View
249
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
RUMAH TRADISIONAL KUDUS :
PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS
(1500-1900)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh
Mujib Hardiyan Syah
NIM : 104022000809
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
RUMAH TRADISIONAL KUDUS :
PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS
(1500-1900)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh
Mujib Hardiyan Syah
NIM : 104022000809
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Agustus 2009
Mujib Hardiyan Syah
RUMAH TRADISIONAL KUDUS :
PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS
(1500-1900)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh
Mujib Hardiyan Syah
NIM : 104022000809
Pembimbing,
Drs. Imam Subchi, M.A.
NIP : 19670810 200003 1 001
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul RUMAH TRADISIONAL KUDUS : PENGARUH
BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 25 Agustus 2009. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada
Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 25 Agustus 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A. Usep Abdul Matin, S.Ag, M.A., M.A.
NIP : 19591222 199103 1 003 NIP : 150 288 304
Anggota,
Penguji, Pembimbing,
Dr. H. M. Muslih Idris, Lc., M.A. Drs. Imam Subchi, M.A.
NIP : 19520603 198603 1 001 NIP : 19670810 200003 1 001
i
ABSTRAKSI
Mujib Hardiyan Syah
Rumah Tradisional Kudus : Pengaruh Budaya Islam dalam Rumah
Tradisional Kudus (1500-1900)
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang bersifat deskriptif
analitis, yang berusaha mendiskripsikan serta menganalisa perkembangan
arsitektur rumah tradisional Kudus yang dipengaruhi oleh beragam kebudayaan,
termasuk Islam. Penelitian ini di latar belakangi oleh banyaknya rumah-rumah
maupun gedung-gedung pemerintahan yang meniru seni ukiran yang terdapat
pada ornamen-ornamen di dinding rumah tradisional Kudus atau yang biasa
disebut gebyok. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan.
Permasalahan utama yang ingin dijawab dengan adanya penelitian ini
adalah bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus dari awal hingga
perkembangan rumah tersebut saat kebudayaan Islam masuk di Kudus dan
seberapa besar pengaruh kebudayaan Islam dalam rumah tradisional Kudus.
Penulisan skripsi ini mengungkap bahwa rumah Kudus Kuno, ketika itu memiliki
atap berbentuk kampung atau biasa disebut rumah tipe payon (kampung), dan
rumah tersebut tidak memiliki hiasan ukir-ukiran. Berbeda dengan rumah Kudus
setelah masuknya Islam, yaitu melalui peranan Sunan Kudus dan Kyai Telingsing,
sehingga rumah tradisional Kudus dalam perkembangannya mengalami beberapa
perubahan yang sangat signifikan dari bentuk fisik rumahnya dan interior yang
didominasi ukiran-ukiran dari berbagai kebudayaan yang mendukung keindahan
rumah pada perkembangan selanjutnya dalam rumah tradisional Kudus.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya Islam yang terutopsi
pada ornamen rumah tradisional Kudus tampil menyerap, mengakomodasi, atau
mengadaptasi unsur-unsur kesenian yang telah ada sebelumnya, dan lebih
mementingkan isi atau misi yang terkandung di dalamnya. Sehingga kebudayaan
Asli, Hindu Jawa, Cina dan Islam, dimana kesemuanya dengan apik mengalami
sinkretisasi yang ditampilkan dalam bentuk ornamen-ornamen.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta karunia-Nya. Shalawat serta salam
senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW, yang telah
membawa manusia melewati alam kegelapan menuju kemenangan. Semoga kita
mendapatkan syafaat dari beliau pada hari akhir nanti. Amin.
Banyak sekali cobaan serta rintangan yang penulis hadapi dalam
menyusun Tugas Akhir / Skripsi ini. Meski demikian berkat dorongan dan
bantuan dari berbagai pihak, akhirnya tanpa disadari penulis dapat menyelesaikan
Tugas Akhir / Skripsi tersebut dengan baik. Suatu kebahagiaan dan penghargaan
bagi diri penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir / Skripsi yang begitu berat
untuk dijalankan dengan kemampuan yang terbatas dan tanpa bantuan Allah SWT
penulis tidak akan dapat menyelesaikan Tugas Akhir / Skripsi ini.
Skripsi ini membahas mengenai ”Rumah Tradisional Kudus :
Pengaruh Budaya Islam dalam Rumah Tradisional Kudus (1500-1900)”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana
Humaniora, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini banyak bantuan yang diterima penulis, dan
kiranya penulis dapat mengucapkan terima kasih kepada :
iii
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat sebagai Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, atas pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Desertasi) dalam buku Pedoman Akademik 2007-2008
yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. H. Abdul Chair, MA sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas persetujuan
yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diajukan dalam sidang
munaqasyah.
3. Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA sebagai Ketua Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
atas persetujuan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diajukan
dalam sidang munaqasyah.
4. Drs. Imam Subchi, MA sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis.
Terima kasih banyak bapak atas bimbingan skripsinya yang tiada henti
memberikan saran-sarannya sehingga skripsi ini dapat diterima dan
diajukan dalam sidang munaqasyah.
5. Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, MA sebagai Dosen Penguji Skripsi penulis.
Terima kasih atas beberapa saran-saran yang telah diberikan dalam
perbaikan skripsi ini semoga nantinya skripsi ini dapat menjadi
sumbangsih ilmu di kemudian hari.
6. Drs. Saidun Derani, MA sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis,
atas bimbingan akademik yang telah bapak berikan kepada penulis selama
ini.
iv
7. Ayahanda Muhadzab, Ibunda Umroh, dan adikku Milcham Chairun Syah.
Terima kasih atas doa-doanya yang tiada henti-hentinya selalu ditujukan
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai, serta dukungan moral
dan materi yang telah diberikan sehingga sangat membantu penulis dalam
menyelesaikan studinya untuk memperoleh gelar Sarjana.
8. Saudara-saudaraku yang selalu mendukungku : Pakdhe, Budhe, Paklik,
Bulik, Mba’ Mila, Mba’ Iyuz, Mas Rizal, dan Bayu, atas dukungan moral
dan materi yang telah diberikan oleh kalian. Terima kasih.
9. Temanku semua angkatan ’04, yang bersama-sama selama 5 tahun ini :
Adit, Inul, Anita, Pandu, Thya, Fatimah, Indah, Udin, Mantik, Maria,
Kang. Hamdi, Revi, Qiqin, Murni, Endah, Aini, Nurhasanah, Sai’dah, Siti,
Marni, UIN, Ujang, Ochol, dan Yulia.
10. Teman-temanku yang lebih dulu lulus : Juni, Joy, Fahmi, dan Sinyo.
Sukses untuk kalian.
11. Anak-anak The LaFFy : Dedi (buded), Haikal (ical), dan Aziz (chobby).
Terima kasih banyak atas semangatnya, and we will rock together.
12. Teman-teman dari Unicore. Terima kasih atas semangat dan
kebersamaannya.
13. Temanku yang ada di Kudus sana : Fariz dan Nina. Terima kasih banyak
atas semangatnya, dan beberapa bantuan yang telah kalian berikan, nanti
aku datang lagi.
v
Akhirnya atas doa restu semuanya, skripsi ini dapat penulis selesaikan.
Penulis sangat mengharap saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.
Jakarta, 11 September 2009
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah….…...……........................................................... 4
C. Lingkup Permasalahan....................................................................... 4
D. Tujuan Penelitian................................................................................ 8
E. Tinjauan Penelitian Terdahulu........................................................... 9
F. Landasan Teori................................................................................... 10
G. Metode Penelitian.............................................................................. 16
H. Sistematika Penulisan......................................................................... 17
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA KUDUS.............................................. 19
A. Letak Geografis Kota Kudus.......................................................... 19
B. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat Kudus............................. 24
C. Kehidupan Religi Masyarakat Kudus............................................. 33
vii
BAB III RUMAH TRADISIONAL KUDUS SEBELUM MASUKNYA
ISLAM DI KUDUS............................................................................ 40
A. Tinjauan Sejarah............................................................................. 40
B. Bentuk Rumah Tipe Kampung........................................................ 46
1. Kampung Pacul Gowang........................................................... 47
2. Kampung Srotong...................................................................... 47
3. Kampung Dara Gepak…........................................................... 47
4. Kampung Klabang Nyander...................................................... 48
5. Kampung Lambang Teplok....................................................... 48
6. Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu............................ 48
7. Kampung Gajah Njerum............................................................ 49
8. Kampung Cere Gencet…........................................................... 49
9. Kampung Semar Pinondhong.................................................... 49
10. Kampung Gotong Mayit............................................................ 50
11. Kampung Apitan……............................................................... 50
12. Kampung Gajah Ngombe.......................................................... 50
13. Kampung Trajumas……........................................................... 50
C. Susunan Ruangan Rumah Tipe Kampung...................................... 51
D. Fungsi Tiap-Tiap Ruangan Rumah Tipe Kampung........................ 54
viii
BAB IV RUMAH TRADISIONAL KUDUS SETELAH
BERKEMBANGNYA ISLAM DI KUDUS.................................... 59
A. Tinjauan Sejarah............................................................................. 59
B. Bentuk Fisik Bangunan Induk........................................................ 63
1. Jagasatru.................................................................................... 65
2. Senthong.................................................................................... 67
3. Pawon......................….............................................................. 70
C. Komponen Pendukung Bangunan Pada Setiap Bagian Rumah...... 72
1. Lantai…..................................................................................... 72
2. Langit-Langit / Ceiling.............................................................. 73
3. Dinding......................…............................................................ 73
4. Pintu........................................................................................... 73
5. Jendela....................................................................................... 74
6. Tiang.......................................................................................... 74
D. Ragam Hias..................................................................................... 78
E. Tinjauan Unsur-Unsur Budaya Islam.............................................. 81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 89
A. Kesimpulan ....................................................................................... 89
B. Saran-saran..........................................................................................91
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................93
LAMPIRAN........................................................................................................99
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lokasi Kota Kudus dalam Peta Jawa Tengah.............................................. 99
2. Peta Kota Kudus.......................................................................................... 100
3. Denah Rumah Bentuk Kampung................................................................. 101
4. Bentuk Dasar Rumah Kudus....................................................................... 103
5. Struktur Konstruksi Bangunan Rumah Kudus............................................ 104
6. Denah Rumah Kudus Tampak Atas............................................................ 105
7. Denah Rumah Kudus Tampak Muka dan Tampak Samping Kanan........... 106
8. Rumah Kudus Milik Warga di sekitar Masjid Menara Kudus (1)............... 107
9. Rumah Kudus Milik Warga di sekitar Masjid Menara Kudus (2)............... 107
10. Jalan Berupa Lorong-Lorong Sempit di antara Rumah-Rumah Warga.........108
11. Ornamen Ukiran pada Pintu Sorong Kere................................................... 108
12. Ruang Jogosatru........................................................................................... 109
13. Ornamen Ukiran pada Ruang Jogosatru...................................................... 109 14. Ornamen Ukiran Nanas pada Dodo Peksi dalam Ruang Jogosatru............ 110
15. Ornamen Ukiran pada Konsol..................................................................... 110 16. Foto Soko Geder, Simbol Keesaan Allah.................................................... 111
17. Motif Masjid dengan Hias Sulur-Suluran Berpangkal pada Jambangan..... 111 18. Ornamen Ukiran pada Pintu Sentong.......................................................... 112
19. Ornamen Ukiran Pada Tiang Pintu Ruang Gedongan................................. 112
x
MOTTO
Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah pertama
Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-
orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan
Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran
yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang
mendahulukan istirahat sebelum lelah
Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan pula lihat masa depan
dengan ketakutan, namun lihatlah sekitar dengan penuh kesadaran
Setiap pengalaman mestilah dimasukkan ke dalam kehidupan, guna
memperkaya kehidupan itu sendiri. Karena tiada kata akhir untuk belajar
seperti juga tiada kata akhir untuk kehidupan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rumah adalah tempat dimana manusia tinggal untuk berteduh dari
hujan, terpaan sinar matahari, dan berlindung dari marabahaya. Keberadaan
rumah terus berkembang seiring dengan perubahan zaman baik dari segi
bentuk, fungsi, maupun maknanya. Rumah akan terlihat biasa saja apabila
tidak memiliki unsur kebudayaan di dalamnya, maka dibutuhkanlah arsitektur
rumah untuk memperindah rumah tersebut. Kehadiran arsitektur rumah
senantiasa bersifat “cultural-spesific”. Hal tersebut memberikan arti bahwa
kebudayaan merupakan variabel yang berpengaruh didalamnya.1
Warga masyarakat Kudus, adalah sekelompok orang-orang Jawa yang
bermukim di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Sebagai masyarakat
pesisiran, secara historis mereka dikenal sebagai masyarakat yang bersifat
religius, artinya di setiap sendi-sendi kehidupan sebagian besar warga
masyarakat yang bersangkutan sangat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan
dan sistem nilai sebagaimana yang diajarkan oleh agama yang mereka peluk,
yaitu agama Islam.2
Rumah tradisional Kudus, yang berdasarkan kajian historis-arkeologis,
telah berhasil diketemukan pada abad ke-16 M, yang dibangun dengan bahan
baku 95 % berupa kayu jati (Tectona Grandis) berkualitas tinggi dengan
1 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2,
Universitas Indonesia, 1992), h. 8. 2 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), h. 26.
2
teknologi pemasangan system “knock-down” (bongkar pasang tanpa paku).
Rumah adat Kudus merupakan salah satu rumah tradisional yang terjadi akibat
endapan suatu evolusi kebudayaan manusia, dan terbentuk karena
perkembangan daya cipta masyarakat pendukungnya.3
Rumah tradisional Kudus yang sebagian besar dibangun sebelum tahun
1810 M, pernah mengalami masa kejayaannya dan menjadi simbol
kemewahan bagi pemiliknya pada waktu itu. Lingkungan wilayah Kudus
Kulon terbentuk dengan ciri keberadaan rumah adat tradisional Kudus
tersebut.
Pada kenyataannya, sejarah perkembangan Kudus banyak dipengaruhi
oleh kebudayaan asing seperti Hindu, Cina, Persia, dan Eropa yang masuk ke
kawasan Kudus dalam waktu yang cukup lama. Kebudayaan-kebudayaan
asing tersebut juga memengaruhi bidang arsitektur pembuatan rumah adat di
daerah Kudus. Seni ukir Kudus banyak didominasi oleh bunga teratai untuk
memaknai agama Hindu. Sunan Kudus memperkenalkan seni ukir yang
didominasi oleh bunga melati yang satu sama lain saling berhubungan.4
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, secara fisik
ternyata wilayah Kudus Kulon yang mayoritas penduduknya merupakan para
pengusaha dan pedagang tampak lebih maju jika dibandingkan dengan Kudus
Wetan. Dengan peningkatan dalam segi finansial, mereka membangun rumah-
3 Kab. Kudus, “Rumah Adat Kudus”, artikel diakses pada 20 April 2008 dari
http://www.indonesia.go.id/id 4 J. Pamudji Suptandar, “Seni ukir dan Ornamen dalam Rumah Adat Kudus”,
artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.gebyokcenter.com
3
rumah tinggal yang penuh dengan ukiran-ukiran yang membedakannya
dengan rumah-rumah adat sebelumnya.
Model ukiran rumah adat Kudus agak berbeda dari model tempat para
pengukir terkenal yang lain di Jawa yaitu Jepara. Menurut sejarah, di Kudus
dahulunya merupakan pusat pengrajin seni ukir, sebelum dikembangkan di
Jepara. Seni ukir diperkenalkan oleh imigrasi asal Yunan, The Ling Sing,
sekitar abad ke-15.5
Oleh masyarakat Islam setempat, Kyai Telingsing ini tidak hanya
dikeramatkan kuburannya tetapi juga dilestarikan ajarannya. Salah satu ajaran
Mbah Sing (sebutan Kyai Telingsing) yang masih hidup dalam tradisi
masyarakat setempat yaitu “solat sacolo saloho dongo sampurno”, yang
berarti solat sebagai doa yang sempurna. Dan “lenggahing panggenan
tersetihing ngaji”, yang berarti menempatkan diri pada sesuatu yang benar,
suci dan terpuji.
Mengingat keunikan rumah adat tradisional Kudus yang menggunakan
karya seni ukir-ukiran oleh masyarakat yang menjadikannya berbeda dengan
rumah adat lainnya, khususnya rumah Joglo di daerah Jawa, maka penulis
tertarik untuk meneliti rumah tinggal tradisional masyarakat Kudus dengan
judul “RUMAH TRADISIONAL KUDUS : PENGARUH BUDAYA ISLAM
DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)”.
5
Dia datang untuk menyebarkan agama Islam, kemudian disebut sebagai Kiai
Telingsing. Selain itu, juga membagikan ilmunya untuk mengukir kayu dengan gaya Sun
Ging atau biasa disebut Sungging sebagai sebuah mahakarya ukiran kayu karena
kehalusan dan keindahannya.
4
B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dan efektifnya penulisan ini, maka berdasarkan
penjelasan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, penulis hanya
membatasi permasalahan yang akan dibahas, yakni tentang pengaruh budaya
Islam dalam pembuatan rumah tinggal tradisional di daerah Kudus.
Bertitik tolak dari persoalan-persoalan di muka, maka penulis merasa
perlu merumuskan permasalahan utama yang akan membawa pada dampak dan
pengaruh rumah tradisional di masyarakat. Diantaranya yaitu :
1. Bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus sebelum masuknya
Islam di Kudus ?
2. Bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus setelah
berkembangnya Islam di Kudus ?
3. Bagian-bagian mana saja yang terdapat unsur-unsur budaya Islamnya ?
C. Lingkup Permasalahan
Awal mula kemunculan rumah tinggal tradisional Kudus dengan
kekayaan ragam hias ukirannya dilatarbelakangi oleh meningkatnya taraf hidup
masyarakat. Dalam laporan penelitian yang berjudul “Mencari Korelasi Antara
Masjid Dengan Rumah Tinggal Tradisional Kudus, Jawa Tengah : Dengan
Pendekatan Historis dan Deskriptif”, Ashadi menyimpulkan bahwa terdapat
benang merah antara tingkat taraf hidup masyarakat dengan banyak dan
sedikitnya atau kaya dan miskinnya ragam hias ukiran pada rumah tinggal
tradisional. Sehingga ada dua faktor utama yang berkaitan erat dengan
5
keberadaan rumah tinggal tradisional Kudus, yaitu peningkatan pendapatan
masyarakat dan ragam hias ukiran. Dengan demikian untuk mengetahui sejarah
rumah tinggal tradisional Kudus, mau tidak mau, harus mengetahui sejarah
perkembangan masyarakat Kudus dan ragam hias ukiran itu sendiri.
Nama kota Kudus yang pada awalnya Tajug yang oleh Sunan Kudus
dibuat “resmi” sebagai kota suci yang kemudian berkembang sebagai pusat
keagamaan di daerah pesisir. Sunan Kudus hidup pada masa pemerintahan
Raden Patah di Demak yaitu pada tahun 1462-1518 M, dan diduga Sunan
Kudus wafat antara tahun 1518 atau 1550. Kemungkinan sebelum tahun-tahun
tersebut Sunan Kudus telah menempati wilayah Kudus. Pada tahun 1543 M,
dia menerima dan sekaligus mengislamkan seorang Cina yang kapalnya
terdampar di daerah Jepara, yang kemudian menetap di Kalinyamat di Jepara
bagian Selatan bersama istrinya, salah seorang putri Trenggana, dan tentu saja
orang Cina tersebut tidak sendirian. Tetapi orang-orang asing terutama orang-
orang Cina sudah berada di kota-kota pesisir pantai utara pulau Jawa beberapa
tahun sebelum itu. Menurut Ashadi, kemungkinan, kota Kudus itu mulai
mengalami kemunduran secara drastis pada tahun 1588 M, saat kekuasaan
Islam berpindah ke Mataram. Walaupun pada tahun 1605 M, Kudus masih
dianggap sebagai kota “santri” oleh raja Mataram, namun sudah tidak
mempunyai kekuasaan apa-apa. Masyarakat pertama yang bersama-sama
Sunan Kudus membangun kota Kudus, hidup dengan bertani dan berladang,
dan sesekali menjual hasilnya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan daerah-
daerah lain di pulau Jawa. Dikaruniai tanah yang subur, berupa endapan
6
lumpur, menjadikan Kudus dan daerah-daerah di bagian utara Jawa Tengah
lainnya pernah mengalami surplus padi, yaitu pada zaman kerajaan Mataram
Islam yang berpusat di pedalaman (abad ke-17 M). Namun daerah-daerah ini
juga pernah mengalami masa-masa paceklik, kekurangan makanan, dan timbul
banyak penyakit. Oleh Hartingh, pada abad ke-18 M, Kudus disebutnya
sebagai “kota mati”. Sebagaimana kondisi sosial masyarakat Jawa lainnya pada
waktu itu yang kebanyakan bertani, dalam membangun rumah kemungkinan
besar tidak berbeda, yaitu berbentuk rumah yang paling sederhana; bentuk
kampung. Tipe rumah inilah yang mula-mula menempati wilayah yang
dinamakan Kauman, disekitar masjid Menara Kudus; sebab pusat kota Kudus
Kuno diyakini terletak diantara kompleks bangunan masjid kuno dengan
sebuah menara bergaya candi sekarang berada. Prinsip hidup masyarakat Jawa
pada umumnya yang “sekedar bisa hidup” atau “sekedar untuk hidup”,
merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan taraf hidupnya.
Pada akhir abad ke-19 M, bertepatan dengan dibangunnya kota Kudus
modern (Kudus Wetan), masyarakat Kudus Kulon mulai menapak naik taraf
kehidupannya. Walaupun pada saat itu kota Kudus mulai berkembang menjadi
kota industri yang menyedot pekerja-pekerja buruh (kebanyakan perempuan)
dari Kudus dan daerah sekitarnya, dan di Kudus juga terdapat industri
percetakan dan pertenunan batik maupun kain songket adalah sebagai indikasi
bahwa kota Kudus sudah hidup kembali dan mulai menggeliat untuk berusaha
berdiri tegak. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa tercapainya kemakmuran
masyarakat Kudus Kulon justru bermula dari rokok kretek.
