Upload
ui
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Eksklusi Film& Sineas Indonesia dari Pasar Film Domestik
Fazar R. Sargani (1106059221)
Industri perfilman merupakan industri yang memiliki rentang yang panjang dari hulu
sampai hilir. Di hulu industri perfilman berbicara mengenai produksi film yang melibatkan
rumah produksi, sutradara, kru, efek visual dan audio juga melibatkan pemeran. Atau industri
hulu ini bisa juga disebut sebagai industri film making. Di rentang berikutnya, yakni rentang
menengah,bergelut dengan ekspor, impor dan distribusi film atau dapat juga disebut industri
film disribution. Sedangkan di hilir, industri perfilman berkenaan dengan penayangan yang
bersentuhan langsung dengan konsumen. Ranah hilir industri pefilman ini dapat disebut
industri viewing1. Paper ini akan membahas sedikit mengenai tereksklusinya film sekaligus
sineas perfilman Indonesia di pasar domestik eksebisi film (industri hilir).
Pasar eksebisi dapat diartikan sebagai pasar yang terdiri dari perusahaan-perusahaan
yang bersaing untuk menjual, dalam artian menayangkan, film kepada konsumen. Mengingat
pasar eksebisi film berhubungan dengan penayangan film, maka pasar eksebisi film
berbentuk bioskop-bioskop yang terdiri dari layar-layar yang menayangkan film-film. Pasar
domestik eksebisi film di Indonesia ada tiga perusahaan yang bergelut di dalamnya. Tiga
perusahaan tersebut adalah Grup 21, Blitz Megaplex dan bioskop-bioskop independen yang
dikelompokkan menjadi satu.
1 Pembagian ini didasarkan berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam Peraturan Presiden No 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yag Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Bidang Penanaman Modal halaman 67.
Sumber: Data Persebaran Bioskop dan Layar filmindonesia.or.id
21 XXI PREMIERE IMAX
58 88 25 3 174 83,3% 10 4,8% 25 11,9% 209
233 464 38 3 738 81,8% 86 9,5% 78 8,6% 902
44,053 59,054 902 930 104,939 86,9% 15,695 13,1% 0 0 120,634
TOTAL
JUMLAH BIOSKOP
JUMLAH LAYAR
JUMLAH KURSI
TOTALBLITZMEGAPLEX INDEPENDEN
GRUP 21
Lalu bagaimana keadaan pasar eksebisi film di Indonesia? Maksud dari „keadaan‟
adalah persaingan antara ketiga perusahaan yang terlibat di pasar itu. Grup 21 masih menjadi
perusahaan yang mengusai paras eksebisi film di Indonesia. Ini ditunjukkan dengan
perbandingan yang begitu besar antara bioskop-bioskop dan layar-layar yang dimilikinya dan
para pesaingnya, yakni Blitz Megaplex dan bioskop-bioskop Independen.
Seperti yang digambarkan Tabel 1, 83.3 persen bioskopyang tersebar seluruh
Indonesia dikuasai oleh Grup 21. Sedangkan Blitz Megaplex memiliki 4.8 persendan
kumpulan bioskop independen seluruh Indonesia hanya memiliki 11.9 persen dari total
bioskop di Indonesia. Sedangkan jumlah layar yang dimiliki oleh Grup 21 sebesar 81.8
persen dari total 902 layar di seluruh Indonesia. 9.5 persen dimiliki oleh Blitz, dan sisanya
8.6 pesen dimiliki oleh bioskop-bioskop independen. Terlihat walau Blitz memiliki jumlah
bioskop yang lebih sedikit daripada kumpulan bioskop independen, tetapi jumlah layar yang
dimiliki mereka lebih banyak daripada layar atau studio yang dimiliki oleh kumpulan bisokop
independen. Hal ini disebabkan dalam satu bioskop, Blitz dapat memiliki banyak studio,
sedangkan bioskop-bioskop independen biasanya hanya memiliki satu atau dua layar saja
dalamsatu bioskop yang mereka miliki masing-masing.
