33
Intervensi Kelompok Tani Taruna Tani Mekar Bayu dalam Proses Perubahan Sistem Pertanian Petani Desa Ciganjeng Delfri Zain Lubis Abstract The management of natural resources are degraded, especially in agriculture relating to development assistance by the government carried out through, academics, independent institutions and other development agent. The process of changes made by turning knowledge of farmers by replacing practices of any system of farming who use chemical fertilizers and pesticides with the system of organic agriculture to prevent impact the environmental damage created by the use of chemicals in agriculture. Even though assistance been conducted to farmers through the farmers group to change but it’s still difficult implemented due to lack of the role of the farmers group. This paper describes the farmers group of Taruna Tani Mekar Bayu accompanied by IPPHTI performs activities socialization of through the kinship relation, social relations and cooperation, vocational school program (Sekolah Lapang), and the farmers that socialized indirectly, change the scheme of farmers knowledge on Ciganjeng Village. Although there are obstacles from the farmers and bureaucracy, but the farmers group of Taruna Tani Mekar Bayu have much role in the process of changing system of farming on Ciganjeng Village. Pendahuluan Manusia sebagai makhluk biologis untuk dapat bertahan hidup dan menjaga kelestariannya harus selalu melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik secara fisik maupun non-fisik. Kegiatan pemenuhan hidup menuntut manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungan hidupnya. Hal ini kemudian membuat manusia melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang ada. Permasalahannya ialah ketika sumber daya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mengalami kerusakan atau terdegradasi, menyebabkan kondisinya akan menjadi terbatas padahal kebutuhan manusia tidak pernah terbatas Essay Penelitian Etnografi 1

Intervensi Kelompok Tani Taruna Tani Mekar Bayu dalam Proses Perubahan Sistem Pertanian Petani Desa Ciganjeng, Pangandaran

Embed Size (px)

Citation preview

Intervensi Kelompok Tani Taruna Tani Mekar Bayu dalam Proses

Perubahan Sistem Pertanian Petani Desa Ciganjeng

Delfri Zain Lubis

Abstract

The management of natural resources are degraded, especially in agriculture

relating to development assistance by the government carried out through, academics,

independent institutions and other development agent. The process of changes made by

turning knowledge of farmers by replacing practices of any system of farming who use

chemical fertilizers and pesticides with the system of organic agriculture to prevent impact

the environmental damage created by the use of chemicals in agriculture.

Even though assistance been conducted to farmers through the farmers group to

change but it’s still difficult implemented due to lack of the role of the farmers group. This

paper describes the farmers group of Taruna Tani Mekar Bayu accompanied by IPPHTI

performs activities socialization of through the kinship relation, social relations and

cooperation, vocational school program (Sekolah Lapang), and the farmers that socialized

indirectly, change the scheme of farmers knowledge on Ciganjeng Village. Although there

are obstacles from the farmers and bureaucracy, but the farmers group of Taruna Tani

Mekar Bayu have much role in the process of changing system of farming on Ciganjeng

Village.

Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk biologis untuk dapat bertahan hidup dan menjaga

kelestariannya harus selalu melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidupnya,

baik secara fisik maupun non-fisik. Kegiatan pemenuhan hidup menuntut manusia

untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungan hidupnya. Hal ini

kemudian membuat manusia melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam

yang ada. Permasalahannya ialah ketika sumber daya yang digunakan untuk

memenuhi kebutuhan hidup mengalami kerusakan atau terdegradasi, menyebabkan

kondisinya akan menjadi terbatas padahal kebutuhan manusia tidak pernah terbatas

Essay Penelitian Etnografi 1

(Agusyanto, 2013). Masalah-masalah yang muncul dalam pengelolaan sumber daya

yang terdegradasi tersebut memunculkan adaptasi yang menurut Moran (1982)

dipahami sebagai suatu strategi penanggulangan oleh manusia dalam merespon

umpan balik negatif dari lingkungan hidup suatu makhluk hidup. Umpan balik yang

dimaksudkan adalah segala bentuk perubahan yang disebabkan oleh lingkungan, baik

ekosistem/lingkungan biofisik maupun sosial.

Kajian mengenai adaptasi dan pengelolaan sumber daya alam yang

terdegradasi terkait dengan pembangunan dan peran dari penduduk setempat

diwujudkan melalui program-program pendampingan yang dilakukan oleh

pemerintah, akademisi, lembaga independen maupun agen-agen pembangunan lain.

Fokus pendampingan tersebut ditujukan untuk mengubah pengetahuan lokal

masyarakat yang diketahui bahwa praktik-praktik pemanfaatan sumber daya mereka

ternyata justru dapat merusak, menjadi bentuk pengetahuan baru yang lebih bisa

melestarikan sumber daya melalui proses belajar. Hal ini dapat dilihat sebagai contoh

program pendampingan para petani melalui kelompok tani yang diajarkan dalam

Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang dilakukan oleh IPPHTI

di Lampung Tengah1. Para petani di sana telah terbiasa menggunakan pupuk dan

pestisida kimia yang dikategorikan sebagai cara tanam konvensional dapat merusak

ekosistem sawah diperkenalkan dan diajarkan melalui sekolah lapang mengenai

praktik-praktik pertanian yang bebas bahan kimia.. Seluruh program tersebut

ditujukan untuk membentuk kelompok petani yang memiliki pengetahuan baru dalam

pengelolaan sumber daya agar tidak merusak sumber daya itu sendiri dan tetap dapat

lestari. Kelompok tani diharapkan dapat menjadi agen perubahan pengetahuan dan

perilaku para petani lain dikawasan mereka. Namun, walaupun kelompok tani

1 Winarto, Yunita T. dan Ezra M. Choesin. 2001. Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial : Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan dalam Antropologi Indonesia : Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology hal 91-106. Kasus-kasus yang dijabarkan merupakan permasalahan program pendampingan yang ditujukan untuk mengubah pengetahuan dan perilaku para petani di Lampung Tengah dan nelayan Sulawesi Selatan dalam pengelolaan sumber daya alam, kaitannya dengan pembangunan dan peranan dari penduduk setempat.

Essay Penelitian Etnografi 2

tersebut telah terbentuk dan memiliki pengetahuan baru serta telah melakukan praktik

pertanian yang telah diajarkan dalam proses belajar melalui pendampingan, kelompok

tani tersebut seakan tidak memiliki peran dalam melakukan sosialisasi pengetahuan

kepada para petani lain di luar kelompok. Hal ini dapat dilihat dalam kasus kelompok

tani di Batanghari yang berfungsi hanya sebagai penyalur kredit dan mempermudah

jalur distribusi pasokan teknologi pertanian serta bantuan lain. Selain itu kasus

kelompok tani di Karang Endah, walaupun mereka telah berhasil dibina dalam

program pendampingan dan pengetahuan baru diterapkan oleh petani anggota

kelompok, namun seakan kesulitan menerapkan pengetahuan baru tersebut kepada

petani di luar anggota. Artinya, kelompok-kelompok tani di sana tidak berperan

dalam membentuk perubahan sistem pertanian para petani di sana.

Hal yang berbeda ditemukan dengan kondisi yang terjadi pada kelompok tani

Taruna Tani Mekar Bayu Desa Ciganjeng yang juga mendapat program

pendampingan dari IPPHTI. Desa Ciganjeng memiliki kondisi lahan pertanian yang

rentan akibat sering jebolnya tanggul aliran irigasi dari sungai Citanduy dan

Cirapuan. Hal ini menyebabkan lahan pertanian di sana sering tergenangi oleh banjir

sehingga tidak dapat ditanami, sedangkan jika pada waktunya musim kemarau akan

mengalami kekeringan. Selain itu penggunaan pupuk dan pestisida juga membuat

kondisi lahan pertanian di sana menjadi rusak dan tidak stabil. Kelompok tani

tersebut melalui pendampingan mendapatkan teknologi dan pengetahuan baru

mengenai sistem pertanian melalui berbagai program yang dibuat bersama dengan

IPPHTI dan kemudian melakukan sosialisasi kepada para petani di luar anggota

kelompok. Para anggota kelompok tani tersebut secara aktif melakukan sosialisasi

mengenai sistem pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida

kimia melalui berbagai macam cara. Hal ini menunjukkan bahwa selama melakukan

sosialisasi akan membentuk berbagai macam variasi proses belajar yang terjadi pada

setiap petani yang mendapatkan sosialisasi tersebut baik secara langsung maupun

tidak langsung.

Essay Penelitian Etnografi 3

Sosialisasi yang dilakukan akan memberikan rangsangan terhadap

pengetahuan para petani. Hal ini karena pengetahuan terbentuk dan dimodifikasi

dalam praktek keseharian yang bisa melibatkan berbagai pihak di luar masyarakat

yang bersangkutan (Winarto dan Choesin, 2001). Mengikuti logika Strauss dan Quinn

(1997: 6) yang menjelaskan bahwa interpretasi individu terhadap sosialisasi

merupakan hasil antara dua jenis struktur yang berbeda, yaitu struktur-struktur

intrapersonal yang bersifat mental dalam diri individu dan struktur-struktur

ekstrapersonal yang berupa kejadian nyata yang relatif stabil disekitar individu, yakni

kondisi lahan pertanian mereka yang rentan. Proses belajar yang dilakukan petani

dalam sosialisasi tersebut membentuk suatu skema pengetahuan tertentu pada diri

petani (intrapersonal) yang terjadi akibat unsur-unsur pengetahuan petani

terkombinasi dengan unsur-unsur pengetahuan baru yang didapat selama proses

belajar berlangsung (ekstrapersonal). Rangsangan dari luar yang diterima dalam

proses belajar akan memberikan respon terhadap proses pembentukan makna yang

ditanggapi oleh diri petani. Skema-skema yang menghasilkan makna juga

mempunyai daya motivasi untuk mewujudkan tindakan; dalam proses pembentukan

skema, perasaan-perasaan yang dialami individu juga dikombinasikan dengan

rangsangan lainnya, sehingga individu akan terdorong untuk mewujudkan tindakan

yang memberikannya perasaan-perasaan tertentu atau menghindarkannya dari

perasaan-perasaan yang tidak ingin ia alami lagi (Strauss dan Quinn, 1997:84 dalam

Choesin, 2002). Artinya, setiap individu memiliki skema-skema pengetahuan

tersendiri dalam menerima rangsangan-rangsangan dari luar dirinya dengan

pengetahuan dalam dirinya, kemudian terbentuk kombinasi-kombinasi tertentu yang

akan menciptakan suatu bentuk respon atau tindakan tersendiri. Hal ini tentu akan

memunculkan berbagai variasi dalam proses belajar para petani melalui sosialisasi

yang dilakukan.

Tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai sosialisasi yang dilakukan

oleh para anggota kelompok tani Taruna Tani Mekar Bayu membentuk variasi proses

belajar para petani yang mendapatkan dan menerima sosialiasi tersebut. Melalui

Essay Penelitian Etnografi 4

hubungan kekerabatan, relasi sosial dan kerjasama, program sekolah lapang, dan para

petani yang tersosialisasi secara tidak langsung merupakan cara-cara proses belajar

para petani sehingga membentuk skema pengetahuan mereka mengenai sistem

pertanian organik. Selain itu selama proses belajar dan perubahan berlangsung akan

muncul pula hambatan-hambatan baik dari dalam diri petani maupun dalam birokrasi

di Desa Ciganjeng.

Kelompok Tani Taruna Tani Mekar Bayu

Taruna Tani Mekar Bayu (TTMB) merupakan salah satu dari 11 kelompok

tani dan 1 kelompok tani wanita (KWT) yang ada di Desa Ciganjeng, berdiri pada

tahun 2008 dengan anggota awal 10 orang dan terletak di Dusun Cihideung.

Walaupun diawal perjalanan sempat vakum selama 2 tahun namun mulai aktif

kembali pada tahun 2010 dengan program awal yang dilakukan adalah pembuatan

pupuk organik. Alasan didirikannya TTMB karena kondisi area persawahan yang jika

musim hujan banjir, namun jika mulai kemarau sangat sulit air. Selain itu mereka

merasa sadar dan prihatin dengan cara tanam konvensional yang menggunakan

bahan-bahan kimia. Menurut Pak Tahmo selaku Ketua Umum TTMB cara tanam

tersebut dianggap berbahaya ke depannya karena akan mewariskan lahan yang kritis

dan sumber penyakit. Hal senada dituturkan pula oleh Kang Ano selaku Sekretaris

TTMB, bahwa tujuan didirikannya kelompok tani ini untuk mengembalikan kondisi

pertanian di Desa Ciganjeng yang kurang stabil akibat penggunaan bahan kimia

dalam pertanian karena dianggap ‘penyakit’ bagi manusia.

Pak Tahmo menjelaskan bahwa TTMB dalam kegiatannya selalu melakukan

komunikasi secara intensif dengan BP3K Kecamatan Padaherang dan sering

mengambil program-program yang ada di sana. Program kerjasama yang dilakukan

adalah pendirian saung kompos. Selanjutnya mereka semakin intens membangun

hubungan dengan lembaga-lembaga pertanian ditingkat kecamatan, kabupaten

bahkan provinsi. TTMB juga sering mengambil program yang ditawarkan oleh Dinas

Pertanian Kabupaten Ciamis hingga tahun 2011 yang mana mayoritas kelompok tani

Essay Penelitian Etnografi 5

lain tidak mau, seperti budidaya jenis tanaman padi baru dan tanaman kedelai dengan

holtikutura.

Program pertama yang dibuat sendiri dari kelompok tani Taruna Tani Mekar

Bayu selain kompos adalah budidaya jamur merang dan jamur tiram, namun tidak

berhasil karena kekurangan modal dan kondisi suhu yang tidak mendukung.

Anggaran yang digunakan dan berada di kelompok juga dikeluarkan sendiri oleh para

anggota. Namun, saat ini akibat kegigihan mengikuti dan mengambil program-

program pemerintah serta komunikasi yang intensif membuat bantuan-bantuan dari

pemerintah mudah di dapat. Saat ini jumlah anggota Taruna Tani Mekar Bayu

sebanyak 30 orang yang mayoritas pemilik sawah, para pemuda yang tidak memiliki

sawah mengajak orang tua untuk ikut pogram atau sawah yang digarap merupakan

milik orang tua mereka. Sawah mereka mayoritas terkena banjir dan selainnya ingin

mencari ilmu tentang pertanian. Kelompok tani TTMB memiliki idealisme modal

dasar pergerakan yang disebut 5 modal dasar, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM),

Sumber Daya Alam (SDA), kegiatan sosial, berdoa dan finansial. Kelima modal dasar

tersebut dijadikan landasan dan tujuan kegiatan mereka, namun Pak Tahmo

mengatakan semua itu harus diikuti dengan tindakan nyata sebagai kunci utama

pergerakan mereka.

Kerjasama melalui pendampingan oleh IPPHTI

IPPHTI sebagai lembaga independen memiliki tujuan utama yaitu membantu

meningkatkan kesejahteraan para petani dalam bidang pertanian khususnya mereka

yang berada dalam kondisi riwayat bencana. Menurut Pak Ferry selaku Kordinator

Lapangan dan Petani Penyuluh Lapangan (PPL) cabang program IPPHTI dari

Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2007 merupakan awal mula cabang tersebut dibuka

dan membuat program-program binaan untuk para petani di wilayah Tasikmalaya.

Program yang dijalankan memiliki semacam kontrak binaan setiap 1 desa memiliki 1

kelompok tani yang dibina selama kurun waktu tertentu, paling cepat minimal 1

musim tanam atau sekitar 6 bulan.

Essay Penelitian Etnografi 6

Pak Ferry menjelaskan masuknya IPPHTI ke wilayah Kabupaten Pangandaran

pada tahun 2009 sampai dengan 2012 memiliki program kerja di 3 kecamatan, yaitu

Kecamatan Patimuan Kabupaten Cilacap, Kecamatan Padaherang, dan Kecamatan

Pangandaran dengan kantor sekretariat berada di Desa Rawa Apu, Kecamatan

Patimuan. Program yang dilakukan di sana melakukan pembinaan kepada para petani

melalui Sekolah Lapang (SL) Pertanian Organik dan SL Iklim serta inovasi program

padi tahan asin. Dalam menentukan wilayah yang akan dijadikan wilayah program,

IPPHTI selalu mencari prioritas wilayah tertentu seperti memiliki riwayat bencana

dan harus melalui penelitian terlebih dahulu.

Selama program di sana IPPHTI melakukan sebuah inovasi dan diskusi

mengenai konsep ‘Padi Apung’ pada tahun 2011. Program tersebut dicoba selama 2

musim dengan menggunakan lahan uji coba dekat kantor sekretariat. Selama masa uji

coba ada kunjungan dari lembaga donor DIAKONIE asal Jerman dan salah satu

profesor ahli iklim yang memiliki lembaga penelitian SISIROOM. Pihak lembaga

donor meminta program padi apung agar dijadikan proyek lanjutan dan bisa

diterapkan untuk menjadi proyek ‘Desa Model’. Akhirnya, Pak Ferry melakukan

penelitian lebih lanjut dengan mencari kelompok tani yang bisa mengambil proyek

tersebut di Desa Ciganjeng. Hal ini karena selama 3 tahun program di Kecamatan

Padaherang, area persawahan Desa Ciganjeng sering terkena banjir dan ditetapkan

oleh IPPHTI sebagai zona bencana. Ketika mencari Gapoktan di sana hanya ada

ketua dari pengurus saja dan banyak anggota yang tidak aktif lagi, sehingga dari

pihak Gapoktan tidak bisa menerima proyek padi apung. Selanjutnya, ketua Gapoktan

merekomendasikan agar pak Ferry menemui pak Tahmo selaku ketua kelompok tani

TTMB yang dianggap aktif melakukan kegiatan. Setelah dipresentasikan mengenai

proyek padi apung, pihak TTMB menyetujui dan proyek tersebut dikembangkan pada

tahun 2012.

Selama menjalankan proyek padi apung dan program pembinaan pertanian,

IPPHTI melihat bahwa kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Desa Ciganjeng sangat

mendukung untuk dibentuk program-program proyek seperti yang ingin diciptakan

Essay Penelitian Etnografi 7

oleh DIAKONIE sebagai ‘Desa Model’. Selanjutnya dibentuklah berbagai macam

program yang mendukung proyek tersebut dengan tujuan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat Desa Ciganjeng, khususnya para petani sehingga menjadi

masyarakat yang mandiri melalui kelompok tani TTMB.

Untuk mendukung kelancaran rencana besar tersebut IPPHTI dan TTMB

selalu melakukan kordinasi dan kerjasama dengan Dinas Pertanian. Konsentrasi yang

ditujukan terhadap program-program untuk kegiatan TTMB. Kelompok tani meminta

program yang selanjutnya akan diturunkan dalam bentuk program maupun bantuan

dari IPPHTI dan Dinas Pertanian. Jadi antara TTMB, IPPHTI dan Dinas Pertanian

membentuk kerjasama secara intesif dan kontinu melalui program-program yang

dilakukan oleh TTMB.

