View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS YURIDIS TERHADAP KLAUSULA BAKU DALAM
PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FAJAR WULANDARI
11140480000044
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2018M
i
ANALISIS YURIDIS TERHADAP KLAUSULA BAKU DALAM
PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FAJAR WULANDARI
11140480000044
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2018M
ABSTRAK
Fajar Wulandari NIM 11140480000044. “ANALISIS YURIDIS
TERHADAP KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN
KONSUMEN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
338/Pdt.G/2016/PN.Jkt. Sel)” Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. lx
+ 80 halaman. Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mengenai klausula baku dalam
perjanjian Pembiayaan Konsumen Berdasarkan Peraturan Perundangan-undangan yanga berlaku dimana mengatur adanya ketentuan pencantuman klausula baku.
Skripsi ini membahas Secara singkat bahwa kasus tersebut memperlihatkan
tentang bagaimana klausula baku yang dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan
konsumen PT. Toyota Astra Financial Services diangggap batal demi hukum oleh
pengadilan karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Membahas
bagaimanakah KUH Perdata dan UUPK melihat Klausula baku sebagai suatu
perjanjian ataupun unsur perjanjian, dan dalam perjanjian pembiayaan konsumen
yang dibuat secara baku pada PT. Toyota Astra Financial Services apakah
mengandung klausul eksonerasi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
penelitian yuridis-normatif. Penelitian ini melakukan pengkajian terhadap
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal (library research) yang
berhubungan dengan skripsi ini selanjutnya melihat kenyataan melalui Putusan
Mahkamah Agung. Hasil penelitian menunjukan bahwa masih ada suatu
perjanjian baku yang mengandung klausula eksenorasi yang merupakan salah satu
bentuk klausula baku yang dilarang oleh Undang-Undang.
Kata Kunci : Perjanjian Baku, Perlindungan Konsumen, Klausula Eksenorasi
Pembimbing : Dra. Ipah Parihah, M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 Sampai 2016
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpah rahmat dan hidayah-Nya.
Shalawat Serta salam senantiasa tercurahkan kepada bagina Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa umatanya dari masa kegelapan ke masa terang
benderang seperti saat ini. Sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP KLAUSULA BAKU DALAM
PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel)”.
Penyusun skripsi ini adalah salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
baik dari segi moril maupun materil. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan
ucapan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan
skripsi ini.
3. Dra. Ipah Parihah, M.Hum. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam memberikan
bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada
peneliti dalam menyusun skripsi ini.
4. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga Allah S.W.T senantiasa
membalas jasa-jasa serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah.
vi
5. Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Kepala Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda Mukhlis dan Ibunda Kasmawati
Kakakku Selvina Listyawati, adikku Muhammad Afriyaldo, serta anggota
keluarga peneliti lainnya yang telah tulus dan tiada henti mendoakan agar
peneliti dapat menyelesaikan pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Perguruan
Tinggi dan telah memberikan bantuan, semangat, serta dukungan baik dari
segi materiil maupun moril agar skripsi ini dapat berjalan dengan lancar
hingga selesai.
7. Terimakasih juga kepada kawan-kawan angkatan 2014 Ilmu Hukum,
khususnya Sahabat KUSEM yaitu Nurul Fazriani Agustin, Halida Maizura,
Anisa Novitasari, Dian Nur Rizkiani, Muslimah, Zul Amirul Haq, Martunis,
Iqra Fadhila, Nauval Fathu Dzulfikar, dll yang telah berjuang sama-sama,
saling membantu dan mendukung selama perkuliahan serta dalam penulisan
skripsi ini.
8. Terimakasih kepada sahabat-sahabat peneliti terutama Indah Khoirunnisa,
Sarah Humairah, dan Rahmatunnazila yang telah memeberikan semangat, doa,
dan dukungan selama penulisan skripsi ini. Dan semua pihak yang telah
memberikan semangat dan dukungan serta membantu peneliti dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti maupun bagi para
pembaca khususnya dibidang hukum bisnis.
Jakarta, 08 Januari 2019
Fajar Wulandari
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
D. Metode Penelitian........................................................................ 8
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 13
A. Kerangaka Konseptual ................................................................ 13
1. Pengertian Perjanjian ......................................................... 13
2. Perjanjian Baku .................................................................. 16
3. Klausula Eksenorasi dalam Perjanjian Baku...................... 20
4. Larangan Pencantuma Klausula Eksenorasi ...................... 23
5. Peraturan Mengenai Klausula Eksenorasi .......................... 26
B. Kerangka Teori......................................................................... 27
1. Teori Hukum Perjanjian ..................................................... 27
2. Teori Perlindungan Hukum ................................................ 30
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu....................................... 32
BAB III PERJANJIAN PEMBIAYAAN PT. TOYOTA ASTRA
FINANCIAL SERVICES ............................................................ 35
viii
A. Profil PT. Toyoya Astra Financial Services ........................................ 35
1. Sejarah PT. Toyoya Astra Financial Services .................................. 35
2. Visi dan misi ............................................................................................... 37
3. Merek (Brand) PT. Toyota Astra Financial Services ..................... 37
4. Struktur organisasi PT. Toyota Astra Financial Services ............ 37
B. Lembaga Pembiayaan Konsumen .......................................................... 38
C. Duduk Perkara .............................................................................................. 46
BAB IV ANALISIS KLAUSULA-KLAUSULA BAKU DALAM
PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN ANTARA PT.
TOYOTA ASTRA FINANCIAL SERVICES DENGAN H.M.
SOLEH ................................................................................................................. 50
A. Pertimbangan Hukum Hakim dan Putusan Pengadilan ................... 50
B. Klausula Eksenorasi dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-
Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pembiayaan . 55
C. Analisis ........................................................................................................... 59
BAB V PENUTUP ............................................................................................................ 76
A. Kesimpulan ................................................................................................... 76
B. Rekomendasi ................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 79
LAMPIRAN ............................................................................................................................ 82
A. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1: Merek (Brand) PT. Toyota Astra Financial Services .......................... 37
Gambar 1.2: Struktur organisasi PT. Toyota Astra Financial Services .................. 38
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Era Globalisasi sekarang ini Indonesia sedang giat-giatnya
melakukan pembangunan di segala bidang, baik di bidang ekonomi, sosial,
budaya dan politik. Pembangunan ini dimaksudkan untuk mengejar
ketinggalan dari negara-negara maju. Untuk itu diperlukan peran serta
Pemerintah dalam mendukung sepenuhnya perkembangan bidang usaha
pembiayaan dengan memberikan berbagai fasilitas serta berusaha melibatkan
bidang usaha ini dalam berbagai kegiatan pembangunan yang sedang
digalakkan. Selain itu peran serta masyarakat juga sangat penting demi
terlaksananya pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat memberi
pengaruh yang besar, terutama pihak swasta.
Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara salah satu
indikatornya adalah laju pertumbuhan pendapatan, agar laju pertumbuhan
pendapatan dapat ditingkatkan maka investasi mempunyai arti penting.
Ketersediaan dana untuk investasi secara formal tersalurkan melalui lembaga
perantara finansial (lembaga keuangan), baik bank maupun lembaga-lembaga
keuangan bukan bank lainnya. Untuk memperoleh pembiayaan dana dan
peralatan modal maka terdapat suatu lembaga untuk memenuhi kebutuhan
tersebut yaitu lembaga Pembiayaan yang dapat dilakukan oleh:1
1. Bank,
2. Lembaga Keuangan Bukan Bank,
3. Perusahaan Pembiayaan.
Lembaga Pembiayaan melakukan kegiatan usaha yang meliputi bidang
usaha :2
1 Abdulkadir Muhammad, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2004), h. 8
2 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1995), h. 3
2
a. Sewa Guna Usaha (leasing),
b. Modal Ventura,
c. Perdagangan Surat Berharga,
d. Anjak Piutang,
e. Usaha Kartu Kredit,
f. Pembiayaan Konsumen.
Salah satu bidang usaha dari lembaga pembiayaan yang berkembang pesat
saat ini adalah usaha pembiayaan konsumen. Didalam usaha ini perusahaan
pembiayaan melakukan usaha-usaha dalam pembiayaan kredit barang
konsumsi. Hal utama yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan tersebut
adalah mengikat konsumen yang akan mengajukan kredit konsumsi dengan
suatu perjanjian.
Penjualan secara kredit dalam pembiayaan konsumen disini mengandung
arti bahwa pihak konsumen mengajukan permohonan kredit pada pihak
perusahaan pembiayaan konsumen untuk memberikan sejumlah uang kepada
penyedia barang (supplier) guna pembelian barang, sementara itu penerima
barang (konsumen) berkewajiban untuk mengembalikan uang tersebut kepada
perusahaan pembiayaan konsumen secara berkala atau angsuran.
Dalam pembiayaan konsumen tidak mengharuskan penyerahan agunan
sebagai jaminan melainkan hanya barang yang dibiayai itulah yang langsung
dibebani dengan jaminan fidusia, sehingga konsumen tetap menguasai obyek
pembiayaan dan mengambil manfaat dari obyek pembiayaan barang tersebut.
Pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem
pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen.3
Dalam perjanjian pembiayaan konsumen, perjanjian yang digunakan
adalah perjanjian baku. Artinya perusahaan telah menentukan isi perjanjian,
syarat, ketentuan termasuk hak dan kewajiban para pihak, sehingga tidak
disediakan kesempatan bagi konsumen untuk mendiskusikan isi dari
perjanjiannya. Konsumen hanya diberikan pilihan untuk menyetujui isi
3 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 2
3
perjanjian atau tidak menyetujui. Penandatangananlah yang menjadi tanda
disepakatinya isi perjanjian.
Perikatan diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata). Diawali dengan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa: "Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetetujan,
maupun karena undang-undang", ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata
dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak terkait dalam perikatan
yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan dernikian, perikatan
berarti hubungan hukum antara dua atau lebih orang dalam bidang/lapangan
harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam
hubungan hukum tersebut.4 KUH Perdata, menganut asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian
hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian.
Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang universal, artinya dianut oleh
hukum kontrak di semua negara pada umumnya. Asas kebebasan berkontrak
dapat diketahui dari ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH
Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang memuat
ketentuan-ketentuan normatif, yaitu:
1) Semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya,
2) Kontrak itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu,
3) Kontrak-kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Kebebasan berkontrak disini bukan lagi kebebasan mutlak karena terdapat
batasan-batasan yang diberikan oleh Pasal-Pasal dalam KUH Perdata yang
membuat asas in merupakan asas tidak tak terbatas, yaitu:
4 Mulajadi Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 17
4
a) Pasal 1-20 Ayat (1), bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila
dibuat tanpa adanya consensus atau sepakat dari para pihak yang
membuatnya.
b) Pasal 1320 Ayat (3), bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan
(dihitung dan ditetapkan) atau dengan kata lain harus memiliki nilai
ekonomis.
c) Pasal 1339 Ayat (3), bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan
dengan itikad baik.
Pada perjanjian baku, kurang diakui lagi asas kebebasan berkontrak.
Perjanjian baku muncul karena adanya hubungan antara para pihak yang tidak
seimbang. sehingga memicu pihak yang ada pada kedudukan lebih tinggi
untuk melakukan hal-hal yang menekan pihak lain yang berada pada posisi
lemah. Keadaan inilah yang memicu lahirnya perjanjian-perjanjian dalam
bentuk baku. Perjanjian baku dibuat secara sepihak oleh salah satu pihak yang
memiliki kedudukan lebih kuat. Dengan demikian syarat, ketentuan dan isi
dan perjanjian telah ditentukan terlebih dahulu oleh pihak yang lebih kuat
tersebut. Mariam Danrus Badrulzaman menyatakan bahwa, perjanjian baku
adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan
dituangkan dalam bentuk formulir, dengan ciri-ciri sebagai berikut:5
(1) lsinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih
kuat dari debitur
(2) Debitur sama sekali tidak menentukan isinya
(3) Terdorong oleh kebutuhannya, maka debitur terpaksa menerima
perjanjian itu
(4) Bentuknya tertulis
(5) Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individu.
Asas kebebasan berkontrak hanya ditandai dengan keinginan konsumen
untuk rnenandatangani atau tidak menandatangani kontrak yang telah
5 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku
(Standart), (Bandung: Alumni, 1980), h. 32
5
disediakan oleh pihak perusahaan pembiayaan konsumen. Atau dengan kata
lain take it or leave it.
Disetiap pembuatan kontrak, baik dalam tahap pra kontrak maupun saat
pembuat kontrak harus memuat itikad baik dari kedua belah pihak. Itikad baik
dari perjanjian dapat dilihat dari isi kontrak tersebut, serta pengaturan hak dan
kewajiban masing-masing pihak harus berimbang.6 Yang telah dijelaskan
sebelumnya dalam perjanjian pembiayaan konsumen yang dibuat berdasarkan
asas kebebasan berkontrak juga harus dibuat dengan itikad baik. Selain dibuat
dengan itikad baik dalam pembuatan perjanjian pembiayaan konsumen juga
harus memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yaitu
mengenai klausula- klausula baku yang dilarang dicantumkan dalam suatu
akta atau perjanjian.
Klausula baku merupakan suatu klausula yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh pelaku usaha pada kemasan barang ataupun pada surat-surat
yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa yang dibeli. Klausula baku yaitu
suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat tertentu sehingga terlihat lebih
menguntungkan bagi pihak yang mempersiapkan pembuatannya, yaitu
produsen atau pelaku usaha.7
Pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan metode yang tidak dapat
dihindari. Bagi pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan
ekonomi yang efesien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi
konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya
dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati.
Dalam membuat perjanjian, pelaku usaha selalu berada pada posisi kuat
berhadapan dengan konsumen yang umumnya berposisi lemah. Singkatnya,
tidak adanya pilihan bagi konsumen untuk bernegosiasi mengenai isi
6 H.R. Daeng Naja, Contract Drafting, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), h. 15
7 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2002), h. 109
6
perjanjian membuat konsumen menjadi pihak yang kurang dominan sebagai
cenderung dirugikan.8 Perjanjian pembiayaan konsumen dengan penerapan
klausula baku ini tentunya lebih banyak merugikan konsumen, sebaliknya
pasti akan menguntungkan lembaga pembiayaan.
Salah satu kasus tentang klausula baku yang terjadi di indonesia yang akan
peneliti bahas adalah mengenai kasus pembatalan klausula baku pada
perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra Financial Services, di
mana pihak debitur H.M. Soleh dan pihak kreditur PT. Toyota Astra Financial
Services. Secara singkat kasus tersebut memperlihatkan tentang bagaimana
klausula baku yang dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT.
Toyota Astra Financial Services diangggap batal demi hukum oleh pengadilan
karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, peneliti tertarik untuk
membuat suatu Penulisan Hukum mengenai “Analisis Yuridis Terhadap
Klausula Baku Pembiayaan Konsumen (Studi Kasus Putusan Pegadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjabaran yang termaktub pada latar belakang masalah,
identifikasi masalah pada skripsi ini anatara lain:
a. Adanya pembiayaan konsumen merupakan lembaga pembiayaan yang
kegiatannya berupa penyediaan dana oleh perusahaan pembiayaan
konsumen kepada konsumen untuk pembelian suatu barang dari
pemasok (supplier).
b. Dalam transaksi pembiayaan konsumen ada tiga pihak yang terlibat
dalam hubungan pembiayaan konsumen, yaitu perusahaan pembiayaan
konsumen, konsumen, dan pemasok (supplier).
8 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 53
7
c. Banyaknya perusahaan pembiayaan atau yang lazim disebut finance,
merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat akan keinginan unut
memiliki kendaraan bermotor dan benda bergerak lainnya secara
kredit.
d. Adanya kemungkinan terjadinya kerugian konsumen dalam
pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen bisa saja terjadi. Dalam
perjanjian baku (standard) konsumen dianggap sudah mengerti isi dari
perjanjian sehingga hal itu dapat mengakibatkan kerugian konsumen.
2. Pembatasan Masalah
Peneliti ini berfokus pada Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel dikaitakan dengan
Undang-Undang yang berlaku.
3. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian
ini terkait dengan pembatalan klausula baku pada perjanjian pembiayaan
konsumen PT. Toyota Astra Financial Services. kasus tersebut
memperlihatkan tentang bagaimana klausula baku yang dicantumkan
dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra Financial
Services diangggap batal demi hukum oleh pengadilan karena tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian sebagai
berikut:
a. Apakah Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan peraturan pembiayaan mengatur tentang
klausula-klausula baku dalam suatu perjanjian?
b. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Putusan pada perjanjian
pembiayaan konsumen yang mengandung klausula eksenorasi yang
dibakukan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
8
Sesuai dengan identifikasi serta rumusan masalah yang dijelaskan
sebelumnya, peneliti ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui tata cara pembuatan perjanjian pembiayaan
konsumen yang di dalamnya terdapat klausula baku yang sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim mengikuti putusan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel.
2. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
yang baik yang tidak hanya untuk peneliti, tetapi juga untuk akademis dan
masyarakat umum.
a. Secara teoritis, penelitian ini dapat menambah wawasan serta
keilmuwan tentang perlindungan hukum mengenai pembiayaan
konsumen dalam kalusula baku yang dibuat secara sepihak oleh
lembaga pembiayaan konsumen.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
dan pengetahuan bagi para pihak yang terkait pengguna klausula baku
dalam perjanjian pembiayaan konsumen.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif
atau pendekatan penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif
adalah suatu metode penelitian hukum untuk menarik dan memahami asas-
asas hukum yang dirumuskan baik tersirat, maupun tidak tersirat dalam
suatu peraturan perundang-undangan dan mengkaitkannya dengan gejala-
gejala yang menjadi permasalahan di dalam suatu penelitian.9 Dalam
penelitian ini yang menjadi objek yuridis normatif yaitu menganalisis
Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
9 Sri Mahmudji, et all, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 10
9
338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel. dengan ketentuan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
peraturan lainnya serta mengetahui akibat hukum tersebut oleh perusahaan
pembiayaan konsumen khususnya menegenai pelaku usaha jasa keuangan
yang sudah merugikan konsumen dalam klausula baku.
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan metode
kualitatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah
penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.10
3. Data Penelitian
Data yang digunakan yaitu data sekunder. Pada penelitian normatif,
bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian
digolongkan sebagai data sekunder.11
Data sekunder adalah data yang
diperoleh peneliti dari berbagai studi kepustakaan serta peraturan
perundang-undangan, buku-buku, literatur serta pendapat para ahli yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian ini yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas
peraturan perundang-undangan, risalah resmi, putusan pengadilan, dan
dokumen resmi Negara. Peraturan perundang-undangan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peratuan OJK No.
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
b. Bahan Hukum Sekunder
10
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h., 105
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun Singkat,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 33
10
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang terdiri atas buku
atau jurnal hukum yang mengenai prinsip-prinsip dasar (asas hukum),
pandangan para ahli hukum (doktrin), hasil penelitian hukum, kamus
hukum dan ensiklopedia hukum.
c. Bahan non hukum
Bahan non hukum adalah bahan penelitian yang terdiri atas buku
teks bukan hukum yang terkait dengan penelitian seperti buku politik,
ekonomi, data sensus, laporan tahunan perusahaan, kamus Bahasa dan
ensiklopedia umum.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
a. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu metode
kepustakaan yaitu peneliti dengan mengumpulkan data dan meneliti
melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini,
yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar
dalam meneliti dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi.
Penelitian yang dilakukan dengan membaca serta menganalisis
peraturan perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti
karya ilmiah para sarjana, surat kabar, maupun sumber teoritis lainnya
yang berkaitan dengan materi skripsi yang peneliti ajukan.
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan studi
kepustakaan yang dilakukan dengan mencari referensi untuk
mendukung materi penelitian ini malalui peraturan perundang-
undangan, buku, jurnal, artikel, tesis dan bahan ajar perkuliahan.
5. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini subjek yang digunakan adalah perusahaan
pembiayaan konsumen selaku lembaga pembiayaan konsumen yang
dimana perusahaan yang memfasilitasi konsumen untuk melakukan
pembayaran secara berkala (angsuran).
6. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
11
Bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
maupun bahan hukum tersier dan/atau bahan non-hukum diolah, ditelaah
atau disusun ulang agar dapat dihubungkan sedemikian rupa, sehingga
dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis dalam penelitian
ini sehingga dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum
diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya
akan diketahui suatu analisis yuridis terhadap Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 338/Pdt.G.2016/PN.Jkt.Sel
kemudian di kaitkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata)
7. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penukisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, Tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan dalam bentuk
bab sub bab yang secara logis sealing berhubungan dan merupakan suatu
masalah yang diteliti, adapn sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang membahas mengenai latar
belakang permasalahan, identifikasi masalah, pembatasan
masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan
BAB II pada bab ini akan di bahas terkait kerangka konseptual yang
terkait dengan landasan penulisan peneliti ini, yang kemudian
dilanjutkan dengan kerangka teori yang sering digunakan
12
dalam penelitian ini dan diakhiri dengan study review (tinjauan
terdahulu) agar dalam penulisan ini tidak ada kesamaan dari
pihak lain.
BAB III dalam bab ini peneliti akan menulis profil lembaga terkait yang
menjadi acuan bagi peneliti untuk menulis penulisan ini
kemudia dilanjutkan dengan pembahasan pembiayaan
konsumen dan duduk perkara yang akan diteliti dalam
penulisan ini. Yang kemudian peneliti akan menyajikan data
penelitian.
BAB IV pada bab ini peneliti fokus untuk melakukan analisis terhadap
data yang penulis dapat dan penulis elaborasi dalam bentuk
analisis yang komprehensif dan aktual.
BAB V Pada bab ini merupakan bab terakhir atau penutup, yang berisi
kesimpulan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas
dan beberapa rekomendasi yang coba diajukan peneliti.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Perjanjian
Pengertian Perjanjian diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Pasal
1313 KUH Perdata merumuskan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Definisi perjanjian yang dirumuskan di dalam Pasal
1313 KUH Perdata tersebut dirasa kurang lengkap dan memiliki
kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hanya menyangkut sepihak saja.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
d. Tanpa menyebut tujuan.
Oleh karena itu terdapat beberapa definisi mengenai perjanjian itu
sendiri, antara lain:
1) Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1
2) Menurut Tirtodiningrat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh
undang-undang.2
3) Menurut Setiawan dalam buku Pokok-pokok Hukum Perikatan,
Perjanjian adalah perbuaan hukum dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
1 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2009), h. 84
2 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsiobalitas dalam Kontrak Komersial,
(Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), h. 43
14
orang atau lebih.3
Dari perjanjian ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dalam Buku III KUH Perdata berjudul Perihal Perikatan. Adapun
yang dimaksudkan dengan perikatan oleh Buku III KUH Perdata adalah
suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua
orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu
dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan untuk
memenuhi tuntutan itu.4
Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si
berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan
dinamakan debitur atau si berutang. Hubungan antara dua orang atau dua
pihak tadi, adalah suatu hubungan hukum, yang berarti bahwa hak si
berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang.5 Apabila tuntutan
itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya
didepan hakim.
Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah
bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber
perikatan, disampingnya sumber-sumber lain.6 Suatu perjanjian juga
dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan
sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan
persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit
karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
3 R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: PT Bima Cipta, 2008), h. 14
4 R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, … h. 122
5 R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, … h. 1
6 R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, … h. 1
15
Suatu Kontrak atau perjanjian untuk dapat dikatakan mengikat dan
berlaku harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan
oleh hukum, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab
yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.7
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat yang
terdapat pada setiap perjanjian, dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut
maka suatu perjanjian dapat berlaku sah. Adapun keempat syarat tersebut
adalah:
a) Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian
b) Kecakapan untuk membuat perjanjian
c) Suatu hal tertentu
d) Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama yaitu poin (a) dan poin (b) dinamakan syarat
subjektif, dikarenakan mengenai pihak-pihak dalam suatu perjanjian atau
subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir yaitu
poin (c) dan poin (d) dinamakan syarat objektif, dikarenakan mengenai
perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
(1) Syarat yang pertama yaitu sepakat, dimaksudkan bahwa kedua
pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau
seiya-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan
itu.8
(2) Syarat yang kedua yaitu cakap, dimaksudkan bahwa orang yang
membuat suatu perjanjian haruslah cakap menurut hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya,
adalah cakap menurut hukum.
(3) Syarat yang ketiga yaitu harus mengenai suatu hal tertentu, artinya
adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah
pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan
7 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Prenada Media 2004), h.
1
8 R. Soebekti, Hukum Perjanjian, … h. 17
16
dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa
barang itu sudah ada atau sudah berada di tangan pihak yang
berutang pada waktu perjanjian dibuat dan tidak diharuskan oleh
undang-undang.9
(4) Syarat keempat yaitu adanya sebab yang halal, sebab dalam hal ini
dimaksudkan bahwa tidak ada lain dari pada isi dari perjanjian.10
2. Perjanjian Baku
Perjanjian baku dalam prekteknya dikenal ada berbagai sebutan untuk
jenis perjanjian/kontrak semacam ini misalnya di Prancis digunakan
Contract d’adhesion. Perjanjian baku diartikan dari istilah yang dikenal
dalam bahasa Belanda standard contract atau standard voorwaarden.
Kepustakaan jerman mempergunakan istilah Allgemeine Geschafts
Bedingun atau standart vertrag. Hukum inggris menyebutkan Standard
contract, sedangkan Mariam Darus Badrulzaman menterjemahkannya
dengan istilah perjanjian baku.11
Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku karena keadaan sosial
ekonomi. Perusahaan besar dan perusahaan pemerintah mengadakan
kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka,
ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya pada umumnya
mempunyai kedudukan yang lemah baik karena posisinya maupun karena
ketidaktahuannya, mereka hanya menerima apa yang disodorkan dan
apabila debitur menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin
hanya bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali
kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada.12
9 R. Soebekti, Hukum Perjanjian, … h. 19
10
R. Soebekti, Hukum Perjanjian, … h. 19
11
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 146.
12
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, … h. 14
17
Perjanjian baku (standar) itu sebagai perjanjian yang hampir seluruh
klausula-klausulanya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan adalah beberapa hal
lainnya yang sifatnya sangat spesifik dari obyek yang diperjanjikan.
Dengan demikian perjanjian baku (standar) adalah perjanjian yang
diterapkan secara sepihak oleh produsen/pelaku usaha yang mengandung
ketentuan yang berlaku umum (massal) sehingga pihak konsumen hanya
mempunyai 2 pilihan saja yaitu:13
a. Apabila konsumen membutuhkan produk barang dan/atau jasa yang
ditawarkan, maka stujuilah perjanjian dengan syarat-syarat baku yang
telah ditentukan oleh pelaku usaha (take It).
b. Apabila konsumen tidak menyetujui syarat-syarat baku ditawarkan
oleh pelaku usaha tersebut, maka jangan membuat perjanjian dengan
pelaku usaha yang bersangkutan (leave It).
Sluijter mengatakan bahwa klausula baku bukan merupakan perjanjian,
sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti
pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-
syarat yang ditentukan pengusaha dalam klausula itu adalah undang-
undang bukan perjanjian.14
Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, perjanjian baku
memiliki ciri-ciri perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan
perkembangan tuntutan masyarakat. Abdulkadir Muhammad menyebutkan
ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut:15
1) Bentuk perjanjian tertulis
2) Format perjanjian dibakukan
13
Nasution Az, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 97
14
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 76
15
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, … h. 6
18
3) Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha
4) Konsumen hanya menerima atau menolak
5) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah
6) Perjanjian baku menguntungkan pengusaha.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ciri-ciri perjanjian baku adalah
sebagai berikut:16
a) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya
relatif lebih kuat dari debitur,
b) Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut,
c) Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima
perjanjian tersebut,
d) Dipersiapkan terlebih dahulu secara masal atau individual.
Perjanjian baku memegang peranan penting dalam dunia usaha dan
perdagangan modren. Perjanjian ini bisasanya dibentuk oleh pelaku usaha
untuk mengadakan berbagai jenis transaksi khusus. Isinya ditetapkan agar
dapat digunakan lagi dalam perjanjian mengenai produk barang dan/atau
jasa serupa dengan pihak-pihak lain tanpa harus melakukan perundingan
berkepanjangan mengenai syarat-syarat yang seniatiasa muncul.
Maksud dari tindakan seperti ini adalah untuk menghemat waktu,
tenaga, dan biaya-biaya transaksi, juga agar dapat memusatkan perhatian
pada hal-hal yang khusus yang lebih penting. Dari sisi pelaku usaha, hal
seperti ini merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan ekonomi yang
efisien, praktis, cepat, dan tidak bertele-tele.17
Selain itu, penetapan syarat-syarat baku dalam perjanjian dapat
memberikan keuntugan lain bagi pelaku usaha. Perjanjian dapat
mempelancar dan mempermudah hubungan antara pelaku usaha dengan
16
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1980), h. 105
17
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, … h.
2
19
langganan dan pemasok barang, karena mereka tidak perlu berunding dulu
ketika hendak melakukan transaksi.
Menurut Az. Nasution, bentuk perjanjian dengan syarat baku pada
umumnya terdiri atas:
(1) Bentuk Perjanjian
Suatu perjanjian telah di persiapkan terlebih dahulu konsepnya
oleh salah satu pihak, yang umumnya dilakukan oleh pelaku usaha.
Perjanjian ini selain memuat aturan-aturan umum yang tercantum
dalam suatu perjanjian, memuat pula persyaratan-persyaratan
khusus, baik itu berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian,
menyangkut hal-hal tertentu, dan/atau masa berakhirnya perjanjian
itu. Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan
suatu perjanjian, baik itu dalam bentuk formulir atau lain-lain,
dengan materi atau syarat-syarat tertentu dalam perjanjian tersebut.
Misalnya memuat ketentuan tentang syarat berlakunya kontrak
baku, syarat-syarat berakhirnya, syarat-syarat tentang resiko
tertentu, hal-hal tertentu yang di tanggung, dan/atau berbagai
persyaratan lain yang pada umumnya menyimpang dari ketentuan
umumnya berlaku.18
(2) Bentuk Dokumen
Klausula baku dapat juga terdapat dalam bentuk-bentuk
lain, yaitu syarat-syarat khusus yang termuat dalam berbagai
bentuk kwintansi,bon,karcis, tanda penerimaan atau tanda
penjualan, kartu-kartu tertentu, klausula yang tertera pada papan
pengumuman yang diletakkan diruang penerimaan tamu atau di
lapangan, atau secarik kertas tertentu yang termuat di dalam
kemasan atau pada wadah produk yang bersangkutan.
Yang membedakan antara klausula baku dalam bentuk
perjanjian dan klasula baku dalam bentuk dokumen adalah tanda
18
Nasution Az, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2007), h. 111
20
tangan para pihak. Pada kalusula baku berbentuk perjanjian,
biasanya terdapat tempat untuk membubuhkan tanda tangan bagi
para pihak yang menyutujui klausula atau perjanjian tersebut.
Sedangkan pada klausula baku yeng berbentuk dokumen tidak
terdapat kolom untuk membubuhkan tanda tangan.19
Perjanjian baku yang sering dijumpai dalam masyarakat, dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:20
(a) Perjanjian baku sepihak. Perjanjian baku sepihak ini adalah
perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya di dalam perjanjian tersebut. Pihak yang kuat dalam
hal ini adalah pihak pelaku usaha, yang pada umumnya memiliki
posisi lebih kuat dibandingkan konsumen.
(b) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah. Perjanian ini
adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah
terhadap perbuatan hukum tertentu.
(c) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau
Advokat. Perjanjian jenis ini adalah perjanjian yang konsepnya
sejak semula adalah untuk memenuhi permintaan dari anggota
masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang
bersangkutan, yang didalam kepustakaan belanda di sebut dengan
„Contract Model‟.
3. Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Baku
Klausula eksonerasi ini dapat terjadi atas kehendak satu pihak yang
dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara masal. Terhadap
perjanjian yang bersifat masal, lazimnya telah dipersiapkan terlebih dahulu
formatnya dan diperbanyak serta dituangkan dalam bentuk formulir yang
dinamakan perjanjian baku. Klausula eksonerasi berupa pembebasan
tanggung jawab pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban
19
Nasution Az, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, … h. 110
20
Salim H.S, Perkembangan Hukum. Kontrak di Luar KUH Perdata, … h. 156
21
konsumen. Pembuktian oleh pihak pengusaha yang membebaskan diri dari
tanggung jawab sulit diterima oleh konsumen karena ketidaktahuannya.
Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format
perjanjian yang sudah siap dipakai.21
Jika konsumen merasa memerlukan
perjanjian tersebut, maka ia harus tanda tangan.
Klausula eksonerasi menurut Rijken adalah klausul yang dicantumkan
dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk
memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas
yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.22
Mariam Darus Badrulzaman menyebut klausula eksonerasi sebagai
klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban kreditur.23
Ada beberapa ahli yang menyebut klausula eksonerasi dengan klausula
eksemsi yaitu suatu klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau
membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak
lainnya dalam hal yang bersangkutan dalam hal yang bersangkutan tidak
atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang
ditentukan di dalam perjanjian tersebut.24
Klausula Eksonerasi pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku,
klausul tersebut merupakan klausul yang sangat merugikan konsumen
yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen
karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen dengan adanya
klausula tersebut menjadi bahan konsumen. Sebagai contoh dalam
perjanjian sewa beli, seharusnya segala risiko yang timbul atas obyek
penjanjian tersebut ditanggung oleh pihak yang menyewa belikan karena
21
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, h, … h. 7
22
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Perkasa, 2007), h. 40
23
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di
Indonesia, … h. 95
24
Zakiyah, Klausula Eksonerasi dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, (Jurnal Al‟Adl,
Volume IX Nomor 3, Desember 2017, ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124), h. 442
22
obyek perjanjian tersebut belum menjadi milik penyewa beli sebelum
harganya dibayar lunas, namun biasanya dalam perjanjian jual beli
ditambahkan klausula eksonerasi klausula eksonerasi bahwa segala resiko
yang timbul dalam perjanjian tersebut ditanggung oleh penyewa beli.25
Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan
perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul
karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan.
Karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksenorasi
tersebut.26
Bagaimanapun juga eksonerasi hanya dapat digunakan jika
tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan, dan jika terjadi sengketa mengenai tanggung jawab tersebut,
konsumen dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan pengusaha itu adalah layak.
Tidak dilarang oleh undang-undang, dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan.
Dalam suatu perjanjian bisa saja dirumuskan klausula eksonerasi
karena keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian.
Perbuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua
adan pihak ketiga. dengan demikian ada tiga kemungkinan eksonerasi
yang dapat dirumuskan dalam syarat- syarat perjanjian:27
a. Eksonerasi karena keadaan memaksa (force majeur)
Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung
jawab para pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat
dibebankan kepada konsumen sehingga pengusaha dibebaskan dari
beban tanggung jawab. Misal dalam perjanjian jual-beli, barang objek
perjanjiannya musnah karena terbakar. Sebab kebakaran bukan
25
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, … h. 41
26
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, … h.
20
27
Abdul kadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, … h.
21-22
23
kesalahan para pihak, tetapi dalam hal ini pembeli wajib membayar
yang belum lunas berdasarkan klausula eksonerasi.
b. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak
kedua dalam perjanjian
Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya
menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak
baik atau lalai melaksanakan prestasi terhadapa pihak kedua. Tetapi
dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen,
dan pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab. Misalnya dalam
perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa bawaan yang rusak atau
hilang, bukan tanggung jawab pengangkut.
c. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga
Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya
menjadi tanggung jawab pengusaha, namun dalam syarat-syarat
perjanjian, kerugian yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang
ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini pengusaha
dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan
pihak ketiga.
Jadi penggunaan perjanjian baku dengan menggunakan klausula
eksonerasi merupakan hal yang harus dihindari karena sebagian besar
pemakaian klausula eksonerasi diperuntukkan sebagai klausul pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha atas segala risiko yang terjadi dalam
transaksi tersebut.
4. Larangan Pencantuman Klausul Eksonerasi
Klausul baku menjadi tidak patut ketika kedudukan para pihak menjadi
tidak seimbang karena pada dasarnya, suatu perjanjian adalah sah apabila
menganut asas konsensualisme disepakati oleh kedua belah pihak dan
mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut sebagai
undang-undang. Dengan demikian, pelanggaran terhadap asas
konsensualisme tersebut dapat mengakibatkan perjanjian antara kedua
belah pihak menjadi tidak sah. Oleh karena itu, klausula baku yang
24
mengandung klausula eksonerasi dilarang oleh hukum. Meskipun
perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi telah diperjanjikan
sebelumnya, perjanjian tersebut tidak dapat dianggap sah karena
mengandung ketentuan/klausul yang bertentangan dengan undang-
undang. Larangan penggunaan klausul eksonerasi dapat dilihat undang-
undang dari ketentuan Pasal 18 UUPK.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 UUPK mengatur
mengenai ketentuan klausul baku dalam suatu perjanjian. Pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:28
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barangdan / atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsunguntuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
28
http://www.gresnews.com/berita/tips/91853-klausul-baku-yang-dilarang-dan-tidak-boleh-
dicantumkan-dalam-perjanjian/
25
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa pada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti yang dapat mengakibatkan perjanjian
yang mengandung klausul baku dinyatakan batal demi hukum. Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausulbaku yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan uraian diatas, menurut ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UU
Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan Antara
klausul baku dengan klausuleksonerasi. Artinya klausulbaku merupakan
klausul yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha tetapi isinya tidak boleh
mengarah kepada klausul eksonerasi. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal
18 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa klausul baku
harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan jelas dapat dibaca
dan mudah dimengerti, jika hal-hal yang disebutkan dalam Ayat (1) dan
(2) itu tidak dipenuhi, maka klausul baku itu menjadi batal demi hukum.
Tujuan larangan pencantuman klausula eksonerasi karena berupaya
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap
gugatan pihak lain dalam hal yang bersangkutan tidak melaksanakan
kewajibannya.Tujuan lain dari larangan pencantuman klausul eksonerasi
dalam perjanjian dimaksudkan untuk menempatkan para pihak setara di
hadapan hukum yaitu dalam hal perjanjian.29
Bila kondisi ini terjadi maka
posisi kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidak lagi setara sesuai asas
29
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,
2003), h. 75
26
kebebasan berkontrak, seharusnya para pihak bebas menentukan
klausuldalam perjanjian, pihak yang satu tidak boleh menekan pihak lain,
harus sama-sama merasa puas dengan perjanjian yang dibuat. Menurut
asas kebebasan berkontrak idealnya para pihak yang terikat dalam
perjanjian berada dalam posisi tawar yang seimbang antara satu sama lain.
5. Pengaturan Mengenai Klausula Eksonerasi
Pengaturan mengenai klausula eksonerasi yang terdapat pada
KUHPerdata. Pada dasarnya dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memang
telah mengatur bahwasannya klausula eksonerasi atau klausula pengalihan
tanggung jawab dilarang pemakaiannya,30
namun sebenarnya dalam KUH
Perdata Indonesia telah ada pengaturan untuk klausula semacam itu yang
tertera pada Pasal 1493-1512 KUH Perdata Indonesia.
Sebenarnya inti dari pasal tersebut adalah menyebutkan bahwa para
pihak berhak merundingkan tentang sejauh mana pertanggung jawaban
para pihak dalam suatu perjanjian. Pasal 1493 KUH Perdata antara lain
berbunyi, “kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-
persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban yang
ditetapkan oleh undang-undang in, bahkan mereka itu diperbolehkan
mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan
menanggung akan suatu apapun”.