Tabel 1. Jumlah Bioskop, Layar dan Kursi di Indonesia
Sumber: Data Jumlah Bioskop Layar dan Harga Tiket 17 Mei 2014 filmindonesia.or.id
Kemudian, apa dampak pasar eksebisi film domestik yang dimonopoli oleh eksibitor
Grup 21 itu terhadap film Indonesia? Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan undang-
undang guna memproteksi penayangan film Indonesia dalam Undang-Undang No. 33 Tahun
2009 Tentang Perfilman pasal 32 yang berbunyi:
“Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam
puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6
(enam) bulan berturut-turut.”
Secara tersurat undang-undang tersebut menetapkan kouta minimal penayangan film
Indonesia sebesar 60 persen dari total jam penayangan tiap enam bulan di seluruh bioskop di
Indonesia. Dengan mengacu pada udang-undang tersebut, mari kita korelasikan dengan
realita empiris penayangan film-film Indonesia di bioskop-bioskop seluruh Indonesia yang
didominasi oleh Grup 21. Untuk melihat pengimplementasian kebijakan itu tahun lalu, maka
agar relevan akan dipergunakan data tahun 2013. Perlu dicatat bahwa dari Desember 2013
hingga Mei 2014 telah dibuka studio atau layar baru sebanyak 65 layar di seluruh Indonesia.
Sebanyak 52 layar baru dibuka oleh Grup 21, 8 layar dibuka Blitz dan 5 layar baru dibuka
bioskop-bioskop indepeden.
Tabel 2. Perbandingan Jumlah Jam dan Kuota Penayangan
Nama Grup Jumlah
Layar
Jumlah Jam
Pertunjukan
per Hari
Jumlah Jam
Pertunjukan per
Enam Bulan
Kuota minimal 60%
Grup 21 686 3,430 617,400 370,440
Blitzmegaplex 78 390 70,200 42,120
Independen 73 365 65,700 39,420
Total 837 4,185 753,300 451,980
Sumber: Jumlah Bioskop dan Film Bertambah, Jumlah Penonton Turun
filmindonesia.or.id
Tabel 2 menunjukan kuota yang harus dipenuhi setiap jaringan eksebitor film di
Indonesia. Namun apakah itu kemudian dipatuhi atau dilanggar? Grafik 2 memperlihatkan
bahwa kuota tadi tidak dipenuhi oleh eksebitor manapun. Misalnya pada perode Januari
hingga Juni 2013, film Indonesia hanya mendapat porsi penayangan 30.7 persen dan di
perode bulan Juli hingga Desember porsinya menurun menjadi 24.3 persen saja. Blitz juga
mengurangi penurunan porsi penayangan dari 10.1 persen menjadi 9.8 persen. Hanya
jaringan bioskop independen saja yang mengalami kenaikan dari 6.3 persen menjadi 13.7
persen.
Sumber: Jumlah Bioskop dan Film Bertambah, Jumlah Penonton Turun
filmindonesia.or.id
Buruknya porsi penayangan film-film Indonesia di bioskop-bioskop, yang notabene
berhubungan langsung dengan para penonton atau konsumen, tentu berdampak pada film
Indonesia itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat dari tren penonton film Indonesia yang
mengalami penurunan dan homogenisasi tema film.
Gejala turunnya penonton dapat terlihat dari tahun 2010 hingga tahun 2013.
Sedangkan pada tahun 2012 terjadi anomali karena jumlah penonton mengalami
peningkatan. Jumlah penonton terdongkrak pada tahun 2012 disebabkan ditayangkannya film
189430
7104 4152
149940
6873 8982
370440
42120 39,20
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
400000
Grup 21 Blitzmegaplex Independen
Grafik 2. Perbandingan Jam Pertunjukan Film Indonesia tahun 2013
Jam Pertunjukan Film Januari - Juni Jam Pertunjukan Film Juli - Desember Kuota Minimal 60 %
15,684,393 15,227,565
18,920,128
12,777,852
0
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
2010 2011 2012 2013
Grafik 3. Data Penonton tahun 2010 - 2013
Sumber: Jumlah Bioskop dan Film Bertambah, Jumlah Penonton Turun
filmindonesia.or.id
Habibie dan Ainun yang menyerap 4.4 juta penonton. Namun dari tahun 2012 ke tahun 2013
penonton film Indonesia anjlok sebanyak 6,142,276 orang atau sebesar 32.5 persen.
