View
228
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
WACANA PEMBEBASAN SATINAH DARI HUKUMAN MATI DALAM
PEMBERITAAN DI SURAT KABAR
(Analisis Wacana Pemberitaan Pembebasan Satinah dari Hukuman Mati pada Harian
Kompas dan Media Indonesia Periode 1 Maret – 30 April 2014)
Nur Fitriana Sholikhah
Mursito BM
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract The phenomenon of repeated violence and death threats affecting migrant workers
became phenomenon for the people of Indonesia as well as a lot of media attention because of
the news has a high news value. Moreover, not long ago melancholy fate Satinah bint Jumadi,
residents Ungaran, Central Java, facing the death penalty in Saudi Arabia re-sticking. She was
convicted for the murder of her employer and the theft of money in June 2007.
Satinah news about facing the death penalty become a hot topic for several weeks in
the media and presented in a variety of viewpoints. However, according to the Observer TKI
Noryati Solapri, so far only the mass media proclaim migrant workers in terms of the problems
they face, but the achievement is less reported. Meanwhile, according to the Employment
Observer Shobichatul Aminah, news of the death penalty as the case reported as cases of abuse
rather than legal process.
Kompas as one of segmented national newspapers have different writing styles with
other media. The language used tends neat and not bubbling. News published are the result of
the formulation of balanced effort. While Media Indonesia is known as a newspaper critical, be
firm and clear challenging the government. For two months, found 3 news on Kompas and 9
related news on Media Indonesia Satinah case.
Therefore, this study aims to determine the discourse of what is presented and see how
the Kompas and Media Indonesia construct and proclaim release Satinah of the death penalty.
The study was focused on text related news Satinah liberation of the death penalty period 1
March to 30 April, 2014.
This study is a qualitative study using the method of discourse analysis Teun van Dijk.
With discourse analysis, researchers will look at how the discourse of liberation Satinah of the
death penalty is constructed and presented in the text of news in Kompas and Media Indonesia
through dimensional analysis of the text.
This study led to the conclusion that both the Kompas and Media Indonesia to proclaim
the liberation of the death penalty Satinah reported as cases of abuse and criticism of the
government rather than a legal process. Satinah was made the object of exploitation. Although
in its message, the language used is more subtle Kompas and Media Indonesia bolder. Kompas
explicitly supportive of the government, but implicitly also showed a sharp criticism of the
government and Media Indonesia clearly shows his criticism of the government's position by
presenting it in the news more intensive when compared Kompas or other national newspapers. Keywords: discourse analysis, news, construction of reality, migrant workers, the death penalty
2
Pendahuluan
Fenomena kekerasan yang terus berulang dan bahkan hingga ancaman
hukuman mati yang menimpa TKI menjadi fenomena tersendiri bagi masyarakat
Indonesia serta banyak menarik perhatian media karena dari sisi berita hal tersebut
memiliki nilai berita yang tinggi. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Menurut
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jika ada WNI yang dijatuhi hukuman di
luar negeri, itu jadi isu yang sensitif bagi masyarakat kita, apalagi kalau hukuman
itu hukuman mati.1
Belum lama berselang nasib pilu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang
bekerja di Arab Saudi kembali mencuat. Kali ini menimpa Satinah binti Jumadi,
warga Ungaran, Jawa Tengah yang terancam hukuman mati oleh perintah Arab
Saudi. Ia dinyatakan bersalah atas pembunuhan majikannya, Nura Al Gharib dan
pencurian uang sebesar SR 37.970 atau setara Rp 119 juta pada Juni 2007.
Kasus Satinah kemudian menjadi fenomenal. Terlebih setelah kasus TKI
Ruyati yang berakhir dengan eksekusi hukuman mati pada tahun 2011 silam dan
dianggap telah mencoreng martabat bangsa. Oleh karena itu, dalam kasus Satinah
kali ini pemberitaan media sangat intensif. Pemberitaan mengenai Satinah yang
terancam hukuman mati menjadi topik hangat selama beberapa minggu di
berbagai media massa, baik cetak, televisi, radio maupun online.
Media pun secara bersamaan memberitakan kasus tersebut dari berbagai
sudut pandang. Meskipun kasus yang diliput sama, namun suatu peristiwa bisa
diberitakan dengan sudut pandang, perspektif atau angle tertentu. Oleh karena itu,
suatu peristiwa yang sama bisa dipandang berbeda oleh dua media.2 Bahkan
perbedaannya bisa menjadi sangat signifikan. Begitu pula dengan penafsiran
media terhadap suatu realitas, antara media satu dengan yang lainnya berbeda.
