Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kemandirian Belajar
1. Pengertian Kemandirian Belajar
Tahar dan Enceng (2006) menyatakan kemandirian belajar adalah individu yang
mau dan mampu untuk belajar dengan inisiatif sendiri, dengan atau tanpa bantuan
pihak lain dalam penentuan tujuan belajar. Nurhayati (2011) mendefinisikan
kemandirian belajar sebagai kemampuan dalam belajar yang didasarkan pada rasa
tanggung jawab, percaya diri, inisiatif, dan motivasi sendiri dengan atau tanpa bantuan
orang lain yang relevan untuk menguasai kompetensi tertentu, baik dalam aspek
pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah belajarnya. Mujiman (2011) mengartikan kemandirian belajar adalah sifat
serta kemampuan yang dimiliki oleh siswa untuk melakukan kegiatan belajar aktif,
yang didorong oleh motif siswa untuk menguasai suatu kompetensi. Kegiatan belajar
aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna
mengatasi suatu masalah, dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang
dimiliki baik dalam menetapkan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo
belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar yang dilakukan oleh pembelajar itu
sendiri.
Suhendri (2014) berpendapat bahwa kemandirian belajar merupakan kemampuan
seorang siswa untuk berupaya secara mandiri dalam menggali informasi belajar dari
27
sumber belajar selain guru. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mulyaningsih
(2014) bahwa kemandirian belajar merupakan kegiatan belajar yang dilakukan siswa
dengan sedikit atau sama sekali tanpa bantuan dari pihak luar.
Menurut Nurwahyuni (2013) kemandirian belajar adalah kesanggupan siswa
dalam menjalani kegiatan belajar dengan seorang diri tanpa tergantung kepada orang
lain yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan mengarah kepada suatu pencapaian
tujuan yang diinginkan siswa. Hal yang sama juga diungkapkan Aisyah (2013)
kemandirian belajar berarti kemampuan peserta didik untuk bertanggung jawab atas
proses belajar dan berinisiatif dalam mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan
untuk mencapai tujuan belajar.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kemandirian belajar adalah kemauan dan kemampuan untuk belajar dengan inisiatif
sendiri, dengan atau tanpa bantuan pihak lain dalam penentuan tujuan belajar, baik
dalam aspek pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah belajarnya.
2. Aspek-Aspek Kemandirian Belajar
Tahar & Enceng (2006) mempunyai pendapat bahwa kemandirian belajar terdiri
dari tiga aspek yaitu pengelolaan belajar, tanggung jawab, dan pemanfaatan berbagai
sumber belajar. Aspek-aspek kemandirian belajar itu dapat dijabarkan sebagai
berikut :
a. Aspek pengelolaan belajar berarti siswa harus mampu mengatur strategi, waktu,
dan tempat untuk melakukan aktivitas belajarnya seperti membaca, meringkas,
membuat catatan dan mendengarkan materi dari audio. Pengelolaan belajar itu
28
sangat penting. Siswalah yang secara otonom menentukan waktu belajarnya dan
dimana ia melakukan proses pembelajaran data membantu siswa untuk berhasil
dalam belajar.
b. Aspek tanggung jawab berarti siswa mampu menilai aktivitas, mengatasi
kesulitan dan mengukur kemampuan yang diperoleh dari belajar. Dalam belajar
mandiri siswa dituntut untuk memiliki kesiapan, keuletan, dan daya tahan.
Sehingga diperlukan motivasi belajar yang tinggi. Kesulitan yang dialami dalam
belajar harus mereka atasi sendiri dengan mendiskusikan sesama siswa dengan
memanfaatkan sumber belajar yang terkait dengan bahan ajar dan memperbanyak
latihan soal yang dapat meningkatkan pemahaman siswa. Disamping itu, siswa
harus menilai kemampuan yang diperoleh dari hasil belajar bila hasil belajarnya
tidak memuaskan dengan memperbaiki cara belajar dan secara rutin mengerjakan
latihan.
c. Aspek pemanfaatan berbagai sumber belajar berarti siswa dapat menggunakan
berbagai sumber belajar, seperti modul, majalah, kaset, audio, buku, internet dan
perpustakaan. Siswa dalam memilih berbagai sumber belajar diharapkan dapat
memperkaya pemahaman terhadap bahan ajar.
Menurut Yurniadi dan Halida (2012) aspek-aspek kemandirian belajar itu
terdiri dari :
a. Berdiri sendiri
Aspek berdiri sendiri maksudnya adalah kemampuan untuk menentukan atau
memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan tanpa tergantung atau disuruh oleh
29
orang lain dalam kegiatan belajarnya. Kemampuan ini berkaitan dengan
kepercayaannya diri dalam belajar.
b. Menyelesaikan masalah
Aspek menyelesaikan masalah atau kesulitan yang dihadapinya tanpa harus
tergantung atau meminta bantuan orang lain.
c. Tanggung jawab
Aspek tanggung jawab adalah kesungguhan untuk memenuhi kewajiban
dalam kegiatan belajarnya. Siswa menyadari pentingnya belajar bagi
dirinya dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan yang mendasar bagi
dirinya.
d. Inisiatif dan Kreativitas
Aspek inisiatif dan kreativitas merupakan suatu ide-ide , cara-cara atau
pemikiran baru dan memiliki daya cipta dalam kegiatan belajarnya.
Siswa pula memiliki potensi tertentu dalam menentukan langkahlangkah
apa yang diambil dalam kegiatan belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian
belajar pada siswa dapat dibentuk melalui aspek pengelolaan belajar, berdiri
sendiri, menyelesaikan masalah, tanggung jawab, inisiatif dan kreatif serta
pemanfaatan berbagai sumber belajar. Dari beberapa aspek kemandirian belajar
di atas peneliti tertarik untuk memilih aspek-aspek yang dikemukakan oleh Tahar
& Enceng (2006) yaitu pengelolaan belajar, tanggung jawab, dan pemanfaatan
berbagai sumber belajar karena aspek tersebut penjelasannya lengkap, mudah
30
dipahami oleh peneliti dan bisa mengungkapkan variabel kemandirian belajar
pada siswa.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemandirian Belajar
Kemandirian belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor yang terdapat
di dalam dirinya sendiri (internal) dan faktor – faktor yang terdapat di luar
dirinya (eksternal). Faktor-faktor internal kemandirian belajar pada siswa
dikemukakan oleh dua pendapat yaitu :
a. Djaali (2017) menyatakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi
kemandirian belajar yaitu :
1) Konsep Diri
Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang
menyangkut apa yang ia ketahui dan rasakan tentang perilakunya, isi
hingga membentuk suatu konsep diri yang utuh, remaja akan terus
menerus bimbang dan tidak mengerti tentang dirinya. Konsep diri
merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang
dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi
dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan
melainkan berkembang dari pengalaman-pengalaman yang terus menerus
dan terdiferensiasi. Dasar konsep diri individu ditanamkan pada saat – saat
dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah
lakunya di kemudian hari.
31
2) Motivasi
Motivasi merupakan kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam
diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna
mencapai suatu tujuan (kebutuhan). Hal ini sejalan dengan pendapatnya
Suryabrata ( 2013) kemandirian belajar adalah keadaan yang terdapat dalam
diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna
pencapaian suatu tujuan.
Peranan motivasi mempelajari tingkah laku seseorang besar sekali
karena motivasi diperlukan bagi reinforcement (stimulus yang memperkuat
dan mempertahankan tingkah laku yang dikehendaki) yang merupakan
kondisi mutlak dalam proses kemandirian belajar, motivasi menyebabkan
timbulnya berbagai tingkah laku, dimana salah satu diantaranya mungkin
dapat merupakan perilaku yang dikehendaki.
3) Sikap
Sikap dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan setiap definisi itu berbeda
satu sama lainnya. Sikap belajar yang positif akan menimbulkan intensitas
kegiatan yang lebih tinggi dibanding dengan sikap belajar yang negatif.
Peranan sikap bukan saja ikut menentukan apa yang dilihat seseorang
melainkan juga bagaimana ia melihatnya. Sikap belajar yang positif
berkaitan erat dengan minat dan motivasi. Oleh karena itu, apabila faktor
lainnya sama, siswa yang sikap belajarnya positif akan belajar lebih aktif dan
dengan demikian akan memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan siswa
yang sikap belajarnya negatif.
32
4) Minat
Minat adalah rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau
aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan
akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin
kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minatnya. Minat dapat
diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih
menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui
partisipasi dalam suatu aktivitas. Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan
diperoleh kemudian.
5) Kebiasaan Belajar
Kebiasaan belajar cenderung menguasai perilaku siswa pada siswa pada
setiap kali mereka melakukan kegiatan belajar, karena kebiasaan
mengandung motivasi yang kuat. Pada umumnya setiap orang bertindak
berdasarkan force of habit dalam belajar, perbuatan menimbulkan
kesenangan cenderung untuk diulang. Oleh karena itu tindakan berdasarkan
kebiasaan bersifat mengukuhkan (reinforcing). Cara belajar yang efisien
adalah dengan usaha sekecil-kecilnya memberikan hasil yang sebesar-
besarnya bagi perkembangan individu untuk belajar.
b. Menurut Slameto (2015) faktor-faktor internal yang mempengaruhi
kemandirian belajar antara lain :
1) Intelegensi
Intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan kemandirian belajar.
Dalam situasi yang sama siswa yang mempunyai intelegensi yang tinggi akan
33
lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.
Walaupun belum pasti berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena
belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan banyak faktor yang
mempengaruhinya, sedangkan intelegensi adalah salah satu faktor di antara
faktor lain.
2) Perhatian
Perhatian merupakan keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu semata-mata
tertuju kepada suatu objek (benda/hal) atau sekumpulan objek. Untuk dapat
menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian
terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi
perhatian siswa, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak lagi suka
belajar.
3) Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang,
diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa senang. Minat besar
pengaruhnya terhadap kemandirian belajar, karena bila bahan pelajarannya
yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar
dengan sebaik-baiknya dan menjadi tidak mandiri.
4) Bakat
Bakat merupakan kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan
terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih.
Semua orang memiliki bakat yang berbeda dengan orang lain. Bakat
34
menunjuk pada potensi seseorang berkaitan dengan prestasi yang luar biasa
dalam satu atau lebih area kemampuan. Siswa yang memiliki bakat tinggi
dalam berbagai bidang studi pendidikan akan berpengaruh terhadap
kemandirian belajarnya.
5) Motif
Motivasi merupakan suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan,
intensitas, konsistensi, serta arah umum dari tingkah laku manusia,
merupakan konsep yang rumit dan berkaitan dengan konsep-konsep lain
seperti minat, konsep diri dan sebagainya.
Motivasi belajar seseorang yang tinggi diharapkan kemandirian belajarnya
akan semakin tinggi sebaliknya ketika motivasi belajar rendah
kemandiriannya akan rendah pula.
6) Kematangan
Kematangan adalah sesuatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, di
mana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru.
Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan kegiatan secara terus
menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pelajaran. Dengan kata lain
anak yang sudah siap (matang) belum dapat melaksanakan kecakapannya
sebelum belajar.
7) Kesiapan
Kesiapan atau readiness merupakan kesediaan untuk memberi respons atau
reaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan
dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk
35
melaksanakan kecakapan. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses
belajar, karena jika siswa belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil
belajarnya dan tingkat kemandirian belajarnya akan lebih baik.
Berdasarkan dua pendapat di atas maka dapat disimpulkan faktor internal
yang mempengaruhi kemandirian belajar pada siswa adalah konsep diri motivasi,
sikap, minat, kebiasaan belajar, intelegensi, perhatian, minat, bakat, kematangan
dan kesiapan.
Faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian belajar menurut Djaali
(2017) dikelompokkan menjadi empat faktor yaitu faktor keluarga, faktor sekolah,
faktor masyarakat, dan lingkungan sekitar.
1) Faktor keluarga
Keluarga merupakan kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh suatu
ikatan perkawinan, lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan
yang khas dan bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk kebahagiaan,
kesejahteraan, dan ketenteraman semua anggota yang ada dalam keluarga
tersebut (Aziz,2015).
Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa : cara orang
tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga, dan
keadaan ekonomi keluarga.
a) Cara orang tua mendidik
Keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama memiliki peran yang amat
penting khususnya dalam penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai
moral sosial dan budaya. Orang tua berperan membimbing anak untuk
36
mengalami proses pembatinan nilai-nilai sehingga nilai-nilai itu akan menjadi
tatanan anak dalam dirinya. Pendidikan keluarga memiliki pengalaman yang
banyak yang diperoleh dari proses pendidikan keluarga yang dilaksanakan.
Pendidikan keluarga mencakup berbagai ruang lingkungan dan nilai yang
tercipta secara alami dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan dalam keluarga pada ranah kognitif dan psikomotorik lebih
menekankan pada pembekalan manusia kreatif, kritis, dan terampil melalui
kepemilikan life skills yang matang serta memiliki kesiapan bersaing secara
global. Harapan melalui pendidikan keluarga seseorang akan mampu menjadi
manusia unggul, berkarakter, cerdas, berkualitas dan mampu menjawab
berbagai problem yang ada dalam setiap sisi kehidupan.
Orang tua memegang peran utama dan pertama bagi pendidikan,
mengasuh, membesarkan dan mendidik anak. Orang tua memiliki peran
penting dalam mengidentifikasi bakat anak-anak dan membimbing mereka,
saling pengertian dan hubungan dekat antara orang tua dan anak-anak.
Pengasuhan yang diberikan orang tua diwarnai oleh sikap-sikap tertentu
dalam membimbing dan mengarahkan anak. Sikap tersebut tercermin dalam
pola pengasuhan (Aisiyah. 2013).
Menurut Tridhonanto (2014) pola asuh adalah suatu keseluruhan
interaksi orang tua dan anak, dimana orang tua yang memberikan dorongan
bagi anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai
dianggap paling tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta
berkembang secara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki
37
sifat rasa ingin tahu, bersahabat, dan berorientasi untuk sukses. Pola asuh
yang diberikan akan membantu mengembangkan kemandirian anak dalam
belajar.
Menurut Hurlock ( 2002) pola asuh terdiri dari :
(1) Pengasuhan orang tua yang bergaya ototarian (authoritarian parenting )
Pola asuh authoritarian adalah pengasuhan yang kaku, diktator dan
memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa banyak
alasan. Dalam pola asuh ini biasa ditemukan penerapan hukuman fisik
dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna
dan alasan di balik aturan tersebut.
Orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. Misalnya kalau tidak
mau menuruti apa yang diperintahkan orang tua atau melanggar
peraturan yang dibuat orang tua maka tidak akan diberi uang saku. Orang
tua cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak
mau melakukan apa yang dikatakan orang tua, maka orang tua tidak
segan menghukum anaknya. Orang tua ini juga tidak mengenal
kompromi dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah dan orang tua
tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai
anaknya.
(2) Pengasuhan orang tua yang bergaya otoritatif (authoritative parenting).
Pola asuh authoritative memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi
tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini
38
bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau
pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap
kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui
kemampuan anak. orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada
anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya
kepada anak bersifat hangat.
Orang tua dengan pengasuhan otoritatif selalu melibatkan anak mereka
dalam segala hal yang berkenaan dengan kepentingan anak itu sendiri
dan dengan keluarga. Mereka mempunyai pertimbangan dan penilaian
terhadap anak serta mau berdiskusi dalam mengambil segala keputusan
yang berkaitan dengan anak remaja mereka.
Anak belajar untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri belajar
mendengarkan dan berdiskusi dengan orang tua mereka. Orang tua
authoritative menekankan pentingnya peraturan, norma, dan nilai-nilai,
tetapi mereka bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan dan
bernegosiasi dengan anak. Disiplin yang mereka lakukan lebih bersifat
verbal merupakan sesuatu yang afektif (Gunarsa, 2006).
Remaja yang dibesarkan dengan pola pengasuhan authoritative akan
merasakan suasana rumah penuh rasa saling menghormati, penuh
apresiasi, kehangatan, penerimaan dengan adanya konsistensi
pengasuhan dari orang tua mereka. Dengan demikian, mereka akan lebih
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.
39
(3) Pola Asuh Permisif
Ciri-ciri Pola asuh Permisif menggunakan peraturan sedikit, orangtua
bersikap longgar pada anak, sehingga anak diperbolehkan berbuat apa
saja yang dia inginkan, orangtua tidak memberi tahu bahwa perbuatan
anaknya benar atau salah, sehingga menyebabkan anak menjadi orang
yang sulit dibimbing, lebih mementingkan dirinya sendiri. Karena pola
asuh orangtua yang terlalu longgar.
b) Relasi Antar anggota Keluarga
Relasi antar anggota yang terpenting adalah relasi orangtua dengan anakn.
Relasi antar keluarga erat kaitannya dengan cara orang tua mendidik
anak. Bimbingan dan penyuluhan dari orang tua memegang peranan
penting. Anak atau siswa yang mengalami kesukaran-kesukaran dalam
proses pembelajaran dapat ditolong dengan memberikan bimbingan
belajar sebaik-baiknya, sehingga keterlibatan orang tua akan sangat
mempengaruhi keberhasilan bimbingan tersebut. Relasi antar anggota
keluarga yang terpenting adalah relasi orang tua dengan anaknya. Selain
itu relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain
pun turut mempengaruhi belajar anak. Hubungan yang baik antar anggota
keluarga dapat memberikan semangat bagi siswa untuk belajar karena
anak tidak akan merasa tertekan ketika belajar sehingga anak merasa
mendapat dukungan dan seluruh anggota keluarga.
40
c) Suasana Rumah
Suasana rumah sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi
dalam keluarga dimana anak berada dan belajar. Suasana rumah yang
gaduh atau ramai tidak akan memberi ketenangan kepada anak saat
belajar, sehingga anak malas untuk belajar dan kemandirian belajarnya
semakin menurun. Suasana rumah merupakan faktor penting yang tidak
termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang gaduh atau ramai
dan semrawut dengan konflik dalam rumah tidak akan memberi
ketenangan pada anak saat belajar. Demi kelancaran belajar serta
keberhasilan anak, perlu diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga
anak tersebut. Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh
pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan bila perlu
hukuman-hukuman untuk menyukseskan belajar anak sendiri
d) Keadaan ekonomi keluarga
Keadaan ekonomi keluarga berkaitan dengan kemandirian belajar.
Karena untuk menumbuhkan kemandirian belajar dibutuhkan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan anak. Keluarga (orang tua) dengan keadaan sosial
ekonomi tinggi tidak akan banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan sekolah anak, berbeda dengan orang tua yang keadaan sosial
ekonomi rendah. Contoh: anak saat belajar akan sangat memerlukan
sarana penunjang belajar, dengan harga mahal. Bila kebutuhan itu tidak
terpenuhi maka akan menjadi penghambat bagi anak dalam pembelajaran.
41
e) Latar belakang kebudayaan
Tingkat pendidikan dan pembiasaan di dalam keluarga berpengaruh
terhadap sikap anak dalam belajar. Perlu penanaman kebiasaan-kebiasaan
yang baik agar mendorong semangat untuk belajar.
2) Faktor Sekolah
Sekolah merupakan tempat memberikan bekal ilmu kepada para siswa,
berfungsi sebagai pembentuk kepribadian. Sekolah menjadi sumber
pendidikan tentang kemandirian siswa. Sekolah dijadikan sarana kegiatan
dalam suatu proses belajar, serta dukungan keluarga berperan sangat penting
dan tanggung jawab utama orang tua untuk mendorong anak serta
menyekolahkan ke lembaga pendidikan dengan harapan nantinya lebih
mampu untuk mengembangkan minat guna meningkatkan kemandirian
belajar.
