Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Intervensi Kelompok Tani Taruna Tani Mekar Bayu dalam Proses
Perubahan Sistem Pertanian Petani Desa Ciganjeng
Delfri Zain Lubis
Abstract
The management of natural resources are degraded, especially in agriculture
relating to development assistance by the government carried out through, academics,
independent institutions and other development agent. The process of changes made by
turning knowledge of farmers by replacing practices of any system of farming who use
chemical fertilizers and pesticides with the system of organic agriculture to prevent impact
the environmental damage created by the use of chemicals in agriculture.
Even though assistance been conducted to farmers through the farmers group to
change but it’s still difficult implemented due to lack of the role of the farmers group. This
paper describes the farmers group of Taruna Tani Mekar Bayu accompanied by IPPHTI
performs activities socialization of through the kinship relation, social relations and
cooperation, vocational school program (Sekolah Lapang), and the farmers that socialized
indirectly, change the scheme of farmers knowledge on Ciganjeng Village. Although there
are obstacles from the farmers and bureaucracy, but the farmers group of Taruna Tani
Mekar Bayu have much role in the process of changing system of farming on Ciganjeng
Village.
Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk biologis untuk dapat bertahan hidup dan menjaga
kelestariannya harus selalu melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidupnya,
baik secara fisik maupun non-fisik. Kegiatan pemenuhan hidup menuntut manusia
untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungan hidupnya. Hal ini
kemudian membuat manusia melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam
yang ada. Permasalahannya ialah ketika sumber daya yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup mengalami kerusakan atau terdegradasi, menyebabkan
kondisinya akan menjadi terbatas padahal kebutuhan manusia tidak pernah terbatas
Essay Penelitian Etnografi 1
(Agusyanto, 2013). Masalah-masalah yang muncul dalam pengelolaan sumber daya
yang terdegradasi tersebut memunculkan adaptasi yang menurut Moran (1982)
dipahami sebagai suatu strategi penanggulangan oleh manusia dalam merespon
umpan balik negatif dari lingkungan hidup suatu makhluk hidup. Umpan balik yang
dimaksudkan adalah segala bentuk perubahan yang disebabkan oleh lingkungan, baik
ekosistem/lingkungan biofisik maupun sosial.
Kajian mengenai adaptasi dan pengelolaan sumber daya alam yang
terdegradasi terkait dengan pembangunan dan peran dari penduduk setempat
diwujudkan melalui program-program pendampingan yang dilakukan oleh
pemerintah, akademisi, lembaga independen maupun agen-agen pembangunan lain.
Fokus pendampingan tersebut ditujukan untuk mengubah pengetahuan lokal
masyarakat yang diketahui bahwa praktik-praktik pemanfaatan sumber daya mereka
ternyata justru dapat merusak, menjadi bentuk pengetahuan baru yang lebih bisa
melestarikan sumber daya melalui proses belajar. Hal ini dapat dilihat sebagai contoh
program pendampingan para petani melalui kelompok tani yang diajarkan dalam
Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang dilakukan oleh IPPHTI
di Lampung Tengah1. Para petani di sana telah terbiasa menggunakan pupuk dan
pestisida kimia yang dikategorikan sebagai cara tanam konvensional dapat merusak
ekosistem sawah diperkenalkan dan diajarkan melalui sekolah lapang mengenai
praktik-praktik pertanian yang bebas bahan kimia.. Seluruh program tersebut
ditujukan untuk membentuk kelompok petani yang memiliki pengetahuan baru dalam
pengelolaan sumber daya agar tidak merusak sumber daya itu sendiri dan tetap dapat
lestari. Kelompok tani diharapkan dapat menjadi agen perubahan pengetahuan dan
perilaku para petani lain dikawasan mereka. Namun, walaupun kelompok tani
1 Winarto, Yunita T. dan Ezra M. Choesin. 2001. Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial : Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan dalam Antropologi Indonesia : Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology hal 91-106. Kasus-kasus yang dijabarkan merupakan permasalahan program pendampingan yang ditujukan untuk mengubah pengetahuan dan perilaku para petani di Lampung Tengah dan nelayan Sulawesi Selatan dalam pengelolaan sumber daya alam, kaitannya dengan pembangunan dan peranan dari penduduk setempat.
Essay Penelitian Etnografi 2
tersebut telah terbentuk dan memiliki pengetahuan baru serta telah melakukan praktik
pertanian yang telah diajarkan dalam proses belajar melalui pendampingan, kelompok
tani tersebut seakan tidak memiliki peran dalam melakukan sosialisasi pengetahuan
kepada para petani lain di luar kelompok. Hal ini dapat dilihat dalam kasus kelompok
tani di Batanghari yang berfungsi hanya sebagai penyalur kredit dan mempermudah
jalur distribusi pasokan teknologi pertanian serta bantuan lain. Selain itu kasus
kelompok tani di Karang Endah, walaupun mereka telah berhasil dibina dalam
program pendampingan dan pengetahuan baru diterapkan oleh petani anggota
kelompok, namun seakan kesulitan menerapkan pengetahuan baru tersebut kepada
petani di luar anggota. Artinya, kelompok-kelompok tani di sana tidak berperan
dalam membentuk perubahan sistem pertanian para petani di sana.
Hal yang berbeda ditemukan dengan kondisi yang terjadi pada kelompok tani
Taruna Tani Mekar Bayu Desa Ciganjeng yang juga mendapat program
pendampingan dari IPPHTI. Desa Ciganjeng memiliki kondisi lahan pertanian yang
rentan akibat sering jebolnya tanggul aliran irigasi dari sungai Citanduy dan
Cirapuan. Hal ini menyebabkan lahan pertanian di sana sering tergenangi oleh banjir
sehingga tidak dapat ditanami, sedangkan jika pada waktunya musim kemarau akan
mengalami kekeringan. Selain itu penggunaan pupuk dan pestisida juga membuat
kondisi lahan pertanian di sana menjadi rusak dan tidak stabil. Kelompok tani
tersebut melalui pendampingan mendapatkan teknologi dan pengetahuan baru
mengenai sistem pertanian melalui berbagai program yang dibuat bersama dengan
IPPHTI dan kemudian melakukan sosialisasi kepada para petani di luar anggota
kelompok. Para anggota kelompok tani tersebut secara aktif melakukan sosialisasi
mengenai sistem pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida
kimia melalui berbagai macam cara. Hal ini menunjukkan bahwa selama melakukan
sosialisasi akan membentuk berbagai macam variasi proses belajar yang terjadi pada
setiap petani yang mendapatkan sosialisasi tersebut baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Essay Penelitian Etnografi 3
Sosialisasi yang dilakukan akan memberikan rangsangan terhadap
pengetahuan para petani. Hal ini karena pengetahuan terbentuk dan dimodifikasi
dalam praktek keseharian yang bisa melibatkan berbagai pihak di luar masyarakat
yang bersangkutan (Winarto dan Choesin, 2001). Mengikuti logika Strauss dan Quinn
(1997: 6) yang menjelaskan bahwa interpretasi individu terhadap sosialisasi
merupakan hasil antara dua jenis struktur yang berbeda, yaitu struktur-struktur
intrapersonal yang bersifat mental dalam diri individu dan struktur-struktur
ekstrapersonal yang berupa kejadian nyata yang relatif stabil disekitar individu, yakni
kondisi lahan pertanian mereka yang rentan. Proses belajar yang dilakukan petani
dalam sosialisasi tersebut membentuk suatu skema pengetahuan tertentu pada diri
petani (intrapersonal) yang terjadi akibat unsur-unsur pengetahuan petani
terkombinasi dengan unsur-unsur pengetahuan baru yang didapat selama proses
belajar berlangsung (ekstrapersonal). Rangsangan dari luar yang diterima dalam
proses belajar akan memberikan respon terhadap proses pembentukan makna yang
ditanggapi oleh diri petani. Skema-skema yang menghasilkan makna juga
mempunyai daya motivasi untuk mewujudkan tindakan; dalam proses pembentukan
skema, perasaan-perasaan yang dialami individu juga dikombinasikan dengan
rangsangan lainnya, sehingga individu akan terdorong untuk mewujudkan tindakan
yang memberikannya perasaan-perasaan tertentu atau menghindarkannya dari
perasaan-perasaan yang tidak ingin ia alami lagi (Strauss dan Quinn, 1997:84 dalam
Choesin, 2002). Artinya, setiap individu memiliki skema-skema pengetahuan
tersendiri dalam menerima rangsangan-rangsangan dari luar dirinya dengan
pengetahuan dalam dirinya, kemudian terbentuk kombinasi-kombinasi tertentu yang
akan menciptakan suatu bentuk respon atau tindakan tersendiri. Hal ini tentu akan
memunculkan berbagai variasi dalam proses belajar para petani melalui sosialisasi
yang dilakukan.
Tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai sosialisasi yang dilakukan
oleh para anggota kelompok tani Taruna Tani Mekar Bayu membentuk variasi proses
belajar para petani yang mendapatkan dan menerima sosialiasi tersebut. Melalui
Essay Penelitian Etnografi 4
hubungan kekerabatan, relasi sosial dan kerjasama, program sekolah lapang, dan para
petani yang tersosialisasi secara tidak langsung merupakan cara-cara proses belajar
para petani sehingga membentuk skema pengetahuan mereka mengenai sistem
pertanian organik. Selain itu selama proses belajar dan perubahan berlangsung akan
muncul pula hambatan-hambatan baik dari dalam diri petani maupun dalam birokrasi
di Desa Ciganjeng.
Kelompok Tani Taruna Tani Mekar Bayu
Taruna Tani Mekar Bayu (TTMB) merupakan salah satu dari 11 kelompok
tani dan 1 kelompok tani wanita (KWT) yang ada di Desa Ciganjeng, berdiri pada
tahun 2008 dengan anggota awal 10 orang dan terletak di Dusun Cihideung.