Dari pasal bisa diambil kesimpulan bahwa pengalihan tanggung jawab
sebenarnya diperbolehkan selama terdapat perundingan atau kesepakatan
antara para pihak. Jadi pada dasarnya dibutuhkan suatu persetujuan para
pihak bukan keputusan sepihak yang menentukkan suatu pihak dapat
mengalihkan tanggung jawab atau tidak.
Pada perjanjian baku yang selama ini terjadi, pengalihan tanggung
jawab dari pelaku usaha tidak didasarkan atas perundingan namun lebih
30
Diana Kusumasari, Klausula Eksonerasi,
https://www.hukumonline.com/index.php/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi,
diakses pada 12 Juli 2018 pukul 10.08 bbwi
27
kearah takluknya pihak yang secara akan klausul tersebut dan juga
kecenderungan pengalihan tanggung jawab tadi berat sebelah atau
menguntungkan sebelah pihak saja. Sehingga dibutuhkan suatu pengaturan
atas situasi tersebut dan hal ini diatur dalam UUPK tepatnya Pasal 18 Ayat
(1) huruf a mengenai pelarangan atas klausula baku yang isinya
pengalihan tanggung jawab sepihak dan merugikan pihak lain.
B. Kerangka Teori
1. Teori Hukum Perjanjian
Teori hukum perjanjian yang berkaitan dengan kontrak baku mengacu
pada keberadaan asas-asas hukum perjanjian yang menjadi dasar
perikatan dalam kontrak baku. Asas-asas hukum perjanjian tersebut
antara lain:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan
dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contracts vrijheid).
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang
menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari
pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak.
Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa
orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak
melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.31
Seseorang tidak saja
berkuasa untuk mebuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya
juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan-peraturan yang
termuat dalam. Sistem tersebut yang biasanya disebut dengan
sistem terbuka (openbaar system).
31
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 78
28
Hal tersebut juga dipertegas dalam rumusan Pasal 1320 KUH
Perdata Ayat (4). Dengan asas ini para pihak yang membuat dan
mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan
membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban
apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan
tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.32
b. Asas Itikad Baik (Good Faith/Tegoeder Trouw)
Dalam hukum perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya
bahwa setiap orang yang membuat suatu perjanjian harus
dilakukan dengan itikad baik. Asas itikad baik ini dapat dibedakan
atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad
baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai
kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum
yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat
diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang Itikad baik dalam
pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu
perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa
yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.
c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas Pacta Sunt Servanda adalah suatu asas dalam hukum
perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu
perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak
adalah mengikat bagi mereka yang membuat seperti kekuatan
mengikat suatu undang-undang, artinya bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat mereka seperti
undang-undang.33
Dengan demikian maka pihak ketiga bisa
menerima kerugian karena perbuatan mereka dan juga pihak ketiga
tidak menerima keuntungan karena perbuatan mereka itu, kecuali
32
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada 2003), h. 46
33
Evi Ariyani, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta, Ombak, 2013), h. 13
29
kalau perjanjian itu termasuk dimaksudkan untuk pihak ketiga.
Asas ini dalam suatu perjanjian dimaksudkan untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian.
Adapun tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan
perlindungan kepada para konsumen bahwa mereka tidak perlu
khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku sebagai
undang-undang yang mengikatnya. Dalam hal salah satu pihak
dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam
perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui
mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.34
d. Asas Konsensualisme
Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan
kehendak (concensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya
dapat dibuat bebas, tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara
formil tetapi cukup melalui konsesus belaka.35
Pada asas
konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1320 butir KUH Perdata
yang berarti bahwa pada asasnya perjanjian itu timbul atau sudah
dianggap lahir sejak detik tercapainya suatu kesepakatan. Dengan
kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum
sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak, mengenai pokok
perjanjian. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang
dibuat itu dapat secara lisan maupun secara tulisan berupa akta jika
dikehendaki sebagai alat bukti.36
e. Asas Kepribadian (Personality)
Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal
1315 KUH Perdata. Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui
34
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, … h. 59
35
Evi Ariyani, Hukum Perjanjian, … h. 13
36
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung, Alumni, 1982), h. 85
30
bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang
dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya
akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.37
Secara spesifik
ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata menunjuk pada kewenangan
bertindak sebagai individu pribadi sebagai subyek hukum pribadi
yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas
nama dirinya sendiri. Dalam hal ini diatur pada ketentuan Pasal
1131 KUH Perdata, yang berbunyi: “segala kebendaan milik
debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan seseorang”.
2. Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum adalah segala upaya yang dilakukan
untuk menjamin adanya kepastian hukum yang didasarkan pada
keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu
kehidupan Bersama.38
Ada beberapa ahli yang menjelaskan mengenai
teori ini, yaitu Satjipto Raharjo, dan Phillipus M Hadjon.
Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang
lain dan perlindungan itu diberikan masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.39
Selanjutnya menurut Phillipus M. Hadjon memberikan definisi
mengenai perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan
pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang
mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam
37
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, … h.14-15
38
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1991),
h. 11
39
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 69
31
pengambilan keputusan berdasar pada diskresi dan perlindungan yang
represif adalah bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,
termasuk penangannya di lembaga peradilan.40
Sesuai dengan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum
adalah melindungi rakyat dari suatu tindakan yang dapat merugikan,
masyarakat maupun penguasa. Selain itu, berfungsi pula untuk
memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Hukum harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak
sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki
kedudukan yang sama dihadapan hukum. Aparat penegak hukum
wajib menegakkan hikum dan dengan berfungsinya aturan hukum,
maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan
perlindungan pada tiap hubungan hukum atau segala aspek dalam
kehidupan bermasyarakat yang diatur oleh hukum. Perlindungan
hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yaitu:41
a. Perlindungan hukum preventif, yaitu bentuk perlindungan hukum
dimana rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk
yang definitif.
b. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum
dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.
Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia
merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila
dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasila. Setiap orang
berhak mendapatkan perlindungan dari hukum.
40
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, … h. 54
41
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), h.
38
32
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Tinjauan penelitian yang menjadi salah satu acuan penulis adalah
skripsi yang ditulis oleh Hilda Israa Universitas Islam Negeri Jakarta
Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2015 dengan judul “Mekanisme
Penyelesaian Kredit Bermasalah pada Perjanjian Kredit dengan
Jaminan (Analisis Putusan Nomor: 73/Pdt.G/2013 PN.kpg)”.
Pada skripsi ini membahas tentang mekanisme penyelesaian kredit
yang memiliki berbagai macam masalah terhadap perjanjian kredit
dengan jaminan. Skripsi ini mengambil suatu putusan yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut. Dalam kegiatan pembangunan
ekonomi tentu membutuhkan penyediaan modal yang besar maka dari
itu dalam bidang ekonomi ada penyediaan perkreditan. Dilain sisi
dalam praktek perbankan perlu pengamanan berupa penjaminan
terhadap debitur agar mengamankan dana yang disalurkan.
Pada skripsi ini yang menjadi permasalahan yaitu dengan perkara
penggugat yang disebut sebagai nasabah belum mampu membayar
tagihan namun pihak yang memberikan perkreditan sudah memberikan
surat teguran namun diabaikan oleh nasabah tersebut. Dengan cara lain
pihak yang memberikan perkreditan tersebut melakukan pelelangan
aset jaminan. Pihak nasabah merasa dirugikan dan menggugat pihak
pergkreditan tersebut ke Pengadilan Negeri Kupang. Sedangkan
penelitian yang dikaji berfokus pada klausula baku dalam perjanjian
pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia di bawah tangan pada
Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel dikaitakan dengan Undang-Undang yang
berlaku.
2. Buku Djuhaenda Hasan yang berjudul “Masalah Hukum Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam
Perjanjian Kredit Bank di Indonesia”.
Buku ini membahas Aspek hukum perjanjian dalam pelaksanaan
kebebasan berkontrak dalam pembuatan perjanjian kredit yang
33
dilaksanakan, pelaksanaan asas kebebasan berkontrak dalam standar
kontrak bidang perbankan, pelaksanaan kebebasan berkontrak dan
perlindungan yang seimbang dalam perjnjian kredit bank di indonesia
terutama dikaitkan dengan perlindungan konsumen. Dalam
perkembangan ekonomi yang sangat pesat timbul kebutuhan-
kebutuhan hukum. Maka dari itu pihak bank memberikan sarana
menawarkan berbagai produk dan jasa perbankan kepada (calon)
nasabah. Bank menciptakan berbagai macam kontrak baku yang akan
ditawarkan kepada calon nasabah sebagai konsumen. Fakta diatas
menunjukan bahwa industrialisasi mempunyai dampak langsung
terhadap kontrak baku. Dalam konteks ini peranan hukum kontrak
semakin penting dalam suatu masyarakat industri atau yang sedang
mengalami industrialisasi untuk mengakomodasi berbagai kepentingan
ekonomi anggota masyarakat.
Berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perbankan antara lain Undang-Undang No 10 tahun 1998 Tentang
perbankan dan peraturan lainnya hanya mengatur perlindungan hukum
kepada nasabah secara implisit. Dalam undang-undang perlindungan
konsumen ada ketentuan tentang perjanjian baku. Pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas. Dengan demikian ada
pembatasan dalam Perjanjian baku. bertitik tolak dari hal hal tersebut
diatas, menjadi harapan kita bersama kiranya uu perlindungan
konsumen akan mampu mengantisipasi era perdagangan bebas seiring
dengan ketentuan GATT, WTO, APEC maupun afta, dan dengan
keberadaan UU Perlindungan Konsumen ini adalah merupakan wujud
nyata dari upaya pembaharuan hukum ekonomi dalam kerangka upaya
pembinaan dan pembaharuan hukum nasional. Sedangkan penelitian
yang dikaji berfokus pada klausula baku dalam perjanjian pembiayaan
konsumen dengan jaminan fidusia di bawah tangan pada Studi Kasus
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
34
338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel dikaitakan dengan Undang-Undang yang
berlaku.
3. Jurnal yang digunakan dalam studi review yakni jurnal Ilmu Hukum
yang ditulis oleh Luthfi Asshiddieqy dalam judul Tinjauan Hukum
Tentang Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan
Konsumen Setelah Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam jurnal ini menjelaskan tentang Tinjauan Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Setelah Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, Bentuk Perbuatan
Perusahaan Pembiayaan Konsumen Yang Merugikan Konsumen dan
Peran OJK Dalam Melindungi Kepentingan Konsumen Dalam
Perjanjian Pembiayaan Konsumen. Dalam jurnal ini bertitik fokus
hanya terhadap setelah terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan saja.
Sedangkan penelitian yang dikaji berfokus pada klausula baku dalam
perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia di bawah
tangan pada Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel dikaitakan dengan undang-undang
yang berlaku.
35
BAB III
PERJANJIAN PEMBIAYAAN PT. TOYOTA ASTRA
FINANCIAL SERVICES
A. Profil PT. Toyota Astra Financial Services
1. Sejarah PT. Toyota Astra Financial Services
PT Toyota Astra Financial Services (TAFS), dikenal sebagai TA
Finance, adalah perusahaan kerjasama antara Toyota Financial Services
Corporation, Japan dan PT Astra International Tbk., dimana
kepemilikannya masing-masing 50%. Pada 3 Februari 2006, TA Finance
membeli saham PT KDLC Bancbali Finance yang merupakan perusahaan
kerjasama antara Korea Development Leasing Corporation dan Bank Bali
terkait dengan ditutupnya izin pendirian multifinance baru pada tahun
2002 oleh Menteri Keuangan Boediono. TA Finance menyediakan layanan
jasa pembiayaan untuk kepemilikan kendaraan Toyota. Produk
pembiayaan yang disediakan oleh TA Finance terdiri dari:1
a. Pembiayaan konsumen
Ditujukan bagi pelanggan individual yang akan membeli kendaraan
untuk keperluan non-komersial.
b. Pembiayaan usaha/bisnis
Merupakan solusi pembiayaan yang dirancang khusus untuk
mendukung bisnis klien.
c. Sewa guna usaha kendaraan (lease)
Produk ini disediakan bagi badan usaha yang memerlukan layanan
pembiayaan dalam bentuk penyewaan dan cocok untuk pembiayaan
yang melibatkan jumlah unit kendaraan yang besar.
TAFS secara formal didirikan pada 4 Agustus 2006 walaupun telah
beroperasi sejak awal Mei 2006. Saat ini, TAFS mempunyai kantor
1https://www.taf.co.id/files/uploads/Report/finacial%20report/LKFS%20TAFS%20%2031%
20December%202016%20(FINAL)_Combined.pdf
36
perwakilan di 5 (lima) kota, yaitu Surabaya, Bandung, Semarang, Bogor,
dan Denpasar. PT Toyota Astra Financial Services beserta kantor
perwakilannya di seluruh Indonesia, berkantor pusat di Jakarta.
PT Toyota Astra Financial Services (“Perseroan”) didirikan
berdasarkan Akta Notaris Enimarya Agoes Suwarko, S.H., No. 30 tanggal
15 April 1994 dengan nama PT KDLC Bancbali Finance. Akta pendirian
tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia
dalamS urat Keputusan No. C2-7949.HT.01.01.Th.94 tanggal 19 Mei
1994. Anggaran Dasar Perseroan telah mengalami beberapa kali
perubahan, perubahan terakhir adalah berdasarkan Akta Notaris Linda
Herawati, S.H., No. 08 tanggal 7 Desember 2015 mengenai perubahan
anggarandasar. Akta ini telah diterima dan dicatat dalamsistem
Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia pada tanggal 23 Desember 2015 dalam Surat
Keputusan Nomor AHU-AH.01.03-0991163.
Perseroan memperoleh izin usaha sebagai lembaga pembiayaan dari
Menteri Keuangan Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor 420/KMK.017/1994 tanggal 18 Agustus
1994. Dengan diperolehnya izin tersebut maka Perseroan, sebagai
perusahaan pembiayaan, dapat melakukan kegiatan dalam bidang sewa
pembiayaan, anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen.
Pada saat ini, Perseroan terutama bergerak dalam bidang pembiayaan
konsumen. Perseroan mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1994.2
Perseroan memperoleh izin untuk melaksanakan kegiatan pembiayaan
dengan prinsip syariah yang telah diterima dan dicatat dalam administrasi
Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) melalui Keputusan Dewan Komisioner
OJK No. KEP-366/NB.223/2015. Perseroan juga telah memperoleh surat
rekomendasi dari DewanSyariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia pada
tanggal 1 November 22.
2https://www.taf.co.id/files/uploads/Report/finacial%20report/LKFS%20TAFS%20-
%2031%20December%202016%20(FINAL)_Combined.pdf.
37
2. Visi dan Misi3
a. Visi
Menjadi pilihan utama dalam solusi pembiayaan kendaraan Toyota
dengan pelayanan yang prima
b. Misi
1) Memberi yang terbaik bagi pelanggan,
2) Menjadi mitra Toyota dalam mencapai keberhasilan jangka
panjang,
3) Memberi manfaat yang berkelanjutan bagi pemegang saham,
4) Menjadi perusahaan pilihan untuk berkarya, dan
5) Membawa kemakmuran bagi masyarakat
3. Merek (Brand) PT. Toyota Astra Financial Services4
Gambar 1.1
4. Struktur Organisasi PT. Toyota Astra Financial Services5
Gambar 2.1
3https://www.taf.co.id/company-overview?locale=id_ID
4https://www.taf.co.id/brand
5 https://www.taf.co.id/management/organization-structure
38
B. Lembaga Pembiayaan Konsumen
1. Pengertian Pembiayaan Konsumen
39
Pembiayaan Konsumen dipakai sebagai terjemahan dari istilah
Consumer Finance. Pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis kredit
konsumsi (consumer credit). Hanya saja, jika pembiayaan konsumen
dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara kredit konsumsi
diberikan oleh bank.6
Pembiayaan konsumen merupakan salah satu lembaga pembiayaan
yang dilakukan oleh suatu perusahaan finansial (consumer finance
company). Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala
oleh konsumen.7
Pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit yang
diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang
dan jasa yang akan langsung dikonsumsi oleh konsumen, dan bukan untuk
tujuan produksi ataupun distribusi.8
Perusahaan yang memberikan pembiayaan di atas disebut perusahaan
pembiayaan konsumen atau consumer finance company. Perusahaan
pembiayaan konsumen dapat didirikan oleh suatu institusi nonbank
maupun oleh bank, tetapi pada dasarnya antara bank yang mendirikan
dengan perusahaan pembiayaan konsumen yang didirikan merupakan
suatu badan usaha yang terpisah satu dengan yang lainnya.9
Pengertian dari Perusahaan Pembiayaan diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan
Pembiayaan, dalam Pasal 1 huruf b dikatakan bahwa Perusahaan
6 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), h.
162
7 Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), h. 114
8 Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain,
(Jakarta: Salemba Empat, 2000), h. 149
9 Khotibul Umam, Hukum Lembaga Pembiayaan Hak dan Kewajiban Nasabah Pengguna
Jasa Lembaga Pembiayaan, (Sleman: Pustaka Yustisia, 2010), h. 36
40
Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan
Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Lembaga
pembiayaan yang berkembang saat ini seperti:
a. Lembaga pembiayaan proyek (project finance)
b. Lembaga Pembiayaan Modal Ventura (ventura capital)
c. Lembaga pembiayaan sewa guna usaha (leasing)
d. Lembaga pembiayaan anjak piutang (factoring)
e. Lembaga pembiayan konsumen (consumer finance)
f. Lembaga pembiayaan kartu kredit (credit card)
g. Lembaga pembiayaan usaha kecil
2. Jenis-Jenis Pembiayaan Konsumen
Adapun jenis pembiayaan konsumen berdasarkan kepemilikannya:10
a. Perusahaan pembiayaan konsumen yang merupakan anak perusahaan
dari pemasok.
b. Perusahaan pembiayaan konsumen yang merupakan satu group usaha
dengan pemasok.
c. Perusahaan pembiayaan konsumen yang tidak mempunyai kaitan
kepemilikan dengan pemasok.
3. Jaminan dalam Pembiayaan Konsumen
Sebagai salah satu jenis usaha dari lembaga pembiayaan, maka
pembiayaan yang dilakukan pada dasarnya tidak menekankan pada
aspek jaminan (collateral). Namun karena pembiayaan konsumen
merupakan lembaga bisnis, maka dalam kegiatan pembiayaan yang
dialakukan perushaan pembiayaan konsumen tidak terhindar dari berbagai
macam risiko. Oleh karena itu, dalam praktiknya perusahaan pembiayaan
membutuhkan jaminan-jaminan untuk setiap pembiayaan yang
dilakukannya sebagai pengaman kegiatan usahanya dari segala bentuk
risiko. Jaminan-jaminan yang diberikan dalam transaksi pembiayaan
10
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 23
41
konsumen pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian
kredit bank biasa, khususnya kredit konsumsi.Dalam jaminan-jamianan
dalam pembiayaan konsumen, jaminan-jaminan ini terbagi dalam 3 (tiga)
bagian, yaitu jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan tambahan.
a. JaminanUtama
Sebagai suatu kredit, maka jaminan pokok sebuah perjanjian
pembiayaan konsumen adalah kepercayaan dari kreditur (penyedia
dana) kepada debitur (konsumen), dimana debitur akan dapat dapat
dipercaya dan dapat membayar secara lunas kepada pihak kreditur.
