70
Tesis HUBUNGAN ANTARA KADAR INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1 (IGF-1) DALAM SERUM DAN DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS Peneliti : dr. Joice Sonya Panjaitan Pembimbing : dr. Nelva K. Jusuf, SpKK(K) dr. Daratia I. Kadri, SpKK Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan – 2010 Universitas Sumatera Utara

Hubungan antara kadar insulin-like growth factor-1 (IGF-1

Embed Size (px)

Citation preview

Tesis

HUBUNGAN ANTARA KADAR INSULIN-LIKE

GROWTH FACTOR-1 (IGF-1) DALAM SERUM

DAN DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS

Peneliti : dr. Joice Sonya Panjaitan

Pembimbing : dr. Nelva K. Jusuf, SpKK(K)

dr. Daratia I. Kadri, SpKK

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

Medan – 2010

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa yang

Maha Pengasih lewat putraNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus, yang telah memampukan

penulis dalam menyelesaikan seluruh rangkaian punyusunan tesis yang berjudul: “Hubungan antara

Insulin-Like Growth Factor 1 dengan derajat keparahan akne vulgaris” sebagai salah satu

persyaratan untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Tidak ada satupun karya tulis dapat diselesaikan seorang diri tanpa bantuan dari orang lain.

Dalam penyelesaian tesis ini, baik ketika penulis melakukan penelitian maupun saat penulis

menyusun setiap kata demi kata dalam penyusunan proposal dan hasil penelitian, ada banyak pihak

yang Tuhan telah kirimkan untuk membantu, memberikan dorongan dan masukan kepada penulis.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan

perhargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Yang terhormat dr. Nelva K. Jusuf, SpKK (K), selaku pembimbing utama penulis, yang

dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan nasehat, masukan, dan koreksi kepada

penulis selama proses penyusunan tesis ini.

2. Yang terhormat dr. Daratian I. Kadri, SpKK selaku pembimbing kedua penulis, yang juga telah

membimbing dan memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama penyusunan

tesis ini.

3. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), sebagai Ketua

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara, juga sebagai guru besar, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk

mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan juga selalu memberikan dukungan, bimbingan

dan dorongan kepada saya dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan

sehari-hari.

4. Yang terhormat dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K), sebagai Ketua Program Studi Departemen

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang

juga telah banyak membantu saya, senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan dalam

penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari.

5. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Syahril Pasaribu, SpA(K),

DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi

pada Universitas yang Bapak pimpin.

Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar,

SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program

Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. Yang terhormat Prof. dr. Diana Nasution, SpKK (K), yang telah memberikan kesempatan

kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

8. Yang terhormat dr. Kristo Alberto Nababan, SpKK, yang telah banyak memberikan dorongan,

bimbingan, semangat serta nasehat selama saya menjalani pendidikan.

9. Yang terhormat dr. Salia Lakswinar, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah

memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

10. Yang terhormat dr. Remenda Siregar, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah

memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

11. Yang terhormat dr. Imam Budi Putra, SpKK, yang telah banyak memberikan bimbingan,

masukan dan koreksi kepada saya dalam penyusunan tesis ini.

12. Yang terhormat para Guru Besar, Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur

A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II

Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing

saya selama mengikuti pendidikan ini.

13. Yang terhormat Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, Direktur RSU Dr. Pirngadi

Medan, dan Direktur RS PTPN II Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas

kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.

14. Yang terhormat Drs. Abdul Jalil Amra, M.Kes, selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan

Masyarakat USU, dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku staf pengajar Departemen Ilmu

Kedokteran Komunitas FK USU, yang telah banyak membantu saya dalam metodologi

penelitian dan pengolahan statistik penelitian saya ini.

15. Yang terhormat seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II

Medan, atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini.

16. Yang tercinta Ayahanda Dr. Parlindungan Panjaitan dan Ibunda Risma Siahaan, yang dengan

penuh cinta kasih, keikhlasan, doa, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa untuk

mengasuh, mendidik, dan membesarkan saya. Tiada ungkapan yang mampu melukiskan betapa

bersyukurnya saya mempunyai kedua orangtua seperti kalian. Kiranya hanya Tuhan Yang

Maha Kuasa yang dapat membalas segala kebaikan kalian.

Universitas Sumatera Utara

17. Yang tercinta, suami saya, dr. Budianto Sigalingging, SpPD yang telah dengan sabar dan ikhlas

memberikan dorongan dan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

18. Yang terkasih putriku Gracia Sigalingging, tahun ini. Terima kasih untuk senantiasa menjadi

pendorong semangat serta pelipur lara bagiku selama mengikuti pendidikan.

19. Yang terkasih seluruh keluarga besar yang telah banyak memberikan dukungan dan nasehat

selama masa pendidikan dan penelitian saya ini.

20. Kepada seluruh keluarga dan kerabat yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

21. Yang terhormat dr. Poppy Syafnita, SpKK, dr. Faridah Israwati, dr. Rudyn Panjaitan dan

seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin FK USU atas segala bantuan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan kepada

saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.

22. Kepada seluruh staf Laboratorium Prodia Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas,

dan kemudahan kepada saya untuk melaksanakan penelitian.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini

dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Pada kesempatan ini, dengan penuh kerendahan hati, perkenankanlah saya untuk

menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan atau kekhilafan yang

telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama menjalani masa pendidikan ini.

Dan akhir kata, saya panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, agar kiranya

berkenan untuk memberkati dan melindungi kita sekalian. Amin.

Medan, Desember 2010

Penulis

dr. Joice Sonya Gani Panjaitan

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii

DAFTAR SKEMA ........................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x

ABSTRAK ...................................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah ............................................................ 1

B. Rumusan masalah .................................................................... 5

C. Hipotesis ................................................................................... 5

D. Tujuan penelitian ...................................................................... 5

1. Tujuan umum ...................................................................... 5

2. Tujuan khusus ..................................................................... 5

E. Manfaat penelitian ..................................................................... 6

F. Kerangka teori ........................................................................... 7

G. Kerangka konsep ...................................................................... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Akne vulgaris .............................................................................. 8

1. Epidemiologi ......................................................................... 8

2. Etiologi dan patogenesis ...................................................... 10

3. Gambaran klinis ................................................................... 12

4. Pemeriksaan laboratorium ................................................... 14

5. Diagnosis ............................................................................. 15

Universitas Sumatera Utara

6. Diagnosis banding ................................................................ 16 B.

Diet dan akne .................................................................................... 18

1. Klasifikasi karbohidrat .......................................................... 18

2. Indeks glikemik ..................................................................... 19

3. Beban glikemik ..................................................................... 21

4. Insulin-like growth factor-1 ................................................... 21

5. Hubungan antara diet, IGF-1 dan akne vulgaris ................... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian ........................................................................ 30

B. Waktu dan tempat penelitian ...................................................... 30

C. Populasi penelitian ..................................................................... 30

D. Besar sampel ............................................................................. 31

E. Cara pengambilan sampel penelitian ......................................... 31

F. Identifikasi variabel ..................................................................... 32

G. Kriteria inklusi dan eksklusi ........................................................ 32

H. Alat, bahan, dan cara kerja ......................................................... 33

I. Definisi operasional .................................................................... 37

J. Kerangka operasional ................................................................. 42

K. Pengolahan dan analisis data .................................................... 42

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik subjek penelitian .................................................... 44

1. Jenis kelamin ........................................................................ 45

2. Kelompok umur .................................................................... 46

3. Tingkat pendidikan ................................................................ 47

4. Suku bangsa ......................................................................... 47

B. Insulin-like growth factor-1 ........................................................... 48

Universitas Sumatera Utara

1. Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok

kasus dan kontrol ................................................................... 48

2. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin ......... 49

3. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur ..... 50

4. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan indeks massa tubuh 51

5 Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik dengan

insulin-like growth factor-1......................................................52

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................................56

B. Saran .....................................................................................................56

DAFTAR PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian ................................................................. 44

Tabel 4.2 Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol

.................................................................................................................. 48

Tabel 4.3. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin ............................... 49

Tabel 4.4. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur ......................... 50

Tabel 4.5. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan indeks massa tubuh 51

Tabel4.6. Perbandingan indeks glikemik dan beban glikemik antara kelompok kasus dan

kontrol ...................................................................................................... 52

Tabel 4.7. Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik dengan insulin-like

growth factor-1 .......................................................................................... 52

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 1 : Kerangka teori hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik

dengan insulin-like growth factor-1 pada pasien akne vulgaris ...... 7

Skema 2 : Kerangka konsep hubungan antara indeks glikemik dan beban

glikemik dengan insulin-like growth factor-1 pada pasien akne vulgaris

.......................................................................................................... 7

Skema 3 : Kerangka operasional penelitian .................................................... 42

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Naskah penjelasan kepada pasien/orangtua/keluarga pasien

Lampiran 2 : Persetujuan ikut serta dalam penelitian

Lampiran 3 : Status penelitian

Lampiran 4 : Status “dietary recall”

Lampiran 5 : Indeks glikemik dan beban glikemik beberapa jenis pangan

Lampiran 6 : Persetujuan Komite Etik

Lampiran 7 : Master Tabel

Lampiran 8 : Analisis statistik penelitian

Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN ANTARA KADAR INSULIN-LIKE

GROWTH FACTOR-1 (IGF-1) DALAM SERUM DAN

DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS

Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Latar Belakang

Akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit yang sering dijumpai di masyarakat. Patogenesis akne

vulgaris bersifat multifaktorial dan diantaranya diduga terdapat peranan dari IGF-1. IGF-1 dapat

meningkatkan proliferasi sel keratinosit dan peningkatan produksi sebum oleh sel sebosit. Namun,

peranan IGF-1 dalam berbagai derajat keparahan akne vulgaris masih belum jelas.

Tujuan

Untuk mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dengan derajat keparahan akne

vulgaris.

Metode

Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2010.

Dalam penelitian ini direkrut sebanyak 21 orang pasien akne vulgaris yang terdiri dari 7 orang

pasien akne vulgaris derajat ringan, 7 orang pasien derajat sedang, 7 orang derajat berat serta 21

orang pasien sebagai kontrol. Dilakukan pengukuran kadar IGF-1 dalam serum dan dianalisis secara

statistik hubungannya dengan derajat keparahan akne vulgaris.

Hasil

Kadar IGF-1 pada kelompok akne vulgaris derajat ringan 232,43±116,27 ng/ml, pada kelompok

akne vulgaris derajat sedang 328±123,50 ng/ml, pada kelompok akne vulgaris derajat berat

249,29±83,2 ng/ml dan pada kelompok kontrol 246,38±95,29 ng/ml, dengan nilai p = 0,272. Pada

uji korelasi Spearman antara kadar IGF-1 serum dengan derajat keparahan akne vulgaris didapati

hasil uji r = 0,039 dengan nilai p = 0,868

Kesimpulan

Dalam penelitian ini didapati bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan

derajat keparahan akne vulgaris.

Kata kunci :

Akne vulgaris, IGF-1, derajat keparahan akne vulgaris

Universitas Sumatera Utara

THE CORRELATION BETWEEN THE SERUM INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

(IGF-1) LEVEL AND THE SEVERITY DEGREE OF

ACNE VULGARIS

Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf

Department of Dermatolo-Venereology

Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara

H. Adam Malik General Hospital Medan

ABSTRACT

Background

Acne vulgaris is a skin disease that is commonly found in the community. Acne vulgaris has been known

had a complex pathogenesis and IGF-1 was allegedly had a role in the pathogenesis of acne vulgaris. IGF-1

can enhance keratinocyte cell proliferation and increase sebum production. However, the role of IGF-1 in

the various degree of acne vulgaris severity remains unclear.

Objective

To determine the correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris

Method

The study was conducted with cross sectional method starting from January untill June 2010. In this study,

we recruited 21 acne vulgaris patients consisting of 7 patients had a mild severity degree of acne vulgaris, 7

patients had a moderate severity degree of acne vulgaris, 7 patients had a severe severity degree of acne

vulgaris and 21 patients as the control group. We measured the serum IGF-1 level of each patients and then

analyzed statistically the measurement result correlation with the various degree of acne vulgaris severity.

Result

We found that the mean IGF-1 serum level in the mild acne vulgaris severity group was 232,43±116,27

ng/ml, in the moderate acne vulgaris severity group was 328±123,50 ng/ml, in the severe acne vulgaris

severity group was 249,29±83,2 ng/ml, and in the control group was 246,38±95,19 ng/ml with p value=

0,272. Statistical analyzes with Spearman Correlation Test revealed that there is no correlation between the

serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris. (r=0,039;p=0,868)

Conclusion

In this study we found no correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris.

Key words

Acne vulgaris, IGF-1, acne vulgaris severity degree

Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN ANTARA KADAR INSULIN-LIKE

GROWTH FACTOR-1 (IGF-1) DALAM SERUM DAN

DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS

Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Latar Belakang

Akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit yang sering dijumpai di masyarakat. Patogenesis akne

vulgaris bersifat multifaktorial dan diantaranya diduga terdapat peranan dari IGF-1. IGF-1 dapat

meningkatkan proliferasi sel keratinosit dan peningkatan produksi sebum oleh sel sebosit. Namun,

peranan IGF-1 dalam berbagai derajat keparahan akne vulgaris masih belum jelas.

