View
235
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
UJI EFEK ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI RIMPANG TEMU KUNCI
(Boesenbergia pandurata) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI
Staphylococcus epidermidis DAN Serratia marcescens SECARA IN VITRO
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran
Oleh :
WAFIQ ARIF J 500 140 114
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
i
HALAMAN PERSETUJUAN
UJI EFEK ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI RIMPANG TEMU KUNCI
(Boesenbergia pandurata) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI
Staphylococcus epidermidis DAN Serratia marcescens SECARA IN VITRO
PUBLIKASI ILMIAH
Oleh:
WAFIQ ARIF
J 500 140 114
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:
Pembimbing Utama
Dr. Listiana Masyita Dewi, M.Sc. NIK. 1570
ii
PERNYATAAN
Dengan ini Penulis menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan Penulis juga tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, yang tertulis dalam
naskah ini kecuali disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas,
maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.
Surakarta, 5 Februari 2018.
Penulis
WAFIQ ARIF
J 500 140 114
iii
HALAMAN PENGESAHAN
UJI EFEK ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI RIMPANG TEMU KUNCI (Boesenbergia pandurata) TERHADAP PERTUMBUHAN
BAKTERI Staphylococcus epidermidis DAN Serratia marcescens SECARA IN VITRO
Oleh :
WAFIQ ARIF
J 500 140 114
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Senin, tanggal 12 Februari 2018
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji:
1. Dr. Safari Wahyu Jatmiko, M.Si.Med.
( Ketua Dewan Penguji )
2. Dr. Erika Diana Risanti, M.Sc.
(Anggota I Dewan Penguji )
3. Dr. Listiana Masyita Dewi, M.Sc.
( Pembimbing Utama )
(……………….)
(……………….)
(……………….)
Dekan FK UMS
Prof. DR. Dr. EM Sutrisna, M.Kes.
NIK: 919
1
UJI EFEK ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI RIMPANG TEMU KUNCI (Boesenbergia pandurata) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI
Staphylococcus epidermidis DAN Serratia marcescens SECARA IN VITRO
INTISARI
Infeksi nosokomial menjadi subjek permasalahan pelayanan kesehatan dunia. Salah satu bakteri penyebab infeksi nosokomial adalah Staphylococcus epidermidis dan Serratia marcescens. Kedua bakteri ini sering menyebabkan masalah karena resisten terhadap antibiotik. Minyak atsiri yang terkandung dalam temu kunci (Boesenbergia pandurata) berpotensi dimanfaatkan sebagai sumber antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya efek antibakteri minyak atsiri rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata) secara in vitro. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan metode posttest only with control group design. Subyek penelitian ini adalah minyak atsiri temu kunci (Boesenbergia pandurata). Staphylococcus epidermidis dan Serratia marcescens digunakan sebagai sampel. Setiap bakteri mendapat perlakuan berbeda dengan konsentrasi minyak atsiri 30%, 50%, 75%, 90%, kontrol positif, dan kontrol negatif dengan metode difusi. Dibuat sumuran di Muller Hinton agar kemudian menyebarkan bakteri yang telah distandarisasi dengan Mc Farland 5.0, kemudian sumuran itu diisi dengan beberapa konsentrasi minyak atsiri, air suling steril sebagai kontrol negatif, amoxicilin dan kloramfenikol sebagai kontrol positif. Kemudian diinkubasi dalam suhu 37°C selama 24 jam dan dihitung zona hambat yang terbentuk. Minyak atsiri temu kunci (Boesenbergia pandurata) memiliki aktivitas antibakteri yang efektif terhadap Staphylococcus epidermidis dan Serratia marcescens dalam konsentrasi 50%, 75%, dan 90% dimana pada uji post hoc dibandingkan kontrol negatif didapatkan nilai p<0,05, sedangkan pada konsentrasi 30% tidak didapatkan adanya daya hambat. Minyak atsiri temu kunci (Boesenbergia pandurata) dengan konsentrasi 50%, 75%, dan 90% efektif menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis dan Serratia marcescens pada media Muller Hinton.
