Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ARTIKEL
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat
Relokasi Warga Muhammadiyah Sebagai Dampak
Pembangunan Proyek Jalan Tol Solo-Ngawi
Atika Yulianti1, Iwan Nurhadi2. Lutfi Amiruddin3
Penelitian ini membahas mengenai adaptasi sosial warga Kedungharjo golongan NU
(Nahdlatul Ulama) di tempat relokasi Mayarakat Muhammadiyah sebagai dampak
pembangunan jalan tol Solo-Ngawi. Kami memilih untuk meneliti masyarakat
Kedungahrjo yang pindah jauh dari tetangganya yang berada di Dusun Sengon dan
Dukuhan. Karakteristik warga dari Dusun tersebut adalah peri urban atau semi perkotaan
dengan warga yang heterogen, termasuk dengan adanya perbedaan golongan agama
Islam antara NU dan Muhammadiyah. Teori Robert K. Merton digunakan dalam melihat
proses adaptasi yang telah dilakukan oleh warga Kedungharjo untuk mengatasi adanya
perbedaan golongan agama. Kami menemukan bahwa warga Kedungharjo melakukan
adaptasi untuk mengatasi perbedaan golongan agama tersebut dengan conformity yaitu
mengikuti kegiatan keagamaan di tempat relokasi; ritualisme yaitu warga Kedungharjo
yang masih mempertahankan nilai dan norma yang diyakini orang-orang NU; retritisme
yaitu bentuk pengunduran diri dengan tidak mengikuti kegiatan keagamaan dari
1 Atika Yulianti: Peneliti Lepas, email: [email protected] 2 Iwan Nurhadi: Mahasiswa Doktoral Institute Pertanian Bogor, email: [email protected] 3 Lutfi Amiruddin: Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, email: [email protected]
© Atika Yulianti, Iwan Nurhadi & Lutfi Amiruddin, 2019
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.100-110.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Yulianti, Atika., Nurhadi, Iwan & Amiruddin, Lutfi. 2019.” Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo
Golongan NU di Tempat Relokasi Warga Muhammadiyah Sebagai Dampak Pembangunan Proyek Jalan
Tol Solo-Ngawi,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 100-110.
DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.07
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 101
golongan Muhammadiyah; dan inovasi yaitu dengan mengadakan kegiatan keagamaan
di tempat baru. Dengan penyesuaian yang dilakukan oleh masyarakat Kedungharjo,
mereka telah mengalami disartikulasi sosial, yaitu ditunjukkan dengan tidak bisa
bercampurnya golongan NU dan Muhammadiyah dalam kegiatan keagamaan.
Kata Kunci: Peri Urban, NU, Muhammadiyah, Adaptasi Sosial, Disartikulasi Sosial.
This research discusses the social adaptation of Kedungharjo NU (Nahdlatul Ulama)
community in relocation place of Muhammadiyah society as impact of Solo-Ngawi toll
road development. We chose Kedungharjo community members who moved far from
their neighbors in the hamlets of Sengon and Dukuhan. The community’s characteristics
of the Hamlet are urban or semi-urban is heterogeneous, including in the aspect of
different religious groups between NU and Muhammadiyah. To overcome this, the
people of Kedungharjo have to readjust in place of movement in overcoming the
difference of Islamic religious groups. By Robert K. Merton's theory, we saw the process
of adaptation by the people of Kedungharjo to overcome the existing differences among
the religious groups. We found that the people of Kedungharjo tried to adapt in order to
overcome the different religious groups through conformity by following religious
activities in relocation sites; ritualism by retaining the values and norms of NU’s;
retreatism that by not following the religious activities of the Muhammadiyah followers;
and innovation by holding religious activities at the place of movement. With adjustments
made by the people of Kedungharjo, they experienced social disarticulation, in the sense
that NU and Muhammadiyah followers could not mingle in religious activities.
Keywords: Peri-urban, NU Muhammadiyah, Social Adaptation, Social Disarticulation.
