View
35
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
Status Ekosistem Terumbu Karang
Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan
2018
Karizma Fahlevy
Indra Sundara Alhusna
Dwi Atmaja Margiono
M. Abdul Lathif Al-Anshary
Status Ekosistem Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan, 2018.
Indocarbon Nusantara, 2018
Komposisi dan Layout : Karizma Fahlevy dan M. Abdul Lathif
Peta : Karizma Fahlevy
Foto : Karizma Fahlevy dan Indra Sundara
Atas dukungan :
Kata Pengantar
Puji syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmatnya kami dapat
menyelesaikan laporan berjudul ‘Status Ekosistem Terumbu Karang di Daerah Perlindungan
Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan’ ini. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat menjadi
masukan kepada para pengelola dan pihak terkait dalam melakukan upaya pengelolaan
daerah perlindungan laut setempat. Laporan kajian ini berisi informasi mengenai kondisi dan
status ekosistem terumbu karang yang berada di Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi,
Lampung Selatan. Pada laporan ini difokuskan pembahasan mengenai komunitas terumbu
karang dan ikan terumbu serta keterkaitan antara ikan terumbu dengan terumbu karang yang
terdapat di ekosistem terumbu karang.
Semoga kajian ini bermanfaat bagi berbagai pihak, terutama pihak pengelola kawasan. Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam kajian ini, juga dalam penyusunan
laporan ini. Oleh karena itu, setiap masukan dan saran bagi kemajuan dan kebaikan isi
laporan ini sangat kami hargai.
Bogor, Mei 2018
Daftar Isi
Pendahuluan 2
Metode Penelitian 7
Hasil & Pembahasan 11
Kesimpulan 28
Implementasi Program
Konservasi 29
Daftar Pustaka 35
Daftar Gambar
Gambar 1. Lokasi pengamatan di daerah perlindungan laut Pulau Sebesi 7
Gambar 2. Rekrutmen karang keras di DPL Pulau Umang 11
Gambar 3. Tren (kecenderungan) peningkatan persentase tutupan karang keras (HC) dari
tahun 2007 ke 2018 di stasiun DPL Pulau Sebesi. 12
Gambar 4. Nilai indeks mortalitas karang (IMK) di DPL Pulau Sebesi. 14
Gambar 5. Karang Acropora dengan bentuk pertumbuhan bercabang (Acropora branching) 15
Gambar 6. Genus karang Echinopora di DPL Sianas 16
Gambar 7. Kelimpahan ikan terumbu pada tahun 2007 (Alimudin 2008) dan 2018 17
Gambar 8. Tren (kecenderungan) peningkatan kelimpahan ikan terumbu dari tahun 2007 ke
2018 di stasiun DPL Pulau Sebesi. 18
Gambar 9. Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) ikan
terumbu 19
Gambar 10. Persentase kelimpahan trofik level ikan terumbu 20
Gambar 11. Pomacentrus mollucensis merupakan ikan dari kelompok trofik omnivora 21
Gambar 12. Biomassa (kg/ha) ikan terumbu pada masing-masing DPL Sebesi 21
Gambar 13. Jenis ikan dengan selang kelas ukuran 0-5 dan 5-10 cm 22
Gambar 14. Biomassa (kg/ha) ikan terumbu berdasarkan selang kelas ukuran (cm) 22
Gambar 15. Persentase biomassa (kg/ha) ikan terumbu berdasarkan tipe pemanfaatan 23
Gambar 16. Hubungan linear antara tutupan karang keras (%) dengan kelimpahan ikan
terumbu (Ind/ha) 24
Gambar 17. Ikan terumbu yang hidup di sekitar terumbu karang d DPL Pulau Umang 25
Gambar 18. MoU kerja sama pengelolaan kawasan konservasi Daerah Perlindungan Laut
dengan lembaga masyarakat BP DPL 30
Gambar 19. Partisipasi pemerintah (Loka PSPL Serang) dalam melaksanakan pemantauan
ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi 31
Gambar 20. Persiapan plot transek yang mewakili populasi DPL Sebesi 32
Gambar 21. Pencatatan substrat dasar 32
Gambar 21. Monitoring keanekaragaman hayati laut bersama masyarakat 33
Gambar 22. Transplantasi terumbu karang bersama masyarakat 33
Gambar 23. Fish Agregation Device 34
Gambar 24. Pelaksanaan pemasangan FAD 34
Gambar 25. Patroli pengamanan kawasan konservasi laut 35
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Terumbu karang sebagai ekosistem esensial di perairan laut mempunyai peran
penting bagi kelangsungan hidup biota laut seperti ikan dan biota lainnya (Oktarina et
al. 2014). Terumbu karang juga merupakan komponen pelindung pantai dari arus,
terpaan ombak, dan gelombang (Thamrin 2006; Estradivari et al. 2009). Peranan
biofisik ekosistem terumbu karang sangat beragam, di antaranya sebagai tempat
tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi
beragam biota laut, termasuk salah satu di dalamnya adalah ikan terumbu (Mardasin
et al. 2011). Komunitas ikan terumbu dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu
karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah, dengan keanekaragaman spesies
sebanding dengan keanekaragaman spesies karang keras (Rembet et al. 2011).
Ikan Terumbu merupakan ikan yang hidup pada daerah terumbu karang sejak
juvenil sampai dewasa, ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu karang karena
tersedianya makanan dan tempat perlindungan (Madduppa 2014). Berdasarkan
kelompok kategori fungsionalnya ikan terumbu dikelompokkan ke dalam 3 kelompok
yaitu ikan target, ikan mayor, dan ikan indikator (Giyanto et al. 2014). Keberadaan
terumbu karang sangat penting bagi keberlangsungan hidup ikan terumbu (Madduppa
et al. 2012b; Madduppa 2014). Selain keberadaan terumbu karang, ketersediaan
makanan juga berperan penting bagi komunitas ikan terumbu (Fahlevy et al. 2017b).
Subhan et al. (2011) menjelaskan bahwa kondisi terumbu karang sudah semakin
terdegradasi. Daerah Perlindungan Laut (DPL) merupakan salah satu upaya
pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang efektif untuk di kembangkan, yaitu
mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan bagi
ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang biak dengan baik.
Ekosistem terumbu karang berperan 25 % sebagai tempat tinggal dari seluruh biota
laut dan merupakan ekosistem yang rapuh dan mudah punah (KEPMEN LH No.4
2001).
PT PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Tarahan atau yang biasa disebut PLTU
Tarahan merupakan unit pembangkit listrik tenaga uap berkapasitas 2 x 100 MW
dengan bahan bakar batu bara terletak di Desa Rangai Tri Tunggal, Kabupaten
Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Sebagai wujud komitmen PLTU Tarahan untuk
terlibat dalam perlindungan keanekaragaman hayati, maka PLTU Tarahan bekerja
sama dengan Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi untuk
menguatkan program-program perlindungan ekosistem terumbu karang di pulau
tersebut.
3
Terumbu Karang di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.466 pulau dengan
luas perairan 3.257.483 km2 (Giyanto et al. 2017). Berdasarkan kebijakan satu peta
(one map policy) dalam UU No.4 tahun 2011, mengatakan bahwa luas terumbu
karang di Indonesia adalah sekitar 2,5 juta hektar berdasarkan analisis dari citra
satelit. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Giyanto et al. (2017),
Secara umum dari 1064 stasiun kondisi terumbu karang yang dalam kondisi sangat
baik sebesar 6,39%, kondisi baik sebesar 23,40%, kondisi cukup sebesar 35,06% dan
kondisi buruk sebesar 35.15% di 108 lokasi yang menyebar di seluruh perairan
Indonesia. Kondisi perairan dan lingkungan dari setiap wilayah Indonesia yang
berbeda, menjadi salah satu alasan dari perbedaan kondisi terumbu karang di
Indonesia.
Kabupaten Lampung merupakan salah satu lokasi dengan tingkat penduduk
yang meningkat pesat. Pulau Sebesi merupakan salah satu Pulau yang terletak di
Teluk Lampung berdekatan dengan Gunung Krakatau (Pemda Provinsi Lampung
2000). Pulau Sebesi juga merupakan satu-satunya pulau yang berpenduduk di
kawasan Gunung Krakatau. Pulau dengan luas kurang lebih 2620 Ha dengan panjang
garis pantai 9,55 Km (Johan 2016). Peningkatan jumlah penduduk dapat memberikan
ancaman dan kelemahan terhadap sumber daya alam khususnya ekosistem pesisir.
Salah satu upaya untuk mencegah penurunan ekosistem terumbu karang adalah
dengan membangun kawasan konservasi perairan atau Daerah Perlindungan Laut
(DPL) (Noble et al. 2013). Pulau Sebesi memiliki DPL yang merupakan daerah
tertutup bagi aktivitas pemanfaatan yang ekstraktif (Wiryawan et al. 2002). DPL
dibentuk untuk memperbaiki dan menjaga ekosistem laut yang terdegradasi (Alva et
al. 2015). DPL merupakan salah satu bagian dari kawasan konservasi perairan yang
berfungsi sebagai area perlindungan laut (Syarif 2009). Kawasan konservasi
ditetapkan sebagai daerah yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk
mewujudkan pengelolaan sumber daya perikanan dan lingkungan secara
berkelanjutan (PERMENKPRI No. 2 2009). Dengan membatasi atau mencegah
kegiatan yang memanfaatkan ekosistem laut, DPL cukup efektif memperbaiki dan
mengembalikan ekosistem pesisir (Halpem 2003).
Kebijakan Pengelolaan ekosistem terumbu karang
Berbagai faktor telah menyebabkan kerusakan dan kematian pada ekosistem
terumbu karang di daerah tropis (Bruno dan Selig 2007). Kerusakan terumbu karang
tersebut berdampak pada menurunnya kelimpahan ikan terumbu pada perairan
tersebut (Jones et al. 2004). Menurut KEPMENLH no.4 (2001) beberapa hal yang
menyebabkan kerusakan terumbu karang adalah sedimentasi, penangkapan
menggunakan bahan peledak, aliran drainase, penangkapan ikan dengan sianida,
pengumpulan dan pengerukan, pencemaran air, pengelolaan tempat rekreasi yang
tidak efektif, dan pemanasan global. Selain hal tersebut penyakit karang (Subhan et
al. 2011), aktivitas kapal (Dinsdale dan Harriot 2004), dan penambangan karang
(Hariri 2012) juga menjadi penyebab rusaknya terumbu karang. Kerusakan terumbu
4
karang paling banyak disebabkan oleh faktor manusia, oleh karena itu diperlukan
peraturan tentang pengelolaan terumbu karang (Tabel 1.), sebagai berikut :
Tabel 1. Peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan terumbu karang
No Jenis Peraturan Unsur Kajian
1 Undang-Undang
(UU)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
2 Peraturan
Pemerintah (PP) Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007
Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
3 Peraturan Menteri
(PERMEN)
Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : Kep.38/Men/2004
Tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.17/Men/2008
Tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/Men/2009
Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.03/Men/2010
Tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis kan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.04/Men/2010
Tentang Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan .
