Upload
farid-maruf
View
371
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Corporate Social Responsibility (CSR)Sebagai Media Three-Sector Partnership Dalam Penanggulangan Kemiskinan **
Oleh:Eva Hany Fanida, SAP., M.AP
Staf Pengajar Prodi S1 Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected]
Muhammad Farid Ma’ruf, S.Sos., M.AP Staf Pengajar Prodi D3 Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. Email:
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah sebuah program yang mengimplementasikan tanggung jawab sosial sebuah perusahaan kepada masyarakat luas. Saat ini CSR telah menjadi konsep yang kerap kita dengar, walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi maupun akademisi. Sebagai sebuah konsep yang berasal dari luar, tantangan utamanya memang adalah memberikan pemaknaan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini didedikasikan untuk membuka diskusi dan menyebarkan wacana CSR agar dipahami oleh lebih banyak lagi pihak politisi, masyarakat sipil, perusahaan maupun pemerintah. Tujuannya adalah agar semua pihak dapat beranjak dari pemahaman yang memadai ketika berbicara tentang CSR, yaitu sebagai suatu wahana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya penanggulangan masalah kemiskinan. Namun, upaya besar untuk percepatan menanggulangi kemiskinan hanya mungkin berhasil secara berkelanjutan jika tercipta partisipasi aktif dan usaha sungguh-sungguh dari tiga unsur, yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Dengan pemahaman yang demikian, CSR tidak akan disalahgunakan hanya sebagai marketing gimmick untuk melakukan corporate greenwash atau pengelabuan citra perusahaan belaka.
Keyword: Corporate Social Responsibility, Three-Sector Partnership, kemiskinan
Corporate Social Responsibility (CSR) dan Konsep Three-Sector Partnership
Secara historik, embrio CSR terkait erat dengan kritik para pemerhati lingkungan tentang
degradasi lingkungan karena aktivitas perusahaan. Eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan
demi akumulasi laba dan kapital sektor bisnis telah memicu terjadinya berbagai bentuk problem
publik seperti krisis lingkungan, sosial, pangan dan energi. Tantangan masalah publik di era
inilah yang menjadikan posisi dan peran sektor bisnis menjadi semakin penting. Terlebih
dalam isu pemanasan global, korporasi multinasional menjadi pihak yang dituding mempunyai
2 Staf Pengajar Prodi D3 Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. Email: [email protected]
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
andil atas kerusakan lingkungan di negara sedang berkembang. Tidak heran bila sasaran kegiatan
CSR banyak yang diarahkan pada kegiatan pelestarian dan pemeliharan lingkungan
alam.
Hal ini sesuai dengan Commission of the European Communities (2001) yang merumuskan CSR
sebagai konsep yang menempatkan perusahaan untuk mengintegrasikan faktor sosial dan
lingkungan sebagai bagian penting dalam kegiatan bisnis dan juga interaksinya dengan
stakeholders lain yang berbasis voluntary.
Di sisi lain, dengan lahirnya era globalisasi, pihak yang tumbang benar-benar menjadi
lebih miskin dan makin terjebak dalam kubangan utang. Dunia ketiga yang dahulu memiliki
harapan, kini sontak sebagian besar set back. Maka pada 24 Agustus hingga 4 September 2002
digelar World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan.
Konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa CSR harus dilakukan seluruh perusahaan
di dunia dalam rangka terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan. Intinya terfokus pada
pengentasan kemiskinan, penataan lingkungan hidup yang lebih baik dan peningkatan
perekonomian.
Sebagai resultasi dari kesepakatan WSSD, dibutuhkan three-sector partnership yakni
kemitraan antara pemerintah, sektor swasta (perusahaan) dan masyarakat atau Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Melalui CSR, perusahaan tidak lagi hanya berpijak pada single bottom line,
yakni hanya konsen pada kondisi keuangan saja, akan tetapi juga harus mengembangkan triple
bottom line. Konsep TBL dicetuskan oleh John Elkington (1998) yang memaparkan tiga tujuan
yang sama-sama penting untuk dicapai oleh perusahaan, yakni economic prosperity,
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
environmental quality, dan social justice. Dalam perkembangnnya, usaha mencapai ketiga tujuan
tersebut disimbolkan melalui profit, people, dan planet (3P).
