yang dapat dilihat pada tubuh bagian luar atau

fisik. Perawan, mampu bereproduksi, langsing, kulit terang, kulit mulus, tinggi,

cantik, rambut lurus, dan hidung mancung merupakan contoh dari simbol

kecantikan pada masa kini.

Kecantikan perempuan pada peradaban Barat dapat ditelusuri dari

mitologi (Munfarida, 2007:4). Dalam mitologi terdapat kisah mengenai para

perempuan cantik yang menjadi iblis-iblis mematikan, seperti medusa. Medusa

dikisahkan sebagai perempuan cantik yang menempati kuil Athena. Namun

karena Medusa diperkosa oleh Poseidon, Zeus merasa murka dan akhirnya

mengubah wujudnya menjadi buruk rupa, dan rambutnya menjadi ular. Selain itu,

Medusa juga dikutuk, siapa pun yang melihat matanya maka orang itu akan

menjadi batu. Kisah ini dikutip dari http://gohotkaskus.blogspot.com/2012/11/13-

wanita-cantik-dan-mematikan-dalam.html.

Keperawan Medusa secara implisit menjadi syarat atau simbol kecantikan

perempuan disamping cantik rupanya. Setelah keperawanan hilang, meskipun

bukan karena kesalahannya Medusa diubah menjadi buruk rupa dan dikutuk. Hal

yang terjadi pada Medusa menjadi dasar untuk simbol kecantikan perempuan.

Keperawanan menjadi salah satu simbol kecantikan perempuan. Ketentuan

tersebut berlaku di kehidupan masa kini. Bila perempuan hilang keperawanannya

baik kecelakaan atau disengaja yang terjadi dengan dasar di luar norma, hilanglah

kecantikan dan datanglah kutukan. Perempuan akan merasakan kutukan sepanjang

hidupnya dengan pandangan-pandangan pengasingan, atau penghinaan.

Beranjak ke kecantikan perempuan di Barat yang tergambar pada abad

tertentu yang dapat ditelusuri dari patung-patung dan lukisan-lukisan kuno

(Munfarida, 2007:4). Penelusuran dapat pula seperti yang dilakukan Wolf. Ia

menelusuri simbol kecantikan dari fenomena-fenomena yang terjadi di

masyarakat melalui media massa. Simbol kecantikan di Barat menurut Wolf

terbagi ke dalam empat simbol kecantikan yang dominan dalam tenggang waktu

yang berbeda sesuai masa keberlakuannya.

Pada abad pertengahan perempuan dikatakan cantik apabila ia mampu

bereproduksi (Wolf, 2004). Bila tidak dapat bereproduksi seperti mandul dan

menopause, perempuan akan merasa terasing, dan terhina di dalam

lingkungannya. Kemampuan bereproduksi menjadi simbol kecantikan bagi

perempuan pada masa tersebut. Masa kini pun, rahim yang produktif masih

berlaku sebagai simbol kecantikan perempuan.

Pada abad ke 15-17 perempuan yang dianggap cantik adalah perempuan

yang memiliki perut dan panggul mengembang, serta dada yang montok (Wolf,

2004:361). Bagian-bagian tubuh tersebut masih berkaitan dengan hal kemampuan

bereproduksi. Hanya bergeser, dari kemampuan bereproduksi ke anggota tubuh

yang menandakan kemampuan bereproduksi atau kesuburan. Perut dan panggul

mengembang menandakan kesuburan yang terwujud dalam banyaknya lemak.

Karena lemak pada tubuh perempuan berfungsi sebagai pengatur reproduksi

(Wolf, 2004: 380). Disamping itu, dada yang montok menandakan kemampuan

menyusui. Dengan demikian kemampuan reproduksi masih menjadi simbol

kecantikan perempuan, hanya berbeda wujudnya.

Perempuan cantik pada abad ke-18 dan ke-19 ialah perempuan berwajah,

dan berbahu bulat atau gemuk (Wolf, 2004:361). Wujud kegemukan menjadi hal

yang dipuja-puja dan diusahakan perempuan pada tersebut. Oleh karena itu hal

yang sebaliknya akan terjadi. Tubuh kurus akan menjadi sebab terasingnya atau

terhinanya perempuan. Untuk itu, kegemukan menjadi simbol kecantikan pada

masa tersebut.