Program-program yang dijalankan Taruna Tani Mekar Bayu dengan IPPHTI

a) Sekolah Lapang Iklim – Padi Apung

Fokus dari program-pogram yang dijalankan oleh TTMB dan IPPHTI itu

mengenai dampak perubahan iklim2 khususnya program adaptasi terhadap banjir

yang sering melanda area persawahan desa Ciganjeng. Program adaptasi terhadap

kondisi banjir ini dilakukan melalui pemberian pengetahuan serta teknologi

khususnya para anggota TTMB melalui sekolah lapang (SL) dan proyek ‘Padi

2 Menurut Pak Ferry dan Pak Tahmo dampak perubahan iklim merupakan permasalahan yang sangat kompleks dikarenakan sangat memiliki hubungan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, khususnya para petani. Misalnya, perubahan iklim menyebabkan pola tanam padi menjadi tidak menentu akibat hujan yang tidak menentu pula. Hal ini jelas akan mempengaruhi perekonomian petani karena mereka bergantung dengan hasil pertanian. Artinya, dibutuhkan suatu strategi adaptasi yang bisa memecahkan permasalahan tersebut. Menurut Marzali (2003) strategi adaptasi merupakan perilaku manusia dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki dalam menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan tindakan yang tepat guna sesuai dengan lingkungan sosial, kultural, politik, ekonomi, dan ekologi ditempat dimana mereka hidup. Ketika sumber daya pertanian yang dijadikan tumpuan hidup para petani di desa Ciganjeng tidak bisa mendukung mereka lagi maka para petani cenderung untuk mencari atau membentuk sumber daya lain. Hal ini tercermin seperti program home industry yang juga dijalankan oleh TTMB dan IPPHTI.

Essay Penelitian Etnografi 8

Apung’. SL sendiri sebenarnya sudah diberikan dari Dinas Pertanian kepada para

petani, begitu pula para anggota TTMB juga pernah mengikuti SL tersebut, seperti

SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu), SLPHT Tindak Lanjut, dan

SL SRI yang diberikan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Ciamis. Materi yang ada di

SL Iklim-Padi Apung juga sebenarnya sudah pernah diberikan oleh Dinas Pertanian,

namun materi tersebut dijadikan dasar utama untuk pembelajaran. Artinya, SL Iklim-

Padi Apung menyempurnakan materi yang sudah pernah diajarkan dan memberikan

pengetahuan baru yang belum pernah diajarkan. Kegiatan SL ini berlangsung secara

rutin yang dilaksanakan oleh IPPHTI. SL ini diperuntukkan bagi para anggota Taruna

Tani Mekar Bayu, namun juga terbuka bagi para petani non-anggota.

Beberapa contoh yang diajarkan dalam SL Iklim-Padi Apung, seperti cara

mengukur kelembaban, mengukur tingkat keasaman atau PH tanah, mengukur curah

hujan dan cuaca, pengetahuan mengenai poses hujan, pemanfaatan hutan, pembuatan

MOL (Mikro Organisme Lokal) dekomposer untuk pupuk organik, pembuatan

pestisida nabati, pelatihan membuat nutrisi untuk manusia, hewan dan tumbuhan

(contoh, membuat sari bambu untuk pengobatan), membuat POC (Pupuk Organik

Cair), dll. Semua pelatihan tersebut diterapkan dengan pemanfaatan barang/bahan

dari lingkungan sekitar tanpa membeli dari toko.

‘Padi Apung’ merupakan proyek yang dijalankan oleh TTMB dan IPPHTI

guna menghadapi kondisi lahan pertanian yang sering banjir. Proyek ini dilakukan di

atas media tanah yang diapungkan menggunakan bambu dan drum serta

menggunakan sistem pertanian organik. Proyek ini merupakan pertama yang

dilakukan di Indonesia dan menjadi ikon bagi pertanian Desa Ciganjeng karena telah

terbukti berhasil dari mulai penanaman hingga panen.

b) Tanaman Pekarangan Organik

Program ini bertujuan untuk pemanfatan lahan pekarangan rumah dan

membuka pola pikir baru mengenai pemunculan tanaman baru di Desa Ciganjeng

agar para petani dapat menghemat kebutuhan mereka akan sayur mayur. Selain itu

Essay Penelitian Etnografi 9

program ini juga bisa menjadi wadah pembelajaran petani dalam mengatur dan

mengelola tanaman pertanian, khususnya dapat diterapkan di tanaman padi karena

prosesnya yang sulit.3

IPPHTI memberikan benih-benih tanaman sayuran dan polybag. Jenis sayur

yang ditanami di antaranya kol, kubis, kembang kol, tomat, selada, sawi, bayam,

cabai, dan daun bawang. Para anggota kelompok menjalankan program ini dan

melalui pembelajaran serta pengamatan akan muncul permasalahan baru mengenai

tanaman tersebut. Masyarakat yang mengetahui dan melihat pun mulai tertarik

dengan program ini. Akhirnya akibat proses pembelajaran, pengamatan dan banyak

warga yang ingin mengetahui program ini dibuatlah SL Sayuran. SL Sayuran

memberikan pelatihan mengenai cara menyemai benih, seperti membuat ‘bekong’4

untuk memudahkan proses pemindahan bibit tanaman agar menghindari proses

‘pembabutan’5, pelatihan dalam pembuatan pestisida khusus sayuran, proses

perawatan hingga proses pemanenan.

c) Home Industry

Home Industry dibuat oleh IPPHTI dan TTMB karena terinspirasi dari

beberapa warga Desa Ciganjeng yang menjalankan kegiatan tersebut. Program ini

memfokuskan kepada manajemen kebutuhan di luar pertanian para anggota kelompok

khususnya para ibu-ibu, karena ketika ada program dari IPPHTI para ibu-ibu dari

anggota kelompok sering terlibat didalamnya sehingga IPPHTI menawarkan agar ibu-

ibu tersebut dibuatkan program khusus melalui TTMB.

3 Menurut Pak Ferry jika perawatan tanaman sayuran yang sulit saja bisa dilakukan dengan baik oleh para petani maka mereka akan bisa melakukan perawatan yang baik pula dalam perawatan tanaman padi mereka karena prosesnya yang menggunakan sistem organik

4 Semacam mekanisme untuk mempermudah pemindahan tanaman. Terbuat dari bilah bambu yang dibuat mengitari pangkal hingga akar tanaman dan diisi dengan tanah. Ketika tanaman siap dipindahkan bekong inilah yang membantu proses penyabutan agar tanaman tidak ‘sakit’ karena dipindahkan ke media tanam yang baru

5 pencabutan

Essay Penelitian Etnografi 10

Modal awal diberikan dari IPPHTI sebesar Rp 4.000.000,- kepada para ibu-

ibu untuk digunakan kembali dalam pengolahan produk home industry. Ibu-ibu yang

ikut program ini dibentuk berdasarkan kelompok, ada 3 kelompok yang masing-

masing berisi 5 orang. Produk yang diolah seperti rengginang, agar-agar kering,

keripik pisang, pangsit goreng, keripik bayam, manisan terong, dan keripik bawang.

Semua produk tersebut diberi label merk produksi TTMB, karena ibu-ibu sebagai

produsen sedangkan kelompok tani sebagai manajemen dan distributor. Perhitungan

bagi hasil adalah setiap keuntungan Rp 100.000,- akan diberikan sebesar Rp 15.000,-

masuk ke kas TTMB.

Program ini telah berjalan baik namun masih memiliki kendala yaitu program

ini belum menjadi kegiatan rutinitas harian karena para ibu-ibu punya pekerjaan lain

pada saat tertentu, seperti saat musim tanam atau panen. Selain itu masalah

ketersediaan bahan baku poduksi juga sering menjadi permasalahan tersendiri bagi

program ini. Namun, program ini diakui Pak Tahmo dapat membantu meringankan

kebutuhan saat kondisi pertanian sedang tidak menentu.

d) Teknologi Panen Air Hujan (Rain Water Harvest)

Teknologi ini diberikan oleh IPPHTI dalam program mencari wilayah desa

yang memiliki masalah akan kebutuhan air. Wilayah yang paling kritis berada di blok

Sidamulya dari Dusun Cihideung dimana masyarakat di sana selama lebih dari 40

tahun mengkonsumsi air tanah yang kotor, berwarna, bau, berminyak, jika diminum

tidak enak rasanya, serta jika digunakan untuk mencuci baju akan kotor dan kuning.

Kondisi ini akan semakin parah jika masuk kepada musim kemarau, masyarakat

Sidamulya akan menggali tanah, sungai atau sawah untuk mencari air walaupun

sebenarnya air tersebut berkondisi sama.

IPPHTI memberikan teknologi panen air hujan kepada TTMB dan kemudian

dijadikan program bantuan sebanyak 21 unit di blok Sidamulya dan 1 unit di depan

seketariat yang dijadikan sebagai percontohan. Teknologi ini berbentuk tabung

dengan tinggi 1,5 meter dan diameter 80 cm, dapat menampung kapasitas air air

Essay Penelitian Etnografi 11

hujan ±745 liter. Dengan teknologi tersebut diharapkan dapat meminimalisir kondisi

kebutuhan air bersih pada saat musim hujan bahkan di awal musim kemarau.

e) Kincir Air

Teknologi kincir air dibuat oleh TTMB bersama IPPHTI karena pada saat

musim kemarau kondisi area persawahan akan sangat kering namun di sungai

Cirapuan yang melintasi area persawahan masih dialiri air. Menurut Pak Ferry,

program IPPHTI selalu menggalakkan pengurangan penggunaan bahan bakar atau

energi tidak terbarukan dan lebih memanfaatkan energi terbarukan. Penggunaan

kincir air yang hanya memanfaatkan bambu dan kayu sebagai bahan pembuatannya,

digunakan untuk mengalirkan air dari sungai ke area persawahan merupakan hal yang

baru bagi masyarakat Ciganjeng karena selama ini biasanya menggunakan sumur bor,

itupun hanya segelintir orang yang memilikinya.

Penggunaan 1 unit kincir air selama 1 hari akan membantu mengairi sawah

seluas 5-6 Ha. Saat ini IPPHTI ingin menawarkan 26 unit lagi untuk digunakan di

sepanjang aliran sungai namun masih dalam proses perizinan ke Dinas Pengairan

Sungai Citanduy. Sejauh ini penggunaan kincir air masih efektif namun kendala yang

terjadi ada pada perawatan kincir air itu sendiri. Kurangnya kepedulian dari

masyarakat untuk perawatan membuat kincir air ini menjadi rusak. Perawatan

dilakukan oleh anggota kelompok padahal sawah mereka tidak dialiri oleh kincir

tersebut.

f) Teknologi Oven Pengering untuk produk Home Industry

Teknologi ini merupakan inovasi dari IPPHTI yang berfungsi untuk

menjemur produk-produk olahan makanan dari home industry. Alat ini berguna jika

pada saat musim hujan tidak perlu repot mengangkat penjemuran, saat musim

kemarau atau panas semakin cepat dan baik hasilnya karena panas menjadi semakin

tinggi di dalam ruangan tersebut, bahkan walaupun cuaca mendung tetap panas.