Berkembangnya konsep triple bottom line seperti telah disebut di atas, menandai
berakhirnya dominasi ekonomi dalam tata kelola perusahaan. Ekonomi penting, namun ekonomi
semata tidak cukup bagi perusahaan (sektor swasta) yang ingin mencapai sukses dalam waktu
yang lama. Perusahaan perlu menempatkan aspek sosial dan lingkungan sejajar dengan aspek
ekonomi. Laba dan ekonomi tak sebatas untuk perusahaan dan karyawannya. Perusahaan juga
harus berpikir dan bertindak guna tingkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar industrinya.
Hal tersebut pun ditegaskan oleh Forum Ekonomi Dunia melalui Global Governance
Initiative yang menggelar World Business Council for Sustainability Development di New York
pada 2005. Salah satu deklarasi penting dari forum tersebut adalah disepakatinya CSR menjadi
wujud komitmen dunia usaha untuk membantu PBB dalam merealisasikan tujuan utama
Millenium Development Goals (MDGs) yaitu mengurangi separuh kemiskinan dan kelaparan di
dunia pada tahun 2015. Para pelaku dan pemerhati CSR meyakini bahwa proses pembangunan
berkelanjutan secara utuh dimulai dengan adanya koordinasi yang baik antara pemerintah,
swasta, dan masyarakat secara keseluruhan (Sampurna, 2006). Penanggulangan kemiskinan
sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan pun juga harus dilaksanakan dalam kerangka
kerjasama multi stakeholders. Namun demikian, membangun skema kerjasama bukan persoalan
mudah. Perbedaan persepsi peran dan tanggung jawab diantara stakeholders ini merupakan
permasalahan fundamental untuk membangun kerjasama. Mainstream yang muncul saat ini lebih
menempatkan sektor swasta sebagai penanggung jawab tunggal untuk mencapai keberhasilan
CSR, sehingga ia akan menjadi kambing hitam jika terjadi kegagalan dalam CSR.
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
Memang benar adanya bahwa secara hukum positif Indonesia maupun etika bisnis,
perusahaan (sektor swasta) memikul tanggung jawab untuk melaksanakan CSR. Hal ini
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)
khususnya pasal 74 (ayat 1) yang menyebutkan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan atau yang lebih dikenal dengan CSR. Namun, CSR merupakan kegiatan
kompleks yang memiliki keterkaitan erat dengan pihak-pihak di luar
perusahaan/perseroan/sektor swasta. Desain program yang bagus dan jumlah dana yang besar
tidak menjadi jaminan keberhasilan program CSR. Partisipasi pemerintah dan masyarakat/LSM
merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan CSR.
Gambar 1
Hubungan antar Sektor
Dalam konteks Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, hadirnya CSR dalam
dunia bisnis dilegalkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor 236
Tahun 2002 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dalam PKBL, ada dua
program pokok yang menjadi tanggung jawab perusahaan, yakni program kemitaan dan program
bina lingkungan. Melalui kebijakan ini, diharapkan ada keselarasan antara perkembangan
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
perusahaan dan meluasnya kebermanfaatan bagi masyarakat serta terciptanya keseimbangan
lingkungan.
Dinamika CSR Indonesia semakin kuat seiring dengan perubahan yang terjadi di dunia
pada umumnya. Angin reformasi telah menyebabkan perubahan atmosfer relasi antara
masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Titik inilah yang menjadi momentum meningkatnya
peran aktif perusahaan dalam pembangunan masyarakat. Dalam politik desentralisasi,
perusahaan menjadi partner pemerintah dalam berbagai usaha meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
CSR sebagai Pilar Program Penanggulangan Kemiskinan
Tahun 2006 merupakan momen kebangkitan CSR di Indoensia. Berbagai kegiatan telah
digelar untuk mendiskusikan CSR dari sisi konsep hingga implementasinya. Salah satunya
adalah konferensi dan pameran CSR Indonesia. Event yang mengangkat tema “Implementasi
CSR untuk Penanggulangan Kemiskinan” ini dapat dikatakan sebagai embrio kerjasama antar
stakeholders untuk meningkatkan kebermanfaatan CSR. Forum yang digagas Community Forum
for Community Development (CFCD) dan Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat ini
semakin menempatkan CSR sebagai partner pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan.