7
Di Kudus Kulon secara menyebar, rapat dan padat, di daerah sekitar
masjid kuno Menara Kudus, terdapat rumah-rumah tradisional yang
“spektakuler” karena hampir di seluruh bagian rumah kayu dipenuhi dengan
ukiran. Dengan latar belakang yang berbeda dengan rumah tradisional Jawa
lainnya, rumah tinggal tradisional Kudus telah tampil dengan sosoknya yang
unik dan khas. Di dunia ini, hal-hal yang spektakuler biasanya tidak berumur
panjang, sebab apa yang pernah diciptakan akan sulit untuk diulang kembali.
Begitu pula dengan rumah tradisional Kudus, yang semakin lama semakin
berkurang jumlahnya.6 Rupanya masyarakat Kudus tidak berhasil mengulang
atau setidak-tidaknya mempertahankan dan melanjutkan sukses yang telah
dirintis pendahulunya. Pelimpahan warisan arsitektur rumah tradisional yang
terjadi pada masyarakat Kudus Kulon adalah sekedar pemberian atau hibah
nyata sosok bangunan yang sudah ada oleh orang tua sebagai kreator kepada
anak keturunannya. Jadi, generasi penerus tidak menghasilkan karya arsitektur
baru. Dengan kata lain bahwa rumah tradisional Kudus di bangun oleh dua atau
tiga generasi dan tidak diikuti oleh generasi berikutnya.
Kelengkapan ukiran dan bentuk rumah tinggal tradisional Kudus
tergantung kepada tingkatan kemampuan ekonomi pemiliknya, strata sosial
ekonomi menengah ke atas atau menengah ke bawah. Berdasarkan
kelengkapan ukirannya, rumah tinggal tradisional Kudus digolongkan ke dalam
6 Menurut data yang dikeluarkan oleh Pemda setempat pada tahun 1983, jumlah rumah
tradisional Kudus adalah 203 buah terdiri dari 62 rumah kaya ukiran dan 141 rumah miskin ukiran.
Pada tahun 1984 jumlahnya menyusut menjadi 169 buah terdiri dari 54 rumah kaya ukiran dan 115 rumah miskin ukiran (Ria Rosalia Wikantari, “Safeguarding A Living Heritage, A Model for the
Architecture Conservation of an Historic Islamic Distric of Kudus, Indonesia”, (Tesis S2,
University of Tasmania, 1994), h. 85), dikarenakan masalah-masalah hak waris telah
menyebabkan rumah tradisional Kudus terpaksa harus dijual kepada pihak lain.
8
rumah tinggal tradisional kaya ukiran dan miskin ukiran. Sedangkan bentuk
rumah tradisional Kudus dapat dibedakan menjadi empat golongan atau tipe,
yaitu tipe payon atau kampung, limasan, dara gepak (kombinasi antara tipe
kampung dan limasan), dan joglo. Berdasarkan pola tapaknya, rumah tinggal
tradisional Kudus dapat dibedakan menjadi tiga golongan atau tipe, yaitu tipe
tunggal tertutup, tunggal terbuka, dan berderet.7
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari pada penulisan ini sebagaimana telah disebutkan di atas,
bahwa rumah adat mempunyai peranan kehidupan sosial dan agama di
masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Untuk dapat mengetahui gambaran umum rumah tradisional Kudus
sebelum masuknya Islam di Kudus seutuhnya.
2. Untuk dapat mengetahui gambaran umum rumah tradisional Kudus setelah
berkembangnya Islam di Kudus seutuhnya.
3. Untuk dapat mengetahui bagian-bagian mana saja yang terdapat unsur-
unsur budaya Islamnya.
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :
1. Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana
Humaniora, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7 Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional
di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan Penelitian
Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 97.
9
2. Untuk memberikan informasi mengenai kegunaan rumah selain sebagai
karya seni dan lambang martabat namun juga sebagai sarana berdakwah
baik dari segi sosial, maupun agama.
3. Untuk menambah khazanah hasil karya ilmiah di bidang sejarah Islam
khususnya kebudayaan di Indonesia. Dengan demikian penulisan ini
diharapkan dapat melengkapi dan bisa digunakan untuk memahami fungsi
rumah adat tradisional sebagaimana mestinya.
E. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Permasalah rumah adat pernah dikaji oleh Ashadi dalam tulisannya
yaitu, “Mencari Korelasi Antara Masjid Dengan Rumah Tinggal Tradisional
Kudus, Jawa Tengah : Dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif : Laporan
Penelitian”, yang dititikberatkan oleh Ashadi adalah hubungan arsitektur
masjid dengan rumah tinggal masyarakat Kudus, sehingga terdapat dua
persoalan pokok yang dijelaskan, dari hal tersebut dapat diketahui bahwa
rumah Kudus juga dipengaruhi oleh budaya Islam seperti halnya masjid.
Maka penulis tertarik untuk mengkhususkan pada pengaruh Islam
dalam pembuatan rumah adat baik dari maknanya, jenis kebudayaan Islam
terutama seni ukiran, maupun fungsinya, yang berada di daerah Kudus.
Nantinya penulis tetap merujuk kepada penulis tersebut untuk mendapatkan
sumber pendukung penelitian.
10
F. Landasan Teori
Dalam setiap penulisan dibutuhkan landasan teori sebagai landasan
berpikir agar penulis mampu memaksimalkan segala daya upaya dalam
penelitiannya dengan sebuah teori. Serta mempermudah penulis dalam
melakukan upaya pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau.8
Khusus dalam penulisan ini, penulis menggunakan beberapa teori.
Menurut Ashadi untuk membahas mengenai rumah tinggal tradisional Kudus
harus mengetahui beberapa hal, yaitu arsitektur tradisional, arsitektur
tradisional Jawa Tengah, beberapa ragam hias tradisional, dan ornamentasi
dalam seni Islam.
1. Arsitektur Tradisional
Arsitektur tradisional adalah kebudayaan yang telah dan pernah
melembaga dengan mantap dalam lingkungan budaya tersebut. Arsitektur
tradisional juga mengandung pengetahuan yang sangat mendalam dan luas
tentang tata ruang dan waktu bagi kehidupan manusia di dunia dan di
akhirat.
Ada beberapa landasan dasar arsitektur tradisional,9 yaitu :
a. Kawruh, merupakan ilmu yang memiliki berbagai dasar-dasar filsafat,
ekologi, teknologi, estetik, tata laksana, tata ritual, sosiologi, dan
sebagainya secara lengkap dan menyeluruh serta terperinci. Merupakan
sarana untuk membentuk dan mengembangkan individu dan
masyarakat dalam “kawruh hidup”.
8 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos, 1999), h. 25.
9 Eko Budiharjo, Arsitektur Sebagai Warisan Budaya (Jakarta : Djambatan, 1997), h.
171-172.
11
b. Dharma (Mission), menciptakan wadah hidup bagi kehidupan manusia
yang bulat utuh, selamat sejahtera di dunia dan di akhirat. Memapankan
diri manusia dalam dirinya, keluarga, masyarakat, lingkungan, alam,
dan Tuhan.
c. Tertib Laksana, mengukuhkan manusia sebagai subyek. Pengukuhan
terhadap dirinya, keluarga, masyarakat, alam semesta, dan Tuhan, yang
disertai dengan tanggung jawab di dunia dan di akhirat. Menggugah
dan melatih kemandirian; membangkitkan dan meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.
2. Arsitektur Tradisional Jawa Tengah
Rumah tradisional Kudus, yang berada di wilayah Jawa Tengah,
sehingga pada dasarnya kebudayaan arsitektur rumah tradisional Kudus
mengikuti rumah tradisional Jawa umumnya. Pada prinsipnya arsitektur
rumah tinggal tradisional Jawa dapat dikelompokkan menjadi lima tipe
yaitu : Panggang-Pe, Kampung, Tajug atau Masjid, Limasan, dan Joglo.10
Rumah tipe Panggang-Pe sebenarnya tidak ada di dalam naskah-naskah
lama kesusastraan Jawa pra-abad ke-XX M, namun demikian tipe ini bisa
ditemukan dalam relief percandian Jawa Tengah yang hadir sebelum abad
ke-X M.11
10
R. Ismunandar K, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3th
ed. (Semarang :
Dahara Prize, 1990), h. 91-160, dan Soegeng Reksodiharjo. Dkk, “Arsitektur Tradisional daerah
Jawa Tengah”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah (T.tp. : T.pn., 1982), h. 43-88, dan Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan
Permuseuman DKI Jakarta (T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.), h. 14-60. 11 Josef Prijotomo, Petungan : Sistem Ukiran Dalam Arsitektur Jawa (Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, 1995), h. 9-10.
12
a. Rumah tipe Panggang-Pe
Rumah dengan tipe Panggang-Pe adalah bentuk yang paling
sederhana; biasanya memiliki denah persegi panjang dengan 4, 6, atau 8
tiang, beratap satu bidang. Panggang-Pe berarti dijemur di bawah terik
matahari. Dahulu bangunan tipe ini sebagai tempat menjemur barang-
barang seperti teh, pati, ketela pohon dan lain-lain.
b. Rumah tipe Kampung
Rumah bentuk kampung paling banyak dijumpai di lingkungan
masyarakat desa; pada dasarnya mempunyai denah empat persegi
panjang, bertiang empat yang mendukung dua buah atap yang
keduanya berbentuk empat persegi panjang, di bagian samping atas
ditempatkan tutup keong (siput).
c. Rumah tipe Tajug
Rumah bentuk Tajug biasanya banyak dijumpai pada bangunan-
bangunan suci, misalnya masjid dan makam. Rumah tipe ini memiliki
denah bujur sangkar, bertiang empat dan memiliki empat bidang atap
yang bertemu di satu titik puncak.
d. Rumah tipe Limasan
Jika rumah tipe Panggang-Pe dan Kampung adalah rumah
tempat tinggal bagi masyarakat miskin, kurang mampu, maka bentuk
atau tipe Limasan pada umumnya untuk kalangan atau golongan
menengah. Rumah bentuk Limasan pada dasarnya memiliki denah segi
empat, dengan empat, enam, delapan buah tiang atau lebih; atapnya
13
terdiri atas empat sisi, sehingga memiliki kerangka dudur sebanyak
empat buah yang membentuk wuwungan (bubungan) molo dan dudur.
e. Rumah tipe Joglo
Pada dasarnya rumah bentuk Joglo mempunyai denah bujur
sangkar; pada mulanya memiliki empat tiang yang dinamakan soko
guru. Pada perkembangan selanjutnya ada penambahan di bagian-
bagian sampingnya, sehingga bentuk denah dan jumlah tiang pun
disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Ragam Hias Tradisional
Ragam hias tradisional adalah semua bentuk dekorasi atau ornamen
yang difungsikan untuk memperindah suatu bangunan, baik bangunan
tempat ibadah, tempat berkumpul (bermusyawarah) maupun tempat
tinggal, baik dalam bentuk seni pahat (bentuk tiga dimensi), seni ukir
(bentuk dua dimensi), seni lukis maupun seni anyaman, yang diwariskan
secara turun temurun.
Adanya unsur ragam hias pada bangunan-bangunan tempat ibadah
dan tempat tinggal selain memberikan nilai artistik juga nilai religi. Nilai
artistik diperlihatkan pada wujudnya atau motifnya, sedangkan nilai religi
lebih diketahui dari filosofi yang terkandung dalam motif-motifnya. Untuk
memahami filosofi dari satu macam motif diperlukan keahlian tersendiri,
tidak sembarang orang bisa melakukannya, bahkan kadang-kadang seorang
seniman dalam mengekspresikan satu jenis motif ragam hias pada karyanya
tidak mengetahui makna atau filosofinya.
14
Untuk bisa mengungkap dan memahami sebuah ragam hias, kita
tidak bisa lari dari masa lalu, masa dimana jenis motif ragam hias tersebut
dibuat, dengan juga menyelami alam pikiran, dan adat istiadat masyarakat
pada masa itu yang mungkin tercermin pada ekspresi bentuk atau motif
ragam hiasnya.
Motif ragam hias tradisional ada banyak jenisnya, namun bisa
dikelompokkan ke dalam enam macam yaitu, motif Geometri, Fauna,
Flora, Manusia, Alam, dan Agama atau Kepercayaan. Khususnya motif
Fauna, Flora, dan Manusia, setelah agama Islam masuk mempengaruhi
kepercayaan masyarakat Jawa, motif-motifnya diciptakan sedemikian rupa
sehingga larangan menggambarkan sesuatu makhluk hidup bisa
diakomodir. Motif flora masih memungkinkan mewujudkan dalam bentuk
naturalis, sedangkan motif fauna dan manusia dilakukan dengan proses
stilasi.
4. Ornamen dalam Seni Islam
Kesenian adalah salah satu aspek kebudayaan, dan kebudayaan
adalah hasil karya manusia dengan mengoptimalkan akal budinya.
Sedangkan komponen dasar Islam adalah agama dan kebudayaan; dua hal
yang sangat berlainan pemahamannya. Seni Islam adalah bagian dari
kebudayaan Islam; bukan bagian dari agama Islam. Meskipun kesenian
tidak berhubungan dengan agama, namun karena kebudayaan Islam itu
takluk dan dikendalikan dikendalikan oleh agama, maka kesenian Islam
15
juga takluk dan dikendalikan oleh agama.12
Roh Tauhid (Ke Esaan Tuhan)
adalah merupakan tenaga penggerak dalam mencipta segala macam
ornamen, sehingga dalam perbedaan bentuk seni Islam di seluruh dunia
Islam akan nyata terlihat norma-norma persamaan yang mengikatnya. Seni
Islam memiliki tujuan dan sasaran yang tidak jauh berbeda dengan apa
yang ada di dalam Al-Qur’an yaitu mengajarkan dan menguatkan ke dalam
diri umat manusia persepsi akan sifat-sifat Ketuhanan yang tidak
terjangkau (divine transcendence).
Ada 6 karakteristik ekspresi estetika Tauhid, yaitu :13
a. Abstraction, pola-pola tak berakhir atau tak terbatas yang mula-mula
adalah dalam bentuk abstrak. Apabila terpaksa harus menghadirkan
figur-figur alam, maka mereka harus ditundukkan ke dalam teknik
denaturalization and stylization.
b. Modular Structure, karya seni Islam tersusun atas bagian-bagian atau
modul-modul yang dikombinasikan untuk menghasikan desain yang
lebih besar.
c. Successive Combinations, pola-pola tak terbatas dari pendengaran,
penglihatan, dan gerakan memberi bukti adanya kombinasi yang
berturutan dari modul dasar atau pengulangan mereka.
12
Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan Seni Budaya Karya
Manusia (Jakarta : Alhusna, 1988), h. 104-106. 13 Ismail R. Al Faruqi dan Lois Lamya Al Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York
: Macmillan Publishing Company, 1986), h. 165-168.
16
d. Repetition, kombinasi tambahan dalam seni Islam menggunakan
pengulangan motif dari modul struktur dan dari kombinasi berturutan
mereka.
e. Dynamism, disain Islam adalah dinamis, yaitu sebuah desain yang pasti
berpengalaman melewati zaman. Karya seni Islam dipahami secara
berturut-turut dan komulatif.
f. Intricacy, keruwetan mempertinggi kecakapan dan kemampuan
berbagai pola untuk menangkap perhatian pengamat dan memperkuat
konsentrasi pada structural entities yang dipresentasikan.
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian14
sejarah
dalam menguraikan penulisan ini yang dilihat dari segi sosial dan agama.
Penulisan ini berlangsung melalui beberapa tahapan-tahapan.
Penulis berusaha mencari dan mengumpulkan bahan-bahan atau data
berjenis data primer dan sekunder yang berbentuk teks dan buku-buku yang
berasal dari Perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Perpustakaan Pusat
UI, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI, dan Perpustakaan Nasional
Jakarta, maupun hasil observasi langsung dengan menampilkan beberapa
gambar obyek rumah adat, yang berkaitan dengan judul, atau proses mencari
untuk menemukan sumber-sumber sejarah yang relevan.
14 Louis Gottschalk. Penerjemah : Nugroho Notosusanto, Mengerti sejarah :
Pengantar Metode Sejarah (Jakarta : Yayasan Penerbit UI, 1975).
17
Setelah semua sumber terkumpul, lalu penulis menguji sumber-sumber
yang telah diperoleh untuk menelusuri kevalidan dan informasi dari sekian
sumber tertulis yang ada. Kemudian menginterpretasikan sumber-sumber yang
telah diuji ke dalam keseluruhan ungkapan yang logis.15 Dan yang terakhir
adalah penulisan sejarah dengan memperhatikan aspek kronologis. Teknik
penulisan pada skripsi ini merujuk pada buku : pedoman penulisan skripsi,
tesis dan desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cetakan kedua terbitan
tahun 2002, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi)
dalam buku Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007-2008,
dan buku-buku lain yang berhubungan dengan metodologi penelitian.
Adapun metode penulisan ini bersifat deskriptif analitis, dengan
menggunakan pendekatan historis-arkeologis, di mana sumber dan faktor yang
tercerai-berai dianalisa, berhubung yang dikaji adalah sebuah rumah adat
tradisional maka bentuk umum rumah akan dijelaskan secara deskriptif.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran dan memudahkan pembahasan terhadap
penulisan ini, penulis membagi ke dalam lima bab, dengan sistematika sebagai
berikut.
Bab I, Pendahuluan, yaitu membahas secara global pembahasan yang
tercakup dalam penulisan ini yang meliputi : alasan pemilihan judul,
15
Anton Baker, Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1990).
18
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian serta
diakhiri dengan sistematika penyusunan.
Bab II, Membahas tentang gambaran umum kota Kudus, baik dari segi
letak geografisnya, keadaan sosial dan budaya masyarakat di sana, maupun
kehidupan religi masyarakat Kudus.
Bab III, Membahas tentang lingkup rumah tradisional yang meliputi :
tinjauan sejarah rumah adat Kudus pada saat sebelum masuknya Islam, bentuk
rumah tipe kampung, susunan ruangan rumah tipe kampung, dan fungsi tiap-
tiap ruangan rumah tipe kampung.
Bab IV, Merupakan bab yang paling esensi dari semua bab yang
dijelaskan dalam penulisan ini, yang membahas tentang tinjauan sejarah
rumah adat Kudus pada saat setelah masuknya Islam, bentuk fisik bangunan
rumah Kudus, komponen pendukung bangunan, tinjauan ragam hias, dan
tinjauan unsur-unsur budaya Islam.
Bab V, Sebagai penutup, penulis memberikan kesimpulan maupun
saran-saran dari skripsi ini.
19
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA KUDUS
A. Letak Geografis Kota Kudus
Kudus merupakan sebuah kota di Propinsi Jawa Tengah yang terletak
diantara daerah-daerah Jepara, Demak, Pati, dan Purwodadi. Menurut cerita,
nama Kudus berasal dari kata Al-Quds, yang berarti kesucian.16 Adalah lidah
Jawa yang memuntir istilah Arab Al-Quds yang berarti Baitul Makdis menjadi
Kudus. Kota tersebut sebelumnya memang bukan Kudus, melainkan Tajug.17
Ketika masih bernama Tajug, tempat tersebut di dalam buku De Graaf dan
Pigeaud disebut-sebut “digarap” oleh seorang Tionghoa Muslim bernama The
Ling Sing, yang kemudian disebut Mbah Telingsing. Ada pula nama lain dari
kota Kudus bahwa awalnya bernama Loaram. Menurut Solichin Salam,
Loaram, berasal dari nama sebuah pohon Lo’ (sejenis biji kluwing). Yang
nantinya menjadi nama desa di sekitar tiga kilometer tenggara kota Kudus
yang sekarang menjadi sebuah nama desa yaitu desa Loram atau Ngloram.18
Kudus adalah nama suatu kota yang terletak di pantai utara timur Jawa
Tengah, yaitu di antara (Semarang-Surabaya). Kabupaten Kudus, adalah
sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Kota Kudus,
16 De Graaf, H.J, Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta
: Pustaka Utama Grafiti, 1986), h. 114. 17
Tajug itu berarti “rumah-rumahan (di atas makam ) dengan atap meruncing”, gaya
bangunan ini sejak lama sudah digunakan untuk tujuan-tujuan keramat. Jadi, Kudus yang berasal
dari Tajug ini boleh diandaikan tempatnya, telah lama dimaknai dengan kekeramatan tertentu. Secara harafiah tajug berarti bangunan diatas makam yang beratap perisai dengan satu puncak.
Nama Tajug, terdapat dalam ‘Serat Kandha’, Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, h.115. 18 Ahmad Syafawi, Sarekat Islam dan Perubahan Sosial : Peranan Sarekat Islam pada
Industri Kretek KudusTahun 1911-1940 (T.tp. : T.pn., 2005), h. 9.
20
berada 51 km sebelah timur Kota Semarang. Kabupaten ini berbatasan dengan
Kabupaten Pati di timur yang berjarak 25 km, Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Demak di selatan berjarak 25 km, sekitar 18 km ke arah utara kota
Kudus terdapat Gunung Muria, serta Kabupaten Jepara di barat dengan jarak
36 km.19 Kudus dikenal sebagai kota penghasil rokok kretek terbesar di Jawa
Tengah. Selain itu Kudus juga di kenal sebagai kota santri, kota ini juga
menjadi pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan hal itu dapat
dilihat dari terdapatnya 2 makam wali/ sunan, yaitu Sunan Kudus dan Sunan
Muria.
Riwayat kota Kudus tidak terlepas dari nama Sunan Kudus sebagai
pendirinya yang merupakan salah satu dari Wali Sanga penyebar agama Islam
di tanah Jawa pada waktu itu. Sebagai peninggalannya, Kudus memiliki
sebuah artefak yang terkenal yaitu Menara Kudus yang berbentuk seperti
candi serta Masjid Menara Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus sekitar
tahun 1685 M.