Walaupun diawal perjalanan sempat vakum selama 2 tahun namun mulai aktif
kembali pada tahun 2010 dengan program awal yang dilakukan adalah pembuatan
pupuk organik. Alasan didirikannya TTMB karena kondisi area persawahan yang jika
musim hujan banjir, namun jika mulai kemarau sangat sulit air. Selain itu mereka
merasa sadar dan prihatin dengan cara tanam konvensional yang menggunakan
bahan-bahan kimia. Menurut Pak Tahmo selaku Ketua Umum TTMB cara tanam
tersebut dianggap berbahaya ke depannya karena akan mewariskan lahan yang kritis
dan sumber penyakit. Hal senada dituturkan pula oleh Kang Ano selaku Sekretaris
TTMB, bahwa tujuan didirikannya kelompok tani ini untuk mengembalikan kondisi
pertanian di Desa Ciganjeng yang kurang stabil akibat penggunaan bahan kimia
dalam pertanian karena dianggap ‘penyakit’ bagi manusia.
Pak Tahmo menjelaskan bahwa TTMB dalam kegiatannya selalu melakukan
komunikasi secara intensif dengan BP3K Kecamatan Padaherang dan sering
mengambil program-program yang ada di sana. Program kerjasama yang dilakukan
adalah pendirian saung kompos. Selanjutnya mereka semakin intens membangun
hubungan dengan lembaga-lembaga pertanian ditingkat kecamatan, kabupaten
bahkan provinsi. TTMB juga sering mengambil program yang ditawarkan oleh Dinas
Pertanian Kabupaten Ciamis hingga tahun 2011 yang mana mayoritas kelompok tani
Essay Penelitian Etnografi 5
lain tidak mau, seperti budidaya jenis tanaman padi baru dan tanaman kedelai dengan
holtikutura.
Program pertama yang dibuat sendiri dari kelompok tani Taruna Tani Mekar
Bayu selain kompos adalah budidaya jamur merang dan jamur tiram, namun tidak
berhasil karena kekurangan modal dan kondisi suhu yang tidak mendukung.
Anggaran yang digunakan dan berada di kelompok juga dikeluarkan sendiri oleh para
anggota. Namun, saat ini akibat kegigihan mengikuti dan mengambil program-
program pemerintah serta komunikasi yang intensif membuat bantuan-bantuan dari
pemerintah mudah di dapat. Saat ini jumlah anggota Taruna Tani Mekar Bayu
sebanyak 30 orang yang mayoritas pemilik sawah, para pemuda yang tidak memiliki
sawah mengajak orang tua untuk ikut pogram atau sawah yang digarap merupakan
milik orang tua mereka. Sawah mereka mayoritas terkena banjir dan selainnya ingin
mencari ilmu tentang pertanian. Kelompok tani TTMB memiliki idealisme modal
dasar pergerakan yang disebut 5 modal dasar, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM),
Sumber Daya Alam (SDA), kegiatan sosial, berdoa dan finansial. Kelima modal dasar
tersebut dijadikan landasan dan tujuan kegiatan mereka, namun Pak Tahmo
mengatakan semua itu harus diikuti dengan tindakan nyata sebagai kunci utama
pergerakan mereka.
Kerjasama melalui pendampingan oleh IPPHTI
IPPHTI sebagai lembaga independen memiliki tujuan utama yaitu membantu
meningkatkan kesejahteraan para petani dalam bidang pertanian khususnya mereka
yang berada dalam kondisi riwayat bencana. Menurut Pak Ferry selaku Kordinator
Lapangan dan Petani Penyuluh Lapangan (PPL) cabang program IPPHTI dari
Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2007 merupakan awal mula cabang tersebut dibuka
dan membuat program-program binaan untuk para petani di wilayah Tasikmalaya.
Program yang dijalankan memiliki semacam kontrak binaan setiap 1 desa memiliki 1
kelompok tani yang dibina selama kurun waktu tertentu, paling cepat minimal 1
musim tanam atau sekitar 6 bulan.
Essay Penelitian Etnografi 6
Pak Ferry menjelaskan masuknya IPPHTI ke wilayah Kabupaten Pangandaran
pada tahun 2009 sampai dengan 2012 memiliki program kerja di 3 kecamatan, yaitu
Kecamatan Patimuan Kabupaten Cilacap, Kecamatan Padaherang, dan Kecamatan
Pangandaran dengan kantor sekretariat berada di Desa Rawa Apu, Kecamatan
Patimuan. Program yang dilakukan di sana melakukan pembinaan kepada para petani
melalui Sekolah Lapang (SL) Pertanian Organik dan SL Iklim serta inovasi program
padi tahan asin. Dalam menentukan wilayah yang akan dijadikan wilayah program,
IPPHTI selalu mencari prioritas wilayah tertentu seperti memiliki riwayat bencana
dan harus melalui penelitian terlebih dahulu.
Selama program di sana IPPHTI melakukan sebuah inovasi dan diskusi
mengenai konsep ‘Padi Apung’ pada tahun 2011. Program tersebut dicoba selama 2
musim dengan menggunakan lahan uji coba dekat kantor sekretariat. Selama masa uji
coba ada kunjungan dari lembaga donor DIAKONIE asal Jerman dan salah satu
profesor ahli iklim yang memiliki lembaga penelitian SISIROOM. Pihak lembaga
donor meminta program padi apung agar dijadikan proyek lanjutan dan bisa
diterapkan untuk menjadi proyek ‘Desa Model’. Akhirnya, Pak Ferry melakukan
penelitian lebih lanjut dengan mencari kelompok tani yang bisa mengambil proyek
tersebut di Desa Ciganjeng. Hal ini karena selama 3 tahun program di Kecamatan
Padaherang, area persawahan Desa Ciganjeng sering terkena banjir dan ditetapkan
oleh IPPHTI sebagai zona bencana. Ketika mencari Gapoktan di sana hanya ada
ketua dari pengurus saja dan banyak anggota yang tidak aktif lagi, sehingga dari
pihak Gapoktan tidak bisa menerima proyek padi apung. Selanjutnya, ketua Gapoktan
merekomendasikan agar pak Ferry menemui pak Tahmo selaku ketua kelompok tani
TTMB yang dianggap aktif melakukan kegiatan. Setelah dipresentasikan mengenai
proyek padi apung, pihak TTMB menyetujui dan proyek tersebut dikembangkan pada
tahun 2012.
Selama menjalankan proyek padi apung dan program pembinaan pertanian,
IPPHTI melihat bahwa kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Desa Ciganjeng sangat
mendukung untuk dibentuk program-program proyek seperti yang ingin diciptakan
Essay Penelitian Etnografi 7
oleh DIAKONIE sebagai ‘Desa Model’. Selanjutnya dibentuklah berbagai macam
program yang mendukung proyek tersebut dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa Ciganjeng, khususnya para petani sehingga menjadi
masyarakat yang mandiri melalui kelompok tani TTMB.
Untuk mendukung kelancaran rencana besar tersebut IPPHTI dan TTMB
selalu melakukan kordinasi dan kerjasama dengan Dinas Pertanian. Konsentrasi yang
ditujukan terhadap program-program untuk kegiatan TTMB. Kelompok tani meminta
program yang selanjutnya akan diturunkan dalam bentuk program maupun bantuan
dari IPPHTI dan Dinas Pertanian. Jadi antara TTMB, IPPHTI dan Dinas Pertanian
membentuk kerjasama secara intesif dan kontinu melalui program-program yang
dilakukan oleh TTMB.
Program-program yang dijalankan Taruna Tani Mekar Bayu dengan IPPHTI
a) Sekolah Lapang Iklim – Padi Apung
Fokus dari program-pogram yang dijalankan oleh TTMB dan IPPHTI itu
mengenai dampak perubahan iklim2 khususnya program adaptasi terhadap banjir
yang sering melanda area persawahan desa Ciganjeng. Program adaptasi terhadap
kondisi banjir ini dilakukan melalui pemberian pengetahuan serta teknologi
khususnya para anggota TTMB melalui sekolah lapang (SL) dan proyek ‘Padi
2 Menurut Pak Ferry dan Pak Tahmo dampak perubahan iklim merupakan permasalahan yang sangat kompleks dikarenakan sangat memiliki hubungan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, khususnya para petani. Misalnya, perubahan iklim menyebabkan pola tanam padi menjadi tidak menentu akibat hujan yang tidak menentu pula. Hal ini jelas akan mempengaruhi perekonomian petani karena mereka bergantung dengan hasil pertanian. Artinya, dibutuhkan suatu strategi adaptasi yang bisa memecahkan permasalahan tersebut. Menurut Marzali (2003) strategi adaptasi merupakan perilaku manusia dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki dalam menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan tindakan yang tepat guna sesuai dengan lingkungan sosial, kultural, politik, ekonomi, dan ekologi ditempat dimana mereka hidup. Ketika sumber daya pertanian yang dijadikan tumpuan hidup para petani di desa Ciganjeng tidak bisa mendukung mereka lagi maka para petani cenderung untuk mencari atau membentuk sumber daya lain. Hal ini tercermin seperti program home industry yang juga dijalankan oleh TTMB dan IPPHTI.
Essay Penelitian Etnografi 8
Apung’. SL sendiri sebenarnya sudah diberikan dari Dinas Pertanian kepada para
petani, begitu pula para anggota TTMB juga pernah mengikuti SL tersebut, seperti
SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu), SLPHT Tindak Lanjut, dan
SL SRI yang diberikan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Ciamis. Materi yang ada di
SL Iklim-Padi Apung juga sebenarnya sudah pernah diberikan oleh Dinas Pertanian,
namun materi tersebut dijadikan dasar utama untuk pembelajaran. Artinya, SL Iklim-
Padi Apung menyempurnakan materi yang sudah pernah diajarkan dan memberikan
pengetahuan baru yang belum pernah diajarkan. Kegiatan SL ini berlangsung secara
rutin yang dilaksanakan oleh IPPHTI. SL ini diperuntukkan bagi para anggota Taruna
Tani Mekar Bayu, namun juga terbuka bagi para petani non-anggota.