Pada abad ke 20, perempuan yang dianggap cantik ialah perempuan yang

memiliki paha serta pantat yang besar dan kencang (Wolf, 2004:361). Pada masa

itu perempuan sudah memiliki hak untuk bekerja di ruang publik dan hak

mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Namun, perempuan tetap

menjadi pengurus rumah tangga tunggal. Simbol kecantikan pada abad ini identik

dengan sebutan super women. Peran domestisitas dan peran pekerja menjadi dasar

simbol kecantikan perempuan.

Selain di Barat, simbol kecantikan di suku-suku bangsa yang berada di

negara tertentu dan pada masa tertentu, berbeda-beda pula. Di Cina pada abad ke

10 sampai 1900-an, dikenal istilah foot binding atau pengecilan telapak kaki pada

perempuan sebagai simbol kecantikan. Foot binding diberlakukan bagi

perempuan-perempuan dari keluarga kaya, dan anak perempuan pertama dari

keluarga miskin. Proses pengecilan dilakukan dengan mengikat kuat telapak kaki

hingga menekuk ke tumit. Tujuannya ialah sebagai penanda kasta bagi perempuan

kaya, upaya peninggian derajat bagi anak perempuan dari keluarga miskin, dan

utamanya sebagai penanda seksualitas perempuan.

Sebagaimana dikatakan Drowkin dalam Wolf (2004:487) bagi masyarakat

Cina pada masa itu, mengikat kaki ... memiliki alasan yang sifatnya seksual,

berguna untuk memperbaiki vagina dan memunculkan kesenangan yang

supranatural dalam melakukan hubungan seksual. Fungsi kaki berubah, dari

fungsi untuk berjalan ke fungsi seksual. Untuk itu, dalam pemahaman masyarakat

tersebut, kaki kecil menjadi ciri seksualitas perempuan. Dalam pandangan sosial

di masyarakat tersebut, kaki kecil dianggap kaki yang cantik, sementara kaki yang

normal dianggap kaki yang buruk.

Pada kenyataannya tidak demikian. Secara biologis Kaki kecil yang cantik

merupakan kaki yang tidak normal dan tidak berfungsi dengan baik. Dworkin

menjelaskan bahwa dalam pengecilan kaki, lapisan kulitnya seringkali menjadi

berada dalam kondisi kontraksi organik selama diikat dan sering kali satu atau

lebih jari kaki fungsinya menurun (Wolf, 2004:487). Dengan demikian pengecilan

kaki merupakan tindakan yang menyimpang secara biologis.

Lain lagi yang terjadi pada perempuan di Suku Karen yang mendiami

perbatasan Thailand dan Myanmar. Perempuan pada suku Karen diwajibkan

untuk memanjangkan leher. Proses memanjangkan leher dilakukan dengan

menggunakan gelang leher yang terbuat kuningan. Gelang tersebut akan

ditambahkan satu persatu setiap umur bertambah, hingga usia 25 tahun. Saat ini

ketentuan tersebut masih berlaku dan dilestarikan sebagai aset budaya oleh

pemerintah Thailand. Pada kenyataannya kebiasaan tersebut jelas-jelas

menampakkan kesakitan dan penderitaan pada tubuh perempuan yang akan

dialami sepanjang hidupnya. Bila gelang-gelang leher ditanggalkan, tulang leher

tidak akan mampu menyangga kepala dengan baik. Kesehatan dan keberfungsian

tubuh yang normal secara biologis terabaikan hanya untuk melestarikan

kecantikan yang berlaku di kebudayaan tersebut. Fungsi leher secara sosial beralih

menjadi simbol kecantikan perempuan.

Beralih ke kecantikan perempuan suku Masai di Benua Afrika. Telinga

panjang dengan anting-anting yang berdiameter besar diyakini perempuan suku

tersebut sebagai sumber kecantikan sebenarnya. Perempuan tertuntut untuk

memperbesar diameter anting-anting pada telinga sepanjang hidupnya. Karena

semakin besar diameter anting-anting di telinga, semakin tinggilah nilai

kecantikan. Pemanjangan telinga dilakukan dengan cara menindikkan anting-

anting yang terbuat dari benda-benda berdiameter besar seperti ranting, bebatuan,

atau gading gajah.

Selain memanjangkan telinga, perempuan suku Masai juga memplontosi

kepala dan mencabut dua gigi tengah bagian atas. Panjangnya telinga, plontosnya

kepala, dan pencabutan dua gigi tengah bagian atas menjadi simbol kecantikan

bagi perempuan suku Masai. Telinga, kepala, dan gigi memiliki fungi khusus

secara sosial sebagai penentu kecantikan perempuan.