Secara geografis letak Kudus yang ada di persimpangan antara jalur
Semarang – Pati – Surabaya, maupun Jepara – Pati – Rembang dan sebagainya,
menjadikan kota ini sangat strategis, sebagai kota transit atau persinggahan. Di
samping fungsinya sebagai kota penghubung, kota Kudus termasuk kota yang
ramai, karena sebagaimana diketahui, Kudus terhitung kota industri. Di sana
banyak didapati industri rokok kretek, gula, pertenunan, percetakan dan lain
19 Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus,
1977), h. 1.
21
sebagainya.20
Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus terletak di antara 110 36’
dan 110 50’ BT (Bujur Timur) serta 6 51’ dan 7 16’ LS (Lintang Selatan).
Ketinggian dari permukaan air laut rata-rata 55 M. Dari segi iklim termasuk
iklim tropik dengan temperatur sedang. Sedang curah hujan relatif rendah, rata-
rata di bawah 3000 mm/tahun dan waktu hujan rata-rata 150 hari/tahun. Suhu
udara maksimum ada pada bulan September 29,4’ Celsius dengan suhu
terendah pada bulan Juli 17,6’ Celsius.21
Kabupaten Kudus tidak terlalu besar, yaitu dengan wilayah berkisar
22,50 Km dari Barat ke Timur dan 39,00 Km dari Utara ke Selatan dengan luas
wilayah 425,15 Km2 yang secara keseluruhan memiliki luas berkisar
42.515,644 Km2. Wilayah ini termasuk terkecil di antara daerah Tingkat II
lainnya di Jawa Tengah.22
Wilayah Kabupaten Kudus terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : sebelah
utara merupakan daerah pegunungan Muria yang terkenal dengan objek-objek
wisata alamnya, bagian tengah merupakan daerah dataran yang terkenal
sebagai daerah industri rokok kretek dan daerah wisata budaya, sebelah selatan
merupakan daerah dataran rendah dan rawa-rawa. Sebagian besar wilayah
Kabupaten Kudus adalah dataran rendah. Sebagian wilayah utara terdapat
pegunungan (Pegunungan Muria), dengan puncaknya Gunung Sutorenggo
(1.602 meter), Gunung Rahtawu (1.522 meter), dan Gunung Argojembangan
20
Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus,
1977), h. 1. 21
Kabupaten Kudus, “Keadaan Geografis”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari
http://www.kuduskab.go.id/ 22 Wikipedia, “Peta Lokasi kabupaten Kudus”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kudus
22
(1.410 meter). Sungai terbesar adalah Kali Serang yang mengalir di sebelah
barat, membatasi Kabupaten Kudus dengan Kabupaten Demak. Kali Gelis
yang mengalir ditengah Kota Kudus membagi wilayah menjadi dua bagian
yaitu Kudus Kulon ( Barat ) dan Kudus Wetan ( timur ). Pada masa lampau,
wilayah Kudus Kulon didiami oleh para pengusaha, pedagang, petani dan
ulama, sedangkan Kudus Wetan dihuni oleh para priyayi, cendikiawan, guru-
guru, bangsawan dan kerabat ningrat. Dan faktanya, bahwa masyarakat Kudus
Kulon memang didominasi oleh kaum santri, dan masyarakat Kudus Wetan
oleh kaum abangan.23
Dalam segi kehidupan politik tahun 1965, juga berbeda
masyarakat Kudus, jika masyarakat Kudus Kulon mendukung Masyumi, maka
masyarakat Kudus Wetan mendukung Komunis.24
Dalam perkembangannya
ternyata Kudus Kulon lebih maju.
Secara administratif, Kabupaten Kudus terdiri atas 9 kecamatan, yang
dibagi lagi atas 124 desa dan 7 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di
Kecamatan Kota Kudus. Kudus merupakan kabupaten dengan wilayah terkecil
dan memiliki jumlah kecamatan paling sedikit di Jawa Tengah.25
23
Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 2nd
ed. (Jakarta
: Pustaka Jaya, 1983), h. 6-7. 24
Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok
Kudus (Jakarta : Sinar Harapan, 1982), h. 78. 25 Kabupaten Kudus, “Wilayah Administrasi”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari
http://www.kuduskab.go.id/
23
Wilayah Administrasi
No Kecamatan Desa Kelurahan Jumlah
1 Kaliwungu 15 0 15
2 Kota 18 7 25
3 Jati 14 0 14
4 Undaan 15 0 15
5 Mejobo 11 0 11
6 Jekulo 12 0 12
7 Gebog 11 0 11
8 Dawe 18 0 18
9 Bae 10 0 10
Jumlah 124 7 131
Khusus untuk Kecamatan Kota, yang menjadi daerah penelitian ini,
secara tradisional terbagi atas dua wilayah, yaitu : wilayah Kudus Kulon dan
wilayah Kudus Wetan. Orang-orang Kota Kudus sangat menyadari bahwa kota
mereka sendiri terdiri dua bagian, yaitu Kudus Kulon dan Kudus Wetan.
Wilayah Kudus Kulon terletak di sebelah Barat Kali Gelis yang mengalir
membelah kota. Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama
dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan
khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan
Kudus, serta merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah adat pencu.26
Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Kali Gelis, dan merupakan
daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.27
Sesuai dengan catatan statistik yang telah ada, jikalau pada tahun 1905,
daerah Kabupaten Kudus mempunyai penduduk sebanyak 90.000 jiwa, dan
26
Rumah pencu merupakan rumah yang memiliki atap yang menjulang keatas (semacam
joglo, tapi atap tengahnya tinggi). 27 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2,
Universitas Indonesia, 1992), h. 35.
24
pada tahun 1953 jumlah penduduknya telah meningkat menjadi 309.273 jiwa,28
lalu pada tahun 1991, menjadi 609.604 jiwa,29
dan kemudian pada tahun 2003
jumlah penduduk Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus tercatat sebanyak
813.000 jiwa. Jika dihitung dengan luas wilayahnya, yaitu sekitar 42.515,644
Km2, maka kepadatan penduduknya adalah 1.912 jiwa/km²;30 suatu angka yang
yang menunjukkan betapa padatnya penduduk wilayah ini. Secara etnis,
sebagian besar penduduk Kecamatan Kota Kudus adalah berasal dari suku
Jawa. Karenanya, dari titik pandang kesukuan penduduk Kota Kudus tidak
terlihat heterogen. Meski demikian, sebagian kecil dari penduduknya ada yang
berasal dari etnis keturunan Cina dan etnis asing lainnya.
B. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat Kudus
Orang-orang Kudus Kulon, dalam kesehariannya bermukim di daerah
sekitar Masjid Menara Kudus, yaitu di Desa Kauman, Langgar Dalem,
Damaran, Kerjasan, dan Desa Kajeksan dalam sebagian besar rumah-rumah
pencu. Perkampungan di Kudus Kulon, merupakan daerah yang unik dan
tertutup. Rumah-rumah yang dihuni oleh warga masyarakat setempat sebagian
besar berada di balik pagar-pagar tembok yang cukup tinggi, sehingga dari
luar, penampilan bentuk rumah yang tampak hanyalah atapnya yang menjulang
tinggi, karena perbatasan tembok dinding atau pagar antar rumah itulah
28
Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus,
1977), h. 3. 29
Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2,
Universitas Indonesia, 1992), h. 43. 30 Wikipedia, “Peta Lokasi kabupaten Kudus”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kudus
25
menciptakan lorong-lorong sempit di sela-sela pemukiman penduduk, dan
apabila seseorang mencoba menelusuri jalan-jalan kampung yang lebih pantas
disebut sebagai lorong-lorong sempit yang memiliki lebar sekitar satu meter.31
Ciri-ciri lain yang menandai pola pemukiman orang-orang Kudus
Kulon ini, adalah selain orientasi arah rumah yang senantiasa menghadap ke
selatan bukan ke arah utara yang menghadap ke gunung Muria, juga hadirnya
bangunan masjid ataupun langgar (mushala) yang cukup banyak, yang bukan
saja berfungsi sebagai tempat sembahyang tetapi juga berfungsi sebagai tempat
berkumpul warga masyarakat setempat dalam membicarakan persoalan
kemasyarakatan ataupun sebagai tempat untuk menjalin hubungan sosial
sehari-hari. Masjid atau langgar seakan menjadi pusat pemukiman yang
dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk.
Melihat pola pemukimannya, tampak bahwa kehidupan warga
masyarakat Kudus Kulon ini seakan ingin menutup diri dari orang luar.
Berkenaan dengan hal ini, masyarakat Kudus Kulon memang eksklusif.32 Hal
ini tampaknya disebabkan oleh perjalanan sejarahnya yang panjang. Keadaan
psikologis serta rasa sensitif sebagai golongan minoritas pada waktu dulu, yaitu
sebagai kelompok santri yang terjepit di antara kelompok abangan dan priyayi,
serta pengaruh yang mendalam semangat juang Sunan Kudus dalam jiwa
masyarakat Kudus Kulon inilah agaknya yang menjadi salah satu variabel yang
31
Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisi-
masyarakat-kudus.html 32 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2,
Universitas Indonesia, 1992), h. 58.
26
membuat mereka berjuang keras untuk dapat bertahan dalam hidup dan
berakibat mereka seakan ingin memisahkan diri dari kelompok luar.
Hingga kini, kehidupan masyarakat Kudus Kulon masih terkesan
eksklusif. Mereka pada umumnya memiliki semangat dagang dan etos kerja
yang tinggi. Rumah yang megah, usaha industri rumah tangga dan
perdagangan tembakau yang ditekuni dalam kehidupan sehari-hari, adalah
bukti hasil semangat dagang dan etos kerjanya yang tinggi itu.
Dengan kombinasi antara masyarakat industri dan masyarakat santri ini,
maka ada kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh masyarakat kota Kudus.
Sebagaimana penelitian yang pernah dilakukan oleh Radjasa Mu’tasim, yang
kemudian dibukukan bersama Abdul Munir Mulkhan, menuliskan kondisi
masyarakat Damaran di Kudus hampir semua penduduk di Damaran bekerja 8
jam pada siang hari di rumah mereka sendiri. Selain anggota keluarga, terdapat
pula pekerja dari luar. Sesekali tampak penduduk atau pekerja itu keluar pergi
ke pasar atau warung. Suasana tersebut akan segera berubah total ketika malam
tiba, terutama antara waktu Maghrib dan Isya’. Pada saat seperti inilah semua
warga Damaran mengaji. Mereka yang tidak mengaji, tidak membuat gaduh.
Jika pada saat demikian ada orang yang keluar rumah, apalagi duduk bersantai,
akan segera diperingatkan oleh orang tua mereka. Orang menganggap bahwa
duduk santai atau keluar rumah tanpa tujuan yang jelas pada jam-jam pengajian
itu tabu atau ‘saru’.33
Gambaran masyarakat Damaran tersebut dapat mewakili
33 Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam
Masyarakat Industri (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), h. 57.
27
kondisi umum sosial religius dan ekonomi masyarakat Kudus Kulon dan
sebagian besar masyarakat Kudus.
Apa yang digambarkan secara umum mengenai pola kehidupan sehari-
hari masyarakat Kudus Kulon tersebut, tampak berbeda bila dibandingkan
dengan kehidupan masyarakat Kudus Wetan.
Orang-orang Kudus Wetan, pada umumnya bermukim di lingkungan
rumah-rumah yang relatif terbuka. Kendati di wilayah ini juga dijumpai cukup
banyak rumah pencu, namun jalan-jalan kampung lebih lebar dan agak leluasa.
Pagar-pagar halaman rumah, pada umumnya relatif lebih transparan sehingga
dari luar dapat terlihat bentuk keseluruhan rumah. Bentuk rumah mereka cukup
bervariasi, dan umumnya berbentuk tembok, setengah tembok, dan kayu
dengan atap kampung, limasan, dan sebagian lagi menggunakan gaya
bangunan modern. Orientasi rumah kendati masih ada yang cenderung
menghadap ke selatan (terutama rumah pencu), namun banyak juga yang
menghadap ke arah jalan.
Suasana kehidupan sehari-hari di wilayah Kudus Wetan tampak lebih
longgar dari ikatan-ikatan tradisi, meskipun di wilayah ini dihuni juga oleh
orang-orang santri. Hal ini karena selain warga masyarakatnya banyak yang
merupakan pendatang, termasuk juga warga keturunan Cina, juga bervariasi
dalam hal agama yang dipeluknya. Wilayah ini lebih merupakan wilayahnya
golongan priyayi dan abangan. Pola kehidupan sehari-hari masyarakat Kudus
Wetan ini, memperlihatkan corak kehidupan yang lebih modern. Hal ini
28
didukung oleh kondisi wilayah tersebut yang lebih banyak berfungsi sebagai
daerah pusat pemerintahan, transportasi, dan perdagangan.
Sistem kekeluargaan dalam lingkungan masyarakat Kudus, seperti
halnya keluarga Jawa pada umumnya, berbentuk keluarga inti atau “batih”
yang terdiri atas suami, istri dan anak-anaknya. Sekalipun demikian, acapkali
keberadaan bentuk keluarga tersebut bertambah anggotanya, yaitu terdapatnya
beberapa orang anggota yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan
keluarga itu, antara lain ayah, ibu, kakak, adik, atau keponakan dari kedua atau
salah satu pasangan suami istri tersebut.
Pada umumnya, orang-orang tua di Kudus dalam memilihkan jodoh
untuk anak-anaknya baik lelaki ataupun perempuan, masih memandang kepada
‘nasab’ atau darah keturunan kedua belah pihak. Bahkan ada pula yang masih
suka mempergunakan hitungan atau dalam bahasa Jawa ‘petungan’ dalam
mengawinkan anak-anaknya.34
Di kalangan penduduk yang berharta, umumnya mereka mengawinkan
anaknya dengan keluarga terdekat mereka sendiri yang sama-sama sederajat
atau kaya dengan maksud agar supaya harta bendanya tidak jatuh ke tangan
orang lain. Padahal cara yang demikian itu, adalah bertentangan dengan norma-
norma etik dalam Islam. Agama yang menjadi anutan dan dipeluk oleh
sebagian besar penduduk di daerah tersebut.
Masyarakat Kudus dikenal memiliki adat-istiadat atau tradisinya yang
kuat untuk merayakan hari-hari besar agama seperti halnya masyarakat Jawa
34 Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus,
1977), h. 7.
29
yang beragama Islam lainnya, juga memiliki tradisi untuk merayakan hari-hari
tertentu yang dianggap memiliki nilai-nilai historis atau istimewa di dalam
lingkungan kehidupan keagamaan mereka. Tradisi perayaan hari besar yang
umum berlaku di kalangan umat Islam di Jawa atau bahkan di Indonesia yang
dilakukan oleh masyarakat Kudus adalah tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri,
Hari Raya Idul Adha, Muludan (Maulid Nabi), Buka Luwur, dan Dandangan.
Pertama, tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri, seperti diketahui
merupakan rangkaian dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Kekhasan tradisi ini di lingkungan masyarakat Kudus, lebih khusus lagi
masyarakat Kudus Kulon tampak pada terciptanya suasana meriah bertemunya
semua anggota kerabat. Pada hari itu, selain diadakan secara bersama ziarah ke
kubur para leluhurnya, juga diperkenalkannya jalinan pertalian keluarga besar
mereka, terutama diantara anak-anak.
Suasana meriah dimulai sejak malam hari raya, Shubuh tiba dengan
bunyi takbir yang bergema di dalam rumah atau lewat masjid-masjid di seluruh
kampung dan pada waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri di Masjid-Masjid atau
di lapangan. Usai shalat Id, acara kunjungan kerabat yang lebih muda kepada
kerabat yang lebih tua dan juga tetangga dekat dimulai. Di saat mereka
berkunjung, di atas meja ruang tamu senantiasa penuh dengan jenis makanan
atau kue-kue berbagai macam. Cara penyajian kue-kue dan minuman dalam
menyuguh para tamu di hari raya tersebut di lingkungan masyarakat Kudus
Kulon memiliki keunikan tersendiri. Kue-kue tersebut biasanya diletakkan di
dalam wadah atau toples yang mulutnya atau lubangnya sempit yang secara
30
teknis, menyulitkan tamu untuk mengambil banyak dan gelas atau cangkir
yang berukuran kecil-kecil atau di bawah ukuran standar dengan minuman
yang sedikit. Cara penyajian yang demikian ini memunculkan stereotip
masyarakat Kudus Kulon sebagai masyarakat yang medit (kikir).35
Cara penyajian suguhan minuman dan kue-kue di hari raya tersebut,
dapat dilihat sebagai manifestasi gaya hidup yang mengutamakan makna hemat
atau efisiensi dari warga masyarakat yang bersangkutan. Bahwa pada saat-saat
seperti itu, orang yang bertamu diasumsikan telah banyak menerima suguhan
sebelumnya, sehingga jika diberi suguhan dalam jumlah yang banyak biasanya
tidak akan dihabiskan yang berarti sama saja dengan pemborosan atau mubazir.
Kedua, perayaan hari raya Islam yang menjadi tradisi masyarakat
Kudus adalah Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban. Inti perayaan hari
raya ini adalah mengucapkan takbir, tahlil, dan tahmid malam hari
sebelumnya, shalat Id di masjid atau di lapangan, dan penyembelihan binatang
untuk Qurban yang dibagikan kepada para fakir miskin.
Muludan (Maulid Nabi), yaitu perayaan peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad saw pada tanggal 12 Robiul Awal, menjadi salah satu tradisi
masyarakat Kudus. Inti perayaan adalah kegiatan ceramah-ceramah agama di
masjid-masjid setempat dengan pembicara tokoh-tokoh ulama setempat. Selain
itu, dalam rangka menyambut tibanya hari tersebut secara tradisional, di dalam
35
Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”,
artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisi-
masyarakat-kudus.html dan Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah
Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 94.
31
masjid sehabis shalat Isya’ para remaja mengadakan acara yang populer
dengan berjanjen.36
Dandangan, adalah suatu upacara tradisional dan merupakan adat
orang-orang Islam di Kudus yang berpusat di Desa Kauman dan Desa Langgar
Dalem. Upacara ini pada dasarnya adalah perayaan untuk menyambut
kedatangan Bulan Ramadhan atau bulan puasa. Menurut cerita, istilah
Dandangan sesungguhnya berasal dari bunyi Bedug Masjid Menara yang
ditabuh oleh petugas masjid sebagai tanda dimulainya bulan puasa. Karena
bunyi Bedug yang ditabuh tersebut terdengar suara :
ndang...ndang...ndang...ndang...ndang, maka bunyi tersebut disebut
Dandangan.37
Upacara ini, biasanya dimulai sekitar lima hari menjelang hari
datangnya bulan puasa. Para pedagang kecil selama hari-hari tersebut berjubel
mrema atau menggelar barang dagangannya, apakah itu berupa barang-barang
kerajinan atau makanan lainnya terutama di sekitar kompleks Masjid Menara.
Puncak upacara ini adalah sehari sebelum dimulainya bulan puasa, yaitu ketika
sore menjelang, Bedug di Masjid Menara ditabuh bertalu-talu dan pada malam
harinya oleh pemuka agama setempat diumumkan dimulainya bulan puasa
pada esok harinya. Selesai pengumuman ini, malam hari itu juga di masjid
shalat tarawih.
Buka Luwur, diadakan setiap tahun bertepatan dengan tanggal 10
Muharram (Assyura). Buka Luwur adalah upacara tradisional penggantian kain
36
Berjanjen, yaitu pembacaan syair-syair yang menyangkut pribadi Nabi Muhammad
yang dilagukan secara bersama dan adakalanya diiringi dengan musik terbangan (rebana). 37 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2,
Universitas Indonesia, 1992), h. 97.
32
kelambu yang dijadikan penutup makam Sunan Kudus. Upacara ini cukup
meriah kendatipun tidak semeriah acara Dandangan. Karena upacara
tradisional ini ditekankan pada acara-acara ritual; antara lain, Tahtiman Al-
Qur’an, Tahlil umum, pengajian, pencucian pusaka-pusaka Sunan Kudus dan
penggantian kain kelambu makam. Biasanya dalam upacara ini dilengkapi
dengan selamatan yang disertai dengan pembacaan tahlil dan do’a, menurut
kepercayaan barang siapa memperoleh kain kelambu dan nasi selametan yang
dibagikan akan mendapat berkah. Banyak masyarakat dari Kudus dan
sekitarnya, bahkan yang berasal dari luar kota yang datang dengan maksud
mendapatkan nasi tersebut. Benar tidaknya kepercayaan masyarakat tentang
nasi luwur yang membawa berkah, dan bahkan bisa menyembuhkan berbagai
penyakit ini, hal tersebut diserahkan kepada keyakinan masing-masing
masyarakat itu sendiri.
Mengawali prosesi pemasangan luwur baru ditandai dengan alunan
Qalam Ilahi (Al-Quran), dilanjutkan pembacaan Tahlil, dan doa yang dipimpin
oleh seorang ulama. Hampir semua tokoh masyarakat dan ulama sepuh38
menghadiri acara tersebut, Sekjen GAPPRI, dan Ketua MUI Kudus.
Prosesi dilanjutkan dengan pemasangan luwur baru yang sudah disiapkan di
Pendapa Tajug. Luwur kemudian dibawa ke Makam Sunan Kudus Ja’far Sodiq
oleh seorang ulama didampingi oleh petugas luwur kemudian dengan hati-hati
dipasang sampai sempurna. Setelah itu pembacaan Tahlil dipimpin oleh
seorang ulama dan diikuti para hadirin. Karena sempitnya "cungkup" Makam
38 Sepuh, berarti dituakan, seseorang yang dtuakan karena telah memiliki karismatik dan
pengalaman yang cukup banyak.
33
Sunan Kudus, hanya beberapa ulama sepuh yang bisa masuk dan dekat dengan
batu nisan. Sementara undangan lain duduk bersimpuh mengelilingi di luar
cungkup.
Tradisi serupa Buka Luwur juga terjadi di makam-makam para wali
yang lain, misalnya di tempat Sunan Muria, Mbah Mutammaqin Kajen-Pati
dan tempat-tempat para sunan yang lain di sekitar daerah ini. Bahkan di desa-
desa yang terdapat makam tua yang dianggap sebagai sesepuh desa, pendiri
sebuah desa, maka peringatan buka luwur inipun diadakan. Sehingga ada pula
tradisi Buka Luwur yang diadakan di tingkat regional dan di tingkat lokal.