Beberapa contoh yang diajarkan dalam SL Iklim-Padi Apung, seperti cara
mengukur kelembaban, mengukur tingkat keasaman atau PH tanah, mengukur curah
hujan dan cuaca, pengetahuan mengenai poses hujan, pemanfaatan hutan, pembuatan
MOL (Mikro Organisme Lokal) dekomposer untuk pupuk organik, pembuatan
pestisida nabati, pelatihan membuat nutrisi untuk manusia, hewan dan tumbuhan
(contoh, membuat sari bambu untuk pengobatan), membuat POC (Pupuk Organik
Cair), dll. Semua pelatihan tersebut diterapkan dengan pemanfaatan barang/bahan
dari lingkungan sekitar tanpa membeli dari toko.
‘Padi Apung’ merupakan proyek yang dijalankan oleh TTMB dan IPPHTI
guna menghadapi kondisi lahan pertanian yang sering banjir. Proyek ini dilakukan di
atas media tanah yang diapungkan menggunakan bambu dan drum serta
menggunakan sistem pertanian organik. Proyek ini merupakan pertama yang
dilakukan di Indonesia dan menjadi ikon bagi pertanian Desa Ciganjeng karena telah
terbukti berhasil dari mulai penanaman hingga panen.
b) Tanaman Pekarangan Organik
Program ini bertujuan untuk pemanfatan lahan pekarangan rumah dan
membuka pola pikir baru mengenai pemunculan tanaman baru di Desa Ciganjeng
agar para petani dapat menghemat kebutuhan mereka akan sayur mayur. Selain itu
Essay Penelitian Etnografi 9
program ini juga bisa menjadi wadah pembelajaran petani dalam mengatur dan
mengelola tanaman pertanian, khususnya dapat diterapkan di tanaman padi karena
prosesnya yang sulit.3
IPPHTI memberikan benih-benih tanaman sayuran dan polybag. Jenis sayur
yang ditanami di antaranya kol, kubis, kembang kol, tomat, selada, sawi, bayam,
cabai, dan daun bawang. Para anggota kelompok menjalankan program ini dan
melalui pembelajaran serta pengamatan akan muncul permasalahan baru mengenai
tanaman tersebut. Masyarakat yang mengetahui dan melihat pun mulai tertarik
dengan program ini. Akhirnya akibat proses pembelajaran, pengamatan dan banyak
warga yang ingin mengetahui program ini dibuatlah SL Sayuran. SL Sayuran
memberikan pelatihan mengenai cara menyemai benih, seperti membuat ‘bekong’4
untuk memudahkan proses pemindahan bibit tanaman agar menghindari proses
‘pembabutan’5, pelatihan dalam pembuatan pestisida khusus sayuran, proses
perawatan hingga proses pemanenan.
c) Home Industry
Home Industry dibuat oleh IPPHTI dan TTMB karena terinspirasi dari
beberapa warga Desa Ciganjeng yang menjalankan kegiatan tersebut. Program ini
memfokuskan kepada manajemen kebutuhan di luar pertanian para anggota kelompok
khususnya para ibu-ibu, karena ketika ada program dari IPPHTI para ibu-ibu dari
anggota kelompok sering terlibat didalamnya sehingga IPPHTI menawarkan agar ibu-
ibu tersebut dibuatkan program khusus melalui TTMB.
3 Menurut Pak Ferry jika perawatan tanaman sayuran yang sulit saja bisa dilakukan dengan baik oleh para petani maka mereka akan bisa melakukan perawatan yang baik pula dalam perawatan tanaman padi mereka karena prosesnya yang menggunakan sistem organik
4 Semacam mekanisme untuk mempermudah pemindahan tanaman. Terbuat dari bilah bambu yang dibuat mengitari pangkal hingga akar tanaman dan diisi dengan tanah. Ketika tanaman siap dipindahkan bekong inilah yang membantu proses penyabutan agar tanaman tidak ‘sakit’ karena dipindahkan ke media tanam yang baru
5 pencabutan
Essay Penelitian Etnografi 10
Modal awal diberikan dari IPPHTI sebesar Rp 4.000.000,- kepada para ibu-
ibu untuk digunakan kembali dalam pengolahan produk home industry. Ibu-ibu yang
ikut program ini dibentuk berdasarkan kelompok, ada 3 kelompok yang masing-
masing berisi 5 orang. Produk yang diolah seperti rengginang, agar-agar kering,
keripik pisang, pangsit goreng, keripik bayam, manisan terong, dan keripik bawang.
Semua produk tersebut diberi label merk produksi TTMB, karena ibu-ibu sebagai
produsen sedangkan kelompok tani sebagai manajemen dan distributor. Perhitungan
bagi hasil adalah setiap keuntungan Rp 100.000,- akan diberikan sebesar Rp 15.000,-
masuk ke kas TTMB.
Program ini telah berjalan baik namun masih memiliki kendala yaitu program
ini belum menjadi kegiatan rutinitas harian karena para ibu-ibu punya pekerjaan lain
pada saat tertentu, seperti saat musim tanam atau panen. Selain itu masalah
ketersediaan bahan baku poduksi juga sering menjadi permasalahan tersendiri bagi
program ini. Namun, program ini diakui Pak Tahmo dapat membantu meringankan
kebutuhan saat kondisi pertanian sedang tidak menentu.
d) Teknologi Panen Air Hujan (Rain Water Harvest)
Teknologi ini diberikan oleh IPPHTI dalam program mencari wilayah desa
yang memiliki masalah akan kebutuhan air. Wilayah yang paling kritis berada di blok
Sidamulya dari Dusun Cihideung dimana masyarakat di sana selama lebih dari 40
tahun mengkonsumsi air tanah yang kotor, berwarna, bau, berminyak, jika diminum
tidak enak rasanya, serta jika digunakan untuk mencuci baju akan kotor dan kuning.
Kondisi ini akan semakin parah jika masuk kepada musim kemarau, masyarakat
Sidamulya akan menggali tanah, sungai atau sawah untuk mencari air walaupun
sebenarnya air tersebut berkondisi sama.
IPPHTI memberikan teknologi panen air hujan kepada TTMB dan kemudian
dijadikan program bantuan sebanyak 21 unit di blok Sidamulya dan 1 unit di depan
seketariat yang dijadikan sebagai percontohan. Teknologi ini berbentuk tabung
dengan tinggi 1,5 meter dan diameter 80 cm, dapat menampung kapasitas air air
Essay Penelitian Etnografi 11
hujan ±745 liter. Dengan teknologi tersebut diharapkan dapat meminimalisir kondisi
kebutuhan air bersih pada saat musim hujan bahkan di awal musim kemarau.
e) Kincir Air
Teknologi kincir air dibuat oleh TTMB bersama IPPHTI karena pada saat
musim kemarau kondisi area persawahan akan sangat kering namun di sungai
Cirapuan yang melintasi area persawahan masih dialiri air. Menurut Pak Ferry,
program IPPHTI selalu menggalakkan pengurangan penggunaan bahan bakar atau
energi tidak terbarukan dan lebih memanfaatkan energi terbarukan. Penggunaan
kincir air yang hanya memanfaatkan bambu dan kayu sebagai bahan pembuatannya,
digunakan untuk mengalirkan air dari sungai ke area persawahan merupakan hal yang
baru bagi masyarakat Ciganjeng karena selama ini biasanya menggunakan sumur bor,
itupun hanya segelintir orang yang memilikinya.
Penggunaan 1 unit kincir air selama 1 hari akan membantu mengairi sawah
seluas 5-6 Ha. Saat ini IPPHTI ingin menawarkan 26 unit lagi untuk digunakan di
sepanjang aliran sungai namun masih dalam proses perizinan ke Dinas Pengairan
Sungai Citanduy. Sejauh ini penggunaan kincir air masih efektif namun kendala yang
terjadi ada pada perawatan kincir air itu sendiri. Kurangnya kepedulian dari
masyarakat untuk perawatan membuat kincir air ini menjadi rusak. Perawatan
dilakukan oleh anggota kelompok padahal sawah mereka tidak dialiri oleh kincir
tersebut.
f) Teknologi Oven Pengering untuk produk Home Industry
Teknologi ini merupakan inovasi dari IPPHTI yang berfungsi untuk
menjemur produk-produk olahan makanan dari home industry. Alat ini berguna jika
pada saat musim hujan tidak perlu repot mengangkat penjemuran, saat musim
kemarau atau panas semakin cepat dan baik hasilnya karena panas menjadi semakin
tinggi di dalam ruangan tersebut, bahkan walaupun cuaca mendung tetap panas.
Essay Penelitian Etnografi 12
Selain itu alat ini membantu melindungi makanan agar tidak terkena debu sehingga
makanan menjadi lebih bersih dan sehat.
Beberapa Prestasi Kelompok Tani Taruna Tani Mekar Bayu
Keaktifan TTMB dalam melakukan kegiatan untuk memajukan pertanian
Desa Ciganjeng membuahkan hasil dengan diakuinya kelompok tani tersebut oleh
lembaga pertanian dari berbagai tingkat di Provinsi Jawa Barat. Hal ini dapat
dibuktikan dengan saat ini TTMB selain sebagai kelompok tani yang berada dalam
tingkat lokal/desa juga diamanahkan oleh Dinas Pertanian Provinsi Ciamis untuk
memegang jabatan UPJA Kecamatan Padaherang.