Jadi dalam hal ini berlaku prinsip pemberian kredit, misalnya prinsip
5C (Collateral, Capacity, Character, Capital, Condition ofeconomy).11
b. JaminanPokok
Yang menjadi jaminan pokok pada perjanjian pembiayaan
konsumen adalah barang yang menjadi obyek pembiayaan dengan
dana tersebut. Apabila dana tersebut diberikan misalnya untuk
pembiayaan mobil, maka mobil tersebutlah yang menjadi jaminan
pokoknya. Biasanya jaminan itu dibuat dalam lembaga fidusia, sebagai
lembaga yang sesuai untuk menjaminkan benda bergerak. Untuk
membebankan jaminan fidusia kepada obyek pendanaan tersebut maka
seluruh dokumen sebagai pemberi dana yang berkenaan dengan
kepemilikan barang yang bersangkutan adalah didalam penguasaan
Perusahaan Pembiayan Konsumen hingga kredit tersebutlunas.12
c. JaminanTambahan
Transaksi pembiayaan konsumen juga sering dimintakan jaminan
tambahan, walaupun tidak seketat jaminan untuk pemberian kredit
yang dilakukan oleh Bank. Biasanya jaminan tambahan dalam hal ini
adalah berupa Surat Pengakuan hutang (Promissory Notes), Kuasa
Menjual Barang, dan Assignment of Proceed (cessie) dari Asuransi.
11Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 105
12Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, cet-4, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2006), h. 168
42
Disamping itu dalam melakukan persetujuan pembiayaan konsumen,
pihak Perusahaan Pembiayaan Konsumen juga meminta persetujuan
istri/suami dalam bentuk lampiran tanda tangan dalam perjanjian
pembiayaan konsumen dalam hal permohonan pembiayaan dilakukan
oleh individu (perorangan) dalam hal permohonan pembiayaan
konsumen dilakukanoleh badan usaha (perusahaan) maka harus ada
persetujuan dari komisari/RUPS sesuai dengan anggaran dasarnya.13
4. Hubungan Hukum dalam Pembiayaan Konsumen
Suatu transaksi Pembiayaan Konsumen melibatkan tiga pihak, yaitu
pihak Perusahaan Pembiayaan Konsumen, pihak konsumen, dan pihak
Supplier (penyedia barang). Hubungan antara pihak-pihak dimaksud, yaitu
sebagai berikut.
a. Hubungan Pihak Kreditur denganDebitur
Hubungan antara pihak Kreditur, dalam hal ini merupakan pihak
Perusahaan Pembiayaan Konsumen, dengan debitur (konsumen)
adalahhubungan kontraktual, yaitu kontrak pembiayaan konsumen
(Consumer Finance Agreement). Dalam kontak ini, pihak pemberi
biaya sebagai kreditur dan pihak pemberi biaya adalah debitur. Pihak
pemberi biaya berkewajiban untuk memberikan sejumlah uang untuk
pembelian sesuatu barang konsumsi, sedangkan pihak penerima biaya
berkewajiban untuk membayar kembali uang tersebut secara angsuran
kepada pihak pemberi biaya.14
Hubungan kontraktual antara pihak perusahaan pembiayaan
konsumen dengan konsumen adalah jenis perjanjian kredit, sehingga
ketentuan mengenai perjanjian kredit berlaku terhadap perjanjian ini.
Namun untuk ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
perbankan tidak berlaku, karena pemberi biaya bukan merupakan Bank
sehingga tidak tunduk terhadap peraturan perbankan. Konsekuensi
13
Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, … h. 168
14
Khotibul Umam, Hukum Lembaga Pembiayaan Hak dan Kewajiban Nasabah
Pengguna Jasa Lembaga Pembiayaan, … h. 37
43
yuridis dari perjajian kredit adalah bahwa setelah seluruh kontrak
ditandatangani, dana telah dicairkan, dan barang telah diserahkan
kepada konsumen maka barang tersebut sudah menjadi miliknya
konsumen, walaupun kemudian barang itu djaminkan dengan jaminan
fidusia.15
b. Hubungan Pihak Debitur denganSupplier
Hubungan antara pihak debitur (konsumen) dengan pihak supplier
(penyedia barang) terdapat hubungan jual beli, namun da l am hal in i
jenis perjanjian jual beli yang terjadi adalah jenis perjanjian jual beli
bersyarat, dimana pihak supplier selaku penjual dan pihak konsumen
selaku pembeli, dengan syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak
ketiga yaitu pemberi biaya. Hal ini berarti apabila kemungkinan pihak
ketiga atau penyedia dana tidak dapat menyediakan dana untuk
membayar pembelian sesuai dengan harga barang yang telah disepakati
dalam perjanjian jual beli, maka jual beli antara supplier dengan pihak
konsumen akan batal. Karena adanya perjanjian jual beli ini, maka
seluruh ketentuan tentang jual beli yang relevan berlaku terhadap para
pihak. Sebagai contoh tentang kewajiban “menanggung” dari pihak
penjual kewajiban penjual dan sebagainya.16
c. Hubungan Pihak Kreditur dengan Supplier
Antara pemberi dana dengan pihak supplier sebenarnya tidak ada
hubungan khusus. Pihak penyedia dana hanya merupakan pihak yang
syaratkan untuk meyediakan dana untuk digunakan untuk
membayarsecaratunai barang yang menjadi obyek jual beli antara
pihak supplier dengan pihak konsumen. Persyaratan ini adalah
berdasarkan perjanjian pembiayaan kosumen yang telah disepakati
terlebih dahulu oleh pihak Perusahaan Pembiayaan Konsumen dengan
15
Khotibul Umam, Hukum Lembaga Pembiayaan Hak dan Kewajiban Nasabah
Pengguna Jasa Lembaga Pembiayaan, …h. 37
16
Khotibul Umam, Hukum Lembaga Pembiayaan Hak dan Kewajiban Nasabah
Pengguna Jasa Lembaga Pembiayaan, …h. 38
44
konsumen itu sendiri. Yang apabila pihak penyedia dana tidak
melakukan pembiayaan sesuai dengan syarat dalam perjanjian jual
beli, maka perjanjian jual beli itu akan batal, sementara yang
melakukan gugatan kepada pihak penyedia dana adalah konsumen,
atas dasar wanprestasi terhadap perjanjian pembiayaan konsumen.17
5. Fidusia sebagai jaminan
Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti
kepercayaan. Sesuai dengan arti katanya, maka hubungan antara kreditur
(pemberi fidusia) dandebitur (penerima fidusia) adalah hubungan yang
didasarkan atas kepercayaan. Dimana pemberi fidusia percaya bahwa
penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah
diserahkan, setelah penerima fidusia melunasi utangnya.18
Jaminan fidusia adalah pranata jaminan yang pengalihan hak
kepemilikan dengan cara constitutum prossessorium19
yaitu dimaksud
semata-mata untuk memberi agunan dengan hak yang didahulukan kepada
penerima fidusia, makasesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Fidusia, setiap janji yang memberikan kewenangan
kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi jaminan
fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Ketentuan tersebut
dibuat untuk melindungi pemberi fidusia, nilai obyek jaminan fidusia
melebihi besar utang yang dijamin.
Menurut Thomas Suyatno, Jaminan adalah penyerahan kekayaan atau
pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran
kembali suatu hutang.20
17
Khotibul Umam, Hukum Lembaga Pembiayaan Hak dan Kewajiban Nasabah
Pengguna Jasa Lembaga Pembiayaan, … h. 38
18
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Utama, 2000), h. 113
19
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, … h. 113
20
Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h. 70
45
Setelah berlakunya UUF benda yang dibebani dengan jaminan fidusia
wajib didaftarkan. Tujuan pendaftaran benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia antara lain, adalah sebagaiberikut:21
a. Untuk melahirkan jaminan fidusia bagi penerima fidusia dan menjamin
pihak yang mempunyai kepentingan atas benda yang dijaminkan;
b. Untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada
penerima fidusia dan pemberi fidusia serta pihak ketiga yang
berkepentingan;
c. Memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditur preference;
d. Untuk memenuhi asas publisitas dan asas spesialitas;
e. Untuk memenuhi asas kepastian tentang status fidusia sebagai jaminan
kebendaan;
f. Memberikan rasa aman kepada kreditur penerima jaminan fidusia dan
perihal pihak ketiga yang berkepentingan serta masyarakat
padaumumnya.
Hal-hal yang diatur dalam peraturan pemerintah meliputi pendaftaran
fidusia, tata cara perbaikan sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan
pendaftaran, dan penggantian sertifikat.22
Model-model eksekusi jaminan Fidusia menurut Undang-Undang
Fidusia adalah sebagai berikut:
1) Secara flat eksekusi, yakni lewat suatu penetapan pengadilan;
2) Secara parate eksekusi, yakni deengan menjual (tanpa perlu penetapan
pengadilan) di depan pelelanganumum;
3) Dijual dibawah tangan oleh pihak kreditursendiri;
4) Sungguhpun tidak disebutkan dalan Undang-Undang Fidusia, tetapi
tentunya pihak kreditur dapat menempuh prosedur eksekusi biasa
lewat gugatan biasa ke Pengadilan.
21
Frieda, Husni Hasbullah, Hukum Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan, (Jakarta:
Ind Hill-Company, 2005), h. 82-83
22
A. A Andi Prajitno, Hukum Fidusia Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999, (Malang: Bayumedia Publishing, 2009), h. 18
46
Ada 2 (dua) kemungkinan dari hasil Pelelangan atau
penjualanbarang jaminan fidusia, yaitu:23
a) Hasil eksekusi melebihi nilai penjamin, penerima fidusia wajib
mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberifidusia;
b) Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur atau
pemberi fidusia tetap bertanggung jawab atas utang yang belum
dibayar.
C. Duduk Perkara
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
338/Pdt.G/2016/PN.JKT Sel merupakan kasus antara H.M. Soleh anggota
LPKSM YPK Senopati beralamat di Kampung Sukabakti RT. 001 RW. 002,
Keluarahan Sukabakti Rt 001 Rw 002, Kelurahan Sukabakti, Kecamatan
Curug Kabupaten Tangerang. Dalam hal ini memberi surat kuasa kepada
Masjiknursaga, Jaenal Muharam, Suganda, Mulyadi, MT. Diansyah, Ramjahif
Pg Fiver, Muhamad Nawawi, Para Organ Pengurus Yayasan Perlindungan
Konsumen Senopati (YPK Senopati), berkantor di Jl. Pekong-Saga RT. 004
RW. 002, Saga, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
Selanjutnya disebut sebagai Penggugat. Melawan PT. Toyota Astra financial
Service, yang beralamat di Rukan Plaza V Pondok Indah Blok D No. 7 Jl.
Margaguna No. 426 Kel. Gandaria Utara, Kec. Kebayoran Baru, yang
selanjutnya disebut Tergugat. Bahwa dalam perkara ini berawal dari adanya
suatu penandatanganan pada Perjanjian Pembiayaan Jaminan Fidusia di bawah
tangan dengan Nomor Perjanjian94384515 yang ditandatangani pada Hari
Selasa Tanggal 14 Juli 2015 antar pihak Tergugat yang diwakili oleh M.
Ichwan Dorodjatun (PT. Toyota Astra Financial Service). Bahwa dalam
perjanjian tersebut timbulah hubungan antara Lembaga Pembiayaan selaku
Tergugat dengan debitur selaku Penggugat dan akibat hukum dengan
ditandatanganinya suatu perjanjian adalah mengikatnya substansi perjanjian
23
Salim Hs, Perkembangan Hukum Jaminan Fidusia di Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2004), h. 90-91
47
tersebut bagi para pihak yang menyepakatinya, hal ini sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak pada Pasal 1338 KUH Perdata dan asas konsensualisme
pada Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dalam suatu perjanjian tersebut
terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat yaitu perbuatan melawan
hukum atas pelanggaran penncantuman klausula baku yang dilakukan
Tergugat (PT. Toyota Astra Financial Service). Maka Penggugat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas adanya pencantuman
klausula bakuyang dilarang pada Pasal 18 Ayat (1) huruf d Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
pada perjanjian pembiayaan jaminan fidusia di bawah tangan dengan Nomor
94384515 yang ditandatangani pada Hari Selasa tanggal 14 Juli 2015, tertuang
pada halaman 5 Pasal 12 poin 12.1 berbunyi:
“Debitur memberi kuasa kepada kreditor berhak untuk membuat,
menandatangani atau melakukan pembaharuan hutang (novasi) terhadap
perjanjian ini sehubungan dengan fasilitas pembiyaan (pinjaman) atau hal lain
yang menurut kreditur perlu dilakukan perubahan, penambahan atau
pembaharuan atas perjanjian ini”
Klausula ini bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1) huruf d Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
berbunyi:
Dilarang “menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran”
Sedangkan Penggugat dalam permohona kredit tersebut kepada Tergugat
belum pernah menandatangani Akta Jaminan Fidusia secara langsung
dihadapan Notaris, melainkan hanya menandatangani Perjanjian Pembiayaan
dengan Jaminan Fidusia di bawah Tangan dengan Nomor Perjanjian
94384515. Penggugat memandang akibat perilaku Tergugat yang
mencantumkan klausula bakudalam perjanjian yang dibuatnya nampaknya
Tergugat sedang membuat Undang-Undang bukan perjanjian, akibatnya
48
banyak masyarakat yang kehilangan hartanya bahkan tidak jarang
keselamatannya terancam yang disebabkan penagihan-penagihan hutang liar
yang sering disebut Debt. Collector berwajah seram dan berperilaku arogan
serta main hakim sendiri seperti menyita, merampas kendaraan dijalan tanpa
perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam haldan menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang. Dan sering sekali Pelaku usaha yang nakal
berlindung dibalik Pasal 1320 KUH Perdata yang disalahartikan, sedangkan
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah
apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam pasal tersebut,
yaitu:
1. Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian;
3. Ada suatu hal tertentu;
4. Adanya suatu sebab yang halal. Sementara itu, suatu sebab dikatakan halal
apabila sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu:
a. tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
b. tidak bertentangan dengan kesusilaan;
c. tidak bertentangan dengan Undang-Undang (dalam hal ini
bertentangan dengan pasal 18 Ayat (1) huruf d Undang-Undang RI
Nomor 8 Th. 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
H.M. Soleh anggota LPKSM YPK Senopati menggugat PT. Toyota Astra
Financial Services ke Pengadilan Jakarta Selatan dengan gugatan Tergugat
telah mencantumkan klausula baku yang dilarang dalam Akta Perjanjian
Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia di bawah Tangan dengan Nomor
Perjanjian 94384515, bahwa karena ada sangkaan Tergugat akan mengalihkan
sebagaimana Akta Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia di bawah
Tangan. Bahwa oleh karena gugatan ini berdasar fakta-fakta dan bukti-bukti
yang jelas dan sah maka Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan untuk:
1. Mengabulkan dan memutuskan menerima dan mengabulkan gugatan
Penggugat untuk seluruhnya
49
2. Bahwa Tergugat telah terbukti mencantumkan klausula baku yang dilarang
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen pada Akta Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia di
bawah Tangan
3. Menyatakan Akta Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia
dibawah tangan yang dibuat tergugat bertentangan yang dimaksud dalam
Pasal 18 Ayat (1) huruf d Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, dinyatakan batal demi hukum
4. menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum
5. menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kerugian imateriil
kepada Penggugat
6. menyatakan Akta Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia di
bawah Tangan dengan No. Perjanjian 94384515 yang dibuat Tergugat
pada Hari Selasa tanggal 14 Juli 2015 batal demi hukum
7. memerintahkan Tegugat untuk tidak menyita atau mengambil paksa
kendaraan
8. memerintahkan Tergugat untuk membayar segala biaya perkara yang
timbul akibat perkara ini.
50
BAB IV
ANALISIS KLAUSULA-KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
PEMBIAYAAN KONSUMEN ANTARA PT.TOYOTA ASTRA
FINANCIAL SERVICE DENGAN H.M. SOLEH
A. Pertimbangan Hukum Hakim dan Putusan Hakim
1. Pertimbangan Hukum Hakim
Sebelum menjatuhkan putusan, yang menjadi pertimbangan hukum hakim
dalam memutuskan putusan pada tingkat pertama yaitu di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 338/Pdt.G/2016/PN.JKT Sel adalah:
Majelis Hakim memutuskan perkara antara PT. Toyota Astra Financial
Service dengan H.M. Soleh ini di luar hadirmya Tergugat (verstek). Di mana
selama proses persidangan pihak tergugat yaitu PT. Toyota Astra Financial
Service tidak pernah hadir dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir di
persidangan meski telah dipanggil secara sah dan patut. Dan oleh karena itu
dalam perkara ini tidak dapat dilaksanakan upaya mediasi sebagaimana
dimaksud dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016.
Selanjutnya pihak Penggugat mengajukan 2 (dua) buah surat untuk
membuktikan dalil gugatannya, yaitu:
a. Fotocopy Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan jaminan Fidusia di
bawah tangan No. Perjanjian : 94384515, diberi tanda P-1;
b. Fotocopy Surat Pernyataan yang dibuat Penggugat HM Soleh tertanggal
27 Mei 2016, diberi tanda P-2.
Bukti bertanda P.1 adalah Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor
94384515 di mana menurut Pengguat dokumen aslinya ada pada pihak
Tergugat, dan walaupun hanya berupa fotocopy yang tidak dapat ditunjukkan
aslinya, maka hal tersebut dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bukti,
dikarenakan dalam perkara ini pihak Tergugat tidak pernah hadir di
51
persidangan sehingga hakim memandang bahwa pihak Tergugat tidak
memperdulikan lagi kepentingannya di persidangan sedangkan dalam bukti
bertanda P.2 tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dan haruslah
dikesampingkan, karena merupakan pernyataan sepihak dari Penggugat.
Berdasarkan bukti yang diajukan yakni surat bertanda P-1, berupa
Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor 94384515 tanggal 14 Juli 2015,
setidaknya telah terbukti fakta-fakta sebagai berikut :
1) Bahwa pada tanggal 14 Juli 2015 antara Penggugat dengan Tergugat telah
menandatangani Perjanjian Pembiayaan Konsumen atas pembelian secara
angsuran sebuah kendaraan roda 4 (empat) Toyota Avanza F 52 V A/T10
tahun 2015 Nomor Rangka MHKM1CB4JFK042540 Nomor Mesin
DFM6277 Warna Hitam Metalik BPKB atas nama Penggugat HM Soleh;
2) Bahwa sebagai jaminan atas pengembalian pembiayaan konsumen di atas,
antara Penggugat dengan Tergugat telah disepakati barang tersebut di atas
akan dijadikan sebagai jaminan fidusia.
Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, majelis berpendapat pihak
Penggugat telah dapat membuktikan dalil perihal adanya hubungan hukum
dengan Tergugat dalam perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan
fidusia di bawah tangan atas 1 (satu) unit kendaraan Toyota.
Dan yang menjadi persoalan adalah benarkah dalam perjanjian tersebut
telah termuat klausula baku yang dilarang oleh Undang undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana didalilkan oleh
Penggugat.
Berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) huruf d, Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), telah mengatur perihal
larangan bagi pelaku usaha tentang hal-hal sebagai berikut:
52
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Selanjutnya pada Pasal 18 Ayat (2) dan (3) UUPK telah menentukan hal
sebagai berikut :
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti;
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dan (2) dinyatakan batal demi hukum.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal di atas, yang menjadi permasalahan
adalah benarkah dalam Akta Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan
jaminan fidusia di bawah tangan No. 94384515 tertanggal 14 Juli 2015
terdapat klausula baku yang dilarang oleh ketentuan Pasal 18 UUPK, sehingga
dapat dinyatakan batal demi hukum.
Dan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap diatas, khususnya dari bukti
surat bertanda P-1, dalam lampirannya perihal syarat dan ketentuan perjanjian
pembiayaan pada Pasal 12 point 1 (12.1), telah termuat klausula yang
berbunyi: “Debitor memberi kuasa kepada Kreditor dan dengan ini Kreditor
berhak untuk membuat, menandatangani atau melakukan pembaharuan hutang
(novasi) terhadap perjanjian ini sehubungan dengan fasilitas pembiayaan
(pinjaman) atau hal lain yang menurut kreditor perlu dilakukan perubahan,
penambahan, atau pembaharuan atas perjanjian ini.