Kata kunci: antibakteri, minyak atsiri, temu kunci
ABSTRACT
Nosocomial infections are a global health care problems. Two of the bacteria that causes nosocomial infections are Staphylococcus epidermidis and Serratia marcescens. Both of these bacteria cause problems because of resistance to antibiotics. Essential oils contained in rempang temu kunci (Boesenbergia pandurata) are potentially exploited as antibacterial sources. The research to know the antibacterial activity of Boesenbergia pandurata essential oil against Staphylococcus epidermidis and Serratia marcescens in vitro. The research was experimental laboratory which used posttest only with control group design method. The subject of the study was the essential oil of Boesenbergia pandurata.
2
Staphylococcus epidermidis and Serratia marcescens were used as samples. Each bacteria received different treatment with 30%, 50%, 75%, and 90% concentration of Boesenbergia pandurata essential oil, positive control, and negative control using diffusion method. A well was created in the Muller Hinton Agar then spread the growing bacteria which had been standardized with 5.0 Mc Farland, then the well was filled with several concentrate essential oil, sterile distilled water as the negative control, amoxicilin and cloramphenicol as the positive control. Then they were incubated in 37°C for 24 hours and the formed obstruction zone was counted. The essential oil of Boesenbergia pandurata has an effective antibacterial activity against Staphylococcus epidermidis and Serratia marcescens in concentrations of 50%, 75%, and 90% where in the post hoc test compared to negative control the value of p was 0.05, while concentration of 30% is not found any inhibitory power. Boesenbergia pandurata essential oils with concentrations of 50%, 75%, and 90% effectively inhibited the growth of Staphylococcus epidermidis and Serratia marcescens on Muller Hinton media.
Keywords: Antibacterial, essential oil, Boesenergia pandurata
1. PENDAHULUAN
Infeksi nosokomial sudah menjadi subjek permasalahan pelayanan
kesehatan di seluruh dunia. Infeksi nosokomial mencapai 2-12% dari semua
penderita yang dirawat di rumah sakit (Guntur, 2007). Survei yang dilakukan
Hopskin, et al. (2012) menunjukkan 6,4% dari seluruh pasien di Inggris
menderita infeksi nosokomial, 23,4% diantaranya berasal dari Intensive Care
Unit. Data World Health Organitation (WHO) menunjukan rata-rata 8,7%
pasien pada 55 rumah sakit di 14 negara Eropa, Timur Tengah, Asia Pasifik
dan Asia Tenggara mengalami kejadian infeksi nosokomial, dengan
prevalensi tertinggi di Timur Tengah dan Asia Tenggara berturut-turut 11,8%
dan 10%. Infeksi nosokomial menimbulkan banyak kerugian, antara lain
perawatan pasien menjadi lebih lama, angka kematian dan kesakitan yang
bertambah tinggi, serta biaya yang menjadi lebih mahal (Zuhriah et al.,
2012).
Salah satu kuman penyebab infeksi nosokomial yang paling sering
adalah Staphylococcus epidermidis. Staphylococcus epidermidis merupakan
flora normal pada kulit dan membran mukosa individu sehat. Bakteri gram
positif ini dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit seperti pneumonia,
3
septikemia, infeksi piogenik (endokarditis, septik arthritis, dan osteomielitis),
keracunan makanan, dan infeksi luka bekas operasi (Fraser dan Spiteri, 2011;
Me´ric et al., 2015). Infeksi Staphylococcus epidermidis biasa berkaitan
dengan penggunaan alat medis seperti katup jantung buatan, sendi palsu, dan
kateter vascular (del Pozo dan Patel, 2007). Sebagian besar bakteri ini
mengalami resistensi terhadap antibiotik β-laktam sehingga mengurangi
keragaman terapi yang tersedia (Me´ric et al., 2015).
Kuman lain yang juga menjadi penyebab infeksi nosokomial adalah
Serratia marcescens. Serratia marcescens merupakan bakteri oportunistik.
