View
238
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
DUGAAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN-PERUSAHAAN
FARMASI DI INDONESIA DALAM PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK
SKRIPSI
CORRY PERMATA SARI 0505000589
PROGRAM REGULER FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK
DESEMBER 2008
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
DUGAAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN-PERUSAHAAN
FARMASI DI INDONESIA DALAM PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum
CORRY PERMATA SARI 0505000589
PROGRAM REGULER FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK
DESEMBER 2008
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Corry Permata Sari
NPM : 0505000589
Tanda Tangan :
Tanggal : 24 Desember 2008
Universitas Indonesia
iiDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Corry Permata Sari NPM : 0505000589 Program Studi : Reguler Judul Skripsi : Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang Dilakukan Oleh Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan Harga Obat Generik Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Reguler, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Kurnia Toha, S.H., LL.M, PH.D (…………………………….) Pembimbing : Ditha Wiradiputra, S.H. (…………………………….) Penguji : Surini Ahlan Syarif, S.H., M.H. (…………………………….) Penguji : M. Sofyan Pulungan, S.H, M.A. (…………………………….) Penguji : Suharnoko, S.H. MLI (.............................................) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 3 Januari 2009
Universitas Indonesia
iiiDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT pemilik bumi dan
segala isinya yang telah memberikan rahmat dan kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Penulisan skripsi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
Program Kekhususan Hukum tentang Kegiatan Ekonomi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Dalam penulisan ini, penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun guna penyempurnaan skripsi ini lebih lanjut.
Pertama penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua dosen
pembimbing penulis yaitu Bang Kurnia Toha S.H., LL.M, PH.D dan Bang Ditha
Wiradiputra S.H. yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran mereka
untuk mengoreksi serta membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari pula bahwa tanpa bantuan serta bimbingan dari
berbagai pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Karenanya penulis
ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada kedua orang tua
penulis (Drs. H. Syahrir Anwar dan Hj. Ernawati Syahrir), tunangan penulis
(Letnan Dua Marinir Bagus Sutrisno), kakek penulis (Dekan Fakultas Sastra
Universitas Al-Azhar Indonesia, Drs. H. Murni Djamal, M.A), serta kedua kakak
penulis (Ersa Purnamasari, B.B.A, M.B.A, dan Edward Syahrir, S.S.) yang telah
memberikan dorongan, bantuan, serta dukungan kepada penulis.
Terima kasih penulis sampaikan pula kepada pembimbing akademis
penulis Ibu Eka Sri Sunarti S.H., M.Si yang telah banyak memberikan bantuan
serta bimbingannya selama 3,5 tahun penulis menempuh pendidikannya di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, Pak Slam (Biro Pendidikan) atas
semua bantuannya mengurusi masalah administrasi penulis menjelang sidang
skripsi hingga kelulusan, Kak Fernan atas semua bantuannya menyelesaikan
pengurusan transfer kredit penulis, teman-teman seperjuangan penulisan skripsi
tentang Hukum Persaingan Usaha atas kebersamaanya menunggu datangnya
Universitas Indonesia
ivDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
pembimbing (Ika 2004, Endhi 2005, dan Salman 2004), untuk “Pildacil--ina, tata,
etha, wn, yossy” (terutama Ina dan Yossy karena sudah menemani penulis dan
memberikan dukungan semangat pada saat menunggu detik-detik menjelang
sidang) thanks for being such a good friends girls, serta teman-teman penulis
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas dukungan semangat mereka.
Semoga skripsi ini dapat berguna terutama bagi penulis sendiri dan
memberikan manfaat bagi masyarakat luas pada umumnya dan almamater
Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada khususnya.
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Depok, 24 Desember 2008
Penulis
Universitas Indonesia
vDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Corry Permata Sari
NPM : 0505000589
Program Studi : Reguler
Fakultas : Hukum
Jenis karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang Dilakukan Oleh Perusahaan-
Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan Harga Obat Generik.”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 24 Desember 2008
Yang menyatakan
(Corry Permata Sari)
Universitas Indonesia
viDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
ABSTRAK
Nama : Corry Permata Sari
Program studi : Reguler
Judul : Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang Dilakukan Oleh
Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan Harga Obat
Generik
Skripsi ini membahas mengenai adanya dugaan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia dalam penetapan harga obat generik. Obat generik yang ditujukan bagi masyarakat menengah kebawah seharusnya memiliki harga yang murah, akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah adanya perbedaan harga yang sangat signifikan antara obat generik bermerek dengan obat generik non merek tanpa adanya perbedaan khasiat antara keduanya. Terdapat beberapa poin yang dapat diduga sebagai penyebab mahalnya harga obat generik bermerek. Apabila penyebabnya dikarenakan adanya kolusi diantara sesama pelaku usaha farmasi maupun kolusi antara pelaku usaha farmasi dengan dokter maupun apotek, maka dapat diduga telah terdapat suatu indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat dalam penetapan harga obat generik di Indonesia. Penetapan harga obat generik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan farmasi bila dipandang dari hukum persaingan usaha, seharusnya ditetapkan sesuai dengan biaya produksi yang sewajarnya mereka keluarkan tanpa adanya perjanjian untuk menetapkan harga diantara mereka.
Kata kunci: persaingan usaha tidak sehat, obat generik, perusahaan farmasi.
Universitas Indonesia
viiDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
ABSTRACT
Name : Corry Permata Sari
Study Program : Regular
Title : Presumption of Unhealthy Competition among
Pharmaceutical Companies in Indonesia on Determining Generic Drugs Prices
The focus of this study is Presumption of Unhealthy Competition among
Pharmaceutical Companies in Determining Generic Drugs Prices. Generic drugs
as drugs that aimed for lower-middle society should have inexpensive price, but
what happened on the factual condition were there are altered significant prices
between branded generic drugs and unbranded generic drugs without any
different special quality between them. There are several points that could be
assumed as the caused of high-priced generic drugs. If the cause was collusion
between the pharmaceutical companies; or collusion between the pharmaceutical
companies with doctor and or pharmacy, then it could be assumed that there is an
indication of unhealthy competition on determining generic drugs prices in
Indonesia. The determining of generic drugs prices that has been doing by
pharmaceutical companies if considering from competition law should be
determined suitable with genuine production cost that they spend without any
price fixing agreement between them.
Key words: unhealthy competition, generic drugs, pharmaceutical companies.
Universitas Indonesia
viiiDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
.....SKRIPSI INI PENULIS SEMBAHKAN UNTUK PAPI DAN MAMI TERSAYANG.....
Universitas Indonesia
ixDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iii KATA PENGANTAR............................................................................................iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...............................vi ABSTRAK.............................................................................................................vii LEMBAR PERSEMBAHAN.................................................................................ix DAFTAR ISI............................................................................................................x I. PENDAHULUAN...............................................................................................1 I.1 Latar Belakang Permasalahan.................................................................1 I.2 Pokok Permasalahan...............................................................................7 I.3 Tujuan Penelitian....................................................................................7 I.4 Manfaat Penelitian..................................................................................8 I.5 Batasan Penelitian...................................................................................8 I.6 Metode Penelitian...................................................................................8 I.7 Sistematika Penulisan...........................................................................12 II. PERSAINGAN USAHA INDONESIA DAN DUNIA FARMASI..............14 II.1 Persaingan Usaha Indonesia................................................................14 II.1.1 Sejarah Hukum Persaingan Usaha Secara Umum......................14 II.1.2 Teori-Teori Hukum Anti Monopoli dalam Sejarah....................21 II.1.3 Institusi Persaingan Usaha Indonesia.........................................22 II.2 Industri Farmasi...................................................................................24 II.2.1 Sejarah Industri Farmasi.............................................................25 II.2.2 Perkembangan Industri Farmasi.................................................27 II.2.3 Gambaran Umum Kemampuan Industri Farmasi di Indonesia..28 III. ANALISIS MENGENAI PENETAPAN HARGA PADA KASUS PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK OLEH PERUSAHAAN-PERUSAHAAN FARMASI DI INDONESIA...................................................33 III.1 Indikasi Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Penetapan Harga Obat
Generik di Indonesia............................................................................33 III.2 Penetapan Harga Obat Generik Ditinjau Dari Perspektif Hukum
Persaingan Usaha ................................................................................40 IV. PENUTUP......................................................................................................44 IV.1 Kesimpulan........................................................................................44 IV.2 Saran..................................................................................................45 DAFTAR REFERENSI.......................................................................................47 LAMPIRAN..........................................................................................................51
Universitas Indonesia
xDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Permasalahan
Berbicara mengenai perilaku antipersaingan usaha tidak dapat dipisahkan
dengan pengertian persaingan usaha itu sendiri1. Meskipun definisi persaingan
usaha itu sendiri diantara para pakar hukum persaingan belum terdapat kesamaan
pendapat, dan di dalam sumber hukum utama hukum persaingan usaha di
Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak terdapat definisi dari
persaingan usaha itu sendiri, namun kita masih dapat menemukan padanannya
dalam bahasa Inggris yaitu “competition” yang didefinisikan sebagai “..a struggle
or contest between two or more persons for the same objects”2.
Definisi diatas menunjukkan bahwa dalam setiap persaingan akan
ditemukan adanya dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling
mengungguli, dan unsur adanya kehendak diantara para pihak tersebut untuk
mencapai tujuan yang sama3. Dimana diantara sekian banyak persaingan antar
manusia, kelompok, masyarakat, atau bahkan bangsa, persaingan di bidang
ekonomi merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama4.
Definisi persaingan usaha tidak sehat, dapat dilihat di dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu berupa “persaingan antarpelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha”5.
1“Persaingan Bisnis”, <http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/19/eko08.html>, 10 Oktober 2008 . 2Merriam Webster Dictionary, sebagaimana dikutip dalam buku Hukum Persaingan Usaha oleh Arie Siswanto 3Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal 13. 4Thomas J. Anderson, Our Competitive System and Public Policy, (Cincinnati: South Western Publishing Company, 1958), hal.4.
Universitas Indonesia
1Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Adanya persaingan akan menghindarkan terjadinya konsentrasi kekuatan
pasar pada satu atau beberapa perusahaan6. Hal ini berarti konsumen mempunyai
banyak alternatif dalam memilih barang dan jasa yang dihasilkan produsen yang
begitu banyak, sehingga harga benar-benar akan ditentukan oleh pasar permintaan
dan penawaran bukan oleh hal-hal lain7. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
adanya persaingan memungkinkan tersebarnya kekuatan pasar dan menyebabkan
kesempatan berusaha menjadi terbuka lebih lebar yang memberi peluang bagi
pengembangan dan peningkatan kewiraswastaan yang akan menjadi modal utama
bagi kegiatan pembangunan ekonomi bangsa8.
Dapat pula dikatakan bahwa persaingan merupakan suatu situasi yang
diperlukan bagi tercapainya efisiensi, yang berarti persaingan merupakan suatu
conditio sine qua non bagi terselenggaranya ekonomi pasar9. Karenanya tidak
berlebihan bila dikatakan bahwa hukum persaingan mempunyai posisi kunci
dalam ekonomi pasar yang menjamin berlangsungnya keseimbangan diantara
kekuatan pasar dalam suatu mekanisme pasar yang sehat dan wajar10.
Iklim usaha yang sehat memerlukan11:
1. Kebijakan persaingan usaha yang kondusif, yaitu keharmonisan antara nilai-
nilai persaingan usaha dengan berbagai kebijakan, seperti kebijakan industri,
perdagangan, investasi dan kebijakan sektoral lainnya. Dalam hal ini, baik tujuan,
prioritas dan kendala tiap kebijakan sektoral dapat diselaraskan dengan nilai
persaingan sehat, sehingga terhindarkan pengorbanan pembangunan sektoral
5Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,, UU No.5 tahun 1999, ps. 1 huruf f. 6 Normin S. Pakpahan, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan), hal. 2. 7Ibid. 8Ibid. 9Ibid. 10Ibid., hal.3. 11“Era Persaingan Sehat yang Mengedepankan Penataan Kebijakan Pemerintah (Regulatory Reform), Catatan Akhir Tahun 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha”, <http://www.kppu.go.id/baru/ index.php?type=art&aid=315&encodurl=05%2F03%2F08% 2C07%3A05%3A14>, 12 Oktober 2008.
Universitas Indonesia
2Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
tertentu, dan sebaliknya persaingan memperkuat pengembangan sektoral tersebut
dalam tujuannya untuk mensejahterakan rakyat;
2. Iklim usaha yang sehat memerlukan perilaku pelaku usaha yang pro-
persaingan, yaitu mengindahkan hukum persaingan dalam upaya mencapai
keuntungan maksimalnya. Kesadaran budaya persaingan tidak hanya bermanfaat
untuk meraup keuntungan di pasar, tetapi juga meningkatkan daya saing terlebih
untuk tantangan era globalisasi, yang pada akhirnya membawa manfaat bagi
masyarakat pada umumnya.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang pencapaiannya menjadi
tanggung jawab sosial. Karena itu, penyediaan obat dan pelayanan kesehatan
seharusnya memiliki tujuan sosial. Upaya pemerintah melakukan intervensi di
bidang kesehatan antara lain melalui ketersediaan obat dan keterjangkauan harga
obat. Namun bila upaya ini diserahkan pada kebebasan pasar maka tujuan mencari
untung akan lebih dominan. Mekanisme pasar obat jelas berbeda dari produk lain.
