26
EVOLUSI SUNNAH PERSPEKTIF PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN (Antara Tradisionalis dan Orientalis) Miftakhul Maesaroh (14720052) Email: [email protected] PENDAHULUAN Hadis merupakan warisan berharga bagi umat Islam, karena hadis adalah realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran, sebagai penjelas al-Quran dan interpretasi dari kehidupan Nabi saw, sabda, perilaku dan sikap Nabi saw, dan terkadang menjadi hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah untuk memberikan petunjuk kehidupan yang benar kepada umatnya. 1 Karena demikian sentralnya posisi hadis, banyak dari kalangan yang berupaya untuk meneliti hadis kembali dengan berbagai macam tujuan, seperti halnya kaum orientalis dan juga ulama’ muslim tradisionalis dan fundamentalis. Berbagai perdebatan muncul, hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadis menghasilkan temuan yang memperkuat keberadaan hadis itu sendiri. Dan, jika ditelusuri akar dari perdebatan tersebut adalah dimulai dari pengertian hadis dan sunnah baik di kalangan muhadditsun, ushuliyun, fuqaha’, maupun orientalis. 1 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27. 1 | Evolusi Sunnah Fazlur Rahman

Evolusi Sunnah Fazlur Rahman

Embed Size (px)

Citation preview

EVOLUSI SUNNAHPERSPEKTIF PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN

(Antara Tradisionalis dan Orientalis)Miftakhul Maesaroh (14720052)Email: [email protected]

PENDAHULUAN

Hadis merupakan warisan berharga bagi umat Islam,

karena hadis adalah realisasi dari ajaran Islam yang

terkandung dalam al-Quran, sebagai penjelas al-Quran dan

interpretasi dari kehidupan Nabi saw, sabda, perilaku dan

sikap Nabi saw, dan terkadang menjadi hukum sendiri yang

tidak ada dalam al-Quran. Otoritas Nabi sebagai pembawa

risalah untuk memberikan petunjuk kehidupan yang benar

kepada umatnya.1

Karena demikian sentralnya posisi hadis, banyak dari

kalangan yang berupaya untuk meneliti hadis kembali dengan

berbagai macam tujuan, seperti halnya kaum orientalis dan

juga ulama’ muslim tradisionalis dan fundamentalis.

Berbagai perdebatan muncul, hasil-hasil penelitian yang

berhubungan dengan sanad maupun matan hadis menghasilkan

temuan yang memperkuat keberadaan hadis itu sendiri. Dan,

jika ditelusuri akar dari perdebatan tersebut adalah

dimulai dari pengertian hadis dan sunnah baik di kalangan

muhadditsun, ushuliyun, fuqaha’, maupun orientalis.

1 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27.

1 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Dari sejumlah definisi hadis dan sunnah, terutama

perspektif muhadditsun dan ushuliyun, tidak seorang ulama

pun yang mengajukan definisi hadis dan sunnah sebagai

segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi, tetapi

selalu mendefinisikan hadis sebagai segala perkataan,

perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi. Dalam

konteks ini, para ulama selalu memberikan kata “yang

disandarkan” (ma udzifa/ ma usnida), “yang dinukil” (ma nuqila),

“yang diriwayatkan “ (ma ruwiya), “yang bersumber” (ma

shudira), dan sebagainya. Tentunya hal ini berbeda dengan

ketika mereka mendefinisikan al-Quran yang semuanya sepakat

bahwa al-Quran adalah kalamullah, bukan kalam yang

disandarkan kepada Allah. 2

Hadis yang mayoritas diriwayatkan tidak secara

mutawattir, menjadikan posisi dan otoritas kesumberannya

tidak meyakinkan berasal dari Nabi. Oleh karena itu, sangat

tepat difinisi yang diajukan ulama’, bahwa tidak seorang

pun di antara mereka yang berani menjamin kepastian bahwa

semua hadis itu berasal dari nabi. Hal itu juga dapat

dikatakan sebagai bentuk kehati-hatian para ulama dalam

menisbahkan sesuatu kepada Nabi Muhammad SAW.3

Bila ditelusuri lebih lanjut, hadis dan sunnah memiliki

pengertian yang berbeda. Dalam khazanah ilmu hadis

ditemukan beberapa istilah yang dari sisi terminologis

2 Ummi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal: 8

3 Ummi Sumbulah, hal. 9

2 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

memiliki pengertian yang sama, yakni hadis, khabar, atsar

dan sunnah. Setidaknya menurut mayoritas ulama’ hadis,

keempat istilah tersebut dianggap sinonim, sehingga dalam

pemakaiannya dapat dipertukarkan satu sama lain. Sementara

sebagian ulama beranggapan bahwa tiap-tiap istilah tersebut

mempunyai kandungan makna yang berbeda.4

“Hadis” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang

aslinya berbunyi hadis atau al-hadis. Al-Fayumiy (w. 770H)