Essay Penelitian Etnografi 12

Selain itu alat ini membantu melindungi makanan agar tidak terkena debu sehingga

makanan menjadi lebih bersih dan sehat.

Beberapa Prestasi Kelompok Tani Taruna Tani Mekar Bayu

Keaktifan TTMB dalam melakukan kegiatan untuk memajukan pertanian

Desa Ciganjeng membuahkan hasil dengan diakuinya kelompok tani tersebut oleh

lembaga pertanian dari berbagai tingkat di Provinsi Jawa Barat. Hal ini dapat

dibuktikan dengan saat ini TTMB selain sebagai kelompok tani yang berada dalam

tingkat lokal/desa juga diamanahkan oleh Dinas Pertanian Provinsi Ciamis untuk

memegang jabatan UPJA Kecamatan Padaherang.

UPJA atau Usaha Pengelola Jasa ALSINTAN (Alat Mesin Pertanian)

merupakan program dari pemerintah provinsi untuk menyalurkan bantuan berupa

alat-alat dan mesin pertanian agar dikelola oleh Gapoktan atau kelompok tani dari

berbagai desa di satu kecamatan tertentu. Oleh karena itu, seharusnya kepengurusan

serta anggota UPJA merupakan gabungan para petani yang berasal dari berbagai

kelompok tani dari desa mereka. Namun, karena sampai tingkat kecamatan pun

banyak kelompok tani yang tidak menyanggupi pengelolaan pogram UPJA ini dan

pemerintah melihat pada saat itu kelompok TTMB yang paling aktif, membuat

pemerintah akhirnya menunjuk mereka untuk menjadi kelompok UPJA sejak tahun

2012 hingga saat ini. Status UPJA yang diberikan juga langsung ditingkat UPJA

Berkembang.6 TTMB dengan status UPJA-nya mengatur jasa penyewaan alat-alat

pertanian di tingkat kecamatan membawahi puluhan kelompok tani di beberapa desa.

Saat ini aset dari TTMB sebagai UPJA memiliki 3 unit traktor. Setiap 1 unit traktor

diperuntukkan mengolah lahan sawah seluas 10 Ha. Luas lahan di desa Ciganjeng

saja ±420 Ha sehingga akan menerima traktor sebanyak 42 unit, belum lagi dari 14

desa lain se-Kecamatan Padaherang. Ini merupakan sebuah prestasi bagi TTMB yang

hanya sebagai salah satu kelompok tani di tingkat desa.

6 Status UPJA memiliki tingkatan dalam klasifikasi Dinas Pertanian, yaitu UPJA Pemula, UPJA Berkembang dan UPJA Profesional

Essay Penelitian Etnografi 13

Keaktifan pergerakan Taruna Tani Mekar Bayu dengan berbagai programnya

terutama proyek ‘Padi Apung’ juga telah terdokumentasi oleh berbagai media televisi

dan cetak. Proyek padi apung telah menjadi suatu ikon atau ciri khas dari desa

Ciganjeng berkat peran dari TTMB dan IPPHTI. Telah banyak perwakilan kelompok

tani yang datang dari berbagai provinsi di Indonesia untuk datang dan belajar

mengenai proyek padi apung. Selain itu Dinas Pertanian Kabupaten Ciamis juga

pernah mengajak TTMB sebagai penyelenggara program JIDES (Jembatan Irigasi

Desa) pada tahun 2013. Program ini merupakan proyek pembuatan irigasi untuk

pengairan sawah-sawah di Kecamatan Padaherang dengan memanfaatkan mata air

‘embung’7 dari bukit di kawasan Babakan Sari agar bisa memberikan suplai air ketika

musim kemarau.

Proses Belajar Para Petani Non-Anggota dalam Kegiatan Sosialisasi Kelompok

Tani Taruna Tani Mekar Bayu

Keaktifan TTMB dalam melakukan kegiatan yang tertuang dalam program-

program yang dilaksanakan dengan pendampingan oleh IPPHTI hingga mendapatkan

prestasi dari berbagai pihak membuat kelompok tani ini mengangkat motivasi mereka

untuk mengubah sistem pertanian konvensional petani menggunakan pupuk dan

pestisida kimia yang justru dapat merusak ekosistem serta lahan pertanian Desa

Ciganjeng, menjadi menggunakan bahan organik agar dapat membuat lahan pertanian

tersebut menjadi ‘terbaharui’. Motivasi ini mereka realisasikan melalui sosialisasi

kepada para petani agar menggunakan sistem pertanian yang tidak lagi menggunakan

pupuk serta pestisida kimia atau sistem pertanian organik.

Sosialisasi yang dilakukan dalam sistem pertanian ini mengenai penggunaan

sistem tanam System of Rice Intensification (SRI) dan penggunaan pupuk serta

pestisida organik. Kang Ano menjelaskan SRI merupakan sistem tanam yang

berpedoman dengan cara tanam yang menggunakan benih muda, tanam dangkal,

pestisida nabati, pengendalian hama dengan predator alami, dan pupuk organik.

7 Waduk buatan yang berfungsi untuk menampung air hujan dan sumber air dari bukit

Essay Penelitian Etnografi 14

Perbedaan antara cara tanam konvensional dan SRI, pertama, terletak dalam

penggunaan bibit/benih. Penggunaan bibit dalam cara tanam SRI hanya

menggunakan 7 ons per 100 bata (1400 m2 atau 1,4 Ha) jauh lebih sedikit dengan cara

tanam konvensional yang membutuhkan bibit 7 sampai 10 kg/Ha. Kedua, usia bibit

yang akan ditanam dalam SRI lebih pendek, hanya 10 hari dan tanpa persemaian di

lahan sawah (persemaian dilakukan diatas baki/nampan) sedangkan konvensional

membutuhkan waktu 21 hari dilahan persemaian yang kemudian dilakukan

‘pembabutan’ untuk kemudian dipindahkan ke lahan pembesaran dengan ditanam

dangkal yaitu sekitar 1-2 cm. Menurutnya, ‘pembabutan’ benih membuat benih

‘sakit’ dan pada cara tanam konvensional bibit ditanam dalam padahal ini akan

mempersulit proses pertumbuhan bibit. Ketiga, SRI menggunakan cara tanam tunggal

(satu per satu batang padi) dengan pola tanam “jajar legowo” yaitu setiap satu sampai

dengan empat baris ditanami kemudian diberikan jarak kosong satu baris8, sedangkan

cara tanam konvensional menanam benih tanpa aturan pola tanam dan biasanya

ditanam dengan sebanyak-banyaknya sesuai luas lahan. Menurut Kang Ano dan Pak

Tahmo, cara tanam SRI ini sangat efektif karena menghemat benih, biaya tanam,

tidak perlu ‘babut’, serta hasil panen justru sama dengan konvensional bahkan jika

kondisi tanah telah baik karena menggunakan pupuk organik hasil panen bisa lebih

banyak. Selain itu penggunaan jajar legowo juga memudahkan dalam pengendalian

hama karena frekuensi jumlah tanaman padi tidak terlalu rimbun.

Cara tanam SRI akan menjadi lebih maksimal jika kondisi tanah sawah juga

baik dalam artinya kondisi tingkat kesuburannya tinggi. Pak Tahmo menjelaskan

bahwa kondisi ini dapat dilihat dengan warna tanah yang masih segar dan kehitaman,

tekstur tanah yang gembur, dan yang paling mudah terlihat yaitu banyaknya

organisme yang hidup dilahan tersebut seperti cacing, ikan kecil, keong sawah,

bahkan rerumputan. Kondisi tersebut sudah sulit ditemui di lahan-lahan pertanian di

Ciganjeng. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kondisi kesuburan

8 Jajar legowo biasanya menggunakan legowo 2 atau legowo 4. Legowo 2 menanam 2 baris dan 2 baris kemudian diberi jarak kosong. Begitu pula dengan legowo 4.

Essay Penelitian Etnografi 15

tanah tersebut ialah melalui penggunaan pupuk organik serta pengendalian hama

dengan pestisida organik. Keduanya selain mengembalikan kondisi kesuburan tanah

juga bisa menjaga agar ekosistem sawah dapat terjaga kelestariannya.

Sistem pertanian organik dengan cara tanam SRI dan penggunaan pupuk serta

pestisida organik ini merupakan fokus utama sosialisasi anggota TTMB agar dapat

membuat sumber daya pertanian di Desa Ciganjeng menjadi tidak rusak dan lestari.

Telah dijelaskan sebelumnya hal ini dikarenakan para petani di Desa Ciganjeng masih

menggunakan sistem pertanian konvensional. Oleh karena itu melalui beberapa cara

para anggota TTMB memberikan sosialisasi yang kemudian membuat petani

melakukan proses belajar, yaitu :

a. Melalui hubungan kekerabatan

Kekerabatan menurut Keesing (1975: 13) adalah “…the network of

relationships created by genealogical connections, and by socialities (e.g, those

based on adoption) modeled on the ‘natural’ relations of genealogical parenthood”.

Hubungan kekerabatan menjadi langkah awal sosialisasi yang dilakukan oleh para

anggota TTMB kepada para petani non-anggota. Hal ini karena anggota TTMB

merasa sosialisasi dilakukan oleh orang terdekat terlebih dahulu karena mereka

merupakan bagian dari keluarga mereka. Salah satu contohnya ialah Pak Cahwan,

petani dari Dusun Cihideung yang merupakan kerabat dari Pak Tahmo yaitu kakek

dari Pak Tahmo merupakan uwak (paman) dari Pak Cahwan.

