54
26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemandirian Belajar 1. Pengertian Kemandirian Belajar Tahar dan Enceng (2006) menyatakan kemandirian belajar adalah individu yang mau dan mampu untuk belajar dengan inisiatif sendiri, dengan atau tanpa bantuan pihak lain dalam penentuan tujuan belajar. Nurhayati (2011) mendefinisikan kemandirian belajar sebagai kemampuan dalam belajar yang didasarkan pada rasa tanggung jawab, percaya diri, inisiatif, dan motivasi sendiri dengan atau tanpa bantuan orang lain yang relevan untuk menguasai kompetensi tertentu, baik dalam aspek pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah belajarnya. Mujiman (2011) mengartikan kemandirian belajar adalah sifat serta kemampuan yang dimiliki oleh siswa untuk melakukan kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh motif siswa untuk menguasai suatu kompetensi. Kegiatan belajar aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki baik dalam menetapkan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar yang dilakukan oleh pembelajar itu sendiri. Suhendri (2014) berpendapat bahwa kemandirian belajar merupakan kemampuan seorang siswa untuk berupaya secara mandiri dalam menggali informasi belajar dari

26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemandirian Belajar 1

Embed Size (px)

Citation preview

26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemandirian Belajar

1. Pengertian Kemandirian Belajar

Tahar dan Enceng (2006) menyatakan kemandirian belajar adalah individu yang

mau dan mampu untuk belajar dengan inisiatif sendiri, dengan atau tanpa bantuan

pihak lain dalam penentuan tujuan belajar. Nurhayati (2011) mendefinisikan

kemandirian belajar sebagai kemampuan dalam belajar yang didasarkan pada rasa

tanggung jawab, percaya diri, inisiatif, dan motivasi sendiri dengan atau tanpa bantuan

orang lain yang relevan untuk menguasai kompetensi tertentu, baik dalam aspek

pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang dapat digunakan untuk memecahkan

masalah belajarnya. Mujiman (2011) mengartikan kemandirian belajar adalah sifat

serta kemampuan yang dimiliki oleh siswa untuk melakukan kegiatan belajar aktif,

yang didorong oleh motif siswa untuk menguasai suatu kompetensi. Kegiatan belajar

aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna

mengatasi suatu masalah, dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang

dimiliki baik dalam menetapkan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo

belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar yang dilakukan oleh pembelajar itu

sendiri.

Suhendri (2014) berpendapat bahwa kemandirian belajar merupakan kemampuan

seorang siswa untuk berupaya secara mandiri dalam menggali informasi belajar dari

27

sumber belajar selain guru. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mulyaningsih

(2014) bahwa kemandirian belajar merupakan kegiatan belajar yang dilakukan siswa

dengan sedikit atau sama sekali tanpa bantuan dari pihak luar.

Menurut Nurwahyuni (2013) kemandirian belajar adalah kesanggupan siswa

dalam menjalani kegiatan belajar dengan seorang diri tanpa tergantung kepada orang

lain yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan mengarah kepada suatu pencapaian

tujuan yang diinginkan siswa. Hal yang sama juga diungkapkan Aisyah (2013)

kemandirian belajar berarti kemampuan peserta didik untuk bertanggung jawab atas

proses belajar dan berinisiatif dalam mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan

untuk mencapai tujuan belajar.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kemandirian belajar adalah kemauan dan kemampuan untuk belajar dengan inisiatif

sendiri, dengan atau tanpa bantuan pihak lain dalam penentuan tujuan belajar, baik

dalam aspek pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang dapat digunakan untuk

memecahkan masalah belajarnya.

2. Aspek-Aspek Kemandirian Belajar

Tahar & Enceng (2006) mempunyai pendapat bahwa kemandirian belajar terdiri

dari tiga aspek yaitu pengelolaan belajar, tanggung jawab, dan pemanfaatan berbagai

sumber belajar. Aspek-aspek kemandirian belajar itu dapat dijabarkan sebagai

berikut :

a. Aspek pengelolaan belajar berarti siswa harus mampu mengatur strategi, waktu,

dan tempat untuk melakukan aktivitas belajarnya seperti membaca, meringkas,

membuat catatan dan mendengarkan materi dari audio. Pengelolaan belajar itu

28

sangat penting. Siswalah yang secara otonom menentukan waktu belajarnya dan

dimana ia melakukan proses pembelajaran data membantu siswa untuk berhasil

dalam belajar.

b. Aspek tanggung jawab berarti siswa mampu menilai aktivitas, mengatasi

kesulitan dan mengukur kemampuan yang diperoleh dari belajar. Dalam belajar

mandiri siswa dituntut untuk memiliki kesiapan, keuletan, dan daya tahan.

Sehingga diperlukan motivasi belajar yang tinggi. Kesulitan yang dialami dalam

belajar harus mereka atasi sendiri dengan mendiskusikan sesama siswa dengan

memanfaatkan sumber belajar yang terkait dengan bahan ajar dan memperbanyak

latihan soal yang dapat meningkatkan pemahaman siswa. Disamping itu, siswa

harus menilai kemampuan yang diperoleh dari hasil belajar bila hasil belajarnya

tidak memuaskan dengan memperbaiki cara belajar dan secara rutin mengerjakan

latihan.

c. Aspek pemanfaatan berbagai sumber belajar berarti siswa dapat menggunakan

berbagai sumber belajar, seperti modul, majalah, kaset, audio, buku, internet dan

perpustakaan. Siswa dalam memilih berbagai sumber belajar diharapkan dapat

memperkaya pemahaman terhadap bahan ajar.

Menurut Yurniadi dan Halida (2012) aspek-aspek kemandirian belajar itu

terdiri dari :

a. Berdiri sendiri

Aspek berdiri sendiri maksudnya adalah kemampuan untuk menentukan atau

memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan tanpa tergantung atau disuruh oleh

29

orang lain dalam kegiatan belajarnya. Kemampuan ini berkaitan dengan

kepercayaannya diri dalam belajar.

b. Menyelesaikan masalah

Aspek menyelesaikan masalah atau kesulitan yang dihadapinya tanpa harus

tergantung atau meminta bantuan orang lain.

c. Tanggung jawab

Aspek tanggung jawab adalah kesungguhan untuk memenuhi kewajiban

dalam kegiatan belajarnya. Siswa menyadari pentingnya belajar bagi

dirinya dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan yang mendasar bagi

dirinya.

d. Inisiatif dan Kreativitas

Aspek inisiatif dan kreativitas merupakan suatu ide-ide , cara-cara atau

pemikiran baru dan memiliki daya cipta dalam kegiatan belajarnya.

Siswa pula memiliki potensi tertentu dalam menentukan langkahlangkah

apa yang diambil dalam kegiatan belajarnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian

belajar pada siswa dapat dibentuk melalui aspek pengelolaan belajar, berdiri

sendiri, menyelesaikan masalah, tanggung jawab, inisiatif dan kreatif serta

pemanfaatan berbagai sumber belajar. Dari beberapa aspek kemandirian belajar

di atas peneliti tertarik untuk memilih aspek-aspek yang dikemukakan oleh Tahar

& Enceng (2006) yaitu pengelolaan belajar, tanggung jawab, dan pemanfaatan

berbagai sumber belajar karena aspek tersebut penjelasannya lengkap, mudah

30

dipahami oleh peneliti dan bisa mengungkapkan variabel kemandirian belajar

pada siswa.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemandirian Belajar

Kemandirian belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor yang terdapat

di dalam dirinya sendiri (internal) dan faktor – faktor yang terdapat di luar

dirinya (eksternal). Faktor-faktor internal kemandirian belajar pada siswa

dikemukakan oleh dua pendapat yaitu :

a. Djaali (2017) menyatakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi

kemandirian belajar yaitu :

1) Konsep Diri

Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang

menyangkut apa yang ia ketahui dan rasakan tentang perilakunya, isi

hingga membentuk suatu konsep diri yang utuh, remaja akan terus

menerus bimbang dan tidak mengerti tentang dirinya. Konsep diri

merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang

dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan

melainkan berkembang dari pengalaman-pengalaman yang terus menerus

dan terdiferensiasi. Dasar konsep diri individu ditanamkan pada saat – saat

dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah

lakunya di kemudian hari.

31

2) Motivasi

Motivasi merupakan kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam

diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna

mencapai suatu tujuan (kebutuhan). Hal ini sejalan dengan pendapatnya

Suryabrata ( 2013) kemandirian belajar adalah keadaan yang terdapat dalam

diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna

pencapaian suatu tujuan.

Peranan motivasi mempelajari tingkah laku seseorang besar sekali

karena motivasi diperlukan bagi reinforcement (stimulus yang memperkuat

dan mempertahankan tingkah laku yang dikehendaki) yang merupakan

kondisi mutlak dalam proses kemandirian belajar, motivasi menyebabkan

timbulnya berbagai tingkah laku, dimana salah satu diantaranya mungkin

dapat merupakan perilaku yang dikehendaki.

3) Sikap

Sikap dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan setiap definisi itu berbeda

satu sama lainnya. Sikap belajar yang positif akan menimbulkan intensitas

kegiatan yang lebih tinggi dibanding dengan sikap belajar yang negatif.

Peranan sikap bukan saja ikut menentukan apa yang dilihat seseorang

melainkan juga bagaimana ia melihatnya. Sikap belajar yang positif

berkaitan erat dengan minat dan motivasi. Oleh karena itu, apabila faktor

lainnya sama, siswa yang sikap belajarnya positif akan belajar lebih aktif dan

dengan demikian akan memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan siswa

yang sikap belajarnya negatif.

32

4) Minat

Minat adalah rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau

aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan

akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin

kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minatnya. Minat dapat

diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih

menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui

partisipasi dalam suatu aktivitas. Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan

diperoleh kemudian.