telah mengartikan kata hadis dengan: yang baru, apa-apa

yang diceritakan dengannya dan dinukilkan, dekat atau

menjelang, Jamal al-Din Muhammad bin Manzhur yang lebih

popular dengan sebutan Ibnu Manzhur (630-711 H) secara

redaksional telah mengartikan kata hadis jika dilihat dari

segi bahasa berarti: sesuatu yang baru, berita yang dating

baik sedikit atau banyak. Pakar ilmu hadis modern Muhammad

‘Ajaj al-Khathib dalam dua buah bukunya, dengan tegas

mengartikan kata hadis dari segi bahasa dengan د دي�� yang) ال�ج�baru) dan ي��ب� ر د) Hadis diartikan .(dekat) ال�ق������ دي�� dalam arti (ج��bahasa, banyak kaitannya dengan berseberangannya al-Quran

yang bersifat (م دي�� berarti yang terdahulu.5 (ق��

Sunnah dalam arti bahasa adalah al-Thariqah al-Maslukah

atau al-Sirah, artinya ialah jalan yang ditempuh atau

4 Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2011), hal. 59

5 H.M. Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (STAINPurwokerto Press: Yogyakarta, 2010), hal. 1-2

3 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

perjalanan, baik terpuji atau tercela. Sunnah dengan

pengertian seperti ini merujuk pada hadis riwayat Muslim

dari jalan Jabir bin Abdillah. Betapapun ulama pada umumnya

secara substansial menyamakan arti sunnah dengan hadis

(jika dilihat dari segi istilah). Namun, secara esensial

antara keduanya ada perbedaan, walaupun keduanya bersumber

dari yang sama yakni Rasulullah.6

Dalam jurnal ini, peneliti memberikan sumbangsih kajian

dalam menyelami pemikiran Fazlur Rahman tentang evolusi

sunnah. Evolusi merupakan ilmu yang mempelajari perubahan

yang secara berangsur-angsur menuju ke arah yang sesuai

dengan masa dan tempat. 7

Hadis yang merupakan refleksi dari sunnah adalah sebuah

pernyataan historis yang bersifat singular dan bukan

merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu

dari masa silam. Dengan demikian, setiap hadis adalah suatu

pernyataan singular di sekitar Rasulullah Saw.

Diskursus pemikiran sunnah yang dilakukan para pemikir

Islam (insider) dan para orientalis (outsider) adalah dinamika

yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-Pakistan merupakan

representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji

sunnah dalam konteks evolusi historisitas hadis. Ignaz6 H.M. Dailamy, hal. 7 7 Maridi, Perkembangan Teori Evolusi dalam http://www.google.com/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0CD4QFjAGahUKEwjP37TF8ZLGAhVBPqYKHdAbAGI&url=http%3A%2F%2Fmaridi.staff.fkip.uns.ac.id%2Ffiles%2F2012%2F09%2FBAB-1.-perkembangan-teori-evolusi-ok-Maridi-P.biologi-FKIP-UNS.pdf&ei=VGR_Vc_lKcH8mAXQt4CQBg&usg=AFQjCNFizKIRtPBw5LQL9cXRYvwwUPx56w&sig2=STPHgMai8-0eASdRR8whvA&bvm=bv.95515949,d.dGY

4 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Goldziher, Joseph Schacht, dan tokoh non-muslim lain yang

merupakan reperesentasi dari kalangan orientalis juga

mengkajinya secara sama. Dalam kajian mereka, diakui atau

tidak problem akademis muncul dan menarik untuk diteliti.

Representasi dari kalangan muslim yang juga memunculkan

problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang skeptis

terhadap sunnah dan hadis. 8

Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur Rahman

adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis

tentang hadis atau sunnah. Ia merespons tantangan yang

muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri dan para

orientalis. Maka dari itu, dalam jurnal ini pembahasan

difokuskan menjadi: 1) Bagaimana respon Fazlur Rahman

terhadap validitas sunnah, dan 2) Bagaimana konsep evolusi

sunnah menurut Fazlur Rahman.

BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN

Fazlur Rahman lahir di Hazara—kini bagian dari negara

Pakistan pada 21 September 1919. Situasi ketika dia lahir

memberi pengaruh bagi perkembangan pemikirannya kelak.

Rahman dilahirkan di tengah keluarga yang berlatar belakang

mazhab Hanafi, mazhab Sunni yang relatif lebih rasional

ketimbang tiga mazhab Sunni lainnya, yaitu Syafi’i, Maliki,

dsan Hambali. Ayahnya adalah seorang ulama tradisional yang

menanamkan pendidikan dasar keagamaan.

8 Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 176

5 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Meski dibesarkan dalam kultur tradisional, sejak umur

belasan tahun dia melepaskan diri dari lingkup pemikiran

yang sempit dalam batas-batas tradisi bermazhab untuk

selanjutnya mengembangkan pemikirannya. Sekolah modern dia

masuki di Lahore pada 1933. Pendidikan tingginya ditempuh

di Jurusan Bahasa Arab Punjab University. Dia menyelesaikan

BA pada 1940. Gelar master untuk jurusan ketimuran diraih

pada 1942 di universitas yang sama.

