Upload
khangminh22
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tesis
HUBUNGAN ANTARA KADAR INSULIN-LIKE
GROWTH FACTOR-1 (IGF-1) DALAM SERUM
DAN DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS
Peneliti : dr. Joice Sonya Panjaitan
Pembimbing : dr. Nelva K. Jusuf, SpKK(K)
dr. Daratia I. Kadri, SpKK
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan – 2010
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa yang
Maha Pengasih lewat putraNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus, yang telah memampukan
penulis dalam menyelesaikan seluruh rangkaian punyusunan tesis yang berjudul: “Hubungan antara
Insulin-Like Growth Factor 1 dengan derajat keparahan akne vulgaris” sebagai salah satu
persyaratan untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Tidak ada satupun karya tulis dapat diselesaikan seorang diri tanpa bantuan dari orang lain.
Dalam penyelesaian tesis ini, baik ketika penulis melakukan penelitian maupun saat penulis
menyusun setiap kata demi kata dalam penyusunan proposal dan hasil penelitian, ada banyak pihak
yang Tuhan telah kirimkan untuk membantu, memberikan dorongan dan masukan kepada penulis.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
perhargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Yang terhormat dr. Nelva K. Jusuf, SpKK (K), selaku pembimbing utama penulis, yang
dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan nasehat, masukan, dan koreksi kepada
penulis selama proses penyusunan tesis ini.
2. Yang terhormat dr. Daratian I. Kadri, SpKK selaku pembimbing kedua penulis, yang juga telah
membimbing dan memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama penyusunan
tesis ini.
3. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), sebagai Ketua
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, juga sebagai guru besar, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan juga selalu memberikan dukungan, bimbingan
dan dorongan kepada saya dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan
sehari-hari.
4. Yang terhormat dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K), sebagai Ketua Program Studi Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang
juga telah banyak membantu saya, senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan dalam
penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari.
5. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Syahril Pasaribu, SpA(K),
DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi
pada Universitas yang Bapak pimpin.
Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar,
SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
7. Yang terhormat Prof. dr. Diana Nasution, SpKK (K), yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
8. Yang terhormat dr. Kristo Alberto Nababan, SpKK, yang telah banyak memberikan dorongan,
bimbingan, semangat serta nasehat selama saya menjalani pendidikan.
9. Yang terhormat dr. Salia Lakswinar, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah
memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.
10. Yang terhormat dr. Remenda Siregar, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah
memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.
11. Yang terhormat dr. Imam Budi Putra, SpKK, yang telah banyak memberikan bimbingan,
masukan dan koreksi kepada saya dalam penyusunan tesis ini.
12. Yang terhormat para Guru Besar, Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur
A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II
Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing
saya selama mengikuti pendidikan ini.
13. Yang terhormat Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, Direktur RSU Dr. Pirngadi
Medan, dan Direktur RS PTPN II Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas
kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.
14. Yang terhormat Drs. Abdul Jalil Amra, M.Kes, selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan
Masyarakat USU, dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku staf pengajar Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas FK USU, yang telah banyak membantu saya dalam metodologi
penelitian dan pengolahan statistik penelitian saya ini.
15. Yang terhormat seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II
Medan, atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini.
16. Yang tercinta Ayahanda Dr. Parlindungan Panjaitan dan Ibunda Risma Siahaan, yang dengan
penuh cinta kasih, keikhlasan, doa, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa untuk
mengasuh, mendidik, dan membesarkan saya. Tiada ungkapan yang mampu melukiskan betapa
bersyukurnya saya mempunyai kedua orangtua seperti kalian. Kiranya hanya Tuhan Yang
Maha Kuasa yang dapat membalas segala kebaikan kalian.
Universitas Sumatera Utara
17. Yang tercinta, suami saya, dr. Budianto Sigalingging, SpPD yang telah dengan sabar dan ikhlas
memberikan dorongan dan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
18. Yang terkasih putriku Gracia Sigalingging, tahun ini. Terima kasih untuk senantiasa menjadi
pendorong semangat serta pelipur lara bagiku selama mengikuti pendidikan.
19. Yang terkasih seluruh keluarga besar yang telah banyak memberikan dukungan dan nasehat
selama masa pendidikan dan penelitian saya ini.
20. Kepada seluruh keluarga dan kerabat yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
21. Yang terhormat dr. Poppy Syafnita, SpKK, dr. Faridah Israwati, dr. Rudyn Panjaitan dan
seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FK USU atas segala bantuan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan kepada
saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.
22. Kepada seluruh staf Laboratorium Prodia Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas,
dan kemudahan kepada saya untuk melaksanakan penelitian.
Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Pada kesempatan ini, dengan penuh kerendahan hati, perkenankanlah saya untuk
menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan atau kekhilafan yang
telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama menjalani masa pendidikan ini.
Dan akhir kata, saya panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, agar kiranya
berkenan untuk memberkati dan melindungi kita sekalian. Amin.
Medan, Desember 2010
Penulis
dr. Joice Sonya Gani Panjaitan
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR SKEMA ........................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x
ABSTRAK ...................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ............................................................ 1
B. Rumusan masalah .................................................................... 5
C. Hipotesis ................................................................................... 5
D. Tujuan penelitian ...................................................................... 5
1. Tujuan umum ...................................................................... 5
2. Tujuan khusus ..................................................................... 5
E. Manfaat penelitian ..................................................................... 6
F. Kerangka teori ........................................................................... 7
G. Kerangka konsep ...................................................................... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Akne vulgaris .............................................................................. 8
1. Epidemiologi ......................................................................... 8
2. Etiologi dan patogenesis ...................................................... 10
3. Gambaran klinis ................................................................... 12
4. Pemeriksaan laboratorium ................................................... 14
5. Diagnosis ............................................................................. 15
Universitas Sumatera Utara
6. Diagnosis banding ................................................................ 16 B.
Diet dan akne .................................................................................... 18
1. Klasifikasi karbohidrat .......................................................... 18
2. Indeks glikemik ..................................................................... 19
3. Beban glikemik ..................................................................... 21
4. Insulin-like growth factor-1 ................................................... 21
5. Hubungan antara diet, IGF-1 dan akne vulgaris ................... 25
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain penelitian ........................................................................ 30
B. Waktu dan tempat penelitian ...................................................... 30
C. Populasi penelitian ..................................................................... 30
D. Besar sampel ............................................................................. 31
E. Cara pengambilan sampel penelitian ......................................... 31
F. Identifikasi variabel ..................................................................... 32
G. Kriteria inklusi dan eksklusi ........................................................ 32
H. Alat, bahan, dan cara kerja ......................................................... 33
I. Definisi operasional .................................................................... 37
J. Kerangka operasional ................................................................. 42
K. Pengolahan dan analisis data .................................................... 42
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik subjek penelitian .................................................... 44
1. Jenis kelamin ........................................................................ 45
2. Kelompok umur .................................................................... 46
3. Tingkat pendidikan ................................................................ 47
4. Suku bangsa ......................................................................... 47
B. Insulin-like growth factor-1 ........................................................... 48
Universitas Sumatera Utara
1. Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok
kasus dan kontrol ................................................................... 48
2. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin ......... 49
3. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur ..... 50
4. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan indeks massa tubuh 51
5 Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik dengan
insulin-like growth factor-1......................................................52
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................................56
B. Saran .....................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian ................................................................. 44
Tabel 4.2 Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol
.................................................................................................................. 48
Tabel 4.3. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin ............................... 49
Tabel 4.4. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur ......................... 50
Tabel 4.5. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan indeks massa tubuh 51
Tabel4.6. Perbandingan indeks glikemik dan beban glikemik antara kelompok kasus dan
kontrol ...................................................................................................... 52
Tabel 4.7. Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik dengan insulin-like
growth factor-1 .......................................................................................... 52
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 1 : Kerangka teori hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik
dengan insulin-like growth factor-1 pada pasien akne vulgaris ...... 7
Skema 2 : Kerangka konsep hubungan antara indeks glikemik dan beban
glikemik dengan insulin-like growth factor-1 pada pasien akne vulgaris
.......................................................................................................... 7
Skema 3 : Kerangka operasional penelitian .................................................... 42
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Naskah penjelasan kepada pasien/orangtua/keluarga pasien
Lampiran 2 : Persetujuan ikut serta dalam penelitian
Lampiran 3 : Status penelitian
Lampiran 4 : Status “dietary recall”
Lampiran 5 : Indeks glikemik dan beban glikemik beberapa jenis pangan
Lampiran 6 : Persetujuan Komite Etik
Lampiran 7 : Master Tabel
Lampiran 8 : Analisis statistik penelitian
Universitas Sumatera Utara
HUBUNGAN ANTARA KADAR INSULIN-LIKE
GROWTH FACTOR-1 (IGF-1) DALAM SERUM DAN
DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS
Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
ABSTRAK
Latar Belakang
Akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit yang sering dijumpai di masyarakat. Patogenesis akne
vulgaris bersifat multifaktorial dan diantaranya diduga terdapat peranan dari IGF-1. IGF-1 dapat
meningkatkan proliferasi sel keratinosit dan peningkatan produksi sebum oleh sel sebosit. Namun,
peranan IGF-1 dalam berbagai derajat keparahan akne vulgaris masih belum jelas.
Tujuan
Untuk mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dengan derajat keparahan akne
vulgaris.
Metode
Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2010.
Dalam penelitian ini direkrut sebanyak 21 orang pasien akne vulgaris yang terdiri dari 7 orang
pasien akne vulgaris derajat ringan, 7 orang pasien derajat sedang, 7 orang derajat berat serta 21
orang pasien sebagai kontrol. Dilakukan pengukuran kadar IGF-1 dalam serum dan dianalisis secara
statistik hubungannya dengan derajat keparahan akne vulgaris.
Hasil
Kadar IGF-1 pada kelompok akne vulgaris derajat ringan 232,43±116,27 ng/ml, pada kelompok
akne vulgaris derajat sedang 328±123,50 ng/ml, pada kelompok akne vulgaris derajat berat
249,29±83,2 ng/ml dan pada kelompok kontrol 246,38±95,29 ng/ml, dengan nilai p = 0,272. Pada
uji korelasi Spearman antara kadar IGF-1 serum dengan derajat keparahan akne vulgaris didapati
hasil uji r = 0,039 dengan nilai p = 0,868
Kesimpulan
Dalam penelitian ini didapati bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan
derajat keparahan akne vulgaris.
Kata kunci :
Akne vulgaris, IGF-1, derajat keparahan akne vulgaris
Universitas Sumatera Utara
THE CORRELATION BETWEEN THE SERUM INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1
(IGF-1) LEVEL AND THE SEVERITY DEGREE OF
ACNE VULGARIS
Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf
Department of Dermatolo-Venereology
Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara
H. Adam Malik General Hospital Medan
ABSTRACT
Background
Acne vulgaris is a skin disease that is commonly found in the community. Acne vulgaris has been known
had a complex pathogenesis and IGF-1 was allegedly had a role in the pathogenesis of acne vulgaris. IGF-1
can enhance keratinocyte cell proliferation and increase sebum production. However, the role of IGF-1 in
the various degree of acne vulgaris severity remains unclear.
Objective
To determine the correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris
Method
The study was conducted with cross sectional method starting from January untill June 2010. In this study,
we recruited 21 acne vulgaris patients consisting of 7 patients had a mild severity degree of acne vulgaris, 7
patients had a moderate severity degree of acne vulgaris, 7 patients had a severe severity degree of acne
vulgaris and 21 patients as the control group. We measured the serum IGF-1 level of each patients and then
analyzed statistically the measurement result correlation with the various degree of acne vulgaris severity.
Result
We found that the mean IGF-1 serum level in the mild acne vulgaris severity group was 232,43±116,27
ng/ml, in the moderate acne vulgaris severity group was 328±123,50 ng/ml, in the severe acne vulgaris
severity group was 249,29±83,2 ng/ml, and in the control group was 246,38±95,19 ng/ml with p value=
0,272. Statistical analyzes with Spearman Correlation Test revealed that there is no correlation between the
serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris. (r=0,039;p=0,868)
Conclusion
In this study we found no correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris.
Key words
Acne vulgaris, IGF-1, acne vulgaris severity degree
Universitas Sumatera Utara
HUBUNGAN ANTARA KADAR INSULIN-LIKE
GROWTH FACTOR-1 (IGF-1) DALAM SERUM DAN
DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS
Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
ABSTRAK
Latar Belakang
Akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit yang sering dijumpai di masyarakat. Patogenesis akne
vulgaris bersifat multifaktorial dan diantaranya diduga terdapat peranan dari IGF-1. IGF-1 dapat
meningkatkan proliferasi sel keratinosit dan peningkatan produksi sebum oleh sel sebosit. Namun,
peranan IGF-1 dalam berbagai derajat keparahan akne vulgaris masih belum jelas.
Tujuan
Untuk mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dengan derajat keparahan akne
vulgaris.
Metode
Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2010.