A. Pembangunan Jalan tol Solo-Ngawi dan Tempat Perpindahan dari Warga Kedungharjo
Ada banyak pembebasan lahan yang dilakukan untuk pembangunan jalan tol Jalan tol
Solo-Ngawi yang secara langsung menghubungkan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dengan banyaknya pembebasan lahan rumah atau lahan warga terkena penggusuran. Seperti
salah satu wilayah dari Kabupaten Ngawi, yaitu di Desa Kedungharjo. Di sana, akibat
pembebasan lahan tersebut, warga Desa Kedungharjo terpaksa pindah dari tempat tinggalnya
serta kehilangan lahan-lahan pertanian, karena rata-rata wilayah Desa Kedungharjo adalah lahan
pertanian.
Pada tahun 2016, pembangunan jalan tol Solo-Ngawi sudah dimulai pada tahap
pembangunan jalan dan jembatan. Jumlah lahan yang sudah dibebaskan untuk Desa
Kedungharjo sendiri adalah 12,80 Hektare dari 13,4 Hektar luas sawah, serta luas tanah darat 3,7
Hektar dari 201 bidang, dengan 186 KK yang terkena pembebasan lahan untuk keseluruhannya.
102 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
Sedangkan untuk penggusuran rumah jumlah yang terkena adalah 37 KK (hasil wawancara
bersama Pak Carik Kedungharjo SG, 25 Oktober 2016). Untuk wilayah yang terkena
penggususuran baik rumah, sawah, dan tanah tersebut terdapat di Dusun Kedungombo dan
Losari.
Warga yang tergusur rumahnya dari Desa Kedungharjo, kebanyakan mencari tempat
tinggal yang berdekatan dengan tetangga lamanya maupun berdekatan dengan keluarganya.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya risiko beradaptasi atau menyesuaikan dengan
tetangga yang baru atau lingkungan yang berbeda. Namun ada sebagian kecil warga
Kedungharjo justru memilih untuk mencari tempat tinggal baru yang terpisah dengan tetangga
lamanya maupun keluarganya.
Perpindahan yang dilakukan secara terpisah dengan tetangga lama dilakukan oleh warga
yang bekerja sebagai petani dan pegawai negeri. Alasan mereka untuk pindah jauh dengan
tetangga lamanya dikarenakan di dusun yang baru yaitu Dusun Sengon dan Dukuhan yang
berada di Kelurahan Mantingan, merupakan kawasan yang berdekatan langsung dengan Jalan
Raya Solo-Ngawi. Mereka menganggap lokasi ini memiliki kemudahan dalam mengakses segala
kebutuhan warga seperti berdekatan dengan Puskesmas, apotek, supermarket, pasar dan lain-
lain. Dengan akses yang lebih mudah, sebagian warga yang terkena penggusuran ini akhirnya
memilih untuk berpindah di Dusun-dusun tersebut, meskipun pada akhirnya mereka harus
berpisah dengan tetangga lamanya maupun keluarganya.
Dusun-dusun yang menjadi tujuan pindah secara swadaya tersebut, memiliki kondisi
sosial yang berbeda dengan Desa Kedungharjo. Sebagai wilayah yang berdekatan dengan jalan
utama Solo-Ngawi, Dusun Sengon dan Dukuhan memiliki karakter yang individualis maupun
heterogen, khususnya dari aspek agama dan pekerjaan. Di tempat baru, golongan agama
beragam. Di dusun-dusun tujuan kepindahan, sama-sama muslim, namun memiliki dua
golongan Islam yaitu antara NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Menurut salah satu
anggota dari pimpinan PCM Muhammadiyah di Kecamatan Mantingan, ada sekitar 70% dari
Dusun Sengon dan Dukuhan yang warganya beranggotakan Muhammadiyah (Hasil wawancara
dengan Pak Az, 11 Januari 2017).