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.30/Men/2010
Tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.59/Men/2011
Tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Jenis Ikan Terumbu (Tenualosa Macrura)
4 Peraturan Daerah
Peraturan Daerah berdasarkan kebijakan kabupaten dan Provinsi
Pengelolaan terumbu karang
Pengendalian dan pengelolaan kerusakan terumbu karang sangat diperlukan
untuk menjaga kelestarian ekosistem yang bermanfaat bagi masyarakat pesisir.
Pencegahan dan penanggulangan kerusakan ekosistem terumbu karang di
5
kemukakan berdasarkan Menteri Lingkungan Hidup No.4 Tahun 2001 (Tabel 1.),
sebagai berikut :
Tabel 1. Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang
No Strategi pencegahan dan penanggulangan Unsur
1. Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat
Upaya untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya peran terumbu karang dan mengajak untuk berperan serta aktif dan bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan terumbu karang secara lestari, seperti mengingatkan kesadaran mereka akan peranan penting terumbu karang seperti sebagai tempat pengembangan wisata bahari, bahan baku obat-obatan kosmetika, bahan makanan dan lain-lain. Penting juga untuk menanamkan arti dan manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir sejak masa kanak-kanak.
2. Pengelolaan Berbasis Masyarakat.
a. Membina masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif seperti budidaya, pemandu wisata dan usaha kerajinan tangan yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Pembinaan ini disertai dengan bantuan pendanaan yang disalurkan melalui berbagai sistem yang telah ada dan tidak membebani masyarakat. b. Menerapkan pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara lestari.
3. Kelembagaan
a. Memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan, aparat keamanan, pemanfaatan sumber daya dan pemerhati lingkungan.
b. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan dan teknik rehabilitasi terumbu karang.
4. Penelitian, Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan kegiatan masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan terumbu karang . Dalam kaitan ini akan dibentuk sistem jaringan pemantauan dan informasi terumbu karang dengan membangun simpul-simpul di beberapa provinsi. Kegiatan ini akan diawasi langsung oleh LIPI yang telah memiliki stasiun-stasiun di beberapa tempat, seperti : Biak, Ambon dan Lombok.
6
5. Penegakan hukum
Komponen ini dipandang sangat penting sebagai salah satu komponen kunci yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai tujuan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Masyarakat memegang peranan penting dalam mencapai tujuan komponen penegakan hukum. Salah satu peranan masyarakat dalam pengamanan terumbu karang secara langsung adalah sebagai pengamat terumbu karang atau reef watcher, di mana mereka berkewajiban meneruskan informasi kepada penegak hukum mengenai pelanggaran yang merusak terumbu karang di daerahnya.
Salah satu upaya untuk pencegahan dan penanggulangan dari strategi
tersebut adalah penelitian, monitoring, dan evaluasi. Penelitian ekosistem terumbu
karang di DPL Pulau Sebesi dibutuhkan untuk mendapatkan baseline data sebagai
acuan dasar dengan harapan dari hasilnya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi
instansi pemerintah, perusahaan, LSM, akademisi dan kelompok masyarakat dalam
memanfaatkan dan mengelola kawasan laut sebagai sumber kehidupan. Penelitian,
monitoring, dan evaluasi yang dilaksanakan secara rutin dalam jangka waktu yang
telah ditentukan akan sangat dibutuhkan dalam pengelolaan di mana hasil dari
pemantauan tersebut akan dibandingkan dengan data dari baseline.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas terumbu karang
dan ikan terumbu serta menilai status kondisi tutupan terumbu karang di Daerah
Perlindungan Laut (DPL) Pulau Sebesi, Lampung Selatan.
7
BAB 2
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Pulau Sebesi, Lampung sebanyak 4
stasiun pengamatan yaitu DPL Kayu Duri, Pulau Umang, Gosong Sawo, dan Sianas
(Gambar 1) pada tanggal 20 – 21 April 2018.
Gambar 1. Lokasi pengamatan di daerah perlindungan laut Pulau Sebesi
8
Bahan dan Alat
Peralatan yang digunakan adalah peralatan selam (SCUBA), alat tulis bawah
air, kamera bawah air dan meteran tali (roll meter).
Metode
Pengamatan ikan dan karang dilakukan pada kedalaman 2-10 m dengan
transek yang dibentangkan sejajar garis pantai. Metode pengamatan tutupan karang
hidup menggunakan Line Intercept Transect (LIT) dengan prinsip pencatatan substrat
dasar yang menyinggung transek (English et al.1994). Pencatatan jenis substrat
dilakukan berdasarkan kategori bentuk pertumbuhan (lifeform) karang dan genus
karang. Untuk jenis biota lainnya dimasukkan berdasarkan kategori: karang lunak (soft
coral), alga, spons (sponge), pasir, patahan karang (rubble) dan lain-lain (others).
Pengamatan dilakukan dengan transek sepanjang 50 m.
Pengamatan ikan terumbu menggunakan metode Underwater Visual Census
(Hill dan Wilkinson 2004) yang dilakukan bersamaan dengan setiap transek LIT. Saat
melakukan pengamatan, pengamat menunggu selama 5 sampai 10 menit sebelum
memulai pengamatan sepanjang transek untuk memungkinkan ikan melanjutkan
aktivitas normal mereka (Halford dan Thompson 1994). Pengamat hanya mencatat
individu ikan dalam 2,5 m di kedua sisi dan 5 m di atas sepanjang transek. Setiap
individu ikan dicatat hingga tingkat spesies.
Analisis Data
Terumbu Karang
Analisis data karang meliputi persen penutupan (percent cover) dan indeks
mortalitas karang (IMK). Percent cover digunakan untuk menduga kondisi terumbu
karang pada suatu lingkungan perairan (Setyawan et al. 2011). Persen penutupan
karang hidup menurut English et al. (1997) dapat dihitung dengan rumus:
Percent Cover = Total Panjang setiap Kategori(cm)
Panjang Transek Garis (cm) x 100%
Kondisi terumbu karang dinilai dengan mengikuti kriteria baku kerusakan
terumbu karang yang dikemukakan Menteri Lingkungan Hidup No.Kep-
04/MENLH/02/2001, sebagai berikut :
Tabel 3. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
Kategori Tutupan Karang Hidup Persentase Tutupan Karang Hidup
Buruk 0% - 24,9%
Sedang 25% - 49,9%
Baik 50% - 74,9%
Sangat baik 75% - 100%
9
Indeks mortalitas karang (IMK) digunakan untuk menghitung tingkat kematian
karang pada masing-masing daerah penelitian yang menunjukkan adanya perubahan
dari karang hidup ke karang mati. Indeks mortalitas memiliki kisaran antara 0-1. Indeks
mortalitas karang yang bernilai mendekati angka nol mengindikasikan perubahan
karang hidup menjadi karang mati sedikit. Sedangkan apabila nilai indeksnya
mendekati angka satu, maka mengindikasikan terjadi kematian yang sangat signifikan
pada karang hidup. Rasio kematian karang dapat diketahui melalui indeks kematian
karang dengan perhitungan menurut English et al. (1997):
IMK = 𝐀
𝐀+𝐁
Keterangan :
IMK = Indeks mortalitas karang,
A = Persentase karang mati,
B = Persentase karang keras yang hidup.
Ikan Terumbu
Kelimpahan Ikan Terumbu
Kelimpahan ikan terumbu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Odum 1971):
𝑫 =𝑵𝒊
𝑨 X 10000
Keterangan :
D = Kelimpahan (ind/ha),
Ni = Jumlah individu,
A = Luas area pengamatan (hektar)
Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan banyak atau
tidaknya jenis individu dalam suatu komunitas. Rumus menghitung Indeks
Keanekaragaman (H’) menurut Odum (1971):
𝐇′ = ∑ 𝐏𝐢 𝐋𝐧 𝐏𝐢
𝐍
𝐢=𝟎
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman jenis
Pi = Perbandingan jumlah individu jenis ke-i (Ni) dengan jumlah total individu (N)
Ni = Jumlah individu jenis ke-i
10
N = Jumlah total individu
I = 1,2,3,…,n
Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman adalah indeks yang menunjukkan distribusi jumlah individu
dalam setiap spesies yang ada. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks
keseragaman (E) yang dikemukakan oleh Odum (1971) adalah sebagai berikut :
𝐄 = 𝐇′
𝐇′ 𝐦𝐚𝐤𝐬
Keterangan :
E = Indeks Keseragaman
H’ = Indeks Keanekaragaman
H max = Ln S
S = Jumlah Spesies
Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi adalah indeks yang menunjukkan dominansi suatu spesies
terhadap spesies lainnya. Nilai indeks keseragaman dan keanekaragaman yang kecil
menandakan adanya dominansi yang tinggi suatu spesies terhadap spesies-spesies
lainnya. Rumus indeks dominansi Simpson sebagai berikut (Odum 1971):
C = ∑ 𝒑𝒊𝟐𝒏𝒊=𝟏
Keterangan :
C = Indeks Dominansi
pi = Proporsi jumlah individu pada spesies ikan karang
i = 1, 2, 3, …, n
Biomassa Ikan Terumbu
Menghitung biomassa ikan terumbu dapat dilakukan dengan cara mencari nilai
indeks spesifik spesies dan nilai tengah (mean) dari ukuran ikan. Menurut Effendi
(1997) untuk menentukan biomassa menggunakan persamaan rumus sebagai berikut
:
W = a . Lb
Keterangan :
L = Nilai tengah dari panjang ikan W = Berat (kg)
a, b = Nilai indeks spesifik spesies dari fishbase
11
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
STRUKTUR KOMUNITAS TERUMBU KARANG
Tutupan substrat dasar terumbu karang
Secara umum kondisi substrat didominasi oleh karang keras (hard coral).
