View
57
Download
4
Category
Preview:
DESCRIPTION
Referat Perdarahan Intraserebral
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Secara umum stroke merupakan penyebab kematian yang ketiga terbanyak
di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker, demikian juga diberbagai
negara di dunia dan setiap tahunnya 700.000 orang akan mengalami stroke baru
atau berulang. Kira-kira 500.000 merupakan serangan pertama dan 200.000
merupakan serangan ulang (Hacke dkk,2003; William dkk, 2000; Rosamond
dkk,2007).
Meskipun data studi epidemiologi stroke secara komprehensif dan akurat
belum ada di Indonesia, dengan meningkatnya harapan hidup orang Indonesia
tendensi peningkatan kasus stroke akan meningkat pada masa yang akan datang.
Di Indonesia, menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dilaporkan
bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 -1986 meningkat yaitu
0,72 per 100 penderita tahun 1984 dan naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada
tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Dilaporkan pula bahwa
prevalensi stroke pada tahun 1986 adalah 35,6 per 100.000 penduduk, sedangkan
di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (Sjahrir,2003), dilaporkan bahwa
proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan
kecenderungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita)
dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per
100 penderita).
Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh Survei
ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit di seluruh Indonesia,
pada penderita stroke akut yang dirawat di rumah sakit, dan dilakukan survei
mengenai faktor-faktor resiko, lama perawatan, mortalitas dan morbiditasnya.
Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia di bawah 45
tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,7% dan diatas
usia 65 tahun 33,5% (Misbach,2007). Sedangkan untuk RSUP.H.Adam Malik
proporsi kejadian stroke perdarahan intraserebral tahun 2007 sebesar 11% dan
tahun 2008 sebesar 16% (catatan medial record RSUP.H.Adam Malik).
Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional dengan 20%
penderita yang masih bertahan hidup membutuhkan perawatan institusi setelah 3
bulan dan 15-30% menjadi cacat permanen. Stroke juga merupakan kejadian yang
dapat merubah kehidupan, bukan hanya mengenai seseorang yang dapat menjadi
cacat tetapi juga seluruh keluarga dan pengasuh yang lain (Goldstein dkk,2006).
Heterogenitas stroke menyebabkan sulitnya memprediksi outcome
fungsional yang terjadi secara akurat dan prediktor apa yang paling menentukan
outcome. Sejumlah prediktor untuk outcome fungsional telah diajukan dan
pengukuran outcome stroke mempunyai berbagai masalah tergantung pada
perjalanan penyakitnya (Caplan,2000).
Pada uji klinis terhadap stroke akut, berbagai pengukuran dilakukan dalam
menentukan outcome dan sering timbul hasil dengan interpretasi yang berbeda.
Belum ada konsensus mengenai pada tingkat mana outcome digunakan, metode
pengukuran yang digunakan, ataupun waktu serta cut off point yang paling tepat.
Beberapa laporan studi terbaru mengenai terapi akut stroke telah melahirkan
kontroversi oleh karena terdapat ketidakkonsistenan antara berbagai outcome pada
tiap-tiap studi. Untuk menentukan berhasil atau tidaknya outcome sering cut off
point dipilih secara berubah-ubah. Dan bila ingin menentukan saat penilaian
outcome harus dipertimbangkan perjalanan waktu pemulihan suatu stroke. Lima
hingga 6 bulan setelah stroke merupakan waktu yang tepat dalam mengukur
outcome neurologis dan fungsional (Duncan dkk,2000).
Untuk stroke perdarahan intraserebral (PIS), ada sejumlah model
prognostik untuk mortalitas dan outcome fungsional setelah terjadinya PIS.
Model-model instrumen ini biasanya berhubungan dengan kondisi neurologis,
parameter klinis dan laboratorium lainnya yang bervariasi, dan hasil
neuroimejing. Model-model instrumen ini memang dapat memprediksi outcome
secara akurat, namun cukup bervariasi dalam kemudahan penggunaannya,
khususnya bagi orang yang tidak dilatih khusus dalam neuroimejing dan analisa
statistik. Walaupun ketepatan dari beberapa model ini, tidak ada skala untuk PIS
yang konsisten digunakan untuk triase dan invertensi akut, apakah sebagai bagian
dari penanganan klinis ataupun penelitian (Hemphill dkk,2001).
The Intracerebral Hemorrhage Score (the ICH score) telah dikembangkan
sebagai suatu skala klinis sederhana yang dapat dipakai untuk memprediksi
outcome fungsional atau mortalitas dalam 30 hari pada pasien PIS. Komponen
prediktor yang digunakan dalam skala ini ada 5 karakteristik yaitu nilai Skala
Koma Glasgow (SKG), volume perdarahan, perdarahan intraventrikular, lokasi
perdarahan yang berasal dari infratentorial, dan usia ( Hemphi11,2001).
Dalam perkembangannya, penggunaan ICH score telah mengalami
modifikasi dengan tujuan untuk mencari model prediktor mana yang paling akurat
dalam memprediksi mortalitas pada pasien PIS. Adapun variasi model prediktor
yang dipakai dalam beberapa studi klinis dalam ICH score seperti suhu tubuh saat
masuk rumah sakit, tekanan darah saat masuk, tekanan nadi, lokasi PIS,
intraventricular hemorrhage (IVH), volume perdarahan, adanya perdarahan
subarakhnoid, adanya efek massa, hidrosefalus, dan kadar gula darah saat masuk
(Cheung, 2003; Jamora, 2003; Godoy, 2006; Ruiz-Sandoval,2007).
Ariesen, dkk (2005) mengidentifikasi beberapa model prognostik yang
digunakan dalam memprediksi outcome jangka pendek setelah terjadinya PIS ,
mengevaluasi apakah model-model ini dapat dengan cepat dan mudah digunakan
pada saat kejadian, mengevaluasi apakah prediksi yang dibuat dari model tersebut
cukup akurat. Dari 18 model prognostik yang diamati antara tahun 1966 - 2003,
terdapat 14 model yang cukup mudah untuk digunakan. Pada model yang
divalidasi, proporsi pasien dengan probabilitas kematian ≥ 95% atau outcome
jelek berkisar 0% - 43% (median 23%). Kasus kematian dalam 30 hari berkisar
75% - 100% (median 93%). Penelitian ini menyimpulkan banyak model
prognostik yang dapat dengan mudah digunakan dan dapat memprediksi kematian
atau outcome buruk dengan probabilitas yang tinggi. Namun, pasien yang
memiliki probabilitas tinggi proporsinya kecil, dan kasus kematian dalam 30 hari
tidak selalu diprediksi dengan benar. Walaupun model-model terbaru memiliki
keterbatasan, tetapi dapat digunakan untuk memperkirakan kemungkinan pasien
dapat bertahan.