Tujuan

Untuk mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dengan derajat keparahan akne

vulgaris.

Metode

Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2010.

Dalam penelitian ini direkrut sebanyak 21 orang pasien akne vulgaris yang terdiri dari 7 orang

pasien akne vulgaris derajat ringan, 7 orang pasien derajat sedang, 7 orang derajat berat serta 21

orang pasien sebagai kontrol. Dilakukan pengukuran kadar IGF-1 dalam serum dan dianalisis secara

statistik hubungannya dengan derajat keparahan akne vulgaris.

Hasil

Kadar IGF-1 pada kelompok akne vulgaris derajat ringan 232,43±116,27 ng/ml, pada kelompok

akne vulgaris derajat sedang 328±123,50 ng/ml, pada kelompok akne vulgaris derajat berat

249,29±83,2 ng/ml dan pada kelompok kontrol 246,38±95,29 ng/ml, dengan nilai p = 0,272. Pada

uji korelasi Spearman antara kadar IGF-1 serum dengan derajat keparahan akne vulgaris didapati

hasil uji r = 0,039 dengan nilai p = 0,868

Kesimpulan

Dalam penelitian ini didapati bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan

derajat keparahan akne vulgaris.

Kata kunci :

Akne vulgaris, IGF-1, derajat keparahan akne vulgaris

Universitas Sumatera Utara

THE CORRELATION BETWEEN THE SERUM INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

(IGF-1) LEVEL AND THE SEVERITY DEGREE OF

ACNE VULGARIS

Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf

Department of Dermatolo-Venereology

Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara

H. Adam Malik General Hospital Medan

ABSTRACT

Background

Acne vulgaris is a skin disease that is commonly found in the community. Acne vulgaris has been known

had a complex pathogenesis and IGF-1 was allegedly had a role in the pathogenesis of acne vulgaris. IGF-1

can enhance keratinocyte cell proliferation and increase sebum production. However, the role of IGF-1 in

the various degree of acne vulgaris severity remains unclear.

Objective

To determine the correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris

Method

The study was conducted with cross sectional method starting from January untill June 2010. In this study,

we recruited 21 acne vulgaris patients consisting of 7 patients had a mild severity degree of acne vulgaris, 7

patients had a moderate severity degree of acne vulgaris, 7 patients had a severe severity degree of acne

vulgaris and 21 patients as the control group. We measured the serum IGF-1 level of each patients and then

analyzed statistically the measurement result correlation with the various degree of acne vulgaris severity.

Result

We found that the mean IGF-1 serum level in the mild acne vulgaris severity group was 232,43±116,27

ng/ml, in the moderate acne vulgaris severity group was 328±123,50 ng/ml, in the severe acne vulgaris

severity group was 249,29±83,2 ng/ml, and in the control group was 246,38±95,19 ng/ml with p value=

0,272. Statistical analyzes with Spearman Correlation Test revealed that there is no correlation between the

serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris. (r=0,039;p=0,868)

Conclusion

In this study we found no correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris.

Key words

Acne vulgaris, IGF-1, acne vulgaris severity degree

Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar

sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

lain komedo, papul, pustul, nodul. Pada beberapa kasus dikatakan dapat sembuh sendiri

namun seringkali terjadi jaringan parut yang menetap. Lebih dari 45% remaja di dunia

bermasalah dengan akne vulgaris dan kurang lebih 42,5% pria dan 50,9% wanita akan tetap

mengalami masalah akne vulgaris sampai dengan dekade ketiga kehidupannya.1

Terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis akne vulgaris. Namun

sampai saat ini ada empat macam proses utama yang terlibat di dalamnya yaitu (1)

hiperproliferasi epidermal folikuler, (2) produksi sebum yang berlebihan, (3) proses

inflamasi dan (4) dijumpainya peranan Propionibacterium acnes (P.acnes). Dalam proses

keratinisasi, produksi sebum dan inflamasi terlibat berbagai macam zat, hormon dan

mediator-mediator. Diantaranya yang sudah cukup dikenal adalah peranan dari stimulasi

androgen, kadar asam linoleat, peningkatan aktivitas Interleukin-1 (IL-1), peranan vitamin A,

Retinol Binding Protein (RBP), vitamin E, zinc dan Insulin-like Growth Factor-1(IGF-1).1

Produksi sebum yang berlebihan mempunyai peran tersendiri dalam hal patogenesis

akne vulgaris. Proses sekresi sebum sendiri diatur oleh berbagai faktor yang saling berkaitan

satu sama lain. Salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan proses produksi sebum

adalah IGF-1 dalam serum. Pemikiran ini didasarkan atas fakta bahwa IGF-1 dalam serum

akan mencapai puncak pada masa remaja seiring dengan terjadinya puncak insidensi akne

vulgaris dalam periode kehidupan. Selanjutnya seiring dengan pertambahan usia, kadar

IGF-1 dalam serum akan menurun bersamaan dengan menurunnya insidensi akne

vulgaris.1,2,3

Universitas Sumatera Utara

Burton dkk (1972), pertama sekali memaparkan tentang adanya hubungan antara

level Growth Hormone (GH) pada pasien akromegali dengan produksi sebum. Pada

penelitiannya, mereka mendapatkan bahwa laju ekskresi sebum mempunyai korelasi positif

dengan level dari GH di dalam darah. Sehingga laju ekskresi sebum dapat digunakan

sebagai pemantau kondisi klinis dan endokrinologi pasien akromegali.4

Beberapa penelitian pada hewan juga menunjukkan pentingnya konsep hubungan

antara IGF-1 dalam serum dengan pertumbuhan dan produksi dari sebosit. Ebling dkk

(1975) menemukan bahwa pada tikus yang mengalami penurunan fungsi kelenjar hipofisis

dijumpai adanya penurunan berat kelenjar prepusium, yang hampir sebagian besarnya

tersusun oleh sel sebosit yang menyerupai kelenjar sebasea pada manusia.5

Lebih lanjut lagi, Deplewski dan Rosenfield (1999) dalam penelitiannya

mendapatkan bahwa IGF-1 dalam serum mempunyai korelasi positif terhadap pertumbuhan

dan diferensiasi dari sel sebasea. Hal ini dikarenakan IGF-1 dalam serum mempunyai efek

mitogenik yang kuat terhadap kelenjar sebasea. Namun korelasi yang positif disebutkan

hanya dijumpai pada pasien wanita. Diduga hal tersebut terjadi karena wanita lebih sensitif

terhadap variabilitas kadar IGF-1 dalam serum, sedangkan efek IGF-1 dalam serum pada

pria mungkin dikaburkan oleh karena tumpang tindih dengan efek dari androgen serum

yang lebih tinggi pada pria.6

Beberapa penelitian lanjutan menunjukkan bagaimana sebenarnya efek IGF-1 dalam

serum secara biomolekuler terhadap produksi sebum dan proliferasi dari sel sebasea.

Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum dapat menstimulasi produksi sebum kelenjar

sebasea melalui induksi proses lipogenesis. Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum

meningkatkan ekspresi dari Sterol Respon Element Binding Protein-1 (SREBP-1), yaitu

suatu faktor transkripsi yang mengatur kerja beberapa gen yang terlibat dalam lipogenesis.

Sebagai hasil dari proses ini adalah terbentuknya sebum oleh sel sebasea.7,8,9

Universitas Sumatera Utara

Khusus pada pasien akne vulgaris, beberapa penelitian menunjukkan adanya

hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dan kejadian akne vulgaris. Vora dkk (2008)

menemukan dijumpai adanya korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan jumlah

produksi sebum pada akne vulgaris dibandingkan dengan orang normal. Aizawa (1995)

dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kadar IGF-1 dalam serum didapati lebih tinggi

pada pasien akne vulgaris wanita dewasa dibandingkan kelompok kontrol. Suatu penelitian

potong lintang oleh Cappel (2005) menemukan adanya korelasi antara kadar IGF-1 dalam

serum dengan ataupun tanpa akne vulgaris secara klinis. Dalam penelitiannya, didapati

bahwa pada kelompok pengamatan akne vulgaris klinis kadar IGF-1 dalam serum lebih

tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu kelompok tanpa akne vulgaris klinis.

Adapun pengelompokkan akne vulgaris pada penelitian Cappel yaitu kelompok akne

vulgaris klinis didasarkan pada riwayat menderita persisten akne vulgaris yaitu akne

vulgaris yang terus menerus selama beberapa tahun dan dijumpainya pada pemeriksaan fisik

wajah minimal 15 komedo dan 10 papul inflamasi, sedangkan akne vulgaris tanpa klinis

adalah pasien yang menderita akne vulgaris diluar kriteria tersebut di atas. 10,11,12

Akan tetapi suatu penelitian yang dilakukan oleh Kaymak (2007) mendapatkan

hasil yang berbeda dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. Kaymak melaporkan

bahwa tidak terdapat perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok pasien akne vulgaris dengan

kelompok kontrol.13

Dari data-data tersebut, dapat dilihat bahwa penelitian-penelitian yang ada mengenai

IGF-1 masih belum memberikan hasil yang konsisten mengenai hubungan antara IGF-1 dan

akne vulgaris. Lebih jauh lagi belum ada penelitian yang menilai tentang korelasi antara

kadar IGF-1 dalam serum dan derajat keparahan akne vulgaris.

Universitas Sumatera Utara

B. Rumusan masalah

Apakah ada hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dan derajat keparahan akne

vulgaris ?

C. Hipotesis

Semakin tinggi kadar IGF-1 dalam serum maka semakin berat derajat keparahan akne

vulgaris.

D. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne

vulgaris dan derajat keparahan akne vulgaris.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris dan individu

normal.

b. Mengetahui derajat keparahan penyakit pada pasien akne vulgaris berdasarkan

kriteria Lehmann.

c. Mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dan derajat keparahan

akne vulgaris.

d. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris derajat ringan,

sedang, dan berat.

e. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum berdasarkan jenis kelamin.

f. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum berdasarkan umur.

Universitas Sumatera Utara

E. Manfaat penelitian

1. Membuka wawasan mengenai patogenesis akne vulgaris terutama dalam kaitannya

dengan kadar IGF-1 dalam serum.

2. Sebagai dasar untuk mencari alternatif pengobatan terhadap akne vulgaris dikaitkan

dengan IGF-1 dalam serum.

3. Sebagai data bagi penelitian selanjutnya dalam hal evaluasi peranan IGF-1 dalam

serum dengan patogenesis akne vulgaris.

F. Kerangka teori

Akne vulgaris

Propionibacterium

acnes ↑

Hiperproliferasi

keratinosit

Produksi

sebum ↑ IGF-1 ↑

Hepar

Hipofisis anterior Growth hormone

(GH)

Androgen ↑

Inflamasi

Universitas Sumatera Utara

G. Kerangka konsep

1. Derajat ringan

2. Derajat sedang

3. Derajat berat IGF-1

Akne

vulgaris

Universitas Sumatera Utara

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Akne vulgaris

1. Pendahuluan

Akne vulgaris merupakan kelainan dari struktur pilosebasea yang biasanya dapat

sembuh sendiri dan sering dialami pada masa remaja. Kebanyakan akne vulgaris muncul

dalam bentuk lesi yang bervariasi meliputi komedo, papul, pustul dan nodul. Sering kali

meskipun akne vulgaris dapat sembuh sendiri, namun perjalanan penyakitnya akan

menimbulkan jaringan parut pada wajah.1

Hampir 30% pasien akne vulgaris harus berobat ke dokter untuk mendapatkan

pengobatan sehubungan dengan keparahan akne vulgaris yang dialaminya dan 2-7%

diantaranya akne vulgaris yang mengalami jaringan parut menetap.13

2. Epidemiologi

Prevalensi akne vulgaris lebih sering didapati pada usia pubertas. Akne vulgaris

sendiri merupakan salah satu manifestasi/tanda-tanda memulai masa pubertas. Pada wanita

remaja, munculnya akne vulgaris biasanya terjadi 1 tahun mendahului menarche dan

prevalensinya akan cenderung meningkat seiring pertambahan usia menjadi remaja akhir.

Selanjutnya saat memasuki dewasa, prevalensi akne vulgaris akan semakin menurun.

Namun demikian pada wanita kejadian akne vulgaris dapat terus berlanjut hingga usia

dekade ketiga atau lebih lama lagi. Pada usia 45 tahun ditemukan prevalensi akne vulgaris

sekitar 5%. Akne vulgaris nodulokistik dilaporkan lebih sering terjadi pada pria kulit putih

dibandingkan kulit hitam dan cenderung lebih berat pada pasien dengan genotipe XYY.14,15

Akne vulgaris merupakan penyakit yang mempunyai prevalensi tinggi. Pada wanita

Kaukasia berumur 12-25 tahun, prevalensi akne vulgaris berkisar 75-85%. Suatu penelitian

Universitas Sumatera Utara

di Singapura pada populasi penduduk Asia dilaporkan bahwa pada remaja usia 13-19 tahun

bahwa hampir 88% diantaranya mengalami akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 51,4%

diklasifikasikan sebagai akne vulgaris ringan, 40% akne vulgaris derajat sedang dan 8,6%

akne vulgaris derajat berat.16

Akne vulgaris merupakan penyakit dermatologi dengan angka diagnosis tertinggi di

Amerika Serikat (AS), dengan 10,2 juta kasus baru didiagnosis setiap tahunnya dan angka

tersebut merupakan 25,4% dari keseluruhan diagnosis penyakit kulit di AS.17

Pada tahun 1996-1998, survei di AS menunjukkan bahwa didapati 6,5 juta penulisan

resep baru untuk kasus akne vulgaris dengan nilai totalnya mencapai 1 miliar dolar US.