Peringatan buka luwur ini biasa juga disebut Khaul Mbah Sunan. Akan tetapi
tidak jelas, kenapa peringatan Khaul itu mesti diletakkan pada bulan Sura /
Muharram. Apakah upacara ini ada kaitannya dengan imitasi acara penggantian
kain Kiswah (kain sebagai penutup Ka’bah) di Makkah, atau ada kaitannya
dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada bulan Suro, misalnya
meninggalnya Husain, cucu Nabi, di Karbala.
C. Kehidupan Religi Masyarakat Kudus
Masyarakat Kudus, sebagaimana telah dikemukakan, adalah suatu
masyarakat yang sebagian besar di antara warganya beragama Islam puritan.
Bagi mereka, nilai-nilai ajaran agama Islam bukan hanya sekedar untuk
diamalkan dengan sebaik-baiknya melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai
tuntunan atau pedoman hidup. Keyakinan orang Jawa yang beragama ‘Agami
Jawi’ terhadap Tuhan sangat mendalam dan hal tersebut dituangkan ke dalam
34
suatu istilah sebutan Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos, yaitu Tuhan adalah
Sang Pencipta, penyebab dari segala kehidupan di dunia dan seluruh alam
semesta, serta hanya ada satu Tuhan.39
Secara lebih khusus, sistem kepercayaan sebagian besar warga
masyarakat Kudus terungkap dalam apa yang mereka sebut dengan istilah
Rukun Iman. Istilah ini dalam terminologi Islam, berarti pokok-pokok
kepercayaan atau suatu sistem keyakinan yang menjadi dasar tingkah laku bagi
setiap muslim.40
Sesungguhnya, bagi masyarakat Kudus, pokok-pokok
kepercayaan mereka itu, baik disadari atau tidak tercermin atau terungkap
dalam berbagai hal. Berbagai pandangan, ucapan, sikap, dan tingkah laku
perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan bukti-bukti
mengenai hal ini.
Dilihat dari segi agama, penduduk Kabupaten Kudus sebagian besar
memeluk agama Islam. Hal tersebut dapat dimaklumi manakala dikaitkan
dengan latar belakang sejarah kota yang bersangkutan. Sekalipun demikian,
selain Islam, terdapat sejumlah agama lain non-Islam yang dipeluk oleh
sebagian kecil penduduknya, yaitu agama Katolik, Kristen Protestan, Kong Hu
Tju, Buddha, dan Hindu, serta penganut kepercayaan Samin (kebatinan)
maupun Vrijdenker. Menurut data sensus penduduk menurut agama pada tahun
2000, disebutkan bahwa pemeluk agama Islam 688.086 orang, Katolik 5.207
orang, Protestan 8.970 orang, Hindu 84 orang, Buddha 1.302 orang, dan
39
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), h. 322. 40 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2,
Universitas Indonesia, 1992), h. 75.
35
lainnya 72 orang.41
Karena itu tidak mengherankan, apabila dalam soal
perkawinan dan pembagian harta pusaka, yang berlaku bukanlah hukum adat,
melainkan Hukum Islam.
Sebagian besar penduduk yang memeluk agama Islam itu bermukim di
wilayah Kudus Kulon, yang meliputi atau tersebar di Desa Kauman, Kerjasan,
Langgar Dalem, Demangan, Janggalan, Damaran, dan Kajeksan. Sementara
sebagian kecil lainnya bermukim di wilayah Kudus Wetan, yang meliputi atau
tersebar di Desa Panjunan, Kramat, Wergu, Nganguk, Glantengan, Barongan,
Mlati, Rendeng, Demakan, Burikan, dan Kaliputu.
Wilayah Kudus Kulon, oleh karena sebagian besar penduduknya
beragama Islam, maka tidak mengherankan jika mendapat sebutan sebagai
suatu kawasan kaum santri dengan Desa Kauman sebagai pusatnya. Sementara
wilayah Kudus Wetan, walaupun terdapat cukup banyak kaum santri, namun
mempunyai penduduk yang lebih heterogen bila dilihat dari segi agama yang
dipeluknya. Hal ini, karena di wilayah tersebut sebagian diantaranya terdapat
orang-orang Cina, beberapa orang Kristen dan Katolik yang kebanyakan dari
mereka dapat dikategorikan dalam kelompok priyayi dan abangan.
Kudus Kulon, memang merupakan suatu kawasan yang warga
masyarakatnya sebagian terdiri dari kaum santri fanatik dan masih mengacu
pendapat kyai atau tokoh masyarakatnya. Dijadikannya figur kyai sebagai
tokoh panutan masyarakat Kudus Kulon itu menunjukkan bahwa dalam proses
perjalanan sejarahnya, pengaruh ajaran Sunan Kudus begitu besar dan mampu
41 Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, “Hasil Sensus Penduduk Menurut
Agama”, artikel diakses pada 30 Oktober 2008 dari
http://jateng.bps.go.id/2006/web06bab104/web06_1040301.htm
36
menembus batas waktu hingga sekarang. Dalam melakukan aktivitas kerja
sehari-hari, misalnya, motivasi warga masyarakat Kudus Kulon bukan sekedar
untuk mencari keuntungan materi semata, melainkan lebih dimotivasi
semangat untuk beribadah, yaitu menjalankan perintah ajaran agama.
Di segi yang lain, gaya hidup yang Islami tersebut, bukan saja tampak
mewarnai kehidupan sehari-hari warga masyarakat Kudus Kulon secara
individual, tetapi juga tampak tercermin dalam kehidupan yang bersifat
kolektif. Mengakarnya secara kuat lembaga sosial keagamaan, seperti Nu dan
Muhammadiyah sebagai dua organisasi masyarakat yang mereka miliki adalah
bukti mengenai hal tersebut. Bertahan dan berkembangnya pondok-pondok
pesantren, madrasah-madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan formal
lainnya yang bercirikan dan bernafaskan Islam yang dikelola oleh dua
organisasi tersebut merupakan bukti perwujudan tindakan kolektif mereka yang
bersifat Islami. Mereka benar-benar fanatik dalam menghayati dan
mengaktualisasikan nilai-nilai kepercayaan yang dipeluknya.
Bahwa dalam kehidupan kesehariannya warga masyarakat Kudus
Kulon begitu fanatik dalam menjalankan ajaran agamanya, hal tersebut
memang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini,
karena secara historis telah melalui proses pewarisan nilai-nilai yang cukup
panjang, terutama di dalam lingkungan keluarga mereka masing-masing.
Meski fanatik, namun mereka tetap dapat mengembangkan sikap toleransi
terhadap warga yang bukan termasuk dalam kelompok agamanya. Sebagai
suatu contoh sikap toleransi itu, tercermin dalam sikap mereka yang tidak mau
37
menyembelih ternak sapi meskipun mereka tahu bahwa sesuai dengan ajaran
Islam, hal tersebut tidak diharamkan.42
Terbentuknya sifat tersebut karena
mereka mengikuti ajaran yang diberikan oleh Sunan Kudus, yaitu menghormati
keyakinan orang-orang yang beragama Hindu.
Seperti diketahui bahwa lembu ataupun sapi adalah binatang yang
dianggap suci oleh orang-orang yang beragama Hindu. Secara politis hal
tersebut dapat dilihat sebagai salah satu strategi Sunan Kudus dalam
mengembangkan ajaran agama Islam yang pada waktu itu masih banyak orang
yang beragama Hindu. Namun secara obyektif, ajaran tersebut tetap
menunjukkan adanya maksud untuk menghormati atau menghargai unsur
keyakinan orang lain.
Sampai sekarang mitos tersebut masih dipercayai dan dipegang teguh.
Menurut masyarakat, bila ada orang Kudus Kulon yang melanggar pantangan
tersebut, maka akan mendapatkan sebuah bala’ atau petaka yang akan
menimpa.43 Terlepas dari benar dan tidaknya mitos dan kepercayaan tersebut,
yang jelas ada semacam “kearifan lokal” yang dilakukan Sunan Kudus, dalam
rangka mewujudkan masyarakat multikultural untuk hidup bersama secara
damai.
Kehidupan beragama di wilayah ini kelihatan harmonis, antara satu
umat dengan umat lainnya terjadi saling hormat menghormati. Paling tidak
sikap toleransi ini terlihat antara pemilik perusahaan, yang sebagian besar
42
Haram adalah istilah dalam agama Islam yang dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai suatu pengklasifikasian terhadap hal-hal yang terlarang atau harus dihindari.
43 M. Mustaqim, “Kudus Kulon, Akar Kesadaran Multikultural”, artikel diakses pada 21
Agustus 2008 dari http://belajarsejarahsosial.blogspot.com/2006/10/kudus-kulon-akar-
kesadaran.html
38
berbeda agama dengan para karyawan. Namun demikian pihak perusahaan
tidak menghalangi kesempatan beribadat bagi para karyawan, misalnya bila
akan menunaikan shalat lima waktu dan sebagainya. Kendatipun sikap
toleransi ini cukup tinggi, namun apabila disentuh oleh permasalahan SARA,
maka sikap toleransi tersebut dapat berubah menjadi kemarahan besar.
Salah satu contoh adalah kejadian yang terjadi pada tahun 1918; waktu itu ada
perayaan ummat Tionghoa dengan Leang-leong berjalan dari Klenteng
melewati depan Menara Kudus. Leang-leong adalah salah satu pertunjukan
karnaval dengan memakai media ular naga besar yang diangkat beberapa orang
dan di atas ular tersebut ada orang yang duduk. Dalam Leang-leong tersebut
ada adegan seseorang dengan berpakaian santri (seperti seorang kyai) yang
berdansa / bercumbu dengan seorang gadis seksi (prostitutes). Atraksi ini
dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kyai dan ummat Islam, yang
berakibat kepada kemarahan ummat Islam sampai terjadi peristiwa pembakaran
beberapa rumah-rumah para penduduk yang dianggap berkebangsaan Tionghoa
yang berada di sekitar Menara Kudus.
Kejadian tersebut nampak merupakan akumulasi dari ketegangan dan konflik
antara orang-orang minoritas Cina dengan penduduk Muslim pribumi di
Kudus. Ketegangan dan konflik tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor,
antara lain perbedaan etnik, persaingan dagang dan perasaan keagamaan.
Jumlah penduduk Kudus waktu itu terdiri dari 38800 penduduk pribumi, 4000
orang Cina, 230 orang Eropa dan 40 orang bangsa asing lainnya. Secara umum
39
diketahui bahwa orang-orang Cina status ekonominya lebih tinggi dan karena
itu mereka lebih disenangi oleh Belanda.44
Selanjutnya, dalam pergaulan hidup sehari-hari, tampak bahwa
masyarakat Kudus Kulon tidak begitu mempersoalkan tingkat pelapisan sosial.
Konsep tentang wong cilik (rakyat jelata) atau priyayi tidak berlaku di sini.
Oleh karena itu, sikap saling menghargai dalam pergaulan hidup antar tetangga
tampak dalam kesehariannya. Kyai dan haji, adalah status sosial yang dianggap
memiliki derajat lebih tinggi dan dihormati dalam struktur sosial masyarakat
setempat. Hal ini karena orientasi kehidupan mereka adalah berusaha mencapai
derajat sebagai orang yang bertaqwa atau muttaqin.
Kyai dan haji, dengan demikian, adalah simbol status orang yang
memiliki predikat sebagai muttaqin, untuk memperoleh status tersebut tidaklah
mudah karena memerlukan pemilikan ketaqwaan yang tinggi. Untuk
menjalankan ibadah haji, misalnya, tidak cukup hanya dengan tersedianya
persyaratan material semata, melainkan yang lebih menentukan adalah kadar
persyaratan ketaqwaannya.
44 Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”,
artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisi-
masyarakat-kudus.html
40
BAB III
RUMAH TRADISIONAL KUDUS SEBELUM MASUKNYA ISLAM DI
KUDUS
A. Tinjauan Sejarah
Untuk mengawali topik pembahasan ini, terlebih dahulu perlu
disinggung secara singkat beberapa aspek historis mengenai kemunculan
rumah tradisional Kudus pada masa ”Indianisasi” yang berarti membicarakan
juga rumah Jawa, karena pada masa-masa tersebut bentuk-bentuk rumah tidak
terlalu berbeda di seluruh tanah Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sehingga nantinya diharapkan dapat memahami lebih lanjut mengenai latar
belakang berkembangnya perwujudan bentuk rumah tersebut.
Membicarakan awal perkembangan atau sejarah rumah Jawa, bukanlah
suatu hal yang mudah. Sulitnya pembicaraan mengenai hal ini terutama karena
tidak adanya keterangan tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan kepastian
bagaimana asal usulnya, kapan mulai diciptakan, dan siapa perancang
pertamanya,45 dan sampai saat ini masih merupakan hal yang belum jelas
karena kurangnya sumber-sumber tertulis pada jaman sebelum ”Indianisasi”.
Rumah Jawa termasuk dalam kelompok yang disebut dengan the folk
tradition, yaitu bersifat anonim, berkembang secara turun temurun melalui
media lisan dalam lingkungan masyarakat setempat tanpa dapat diketahui
kapan mulai diciptakan dan siapa perancang atau pemilik pertamanya.
45
R. Ismunandar K, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3th
ed. (Semarang :
Dahara Prize, 1990), h. 11, dan Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan
Permuseuman DKI Jakarta (T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.), h. 1.
41
Data dan kodifikasi arsitektur tradisional Jawa yang terekam dengan
jelas adalah pada saat mulai ”Indianisasi” sedangkan sebelumnya sangat sulit
sekali ditelusuri kebenaran perwujudan arsitekturnya. Sangat miskin data yang
ada, baik yang berupa inskripsi maupun artefak yang tertinggal. Banyak
hipotesis yang mengacu kepada gambar-gambar bangunan yang terpampang
di dinding percandian Hindu gaya Jawa Tengah. Hipotesa inipun patut
dipertanyakan kebenarannya, sebab gambar-gambar tersebut apakah
merupakan bentukan yang telah hadir sebelum Hindu masuk atau pada saat
Hindu berkembang. Salah satu indikator dari akibat kuatnya ”Indianisasi”
mempengaruhi Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah kehadiran bentuk
bangunan yang tidak mempunyai kolong (rumah panggung). Bentuk ini
berbeda dengan bentuk yang dimiliki daerah tetangganya seperti Jawa Barat,
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan kawasan Indonesia Timur yang memiliki
kolong pada bangunannya. Menurut Parmono Atmadi, hal ini bisa saja akibat
terpengaruh kebudayaan India yang berbentuk bangunan percandian yang ada
di India. Menurut suatu naskah tentang rumah Jawa koleksi museum pusat
Dep. P&K No.Inv.B.G.608 disebutkan bahwa rumah orang Jawa pada
mulanya dibuat dari bahan batu, teknik penyusunannya seperti batu-batu
candi. Tetapi bukan berarti rumah orang Jawa meniru bentuk candi, bahkan
beberapa ahli menduga bahwa candi meniru bentuk rumah tertentu pada waktu
itu.46
46 Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI
Jakarta (T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.), h. 1.
42
Namun dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut mengingat
bahwa bangunan candi di Jawa dibuat seiring dengan masuknya agama Hindu
dan Buddha ke Jawa dari India dan seperti telah diketahui orang India sebagai
pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha telah mempunyai pengetahuan
yang cukup canggih dalam pembuatan bangunan candi di India (Manasara dan
Silpasastra). Pada relief candi Borobudur abad VIII yang diteliti oleh Parmono
Atmadi ditemui gambaran tentang bangunan rumah konstruksi kayu yang
mempunyai bentuk atap pelana, limasan dan tajug.47
Pada relief candi
Borobudur tidak ditemui bentuk atap Joglo.
Sumber-sumber tertulis yang dapat ditemui tentang rumah tinggal
tradisional orang Jawa antara lain adalah Kawruh Kalang, Serat Centhini dan
kitab-kitab Primbon.
Kawruh Kalang yang ditulis pada masa pemerintahan Pakubuwono IX
(1861-1883 M) menguraikan tentang jenis rumah, konstruksi dan bahan
bangunan yang dipakai, pedoman perhitungan waktu untuk mendirikan rumah
dan kepercayaan mistik yang melatarbelakanginya.
Serat Centhini ditulis atas perintah Susuhunan Pakubuwono V (1820-
1823 M) berisi ajaran yang ditulis dalam bentuk puisi yang dinyanyikan
(tembang) tentang berbagai aspek kehidupan yang dikumpulkan dari beberapa
ahli dibidangnya, dipimpin oleh R. Ng. Yasadipura II dan R. Ng. Sastrodipura.
Pengetahuan tentang rumah Jawa terdapat dalam pupuh 223 sampai 230
47 Parmono Atmadi, “Beberapa Patokan Perencanaan Bangunan Candi” (Desertasi S3
Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, 1979), h. 26.
43
berupa cerita Ki Wreksadikara Lurah Kalang Kamplong kepada Mas
Cabolang.
Kitab Primbon merupakan kitab yang masih banyak ditemui dan
dipergunakan oleh masyarakat Jawa. Ada beberapa macam kitab Primbon
antara lain Primbon Betaljemur Adammakna, Primbon Jawa Sabda Guru dan
Primbon Sabda Pandhita. Primbon yang terbanyak membahas tentang rumah
adalah Primbon Betaljemur Adammakna yang memuat tentang rumah mulai
dari bab 167-199. Primbon ini sebagian besar berisi perhitungan (petungan)48
yang mengatur hari-hari yang baik dalam memilih waktu untuk membangun,
menempati dan pindah rumah serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan
rumah.49
Dari ketiga sumber-sumber tertulis tersebut memberikan gambaran
tentang rumah tinggal Jawa pada masa sekitar abad XVIII yang sebagian besar
bahan bangunannya terbuat dari kayu. Dalam Kawruh Kalang bab II dan Serat
Centhini pupuh 227 Asmarandana disebutkan ada bentuk rumah tinggal orang
Jawa yaitu bentuk kampung, limasan, joglo dan tajug.
Menurut Dakung (1982), Ismunandar (1986), Hamzuri (tanpa tahun),
bersumber dari Mintobudoyo, bahwa ada 5 bentuk dasar rumah Jawa yaitu
Panggang Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug.
48
Petungan merupakan sebuah sistem numerologi dimana orang mencari waktu yang
tepat untuk melakukan tindakan agar tepat sehingga dirinya aman atau dengan kata lain sebagai usaha untuk menyelaraskan kejadian di bumi dengan dunia adikodrati.
49 Alim J. Setiawan, “Rumah Tinggal Orang Jawa; Suatu Kajian Tentang Dampak
Perubahan Wujud Arsitektur Terhadap Tata Nilai Sosial Budaya dalam Rumah Tinggal Orang
Jawa di Ponorogo” (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1991), h. 66.
44
Bentuk yang paling sederhana adalah bentuk Panggang Pe, terdiri dari
satu ruangan terbuka dengan atap satu bidang datar yang dipasang miring satu
arah. Penggunaan rumah bentuk ini sifatnya sementara misalnya sebagai
tempat istirahat petani di sawah, dan jarang dipergunakan sebagai tempat
tinggal tetap. Bentuk ini tidak disebut dalam Kawruh Kalang maupun Serat
Centhini diduga karena bukan merupakan rumah tinggal.
Jika dua buah bangunan bentuk Panggang Pe ini dihubungkan menjadi
setangkup dengan garis atap yang lebih tinggi menjadi satu garis mendatar
(nok) maka menjadi bentuk kampung. Bentuk kampung adalah bentuk yang
paling sederhana dengan dua buah atap katepung.
Bentuk limasan merupakan bentuk yang sudah agak rumit, sedangkan
yang paling rumit dan sempurna adalah bentuk tajug. Bentuk ini ditentukan
oleh bentuk atapnya. Bentuk atap ini berkembang baik dari segi bentuk
maupun dari segi konstruksinya mulai dari bentuk Panggang Pe kemudian
menjadi bentuk Kampung, bentuk Limasan, Joglo dan Tajug. Bentuk Tajug
disebut juga bentuk masjid, karena itu jarang dipakai untuk rumah tinggal.
Dengan demikian sebenarnya hanya ada tiga bentuk dasar rumah tinggal orang
Jawa yaitu kampung, limasan dan joglo.
Pada relief candi tidak didapati bentuk joglo, hal ini menimbulkan
dugaan bahwa bentuk joglo tersebut timbul setelah masa kerajaan Mataram I
(Hindu Buddha). Sedangkan pada Kawruh Kalang tidak didapati penjelasan
mengenai bentuk panggang pe, namun disebutkan bentuk-bentuk rumah Jawa
berasal dari bentuk tajug yang sebetulnya sudah cukup rumit, jadi
45
perkembangan bentuk rumah Jawa dalam Kawruh Kalang justru berkembang
dari bentuk yang rumit (tajug) ke bentuk yang lebih sederhana (kampung dan
limasan). Hal tersebut kurang dapat diterima karena bentuk rumah seharusnya
mulai dari yang sederhana berkembang ke arah yang lebih rumit.50
Untuk rumah yang dibangun sebelum masuknya Islam di Kudus atau
pada masa-masa awal kehadiran Sunan Kudus, rumah tinggal masyarakat
Kudus masih sederhana, yaitu berbentuk kampung. Karena pada masa-masa
tersebut belum bermunculan para pedagang maupun saudagar dikarenakan
mata pencaharian masyarakat Kudus adalah bertani dan berladang, dengan
sesekali menjual hasilnya, yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan daerah-
daerah lain di pulau Jawa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa
sebelum masuknya Islam di Kudus, rumah tinggal masyarakat Kudus adalah
berbentuk kampung.
Berdasarkan dari data yang didapat, penulis menyimpulkan bahwa
rumah-rumah masyarakat Kudus pada masa lalu adalah berbentuk kampung,
dan hal tersebut juga terbukti karena diseluruh tanah Jawa pada masa tersebut
menggunakan rumah tersebut. Hal tersebut juga diperkuat dengan penggunaan
atap dapur pada rumah Kudus saat ini yang berbentuk kampung yang merujuk
kepada awal mula bentuk rumah penduduk Jawa pada umumnya. Dan hal ini
50 Gunawan Tjahjono, “Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition :
The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surrounding” (Disertasi S3,
University of California, 1989), h. 99.