Dalam penelitian ini direkrut sebanyak 21 orang pasien akne vulgaris yang terdiri dari 7 orang
pasien akne vulgaris derajat ringan, 7 orang pasien derajat sedang, 7 orang derajat berat serta 21
orang pasien sebagai kontrol. Dilakukan pengukuran kadar IGF-1 dalam serum dan dianalisis secara
statistik hubungannya dengan derajat keparahan akne vulgaris.
Hasil
Kadar IGF-1 pada kelompok akne vulgaris derajat ringan 232,43±116,27 ng/ml, pada kelompok
akne vulgaris derajat sedang 328±123,50 ng/ml, pada kelompok akne vulgaris derajat berat
249,29±83,2 ng/ml dan pada kelompok kontrol 246,38±95,29 ng/ml, dengan nilai p = 0,272. Pada
uji korelasi Spearman antara kadar IGF-1 serum dengan derajat keparahan akne vulgaris didapati
hasil uji r = 0,039 dengan nilai p = 0,868
Kesimpulan
Dalam penelitian ini didapati bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan
derajat keparahan akne vulgaris.
Kata kunci :
Akne vulgaris, IGF-1, derajat keparahan akne vulgaris
Universitas Sumatera Utara
THE CORRELATION BETWEEN THE SERUM INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1
(IGF-1) LEVEL AND THE SEVERITY DEGREE OF
ACNE VULGARIS
Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf
Department of Dermatolo-Venereology
Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara
H. Adam Malik General Hospital Medan
ABSTRACT
Background
Acne vulgaris is a skin disease that is commonly found in the community. Acne vulgaris has been known
had a complex pathogenesis and IGF-1 was allegedly had a role in the pathogenesis of acne vulgaris. IGF-1
can enhance keratinocyte cell proliferation and increase sebum production. However, the role of IGF-1 in
the various degree of acne vulgaris severity remains unclear.
Objective
To determine the correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris
Method
The study was conducted with cross sectional method starting from January untill June 2010. In this study,
we recruited 21 acne vulgaris patients consisting of 7 patients had a mild severity degree of acne vulgaris, 7
patients had a moderate severity degree of acne vulgaris, 7 patients had a severe severity degree of acne
vulgaris and 21 patients as the control group. We measured the serum IGF-1 level of each patients and then
analyzed statistically the measurement result correlation with the various degree of acne vulgaris severity.
Result
We found that the mean IGF-1 serum level in the mild acne vulgaris severity group was 232,43±116,27
ng/ml, in the moderate acne vulgaris severity group was 328±123,50 ng/ml, in the severe acne vulgaris
severity group was 249,29±83,2 ng/ml, and in the control group was 246,38±95,19 ng/ml with p value=
0,272. Statistical analyzes with Spearman Correlation Test revealed that there is no correlation between the
serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris. (r=0,039;p=0,868)
Conclusion
In this study we found no correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris.
Key words
Acne vulgaris, IGF-1, acne vulgaris severity degree
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar
sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara
lain komedo, papul, pustul, nodul. Pada beberapa kasus dikatakan dapat sembuh sendiri
namun seringkali terjadi jaringan parut yang menetap. Lebih dari 45% remaja di dunia
bermasalah dengan akne vulgaris dan kurang lebih 42,5% pria dan 50,9% wanita akan tetap
mengalami masalah akne vulgaris sampai dengan dekade ketiga kehidupannya.1
Terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis akne vulgaris. Namun
sampai saat ini ada empat macam proses utama yang terlibat di dalamnya yaitu (1)
hiperproliferasi epidermal folikuler, (2) produksi sebum yang berlebihan, (3) proses
inflamasi dan (4) dijumpainya peranan Propionibacterium acnes (P.acnes). Dalam proses
keratinisasi, produksi sebum dan inflamasi terlibat berbagai macam zat, hormon dan
mediator-mediator. Diantaranya yang sudah cukup dikenal adalah peranan dari stimulasi
androgen, kadar asam linoleat, peningkatan aktivitas Interleukin-1 (IL-1), peranan vitamin A,
Retinol Binding Protein (RBP), vitamin E, zinc dan Insulin-like Growth Factor-1(IGF-1).1
Produksi sebum yang berlebihan mempunyai peran tersendiri dalam hal patogenesis
akne vulgaris. Proses sekresi sebum sendiri diatur oleh berbagai faktor yang saling berkaitan
satu sama lain. Salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan proses produksi sebum
adalah IGF-1 dalam serum. Pemikiran ini didasarkan atas fakta bahwa IGF-1 dalam serum
akan mencapai puncak pada masa remaja seiring dengan terjadinya puncak insidensi akne
vulgaris dalam periode kehidupan. Selanjutnya seiring dengan pertambahan usia, kadar
IGF-1 dalam serum akan menurun bersamaan dengan menurunnya insidensi akne
vulgaris.1,2,3
Universitas Sumatera Utara
Burton dkk (1972), pertama sekali memaparkan tentang adanya hubungan antara
level Growth Hormone (GH) pada pasien akromegali dengan produksi sebum. Pada
penelitiannya, mereka mendapatkan bahwa laju ekskresi sebum mempunyai korelasi positif
dengan level dari GH di dalam darah. Sehingga laju ekskresi sebum dapat digunakan
sebagai pemantau kondisi klinis dan endokrinologi pasien akromegali.4
Beberapa penelitian pada hewan juga menunjukkan pentingnya konsep hubungan
antara IGF-1 dalam serum dengan pertumbuhan dan produksi dari sebosit. Ebling dkk
(1975) menemukan bahwa pada tikus yang mengalami penurunan fungsi kelenjar hipofisis
dijumpai adanya penurunan berat kelenjar prepusium, yang hampir sebagian besarnya
tersusun oleh sel sebosit yang menyerupai kelenjar sebasea pada manusia.5
Lebih lanjut lagi, Deplewski dan Rosenfield (1999) dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa IGF-1 dalam serum mempunyai korelasi positif terhadap pertumbuhan
dan diferensiasi dari sel sebasea. Hal ini dikarenakan IGF-1 dalam serum mempunyai efek
mitogenik yang kuat terhadap kelenjar sebasea. Namun korelasi yang positif disebutkan
hanya dijumpai pada pasien wanita. Diduga hal tersebut terjadi karena wanita lebih sensitif
terhadap variabilitas kadar IGF-1 dalam serum, sedangkan efek IGF-1 dalam serum pada
pria mungkin dikaburkan oleh karena tumpang tindih dengan efek dari androgen serum
yang lebih tinggi pada pria.6
Beberapa penelitian lanjutan menunjukkan bagaimana sebenarnya efek IGF-1 dalam
serum secara biomolekuler terhadap produksi sebum dan proliferasi dari sel sebasea.
Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum dapat menstimulasi produksi sebum kelenjar
sebasea melalui induksi proses lipogenesis. Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum
meningkatkan ekspresi dari Sterol Respon Element Binding Protein-1 (SREBP-1), yaitu
suatu faktor transkripsi yang mengatur kerja beberapa gen yang terlibat dalam lipogenesis.
Sebagai hasil dari proses ini adalah terbentuknya sebum oleh sel sebasea.7,8,9
Universitas Sumatera Utara
Khusus pada pasien akne vulgaris, beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dan kejadian akne vulgaris. Vora dkk (2008)
menemukan dijumpai adanya korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan jumlah
produksi sebum pada akne vulgaris dibandingkan dengan orang normal. Aizawa (1995)
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kadar IGF-1 dalam serum didapati lebih tinggi
pada pasien akne vulgaris wanita dewasa dibandingkan kelompok kontrol. Suatu penelitian
potong lintang oleh Cappel (2005) menemukan adanya korelasi antara kadar IGF-1 dalam
serum dengan ataupun tanpa akne vulgaris secara klinis. Dalam penelitiannya, didapati
bahwa pada kelompok pengamatan akne vulgaris klinis kadar IGF-1 dalam serum lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu kelompok tanpa akne vulgaris klinis.
Adapun pengelompokkan akne vulgaris pada penelitian Cappel yaitu kelompok akne
vulgaris klinis didasarkan pada riwayat menderita persisten akne vulgaris yaitu akne
vulgaris yang terus menerus selama beberapa tahun dan dijumpainya pada pemeriksaan fisik
wajah minimal 15 komedo dan 10 papul inflamasi, sedangkan akne vulgaris tanpa klinis
adalah pasien yang menderita akne vulgaris diluar kriteria tersebut di atas. 10,11,12
Akan tetapi suatu penelitian yang dilakukan oleh Kaymak (2007) mendapatkan
hasil yang berbeda dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. Kaymak melaporkan
bahwa tidak terdapat perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok pasien akne vulgaris dengan
kelompok kontrol.13
Dari data-data tersebut, dapat dilihat bahwa penelitian-penelitian yang ada mengenai
IGF-1 masih belum memberikan hasil yang konsisten mengenai hubungan antara IGF-1 dan
akne vulgaris. Lebih jauh lagi belum ada penelitian yang menilai tentang korelasi antara
kadar IGF-1 dalam serum dan derajat keparahan akne vulgaris.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan masalah
Apakah ada hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dan derajat keparahan akne
vulgaris ?
C. Hipotesis
Semakin tinggi kadar IGF-1 dalam serum maka semakin berat derajat keparahan akne
vulgaris.
D. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne
vulgaris dan derajat keparahan akne vulgaris.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris dan individu
normal.
b. Mengetahui derajat keparahan penyakit pada pasien akne vulgaris berdasarkan
kriteria Lehmann.
c. Mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dan derajat keparahan
akne vulgaris.
d. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris derajat ringan,
sedang, dan berat.
e. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum berdasarkan jenis kelamin.
f. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum berdasarkan umur.
Universitas Sumatera Utara
E. Manfaat penelitian
1. Membuka wawasan mengenai patogenesis akne vulgaris terutama dalam kaitannya
dengan kadar IGF-1 dalam serum.
2. Sebagai dasar untuk mencari alternatif pengobatan terhadap akne vulgaris dikaitkan
dengan IGF-1 dalam serum.
3. Sebagai data bagi penelitian selanjutnya dalam hal evaluasi peranan IGF-1 dalam
serum dengan patogenesis akne vulgaris.
F. Kerangka teori
Akne vulgaris
Propionibacterium
acnes ↑
Hiperproliferasi
keratinosit
Produksi
sebum ↑ IGF-1 ↑
Hepar
Hipofisis anterior Growth hormone
(GH)
Androgen ↑
Inflamasi
Universitas Sumatera Utara
G. Kerangka konsep
1. Derajat ringan
2. Derajat sedang
3. Derajat berat IGF-1
Akne
vulgaris
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Akne vulgaris
1. Pendahuluan
Akne vulgaris merupakan kelainan dari struktur pilosebasea yang biasanya dapat
sembuh sendiri dan sering dialami pada masa remaja. Kebanyakan akne vulgaris muncul
dalam bentuk lesi yang bervariasi meliputi komedo, papul, pustul dan nodul. Sering kali
meskipun akne vulgaris dapat sembuh sendiri, namun perjalanan penyakitnya akan
menimbulkan jaringan parut pada wajah.1
Hampir 30% pasien akne vulgaris harus berobat ke dokter untuk mendapatkan
pengobatan sehubungan dengan keparahan akne vulgaris yang dialaminya dan 2-7%
diantaranya akne vulgaris yang mengalami jaringan parut menetap.13
2. Epidemiologi
Prevalensi akne vulgaris lebih sering didapati pada usia pubertas. Akne vulgaris
sendiri merupakan salah satu manifestasi/tanda-tanda memulai masa pubertas. Pada wanita
remaja, munculnya akne vulgaris biasanya terjadi 1 tahun mendahului menarche dan
prevalensinya akan cenderung meningkat seiring pertambahan usia menjadi remaja akhir.
Selanjutnya saat memasuki dewasa, prevalensi akne vulgaris akan semakin menurun.
Namun demikian pada wanita kejadian akne vulgaris dapat terus berlanjut hingga usia
dekade ketiga atau lebih lama lagi. Pada usia 45 tahun ditemukan prevalensi akne vulgaris
sekitar 5%. Akne vulgaris nodulokistik dilaporkan lebih sering terjadi pada pria kulit putih
dibandingkan kulit hitam dan cenderung lebih berat pada pasien dengan genotipe XYY.14,15
Akne vulgaris merupakan penyakit yang mempunyai prevalensi tinggi. Pada wanita
Kaukasia berumur 12-25 tahun, prevalensi akne vulgaris berkisar 75-85%. Suatu penelitian
Universitas Sumatera Utara
di Singapura pada populasi penduduk Asia dilaporkan bahwa pada remaja usia 13-19 tahun
bahwa hampir 88% diantaranya mengalami akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 51,4%
diklasifikasikan sebagai akne vulgaris ringan, 40% akne vulgaris derajat sedang dan 8,6%
akne vulgaris derajat berat.16
Akne vulgaris merupakan penyakit dermatologi dengan angka diagnosis tertinggi di
Amerika Serikat (AS), dengan 10,2 juta kasus baru didiagnosis setiap tahunnya dan angka
tersebut merupakan 25,4% dari keseluruhan diagnosis penyakit kulit di AS.17
Pada tahun 1996-1998, survei di AS menunjukkan bahwa didapati 6,5 juta penulisan
resep baru untuk kasus akne vulgaris dengan nilai totalnya mencapai 1 miliar dolar US.
