Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
EVOLUSI SUNNAHPERSPEKTIF PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN
(Antara Tradisionalis dan Orientalis)Miftakhul Maesaroh (14720052)Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Hadis merupakan warisan berharga bagi umat Islam,
karena hadis adalah realisasi dari ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Quran, sebagai penjelas al-Quran dan
interpretasi dari kehidupan Nabi saw, sabda, perilaku dan
sikap Nabi saw, dan terkadang menjadi hukum sendiri yang
tidak ada dalam al-Quran. Otoritas Nabi sebagai pembawa
risalah untuk memberikan petunjuk kehidupan yang benar
kepada umatnya.1
Karena demikian sentralnya posisi hadis, banyak dari
kalangan yang berupaya untuk meneliti hadis kembali dengan
berbagai macam tujuan, seperti halnya kaum orientalis dan
juga ulama’ muslim tradisionalis dan fundamentalis.
Berbagai perdebatan muncul, hasil-hasil penelitian yang
berhubungan dengan sanad maupun matan hadis menghasilkan
temuan yang memperkuat keberadaan hadis itu sendiri. Dan,
jika ditelusuri akar dari perdebatan tersebut adalah
dimulai dari pengertian hadis dan sunnah baik di kalangan
muhadditsun, ushuliyun, fuqaha’, maupun orientalis.
1 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27.
1 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Dari sejumlah definisi hadis dan sunnah, terutama
perspektif muhadditsun dan ushuliyun, tidak seorang ulama
pun yang mengajukan definisi hadis dan sunnah sebagai
segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi, tetapi
selalu mendefinisikan hadis sebagai segala perkataan,
perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi. Dalam
konteks ini, para ulama selalu memberikan kata “yang
disandarkan” (ma udzifa/ ma usnida), “yang dinukil” (ma nuqila),
“yang diriwayatkan “ (ma ruwiya), “yang bersumber” (ma
shudira), dan sebagainya. Tentunya hal ini berbeda dengan
ketika mereka mendefinisikan al-Quran yang semuanya sepakat
bahwa al-Quran adalah kalamullah, bukan kalam yang
disandarkan kepada Allah. 2
Hadis yang mayoritas diriwayatkan tidak secara
mutawattir, menjadikan posisi dan otoritas kesumberannya
tidak meyakinkan berasal dari Nabi. Oleh karena itu, sangat
tepat difinisi yang diajukan ulama’, bahwa tidak seorang
pun di antara mereka yang berani menjamin kepastian bahwa
semua hadis itu berasal dari nabi. Hal itu juga dapat
dikatakan sebagai bentuk kehati-hatian para ulama dalam
menisbahkan sesuatu kepada Nabi Muhammad SAW.3
Bila ditelusuri lebih lanjut, hadis dan sunnah memiliki
pengertian yang berbeda. Dalam khazanah ilmu hadis
ditemukan beberapa istilah yang dari sisi terminologis
2 Ummi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal: 8
3 Ummi Sumbulah, hal. 9
2 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
memiliki pengertian yang sama, yakni hadis, khabar, atsar
dan sunnah. Setidaknya menurut mayoritas ulama’ hadis,
keempat istilah tersebut dianggap sinonim, sehingga dalam
pemakaiannya dapat dipertukarkan satu sama lain. Sementara
sebagian ulama beranggapan bahwa tiap-tiap istilah tersebut
mempunyai kandungan makna yang berbeda.4
“Hadis” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang
aslinya berbunyi hadis atau al-hadis. Al-Fayumiy (w. 770H)
telah mengartikan kata hadis dengan: yang baru, apa-apa
yang diceritakan dengannya dan dinukilkan, dekat atau
menjelang, Jamal al-Din Muhammad bin Manzhur yang lebih
popular dengan sebutan Ibnu Manzhur (630-711 H) secara
redaksional telah mengartikan kata hadis jika dilihat dari
segi bahasa berarti: sesuatu yang baru, berita yang dating
baik sedikit atau banyak. Pakar ilmu hadis modern Muhammad
‘Ajaj al-Khathib dalam dua buah bukunya, dengan tegas
mengartikan kata hadis dari segi bahasa dengan د دي�� yang) ال�ج�baru) dan ي��ب� ر د) Hadis diartikan .(dekat) ال�ق������ دي�� dalam arti (ج��bahasa, banyak kaitannya dengan berseberangannya al-Quran
yang bersifat (م دي�� berarti yang terdahulu.5 (ق��
Sunnah dalam arti bahasa adalah al-Thariqah al-Maslukah
atau al-Sirah, artinya ialah jalan yang ditempuh atau
4 Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2011), hal. 59
5 H.M. Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (STAINPurwokerto Press: Yogyakarta, 2010), hal. 1-2
3 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
perjalanan, baik terpuji atau tercela. Sunnah dengan
pengertian seperti ini merujuk pada hadis riwayat Muslim
dari jalan Jabir bin Abdillah. Betapapun ulama pada umumnya
secara substansial menyamakan arti sunnah dengan hadis
(jika dilihat dari segi istilah). Namun, secara esensial
antara keduanya ada perbedaan, walaupun keduanya bersumber
dari yang sama yakni Rasulullah.6
Dalam jurnal ini, peneliti memberikan sumbangsih kajian
dalam menyelami pemikiran Fazlur Rahman tentang evolusi
sunnah. Evolusi merupakan ilmu yang mempelajari perubahan
yang secara berangsur-angsur menuju ke arah yang sesuai
dengan masa dan tempat. 7
Hadis yang merupakan refleksi dari sunnah adalah sebuah
pernyataan historis yang bersifat singular dan bukan
merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu
dari masa silam. Dengan demikian, setiap hadis adalah suatu
pernyataan singular di sekitar Rasulullah Saw.