53
Berdasarkan bunyi klausula sebagaimana tersebut di atas, khususnya dari
kata-kata “atau hal lain yang menurut kreditur perlu dilakukan…dan
seterusnya..”, majelis berpendapat Tergugat secara jelas memasukkan
klausula pemberian kuasa dari debitor untuk dapat melakukan tindakan
sepihak menurut kreditur sehubungan dengan fasilitas pembiayaan yang
diberikan kepada debitur.
Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka klausula sebagaimana tercantum
dalam Pasal 12.1 Lampiran Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor
94384515 tertanggal 14 Juli 2015, menurut majelis termasuk klausula yang
dilarang menurut Pasal 18 ayat (1) huruf d UUPK.
Dan berdasarkan pada fakta-fakta hukum yang telah terungkap dalam
kasus tersebut, peniliti kurang setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di mana dalam pertimbangan tersebut
hakim hanya mengacu kepada UUPK. Yang seharusnya menurut peneliti
hakim juga harus mengacu kepada peraturan-peraturan lainnya seperti Kitab
Undang-Undang Hukum Peradat dan BerdasarkanPeraturan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan.Dan seharusnya dua peraturan tersebut bisa dijadikan
acuan hakim dalam memutuskan perkara.
Di mana dalam KUH Perdata juga dijelaskan mengenai klausula baku.
Klausula tersebut bertentangan dengan Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan
bahwa “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-
undang”.Jadi di sini disebutkan walaupun dalam membuat perjanjian itu
diberikan asas kebebasan berkontrak oleh KUH Perdata tetapi tetap harus
dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan yang di gunakan di Indonesia
dan tidak boleh bertentangan dengan kepatutat, kebiasaan atau undang-undang
54
itu sendiri. Dalam membuat perjanjian tersebut dari awal sudah tidak terdapat
itikad baik yang dilakukan oleh pihak Kreditur di mana pencantuman klausula
tersebut tidaklah diikuti dengan itikad baik dimana pihak kreditur memang
dari awal sudah membuat perjanjian pembiayaan konsumen tersebut yang
didalamnya hanya mengguntungkan pihak kreditur saja.
Selanjutnya ada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor
1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Walaupun dalam hiererki perundang-undang peraturan ini berada di bawah
KUH Perdata dan UUPK, tetapi menurut peneliti peraturan ini masih bisa
dijadikan acuan hakim dalam memutuskan perkara mengenai klausula baku.
Dimana dalam Pasal 21 disebutkan bahwa pelaku usaha jasa keuangan dalam
membuat perjanjian wajib memenuhi keseimbangan, keadilan dan kewajaran
dalam membuat perjanjian dengan konsumen. Selanjutnya dalam Pasal 22
Ayat (3) huruf c, dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa Pelaku Usaha
Jasa Keuangan dilarang memberikan kuasa dari Konsumen kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuanga, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk
melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh
Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Dimana dalam Pasal 12 point 1 (12.1) dalam perjanjian
tersebut, dalam lampirannya terdapat syarat dan ketentuan yang berbunyi :
“Debitor memberi kuasa kepada Kreditor dan dengan ini Kreditor berhak
untuk membuat, menandatangani atau melakukan pembaharuan hutang
(novasi) terhadap perjanjian ini sehubungan dengan fasilitas pembiayaan
(pinjaman) atau hal lain yang menurut kreditor perlu dilakukan perubahan,
penambahan, atau pembaharuan atas perjanjian ini”. Hal tersebut selain
bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1) huruf d UUPK juga bertentangan
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pasal 22 Ayat (3) huruf c
55
Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan.
2. Putusan pengadilan
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:
338/Pdt.G/2016/PN.JKT Sel tanggal 31 Agustus 2016, yang amar putusannya
sebagai berikut:
M E N G A D I L I
a. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara patut akan tetapi tidak hadir;
b. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dengan verstek;
c. Menyatakan Tergugat telah terbukti mencantumkan klausula baku yang
dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor: 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Akta Perjanjian Pembiayaan
dengan jaminan fidusia No. 94384515 tanggal 14 Juli 2015;
d. Menyatakan Akta Perjanjian Pembiayaan dengan jaminan fidusia di
bawah tangan dengan No. Perjanjian : 94384515 yang dibuat Tergugat
pada hari Selasa tanggal 14 Juli 2015, sepanjang menyangkut Syarat dan
Ketentuan Perjanjian Pembiayaan sebagaimana tercantum dalam Pasal
12.1 yang menjadi lampiran Perjanjian No. 94384515 di atas, batal demi
hukum;
e. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
f. Menghukum Tergugat agar membayar biaya perkara sebesar
Rp.626.000,00 (enam ratus dua puluh enam ribu rupiah);
g. Menolak gugatan Penggugat untuk selain atau selebihnya.
B. Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Pembiayaan Berdasarkan
KitabUndang-Undang Hukum PerdataUndang-Undang Perlindungan
Konsumen dan Peraturan Pembiayaan
56
1. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian
pembiayaan pembiayaanmerupakan suatu tindakan yang tidak patut (on
billijkheid). Klausula tersebut bertentangan dengan Pasal 1338 Ayat (3) KUH
Perdata menyatakan, suatu perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad
baik (goeder trouw, bona fide). Itikad baik dalam doktrin hukum perjanjian
meliputi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif
diartikan dalam hubungannya dengan hukum benda bermakna kejujuran,
sedangkan itikad baik objektif berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian
harus mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.
Klausula tersebut bertentangan dengan Pasal 1339 KUH Perdata
menyatakan bahwa “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-
undang”.
Tan Kamello dalam pandangan hukumnya menyatakan “Dalam KUH
Perdata, kepatutan adalah tiang hukum yang wajib ditegakkan. Sebagai asas
kepatutan memiliki peran dan fungsi antara lain menambah atau
mengenyampingkan isi perjanjian. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 1339 KUH Perdata. Isi perjanjian yang dibuat berdasarkan asas
kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan itikad baik”.1
Asas kepatutan dalam Pasal 1339 KUH Perdata berkaitan dengan isi
perjanjian. Pelaksanaan perjanjian harus dilakukan dengan memperhatikan
norma-norma kepatutan.
Klausul eksonerasi melanggar syarat sepakat dalam perjanjian pada Pasal
1321 KUH Perdata, yaitu “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
1 Tan Kamello, Asas Kepatutan dalam Arbitrase, (Bandung: Alumni, 2009), h.279-280
57
penipuan.” Kesepakatan dalam perjanjian baku tidak sebebas dengan
perjanjian langsung yang melibatkan para pihak dalam penetapan isi klausul-
klausul dalam perjanjian. Nasabah debitur tidak dapat menolak isi klausul
karena adanya ketergantungan secara ekonomi untuk memperoleh
pembiayaan dari bank, sehingga kesepakatan dalam Surat Pernyataan tersebut
tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian “sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya”.
Penerapan klausul eksonerasi tersebut juga bertentangan dengan syarat sah
perjanjian suatu sebab yang halal. Pasal 1335 menyatakan “suatu perjanjian
tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Selanjutnya dalam Pasal 1337
dinyatakan “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-
undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum.” Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaanberisi pengalihan
tangggung jawab kepada konsumen dilarang oleh undang-undang. Syarat
suatu sebab yang halal dilanggar, sehingga tidak memenuhi syarat sah
perjanjian elemen yang keempat “suatu sebab yang halal”. Surat Pernyataan
tersebut tidak memenuhi syarat objektif yaitu suatu sebab yang halal dalam
sahnya perjanjian, sehingga Surat Pernyataan tersebut batal demi hukum.
2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) pelarangan
penggunaan kontrakbaku terhadap dua hal yakni berkaitan dengan isi dan
bentuk penulisannya. Dari segi isi berkaitan dengan larangan memuat klausul-
klausul baku yang tidak adil. Sedangkan dari bentuk penulisannya klausula itu
harus dituliskan secara jelas dan terang sehingga dapat dibaca dan dimengerti
oleh konsumen dengan baik.2
2JanusSidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Adi2006), h. 27
58
Penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian
pembiayaan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf a
UUPK yang menyatakan “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau
mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (3) UUPK menyatakan “setiap
klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat
(1) dan Ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” Berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 18 Ayat (3) UUPK, maka perjanjian baku yang menerapkan klausul
eksonerasi atau pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen
adalah batal demi hukum. Akibat dari kebatalan demi hukum atas Surat
Pernyataan tersebut, menurut Pasal 18 Ayat (4) pelaku usaha wajib
menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang
tersebut.
3. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor
1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Ketentuan larangan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada
konsumen juga diatur Pasal 22 Ayat (3) huruf a Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa “Perjanjian baku
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dilarang: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban
Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen.
Ketentuan yang sama juga diatur dalam Bagian II Tentang Klausula
Dalam Perjanjian Baku angka 4 huruf a Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku, yang menyatakan bahwa
59
Perjanjian Baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal sebagai
berikut: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban POJK
kepada Konsumen.
Berdasarkan Pasal 22 Ayat (1) Peraturan OJK jelas dinyatakan bahwa
“dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku,
perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.” Ketentuan penggunaan perjanjian baku diatur dalam Peraturan
perundang-undangan yaitu UUPK dan Peraturan OJK Nomor 1/OJK.07/2013.
Akibat hukum terhadap pelanggaranketentuan yang telah diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah batal demi hukum. Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (3) UUPK yang
menyatakan bahwa klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.3
C. Analisis
Analisi yuridis terhadap kasus ini akan ditinjau dari beberbapa aspek sebagai
berikut:
1. Keabsahan Perjanjian Baku/Klausula BakuDitinjau dari KUH Perdata
Perjanjian yang tertera dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT.
Toyota Astra Financial Services adalah suatu bentuk perjanjian yang baku.
Terhadap perjanjian ini peneliti mencoba menganalisa kebasahannya sebagai
suatu perjanjian ditinjau dari ketentuan dalam KUH Perdata. Mulai dari syarat
sahnya perjanjian tersebut hingga pengaturan secara lebih detail terhadap
klausul yang sifatnya menguntungkan pihak kreditur dan merugikan debitur.
3 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001), h. 74
60
Dan juga peneliti akan mencoba melihat secara lebih fokus terhadap kaitan
asas kebebasan berkontrak dalam KUH Perdata dalam penerapan perjanjian
pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra Financial Services sebagai bentuk
dari perjanjian baku.
a. Tinjauan berdasarkan syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata
Salah satu yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus diatas
adalah perjanjian pembiayaan konsumen yang mencantumkan klausula
baku yang dilarang klausul yang bunyinya antara lain:
Adanya klausula berbunyi bahwa debitur memberi kuasa kepada
kreditur berhak untuk membuat, menandatangani atau melakukan
pembaharuan hutang (novasi) terhadap perjanjian ini sehubungan dengan
fasilitas pembiyaan (pinjaman) atau hal lain yang menurut kreditur perlu
dilakukan perubahan, penambahan atau pembaharuan atas perjanjian ini.
Unsur yang relevan dalam pembahasan pembiayaan konsumen ini
adalah adanya perjanjian tertulis (baku) mengenai apa saja yang
diaturpembiayaan konsumen. Perjanjianbaku pada pembiayaan konsumen
tersebut telahmemenuhi ciri-ciri dari sebuah perjanjian baku yaitu:4
1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomi) nya
kuat;
2) Masyarakat (debitur) sama sekali tidak bersama-sama menentukan isi
perjanjian;
3) Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian
itu;
4) Bentuk tertentu (tertulis);
5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Bila dikaitkan dengan ciri yang pertama, makaperjanjian pembiayaan
konsumen telah memenuhi ciri pertama, karena isi dari kontrak ini
4 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku: Perkembangannya di Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1980), h. 11
61
ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, dimana pelaku usaha
memiliki posisi (ekonomi) yang kuat. Selain itu juga telah memenuhi ciri
yang kedua, karena debitur dalam hal ini tidak diikutsertakan menentukan
isi perjanjian, PT. Toyota Astra Financial Services secara sepihak telah
menentukan sendiri isi perjanjian tersebut, debitur hanya tinggal membaca
dan memahami isi dari kontrak tersebut, sehingga debitur tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk melakukan tawar menawar terhadap isi
kontrak yang dibuat secara sepihak oleh pengusaha.
Ditinjau dari ciri ketiga, maka perjanjian kredit PT. Toyota Astra
Financial Services selaku kreditur dengan H.M. Soleh selaku debitur
merupakan perjanjian baku, karena dalam kenyataannya debitur memang
terpaksa harus menerima ketentuan yang telah diatur dalam kontrak
tersebut terdorong oleh kebutuhan. Ciri keempat perjanjian kredit antara
PT. Toyota Astra Financial Services dengan H.M. Soleh dibuat secara
tertulis, dibuat dalam rangkap dua yang sama dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak. Dan ciri kelima dimana sebelumnya perjanjian
pembiayaan konsumen tersebut sudah dibuat terlebih dahulu secara massal
dan kolektif oleh pihak kreditur.
Berdasarkan uraian di atas, maka perjanjian pembiayaan dengan
jaminan fidusia atas pembiayaan yang akan dibayar secara angsuran
terkait 1 (satu ) unit kendaraan bermotor roda 4 (empat) kredit antara PT.
Toyota Astra Financial Services dengan H.M. Soleh telah memenuhi ciri-
ciri dari perjanjian baku. Dalam Pasal 1338 KUH Perdata hukum
perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak dan asas ini
harus dibatasi bekerjanya, agar perjanjian yang dibuat berlandaskan asas
itu tidak merupakan perjanjian yang berat sebelah atau timpang.5
5 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbangbagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h. 71
62
Apabila dikaitkan dengan teori dalam KUH Perdata perjanjian
semacam itu termasuk dalam jenis perjanjian Innominaat (diluar KUH
Perdata). KUH Perdata sendiri tidak mengatur mengenai perjanjian baku
secara khusus dimana pada KUH Perdata hanya mengatur mengenai
perjanjian atau perikatan secara umum. Oleh karena itu apabila hendak
meninjau perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra Financial
Services dengan H.M. Soleh yang berupa perjanjian baku berdasarkan
KUH Perdata maka perjanjian pembiayaan konsumen tersebut harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian baik syarat obyektif maupun subyektif
yang terdapat pada Pasal 1320 KUH Perdata serta perjanjian tersebut juga
harus memenuhi asas-asas dalam perjanjian antara lain asas kebebasan
berkontrak, konsensualisme dan keseimbangan para pihak demi sahnya
perjanjian kredit tersebut.
Syarat sah pada Pasal 1320 KUH Perdata yang harus dipenuhi
perjanjian tersebut antara lain diuraikan sebagai berikut:
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Unsur yang paling penting dalam syarat ini adalah kata sepakat
dari para pihak yang mengikatkan dirinya yang berarti para pihak yang
ingin membuat perjanjian terlebih dahulu bertemu membicarakan
segala sesuatu yang ingin diperjanjikan oleh mereka dan terjadi
diskusi serta pengaturan pelaksanaan serta konsekuensi perjanjian.6
Namun dalam teori hukum perjanjian itu sendiri dikenal adanya
takluk secara diam-diam dan menyerahkan segalanya pada pihak
pembuat perjanjian. Seperti yang dikemukakan oleh Stein, yaitu
perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi
adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan
bahwa para pihak mengikatkan dirinya pada perjanjian itu. Jika debitur
6 David M. L. Tobing, S.H., M.Kn, Parkir + Perlindungan Hukum Konsumen, (Jakarta: Timpani
Publshing, 2007), h. 41
63
menerima dokumen perjanjian itu berarti secara sukarela setuju pada
isi perjanjianitu.7
Jadi apabila dalam hal perjanjian pembiayaan konsumen dengan
jaminan fidusia tidak mempermasalahkan sebelumnya maka ia
dinyatakan sepakat tanpa harus ada diskusi sebelumnya. H.M. Soleh
sebagai debitur yang dalam perjanjian pembiayaan konsumen
mencantumkan klausula perjanjian baku tidak mempermasalahkan hal
tersebut dengan tetap ingin mengangsur satu unit kendaraan bermotor
roda 4 (empat) dengan perjanjian pembiayaan dengan jaminan
fidusiayang menunjukkan ia telah mau dan percaya serta sukarela
untuk menyetujui perjanjian tersebut secara keseluruhan. Namun tetap
perjanjian baku/klausula baku yang disiapkan oleh pihak PT. Toyota
Astra Financial Services tadi diatur ole hundang-undang mengenai isi,
aplikasi dan bagaimana keberlakuan mengenai perjanjian tersebut dan
apabila terdapat ketimpangan dalam klausulnya maka dapat
dimintakan pembatalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang mengaturnya.
Jadi kesimpulannya perjanjian baku semacam itu memenuhi unsur
sepakat selama sesuai dengan ketentuan dengan asas dan aturan dalam
hukum perjanjian.
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak merupakan salah satu cakap hukum yaitu
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum
adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang
dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang
sudah dewasa.
7Miko Susanto Ginting, Menegaskan Kembali Keberadaan Klausula Baku dalam
Perjanjian,(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jurnal Hukum dan Peradilan,
Volume 3, Nomor 3 November 2014: 223-236), h. 227-22
64
Pasal 330 Ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan
tidak lebih dulu kawin. Secara a contrario dapat ditarik kesimpulan
bahwa seseorang dianggap dewasa apabila telah berusia 21 tahun
atautelah menikah. Jika seseorang diletakkan di bawah pengampuan,
maka secara yuridis orang tersebut juga dianggap tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum.
Dalam kasus perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan
fidusia PT. Toyota Astra Financial Services dengan H.M. Soleh para
pihak yang melakukan perjanjian baku tersebut dikatan cakap dan
berhak sehingga unsur ini terpenuhi secara lengkap.
c) Suatu hal tertentu
Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurang-
kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa
benda yang sekarang dan yang akan ada, misalnya jumlah jenis dan
bentuknya. Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang
menjadi objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang
menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi
atau perikatan dalam Pasal 1234 KUH Perdata terdiri dari :
(1) Memberikan sesuatu
(2) Berbuat sesuatu
(3) Tidak berbuat sesuatu.
d) Suatu sebab/klausula yang halal
Tidak semua perjanjian baku mencantumkan suatu sebab yang
halal yang tidak dilarang oleh undang-undang mengingat perjanjian
baku itu sendiri lahir dari ketidakseimbangan kedudukan antara
produsen dengan konsumen dimana produsen selalu ingin menerapkan
65
prinsip ekonomi diatas prinsip hukum.8 Klausa yang dimaksud oleh
Pasal 1320 KUH Perdata adalah klausa yang mengandung arti sebagai
apa yang diinginkan oleh para pihak dalam suatu perjanjian dan tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
Keabsahan merupakan media untuk mengetahui apakah klausula yang
tercantum dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra
Financial Services telah sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya.
Keberadaan klausula pada perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota
Astra Financial Services harus berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak
seperti yang diatur dalam KUH Perdata sehingga dapat diketeahui
bahwapencantuman klausula tersebut dibuatdengan adaanya itikad baik. Allah
SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah Ayat 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Kaitan dengan ayat di atas yaitu perjanjian dibuat secara sepihak namun
bukan berarti menghilangkan asas kebebasan berkontrak bagi pihak lain
(debitur). Karena pada akhirnya debitur seharusnya mempelajari tentang
perjanjian tersebut. Relevansinya dengan Pasal 1320 KUH Perdata perjanjian
8 David M. L. Tobing, S.H., M. Kn, Parkir + Perlindungan Hukum Konsumen, … h. 41
66
harus memenuhi syarat suatu hak tertentu sebagai objeknya. Hal ini akan
menimbulkan hak dan kewajiban para pihak.