Secara global, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akne vulgaris, baik sistemik atau
topikal mencapai 12,6% dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk kasus
dermatologi.13
Di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam
medis selama periode Januari 2008 – Desember 2008, dari total 5.573 pasien yang berobat
ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 107 pasien (1,91%) diantaranya
merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 8,41% berusia
0-12 tahun, 90,6% berusia 13-40 tahun dan hanya 0,93% yang berusia 41-65 tahun. Hal ini
menggambarkan bahwa pasien akne vulgaris yang terbanyak adalah usia remaja dan dewasa
muda.
3. Biologi kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar holokrin dan sekresinya terjadi akibat
desintegrasi komplit dari kelenjar glandular. Fungsi utama dari kelenjar sebasea adalah
memproduksi sebum dan peningkatan ekskresi sebum merupakan salah satu keadaan yang
terjadi pada akne vulgaris.18
Universitas Sumatera Utara
Telah diketahui luas bahwa kelenjar sebasea manusia mengekspresikan beberapa
macam reseptor neuropeptida biologis. Neuropeptida merupakan suatu kelompok peptida
aktif biologis yang muncul secara alami di sistem saraf baik sistem saraf pusat atau sistem
saraf perifer. Reseptor neuropeptida yang diekspresikan sebasea antara lain adalah
Corticotropin Releasing Hormone (CRH), melanocortin, β endorphine, vasoaktif intestinal
polipeptida, Neuropeptide Y (NPY) dan calcitonin gene-related peptide. Reseptor-reseptor
ini memodulasi produksi berbagai sitokin inflamasi, proliferasi, diferensiasi, lipogenesis dan
metabolisme androgen pada sebosit.19
Kelenjar sebasea terdiri dari dua sel penting yaitu keratinosit dan sebosit. Kedua
jenis sel ini mempunyai peranan dalam sistem imun. Propionibacterium acnes dapat
merubah ekspresi keratinosit dan sebosit melalui Toll Like Receptor-3 (TLR3), Cluster of
Differentiation-14 (CD14) dan molekul CD1, serta dapat mengenali produksi sebum/lipid
yang berlebih oleh kelenjar sebasea dan diikuti dengan produksi sitokin-sitokin inflamasi ke
daerah tersebut.9
4. Patogenesis akne vulgaris
Terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis akne vulgaris, namun
secara umum ada 4 mekanisme utama yang mempunyai peran terbesar yaitu (1)
hiperproliferasi folikuler epidermal, (2) produksi sebum yang berlebihan, (3) proses
inflamasi dan (4) aktivitas dari P. acnes.1
Hiperproliferasi folikuler epidermal mengakibatkan terbentuknya lesi primer akne
vulgaris yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut bagian atas akan menjadi hiperkeratotik
dan mengalami peningkatan kemampuan kohesi antar keratinosit. Jumlah sel yang
berlebihan disertai dengan pembentukan sekret-sekret akan mengakibatkan penyumbatan di
ostium folikuler. Sumbatan ini akan mengakibatkan penumpukan keratin, sebum dan bakteri
Universitas Sumatera Utara
di dalam folikel. Stimulus terhadap hiperproliferasi keratinosit mencakup pengaruh hormon
androgen, penurunan kadar asam linoleat, dan peningkatan aktivitas IL-1.20
Dihidrotestosterone (DHT) adalah androgen yang paling poten dalam merangsang
hiperproliferasi keratinosit. Dihidrotestosterone merupakan hasil konversi dari
dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) yang diperantarai oleh kerja enzim 17β-
hydroxysteroid dehydrogenase dan 5α-reductase. Peranan regulator lain dalam proses
proliferasi keratinosit adalah asam linoleat. Asam linoleat adalah suatu asam lemak esensial
yang jumlahnya diketahui lebih sedikit di kulit pasien akne vulgaris. Jumlah dari asam
linoleat akan dapat dinormalkan melalui terapi isotretinoin. Kadar asam linoleat yang
rendah dapat merangsang hiperproliferasi keratinosit folikuler dan menghasilkan sitokin
proinflamasi. Kadar asam linoleat di kulit dilaporkan akan semakin berkurang bila didapati
peningkatan produksi sebum. Peran mediator lain yang telah cukup banyak diteliti adalah
peranan mediator inflamasi IL-1 yang dapat merangsang hiperproliferasi keratinosit
folikuler dan pembentukan mikrokomedo.19
Proses kedua yang memegang peranan kunci dalam patogenesis akne vulgaris
adalah produksi sebum oleh kelenjar sebasea yang berlebihan. Pasien akne vulgaris terbukti
mempunyai laju eksresi sebum yang lebih besar dibandingkan orang normal, walaupun
kualitas dari sebumnya sendiri adalah sama. Salah satu materi penyusun sebum yaitu
trigliserida yang akan mengalami konversi menjadi asam lemak bebas oleh P.acnes di
dalam unit kelenjar sebasea. Asam lemak bebas ini akan mengakibatkan peningkatan
kolonisasi P.acnes, memperberat inflamasi dan bersifat komedogenik.1,20
Hormon androgen selain berperan besar dalam memicu hiperproliferasi keratinosit
folikuler, juga mempunyai pengaruh penting terhadap aktivitas sel sebosit dalam
memproduksi sebum. Sedangkan peranan estrogen sendiri sampai saat ini masih belum
begitu jelas. Setidaknya ada 3 peranan estrogen dalam proses pembentukan sebum yaitu
(1) secara langsung bersifat inhibisi terhadap kerja androgen di kelenjar sebasea, (2) inhibisi
Universitas Sumatera Utara
produksi androgen oleh jaringan gonad melalui efek ’negative feed back mechanism’
terhadap produksi Gonadotropin Releasing oleh hipofisis dan (3) mengatur kerja gen-gen
yang menekan produksi dan pertumbuhan kelenjar sebasea.1
Androgen yang terpenting dalam stimulasi produksi sebum adalah testosteron dan
akan dirubah menjadi bentuk aktif yaitu 5α-DHT oleh enzim type I-5α reductase. Adanya
korelasi antara peningkatan produksi sebum dengan munculnya akne vulgaris sudah umum
diketahui dan hal ini menjelaskan mengapa akne vulgaris biasanya muncul bersamaan
dengan saat memasuki usia pubertas. Peningkatan produksi sebum dapat terjadi secara
primer akibat peningkatan kadar androgen, atau akibat peningkatan respon sebosit terhadap
rangsangan androgen atau akibat peningkatan aktivitas enzim type I-5α reductase.20
Akne vulgaris terjadi akibat hiperproliferasi dan diferensiasi sebosit, yang muncul di
bawah pengaruh androgen. Hal ini terjadi dengan perantaraan reseptor Peroxisome
Proliferator Activated Receptor (PPAR), suatu molekul yang berperan dalam hal
lipogenesis. Reseptor PPAR akan memicu lipogenesis pada sel sebosit yang matur dalam
rangka memproduksi sebum.20
Growth Hormone diketahui juga mempunyai peranan besar dalam produksi sebum
oleh kelenjar sebasea. Growth Hormone diproduksi di kelenjar hipofisis dan bekerja sama
memproduksi IGF atau somatomedin. Insulin-like Growth Factor sendiri mempunyai dua
bentuk yaitu IGF-1 (lebih besar jumlah dan fungsinya) dan IGF-2. Diduga kuat, ada peranan
IGF-1 dalam serum dengan patogenesis akne vulgaris.21
Apabila hiperproliferasi keratinosit dan produksi sebum yang berlebihan berlanjut,
maka akan terjadi penumpukan mikrokomedo, yang berujung pada terjadinya ruptur dari
dinding folikuler. Ruptur ini dalam waktu singkat akan memicu reaksi inflamasi yang
diperantarai oleh limfosit CD4+ dan CD8
+. Selanjutnya akibat pelepasan dari mediator-
mediator inflamasi oleh limfosit CD4+ dan CD8
+, akan terjadi penumpukan neutrofil di
sekitar komedo yang mengalami sumbatan.1,21
Universitas Sumatera Utara
Satu sampai dua hari setelah ruptur, maka akan terjadi pergerakan neutrofil menuju
ke tempat inflamasi dan pada akhirnya semakin memperberat inflamasi yang telah terjadi.
Dahulu diduga bahwa inflamasi terjadi sebagai akibat terjadinya pembentukan dan ruptur
komedo. Tetapi fakta terbaru menunjukkan bahwa inflamasi pada unit pilosebasea telah ada
sebelum terjadinya ruptur komedo. Hal ini dibuktikan dengan telah ditentukannya tanda-
tanda inflamasi pada biopsi kulit normal pada wajah dan akan semakin menunjukkan
pemberatan inflamasi pada saat biopsi dilakukan dengan kondisi komedo sudah
terbentuk.1,21
Proses tersebut akan semakin diperberat dengan munculnya faktor keempat dalam
patogenesis akne vulgaris, yaitu P.acnes. Propionibacterium acnes akan mengakibatkan
semakin hebatnya reaksi inflamasi dalam kelenjar pilosebasea sehingga akne vulgaris akan
dipenuhi oleh sel-sel lekosit polimorfonuklear (PMN) dan pelepasan sitokin-sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan Tumor Necrotizing Factor-α (TNF-α).2
Propionibacterium acnes merupakan jenis bakteri gram positif, anaerob dan
mikroaerobik yang dijumpai pada folikel kelenjar sebasea. Populasi pasien akne vulgaris
dewasa mempunyai pertumbuhan P.acnes lebih besar pada kelenjar pilosebasea
dibandingkan dengan populasi normal. Namun belum dijumpai adanya hubungan antara
derajat keparahan akne vulgaris dengan progresifitas kolonisasi P.acnes pada kelenjar
pilosebasea.22
Dinding sel P.acnes mengandung antigen karbohidrat yang menstimulasi
pembentukan antibodi. Pasien-pasien akne vulgaris berat mempunyai kadar antibodi
terhadap P. acnes yang lebih tinggi dibandingkan dengan derajat keparahan ringan ataupun
sedang. Antibodi terhadap P.acnes akan memicu respon inflamasi dengan mengaktivasi
sistem komplemen dan proses kaskade reaksi inflamasi. Propionibacterium acnes juga
mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan
memproduksi lipase, protease, hialuronidase dan faktor-faktor kemotaktik lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Propionibacterium acnes mempunyai kemampuan tambahan untuk meningkatkan produksi
sitokin proinflamasi dengan berikatan dengan TLR2 pada monosit dan pada PMN di sekitar
folikel sebasea. Setelah berikatan dengan TLR2, maka akan dilepaskan sitokin-sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan TNF-α.1,21,22
Keempat faktor yang menjadi mekanisme terjadi akne vulgaris tersebut berlangsung
melalui tahapan-tahapan yang bisa terjadi secara simultan ataupun bertahap. Semua jenis
pengobatan pada penyakit akne vulgaris mempunyai target pada keempat mekanisme
tersebut di atas. Dengan mengetahui keempat dan elemen patogenesis pada akne vulgaris,
maka upaya-upaya pengobatan terhadap akne vulgaris akan semakin terarah dan
menyeluruh.
5. Diagnosis akne vulgaris
a. Anamnesis penyakit
Kebanyakan pasien akne vulgaris mengalami penyakit dengan derajat keparahan
terberat pada saat masa pubertas, walaupun pada beberapa kasus dapat dijumpai akne
vulgaris yang terjadi mulai masa infantil atau neonatus. Akne neonatus terjadi pada saat
usia bayi sekitar 2 minggu sedangkan akne infantil terjadi pada saat umur 3-6 bulan.
Biasanya akne vulgaris mempunyai onset dan perjalanan klinis yang bertahap, sehingga
bila dijumpai kasus akne vulgaris dengan onset dan perjalanan klinis yang tiba-tiba akut
maka perlu diperhatikan akan adanya faktor pencetus lain.1,23
Hiperandrogenisme merupakan faktor pencetus lain yang perlu diperhatikan pada
akne vulgaris pasien perempuan yang mempunyai onset cepat, mempunyai hubungan
dengan hirsutisme atau mempunyai siklus menstruasi yang ireguler. Pasien harus
ditanyakan tentang progresifitas akne vulgaris yang dialaminya dikaitkan dengan siklus
menstruasinya. Pada pasien dengan hiperandrogenisme juga didapati adanya tanda suara
yang memberat, peningkatan libido dan hirsutisme. Penting juga ditanyakan tentang
Universitas Sumatera Utara
riwayat pemakaian obat-obatan seperti steroid, fenitoin, litium, isoniazid, vitamin B dan
beberapa jenis kemoterapi tertentu.24
b. Gambaran klinis
Lokasi primer akne vulgaris adalah daerah wajah, dan juga dapat dijumpai pada
leher, punggung dan bahu dengan frekuensi yang lebih sedikit. Jenis lesi akne vulgaris
dapat beraneka macam meskipun pasti didapati adanya predominan dari satu macam lesi.