Diskursus pemikiran sunnah yang dilakukan para pemikir
Islam (insider) dan para orientalis (outsider) adalah dinamika
yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-Pakistan merupakan
representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji
sunnah dalam konteks evolusi historisitas hadis. Ignaz6 H.M. Dailamy, hal. 7 7 Maridi, Perkembangan Teori Evolusi dalam http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0CD4QFjAGahUKEwjP37TF8ZLGAhVBPqYKHdAbAGI&url=http%3A%2F%2Fmaridi.staff.fkip.uns.ac.id%2Ffiles%2F2012%2F09%2FBAB-1.-perkembangan-teori-evolusi-ok-Maridi-P.biologi-FKIP-UNS.pdf&ei=VGR_Vc_lKcH8mAXQt4CQBg&usg=AFQjCNFizKIRtPBw5LQL9cXRYvwwUPx56w&sig2=STPHgMai8-0eASdRR8whvA&bvm=bv.95515949,d.dGY
4 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Goldziher, Joseph Schacht, dan tokoh non-muslim lain yang
merupakan reperesentasi dari kalangan orientalis juga
mengkajinya secara sama. Dalam kajian mereka, diakui atau
tidak problem akademis muncul dan menarik untuk diteliti.
Representasi dari kalangan muslim yang juga memunculkan
problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang skeptis
terhadap sunnah dan hadis. 8
Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur Rahman
adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis
tentang hadis atau sunnah. Ia merespons tantangan yang
muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri dan para
orientalis. Maka dari itu, dalam jurnal ini pembahasan
difokuskan menjadi: 1) Bagaimana respon Fazlur Rahman
terhadap validitas sunnah, dan 2) Bagaimana konsep evolusi
sunnah menurut Fazlur Rahman.
BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman lahir di Hazara—kini bagian dari negara
Pakistan pada 21 September 1919. Situasi ketika dia lahir
memberi pengaruh bagi perkembangan pemikirannya kelak.
Rahman dilahirkan di tengah keluarga yang berlatar belakang
mazhab Hanafi, mazhab Sunni yang relatif lebih rasional
ketimbang tiga mazhab Sunni lainnya, yaitu Syafi’i, Maliki,
dsan Hambali. Ayahnya adalah seorang ulama tradisional yang
menanamkan pendidikan dasar keagamaan.
8 Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 176
5 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Meski dibesarkan dalam kultur tradisional, sejak umur
belasan tahun dia melepaskan diri dari lingkup pemikiran
yang sempit dalam batas-batas tradisi bermazhab untuk
selanjutnya mengembangkan pemikirannya. Sekolah modern dia
masuki di Lahore pada 1933. Pendidikan tingginya ditempuh
di Jurusan Bahasa Arab Punjab University. Dia menyelesaikan
BA pada 1940. Gelar master untuk jurusan ketimuran diraih
pada 1942 di universitas yang sama.
Menyadari bahwa mutu pendidikan di India kala itu
rendah, Rahman memutuskan memperdalam ilmunya di Inggris.
Keputusan ini tergolong berani, sebab terdapat anggapan
bahwa aneh jika seorang Muslim belajar Islam di Eropa.
Kalaupun ada yang berhasil, orang tersebut sulit diterima
kembali oleh masyarakatnya. Bahkan tidak jarang di antara
mereka mengalami penindasan. Tapi anggapan itu tidak cukup
menghalangi Rahman. Pada 1946 dia masuk Oxford University,
dan menyandang gelar doktor di bidang sastra pada 1950.