Secara global, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akne vulgaris, baik sistemik atau

topikal mencapai 12,6% dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk kasus

dermatologi.13

Di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam

medis selama periode Januari 2008 – Desember 2008, dari total 5.573 pasien yang berobat

ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 107 pasien (1,91%) diantaranya

merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 8,41% berusia

0-12 tahun, 90,6% berusia 13-40 tahun dan hanya 0,93% yang berusia 41-65 tahun. Hal ini

menggambarkan bahwa pasien akne vulgaris yang terbanyak adalah usia remaja dan dewasa

muda.

3. Biologi kelenjar sebasea

Kelenjar sebasea merupakan kelenjar holokrin dan sekresinya terjadi akibat

desintegrasi komplit dari kelenjar glandular. Fungsi utama dari kelenjar sebasea adalah

memproduksi sebum dan peningkatan ekskresi sebum merupakan salah satu keadaan yang

terjadi pada akne vulgaris.18

Universitas Sumatera Utara

Telah diketahui luas bahwa kelenjar sebasea manusia mengekspresikan beberapa

macam reseptor neuropeptida biologis. Neuropeptida merupakan suatu kelompok peptida

aktif biologis yang muncul secara alami di sistem saraf baik sistem saraf pusat atau sistem

saraf perifer. Reseptor neuropeptida yang diekspresikan sebasea antara lain adalah

Corticotropin Releasing Hormone (CRH), melanocortin, β endorphine, vasoaktif intestinal

polipeptida, Neuropeptide Y (NPY) dan calcitonin gene-related peptide. Reseptor-reseptor

ini memodulasi produksi berbagai sitokin inflamasi, proliferasi, diferensiasi, lipogenesis dan

metabolisme androgen pada sebosit.19

Kelenjar sebasea terdiri dari dua sel penting yaitu keratinosit dan sebosit. Kedua

jenis sel ini mempunyai peranan dalam sistem imun. Propionibacterium acnes dapat

merubah ekspresi keratinosit dan sebosit melalui Toll Like Receptor-3 (TLR3), Cluster of

Differentiation-14 (CD14) dan molekul CD1, serta dapat mengenali produksi sebum/lipid

yang berlebih oleh kelenjar sebasea dan diikuti dengan produksi sitokin-sitokin inflamasi ke

daerah tersebut.9

4. Patogenesis akne vulgaris

Terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis akne vulgaris, namun

secara umum ada 4 mekanisme utama yang mempunyai peran terbesar yaitu (1)

hiperproliferasi folikuler epidermal, (2) produksi sebum yang berlebihan, (3) proses

inflamasi dan (4) aktivitas dari P. acnes.1

Hiperproliferasi folikuler epidermal mengakibatkan terbentuknya lesi primer akne

vulgaris yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut bagian atas akan menjadi hiperkeratotik

dan mengalami peningkatan kemampuan kohesi antar keratinosit. Jumlah sel yang

berlebihan disertai dengan pembentukan sekret-sekret akan mengakibatkan penyumbatan di

ostium folikuler. Sumbatan ini akan mengakibatkan penumpukan keratin, sebum dan bakteri

Universitas Sumatera Utara

di dalam folikel. Stimulus terhadap hiperproliferasi keratinosit mencakup pengaruh hormon

androgen, penurunan kadar asam linoleat, dan peningkatan aktivitas IL-1.20

Dihidrotestosterone (DHT) adalah androgen yang paling poten dalam merangsang

hiperproliferasi keratinosit. Dihidrotestosterone merupakan hasil konversi dari

dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) yang diperantarai oleh kerja enzim 17β-

hydroxysteroid dehydrogenase dan 5α-reductase. Peranan regulator lain dalam proses

proliferasi keratinosit adalah asam linoleat. Asam linoleat adalah suatu asam lemak esensial

yang jumlahnya diketahui lebih sedikit di kulit pasien akne vulgaris. Jumlah dari asam

linoleat akan dapat dinormalkan melalui terapi isotretinoin. Kadar asam linoleat yang

rendah dapat merangsang hiperproliferasi keratinosit folikuler dan menghasilkan sitokin

proinflamasi. Kadar asam linoleat di kulit dilaporkan akan semakin berkurang bila didapati

peningkatan produksi sebum. Peran mediator lain yang telah cukup banyak diteliti adalah

peranan mediator inflamasi IL-1 yang dapat merangsang hiperproliferasi keratinosit

folikuler dan pembentukan mikrokomedo.19

Proses kedua yang memegang peranan kunci dalam patogenesis akne vulgaris

adalah produksi sebum oleh kelenjar sebasea yang berlebihan. Pasien akne vulgaris terbukti

mempunyai laju eksresi sebum yang lebih besar dibandingkan orang normal, walaupun

kualitas dari sebumnya sendiri adalah sama. Salah satu materi penyusun sebum yaitu

trigliserida yang akan mengalami konversi menjadi asam lemak bebas oleh P.acnes di

dalam unit kelenjar sebasea. Asam lemak bebas ini akan mengakibatkan peningkatan

kolonisasi P.acnes, memperberat inflamasi dan bersifat komedogenik.1,20

Hormon androgen selain berperan besar dalam memicu hiperproliferasi keratinosit

folikuler, juga mempunyai pengaruh penting terhadap aktivitas sel sebosit dalam

memproduksi sebum. Sedangkan peranan estrogen sendiri sampai saat ini masih belum

begitu jelas. Setidaknya ada 3 peranan estrogen dalam proses pembentukan sebum yaitu

(1) secara langsung bersifat inhibisi terhadap kerja androgen di kelenjar sebasea, (2) inhibisi

Universitas Sumatera Utara

produksi androgen oleh jaringan gonad melalui efek ’negative feed back mechanism’

terhadap produksi Gonadotropin Releasing oleh hipofisis dan (3) mengatur kerja gen-gen

yang menekan produksi dan pertumbuhan kelenjar sebasea.1

Androgen yang terpenting dalam stimulasi produksi sebum adalah testosteron dan

akan dirubah menjadi bentuk aktif yaitu 5α-DHT oleh enzim type I-5α reductase. Adanya

korelasi antara peningkatan produksi sebum dengan munculnya akne vulgaris sudah umum

diketahui dan hal ini menjelaskan mengapa akne vulgaris biasanya muncul bersamaan

dengan saat memasuki usia pubertas. Peningkatan produksi sebum dapat terjadi secara

primer akibat peningkatan kadar androgen, atau akibat peningkatan respon sebosit terhadap

rangsangan androgen atau akibat peningkatan aktivitas enzim type I-5α reductase.20

Akne vulgaris terjadi akibat hiperproliferasi dan diferensiasi sebosit, yang muncul di

bawah pengaruh androgen. Hal ini terjadi dengan perantaraan reseptor Peroxisome

Proliferator Activated Receptor (PPAR), suatu molekul yang berperan dalam hal

lipogenesis. Reseptor PPAR akan memicu lipogenesis pada sel sebosit yang matur dalam

rangka memproduksi sebum.20

Growth Hormone diketahui juga mempunyai peranan besar dalam produksi sebum

oleh kelenjar sebasea. Growth Hormone diproduksi di kelenjar hipofisis dan bekerja sama

memproduksi IGF atau somatomedin. Insulin-like Growth Factor sendiri mempunyai dua

bentuk yaitu IGF-1 (lebih besar jumlah dan fungsinya) dan IGF-2. Diduga kuat, ada peranan

IGF-1 dalam serum dengan patogenesis akne vulgaris.21

Apabila hiperproliferasi keratinosit dan produksi sebum yang berlebihan berlanjut,

maka akan terjadi penumpukan mikrokomedo, yang berujung pada terjadinya ruptur dari

dinding folikuler. Ruptur ini dalam waktu singkat akan memicu reaksi inflamasi yang

diperantarai oleh limfosit CD4+ dan CD8

+. Selanjutnya akibat pelepasan dari mediator-

mediator inflamasi oleh limfosit CD4+ dan CD8

+, akan terjadi penumpukan neutrofil di

sekitar komedo yang mengalami sumbatan.1,21

Universitas Sumatera Utara

Satu sampai dua hari setelah ruptur, maka akan terjadi pergerakan neutrofil menuju

ke tempat inflamasi dan pada akhirnya semakin memperberat inflamasi yang telah terjadi.

Dahulu diduga bahwa inflamasi terjadi sebagai akibat terjadinya pembentukan dan ruptur

komedo. Tetapi fakta terbaru menunjukkan bahwa inflamasi pada unit pilosebasea telah ada

sebelum terjadinya ruptur komedo. Hal ini dibuktikan dengan telah ditentukannya tanda-

tanda inflamasi pada biopsi kulit normal pada wajah dan akan semakin menunjukkan

pemberatan inflamasi pada saat biopsi dilakukan dengan kondisi komedo sudah

terbentuk.1,21

Proses tersebut akan semakin diperberat dengan munculnya faktor keempat dalam

patogenesis akne vulgaris, yaitu P.acnes. Propionibacterium acnes akan mengakibatkan

semakin hebatnya reaksi inflamasi dalam kelenjar pilosebasea sehingga akne vulgaris akan

dipenuhi oleh sel-sel lekosit polimorfonuklear (PMN) dan pelepasan sitokin-sitokin

proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan Tumor Necrotizing Factor-α (TNF-α).2

Propionibacterium acnes merupakan jenis bakteri gram positif, anaerob dan

mikroaerobik yang dijumpai pada folikel kelenjar sebasea. Populasi pasien akne vulgaris

dewasa mempunyai pertumbuhan P.acnes lebih besar pada kelenjar pilosebasea

dibandingkan dengan populasi normal. Namun belum dijumpai adanya hubungan antara

derajat keparahan akne vulgaris dengan progresifitas kolonisasi P.acnes pada kelenjar

pilosebasea.22

Dinding sel P.acnes mengandung antigen karbohidrat yang menstimulasi

pembentukan antibodi. Pasien-pasien akne vulgaris berat mempunyai kadar antibodi

terhadap P. acnes yang lebih tinggi dibandingkan dengan derajat keparahan ringan ataupun

sedang. Antibodi terhadap P.acnes akan memicu respon inflamasi dengan mengaktivasi

sistem komplemen dan proses kaskade reaksi inflamasi. Propionibacterium acnes juga

mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan

memproduksi lipase, protease, hialuronidase dan faktor-faktor kemotaktik lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Propionibacterium acnes mempunyai kemampuan tambahan untuk meningkatkan produksi

sitokin proinflamasi dengan berikatan dengan TLR2 pada monosit dan pada PMN di sekitar

folikel sebasea. Setelah berikatan dengan TLR2, maka akan dilepaskan sitokin-sitokin

proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan TNF-α.1,21,22

Keempat faktor yang menjadi mekanisme terjadi akne vulgaris tersebut berlangsung

melalui tahapan-tahapan yang bisa terjadi secara simultan ataupun bertahap. Semua jenis

pengobatan pada penyakit akne vulgaris mempunyai target pada keempat mekanisme

tersebut di atas. Dengan mengetahui keempat dan elemen patogenesis pada akne vulgaris,

maka upaya-upaya pengobatan terhadap akne vulgaris akan semakin terarah dan

menyeluruh.

5. Diagnosis akne vulgaris

a. Anamnesis penyakit

Kebanyakan pasien akne vulgaris mengalami penyakit dengan derajat keparahan

terberat pada saat masa pubertas, walaupun pada beberapa kasus dapat dijumpai akne

vulgaris yang terjadi mulai masa infantil atau neonatus. Akne neonatus terjadi pada saat

usia bayi sekitar 2 minggu sedangkan akne infantil terjadi pada saat umur 3-6 bulan.

Biasanya akne vulgaris mempunyai onset dan perjalanan klinis yang bertahap, sehingga

bila dijumpai kasus akne vulgaris dengan onset dan perjalanan klinis yang tiba-tiba akut

maka perlu diperhatikan akan adanya faktor pencetus lain.1,23

Hiperandrogenisme merupakan faktor pencetus lain yang perlu diperhatikan pada

akne vulgaris pasien perempuan yang mempunyai onset cepat, mempunyai hubungan

dengan hirsutisme atau mempunyai siklus menstruasi yang ireguler. Pasien harus

ditanyakan tentang progresifitas akne vulgaris yang dialaminya dikaitkan dengan siklus

menstruasinya. Pada pasien dengan hiperandrogenisme juga didapati adanya tanda suara

yang memberat, peningkatan libido dan hirsutisme. Penting juga ditanyakan tentang

Universitas Sumatera Utara

riwayat pemakaian obat-obatan seperti steroid, fenitoin, litium, isoniazid, vitamin B dan

beberapa jenis kemoterapi tertentu.24

b. Gambaran klinis

Lokasi primer akne vulgaris adalah daerah wajah, dan juga dapat dijumpai pada

leher, punggung dan bahu dengan frekuensi yang lebih sedikit. Jenis lesi akne vulgaris

dapat beraneka macam meskipun pasti didapati adanya predominan dari satu macam lesi.