Jamora, dkk (2003) melakukan studi kohort untuk membuktikan validitas
dari ICH score untuk memprediksi bukan saja mortalitas tetapi juga outcome
fungsional pada popoulasi Asia. Pada 243 pasien PIS, tidak ditemukan pasien
dengan ICH score 6. Hanya 3 pasien dengan skor 5 (1%), 18 pasien dengan skor 4
(7%), 28 pasien dengan skor 3 (12%), 52 pasien dengan skor 2 (21%), 70 pasien
dengan skor 1 (29%), dan 72 dengan skor 0 (30%). Penelitian ini menemukan
validitas ICH score dalam memprediksi mortalitas sekaligus outcome fungsional.
Studi konsekutif pada 378 pasien PIS oleh Ruiz-Sandoval,dkk (2007)
dengan menggunakan ICH grading scale (ICH-GS) untuk memprediksi outcome
setelah terjadinya PIS berdasarkan hasil evaluasi pada saat tiba di rumah sakit,
menemukan bahwa ICH-GS merupakan suatu metode yang cukup kuat yang dapat
dipakai untuk memprediksi outcome. Instrumen ini diniliai sederhana dan dapat
dipercaya.
Zahuranec, dkk (2007) dalam studinya terhadap 270 pasien PIS
menyimpulkan bahwa keterbatasan penanganan di awal terjadinya PIS memiliki
hubungan tidak langsung dengan semua penyebab mortalitas baik jangka pendek
maupun jangka panjang setelah terjadinya PIS. Keterbatasan penanganan saat
awal terjadinya PIS ini dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas pada PIS.
Halievy, dkk (2002) dalam studi retrospektif terhadap 180 pasien
menggunakan 6 kriteria prognostik sebagai ICH score dalam memprediksi
outcome fungsional jangka pendek pada pasien PIS yaitu umur, kelumpuhan pada
tungkai, tingkat kesadaran, efek massa, tuas perdarahan dan perdarahan
intraventrikular. Kriteria ini cukup mudah dinilai saat pasien PIS tiba dirumah
sakit.
Bagaimanapun terdapat beberapa keterbatasan yang penting dalam
penggunaan instrumen-instrumen dalam memprediksi mortalitas pasien PIS.
Faktor bias yang signifikan seperti penghentian pengobatan/penanganan
rnerupakan prediktor paling potensial dalam kematian pasien PIS, sebab semua
nilai-nilai yang diuji dan divalidasi pada penelitian kohort sering didapati
penghentian pengobatan/penanganan. Keterbatasan lain adalah instrumen-
instrumen tersebut tidak memberikan informasi kepada keluarga sebagai pihak
yang paling membantu dalam mencapai pemulihan fungsional, lebih dari sekedar
kemungkinan pasien selamat (Rost, 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL
II.1.1 Definisi
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang
jelas selain vascular.(Kelompok Studi Serebrovaskuler & Neurogeriatri
Perdossi,1999)
Stroke perdarahan intraserebral atau perdarahan intraserebral primer
adalah suatu sindroma yang ditandai adanya perdarahan spontan ke dalam
substansi otak (Gilroy, 2000).
II.1.2 Epidemiologi
Perdarahan intraserebral dua kali lebih banyak dibanding perdarahan
subarakhnoid (PSA) dan lebih berpotensi menyebabkan kematian atau disabilitas
dibanding infark serebri atau PSA (Broderick dkk, 1999)
Sekitar 10% kasus stroke disebabkan oleh PIS. Sumber data dari Stroke
Data Bank (SDB), (Caplan,2000) menyebutkan bahwa setidaknya 1 dari 10 kasus
stroke disebabkan oleh perdarahan parenkim otak. Populasi dimana frekuensi
hipertensinya tinggi, seperti Amerika-Afrika dan orang-orang Cina, Jepang dan
keturunan Thai, memiliki frekuensi yang tinggi terjadinya PIS. Perdarahan
intraserebral dapat terjadi pada rentang umur yang lebar, dapat terjadi pada
dekade tujuh puluh, delapan puluh dan sembilan puluh. Walaupun persentase
tertinggi kasus stroke pada usia dibawah 40 tahun adalah kasus perdarahan, PIS
sering juga terjadi pada usia yang lebih lanjut.
Usia lanjut dan hipertensi merupakan faktor resiko paling penting dalam
PIS. Perdarahan intraserebral terjadi sedikit lebih sering pada pria dibanding
wanita dan lebih sering pada usia muda dan setengah-baya pada ras kulit hitam
dibanding kulit putih di usia yang sama (Broderick, 1999).
II.1.3 Dasar- dasar biopatologik PIS
Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik.
Keadaan ini menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil,
terutama pada cabang-cabang arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal
ganglia dan kapsula interna. Pembuluh-pembuluh darah ini menjadi lemah,
sehingga terjadi robekan dan reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan
media dan akhirnya terbentuk aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma
Charcot-Bouchard. Hal yang sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai
pons dan serebelum. Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah
menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak (Gilroy,2000; Ropper, 2005).
Pada pasien dengan tekanan darah normal dan pasien usia tua, PIS dapat
disebabkan adanya cerebral amyloid angiopathy (CAA). Keadaan ini disebabkan
adanya akumulasi protein β-amyloid didalam dinding arteri leptomeningen dan
kortikal yang berukuran kecil dan sedang. Penumpukan protein β-amyloid ini
menggantikan kolagen dan elemen-elemen kontraktil, menyebabkan arteri
menjadi rapuh dan lemah, yang memudahkan terjadinya resiko ruptur spontan.