Metode yang digunakan guru di lingkungan sekolah dalam mengajar
harus tepat, efisien dan efektif, sehingga dapat membantu meningkatkan
kegiatan belajar mengajar. Sebaliknya metode mengajar guru yang kurang
baik akan berpengaruh tidak baik pada kegiatan belajar mengajar.
Lingkungan sekolah yang mencakup metode mengajar, kurikulum,
relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah
pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran berpengaruh terhadap prestasi
belajar siswa. Metode yang digunakan oleh guru dalam mengajar harus
diusahakan tepat, efisien dan efektif mungkin, sehingga dapat membantu
42
meningkatkan kegiatan belajar mengajar. Sebaliknya metode mengajar guru
yang kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula.
Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan yang diberikan kepada siswa.
Kegiatan belajar mengajar menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima,
menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran. Bahan pelajaran yang
diberikan guru mempengaruhi belajar siswa, kurikulum yang kurang baik
juga berpengaruh tidak baik terhadap belajar, relasi (guru dengan siswa) yang
baik mengakibatkan siswa menyukai guru dan selanjutnya akan menyukai
mata pelajaran yang diberikannya sehingga siswa berusaha mempelajari
sebaik-baiknya. Sebaliknya jika siswa membenci guru, ia akan segan
mempelajari mata pelajaran yang diberikan, sehingga siswa menjadi malas
untuk belajar. Menciptakan relasi yang baik antar siswa adalah perlu agar
dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap belajar siswa. Selanjutnya,
adalah kedisiplinan sekolah yang berkaitan dengan kerajinan siswa dalam
kegiatan sekolah atau belajar. Seluruh staf sekolah yang mengikuti tata tertib
dan bekerja dengan disiplin membuat siswa menjadi disiplin pula, selain itu
juga memberi pengaruh yang positif terhadap belajar. Sekolah dengan
pelaksanaan disiplin kurang, akan berpengaruh pada sikap siswa dalam
belajar, dan kurang bertanggung jawab.
3) Faktor masyarakat
Masyarakat merupakan faktor eksternal yang berpengaruh karena siswa ada
dalam masyarakat, bergaul dengan teman sebaya, ataupun dengan orang yang
43
lebih dewasa, kegiatan-kegiatan yang harus diikuti sebagai bentuk kehidupan
bermasyarakat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian
belajar pada siswa dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal berupa konsep diri, motivasi, sikap, minat, kebiasaan belajar,
intelegensi, perhatian, minat, bakat, kematangan dan kesiapan. Faktor
eksternal yang mempengaruhinya adalah faktor keluarga, faktor sekolah dan
masyarakat.
Peneliti tertarik meneliti konsep diri sebagai faktor internal dalam
kemandirian belajar karena siswa yang mempunyai konsep diri tinggi akan
berpengaruh pula terhadap kemandirian dalam belajar (Ardiyanti, 2017).
Pendapat ini diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan Sakti (2016)
dengan hasil penelitian menyatakan ada hubungan positif antara konsep diri
dengan kemandirian belajar siswa, berarti semakin tinggi konsep diri maka
kemandirian belajarnya semakin tinggi pula.
Selain itu peneliti memilih pola asuh authoritative sebagai faktor
eksternal karena keluarga merupakan awal dari terbentuknya kemandirian
belajar pada siswa dan di dalam keluarga anak mulai belajar untuk
menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Keluarga merupakan lingkungan
pendidikan pertama , karena di dalam keluarga anak mendapatkan pendidikan
dan bimbingan pertama kalinya dan peletak dasar pendidikan
(Dewantara,2013). Pola asuh yang telah dilakukan orang tua akan
dipersepsikan siswa sejauh mana penilaian siswa terhadap pola asuh
44
authoritative membentuk kemandirian belajarnya, karena hubungan orang
tua dengan anak dipengaruhi oleh persepsi anak terhadap pendidikan atau
pola asuh yang diberikan orang tuanya.
Pendapat ini diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan Widianto
dkk. (2016) yang menyatakan terdapat pengaruh yang positif dan signifikan
pola asuh authoritative terhadap kemandirian belajar pada siswa. Artinya
semakin tinggi pola asuh authoritative yang diterapkan kepada siswa,
semakin tinggi pula tingkat kemandirian belajarnya.
B. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Calhoun (1995), menyatakan konsep diri adalah gambaran diri sendiri yang
terdiri dari pengetahuan, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri. . Hal ini
sesuai dengan pendapat Agustin (2009) mengatakan bahwa konsep diri adalah
gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui
pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan.
Ghufron dan Risnawita (2014) menyatakan konsep diri adalah gambaran
seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik,
psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Menurut
Ardiyanti (2017) mengungkapkan konsep diri adalah representasi kesadaran pribadi
berdasarkan pada pengalaman diri dengan orientasi fokus menerapkan interaksi ego
-state secara dewasa(adult), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
45
Slameto (2015) menyatakan konsep diri adalah persepsi keseluruhan yang
dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri. Menurut Hidayah (2009) konsep diri
adalah penilaian individu mengenai diri sendiri, bukan hanya gambaran deskriptif.
Nirwana (2013) menyatakan gambaran dan penilaian seseorang tentang keadaan
diri sendiri pada saat sekarang dan keinginan di masa mendatang.
Berdasarkan uraian beberapa pengertian konsep diri di atas konsep diri adalah
gambaran diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan, pengharapan, dan penilaian
terhadap diri sendiri.
2.Aspek-aspek Konsep Diri
Aspek – aspek konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun (1995) adalah :
a. Pengetahuan
Pengetahuan tentang diri sendiri atau menjelaskan siapa saya yang akan
memberikan gambaran tentang diri saya. Gambaran diri tersebut pada gilirannya
akan membentuk citra diri dan merupakan kesimpulan dari pandangan dalam
berbagai peran yang dipegang, misal sebagai pelajar atau siswa; pandangan
tentang watak kepribadian yang dirasakan pada diri seperti jujur, setia, gembira,
bersahabat, dan aktif: pandangan tentang sikap yang ada pada diri; kemampuan
yang dimiliki, kecakapan yang dikuasai dan berbagai karakteristik lain yang
melekat pada diri.
Singkatnya dimensi pengetahuan (kognitif) mencakup segala sesuatu yang
dipikirkan tentang dirinya sebagai pribadi seperti “saya pintar”, saya anak baik”.
46
b. Harapan
Harapan merupakan diri yang dicita-citakan di masa depan. Ketika mempunyai
sejumlah pandangan tentang siapa sebenarnya diri yang sebenarnya, pada saat
yang sama juga mempunyai sejumlah pandangan yang lain tentang kemungkinan
menjadi apa dirinya di masa yang akan datang. Setiap orang mempunyai
pengharapan bagi dirinya, dan pengharapan ini merupakan diri-ideal ( self-ideal)
atau diri yang dicita-citakan.
Pada saat-saat tertentu, seseorang mempunyai suatu aspek pandangan tentang
dirinya. Individu mempunyai harapan bagi dirinya sendiri untuk menjadi diri
yang ideal. Diri yang ideal sangat berbeda pada setiap individu.
c. Penilaian
Di dalam penilaian individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya
sendiri. Hasil penilaian terhadap dirinya disebut harga diri, semakin tidak sesuai
antara harapan dan standar diri, maka akan semakin rendah harga diri seseorang.
Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya yang
menyukai siapa dirinya, apa yang sedang dikerjakannya akan memiliki rasa harga
diri yang tinggi(high self-esteem). Penilaian akan membentuk penerimaan
terhadap dirinya (self-acceptance) serta harga diri (self-esteem).
Fitts (Agustin 2009) membagi aspek konsep diri menjadi dua dimensi pokok, yaitu :
1) Dimensi Internal
Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal
frame of refrence) adalah penilaian yang dilakukan individu yakni penilaian yang
47
dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya.
Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk yaitu :
a) Diri identitas (identity self)
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan
mengacu pada pertanyaan “siapa saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup
label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu –
individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun
identitasnya.
b). Diri Pelaku (behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang berisikan
segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini
berkaitan erat dengan diri identitas diri yang kuat akan menunjukkan adanya
keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat
mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku.
Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.
c). Diri penerimaan/Penilai(judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator.
Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri
pelaku.
Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya.
Oleh karena itu, label-label yang dikenakan pada dirinya, tetapi juga sarat
dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan
tindakannya yang akan ditampilkan.
48
2) Dimensi Eksternal
a. Diri Fisik (psysical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara
fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya,
penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan
tubuhnya ( tinggi, pendek, gemuk, kurus)
b. Diri etik-moral ( moral-ethical self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari
standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi
seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan
kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang
meliputi batasan baik dan buruk.
c. Diri Pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan
pribadinya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan
orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas
terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi
yang tepat.
d. Diri Keluarga ( family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam
kedudukannya sebagai anggota keluarga. Aspek ini menunjukkan seberapa
jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga,
49
serta peran maupun fungsi yang dijalankan sebagai anggota dari suatu
keluarga.
e. Diri Sosial (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan
orang lain maupun lingkungan di sekitarnya
Berdasarkan paparan yang diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa konsep diri terdiri dari beberapa aspek antara lain : aspek konsep diri menjadi
dua dimensi pokok, yaitu dimensi internal yang meliputi ; diri identitas (identity self),
diri pelaku (behavioral self), diri penerimaan/Penilai (judging self) dan dimensi
Eksternal yang meliputi ; Diri Fisik (psysical selft), diri etik-moral (moral-ethical
self), diri Pribadi (personal self), diri Keluarga ( family self), Diri Sosial (social self),
pengetahuan, harapan dan penilaian. Penelitian ini akan mengambil aspek-aspek
konsep diri yang dikemukakan Calhoun (1995) yaitu aspek pengetahuan, harapan
dan penilaian. Alasan peneliti memilih aspek tersebut karena ketiga aspek tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama
lain Centi (dalam Deswita 2017). Alasan yang lain karena penjelasannya mudah
dipahami oleh peneliti, dan dapat digunakan untuk mengungkapkan variabel konsep
diri.