Selama studi, dia berkesempatan mempelajari bahasa-
bahasa Eropa. Dari karya-karyanya, setidaknya ia menguasai
bahasa Inggris, Latin, Yunani, Prancis, Jerman, dan Turki,
di samping Arab, Urdu, dan Persia. Setamat dari Oxford,
Rahman tidak lantas pulang ke Pakistan. Dia memilih menjadi
pengajar di Eropa. Dia menjadi dosen bahasa Persia dan
filsafat Islam di Durham University, Inggris, pada 1950-
1958. Selanjutnya, atas berbagai pertimbangan, dia pindah
6 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
ke McGill University di Kanada dan menjadi associate professor
pada bidang Islamic Studies.
Namun tiga tahun kemudian, semangat patriotik
mengalahkan segalanya. Setelah pemerintahan bergulir di
tangan Ayyub Khan yang modern, Rahman terpanggil untuk
membenahi negerinya. Rahman rela meninggalkan karier
akademisnya demi tantangan yang menghadang di negeri
sendiri. Ia lalu ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga
Riset Islam selama satu periode (1961-1968). Ia juga
tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam,
sebuah lembaga. pembuat kebijakan tertinggi di Pakistan.
Saat-saat itu memberinya kesempatan untuk meninjau praktik
kekuasaan dari dekat. Di masa itu pula dia memprakarsai
penerbitan Journal of Islamic Studies, tempat ia menampungkan
gagasa-gagasannya.
Pada 1970 Rahman berangkat ke Chicago dan dinobatkan
menjadi guru besar dalam bidang pemikiran Islam di
Universitas Chicago. Tapi sebenarnya pada 1968 Rahman sudah
diterima sebagai dosen di Universitas California.
Universitas Chicago memberinya tempat melahirkan banyak
karya. Tempat itulah yang menjadi persinggahan terakhirnya
hingga wafat pada 26 Juli 1988. Selama 18 tahun
terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia
kerap memberi kuliah di universitas lain. Dialah Muslim
pertama penerima medali Giorgio Levi della Vida yang
melambangkan punak prestasi dalam bidang studi peradaban
7 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Islam dari Gustave E. von Grunebaum Center for Near Eastern
Studies Universitas California.9
KEGELISAHAN AKADEMIK FAZLUR RAHMAN TENTANG SUNNAH
Fazlur Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah
secara realistis berevolusi secara historis. Pendekatan
Rahman ini merupakan respons terhadap para orientalis
ketika ia berada di Barat dan respons terhadap ulama Islam
tradisonal dan fundamental yang menghujatnya sewaktu ia
berada di Pakistan, juga sebagai respons terhadap tokoh
Islam modernis.10
Bagi Goldziher, hadis Nabi bukanlah representasi
kelahiran Islam, tetapi merupakan refleksi atas tendensi-
tendensi masa awal perkembangan masyarakat. Dengan kata
lain, hadis adalah tradisi masyarakat Arab. Goldziher
menilai bahwa hadis bukanlah sumber terpercaya bagi awal-
awal Islam, namun hanya menjadi sumber yang sangat bernilai
bagi dogma, konflik, dan perhatian muslim belakangan yang
telah menyebarkan hadis. Skeptisisme Goldziher ini kemudian
diadopsi oleh Leone Caetani dan Henri Lammens, dengan
menyatakan dengan menyatakan bahwa hamper semua riwayat
tentang kehidupan Nabi adalah meragukan (apocryphal). 11
9 Bawaihi, Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Quran, jurnal Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
10 Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 179
11 Kamarudin Amin dalam Ummi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang:UIN Maliki Press, 2010), hal: 170
8 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Namun, ia mengakui adanya sunnah bagi umat Islam yang
diartikannya sebagai norma norma praktis yang ditarik dari
ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang diwartakan. Dengan
demikian, ia mendefinisikan sunnah sebagai praktik yang
hidup. Konsekuensi logisnya, Goldziher menyimpulkan bahwa
produk-produk kompilasi hadis tidak dipercaya sebagai
sumber ajaran dan perilaku Nabi Muhammad sendiri. Sementara
tentang sunnah, ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada
pada masa Arab pra Islam dengan makna tradisi, adat, dan
kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan.
Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini berubah menjadi
model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra
Islam berakhir.
Tokoh orientalis yang lain adalah Joseph Schacht.