Sedangkan tema-tema film mengalami homogenisasi. Itu disebabkan karena pada
pelaku film making tidak mau mengambil resiko besar jika membuat film yang ber-genre
atau mengangkat tema yang tidak ramah pasar atau yang pasar telah lama kenal. Di tahun
2013 sebanyak 99 film Indonesia ditayangkan di jaringan-jaringan eksebitor film Indonesia.
Hanya ada tiga tema yang merajai film-film Indonesia tahun 2013 yakni drama, horor dan
komedi. Sedangkan pada tahun 2014 sampai bulan Mei, ada 44 film Indonesia yang
ditayangkan dan tema yang dominan tidak berubah kecuali kenaikan yang signifikan di jenis
film laga menyusul kesuksesan dari film The Raid pertama, sehingga para film making
sekarang memiliki optimisme di genre film tersebut.
Sumber: Jumlah Bioskop dan Film Bertambah, Jumlah Penonton Turun
filmindonesia.or.id
Eksklusi Para Sineas
Jika film Indonesia tereksklusi –dengan tidak dipenuhinya kuota minimal 60 persen
jam penayangan- dari pasar eksebisi film domestik yang monopolistik, maka sesungguhnya
yang tereksklusi bukanlah film-film Indonesia sebagai produk, tetapi orang-orang yang
terlibat dalam proses pembuatan film (film making). Orang-orang tersebut adalah seluruh
„insan‟ atau sineas perfilman Indonesia. Hal ini tertulis dalam kutipan artikel „Investasi
Industri Film Indonesia: Lokal atau Asing?‟:
3% 2% 3%
52%
20%
13%
1%5%
1%2% 2% 2%
41%
25%
16%11%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Anak-anak Animasi Dokumenter Drama Horor Komedi Kompilasi Laga Musikal
Grafik 4. Film Indonesia Berdasarkan Jenis Film
2013 Januari s/d Mei 2014
“Hubungan ketergantungan yang sangat tinggi inilah yang menyebabkan
produsen film Indonesia tidak dapat berbuat banyak terhadap pasar
filmnya. Faktor umum yang menjadi persoalan antara produser film dan
bioskop adalah: tanggal penayangan film, lama penayangan film, kontrak
kerja, dan metode pelaporan jumlah penonton.
Sejak berdirinya Cineplex 21 tahun 1987, produser film Indonesia
menggantungkan nasibnya pada satu grup ini. Tidak adanya saingan usaha
yang signifikan selama hampir 26 tahun telah meniadakan kompetisi yang
sehat pada jenis usaha eksibisi. Untuk itu dibutuhkan diversifikasi investasi
lain untuk jenis usaha bioskop. Singkatnya pasar film Indonesia
memerlukan jaringan bioskop lain yang sepadan. Dan terbukti selama
hampir 26 tahun, tidak ada investor lokal yang mampu menandingi jumlah
layar yang dimiliki grup tersebut.”2
Produsen film yang merupakan rumah produksi tidak mendapatkan transparansi
mengenai tanggal penayangan, lama penayangan, jumlah layar, dan target yang dipatok
oleh eksibitor untuk tiap film Indonesia. Masalah mengenai target menjadi krusial
disebabkan bioskop-bioskop dapat menutup penayangan film Indonesia semena-mena
jika dirasa tidak memenuhi targetnya. Kata „dirasa‟ cocok karena tidak adanya
transparansi mengenai target penjualan tiket untuk tiap film. Oleh karena itu menjadi
terjelaskan fenomena homogenisasi tema film Indonesia tahun-tahun ini. Produsen film
tidak mau mengambil resiko besar dengan mengambil tema yang pasar masih asing
akannya. Konsumen perfilman Indonesia sudah terbiasa dengan film-film ber-genre
drama, horor dan komedi.
Lalu jika produsen yang terpaksa „bermain aman‟ dengan cara menentukan tema
film, maka para sineas atau sutradara atau seniman pembuat film itu sendiri. Para
sutradara, kru juga para pemeran hanyalah sekumpulan orang yang bekerja untuk
membuat film sesuai tuntutan pasar eksebisi. Film sebagai komoditi yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai kreativitas, estetika dan budaya semakin dituntut untuk menjadi
komoditas yang ramah pasar.
2Meiske Taurisia. ‘Investasi Industri Film Indonesia: Lokal atau Asing?’ Diakses
darihttp://filmindonesia.or.id/article/investasi-industri-film-indonesia-lokal-atau-asing#.U5LZHijLOmR
Hal ini diperparah dengan absennya peran negara dalam industri perfilman.