Lesi dapat mengalami keadaan inflamasi atau non inflamasi.1
Lesi yang bersifat non inflamasi adalah komedo yang dapat berbentuk terbuka
(blackhead) ataupun tertutup (whitehead). Cara tambahan untuk membedakannya adalah
dengan menggores permukaan kulit untuk membedakan warnanya.25
Komedo merupakan gambaran lesi kulit akibat perubahan patologis dalam
kandungan duktus pilosebasea. Komedo terbuka secara klinis diamati sebagai gambaran
lesi yang jelas, berdiameter 0,1-3 mm dan biasanya membutuhkan waktu beberapa
minggu atau lebih untuk berkembang. Warna hitam pada ujung komedo terbuka selama
ini diduga terjadi akibat proses oksidasi permukaan. Namun teori terbaru juga
menyebutkan proses tersebut terjadi sehubungan faktor melanin.25
Komedo tertutup menggambarkan duktus pilosebasea yang tertutup oleh materi
duktal sehingga saluran keluarnya sulit dilihat dengan mata telanjang, lesi biasanya kecil,
berukuran 0,1-3 mm. Pada lesi komedo tertutup yang klasik, 25% akan hilang dalam
waktu 3-4 hari dan 75% akan berkembang menjadi lesi inflamasi.25
Lesi yang mengalami inflamasi dapat bervariasi mulai dari papul kecil dengan batas
kemerahan sampai dengan nodul yang besar, fluktuatif dan nyeri. Beberapa penulis
memakai istilah kista atau nodulokistik untuk menggambarkan lesi inflamasi pada akne
vulgaris. Papul adalah lesi inflamasi yang bervariasi dalam hal ukuran dan
kekenyalannya. Lima puluh persen papul muncul dari kulit yang kelihatan normal yang
mungkin merupakan lokasi dari suatu mikrokomedo, 25% dari komedo putih dan 25%
Universitas Sumatera Utara
sisanya dari komedo hitam. Ada 2 jenis papul yaitu papul aktif dan papul yang kurang
aktif. Papul yang kurang aktif, kurang merah dan lebih kecil dibandingkan papul yang
aktif. Pada papul aktif, ukurannya dapat mencapai 4 mm dan bertahan lebih lama.25
Bentuk lesi inflamasi lain adalah pustul. Pustul dapat superfisial ataupun dalam.
Pustul biasanya dilihat lebih jarang dibandingkan papul. Hal ini mungkin dikarenakan
pustul bertahan lebih singkat daripada papul yaitu hanya sekitar 5 hari. Mungkin hal ini
terjadi oleh karena pustul lebih banyak mengandung PMN, sedangkan papul cenderung
lebih banyak mengandung limfosit. Enzim lisosomal pada PMN dapat menghilangkan
gejala inflamasi pada pustul lebih cepat dibandingkan pada papul.26
Bentuk nodul merupakan bentuk lesi inflamasi yang berstruktur “deep seated” dan
cenderung bertahan selama 8 minggu sebelum akhirnya hilang. Sebagian diantaranya
tidak mengadakan resolusi sempurna melainkan membentuk jaringan parut.23
Bentuk lesi lain yang didapati dapat berupa lesi jaringan parut yang merupakan
komplikasi akibat akne vulgaris yang mengalami inflamasi atau non inflamasi. Secara
umum ada 4 tipe jaringan parut akne vulgaris yaitu ice pick, rolling, box scar dan
hipertropik.26
Akne vulgaris biasanya mempunyai tampilan sebagai lesi kulit yang terisolasi di
daerah wajah, leher, bahu dan punggung. Akan tetapi pada kasus-kasus akne vulgaris
dengan faktor penyebab hiperandrogenisme dapat dijumpai hirsutisme, precocious
puberty dan tanda lain hiperandrogenisme.26
6. Derajat keparahan
Sampai saat ini belum ada suatu penilaian sistematik yang baku mengenai derajat
keparahan akne vulgaris. Akne vulgaris merupakan suatu kelainan pleomorfik dengan
perjalanan klinis dan distribusi anatomi yang bervariasi. Suatu sistem penilaian akne
vulgaris yang ideal haruslah : (1) akurat dan dapat diulang (reproducible), (2) sederhana,
Universitas Sumatera Utara
mudah digunakan oleh para klinisi pada setiap kunjungan, (3) menghilangkan sifat
perhitungan lesi yang membosankan dan mahalnya biaya fotografi, (4) menggambarkan
kriteria subjektif, misalnya faktor-faktor psikososial.26,27
Beberapa peneliti telah mengemukakan berbagai sistem klasifikasi untuk menilai
derajat keparahan akne vulgaris, antara lain Pillsburry, Shelley dan Kligman pada tahun
1956, James dan Tisserand tahun 1958, Witkowski dan Simons tahun 1966, Plewig dan
Kligman tahun 1975, Michaelson, Juhlin dan Vahlquist tahun 1977, Cook, Centner dan
Michaels tahun 1979 (Cook’s photonumeric method), Allen dan Smith tahun 1982 (Allen
and Smith’s photonumeric system), Burke, Cunliffe dan Gibson tahun 1984 (Cunliffe
score/Leeds technique), American Academy of Dermatology classification tahun 1991, dan
Lucky dkk. tahun 1996.26
Lehmann dkk (2002) memperkenalkan suatu sistem penilaian derajat keparahan
akne vulgaris yang dikenal sebagai Combined Acne Severity Classification. Sistem ini
mempunyai beberapa keunggulan yaitu akurat, sederhana, waktu pemeriksaan singkat, tidak
membutuhkan alat khusus, tidak membutuhkan fotografi, dan dapat dipergunakan pada kulit
gelap.28
Metode ini menghitung seberapa banyak lesi komedo, lesi inflamasi, kista dan total
dari keseluruhan lesi yang terdapat pada daerah wajah. Penilaian derajat keparahan akne
vulgaris adalah ringan bila dijumpai kurang dari 20 komedo atau 15 lesi inflamasi atau total
keseluruhan lesi kurang dari 30, sedang bila dijumpai 20-100 komedo atau 15-50 lesi
inflamasi atau total keseluruhan lesi 30-125, berat bila dijumpai lebih dari 5 kista atau lebih
dari 100 komedo atau lebih dari 50 lesi inflamasi atau total keseluruhan lesi lebih dari 125.28
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Combined Acne Severity Classification menurut Lehmann
Ringan
Komedo < 20, atau lesi inflamasi 15, atau jumlah total
lesi < 30
Sedang
Komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-50, atau jumlah
total lesi 30-125
Berat
Kista > 5 , atau jumlah total komedo > 100, atau lesi
inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125
* dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 28
7. Diagnosis banding
Meskipun pada pasien dengan akne vulgaris dapat ditemukan satu macam lesi yang
dominan, namun seringkali dijumpai adanya kumpulan macam jenis lesi akne vulgaris pada
satu pasien seperti komedo, pustul, papul atau nodul di wajah, leher, dada ataupun
punggung. Diagnosis akne vulgaris biasanya cukup mudah, namun kadang sering salah
didiagnosis dengan folikulitis, rosasea, atau dermatitis perioral. Penyakit-penyakit ini
umumnya tidak memiliki komedo.1 Selain itu ada beberapa diagnosis banding akne vulgaris
yang lain, seperti milia, akne varioliformis, adenoma sebasea, siringoma dan dermatitis
kontak.29
B. Insulin-like Growth Factor -1 (IGF-1)
1. Definisi
Insulin-like Growth Factor-1 merupakan suatu polipeptida alamiah pada tubuh
manusia yang mempunyai kemiripan dengan insulin. Insulin-like Growth Factor-1 terdiri
dari suatu rantai polipeptida tunggal yang mempunyai 3 rantai disulfida sebagai jembatan
antar molekul. Insulin-like Growth Factor-1 terdiri dari 70 residu asam amino dengan berat
Universitas Sumatera Utara
molekul 7.649 Dalton. Insulin-like Growth Factor-1 sendiri merupakan bagian dari suatu
kompleks sistem yang disebut sebagai IGF axis. 30
2. Fisiologi IGF-1
Pada manusia, kadar IGF-1 tidak terdeteksi saat neonatus. Kemudian akan mulai
terdeteksi pada masa kanak-kanak dan meningkat mencapai puncaknya yaitu pada saat
pubertas dan bertahan sampai usia dekade 3 dan 4, lalu menurun perlahan-lahan. Kadar
normal IGF-1 dalam serum merupakan penanda bahwa kadar GH dalam darah adalah
normal dan sebaliknya.31
Insulin-like Growth Factor-1 diproduksi di hepar dengan regulasi oleh GH. Growth
Hormone menstimulasi sintesis IGF-1 di hepar dan juga sebaliknya kadar IGF-1 akan
memerlukan respon balik terhadap produksi GH di hipofisis. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya korelasi antara kadar IGF-1 dengan kadar insulin darah. Pada pasien
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dijumpai defisiensi absolut insulin juga didapati adanya
penurunan kadar IGF-1 dalam serum. Demikian juga pada saat puasa, kadar IGF-1 dalam
serum juga didapatkan lebih rendah dibandingkan tidak puasa.32
Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai persamaan urutan yang homolog sebanyak
45% dengan rantai A dan B dari hormon insulin yang memunculkan timbulnya suatu
dugaan bahwa IGF-1 dan insulin mungkin berasal dari gen prekursor yang sama.30
Kerja IGF-1 pada tingkat seluler diperantarai oleh reseptor IGF-1 yang homolog
dengan reseptor insulin pada unit struktur α2β2 heterotetrametrik dan mengandung suatu
tirosin kinase pada bagian intraseluler subunit β. Oleh karena kemiripannya dengan insulin,
baik ligan maupun reseptornya, maka tidak heran bila insulin dan IGF-1 dapat saling
bereaksi silang dengan reseptornya yang berbeda walaupun afinitas ikatan akan berkurang
sebanyak 10-100 kali dibandingkan bila berikatan dengan reseptor aslinya. Pada keadaan
akut, IGF-1 dapat mensupresi produksi insulin dan glukagon pada tubuh manusia.30
Universitas Sumatera Utara
3. Axis IGF/GH
Axis IGF sering juga disebut sebagai axis IGF/GH. Diketahui bahwa IGF diproduksi
di hepar oleh regulasi stimulasi GH. Insulin-like Growth Factor axis merupakan suatu
kompleks sistem yang memungkinkan interaksi sinyal antara sel dengan lingkungan
fisiologisnya. Kompleks sistem IGF axis terdiri dari 2 reseptor permukaan sel Insulin-like
Growth Factor Receptor (IGF1R dan IGF2R), dua ligan yaitu IGF-1 dan IGF-2, suatu
kelompok protein pengikat IGF yaitu Insulin-like Growth Factor Binding Protein ( IGFBP1
sampai dengan IGFBP6) serta enzim pendegradasi IGFBP yang tergolong sebagai
protease.30
Insulin-like Growth Factor-1 berperan penting dalam hal merangsang proliferasi sel
dan inhibisi apoptosis. Hal ini mempengaruhi regulasi dari pertumbuhan fisiologis tubuh
maupun pertumbuhan patologis seperti kanker. Insulin-like Growth Factor-2 merupakan
bagian dari axis IGF/GH. Insulin-like Growth Factor-2 mempunyai peranan sebagai faktor
pertumbuhan pada masa fetal menunggu maksimalnya produksi IGF-1. Beberapa faktor lain
yang terlibat dalam aksi ini adalah GH, faktor genetik, umur, level stres, kadar nutrisi, ras,
status estrogen dan variasi waktu harian.30
4. Peran fisiologis IGF-1
Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan penting yang luas dalam
mengatur fungsi-fungsi di dalam tubuh manusia. Penelitian terhadap hewan percobaan
menunjukkan bahwa pada gen tikus penghasil IGF-1 yang di ”knock out” akan
menunjukkan pertumbuhan mental retardasi dan angka harapan hidup yang rendah.31
Peranan IGF-1 secara garis besar adalah merangsang proliferasi pertumbuhan sel,
anabolik protein, inhibisi apoptosis, menurunkan kadar GH dan hormon insulin. Peranan ini
akan terhambat atau berkurang bila IGF-1 berada dalam ikatan dengan IGFBP-3 dan
sebaliknya akan meningkat bila berada dalam ikatan dengan IGFBP-1 dan IGFBP-2.33
Universitas Sumatera Utara
Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan dalam hal induksi progresi
sintesis dan mitosis sel. Secara bersamaan, IGF dapat berfungsi sebagai faktor penolong
dalam hal mengurangi apoptosis pada berbagai sel. Regulasi anti apoptosis IGF-1 ini
dimediasi oleh jalur phospotidilinositol-3 kinase. Insulin-like Growth Factor-1 juga
mempunyai peranan dalam hal menguatkan proses diferensiasi dan proliferasi.8
Hampir semua sel di tubuh manusia dipengaruhi oleh kerja IGF-1, khususnya di otot,
tulang rawan, tulang, liver, ginjal, saraf, kulit dan paru-paru. Beberapa studi terbaru
menunjukkan pula adanya kaitan IGF-1 dengan proses penuaan. Selain itu juga ditemukan
adanya korelasi antara IGF-1 dengan proses kanker pada kolon, prostat dan payudara.