Tindakan untuk menjadi cantik yang lebih ekstrim terjadi pada perempuan

suku Mursi, di Sundan-Afrika. Perempuan menindik dan meregangkan bibir

bagian bawah, kemudian memasang piringan berbentuk bulat datar, yang

ukurannya semakin besar setiap waktu tertentu. Besarnya piringan pada bibir

menandakan kecantikan, ketinggian status, dan kematang seksualitas perempuan.

Fungsi bibir sebagai alat ucap beralih secara sosial menjadi simbol kecantikan.

Keberagaman simbol kecantikan perempuan tampak pula di Indonesia

yang tentunya diketahui memiliki suku-suku yang beragam. Sejarah klasik Jawa

menggambarkan simbol kecantikan perempuan pada masanya dalam relief-relief,

candi-candi, dan serat-serat di keraton kesultanan (Herliany, 2008:18). Sosok

ideal dalam kebudayaan Jawa adalah perempuan yang mampu merawat kedua

bagian tubuh, yaitu jiwa dan raga. Perempuan Jawa diajarkan untuk merawat

kehalusan tubuh juga kehalusan dalam tingkah laku sebagai cerminan kebaikan

jiwa.

Untuk menghaluskan tubuh, ramuan-ramuan dalam bentuk jamu menjadi

bahan-bahan penghalusan tubuh atau fisik. Hal itu seperti tertuang dalam visi dan

misi dari produk-produk Martha Tilaar yang mengemas ramuan-ramuan tersebut

menjadi kosmetik yang modern untuk perawatan tubuh (Herliany, 2008:19).

Sementara untuk kecantikan jiwa, perempuan Jawa diajarkan untuk menapaki

jejak dari karakteristik dewi-dewi dalam kisah pewayangan. Perempuan diajarkan

untuk memiliki sifat setia seperti Dewi Sinta, berani seperti Srikandi, keibuan

seperti Dewi Kunti dan Subadra, dan cerdas seperti Dewi Saraswat (Herliani,

2008:22). Dengan demikian simbol kecantikan di Jawa ialah sosok yang memiliki

kelembutan tubuh yang terawat ramuan atau kosmetik, dan kelembutan jiwa yang

tercermin dalam kesetiaan, keberanian, keibuan, dan kecerdasan.

Selanjutnya, perempuan cantik di suku Kayan Kalimantan ialah

perempuan yang bercuping telinga panjang (Herliany, 2008:35). Perbedaan

pemanjangan telinga dengan suku Masai ialah pada penggunaan anting-anting.

Pada suku Masai anting yang digunakan terbuat dari benda-benda seperti ranting,

dan gading yang berdiameter besar. Di suku Kayan anting yang digunakan terbuat

dari kuningan dengan diameter serupa gelang tangan. Konon anting-anting ini

akan ditambahkan sesuai penambahan usia. Panjang ideal cuping ialah hingga

menyentuh dada.

Disamping itu, perempuan suku tersebut mempercantik diri dengan

menato tubuhnya. Tubuh yang ditato antara lain tangan, lengan dan paha.

Penatoan dilakukan dengan menggunakan jarum (tedak), dan dibubuhi asap pelita

minyak tanah sebagai catnya (Herliany, 2008:35). Dalam kegiatan penatoan,

dijelaskan selalu timbul rasa sakit dan pembengkakan kulit yang dirasakan selama

beberapa hari. Namum hal itu tetap dilakukan perempuan di suku tersebut.

Pemanjangan cuping telinga dan penatoan tubuh menjadi simbol kecantikan

perempuan di suku Kayan.

Selanjutnya kecantikan dalam kebudayaan Islam seperti yang dibudayakan

di Serambi Mekah atau Aceh, pada hakikatnya bersebrangan dengan kecantikan-

kecantikan yang telah dipaparkan. Islam tidak menentukan simbol kecantikan bagi

perempuan yang selalu terwujud dalam keindahan atau kecantikan tubuh. Dalam

hadis dikatakan bahwa Allah tidak melihat kamu dari anggota tubuhmu dan

rupamu, Allah hanya melihat hatimu (Yahya, 2002:11).

Hadis tersebut mengisyaratkan kepada manusia (laki-laki dan perempuan)

bahwa Allah tidak memandang siapa pun dari hidung, wajah, mata, telinga, kulit,

atau apapun dari tubuh yang sering diistimewakan manusia. Allah juga tidak akan

melihat manusia dari rupa hitam-putih, indo-jawa tulen, kaukasian-asia, kaya-

miskin, atau pejabat-rakyat. Allah hanya akan melihat pada hati. Hati yang

dimaksud adalah sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai

tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian,

perasaan-perasaan, dan pertimbangan-pertimbangan (Moeliono dkk., 1988:301).