5) Kebiasaan Belajar

Kebiasaan belajar cenderung menguasai perilaku siswa pada siswa pada

setiap kali mereka melakukan kegiatan belajar, karena kebiasaan

mengandung motivasi yang kuat. Pada umumnya setiap orang bertindak

berdasarkan force of habit dalam belajar, perbuatan menimbulkan

kesenangan cenderung untuk diulang. Oleh karena itu tindakan berdasarkan

kebiasaan bersifat mengukuhkan (reinforcing). Cara belajar yang efisien

adalah dengan usaha sekecil-kecilnya memberikan hasil yang sebesar-

besarnya bagi perkembangan individu untuk belajar.

b. Menurut Slameto (2015) faktor-faktor internal yang mempengaruhi

kemandirian belajar antara lain :

1) Intelegensi

Intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan kemandirian belajar.

Dalam situasi yang sama siswa yang mempunyai intelegensi yang tinggi akan

33

lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.

Walaupun belum pasti berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena

belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan banyak faktor yang

mempengaruhinya, sedangkan intelegensi adalah salah satu faktor di antara

faktor lain.

2) Perhatian

Perhatian merupakan keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu semata-mata

tertuju kepada suatu objek (benda/hal) atau sekumpulan objek. Untuk dapat

menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian

terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi

perhatian siswa, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak lagi suka

belajar.

3) Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan

mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang,

diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa senang. Minat besar

pengaruhnya terhadap kemandirian belajar, karena bila bahan pelajarannya

yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar

dengan sebaik-baiknya dan menjadi tidak mandiri.

4) Bakat

Bakat merupakan kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan

terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih.

Semua orang memiliki bakat yang berbeda dengan orang lain. Bakat

34

menunjuk pada potensi seseorang berkaitan dengan prestasi yang luar biasa

dalam satu atau lebih area kemampuan. Siswa yang memiliki bakat tinggi

dalam berbagai bidang studi pendidikan akan berpengaruh terhadap

kemandirian belajarnya.

5) Motif

Motivasi merupakan suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan,

intensitas, konsistensi, serta arah umum dari tingkah laku manusia,

merupakan konsep yang rumit dan berkaitan dengan konsep-konsep lain

seperti minat, konsep diri dan sebagainya.

Motivasi belajar seseorang yang tinggi diharapkan kemandirian belajarnya

akan semakin tinggi sebaliknya ketika motivasi belajar rendah

kemandiriannya akan rendah pula.

6) Kematangan

Kematangan adalah sesuatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, di

mana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru.

Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan kegiatan secara terus

menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pelajaran. Dengan kata lain

anak yang sudah siap (matang) belum dapat melaksanakan kecakapannya

sebelum belajar.

7) Kesiapan

Kesiapan atau readiness merupakan kesediaan untuk memberi respons atau

reaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan

dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk

35

melaksanakan kecakapan. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses

belajar, karena jika siswa belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil

belajarnya dan tingkat kemandirian belajarnya akan lebih baik.

Berdasarkan dua pendapat di atas maka dapat disimpulkan faktor internal

yang mempengaruhi kemandirian belajar pada siswa adalah konsep diri motivasi,

sikap, minat, kebiasaan belajar, intelegensi, perhatian, minat, bakat, kematangan

dan kesiapan.

Faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian belajar menurut Djaali

(2017) dikelompokkan menjadi empat faktor yaitu faktor keluarga, faktor sekolah,

faktor masyarakat, dan lingkungan sekitar.

1) Faktor keluarga

Keluarga merupakan kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh suatu

ikatan perkawinan, lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan

yang khas dan bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk kebahagiaan,

kesejahteraan, dan ketenteraman semua anggota yang ada dalam keluarga

tersebut (Aziz,2015).

Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa : cara orang

tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga, dan

keadaan ekonomi keluarga.

a) Cara orang tua mendidik

Keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama memiliki peran yang amat

penting khususnya dalam penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai

moral sosial dan budaya. Orang tua berperan membimbing anak untuk

36

mengalami proses pembatinan nilai-nilai sehingga nilai-nilai itu akan menjadi

tatanan anak dalam dirinya. Pendidikan keluarga memiliki pengalaman yang

banyak yang diperoleh dari proses pendidikan keluarga yang dilaksanakan.

Pendidikan keluarga mencakup berbagai ruang lingkungan dan nilai yang

tercipta secara alami dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan dalam keluarga pada ranah kognitif dan psikomotorik lebih

menekankan pada pembekalan manusia kreatif, kritis, dan terampil melalui

kepemilikan life skills yang matang serta memiliki kesiapan bersaing secara

global. Harapan melalui pendidikan keluarga seseorang akan mampu menjadi

manusia unggul, berkarakter, cerdas, berkualitas dan mampu menjawab

berbagai problem yang ada dalam setiap sisi kehidupan.

Orang tua memegang peran utama dan pertama bagi pendidikan,

mengasuh, membesarkan dan mendidik anak. Orang tua memiliki peran

penting dalam mengidentifikasi bakat anak-anak dan membimbing mereka,

saling pengertian dan hubungan dekat antara orang tua dan anak-anak.

Pengasuhan yang diberikan orang tua diwarnai oleh sikap-sikap tertentu

dalam membimbing dan mengarahkan anak. Sikap tersebut tercermin dalam

pola pengasuhan (Aisiyah. 2013).

Menurut Tridhonanto (2014) pola asuh adalah suatu keseluruhan

interaksi orang tua dan anak, dimana orang tua yang memberikan dorongan

bagi anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai

dianggap paling tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta

berkembang secara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki

37

sifat rasa ingin tahu, bersahabat, dan berorientasi untuk sukses. Pola asuh

yang diberikan akan membantu mengembangkan kemandirian anak dalam

belajar.

Menurut Hurlock ( 2002) pola asuh terdiri dari :

(1) Pengasuhan orang tua yang bergaya ototarian (authoritarian parenting )

Pola asuh authoritarian adalah pengasuhan yang kaku, diktator dan

memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa banyak

alasan. Dalam pola asuh ini biasa ditemukan penerapan hukuman fisik

dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna

dan alasan di balik aturan tersebut.

Orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,

biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. Misalnya kalau tidak

mau menuruti apa yang diperintahkan orang tua atau melanggar

peraturan yang dibuat orang tua maka tidak akan diberi uang saku. Orang

tua cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak

mau melakukan apa yang dikatakan orang tua, maka orang tua tidak

segan menghukum anaknya. Orang tua ini juga tidak mengenal

kompromi dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah dan orang tua

tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai

anaknya.

(2) Pengasuhan orang tua yang bergaya otoritatif (authoritative parenting).

Pola asuh authoritative memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi

tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini

38

bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau

pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap

kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui

kemampuan anak. orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada

anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya

kepada anak bersifat hangat.

Orang tua dengan pengasuhan otoritatif selalu melibatkan anak mereka

dalam segala hal yang berkenaan dengan kepentingan anak itu sendiri

dan dengan keluarga. Mereka mempunyai pertimbangan dan penilaian

terhadap anak serta mau berdiskusi dalam mengambil segala keputusan

yang berkaitan dengan anak remaja mereka.

Anak belajar untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri belajar

mendengarkan dan berdiskusi dengan orang tua mereka. Orang tua

authoritative menekankan pentingnya peraturan, norma, dan nilai-nilai,

tetapi mereka bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan dan

bernegosiasi dengan anak. Disiplin yang mereka lakukan lebih bersifat

verbal merupakan sesuatu yang afektif (Gunarsa, 2006).

Remaja yang dibesarkan dengan pola pengasuhan authoritative akan

merasakan suasana rumah penuh rasa saling menghormati, penuh

apresiasi, kehangatan, penerimaan dengan adanya konsistensi

pengasuhan dari orang tua mereka. Dengan demikian, mereka akan lebih

mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.

39

(3) Pola Asuh Permisif

Ciri-ciri Pola asuh Permisif menggunakan peraturan sedikit, orangtua

bersikap longgar pada anak, sehingga anak diperbolehkan berbuat apa

saja yang dia inginkan, orangtua tidak memberi tahu bahwa perbuatan

anaknya benar atau salah, sehingga menyebabkan anak menjadi orang

yang sulit dibimbing, lebih mementingkan dirinya sendiri. Karena pola

asuh orangtua yang terlalu longgar.

b) Relasi Antar anggota Keluarga

Relasi antar anggota yang terpenting adalah relasi orangtua dengan anakn.

Relasi antar keluarga erat kaitannya dengan cara orang tua mendidik

anak. Bimbingan dan penyuluhan dari orang tua memegang peranan

penting. Anak atau siswa yang mengalami kesukaran-kesukaran dalam

proses pembelajaran dapat ditolong dengan memberikan bimbingan

belajar sebaik-baiknya, sehingga keterlibatan orang tua akan sangat

mempengaruhi keberhasilan bimbingan tersebut. Relasi antar anggota

keluarga yang terpenting adalah relasi orang tua dengan anaknya. Selain

itu relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain

pun turut mempengaruhi belajar anak. Hubungan yang baik antar anggota

keluarga dapat memberikan semangat bagi siswa untuk belajar karena

anak tidak akan merasa tertekan ketika belajar sehingga anak merasa

mendapat dukungan dan seluruh anggota keluarga.

40

c) Suasana Rumah

Suasana rumah sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi

dalam keluarga dimana anak berada dan belajar. Suasana rumah yang

gaduh atau ramai tidak akan memberi ketenangan kepada anak saat

belajar, sehingga anak malas untuk belajar dan kemandirian belajarnya

semakin menurun. Suasana rumah merupakan faktor penting yang tidak

termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang gaduh atau ramai

dan semrawut dengan konflik dalam rumah tidak akan memberi

ketenangan pada anak saat belajar. Demi kelancaran belajar serta

keberhasilan anak, perlu diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga

anak tersebut. Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh

pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan bila perlu

hukuman-hukuman untuk menyukseskan belajar anak sendiri

d) Keadaan ekonomi keluarga

Keadaan ekonomi keluarga berkaitan dengan kemandirian belajar.

Karena untuk menumbuhkan kemandirian belajar dibutuhkan pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan anak. Keluarga (orang tua) dengan keadaan sosial

ekonomi tinggi tidak akan banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi

kebutuhan sekolah anak, berbeda dengan orang tua yang keadaan sosial

ekonomi rendah. Contoh: anak saat belajar akan sangat memerlukan

sarana penunjang belajar, dengan harga mahal. Bila kebutuhan itu tidak

terpenuhi maka akan menjadi penghambat bagi anak dalam pembelajaran.