Nahlatul Ulama (NU) adalah jam’iyah yang didirikan oleh para Kiai dari Pengasuh
Psantren. Paham Ahlussunnah Wa al-Jama‟ah dalam NU sendiri adalah mencakup aspek
syar‟iyah, aqidah, dan akhlak. Dari ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan aspek dalam
ajaran agama islam. Dalam menyikapi masalah tradisi sendiri orang-orang NU menanggapinya
sebagai melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru
yang lebih baik. Artinya menurut orang-orang NU, jika budaya tersebut tidak bertentangan
dengan ajaran pokok Islam, maka budaya tersebut bisa diterima dan diikuti (Tim PWNU,
2007:33)
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 103
Warga NU berpendapat bahwa tradisi tahlilan atau yasinan yang biasa dilakukan oleh
warga Kedungharjo, di mana tradisi tahlilan atau yasinan dilakukan karena dianggap tidak
bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Sebelum terkena gusuran proyek jalan Tol, warga
Kedungharjo biasa melakukan kegiatan tahlilan atau yasinan yang biasa dilakukan pada
seminggu sekali atau dilakukan pada hari Kamis, yaitu malam Jumat untuk membangun
hubungan sosial.
Muhammadiyah berarti “umat Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam” dengan arti
bahwa Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini dan diakui oleh semua orang Islam
sebagi hamba dan pesuruh Allah yang terakhir. Menurut Shihab (1997:303-304) Muhammadiyah
memiliki tujuan untuk mengadaptasi ajaran-ajaran Islam yang murni ke dalam kehidupan
modern dengan pergerakan sosial keagamaan modern di Indonesia. Dengan tujuan yang dimiliki
tersebut, tradisi yasinan dan tahlilan dianggap sebagai suatu hal yang bid’ah atau baru dan tidak
pernah dikerjakan dan diperintahkan oleh Rasulullah. Anggapan yang demikian menjadikan
tradisi tahlilan atau yasinan tidak dilakukan oleh golongan Muhammadiyah, contohnya di
Dusun Sengon dan Dukuhan.
Akibat dari penggusuran ini, warga yang dahulu tinggal berdekatan dengan keluarga
ataupun tetangga terpaksa juga kehilangan keterikatan sosial dengan tetangga yang lama
maupun keluarganya. Warga yang memilih untuk mencari tempat tinggal baru yang terpisah
dengan tetangga lamanya maupun keluarganya, harus menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan yang baru dari tetangga maupun dari masalah perbedaan golongan tersebut.
Kepindahan warga yang tidak memiliki ikatan sosial dengan tetangga lama maupun
keluarganya menjadikan adaptasi mereka tidaklah mudah.
Dengan penyebab penggusuran tersebut, warga yang berpindah di tempat tinggal yang
baru terpaksa untuk beradaptasi dengan tetangga barunya dan membangun kembali hubungan
sosial. Hal ini dilakukan agar mampu untuk melanjutkan kehidupan yang baru. Robert K.
Merton mengatakan bahwa adaptasi merupakan suatu konsekuensi akibat adanya suatu
perubahan pada warga, di mana warga menggunkan cara adaptasi untuk mengantisipasi
perubahan yang terjadi pada lingkungan sosial sebagai bentuk respon dari implikasi yang
dirasakan (Merton dalam Ritzer, 2008:272). Akibat terjadinya pembangunan jalan tol, warga
mengalami perubahan pada lingkungan sosial di tempat yang baru dengan terjadinya perbedaan
golongan agama antara NU dan Muhammadiyah, sehingga warga yang terkena penggusuran
tersebut harus beradaptasi dengan warga yang baru dengan kondisi sosial yang baru pula.