Akan tetapi, menurut Pemerhati TKI Noryati Solapri, selama ini media
massa hanya memberitakan TKI dari segi permasalahan yang mereka hadapi saja,
1 Aries Setiawan & Nila Chrisna Yulika,”Bahas Nasib TKI Satinah, SBY Gelar Rapat Terbatas”.
http://www.vivanews.com. 01/09/2014/05.29 2 Mursito BM, Jurnalistik Komprehensif (Jakarta: Literate, 2013) hlm. 171
3
tetapi yang berprestasi kurang diberitakan.3 Sedangkan menurut Pemerhati
Ketenagakerjaan Shobichatul Aminah, berita tentang kasus hukuman mati seolah
diberitakan sebagai sebuah kasus penganiayaan daripada sebuah proses hukum.4
Selain itu, menurut Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Mustafa Bin Ibrahim
al Mubarak, media massa di Indonesia dinilai terlalu sering membesar-besarkan
permasalahan TKI yang terkena kasus hukum di Arab Saudi.5
Harian Kompas dan Media Indonesia sebagai harian bersegementasi
nasional tentunya juga turut memberitakan fenomena pembebasan Satinah dari
hukuman mati. Kompas dikenal sebagai salah satu barometer surat kabar di
Indonesia yang memiliki gaya penulisan berbeda dengan media lain. Bahasa yang
digunakan cenderung rapi dan tidak meletup-letup, meskipun jika dicermati isinya
mengandung kritikan dan sindiran-sindiran tajam.6. Berita yang dimuat
merupakan hasil penggodokan matang dan diupayakan berimbang. Sedangkan
Media Indonesia dikenal sebagai surat kabar yang kritis, bersikap tegas dan jelas
menantang pemerintah.7 Selain itu, pada Media Indonesia ditemukan pemberitaan
terkait kasus Satinah yang lebih intensif jika dibandingkan dengan surat kabar
lainnya. Selama dua bulan, terhitung sejak bulan Maret hingga April 2014,
ditemukan 3 berita pada Kompas dan 9 berita pada Media Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mengetahui wacana apa saja yang disajikan dan
melihat bagaimana Kompas dan Media Indonesia mengkonstruksi serta
memberitakan pembebasan Satinah dari hukuman mati akan digunakan analisis
wacana. Analisis wacana merupakan metode untuk mengkaji wacana yang
terdapat pada pesan komunikasi. Isi pesan komunikasi yang dapat dikaji
menggunakan metode ini sebagian diantaranya berupa analisis teks, termasuk
dalam berita.
3 “Pemberitaan Tentang TKI di Media Belum Berimbang” http://www.bnp2tki.go.id/berita-main
menu-231/4366-pemberitaan-tentang-tki-di-media-belum-berimbang-.html. 24/09/2014/01.08 4 KJRI Jeddah, Suara Indonesia (Jeddah: KJRI Jeddah, 2012) hlm. 6
5 Daryono. “Dubes Arab Saudi: Pemberitaan Kasus TKI Terlalu Dibesar-besarkan” http://www.
timlo.net/baca/68784/soal-tki-dubes-arab-saudi-pemberitaan-tki-terlalu-dibesar-besarkan/.24/09/
2014/01.44 6 Nor Islafatun, Jakob Oetama: Bekerja Dengan Hati (Yogyakarta: Buku Pintar, 2013) hlm. 77
7 David T. Hill. Pers di Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011) hlm.
116
4
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wacana apa saja yang disajikan dalam pemberitaan pembebasan Satinah dari
hukuman mati di Harian Kompas dan Media Indonesia periode 1 Maret – 30
April 2014?
2. Bagaimanakah Harian Kompas dan Media Indonesia mengkonstruksi
pemberitaan pembebasan Satinah dari hukuman mati?
Telaah Pustaka
1. Komunikasi sebagai Produksi dan Pertukaran Makna
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal
dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang
berarti sama, yang maksudnya adalah sama makna.8 Istilah ini memiliki arti
bahwa komunikasi akan berlangsung apabila ada kesamaan mengenai apa
yang dipercakapkan. Namun pengertian tersebut masih terlalu umum untuk
menjelaskan apa itu komunikasi.
Gerald R. Miller menjelaskan bahwa “komunikasi terjadi ketika suatu
gambar menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang
disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima”.9 Everett M. Rogers juga
menjelaskan bahwa “komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan
dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk
mengubah perilaku mereka”.
Sedangkan John Fiske melihat komunikasi sebagai produksi dan
pertukaran makna. Bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-
orang dalam rangka menghasilkan makna, yaitu berkenaan dengan peran teks
dalam kebudayaan. Dimana pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang
melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Disini yang
tekankan adalah teks dan bagaimana teks tersebut “dibaca”.
8 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung : Rosda Karya, 2008) hlm. 9
9 Ibid. hlm. 62
5
2. Surat Kabar
Media massa secara sederhana didefinisikan media yang digunakan
dalam komunikasi massa, terdiri dari media cetak – surat kabar, majalah dan
tabloid, media elektronik – televisi dan radio serta new media – internet.
Surat kabar, meski tergolong media konvensional namun
penggunaannya masih bertahan hingga kini di tengah gempuran media yang
lebih modern seperti televisi dan internet. Hal tersebut dikarenakan surat kabar
merupakan media massa yang mudah didapat, murah dan menjangkau lapisan
masyarakat secara luas.
Harimurti Kridalaksana mendefinisikan surat kabar sebagai terbitan
berkala yang memuat berita, risalah, karangan, iklan, dan lain sebagainya.10
Surat kabar terdiri dari fakta dan opini. Fakta meliputi berita dan
feature, sementara opini terdiri dari antara lain tajuk rencana, pojok, karikatur,
surat (dari) pembaca dan artikel.11
Sebagai media komunikasi, surat kabar memiliki beberapa fungsi
mendasar, yaitu memberikan informasi yang objektif kepada pembaca
mengenai apa yang terjadi dalam lingkungannya dan mengulas berita-berita
dalam tajuk rencana dan membawa perkembangannya menjadi sorotan.12
3. Berita
Jakob Oetama mendefinisikan berita sebagai laporan tentang kejadian
yang aktual, bermakna dan menarik. Begitu pula Charnley yang
mendefinisikan berita sebagai laporan yang hangat, padat dan cermat
mengenai suatu kejadian, bukan kejadian itu sendiri.13
Assegaf memberi definisi berita sebagai laporan mengenai fakta atau
ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan,
entah karena pentingnya atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi-
segi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan.14
10
Muchlis Yahya, Komunikasi Politik dan Media Massa (Semarang: Gunung Jati, 2000) hlm. 102 11
Ibid. hlm. 229 12
Ibid. hlm. 102 13
Op.Cit. hlm. 82 14
Dja’far H Assegaf, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta : PT Ghalia Indonesia, 19820) hlm. 24
6
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa berita
adalah laporan fakta atau kejadian atau peristiwa yang terjadi di masyarakat
yang aktual, menarik, penting bagi sebagian besar khalayak dan disiarkan
melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi atau internet.