Menurut Schacht, konsep sunnah merupakan kreasi umat Islam
belakangan. Al-Syafi‘I merupakan ahli hukum Islam pertama
yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunnah
sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi
Nabi. Menurutnya, bagi generasi sebelum al-Syafi‘i, sunnah
mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang
membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama dengan
praktik yang disepakati secara umum. Menurutnya “tradisi
yang hidup” mendahului hadis Nabi. Artinya, beredarnya
hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tabi‘in,
kemudian pada sahabat, dan akhirnya pada Nabi.12
12 M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 45
9 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Menurut ‘Azami, dibanding dengan pendahulunya, Ignaz
Goldziher, Joseph Schacht memiliki keunggulan. Apabila
Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang
disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi,
maka Joseph Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada
satu pun hadis yang otentik dari Nabi, khususnya hadis-
hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.13
Di sisi lain, kenyataan bahwa hadis dan sunnah
digunakan secara literal dan dianggap sebagai satu patokan
harga mati, menjadi kegelisahan Fazlur Rahman. Karena bagi
Rahman, hadis dan sunnah seharusnya bergerak dinamis sesuai
dengan ruang dan waktu . Terlebih bila kita melihat pada
masa awal-awal perkembangannya, sunnah begitu hidup dan
penafsirannya senantiasa berkembang. Namun dalam
perkembangan berikutnya, tepatnya ketika muncul aksi
penutupan pintu ijtihad di masa-masa pertengahan, sunnah
dan hadis lantas menjadi mati, beku dan seolah tak memiliki
daya gerak. Sehingga Rahman berpendapat, walaupun secara
formal pintu ijtihad tidak pernah ditutup, namun taqlid atau
menerima otoritas secara mentah-mentah berkembang
sedemikian suburnya hingga secara praktis, ijtihad menjadi
tidak ada 14
Kemandegan ijtihad ditengarai Rahman sebagai penyebab
kemandegan intelektual yang terjadi pada para sarjana
13 M.M. Azami, dalam kata pengantar14 Saifuddin Zuhri Qudsy dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis
Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 76
10 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
muslim. Hal ini memang setidaknya bisa dilihat dari masa
kemunduran fiqih Islam yang berlangsung pada abad ke empat
bahkan jauh sebelumnya pada abad kedua. Pada abad-abad
tersebut memang masa munculnya madzhab-madzhab. Imam
Syafi’I, disebut-sebut sebagai salah satu actor intelektual
yang berada dibalik agenda ditutupnya pintu ijtihad melalui
program qiyas maupun ijma’nya.15
Menurut Rahman, pada masa sahabat periode I, umat Islam
menggunakan dua sumber yakni al-Quran dan sunnah dengan
sangat dinamis dan historis, tetapi pada akhir periode I
dan awal periode II pemikiran keagamaan Islam menjadi
formal, kaku, dan normative. Hadis oleh para ulama dipegang
sebagai sesuatu yang given dan harga mati, dengan menafikan
suasana historis dan gerak dinamis yang ada pada suatu
hadis, terutama berkaitan dengan hadis-hadis muamalah.
Padahal sebenarnya menurut Rahman, hadis itu muncul
belakangan setelah adanya gerakan pencarian hadis.
Sebelumnya hadis-hadis tersebut masih berupa sunnah yang
hidup dengan tradisi oral, yang di kemudian hari sunnah itu
menjadi sebuah konsensus (ijma’) yang dinamis dan hidup.16
Di tengah kegelisahannya, kemudian Rahman menjelaskan
beberapa sebab penolakan sarjana Barat terhadap hadis.
Menurut Rahman, mereka menemukan:
15 Saifuddin, hal. 7916 Saifuddin, hal. 82
11 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
1) Bahwa sebagian besar kandungan sunnah merupakan
tindak lanjut dari kebiasaan dan adat istiadat praIslam;
2) Bahwa sebagian besar kandungan sunnah merupakan
hasil aktivitas pemikiran bebas ahli hukum Islam
awal yang, dengan ijtihad, telah membuat beberapa
deduksi dari sunnah dan menambahkan elemen-elemen
baru, terutama dari sumber-sumber Yahudi dan
praktik pemerintahan Bizantium serta Persia
3) Ketika hadis berkembang menjadi gerakan yang besar
dan menjadi fenomena massif pada akhir abad kedua,
khususnya abad ketiga H, seluruh kandungan sunnnah
yang awal dihubungkan secara verbal kepada Nabi dibawah lindungan konsep sunnah.17
KONSEP SUNNAH MENURUT FAZLUR RAHMAN
Pemikiran para orientalis tentang teori evolusi
direspons oleh Rahman. Dalam kajiannya, Rahman
mengkonfirmasi temuan dan teori para orientalis tentang
evolusi sunnah dan hadis, tetapi ia tidak sepakat dengan
teori yang dikemukakan bahwa konsep sunnah merupakan
kreasi kaum muslim belakangan. Menurutnya, konsep sunnah
yang merupakan kreasi umat Islam belakangan dalam
pandangan orientalis dinilai tidak valid. Menurutnya,
17 Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 181
12 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
sunnah adalah konsep yang valid dan operatif sejak awal
Islam dan berlaku sepanjang masa.
Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan”
(exemplary conduct). Pengertian semacam ini sangat dekat
maknanya dengan uswah. Kesimpulan yang diambil oleh Rahman
bahwa sunnah merupakan konsep pengayom. Konsepsi ini secara
jelas mengisyaratkan bahwa Rahman berupaya meluruskan
kekeliruan pemikiran tentang sunnah yang dimunculkan para
orientalis.