Struktur Warga Kedungharjo dan Warga di Dusun Sengon dan Dukuhan
Dusun Sengon dan Dukuhan merupakan satu desa yang berada di Desa Mantingan,
Kecamatan Mantingan. Dusun tersebut merupakan tempat yang dijadikan perpindahan dari
warga Kedungharjo. Karakteristik wilayah dari Dusun Sengon dan Dukuhan merupakan
104 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
wilayah peri urban yang memiliki keberagaman warganya baik dari segi sosial, budaya, ekonomi
dan agama. Dari keberagaman tersebut, hal yang paling menonjol dari adanya suatu
keberagaman adalah adanya perbedaan golongan agama Islam, karena penduduk di dusun
tersebut mayoritas beragama Islam. Kegiatan sosial yang paling dominan adalah dari adanya
kelompok golongan agama, yaitu antara golongan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama‟ (NU).
Dari dua golongan tersebut, di Dusun Sengon dan Dukuhan mayoritas kelompok agama
yang berada di Dusun tersebut adalah kelompok golongan Muhammadiyah. Menurut salah satu
PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah) Mantingan ada sekitar 70%, dengan kegiatan
utamanya adalah adanya pengajian yang dilakukan setiap hari Minggu serta pengajian Ibu-ibu
Aisyah. Dengan tingginya warga di Dusun Sengon dan Dukuhan sebagai kelompok mayoritas
Muhammadiyah, maka ini menjadi suatu perbedaan bagi warga Kedungharjo yang pindah di
Dusun Sengon dan Dukuhan. Hal tersebut dikarenakan, sebelum mereka berpindah di Dusun
tersebut, mayoritas golongan agama yang dianut oleh warga Kedungharjo mayoritasnya adalah
golongan Islam NU (Nahdlaul Ulama‟) yang biasa mengadakan kegiatan acara seperti yasinan
dan tahlil yang mana kegiatan tersebut menjadikan kedekatan antar tetangga di Desa
Kedungharjo.
Hal yang membedakan dari kedua Golongan antara Muhammadiyah dan NU adalah
nilai dan norma yang telah diyakini dalam setiap golongan yang mereka percayai yang
berhubungan dengan segi amaliyahnya. Ajaran dari orang Muhammadiyah sendiri Menurut
Shihab (1997:303-304) Muhammadiyah memiliki tujuan untuk mengadaptasi ajaran-ajaran Islam
yang murni ke dalam kehidupan modern dengan pergerakan sosial keagamaan modern di
Indonesia. Dari tujuan tersebut, Muhammadiyah mendapatkan inspirasi ide-ide
pembaharuannya dari Syaikh Muhammad Abduh, dengan membersihkan serta pembaharuan
Islam dari daki-daki sejarah yang selama ini dianggap tidak bisa terpisahkan dengan ajaran
Islam.
Warga Kedungharjo yang bergolongan NU (Nahdlatul Ulama‟) yang terkena pembebasan lahan
akibat adanya pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi, mengharuskan mereka untuk
berpindah tempat tinggal di Dusun Sengon dan Dukuhan dengan mayoritas bergolongan
Muhammadiyah. Definisi dari struktur sendiri menurut Merton (1938:673) adalah suatu hal yang
dapat mengatur dan mengendalikan yang dapat dikendalikan dan diterima oleh masyarakat dari
adanya aturan tersebut yang dapat menuju keberhasilan dari adanya sebuah tujuan.
Terjadinya dua perbedaan golongan agama tersebut yang dilatar belakangi dengan nilai
dan norma yang berbeda dari setiap masing-masing golongan menjadikan dua struktur tersebut
bertemu dalam satu kondisi dengan nilai dan norma yang berbeda dari setiap golongan yang
diyakini masyarakat. Selain itu juga terdapatnya perbedaan status sosial antara NU dan
Muhammadiyah sebagai pemimpin atau orang yang paling dihormati, jika NU dipimpin oleh
Kyai, sedangkan Muhammadiyah tidak begitu terlihat struktur sosialnya, dikarenakan orang
yang dianggap struktur tinggi adalah mereka yang cendekiawan atau kaum intelektual. Selain
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 105
itu, ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, jika NU kegiatan yang biasa dilakukan
adalah yasin dan tahlil serta adanya kelompok Muslimatan sedangkan Muhammadiyah hanya
menyelenggarakan pengajian dan adanya kelompok Aisyiyah.