Menyadari bahwa mutu pendidikan di India kala itu

rendah, Rahman memutuskan memperdalam ilmunya di Inggris.

Keputusan ini tergolong berani, sebab terdapat anggapan

bahwa aneh jika seorang Muslim belajar Islam di Eropa.

Kalaupun ada yang berhasil, orang tersebut sulit diterima

kembali oleh masyarakatnya. Bahkan tidak jarang di antara

mereka mengalami penindasan. Tapi anggapan itu tidak cukup

menghalangi Rahman. Pada 1946 dia masuk Oxford University,

dan menyandang gelar doktor di bidang sastra pada 1950.

Selama studi, dia berkesempatan mempelajari bahasa-

bahasa Eropa. Dari karya-karyanya, setidaknya ia menguasai

bahasa Inggris, Latin, Yunani, Prancis, Jerman, dan Turki,

di samping Arab, Urdu, dan Persia. Setamat dari Oxford,

Rahman tidak lantas pulang ke Pakistan. Dia memilih menjadi

pengajar di Eropa. Dia menjadi dosen bahasa Persia dan

filsafat Islam di Durham University, Inggris, pada 1950-

1958. Selanjutnya, atas berbagai pertimbangan, dia pindah

6 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

ke McGill University di Kanada dan menjadi associate professor

pada bidang Islamic Studies.

Namun tiga tahun kemudian, semangat patriotik

mengalahkan segalanya. Setelah pemerintahan bergulir di

tangan Ayyub Khan yang modern, Rahman terpanggil untuk

membenahi negerinya. Rahman rela meninggalkan karier

akademisnya demi tantangan yang menghadang di negeri

sendiri. Ia lalu ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga

Riset Islam selama satu periode (1961-1968). Ia juga

tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam,

sebuah lembaga. pembuat kebijakan tertinggi di Pakistan.

Saat-saat itu memberinya kesempatan untuk meninjau praktik

kekuasaan dari dekat. Di masa itu pula dia memprakarsai

penerbitan Journal of Islamic Studies, tempat ia menampungkan

gagasa-gagasannya.

Pada 1970 Rahman berangkat ke Chicago dan dinobatkan

menjadi guru besar dalam bidang pemikiran Islam di

Universitas Chicago. Tapi sebenarnya pada 1968 Rahman sudah

diterima sebagai dosen di Universitas California.

Universitas Chicago memberinya tempat melahirkan banyak

karya. Tempat itulah yang menjadi persinggahan terakhirnya

hingga wafat pada 26 Juli 1988. Selama 18 tahun

terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia

kerap memberi kuliah di universitas lain. Dialah Muslim

pertama penerima medali Giorgio Levi della Vida yang

melambangkan punak prestasi dalam bidang studi peradaban

7 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Islam dari Gustave E. von Grunebaum Center for Near Eastern

Studies Universitas California.9

KEGELISAHAN AKADEMIK FAZLUR RAHMAN TENTANG SUNNAH

Fazlur Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah

secara realistis berevolusi secara historis. Pendekatan

Rahman ini merupakan respons terhadap para orientalis

ketika ia berada di Barat dan respons terhadap ulama Islam

tradisonal dan fundamental yang menghujatnya sewaktu ia

berada di Pakistan, juga sebagai respons terhadap tokoh

Islam modernis.10

Bagi Goldziher, hadis Nabi bukanlah representasi

kelahiran Islam, tetapi merupakan refleksi atas tendensi-

tendensi masa awal perkembangan masyarakat. Dengan kata

lain, hadis adalah tradisi masyarakat Arab. Goldziher

menilai bahwa hadis bukanlah sumber terpercaya bagi awal-

awal Islam, namun hanya menjadi sumber yang sangat bernilai

bagi dogma, konflik, dan perhatian muslim belakangan yang

telah menyebarkan hadis. Skeptisisme Goldziher ini kemudian

diadopsi oleh Leone Caetani dan Henri Lammens, dengan

menyatakan dengan menyatakan bahwa hamper semua riwayat

tentang kehidupan Nabi adalah meragukan (apocryphal). 11

9 Bawaihi, Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Quran, jurnal Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013

10 Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 179

11 Kamarudin Amin dalam Ummi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang:UIN Maliki Press, 2010), hal: 170

8 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Namun, ia mengakui adanya sunnah bagi umat Islam yang

diartikannya sebagai norma norma praktis yang ditarik dari

ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang diwartakan. Dengan

demikian, ia mendefinisikan sunnah sebagai praktik yang

hidup. Konsekuensi logisnya, Goldziher menyimpulkan bahwa

produk-produk kompilasi hadis tidak dipercaya sebagai

sumber ajaran dan perilaku Nabi Muhammad sendiri. Sementara

tentang sunnah, ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada

pada masa Arab pra Islam dengan makna tradisi, adat, dan

kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan.

Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini berubah menjadi

model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra

Islam berakhir.

Tokoh orientalis yang lain adalah Joseph Schacht.