Memang benar negara telah menerbitkan peraturan seperti Undang-Undang No. 33 tahun
2009 tentang Perfilman, tetapi sifatnya prosedural saja. Ambil contoh kuota 60 persen
jam tayang, tetapi „penjatahan‟ itu tidak dipenuhi oleh para eksebitor. Namun sampai saat
ini belum ada tindakan atau sanksi apapun yang diberikan negara. Di lain hal, pajak untuk
produksi film Indonesia juga dinilai masih tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan oleh kutipan:
“Kami membayar PPN (Pajak Pertambahan Nilai) saat menyewa peralatan
film. Kami membayar pajak dan jaminan sosial untuk kru film kami. Kami
membayar mahal bahan baku film karena adanya pajak impor. Kami
membayar pajak tontonan, pajak royalti untuk pejualan ke televisi dan
DVD. Tambah lagi, penghasilan bersih kami masih dipotong pajak
penghasilan perusahaan seperti badan-badan usaha lain. Akhirnya secara
pribadi sebagai produser kami masih harus membayar PPh atas
penghasilan kami”3
Terlihat pajak yang berlapis berlaku bagi pelaku film Indonesia. Tidak ada insentif,
subsidi atau potongan pajak.
Melihat Menggunakan Sen
Paper ini coba untuk menggunakan kerangka kerja analisa eksklusi Amartya Sen
mengenai eksklusi. Namun kerangka kerja analisa itu tidak digunakan sepenuhnya seperti
yang dimaksudkan oleh Sen, yakni untuk menambah pemahaman kita mengenai akar
kemiskinan dan deprivasi4. Bagaimanapun, konsep-konsep yang dibangun oleh Sen
masih relevan untuk diterapkan pada kasus tereksklusinya sineas perfilman Indonesia dari
pasar eksebisi film domestik.
Sen membagi eksklusi menjadi dua jenis berdasarkan hubungannya dengan
deprivasi kemampuan (capability deprivation). Pertama, eksklusi secara konstitutif
bagian dari deprivasi kemampuan. Kedua, eksklusi dapat merupakan secara instrumental
menjadi penyebab dari kegagalan kemampuan (capability failures), atau yang disebut
3Ibid. 4Amartya Sen. Social Exclusion: Concepts, Application and Scrutiny dalam Social Development Paper No. 1.
Office of Environment and Social Development. Asian Development Bank 2000. Hal: 3
oleh Sen sebagai instrumental importance of exclusion. Untuk membedakan kedua jenis
ini bisa dipaparkan secara singkat oleh contoh kasus yang ditulis Sen. Eksklusi yang
secara konstitutif adalah deprivasi bisa dicontohkan dengan orang yang tidak dapat untuk
membangun relasi dengan orang lain dan ikut mengambil bagian dalam komunitasnya
dapat secara langsung memiskinkan hidupnya.
“It is a loss on its own, in addition to whatever further deprivation it may
indirectly generate.”5
Sedangkan eksklusi yang memiliki instrumental importance dapat dicontohkan
dengan sesuatu yang tidak secara inherennya buruk, tetapi dapat mengarah ke suatu hasil
yang sangat buruk. Misalnya, seperti yang dicontohkan Sen, tidak menggunakan pasar
kredit bukan sesuatu yang secara intrinsik merugikan. Beberapa orang ada yang senang
menggunakan pinjaman atau jadi peminjam, sedangkan beberapa lagi enggan menjadi
peminjam pemberi pinjaman. Namun tidak memiliki akses terhadap pasar kredit dapat,
melalui rantai sebab-akibat, mengarah pada deprivasi yang lain seperti hilangnya
kesempatan membuka usaha atau berinvestasi dan rendahnya pendapatan.