Islam tidak mengajarkan bagaimana perempuan menjadi cantik. Islam

hanya mengajarkan manusia untuk menjaga dan mensyukuri tubuh ciptaan-Nya,

seperti adanya larangan menato tubuh (Hamidy, 1986:45). Penatoan tubuh

dipahami sebagai perbuatan mendzalimi atau menyakiti tubuh. Untuk itu, hal-hal

yang sifatnya menyakiti tubuh, meskipun dengan alasan mempercantik diri tidak

dibenarkan dalam Islam.

Berbanding terbalik dengan kecantikan di masa kini. Peribahasa Prancis

menyatakan bahwa pada masa kini seseorang harus menderita bila ingin cantik,

dan dikatakan Yeats perempuan harus bekerja keras bila ingin cantik (dalam

Wolf, 2004:433). Sebagai contoh, perempuan yang bertubuh gemuk akan

menjadwalkan diet, atau bahkan operasi sedok lemak guna melangsingkan tubuh.

Diet yang keras dapat menimbulkan gejala anorexia atau bulimia. Operasi sedot

lemak dapat menimbulkan pendarahan dan kehilangan rasa (Wolf, 2004:504).

Perempuan masa kini rela menyakiti tubuhnya untuk menjadi cantik. Rasa sakit

seolah dinikmati dan dianggap biasa. Di samping itu, perempuan harus kehilangan

waktu dan uang untuk mengusahakan kecantikan. Untuk melakukan diet atau

sedot lemak sudah tentu ada waktu yang diluangkan dan uang yang dikeluarkan.

Simbol kecantikan masa kini tidak hanya terdapat dalam tubuh yang

langsing. Simbol itu umumnya terdapat dalam kulit yang putih mulus tanpa noda,

rambut ikal atau lurus yang terawat salon, hidung yang mancung, dan payudara

berisi. Simbol kecantikan tersebut biasanya direpresentasikan oleh paras-paras

model atau aktris indo yang tersebar di berbagai media masa.

Media massa memiliki peran penting dalam menyebarkan simbol

kecantikan. Contoh nyata pada masa kini penyebaran simbol kecantikan dilakukan

melalui televisi, khususnya tayangan iklan. Iklan-iklan di televisi baik produk

yang berkaitan dengan kecantikan maupun produk yang tidak berkaitan dengan

kecantikan, umumnya memanfaatkan jasa model iklan atau aktris yang bertubuh

langsing, berkulit putih, berwajah mulus, dan berambut ikal atau lurus, berhidung

mancung, dan bermata bulat (tidak sipit), seperti pada iklan, Sliming Tea,

Termolite Plus, Clear, Pond’s. Tanpa disadari iklan-iklan itu mengajarkan

perempuan dan laki-laki yang telah dewasa, remaja, atau kanak-kanak untuk

mendefinisikan kecantikan tubuh perempuan hanya pada simbol-simbol

kecantikan tersebut. Definisi cantik pada umumnya hanya tergambar dalam tubuh

model dan aktris, yaitu langsing, putih, mulus, mancung dan lainnya, seperti tubuh

perempuan indo Eropa.

Namun seiring perkembangan budaya populer, kecantikan masa kini

diketahui telah mengalami sedikit pergeseran. Kecantikan itu mengarah ke

kecantikan Asia Timur seperti pada Jepang, Cina, dan Korea (Prabasmoro,

2004:328). Dengan kata lain, wajah indo tergeser oleh wajah oriental. Pergeseran

itu menurut Prabasmoro terletak pada tren rambut, dari tren yang beragam ke tren

yang hanya memberlakukan tren rambut lurus (2004:328-329). Sementara itu

simbol kecantikan lainnya tetap, yaitu tubuh yang langsing, kulit yang putih dan

mulus, hidung yang mancung, dan lainnya.

Keberagaman simbol kecantikan pada ruang dan waktu tertentu

menyiratkan bahwa tidak ada yang hakiki dalam simbol kecantikan. Simbol itu

hakikatnya akan berubah atau bergeser, dan berbeda-beda seiring perkembangan

kebudayaan. Kecantikan perempuan di Barat dari abad ke abad tertentu berubah-

ubah. Dari kemampuan reproduksi, ke kegemukan bagian-bagian tubuh yang

berkaitan dengan reproduksi. Kemudian berubah lagi ke kegemukan dan

kebulatan pada wajah dan bahu, dan berubah lagi ke bentuk super women.