Daging berita adalah fakta, demikian selalu dinyatakan setiap kali kita
berbicara soal hubungan antara berita dengan fakta. Semua unsur peristiwa,
yang terdiri dari kejadian, opini orang, situasi, dan kondisi, dipersepsi dan
direkam wartawan. Di kantor redaksi, di depan komputer, wartawan
melakukan identifikasi menyeleksi, mensistematisasi, memberi struktur pada
fakta-fakta hasil observasi tersebut. Fakta-kata hasil persepsi dan observasi,
berupa “rekaman” peristiwa ini merupakan realitas yang akan ditulis menjadi
berita. Dengan demikian berita merupakan realitas hasil konstruksi
wartawan.15
Sehingga laporan fakta atau berita yang disiarkan dan dibaca oleh
masyarakat merupakan realitas simbolik hasil bentukan media.
Dalam surat kabar terdapat dua format penulisan berita yang sering
digunakan, yaitu straight news dan feature. Berita lugas (straight news)
merupakan berita yang mengutamakan penyampaian informasi dengan segera,
lugas, to the point, ringkas, dan tidak memerlukan kedalaman. Dimana fakta
disusun secara sekuensial, diurutkan mulai dari yang paling penting.16
Sebagian besar halaman depan surat kabar berisi berita lugas. Sedangkan
berita kisah (feature news) merupakan berita atau informasi ringan yang
sifatnya “menghibur” dan mengandung “human interest”. Feature news
mencoba menemukan “realitas lain” dari realitas yang dipaparkan berita lugas
dengan tidak menghilangkan seluruh unsur 5W+1H. Sama-sama menjawab
pertanyaan 5W+1H, realitas straight news lebih ditekankan pada informasi
yang aktual, sentuhannya kognitif; sementara realitas feature news tidak
terikat pada aktualitas, tetapi lebih menyentuh perasaan.17
Singkatnya, feature
news merupakan pendalaman dari straight news.
15
Mursito BM, Jurnalisme Komprehensif (Jakarta : Literate, 2013) hlm. 70-71 16
Ibid. hlm. 160 17
Ibid. hlm. 190
7
4. Teks sebagai Wacana
Berbicara mengenai wacana tentu tidak bisa lepas dari bahasa sebagai
akar dari wacana itu sendiri. Eriyanto menjelaskan bahwa teks bukanlah
sesuatu yang datang dari langit, juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan
tetapi, teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus, suatu praktek wacana.
Teks hadir sebagai bagian yang menggambarkan representasi masyarakat.
Dimana terdapat dua bagian, yaitu teks yang mikro dan elemen besar berupa
struktur sosial yang saling mempengaruhi. Maka untuk melihat teks dibentuk
dalam suatu praktek wacana, van Dijk membuat suatu jembatan yang
menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen
wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial.18
Sementara, peristiwa komunikasi selalu identik dengan kehidupan
manusian karena merupakan proses dimana manusia mengungkapkan isi
pikiran, ide, gagasan, maksud dan sebagainya. Sehingga teks merupakan
satuan bahasa yang menjadi sarana vital untuk mendukung suatu peristiwa
komunikasi.
Kemudian, perlu dipahami bahwa teks merupakan satuan makna
sehingga teks dalam media yang terdiri dari satuan bahasa harus dipandang
dari dua sudut bersamaan, baik sebagai hasil maupun sebagai produk.. Selain
itu, teks juga dapat dipahami sebagai suatu sistem bahasa yang bersifat
semantik dan sekaligus fungsional.
Bahasa dalam media massa dapat dipahami tidak semata-mata hanya
sebagai alat komunikasi untuk menggambarkan realitas. Akan tetapi, dibalik
penggambaran realitas terkandung makna apa yang ingin disampaikan oleh
media. Dimana media juga dapat memberikan pengaruh kepada khalayak.
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau
tingkatan yang masing-masing saling mendukung. Ia membaginya ke dalam
tiga tingkatan, yaitu struktur makro, superstruktur dan struktur mikro.19
Menurut Van Dijk, meskipun terdiri dari berbagai elemen, semua elemen
18
Eriyanto, Analisis Wacana. (Yogyakarta: LKis Group, 2012) hlm. 222 19
Ibid. hlm. 225-226
8
tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu
sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka
teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Pernyataan atau
tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat atau retorika
tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana suatu teks
terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil.20
5. Konstruksi Realitas
Istilah konstruksi realitas menjadi dikenal sejak dipublikasikan oleh
Peter L.Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya The Social
Construction of Reality yang didalamnya digambarkan proses sosial melalui
tindakan dan interaksinya dimana individu secara intens menciptakan suatu
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap sesuatu bisa terjadi akibat kita berkomunikasi dengan
orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil
konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu.21
Mursito BM dalam bukunya Jurnalisme Komprehensif mengutip
pendapat dari Van Peursen tentang realitas:22
Realitas bukan suatu objek. Karena bukan suatu objek melainkan
aturan, ia merupakan semacam norma, semacam kriteria untuk
mencapai pengetahuan yang benar dan pengamatan yang bermakna.
Dalam arti itu dapat dikatakan bahwa istilah realitas menunjukan
syarat bagi pengetahuan objektif, atau dalam bahasa filsafat realitas
bersifat transendental.
Karena realitas merupakan suatu aturan atau norma, maka akan
dijumpai beberapa bentuk realitas, yakni realitas subjektif, realitas simbolik,
realitas objektif, dan realitas media.
Realitas didefinisikan secara terus menerus melalui praktik bahasa,
yang bermakna sebagai pendefinisian selektif terhadap realitas yang
ditampilkan. Hal ini mengakibatkan suatu persoalan atau peristiwa di dunia
nyata tidak mengandung atau menunjukkan makna integral, tunggal dan
20
Ibid. hlm. 226-227 21
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 91 22
Mursito BM, Jurnalisme Komprehensif (Jakarta : Literate, 2013) hlm. 72
9
intrinsik. Makna yang muncul hanyalah makna yang ditunjukkan melalui
bahasa. Bahasa dan simbolisasi adalah perangkat yang memproduksi makna.