Posisi tawar konsumen boleh dikatakan nihil12. Dari sudut keterjangkauan secara
ekonomis, harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat
tidak transparan13.
Penelitian WHO menunjukkan perbandingan harga antara satu nama
dagang dengan nama dagang yang lain untuk obat yang sama, berkisar 1:2 sampai
1:5. Artinya, harga obat generik bermerk dapat mencapai 5 kali harga obat
generiknya. Penelitian di atas juga membandingkan harga obat dengan nama
dagang dan obat generik menunjukkan obat generik bukan yang termurah.
Keadaan ini antara lain menggambarkan betapa pentingnya kebijakan pemerintah
mengenai penetapan harga obat (pricing policy)14.
Menurut catatan Departemen Kesehatan, harga obat esensial generik di
Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan harga obat di sejumlah negara di Asia.
Harga amoksisilin 500 mg, misalnya, hampir dua kali lipat lebih mahal
12“Subsidi Obat Generik Rawan Korupsi”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0107/27/ fea02.html>, 12 Oktober 2008. 13“Labelisasi dan Penetapan Harga Obat”, <http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type= art&aid=268&encodurl=03%2F30%2F08%2C06%3A03%3A49>, 12 Oktober 2008. 14Ibid.
Universitas Indonesia
3Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
dibandingkan dengan Filipina dan Thailand. Sejumlah obat generik lainnya juga
lebih mahal harganya dibandingkan Singapura15.
Tanggal 7 Februari 2006 Menteri Kesehatan mengeluarkan Kepmenkes
Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi
(HET) Pada Kemasan Obat yang berlaku efektif mulai tanggal 3 Agustus 2006.
Kepmenkes tersebut bertujuan untuk menginformasikan harga obat yang lebih
transparan ke konsumen. HET dihitung dari harga netto obat di apotek ditambah
pajak pertambahan nilai (PPN) 10 %, plus margin untuk apotek sebesar 25 %16.
Kewenangan pemerintah dalam pengaturan harga obat sebenarnya sangat
kecil. Dibandingkan dengan ribuan jenis obat yang beredar, pemerintah hanya
mempunyai kewenangan mengatur harga obat yang masuk dalam kategori Daftar
Obat Esensial Nasional (DOEN) yang diperbaharui setiap dua tahun sekali. Dari
232 jenis obat generik yang ada di Indonesia, yang masuk dalam DOEN hanya
153 jenis saja. Berbeda dengan aturan kewenangan pemerintah dalam mengatur
harga obat, aturan kewajiban pencantuman HET justru dapat dikaitkan dengan
undang-undang kesehatan, khususnya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998
tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, khususnya pada Bab
VII tentang Penandaan dan Iklan17.
Menteri Kesehatan mengatakan sebagaimana dikutip dari situs resmi
Departemen Kesehatan bahwa selama ini harga obat generik bermerek di
Indonesia sangat tinggi, enam sampai delapan kali lebih mahal dari harga obat
generik biasa karena itu ditetapkanlah batas maksimal harga obat generik
bermerek tiga kali lipat dari harga obat generik biasa. Untuk sementara penetapan
harga obat generik bermerek baru dilakukan pada 31 jenis obat yang mencakup
kurang lebih 1.400 sediaan farmasi dari berbagai industri. Dengan penetapan batas
15“Harga Obat Generik Mengalami Penurunan”, <http://www2.kompas.com/ver1/ Kesehatan/0608/30/115119.htm>, 12 Oktober 2008. 16“Apotek Belum Pasang Harga Obat di Kemasan”, <http://www2.kompas.com/ver1/ Metropolitan/0608/10/075619.htm>, 12 Oktober 2008. 17“Labelisasi dan Penetapan Harga Obat”, <http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type =art&aid=268&encodurl=03%2F30%2F08%2C06%3A03%3A49>, 12 Oktober 2008.
Universitas Indonesia
4Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
maksimal harga obat tersebut maka saat ini harga obat-obat generik bermerek
mengalami penurunan antara 10 persen hingga 70 persen dari harga sebelumnya.
Bagi konsumen, penurunan harga 31 jenis obat generik tersebut tidak akan
memberikan arti signifikan. Selain karena obat tersebut jarang dipakai,
masyarakat pun tetap pada posisi yang tidak diuntungkan dalam obat generik ini.
Karena obat generik yang diturunkan harganya ternyata bukanlah kebutuhan
kesehatan masyarakat pada umumnya18. Meski Kepmenkes Nomor
069/Menkes/SK/II/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi Pada
Kemasan Obat telah mulai berlaku sejak 3 Agustus 2006, belum semua apotek
melaksanakannya. Tak sedikit apotek yang belum menempelkan label harga pada
setiap kemasan obat yang dijual ke masyarakat. Hal ini terjadi karena kurangnya
sosialisasi dan kendala teknis, yakni tenaga dan waktu yang menjadi alasan para
pemilik apotek belum menaati kewajiban itu19.
Sedangkan yang menjadi fokus penelitian ini adalah meneliti dugaan
adanya pengaturan harga di industri farmasi. Karena terjadi perbedaan harga yang
sangat signifikan antara harga obat generik bermerek dengan obat generik non
merek. Sedangkan antara obat generik bermerek dengan obat generik non merek
tidak ada perbedaan zat berkhasiat.
Menurut Ketua KPPU, tingginya harga obat bisa disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, adanya perilaku usaha yang mengarah pada persaingan yang tidak
sehat seperti kartel; kedua, penyalahgunaan posisi dominan, ketiga, disebabkan
oleh kebijakan pemerintah yang tidak pas. Seperti kebijakannya tidak ada atau
kebijakannya terlalu berlebihan.
Kemudian yang dimaksud dengan obat generik non merek atau umum
disebut sebagai obat generik adalah obat yang menggunakan nama zat
berkhasiatnya dan mencantumkan logo lingkaran garis hijau pada kemasan obat
yang menunjukkan tanda khusus dari produsen obat, sedangkan obat generik
18“Harga Obat Generik Mengalami Penurunan”, <http://www2.kompas.com/ver1/ Kesehatan/0608/30/115119.htm>, 12 Oktober 2008. 19“Apotek Belum Pasang Harga Obat di Kemasan”, <http://www2.kompas.com/ver1/ Metropolitan/0608/10/075619.htm>, 12 Oktober 2008.
Universitas Indonesia
5Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
bermerek atau yang lebih umum disebut obat bermerek adalah obat yang diberi
merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya20.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara generik non merek dengan
generik bermerek. Satu-satunya perbedaan yang ada hanyalah generik yang satu
diberi merek, dan yang satunya lagi tidak diberi merek. Perbedaan harga yang
signifikan antara obat generik non merek dan obat generik bermerek untuk kelas
terapi tertentu tanpa perbedaan khasiat, mengindikasikan penyalahgunaan
penguasaan pasar oleh produsen obat terhadap konsumen. Karena harga yang
tinggi nampak dari harga obat generik yang belum ditetapkan oleh pemerintah.
Bedanya hanya pada ada atau tidaknya label, sehingga tidak seharusnya harganya
menjadi lebih mahal berkali-kali lipat hanya karena tidak adanya label. Obat
dengan nama generik yang sama pun dapat memiliki puluhan alternatif merek,
sehingga tidak mengherankan apabila jumlah obat yang beredar mencapai lebih
dari 16.000 an macam21.
Sejarah munculnya obat generik non merek (obat generik) yaitu, obat
generik ini diluncurkan oleh pemerintah pada tahun 1991 dengan tujuan agar
masyarakat kelas menengah ke bawah dapat terpenuhi kebutuhannya akan obat22.
Harga obat generik dapat ditekan karena obat generik hanya berisi zat yang
dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga tidak
diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya23. Dimana
proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20% - 30%, sehingga dengan tidak
adanya biaya iklan untuk obat generik, akan mempengaruhi harga obat secara
signifikan. Karenanya, memang sudah sewajarnya apabila harga obat generik jauh
lebih murah dari harga obat bermerek. Maka dari itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian terkait masalah-masalah di atas melalui penulisan skripsi
dengan judul ”Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang Dilakukan Oleh
20“Obat Generik, Harga Murah Tapi Mutu Tidak Kalah”, <http://www.medicastore.com/ obat_generik/>, 30 agustus 2008.
21“Piliha Rasional Untuk Sehat”, <http://www.apotekkita.com/2008/12/pilihan-rasional-untuk-sehat/>, 23 desember 2008.
22“Obat Generik, Harga Murah Tapi Mutu Tidak Kalah”, Op. Cit.. 23Ibid.
Universitas Indonesia
6Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan Harga Obat
Generik”.
1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang permasalahan yang telah
penulis uraikan sebelumnya, maka ditemukan beberapa permasalahan yang akan
diulas lebih lanjut oleh penulis pada bab-bab selanjutnya pada makalah ini.
Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain:
1. Apakah terdapat indikasi persaingan usaha tidak sehat dalam penetapan
harga obat generik di Indonesia?
2. Bagaimana seharusnya penetapan harga obat generik oleh perusahaan-
perusahaan farmasi di Indonesia itu ditinjau dari perspektif hukum persaingan
usaha?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis melakukan penelitian mengenai adanya dugaan
persaingan usaha tidak sehat dalam penetapan harga obat generik adalah untuk:
1. UMUM
a. Mengembangkan wawasan studi hukum tentang hukum persaingan
usaha;
b. Mengetahui pengaturan mengenai penetapan harga dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
2. KHUSUS
a. Mengetahui berbagai hal berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat
dalam penetapan harga obat generik;
b. Mengetahui kesesuaian penetapan harga obat generik yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia dengan ketentuan
Universitas Indonesia
7Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
peraturan perundang-undangan mengenai hukum persaingan usaha
khususnya.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
berkembangnya wawasan studi hukum penulis serta pembaca mengenai hukum
persaingan usaha, serta dapat memberikan tambahan pemikiran secara teoritis
kepada penulis dan pembaca didalam mengembangkan pengetahuan hukum
khususnya di bidang hukum persaingan usaha.
1.5. Batasan Penelitian
Agar penulisan skripsi ini lebih terfokus pada inti permasalahan dan untuk
memudahkan pengkajian dan penganalisaan maka penulis membatasi
permasalahan yang dibahas pada masalah ”Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat
yang Dilakukan Oleh Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam
Penetapan Harga Obat Generik”.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian secara ilmiah dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat
ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah, yang disertai dengan suatu keyakinan
bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab-akibatnya,
atau kecenderungan-kecenderungan yang timbul24. Penelitian pada dasarnya
merupakan suatu upaya pencarian, bukan hanya sekedar mengamati dengan teliti
terhadap sesuatu obyek yang mudah terpegang di tangan25.
Penelitian hukum itu sendiri harus dilakukan secara metodologis,
sistematis, dan konsisten26. Metodologis berarti suatu penelitian dilakukan sesuai
24Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3. (Jakarta: UI Press, 1986), hal.3. 25Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 27.
Universitas Indonesia
8Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
dengan metode atau tata cara tertentu; sistematis berarti penelitian dilakukan
berdasarkan suatu sistem27; sedangkan konsisten berarti penelitian dilakukan
secara taat asas28. Dengan demikian, tanpa adanya metode atau metodologi,
peneliti tidak akan mampu menemukan, merumuskan, menganalisa, maupun
memecahkan masalah-masalah tertentu, untuk mengungkapkan kebenaran29.
Metodologi penelitian hukum mempunyai ciri-ciri tertentu yang menjadi
identitasnya karena ilmu hukum dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan
lainnya30. Penelitian hukum itu sendiri merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya31.
Dalam skripsi tentang ”Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
Dilakukan Oleh Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan
Harga Obat Generik” ini, penulis menggunakan tipe penelitian hukum normatif
yang berbasis pada analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the
books32. Pada tipe penelitian hukum normatif ini, yang diteliti adalah bahan
pustaka atau bahan sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan
tertier33. Dengan demikian, objek yang dianalisis dalam skripsi ini adalah norma
hukum, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang persaingan usaha34.
Dilihat dari sudut sifatnya, dikenal adanya penelitian eksploratoris,
penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatoris. Sifat penelitian dalam penulisan
26Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.3. mengutip H.L.Manheim, Sociological Research: Philosophy and Methods, (Illinois: The Dorsey Press, 1977), hal. 42. 27Ibid. 28Sri Mamudji dkk., Op.Cit., hal.2. 29Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.13.
30Ronny Hanitijo Soemitro, MetodologiPenelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm. 9.
31Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.43. 32Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hal. 250.
33Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 52. 34Bambang Sunggono, Op.Cit., hal.42, mengutip Soetandyo Wignjosoebroto, ”Penelitian Hukum : Sebuah Tipologi”, Majalah Masyarakat Indonesia, tahun ke-I No.2, 1974.
Universitas Indonesia
9Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
skripsi ini yaitu penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya35.
Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini adalah memberikan
gambaran yang sebenarnya terjadi dalam kasus penetapan harga obat generik oleh
perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia dan menganalisisnya dengan
ketentuan yang berlaku mengenai persaingan usaha khususnya mengenai
penetapan harga dan posisi dominan.
Secara umum di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat yang dinamakan data primer atau data dasar,
dan data yang diperoleh dari bahan pustaka yang dinamakan dengan data
sekunder36. Data yang dipergunakan dalam penelitian hukum untuk penulisan
skripsi ini adalah data sekunder.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat37, yang terdiri
dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tema skripsi ini yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi;
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tentang
Pencantuman Harga Eceran Tertinggi pada Kemasan Obat;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang
Paket Deregulasi Pedagang Besar Farmasi;
5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
245/MENKES/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi; dan
6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 tahun
1983 tentang Kebijaksanaan Obat Nasional.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer38. Bahan-bahan hukum sekunder yang penulis gunakan untuk
35Ibid., hal. 10. 36Ibid., hal. 51. 37Ibid., hal.52.
Universitas Indonesia
10Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
skripsi ini yaitu buku-buku ilmiah, artikel-artikel dari internet yang terkait tema
skripsi ini, serta hasil karya dari kalangan hukum seperti skripsi serta tesis dari
alumni fakultas hukum.
Di dalam penelitian lazimnya dikenal paling sedikit tiga jenis alat
pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau
observasi, dan wawancara atau interview dimana ketiga jenis alat pengumpulan
data tersebut dapat dipergunakan masing-masing maupun secara bergabung untuk
mendapatkan hasil semaksimal mungkin karena masing-masing jenis alat
pengumpulan data tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihannya39.
Alat pengumpulan data mana yang akan dipergunakan dalam suatu
penelitian tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian hukum yang akan
dilakukan40. Setiap bahan hukum tersebut harus diperiksa ulang valididas dan
reliabilitasnya, karena hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian41.
Penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen
terhadap data sekunder sebagai cara untuk memperoleh data-data yang diperlukan
dalam upaya mencapai tujuan penelitian. Manfaat yang dapat diperoleh dari studi
kepustakaan ini, adalah:
a. Konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian;
b. Kesimpulan spesifik yang mengarah pada penyusunan jawaban sementara
terhadap permasalahan penelitian;
c. Informasi empirik yang spesifik yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian;
d. Kesimpulan umum yang diarahkan pada penyusunan jawaban teoritis terhadap
permasalahannya42.
38Ibid. 39Ibid., hal. 66. 40Ibid.
41Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 68. 42Bambang Sunggono, Op.Cit., hal.114-115.
Universitas Indonesia
11Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Terdapat dua pendekatan dalam melakukan analisis data suatu penelitian
hukum, yaitu pendekatan secara kuantitatif dan pendekatan secara kualitatif.
Dalam penelitian ini penulis melakukan analisis data dengan mempergunakan
pendekatan secara kualitatif karena penulis dalam melakukan penelitian ini
bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang penulis teliti43.
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis akan ditarik
kesimpulannya dengan menggunakan metode yang bersifat induktif, yang berarti
metode penarikan kesimpulannya adalah dengan cara menarik kesimpulan yang
bermula dari statemen-statemen khusus untuk kemudian tiba pada suatu
kesimpulan yang berdaya laku umum44. Metode penarikan kesimpulan ini
dilakukan dengan cara menganalisis peraturan perundangan-undangan di bidang
persaingan usaha dalam hubungannya dengan kasus adanya dugaan penetapan
harga obat generik oleh perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia yang
melanggar ketentuan hukum persaingan usaha, yang kemudian akan tiba pada
suatu kesimpulan.
1.7. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi dalam lima Bab yang akan terdiri dari Sub
Bab-Sub Bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I adalah Pendahuluan dimana penulis menjelaskan latar belakang
permasalahan, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II adalah Persaingan
Usaha Indonesia dan Dunia Farmasi dimana penulis menjabarkan mengenai
persaingan usaha Indonesia, dilihat dari sejarah hukum persaingan usaha secara
umum, teori-teori hukum anti monopoli dalam sejarah, dan institusi persaingan
usaha Indonesia. Serta akan dijabarkan mengenai industri farmasi terkait sejarah
industri farmasi, perkembangan industri farmasi, dan gambaran umum
43Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 32.
44“Legal Reasoning: Penalaran Deduktif dan Induktif Pada Penelitian Hukum”, <http://www.huma.or.id/>, 16 Oktober 2008.
Universitas Indonesia
12Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
kemampuan industri farmasi di Indonesia. Bab III adalalah Analisis Mengenai
Penetapan Harga Pada Kasus Penetapan Harga Obat Generik oleh Perusahaan-
Perusahaan Farmasi di Indonesia yang berisikan pembahasan mengenai indikasi
adanya persaingan usaha tidak sehat dalam penetapan harga obat generik di
Indonesia, serta pembahasan mengenai bagaimana seharusnya penetapan harga
obat generik bila ditinjau dari perspektif hukum persaingan usaha. Pembahasan
yang akan dilakukan dikaitkan dengan regulasi-regulasi tentang obat yang sudah
ada di Indonesia selama ini. Dan analisa yang akan dilakukan pada bab ini akan
ditinjau dari Undang-Undang 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bab IV adalah Penutup yang berisikan
kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran.
Universitas Indonesia
13Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
BAB II
PERSAINGAN USAHA INDONESIA DAN DUNIA FARMASI
II.1. Persaingan Usaha Indonesia
II.1.1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha Secara Umum
Tujuan dari adanya kebijakan persaingan usaha adalah untuk memastikan
bahwa kompetisi atau persaingan pasar tidak terbatasi dalam cara-cara yang
membahayakan bagi masyarakat, dalam hal ini konsumen45. Bila dibandingkan
dengan sejarah hukum yang lain, sejarah tentang anti monopoli atau persaingan
usaha terbilang relatif baru. Baik sejarahnya dalam dunia internasional maupun di
Indonesia46.
Hukum anti monopoli memainkan peranan yang penting dalam mengatur
kegiatan bisnis di Inggris47. Pada awal diadakannya pengaturan hukum anti
monopoli dalam hukum Inggris, terdapat beberapa aspek yang dilarang
sehubungan dengan dilakukannya restriksi terhadap perdagangan di Inggris.
Dengan dasar pemikiran bahwa persaingan usaha yang terbuka dan beralasan
merupakan hal yang baik untuk konsumen maupun pelaku usaha, hukum anti
monopoli mencegah timbulnya tindakan-tindakan bisnis dari pelaku usaha yang
masuk kedalam perjanjian-perjanjian yang anti persaingan serta mencegah para
pelaku usaha bisnis tersebut untuk menyalahgunakan posisi dominan mereka48.
Sejak abad ke-17 hingga abad ke-20 telah terjadi berbagai perkembangan
pengaturan serta penafsiran untuk kasus-kasus monopoli di Inggris, baik
penerapan doktrin konspirasi kriminal maupun doktrin restraint of trade, dan
45“Competition Policy: Introduction”, <www.iue.it/Personal/Motta/courses/Amato-
Motta/1- IntroductionCompetitionLaw.pdf>, 16 Desember 2008.
46Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal.35.
47“Competition Law and Policy in the EC and UK”, < http://www.routledge.com/97804 15458474>, 16 Desember 2008.
48Ibid.
Universitas Indonesia
14Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
akhirnya pada awal abad ke-20 kebijaksanaan mengenai hukum anti monopoli
yang ditujukan kepada persaingan pasar yang fair dan pencegahan eksploitasi
kekuatan pasar oleh kekuatan perusahaan tunggal secara monopoli ataupun oleh
kartel sudah ditinggalkan49. Saat ini Inggris sedang dalam proses mengadopsi
model baru dari sebuah hukum anti monopoli yang berdasarkan kepada sistem
hukum anti monopoli di European Community50.
Kebijakan persaingan usaha serta hukum persaingan usaha di Belanda
telah berkembang secara substansial dalam dekade yang lampau51. Pada tahun
1956 di Belanda dikenal suatu Undang-Undang yang bertujuan melarang
konspirasi bisnis yang membatasi persaingan dan merugikan kepentingan umum,
yaitu Undang-Undang tentang Kompetisi Ekonomi tahun 1956 (Wet Economische
Medediging)52. Dalam masyarakat Eropa pun pasal 85 dan 86 dari Traktat Roma
tahun 1957, yang merupakan dasar Masyarakat Ekonomi Eropa terbentuk, telah
pula mengatur tentang ketentuan anti monopoli sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Kompetisi Ekonomi tahun 1956 tersebut53.
Amerika mulai memberlakukan pengaturan tentang anti monopoli
menjelang akhir dari abad 19, yaitu pada tahun 1889 dan 189054. Berbagai
pengaturan antitrust dan anti monopoli di Amerika antara lain adalah Sherman
Act tahun 1890, Clayton Act dan Federal Commission Act tahun 1914, Robinson-
Patman Act tahun 1936, serta beberapa Undang-Undang Antitrust di tingkat
negara bagian Amerika55. Penyebab munculnya berbagai pengaturan tentang anti
monopoli tersebut di Amerika adalah terjadinya revolusi dalam bidang
49Ibid.
50Vincent Power, “E.C. Competition Law In The U.K.: Learning From The Irish Experience”, (Europeran Competition Law Review, 2000), hal.64.
51“Netherlands - The Role of Competition Policy in Regulatory Reform”, <www.oecd.org /dataoecd/3/42/2497317.pdf>, 16 Desember 2008. 52Munir Fuady, Op. Cit., hal.38. 53Ibid.
54R. Shyam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy, (United States of America: Library of Congress Cataloging, 1999), hal. 2.
55Munir Fuady, Op.Cit., hal.38.
Universitas Indonesia
15Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
transportasi dan komunikasi yang mengarahkan kepada monopoli pasar, berbagai
inovasi dalam bidang teknologi, bertambah besarnya perusahaan-perusahaan yang
juga dilakukan melalui merger, serta terjadinya ketidakstabilan pasar sebagai
akibat dari krisis makro ekonomi dan perang harga yang memberikan insentif
untuk terbentuknya kartel serta trust56.
Sedangkan dalam sejarah Indonesia tidak banyak yang dicatat seputar
kelahiran serta perkembangan hukum persaingan usaha di Indonesia karena yang
banyak dicatat dalam sejarah justru tindakan-tindakan atau perjanjian dalam bisnis
yang sebenarnya harus dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli57.
Sebelum adanya Undang-Undang yang secara formal serta komprehensif
mengatur mengenai persaingan usaha, di Indonesia telah terdapat beberapa upaya
konkret untuk membuat konsep hukum persaingan usaha58. Sebelum tahun 1999
pun, secara sektoral dan tidak terkodifikasi, aturan tentang persaingan usaha telah
dapat ditemukan tersebar di berbagai produk perundang-undangan59, seperti di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil60, namun pengaturan tersebut
sangatlah minim, tidak memadai, dan tidak populer dalam masyarakat sehingga
tidak pernah diterapkan dalam kenyataan61.
Hingga akhirnya pada tanggal 5 Maret 1999 untuk pertama kalinya dalam
sejarah Indonesia diundangkan suatu hukum persaingan usaha yang komprehensif,
yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
56“Competition Policy: Introduction”, Op. Cit.
57Munir Fuady, Op.Cit., hal.41. 58Arie Siswanto, Op. Cit., hal.71. 59Ibid., hal.72. 60 Arie Siswanto, Op.Cit., hal.72-73 61Munir Fuady, Op.Cit., hal.42.
Universitas Indonesia
16Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang terdiri atas sebelas bab dan 53
pasal yang dipublikasikan melalui Lembaran Negara RI Nomor 33 Tahun 199962.
Beberapa faktor yang ikut mendorong diundangkannya hukum persaingan
usaha di Indonesia adalah adanya desakan dari IMF (International Monetary
Fund) agar Indonesia menyusun aturan persaingan usaha yang komprehensif, dan
adanya gagasan untuk memangkas segala jenis monopoli yang merugikan pasca
rezim Orde Baru63.
Asas dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana tercantum
dalam pasal 2 undang-undang tersebut adalah demokrasi dalam bidang ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
Adapun pokok-pokok pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 ini yaitu:
1. Perjanjian yang Dilarang, yang terbagi lagi menjadi:
• Oligopoli
• Pembagian Wilayah
• Pemboikotan
• Kartel
• Trust
• Oligopsoni
• Integrasi Vertikal
• Perjanjian Tertutup
• Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
• Penetapan Harga
62Arie Siswanto, Op.Cit., hal. 71-72. 63Ibid., hal.71.
Universitas Indonesia
17Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
2. Kegiatan yang Dilarang, yang pembagian pengaturannya menjadi:
• Monopoli
• Monopsoni
• Penguasaan Pasar
• Persekongkolan
3. Posisi Dominan, yang dibagi lagi menjadi:
• Penyalahgunaan posisi dominan
• Jabatan rangkap (interlocking directorate)
• Pemilikan saham
• Penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan
Dalam skripsi ini yang akan lebih dibahas oleh penulis adalah mengenai
penetapan harga serta diskriminasi harga, berikut akan dijabarkan lebih luas
mengenai kedua poin pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tersebut.