Begitu juga kecantikan perempuan di berbagai suku bangsa di dunia dan di

Indonesia, berbeda-beda atau beragam. Simbol-simbol tersebut antara lain:

berkaki kecil, bertelinga panjang, berleher panjang, berbibir lebar, bertato, bersifat

lembut, berbudi luhur, dan berhati mulia. Kecantikan masa kini mengalami sedikit

pergeseran dalam hal rambut, dari beragam ke seragam, atau dari ikal atau lurus

ke lurus saja.

Perubahan, perbedaan, dan pergeseran simbol kecantikan menyiratkan

bahwa simbol kecantikan tertentu tidak harus diyakini sebagai satu-satunya

simbol kecantikan yang harus dicapai oleh tubuh perempuan. Kriteria, bentuk

nilai, atau ukuran kecantikan akan terus berubah dan bergeser dari masa ke masa,

dan berbeda penafsiran di berbagai ruang dalam masyarakat dan bahkan dalam

ruang benak perorangan. Munfarida mengatakan sebagai berikut.

Ukuran kecantikan terkait dengan idealitas bentuk tubuh perempuan sangat

relatif, serta berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya,

bahkan satu masyarakat pada masa tertentu dengan masa yang lain, di

samping perbedaan-perbedaan antarsetiap individu. (2009:5)

Kecantikan tubuh hakikatnya bersifat relatif, tidak akan sama dalam

pandangan seseorang, antara yang satu dengan yang lain, dan antara ruang dan

waktu tertentu. Hal itu perlu dipahami dengan baik oleh siapapun agar tidak ada

intimidasi terhadap perempuan yang didasarkan atas kecantikan tubuh, misalnya

antara si gemuk dan yang langsing, atau si hitam dan yang putih.

Berdasarkan penggambaran simbol kecantikan di berbagai ruang dan

waktu tertentu perlu disadari pula bahwa kecantikan itu dibentuk oleh lingkungan

sosial. Menurut Wolf, masyarakat telah memberikan penghargaan yang lebih

terhadap kecantikan pada sisi luar ketimbang kesehatan pada sisi dalam

(2004:458). Dengan demikian lingkungan sosial berperan aktif dalam menentukan

norma-norma kecantikan untuk tubuh perempuan.

Norma kecantikan tersebut cenderung menempatkan kondisi perempuan

pada keadaan yang hiperealistis. Ketentuan biologis tentang tubuh tergeser

ketentuan sosial. Dalam pandangan sosial tubuh normal yang berfungsi dengan

baik dianggap tubuh yang tidak cantik. Sementara itu tubuh yang tidak normal

dan tidak berfungsi baik dianggap tubuh yang cantik. Hal tersebut contohnya

penetapan foot binding sebagai simbol kecantikan pada masyarakat Cina.

Pada masyarakat Cina kaki normal dan berfungsi dengan baik dianggap

tidak cantik. Sebaliknya, kaki kecil yang tidak normal dan tidak berfungsi dengan

baik dianggap cantik. Dengan demikian, pandangan terhadap tubuh perempuan

berubah dari realistis ke hiperealistis.

Kondisi seperti itu terjadi pula pada masa kini. Sebagai contoh kasus

terjadi di Kanada, 25 % perempuan menggunakan pil diet untuk mencuci perut

dan melakukan puasa dalam upaya mengendalikan dan mengekang bobot tubuh

(Prabasmoro, 2003:20). Perempuan menjadi tidak realistis dengan mengagungkan

satu bentuk tubuh untuk kecantikan tubuh perempuan. Begitu pula dalam hal

bedah kosmetik. Bedah kosmetik merupakan bidang spesialisasi medis yang

berkembang paling cepat dan 87% pasiennya adalah perempuan. Hal tersebut

dikutip dari Media Watch Canada Transcripts 2000 (Prabasmoro, 2003:21).

Perempuan menjadi tidak realistis dengan menganggap kecantikan hanya terdapat

dalam topeng hasil bedah kosmetik.

Dapat disimpulkan bahwa kecantikan perempuan secara umum dipandang

dan diakui oleh masyarakat hanya tercermin pada fisik. Perempuan sebagaimana

manusia lainnya tidak tercipta dengan fisik semata. Ia juga tercipta dengan tubuh

non fisik. Masyarakat sebagai penentu norma kecantikan sering abai untuk

memandang dan mengakui kecantikan non fisik pada perempuan. Padahal

kecantikan non fisik merupakan nilai kecantikan yang tidak akan lekang oleh

waktu, seperti budi pekerti yang luhur dan akhlak mulia. Berbeda halnya dengan

kecantikan fisik yang akan habis dimakan waktu.