Menurut Schacht, konsep sunnah merupakan kreasi umat Islam

belakangan. Al-Syafi‘I merupakan ahli hukum Islam pertama

yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunnah

sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi

Nabi. Menurutnya, bagi generasi sebelum al-Syafi‘i, sunnah

mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang

membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama dengan

praktik yang disepakati secara umum. Menurutnya “tradisi

yang hidup” mendahului hadis Nabi. Artinya, beredarnya

hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tabi‘in,

kemudian pada sahabat, dan akhirnya pada Nabi.12

12 M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 45

9 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Menurut ‘Azami, dibanding dengan pendahulunya, Ignaz

Goldziher, Joseph Schacht memiliki keunggulan. Apabila

Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang

disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi,

maka Joseph Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada

satu pun hadis yang otentik dari Nabi, khususnya hadis-

hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.13

Di sisi lain, kenyataan bahwa hadis dan sunnah

digunakan secara literal dan dianggap sebagai satu patokan

harga mati, menjadi kegelisahan Fazlur Rahman. Karena bagi

Rahman, hadis dan sunnah seharusnya bergerak dinamis sesuai

dengan ruang dan waktu . Terlebih bila kita melihat pada

masa awal-awal perkembangannya, sunnah begitu hidup dan

penafsirannya senantiasa berkembang. Namun dalam

perkembangan berikutnya, tepatnya ketika muncul aksi

penutupan pintu ijtihad di masa-masa pertengahan, sunnah

dan hadis lantas menjadi mati, beku dan seolah tak memiliki

daya gerak. Sehingga Rahman berpendapat, walaupun secara

formal pintu ijtihad tidak pernah ditutup, namun taqlid atau

menerima otoritas secara mentah-mentah berkembang

sedemikian suburnya hingga secara praktis, ijtihad menjadi

tidak ada 14

Kemandegan ijtihad ditengarai Rahman sebagai penyebab

kemandegan intelektual yang terjadi pada para sarjana

13 M.M. Azami, dalam kata pengantar14 Saifuddin Zuhri Qudsy dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis

Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 76

10 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

muslim. Hal ini memang setidaknya bisa dilihat dari masa

kemunduran fiqih Islam yang berlangsung pada abad ke empat

bahkan jauh sebelumnya pada abad kedua. Pada abad-abad

tersebut memang masa munculnya madzhab-madzhab. Imam

Syafi’I, disebut-sebut sebagai salah satu actor intelektual

yang berada dibalik agenda ditutupnya pintu ijtihad melalui

program qiyas maupun ijma’nya.15

Menurut Rahman, pada masa sahabat periode I, umat Islam

menggunakan dua sumber yakni al-Quran dan sunnah dengan

sangat dinamis dan historis, tetapi pada akhir periode I

dan awal periode II pemikiran keagamaan Islam menjadi

formal, kaku, dan normative. Hadis oleh para ulama dipegang

sebagai sesuatu yang given dan harga mati, dengan menafikan

suasana historis dan gerak dinamis yang ada pada suatu

hadis, terutama berkaitan dengan hadis-hadis muamalah.

Padahal sebenarnya menurut Rahman, hadis itu muncul

belakangan setelah adanya gerakan pencarian hadis.

Sebelumnya hadis-hadis tersebut masih berupa sunnah yang

hidup dengan tradisi oral, yang di kemudian hari sunnah itu

menjadi sebuah konsensus (ijma’) yang dinamis dan hidup.16

Di tengah kegelisahannya, kemudian Rahman menjelaskan

beberapa sebab penolakan sarjana Barat terhadap hadis.

Menurut Rahman, mereka menemukan:

15 Saifuddin, hal. 7916 Saifuddin, hal. 82

11 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

1) Bahwa sebagian besar kandungan sunnah merupakan

tindak lanjut dari kebiasaan dan adat istiadat praIslam;

2) Bahwa sebagian besar kandungan sunnah merupakan

hasil aktivitas pemikiran bebas ahli hukum Islam

awal yang, dengan ijtihad, telah membuat beberapa

deduksi dari sunnah dan menambahkan elemen-elemen

baru, terutama dari sumber-sumber Yahudi dan

praktik pemerintahan Bizantium serta Persia

3) Ketika hadis berkembang menjadi gerakan yang besar

dan menjadi fenomena massif pada akhir abad kedua,

khususnya abad ketiga H, seluruh kandungan sunnnah

yang awal dihubungkan secara verbal kepada Nabi dibawah lindungan konsep sunnah.17

KONSEP SUNNAH MENURUT FAZLUR RAHMAN

Pemikiran para orientalis tentang teori evolusi

direspons oleh Rahman. Dalam kajiannya, Rahman

mengkonfirmasi temuan dan teori para orientalis tentang

evolusi sunnah dan hadis, tetapi ia tidak sepakat dengan

teori yang dikemukakan bahwa konsep sunnah merupakan

kreasi kaum muslim belakangan. Menurutnya, konsep sunnah

yang merupakan kreasi umat Islam belakangan dalam

pandangan orientalis dinilai tidak valid. Menurutnya,

17 Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, hal. 181

12 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

sunnah adalah konsep yang valid dan operatif sejak awal

Islam dan berlaku sepanjang masa.

Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan”

(exemplary conduct). Pengertian semacam ini sangat dekat

maknanya dengan uswah. Kesimpulan yang diambil oleh Rahman

bahwa sunnah merupakan konsep pengayom. Konsepsi ini secara

jelas mengisyaratkan bahwa Rahman berupaya meluruskan

kekeliruan pemikiran tentang sunnah yang dimunculkan para

orientalis.

Untuk memperkuat gagasan, Rahman mengajukan sistem

periwayatan. Menurutnya, periwayatan hadis telah ada sejak

zaman Rasulullah. Untuk membuktikan hal itu, Rahman

mengambil contoh surat Hasan al-Basri yang ditujukan kepada

‘Abd al-Malik bin Marwan, Rahman juga mengutip kebiasaan

Imam Malik dalam al-Muwatta’ yang biasanya mengutip terlebih

dahulu riwayat hadis dalam menjawab setiap masalah yang

dihadapi, kemudian menyampaikan pernyataan seperti: “dan

ini pun merupakan sunnah kita...,” “sunnah bagi kita

adalah...,” kadang-kadang ia menggunakan istilah “sunnah

yang kita akui adalah....” Imam Malik, misalnya mengutip

hadis yang menegaskan bahwa Nabi menjamin hak Shuf‘ah kepada

seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya, lalu

Malik menyatakan “dan hal ini merupakan sunnah bagi kita.”

Selain data periwayatan, Rahman menyampaikan data

historis yang berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang

penyair pro Hasyimi yang hidup antara akhir abad pertama

13 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

sampai awal abad kedua H. Di dalam syair terdapat “sunah”

yang menurutnya tidak dapat diartikan lain kecuali sunnah

Nabi. Rahman juga menyajikan data historis lain dengan

merujuk kepada kitab al-Kharaj. Dalam kitab ini dijelaskan

bahwa ‘Umar bin Khattab pernah mengirimkan beberapa orang

ke daerah tertentu untuk mengajarkan al-Qur’an dan sunnah.

Dalam informasi ini Rahman menjelaskan, kesadaran yang

berkembang pada saat itu bahwa al-Qur’an tidak dapat

diajarkan tanpa mempertimbangkan aktivitas Rasulullah.

Aktivitas Rasul mencakup bidang politik, kepemimpinan,

pengambilan keputusan, dan lain-lain. 18

Dengan demikian, al- Qur’an dan sunnah terdapat

pertalian yang utuh. Data-data historis yang diungkap oleh

Rahman tentang validitas sunnah sebagai jawaban terhadap

tantangan orientalis. Analisis historis sebagai respons

terhadap wacana ilmiah yang berkembang merupakan kepedulian

sumbangan besar Rahman dalam diskursus kontemporer.

Baik sunnah maupun hadis harus dipahami lebih progresif

dan dinamis. Menuangkan kembali atau mencairkan kembali

hadis-hadis yang telah ada ke dalam bentuk sunnah yang

hidup (living sunnah_ sebagaimana yang dilakukan oleh

generasi awal melalui kerangka studi historis dan

sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat saat ini. Hal

ini penting dilakukan mengingat aneka ragam unsure dalam

hadis dan reinterpretasi terhadapnya harus selalu dan

18 Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, hal. 183-184

14 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

selaras dengan perubahan-perubahan kondisi social moral

saat ini. Penafsiran situasional dan historis dalam bentuk

sunnah yang hidup akan membuat kaum muslim dapat

menyimpulkan norma-norma dari hadis untuk kepentingan

kebutuhan zamannya. 19

EVOLUSI SUNNAH FAZLUR RAHMAN

Ulama muhaddisin sebagaimana telah ditunjukkan

sebelumnya berpandangan bahwa hadis dan sunnah merupakan

dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga

sering digunakan secara bergantian untuk menyebut hal

ikhwal tentang nabi. Akan tetapi kajian terhadap berbagai

literature awal menunjukkan bahwa hadis dan sunnah

merupakan dua hal yang berbeda.

Hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan tiga tokoh

berikut, yakni Sufyan al Sawriy (w. 161 H), al-Auza’y (w.

157 H), dan Malik bin Annas (w. 179 H). Seorang kritikus

terkenal ‘Abd al-Rahman al-Mahdi (w. 198 H) mengatakan:

Sufyan al-Sawriy adalah pakar dalam hadis tetapi bukan

pakar dalam sunnah dan al-Awza’iy adalah pakar dalam sunnah

tetapi bukan pakar dalam hadis, sedang Malik adalah pakar

dalam keduanya. 20

19 Fazlur Rahman dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh SebagaiPijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1Tahun 2014, hal. 24

20 Musahadi HAM, Hermeneutika Hadis-Hadis Hukum –Mempertimbangkan gagasan Fazlur Rahman-, (Semarang: Wali Songo Press, 2009), hal. 32

15 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Berbeda dengan kalangan ahli hadis (tradisionist), yang

mengidentikkan pengertian antara sunnah dengan hadis,

Fazlur Rahman melalui pendekatan sejarah membedakan

pengertian keduanya secara jelas. Dengan meneliti data-data

sejarah, Rahman mengemukakan teorinya tentang asal usul

perkembangan sunnah secara sistematis.