46
bisa jadi mengindikasikan bahwa dahulunya bentuk atap kampung telah
menjadi umum di lingkungan masyarakat Kudus Kuno.51
B. Bentuk Rumah Tipe Kampung
Bentuk rumah Kampung umumnya sebagai tempat tinggal, baik di
kota maupun di desa dan di gunung-gunung. Kampung berarti desa, karena itu
rumah ini kebanyakan dimiliki oleh orang kampung atau orang Jawa
menyebutnya desa. Pada masa lalu rumah bentuk kampung merupakan tempat
tinggal yang paling banyak ditemukan. Sehingga ada sebagaian masyarakat
yang berpendapat bahwa rumah kampung sebagian besar dimiliki oleh orang-
orang desa yang kemampuan finansial / ekonominya berada di bawah.
Kampung, yaitu bangunan dengan atap dua belah sisi, sebuah bubungan di
tengah saja dengan denah empat persegi panjang, bangunan pokoknya terdiri
dari (saka-saka)52 yang berjumlah empat, enam atau bisa juga delapan dan
seterusnya. Tetapi biasanya hanya memerlukan delapan saka dengan dua buah
atap persegi panjang pada dua belah sisi samping atas ditutup dengan tutup
keong,53 bentuk bangunan kampung inipun dalam perkembangannya
mengenal beberapa variasi. Sehingga dari bentuknya yang sederhana ini
menghasilkan bentuk bangunan kampung yang lain, yaitu :54
51 Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal
Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan
Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 129. 52
Saka berarti tiang-tiang atau pilar-pilar sebagai penopang rumah. 53
Tutup keong yaitu tutup atas yang terletak pada kedua sisi dan biasanya berbentuk payon.
54 Sugiarto Dakung, “Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta”, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1981), h. 30.
47
1. Kampung Pacul Gowang
Merupakan bentuk bangunan kampung yang pokok ditambah
dengan bagian bangunan yang lain yang berbentuk panggang pe. Sebagian
bagian bangunan disebut emper atau serambi. Bangunan emper ini terletak
pada salah satu sisi bangunan pokok. Jumlah saka enam atau 8 atau 12 dan
seterusnya. Sedangkan atap pada dua belah sisinya bersusun atau
bertingkat. Terdapat satu bubungan atau wuwung. Bentuk bangunan
kampung ini menggunakan pula bagian yang disebut tutup keong.
2. Kampung Srotong
Bentuk bangunan pacul gowang yang ditambah lagi bangunan
emper pada bagian sisi belakang bangunan pokok. Dengan demikian
bentuk bangunan srotong ini merupakan bangunan kampung pokok yang
mempunyai dua bangunan emper yang kesemuanya berbentuk panggang
pe. Mempunyai saka jumlahnya 8, 12, 16 dan seterusnya. Sedangkan atap
terdiri dari dua belah sisi masing-masing bersusun dua dan satu bubungan
atau wuwung dan dua tutup keong.
3. Kampung Dara Gepak
Bentuk bangunan kampung yang kemudian disebut dara gepak ini
terdiri dari tambahan bangunan-bangunan emper yang ditambahkan di
sekeliling bangunan pokok. Dengan demikian ada empat bangunan emper
yang mengelilingi bangunan kampung pokok. Tiang atau saka jumlahnya
16, 20, 24 dan seterusnya. Terdiri atas dua atap yang ada pada kedua belah
sisinya bersusun dua. Ditambah dua atap lagi pada samping kanan dan kiri
48
bangunan pokok yang bersusun serta satu bubungan atau wuwung, tutup
keong dua buah.
4. Kampung Klabang Nyander
Bentuk bangunan ini merupakan bentuk bangunan kampung.
Jumlah saka 16, 24 atau bisa juga lebih. Bentuk bangunan ini
membutuhkan pengeret sebanyak 4 atau 6 buah. Sedangkan dua atap
terletak pada kedua belah sisinya dan satu bubungan atau wuwung dengan
dua tutup keong.
5. Kampung Lambang Teplok
Bentuk bangunan ini merupakan variasi lain bangunan kampung.
Mempunyai renggangan antara atap brunjung, yaitu atap paling atas
dengan penanggap yang fungsinya seperti blandar. Akan tetapi keduanya
dihubungkan dengan tiang utama yang jumlahnya 4, yang disebut saka
guru. Menggunakan saka 16, 24, yang ke empat buah saka di tengah
merupakan saka guru. Atap terdapat pada kedua belah sisinya dan
bersusun dalam posisi merenggang. Artinya tidak dihubungkan rapat
antara atap bawah dengan atasnya. Memakai satu wuwung dan dua tutup
keong.
6. Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu
Bentuk bangunan ini merupakan bentuk bangunan lambang teplok,
tetapi tiang penyangga brunjung di atas bertumpu di atas blandar atau
penanggap. Sedangkan blandar itu sendiri ditopang oleh tiang-tiang
penyangga yang ada di pinggir. Memakai saka sebanyak 12 buah.
49
7. Kampung Gajah Njerum
Merupakan bentuk variasi yang lain dari bentuk bangunan
kampung. Mempunyai bangunan emper tiga buah. Dua bangunan emper
terletak di sebelah muka dan belakang. Satu terletak di sebelah salah satu
sisi samping. Menggunakan tiang atau saka sebanyak 20 atau 24 dan
seterusnya dan satu wuwung serta dua tutup keong.
8. Kampung Cere Gencet
Merupakan bentuk bangunan gabungan antara dua bentuk
bangunan kampung pacul gowang. Cara menggabungkannya dengan
menghubungkan pada bagian masing-masing yang tidak ber-emper.
Dengan demikian dibutuhkan saluran air yang disebut talang.
Menggunakan saka sebanyak 20, 24 dan seterusnya. Sedangkan dua atap
yang terdiri dari muka belakang bersusun dua pada sisi miring masing-
masing brunjungnya.
9. Kampung Semar Pinondhong
Bentuk bangunan yang disebut semar pinondhong ini berbeda
dengan yang lain. Dalam bentuk ini hanya memakai saka yang berjajar di
tengah menurut panjangnya bangunan. Jumlah saka bisa empat atau 6 dan
seterusnya. Kemudian atap terdapat pada ke dua belah sisi dan ditopang
oleh sebuah balok kayu yang dipasang dengan posisi horisontal pada tiang
penyangga. Agar posisi atap tersebut tetap seimbang balok kayu yang
horisontal tersebut dipasang kayu penyiku. Bentuk bangunan ini memakai
satu wuwung dan dua tutup keong.
50
10. Kampung Gotong Mayit
Merupakan bentuk bangunan rumah kampung bergandengan tiga
buah pada sebuah blandar sesamanya.
11. Kampung Apitan
Bentuk bangunan ini merupakan rumah kampung ini hanya
memakai saka empat buah dengan ander satu buah yang menopang bagian
rumah dan di tengah-tengah terdapat suwunan dan molo.
12. Kampung Gajah Ngombe
Merupakan bentuk variasi yang lain dari bentuk bangunan
kampung dengan sebuah atap emper pada salah satu sisi sampingnya yang
pendek. Tiang atau saka 6, 8, 10 dan seterusnya, sedangkan atap terdiri
atas 4 belah sisi dan pada salah satu sisinya bersusun dua.
13. Kampung Trajumas
Bentuk bangunan kampung yang kemudian disebut trajumas ini
terdiri dari 6 buah saka atau mempunyai tiga buah pengerat sehingga
rumah ini terbagi dua, masing-masing bagian disebut rongrongan, rong
berarti liang.
Melihat dari pola rumah bentuk ruangan dapur pada rumah tradisional
Kudus yang atapnya berbentuk kampung gajah ngombe. Dari analisa tersebut
penulis menyimpulkan bahwa rumah masyarakat pada saat sebelum masuknya
Islam di Kudus adalah berbentuk kampung, bahwa penggunaan atap dapur
pada rumah Kudus saat ini yang berbentuk kampung yang merujuk kepada
awal mula bentuk rumah penduduk Jawa pada umumnya, sehingga ada
51
indikasi bahwa dahulunya bentuk atap kampung sangat umum di lingkungan
masyarakat Kudus Kuno. Namun belum dapat dipastikan bentuk atap seperti
apa yang sering digunakan pada rumah-rumah tipe kampung masyarakat
Kudus Kuno ketika itu.
C. Susunan Ruangan Rumah Tipe Kampung
Konsep ruang dalam pandangan barat berasal dari dua konsep klasik
yang bersumber pada filsafat Yunani. Konsep yang pertama dari Aristoteles,
menyatakan bahwa ruang adalah suatu medium dimana objek materiil berada,
keberadaan ruang dikaitkan dengan posisi objek materiil tersebut (konsep
position-relation). Konsep yang kedua dari Plato kemudian dikembangkan
oleh Newton yaitu konsep displacement-container yang melihat ruang sebagai
wadah yang tetap, jadi walaupun objek materiil yang ada didalamnya dapat
disingkirkan atau diganti namun wadah itu tetap ada.55
Konsep ruang dalam rumah tinggal menurut tradisi arsitektur Jawa
pada kenyataannya berbeda dengan konsep ruang menurut tradisi Barat. Tidak
ada sinonim kata ruang dalam bahasa Jawa, yang mendekati adalah Nggon,
kata kerjanya menjadi Manggon dan Panggonan berarti tempat atau Place.
Jadi bagi orang Jawa lebih tepat pengertian tempat dari pada ruang. Rumah
tinggal bagi orang Jawa dengan demikian adalah tempat atau tatanan tempat,
konsep ruang geometris tidak relevan dalam pengertian rumah tinggal Jawa.
Pengertian rumah bagi orang Jawa dapat ditelusuri dari kosa kata Jawa. Kata
55 J. Lukito Kartono, ”Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya”, Dimensi
Interior, vol. 3 , no. 2 (Desember 2005), h. 130.
52
omah-omah berarti berumah tangga, ngomahake membuat kerasan atau
menjinakkan, ngomah-ngomahake menikahkan, pomahan pekarangan rumah,
pomah penghuni rumah betah menempati rumahnya. Satu kesatuan sosial
yang ditandai dengan dapur yang terpisah ini dalam bahasa Jawa disebut
somah.56 Pada rumah induk (omah) istilah dalem dapat diartikan sebagai
keakuan orang Jawa karena kata dalem adalah kata ganti orang pertama (aku)
dalam bahasa Jawa halus. Dasar keakuan dalam pandangan dunia Jawa
terletak pada kesatuan dengan Illahi yang diupayakan sepanjang hidupnya
dalam mencari sangkan paraning dumadi dengan selalu memperdalam rasa
yaitu suatu pengertian tentang asal dan tujuan sebagai makhluk.
Konstruksi rumah tinggal tradisional Jawa sebagian besar
menggunakan bahan kayu terutama kayu jati seperti untuk tiang, balok-balok
dan rangka atap. Pada masa lalu kayu jati untuk bahan bangunan rumah
tinggal ini mudah didapat dari hutan-hutan jati yang banyak terdapat di
seluruh wilayah pulau Jawa. Dinding pengisi umumnya digunakan bahan
anyaman bambu (gedhek) atau papan kayu jati (gebyok). Dengan bahan kayu
jati ini dibuat konstruksi rangka dengan menggunakan cara penyambungan
sistem cathokan dan purus. Pondasi menggunakan sistem umpak atau
ceblokan. Dengan sistem rangka ini terbentuk tiang-tiang yang bebas sehingga
ruang yang terjadi juga merupakan ruang-ruang yang terbuka tanpa dinding
yang permanen. Demikian juga dengan konstruksi cathokan dan purus
56 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), h. 137-142.
53
tersebut memungkinkan sebuah rumah dibongkar untuk dipindah ke lain
tempat pada saat dibutuhkan.57
Suatu rumah tempat tinggal asli (griya) untuk golongan bawah, petani,
biasanya berbentuk persegi panjang. Dinding terbuat dari anyaman bambu
(gedhek) yang sering kali tidak berjendela. Pada kedua sisi panjang dari rumah
terdapat pintu dorong yang terbuat dari rangka bambu dan gedhek; membagi
rumah menjadi dua bagian, depan dan belakang (dalam). Bagian dalam rumah
dibagi-bagi dengan sekat-sekat yang terbuat dari gedhek yang dengan mudah
digeser yang dapat menjadi ruang-ruang yang multipurpose, sedang atapnya
berbentuk kampung.
Susunan ruangan yang terdapat dalam rumah tradisional Jawa
tergantung kepada besar kecilnya rumah tersebut dan tergantung pula pada
kebutuhan keluarga. Biasanya jumlah ruangan yang ada disesuaikan jumlah
anggota keluarga. Jadi makin banyak anggota keluarga tersebut, makin banyak
ruangan yang dibutuhkan. Dalam hal ini, yang termasuk ruangan adalah
kamar-kamar yang terdapat dalam ruangan rumah. Pada prinsipnya semua
kamar dalam ruangan menghubungkan antara tiang yang satu dengan tiang
lainnya dan tepat di bawah blandar.
Sebuah rumah tinggal Jawa yang berbentuk kampung setidak-tidaknya
terdiri dari satu unit dasar omah yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian
depan, tengah, dan belakang. Untuk ruangan bagian belakang terdiri dari
deretan sentong tengah, sentong kiri (kiwa), sentong kanan (tengen). Sentong
57
Alim J. Setiawan, “Rumah Tinggal Orang Jawa; Suatu Kajian Tentang Dampak
Perubahan Wujud Arsitektur Terhadap Tata Nilai Sosial Budaya dalam Rumah Tinggal Orang
Jawa di Ponorogo” (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1991), h. 78.
54
kiri dan kanan untuk tidur sedangkan sentong tengah untuk kegiatan-kegiatan
yang bersifat sakral. Hierarki ruangnya memperlihatkan adanya gradasi
berurut dari depan ke belakang. Organisasi ruangnya menganut pola closed
ended plan,58 yaitu simetri keseimbangan yang berhenti pada suatu ruang,
dalam hal ini senthong tengah. Bilamana ada kepentingan yang lain, maka
kamar bisa ditambah lagi yang diletakkan di ruang tengah. Biasanya kamar
tambahan ini hanya diberi batas dengan rana atau kain saja. Dan ruang
terbuka memanjang di depan deretan sentong atau yang berada di bagian
tengah disebut dalem sedangkan bagian depan disebut emperan. Pada rumah
Kampung umumnya tidak memiliki pendapa dan pringgitan, sehingga rumah
terdiri atas dalem saja.59
Dapur terletak di belakang rumah dan kamar mandi
terpisah dengan rumah, kamar mandi terletak di kiri belakang rumah, sehingga
dinamakan pekiwan (kiwo atau kiri). Tidak jarang di belakang rumah juga
terdapat kandang hewan piaraan.
D. Fungsi Tiap-Tiap Ruangan Rumah Tipe Kampung
Pada bentuk rumah kampung ruangan itu sudah dibagi-bagi menjadi
kamar-kamar yang fungsional. Di samping adanya ruangan teras, yang terletak
di depan. Biasanya teras ini untuk menerima tamu laki-laki, sedangkan untuk
tamu perempuan ada di ruangan dalam.
58 Pola hubungan ruang menganut prinsip closed ended plan, adalah dimana sumbu
simetri keseimbangan yang membagi susunan ruang menjadi kiri dan kanan terhenti pada suatu
ruang. 59 Iwan Suprijanto, ”Rumah Tradisional Osing : Konsep Ruang dan Bentuk”, Dimensi
Teknik Arsitektur, vol. 30 , no. 1 (Juli 2002), h. 12.
55
Susunan ruangan dalam yang ada di bagi menjadi beberapa kamar,
yaitu kamar kiri (sentong kiwa), kamar tengah (sentong tengah) dan kamar
kanan (sentong tengen). Untuk golongan petani sentong kiwa berfungsi untuk
menyimpan senjata atau barang-barang keramat, sentong tengah untuk
menyimpan benih atau bibit akar-akaran dan gabah, sedangkan sentong tengen
untuk untuk tempat tidur. Pada konfigurasi ruang rumah Jawa dikenal adanya
dualisme (oposisi binair), antara luar dan dalam, antara kiri dan kanan, antara
daerah istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki (tempat placenta
yang biasanya diletakkan sebelah kanan) dan spirit wanita (tempat placenta
yang biasanya diletakkan pada bagian kiri), sentong kanan dan sentong kiri.
Konsep ruang dalam konteks budaya Jawa banyak dipengaruhi oleh
kepercayaan terdahulu dan secara konkret sering dihubungkan dengan tempat
(place). Nama-nama ruang menunjukkan keadaan spesifik masing-masing
ruang yang berhubungan dengan ciri fisik, fungsi, hubungan, letak atau
posisi.60
Masyarakat Jawa Tengah pada masa periode sebelum agama Hindu
sudah memiliki agama asli yang berintikan ajaran keseimbangan dengan alam.
Agar manusia dapat hidup terus maka harus berdamai dengan lingkungannya.
Masyarakat jawa mempunyai pedoman berarsitektur yang dinamakan
Primbon/ Petungan. Oleh sebab itu setiap benda yang berhubungan langsung
dengan benda-benda lainnya, maka masuk akal bahwa setiap perubahan pada
suatu titik tertentu membutuhkan suatu deretan peristiwa dalam makrokosmis
60
Gunawan Tjahjono, “Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition :
The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surrounding” (Disertasi S3,
University of California, 1989), h. 71.
56
yang bersangkutan harus didamaikan di dalam tembok yang mengelilingi
rumah tradisional. Jadi tembok yang mengelilingi rumah tinggal tradisional
melambangkan batasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Kosmologi
Jawa adalah horisontal, maksudnya menghubungkan suatu konsep budaya
dengan alam sekitarnya. Alam ini dipandang sebagai “Wadhah” yang besar
dan merupakan kesatuan serta keadaannya tetap. Isi alam semesta ini terdiri
dari dua kelompok elemen yaitu kelompok elemen yang tidak tampak (roh,
lelembut) dan yang tampak (bumi beserta isinya). Dalam usaha menjaga
keseimbangan dikenal adanya poros sakral Utara-Selatan. Dimana Utara
merupakan simbol keraton (penguasa daratan) dan Selatan sebagai simbol
Ratu Kidul, dewi Laut Selatan dan dewi pelindung kerajaan Mataram.61
Dalam kaitan dengan rumah Jawa sebagai manifestasi kesatuan makro
dan mikrokosmos serta pandangan hidup masyarakatnya, Koentjaraningrat
menyebutkan adanya klafisifikasi simbolik berdasarkan 2 kategori berlawanan
yang saling melengkapi dan mendukung, disebut dualitas (duality). Kategori
ini membagi rumah menjadi kanan-kiri, luar-dalam, sakral-profan, publik-
privat. Lebih jauh juga menyebutkan adanya centralitas (centre), yaitu
pemusatan atau penyatuan dalam tata ruang bangunan, dimana senthong
merupakan pusat dari dalem.
Kadang-kadang sentong tengah yang terletak dibagian Omah dipakai
pula untuk mengheningkan cipta dan berdoa kepada Tuhan, karena ruangan
tersebut merupakan tempat bagi pemilik rumah untuk berhubungan dan
61 J. Lukito Kartono, ”Manusia dan Rumah Tinggal ; Suatu Tinjauan Perspektif
Kebudayaan Timur dan Barat”, Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 27 , no. 2 (Desember 1999), h. 12.
57
menyatu dengan Illahi. Di samping itu juga dipergunakan sebagai tempat
pemujaan kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah
tangga. Oleh karena itu sentong tengah disebut juga pasren atau petanen.
Sentong tengah tersebut diberi batas dengan kain yang disebut lengse atau dari
gedhek berhias anyaman yang disebut patang-aring.62
Seperti disinggung di atas bahwa inti dari rumah tradisional Jawa
adanya sentong tengah atau yang biasa disebut krobongan, suatu ruang untuk
aktifitas pemujaan kepada roh leluhur, penghormatan kepada Dewi Sri, dan
penyimpanan beras. Tempat untuk menyimpan beras biasa dinamakan
pedaringan, yaitu sebuah gentong kecil. Yang biasa mengurusi pedaringan
adalah bagian kaum perempuan, orang laki-laki tidak boleh masuk ruangan
dimana pedaringan berada. Kedudukan sentong tengah sangat dominan dalam
aktifitas kehidupan masyarakat Jawa, yaitu menjadi sandaran kehidupan
sehari-hari bagi penghuni rumah.63 Kemakmuran di dunia disandarkan kepada
kebaikan dari Dewi Sri, Dewi Padi, Dewi Kesuburan, maka penghuni rumah
berusaha agar pedaringan tidak kosong. Keselamatan dan ketenteraman
disandarkan kepada kebaikan dari roh-roh leluhur, berusaha agar leluhur
mereka tetap berkenan, tidak marah terhadap mereka. Untuk itu pada saat-saat
tertentu dilakukan selamatan dan disiapkanlah sesaji, biasanya berupa satu
porsi makanan lengkap dengan minumannya. Makanan diletakkan di dalam
62
Sugiarto Dakung, “Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta”, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), h. 57.
63 Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal
Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan
Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 20.
58
takir,64
dan wadah minumannya berupa sebuah kendi65
kecil. Keduanya
diletakkan di dalam ruangan yang dianggap sakral, yaitu sentong tengah.
Demikianlah pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa ini
mencakup aspek tempat, waktu dan ritual. Rumah tinggal merupakan tempat
menyatunya jagad-cilik (micro cosmos) yaitu manusia Jawa dengan jagad-
gede (macro-cosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang
menguasainya. Bagi orang Jawa rumah tinggalnya merupakan poros dunia
(axis-mundi) dan gambaran dunia atau imago-mundi dan memenuhi aspek
kosmos dan pusat.
64
Takir merupakan sebuah wadah yang terbuat dari daun pisang. 65 Kendi merupakan tempat untuk menyimpan air dan berfungsi sebagai tempat minum,
terbuat dari tanah liat.