Berkurangnya elemen-elemen kontraktil disertai vasokonstriksi dapat
menimbulkan perdarahan masif, dan dapat meluas ke dalam ventrikel atau ruang
subdural. Selanjutnya, berkurangnya kontraktilitas menimbulkan kecenderungan
perdarahan di kemudian hari. Hal ini memiliki hubungan yang signifikan antara
apolipoprotein E4 dengan perdarahan serebral yang berhubungan dengan amyloid
angiopathy (Gilroy, 2000; Ropper, 2005; O'Donnel, 2000).
Suatu malformasi angiomatous (arteriovenous malformation/AVM) pada
otak dapat ruptur dan menimbulkan perdarahan intraserebral tipe lobular.
Gangguan aliran venous karena stenosis atau oklusi dari aliran vena akan
meningkatkan terjadinya perdarahan dari suatu AVM (Caplan,2000; Gilroy,2000;
Ropper, 2005).
Terapi antikoagulan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan
intraserebral, terutama pada pasien-pasien dengan trombosis vena, emboli paru,
penyakit serebrovaskular dengan transient ischemic attack (TIA) atau katub
jantung prostetik. Nilai internationa! normalized ratio (INR) 2,0 - 3,0 merupakan
batas adekuat antikoagulasi pada semua kasus kecuali untuk pencegahan emboli
pada katub jantung prostetik, dimana nilai yang direkomendasikan berkisar 2,5 -
3,5. Antikoagulan lain seperti heparin, trombolitik dan aspirin meningkatkan
resiko PIS. Penggunaan trornbolitik setelah infark miokard sering diikuti
terjadinya PIS pada beberapa ribu pasien tiap tahunnya (Caplan,2000;
Gilroy,2000;Ropper,2005).
System saraf terdiri dari :
1. Unit fungsionil , yaitu neuron yang dihubungkan oleh akson ke neuron
yang lain, dan dikelilingi oleh selaput mielen sebagai isolator.
2. Unit penunjang yang terdiri dari : sel glia, system pembuluh darah,
jaringan ikat, cairan otak, tulang dsb.
Sistem saraf ini sangat kompleks, tetapi pada dasarnya selalu seimbang.
Makin tinggi tingkat evolusi pada makhluk hidup, makin komplek susunan
sarafnya dengan makin tinggi fungsi-fungsi luhurnya , termasuk kecerdasannya
dan makin terpencar pusat-pusatnya dalam anatomi susunan sarafnya.
Bagian rostral lebih komplek dan lebih fungsional dari pada bagian
kaudal, sehingga kerusakan pada bagian rostral, katakanlah di otak, akan
memberikan keluhan dan gejala yang lebih rumit dari pada bila kerusakan di
medulla spinalisnya.
Apabila system saraf mengalami kerusakan, beberapa neuron, akson, dan
glia mati, tetapi jauh lebih banyak jaringan yang hanya mengalami disfungsi
proses-proses yang menyebabkan kerusakan otak secara mendadak, proses
kerusakan terjadi secara dinamis dan berkelanjutan. Tugas dokter dengan segenap
timnya adalah secara agresif, sedapat mungkin menghentikan proses berfungsi,
dan mencegah proses sekunder yang menyebabkan kerusakan saraf yang
berkelanjutan dan juga mencegah komplikasi di luar system saraf.
Dalam menentukan lokalisasi lesi pada system saraf sedapat mungkin
tentukan kerusakan pada system anatominya, karena kerusakan apapun sebabnya,
akan memberikan keluhan dan gejala yang sama, apabila kerusakannya di tempat
yang anatominya sama.
Perdarahan intracranial dapat terjadi pada daerah ekstradural, subdural,
subarachnoid, intraserebral dan intraventrikural. Selain disebabkan trauma kapitis,
perdarahan intracranial ini dapat disebabkan trauma kapitis, perdarahan
intracranial ini dapat disebabkan karena berbagai penyebab diantaranya :
hipertensi arterial, aneurisma intracranial, angiopathia serebral, malformasi
vaskuler, tumor otak, pemberian antikoagulansia, kelainan herediter yang
menyebabkan pendarahan, trombositopenia dan obat-obatan simpatomimetik
seperti amphetamine, phenylpropalamine, dan cocaine.
Terdapat hubungan antara tempat kerusakan dan penyebab perdarahan
misalnya pendarahan primer di kortek biasanya disebabkan oleh karena AVM.
Lesi di substantia alba hemisphere otak lebih sering karena hipertensi , perdarahan
karena neoplasma, atau gangguan pembekuan darah. Perdarahan di basal ganglia
hampir selalu ada kaitannya dengan hipertensi sistemik dan biasanya terjadi pada
bagian bawah putamen. Perdarahan pada thalamus tidak lazim terjadi, dan
biasanya diakibatkan oleh karena hipertensi dan AVM. Perdarahan primer pada
batang otak juga tidak umum terjadi dan biasanya lebih disebabkan karena
perdarahan sekunder (Lesi Duret) akibat kenaikan tekanan intracranial.
Perdarahan yang terjadi pada bagian lain dari tubuh, kecuali terjadi secara
massif dan terus menerus, tidaklah member pengaruh banyak pada penderita.
Tidaklah demikian bila terjadi pada susunan saraf pusat, suatu perdarahan
sebanyak 75-100 ml dapat menyebabkan kematian pada enderita. Pengaruh
perjalanan penyakitnya sangat bervariasi tergantung dari awalnya, ukuran dan
lokalisasiny lesinya, tetapi perhitungkan pula kerusakan yang terjadi akibat
kerusakan jaringan, pengaruh desak ruang akibat masa perdarahan yang terjadi
menyebabkan kenaikan tekanan intracranial, edema serebri, vaso spasme dan juga
hidrosepalus.