Selanjutnya Sen juga membedakan eksklusi yang sifatnya aktif dan yang sifatnya
pasif. Eksklusi yang aktif dapat diartikan sebagai hasil dari kebijakan yang secara sengaja
atau memang sudah dimaksukan untuk mengeksklusikan sekelompok orang dari
kesempatan-kesempaan tertentu6. Sedangkan
“When, however, the deprivation comes about through social processes in
which there is no deliberate attempt to exclude, the exclusion can be seen
as a passive kind.”7
Lalu bagaimana relevansinya konsep-konsep tersebut dengan kasus yang telah
dipaparkan di atas? Eksklusi yang dialami oleh para sineas atau insan perfilman
Indonesia dari pasar tentu tidak sama dengan subjek-subjek yang tereksklusi yang
dicontohkan oleh Sen. Namun konsep-konsep Sen dapat diterapkan untuk melihat
fenomena terkekslusinya para sineas itu. Menggunakan tipe eksklusi sebagai instrumental
importance, eksebitor yang mangkir untuk menaati UU No. 33 tahun 2009 tentang
5Ibid. 6Ann Nevile. Amartya K. Sen and Social Exclusion dalam Development in Practice, Volume 17 No. 2 April 2007. Hal: 250 7Sen. Op cit. Hal: 15
Perfilman pasal 32 tidak serta-merta merupakan eksklusi konstitutif terhadap para sineas.
Pemangkiran ini hanya akan menjadi eksklusi lewat „causal linkage‟ yang cukup
panjang. Dengan tidak dipenuhinya kouta penayangan, maka jatah penayangan film
Indonesia menjadi sedikit dibandingkan dengan film impor. Jatah penayangan yang
sedikit membuat para film makers harus mengoptimalkan jatah tayang yang mereka
dapatkan dengan cara membuat film yang ramah pasar. Karena jika mereka gagal
memenuhi target (yang tak transparan) yang sepenuhnya ditentukan oleh eksebitor dan
tidak ada negosiasi sebelumnya, filmnya dapat secara langsung dan semena-mena
diturunlayarkan. Dari situ kreativitas dan estetika para sineas telah direnggut (deprived).
Dengan jatah penayangan yang sedikit, para sineas pun tak dapat secara maksimal
menjual produk atau karya seninya kepada pasar yang sama sebagaimana yang
didapatkan film-film impor, khususnya Hollywood.
Eksklusi juga dirasakan oleh para sineas karena mereka tidak mendapat akses
„political engagement‟ untuk ikut memberikan masukan dan terlibat aktif dalam
perumusan kebijakan yang berkenaan dengan bidang mereka. Pemerintah lewat
Kemendikbud dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kurang melibatkan civil
society perfilmandalam perumusan kebijakan perfilman sendiri.
“Sukses perfilman Indonesia ini hampir tanpa dukungan pemerintah.
Tidak seperti perfilman negara-negara lain yang juga sukses
perfilmannya seperti Korea Selatan, jejak sejarah dukungan pemerintah
untuk perfilman Indonesia sangat minim. Sekarang ini, tidak ada dana
film dari pemerintah Indonesia untuk mempromosikan film-film seni, tidak
ada bantuan untuk sutradara yang akan mengawali pembuatan film
pertamanya, tidak ada keringanan pajak bagi mereka yang berinvestasi di
bidang film, tidak ada kebijakan yang terkonsep baik untuk memajukan
industri film. Bahkan pemerintah tidak mendanai sekolah film di
universitas-universitas negeri. Bandingkan dengan sekitar 100 sekolah
film di Korea Selatan yang didukung oleh pemerintah, hingga muncullah
banyak bakat kreatif yang terlatih baik.
Tahun lalu (2010) pemerintah menerbitkan undang-undang film baru
yang lebih banyak hambatannya untuk produksi dan distribusi film; lebih
banyak mengatur dan membuat semakin sukar membuat film berkualitas.
Kini, pemerintah berniat „menilai kembali‟ implementasi pajak impor
film.”8
Keterbatasan untuk ikut serta dalam merumuskan kebijakanlah yang coba untuk
diatasi oleh berdirinya Badan Perfiman Indonesia (BPI) pada tanggal 17 Januari 2014,
lima tahun setelah penamanatan pemberdiriannya dalam undang-undang. Badan
Perfilman Indonesia adalah sebuah badan yang diamanatkan pendiriannya oleh
pemerintah lewat UU No. 33 tahun 2009 tentang perfilman pada pasal 67 sampai pasal
70. BPI sebagai wadah organisasi dan asosiasi profesi perfilman seluruh Indonesia. BPI
memiliki tugas yang tercantum pada pasal 69 di antaranya: 1) menyelenggarakan festival
film di dalam negeri; 2) mengikuti festival film di luar negeri; 3) menyelenggarakan
pekan film di luar negeri; 4) mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film
asing; 5) memberikan masukan untuk kemajuan perfilman; 6) melakukan penelitian dan
pengembangan perfilman; 7) memberikan penghargaan; dan 8) memfasilitasi pendanaan
pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi. Peran nomor lima menjadi titik penting
karena diharapkan BPI dapat menjadi wadah di mana para insan film dapat memberi
masukan dan terlibat dalam perumusan kebijakan.