Berdasarkan permasalahan-permasalah mengenai kecantikan maka wacana

mengenai kecantikan menjadi hal yang penting untuk diungkapkan.

Pengungkapan wacana dapat ditinjau melalui analisis mitos. Hal itu didasari

pendapat Barthes (2010:296) bahwa segala hal yang ada di masyarakat dapat

menjadi mitos asalkan dituangkan dalam sebuah wacana.

Mitos yang berlaku dalam hal kecantikan dikhususkan dalam kajian mitos

kecantikan. Mitos kecantikan menyatakan bahwa kualitas yang disebut dengan

cantik benar-benar ada, secara objektif dan universal (Wolf, 2004: 29). Kualitas

cantik benar-benar ada secara objektif pada tubuh perempuan seperti yang

tercermin dalam simbol kecantikan seperti tubuh langsing, kulit putih dan mulus,

rambut lurus, atau hidung mancung. Simbol kecantikan itu kemudian diyakini

secara universal karena disebarluaskan secara intens oleh media massa. Untuk itu,

siapa pun bila ditanya mengenai kecantikan perempuan seperti apa, tentu jawaban

pada umumnya akan mengarah pada tubuh langsing, kulit putih mulus, rambut

lurus, atau hidung mancung. Kecantikan hakikatnya relatif bukan objektif.

Kecantikan di dalam benak orang per orangan berbeda-beda sehingga kecantikan

tidak harus berlaku universal.

Mitos kecantikan dikembangkan dari perilaku yang mengidealkan atau

mengidolakan perempuan yang rela mengorbankan diri (Beauvoir dalam Tong,

2010:268). Jejaknya dapat dilihat dalam kisah pewayangan, Sinta rela

mengorbankan diri demi kesucian rama. Pada abad ke-15 sampai ke-17

perempuan mengorbankan diri dengan hanya berdiam di dalam rumah demi suami

dan anak-anak dan mengabaikan peningkatan diri. Pada abad 20-an perempuan

mengorbankan diri untuk mengerjakan perkerjaan dengan dua shift, di kantor dan

di rumah demi keluarga. Masa kini, perempuan mengorbankan diri untuk

menghabiskan waktu dan uang demi menjadi cantik. Perempuan masa kini sudah

meraih hak atas ruang publik, tetapi menjadi sangat sibuk memperhatikan

ketidaksempurnaan tubuhnya, dibanding sibuk meraih prestasi atau pencapaian

lainnya dalam hidup. Pada akhirnya perempuan tidak mempunyai banyak waktu

untuk meningkatkan pikirannya (Beauvoir dalam Tong, 2010:277).

Perempuan masa kini harus bekerja dengan tiga shift, di kantor, di rumah,

dan di salon-salon atau spa (Wolf, 2004). Waktu dan hasil usaha perempuan

dikorbankan di salon dan spa. Akhirnya, perempuan terjerembab dalam lubang

yang sama meski berbeda bentuknya, yaitu mengorbankan diri. Mitos kecantikan

membuat perempuan tidak akan mampu membebaskan diri untuk meningkatkan

pikiran, kreativitas, atau potensi diri, sebelum terbebas dari tubuhnya. Dengan

demikian pengungkapan mitos kecantikan menjadi penting, agar perempuan dapat

terbebas dari mitos kecantikan yang menyarankan perempuan untuk

mengorbankan waktu dan uang yang dimilikinya, bahkan nyawanya .

Pengungkapan mitos kecantikan dapat dilakukan dengan menganalisis

iklan-iklan kecantikan, film, dan karya sastra. Sebuah karya sebagai hasil

perpaduan dari kenyataan dan imajinasi pengarang, tentunya dapat terlibat dengan

suatu mitos (Ayumika, 2012). Keterlibatan itu biasanya dimaksudkan untuk dua

hal yaitu pengukuhan dan pembebasan. Pengukuhan mitos berfungsi untuk

melanggengkan mitos yang telah ada. Sedang pembebasan mitos berfungsi untuk

mencari pesan atau makna yang seharusnya, atau yang keluar dari mitos.

Bentuk-bentuk yang digunakan mitos sebagai pengukuhan ialah dengan

mengakui kebenaran, menyetujui, atau mengekalkan mitos. Dalam hal

pembebasan mitos, cara yang biasa digunakan ialah dengan memitoskannya

kembali atau membuktikan ketidakbenaran mitos dengan fakta.