Untuk memperkuat gagasan, Rahman mengajukan sistem
periwayatan. Menurutnya, periwayatan hadis telah ada sejak
zaman Rasulullah. Untuk membuktikan hal itu, Rahman
mengambil contoh surat Hasan al-Basri yang ditujukan kepada
‘Abd al-Malik bin Marwan, Rahman juga mengutip kebiasaan
Imam Malik dalam al-Muwatta’ yang biasanya mengutip terlebih
dahulu riwayat hadis dalam menjawab setiap masalah yang
dihadapi, kemudian menyampaikan pernyataan seperti: “dan
ini pun merupakan sunnah kita...,” “sunnah bagi kita
adalah...,” kadang-kadang ia menggunakan istilah “sunnah
yang kita akui adalah....” Imam Malik, misalnya mengutip
hadis yang menegaskan bahwa Nabi menjamin hak Shuf‘ah kepada
seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya, lalu
Malik menyatakan “dan hal ini merupakan sunnah bagi kita.”
Selain data periwayatan, Rahman menyampaikan data
historis yang berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang
penyair pro Hasyimi yang hidup antara akhir abad pertama
13 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
sampai awal abad kedua H. Di dalam syair terdapat “sunah”
yang menurutnya tidak dapat diartikan lain kecuali sunnah
Nabi. Rahman juga menyajikan data historis lain dengan
merujuk kepada kitab al-Kharaj. Dalam kitab ini dijelaskan
bahwa ‘Umar bin Khattab pernah mengirimkan beberapa orang
ke daerah tertentu untuk mengajarkan al-Qur’an dan sunnah.
Dalam informasi ini Rahman menjelaskan, kesadaran yang
berkembang pada saat itu bahwa al-Qur’an tidak dapat
diajarkan tanpa mempertimbangkan aktivitas Rasulullah.
Aktivitas Rasul mencakup bidang politik, kepemimpinan,
pengambilan keputusan, dan lain-lain. 18
Dengan demikian, al- Qur’an dan sunnah terdapat
pertalian yang utuh. Data-data historis yang diungkap oleh
Rahman tentang validitas sunnah sebagai jawaban terhadap
tantangan orientalis. Analisis historis sebagai respons
terhadap wacana ilmiah yang berkembang merupakan kepedulian
sumbangan besar Rahman dalam diskursus kontemporer.
Baik sunnah maupun hadis harus dipahami lebih progresif
dan dinamis. Menuangkan kembali atau mencairkan kembali
hadis-hadis yang telah ada ke dalam bentuk sunnah yang
hidup (living sunnah_ sebagaimana yang dilakukan oleh
generasi awal melalui kerangka studi historis dan
sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat saat ini. Hal
ini penting dilakukan mengingat aneka ragam unsure dalam
hadis dan reinterpretasi terhadapnya harus selalu dan
18 Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, hal. 183-184
14 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
selaras dengan perubahan-perubahan kondisi social moral
saat ini. Penafsiran situasional dan historis dalam bentuk
sunnah yang hidup akan membuat kaum muslim dapat
menyimpulkan norma-norma dari hadis untuk kepentingan
kebutuhan zamannya. 19
EVOLUSI SUNNAH FAZLUR RAHMAN
Ulama muhaddisin sebagaimana telah ditunjukkan
sebelumnya berpandangan bahwa hadis dan sunnah merupakan
dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga
sering digunakan secara bergantian untuk menyebut hal
ikhwal tentang nabi. Akan tetapi kajian terhadap berbagai
literature awal menunjukkan bahwa hadis dan sunnah
merupakan dua hal yang berbeda.
Hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan tiga tokoh
berikut, yakni Sufyan al Sawriy (w. 161 H), al-Auza’y (w.
157 H), dan Malik bin Annas (w. 179 H). Seorang kritikus
terkenal ‘Abd al-Rahman al-Mahdi (w. 198 H) mengatakan:
Sufyan al-Sawriy adalah pakar dalam hadis tetapi bukan
pakar dalam sunnah dan al-Awza’iy adalah pakar dalam sunnah
tetapi bukan pakar dalam hadis, sedang Malik adalah pakar
dalam keduanya. 20
19 Fazlur Rahman dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh SebagaiPijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1Tahun 2014, hal. 24
20 Musahadi HAM, Hermeneutika Hadis-Hadis Hukum –Mempertimbangkan gagasan Fazlur Rahman-, (Semarang: Wali Songo Press, 2009), hal. 32
15 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Berbeda dengan kalangan ahli hadis (tradisionist), yang
mengidentikkan pengertian antara sunnah dengan hadis,
Fazlur Rahman melalui pendekatan sejarah membedakan
pengertian keduanya secara jelas. Dengan meneliti data-data
sejarah, Rahman mengemukakan teorinya tentang asal usul
perkembangan sunnah secara sistematis.