41

e) Latar belakang kebudayaan

Tingkat pendidikan dan pembiasaan di dalam keluarga berpengaruh

terhadap sikap anak dalam belajar. Perlu penanaman kebiasaan-kebiasaan

yang baik agar mendorong semangat untuk belajar.

2) Faktor Sekolah

Sekolah merupakan tempat memberikan bekal ilmu kepada para siswa,

berfungsi sebagai pembentuk kepribadian. Sekolah menjadi sumber

pendidikan tentang kemandirian siswa. Sekolah dijadikan sarana kegiatan

dalam suatu proses belajar, serta dukungan keluarga berperan sangat penting

dan tanggung jawab utama orang tua untuk mendorong anak serta

menyekolahkan ke lembaga pendidikan dengan harapan nantinya lebih

mampu untuk mengembangkan minat guna meningkatkan kemandirian

belajar.

Metode yang digunakan guru di lingkungan sekolah dalam mengajar

harus tepat, efisien dan efektif, sehingga dapat membantu meningkatkan

kegiatan belajar mengajar. Sebaliknya metode mengajar guru yang kurang

baik akan berpengaruh tidak baik pada kegiatan belajar mengajar.

Lingkungan sekolah yang mencakup metode mengajar, kurikulum,

relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah

pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran berpengaruh terhadap prestasi

belajar siswa. Metode yang digunakan oleh guru dalam mengajar harus

diusahakan tepat, efisien dan efektif mungkin, sehingga dapat membantu

42

meningkatkan kegiatan belajar mengajar. Sebaliknya metode mengajar guru

yang kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula.

Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan yang diberikan kepada siswa.

Kegiatan belajar mengajar menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima,

menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran. Bahan pelajaran yang

diberikan guru mempengaruhi belajar siswa, kurikulum yang kurang baik

juga berpengaruh tidak baik terhadap belajar, relasi (guru dengan siswa) yang

baik mengakibatkan siswa menyukai guru dan selanjutnya akan menyukai

mata pelajaran yang diberikannya sehingga siswa berusaha mempelajari

sebaik-baiknya. Sebaliknya jika siswa membenci guru, ia akan segan

mempelajari mata pelajaran yang diberikan, sehingga siswa menjadi malas

untuk belajar. Menciptakan relasi yang baik antar siswa adalah perlu agar

dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap belajar siswa. Selanjutnya,

adalah kedisiplinan sekolah yang berkaitan dengan kerajinan siswa dalam

kegiatan sekolah atau belajar. Seluruh staf sekolah yang mengikuti tata tertib

dan bekerja dengan disiplin membuat siswa menjadi disiplin pula, selain itu

juga memberi pengaruh yang positif terhadap belajar. Sekolah dengan

pelaksanaan disiplin kurang, akan berpengaruh pada sikap siswa dalam

belajar, dan kurang bertanggung jawab.

3) Faktor masyarakat

Masyarakat merupakan faktor eksternal yang berpengaruh karena siswa ada

dalam masyarakat, bergaul dengan teman sebaya, ataupun dengan orang yang

43

lebih dewasa, kegiatan-kegiatan yang harus diikuti sebagai bentuk kehidupan

bermasyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian

belajar pada siswa dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal berupa konsep diri, motivasi, sikap, minat, kebiasaan belajar,

intelegensi, perhatian, minat, bakat, kematangan dan kesiapan. Faktor

eksternal yang mempengaruhinya adalah faktor keluarga, faktor sekolah dan

masyarakat.

Peneliti tertarik meneliti konsep diri sebagai faktor internal dalam

kemandirian belajar karena siswa yang mempunyai konsep diri tinggi akan

berpengaruh pula terhadap kemandirian dalam belajar (Ardiyanti, 2017).

Pendapat ini diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan Sakti (2016)

dengan hasil penelitian menyatakan ada hubungan positif antara konsep diri

dengan kemandirian belajar siswa, berarti semakin tinggi konsep diri maka

kemandirian belajarnya semakin tinggi pula.

Selain itu peneliti memilih pola asuh authoritative sebagai faktor

eksternal karena keluarga merupakan awal dari terbentuknya kemandirian

belajar pada siswa dan di dalam keluarga anak mulai belajar untuk

menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Keluarga merupakan lingkungan

pendidikan pertama , karena di dalam keluarga anak mendapatkan pendidikan

dan bimbingan pertama kalinya dan peletak dasar pendidikan

(Dewantara,2013). Pola asuh yang telah dilakukan orang tua akan

dipersepsikan siswa sejauh mana penilaian siswa terhadap pola asuh

44

authoritative membentuk kemandirian belajarnya, karena hubungan orang

tua dengan anak dipengaruhi oleh persepsi anak terhadap pendidikan atau

pola asuh yang diberikan orang tuanya.

Pendapat ini diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan Widianto

dkk. (2016) yang menyatakan terdapat pengaruh yang positif dan signifikan

pola asuh authoritative terhadap kemandirian belajar pada siswa. Artinya

semakin tinggi pola asuh authoritative yang diterapkan kepada siswa,

semakin tinggi pula tingkat kemandirian belajarnya.

B. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Calhoun (1995), menyatakan konsep diri adalah gambaran diri sendiri yang

terdiri dari pengetahuan, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri. . Hal ini

sesuai dengan pendapat Agustin (2009) mengatakan bahwa konsep diri adalah

gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui

pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan.

Ghufron dan Risnawita (2014) menyatakan konsep diri adalah gambaran

seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik,

psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Menurut

Ardiyanti (2017) mengungkapkan konsep diri adalah representasi kesadaran pribadi

berdasarkan pada pengalaman diri dengan orientasi fokus menerapkan interaksi ego

-state secara dewasa(adult), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

45

Slameto (2015) menyatakan konsep diri adalah persepsi keseluruhan yang

dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri. Menurut Hidayah (2009) konsep diri

adalah penilaian individu mengenai diri sendiri, bukan hanya gambaran deskriptif.

Nirwana (2013) menyatakan gambaran dan penilaian seseorang tentang keadaan

diri sendiri pada saat sekarang dan keinginan di masa mendatang.

Berdasarkan uraian beberapa pengertian konsep diri di atas konsep diri adalah

gambaran diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan, pengharapan, dan penilaian

terhadap diri sendiri.

2.Aspek-aspek Konsep Diri

Aspek – aspek konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun (1995) adalah :

a. Pengetahuan

Pengetahuan tentang diri sendiri atau menjelaskan siapa saya yang akan

memberikan gambaran tentang diri saya. Gambaran diri tersebut pada gilirannya

akan membentuk citra diri dan merupakan kesimpulan dari pandangan dalam

berbagai peran yang dipegang, misal sebagai pelajar atau siswa; pandangan

tentang watak kepribadian yang dirasakan pada diri seperti jujur, setia, gembira,

bersahabat, dan aktif: pandangan tentang sikap yang ada pada diri; kemampuan

yang dimiliki, kecakapan yang dikuasai dan berbagai karakteristik lain yang

melekat pada diri.

Singkatnya dimensi pengetahuan (kognitif) mencakup segala sesuatu yang

dipikirkan tentang dirinya sebagai pribadi seperti “saya pintar”, saya anak baik”.

46

b. Harapan

Harapan merupakan diri yang dicita-citakan di masa depan. Ketika mempunyai

sejumlah pandangan tentang siapa sebenarnya diri yang sebenarnya, pada saat

yang sama juga mempunyai sejumlah pandangan yang lain tentang kemungkinan

menjadi apa dirinya di masa yang akan datang. Setiap orang mempunyai

pengharapan bagi dirinya, dan pengharapan ini merupakan diri-ideal ( self-ideal)

atau diri yang dicita-citakan.

Pada saat-saat tertentu, seseorang mempunyai suatu aspek pandangan tentang

dirinya. Individu mempunyai harapan bagi dirinya sendiri untuk menjadi diri

yang ideal. Diri yang ideal sangat berbeda pada setiap individu.

c. Penilaian

Di dalam penilaian individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya

sendiri. Hasil penilaian terhadap dirinya disebut harga diri, semakin tidak sesuai

antara harapan dan standar diri, maka akan semakin rendah harga diri seseorang.

Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya yang

menyukai siapa dirinya, apa yang sedang dikerjakannya akan memiliki rasa harga

diri yang tinggi(high self-esteem). Penilaian akan membentuk penerimaan

terhadap dirinya (self-acceptance) serta harga diri (self-esteem).

Fitts (Agustin 2009) membagi aspek konsep diri menjadi dua dimensi pokok, yaitu :

1) Dimensi Internal

Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal

frame of refrence) adalah penilaian yang dilakukan individu yakni penilaian yang

47

dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya.

Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk yaitu :

a) Diri identitas (identity self)

Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan

mengacu pada pertanyaan “siapa saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup

label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu –

individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun

identitasnya.

b). Diri Pelaku (behavioral self)

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang berisikan

segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini

berkaitan erat dengan diri identitas diri yang kuat akan menunjukkan adanya

keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat

mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku.

Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.

c). Diri penerimaan/Penilai(judging self)

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator.

Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri

pelaku.

Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya.

Oleh karena itu, label-label yang dikenakan pada dirinya, tetapi juga sarat

dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan

tindakannya yang akan ditampilkan.