Pada awalnya sistem pertanian yang digunakan pak Cahwan masih

menggunakan cara konvensional. Hal ini menurutnya karena memang belum punya

pengalaman selain cara tersebut. Selain itu ia juga belum pernah ikut sekolah lapang,

hanya mendengar saja dari para petani lain. Pak Cahwan juga mengelola sawah milik

orang lain karena sawah keluarga dikelola oleh kakaknya. Mengenai cara tanam baru

yang disosialisasikan oleh Pak Tahmo, awalnya ia tidak mau mengikuti karena sawah

milik orang lain. Ia sempat “dipaksa” oleh Pak Tahmo karena wataknya yang

Essay Penelitian Etnografi 16

‘mrekedeweng’9. Hal ini kemudian membuat Pak Tahmo mengajaknya dengan cara

‘menantang’ Pak Cahwan untuk mencoba cara tanam SRI dan menggunakan pupuk

serta pestisida organik yang mana bibit dan bahan-bahan penanaman diberikan

melalui TTMB. Jika nanti dengan cara tanam yang diajarkan Pak Tahmo gagal, maka

hasil panennya akan diganti oleh Pak Tahmo. Pada tahun 2012 akhirnya Pak Cahwan

mencoba menanam dengan cara SRI dan legowo 4 dengan pupuk serta pestisida

organik. Ketika musim panen Pak Cahwan mengaku hasilnya baik dan kemudian ia

menjadi percaya dengan yang diajarkan oleh Pak Tahmo.

Saat ini ia konsisten menggunakan cara tanam dengan menggunakan legowo 2

dan pupuk organik. Tahun 2013 ia hanya mengeluarkan biaya untuk 5 karung pupuk

organik atau sekitar 2,5 Kwintal dengan harga Rp 175.000,- untuk digunakan di

sawah seluas 50 bata. Proses belajar ia pun saat ini semakin intensif dengan Pak

Tahmo, mempelajari mengenai PPL dan predator alami. Menurut Pak Cahwan cara

tanam yang lebih baik itu menggunakan organik karena kondisi tanah yang sangat

subur dan gembur. Hal ini ia buktikan dengan cara membuat galengan dan proses

pembajakan tanah. Jika menggunakan bahan kimia tanah menjadi “kekel” dan liat

sehingga jika digunakan untuk membuat galengan akan cepat keras. Sedangkan tanah

yang menggunakan bahan kimia jika ditraktor seperti ‘cendol’. Disini ia memahami

bahwa tanah tersebut tidak baik untuk kegiatan pertanian. Berbeda dengan

menggunakan organik. Tanah sulit digunakan untuk membuat galengan karena sangat

gembur sehingga mudah runtuh. Selain itu banyak sekali hewan yang hidup di sawah

tersebut. Artinya, kondisi tanah tersebut sangat subur dan baik untuk pertanian. Saat

ini ia semakin yakin untuk menggunakan cara tanam organik, jika ia tidak mengerti

tentang suatu hal mengenai permasalahan cara tanam tersebut akan bertanya ke Pak

Tahmo.

Proses belajar yang dialami oleh Pak Cahwan yang dimulai dari

ketidakpercayaannya kepada sistem pertanian yang disosialisasikan oleh Pak Tahmo,

kemudian ia harus ‘ditantang’ oleh Pak Tahmo dengan subsidi TTMB dan jaminan 9 Bandel, sulit diberi tahu atau diajarkan

Essay Penelitian Etnografi 17

ganti rugi jika panen gagal, lalu belajar dengan langsung dipraktekkan. Kemudian ia

percaya ketika telah melihat bukti, lalu melakukannya sendiri disertai dengan

pengamatan dan sering bertanya kembali dengan Pak Tahmo merupakan proses

pembentukan skema pengetahuan dalam diri Pak Cahwan. Sosialisasi yang dilakukan

oleh Pak Tahmo menjadi unit-unit rangsangan yang diterima oleh Pak Cahwan.

Rangsangan tersebut kemudian akan membentuk kombinasi dengan pengetahuan Pak

Cahwan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan pada awalnya ia menolak sosialisasi

karena ia tidak memiliki pengalaman cara tanam organik. Tantangan jaminan ganti

rugi dari Pak Tahmo juga mengaktifkan bentuk skema tertentu sehingga Pak Cahwan

berani mengambil keputusan untuk menerimanya. Kemudian karena rangsangan

yang diterima oleh Pak Cahwan dilakukan terus menerus melalui praktik, pengamatan

dan selalu bertanya kepada Pak Tahmo, maka pengetahuan yang masuk melalui

sosialisasi tersebut menjadi semakin mantap dan akhirnya diterima oleh Pak Cahwan

sehingga mengubah sistem pertaniannya.

b. Melalui program sekolah lapangan TTMB dan IPPHTI

Salah satu program yang dijalankan oleh TTMB bersama dengan IPPHTI

adalah sekolah lapang (SL) yang dilakukan secara intensif. SL diperuntukkan bagi

anggota kelompok juga bagi para petani yang ingin belajar mengenai sistem pertanian

yang digalakkan oleh IPPHTI. Melalui program ini anggota TTMB dapat mengajak

petani non-anggota agar bersama belajar mengenai praktik pertanian yang baik dan

tidak merusak lahan sawah mereka sendiri. Artinya, melalui ajakan mengikuti SL

tersebut TTMB dapat senantiasa mengubah sistem pertanian konvensional yang

digunakan oleh petani. Hal ini seperti yang terjadi pada Pak Edi, petani dari Dusun

Babakan Sari.

Pak Edi adalah salah satu petani di Dusun Babakan Sari Desa Ciganjeng yang

tidak termasuk kedalam kelompok tani manapun atau petani mandiri. Sistem

pertanian yang digunakannya seperti kebanyakan petani pada umumnya adalah cara

tanam konvensional yang ia dapatkan mengikuti apa yang diajarkan oleh

Essay Penelitian Etnografi 18

orangtuanya. Hal ini juga dikarenakan ia mengolah lahan sawah dari orangtua. Pada

awalnya ia menggunakan cara tanam padi dengan jumlah bibit sangat banyak, tidak

menggunakan sistem jajar legowo, masih dengan semai lahan dan pembabutan. Cara

tanam tersebut mengharuskannya membeli benih banyak, tidak peduli bagaimana

hasil dan caranya yang penting harus menanam padi. Pak Edi juga menggunakan

pupuk dan pestisida kimia karena menurutnya pada saat itu memang diarahkan oleh

pemerintah jadi ia selalu mengikuti arahan pemerintah. Menurutnya efek

menggunakan pupuk kimia menjadi sangat merugikan karena misal, musim tanam

sekarang menggunakan 10 kg pupuk urea untuk 100 bata lahan sawah, musim

berikutnya agar tanaman padi subur jumlah penggunaan pupuk urea harus ditambah

menjadi 20 kg per 100 bata begitu seterusnya. Artinya setiap musim tanam agar padi

tumbuh baik dibutuhkan jumlah pupuk kimia yang semakin banyak. Akibatnya tanah

menjadi semakin rusak, keras, dan banyak hewan penyubur tanah sawah menjadi

mati.

Kondisi ini memunculkan kerisauan Pak Edi akan kondisi tanah yang semakin

rusak dan penggunaan pupuk yang semakin banyak dan kemudian membuat ia ingin

mencari solusi untuk mengubah cara tanam pertaniannya. Awalnya ia ingin mencari

tahu bagaimana cara untuk menyuburkan tanah. Saat itu ia bertemu dengan Kang Ano

dan disarankan untuk menggunakan pupuk organik. Hal ini sebenarnya sangat

mendukung karena Pak Edi juga memelihara beberapa ekor kambing yang

kotorannya bisa digunakan untuk pupuk organik. Namun, ia sempat tidak yakin tetapi

karena kondisinya yang juga bisa memanfaatkan kotoran ternaknya menjadi pupuk

organik akhirnya membuatnya mencoba menggunakan. Beberapa kali penggunaan

kemudian mulai ada tanda-tanda perubahan pada lahan sawah ia sehingga ia

memutuskan untuk mulai mencari tahu lebih mendalam mengenai penggunaan bahan

organik tersebut.

Setelah memulai menggunakan pupuk organik ia diajak oleh Kang Ano untuk

mengikuti kegiatan program SL, seperti SL Iklim-Padi Apung dan SL Sayuran.

Pengetahuan yang didapat langsung ia lakukan, sehingga saat ini sudah menggunakan

Essay Penelitian Etnografi 19

cara tanam SRI dan legowo, penggunaan pupuk dan pestisida organik, membuat

POC, dan membuat MOL Dekomposer. Ia mengatakan bahkan saat ini akibat ikut SL

dengan TTMB untuk kebutuhan MOL dekomposer saja ia sudah bisa membuatnya

sendiri karena hal ini dianggap bisa menghemat modal pertanian. Modal yang

dibutuhkan sangat kecil yaitu Rp 14.000,-/ 5 liter dengan rincian Ragi 4 pcs Rp

4.000,- ; Gula Merah Rp 7.000,-/kg, Terasi Rp 3.000/ 2 ons. Sedangkan jika beli

harga MOL dekomposer sekitar Rp 20.000-25.000,-/liter. Pekarangan di depan

rumahnya pun saat ini ditanami sayur-sayuran untuk mengurangi kebutuhan harian.

Menurut Pak Edi pupuk organik membantu mengembalikan kondisi tanah

yang rusak dan keras menjadi kembali subur namun perlu waktu sekitar 6 musim

tanam intensif menggunakan pupuk organik. Jika dilihat dari hasil pun sawah yang

menggunakan pupuk organik sangat menguntungkan. Untuk setiap 100 bata sawah

saat ini bisa menghasilkan hingga 1 ton gabah dan hasilnya akan semakin naik atau

bertambah. Sedangkan yang menggunakan pupuk kimia hanya 8 kwintal gabah dan

itu pun semakin menurun jika jumlah pupuk kimianya tidak banyak atau ditambah.

Selain itu kualitas gabah pun ketika disimpan akan mudah kuning, nasi cepat basi dan

rasa kurang enak, sangat berbanding terbalik dengan gabah yang dihasilkan dengan

pupuk organik.