Namun bagaimana hubungan itu terjadi masih belum diketahui secara pasti.7
C. Hubungan antara akne vulgaris dengan IGF-1
Growth Hormone diketahui mempunyai pengaruh dalam produksi sebum oleh
sebosit. Growth Hormone dibentuk di kelenjar hipofisis dan akan mempengaruhi produksi
IGF-1 dan IGF-2. Insulin-like Growth Factor-1 terutama disintesis di hepar dan
mempengaruhi hampir semua sel di tubuh manusia. Insulin-like Growth Factor-2 di
produksi di otak, ginjal, pankreas dan otot. Dalam kaitannya dengan akne vulgaris, IGF-1
mempunyai peranan besar dalam proses patogenesisnya.2,9
Akne vulgaris mempunyai prevalensi paling tinggi pada masa remaja, bersamaan
dengan waktu produksi GH dan kadar IGF-1 dalam serum paling tinggi sepanjang usia
hidup manusia. Dan kemudian, sesudah masa remaja prevalensi akne vulgaris akan semakin
berkurang seiring juga dengan penurunan kadar IGF-1 dalam serum. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pada pasien akromegali didapati peningkatan laju ekskresi sebum
dibandingkan orang normal. Selain itu, penelitian di bidang endokrinologi menunjukkan
bahwa laju ekskresi sebum dapat digunakan sebagai prediktor klinis terhadap pasien
akromegali.4
Universitas Sumatera Utara
Vora dkk (2008), menemukan adanya korelasi antara produksi sebum wajah dengan
kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris. Penelitian ini didasarkan atas beberapa
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iozawa dkk (1995) dan Deplewski (2005) yang
menunjukkan bahwa adanya perbedaan bermakna kadar IGF-1 dalam serum pada pasien
akne vulgaris wanita remaja dibandingkan dengan orang normal.11,12
Banyak hipotesis telah dibuat untuk mencoba menerangkan bagaimana
sesungguhnya efek IGF-1 dalam serum terhadap produksi sebum oleh sel sebosit di kelenjar
sebasea. Penelitian paling awal untuk hal ini dilakukan dengan memakai bahan percobaan
pada sel prepusium tikus yang diketahui mempunyai struktur dan fungsi yang sama dengan
sel sebosit pada kelenjar sebasea dermis. Ebling dkk (1975) mendapatkan fakta dalam
penelitiannya bahwa tikus yang mengalami penurunan fungsi kelenjar hipofisis akan
mengalami penurunan secara bermakna pada berat kelenjar prepusium.
Selanjutnya
Deplewski (1998) melakukan percobaan lanjutan dengan memberikan IGF-1 dalam serum
rekombinan pada kultur sel prepusium tikus secara in vitro. Didapati bahwa IGF-1 dalam
serum mempunyai efek mitogenik yang kuat pada sel prepusium melalui kerja pada level
DNA. IGF-1 dalam serum mengakibatkan peningkatan laju pertumbuhan dan diferensiasi
dari kelenjar sebosit.6
Smith (2006) mencoba untuk mengetahui secara detail pada tingkat biomolekuler
tentang bagaimana sebenarnya kerja IGF-1 dalam serum pada sebosit dalam menginduksi
produksi sebum. Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum ternyata bekerja dengan
meningkatkan ekspresi dari Sterol Response Element Binding Protein –1 (SREBP-1) pada
inti sel sebosit. Sterol Response Element Binding Protein-1 merupakan suatu nuclear
transcription factors yang bekerja mengatur ekspresi dari berbagai gen yang terlibat dalam
biosintesa lipid.7,8
Antara androgen dan IGF-1 sendiri ternyata mempunyai efek timbal balik yang
saling mempengaruhi. Peningkatan kadar androgen serum kelihatannya mempunyai
Universitas Sumatera Utara
hubungan dengan peningkatan kadar IGF-1 dalam serum. Sebagai contoh, pada wanita
menopause yang kemudian diberikan suntikan DHEA-S, akan didapati peningkatan kadar
IGF-1 dalam serum. Diduga bahwa androgen serum sendiri merupakan salah satu faktor
yang dapat menstimulasi pembentukan IGF-1. Sebaliknya, IGF-1 dalam serum dapat
menstimulasi pembentukan DHEA-S oleh kelenjar adrenal. Hal ini terjadi karena IGF-1
dalam serum dapat mempengaruhi ekspresi dari beberapa enzim yang berperan dalam
sintesis DHEA-S dari bahan kolesterol. Insulin-like Growth Factor-1 juga dapat
menginduksi kerja 5α-reductase pada kulit manusia yang mengakibatkan peningkatan
konversi dari testosteron menjadi DHT.12
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional study) yang bersifat
analitik.
B. Waktu dan tempat penelitian
1. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2010 – Juni 2010 bertempat di Poliklinik
Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H.
Adam Malik Medan.
2. Pengambilan sampel darah dilakukan di Poliklinik Sub bagian Kosmetik
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan,
untuk selanjutnya akan dikirim ke Laboratorium Klinik Prodia Jl. Letjend. S.
Parman No. 17/223 G Medan. Sampel darah kemudian akan dikirim lagi ke
Laboratorium Klinik Prodia Pusat yang berlokasi di Jl. Kramat Raya No. 150 Jakarta,
untuk pemeriksaan kadar IGF-1.
C. Populasi penelitian
1. Populasi
Pasien yang menderita akne vulgaris.
2. Populasi terjangkau
Pasien yang menderita akne vulgaris, yang berobat ke Poliklinik Sub bagian
Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik
Medan pada bulan Januari 2010 – Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
3. Sampel
Pasien yang menderita akne vulgaris yang berobat ke Poliklinik Sub bagian
Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik
Medan pada bulan Januari 2010 – Juni 2010 yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
D. Besar sampel
Rumus34
: n = Jumlah sampel = 2 (zα+zβ)xSD 2
d
n1 = n2 = n3
n1 = Jumlah sampel pasien akne vulgaris
derajat ringan.
n2 = Jumlah sampel pasien akne vulgaris
derajat sedang.
n3 = Jumlah sampel pasien akne vulgaris
derajat berat.
zα = Tingkat kepercayaan 95 % = 1,64
zβ = Power penelitian = 0,842
SD = Standar deviasi = 14,5
d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki =20
Maka :
n = 2 (1,64 + 0,842)x14,5 2 = 6,40 ∼ 7 orang
20
Sampel untuk kelompok derajat keparahan akne vulgaris dan kelompok kontrol masing-
masing adalah 21 orang, sehingga total keseluruhan sampel adalah 42 orang.
Universitas Sumatera Utara
E. Cara pengambilan sampel penelitian
Cara pemilihan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling.
F. Identifikasi variabel
Variabel bebas : Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) dalam serum.
Variabel terikat : Akne vulgaris.
Variabel kendali : Teknik pemeriksaan IGF-1 dalam serum.
G. Kriteria inklusi dan eksklusi
1. Kelompok pasien akne vulgaris
a. Kriteria inklusi :
1). Pasien yang menderita akne vulgaris.
2). Usia pasien 12-34 tahun.
3). Pasien yang tidak mendapat pengobatan antibiotika topikal (eritromisin,
klindamisin), benzoil peroksida dan atau antibiotika oral (tetrasiklin,
klindamisin, eritromisin, doksisiklin, minosiklin) dalam waktu 2 bulan
sebelum datang berobat ke Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan.12
4). Tidak mendapatkan pengobatan untuk akne vulgaris berupa asam retinoat
oral atau topikal maupun obat hormonal dalam waktu 1 bulan, sebelum
berobat ke Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan.12
5). Tidak mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menyebabkan eksaserbasi akne
vulgaris baik berupa obat kortikosteroid topikal atau oral, maupun obat oral
lainnya seperti antiepilepsi (karbamazepin, fenitoin, gabapentin, topiramat),
antidepresan (litium, sertralin), antipsikosis (pimozid, riperidon),
Universitas Sumatera Utara
antituberkulosis (isoniazid, pirazinamid), antineoplastik (daktinomisin),
antiviral (ritonavir, gansiklovir), antagonis kalsium (nimodipin), halogenik
(natrium flourida, kalium iodida), vitamin (B12 dan kelompok vitamin B
lainnya), dan lain-lain (buserelin, kabergolin, klofazimin, dantrolen,
famotidin, folitropin alfa, isosorbid mononitrat, medroksiprogesteron,
mesalazin, ramipril) dalam waktu 1 bulan sebelum datang berobat.12
6). Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani inform consent
b. Kriteria eksklusi :
1). Pasien akne vulgaris wanita dengan siklus haid tidak teratur, perdarahan
melalui vagina yang tidak diketahui penyebabnya.
2). Pasien hirsutisme.
3). Pasien alopesia androgenetika.
4) Pasien akne vulgaris wanita yang sedang menstruasi, hamil, menyusui atau
sedang mengkonsumsi obat kontrasepsi oral, injeksi atau implan.
5). Perokok.
6). Pasien menderita penyakit hati.
7). Pasien menderita diabetes melitus.
2. Kelompok kontrol
Kelompok kontrol adalah pasien-pasien yang berobat ke Poliklinik Sub bagian
Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik
Medan atau keluarga pasien yang membawa pasien berobat, yang tidak menderita
akne vulgaris, dengan karakteristik yang sama dengan kelompok penderita akne
vulgaris serta bersedia untuk ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani
informed consent.
Universitas Sumatera Utara
H. Alat, bahan dan cara kerja
1. Alat
a. Mesin Immulite 2000®
untuk mengukur kadar IGF-1.
b. Untuk pengambilan masing-masing sampel darah :
1). Satu pasang sarung tangan.
2). Satu buah alat ikat pembendungan (torniquet).
3). Satu buah spuit disposable 3 cc.
4). Satu buah vacutainer (tabung pengumpul darah steril) 5 cc yang
mengandung heparin.
5). Satu buah plester luka.
c. Satu unit alat sentrifuge (alat pemusing untuk memisahkan serum).
d. Microtube (tabung mikro) 1 ml untuk menampung serum.
e. Satu buah freezer untuk menyimpan serum.
2. Bahan
a. Kapas alkohol 70%.
b. Dua ratus dua puluh lima mikroliter larutan pretreatment IGF-1 (LGFA) untuk
masing-masing sampel.
c. Dua puluh lima mikroliter serum darah kelompok pasien akne vulgaris dan kelompok
kontrol.
3. Cara kerja
a. Pasien didiagnosis akne vulgaris dan selanjutnya dilakukan penghitungan lesi untuk
menentukan derajat keparahan akne vulgaris menurut kriteria Lehmann oleh peneliti
dengan pengawasan dari pembimbing penelitian.
b. Kemudian petugas laboratorium memakai sarung tangan steril lalu kulit dibersihkan
di atas lokasi tusuk dengan alkohol 70% dan dibiarkan sampai kering. Lokasi
penusukan harus bebas dari luka dan bekas luka/sikatrik. Darah diambil dari vena
Universitas Sumatera Utara
mediana cubiti pada lipat siku. Ikatan pembendungan (torniquet) dipasang pada
lengan atas, pasien diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan berulang
kali agar vena terlihat jelas. Lokasi penusukan didesinfeksi dengan kapas alkohol
70% dengan cara berputar dari arah dalam keluar. Spuit disiapkan dengan
memeriksa jarum dan penutupnya. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan
posisi sudut 45 derajat dengan jarum menghadap ke atas. Darah dibiarkan mengalir
ke dalam jarum kemudian jarum diputar menghadap ke bawah. Agar aliran darah
bebas, pasien diminta untuk membuka kepalan tangannya dan darah dihisap
sebanyak 3 cc. Torniquet dilepas, lalu jarum ditarik dengan tetap menekan lubang
penusukan dengan kapas alkohol 70%. Selanjutnya tempat bekas penusukan ditekan
dengan kapas alkohol 70% sampai darah tidak keluar lagi. Kemudian bekas tusukan
ditutup dengan plester. Darah kemudian dimasukkan ke dalam vacutainer 5 cc.
Selanjutnya sampel darah segera dikirim ke Laboratorium Klinik Prodia Medan.
c. Di Laboratorium Klinik Prodia Medan, sampel darah pasien akne vulgaris dan
kontrol disentrifugasi menggunakan sentrifuge dengan kecepatan 2000 rotation per
minute (rpm) selama 10 menit untuk mendapatkan serum. Serum yang diperoleh
kemudian dimasukkan ke dalam microtube 1 cc untuk penyimpanan serum.
d. Setelah diperoleh serum, selanjutnya diambil 25 μl dari serum tersebut untuk
kemudian dilarutkan secara manual dengan larutan pretreatment IGF-1 yaitu LGFA
dengan perbandingan 1:10. Oleh karena itu, 25 μl sampel serum ditambahkan ke
dalam 225 μl LGFA.
e. Sampel serum pasien akne vulgaris dan kontrol kemudian disimpan dalam freezer
pada suhu -25oC yang akan stabil selama 12 bulan sebelum pemeriksaan. Hindari
kontaminasi dan pajanan langsung terhadap sinar matahari.
f. Sampel serum pasien akne vulgaris dan kontrol selanjutnya dikirim ke Laboratorium
Klinik Prodia Pusat di Jakarta untuk pemeriksaan kadar IGF-1. Pengiriman sampel
Universitas Sumatera Utara
dari Laboratorium Klinik Prodia Medan ke Laboratorium Klinik Prodia Pusat di
Jakarta yang dilakukan satu kali per minggu yaitu setiap hari Senin.
g. Di Laboratorium Klinik Prodia Jakarta, proses pemeriksaan kadar IGF-1 dilakukan
setiap hari Rabu dan hasil analisisnya dapat diperoleh dalam waktu lebih
kurang 1 jam.
h. Hasil yang diperoleh kemudian dicatat sebagai nilai IGF-1 dan kemudian
dibandingkan dengan kadar IGF-1 pada kelompok kontrol.