C. Persepsi terhadap Pola Asuh Authoritative
1. Pengertian persepsi tentang Pola Asuh Authoritative
Persepsi berarti tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu (kamus besar
Bahasa Indonesia). Sudarsono (2012) menjelaskan bahwa persepsi merupakan
50
kemampuan dalam menanggapi, memahami, mengamati, memandang, serta proses
lainnya untuk mengingat dan mengidentifikasi sesuatu hal dengan menggunakan
kemampuan diri untuk mengorganisasikan pengamatan yang telah ditangkap oleh
indra yang dimiliki.
Desmita (2017) menyatakan persepsi adalah suatu proses penggunaan
pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan menginterpretasi stimulus
(rangsangan) yang diterima oleh sistem alat indra manusia. Persepsi pada dasarnya
menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya, bagaimana ia mengerti dan
menginterpretasikan stimulus yang ada di lingkungannya dengan menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya. Setelah individu mengindrakan objek di
lingkungannya, kemudian ia memproses hasil pengindraannya itu, sehingga
timbullah makna tentang objek itu. Persepsi merupakan proses yang menyangkut
masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia
terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini
dilakukan lewat indranya, yaitu indra penglihat, pendengar, peraba, perasa dan
pencium. (Slameto, 2015).
Menurut Ali & Asrori (2016) persepsi adalah proses individual dalam
menginterpretasikan, mengorganisasikan, dan memberi makna kepada stimulus yang
berasal dari lingkungan di mana individu itu berada, merupakan hasil dari proses
belajar dan pengalaman. Persepsi pada individu tidak terjadi dengan sendirinya tetapi
melalui proses, objek kejadian yang dialami oleh individu akan menimbulkan
stimulus yang kemudian mengenai alat indra.
51
Persepsi dibutuhkan siswa guna menyimpulkan informasi dan pesan yang
akan diberikan berupa makna terhadap pola asuh authoritative. Objek persepsi yang
diteliti oleh peneliti yaitu pola asuh authoritative. Pola asuh merupakan sebuah
proses tindakan dan interaksi antara orang tua dan anak, proses dimana kedua pihak
saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh menjadi sosok dewasa (Brooks,
2011). Hal ini sesuai dengan pendapat Rahimi (2012), pola asuh adalah kegiatan yang
kompleks yang mencakup banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual
dan bersama-sama untuk mempengaruhi hasil anak.
Pola asuh authoritative menurut Baumrind dalam Santrock (2003) yaitu
pengasuhan yang mendorong remaja untuk bebas tetapi memberikan batasan dan
pengendalian tindakan-tindakan, komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung
dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat, serta membesarkan hati remaja. Gaya
pengasuhan ini mendorong remaja agar mandiri namun masih dibatasi dan
mengendalikan aksi-aksi mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan,
dan orang tua melihatkan kehangatan dan kasih sayang kepada anak. Orangtua
dengan gaya pengasuhan authoritative memberikan kesempatan kepada anak-
anaknya untuk berdialog secara verbal. Disamping itu orang tua juga bersikap hangat
dan mengasuh sehingga mendorong remaja untuk bebas tetapi memberikan batasan
dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa
berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat serta bersifat membesarkan
hati anak.
Menurut Surbakti (2012) pola asuh authoritative yaitu pengasuhan dengan
metode atau cara orang tua mencukupi kebutuhan fisiologis dan psikologis anak,
52
membesarkan anak berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan, mendidik
anak dan mengajarkan anak agar memiliki pengetahuan dan ketrampilan.
Menanamkan dan memberlakukan tata nilai kepada anak, mengajarkan dan
menerapkan tata nilai rohani, mengajarkan pola interaksi dan relasi yang patut kepada
anak-anak, menyangkut hubungan kekeluargaan dan kekerabatan sebagai orang tua
dengan anak-anak. Tridhonanto (2014) berpendapat bahwa pola asuh authoritative
merupakan pola asuh orang tua yang menerapkan perlakuan kepada anak dalam rangka
membentuk kepribadian anak dengan cara memprioritaskan kepentingan anak yang
bersikap rasional atau pemikiran - pemikiran.
Nirwana (2013) menyatakan pola asuh authoritative adalah pola asuh yang
memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun tidak mutlak, dan dengan
bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak. Hal serupa diungkapkan
oleh Husada (2013) yang berpendapat pola asuh authoritative merupakan cara
pengasuhan di mana remaja boleh mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan
pandangan-pandangan mereka dengan orang tua, menentukan dan mengambil
keputusan. Criatiany (2015) berpendapat jika pola asuh authoritative adalah pola
komunikasi timbal balik, hangat dan memberikan kebebasan pribadi untuk
beraktualisasi diri. Orang tua memberikan arahan, penjelasan, alasan dan batasan-
batasan dalam mengendalikan tindakan-tindakan yang dilakukan remaja. Pola asuh
authoritative menemukan keseimbangan antara kontrol dan kebebasan. Ketika
menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan standar yang telah ditetapkan maka
langkah-langkah hukuman yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut
(Newman, 2017).
53
Orang tua menghargai perspektif anak-anak mereka, dan
memperhitungkannya ketika mengatur dan menjelaskan kebijakan. Hubungan ini
ditandai sebagai memberi dan menerima, namun secara fundamental ditentukan oleh
orang tua (Baumrind, 1971).
Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi pola asuh
authoritative yaitu tanggapan (penerimaan) langsung tentang pengasuhan orang tua
yang mendorong remaja untuk bebas tetapi memberikan batasan dan tetap
mengendalikan tindakan-tindakan mereka, komunikasi verbal timbal balik bisa
berlangsung secara bebas, dan orang tua bersikap hangat , orang tua melihatkan
kehangatan serta kasih sayang kepada anak.
2. Aspek- aspek Persepsi tentang Pola Asuh Authoritative
Aspek-aspek pola asuh authoritative menurut Hurlock (2002) meliputi :
a. Komunikasi
Pada pola asuh authoritative terjadi komunikasi yang baik antara orang tua dengan
anak. Komunikasi itu berjalan dua arah atau timbal balik, orang tua mengajak anak
untuk bermusyawarah dan memberikan kesempatan dalam mengemukakan
pendapat ( Hurlock,2006).
b. Norma dan Nilai
Dalam pola asuh authoritative orang tua membuat norma atau peraturan serta nilai-
nilai yang harus dipatuhi oleh anak. Hal ini bertujuan agar anak memiliki pedoman
dalam tingkah laku dan berpikir agar tidak melanggar aturan (Hurlock,2002).
54
c. Kasih sayang dan sikap tegas
Pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada anak-anaknya merupakan hal
penting dalam menjaga suatu hubungan antara anak dan orang tua (Hurlock, 2006).
Aspek-aspek pola asuh authoritative menurut Tridhonanto (2014), meliputi :
a. Orangtua bersikap acceptance dan mengontrol tinggi
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar
menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak ada
hubungan interaksi yang intim dengan orang tuanya. Keluarga memberikan dasar
pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak. Orang tua yang
bijaksana memanfaatkan keinginan akan kemandirian ini dengan membiarkan
anak-anak mereka mempraktikkan keterampilan mereka yang baru muncul sesering
mungkin pada lingkungan yang aman atau ramah anak serta menuntut adanya
kedisiplinan dari anak untuk mengikuti segala bentuk aturan dan batasan yang
diberikan/ditentukan orang tua. Dukungan orang tua yang seperti ini memang
sangat dibutuhkan anak agar dapat melakukan berbagai hal secara mandiri,
termasuk aktivitas yang masih relatif sulit.
b. Orang tua bersikap responsif terhadap kebutuhan anak
Sikap yang responsif terhadap perasaan dan keinginan anak adalah hal penting yang
perlu dimiliki orangtua. Jika orangtua tidak memiliki sikap tersebut, maka anak
dapat terganggu secara psikologis dan akhirnya mampu membuat anak menjadi
stres. Orang tua harus tanggap terhadap kebutuhan anak sehingga akan mampu
meningkatkan kemandirian anak
55
c. Orang tua mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan Sikap
orang tua mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pernyataan akan
melatih kemampuan mereka dalam berpikir dan berekspresi. Hal ini dapat
dilakukan dalam membuat peraturan, orang tua melibatkan anak dalam membuat
keputusan, di mana individu diberi ruang untuk setuju ataupun tidak setuju.
d. Orang tua memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk.
Saat orang tua menggunakan hukuman dan diberikan jika terbukti individu secara
sadar menolak melakukan apa yang telah disetujui bersama, dengan memastikan
konsekuensi tersebut harus sesuai dengan jenis dan tingkat pelanggaran dan sebisa
mungkin mengandung nilai yang dapat dipelajari. Ketika orang tua membuat
peraturan yang harus dipatuhi, individu juga memiliki kesempatan untuk
berpendapat.
e. Orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak
Orang tua tidak berharap berlebihan yang melampaui kemampuan individu.
Anak-anak dapat tumbuh menjadi orang yang sama sekali berbeda dengan orang
tua individu. Sangat penting orang tua mampu menghargai dan menerima
perbedaan tersebut.
f. Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu
tindakan.