II.1.4. Gejala Klinis
Mayoritas pasien mengalami nyeri kepala akut dan penurunan kesadaran yang
berkembang cepat sampai keadaan koma. Pada pemeriksaaan biasanya di dapati
hipertensi kronik. Gejala dan tanda tergantung lokasi perdarahan. Herniasi uncal
dengan hiiangnya fungsi batang otak dapat terjadi. Pasien yang selamat secara
bertahap mengalami pemulihan kesadaran dlam beberapa hari. Pasien dengan
perdarahan pada lobus temporal atau lobus frontal dapat mengalami seizure tiba-
tiba yang dapat diikuti kelumpuhan kontralateral (Caplan,2000; Gilroy,2000;
Ropper,2005)
Pasien usia tua dengan tekanan darah normal yang mengalami PIS atau
perdarahan intraserebellar karena amyloid angiopathy biasanya telah menderita
penyakit Alzheimer atau demensia progresif tipe Alzheimer dan dalam
perjalanannnya perdarahan dapat memasuki rongga subarakhnoid.(Gilroy,2000).
II.1.5. Diagnosis
Computed Tomography (CT- scan) merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk
PIS dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat diulang
dalam 24 jam untuk menilai stabilitas. Bedah emergensi dengan mengeluarkan
massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang mengalami peningkatan
volume perdarahan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menunjukkan
perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan.
Perubahan gambaran MRI tergantung stadium disolusi hemoglobin-
oksihemoglobin-deoksihemogtobin-methemoglobin-ferritin dan hemosiderin
(Gilroy,2000)
II.2. OUTCOME FUNGSIONAL
Prediksi akurat untuk outcome pada PIS di unit gawat darurat menjadi masalah
yang penting bukan saja untuk menghadapi keluarga pasien, tapi juga untuk
menilai pasiennya membutuhkan perawatan intensif invasif, yang sering
membutuhkan rujukan rumah sakit. Pada dasarnya, prediksi ini untuk
mengidentifikasi pasien untuk mencapai pemulihan outcome fungsionalnya, lebih
dari sekedar dapat bertahan hidup,yang nantinya dapat memberi arahan kepada
keluarga dan tim medis untuk perawatan selanjutnya ( Rost dkk,2008)
Ada banyak model instrumen untuk memprediksi outcome pada PIS yang telah di
publikasi dan telah diterima luas penggunaanya dalam klinis. Prediktor yang
sering digunakan termasuk volume perdarahan, nilai SKG, hidrosefalus, letak lesi
perdarahan, usia atau adanya perdarahan intraventrikular (Rost dkk,2008)
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai
impairments, disabilitas dan handicaps. Ofeh WHO membuat batasan sebagai
berikut (Caplan,2000) :
1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis dan
anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi
okupasional ditujukan untuk memperbaiki kelainan ini.
2. Disabilitas adalah hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu
yang seharusnya dilakukan orang yang sehat seperti : tidak bisa berjalan,
menelan, melihat akibat pengaruh stroke.
3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seorang penderita stroke
berperan sebagai manusia normal akibat impairment atau disability tersebut.
II.2.1. GLASGOW OUTCOME SCALE
Glasgow Outcome Scale (GOS) adalah skala yang digunakan untuk mengukur
outcome yang pada awal penggunaannya ditujukan pada pasien trauma kapitis.
Skala ini diciptakan oleh Jennet dkk pada tahun 1975 dan dipakai untuk
mengalokasikan orang-orang yang menderita cedera otak akut pada cedera otak
traumatik maupun non-traumatik ke dalam kategori outcome. Skala ini
menggambarkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan, yang
difokuskan pada bagaimana trauma mempengaruhi fungsi kehidupan (Leon-
Carrion,2006)
Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut (Leon-Carrion,
2006 ; Capruso dan Levin, 1996) :
0. Death
1. Vegetative State
Tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognItif yang ditunjukkan
oleh hilangnya komunikasi total, yang menandakan bahwa korteks serebral
tidak berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien pada keadaan
vegetative state memiliki respon buka mata, gerakan bola mata, dan siklus
tidur-bangun. Meskipun pasien dengan
vegetative state dapat menunjukkan berbagai aksi motorik yang reflektif,
kebiasaan ini tidak dapat menunjukkan kesadaran.
2. Severe disability
Pasien sadar, namun membutuhkan pertolongan. Meskipun tingkat
ketergantungan bervariasi, yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien yang
bergantung kepada seorang pengasuh untuk seluruh aktifitas sepanyang hari.
Pasien yang tidak dapat ditinggal sendiri dan tidak dapat merawat diri mereka
sendiri selama interval 24 jam termasuk dalam kategori ini.
3. Moderate disability
Pasien dalam kategori ini dapat ditinggal sendiri, namun memiliki tingkat
kecacatan fisik dan kognitif yang membatasi mereka dibandingkan tingkat
kehidupan sebelum trauma. Banyak pasien pada kategori ini dapat kembali
bekerja, meskipun dalam pekerjaan mereka diberikan kelonggaran khusus dan
asisten untuk mereka, dan tidak dapat memikul pekerjaan sebesar tanggungjawab
mereka sebelum sakit.
4. Good recovery
Pada kategori ini pasien dapat mandiri dan dapat kembali bekerja pada
pekerjaan atau aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya keterbatasan
mayor. Pasien dapat menderita defisit neurologi atau kognitif ringan yang
menetap, namun tidak mengganggu keseluruhan fungsi. Pasien dalam kategori
ini kompeten dalam bersosialisasi dan mampu membawa diri dengan baik
tanpa perubahan kepribadian yang berarti.
Tingkatan ini dapat dikelompokkan menjadi outcome buruk (GOS 0-2) dan
outcome baik (GOS 3-4) (Leon-Carrion,2006).
II.3 KEGAWATDARURATAN NEUROLOGIK
Keadaan darurat di bidang kedokteran adalah suatu keadaan dimana
kehidupan seseorang penderita, berada dalam tingkat kegawatan yang sangat berat
dan biasanya terjadi secara mendadak, akibat suatu proses penyakit atau trauma.
Demikian juga keadaan kegawatan neurologi adalah kasus neurologi yang karena
sesuatu hal mengalami kegawatan mendadak dan bila tidak segera ditolong
dengan perawatan yang intensif akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh,
atau meninggal.
Diperlukan suatu pengetahuan yang khusus di bidang kegawatan dan
selain itu suatu ketrampilan dalam penerapan pengetahuan yang telah didapatkan
dan disertai sikap yang manusiawi terhadap penderita maupun keluarga penderita,
seharusnya dimiliki oleh setiap petugas yang menghadapi kegawatan medis ini.