Dalam penelitian yang ia lakukan, Rahman sampai

berkesimpulan bahwa sunnah dalam konsepsi awalnya

mengandung tiga kategori, pertama ialah sunnah ideal yaitu

sunnah (tradisi praktikal) dan hadis (tradisi verbal) yang

ada secara bersama dan memiliki substansi yang sama.

Keduanya dinisbatkan dan diarahkan kepada Nabi dan

memperoleh normatifitas dari beliau.

Kedua, adalah living tradition (tradisi yang hidup), yakni

bermula dari sunnah ideal yang telah mengalami penafsiran-

penafsiran sehingga menjadi praktek actual masyarakat

muslim. Sebagai praktek actual dari masyarakat yang hidup,

maka living tradition tersebut secara terus menerus menjadi

subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan dan perubahan-

perubahan. Modifikasi dan perubahan-perubahan ini sebagai

implikasi dari perkembangan masyarakat yang bertambah luas

dengan cepat sehingga menimbulkan persoalan-persoalan dan

situasi-situasi controversial yang pada gilirannya

mendorong munculnya problematika-problematika hokum, moral,

dan teologis yang komplek.

16 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Ketiga, adalah kesimpulan yang ditarik dari keduanya.

Artinya, dari sebuah hadis atau laporan sunnah beberapa

pokok norma praktis disimpulkan melalui penafsiran. Norma-

norma tersebut kemudian juga disebut sunnah karena secara

implicit terlihat dalam sunnah tersebut.

Jadi dalam pandangannya, konsep sunnah memuat di

dalamnya tradisi yang hidup di tengah-tengah masyarakat

muslim (living tradition). Tradisi tersebut bersumber dari

sunnah Nabi (sunnah ideal yang diinterpretasi secara

kreatif oleh ra’yu dan qiyas (ijtihad). Pada waktu itu

berkembang secara pesat ijtihad personal, yakni aktifitas

pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab.

Pemikiran rasional yang juga disebut ra’yu atau personal

considered opinion (menurut istilah Rahman) ini menghasilkan

banyak sekali ide-ide di bidang hokum religious dan moral

pada kira-kira abad pertama dan awal abad kedua hijriyah.

Instrumen inilah yang digunakan oleh generasi-generasi

muslim di masa lampau sehingga teladan Nabi dapat kian

berkembang menjadi sebuah peraturan tegas dan khusus

terhadap tingkah laku manusia.21

Rahman juga mengungkapkan bahwa dalam perkembangan

Islam yang cukup panjang, hadis merupakan verbalisasi dari

konsep sunnah. Sunnah merupakan sebuah bentuk perilaku yang

bersifat situasional. Karena dalam prakteknya tidak ada dua

buah kasus yang benar-benar sama latar belakang

21 Musahadi HAM, hal. 94-95

17 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

situasionalnya, secara moral, psikologis, dan material.

Maka dari itu sunnah harus dapat dikembangkan,

diinterpretasikan, dan diadaptasikan. Dalam hal ini, sunnah

dengan sendirinya secara terus menerus mengalami evolusi

dari generasi ke generasi. Dengan begitu sunnah harus

dipandang sebagai sebuah teladan, bukan kandungan khusus

yang bersifat mutlak.

Ia juga mengemukakan, hadis dalam perkembangannya

mengalami tiga fase, yaitu: fase informal, semiformal, dan

formal. Sunnah pada fase informal terjadi pada masa Nabi

masih hidup, pembicaraan perihal Nabi hanyalah bagian dari

peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari para

sahabat. Proses periwayatan (transmisi verbal) tentang Nabi

bukanlah suatu kesengajaan untuk sebuah orientasi praktis.

Karena salah satu peranan hadis yang memberikan bimbingan

dalam praktek actual masyarakat waktu itu sudah terpenuhi

oleh Nabi.

Fase semiformal terjadi seteah Nabi wafat, tepatnya

pada masa sahabat dan tabi’in senior. Pada fase ini,

penyebaran hadis Nabi mempunyai tujuan praktis, yakni

sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi praktek masyarakat

muslim, penyebaran hadis menjadi sebuah kesengajaan. Pada

masa ini, penafsiran bebas terhadap hadis Nabi oleh para

penguasa dan hakim sesuai dengan dan kondisi yang mereka

hadapi pun menjadi sebuah keniscayaan, sehingga muncullah

apa yang disebut sebagai “living sunnah”. Dampak dari

18 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

perkembangan hadis secara semiformal adalah munculnya

perbedaan praktek yang actual (living sunnah) di berbagai

daerah dalam imperium islam, bahkan terkadang saling

bertentangan.