Lesi dapat mengalami keadaan inflamasi atau non inflamasi.1

Lesi yang bersifat non inflamasi adalah komedo yang dapat berbentuk terbuka

(blackhead) ataupun tertutup (whitehead). Cara tambahan untuk membedakannya adalah

dengan menggores permukaan kulit untuk membedakan warnanya.25

Komedo merupakan gambaran lesi kulit akibat perubahan patologis dalam

kandungan duktus pilosebasea. Komedo terbuka secara klinis diamati sebagai gambaran

lesi yang jelas, berdiameter 0,1-3 mm dan biasanya membutuhkan waktu beberapa

minggu atau lebih untuk berkembang. Warna hitam pada ujung komedo terbuka selama

ini diduga terjadi akibat proses oksidasi permukaan. Namun teori terbaru juga

menyebutkan proses tersebut terjadi sehubungan faktor melanin.25

Komedo tertutup menggambarkan duktus pilosebasea yang tertutup oleh materi

duktal sehingga saluran keluarnya sulit dilihat dengan mata telanjang, lesi biasanya kecil,

berukuran 0,1-3 mm. Pada lesi komedo tertutup yang klasik, 25% akan hilang dalam

waktu 3-4 hari dan 75% akan berkembang menjadi lesi inflamasi.25

Lesi yang mengalami inflamasi dapat bervariasi mulai dari papul kecil dengan batas

kemerahan sampai dengan nodul yang besar, fluktuatif dan nyeri. Beberapa penulis

memakai istilah kista atau nodulokistik untuk menggambarkan lesi inflamasi pada akne

vulgaris. Papul adalah lesi inflamasi yang bervariasi dalam hal ukuran dan

kekenyalannya. Lima puluh persen papul muncul dari kulit yang kelihatan normal yang

mungkin merupakan lokasi dari suatu mikrokomedo, 25% dari komedo putih dan 25%

Universitas Sumatera Utara

sisanya dari komedo hitam. Ada 2 jenis papul yaitu papul aktif dan papul yang kurang

aktif. Papul yang kurang aktif, kurang merah dan lebih kecil dibandingkan papul yang

aktif. Pada papul aktif, ukurannya dapat mencapai 4 mm dan bertahan lebih lama.25

Bentuk lesi inflamasi lain adalah pustul. Pustul dapat superfisial ataupun dalam.

Pustul biasanya dilihat lebih jarang dibandingkan papul. Hal ini mungkin dikarenakan

pustul bertahan lebih singkat daripada papul yaitu hanya sekitar 5 hari. Mungkin hal ini

terjadi oleh karena pustul lebih banyak mengandung PMN, sedangkan papul cenderung

lebih banyak mengandung limfosit. Enzim lisosomal pada PMN dapat menghilangkan

gejala inflamasi pada pustul lebih cepat dibandingkan pada papul.26

Bentuk nodul merupakan bentuk lesi inflamasi yang berstruktur “deep seated” dan

cenderung bertahan selama 8 minggu sebelum akhirnya hilang. Sebagian diantaranya

tidak mengadakan resolusi sempurna melainkan membentuk jaringan parut.23

Bentuk lesi lain yang didapati dapat berupa lesi jaringan parut yang merupakan

komplikasi akibat akne vulgaris yang mengalami inflamasi atau non inflamasi. Secara

umum ada 4 tipe jaringan parut akne vulgaris yaitu ice pick, rolling, box scar dan

hipertropik.26

Akne vulgaris biasanya mempunyai tampilan sebagai lesi kulit yang terisolasi di

daerah wajah, leher, bahu dan punggung. Akan tetapi pada kasus-kasus akne vulgaris

dengan faktor penyebab hiperandrogenisme dapat dijumpai hirsutisme, precocious

puberty dan tanda lain hiperandrogenisme.26

6. Derajat keparahan

Sampai saat ini belum ada suatu penilaian sistematik yang baku mengenai derajat

keparahan akne vulgaris. Akne vulgaris merupakan suatu kelainan pleomorfik dengan

perjalanan klinis dan distribusi anatomi yang bervariasi. Suatu sistem penilaian akne

vulgaris yang ideal haruslah : (1) akurat dan dapat diulang (reproducible), (2) sederhana,

Universitas Sumatera Utara

mudah digunakan oleh para klinisi pada setiap kunjungan, (3) menghilangkan sifat

perhitungan lesi yang membosankan dan mahalnya biaya fotografi, (4) menggambarkan

kriteria subjektif, misalnya faktor-faktor psikososial.26,27

Beberapa peneliti telah mengemukakan berbagai sistem klasifikasi untuk menilai

derajat keparahan akne vulgaris, antara lain Pillsburry, Shelley dan Kligman pada tahun

1956, James dan Tisserand tahun 1958, Witkowski dan Simons tahun 1966, Plewig dan

Kligman tahun 1975, Michaelson, Juhlin dan Vahlquist tahun 1977, Cook, Centner dan

Michaels tahun 1979 (Cook’s photonumeric method), Allen dan Smith tahun 1982 (Allen

and Smith’s photonumeric system), Burke, Cunliffe dan Gibson tahun 1984 (Cunliffe

score/Leeds technique), American Academy of Dermatology classification tahun 1991, dan

Lucky dkk. tahun 1996.26

Lehmann dkk (2002) memperkenalkan suatu sistem penilaian derajat keparahan

akne vulgaris yang dikenal sebagai Combined Acne Severity Classification. Sistem ini

mempunyai beberapa keunggulan yaitu akurat, sederhana, waktu pemeriksaan singkat, tidak

membutuhkan alat khusus, tidak membutuhkan fotografi, dan dapat dipergunakan pada kulit

gelap.28

Metode ini menghitung seberapa banyak lesi komedo, lesi inflamasi, kista dan total

dari keseluruhan lesi yang terdapat pada daerah wajah. Penilaian derajat keparahan akne

vulgaris adalah ringan bila dijumpai kurang dari 20 komedo atau 15 lesi inflamasi atau total

keseluruhan lesi kurang dari 30, sedang bila dijumpai 20-100 komedo atau 15-50 lesi

inflamasi atau total keseluruhan lesi 30-125, berat bila dijumpai lebih dari 5 kista atau lebih

dari 100 komedo atau lebih dari 50 lesi inflamasi atau total keseluruhan lesi lebih dari 125.28

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Combined Acne Severity Classification menurut Lehmann

Ringan

Komedo < 20, atau lesi inflamasi 15, atau jumlah total

lesi < 30

Sedang

Komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-50, atau jumlah

total lesi 30-125

Berat

Kista > 5 , atau jumlah total komedo > 100, atau lesi

inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125

* dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 28

7. Diagnosis banding

Meskipun pada pasien dengan akne vulgaris dapat ditemukan satu macam lesi yang

dominan, namun seringkali dijumpai adanya kumpulan macam jenis lesi akne vulgaris pada

satu pasien seperti komedo, pustul, papul atau nodul di wajah, leher, dada ataupun

punggung. Diagnosis akne vulgaris biasanya cukup mudah, namun kadang sering salah

didiagnosis dengan folikulitis, rosasea, atau dermatitis perioral. Penyakit-penyakit ini

umumnya tidak memiliki komedo.1 Selain itu ada beberapa diagnosis banding akne vulgaris

yang lain, seperti milia, akne varioliformis, adenoma sebasea, siringoma dan dermatitis

kontak.29

B. Insulin-like Growth Factor -1 (IGF-1)

1. Definisi

Insulin-like Growth Factor-1 merupakan suatu polipeptida alamiah pada tubuh

manusia yang mempunyai kemiripan dengan insulin. Insulin-like Growth Factor-1 terdiri

dari suatu rantai polipeptida tunggal yang mempunyai 3 rantai disulfida sebagai jembatan

antar molekul. Insulin-like Growth Factor-1 terdiri dari 70 residu asam amino dengan berat

Universitas Sumatera Utara

molekul 7.649 Dalton. Insulin-like Growth Factor-1 sendiri merupakan bagian dari suatu

kompleks sistem yang disebut sebagai IGF axis. 30

2. Fisiologi IGF-1

Pada manusia, kadar IGF-1 tidak terdeteksi saat neonatus. Kemudian akan mulai

terdeteksi pada masa kanak-kanak dan meningkat mencapai puncaknya yaitu pada saat

pubertas dan bertahan sampai usia dekade 3 dan 4, lalu menurun perlahan-lahan. Kadar

normal IGF-1 dalam serum merupakan penanda bahwa kadar GH dalam darah adalah

normal dan sebaliknya.31

Insulin-like Growth Factor-1 diproduksi di hepar dengan regulasi oleh GH. Growth

Hormone menstimulasi sintesis IGF-1 di hepar dan juga sebaliknya kadar IGF-1 akan

memerlukan respon balik terhadap produksi GH di hipofisis. Beberapa penelitian

menunjukkan adanya korelasi antara kadar IGF-1 dengan kadar insulin darah. Pada pasien

Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dijumpai defisiensi absolut insulin juga didapati adanya

penurunan kadar IGF-1 dalam serum. Demikian juga pada saat puasa, kadar IGF-1 dalam

serum juga didapatkan lebih rendah dibandingkan tidak puasa.32

Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai persamaan urutan yang homolog sebanyak

45% dengan rantai A dan B dari hormon insulin yang memunculkan timbulnya suatu

dugaan bahwa IGF-1 dan insulin mungkin berasal dari gen prekursor yang sama.30

Kerja IGF-1 pada tingkat seluler diperantarai oleh reseptor IGF-1 yang homolog

dengan reseptor insulin pada unit struktur α2β2 heterotetrametrik dan mengandung suatu

tirosin kinase pada bagian intraseluler subunit β. Oleh karena kemiripannya dengan insulin,

baik ligan maupun reseptornya, maka tidak heran bila insulin dan IGF-1 dapat saling

bereaksi silang dengan reseptornya yang berbeda walaupun afinitas ikatan akan berkurang

sebanyak 10-100 kali dibandingkan bila berikatan dengan reseptor aslinya. Pada keadaan

akut, IGF-1 dapat mensupresi produksi insulin dan glukagon pada tubuh manusia.30

Universitas Sumatera Utara

3. Axis IGF/GH

Axis IGF sering juga disebut sebagai axis IGF/GH. Diketahui bahwa IGF diproduksi

di hepar oleh regulasi stimulasi GH. Insulin-like Growth Factor axis merupakan suatu

kompleks sistem yang memungkinkan interaksi sinyal antara sel dengan lingkungan

fisiologisnya. Kompleks sistem IGF axis terdiri dari 2 reseptor permukaan sel Insulin-like

Growth Factor Receptor (IGF1R dan IGF2R), dua ligan yaitu IGF-1 dan IGF-2, suatu

kelompok protein pengikat IGF yaitu Insulin-like Growth Factor Binding Protein ( IGFBP1

sampai dengan IGFBP6) serta enzim pendegradasi IGFBP yang tergolong sebagai

protease.30

Insulin-like Growth Factor-1 berperan penting dalam hal merangsang proliferasi sel

dan inhibisi apoptosis. Hal ini mempengaruhi regulasi dari pertumbuhan fisiologis tubuh

maupun pertumbuhan patologis seperti kanker. Insulin-like Growth Factor-2 merupakan

bagian dari axis IGF/GH. Insulin-like Growth Factor-2 mempunyai peranan sebagai faktor

pertumbuhan pada masa fetal menunggu maksimalnya produksi IGF-1. Beberapa faktor lain

yang terlibat dalam aksi ini adalah GH, faktor genetik, umur, level stres, kadar nutrisi, ras,

status estrogen dan variasi waktu harian.30

4. Peran fisiologis IGF-1

Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan penting yang luas dalam

mengatur fungsi-fungsi di dalam tubuh manusia. Penelitian terhadap hewan percobaan

menunjukkan bahwa pada gen tikus penghasil IGF-1 yang di ”knock out” akan

menunjukkan pertumbuhan mental retardasi dan angka harapan hidup yang rendah.31

Peranan IGF-1 secara garis besar adalah merangsang proliferasi pertumbuhan sel,

anabolik protein, inhibisi apoptosis, menurunkan kadar GH dan hormon insulin. Peranan ini

akan terhambat atau berkurang bila IGF-1 berada dalam ikatan dengan IGFBP-3 dan

sebaliknya akan meningkat bila berada dalam ikatan dengan IGFBP-1 dan IGFBP-2.33

Universitas Sumatera Utara

Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan dalam hal induksi progresi

sintesis dan mitosis sel. Secara bersamaan, IGF dapat berfungsi sebagai faktor penolong

dalam hal mengurangi apoptosis pada berbagai sel. Regulasi anti apoptosis IGF-1 ini

dimediasi oleh jalur phospotidilinositol-3 kinase. Insulin-like Growth Factor-1 juga

mempunyai peranan dalam hal menguatkan proses diferensiasi dan proliferasi.8

Hampir semua sel di tubuh manusia dipengaruhi oleh kerja IGF-1, khususnya di otot,

tulang rawan, tulang, liver, ginjal, saraf, kulit dan paru-paru. Beberapa studi terbaru

menunjukkan pula adanya kaitan IGF-1 dengan proses penuaan. Selain itu juga ditemukan

adanya korelasi antara IGF-1 dengan proses kanker pada kolon, prostat dan payudara.