Saat ini menurut Pak Edi para petani di Dusun Babakan Sari mulai tertarik

dengan cara tanam organik. Dusun Babakan Sari sendiri ada 2 orang petani lain yang

menggunakan cara tanam organik karena mereka juga anggota TTMB. Banyak para

petani yang sering melihatnya membawa karung berisi pupuk organik, melihat bukti

padinya bagus sehingga petani mulai bertanya kepadanya dan mulai mengikuti cara

tanam organik.

Proses belajar dari keinginan untuk mencari solusi akan kondisi lahan sawah

Pak Edi yang menjadi rusak akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan

langkah awal terbentuknya skema pengetahuan Pak Edi. Skema tersebut menjadi

lebih kuat ketika ia mendapatkan rangsangan melalui berbagai pengetahuan baru

Essay Penelitian Etnografi 20

yang diberikan program SL dari TTMB dan IPPHTI. Rangsangan tersebut kemudian

terkombinasi dengan momentum keinginan akan mengubah sistem pertaniannya dan

kondisi bahan pupuk organik yang bisa didapatkan melalui usaha ternak sendiri.

Kombinasi rangsangan kemudian menjadi ‘jawaban’ sebagai interpretasi dirinya

bahwa pengetahuan baru yang didapat sebagai solusi dari masalahnya. Kondisi ini

akhirnya membentuk skema pengetahuan baru bagi Pak Edi yang memberikannya

makna bahwa yang baru itulah dijadikan sebagai pilihan tindakannya melakukan

sistem pertanian organik.

c. Relasi sosial dan kerjasama

Relasi sosial juga digunakan oleh anggota TTMB dalam melakukan sosialisasi

sistem pertanian organik kepada para petani. Relasi ini dibangun melalui interaksi

sosial yang terjadi di antara para petani. Menurut Bonner (1953) interaksi sosial

adalah hubungan antara dua individu atau lebih, sehingga individu yang satu akan

mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain atau

sebaliknya. Berdasarkan kondisi di Desa Ciganjeng hubungan yang terjadi dalam

interaksi para petani lebih dominan dalam hal pertemanan dan kaitannya dengan

pekerjaan, khususnya dibidang pertanian. Melalui penjelasan Bonner tersebut

hubungan yang terjadi akan cenderung mempengaruhi perilaku individu, seperti

halnya yang terjadi antara Pak Kasda dengan Pak Tahmo.

Pak Kasda merupakan petani anggota Gapoktan cabang kelompok tani

Kendala Cakra yang ada di Dusun Cihideung, program-program kelompok tani

tersebut hanya bergantung dari program pemerintah. Namun, kelompok tani yang ia

ikuti tidak memiliki kegiatan tetap atau tidak aktif. Hubungan petemanan Pak Kasda

dan Pak Tahmo terbentuk karena ayah dari Pak Tahmo merupakan teman baik dari

Pak Kasda. Penerimaan sosialisasi dan ilmu baru dalam pertanian ini akibat hubungan

pertemanannya dengan Pak Tahmo yang sangat dekat. Pak Tahmo sewaktu muda

juga pernah ikut dengan Pak Kasda untuk kerja bangunan di Jakarta cukup lama.

Essay Penelitian Etnografi 21

Mereka berdua sering melakukan kegiatan bersama dalam berbagai hal khususnya

pekerjaan.

Pak Kasda meskipun bukan sebagai anggota kelompok tani TTMB, saat ini ia

sedang fokus bersama Pak Tahmo dalam pembuatan pupuk dan pestida organik sejak

tahun 2012. Sebelum itu cara tanam yang digunakan olehnya masih mengunakan cara

konvensional, namun saat ini ia sudah menggunakan cara tanam SRI dengan pola

tanam jajar legowo 4 serta penggunaan pupuk dan pestisida organik (dulu ia

menanam padi dengan cara dalam, sekarang tanam dangkal sekitar 1-2 cm).

Pengetahuan tata cara pembuatan pupuk organik, daftar nama penyakit padi, dan obat

organik didapat melalui bertanya langsung dan meminta data-data kepada Pak

Tahmo. Pada awalnya timbul kesadaran pada diri Pak Kasda mengenai penggunaan

pupuk dan pestisida kimia yang justru merusak lahan miliknya. Kemudian karena

kedekatannya dengan Pak Tahmo, ia disosialisasikan mengenai sistem pertanian

organik. Setelah mengetahui Pak Kasda langsung tertarik dan mempraktekkannya

karena memang ia suka berinovasi. Hal ini seperti yang pernah dilakukannya oleh

Pak Tahmo dan IPPHTI dengan membuat teknologi tangki penyedot air dari sungai.

Walaupun masih ada kekurangan dalam operasionalisasinya, namun idenya tersebut

dikaji lebih lanjut oleh pihak IPPHTI.

Proses belajar kemudian berlanjut dengan melakukan pengamatan sendiri di

lahan miliknya. Menurut Pak Kasda jika menggunakan sistem pertanian organik hasil

padi baik, beras putih dan pulen, sedangkan penggunaan bahan kimia hasil padi jelek

memang hasilnya banyak tetapi akan berdampak buruk bagi kondisi tanah dan jenis

bahan kimia yang terkandung di dalam padi. Penggunaan pupuk organik lebih efisien

dan ekonomis. Memang untuk diawal pengalihan sistem tanam dari konvensional ke

organik membutuhkan jumlah pupuk yang banyak karena kondisi tanah yang

memang sudah rusak, tetapi dengan menggunakan pupuk organik kondisi tanah akan

menjadi lebih baik dan jika kondisi ini terus berlangsung penggunaan pupuk organik

menjadi lebih efisien. Ia menjelaskan penggunaan pupuk organik per 100 bata hanya

membutuhkan 2 ton pupuk dan bisa bertahan hingga 5 kali musim tanam kedepan.

Essay Penelitian Etnografi 22

Oleh karena itu, Pak Kasda sudah 5 musim tanam menggunakan pupuk organik dan

musim tanam terakhir ia tidak lagi memberi pupuk di lahannya. Kelebihan lain jika

penggunaan pupuk organik dibarengi dengan cara tanam SRI menggunakan legowo 2

atau 4 dapat menghasilkan anakan padi hingga 80 batang. Hal ini justru bisa

memberikan hasil panen yang lebih besar. Proses belajar tersebut masih terus

berlanjut hingga saat ini. Jika ada yang tidak diketahui ia akan bertanya langsung

kepada Pak Tahmo dan meminta data-data dari TTMB, seperti mengenai pemilihan

atau proses seleksi bibit padi dengan cara penggunaan rendaman air garam. Hal ini

sangat berguna untuk meminimalisir bibit padi yang tidak tumbuh dan menghindari

resiko padi terkena penyakit “sundep” atau “beluk” (biji padi tidak ada isinya).

Kondisi yang dialami Pak Kasda tidak jauh berbeda dengan kasus Pak Edi

yang sebenarnya menyadari kerusakan yang timbul akibat penggunanan bahan kimia

dalam pertanian. Hal ini dilengkapi dengan kondisi kelompok tani Kendala Cakra

yang dijadikan wadah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut ternyata tidak

berfungsi. Relasi sosial Pak Kasda dan Pak Tahmo menjadi jalan bagi pembentukan

skema pengetahuan Pak Kasda. Proses belajar dilakukan terus menerus hingga

menjadi kuat dan terbentuk dalam dirinya mengenai penggunaan pupuk organik dan

pembuatannya melalui kegiatan bertanya dan meminta data jika ia menemukan

permasalahan di lapangan dalam pengamatannya. Akhirnya, skema pengetahuan baru

terbentuk akibat proses belajar yang dilakukan bersama dengan sosialisasi yang

intens antara Pak Kasda dengan Pak Tahmo. Skema tersebut memberikan makna

tertentu baginya yang selanjutnya membuat ia melakukan tindakan berdasarkan

interpretasi makna tersebut dengan menjadikan sistem pertanian organik yang

disosialisasikan Pak Tahmo sebagai pilihan sistem pertaniannya saat ini.

d. Sosialisasi secara tidak langsung

Kategori ini merupakan bentuk yang terjadi pada petani yang sebenarnya

menerima sistem pertanian yang disosialisasikan oleh para anggota TTMB. Namun,

menurut Pak Tahmo dikarenakan para anggota kelompok TTMB merupakan para

Essay Penelitian Etnografi 23

petani dari golongan muda, sedangkan para petani yang menggunakan sistem

pertanian konvensional umumnya mereka yang berasal dari golongan tua membuat

mereka merasa ‘gengsi’ untuk ‘dinasehati’ oleh anggota kelompok TTMB.

Pada awalnya para petani tersebut sebagian besar telah mengetahui kegiatan

anggota TTMB yang menggunakan sistem pertanian organik. Namun, karena gengsi

mereka cenderung tidak mau bertanya langsung kepada anggota kelompok. Akhirnya

mereka melakukan pengamatan sendiri di lahan anggota kelompok tanpa

sepengetahuan pemiliknya atau bertanya kepada petani lain yang telah disosialisasi

dan menggunakan cara tersebut. Pak Tahmo menjelaskan pengalamannya, pada suatu

malam ada saja petani yang melihat-lihat tanaman padi miliknya yang ada di

belakang rumahnya. Petani tersebut mengamati, memegang tanaman serta tanahnya

secara diam-diam padahal ia mengetahui kegiatan petani tersebut dari dalam

rumahnya. Sebagian besar mereka kemudian mencoba mengikuti cara tanam organik

dengan jajar legowo dan pupuk organik. Namun, mereka masih sering

mengkombinasikannya dengan pupuk dan pestisida kimia.

Walaupun sosialisasi pengetahuan yang didapat tidak secara langsung dari

anggota kelompok TTMB, namun akibat melihat bukti secara langsung dan

mendengar dari petani lain membuat para petani tersebut mengikuti cara-cara

pertanian organik meski tidak sepenuhnya. Melihat bukti dan mendengar informasi

merupakan bentuk rangsangan-rangsangan yang datang dari luar diri para petani.