Bakteri ini tergolong gram negatif, dan masuk dalam famili
Enterobacteriaceae (Khanna et al., 2013). Hasil survei terkini di Amerika
dan Eropa mengindikasikan bahwa Serratia menyebabkan 6,5% dari seluruh
infeksi gram negatif di Intensive Care Unit dan 3,5% non Intensive Care Unit
(Sader et al. 2014). Serratia marcescens menjadi penyebab infeksi serius
meliputi pneumonia, infeksi saluran nafas bawah, infeksi saluran kemih,
infeksi aliran darah, luka, dan meningitis. (Jones, 2010; Kawecki et al., 2011;
Merkier et al., 2013). Organisme ini juga menjadi penyebab penting infeksi
okuler dengan insidensi tinggi pada keratitis karena lensa kontak (Das et al.,
2007; Samonis, et al., 2011). Serratia marcescens sudah mengalami
perubahan genetik sehingga resisten terhadap beberapa antibiotik antara lain
penisilin spektrum sempit, sefalosporin, sefuroksim, sefamisin, golongan
makrolida, tetrasiklin, nitrofurantoin dan kolistin (Stock, et al., 2003).
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan pencarian senyawa aktif yang
mempunyai potensi sebagai antibakteri untuk mengatasi resitensi tersebut.
Indonesia dengan sumber kekayaan hayati yang beraneka ragam
memungkinkan pengembangan manfaat senyawa aktif yang terkandung di
dalamnya. Hal ini membuka kesempatan pencarian sumber antibakteri yang
berasal dari tumbuhan. Salah satu tanaman memiliki potensi sebagai
antibakteri adalah tanaman temu kunci (Boesenbergia pandurata). Temu
kunci merupakan salah satu spesies dari famili Zingiberaceae. Bagian
rimpang tanaman ini sering digunakan sebagai bumbu penyedap makanan,
4
obat nyeri, obat peluruh dahak, obat cacing, dan obat diare (Marliyana et al.,
2017). Salah satu zat yang terkandung di dalam temu kunci adalah minyak
atsiri (Miksusanti et al., 2008).
Minyak atsiri merupakan metabolit sekunder yang terdiri dari senyawa-
senyawa yang mampu menimbulkan aroma. Minyak atsiri umumnya
mengandung molekul-molekul yang mempunyai daya anti bakteri.
Komponen utama yang terdapat dalam minyak atsiri temu kunci adalah
camphene, nerol, camphor, trans-ocyneme, 1,8-cineol, tans-geranol, dan
methyl cinnamate (Arniputri et al., 2007; Baharudin et al., 2015). Komponen
yang terkandung dalam minyak atsiri temu kunci dapat berinteraksi dengan
dinding sel bakteri sehingga merusak dan menghambat pertumbuhan bakteri
(Miksusanti et al., 2008; Baharudin et al., 2015).
Berdasarkan uraian diatas, pada penelitian ini ingin diteliti lebih lanjut
apakah minyak atsiri dari rimpang tanaman temu kunci (Boesenbergia
pandurata) mempunyai efek antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis
dan Serratia marcescens.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental laboratorik.
Peneliti memberikan perlakuan terhadap sampel, yaitu berupa bakteri
Staphylococcus epidermidis dan Serratia marcescens yang didapat dari
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta yang kemudian diberi minyak atsiri rimpang tanaman temu kunci
(Boesenbergia pandurata) dengan konsentrasi 30%, 50%, 75%, 90%, kontrol
positif dan kontrol negatif. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Fakultas
Biologi Universitas Muhammadiyah Surakarta untuk determinasi, kebun
temu kunci di Pacitan untuk pengambilan temu kunci, laboratorium
Farmakologi untuk penyulingan minyak atsiri dan Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
untuk pengujian aktivitas antibakteri. Penentuan besar sampel tiap kelompok
dilakukan dengan menggunakan rumus Federer yang melalui perhitungan
5
tersebut diketahui besar sampel minimal tiap kelompok yang diperlukan
adalah 4 kali replikasi.
Metode uji aktivitas antibakteri yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode difusi. Dibuat sumuran pada media Hinton agar kemudian
menyebarkan bakteri yang telah distandarisasi dengan Mc Farland 5.0,
kemudian sumuran itu diisi dengan beberapa konsentrasi minyak atsiri, air
suling steril sebagai kontrol negatif, amoxicilin dan kloramfenikol sebagai
kontrol positif. Kemudian diinkubasi dalam suhu 37°C selama 24 jam.