C. Fungsi dan Disfungsi Warga Kedungharjo sebagai Konsekuensi Perpindahan
Warga Kedungharjo yang bergolongan NU (Nahdlatul Ulama‟) yang terkena
pembebasan lahan akibat pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi, mengharuskan mereka
untuk berpindah tempat tinggal yang berada di Dusun Sengon dan Dukuhan yang mayoritas
warganya bergolongan Muhammadiyah. Perpindahan yang mereka lakukan secara swadaya
tersebut, menjadikan warga Kedungharjo membangun kembali hubungan sosial di tempat
perpindahan dengan mayoritas warganya bergolongan Muhammadiyah. Melihat struktur
masyarakat dari nilai dan norma yang dibawa oleh masing-masing golongan agama Islam baik
dari golongan NU dan Muhammadiyah yang berbeda, menjadikan warga NU maupun dari
warga Muhammadiyah menjalankan fungsi dan disfungsi dari adanya perbedaan struktur
tersebut.
Merton menekankan akan adanya kestabilan, kesatuan dan harmoni sistem sosial
(Poloma, 2010:42). Struktur sosial yang berbeda antara golongan NU dan Muhammadiyah di
Dusun Sengon dan Dukuhan menjadikan warga Kedungharjo menjalankan fungsinya untuk
membangun hubungan sosial yang baru, agar tidak ada konflik yang terjadi. Sikap saling
menghargai serta bertoleransi menciptakan kestabilan antara golongan NU dan
Muhammadiyah.
Perpindahan warga Kedungharjo yang bergolongan NU akibat terkena pembangunan
proyek jalan tol Solo-Ngawi yang tinggal di tempat relokasi dengan warga Muhammadiyah,
menimbulkan perbedaan. Warga tidak hanya dipandang sebagai warga yang terintegrasi dengan
mengikuti struktur yang ada, tetapi juga bisa melawan struktur yang ada. Warga tidak biasa
melakukan kegiatan seperti biasanya yang dilakukan warga Kedungharjo sebelumnya, walau
mampu membangun hubungan sosial dengan baik, namun tidak bisa bercampur dalam kegiatan
peribadatan.
Bentuk disfungsi tersebut tidak hanya dari kelompok dari golongan NU saja, tetapi
disfungsi ini juga dilakukan oleh golongan Muhammadiyah. Bentuk disfungsi tersebut adalah
tidak bisanya dari golongan NU maupun dari Muhammadiyah yang bercampur dalam urusan
kegiatan keagamaan. Hal tersebut dikarenakan dalam setiap masing-masing golongan memiliki
nilai dan norma yang diyakini. Sehingga ketika ada struktur yang berbeda, maka akan muncul
konsekuensi yang negatif dengan tidak dapat diterimanya nilai atau norma dari masing-masing
golongan agama baik antara NU ataupun Muhammadiyah.
Terjadinya perpindahan warga Kedungharjo akibat adanya pembebasan lahan dari
pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi juga menjadikan hubungan sosial di tempat
106 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
perpindahan warga Kedungharjo dengan warga Sengon dan Dukuhan dirasa kurang guyub dan
tidak seperti warga Kedungharjo sebelumnya. Perpindahan yang dialami oleh warga
Kedungharjo selain disfungsi dengan permasalahan golongan agama, disfungsi yang mereka
rasakan adalah kurang eratnya hubungan sosial dari warga Dusun Sengon dan Dukuhan yang
memiliki karakter wilayah yang peri urban, sehingga warganya dianggap lebih cuek atau
individualis.