Penetapan harga menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dapat terwujud dalam beberapa bentuk berikut64:
1) Penetapan harga antarpelaku usaha
Penetapan harga antarpelaku usaha dilarang oleh pasal 5 ayat (1) dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 karena penetapan harga secara bersama-
sama di kalangan pelaku usaha akan menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar
tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan65.
Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian
sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (2), yaitu apabila perjanjian penetapan
harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan, atau didasarkan oleh undang-undang
yang berlaku66.
2) Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang sama
Yang dilarang berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
adalah membuat perjanjian yang memberlakukan diskriminasi terhadap
64Arie Siswanto, Op.Cit., hal.82. 65Munir Fuady, Op. Cit., hal.56. 66Arie Siswanto, Op. Cit., hal.82, dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal.24.
Universitas Indonesia
18Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
kedudukan konsumen dan mengakibatkan konsumen yang satu harus membayar
dengan harga yang harus dibayar oleh konsumen lainnya67.
Meskipun demikian, bukan berarti semua pembedaan harga tersebut
dilarang oleh hukum persaingan usaha, karena apabila cost yang dikeluarkan oleh
penjual untuk satu konsumen dengan konsumen lainnya berbeda, maka tentunya
secara logis harganya pun tentunya akan berbeda pula68.
3) Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha lain atau
pelaku usaha pesaingnya melalui perjanjian horizontal69
Larangan yang termuat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dimaksudkan agar pihak pesaing tidak dirugikan karena barang atau jasanya
tidak laku padahal harga barang atau jasanya sesuai dengan harga pasar. Larangan
ini baru berlaku apabila telah mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat70.
4) Penetapan harga jual kembali
Larangan ini termuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999. Maksudnya adalah agar pihak pembeli bebas menetapkan harga dari barang
atau jasa yang sudah dibelinya agar dapat dijualnya kembali sesuai dengan
permintaan dan penawaran yang ada di pasar71. Praktek semacam ini juga disebut
sebagai RPM (Resale Price Maintenance72).
Dalam teori ilmu hukum anti monopoli dikenal beberapa macam
diskriminasi harga yang dilarang, yaitu:
1. Diskriminasi harga primer
Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya kerugian bagi pelaku usaha pesaingnya.
2. Diskriminasi harga sekunder
67Munir Fuady, Op. Cit., hal.56, dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal.24. 68Munir Fuady, Ibid. 69Arie Siswanto, Op. Cit., hal.83. 70Munir Fuady, Op. Cit., hal. 59-60. 71Ibid., hal. 60. 72Arie Siswanto, Op. Cit., hal. 83.
Universitas Indonesia
19Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha
yang dapat mempunyai akibat negatif terhadap para konsumen dari pelaku usaha
pesaingnya.
3. Diskriminasi harga umum
Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha
tanpa melihat kepada letak geografisnya.
4. Diskriminasi harga geografis
Yaitu suatu diskriminasi harga dimana harga dibeda-bedakan menurut
letak geografisnya.
5. Diskriminasi harga tingkat pertama
Ini disebut dengan diskriminasi harga sempurna, karena perbedaan harga
dari satu konsumen ke konsumen lainnya sangat jauh.
6. Diskriminasi harga tingkat kedua
Ini disebut juga dengan diskriminasi harga tidak sempurna, karena pihak
pembeli yang membeli pada tingkat harga yang lebih mahal memang membeli
dengan harga yang lebih mahal, akan tetapi bukan pada tingkat harga termahal
yang mungkin diberikan.
7. Diskriminasi harga secara langsung
Yaitu suatu diskriminasi harga yang diberikan oleh seorang penjual kepada
konsumen dimana terlihat dari harganya secara nominal memang berbeda antara
satu konsumen dengan konsumen lainnya.
8. Diskriminasi harga secara tidak langsung
Yaitu suatu diskriminasi harga dimana harga nominalnya tetap sama
namun ada kemudahan atau tambahan servis tertentu yang hanya diberikan
kepada pembeli tertentu secara diskriminatif73.
Dilarangnya diskriminasi harga oleh hukum persaingan usaha diakibatkan
oleh adanya faktor-faktor pertimbangan sebagaimana dibawah ini, yaitu74:
• Kesamaan Marginal Cost.
• Kesamaan kualitas dan kuantitas barang yang dijual.
73Munir Fuady, Op. Cit., hal. 57-59 74Ibid., hal.57.
Universitas Indonesia
20Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
• Kesamaan cost untuk memproduksi, menjual, dan delivery.
• Tidak ada perubahan harga karena perubahan atau perbedaan waktu.
• Marketability dari barang tersebut harus sama.
• Komponen harga yang berbeda.
II.1.2. Teori-Teori Hukum Anti Monopoli dalam Sejarah
Dalam sejarah hukum anti monopoli terdapat berbagai macam teori hukum
anti monopoli, seperti teori keseimbangan (balancing), teori output analysis, teori
market power analysis, teori ancillary restraint, teori per se, serta teori rule of
reason75. Dari berbagai teori tersebut, dua teori yang bahkan pada U.S. Antitrust
sendiri masih seringkali diperdebatkan penerapannya pada kasus adalah teori per
se dan teori rule of reason. Perdebatan yang tak kunjung selesai ini disebabkan
oleh kurangnya pemahaman mengenai karakter asli dari kedua teori tersebut serta
hubungan diantara teori per se dengan teori rule of reason76. Dua teori ini pula lah
yang digunakan dalam hukum anti monopoli Indonesia.
Teori per se yaitu suatu teori yang titik beratnya terletak pada struktur
pasar tanpa terlalu memperhitungkan kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih
luas. Berdasarkan teori ini, pertukaran informasi harga antara pihak kompetitor
bagaimanapun juga dianggap bertentangan dengan hukum anti monopoli77.
Sedangkan yang dimaksud dengan teori rule of reason yaitu suatu teori
yang lebih berorientasi kepada prinsip efisiensi, dimana teori ini diterapkan
dengan melakukan pertimbangan antara akibat negatif dari tindakan tertentu
terhadap persaingan dengan keuntungan ekonomisnya. Berdasarkan teori ini,
haruslah dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat maksud atau pengetahuan
dari pihak pelaku terhadap konsekuensi dari tindakannya itu terhadap persaingan
pasar78.
75Ibid., hal. 46-50.
76Oliver Black, “Per Se Rules and Rules of Reason: What Are They”, (European Competition Law Review, 1997), hal. 145.
77 Munir Fuady, Op. Cit,, hal.46-47. 78Ibid., hal.47.
Universitas Indonesia
21Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Menurut Oliver Black dalam jurnalnya yang berjudul “Per Se Rule and
Rules of Reason: What are They”, untuk dapat melihat asal mula timbulnya rule
of reason ini dapat dilakukan dengan mengkaji bagian I dari the Sherman Act,
yaitu "Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or
conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with
foreign nations, is hereby declared to be illegal"79. Dari bagian I the Sherman Act
ini dapat dilihat bahwa apabila kata-kata “restraint of trade or commerce” dibaca
sebagai mengacu kepada setiap jenis pembatasan betapapun kecilnya dan terdapat
kemungkinan tidak akan berdampak pada penghilangan persaingan, maka hal ini
akan menjaring terlalu banyak tindakan yang sebenarnya tidak harus diperiksa
apakah tindakan tersebut melanggar persaingan, karena terdapat kemungkinan
pembatasan kecil yang timbul tersebut memang hal yang normal terjadi dalam
suatu perdagangan. Karenanya kemudian U.S. Courts melakukan adopsi terhadap
bagian I the Sherman Act ini dengan menggunakan pendekatan yang diambil dari
common law terhadap restrictive covenant, yaitu mereka menginterpretasikan
larangan tersebut hanya diaplikasikan terhadap pembatasan-pembatasan yang
tidak beralasan80. Karena adanya interpretasi inilah kemudian timbul teori rule of
reason.
II.1.3. Institusi Persaingan Usaha Indonesia
Agar ketentuan-ketentuan tentang persaingan usaha dapat terwujud ke
dalam praktek, dibutuhkan adanya suatu badan yang memiliki tugas pokok
mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum persaingan usaha tersebut81.
Undang-undang nomor 5 tahun 1999 pun mensyaratkan perlunya dibentuk
suatu competition authority82 yang dinamakan Komisi Pengawas Persaingan
79Oliver Black, Op. Cit. 80Ibid.
81Ibid., hal. 101.
82Arie Siswanto, Ibid., hal. 92.
Universitas Indonesia
22Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Usaha dan diatur secara khusus di dalam bab VI undang-undang tersebut serta di
dalam pasal-pasal lain di luar bab VI83.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah suatu lembaga
independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak
lainnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan khusus dibentuk
oleh dan berdasarkan undang-undang untuk mengawasi jalannya undang-
undang84.
Tugas dari KPPU sebagaimana terdapat dalam pasal 35 undang-undang
nomor 5 tahun 1999 yaitu:
• Melakukan penilaian terhadap tindakan-tindakan yang dilarang berdasarkan
tiga kategori yang ada.
• Mengambil tindakan sesuai kewenangan komisi.
• Memberi saran dan pertimbangan terhadap competition policy pemerintah.
• Menyusun pedoman dan publikasi berkaitan dengan undang-undang ini.
• Mengajukan laporan berkala atas hasil kerja KPPU kepada Presiden dan
DPR85.
Sedangkan kewenangan dari KPPU adalah:
• Menampung laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
• Melakukan penelitian akan adanya dugaan kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
• Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh
masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai
hasil dari penelitiannya;
83Ibid., hal. 92-93. 84Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Ibid., hal. 53. 85Arie Siswanto, Ibid., hal. 94, Munir Fuady, Ibid., hal. 101-102, dan Ahmad Yani, Ibid., hal. 55.
Universitas Indonesia
23Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
• Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini;
• Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
• Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku
usaha lain atau masyarakat;
• Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
• Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini86.
II.2. Industri Farmasi
Definisi dari farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat,
mencampur, meracik, memformulasi, mengidentifikasi, mengkombinasi,
menganalisis, serta menstandarkan obat dan pengobatan, juga sifat-sifat obat
beserta pendistribusian dan penggunaannya secara aman87. Webster memberikan
definisi farmasi sebagai the art, practice, or profession of preparing, preserving,
compounding, and dispensing medical drugs88. Kata farmasi itu sendiri dalam
bahasa Yunani disebut farmakon yang berarti medika atau obat89.
86Indonesia, Ibid., ps. 36. 87Syamsuni, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, (Jakarta: EGC, 2006), hal.2. 88“Pharmacy”, <http://medical.merriam-webster.com/medical/pharmacy>, 18 Desember 2008. 89Syamsuni, Op. Cit..
Universitas Indonesia
24Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
II.2.1. Sejarah Industri Farmasi90
Definisi dari industri farmasi menurut SK MENKES RI No.
245/MENKES/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi adalah industri obat jadi dan industri
bahan baku obat.
Kemudian yang dimaksud dengan obat jadi yaitu sediaan atau paduan
bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi. Dan yang
dimaksud dengan bahan baku obat yaitu bahan-bahan baik yang berkhasiat
maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengelolaan obat dengan standar
mutu sebagai bahan farmasi.
Sejarah industri farmasi sendiri tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
tradisi tabib dan pengobatan yang telah berjalan ribuan tahun dan bahkan
diperkirakan telah ada bersamaan dengan keberadaan manusia di alam semesta
ini. Pada awalnya kemampuan mengobati dan meracik obat dipegang oleh satu
orang dan dalam prakteknya tidak didasarkan atas pengetahuan anatomi,
farmakologi, dan farmasi melainkan dijalankan secara spekulatif, dipengaruhi
oleh takhayul, dan perdukunan.
Perkembangan tradisi tabib dan pengobatan tersebut berkembang di
Yunani, Mesir, Cina, India, dan berbagai wilayah Asia seperti Timur Tengah,
dimana pada saat itu di Yunani pendeta dianggap sebagai orang yang mampu
menjaga kesejahteraan rohani dan jasmani rakyat. Namun lambat laun peran
pendeta ini diambil alih oleh tabib yang memperoleh ilmu pengobatan secara
intuitif dan empiris.
Pada tahun 400 SM terdapat sekolah kedokteran dengan alumninya yang
terkenal yaitu Hippocrates, yang merasionalisasikan ilmu pengobatan serta
meningkatkan profesi tabib pada taraf etik yang tinggi. Kemudian muncul pula
90Ibid., hal.6-7, dan Amir Hamzah Pane (369604211Y), Strategi Industri Farmasi Indonesia dalam Menghadapi Era Pasar Bebas, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Studi Magister Manajemen, 1998, hal. 7 dan hal. 59.
Universitas Indonesia
25Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
tokoh Yunani lain yang bernama Galenus, seseorang yang ahli meracik obat dari
sari pati tumbuhan sehingga keterampilan meracik obat dari sari pati tumbuhan ini
kemudian dikenal dengan istilah Galenika. Dalam zaman keemasan Islam dikenal
sejumlah sarjana farmasi, yang salah satu tokoh paling terkenalnya adalah Abu
‘Ali al-Husayn bin ‘Abdullah bin Sina atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina,
atau Avicenna (panggilan dari orang Barat), yang lahir pada tahun 980 M di
Afsyahnah, daerah dekat Bukhara yang sekarang menjadi wilayah Uzbekistan91.