Tom Wolf menjelaskan tentang konstruksi realitas yang dikutip
Nurudin, tulisan harus merupakan konstruksi dari adegan per adegan. Dengan
kata lain tulisan merupakan gaya bertutur dengan susunan mirip skenario film.
Dalam jurnalisme baru, penciptaan adegan diperkirakan bisa membuat
pembaca memahami perubahan cerita dengan sendirinya, tanpa harus
dijelaskan.23
6. Konsep Analisis Wacana
Analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi, selain
analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Jika analisis isi
kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana
lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Bukan
hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, analisis wacana juga melihat
bagaimana pesan disampaikan. Lewat analisis wacana kita bisa melihat makna
yang tersembunyi dari suatu teks.
Banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan
oleh para ahli, diantaranya model analisis wacana Roger Fowler (1979), Theo
Van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun
A. Van Dijk (1998). Dari beberapa model analisis wacana tersebut, van Dijk
adalah model yang paling banyak dipakai karena van Dijk mengkolaborasikan
elemen-elemen wacana yang bisa diaplikasikan secara praktis.
Model yang dipakai van Dijk kerap disebut sebagai “kognisi sosial”.
Istilah yang diadopsi dari pendekatan psikologi sosial, terutama untuk
menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Menurut Van Dijk,
penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks
semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktek produksi yang harus juga
diamati. Disini harus dilihat juga bagaimana bagaiman suatu teks diproduksi,
sehingga kita memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa semacam itu.24
23
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) hlm.185 24
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 221
10
Lebih lanjut, Encarnacion Hidalgo Tenorio dalam tulisannya
menjelaskan analisis Van Dijk sebagai berikut:25
Van Dijk‟s Socio-Cognitive Discourse Analysis is an approach
characterised by the interaction between cognition, discourse and
society. It began in formal text linguistics and subsequently
incorporated elements of the standard psychological model of memory,
together with the idea of “frame” taken from cognitive science. A
large part of van Dijk’s practical investigation deals with stereotypes,
the reproduction of ethnic prejudice, and power abuse by elites and
resistance by dominated groups.
Suatu teks yang cenderung memarjinalkan posisi wanita, misalnya,
lahir karena kognisi atau kesadaran mental di antara wartawan bahkan
kesadaran dari masyarakat yang memandang wanita secara rendah. Sehingga
teks disini hanya bagian kecil saja dari praktek wacana yang merendahkan
wanita. Oleh karena itu, penelitian mengenai wacana tidak bisa
mengeksklusifkan seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia
adalah bagaian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan kognisi sosial
membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang
kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.
Selain melalui koginisi sosial, ada konteks sosial yang mempengaruhi
proses produksi teks. Dimana konteks sosial secara sederhana dipahami
sebagai wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneliti
teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana
tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat.26
Sajian dan Analisis Data
Dalam pemberitaan mengenai pembebasan Satinah dari hukuman mati di
surat kabar, peneliti menemukan enam judul berita tentang proses pembebasan
Satinah yang muncul selama periode 1 Maret – 30 April 2014 dengan perincian
dua judul di Harian Kompas dan empat judul di Harian Media Indonesia sebagai
berikut:
25
Encarnacion Hidalgo Tenorio, “Critical Discourse Analysis, An Overview”, Journal University
of Granada (2011) hlm. 190 26
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 271
11
1. Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan (Kompas/ Selasa, 25 Maret 2014)
2. “Diyat” Satinah Ditawar (Kompas/ Rabu, 26 Maret 2014)
3. Pemerintah Hanya Mau Bayar Rp 12,4 Miliar (Media Indonesia/ Selasa, 25
Maret 2014)
4. Negara Jangan Gamang Bela Satinah (Media Indonesia/ Kamis, 27 Maret 2014)
5. Rakyat Siap Bebasakan Satinah (Media Indonesia/ Jumat, 28 Maret 2014)
6. Pemerintah Tolak Bayar Uang Diat terlalu Tinggi buat Satinah (Media
Indonesia/ Sabtu, 29 Maret 2014)
Dalam menganalisis ke enam berita tersebut, peneliti akan menggunakan
metode analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun van Dijk. Menurut Van
Dijk, analisis wacana dapat dilihat dari dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks
sosial. Akan tetapi, dalam penelitian ini analisis data dibatasi hanya pada dimensi
teks saja. Berikut adalah analisis data dari salah satu teks berita di atas.
Analisis Data
Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan
1. Tematik
Tema utama yang dikembangkan dalam berita tersebut adalah upaya
pemerintah dalam melakukan pendekatan dan lobi terhadap keluarga korban
Al Gharib untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati. Dalam sub topik
dijelaskan bahwa pemerintah sudah beberapa kali melobi dan berhasil
menurunkan besaran uang diyat hingga turun menjadi 7 juta riyal, setara 21,25
miliar. Selain itu pemerintah juga meminta tambahan waktu terkait keluarga
korban yang tetap meminta uang diyat sebesar 7 juta riyal.
2. Skematik
Wacana bahwa upaya pemerintah melakukan pendekatan dan lobi
terhadap keluarga korban Al Gharib untuk membebaskan Satinah dari
hukuman mati didukung oleh cara penceritaan (skematik) tertentu, yaitu
melalui penjalinan fakta maupun opini antara satu dengan yang lainnya dalam
teks berita tersebut.
12
Penggunaan judul “Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan” pada teks
berita menunjukkan bahwa pendekatan dan lobi untuk membebaskan Satinah
dari hukuman mati terus diupayakan oleh pemerintah hingga berkali-kali
dengan ditandai penggunaan kata “terus” yang bersifat kontinyu dan berulang.