I. Definisi operasional
1. Usia adalah usia subjek saat pengambilan sampel dihitung dari tanggal lahir, bila
lebih dari 6 bulan, usia dibulatkan ke atas; bila kurang dari 6 bulan, usia dibulatkan
ke bawah.
2. Akne vulgaris adalah suatu gangguan pada unit pilosebasea yang ditandai dengan
adanya komedo, papul, pustul dan nodul pada daerah populasi kelenjar sebasea
yang paling padat yaitu pada daerah wajah, dada bagian atas dan punggung.
3. Derajat keparahan akne vulgaris adalah suatu pengukuran objektif terhadap
beratnya akne vulgaris yang dialami oleh sampel berdasarkan pemeriksaan fisik
dengan memakai skala pengukuran Lehmann yaitu derajat ringan bila komedo
< 20, atau lesi inflamasi sebanyak 15, atau jumlah total lesi < 30 dan derajat
sedang bila komedo 20-100, atau lesi inflamasi sebanyak 15-50, atau jumlah total
lesi 30-125, sedangkan derajat berat bila kista > 5, atau jumlah total komedo > 100,
atau lesi inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125.
4. Insulin-like Growth Factor-1 adalah suatu polipeptida dengan urutan yang sangat
mirip dengan insulin yang terdapat di dalam serum.
Kadarnya dalam serum diukur dengan menggunakan alat Immulite®
2000 dan
hasilnya dinyatakan dalam satuan ng/ml.
Universitas Sumatera Utara
5. Obat kontrasepsi adalah golongan obat-obatan yang merupakan turunan dari
preparat estrogen dan progesteron untuk mencegah terjadinya kehamilan.
6. Siklus haid yang tidak teratur adalah keadaan wanita yang mendapatkan haid tidak
reguler sekali sebulan atau haid lebih dari 1 kali atau tidak mendapat haid lebih
dari 1 bulan (tidak hamil) tanpa obat-obatan.
7. Hirsutisme adalah gejala munculnya rambut pada bagian tubuh perempuan yang
biasanya tidak ditumbuhi rambut seperti di bawah dagu atau di atas bibir, atau
wanita yang memiliki pola penyebaran rambut seperti pria dewasa.
8. Alopesia androgenetika adalah rambut pada kulit kepala pria yang menjadi rontok
(botak) yang ditandai dengan hilangnya rambut kepala secara simetrik, progresif,
difus, berawal dengan resesi frontal yang khas dan akhirnya hanya tinggal
selingkaran rambut di tepi kepala. Dapat menyebabkan kebotakan yang komplit.
Pada wanita, rambut menipis di seluruh kulit kepala, dan garis batas rambut tidak
mengalami resesi. Jarang menyebabkan kebotakan komplit.
9. Pasien yang menderita penyakit hati adalah pasien yang secara anamnesis dan
pemeriksaan fisik dicurigai menderita penyakit hati akut atau kronis yang
selanjutnya dikonfirmasi secara pasti oleh dokter spesialis anak atau dokter
spesialis penyakit dalam.
10. Pasien yang menderita diabetes melitus adalah pasien yang secara anamnesis dan
pemeriksaan fisik dicurigai menderita penyakit diabetes melitus yang selanjutnya
dikonfirmasi secara pasti oleh dokter spesialis anak atau dokter spesialis penyakit
dalam.
11. Merokok adalah pasien yang merupakan perokok aktif dan secara teratur mengisap
minimal satu batang rokok perhari dengan waktu minimal 1 bulan.35
12. Immulite®
2000 adalah suatu mesin (chemistry analyzer) yang bekerja berdasarkan
prinsip solid phase, enzyme-labeled chemiluminescent immunometric assay. Mesin
Universitas Sumatera Utara
43
ini mempunyai sertifikasi : ISO 13485:2003. Diproduksi oleh Siemens Medical
Solutions Diagnostics, Jerman. Hasil pengukurannya dinyatakan dalam satuan
ng/ml.
J. Kerangka operasional
Ringan Sedang Berat
Pengukuran
kadar IGF-1
serum
Pengukuran
kadar IGF-1
serum
Pengukuran
kadar IGF-1
serum
HUBUNGAN??
Diuji dan dianalisis secara statistik
Klasifikasi Lehmann
Kelompok kontrol
Pengukuran
kadar IGF-1
serum
Kelompok pasien
akne vulgaris
Universitas Sumatera Utara
K. Pengolahan dan analisis data
Keseluruahan data dianalisis dengan memakai software SPSS versi 15. Data
kategorikal ditampilkan dalam bentuk persentase sementara data numerikal dalam
bentuk mean dengan Standard Deviasi (SD). Batas kemaknaan (p) yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah 0,05. Dikatakan bermakna jika nilai p ≥ 0,05.
Untuk mengetahui normalitas dari distribusi data dilakukan uji Shapiro Wilik.
Karena data yang didapatkan pada penelitian ini mempunyai distribusi normal, maka
untuk uji analisis statistik rerata dua variabel numerik (IGF-1 berdasarkan kelompok
kasus dan kontrol, jenis kelamin dan kelompok umur) dipakai uji t independen.
Sedangkan untuk uji analisis statistik rerata variabel numerik yang lebih dari dua
kelompok (IGF-1 berdasarkan tingkat keparahan jerawat) dilakukan uji statistik one
way anova.
Untuk menilai hubungan/korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan
derajat keparahan akne vulgaris dilakukan suatu uji hipotesis korelatif. Karena data
mempunyai distribusi normal maka dilakukan uji korelasi parametrik Pearson.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Dermatologi RSUP. H. Adam Malik Medan
mulai bulan Januari sampai bulan Juni 2010. Dalam penelitian ini diikutsertakan 21 orang
pasien penderita akne vulgaris dan 21 orang yang tidak menderita akne vulgaris sebagai
kelompok kontrol.
A. Karakteristik dasar subjek penelitian
Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian
Kasus Kontrol Total Variabel
n % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 7 33,3 7 33,3 14 33,3
Perempuan 14 66,7 14 66,7 28 66,7
Total 21 100,0 21 100,0 42 100,0
Kelompok umur
(tahun)
12-19 10 47,6 10 47,6 20 47,6
20-34 11 52,4 11 52,4 22 52,4
Total 21 100,0 21 100,0 42 100,0
Pendidikan
SMU/sederajat 5 23,8 2 9,5 7 16,7
Perguruan tinggi 16 76,2 19 90,5 35 83,3
Total 21 100,0 21 100,0 42 100,0
1. Jenis kelamin
Pada penelitian, ini dari 21 orang penderita akne vulgaris atau selanjutkan
kami sebutkan sebagai kelompok kasus didapati 7 orang (33,3%) dengan jenis
kelamin laki-laki dan 14 orang (66,7%) dengan jenis kelamin perempuan.
Hasil penelitian ini sama dengan berbagai penelitian epidemiologi sebelumnya
tentang akne vulgaris. Goulden dkk (1996) melaporkan dalam penelitiannya di Inggris
yang melibatkan 2000 subjek bahwa angka kejadian akne vulgaris pada pria sebesar
24% dan wanita sebesar 76%.14
Penelitian yang dilakukan pada populasi Asia di
Universitas Sumatera Utara
Singapura menyebutkan bahwa angka kejadian akne vulgaris sebanyak 56,6% pada
wanita dan 43,3% dialami oleh laki-laki.16
Studi lain oleh Cunliffe dan Gould (1979)
menyebutkan bahwa sebelum usia 23 tahun, prevalensi akne vulgaris lebih tinggi pada
laki-laki (35%) dibandingkan dengan perempuan (23%). Namun sesudah usia 23
tahun prevalensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki.37
Beberapa penelitian yang memakai teknik immunostaining menyebutkan
adanya perbedaan komposisi reseptor estrogen yaitu estrogen receptor β (ERβ) dan
estrogen receptor α (ERα) pada sel sebosit glandula sebasea antara perempuan dan
laki-laki. Selain itu didapati pula adanya perbedaan ekspresi reseptor melanocortin-1
pada sel sebosit dan keratinosit laki-laki dan perempuan, yang diduga berperan dalam
menentukan perbedaan prevalensi akne pada laki-laki dan perempuan. Faktor lain
yang diduga terlibat dalam perbedaan prevalensi tersebut adalah perbedaan kadar
hormon androgen dan estrogen antara laki-laki dan perempuan.38
2. Kelompok umur
Pada penelitian ini, kelompok umur subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok umur 12-19 tahun dan 20-34 tahun. Kriteria pengelompokan umur ini
didasarkan atas klasifikasi Erikson’s Stages of Physchosocial Development yang
mengklasifikasikan usia 12-19 tahun sebagai subjek kelompok remaja dan usia 20-34
tahun sebagai dewasa muda. Sebanyak 10 orang (47,6%) subjek berada dalam
kelompok umur remaja dan sebanyak 11 orang (52,4%) subjek berada umur dewasa
muda.
Data yang diperoleh dari rekam medis penderita akne vulgaris yang datang
berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik
Universitas Sumatera Utara
Medan pada periode Januari – Desember 2008 menunjukkan bahwa 90,6%
diantaranya adalah usia remaja dan dewasa muda.
Cunliffe dan Gould (1979) melaporkan bahwa pada kelompok umur 10-12
tahun 28%-61% populasi telah menderita akne vulgaris, sementara 79%-95% populasi
penduduk yang berusia 16-18 tahun mengalami akne vulgaris.37
Collier dkk (2008) dalam penelitian epidemiologi yang dilakukannya
menyebutkan bahwa prevalensi akne vulgaris yang tertinggi sebenarnya berada
kelompok usia remaja dan akan semakin berkurang dengan meningkatnya usia.38
Akan tetapi, Cordain (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa faktor usia
hanyalah satu dari sekian banyak faktor yang dapat terlibat dalam patogenesis akne
vulgaris misalnya faktor diet, faktor higiene, rokok, faktor keturunan ataupun
gangguan hormonal.13
3. Tingkat pendidikan
Pada penelitian ini didapati sebagian besar kelompok kasus berpendidikan
perguruan tinggi yaitu sebanyak 16 orang (76,2%). Hasil ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Barira S (2006) yang menyatakan bahwa sebagian
besar penderita akne vulgaris (54%) berpendidikan SMU.39
Tingkat pendidikan memiliki peranan yang penting karena akan
mempengaruhi persepsi penderita akan penyakit akne vulgaris yang dideritanya.
Perbedaan tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai
faktor-faktor penyebab, pemicu, tindakan pencegahan, cara ataupun lama pengobatan
akne vulgaris, prognosis, serta sikap dan perilaku dalam menghadapi efek psikososial
yang mungkin timbul. Penderita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
Universitas Sumatera Utara
diharapkan memiliki tingkat pemahaman yang lebih baik mengenai penyakit akne
vulgaris.
B. Insulin-like Growth Factor-1
1. Perbandingan IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol
Tabel 4.2 Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol
IGF-1 (ng/ml) Variabel
Kasus Kontrol
Mean 269,90 246,38
SD 111,93 95,19
p-value 0,467
Pada tabel 4.2 dapat dilihat perbandingan kadar IGF-1 antar kelompok kasus
dan kontrol. Rerata kadar IGF-1 lebih tinggi pada kelompok kasus yaitu sebesar
269,90 ng/ml dibandingkan kelompok kontrol 246,38 ng/ml, namun ternyata secara
statistik tidak bermakna.(p = 0,467).
Pada penelitian sebelumnya oleh Cappel (2005) dan Aizawa (1995) dilaporkan
bahwa pada kelompok kasus didapati adanya kadar IGF-1 yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Sementara penelitian lain yang dilaporkan oleh
Kaymak dkk (2007) menyebutkan hasil yang sebaliknya yaitu bahwa tidak dijumpai
perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol.11,12,39
Hasil penelitian ini yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna
antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat disebabkan karena dalam
populasi penelitian kali ini mungkin terdapat faktor-faktor lain yang lebih berperan
dibandingkan IGF-1 dalam hal terjadinya akne vulgaris pada subjek penelitian. Dalam
proses patogenesis akne vulgaris terdapat beberapa macam faktor yang dapat saling
terkait satu sama lain. Faktor tersebut misalnya perubahan hormonal, kerentanan
Universitas Sumatera Utara
genetik, stres, diet dan faktor higiene dapat menjadi faktor yang menentukan akne
vulgaris.1,2
2. Korelasi kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris
Tabel 4.3 Korelasi antara kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris
Korelasi n r p-value
Kadar IGF-1 dengan derajat
keparahan akne vulgaris 21 0,039 0,868
Pada tabel 4.3 ditampilkan analisis korelasi antar kadar IGF-1 dengan derajat
keparahan akne vulgaris. Dari hasil analisis statistik didapati bahwa tidak ada korelasi
antara kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris (p = 0,868; r =
0,039).