Pada kesempatan ini akan dikemukakan suatu contoh penatalaksanaan
kedaruratan neurologic pada perdarah intraserebral (PIS), suatu gangguan
perdarahan otak yang sering dijumpai di rumah sakit ini.
II.3.1. Resusitasi Jantung-Paru-(Otak)
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan jantung
dan pada henti napas(5).
RJP adalah kombinasi antara bantuan pernapasan dan kompresi jantung
yang dilakukan pada korban serangan jantung(6).
II.3.1.1 Indikasi
A. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lainnya(7).
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai
beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka
pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat
akan berakibat henti jantung(7).
B. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital
lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan
tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan
otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis
tentu tidak termasuk henti jantung(7).
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel
asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua
jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat
gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena
koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis
femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,
pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak
bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar(4).
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan.
Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek
serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung
berdenyut kembali(7).
II.3.1.2 Fase RJPO
Resusitasi jantung paru otak dibagi menjadi 3 fase diantaranya(4):
1. FASE I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan
henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru.
2. FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu
tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah
dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole
atau agonal ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3. FASE III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita
secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian
mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim
saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung,
sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi
susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan
hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan
sirkulasi, mengendalikan kejang(4).
II.4. PEMERIKSAAN NEUROLOGIK DAN MONITORING
NEUROLOGIK PADA KEGATAN NEUROLOGIK
II.4.1. Riwayat Penyakit
Pengambilan anamnesa ataupun heteroanamnesa perlu dilakukan secara
cepat, terarah runtut, sehingga dapat dkumpulkan data dasar mengenai keadaan
penderita secara holistic. Informasi ini ini akan menuntun suatu tata laksana awal
yang lebih baik, untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan dihadapi dan
juga pemeriksaan neurologic akan lebih terarah.
Dasar ilmu kedaruratan medic secara umum dan kedaruratan neurologic
secara khusus hendaknya telah dimiliki oleh setiap petugas yang menghadapi
kasus-kasus kedaruratan neurologic.
Selain al diatas dipahami keadaan psikologik penderita maupun keluarga
penderita dalam situasi kedaruratan medic ini. Biasanya penderita dan
keluarganya dating dalam keadaan tidak tenang dan bahkan mungkin panic dalam
keadaan ini mereka mudah tersinggung terhadap kata-kata ataupun sikap para
petugas. Diperlukan kesabaran, ketenangan dan kearifan para petugas dalam
setiap situasi semacam ini, kegagalan dalam komunikasi hubungan antar manusia
akan dapat menyebabkan suasana terapeutik menjadi kurang baik dan dengan
sendirinya akan ikut berperan dalam proses penyembuhan penyakit yang diderita
penderita.
II.4.2 Fungsi Vital
A. Suhu Tubuh
Penderita dengan hipotermia dengan suhu tubuh ,32,2oC, sering dijumpai
pada penderita pecandu alcohol, intoksikasi obat-obatan (phenotiazine atau
barbiturate), akibat iklim dan jarang karena insufisiensi adrenal, gangguan
hypothalamus, hipopitutarism atau hipoglikemia dan keadaan ini memperberat
keadaan neurologiknya. Penderita dengan suhu tubuh >32,2oC biasanya dalam
keadaan sadar kecuali bila ada penyebab lain yang menyebabkan keadaan stupor
atau koma. Sedangkan penderita dengan suhu tubuh ,32,2oC dapat jatuh dalam
keadaan koma atau mungkin mengalami kematian otak.
Pada penderita bedah saraf yang mengalami disfungsi serebral, gangguan
neuroogik akibat hipotermi dapat terjadi lebih awal atau pada suhu yang lebih
tinggi. Dehidrasi, laktik asidosis aritmia jantung merupakan komplikasi dari
hipotermia yang berat.
Suhu tubuh >42oC juga dapat menyebaban koma. Kenaikan suhu tubuh
biasanya diserai gejala delirium dan pada bangsal bedah saraf atau bangsal saraf
sering dijumpai gangguan psikiatrik ini akibat kenaikan suhu tubuh dan lesi pada
susunan saraf pusatnya. Hipertermia dapat disebabkan kareana heat stroke,
gangguan hipotalamus atau infeksi. Ihpertermia tanpa tanda keradangan sering
disebut sebagai “central fever”, dimana tidak seperti panas pada injeksi yang
dapat naik turun, pada panas karena proses sentral biasanya menetap tinggi. Panas
sentral sering mencapai 40oC. Pada penderita dengan kerusakan otak akut,
fluktuasi suhu tubuh merupakan pertanda prognosis burukdan menandai suatu
kerusakan ipotalamus yang berat.
B. Tekanan Darah
Pada penderita dalam keadaan gawat neurologic bila terdapat kenaikan
TIK akan djumpai hipertensi dan bradikardi, tetapi sering pula hanya djumpai
kenaikan tekanan darah tanpa perubahan detak jantung dan beberapa penderita
bradikardi tanpa hipertensi.
Pada penderita dengan koma, dalam gejala klinis ini sangat berarti dalam
menentukan deteriorasi akibat kenaikan teknan intracranial.
C. Detak Jantung
Monitoring dari detak jantung yang disertai dengan tanda klinis
kardiopulmoner lainnya dapat memberikan informasi yang berarti tentang
keadaan susunan saraf pusat (SSP). Sinus takikardia menunjukkan adanya
rangsangan simpatik seperti rasa sakit, panas atau syok perdarahan awal meskipun
belum ditemukan adanya hipotensi. Bradikardi yang disertai dengan kenaikan
TDS (Tekanan darah Sistole) dan penurunan status mental, menandai suatu
kenaikan TIK (reflek Cushing).
D. Pernafasan
Pernafasan adalah aksi sensorimotorik yang terintegrasi dengan baik di
bawah pengaruh system saraf mulai dari tiap level dari otak dan mielum bagian
atas. Pola dan frekuensi pernapasan sangat berarti dalam monitoring setiap
kegawatdaruratan neurologic dan dengan observasi yang ketat, kita dapat
mengetahui perkembangan rostrokaudal dari proses desak ruang.