Pada paragraf 1 dan 2 dalam pemberitaan ini wartawan ingin
menjelaskan bahwa pemerintah terus mengupayakan pendekatan dan lobi
terhadap keluarga korban. Dimana lobi dilakukan agar keluarga korban mau
menerima uang diyat yang telah disetorkan pemerintah ke pengadilan Arab
Saudi sebesar 4 juta riyal, setara 12 miliar. Setelah sebelumnya pemerintah
berhasil beberapa kali berhasil menurunkan besaran uang diyat hingga 7 juta
riyal, setara 21,25 miliar. Seperti yang terdapat pada kalimat berikut:
Pemerintah terus mengupayakan pendekatan dan lobi terhadap
keluarga majikan Satinah, tenaga kerja Indonesia yang divonis
hukuman mati. Lobi dilakukan agar keluarga menerima uang darah
(diyat) yang telah disetorkan ke pengadilan Arab Saudi sebesar 4 juta
riyal, setara Rp 12 miliar. (paragraf 1)
“Kami sudah beberapa kali melobi dan berhasil menurunkan besaran
uang diyat dari awalnya 15 juta riyal, 10 juta riyal, dan turun menjadi 7
juta riyal,” ujar Tatang. (paragraf 2)
Paragraf 3 dan 4 menjelaskan bahwa pemerintah meminta tambahan
waktu karena keluarga korban bersikeras meminta uang diyat sebesar 7 juta
riyal. Dijelaskan pula bahwa tambahan waktu diperlukan untuk
mengumpulkan lebih banyak uang sumbangan dana dari masyarakat. Seperti
yang terdapat pada kalimat berikut:
Dengan begitu, jika keluarga korban tetap meminta bayaran 7 juta
riyal, mereka harus memberi tambahan waktu (paragraf 3)
Tambahan waktu tersebut diperlukan untuk mengumpulkan lebih
banyak sumbangan dari masyarakat. Tatang mengatakan, saat ini
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah membuka nomor rekening
khusus untuk itu. (paragraf 4)
Paragraf 5 wartawan ingin menegaskan bahwa penanganan pemerintah
terkait lobi kasus Satinah jauh lebih maju jika dibandingkan dengan negara
lain yang juga memiliki banyak pekerja migran. Selain itu, pada paragraf 5
juga dijelaskan bahwa pembayaran uang diyat bukan berarti pemerintah
13
mengambil alih tanggung jawab pidana seseorang, termasuk dalam hal ini
Satinah. Seperti yang terdapat pada kalimat berikut:
Tatang mengingatkan, penanganan yang dilakukan pemerintah jauh
lebih maju dibandikan dengan negara lain, bahka Filipina, yang juga
menjadi negara asal pekerja migran. Hanya Indonesia yang
mengalokasikan pembayaran diyat diambil dari alokasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Namun perlu diingat,
pembayaran uang diyat bukan berarti pemerintah mengambil alih
tanggung jawab pidana seseorang,” ujarnya. (paragraf 5)
Paragraf 6, 7 dan 8 menjelaskan kronologis kasus Satinah hingga ia
dijatuhi hukuman mati. Dalam paragraf 7 dijelaskan bahwa Satinah mengaku
membunuh untuk membela diri. Akan tetapi saat menyerahkan diri ke kantor
polisi Arab Saudi upaya membela diri tersebut tidak dilaporkan. Seperti yang
terdapat pada kalimat berikut:
Satinah diancam hukuman mati di Arab Saudi karena mengaku
membunuh dan mengambil uang majikannya sekitar Rp 119 juta.
Majikan Satinah tewas setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon
roti dalam perkelahian. (paragraf 6)
Berdasarkan catatan lembaga swadaya masyarakat Migrant Care,
Satinah mengaku membunuh untuk membela diri. Namun, upaya
membela diri itu tak dilaporkan saat menyerahkan diri ke kantor polisi
Arab Saudi. (paragraf 7)
Akibatnya, pengadilan Arab Saudi menetapkan hukum pancung.
(paragraf 8)
Paragraf 9 menjelaskan bahwa sejumlah LSM prihatin dengan nasib
Satinah dan membuka rekening untuk menggalang sumbangan masyarakat.
Selain itu, juga dijelaskan bahwa LSM menyayangkan selama proses
pengadilan awal Satinah tidak mendapat bantuan hukum semestinya.
Sementara paragraf 10 menjelaskan bahwa banyak pekerja migran asal
Indonesia yang tidak memiliki pengetahuan cukup terkait prosedur dan
penuntutan hak jika terjadi masalah. Seperti pada kalimat berikut:
Sementara itu, Karsiwen dari Asosiasi Buruh Migran Indonesia
mengatakan, banyak pekerja migran asal Indonesia tak memiliki
pengetahuan cukup terkait prosedur pengaduan dan penuntutan hak
jika terjadi masalah. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor
domestik sehingga komunikasi dan interaksi dengan dunia luar,
terutama dengan sesama pekerja migran di sana, sangat dibatasi.
(paragraf 10)
14
Dari uraian penjelasan masing-masing paragaraf di atas, dapat dilihat
bahwa upaya pemerintah untuk melobi besaran uang diyat dan meminta
tambahan waktu terkait pembebasan Satinah dari hukuman mati di tempatkan
pada awal berita, yaitu paragraf 1, 2, 3, 4 dan 5. Sedangkan kronologis kasus
Satinah ditempatkan pada paragraf selanjutnya, yaitu 6, 7 dan 8. Dengan
penyusunan yang demikian, yang tergambar adalah pemerintah telah dan terus
berupaya untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati. Hal tersebut
dipertegas dengan pernyataan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia
dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Budi Razak
yang mengatakan pemerintah sudah beberapa kali melobi dan berhasil
menurunkan besaran uang diyat pada paragraf 2. Selain itu, ia juga
mengatakan bahwa penanganan yang dilakukan pemerintah saat ini jauh lebih
maju dibandingan negara lain yang memiliki pekerja migran pada paragraf 5.