Pengamatan penghambatan pertumbuhan bakteri dilakukan dengan mengukur
diameter zona bening disekitar sumuran yang merupakan diameter zona
penghambatan sampel dengan menggunakan jangka sorong.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 HASIL
Tabel 1. Daya hambat antimikroba minyak atsiri temu kunci (Boesenbergia pandurata) terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis
Replikasi Kontrol
(-) (mm)
30% (mm)
50% (mm)
75% (mm)
90% (mm)
Amoxicillin (+) (mm)
1 0 0 9 15 20 16
2 0 0 8 15 30 16
3 0 0 7 13 17 16
4 0 0 10 16 20 16
Rata-rata 0 0 8,5 14,75 21,75 16
6
Tabel 2: Daya hambat antimikroba minyak atsiri temu kunci (Boesenbergia pandurata) terhadap bakteri Serratia marcescens
Replikasi Kontrol (-) (mm)
30% (mm)
50% (mm)
75% (mm)
90% (mm)
Kloramfenicol (+) (mm)
1 0 0 11 15 25 15
2 0 0 13 17 30 15
3 0 0 13 17 25 15
4 0 0 12 15 30 15
Rata-rata 0 0 12,5 16 27,50 15
Tabel 3 Uji Normalitas Data
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Stapylococcus ,215 24 ,006 ,876 24 ,007
Serratia ,217 24 ,005 ,867 24 ,005
a. Lilliefors Significance Correction
Tabel 4. Uji Homogenitas Varian
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Stapylococcus 5,866 5 18 ,002 Serratia 138,300 5 18 ,000
7
Tabel 5. Uji Non Parametrik Kruskal Wallis
Test Statisticsa,b Stapylococcus Serratia Chi-Square 18,572 18,617 Df 4 4 Asymp. Sig. ,001 ,001 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Perlakuan
Tabel 6. Hasil Uji post hoc Man Whitney
Kelompok
Nilai p
Hasil uji Staphylococcus epidermidis
Serratia marcescens
K. Negatif - 30% 1,000
Tidak signifikan
K. Negatif - 50% 0,014 Berbeda signifikan
K. Negatif - 75% 0,013 Berbeda signifikan
K. Negatif - 90% 0,013 Berbeda signifikan
K. Positif - 30% 0,008 Berbeda signifikan
K. Positif - 50% 0,014 Berbeda signifikan
K. Positif - 75% 0,046 Berbeda signifikan
K. Positif - 90% 0,013 Berbeda signifikan
K. Negatif - 30%
1,000 Tidak signifikan
K. Negatif - 50% 0,013 Berbeda signifikan
K. Negatif - 75% 0,013 Berbeda signifikan
K. Negatif - 90% 0,013 Berbeda signifikan
K. Positif - 30% 0,008 Berbeda signifikan
K. Positif - 50% 0,013 Berbeda signifikan
K. Positif - 75% 0,127 Tidak signifikan
K. Positif - 90% 0,013 Berbeda signifikan
*berbeda signifikan (p<0,05)
8
3.2 PEMBAHASAN
Penelitian mengenai uji aktivitas antibakteri minyak atsiri rimpang
temu kunci (Boesenbergia pandurata) terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus epidermidis dan Serratia marcescens secara in vitro telah
dilakukan. Penelitian dilakukan dengan melihat ada tidaknya zona hambat
yang terbentuk. Metode sumuran dilakukan dengan cara membuat lubang
dengan diameter 6 mm menggunakan cork borer sehingga minyak atsiri
dapat melakukan kontak langsung dengan media pertumbuhan sehingga
bukan hanya permukaannya saja tetapi sampai ke dasar dari media.
Kemudian daya hambat bakteri dapat dilihat dari zona bening di sekitar
sumuran.
Tabel 1 menunjukan hasil pemberian berbagai konsentrasi minyak
atsiri rimpang temu kunci dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus epidermidis. Rerata diameter zona hambat yang terbentuk
pada keempat konsentrasi adalah 0 mm (30%), 8,5 mm (50%), 14,75 mm
(75%), dan 21,75 mm (90%). Dari data kasar rerata diameter zona hambat
semakin besar seiring bertambahnya konsentrasi minyak atsiri rimpang
temu kunci.