Proses Penyesuaian Diri di Tempat Perpindahan
Warga Kedungharjo yang bergolongan NU (Nahdlatul Ulama‟) yang terkena
pembebasan lahan akibat terkena pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi, mengharuskan
mereka pindah ke tempat yang mayoritas warganya bergolongan Muhammadiyah. Tempat
perpindahan yang mereka pilih yaitu berada di Dusun Sengon dan Dukuhan. Perbedaan
golongan agama di tempat baru mengharuskan mereka menyesuaikan dengan kondisi yang
sebelumnya belum pernah dialami oleh warga Kedungharjo. Merton dalam jurnal American
Sociological Association (2015:674) mengatakan bahwa agar struktur sosial seimbang, maka
individu harus merawat sistem yang muncul dengan cara menyesuiakan diri dari adanya sistem
untuk mencapai sebuah tujuan.
Warga Kedungharjo yang pindah harus diri dengan kondisi tempat baru mereka,
termasuk dalam hal perbedaan golongan agama. Merton menyebutnya sebagai konsekuensi
yang ditimbulkan akibat adanya perubahan yang terjadi di masyarakat, di mana masyarakat
menggunakan adaptasi sebagai cara untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi pada
lingkungan sosial dalam masa hidupnya sebagi bentuk respon dari adanya implikasi yang
dirasakan (Merton dalam Ritzer, 2008:272).
Perubahan yang dirasakan dari Warga Kedungharjo setelah berpindah adalah merasakan
bahwa di lingkungan sekitar tempat tinggal yang baru di Dusun Sengon dan Dukuhan adalah
memiliki kondisi wilayah yang peri urban atau semi perkotaan. Dengan kondisi wilayah yang
demikian warga Kedungharjo menilai bahwa warga di Dusun Sengon dan Dukuhan tergolong
cuek atau individualis. Selain itu, terdapatnya perbedaan golongan agama yang terlihat jelas
antara sesama umat Islam yaitu antara golongan Muhammadiyah sebagai mayoritas dan NU
sebagai kelompok Minoritas.
Perbedaan dua golongan agama tersebut, menjadikan warga Kedungharjo tidak dapat
melakukan kegiatan di tempat relokasi yang biasanya melakukan kegiatan keagamaan seperti
tahlilan atau peribadahan yang dilakukan dengan cara-cara dari golongan NU. Melihat adanya
perbedaan struktur dari dua golongan agama antara NU dan Muhammadiyah maka, warga
Kedungharjo harus menjalankan fungsi dari adanya struktur yang berbeda sebagai bentuk untuk
menghindari terjadinya konflik. Namun, tidak hanya menjalakan fungsi untuk mengatasi adanya
perbedaan struktur, warga Kedungharjo juga tidak selalu menjalankan fungsinya, artinya
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 107
terdapat disfungsi dari warga sebagai bentuk tidak dapatnya menerima atau menjalankan fungsi
dari struktur yang ada, sehingga perlu penyesuaian untuk tetap menjaga struktur agar tidak
menimbulkan konflik.
Menurut Merton ada lima tipologi adaptasi yaitu Conformity, Inovasi, Ritualisme,
Retritisme, Rebellion, empat di antaranya telah digunakan oleh warga Kedungharjo untuk
menyesuaikan dari adanya perbedaan golongan agama antara NU dan Muhammadiyah
diantaranya yaitu Conformity, Ritualisme, Retritisme dan Inovasi.
Penyesuaian pertama yang telah dilakukan warga Kedungharjo untuk menghadapi
adanya perbedaan golongan agama adalah Conformity, yaitu adanya warga Kedungharjo yang
bersepakat mengikuti pengajian di tempat baru khusunya di Dusun Sengon dan Dukuhan, untuk
dapat melakukan kegiatan keagamaan dengan sesama muslim. Merton dalam jurnal American
Sociological Association (2015:677) menyebutkan bahwa Conformity merupakan suatu cara
penyesuaian diri dengan cara yang sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan masyarakat.Pola
tersebut merupakan satu-satunya pola adaptasi yang cara dan mencapai tujuannya normal,
karena dalam suatu kelompok telah mengikuti nilai dan norma yang ada.