Kemiskinan hingga saat ini masih menjadi masalah pelik dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 2004-2009 berfluktuasi dari
tahun ketahun. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70
juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan
persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun
2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis,
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75
persen) pada bulan Maret 2006. Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama
Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode
tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Akibatnya
penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan
banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Meski demikian, pada periode Maret 2007-
Maret 2008 telah terjadi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup
signifikan, dari 37,17 juta (16,58 persen) pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta (15,42 persen)
pada tahun 2008. Tren ini berlanjut pada periode 2009-2010, dimana jumlah penduduk miskin
(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia
pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan
penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen).
Gambar 3
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah,
Tahun 2004-2010
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
Sumber: Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010
Masalah kemiskinan tidak hanya terkait dengan angka-angka ekonomi, tetapi juga
melibatkan aspek-aspek sosial lainnya. Dalam bahasa lain, kemiskinan merupakan masalah
multideimensional yang tidak mungkin diselesaikan pemerintah tanpa bekerjasama dengan pihak
lain, salah satunya sektor swasta. Menempatkan sektor swasta sebagai partner dalam
penanggulangan kemiskinan tidaklah berlebihan. Hasil survei Pirac pada tahun 2002
menunjukkan bahwa alokasi dana CSR mencapai Rp 115 miliar. Lebih jauh lagi, bardasarkan
keterangan Deputi VII Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kemenko Kesra, Sujana
Royat, potensi dana CSR yang dapat digunakan untuk menekan angka kemiskinan per tahun per
tahun mencapai Rp 20 triliun. Dana ini berasal dari 700 perusahaan swasata, selain dari Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Sedangkan, perolehan dana CSR oleh Corporate Forum for
Community Development (CFCD) adalah sebesar Rp 7,8 triliun dari lingkungan BUMN dan Rp
4,1 triliun dari sekitar 200 perusahaan swasta (Kompas, 22 Oktober 2010). Jumlah tersebut
cukup potensial sebagai “driver” program-program penanggulangan kemiskinan.
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
Namun demikian, bagaimana membangun skema kerjasama antara pemerintah dan sektor
swasta yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dan Non-Government Organization
(NGO) atau LSM masih menjadi pekerjaan rumah semua pihak. Pekerjaan rumah yang pokok
terkait dengan penentuan fungsi dan peran yang jelas dari masing-masing pihak. Tanpa adanya
deskripsi fungsi dan peran yang jelas tersebut, niscaya integrasi antara pemerintah, masyarakat
dan sektor swasta untuk menjadikan CSR sebagai driver untuk penanggulangan kemiskinan
tidak akan optimal.
Peran dan Fungsi Masing-Masing Stakeholders dalam Implementasi CSR
1. Pemerintah
Dalam implementasi CSR, pemerintah harus berubah ke arah pemerintah yang memberdayakan
semua kalangan (the enabling government) dengan memperbanyak peluang dibandingkan
restriksi. Secara rinci Dollar dan Collier (2001) mengklasifikasikan empat peran sektor publik
dalam CSR, yaitu: mandating , facilitating, partnering, dan endorsing.
a. Mandating
Untuk menjalankan peran “mandating”, pemerintah harus merumuskan standar minimal
kinerja bisnis yang tertuang dalam kerangka hukum, misalnya menetapkan aturan nilai batas
emisi untuk instalasi industri tertentu, atau menetapkan persyaratan agar faktor-faktor
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
tertentu menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang diambil oleh direktur
perusahaan.