Pada penelitian Aizawa didapati bahwa kadar IGF-1 pada kelompok kasus
lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun tidak
dijumpai adanya korelasi antara kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne
vulgaris.11
Dalam penelitian lain disebutkan bahwa IGF-1 diduga dapat meningkatkan
produksi sebum oleh sel sebosit melalui induksi ekspresi SREBP-1 yang akan
meningkatkan stimulasi lipogenesis di dalam sebosit. IGF-1 bekerja dengan cara
mengaktivasi phospoinositide 3-kinase/Akt pathway sehingga terjadi proses
peningkatan dalam pembentukan sebum dari sebosit.7,8
Akne vulgaris merupakan suatu kelainan pada struktur yang bersifat
multifaktorial. Selain dari peningkatan produksi sebum terdapat faktor lain seperti
hiperproliferasi folikel, inflamasi dan aktifitas dari P.acnes. Selain dari itu masih
harus dipertimbangkan kondisi yang terkait dengan akne vulgaris misalnya faktor
genetik, perubahan hormonal, faktor diet dan lain sebagainya.1,2
Universitas Sumatera Utara
Kadar IGF-1 dalam darah sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu kadar growth hormone, kadar insulin, faktor nutrisi, Body Mass Index, usia dan
hormon androgen.30
Adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi patogenesis akne vulgaris
dan mempengaruhi kadar IGF-1 di dalam darah mengakibatkan timbulnya berbagai
variasi dengan karakteristik tersendiri dalam berbagai penelitian-penelitian tentang
akne vulgaris.
3. Perbandingan Insulin-like Growth Factor-1 antara kelompok akne vulgaris
Tabel 4.4 Perbandingan IGF-1 antara kelompok akne vulgaris
Kasus Variabel Ringan Sedang Berat
Kontrol p-value*
IGF-1(ng/ml) 232,43 ± 116,27 328 ± 123,50 249,29 ± 83,2 246,38 ± 95,19 0,272
*p-value antara kasus dan kontrol
Pada tabel 4.4 diperlihatkan perbandingan kadar IGF-1 antara kelompok
pasien akne vulgaris derajat ringan, sedang dan berat dan kontrol.
Rerata kadar IGF-1 pada kelompok akne vulgaris derajat ringan adalah 232,43
±116,27 ng/ml; kelompok akne vulgaris derajat sedang 328±123,50 ng/ml; akne
vulgaris derajat berat sebesar 249,29±83,2 ng/ml dan kelompok kontrol sebesar
246,38±95,19 ng/ml. Dari analisis statistik tidak dijumpai perbedaan bermakna kadar
IGF-1 antara kelompok akne vulgaris derajat ringan, akne vulgaris derajat sedang,
akne vulgaris derajat berat dan kelompok kontrol.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini, berbeda dengan hasil penelitian oleh Cappel dkk (2005)
yang menyebutkan bahwa kadar IGF-1 pada kelompok penderita akne vulgaris klinis
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok penderita akne vulgaris tanpa klinis.12
4. Insulin-like Growth Factor-1 berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.5 Perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan jenis kelamin
IGF-1 (ng/ml)
Kasus Kontrol Jenis kelamin
Mean SD p-value Mean SD p-value
p-value*
Laki-laki
Perempuan
311
249,38
126,59
102,55 0,244
266,29
236,43
93,47
97,93
0,512
0,467
0,736
*p-value antara kasus dan kontrol
Pada tabel ini diperlihatkan perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan jenis
kelamin baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Tampak bahwa nilai
kadar IGF-1 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, baik pada kelompok
kasus maupun kelompok kontrol. Walaupun perbedaan tersebut tidak mencapai nilai
yang signifikan.(p = 0,244, p = 0,512)
Nilai IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol juga tidak berbeda
secara bermakna, meskipun perbandingan tersebut dilakukan berdasarkan jenis
kelamin yang sama.
Pada penelitian ini, nilai IGF-1 laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan. Hasil ini sesuai dengan hasil yang didapat oleh penelitian-penelitian
sebelumnya oleh Kahlamani dkk (1999) dan Parekh dkk (2010) yang juga
mendapatkan bahwa kadar IGF-1 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang terbalik antara kadar
estrogen dengan kadar IGF-1. Kadar puncak IGF-1 akan tercapai pada umur 15 tahun
baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Meskipun nilainya akan semakin
Universitas Sumatera Utara
berkurang seiring dengan pertambahan umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi
kecepatan penurunan kadar IGF-1 tertinggi didapati pada wanita premenopause yaitu
di saat kadar estrogen tubuh mencapai level tertinggi. Hal ini juga sesuai dengan
penelitian Seattle Colon Cancer Family Registry yang mendapatkan bahwa kadar
IGF-1 akan menurun setelah pemberian estrogen eksogen. Teori lain menyebutkan
bahwa leptin yang kadarnya berbeda antara laki-laki dan perempuan, dapat
mempengaruhi konsentrasi IGF-1/IGFBP-3, yang mungkin akan dapat menjelaskan
tentang perbedaan kadar IGF-1 pada laki-laki dan perempuan.40,41
Pada penelitian kami didapati bahwa tidak dijumpai perbedaan kadar IGF-1
antara kelompok kasus dan kelompok kontrol meski dilakukan perbandingan
berdasarkan jenis kelamin. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Cappel
(2005) yang melaporkan bahwa perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok akne
vulgaris klinis dengan akne vulgaris tanpa klinis didapati pada jenis kelamin
perempuan saja.12
5. Insulin-like Growth Factor-1 berdasarkan kelompok umur
Tabel 4.6 Perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan kelompok umur
IGF-1 (ng/ml)
Kasus Kontrol Kelompok
umur (tahun) Mean SD p-value Mean SD p-value
p-value*
12-19
20-34
329,30
215,91
82,65
110,35
0,016
276,40
219,09
111,52
72,19
0,174
0,244
0,937
*p-value antara kasus dan kontrol
Pada tabel ini, diperlihatkan perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan kelompok
umur, baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Pada penelitian kami
didapati bahwa kadar IGF-1 pada kelompok kasus dengan umur diantara 12-19 tahun
lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan umur 20-34 tahun (p = 0,016).
Sementara perbandingan kadar IGF-1 pada kelompok kontrol antara kelompok umur
Universitas Sumatera Utara
12-19 tahun dengan kelompok umur 20-34 tahun tidak ada perbedaan secara
bermakna. Demikian pula perbandingan kadar IGF-1 antara kelompok kasus dan
kelompok kontrol sesuai dengan kelompok umur juga tidak menunjukkan perbedaan
yang bermakna.
Suatu penelitian besar, tentang IGF-1 yang melibatkan 6058 subjek di
Amerika Serikat antara tahun 1988-1999 melaporkan bahwa kadar IGF-1 akan
berkurang seiring dengan pertambahan usia. Sementara Jansen dkk (1997) pada
penelitiannya tentang IGF-1 terhadap populasi lanjut usia mengamati bahwa tingkatan
kadar IGF-1 pada lanjut usia > 70 tahun lebih tinggi dibandingkan individu yang
umumnya lebih muda. Jansen dkk (1997) mengelompokkan bahwa lanjut usia dengan
IGF-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang lebih muda menunjukkan
adalah konsekuensi dari seleksi kesintasan, yang artinya bahwa individu dengan kadar
IGF-1 lebih tinggi mungkin mempunyai kesempatan untuk hidup lebih lama.42,43
Hasil dari penelitian kami menunjukkan bahwa nilai IGF-1 pada kelompok
kasus usia remaja lebih tinggi dibandingkan dewasa muda. Hal ini mungkin dapat
disimpulkan bahwa hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian-penelitian
sebelumnya bahwa kadar IGF-1 akan mencapai puncak pada saat usia 15 tahun dan
akan semakin berkurang kadarnya seiring dengan pertambahan usia. Selain itu dapat
disimpulkan juga bahwa ternyata kadar IGF-1 mempunyai peranan terhadap
patogenesis akne vulgaris pada kelompok kasus dengan usia remaja karena kadar
IGF-1 yang lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kasus dengan usia dewasa.
Namun demikian, mungkin perlu penelitian lanjutan dengan skala yang lebih luas
mengingat ternyata kadar IGF-1 pada kelompok kasus dewasa muda ternyata lebih
rendah dibandingkan pada kelompok kontrol.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara kadar Insulin-like
growth-factor-1 dan derajat keparahan akne vulgaris pada pasien akne vulgaris di
RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Januari – Juni 2010 dengan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Rerata kadar IGF-1 antara individu yang menderita akne vulgaris lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak menderita akne vulgaris walaupun secara
statistik tidak menunjukkan nilai signifikan.
2. Kadar IGF-1 dengan tingkat keparahan akne vulgaris tidak mempunyai korelasi.
3. Kadar IGF-1 antara kelompok yang menderita akne vulgaris derajat ringan, akne
vulgaris derajat sedang dan akne vulgaris derajat berat tidak berbeda secara
bermakna.
4. Kadar IGF-1 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada perempuan, meskipun
tidak bermakna secara statistik.
5. Kadar IGF-1 pada kelompok kasus usia remaja lebih tinggi dibandingkan kadar
IGF-1 pada kelompok kasus dewasa muda.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran
1. Perlu penelitian lanjutan dengan skala yang lebih luas untuk mendapatkan
gambaran yang lebih lengkap tentang hubungan antara derajat keparahan akne
vulgaris dibandingkan dengan IGF-1 dan kelompok umur.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kadar IGF-1 pada pasien akne
vulgaris dikaitkan dengan aspek pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, et al. Acne vulgaris and acneiform eruptions.
Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Volume 1, edisi ke-7. Mc.Graw Hill Company, New York, 2008.h.690-700.
2. Thiboutot D. Acne : hormonal concepts and therapy. Clinics in Dermatology
2004;22:419-28.
3. Cara JF, Rosenfield RL, Furlanetto RW. A longitudinal of the relationship of plasma
somatomedin-C concentration to the pubertal growth spurt. Am J Dis Child
1987;141(5):562-4.
4. Burton JL, Libman LJ, Cunliffe WJ, et al. Sebum excretion in acromegaly. British
Medical Journal 1982,1,406-8.
5. Ebling FJ, Ebling E, Randall V, et al. The effects of hypophysectomy and of bovine
growth hormone on the responses to testosterone of prostate, preputial, harderian and
lacrymal glands and of brown adipose tissue in the rat. J Endocrinol 1975;66:401-6.
6. Deplewski D, Rosenfield RL. Growth hormone and insulin-like growth factors have
different effects on sebaceous cell growth and differentiation. Endocrinology
1999;140:4089-94.
7. Smith TM, Gilliland K, Clawson GA, et al. IGF-1 induces SREBP-1 expression and
lipogenesis in SEB-1 sebocytes via activation of the phosphoinositide 3-kinase/Akt
pathway. J Invest Dermatol 2008;128:1286-93.
8. Smith TM, Cong Z, Gilliland KL, et al. Insulin-like Growth Factor-1 induces lipid
production in human SEB-1 sebocytes via sterol response element-binding protein-1. J
Invest Dermatol 2006;126:1226-32.
9. Deplewski D, Rosenfiled RL. Role of hormones in pilosebaceous unit development.
Endocr Rev 2000;21:363-92.
Universitas Sumatera Utara
10. Vora S, Ovhal A, Jerajani H, et al. Correlation of facial sebum to serum Insulin-like
Growth Factor-1 in patients with acne. Br J Dermatol 2008;159:979-95.
11. Aizawa H, Niimura M. Elevated serum insulin like-growth factor-1 (IGF-1) levels in
women with postadolescent acne. J Dermatol 1995;22(4):249-52.
12. Cappel M, Muager D, Thiboutot D. Correlation between serum levels of insulin-like
growth factor 1, dehydroepiandrosterone sulfate, and dihydrotestosterone and acne lesion
counts in adult women. Arch Dermatol 2005;141:333-38.
13. Kaymak Y, Adisen E, Ilter N, dkk. Dietary glycemix index and glucose, insulin, insulin-
like growth factor-1, insulin-like growth factor binding protein 3, and leptin levels in
patiens with acne. J Am Acad Dermatol 2007;57:819-23.
14. Cordain L, Lindenberg S, et al. Acne vulgaris. Arch Dermatol.2002;138:1584-90.
15. Goulden V, Clark SM, Cunliffe WJ. Post-adolescent acne : a review of clinical features.
Br J Dermatol. 1997;136:66-70
16. Olutunmbi Y, Paley K, English JC. Adolescent female acne : etiology and management. J
Pediatr Adolesc Gynecol 2008;21:171-6.
17. Tan HH, Tan AWH, Barkham T, Yan XY, Zhu M. Community-based study of acne
vulgaris in adolescents in Singapore. Br J Dermatol 2007;157:547-51
18. Tan JK, Vasey K, Fung KY. Beliefs and perceptions of patients with acne. J Am Acad
Dermatol.2001;44:439-45.