Sebenarnya, ada harapan atau tujuan lain yang sebenarnya yang diinginkan oleh warga
Kedungharjo ketika mereka menyetujui nilai dan norma yang berada di Dusun Sengon dan
Dukuhan. Tujuan lain tersebut adalah dengan mengikuti kegiatan yang ada, sebenarnya warga
Kedungharjo menginginkan sikap menghargai dari kelompok Muhammadiyah, agar bersedia
hadir di kegiatan tahlilan. Namun dari golongan Muhammadiyah tidak pernah hadir jika
diundang.
Selain itu, warga Kedungharjo yang ikut beribadah di Masjid Muhammadiyah
merupakan tidak ada pilihan lain bagi warga Kedungharjo untuk beribadah di masjid NU,
karena masjid terdekat yang berada di rumahnya adalah masjid orang Muhammadiyah.
Penyesuaian kedua dari Merton dalam American Sociological Assosiation (2015:678)
adalah menggunakan Ritualisme dengan masih berpegang pada budaya atau cara-cara yang
masih diakui oleh warga. Seperti masih mengikuti pengajian Muslimatan dan tahlilan dari
golongan NU sebagai bentuk penyesuaian dari lingkungan dengan warga yang mayoritas
Muhammadiyah. Dalam menyesuaikan kondisi dari adanya perbedaan golongan agama antara
NU dan Muhammadiyah, warga Kedungharjo yang pindah di Dusun Sengon dan Dukuhan
masih mempertahankan nilai dan norma yang diyakini sebagai dari golongan NU yang tinggal
dengan warganya mayoritas Muhammadiyah.
Bentuk penyesuai diri dari Merton lainnya adalah Retritisme yang merupakan sebagai
bentuk dari pengunduran diri. Bentuk dari tindakan ini adalah meninggalkan dari cara
pencapaian serta tujuan yang dilakukan oleh pelaku penyimpangan bersifat konvensional, yaitu
ketika warga Kedungharjo tidak mengikuti kegiatan yang ada karena tidak sepaham.
108 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
Penyesuaian yang terakhir yang digunakan oleh Warga Kedungharjo untuk
menyesuaikan dari adanya perbedaan golongan agama tersebut adalah menggunkan adaptatasi
inovasi, yaitu pola adaptasi yang menyimpang dari nilai yang ada di warga dan cara yang
dilakukan sangatlah berlawanan, tetapi tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan standard.
Warga Kedungharjo melakukan inovasi dengan cara mengadakan kegiatan mengaji Alqur’an
yang merupakan suatu cara penyesuaian yang bertujuan untuk mengakrabkan diri dengan
tetangga. Apalagi, kegiatan membaca Al-quran tersebut tidak menyimpang, namun menghargai
warga yang berbeda golongan.
Dengan penyesuaian yang dilakukan oleh warga Kedungharjo sebagai golongan NU
yang pindah di Dususn Sengon dan Dukuhan yang mayoritas warganya bergolongan
Muhammadiyah, maka warga dari Dusun perpindahan tersebut telah menerima kedatangan dari
masyarakat Kedungharjo yang terkena pembebasan lahan akibat dari pembangunan proyek jalan
tol Solo-Ngawi. Ada warga Dusun Sengon dan Dukuhan yang menerima undangan kegiatan
yasin dan tahlil sebagai bentuk penghargaan, tetapi tidak hadir di kegiatan rutin yasin dan tahlil.
Di sisi lain, ada juga dari warga Dusun Sengon dan Dukuhan tetap tidak mau mengikuti atau
tidak ikut acara yasin dan tahlil. Sebagai warga baru, warga Kedungharjo mencoba mengikuti
kegiatan yang berada di Dusun Sengon dan Dukuhan, masih mempertahankan kegiatan yasin
dan tahlil, tidak mengikuti pengajian dari kelompok Muhammadiyah serta mengadakan
kegiatan baru di tempat perpindahan. Dari berbagai penyesuaian tersebut merupakan upaya dari
warga Kedungharjo sebagai bentuk penyesuaian diri di tempat yang baru dengan kondisi sosial
yang baru pula.