b. Facilitating
Peran “facilitating” diwujudkan dalam bentuk pemerintah menumbuhkan kondisi,
memfasilitasi, atau memberi insentif agar perusahaan mau melaksanakan agendan CSR atau
ikut terlibat dalam program perbaikan sosial dan lingkungan. Peran pemerintah disini adalah
sebagai katalisator atau pemberi dukungan (supporting role), misalnya dengan melahirkan
kebijakan insentif fiskal dalam bentuk pengurangan pajak (tax deduction) terhadap
perusahaan untuk menyukseskan program CSR. Adapun peran katalis lainnya dapat
diwujudkan dalam bentuk pemberian bantuan dana bagi riset, penyebaran informasi serta
melakukan berbagai pelatihan atau capacity building bagi masyarakat.
c. Partnering
Adapun peran “partnership“ merupakan peran penting dalam agenda CSR. Kemitraan
strategis menjadi sarana berbagi skills dan input dari sektor 9ublic, privat dan masyarakat
sipil dalam mengatasi problem 9ublic dan lingkungan yang kompleks. Dalam hal ini,
pemerintah dapat menjalankan peran sebagai partisipan, penyelenggara konferensi
(convenor), ataupun fasilitator, misalnya penyediaan infrastruktur 9ublic yang memadai
seperti jalan raya. Dengan adanya infrastruktur 9ublic yang mendukung maka biaya
produksi dapat ditekan semaksimal mungkin demi mendukung kinerja keuangan perusahaan
sehingga mampu berkontribusi positif bagi program CSR.
d. Endorsing
Peran yang terakhir adalah peran memberi dukungan politik dan pengesahan (endorsement)
atau legitimasi terhadap CSR. Peran pengesahan dapat mengambil berbagai bentuk, dapat
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
melalui dokumen kebijakan, praktek manajemen sektor 10ublic, penghargaan terhadap
perusahaan yang menjalankan CSR, misalnya menyelenggarakan acara CSR Award.
Keempat peran sektor publik di atas dirangkum dalam tabel berikut.
Gambar 3
Public Sector Support for Greater Corporate Social Responsibility
Mandating Command and control legislation
Regulators and inspectorates
Legal and fiscal penalties and rewards
Facilitating Enabling legislation Creating incentives Building capacityFunding support Raising awarness Stimulating markets
Partnering Combining resources Stakeholder engagement DialogueEndorsing Political support Publicity and praise
Sumber: Dollar dan Collier, 2001.
Peran pemerintah menjadi semakin signifikan ketika ada pemahaman yang keliru
terhadap CSR. Saat ini banyak perusahaan dan masyarakat yang menganggap bahwa yang
dimaksud CSR adalah segala kagiatan perusahaan yang sifatnya charity atau memberi cuma-
cuma, padahal yang dimaksud CSR adalah bagaimana sebuah perusahaan membangun core
bisnisnya yang pro poor. Misalnya, bagaimana kita mendorong sebuah perusahaan agar
membuat produk yang harganya terjangkau oleh orang miskin, sehingga baik perusahaan
maupun masyarakat sama-sama mendapat keuntungan.
2. Sektor Swasta
Ibarat kehidupan masyarakat, CSR adalah hajatannya perusahaan. Sebagai pihak yang
memiliki hajatan, perusahaan wajib mengalokasikan anggaran untuk membeli bahan-bahan
makanan yang akan disajikan. Bahan makanan sebanyak apapun tidak mungkin menjadi
makanan siap saji tanpa diolah terlebih dahulu. Dalam terminologyirelasi sosial, ada istilah
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
rewang. Rewang adalah kegiatan untuk membantu proses hajatan. Masyarakat tidak akan
melakukan rewang jika tidak tahu akan ada hajatan. Logika tersebut dapat digunakan oleh
perusahaan dalam mengimplementasikan kegiatan CSR. Perusahaan harus membuka diri dan
menyosialisasikan kegiatan CSR sehingga memungkinkan pihak lain untuk rewang
menyusekseskan program CSR. Strategi membuka diri dapat dilakukan melalui pelbagai cara,
salah satunya dengan mengintegrasikan CSR ke dalam program pemerintah. Dengan strategi
tersebut, pemerintah dapat mengalokasikan sumber daya untuk mendukung program CSR
tersebut.
Dari ilustrasi di atas, kiranya bisa dipahami bahwa perusahaan dapat memposisikan
sebagai pihak yang harus merencanakan CSR secara matang, mengeluarkan anggaran untuk
investasi sosial, menyosialisasikan, dan membuka ruang sehingga tercipta integrasi CSR dengan
kebijakan pemerintah dan masyarakat.