19. Cunliffe WJ. Sebaceous gland physiology. Dalam : Cunliffe WJ, Acne. Edisi pertama.
Martin Dunitz LTD, London 2001.h.123-39.
20. Cunliffe WJ. Biochemistry of the pilosebaceous unit. Dalam : Cunliffe WJ, Acne. Edisi
pertama. Martin Dunitz LTD, London 2001.h.163-77.
21. Gollnick H. Current concepts of the pathogenesis of acne. Drugs 2003;63:1579-96.
Universitas Sumatera Utara
22. Pham-Huu-Trung MT, Villetee JM, Dunclos JM, et al. Effects of Insulin-like Growth
Factor-1 (IGF-1) on enzymatic activity in human adrenocortical cells interactions with
ACTH. J. Steroid Biochem. Molec. Biol.1991;39:903-9.
23. Pochi PE. Acne : androgens and microbiology. Drug Development Research
1988;13:157-68.
24. Cunliffe WJ. Natural history of acne. Dalam : Cunliffe WJ, Acne. Edisi pertama. Martin
Dunitz LTD, London 2001.h.2-10.
25. White GM. Recent findings in the epidemiologic evidence, classification and subtype of
acne vulgaris. J Am Acad Dermatol 1998;39:S34-7.
26. Cunliffe WJ. Clinical assessment of acne. Dalam : Cunliffe WJ, Acne. Edisi pertama.
Martin Dunitz LTD, London 2001.h.115-22.
27. Witkowski JA, Parish LC. The assessment of acne : an evaluation of grading and lesion
counting in the measurement of acne. Clinics in Dermatology 2004; 23:394-97.
28. Nobukazu H, Akamatsu H, Kawashima M. Establishment of grading criteria for acne
severity. J Dermatol 2008;35:255-60.
29. Lehmann HP, Robinson KA, Andrews JS, et al. Acne therapy : A methodologic review. J
Am Acad Dermatol 2002;47:231-40.
30. Cunliffe WJ, Gollnick GHM. Clinical features. Acne : Diagnosis and management.
London : Martin Dunitz;2001.h.49-81.
31. Froesch ER, Hussain MA, Schmid C. Insulin-like Growth Factor-1 : physiology,
metabolic effects and clinical uses. Diabetes/Metabolism Reviews 1996;12: 192-215.
32. Wu XK, Sallinen K, Zhou SY, et al. Androgen excess contributes to altered growth
hormone/Insulin-like Growth Factor-1 axis in nonobese women with polycystic ovary
syndrome. Fertility and Sterility 2000;73:730-4.
Universitas Sumatera Utara
33. Etgen AM, Flores OG, Todd BJ. The role of Insulin-like Growth Factor-1 and growth
factor-associated signal transduction pathways in estradiol and progesterone facilitation
of female reproductive behaviors. Frontiers in Neuroendocrinology 2006;27:363-75.
34. Horton R, Pasupuletti V, Antonpillai I. Androgen induction of steroid 5α-reductase may
be mediated via Insulin-like Growth Factor-1. Endocrinology 1993;133:447-51.
35. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar
sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, editor. Dasar-dasar Metodologi Penelitian
Klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto, 2008.h.302-30.
36. Capitanio B, Sinagra JL, Ottaviani M, Bordignon V, Amantea A, Picardo M. ‘Smoker’s
acne’: a new clinical entity? Br J Dermatol. 2007;157:1070-1.
37. Hall K, Enberg G, Ritzen M, dkk. Somatomedin: A levels in serum from healthy children
and from children with growth hormone deficiency or delayed puberty. Acta Endocrinol
(Copenh) 1980;94:155-65.
38. Cunliffe WJ, Gould DJ. Prevalence of facial acne vulgaris in late adolescence and in
adults. BMJ 1997;1:1109-10.
39. Dao H, Kazin RA. Gender differences in skin : a review of the literature. Gender
Medicine 2007;4:308-28.
40. Kaklamani VG, Lions A, Kaklamani E, Lions A, dkk. Age, sex, and smoking are
predictors of circulating insulin-like growth factor-1 and insulin-like growth factor-
binding protein 3. J Clin Oncol 1999;17:813-7.
41. Parekh N, Roberts C, Vadiveloo M, dkk. Lifestyle, anthropometric, and obesity-related
physiologic determinants if insulin-like gowth factor-1 in the Third National Health and
Nutrition Examination Survey (1988-1994). Ann Epidemiol 2010;20: 182-93.
Universitas Sumatera Utara
42. Badger JM, Berrigan D, Barbash B, Potischman N. Anthropometric correlated of insulin-
like growth factor-1 (IGF-1) and IGF binding protein-3 (IGFBP-3) levels by
race/ethinicity and gender. Ann Epidemiol 2009;841-9.
43. Janssen JAM, Stolk RP, Pols HA, Lamberts SWJ. Serum free IGF-1, total IGF-1, IGFBP-
1 and IGFBP-3 levels in an elderly population : relation to age and sex steroid levels.
Clinical Endocrinology 1998;48:471-8.
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 1.
NASKAH PENJELASAN KEPADA PASIEN / ORANGTUA PASIEN
Selamat pagi/siang.
Perkenalkan nama saya dr. Joice Sonya Panjaitan. Saat ini saya sedang menjalani
Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan pendidikan program spesialis
yang sedang saya jalani, saya melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara kadar
Insulin-like Growth Factor-1 dalam Serum dan Derajat Keparahan Akne Vulgaris”.
Tujuan penelitian saya adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar Insulin-like
Growth Factor-1 (IGF-1) dalam darah pada pasien dengan penyakit akne vulgaris (atau
jerawat). Insulin-like Growth Factor-1 merupakan suatu faktor pertumbuhan di dalam darah
yang kerjanya menyerupai hormon insulin. Adapun manfaat dari penelitiaan ini adalah
untuk membuka wawasan mengenai penyebab jerawat terutama dalam hubungannya
dengan kadar IGF-1 dalam darah sehingga nantinya diharapkan dapat dilakukan evaluasi
yang bermanfaat untuk mengobati atau mengurangi derajat keparahan jerawat.
Untuk melakukan penelitian ini, Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i yang mempunyai
jerawat akan saya nilai tingkat keparahan jerawatnya dengan cara menghitung jumlah dan
jenis jerawat yang terdapat di wajah, dada dan punggung atas. Kemudian diambil sedikit
darah Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i untuk keperluan pemeriksaan kadar faktor
pertumbuhan yang menyerupai hormon insulin dalam darah. Selanjutnya darah akan
dibawa ke Laboratorium Prodia untuk dilakukan pemeriksaan kadar IGF-1.
Universitas Sumatera Utara
Adapun pemeriksaan ini akan sedikit menimbulkan rasa sakit dan diharapkan tidak
akan menimbulkan akibat yang membahayakan jiwa. Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i
tidak akan dikutip biaya apapun dalam penelitian ini. Kerahasiaan mengenai penyakit yang
diderita penelitian akan terjamin. Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i yang ikut dalam
penelitian ini adalah sukarela. Bila tidak bersedia, maka Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i
berhak menolak ikut dalam penelitian ini dan tidak akan ada konsekuensi dan perlakuan
yang tidak layak.
Jika Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i bersedia dan menyetujui pemeriksaan ini,
mohon untuk menandatangani formulir persetujuan ikut serta dalam penelitian.
Apabila Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i mengeluh adanya pusing (sakit kepala),
demam, lemas (perasaan ingin pingsan), demam, nyeri terus-menerus atau perdarahan yang
tidak berhenti pada lokasi pengambilan darah dalam waktu 6-12 jam setelah pengambilan
darah, atau masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi saya.
Terima kasih.
dr. Joice Sonya Panjaitan
Alamat : Jl. Rantang No. 5 Medan
Telp./Hp : 061- 4146881, 081260587904
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 2.
PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
Setelah mendapat penjelasan, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ……………………………………………………………………………
Umur : ……………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………..…………..
selaku saudara/orang tua* dari :
Nama : ...................................................................................................................
Umur : ....................................................................................................................
Jenis kelamin : ....................................................................................................................
dengan ini menyatakan secara sukarela SETUJU untuk ikut serta dalam penelitian dan
mengikuti berbagai prosedur pemeriksaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Demikianlah surat pernyataan persetujuan ini dibuat dengan sebenarnya dalam keadaan sadar
tanpa adanya paksaan dari siapapun.
Medan, 2010
Dokter pemeriksa Yang menyetujui
(dr. Joice Panjaitan) ( )
* coret yang tidak perlu
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 3.
STATUS PENELITIAN
Tanggal pemeriksaan :
Nomor urut penelitian :
Nomor catatan medik :
IDENTITAS
Nama :
Alamat :
Telp. :
Tempat tanggal lahir (hari, bulan, tahun) :
Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Bangsa/Suku : 1. Batak 2. Jawa 3. Melayu
4. Minangkabau 5. Tionghoa 6. Lainnya
Agama : 1. Islam 2. Kristen Protestan 3. Kristen Katolik
4. Hindu 5. Budha
Pendidikan : 1. Belum sekolah
2. SD / sederajat
3. SMP / sederajat
4. SMA / sederajat
5. Perguruan tinggi
Pekerjaan : 1. Pegawai Negeri Sipil / TNI / Polri 2. Pegawai swasta
3. Wiraswasta 4. Tidak bekerja
Status pernikahan : 1. Sudah menikah 2. Belum menikah
Universitas Sumatera Utara
ANAMNESIS
Keluhan utama :
Riwayat perjalanan penyakit :
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat penyakit terdahulu :
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalisata
Keadaan umum :
• Kesadaran :
• Gizi :
• Tekanan darah :
• Frekuensi nadi :
• Suhu :
• Frekuensi pernafasan :
Keadaan Spesifik :
• Kepala :
• Leher :
• Toraks :
Universitas Sumatera Utara
• Abdomen :
• Genitalia :
• Ekstremitas :
Status dermatologikus
Hasil Combined Acne Severity Classification
Ringan
Komedo < 20, atau lesi inflamasi 15, atau jumlah
total lesi < 30
Sedang
Komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-50, atau
jumlah total lesi 30-125
Berat
Kista > 5, atau jumlah total komedo > 100, atau lesi
inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan kadar IGF-1 dalam serum pasien akne vulgaris
Nilai :
2. Pemeriksaan kadar IGF-1 dalam serum pasien kontrol
Nilai :
Universitas Sumatera Utara
MASTER TABEL 1
NILAI RUJUKAN, KEPARAHAN AKNE VULGARIS DAN KADAR INSULIN-LIKE GROWTH
FACTOR-1
PADA KELOMPOK KASUS
NO NAMA UMUR (tahun) NILAI RUJUKAN
(ng/ml) JENIS KELAMIN BB (kg) TB (cm)
KEP
A
1 FOR 17 376 1 45 163
2 RK 30 196 2 44 150
3 AS 20 232 2 42 152
4 RA 23 203 1 60 155
5 PM 24 203 2 47 158
6 MS 19 261 2 51 157
7 PS 21 203 2 54 155
8 GDG 19 261 2 54 153
9 NC 20 232 2 60 154
10 FD 21 203 2 47.5 146
11 PE 22 203 2 54 149,5
12 GS 17 376 1 72 169
13 LS 18 308 2 55 154
14 RSK 18 308 2 61,5 156
15 MS 24 203 1 42 164
16 SFS 19 261 2 45 152
17 ITH 18 308 1 62 162
18 AMH 19 261 1 67 176
19 DL 18 308 2 63 161
20 PD 20 232 2 62 161
21 R 30 196 1 65 168
Keterangan :
Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Derajat keparahan akne vulgaris : 1. Derajat ringan 2. Derajat sedang 3. Derajat berat
MASTER TABEL II
NILAI RUJUKAN, KEPARAHAN AKNE VULGARIS DAN KADAR INSULIN-LIKE GROWTH
FACTOR-1
PADA KELOMPOK KONTROL
NO NAMA UMUR (tahun) NILAI RUJUKAN
(ng/ml) JENIS KELAMIN BB (kg) TB (cm)
KEPAR
AK
1 MN 22 203 2 54 158 0
2 LH 21 203 1 56 166 0
3 DH 17 376 1 44 156 0
SE 18 308 1 54 163 04
5 ML 20 232 2 50 156 0
6 HK 18 308 2 52 151 0
7 JR 19 261 2 45 155 0
8 JH 20 232 2 50 154 0
9 LI 23 203 2 46 161 0
10 PN 19 261 2 48 149 0
11 NM 18 308 2 50 158 0
12 US 19 261 2 51 156 0
Universitas Sumatera Utara
68
13 RK 19 261 1 57 172 0
14 IA 17 376 1 71 165 0
15 EK 20 232 2 53 155 0
16 VAG 18 308 2 47 152 0
17 RS 20 232 2 45 155 0
18 RRP 30 196 1 61 160 0
19 MA 24 203 1 70 161 0
20 IJH 21 203 2 52 158 0
21 HNP 30 196 2 55 165 0
Keterangan :
Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Universitas Sumatera Utara