48

2) Dimensi Eksternal

a. Diri Fisik (psysical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara

fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya,

penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan

tubuhnya ( tinggi, pendek, gemuk, kurus)

b. Diri etik-moral ( moral-ethical self)

Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari

standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi

seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan

kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang

meliputi batasan baik dan buruk.

c. Diri Pribadi (personal self)

Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan

pribadinya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan

orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas

terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi

yang tepat.

d. Diri Keluarga ( family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam

kedudukannya sebagai anggota keluarga. Aspek ini menunjukkan seberapa

jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga,

49

serta peran maupun fungsi yang dijalankan sebagai anggota dari suatu

keluarga.

e. Diri Sosial (social self)

Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan

orang lain maupun lingkungan di sekitarnya

Berdasarkan paparan yang diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan

bahwa konsep diri terdiri dari beberapa aspek antara lain : aspek konsep diri menjadi

dua dimensi pokok, yaitu dimensi internal yang meliputi ; diri identitas (identity self),

diri pelaku (behavioral self), diri penerimaan/Penilai (judging self) dan dimensi

Eksternal yang meliputi ; Diri Fisik (psysical selft), diri etik-moral (moral-ethical

self), diri Pribadi (personal self), diri Keluarga ( family self), Diri Sosial (social self),

pengetahuan, harapan dan penilaian. Penelitian ini akan mengambil aspek-aspek

konsep diri yang dikemukakan Calhoun (1995) yaitu aspek pengetahuan, harapan

dan penilaian. Alasan peneliti memilih aspek tersebut karena ketiga aspek tersebut

merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama

lain Centi (dalam Deswita 2017). Alasan yang lain karena penjelasannya mudah

dipahami oleh peneliti, dan dapat digunakan untuk mengungkapkan variabel konsep

diri.

C. Persepsi terhadap Pola Asuh Authoritative

1. Pengertian persepsi tentang Pola Asuh Authoritative

Persepsi berarti tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu (kamus besar

Bahasa Indonesia). Sudarsono (2012) menjelaskan bahwa persepsi merupakan

50

kemampuan dalam menanggapi, memahami, mengamati, memandang, serta proses

lainnya untuk mengingat dan mengidentifikasi sesuatu hal dengan menggunakan

kemampuan diri untuk mengorganisasikan pengamatan yang telah ditangkap oleh

indra yang dimiliki.

Desmita (2017) menyatakan persepsi adalah suatu proses penggunaan

pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan menginterpretasi stimulus

(rangsangan) yang diterima oleh sistem alat indra manusia. Persepsi pada dasarnya

menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya, bagaimana ia mengerti dan

menginterpretasikan stimulus yang ada di lingkungannya dengan menggunakan

pengetahuan yang dimilikinya. Setelah individu mengindrakan objek di

lingkungannya, kemudian ia memproses hasil pengindraannya itu, sehingga

timbullah makna tentang objek itu. Persepsi merupakan proses yang menyangkut

masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia

terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini

dilakukan lewat indranya, yaitu indra penglihat, pendengar, peraba, perasa dan

pencium. (Slameto, 2015).

Menurut Ali & Asrori (2016) persepsi adalah proses individual dalam

menginterpretasikan, mengorganisasikan, dan memberi makna kepada stimulus yang

berasal dari lingkungan di mana individu itu berada, merupakan hasil dari proses

belajar dan pengalaman. Persepsi pada individu tidak terjadi dengan sendirinya tetapi

melalui proses, objek kejadian yang dialami oleh individu akan menimbulkan

stimulus yang kemudian mengenai alat indra.

51

Persepsi dibutuhkan siswa guna menyimpulkan informasi dan pesan yang

akan diberikan berupa makna terhadap pola asuh authoritative. Objek persepsi yang

diteliti oleh peneliti yaitu pola asuh authoritative. Pola asuh merupakan sebuah

proses tindakan dan interaksi antara orang tua dan anak, proses dimana kedua pihak

saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh menjadi sosok dewasa (Brooks,

2011). Hal ini sesuai dengan pendapat Rahimi (2012), pola asuh adalah kegiatan yang

kompleks yang mencakup banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual

dan bersama-sama untuk mempengaruhi hasil anak.

Pola asuh authoritative menurut Baumrind dalam Santrock (2003) yaitu

pengasuhan yang mendorong remaja untuk bebas tetapi memberikan batasan dan

pengendalian tindakan-tindakan, komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung

dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat, serta membesarkan hati remaja. Gaya

pengasuhan ini mendorong remaja agar mandiri namun masih dibatasi dan

mengendalikan aksi-aksi mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan,

dan orang tua melihatkan kehangatan dan kasih sayang kepada anak. Orangtua

dengan gaya pengasuhan authoritative memberikan kesempatan kepada anak-

anaknya untuk berdialog secara verbal. Disamping itu orang tua juga bersikap hangat

dan mengasuh sehingga mendorong remaja untuk bebas tetapi memberikan batasan

dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa

berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat serta bersifat membesarkan

hati anak.

Menurut Surbakti (2012) pola asuh authoritative yaitu pengasuhan dengan

metode atau cara orang tua mencukupi kebutuhan fisiologis dan psikologis anak,

52

membesarkan anak berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan, mendidik

anak dan mengajarkan anak agar memiliki pengetahuan dan ketrampilan.

Menanamkan dan memberlakukan tata nilai kepada anak, mengajarkan dan

menerapkan tata nilai rohani, mengajarkan pola interaksi dan relasi yang patut kepada

anak-anak, menyangkut hubungan kekeluargaan dan kekerabatan sebagai orang tua

dengan anak-anak. Tridhonanto (2014) berpendapat bahwa pola asuh authoritative

merupakan pola asuh orang tua yang menerapkan perlakuan kepada anak dalam rangka

membentuk kepribadian anak dengan cara memprioritaskan kepentingan anak yang

bersikap rasional atau pemikiran - pemikiran.

Nirwana (2013) menyatakan pola asuh authoritative adalah pola asuh yang

memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun tidak mutlak, dan dengan

bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak. Hal serupa diungkapkan

oleh Husada (2013) yang berpendapat pola asuh authoritative merupakan cara

pengasuhan di mana remaja boleh mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan

pandangan-pandangan mereka dengan orang tua, menentukan dan mengambil

keputusan. Criatiany (2015) berpendapat jika pola asuh authoritative adalah pola

komunikasi timbal balik, hangat dan memberikan kebebasan pribadi untuk

beraktualisasi diri. Orang tua memberikan arahan, penjelasan, alasan dan batasan-

batasan dalam mengendalikan tindakan-tindakan yang dilakukan remaja. Pola asuh

authoritative menemukan keseimbangan antara kontrol dan kebebasan. Ketika

menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan standar yang telah ditetapkan maka

langkah-langkah hukuman yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut

(Newman, 2017).

53

Orang tua menghargai perspektif anak-anak mereka, dan

memperhitungkannya ketika mengatur dan menjelaskan kebijakan. Hubungan ini

ditandai sebagai memberi dan menerima, namun secara fundamental ditentukan oleh

orang tua (Baumrind, 1971).

Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi pola asuh

authoritative yaitu tanggapan (penerimaan) langsung tentang pengasuhan orang tua

yang mendorong remaja untuk bebas tetapi memberikan batasan dan tetap

mengendalikan tindakan-tindakan mereka, komunikasi verbal timbal balik bisa

berlangsung secara bebas, dan orang tua bersikap hangat , orang tua melihatkan

kehangatan serta kasih sayang kepada anak.

2. Aspek- aspek Persepsi tentang Pola Asuh Authoritative

Aspek-aspek pola asuh authoritative menurut Hurlock (2002) meliputi :

a. Komunikasi

Pada pola asuh authoritative terjadi komunikasi yang baik antara orang tua dengan

anak. Komunikasi itu berjalan dua arah atau timbal balik, orang tua mengajak anak

untuk bermusyawarah dan memberikan kesempatan dalam mengemukakan

pendapat ( Hurlock,2006).

b. Norma dan Nilai

Dalam pola asuh authoritative orang tua membuat norma atau peraturan serta nilai-

nilai yang harus dipatuhi oleh anak. Hal ini bertujuan agar anak memiliki pedoman

dalam tingkah laku dan berpikir agar tidak melanggar aturan (Hurlock,2002).

54

c. Kasih sayang dan sikap tegas

Pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada anak-anaknya merupakan hal

penting dalam menjaga suatu hubungan antara anak dan orang tua (Hurlock, 2006).

Aspek-aspek pola asuh authoritative menurut Tridhonanto (2014), meliputi :

a. Orangtua bersikap acceptance dan mengontrol tinggi

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar

menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak ada

hubungan interaksi yang intim dengan orang tuanya. Keluarga memberikan dasar

pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak. Orang tua yang

bijaksana memanfaatkan keinginan akan kemandirian ini dengan membiarkan

anak-anak mereka mempraktikkan keterampilan mereka yang baru muncul sesering

mungkin pada lingkungan yang aman atau ramah anak serta menuntut adanya

kedisiplinan dari anak untuk mengikuti segala bentuk aturan dan batasan yang

diberikan/ditentukan orang tua. Dukungan orang tua yang seperti ini memang

sangat dibutuhkan anak agar dapat melakukan berbagai hal secara mandiri,

termasuk aktivitas yang masih relatif sulit.

b. Orang tua bersikap responsif terhadap kebutuhan anak

Sikap yang responsif terhadap perasaan dan keinginan anak adalah hal penting yang

perlu dimiliki orangtua. Jika orangtua tidak memiliki sikap tersebut, maka anak

dapat terganggu secara psikologis dan akhirnya mampu membuat anak menjadi

stres. Orang tua harus tanggap terhadap kebutuhan anak sehingga akan mampu

meningkatkan kemandirian anak

55

c. Orang tua mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan Sikap

orang tua mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pernyataan akan

melatih kemampuan mereka dalam berpikir dan berekspresi. Hal ini dapat

dilakukan dalam membuat peraturan, orang tua melibatkan anak dalam membuat

keputusan, di mana individu diberi ruang untuk setuju ataupun tidak setuju.

d. Orang tua memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk.

Saat orang tua menggunakan hukuman dan diberikan jika terbukti individu secara

sadar menolak melakukan apa yang telah disetujui bersama, dengan memastikan

konsekuensi tersebut harus sesuai dengan jenis dan tingkat pelanggaran dan sebisa

mungkin mengandung nilai yang dapat dipelajari. Ketika orang tua membuat

peraturan yang harus dipatuhi, individu juga memiliki kesempatan untuk

berpendapat.

e. Orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak

Orang tua tidak berharap berlebihan yang melampaui kemampuan individu.