Tutupan karang keras yang memiliki nilai tertinggi dari semua stasiun pengamatan
berada di DPL Pulau Umang yang mencapai 82,34% (Tabel 4.). DPL Sianas
menempati urutan kedua dengan persentase mencapai 79,66% sedangkan Kondisi
ekstrem di mana ditemukan hanya 14.96% penutupan karang keras ditemukan di DPL
Kayu Duri. Pada lokasi ini, komponen substrat yang mendominasi adalah hamparan
patahan karang (rubble) yang termasuk ke dalam kategori abiotik (Tabel 5.). Saat
pengamatan, ditemukan beberapa rekrutmen karang yang mulai tumbuh di stasiun
DPL (Gambar 2). Rekrutmen karang adalah masuknya individu karang baru ke
populasi terumbu karang (Prasetia 2012). Menurut Mumby et al. (2007) DPL
memberikan fasilitas bagi rekrutmen karang untuk bertahan hidup. Rekrutmen karang
merupakan bagian penting untuk proses perkembangan dalam suatu ekosistem
terumbu karang. Kondisi terumbu karang pada mayoritas lokasi survei terbilang baik
(Tabel 3.), dominasi karang keras ditemui di tiga lokasi dari empat lokasi DPL. DPL
merupakan suatu alat utama untuk mengelola suatu ekosistem (Noble et al. 2013).
Namun perlindungan dari DPL belum tentu menghasilkan efek positif pada penutupan
karang (Selig dan Bruno 2010). Pengawasan masyarakat lokal sangat penting bagi
pengelolaan DPL (Graham et al. 2008). Salah satu fungsi dari DPL adalah menjadi
tempat perlindungan bagi biota karang dan asosiasinya.
Gambar 2. Rekrutmen karang keras di DPL Pulau Umang
12
Berdasarkan pengamatan di lapang, DPL kayu duri terletak di daerah dengan
celah antara dua pulau yaitu Pulau Sebesi dan Sebuku. Kerusakan terumbu karang
di lokasi dapat disebabkan oleh arus dan gelombang yang kencang. Saat survei,
lokasi Kayu Duri merupakan daerah dengan kondisi dasar perairan yang datar (flat),
menurut Lowe et al. (2009) kecepatan gelombang dan arus meningkat secara linear
dengan tinggi gelombang pada daerah reef flat. Hal tersebut berdampak kepada
keberadaan terumbu karang di sekitar lokasi. Patahan karang biasa ditemukan pada
perairan terumbu karang dangkal (Tanzil et al. 2004). Penyebab dari patahan karang
sulit diidentifikasi, hal tersebut dapat disebabkan oleh hasil penggunaan bom ikan atau
kondisi fisika perairan seperti badai (Waheed et al. 2015). Patahan karang merupakan
bentuk umum dari karang rusak yang telah terdegradasi yang dapat disebabkan oleh
faktor alami maupun faktor manusia (Clark dan Edwards 1995). Tingginya nilai abiotik
di DPL Kayu Duri juga dapat disebabkan oleh tingginya sedimentasi di perairan
tersebut. Menurut Erftemeijer et al (2012) persen tutupan dan keanekaragaman
karang dapat berkurang secara signifikan pada wilayah dengan masukan sedimen
batuan dan daerah limpasan sungai.
Tabel 4. Persentase tutupan karang keras (HC) tahun 2008 dan 2018 di stasiun DPL
Pulau Sebesi
Stasiun DPL 2007* 2016** 2018*** Kategori
Gosong Sawo 39,56 51,73 57,10 Sedang - Baik
Kayu Duri 6,88 50.12 14,96 Buruk – Sedang
Pulau Umang 15,8 82,30 82,34 Buruk - Sangat Baik
Sianas 39,84 65,52 79,66 Buruk - Sangat Baik Keterangan : *Alimudin (2008), ** Yar Johan (2016) ***Penelitian saat ini
Gambar 3. Tren (kecenderungan) peningkatan persentase tutupan karang keras
(HC) dari tahun 2007 ke 2018 di stasiun DPL Pulau Sebesi.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2007 2016 2018
Gosong Sawo
Kayu Duri
Pulau Umang
Sianas
Per
sen
tase
Tu
tup
an K
aran
g K
eras
(%
)
13
Tutupan karang keras yang tinggi di DPL Sianas, Pulau Umang, ini dapat
disebabkan rendahnya tutupan makro alga. Nilai Alga tertinggi terletak di DPL Gosong
Sawo dan Kayu Duri (Tabel 4.). Kematian karang akibat tutupan alga yang tergolong
rendah juga menjadi salah faktor karang keras dapat tumbuh dengan baik.. Sebagian
makro alga dapat secara aktif menyerang jaringan karang di dalam kompetisi
memperebutkan ruang. Menurut Lirman (2001), laju kehidupan koloni karang dapat
tumbuh rendah dengan adanya makro alga yang tumbuh di dekatnya. Pada awalnya
McCook (2001) meragukan apakah makro alga dapat menyerang karang secara
agresif, atau hanya sekedar menutupi karang dari cahaya matahari.
Dari kajian pustaka hingga tahun 2001 tersebut, makro alga dianggap tidak
dapat menyebabkan kematian karang melainkan secara tidak langsung menurunkan
kemampuan hidup karang. Kecepatan tumbuh makro alga yang dapat memberikan
dampak negatif terhadap komunitas karang dianggap hanya muncul jika terjadi kondisi
nutrien tinggi. Pengaruh utama nutrien organik terhadap lingkungan laut adalah
penurunan oksigen (Mukhtasor 2006). Menurut Thamrin (2006) organisme yang
pertama kali hadir pada skeleton karang yang mati bukan dari kelompok karang,
melainkan dari kelompok algae. Kelompok mikro-algae biasanya akan hadir pada
skeleton karang yang telah mati sekitar dua hari setelah tissue terpisah dari
skeletonnya.
Tabel 5. Persentase tutupan substrat dasar di stasiun DPL Pulau Sebesi
Stasiun DPL Abiotik
(%)
Algae
(%)
DCA
(%)
SC
(%)
SP
(%)
OT
(%)
Gosong
Sawo 19,26 10,96 12,18 0,00 0,26 0,24
Kayu Duri 71,92 9,18 3,94 0,00 0,00 0,00
Pulau Umang 7,80 2,88 6,12 0,86 0,00 0,00
Sianas 6,00 3,96 10,38 0,00 0,00 0,00
Nilai IMK yang didapatkan dari setiap stasiun DPL, mendapatkan hasil dengan
kisaran 0,13–0,79 (Gambar 4.). Nilai IMK tertinggi terletak pada DPL Kayu Duri (0,79)
sedangkan nilai IMK terendah terletak di DPL Pulau Umang (0,13). Nilai IMK yang
mendekati angka 1 mengindikasikan karang hidup mengalami kematian yang sangat
signifikan. Menurut Gomez dan Yap (1994), nilai mortalitas yang tinggi menunjukkan
kondisi karang keras sudah mendapat tekanan yang cukup besar. Hal tersebut dapat
mengindikasikan bahwa di DPL Kayu Duri mendapatkan tekanan yang besar. Banyak
hal yang mempengaruhi tingkat kematian karang keras. Sedimentasi merupakan
salah satu penyebab major rusaknya terumbu karang (Burke et al. 2002). Selain
sedimentasi, penyakit karang (Subhan et al. 2011), pemutihan karang (McClanahan
2004), aktivitas manusia (Riegl et al. 2012). pertumbuhan alga, dan sponge (Nugues
dan roberts 2002) juga menjadi beberapa hal yang menyebabkan kematian pada
karang.
14
Gambar 4. Nilai indeks mortalitas karang (IMK) di DPL Pulau Sebesi.
Persentase bentuk pertumbuhan (life form) karang keras
Bentuk pertumbuhan karang atau lifeform yang ditemukan di seluruh stasiun
penyelaman cukup beragam. Dari seluruh stasiun DPL, bentuk pertumbuhan ACT
(Acropora tabulate) di Pulau Umang (49,82%), ACB (Acropora branching) di Gosong
Sawo, dan CF (Coral foliose) di DPL Sianas memiliki persentase tertinggi daripada
bentuk pertumbuhan lainnya (Tabel 6.). Meskipun bentuk pertumbuhan bercabang
(branching), dan lembaran (foliose) memiliki tingkat ketahanan yang lebih rendah
daripada karang dengan bentuk pertumbuhan massive (Piquero et al. 2015), menurut
Graham et al. (2014) karang bercabang , dan lembaran memiliki tingkat pertumbuhan
yang cepat. Bentuk pertumbuhan karang dapat disebabkan oleh kondisi fisika dan
faktor alami lingkungan (Saptarini et al. 2017). Perbedaan kedalaman dan karakteristik
lokasi juga dapat mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang keras (Fahlevy et al.
2017a). Kondisi arus yang kuat dan keberadaan predator dapat mempengaruhi
pertumbuhan karang bercabang (Lenihan et al. 2015).
Bentuk pertumbuhan karang dapat dijadikan sebuah indikator dalam penilaian
kondisi lingkungan perairan terumbu karang (Guzman et al. 1994). Namun, hal
tersebut berbeda bagi karang dengan pertumbuhan karang massive. Tingkat
ketahanan karang yang kuat dari bentuk pertumbuhan karang massive, menjadikan
karang tersebut sebagai indikator yang buruk untuk menilai apakah suatu daerah
mengalami eutrofikasi dan sedimentasi, karena keberadaan karang massive pada
lingkungan yang tercemar dan tidak tercemar tidak terlalu berbeda signifikan (Edinger
et al. 2000). Karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang sering dijadikan lokasi
bagi ikan terumbu untuk berlindung dan mencari makan. Beberapa spesies ikan
terumbu memiliki ketergantungan hidup dengan bentuk pertumbuhan karang.