Tabel 2 menunjukan hasil pemberian berbagai konsentrasi minyak
atsiri rimpang temu kunci dalam menghambat pertumbuhan Serratia
marcescens. Rerata diameter zona hambat yang terbentuk pada masing-
masing konsentrasi adalah 0 mm (30%), 12,5 mm (50%), 16 mm (75%),
dan 27,5 mm (90%). Dari data kasar tersebut juga menunjukan rerata
diameter zona hambat semakin besar seiring bertambahnya konsentrasi
minyak atsiri rimpang temu kunci karena kandungan senyawa anti bakteri
yang semakin tinggi (Kusmiyati dan Agustini, 2006).
Hasil uji Kruskal-Wallis didapatkan nilai p sebesar 0,001. Hasil ini
berarti nilai p<0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan zona
hambat yang terbentuk antara dua kelompok perlakuan pada kedua bakteri.
Untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan yang
signifikan maka dilakukan uji post hoc menggunakan uji Mann-Whitney.
9
Tabel 6 menunjukan hasil uji post hoc Man Whitney dimana zona
hambat yang dihasilkan masing-masing konsentrasi minyak atsiri temu
kunci dibandingkan dengan kontol negatif dan kontrol positif. Pada uji
Mann-Whitney kontrol negatif dengan semua konsentrasi baik itu pada
bakteri Staphylococcus epidermidis maupun Serratia marcescens
didapatkan nilai p<0,05 yang menunjukan adanya perbedaan yang
signifikan, kecuali pada konsentrasi 30% yaitu dengan nilai p 1,000 yang
berarti nilai p>0,05 maka tidak terdapat perbedaan signifikan dikarenakan
zona hambat pada konsentrasi 30% tidak ada. Pada konsentrasi 30% tidak
terbentuk zona hambat akibat perbedaan jumlah kandungan senyawa aktif
antibakteri pada konsentrasi tersebut, karena faktor-faktor yang
mempengaruhi uji daya hambat adalah konsentrasi senyawa aktif,
kepekaan pertumbuhan mikroba uji, ketebalan dan viskositas medium, dan
suhu inkubasi (Volk dan Wheller, 1993). Berdasarkan hal tersebut
diketahui bahwa minyak atsiri temu kunci (Bosenbergia pandurata) pada
konsentrasi 50%, 75%, dan 90% mempunyai aktivitas antibakteri dan
memiliki daya hambat yang baik terhadap Staphylococcus epidermidis dan
Serratia marcescens. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya bahwa minyak atsiri rimpang temu kunci (Boesenbergia
pandurata) juga mempunyai aktivitas antibakteri dan mampu menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Listeria
monocytogenes, Escherichia coli, Salmonella sp., dan Pseudomonas
auriginosa (Miksusanti et al. 2008; Chahyadi et al. 2014; Baharudin et al.
2015).
Uji post hoc Man Whitney antara semua konsentrasi minyak atsiri
dengan kontrol positif amoxicillin pada bakteri Staphylococcus
epidermidis menunjukan hasil berbeda signifikan. Dari hasil tersebut
diketahui bahwa konsentrasi 30%, 50%, dan 75% minyak atsiri temu kunci
memiliki daya antibakteri yang lebih kecil dibandingkan kontrol positif,
dan konsentrasi 90% minyak atsiri temu kunci memiliki daya antibakteri
yang lebih besar dibandingkan kontrol positif.
10
Uji post hoc Man Whitney antara semua konsentrasi minyak atsiri
dengan kontrol positif kloramfenicol pada bakteri Serratia marcescens
menunjukan hasil berbeda signifikan kecuali pada konsentrasi 75%
dimana hasil tidak signifikan. Dari hasil tersebut diketahui bahwa
konsentrasi 30% dan 50% minyak atsiri temu kunci memiliki daya
antibakteri yang lebih kecil dibandingkan kontrol positif; konsentrasi 75%
minyak atsiri temu kunci mempunyai daya anti bakteri yang sama dengan
kontrol positif; dan konsentrasi 90% minyak atsiri temu kunci memiliki
daya antibakteri yang lebih besar dibandingkan kontrol positif.