Anak-anak dapat tumbuh menjadi orang yang sama sekali berbeda dengan orang

tua individu. Sangat penting orang tua mampu menghargai dan menerima

perbedaan tersebut.

f. Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu

tindakan.

Orang tua membiarkan anak-anaknya bebas bertindak sesuai hasrat dan keinginan

mereka (anak-anak) sendiri. Seorang anak seyogianya dibebaskan untuk melakukan

apa pun yang diinginkannya, meskipun boleh jadi itu tidak benar menurut

56

pandangan orang tua. Dengan cara ini, si anak akan tumbuh dengan pikiran yang

mandiri.

g. Orang tua menjadikan dirinya sebagai model panutan bagi anak

Pada dasarnya anak-anak akan merujuk pada orang tua untuk mendapatkan panutan

dalam bersikap dan berperilaku. Bila mereka dibesarkan dalam lingkungan yang

penuh kehangatan dan kasih sayang, maka mereka pun akan mengamalkan nilai-

nilai tersebut ketika dewasa.

h. Orang tua hangat dan berupaya membimbing anak

Dengan membina percakapan ringan dengan anak setiap hari, untuk mengetahui

apa yang sedang terjadi dalam kehidupan anak dan membangun kepercayaan antara

orang tua dan anak.

i. Orang tua melibatkan anak dalam membuat keputusan

Proses pengambilan keputusan dilakukan setiap hari oleh semua orang. Orangtua

juga memiliki peran untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Komunikasi orangtua dan anak dalam proses pengambilan keputusan dapat

dilakukan melalui dialog. Interaksi komunikasi yang rendah akan menentukan

hubungan kedekatan dan keterbukaan orangtua dan anak dalam berkomunikasi dan

orang tua berwewenang untuk mengambil keputusan akhir dalam keluarga.

j. Orang tua menghargai disiplin anak.

Disiplin pada anak dapat menentukan kepercayaan diri anak sehingga mereka

memiliki kontrol yang ada pada dirinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek terhadap pola asuh

authoritative terdiri dari komunikasi, norma dan nilai, serta kasih sayang dan sikap

57

tegas. Pada penelitian ini aspek-aspek persepsi pola asuh authoritative yang akan

dipakai mengacu pada aspek-aspek menurut Hurlock (2002) yaitu komunikasi, norma

dan nilai, kasih sayang dan sikap tegas, karena menurut peneliti isinya lengkap dan dapat

digunakan untuk mengungkap variabel pola asuh authoritative.

D. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Kemandirian Belajar

Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan kemandirian belajar

pada siswa. Perilaku individu akan selaras dengan cara individu memandang dirinya

sendiri. Apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai

cukup kemampuan untuk melakukan tugas maka seluruh perilakunya akan

menunjukkan ketidakmampuan tersebut. Siswa apabila memandang dirinya tidak

mandiri dalam belajar maka tidak akan cukup mandiri pula dalam belajarnya,

sebaliknya jika siswa memandang dirinya mandiri dalam belajar maka siswa tersebut

akan mempunyai kemandirian yang cukup dalam belajar (Damayanti, 2017).

Kemandirian akan muncul dan berfungsi ketika siswa menemukan diri pada posisi

yang menuntut suatu tingkat kepercayaan diri.

Aspek pengetahuan dalam konsep diri siswa berpengaruh pada aspek

pengelolaan belajar dalam kemandirian siswa. Pengetahuan tentang diri siswa

merupakan gambaran diri terhadap diri siswa akan membentuk citra diri yang akan

menentukan tingkat kemandirian belajar pada siswa dengan perannya sebagai pelajar,

pandangan tentang watak seperti jujur, pandai, mampu melakukan; pandangan

tentang sikap yang ada pada dirinya, kemampuan yang dimilikinya. Siswa yang

mengetahui siapa dirinya akan mampu mengenal dan memahami dirinya sendiri. Siswa

58

tersebut merasa sebagai seorang pelajar maka akan mengatur strategi dalam

menghadapi masalah - masalah yang dihadapi saat belajar, misal membaca, meringkas,

ataupun mencari materi melalui berbagai media (Djaali, 2017). Siswa yang mampu

mengelola belajar dengan baik, maka kemandirian belajar akan semakin tumbuh

dengan baik pula karena siswa tersebut tidak tergantung kepada orang lain. Gambaran

diri yang dimiliki siswa yang bersifat positif terhadap dirinya sehingga mempunyai

keyakinan yang kuat dan mempunyai pengetahuan akurat terhadap kemampuan yang

dimiliki sehingga siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan talenta yang

mereka miliki sehingga kemandirian dalam belajarnya semakin tinggi. (Suharman,

2017).

Menurut Harsono, dkk. (2005) harapan seorang siswa akan meningkatkan

tingkat tanggung jawabnya. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada

usaha yang mempunyai harapan. Untuk mewujudkan harapan tentunya siswa

berusaha untuk melakukan tindakan yang bertanggung jawab, misalnya cara memulai

belajar; mengatur waktu belajar; menggunakan gaya belajar sendiri; mampu berpikir

secara kritis, kreatif dan inovatif; tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain;

tidak lari atau menghindari masalah; memecahkan masalah dengan berpikir yang

mendalam; apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri tanpa bantuan orang lain;

tidak merasa rendah diri apabila harus berbeda dengan orang lain; berusaha bekerja

dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan; dan bertanggung jawab atas tindakannya

sendiri.

Pengharapan merupakan inti dari konsep diri menurut McCandless dalam

Deswita (2017). Harapan atau cita-cita sangat penting dalam pembentukan

59

kemandirian belajar siswa. Siswa yang mempunyai pandangan tentang siapa diri

sebenarnya, pada saat yang sama mempunyai pandangan lain tentang kemungkinan

menjadi apa dirinya di masa yang akan datang atau mempunyai pengharapan bagi

dirinya sendiri ( self-ideal). Self ideal terdiri atas dambaan, aspirasi, harapan yang

diinginkan. Cita-cita atau harapan menentukan konsep diri, dengan adanya harapan

yang diinginkan siswa untuk meraihnya diperlukan kemandirian terutama dalam

belajar (Desmita, 2017). Siswa yang cemas merasa dirinya tidak mandiri, merasa

tergantung pada orang lain dalam belajarnya akan merasa tidak mampu menyelesaikan

ujian atau akan merasa bodoh. Ungkapan tersebut menunjukkan keyakinan bahwa

siswa tidak mempunyai kemampuan untuk mandiri dalam belajar sehingga

menyebabkan siswa kurang mempunyai keinginan untuk mandiri dalam belajarnya

(Pudjijogyanti, 1988).

Penilaian siswa terhadap dirinya juga memengaruhi kemandirian dalam

pemanfaatan sumber belajar. Hasil penilaian terhadap dirinya akan berpengaruh

terhadap pemanfaatan belajarnya karena belajar melibatkan proses aktif yang

melibatkan dan kemauan, konsentrasi dan ketekunan (Feriall, 2009). Penilaian

terhadap diri sendiri berasal dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya, dan dari

pengalaman tersebut siswa akan lebih bisa memanfaatkan sumber-sumber belajar.

Siswa menilai dirinya mampu untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar, maka

akan menumbuhkan rasa percaya diri jika siswa mampu memanfaatkannya sehingga

akan memperkaya pemahaman terhadap bahan ajar (Desmita, 2017).

Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi

seseorang dalam menafsirkan pengalamannya. Tafsiran negatif terhadap pengalaman

60

hidup disebabkan pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya, sehingga bisa

menyebabkan kemandirian belajarnya akan rendah juga (Ardiyanti, 2017).

Konsep diri berkorelasi dan menunjukkan hubungan positif yang besar terhadap

kemandirian dalam belajar (Slametto, 2015). Hal serupa juga diungkapkan oleh

Nirwana (2013) yang mengatakan bahwa konsep diri yang positif akan berpengaruh

pada perilaku positif. Sebaliknya konsep diri yang negatif, akan membawa pengaruh

kurang baik terhadap perilaku siswa. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui

perilaku dirinya yang merupakan aktualisasi orang tersebut, dan perilaku yang tampak

pada siswa misalnya kemandirian belajar. Menurut Sakti (2016) siswa yang

mempunyai konsep diri positif akan mempunyai harapan untuk dirinya dan benar-

benar merancang tujuannya. Siswa akan berusaha mencapai harapan tersebut dengan

belajar rajin dan tidak menunggu orang lain untuk menyuruhnya belajar. Dengan

demikian konsep diri yang positif penting dimiliki siswa agar mempunyai kemandirian

belajar.

Desmita (2015) mendeskripsikan bahwa siswa yang memiliki konsep diri positif

akan memandang dirinya sebagai individu yang memiliki kelebihan dan potensi yang

dapat dikembangkan di dalam dirinya baik secara fisik maupun psikis. Sebaliknya

siswa yang memiliki konsep diri yang negatif akan selalu memandang dirinya sebagai

individu yang lemah dan selalu menonjolkan kekurangan dan keterbatasan serta

ketidakberdayaan sehingga diliputi perasaan titik tumpu untuk melakukan sesuatu

seorang diri, melainkan selalu mengharapkan bantuan dari orang lain.

Remaja dengan konsep diri positif adalah remaja yang memiliki persepsi

mengenai dirinya selaras dengan bagaimana lingkungan mempersepsi dirinya, terdapat

61

keselarasan antara profil realitas dengan profil idealisme diri. Remaja mampu

menerima diri apa adanya dan tetap dapat memanfaatkan potensi dirinya dengan

lingkungan secara positif. Ia tidak terlalu takut dengan tuntutan lingkungan seperti

orang lain, figur, otoritas, tugas-tugas baru (Ardiyanti, 2017).

Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurwahyuni

(2013), hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

konsep diri dengan kemandirian belajar siswa. Dalam artian bahwa konsep diri

merupakan salah satu faktor yang dianggap dapat mempengaruhi kemandirian belajar

siswa karena melalui konsep diri siswa terdorong untuk berperilaku positif ataupun

negatif.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki

konsep diri yang positif menunjukkan kemandirian belajar siswa semakin tinggi,

sebaliknya apabila konsep diri siswa negatif, menunjukkan kemandirian belajar yang

rendah pula, sehingga kedua variabel ini memiliki hubungan yang saling berkaitan.