Dapat disimpulkan bahwasannya klausa itu adalah isi dari perjanjian
tersebut. Klausula yang halal dengan demikian diartikan bahwa kontrak itu
mengandung isi yang halal dan tidak bertentangandengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum.9 Dalam kasus ini PT. Toyota Astra Financial
Servicesmasih mencantumkan klausa/kausa yang sifatnya dimana Debitor
memberi kuasa kepada Kreditorbahwa Kreditor berhak untuk membuat,
menandatangani atau melakukan pembaharuan hutang (novasi) terhadap
perjanjian ini sehubungan dengan fasilitas pembiayaan (pinjaman) atau hal
lain yang menurut kreditor perlu dilakukan perubahan, penambahan, atau
pembaharuan atas perjanjian ini yang berarti tidak sesuai dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Namun dikarenakan pembatalan atas suatu kausa tidak membatalkan
keseluruhan perjanjian maka perjanjian tersebut tidak batal seluruhnya.
Contohnya pada perjanjian kredit, apabila klausula mengenai tempat
pembayaran batal tidak berarti bahwa seluruhperjanjian kredit menjadi batal.
b. Klausula Eksonerasi padaperjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota
Astra Financial Servicesditinjau melalui KUH Perdata
Mengenai klausul yang bersifat memberatkan/pengalihan tanggung
jawab/eksonerasi KUH Perdata tidak memiliki aturan-aturan yang khusus
mengenai klausul eksonerasi. Maka terhadap adanya klausul-klausul
semacam ini ditinjau dari sudut pengaturan yang dimuat dalam
KUHPerdata, haruslah ditinjau dari Pasal 1337, 1338, 1339, dan juga
Pasal 1493-1512 KUH Perdata Indonesia.
Pasal 1337 KUH Perdata berbunyi: “Suatu kausa adalah terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang, apabila berlawanan dengan
9 Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di
Indonesia, (Jakarta: Direktorat Perlindungan Konsumen, 2001), h. 183
67
kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Pasal 1338 KUH Perdata
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang- undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk
itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal 1339
KUH Perdata berbunyi : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang”.
Apabila ketiga pasal tersebut dirangkumkan, berarti ada dua hal utama
yang harus diperhatikan didalam memberlakukan perjanjian baku terutama
yang mengandung klausula eksonerasi seperti perjanjian baku yang tertera
pada perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra Financial
Services antar lain:
1) Tidak bertentangan dengan kesusilaan (moral), kepatutan, kebiasaan
dan/atau undang-undang (Pasal 1337 dan 1339 KUH Perdata);
2) Memiliki itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata).
Berdasarkan penjelasan diatas maka klausula eksonerasi yang terdapat
dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra Financial
Services memang jelas-jelas melanggar ketentuan dalam KUH Perdata
yaitu tidak sesuai dengan kesusilaan dan undang-undang (Pasal 1337 dan
1139) dan juga pencantuman klausula tersebut tidaklah diikuti dengan
itikad baik dimana pihak kreditur memang dari awal sudah membuat
perjanjian pembiayaan konsumen tersebut yang didalamnya hanya
mengguntungkan pihak kreditur saja.
Sedangkan pengaturan pada Pasal 1493 KUH Perdata inti dari pasal
tersebut adalah menyebutkan bahwa para pihak berhak merundingkan
68
tentang sejauh mana pertanggung jawaban para pihak dalam suatu
perjanjian. Pada kasus perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra
Financial Services klausula eksonerasi yang tertera tidak dirundingkan
terlebih dahulu jadi hal tersebut tidak memenuhi unsur dalam Pasal 1493.
yang menyebabkan hal tersebut dilarang menurut KUH Perdata dilihat
dari Pasal 1493.
Asas Kebebasan Berkontrak merupakan suatu asas yang wajib
dipenuhi dalam mengadakan suatu perjanjian. Berlakunya asas kebebasan
berkontrak dalam hukum perjanjian indonesia dapat dilihat pada Pasal
1329 KUHPerdata, yang berbunyi : “Setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan cakap”.
Dengan adanya pasal tersebut, setiap orang cakap untuk membuat
perjanjian. Dan kecakapan seseorang dalam membuat perjanjian, akan
memberlakukan kebebasan yang ada pada dirinya. Bahwa manusia terlahir
untuk bebas.
Kesepakatan mereka (para pihak) mengikatkan diri adalah merupakan
asas esensial dari hukum perjanjian dimana hal ini menjadi bagian dari
asas kebebasan berkontrak, yang juga biasa disebut dengan
konsensualisme, yang menentukan adanya perjanjian. Asas kebebasan ini
juga tidak hanya terdapat atau milik KUH Perdata saja, akan tetapi asas ini
berlaku secara universal, bahkan asas ini juga dikenal dalamhukum
Inggris. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH
Perdata mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling
berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kemauan ini
membangkitkan (vertrouwen) bahwa perjanjian itudipenuhi.
Asas kebebasan berkontrak juga berkaitan erat dengan isi perjanjian,
yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu
69
diadakan. Dan perjanjian yang dibuat tersebut sesuai dengan Pasal 1320
KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat. Meninjau masalah “ada”
dan “kekuatan mengikat” pada perjanjian baku, maka secara teorItis
yuridis perjanjian tersebut (standard contract) tidak memenuhi elemen-
elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata. Dikatakan
demikian sebab jika melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika
perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan para debitur
untuk mengadakan “real bergaining” dengan pengusaha (kreditur).
Debitur dalam keadaan ini tidak mempunyai kekuatan untuk
mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian
baku tersebut, dan hal ini bertentangan dengan Pasal 1320 jo 1338 KUH
Perdata di atas.
Dalam melihat permasalahan ini terdapat dua pemahaman bahwa
apakah perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan berkontrak
atau tidak paham tersebut antara lain:
a) Secara mutlak memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu
perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah
seakan-akan sebagai pembentuk undang- undang swasta. Syarat-
syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah
undang-undang bukanperjanjian.
b) Cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat
diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan
kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak
mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan asumsi bahwa jika
debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu, berarti ia
secarasukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
Apabila dikaitkan dengan perjanjian baku yang terdapat dalam
perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra Financial Services
70
tersebut sebenarnya terlihat bagaimana H.M. Soleh selaku debitur tidak
ikut menentukkan isi dari perjanjian kredit tersebut namun disini H.M.
Soleh sendiri telah sepakat terhadap pembuatan perjanjian tersebut dengan
menandatangani perjanjian kredit tersebut dikarenakan itikad baik dari
kreditur demi terciptanya efisensi dalam hubungan pelaku usaha dan
debitur.
Jadi selama perjanjian baku dibuat dengan itikad baik dari pelaku
usaha maka peneliti setuju dengan paham kedua bahwa perjanjian baku
dapat diterima sebagai suatu perjanjian dan debitur sepakat dengan
kepercayaan atas perjanjian tersebut. Namun apabila terdapat klausula
yang berat sebelah dan merugikan dapat dimintakan pembatalan atas
klausula baku tersebut. Bila dikaitkandengan perjanjian pembiayaan
konsumen PT. Toyota Astra Financial Servicesmaka peneliti berpendapat
perjanjian yang tertera dalam perjanjian kredit tersebut sudah sesuai
dengan kebebasan berkontrak. Namun tetap ada pengecualian terhadap
klausula eksonerasi yang memang jelas-jelas melangggar ketentuan
undang-undang.
c. Klausula Baku Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. Toyota Astra
Financial Services Ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
Dalam perundang-undangan di Indonesia pengaturan mengenai
klausula baku, baru terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yaitu dalam Pasal 1 ayat (10) dimana
klausula baku didefinisikan sebagai: “Setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikatdan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Selain itu UUPK juga mengatur mengenai penggunaan klausula baku
71
dalam setiap transaksi bisnis dimana ketentuan-ketentuan yang diatur tertuang
pada Pasal 18 UUPK.
Adapun klausula baku yang dilarang menurut Pasal 18 Ayat (1) UUPK
adalah:10
1) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
3) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
4) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli olehkonsumen secara
angsuran;
5) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7) menyatakan tunduknya konsumen pada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUPK tersebut di
atas akan mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal
10
Ahmad Jahri, Perlindungan Nasabah Debitur Terhadap Perjanjian Baku Yang Mengandung
Klausula Eksonerasi Pada Bank Umum di Bandarlampung, (Jurnal Fiat Justisia Journal of Law,
Lampung University, Bandarlampung, Lampung, Indonesia, ISSN: 1978-5186 | e-ISSN: 2477-6238),
h. 138
72
demi hukum, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (3) UUPK.
Perjanjian dengan klausula baku tidak hanya mendapat akibat hukum batal
demi hukum apabila melanggar ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUPK.
Dari isi Pasal 18 UUPK tersebut jelaslah bahwa undang-undang
perlindungan konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk menggunakan
perjanjian baku dan mencantumkan klausula-klausula baku kedalam
perjanjian, selama dan sepanjang klausula-klausula yang dicantumkan
tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan- ketentuan sebagaimana
dilarang dalam Pasal 18 Ayat (1), dan tidak “berbentuk” dan “terletak”
seperti yang dilarang pada Pasal 18 Ayat (2) UUPK tersebut.
Apabila dikaitkan dengan klausula perjanjian pembiayaan konsumen
PT. Toyota Astra Financial Services yang telah diuraikan di atas, maka
klausula yang rentan mendapat akibat hukum, batal demi hukum karena
melanggar ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUPK, yaitu: Klausul yang
menyatakan menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk
melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh
Konsumen kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Dalam perjanjian pembiayaan konsumen
PT. Toyota Astra Financial Services disebutkan bahwa debitor memberi
kuasa kepada kreditor berhak untuk membuat, menandatangani atau
melakukan pembaharuan hutang (novasi) terhadap perjanjian ini
sehubungan dengan fasilitas pembiyaan (pinjaman) atau hal lain yang
menurut kreditor perlu dilakukan perubahan, penambahan atau
pembaharuan atas perjanjian ini. Klausula ini juga bertentangan dengan
POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan, Pasal 22 Ayat (3) huruf c yaitu: menyatakan pemberian
kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara
73
langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan
sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan
sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d. Klausula Baku Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. Toyota Astra
Financial Services Ditinjau dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Perlindungan bagi debitur selaku konsumen tidak hanya
melaluiUUPK, akan tetapi lebih spesifik lagi pada peraturan perundang-
undangan di bidang perbankan, diantaranya:
Pertama, POJK Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan dalam Pasal 21 dan Pasal 22.
Pengaturan penggunaan syarat-syarat dalam pembuatan perjanjian baku
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi konsumen
terhadap pelaku usaha di bidang layanan jasa keuangan. Negara hukum,
tidak hanya menjaga ketertiban tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat
sebagai bentuk keadilan (welfarestate).
Kedua, POJK Nomor: 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga
AlternatifPenyelesaian Sengketa disektor Jasa Keuangan. Pada POJK ini
diatur tentang lembaga alternatif penyelesaian sengketa konsumen sektor
jasa keuangan. Lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga
yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pada Pasal 11
Ayat (1) disebutkan bahwa: “bila lembaga alternatif penyelesaian sengketa
belum terbentuk, konsumen dapat mengajukan permohonan fasilitasi
penyelesaian sengketa kepada OJK”.
Dalam upaya mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state)
khususnya konsumen dari kedudukan yang sebelumnya bersifat subordinat
menjadi seimbang, pemerintah melalui POJK Nomor 1/POJK.07/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan mampu
menempatkan posisi konsumen jasa keuangan menjadi seimbang dengan
74
pelaku jasa keuangan, namun dalam pelaksanaannya bank masih
menerapkan klausula ini.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti berkesimpulan bahwa perjanjian baku yang
mengandung klausula eksonerasi pada perjanjian pembiayaan konsumen PT.
Toyota Astra Financial Services bisa berakibat batal demi hukum karena
bertentangan dengan UUPK dan POJK, karenanya agar krediur terhindar dari
risiko hukum maka terhadap perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk
perjanjian baku yang didalamnya mengandung klausula eksonerasi harus
diberikan penjelasan secara detail kepada nasabah tentang klausula eksonerasi
tersebut, bukan hanya disodorkan untuk dibaca dan ditandatangani.
Dalam kasus perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota Astra Financial
Servicesini dimana di dalam penjelasan pasal 18 Ayat (1) mencantumkan
larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara
dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.11
Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus ini menyatakan Tergugat telah
terbukti mencantumkan klausula baku yang dilarang dalam Pasal 18 Ayat (1)
huruf d pada Akta Perjanjian Pembiayaan dengan jaminan fidusia No. 94384515
tanggal 14 Juli 2015 dan juga menyatakan Akta bahwa Perjanjian Pembiayaan
dengan jaminan fidusia di bawah batal demi hukum.
Jadi dari hasil analisis peneliti menganalis aperjanjian pembiayaan ini apakah
sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian atau kesepakatan. Melihat dari
syarat subjektif yaitu syarat pertama dan kedua, perjanjian ini sudah memnuhi
syarat, sedangkan secara syarat objektif yaitu syarat yang ketiga dan keempat,
perjanjian ini masih kurang, karena peneliti meninjau bahwa perjanjian ini
berbenturan dengan peraturan perundang- undangan lainnya, yaitu Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
11
David M. L. Tobing, S.H., M. Kn, Parkir + Perlindungan Hukum Konsumen, …h. 50
75
Peneliti menganalisa bahwa perjanjian pembiayaan konsumen ini sedikit
berbenturan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 UUPK. Hal ini
menjelaskan bahwa apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu dapat dibatalkan, maksudnya salah satu pihak dapat mengajukan ke
pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah terjadi. Apabila syarat
ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum,
artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu perjanjian ini
dapat dikatakan batal demi hukum, karena terdapat pasal pada perjanjian
pembiayaan konsumen yang dilarang untuk dicantumkan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dan juga akibat hukum dari penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian
pembiayaan PT. Toyota Astra Financial Servicesdemikian juga berdasarkan
POJK Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, nasabah dapat melaporkan kepada OJK, dan juga bisa meminta
pembatalan perjanjian melalui pengadilan.Hal ini sejalan dengan putusan
pengadilan yang dalam putusannya menyebutkan bahwa perjanjian yang
mencantumkan klausula baku tersebut maka batal demi hukum.
Perlindungan debitur dalam perjanjian baku dilakukan oleh UUPK khususnya
Pasal 18, selain itu juga dilindungi oleh POJK Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan sebagaimana dimuat dalam Pasal
21 dan Pasal 22. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut bisa mendapat sanksi
yang berat, termasuk pencabutan izin usaha.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya
maka peneliti dapat memberi kesimpulan bahwa:
1. Perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia antara
konsumen dengan perusahaan pembiayaan dibuat dalam bentuk baku
yang isinya dibuat oleh pihak yang kuat yaitu perusahaan pembayaran
sedangkan konsumen tinggal menyetujuinya. Oleh karenanya
perjanjian yang demikian banyak tercantum klausula eksonerasi,
seperti yang tercantum dalam beberapa syarat dan ketentuan umum
perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia.
Bahwa pengaturan mengenai klausula baku di Indonesia sudah
cukup baik yaitu dengan adanya ketentuan-ketentuan umum mengenai
perjanjian yang ada dalam KUH Perdata dan pada bidang perlindungan
konsumen diatur dalam UUPK. Dimana pengaturan mengenai klausula
baku pada KUH Perdata tidak diatur secara khusus namun KUH
Perdata melihat klausula baku sebagai bagian dari hukum perjanjian
yang harus patuh terhadap syarat-syarat sahnya perjanjian yang tertera
pada Pasal 1320 dan juga secara lebih luas harus patuh pada ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam Buku III Tentang Perikatan KUH
Perdata. Sedangkan pada UUPK diatur secara khusus mengenai apa
saja yang dilarang dalam pencantuman dan pemakaian Klausula Baku,
pengaturan tersebut tertera pada Pasal 18 UUPK, selain itu UUPK juga
mengatur apabila terjadi pelanggaran mengenai hal tersebut maka akan
diberikan sanksi pidana baik denda maupun kurungan ataupun
perjanjian tersebut batal demi hukum.
Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH
Perdata dan UUPK Perjanjian Baku pada dasarnya mempunyai
kekuatan mengikat yang sama dengan perjanjian pada umumnya hanya
saja dalam perjanjian baku terdapat hal-hal yang harus diperhatikan
77
seperti tidak boleh adanya klausula yang menyatakan bahwa debitur
memberi kuasa kepada Kreditur.
Jika membuat klausula baku dalam suatu perjanjian pembiayaan
konsumen maka diharuskan melihat peraturan Undang-Undang yang
berlaku seperti mekanisme dan pembatasan pembuatan perjanjian
pembiayaan konsumen.
2. Dalam pertimbangan hakim majelis berpendapat pihak Penggugat telah
dapat membuktikan dalil-dalil bahwa Tergugat telah melanggar
Peraturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimana Tergugat
Telah mencantumkan larangan dalam pembuatan klausula baku.
klausula baku dalam perjanjian pembiayaan konsumen PT. Toyota
Astra Financial Services maka KUH Perdata sendiri secara
keseluruhan melihat klausula baku pada perjanjian pembiayaan
konsumen tersebut adalah sebuah perjanjian yang sah karena
berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya
perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian
yang terdiri dari kata sepakat, cakap dalam bertindak, suatu hal tertentu
dan sebab yang halal sedangkan pada UUPK pada Pasal 18 pihak
kreditur melakukan pelanggaran khusunya pada Pasal 18 Ayat (1)
khusunya pada butir yang melarang untuk Debitur memberi kuasa
secara penuh kepada Kreditur dan sehingga klausula baku tersebut
dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
B. Rekomendasi
Berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini, maka peneliti
mencoba memberikan rekomendasi. Adapun rekomendasi dari peneliti
yaitu:
1. Bahwa suatu perjanjian itu harus dari kesepakatan para pihak dan
dibuat dengan teori hukum perjanjian yang berkaitan dengan kontrak
baku mengacu pada keberadaan asas-asas hukum perjanjian yang
menjadi dasar perikatan dalam kontrak baku
78
2. Pertama, Pemerintah harus lebih meningkatkan pengawasan sistem
dan proses terhadap isi pencantuman klausula baku pada pelaku usaha
pembiayaan konsumen yang menimbulkan kerugian bagi konsumen
atau debitur. Kedua, Sebagai pelaku usaha dalam membuat perjanjian
baku harus memperhatikan hak dan kewajiban konsumen sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang ada, dan jika terjadi
kelalaian maka perusahaan pembiayaan konsumen mampu
bertanggungjawab. Ketiga, hakim dalam memutus suatu perkara
seharusnya melihat peraturan lain yang berlaku untuk menjadi acuan
hakim dalam memutuskan perkara
79
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Ariyani, Evi, Hukum Perjanjian, Yogyakarta: Ombak, 2013.
Az, Nasution, Konsumen dan Hukum, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di
Indonesia, Bandung: Alumni, 1980.
Badrulzaman, Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian
Baku (Standart), Bandung: Alumni, 1980.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Pemberdayaan Hak-Hak
Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Perlindungan Konsumen,
2001.
Fuady, Munir, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1995.
Fuady, Munir, Hukum Tentang Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2014.
Fuady, Munir Jaminan Fidusia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.
Ginting, Miko Susanto, Menegaskan Kembali Keberadaan Klausula Baku dalam
Perjanjian,( Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jurnal
Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 November 2014: 223-236), h.
227-228.
Hasbullah, Frieda Husni, Hukum Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan,
Jakarta: Ind Hill-Company, 2005.
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsiobalitas dalam Kontrak
Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008.
H.S, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006.
H.S, Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Fidusia di Indonesia, Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2004.