Ada perbedaan rerata zona hambat yang dihasilkan antara bakteri
Staphylococcus epidermidis sebagai gram positif dan Serratia marcescens
sebagai gram negatif. Rerata diameter zona hambat yang dihasilkan pada
bakteri Serratia marcescens lebih besar dibandingkan bakteri
Staphylococcus epidermidis pada semua konsentrasi. Hal ini mungkin
dikarenakan adanya perbedaan komponen pada dinding sel kedua bakteri
tersebut. Bakteri gram positif memiliki susunan dinding sel yang terdiri
dari 3 lapisan yaitu selaput sitoplasma, lapisan peptidoglikan yang tebal
terdiri dari 30-40 lapisan, simpai dan struktur dinding selnya tersusun
kompak, sedangkan bakteri gram negatif struktur dinding selnya terdiri
dari 1-2 lapisan peptidoglikan, lipoprotein, lipopolisakarida dan susunan
dinding selnya tidak kompak sehingga memiliki permeabilitas yang lebih
tinggi (Brooks, et al., 2013). Dengan permeabilitas yang lebih rendah, zat
aktif yang ada di dalam minyak atsiri akan lebih sulit untuk menembus
membran sel bakteri gram positif dibanding bakteri gram negatif.
Minyak atsiri merupakan metabolit sekunder yang terdiri dari
senyawa-senyawa yang mampu menimbulkan aroma. Komponen utama
minyak atsiri temu kunci adalah monoterpen hidrokarbon (mirsen,
osimen), monoterpen teroksigenasi (kamphor, sineol, linalol, borneol,
terpineol, geraniol), dan turunan fenil propanoat (metil sinamat, fenil
metil propanoat) (Arniputri et al., 2007; Miksusanti et al., 2008;
Baharudin et al., 2015).
11
Pada analisis GC-MS minyak atsiri rimpang temu kunci
(Bosenbergia pandurata) yang telah peneliti lakukan di Laboratorium
Kimia Organik FMIPA UGM menunjukkan bahwa minyak atsiri rimpang
temu kunci mengandung campuran komponen yang bersifat hidrofobik
seperti kamfen, mirsen, osimen, alfa pinen, sabinen, terpinen, fernasen,
dan trisiklin, dan komponen dengan gugus bersifat hidrofilik yaitu
eukaliptol, linalool, borneol, terpineol, geraniol, metil sinamat,
terpinolen, fenil metil propanoat, metil benzo propanoat, asam isobutirat,
betahidroksi androsta, zerumbon, metil heksadekanoat, metil palmitat,
asam heksadekanoat dan farnesol. Komponen mayor dalam minyak atsiri
rimpang temu kunci (Bosenbergia pandurata) terdapat Kamfen (6,84%),
mirsen (1,36%), osimen (40,59%), pinen (10,72%), champor (24,02%),
linaliol (2,3%), geraniol (8,82%), metil benzo propanoat (2,36%).
Aktivitas antibakteri pada minyak atsiri temu kunci merupakan
kontribusi dari semua komponen yang terdapat di dalamnya. Sinergisme
terjadi antara komponen kimia minyak atsiri yang bersifat hidrofilik
dengan komponen yang bersifat hidrofobik. Senyawa yang bersifat
hidrofilik (semipolar) dimana di dalamnya mengandung gugus hidroksil
(alkohol) dapat berinteraksi dengan lipopolisakarida, sedangkan senyawa
hidrofobik (non polar) dapat berinteraksi dengan phospolipid dan
lipoprotein pada membran sel. Komponen hidrofobik tersebut selanjutnya
juga berinteraksi dengan peptidoglikan yang hidrofobik. Kedua proses ini
merusak dan mengganggu permeabilitas dari membran sel bakteri
sehingga terjadi kebocoran material intraseluler dari membran. Senyawa
minyak atsiri yang masuk juga akan berinteraksi dengan komponen-
komponen sel bakteri sehingga kerja normal sel terganggu (Miksusanti et
al., 2008).
12
4. PENUTUP
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah minyak atsiri
rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata) memiliki efek antibakteri
dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis dan
Serratia marcescens. Konsentrasi minyak atsiri 90% merupakan konsentrasi
yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus
epidermidis dan Serratia marcescens.
DAFTAR PUSTAKA
Arniputri, R. B., Sakya, A. T., dan Rahayu, M. 2007. Identifikasi Komponen Utama Minyak Atsiri Temu Kunci (Kaemferia pandurataRoxb.) pada Ketinggian Tempat yang Berbeda. Biodiversitas, 8, pp. 135-7.