Rangsangan itu menjadi skema pengetahuan tertentu yang memunculkan makna

tertentu pula sehingga memberikan rasa keingintahuan para petani mengenai sistem

tanam organik. Rasa ingin tahu tadi kemudian memunculkan tindakan para petani

untuk belajar melalui proses pengamatan sendiri. Artinya, pengetahuan dalam diri

mereka terkombinasi dengan rangsanngan tadi dan memunculkan bentuk

pengetahuan baru. Masih digunakannya bahan kimia menunjukkan bahwa ada unsur

tertentu dalam struktur intrapersonal petani tersebut yang masih diaktifkan dalam

menerima rangsangan.

Essay Penelitian Etnografi 24

Hambatan dalam proses belajar

Proses belajar dalam membentuk skema pengetahuan para petani juga

mengalami hambatan melalui berbagai hal. Hambatan tersebut muncul baik dari

dalam diri petani itu sendiri maupun hambatan dalam proses berjalannya sosialisasi.

Pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ada gengsi sosial di antara

petani golongan tua dan golongan muda dari TTMB. Menurut Ritzel (2007) gengsi

sosial merupakan ciri dari hubungan sosial yang menandakan posisi diri individu

yang menunjukan nilai simbolis dalam kualitas kehormatan dan harga diri individu

tersebut dalam kelompok sosialnya yang menggambarkan dasar sifat yang diinginkan

dan prestasi dirinya. Para petani yang lebih tua merasa dirinya tidak pantas untuk

dinasehati oleh yang lebih muda karena mereka merasa lebih berpengalaman dalam

dunia pertanian. Artinya, sudah seharusnya yang tua memberikan nasehat dan

mengajarkan, bukan sebaliknya. Hal ini mencerminkan bahwa golongan tua berada

dalam posisi lebih tinggi dalam gengsi sosial masyarakat Desa Ciganjeng.

Pengetahuan bahwa yang lebih tua berada dalam posisi tinggi, kegiatan dengan

bertani dengan siapa, atau kategorisasi usia ini merupakan skema pengetahuan yang

dimiliki oleh para petani dari golongan tua di Ciganjeng. Skema tersebut masih sering

mereka aktifkan ketika rangsangan dari luar berupa sosialisasi, baik langsung maupun

tidak langsung, masuk ke dalam pengetahuan mereka. Namun, skema gengsi sosial

mereka masih lebih kuat dari rangsangan yang diterima sehingga skema baru sulit

terbentuk dan pengetahuan mengenai sistem pertanian organik sulit diterima.Gengsi

sosial merupakan hambatan dari dalam diri individu karena dapat menahan

rangsangan pengetahuan baru yang disosialisasikan oleh anggota kelompok tani

TTMB.

Kedua, TTMB sebagai salah satu kelompok tani yang ada di Desa Ciganjeng

diantara 11 kelompok tani dan 1 KWT lain pastinya akan ada peraturan yang

mengatur bagaimana masing-masing kelompok tani bekerja dan berperan bagi

anggota kelompok dan para petani lain di lingkungan sekitar kelompok. Menurut

Kang Ano peraturan antar kelompok tani di desa Ciganjeng tidak berbentuk formal

Essay Penelitian Etnografi 25

atau tertulis melainkan dalam kode etik profesi. Bertens (1994) menjelaskan bahwa

kode etik profesi merupakan norma yang telah ditetapkan dan diterima oleh

kelompok profesi dan untuk mengarahkan atau memberikan petunjuk kepada para

anggotanya. Kode etik profesi adalah bagian dari moral etika terapan (professional

ethic application) karena dihasilkan berdasarkan penerapan dari pemikiran etis yang

berkaitan dengan suatu perilaku atau aplikasi profesi tertentu yang berhubungan

dengan tindakan etik, yaitu mana yang seharusnya dapat dilakukan dan yang mana

semestinya tidak dilakukan. Kelompok-kelompok tani di desa Ciganjeng memiliki

kode etik khususnya dalam hal penerimaan bantuan dan peran kelompok tani kepada

para petani di wilayahnya. Contoh kasus kode etik ini ada pada kelompok tani Guna

Bakti di wilayah Sidamulya Dusun Cihideung. Menurut Pak Juhidi sebagai salah satu

anggota menjelaskan bahwa kelompok tani tersebut seperti tidak ada peran, pengaruh,

bahkan kegunaannya. Ketua kelompok dan anggota dalam kepengurusan serta

kegiatan tidak ada transparansi. Ketika ada bantuan dari pemerintah, seperti traktor ke

kelompok tidak ada kordinasi dengan anggota dan masyarakat. Begitu pula dengan

program-program pemerintah seperti sekolah lapang akan sulit diadakan. Padahal

melalui kelompok tani lah segala bentuk program dan bantuan pemerintah berawal

karena memiliki bentuk struktur garis pertanggungjawaban yang jelas seperti yang

tertuang dalam Pedoman Teknis Bantuan ALSINTAN dari Kementrian Pertanian

Tahun 2014 yang menyatakan bahwa “penerima bantuan adalah kelompok

tani/Gapoktan/UPJA yang dinyatakan layak setelah diverifikasi oleh Dinas Pertanian

setempat”. Jadi segala kegiatan pertanian para petani Sidamulya dilakukan secara

‘berdikari’ atau masing-masing. Akibatnya kegiatan pertanian di sana tetap

menggunakan sistem pertanian konvensional karena tidak ada sosialisasi dari

kelompok tani yang bersangkutan. Kode etik membuat TTMB tidak bisa

mendapatkan akses untuk melakukan sosialisasi kepada para petani di Sidamulya.

Hanya program bantuan teknologi ‘Panen Air Hujan’ saja yang bisa masuk dan

membantu kondisi kesulitan air di wilayah Sidamulya. Kode etik juga menjadi bentuk

skema pengetahuan yang dimiliki oleh para petani dalam hubungan di antara anggota

satu kelompok tani dengan kelompok tani lain. Skema tersebut membuat para petani

Essay Penelitian Etnografi 26

yang berbeda anggota kelompok tentu akan membatasi diri mereka dengan kegiatan

atau apapun yang ada di kelompok lain, seperti antara anggota kelompok tani Guna

Bakti dengan anggota kelompok tani TTMB. Akibatnya, TTMB tidak bisa

memberikan sosialisasi dan sebaliknya para petani dari kelompok tani Guna Bakti

juga tidak bisa mendapatkan sosialisasi sedangkan akses pengetahuan juga

didapatkan dari kelompok ini. Artinya, kode etik membatasi rangsangan baru dari

luar sehingga skema pengetahuan baru sulit terbentuk.

Ketiga, kurangnya peran dari perangkat desa dan lembaga tinggi daerah dalam

membantu kegiatan sosialisasi TTMB. Perangkat desa hanya membantu dalam hal

perbaikan aliran sungai Cirapuan yang sering jebol dan membuat banjir area

pertanian di Ciganjeng. Menurut Pak Rosid selaku Kepala Desa Ciganjeng,

permasalahan pertanian di sana yang bisa ditanggulangi hanya perbaikan saluran

irigasi sungai Cirapuan. Hal ini dikarenakan masalah tersebut dianggap sebagai

permasalahan utama dalam pertanian desa. Kegiatan penanggulangan banjir

dilakukan oleh perangkat Desa Ciganjeng bersama dengan perangkat Desa Tunggilis

yang sama-sama terkena dampak banjir. Hal yang telah dilakukan ialah kordinasi

dengan pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy sebagai pihak

pemerintahan yang mengelola aliran sungai dan sistem irigasi pertanian. Kesepakatan

yang didapat adalah akan dipermanenakan dengan ditinggikan dan dilebarkan aliran

sungai Cirapuan dengan batu dan jaring kawat baja serta pembuatan pintu air untuk

mengatur debit air dari Sungai Citanduy dan Cirapuan. Namun, kendalanya terletak

pada ketersediaan dana dari BBWS yang mengharuskan untuk menghimpun dana dari

para petani yang terkena banjir. Dana tersebut digunakan untuk menetralisir

sepanjang aliran sungai Cirapuan yang ditanami pohon produksi dan rumah warga

dengan ganti rugi. Proses penghimpunan ini menjadi terkendala karena jumlah dana

yang dibutuhkan sangat besar sedangkan para petani sulit untuk penarikan dana.

Akhirnya, proses untuk mempermanenkan aliran sungai Cirapuan menjadi terkendala

yang oleh pihak BBWS ditetapkan untuk memilih salah satu program terlebih dahulu,

dibangun dengan batu atau pembangunan pintu air. Permasalahan ini yang menurut

Essay Penelitian Etnografi 27

Pak Rosid menjadi fokus utama perangkat desa dalam menanggulangi masalah banjir.

Untuk program sosialisasi TTMB, perangkat desa dapat membantu sejauh tingkat

birokrasi dalam pengajuan proposal kegiatan TTMB ketingkat yang lebih tinggi.

Lembaga tinggi Negara tingkat Kabupaten Pangandaran atau DPRD tingkat II

Kabupaten juga menjadi hambatan TTMB dalam melakukan kegiatan. Anggota

DPRD tersebut adalah Pak X yang memiliki konflik pribadi dengan Pak Tahmo.