3. Masyarakat/LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
“Putting last people at the first” merupakan istilah yang tepat untuk memposisikan
masyarakat dalam kegiatan CSR. Masyarakat adalah last people yang penting untuk ditempatkan
di garda depan, baik dalam perencanaan, pelaksanaan bahkan juga evaluasi CSR. Keterlibatan
masyarakat yang utuh, mulai dari proses perencanaan hingga evaluasi merupakan prasyarat
program berkelanjutan. Pemahaman inilah yang seharusnya menjadi pijakan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam program CSR. Adanya ruang partisipasi yang tinggi akan memunculkan
sense of belonging, dan tanggung jawab untuk menyukseskan program-program CSR. Disisi lain,
juga terdapat LSM sebagai bagian dari sektor masyarakat yang memiliki keahlian penting dalam
implementasi CSR. Hal ini dapat diwujudkan dengan memfasilitasi masyarakat, memberi
advokasi, edukasi, dan juga mengembangkan model-model kemitraan untuk mendukung CSR.
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
Program Green Belt PT Semen Gresik Sebagai Wujud Nyata Three-Sector Partnership
PT Semen Gresik pun menyadari akan adanya konsekuensi yang harus dipikul sebagai
akibat dari pemanfaatan sumber daya alam yang diperlukan sebagai bahan baku produksi.
Setelah mengambil dari alam, maka PT Semen Gresik berkewajiban mengembalikan agar alam
tetap nyaman, bahkan mungkin menjadi lebih nyaman. Inilah salah satu alasan kuat bagi
Perseroan saat merancang program Green belt (Sabuk Hijau). Penerapan konsep green belt
digagas oleh PT Semen Gresik pabrik Tuban - Jawa Timur karena kegagalan reboisasi
konvensional yang dilakukan sejak 1994. Banyak pohon berbagai jenis yang ditanam oleh
perusahaan di sepanjang jalan masuk maupun di sekitar pabrik ditebang oleh warga sekitar.
Kurang lebih 90% pohon lindung yang ditanam hilang sejak pabrik Tuban beroperasi pada tahun
1994. Kegagalan reboisasi konvensional ini akibat dari program bersifat top down sehingga
tanpa adanya keterlibatan peran masyarakat. Program green belt merupakan menifestasi program
yang bersifat bottom up dengan melibatkan secara langsung masyarakat di kawasan pabrik PT
Semen Gresik di Tuban.
Program green belt PT Semen Gresik mulai dilaksanakan pada tahun 2003 merupakan
salah satu program bina lingkungan yang untuk menciptakan keharmonisan perusahaan dengan
masyarakat sekitar. Selain itu, program bina lingkungan PT Semen Gresik bertujuan untuk
memelihara lingkungan hidup, membantu meningktkan kualitas dan kesejahteraan hidup
masyarakat di sekitar pabrik. Program sabuk hijau merupakan implementasi dari program bina
lingkungan PT Semen Gresik yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003 dengan pengelolaan
lahan pertanian di sekitar lokasi tambang batu kapur dan tanah liat milik perusahaan sebagai
lahan sabuk hijau. Pelaksanaan program green belt tersebut didasarkan pada kesejahteraan
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
masyarakat desa di sekitar pabrik. Dengan adanya program sabuk hijau oleh PT Semen Gresik
ini dapat memberdayakan masyarakat sekitar dengan meningkatkan aspek sosial, ekonomi,
teknis dan sumber daya manusia. Lokasi green belt berada di sekitar lokasi pabrik dan lokasi
penambangan membentuk lingkaran sabuk hujau dengan tanaman penghijauan dan pertanian.
Setelah adanya program ini, PT Semen Gresik tidak akan melakukan penambangan di area green
belt.