UPJA atau Usaha Pengelola Jasa ALSINTAN (Alat Mesin Pertanian)
merupakan program dari pemerintah provinsi untuk menyalurkan bantuan berupa
alat-alat dan mesin pertanian agar dikelola oleh Gapoktan atau kelompok tani dari
berbagai desa di satu kecamatan tertentu. Oleh karena itu, seharusnya kepengurusan
serta anggota UPJA merupakan gabungan para petani yang berasal dari berbagai
kelompok tani dari desa mereka. Namun, karena sampai tingkat kecamatan pun
banyak kelompok tani yang tidak menyanggupi pengelolaan pogram UPJA ini dan
pemerintah melihat pada saat itu kelompok TTMB yang paling aktif, membuat
pemerintah akhirnya menunjuk mereka untuk menjadi kelompok UPJA sejak tahun
2012 hingga saat ini. Status UPJA yang diberikan juga langsung ditingkat UPJA
Berkembang.6 TTMB dengan status UPJA-nya mengatur jasa penyewaan alat-alat
pertanian di tingkat kecamatan membawahi puluhan kelompok tani di beberapa desa.
Saat ini aset dari TTMB sebagai UPJA memiliki 3 unit traktor. Setiap 1 unit traktor
diperuntukkan mengolah lahan sawah seluas 10 Ha. Luas lahan di desa Ciganjeng
saja ±420 Ha sehingga akan menerima traktor sebanyak 42 unit, belum lagi dari 14
desa lain se-Kecamatan Padaherang. Ini merupakan sebuah prestasi bagi TTMB yang
hanya sebagai salah satu kelompok tani di tingkat desa.
6 Status UPJA memiliki tingkatan dalam klasifikasi Dinas Pertanian, yaitu UPJA Pemula, UPJA Berkembang dan UPJA Profesional
Essay Penelitian Etnografi 13
Keaktifan pergerakan Taruna Tani Mekar Bayu dengan berbagai programnya
terutama proyek ‘Padi Apung’ juga telah terdokumentasi oleh berbagai media televisi
dan cetak. Proyek padi apung telah menjadi suatu ikon atau ciri khas dari desa
Ciganjeng berkat peran dari TTMB dan IPPHTI. Telah banyak perwakilan kelompok
tani yang datang dari berbagai provinsi di Indonesia untuk datang dan belajar
mengenai proyek padi apung. Selain itu Dinas Pertanian Kabupaten Ciamis juga
pernah mengajak TTMB sebagai penyelenggara program JIDES (Jembatan Irigasi
Desa) pada tahun 2013. Program ini merupakan proyek pembuatan irigasi untuk
pengairan sawah-sawah di Kecamatan Padaherang dengan memanfaatkan mata air
‘embung’7 dari bukit di kawasan Babakan Sari agar bisa memberikan suplai air ketika
musim kemarau.
Proses Belajar Para Petani Non-Anggota dalam Kegiatan Sosialisasi Kelompok
Tani Taruna Tani Mekar Bayu
Keaktifan TTMB dalam melakukan kegiatan yang tertuang dalam program-
program yang dilaksanakan dengan pendampingan oleh IPPHTI hingga mendapatkan
prestasi dari berbagai pihak membuat kelompok tani ini mengangkat motivasi mereka
untuk mengubah sistem pertanian konvensional petani menggunakan pupuk dan
pestisida kimia yang justru dapat merusak ekosistem serta lahan pertanian Desa
Ciganjeng, menjadi menggunakan bahan organik agar dapat membuat lahan pertanian
tersebut menjadi ‘terbaharui’. Motivasi ini mereka realisasikan melalui sosialisasi
kepada para petani agar menggunakan sistem pertanian yang tidak lagi menggunakan
pupuk serta pestisida kimia atau sistem pertanian organik.
Sosialisasi yang dilakukan dalam sistem pertanian ini mengenai penggunaan
sistem tanam System of Rice Intensification (SRI) dan penggunaan pupuk serta
pestisida organik. Kang Ano menjelaskan SRI merupakan sistem tanam yang
berpedoman dengan cara tanam yang menggunakan benih muda, tanam dangkal,
pestisida nabati, pengendalian hama dengan predator alami, dan pupuk organik.
7 Waduk buatan yang berfungsi untuk menampung air hujan dan sumber air dari bukit
Essay Penelitian Etnografi 14
Perbedaan antara cara tanam konvensional dan SRI, pertama, terletak dalam
penggunaan bibit/benih. Penggunaan bibit dalam cara tanam SRI hanya
menggunakan 7 ons per 100 bata (1400 m2 atau 1,4 Ha) jauh lebih sedikit dengan cara
tanam konvensional yang membutuhkan bibit 7 sampai 10 kg/Ha. Kedua, usia bibit
yang akan ditanam dalam SRI lebih pendek, hanya 10 hari dan tanpa persemaian di
lahan sawah (persemaian dilakukan diatas baki/nampan) sedangkan konvensional
membutuhkan waktu 21 hari dilahan persemaian yang kemudian dilakukan
‘pembabutan’ untuk kemudian dipindahkan ke lahan pembesaran dengan ditanam
dangkal yaitu sekitar 1-2 cm. Menurutnya, ‘pembabutan’ benih membuat benih
‘sakit’ dan pada cara tanam konvensional bibit ditanam dalam padahal ini akan
mempersulit proses pertumbuhan bibit. Ketiga, SRI menggunakan cara tanam tunggal
(satu per satu batang padi) dengan pola tanam “jajar legowo” yaitu setiap satu sampai
dengan empat baris ditanami kemudian diberikan jarak kosong satu baris8, sedangkan
cara tanam konvensional menanam benih tanpa aturan pola tanam dan biasanya
ditanam dengan sebanyak-banyaknya sesuai luas lahan. Menurut Kang Ano dan Pak
Tahmo, cara tanam SRI ini sangat efektif karena menghemat benih, biaya tanam,
tidak perlu ‘babut’, serta hasil panen justru sama dengan konvensional bahkan jika
kondisi tanah telah baik karena menggunakan pupuk organik hasil panen bisa lebih
banyak. Selain itu penggunaan jajar legowo juga memudahkan dalam pengendalian
hama karena frekuensi jumlah tanaman padi tidak terlalu rimbun.
Cara tanam SRI akan menjadi lebih maksimal jika kondisi tanah sawah juga
baik dalam artinya kondisi tingkat kesuburannya tinggi. Pak Tahmo menjelaskan
bahwa kondisi ini dapat dilihat dengan warna tanah yang masih segar dan kehitaman,
tekstur tanah yang gembur, dan yang paling mudah terlihat yaitu banyaknya
organisme yang hidup dilahan tersebut seperti cacing, ikan kecil, keong sawah,
bahkan rerumputan. Kondisi tersebut sudah sulit ditemui di lahan-lahan pertanian di
Ciganjeng. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kondisi kesuburan
8 Jajar legowo biasanya menggunakan legowo 2 atau legowo 4. Legowo 2 menanam 2 baris dan 2 baris kemudian diberi jarak kosong. Begitu pula dengan legowo 4.
Essay Penelitian Etnografi 15
tanah tersebut ialah melalui penggunaan pupuk organik serta pengendalian hama
dengan pestisida organik. Keduanya selain mengembalikan kondisi kesuburan tanah
juga bisa menjaga agar ekosistem sawah dapat terjaga kelestariannya.
Sistem pertanian organik dengan cara tanam SRI dan penggunaan pupuk serta
pestisida organik ini merupakan fokus utama sosialisasi anggota TTMB agar dapat
membuat sumber daya pertanian di Desa Ciganjeng menjadi tidak rusak dan lestari.
Telah dijelaskan sebelumnya hal ini dikarenakan para petani di Desa Ciganjeng masih
menggunakan sistem pertanian konvensional. Oleh karena itu melalui beberapa cara
para anggota TTMB memberikan sosialisasi yang kemudian membuat petani
melakukan proses belajar, yaitu :
a. Melalui hubungan kekerabatan
Kekerabatan menurut Keesing (1975: 13) adalah “…the network of
relationships created by genealogical connections, and by socialities (e.g, those
based on adoption) modeled on the ‘natural’ relations of genealogical parenthood”.
Hubungan kekerabatan menjadi langkah awal sosialisasi yang dilakukan oleh para
anggota TTMB kepada para petani non-anggota. Hal ini karena anggota TTMB
merasa sosialisasi dilakukan oleh orang terdekat terlebih dahulu karena mereka
merupakan bagian dari keluarga mereka. Salah satu contohnya ialah Pak Cahwan,
petani dari Dusun Cihideung yang merupakan kerabat dari Pak Tahmo yaitu kakek
dari Pak Tahmo merupakan uwak (paman) dari Pak Cahwan.
Pada awalnya sistem pertanian yang digunakan pak Cahwan masih
menggunakan cara konvensional. Hal ini menurutnya karena memang belum punya
pengalaman selain cara tersebut. Selain itu ia juga belum pernah ikut sekolah lapang,
hanya mendengar saja dari para petani lain. Pak Cahwan juga mengelola sawah milik
orang lain karena sawah keluarga dikelola oleh kakaknya. Mengenai cara tanam baru
yang disosialisasikan oleh Pak Tahmo, awalnya ia tidak mau mengikuti karena sawah
milik orang lain. Ia sempat “dipaksa” oleh Pak Tahmo karena wataknya yang
Essay Penelitian Etnografi 16
‘mrekedeweng’9. Hal ini kemudian membuat Pak Tahmo mengajaknya dengan cara
‘menantang’ Pak Cahwan untuk mencoba cara tanam SRI dan menggunakan pupuk
serta pestisida organik yang mana bibit dan bahan-bahan penanaman diberikan
melalui TTMB. Jika nanti dengan cara tanam yang diajarkan Pak Tahmo gagal, maka
hasil panennya akan diganti oleh Pak Tahmo. Pada tahun 2012 akhirnya Pak Cahwan
mencoba menanam dengan cara SRI dan legowo 4 dengan pupuk serta pestisida
organik. Ketika musim panen Pak Cahwan mengaku hasilnya baik dan kemudian ia
menjadi percaya dengan yang diajarkan oleh Pak Tahmo.