Menurut Pak Engkis (mantan anggota BPD desa Ciganjeng), Kang Ano (Bendahara

TTMB dan anggota Karang Taruna), Kang Cohri (Sekretaris TTMB dan anggota

Karang Taruna), Kang Dedi (Ketua Umum Ormas Manggala Putih cab. Ciganjeng),

Pak Tahmo (Ketua TTMB, Ketua Karang Taruna), Pak Sarpin (Ketua RT 03,

kediaman Pak X), Pak X memiliki masalah ketika rekonsiliasi ketua umum dan

pertanggungjawaban Karang Taruna dengan Pak Tahmo dimana Pak X merupakan

ketua periode sebelumnya. Selama masa kepemimpinannya kondisi Karang Taruna

menjadi tidak transparan dan ‘ngawur’ sehingga ketika rapat pertanggungjawaban ia

merasa dilecehkan oleh Pak Tahmo karena Pak Tahmo diangkat menjadi ketua

padahal ia pada saat itu tidak hadir. Masalah kedua terjadi ketika pemilihan daerah

Pak X berasal dari fraksi partai A. Awalnya Pak Tahmo juga berasal dari fraksi yang

sama dan akan didaulat untuk menjadi tim sukses pemenangan Pak X. Namun,

akhirnya Pak Tahmo pindah ke partai B yang membuat ia marah dengan kejadian

tersebut. Konflik pribadi tersebut kemudian menjadi alasan untuk melakukan

provokasi bahwa setiap kegiatan TTMB ‘tidak baik’ dan harus dihilangkan. Bahkan

menurut penuturan mereka Pak X berniat menyabotase program ‘Padi Apung’ jika

menjadi anggota dewan DPRD II tingkat Kabupaten dan ternyata ia berhasil menjadi

anggota DPRD II Kabupaten Pangandaran Komisi Bidang Pertanian. Menurut

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2004 Pasal 36 mengenai

Tugas dan Kewajiban anggota DPRD yaitu ayat e, f dan g yang berbunyi :

e. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah

Essay Penelitian Etnografi 28

f. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat

g. Mendahulukan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi, kelompok

atau golongan

Jika Pak X mementingkan konflik pribadi berarti ia telah melanggar peraturan

tersebut. Seharusnya TTMB mendapatkan dukungan penuh dan akses ketingkat

birokrasi lebih tinggi agar mendapatkan perhatian serta bantuan karena TTMB telah

memiliki prestasi di bidang pertanian khususnya program padi apung. Konflik pribadi

merupakan bentuk skema pengetahuan yang dimiliki oleh Pak X untuk menolak

rangsangan mengenai prestasi dan sosialisasi TTMB. Skema tersebut menjadi mantap

ketika ia benar-benar manjadi anggota DPRD tingkat II Kabupaten. Akibatnya,

konflik pribadi menghambat terbentuknya skema pengetahuan baru mengenai TTMB

yang seharusnya merupakan bagian dari tanggungjawab Pak X untuk dibantu dalam

setiap programnya.

Keempat, adanya kebijakan pemekaran Kabupaten Ciamis dengan munculnya

Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Pangandaran yang disahkan melalui UU

Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2012. Menurut Pak Tahmo, kondisi ini membuat

TTMB secara tidak langsung kehilangan akses dan bantuan dari dinas serta lembaga

pertanian di Kabupaten Ciamis karena kewenangan berpindah ke dinas pertanian di

Kabupaten Pangandaran. Kabupaten Pangandaran memiliki fokus tujuan menjadi

kabupaten wisata. Akses yang dimiliki oleh TTMB saat ini berada di Dinas KPK

(Kelautan, Pertanian dan Kehutanan) dan Dinas Pariwisata Kabupaten Pangandaran.

Dinas KPK kurang memberikan peranan dan perhatian pada program pertanian,

hanya fokus pada bidang kelautan dan hutan. Dinas Pariwisata Kabupaten

Pangandaran juga mendukung program padi apung sehingga kedepannya ingin

membuat program agar desa Ciganjeng menjadi ‘Desa Wisata’ dengan TTMB

bersama IPPHTI sebagai pelaksananya. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat ini

membuat TTMB mencari akses sampai tingkat provinsi agar bisa mendapat perhatian

Essay Penelitian Etnografi 29

dan bantuan. Artinya, kegiatan serta program-program TTMB akan mengalami

kesulitan dalam melakukannya karena secara tidak langsung membuat TTMB tidak

aktif. Hambatan-hambatan tersebut secara tidak langsung memberikan dampak

terhadap sosialisasi TTMB kepada para petani karena kelompok tersebut menjadi

kesulitan dalam bergerak dan mencari bantuan.

Kesimpulan

Program pendampingan langsung merupakan langkah secara nyata dalam

usaha untuk membantu para petani dalam menghadapi permasalahan SDA mereka.

Permasalahan mengenai banyak para petani walaupun didampingi melalui kelompok

tani mereka namun belum bisa mengimplementasikan pengetahuan tersebut kedalam

kehidupan pertanian mereka, atau kelompok tani tersebut juga tidak bisa menerapkan

kepada para petani lain mengenai pengetahuan dalam pertanian walaupun mereka

sendiri telah menggunakan pengetahuan itu merupakan tantangan tersendiri dalam

proses perubahan sistem pertanian guna menyelesaikan permasalahan pengelolaan

sumber daya dan pembangunannya.

TTMB sebagai kelompok tani paling aktif yang ada di Desa Ciganjeng

membuktikannya dengan prestasi-prestasi dalam program-program binaan IPPHTI

menjadikan anggota kelompok TTMB melakukan sosialisasi mengenai sistem

pertanian organik kepada para petani lain non-anggota untuk melakukan perubahan

dan kemajuan dalam bidang pertanian. Melalui hubungan kekerabatan, relasi sosial

dan kerjasama, penanaman pengetahuan baru dari program sekolah lapang, dan para

petani yang tersosialisasi secara tidak langsung merupakan cara-cara proses belajar

yang membentuk skema pengetahuan baru mengenai sistem pertanian organik

terbentuk. Rangsangan-rangsangan baru yang diberikan dalam sosialisasi

mendapatkan akses melalui hal-hal tersebut sehingga membentuk skema pengetahuan

tertentu dalam diri petani. Kombinasi rangsangan tersebut akan memunculkan

makna-makna tertentu yang kemudian digunakan oleh para petani dalam memutuskan

untuk menerima atau tidak sosialisasi yang diberikan. Mereka yang menganggap

Essay Penelitian Etnografi 30

bahwa sosialisasi tersebut merupakan ‘jawaban’ dari permasalahan dan penting untuk

dilakukan akan membentuk skema pengetahuan yang menerima sosialisasi tersebut.

Namun, selain penerimaan sosialisasi juga ada hambatan-hambatan dalam proses

belajar yang membatasi rangsangan sosialisasi masuk dan membentuk skema

pengetahuan baru, yaitu gengsi sosial, kode etik kelompok tani, konflik pribadi, dan

kendala dalam birokrasi. Hambatan-hambatan tersebut membatasi rangsangan yang

masuk kedalam diri para petani sehingga skema pengetahuan baru akan sulit

terbentuk.

Meskipun proses belajar memiliki hambatan, namun keaktifan anggota

kelompok tani TTMB dalam menyebarkan pengetahuan mengenai sistem pertanian

organik melalui sosialisasi dan program-program mereka bersama dengan IPPHTI

merupakan bukti adanya peranan TTMB dalam proses perubahan sistem pertanian

yang terjadi di Desa Ciganjeng hingga saat ini. Melalui berbagai cara-cara proses

belajar akhirnya mulai muncul proses perubahan yang signifikan dengan banyaknya

para petani yang mulai mengikuti sistem pertanian organik yang disosialisasikan

tersebut. Skema pengetahuan mereka yang telah menerima juga semakin mantap

dengan dilakukan secara terus menerus, mengikuti setiap arahan yang didapat baik

dari bertanya langsung maupun mengikuti program sekolah lapang, dan selalu

melakukan pengamatan. Meskipun banyak hambatan dalam proses belajar para

petani yang menyebabkan terhambat pula proses pembentukan skema pengetahuan

baru petani untuk mengubah perilaku sistem pertanian konvensional, namun saat ini

proses perubahan sistem pertanian masih tetap berlanjut dengan semakin banyaknya

petani yang mengubah sistem pertanian mereka. Hal ini dapat disimpulkan bahwa

TTMB memberikan peran terhadap proses perubahan sistem pertanian yang terjadi di

Desa Ciganjeng melalui sosialisasi dan program yang mereka lakukan bersama

dengan IPPHTI.

Daftar Pustaka

Agusyanto, Ruddy

Essay Penelitian Etnografi 31

2013 Budaya Sontoloyo : Matahari Berkah atau Kutukan?. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia

Bertens, K1994 Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Bonner, Hubert1953 Social Psychology : An Interdiciplinary Approach. New York:

American BookChoesin, Ezra M.

2002 Connectionism : Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi dalam Antropologi Indonesia : Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology Vol 69 hal

Keesing, Roger M.1975 Kin Groups and Social Structure. UK : Wadsworth Publishing, Co.

Inc. hal 13Mardiyaningsih, Dyah I. , Arya H. Darmawan, dan Fredian Tonny

2010 Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat dalam Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Bogor: IPB Press, Vol. 4 No.1, hal 115-145

Marzali, Amri2003 Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta:

Yayasan Obor IndonesiaMoran, Emilio F.

1982. Human adaptability : An Introduction to Ecological Anthropology. Boulder Colorado: Westview Press, Inc.

Ritzer, George2007 Prestige dalam Blackwell Encyclopedia of Sociology Online

(www.academia.edu/2185008/Prestige)

Strauss, Claudia dan Naomi Quinn1997 A Cognitive Theory of Cultural Meaning. Cambridge: Cambridge

University PressWinarto, Yunita T.

Essay Penelitian Etnografi 32

2006 Pendekatan Prosesual : Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya dalam Antropologi Indonesia : Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology Vol. 30 No. 2

2011 Bisa Dewek : Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di Indramayu. Jakarta: Gramata Publishing

Winarto, Yunita T. dan Ezra M. Choesin 2001 Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial :

Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan dalam Antropologi Indonesia : Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology Vol. 64 hal 91-106

Referensi LainPeraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

UU Republik Indonesia No. 21 tahun 2012 Mengenai Daerah Otonomi Baru Kabupaten Pangandaran

Pedoman Teknis Bantuan Alat Mesin Pertanian Tahun 2014, Direktorat Alat dan Mesin Pertanian ; Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian – Kementrian Pertanian

Daftar Isian Data Dasar Profil Desa/Kelurahan Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat tahun 2013

Essay Penelitian Etnografi 33