Fase yang ketiga adalah fase formal. Fase ini menurut

adanya keseragaman dan standarisasi di seluruh dunia Islam.

Fase ini menyebabkan sunnah yang hidup yang bersifat

dinamis dengan proses interpretasi yang terus menerus

terhadapnya menjadi corpus tertutup, baku-baku dan stagnan

serta dianggap sebagai keputusan dan ketentuan yang

bersifat final demi sebuah alas an untuk keseragaman dan

penyatuan umat. Gerakan ini, dipelopori oleh al-Syafi’I

yang mempunyai tujuan menjaga stabilitas hokum dan

menumbangkan hadis-hadis palsu yang pada waktu itu

merajalela. Namun saying, pada fase inilah sunnah yang

semula bersifat dinamis menjadi baku-baku. 22

Menurut Rahman, umat Islam saat ini memerlukan upaya

metodologis demi mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke

dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui

studi historis terhadapnya. Dalam bukunya Membuka Pintu

Ijtihad, buku ini ditulis sekurang-kurangnya untuk

memperlihatkan: pertama, evolusi historis perkembangan

empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam –al-

Quran, sunnah, ijtihad, dan Ijma’. Kedua, peran actual

22 Fazlur Rahman dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh SebagaiPijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1Tahun 2014, hal. 24

19 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu

sendiri, Rahman setidaknya menemukan beberapa penemuan, 1)

dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari

otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya

menjadi hadis. 2) sunah nabi merupakan sunnah yang ideal,

dan sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan

implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap

sunnah ideal tersebut. Sedang hadis merupakan upaya

penuturan sunnah dalam suatu catatan. 3) sunnah merupakan

sebuah fenomena praktisyang ditujukan kepada norma-norma

behavioral, sedangkan hadis tidak hanya menyampaikan norma-

norma hokum tetapi juga keyakinan dan prinsip religious.23

Bereda dengan Jalaluddin Rahmat, ia mengatakan bahwa

yang beredar pertama kali di kalangan kaum muslim adalah

hadis, bukan sunnah sebagaimana yang diungkapkan oleh

Fazlurrahman. Asumsi ini didasari oleh data hisoris bahwa

sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi, hadis sudah

ada sejak masa Nabi hidup.

Kedua model pemikiran di atas, sebenarnya dapat

dikompromikan. Karena pada kenyataannya tradisi hadis dan

sunnah terjadi secara bersamaan. Hadis yang disebut

Fazlurrahman sebagai tradisi verbal sudah ada sejak masa

Nabi. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu

Hurairah, Nabi pernah memerintahkan salah satu sahabat

untuk menuliskan khubah yang baru saja disampaikannya, atas

23 Saifuddin Zuhri Qudsy dan Ali Imron, hal. 86-87

20 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

permohonan dari Abu Syah. Demikian juga sunnah tetap

dilestarikan dan dijaga oleh generasi-generasi sesudah Nabi

wafat. Kebutuhan terhadap formulasi sunnah Nabi, termasuk

sunnah yang hidup ke dalam bentuk hadis mmenjadi suatu

kebutuhan yang sangat mendesak dan mendasar. Karena dalam

jangka panjang struktur ideology-religious masyarakat

muslim akan terancam kekacauan tak berujung jika tidak ada

pangkal rujukan yang otoritatif. 24

POSISI FAZLUR RAHMAN DALAM PEMIKIRAN HADIS DAN SUNNAH

Gagasan Rahman tentang sunnah dan hadis tidaklah bisa

dipisahkan dari beberapa pemikiran dan hasil penelitian

pendahulunya baik yang muslim atau non muslim, karena

berdasarkan penelusuran, tampak bahwa pemikiran Rahman ini

merupakan hasil elaborasinya terhadap konsep sunnah dan

hadis dari kalangan ulama klasik, fundamentalis-

tradisionalis, modernis dan orientalis.

Konsep Rahman tentang sunnah dengan mengupayakan konsep

pemahaman terhadap sunnah sebagaimana yang dilakukan kaum

muslim awal sebenarnya telah dimunculkan oleh Imam al-

Syatibi (w. 790 H) pada abad ke 8 H.

Dari sini dapat dikemukakan bahwa teori Rahman tentang

sunnah dan hadis ternyata senada dengan teori al-Syatibi

24 Rahmat dalam Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai PijakanKontekstualitas Pemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1 Tahun2014, hal. 25

21 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

ini, karena jika dikaji terdapat beberapa kesamaan

prinsipil antara keduanya. Sunnah dalam pengertian apa-apa

yang dating dari Nabi adalah sunnah ideal dalam terminology

Rahman, sedang amal shahabah baik yang ditemukan dalam al-

Quran maupun sunnah atau hanya sekedar hasil ijtihad yang

mencapai kualitas ijma’ (ijtihad yang disepakati) oleh

sahabat atau generasi berikutnya disebut Rahman sebagai

“living sunnah”.