Saat ini ia konsisten menggunakan cara tanam dengan menggunakan legowo 2
dan pupuk organik. Tahun 2013 ia hanya mengeluarkan biaya untuk 5 karung pupuk
organik atau sekitar 2,5 Kwintal dengan harga Rp 175.000,- untuk digunakan di
sawah seluas 50 bata. Proses belajar ia pun saat ini semakin intensif dengan Pak
Tahmo, mempelajari mengenai PPL dan predator alami. Menurut Pak Cahwan cara
tanam yang lebih baik itu menggunakan organik karena kondisi tanah yang sangat
subur dan gembur. Hal ini ia buktikan dengan cara membuat galengan dan proses
pembajakan tanah. Jika menggunakan bahan kimia tanah menjadi “kekel” dan liat
sehingga jika digunakan untuk membuat galengan akan cepat keras. Sedangkan tanah
yang menggunakan bahan kimia jika ditraktor seperti ‘cendol’. Disini ia memahami
bahwa tanah tersebut tidak baik untuk kegiatan pertanian. Berbeda dengan
menggunakan organik. Tanah sulit digunakan untuk membuat galengan karena sangat
gembur sehingga mudah runtuh. Selain itu banyak sekali hewan yang hidup di sawah
tersebut. Artinya, kondisi tanah tersebut sangat subur dan baik untuk pertanian. Saat
ini ia semakin yakin untuk menggunakan cara tanam organik, jika ia tidak mengerti
tentang suatu hal mengenai permasalahan cara tanam tersebut akan bertanya ke Pak
Tahmo.
Proses belajar yang dialami oleh Pak Cahwan yang dimulai dari
ketidakpercayaannya kepada sistem pertanian yang disosialisasikan oleh Pak Tahmo,
kemudian ia harus ‘ditantang’ oleh Pak Tahmo dengan subsidi TTMB dan jaminan 9 Bandel, sulit diberi tahu atau diajarkan
Essay Penelitian Etnografi 17
ganti rugi jika panen gagal, lalu belajar dengan langsung dipraktekkan. Kemudian ia
percaya ketika telah melihat bukti, lalu melakukannya sendiri disertai dengan
pengamatan dan sering bertanya kembali dengan Pak Tahmo merupakan proses
pembentukan skema pengetahuan dalam diri Pak Cahwan. Sosialisasi yang dilakukan
oleh Pak Tahmo menjadi unit-unit rangsangan yang diterima oleh Pak Cahwan.
Rangsangan tersebut kemudian akan membentuk kombinasi dengan pengetahuan Pak
Cahwan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan pada awalnya ia menolak sosialisasi
karena ia tidak memiliki pengalaman cara tanam organik. Tantangan jaminan ganti
rugi dari Pak Tahmo juga mengaktifkan bentuk skema tertentu sehingga Pak Cahwan
berani mengambil keputusan untuk menerimanya. Kemudian karena rangsangan
yang diterima oleh Pak Cahwan dilakukan terus menerus melalui praktik, pengamatan
dan selalu bertanya kepada Pak Tahmo, maka pengetahuan yang masuk melalui
sosialisasi tersebut menjadi semakin mantap dan akhirnya diterima oleh Pak Cahwan
sehingga mengubah sistem pertaniannya.
b. Melalui program sekolah lapangan TTMB dan IPPHTI
Salah satu program yang dijalankan oleh TTMB bersama dengan IPPHTI
adalah sekolah lapang (SL) yang dilakukan secara intensif. SL diperuntukkan bagi
anggota kelompok juga bagi para petani yang ingin belajar mengenai sistem pertanian
yang digalakkan oleh IPPHTI. Melalui program ini anggota TTMB dapat mengajak
petani non-anggota agar bersama belajar mengenai praktik pertanian yang baik dan
tidak merusak lahan sawah mereka sendiri. Artinya, melalui ajakan mengikuti SL
tersebut TTMB dapat senantiasa mengubah sistem pertanian konvensional yang
digunakan oleh petani. Hal ini seperti yang terjadi pada Pak Edi, petani dari Dusun
Babakan Sari.
Pak Edi adalah salah satu petani di Dusun Babakan Sari Desa Ciganjeng yang
tidak termasuk kedalam kelompok tani manapun atau petani mandiri. Sistem
pertanian yang digunakannya seperti kebanyakan petani pada umumnya adalah cara
tanam konvensional yang ia dapatkan mengikuti apa yang diajarkan oleh
Essay Penelitian Etnografi 18
orangtuanya. Hal ini juga dikarenakan ia mengolah lahan sawah dari orangtua. Pada
awalnya ia menggunakan cara tanam padi dengan jumlah bibit sangat banyak, tidak
menggunakan sistem jajar legowo, masih dengan semai lahan dan pembabutan. Cara
tanam tersebut mengharuskannya membeli benih banyak, tidak peduli bagaimana
hasil dan caranya yang penting harus menanam padi. Pak Edi juga menggunakan
pupuk dan pestisida kimia karena menurutnya pada saat itu memang diarahkan oleh
pemerintah jadi ia selalu mengikuti arahan pemerintah. Menurutnya efek
menggunakan pupuk kimia menjadi sangat merugikan karena misal, musim tanam
sekarang menggunakan 10 kg pupuk urea untuk 100 bata lahan sawah, musim
berikutnya agar tanaman padi subur jumlah penggunaan pupuk urea harus ditambah
menjadi 20 kg per 100 bata begitu seterusnya. Artinya setiap musim tanam agar padi
tumbuh baik dibutuhkan jumlah pupuk kimia yang semakin banyak. Akibatnya tanah
menjadi semakin rusak, keras, dan banyak hewan penyubur tanah sawah menjadi
mati.
Kondisi ini memunculkan kerisauan Pak Edi akan kondisi tanah yang semakin
rusak dan penggunaan pupuk yang semakin banyak dan kemudian membuat ia ingin
mencari solusi untuk mengubah cara tanam pertaniannya. Awalnya ia ingin mencari
tahu bagaimana cara untuk menyuburkan tanah. Saat itu ia bertemu dengan Kang Ano
dan disarankan untuk menggunakan pupuk organik. Hal ini sebenarnya sangat
mendukung karena Pak Edi juga memelihara beberapa ekor kambing yang
kotorannya bisa digunakan untuk pupuk organik. Namun, ia sempat tidak yakin tetapi
karena kondisinya yang juga bisa memanfaatkan kotoran ternaknya menjadi pupuk
organik akhirnya membuatnya mencoba menggunakan. Beberapa kali penggunaan
kemudian mulai ada tanda-tanda perubahan pada lahan sawah ia sehingga ia
memutuskan untuk mulai mencari tahu lebih mendalam mengenai penggunaan bahan
organik tersebut.
Setelah memulai menggunakan pupuk organik ia diajak oleh Kang Ano untuk
mengikuti kegiatan program SL, seperti SL Iklim-Padi Apung dan SL Sayuran.
Pengetahuan yang didapat langsung ia lakukan, sehingga saat ini sudah menggunakan
Essay Penelitian Etnografi 19
cara tanam SRI dan legowo, penggunaan pupuk dan pestisida organik, membuat
POC, dan membuat MOL Dekomposer. Ia mengatakan bahkan saat ini akibat ikut SL
dengan TTMB untuk kebutuhan MOL dekomposer saja ia sudah bisa membuatnya
sendiri karena hal ini dianggap bisa menghemat modal pertanian. Modal yang
dibutuhkan sangat kecil yaitu Rp 14.000,-/ 5 liter dengan rincian Ragi 4 pcs Rp
4.000,- ; Gula Merah Rp 7.000,-/kg, Terasi Rp 3.000/ 2 ons. Sedangkan jika beli
harga MOL dekomposer sekitar Rp 20.000-25.000,-/liter. Pekarangan di depan
rumahnya pun saat ini ditanami sayur-sayuran untuk mengurangi kebutuhan harian.
Menurut Pak Edi pupuk organik membantu mengembalikan kondisi tanah
yang rusak dan keras menjadi kembali subur namun perlu waktu sekitar 6 musim
tanam intensif menggunakan pupuk organik. Jika dilihat dari hasil pun sawah yang
menggunakan pupuk organik sangat menguntungkan. Untuk setiap 100 bata sawah
saat ini bisa menghasilkan hingga 1 ton gabah dan hasilnya akan semakin naik atau
bertambah. Sedangkan yang menggunakan pupuk kimia hanya 8 kwintal gabah dan
itu pun semakin menurun jika jumlah pupuk kimianya tidak banyak atau ditambah.
Selain itu kualitas gabah pun ketika disimpan akan mudah kuning, nasi cepat basi dan
rasa kurang enak, sangat berbanding terbalik dengan gabah yang dihasilkan dengan
pupuk organik.
Saat ini menurut Pak Edi para petani di Dusun Babakan Sari mulai tertarik
dengan cara tanam organik. Dusun Babakan Sari sendiri ada 2 orang petani lain yang
menggunakan cara tanam organik karena mereka juga anggota TTMB. Banyak para
petani yang sering melihatnya membawa karung berisi pupuk organik, melihat bukti
padinya bagus sehingga petani mulai bertanya kepadanya dan mulai mengikuti cara
tanam organik.