59
BAB IV
RUMAH TRADISIONAL KUDUS SETELAH BERKEMBANGNYA
ISLAM DI KUDUS
A. Tinjauan Sejarah
Seperti rumah Jawa pada umumnya, sampai sekarang, belum ada
catatan sejarah yang memberikan keterangan dengan pasti kapan dimulai
kemunculan dan berkembangnya rumah Kudus. Dari sebuah sumber lisan,
diperoleh informasi bahwa perkembangan rumah Kudus mengalami puncak
kejayaan di sekitar abad ke-17 dan ke-18 M. Rumah adat Kudus asli pada
awalnya hanya terdapat di Kudus Kulon di sekeliling masjid Menara Kudus.
Rumah adat Kudus biasa kebanyakan terdapat pada jarak 10-25 km dari masjid
Menara Kudus. Pembagian tata letak tersebut diambil dengan tinjauan historis,
sesuai dengan sejarahnya.
Dalam Tesis yang berjudul “Makna Ruang dan Penataannya dalam
Arsitektur Rumah Kudus”, pada lampiran, Triyanto menampilkan sebuah
gambar rumah tradisional Kudus milik bapak Haji Saleh Syakur. Pada salah
satu elemen gebyok atau dinding rumah memperlihatkan angka tahun
pembuatannya, yaitu tahun 1828 M. Angka tahun pendirian ini terpahat pada
salah satu dinding tersebut. Sementara pada rumah-rumah yang lain, yang
tidak terdapat angka tahun pembuatannya, bisa jadi dibuat sebelum, pada, atau
sesudah masa-masa tahun tersebut. Kemudian penjelasannya bahwa pada
sekitar tahun 1700-an hingga 1800-an M sekelompok orang-orang Kudus,
60
khususnya penduduk Kudus Kulon, yang bermata pencaharian pada umumnya
sebagai pedagang tembakau, pengusaha rokok kretek, ataupun pengusaha di
bidang jahit menjahit, mengalami masa-masa gemilang. Usaha mereka yang
sukses tersebut menjadikan status ekonominya meningkat pesat. Status inilah,
agaknya, yang menjadi salah satu faktor pendorong bagi mereka untuk
berlomba-lomba menjalankan ibadah haji ke Mekkah dan membangun rumah
dengan selera yang indah dan megah menurut ukuran tradisi pada waktu itu.
Dapat dikatakan bahwa kemunculan dan berkembangnya rumah Kudus,
dipelopori oleh para saudagar Kudus yang pada umumnya adalah sebagai
pemeluk Islam yang telah menunaikan ibadah haji. Rumah Kudus yang
berukir indah itu adalah manifestasi golongan keturunan Sunan Kudus yang
kaya, terpandang dan maju kehidupan ekonominya.66
Adapun mengenai perkembangan rumah Kudus, oleh warga
masyarakat setempat sering dikaitkan dengan cerita rakyat bahwa pada masa
lalu, terdapat seorang tokoh sakti yang bernama Rogomoyo. Pada masa
hidupnya, Rogomoyo ini dikenal dengan sebagai seorang kalang atau tukang
kayu yang ahli membuat rumah tradisional Jawa yang indah. Karena daya
kesaktian yang dimiliki sedemikian kuatnya, ia dapat membuat rumah yang
tahan api atau tidak mudah terbakar. Kehebatan inilah yang mendorong orang-
orang kaya di Kudus Kulon pada waktu itu tertarik meminta jasa Rogomoyo
untuk membuat rumahnya. Setelah Rogomoyo meninggal dunia, model rumah
hasil karyanya yang kemudian banyak ditiru atau dikembangkan lebih lanjut
66 Danang Priatmodjo, ”Anatomi Rumah Adat Kudus”, (Laporan Penelitian, Fakultas
Tekhnik, Universitas Tarumanegara, 1988), h. 2-3.
61
oleh orang-orang kaya di Kudus.67
Sampai sekarang ini di Desa Prokowinong,
Kudus Kulon terdapat sebuah makam keramat yang dipercayai sebagai
makam Rogomoyo.
Selain cerita rakyat mengenai kisah Rogomoyo, di Kudus juga
berkembang cerita rakyat lainnya yang memiliki kaitan dengan kespesifikan
rumah Kudus, terutama yang berkaitan dengan kemunculan dan
berkembangnya hiasan ukiran rumah. Seni ukir diperkenalkan di Kudus ketika
emigran asal Yunan, The Ling Sing, tiba sekitar abad ke-15 M. Tokoh muslim
Cina tersebut hidup semasa perjuangan Ja’far Sodiq dalam mengembangkan
agama Islam di Kudus. Selain ahli di bidang agama, The Ling Sing atau yang
disebut Kyai Telingsing terkenal juga sebagai pemahat dan pengukir yang
hebat, dan kemudian juga membagikan ilmunya untuk seni mengukir kayu
dengan gaya Sun Ging sebagai sebuah mahakarya ukiran kayu karena
kehalusan dan keindahannya (Nyungging). Nama Kyai Telingsing ini sampai
sekarang diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Kudus. Di sepanjang
jalan tersebut juga terdapat sebuah kampung atau desa yang bernama
Sunggingan yang diperkirakan berasal dari kata Sun Ging tersebut. Daerah
tersebut diperkirakan merupakan tempat tinggal para pengukir dan pemahat
hasil didikan dari Kyai Telingsing. Jadi jelas disini akan adanya pengaruh
pertukangan kayu Cina pada rumah tradisional Kudus. Rumah tradisional Kudus
yang letaknya tidak jauh dari komplek Mesjid Menara Kudus. Mesjid Menara
terletak di daerah kampung Kauman. Daerah Kauman merupakan daerah
67 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2,
Universitas Indonesia, 1992), h. 178.
62
pedagang kelas menengah Muslim yang bermukim disekitar mesjid. Dulu
daerah ini banyak dihuni oleh pedagang dan tukang Cina Muslim, yang
bercampur dengan pedagang muslim setempat. Keluarga Cina–Jawa yang
masuk Islam bergabung dengan masyarakat Kauman.68
Beberapa versi cerita lain yang mewarnai perkembangan rumah
Kudus, menuturkan adanya keterkaitan dengan pengaruh seni ukir di kota
Jepara yang berkembang sekitar abad ke-16 M. Antara lain, yang pertama, di
Kudus dahulunya merupakan pusat pengrajin ukir, sebelum dikembangkannya
keahlian tersebut di daerah Jepara, kedua, beberapa saudagar kaya di Kudus
mendatangkan para pengrajin ukir kota Jepara untuk menghiasi rumah yang
akan dibangun dengan ukiran-ukirannya, ketiga, sebagian warga masyarakat
Kudus ada yang belajar mengukir di Jepara dan kemudian
mengembangkannya di Kudus, keempat, sebagian pengrajin ukiran Jepara atas
inisiatifnya sendiri pindah atau berumah tangga di Kudus kemudian menetap
dan mengembangkan keterampilannya di tempat yang baru.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, bahwa rumah
tinggal tradisional Kudus yang kondisinya masih bisa dilihat hingga sekarang,
beratap joglo pencu dan dihiasi ukiran di bagian ruang dalamnya, dibangun
setelah tahun 1749 M dan sebelum tahun 1920 M atau 1945 M. Meliputi dua
periode, yaitu periode pertama dari tahun 1749 M hingga sebelum 1870 M dan
68 De Graaf, H.J, Th.G.Th. Pigeaud, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara
Historisitas dan Mitos, terjemahan dari Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries: The
Malay Annals of Semarang and Cirebon (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1998), h. 183-186.
63
periode kedua mulai tahun 1870 M hingga sebelum tahun 1920 M atau hingga
tahun 1945 M.69
Terlepas kemungkinan mana dari versi cerita tersebut di atas yang
paling dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kepastian tersebut
memang masih perlu untuk diselidiki lebih lanjut. Tetapi yang jelas rumah
adat Kudus merupakan suatu wujud nyata dari akulturasi kebudayaan yang
menghasilkan arsitektur rumah tinggal yang megah, indah dan sarat dengan
nilai sosio kultural. Arsitekturnya nyaris mengungkapkan kesempurnaan
proses penggabungan kebudayaan dan berhasil mendirikan rumah tradisional
yang khas.
B. Bentuk Fisik Bangunan Induk
Secara keseluruhan, bila dilihat dari variasi bentuk-bentuk rumah
Jawa, maka rumah Kudus yang dibahas dalam skripsi ini dapat
dikelompokkan ke dalam rumah bentuk gabungan joglo pencu dan kampung
serta dihiasi ukiran di bagian ruang dalamnya, yang oleh masyarakat setempat
diistilahkan dengan sebutan omah adat pencu. Bahwa jika ditelusuri dari
pengelompokkan bentuk-bentuk rumah Jawa, bentuk rumah Kudus ini
termasuk dalam kategori rumah joglo kepuhan limolasan dan rumah kampung
gajah ngombe.70
69
Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan
Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 127. 70 Danang Priatmodjo, “Anatomi Rumah Adat Kudus” (Laporan Penelitian Fakultas
Teknik, Universitas Tarumanegara, 1988), h. 40.
64
Secara fisik, lingkungan rumah Kudus terdiri dari bagian-bagian yang
satu sama lain saling berkaitan dan secara keseluruhan berfungsi sebagai
tempat hunian. Bagian-bagian tersebut terdiri atas : bangunan rumah induk,
bangunan sumur / kamar mandi / WC, halaman atau pekarangan, pintu masuk
atau gapura beserta dengan pagar keliling. Khusus bagi pemilik rumah yang
memiliki jumlah anggota keluarga cukup banyak dan tidak tertampung dalam
rumah induk, biasanya di sebelah samping kanan atau kiri halaman depan
diberi tambahan bangunan berupa bilik-bilik kamar.
Secara keseluruhan, pada dasarnya bangunan induk rumah Kudus
merupakan gabungan dari bentuk dasar empat persegi panjang dan bujur
sangkar. Penentuan tersebut didasarkan atas jatuhnya garis atap, dan bila
dilihat lebih lanjut bentuk atap tersebut terdiri atas dua bentuk atap, yaitu atap
joglo pencu dan kampung. Sementara bangunan tambahan, pada umumnya
berbentuk dasar empat persegi panjang dengan berbentuk atap kampung.
Kesemua bangunan induk tersebut yang memiliki orientasi menghadap ke
arah selatan, dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu bangunan utama dan
bangunan pendukung. Bangunan utama memiliki bentuk dasar bujur sangkar
beratap pencu dengan tritisan depan dan tritisan belakang lebar. Pusat atap
pencu merupakan puncak dari bagian ruang yang dianggap paling sakral atau
pribadi. Tritisan depan untuk menaungi ruang yang bersifat publik. Sementara
tritisan belakang menaungi daerah pawon atau dapur. Sementara bangunan
pendukung merupakan bangunan pawon yang memiliki bentuk dasar empat
persegi panjang dengan penutup atapnya berbentuk kampung. Bangunan
65
pendukung tersebut letaknya dapat berada di sebelah kanan atau kiri bangunan
utama.
Seperti bangunan rumah tradisional di Jawa pada umumnya, secara
fisik komposisi vertikal atau tegaknya bangunan induk rumah Kudus terdiri
atas tiga bagian pokok. Pertama, bagian bawah berupa lantai yang berjenjang
ke atas dari permukaan tanah atau yang disebut dengan berbancik duwur
(bancik artinya lantai, duwur artinya tinggi). Kedua, bagian tengah terdiri atas
tiang-tiang dan dinding-dinding penyekat ruang beserta dengan panil-panil
pintunya. Ketiga, bagian atas yang berupa atap dengan penutupnya berupa
genteng tanah liat yang dibakar. Masing-masing kelompok bagian dari
komposisi bangunan induk tersebut yang terdiri dari beberapa bagian-bagian
menurut fungsinya masing-masing dengan menggunakan teknik konstruksi
dan penataan tertentu.
Sistem pembagian ruang pada rumah tinggal tradisional Kudus
tergolong sederhana, yaitu meliputi jagasatru, senthong dan pawon.
1. Jagasatru
Jagasatru berarti menjaga dari serangan ataupun perbuatan jahat
yang berasal dari lawan, berfungsi sebagai ruang tamu. Di ruang ini
terdapat satu atau dua tiang yang disebut sanggah, letaknya di depan
sebelah kanan atau kiri pintu utama (masuk ke senthong). Letak posisi
tiang, menurut sebagian masyarakat setempat, menjelaskan status
pemilikan rumah. Apabila letaknya di sebelah kanan menunjukkan bahwa
yang membangun rumah adalah pihak laki-laki, sedangkan bila letaknya di
66
sebelah kiri berarti dibangun oleh pihak perempuan, dan jika tiangnya ada
dua, di sebelah kanan maupun di sebelah kiri berarti rumah dibangun
bersama suami istri. Ketentuan letak sanggah di sebelah kanan atau kiri
memang masih rancu tetapi keberadaannya bisa diterima akal, yaitu dalam
rangka mengantisipasi masalah-masalah yang akan timbul berkaitan
dengan pembagian hak waris.71 Pada awalnya jagasatru hanya untuk
menerima tamu, terutama tamu laki-laki sedangkan tamu perempuan
diterima di pawon. Oleh karena itu, disamping adanya pintu tengah yang
menuju ke senthong, di bagian samping kanan atau kiri atau dua-duanya
terdapat pintu yang menghubungkan jagasatru dengan pawon. Selain itu,
untuk pemilik rumah yang melaksanakan ibadah shalat di ruangan
jagasatru, maka disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian,
sebelah kiri untuk jamaah perempuan dan sebelah kanan untuk jamaah
laki-laki.72 Di bagian depan terdapat pintu inep yang dilengkapi dengan
kunci gembok dari logam kuningan, sebagai pintu utama masuk ke
jagasatru, terletak di tengah, dan di samping kanan dan kirinya terdapat
pintu sorong. Pintu yang disebut terakhir ada dua buah, bagian dalam dan
luar. Pintu sorong bagian luar pada umumnya lebih pendek yang lebih
dikenal dengan pintu kere. Pada kenyataannya, pintu tengah dan pintu inep
jarang dibuka, aktifitas sehari-hari mempergunakan pintu sorong dan pintu
penghubung jagasatru dan pawon.
71
Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan
Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 100. 72 J. Pamudji Suptandar, “Seni ukir dan Ornamen dalam Rumah Adat Kudus”,
artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.gebyokcenter.com
67
Lantai jagasatru terbuat dari ubin tegel dengan pola-pola tertentu
dan terkesan bersih, ketinggian peil lantai lebih tinggi dari tanah halaman.
Untuk naik ke lantai jagasatru dari halaman dibuatkan trap dengan
penyelesaian yang sama dengan lantai jagasatru. Antara jagasatru dengan
senthong dan pawon dibatasi oleh gebyok.73 Ornamen yang ada di dalam
jagasatru meliputi dua perangkat meja kursi tamu, satu dengan model
pendek untuk tamu perempuan, terletak di sebelah kiri atau kanan yang
dekat dengan pintu yang menghubungkan ke pawon, dan seperangkat yang
lain terletak di seberangnya, untuk tamu laki-laki. Tepat di depan pintu
utama yang berada di tengah terdapat ancik-ancik atau pijakan kaki yang
terbuat dari kayu berukir, sebab terdapat perbedaan tinggi antara peil lantai
jagasatru dan senthong.
2. Senthong
Senthong adalah ruang dalam rumah tinggal tradisional Kudus. Di
tengah-tengah senthong terdapat empat buah sakaguru yang menjadi
pendukung utama struktur dan konstruksi atap. Konstruksi sistem rangka
tersebut, dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur rangka makro
dan struktur rangka mikro. Struktur rangka makro, adalah susunan rangka
balok dan kolom yang secara keseluruhan membentuk ruang tamu,
gedhongan dan pawon. Sedangkan struktur rangka mikro, adalah susunan
rangka balok dan kolom yang membentuk seluruh ruang yang disebut
73
Gebyok adalah dinding panel kayu yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran, pada salah
satu bagiannya terdapat pembatas antara jagasatru dan senthong terdapat jendela kecil yang
berjeruji kayu yang dahulu berfungsi untuk melihat bagi perempuan kepada calon suaminya yang
sedang bertamu.
68
senthong. Letaknya ada pada ruang gedhongan dan merupakan struktur
tersendiri seolah terlepas dari ikatan struktur makro, sehingga dapat
dikatakan juga sebagai struktur ruang di dalam ruang.
Lantai terbuat dari susunan papan kayu jati atau disebut dengan
gladag yang letaknya lebih tinggi dengan peil halaman. Pada bagian
tengah hingga ke belakang senthong, kadang-kadang terdapat peninggian
peil lantai yang lebih menyerupai amben 74 yang luas tanpa kaki. Di dalam
senthong terdapat gedhongan, yaitu sebuah ruangan atau bilik yang
letaknya di bagian tengah dan agak mundur ke belakang.75
Gebyok muka
gedhongan juga dipenuhi ukiran dengan berbagai ragam motifnya.
Pintunya dilengkapi dengan gembok untuk lebih memperkuat keamanan.
Ada kalanya di dalam gedhongan terdapat sebuah kamar rahasia yang
ukurannya relatif kecil dan dilengkapi dengan pintu sorong atau geser
yang ukurannya juga sangat kecil. Letak pintu tersebut, ada yang berada di
bagian belakang dan ada juga yang berada di bagian bawah atau lantai
gedhongan. Pada awalnya ruangan ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan barang-barang berharga yang juga sebagai tempat yang
disucikan, sakral, dan dikeramatkan dipakai untuk menyimpan benda
pusaka serta harta pemiliknya. Tidak sembarang orang boleh masuk ke
dalam gedhongan. Ruangan ini merangkap juga sebagai tempat tidur
utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai
74
Amben adalah ruangan yang berada dibelakang senthong yang juga dapat berfungsi sebagai tempat shalat keluarga yang dahulunya berfungsi sebagai tempat tidur bersama bagi anak-
anak terutama laki-laki. 75 Pada rumah tradisional Jawa bagian selatan, ruang dalam dinamakan griya ageng atau
omah jero, sedangkan bilik atau ruang yang berada di griya ageng dinamakan senthong.
69
ruang tidur pengantin bagi anak-anak pemiliknya. Pada saat ini ruang-
ruang tidur tidak lagi di dalam gedhongan namun berada di samping kanan
dan kiri gedhongan. Dahulunya, bagi keluarga yang tidak mampu
membuat senthong kanan ataupun kiri, orangtua tidur mengambil tempat
di salah satu bagian omah jero (bukan di senthong tengah yang sakral)
dimana pembatas ruangnya berupa sketsel-sketsel atau aling-aling. Hal
tersebut juga berlaku bagi anak gadis yang sudah dewasa. Bagi anak laki-
laki, bersama-sama tidur di atas sebuah amben atau bale-bale yang lebar
yang ada di salah satu bagian omah jero. Pada rumah tradisional Kudus, di
depan gedhongan juga terdapat amben.
Di sebelah kiri atau kanan senthong terdapat pintu yang
menghubungkan ke pawon. Pintu berukuran agak besar dan pada separuh
bagian atasnya didesain seperti jendela, sehingga orang di senthong dan
pawon dapat saling berkomunikasi tanpa harus membuka pintunya, tetapi
cukup membuka daun jendela di bagian atas pintu. Ornamen yang terdapat
di ruangan senthong antara lain dua buah kotak kecil atau botekan di
sebelah kanan dan kiri depan gedhongan berfungsi menyimpan alat-alat
kecantikan, dan sebuah lagi untuk menyimpan obat-obatan dan jamu. Di
depannya terdapat satu atau dua buah meja marmer yang dilengkapi kursi,
sebagai meja berhias anak-anak gadis. Menempel gebyok di samping
kanan atau kiri terdapat almari untuk menyimpan pakaian dan yang lain
untuk menyimpan barang pecah belah. Di sebagian rumah tinggal
tradisional Kudus, gebyok senthong bagian belakang atau samping yang
70
tidak berbatasan dengan pawon dibuat melengkung keluar, tidak berdiri
lurus sebagaimana layaknya sebuah bangunan, hal ini dimaksudkan agar
pemilik rumah banyak rezekinya.
3. Pawon
Pawon artinya adalah dapur. Rumah tinggal tradisional Kudus pada
umumnya memiliki pawon berukuran besar, sehingga dapat dibagi
menjadi dua, yaitu pawon alit (kecil) berfungsi sebagai tempat memasak
dan ruang makan dan pawon ageng (besar) berfungsi sebagai ruang
keluarga, yang pada awalnya juga untuk menerima tamu perempuan. Pada
bagian atas, biasanya juga difungsikan sebagai gudang, tempat menyimpan
beras atau lumbung padi dan tanaman ladang. Letak pawon dapat berada
di kanan atau di kiri, berhimpit dengan bangunan rumah inti dengan
struktur dan konstruksi atap yang berbeda, pada umumnya berbentuk atap
kampung atau ada juga yang disebut bentuk kampung gajah ngombe. Pada
kenyataannya, anggota keluarga Kudus Kulon melakukan aktifitas sehari-
hari sebagian besar di pawon. Selain adanya pintu yang menghubungkan
dengan jagasatru dan senthong, di bagian depan pawon juga terdapat
sebuah pintu yang fungsinya untuk aktifitas keluar masuk. Bahan lantainya
terbuat dari tanah liat yang sudah dicetak dan dibakar (batu bata) atau
hanya berupa tanah saja, namun semakin berkembangnya waktu dan
perubahan pandangan dari pemilik rumah, bahan lantai sudah berganti
dengan ubin tegel atau keramik. Ketinggian lantai pawon lebih rendah dari
lantai jagasatru atau minimal setara.