Disamping itu, sebagaimana dijelaskan dalam kegelisahan

akademik Rahman tentang sunnah dan hadis sebenarnya

merupakan respon imtelektual terhadap hasil penelitian

orientalis orientalis Barat semisal Ignaz Goldziher, Joseph

Schacht, Margoliouth dan Snock Horgonje mengenai sunnah dan

hadis yang kesemuanya mengumandangkan suara dengan nada

dasar sama yaitu skeptisme terhadap konsep sunnah dan

hadis.

Terhadap konsep sunnah dan hadis klasik, Rahman jelas-

jelas menentang. Sejak awal Rahman memang berbanding

terbalik dengan muhaddisin yang mengidentikkan sunnah

dengan hadis. Sebenarnya memang tidak lah tepat, jika

sunnah diidentikkan dengan hadis, meskipun secara

substansial memang identik. Meletakkan konsep sunnah

semaqam dengan hadis akan banyak menimbulkan kerancuan.

Jadi dengan demikian identifikasi sunnah pada hadis adalah

benar secara substansial tetapi salah secara konseptual.

22 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Dalam dataran ini, Rahman sebagaimana pemikir modern

lainnya tidak menghendaki hadis sebagai satu-satunya wahana

transmisi bagi sunnah Nabi. Rahman juga tidak menghendaki

hadis-hadis teknis yang ada sekarang ini, sebagaimana

termuat dalam dalam kitab-kitab hadis, difahami secara

harfiyah dan literal.

Metode kritik terhadap hadis yang digunakan ulama-ulama

klasik klasik untuk menentukannkeshahihan dan historisitas

hadis dianggapnya tidak valid. Pemikiran Rahman ini cukup

beralasan, mengingat perkembangan hadis di masa lampau,

lewat pendekatan sejarah (historitical approach) sebagaimana

dikemukakan Goldziher, berjalan parael dengan doktrin-

doktrin madzhab fiqih dan teologis yang kadang-kadang

sering bertabrakan, sehingga hadis-hadis yang baru

berkembang setelah abad ke 2 H terdapat kemungkinan

diformulasikan sedemikian rupa berdasarkan vested interst

tertentu setelah melewati tarik-menarik kepentingan

politis, teologis dan madzhab yang kompleks.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa

gagasan Rahman tentang sunnah dan hadis merupakan elaborasi

atas pemikiran-pemikiran tentang sunnah dan hadis baik dari

kalangan tradisionalis, modernis dan Barat. Menurut

Musahadi HAM, Rahman cukup memiliki perangkat ilmiah

kualified untuk mengelaborasi ketiga tradisi pemikiran

tersebut.

23 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

PENUTUP

Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan”

(exemplary conduct). Baik sunnah maupun hadis harus dipahami

lebih progresif dan dinamis. Menuangkan kembali atau

mencairkan kembali hadis-hadis yang telah ada ke dalam

bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) sebagaimana yang

dilakukan oleh generasi awal melalui kerangka studi

historis dan sosiologis merupakan sebuah kebutuhan umat

saat ini.

Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah secara

realistis berevolusi secara historis dan merupakan konsep

yang valid, tidak sebagaimana dituduhkan para orientalis

bahwa sunnah adalah buatan ulama muslim abad kedua dan

ketiga hijri. Hadis merupakan evolutif dari sunnah, yang

dimulai dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan

mendasar di kalangan umat muslim. Karena dalam jangka

panjang struktur ideology-religious masyarakat muslim akan

terancam kekacauan tak berujung jika tidak ada pangkal

rujukan yang otoritatif. Dan dalam posisis pemikirannya

tentang sunnah dan hadis, merupakan elaborasi atas

pemikiran-pemikiran tentang baik dari kalangan

tradisionalis, modernis dan Barat

24 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

DAFTAR PUSTAKA

Azami, M.M. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum. Jakarta: PustakaFirdaus, 2004

Dailamy, H.M. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan.Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press. 2010

Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis Studi Kritis atas Kajian HadisKontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2004

Musahadi HAM, Hermeneutika Hadis-Hadis Hukum –Mempertimbangkangagasan Fazlur Rahman. Semarang: Wali Songo Press. 2009

Sumbulah, Ummi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN MalikiPress. 2010.

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011

25 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n

Zuhri Qudsy, Saifuddin dan Imron, Ali. Model-Model PenelitianHadis Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013

Bawaihi, Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Quran,jurnal Media Akademika, Vol. 28, No. 1, Januari 2013

Nasrullah, Rekronstruksi Definisi Sunnahh Sebagai Pijakan KontekstualitasPemahaman Hadis, jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 1Tahun 2014

Sahid HM, Sejarah Evolusi Sunnah, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei2011

Maridi, Perkembangan Teori Evolusi dalamhttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0CD4QFjAGahUKEwjP37TF8ZLGAhVBPqYKHdAbAGI&url=http%3A%2F%2Fmaridi.staff.fkip.uns.ac.id%2Ffiles%2F2012%2F09%2FBAB-1.-perkembangan-teori-evolusi-ok-Maridi-P.biologi-

26 | E v o l u s i S u n n a h F a z l u r R a h m a n