Namun bagaimana hubungan itu terjadi masih belum diketahui secara pasti.7

C. Hubungan antara akne vulgaris dengan IGF-1

Growth Hormone diketahui mempunyai pengaruh dalam produksi sebum oleh

sebosit. Growth Hormone dibentuk di kelenjar hipofisis dan akan mempengaruhi produksi

IGF-1 dan IGF-2. Insulin-like Growth Factor-1 terutama disintesis di hepar dan

mempengaruhi hampir semua sel di tubuh manusia. Insulin-like Growth Factor-2 di

produksi di otak, ginjal, pankreas dan otot. Dalam kaitannya dengan akne vulgaris, IGF-1

mempunyai peranan besar dalam proses patogenesisnya.2,9

Akne vulgaris mempunyai prevalensi paling tinggi pada masa remaja, bersamaan

dengan waktu produksi GH dan kadar IGF-1 dalam serum paling tinggi sepanjang usia

hidup manusia. Dan kemudian, sesudah masa remaja prevalensi akne vulgaris akan semakin

berkurang seiring juga dengan penurunan kadar IGF-1 dalam serum. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa pada pasien akromegali didapati peningkatan laju ekskresi sebum

dibandingkan orang normal. Selain itu, penelitian di bidang endokrinologi menunjukkan

bahwa laju ekskresi sebum dapat digunakan sebagai prediktor klinis terhadap pasien

akromegali.4

Universitas Sumatera Utara

Vora dkk (2008), menemukan adanya korelasi antara produksi sebum wajah dengan

kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris. Penelitian ini didasarkan atas beberapa

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iozawa dkk (1995) dan Deplewski (2005) yang

menunjukkan bahwa adanya perbedaan bermakna kadar IGF-1 dalam serum pada pasien

akne vulgaris wanita remaja dibandingkan dengan orang normal.11,12

Banyak hipotesis telah dibuat untuk mencoba menerangkan bagaimana

sesungguhnya efek IGF-1 dalam serum terhadap produksi sebum oleh sel sebosit di kelenjar

sebasea. Penelitian paling awal untuk hal ini dilakukan dengan memakai bahan percobaan

pada sel prepusium tikus yang diketahui mempunyai struktur dan fungsi yang sama dengan

sel sebosit pada kelenjar sebasea dermis. Ebling dkk (1975) mendapatkan fakta dalam

penelitiannya bahwa tikus yang mengalami penurunan fungsi kelenjar hipofisis akan

mengalami penurunan secara bermakna pada berat kelenjar prepusium.

Selanjutnya

Deplewski (1998) melakukan percobaan lanjutan dengan memberikan IGF-1 dalam serum

rekombinan pada kultur sel prepusium tikus secara in vitro. Didapati bahwa IGF-1 dalam

serum mempunyai efek mitogenik yang kuat pada sel prepusium melalui kerja pada level

DNA. IGF-1 dalam serum mengakibatkan peningkatan laju pertumbuhan dan diferensiasi

dari kelenjar sebosit.6

Smith (2006) mencoba untuk mengetahui secara detail pada tingkat biomolekuler

tentang bagaimana sebenarnya kerja IGF-1 dalam serum pada sebosit dalam menginduksi

produksi sebum. Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum ternyata bekerja dengan

meningkatkan ekspresi dari Sterol Response Element Binding Protein –1 (SREBP-1) pada

inti sel sebosit. Sterol Response Element Binding Protein-1 merupakan suatu nuclear

transcription factors yang bekerja mengatur ekspresi dari berbagai gen yang terlibat dalam

biosintesa lipid.7,8

Antara androgen dan IGF-1 sendiri ternyata mempunyai efek timbal balik yang

saling mempengaruhi. Peningkatan kadar androgen serum kelihatannya mempunyai

Universitas Sumatera Utara

hubungan dengan peningkatan kadar IGF-1 dalam serum. Sebagai contoh, pada wanita

menopause yang kemudian diberikan suntikan DHEA-S, akan didapati peningkatan kadar

IGF-1 dalam serum. Diduga bahwa androgen serum sendiri merupakan salah satu faktor

yang dapat menstimulasi pembentukan IGF-1. Sebaliknya, IGF-1 dalam serum dapat

menstimulasi pembentukan DHEA-S oleh kelenjar adrenal. Hal ini terjadi karena IGF-1

dalam serum dapat mempengaruhi ekspresi dari beberapa enzim yang berperan dalam

sintesis DHEA-S dari bahan kolesterol. Insulin-like Growth Factor-1 juga dapat

menginduksi kerja 5α-reductase pada kulit manusia yang mengakibatkan peningkatan

konversi dari testosteron menjadi DHT.12

Universitas Sumatera Utara

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional study) yang bersifat

analitik.

B. Waktu dan tempat penelitian

1. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2010 – Juni 2010 bertempat di Poliklinik

Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H.

Adam Malik Medan.

2. Pengambilan sampel darah dilakukan di Poliklinik Sub bagian Kosmetik

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan,

untuk selanjutnya akan dikirim ke Laboratorium Klinik Prodia Jl. Letjend. S.

Parman No. 17/223 G Medan. Sampel darah kemudian akan dikirim lagi ke

Laboratorium Klinik Prodia Pusat yang berlokasi di Jl. Kramat Raya No. 150 Jakarta,

untuk pemeriksaan kadar IGF-1.

C. Populasi penelitian

1. Populasi

Pasien yang menderita akne vulgaris.

2. Populasi terjangkau

Pasien yang menderita akne vulgaris, yang berobat ke Poliklinik Sub bagian

Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik

Medan pada bulan Januari 2010 – Juni 2010.

Universitas Sumatera Utara

3. Sampel

Pasien yang menderita akne vulgaris yang berobat ke Poliklinik Sub bagian

Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik

Medan pada bulan Januari 2010 – Juni 2010 yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi.

D. Besar sampel

Rumus34

: n = Jumlah sampel = 2 (zα+zβ)xSD 2

d

n1 = n2 = n3

n1 = Jumlah sampel pasien akne vulgaris

derajat ringan.

n2 = Jumlah sampel pasien akne vulgaris

derajat sedang.

n3 = Jumlah sampel pasien akne vulgaris

derajat berat.

zα = Tingkat kepercayaan 95 % = 1,64

zβ = Power penelitian = 0,842

SD = Standar deviasi = 14,5

d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki =20

Maka :

n = 2 (1,64 + 0,842)x14,5 2 = 6,40 ∼ 7 orang

20

Sampel untuk kelompok derajat keparahan akne vulgaris dan kelompok kontrol masing-

masing adalah 21 orang, sehingga total keseluruhan sampel adalah 42 orang.

Universitas Sumatera Utara

E. Cara pengambilan sampel penelitian

Cara pemilihan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling.

F. Identifikasi variabel

Variabel bebas : Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) dalam serum.

Variabel terikat : Akne vulgaris.

Variabel kendali : Teknik pemeriksaan IGF-1 dalam serum.

G. Kriteria inklusi dan eksklusi

1. Kelompok pasien akne vulgaris

a. Kriteria inklusi :

1). Pasien yang menderita akne vulgaris.

2). Usia pasien 12-34 tahun.

3). Pasien yang tidak mendapat pengobatan antibiotika topikal (eritromisin,

klindamisin), benzoil peroksida dan atau antibiotika oral (tetrasiklin,

klindamisin, eritromisin, doksisiklin, minosiklin) dalam waktu 2 bulan

sebelum datang berobat ke Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan.12

4). Tidak mendapatkan pengobatan untuk akne vulgaris berupa asam retinoat

oral atau topikal maupun obat hormonal dalam waktu 1 bulan, sebelum

berobat ke Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan

Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan.12

5). Tidak mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menyebabkan eksaserbasi akne

vulgaris baik berupa obat kortikosteroid topikal atau oral, maupun obat oral

lainnya seperti antiepilepsi (karbamazepin, fenitoin, gabapentin, topiramat),

antidepresan (litium, sertralin), antipsikosis (pimozid, riperidon),

Universitas Sumatera Utara

antituberkulosis (isoniazid, pirazinamid), antineoplastik (daktinomisin),

antiviral (ritonavir, gansiklovir), antagonis kalsium (nimodipin), halogenik

(natrium flourida, kalium iodida), vitamin (B12 dan kelompok vitamin B

lainnya), dan lain-lain (buserelin, kabergolin, klofazimin, dantrolen,

famotidin, folitropin alfa, isosorbid mononitrat, medroksiprogesteron,

mesalazin, ramipril) dalam waktu 1 bulan sebelum datang berobat.12

6). Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani inform consent

b. Kriteria eksklusi :

1). Pasien akne vulgaris wanita dengan siklus haid tidak teratur, perdarahan

melalui vagina yang tidak diketahui penyebabnya.

2). Pasien hirsutisme.

3). Pasien alopesia androgenetika.

4) Pasien akne vulgaris wanita yang sedang menstruasi, hamil, menyusui atau

sedang mengkonsumsi obat kontrasepsi oral, injeksi atau implan.

5). Perokok.

6). Pasien menderita penyakit hati.

7). Pasien menderita diabetes melitus.

2. Kelompok kontrol

Kelompok kontrol adalah pasien-pasien yang berobat ke Poliklinik Sub bagian

Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik

Medan atau keluarga pasien yang membawa pasien berobat, yang tidak menderita

akne vulgaris, dengan karakteristik yang sama dengan kelompok penderita akne

vulgaris serta bersedia untuk ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani

informed consent.

Universitas Sumatera Utara

H. Alat, bahan dan cara kerja

1. Alat

a. Mesin Immulite 2000®

untuk mengukur kadar IGF-1.

b. Untuk pengambilan masing-masing sampel darah :

1). Satu pasang sarung tangan.

2). Satu buah alat ikat pembendungan (torniquet).

3). Satu buah spuit disposable 3 cc.

4). Satu buah vacutainer (tabung pengumpul darah steril) 5 cc yang

mengandung heparin.

5). Satu buah plester luka.

c. Satu unit alat sentrifuge (alat pemusing untuk memisahkan serum).

d. Microtube (tabung mikro) 1 ml untuk menampung serum.

e. Satu buah freezer untuk menyimpan serum.

2. Bahan

a. Kapas alkohol 70%.

b. Dua ratus dua puluh lima mikroliter larutan pretreatment IGF-1 (LGFA) untuk

masing-masing sampel.

c. Dua puluh lima mikroliter serum darah kelompok pasien akne vulgaris dan kelompok

kontrol.

3. Cara kerja

a. Pasien didiagnosis akne vulgaris dan selanjutnya dilakukan penghitungan lesi untuk

menentukan derajat keparahan akne vulgaris menurut kriteria Lehmann oleh peneliti

dengan pengawasan dari pembimbing penelitian.

b. Kemudian petugas laboratorium memakai sarung tangan steril lalu kulit dibersihkan

di atas lokasi tusuk dengan alkohol 70% dan dibiarkan sampai kering. Lokasi

penusukan harus bebas dari luka dan bekas luka/sikatrik. Darah diambil dari vena

Universitas Sumatera Utara

mediana cubiti pada lipat siku. Ikatan pembendungan (torniquet) dipasang pada

lengan atas, pasien diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan berulang

kali agar vena terlihat jelas. Lokasi penusukan didesinfeksi dengan kapas alkohol

70% dengan cara berputar dari arah dalam keluar. Spuit disiapkan dengan

memeriksa jarum dan penutupnya. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan

posisi sudut 45 derajat dengan jarum menghadap ke atas. Darah dibiarkan mengalir

ke dalam jarum kemudian jarum diputar menghadap ke bawah. Agar aliran darah

bebas, pasien diminta untuk membuka kepalan tangannya dan darah dihisap

sebanyak 3 cc. Torniquet dilepas, lalu jarum ditarik dengan tetap menekan lubang

penusukan dengan kapas alkohol 70%. Selanjutnya tempat bekas penusukan ditekan

dengan kapas alkohol 70% sampai darah tidak keluar lagi. Kemudian bekas tusukan

ditutup dengan plester. Darah kemudian dimasukkan ke dalam vacutainer 5 cc.

Selanjutnya sampel darah segera dikirim ke Laboratorium Klinik Prodia Medan.

c. Di Laboratorium Klinik Prodia Medan, sampel darah pasien akne vulgaris dan

kontrol disentrifugasi menggunakan sentrifuge dengan kecepatan 2000 rotation per

minute (rpm) selama 10 menit untuk mendapatkan serum. Serum yang diperoleh

kemudian dimasukkan ke dalam microtube 1 cc untuk penyimpanan serum.

d. Setelah diperoleh serum, selanjutnya diambil 25 μl dari serum tersebut untuk

kemudian dilarutkan secara manual dengan larutan pretreatment IGF-1 yaitu LGFA

dengan perbandingan 1:10. Oleh karena itu, 25 μl sampel serum ditambahkan ke

dalam 225 μl LGFA.

e. Sampel serum pasien akne vulgaris dan kontrol kemudian disimpan dalam freezer

pada suhu -25oC yang akan stabil selama 12 bulan sebelum pemeriksaan. Hindari

kontaminasi dan pajanan langsung terhadap sinar matahari.

f. Sampel serum pasien akne vulgaris dan kontrol selanjutnya dikirim ke Laboratorium

Klinik Prodia Pusat di Jakarta untuk pemeriksaan kadar IGF-1. Pengiriman sampel

Universitas Sumatera Utara

dari Laboratorium Klinik Prodia Medan ke Laboratorium Klinik Prodia Pusat di

Jakarta yang dilakukan satu kali per minggu yaitu setiap hari Senin.

g. Di Laboratorium Klinik Prodia Jakarta, proses pemeriksaan kadar IGF-1 dilakukan

setiap hari Rabu dan hasil analisisnya dapat diperoleh dalam waktu lebih

kurang 1 jam.

h. Hasil yang diperoleh kemudian dicatat sebagai nilai IGF-1 dan kemudian

dibandingkan dengan kadar IGF-1 pada kelompok kontrol.