1. Cheyne stokes: lesi di hemisfer.
2. Central neurogenic hyperventilation: lesi di mesensefalon-pons
3. Apneustic breath: lesi di pons
4. Ataxic breath: lesi di medulla oblongata
E. Pemeriksaan Neurologik
1.) Kesadaran
Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya.
Secara sederhana, tingkat kesadaran dibagi atas : Kesadaran yang normal (compos
mentis), somnolen, sopor, koma ringan dan, titik.
Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila
dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai : letargi, optundasi. Tingkat kesadaran
ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban
verbal dan menagkis rasa nyeri.
Sopor (stupor). Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih
dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan.
Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi
terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban
verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menagkis rangsang nyeri masih baik.
Koma ringan (semi koma). Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap
rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil, dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul
sebagai respon terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak
terorganisasi, merupakan jawaban ”primitif ”. Penderita sama sekali tidak dapat
dibangunkan.
Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada
jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
G.C.S
Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan
Glassgow Coma Scale yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita
terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan /respon
penderita yang perlu diperhatikan adalah :
a. Membuka mata
b. Respon Verbal (bicara)
c. Respon Motorik (gerakan)
a. Membuka Mata
Spontan
Terhadap bicara (suruh pasien mebuka mata)
Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supraorbita
atau kuku jari
Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak
membuka mata)
Nilai
4
3
2
1
b. Respon Verbal (bicara)
Baik dan tidak ada disorientasi
Dapat menjawab dengan kalimat yang baik, tau
dimana ia berada, waktu, hari, bulan
Kacau (”consious”)
Dapat bicara dalam kalimat, namun ada disorintasi
waktu dan tempat
Tidak tepat
Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak
Nilai
5
4
3
merupakan kalimat dan tidak tepat
Mengerang
Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang
Tidak ada jawaban
2
1
c. Respon Motorik (Gerakan)
Menurut perintah
Misalnya, suruh : ”angkat tangan!”
Mengetahui lokasi nyeri
Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan
jari pada supra orbita. Bila dengan rasa nyeri
pasien mengangkat tangannya sampai melewati
dagu untuk maksud menepis rangsang tersebu
berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri
Reaksi menghindar
Reaksi fleksi (dekortikasi)
Berikan rangsang nyeri misalnya menekan dengan
objek keras seperti ballpen pada jari kuku. Bila
sebagai jawaban siku memfleksi terhadap reaksi
fleksi terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan
tangan mungkin ada atau tidak ada
Reaksi ekstensi (desereberasi)
Dengan rangsang nyeri tersebut diatas terjadi
ekstensi pada siku. Ini selalu disertai fleksi spastik
pada pergelangan tangan.
Tidak ada reaksi
Sebelum memutuskan bahwa tidak ada reaksi,
haus diyakinkan bahwan rangsang nyeri cukup
adekuat diberikan.
Nilai
6
5
4
3
2
1
Bila kita gunakan skala glasgow sebagai patkan untuk koma, maka koma =
tidak didapatkan respon membuka mata, bicara, dan gerakan dengan jumlah nilai
= 3
2.) Batang Otak
Fungsi batang otak hendaknya dievaluasi secara sistematik mulai dari
midbrain dan meluas sampai medulla.
3.) Pupil dan posisi bola mata
Lesi di hemisphere
Deviation Conjugee : deviasi kedua bola mata ke arah lesi hemisphere dan
pupil besar dan reaksi cahaya masih positif
Lesi di thalamus
Kedudukan kedua bola mata melihat ke medial dan ke bawah menjauhi
lesi, pupil mengecil dan reflek cahaya negatif.
Lesi di tegmentum
Pupil biasanya terletak di tengah dan tidak bereaksi
Lesi di pons
Kebanyakan menyebabkan pinpoint dan unreactive pupil. Perdarahan di
dan sekitar ventrikel III pupil kecil dan masih bereaksi terhadap cahaya.
Lesi di mesencephalon
Pupil midriasis ipsilateral, reflek cahaya negatif dan reflek konsentrasi
masih positif dan tampak kelopak mata ptosis.
Herniasi transtentorial menyebabkan kompresi ipsilateral N.III atau
ipsilateral inti N.III dan inti Edinger-Westphal.
Maka Observasi pupil sangat penting untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya impending herniasi.
Lesi di cerebelum
Bola mata di tengah, pupil lebar dan reflek cahay normal
3.) Kornea
Reflek kornea menggambarkan integritas dari aferen N.V dan efferen
N.VII dan interkoneksinya di pons. Hilangnya reflek kornea menunjukkan adanya
kerusakan di pons
4.) Fungsi Motorik
Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikanmuka penderita, apakah simetris atau
tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pemejaan mata, plika nasolabialis dan sudutn
mulut. Bila asimetri (dari) muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan
jenis perifer. Dalam hal inmi kerutan dahi menghilang, maa kurang dipejamkan,
plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada
kelumpuhan jenis sentral (supranuklir), muka dapat simetris waktu istirahat,
kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya
menyeringai.
Meminta penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi.
Perhatikan apakah ini dapat dilakukan, dan apakah ada asimetri. Pada
kelumpuhan jenis supranulkir sesisi, penderita dapat mengankat alis dan
mengerutkan dahinya, sebab otot ini mendapat persarafan bilateral. Pada
kelumphan jenis perifer terlihat adanya asimetri.
Meminta penderita memejamkan mata.
Bila lumpuhnya berat, maka penderita tidak dapat memejamkan mata; bila
lumpuhnya ringan, maka tenaga pmejaman kurang kuat. Hal ini ndapat dinilai
dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan
pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan matanya
satu persatu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi parese ringan. Bila
terdapat parese, pnderita tidak dapat memejamkan matanya pada sisi yang
lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga orang normal yang tiak dapat memejamkan
matnya satu persatu.
Meminta penderita menyerinai (menunjukkan gigi geligi), mencucurkan
bibir, menggmbungkan pipi).
Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah ada simetri.
perhatikan sudut mulutnya. suruh penderita bersiul. penderita yang tadinya dapat
bersiul menjadi tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan. pada penderita
yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat disuruh
menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila kepadanua diberi rangsng nyeri, yaitu
dengan menekan pada sudut rahangnya (m.masseter).