Sementara kronologis kasus Satinah, kekecewaan LSM terkait proses
pengadilan awal Satinah yang tidak mendapat bantuan hukum semestinya dan
minimnya pengetahuan pekerja migran Indonesia terkait prosedur pengaduan
serta penuntutan hak jika terjadi masalah hanya menjadi informasi pendukung,
bukan sebagai penjelas utama dan di tempatkan di akhir berita.
3. Semantik
Elemen latar yang ditampilkan pada berita tersebut adalah pendekatan
dan lobi yang terus dilakukan oleh pemerintah untuk membebaskan Satinah
dari hukuman mati. Secara umum elemen latar terdapat dalam paragraf 1, 2, 3
dan 4. Dalam penulisannya, wartawan menjelaskan bahwa pendekatan dan
lobi masih terus diupayakan oleh pemerintah untuk membebaskan Satinah dari
hukuman mati, termasuk menurunkan besaran uang diyat dan tambahan
waktu. Secara implisit, teks berita tersebut menunjukkan keberpihakan
wartawan dan dukungan terhadap langkah pemerintah dalam mengupayakan
pembebasan Satinah.
Elemen detail yang menunjang latar berita, secara umum terdapat pada
paragraf 2, 3, 4 dan 5. Dalam penulisannya, ditampilkan secara detail dan
panjang lebar upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam membebaskan
15
Satinah dari hukuman mati, termasuk keberhasilan pemerintah yang telah
beberapa kali menurunkan besaran uang diyat. Sementara detail kronologis
ancaman hukuman mati yang menimpa Satinah ditempatkan pada paragraf 6,
7 dan 8 yang ditampilkan dengan porsi lebih sedikit jika dibandingkan detail
upaya yang telah dilakukan pemerintah.
Sedangkan elemen maksud pada berita tersebut secara umum terdapat
pada paragraf 2, 5 dan 9. Dimana pada paragraf 2 dan 5 secara jelas informasi
yang mendukung upaya pendekatan dan lobi yang terus dilakukan oleh
pemerintah untuk membebaskan Satinah disampaikan melalui pendapat
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia
Kementerian Luar Negeri Tatang Budi Razak. Sementara paragraf 9 yang
menunjukan “kekecewaan” terhadap upaya yang dilakukan pemerintah karena
dinilai terlambat dan paragraf 10 yang menunjukkan kritik terhadap kinerja
pemerintah dalam menyalurkan pekerja migran Indonesia disampaikan secara
tersamar, implisit dan tersembunyi.
4. Sintaksis
Melalui struktur sintaksis, wartawan dapat mengimplikasikan ideologi.
Sehingga melalui struktur sintaksis tertentu, suatu peristiwa maupun aktor
dapat digambarkan secara negatif maupun positif. Terdapat tiga elemen dalam
sintaksis, yaitu elemen koherensi, bentuk kalimat dan kata ganti.
Pada teks berita “Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan” bentuk
koherensi pertama terdapat pada kalimat “Lobi dilakukan agar keluarga
menerima uang darah (diyat) yang telah disetorkan ke pengadilan Arab Saudi
sebesar 4 juta riyal, setara Rp 12 miliar.” (paragraf 1). Sedangkan pada
paragraf 5, terdapat pada kalimat “Tatang mengingatkan, penanganan yang
dilakukan pemerintah jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain,
bahkan Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja migran.” Konjungsi
“yang” pada kalimat teks berita tersebut berfungsi sebagai penjelas inti
kalimat, yang sebenarnya bukan informasi yang begitu penting. Sehingga jika
kata “yang” dihilangkan tidak akan mengurangi inti dari berita itu sendiri.
Sebagai contoh, jika “yang telah disetorkan ke pengadilan Arab Saudi” pada
16
kalimat kedua paragraf 1 dihilangkan, maka tidak akan mengurangi inti berita
dari kalimat tersebut bahwa lobi dilakukan agar keluarga korban mau
menerima uang diyat sebesar 4 juta riyal, setara Rp 12 miliar.
Dalam teks berita tersebut koherensi sebab-akibat ditunjukkan dengan
penggunaan kata “jika” seperti pada kalimat “Tatang mengingatkan, tenggat 3
April tidak berarti Satinah akan langsung dieksekusi jika uang diyat tak bisa
dibayarkan sebelum tanggal itu.” (paragraf 3). Penggunaan kata “akibat” pada
kalimat “Namun, upaya membela diri itu tak dilaporkan saat menyerahkan diri
ke kantor polisi Arab Saudi. Akibatnya, pengadilan Arab Saudi menetapkan
hukum pancung.” (paragraf 7 dan 8). Penggunaan kata “sehingga” pada
kalimat “Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor domestik sehingga
komunikasi dan interaksi dengan dunia luar, terutama dengan sesama pekerja
migran di sana, sangat dibatasi.” (paragraf 10). Penggunaan koherensi sebab-
akibat digunakan untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa memiliki
hubungan kausal (satu fakta atau peristiwa merupakan penyebab dan akibat
bagi peristiwa yang lainnya). Sebagai contoh penggunaan kata “akibatnya”
pada paragraf 8 memiliki keterkaitan dengan paragraf 7 yang menjelaskan
bahwa Satinah dijatuhi hukuman pancung karena tidak melaporkan upaya
pembelaan dirinya saat menyerahkan diri ke kantor polisi Arab Saudi.