Aucken, H. M., dan Pitt, T. L. 1998. Antibiotic resistance and putative virulence factors of Serratia marcescens with respect to O and K serotypes. J. Med. Microbiol., 47, pp. 1105-13.
Baharudin, M. K., Hamid, S. A., dan Susanti, D. 2015. Chemical Composition and Antibacterial Activity of Essential Oils from Three Aromatic Plants of the Zingiberaceae Family in Malaysia. J. Phys. Sci., 26, pp. 71-81.
Becker, D.Sc , C.A. and Brink Jr, PH.D., R.C. Bakhuizen. 1965. Flora of Java (Spermatophytes only) Vol I. Groningen-The Netherlands: Wolters-NoordhoffN.V
Brooks, G. F., Carol, K. C., Buteli, J. S., dan Morse, S. A. 2013. Jawetz, Melnick and Adelberg's Medical Microbiology 26th ed.. U.S.A.: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Caprette, D. R. 2009. Enterobacteriaceae: Serratia marcescens. Avaible From. Rice University http://www.ruf.rice.edu/~bioslabs/bios318/characterization _example.pdf. (diakses 13 Desember 2017)
Chahyadi, A., Hartati, R., Wirasutisna, K. R., dan Elfahmi. 2014. Boesenbergia pandurata Roxb., An Indonesian Medicinal Plant: Phytochemistry, Biological Activity, Plant Biotechnology . Procedia Chem., 13, pp. 13-37.
Das, S., Sheorey, H., Taylor, H., dan Vajpayee, R. 2007. Association between cultures of contact lens and corneal scraping in contact lens related microbial keratitis. Arch. Ophthalmol., 125, pp. 1182-85.
13
del Pozo, J., dan Patel, R. 2007. The challenge of treating biofilm-associated bacterial infections. Clin. Pharmacol. Therapy., 28, pp. 204-9.
Fedrigo, G. V., Campoy, E. M., Venanzio, G. D., Colombo, M. I., & Vescovi, E. G. 2011. Serratia marcescens Is Able to Survive and Proliferate in Autophagic-Like Vacuoles inside Non-Phagocytic Cells. Plos One, 6 (8), pp. 1-15.
Fraser, G., dan Spiteri, G. 2011. Annual epidemiological report. Reporting on 2009 surveillance data and 2010 epidemic intelligence data. Stockholm: European Centre for Disease Prevention and Control.
Geonadi, F. A., Fitria, M., Ayu, D. P., Sulistyorini, E., dan Asyiah, N. 2014. Temu Kunci (Boesenbergia pandurata). Available From. http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?page_id=166. (diakses 2 September 2017).
Guntur, A. H.. 2007. The Role of Cefepime : Empirical Treatment in Critical Treatment In Critical Illnes. Dexa Media, 20, pp. 59-62.
Hejazi, A., dan Falkiner, F. R. 1997. Serratia marcescens. J. Med. Microbiol., 46, pp. 903-12.
Hertle, R. 2005. The family of Serratia type pore forming toxin. Current Protein and Peptide Science, 6, pp. 313-25.
Hopkins S., Shaw. K. Simpson L.. 2012. English national point prevalence survey on healthcare-associated infections and antimicrobial use. London: Health Protection Agency.
Iguchi, A., Nagaya, Y., Pradel, E., Ooka, T., Ogura, Y., Katsura, K., et al.,. 2014. Genome Evolution and Plasticity of Serratia marcescens, an Important Multidrug-Resistant Nosocomial Pathogen. Genome Biol. Evol., 6, pp. 2096-110.
Interagency Taxonomic Information System (ITIS). Serratia marcescens. Available From. https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt; jsessionid=8A178DCCD092F5FCB13A45D69A0F7D80?search_topic=TSN&search_value=958620# (diakses 10 Desember 2017).
Jones, R. 2010. Microbial etiologies of hospital-acquired bacterial pneumonia and ventilator-associated bacterial pneumonia. Clin Infect Dis, 51, pp. 81-7.