Dalam penelitian yang ia lakukan, Rahman sampai
berkesimpulan bahwa sunnah dalam konsepsi awalnya
mengandung tiga kategori, pertama ialah sunnah ideal yaitu
sunnah (tradisi praktikal) dan hadis (tradisi verbal) yang
ada secara bersama dan memiliki substansi yang sama.
Keduanya dinisbatkan dan diarahkan kepada Nabi dan
memperoleh normatifitas dari beliau.
Kedua, adalah living tradition (tradisi yang hidup), yakni
bermula dari sunnah ideal yang telah mengalami penafsiran-
penafsiran sehingga menjadi praktek actual masyarakat
muslim. Sebagai praktek actual dari masyarakat yang hidup,
maka living tradition tersebut secara terus menerus menjadi
subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan dan perubahan-
perubahan. Modifikasi dan perubahan-perubahan ini sebagai
implikasi dari perkembangan masyarakat yang bertambah luas
dengan cepat sehingga menimbulkan persoalan-persoalan dan
situasi-situasi controversial yang pada gilirannya
mendorong munculnya problematika-problematika hokum, moral,
dan teologis yang komplek.
16 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Ketiga, adalah kesimpulan yang ditarik dari keduanya.
Artinya, dari sebuah hadis atau laporan sunnah beberapa
pokok norma praktis disimpulkan melalui penafsiran. Norma-
norma tersebut kemudian juga disebut sunnah karena secara
implicit terlihat dalam sunnah tersebut.
Jadi dalam pandangannya, konsep sunnah memuat di
dalamnya tradisi yang hidup di tengah-tengah masyarakat
muslim (living tradition). Tradisi tersebut bersumber dari
sunnah Nabi (sunnah ideal yang diinterpretasi secara
kreatif oleh ra’yu dan qiyas (ijtihad). Pada waktu itu
berkembang secara pesat ijtihad personal, yakni aktifitas
pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab.
Pemikiran rasional yang juga disebut ra’yu atau personal
considered opinion (menurut istilah Rahman) ini menghasilkan
banyak sekali ide-ide di bidang hokum religious dan moral
pada kira-kira abad pertama dan awal abad kedua hijriyah.
Instrumen inilah yang digunakan oleh generasi-generasi
muslim di masa lampau sehingga teladan Nabi dapat kian
berkembang menjadi sebuah peraturan tegas dan khusus
terhadap tingkah laku manusia.21
Rahman juga mengungkapkan bahwa dalam perkembangan
Islam yang cukup panjang, hadis merupakan verbalisasi dari
konsep sunnah. Sunnah merupakan sebuah bentuk perilaku yang
bersifat situasional. Karena dalam prakteknya tidak ada dua
buah kasus yang benar-benar sama latar belakang
21 Musahadi HAM, hal. 94-95
17 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
situasionalnya, secara moral, psikologis, dan material.
Maka dari itu sunnah harus dapat dikembangkan,
diinterpretasikan, dan diadaptasikan. Dalam hal ini, sunnah
dengan sendirinya secara terus menerus mengalami evolusi
dari generasi ke generasi. Dengan begitu sunnah harus
dipandang sebagai sebuah teladan, bukan kandungan khusus
yang bersifat mutlak.
Ia juga mengemukakan, hadis dalam perkembangannya
mengalami tiga fase, yaitu: fase informal, semiformal, dan
formal. Sunnah pada fase informal terjadi pada masa Nabi
masih hidup, pembicaraan perihal Nabi hanyalah bagian dari
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari para
sahabat. Proses periwayatan (transmisi verbal) tentang Nabi
bukanlah suatu kesengajaan untuk sebuah orientasi praktis.
Karena salah satu peranan hadis yang memberikan bimbingan
dalam praktek actual masyarakat waktu itu sudah terpenuhi
oleh Nabi.
Fase semiformal terjadi seteah Nabi wafat, tepatnya
pada masa sahabat dan tabi’in senior. Pada fase ini,
penyebaran hadis Nabi mempunyai tujuan praktis, yakni
sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi praktek masyarakat
muslim, penyebaran hadis menjadi sebuah kesengajaan. Pada
masa ini, penafsiran bebas terhadap hadis Nabi oleh para
penguasa dan hakim sesuai dengan dan kondisi yang mereka
hadapi pun menjadi sebuah keniscayaan, sehingga muncullah
apa yang disebut sebagai “living sunnah”. Dampak dari
18 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
perkembangan hadis secara semiformal adalah munculnya
perbedaan praktek yang actual (living sunnah) di berbagai
daerah dalam imperium islam, bahkan terkadang saling
bertentangan.
Fase yang ketiga adalah fase formal. Fase ini menurut
adanya keseragaman dan standarisasi di seluruh dunia Islam.