71
Bangunan sumur / kamar mandi / WC, tidak seperti pada rumah
tradisional di Jawa pada umumnya, fasilitas bangunan kamar mandi atau
pakiwan, rumah adat Kudus memiliki bentuk dan penempatan tersendiri
berupa bangunan tembok dengan atap pada kamar mandi berbentuk atap
kampung atau panggang pe. Dahulu, kamar mandi hanya dibatasi oleh
dinding-dinding setinggi sedikit di atas orang dewasa, dengan sebuah pintu di
sebelah timur, tanpa penutup atap. Jika ada orang yang mempergunakan
kamar mandi, maka dia menaruh kainnya di atas tembok sebagai
“pemberitahuan” bahwa kamar mandi sedang dipakai. Bangunan pakiwan
atau yang biasa disebut sebagai bangunan kamar mandi adalah sebagai simbol
agar manusia membersihkan diri baik fisik maupun rohani. Tanaman di
sekeliling pakiwan, misalnya : pohon belimbing yang melambangkan 5 rukun
Islam, pandan wangi sebagai simbol rejeki yang harum / halal dan baik, bunga
melati yang melambangkan keharuman, perilaku baik dan berbudi luhur, serta
kesucian abadi.
Fasilitas halaman atau pekarangan yang ada merupakan ruang terbuka
yang ditanami dengan berbagai tanaman hiasan dan tanaman produktif buah-
buahan berupa mangga ataupun jambu. Bentuk dasar halaman pada umumnya
memiliki bentuk empat persegi panjang.
Fasilitas lain yang berkenaan dengan segi keamanan adalah pagar
keliling rumah yang terbuat dari bangunan tembok yang dilengkapi dengan
pintu masuk halaman baik dari arah muka ataupun dari samping rumah. Pintu
masuk ke pekarangan rumah agak kecil dan pada umumnya tidak tembus
72
pandang, tetapi ada juga yang bagian atasnya tembus pandang berjeruji besi.
Di bagian atas atau samping pintu luar disediakan bel untuk menyatakan
permisi masuk atau kulonuwun kepada pemilik rumah.
C. Komponen Pendukung Bangunan Pada Setiap Bagian Rumah
Rumah adat Kudus memiliki keunikan tersendiri dalam
pembangunannya, karena didasarkan atas dasar-dasar filosofis dan misinya
dalam setiap bagian ruangan. Para pemilik bangunan rumah Kudus memiliki
maksud agar keturunannya dapat memahami dan mau menjalankan apa yang
terkandung dalam setiap unsur-unsur simbolik yang terwujud pada setiap
komponen pendukung bangunan rumah adat tradisional Kudus.
1. Lantai
Salah satu ciri khas rumah Kudus adalah rumah berbancik duwur
atau berlantai tinggi. Peletakan lantai ruangan di dalam rumah disusun
secara hirarki ke dalam lima jenjang. Jenjang bagian pertama hingga
ketiga berupa undak-undakan lantai pada teras depan rumah. Jenjang
keempat adalah letak lantai pada ruang jagasatru dan ruangan pawon.
Jenjang terakhir yang paling tinggi adalah lantai ruang gedhongan yang
merupakan jenjang kelima dan yang terakhir. Bagi warga masyarakat
pemilik rumah yang bersangkutan kelima jenjang tersebut merupakan
simbol dari Rukun Islam. Secara umum, kelima jenjang lantai tersebut
mengandung pesan bahwa penghuni rumah harus berdiri kokoh di atas
73
dasar lima hal tersebut jika ingin memperoleh predikat sebagai orang yang
bertaqwa.
2. Langit-Langit / Ceiling
Pada umumnya rumah tradisional di jawa tidak mempunyai langit
langit, sehingga rusuk atap dan genteng tampak nyata seutuhnya. Ruang
tanpa ceiling memiliki segi positif dan negatif. Positif, karena tanpa ceiling
menjadikan aliran udara lebih cepat dan ruangan tidak terasa panas.
Negatif, karena tanpa ceiling, kotoran dari atap bisa langsung jatuh
kedalam ruangan.
3. Dinding
Keistemewaan rumah tradisional dikudus terlihat pada dindingnya
yang dipenuhi ornamen berupa ukir ukiran dalam berbagai motif, bagian
dinding depan terbuat dari kayu jati dan pada dinding bagian belakang
rumah sengaja dibuat seolah olah mengelembung. Secara simbolik
pengelembungan dinding menggambarkan kemakmuran, seperti halnya
simbol perut buncit yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan.
4. Pintu
Pintu rumah sebanyak 4 lembar yaitu pintu depan, pintu
tengah,pintu menuju ke ruang dapur dan pintu menuju ke kamar mandi.
Pintu utama dibagian depan terdiri dari 2 lapis yaitu pintu sorong dan pintu
utama. Pintu yang di tengah berdaun pintu dua dilengkapi dengan kunci
gembok di bagian dalam, pintu ini jarang dibuka, disebut pula pintu inep.
Pintu di sebelah kanan dan kiri pintu inep ditutup dengan perantaraan
74
pintu sorong, yaitu di sebelah luar disebut pintu kere dan di sebelah dalam
berupa pintu berpanil. Berarti ada 4 buah pintu sorong di rumah inti.
5. Jendela
Jendela hanya pada gedongan, berfungsi sebagai sarana untuk
sistem pencahayaan dan sistem pengudaraan, selain itu juga memiliki nilai
kultural, khususnya anak perempuan yang sedang menginjak usia remaja
dilarang keluar rumah dan apabila ada tamu yang bertandang untuk
meminang, maka anak perempuan dilarang keluar dari kamar dan satu-
satunya kesempatan bagi si wanita untuk melihat keluar atau mengintip
calon kekasih dilakukan lewat jendela tersebut.
6. Tiang
Ciri khas lainnya dari rumah tradisional Kudus adalah tiang
tunggal atau soko geder yang berada di ruang jagasatru, yang terletak di
depan pintu masuk yang berada di tengah-tengah ruangan. Tiang tersebut
disebut juga dengan tiang keseimbangan.
Pada ruang dalam yaitu di ruang gedhongan terdapat empat tiang
utama yang disebut saka guru. Keempat tiang ini melambangkan empat
hakikat kesempurnaan hidup dan dimaksudkan sebagai simbol empat
nafsu yang senantiasa menyertai diri manusia, yaitu nafsu luamah, yaitu
kehendak yang mengajak kepada keserakahan atau ketamakan, nafsu
amarah, yaitu nafsu lekas marah atau kehendak yang suka mengajak
kepada perbuatan yang menyimpang dari peraturan, nafsu supiah, yaitu
nafsu birahi, nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang tenang dan suka
75
mengajak kepada perbuatan yang baik yaitu kemurnian dan kejujuran.76
Keempat nafsu tersebut, bagi masyarakat Jawa dapat juga diartikan
sebagai tingkatan-tingkatan yang harus dilalui untuk menyatu dengan
Tuhan.77
• Luamah atau Syariat (sembah raga)
• Amarah atau Tarikat (sembah kalbu)
• Supiah atau Hakekat (sembah jiwa)
• Mutmainah atau Makrifat (sembah rasa)
Keempat saka guru tersebut juga ditafsirkan sebagai hakikat dari sifat
nafsiyah, salbiyah, mangani, dan maknawiyah. Dengan menghadirkan
keempat saka guru tersebut sebagai simbol empat nafsu tersebut, para
pemilik rumah ingin agar penghuni rumah selalu mengingat akan
pentingnya mengendalikan keempat nafsu yang menyertai dirinya.
Kemudian, di atas keempat tiang saka guru tersebut, terdapat
sejumlah susunan balok yang dinamakan tumpang sari sebagai pengerat
yang jumlah susunan baloknya selalu ganjil dan jumlah yang dimaksud
selalu membawa makna dan juga bervariasi, yaitu tiga, lima, tujuh, dan
sembilan susunan.
Balok tumpang sari yang berjumlah tiga, dimaksudkan untuk
mengingatkan kehidupan manusia di tiga alam, yaitu alam arwah, fana,
dan akhirat.
76
Soesilo, Sekilas Tentang Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup (Surabaya :
Medayu Agung, 2000), h. 107. 77 Soesilo, Sekilas Tentang Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup, h. 196.
76
Untuk balok tumpang sari yang berjumlah lima, dimaksudkan
sebagai simbol jumlah kewajiban dan waktu shalat wajib lima kali sehari
semalam, yaitu Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Pesan yang
terkandung dalam simbol ini adalah untuk mengingatkan kepada seluruh
anggota keluarga agar tidak melupakan kewajiban shalatnya yang sangat
penting sesuai dengan waktu-waktu yang telah ditentukan tersebut.
Kemudian balok tumpang sari yang berjumlah tujuh, dimaksudkan
sebagai simbol gambaran alam semesta atau langit yang terdiri dari tujuh
lapisan. Simbol ini mengandung makna sebagai sarana untuk mengingat
akan kebesaran Allah sebagai penguasa dan pencipta, dan menyadarkan
manusia betapa kecil dirinya di hadapan Allah. Dengan simbol ini,
diharapkan agar seluruh penghuni rumah tidak menyombongkan diri
dengan status dan kedudukan yang dimilikinya, serta senantiasa tunduk
dan patuh kepada Allah.
Dan yang terakhir, balok tumpang sari yang berjumlah sembilan,
dimaksudkan sebagai simbol Walisanga (termasuk juga Sunan Kudus).
Mengingat Walisanga berarti pula mengingat Sunan Kudus berikut ajaran-
ajarannya yang pernah disampaikan semasa perjuangannya di kota Kudus.
Wali Sanga semuanya bergelar Sunan, suatu singkatan dari Susuhunan,
artinya yang dijunjung tinggi. Nama-nama Walisanga : Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik); Raden Rahmat (Sunan Ampel); Mahdum Ibrahim
(Sunan Bonang); Syarifudin (Sunan Drajat); Raden Paku (Sunan Giri);
Raden Umar Said (Sunan Muria); Joko Said (Sunan kalijaga); Jaffar Sidiq
77
(Sunan Kudus); Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).78
Akan tetapi,
menurut Kitab Walisana karya Sunan Giri II (Anak Sunan Giri), jumlah
mereka bukan sembilan orang, tapi delapan orang. Nama Walisana yang
menjadi nama judul kitab tersebut tidak mengacu bilangan sembilan.
Dikatakan juga, selain delapan wali tersebut terdapat ribuan wali lainnya.
Walisanga ditulis dalam Serat Walisanga karya pujangga Mataram R. M.
Ng Ranggawarsita pada abad 19 sebagai walisanga, wali sembilan.
Sebagian berpendapat, kata sanga (baca: songo) merupakan perubahan dari
kata tsana (mulia, Arab). Maka, walisana berarti wali-wali mulia atau
terpuji. Yang lainnya melihat kata sana diambil dari bahasa Jawa kuno
yang berarti tempat. Karenanya, walisana berarti wali atau kepala suatu
tempat atau daerah. Namun kebanyakan pakar sepakat, bahwa Walisanga
merupakan kumpulan ulama dengan dakwah yang bertujuan menegakkan
agama Allah.79
Kembali ke tumpang sari yang berjumlah sembilan, karena
tumpang sari ini membentuk segi empat dengan masing-masing sisi
memiliki susunan balok sembilan buah, maka jika balok pada sisi kanan
dan kiri serta juga sisi muka dan belakang dijajarkan masing-masing akan
membentuk angka yang berjajar sama pula, yaitu sembilan puluh
sembilan. Angka 99 inilah yang oleh masyarakat pemilik rumah yang
bersangkutan dimaksudkan sebagai simbol Asmaul Husna yaitu nama-
78
Bindy, “Proses masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://bindyandthedamn.blogspot.com/2008/02/proses-masuk-dan-
berkembangnya-islam-di.html 79 “Sejarah Islam Nusantara”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari
http://swaramuslim.net/galery/islam-indonesia/index.php?page=sabili-1c-risalah_islam_indonesia
78
nama dan sifat-sifat Allah yang berjumlah 99. Dengan mengingat akan
nama-nama dan sifat-sifat suci Allah tersebut, seluruh penghuni rumah
berharap senantiasa mendapat perlindungan dan keselamatan dari Allah.
Karena mereka percaya apabila menyebut dan mengingatnya di luar
kepala, akan dimasukkan ke dalam surga Allah SWT.
D. Ragam Hias
Seni ornamen ukiran yang terdapat pada unsur-unsur bangunan
merupakan unsur-unsur simbolik yang penting dan tidak terpisahkan dari
keseluruhan tata ruang rumah Kudus. Secara umum, aneka ornamen ukiran
yang menjadi unsur-unsur simbolik dalam tata ruang itu terwujud dalam
bentuk pola hias : geometrik, tumbuh-tumbuhan, kedok, binatang, mahkota
dan arabesk.80
Unsur-unsur simbolik dalam ornamen ukiran yang berpola hias
geometrik, pertama, adalah motif swastika atau banji. Ukiran dengan motif
ini, terdapat pada pintu sorong dan lis atau balok dasar pada dinding ruang
jogosatru, kedua, simbol berikutnya dari ornamen ukiran yang berpola hias
geometrik adalah motif hias sorot (antefik atau tumpal). Pola hias sorot itu,
tersusun atas tiga pengulangan bentuk yang sama dari bawah ke atas dalam
suatu bidang kayu segi empat yang ditempatkan pada bagian bawah tiang-
tiang dinding ruang jogosatru, ketiga, pola hias geometrik dalam suatu bidang
kayu segi empat dengan motif dasar wajikan yang di dalamnya terisi oleh
80 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2,
Universitas Indonesia, 1992), h. 266.
79
unsur patran (abstraksi daun waru). Ornamen ukiran ini terwujud dalam enam
susunan memusat dengan abstraksi bentuk bunga sebagai pusatnya. Ukiran
dengan motif ini, terdapat pada tiang-tiang dinding ruang jogosatru, keempat,
motif masjid, berbentuk segiempat dikombinasikan dengan bentuk mendekati
setengah lingkaran diatasnya, seperti bentuk pintu atau jendela masjid. Pola
seperti ini terdapat pada gebyok bagian depan, di kanan dan kiri pintu,
terakhir, pola hias geometrik tetesing embun yang memenuhi bidang balok-
balok tumpang sari dalam aneka perwujudan bentuk (tumpal, meander, pilin).
menjadi salah satu simbol dalam tata ruang rumah Kudus adalah ukiran pada
tumpang sari di ruang gedongan. Hiasan ukiran tersebut terdapat pada
tumpang sari di ruang gedongan.
Unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola hias tumbuh-
tumbuhan, pertama, motif hias abstraksi daun pisang. Terdapat pada balok
dasar dinding ruang jogosatru yang mengelilingi dasar dinding ruang, kedua,
motif hias buah nanas. Hiasan ini umumnya menggantung di bawah dodo
peksi atau pertengahan balok blandar ruang jogosatru (di depan pintu masuk
ruang gedongan), ketiga, motif bunga telasih, yang kadang berdiri sendiri atau
adakalanya dipadu dengan pola hias tumbuh-tumbuhan menjalar. Motif hias
bunga yang tersebar hampir di semua panel-panel dinding, tiang, atau balok
pada ruang jogosatru, pawon, dan gedongan, bahkan juga pada genteng atap
atau wuwungan, keempat, motif kelopak daun yang bentuknya seperti jari-jari
manusia. Hiasan ini terdapat pada bagian paling atas tiang di ruang jogosatru.
80
Unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola hias kedok
atau motif wajah, perwujudan hiasan itu terwujud dalam abstraksi bentuk
wajah (motif kala pada candi) dengan mata yang terbuka lebar sebagai tanda
selalu waspada mengamati atau berjaga-jaga. Secara sepintas memang tidak
terlihat menggambarkan abstraksi sebuah wajah atau kedok. Hiasan itu terukir
pada panel-panel dinding ruang jogosatru.
Unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola hias binatang,
pertama, adalah ukiran ular naga (liong) yang disamar dalam rangkaian
tumbuh-tumbuhan menjalar. Karena tersamar, secara sepintas hiasan ini
memang tidak memperlihatkan motif ular naga. Ukiran tersebut terdapat pada
undak di ruang jogosatru tepat di muka pintu masuk ruang gedongan, kedua,
motif burung phoenix atau sebagian orang menyebutnya burung hong. Hiasan
ini terukir pada ambang tengah pintu sorong kere.
Unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola hias mahkota,
biasa berpadu dengan ukiran sulur-suluran. Umumnya terdapat pada gembel
atau pelipit antar tiang dinding atau tebeng (ventilasi) pembatas ruang
jogosatru dan ruang gedongan.
Sementara itu, unsur-unsur simbolik dalam seni ornamen dengan pola
hias arabesk, berupa motif jalinan tali. Motif arabesk ini terwujud dari
abstraksi bentuk-bentuk tanaman menjalar, geometrik, atau kaligrafi dalam
suatu rangkaian jalinan yang ritmis, saling menyambung tanpa henti. Hiasan
dengan motif ukiran ini dapat dilihat pada tiang-tiang dinding pembatas ruang
jogosatru dan gedongan serta tiang-tiang dinding pada sentong utama.
81
E. Tinjauan Unsur-Unsur Budaya Islam
Yang utama dalam pembahasan ini adalah proses “SINKRETISME”
ataupun “EKLEKTISME“, suatu proses sintesa kreatif antara lama dan baru,
mengacu perubahan fisik maupun nonfisik. Kombinasi beberapa elemen lama
dan baru tersebut menciptakan suatu proses bertahap yang akan mampu
membantu masyarakat memperoleh pengalaman perubahan yang bertahap,
berlapis lapis dan lancar. Tampilan konfigurasi Budaya aseli, Hindu/Budha
dan Islam terlihat buahnya pada Arsitektur Jawa. Semua kebudayaan tersebut
bersinkretik dengan kebudayaan lama, sehingga corak kebudayaan Jawa asli
masih terlihat. Kebudayaan asli, Hindu Jawa, dan Islam, ketiganya dengan
apik mengalami sinkretisasi yang ditampilkan dalam bentuk ornamen-
ornamen. Dan pada akhirnya unsur Islam mendominasi, terutama dari segi
filosofis dan makna dari setiap bagian fisik rumah.
Berikut beberapa makna filosofis yang mendapat pengaruh dari Islam
yang terdapat pada bagian bangunan rumah tradisional Kudus :
1. Lantai, terdapat lima jenjang tingkatan lantai, bagi warga masyarakat
pemilik rumah yang bersangkutan, lima jenjang tersebut merupakan
simbol dari Rukun Islam yang terdiri dari lima hal, yaitu : membaca dua
kalimat syahadat, melaksanakan ibadah shalat, berpuasa di bulan
Ramadhan, memberikan zakat, dan melaksanakan ibadah haji ke kota suci
Mekkah bagi yang mampu. Secara berurutan, jenjang lantai pertama
digambarkan sebagai Rukun Islam yang pertama, yaitu membaca dua
kalimat syahadat. Mengucapkan syahadat, yaitu pengakuan secara lisan
82
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.
Sebagai Rukun Islam yang pertama merupakan landasan pokok keabsahan
seorang muslim. Lantai kedua digambarkan sebagai Rukun Islam yang
kedua, yaitu melaksanakan ibadah shalat. Ibadah shalat merupakan salah
satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang telah
terkena beban hukum syara’ (mukallaf). Istilah ‘shalat’ dalam arti bahasa
bermakna do’a atau pujian. Shalat menurut fuqaha diartikan sebagai
ibadah yang terdiri perbuatan atau gerakan dan perkataan atau ucapan
tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.81
Lima
kali dalam satu hari satu malam seseorang dilatih untuk itu. Pada akhirnya
perasaan akan kehadiran Allah bersamanya itu akan mendarah daging,
menjadi sikap mental yang tidak bisa terpisahkan dari dirinya.82
Lantai
ketiga digambarkan sebagai Rukun Islam yang ketiga, yaitu berpuasa di
bulan Ramadhan. Ibadah ‘shiyam’ atau puasa menurut arti bahasa
bermakna menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu yang
berarti menahan. Menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan shiyam
adalah menahan diri dari makan, minum dan bersenang-senang dengan
istri, mulai dari fajar hingga maghrib, karena mengharap akan ridho Allah
dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada-Nya, dengan jalan
memperhatikan Allah dan dengan mendidik bermacam kehendak. Lantai
keempat digambarkan sebagai Rukun Islam yang keempat, yaitu
81
Musthafa Kamal Pasha, dkk, Fikih Islam (Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri, 2002), h.
36. 82 Hembing Wijayakusuma, Hikmah Shalat Untuk Pengobatan dan Kesehatan (Jakarta :
Pustaka Kartini, 1997), h. 116.
83
memberikan zakat. Ditinjau dari arti bahasa atau etimologi zakat yang
berasal dari kata ‘zakka’ bermakna mensucikan, membersihkan atau
berkembang. Menurut istilah syara’, zakat adalah kadar harta yang
tertentu, diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa
syarat, semata-mata mencari ridho Allah. Zakat tidak gugur dari seorang
muslim selama diwajibkan dalam hartanya. Zakat diwajibkan atas seorang
muslim yang memiliki satu nishab, sebagai kelebihan dari hutang-hutang
dan kebutuhannya, dan sebaliknya zakat tidak diwajibkan terhadap non
muslim.83
Jenjang lantai yang terakhir digambarkan sebagai Rukun Islam
yang kelima, yaitu melaksanakan ibadah haji ke kota suci Mekkah bagi
yang mampu. Asal mula arti haji menurut bahasa atau etimologi adalah
‘al-qashdu’ atau menyengaja. Sedangkan arti haji menurut istilah atau
terminologi berarti bersengaja mendatangi baitullah (Ka’bah) untuk
melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan
dilaksanakan pada waktu yang tertentu pula, menurut syarat-syarat yang
ditentukan oleh syara’, semata-mata mencari ridho Allah. Ibadah haji yang
ditetapkan sebagai kewajiban atas setiap muslim yang telah memenuhi
syarat-syaratnya adalah salah satu dari rangkaian rukun Islam, yang
ditetapkan pada tahun keenam Hijrah. Kewajiban melakukan ibadah ini
bagi setiap muslim hanya berlaku sekali saja sepanjang hidupnya. Dan
apabila ada yang berkehendak melakukannya untuk kedua atau lebih
83 Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif-Perspektif Islam.
Penerjemah M. Maghfur Wachid (Surabaya : Risalah Gusti, 1999), h. 256.
84
banyak lagi maka ibadah tersebut hanya bernilai ibadah sunnah, bukan
bernilai wajib lagi.