Orang tua membiarkan anak-anaknya bebas bertindak sesuai hasrat dan keinginan
mereka (anak-anak) sendiri. Seorang anak seyogianya dibebaskan untuk melakukan
apa pun yang diinginkannya, meskipun boleh jadi itu tidak benar menurut
56
pandangan orang tua. Dengan cara ini, si anak akan tumbuh dengan pikiran yang
mandiri.
g. Orang tua menjadikan dirinya sebagai model panutan bagi anak
Pada dasarnya anak-anak akan merujuk pada orang tua untuk mendapatkan panutan
dalam bersikap dan berperilaku. Bila mereka dibesarkan dalam lingkungan yang
penuh kehangatan dan kasih sayang, maka mereka pun akan mengamalkan nilai-
nilai tersebut ketika dewasa.
h. Orang tua hangat dan berupaya membimbing anak
Dengan membina percakapan ringan dengan anak setiap hari, untuk mengetahui
apa yang sedang terjadi dalam kehidupan anak dan membangun kepercayaan antara
orang tua dan anak.
i. Orang tua melibatkan anak dalam membuat keputusan
Proses pengambilan keputusan dilakukan setiap hari oleh semua orang. Orangtua
juga memiliki peran untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Komunikasi orangtua dan anak dalam proses pengambilan keputusan dapat
dilakukan melalui dialog. Interaksi komunikasi yang rendah akan menentukan
hubungan kedekatan dan keterbukaan orangtua dan anak dalam berkomunikasi dan
orang tua berwewenang untuk mengambil keputusan akhir dalam keluarga.
j. Orang tua menghargai disiplin anak.
Disiplin pada anak dapat menentukan kepercayaan diri anak sehingga mereka
memiliki kontrol yang ada pada dirinya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek terhadap pola asuh
authoritative terdiri dari komunikasi, norma dan nilai, serta kasih sayang dan sikap
57
tegas. Pada penelitian ini aspek-aspek persepsi pola asuh authoritative yang akan
dipakai mengacu pada aspek-aspek menurut Hurlock (2002) yaitu komunikasi, norma
dan nilai, kasih sayang dan sikap tegas, karena menurut peneliti isinya lengkap dan dapat
digunakan untuk mengungkap variabel pola asuh authoritative.
D. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Kemandirian Belajar
Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan kemandirian belajar
pada siswa. Perilaku individu akan selaras dengan cara individu memandang dirinya
sendiri. Apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai
cukup kemampuan untuk melakukan tugas maka seluruh perilakunya akan
menunjukkan ketidakmampuan tersebut. Siswa apabila memandang dirinya tidak
mandiri dalam belajar maka tidak akan cukup mandiri pula dalam belajarnya,
sebaliknya jika siswa memandang dirinya mandiri dalam belajar maka siswa tersebut
akan mempunyai kemandirian yang cukup dalam belajar (Damayanti, 2017).
Kemandirian akan muncul dan berfungsi ketika siswa menemukan diri pada posisi
yang menuntut suatu tingkat kepercayaan diri.
Aspek pengetahuan dalam konsep diri siswa berpengaruh pada aspek
pengelolaan belajar dalam kemandirian siswa. Pengetahuan tentang diri siswa
merupakan gambaran diri terhadap diri siswa akan membentuk citra diri yang akan
menentukan tingkat kemandirian belajar pada siswa dengan perannya sebagai pelajar,
pandangan tentang watak seperti jujur, pandai, mampu melakukan; pandangan
tentang sikap yang ada pada dirinya, kemampuan yang dimilikinya. Siswa yang
mengetahui siapa dirinya akan mampu mengenal dan memahami dirinya sendiri. Siswa
58
tersebut merasa sebagai seorang pelajar maka akan mengatur strategi dalam
menghadapi masalah - masalah yang dihadapi saat belajar, misal membaca, meringkas,
ataupun mencari materi melalui berbagai media (Djaali, 2017). Siswa yang mampu
mengelola belajar dengan baik, maka kemandirian belajar akan semakin tumbuh
dengan baik pula karena siswa tersebut tidak tergantung kepada orang lain. Gambaran
diri yang dimiliki siswa yang bersifat positif terhadap dirinya sehingga mempunyai
keyakinan yang kuat dan mempunyai pengetahuan akurat terhadap kemampuan yang
dimiliki sehingga siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan talenta yang
mereka miliki sehingga kemandirian dalam belajarnya semakin tinggi. (Suharman,
2017).
Menurut Harsono, dkk. (2005) harapan seorang siswa akan meningkatkan
tingkat tanggung jawabnya. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada
usaha yang mempunyai harapan. Untuk mewujudkan harapan tentunya siswa
berusaha untuk melakukan tindakan yang bertanggung jawab, misalnya cara memulai
belajar; mengatur waktu belajar; menggunakan gaya belajar sendiri; mampu berpikir
secara kritis, kreatif dan inovatif; tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain;
tidak lari atau menghindari masalah; memecahkan masalah dengan berpikir yang
mendalam; apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri tanpa bantuan orang lain;
tidak merasa rendah diri apabila harus berbeda dengan orang lain; berusaha bekerja
dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan; dan bertanggung jawab atas tindakannya
sendiri.
Pengharapan merupakan inti dari konsep diri menurut McCandless dalam
Deswita (2017). Harapan atau cita-cita sangat penting dalam pembentukan
59
kemandirian belajar siswa. Siswa yang mempunyai pandangan tentang siapa diri
sebenarnya, pada saat yang sama mempunyai pandangan lain tentang kemungkinan
menjadi apa dirinya di masa yang akan datang atau mempunyai pengharapan bagi
dirinya sendiri ( self-ideal). Self ideal terdiri atas dambaan, aspirasi, harapan yang
diinginkan. Cita-cita atau harapan menentukan konsep diri, dengan adanya harapan
yang diinginkan siswa untuk meraihnya diperlukan kemandirian terutama dalam
belajar (Desmita, 2017). Siswa yang cemas merasa dirinya tidak mandiri, merasa
tergantung pada orang lain dalam belajarnya akan merasa tidak mampu menyelesaikan
ujian atau akan merasa bodoh. Ungkapan tersebut menunjukkan keyakinan bahwa
siswa tidak mempunyai kemampuan untuk mandiri dalam belajar sehingga
menyebabkan siswa kurang mempunyai keinginan untuk mandiri dalam belajarnya
(Pudjijogyanti, 1988).
Penilaian siswa terhadap dirinya juga memengaruhi kemandirian dalam
pemanfaatan sumber belajar. Hasil penilaian terhadap dirinya akan berpengaruh
terhadap pemanfaatan belajarnya karena belajar melibatkan proses aktif yang
melibatkan dan kemauan, konsentrasi dan ketekunan (Feriall, 2009). Penilaian
terhadap diri sendiri berasal dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya, dan dari
pengalaman tersebut siswa akan lebih bisa memanfaatkan sumber-sumber belajar.
Siswa menilai dirinya mampu untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar, maka
akan menumbuhkan rasa percaya diri jika siswa mampu memanfaatkannya sehingga
akan memperkaya pemahaman terhadap bahan ajar (Desmita, 2017).
Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
seseorang dalam menafsirkan pengalamannya. Tafsiran negatif terhadap pengalaman
60
hidup disebabkan pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya, sehingga bisa
menyebabkan kemandirian belajarnya akan rendah juga (Ardiyanti, 2017).
Konsep diri berkorelasi dan menunjukkan hubungan positif yang besar terhadap
kemandirian dalam belajar (Slametto, 2015). Hal serupa juga diungkapkan oleh
Nirwana (2013) yang mengatakan bahwa konsep diri yang positif akan berpengaruh
pada perilaku positif. Sebaliknya konsep diri yang negatif, akan membawa pengaruh
kurang baik terhadap perilaku siswa. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui
perilaku dirinya yang merupakan aktualisasi orang tersebut, dan perilaku yang tampak
pada siswa misalnya kemandirian belajar. Menurut Sakti (2016) siswa yang
mempunyai konsep diri positif akan mempunyai harapan untuk dirinya dan benar-
benar merancang tujuannya. Siswa akan berusaha mencapai harapan tersebut dengan
belajar rajin dan tidak menunggu orang lain untuk menyuruhnya belajar. Dengan
demikian konsep diri yang positif penting dimiliki siswa agar mempunyai kemandirian
belajar.
Desmita (2015) mendeskripsikan bahwa siswa yang memiliki konsep diri positif
akan memandang dirinya sebagai individu yang memiliki kelebihan dan potensi yang
dapat dikembangkan di dalam dirinya baik secara fisik maupun psikis. Sebaliknya
siswa yang memiliki konsep diri yang negatif akan selalu memandang dirinya sebagai
individu yang lemah dan selalu menonjolkan kekurangan dan keterbatasan serta
ketidakberdayaan sehingga diliputi perasaan titik tumpu untuk melakukan sesuatu
seorang diri, melainkan selalu mengharapkan bantuan dari orang lain.
Remaja dengan konsep diri positif adalah remaja yang memiliki persepsi
mengenai dirinya selaras dengan bagaimana lingkungan mempersepsi dirinya, terdapat
61
keselarasan antara profil realitas dengan profil idealisme diri. Remaja mampu
menerima diri apa adanya dan tetap dapat memanfaatkan potensi dirinya dengan
lingkungan secara positif. Ia tidak terlalu takut dengan tuntutan lingkungan seperti
orang lain, figur, otoritas, tugas-tugas baru (Ardiyanti, 2017).
Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurwahyuni
(2013), hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
konsep diri dengan kemandirian belajar siswa. Dalam artian bahwa konsep diri
merupakan salah satu faktor yang dianggap dapat mempengaruhi kemandirian belajar
siswa karena melalui konsep diri siswa terdorong untuk berperilaku positif ataupun
negatif.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki
konsep diri yang positif menunjukkan kemandirian belajar siswa semakin tinggi,
sebaliknya apabila konsep diri siswa negatif, menunjukkan kemandirian belajar yang
rendah pula, sehingga kedua variabel ini memiliki hubungan yang saling berkaitan.
E. Hubungan antara Persepsi Pola Asuh Authoritative dengan
Kemandirian Belajar
Pengasuhan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan setiap individu.
Baroni (2000) mengatakan salah satu aspek dari orang tua yang memiliki pengaruh
utama terhadap perkembangan anak adalah “child rearing,” dalam penelitian ini
diartikan sebagai pola pengasuhan.