E. Hubungan antara Persepsi Pola Asuh Authoritative dengan

Kemandirian Belajar

Pengasuhan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan setiap individu.

Baroni (2000) mengatakan salah satu aspek dari orang tua yang memiliki pengaruh

utama terhadap perkembangan anak adalah “child rearing,” dalam penelitian ini

diartikan sebagai pola pengasuhan.

Santrock (2002) menyatakan bahwa pola asuh yang mendorong kemandirian

adalah pola asuh authoritative. Orang tua authoritative mendorong perkembangan

62

kemandirian siswa melalui standar atau tuntutan yang mengarahkan siswa pada sikap

yang bertanggung jawab dan dewasa. Orang tua authoritative menampilkan sikap

tegas terhadap anaknya apabila melakukan pelanggaran namun mempertimbangkan

hukuman dengan kesalahan yang diperbuat. Walaupun tegas orang tua authoritative

sangat hangat melalui perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada anak. Selain

itu orang tua authoritative melibatkan remaja melalui diskusi untuk setiap keputusan

dan peraturan yang akan diberlakukan dalam keluarga. Melalui diskusi terbuka yang

diterapkan pada keluarga authoritative sedikit demi sedikit akan meningkatkan

kemampuan anak dalam berbuat atas setiap perbuatannya sehingga dapat diartikan

bahwa pola asuh authoritative mempunyai peran dalam mendorong kemandirian pada

siswa termasuk dalam kemandirian belajarnya (Stenberg 1993).

Komunikasi yang dilakukan antara orang tua dengan anak sangat berpengaruh

pada kemandirian belajar siswa. Komunikasi orang tua dan anak apabila berjalan baik

maka anak akan bersedia bercerita pada orang tua tentang apa saja yang mereka

lakukan. Ketika orang tua bersikap hangat dan responsif , anak merasa diterima dan

nyaman berbagi informasi sehingga siswa bersikap terbuka dengan orang tuanya yang

mengakibatkan menurunnya tingkat depresi anak. Siswa cenderung bercerita ketika

orang tua bersikap hangat dan memiliki standar yang jelas atas perilaku, ketika

berbohong anak merasa bersalah dan siswa merasa lebih percaya diri yang akhirnya

menumbuhkan rasa mandiri dan mampu untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Siswa

yang kurang menjalin komunikasi dengan baik terhadap orang tuanya akan kesulitan

untuk mengambil keputusan dalam aktivitasnya sehingga mengakibatkan kemandirian

belajarnya rendah. Komunikasi antara orang tua dan anak mempengaruhi cara

63

pengelolaan belajar, karena dengan adanya komunikasi yang baik akan sering

berdiskusi tentang cara belajarnya, bagaimana meringkas pelajaran, ataupun mencari

materi sehingga dengan hasil komunikasi anak akan mendapatkan cara pengelolaan

belajar yang efektif (Sunarty, 2016).

Komunikasi dalam keluarga sangat penting karena dengan adanya komunikasi

antar sesama anggota keluarga akan tercipta hubungan yang harmonis, dapat diketahui

apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh salah satu anggota keluarga

Komunikasi antara orang tua dan anak yang baik akan mampu membantu siswa untuk

mandiri dalam melaksanakan proses belajarnya, mampu untuk mengambil keputusan,

dan menyelesaikannya dalam menjalankan tugas yang diberikan (Widjaya dalam

Rejeki, 2008).

Kasih sayang orang tua sangat berpengaruh dalam pembentukan kemandirian

belajar pada aspek pemanfaatan berbagai sumber belajar. Orang tua bertanggung

jawab untuk memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anak-anaknya. Karena,

kasih sayang dan perhatian merupakan landasan terpenting dalam pertumbuhan dan

perkembangan psikologis dan sosial anak (Supriyadi, 2015).

Kasih sayang orang tua bisa berupa pemberian fasilitas belajar yang diberikan kepada

anak ataupun berupa perhatian. Dengan adanya fasilitas dan perhatian, membuat siswa

mampu memaksimalkan pengelolaan belajarnya. Kasih sayang orang tua itu bukan

hanya berupa materi, akan tetapi yang terpenting adalah perhatian lebih kepada anak.

Contoh ; rutin bertanya kepada anak tentang bagaimana pelajaran di sekolah maupun

di lingkungan apakah ada kesulitan atau tidak, memberikan motivasi kepada anak

apabila anak sedang kurang baik suasana hatinya. Karena, jika anak sudah merasa

64

bahwa dirinya kekurangan perhatian dari orang tua, maka anak akan mencari

kesenangan sendiri di luar rumah (Mawarsih, 2013). Jika seorang anak mengalami

ketidakseimbangan rasa cinta, dalam bersosialisasi anak melakukan hal-hal yang akan

menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian semua orang, seperti ; menjadi pemalu,

pendiam, pemurung, kurang percaya diri, aktif, dan hiperaktif (Faisal, 2016).

Menurut Coi dan Lyman dalam Brooks (2011) kemandirian belajar siswa juga

terbentuk karena adanya norma dan nilai yang dipatuhi oleh anak. Ketika aturan orang

tua terhadap perilaku anak memiliki dampak positif maka orang tua berusaha

mengontrol perilaku anak dan perasaan terkait dengan kesedihan. Dengan tumbuhnya

pemahaman mengenai kemandirian, siswa menyertakan keinginan mereka atas pilihan

dan keputusan sendiri. Mereka berdebat dan tidak menentang nilai moral dan sosial

orang tua atau aturan mereka tentang keselamatan. Ketika orang tua mengawasi siswa

dan mengetahui di mana mereka berada, apa yang mereka lakukan, dengan siapa

mereka, siswa cenderung tidak melakukan hal-hal negatif.

Orang tua yang menggunakan pola asuh authoritative akan menjalin

komunikasi dua arah dengan anak, mengkomunikasikan peraturan yang dibuat kepada

anak, dan memberikan perhatian serta kasih kepada anak. Hal ini akan berhubungan

dengan kemandirian belajar pada siswa yang ditandai dengan adanya pengelolaan

belajar, sehingga siswa mampu mengatur strategi waktu, dan tempat untuk melakukan

aktivitas belajarnya. Adanya tanggung jawab dengan aktivitas mengatasi kesulitan dan

mengukur kemampuan yang diperoleh dari belajar. Siswa mampu memanfaatkan

berbagai sumber belajar, seperti modul, majalah, audio, buku, internet dan

perpustakaan (Warsihatin,2012).

65

Penelitian yang berkaitan dengan persepsi pola asuh authoritative dengan

kemandirian belajar dilakukan oleh Widinto (2016) dengan judul Pengaruh Pola Asuh

authoritative terhadap Kemandirian Belajar siswa kelas X SMAN 1 Pakem. Ada

pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kemandirian belajar pada siswa. Pola

asuh authoritative mempunyai sumbangan sebesar 41 % bagi perkembangan

kemandirian belajar siswa, artinya pola asuh authoritative mempunyai sumbangan

yang besar terhadap perkembangan kemandirian belajar pada siswa kelas X SMA

Negeri 1 Pakem.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mampu

memperesepsikan tentang pengasuhan authoritative yang tinggi menunjukkan

kemandirian belajar siswa semakin tinggi, sebaliknya apabila mempersepsikan pola

asuh authoritative rendah, menunjukkan kemandirian belajar yang rendah pula,

sehingga kedua variabel ini memiliki hubungan yang saling berkaitan.

D. Hubungan antara Konsep Diri dan Persepsi terhadap Pola Asuh

Authoritative dengan Kemandirian Belajar

Konsep diri berkembang secara dinamis karena adanya interaksi dengan

individu yang lain khususnya lingkungan sosial. Konsep diri berkembang pada diri

seseorang bermula pada saat anak-anak mengobservasi fungsi dirinya sendiri seperti

yang mereka lihat pada orang lain (Bee, 1981). Perkembangan primer konsep dirinya

terbentuk berdasarkan pengalaman anak di rumah, berhubungan dengan anggota

keluarga seperti orang tua dan saudaranya (Hurlock, 1976).

66

Saat lahir manusia belum memiliki konsep diri, belum memiliki pengetahuan

tentang diri sendiri, tidak memiliki harapan terhadap diri sendiri, dan tidak memiliki

penilaian pada dirinya. Konsep diri terbentuk dari lingkungan, pengalaman, dan pola

asuh orang tua, serta melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia

dari kecil hingga dewasa, dan interaksi antar manusia ( Ardiyanti, 2017).

Orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai

dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pola asuh sangat mempengaruhi

terhadap konsep diri anak. Pola asuh yang baik dibarengi dengan sikap positif orang

tua terhadap kehidupan siswa, akan menumbuhkan konsep diri yang positif dalam

menilai dirinya ( Respati, 2006).

Pola asuh authoritative dan konsep diri bersinergi menciptakan perkembangan

kemandirian belajar pada siswa karena kedua variabel konsep diri dan pola asuh

authoritative akan saling mendukung satu sama lain dalam membantu perkembangan

kemandirian belajar pada siswa. Orang tua yang menggunakan pola asuh

authoritative akan menjalin komunikasi dua arah dengan anak, mengkomunikasikan

peraturan yang dibuat kepada anak, dan memberikan perhatian dan kasih sayang

kepada anak. Apabila sejak masa kanak-kanak remaja diterima, disayangi, maka

remaja akan mempersepsikan bahwa orang tua sangat menghargai kehadirannya dan

hal itu yang menjadi dasar bagi remaja dalam memandang dirinya. Sebaliknya jika

remaja ditolak atau diabaikan, maka terbentuklah dasar penolakan bahwa dirinya

tidak berguna. Jadi konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa kanak-

kanak hingga dewasa Pola asuh yang diterapkan orang tua dengan cara mendukung

kegiatan remaja, menetapkan peraturan yang disertai penjelasan, memberikan

67

kepercayaan agar remaja bertanggung jawab, menyediakan waktu untuk

berkomunikasi dan memberikan dukungan sehingga dia tidak mudah putus asa.