0,36
0,79
0,130,17
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
Gosong Sawo Kayu Duri Pulau Umang Sianas
Ind
eks M
ort
alita
s K
ara
ng
Stasiun DPL
15
Gambar 5. Karang Acropora dengan bentuk pertumbuhan bercabang (Acropora branching)
Tabel 6. Bentuk pertumbuhan (life form) karang di stasiun DPL Pulau Sebesi
Life Form Gosong Sawo (%)
Kayu Duri (%)
Pulau Umang (%)
Sianas (%)
ACB 49,24 1,86 22,72 4,5
ACD 0,24 2,36 0 0,22
ACT 0 1,74 49,82 0
CB 5,52 2,18 2,22 1,2
CE 0 0,9 0,8 0
CF 1,16 0 1,3 73,74
CHE 0 0 3,68 0
CM 0 5,58 1,52 0
CM 0 0,34 0 0
CMR 0,94 0 0 0
CS 0 0 0,28 0
Persentase genera karang keras
Terdapat sepuluh genera karang keras yang ditemukan sepanjang transek
pengamatan. Genus karang Acropora dan Montipora selalu ditemukan di empat
stasiun DPL. Genus karang Acropora memiliki persentase tertinggi di Gosong Sawo
(49,48%), Kayu Duri (5,96%), dan Pulau Umang (72,54%), sedangkan di stasiun DPL
Sianas persentase genus tertinggi adalah Echinopora (73,36%), seperti yang
dijelaskan pada Tabel 7. Genus Acropora merupakan salah satu genus karang yang
dominan di perairan Indonesia (Suharsono 2008). Acropora memiliki dua jenis koralit
16
yaitu koralit dengan pertumbuhan ke arah atas atau aksial, dan koralit dengan
pertumbuhan ke arah samping atau radial (Subhan et al. 2016). Karang dengan genus
Acropora dan Montipora merupakan genus yang kurang resisten terhadap perubahan
suhu lingkungan (McClanahan et al. 2007). Selain rentan terhadap tekanan, Acropora
juga menjadi tempat bagi ikan-ikan herbivora untuk mencari makan. Pada spesies
ikan tertentu seperti jenis ikan Dischistodus sp. memiliki karakteristik saat mencari
makan yaitu dengan menggigit koloni karang Acropora bercabang sampai mati,
karang Acropora yang mati akan ditumbuhi oleh alga dan menjadi lokasi ikan tersebut
untuk makan (Beeden et al. 2008).
Tabel 7. Genera karang keras di stasiun DPL Pulau Sebesi
Genera Karang Gosong Sawo (%)
Kayu Duri (%)
Pulau Umang (%)
Sianas (%)
Acropora 49,48 5,96 72,54 4,72
Ctenactis 0,22 0 0 0
Echinopora 0 0 0,32 73,36
Favia 0 0,16 0 0
Fungia 0,28 0 0 0
Heliopora 0 0 3,68 0
Montipora 1,68 0,54 0,98 1,58
Pocillopora 0 1,64 0 0
Porites 1,42 6,66 4,82 0
Seriatopora 4,02 0 0 0
Gambar 6. Genus karang Echinopora di DPL Sianas
Karang dengan genus Echinopora sangat mendominasi di DPL Sianas
(Gambar 6). Setiap genera karang memiliki tingkat ketahanan dan kerentanan yang
berbeda (McClanahan et al. 2007). Echinopora merupakan salah satu genera karang
17
yang dengan resistensi yang tinggi (Bruckner dan Dempsey 2015). Bentuk
pertumbuhan koloni karang Echinopora pada umumnya ditemukan bercabang atau
berbentuk lembaran. Bentuk pertumbuhan dari genus Echinopora yang telah
ditemukan adalah Coral Foliose (CF) atau karang berbentuk lembaran. Echinopora
memiliki koralit yang relatif kecil (Subhan et al. 2016). Genus karang dengan ukuran
polyp yang relatif kecil memiliki waktu pertumbuhan yang relatif lebih cepat
(Suharsono 2008).
STRUKTUR KOMUNITAS IKAN TERUMBU
Kelimpahan ikan terumbu
Kelimpahan ikan terumbu adalah banyaknya jumlah individu ikan yang
ditemukan dalam satu area pengamatan. Hasil pengamatan mengenai komunitas ikan
terumbu pada 4 stasiun penelitian telah ditemukan sebanyak 45 spesies yang
termasuk ke dalam 28 genus dan 16 famili ikan terumbu di DPL Pulau Sebesi. Nilai
Kelimpahan ikan terumbu pada 4 stasiun penelitian menunjukkan nilai tertinggi di DPL
Sianas yaitu sebesar 14.480 Ind/ha, kemudian yang terendah terdapat di DPL Kayu
Duri sebesar 6.640 ind/ha (Gambar 7.). Daerah perlindungan laut (DPL)
mempengaruhi kelimpahan ikan terumbu di suatu ekosistem terumbu karang (Soler
et al. 2015). Menurut Walters dan Holling. (1990) DPL memberikan perlindungan
terhadap ekosistem di sekitar dengan cara membuat sistem zonasi penangkapan dan
zona perlindungan (non-penangkapan). Daerah perlindungan tersebut membantu
pemulihan ikan dan invertebrata lainnya (Hastings et al. 2017). Kebutuhan masyarakat
pesisir sekitar DPL yang membutuhkan hasil laut sebagai pendapatan terkadang
menimbulkan konflik dengan sistem zonasi DPL (Martinez et al. 2007). Oleh karena
itu dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dalam mengelola kawasan DPL agar
mendapatkan keseimbangan dalam memanfaatkan sumber daya perairan. (Hicks et
al. 2009).
Gambar 7. Kelimpahan ikan terumbu pada tahun 2007 (Alimudin 2008) dan 2018
8320
3040
19520
4560
10960
6640
1344014480
0
5000
10000
15000
20000
25000
Gosong Sawo Kayu Duri Pulau Umang Sianas
Kelim
pah
an
Ikan
Teu
mb
u (
Ind
/ha)
Stasiun DPL
2007
2018
18
Dari Gambar 8, menjelaskan bahwa kelimpahan ikan terumbu dari tahun 2007
hingga tahun 2018 hampir seluruhnya mengalami kenaikan. kelimpahan ikan ini
sangat erat korelasinya dengan peningkatan persen tutupan karang (r = 0,98). Artinya
program konservasi karang yang selama ini diterapkan di DPL Sebesi berdampak
nyata dan positif bagi kelimpahan ikan karang.
Pada tahun 2007 kelimpahan ikan terumbu di stasiun DPL Pulau Umang adalah
19,520 (Ind/ha) sedangkan pada tahun 2018 menurun menjadi 13,340 (Ind/ha). Hal
tersebut, dapat disebabkan oleh waktu perbedaan waktu pengamatan yang dilakukan.
Ikan terumbu memiliki karakteristik mencari makan pada waktu yang berbeda, selain
itu perbedaan musim juga mempengaruhi keberadaan ikan terumbu (Madduppa et al.
2012). Secara keseluruhan DPL di Pulau Sebesi memberikan perlindungan terhadap
terumbu karang yang juga menyebabkan tingginya nilai kelimpahan ikan terumbu di
lokasi tersebut.
Gambar 8. Tren (kecenderungan) peningkatan kelimpahan ikan terumbu dari tahun 2007 ke 2018 di stasiun DPL Pulau Sebesi.
Indeks ekologi ikan terumbu
Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi ada di DPL Sianas dengan nilai H’
sebesar 3,05. Kemudian untuk nilai H’ terkecil terdapat di DPL Kayu Duri sebesar
2,27. Menurut Odum (1971) nilai H’≥3 berarti keanekaragaman tinggi, penyebaran
tinggi, kestabilan komunitas tinggi, sedangkan untuk nilai 1 < H’ < 3, dapat dikatakan
tingkat keanekaragaman sedang, penyebaran sedang dan kestabilan komunitas
sedang. Untuk indeks keseragaman (E) yang tertinggi berada di DPL Sianas dan Kayu
Duri sebesar 0,91, sedangkan yang terkecil terletak di DPL Pulau Umang sebesar
0,82. Magurran (2004) mengatakan bahwa nilai keseragaman berkisar 0,75 < E ≤ 1,0
maka Keseragaman tinggi, komunitas stabil. Nilai indeks dominansi (C) tertinggi
berada di DPL Gosong Sawo sebesar 0,22 dan yang terkecil terletak di DPL Sianas
0
5000
10000
15000
20000
25000
2007 2018
Kelim
pah
an
Ikan
teru
mb
u (
Ind
/ha)
Tahun pengamatan
Gosong Sawo
Kayu Duri
Pulau Umang
Sianas
19
yaitu sebesar 0,06 (Gambar 9.). Odum (1971) menujukan bahwa nilai dominansi
berkisar 0 < C < 0,5 dapat berarti dominansi rendah.
Indeks keanekaragaman (H’) adalah nilai yang dapat menunjukkan
keseimbangan keanekaragaman dalam suatu pembagian jumlah individu tiap jenis
(Madduppa et al. 2012a). Banyak atau sedikitnya keanekaragaman spesies dapat
dilihat dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Keanekaragaman mempunyai
nilai terbesar jika semua individu berasal dari genus atau spesies yang berbeda-beda.
Sedangkan nilai terkecil didapat jika semua individu berasal dari satu genus atau satu
spesies saja. Nilai keanekaragaman dapat dijadikan alat ukur seberapa besar ikan
mendapatkan tekanan dari lingkungan (Lardicci et al. 1997). Pendugaan indeks
keseragaman (E) dilakukan untuk melihat sebaran jenis ikan apakah merata antar
jenis. Indeks dominansi (C) memberikan gambaran dominansi jenis dalam suatu
komunitas ekologi (Odum 1983).
Gambar 9. Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) ikan terumbu
Komposisi kelompok trofik ikan terumbu
Trofik level adalah posisi suatu organisme dalam jaring makanan (Froese dan
Pauly 2000). Trofik level menunjukkan keberadaan ikan dan organisme lainnya yang
masing-masing berperan dalam jaring makanan. Komunitas ikan terumbu yang
mendominasi DPL Sebesi adalah dari kelompok trofik omnivora (29%) planktivora
(35%, Gambar 10). Kelompok ikan omnivora yang paling sering dijumpai di DPL
Sebesi dalam kelompok besar adalah Pomacentrus mollucensis dari famili
Pomacentridae yang biasa dikenal dengan sebutan ikan betok (Gambar 9.). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Dhahiyat et al. (2003), yang menyebabkan dominasi
ikan dari famili Pomacentridae disebabkan oleh sifat mereka yang teritorial
2,70
2,27
2,47
3,05
0,87 0,910,82
0,91
0,220,12 0,13 0,06
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
Gosong Sawo Kayu Duri Pulau Umang Sianas
Ind
eks E
ko
log
i
Stasiun DPL
H'
E
C
20
(mempertahankan daerah kekuasaan). Kelompok ikan planktivora yang paling banyak
dijumpai adalah Neoglyphidodon nigroris.
Trofik level ikan terumbu merupakan hal yang penting dalam mempelajari
karakteristik ikan terumbu. Perilaku makan pada ikan terumbu dibagi menjadi
herbivora, karnivora, detrivora, benthic invertivora, planktivora, koralivora, dan
omnivora (Madduppa 2014). Perilaku makan ikan terumbu akan memberi pengaruh
terhadap kondisi ekosistem terumbu karang dan juga sebaliknya. Omnivora
merupakan kelompok ikan yang memakan apa saja, seperti alga, plankton, hewan
bentik, dan ikan kecil. Planktivora adalah ikan yang mengonsumsi plankton dalam
siklus makannya. Keberadaan ikan planktivora yang melimpah berkorelasi secara
signifikan dengan kelimpahan plankton di suatu perairan (Kelble et al. 2005).