II.5. PENATALAKSANAAN UMUM STROKE
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat
pendek, maka evaluasi dan diagnosis klinis harus dilakukan dengan
cepat, sistematik, dan cermat. Evaluasi gejala klinis stroke akut
meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan,
aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri
kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang,cegukan
(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta
faktor resiko stroke (hipertensi dan diabetes dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi,
oksimetri dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher
(misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang,
pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan
ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan
neurologis terutama pemeriksaan saraf kranialis,
rangsangan selaput otak, system motorik, sikap dan cara
reflex, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala
stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS.
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis,
nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen
dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan deficit
neurologis yang nyata.
Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen < 95%.
Perbaikan jalan napas termasuk pemasangan pipa orofaring
pada pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada
pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungs
bulbar dengan gangguan jalan napas.
Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia
Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak
memerlukan terapi oksigen
Intubasi ETT ( Endo Trakea Tube) atau LMA ( Laryngeal
Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia,atau
syok, atau pada pasien yang beresiko untuk terjadi aspirasi.
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2
minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 minggu, maka
dianjurkan dilakukan trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kritaloid atau koloid intravena (hindari
pemberian cairan hipotonik seperti glukosa)
Dianjurkan pemasangan CVC (central Venous
Catheter),dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan
dan sebagai sarana untuk memasukkancairan dan nutrisi.
Usahakan CVC 5-12mmHg.
Optimalisasi tekanan darah
Bila tekanan darah sistolik <120 mmHgdan cairan
sudah mencukupi, maka obat obat vasopression
dapat diberikan secara titrasi seperti dopamine dosis
sedang/tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan
target tekanan darah sistolik berksar 140 mmhg.
Pemantauan jantung harus dilakukan selama 24 jam
pertama setelah stroke iskemik.
Bila terdapat adanya penyakit jantung kongesti
segera atasi.
Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari
penyebabnya. Hipovolemik harus dikoreksi dengan
larutan salin normal dan aritmia jantung yang
mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup
harus dikoreksi.
c. Pemeriksaan awal fisik umum
Tekanan darah
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan neurologis umum awal:
- Derajat kesadaran
- Pemeriksaan jantung
- Pemeriksaan pupil dan akulomotor
- Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian peninggian tekanan intra kranial
- Pemantauan ketat terhadap penderita dengan
resiko edema serebral harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala
dan serangan neurologis pada hari- hari
pertama setelah stroke.
- Monitor TIK harus dipasang pada pasien
dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena
kenaikan TIK
- Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20
mmHg dan CPP.70mmHg.
- Penatalaksanaan penderita dengan
peningkatan tekanan intra cranial meliputi :
o Tinggikan posisi kepala 200-300
o Posisi pasien hendaknya menghindari
penekanan vena jugularis
o Hindari pemberian cairan glukosa atau
cairan hipotonik
o Hindari hipertermia
o Jaga normovolemik
o Osmoterapi atas indikasi
Manitol ),25- 0,50 gr/kgBB, selama > 20
menit, diulang setiap 4-6 jam.
Osmolaritas sebaiknya diperiksa 2 kali
dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
Kalau perlu, berikan furosemide dengan
dosis inisial 1 mg/kgBB IV.
e. Penanganan Transformasi Perdarahan
Tidak ada anjuran tentang transformasi perdarahan
asimtomatik, terapi transformasi perdarahan simtomatik
sama dengan terapi stroke perdarahan antara lain dengan
memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan
tekanan darah arterial secara hati-hati.
f. Pengendalian kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20
mg dan diikuti oleh fenitoin loading dose 15-20 mg/kg
bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit. Bila
kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
Pemberian antikomvulsan profilaksis pada penderita stroke
iskemik tampa kejang tidak dianjurkan. Pada stroke
perdarahan intra serebral obat antikonvulsan profilaksis
dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan
dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan.
g. Pengendalian suhu tubuh
Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati
dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya, berikan
Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,50C atau
37,50C, pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi,
harus dilakukan kultur dan hapusan (trakea, darah, dan
urin) dan diberikan antibiotik.
h. Pemeriksaan penunjang
EKG
Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal,
hematologi, faal hemostasis, kadar gula darah,
analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)
Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid,
lakukan punsi lumbal untuk pemeriksaan cairan
serebrospinal
Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen dada dan CT scan.
B. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat
1. Cairan
Berikan cairan isotonic seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga
euvolemi. Tekanan vena sentral pertahankan antara 5-12 mmHg.
Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kg BB/hari (parentral
maupun entral)
Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi
urin sehari di tambah dengan pengeluaran cairan yang tidak tampak
dan tambah lagfi 300ml per drajat celcius pada penderita panas).
Elektrolit (natrium, kalium, kalsium, dan magnesium harus selalu
diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai terjadi nilai
normal.
Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisis
gas darah.
Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaknya
dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemi.
2. Nutrisi
Nutrisi entral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,
nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan
baik.
Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun maka
makanan diberikan melalui pipa nasogastrik
Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
- Karbohidrat 30-40% dari total kalori
- Lemak 25-35% (pada gangguan napas dapat lebih tinggi 35-
55%)
- Protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal ,0.8
g/kg BB/hari)
Apabila kemungkinan pemakaian pipa gastric diperkirakan .6
minggu pertimbangkan untuk gastroktomi.
Pada keadaan tertentu, yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan
yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak
mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.
3. Pencegahan dan penanganan komplikasi
- Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli
paru, dekubitus, dan kontraktur) perlu dilakukan.
- Berikan antibiotik atas indikasi dan usaha sesuai dengan tes kultur
dan sensivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai pola kuman.
- Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas.
- Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli
- Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena
dalam, heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari. Resiko perdarahan
iskemik dan intraserebral perlu diperhatikan.
4. Penatalaksanaan medis lain
Pemantauan kadar glukosa darah perlu diperhatikan, hiperglikemia
(kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati
dengan titrasi insulin target yang harus dicapai adalah
normoglikemik. Hipoglikemik berat (< 50 mg/dl) harus diobati
dengan dekstrosa 40 % intravena atau infuse glukosa 10-20%
Jika gelisah dilakukan terapi psikologis
Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi
Berikan H2 antagonis apabila ada indikasi perdarahan lambung.