Pengasuhan yang memberikan dukungan setiap kegiatan anak akan membantu

remaja dalam pembentukan konsep diri yang positif (Respati 2016).

Berbeda dengan pola asuh orang tua yang mengendalikan kegiatan anak

ataupun sebaliknya memberi kebebasan yang berlebihan, akan dipersepsikan anak

bahwa orang tua kurang menghargai kebutuhannya sehingga remaja menjadi seorang

yang tidak mandiri, penakut, kurang percaya diri, dan tidak dapat mengendalikan diri

Respati, ( 2016).

Masa kehidupan sebagian besar berada dalam lingkungan keluarga, karena

keluargalah yang paling menentukan terhadap perkembangan sosial, psikis, fisik dan

religiositas juga ditentukan oleh keluarga. Pola asuh yang baik dan sikap positif

lingkungan serta penerimaan keluarga terhadap keberadaan anak akan

menumbuhkan konsep diri yang positif bagi anak dalam menilai diri sendiri.

(Hidayah, 2009) .

Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Phielin dengan menggunakan teknik angket, tes, dan dokumentasi.

Hasil dari penelitian Phielin yaitu ada hubungan positif dan signifikan antara Pola

Asuh dengan kemandirian Belajar serta ada hubungan yang positi antara konsep diri

dengan kemandirian belajar pada siswa kelas X SMK Wikarya Kabupaten

Karanganyar Tahun Pelajaran 2012/2013. Kemandirian siswa dalam belajar

dipengaruhi oleh konsep diri serta pola asuh authoritative. Individu yang memiliki

konsep diri positif akan mempunyai kemandirian dalam belajar. Siswa yang

68

memiliki konsep diri positif lebih mudah dalam memahami dirinya dengan baik.

Tanpa pembentukan konsep diri yang tepat maka siswa akan kesulitan dalam

memahami dirinya sendiri. Konsep diri yang baik apabila didukung oleh pola asuh

authoritative akan semakin meningkatkan kemandirian dalam belajar. Pola asuh akan

memberikan dampak bagi perkembangan kemandirian. Pola asuh authoritative

mempunyai peran dalam mendorong kemandirian belajar pada siswa. Orang tua

authoritative menampilkan sikap yang tegas terhadap anak, tetapi penuh perhatian

dan kasih sayang. Dengan konsep diri yang baik dan didukung pola asuh

authoritative yang baik pula, maka kemandirian belajar pada siswa akan meningkat.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Bacus (2014) dengan hasil bahwa anak-

anak dari orang tua authoritative cenderung pandai bersosialisasi, cenderung untuk

tidak menggunakan narkoba di usia remaja, dan secara emosional stabil seperti orang

dewasa muda. Anak-anak ini juga cenderung memiliki konsep diri yang baik dan

lebih sukses di sekolah. Anak-anak dibesarkan oleh orang tua otoritatif mempunyai

skor lebih tinggi pada kompetensi, prestasi, interaksi sosial, konsep diri, dan

kesehatan mentalnya.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian siswa

dalam belajar dipengaruhi oleh konsep diri serta pola asuh authoritative. Individu

yang memiliki konsep diri positif akan mempunyai kemandirian dalam belajar.

Siswa yang memiliki konsep diri positif lebih mudah dalam memahami dirinya

dengan baik. Tanpa pembentukan konsep diri yang tepat maka siswa akan kesulitan

dalam memahami dirinya sendiri. Konsep diri yang baik apabila didukung oleh pola

asuh authoritative akan semakin meningkatkan kemandirian dalam belajar. Pola asuh

69

akan memberikan dampak bagi perkembangan kemandirian. Pola asuh authoritative

mempunyai peran dalam mendorng kemandirian belajar pada siswa. Orang tua

authoritative menampilkan sikap yang tegas terhadap anak, tetapi penuh perhatian

dan kasih sayang. Dengan konsep diri yang baik dan didukung pola asuh authoritative

yang baik pula, maka kemandirian belajar pada siswa akan meningkat.

F. Landasan Teori

Menurut Erikson (1989), kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari

orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas

ego. Kemandirian biasanya ditandai dengan kemapuan menentukan nasib sendiri,

kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan

diri, dll. Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana peserta didik secara

relative bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Dengan

otonomi tersebut, peserta didik diharapkan akan lebih bertanggung jawab terhadap

dirinya sendiri.

Kemandirian merupakan salah satu aspek yang gigih diperjuangkan oleh setiap

remaja sebagaimana sebuah ungkapan yang disampaikan Steinberg, ( 1995) “one

goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult” Menurut

Steinberg (1995) kemandirian merupakan kemampuan dalam mengatur perilaku

untuk memilih dan memutuskan keputusan sendiri serta mampu mempertanggung

jawabakan tingkah lakunya sendiri tanpa terlalu tergantung pada orangtua. Steinberg

juga mengungkapkan tentang kemandirian remaja adalah kemampuan remaja untuk

70

mencapai sesuatu yang diinginkannya setelah remaja mengeksplorasi sekelilingnya.

Hal ini mendorong remaja untuk tidak tergantung kepada orangtua secara emosi dan

mengalihkannya pada teman sebaya, mampu membuat keputusan, bertanggung

jawab dan tidak mudah dipengaruhi orang lain. Steinberg (1995) menyatakannya

independence generally refers to individuals’ capacity to behave on their own.

Berdasarkan konsep independence ini Steinberg (1995) menjelaskan bahwa anak

yang sudah mencapai independence ia mampu menjalankan atau melakukan sendiri

aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orang tua.

Menurut Steinberg (1995) remaja yang memperoleh kemandirian adalah remaja

yang memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri secara bertanggung jawab,

meskipun tidak ada pengawasan dari orang tua ataupun guru. Kondisi demikian

menyebabkan remaja memiliki peran baru dan mengambil tanggung jawab baru,

sehingga hal ini akan menempatkan remaja untuk menjadi tidak tergantung pada

orang tua untuk memperoleh kemandirian secara penuh sehingga masalah

kemandirian secara spesifik menuntut suatu kesiapan individu baik secara fisik

maupun emosional untuk mengatur, mengurus, dan melakukan aktivitas atas

tanggung jawabnya sendiri tanpa banyak tergantung pada orang lain. Karakteristik

kemandirian dijabarkan sebagai berikut; a) Kemandirian emosi, kemandirian ini

merujuk kepada pengertian yang dikembangkan anak mengenai individuasi dan

melepaskan diri atas ketergantungan mereka dalam pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan dasar dari orang tua mereka. b) kemandirian perilaku yaitu kemampuan

remaja untuk mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen melaksanakan

keputusan tersebut. c) Kemandirian nilai merujuk kepada suatu pengertian mengenai

71

kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan-keputusan dan menetapkan

pilihan yang lebih berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya,

daripada mengambil prinsip-prinsip orang lain.

Perkembangan kemandirian menurut Steinberg (1995) dipengaruhi oleh

sejumlah faktor, baik dalam diri remaja itu (faktor internal). Faktor internal itu yaitu;

sikap bertanggung jawab, kesadaran hak dan kewajiban, kedewasaan diri melalui

konsep diri, motivasi dan disiplin diri. Faktor eksternal yang membentuk

kemandirian adalah lingkungan, pola asuh, pendidikan.

Konsep diri merupakan gagasan tentang diri sendiri yang mencakup

keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri Calhoun

(1995) . Konsep diri mempunyai peranan penting dalam kemandirian belajar,

memotivasi siswa untuk berprestasi, dan dapat memiliki aspirasi yang cukup realistis

(Slameto, 2014).

Agar kemandirian belajar pada siswa terlaksana efektif, siswa harus memiliki

konsep diri, hal ini sesuai dengan Djaali (2017) yang menyatakan bahwa siswa yang

memiliki konsep diri positif akan mempunyai kemandirian belajar yang tinggi pula.

Dengan adanya konsep diri siswa mendapatkan pengalaman, pengetahuan dan nilai-

nilai akan dirinya. Melalui konsep diri siswa akan memberikan penilaian terhadap

dirinya baik secara positif dan negatif. Siswa yang memiliki konsep diri positif akan

memandang dirinya sebagai individu yang memiliki kelebihan dan potensi yang

dikembangkan di dalam dirinya, sebaliknya siswa yang memiliki konsep diri yang

negatif akan selalu memandang dirinya sebagai individu yang lemah dan terlalu

menonjolkan kekurangan dan keterbatasan serta ketidakberdayaan sehingga diliputi

72

perasaan tidak mampu untuk melakukan sesuatu dengan seorang diri, melainkan

selalu mengharapkan bantuan orang lain. Menurut Calhoun (1995) konsep diri

memiliki 3 aspek yaitu : pengetahuan tentang diri sendiri, harapan dan penilaian

individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya.

Pengetahuan tentang siswa merupakan gambaran diri terhadap diri siswa akan

membentuk citra diri yang akan menentukan tingkat kemandirian belajar pada siswa

dengan perannya sebagai pelajar, pandangan tentang watak seperti jujur, pandai,

mampu melakukan; pandangan tentang sikap yang ada pada dirinya, kemampuan

yang dimilikinya. Siswa yang mengetahui siapa dirinya akan mampu mengenal dan

memahami dirinya sendiri. Siswa tersebut merasa sebagai seorang pelajar maka akan

mengatur strategi dalam menghadapi masalah - masalah yang dihadapi saat belajar,

misal membaca, meringkas, ataupun mencari materi melalui berbagai media(

Djaali,2017).

Harapan atau cita-cita sangat penting dalam pembentukan kemandirian belajar

siswa. Siswa yang mempunyai pandangan tentang siapa diri sebenarnya, pada saat

yang sama mempunyai pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa dirinya di

masa yang akan datang atau mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri ( self-

ideal). Self ideal terdiri atas dambaan, aspirasi, harapan yang diinginkan. Cita-cita

atau harapan menentukan konsep diri, dengan adanya harapan yang diinginkan siswa

untuk meraihnya diperlukan kemandirian terutama dalam belajar, Desmita (2017).