Melalui Al-Qanun fi At Tibb, buku kedokteran klasik paling populer, Ibnu Sina
disebut sebagai “Bapak Kedokteran Modern”, bahkan sejarawan sains, George
Sarton, menyebut Ibnu Sina sebagai ilmuwan paling terkenal dari Islam92.
Pada tahun 1240 Kaisar Jerman, Kaisar Frederick II mengeluarkan
maklumat untuk memisahkan ilmu farmasi dan kedokteran sehingga masing-
masing ahli mempunyai keinsyafan, standar etik, pengetahuan, serta keterampilan
sendiri. Dengan adanya maklumat ini, keahlian farmasi menjadi profesi resmi
yang terpisah dari profesi kedokteran, namun tetap mempunyai tujuan yang sama
yaitu menolong orang sakit dan meningkatkan kesehatan umat manusia.
Sejarah industri farmasi modern dimulai pada tahun 1897 saat Felix
Hoffman menemukan cara menambahkan dua atom ekstra karbon dan lima atom
ekstra hidrogen ke dalam ekstrak kulit kayu Willow sehingga menghasilkan
Acetylsalicylic acid yang selanjutnya dikenal sebagai Aspirin. Untuk
mengembangkan produk ini kemudian didirikan perusahaan farmasi modern
pertama di dunia, yaitu Bayer.
Di Indonesia sendiri, kelahiran industri farmasi dimulai dengan berdirinya
perusahaan perdagangan dan impor obat jadi serta menjadi distributor bagi produk
obat perusahaan farmasi luar negeri di tahun 1950-an. Dengan keluarnya Undang-
Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 serta Undang-Undang Penanaman
Modal Dalam Negeri tahun 1968, kesempatan bagi perusahaan farmasi di
Indonesia untuk bekerja sama dengan pihak asing untuk mendirikan industri
farmasi semakin terbuka lebar.
91“Ilmuwan Legendaris di Masa Kejayaan Buwaih”, Harian Republika, Selasa 23
Desember 2008, hal. 8.
92Ibid.
Universitas Indonesia
26Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
II.2.2 Perkembangan Industri Farmasi93
Perkembangan industri farmasi dunia mengalami peningkatan yang sangat
pesat sejak tahun 1980, yang ditandai dengan munculnya perusahaan bioteknologi
seperti Amgen, Genentech, Chiron, dan Genzyme yang mampu melakukan
penemuan obat baru tanpa proses screening laboratories. Meskipun perusahaan-
perusahaan tersebut relatif kecil, akan tetapi memiliki penjualan tahunan yang
sangat besar karena hasil penemuannya dapat dijual ke Big Pharma seperti Glaxo
Wellcome, Merck, dan lain-lain, yang kemudian memproduksi serta
memasarkannya ke seluruh dunia.
Aliansi strategis ini menghasilkan bisnis yang menguntungkan bagi kedua
belah pihak, karena mereka dapat memperoleh hasil penjualan yang sangat besar,
serta dengan adanya bentuk kerjasama ini dapat mempersingkat proses research
and development yang biasanya memakan waktu 13 tahun dan menghabiskan
biaya hingga US$ 300 juta untuk satu jenis obat baru.
Sejak tahun 1980 itu pula, peta kefarmasian Indonesia telah berubah
drastis yang ditandai dengan terjadinya merger, integrasi vertikal, serta aliansi
strategis yang secara umum penyebab dari perubahan mendasar ini yaitu agar
tetap survive dalam era perdagangan tanpa batas, makin meningkatnya anggaran
research and development, semakin pendeknya siklus usia produk, dan adanya
tekanan pada harga obat khususnya di negara maju sebagai upaya menekan biaya
belanja kesehatan yang dilakukan oleh asuransi kesehatan.
Di Indonesia sendiri, pemerintah mendorong tumbuhnya industri farmasi
dan jalur distribusinya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No.918/Menkes/Per/X/1993 yang merupakan paket deregulasi Pedagang Besar
Farmasi (PBF), dengan diperbolehkannya perusahaan farmasi PMA membuka
PBF sepanjang bekerjasama dengan perusahaan lokal.
Besarnya populasi penduduk menyebabkan berbagai industri farmasi luar
negeri berlomba-lomba membuka anak perusahaannya di Indonesia. Meskipun
demikian karakteristik industri farmasi Indonesia tidak jauh berubah sejak tahun
1970-an hingga saat ini, yaitu hanya merupakan industri farmasi formulasi, yang
93Ibid., hal. 13, hal. 61, dan hal. 90.
Universitas Indonesia
27Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
oleh UNIDO dikelompokkan kedalam klasifikasi C1 yakni negara yang industri
farmasinya berkemampuan reproduktif dalam memformulasi bahan baku dan obat
jadi.
Sampai dengan tahun 1996 perkembangan industri farmasi dan PBF di
Indonesia sangat pesat meskipun lokasinya hanya terkonsentrasi di pula Jawa.
Perkembangan yang sangat pesat ini pun menyebabkan persaingan sesama
perusahaan farmasi menjadi sangat ketat, terlebih dengan adanya batas waktu
penerapan ketentuan hak paten bagi copy product dan copy process.
II.2.3. Gambaran Umum Kemampuan Industri Farmasi di Indonesia
Persaingan di industri farmasi bukanlah terletak pada tampilan,
kemewahan, ataupun harga, melainkan pada khasiat, keamanan, serta jangkauan
terapi obat. Obat yang beredar dapat langsung menjadi usang pada saat
perusahaan farmasi lain mampu memproduksi obat yang lebih baik dari segi
khasiat, keamanan, maupun jangkauan terapi obat94.
Tingkat persaingan pasar produk farmasi sangat tinggi terlebih dengan
adanya kemungkinan munculnya produk baru dari perusahaan farmasi asing,
sehingga menyebabkan perusahaan farmasi Indonesia harus terus-menerus
melakukan pemantauan terhadap kemungkinan munculnya produk baru yang
dapat dilisensi sehingga menjadi first mover dalam mengenalkan produk
tersebut95.
Bahan baku industri farmasi terdiri dari bahan dasar, bahan pembantu, dan
pengemas. Namun sayangnya dari tiga kelompok bahan baku industri farmasi
tersebut, belum ada yang mampu diproduksi di Indonesia, sehingga menyebabkan
perusahaan farmasi Indonesia sangat rentan terhadap resiko fluktuasi nilai mata
uang yang mengakibatkan harga produk akhir (obat jadi) akan sebanding dengan
fluktuasi nilai dolar karena harus selalu mengimpor bahan baku obat-obatan yang
akan diproduksi di Indonesia96.
94Ibid., hal. 71. 95Ibid., hal.72. 96Ibid.
Universitas Indonesia
28Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Pemalsuan produk merupakan persoalan serius yang dihadapi oleh industri
farmasi Indonesia. Pemalsuan produk ini dapat berupa bahan baku yang tidak
sesuai dengan khasiat, pemalsuan merek, serta pemalsuan kemasan yang
dilakukan dengan cara pabrikasi yang sederhana97.
Aspek keterjangkauan harga merupakan hal yang penting bagi pengadaan
obat. Karenanya untuk mendukung tercapainya keterjangkauan harga, pemerintah
telah menerapkan kebijaksanaan obat generik yang harganya lebih murah 30% -
60% dibandingkan dengan obat non generik98.
Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai obat generik, penulis akan
sedikit menjabarkan mengenai pengertian serta penggolongan obat. Obat secara
umum diartikan sebagai semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan
oleh semua makhluk untuk bagian dalam dan luar tubuh guna mencegah,
meringankan, dan menyembuhkan penyakit99. Menurut undang-undang, yang
dimaksud dengan obat adalah suatu bahan atau campuran bahan untuk
dipergunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka100.
Pengertian obat secara khusus dapat dibagi menjadi:
-Obat jadi. -Obat tradisional
-Obat paten. -Obat esensial.
-Obat baru. -Obat generik.
-Obat asli101.
Penggolongan obat dapat dilakukan berdasarkan beberapa kriteria:
• Menurut kegunaan obat.
• Menurut cara penggunaan obat.
• Menurut cara kerja obat
• Menurut undang-undang.
97Ibid. 98Ibid., hal. 79. 99Syamsuni, Op. Cit., hal. 47. 100Ibid. 101Ibid., hal. 47-48.
Universitas Indonesia
29Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
• Menurut sumber obat.
• Menurut bentuk sediaan obat.
• Menurut proses fisiologis dan biokimia dalam tubuh102.
Lebih lanjut pemasyarakatan pemakaian obat generik di Indonesia sangat
lambat, sosialisasi (promosi) dan penegakan aturan tentang obat generik ini pun
masih lemah103. Hal ini diperkirakan karena pemahaman dan apresiasi masyarakat
terhadap obat generik sangat kurang, disamping pengertian obat paten yang selalu
dicampuradukkan dengan obat bermerek104.
Kata ”paten” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ”patent” yang
dalam bahasa Inggris artian bebasnya adalah suatu hak yang dilindungi hukum
untuk tidak bisa ditiru atau dipalsukan105. Obat paten itu sendiri adalah obat milik
suatu industri farmasi penemu formulasi obat (pabrik inovator), yang memiliki
merek terdaftar yang dipatenkan dan dilindungi hukum, sehingga untuk jangka
waktu tertentu industri farmasi tersebut menjadi pemilik sah dari pembuatan dan
merek obat. Setelah masa paten dari suatu obat habis, perusahaan yang semula
memonopoli hak untuk memproduksi obat paten tersebut tidak dapat lagi
melarang perusahaan lain untuk memproduksi serta menjual obat yang bio-
equivalent dengan obat paten tersebut yang sekarang telah berubah nama menjadi
obat generik106.
Obat paten yang diproduksi oleh pabrik inovator merupakan produk yang
beredar di pasar dan telah terbukti khasiat, keamanan, dan kualitasnya melalui
berbagai tahapan uji pra klinis dan klinis. Obat generik hanya meng-”copy” obat
paten yang sudah ada, dan sudah habis masa patennya. Sehingga, untuk menilai
khasiat, keamanan, dan kualitas obat generik tidak diperlukan lagi tahapan uji
102Ibid., hal. 48-50. 103“Problema di Seputar Obat Generik”, < http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi? newsid1110347915,99818>, 4 November 2008. 104Amir Hamzah Pane, Op. Cit., hal. 79. 105Ibid.
106 Jacques-Philippe Gunther dan Charlotte Breuvart, “Misuse of Patent and Drug Regulatory Approval Systems in The Pharmaceutical Industry: an Analysis of US and EU Converging Approaches”, (European Competition Law Review, 2005), hal. 669.
Universitas Indonesia
30Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
praklinis dan klinis. Faktor inilah yang antara lain mengurangi biaya yang sangat
signifikan di dalam pengembangan obat generik107.
Nama obat generik itu sendiri hanya didasarkan pada nama zat aktif yang
terkandung di dalam obat tersebut, misalnya Rifampisin sebagai obat anti-TBC,
Captopril sebagai obat antihipertensi, dan Levofloxacin sebagai obat antibiotik108.
Ciri-ciri dari obat generik adalah obat generik biasanya (dan memang
seharusnya) harganya lebih murah, seringkali hanya terdiri dari satu substansi,
memiliki kemasan yang lebih sederhana109, dan selalu ditandai dengan logo
lingkaran garis hijau yang menunjukkan tanda khusus dari produsen obat (contoh
logo terlampir)110.
Kualitas obat generik memiliki kualitas yang setara dengan obat paten jika
sudah melalui suatu tahap penelitian yang disebut uji bioekivalensi yang tujuan
utamanya mengetahui kesetaraan efek terapi antara obat generik dan obat
patennya111. Kini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan
aturan yang lebih ketat dalam pemberian izin edar beberapa jenis obat generik
karena obat generik tersebut baru akan mendapat nomor registrasi dari BPOM jika
sudah terbukti kesetaraannya dengan obat paten melalui uji bioekivalensi112.
Uji bioekivalensi adalah suatu pengujian untuk obat copy atau obat
generik dengan cara membandingkan bioavailabilitasnya atau ketersediaannya
dalam sirkulasi sistemik dengan obat pembandingnya yang biasanya merupakan
obat paten, dengan cara melihat jumlah dan kecepatan zat aktif dalam produk obat
yang mencapai peredaran darah. Cara pengujiannya adalah dengan memberikan
obat uji dan obat pembanding dalam periode pemberian yang terpisah kepada
107“Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, <http://www.dexa-medica.com/newsandmedia/news/detail.php?idc=2&id=353>, 4 November 2008. 108Ibid. 109 “Tips&Trik: Tips Mencari Khasiat Obat”, <http://konservasipapua.blogspot.com/2006 /08/tips-mencari-khasiat-obat.html>, 4 November 2008. 110“Mahasiswa Farmasi Kampanyekan Obat Generik”, <http://www.tempointeractive.com /hg/nusa/jawamadura/2007/12/02/brk,20071202-112723,id.html>, 4 November 2008. 111“Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, Op. Cit. 112Ibid.