Hati- hati dalam menggerakkan penyedotan lendir atau memandikan
pasien karenan dapat mempengaruhi TIK
Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernapasan stabil
Kandung kemih yang penuh dikosongkan sebaiknya dengan
kateterisasi.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, MRI,
Dupleks carotid, Sonografi dan lain-lain.
Rehabilitasi
Edukasi keluarga
Rencana pengolahan pasien di luar rumah.
II.6. PENATALAKSANAAN PIS (PERDARAHAN INTRASEREBRAL)
1. Diagnosis dan penilaian gawat darurat paada perdarahan intracranial
dan penyebabnya :
Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT scan atau MRI
direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan
perdarahan intracranial
Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan
untuk membantu mengidentifikasi pasien dengan resiko perluasan
hematoma. Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan
yang mengarah ke lesi yang struktural termasuk malformasi
vaskuler dan tumor sebaiknya dilakukan angiografi CT, venografi
CT, CT dengan kontras, MRA, dan venografi MR.
2. Tata laksana medis Perdarahan Intrakranial
a. Pasien dengan defisiensi berat faktor koagulasi atau
trombositipenia berat sebaiknya mendapat terapi penggantian
faktor koagulasi atau trombosit
b. Pasien dengan perdarahan intrakranial dan peningkatan INR terkait
obat antikoagulan sebaiknya tidak diberikan warfarin, tetapi
mendapat terapi untuk mengganti vitamin K-dependent factor
mengoreksi INR serta mendapat vitamin K intravena.
c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai
berikut :
Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan
peningkatan INR dan diberikan dalam waktu yang sama
dengan terapi yang lain karena efek akan timbul 6 jam
kemudian. Kecepatan pemberian <1 mg/menit untuk
meminimalkan resiko anafilaksis.
FFP (fres frozen plasma) 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi
defisiensi faktor pembekuan darah apabila ditemukan sehingga
dengan cepat dapat memperbaiki INR. Terapi FFP ini untuk
mengganti pada kehilangan faktor koagulasi.
d. Faktor VIIa rekombinasi tidak mengganti semua faktor pembekuan,
dan walaupun INR pembekuan bisa jadi tidak membaik
e. Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan
intracranial dengan riwayat penggunaan antipletelet masih tidaj
jelas dan dalam tahap penelitian.
3. Tekanan darah
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada pasien akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan kemungkinan dapat memperburuk keluaran
neurologi padasebagian pasien, tekanan darah dengan sendirinya dalam
24 jam pertama setelah serangan stroke. Berbagai Guidelines
(AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan
tekanan yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati.
Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut apabia TDS >200
mmhg tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi ntravena secara continue dengan pemantauan tekanan
darah setiap 5 menit
Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220
mmhg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140
mmHg cukup aman.
4. Penanganan di Rumah sakit dan pencegahan kerusakan otak sekunder
Pemantauan awal dan penanganan pasien perdarahan intracranial
sebaiknya dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang
mempunyai keahlian perawatan intensif neurosains.
Obat kejang dan antiepilepsi
Kejang sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi.
5. Operasi
Evakuasi hematoma
Pasien dengan perdarahan intraserebral yang mengalami
perburukan neurologis, atau yang terdapat dekompresi batang otak
dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel sebainya
menjalani oerasi evakuasi bekuan darah secepatnya.
PEDOMAN PENATALAKSANAAN PADA STROKE PERDARAHAN
INTRASEREBRAL
Pada stroke perdarahan intraserebral (PIS) dengan tekanan darah sangat
tinggi (tekanan darah sistolik >220 mmHg, tekanan diastolik >120mmHg) harus
diturunkan sedini dan secepat mungkin untuk membatasi pembentukan edema
vasogenik akibat robeknya sawar darah otak pada daerah iskemia sekitar
perdarahan
Penurunan tekanan darah akan menurunkan resiko perdarahan ulang atau
perdarahan yang terus menerus akan tetapi daerah otak sekitar hematom
bertambah iskemik karena autoregulasi pada daerah ini telah hilang. Atas dasar ini
obat anti hipertensi diberikan kalau tekanan sistolik >180mmHg atau tekanan
diastolik >100mmHg.
Dandapani et al menganjurkan penurunan tekanan darah sedini mungkin
pada perdarahan intra serebral dengan tekanan arterial rerata >145mmHg untuk
mencegah perdarahan ulang, pengurangan tekanan intrakranial dan edema otak
serta mencegah kerusakan organ akhir (end organ)
Pedoman penatalaksanaan
1. Bila tekanan darah sistolik >230mmHg atau tekanan darah sistolik
>140mmHg : berikan nikardipin, diltiazem atau nimodipine.
2. Bila tekanan sistolik 180-230mmHg atau tekanan diastolik 105-140
mmHg atau tekanan arteri rerata 130mmHg :
a. Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit. Ulangi atau
gandakan setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau
berikan dosis awal bolus diikuti oleh labetalol drip 2-
8mg/menit
b. Nikardipin atau
c. Diltiazem atau
d. Nimodipin
3. Pada fase akut tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20-25%
dari tekanan darah arteri rerata.
4. Bila tekanan sistolik <180mmHg dan tekanan diastolik <105 mmHg,
tangguhkan pemberian obat anti hipertensi
5. Bila terdapat fasilitas pemantauan tekanan intrakranial, tekanan perfusi
otak harus dipertahankan >70mmHg
6. Pada penderita dengan riwayat hipertensi penurunan tekanan darah harus
dipertahankan diawah tekanan arterial rata-rata 130mmHg
7. Tekanan darah arterial rata-rata lebih dari 110mmHg harus dicegah segera
pada waktu pasca operasi dekompresi.
8. Bila tekanan darah arterial sistolik turun <90mmHg harus diberikan obat
menaikkan tekanan darah (vasopressor)
PERHATIAN :
1. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh stress akibat stroke,
kandung kencing yang penuh, nyeri, respon fisiologi dan hipoksia atau
peningkatan tekanan intra-kranial.
2. Dengan memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan di atas
akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase
menunggu 5-20 menit pengukuran berikutnya.
Recommended