Gambar 10. Persentase kelimpahan trofik level ikan terumbu
9%
5%
7%2%
3%
39%
35%
benthic invertivore
carnivore
coralivore
detritivore
herbivore
omnivore
planktivore
21
Gambar 11. Pomacentrus mollucensis merupakan ikan dari kelompok trofik omnivora
Biomassa ikan terumbu
Biomassa merupakan konversi bobot ikan per satuan luas wilayah (kg/ha).
Lokasi DPL dengan biomassa tertinggi adalah Sianas dengan nilai biomassa
73.454,90 kg/ha. Sementara lokasi dengan nilai biomassa terendah adalah DPL Kayu
Duri, di mana nilai biomassa ikan terumbunya adalah sebesar 3.144,28 kg/ha
(Gambar 12). Fungsi dari daerah perlindungan laut memberikan hasil yang positif
terhadap biomassa ikan (Soler et al. 2015). Daerah luar DPL memiliki biomassa ikan
yang lebih rendah jika dibandingkan DPL akibat adanya kegiatan penangkapan oleh
nelayan lokal (Chirico et al. 2017).
Gambar 12. Biomassa (kg/ha) ikan terumbu pada masing-masing DPL Sebesi
54298,01
3144,28
42282,42
73454,90
0,00
10000,00
20000,00
30000,00
40000,00
50000,00
60000,00
70000,00
80000,00
Gosong Sawo Kayu Duri Pulau Umang Sianas
Bio
massa (
kg
/ha)
Stasiun DPL
22
Gambar 13. Jenis ikan dengan selang kelas ukuran 0-5 dan 5-10 cm
Pada stasiun DPL Sianas, ikan yang memiliki biomassa tertinggi memiliki
ukuran 15-20 cm dan 20-25 cm. Stasiun pengamatan DPL Kayu Duri hanya ditemukan
dua kelas ukuran ikan yaitu ikan dengan selang 0-5 dan 5-10 cm (Gambar 14). Jumlah
kelimpahan ikan yang ditemukan di stasiun DPL Kayu Duri dapat menjadi salah satu
indikasi stasiun tersebut tidak memiliki selang ukuran yang beragam seperti stasiun
DPL lain. Selain itu, bentuk terumbu karang juga mempengaruhi ukuran ikan terumbu
(Madduppa et al. 2012b). Substrat dasar dari DPL Kayu Duri di dominasi oleh patahan
karang, sehingga ikan terumbu tidak memiliki tempat untuk berlindung dan mencari
makan.
Gambar 14. Biomassa (kg/ha) ikan terumbu berdasarkan selang kelas ukuran (cm)
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
0-5 5-10 10-15 15-20 20-25
Bio
massa (
Kg
/ha)
Selang ukuran ikan terumbu (cm)
Gosong Sawo
Kayu Duri
Pulau Umang
Sianas
23
Dari Gambar 15. dapat dilihat bahwa nilai tertinggi persentase biomassa ikan
terumbu berdasarkan tipe pemanfaatannya adalah ikan target sebesar 60%
(103.885,40 kg/ha) diikuti dengan ikan mayor sebesar 29% (50.612,51 kg/ha), dan
ikan indikator sebesar 11% (18.681, 70 kg/ha). Ikan target adalah kelompok jenis-jenis
ikan yang dapat dikonsumsi dan biasanya diburu oleh nelayan. Ikan terumbu
dimanfaatkan sebagai sumber makanan yang banyak mengandung sumber protein
hewani (Madduppa 2014). Ikan indikator adalah ikan-ikan yang memiliki hubungan
yang sangat erat sekali terhadap habitat karang. Ikan mayor adalah kelompok yang
tidak termasuk ke dalam kelompok ikan target dan ikan indikator dan umumnya belum
banyak diketahui peranannya di alam, kecuali sebagai suplai makanan bagi
pemangsa (karnivora), namun beberapa jenis di antaranya memiliki keindahan warna
tubuh sehingga berpotensi sebagai ikan hias. Pada umumnya ikan mayor banyak
dijumpai dalam ekosistem terumbu karang di suatu perairan.
Gambar 15. Persentase biomassa (kg/ha) ikan terumbu berdasarkan tipe pemanfaatan
Menurut English et al. (1997), kelompok ikan target adalah jenis-jenis ikan
konsumsi/pangan atau ikan ekonomis penting yang hidup berasosiasi dengan
terumbu karang. Jenis-jenis ikan yang tergolong dalam kelompok ini yaitu dari suku
Serranidae (ikan kerapu dan sunu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (lencam),
Haemulidae (raja bao), Carangidae (bubara), Labridae (napoleon), Scombridae
(tenggiri), Siganidae (baronang), Scaridae (kakatua), Caesionidae (lalosi/ekor
kuning), Acanthuridae (bobara laut dan kuli pasir), dan lain-lain. Daerah perlindungan
laut membantu tingkat pertumbuhan biomassa ikan (McClanahan et al. 2016). Ikan
target atau biasa disebut dengan ikan konsumsi sangat bermanfaat bagi
perekonomian masyarakat pesisir. Kehadiran atau ketidakhadiran kelompok ikan
11%
29%
60%
Indikator
Mayor
Target
24
target dapat menjadi indikator yang baik terhadap tingkat gangguan dan tekanan yang
berasal dari antropogenik (Obura dan Grimsdith 2009). Jumlah kelimpahan ikan target
yang rendah dapat mengakibatkan oleh penangkapan yang intensif oleh nelayan
sekitar. Oleh karena itu DPL berfungsi sebagai zona atau daerah terlarang bagi
aktivitas yang bersifat mengambil hasil laut.
Keterkaitan ikan terumbu dengan tutupan karang keras
Madduppa et al. (2012b) mengatakan bahwa perubahan struktur komunitas
ikan terumbu dapat menunjukkan variasi faktor lingkungan karena ikan terumbu
memiliki sifat yang terintegrasi dengan kondisi terumbu karang di suatu perairan.
Gambar 16 memperlihatkan hubungan dari tutupan karang keras dengan kelimpahan
ikan terumbu di DPL Pulau Sebesi. Kedua variabel memiliki korelasi positif yang
sangat tinggi (r = 0,98). Korelasi yang mendekati angka satu menandakan bahwa nilai
keterkaitan tersebut sangat kuat (Sugiyono 2006). Korelasi bernilai positif yang berarti
apabila persentase tutupan karang meningkat, maka akan mempengaruhi kelimpahan
ikan terumbu. Sungkawa (2013) menjelaskan bahwa nilai positif kedua faktor
memperlihatkan adanya hubungan searah.
Gambar 16. Hubungan linear antara tutupan karang keras (%) dengan kelimpahan ikan terumbu (Ind/ha)
Jenis dan kelimpahan ikan terumbu sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan
perairan, bentuk dan luasan terumbu karang hidup, substrat dasar, serta asosiasi
dengan organisme bentik sehingga dengan kondisi terumbu karang dan lingkungan
perairan yang baik dalam pemanfaatan ruang dan penyediaan makanan, maka
keanekaragaman jenis dan jumlah individu akan semakin tinggi, hal ini juga yang
memperjelas tingginya potensi keanekaragaman hayati khususnya pada ekosistem
terumbu karang. Keberadaan karang merupakan habitat penting bagi ikan terumbu,
y = 110,4x + 4920,1r = 0,98 R² = 0,973
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00
Kelim
pah
an
ikan
teru
mb
u (
Ind
/ha)
Persentase tutupan karang keras (%)
25
karena sebagian besar populasi ikan terumbu mengadakan rekruit secara langsung
dalam terumbu karang (Madduppa 2014).
Stadia planktonik ikan terumbu selalu berada pada substrat karang, seperti ikan-
ikan Scaridae, Acanthuridae, Siganidae, Chaetodontidae, Pomacantidae dan banyak
jenis dari ikan Labridae dan Pamacentridae. Walaupun banyak yang tidak berasosiasi
langsung dengan karang, tetapi pergerakannya kebanyakan berasosiasi dengan
struktur khusus dan keadaan biotik dari karang. Keberadaan ikan terumbu dipengaruhi
oleh kondisi atau kualitas karang sebagai habitatnya (Choat 1991). Keberadaan DPL
yang efektif dan pengelolaan baik akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem
terumbu karang di wilayah pesisir (Aburto-oropeza 2011). Kondisi terumbu karang
yang baik akan berdampak baik bagi komunitas ikan terumbu (Madduppa et al.
2012b). Tidak dilakukannya penangkapan yang tidak ramah lingkungan dengan
menggunakan bom ikan juga akan membantu untuk mengurangi kerusakan terumbu
karang (Fahlevy et al. 2017a).
Gambar 17. Ikan terumbu yang hidup di sekitar terumbu karang d DPL Pulau Umang
STATUS EKOSISTEM TERUMBU KARANG
Salah satu fungsi dari DPL adalah menjadi daerah perlindungan bagi
keberadaan biota tersebut. Jenis-jenis biota laut yang dilindungi mengacu pada
Peraturan Pemerintah N0 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa dan ketentuan hukum internasional yang diratifikasi seperti Convention on
International Trade in Endangered Species (CITES). CITES atau yang biasa disebut
konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies
terancam adalah perjanjian internasional yang disusun berdasarkan resolusi sidang
anggota World Conservation Union. Fungsi utama dari CITES adalah memberikan
perlindungan pada spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan
26
internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan
membahayakan kelestarian spesies tersebut.
Perlindungan tersebut berupaya untuk menjaga dan menjamin keberadaan,
ketersediaan, dan kesinambungan jenis-jenis hewan yang dilindungi. Perlindungan
juga berfungsi untuk mencegah keberadaan suatu spesies dari kepunahan. Selain
kedua hal tersebut setiap jenis terumbu karang dan ikan terumbu memiliki status
spesies terhadap tren dan ancaman untuk memberitahu dan mempercepat tindakan
dalam upaya konservasi. Status tersebut digagas oleh International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang merupakan organisasi
internasional yang bergerak di konservasi alam. Tabel 8. Menjelaskan status biota
laut yang ditemukan di DPL Pulau Sebesi.