I. Definisi operasional

1. Usia adalah usia subjek saat pengambilan sampel dihitung dari tanggal lahir, bila

lebih dari 6 bulan, usia dibulatkan ke atas; bila kurang dari 6 bulan, usia dibulatkan

ke bawah.

2. Akne vulgaris adalah suatu gangguan pada unit pilosebasea yang ditandai dengan

adanya komedo, papul, pustul dan nodul pada daerah populasi kelenjar sebasea

yang paling padat yaitu pada daerah wajah, dada bagian atas dan punggung.

3. Derajat keparahan akne vulgaris adalah suatu pengukuran objektif terhadap

beratnya akne vulgaris yang dialami oleh sampel berdasarkan pemeriksaan fisik

dengan memakai skala pengukuran Lehmann yaitu derajat ringan bila komedo

< 20, atau lesi inflamasi sebanyak 15, atau jumlah total lesi < 30 dan derajat

sedang bila komedo 20-100, atau lesi inflamasi sebanyak 15-50, atau jumlah total

lesi 30-125, sedangkan derajat berat bila kista > 5, atau jumlah total komedo > 100,

atau lesi inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125.

4. Insulin-like Growth Factor-1 adalah suatu polipeptida dengan urutan yang sangat

mirip dengan insulin yang terdapat di dalam serum.

Kadarnya dalam serum diukur dengan menggunakan alat Immulite®

2000 dan

hasilnya dinyatakan dalam satuan ng/ml.

Universitas Sumatera Utara

5. Obat kontrasepsi adalah golongan obat-obatan yang merupakan turunan dari

preparat estrogen dan progesteron untuk mencegah terjadinya kehamilan.

6. Siklus haid yang tidak teratur adalah keadaan wanita yang mendapatkan haid tidak

reguler sekali sebulan atau haid lebih dari 1 kali atau tidak mendapat haid lebih

dari 1 bulan (tidak hamil) tanpa obat-obatan.

7. Hirsutisme adalah gejala munculnya rambut pada bagian tubuh perempuan yang

biasanya tidak ditumbuhi rambut seperti di bawah dagu atau di atas bibir, atau

wanita yang memiliki pola penyebaran rambut seperti pria dewasa.

8. Alopesia androgenetika adalah rambut pada kulit kepala pria yang menjadi rontok

(botak) yang ditandai dengan hilangnya rambut kepala secara simetrik, progresif,

difus, berawal dengan resesi frontal yang khas dan akhirnya hanya tinggal

selingkaran rambut di tepi kepala. Dapat menyebabkan kebotakan yang komplit.

Pada wanita, rambut menipis di seluruh kulit kepala, dan garis batas rambut tidak

mengalami resesi. Jarang menyebabkan kebotakan komplit.

9. Pasien yang menderita penyakit hati adalah pasien yang secara anamnesis dan

pemeriksaan fisik dicurigai menderita penyakit hati akut atau kronis yang

selanjutnya dikonfirmasi secara pasti oleh dokter spesialis anak atau dokter

spesialis penyakit dalam.

10. Pasien yang menderita diabetes melitus adalah pasien yang secara anamnesis dan

pemeriksaan fisik dicurigai menderita penyakit diabetes melitus yang selanjutnya

dikonfirmasi secara pasti oleh dokter spesialis anak atau dokter spesialis penyakit

dalam.

11. Merokok adalah pasien yang merupakan perokok aktif dan secara teratur mengisap

minimal satu batang rokok perhari dengan waktu minimal 1 bulan.35

12. Immulite®

2000 adalah suatu mesin (chemistry analyzer) yang bekerja berdasarkan

prinsip solid phase, enzyme-labeled chemiluminescent immunometric assay. Mesin

Universitas Sumatera Utara

43

ini mempunyai sertifikasi : ISO 13485:2003. Diproduksi oleh Siemens Medical

Solutions Diagnostics, Jerman. Hasil pengukurannya dinyatakan dalam satuan

ng/ml.

J. Kerangka operasional

Ringan Sedang Berat

Pengukuran

kadar IGF-1

serum

Pengukuran

kadar IGF-1

serum

Pengukuran

kadar IGF-1

serum

HUBUNGAN??

Diuji dan dianalisis secara statistik

Klasifikasi Lehmann

Kelompok kontrol

Pengukuran

kadar IGF-1

serum

Kelompok pasien

akne vulgaris

Universitas Sumatera Utara

K. Pengolahan dan analisis data

Keseluruahan data dianalisis dengan memakai software SPSS versi 15. Data

kategorikal ditampilkan dalam bentuk persentase sementara data numerikal dalam

bentuk mean dengan Standard Deviasi (SD). Batas kemaknaan (p) yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah 0,05. Dikatakan bermakna jika nilai p ≥ 0,05.

Untuk mengetahui normalitas dari distribusi data dilakukan uji Shapiro Wilik.

Karena data yang didapatkan pada penelitian ini mempunyai distribusi normal, maka

untuk uji analisis statistik rerata dua variabel numerik (IGF-1 berdasarkan kelompok

kasus dan kontrol, jenis kelamin dan kelompok umur) dipakai uji t independen.

Sedangkan untuk uji analisis statistik rerata variabel numerik yang lebih dari dua

kelompok (IGF-1 berdasarkan tingkat keparahan jerawat) dilakukan uji statistik one

way anova.

Untuk menilai hubungan/korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan

derajat keparahan akne vulgaris dilakukan suatu uji hipotesis korelatif. Karena data

mempunyai distribusi normal maka dilakukan uji korelasi parametrik Pearson.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Dermatologi RSUP. H. Adam Malik Medan

mulai bulan Januari sampai bulan Juni 2010. Dalam penelitian ini diikutsertakan 21 orang

pasien penderita akne vulgaris dan 21 orang yang tidak menderita akne vulgaris sebagai

kelompok kontrol.

A. Karakteristik dasar subjek penelitian

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian

Kasus Kontrol Total Variabel

n % n % n %

Jenis kelamin

Laki-laki 7 33,3 7 33,3 14 33,3

Perempuan 14 66,7 14 66,7 28 66,7

Total 21 100,0 21 100,0 42 100,0

Kelompok umur

(tahun)

12-19 10 47,6 10 47,6 20 47,6

20-34 11 52,4 11 52,4 22 52,4

Total 21 100,0 21 100,0 42 100,0

Pendidikan

SMU/sederajat 5 23,8 2 9,5 7 16,7

Perguruan tinggi 16 76,2 19 90,5 35 83,3

Total 21 100,0 21 100,0 42 100,0

1. Jenis kelamin

Pada penelitian, ini dari 21 orang penderita akne vulgaris atau selanjutkan

kami sebutkan sebagai kelompok kasus didapati 7 orang (33,3%) dengan jenis

kelamin laki-laki dan 14 orang (66,7%) dengan jenis kelamin perempuan.

Hasil penelitian ini sama dengan berbagai penelitian epidemiologi sebelumnya

tentang akne vulgaris. Goulden dkk (1996) melaporkan dalam penelitiannya di Inggris

yang melibatkan 2000 subjek bahwa angka kejadian akne vulgaris pada pria sebesar

24% dan wanita sebesar 76%.14

Penelitian yang dilakukan pada populasi Asia di

Universitas Sumatera Utara

Singapura menyebutkan bahwa angka kejadian akne vulgaris sebanyak 56,6% pada

wanita dan 43,3% dialami oleh laki-laki.16

Studi lain oleh Cunliffe dan Gould (1979)

menyebutkan bahwa sebelum usia 23 tahun, prevalensi akne vulgaris lebih tinggi pada

laki-laki (35%) dibandingkan dengan perempuan (23%). Namun sesudah usia 23

tahun prevalensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki.37

Beberapa penelitian yang memakai teknik immunostaining menyebutkan

adanya perbedaan komposisi reseptor estrogen yaitu estrogen receptor β (ERβ) dan

estrogen receptor α (ERα) pada sel sebosit glandula sebasea antara perempuan dan

laki-laki. Selain itu didapati pula adanya perbedaan ekspresi reseptor melanocortin-1

pada sel sebosit dan keratinosit laki-laki dan perempuan, yang diduga berperan dalam

menentukan perbedaan prevalensi akne pada laki-laki dan perempuan. Faktor lain

yang diduga terlibat dalam perbedaan prevalensi tersebut adalah perbedaan kadar

hormon androgen dan estrogen antara laki-laki dan perempuan.38

2. Kelompok umur

Pada penelitian ini, kelompok umur subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu

kelompok umur 12-19 tahun dan 20-34 tahun. Kriteria pengelompokan umur ini

didasarkan atas klasifikasi Erikson’s Stages of Physchosocial Development yang

mengklasifikasikan usia 12-19 tahun sebagai subjek kelompok remaja dan usia 20-34

tahun sebagai dewasa muda. Sebanyak 10 orang (47,6%) subjek berada dalam

kelompok umur remaja dan sebanyak 11 orang (52,4%) subjek berada umur dewasa

muda.

Data yang diperoleh dari rekam medis penderita akne vulgaris yang datang

berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik

Universitas Sumatera Utara

Medan pada periode Januari – Desember 2008 menunjukkan bahwa 90,6%

diantaranya adalah usia remaja dan dewasa muda.

Cunliffe dan Gould (1979) melaporkan bahwa pada kelompok umur 10-12

tahun 28%-61% populasi telah menderita akne vulgaris, sementara 79%-95% populasi

penduduk yang berusia 16-18 tahun mengalami akne vulgaris.37

Collier dkk (2008) dalam penelitian epidemiologi yang dilakukannya

menyebutkan bahwa prevalensi akne vulgaris yang tertinggi sebenarnya berada

kelompok usia remaja dan akan semakin berkurang dengan meningkatnya usia.38

Akan tetapi, Cordain (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa faktor usia

hanyalah satu dari sekian banyak faktor yang dapat terlibat dalam patogenesis akne

vulgaris misalnya faktor diet, faktor higiene, rokok, faktor keturunan ataupun

gangguan hormonal.13

3. Tingkat pendidikan

Pada penelitian ini didapati sebagian besar kelompok kasus berpendidikan

perguruan tinggi yaitu sebanyak 16 orang (76,2%). Hasil ini berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Barira S (2006) yang menyatakan bahwa sebagian

besar penderita akne vulgaris (54%) berpendidikan SMU.39

Tingkat pendidikan memiliki peranan yang penting karena akan

mempengaruhi persepsi penderita akan penyakit akne vulgaris yang dideritanya.

Perbedaan tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai

faktor-faktor penyebab, pemicu, tindakan pencegahan, cara ataupun lama pengobatan

akne vulgaris, prognosis, serta sikap dan perilaku dalam menghadapi efek psikososial

yang mungkin timbul. Penderita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

Universitas Sumatera Utara

diharapkan memiliki tingkat pemahaman yang lebih baik mengenai penyakit akne

vulgaris.

B. Insulin-like Growth Factor-1

1. Perbandingan IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol

Tabel 4.2 Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol

IGF-1 (ng/ml) Variabel

Kasus Kontrol

Mean 269,90 246,38

SD 111,93 95,19

p-value 0,467

Pada tabel 4.2 dapat dilihat perbandingan kadar IGF-1 antar kelompok kasus

dan kontrol. Rerata kadar IGF-1 lebih tinggi pada kelompok kasus yaitu sebesar

269,90 ng/ml dibandingkan kelompok kontrol 246,38 ng/ml, namun ternyata secara

statistik tidak bermakna.(p = 0,467).

Pada penelitian sebelumnya oleh Cappel (2005) dan Aizawa (1995) dilaporkan

bahwa pada kelompok kasus didapati adanya kadar IGF-1 yang lebih tinggi

dibandingkan kelompok kontrol. Sementara penelitian lain yang dilaporkan oleh

Kaymak dkk (2007) menyebutkan hasil yang sebaliknya yaitu bahwa tidak dijumpai

perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol.11,12,39

Hasil penelitian ini yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna

antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat disebabkan karena dalam

populasi penelitian kali ini mungkin terdapat faktor-faktor lain yang lebih berperan

dibandingkan IGF-1 dalam hal terjadinya akne vulgaris pada subjek penelitian. Dalam

proses patogenesis akne vulgaris terdapat beberapa macam faktor yang dapat saling

terkait satu sama lain. Faktor tersebut misalnya perubahan hormonal, kerentanan

Universitas Sumatera Utara

genetik, stres, diet dan faktor higiene dapat menjadi faktor yang menentukan akne

vulgaris.1,2

2. Korelasi kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris

Tabel 4.3 Korelasi antara kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris

Korelasi n r p-value

Kadar IGF-1 dengan derajat

keparahan akne vulgaris 21 0,039 0,868

Pada tabel 4.3 ditampilkan analisis korelasi antar kadar IGF-1 dengan derajat

keparahan akne vulgaris. Dari hasil analisis statistik didapati bahwa tidak ada korelasi

antara kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris (p = 0,868; r =

0,039).