Novel dalam hal ini, dengan kapasitas yang lebih dari karya lain seperti

drama, cerpen, dan puisi dalam memuat suatu perjalanan suatu kehidupan,

memungkinkan untuk menciptakan mitos sebagai pengukuhan atau pembebasan

mitos dengan baik dan mudah dipahami. Untuk itu, tiga novel karya Fira Basuki

dipilih untuk diteliti. Novel karya Basuki yang dipilih ialah Biru, Astral Astria,

dan Paris Pandora. Ketiga novel ini dipilih karena memuat permasalahan

kecantikan pada masa kini.

Dalam Biru digambarkan bagaimana tokoh-tokoh perempuan terobsesi

dengan kecantikan tubuh, terutama tubuh yang dimiliki Candy. Tubuh Candy

menjadi objek acuan untuk kecantikan tubuh perempuan. Tubuh Candy

merupakan hasil perpaduan Indo-Eropa. Berikut kutipannya.

Wajahku adalah hasil dari perpaduan Mama yang Manado-Sunda-Belanda

dan Papa yang Jawa-Belanda-Inggris. Orang-orang menyebut mata sipitku

yang berpadu dengan hidung mancung, pipi menonjol, bibir kecil dan kulit

kuningku sebagai eksotis. Di Singapura sini mereka menyebutku ‘campur-

campur’. (Basuki, 2003:15)

Kecantikan tubuh Candy yang hasil campuran Manado-Sunda-Belanda

dan Jawa-Belanda-Inggris menjadi standar kecantikan bagi tokoh-tokoh

perempuan seperti Lindih, Kira, dan Anna. Kecantikan tubuh tokoh-tokoh tersebut

selalu dikaitkan, disamakan, atau bahkan dibandingkan dengan kecantikan tubuh

Candy. Tubuh Candy seakan dijadikan ukuran yang hakiki untuk kecantikan

tubuh perempuan. Bila diidentifikasi penggambaran tersebut menandakan adanya

proses kolonialisme dalam pandangan mengenai kecantikan perempuan.

Kolonialisme tersebut seakan mempromosikan pandangan bahwa

kecantikan perempuan hanya tercermin pada tubuh-tubuh perempuan yang

bergaris keturunan Eurasian atau Eropa. Tubuh Candy yang dapat dikatakan

sebagai tubuh Eurasian menjadi motor untuk mengungkapkan bahwa pandangan

mengenai kecantikan perempuan terjajah oleh pandangan yang mengekalkan

tubuh perempuan yang berketurunan Eurasian atau Eropa sebagai standar

kecantikan perempuan. Dengan demikian Biru hendak menggambarkan bahwa

pandangan mengenai kecantikan perempuan terjajah oleh pandangan sang

penjajah.

Berbeda dengan Biru, dwilogi Astral Astria dan Paris Pandora

menggambarkan pandangan yang bebas mengenai kecantikan. Disamping itu,

tergambar pandangan mengenai kecantikan yang berdasarkan idealisme Jawa.

Kecantikan perempuan tergambar sebagaimana dalam tuntunan serat-serat Jawa.

Kecantikan yang dimaksud ialah kecantikan yang dihasilkan dengan meneladani

kelembutan hati, dan kesatriaan peranan dewi-dewi dalam kisah pewayangan.

Dewi yang diacu dalam dwilogi ini adalah Dewi Sima.

Dewi Sima dikenal sebagai putri cantik yang memerintah kerajaan Keling.

Dewi Sima dikisahkan cantik, pandai, berani, dan berhati mulia. Jejaknya dapat

ditelusuri dari candi-candi yang berada di Dieng. Ia termashur sebagai pendiri

candi-candi tersebut.

Dalam dwilogi tersebut, Dewi Sima dikisahkan menitis dalam diri Astria

Sima. Kecantikan Astria menjadi contoh kecantikan perempuan yang berbeda,

yaitu tidak dilihat dan dipandang pada fisik semata. Kecantikan Astria

sebagaimana Dewi Sima terpancar dari kecerdasannya sebagai seorang arsitektur,

dan dari kebaikan hatinya sebagai seorang pendiri yayasan sosial.

Penggambaran kecantikan non fisik yang tercermin dalam sosok Astria,

dan penggambaran kecantikan perempuan lainnya yang tidak terpengaruh oleh

kecantikan sosok tertentu menandakan adanya keberagaman kecantikan yang

harus dipandang dan diakui masyarakat.