Fase ini menyebabkan sunnah yang hidup yang bersifat
dinamis dengan proses interpretasi yang terus menerus
terhadapnya menjadi corpus tertutup, baku-baku dan stagnan
serta dianggap sebagai keputusan dan ketentuan yang
bersifat final demi sebuah alas an untuk keseragaman dan
penyatuan umat. Gerakan ini, dipelopori oleh al-Syafi’I
yang mempunyai tujuan menjaga stabilitas hokum dan
menumbangkan hadis-hadis palsu yang pada waktu itu
merajalela. Namun saying, pada fase inilah sunnah yang
semula bersifat dinamis menjadi baku-baku. 22
Menurut Rahman, umat Islam saat ini memerlukan upaya
metodologis demi mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke
dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui
studi historis terhadapnya. Dalam bukunya Membuka Pintu
Ijtihad, buku ini ditulis sekurang-kurangnya untuk
memperlihatkan: pertama, evolusi historis perkembangan
empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam –al-
Quran, sunnah, ijtihad, dan Ijma’. Kedua, peran actual
22 Fazlur Rahman dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh SebagaiPijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1Tahun 2014, hal. 24
19 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu
sendiri, Rahman setidaknya menemukan beberapa penemuan, 1)
dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari
otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya
menjadi hadis. 2) sunah nabi merupakan sunnah yang ideal,
dan sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan
implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap
sunnah ideal tersebut. Sedang hadis merupakan upaya
penuturan sunnah dalam suatu catatan. 3) sunnah merupakan
sebuah fenomena praktisyang ditujukan kepada norma-norma
behavioral, sedangkan hadis tidak hanya menyampaikan norma-
norma hokum tetapi juga keyakinan dan prinsip religious.23
Bereda dengan Jalaluddin Rahmat, ia mengatakan bahwa
yang beredar pertama kali di kalangan kaum muslim adalah
hadis, bukan sunnah sebagaimana yang diungkapkan oleh
Fazlurrahman. Asumsi ini didasari oleh data hisoris bahwa
sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi, hadis sudah
ada sejak masa Nabi hidup.
Kedua model pemikiran di atas, sebenarnya dapat
dikompromikan. Karena pada kenyataannya tradisi hadis dan
sunnah terjadi secara bersamaan. Hadis yang disebut
Fazlurrahman sebagai tradisi verbal sudah ada sejak masa
Nabi. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu
Hurairah, Nabi pernah memerintahkan salah satu sahabat
untuk menuliskan khubah yang baru saja disampaikannya, atas
23 Saifuddin Zuhri Qudsy dan Ali Imron, hal. 86-87
20 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
permohonan dari Abu Syah. Demikian juga sunnah tetap
dilestarikan dan dijaga oleh generasi-generasi sesudah Nabi
wafat. Kebutuhan terhadap formulasi sunnah Nabi, termasuk
sunnah yang hidup ke dalam bentuk hadis mmenjadi suatu
kebutuhan yang sangat mendesak dan mendasar. Karena dalam
jangka panjang struktur ideology-religious masyarakat
muslim akan terancam kekacauan tak berujung jika tidak ada
pangkal rujukan yang otoritatif. 24
POSISI FAZLUR RAHMAN DALAM PEMIKIRAN HADIS DAN SUNNAH
Gagasan Rahman tentang sunnah dan hadis tidaklah bisa
dipisahkan dari beberapa pemikiran dan hasil penelitian
pendahulunya baik yang muslim atau non muslim, karena
berdasarkan penelusuran, tampak bahwa pemikiran Rahman ini
merupakan hasil elaborasinya terhadap konsep sunnah dan
hadis dari kalangan ulama klasik, fundamentalis-
tradisionalis, modernis dan orientalis.
Konsep Rahman tentang sunnah dengan mengupayakan konsep
pemahaman terhadap sunnah sebagaimana yang dilakukan kaum
muslim awal sebenarnya telah dimunculkan oleh Imam al-
Syatibi (w. 790 H) pada abad ke 8 H.
Dari sini dapat dikemukakan bahwa teori Rahman tentang
sunnah dan hadis ternyata senada dengan teori al-Syatibi
24 Rahmat dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai PijakanKontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun2014, hal. 25
21 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
ini, karena jika dikaji terdapat beberapa kesamaan
prinsipil antara keduanya. Sunnah dalam pengertian apa-apa
yang dating dari Nabi adalah sunnah ideal dalam terminology
Rahman, sedang amal shahabah baik yang ditemukan dalam al-
Quran maupun sunnah atau hanya sekedar hasil ijtihad yang
mencapai kualitas ijma’ (ijtihad yang disepakati) oleh
sahabat atau generasi berikutnya disebut Rahman sebagai
“living sunnah”.