Pada penelitian Aizawa didapati bahwa kadar IGF-1 pada kelompok kasus

lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun tidak

dijumpai adanya korelasi antara kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne

vulgaris.11

Dalam penelitian lain disebutkan bahwa IGF-1 diduga dapat meningkatkan

produksi sebum oleh sel sebosit melalui induksi ekspresi SREBP-1 yang akan

meningkatkan stimulasi lipogenesis di dalam sebosit. IGF-1 bekerja dengan cara

mengaktivasi phospoinositide 3-kinase/Akt pathway sehingga terjadi proses

peningkatan dalam pembentukan sebum dari sebosit.7,8

Akne vulgaris merupakan suatu kelainan pada struktur yang bersifat

multifaktorial. Selain dari peningkatan produksi sebum terdapat faktor lain seperti

hiperproliferasi folikel, inflamasi dan aktifitas dari P.acnes. Selain dari itu masih

harus dipertimbangkan kondisi yang terkait dengan akne vulgaris misalnya faktor

genetik, perubahan hormonal, faktor diet dan lain sebagainya.1,2

Universitas Sumatera Utara

Kadar IGF-1 dalam darah sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu kadar growth hormone, kadar insulin, faktor nutrisi, Body Mass Index, usia dan

hormon androgen.30

Adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi patogenesis akne vulgaris

dan mempengaruhi kadar IGF-1 di dalam darah mengakibatkan timbulnya berbagai

variasi dengan karakteristik tersendiri dalam berbagai penelitian-penelitian tentang

akne vulgaris.

3. Perbandingan Insulin-like Growth Factor-1 antara kelompok akne vulgaris

Tabel 4.4 Perbandingan IGF-1 antara kelompok akne vulgaris

Kasus Variabel Ringan Sedang Berat

Kontrol p-value*

IGF-1(ng/ml) 232,43 ± 116,27 328 ± 123,50 249,29 ± 83,2 246,38 ± 95,19 0,272

*p-value antara kasus dan kontrol

Pada tabel 4.4 diperlihatkan perbandingan kadar IGF-1 antara kelompok

pasien akne vulgaris derajat ringan, sedang dan berat dan kontrol.

Rerata kadar IGF-1 pada kelompok akne vulgaris derajat ringan adalah 232,43

±116,27 ng/ml; kelompok akne vulgaris derajat sedang 328±123,50 ng/ml; akne

vulgaris derajat berat sebesar 249,29±83,2 ng/ml dan kelompok kontrol sebesar

246,38±95,19 ng/ml. Dari analisis statistik tidak dijumpai perbedaan bermakna kadar

IGF-1 antara kelompok akne vulgaris derajat ringan, akne vulgaris derajat sedang,

akne vulgaris derajat berat dan kelompok kontrol.

Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian ini, berbeda dengan hasil penelitian oleh Cappel dkk (2005)

yang menyebutkan bahwa kadar IGF-1 pada kelompok penderita akne vulgaris klinis

lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok penderita akne vulgaris tanpa klinis.12

4. Insulin-like Growth Factor-1 berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.5 Perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan jenis kelamin

IGF-1 (ng/ml)

Kasus Kontrol Jenis kelamin

Mean SD p-value Mean SD p-value

p-value*

Laki-laki

Perempuan

311

249,38

126,59

102,55 0,244

266,29

236,43

93,47

97,93

0,512

0,467

0,736

*p-value antara kasus dan kontrol

Pada tabel ini diperlihatkan perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan jenis

kelamin baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Tampak bahwa nilai

kadar IGF-1 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, baik pada kelompok

kasus maupun kelompok kontrol. Walaupun perbedaan tersebut tidak mencapai nilai

yang signifikan.(p = 0,244, p = 0,512)

Nilai IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol juga tidak berbeda

secara bermakna, meskipun perbandingan tersebut dilakukan berdasarkan jenis

kelamin yang sama.

Pada penelitian ini, nilai IGF-1 laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan

perempuan. Hasil ini sesuai dengan hasil yang didapat oleh penelitian-penelitian

sebelumnya oleh Kahlamani dkk (1999) dan Parekh dkk (2010) yang juga

mendapatkan bahwa kadar IGF-1 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Beberapa peneliti menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang terbalik antara kadar

estrogen dengan kadar IGF-1. Kadar puncak IGF-1 akan tercapai pada umur 15 tahun

baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Meskipun nilainya akan semakin

Universitas Sumatera Utara

berkurang seiring dengan pertambahan umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi

kecepatan penurunan kadar IGF-1 tertinggi didapati pada wanita premenopause yaitu

di saat kadar estrogen tubuh mencapai level tertinggi. Hal ini juga sesuai dengan

penelitian Seattle Colon Cancer Family Registry yang mendapatkan bahwa kadar

IGF-1 akan menurun setelah pemberian estrogen eksogen. Teori lain menyebutkan

bahwa leptin yang kadarnya berbeda antara laki-laki dan perempuan, dapat

mempengaruhi konsentrasi IGF-1/IGFBP-3, yang mungkin akan dapat menjelaskan

tentang perbedaan kadar IGF-1 pada laki-laki dan perempuan.40,41

Pada penelitian kami didapati bahwa tidak dijumpai perbedaan kadar IGF-1

antara kelompok kasus dan kelompok kontrol meski dilakukan perbandingan

berdasarkan jenis kelamin. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Cappel

(2005) yang melaporkan bahwa perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok akne

vulgaris klinis dengan akne vulgaris tanpa klinis didapati pada jenis kelamin

perempuan saja.12

5. Insulin-like Growth Factor-1 berdasarkan kelompok umur

Tabel 4.6 Perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan kelompok umur

IGF-1 (ng/ml)

Kasus Kontrol Kelompok

umur (tahun) Mean SD p-value Mean SD p-value

p-value*

12-19

20-34

329,30

215,91

82,65

110,35

0,016

276,40

219,09

111,52

72,19

0,174

0,244

0,937

*p-value antara kasus dan kontrol

Pada tabel ini, diperlihatkan perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan kelompok

umur, baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Pada penelitian kami

didapati bahwa kadar IGF-1 pada kelompok kasus dengan umur diantara 12-19 tahun

lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan umur 20-34 tahun (p = 0,016).

Sementara perbandingan kadar IGF-1 pada kelompok kontrol antara kelompok umur

Universitas Sumatera Utara

12-19 tahun dengan kelompok umur 20-34 tahun tidak ada perbedaan secara

bermakna. Demikian pula perbandingan kadar IGF-1 antara kelompok kasus dan

kelompok kontrol sesuai dengan kelompok umur juga tidak menunjukkan perbedaan

yang bermakna.

Suatu penelitian besar, tentang IGF-1 yang melibatkan 6058 subjek di

Amerika Serikat antara tahun 1988-1999 melaporkan bahwa kadar IGF-1 akan

berkurang seiring dengan pertambahan usia. Sementara Jansen dkk (1997) pada

penelitiannya tentang IGF-1 terhadap populasi lanjut usia mengamati bahwa tingkatan

kadar IGF-1 pada lanjut usia > 70 tahun lebih tinggi dibandingkan individu yang

umumnya lebih muda. Jansen dkk (1997) mengelompokkan bahwa lanjut usia dengan

IGF-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang lebih muda menunjukkan

adalah konsekuensi dari seleksi kesintasan, yang artinya bahwa individu dengan kadar

IGF-1 lebih tinggi mungkin mempunyai kesempatan untuk hidup lebih lama.42,43

Hasil dari penelitian kami menunjukkan bahwa nilai IGF-1 pada kelompok

kasus usia remaja lebih tinggi dibandingkan dewasa muda. Hal ini mungkin dapat

disimpulkan bahwa hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian-penelitian

sebelumnya bahwa kadar IGF-1 akan mencapai puncak pada saat usia 15 tahun dan

akan semakin berkurang kadarnya seiring dengan pertambahan usia. Selain itu dapat

disimpulkan juga bahwa ternyata kadar IGF-1 mempunyai peranan terhadap

patogenesis akne vulgaris pada kelompok kasus dengan usia remaja karena kadar

IGF-1 yang lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kasus dengan usia dewasa.

Namun demikian, mungkin perlu penelitian lanjutan dengan skala yang lebih luas

mengingat ternyata kadar IGF-1 pada kelompok kasus dewasa muda ternyata lebih

rendah dibandingkan pada kelompok kontrol.

Universitas Sumatera Utara

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara kadar Insulin-like

growth-factor-1 dan derajat keparahan akne vulgaris pada pasien akne vulgaris di

RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Januari – Juni 2010 dengan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Rerata kadar IGF-1 antara individu yang menderita akne vulgaris lebih tinggi

dibandingkan dengan yang tidak menderita akne vulgaris walaupun secara

statistik tidak menunjukkan nilai signifikan.

2. Kadar IGF-1 dengan tingkat keparahan akne vulgaris tidak mempunyai korelasi.

3. Kadar IGF-1 antara kelompok yang menderita akne vulgaris derajat ringan, akne

vulgaris derajat sedang dan akne vulgaris derajat berat tidak berbeda secara

bermakna.

4. Kadar IGF-1 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada perempuan, meskipun

tidak bermakna secara statistik.

5. Kadar IGF-1 pada kelompok kasus usia remaja lebih tinggi dibandingkan kadar

IGF-1 pada kelompok kasus dewasa muda.

Universitas Sumatera Utara

B. Saran

1. Perlu penelitian lanjutan dengan skala yang lebih luas untuk mendapatkan

gambaran yang lebih lengkap tentang hubungan antara derajat keparahan akne

vulgaris dibandingkan dengan IGF-1 dan kelompok umur.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kadar IGF-1 pada pasien akne

vulgaris dikaitkan dengan aspek pengobatan.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

1. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, et al. Acne vulgaris and acneiform eruptions.

Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General

Medicine. Volume 1, edisi ke-7. Mc.Graw Hill Company, New York, 2008.h.690-700.

2. Thiboutot D. Acne : hormonal concepts and therapy. Clinics in Dermatology

2004;22:419-28.

3. Cara JF, Rosenfield RL, Furlanetto RW. A longitudinal of the relationship of plasma

somatomedin-C concentration to the pubertal growth spurt. Am J Dis Child

1987;141(5):562-4.

4. Burton JL, Libman LJ, Cunliffe WJ, et al. Sebum excretion in acromegaly. British

Medical Journal 1982,1,406-8.

5. Ebling FJ, Ebling E, Randall V, et al. The effects of hypophysectomy and of bovine

growth hormone on the responses to testosterone of prostate, preputial, harderian and

lacrymal glands and of brown adipose tissue in the rat. J Endocrinol 1975;66:401-6.

6. Deplewski D, Rosenfield RL. Growth hormone and insulin-like growth factors have

different effects on sebaceous cell growth and differentiation. Endocrinology

1999;140:4089-94.

7. Smith TM, Gilliland K, Clawson GA, et al. IGF-1 induces SREBP-1 expression and

lipogenesis in SEB-1 sebocytes via activation of the phosphoinositide 3-kinase/Akt

pathway. J Invest Dermatol 2008;128:1286-93.

8. Smith TM, Cong Z, Gilliland KL, et al. Insulin-like Growth Factor-1 induces lipid

production in human SEB-1 sebocytes via sterol response element-binding protein-1. J

Invest Dermatol 2006;126:1226-32.

9. Deplewski D, Rosenfiled RL. Role of hormones in pilosebaceous unit development.

Endocr Rev 2000;21:363-92.

Universitas Sumatera Utara

10. Vora S, Ovhal A, Jerajani H, et al. Correlation of facial sebum to serum Insulin-like

Growth Factor-1 in patients with acne. Br J Dermatol 2008;159:979-95.

11. Aizawa H, Niimura M. Elevated serum insulin like-growth factor-1 (IGF-1) levels in

women with postadolescent acne. J Dermatol 1995;22(4):249-52.

12. Cappel M, Muager D, Thiboutot D. Correlation between serum levels of insulin-like

growth factor 1, dehydroepiandrosterone sulfate, and dihydrotestosterone and acne lesion

counts in adult women. Arch Dermatol 2005;141:333-38.

13. Kaymak Y, Adisen E, Ilter N, dkk. Dietary glycemix index and glucose, insulin, insulin-

like growth factor-1, insulin-like growth factor binding protein 3, and leptin levels in

patiens with acne. J Am Acad Dermatol 2007;57:819-23.

14. Cordain L, Lindenberg S, et al. Acne vulgaris. Arch Dermatol.2002;138:1584-90.

15. Goulden V, Clark SM, Cunliffe WJ. Post-adolescent acne : a review of clinical features.

Br J Dermatol. 1997;136:66-70

16. Olutunmbi Y, Paley K, English JC. Adolescent female acne : etiology and management. J

Pediatr Adolesc Gynecol 2008;21:171-6.

17. Tan HH, Tan AWH, Barkham T, Yan XY, Zhu M. Community-based study of acne

vulgaris in adolescents in Singapore. Br J Dermatol 2007;157:547-51

18. Tan JK, Vasey K, Fung KY. Beliefs and perceptions of patients with acne. J Am Acad

Dermatol.2001;44:439-45.