Santrock (2002) menyatakan bahwa pola asuh yang mendorong kemandirian
adalah pola asuh authoritative. Orang tua authoritative mendorong perkembangan
62
kemandirian siswa melalui standar atau tuntutan yang mengarahkan siswa pada sikap
yang bertanggung jawab dan dewasa. Orang tua authoritative menampilkan sikap
tegas terhadap anaknya apabila melakukan pelanggaran namun mempertimbangkan
hukuman dengan kesalahan yang diperbuat. Walaupun tegas orang tua authoritative
sangat hangat melalui perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada anak. Selain
itu orang tua authoritative melibatkan remaja melalui diskusi untuk setiap keputusan
dan peraturan yang akan diberlakukan dalam keluarga. Melalui diskusi terbuka yang
diterapkan pada keluarga authoritative sedikit demi sedikit akan meningkatkan
kemampuan anak dalam berbuat atas setiap perbuatannya sehingga dapat diartikan
bahwa pola asuh authoritative mempunyai peran dalam mendorong kemandirian pada
siswa termasuk dalam kemandirian belajarnya (Stenberg 1993).
Komunikasi yang dilakukan antara orang tua dengan anak sangat berpengaruh
pada kemandirian belajar siswa. Komunikasi orang tua dan anak apabila berjalan baik
maka anak akan bersedia bercerita pada orang tua tentang apa saja yang mereka
lakukan. Ketika orang tua bersikap hangat dan responsif , anak merasa diterima dan
nyaman berbagi informasi sehingga siswa bersikap terbuka dengan orang tuanya yang
mengakibatkan menurunnya tingkat depresi anak. Siswa cenderung bercerita ketika
orang tua bersikap hangat dan memiliki standar yang jelas atas perilaku, ketika
berbohong anak merasa bersalah dan siswa merasa lebih percaya diri yang akhirnya
menumbuhkan rasa mandiri dan mampu untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Siswa
yang kurang menjalin komunikasi dengan baik terhadap orang tuanya akan kesulitan
untuk mengambil keputusan dalam aktivitasnya sehingga mengakibatkan kemandirian
belajarnya rendah. Komunikasi antara orang tua dan anak mempengaruhi cara
63
pengelolaan belajar, karena dengan adanya komunikasi yang baik akan sering
berdiskusi tentang cara belajarnya, bagaimana meringkas pelajaran, ataupun mencari
materi sehingga dengan hasil komunikasi anak akan mendapatkan cara pengelolaan
belajar yang efektif (Sunarty, 2016).
Komunikasi dalam keluarga sangat penting karena dengan adanya komunikasi
antar sesama anggota keluarga akan tercipta hubungan yang harmonis, dapat diketahui
apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh salah satu anggota keluarga
Komunikasi antara orang tua dan anak yang baik akan mampu membantu siswa untuk
mandiri dalam melaksanakan proses belajarnya, mampu untuk mengambil keputusan,
dan menyelesaikannya dalam menjalankan tugas yang diberikan (Widjaya dalam
Rejeki, 2008).
Kasih sayang orang tua sangat berpengaruh dalam pembentukan kemandirian
belajar pada aspek pemanfaatan berbagai sumber belajar. Orang tua bertanggung
jawab untuk memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anak-anaknya. Karena,
kasih sayang dan perhatian merupakan landasan terpenting dalam pertumbuhan dan
perkembangan psikologis dan sosial anak (Supriyadi, 2015).
Kasih sayang orang tua bisa berupa pemberian fasilitas belajar yang diberikan kepada
anak ataupun berupa perhatian. Dengan adanya fasilitas dan perhatian, membuat siswa
mampu memaksimalkan pengelolaan belajarnya. Kasih sayang orang tua itu bukan
hanya berupa materi, akan tetapi yang terpenting adalah perhatian lebih kepada anak.
Contoh ; rutin bertanya kepada anak tentang bagaimana pelajaran di sekolah maupun
di lingkungan apakah ada kesulitan atau tidak, memberikan motivasi kepada anak
apabila anak sedang kurang baik suasana hatinya. Karena, jika anak sudah merasa
64
bahwa dirinya kekurangan perhatian dari orang tua, maka anak akan mencari
kesenangan sendiri di luar rumah (Mawarsih, 2013). Jika seorang anak mengalami
ketidakseimbangan rasa cinta, dalam bersosialisasi anak melakukan hal-hal yang akan
menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian semua orang, seperti ; menjadi pemalu,
pendiam, pemurung, kurang percaya diri, aktif, dan hiperaktif (Faisal, 2016).
Menurut Coi dan Lyman dalam Brooks (2011) kemandirian belajar siswa juga
terbentuk karena adanya norma dan nilai yang dipatuhi oleh anak. Ketika aturan orang
tua terhadap perilaku anak memiliki dampak positif maka orang tua berusaha
mengontrol perilaku anak dan perasaan terkait dengan kesedihan. Dengan tumbuhnya
pemahaman mengenai kemandirian, siswa menyertakan keinginan mereka atas pilihan
dan keputusan sendiri. Mereka berdebat dan tidak menentang nilai moral dan sosial
orang tua atau aturan mereka tentang keselamatan. Ketika orang tua mengawasi siswa
dan mengetahui di mana mereka berada, apa yang mereka lakukan, dengan siapa
mereka, siswa cenderung tidak melakukan hal-hal negatif.
Orang tua yang menggunakan pola asuh authoritative akan menjalin
komunikasi dua arah dengan anak, mengkomunikasikan peraturan yang dibuat kepada
anak, dan memberikan perhatian serta kasih kepada anak. Hal ini akan berhubungan
dengan kemandirian belajar pada siswa yang ditandai dengan adanya pengelolaan
belajar, sehingga siswa mampu mengatur strategi waktu, dan tempat untuk melakukan
aktivitas belajarnya. Adanya tanggung jawab dengan aktivitas mengatasi kesulitan dan
mengukur kemampuan yang diperoleh dari belajar. Siswa mampu memanfaatkan
berbagai sumber belajar, seperti modul, majalah, audio, buku, internet dan
perpustakaan (Warsihatin,2012).
65
Penelitian yang berkaitan dengan persepsi pola asuh authoritative dengan
kemandirian belajar dilakukan oleh Widinto (2016) dengan judul Pengaruh Pola Asuh
authoritative terhadap Kemandirian Belajar siswa kelas X SMAN 1 Pakem. Ada
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kemandirian belajar pada siswa. Pola
asuh authoritative mempunyai sumbangan sebesar 41 % bagi perkembangan
kemandirian belajar siswa, artinya pola asuh authoritative mempunyai sumbangan
yang besar terhadap perkembangan kemandirian belajar pada siswa kelas X SMA
Negeri 1 Pakem.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mampu
memperesepsikan tentang pengasuhan authoritative yang tinggi menunjukkan
kemandirian belajar siswa semakin tinggi, sebaliknya apabila mempersepsikan pola
asuh authoritative rendah, menunjukkan kemandirian belajar yang rendah pula,
sehingga kedua variabel ini memiliki hubungan yang saling berkaitan.
D. Hubungan antara Konsep Diri dan Persepsi terhadap Pola Asuh
Authoritative dengan Kemandirian Belajar
Konsep diri berkembang secara dinamis karena adanya interaksi dengan
individu yang lain khususnya lingkungan sosial. Konsep diri berkembang pada diri
seseorang bermula pada saat anak-anak mengobservasi fungsi dirinya sendiri seperti
yang mereka lihat pada orang lain (Bee, 1981). Perkembangan primer konsep dirinya
terbentuk berdasarkan pengalaman anak di rumah, berhubungan dengan anggota
keluarga seperti orang tua dan saudaranya (Hurlock, 1976).
66
Saat lahir manusia belum memiliki konsep diri, belum memiliki pengetahuan
tentang diri sendiri, tidak memiliki harapan terhadap diri sendiri, dan tidak memiliki
penilaian pada dirinya. Konsep diri terbentuk dari lingkungan, pengalaman, dan pola
asuh orang tua, serta melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia
dari kecil hingga dewasa, dan interaksi antar manusia ( Ardiyanti, 2017).
Orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai
dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pola asuh sangat mempengaruhi
terhadap konsep diri anak. Pola asuh yang baik dibarengi dengan sikap positif orang
tua terhadap kehidupan siswa, akan menumbuhkan konsep diri yang positif dalam
menilai dirinya ( Respati, 2006).
Pola asuh authoritative dan konsep diri bersinergi menciptakan perkembangan
kemandirian belajar pada siswa karena kedua variabel konsep diri dan pola asuh
authoritative akan saling mendukung satu sama lain dalam membantu perkembangan
kemandirian belajar pada siswa. Orang tua yang menggunakan pola asuh
authoritative akan menjalin komunikasi dua arah dengan anak, mengkomunikasikan
peraturan yang dibuat kepada anak, dan memberikan perhatian dan kasih sayang
kepada anak. Apabila sejak masa kanak-kanak remaja diterima, disayangi, maka
remaja akan mempersepsikan bahwa orang tua sangat menghargai kehadirannya dan
hal itu yang menjadi dasar bagi remaja dalam memandang dirinya. Sebaliknya jika
remaja ditolak atau diabaikan, maka terbentuklah dasar penolakan bahwa dirinya
tidak berguna. Jadi konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa kanak-
kanak hingga dewasa Pola asuh yang diterapkan orang tua dengan cara mendukung
kegiatan remaja, menetapkan peraturan yang disertai penjelasan, memberikan
67
kepercayaan agar remaja bertanggung jawab, menyediakan waktu untuk
berkomunikasi dan memberikan dukungan sehingga dia tidak mudah putus asa.
Pengasuhan yang memberikan dukungan setiap kegiatan anak akan membantu
remaja dalam pembentukan konsep diri yang positif (Respati 2016).