Proses belajar dari keinginan untuk mencari solusi akan kondisi lahan sawah
Pak Edi yang menjadi rusak akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan
langkah awal terbentuknya skema pengetahuan Pak Edi. Skema tersebut menjadi
lebih kuat ketika ia mendapatkan rangsangan melalui berbagai pengetahuan baru
Essay Penelitian Etnografi 20
yang diberikan program SL dari TTMB dan IPPHTI. Rangsangan tersebut kemudian
terkombinasi dengan momentum keinginan akan mengubah sistem pertaniannya dan
kondisi bahan pupuk organik yang bisa didapatkan melalui usaha ternak sendiri.
Kombinasi rangsangan kemudian menjadi ‘jawaban’ sebagai interpretasi dirinya
bahwa pengetahuan baru yang didapat sebagai solusi dari masalahnya. Kondisi ini
akhirnya membentuk skema pengetahuan baru bagi Pak Edi yang memberikannya
makna bahwa yang baru itulah dijadikan sebagai pilihan tindakannya melakukan
sistem pertanian organik.
c. Relasi sosial dan kerjasama
Relasi sosial juga digunakan oleh anggota TTMB dalam melakukan sosialisasi
sistem pertanian organik kepada para petani. Relasi ini dibangun melalui interaksi
sosial yang terjadi di antara para petani. Menurut Bonner (1953) interaksi sosial
adalah hubungan antara dua individu atau lebih, sehingga individu yang satu akan
mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain atau
sebaliknya. Berdasarkan kondisi di Desa Ciganjeng hubungan yang terjadi dalam
interaksi para petani lebih dominan dalam hal pertemanan dan kaitannya dengan
pekerjaan, khususnya dibidang pertanian. Melalui penjelasan Bonner tersebut
hubungan yang terjadi akan cenderung mempengaruhi perilaku individu, seperti
halnya yang terjadi antara Pak Kasda dengan Pak Tahmo.
Pak Kasda merupakan petani anggota Gapoktan cabang kelompok tani
Kendala Cakra yang ada di Dusun Cihideung, program-program kelompok tani
tersebut hanya bergantung dari program pemerintah. Namun, kelompok tani yang ia
ikuti tidak memiliki kegiatan tetap atau tidak aktif. Hubungan petemanan Pak Kasda
dan Pak Tahmo terbentuk karena ayah dari Pak Tahmo merupakan teman baik dari
Pak Kasda. Penerimaan sosialisasi dan ilmu baru dalam pertanian ini akibat hubungan
pertemanannya dengan Pak Tahmo yang sangat dekat. Pak Tahmo sewaktu muda
juga pernah ikut dengan Pak Kasda untuk kerja bangunan di Jakarta cukup lama.
Essay Penelitian Etnografi 21
Mereka berdua sering melakukan kegiatan bersama dalam berbagai hal khususnya
pekerjaan.
Pak Kasda meskipun bukan sebagai anggota kelompok tani TTMB, saat ini ia
sedang fokus bersama Pak Tahmo dalam pembuatan pupuk dan pestida organik sejak
tahun 2012. Sebelum itu cara tanam yang digunakan olehnya masih mengunakan cara
konvensional, namun saat ini ia sudah menggunakan cara tanam SRI dengan pola
tanam jajar legowo 4 serta penggunaan pupuk dan pestisida organik (dulu ia
menanam padi dengan cara dalam, sekarang tanam dangkal sekitar 1-2 cm).
Pengetahuan tata cara pembuatan pupuk organik, daftar nama penyakit padi, dan obat
organik didapat melalui bertanya langsung dan meminta data-data kepada Pak
Tahmo. Pada awalnya timbul kesadaran pada diri Pak Kasda mengenai penggunaan
pupuk dan pestisida kimia yang justru merusak lahan miliknya. Kemudian karena
kedekatannya dengan Pak Tahmo, ia disosialisasikan mengenai sistem pertanian
organik. Setelah mengetahui Pak Kasda langsung tertarik dan mempraktekkannya
karena memang ia suka berinovasi. Hal ini seperti yang pernah dilakukannya oleh
Pak Tahmo dan IPPHTI dengan membuat teknologi tangki penyedot air dari sungai.
Walaupun masih ada kekurangan dalam operasionalisasinya, namun idenya tersebut
dikaji lebih lanjut oleh pihak IPPHTI.
Proses belajar kemudian berlanjut dengan melakukan pengamatan sendiri di
lahan miliknya. Menurut Pak Kasda jika menggunakan sistem pertanian organik hasil
padi baik, beras putih dan pulen, sedangkan penggunaan bahan kimia hasil padi jelek
memang hasilnya banyak tetapi akan berdampak buruk bagi kondisi tanah dan jenis
bahan kimia yang terkandung di dalam padi. Penggunaan pupuk organik lebih efisien
dan ekonomis. Memang untuk diawal pengalihan sistem tanam dari konvensional ke
organik membutuhkan jumlah pupuk yang banyak karena kondisi tanah yang
memang sudah rusak, tetapi dengan menggunakan pupuk organik kondisi tanah akan
menjadi lebih baik dan jika kondisi ini terus berlangsung penggunaan pupuk organik
menjadi lebih efisien. Ia menjelaskan penggunaan pupuk organik per 100 bata hanya
membutuhkan 2 ton pupuk dan bisa bertahan hingga 5 kali musim tanam kedepan.
Essay Penelitian Etnografi 22
Oleh karena itu, Pak Kasda sudah 5 musim tanam menggunakan pupuk organik dan
musim tanam terakhir ia tidak lagi memberi pupuk di lahannya. Kelebihan lain jika
penggunaan pupuk organik dibarengi dengan cara tanam SRI menggunakan legowo 2
atau 4 dapat menghasilkan anakan padi hingga 80 batang. Hal ini justru bisa
memberikan hasil panen yang lebih besar. Proses belajar tersebut masih terus
berlanjut hingga saat ini. Jika ada yang tidak diketahui ia akan bertanya langsung
kepada Pak Tahmo dan meminta data-data dari TTMB, seperti mengenai pemilihan
atau proses seleksi bibit padi dengan cara penggunaan rendaman air garam. Hal ini
sangat berguna untuk meminimalisir bibit padi yang tidak tumbuh dan menghindari
resiko padi terkena penyakit “sundep” atau “beluk” (biji padi tidak ada isinya).
Kondisi yang dialami Pak Kasda tidak jauh berbeda dengan kasus Pak Edi
yang sebenarnya menyadari kerusakan yang timbul akibat penggunanan bahan kimia
dalam pertanian. Hal ini dilengkapi dengan kondisi kelompok tani Kendala Cakra
yang dijadikan wadah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut ternyata tidak
berfungsi. Relasi sosial Pak Kasda dan Pak Tahmo menjadi jalan bagi pembentukan
skema pengetahuan Pak Kasda. Proses belajar dilakukan terus menerus hingga
menjadi kuat dan terbentuk dalam dirinya mengenai penggunaan pupuk organik dan
pembuatannya melalui kegiatan bertanya dan meminta data jika ia menemukan
permasalahan di lapangan dalam pengamatannya. Akhirnya, skema pengetahuan baru
terbentuk akibat proses belajar yang dilakukan bersama dengan sosialisasi yang
intens antara Pak Kasda dengan Pak Tahmo. Skema tersebut memberikan makna
tertentu baginya yang selanjutnya membuat ia melakukan tindakan berdasarkan
interpretasi makna tersebut dengan menjadikan sistem pertanian organik yang
disosialisasikan Pak Tahmo sebagai pilihan sistem pertaniannya saat ini.
d. Sosialisasi secara tidak langsung
Kategori ini merupakan bentuk yang terjadi pada petani yang sebenarnya
menerima sistem pertanian yang disosialisasikan oleh para anggota TTMB. Namun,
menurut Pak Tahmo dikarenakan para anggota kelompok TTMB merupakan para
Essay Penelitian Etnografi 23
petani dari golongan muda, sedangkan para petani yang menggunakan sistem
pertanian konvensional umumnya mereka yang berasal dari golongan tua membuat
mereka merasa ‘gengsi’ untuk ‘dinasehati’ oleh anggota kelompok TTMB.
Pada awalnya para petani tersebut sebagian besar telah mengetahui kegiatan
anggota TTMB yang menggunakan sistem pertanian organik. Namun, karena gengsi
mereka cenderung tidak mau bertanya langsung kepada anggota kelompok. Akhirnya
mereka melakukan pengamatan sendiri di lahan anggota kelompok tanpa
sepengetahuan pemiliknya atau bertanya kepada petani lain yang telah disosialisasi
dan menggunakan cara tersebut. Pak Tahmo menjelaskan pengalamannya, pada suatu
malam ada saja petani yang melihat-lihat tanaman padi miliknya yang ada di
belakang rumahnya. Petani tersebut mengamati, memegang tanaman serta tanahnya
secara diam-diam padahal ia mengetahui kegiatan petani tersebut dari dalam
rumahnya. Sebagian besar mereka kemudian mencoba mengikuti cara tanam organik
dengan jajar legowo dan pupuk organik. Namun, mereka masih sering
mengkombinasikannya dengan pupuk dan pestisida kimia.
Walaupun sosialisasi pengetahuan yang didapat tidak secara langsung dari
anggota kelompok TTMB, namun akibat melihat bukti secara langsung dan
mendengar dari petani lain membuat para petani tersebut mengikuti cara-cara
pertanian organik meski tidak sepenuhnya. Melihat bukti dan mendengar informasi
merupakan bentuk rangsangan-rangsangan yang datang dari luar diri para petani.
Rangsangan itu menjadi skema pengetahuan tertentu yang memunculkan makna
tertentu pula sehingga memberikan rasa keingintahuan para petani mengenai sistem
tanam organik. Rasa ingin tahu tadi kemudian memunculkan tindakan para petani
untuk belajar melalui proses pengamatan sendiri. Artinya, pengetahuan dalam diri
mereka terkombinasi dengan rangsanngan tadi dan memunculkan bentuk
pengetahuan baru. Masih digunakannya bahan kimia menunjukkan bahwa ada unsur
tertentu dalam struktur intrapersonal petani tersebut yang masih diaktifkan dalam
menerima rangsangan.