Dengan adanya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. 3/PJ/2011 sebenarnya
memperburuk eksklusi film/para sineas film Indonesia. Dengan pajak film impor
dinaikan, maka importir akan mengurangi impor filmnya. Sehingga di pasar eksebisi
tersedia sedikit film impor. Dengan sedikitnya film impor yang ditayangkan, maka
penonton akan turun. Hal ini disebabkan penonton yang datang ke bioskop lebih memilih
untuk menonton film impor. Dengan sepinya pasar eksebisi oleh turunnya penonton,
maka film Indonesia yang ditayangkan akan semakin dibatasi. Semakin buruklah posisi
perfilman Indonesia di pasar domestik. Kausalitas yang menyebabkan pengeksklusian
tersebut jika menggunakan tipifikasi Sen, dapat disebut eksklusi yang pasif karena
adanya kebijakan yang sebenarnya tidak bermaksud mengeksklusikan malah sebaliknya,
pemerintah beranggapan dengan naiknya pajak film impor, maka film Indonesia akan
terdongkrak. Namun ini juga sesuai dengan apa yangdikatakan Sen, yakni sebagai
„unfavourable inclusion‟.
8Shanty Harmayn. Bagaimana Sebaiknya Membantu Perfilman Indonesia. Diakses dari
http://filmindonesia.or.id/article/bagaimana-sebaiknya-membantu-perfilman-indonesia#.U5Qr2ijLOmR
“Indeed, many problems of deprivation arise from unfavourable terms of
inclusion and adverse participation, rather than what can be sensibly seen
primarily as a case of exclusion as such.”9
Pemerintah dengan memaksakan agar film Indonesia –yang adalah bagi para
sineas juga- bersaing dengan film impor di pasar eksebisi, merupakan usaha
pengeksklusian yang buruk yang justru berdampak sebagai pengeksklusian terhadap
subjek yang hendak diinklusikan.
Kesimpulan
Dalam melihat eksklusi di industry perfilman Indonesia, kita perlu melihat mulai
dari kemunculan Grup 21 sebagai wadah bagi karya para sineas Indonesia hingga campur
tangan pemerintah dalam dunia perfilman sebagai komoditi yang dibuat menjadi ramah
pasar. Berdirinya Grup 21 sebagai bioskop di Indonesia dengan layar terbanyak yang
disediakan, tidak membuat film Indonesia turut menjadi raja di negerinya sendiri.
Sehingga kemudian pemerintah melalui undang-undangnya menetapkan porsi film
Indonesia yang kemudian tidak berhasil dipenuhi oleh para sineas Indonesia. Dengan
porsi yang buruk terhadap penayangan film Indonesia tersebut, berdampak kepada
penurunan jumlah penonton dan munculnya homogenisasi tema. Dengan porsi yang
buruk tersebut pula, maka sesungguhnya yang tereksklusi bukanlah film Indonesia,
namun para film maker, para sineas perfilman Indonesia. Hal ini tidak kemudian menjadi
eksklusi konstitutif seperti yang diungkapkan oleh Sen, namun akan menjadi eksklusi
lewat „causal linkage‟ yang panjang, atau ekskklusi yang miliki instrumental importance
Kuota yang tidak dipenuhi tentu saja membuat film Indonesia secara kuantitas
menjadi lebih sedikit dibandingkan film impor. Untuk memaksimalkan jatah tayang
tersebut, para sineas pun „bermain aman‟ dengan membuat film yang ramah pasar, film
dengan genre yang homogen. Di sinilah muncul deprivasi terhadap kreativitas dan
estetika para sineas. Lalu, perlu digarisbawahi juga bahwa peran pemerintah yang
bermaksud membuat film Indonesia mampu bersaing dengan film impor, justru
menimbulkan unfavourable inclusion.
9Sen. Op. Cit. Hal: 28