Tabel 8. Status Biota Laut di DPL Pulau Sebesi
Jenis Biota CITES PP No. 7/1999
Kima sisik (Tridacna squamosa) II D
Penyu hijau (Chelonia mydas) I D
Genera Karang CITES PP No. 7/1999
Acropora II TD
Ctenactis II TD
Echinopora II TD
Favia II TD
Fungia II TD
Heliopora II TD
Montipora II TD
Pocillopora II TD
Porites II TD
Seriatopora II TD
Spesies Ikan Terumbu CITES PP No. 7/1999
Abudefduf sexfasciatus None TD
Abudefduf vaigiensis None TD
Acanthurus leucosternon None TD
Acanthurus nigrofuscus None TD
Amblyglyphidodon curacao None TD
Caesio teres None TD
Canthigaster valentini None TD
Cephalopholis argus None TD
Chaetodon auriga None TD
Chaetodon lunulatus None TD
Chaetodon octofasciatus None TD
Chromis viridis None TD
Dascyllus aruanus None TD
Dascyllus trimaculatus None TD
Dischistodus fasciatus None TD
Dischistodus perscipillatus None TD
Dischistodus prosopotaenia None TD
Epinephelus fasciatus None TD
27
Halichoeres hortulanus None TD
Halichoeres melanurus None TD
Halichoeres richmondi None TD
Heniochus pleurotaenia None TD
Heniochus varius None TD
Hipposcarus harid None TD
Labroides dimidiatus None TD
Lutjanus bengalensis None TD
Lutjanus fulviflamma None TD
Lutjanus kasmira None TD
Myripristis berndti None TD
Naso lituratus None TD
Ptereleotris evides None TD
Neoglyphidodon nigroris None TD
Neoglyphidodon oxyodon None TD
Parupeneus macronema None TD
Pempheris vanicolensis None TD
Plectorhinchus vittatus None TD
Pomacentrus alexanderae None TD
Pomacentrus brachialis None TD
Pomacentrus moluccensis None TD
Pomacentrus nagasakiensis None TD
Scolopsis bilineata None TD
Scolopsis lineatus None TD
Thalassoma lunare None TD
Zanclus cornutus None TD
Zebrasoma scopas None TD
Keterangan: D = Dilindungi, TD= Tidak di Lindungi NA= Not Assessed, LC= Least Concern,
None= Belum terevaluasi
Kima sisik (Tridacna squamosa) ditemukan di DPL Pulau Umang dengan ukuran
35 cm. Kima sisik merupakan biota laut yang dilindungi berdasarkan PP No. 9 Tahun
2009. Penetapan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa populasi kima di alam
sudah sangat menurun terutama disebabkan pemanfaatan manusia (Ambariyanto,
2007). Kima berasal dari kelas Bivalvia/Pelecypda yang ditandai dengan adanya dua
cangkang yang saling berpasangan simetris. Cangkang Kima terbuat dari zat kapur
yang terdiri dari tiga jenis kristal; kalsit, aragonit, dan vaterit. Bagian dalam insang
adalah otot-otot dan jaringan yang lunak, sehingga di jaha dengan cangkang yang
keras. Otot-otot kima yang terbesar berfungsi untuk membuka dan menutup
cangkang. Kima meliliki lapisan pembungkus daging yang berwarna-warni dan jika
terkena sinar matahari atau lampu akan terlihat menarik. Berdasarkan penuturan
pengurus BP DPL Pulau Sebesi, di DPL Gosong Sawo dan Pulau Umang juga sering
dijumpai jenis penyu hijau (Chelonia mydas). Jenis ini juga termasuk biota laut yang
dilindungi berdasarkan PP No. 9 Tahun 2009. Ekosistem terumbu karang di DPL
28
Gosong Sawo dan Pulau Umang yang relatif terjaga ditengarai telah menjadi daya
tarik bagi penyu hijau untuk mencari sumber makanan.
Gambar 18. Kima Sisik yang ditemukan di DPL Pulau Umang
Dari seluruh genera karang yang ditemukan termasuk ke dalam Apendiks-II, dan
tidak ada genera karang yang di lindungi dalam PP No. 9 Tahun 1999. Status
perlindungan di Appendix-II CITES menunjukkan bahwa jenis-jenis karang ini
memang belum tentu terancam punah tetapi cukup rentan sehingga perdagangan
karang-karang ini perlu dikontrol secara ketat. Perdagangan internasional dalam
spesimen spesies Appendix-II dapat disahkan dengan pemberian izin ekspor atau
sertifikat ekspor di bawah otoritas CITES. Izin atau sertifikat hanya boleh diberikan
jika pihak yang bersangkutan dapat menunjukkan bahwa perdagangan tersebut tidak
akan mengancam kelangsungan hidup jenis-jenis ini di alam liar dan kondisi-kondisi
tertentu terpenuhi.
Pada penelitian yang dilakukan saat ini, taksonomi terumbu karang hanya
mencapai tingkat genus, sedangkan status dari IUCN terdiri dari spesies, sehingga
status tersebut tidak dimunculkan pada terumbu karang. Dari total seluruh ikan
terumbu yang ditemukan terdapat 29 spesies ikan yang masuk ke daftar LC atau least
concern, dan 16 spesies ikan belum di nilai oleh IUCN, sedangkan tidak ada spesies
ikan yang masuk ke dalam CITES. Apendiks-II adalah daftar spesies yang tidak
terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut
tanpa adanya pengaturan. Least concern atau risiko rendah merupakan kategori jika
telah dievaluasi berdasarkan kriteria risiko, dan tidak memenuhi syarat sebagai
kategori kritis, genting, rentan, maupun hampir terancam.
29
BAB 4
KESIMPULAN
Persentase karang keras dari seluruh stasiun DPL sebagian besar masih
tergolong kategori baik kecuali stasiun DPL Kayu Duri. Karang dengan bentuk
pertumbuhan ACB (Acropora branching) ditemukan paling mendominasi di seluruh
stasiun DPL Sebesi, begitu pula dengan genus karang Acropora yang ditemukan di
semua stasiun DPL. Indeks kematian karang di seluruh stasiun masih tergolong kecil
kecuali DPL Kayu Duri. Kerusakan karang di DPL Kayu Duri dapat disebabkan oleh
kondisi arus, gelombang yang kuat serta kecerahan perairan tersebut. Persentase
tutupan karang keras memiliki peningkatan dari data pengamatan sebelumnya
Kelimpahan, dan biomassa ikan terumbu tertinggi ditemukan di lokasi DPL
Sianas, selain itu selang ukuran ikan terumbu di DPL Sianas lebih beragam
dibandingkan stasiun DPL Lainnya. Begitu pula dengan indeks keanekaragaman, dan
keseragaman tertinggi ditemukan di DPL Sianas, dengan nilai indeks dominansi paling
rendah daripada stasiun DPL Lainnya. Dari seluruh kelimpahan ikan terumbu di DPL
Sebesi, Ikan target merupakan ikan dengan biomassa tertinggi berdasarkan tipe
pemanfaatannya. Keberadaan ikan terumbu di DPL Pulau Sebesi berketerkaitan
dengan persentase tutupan karang keras.
Di DPL Pulau Sebesi ditemukan jenis hewan yang dilindungi berdasarkan PP
No. 7/1999 yaitu kima sisik (Tridacna squamosa) dan penyu hijau (Chelonia mydas).
Secara keseluruhan, ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang
dilindungi mengingat manfaat dan fungsinya terhadap sumberdaya pesisir dan lautan.
30
BAB 5
IMPLEMENTASI PROGRAM KONSERVASI
Penyusunan rencana program konservasi
Kegiatan konservasi di Pulau Sebesi berorientasi pada pemulihan dan
peningkatan kualitas ekosistem laut sekaligus penumbuhan kepedulian, peningkatan
kemampuan SDM, serta perubahan paradigma konservasi alam bagi masyarakat
sekitar yang bersentuhan langsung dengan sumber daya laut di Pulau Sebesi.
Gambar 18. MoU kerja sama pengelolaan kawasan konservasi Daerah Perlindungan Laut dengan lembaga masyarakat BP DPL
Pelibatan masyarakat dan sinergitas dengan stakeholder pemerintah selalu
dipertimbangkan dalam setiap tahap kegiatan konservasi, dari penyusunan rencana
program konservasi hingga pelaksanaan dan monitoring. Salah satu kegiatan
pemerintah yang dilakukan di Pulau Sebesi adalah pemantauan terumbu karang. Hal
tersebut telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loka PSPL
Serang (Gambar 19). PLTU Tarahan bersama masyarakat dan bersinergi dengan
pemerintah menyusun Rencana Strategis 2017-2022 dan Rencana Kerja 2017-2018
konservasi keanekaragaman hayati sebagai mana terlampir di lampiran 2 dan
lampiran 3.
Manfaat yang dirasakan masyarakat oleh kegiatan konservasi tersebut salah
satunya adalah di sektor wisata. Hingga saat ini wisata yang datang ke Pulau Sebesi
cukup meningkat, setiap minggu dalam satu bulan Pulau Sebesi selalu kedatangan
tamu baik dalam negeri atau turis asing. Kegiatan wisata lebih banyak dilakukan
31
berupa snorkling sekitar kawasan konservasi, dampak dari wisata tersebut
mempengaruhi pendapatan masyarakat Pulau Sebesi.
Gambar 20. Partisipasi pemerintah (Loka PSPL Serang) dalam melaksanakan pemantauan ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi
Pemantauan dan pengelolaan ekosistem
Pemantauan tutupan karang keras dilakukan dengan membentangkan transek
sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai (Gambar 20). Pencatatan substrat
dasar terumbu dilakukan pada setiap cm transek tersebut. Substrat terumbu karang
dicatat berupa tipe pertumbuhan dan jenis karang pada tingkat taksonomi genus
(Gambar 21). Kegiatan pengamatan terumbu karang, ikan terumbu (Gambar 22)
dilakukan bersama dengan masyarakat sekitar. Selain itu beberapa kegiatan seperti
transplantasi karang (Gambar 23) dan pemasangan fish aggregating device (Gambar
24) juga dilakukan dengan partisipasi masyarakat Pulau Sebesi
32
Gambar 19. Persiapan plot transek yang mewakili populasi DPL Sebesi
Gambar 20. Pencatatan substrat dasar
33
Gambar 21. Monitoring keanekaragaman hayati laut bersama masyarakat
Gambar 22. Transplantasi terumbu karang bersama masyarakat
34
Gambar 23. Fish Agregation Device
Gambar 24. Pelaksanaan pemasangan FAD
35
Pengamanan kawasan
Kegiatan pengamanan kawasan berupa patroli dengan menggunakan kapal yang
dilakukan dengan cara mengelilingi wilayah DPL Pulau Sebesi. Pengawasan tersebut
dilakukan untuk mencegah kegiatan yang memasuki kawasan DPL. Kawasan DPL merupakan
kawasan yang tidak boleh dilakukannya kegiatan penangkapan ikan. Kegiatan patroli biasa
dilakukan oleh badan pengurus DPL Sebesi dengan partisipasi masyarakat sekitar. Patroli juga
melakukan pengawasan terhadap kegiatan perikanan yang merusak seperti penggunaan bom
yang dilakukan oleh nelayan saat menangkap ikan.