Sementara itu, warga Muhammadiyah melihat adanya kelompok NU di Dusun Sengon
dan Dukuhan, mereka pada akhirnya juga harus menyesuaikan dari keadaan tersebut, dengan
cara hadir jika diundang ke acara yasin dan tahlil, sebagai bentuk untuk saling menghormati dan
menghargai. Ada juga yang tetap tidak hadir dikarenakan hal tersebut tidak diajarkan pada masa
Rasulullah atau biasa disebut sebagai bid’ah. Oleh karena itu mereka tetap tidak hadir meskipun
sebatas hanya bentuk menghargai atau penghormatan. Warga dari Desa Kedungharjo yang
terkena pembebasan lahan akibat terkenanya pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi,
mengharuskan mereka pindah dan berpisah dengan tetangga lamanya.
Cernea (1997:7) menyebutkan bahwa pemindahan paksa akan menimbulkan resiko yang
dialami oleh warga yang telah terkena pembebasan lahan, salah satunya adalah disartikulasi
sosial, yaitu menyebarnya hubungan warga dan menyebarnya tatanan warga dengan terjadinya
disintegasi sosial atau tidak dapat menyatunya warga. Seperti dialami oleh warga Kedungharjo,
dulu hubungan mereka sudah terjalin dengan baik dan erat dibanding dengan warga Dusun
Sengon dan Dukuhan.
Perpisahan yang telah dialami oleh warga Kedungharjo dan keharusan mereka untuk
menyesuaikan diri dengan adanya perbedaan golongan agama antara NU dan Muhammadiyah,
mengarah pada disartikulasi sosial. Disartikulasi ini terjadi pada saat dengan adanya
Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 109
permasalahan golongan agama, di mana warga Kedungharjo sebagai golongan NU tidak bisa
berbaur dalam permasalahan agama dengan warga di Dusun Sengon dan Dukuhan. Di sisi lain,
warga Dusun Sengon dan Dukuhan dari golongan Muhammadiyah juga tidak dapat mengikuti
nilai dan norma dari golongan NU. Meskipun diantara dua golongan tersebut sebagian warga
ada yang mau menerima nilai dan norma dari golongan NU maupun Muhammadiyah.
Konsekuensi Pembangunan Jalan Tol Solo-Ngawi
Akibat adanya pembangunan jalan tol Solo-Ngawi telah menjadikan warga Kedungharjo
yang bergolongan NU harus terpaksa memilih pindah di Dusun Sengon dan Dukuhan dengan
mayoritas warganya bergolongan Muhammadiyah. Dusun Sengon dan Dukuhan tersebu
merupakan wilayah yang berdekatan langsung dengan jalan utama Solo-Ngawi dengan lebih
dekat akses fasilitas umum. Selain itu Warga di Dusun Sengon dan Dukuhan memiliki
karakteristik peri urban atau semi perkotaan dengan warganya yang heterogen dan individualis.
Selain adanya perbedaan golongan agama, warga yang pindah secara terpaksa tersebut juga
mengalami disartikuasi sosial.
Untuk mengatasi adanya perbedaan golongan agama Islam serta dengan warga yang
sudah semi perkotaan, maka warga Kedungharjo telah melakukan proses adaptasi di tempat
perpindahan dengan tetangga yang baru dengan melalui 4 proses adaptasi yaitu Conformity,
Ritualisme, Retritisme, dan Inovasi.
110 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin
Daftar Pustaka
Cernea, Michael.1997.The Risk and Recontruction Model For Resettling Displaced Population
Vol.25, No 10, pp 1569 1587, 1997. Word Bank: Elsevier Science Ltd All rights reserved
Creswell, John W. 2009. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Creswell, John .2015.Penelitian Kualitatif dan Desain Riset (Memilih di antara lima Pendekatan).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Merton, Robert K.1938. Social Structure and Anomie. Harvad University: American Sociological
Association
Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Shihab,Alwi.1997. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama. Bandung: Mizan