Disamping itu, sebagaimana dijelaskan dalam kegelisahan
akademik Rahman tentang sunnah dan hadis sebenarnya
merupakan respon imtelektual terhadap hasil penelitian
orientalis orientalis Barat semisal Ignaz Goldziher, Joseph
Schacht, Margoliouth dan Snock Horgonje mengenai sunnah dan
hadis yang kesemuanya mengumandangkan suara dengan nada
dasar sama yaitu skeptisme terhadap konsep sunnah dan
hadis.
Terhadap konsep sunnah dan hadis klasik, Rahman jelas-
jelas menentang. Sejak awal Rahman memang berbanding
terbalik dengan muhaddisin yang mengidentikkan sunnah
dengan hadis. Sebenarnya memang tidak lah tepat, jika
sunnah diidentikkan dengan hadis, meskipun secara
substansial memang identik. Meletakkan konsep sunnah
semaqam dengan hadis akan banyak menimbulkan kerancuan.
Jadi dengan demikian identifikasi sunnah pada hadis adalah
benar secara substansial tetapi salah secara konseptual.
22 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Dalam dataran ini, Rahman sebagaimana pemikir modern
lainnya tidak menghendaki hadis sebagai satu-satunya wahana
transmisi bagi sunnah Nabi. Rahman juga tidak menghendaki
hadis-hadis teknis yang ada sekarang ini, sebagaimana
termuat dalam dalam kitab-kitab hadis, difahami secara
harfiyah dan literal.
Metode kritik terhadap hadis yang digunakan ulama-ulama
klasik klasik untuk menentukannkeshahihan dan historisitas
hadis dianggapnya tidak valid. Pemikiran Rahman ini cukup
beralasan, mengingat perkembangan hadis di masa lampau,
lewat pendekatan sejarah (historitical approach) sebagaimana
dikemukakan Goldziher, berjalan parael dengan doktrin-
doktrin madzhab fiqih dan teologis yang kadang-kadang
sering bertabrakan, sehingga hadis-hadis yang baru
berkembang setelah abad ke 2 H terdapat kemungkinan
diformulasikan sedemikian rupa berdasarkan vested interst
tertentu setelah melewati tarik-menarik kepentingan
politis, teologis dan madzhab yang kompleks.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa
gagasan Rahman tentang sunnah dan hadis merupakan elaborasi
atas pemikiran-pemikiran tentang sunnah dan hadis baik dari
kalangan tradisionalis, modernis dan Barat. Menurut
Musahadi HAM, Rahman cukup memiliki perangkat ilmiah
kualified untuk mengelaborasi ketiga tradisi pemikiran
tersebut.
23 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
PENUTUP
Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan”
(exemplary conduct). Baik sunnah maupun hadis harus dipahami
lebih progresif dan dinamis. Menuangkan kembali atau
mencairkan kembali hadis-hadis yang telah ada ke dalam
bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) sebagaimana yang
dilakukan oleh generasi awal melalui kerangka studi
historis dan sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat
saat ini.
Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah secara
realistis berevolusi secara historis dan merupakan konsep
yang valid, tidak sebagaimana dituduhkan para orientalis
bahwa sunnah adalah buatan ulama muslim abad kedua dan
ketiga hijri. Hadis merupakan evolutif dari sunnah, yang
dimulai dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan
mendasar di kalangan umat muslim. Karena dalam jangka
panjang struktur ideology-religious masyarakat muslim akan
terancam kekacauan tak berujung jika tidak ada pangkal
rujukan yang otoritatif. Dan dalam posisis pemikirannya
tentang sunnah dan hadis, merupakan elaborasi atas
pemikiran-pemikiran tentang baik dari kalangan
tradisionalis, modernis dan Barat
24 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
DAFTAR PUSTAKA
Azami, M.M. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum. Jakarta: PustakaFirdaus, 2004
Dailamy, H.M. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan.Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press. 2010
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis Studi Kritis atas Kajian HadisKontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2004
Musahadi HAM, Hermeneutika Hadis-Hadis Hukum –Mempertimbangkangagasan Fazlur Rahman. Semarang: Wali Songo Press. 2009
Sumbulah, Ummi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN MalikiPress. 2010.
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011
25 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n
Zuhri Qudsy, Saifuddin dan Imron, Ali. Model-Model PenelitianHadis Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013
Bawaihi, Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Quran,jurnal Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013
Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan KontekstualitasPemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1Tahun 2014
Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei2011
Maridi, Perkembangan Teori Evolusi dalamhttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0CD4QFjAGahUKEwjP37TF8ZLGAhVBPqYKHdAbAGI&url=http%3A%2F%2Fmaridi.staff.fkip.uns.ac.id%2Ffiles%2F2012%2F09%2FBAB-1.-perkembangan-teori-evolusi-ok-Maridi-P.biologi-
26 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n