Berbeda dengan pola asuh orang tua yang mengendalikan kegiatan anak
ataupun sebaliknya memberi kebebasan yang berlebihan, akan dipersepsikan anak
bahwa orang tua kurang menghargai kebutuhannya sehingga remaja menjadi seorang
yang tidak mandiri, penakut, kurang percaya diri, dan tidak dapat mengendalikan diri
Respati, ( 2016).
Masa kehidupan sebagian besar berada dalam lingkungan keluarga, karena
keluargalah yang paling menentukan terhadap perkembangan sosial, psikis, fisik dan
religiositas juga ditentukan oleh keluarga. Pola asuh yang baik dan sikap positif
lingkungan serta penerimaan keluarga terhadap keberadaan anak akan
menumbuhkan konsep diri yang positif bagi anak dalam menilai diri sendiri.
(Hidayah, 2009) .
Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Phielin dengan menggunakan teknik angket, tes, dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian Phielin yaitu ada hubungan positif dan signifikan antara Pola
Asuh dengan kemandirian Belajar serta ada hubungan yang positi antara konsep diri
dengan kemandirian belajar pada siswa kelas X SMK Wikarya Kabupaten
Karanganyar Tahun Pelajaran 2012/2013. Kemandirian siswa dalam belajar
dipengaruhi oleh konsep diri serta pola asuh authoritative. Individu yang memiliki
konsep diri positif akan mempunyai kemandirian dalam belajar. Siswa yang
68
memiliki konsep diri positif lebih mudah dalam memahami dirinya dengan baik.
Tanpa pembentukan konsep diri yang tepat maka siswa akan kesulitan dalam
memahami dirinya sendiri. Konsep diri yang baik apabila didukung oleh pola asuh
authoritative akan semakin meningkatkan kemandirian dalam belajar. Pola asuh akan
memberikan dampak bagi perkembangan kemandirian. Pola asuh authoritative
mempunyai peran dalam mendorong kemandirian belajar pada siswa. Orang tua
authoritative menampilkan sikap yang tegas terhadap anak, tetapi penuh perhatian
dan kasih sayang. Dengan konsep diri yang baik dan didukung pola asuh
authoritative yang baik pula, maka kemandirian belajar pada siswa akan meningkat.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Bacus (2014) dengan hasil bahwa anak-
anak dari orang tua authoritative cenderung pandai bersosialisasi, cenderung untuk
tidak menggunakan narkoba di usia remaja, dan secara emosional stabil seperti orang
dewasa muda. Anak-anak ini juga cenderung memiliki konsep diri yang baik dan
lebih sukses di sekolah. Anak-anak dibesarkan oleh orang tua otoritatif mempunyai
skor lebih tinggi pada kompetensi, prestasi, interaksi sosial, konsep diri, dan
kesehatan mentalnya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian siswa
dalam belajar dipengaruhi oleh konsep diri serta pola asuh authoritative. Individu
yang memiliki konsep diri positif akan mempunyai kemandirian dalam belajar.
Siswa yang memiliki konsep diri positif lebih mudah dalam memahami dirinya
dengan baik. Tanpa pembentukan konsep diri yang tepat maka siswa akan kesulitan
dalam memahami dirinya sendiri. Konsep diri yang baik apabila didukung oleh pola
asuh authoritative akan semakin meningkatkan kemandirian dalam belajar. Pola asuh
69
akan memberikan dampak bagi perkembangan kemandirian. Pola asuh authoritative
mempunyai peran dalam mendorng kemandirian belajar pada siswa. Orang tua
authoritative menampilkan sikap yang tegas terhadap anak, tetapi penuh perhatian
dan kasih sayang. Dengan konsep diri yang baik dan didukung pola asuh authoritative
yang baik pula, maka kemandirian belajar pada siswa akan meningkat.
F. Landasan Teori
Menurut Erikson (1989), kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari
orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas
ego. Kemandirian biasanya ditandai dengan kemapuan menentukan nasib sendiri,
kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan
diri, dll. Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana peserta didik secara
relative bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Dengan
otonomi tersebut, peserta didik diharapkan akan lebih bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri.
Kemandirian merupakan salah satu aspek yang gigih diperjuangkan oleh setiap
remaja sebagaimana sebuah ungkapan yang disampaikan Steinberg, ( 1995) “one
goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult” Menurut
Steinberg (1995) kemandirian merupakan kemampuan dalam mengatur perilaku
untuk memilih dan memutuskan keputusan sendiri serta mampu mempertanggung
jawabakan tingkah lakunya sendiri tanpa terlalu tergantung pada orangtua. Steinberg
juga mengungkapkan tentang kemandirian remaja adalah kemampuan remaja untuk
70
mencapai sesuatu yang diinginkannya setelah remaja mengeksplorasi sekelilingnya.
Hal ini mendorong remaja untuk tidak tergantung kepada orangtua secara emosi dan
mengalihkannya pada teman sebaya, mampu membuat keputusan, bertanggung
jawab dan tidak mudah dipengaruhi orang lain. Steinberg (1995) menyatakannya
independence generally refers to individuals’ capacity to behave on their own.
Berdasarkan konsep independence ini Steinberg (1995) menjelaskan bahwa anak
yang sudah mencapai independence ia mampu menjalankan atau melakukan sendiri
aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orang tua.
Menurut Steinberg (1995) remaja yang memperoleh kemandirian adalah remaja
yang memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri secara bertanggung jawab,
meskipun tidak ada pengawasan dari orang tua ataupun guru. Kondisi demikian
menyebabkan remaja memiliki peran baru dan mengambil tanggung jawab baru,
sehingga hal ini akan menempatkan remaja untuk menjadi tidak tergantung pada
orang tua untuk memperoleh kemandirian secara penuh sehingga masalah
kemandirian secara spesifik menuntut suatu kesiapan individu baik secara fisik
maupun emosional untuk mengatur, mengurus, dan melakukan aktivitas atas
tanggung jawabnya sendiri tanpa banyak tergantung pada orang lain. Karakteristik
kemandirian dijabarkan sebagai berikut; a) Kemandirian emosi, kemandirian ini
merujuk kepada pengertian yang dikembangkan anak mengenai individuasi dan
melepaskan diri atas ketergantungan mereka dalam pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan dasar dari orang tua mereka. b) kemandirian perilaku yaitu kemampuan
remaja untuk mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen melaksanakan
keputusan tersebut. c) Kemandirian nilai merujuk kepada suatu pengertian mengenai
71
kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan-keputusan dan menetapkan
pilihan yang lebih berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya,
daripada mengambil prinsip-prinsip orang lain.
Perkembangan kemandirian menurut Steinberg (1995) dipengaruhi oleh
sejumlah faktor, baik dalam diri remaja itu (faktor internal). Faktor internal itu yaitu;
sikap bertanggung jawab, kesadaran hak dan kewajiban, kedewasaan diri melalui
konsep diri, motivasi dan disiplin diri. Faktor eksternal yang membentuk
kemandirian adalah lingkungan, pola asuh, pendidikan.
Konsep diri merupakan gagasan tentang diri sendiri yang mencakup
keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri Calhoun
(1995) . Konsep diri mempunyai peranan penting dalam kemandirian belajar,
memotivasi siswa untuk berprestasi, dan dapat memiliki aspirasi yang cukup realistis
(Slameto, 2014).
Agar kemandirian belajar pada siswa terlaksana efektif, siswa harus memiliki
konsep diri, hal ini sesuai dengan Djaali (2017) yang menyatakan bahwa siswa yang
memiliki konsep diri positif akan mempunyai kemandirian belajar yang tinggi pula.
Dengan adanya konsep diri siswa mendapatkan pengalaman, pengetahuan dan nilai-
nilai akan dirinya. Melalui konsep diri siswa akan memberikan penilaian terhadap
dirinya baik secara positif dan negatif. Siswa yang memiliki konsep diri positif akan
memandang dirinya sebagai individu yang memiliki kelebihan dan potensi yang
dikembangkan di dalam dirinya, sebaliknya siswa yang memiliki konsep diri yang
negatif akan selalu memandang dirinya sebagai individu yang lemah dan terlalu
menonjolkan kekurangan dan keterbatasan serta ketidakberdayaan sehingga diliputi
72
perasaan tidak mampu untuk melakukan sesuatu dengan seorang diri, melainkan
selalu mengharapkan bantuan orang lain. Menurut Calhoun (1995) konsep diri
memiliki 3 aspek yaitu : pengetahuan tentang diri sendiri, harapan dan penilaian
individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya.
Pengetahuan tentang siswa merupakan gambaran diri terhadap diri siswa akan
membentuk citra diri yang akan menentukan tingkat kemandirian belajar pada siswa
dengan perannya sebagai pelajar, pandangan tentang watak seperti jujur, pandai,
mampu melakukan; pandangan tentang sikap yang ada pada dirinya, kemampuan
yang dimilikinya. Siswa yang mengetahui siapa dirinya akan mampu mengenal dan
memahami dirinya sendiri. Siswa tersebut merasa sebagai seorang pelajar maka akan
mengatur strategi dalam menghadapi masalah - masalah yang dihadapi saat belajar,
misal membaca, meringkas, ataupun mencari materi melalui berbagai media(
Djaali,2017).
Harapan atau cita-cita sangat penting dalam pembentukan kemandirian belajar
siswa. Siswa yang mempunyai pandangan tentang siapa diri sebenarnya, pada saat
yang sama mempunyai pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa dirinya di
masa yang akan datang atau mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri ( self-
ideal). Self ideal terdiri atas dambaan, aspirasi, harapan yang diinginkan. Cita-cita
atau harapan menentukan konsep diri, dengan adanya harapan yang diinginkan siswa
untuk meraihnya diperlukan kemandirian terutama dalam belajar, Desmita (2017).