Kawecki, D., Kwiatkowski, Sawicka-Grzelak, A., Durlik, M., Paczek, L., Chmura, A., et al. 2011. Urinary tract infections in the early posttransplant
14
period after kidney transplantation: etiologic agents and their susceptibility. Transplant Proc, 43, pp. 2991-3.
Khanna, A., Khanna, M., dan Aggarwal, A. 2013. Serratia Marcescens - A Rare Opportunistic Nosocomial Pathogen and Measures to Limit its Spread in Hospitalized Patients. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 7, pp. 243-6.
Kusmiyati, dan Agustini, N. W. 2006. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari Mikroalga Porphyridium cruentum. BIODIVERSITAS, pp 48-53
Lin, C. S., Horng, J. T., Yang, C. H., Tsai, Y. H., Su, L. H., Wei, C. F., et al.,. 2010. RssAB-FlhDC-ShlBA as a major pathogenesis pathway in Serratia marcescens. Infection and Immunity, 78, pp. 4870-81.
Marliyana, S. D., Syah, Y. M., dan Mujahidin, D. 2017. Aktivitas antibakteri secara in vitro terhadap bakteri isolat klinis turunan calkon dari rimpang Kaempferia pandurata. ALCHEMY Jurnal Penelitian Kimia, 13, pp. 41-51.
Matsushita, K., Uchiyama, J., Kato, S.-i., Ujihara, T., Hoshiba, H., Sugihara, S., et al. 2008. Morphological and genetic analysis of three bacteriophages of Serratia marcescens isolated from environmental water. FEMS Microbiol Lett, 291(2009), pp. 201-8.
Me´ric, G., Miragaia, M., Been, M. d., Yahara, K., Pascoe, B., Mageiros, L., et al.,. 2015. Ecological Overlap and Horizontal Gene Transfer in Staphylococcus aureus and Staphylococcus epidermidis. Genom Biol. Evol., 7, pp. 1313-28.
Merkier, A., Rodriguez, M., Togneri , A., Brengi, S., Osuna, C., Pichel, M., et al. 2013. Serratia marcescens Argentinean Collaborative Group, Centrón D. Outbreak of a cluster with epidemic behavior due to Serratia marcescens after colistin administration in a hospital setting. J Clin Microbiol, 51, pp. 2295-302.
Miksusanti, Jennie, B. S., Ponco, B., dan Trimulyadi, G. 2008. Kerusakan dinding sel Escherichia coli oleh minyak atsiri temu kunci (Kaempferia pandurata). Berita Biologi, 9, pp. 1-8.
Otto, M. 2009. Staphylococcus epidermidis – the “accidental” pathogen. Nat Rev Microbiol, 7, pp. 555-67.
Pratiwi, S. T. 2011. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
15
Ray, C., Shenoy, A. T., Orihuela, C. J., & Gonzalez-Juarbe, N. 2017. Killing of Serratia marcescens biofilm with chloramphenicol. Ann Clin Microbiol Antimicrob, 16, pp. 1-6.
Sader, H., Farrell, D., Flamm, R., dan Jones R. N.. 2014. Antimicobial susceptibility of Gram-negative organism isolated from patients hospitalized in intensive care unit in United States and European hospitals (2009-2011). Diagnostic Microbiology and Infectious Disease, 78, pp. 443-8.
Samonis, G., Vouloumanou , E., Chistofaki, M., Dimopoulou, D., Maraki , S., Triantafyllou, E., et al.,. 2011. Serratia infections in a general hospital: characteristics and outcomes. Eur J Clin Microbiol Infect Dis, 30, pp. 653-60.
Soedarto. 2016. Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Stock, I., Grueger, T., dan B, W. 2003. Natural antibiotic susceptibility of strains of Serratia marcescens and the S. liquefaciens complex: S. liquefaciens sensustricto, S. proteamaculans and S. grimesii. Int J Antimicrob Agent, 22, pp. 35-47.
Syahrurachman, A., Chatim, A., Soebandrio, A., dan Kurniawati, A. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.
Tjitrosoepomo, G. 2007. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta: UGM Press.Zuhriah, E., Sennang, N., dan ER, D. 2012. Bakteri aerob dan uji kepekaan antimikroba. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 9, pp. 5-8.
Volk, W. A., dan Wheeler, M. F. 1993. Mikrobiologi Dasar. Jakarta: Erlangga
Recommended