Universitas Indonesia
31Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
sejumlah sukarelawan yang menjadi subjek dari uji bioekivalensi tersebut.
Kemudian untuk dapat melihat jumlah dan kecepatan zat aktif dalam produk obat
yang mencapai peredaran darah, dilakukan pengukuran kadar obat di dalam
spesimen biologis seperti darah atau urin milik para sukarelawan subjek uji
bioekivalensi tersebut. Untuk dapat dikatakan suatu obat uji bioekivalen dengan
obat pembandingnya, jumlah dan kecepatan zat aktif dalam obat uji yang terdapat
di dalam darah harus sama dengan obat pembandingnya.
Penerapan konsepsi nama generik untuk rasionalisasi harga obat sudah
mulai digiatkan oleh pemerintah melalui SK MENKES No.47 tahun 1983 tentang
Kebijaksanaan Obat Nasional. Pemerintah juga memiliki instrumen untuk
mengontrol rasionalisasi harga obat dengan ditetapkannya harga patokan tertinggi
obat generik yang dievaluasi setiap tahun113.
Nilai penjualan obat generik dunia pada tahun 1991 adalah sebesar US$ 15
miliar dari total penjualan obat sebesar US$ 187,5 miliar yang berarti 18% dari
penjualan obat dunia adalah untuk obat generik114. Di negara maju justru obat
generik lebih populer dibandingkan dengan di negara berkembang115. Tahun 1990
penjualan obat generik di Amerika Serikat sebesar 30% dari total penjualan obat,
Denmark 50%, Jerman 17%, Inggris 10%, dan Belanda 16%116. Hal ini
menunjukkan bahwa justru di negara maju anggapan bahwa obat generik tidak
berkualitas tidak berlaku di sana.
113Ibid. 114 Amir Hamzah Pane, Op. Cit., hal. 80. 115 Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, Op. Cit. 116Ibid.
Universitas Indonesia
32Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
BAB III
ANALISIS MENGENAI PENETAPAN HARGA PADA KASUS
PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK OLEH PERUSAHAAN-
PERUSAHAAN FARMASI DI INDONESIA
III.1. Indikasi Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Penetapan Harga Obat
Generik di Indonesia
Terkait mahalnya harga obat generik di Indonesia, terdapat perbedaan
pandangan antara perusahaan-perusahaan farmasi sebagai produsen dengan
masyarakat kelas menengah ke bawah yang mengkonsumsi obat generik sebagai
konsumen. Perusahaan-perusahaan farmasi sebagai produsen memandang bahwa
obat-obat generik yang mereka produksi dan beredar di Indonesia sudah teramat
murah sampai-sampai mereka hampir merugi dan bahkan mereka meminta
diberikan subsidi dari pemerintah untuk bahan baku obat generik117. Perusahaan-
perusahaan farmasi juga meminta pemerintah melakukan peninjauan ulang
terhadap harga obat generik, karena di dalam harga pokok obat terdapat pula
variabel bahan baku dan biaya produksi sehingga dengan melonjaknya harga
minyak internasional maka akan menyumbang kenaikan biaya produksi sebesar
15%-20%118. Unsur-unsur yang menyebabkan para pelaku usaha farmasi memiliki
pandangan bahwa harga obat generik yang mereka produksi terlalu murah dan
berharap untuk dinaikkan adalah diimpornya sebagian besar bahan baku obat.
Dimana sesuai dengan struktur keadaan Negara Indonesia ini yang masih berbelit-
belit birokrasinya sehingga menimbulkan biaya-biaya yang tinggi untuk hal yang
tidak seharusnya seperti adanya pungutan-pungutan liar dan biaya yang besar
untuk mengeluarkan barang dari pelabuhan. Rantai birokrasi di Indonesia seperti
sengaja diperpanjang. Sistem pelayanannya tidak dibuat secara terpadu dengan
sistem pelayanan satu pintu. Hal-hal itulah yang menimbulkan mahalnya harga
117”Obat Generik Terancam Hilang”, <http://tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=26142
&kategori=9>, 19 Desember 2008.
118”Indofarma Belum Naikkan Harga Obat Meski BBM Naik”, <http://jkt2.detikhot.com/ read/2008/05/29/120234/946987/124/.http://jkt2.detikhot.com>, 19 Desember 2008.
Universitas Indonesia
33Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
pokok impor. Diimpornya sebagian besar bahan baku obat tersebut merupakan
efek dari kelemahan sistem pembangunan Indonesia yang setiap kali ada
pembangunan pabrik akan selalu memakai substitusi impor (raw materialnya
harus impor). Padahal di Indonesia sebenarnya semuanya tersedia, dan juga
dengan tidak terlalu mengandalkan kepada impor bahan pembuatan obat, akan
turut menyejahterakan masyarakat karena mereka akan mendapat lapangan
pekerjaan. Kalaupun dirasa yang tersedia di Indonesia belum cukup layak,
seharusnya jangan juga mengimpor barang jadi, namun sebisa mungkin
mengimpor barang yang setengah jadi saja agar proses pengolahan selanjutnya
dapat tetap dilakukan di Indonesia. Contoh sederhana lainnya, mie instan yang
tepungnya di impor, dengan mie instan yang tepungnya olahan dalam negeri,
maka mie instan yang tepungnya hasil olahan dalam negeri harganya akan lebih
murah.
Selain karena impor bahan baku, unsur lainnya adalah perbedaan yang
terlampau jauh antara kurs rupiah dengan kurs dolar juga mengakibatkan
pandangan para pelaku usaha farmasi tersebut. Contohnya saja US$ 1 = Rp.
11.000, maka bagi yang terbiasa bertransaksi dengan menggunakan dolar memang
tidak akan berpikir obat di Indonesia mahal, akan tetapi lain halnya bagi rakyat
Indonesia terutama kalangan menengah kebawah yang bertransaksi dengan
menggunakan rupiah, mereka akan menganggap bahwa harga obat di Indonesia
memang mahal. Karenanya apabila pihak produsen mematok harga pokok obat
generik yang mereka produksi dengan unsur karena impor (yang berarti dengan
kurs dolar), otomatis harga obat generik di Indonesia akan terasa mahal bagi
konsumen dalam negeri. Contoh sederhananya saja, coca cola yang dibeli di
Singapura seharga 3 dolar, ketika dibawa ke Indonesia akan menjadi Rp.30.000,
sedangkan bila membeli coca cola yang diproduksi di Indonesia, cukup
membelinya dengan harga Rp. 2.500.
Seharusnya masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mempunyai akses yang
sama untuk mendapatkan obat yang terjamin kualitasnya sesuai daya belinya119.
119”Obat untuk Siapa”, <http://yugosan.blogspot.com/2008/07/obat-untuk-siapa.html>, 19 Desember 2008.
Universitas Indonesia
34Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Untuk mengatasi perbedaan pandangan serta pendapat antara produsen dan
konsumen tersebut, pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan berupaya untuk
menjembatani perbedaan tersebut dengan mengeluarkan suatu kebijakan terkait
harga obat generik, yaitu dengan adanya SK Menteri Kesehatan Nomor
487/Menkes/SK/VII/2006 yang menetapkan harga obat generik sebagai pengganti
SK Menteri Kesehatan Nomor 336/Menkes/SK/V/2006 tentang Harga Obat
Generik yang mengatur harga 386 item obat generik. Namun meskipun SK
Menteri tersebut memiliki niat yang baik, akan tetapi tidak akan efektif apabila
tidak melihat kepada sisi produsen seperti darimana sumber bahan baku obatnya,
bagaimana penyediaan bahan bakunya, dan bagaimana rantai birokrasi serta
perizinannya.
Berdasarkan hasil penelusuran serta analisa penulis, penulis berpendapat
bahwa justru kebijakan pemerintah yang dimaksudkan untuk membantu
menyejahterakan masyarakat banyak tersebut dikhawatirkan malah akan
memfasilitasi terjadinya kartel diantara pelaku usaha farmasi. Karena kartel
merupakan salah satu bentuk dari tindakan pelanggaran persaingan usaha yang
paling menarik untuk dilakukan oleh para pelaku usaha. Adam Smith menulis
dalam The Wealth Nations pada tahun 1776, “People of the same trade seldom
meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a
conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices”120. Dengan
seringnya para pelaku usaha dalam bisnis yang sama bertemu, perbincangan yang
terjadi diantara mereka yang semula memperbincangkan mengenai hal-hal yang
tidak berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka seperti kegiatan-kegiatan yang
mereka lakukan pada waktu luang mereka, namun pada akhir perbincangan
mereka tersebut akan dihasilkan suatu konspirasi yang bertentangan dengan
kesejahteraan konsumen, atau bahkan perbincangan mereka tersebut akan
berujung pada terbentuknya suatu plot untuk menaikkan harga. Untuk
mengalahkan kartel, berdasarkan sistem ekonomi caranya adalah dengan
menerapkan sistem ekonomi liberal yang terkendali. Jadi meskipun para pelaku
usaha dibiarkan untuk bersaing sebebas-bebasnya namun untuk hal-hal tertentu
120R. Shyam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition
Law and Policy, (United States of America: Library of Congress Cataloging, 1999), hal. 21.
Universitas Indonesia
35Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
seperti contohnya untuk bahan baku yang penting, jangan dikuasai oleh satu
pelaku usaha melainkan harus tersedia di pasar secara bebas. Globalisasi
merupakan salah satu alternatif untuk menghilangkan kartel, namun untuk negara-
negara berkembang pemerintahnya harus melakukan perlindungan kepada
masyarakatnya terutama golongan ekonomi lemah atau pengusaha-pengusaha
kecil dengan cara salah satunya yaitu memberikan subsidi untuk melindungi
konsumen yang tidak mampu. Apabila harga obat generik dapat ditekan melalui
jalan pemfokusan kepada produk-produk dalam negeri untuk proses produksi,
industri-industri akan dapat menambah tenaga kerja, bahan baku dalam negeri
dapat diolah secara meluas sehingga dapat memakai banyak tenaga kerja, daya
beli masyarakat akan naik, dan karena anggaran pemerintah Indonesia masih
terbatas maka dengan murahnya harga obat generik otomatis pemerintah dapat
membangun lebih banyak Puskesmas sehingga akan lebih banyak pula masyarakat
tidak mampu yang akan terbantu.
Dalam melakukan penetapan harga obat, pemerintah juga harus melakukan
peninjauan harga atas harga-harga yang sudah ditetapkan sebelumnya secara
berkala. Apabila peninjauan harga secara berkala tersebut terus-menerus tidak
dilakukan, maka sangat dimungkinkan akan timbulnya kartel diantara pelaku
usaha farmasi karena mereka harus dapat mempertahankan kehidupan
perusahaannya sehingga berbagai cara akan mereka lakukan untuk dapat bertahan
hidup. Dimana salah satu cara yang paling mungkin untuk dilakukan tanpa
melanggar ketentuan dari pemerintah tentang harga obat yang sudah ditetapkan
oleh pemerintah dengan harga yang murah tanpa memperhatikan kondisi
perekonomian adalah dengan membentuk suatu kartel diantara para pengusaha
farmasi tersebut. Mereka akan bersepakat untuk melakukan pengaturan produksi
obat generik dan melakukan pengaturan atas pemasaran obat-obat generik
tersebut.
Dampak dari adanya penetapan harga obat oleh pemerintah tanpa adanya
peninjauan secara berkala untuk dilihat kesesuaiannya dengan kondisi saat ini
sudah mulai terlihat. Sejumlah obat generik yang penting mulai sulit untuk
ditemukan di apotek-apotek. Kalaupun ada, harga dari obat generik tersebut
Universitas Indonesia
36Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
meningkat sekitar 5% - 40%121. Pernah pula salah satu obat generik benar-benar
menghilang di peredaran dengan alasan mahalnya harga bahan baku obat122.
Kenyataan yang terjadi di lapangan, setelah harga obat generik ditetapkan
dengan harga yang ekonomis ternyata masih bisa memberikan bonus untuk apotek
sebesar 20% - 60%123. Yang berarti masih terdapat selisih harga yang cukup besar
dengan penurunan yang dilakukan pemerintah.
Mengenai perbedaan harga yang mencolok antara obat generik bermerek
dengan obat generik non merek, menurut pandangan penulis terdapat empat poin
yang dapat menjadi penyebabnya. Yang pertama ialah biaya publikasi yang besar
yang diperlukan oleh obat generik bermerek untuk dapat mempublikasikan
produknya. Yang kedua adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan
yang memproduksi obat generik bermerek tersebut untuk dapat tetap
mempertahankan citra mereknya. Apabila salah satu atau kedua poin tersebut
yang menjadi penyebab mahalnya harga obat generik bermerek dibandingkan
dengan obat generik non mereknya, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang
salah, karena biaya publikasi serta biaya untuk mempertahankan citra suatu merek
merupakan hal yang wajar untuk dikeluarkan oleh suatu perusahaan. Sebagaimana
dikatakan oleh DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009 bahwa untuk obat generik itu sendiri
memang tidak terdapat perbedaan zat berkhasiat antara generik non merek dengan
generik bermerek124. Perbedaannya hanyalah obat generik non merek diberi logo
oleh pemerintah, dan obat generik bermerek tidak diberi logo oleh pemerintah
melainkan diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.