Semakin tidak sesuai antara harapan dan standar diri, maka akan semakin rendah
harga diri seseorang. Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk
dirinya yang menyukai siapa dirinya, apa yang sedang dikerjakannya akan memiliki
73
rasa harga diri yang tinggi (high self-esteem). Harapan seorang siswa akan
meningkatkan tingkat tanggung jawabnya. Berhasil atau tidaknya suatu harapan
tergantung pada usaha yang mempunyai harapan. Untuk mewujudkan harapan
tentunya siswa berusaha untuk melakukan tindakan yang bertanggung jawab,
misalnya cara memulai belajar; mengatur waktu belajar; menggunakan gaya belajar
sendiri; mampu berpikir secara kritis, kreatif dan inovatif; tidak mudah terpengaruh
oleh pendapat orang lain; tidak lari atau menghindari masalah; memecahkan masalah
dengan berpikir yang mendalam; apabila menjumpai masalah dipecahkan sendiri
tanpa bantuan orang lain; tidak merasa rendah diri apabila harus berbeda dengan
orang lain; berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan; dan
bertanggung jawab atas tindakannya sendiri Harsono dkk ( 2005).
Penilaian akan membentuk penerimaan terhadap dirinya
(self- acceptance) serta harga diri (self-esteem). Penilaian siswa terkait tentang
penilaian dirinya apakah bertentangan dengan; siapakah saya; pengharapan bagi
individu, seharusnya saya menjadi apa; standar bagi individu. Perilaku individu akan
selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu
memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk
melakukan tugas maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuan
tersebut. Siswa apabila memandang dirinya tidak mandiri dalam belajar maka tidak
akan cukup mandiri pula dalam belajarnya, sebaliknya jika siswa memandang dirinya
mandiri dalam belajar maka siswa tersebut akan mempunyai kemandirian yang
cukup dalam belajar. Kemandirian akan muncul dan berfungsi ketika siswa
74
menemukan diri pada posisi yang menuntut suatu tingkat kepercayaan diri
(Damayanti, 2017).
Selain konsep diri, pola asuh authoritative juga mempengaruhi kemandirian
belajar pada siswa. Persepsi dibutuhkan siswa guna menyimpulkan informasi dan
pesan yang akan diberikan berupa makna terhadap pola asuh authoritative. Objek
persepsi yang diteliti oleh peneliti yaitu pola asuh authoritative. Pola asuh merupakan
sebuah proses tindakan dan interaksi antara orang tua dan anak, proses di mana kedua
pihak saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh menjadi sosok dewasa
(Brooks, 2011).
Pola asuh authoritative menurut Baumrind dalam Santrock (2003) yaitu
pengasuhan yang mendorong remaja untuk bebas tetapi memberikan batasan dan
pengendalian tindakan-tindakan, komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung
dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat, serta membesarkan hati remaja. Gaya
pengasuhan ini mendorong remaja agar mandiri namun masih dibatasi dan
mengendalikan aksi-aksi mereka.
Menurut Widjaya dalam Rejeki (2008) komunikasi verbal timbal balik bisa
berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat serta bersifat membesarkan
hati anak. Komunikasi antara orang tua dan anak mempengaruhi cara pengelolaan
belajar, karena dengan adanya komunikasi yang baik akan sering berdiskusi tentang
cara belajarnya, bagaimana meringkas pelajaran, ataupun mencari materi sehingga
dengan hasil komunikasi anak akan mendapatkan cara pengelolaan belajar yang
efektif. Komunikasi dalam keluarga sangat penting karena dengan adanya
komunikasi antar sesama anggota keluarga akan tercipta hubungan yang harmonis
75
dan dapat diketahui apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh salah satu
anggota keluarga Komunikasi antara orang tua dan anak yang baik akan mampu
membantu siswa untuk mandiri dalam melaksanakan proses belajarnya, mampu
untuk mengambil keputusan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
Menurut Lynam dalam Brooks (2011) kasih sayang orang tua juga sangat
berpengaruh dalam pembentukan kemandirian belajar pada aspek pemanfaatan
berbagai sumber belajar. Orang tua bertanggung jawab untuk memberikan kasih
sayang dan perhatian kepada anak-anaknya karena kasih sayang dan perhatian
merupakan landasan terpenting dalam pertumbuhan dan perkembangan psikologis
dan sosial anak. Kasih sayang orang tua bisa berupa pemberian fasilitas belajar yang
diberikan kepada anak ataupun berupa perhatian. Dengan adanya fasilitas dan
perhatian, membuat siswa mampu memaksimalkan pengelolaan belajarnya. Kasih
sayang orang tua itu bukan hanya berupa materi, akan tetapi yang terpenting adalah
perhatian lebih kepada anak. Contoh ; rutin bertanya kepada anak tentang bagaimana
pelajaran di sekolah maupun di lingkungan apakah ada kesulitan atau tidak,
memberikan motivasi kepada anak apabila anak sedang kurang baik suasana hatinya.
Siswa yang merasa dirinya kurang diperhatikan oleh orang tua, mengalami ketidak
seimbangan rasa cinta, sehingga mencari kesenangan di luar rumah, dalam
bersosialisasi anak akan melakukan hal-hal yang akan menjadikan dirinya sebagai
pusat perhatian semua orang, seperti ; menjadi pemalu, pendiam, pemurung, kurang
percaya diri, aktif, dan hiperaktif. Kasih sayang yang diberikan berupa fasilitas yang
mencukupi dan perhatian akan membuat siswa mampu mengelola belajar dengan
baik sehingga kemandirian belajarnya meningkat.
76
Kemandirian belajar siswa juga terbentuk karena adanya norma dan nilai yang
dipatuhi oleh anak. Orang tua yang menerapkan norma akan menumbuhkan
pemahaman mengenai kemandirian. Kontrol orang tua terhadap aturan perilaku anak
memiliki dampak positif terhadap perilaku anak. Orang tua dan anak berdebat
mengenai nilai moral dan sosial aturan. Anak yang memahami kemandirian melalui
norma yang diterapkan orang tua membuat anak mengerti keinginan dan mampu
membuat keputusan sendiri. ( Lynam dalam Brooks, 2011).
Orang tua yang menggunakan pola asuh authoritative akan menjalin
komunikasi dua arah dengan anak, mengkomunikasikan peraturan yang dibuat
kepada anak, dan memberikan perhatian serta kasih kepada anak. Hal ini akan
berhubungan dengan kemandirian belajar pada siswa dapat ditandai dengan adanya
pengelolaan belajar, sehingga siswa mampu mengatur strategi waktu, dan tempat
untuk melakukan aktivitas belajar. Adanya tanggung jawab dengan aktivitas
mengatasi kesulitan dan mengukur kemampuan yang diperoleh dari belajar. Siswa
mampu memanfaatkan berbagai sumber belajar, seperti modul, majalah, audio, buku,
internet dan perpustakaan.
Konsep diri berkembang secara dinamis karena adanya interaksi dengan
individu yang lain khususnya lingkungan sosial. Konsep diri berkembang pada diri
seseorang bermula pada saat anak-anak mengobservasi fungsi dirinya sendiri seperti
yang mereka lihat pada orang lain (Bee, 1981). Perkembangan primer konsep dirinya
terbentuk berdasarkan pengalaman anak di rumah, berhubungan dengan anggota
keluarga seperti orang tua dan saudaranya. Saat lahir manusia belum memiliki
konsep diri, belum memiliki pengetahuan tentang diri sendiri, tidak memiliki harapan
77
terhadap diri sendiri, dan tidak memiliki penilaian pada dirinya. Konsep diri
terbentuk dari lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua, serta melalui proses
belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa, dan
interaksi antar manusia. Orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi
bagi anak untuk menilai dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pola asuh
authoritative sangat mempengaruhi terhadap konsep diri anak (Brooks, 2011).
Orang tua yang menggunakan pola asuh authoritative akan menjalin komunikasi
dua arah dengan anak, mengkomunikasikan norma dan nilai serta memberikan
perhatian dan kasih sayang kepada anak, sehingga anak merasa diterima, disayangi
sehingga mempunyai persepsi bahwa orang tua sangat menghargai kehadiran anak
dan hal itu yang menjadi dasar bagi siswa dalam mengetahui, menilai dan harapan
terhadap dirinya yang akan menjadi dasar anak untuk mampu melakukan
pengelolaan, pemanfaatan sumber belajar dan bertanggung jawab terhadap
belajarnya. Sebaliknya jika siswa ditolak atau diabaikan, maka terbentuklah dasar
penolakan bahwa diri dan merasa tidak mampu untuk melakukan strategi,
pengelolaan, tanggung jawabnya dalam belajarnya (Nirwana, 2013).
Berdasarkan ulasan mengenai kerangka teori di atas, maka dapat dijelaskan
melalui gambar 2.1. Pada gambar ini akan menguraikan hubungan antara variabel X1
dengan variabel Y, variabel X2 dengan variabel Y dan Variabel X1, X2 dengan Y.
Berikut uraiannya :
78
Keterangan gambar :
1. Menunjukkan hubungan persepsi hubungan persepsi siswa terhadap
konsep diri dengan kemandirian belajar pada siswa.
2. Menunjukkan hubungan persepsi pola asuh authoritative dengan
Kemandirian Belajar pada siswa.
3. Menunjukkan hubungan Konsep diri dan persepsi pola asuh authoritative
dengan kemandirian belajar siswa.
1
1 2 3
2
79
H. Hipotesis
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah :
1. Terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan kemandirian belajar pada
siswa. Semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi juga kemandirian
belajar pada siswa. Sebaliknya semakin rendah konsep dirinya, maka rendah
pula kemandirian belajarnya.
2. Terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap pola asuh authoritative
dengan kemandirian belajar pada siswa. Semakin tinggi persepsi siswa
terhadap pola asuh authoritative maka semakin tinggi kemandirian belajarnya.
Sebaliknya semakin rendah persepsi pola asuh authoritative maka semakin
rendah pula kemandirian belajar pada siswa.
3. Terdapat hubungan antara konsep diri dan persepsi terhadap pola asuh
authoritative dengan kemandirian belajar pada siswa.