Dalam pelaksanaan program green belt, PT Semen Gresik bekerjasama dengan KIPPK
(Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan) Kabupaten Tuban dalam proses
penyuluhan, monitoring dan evaluasi. Terdapat lima desa di Kecamatan Kerek dan Merakurak,
Kabupaten Tuban yang masuk kawasan green belt, yakni Desa Karanglo, Desa Pongpongan,
Desa Temandang, Desa Sumberarum, dan Desa Mliwang. Jumlah petani penggarap di lahan
green belt ini mencapai 148–248 petani terdiri dari 10 kelompok tani yang terbagi atas 8
kelompok di area penambangan batu kapur dan 2 kelompok tani di area penambangan tanah liat.
Luas area green belt mencapai 40 hektar di sekitar pabrik bekas lahan tambang. Program ini
didukung sepenuhnya oleh PT Semen Gresik mulai dari penyediaan lahan gratis, penyediaan
bibit tanaman (jagung, jarak kepyar, mahoni, manga, dan nangka) hingga teknis. Dengan adanya
program green belt, setiap kelompok tani mendapatkan penghasilan bersih kurang lebih 15-25
juta rupiah setiap panen dalam jangka waktu panen tiga bulan sekali. Dengan adanya sistem
bottom up ini, dapat mewujudkan program yang berkelanjutan dengan partisipasi masyarakat
yang bekerjasama dan dukungan dari pihak perusahaan dan pemerintah setempat.
Keberhasilan program lingkungan oleh PT Semen Gresik ini dibuktikan dengan adanya
pengharagaan Proper Hijau dari Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2009. Proper
(Program Penilaian Peringkat Pengelolaan Lingkungan) hujau merupakan penghargaan untuk
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
mengukur tingkat ketaatan perusahaan berdasarkan peraturan yang berlaku yang terbagi atas
tujuh kategori, yaitu emas, hijau, biru, merah, merah minus, dan hitam.
Sementara itu, tanah bekas penambangan, baik di Gresik maupun di Tuban dimanfaatkan
sebagai telaga buatan, seperti yang tampak di Desa Ngipik. Telaga Ngipik adalah bekas
kubangan besar yang kini merupakan telaga wisata. Suasana di telaga wisata ini sangat nyaman,
terlebih setelah pohon-pohon rimbun menaungi segenap sisinya. Udara yang sejuk karena
banyaknya pepohonan menciptakan suasana tenteram di hati. Tidak hanya itu, adanya area tanah
liat yang cukup luas di wilayah bekas penambangan juga dimanfaatkan untuk pembudidayaan
ikan air tawar sistem jala apung atau keramba. Budidaya ikan keramba di Kecamatan Merakurak,
Kabupaten Tuban ini telah menghasilkan panen beberapa kali yang hasilnya dinikmati oleh
penduduk setempat.
Daftar Pustaka
Akadun. 2007. Administrasi Perusahaan Negara. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010
Dollar, D and P. Collier. 2001. Globalization, Growth and Proverty: Building an Inclusive World Economy. New York: United Nations.
Elkington, John. 1998. Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21 Century Business. Philadelphia: New Society.
Keputusan Menteri BUMN No. 236 Tahun 2002 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Kompas, 22 Oktober 2010. Dana CSR Mampu Tekan Angka Kemiskinan.
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Sampurna, Muhammad.Endro. 2007. Pertanyaan Besar Bagi Penyelenggara Industri Global.-http://www.csrindonesia.com/pubtulisan.php.
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012
Soemanto, Bakdi. 2007. Sustainable Corporation: Implikasi Hubungan Harmonis Prusahaan dan Masyarakat. Gresik: PT Semen Gresik (Persero). Tbk.
Syakhroza, Akhmad. Corporate Governance: sejarah dan Perkembangan, Teori, Model, dan Sistem Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Taschereau, Suzanne and Jose Edgardo L. Campos. Governance Innovations: Lessons From Experience: Building Government-Citizen-Business Partnerships. Ottawa: Institute on Governance.
United Nations: Departement of Economics and Social Affairs. 2003. Citizens, Business and Governments: Dialogue and Partnerships for Development and Democracy. New York
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
World Bank. 2002. The Role of Public Sector in CSR - http://www.leidykla.eu/fileadmin/ Ekonomika/ 86/55-67.pdf
.
**Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik (JAKP)FISIP Universitas Andalas Padang Volume 1, Nomor 2,pada bulan April 2012