Semakin tidak sesuai antara harapan dan standar diri, maka akan semakin rendah

harga diri seseorang. Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk

dirinya yang menyukai siapa dirinya, apa yang sedang dikerjakannya akan memiliki

73

rasa harga diri yang tinggi (high self-esteem). Harapan seorang siswa akan

meningkatkan tingkat tanggung jawabnya. Berhasil atau tidaknya suatu harapan

tergantung pada usaha yang mempunyai harapan. Untuk mewujudkan harapan

tentunya siswa berusaha untuk melakukan tindakan yang bertanggung jawab,

misalnya cara memulai belajar; mengatur waktu belajar; menggunakan gaya belajar

sendiri; mampu berpikir secara kritis, kreatif dan inovatif; tidak mudah terpengaruh

oleh pendapat orang lain; tidak lari atau menghindari masalah; memecahkan masalah

dengan berpikir yang mendalam; apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri

tanpa bantuan orang lain; tidak merasa rendah diri apabila harus berbeda dengan

orang lain; berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan; dan

bertanggung jawab atas tindakannya sendiri Harsono dkk ( 2005).

Penilaian akan membentuk penerimaan terhadap dirinya

(self- acceptance) serta harga diri (self-esteem). Penilaian siswa terkait tentang

penilaian dirinya apakah bertentangan dengan; siapakah saya; pengharapan bagi

individu, seharusnya saya menjadi apa; standar bagi individu. Perilaku individu akan

selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu

memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk

melakukan tugas maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuan

tersebut. Siswa apabila memandang dirinya tidak mandiri dalam belajar maka tidak

akan cukup mandiri pula dalam belajarnya, sebaliknya jika siswa memandang dirinya

mandiri dalam belajar maka siswa tersebut akan mempunyai kemandirian yang

cukup dalam belajar. Kemandirian akan muncul dan berfungsi ketika siswa

74

menemukan diri pada posisi yang menuntut suatu tingkat kepercayaan diri

(Damayanti, 2017).

Selain konsep diri, pola asuh authoritative juga mempengaruhi kemandirian

belajar pada siswa. Persepsi dibutuhkan siswa guna menyimpulkan informasi dan

pesan yang akan diberikan berupa makna terhadap pola asuh authoritative. Objek

persepsi yang diteliti oleh peneliti yaitu pola asuh authoritative. Pola asuh merupakan

sebuah proses tindakan dan interaksi antara orang tua dan anak, proses di mana kedua

pihak saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh menjadi sosok dewasa

(Brooks, 2011).

Pola asuh authoritative menurut Baumrind dalam Santrock (2003) yaitu

pengasuhan yang mendorong remaja untuk bebas tetapi memberikan batasan dan

pengendalian tindakan-tindakan, komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung

dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat, serta membesarkan hati remaja. Gaya

pengasuhan ini mendorong remaja agar mandiri namun masih dibatasi dan

mengendalikan aksi-aksi mereka.

Menurut Widjaya dalam Rejeki (2008) komunikasi verbal timbal balik bisa

berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat serta bersifat membesarkan

hati anak. Komunikasi antara orang tua dan anak mempengaruhi cara pengelolaan

belajar, karena dengan adanya komunikasi yang baik akan sering berdiskusi tentang

cara belajarnya, bagaimana meringkas pelajaran, ataupun mencari materi sehingga

dengan hasil komunikasi anak akan mendapatkan cara pengelolaan belajar yang

efektif. Komunikasi dalam keluarga sangat penting karena dengan adanya

komunikasi antar sesama anggota keluarga akan tercipta hubungan yang harmonis

75

dan dapat diketahui apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh salah satu

anggota keluarga Komunikasi antara orang tua dan anak yang baik akan mampu

membantu siswa untuk mandiri dalam melaksanakan proses belajarnya, mampu

untuk mengambil keputusan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

Menurut Lynam dalam Brooks (2011) kasih sayang orang tua juga sangat

berpengaruh dalam pembentukan kemandirian belajar pada aspek pemanfaatan

berbagai sumber belajar. Orang tua bertanggung jawab untuk memberikan kasih

sayang dan perhatian kepada anak-anaknya karena kasih sayang dan perhatian

merupakan landasan terpenting dalam pertumbuhan dan perkembangan psikologis

dan sosial anak. Kasih sayang orang tua bisa berupa pemberian fasilitas belajar yang

diberikan kepada anak ataupun berupa perhatian. Dengan adanya fasilitas dan

perhatian, membuat siswa mampu memaksimalkan pengelolaan belajarnya. Kasih

sayang orang tua itu bukan hanya berupa materi, akan tetapi yang terpenting adalah

perhatian lebih kepada anak. Contoh ; rutin bertanya kepada anak tentang bagaimana

pelajaran di sekolah maupun di lingkungan apakah ada kesulitan atau tidak,

memberikan motivasi kepada anak apabila anak sedang kurang baik suasana hatinya.

Siswa yang merasa dirinya kurang diperhatikan oleh orang tua, mengalami ketidak

seimbangan rasa cinta, sehingga mencari kesenangan di luar rumah, dalam

bersosialisasi anak akan melakukan hal-hal yang akan menjadikan dirinya sebagai

pusat perhatian semua orang, seperti ; menjadi pemalu, pendiam, pemurung, kurang

percaya diri, aktif, dan hiperaktif. Kasih sayang yang diberikan berupa fasilitas yang

mencukupi dan perhatian akan membuat siswa mampu mengelola belajar dengan

baik sehingga kemandirian belajarnya meningkat.

76

Kemandirian belajar siswa juga terbentuk karena adanya norma dan nilai yang

dipatuhi oleh anak. Orang tua yang menerapkan norma akan menumbuhkan

pemahaman mengenai kemandirian. Kontrol orang tua terhadap aturan perilaku anak

memiliki dampak positif terhadap perilaku anak. Orang tua dan anak berdebat

mengenai nilai moral dan sosial aturan. Anak yang memahami kemandirian melalui

norma yang diterapkan orang tua membuat anak mengerti keinginan dan mampu

membuat keputusan sendiri. ( Lynam dalam Brooks, 2011).

Orang tua yang menggunakan pola asuh authoritative akan menjalin

komunikasi dua arah dengan anak, mengkomunikasikan peraturan yang dibuat

kepada anak, dan memberikan perhatian serta kasih kepada anak. Hal ini akan

berhubungan dengan kemandirian belajar pada siswa dapat ditandai dengan adanya

pengelolaan belajar, sehingga siswa mampu mengatur strategi waktu, dan tempat

untuk melakukan aktivitas belajar. Adanya tanggung jawab dengan aktivitas

mengatasi kesulitan dan mengukur kemampuan yang diperoleh dari belajar. Siswa

mampu memanfaatkan berbagai sumber belajar, seperti modul, majalah, audio, buku,

internet dan perpustakaan.

Konsep diri berkembang secara dinamis karena adanya interaksi dengan

individu yang lain khususnya lingkungan sosial. Konsep diri berkembang pada diri

seseorang bermula pada saat anak-anak mengobservasi fungsi dirinya sendiri seperti

yang mereka lihat pada orang lain (Bee, 1981). Perkembangan primer konsep dirinya

terbentuk berdasarkan pengalaman anak di rumah, berhubungan dengan anggota

keluarga seperti orang tua dan saudaranya. Saat lahir manusia belum memiliki

konsep diri, belum memiliki pengetahuan tentang diri sendiri, tidak memiliki harapan

77

terhadap diri sendiri, dan tidak memiliki penilaian pada dirinya. Konsep diri

terbentuk dari lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua, serta melalui proses

belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa, dan

interaksi antar manusia. Orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi

bagi anak untuk menilai dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pola asuh

authoritative sangat mempengaruhi terhadap konsep diri anak (Brooks, 2011).

Orang tua yang menggunakan pola asuh authoritative akan menjalin komunikasi

dua arah dengan anak, mengkomunikasikan norma dan nilai serta memberikan

perhatian dan kasih sayang kepada anak, sehingga anak merasa diterima, disayangi

sehingga mempunyai persepsi bahwa orang tua sangat menghargai kehadiran anak

dan hal itu yang menjadi dasar bagi siswa dalam mengetahui, menilai dan harapan

terhadap dirinya yang akan menjadi dasar anak untuk mampu melakukan

pengelolaan, pemanfaatan sumber belajar dan bertanggung jawab terhadap

belajarnya. Sebaliknya jika siswa ditolak atau diabaikan, maka terbentuklah dasar

penolakan bahwa diri dan merasa tidak mampu untuk melakukan strategi,

pengelolaan, tanggung jawabnya dalam belajarnya (Nirwana, 2013).

Berdasarkan ulasan mengenai kerangka teori di atas, maka dapat dijelaskan

melalui gambar 2.1. Pada gambar ini akan menguraikan hubungan antara variabel X1

dengan variabel Y, variabel X2 dengan variabel Y dan Variabel X1, X2 dengan Y.

Berikut uraiannya :

78

Keterangan gambar :

1. Menunjukkan hubungan persepsi hubungan persepsi siswa terhadap

konsep diri dengan kemandirian belajar pada siswa.

2. Menunjukkan hubungan persepsi pola asuh authoritative dengan

Kemandirian Belajar pada siswa.

3. Menunjukkan hubungan Konsep diri dan persepsi pola asuh authoritative

dengan kemandirian belajar siswa.

1

1 2 3

2

79

H. Hipotesis

Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah :

1. Terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan kemandirian belajar pada

siswa. Semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi juga kemandirian

belajar pada siswa. Sebaliknya semakin rendah konsep dirinya, maka rendah

pula kemandirian belajarnya.

2. Terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap pola asuh authoritative

dengan kemandirian belajar pada siswa. Semakin tinggi persepsi siswa

terhadap pola asuh authoritative maka semakin tinggi kemandirian belajarnya.

Sebaliknya semakin rendah persepsi pola asuh authoritative maka semakin

rendah pula kemandirian belajar pada siswa.

3. Terdapat hubungan antara konsep diri dan persepsi terhadap pola asuh

authoritative dengan kemandirian belajar pada siswa.