Dari uraian di atas, secara garis besar penggambaran dan pandangan

mengenai kecantikan di dalam Biru dan dwilogi Astral Astria dan Paris Pandora

berbeda. Perbedaan itu menjadi kaitan tersendiri antara Biru dan dwilogi Astral

Astria dan Paris Pandora untuk dikaji dalam lingkup penelitian mengenai mitos

kecantikan.

Untuk menggali mitos kecantikan dalam ketiga karya itu, penulis

menggunakan pendekatan Mitos kecantikan yang diusung Naomy Wolf. Analisis

yang digunakan Wolf dalam menggali mitos kecantikan terfokus pada perilaku.

Karena menurut Wolf, mitos kecantikan beroperasi di dalam perilaku bukan pada

penampakan (2004:32). Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang

terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan (Moeliono

dkk.1988:671).

Perilaku yang dimaksud contohnya melakukan diet atau melakukan

operasi sedot lemak dalam menanggapi simbol kecantikan langsing, atau

memutihkan tubuh dalam menanggapi simbol kecantikan putih, memakai krim

awet muda dalam menanggapi simbol kecantikan kemudaan, atau merasa iri

terhadap sosok yang diidealkan dalam menanggapi simbol-simbol kecantikan.

Perilaku-perilaku itu merupakan realisasi dari tanggapan seseorang terhadap

simbol kecantikan. Dalam tanggapan tersebut, mitos kecantikan berlaku. Mitos

kecantikan mendorong seseorang yang terpengaruhi mitos kecantikan untuk

melakukan hal-hal yang berlebihan dalam menanggapi simbol kecantikan.

Mitos kecantikan tidak dapat dilihat dari simbol kecantikan. Simbol

kecantikan tidak akan menjadi masalah, selama perempuan tidak

mempermasalahkan simbol kecantikan pada tubuhnya. Simbol kecantikan atau

penampakan seperti tubuh langsing, kulit putih atau mulus, rambut lurus, hidung

mancung, dan dada berisi tidak akan menjadi masalah bagi seseorang hingga

seseorang itu melakukan tindakan-tidakan yang mengarah pada penilaian atau

penyesuaian tubuhnya dengan simbol kecantikan tertentu. Maka dari itu, dalam

perilakulah mitos kecantikan dapat dilihat.

Sehubungan dengan hal di atas perilaku-perilaku tokoh atau tanggapan

individu yang dapat dilihat dari sikap (perasaan dan pikiran), gerak-gerik, atau

ucapan, dalam menanggapi simbol kecantikan tertentu di dalam ketiga naskah

novel tersebut menjadi objek kajian. Selanjutnya, perilaku-perilaku tersebut

diidentifikasi untuk mengetahui makna penggambarannya, yaitu sebagai

pengukuhan atau pembebasan dari mitos kecantikan.

DAFTAR PUSTAKA

Hamidy, Zainudin, dkk. 1986. Terjemah Hadits Shahih Bukhari Jilid 4. Jakarta:

Widjaya Anggota IKAPI.

Herliany, Dorothea Rosa (Ed.). 2008. Kecantikan Perempuan Timur. Jakarta. Tera

Indonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Jakarta: Ganesha.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2003. Becoming White: Representasi Ras, Kelas,

Feminitas Dan Globalitas Dalam Iklan Sabun.Yogyakarta: Jalasutra.

____________. 2007. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop.

Yogyakarta: Jalasutra.

Sulistyaningrum, Rahma Kusuma. 2011. Mitos Kecantikan Dalam Tayangan

Pemilihan Putri Indonesia 2009. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang:

Program Sarjana Universitas Dipenogoro Semarang.

Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif

Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan oleh Aquarini

Priyatna Prabasmoro. 2010. Yogyakarta: Jalasutra.

Wolf, Naomy. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan.

Terjemahan Alia Swastika. 2004. Yogyakarta: Niagara.

Yahya, Imam Abu Jakariya bin Syarif Nawawi. 2002. Riyadussholihin. Semarang:

Toha Putra.

Daftar Referensi Internet

Munfarida, Elya. 2007. Genealogi Kecantikan. Vol. 5, No. 2, (http : // p3m. stain.

ibda/ diakses Juli-Desember 2007)

2012. Wanita Cantik dalam Mitologi.

(http://gohotkaskus.blogspot.com/2012/11/13-wanita-cantik-dan-

mematikan-dalam.html diakses November 2012)

DAFTAR KAMUS

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.