Essay Penelitian Etnografi 24
Hambatan dalam proses belajar
Proses belajar dalam membentuk skema pengetahuan para petani juga
mengalami hambatan melalui berbagai hal. Hambatan tersebut muncul baik dari
dalam diri petani itu sendiri maupun hambatan dalam proses berjalannya sosialisasi.
Pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ada gengsi sosial di antara
petani golongan tua dan golongan muda dari TTMB. Menurut Ritzel (2007) gengsi
sosial merupakan ciri dari hubungan sosial yang menandakan posisi diri individu
yang menunjukan nilai simbolis dalam kualitas kehormatan dan harga diri individu
tersebut dalam kelompok sosialnya yang menggambarkan dasar sifat yang diinginkan
dan prestasi dirinya. Para petani yang lebih tua merasa dirinya tidak pantas untuk
dinasehati oleh yang lebih muda karena mereka merasa lebih berpengalaman dalam
dunia pertanian. Artinya, sudah seharusnya yang tua memberikan nasehat dan
mengajarkan, bukan sebaliknya. Hal ini mencerminkan bahwa golongan tua berada
dalam posisi lebih tinggi dalam gengsi sosial masyarakat Desa Ciganjeng.
Pengetahuan bahwa yang lebih tua berada dalam posisi tinggi, kegiatan dengan
bertani dengan siapa, atau kategorisasi usia ini merupakan skema pengetahuan yang
dimiliki oleh para petani dari golongan tua di Ciganjeng. Skema tersebut masih sering
mereka aktifkan ketika rangsangan dari luar berupa sosialisasi, baik langsung maupun
tidak langsung, masuk ke dalam pengetahuan mereka. Namun, skema gengsi sosial
mereka masih lebih kuat dari rangsangan yang diterima sehingga skema baru sulit
terbentuk dan pengetahuan mengenai sistem pertanian organik sulit diterima.Gengsi
sosial merupakan hambatan dari dalam diri individu karena dapat menahan
rangsangan pengetahuan baru yang disosialisasikan oleh anggota kelompok tani
TTMB.
Kedua, TTMB sebagai salah satu kelompok tani yang ada di Desa Ciganjeng
diantara 11 kelompok tani dan 1 KWT lain pastinya akan ada peraturan yang
mengatur bagaimana masing-masing kelompok tani bekerja dan berperan bagi
anggota kelompok dan para petani lain di lingkungan sekitar kelompok. Menurut
Kang Ano peraturan antar kelompok tani di desa Ciganjeng tidak berbentuk formal
Essay Penelitian Etnografi 25
atau tertulis melainkan dalam kode etik profesi. Bertens (1994) menjelaskan bahwa
kode etik profesi merupakan norma yang telah ditetapkan dan diterima oleh
kelompok profesi dan untuk mengarahkan atau memberikan petunjuk kepada para
anggotanya. Kode etik profesi adalah bagian dari moral etika terapan (professional
ethic application) karena dihasilkan berdasarkan penerapan dari pemikiran etis yang
berkaitan dengan suatu perilaku atau aplikasi profesi tertentu yang berhubungan
dengan tindakan etik, yaitu mana yang seharusnya dapat dilakukan dan yang mana
semestinya tidak dilakukan. Kelompok-kelompok tani di desa Ciganjeng memiliki
kode etik khususnya dalam hal penerimaan bantuan dan peran kelompok tani kepada
para petani di wilayahnya. Contoh kasus kode etik ini ada pada kelompok tani Guna
Bakti di wilayah Sidamulya Dusun Cihideung. Menurut Pak Juhidi sebagai salah satu
anggota menjelaskan bahwa kelompok tani tersebut seperti tidak ada peran, pengaruh,
bahkan kegunaannya. Ketua kelompok dan anggota dalam kepengurusan serta
kegiatan tidak ada transparansi. Ketika ada bantuan dari pemerintah, seperti traktor ke
kelompok tidak ada kordinasi dengan anggota dan masyarakat. Begitu pula dengan
program-program pemerintah seperti sekolah lapang akan sulit diadakan. Padahal
melalui kelompok tani lah segala bentuk program dan bantuan pemerintah berawal
karena memiliki bentuk struktur garis pertanggungjawaban yang jelas seperti yang
tertuang dalam Pedoman Teknis Bantuan ALSINTAN dari Kementrian Pertanian
Tahun 2014 yang menyatakan bahwa “penerima bantuan adalah kelompok
tani/Gapoktan/UPJA yang dinyatakan layak setelah diverifikasi oleh Dinas Pertanian
setempat”. Jadi segala kegiatan pertanian para petani Sidamulya dilakukan secara
‘berdikari’ atau masing-masing. Akibatnya kegiatan pertanian di sana tetap
menggunakan sistem pertanian konvensional karena tidak ada sosialisasi dari
kelompok tani yang bersangkutan. Kode etik membuat TTMB tidak bisa
mendapatkan akses untuk melakukan sosialisasi kepada para petani di Sidamulya.
Hanya program bantuan teknologi ‘Panen Air Hujan’ saja yang bisa masuk dan
membantu kondisi kesulitan air di wilayah Sidamulya. Kode etik juga menjadi bentuk
skema pengetahuan yang dimiliki oleh para petani dalam hubungan di antara anggota
satu kelompok tani dengan kelompok tani lain. Skema tersebut membuat para petani
Essay Penelitian Etnografi 26
yang berbeda anggota kelompok tentu akan membatasi diri mereka dengan kegiatan
atau apapun yang ada di kelompok lain, seperti antara anggota kelompok tani Guna
Bakti dengan anggota kelompok tani TTMB. Akibatnya, TTMB tidak bisa
memberikan sosialisasi dan sebaliknya para petani dari kelompok tani Guna Bakti
juga tidak bisa mendapatkan sosialisasi sedangkan akses pengetahuan juga
didapatkan dari kelompok ini. Artinya, kode etik membatasi rangsangan baru dari
luar sehingga skema pengetahuan baru sulit terbentuk.
Ketiga, kurangnya peran dari perangkat desa dan lembaga tinggi daerah dalam
membantu kegiatan sosialisasi TTMB. Perangkat desa hanya membantu dalam hal
perbaikan aliran sungai Cirapuan yang sering jebol dan membuat banjir area
pertanian di Ciganjeng. Menurut Pak Rosid selaku Kepala Desa Ciganjeng,
permasalahan pertanian di sana yang bisa ditanggulangi hanya perbaikan saluran
irigasi sungai Cirapuan. Hal ini dikarenakan masalah tersebut dianggap sebagai
permasalahan utama dalam pertanian desa. Kegiatan penanggulangan banjir
dilakukan oleh perangkat Desa Ciganjeng bersama dengan perangkat Desa Tunggilis
yang sama-sama terkena dampak banjir. Hal yang telah dilakukan ialah kordinasi
dengan pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy sebagai pihak
pemerintahan yang mengelola aliran sungai dan sistem irigasi pertanian. Kesepakatan
yang didapat adalah akan dipermanenakan dengan ditinggikan dan dilebarkan aliran
sungai Cirapuan dengan batu dan jaring kawat baja serta pembuatan pintu air untuk
mengatur debit air dari Sungai Citanduy dan Cirapuan. Namun, kendalanya terletak
pada ketersediaan dana dari BBWS yang mengharuskan untuk menghimpun dana dari
para petani yang terkena banjir. Dana tersebut digunakan untuk menetralisir
sepanjang aliran sungai Cirapuan yang ditanami pohon produksi dan rumah warga
dengan ganti rugi. Proses penghimpunan ini menjadi terkendala karena jumlah dana
yang dibutuhkan sangat besar sedangkan para petani sulit untuk penarikan dana.
Akhirnya, proses untuk mempermanenkan aliran sungai Cirapuan menjadi terkendala
yang oleh pihak BBWS ditetapkan untuk memilih salah satu program terlebih dahulu,
dibangun dengan batu atau pembangunan pintu air. Permasalahan ini yang menurut
Essay Penelitian Etnografi 27
Pak Rosid menjadi fokus utama perangkat desa dalam menanggulangi masalah banjir.
Untuk program sosialisasi TTMB, perangkat desa dapat membantu sejauh tingkat
birokrasi dalam pengajuan proposal kegiatan TTMB ketingkat yang lebih tinggi.
Lembaga tinggi Negara tingkat Kabupaten Pangandaran atau DPRD tingkat II
Kabupaten juga menjadi hambatan TTMB dalam melakukan kegiatan. Anggota
DPRD tersebut adalah Pak X yang memiliki konflik pribadi dengan Pak Tahmo.