2. Jendela, memiliki nilai kultural, yaitu anak perempuan yang sedang
menginjak usia remaja menurut adat yang ditiru dari budaya Arab,
dilarang keluar rumah dan apabila ada tamu yang bertandang untuk
meminang, maka anak perempuan dilarang keluar dari kamar dan satu
satunya kesempatan bagi si wanita untuk melihat keluar atau mengintip
calon kekasih dilakukan lewat jendela. Demikian salah satu pertimbangan
dalam penentuan ukuran dan bentuk jendela karena budaya yang berlaku
di masayarakat saat itu. Wanita harus berada dirumah dan dilarang keluar
ketengah masyarakat sebelum menikah.
3. Tiang Soko Geder, tiang tersebut disebut juga dengan tiang keseimbangan
dan memiliki makna sebagai sarana untuk mengingatkan semua penghuni
rumah agar senantiasa tetap meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang
Maha Esa yaitu hanya satu yang wajib disembah. Konsep keyakinan
tersebut menjadi prinsip dasar atau umum dalam setiap kehidupan
(ucapan, sikap, gerak dan tindakan) para pemilik rumah. Bagi warga
masyarakat pemilik rumah tersebut, tiang tunggal di ruang jagasatru,
diasosiasikan sebagai huruf Arab, yaitu tulisan alif, yang merupakan huruf
awal dalam tulisan bahasa Arab.84
Soko geder di ruang jagasatru, juga
dimaksudkan sebagai simbol pegangan hidup orang Islam. Tiang tunggal
84 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2,
Universitas Indonesia, 1992), h. 261.
85
tersebut, dengan demikian, bukan sekedar unsur bangunan yang bersifat
konstruktif, melainkan lebih dari itu, yaitu sebagai simbol aqidah tauhid.
Ornamen berupa ragam hias ukiran kayu pada rumah tinggal
tradisional Kudus memiliki motif-motif ukiran yang bersumber dari
kebudayaan Jawa asli. Secara keseluruhan, bentuk ukiran-ukiran pada bidang-
bidang kayu dimana telah memunculkan discontinuity dari motif-motif ukiran
yang terjadi, yang berupa kompartemen-kompartemen yang motif ragam
hiasnya tidak saling menerus satu sama lain, ada dugaan kuat bahwa pengaruh
kebudayaan Islam sangat dominan. Dalam satu kompartemen tidak boleh ada
ruang tersisa, karena hal tersebut termasuk salah satu pemborosan, atau ada
pemahaman bahwa dalam satu kompartemen harus dipenuhi agar setan tidak
mempunyai tempat lagi.85
Beberapa bagian unsur bangunan yang di dalamnya terdapat unsur
estetik dengan motif hiasan ukiran yang berasal dari kebudayaan Islam, antara
lain, motif arabesk, motif masjid, dan motif binatang berupa burung phoenix
atau hong. Secara terinci akan dikemukakan dalam penjelasan berikut.
Dimulai dari motif arabesk, yang terdapat dilihat pada tiang-tiang
dinding pembatas ruang jogosatru dan gedongan serta tiang-tiang dinding
pada sentong utama. Dengan motif jalinan tali terwujud dari abstraksi bentuk-
bentuk tanaman menjalar, geometrik, atau kaligrafi dalam suatu rangkaian
jalinan yang ritmis, saling menyambung tanpa henti yang berada pada bidang
berbentuk segienam panjang. Motif arabesk dalam bidang segienam panjang,
85
Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal
Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan
Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 131.
86
susunan garis tidak berawal dan tidak berakhir. Arabesk, yakni motif
perhiasan yang terdiri dari dari garis-garis, lajur-lajur, daun-daun, bunga-
bunga. Arabesk mencakup dua bentuk pokok, yaitu stilisasi tumbuhan, dan
pola geometris. Ia bukan merupakan bentuk tiruan naturalis, tetapi karena
pandangan tauhid yang dipegang oleh kaum muslim arabesk merupakan
ornamen dalam bentuk flora dan geometris yang abstrak non-figuratif,86 yang
memberi kesan ketakterhinggaan dan ketakterbatasan (infinit). Melalui
kontemplasi pola infinit ini, jiwa pengamat akan diarahkan kepada
transendensi Tuhan. corak abstrak sebagai “ornamen arabesk” yang terdiri dari
corak geometris dan corak “stilasi” dari tumbuh-tumbuhan dan bunga-
bungaan. Hal ini adalah jalan keluar dimana adanya larangan dalam ajaran
Islam untuk tidak boleh menampilkan gambar-gambar atau lukisan sebagai
hiasan dengan motif manusia, binatang atau makhluk bernyawa lainnya secara
realistis.87 Ajaran Islam tentang tauhid, yang tidak memberi peluang
penggambaran Tuhan dalam wujud seperti manusia, dan larangan
pemberhalaan terhadap obyek-obyek seperti arca yang digambarkan
menyerupai manusia atau manusia setengah hewan seperti dalam agama
Hindu, Mesir Kuna dan Pagan Romawi, juga membuat motif geometri,
arabesk dan kaligrafi berkembang pesat. Pengaruh estetika Peripatetik ini terus
berlanjut hingga kini, dan telah mendorong pesatnya perkembangan motif
86
Dalam seni helenistik yang menganut naturalisme dan antropomorfisme, kedua pola
arabesk digunakan sebagai hiasan tambahan sederhana untuk patung atau gambar naturalis. Elya Munfarida, ”Formulasi Konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Ismail Raji al-Faruqi”, Jurnal
Studi Islam dan Budaya, vol. 3, no. 2 (Juli-Desember 2005), h. 5. 87 Zulfikri, ”Ruang Dalam dan Ornamen”, artikel diakses pada 30 April 2009 dari
http://zulfikri.wordpress.com/2008/11/07/konsep-dasar-arsitektur-masjid/
87
geometris, arabesk dan kaligrafi (khat) hingga masa yang paling akhir.88
Filosof Peripatetik memandang ilmu sebagai sesuatu yang harus
mencerminkan keteraturan dan adanya sistematika dalam dirinya. Demikian
pula pandangan mereka tentang seni. Seni kaligrafi, arabesk dan geometris
memperlihatkan prinsip-prinsip yang dicita-citakan para filosof Peripatetik.
Tiga bentuk seni visual ini tidak memberi peluang adanya fokus yang harus
dijadikan tumpuan perhatian seperti penggambaran Dewa dalam bentuk arca
seperti di candi-candi Hindu dan Buddha. Rangkaian arabesk yang ritmis dan
diulang-ulang bentuknya, seperti juga rangkaian ayat al-Qur’an pada sebuah
lukisan kaligrafi, dimaksudkan untuk membawa jiwa penikmatnya pergi
meninggalkan alam rupa menuju alam arupa (transenden). Dengan demikian
kehadiran Tuhan yang tak terlukiskan itu dapat dirasakan.
Kemudian motif masjid, terdapat dalam ruang tamu atau jogosatru,
terutama pada bagian gebyok. Gebyok bagian depan dan tengah pada rumah
tinggal tradisional Kudus berupa panil-panil dalam kompartemen-
kompartemen dengan bentuk segiempat panjang (posisi berdiri) ditambahkan
dengan garis-garis lengkung mendekati setengah lingkaran di atasnya seperti
bentuk pintu dan jendela masjid (bidang dalam polos, tidak berukir), dengan
segala variasinya seperti halnya elemen lengkungan pada bangunan dinding
atau kubah masjid gaya Arab.
Yang terakhir motif binatang berupa burung phoenix atau hong, yang
terdapat pada ambang tengah pintu sorong kere. Motif burung hong menurut
88 Ahmad Samantho, “Seni, Falsafah dan Agama”, artikel diakses pada 30 April 2009
dari http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/08/09/islam-tradisi-estetik-dan-sastranya/
88
cerita setempat adalah pengaruh dari kebudayaan Cina. Burung Hong adalah
mahluk mitologi yang melambangkan ketulusan hati, keadilan, kesetiaan, dan
perikemanusiaan. Menurut kepercayaan Cina, kemunculannya hanya apabila
negara dalam kondisi makmur sentosa dan diperintah oleh raja yang adil.
Merupakan mahluk dewata, gabungan dari berbagai burung antara lain ayam
(jengger), burung layang-layang (paruh), merak (ekor). Ornamen ini banyak
dijumpai di kelenteng, antara lain pada bagian bubungan atap.89 Phoenix
(Phoenix) dalam mitologi Mesir adalah burung legendaris yang keramat.
Burung Api ini digambarkan memiliki bulu yang sangat indah berwarna
merah dan keemasan. Phoenix dikatakan dapat hidup selama 500 atau 1461
tahun. Setelah hidup selama itu, Phoenix membakar dirinya sendiri. Setelah
itu, dari abunya, munculah burung Phoenix muda. Phoenix merupakan simbol
dari keabadian, lambang dari siklus kehidupan setelah mati, dan simbol dari
kebangkitan tubuh setelah mati. Phoenix menjadi simbol suci pemujaan
terhadap Dewa matahari di Heliopolis, Mesir. Burung Phoenix simbol dari
"Dewa Matahari - Ra".90 Tetapi hiasan-hiasan dengan motif burung
sebenarnya juga sudah ada dalam kebudayaan Islam, terutama Islam Timur
Tengah, dijelaskan bahwa kebudayaan ragam hias dengan motif binatang
berupa burung phoenix berasal dari Persia (Iran), bahkan pada zaman
kebudayaan Hindu Jawa, bentuk motif burung juga sudah ada.
89
“Ornamen Burung Hong”, artikel diakses pada 30 April 2009 dari
http://purbakala.jawatengah.go.id/detail_berita.php?act=view&idku=9 90 “Ornamen Burung Phoenix”, artikel diakses pada 30 April 2009 dari
http://www.wikipedia.org
89
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka
kesimpulan yang diambil adalah sebagai berikut :
Sebelum masuknya Islam di Kudus atau pada masa-masa awal
kehadiran Sunan Kudus, terutama abad ke-15 dan 16 M, rumah tinggal
masyarakat Kudus masih sederhana, yaitu berbentuk kampung, dan hal
tersebut juga terbukti karena diseluruh tanah Jawa pada masa tersebut
menggunakan rumah tersebut. Karena pada masa-masa tersebut belum
bermunculan para pedagang maupun saudagar dikarenakan mata pencaharian
masyarakat Kudus adalah bertani dan berladang, dan kondisinya tidak jauh
berbeda dengan daerah-daerah lain di pulau Jawa. Hal tersebut juga diperkuat
dengan penggunaan atap dapur pada rumah Kudus saat ini yang berbentuk
kampung yang merujuk kepada awal mula bentuk rumah penduduk Jawa pada
umumnya. Dan hal ini bisa jadi mengindikasikan bahwa dahulunya bentuk
atap kampung telah menjadi umum di lingkungan masyarakat Kudus Kuno.
Pada perkembangan selanjutnya, perkembangan rumah tradisional
Kudus mengalami transformasi ke bentuk atap joglo meskipun bentuk-bentuk
atap kampung masih diterapkan, terutama untuk bagian dapur. Seiring dengan
kehadiran Sunan Kudus dan Kyai Telingsing turut membantu masuknya
kebudayaan Islam dan Cina, semakin memperkaya ragam budaya yang
90
tertuang dalam ukiran, yang kemudian ukiran tersebut ditiru dan diterapkan
pada rumah tinggal masyarakat setempat di daerah Kauman di sekitar masjid
Menara Kudus. Dari sebuah sumber lisan, diperoleh informasi bahwa
perkembangan rumah Kudus mengalami puncak kejayaan di sekitar abad ke-
17 dan ke-18 M. Rumah adat Kudus asli pada awalnya hanya terdapat di
Kudus Kulon di sekeliling masjid Menara Kudus. Dan seperti yang dilihat
sekarang rumah Kudus yang dibahas dalam skripsi ini dapat dikelompokkan
ke dalam rumah bentuk gabungan joglo pencu dan kampung, oleh masyarakat
setempat diistilahkan dengan sebutan omah adat pencu. Bentuk rumah Kudus
ini termasuk dalam kategori rumah joglo kepuhan limolasan dan rumah
kampung gajah ngombe.
Kehadiran seni ornamen ukiran yang ikut menjadi bagian tidak
terpisahkan dari keseluruhan tata ruang rumah Kudus, meskipun pemberian
makna terhadapnya dipedomani oleh sistem kepercayaan dan sistem nilai yang
bersumber dari ajaran agama Islam, maka sebagian besar dari perwujudan
bentuk yang tampil tampak menyerap, mengakomodasi, atau mengadaptasi
unsur-unsur kesenian yang telah ada sebelumnya. Beberapa kebudayaan Islam
yang sangat mencolok dalam rumah Kudus adalah pola ukiran discontinuity
dari motif-motif ukiran yang terjadi, yang berupa kompartemen-kompartemen
yang motif ragam hiasnya tidak saling menerus satu sama lain, dan satu lagi
adalah motif masjid.
91
B. Saran-saran
1. Saran untuk penelitian lain
Mengingat masih minimnya data untuk penelitian mengenai rumah
tradisional Kudus, terutama ketika masa Hindu / Buddha di Jawa, maka
penting untuk dilakukan berbagai penelitian eksploratif terhadap :
a. Sejarah dan proses perkembangan rumah tradisional Kudus berikut
inventarisasi artefak peninggalannya.
b. Gambaran menyeluruh kehidupan masyarakat Kudus, baik sebagai
individu maupun kelompok komunal. Kajian ini dapat berupa penelusuran
tata kehidupan masyarakat Kudus di masa yang lalu dan saat ini sehingga
dapat dilihat kecenderungannya di masa yang akan datang.
c. Berbagai aspek yang berkaitan dengan rumah tradisional Kudus, dengan
studi kasus rumah tinggal tradisional yang masih tersisa di Kabupaten
Kudus dan sekitarnya melalui berbagai sudut pandang, seperti sosiologi,
psikologi atau antropologi. Kajian tersebut dapat menyangkut spasial-
arsitektural maupun perubahan dan perkembangan.
2. Saran untuk masyarakat setempat
Rumah tradisional Kudus yang memiliki kekhasan tersendiri,
merupakan salah satu khasanah budaya bangsa yang patut dibanggakan,
dihargai dan dilestarikan. Berangkat dari hal itu, maka sudah seyogyanya
masyarakat Kudus pada umumnya dan di Kabupaten Kudus terutama di
sekitar masjid Menara Kudus merasa bangga memiliki rumah tradisional
tersebut. Sikap bangga tersebut hendaknya ditunjukkan dengan
92
menghargai rumah tersebut dengan berusaha mempertahankan dan
melestarikannya sebagai warisan dari generasi ke generasi.
3. Saran untuk instansi berwenang (Pemda)
Upaya pembangunan kompleks Museum Kretek Kudus yang telah
dilaksanakan pada prinsipnya merupakan langkah yang tepat, begitupula
pemberian bantuan pelestarian beberapa rumah tradisional Kudus. Akan
lebih tepat lagi, apabila upaya konservasi tidak hanya cukup dengan
melestarikan bangunan rumah saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan
upaya pelestarian kawasan (rumah dan komunitasnya) di desa-desa yang
terletak di sekitar Masjid Menara Kudus.
Hasil penelitian dapat dijadikan acuan penyusunan design
guideline untuk perencanaan dan pengembangan bangunan-bangunan di
Kabupaten Kudus. Bentuk rumah tradisional Kudus yang khas dan
spesifik dapat ditrasformasikan dalam desain untuk bangunan lain,
sehingga pada gilirannya menjadi ciri, karakter dan kekhasan arsitektur
bangunan di Kabupaten Kudus.
93
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999.
Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal
Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan
Deskriptif”. Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas
Pancasila, 2000.
Atmadi, Parmono. “Beberapa Patokan Perencanaan Bangunan Candi”. Desertasi
S3 Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, 1979.
Azra, Azyumardi. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 1989.
Baker, Anton dan Zubair, Charis. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta :
Kanisius, 1990.
Budiharjo, Eko. Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Jakarta : Djambatan, 1997.
Castles, Lance. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri
Rokok Kudus. Jakarta : Sinar Harapan, 1982.
Dakung, Sugiarto. “Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta”, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981.
De Graaf, H.J dan Th.G.Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti, 1986.
------------. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos,
terjemahan dari Chinese Muslims in Java in the 15th
and 16th
centuries:
94
The Malay Annals of Semarang and Cirebon. Yogyakarta : PT Tiara
Wacana, 1998.
Faruqi, Ismail R. dan Al Faruqi, Lois Lamya. The Cultural Atlas of Islam. New
York : Macmillan Publishing Company, 1986.
Gazalba, Sidi. Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan Seni Budaya Karya
Manusia. Jakarta : Alhusna, 1988.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 2nd ed.
Jakarta : Pustaka Jaya, 1983.
Gottschalk, Louis. Penerjemah : Nugroho Notosusanto. Mengerti sejarah :
Pengantar Metode Sejarah. Jakarta : Yayasan Penerbit UI, 1975.
Hamzuri. “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI
Jakarta. T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.
Ismunandar K, R. Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3th
ed. Semarang :
Dahara Prize, 1990.
Kartono, J. Lukito. ”Manusia dan Rumah Tinggal ; Suatu Tinjauan Perspektif
Kebudayaan Timur dan Barat”. Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 27 ,
no. 2 (Desember 1999).
------------. ”Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya”. Dimensi
Interior, vol. 3 , no. 2 (Desember 2005).
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka, 1984.
Munfarida, Elya. ”Formulasi Konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Ismail
Raji al-Faruqi”. Jurnal Studi Islam dan Budaya, vol. 3, no. 2 (Juli-
Desember 2005).
95
Mu’tasim, Radjasa dan Mulkhan, Abdul Munir. Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat
dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.
Nabhani, Taqyuddin. Penerjemah M. Maghfur Wachid. Membangun Sistem
Ekonomi Alternatif-Perspektif Islam. Surabaya : Risalah Gusti, 1999.
Pasha, Musthafa Kamal. dkk. Fikih Islam. Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri,
2002.
Priatmodjo, Danang. ”Anatomi Rumah Adat Kudus”. Laporan Penelitian,
Fakultas Tekhnik, Universitas Tarumanegara, 1988.
Prijotomo, Josef. Petungan : Sistem Ukiran Dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, 1995.
Reksodiharjo, Soegeng. Dkk. “Arsitektur Tradisional daerah Jawa Tengah”,
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa
Tengah. T.tp. : T.pn., 1982.
Rochym, Abdul. Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan. Bandung : Angkasa,
1983.
Salam, Solichin. Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam. Kudus : Menara
Kudus, 1977.
Setiawan, Alim J. “Rumah Tinggal Orang Jawa; Suatu Kajian Tentang Dampak
Perubahan Wujud Arsitektur Terhadap Tata Nilai Sosial Budaya dalam
Rumah Tinggal Orang Jawa di Ponorogo”. Tesis S2, Universitas
Indonesia, 1991.
Soesilo. Sekilas Tentang Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup. Surabaya :
Medayu Agung, 2000.
96
Suprijanto, Iwan. ”Rumah Tradisional Osing : Konsep Ruang dan Bentuk”.
Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 30 , no. 1 (Juli 2002).
Syafawi, Ahmad. Sarekat Islam dan Perubahan Sosial : Peranan Sarekat Islam
pada Industri Kretek Kudus Tahun 1911-1940. T.tp. : T.pn., 2005.
Syafwandi. Menara Mesjid Kudus, Dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur.
Jakarta : Bulan Bintang, 1985.
Tjahjono, Gunawan. “Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural
Tradition : The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede
and Surrounding”. Disertasi S3, University of California, 1989.
Triyanto. “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”.
Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992.
Wijayakusuma, Hembing. Hikmah Shalat Untuk Pengobatan dan Kesehatan.
Jakarta : Pustaka Kartini, 1997.
Wikantari, Ria Rosalia. “Safeguarding A Living Heritage, A Model for the
Architecture Conservation of an Historic Islamic Distric of Kudus,
Indonesia”. Tesis S2, University of Tasmania, 1994.
Dokumen elektronik dari internet
Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. “Hasil Sensus Penduduk Menurut Agama”.
Artikel diakses pada 30 Oktober 2008 dari
http://jateng.bps.go.id/2006/web06bab104/web06_1040301.htm
Bindy. “Proses masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”. Artikel diakses
pada 23 Agustus 2008 dari
97
http://bindyandthedamn.blogspot.com/2008/02/proses-masuk-dan-
berkembangnya-islam-di.html
Kab. Kudus. “Wilayah Administrasi”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari
http://www.kuduskab.go.id/
-------------. “Keadaan Geografis”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari
http://www.kuduskab.go.id/
-------------. “Rumah Adat Kudus”. Artikel diakses pada 20 April 2008 dari
http://www.indonesia.go.id/id
Mustaqim, M. “Kudus Kulon, Akar Kesadaran Multikultural”. Artikel diakses
pada 21 Agustus 2008 dari
http://belajarsejarahsosial.blogspot.com/2006/10/kudus-kulon-akar-
kesadaran.html
Samantho, Ahmad. “Seni, Falsafah dan Agama”. Artikel diakses pada 30 April
2009 dari http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/08/09/islam-
tradisi-estetik-dan-sastranya/
Suptandar, J. Pamudji. “Seni ukir dan Ornamen dalam Rumah Adat Kudus”.
Artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.gebyokcenter.com
Syukur, Fatah. “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa
Tengah”. Artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari
http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisi-masyarakat-
kudus.html
Wikipedia. “Peta Lokasi kabupaten Kudus”. Artikel diakses pada 23 Agustus
2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kudus
98
Zulfikri. ”Ruang Dalam dan Ornamen”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari
http://zulfikri.wordpress.com/2008/11/07/konsep-dasar-arsitektur-
masjid/
“Ornamen Burung Hong”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari
http://purbakala.jawatengah.go.id/detail_berita.php?act=view&idku=9
“Ornamen Burung Phoenix”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari
http://www.wikipedia.org
“Sejarah Islam Nusantara”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari
http://swaramuslim.net/galery/islam-indonesia/index.php?page=sabili-
1c-risalah_islam_indonesia
Recommended