.
Gambar 25. Patroli pengamanan kawasan konservasi laut
36
DAFTAR PUSTAKA
Alimudin. 2008. Kondisi substrat dasar dan ikan karang di daerah perlindungan laut
Pulau Sebesi, Lampung. [Skripsi] Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Alva S, Johnson K, Jacob A, D’Agnes H, Mantovani R, Evans T. 2015. Marine
protected areas and children’s dietary diversity in the Phillipines. Popul Environ.
DOI 10.1007/s11111-015-0240-9.
Beeden R, Willis BL, Raymundo IJ, Page CA, Weil E. 2008. Underwater cards for
assessing coral health on Indo-Pacific Reefs. Coral Reef Targeted Research and
Capacity Building for Management Program. 26p.
Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Reefs at Risk In Southeast Asia. Cambridge (UK):
World Resources Institute. 72 pp.
Bruckner AW, Dempsey AC. 2015. The Status, Threats, And Resilience Of Reef-
Building Corals Of The Saudi Arabian Red Sea. In: Rasul NMA, Stewart ICF.
(Eds.), The Red Sea. Springer, Berlin Heidelberg, pp. 471–486.
Chirico AAD, McClanahan TR, Eklo¨f JS. 2017. Community- and government-
managed
marine protected areas increase fish size, biomass and potential value. PLoS
ONE. 12(8): e0182342. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0182342
Choat JH. 1991. The Biology of Herbivorous Fishes on Coral Reefs. In: The Ecology of Fishes on Coral Reef, Sale PF. San Diego: Academic Press.
Clark S, Edwards A J. 1995. Coral transplantation as an aid to reef rehabilitation:
evaluation of a case study in the Maldive Islands. Coral Reefs. 14: 201–213.
Dhahiyat Y, Sinuhaji D, Hamdani H.2003. Struktur Komunitas Ikan Karang di Daerah
Transplantasi Karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu . Jurnal Iktiologi Indonesia.
3(2).
Dinsdale EA, VJ. Harriott. 2004. Assessing anchor damage on coral reefs: a case
study in the selection of environmental indicators. Environmental Management,
33: 126-139.
Edinger EN, Limmon GV, Jompa J, Widjatmoko W, Heikoop JM, Risk MJ. 2000.
Normal coral growth rates on dying reefs: are coral growth rates good indicators
of reef health?. Marine Pollution Bulletin. 40(5): 404-425.
English S, Wilkinson C, Baker, V. 1997. Survey manual for Tropical Marine Resources.
Townsville (AU): Australian Institute of Marine Science (AIMS).
Erftemeijer PLA, Riegl B, Hoeksema BW and Todd PA. 2012. Environmental impacts
of dredging ang other sediment disturbances on corals:a review. Marine Pollution
Bulletin. 64:1737-1765.
Estradivari, Mardesyawati A, Santoso B, Setyawan E, Fadila .2009. Terumbu Karang
Jakarta. Jakarta (ID): Yayasan TERANGI.
Fahlevy K, Khodijah S, Nasrullah IA, Fathihatunnisa R, Subhan B, Madduppa HH.
2017a. Site and depth influence on reef structure and composition in Seribu
Islands, Jakarta. AJAS, 2(1):28-38. Doi:10.13170/ajas2.1.8212.
37
Fahlevy K, Prabowo B, Santoso P, Subhan B, Madduppa H. 2017b. Penilaian struktur
komunitas dan keterkaitan ikan terumbu pada terumbu karang di Pulau Tunda,
Banten. Prosiding seminar nasional ekosistem perairan Teluk Lada dan Pulau
Tunda, Banten Juli 2017.
Giyanto, Manuputty AEW, Abrar M, Siringoringo RM, Suharti SR, Wibowo K, Arbi
INEUYA, Cappenberg HAW, Sihaloho HF, Tuti Y, Anita DZ. 2014. Panduan
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang. Jakarta (ID): COREMAP CTI LIPI
Giyanto, Abrar M, Hadi TA, Budiyanto A, Hafizt M, Salatalohy, Iswari MY. 2017. Status
Terumbu Karang Indonesia 2017. Jakarta (ID): Puslit Oseanografi - LIPI. ix + 30
hlm.
Guzman HM, Burns KA, Jackson JBC. 1994. Injury, regeneration and growth of
Caribbean reef corals after a major oil spill in Panama. Marine Ecology Progress
Series. 105, 231–241.
Gomez ED, Yap HT. 1994. Monitoring Reef Conditions. In: Kenchington, R.A and B.
E. T. Hudson (eds). Coral Reef Management Handbook. Unesco Regional Office
for Science and Technology for South-East Asia.
Graham NAJ, McClanahan TR, MacNeil MA, Wilson SK, Polunin NVC, et al. 2008.
Climate warming, marine protected areas and the ocean-scale integrity of coral
reef ecosystems. PLoS ONE 3(8): e3039. doi:10.1371/journal.pone.0003039.
Halford AR, Thompson AA. 1994. Visual census surveys of reef fish. Long-term
monitoring of the Great Barrier Reef. Townsville (AU): Australian Institute of
Marine Science (AIMS).
Halpern BS. 2003. The impact of marine reserves: do reserves work and does
reserve size matter?. Ecological Applications. 13: S117–S137.
Hariri MSB. 2012. The Present Status of the Red Sea Coral Reefs between Haql and
Yanbu, Saudi Aarabia. Life Science Journal, 9(4): 3852-2859.
Hastings A, Gaines SD, Costello C. Marine reserves solve an important bycatch
problem in fisheries. Proc Natl Acad Sci USA.114(34):8927–8934.
Hicks CC, McClanahan TR, Cinner J, Hills JM. 2009. Trade-offs in values assigned to
ecological goods and services associated with different coral reef management
strategies. Ecology and Society. 14.
Hill J, Wilkinson C. 2004. Methods For Ecological Monitoring of Coral Reefs. A
Resource For Managers. Townsville (AU): Australian Institute of Marine Science.
p. 123.
Johan Y. 2016. Analisis kesesuaian dan daya dukung ekowisata bahari Pulau Sebesi,
Provinsi Lampung. DEPIK. 5(2): 41-47.
Kelble CR, Ortner PB, Hitchcock GL, Boyer JN. 2005. Attenuation of
photosynthetically available radiation (PAR) in Florida Bay: Potential for light
limitation of primary producers. Estuaries. 28(4):560–71.
[KEPMENLH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup.2004. Penilaian Kondisi
Terumbu Karang. Jakarta (ID): Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Lenihan HS, Hench JL, Holbrook SJ, Schmitt RJ, Potoski M. 2015. Hydrodynamics
influence coral performance through simultaneous direct and indirect effects.
Ecology. 96: 1540–1549.
38
Lowe RJ, Falter JL, Monismith SG, Atkinson MJ. 2009. Wave-driven circulation of a
coastal reef–lagoon system. Journal Of Physical Oceanography. 39(4): 873-893
Madduppa HH, Agus SB, Farhan AR, Suhendra D, Subhan B. 2012a. Fish biodiversity
in coral reefs and lagoon at the Maratua Island, East Kalimantan. Biodiversitas.
13 (3): 145-150.
Madduppa HH, Ferse SCA, Aktani U, Palm HW. 2012b. Seasonal trends and fish-habitat associations around Pari Island, Indonesia: setting a baseline for environmental monitoring. Environmental Biology of Fishes, 95:383-398.
Madduppa H. 2014. Bioekologi dan Biosistematika Ikan Terumbu. Bogor (ID): IPB Press.
Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Malden: Blackwell Publishing.
Mardasin W, Ulqodry TZ, Fauziya.2011. Studi keterkaitan komunitas ikan karang
dengan kondisi karang tipe acropora di perairan Sidodadi dan Pulau Tegal, Teluk
Lampung Kab. Pesawaran, Provinsi Lampung. Mas Jour.03(2011):42-50.
Martı´nez ML, Intralawan A, Va´zquez G, Pe´rez-Maqueo O, Sutton P, Landgrave R.
2007. The coasts of our world: ecological, economic and social importance.
Ecological Economics. 63(2–3):254–72.
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2006.10.022
McClanahan TR .2004. The relationship between bleaching and mortality of common
corals. Mar Biol. 144: 1239–1245.
McClanahan TR, Ateweberhan M, Graham NAJ, Wilson SK, Sebastian CR,
Guillaume MMM, Bruggemann JH. 2007. Western Indian Ocean coral
communities: bleaching responses and susceptibility to extinction. Mar Ecol Prog
Ser. 337: 1213.
McClanahan TR, Maina JM, Graham NAJ, Jones KR. 2016. Modeling reef fish
biomass,
recovery potential, and management priorities in the Western Indian Ocean.
PLoS ONE 11(5): e0154585. doi:10.1371/journal.pone.0154585.
Mukhtasor M. 2006. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita
Mumby PJ, Harborne AR, Williams J, Kappel CV, Brumbaugh DR, Micheli F, Holmes
KE, Dahlgren CP, Paris CB, Blackwel PG. 2007. Trophic cascade facilitates coral
recruitment in a marine reserve. Proc Natl Acad Sci USA 104: 8362–8367.
Noble MM, van Laake G, Berumen ML, Fulton CJ. 2013. Community Change
within a Caribbean Coral Reef Marine Protected Area following Two Decades of
Local Management. PloS ONE. 8(1): e54069.
doi:10.1371/journal.pone.0054069.
Nugues MM, Roberts CM. 2003. Coral mortality and interaction with algae in relation
to sedimentation. Coral Reefs. 22: 507–516.
Obura DO, Grimsdith G. 2009. Resilience Assessment of coral reefs – Assessment
protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress.
Switzerland : IUCN working group on Climate Change and Coral Reefs. IUCN,
Gland. 70 hlm.
39
Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology (3rd Eds). Philadelphia: Saundres Co
Odum EP. 1983. Basic Ecology. New York : Saunders College Publishing. Oktarina A, Kamal E, Suparno. 2014. Study of coral reefs condition and their
management strategies in Panjang island, Air Bangis, West Pasaman district.