19. Cunliffe WJ. Sebaceous gland physiology. Dalam : Cunliffe WJ, Acne. Edisi pertama.

Martin Dunitz LTD, London 2001.h.123-39.

20. Cunliffe WJ. Biochemistry of the pilosebaceous unit. Dalam : Cunliffe WJ, Acne. Edisi

pertama. Martin Dunitz LTD, London 2001.h.163-77.

21. Gollnick H. Current concepts of the pathogenesis of acne. Drugs 2003;63:1579-96.

Universitas Sumatera Utara

22. Pham-Huu-Trung MT, Villetee JM, Dunclos JM, et al. Effects of Insulin-like Growth

Factor-1 (IGF-1) on enzymatic activity in human adrenocortical cells interactions with

ACTH. J. Steroid Biochem. Molec. Biol.1991;39:903-9.

23. Pochi PE. Acne : androgens and microbiology. Drug Development Research

1988;13:157-68.

24. Cunliffe WJ. Natural history of acne. Dalam : Cunliffe WJ, Acne. Edisi pertama. Martin

Dunitz LTD, London 2001.h.2-10.

25. White GM. Recent findings in the epidemiologic evidence, classification and subtype of

acne vulgaris. J Am Acad Dermatol 1998;39:S34-7.

26. Cunliffe WJ. Clinical assessment of acne. Dalam : Cunliffe WJ, Acne. Edisi pertama.

Martin Dunitz LTD, London 2001.h.115-22.

27. Witkowski JA, Parish LC. The assessment of acne : an evaluation of grading and lesion

counting in the measurement of acne. Clinics in Dermatology 2004; 23:394-97.

28. Nobukazu H, Akamatsu H, Kawashima M. Establishment of grading criteria for acne

severity. J Dermatol 2008;35:255-60.

29. Lehmann HP, Robinson KA, Andrews JS, et al. Acne therapy : A methodologic review. J

Am Acad Dermatol 2002;47:231-40.

30. Cunliffe WJ, Gollnick GHM. Clinical features. Acne : Diagnosis and management.

London : Martin Dunitz;2001.h.49-81.

31. Froesch ER, Hussain MA, Schmid C. Insulin-like Growth Factor-1 : physiology,

metabolic effects and clinical uses. Diabetes/Metabolism Reviews 1996;12: 192-215.

32. Wu XK, Sallinen K, Zhou SY, et al. Androgen excess contributes to altered growth

hormone/Insulin-like Growth Factor-1 axis in nonobese women with polycystic ovary

syndrome. Fertility and Sterility 2000;73:730-4.

Universitas Sumatera Utara

33. Etgen AM, Flores OG, Todd BJ. The role of Insulin-like Growth Factor-1 and growth

factor-associated signal transduction pathways in estradiol and progesterone facilitation

of female reproductive behaviors. Frontiers in Neuroendocrinology 2006;27:363-75.

34. Horton R, Pasupuletti V, Antonpillai I. Androgen induction of steroid 5α-reductase may

be mediated via Insulin-like Growth Factor-1. Endocrinology 1993;133:447-51.

35. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar

sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, editor. Dasar-dasar Metodologi Penelitian

Klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto, 2008.h.302-30.

36. Capitanio B, Sinagra JL, Ottaviani M, Bordignon V, Amantea A, Picardo M. ‘Smoker’s

acne’: a new clinical entity? Br J Dermatol. 2007;157:1070-1.

37. Hall K, Enberg G, Ritzen M, dkk. Somatomedin: A levels in serum from healthy children

and from children with growth hormone deficiency or delayed puberty. Acta Endocrinol

(Copenh) 1980;94:155-65.

38. Cunliffe WJ, Gould DJ. Prevalence of facial acne vulgaris in late adolescence and in

adults. BMJ 1997;1:1109-10.

39. Dao H, Kazin RA. Gender differences in skin : a review of the literature. Gender

Medicine 2007;4:308-28.

40. Kaklamani VG, Lions A, Kaklamani E, Lions A, dkk. Age, sex, and smoking are

predictors of circulating insulin-like growth factor-1 and insulin-like growth factor-

binding protein 3. J Clin Oncol 1999;17:813-7.

41. Parekh N, Roberts C, Vadiveloo M, dkk. Lifestyle, anthropometric, and obesity-related

physiologic determinants if insulin-like gowth factor-1 in the Third National Health and

Nutrition Examination Survey (1988-1994). Ann Epidemiol 2010;20: 182-93.

Universitas Sumatera Utara

42. Badger JM, Berrigan D, Barbash B, Potischman N. Anthropometric correlated of insulin-

like growth factor-1 (IGF-1) and IGF binding protein-3 (IGFBP-3) levels by

race/ethinicity and gender. Ann Epidemiol 2009;841-9.

43. Janssen JAM, Stolk RP, Pols HA, Lamberts SWJ. Serum free IGF-1, total IGF-1, IGFBP-

1 and IGFBP-3 levels in an elderly population : relation to age and sex steroid levels.

Clinical Endocrinology 1998;48:471-8.

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 1.

NASKAH PENJELASAN KEPADA PASIEN / ORANGTUA PASIEN

Selamat pagi/siang.

Perkenalkan nama saya dr. Joice Sonya Panjaitan. Saat ini saya sedang menjalani

Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan pendidikan program spesialis

yang sedang saya jalani, saya melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara kadar

Insulin-like Growth Factor-1 dalam Serum dan Derajat Keparahan Akne Vulgaris”.

Tujuan penelitian saya adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar Insulin-like

Growth Factor-1 (IGF-1) dalam darah pada pasien dengan penyakit akne vulgaris (atau

jerawat). Insulin-like Growth Factor-1 merupakan suatu faktor pertumbuhan di dalam darah

yang kerjanya menyerupai hormon insulin. Adapun manfaat dari penelitiaan ini adalah

untuk membuka wawasan mengenai penyebab jerawat terutama dalam hubungannya

dengan kadar IGF-1 dalam darah sehingga nantinya diharapkan dapat dilakukan evaluasi

yang bermanfaat untuk mengobati atau mengurangi derajat keparahan jerawat.

Untuk melakukan penelitian ini, Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i yang mempunyai

jerawat akan saya nilai tingkat keparahan jerawatnya dengan cara menghitung jumlah dan

jenis jerawat yang terdapat di wajah, dada dan punggung atas. Kemudian diambil sedikit

darah Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i untuk keperluan pemeriksaan kadar faktor

pertumbuhan yang menyerupai hormon insulin dalam darah. Selanjutnya darah akan

dibawa ke Laboratorium Prodia untuk dilakukan pemeriksaan kadar IGF-1.

Universitas Sumatera Utara

Adapun pemeriksaan ini akan sedikit menimbulkan rasa sakit dan diharapkan tidak

akan menimbulkan akibat yang membahayakan jiwa. Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i

tidak akan dikutip biaya apapun dalam penelitian ini. Kerahasiaan mengenai penyakit yang

diderita penelitian akan terjamin. Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i yang ikut dalam

penelitian ini adalah sukarela. Bila tidak bersedia, maka Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i

berhak menolak ikut dalam penelitian ini dan tidak akan ada konsekuensi dan perlakuan

yang tidak layak.

Jika Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i bersedia dan menyetujui pemeriksaan ini,

mohon untuk menandatangani formulir persetujuan ikut serta dalam penelitian.

Apabila Bapak/Ibu/Kakak/Adik/Saudara/i mengeluh adanya pusing (sakit kepala),

demam, lemas (perasaan ingin pingsan), demam, nyeri terus-menerus atau perdarahan yang

tidak berhenti pada lokasi pengambilan darah dalam waktu 6-12 jam setelah pengambilan

darah, atau masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi saya.

Terima kasih.

dr. Joice Sonya Panjaitan

Alamat : Jl. Rantang No. 5 Medan

Telp./Hp : 061- 4146881, 081260587904

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 2.

PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN

Setelah mendapat penjelasan, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ……………………………………………………………………………

Umur : ……………………………………………………………………………

Alamat : ………………………………………………………………..…………..

selaku saudara/orang tua* dari :

Nama : ...................................................................................................................

Umur : ....................................................................................................................

Jenis kelamin : ....................................................................................................................

dengan ini menyatakan secara sukarela SETUJU untuk ikut serta dalam penelitian dan

mengikuti berbagai prosedur pemeriksaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Demikianlah surat pernyataan persetujuan ini dibuat dengan sebenarnya dalam keadaan sadar

tanpa adanya paksaan dari siapapun.

Medan, 2010

Dokter pemeriksa Yang menyetujui

(dr. Joice Panjaitan) ( )

* coret yang tidak perlu

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 3.

STATUS PENELITIAN

Tanggal pemeriksaan :

Nomor urut penelitian :

Nomor catatan medik :

IDENTITAS

Nama :

Alamat :

Telp. :

Tempat tanggal lahir (hari, bulan, tahun) :

Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

Bangsa/Suku : 1. Batak 2. Jawa 3. Melayu

4. Minangkabau 5. Tionghoa 6. Lainnya

Agama : 1. Islam 2. Kristen Protestan 3. Kristen Katolik

4. Hindu 5. Budha

Pendidikan : 1. Belum sekolah

2. SD / sederajat

3. SMP / sederajat

4. SMA / sederajat

5. Perguruan tinggi

Pekerjaan : 1. Pegawai Negeri Sipil / TNI / Polri 2. Pegawai swasta

3. Wiraswasta 4. Tidak bekerja

Status pernikahan : 1. Sudah menikah 2. Belum menikah

Universitas Sumatera Utara

ANAMNESIS

Keluhan utama :

Riwayat perjalanan penyakit :

Riwayat penyakit keluarga :

Riwayat penyakit terdahulu :

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalisata

Keadaan umum :

• Kesadaran :

• Gizi :

• Tekanan darah :

• Frekuensi nadi :

• Suhu :

• Frekuensi pernafasan :

Keadaan Spesifik :

• Kepala :

• Leher :

• Toraks :

Universitas Sumatera Utara

• Abdomen :

• Genitalia :

• Ekstremitas :

Status dermatologikus

Hasil Combined Acne Severity Classification

Ringan

Komedo < 20, atau lesi inflamasi 15, atau jumlah

total lesi < 30

Sedang

Komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-50, atau

jumlah total lesi 30-125

Berat

Kista > 5, atau jumlah total komedo > 100, atau lesi

inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Pemeriksaan kadar IGF-1 dalam serum pasien akne vulgaris

Nilai :

2. Pemeriksaan kadar IGF-1 dalam serum pasien kontrol

Nilai :

Universitas Sumatera Utara

MASTER TABEL 1

NILAI RUJUKAN, KEPARAHAN AKNE VULGARIS DAN KADAR INSULIN-LIKE GROWTH

FACTOR-1

PADA KELOMPOK KASUS

NO NAMA UMUR (tahun) NILAI RUJUKAN

(ng/ml) JENIS KELAMIN BB (kg) TB (cm)

KEP

A

1 FOR 17 376 1 45 163

2 RK 30 196 2 44 150

3 AS 20 232 2 42 152

4 RA 23 203 1 60 155

5 PM 24 203 2 47 158

6 MS 19 261 2 51 157

7 PS 21 203 2 54 155

8 GDG 19 261 2 54 153

9 NC 20 232 2 60 154

10 FD 21 203 2 47.5 146

11 PE 22 203 2 54 149,5

12 GS 17 376 1 72 169

13 LS 18 308 2 55 154

14 RSK 18 308 2 61,5 156

15 MS 24 203 1 42 164

16 SFS 19 261 2 45 152

17 ITH 18 308 1 62 162

18 AMH 19 261 1 67 176

19 DL 18 308 2 63 161

20 PD 20 232 2 62 161

21 R 30 196 1 65 168

Keterangan :

Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

Derajat keparahan akne vulgaris : 1. Derajat ringan 2. Derajat sedang 3. Derajat berat

MASTER TABEL II

NILAI RUJUKAN, KEPARAHAN AKNE VULGARIS DAN KADAR INSULIN-LIKE GROWTH

FACTOR-1

PADA KELOMPOK KONTROL

NO NAMA UMUR (tahun) NILAI RUJUKAN

(ng/ml) JENIS KELAMIN BB (kg) TB (cm)

KEPAR

AK

1 MN 22 203 2 54 158 0

2 LH 21 203 1 56 166 0

3 DH 17 376 1 44 156 0

SE 18 308 1 54 163 04

5 ML 20 232 2 50 156 0

6 HK 18 308 2 52 151 0

7 JR 19 261 2 45 155 0

8 JH 20 232 2 50 154 0

9 LI 23 203 2 46 161 0

10 PN 19 261 2 48 149 0

11 NM 18 308 2 50 158 0

12 US 19 261 2 51 156 0

Universitas Sumatera Utara

68

13 RK 19 261 1 57 172 0

14 IA 17 376 1 71 165 0

15 EK 20 232 2 53 155 0

16 VAG 18 308 2 47 152 0

17 RS 20 232 2 45 155 0

18 RRP 30 196 1 61 160 0

19 MA 24 203 1 70 161 0

20 IJH 21 203 2 52 158 0

21 HNP 30 196 2 55 165 0

Keterangan :

Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

Universitas Sumatera Utara