Menurut Pak Engkis (mantan anggota BPD desa Ciganjeng), Kang Ano (Bendahara
TTMB dan anggota Karang Taruna), Kang Cohri (Sekretaris TTMB dan anggota
Karang Taruna), Kang Dedi (Ketua Umum Ormas Manggala Putih cab. Ciganjeng),
Pak Tahmo (Ketua TTMB, Ketua Karang Taruna), Pak Sarpin (Ketua RT 03,
kediaman Pak X), Pak X memiliki masalah ketika rekonsiliasi ketua umum dan
pertanggungjawaban Karang Taruna dengan Pak Tahmo dimana Pak X merupakan
ketua periode sebelumnya. Selama masa kepemimpinannya kondisi Karang Taruna
menjadi tidak transparan dan ‘ngawur’ sehingga ketika rapat pertanggungjawaban ia
merasa dilecehkan oleh Pak Tahmo karena Pak Tahmo diangkat menjadi ketua
padahal ia pada saat itu tidak hadir. Masalah kedua terjadi ketika pemilihan daerah
Pak X berasal dari fraksi partai A. Awalnya Pak Tahmo juga berasal dari fraksi yang
sama dan akan didaulat untuk menjadi tim sukses pemenangan Pak X. Namun,
akhirnya Pak Tahmo pindah ke partai B yang membuat ia marah dengan kejadian
tersebut. Konflik pribadi tersebut kemudian menjadi alasan untuk melakukan
provokasi bahwa setiap kegiatan TTMB ‘tidak baik’ dan harus dihilangkan. Bahkan
menurut penuturan mereka Pak X berniat menyabotase program ‘Padi Apung’ jika
menjadi anggota dewan DPRD II tingkat Kabupaten dan ternyata ia berhasil menjadi
anggota DPRD II Kabupaten Pangandaran Komisi Bidang Pertanian. Menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2004 Pasal 36 mengenai
Tugas dan Kewajiban anggota DPRD yaitu ayat e, f dan g yang berbunyi :
e. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah
Essay Penelitian Etnografi 28
f. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat
g. Mendahulukan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi, kelompok
atau golongan
Jika Pak X mementingkan konflik pribadi berarti ia telah melanggar peraturan
tersebut. Seharusnya TTMB mendapatkan dukungan penuh dan akses ketingkat
birokrasi lebih tinggi agar mendapatkan perhatian serta bantuan karena TTMB telah
memiliki prestasi di bidang pertanian khususnya program padi apung. Konflik pribadi
merupakan bentuk skema pengetahuan yang dimiliki oleh Pak X untuk menolak
rangsangan mengenai prestasi dan sosialisasi TTMB. Skema tersebut menjadi mantap
ketika ia benar-benar manjadi anggota DPRD tingkat II Kabupaten. Akibatnya,
konflik pribadi menghambat terbentuknya skema pengetahuan baru mengenai TTMB
yang seharusnya merupakan bagian dari tanggungjawab Pak X untuk dibantu dalam
setiap programnya.
Keempat, adanya kebijakan pemekaran Kabupaten Ciamis dengan munculnya
Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Pangandaran yang disahkan melalui UU
Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2012. Menurut Pak Tahmo, kondisi ini membuat
TTMB secara tidak langsung kehilangan akses dan bantuan dari dinas serta lembaga
pertanian di Kabupaten Ciamis karena kewenangan berpindah ke dinas pertanian di
Kabupaten Pangandaran. Kabupaten Pangandaran memiliki fokus tujuan menjadi
kabupaten wisata. Akses yang dimiliki oleh TTMB saat ini berada di Dinas KPK
(Kelautan, Pertanian dan Kehutanan) dan Dinas Pariwisata Kabupaten Pangandaran.
Dinas KPK kurang memberikan peranan dan perhatian pada program pertanian,
hanya fokus pada bidang kelautan dan hutan. Dinas Pariwisata Kabupaten
Pangandaran juga mendukung program padi apung sehingga kedepannya ingin
membuat program agar desa Ciganjeng menjadi ‘Desa Wisata’ dengan TTMB
bersama IPPHTI sebagai pelaksananya. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat ini
membuat TTMB mencari akses sampai tingkat provinsi agar bisa mendapat perhatian
Essay Penelitian Etnografi 29
dan bantuan. Artinya, kegiatan serta program-program TTMB akan mengalami
kesulitan dalam melakukannya karena secara tidak langsung membuat TTMB tidak
aktif. Hambatan-hambatan tersebut secara tidak langsung memberikan dampak
terhadap sosialisasi TTMB kepada para petani karena kelompok tersebut menjadi
kesulitan dalam bergerak dan mencari bantuan.
Kesimpulan
Program pendampingan langsung merupakan langkah secara nyata dalam
usaha untuk membantu para petani dalam menghadapi permasalahan SDA mereka.
Permasalahan mengenai banyak para petani walaupun didampingi melalui kelompok
tani mereka namun belum bisa mengimplementasikan pengetahuan tersebut kedalam
kehidupan pertanian mereka, atau kelompok tani tersebut juga tidak bisa menerapkan
kepada para petani lain mengenai pengetahuan dalam pertanian walaupun mereka
sendiri telah menggunakan pengetahuan itu merupakan tantangan tersendiri dalam
proses perubahan sistem pertanian guna menyelesaikan permasalahan pengelolaan
sumber daya dan pembangunannya.
TTMB sebagai kelompok tani paling aktif yang ada di Desa Ciganjeng
membuktikannya dengan prestasi-prestasi dalam program-program binaan IPPHTI
menjadikan anggota kelompok TTMB melakukan sosialisasi mengenai sistem
pertanian organik kepada para petani lain non-anggota untuk melakukan perubahan
dan kemajuan dalam bidang pertanian. Melalui hubungan kekerabatan, relasi sosial
dan kerjasama, penanaman pengetahuan baru dari program sekolah lapang, dan para
petani yang tersosialisasi secara tidak langsung merupakan cara-cara proses belajar
yang membentuk skema pengetahuan baru mengenai sistem pertanian organik
terbentuk. Rangsangan-rangsangan baru yang diberikan dalam sosialisasi
mendapatkan akses melalui hal-hal tersebut sehingga membentuk skema pengetahuan
tertentu dalam diri petani. Kombinasi rangsangan tersebut akan memunculkan
makna-makna tertentu yang kemudian digunakan oleh para petani dalam memutuskan
untuk menerima atau tidak sosialisasi yang diberikan. Mereka yang menganggap
Essay Penelitian Etnografi 30
bahwa sosialisasi tersebut merupakan ‘jawaban’ dari permasalahan dan penting untuk
dilakukan akan membentuk skema pengetahuan yang menerima sosialisasi tersebut.
Namun, selain penerimaan sosialisasi juga ada hambatan-hambatan dalam proses
belajar yang membatasi rangsangan sosialisasi masuk dan membentuk skema
pengetahuan baru, yaitu gengsi sosial, kode etik kelompok tani, konflik pribadi, dan
kendala dalam birokrasi. Hambatan-hambatan tersebut membatasi rangsangan yang
masuk kedalam diri para petani sehingga skema pengetahuan baru akan sulit
terbentuk.
Meskipun proses belajar memiliki hambatan, namun keaktifan anggota
kelompok tani TTMB dalam menyebarkan pengetahuan mengenai sistem pertanian
organik melalui sosialisasi dan program-program mereka bersama dengan IPPHTI
merupakan bukti adanya peranan TTMB dalam proses perubahan sistem pertanian
yang terjadi di Desa Ciganjeng hingga saat ini. Melalui berbagai cara-cara proses
belajar akhirnya mulai muncul proses perubahan yang signifikan dengan banyaknya
para petani yang mulai mengikuti sistem pertanian organik yang disosialisasikan
tersebut. Skema pengetahuan mereka yang telah menerima juga semakin mantap
dengan dilakukan secara terus menerus, mengikuti setiap arahan yang didapat baik
dari bertanya langsung maupun mengikuti program sekolah lapang, dan selalu
melakukan pengamatan. Meskipun banyak hambatan dalam proses belajar para
petani yang menyebabkan terhambat pula proses pembentukan skema pengetahuan
baru petani untuk mengubah perilaku sistem pertanian konvensional, namun saat ini
proses perubahan sistem pertanian masih tetap berlanjut dengan semakin banyaknya
petani yang mengubah sistem pertanian mereka. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
TTMB memberikan peran terhadap proses perubahan sistem pertanian yang terjadi di
Desa Ciganjeng melalui sosialisasi dan program yang mereka lakukan bersama
dengan IPPHTI.
Daftar Pustaka
Agusyanto, Ruddy
Essay Penelitian Etnografi 31
2013 Budaya Sontoloyo : Matahari Berkah atau Kutukan?. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia
Bertens, K1994 Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bonner, Hubert1953 Social Psychology : An Interdiciplinary Approach. New York:
American BookChoesin, Ezra M.
2002 Connectionism : Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi dalam Antropologi Indonesia : Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology Vol 69 hal
Keesing, Roger M.1975 Kin Groups and Social Structure. UK : Wadsworth Publishing, Co.
Inc. hal 13Mardiyaningsih, Dyah I. , Arya H. Darmawan, dan Fredian Tonny
2010 Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat dalam Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Bogor: IPB Press, Vol. 4 No.1, hal 115-145
Marzali, Amri2003 Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta:
Yayasan Obor IndonesiaMoran, Emilio F.
1982. Human adaptability : An Introduction to Ecological Anthropology. Boulder Colorado: Westview Press, Inc.
Ritzer, George2007 Prestige dalam Blackwell Encyclopedia of Sociology Online
(www.academia.edu/2185008/Prestige)
Strauss, Claudia dan Naomi Quinn1997 A Cognitive Theory of Cultural Meaning. Cambridge: Cambridge
University PressWinarto, Yunita T.
Essay Penelitian Etnografi 32
2006 Pendekatan Prosesual : Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya dalam Antropologi Indonesia : Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology Vol. 30 No. 2
2011 Bisa Dewek : Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di Indramayu. Jakarta: Gramata Publishing
Winarto, Yunita T. dan Ezra M. Choesin 2001 Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial :
Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan dalam Antropologi Indonesia : Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology Vol. 64 hal 91-106
Referensi LainPeraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UU Republik Indonesia No. 21 tahun 2012 Mengenai Daerah Otonomi Baru Kabupaten Pangandaran
Pedoman Teknis Bantuan Alat Mesin Pertanian Tahun 2014, Direktorat Alat dan Mesin Pertanian ; Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian – Kementrian Pertanian
Daftar Isian Data Dasar Profil Desa/Kelurahan Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat tahun 2013
Essay Penelitian Etnografi 33