J Nat In. 16(1):23-3.
Rembet UNWJ, Boer M, Bengen DG, Fahrudin A.2011. Struktur komunitas ikan target di terumbu karang Pulau Hogow dan Putus-Putus Sulawesi Utara. Jur Per dan Kel Trop.
Riegl BM, Sheppard CRC, Purkis SJ. 2012. Human Impact on Atolls Leads to Coral
Loss and Community Homogenisation: A Modeling Study. PLoSONE. 7(6):
e36921.
doi:10.1371/journal.pone.0036921.
Selig ER, Bruno JF. 2010. A Global analysis of the effectiveness of marine protected
areas in preventing coral loss. PLoS ONE. 5(2): e9278.
doi:10.1371/journal.pone.0009278.
Setyawan E, Yusri S, Timotius S (ed.). 2011. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan
Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009). Jakarta (ID):
Yayasan TERANGI. vi+102 pp.
Soler GA, Edgar GJ, Thomson RJ, Kininmonth S, Campbell SJ, Dawson TP, et al.
2015. Reef fishes at all trophic levels respond positively to effective marine
protected areas. PLoS ONE. 10(10): e0140270.
doi:10.1371/journal.pone.0140270
Subhan B, Rahmawati F, Arafat D, Bayu NA. 2011. Coral health condition of family
Fungiidae on Pramuka Island, Seribu Islands. JTPK. 2 (1) : 41-50.
Subhan B, Khair M, Madduppa H, Nurjaya IW, Ardiwijaya RL, Prabuning D, Anggoro
AW, Arafat D. 2016. Terumbu Karang Tulamben. Bogor (ID): IPB PRESS. 170
hlm.
Sugiyono. 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): CV Alfabeta.
Suharsono .2008.Bercocok Tanam Karang dengan Transplantasi. LIPI press, Jakarta
(ID).
Syarif LM. 2009.Promotion and management of marine fisheries in Indonesia. In:
Winter G, editor. Towards Sustainable fisheries law: a comparative analysis.
Gland, Switzerland: International Union for Conservation of Nature (IUCN):31–
82.
Tanzil JTI, Chou LM. 2004. The status of coral reefs of Pulau Banggi, Pulau Malawali
and the vicinity, Sabah, based on surveys in June 2004. REST technical report
no. 6 2004. Singapore (SG): National University of Singapore.
Thamrin.2006. Karang Biologi Reproduksi & Ekologi. Pekanbaru (ID): Minamandiri
Press..
Odum, EP. 1971. Fundamental of Ecology (3rd Eds). Philadelphia: Saundres Co.
Pemda Provinsi Lampung. 2000. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir
Lampung. Kerja sama Pemerintah Daerah Provinsi Lampung dengan Proyek
Pesisir Lampung dan PKSPL - IPB. Bandar Lampung (ID): Pemda Provinsi
Lampung .96 pp.
40
[PERMENKPRI] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
2009. Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Jakarta (ID): Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Piquero AS, Delan GG, Rica RLV, Corrales CM, Monte IA. 2015. Coral lifeform
structure in selected Marine Protected Areas in Southern Cebu, Philippines.
Tropical Technology Journal, 19(1): 1-4.
Prasetia IND. 2012. Rekrutmen karang di kawasan wisata Lovina. JST. 1(2): 61-72
Waheed Z, van Mil HGJ, Syed Hussein MA, Jumin R, Golam Ahad B, Hoeksema BW.
2015. Coral reefs at the northern most tip of borneo: an assessment of
scleractinian species richness patterns and benthic reef assemblages. PLoS
ONE. 10(12): e0146006. doi:10.1371/journal.pone.0146006.
Walters CJ, Holling CS.1990. Large-scale management experiments and learning by
doing. Ecology. 71:2060–8.
Wiryawan B, Bengen DG, Yulianto I, Susanto HA, Mahi AK, Ahmad M. 2002. Profil
Sumber daya Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan.
Penerbitan Khusus Proyek Pesisir, Coastal Resources Center - University of
Rhode Island.Narraganset, Rhode Island. 49 halaman.
41
Lampiran
Lampiran 1. Biota Laut di DPL Sebesi
Chaetodon octofasciatus
Family : Chaetodontidae
Length : 5 – 10 cm
Diet : Coralivore
Group : Indicator
Pomacentrus mollucensis
Family : Pomacentridae
Length : 5 – 10 cm
Diet : Omnivore
Group : Mayor
Labroides dimidiatus
Family : Labridae
Length : 5 – 10 cm
Diet : Carnivore
Group : Mayor
Amblyglyphidodon curacao
Family : Pomacentridae
Length : 5 – 10 cm
Diet : Planktivore
Group : Mayor
Acropora sp.
Family : Acroporidae
Ordo : Scleractinia
Genus : Acropora
Echinopora sp.
Family : Meruliniidae
Ordo : Scleractinia
Genus : Echinopora
Porites sp.
Family : Poritiidae
Ordo : Scleractinia
Genus : Porites
Xenia sp.
Family : Xeniidae
Ordo : Alcyonacea
Genus : Xenia
Lampiran 2. Rencana Strategis Konservasi Keanekaragaman Hayati 2017-2022 di DPL Sebesi
Nama Program
Metode PIC Tujuan
Program
Target
2017-2018 2018-2019 2019-2020 2020-2021 2021-2022
Pengembangan Sumberdaya Manusia & Organisasi
Awareness, InHouse Training, Coaching
Meily Priliani
Penumbuhan kepedulian, peningkatan kemampuan SDM, perubahan paradigma
Satu kali inhouse training KEHATI Terbentuk Tim KEHATI Lintas Departemen
Satu kali inhouse training KEHATI dan sosialisasi untuk peningkatan kesadaran
Pengamanan Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi
Patroli - Seksi Patroli BP DPL - Yusren - PLTU Tarahan
Menurunkan angka pelanggaran di Daerah Perlindungan Laut
Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan
Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan
Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan
Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan
Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan
Menyusun Basis Data Kondisi Ekosistem Terumbu Karang
Pengamatan langsung ekosistem terumbu karang
- Seksi Perencanaan BP DPL - Hayyu Dini - PLTU Tarahan
Mengetahui dan memutakhirkan informasi kondisi ekosistem terumbu karang
Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali
Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali
Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali
Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali
Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali
Nama Program
Metode PIC Tujuan
Program
Target
2017-2018 2018-2019 2019-2020 2020-2021 2021-2022
Kerja sama dengan Institusi Pendidikan dan penelitian
Penawaran kerja sama, diskusi, publikasi
Meily Priliani
1) melibatkan perguruan tinggi dalam penelitian kehati 2) Publikasi hasil kegiatan kehati melalui jurnal, koran, dll
1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku
1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku 3. Terdapat mahasiswa yang melakukan penelitian skripsi/tesis/disertasi
1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku 3. Terdapat mahasiswa yang melakukan penelitian skripsi/tesis/disertasi
1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku 3. Terdapat mahasiswa yang melakukan penelitian skripsi/tesis/disertasi
1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku 3. Terdapat mahasiswa yang melakukan penelitian skripsi/tesis/disertasi
Peningkatan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang
Pembuatan dan penempatan Fish Agregation Devices
- Seksi Perencanaan BP DPL - Yusren - PLTU Tarahan
Menyediakan ruang hidup untuk ekosistem terumbu karang
Penempatan 50 set FAD
Penempatan 50 set FAD
Penempatan 100 set FAD
Pengelolaan Ekowisata di Daerah Perlindungan Laut
- Forum Diskusi, Focus Discussion groups, rapat
- Kepala BP DPL - Meily Priliani
Menyusun aturan pemanfaatan DPL untuk ekowisata
- Kajian terhadap Pasal 6 SK Kepala Desa Tejang No 140/02/KD-TPS/16.01/I/2002
Terbit peraturan terkait kegiatan ekowisata di DPL
Implementasi pengelolaan Ekowisata
Implementasi pengelolaan Ekowisata
Implementasi pengelolaan Ekowisata
Lampiran 3. Rencana Kerja Konservasi Keanekaragaman Hayati 2017-2018 di DPL Sebesi
Program Tujuan Sasaran Kegiatan Indikator Program
PiC Due Dat
e
Schedule
Semester II 2017 Semester I 2018
7 8 9 10
11
12
1 2 3 4 5 6
Pengembangan Sumber daya Manusia & Organisasi
Penumbuhan kepedulian, peningkatan kemampuan SDM, perubahan paradigma
Satu kali inhouse training KEHATI Terbentuk Tim KEHATI Lintas Departemen
Inhouse Training Keanekaragaman Hayati
70% pegawai mengikuti training
Meily Priliani
Pengamanan Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi
Menurunkan angka pelanggaran di Daerah Perlindungan Laut
Patroli di Daerah Perlindungan Laut 2 kali dalam sebulan
Melakukan patroli bersama
Patroli terlaksana sesuai jadwal
- Seksi Patroli BP DPL - Yusren - PLTU Tarahan
Menyusun Basis Data Kondisi Ekosistem Terumbu Karang
Mengetahui dan memutakhirkan informasi kondisi ekosistem terumbu karang
Pengamatan ekosistem terumbu karang setahun sekali
Pengamatan ekosistem terumbu karang
Laporan hasil pengamatan
- Seksi Perencanaan BP DPL - Hayyu Dini - PLTU Tarahan
Kerja sama dengan Institusi Pendidikan dan penelitian
1) melibatkan perguruan tinggi dalam penelitian kehati 2) Publikasi hasil kegiatan kehati melalui jurnal, koran, dll
1) Memiliki MoU dgn salah satu Universitas 2) Terdapat satu publikasi kehati yg dimuat di koran, jurnal, atau buku
Penerbitan karya tulis ilmiah di Koran, Jurnal, atau buku
DPL sebesi dimuat di koran, jurnal atau buku
Meily Priliani
Peningkatan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang
Menyediakan ruang hidup untuk ekosistem terumbu karang
Penempatan 50 set FAD/Transplantasi karang
Pembuatan dan Penempatan 50 set FAD/ Transplantasi karang
terdapat planula dan/atau komunitas ikan karang di sekitar FAD/ Transplantasi karang
- Seksi Perencanaan BP DPL - Yusren - PLTU Tarahan
Pengelolaan Ekowisata di Daerah Perlindungan Laut
Menyusun aturan pemanfaatan DPL untuk ekowisata
- Kajian terhadap Pasal 6 SK Kepala Desa Tejang No 140/02/KD-TPS/16.01/I/2002
- Kepala BP DPL - Meily Priliani
Recommended