Penggunaan koherensi pembeda dalam teks berita tersebut ditunjukkan
dengan penggunaan kata “dibandingkan” pada kalimat “Tatang mengingatkan,
penanganan yang dilakukan pemerintah jauh lebih maju dibandingkan
dengan negara lain, bahkan Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja
migran.” (paragraf 5). Penggunaan kata “dibandingkan” untuk membedakan
dua peristiwa atau fakta. Dua peristiwa atau fakta dapat dibuat seolah-olah
saling bertentangan dan bersebrangan. Seperti penggunaan kata
“dibandingkan” pada kalimat di atas yang menegaskan bahwa penanganan
pemerintah Indonesia tekait kasus TKI serupa jauh lebih maju jika
dibandingkan negara lain, Filipina. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia
dibuat seolah-olah bersebrangan dengan apa yang dilakukan oleh Filipina.
17
Pemilihan Filipina sebagai pembanding pemerintahan Indonesia pun
dikarenakan sama-sama memiliki banyak pekerja migran di Arab Saudi.
Sedangkan koherensi pengingkaran dalam teks berita tersebut
ditunjukkan dengan penggunaan kata “namun” dalam kalimat “Namun perlu
diingat, pembayaran uang diyat bukan berarti pemerintah mengambil alih
tanggung jawab pidana seseorang,” ujarnya.” (paragraf 5). Penggunaan kata
“namun” dalam petikan kalimat wawancara dengan Tatang Budi Razak
menggambarkan bahwa wartawan ingin menyampaikan maksud secara
implisit (tersembunyi) bahwa ia setuju dengan pernyataan pembayaran diyat
oleh pemerintah, bukan berarti pemerintah juga turut mengambil alih
tanggung jawab pidana seseorang. Karena bagaimana pun suatu hukuman
pidana yang telah dijatuhkan kepada seseorang, maka menjadi suatu tanggung
jawab bagi seseorang yang terbukti bersalah.
Selain elemen koherensi, terdapat elemen bentuk kalimat pada struktur
sintaksis. Dimana dalam teks berita tersebut secara umum menggunakan
bentuk kalimat berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek pernyataannya,
seperti contoh pada paragraf 1 berikut ini:
Aktif Pemerintah terus mengupayakan pendekatan dan lobi terhadap
keluarga majikan Satinah, tenaga kerja Indonesia yang divonis
hukuman mati.
Pasif Pendekatan dan lobi terus diupayakan oleh pemerintah terhadap
keluarga majikan Satinah, tenaga kerja Indonesia yang divonis
hukuman mati.
Bentuk lain penggunaan elemen bentuk kalimat dalam teks berita ini
adalah penempatan posisi proposisi dalam kalimat. Secara umum posisi
proposisi dalam kalimat teks berita tersebut menempatkan pemerintah di awal
kalimat sebagai pihak yang ditonjolkan, seperti pada paragraf 5 berikut ini:
Awal Tatang mengingatkan, penanganan yang dilakukan pemerintah
jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain, bahkan
Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja migran.
Akhir Dibandingkan Filipina, negara yang juga menjadi asal pekerja
migran, penanganan yang dilakukan pemerintah jauh lebih maju.
18
Dengan menempatkan pemerintah di awal kalimat, maka kesan kontras
pemerintah Indonesia yang lebih maju dalam menangani kasus TKI akan lebih
terasa dan menonjol dibandingan dengan peletakan di akhir kalimat.
Selain itu, secara umum teks berita tersebut juga menggunakan pola
pengembangan deduktif (kalimat umum-kalimat khusus). Dimana inti kalimat
(umum) di tempatkan di awal paragraf, disusul dengan keterangan tambahan
(khusus) sebagai kalimat penjelas kemudian. Dalam bentuk kalimat deduktif,
aspek penonjolannya lebih kentara, sementara dalam bentuk induktif inti dari
kalimat ditempatkan tersamar atau sembunyi.
Elemen kata ganti dalam teks berita tersebut terdapat pada paragraf 2,
yaitu “kami” dalam kalimat “Kami sudah beberapa kali melobi dan berhasil
menurunkan besaran uang diyat dari awalnya 15 juta riyal, 10 juta riyal, dan
turun menjadi 7 juta riyat,” ujar Tatang.” dan “mereka” pada paragraf 3 dalam
kalimat “Dengan begitu, jika keluarga korban tetap meminta bayaran 7 juta
riyal, mereka harus memberi tambahan waktu.” Penggunaan “kami” sebagai
kata ganti pemerintah dan “mereka” sebagai kata ganti keluarga korban Al
Gharib menciptakan jarak dan memisahkan antara pihak “kami” dengan
“mereka”. Untuk yang sependapat dengan wartawan atau komunikator
menggunakan kata ganti “kami” sedangkan dengan pihak yang tidak
sependapat digunakan kata ganti “mereka”. Selain itu, penggunaan kata ganti
“kami” mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian
khalayak serta mengurangi kritik dan oposisi terhadap pemerintah.
5. Stilistik
Elemen stilistik berkaitan dengan leksikon atau pemilihan kata maupun
frase atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia untuk menyatakan
maksud. Pilihan kata yang dipakai dapat menunjukkan bagaimana pemaknaan
seseorang terhadap fakta atau realitas.
Dalam teks berita tersebut terdapat beberapa kata yang menunjukkan
dan memperkuat tema utama, diataranya adalah kata “lobi” pada paragraf 1
dan 2; pekerja migran pada paragraf 5 dan 10; hukum pancung pada paragraf 8
19
dan “tewas” pada paragraf 6. Berikut salah satu contoh penggunaan kata
dalam penulisan kalimat teks berita:
Majikan Satinah tewas setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon roti
dalam perkelahian.
Majikan Satinah meninggal setelah koma akibat dipukul perkakas
pengadon roti dalam perkelahian.
Majikan Satinah terbunuh setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon
roti dalam perkelahian.