80
Jahri, Ahmad, Perlindungan Nasabah Debitur Terhadap Perjanjian Baku Yang
Mengandung Klausula Eksonerasi Pada Bank Umum di Bandarlampung,
(Jurnal Fiat Justisia Journal of Law, Lampung University,
Bandarlampung, Lampung, Indonesia, ISSN: 1978-5186 | e-ISSN: 2477-
6238.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Mahmudji, Sri, et all, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta 2003.
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa, 2007.
Muhammad, Abdul kadir, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.
Mulajadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003.
Naja, H.R. Daeng, Contract Drafting, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.
Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media, 2002.
Prajitno, A. A Andi, Hukum Fidusia Problematika Yuridis Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, Malang: Bayu Media
Publishing, 2009.
Sembiring, Sentosa, Hukum Dagang, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
Setiawan, R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: PT Bima Cipta, 2008.
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia,
Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 2003.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun
Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2009.
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Prenada Media
2004.
81
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Susilo, Y. Sri, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga
Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000.
Suyatno, Thomas, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: PT Gramedia, 1989.
Umam, Khotibul, Hukum Lembaga Pembiayaan Hak dan Kewajiban Nasabah
Pengguna Jasa Lembaga Pembiayaan, Sleman: Pustaka Yustisia, 2010.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Zakiyah, Klausula Eksonerasi dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, (Jurnal
Al’Adl, Volume IX Nomor 3, Desember 2017, ISSN 1979-4940/ISSN-E
2477-0124).
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana, 2013.
82
LAMPIRAN
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 1 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
P U T U S A N
Nomor: 338/Pdt.G/2016/PN.JKT Sel..
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan
mengadiliperkara perdata pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan
sebagai berikut dalam perkara gugatan antara :
H.M. S O L E H, anggota LPKSM YPK Senopati dengan Nomor Keanggotaan :
09.09.13.0000269, Warga Negara Indonesia, Pekerjaan
Wiraswasta, Jenis Kelamin Laki-laki, Umur 58Tahun,
Beralamatdi Kampung Sukabakti RT. 001 RW. 002,
Keluarahan Sukabakti Kecamatan Curug, Kabupaten
Tangerang, dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 27 Mei 2016 Nomor : 099/KG-S/091/V/2016,
diwakili oleh Kuasanya bernama :MASJIKNURSAGA,
JAENAL MUHARAM, SUGANDA, MULIYADI,
MT.DIANSYAH, RAMJAHIF PG FIVER, MUHAMAD
NAWAWI, kesemuanya Para Organ Pengurus Yayasan
Perlindungan Konsumen Senopati (YPK SENOPATI),
berkantor di Jl. Pekong-Saga RT. 004 RW. 002, Saga,
Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Propinsi
Banten.selanjutnya disebut sebagai ---PENGGUGAT ;
M e l a w a n
PT. TOYOTA ASTRA FINANCIAL SERVICES, berkedudukan di RUKAN Plaza
V Pondok Indah Blok D No. 7 Jl. Margaguna No. 462, Kel. Gandaria Utara, Kec.
Kebayoran Baru, Jakarta 12920, selanjutnya disebut sebagai ------TERGUGAT;
Pengadilan Negeri tersebut ;
Telah membaca Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No.338/Pdt.G/2016/PN.JKT Sel.. tertanggal 30 Mei 2016, tentang Penunjukan
Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini;
Telah membaca Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No. 338/Pdt.G/2016/PN.JKT Sel. tertanggal 07 Juni 2016, tentang Penetapan
Hari Sidang
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 2 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
Telah membaca berkas perkara;
Telah memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak Penggugat
dipersidangan;
TENTANG DUDUKNYA PERKARA
Menimbang, bahwa Penggugat melalui kuasanya telah mengajukan
gugatan tertanggal 27 Mei 2016 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 27 Mei 2016 dengan register
No.338/Pdt.G/2016/PN. JKT Sel.. telah mengemukakan hal-hal sebagai
berikut :
I. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PENGGUGAT
1. Bahwa PENGGUGAT adalah Debitur PT. TOYOTA ASTRA FINANCIAL
SERVICESberkedudukan berkantor pusat di RUKAN Plaza V Pondok
Indah Blok D No. 7 Jl. Margaguna No. 462, Kel. Gandaria Utara, Kec.
Kebayoran Baru, Jakarta 12920, berdasarkan Perjanjian Pembiayaan
Konsumen dengan Jaminan Fidusia dibawah tangan, No. Perjanjian
:94384515yang ditandatangani pada hari SELASA tanggal 14 Juli 2015
atas pembiayaan yang akan dibayar secara angsuran terkait 1 (satu )
unit kendaraan bermotor roda 4 (empat) :
- Merk/Type : TOYOTA/AVANSA/F 52 V A/T10
- Tahun : 2015
- No. Rangka : MHKM1CB4JFK042540
- No. Mesin : DFM6277
- Warna : HITAM METALIK
- BPKB atas nama : H.M. SOLEH;
2. Bahwa PENGGUGAT adalah warga negara Republik Indonesia, Pemilik
1 (satu) unit kendaraan yang didapat melalui pembelian pembiayaan
dari TERGUGATyang akan dibayar secara angsuran oleh
PENGGUGAT selama 48 (empat puluh delapan)bulan, BPKB
kendaraan tersebut dijaminkan kepada TERGUGAT (PT. TOYOTA
ASTRA FINANCIAL SERVICES)berkedudukan di RUKAN Plaza V
Pondok Indah Blok D No. 7 Jl. Margaguna No. 462 Kel. Gandaria Utara
Kec. Kebayoran baru, Jakarta 12920
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 3 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
3. Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (7) UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, PENGGUGATadalah warga Negara Republik
Indonesia yang merupakan konsumen TERGUGAT, “berhak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif oleh Pelaku Usaha”;
4. Bahwa berdasarkan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UURI No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), menyatakan :
1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,
yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit;
2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d,
diajukan kepada Peradilan Umum.
II. KEDUDUKAN HUKUM TERGUGAT
1. Bahwa TERGUGAT berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UURI No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud “pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 4 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
2. BahwaTERGUGATadalah Lembaga Pembiayaan bernama PT. TOYOTA
ASTRA FINANCIAL SERVICEStelah mencantumkan Klausula yang
dilarang UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
atas pinjaman dana tunai (fasilitas pembiayaan)pada Perjanjian
Pembiayaan Konsumen dengan Jaminan Fidusia dibawah tangan,
No. Perjanjian :94384515ditandatangani pada hari SELASA, tanggal 14
Juli 2015;
3. BahwaTERGUGATadalah Lembaga Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam PERATURAN PRESIDEN RI No. 9 Tahun 2009
Tentang LEMBAGA PEMBIAYAAN yang menetapkan padaBAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 7“pembiayaan konsumen (consumer
finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang
berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran”;
4. Bahwa TERGUGATadalah Lembaga Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalamKEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NO.
1251/KMK.013/1988 Tentang KETENTUAN dan TATA CARA
PELAKSANAAN LEMBAGA PEMBIAYAAN - BAB I KETENTUAN
UMUM, Pasal 1 huruf (p) berbunyi : “perusahaan pembiayaan
konsumen (consumers finance company) adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau
berkala oleh konsumen”;
5. Bahwa TERGUGAT adalah Lembaga Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam PERATURAN MENTERI KEUANGAN RI NO.
84/PMK.012/2006 Tentang PERUSAHAAN PEMBIAYAAN - BAB I
KETENTUAN UMUM, Pasal 1 huruf (g),berbunyi : “pembiayaan
konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
pembayaran secara angsuran”;
6. Bahwa TERGUGATadalah Lembaga Pembiayaan yang dimaksud dalam
KEPUTUSAN PRESIDEN RI No. 61 TAHUN 1988 Tentang LEMBAGA
PEMBIAYAAN - BAB I KETENTUAN UMUM, Pasal 1, berbunyi :
“perusahaan pembiayaan konsumen (consumers finance company)
adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 5 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau
berkala”;
7. BahwaTERGUGAT telah membuat Perjanjian Baku mencantumkan
larangan UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
yang dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) dalam Perjanjian Pembiayaan
Jaminan Fidusia dibawah tangan, No. Perjanjian:
94384515ditandatangani pada hari SELASA, tanggal 14 Juli 2015;
III. DASAR HUKUM DIAJUKAN GUGATAN
1. Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (7) UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, PENGGUGATadalah warga Negara
Republik Indonesia yang yang merupakan konsumen TERGUGAT,
“berhak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif oleh pelaku usaha”;
2. Bahwaberdasarkan Pasal 45 ayat (1) UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen“Setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”;
3. Bahwa berdasarkan Pasal 46 ayat (2) UURI No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, “Gugatan atas pelanggaran pelaku
usaha dapat dilakukan oleh : “sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d
diajukan kepada peradilan umum”;
4. Bahwa PENGGUGAT mengajukan gugatan melalui mekanisme
pertanggungjawaban perdata berdasarkan Pasal 1365Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang berbunyi, “setiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”;
5. Bahwa PENGGUGAT mengajukan gugatan melalui mekanisme
pertanggung jawaban perdata berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi, “majikan-
majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili
urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 6 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka
di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”;
6. Bahwa PENGGUGATmengajukan gugatan berdasarkan Pasal 17 UURI
No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, berbunyi : “setiap
orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara
pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara
yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan
adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”, Gugatan ini
bertujuan untuk menjamin Kepastian Hukum, sebagaimana
diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
dijabarkan dalam UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen;
7. Bahwa PENGGUGAT sesuai dengan Tupoksinya yang diamanatkan
dalam UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal
30 ayat (1) berbunyi : Pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangannya; ayat (3) berbunyi : Pengawasan oleh
masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar
dipasar;
8. Bahwa Pasal 44 ayat (2) UURI No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen berbunyi, “lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat memiliki kesempatan berperan aktif dalam
mewujudkan perlindungan konsumen, ayat (3) hurup d berbunyi,
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen, huruf e berbunyi,
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen, dan Pasal 46 ayat (1) huruf c
berbunyi, Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 7 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya”;
9. Bahwa dalam UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, BAB I KETENTUAN UMUM, Pasal 1 menyatakan : “dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
IV. URAIAN FAKTA-FAKTA HUKUM
1. Bahwa Penandatanganan Perjanjian Pembiayaan Jaminan Fidusia
dibawah Tangan dengan No. Perjanjian :94384515yang ditandatangani
pada hari SELASA tanggal 14 Juli 2015 antarapihak TERGUGAT yang
diwakili oleh M ICHWAN DORODJATUN Cq (PT. TOYOTA ASTRA
FINANCIAL SERVICES) yang berkedudukan di RUKAN Plaza Pondok
Indah Blok D No. 7 Jl. Margaguna No. 462, Kel. Gandaria Utara Kec.
Kebayoran Baru, Jakarta 12920, dan dari pihak PENGGUGAT oleh
H.M. SOLEH Warga Negara Indonesia, Pekerjaan Wiraswata, Jenis
Kelamin Laki-laki, Umur 58 Tahun, Beralamatdi Kampung Sukabakti RT.
001 RW. 002, Kel. Sukabakti Kec. Curug, Kab. Tangerang,
2. Bahwa Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia dibawah
tangan, Perjanjian Pembiayaan Konsumen No. :94384515yang
ditandatangani pada hari SELASA, tanggal 14 Juli 2015 dapat
menimbulkan hubungan antara Lembaga Pembiayaan (Tergugat)
dengan Debitur (Penggugat) dan akibat hukum dengan
ditandatanganinya suatu perjanjian adalah mengikatnya substansi
perjanjian tersebut bagi para pihak yang menyepakatinya, hal ini
sesuai amanat asas kebebasan berkontrak pada Pasal 1338
KUHPerdata dan asas konsensualisme pada Pasal 1320
KUHPerdata (General);
3. Bahwa BAB IV PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU
USAHA dalam Pasal 8 ayat (1) UUPK, Pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan dan/atau jasa yang : (a)
“tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
4. Bahwa Prinsip-prinsip perlindungan konsumen dalam hubungannya
dengan eksistensi perjanjian baku ditentukan oleh Pasal 18 UURI
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 8 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
menyatakan perjanjian baku dilarangdengan ancaman batal demi
hukum terhadap hal-hal yang telah diatur dalam pasal tersebut;
5. Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut, maka setiap perjanjian
kredit yang pada umumnya bersifat baku, baik yang sudah ada
maupun yang akan dibuat dalam praktek Lembaga Pembiayaan,
seyogyanya harus menyesuaikan dengan ketentuan yang ada pada
Pasal 18 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) UURI No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), sebagai berikut :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkandilarangmembuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 9 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau
yang pengungkapannya sulit dimengerti;
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum;
(4)Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
V. PELANGGARAN YANG DILAKUKAN TERGUGAT DAN AKIBATNYA
1. BAHWA perbuatan melawan hukum atas pelanggaran pencantuman
KLAUSULA BAKU yang dilakukan TERGUGAT (PT. TOYOTA ASTRA
FINANCIAL SERVICES) yang diajukan oleh PENGGUGAT pada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas ADANYA PENCANTUMAN
KLAUSULA BAKU yang dilarang pada Pasal 18 ayat 1 hurup [d] UURI
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pada Perjanjian
Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia dibawah Tangan, dengan
No.Perjanjian : 94384515yang ditandatangani pada hari SELASA,
tanggal 14 Juli 2015,tertuang pada poin:
LAMPIRAN PERJANJIAN tersebut dalam SYARAT dan KETENTUAN
PERJANJIAN PEMBIAYAAN halaman5 Pasal 12 poin [12.1] adanya
klausula berbunyi : “debitor memberi kuasa kepada kreditor berhak untuk
membuat, menandatangani atau melakukan pembaharuan hutang
(novasi) terhadap perjanjian ini sehubungan dengan fasilitas pembiyaan
(pinjaman) atau hal lain yang menurut kreditor perlu dilakukan
perubahan, penambahan atau pembaharuan atas perjanjian ini”,
klausula ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf [d] UURI No.
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen (UUPK) berbunyi :
dilarang“menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran; sedangkan PENGGUGAT terkait
permohonan kredit tersebut kepada TERGUGAT belum pernah
menandatangani AKTA JAMINAN FIDUSIA secara langsung dihadapan
NOTARIS, melainkan hanya menandatangani Perjanjian Pembiayaan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 10 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
dengan Jaminan Fidusia dibawah Tangan, dengan No. Perjanjian
:94384515;
2. BAHWA akibat perilaku TERGUGAT yang mencantumkan KLAUSULA
BAKU dalam perjanjian yang dibuatnya nampaknya TERGUGATsedang
membuat Undang-Undang BUKAN PERJANJIAN, akibatnya banyak
Masyarakat yang kehilangan hartanya bahkan tidak jarang
keselamatannya terancam disebabkan menjamurnya Penagih-Penagih
hutang LIAR yang sering disebut DEBT. COLLECTOR berwajah seram
dan berperilaku arogan serta main hakim sendiri : Menyita, Merampas
Kendaraan dijalananTanpa perintah tertulis dari kekuasaan yang sah
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Tanpa
Fiat Ketua Pengadilan);
3. BAHWA sering sekali Pelaku usaha yang nakal berlindung dibalik Pasal
1320 KUHPerdata yang di salah artikan, sedangkan Pasal 1320
KUHPerdata mengatur bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah apabila
telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam pasal tersebut,
yaitu:
1. Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian;
3. Ada suatu hal tertentu;
4. Adanya suatu sebab yang halal.
Sementara itu, suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu :
tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
tidak bertentangan dengan kesusilaan;
tidak bertentangan dengan Undang-Undang(dalam hal ini
bertentangan dengan pasal 18 ayat 1 hurup [d] UURI No. 8 Th.
1999 Tentang Perlindungan Konsumen).
Jika ketentuan Pasal 1320 jo. 1337 KUHPerdata dikaitkan dengan Pasal 18
ayat (1) UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tersebut
yang menekankan ada 8 (delapan) KLAUSULA BAKU dilarang dicantumkan
sesuai yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) yang melarang
pencantuman klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti maka
tentu praktek PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU sebagaimana dimaksud
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 11 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) tersebut adalah bertentangan dengan Undang-
Undang sehingga perjanjian semacam itu tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang akibatnya
perjanjian tersebut batal demi hukum.
Selain itu, pada Pasal 18 ayat (3) UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen(UUPK) juga mengatur :“setiap klausula baku yang
telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum”.
BAHWA :
1. PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
dalam suatu perjanjian adalah tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian
yang mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum, menurut pasal
1320 juntis pasal 1337 KUHPerdata, dan Pasal 18 ayat (3) UURI No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK);
2. Walaupun kedua belah pihak telah sepakat dengan KLAUSULA BAKU
yang dibuat TERGUGAT namun di mata hukum perjanjian tersebut
tidak sah;
3. Bahwa dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan Jaminan Fidusia
dibawah tangan,dengan No. Perjanjian: 94384515yang ditandatangani
pada hari SELASA tanggal 14 Juli 2015terdapat beberapa pasal yang
bertentangan dengan yang dimaksud dalam Pasal 18 UURI No. 8 Tahun
1999 Perlindungan Konsumen dan tidak memenuhi unsur-unsur
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, Hal ini dapat
menimbulkan akibat hukum, mohon dinyatakan batal demi hukum;
4. Bahwa Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan Jaminan Fidusia
dibawah tangan, dengan No. Perjanjian : 94384515yang dibuat
TERGUGAT pada hari SELASA, tanggal 14 Juli 2015adalah bentuk
Perbuatan melawan Hukum yang dilakukan oleh TERGUGAT dengan
cara mencantumkan larangan UURI No. 8 tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1)
Tentang Pencantuman Klausula Baku yang dilarang dari (hurup a s/d h),
hal ini akan PENGGUGAT buktikan dalam Persidangan yang mulia ini;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 12 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
5. Bahwa berdasarkan uraian diatas, TERGUGATsebagai Pelaku Usaha
yang berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum
NKRI, WAJIB tunduk terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada di Negara Republik Indonesia, maka perbuatan
TERGUGATtersebut merupakan bentuk perbuatan melawan hukum,
karena telah melanggar hak-hak PENGGUGAT, sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 4 ayat (7) Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi : “hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”, dalam
membuat Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan Jaminan Fidusia
dibawah tangan,dengan No. Perjanjian: 94384515yang dibuat
TERGUGAT pada hari SELASA, tanggal 14 Juli 2015bertentangan yang
dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK);
VI. KERUGIAN PENGGUGAT
1. Bahwakerugian PENGGUGATtersebut disebabkan TERGUGAT telah
MENCANTUMKAN KLAUSULA BAKU yang dilarang dalam Akta
Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia dibawah
tangan,dengan No. Perjanjian : 94384515yang dibuat TERGUGAT
pada hari SELASA, tanggal 14 Juli 2015, yang dimaksud dalam pasal
18 UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan
dasar-dasar hukum yang PENGGUGAT kemukakan, PENGGUGAT
tidak nyaman sebagai pemakai barang dan/Jasa, karena seperti
banyaknya kejadian perampasan penarikan mobil kredit dijalanan
Tanpa Fiat Ketua Pengadilan gara-gara keterlambatan membayar
angsuran, sehingga PENGGUGAT tidak mau mengalaminya;
2. Bahwa karena ada sangkaan TERGUGAT akan mengalihkan
sebagaimana Akta Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia
dibawah tangan,dengan No. Perjanjian : 94384515pada LAMPIRAN
PERJANJIAN tersebut dalam SYARAT dan KETENTUAN PERJANJIAN
PEMBIAYAAN halaman5 Pasal 14 poin [14.2]yang ditandatangani
pada tanggal 14 Juli 2015, dimohon BPKB atas nama H.M. SOLEH
diletakan sita jaminan a quo agar hak-hak PENGGUGAT terjamin demi
hukum;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 13 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
3. Bahwa oleh karena gugatan ini berdasar fakta-fakta dan bukti-bukti
yang jelas dan sah, maka PENGGUGAT mohon kepada yang terhormat
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk segera memanggil
kedua belah pihak guna diperiksa perkara ini di persidangan terbuka
untuk umum, untuk selanjutnya dimohon memberikan PUTUSAN :
VII. PETITUM
1. MENERIMA dan MENGABULKAN gugatan PENGGUGAT untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa TERGUGATtelah Terbukti MENCANTUMAN
KLAUSULA BAKU yang dilarang UURI No. 8 Tahun 1999 dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) hurup [d] Tentang Perlindungan Konsumen pada
Akta Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia dibawah
tangan,dengan No. Perjanjian : 94384515 tanggal 4 Juli 2015;
3. Menyatakan Akta Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia
dibawah tangan,dengan No. Perjanjian : 94384515tanggal 4 Juli 2015
yang dibuat TERGUGAT bertentangan yang dimaksud dalam pasal 18
ayat (1) hurup [d] UURI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, dinyatakan batal demi hukum;
4. Menyatakan bahwa TERGUGATtelah melakukan PERBUATAN
MELAWAN HUKUM;
5. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
meskipun ada perlawanan, banding, kasasi ataupun upaya hukuman
lainya dari TERGUGAT atau pihak katiga lainnya (uitvoerbaar bij
Vorraad);
6. MenghukumTERGUGAT membayar ganti rugi kerugian IMATERIIL
kepada PENGGUGAT sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah) seketika
setelah putusan berkekuatan hukum tetap;
7. Menyatakan Akta Perjanjian Pembiayaan dengan Jaminan Fidusia
dibawah tangan,dengan No. Perjanjian : 94384515yang dibuat
TERGUGAT pada hari SELASA, tanggal 14 Juli 2015 batal demi
hukum;
8. Memerintahkan TERGUGAT untuk tidak MENYITA/ MENGAMBIL
PAKSA KENDARAAN :
- Merk/Type : TOYOTA/AVANSA/F 52 V A/T10
- Tahun : 2015
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 14 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
- No. Rangka : MHKM1CB4JFK042540
- No. Mesin : DFM6277
- Warna : HITAM METALIK
- BPKB atas nama : H.M SOLEH;
9. Memerintahkan kepada TERGUGAT untuk membayar segala biaya
perkara yang timbul dari akibat perkara ini;
Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, maka:
SUBSIDAIR:
Dalam peradilan yang baik, mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex aquo et
bono).