Karenanya harga obat generik non merek memang seharusnya lebih murah karena
harganya sudah ditetapkan oleh pemerintah agar terjangkau oleh masyarakat.
121“Obat Generik Langka dan Mahal”, <www.kompas.com/kompas-
cetak/0704/27/jatim/65739.htm>, 12 Desember 2008.
122“Menkes: Aksi Mafia Membuat Harga Obat Mahal”, <http://www.detikinet.com/read/2007/12/17/124615/868074/10/menkes-aksi-mafia-membuat-harga-obat-mahal>, 12 Desember 2008.
123“Soal Penetapan Harga Jangan sampai Obat Langka”,
<http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139>, 12 Desember 2008.
124“Beralihlah ke Obat Generik”, < http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php? option=com_content&task=view&id=565&Itemid=1>, 18 Desember 2008.
Universitas Indonesia
37Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Selain itu biaya promosi obat generik non merek tidak sebesar obat generik
bermerek sehingga lebih ekonomis.
Dua poin lainnya yang dapat menjadi penyebab mahalnya harga obat
generik bermerek dibandingkan dengan harga obat generik non merek meskipun
khasiat keduanya sama yaitu adanya kemungkinan terdapat kolusi diantara para
pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik bermerek tersebut untuk
menjaga level harga mereka yang tetap tinggi. Hal ini terlihat dari, meskipun
banyak pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik bermerek, akan
tetapi kesemuanya sama-sama menjual obat generik bermerek produksinya
dengan harga yang mahal bila dibandingkan dengan harga obat generik non
mereknya, padahal besarnya tiap-tiap perusahaan tersebut jelas berbeda, sehingga
besarnya biaya produksi tiap-tiap perusahaan pasti berbeda. Meskipun memang
antara perusahaan farmasi yang satu dengan perusahaan farmasi yang lain tidak
menyeragamkan harganya, akan tetapi mereka sama-sama tetap menjaga level
harga mereka pada posisi yang tinggi. Ini tidak akan terjadi apabila persaingan
usaha terjadi secara kompetitif. Dengan kompetitifnya persaingan yang terjadi,
pasti akan ada diantara perusahaan farmasi itu yang melakukan langkah-langkah
inovatif untuk dapat menjual obat generiknya dengan harga yang lebih murah
dibandingkan dengan pesaingnya yang memproduksi jenis obat generik yang
berkhasiat sama dengan tujuan untuk menarik konsumen dan memperbesar pangsa
pasar. Namun dengan tidak terjadinya hal tersebut, dapat dicurigai bahwa telah
terjadi suatu tindakan anti persaingan diantara para pelaku usaha farmasi untuk
tetap menjaga level harga mereka pada tingkat yang tinggi untuk menghindari
berpindahnya konsumen kepada perusahaan yang memproduksi obat dengan
harga yang lebih murah dibanding pesaingnya.
Apabila benar hal inilah yang menyebabkan mahalnya harga obat generik
bermerek di Indonesia, maka terdapat indikasi timbulnya kartel diantara para
pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik bermerek tersebut. Dengan
asumsi bahwa benar terjadi kartel diantara para pelaku usaha farmasi yang sama-
sama memproduksi obat generik dengan cara membuat perjanjian diantara mereka
untuk mempengaruhi harga obat generik bermerek, hal ini akan mengakibatkan
terganggunya kesejahteraan masyarakat karena masyarakat harus tetap membayar
Universitas Indonesia
38Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
mahal untuk membeli obat yang seharusnya dapat mereka beli dengan murah, dan
juga efisiensi yang menjadi tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tidak tercapai karena para pelaku usaha tidak melakukan usaha-usaha
yang inovatif untuk dapat mencapai efisiensi tersebut, dengan anggapan bahwa
mereka tidak perlu repot-repot berusaha menurunkan harga karena dengan harga
yang tinggi pun produk mereka akan selalu laku di pasaran karena mereka tidak
memiliki saingan. Dengan asumsi demikian, maka para pelaku usaha farmasi yang
memproduksi obat generik ini telah melakukan tindakan anti persaingan dan
melanggar pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Namun demikian berdasarkan hasil penelusuran penulis, literatur-literatur
ekonomi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kesepakatan untuk melakukan kolusi
yang terjadi diantara para pelaku usaha farmasi ini yang kemudian dapat
membentuk suatu ”tacitly collusive group” dapat dilihat kemampuan para anggota
grupnya untuk menyetujui kesepakatan dengan bergantung kepada setidaknya
empat aspek dari struktur pasar yaitu meningkatnya pembagian pasar,
meningkatnya jumlah pelaku usaha yang menjadi anggota grup kolusi yang akan
mengakibatkan mengecilnya pembagian keuntungan, meningkatnya tingkat ke-
asimetrisan diantara para anggota grup yang akan memunculkan satu anggota
grup dengan insentif yang besar untuk mematahkan kesepakatan kolusi, serta
meningkatnya tingkat ke-asimetrisan antara anggota grup dengan pelaku usaha
yang bukan anggota grup karena perusahaan yang relatif besar dan tidak menjadi
bagian dari grup kolusi tersebut akan memiliki kemampuan yang lebih besar
untuk meningkatkan produksi serta mencuri penjualan dari anggota grup125.
Dengan demikian, tindakan kesepakatan berkolusi yang dilakukan oleh para
pelaku usaha farmasi tersebut dapat dikatakan sangatlah rapuh karena sewaktu-
waktu dapat saja salah satu diantara anggota grup mendadak keluar dari grup
karena ingin meraih keuntungan serta pangsa pasar yang lebih besar, dapat pula
muncul pelaku usaha baru diluar grup tersebut yang berani menjual dengan harga
yang lebih murah dibandingkan dengan anggota grup karena pelaku usaha baru ini
melakukan berbagai inovasi agar tercapainya efisiensi sehingga dia dapat menjual
125David Parker, “A Screening Device for Tacit Collusion Concerns”, (European
Competition Law Review, 2006), hal.424.
Universitas Indonesia
39Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
obat generik dengan harga yang lebih murah dibanding pesaing-pesaingnya
dengan khasiat yang sama bagusnya.
Poin berikutnya yang dapat menjadi penyebab mahalnya harga obat
generik bermerek yaitu, adanya kemungkinan terdapat kolusi antara dokter
dengan pelaku usaha farmasi yang disebabkan oleh tidak transparannya harga obat
dan minimnya informasi soal obat126. Selain adanya kemungkinan terjadinya
kolusi antara dokter dengan pelaku usaha farmasi, berdasarkan hasil penelitian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), terdapat juga permainan dengan
apotek127. Karena bisa saja seorang dokter menyetujui permintaan pasiennya agar
dituliskan resep generik akan tetapi ketika sudah sampai di apotek, resep itu akan
segera diganti menjadi obat paten, bukan generik lagi. Seandainya benar terjadi
kolusi antara pelaku usaha farmasi dengan dokter maupun apotek, dan pelaku
usaha farmasi tersebut telah melakukan kesepakatan dengan mayoritas dokter
maupun apotek di suatu wilayah, maka dapat dikatakan bahwa pelaku usaha
farmasi tersebut telah menciptakan suatu barrier to entry bagi pelaku usaha-
pelaku usaha pesaingnya, karena tindakan dari pelaku usaha farmasi tersebut telah
menghalangi pelaku usaha farmasi pesaingnya untuk melakukan kegiatan usaha
yang sama pada pasar yang sama dengannya. Dengan tidak adanya pesaing dalam
pasar yang sama, maka dia dapat menentukan harga obatnya seenaknya. Dengan
asumsi pelaku usaha farmasi tersebut telah menciptakan suatu barrier to entry
yang mengakibatkan timbulnya persaingan usaha tidak sehat, maka pelaku usaha
farmasi tersebut telah melanggar pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
III.2. Penetapan Harga Obat Generik Ditinjau Dari Perspektif Hukum
Persaingan Usaha
Industri obat merupakan suatu industri yang mahal dan membutuhkan
biaya yang besar terlebih untuk proses research & developmentnya. Karenanya
126“Kolusi Antara Dokter dan Perusahaan Obat Seharga Sebuah Sedan Volvo”, http://health.groups.yahoo.com/group/Dokter_Indonesia/message/4864>, “Bisnis Obat: Kolusi Dokter-Farmasi Harus Ditindak”, <http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0604/28/110720. htm>, dan ”Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi”, < http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=18808&cl=Kolom>, 23 Desember 2008.
127”Kolusi Antara Dokter dan Perusahaan Obat Seharga Sebuah Sedan Volvo”, Ibid.
Universitas Indonesia
40Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
untuk suatu industri yang mahal seperti industri obat, adanya intervensi dari
pemerintah, dalam hal ini pricing policy, sah-sah saja untuk dilakukan demi
melindungi kesejahteraan masyarakat banyak. Dan selain juga industri obat
merupakan suatu industri yang mahal, dalam industri obat ini posisi tawar
masyarakat adalah nol, sehingga intervensi dan campur tangan pemerintah untuk
menentukan harga obat memang penting untuk dilakukan, terlebih untuk obat
generik yang memang ditujukan untuk masyarakat menengah kebawah.
Namun, pemerintah juga harus melihat serta memperhatikan dari sisi
kelangsungan hidup produsennya, dan juga harus memperhatikan persaingan yang
terjadi di pasar. Jangan sampai dengan adanya pricing policy tersebut justru
persaingan usaha yang semula terjadi dengan baik dan sehat, malah berubah
menjadi persaingan usaha yang tidak sehat karena persaingan yang sehat dalam
dunia usaha itu mutlak perlu dilakukan.
Iklim usaha yang kondusif harus turut diperhatikan oleh pemerintah
manakala membuat suatu pengaturan persaingan usaha, untuk menjamin tetap
adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama baik bagi pelaku usaha besar,
menengah, maupun kecil. Hal ini sesuai dengan tujuan dari adanya pengaturan
mengenai persaingan usaha sebagaimana terdapat dalam pasal 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.
Mengenai pricing policy tersebut, akan lebih baik apabila pemerintah
bukan menetapkan harga obat melainkan memberikan referensi harga. Karena
apabila pemerintah menetapkan harga obat, maka kemungkinan yang akan timbul
adalah produsen obat yang memproduksi obat generik lambat laun akan
mengurangi produksinya karena memproduksi obat generik sudah tidak
menguntungkan lagi bagi mereka128.
Akan tetapi, bila memang yang sudah terjadi saat ini adalah penetapan
harga secara sepihak oleh pemerintah, yang harus dilakukan oleh pemerintah
adalah senantiasa melakukan peninjauan secara berkala terhadap harga yang
ditetapkan. Pemerintah harus melihat, apakah harga yang ditetapkan tersebut
masih sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Jangan sampai dengan adanya
penetapan harga dari pemerintah yang tidak pernah dilakukan peninjauan tersebut
128“Cabut Pajak Obat!Pangsa Pasar Obat Rp 26 Triliun/Tahun”, <http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139>, 12 Desember 2008.
Universitas Indonesia
41Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
mengakibatkan perusahaan-perusahaan farmasi jadi mengurangi produksi mereka
demi efisiensi serta kelangsungan hidup perusahaan mereka. Karena hal tersebut
justru akan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Dan juga, jangan sampai
dengan adanya penetapan harga yang tidak pernah ditinjau tersebut
mengakibatkan timbulnya kartel dalam industri farmasi.
Selain harus adanya peninjauan secara berkala dari pemerintah terhadap
harga yang mereka tetapkan, dapat pula dilakukan penetapan tarif bawah tarif atas
sebagaimana yang diterapkan terhadap perusahaan taksi. Sehingga dengan
demikian, perusahaan-perusahaan farmasi tersebut dapat dengan bebas
menentukan harga dalam rentang harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan
demikian, persaingan usaha yang sehat dalam industri farmasi akan terjaga,
karena dengan kebebasan bagi mereka untuk menentukan harga selama masih
tetap berada dalam rentang harga yang diijinkan oleh pemerintah, mereka akan
berlomba-lomba untuk menarik konsumen dengan cara mengurangi harga jualnya
namun tetap dengan tidak mengurangi khasiatnya. Dengan cara demikian pula,
menurut penulis pemerintah dapat lebih mudah memonitor perkembangan
persaingan usaha yang terjadi di dunia industri.
Terhadap perbedaan harga yang signifikan antara obat generik bermerek
dan obat generik non merek untuk obat dengan khasiat yang sama, pemerintah
dapat memberikan pembatasan persentase keuntungan maksimal yang boleh
diperoleh perusahaan farmasi, dimana pembatasan persentase keuntungan
maksimal tersebut diberikan setelah tentunya pemerintah melakukan penelitian
harga pokok dari obat yang bersangkutan.