Penggunaan kata “tewas” yang artinya meninggal dunia atau mati lebih
dipilih daripada kata meninggal atau terbunuh. Penggunaan kata tewas dalam
berita di atas memberikan pemaknaan dan penekanan kepada khalayak bahwa
majikan Satinah meninggal setelah terjadi perkelahian yang hebat dengan
Satinah. Kata tewas biasanya digunakan untuk menggambarkan kematian
yang berkaitan dengan kejadian perang dan bencana. Kata meninggal biasanya
digunakan untuk memperhalus kematian seseorang dan menggambarkan
kematian seseorang yang dikarenakan sakit. Sedangkan kata terbunuh
biasanya digunakan untuk menggambarkan kematian yang diakibatkan
kejadian penganiayaan.
6. Retoris
Elemen retoris terkait fungsi persuasif dengan menggunakan wacana
praanggapan, grafis dan metafora. Berikut penggunaan retoris dalam teks
berita tersebut yang dapat diamati.
Praanggapan merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya,
tetapi dijadikan dasar untuk mendukung gagasan tertentu. Contoh wacana
praanggapan dalam teks berita terdapat pada paragraf 3 dalam kalimat
“Tanggal tersebut adalah kesepakatan pihak keluarga terkait batas waktu
tanggal pembayaran. Dengan begitu, jika keluarga korban tetap meminta
bayaran 7 juta riyal, mereka harus memberi tambahan waktu.” Anggapan
pemberian tambahan waktu dari pihak keluarga Al Gharib masih belum
sepenuhnya pasti terkait permintaan besarnya uang diyat yang diminta dan
batas waktu pembayaran. Pasalnya sudah beberapa kali keluarga Al Gharib
memberikan tambahan waktu, akan tetapi besaran uang diyat yang diminta
20
belum juga dibayarkan sepenuhnya. Akan tetapi praanggapan tersebut
didasarkan pada praanggapan yang masuk akal dan logis sehingga meskipun
kenyataannya belum terjadi tidak dipertanyakan kebenarannya. Dimana
semakin banyak uang diyat yang diminta, maka semakin banyak pula waktu
yang dibutuhkan untuk mengumpulkan uang diyat.
Grafis merupakan penekanan atau penonjolan bagian yang dianggap
penting dalam teks berita. Contoh penggunaan grafis dalam kalimat teks berita
adalah huruf cetak miring untuk kata “diyat” yang terdapat pada paragraf 1, 2,
3 dan 5. Kata diyat yang berarti uang pengganti atau uang darah dicetak huruf
miring karena bukan kata atau istilah yang umum bagi masyarakat Indonesia.
Kesimpulan
Setelah menjelaskan dan menganalisa bahasan-bahasan yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan bahwa baik Kompas maupun
Media Indonesia dalam memberitakan pembebasan Satinah dari hukuman mati
diberitakan sebagai sebuah kasus penganiayaan dan kritik terhadap kinerja
pemerintah daripada sebuah proses hukum. Satinah pun dijadikan objek eksplotasi
karena baik ia maupun keluarganya tidak ditempatkan sebagai subjek pencerita
dan tidak diberi ruang untuk menceritakan dirinya atau peristiwa tersebut.
Kronologis kasus yang menimpa Satinah pun diceritakan oleh pihak lain, seperti
Migrant Care Anis Hidayah. Meskipun dalam pemberitaannya, bahasa yang
digunakan Kompas lebih halus dan Media Indonesia lebih berani. Selain itu,
Kompas secara eksplisit menunjukkan keberpihakannya kepada pemerintah, akan
tetapi secara implisit juga menunjukkan kritik yang tajam terhadap pemerintah
dan Media Indonesia secara jelas menunjukkan kritiknya terhadap sikap
pemerintah dalam mengupayakan pembebasan Satinah dengan menghadirkan hal
tersebut dalam berita yang lebih intensif jika dibandingkan Kompas ataupun surat
kabar bersegementasi nasional lainnya.
21
Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai teks
berita, penelitian ini dapat dijadikan refernsi meskipun menggunakan
pendekatan dan metode yang berbeda dengan penelitian ini. Hal tersebut
semata-mata hanya untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas lagi dalam
menganalisi teks.
2. Bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai teks
berita menggunakan metode analisis Teun van Dijk, hendaknya menggunakan
berbagai dimensi untuk mengalisis, tidak hanya dimensi teks tetapi juga
dimensi kognisi sosial dan konteks sosial.
Daftar Pustaka
Assegaf, Dja’far. (1982). Jurnalisme Masa Kini. Jakarta : PT Ghalia Indonesia. Eriyanto. (2008). Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKiS.
Hill, David T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Islafatun, Nor. (2013). Jakob Oetama: Bekerja dengan Hati. Yogyakarta: Buku
Pintar.
Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mursito BM. (2013). Jurnalisme Komprehensif. Jakarta: Literate.
__________. (2012). Realitas Media. Solo: Smart Media.
Nurudin. (2009). Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers.
Sobur, Alex. (2009). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tenorio, Encarnacion Hidalgo. (2011). Critical Discourse Analysis, An overview.
Journal University of Granada.
Yahya, Muchlis. (2000). Komunikasi Politik dan Media Massa. Semarang: Gunung
Jati.
Aries Setiawan & Nila Chrisna Yulika. (2014) Bahas Nasib TKI Satinah, SBY Gelar
Rapat Terbatas. Jakarta: Vivanews. Tersedia dalam: <http://www.
vivanews.com> [Diakses 1 September 2014].
Daryono. (2014) Dubes Arab Saudi: Pemberitaan Kasus TKI Terlalu Dibesar-
besarkan. Surakarta: Timlo. Tersedian dalam: <http://www.timlo.net/baca
/68784/soal-tki-dubes-arab-saudi-pemberitaan-tki-terlalu-dibesar-besarkan/>
[Diakses 24 September 2014].
BNP2TKI. (2013) Pemberitaan Tentang TKI di Media Belum Berimbang. Jakarta:
BNP2TKI. Tersedian dalam: <http://www.bnp2tki.go.id/berita-main-menu-
231/4366-pemberitaan-tentang-tki-di-media-belum-berimbang-.html.>
[Diakses 24 September 2014].
Recommended