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, pihak
Penggugat hadir dengan didampingi Kuasa Hukumnya sebagaimana tersebut di
atas, sedangkan pihak Tergugat tidak pernah hadir atau menyuruh wakilnya
untuk hadir dipersidangan, meskipun telah dipanggil secara sah dan patut
sebagaimana relaas-relaas panggilan tanggal 16 Juni 2016, tanggal 01 Juli
2016, tanggal 28 Juli 2016 dan tanggal 05 Agustus 2016 dan oleh karena itu
maka pihak Tergugat dipandang sebagai pihak yang tidak ingin membela
kepentingannya dipersidangan, sehingga Majelis akan melanjutkan
pemeriksaan dan memutus perkara ini tanpa kehadiran pihak Tergugat
(Verstek);
Menimbang, bahwa oleh karena pihak Tergugat tidak pernah hadir
dipersidangan, dengan sendirinya pelaksanaan upaya mediasi sebagaimana
dimaksud Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesi Nomor : 1 Tahun
2016 Tentang Prosedur Mediasi, tidak dapat dilaksanakan dan acara
persidangan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan yang isinya tetap
dipertahankan oleh pihak Penggugat;
Menimbang, bahwa selanjutnya guna membuktikan dalil-dalil
gugatannya, pihak Penggugat telah mengajukan surat-surat bukti, sebagai
berikut :
1. Fotocopy dari copy dan telah dimeterai Perjanjian Pembiayaan Konsumen
dengan jaminan Fidusia di bawah tangan No. Perjanjian : 94384515, diberi
tanda P-1;
2. Fotocopy sesuai dengan aslinya dan telah dimeterai Surat Pernyataan
yang dibuat Penggugat HM Soleh tertanggal 27 Mei 2016, diberi tanda P-2;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 15 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
Menimbang, bahwa selanjutnya pihak Penggugat menerangkan tidak
akan mengajukan bukti-bukti lainnya ataupun suatu kesimpulan apapun juga
dan selanjutnya mohon putusan;
Menimbang, bahwa guna mempersingkat uraian putusan ini, maka
segala hal sebagaimana terurai dalam berita acara persidangan sepanjang ada
relevansinya, dianggap sebagai terurai kembali dalam putusan ini;
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM :
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah
sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa selama proses persidangan pihak tergugat meskipun
telah dipanggil secara sah dan patut dalam beberapa kali panggilan
sebagaimana bukti relaas terlampir, namunpihak tergugat tidak pernah hadir
dan pula tidak menyuruh wakilnya untuk hadir dipersidangan, oleh karena itu
dalam perkara ini upaya mediasi sebagaimana dimaksud Perma Nomor : 1
Tahun 2016 tidak dapat dilaksanakan dan selanjutnya berdasarkan ketentuan
Pasal 125 HIR pemeriksaan perkara ini akan tetap dilanjutkan dan diputus diluar
hadirnya tergugat (verstek);
Menimbang, bahwa dalam surat gugatannya pihak Penggugat pada
pokoknya mendalilkan, pada tanggal 14 Juli 2015 Penggugat yang tak lain
adalah anggota LPKSM YPK Senopati telah mendapatkan fasilitas pembiayaan
dari Tergugat, sebagaimana tersebut dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
dengan Jaminan Fidusia Nomor : 94384515, terkait pembelian secara angsuran
1 (satu) unit kendaraan bermotor roda 4 (empat):
- Merk/Type : TOYOTA/AVANSA/F 52 V A/T10
- Tahun : 2015
- No. Rangka : MHKM1CB4JFK042540
- No. Mesin : DFM6277
- Warna : HITAM METALIK
- BPKB atas nama : H.M SOLEH;
Namun oleh karena Tergugat mencantumkan klausula baku yang dilarang oleh
ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dalam perjanjian tersebut, telah membuat Penggugat
tidak nyaman dan dirugikan, sehingga Penggugat memohon kepada pengadilan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 16 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
agar Tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dan
perjanjian dimaksud dinyatakan batal demi hukum;
Menimbang, bahwa sebelum majelis mempertimbangkan lebih lanjut
mengenai pokok perkara ini, terlebih dahulu perlu dipersoalkan perihal legal
standing dari Penggugat dalam gugatan ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil posita gugatan, Penggugat
telah mendalilkan dirinya adalah anggota LPKSM YPK Senopati yang telah
melakukan perbuatan hukum menandatangi perjanjian pembiayaan konsumen
dengan jaminan fidusia di bawah tangan dengan Tergugat PT. Toyota Astra
Financial Service berkaitan dengan pembelian 1 (satu) unit kendaraan roda 4
(empat) Toyota Avanza tahun 2015 warna hitam metalik sebagaimana tersebut
di atas, namun oleh karena dalam perjanjian tersebut dimuat klausula baku
yang dilarang oleh Pasal 18 Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, telah membuat Penggugat merasa tidak nyaman dan
dirugikan, sehingga Penggugat memberi kuasa khusus kepada Pengurus YPK
Senopati mengajukan gugatan ini;
Menimbang, bahwa oleh karena pokok persoalan yang dijadikan sebagai
dasar pengajuan gugatan ini adalah perihal perlindungan konsumen, maka
pengajuan gugatan oleh Kuasa Penggugat yang tak lain adalah para pengurus
YPK Senopati, dimana dalam Akta Pendiriannya mencantumkan dengan jelas
salah satu tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan konsumen, maka
berdasarkan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor : 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dengan sendirinya mempunyai legal
standing untuk mengajukan gugatan ini;
Menimbang, bahwa selanjutnya guna membuktikan dalil gugatannya,
pihak Penggugat telah mengajukan 2 (dua) buah surat, berupa :
1. Fotocopy Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan jaminan Fidusia di
bawah tangan No. Perjanjian : 94384515, diberi tanda P-1;
2. Fotocopy Surat Pernyataan yang dibuat Penggugat HM Soleh tertanggal
27 Mei 2016, diberi tanda P-2;
Menimbang, bahwa bukti bertanda P.1 adalah Perjanjian Pembiayaan
Konsumen No. 94384515 yang menurut Penggugat dokumen aslinya ada pada
pihak Tergugat, oleh karena itu meskipun berupa fotocopy yang tidak dapat
ditunjukkan aslinya, maka oleh karena dalam perkara ini pihak Tergugat tidak
pernah hadir dipersidangan sehingga dipandang sebagai pihak yang tidak
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 17 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
memperdulikan lagi kepentingannya dipersidangan, maka tentang bukti di atas
oleh karenanya dapat dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa bukti bertanda P.2 oleh karena merupakan
pernyataan sepihak dari Penggugat, dengan sendirinya tidak dapat digunakan
sebagai alat bukti dan oleh karena itu haruslah dikesampingkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti yang diajukan yakni surat
bertanda P-1, berupa Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor : 94384515
tanggal 14 Juli 2015, setidaknyatelah terbukti fakta-fakta sebagai berikut :
1. Bahwa pada tanggal 14 Juli 2015 antara Penggugat dengan Tergugat telah
menandatangani Perjanjian Pembiayaan Konsumen atas pembelian
secara angsuran sebuah kendaraan roda 4 (empat) Toyota Avanza F 52 V
A/T10 tahun 2015 Nomor Rangka MHKM1CB4JFK042540 Nomor Mesin
DFM6277 Warna Hitam Metalik BPKB atas nama Penggugat HM Soleh;
2. Bahwa sebagai jaminan atas pengembalian pembiayaan konsumen di
atas, antara Penggugat dengan Tergugat telah disepakati barang tersebut
di atas akan dijadikan sebagai jaminan fidusia;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana
tersebut di atas, majelis berpendapat pihak Penggugat telah dapat membuktikan
dalil perihal adanya hubungan hukum dengan Tergugat dalam perjanjian
pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia di bawah tangan atas 1 (satu)
unit kendaraan Toyota Avanza sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa yang menjadi persoalan adalah benarkah dalam
perjanjian tersebut telah termuat klausula baku yang dilarang oleh Undang
undang Nomor : 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana
didalilkan oleh Penggugat;
Menimbang, bahwa Pasal18 ayat (1) huruf d, UURI No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), telah mengatur perihal larangan bagi
pelaku usaha tentang hal-hal sebagai berikut :
(1)“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkandilarangmembuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila ;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran”;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 18 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
Menimbang, bahwa selanjutnya pada Pasal 18 ayat (2) dan (3) Undang-
undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah menentukan
hal sebagai berikut :
(2) “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti”;
(3) “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana tersebut dalam
Pasal di atas, yang menjadi permasalahan adalah benarkah dalam Akta
Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan jaminan fidusia di bawah tangan No.
94384515 tertanggal 14 Juli 2015 ada termuat klausula baku yang dilarang oleh
ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, sehingga dapat dinyatakan batal demi hukum;
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap diatas, khususnya
dari bukti surat bertanda P-1 , dalam lampirannya perihal syarat dan ketentuan
perjanjian pembiayaan pada Pasal 12 point 1 (12.1), telah termuat klausula
yang berbunyi : “Debitor memberi kuasa kepada Kreditor dan dengan ini
Kreditor berhak untuk membuat, menandatangani atau melakukan
pembaharuan hutang (novasi) terhadap perjanjian ini sehubungan dengan
fasilitas pembiayaan (pinjaman) atau hal lain yang menurut kreditor perlu
dilakukan perubahan, penambahan, atau pembaharuan atas perjanjian ini”;
Menimbang , bahwa berdasarkan bunyi klausula sebagaimana tersebut
di atas, khususnya dari kata-kata “atau hal lain yang menurut kreditor perlu
dilakukan …dan seterusnya..”, majelis berpendapat Tergugat secara jelas
memasukkan klausula pemberian kuasa dari debitor untuk dapat melakukan
tindakan sepihak menurut kreditor sehubungan dengan fasilitas pembiayaan
yang diberikan kepada debitor;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, maka klausula
sebagaimana tercantum dalam Pasal 12.1 Lampiran Perjanjian Pembiayaan
Konsumen Nomor : 94384515 tertanggal 14 Juli 2015, menurut majelis
termasuk klausula yang dilarang menurut Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-
undang Nomor : 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 19 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
sebagaimana tersebut di atas, maka pihak Penggugat dalam hal ini telah dapat
membuktikan dalil pokok gugatannya;
Menimbang, bahwa meskipun pihak Penggugat telah dapat membuktikan
dalil pokok gugatannya, dapatkah majelis mengabulkan seluruh petitum yang
dimohonkan pihak Penggugat dan oleh karena itu akan dipertimbangkan
sebagaimana tersebut di bawah ini;
Menimbang, bahwa petitum nomor 1 oleh karena berisi permohonan agar
gugatan Penggugat dikabulkan untuk seluruhnya, dengan sendirinya akan
dipertimbangkan terakhir setelah mempertimbangkan keseluruhan petitum
lainnya;
Menimbang, bahwa petitum gugatan Penggugat nomor 2 adalah
permohanan agar Tergugat dinyatakan telah terbukti mencantumkan klausula
baku yang dilarang Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-undang R.I. Nomor : 8
Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Akta Perjanjian Pembiayaan
dengan jaminan fidusia di bawah tangan No. 94384515 tanggal 14 Juli 2015,
maka oleh karena tentang hal tersebut telah terbukti sebagaimana
pertimbangan di atas, maka petitum nomor 2 dengan sendirinya dapat
dikabulkan;
Menimbang, bahwa selanjutnya petitum gugatan nomor 3 pada dasarnya
adalah sama dengan petitum nomor 7, yaitu sama-sama mohon agar Akta
Perjanjian Pembiayaan dengan jaminan fidusia di bawah tangan No. 94384515
tertanggal14 Juli 2015 dinyatakan batal demi hukum;
Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan di atas,
berdasarkan bukti P.1 majelis telah menyatakan ada tercantum klausula baku
yang dilarang oleh ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor :
8 Tahun 1999 dalam Perjanjian Pembiayaan No. 94384515, khususnya di Pasal
12.1dan oleh karena itu yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah
benarkah hal tersebut menjadikan keseluruhan Perjanjian Pembiayaan
dimaksud menjadi batal demi hukum;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil gugatan dalam perkara ini,
Penggugat pada dasarnya telah mengakui adanya suatu fakta hukum
pemberian fasilitas pembiayaan dari pihak Tergugat kepada pihak Penggugat
dalam pembelian kendaraan roda 4 (empat) Toyota Avanza dan terhadap hal
tersebut selanjutnya telah ditandatangani Akta Perjanjian Pembiayaan dengan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 20 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
jaminan fidusia di bawah tangan No. 94384515 antara pihak Penggugat selaku
debitor dan pihak Tergugat selaku kreditor tertanggal 14 Juli 2015 sebagai
perjanjian pokoknya;
Menimbang, bahwa dengan demikian oleh karena yang dinyatakan telah
terbukti sebagai klausul yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf d
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen
hanyalah sebatas Pasal 12.1 Akta Perjanjian Pembiayaan No. 94384515
tanggal 14 Juli 2015 yang tiada lain merupakan klausul asesoirsaja, oleh
karenanya tidaklah berarti membatalkan keseluruhan perjanjian tersebut dan
dengan demikian terhadap petitum nomor 3 ataupun nomor 7, majelis hanya
akan mengabulkan dengan menyatakan batal demi hukum Akta Perjanjian
Pembiayaan dengan jaminan Fidusia di bawah tangan No. 94384515 tanggal 14
Juli 2015, sebatas/sepanjang klausula tersebut dalam Pasal 12.1 ;
Menimbang, bahwa selanjutnya sebagaimana telah dipertimbangkan
majelis, Tergugat telah dinyatakan terbukti mencantumkan klausula yang
dilarang Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
perlindungan Konsumen dalam Akta Perjanjian Pembiayaan dengan jaminan
Fidusia di bawah tangan No. 94384515 dan oleh karena itu merupakan
perbuatan yang melanggar hukum, dengan demikian petitum nomor 4 yang
mohon agar Tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan yang melawan
hukum dalam hal ini dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa dalam perkara oleh karena tidak terdapat syarat-
syarat uit voerbaar bij voorraadyang dipenuhi sebagaimana dimaksud Pasal 180
HIR, maka petitum nomor 5 yang mohon putusan uit voerbaar bij voorrad
haruslah ditolak;
Menimbang, bahwa selama persidangan pihak Penggugat sama sekali
tidak pernah membuktikan adanya kerugian yang diderita akibat perbuatan
melawan hukum dari Tergugat, sehingga tentang petitum nomor 6 yang mohon
agar Tergugat dihukum untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat
sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) dengan sendirinya tidak dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa selanjutnya adalah petitum nomor 8 yang mohon
agar Tergugat diperintahkan untuk tidak menyita/mengambil paksa barang
jaminan, pada dasarnya suatu petitum yang hanya didasarkan pada suatu
kekhawatiran perihal keadaan/suatu fakta yang belum tentu terjadi dan oleh
karena itu petitum tersebut tidak dapat dikabulkan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 21 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
oleh karena petitum pokok dikabulkan maka penggugat ada dipihak yang
menang dan oleh karena itu tentang petitum nomor 9 yang mohon agar biaya
perkara dibebankan kepada pihak tergugat, dengan sendirinya dapat
dikabulkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka
tentang petitum no. 1 yang mohon agar gugatan penggugat dikabulkan
seluruhnya maka hanya dapat dikabulkan sebagian dan menolak untuk selain
dan selebihnya;
Mengingat, Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor : 8
Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan ketentuan sebagaimana
tersebut dalam Het Herziene Indonesich Reglement (HIR) serta peraturan yang
bersangkutan;
M E N G A D I L I
- Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara patut akan tetapi tidak hadir;
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dengan verstek ;
- Menyatakan Tergugat telah terbukti mencantumkan klausula baku yang
dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor : 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Akta Perjanjian Pembiayaan
dengan jaminan fidusia No. 94384515 tanggal 14 Juli 2015;
- Menyatakan Akta Perjanjian Pembiayaan dengan jaminan fidusia di bawah
tangan dengan No. Perjanjian : 94384515 yang dibuat Tergugat pada hari
Selasa tanggal 14 Juli 2015, sepanjang menyangkut Syarat dan Ketentuan
Perjanjian Pembiayaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 12.1 yang
menjadi lampiran Perjanjian No. 94384515 di atas, batal demi hukum;
- Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
- Menghukum Tergugat agar membayar biaya perkara sebesar
Rp626.000,00 (enam ratus dua puluh enam ribu rupiah);
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain atau selebihnya;
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari Rabu, tanggal 31 Agustus 2016
oleh : NOOR EDI YONO, SH.MH selaku Ketua Majelis, H. BAKTAR JUBRI
NASUTION, SH.MH dan AKHMAD ROSIDIN, SH. MH, masing-masing sebagai
Hakim Anggota, putusan mana diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum pada hari : Rabu tanggal 14 September 2016 oleh majelis tersebut,
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal 22 dari 22 Hal Putusan No. 338/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel
dengan dibantu oleh : NURLELAWATI SH.,MH Panitera Pengganti pada
Pengadilan Negeri tersebut, serta dihadiri Kuasa Penggugat tanpa kehadiran
Tergugat
Hakim Anggota,
1. H, BAKTAR J. NASUTION,SH.MH,
2. AKHMAD ROSIDIN,, SH.MH,
Hakim Ketua,
NOOR EDI YONO, SH.MH,
Panitera Pengganti,
NURLELAWATI, SH.,MH
Biaya – biaya : ATK Rp. 75.000,- Pendaftaran Rp. 30.000,- Materai Rp. 6.000,- Redaksi Rp. 5.000,- PNBP Rp. 10.000,- Panggilan Rp. 500.000,- Jumlah Rp. 626.000,-
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
Recommended