Contoh dari mekanisme pembatasan keuntungan maksimal sebesar 10%
dari harga pokok. Pelaku usaha A dan B yang sama-sama memproduksi obat
dengan khasiat yang sama, dimana pelaku usaha A yang berproduksi dengan cara
yang lebih efisien sehingga menghasilkan harga pokok obat Rp.9.-, dari harga
pokok tersebut pelaku usaha A diperbolehkan untuk mengambil keuntungan
maksimal 10% sehingga apabila obat tersebut dijual dengan harga Rp.9,9.- maka
pelaku usaha A sudah mendapatkan keuntungan maksimal. Sedangkan pelaku
usaha B yang berproduksinya kurang efisien sehingga menghasilkan harga pokok
obat yang lebih mahal dari pelaku usaha A yaitu Rp.10.-, apabila dia juga ingin
Universitas Indonesia
42Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
memperoleh keuntungan maksimal, dia harus menjual obatnya dengan harga Rp.
11.-. Dari perbedaan harga jual tersebut, kembali kepada pilihan konsumen
apakah tetap ingin membeli produk yang harganya lebih mahal, sedangkan ada
obat yang khasiatnya sama persis dengan obat yang harganya lebih mahal tersebut
hanya saja harganya lebih murah.
Mekanisme ini dalam accounting disebut dengan COGS (Cost of Good
Sold)129. Dengan digunakannya mekanisme ini, akan selalu timbul persaingan
diantara para pelaku usaha farmasi, karena siapa yang lebih efisien dalam
berproduksi maka dialah yang akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dan
memperoleh pangsa pasar yang lebih besar.
Pengawasan atas mekanisme ini menurut penulis akan lebih baik
diserahkan kepada KPPU, YLKI, dan konsumen. Biarkan konsumen sendiri yang
memilih dan menilai. Mekanisme seperti ini menurut analisa penulis merupakan
suatu mekanisme yang win-win solution, karena baik masyarakat sebagai
konsumen maupun pelaku usaha sebagai produsen akan sama-sama mendapatkan
keuntungan. Mekanisme ini juga mendidik masyarakat untuk menjadi masyarakat
yang kritis, kritis memilih mana obat yang memang sesuai antara harga dengan
khasiatnya, jangan sampai masyarakat hanya membayar mahal untuk mereknya
bukan untuk khasiatnya.
129“Cost of Goods Sold: Definiton”, <http://www.investorwords.com/1158/Cost_Of_
Goods_Sold.html>, dan “Cost of Goods Sold (COGS)”, <http://www.accountingglossary.net/ definition/106-Cost_Of_Goods_Sold_COGS>, 23 Desember 2008.
Universitas Indonesia
43Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
BAB IV
PENUTUP
IV. 1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab III maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
guna menjawab pokok permasalahan pada skripsi ini. Kesimpulan tersebut antara
lain:
1. Dalam penetapan harga obat generik yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan farmasi di Indonesia, apabila mahalnya harga obat generik
bermerek disebabkan oleh adanya biaya untuk mempublikasikan suatu produk
obat generik bermerek, serta disebabkan oleh adanya biaya untuk
mempertahankan citra dari suatu merek secara sesuai dan sewajarnya, maka
kedua hal tersebut belum dapat dikatakan sebagai suatu tindakan persaingan
usaha yang tidak sehat. Namun apabila mahalnya harga obat generik bermerek
tersebut disebabkan oleh adanya kolusi diantara sesama pelaku usaha farmasi
maupun kolusi antara pelaku usaha farmasi dengan dokter maupun apoteker,
maka kedua hal tersebut dapat diduga sebagai suatu persaingan usaha yang
tidak sehat.
2. Penetapan harga obat generik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
farmasi dipandang dari hukum persaingan usaha, harus ditetapkan sesuai
dengan biaya produksi yang sewajarnya mereka keluarkan. Kegiatan usaha
para pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik tersebut harus
dilakukan dengan cara-cara yang inovatif agar tercapai efisiensi serta
persaingan yang kompetitif diantara para pelaku usaha farmasi. Karena
dengan tercapainya efisiensi dalam kegiatan usaha mereka, kesejahteraan
masyarakat pun akan meningkat. Hal ini sesuai dengan tujuan dari
pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Universitas Indonesia
44Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
IV. 2. Saran
Sebagaimana telah diuraikan di atas, adanya perbedaan harga yang sangat
signifikan antara obat generik bermerek dengan obat generik non merek tanpa
adanya perbedaan khasiat yang berarti, bila terus dibiarkan oleh pemerintah tanpa
adanya pengaturan lebih lanjut maka masyarakat sebagai konsumen akan menjadi
pihak yang dirugikan karena mereka harus membayar harga yang jauh lebih mahal
untuk produk dengan khasiat yang sama. Sehubungan dengan hal ini maka penulis
menyarankan:
1. Dilakukannya peninjauan secara berkala oleh pemerintah untuk harga obat
generik yang telah ditetapkan untuk dilihat kesesuaiannya dengan kondisi
ekonomi saat itu.
2. Ada baiknya bila pemerintah ikut campur dalam menentukan impor bahan
baku obat. Karena dengan berkurangnya impor bahan baku obat, akan secara
otomatis mengurangi harga obat sehingga pemerintah tidak perlu lagi
memberikan subsidi terlalu banyak untuk obat agar dapat terjangkau oleh
masyarakat. Dengan diproduksinya bahan-bahan baku obat di Indonesia, maka
akan membuka peluang kerja yang menyerap tenaga kerja dalam negeri dalam
volume yang banyak. Efek berantai selanjutnya adalah, dengan berkurangnya
tingkat pengangguran maka daya beli masyarakat pun akan ikut meningkat
sehingga masyarakat sudah dapat membeli sendiri obat generik yang mereka
butuhkan tanpa mengharapkan bantuan subsidi lagi dari pemerintah.
3. Dalam membuat suatu kebijakan terutama terkait masalah obat generik, selain
memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai konsumen pemerintah juga
tetap harus memperhatikan kepentingan pelaku usaha sebagai produsen.
Karena apabila pelaku usaha tidak meneruskan memproduksi obat generik
dengan alasan mahalnya bahan baku obat maka lambat laun masyarakat juga
yang akan menderita kerugian karena obat generik yang dibutuhkan oleh
masyarakat akan menghilang dari peredaran, sedangkan harga obat paten
mahal dan memang pemerintah tidak berwenang menentukan harga obat
paten. Karenanya jangan sampai dengan adanya kebijakan dari pemerintah
Universitas Indonesia
45Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
yang semula dengan maksud untuk kebaikan masyarakat justru malah akan
menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri.
4. Selain memperhatikan kepentingan pelaku usaha, dalam membuat suatu
kebijakan terkait obat generik, pemerintah juga harus senantiasa menjaga
terjadinya persaingan usaha yang sehat pada pasar obat generik. Karena
dengan selalu terjaganya persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku
usaha obat generik tersebut mereka akan selalu berlomba-lomba untuk
merebut pangsa pasar dengan cara berproduksi seefisien mungkin agar dapat
menjual obat generik dengan harga yang lebih murah dibandingkan pelaku
usaha obat generik saingannya dan tetap mendapatkan keuntungan yang besar.
Universitas Indonesia
46Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
DAFTAR REFERENSI
A. Buku-buku Amir Hamzah Pane (369604211Y). Strategi Industri Farmasi Indonesia dalam
Menghadapi Era Pasar Bebas. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Studi Magister Manajemen, 1998.
Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006). Arie Siswanto. Hukum Persaingan Usaha. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004). Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007). H.L.Manheim. Sociological Research: Philosophy and Methods. (Illinois: The
Dorsey Press, 1977). Munir Fuady. Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat.
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000). Normin S. Pakpahan. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha.
(Jakarta: Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan).
Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990). R. Shyam Khemani. A Framework for the Design and Implementation of
Competition Law and Policy. (United States of America: Library of Congress Cataloging, 1999).
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. cet.3. (Jakarta: UI Press, 1986). Syamsuni. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. (Jakarta: EGC, 2006). Thomas J. Anderson. Our Competitive System and Public Policy. (Cincinnati:
South Western Publishing Company, 1958). B. Jurnal Oliver Black, “Per Se Rules and Rules of Reason: What Are They”, (European
Competition Law Review, 1997), hal. 145.
Universitas Indonesia
47Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Soetandyo Wignjosoebroto, ”Penelitian Hukum : Sebuah Tipologi”, Majalah Masyarakat Indonesia, tahun ke-I No.2, 1974.
Vincent Power, “E.C. Competition Law In The U.K.: Learning From The Irish
Experience”, (Europeran Competition Law Review, 2000), hal.64. C. Internet “Apotek Belum Pasang Harga Obat di Kemasan”, http://www2.kompas.com/ver1/
Metropolitan/0608/10/075619.htm, diakses pada 12 Oktober 2008.
“Beralihlah ke Obat Generik”, http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php? option=com_content&task=view&id=565&Itemid=1, 18 Desember 2008.
“Cabut Pajak Obat!Pangsa Pasar Obat Rp 26 Triliun/Tahun”,
http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139, 12 Desember 2008.
“Competition Law and Policy in the EC and UK”, http://www.routledge.com/978
0415458474, diakses pada 16 Desember 2008. “Competition Policy: Introduction”, www.iue.it/Personal/Motta/courses/Amato-
Motta/1- IntroductionCompetitionLaw.pdf, diakses pada 16 Desember 2008.
“Era Persaingan Sehat yang Mengedepankan Penataan Kebijakan Pemerintah (Regulatory Reform), Catatan Akhir Tahun 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha”, http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid= 315&encodurl=05%2F03%2F08%2C07%3A05%3A14, diakses pada 12 Oktober 2008.
“Hak Pasien Atas Obat”, www.yudihardis.com/hakpasien.doc, 18 Desember 2008.
“Harga Obat Bisa Turun”, http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail. asp?AktifitasID=139, 12 Desember 2008.
“Harga Obat Generik Mengalami Penurunan”, http://www2.kompas.com/ver1/ Kesehatan/0608/30/115119.htm, diakses pada 12 Oktober 2008.
”Indofarma Belum Naikkan Harga Obat Meski BBM Naik”, http://jkt2.detikhot.
com/read/2008/05/29/120234/946987/124/.http://jkt2.detikhot.com, 19 Desember 2008.
“Labelisasi dan Penetapan Harga Obat”, http://www.kppu.go.id/baru/index.php? type=art&aid=268&encodurl=03%2F30%2F08%2C06%3A03%3A49, diakses pada 12 Oktober 2008.
Universitas Indonesia
48Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
“Legal Reasoning: Penalaran Deduktif dan Induktif Pada Penelitian Hukum”,
http://www.huma.or.id/, diakses pada 16 Oktober 2008. “Mahasiswa Farmasi Kampanyekan Obat Generik”, http://www.tempointeractive.
com/hg/nusa/jawamadura/2007/12/02/brk,20071202-112723,id.html, diakses pada 4 November 2008.
”Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, http://www.dexa-
medica.com/newsandmedia/news/detail.php?idc=2&id=353, diakses pada 4 November 2008.
“Menkes: Aksi Mafia Membuat Harga Obat Mahal”, http://www.detikinet.com/read/2007/12/17/124615/868074/10/menkes-aksi-mafia-membuat-harga-obat-mahal, 12 Desember 2008.
“Netherlands - The Role of Competition Policy in Regulatory Reform”,
www.oecd.org/dataoecd/3/42/2497317.pdf, diakses pada 16 Desember 2008.
”Obat Generik, Harga Murah Tapi Mutu Tidak Kalah”,
http://www.medicastore.com/ obat_generik/, diakses pada 30 agustus 2008.
“Obat Generik Langka dan Mahal”, www.kompas.com/kompas-
cetak/0704/27/jatim/65739.htm, 12 Desember 2008. ”Obat Generik Terancam Hilang”, http://tribunjabar.co.id/artikelview.php?id=261
42&kategori=9, 19 Desember 2008.
”Obat untuk Siapa”, http://yugosan.blogspot.com/2008/07/obat-untuk-siapa.html, 19 Desember 2008.
”Persaingan Bisnis”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/19/eko08.html, diakses pada 10 Oktober 2008.
“Pharmacy”, http://medical.merriam-webster.com/medical/pharmacy, diakses
pada 18 Desember 2008. “Problema di Seputar Obat Generik”, http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.
cgi?newsid1110347915,99818, diakses pada 4 November 2008.
”Soal Penetapan Harga Jangan sampai Obat Langka”, http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139, 12 Desember 2008.
“Subsidi Obat Generik Rawan Korupsi”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/01
07/27/Fea02.html, diakses pada 12 Oktober 2008.
Universitas Indonesia
49Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
“Tips&Trik: Tips Mencari Khasiat Obat”, http://konservasipapua.blogspot.com/20 06/08/tips-mencari-khasiat-obat.html, diakses pada 4 November 2008.
D. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No.5 Tahun 1999. _______, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Farmasi, UU No. 7 Tahun
1963. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 tahun 1983
tentang Kebijaksanaan Obat Nasional.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 245/MENKES/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang Paket
Deregulasi Pedagang Besar Farmasi.
Universitas Indonesia
50Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
LAMPIRAN
Contoh obat generik bermerek dengan obat generik non mereknya, serta contoh logo lingkaran garis hijau pada obat generik: 1. Amoxsan (obat generik bermerek untuk Amoxicilin)
Universitas Indonesia
51Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
2. Baquinor Forte (obat generik bermerek untuk Ciprofloxacin)
Universitas Indonesia
52Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Recommended